PENAFSIRAN WAHBAH AL-ZUHAILÎ TENTANG INFAQ
DALAM TAFSIR AL-MUNIR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Fawa Idul Makiyah
NIM: 11140340000190
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
iv
ABSTRAK
Fawa Idul Makiyah. Penafsiran Wahbah Al-Zuhailî tentang Infaq Dalam
Tafsir Al-Munir
Latar belakang penulisan skripsi ini adalah ketrekaitan penulis terhadap
pokok bahasan mengenai Penafsiran Wahbah al-Zuhailî tentang Infaq dalam
Tafsiral-Munir, mengingat bahwa Infaq merupakan bagian dari sifat manusia yang
harus ditegakkan kepada siapa pun. Karena sadaqah ini memilki dampak yang
sangat positif bagi orang yang ingin menegakkannya.
Menurut Al-Raghib Al-Asfahâni (w. 502 H/1108 M), ahli leksikografi,
kata infaq berasal dari kata nafaqa نفق yang berati sesuatu yang telah berlalu
atau habis, baik dengan sebab dijual, dirusak atau karena meninggal. Selain itu,
kata infaq terkadang berkaitan dengan harta atau yang lainnya, dan terkadang
berkaitan dengan sesuatu yang dilakukan secara wajib atau sunnah.
Fokus penelitian ini adalah tentang infaq yang tidak hanya digunakan
untuk menyangkut yang wajib. Tetapi menyangkut segala macam pengeluaran.
Bahkan kata itu digunakan untuk pengeluaran yang tidak ikhlas sekali pun.
Contohnya: dalam surat Al-Baqarah/2: 262, dan 265, surat Al-‘Anfâl/8: 36, dan
surat At-Tawbah/9: 54. Maka jikalau demikian adanya, maka zakat dan sadaqah
termasuk dalam kategori infaq. Dalam penggunaan sehari-hari zakat digunakan
khusus untuk pengeluaran harta yang sifatnya wajib. Sadaqah digunakan untuk
pengeluaran harta yang sifatnya sunnah. Sementara itu, infaq mencakup segala
pengeluaran atau bukan harta, yang wajib atau bukan, ikhlas atau dengan pamrih.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research)
dengan menggunakan metode mawdû’i atau tematik. Dengan mengggunakan
metode tersebut, terdapat beberapa hal yang ditemukan dalam al-Qur’an yang
menyebutkan makna infaq dan segala aspeknya seperti : Objek penerima infaq
QS. Al-Baqarah [2]: 215, Perumpamaan orang yang berinfaq ikhlas karena Allah
QS. Al-Baqarah [2]: 254, Balasan orang yang berinfaq karena Allah QS. Al-
Baqarah [2]: 261-262, Larangan menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan si
penerima infaq, Sifat dan Bentuk harta yang diinfakkan haruslah harta yang bagus
Al-Baaqarah [2]: 267.
Kata Kunci : Infaq, Al-Munir, Wahbah al-Zuhailî
v
KATA PENGANTAR
Segala puja, puji, dan rasa syukur, penulis panjatkan kepada Allah SWT,
atas segala nikmat dan pertolongan yang telah, sedang, dan yang akan selalu Ia
berikan kepada penulis. Dialah Tuhan tempat mengadu ketika penulis sudah
merasa lelah dan putus asa dalam menyelesaikan skripsi ini. Kepada-Nya penulis
meminta kekuatan agar selalu dikuatkan dalam menyelesaikan skripsi ini. Atas
petunjuk dan rahmat dari-Nya penulis dapat mengolah data menjadi kata,
mengolah kata menjadi kalimat, mengolah kalimat menjadi paragraf-paragraf
yang berisi ide, kemudian dari kumpulan paragraf menjadi bab-bab dan akhirnya
jadilah skripsi ini.
Shalawat dan salam seiring kecintaan, akan senantiasa tercurah limpahkan
pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Sesungguhnya Ia dan merekalah yang sangat berjasa dalam menyampaikan pesan-
pesan kepada Allah SWT, sampai akhirnya pesan itu sampai kepada kita semua
saat ini.
Dalam perjalanan penelitian ini, penulis menyadari betul bahwa skripsi yang
berjudul “Penafsiran Wahbah Al-Zuhailî tentang Infaq dalam Tafsir Al-
Munir” ini tidak akan selesai dengan daya dan upaya penulis sendiri, melainkan
ada banyak sosok kerabat, dan orang-orang spesial dari berbagai pihak yang
secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis, sehingga
akhirnya tulisan ini selesai. Maka, pada kesempatan ini, penulis ingin
mengungkapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya, yaitu kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA, selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, serta Civas Akademik Fakultas Ushuluddin.
vi
4. Dosen Penasihat Akademik, Bapak Dr. Masykur Hakim, yang banyak
memberi masukan kepada penulis selama studi di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Muslih, M.Ag, sebagai Dosen Pembimbing dalam skripsi ini, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerelaannya
meluangkan waktu untuk bimbingan dan saran-sarannya mengarahkan
penulis dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin khususnya Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir yang dengan sabar dan ikhlas telah mengajarkan dan membagikan
berbagai macam wawasan, ilmu pengetahuan, serta pengalaman kepada
penulis selama penulis masih kuliah di kampus yang sangat membanggakan
dan tercinta ini.
7. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,
Perpustakaan Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Ciputat, Perpustakaan Nasional
dan Perpustakaan Imman Jama yang telah memberikan fasilitas serta rujukan-
rujukan sebagai sumber referensi yang sangat membantu sekali penulis.
8. Abiku Muhajirin dan Umiku Siti Mariam yang telah mendidik dan
membesarkanku menjadi manusia yang berguna untuk masyarakat.
9. Calon teman hidup Ahmad Septian Thahir, yang tidak pernah bosan menjadi
alarm pengingat untuk segera menyelesaikan skripsiku, serta membantu,
memberikan dorongan semangat terus menerus tanpa hentinya dan selalu
mendo’akan yang terbaik untuk kelancaran skripsiku. Semoga Allah sselalu
memberikan kemudahan dalam setiap urusannya dan kesemangatan dalam
setiap langkahnya. Amin
10. Teman-teman satu Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir yang senantiasa
menemani penulis dalam menimba ilmu pengetahuan di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, di antara mereka adalah Silma Latansa, Mega Nur
Fadhilah, Aidah Fathaturrahmah, Filzah Syazwana, Fradita Shalikhah,
Khulaimah Musyfiqah, Iva Rustiana dan seluruh teman-teman kelas yang
tidak disebutkan satu persatu, terimakasih banyak semoga kalian menjadi
vii
orang-orang sukses Amin. Perjumpaan dengan kalian semua adalah sesuatu
yang akan selalu terkenang.
11. Teman-teman dari KKN Yassir yaitu, Karvin, Sahrul, Wiwi, Dwi, Ilham,
Fadlil, Tina, Ulfah, Prayogo, Asri, Amel, Tara, Romadhon, Aziz, dan Luly
yang telah mendukung dan mensuport dalam melewati masa-masa sulit
bersama dalam mengerjakan tugas akhir Skripsi ini. Terima kasih banyak
semoga Allah SWT membalas semua perjuangan kita Amin.
12. Semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Mengakhiri rangkaian pengantar ini, penulis hanya bisa memohon kepada
Yang Maha Kuasa untuk membalas segala kebaikan mereka. Mudah-mudahan
Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas segala amal kebaikannya.
Hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan bertawakkal serta memohon
ampunan-Nya atas segala kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini.
Dan penulis berharap karya tulis kecil ini dapat bermanfaat sebagai
sumbangsih sederhana dalam khazanah keilmuuan tafsir di Fakultas Ushuluddin.
Dan semoga tulisan ini menjadi tulisan pertama penulis dan dicatat sebagai amal
baik bagi penulis.
Jakarta, 23 Januari 2019
Penulis
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
No. 507 Tahun 2017
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara lain:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
J Je ج
H H dengan garis bawah ح
Kh Ka dan Ha خ
D De د
Dz De dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
(S Es dengan garis di bawah ص
(D De dengan garis di bawah ض
(T Te dengan garis di bawah ط
Z Zet dengan garis di bawah ظ
ix
‘ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
Gh Ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ` ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fathah ـ
i Kasrah ـ
u Dammah ـ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ـ ai a dan i
x
و ـ au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), ynag dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dan garis di atas ـا
î i dan garis di atas ـي
û u dan garis di atas ـو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah
maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydīd (ـ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah,
demikian seterusnya.
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
xi
marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة 1
al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2
Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû
Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat dierapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring
(italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis
dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian
seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-
Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas
xii
kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
Dzahaba al-ustâdzu ذهب األستاد
Tsabata al-ajru ثبت األجر
Al-harakah al-‘asriyyah احلركة العصرية
اهللأشهد أن ال إله إال Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
Maulânâ Malik al-Sâlih موالنا ملك الصاحل
yu`atstsirukum Allâh يؤثركم اهلل
Al-maẕâhir al-‘aqliyyah املظاهر العقلية
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd;
Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-
Rahmân.
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................................ ii
PERSETUJUAN TIM PENGUJI ...................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI .........................................................................iv
KATA PENGANTAR …………..…………………………………………….. ix
DAFTAR ISI .........................................................................................................x
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... ..1
B. Identifikasi Masalah ...............................................................................8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................... 9
D. Tujuan Penelitian ....................................................................................9
E. Manfaat Penelitian ................................................................................10
F. Tinjauan Kepustakaan ..........................................................................11
G. Metode Penelitian ................................................................................ 12
H. Sistematika Penulisan .......................................................................... 16
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG BIOGRAFI WAHBAH AL-
ZUHAILÎ DALAM TAFSIR AL-MUNIR ....................................... 18
A. Biografi Wahbah al-Zuhailî .................................................................. 18
1. Lahir dan Pendidikannya ................................................................. 18
2. Karir Intelektualnya ......................................................................... 19
3. Karya-karyanya ............................................................................... 20
B. Biografi Tafsir al-Munir ......................................................................21
1. Motivasi dan Tujuan Menafsirkan ................................................21
2. Aliran Pemikiran dan Mazhab Fiqihnya .......................................22
xiv
3. Sumber Tafsir al-Munir .................................................................23
4. Referensi Kitab Tafsir al-Munir ....................................................24
5. Metode dan Corak Penulisan Tafsir al-Munir ...............................26
BAB III : DESKRIPSI UMUM TENTANG INFAQ ....................................... 28
A. Pengertian Infaq .................................................................................... 28
B. Perbedaan Infaq dengan Sadaqah......................................................... 32
C. Penafsiran Wahbah al-Zuhailî dalam Tafsir al-Munir tentang Infaq ... 37
D. Objek Penerima Infaq .......................................................................... 82
BAB IV : ANALISIS MAKNA AYAT-AYAT INFAQ DALAM TAFSIR AL-
MUNIR KARYA WAHBAH AL-ZUHAILÎ ....................................88
A. Objek penerima infaq ...........................................................................96
B. Perumpamaan orang yang berinfaq ikhlas karena Allah ....................100
C. Balasan orang yang berinfaq karena Allah SWT ...............................103
D. Larangan menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan .........................110
E. Sifat dan bentuk harta yang diinfakkan haruslah harta yang bagus ....114
F. Hilangnya pahala berderma karena Allah SWT .................................117
BAB V : PENUTUP ..........................................................................................121
A. Kesimpulan ........................................................................................121
B. Saran ...................................................................................................122
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................123
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesenjangan penghasilan rezeki dan mata pencaharian merupakan
kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Problem-problem hidup seperti kemiskinan
dan ketelantaran, adalah suatu kenyataan yang nyata adanya dan perlu diusahakan
untuk menghindarinya. kemiskinan adalah keadaan dimana seseorang tidak
sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf hidup kelompoknya dan
juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya dalam
kelompok tersebut.
Kemiskinan itu terjadi karena timbul keangkuhan pola hidup duniawi.
Akibat terjadinya “penguasaan” harta pada kelompok tertenu dan tidak
terdistribusi secara proporsional kepada orang banyak dan harta itu berputar
bagaikan roda disegelintir orang tertentu sehingga akhirnya ada pihak yang tidak
mendapat kesempatan untuk memilikinya. Ini tentu “melanggar” hukum
keseimbangan. Dalam agama Islam, konsep keseimbangan itu sdah pasti ada.
Berpasang-pasangan itu merupakan sunatullah. Laki-laki dan perempuan, surga
dan neraka, iman dan kafir, dan bahkan kaya dan miskin.
Batasan seseorang dikatakan miskin bukanlah pada berapa banyak harta
yang ia dapatkan. Melainkan, pada tingkat kebutuhan seseorang itu sendiri. Orang
yang berpenghasilan sepuluh juta dalam sebulan, belum tentu dia dikatakan lebih
kaya dari orang yang berpenghasilan lima juta. Karena seandainya orang yang
berpenghasilan sepuluh juta itu masih kurang dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, dia dianggap lebih miskin dibanding orang yang berpenghasilan lima
juta yang merasa cukup bahkan lebih dari kebutuhan dia.
Dalam kasus kaya dan miskin, Islam hadir sebagai agama yang berusaha
serius dalam “memerangi kemiskinan”.1 Penyelesaian masalah ini memerlukan
campur tangan dari Allah SWT, seperti firman-Nya dalam al-Qur‟an Surah an-
Nahl/16: 71
1 Wahbah al-Zuhailî, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, (Bandung: Remaja Rosma Karya,
1995), h. 88
2
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam
hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau
memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar
mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari
nikmat Allah?”. [QS. An-Nahl/16: 71]
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT melebihkan rezeki sebagian
manusia dari sebagian yang lainnya. Ada manusia yang kaya, ada pula yang
miskin. Semuanya bertujuan agar satu sama lain saling menolong karena saling
membutuhkan. di akhir ayat, Allah mengingatkan bahwa semua itu adalah nikmat-
Nya. Oleh karena itu, mereka seharusnya mensyukuri nikmat itu dengan tidak
memonopoli sumber-sumber penghasilan itu untuk kepentingan kelompok atau
golongan tertentu.2
Usaha-usaha untuk itu antara lain adalah adanya kemestian bagi orang yang
memiliki kelebihan harta untuk membantu yang berkekurangan dan untuk
membiayai kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Agama Islam mendorong
kepada orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan hartanya dalam berbagai
macam kebaikan dan mendorong mereka untuk menafkahkan hartanya di jalan
Allah SWT dengan penuh kedermawanan dan senang hati.
Infaq adalah hal mendermakan harta benda di jalan Allah dengan maksud
mencari pahala. Termasuk infaq ialah: nafakah istri, sedekah, zakat (wajib),
membangun sarana-sarana ibadah, membangun sarana-sarana pendidikan dan lain
sebagainya. Di dalam al-Qur‟an banyak sekali disebutkan dengan berbagai macam
bentuk, seperti انفق (Dia membelanjakan), “انفقت” (Engkau membelanjakan),
”تنفق“ ,(Mereka membelanjakan) ”انفقو“ ,(Kalian membelanjakan) ”انفقتم“
2 Tim Depag RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), Cet.
Pertama, Jilid 5, h. 351
3
(Kalian belanjakan), “ينفق” (Ia belanjakan), “ينفقو” (Mereka belanjakan),
,(Mereka membelanjakannya) ”ينفقوهنا“ ,(mereka belanjakan) ”ينفقون“
”نفقتهم“ ,(Suatu pembelanjaan) ”نفقة“ ,(kalian belanjakanlah) ”انفق“
(Belanjaan belanjaan mereka), “الالنفق” (Pembelanjaan), dan “منفقن”
(Orang-orang yang membelanjakan).3 Atas dasar ini, al-Qur‟an secara tegas
menyebut kata “harta” setelah kata “infaq” misalnya di dalam Surah Al-
Baqarah/2: 262. Selain itu ada juga ayat yang tidak menggandekan kata “infaq”
dengan kata “harta”, sehingga ia mencakup segala rezeki Allah SWT yang
diperoleh manusia dan yang dapat digunakan. Seperti misalnya dalam Surah Ar-
Ra‟d/13: 22 dan Surah Al-Furqân/25: 67.4
Menurut Drs. Ahsin Alhafidz, yang dimaksud dengan Infaq adalah sesuatu
yang diberikan oleh seseorang guna menutupi kebutuhan orang lain, baik berupa
makanan, minuman, dan sebagainya. Mendermakan atau memberikan rezeki
(karunia) atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas dan
karena Allah semata.5
Menurut Al-Raghib Al-Asfahâni (w. 502 H/1108 M), ahli leksikografi, kata
infaq berasal dari kata nafaqa نفق yang berati sesuatu yang telah berlalu atau
habis, baik dengan sebab dijual, dirusak atau karena meninggal. Selain itu, kata
infaq terkadang berkaitan dengan harta atau yang lainnya, dan terkadang berkaitan
dengan sesuatu yang dilakukan secara wajib atau sunnah.6
Kata infaq tidak hanya digunakan untuk menyangkut yang wajib. Tetapi
menyangkut segala macam pengeluaran. Bahkan kata itu digunakan untuk
pengeluaran yang tidak ikhlas sekali pun. Contohnya: dalam Surah Al-Baqarah/2:
262, dan 265, Surah Al-„Anfâl/8: 36, dan Surah At-Tawbah/9: 54. Maka jikalau
demikian adanya, maka zakat dan sadaqah termasuk dalam kategori infaq. Dalam
3 M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafi‟ah A.M, KAMUS ISTILAH FIQIH
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 121-122 4 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 717 5 Ahsin W. Alhafidz, Kamus Fiqih, (Jakarta: AMZAH, 2013), Cet. 1, h. 93
6 Al-Raghib al-Asfahâni, al-Mufrodât Fî Ghorîb al-Qur‟ân, (T. Tp: Maktabah Nazar
Mustafa al-Baz, t.t.), h. 120
4
penggunaan sehari-hari zakat digunakan khusus untuk pengeluaran harta yang
sifatnya wajib. Sadaqah digunakan untuk pengeluaran harta yang sifatnya sunnah.
Sementara itu, infaq mencakup segala pengeluaran atau bukan harta, yang wajib
atau bukan, ikhlas atau dengan pamrih.7
Di Jakarta yang menjadi ibukota pun masih banyak orang-orang yang
hidup dibawah garis kemiskinan. Salah satu contohnya adalah kasus yang dialami
oleh Nurjana seorang janda dengan dua orang anaknya yang tinggal di sebuah
rumah atap dengan atap yang hampir nyaris runtuh dan tembok rumahnya pun
lapuk lantaran terkena terpaan hujan yang lebat. Perempuan ini bekerja seadanya
membungkus keripik sekaligus menjaga anak tetangga dengan penghasilan Rp 15
ribu perhari. Nurjana warga petamburan Jakarta itu, hanya satu dari belasan kisah
warga yang hidup di lingkungan kumuh.8
Di dalam al-Qur‟an, kata infaq hanya disebut satu kali, yaitu dalam Surah
al-Isrâ (17) ayat 100. Sedangkan kata lain yang seakar dengan kata tersebut,
seperti anfaqa, yunfiqu, dan nafaqatan disebut sebanyak 73 kali.9
Dalam pandangan syariat Islam, orang yang berinfaq akan memperoleh
keberuntungan yang berlipat ganda baik di dunia maupun di akhirat. Orang yang
berinfaq dijamin tidak akan jatuh miskin, malah rezekinya akan bertambah dan
jalan usahanya semakin berkembang. Dalam (Surah Al-Baqarah2/: 261), Allah
SWT berfirman: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap bulir (tumbuh) seratus. Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.” Selain itu, orang
yang berinfaq juga akan mendapatkan pahala yang besar di akhirat nanti. (QS. Al-
Baqarah/2: 262), dan apa yang diinfaqkan itu balasannya hanya untuk yang
berinfaq (QS. Al-Baqarah/2: 272).10
7 M. Quraish Shihab, Menjawab ? 1001 soal keislaman yang patut diketahui, (Jakarta:
Lentera Hati, 2008), h. 190 8 Tim Liputan 6 SCTV, artikel diakses pada tanggal 10 Mei 2011 dari
http://berita.liputan6.com/ibukota/201001/26131/Nurjana. Potret. Kemiskinan. Di Jakarta. 9 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 717 10
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 717
5
Persoalan infaq dibahas lebih mendalam di dalam kitab-kitab fiqih. Sayyid
Sabiq, ahli fiqih kontemporer Mesir, misalnya: membagi infaq pada perbuatan
yang wajib dan yang sunnah. Infaq yang wajib dimasukkan sebagai bidang zakat,
sedangkan infaq yang sunnah selanjutnya disebut infaq saja, atau sedekah sunnah.
1945), mufassir dari Mesir, misalnya -i (1881hgMarâ-afa altMuhammad Mus
mengartikan kata yunfiqûn sebagai sedekah pada bagian ayat 215 dari Surah Al-
Baqarah ayat 2 yang berbunyi: ( )?
. Oleh al-Marâghi , sedekah diartikan sama dengan infaq.
Dalam kajian fikih Islam, infaq dibedakan dari zakat dan sedekah. Zakat
merupakan derma yang telah ditetapkan jenis, jumlah dan waktu pelaksanaannya.
Sedangkan infaq lebih luas dan umum. Dalam infaq, tidak terdapat ketentuan
mengenai jenis dan jumlah harta yang akan dikeluarkan serta tidak pula
ditentukan kepada siapa saja infaq itu harus diberikan. Allah SWT memberikan
kebebasan kepada pemiliknya untuk menentukan jenis, jumlah dan waktu
pelaksanaan dari harta yang akan diinfaqkan itu. Yang terpenting infaq itu
dilakukan dengan ikhlas. Sementara itu, terdapat persamaan antara infaq dan
sedekah dari segi pengertiannya, yaitu sama-sama memberikan kepada orang lain.
Namun dari segi waktunya, terdapat perbedaan antara keduanya. Waktu untuk
mengeluarkan infaq adalah pada saat mendapat rezeki dari Allah SWT tanpa
ditentukan kadar jumlah yang harus dikeluarkannya. Sedangkan pada sedekah,
tidak ada ketentuan waktunya, demikian pula tidak ada ketentuan mengenai
jumlahnya maupun peruntukannya.11
Berinfaq amat dianjurkan dalam syariat Islam. Dalam al-Qur‟an terdapat
lima kali perintah berinfaq, diantaranya dalam Surah al-Munâfiqûn 63 ayat 10
yang artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan
kepadamu sebelum datang kematian.” Dan (Surah at-Tagâbun/64: 16) yang
artinya “.. dengarlah serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk
dirimu.”
Sebelum itu, dalam (Surah Al-Baqarah/2: 2-3) dinyatakan bahwa orang
yang berinfaq itu termasuk orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Sementara
itu, dalam (Surah at-Talâq/65:7), Allah SWT berfirman: “Hendaklah orang yang
11
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 717
6
mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan
rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”
Dalam hadits Rasulullah SAW antara lain bersabda “bahwa infaq yang paling
baik adalah mengenyangkan perut orang yang lapar (HR. Al-Baihaqi dari Anas
bin Malik), dan di antara amalan yang utama adalah menyambung tali
silaturrahmi, memberi sesuatu kepada orang yang tak pernah memberikan (bakhil)
dan memaafkan orang yang pernah menyakiti. (HR. At-Tabrani dari Mu„adz bin
Jabal). Dari ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut, ulama sepakat mengatakan bahwa
infaq termasuk amal yang sangat dianjurkan dan sunnah hukumnya.12
Dalam al-Qur‟an, terdapat beberapa ketentuan yang harus dilakukan dalam
berinfaq, di antaranya berinfaq itu harus didahulukan kepada orang-orang yang
memilki hubungan yang terdekat dengan orang-orang yang berinfaq. Misalnya,
berinfaq kepada kedua orang tua, kerabat dekat, dan seterusnya. Setelah itu
kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan. (QS. Al-Baqarah/2: 215). Ayat tersebut ditafsirkan oleh al-
Marâghi dengan penjelasan, “katakanlah kepada orang-orang yang berinfaq,
hendaknya infaq itu didahulukan kepada kedua orang tua, karena kedua orang tua
itu telah merawatnya di waktu kecil serta amat lelah dalam membesarkannya.
Setelah itu dilanjutkan kepada anak-anaknya dan saudara-saudaranya, karena
mereka itu orang yang lebih utama harus disantuni dan dijaga. Jika mereka
dibiarkan, maka mereka akan meminta-minta kepada orang lain, dan hal ini akan
memalukannya. Setelah itu dilanjutkan kepada anak-anak yatim, karena anak
yatim ini tidak ada yang menanggung biaya hidupnya, karena masih amat kecil
dan muda usianya, dan setelah itu yang diberikan infaq adalah orang-orang miskin
serta Ibnu Sabil (orang yang terlantar dalam perjalanan).13
Dalam hadis Rasulullah SAW menjelaskan mengenai ketentuan orang
yang menerima infaq. Dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dijelaskan bahwa satu dinar (uang emas) yang diinfaqkan kepada keluarganya
yang terdekat adalah lebih besar pahalanya daripada satu dinar yang diinfaqkan
12
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 718 13
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 718
7
untuk di jalan Allah SWT dan kerabatnya. Dalam hadis lain, Rasulullah SAW
menyatakan menyatakan bahwa sebaik-baiknya uang yang diinfaqkan kepada
keluarganya, kepada kendaraan yang akan digunakan untuk berjuang di jalan
Allah, dan kepada sahabat yang berjuang di jalan Allah SWT. (HR. Muslim)14
Fukaha berbeda pendapat mengenai ketentuan siapa yang berhak
menerima infaq. Mazhab Maliki berpendapat bahwa infaq hanya diberikan kepada
ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan, sedangkan kakek, cucu, dan yang
lainnya tidak termasuk yang wajib hukumnya menerima infaq. Menurut Mazhab
Syafi‟i, infaq hanya diberikan kepada orang-orang yang hidupnya susah, baik
muslim maupun nonmuslim. Selain itu ada yang tergolong harus mendapat
prioritas utama, yaitu ibu dan bapak, serta ada yang tergolong non prioritas, yakni
anak-anak yang bersangkutan, keponakan dan seterusnya. Mazhab Hanbali
sependapat dengan Mazhab Syafi‟i bahwa infaq itu hanya diberikan kepada
kerabat yang susah saja, atau kepada orang yang apabila ditinggal mati oleh
walinya akan mengalami kesusahan. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, infaq
diberikan kepada kerabat, anak yatim, dan orang miskin seperti terdapat dalam
(Surah Al-Baqarah/2: 215) dan (Surah At-Talâq/65: 6-7), atau orang yang pada
umumnya mengalami kesulitan ekonomi.15
Selain ketentuan di atas, ketentuan lainnya adalah mengenai orang yang
memberi infaq. Orang yang berinfaq hendaknya tidak merasa dirinya lebih tinggi
dari orang yang diberi infaq. Ia tidak boleh menyakiti perasaan orang yang diberi
infaq, misalnya dengan menyebut-nyebut pemberiannya itu di depan orang lain
seperti dalam (Surah Al-Baqarah/2: 262). Orang yang berinfaq juga hendaknya
tidak berlebih-lebihan dalam infaqnya dan tidak pula terlalu kikir, jika ia memang
mampu memberi infaq yang lebih banyak lagi seperti dalam (Surah Al-
Furqâan/25: 67). Selain itu, seseorang yang berinfaq hendaknya hanya
mengharapkan keridhaan Allah swt seperti dalam Surah Al-Baqarah/2: 272, dan
untuk mendekatkan diri kepadanya dalam (Surah At-Tawbah/9: 99).16
14
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 718 15
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 718 16
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 71
8
Harta benda yang diinfaqkan hendaknya harta milik sendiri, bukan harta
titipan atau milik orang lain seperti dalam (Surah At-Talâq/65: 7), Di dalam itu
harta yang diinfaqkan hendaknya harta yang tayibah (yang baik) dari segi mutu,
bentuk, dan cara memberikannya (Surah Al-Baqarah/2: 267), serta juga sesuatu
yang masih disukai atau disenangi oleh orang yang memberikan infaq itu (Surah
„Âli „Imrân/3: 92).17
Di samping itu, syariat Islam juga menetapkan etika atau akhlak bagi
orang yang diberi infaq. Etika tersebut antara lain bahwa orang yang diberi infaq
itu harus menggunakan pemberian tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi
kehidupannya, agamanya dan masyarakatnya, bukan dipergunakan untuk maksiat
atau perbuatan mubadzir, boros, dan sebagainya (Surah Al-„Isrâ‟/17: 27). Orang
yang menerima infaq ini juga harus menunjukkan rasa terimakasih di hadapan
orang yang memberikan sesuatu kepadanya dan pernyataan perlu akan pemberian
itu. Dengan cara demikian, maka orang yang memberikan sesuatu kepadanya akan
merasa puas dan senang, karena apa yang diberikannya itu berguna bagi yang
bersangkutan.18
Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis merasa perlu untuk melakukan
penelitian dengan metode tafsir tematik dalam kajian ini, guna menghadirkan
gambaran yang sistematis dan pemahaman yang utuh mengenai tema yang
diangkat sesuai dengan harapan penulis. Penelitian ini penulis beri judul
“Penafsiran Wahbah al-Zuhailî tentang Infaq dalam Tafsir Al-Munir”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat ditemukan
beberapa identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Makna Infaq.
2. Ayat-ayat Infaq dalam al-Qur‟an.
3. Objek Infaq.
4. Biografi Kitab Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhailî.
17
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 719 18
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 718-719
9
5. Penafsiran ayat-ayat Infaq dalam Kitab Tafsir Al-Munir.
6. Arti kata dan kandungan makna setiap ayat.
7. Sebab turun masing-masing ayat dan konteks sosial-kultural masing-
masing ayat.
8. Petunjuk al-Qur‟an tentang infaq.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Di dalam al-Qur‟an terdapat 31 ayat mengenai kata Infaq dan derivasinya.
Penulis membatasinya hanya 15 ayat yang dirasa mampu merefleksikan makna
Infaq dan segala aspeknya. Ayat-ayat tersebut penulis himpun dari term (نفقق)
infaq dan term lainnya di dalam al-Qur‟an yang merefleksikan makna infaq, yaitu
-Dari ketiga term tersebut, penulis memilih ayat .(زكقا ) sadaqah dan (صققه )
ayat yang berkenaan dengan infaq sebagai berikut: QS. Al-Baqarah [2]: 215, 219,
254, 261, 262, 264, 265, 267, 270, 271, 272, 274, QS. At-Taubah [9]: 53, 54, QS.
Al-Anfal [8]: 36.
Dalam rumusan masalah, penelitian ini menggunakan model pertanyaan
yang berguna untuk menjawab pokok permasalahan dan menunjukkan arah
pemahaman yang benar. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
Bagaimana Penafsiran ayat-ayat Infaq dalam Tafsir al-Munir karya Wahbah
al-Zuhailî?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui makna Infaq.
2. Mengetahui ayat-ayat Infaq tentang Infaq, kandungan kata dan makna,
asbab nuzul, munasabah ayat, konteks ayat serta petunjuk al-Qur‟an
terhadapnya.
3. Mengetahui penafsiran ayat-ayat Infaq menurut Wahbah al-Zuhailî dalam
Kitab Tafsir al-Munir.
10
E. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini memberikan kontribusi bagi kajian dan
pemahaman dalam perkembangan al-Qur‟ân, khususnya ayat-ayat yang
menyinggung tentang Infaq dalam al-Qur‟ân, serta menambah khazanah
kepustakaan dan intelektual Islam terutama dalam studi penafsiran al-Qur‟ân. Di
samping itu, penelitian ini juga dapat berguna sebagai bahan rujukan bagi siapa
saja yang ingin meneliti atau mengembangkan penelitian yang sempurna.
Manfaat skripsi ini untuk Prodi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, penelitian akan
melengkapi makna Infaq yang telah ditemukan oleh beberapa orang pada
penelitian sebelumnya, dan untuk meringkas cara pandang mufassir.
Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah kesadaran
diri akan bahayanya sikap kecintaan berlebih terhadap diri sendiri, terutama dalam
masalah dunia, sehingga menyebabkan disharmonisasinya kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Tambahan pula, penelitian ini diharapkan dapat
mendorong kita selalu untuk menjadikan nilai-nilai moral al-Qur‟ân sebagai way
of life.19
Adapun kegunaan dari penelitian ini secara akademik adalah:
1. Penelitian ini secara praktis menjadi bahan, rujukan untuk para
pendakwah, sebagai bahan ajar pada metode kajian tafsir, dan kajian
tematis.
2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih pemikiran
dalam bidang Tafsir, khususnya tentang Infaq yang saat ini jarang dikaji
dalam perspektif Tafsir secara utuh.
3. Sebagai syarat memperoleh gelar Strata Satu bidang Agama pada
program studi Ilmu al-Qur‟ân dan Tafsir di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun kegunaan dari penelitian ini secara non akademik adalah:
1. Agar saya dan para pembaca skripsi ini mendapat gambaran dan
pemahaman tentang ayat-ayat sadaqah.
2. Untuk menambah khazanah keilmuan penulis dalam memahami suatu
hadits dan dapat mengaplikasikannya pada salah satu ilmu yang penulis
19
Way of life “Jalan hidup”
11
pelajari selama di bangku kuliah mulai dari semester 1 sampai semester 8
atau semester terakhir.
F. Tinjauan Kepustakaan
Untuk menghindari terjadinya kesamaan dengan karya tulis yang lainnya,
penulis menulusuri kajian yang pernah dilakukan sebelumnya. Selanjutnya hasil
penelitian ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat metodologi
yang sama, sehingga diharapkan kajian ini benar-benar bukan hasil plagiat dari
kajian sebelumnya.
Salah satu di antara mereka yang meneliti tentang infaq adalah Beni,
melalui skripsi yang berjudul “Sedekah dalam Perspektif Hadits”, pada Prodi
Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014.
Skripsi ini membahas tentang hadits-hadits Nabi saw yang berkenaan dengan
enam tema sadaqah, yang mempunyai kualitas shahih baik dari segi sanad
maupun matan. Hadits-hadits nabi saw mendorong untuk senantiasa bersadaqah
setiap hari baik sadaqah materi maupun non materi. Karena sadaqah merupakan
amalan sunnah yang memiliki keutamaan dan hikmah yang luar biasa bagi yang
mengerjakannya.20
Kemudian skripsi oleh Mardiah Ratnasari yang berjudul “Konsep
Sedekah dalam Perspektif Pendidikan Islam”, pada prodi PAI Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2013. Skripsi ini
membahas tentang penerapan materi sedekah bagi peserta didik yang harus
ditingkatkan dan diupayakan keberhasilannya.21
Penelitian yang dilakukan dalam bentuk jurnal dengan judul “Zakat,
Infaq, Sadaqah, dan Wakaf Sebagai Konfigurasi Filantropi Islam”. Oleh
Qurratul Uyun. Penelitian ini mengkaji zakat, infaq, sadaqah dan wakaf adalah
bentuk ajaran islam yang mengajak umat manusia untuk peduli terhadap sesama,
keempat filantropi ini memiliki persamaan yaitu sama-sama bernilai ibadah dan
20
Beni, “Sadaqah dalam Perspektif Hadits”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga, 2014), h. 14-39 21
Mardiah Ratnasari, “Konsep Sadaqah dalam Perspektif Pendidikan Islam”, (Skripsi S1
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013), h. 16
12
meningkatkan solidaritas antar umat. Keempatnya memilki peran penting dalam
perekonomian masyarakat.22
Penelitian lainnya adalah skripsi karya Hidayatullah yang berjudul “Infaq
dan Zakat Dalam al-Qur‟an (Kajian Tafsir Tematik)”. Skripsi ini membahas
tentang makna Infaq dan zakat dalam al-Qur‟an.23
Penelitian dalam bentuk skripsi oleh Dudih Permadanih yang berjudul
“Zakat dan Peranannya bagi Kaum Dhu‟afa. Skripsi ini membahas tentang
terbatasnya zakat yang sifatnya wajib serta peranannya bagi pemberdayaan kaum
dhu‟afa.24
Sejauh pengetahuan penulis, dari beberapa penelusuran baik skripsi,
jurnal, ataupun karya tulis lainnya, belum ditemukan penelitian mengenai kajian
tematis tentang infaq dalam al-Qur‟an. Oleh karena itu, penelitian ini memilki
obyek pembahasan dan tujuan yang berbeda dari penelitian yang telah ada
mengenai tema yang diangkat.
Melalui tinjauan hasil penelitian sebelumnya mengenai medan makna infaq
dalam al-Qur‟an, penelitian ini bertujuan untuk memperluas kajian tentang infaq
tersebut di dalam al-Qur‟an. Begitu pula, dengan meninjau hasil penelitian
sebelumnya mengenai infaq dalam al-Qur‟an, maka penelitian ini bertujuan untuk
mengembangkan penelitian tentang tema serupa dengan mengkaji ayat-ayat al-
Qur‟an kata infaq dalam penafsiran Wahbah al-Zuhailî. Dengan demikian,
penulis menganggap bahwa skripsi, jurnal ataupun karya tulis di atas sangatlah
berbeda dengan apa yang penulis teliti.
G. Metode Penelitian
Guna memberikan kontribusi keilmuan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka diperlukan metode yang sesuai
dengan obyek kajian. Metode penelitian ini merupakan langkah kerja untuk
22
Jurnal Qurratul Uyun, “Zakat, Infaq, Sadaqah, dan Wakaf Sebagai Konfigurasi
Filantropi Islam”. 23
Hidayatullah, “Infaq dan Zakat Dalam al-Qur‟an (Kajian Tafsir Tematik)”, (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Banddung, 2000), h. 96 24
Dudih Permadanih yang berjudul “Zakat dan Peranannya bagi kaum Dhu‟afa”, pada
prodi PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2013.
13
memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji, sehingga
penelitian dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Adapun metode penelitian
yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis mengkaji lebih jauh mengenai infaq
dalam al-Qur‟an menggali ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut.
Ayat-ayat tersebut kemudian didukung dengan penjelasan dari hadis maupun
ijtihad para ulama sehingga akan mendapatkan hasil yang sistematis sesuai
harapan penulis.
Di dalam pengolahan data, penulis menggunakan metode deskriptif-
analisis. Metode deskripstif analitis adalah mendeskripsikan data yang telah
disimpulkan untuk menapatkan hasil penelitian yang maksimal.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang bermkasud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistik, dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata bahasa, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.25
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpula data adalah cara yang digunakan dalam
penelitian melalui prosedur yang sistematik dan standar.26
Dalam penelitian
ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data berupa library research
(penelitian kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil
penelitian dari penelitian terdahulu. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif,
karena karakteristik data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi
terhadap data yang ditemukan, yang dipaparkan dalam bentuk kata-kata, tidak
dalam bentuk angka.
25
Lexy J Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007), h.6 26
Lexy J Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007), h.6
14
Adapun referensi atau sumber data27
tersebut terbagi menjadi dua,
yaitu:
a. Sumber Data Primer28
Sesuai dengan judul “Penafsiran Wahbah al-Zuhailî tentang Infaq
dalam Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhailî”, maka sumber utama dari
penelitian ini adalah al-Qur‟an dan terjemahannya, yakni sebagai kitab suci
firman Allah yang menjadi pedoman hidup bagi semua umat Islam di
belahan dunia maupun sampai akhir zaman. Di samping itu, penelitian ini
juga menggunakan sumber utama berupa kitab Tafsir al-Munir oleh
Wahbah al-Zuhailî.
b. Sumber Data Sekunder29
Adapun sumber-sumber data lainnya adalah: Tafsir al-Misbah oleh M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Maraghy oleh Ahmad Musthafa Al-Maraghy, dan
kitab-kitab tafsir lainnya. Selain itu buku-buku hukum, majalah, artikel,
jurnal dan lain-lain yang berkaitan dengan tema penelitian.
3. Metode Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil kepustakaan, penelitian terdahulu,
dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya
daapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan
mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan
sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang
akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada
orang lain.
27
Sumber data adalah semua informasi baik yang berupa benda nyata, sesuatu yang
abstrak, peristiwa atau gejala baik secara kualitatif ataupun kuantitatif. Lihat Sukandarumidi,
Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2012), h. 44 28
Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data. Lihat Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2012), h. 225 29
Sumber data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data
kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen. Lihat Sugiyono, Metode
Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 225
15
Penelitian ini dapat dikategorikan tafsir tematik atau tafsir
Mawḏû‟i.30
Adapun metode tematik dipilih dengan alasan selain ingin
menghindari adanya penarikan kesimpulan secara parsial, pengunaan ini
dianggap sebagai salah satu metode yang efektif untuk dapat memperoleh
kesimpulan yang komperhensif dari seluruh ayat yang memuat tema infaq
dalam al-Qur‟an.
Langkah pengumpulan data ini dimulai dari mengumpulkan
beberapa referensi ayat yang terkait dengan tema untuk kemudian
diklasifikasi dan dideskripsikan. Oleh karena penelitian ini menggunakan
kajian tafsir tematik, maka penulis menggunakan teori tafsir mawdȗ„i
(tematik) al-Farmawy. Adapun langkah-langkah atau cara kerja metode
tematik ini dapat dirinci sebagai berikut:31
1. Menentukan “Makna Infaq dalam al-Qur‟an” sebagai fokus
utama penelitian.
2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan ayat-ayat yang
membahas tentang infaq.
3. Mencari asbab al-nuzul dari ayat-ayat tersebut bila ada.
4. Memahami kolerasi ayat-ayat tersebut dalam Surahnya masing-
masing.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna
(outline).
6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relavan
dengan pokok pembahasan.
30
Tafsir Mawḏû‟i menurut pengertian istilah para ulama adalah: “Menghimpun seluruh
ayat al-Qur‟an yang memiliki tujuan dan tema yang sama, setelah itu kalau mungkin disusun
berdasarkan kronologis turunnya dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya. Langkah
selanjutnya adalah menguraikannya dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali. Hasilnya
diukur dengan timbangan teori-teori yang akurat, sehingga sang mufassir dapat menyajikan tema
secara utuh dan sempurna. Bersamaan dengan itu, dikemukakan pula tujuannya yang menyeluruh
dengan ungkapan yang mudah dipahami sehingga bagian-bagian yang terdalam sekalipun dapat
diselami.” Lihat Abd al-Hayy al-Farmawî, Metode Tafsir Mawḏû‟i, penerjemah: Rosihin Anwar,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 43 31
Lihat Abd al-Hayy al-Farmawî, Metode Tafsir Mawḏû‟i, penerjemah: Rosihin Anwar,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 43
16
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan
jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang
sama, atau mengkompromikan antara yang „âm dan yang khâs,
mutlâq dan muqayyad, atau yang pada akhirnya bertentangan,
sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa
perbedaan atau pemaksaan.
Sesuai dengan objek penelitian yang bersifat literer, maka peneliti
menggunakan metode content analysis (analisis isi), untuk menganalisis
data-data yang ada. Analisis data adalah proses mencari dan menysusun
secara sistematis data yang diperoleh dari hasil kepustakaan, penelitian
terdahulu, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan
temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data
dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam
unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana
yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang
dapat diceritakan kepada orang lain.32
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun menggunakan sistematika bab per bab. Kemudian
pembahasan dijelaskan dalm sub-sub bab. Bab I adalah pendahuluan,di dalamnya
dijelaskan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan
rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Pada bagian ini disinggung
makna infaq yang dijelaskan dalam al-Qur‟an menurut penafsiran Wahbah al-
Zuhailî, sebelum membahas secara lengkap mengenai makna infaq. Di bab ini
juga dikemukakan tinjauan kepustakaan agar tidak ada kesamaan pembahasan
dengan penelitian terdahulu serta metode penelitian yang digunakan dalam skripsi
ini.
Pada bab kedua, penulis akan mendeskripsikan sosok Wahbah al-Zuhailî
dan Kitab Tafsirnya yaitu al-Munir. Pada bagian pertama akan dipaparkan tentang
biografi Wahbah al-Zuhailî, kemudian melanjutkan pembahasan mengenai
gambaran umum tentang kitab Tafsir al-Munir yang meliputi Motivasi dan Tujuan
32
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan R&D, (Bandug: Alfabeta, 2012), h. 244
17
Menafsirkan, Aliran Pemikiran dan Madzhab Fiqih Wahbah al-Zuhailî, Sumber
Tafsir, Referensi, Metode dan Corak Tafsir al-Munir.
Pada bab ketiga, merupakan Deskripsi Umum tentang Infaq yang meliputi
Pengertian Infaq, Perbedaan Infaq dengan Zakat dan Sadaqah, Penafsiran ayat
tentang Infaq menurut Wahbah al-Zuhailî.
Pada bab Keempat, akan diuraikan pembahasan yang menjadi titik sentral
dalam penelitian ini, yaitu Analisis ayat-ayat infaq dalam al-Qur‟an dan Tafsir al-
Munir karya Wahbah al-Zuhailî. Pemilihan ayat pada bab ini dilakukan setelah
penelusuran berbagai tentang infaq pada ayat-ayat yang mengandung term makna
infaq dalam al-Qur‟an. Berdasarkan hasil analisa terhadap ayat-ayat yang telah
dipilih, makna infaq antara lain: Objek Penerima infaq (orangtua, kerabat dekat,
kerabat lain, anak yatim, orang miskin, dan musafir), perumpamaan orang yang
berinfaq ikhlas karena Allah, balasan orang yang berinfaq karena Allah SWT,
Larangan menyebut-nyebut dan menyakiti Perasaan si penerima infaq, dan sifat
bentuk harta yang diinfakkan haruslah harta yang bagus.
Kesimpulan pada penelitian ini dibahas pada bab V. Bab ini akan
memberikan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang dijelaskan oleh penulis
dari bab-bab sebelumnya. Pada bab ini pula terdapat jawaban terhadap masalah
yang menjadi fokus dalam penelitian yaitu makna infaq dalam al-Qur‟an menurut
Penafsiran Wahbah al-Zuhailî. Tidak lupa pula saran yang bersifat konstruktif
seputar tema yang diangkat dalam penelitian ini.
18
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG BIOGRAFI WAHBAH AL-ZUHAILÎ
DALAM TAFSIR AL-MUNIR
A. Biografi Wahbah al-Zuhailî
1. Lahir dan Pendidikannya
Wahbah az-Zuhailî dilahirkan di Dir Athiyah, tepatnya di daerah Qalmun,
Damascus, Syiria pada tanggal 6 Maret 1932 M/1351 H. Berasal dari kalangan
keluarga yang religius. Ayahnya bernama Musthafa az-Zuhailî terkenal dengan
keshalihan dan ketakwaannya selain hafal al-Qur‟an, beliau juga bekerja sebagai
petani dan senantiasa mendorong putra-putranya untuk menuntut ilmu.1
Wahbab Zuhailî mendapat pendidikan dasar di desanya. Pada tahun 1946,
beliau melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah di Damascus. Setamatnya
dari sekolah menengah ini, beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas al-
Azhar Kairo, pada jurusan Syari‟ah hingga mendapat ijazah strata satu (LC).
Dasar yang bersamaan Wahbah juga mengikuti kuliah di Universitas Ain Syams
Kairo, jurusan bahasa Arab, ilmu yang kelak sangat membantunya sebagai pakar
tafsir dan fiqih.2
Tidak berhenti di jenjang ini, Wahbah kemudian melanjutkan
pendidikannya ketingkat pascasarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama
dua tahun dan memperoleh gelar MA dengan tesis berjudul “al-Zira‟i fi as-
Siyasiyah asy-Syar‟iyyah wa al-Fiqh al-Islami.” Merasa belum puas dengan
pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya
pada tahun 1963 M dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami” di
bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.3
Adapun guru-gurunya adalah Muhammad Hashim al-Khatib al-Syafie, (w.
1958 M) seorang khatib di Masjid Umawi. Beliau belajar darinya fiqh al‟Syafie,
1 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 163 2 Sayyid Muhammad Ali Ayazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahajuhum, (Teheran:
Wizarah al-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islam, th. 1993), cet. 1, h. 684-685 3 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 163-164
19
mempelajari ilmu fiqih dari Abdul Razak al-Hamasi (w. 1969 M), ilmu Hadits
dari Mahmud Yasin (w. 1948 M), ilmu Faraidl dan wakaf Judat al-Mardini (w.
1957 M), Hasan al-Shati (w. 1962 M), ilmu Tafsir dari Hassab Habnakah al-
Midani (w. 1978 M), ilmu bahasa Arab dari Muhammad Shaleh Farfur (w. 1986
M), ilmu Ushul Fiqih dan Musthalah Hadits dari Muhammad Lutfi al-Fayumi (w.
1990 M), ilmu Akidah dan Kalam dari Mahmud al-Rankusi.4
Sementara selama di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu Zuhrah
(w. 1395 M), Mahmud Shaltut (w. 1963 M), Abdul Rahman Taj, Isa Manun (1376
H), Ali Muhammad Khafif (w. 1978 M), Jad al-Rabb Ramadhan (w. 1994 M),
Abdul Ghani Abdul Khaliq (w. 1983 M), dan Muhammad Hafidz Ghanim. Di
samping itu beliau amat terkesan dengan buku-buku tulisan Abdul Rahman Azam
seperti al-Risalah al-Khalidah dan buku karangan Abu Hassan al-Nadwi berjudul
Ma dza Khasira al-„alam bi inkhitat al-Muslimin.5
2. Karir Intelektualnya
Karir akademisnya dimulai ketika ia di angkat sebagai tenaga pengajar
pada tahun 1963 M, di Fakultas Syari‟ah Universitas Damaskus dan secara
berturut-turut ia menjabat sebagai ketua jurusan Fiqh al-Islami wa Madzzhabihi,
wakil dekan, kemudian Dekan di Fakultas yang sama. Setelah mengabdi selama
lebih dari dua belas tahun dikenal sebagai pakar dalam bidang Fiqh, Tafsir dan
Dirasah Islamiyyah, Wahbah memperoleh gelar Profesornya pada tahun 1975.6
Aktivitas ilmiahnya tidak hanya diisi dengan kegiatan mengajar, tapi juga
dengan menulis puluhan karya ilmiahm menghadiri berbagai pertemuan ilmiah di
dalam dan di luar negeri, di samping mengajar di beberapa Negara, seperti di
Fakultas Hukum Universitas Ben Ghazi Libia (1972-1974) di Fakultas Syari‟ah
wa al-Qonun Universitas Uni Emirat Arab (1974-1979 dan Universitas Khurtum
di Sudan.7
4 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 164 5 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 164 6 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 164-165 7 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 165
20
3. Karya-karya Wahbah al-Zuhailî
Wahbah al-Zuhailî menulis buku, kertas kerja dan artikel dalam berbagai
ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan jika dicampur dengan
risalah-risalah kecil melebihi lebih 500 makalah. Satu usaha yang jarang dapat
dilakukan oleh ulama pada zaman ini. Di antara buku-buku hasil karyanya di
antaranya adalah sebagai berikut:8
1. Atsâr al-Harb fî al-Fiqh al-Islâmî- Dirâsat Muqâranah, Dâr al-
Fikr, Damasyiq, 1963.
2. Al-Wasît fî Usûl al-Fiqh, University Damsyiq, 1966.
3. Al-Fiqh al-Islâmî fi Uslûb al-Jadid, Maktabah al-Hadithah,
Damsyiq, 1967.
4. Al-Usûl al-Ammâh li Wahdah al-Dîn al-Haq, Maktabah al-
Abassiyah, Damsyiq, 1972.
5. Al-Alaqât al-Dawliah fî al-Islâmî, Muasssasah al-Risalah, Beirut
1981.
6. Al-Fiqh al-Islâmî wa adilatuhu, (8 jilid), Dâr al-Fikr, Damsyiq,
1984.
7. Usul al-Fiqh al-Islâmî, (2 jilid), Dâr al-Fikr, Damsyiq, 1986.
8. Fiqh al-Mawâris fi al-Syarî‟ah al-Islâmiah, Dâr al-Fikr, Damsyiq,
1987.
9. Al-Tafsîr al-Munîr fî al„Aqîdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj, (16
jilid), Dâr al-Fikr, Damsyiq, 1991.
10. Al- ur‟an al-Karîm al-buny tuh al-Tasyr ‟iyyah aw Khas „isuh
al-Hadâriah, Dâr al-Fikr, 1993.
11. Al-Rukhsah al-Syarî‟ah-Ahkâmuha wa Dawâbituha, Dâr al-Khair,
Damsyiq, 1994.
12. Khas „is al-Kubra li Huqûq al-Insân fî al-Islâm, Dâr al-Maktabî,
Damsyiq, 1995.
13. Al-Ulūm al-Syarî‟ah Bay n al-Wahdah wa al-Istiqlâl, Dâr al-
Maktabî, Damsyiq, 1996.
8 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 165
21
14. Al-Asâs wa al-Masâdir al-Ijtihâd al-Musytarikât bayân al-Sunnah
wa al Syi‟ah, Dâr al-Maktabî, 1996.9
B. Profil Tafsir Al-Munir
1. Motivasi dan Tujuan Menafsirkan
Dalam kata pengantar karya tafsirnya Wahbah Zuhailî mengatakan bahwa
tujuan dari penulisan tafsirnya adalah menghubungkan umat Islam dengan kitab
sucinya al-Qur‟an dengan ikatan yang bersifat ilmiah, karena al-Qur‟an adalah
petunjuk kehidupan (dustur al-hayat) bagi seluruh manusia dan bagi kaum
Muslimin khususnya.10
Oleh sebab itu dalam membahas hukum-hukumnya ia
tidak terpaku hanya pada masalah-masalah hujam yang biasa dibahas para pakar
fiqih saja, tetapi ia membahasnya secara umum dan mengupasnya secara meluas,
sehingga pembacanya betul-betul memahami kandungannya seperti „Aqidah,
akhlak, metode dan cara bertingkah laku dan faedah yang bisa dipetik dari ayat-
ayat al-Qur‟an, baik dalam bentuk indikasi atau isyarat, baik itu menyangkut
bangunan sosial setiap masyarakat yang maju atau menyangkut kehidupan pribadi
setiap muslim. Yang penting tafsir ini bisa membantu setiap muslim yang ingin
menelaah al-Qur‟an dan mentadabburinya.11
Sebagaimana yang diperintahkan
Allah dalam al-Qur‟an QS. Shod/38: 29 sebagai berikut:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya
mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”.
Dalam hal ini, Ali-Ayazi berdasarkan penelitiannya menambahkan bahwa
tujuan penulisan tafsir al-Munir ini adalah memadukan keorisinilan tafsir klasik
dan keindahan tafsir kontemporer. Karena menurut Wahbah Zuhailî banyak orang
yang menyudutkan tafsir klasik yang dianggap tidak mampu memberikan solusi
terhadap problematika masyarakat di era kontemporer, sedangkan para mufassir
9 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 166 10
Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 166 11
Wahbah az-Zuhailî, Tafsir al-Munir fi al‟Aqidah wa asy-Syari‟ah wa al-Manhaj, h. 6
22
kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat al-
Qur‟an dengan alih pembaharuan.12
Seperti penafsiran al-Qur‟an yang dilakukan
oleh beberapa mufassir yang basic keilmuannya sains,oleh karena itu, menurutnya
tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang
konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan
interpretasi.13
2. Aliran Pemikiran dan Madzhab Fiqih Wahbah al-Zuhailî
Dalam masalah teologis, Wahbah cenderung mengikuti faham Ahl al-Sunnah
dan mazhab Salafi, tetapi tidak terjebak dalam fanatisme mazhab yang
menuntunnya untuk menghujat mazhab lain. Ini terlihat dalam pembahasannya
tentang masalah yang diperdebatkan seputar kemumgkinan “ Melihat Tuhan “ di
dunia dan di akhirat yang terdapat pada Surah al- An‟am 6/130:
“Dia tidak bisa dijangkau dengan penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Maha halus dan Maha
teliti.”[QS. Al- An‟am/6: 130]14
Ketika menafsirkan ayat ini Wahbah menukil hadist yang diriwayatkan oleh
Ibn Abbas bahwa Allah memang tidak bisa dilihat di akhirat. Hal ini dilandasi
oleh QS. Al-Qiyamah /22-23:” Wajah-wajah (orang-orang yang beriman) pada
hari itu berseri-seri memandang Tuhannya.” Wahbah juga menukil hadits yang
diriwayatkan oleh al-bukhahari dan Muslim bahwa Rasulullah telah bersabda:
“Kelak kamu akan melihat Tuhanmu seperti kamu melihat bulan pada malam
purnama, sebagaimana engkau melihat matahari ketika (langit) tidak berawan.”
12
Seperti penafsiran yang dilakukan oleh mufassir yang basic keilmuannya kedokteran
semisal Musthafa Mahmud ketika menafsirkan mengatakan bahwa rumah laba-laba itu terbuat dari
bahan yang lebih kuat dari baja.informasi ini tentu bertentangan dengan pernyataan al-Qur‟an yang
menyebutkan bahwa paling lemahnya rumah adalah rumah laba-laba. 13
Sayyid Muhammad Ali Ayazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahjihum, h. 685 14
Perdebatan seputar;melihat tuhan”didunia maupun di akhirat terjadi diantara penganut
Aliran kalam Mu‟tazilah dengan penganut ahlus sunnah, Aliran muktazilah
menganggap Allah tidak bisa dilihat karena bersifat imateri, alasannya pertama karena
Tuhan tidak mengambil tempat, oleh sebab itu tidak bisa dilihat. Kedua bila Tuhan bisa
dilihat dengan mata, itu berarti Tuhan bisa dilihat didunia, sedang kenyataannya tidak
seorang pun dapat melihat Allah dialam ini. Lihat al_qodhi Abdul jabbar, Syarah
Ushulul Khamsah, Maktabah Wahbah,Kairo, 1965,hal 245.
23
Berdasarkan hadits-hadits ini Wahbah meyakini bahwa orang mukmin akan
melihat Allah SWT di surga dengan matanya.15
Mengenai mazhab fiqihnya, Wahbah menganut mazhab fiqih Imam Hanafi,
karena ia dibesarkan di kalangan ulama-ulama mazhab Hanafi, yang membentuk
pemikirannya dalam mazhab fiqih. Walaupun bermazhab Hanafi, ia tidak fanatik
dan dapat menghargai pendapat-pendapat mazhab lain, hal ini dapat dilihat pada
bentuk penafsirannya ketika mengupas ayat-ayat yang berhubungan dengan
hukum fiqih. Dalam membangun argumennya selain menggunakan analisis yang
lazim dipakai dalam fiqih ia juga memberikan informasi yang seimbang dari
masing-masing mazhab, kenetralannya juga terlihat dalam penggunaan beragam
referensi, tidak terfokus pada buku-buku fiqih ulama Hanafi saja. Misalnya ia
mengutip dari Ahkam al-Qur‟an karya Al-Jashash untuk pendapat Mazhab
Hanafi, dan ahkam al-Qur‟an karya al-Qurtubi unuk pendapat Mazhab Maliki.16
3. Sumber Tafsir al-Munir
Muhammad Ali Iyazi dalam bukunya, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa
Manahijuhum, mengatakan bahwa sumber pembahasan kitab tafsir ini
menggunakan gabungan antara tafsir al-Ma‟tsur dengan tafsir bil al-ra‟yi,17
Hal
ini juga diakui oleh Wahbah sendiri bawa dalam menafsirkan al-Qur‟an ia tidak
hanya berpegang pada tafsir bi al-mantsur saja, akan tetapi juga tetap berpegang
pada tafsir al-ra‟yi. Atau pad riwayat. Landasan menggabungkan dua sumber
penafsiran ini adalah QS. an-Nahl/16: 4418
:
“Dan kami turunkan kepada mu Al Quran, agar kamu menerangkan Al
Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka [829] dan supaya mereka memikirkan.”
15
Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 168 16
Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 169 17
Sayyid Muhammad Ali Ayazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahijuhum, h. 685 18
Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 169
24
Berdasarkan ayat ini Wahbah menilai bahwa lafal ayat “لتبني لناس”
(untuk kamu jelaskan pada manusia), adalah tentang kedudukan Nabi yang
mempunyai otoritas penuh untuk memerikan penjelaan dan penafsiran makn ayat-
ayat al-Quran maupun aplikasinya dalam kehidupan manusia dan demi
kemaslahatan mereka. Sedangkan lafal ayat “لعلهم يتفكرون” (agar mereka
memikirkanya), adalah perintah Allah kepada manusia untuk berusaha memahami
ayat-ayat al-Qur‟an dengan memikirkan yang bersumberkan akal yang jernih,
melalui tadabbur dan tela‟ah yang mendalam dengan segenap kemampuan akal,
untuk menemukan pesan-pesan al-Qur‟an sebagaimana yang dikehendaki Allah.19
4. Referensi
Sedangkan referensi-referensi yang digunakan Wahbah az-Zuhailî dalam tafsir
Al-munir diantaranya adalah sebagai berikut20
:
A. Bidang Tafsir21
1. Ahkam al-Qur‟an karya Al-Jashsas
2. Al-Kasyaf karya Imam Zamakhsyari
3. Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho
4. Al-Jami‟fi Ahkam al-Qur‟an karya Al-Qurtubi
5. Tafsir Ath-thabary karya Muhammad bin Jarir Abu Ja‟far ath-Thabari
6. At-Tafsir al-Kabir karya Imam Fakhruddin ar-Razi
7. Ta‟wil Musykil al- ur‟an karya Ibn Qutaibah
8. Tafsir al-Alusi karya syihab ad-Din Mahmud bin Abdillah
9. Tafsir al-Bahr al-Muhith karya Imam Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf
10. Tafsir Ibn Katsir Ismail bin Umar bin Katsir
19
Wahbah al-Zuhailî, Muqaddimah tafsir al-Munir, Juz 1, h. 7 20
Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 170 21
Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 170
25
B. Bidang Ulum al-Qur‟an22
1. Al-Itqan karya Imam suyuti
2. Mabahist fi „Ulum al-qur‟an karya Shubhi Shalih
3. Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul karya Imam Suyuthi
4. Asbab an-Nuzul karya al-Wahidi
5. I‟jaz al- ur‟an karya Imam Baqilani
C. Bidang Hadits23
1. Shahih al-Bukhari karya Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim al-Bukhari
2. Shahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj Abu al-Husain
3. Al-Mustadrak karya Imam Hakim
4. Ad-dalail an-Nubuwwah karya Imam Baihaqi
5. Sunan Tirmidzi larya Muhammad bin „Isa Abu I‟sa at-Tirmidzi
6. Musnad Ahmad bin Hambal
7. Sunan Ibn Majah karya Abu Abdillah bin Muhammad bin Yazid al- Qazwaini
8. Sunan Abi Dawud karya Sulaiman bin Asy‟ast bin Syadad
9. Sunan an-Nasai karya Ahmad bin syu‟aib Abu Abd ar-Rahman an-Nasai
D. Bidang Ushul Fiqh24
1. Bidayat al-Mujtahid karya Ibn Rusyd al-afidz
2. Al-Fiqih al-Islami wa Adilatuh karya Wahbah az-Zuhailî
3. Usul Al-Fiqh al-Islami karya Wahbah az-Zuhailî
4. Ar-Risalah karya Imam Syafi‟i
5. Al-Mushtafa karya Imam al-Gazali
E. Bidang Teologi
Al-Kafi karya Muhammad bin Ya‟qub
1. Asy-Syafi Syarh Ushul al-Kafi karya „Abdullah Mudhhaffar
22
Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 170-171 23
Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 171 24
Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 171
26
2. Ihya „Ulum ad-Din karya Imam al-Ghazali
F. Bidang Luhgat25
1. Mufradat ar-Raghib karya al-Ashfihani
2. Al-Furuq karya al-Qirafi
3. Lisan al-„Arab karya Ibn al-Mandhur
5.Metode dan Corak Tafsir al-Munir
Salah satu ciri dari ciri-ciri metode penulisan tahlili atau analisis adalah
penafsiran yg dimulai dari surah al-Fâtiĥah dan diakhiri pada surah an-Nâs atau
dengan kata lain tafsir dengan metode penulisan tahili adalah penulisan materi
tafsir yang mengikuti susunan surah-surah dan ayat-ayat sebagaimana yang
termaktub dalam Mushaf al-Qur‟an.
Mengamati metode penulisan tafsir al-Munir dari sisi runtun penafsiran,
yang dimulai dari surah al-Fâtiĥah dan berakhir pada surah an-Nâs, bisa dikatakan
metode penulisannya adalah tahili.26
Berdasarkan metode ini Wahbah menuliskan
tafsirnya dari berbagai sisi dan rinci, dimulai dari membahas keutamaan surah,
membahas makna kosa kata, mengulas kandungan sastranya, menafsirkan
kandungan ayatnya kemudian menyimpulkan kandungan ayat tersebut di bawah
tema fiqih al-hayah tanpa mengabaikan sisi munasabah antara ayat dan sebab
nuzulnya.27
Di sisi lain kita juga melihssat pengelompokan ayat, berdasarkan
keterkaitan isi yang dikandung ayat-ayat tersebut, dan pemberian tema sesuai
dengan kandungannya. Dalam penafsiran ayat-ayat tersebut sering kali kita
dapatkan Wahbah juga merujuk pada ayat-ayat dari surah surah yang lain, yang
terkait dengan ayat yang sedang ditafsirkannya, menjelaskan tujuan utama surah
dan ayat dan petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik darinya, untuk lebih
25
Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h.172 26
Secara etimologi kata tahlili berasal dari bahasa Arab dari akar kata halla-yuhallilu-
tahlilan, artinya mengurai dan menganalisa. Menurut al-Farmawi metode penafsiran tahlili adalah
metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dari seluruh aspeknya.
Lihat Abdul Hay al-Farmawi, Muqaddimah fi Tafsir al-Maudhu‟i, Kairo: al-Hadhoroh al-
Arabiyah, 1977, h. 23 27
Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 172
27
memperjelas ulasannya, sehingga penafsirannya menjadi lebih utuh dan
menyeluruh.28
Metode penulisan dengan langkah-langkah seperti yang disebutkan
di atas menurut para pakar tafsir bisa digolongkan dalam metode tafsir semi
tematik (maudhu‟i) yaitu metode yang diterapkan pertama kali oleh syaikh Al-
Azhar Mahmud Syaltut dalam karya afsirnya “Tafsir al- ur‟an al-Karim.”29
Dengan langkah-langkah penafsiran tersebut di atas, maka bisa
disimpulkan bahwa metode penafsiran yang dipakai Wahbah dalam tafsir al-
Munir adalah kolaborasi antara metode tahlili dan semi tematik, karena di
samping beliau menafsirkan al-Qur‟an sesuai dengan urutan surah-surah
sebagaimana termaktub dalam mushaf, ia juga memberi tema pada setiap kajian
ayat yang sesuai dengan kandungannya dan mengaitkannya dengan kandungan
surah secara keseluruhan. Contoh jelasnya Surah al-Baqarah ayat 1-5, beliau
memberi tema “sifat-sifat orang mu‟min dan balasan bagi orang-orang yang
bertaqwa”.30
28
Menurut penulis langkah penafsiran yang diambil wahbah ini mungkin didasari oleh
kesadaran adanya kritikan terhadap metode tahlili yang dianggap memilki kekurangan yaitu
memberi pemahaman yang bersifat parsial, itu sebabnya mengapa Baqir al-Shodr menamakannya
sebagai metode tajz‟i, karena menjadikan pembahasan mengenai petunjuk al-qur‟an secara
terpisah-pisah, karena tidak kurang satu petunjuk yang saling berhubungan tercantum dalam
sekian banyak surah yang terpisah-pisah. Lihat Baqir Shodr, Pedoman Tafsir Modern, terj.
Hidayaturrahman, Jakarta: Risakah Masa, 1992, h.9, dan Lihat juga M. Quraish Shihab,
Membumikan al- ur‟an, Mizan: 1999, h. 13 29
Langkah penafsiran Wahbah bisa dikatakan semi tematik karena tidak mengikuti
seluruh langkah yang seharusnya dijalankan oleh mufassir tematik, sebagaimana yang digagas
oleh al-Farmawi, Lihat al-Farmawi, Muqaddimah fi Tafsir al-Maudhu‟i, Kairo: al-Hadhoroh al-
Arabiyah, 1977, h. 61-62 30
Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 173-174
28
BAB III
DESKRIPSI UMUM TENTANG INFAQ
Setelah membahas biografi Wahbah al-Zuhaili, untuk mengetahui
pandangannya tentang infaq maka di bab ini saya akan meneskripsikan,
memahami, memprediksi makna tentang infaq. Sekalipun dalam Tafsir al-Munir
menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan infaq. Oleh karena itu, untuk
mengetahui deskripsi umum tentang infaq, maka perlu dirinci apa itu pengertian
infaq, perbedaan infaq, penafsiran wahbah tentang infaq, serta objek penerima
infaq.
A. Pengertian Infaq
Al-Qur‟an menyebutkan Infaq dan Sadaqah secara terpisah, sekalipun
kadang berbarengan dengan satu ayat. Di dalam al-Qur‟an sendiri terdapat 31 ayat
yang menjelaskan tentang infaq di antaranya adalah Surah Al-Baqarah [2]: ayat
215, ayat 219, ayat 254, ayat 261, ayat 262, ayat 264, ayat 265, ayat 267, ayat
270, ayat 271, ayat 272, ayat 274, Surah At-Tawbah [9]: ayat 53, ayat 54, dan Al-
„Anfâl [8]: ayat 36.1
Kata infaq berasal dari tiga huruf yaitu nun, fa, dan qaf yang artinya
mengeluarkan, tempat berjalan, terowongan atau sesuatu yang tembus. Infaq juga
diartikan sebagai kemiskinan, seperti yang tertuliskan dalam al-Qur‟an:
“Katakanlah (Muhammad), sekiranya kamu menguasai pembendaharaan
rahmat TuhanKu, niscaya (pembendaharaan) itu kamu tahan, karena takut
membelanjakannya”. [QS. Al-„Isrâ‟/17: 100]2
1 Hamid Hasan Qolay, Indeks Terjemah al-Qur‟an, (Jakarta: Yayasan Halimatus
Sa‟diyah, 1997), Jilid 3, h. 787 2 Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV Naladan, 2004), h. 399
29
Kata (خشية االنفاق) bermakna (خشية االقتار) yang artinya takut
miskin.3 Kata infaq terkadang dipakai sebagai pemberian dalam bentuk harta, dan
terkadang digunakan juga untuk pemberian dalam bentuk selain harta. berikut
adalah contoh penggunaan kata infaq yang menunjukkan infaq selain harta:
sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-„Anfâl ayat 60,
“..... dan apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan)”. [QS. Al-„Anfâl/8: 60]
Lafadz (شيء ) pada ayat di atas bermakna segala sesuatu atau segala
perbuatan baik yang diperintahkan Allah SWT dalam al-Qur‟an serta dijelaskan
oleh Rasulullah saw dalam haditsnya, sedikit ataupun banyak.4
Kata infaq digunakan untuk pemberian yang sifatnya wajib seperti zakat,
dan terkadang kata infaq juga digunakan untuk pemberian yang sifatnya sunnah.
Ketika kata infaq berkenaan dengan kata salat, maka sebagian ulama tafsir
memaknainya dengan infaq wajib atau zakat. Akan tetapi sebagian ulama tafsir
lainnya mengatakan infaq tersebut tetap merupakan infaq yang sunnah, meskipun
berbarengan dengan kata salat. Karena hanya kata zakat yang memilki makna
infaq wajib.5
Salah satu contoh kata infaq dalam al-Qur‟an yang menunjukkan wajib
adalah:
3 Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufrodât Fî Ghorîb al-Qur‟ân (T. Tp: Maktabah Nazar
Musṯafa al-Baz, t.t.), h. 504 4 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir al-Munîr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1991), juz 11, h. 193
5 Muhammad Husain Haikal, Mu‟jam al-Faz Al-Qur‟an Al-Karîm, jilid 2, h. 749
30
“Dan orang yang sabar karena keridhaan Tuhannya, melaksanakan
shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada
mereka secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan .....” [QS. Ar-
Ra„d/13: 22]
Dari tiga akar kata yang disebutkan di atas yaitu nun, fa dan qaf juga
muncul kata lain seperti النفاق yang merupakan salah satu ciri dari sifat orang
yang fasiq.6 Seperti yang terdapat dalam al-Qur‟an:
“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu adalah orang-orang yang fasiq”.
[QS. At-Taubah/9: 67]
Secara definitif, infaq adalah segala macam pengeluaran yang dikeluarkan
seseorang, baik pengeluaran wajib maupun pengeluaran sunnah, untuk dirinya,
keluarga, ataupun orang lain, secara ikhlas atau dengan pamrih. Dengan demikian,
zakat dan sadaqah termasuk dalam kategori infaq.7
Di dalam Majalah Islam menyebutkan kata infaq berasal dari kata ينفق- artinya membelanjakan atau membiayai, arti infaq menjadi khusus ketika انفق
dikaitkan dengan upaya realisasi perintah-perintah Allah. Dengan demikian infaq
hanya berkaitan dengan bentuk materi saja, adapun hukumnya yang ada wajib
termasuk zakat, infaq, mubah bahkan haram. Menurut kamus bahasa Indonesia
infaq adalah mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan non zakat.8
6 Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufrodât Fî Ghorîb al-Qur‟ân (T. Tp: Maktabah Nazar
Musṯafa al-Baz, t.t.), h. 189 7 M. Quraish Shihab, Menjawab ? 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui,
(Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 189 8 Majalah Infaq, Zakat, Sedekah, Mubah dan Haram, h. 90
31
Secara istilah fiqih infaq adalah mengeluarkan atau membelanjakan harta
yang baik untuk perkara ibadah (mendapat pahala) atau perkara yang dibolehkan.
Dari pengertian di atas, maka menafkahi anak istri termasuk ke dalam infaq.
Menurut KH. Abdul Matin, infaq mempunyai dua makna pokok yaitu
pertama: terputusnya sesuatu atau hilangnya sesuatu, kedua tersembunyi nya
sesuatu atau samarnya sesuatu. Dengan dua pengertian infaq tersebut, makna
yang relavan dengan pengertian infaq di sini adalah makna yang pertama.9
Secara bahasa kata infaq berati hilang, kosong baik yang disebabkan oleh
kematian, pemberian, penjualan dan lain-lain. Penggunaan kata ini diibaratkan
dengan sebuah bangunan bata. Apabila salah satu bata tersebut diambil maka
terlihat kosong atau ada yang hilang. Dengan demikian, pemaknaan infaq masih
terkesan umum tanpa batasan objek ataupun tujuannya. Oleh karena itu, secara
istilah kata infaq adalah mengeluarkan atau memberikan segala nikmat rizki
kepada orang lain baik berupa harta atau yang lain dengan niat ikhlas ataupun
tidak. Sehingga yang asalnya ada menjadi hilang, kepada siapa pun baik
dilakukan secara ikhlas ataupun untuk tujuan-tujuan yang lain.10
Oleh karena itu infaq berbeda dengan zakat, infaq tidak mengenal nisab atau
jumlah harta yang ditemukan secara hukum. Infaq tidak harus diberikan kepada
mustahiq tertentu, melainkan kepada siapapun misalnya orang tua, kerabat, anak
yatim, orang miskin, atau orang-orang yang sedang dalam perjalanan
(fisabilillah). Dengan demikian pengertian infaq adalah pengeluaran suka rela
yang dilakukan seseorang. Allah SWT memberi kebebasan kepada pemiliknya
untuk menetukan jenis harta, berapa jumlah yang sebaiknya diserahkan. Setiap
kali ia memperoleh rizki, sebanyak yang ia kehendakinya.
9 Abdul Matin, Infaq dan Maknanya (Yogyakarta: Pustaka Setia Gama, 2013), h. 123
10 Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufrodât Fî Ghorîb al-Qur‟ân (T. Tp: Maktabah Nazar
Musṯafa al-Baz, t.t.), h. 505
32
Berdasarkan firman Allah bahwa infaq tidak mengenal nisab seperti zakat.
Infaq dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan
tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit. Jika zakat harus
diberika pada mustahiq tertentu maka infaq boleh diberikan kepada siapapun juga,
misalkan kedua orangtua, anak yatim, anak asuh dan sebagainya. Dalam al-Qur‟an
dijelaskan sebagai berikut:
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa
saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak,
kaum kerabat, anak yatim, orang miskin, dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”. [QS. Al-Baqarah/2: 215]
B. Perbedaan Infaq dengan Sadaqah
Di dalam al-Qur‟an, kata infaq hanya disebut satu kali, yaitu dalam Surah
al-Isrâ (17) ayat 100. Sedangkan kata lain yang seakar dengan kata tersebut,
seperti ينفق ,انفق, dan نفقة disebut sebanyak 73 kali. Dalam pandangan syariat
Islam, orang yang berinfaq akan memperoleh keberuntungan yang berlipat ganda
baik di dunia maupun di akhirat. Orang yang berinfaq dijamin tidak akan jatuh
miskin, malah rezekinya akan bertambah dan jalan usahanya semakin
berkembang. Dalam (Surah Al-Baqarah2/: 261), Allah SWT berfirman:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap bulir (tumbuh) seratus. Allah melipatgandakan (ganjaran)
bagi siapa yang Dia kehendaki.” Selain itu, orang yang berinfaq juga akan
33
mendapatkan pahala yang besar di akhirat nanti. (QS. Al-Baqarah/2: 262), dan apa
yang diinfaqkan itu balasannya hanya untuk yang berinfaq (QS. Al-Baqarah/2:
272).11
Persoalan infaq dibahas lebih mendalam di dalam kitab-kitab fiqih. Sayyid
Sabiq, ahli fiqih kontemporer Mesir, misalnya: membagi infaq pada perbuatan
yang wajib dan yang sunnah. Infaq yang wajib dimasukkan sebagai bidang zakat,
sedangkan infaq yang sunnah selanjutnya disebut infaq saja, atau sedekah sunnah.
Muhammad Mustafa al-Marâghi (1881-1945), mufassir dari Mesir, misalnya
mengartikan kata yunfiqûn sebagai sedekah, Oleh al-Marâghi , sedekah diartikan
sama dengan infaq.12
Dalam kajian fikih Islam, infaq dibedakan dari zakat dan sedekah. Zakat
merupakan derma yang telah ditetapkan jenis, jumlah dan waktu pelaksanaannya.
Sedangkan infaq lebih luas dan umum. Dalam infaq, tidak terdapat ketentuan
mengenai jenis dan jumlah harta yang akan dikeluarkan serta tidak pula
ditentukan kepada siapa saja infaq itu harus diberikan. Allah SWT memberikan
kebebasan kepada pemiliknya untuk menentukan jenis, jumlah dan waktu
pelaksanaan dari harta yang akan diinfaqkan itu. Yang terpenting infaq itu
dilakukan dengan ikhlas. Sementara itu, terdapat persamaan antara infaq dan
sedekah dari segi pengertiannya, yaitu sama-sama memberikan kepada orang lain.
Namun dari segi waktunya, terdapat perbedaan antara keduanya. Waktu untuk
mengeluarkan infaq adalah pada saat mendapat rezeki dari Allah SWT tanpa
ditentukan kadar jumlah yang harus dikeluarkannya. Sedangkan pada sedekah,
tidak ada ketentuan waktunya, demikian pula tidak ada ketentuan mengenai
jumlahnya maupun peruntukannya.13
11
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 717 12
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 717 13
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 717
34
Berinfaq amat dianjurkan dalam syariat Islam. Dalam al-Qur‟an terdapat
lima kali perintah berinfaq, diantaranya dalam Surah al-Munâfiqûn 63 ayat 10
yang artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan
kepadamu sebelum datang kematian.” Dan (Surah at-Tagâbun/64: 16) yang
artinya “.. dengarlah serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk
dirimu.”14
Sebelum itu, dalam Surah Al-Baqarah [2]: 2-3 dinyatakan bahwa orang
yang berinfaq itu termasuk orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Sementara
itu, dalam Surah at-Talâq [65]:7, Allah SWT berfirman: “Hendaklah orang yang
mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan
rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”
Dalam hadits Rasulullah SAW antara lain bersabda “bahwa infaq yang paling
baik adalah mengenyangkan perut orang yang lapar (HR. Al-Baihaqi dari Anas
bin Malik), dan di antara amalan yang utama adalah menyambung tali
silaturrahmi, memberi sesuatu kepada orang yang tak pernah memberikan (bakhil)
dan memaafkan orang yang pernah menyakiti. (HR. At-Tabrani dari Mu„adz bin
Jabal). Dari ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut, ulama sepakat mengatakan bahwa
infaq termasuk amal yang sangat dianjurkan dan sunnah hukumnya.15
Dalam al-Qur‟an, terdapat beberapa ketentuan yang harus dilakukan dalam
berinfaq, di antaranya berinfaq itu harus didahulukan kepada orang-orang yang
memilki hubungan yang terdekat dengan orang-orang yang berinfaq. Misalnya,
berinfaq kepada kedua orang tua, kerabat dekat, dan seterusnya. Setelah itu
kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan. QS. Al-Baqarah [2]: 215. Ayat tersebut ditafsirkan oleh al-
Marâghi dengan penjelasan, “katakanlah kepada orang-orang yang berinfaq,
14
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 717 15
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 717
35
hendaknya infaq itu didahulukan kepada kedua orang tua, karena kedua orang tua
itu telah merawatnya di waktu kecil serta amat lelah dalam membesarkannya.
Setelah itu dilanjutkan kepada anak-anaknya dan saudara-saudaranya, karena
mereka itu orang yang lebih utama harus disantuni dan dijaga. Jika mereka
dibiarkan, maka mereka akan meminta-minta kepada orang lain, dan hal ini akan
memalukannya. Setelah itu dilanjutkan kepada anak-anak yatim, karena anak
yatim ini tidak ada yang menanggung biaya hidupnya, karena masih amat kecil
dan muda usianya, dan setelah itu yang diberikan infaq adalah orang-orang miskin
serta Ibnu Sabil (orang yang terlantar dalam perjalanan).16
Dalam hadis Rasulullah SAW menjelaskan mengenai ketentuan orang yang
menerima infaq. Dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dijelaskan
bahwa satu dinar (uang emas) yang diinfaqkan kepada keluarganya yang terdekat
adalah lebih besar pahalanya daripada satu dinar yang diinfaqkan untuk di jalan
Allah SWT dan kerabatnya. Dalam hadis lain, Rasulullah SAW menyatakan
menyatakan bahwa sebaik-baiknya uang yang diinfaqkan kepada keluarganya,
kepada kendaraan yang akan digunakan untuk berjuang di jalan Allah, dan kepada
sahabat yang berjuang di jalan Allah SWT. (HR. Muslim)17
Fukaha berbeda pendapat mengenai ketentuan siapa yang berhak menerima
infaq. Mazhab Maliki berpendapat bahwa infaq hanya diberikan kepada ayah, ibu,
anak laki-laki, dan anak perempuan, sedangkan kakek, cucu, dan yang lainnya
tidak termasuk yang wajib hukumnya menerima infaq. Menurut Mazhab Syafi‟i,
infaq hanya diberikan kepada orang-orang yang hidupnya susah, baik muslim
maupun nonmuslim. Selain itu ada yang tergolong harus mendapat prioritas
utama, yaitu ibu dan bapak, serta ada yang tergolong non prioritas, yakni anak-
anak yang bersangkutan, keponakan dan seterusnya. Mazhab Hanbali sependapat
16
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 717 17
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 717
36
dengan Mazhab Syafi‟i bahwa infaq itu hanya diberikan kepada kerabat yang
susah saja, atau kepada orang yang apabila ditinggal mati oleh walinya akan
mengalami kesusahan. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, infaq diberikan
kepada kerabat, anak yatim, dan orang miskin seperti terdapat dalam Surah Al-
Baqarah [2]: 215 dan Surah At-Talâq [65]: 6-7, atau orang yang pada umumnya
mengalami kesulitan ekonomi.18
Selain ketentuan di atas, ketentuan lainnya adalah mengenai orang yang
memberi infaq. Orang yang berinfaq hendaknya tidak merasa dirinya lebih tinggi
dari orang yang diberi infaq. Ia tidak boleh menyakiti perasaan orang yang diberi
infaq, misalnya dengan menyebut-nyebut pemberiannya itu di depan orang lain
seperti dalam (Surah Al-Baqarah/2: 262). Orang yang berinfaq juga hendaknya
tidak berlebih-lebihan dalam infaqnya dan tidak pula terlalu kikir, jika ia memang
mampu memberi infaq yang lebih banyak lagi seperti dalam (Surah Al-
Furqâan/25: 67). Selain itu, seseorang yang berinfaq hendaknya hanya
mengharapkan keridhaan Allah swt seperti dalam Surah Al-Baqarah/2: 272, dan
untuk mendekatkan diri kepadanya dalam (Surah At-Tawbah/9: 99).19
Harta benda yang diinfaqkan hendaknya harta milik sendiri, bukan harta
titipan atau milik orang lain seperti dalam (Surah At-Talâq/65: 7), Di dalam itu
harta yang diinfaqkan hendaknya harta yang tayibah (yang baik) dari segi mutu,
bentuk, dan cara memberikannya (Surah Al-Baqarah/2: 267), serta juga sesuatu
yang masih disukai atau disenangi oleh orang yang memberikan infaq itu (Surah
„Âli „Imrân/3: 92).
Di samping itu, syariat Islam juga menetapkan etika atau akhlak bagi orang
yang diberi infaq. Etika tersebut antara lain bahwa orang yang diberi infaq itu
harus menggunakan pemberian tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi
18
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 717 19
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 718
37
kehidupannya, agamanya dan masyarakatnya, bukan dipergunakan untuk maksiat
atau perbuatan mubadzir, boros, dan sebagainya (Surah Al-„Isrâ‟/17: 27). Orang
yang menerima infaq ini juga harus menunjukkan rasa terimakasih di hadapan
orang yang memberikan sesuatu kepadanya dan pernyataan perlu akan pemberian
itu. Dengan cara demikian, maka orang yang memberikan sesuatu kepadanya akan
merasa puas dan senang, karena apa yang diberikannya itu berguna bagi yang
bersangkutan.20
C. Penafsiran Wahbah al-Zuhailî dalam Tafsir al-Munir tentang Infaq
Setelah diuraikan deskripsi umum tentang infaq pada sub bab di atas,
maka pada bagian ini merupakan penjelasan terhadap ayat-ayat infaq menurut
Wahbah al-Zuhailî yang telah penulis pilih.
Tafsir al-Munir ini mengkaji ayat-ayat Al-Qur‟an secara komprehensif,
lengkap, dan mencakup, berbagai aspek yang dibutuhkan oleh penulis. Penjelasan
dan penetapan hukum-hukumnya disimpulkan dari ayat-ayat Al-Qur‟an dengan
makna yang lebih luas, dengan disertai sebab-sebab turunnya ayat, balaghah
(retorika), I‟rab (sintaksis), serta aspek kebahasaan.
1. Tafsiran Surah Al-Baqarah [2] ayat 215
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus
mereka infaqkan. Katakanlah, “Harta apa saja yang kamu infaqkan,
hendaknya diperuntukkan bagi kedua orangtua, kerabat, anak yatim,
orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan”. Dan kebaikan apa saja
20
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), Cet. 1, h. 717
38
yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengethaui. [Qs.
Al-Baqarah/2: 215]
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) dalam ayat ini berarti harta
yang banyak yang halal. Harta seperti ini dinamakan khair, karena ia harus
dinafkahkan dalam hal-hal kebaikan, dan istilah khair ini mencakup harta yang
banyak. ( ) kaum kerabat adalah anak dan cucu, kemudian saudara.
Yatim artinya anak kecil yang ditinggal mati bapaknya. Sedangkan miskin adalah
orang yang tidak mempunyai pendapatan yang mencukupi kebutuhannya, dan ia
sudah puas dengan pemberian yang sedikit. Ibnus Sabil artinya musafir.
( ) apa pun infaq atau amal lainnya yang kamu kerjakan.
( ) Allah mengetahuinya dan akan membalasnya.21
Wahbah al-Zuhailî menulis dalam kitab tafsirnya bahwa Ibnu Jarir ath-
Thabari menukil dari Ibnu Juraij, ia berkata: Suatu ketika para sahabat menanyai
Rasulllah saw, kemana mereka seharusnya menginfakkan harta mereka. Maka
turunlah ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan.
Jawablah: „Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu
bapak”.22
Selain itu Wahbah al-Zuhailî juga mengemukakan riwayat dari Ibnul
Mundzir yang diriwayatkan dari Abu Hayyan bahwasanya Amr ibnul Jamuh
pernah bertanya kepada Nabi saw “Apa yang mesti kami infaqkan dari harta
kami? Dan kepada siapa kami memberikannya?” Maka turunlah ayat ini.23
Wahbah al-Zuhailî juga menukil riwayat Ibnu Abbas yang berkata dalam
riwayat Abu Shalih bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amr Ibnul Jamuh al-
Anshari, seorang hartawan yang sudah lanjut usia. Ia pernah berkata, “Wahai
21
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 481-483 22
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 481-483 23
Wahbah az-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 481-483
39
Rasulullah”, harta seperti apa yang mesti saya sedekahkan? Dan kepada siapa
saya harus berinfaq?” Maka turunlah ayat ini.24
Wahbah al-Zuhailî menyebutkan bahwa dalam ayat-ayat terdahulu yaitu
dalam Surah Al-Baqarah ayat 214 menyebutkan bahwa cinta dunia adalah sebab
timbulnya perpecahan dan perselisihan, dan bahwa orang-orang yang benar-benar
beriman adalah mereka yang tegar dalam menghadapi berbagai penderitaan
mengenai harta dan diri mereka demi mengharap keridhaan Allah. Maka disini
disebutkan apa yang diinginkan manusia dalam berinfaq di jalan Allah sebab
pendapatan rezeki dan infaq sama-sama membutuhkan kesabaran dan kelapangan
jiwa, dan pendermaan harta sama seperti pengorbanan jiwa, dua-duanya
merupakan sebagian dari tanda-tanda keimanan. Demikianlah, namun perlu
diketahui bahwa tidak ada perlunya keseuaian hubungan antara setiap ayat dengan
ayat-ayat yang bergandengan dengannya, apalagi kalau hukum-hukum yang
dipaparkan di dalam ayat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan yang telah
diutarakan manusia atau pertanyaan yang kemungkinan besar akan dikemukakan
manusia, yang mana hal itu disebabkan karena kebutuhan untuk mengetahui
hukum-hukumnya, seperti ayat ini, yang pertanyaan tentangnya memang telah
dikemukakan sebagian sahabat,25
Wahbah al-Zuhailî menafsirkan bahwa ayat ini berkenaan dengan ukuran
nafkah sukarela, bukan zakat wajib, serta alokasi penyaluran nafkah itu. Berapa
pun nafkah yang diberikan, entah sedikit entah banyak, pahalanya khusus untuk
pemberinya saja, dan alokasi pemberian nafkah adalah memberi ibu bapak dan
anak-anak sebab mereka adalah kerabat dekat, selanjutnya kerabat yang lain, yang
lebih dekat didahulukan, kemudian anak yatim peliharaannya sudah mati, lalu
orang miskin yang tidak sanggup mencari nafkah, serta mufasir yang kehabisan
24
Wahbah az-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 481-483 25
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 482
40
bekal pulang ke kampung halamannya. Pendeknya, segala sesuatu yang
diinfaqkan dalam kebaikan akan diberi ganjaran oleh Allah sebab Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu, tak ada satu pun yang tersembunyi bagi-Nya, maka
dari itu Dia tidak lupa memberi balasan dan pahala, malah dia akan
melipatgandakannya.26
Menurut pendapat yang paling benar, ayat ini masih berlaku, tidak dinasakh.
Ia menjelaskan sedekah sukarela sebab ia tidak menentukan ukuran harta yang
diinfaqkan, sedangkan zakat yang wajib itu tertentu ukurannya, dan ini disepakati
semua ulama.27
Urutan alokasi infaq terlihat dari riwayat Ahmad dan Nasa‟i dari Abu
Hurairah bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada para sahabat “Bersedakahlah!”
seseorang menyahut “Saya punya satu dinar”. Beliau bersabda, “Sedekahkan
uang itu untuk dirimu sendiri.” Orang itu berkata, “Saya masih punya satu dinar
lagi”. Beliau bersabda, “Sedekahkan untuk istrimu.” Orang itu berkata lagi,
“Saya punya yang lain”. Beliau bersabda, “Sedekahkan untuk anakmu”, Orang itu
berkata lagi, “Saya masih punya yang lain.” Beliau bersabda, “Sedekahkan untuk
budakmu.” Orang itu berkata lagi, “Saya masih punya lagi,” Beliau bersabda,
“Engkau lebih tahu kemana uang itu harus kau sedekahkan”.28
Ayat ini menjelaskan bahwa sedekah sunnah kepada ibu bapak dan kerabat
adalah lebih afdhal. Dalilnya adalah riwayat dari Nabi saw bersabda:
يامعشر النساء تصدقن ولو حبليكن “Wahai kaum wanita, bersedekahlah meskipun dengan perhiasan kalian!”
29
26
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 482 27
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 482 28
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 482 29
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483
41
Mendengar seruan ini, istri Abdullah bin Mas‟ud, Zainab, berkata kepada
suaminya, “Kulihat kau ini miskin. Kalau boleh aku bersedekah kepadamu, tentu
akan kuberikan sedekah kepadamu.” Lantas ia menghadap nabi saw dan menanya
beliau, “Apakah sah jika saya membayarkan sedekah kepada suami saya dan
anak-anak yatim yang saya asuh?” Nabi saw bersabda kepada Zainab istrinya
Abdullah bin Mas‟ud: لك اجران : اجر الصدقة واجر القربة
“Jika kau berbuat begitu), kau akan mendapat dua pahala sedekah dan
pahala berbuat baik kepada kerabat.”30
Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda,
زوجك وولدك أحق من تصدقت عليو
“Suamimu dan anakmu adalah orag yang paling berhak untuk
mendapatkan sedekah darimu”.31
Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi saw bersabda,
ابدأ بنفسك فتصدق عليها “Mulailah dari dirimu, bayarlah sedekah kepada dirimu sendiri”.
32
Sementara itu Nasa‟i dan lain-lain meriwaytkan bahwa Nabi saw bersabda,
يد املعطي العليا أباك وأمك وأختك وأخاك وأدناك أدناك “Tangan yang memberi adalah yang di atas dan berikan infakmu kepada
bapakmu, ibumu, saudarimu, saudaramu, dan kerabat yang terdekat
hubungannya denganmu”.33
30
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 31
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 32
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 33
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483
42
Tidak diragukan lagi bahwa belas kasihan kepada kerabat sangat tinggi
nilainya, dan infaq kepada kerabat yang hidup susah membutuhkan keikhlasan
yang luar biasa.34
Menurut Wahbah al-Zuhailî meskipun yang mereka tanyakan adalah
sesuatu yang diinfakkan, jawabannya berisi tentang penjelasan orang yang
menjadi penerima infaq, dan demikian ini merupakan metode Allah bahwasanya
mereka bertanya tentang sesuatu perkara yang lebih penting daripada yang
ditanyakan itu, yakni penjelasan tentang alokasi penyaluran infaq, karena infaq
tidak akan berhasil merealisasikan kebaikan kecuali jika ia tepat sasaran.35
2. Tafsiran Surah Al-Baqarah [2] ayat 219
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
“Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:
“Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayatnya kepadamu supaya kamu berfikir.” [QS. Al-Baqarah/2: 219]
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( )
dalam ayat ini berarti mereka menanyaimu tentang hukum minum khamar dan
main judi. Para penanya adalah kaum mukminin. Kata al-khamr berasal dari
khamaray- syai‟a yang artinya “menutupi sesuatu.” Khamar dinamai demikian
karena minuman ini menutupi akal. Al-Maisir artinya judi. Ia disebut demikian
karena judi adalah pendapatan yang diperoleh tanpa mengeluarkan tenaga dan
34
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 481-483 35
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 481-483
43
tidak sulit. Permainan judi dikalangan bangsa Arab di zaman Jahiliyyah adalah
dengan sepuluh batang anak panah, tujuh di antaranya masing-masing ditulisi
bagian yang tertentu, sedangkan tiga sisanya kosong, tidak ditulisi bagiannya.
Barang siapa mendapat panah yang ada tulisan bagiannya, maka ia berhak
mengambil bagiannya sebesar yang tertulis itu. Dan barang siapa yang mendapat
panah kosong, maka ia tidak mendapat bagian sama sekali, dan dialah yang harus
membayarkan harga hewan sembelihan itu seluruhnya. Mereka biasanya
memberikan bagian-bagian itu kepada kaum fakir miskin, dan mereka sendiri
tidak memakannya sedikit pun. Mereka menjadikan perbuatan demikian sebagai
kebanggaan, dan mereka mencemooh orang yang tidak ikut dengan mereka.36
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) dalam ayat ini bearti dalam
minum arak dan main judi, lafaz ( ) ada dosa yang besar. Tiada dosa
kecuali dalam sesuatu (baik perkataan maupun perbuatan) yang mendatangkan
mudarat, dan mudarat itu adakalanya bagi badan, jiwa, akal dan harta.37
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) yang lebih dari kebutuhan
seseorang beserta keluarganya. Jadi, hendaknya ia tidak menafkahkan apa yang
ia butuhkan sehingga dirinya terlantar.38
Wahbah al-Zuhailî menukil riwayat Al-Qaffal ia berkata: Hikmah dari
pengharaman arak dengan urutan demikian adalah karena masyarakat sudah
terbiasa minum arak dan mereka sering memakainya untuk berbagai keperluan,
dan Allah tau bahwa sekiranya Dia melarang mereka secara sekaligus, pasti hal itu
akan merasa sukar bagi mereka.39
36
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 494 37
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 494 38
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 495 39
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 495
44
Adapun sebab turunnya firman Allah: “Dan mereka bertanya kepadamu
apa yang mereka nafkahkan”. adalah riwayat yang dituturkan oleh Ibnu Abi
Hatim dari Ibnu Abbas, bahwa beberapa para sahabat, ketika diperintahkan
berinfaq di jalan Allah, menemui Nabi saw, lalu ia berkata, “sesungguhnya kami
tidak mengerti apa nafkah yang kami diperintahkan untuk mengeluarkannya dari
harta kami ini. Sebetulnya harta seperti apa yang mesti kami nafkahkan?” maka
Allah menurunkan firmannya, “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang
mereka nafkahkan, katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Si penanya adalah
kaum mukminin, dan inilah yang terlihat jelas dari pemakaian wau jamah. Namun
ada yang berpendapat bahwa adalah Amr Ibnul Jamuh, adapun mengenai makna
nafkah disini, ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah nafkah dalam
jihad. Menurut pendapat jumhur, maksudnya adalah sedekah sukarela. Ada pula
yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah nafkah wajib, yakni zakat yang
fardhu.40
Wahbah menyebutkan bahwa ayat-ayat terdahulu dalam Surah Al-Baqarah
ayat 218 menyebutkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para sahabat. Ibnu
Abbas berkata: “Aku tak pernah melihat orang-orang yang lebih baik daripada
para sahabat Muhammad. Mereka tidak pernah menanyai beliau kecuali hanya
sebanyak tiga belas permasalahan, dan semuanya tercantum dalam al-Qur‟an:
seperti Al-Baqarah ayat 220 yang mereka tanyakan hanyalah perkara yang
bermanfaat bagi mereka.41
40
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 491 41
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jili 1, Juz 1&2, h. 493-497
45
“Tentang dunia dan akhirat, Dan mereka bertanya kepadamu tentang
anak yatim, katakanlah: “Mengurus urusanmu mereka secara patut
adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah
saudaramu, dan Allah Mengetahui. Siapa yang membuat kerusakan dari
yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya
Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”. [QS. Al-Baqarah/2: 220]
3. Tafsiran Surah Al-Baqarah ayat 254
“Wahai orang-orang yang beriman! Infaqkanlah sebagian dari rezeki
yang Kami berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi
jual beli, persahabatan dan syafaat. Orang-orang kafir itulah orang-orang
yang zalim”. [QS. Al-Baqarah/2: 254]
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz () dalam ayat ini bearti hari
perhitungan amal, lafaz ( ) al‟Bai‟ artinya mencari keuntungan melalui
segala bentuk pertukaran., namun yang dimaksud adalah tebusan di dalamnya,
sehingga orang yang bersikap teledor mendengar penjelasan ini, maka ia akan
langsung memperbaiki sikapnya. Lafaz ( ) artinya tidak ada hubungan
persahabatan dan kasih sayang yang berguna. ( ) dan pada hari
perhitungan amal tidak ada syafa‟at tanpa seizin Allah SWT. ( ) dan
orang-orang yang kafir kepada Allah SWT atau kepada apa yang diwajibkan atas
mereka. Menurut pendapat Hasan Bashri adalah orang-orang yang meninggalkan
kewajiban membayar zakat. Karena yang dimaksud perintah berinfaq di sini
adalahh Infaq yang bersifat wajib karena sesuai dengan ancaman yang ada, yaitu
bahwa orang-orang yang meninggalkan kewajiban membayar zakat adalah orang-
orang zalim, seperti dijelaskan oleh Zamakhsyari. Orang-orang yang zalim adalah
46
orang-orang yang membangkang terhadap perintah Allah SWT atau orang-orang
yang menginfakkan harta yang tidak pada tempatnya yang benar.42
Ayat-ayat sebelumnya mengandung perintah untuk berjihad, adapun ayat
ini juga mengandung perintah untuk berjihad dengan harta dan menginfakkannya
di jalan kebaikan, maka manusia bearti telah menabung pahala amal tersebut di
sisi Allah SWT dan agar mereka bersegara untuk mengamalkannya di dunia ini.43
Wahbah al-Zuhailî menafsirkan ayat ini berkenaan dengan bahwasanya
Allah SWT memerintahkan orang-orang mukmin yang memiliki keimanan yang
benar dan sungguh-sungguh untuk berinfaq di jalan Allah SWT. Hal ini menurut
pendapat Ibnu Juraij dan Sa‟id bin Jubair mencakup zakat wajib dan sedekah
sunnah. Ibnu A‟thiyyah berkata, “Pendapat ini benar, tetapi ayat-ayat sebelumnya
yang membicarakan tentang masalah perang dan sesungguhnya Allah SWT
menolong orang-orang Mukmin di dalam menghadapi orang-orang kafir,
menguatkan bahwa anjuran berinfaq di sini adalah ajuran berinfaq di jalan Allah
SWT. Hal ini dikuatkan dengan akhir-akhir ayat yang artinya, “dan orang-orang
kafir itulah orang-orang yang zalim.” Maksudnya, maka hadapilah mereka
dengan berperang dan menginfakkan harta.44
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz dalam ayat ( ) menguatkan
penegasan anjuran untuk berinfaq , karena firman ini menunjukkan bahwa yang
diminta tidak lain adalah sebagian dari apa yang dikaruniakan oleh Allah SWT
kepada para hambanya.45
Anjuran ini kembali dipertegas dengan penjelasan bahwa akan datang
suatu hari di mana manusia akan merasa sangat menyesal. Namun, penyesalannya
42
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38 43
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38 44
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38 45
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38
47
itu tidak berguna sama sekali, yaitu hari pembalasan, hari perhitungan amal, hari
penerimaan pahala dan siksa, hari di mana tidak ada tebusan atau ganti yang
berguna. Suatu hari di mana ukuran-ukuran akhirat berbeda dengan ukuran-
ukuran dunia. Hal yang sama juga dijelaskan di dalam ayat lain, yaitu:46
“Dan takutlah kamu pada hari, (ketika) tidak ada seorang pun dapat
membela orang lain sedikit pun. Sedangkan syafaat dan tebusan apapun
darinya tidak diterima dan mereka tidak akan ditolong”. [QS. Al-
Baqarah/2: 48]
Dalam ayat ini Allah SWT menggambarkan orang-orang kafir yaitu setiap
orang-orang yang kufur terhadap Allah SWT atau orang-orang yangg
meninggalkan kewajiban zakat, mereka itulah orang-orang yang berbuat zalim
terhadap diri mereka sendiri. Maksudnya, karena mereka berperang dengan jiwa
dan harta dan orang-orang yang membelanjakan harta, mereka meletakkan harta
mereka tidak pada tempatnya. Allah SWT menyebut orang-orang seperti mereka
dengan sebutan kafir sebagai sebuah ancaman dan menegaskan bahwa sikap
seperti ini sangat jelek,47
seperti yang terdapat dalam Surah „Ali-„Imrân ayat 97,
“Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa
Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”. [QS.
„Ali-„Imrân/3: 97]
46
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38 47
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38
48
Di samping itu juga sebagai penjelasan bahwa meninggalkan kewajiban
zakat termasuk salah satu sifat orang-orang kafir, seperti yang terdapat di dalam
firman-Nya,
“Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan
(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat”. [QS.
Fussilat/41: 6-7]
4. Tafsiran Surah Al-Baqarah ayat 261, 262 & 264
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti
sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada
seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan
Allah Maha Luas Maha Mengetahui”. “Orang yang menginfakkan
hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang dia infaqkan
itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima),
mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut
pada mereka dan mereka tidak bersedih hati”. “Wahai orang-orang yang
49
beriman! Jangalah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-
nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang
menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia
tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu)
seperti batu yang licin yang diatasnya ada debu, kemudian batu itu
ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak
memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir”. [QS. Al-Baqarah/2:
261, 262, dan 264]
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) dalam ayat ini berarti bentuk
atau sifat sedekah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang meninfaqkan harta
mereka di jalan Allah SWT. Lafaz ( ) maksudnya untuk hal-hal yang
bisa membawa kepada ridha Allah SWT, ( ) maksudnya satu butir biji yang
ditanam, lafaz ( ) maksudnya Maha Luas karunia-Nya, lafaz ()
maksudnya lagi Maha Tahu siapa saja orang yang berhak untuk dilipatkan
pahalanya.48
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) al-Mannu dalam ayat ini
maksudnya seseorang menyebut-nyebut kebaikannya kepada orang lain yang ia
beri sedekah dan menampakkan bahwa ia lebih mulia darinya. Seperti dengan
berkata, “Saya telah berbuat baik dan memberikan bantuan kepadanya”. Lafaz
( ) maksudnya dengan bersikap sombong dan congkak karena ia telah
memberi sedekah serta menyiar-nyiarkannya kepada orang yang sebenarnya
benci jika mengetahuinya.49
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) dalam ayat ini maksudnya
bagi mereka pahala infaq yang telah mereka keluarkan, lafaz (
) maksudnya dan tidak pula mereka bersedih hati pada hari kiamat.
( ) maksudnya janganlah kalian menghilangkan sedekah
48
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 68 49
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 68
50
pahala kalian seperti orang yang menghapuskan pahala sedekahnya bersikap
karena riya‟.50
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) dalam ayat ini maksudnya
memamerkan dan menyiar-nyiarkannya kepada orang-orang. Penjelasan lafaz
( ) ia melakukan kebaikan hanya karena ingin membanggakan diri atau
hanya karena agar orang-orang melihatnya lalu memuji dan menyanjung dirinya.51
Wahbah al-Zuhailî menukil riwayat Al-Kalibi yang berkata, “Ayat ini
turun berkaitan dengan diri Utsman bin „Affan r.a dan Abdurrahman bin „Auf r.a,
Adapun Abdurrahman bin „Auf r.a, maka suatu ketika ia datang kepada
Rasulullah saw. Sambil membawa uang sebanyak empat ribu dirham untuk ia
sedekahkan. Ia berkata, “Saya memilki uang sebanyak delapan ribu dirham, empat
ribu dirham saya pergunakan untuk memenuhi kebutuhan saya dan keluarga,
sedangkan yang empat ribu dirham lagi saya sedekahkan karena Allah SWT”.
Lalu Rasulullah saw berkata, “Semoga Allah SWT memberkahi untukmu uang
yang kamu pergunakan sendiri dan uang yang kamu sedekahkan”.52
Adapun kisah Utsman bin „Affan r.a adalah bahwa pada perang Tabuk ia
berkata, “Saya yang menanggung segala keperluan dan bekal bagi orang-orang
yang tidak memiliki bekal pada Perang Tabuk”. Lalu ia mempersiapkan seribu
unta lengkap dengan tempat menaruh barang dan alas pelana. Ia juga
menyedekahkan sumur Rumah yang menjadi milkinya untuk keperluan seluruh
kaum Muslimin. Lalu turunlah ayat ini berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh
Abdurrahman bin „Auf r.a dan Utsman bin Affan r.a tersebut.53
50
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 68 51
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 69 52
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 69 53
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 70
51
Selain itu Wahbah juga menukil riwayat dari Abu Sa‟id al-Khudri, ia
berkata, “Suatu ketika, saya melihat Rasulullah saw mengangkat kedua tangan
memanjatkan doa untuk Utsman bin Affan r.a di dalam tersebut, beliau berkata
“Ya Tuhanku, sesungguhnya hamba telah ridha kepada Utsman, maka ridhailah
ia”. Beliau terus mengangkat kedua tangan dan berdoa hingga terbit fajar. Lalu
Allah SWT menurunkan ayat ini.54
Wahbah al-Zuhailî menyebutkan bahwa ayat-ayat sebelumnya di dalam
Surah Al-Baqarah [2]: 260 telah menjelaskan tentang masalah al-Ba‟tsu
(kebangkitan dari kematian), bahwa seluruh manusia akan dibangkitkan kelak di
akhirat untuk menerima balasan mereka secara sempurna dan tanpa batas. Di
dalam ayat ini dijelaskan tentang keutamaan berinfaq di jalan Allah SWT banyak
sekali, seperti untuk menyebarkan ilmu, usaha memberantas kemiskinan,
kebodohan dan penyakit. Adapun jalan Allah SWT yang paling agung adalah
jihad agar kalimaatullah (Agama Islam) adalah yang paling tinggi. Barang siapa
yang berjihad setelah adanya penjelasan dan bukti akan kebenaran hari
kebangkitan yang tidak dibawa kecuali oleh seorang Nabi, maka baginya pahala
yang agung.55
Dalam banyak ayat, Al-Qur‟an telah menyerukan untuk berinfaq, karena
berinfaq adalah cara atau medium untuk menciptakan kemakmuran bagi semua
lapisan masyarakat dan salah satu langkah pasti dalam usaha menjaga martabat
dan kemuliaan umat serta untuk menangkal segala bentuk permusuhan yang
dilancarkan oleh pihak musuh. Sebuah umat tidak bersikap kikir kecuali ia akan
tertimpa kehinaan, kesengsaraan, mudah diperbudak dan dijadikan mangsa empuk
54
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 69 55
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 3& 4, h. 69
52
oleh umat lain. Al-Basti di dalam shahih musnadnya meriwayatkan dari Ibnu
Umar r.a, ia berkata, “Ketika turun ayat 245 dari Surah Al-Baqarah yang artinya,56
“Barang siapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan
melipatgandakan ganti kepadanya dengan yang banyak. Allah menahan dan
melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” [QS. Al-
Baqarah/2: 245]
Wahbah al-Zuhailî menafsirkan di dalam ayat ini adanya terdapat
perumpamaan yang diberikan oleh Allah SWT untuk melipat gandakan pahala
bagi siapa saja yang berinfaq di jalan Allah SWT hanya untuk mengapai ridhanya.
Susungguhnya satu kebaikan pahalanya dilipatkan sepuluh kali lipat sampai 700
kali lipat. Lalu Allah SWT menjelaskan tentang bentuk atau sifat sedekah yang
dikeluarkan oleh orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan ketaatan
kepada Allah SWT untuk menggapai ridhanya, seperti menyebarkan ilmu, adalah
seperti sebuah biji yang ditanam di sebuah tanah yang subur, lalu biji tersebut
menumbuhkan tujuh bulir, di dalam setiap bulir terdapat 100 butir biji. Para pakar
petani menegaskan bahwa sebuah biji gandum, jika ditanam, maka tidak hanya
menumbuhkan satu bulir saja, akan tetapi jauh lebih banyak, hingga mencapai 70
bulir, sedangkan tiap-tiap bulir bisa mengandung lebih dari 100 biji, ini adalah
gambaran tentang dilipat gandakannya pahala orang yang bersedekah.57
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) maksudnya يضاعف ملن
ayat ini bearti dan Allah SWT melipat gandakan pahala bagi siapa saja yang
dikehendakinya tergatung keikhlasannya di dalam amal yang dilakukan. Bahkan
Allah SWT melipat gandakan hingga lebih banyak dari itu. Pemberian dan
karunianya tidak terbatas, sangat luas dan banyak. Allah tau siapa saja yang
56
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 70 57
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 70
53
berhak mendapatkan pelipat gandaan pahala ini dan siapa saja yang tidak
berhak.58
Di dalam ayat ini juga mengandung sebuah isyarat bahwa Allah SWT
menumbuhkan amal-amal saleh yang dilakukan oleh seseorang seperti halnya
Allah SWT menumbuhkan biji tanaman yang ditanam oleh seseorang yang baik
dan subur. Terdapat juga riwayat hadits yang menjelaskan tentang dilipat
gandakannya pahala suatu amal kebaikan hingga 700 kali lipat.59
Wahbah al-Zuhailî juga menukil riwayat dari Ibnu Majah dan Ibnu Abi
Hatim meriwayatkan hadits pertama dari Ali dan Abu Darda‟ dan hadits kedua
dari „Imran bin Hushain dari Rasulullah saw, beliau bersabda :
“Barang siapa yang mengirimkan infaq di jalan Allah dan ia tinggal di
rumah (maksudnya tidak ikut berperang), maka baginya setiap satu
dirham pahalanya dilipat menjadi tujuh ratus dirham. Dan barang siapa
yang ikut berperang sekaligus berinfaq untuk keperuan peperangan itu,
maka baginya setiap satu dirham dilipatkan menjadi tujuh ratus ribu
dirham.”60
Di antara etika dan syarat agar orang yang berinfaq berhak mendapatkan
pahala seperti ini di akhirat adalah tidak mengiringi apa yang dinafkahkan dengan
sikap menyebut-nyebutnya apa yang dinafkahkan atau diberikan tersebut serta
tidak bersikap merasa lebih tinggi derajatnya dari pada orang yang ia beri
sedekah. Di samping itu, juga tidak melakukan hal-hal yang bisa menyakiti
perasaan dan menggangu si penerima sedekah serta tidak meminta imbal jasa atas
pemberiannya tersebut. Orang-orang yang bersedekah dan tidak mengikutinya
dengan sikap mengungkit-ngungkit kembali pemberiannya tersebut serta tidak
menyakiti perasaan si penerima, maka bagi mereka pahala yang sempurna yang
tidak bisa dikira-kirakan jumlahnya. Adapun orang-orang yang kikir dan tidak
58
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 70 59
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 70 60
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 71
54
mau menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah maka mereka pasti akan
merasa menyesal.61
Karena orang yang mengikuti apa yang disedekahkannya dengan sikap
menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima sedekah menyerupai
orang-orang yangbersedekah karena riya‟ dan sum‟ah dengan tujuan agar orang-
orang memuji dan menyanjungnya, serta agar dirinya dianggap orang yang
dermawan atau karena tujuan-tujuan dunia lainnya. Orang yang bersedekah
karena riya‟ dan sum‟ah pada hakikatnya adalah orang yang tidak beriman kepada
Allah dengan keimanan yang benar sehingga ia memilki harapan dengan
mendapatkan pahala atau takut akan siksa. Serupa dengan orang yang bersedekah
karena riya‟ adalah orang yang bersedekah dengan mengikuti sedekahnya tersebut
dengan sikap mengungkit-ngungkit pemberiannya dan menyakiti perasaan si
penerima sedekah.62
5. Tafsiran Surah Al-Baqarah ayat 265
“Dan perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya untuk mencari
ridha Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti sebuah kebun
yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun
itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak
menyiraminya. Maka embun (pun memadai). Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan”. [QS. Al-Baqarah/2: 265]
61
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 72 62
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 73
55
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) maksudnya ayat ini bearti
perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang berinfaq. Lafaz
( ) maksudnya ayat ini berati mencari ridha Allah SWT. Lafaz
( ) maksudnya ayat ini bearti karena pembenaran dan
keyakinan yang muncul dalam jiwa mereka akan pahala berinfaq. Huruf min di
sini adalah min ibtida‟iyyah artinya, yang muncul dari dalam jiwa mereka di
dalam tingkatan iman dan ihsan. Hal ini berbeda dengan orang-orang munafik
yang ragu-ragu dalam keimanan mereka dan tidak memiliki harapan mendapat
pahala, karena sebenarnya mereka tidak yakin akan hal itu. Ibnu Katsir berkata,
“Mereka berada dalam keadaan benar-benar yakin bahwa Allah SWT akan
memberi makna pahala atas apa yang mereka sedekahkan dengan pahala yang
sangat banyak”. Hal ini mirip dengan hadits yang disepakati keshahihannya:
نا و احتسابا غفرلو ما تقدم من ذنبومن صام رمضان اميا “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman (maksudnya iman
bahwa Allah SWT memang mensyari‟atkannya) dan karena istihsab
(mengharap pahala yang terdapat di sisi Allah SWT ) maka dosa-dosanya
yang telah lalu diampuni”63
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) maksudnya bearti sebuah
kebun, lafaz () maksudnya bearti dataran bumi yang tinggi, lafaz ( )
maksudnya bearti hujan yang lebat, lafaz ( ) maksudnya bearti memberikan,
lafaz ( ) maksudnya bearti buah-buahnya, lafaz ( ) maksudnya
bearti dua kali lipat lebih banyak dibanding buah-buahan yang dihasilkan pohon-
pohon lainnya, lafaz ( ) maksudnya bearti hujan gerimis yang menyiraminya
adalah hujan yang lebat, begitu juga dengan halnya nafkah mereka, di sisi Allah
SWT akan tumbuh dan berekembang, baik nafkah tersebut banyak maupun
63
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 80
56
sedikit, lafaz ( ) Allah SWT Maha Melihat apa yang kalian
perbuat dan Dia akan memberi kalian balasan atas apa yang kalian perbuat itu.64
Wahbah al-Zuhailî menafsirkan bahwasaya ayat ini menjelaskan gambaran
nafkah orang-orang yang mengeluarkannya, baik banyak maupun sedikit yang
didasari keikhlasannya hanya karena mencari ridha Allah SWT dan ampunannya
dilandasi dengan keimanan dan keyakinan bahwa Allah SWT akan memberi
pahala atas nafkah yang mereka keluarkan dengan pahala yang melimpah atau
karena demi mengkokohkan jiwa mereka di atas keimanan dan keyakinan.
Dengan mendorong jiwa-jiwa mereka untuk bersedia menginfakkan harta yang
merupakan separuh nyawa bagi seseorang, serta memaksa jiwa-jiwa mereka untuk
melakukan hal-hal yang berat bagi jiwa berupa ibadah-ibadah yang lain dan
keimanan, gambaran nafkah mereka ini baik yang banyak maupun sedikit adalah
bagaikan kebun yang memiliki tanah yang baik dan subur, pohon-pohonnya
tumbuh dengan lebat, tumbuh-tumbuhannya berkembang dengan baik, kebun ini
terletak di dataran tinggi yang bisa mendapatkan sinar matahari dan oksigen yang
cukup dan disirami oleh hujan yang lebat sehingga tumbuh-tumbuhannya
menghasilkan buah dua kali lebih banyak dibanding yang lainnya. Jika kebun itu
hanya disirami oleh hujan gerimis, maka hal itu pun sudah mencukupi dan bisa
membuat pohon-pohonnya tumbuh dengan baik dan tetap menghasilkan buah
yang melimpah. Hal ini dikarenakan tanahnya yang subur dan letaknya strategis.65
Sedangkan kenapa kebun yang dijadikan perumpamaan di sini adalah kebun
yang berada di Rabwah (dataran tinggi) lebih baik dan buah yang dihasilkannya
juga lebih baik. Begitu juga ayat ini menggunakan ungkapan ( )
maksudnya yang muncul atau yang berasal dari jiwa mereka, dengan
menggunakan huruf jarr ibtidaa„iyyah, bukan menggunakan huruf yang lainnya,
64
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 81 65
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3& 4, h. 81
57
hal ini menunjukkan bahwa kesadaran mereka untuk berinfak benar-benar muncul
dari dalam jiwa dan keyakinan mereka sendiri, tumbuh dari keyakinan mereka
akan manfaat berinfak dan muncul dari usaha melawan sifat kekikiran66
, seperti
firman Allah SWT dalam Surah Al-„Anfâl [8]: 72,
“sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad
dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah ...” (Surah Al-„Anfâl [8]: 72)
Maksud yang terkandung di dalam perumpamaan ini adalah bahwa orang
yang berinfaq di jalan Allah SWT dengan ikhlas hanya karena-Nya, didorong
keinginan mengkokohkan jiwanya unttuk ikhlas menyerahkan harta dan
melakukan kebaikan atau akan mendapatkan pahala, maka ia akan membantu
fakir miskin sesuai dengan kemampuannya. Jika ia sedang dalam keadaan luas
dan memilki harta banyak, harta yang diinfaqkan pun juga banyak, namun, jika ia
hanya memilki harta sedikit, ia tetap berinfaq sesuai dengan kemampuannya.
Sehingga ia melakukan kebaikan-kebaikan meskipun apa yang ia miliki sedikit,
apalagi jika yang ia miliki banyak. Ia tetap terus memberi dan berinfaq baik ketika
sedang memilki harta banyak maupun ketika harta yang dimilkinya terbatas. Ia
bagaikan tanah yang subur yang di atasnya tumbuh pohon-pohon yang selalu
memberikan buah berkualitas dan melimpah, baik ketika hujan yang turun
menyiramnya adalah hujan yang lebat maupun hanya hujan yang gerimis.67
66
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3& 4, h. 81-82 67
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 82
58
Tidak ada sesuatu apa pun dari amal perbuatan hamba yang tersembunyi
atau tidak diketahui Allah SWT. Dia akan memberi balasan pahala kepada orang
yang berinfaq dengan ikhlas dan balasan siksa kepada orang yang berinfaq karena
riya.68
Ini adalah perumpamaan pertama untuk orang yang menginfakkan hartanya
hanya karena Allah SWT semata dan karena mencari ridha-Nya. Adapun
perumpaan yang kedua untuk orang yang bertolak belakang dengan orang
pertama, yaitu orang yang menginfakkan hartanya di jalan setan dan hawa nafsu
atau tidak ikhlas hanya karena Allah SWT. 69
Dalam perumpamaan yang kedua ialah Allah SWT memulainya dengan
penyebutan ungkapan ingkar, karena seorang Mukmin tidak layak melakukannya.
Perumpamaan yang kedua ini adalah perumpamaan bagi orang yang melakukan
kebaikan, tetapi ia melakukannya tidak dilandasi dengan keikhlasan hanya karena
Allah SWT. Pada hari kiamat, orang seperti ini akan mendapati amal kebaikannya
tersebut hilang dan musnah tanpa terbekas sama sekali. Ketika itu, maka ia akan
merasa sedih sekali dan meratapinya, seperti kesedihan dan ratapan orang yang
memiliki sebidang kebun yang sangat indah dan di dalamnya tumbuh berbagai
macam pepohonan yang subur dan memiliki buah yang baik. Namun, tatkala ia
sampai pada usia lanjut dan ia memiliki anak-anak yang masih kecil-kecil, tiba-
tiba ada angin topan yang menghancurkan dan meluluh lantakkan kebunnya
tersebut. Padahal kebun tersebut adalah satu-satunya sumber kehidupan bagi
anak-anaknya kelak yang masih kecil tersebut.70
68
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3& 4, h. 82 69
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 83 70
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3& 4, h. 83
59
6. Tafsiran Surah Al-Baqarah ayat 267
“Wahai orang-orang yang beriman! Infaqkanlah sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untukmu.” [QS. Al-Baqarah/2: 267]
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) kata ini majaaz mursal,
adalah memandang remeh, karena seseorang melihat sesuatu yang tidak
disukainya, maka ia akan memejamkan kedua matanya agar ia tidak meilhatnya.
Atau bisa juga bentuk kata ini dimasukkan ke dalam kategori tasybiih dalam
bentuk isti„aarah.71
Wahbah al-Zuhailî menulis dalam kitab tafsir al-Munir bahwa Al-Hakim,
Tirmidzi, Ibnu Majah dan yang lainnya meriwayatkan dari al-Barra‟ bin „Azib, ia
berkata, “Ayat ini turun berkaitan dengan kami, kaum Anshar. Kami adalah kaum
yang memilki pohon kurma. Salah satu dari kami menginfakkan buah kurmanya
sesuai dengan sedikit banyaknya buah kurma yang dihasilkannya. Ada sebagian
orang yang tidak memilki kesadaran untuk memberi kebaikan, sehingga ada
sebagian orang yang membawa sendatan buah kurma yang jelek untuk
digantungkan di masjid Rasulullah saw, lalu disediakan untuk orang miskin dari
kaum Muhajirin. Banyak di antara buahnya yang bijinya tidak keras dan ada yang
kering sebelum masak, sehingga dagingnya tipis. Ada juga yang membawa
setandan buah kurma yang telah rusak. Lalu turunlah ayat ini ( ) Abu Dawud, Nasa‟i dan al-Hakim meriwayatkan
71
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 86
60
dari Sahl bin Hunaif, ia berkata, “Ada orang-orang yang memilih buah miliknya
yang jelek untuk dikeluarkan sebagai sedekah, lalu turunlah ayat ini (
).72
Selain itu Wahbah al-Zuhailî juga mengemukakan riwayat Ibnu Abi Hatim
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a berkata, “Ada sebagian para sahabat
membeli makanan yang murah lalu mereka sedekahkan, lalu turunlah ayat ini”.73
Wahbah al-Zuhailî menyebutkan bahwa dalam ayat-ayat sebelumnya
Surah Al-Baqarah ayat 266 menyebutkan bahwasanya Allah SWT telah
menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh seseorang ketika berinfaq,
yaitu ikhlas hanya karena Allah SWT semata, bertujuan membersihkan jiwa dan
meninggalkan sikap riya‟. Allah SWT juga menjelaskan syarat-syarat yang harus
dipenuhinya setelah berinfaq, yaitu menjahui sikap al-Mannu dan al-Adzaa. Di
dalam ayat ini, Allah SWT ingin menjelaskan tentang sifat atau bentuk harta yang
diinfaqkan, yaitu harta yang diinfaqkan haruslah harta yang bagus.74
Wahbah al-Zuhailî menafsirkan bahwa ayat ini menjelaskan tentang
orang-orang yang beriman, Aku perintahkan kalian untuk menginfakkan harta
yang bagus, baik berupa uang, binatang, ternak, biji-bijian, hasil tanaman, barang
dagangan maupun yang lainnya, seperti emas, perak dan harta terpendam. Hal ini
seperti yang difirmankan oleh Allah SWT.75
72
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 86 73
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 86 74
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 86 75
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 87
61
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan
sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu infaqkan,
tentang hal itu sungguh Allah Maha Mengetahui.”(QS. „Âli „Imran:2/92)
Dan kami melarang kalian memilih harta yang jelek untuk kalian infaqkan,
karena sesungguhnya Allah Zat Yang Maha Baik dan dia tidak berkenan
menerima kecuali sesuatu yang baik. Allah SWT tidak berkenan menerima
sesuatu yang dibenci oleh jiwa kalian. Kata al-Khabiits mendandung dua makna,
pertama sesuatu yang tidak mengandung manfaat sama sekali, seperti yang
terdapat di dalam hadits riwayat Bukhari Muslim,
كما ينفي الكري خبث احلديد “Seperti halnya hububan yang menghilangkan karat besi”.
76
Sedangkan makna yang kedua adalah sesuatu yang dibenci oleh jiwa dan
ini yang dimaksud di dalam ayat ini ( ).77 Bagaimana kalian bisa memberi sedekah dengan sesuatu yang jelek, padahal
kalian juga tidak menyukainya dan tidak berkenan menerimanya untuk diri kalian
kecuali jika kalian bermurah hati di dalam sesuatu yang jelek tersebut seperti
orang yang memejamkan kedua matanya dari sesuatu hal hingga ia tidak melihat
cacat atau kekurangan yang terdapat di dalam tersebut.78
Seandainya salah satu di antara kalian memiliki hak atau utang yang ada
pada orang lain, lalu orang lain tersebut datang ingin membayar haknya tersebut
namun dengan sesuatu yang lebih rendah nilainya dari apa yang seharusnya ia
dapatkan. Maka pastilah ia tidak mau menerimanya. Lalu bagaimana kalian
memberikan untuk-Ku sesuatu yang sebenarnya kalian sendiri tidak menyukai
76
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 86 77
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 86 78
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 87
62
sesuatu tersebut? Hak-Ku atas kalian adalah harta kalian yang paling bagus dan
paling berharga.79
Ketahuilah bahwa Allah SWT meski memerintahkan kalian untuk
bersedekah dengan harta yang bagus. Namun, dia adalah Zat Yang Maha Kaya,
Dia tidak butuh kepada sedekah kalian dan tidak butuh kepada seluruh mahluk-
Nya. Akan tetapi, Allah SWT memerintahkan hal itu kepada kalian tidak lain
demi kebaikan dan kemanfaatan kalian sendiri, demi menciptakan persamaan
antara orang kaya dan miskin, demi menguji kalian di dalam apa yang kalian
infaqkan.80
Oleh karena itu, janganlah kalian mendekatkan diri kepada Allah SWT
dengan sesuatu yang jelek. Allah SWT yang berhak mendapat puji syukur atas
semua pekerjaan, aturan, dan ketentuan nikmat-Nya. Di antara bentuk puji syukur
yang layak untuk dipersembahkan kepada-Nya adalah berinfaq dengan harta yang
bagus dari nikmat yang telah Dia berikan.81
7. Tafsiran Surah Al-Baqarah ayat 270-271
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim
tidak ada seorang penolongpun baginya.” “Jika kamu menampakkan
sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
79
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 87 80
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 85-87 81
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 86
63
menyembunyikannya itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan
menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahan mu, dan Allah
mengetaui apa yang kamu kerjakan.” [QS. Al-Baqarah/2: 270-271]
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) maksudnya
bearti apa yang kalian bayarkan berupa zakat atau sedekah, lafaz
( ) maksudnya bearti ketetapan atau niat yang kuat untuk
menetapi sesuatu hal tertentu. Sedangkan menurut syara‟: menetapi suatu
ketaatan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Lafaz
( ) maksudnya bearti jika kalian menampakkan sedekah-
sedekah sunnah, lafaz ( ) maksudnya bearti maka itu baik sekali, lafaz
( ) maksudnya bearti maka sesuatu yang baik untuk ditampakkan
adalah sedekah itu. Lafaz ( ) maksudnya bearti Namun jika kalian
melakukannya secara sembunyi-sembunyi dan memberikannya kepada orang-
orang fakir maka itu lebih baik bagi kalian daripada menampakkannya. Dhamiir
yang terdapat pada kata ini kembali kepada kata ash-Shadaqaat. Adapun dalam
hal sedekah wajib (zakat) maka lebih baik jika mengeluarkannya dengan terang-
terangan agar bisa mejadi contoh bagi yang lain dan agar terjauhkan dari tuduhan
tidak mau mengeluarkan zakat. Sedangkan memberikan sedekah kepada orang-
orang fakir adalah ketentuan yang pasti.82
Tentang sebab turunnya ayat ini ( ), Wahbah
al-Zuhailî menukil riwayat dari Ibnu Abi Hatim berkata, “Ayat ini turun berkaitan
dengan diri Abu Bakar r.a dan Umar Ibnul Khaththab r.a. Adapun Umar, ia
membawa dan menyerahkan separuh hartanya kepada Rasulullah saw. Lalu beliau
berkata, “Apakah kamu tidak menyisakan harta untuk keluargamu wahai Umar?”
Lalu Umar berkata, “Saya telah menyisihkan separuh dari harta saya untuk
mereka wahai Rasulullah”. Sedangkan Abu Bakar r.a datang membawa seluruh
harta miliknya secara sembunyi-sembunyi lalu menyerahkannya kepada
82
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 95
64
Rasulullah saw, Lalu beliau berkata kepadanya, “Apakah kamu tidak menyisakan
harta untuk keluargamu wahai Abu Bakar?” Lalu ia berkata, “Janji Allah SWT
dan janji Rasul-Nya”. Mendengar jawaban itu, Umar menangis lalu berkata,
“Wahai Abu Bakar, sungguh kita tidak berlomba-lomba mencapai pintu kebaikan
kecuali kamu selalu berhasil mendahului kami.83
Setelah Allah SWT memerintahkan untuk berinfaq di jalan-Nya maka
selanjutnya di dalam ayat ini, Allah SWT menjelaskan bahwa Dia mengetahui di
mana saja infaq itu diberikan, baik infaq itu dikeluarkan di dalam ketaatan atau
kemaksiatan. Allah SWT juga memberikan pilihan kepada kita antara
menyembunyikan sedekah sunnah atau menampakkannya, tetapi
menyembunyikannya lebih utama. Hal ini dikuatkan dengan hadits yang
menjelaskan tentang tujuh orang yang akan diberi naungan oleh Allah SWT kelak
di hari kiamat di mana kala itu tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, di antara
tujuh orang tersebut adalah orang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi
hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan
kananya. Jadi, tema ayat ini adalah anjuran untuk bersedekah secara sembunyi-
sembunyi guna menghindari munculnya riya‟.84
Wahbah al-Zuhailî menafsirkan bahwa apa yang kalian infaqkan, baik
didasari keikhlasan hanya karena Allah SWT semata atau karena riya‟ atau
dibarengi dengan sikap al-Mannu al-Adzaa atau infaq yang tidak dibarengi
dengan sikap ini atau apa yang kalian nadzarkan di dalam ketaatan atau apa yang
kalian nadzarkan di dalam kemaksiatan, maka sesungguhnya Allah SWT
mengetahui semua itu dan akan memberi balasan yang sesuai, jika baik maka
balasannya juga baik, tetapi jika jelek maka balasannya juga jelek. Hal ini berati
mengandung unsu at-Targhiib (memberi semangat) untuk melakukan kebaikan
83
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 95 84
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 95-96
65
dan at-Tarhiib (membuat takut) melakukan kejelekan. Tidak ada satu pun
penolong kelak di hari kiamat bagi orang yang berbuat zalim terhadap diri sendiri
dengan bersikap kikir dan tidak mau bersedekah.85
Hal ini seperti yang
difirmankan Allah SWT dalam Surah Al-Mu‟min ayat 18:
“Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang zalim dan tidak ada
baginya seorang penolong yang diterima (pertolongannya).” [Qs. Al-
Mu‟min/40: 18)
Jika kalian menampakkan sedekah sunnah kalian dengan tujuan agar orang
lain tertarik dan menirunya maka itu baik bagi kalian. Namun, jika kalian
menyembunyikan sedekah yang kalian keluarkan, tidak memberitahukannya
kepada siapa pun dan memberikannya kepada orang-orang fakir maka itu lebih
baik bagi kalian guna menghindari mucnculnya sikap riya‟ dan sum‟ah. Dengan
sedekah yang kalian keluarkan, maka Allah SWT akan mengampuni sebagian
dosa-dosa kalian. Karena sedekah tidak bisa menghapus seluruh dosa dan
kesalahan.86
Allah SWT Maha Tau setiap amal yang kalian kerjakan dan Maha Tau
tentang segala perkara yang ada sekecil apa pun itu. Allah SWT tahu tentang
segala rahasia dan segala apa yang disembunyikan. Allah SWT akan memberi
kalian balasan atas segala apa yang kalian lakukan. Jauhilah sikap riya‟ dan
berinfaq yang tidak ikhlas karena Allah SWT, karena tidak samar bagi-Nya niat
kalian di dalam sedekah yang kalian sembunyikan atau yang kalian tampakkan.87
85
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 96 86
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 96 87
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 96
66
8. Tafsiran Surah Al-Baqarah ayat 272 dan 274
“Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat
petunjuk, tetapi Allah lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki. Apapun harta yang kamu infaqkan, maka (kebaikannya)
untuk dirimu sendiri. Dan janganlah kamu berinfaq melainkan karena
mencari ridha Allah. Dan apa pun harta yang kamu infaqkan, niscaya
kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi
(dirugikan)”. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di
siang hari (secara) sembunyi-sembunyi mapun terang-terangan, maka
mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan
mereka tidak bersedih hati”. [QS. Al-Baqarah/2: 272 & 274]
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) maksudnya berati menjadikan
orang-orang masuk Islam, akan tetapi kewajiabnmu hanyalah menyampaikan
dakwah dan menerangkan jalan kebenaran. Hanya Allah SWT yang memberi
petunjuk (taufik) untuk masuk ke dalam agama Islam. Al-Hudda (petunjuk) ada
dua macam, hudat taufiq, yaitu petunjuk berupa taufiq kepada jalan kebaikan dan
kebahagiaan. Hudat taufiq ini hanya dimilki Allah SWT. Yang kedua adalah
Hudad dilaalah wal irsyaad, yaitu petunjuk berupa memberi pengarahan dan
penjelasan tentang jalan kebenaran dan kebaikan, al-Hudaa yang kedua inilah
yang menjadi tugas Rasulullah saw.88
Menurut Wahbah al-Zuhailî Lafaz ( ) maksudnya berati harta
benda, lafaz () maksudnya berati maka pahalanya hanya untuk
kalian, tidak ada orang lain yang bisa mendapatkan manfaatnya. Lafaz
88
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 101
67
( ) maksudnya berati mencari ridha Allah SWT dan pahalanya, lafaz
( ) maksudnya berati pahalanya sampai kepada kalian secara utuh
tanpa sedikit pun dikurangi, lafaz ( ) maksudnya berati kalian
tidak dirugikan. Susunan ini dan susunan, lafaz () maksudnya berati
menjadi penguat terhadap susunan kata yang pertama, yaitu lafaz ()
maksudnya berati karena ketiga-tiganya memilki maksud yang sama.89
Dalam hal ini, banyak riwayat yang menjelaskan tentang sebab turunnya
ayat ini, namun semua riwayat tersebut memiliki kandungan yang sama. Diantara
riwayat tersebut adalah apa yang diriwayatkan olen Nasa‟i, al-Hakim, al Bazzar,
ath-Tabhrani dan yang lainnya dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata, “orang-orang islam
tidak ingin memberi sedekah kpada kerabat mereka yang musyrik,lalu kerabat
mereka yang musyrik tersebut meminta sedekah kepada mereka,lalu mereka pun
diberi izin untuk memberi sedekah kerabat mereka tersebut,” lalu turunlah ayat
ini.90
Wahbah al-Zuhailî menulis dalam tafsir al-Munir bahwa ada sekelompok
orang islam memiliki kerabat ipar dan kerabat persusuan dari kaum yahudi.
Sebelum islam, mereka biasa memberi sedekah kepada kerabat mereka tersebut.
Namun, setelah masuk islam, mereka dibenci untuk memberikan sedekah kepada
kerabat mereka tersebut.91
Dalam satu riwayat dikatakan bahwa, suatu ketika „Asma binti Abu Bakar
pergi menunaikan haji, lalu ibunya datang kepadanya untuk meminta sesuatu,
pada waktu itu ibunya masih dalam keadaan musyrik, lalu‟asma pun tidak mau
memberinya, maka turunlah ayat ini.92
89
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 101 90
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 102 91
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 102 92
Wahbah a-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 102
68
Selain itu Wahbah al-Zuhailî juga mengemukakan riwayat dari Ibnu Abi
Hatim yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah saw. pernah
memerintahkan kepada kaum muslimin untuk tidak memberi sedekah kecuali
kepada orang islam, lalu turunlah ayat ini. Setelah itu, beliau memerintahkan
untuk memberi sedekah kepada siapa saja yang meminta meskipun ia bukan orang
islam.93
Wahbah al-Zuhailî juga menukil riwayat Sa‟id bin Jabir dari sanad mursal
dari Rasulullah saw. tentang sebab turunnya ayat ini bahwa kaum Muslimin
memberi sedekah kepada orang-orang fakir dari kelompok kafir Dzimmi. Lalu
ketika jumlah orang-orang fakir dari kaum muslimin banyak, maka beliau
besabda,” janganlah kalian bersedekah kecuali kepada orang islam.” Lalu turunlah
ayat ini yang mengandung izin bersedah kepada Non Muslim.94
Ath-Thabari menjelaskan bahwa maksud dan tujuan Rasulullah Saw.
Melarang bersedekah kecuali kepada orang islam adalah agar mereka mau masuk
islam. Lalu Allah SWT menurunkan ayat ini.95
Intinya adalah bahwa semua riwayat ini memilki kandungan yang sama,
yaitu orang yang telah masuk Islam tidak ingin memberi sedekah kepada
kerabatnya yang musyrik atau Rasulullah saw melarang mereka bersedekah
kepada orang musyrik, lalu turunlah ayat ini.96
Wahbah al-Zuhaili juga mengemukakan riwayat dari Ath-Thabrani dan
Ibnu Abi Hatim yang diriwayatkan dari Yazid bin Abdullah bin Gharib dari
ayahnya dari kakeknya dari Rasulullah Saw. Bahwa ayat ini turun berkaitan
dengan orang-orang yang memiliki kuda yang mereka persiapkan untuk berjuang
93
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 102 94
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 102-103 95
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 102 96
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 103
69
dijalan Allah Swt. Mereka selalu memberi makan kuda-kuda tersebut siang dan
malam, baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Ayat ini
turun berkaitan dengan mereka, yaitu orang-orang yang memelihara kuda tidak
karena untuk menyombongkan diri dan bermegah-megahan.97
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa ayat ini turun berkaitan dengan hal
memelihara dan memberi makan kuda.98
Keshahihan riwayat ini ditunjukkan oleh
hadits Asma‟binti Zaid, ia berkata,”Rasulullah saw bersabda,
من اربط فرسا يف سبيل اهلل فانفق عليو احتسبا كنا شبعو و يف ميزانو يوم القيامة وجوعو وريو وظمؤه وبولو وروث
“Barangsiapa yang mengikat kuda (memelihara dan merawat kuda untuk
digunakan berjihad) di jalan Allah SWT dan memberinya makan, semua
ini dilakukan dengan ikhlas hanya karena Allah SWT dan hanya
mengharap pahala dari-Nya, maka kenyang, lapar, kenyang karena air
minum, dahaga, air kencing dan kotoran kuda tersebut, semuanya berada
di dalam timbangan amal baiknya kelak di hari kiamat.”99
Wahbah al-Zuhailî menyebutkan bahwa ayat sebelumnya dalam Surah
Al-Baqarah ayat 271 mengandung isyarat mengajak kaum mukminin untuk
bersedekah kepada orang-orang fakir secara umum, baikmuslim maupun non-
muslim. Adapun ayat ini secara jelas mengandung izin bolehnya memberikan
sedekah sunnah kepada kaum non-muslim, baik mereka adalah kaum peganis
(musyrik) maupun ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Karena Allah SWT memberi
karunia rezeki kepada seluruh manusia,baik muslim maupun kafir. Selayaknya
seorang mukmin berahlak seperti ahlak Allah SWT dan kebaikannya bersifat
umum untuk semua manusia. Hal ini bertujuan untuk menghidupkan semangat
untuk berbuat kebaikan dan memberika kemanfaatan untuk seluruh umat manusia,
mengaskan bahwa didalam hati seorang muslim terdapat cinta dan kasih sayang
97
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 102 98
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 103 99
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 103
70
untuk setiap orang, serta memadamkan api fanatisme agama yang bisa
menimbulkan fitnah, perpecahan,permusuhan,kebencian,dan membuat pihak non-
muslim akan semakin lari menjauh dari islam yang ajaran-ajarannya sebenarnya
berdasarkan atas sikap toleransi dan menyerahkan urusan hidayah kepada Allah
SWT, karena memang hidayah datangnya tidak lain dari hanya Allah SWT.
Disamping itu, semangat belah kasih sendiri menghendaki untuk memberi
bantuan kepada siapa saja yang membutuhkan, apapun agama dan
keyakinannya.100
Wahbah al-Zuhailî menafsirkan bahwa ayat ini menjelaskan tentang
pahala sedekah dengan menginfakkan harta di jalan Allah swt semuanya untuk
diri kalian, baik di dunia maupun di akhirat. Tidak ada orang lain yang bisa
mengambil manfaat pahala kalian itu. Adapun pahala di dunia ini adalah
terjaganya dan terpeliharanya harta kekayaan kalian dan terlindungnya kalian dari
gangguan orang-orang fakir berupa perampasan, pencurian dan yang lainnya.
Sedangkan di akhirat, pahalanya adalah masuk surga dan terhapusnya sebagian
dosa kalian.101
Diriwayatkan di dalam sebuah hadits shahih bahwa Rasulullah saw,
berkata kepada Sa‟d bin Abi Waqqash r.a,
اال اجرت هبا حىت ما جتعل انك لن تنفق نفقة تبتغي هبا وجو اهلل امراتك يف يف
“Dan sesungguhnya kamu sekali-kali tidak berinfaq dengan ikhlas hanya
mengharap ridha Allah kecuali kamu diberi balasan atas infaq kamu itu,
bahkan apa yang kamu letakkan di dalam mulut istrimu.”102
100
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 103 101
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 103 102
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 104
71
Kemudian Allah swt menguatkan ayat, ( )Dan apa
saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu
untuk kamu sendiri, dengan dua penguat,103
1. Dengan ayat, ( )Dan harta yang kalian nafkahkan maka
pahalanya akan sampai kepada kalian secara sempurna tanpa sedikit
pun dikurangi di akhirat kelak.
2. Dengan ayat, ( )Dan kalian tidak akan dizalimi,
maksudnya tidak ada sedikit pun dari pahala infaq kalian itu yang
hilang atau dikurangi. Karena pengurangan itu adalah sebuah
kezaliman.104
Semua ini menunjukkan bahwa sedekah atau infaq adalah bagi orang-orang
fakir secara umum, baik Muslim maupun non-Muslim. Kemudian Allah swt
menjelaskan tentang orang yang paling berhak menerima sedekah yaitu orang-
orang fakir dengan memberikan lima kriteria sebagai berikut,105
1. Terikat di jalan Allah swt:
Yaitu orang-orang yang menyerahkan diri mereka untuk berjihad atau beramal
di jalan keridhaan Allah swt, seperti menuntut ilmu.106
Karena jika seandainya
mereka juga sibuk bekerja seperti yang lain, maka akan banyak kemaslahatan atau
kepentingan umum yang terbengkalai. Mereka adalah orang-orang yang
mengorbankan diri demi umat, para pejuang dan para pemimpin umat yang selalu
bekerja dan berjuang demi umat, baik ketika dalam keadaan perang maupun
103
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 104 104
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 104 105
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 105 106
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 105
72
dalam keadaan damai, baik dalam keadaan krisis dan sulit maupun ketika dalam
keadaan makmur dan sentosa.107
2. Tidak mampu bekerja:
“Mereka tidak dapat berusaha di bumi”. Maksudnya mereka tidak mampu
untuk berpergian dan menangis rezeki. Yang dimaksud mereka yang sedang
melakuakan perjalanan untuk mencari rezeki dikarenakan sebagai faktor lanjut
usia, sakit dan keadaan yang termasuk kategori adh-Dharuuraat lainnya.108
Yang
dimaksud dengan adh-Dharbu fil ardhi di dalam ayat ini adalah bepergian.
Mereka tidak mampu untuk bepergian dan melakukan perjalanan untuk mencari
rezeki dikarenakan berbagai faktor, di antaranya adalah sudah lanjut usia, sakit,
takut akan ancaman musuh dan keadaan-keadaan yang termasuk kategori adh-
Dharuuraat lainnya.
3. Memilki sifat „iffah:
Yaitu menampakkan sifat „iffah dan menjaga diri dari sifat tamak terhadap apa
yang ada di tangan orang lain. Sehingga orang yang tidak tahu hakikat diri mereka
mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya, karena sifat iffah (menjaga diri
dari meminta-minta) yang mereka miliki kesabaran, qana‟ah dan sikap menjaga
diri dari hal-hal yang tercela, baik dalam hal-hal pakaian, keadaan keseharian dan
ucapan mereka.109
Maksud yang sama juga pernah dijelaskan oleh Rasulullah saw
di dalam sebuah hadits yang disepakati keshahihannya yang diriwayatkan dari
Abu Hurairah r.a ia berkata,
107
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 105 108
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 106 109
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 106
73
ليس املسكني هبذا اطواف الذي ترده التمرة والتمرتان واللقمة واللقمتان الذي الجيد غىن يغنيو واليقطرواالكلة واالكلتان ولكن املسكنب
فيتصدق عليو واليسال الناس شيا “Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling menemui orang-orang
yang meminta, dan ia akan berlalu pergi jika diberi satu atau dua biji
buah kurma. Satu atau dua suapan makanan, dan satu atau dua makanan,
orang miskin yaitu orang yang tidak memiliki kecukupan, namun
keadaanya itu tidak tampak dan tidak diketahui oleh orang lain dan ia
tidak meminta-minta sesuatu kepada orang lain”.110
4. Memliki beberapa ciri khusus yang membedakan antara mereka dan orang
lain:
Kriteria ini ditunjukkan oleh potongan ayat yang artinya “Dan kamu
mengenal mereka dengan memperhatikan ciri atau tanda-tanda khusus
yang mereka miliki”. Untuk bisa mengenali mereka dibutuhkan firasat
seorang mukmin, pengalaman, kecerdasan orang-orang yang memilki akal
dan pikiran serta dibutuhkan penyelidikan tentang mereka dengan cara
bertanya kepada orang-orang yang mengenal mereka, seperti para tetangga
dan kerabat mereka. Mereka mungkin juga bisa dikenali dengan melihat
kondisi luar mereka seperti kurus, lemah, lusuh dan pakaian yang
dikenakan tampak jelek dan usang. Namun, indikasi-indikasi luar seperti
ini terkadang tidak selalu tetap dan tidak bisa dijadikan bukti yang
meyakinkan. Karena terkadang ada sebagian orang yang memang berpura-
pura seperti orang miskin padahal bukan. Ada pula orang yang sebagian
berusaha tetap berpenampilan wajar seperti kebanyakan orang karena
ingin menjaga harga dirinya dan tidak ingin orang lain mengetahui
keadaan dirinya yang sebenarnya. Karena ia tidak menginginkan belas
110
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 106
74
kasihan dan bantuan orang lain, padahal sebenarnya ia adalah orang
miskin.111
5. Sama sekali tidak mau meminta-minta dan jika meminta tidak bersikap
memaksa:
Kriteria ini ditunjukkan oleh potongan ayat ( اليسألون الناس اإحلافا)
yang artinya menurut mayoritas ulama tafsir adalah, mereka benar-benar
menjaga diri mereka dari meminta-minta. Maksudnya mereka sama sekali
tidak may meminta-minta kepada orang lain.112
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa maksud potongan
ayat di atas adalah menafikan sikap memaksa atau mendesak di dalam
meminta-minta. Jadi, maksudnya adalah bahwa mereka memang meminta-
minta kepada orang lain, tetapi tidak dengan cara memaksa, dan ini adalah
pemahaman yang memang terlintas di dalam pikiran mereka ketika
membaca potongan ayat di atas, berbeda dengan pendapat mayoritas
ulama tafsir di atas. Jadi mereka meminta kepada orang lain, tetapi tidak
dengan cara mendesak. Mereka juga tidak meminta kepada orang lain
padahal mereka tidak sedang butuh. Karena barangsiapa yang meminta
kepada orang lain padahal ia dalam pikiran ketika membaca ayat di atas,
berbeda dengan pendapat mayoritas ulama tafsir di atas.113
Kemudian ayat ini diakhiri dengan penjelasan bahwa tidak ada sedekah
baik sedikit maupun banyak kecuali diketahui oleh Allah SWT dan tidak samar
bagi-Nya niat dan faktor pendorong seseorang di dalam bersedekah. Dengan niat
yang benar dan ikhlas di dalam bersedekah serta tidak dibarengi dengan sikap al-
Adzaa maka balasan yang didapat juga baik. Sebaliknya, jika niatnya di dalam
111
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 107 112
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 107 113
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 107
75
bersedekah tidak baik maka, balasannya juga tidak baik pula. Di dalam penjelasan
ini mengandung at-Targhiib (penyemangat atau dorongan) untuk bersedekah yang
baik dan mengandung at-Tarhiib (ancaman atau menakut-nakuti) terhadap
sedekah yang jelek.114
Kemudian Allah SWT menjelaskan tentang pahala orang-orang yang
berinfaq dan pahala berinfaq di dalam setiap keadaan dan setiap waktu.
Barangsiapa yang bersedekah, baik pada waktu malam atau siang hari, baik
dengan cara sembunyi-sembunyi atau pun dengan cara terang-terangan, baik
ketika dirinya sendiri juga sedang dalam keadaan butuh atau bukan. Dan di
antaranya adalah memberi nafkah kepada keluarga seperti yang dijelaskan oleh
hadits riwayat Sa‟d di atas maka baginya pahala yang sempurna di sisi Tuhan,
tidak ada ketakutan baginya di akhirat dan tidak pula ia merasa bersedih dan
khawatir. Maksudnya tidak ada ketakutan baginya ketika menghadapi ketakutan
di hari kiamat dan tidak pula ia bersedih dan khawatir terhadap keadaan anak-
anaknya setelah ia tinggal mati, serta menyesali dan meratapi atas atas apa yang
tidak bisa ia raih dari kehidupan dunia dan keindahannya. Karena ia telah
menemukan apa yang jauh lebih baik dari itu semua.115
9. Tafsiran Surah At-Tawbah ayat 53 dan 54
“Katakanlah (Muhammad), “Infaqkanlah hartamu baik dengan sukarela
maupun dengan terpaksa, namun (infaqmu) tidak akan diterima.
Sesungguhya kamu adalah orang-orang yang fasik.” Dan yang
menghalang-halangi infaq mereka untuk diterima kafir (ingkar) kepada
114
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 108 115
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 108
76
Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak melaksanakan salat, melainkan
dengan malas dan tidak pula menginfakkan (harta) mereka, melainkan
dengan rasa enggan (terpaksa).” [QS. At-Tawbah/9: 53-54]
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) maksudnya berati
Nafkahkanlah dalam ketaatan kepada Allah, seperti jihad, lafaz ( )
maksudnya berati tidak akan diterima darimu apa yang kamu nafkahkan, lafaz
() maksudnya berati alasan penolakan infaq mereka, lafaz ( )
maksudnya berati dari kata (الفسق) pembangkangan dan sombong, lafaz
( ) maksudnya berati merasa berat melakukan, lafaz ( )
maksudnya berati mereka enggan berinfaq karena mereka menganggapnya
sebagai hutang.116
Wahbah al-Zuhailî juga mengemukakan riwayat dari Ibnu Jarir ath-
Thabari yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata bahwa, al-Jadd bin Qais
mengatakan bahwa, “Sesungguhnya aku jika melihat perempuan tidak bersabar
sampai aku tergoda, namun aku akan membantumu dengan hartaku”. Ibnu Abbas
mengatakan bahwa, “Ayat ini turun berdasarkan peristiwa tadi, lafaz ( ) maksudnya karena ucapan al-Jadd, “Aku akan
membantumu dengan hartaku”. Jadi, ayat ini turun mengenai al-Jadd bin Qais
ketika dia tidak turut serta Perang Tabuk dan mengatakan kepada Rasulullah saw,
“Ini hartaku aku akan membantumu dengannya maka biarkanlah aku”.117
Setelah Allah menjelaskan balasan untuk orang-orang munafik, yakni
adzab di dunia dan akhirat, Dia melanjutkan hal itu dengan penjelasan bahwa
mereka meskipun melakukan sesuatu perbuatan baik seperti infaq untuk jihad,
mereka tidak bisa mengambil manfaat dengannya pada hari akhir sebab mreka
melakukannya karena Riya‟ dan menutupi kemunafikan mereka dari kejelekan.
Maksudnya adalah penjelasan bahwa sebab-sebab azab di dunia dan akhirat
116
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 494-495 117
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 495
77
terkumpul pada mereka. Sebab-sebab kenyamanan dan kebaikan hilang dari
mereka di dunia dan akhirat. Harta mereka yang banyak hanyalah azab bagi
mereka di dunia dan akhirat. Ayat-ayat 42 dan seterusnya sampai ayat 59,
semuanya menjelaskan orang-orang munafik. Kemudian datang ayat-ayat
pembagian zakat.118
Wahbah al-Zuhailî menafsirkan bahwa ayat ini berkenaan dengan
perkataan Nabi kepada orang-orang yang munafik. Berapa pun kalian
menafkahkan di jalan Allah dan demi kebaikan baik karena taat atau terpaksa,
infaq itu tidak akan diterima. Sesungguhnya kalian kufur kepada Allah dan Rasul-
Nya. Kalian masih saja dalam keraguan terhadap agama dan balasan amal akhirat
yang di bawa oleh Rasul juga karena kalian adalah kaum yang fasik, yakni
sombong, membangkang, serta keluar dari iman. Sesungguhnya amal perbuatan
hanya sah dengan keimanan.119
Allah swt berfirman,
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-Mâ „idah/5: 27)
Wahbah al-Zuhailî menafsirkan dalam firman Allah swt, lafaz
( ) maksudnya adalah alasan tertolaknya infaq mereka dan tidak
diterimanya mereka di dunia dan akhirat, yakni tidak diterimanya infaq mereka
dikarenakan mereka adalah orang-orang fasik, yakni orang-orang kafir.120
Wahbah al-Zuhailî menafsirkan dalam firman Allah swt, lafaz ( ) maknanya bearti mereka taat bukan karena perintah Allah dan Rasul-Nya
118
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 495 119
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 495 120
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 496
78
atau taat tanpa ada paksaan dari pemimpin mereka, sebab pemimpin orang
munafik adalah orang-orang yang menganjurkan infaq karena mereka melihat ada
kepentingan di dalamnya atau keterpaksaan. Tidak diterimanya infaq mereka
bukan karena keumuman kefasikan mereka, tapi karena sifat khusus yakni
kefasikan itu adalah kufur. Oleh karena itu Allah menjelaskan dalam ayat
berikutnya ( ) maksudnya tidak ada yang menghalangi diterimanya
nafkah mereka kecuali kumpulan tiga perkara ini. Kufur kepada Allah dan Rasul-
Nya, tidak menjalankan salat kecuali dalam keadaan malas, dan infaq karena
terpaksa. Mereka adalah orang-orang yang mengkufuri Allah dan Rasul-Nya dan
apa yang dibawanya. Amal perbuatannya hanya sah dengan keimanan,
sebagaimana telah disebutkan. “Mereka tidak salat karena rasa malas sebab
mereka tidak mengharapkan pahala dari salat mereka. Mereka juga tidak takut
siksa karena meninggalkannya.121
Salat adalah berat bagi mereka, sebagaimana
firman Allah SWT,
“Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khsyuk”.
QS. Al-Baqarah [2]: 45
Mereka juga tidak berinfak untuk jihad dan lainnya kecuali mereka
terpaksa. Diri mereka tidak merasa enak karena mereka tidak berinfak untuk
tujuan ketaatan, tetapi menjaga kepetingan yang tampak serta menutupi
kemunafikan. Mereka menganggap infaq sebagai utang dan kerugian di antara
mereka. Nabi Muhammad saw telah menganggap bahwasanya Allah SWT tidak
bosan sampai kalian bosan. Allah adalah Maha Baik, tidak menerima infaq atau
amal dari orang-orang munafik, sebab Dia hanya menerima dari orang-orang yang
121
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 496
79
taqwa. Ketaatan mereka tidak lain hanyalah dari keengganan dan keterpaksaan,
bukan dari keinginan dan pilihan.122
10. Tafsiran Surah Al-‘Anfâl/8: 36
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menginfakkan harta mereka
untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan (terus)
menginfakkan harta itu, kemudian mereka akan menyesal sendiri, dan
akhirnya mereka akan dikalahkan. Ke dalam neraka Jahannamlah orang-
orang kafir itu akan dikumpulkan. [QS. Al-„Anfâl/8: 36]
Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) maksudnya berati
untuk memerangi Nabi saw. Lafaz ()maksudnya berati akhir dari
perbuatan mereka. Lafaz ( ) maksudnya berati penyesalan dan rasa
pedih untuk mereka karena hilang dan lenyapnya apa yang mereka maksudkan.
Lafaz ( ) maksudnya berati di dunia, lafaz ( ) maksudnya
berati digiring.123
Muhammad bin Ishaq berkata dalam sebuah riwayat yang diterimanya dari
az-Zuhri dan beberapa para ulama yang lain, “SetelahQuraisy kalah dalam Perang
Badar dan pulang ke Mekkah, Abdullah bin Abi Rabi‟ah, Ikrimah bin Abu Jahal,
Shafwan bin Umayyah dan beberapa orang pemuka Quraisy yang bapak dan
anak-anak mereka terbunuh dalam Perang Badar datang menghadap Abu Sufyan
dan orang-orang yang memiliki barang dagangan bersama kafilah Quraisy, lalu
mereka berkata, “Wahai para pemuka Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah
122
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 496 123
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 292
80
menimbulkan banyak kerugian pada kalian dan membunuh orang-orang terbaik
kalian, bantulah kami dengan harta ini (harta kafilah dagang yang selamat) untuk
memeranginya. Semoga saja kita bisa membalaskan dendam kita padanya.”
Mereka pun menyepakati hal tersebut. Tentang merekalah (sebagaimana dinukil
dari Ibnu Abbas) Allah SWT menurunkan ayat (
... ) Artinya, ayat ini turun berkenaan dengan
harta mereka yang dibelanjakan untuk Perang Uhud.124
Wahbah al-Zuhailî juga mengemukakan riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid
dan yang lain bahwa ayat tersebut turut berkenaan dengan Abu Sufyan tentang
harta yang dibelanjakannya untuk kaum musyrikin dalam Perang Badar, bantuan
yang diberikannya dalam Perang Uhud untuk memerangi Rasulullah saw.125
Wahbah juga menukil riwayat dari Ibnu Abi Hatim yang diriwayatkan dari
al-Haqam bin Utaibah, ia berkata, “Ayat tersebut turut berkenaan dengan Abu
Sufyan ketika ia membelanjakan harta sebanyak empat puluh uqiyah emas”. Satu
uqiyah emas sama dengan empat puluh mitsqal emas”. Satu uqiyah sama dengan
empat mitsqal emas, sementara satu mitsqal adalah 4. 25 gram.126
Wahbah al-Zuhailî juga menyebutkan riwayat Ibnu Jarir yang
diriwayatkan dari Ibnu Abazy dan Sa‟i bin Jubair, keduanya berkata, “Ayat
tersebut turut berkenaan dengan Abu Sufyan ketika ia menyewa dua ribu orang
budak Habsyi ketika perang uhud untuk memerangi Rasulullah saw, selain
kalangan Arab Badui yang telah memenuhi seseruannya”.127
Setelah Allah SWT menjelaskan kondisi kaum musyrikin tentang ketaatan
yang bersifat fisik yaitu shalat dalam firman-Nya, “Dan tidaklah shalat mereka di
124
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 292 125
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 292 126
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 292 127
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 292
81
sekitar Baitullah itu”. Allah SWT kemudian menjelaskan kondisi mereka dalam
ketaatan yang bersifat harta yaitu pembelanjaan harta mereka baik dalam Perang
Badar maupun Perang Uhud.128
Wahbah al-Zuhailî menjelaskan bahwasanya Allah dan Rasul-Nya, harta
mereka digunakan dengan tujuan untuk menghalangi manusia dari mengikuti
Muhammad SAW yang merupakan jalan Allah SWT, Ketika mereka
membelanjakan harta mereka, akibat dari pembelanjaan harta yang mereka
gunakan untuk memerangi Nabi SAW. Dan menghalangi manusia dari jalannya
itu pada akhirnya adalah penyesalan dan kerugian. Seolah-olah zat harta itu
berubah menjadi penyesalan. Artinya harta itu tidak mewujudkan apa yang
mereka inginkan. Bahkan, harta itu berdampak sebaliknya, yaitu penyesalan dan
kerugian.129
“Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu dia membolak-balikan kedua
telapak tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah dia
belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur roboh bersama penyangganya
(para-para) lalu dia berkata, “Betapa sekiranya dahulu aku tidak
mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun”. [QS. Al-Kahf/18: 42]
Ayat di atas menjelaskan makna hal yang sia-sia dan lenyap di jalan setan,
tidak membawa kepada kemenangan, bahkan sebaliknya berdampak pada
kekalahan. Mereka kalah dan merugi,130
sebagaimana firman Allah SWT,
“Allah SWT menetapkan, “Sungguh Aku kalahkan (mereka), Aku dan
rasul-rasul Ku”. [QS. Al-Mujâdila/58: 21]
128
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 293 129
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 293 130
Wahbah al-Zuhaiî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 293
82
Ayat ini menerangkan tentang Inilah azab untuk mereka di dunia,
kehilangan harta dan kekalahan. Sementara itu, azab mereka di akhirat yaitu akan
digiring ke neraka Jahannam kalau mereka terus berada dalam kekafiran, dan mati
dalam kekafiran, karena di antara mereka ada juga yang masuk Islam dan baik
Islamnya.131
Adapun kaum Muslimin, kalau mereka membelanjakan harta mereka di
jalan Allah yang akan dicapai boleh jadi kemenangan di dunia atau pahala di
akhirat dan boleh jadi kedua-duanya sekaligus, yaitu kebahagiaan di dua kampun
tersebut. Allah SWT telah menetapkan kemenangan untuk orang-orang beriman
dan kekalahan untuk orang-orang kafir, kehilangan harta, rasa penyesalan, dan
kepedihan dalam hati mereka untuk Allah bedakan antara kelompok yang buruk
dengan kelompok yang baik, artinya antara orang kafir dan orang beriman.132
Jadi, Allah SWT bedakan antara orang-orang bahagia dengan orang-orang
celaka lalu Dia jadikan sebagiannya menumpuk-numpuk di atas yang lain di
neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi dunia dan akhirat.133
D. Objek Penerima Infaq
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa penerima infaq tidak dibatasi, yaitu
siapa pun yang dinilai membutuhkannya.134
Namun demikian, ada prioritas yang
diajarkan oleh al-Qur‟an, antara lain:
131
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 293 132
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 293 133
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 496 134
Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:
UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 49-50
83
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa
saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak,
kaum kerabat, anak-anak yaitu, orang-orang miskin dan orang yang
sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”. [QS. Al-Baqarah/2: 215]
Wahbah al-Zuhailî menjelaskan dalam Tafsir al-Munirnya bahwa sedekah
sunnah kepada ibu bapak dan kerabat adalah lebih afdhal. Dalilnya dinukil
dari riwayat Nabi Muhammad saw, bahwasanya beliau bersabda:
ميعشرالنساء تصدقن ميعشرالنساء تصدقن لوببحليكن
“Wahai kaum wanita bersedekahlah kalian”.135
Ayat di atas berbicara tentang pos-pos pendistribusian infaq, yaitu sebagai
berikut:
1. Orang Tua
Penghormatan kepada kedua orang tua mendapat perhatian khusus dari al-
Qur‟an. Hal ini terlihat dari penempatan perintah berbuat baik kepada kedua orang
tua diletakkan setelah perintah tauhid [QS. Al-Baqarah/2: 83, QS. Al-Isra‟/17:
23]. Demikian juga, perintah bersyukur kepada kedua orang tua juga
digandengkan dengan perintah bersyukur kepada Allah [QS. Luqman/31: 14]:
“Tidaklah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di
laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari
tanda-tanda (kekuasaan-Nya). Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar
135
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 483
84
terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak
bersyukur”. [QS. Luqman/31: 14]
Penempatan yang subtansial ini meniscayakan dalam berinfaq.136
2. Kerabat
Golongan kedua adalah kerabat atau orang yang masih mempunyai
hubungan darah. Di dalam Islam yang disebut dengan keluarga adalah
keluarga besar bukan sekedar keluarga inti yang terdiri dari bapak, ibu dan
anak, namun meluas ke atas dan ke bawah. Misalnya apabila salah satu orang
tua meninggal, maka tanggung jawab secara otomatis berlimpah pada saudara
orang tua tersebut, paman atau bibinya. Demikian juga dalam hal
penghormatan, seorang anak yang diharuskan hormat pada semua saudara
kedua orangtuanya. Jika dalam sebuah keluarga besar terdapat orang yang
berkekurangan maka salah satu di antara keluarga tersebut harus mampu
membantunya. Terkait dengan hal ini Rasulullah saw berpesan: bahwasanya
“nasehat Rasulullah tersebut dalam rangka mengutuhkan keluarga besar,
saling membantu dan menutupi kebutuhan keluarga. Menurut penulis riwayat
ini tidak untuk melegimitasi sikap nepotisme.137
Artinya perhatian infaq
diperioritaskan kerabat bila dipastikan yang bersangkutan sangat
membutuhkannya. Al-Qur‟an tidak menyeru umat Islam untuk sibuk
membesarkan dinasti keluarga besarnya tetapi menekankan adanya
pemerataan bantuan.138
Wahbah al-Zuhailî juga menukil riwayat dari Muslim yang diriwayatkan
dari Jabir bahwa Nabi saw bersabda,
إبدأ بنفسك فتصدق عليها “Mulailah dari dirimu: bayarlah sedekah kepada dirimu sendiri”.
139
136
Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:
UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 50 137
Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:
UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 50-51 138
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 496 139
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 496
85
Selanjutnya Wahbah juga mengemukakan riwayat dari Nabi saw bersabda,
لك أجران أجر الصدقة “(Jika kau berbuat begitu), kau akan mendapat dua pahala: pahala
sedekah dan pahala berbuat baik kepada kerabat”.140
3. Anak Yatim
Kata yatim (يتيم) terambil dari kata yutm ( يتم), yang bearti “tersendiri”,
permata yang unik yang tidak ada tandingannya dinamai الدرة التيمة. Anak
Yatim adalah anak yang ditinggal mati bapaknya sedangkan usianya masih belum
baligh. Bila berdasarkan pada penjelasan tentang kerabat maka kewajiban utama
pengurusan yatim adalah tanggungjawab keluarga besar, namun besarnya
kebutuhan dan hak yang harus diterima yatim sebagai anak, maka Islam baik
melalui al-Qur‟an ataupun hadits menegaskan bahwa pengurusan yatim juga
tanggungjawab semua Muslim. Salah satu kecaman al-Qur‟an terhadap Muslim
yang tiddaak menghiraukan anak yatim adalah sebagai pendusta aagama.141
Di dalam ajaran Islam, mereka semua mendapat perhatian khusus melebihi
anak-anak yang wajar masih memilki kedua orangtua. Islam memerintahkan kaum
Muslimin untuk senantiasa memperhatikan nasib mereka, berbuat baik kepada
mereka, mengurus dan mengasuh mereka sampai dewasa. Islam juga memberi
nilai yang sangat istimewa bagi orang-orang yang benar menjalankan perintah
ini.142
Keagungan al-Qur‟an yang menempatkan anak yatim pada posisi yang
tinggi terbukti dalam beberapa ayat yang menjelalaskan tentang anak yatim di
antaranya adalah Surah al-Ma‟un ayat 1-3,
140
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 496 141
Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:
UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 50-51 142
Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:
UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 50-51
86
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama, itulah orang yang
menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin”.
Dan dalam Surah ad-Duha ayat 9-10 menjelaskan, dan lain-lain.143
“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-
wenang.”“Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu
menghardiknya”.
Rasulullah saw menyebutkan dirinya sebagai kafil al-yatim atau kedekatan
beliau dengan anak yatim diibaratkan dengan dua jari yaitu jari telunjuk dan jari
tengah. Hadits ini dapat dalam Shahih al-Bukhari kitab Aab bab Keutamaan
Mengasuh Anak Yatim, Shahih Muslim kitab Zuhud dan Kelembutan Hati bab
Berbuat baik kepada jandda, orang miskin dan anak yatim.144
4. Orang Miskin
Label pendusta agama bukan saja diperuntukkan penghardik anak yatim,
tetapi juga orang-orang yang tidak ikut membantu pemenuhan hak-hak orang-
orang miskin meski sekedar mengajar atau menganjurkan orang lain agar
membantu kebutuhan orang-orang miskin. Dalam hal ini mufassir kontemporer
Syria, Wahbah al-Zuhailî menjelaskan bahwa yang disebut miskin adalah orang-
orang yang tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya dan memelihara diri
dari meminta-minta atau perbuatan-perbuatan yang lain dapat menghilangkan
harga dirinya.145
Kemiskinan dan orang-orang miskin sudah dikenal manusia dan jauh
sejarah sejenak zaman-zaman lampau. Oleh karena itu, sangatlah beralasan jika
143
Pengertian anak yatim dan kedudukannya dalam Islam,
http://alikikhlaskebonduren.wordpress.com, diakses pada tanggal 6 Agustus 2011. 144
Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:
UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 51 145
Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:
UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 52
87
kita mengatakan bahwa kebudayaan umat manusia dalam satu kurunnya tidak
pernah sepi dari orang-orang yang tersentuh perasaanya melihat penderitaan orang
lain dan berusaha melepaskan mereka dari kemiskinan atau paling tidak
meringankan nasib yang mereka derita.146
Pada dasarnya semua agama, bahkan agama-agama ciptaan manusia yang
tidak mengenal hubungan dengan kitab suci yang berasal dari langit (samawi),
tidak kurang perhatiannya pada segi sosial yang tanpa segi ini persaudaraan dan
kehidupanyang senantosa tidak mungkin terwujud.147
5. Ibn Sabil (Orang Yang Dalam Perjalanan)
Orang yang tidak mampu melanjutkan perjalanannya karena kehabisan
dana, maka zakat yang diterimanya bertuujuan agar ia sampai pada tujuan
perjalanannya dengan syarat perjalanannya tersebut tidak untuk maksiat.148
Keseluruhan yang disebut di atas tiak dijelaskan secara eksplisit dalam
ayat-ayat al-Qur‟an bahwa penerima infaq hanya orang-orang Muslim. Atas dasar
ini infaq boleh saja diberikan kepada non-Muslim bila mereka memang
memerlukan bantuan. Dengan demikian, prioritasnya bukan aqidah yang
diberikan lebih bermakna.149
Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang tidak dapat kembali ke
negerinya. Ia diberi sadaqah dan infaq agar ia dapat melanjutkan perjalanan ke
negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi sadaqah dan infaq kecuali bila
memenuhi syarat: Pertama, muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi
saw). Kedua tidak memiliki harta pada saat itu sebagai biaya untuk kembali ke
negerinya walaupun di negerinya dia adalah orang yang berkecukupan. Ketiga,
perjalanan yang dilakukan bukanlah perjalanan maksiat.150
146
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 496 147
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (Bandung: Mizan, 2000), h. 44 148
Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:
UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 52 149
Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:
UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 53 150
Mengupas 8 golongan penerima zakat, http://www.pengusaha muslim.com, diakses
pada tanggal 11 agustus 2011.
88
BAB IV
ANALISIS MAKNA AYAT-AYAT TENTANG INFAQ DALAM TAFSIR
AL-MUNIR KARYA WAHBAH AL-ZUHAILÎ
Setelah diuraikan deskripsi umum tentang Infaq pada bab III, maka bab ini
merupakan analisis terhadap ayat-ayat yang telah penulis pilih. Agar mendapatkan
data yang maksimal, penulis menghimpun ayat-ayat tersebut dalam tabel sebagai
berikut:
Tabel 4.1
Pemaknaan Ayat-ayat Infaq
No Infaq Ayat Obyek Makna Ayat Makkiyah/
Madaniyah
1
[2]: 215 Semua
Manusia
Orangtua,
kerabat dekat,
kerabat lain,
anak yatim,
orang miskin,
serta musaffir
sebagai objek
infaq.
Madaniyah
2
[2]: 219
Perintah
berinfak di
jalan Allah
SWT.
Madaniyah
89
3
[2]: 254 Orang
Beriman
Perumpamaan
orang yang
berinfaq
karena Allah
SWT.
Madaniyah
4
[2]: 261
Orang
Beriman
Balasan orang
yang berinfaq
karena Allah
SWT
Madaniyah
90
5
[2]: 262 Orang
Beriman
Balasan orang
yang berinfaq
karena Allah
SWT
Madaniyah
6
[2]: 264 Orang
Beriman
Larangan
menyebut-
nyebut dan
menyakiti
perasaan si
penerima infaq
Madaniyah
91
7
[2]: 265 Orang
Beriman
Balasan orang
yang berinfaq
karena Allah
SWT
Madaniyah
8
[2]: 267 Orang
Beriman
Sifat atau
bentuk harta
yang
diinfaqkan
Madaniyah
92
haruslah harta
yang bagus.
9
[2]: 270 Semua
Manusia
Anjuran untuk
menyembun-
yikan sedekah
sunnah.
Madaniyah
10
[2]: 271 Semua
Manusia
Anjuran untuk
bersedekah
secara
sembunyi-
sembunyi.
Madaniyah
93
11
[2]: 272 Orang
Mukmin
Kebolehan
memberikan
sedekah
sunnah kepada
non-Muslim.
Madaniyah
12
[2]: 274 Orang
Mukmin
Kebolehan
memberikan
sedekah
sunnah kepada
non-Muslim
Madaniyah
94
13
[9]: 53 Orang
Munafik
Balasan bagi
orang munafik
yang berinfaq
karena riya.
Madaniyah
14
[9]: 54 Orang
Munafik
Balasan bagi
orang munafik
yang berinfaq
karena riya.
Madaniyah
15
[8]: 36 Kaum
Musyriki
n
Hilangnya
pahala
berderma
menghalangi
orang dari
jalan Allah.
Makiyyah
95
Melalui tabel di atas, penulis memilih beberapa ayat tentang infaq yang
belum dibahas pada penelitian terdahulu mengenai makna infaq. Adapun ayat-
ayat yang akan dianalisa pada bab ini adalah: QS. Al-Baqarah [2]: 215, 254, 261,
262, 264, 267, QS. Al-„Anfâl [8]: 36.
Agar lebih sistematis, penulis mengklasifikasikan beberapa objek pada
ayat-ayat tersebut. Alasan kenapa penulis memilih tema infaq yang dikaji dalam
skripsi di bab IV ini adalah tentang Infaq yang didasarkan pada ayat-ayat al-
Qur‟an yang langsung berkaitan dengan sadaqah sunnah, yang penulis teliti
melalui indeks al-Qur‟an. Terdapat kurang lebih 31 ayat yang menjelaskan
tentang infaq.1 Ayat-ayat di dalam tabel di atas kemudian penulis batasi pada
penggunaan makna infaq yang berisi pembahasan tentang objek penerima infaq
tentang balasan yang diperoleh pemberi infaq, tentang etika berinfaq, yaitu: QS.
Al-Baqarah [2]: 215, 254, 261, 262, 264, 267, dan Al-„Anfâl [8]: 36 sebagaimana
berikut:
1 Hamid Hasan Qolay, Indeks Terjemahan al-Qur‟anul Karim, (Jakarta: PT. Inline Raya,
1997), Jilid 3, h. 787
96
A. Objek Penerima Infaq (Orangtua, Kerabat Dekat, Kerabat Lain, Anak
Yatim, Orang Miskin, dan Musaffir)
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa
saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak,
kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat,
Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya”. [QS. Al-Baqarah/2:
215]
Yakni Berkenaan dengan ukuran nafkah sukarela, bukan zakat wajib, serta
alokasi penyaluran nafkah itu. Berapa pun nafkah yang diberikan, entah sedikit
entah banyak, pahalanya khusus untuk pemberinya saja, dan alokasi pemberian
nafkah adalah memberi ibu bapak dan anak-anak sebab mereka adalah kerabat
dekat, selanjutnya kerabat yang lain, yang lebih dekat didahulukan, kemudian
anak yatim peliharaannya sudah mati, lalu orang miskin yang tidak sanggup
mencari nafkah, serta mufasir yang kehabisan bekal pulang ke kampung
halamannya. Pendeknya, segala sesuatu yang diinfaqkan dalam kebaikan akan
diberi ganjaran oleh Allah sebab Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, tak ada
satu pun yang tersembunyi bagi-Nya, maka dari itu Dia tidak lupa memberi
balasan dan pahala, malah dia akan melipatgandakannya.2
Wahbah al-Zuhaili menukil pendapat ulama yang paling benar, bahwa ayat
ini masih berlaku, tidak dinasakh. Ia menjelaskan sedekah sukarela sebab ia tidak
menentukan ukuran harta yang diinfaqkan, sedangkan zakat yang wajib itu
tertentu ukurannya, dan ini disepakati semua ulama.3
Urutan alokasi infaq terlihat dari riwayat Ahmad dan Nasa‟i dari Abu
Hurairah bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada para sahabat “Bersedakahlah!”
2 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, 482 3 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 482
97
seseorang menyahut “Saya punya satu dinar”. Beliau bersabda, “Sedekahkan uang
itu untuk dirimu sendiri.” Orang itu berkata, “Saya masih punya satu dinar lagi”.
Beliau bersabda, “Sedekahkan untuk istrimu.” Orang itu berkata lagi, “Saya
punya yang lain”. Beliau bersabda, “Sedekahkan untuk anakmu”, Orang itu
berkata lagi, “Saya masih punya yang lain.” Beliau bersabda, “Sedekahkan untuk
budakmu.” Orang itu berkata lagi, “Saya masih punya lagi,” Beliau bersabda,
“Engkau lebih tahu kemana uang itu harus kau sedekahkan”.4
Wabhah juga mengutip dari riwayat Atha‟ yang berkata: ayat ini turut
berkenaan dengan seorang pria yang menemui Nabi saw, lalu berkata “Saya
punya satu dinar”. Beliau bersabda, “Infakkan uang itu untuk dirimu sendiri”.
Orang itu berkata, “Saya punya dua dinar”. Beliau bersabda, “Infakkan untuk
istrimu”. Orang itu berkata, “Saya punya tiga dinar”. Beliau bersabda, “Infakkan
untuk pembantumu”. Orang itu berkata, “Saya punya empat dinar”. Beliau
bersabda, “Infakkan untuk bapak ibumu”. Orang itu berkata, “Saya punya lima
dinar”. Beliau bersabda, “Innfakkan untuk kerabatmu”. Orang itu berkata, “Saya
punya enam dinar”. Beliau bersabda, “Infakkan di jalan Allah dan itu adalah yang
paling rendah nilainya”.5
Bahwasanya ayat ini menjelaskan bahwa sedekah sunnah kepada ibu
bapak dan kerabat adalah lebih afdhal. Dalilnya adalah riwayat dari Nabi saw
bersabda:
يامعشر النساء تصدقن ولو حبليكن “Wahai kaum wanita, bersedekahlah meskipun dengan perhiasan
kalian!”6
Hadits diatas berisi seruan istri Abdullah bin Mas‟ud, Zainab, berkata
kepada suaminya, “Kulihat kau ini miskin. Kalau boleh aku bersedekah
kepadamu, tentu akan kuberikan sedekah kepadamu.” Lantas ia menghadap nabi
saw dan menanya beliau, “Apakah sah jika saya membayarkan sedekah kepada
4 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 482 5 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 6 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483
98
suami saya dan anak-anak yatim yang saya asuh?” Nabi saw bersabda
kepadanya:7
لك اجران : اجر الصدقة واجر القربة “Jika kau berbuat begitu), kau akan mendapat dua pahala sedekah dan
pahala berbuat baik kepada kerabat.”
Dalam riwayat lain bersabda,
زوجك وولدك أحق من تصدقت عليه
“Suamimu dan anakmu adalah orag yang paling berhak untuk
mendapatkan sedekah darimu”.8
Wahbah al-Zuhaili mengutip riwayat dari Muslim yang diriwayatkan dari
Jabir bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, فتصدق عليهاابدأ بنفسك
“Mulailah dari dirimu, bayarlah sedekah kepada dirimu sendiri”.9
Wahbah juga mengutip pendapat Nasa‟i dan lain-lain meriwayatkan
bahwa Nabi Muhammad saw bersabda,10
يد املعطي العليا أباك وأمك وأختك وأخاك وأدناك أدناك “Tangan yang memberi adalah yang di atas dan berikan infakmu kepada
bapakmu, ibumu, saudarimu, saudaramu, dan kerabat yang terdekat
hubungannya denganmu”.
Hadits di atas menegaskan bahwa tidak diragukan lagi belas kasihan
kepada kerabat sangat tinggi nilainya, dan infaq kepada kerabat yang hidup susah
membutuhkan keikhlasan yang luar biasa.11
Meskipun yang mereka tanyakan adalah sesuatu yang diinfakkan,
jawabannya berisi tentang penjelasan orang yang menjadi penerima infaq, dan
7 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 8 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 9 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 10
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 11
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483
99
demikian ini merupakan metode Allah bahwasanya mereka bertanya tentang
sesuatu perkara yang lebih penting daripada yang ditanyakan itu, yakni penjelasan
tentang alokasi penyaluran infaq, karena infaq tidak akan berhasil merealisasikan
kebaikan kecuali jika ia tepat sasaran.12
Ayat ini menjelaskan alokasi penyaluran sedekah sukarela, diantaranya
bahwa orang yang kaya harus memberi nafkah yang layak kepada kedua orang
tuanya yang miskin sesuai dengan kondisi mereka, baik berupa makanan, pakaian
atau yang lainnya.13
Ayat ini menunjukkan beberapa konsep berikut:
1. Nafkah, sedikit maupun banyak, pasti akan mendapat pahala dari Allah
apabila diniatkan secara ikhlas karena Allah. Hal ini berlaku untuk semua
sedekah, yang sunnah maupun yang wajib.14
2. Kerabat yang lebih dekat hubungannya lebih berhak untuk mendapatkan
nafkah, dengan dalil firman-Nya, ( ) serta penjelasan
Nabi saw, tentang maksud Allah, yaitu dalam sabda beliau di atas:
“Mulailah dari orang yang kau tanggung nafkahnya: Ibumu, bapakmu,
saudarimu, saudaramu, dan kerabat lain yang dekat hubungannya
denganmu.”15
3. Anak wajib memberi nafkah kepada ibu bapaknya serta kerabatnya,
sebagaimana kami terangkan di atas.
Kewajiban memberi nafkah ini tidak mencakup nafkah orang-
orang miskin dan mufassir serta semua yang disebutkan ayat ini karena
mereka ini masuk dalam zakat dan sedekah sukarela.16
Di samping karena
ada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
12
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 484 13
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 14
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 15
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 16
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 485
100
ودينار أعطيته مسكينا ودينر أعطيته يف رقبة ودينر هلل أعطيته يف سبيل ا دينر
أعظمها أجرا أنفقته على أهلك فإن الدينار الذي أنفقته على أهلك “Satu dinar yang kau berikan di jalan Allah, satu dinar yang kau berikan
kepada seorang miskin, satu dinar yang kau berikan untuk memerdekakan
seorang budak, dan satu dinar yang kau nafkahkan untuk keluargamu, yang
paling besar pahalanya adalah yang kau nafkahkan untuk keluargamu”.
B. Perumpamaan orang yang berinfaq ikhlas karena Allah SWT
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian
dari rezki yang Telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang
pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at. dan
orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim”. [QS. Al-Baqarah/2 :
254]
Melalui ayat 254 pada surah ini, maksud perumpamaan disini berkenaan
dengan bahwasanya Allah SWT memerintahkan orang-orang mukmin yang
memiliki keimanan yang benar dan sungguh-sungguh untuk berinfaq di jalan
Allah SWT. Hal ini menurut pendapat Ibnu Juraij dan Sa‟id bin Jubair mencakup
zakat wajib dan sedekah sunnah. Ibnu A‟thiyyah berkata, “Pendapat ini benar,
tetapi ayat-ayat sebelumnya yang membicarakan tentang masalah perang dan
sesungguhnya Allah SWT menolong orang-orang Mukmin di dalam menghadapi
orang-orang kafir, menguatkan bahwa anjuran berinfaq di sini adalah ajuran
berinfaq di jalan Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan akhir-akhir ayat yang
artinya, “dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” Maksudnya,
maka hadapilah mereka dengan berperang dan menginfakkan harta.17
17
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38
101
Dalam Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhailî yang dimaksud dengan
kata ( ) menguatkan penegasan anjuran untuk berinfaq , karena
firman ini menunjukkan bahwa yang diminta tidak lain adalah sebagian dari apa
yang dikaruniakan oleh Allah SWT kepada para hambanya.18
Anjuran ini kembali dipertegas dengan penjelasan bahwa akan datang
suatu hari di mana manusia akan merasa sangat menyesal. Namun, penyesalannya
itu tidak berguna sama sekali, yaitu hari pembalasan, hari perhitungan amal, hari
penerimaan pahala dan siksa, hari di mana tidak ada tebusan atau ganti yang
berguna. Suatu hari di mana ukuran-ukuran akhirat berbeda dengan ukuran-
ukuran dunia. Hal yang sama juga dijelaskan di dalam ayat lain, yaitu:19
“Dan takutlah kamu pada hari, (ketika) tidak ada seorang pun dapat
membela orang lain sedikit pun. Sedangkan syafaat dan tebusan apapun
darinya tidak diterima dan mereka tidak akan ditolong”. [QS. Al-
Baqarah/2: 48]
Pada ayat 48 dari surah ini, Allah menyebutkan orang-orang kafir yaitu
setiap orang-orang yang kufur terhadap Allah SWT atau orang-orang yangg
meninggalkan kewajiban zakat, mereka itulah orang-orang yang berbuat zalim
terhadap diri mereka sendiri. Maksudnya, karena mereka berperang dengan jiwa
dan harta dan orang-orang yang membelanjakan harta, mereka meletakkan harta
mereka tidak pada tempatnya. Allah SWT menyebut orang-orang seperti mereka
dengan sebutan kafir sebagai sebuah ancaman dan menegaskan bahwa sikap
seperti ini sangat jelek,20
seperti firman-Nya,
18
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38 19
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38 20
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38
102
“Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa
Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”. [QS.
„Ali-„Imrân/3: 97]
Di samping itu juga sebagai penjelasan bahwa meninggalkan kewajiban
zakat termasuk salah satu sifat orang-orang kafir. seperti yang terdapat di dalam
firman-Nya dalam Surah Fussilat/41: 6-7:
“Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan
(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat”. [QS.
Fussilat/41: 6-7]
Pada ayat di atas menunjukkan maksudnya perintah menginfakkan harta di
jalan kebaikan, baik dengan menggunakan jalur zakat wajib atau jalur sedekah
sunnah dan semuanya mendatangkan pahala yang agung kelak di akhirat. Dengan
adanya kesadaran menginfakkan harta, terciptalah solidaritas di antara umat Islam.
Bahkan menginfakkan harta adalah jalan yang harus ditempuh guna menjaga
martabat, kedudukan dan kehormatan umat Islam, guna mengambil kembali hak-
hak umat Islam yang terampas serta menjaga kawasan dan tempat-tempat suci
umat Islam. Barangsiapa yang melalaikan kewajiban ini, padahal ia termasuk
orang kaya yang mampu untuk berinfaq, maka hal ini akan menjadi sebab
kehancuran dan kehinaan umat Islam. Karena tidak akan ada kelangsungan hidup
yang layak dan tidak akan ada yang namanya kebahagiaan bahkan bagi orang-
103
orang kaya itu sendiri jika tiga mata rantai yang menakutkan telah menyerang
sebagian individu umat, yaitu penyakit, kemiskinan, dan kebodohan.21
Wahbah al-Zuhailî mengutip riwayat dari Ibnu „Athiyyah yang berkata,
“Zhahir maksud penjelasan ini menyatakan bahwa yang dimaksud adalah semua
bentuk kebaikan, akan tetapi ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang
peperangan dan menjelaskan bahwa Allah SWT menolong orang-orang Mukmin
di dalam melawan orang-orang kafir lebih menguatkan bahwa yang dimaksud
adalah perintah berinfaq fi sabilillah. Hal ini dikuatkan lagi oleh akhir penjelasan
ayat yagng artinya, “dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim”.
Maksudnya, lawanlah orang-orang kafir dengan jiwa harta”.22
C. Balasan bagi orang beriman yang berinfaq karena Allah SWT
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan
Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. “Orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian mereka tidak
mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut
pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima),
mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. [QS. Al-
Baqarah/2: 261-262]
Wahbah al-Zuhailî berpendapat bahwa di dalam ayat ini adanya terdapat
perumpamaan yang diberikan oleh Allah SWT untuk melipat gandakan pahala
21
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 39 22
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 40
104
bagi siapa saja yang berinfaq di jalan Allah SWT hanya untuk mengapai ridhanya.
Susungguhnya satu kebaikan pahalanya dilipatkan sepuluh kali lipat sampai 700
kali lipat. Lalu Allah SWT menjelaskan tentang bentuk atau sifat sedekah yang
dikeluarkan oleh orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan ketaatan
kepada Allah SWT untuk menggapai ridhanya, seperti menyebarkan ilmu, adalah
seperti sebuah biji yang ditanam di sebuah tanah yang subur, lalu biji tersebut
menumbuhkan tujuh bulir, di dalam setiap bulir terdapat 100 butir biji. Para pakar
petani menegaskan bahwa sebuah biji gandum, jika ditanam, maka tidak hanya
menumbuhkan satu bulir saja, akan tetapi jauh lebih banyak, hingga mencapai 70
bulir, sedangkan tiap-tiap bulir bisa mengandung lebih dari 100 biji, ini adalah
gambaran tentang dilipat gandakannya pahala orang yang bersedekah.23
Menurut Wahbah al-Zuhailî yang dimaksud dengan kata ( ) dan Allah SWT melipat gandakan pahala bagi siapa saja ضاعف ملني
yang dikehendakinya tergatung keikhlasannya di dalam amal yang dilakukan.
Bahkan Allah SWT melipat gandakan hingga lebih banyak dari itu. Pemberian
dan karunianya tidak terbatas, sangat luas dan banyak. Allah tau siapa saja yang
berhak mendapatkan pelipat gandaan pahala ini dan siapa saja yang tidak
berhak.24
Wahbah al-Zuhailî menjelaskan dalam tafsiran ayat di atas berisi tentang
sebuah isyarat bahwa Allah SWT menumbuhkan amal-amal saleh yang dilakukan
oleh seseorang seperti halnya Allah SWT menumbuhkan biji tanaman yang
ditanam oleh seseorang yang baik dan subur. Terdapat juga riwayat hadits yang
menjelaskan tentang dilipat gandakannya pahala suatu amal kebaikan hingga 700
kali lipat.25
23
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 72 24
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 72 25
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 73
105
Wahbah al-Zuhailî juga mengutip Hadits riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Abi
Hatim meriwayatkan hadits pertama dari Ali dan Abu Darda‟ dan hadits kedua
dari „Imran bin Hushain dari Rasulullah saw, beliau bersabda :
“Barang siapa yang mengirimkan infaq di jalan Allah dan ia tinggal di
rumah (maksudnya tidak ikut berperang), maka baginya setiap satu
dirham pahalanya dilipat menjadi tujuh ratus dirham. Dan barang siapa
yang ikut berperang sekaligus berinfaq untuk keperuan peperangan itu,
maka baginya setiap satu dirham dilipatkan menjadi tujuh ratus ribu
dirham.”26
Pada ayat ini dijelaskan tentang beberapa di antara etika dan syarat agar
orang yang berinfaq berhak mendapatkan pahala seperti ini di akhirat adalah tidak
mengiringi apa yang dinafkahkan dengan sikap menyebut-nyebutnya apa yang
dinafkahkan atau diberikan tersebut serta tidak bersikap merasa lebih tinggi
derajatnya dari pada orang yang ia beri sedekah. Di samping itu, juga tidak
melakukan hal-hal yang bisa menyakiti perasaan dan menggangu si penerima
sedekah serta tidak meminta imbal jasa atas pemberiannya tersebut. Orang-orang
yang bersedekah dan tidak mengikutinya dengan sikap mengungkit-ngungkit
kembali pemberiannya tersebut serta tidak menyakiti perasaan si penerima, maka
bagi mereka pahala yang sempurna yang tidak bisa dikira-kirakan jumlahnya.
Adapun orang-orang yang kikir dan tidak mau menginfakkan sebagian hartanya
di jalan Allah maka mereka pasti akan merasa menyesal.27
Karena orang yang mengikuti apa yang disedekahkannya dengan sikap
menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima sedekah menyerupai
orang-orang yangbersedekah karena riya‟ dan sum‟ah dengan tujuan agar orang-
orang memuji dan menyanjungnya, serta agar dirinya dianggap orang yang
dermawan atau karena tujuan-tujuan dunia lainnya. Orang yang bersedekah
karena riya‟ dan sum‟ah pada hakikatnya adalah orang yang tidak beriman kepada
Allah dengan keimanan yang benar sehingga ia memilki harapan dengan
26
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 73 27
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 73
106
mendapatkan pahala atau takut akan siksa. Serupa dengan orang yang bersedekah
karena riya‟ adalah orang yang bersedekah dengan mengikuti sedekahnya tersebut
dengan sikap mengungkit-ngungkit pemberiannya dan menyakiti perasaan si
penerima sedekah.28
Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk
kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan
ilmiah dan lain-lain. Ayat ini memuat penjelasan tentang perumpamaan
kemuliaan infak dijalan Allah SWT sekaligus mengandung perintah untuk
berinfak di jalan Allah SWT. Hal ini ada kalanya dengan cara membuang
mudhaaf yang dikira-kirakan keberadaannya yaitu ( ) yang artinya adalah, perumpamaan orang-orang
yang menginfakkan hartanya dijalan Allah SWT seperti biji benih. Atau dengan
cara yang lain, yaitu yang artinya,
perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah SWT
seperti seseorang yang menanam biji benih di tanah, lalu biji tersebut
menumbuhkan tujuh bulir. Di sini orang yang berseekah diserupakan dengan
orang yang menanam dan harta yang disedekahkan diserupakan dengan biji benh,
lalu Allah SWT melipatgandakan setiap sedekah sampai 700 kali lipat.29
Pada ayat ini mencakup bahwa sedekah sunnah juga sedekah wajib, karena
jalan Allah SWT banyak bentuknya. Perkataan yang menyatakan bahwa ayat ini
turun sebelum ayat yang membahas masalah zakat, sehingga ketika ayat yang
menjelaskan tentang zakat turun, maka ayat ini terhapus olehnya adalah perkataan
yang tidak bisa diterima. Karena berinfak dijalan Allah SWT tetap dianjurkan
kapan pun.30
28
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 73 29
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 74 30
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 74
107
Di dalam beberapa ayat lain yang ada di dalam al-Qur‟an , Al-Qur‟an
menjelaskan bahwa satu kebaikan pahalanya dilipatkan sepuluh kali lipat,
sedangkan ayat ini menjelaskan bahwa berinfak untuk jihadsatu kebaikannya
dilipat gandakan hingga menjadi 700 kali lipat. Kemudian firman Allah SWT
yang artinya, “dan Allah SWT melipatgandakan pahaala bagi siapa saja yang
dikehendaki-Nya,” menunjukan bahwa Allah SWT melipatgandakan pahala bagi
siapa saja yang dikehendaki-Nya lebih banyak lagi dari 700 kali lipat. Hal ini
berdasarkan hadits riwayat Ibnu Umar yang telah disinggung diatas.31
Di dalam ayat ini juga mengandung pemahaman bahwa bercocok tanam
adalah pekerjaan yang paling mulia. Oleh karena itu, Allah SWT menjadikannya
sebagai bahan perumpamaan. Di dalam shahih Muslim diriwayatkan bahwa
sebagaimana Rasulullah saw bersabda,
مامن مسلم يغرس غرسا أويزرع زرعا فيأكل منه طري أوإنسان أوهبيمة إالكان له به صدقة
“Tidak ada seorang muslim yang menanam pohon atau menanam benih,
lalu sebagian tanaman tersebut dimakan burung atau manusia atau hewan
kecuali itu menjadi sedekah baaginya.”32
Wahbah al-Zuhailî juga menyebutkan riwayat dari Imam Tirmidzi yang
diriwayatkan dari sayyidah Aisyah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda, خبايا األرض التمسواالرزق يف
“Carilah rezeki didalam biji-biji yang terpendam di dalam bumi
(maksudnya adalah bercocok tanam).”33
Bercocok tanam hukumnya adalah fardhu kifayah. Oleh karena itu, seorang
imam atau pemimpin harus memaksa masyarakat untuk melakukan cocok tanam
dan menanam pohon-pohonan.34
31
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 74 32
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 74 33
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 74 34
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 74
108
Berinfak di jalan Allah SWT tanpa dibarengi dengan sikap menyebut-
nyebutnya dan tanpa menyakiti perasaan orang yang menerima infak adalah sebab
ridha Allah SWT turun. Hal ini seperti yang terdapat di dalam kiah Utsman bin
Affan r.a yang menginfakkan hartanya untuk menyiapkan jaisyul „usrah. Waktu
itu, ia datang sambil membawa seribu dinar lalu ia serahkan kepada Rasulullah
saw., lalu beliau bersabda, “Tidak ada lagi dosa yang akan ditanggung Utsman
bin Affan setelah (apa yang dilakukannya) hari ini, ya Allah janganlah Engkau
melupakan hari ini untuk Utsman.”35
Ridha Tuhan dan pahala yang agung ini hanya diperuntukkan bagi orang-
orang yang berinfak dan tidak membarenginya dengan sikap mengungkit-
ungkitnya dan menyakiti perasaan orang yang menerimannya. Karena dua bentuk
sikap ini bisa menghapus pahala sedekah.36
Hal ini seperti yang difirmankan Allah
SWT dalam Surah Al-Baqarah [2]: 264 :
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu
dengan menebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima).”[QS. Al-
Baqarah/2:264]
Telah dijelaskan dalam ayat di atas hendaknya setiap orang yang bersedekah
ikhlas hanya karena Allah SWT dan mengharap pahalaa dari sedekah yang
diberikan dan tidak mengharap apa pun dari orang yang menerima sedekah. Allah
SWT berfirman dalam Surah Al-Insaan [76]: 9 :
35
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 75 36
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 75
109
“(Sambil berkata), „Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu
hanyalah mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharap balasan
dan terima kasih dari kamu.”[QS. Al-Insaan/76:9]
Sebagaimana dikutip dari Wahbah al-Zuhailî dalam Tafsir Al-Munir bahwa
barang siapa yang menginginkan imbalan jasa, ucapan terima kasih dan pujan dari
sedekah yang diberikan, maka berarti ia telah berbuat riya‟ dan sum‟ah. Tentang
ayat enam dari surah al-Muddatstir yang artinya, “Dan janganlah kamu memberi
(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak,” Ibnu Abbas r.a
berkata “Maksudnya janganlah kamu memberi suatu pemberian dengan maksud
ingin mendapat sesuatu yang lebih baik dari apa yang ia berikan.”37
Adapun kata Al-Mannu (mengungki-ungkit pemberian) termasuk salah
satu dosa besar. Yang dimaksud al-Mannu adalah menyebut-nyebut dan
mengungkit-ungkit nikmat dengan tujuan menegur orang yang pernah diberi,
seperti dengan ucapan, “Saya telah berbuat baik kepada mu dan menjadikanmu
cukup,” atau ucapan-ucapan serupa lainnya. Sebagian ulama mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan al-Mannu membicarakan sesuatu yang pernah diberikan
hingga hal itu sampai ke telinga orang yang menerima pemberian tersebut
sehingga menyebabkan perasaan tersinggung. Dalil yang menunjukan bahwa al-
Mannu termasuk dosa besar adalah hadits yang terdapat di dalam shahih Muslim
dan yang lainnya, juga hadits yang menjelaskan bahwa orang yang bersikap
seperti ini adalah satu dari tiga orang yang Allah SWT tidak sudi memandangnya,
tidak sudi membersihkannya dan baginya siksa yang pedih.38
Imam Nasa‟i
meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
ثالثةالينظراهلل عزوجل إليهم يوم القيامة العاق لولديه واملرأة املرتجلة تشبه لى اخلمر بالرجال ولديوث وثالثة اليدخلون اجلنة العاق لولديه وملدمن ع
واملنان مبا أعط“Ada tiga orang, kelak di hari kiamat Allah SWT tidak sudi memandang
kepada mereka, yaitu orang yang durhaka kepada kedua orang tua,
37
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 75 38
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 75
110
wanita yang bertingkah seperti laki-laki dan yang ketiga adalah orang
yang tidak memilki rasa cemburu terhadap pasangannya. Dan ada tiga
orang yang tidak masuk surga, yaitu orang yang durhaka kepada kedua
orang tua, orang yang minum khamar, dan yang ketiga orang yang selalu
menyebut-nyebut bantuan dan sedekah yang ia berikan.”39
Hadits di atas menegaskan bahwa perkataan yang baik jauh lebih baik dari
pada sedekah yang dibarengi dengan sikap mengungkit-ngungkitnya dan
menyakiti perasaan orang yang menerimanya. Ucapan yang baik adalah seperti
mendoakan, perkataan yang halus dan ramah serta mengharapkan apa yang ada di
sisi Allah SWT. Di dalam perkataan yang baik seperti ini terdapat pahala yang
akan diraih, sedangkan sedekah yang diikuti dengan sikap mengungkit-
ngungkitnya dan menyakiti perasaan orang yang menerimanya tidak akan
mendatangkan pahala sama sekali.40
Seperti Rasulullah saw bersabda,
قى أخاك بوجه طلق الكلمة الطيبة صدقة وإن من املعروف أن تل
“Perkataan yang baik adalah sedekah, dan di antara kebaikan adalah
kamu bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria”. (HR.
Muslim)41
D. Tidak Menyebut-nyebut Pemberian (manna) dan Tidak Menyakiti
Perasaan si penerima (adza)
Al-Qur‟an menyebutkan pada Surah Al-Baqarah [2] ayat 264 mengenai
larangan manna dan adza, sebagaimana firman Allah SWT:
39
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 78 40
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 78 41
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 78
111
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan
si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya
kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada
tanah, Kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih
(Tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang
mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang kafir.” [QS. Al-Baqarah/2: 264]
Penjelasan ayat diatas bahwasanya Allah SWT memberikan peringatan
kepada pembei sedekah bahwa janganlah kamu membatalkan sedekah kamu
dengan meyebut-nyebut dan mengganggu perasaan si penerima, yakni ganjaran
sedekah kamu. Kata ganjara tidak disebutkan dalam ayat ini untuk
mengisyaratkan, bahwa sebenarnya bukan hanya ganjaran atau hasil dari sedekah
itu yang hilang, tetapi juga sedekah yang merupakan modal pun hilang tak
berbekas. Padahal tadinya modal itu ada, dan ganjarannya seharusnya ada, namun
kini keduanya hilang lenyap.42
Secara istilah, manna adalah menceritakannya seseorang yang berbuat
kebaikan atas kebaikannya kepada orang yang diberi infaq olehnya, serta
menampakkan kelebihan dirinya atas orang yang diberi sedekah.43
Ulama lain
mengatakan manna adalah menceritakan sesuatu yang sudah diberikan sehingga
sampai orang yang diberi merasa tersakiti.44
Penjelasan maksud tema di atas janganlah kalian menghapus sedekah
kalian, Imam Malik menghukumi makruh jika seseorang memberikan sedekah
wajibnya kepada kerabat terdekatnya. Hal ini untuk menghindari agar ia tidak
meminta balas jasa dari mereka berupa pujian dan ucapan terimakasih, agar ia
tidak menampakkan kepada mereka bahwa dirinya telah berbuat baik terhadap
42
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 73 43
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 41 44
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 41
112
mereka dengan pemberian dan agar sedekah yang wajib ia bayarkan tidak salah ia
gunakan dan ia manfaatkan untuk memberi pemenuhan kebutuhan mereka,
sehingga sedekah wajib yang ia keluarkan tersebut menjadi tidak ikhlas hanya
karena Allah SWT. Oleh karena itu, Imam Malik memusnahkan agar sedekah
wajib tersebut diberikan kepada orang lain yang tidak termasuk keluarga atau
kerabat dekatnya. Di samping itu, Imam Malik juga menganjurkan agar ia
menyerahkan masalah pembagian sedekah wajibnya tersebut kepada orang lain
saja, jika memang Imam atau pemimpin yang ada tidak memilki sikap adil. Semua
ini bertujuan agar sedekah wajib tersebut tidak terkotori dan terhapus pahalanya
akibat sikap al-Mannu dan al-Adzaa, keinginan dipuji dan minta imbal jasa dari
orang yang menerima sedekah.45
Hal ini berbeda dengan sedekah sunnah yang diberikan secara sembunyi,
sembunyi, karena jika pahala sedekah sunnah terhapuskan, maka orang yang
mengeluarkannya masih selamat dari ancaman, ia hanya dihukumi seperti
mengeluarkannya. Sedangkan sedekah wajib jika pahalanya terhapuskan, maka
orang yang mengeluarkannya terkena ancaman, karena berati ia dihukumi seperti
orang yang tidak meneluarkan sedekah wajibnya.46
Orang yang bersedekah dan mengiringinya dengan sikap riya adalah
seperti orang yang bersedekah karena sifat riya‟ dan munafik. Amal baik
keduanya batal, tidak memilki arti sama sekali, tidak memberi faedah apa-apa,
tidak ada keutamaan di dalamnya dan tidak memilki pengaruh yang bisa tahan
lama. Akan tetapi amal baik yang dilakukan kedua tipe ini, dampak atau
pengaruhnya akan cepat hilang dan terhapus seperti terhapusnya debu yang berada
di atas batu yang halus dan licin oleh angin dan hujan. Amal baik orang yang riya‟
baik amal baik tersebut berupaamal wajib maupun sunnah seperti shalat, puasa,
sedekah dan yang lainnya semuanya dianggap batal dan tidak memilki arti sama
sekali, karena ia melakukan semua itu tidak didasari keikhlasan karena Allah
SWT yang berhak untuk disembah, akan tetapi karena orang lain.47
45
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 73 46
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 73 47
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, h. 73
113
Kedua tipe orang ini tidak akan bisa mendapatkan pahala manfaat pahal
sedekah yang mereka keluarkan, karena sedekah yang mereka keluarkan tidak
ikhlas hanya karena Allah SWT, Maka mereka telah menjadikan amal sedekah
sebagai lahan mendapatkan keuntungan duniawi, oleh karena itu di dalam ayat ini
Allah SWT mengungkapkan sedekah yang mereka keluarkan dengan kata al-
Kasbu (usaha mencari keuntungan duniawi) bukan dengan kata an-Nafaqah.48
Wahbah al-Zuhailî menafsirkan dalam kitab Tafsir al-Munirnya dalam
firman Allah SWT berisi penjelasan tentang bahwasanya “mereka tidak
menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan, ini mengandung isyarat
bahwa sikap riya‟ adalah sifat-sifat orang kafir bukan sifat-sifat orang-orang
Mukmin. Oleh karena itu, hendaknya orang-orang Mukmin menjauhi sifat-sifat
seperti ini, mereka menjaga diri dari sifat-sifat tercela ini. Karena ikhlas dan tulus
hanya karena Allah SWT semata termasuk ciri-ciri keimanan.49
Allah SWT
berfirman di dalam Surah Al-Bayyinah/98: 5
“Padahal mereka hanya diperintahkan menyembah Allah dengan ikhlas
menaati-Nya”. [QS. Al-Bayyinah/98: 5]
Secara psikologis , Islam menghendaki agar infaq yang diberikan menjadi
pelipur lara hati si fakir. Agar dapat mempererat hubungan antara si kaya sebagai
saudaranya sesama Muslim dan sesama manusia. Agar menutup celah yang ada di
tubuh masyarakat secara keseluruhan, sehingga berfungsi sebagai jaminan sosial
dan media untuk saling membantu, untuk meningkatkan masyarakat akan
kesatuan, kesatuan arah dan kesatuan beban tanggung jawab.50
48
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, h. 73 49
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, h. 73 50
Faishal Ali al-Ba‟dani, Agar sedekah Anda Tak Sia-sia, (Solo: Zazam, 2010), h. 123
114
E. Sifat dan bentuk harta yang diinfaqkan haruslah harta yang bagus
Terkait dengan infaq harus dari sesuatu yang baik dan halal, sebagaimana
Allah SWT berfiman dalam Surah Al-Baqarah [2]: 2267,
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.” [QS. Al-Baqarah/2: 267]
Tema ayat ini adalah kewajiban memilih harta yang baik ketika hendak
berinfak di jalan Allah SWT, baik infak tersebut berupa zakat wajib maupun
sedekah sunnah. Karena tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT
dan menabung pahala dengan beramal baik. Tujuan ini tidak bisa diraih kecuali
jika harta yang diinfakan adalah harta yang baik pula.51
Ayat ini ditujukan kepada seluruh umat Muhammad saw.. Para ulama
berbeda pendapat tentang yang dimaksud infak didalam ayat ini. Ali bin Abi
Thalib r.a. Ubaidah as-Salmani dan Ibnu Sirin berpendapat bahwa yang
dimaksud infak di sini adalah zakat wajib. Jadi, ayat ini melarang seseorang
mengeluarkan zakat wajib dengan harta yang jelek.52
Wahbah al-Zuhailî juga menukil riwayat dari Al-Barra‟ bin „Azib, Hasan
al-Bashri dan Qatadah ia berpendapat bahwa infak yang dimaksud dalam ayat ini
adalah sedekah sunnah. Jadi, ayat ini menganjurkan seseorang agar jika
51
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 87 52
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 88
115
bersedekah, maka hendaknya sesuatu yang akan disedekahkan itu adalah sesuatu
yang bagus.53
Namun, secara zhahir ayat ini bersifat umum mencakup zakat wajib dan
sedekah sunnah. Hanya saja kalau di dalam zakat, perintah yang ada bersifat
wajib dan jumlah yang dikeluarkan pun sesuai dengan ukuran yang telah
ditentukan. Sedangkan jika sedekah sunnah, maka perintahnya bersifat sunnah
dan jumlah yang dikeluarkan tidak terikat dengan ukuran atau batasan
tertentu,boleh banyak boleh sedikit tetapi yang penting sesuatu yang
disedekahkan adalah sesuatu yang baik. Dalam hal ini, yang dimaksud bukanlah
harta yang terbaik atau istimewa, akan tetapi batas minimal yang dituntut adalah
yang sedang. Namun, jika ingin mengeluarkan yang istimewa, tentu lebih utama.
Hal ini seperti yang ditetapkan oleh para ulama fiqih dalam bab zakat.54
Ayat ini juga mengandung isyarat bahwa boleh bagi orang tua ikut
menikmati hasil kerja anaknya. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Rasulullah
saw.berikut,
ئا أوالدكم من طيب أكسابكم فكلوا من أموال أوالدكم هني
“Anak-anak kalian adalah hasil yang baik dari usaha dan kerja kalian,
maka makanlah kalian dari harta anak-anak kalian dengan enak.”55
Wahbah al-Zuhailî juga mengemukakan riwayat dari Imam Abu Hanifah
yang menjadikan ayat, sebagai dasar atau dalil wajibnya zakat sepersepuluh
dari hasil pertanian yang disirami dengan air hujan, sedangkan jika disirami
dengan air sumur atau yang lainnya yang membutuhkan biaya, maka zakat
yang wajib dikeluarkan adalah separuh dari sepersepuluh, baik hasil pertanian
tersebut banyak maupun sedikit tanpa harus terikat dengan syarat mencapai
nishab dan tidak hanya terbatas pada bentuk atau jenis pertanian bahan
makanan pokok tertentu saja. Oleh karena itu, menurut Imam Abu Hanifah,
53
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 88 54
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 88 55
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzaz dengan teks seperti berikut اوالدكم من هبة هللا لكم
فككلى من كسبهم
116
semua bentuk hasil pertanian wajib dizakati. Pendapat ini dikuatkan dengan
sabda Rasulullah saw. berikut,56
فيما سقت السماء ففيه العشر وفيما سقي بنضح أودالية نصف العشر “Hasil pertanian yang disirami dengan air hujan adalah sepersepuluh,
ssedangkan hasil pertanian yang disirami dengan air an-Nadhhu (unta
yang digunakan untuk menyiram) atau daaliyah57
maka zakatnya adalah
separuh dari sepersepuluh.”
Para jumhur ulama sepakat memberikan jawaban terhadap pendapat Abu
Hanifah ini bahwa apa yang diutarakan Abu Hanifah ini tidak ada kaitannya
dengan ayat ini. Karena ayat ini menjlaskan tentang objek zakat ukan
menjelaskan tentang nishab atau kadar zakat. Di dalam sebuah hadits
Rasulullah saw. Telah menjelaskan tentang nishab zakat. Hadits ini seperti di
riwayatkan oleh Ibnu Majjah,
وليس فيمادون مخس أواق من الورقة دون مخس ذود صدقةفيماليس ر صدقة صدقة وليس فيما دون مخسة أوساق من التم
“Tidak ada sedekah (zakat) di dalam hewan unta yang kurang dari lima
eor, tidak ada zakat di dalam harta yang kurang dari uqiyyah (40 dirham)
dan tidak ada zakat di dalam hasil pertanian dari kurma yang kurang dari
lima wasaq.”58
Dari penjelasan hadits di atas Masih ada beberapa dalil lainnya yang
dimiliki oleh kedua belah pihak. Jika diperhatikan, maka bis dilihat bahwa
biasanya atau kebanyakan ayat-ayat yang menjelaskan tentang infak dan
sedekah diakhiri dengan kata, واهلل واسع عليم atau ( واهلل غين محيد ). Hal ini
menjelaskan kepada kita bahwa berinfak atau bersedekah adalah dengan
sebagian dari rezeki yang dikaruniakan Allah SWT kepada para hamba,
bahwa Allah SWT akan memberi balasan kepada mereka atas sedekah
56
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 89 57
Ad Daaliyah adalah timba yang diputar oleh sapi atau unta yang hewan yang lainnya
dan kincir yang diputar dengan tenaga air. Hadits ini diriwayatkan oleh para ulama hadits dari Ibnu
Umar kecuali Imam Muslim 58
Adz Dzaud adalah unta antara tiga sampai sepuluh ekor
117
tersebut dan melipatgandakannya hingga berlipat-lipat serta akan memberi
ganti kepada orang yang berinfaq. Karena Allah SWT Dzat Yang Maha luas
karunia, rahmat dan pemberian-Nya. hl ini juga menjelaskan kepada kita
bahwa tujuan dari perintah berinfak adalah untuk menguji manusia. Allah
SWT tidak memerintahkan kepada mereka untuk bersedekah ketika sedang
dalam keadaan miskin, akan tetapi mereka diperintah untuk bersedekah ketika
sedang dalam keadaan luas dan kecukupan. Setiap orang dibebani sesuai
dengan kadar kemampuannya berinfak. Allah SWT Dzat Yang Maha Terpuji
dalam segala hal dan atas segala nikmaat yang telah dikaruniakan-Nya. puji
syukur kepada Allah SWT menuntut seseorang harus ingat kepada orang
yang sedang membutuhkan bantuan, menghibur dan membantu orang-orang
miskin. Dan diantara dalil yang mendorong seseorang untuk gemar
bersedekah adalah bahwa tangan yang diatas (orang yang bersedekah) lebih
utama dari pada tangan yang di bawah (orang yang menerima sedekah).59
Allah SWT juga memerintahkan lewat ayat ini agar pemberian sadaqah
memilih yang baik-baik dari apa yang akan dinafkahkannya, walaupun tidak
harus semuanya baik tetapi jangan sampai dengan sengaja memilih yang
buruk-buruk untuk dinafkahkan. Yang dilarang oleh ayat di atas adalah yang
dengan sengaja mengumpulkan yang buruk-buruk kemudian
mensadaqahkannya.60
Pada akhir ayat ini mengingatkan bahwa Allah Maha Kaya. Allah tidak
butuh kepada sadaqah, peritahnya kepada manusia agar memberi nafkah
kepada yang butuh bukan bearti Allah SWT tidak mampu memberinya secara
langsung melainkan untuk kemaslahatan si pemberi.61
59
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 89 60
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 1, h. 577 61
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 90
118
F. Hilangnya Pahala Berderma dari menghalangi jalan Allah
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menginfakkan harta mereka
untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan (terus)
menginfakkan harta itu, kemudian mereka akan menyesal sendiri, dan
akhirnya mereka akan dikalahkan. Ke dalam neraka Jahannamlah orang-
orang kafir itu akan dikumpulkan. [QS. Al-„Anfâl/8: 36]
Pada ayat ini Bahwasanya Allah dan Rasul-Nya menegaskan tentang harta
mereka yang digunakan dengan tujuan untuk menghalangi manusia dari
mengikuti Muhammad SAW yang merupakan jalan Allah SWT, Ketika mereka
membelanjakan harta mereka, akibat dari pembelanjaan harta yang mereka
gunakan untuk memerangi Nabi SAW. Dan menghalangi manusia dari jalannya
itu pada akhirnya adalah penyesalan dan kerugian. Seolah-olah zat harta itu
berubah menjadi penyesalan. Artinya harta itu tidak mewujudkan apa yang
mereka inginkan. Bahkan, harta itu berdampak sebaliknya, yaitu penyesalan dan
kerugian.62
“Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu dia membolak-balikan kedua
telapak tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah dia
belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur roboh bersama penyangganya
(para-para) lalu dia berkata, “Betapa sekiranya dahulu aku tidak
mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun”. [QS. Al-Kahf/18: 42]
Pada ayat ini bahwasanya Allah menegaskan kepada manusia hal-hal yang
bisa menyebabkan menjadi sia-sia dan lenyap di jalan setan, tidak membawa
kepada kemenangan, bahkan sebaliknya berdampak pada kekalahan. Mereka
62
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 293
119
kalah dan merugi. sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Mujâdila [58]:
21,
“Allah SWT menetapkan, “Sungguh Aku kalahkan (mereka), Aku dan
rasul-rasul Ku”. [QS. Al-Mujâdila/58: 21]
Demikianlah Inilah azab untuk mereka di dunia, kehilangan harta dan
kekalahan. Sementara itu, azab mereka di akhirat yaitu akan digiring ke neraka
Jahannam kalau mereka terus berada dalam kekafiran, dan mati dalam kekafiran,
karena di antara mereka ada juga yang masuk Islam dan baik Islamnya.63
Adapun kaum Muslimin, kalau mereka membelanjakan harta mereka di
jalan Allah yang akan dicapai boleh jadi kemenangan di dunia atau pahala di
akhirat dan boleh jadi kedua-duanya sekaligus, yaitu kebahagiaan di dua kampun
tersebut. Allah SWT telah menetapkan kemenangan untuk orang-orang beriman
dan kekalahan untuk orang-orang kafir, kehilangan harta, rasa penyesalan, dan
kepedihan dalam hati mereka untuk Allah bedakan antara kelompok yang buruk
dengan kelompok yang baik, artinya antara orang kafir dan orang beriman.64
Dalam konteks ayat diatas Allah SWT bedakan antara orang-orang
bahagia dengan orang-orang celaka lalu Dia jadikan sebagiannya menumpuk-
numpuk di atas yang lain di neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang
merugi dunia dan akhirat.65
Ayat-ayat tersebut menjelaskan beberapa hal penjelasan di antaranya:
Pertama, orang-orang kafir tidak akan mendapat apa-apa dari harta yang
mereka belanjakn untuk menghalangi orang dari jalan Allah. Artinya,
menghalangi umat manusia dari dakwah islam, kecuali penyesalan dan kerugian
63
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 293 64
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 293 65
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 293
120
di dunia dan adzab yang keras di akhirat. Ini artinya larangan yang keras untuk
melakukan belanja seperti itu.66
Kedua, sesungguhnya kemenangan hanya untuk orang-orang yang
beriman, sementara kekalahan dan kehinaan itu adalah untuk orang-orang kafir.
Orang-orang kafir di hari kiamat nanti akan di giring dalam konisi hina dan
rendah ke neraka jahannam dan itulah tempat kembali yang paling buruk.67
Ketiga, sesungguhnya pemberian kemenangan untuk orang-orang kafir
dan mendatangkan kekalahan kepada orang-orang kafir tujuannya adalah
membedakan kelompok yang jahat dari kalangan kafir dengan kelompok yang
baik dari kalangan orang-orang beriman lalu di jadikan kelompok yang jahat itu
sebagian diatas yang lain di neraka jahannam kemudian ditumpuknya semua. Jadi,
firman Allah, ( ) sehingga maknanya adalah mereka dikumpulkan
untuk Allah SWT bedakan antara kelompok yang jahat dengan kelompok yang
baik.68
66
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 293 67
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 293 68
Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 294
121
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Infaq merupakan salah satu dari ibadah. Infaq merupakan konsep yang
diberikan Allah SWT lewat al-Qur’an kepada setiap hamba-Nya. Adanya
keharusan bagi umat Islam untuk memberikan infaq yang bertujuan untuk
mengurangi tingakat kemiskinan di masyarakat, terciptanya keseimbangan dan
keharmonisan antara orang yang kaya dengan orang yang miskin. Karena pada
hakikatnya harta yang dimiliki oleh seseorang itu bukanlah milik hakiki seutuhnya
seseorang itu, melainkan hanya titipan yang pada saatnya nanti akan
dipertanyakan dan dipertanggungjawabkan dari mana harta itu diperoleh sampai
kepada digunakan untuk apa saja harta yang dimiliki tersebut.
Menurut Al-Raghib Al-Asfahâni (w. 502 H/1108 M), ahli leksikografi,
kata infaq berasal dari kata nafaqa نفق yang berati sesuatu yang telah berlalu
atau habis, baik dengan sebab dijual, dirusak atau karena meninggal. Selain itu,
kata infaq terkadang berkaitan dengan harta atau yang lainnya, dan terkadang
berkaitan dengan sesuatu yang dilakukan secara wajib atau sunnah.
Fokus penelitian ini adalah tentang infaq yang tidak hanya digunakan
untuk menyangkut yang wajib. Tetapi menyangkut segala macam pengeluaran.
Bahkan kata itu digunakan untuk pengeluaran yang tidak ikhlas sekali pun.
Contohnya: dalam Surah Al-Baqarah/2: 262, dan 265, Surah Al-‘Anfâl/8: 36, dan
Surah At-Tawbah/9: 54. Maka jikalau demikian adanya, maka zakat dan sadaqah
termasuk dalam kategori infaq. Dalam penggunaan sehari-hari zakat digunakan
khusus untuk pengeluaran harta yang sifatnya wajib. Sadaqah digunakan untuk
pengeluaran harta yang sifatnya sunnah. Sementara itu, infaq mencakup segala
pengeluaran atau bukan harta, yang wajib atau bukan, ikhlas atau dengan pamrih.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research)
dengan menggunakan metode mawdû’i atau tematik. Dengan mengggunakan
metode tersebut, terdapat beberapa hal yang ditemukan dalam al-Qur’an yang
menyebutkan makna infaq dan segala aspeknya seperti : Objek penerima infaq
122
QS. Al-Baqarah [2]: 215, Perumpamaan orang yang berinfaq ikhlas karena Allah
QS. Al-Baqarah [2]: 254, Balasan orang yang berinfaq karena Allah QS. Al-
Baqarah [2]: 261-262, Larangan menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan si
penerima infaq, Sifat dan Bentuk harta yang diinfakkan haruslah harta yang bagus
Al-Baaqarah [2]: 267.
B. Saran
Al-Qur’an sebagai kitab pedoman bagi umat Islam telah memberikan
pelajaran tentang infaq. Maka semestinya pemberi infaq harus memperhatikan
hal-hal penting yang harus dilakukan dan yang harus ditinggalkan dalam
pelaksanaannya. Sehingga tujuan yang hendak dicapai dari infaq betul-betul bisa
dicapai yang pada akhirnya akan tercipta keharmonisan antara orang kaya dan
miskin.
Kajian ini dianggap terlalu global secara meluas dalam pembahasannya.
Oleh karenanya bagi peneliti yang ingin meneliti tentang permasalahan infaq agar
penelitiannya lebih sempurna, maka perlu ada penelitian lebih lanjut tentang
infaq. Dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat serta
pemahaman masyarakat tentang manfaat dari infaq yang memotifasi mereka
dalam pengalamannya. Kemudian dikaitkan juga dengan hadits-hadits yang
menguatkan pembahasan tentang infaq. Penulis percaya bahwa dialektika
intelektual tidak akan pernah berhenti selama manusia masih ada di muka bumi
ini. Satu pemikiran akan dinegasikan oleh pemikiran yang kedua, pemikiran yang
kedua akan dinegasikan oleh pemikiran yang ketiga dan begitu seterusnya hingga
akan muncul sintesa dari seluruh pemikiran yang saling menegasi. Penulis
percaya itulah pergulatan peradaban manusia sebenarnya.
123
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Jabbar, Al-Qodhi. “Syarah Ushulul Khamsah”. Maktabah Wahbah: Kairo,
1965.
Alhafidz, Akhsin W. Kamus Fiqih. Jakarta: AMZAH, 2013.
Al-Asfahâni, Al-Raghib. Al-Mufrodât Fî Ghorîb al-Qur‟ân, T. Tp: Maktabah
Nazar Mustafa al-Baz, t.t.
Beni. “Sedekah dalam Perspektif Hadits”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN
Sunan Kalijaga, 2014.
Dahlan, Aziz Abdul. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996.
Al-Farmawî, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Mawdû„î. Penerjemah: Rosihin Anwar.
Bandung: CV Pustaka Setia, 2002.
Hadhiri, Choiruddin. Klasifikasi Kandungan Al-Qur‟an, Jilid 1. Depok: Gema
Insani, 2005.
Hasan, Abd Kholiq, Tafsir Ibadah. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008.
Hidayatullah. “Infaq dan Zakat Dalam al-Qur‟an (Kajian Tafsir Tematik)”.
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2000.
Indonesia, Universitas Islam. Al-Qur‟an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Dana
Bhakti Wakaf, 1990.
Kaltsum, Ummu Lilik & Abd. Moqsith Ghazali. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam. Ciputat:
UIN Press, 2015.
Kilmah, Tim Baitul Ensiklopedia Pengetahuan Al-Qur‟an dan Hadits. Jakarta:
Kamil Pustaka, 2013.
Matin, Abdul. Wawancara, Lamongan, 2018.
Meidy, Anisa. Potret Kemiskinan. Tim Liputan 6 SCTV, Artikel diakses pada 10
Mei 2011 dari http://berita.liputan6.com/ibukota/201001/26131/Nurjana.
Mujieb, M. Abdul Mabruri Tholhah dan Syafi‟ah A. M, KAMUS ISTILAH FIQIH
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
124
Al-Munziri, Zaki al-Dîn „Abd al-„Azim. Ringkasan Shahih Muslim. Penerjemah:
Syinqity Djamaluddin dan H. M. Mochtar Zoerni. Bandung: Mizan
Pustaka, 2013.
Permadanih, Dudih. “Zakat dan Peranannya bagi kaum Dhu‟afa”. Skripsi S1
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2013.
Purwoko, B. Saktiyono. Psikologi Islami: Teori dan Penelitian. Bandung:
Saktiyono Wordpress, 2012.
Qolay, Hamin Hasan, Indeks Terjemahan al-Qur‟anul Karim, Jakarta: PT Inline
Raya, 1997.
Ratnasari, Mardiah. “Konsep Sedekah dalam Perspektif Pendidikan Islam”.
Skripsi S1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2013.
Sayyid Muhammad Ali Ayazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahajuhum.
Teheran: Wizarah al-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islam, 1993.
Shihab, M. Quraish (ed). Ensiklopedia al-Qur‟an. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur‟an. Mizan: 1999.
Shihab, M. Quraish. Menjawab ? 1001 soal keislaman yang patut diketahui,
Jakarta: Lentera Hati, 2008.
Shodr, Baqir. Pedoman Tafsir Modern. Penerjemah: Hidayaturrahman. Jakarta:
Risakah Masa, 1992.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2012.
Sukandarumidi. Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.
Syibromalisi, Ali Faizah & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik
Modern”. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011.
Tim Depag RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI, 2006.
Al-Zuhailî, Wahbah. Tafsir al-Munir fi al‟Aqidah wa asy-Syari‟ah wa al-Manhaj.
Al-Zuhailî, Wahbah. Tafsir Al-Munir. Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
Jakarta: Gema Insani, 2016.
125
Al-Zuhailî, Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Madzhab. Bandung: Remaja Rosma
Karya, 1995.
Jurnal
Uyun, Qurratul. “Zakat, Infaq, Sadaqah, dan Wakaf Sebagai Konfigurasi
Filantropi Islam” 17, no. 01 (Januari 2015): h. 17-32.
Website
Kemdikbud. Arti Kata Infaq Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBI) Online.
Artikel diakses pada 27 September 2018 dari
https://kbbi.web.id/nikmat.html.
Meidy, Anisa. Potret Kemiskinan. Tim Liputan 6 SCTV, Artikel diakses pada 10
Mei 2011 dari http://berita.liputan6.com/ibukota/201001/26131/Nurjana.
“Pengertian Anak Yatim dan Kedudukannya Dalam Islam”. Diakses pada tanggal
6 Agustus 2011 dari http://alikhlaskebonduren.wordpress.com.
“Mengupas 8 Golongan Penerima Zakat”. Diakses pada tanggal 11 Agustus 2011
dari http://www.Pengusahamuslim.com.
Top Related