Download - PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

Transcript
Page 1: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS

TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana

Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

IZZAH FAUZIAH

NIM 109011000140

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014 M / 1435 H

Page 2: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan
Page 3: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan
Page 4: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan
Page 5: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan
Page 6: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan
Page 7: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

i

ABSTRAK

Izzah Fauziah, NIM : 109011000140, Pemikiran Syed Muhammad

Naquib Al-Attas tentang Pendidikan Islam

Masalah pendidikan Islam merupakan masalah yang tidak akan pernah tuntas

diwacanakan, tidak akan pernah rampung didesign, dan tidak akan pernah diperoleh

solusi akhir, karena pendidikan Islam berkenaan dengan persoalan umat Islam dengan

jumlah yang sangat besar, melebihi satu milyar, dengan pola kehidupan masing-

masing yang sangat dinamis. Berbagai pemikiran dan solusi telah dikemukakan oleh

para ahli, terutama menyangkut konsep dan implementasi konsep tersebut, yang

sudah tentu bahwa warna-warni pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pandangan

hidup, nilai-nilai, dan pengalaman yang mereka lalui. Salah satu tokoh pendidikan

Islam yang merumuskan pendidikan Islam adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas.

Peneliti mengangkat tokoh ini, karena beliau adalah salah seorang intelektual Muslim

yang memberikan kontribusi baru dalam dunia pendidikan Islam. Adapun fokus dari

penelitian ini adalah apa saja pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang

pendidikan Islam dan relevansinya pada era sekarang? Sedangkan tujuan penelitian

ini ialah untuk mengetahui dan mengkaji pendidikan Islam menurut Syed Muhammad

Naquib Al-Attas.

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan library research

yaitu lebih menitikberatkan pada pengumpulan data dari berbagai sumber yang

relevan. Dalam hal ini mencakup buku-buku, internet, dan hasil penelitian yang

terkait dengan judul karya ilmiah ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut pandangan Syed Muhammad

Naquib Al-Attas, pendidikan Islam adalah proses penanaman ilmu ke dalam diri

manusia. Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan

dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir

pendidikan Islam ialah menghasilkan manusia yang baik. “Baik” dalam konsep

manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab dalam pengertian yang

dijelaskan di sini, yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia. Karena

dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya adalah untuk menjadi

seorang manusia yang baik. Relevansi pendidikan Islam pada era sekarang bagi Syed

Muhammad Naquib Al-Attas adalah perwujudan paling tinggi dan paling sempurna

dari sistem pendidikan adalah universitas. Dan mengingat bahwa universitas

merupakan sistematisasi pengetahuan yang paling tinggi dan yang sempurna – yang

dirancang untuk mencerminkan yang universal – maka ia mestilah juga merupakan

pencerminan dari bukan sekedar manusia apa saja, melainkan Manusia Universal atau

Sempurna (al-insanul kamil : االنسان الكامل). Maka dari itu, pendidikan Islam

membutuhkan adanya tempat/lembaga pendidikan yang mampu membina manusia

sempurna.

Page 8: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahir rahmanir rahim...

Alhamdulillahi rabbil „alamin. Segala puji syukur, penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia, taufiq dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini berjudul “Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Syed Muhammad

Naquib Al-Attas” diajukan dalam rangka melengkapi dan memenuhi syarat untuk

mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Strata Satu (S1) Jurusan

Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Penyusunan skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya berkat

adanya bantuan dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak yang ada hubungannya

dengan pembahasan judul skripsi ini. Maka pada kesempatan kali ini, penulis dengan

setulus hati ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Hj. Nurlena Rifa‟i, MA, Ph. D selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam

kelancaram perkuliahan.

2. Bpk. Drs. Abdul Majid Khon, MA selaku Ketua Jurusan (Kajur) Pendidikan

Agama Islam dan Ibu Marhamah Saleh, Lc. MA, selaku Sekretaris Jurusan

(Sekjur) Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan arahan dan bimbingan

kepada penulis.

3. Bpk. Prof. Dr. Ahmad Syafi‟ie Noor selaku Dosen Penasehat Akademik yang

telah memberikan nasehat dan motivasi penulis agar menyelesaikan skripsi ini

tepat pada waktunya.

4. Bpk. Ahmad Irfan Mufid, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah

meluangkan waktu, memberikan arahan dan bimbingan agar penulis mampu

menyelesaikan skripsi ini.

Page 9: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

iii

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmunya selama

perkuliahan berlangsung. Semoga ilmu yang Bapak dan Ibu Dosen beri kepada

penulis selalu bermanfaat. Amiin Ya Rabbal „Alamin.

6. Pimpinan dan seluruh staff karyawan/i Perpustakaan Utama UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan pelayanan yang baik dalam hal

peminjaman dan pengembalian buku kepada penulis.

7. Ayahanda (Bpk. Wasito, S.Ag) dan Ibunda (Ibu Muzdalifah) yang selalu

memberikan motivasi, bimbingan, arahan baik berupa materi maupun non-materi

hingga terselesaikannya skripsi ini. Skripsi penulis persembahkan untuk ayahanda

dan ibunda.

8. Adik-adik tercinta Muhammad Khothif Arham dan Muhammad Faiq Ammar

yang selalu memberikan motivasi agar penulis selalu semangat dalam

menyelesaikan skripsi ini.

9. Kawan-kawan tercinta PAI angkatan thn. 2009 khususnya kelas D dan TH yang

selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang juga telah

turut memberikan motivasi agar penulis menyelesaikan skripsi ini tepat pada

waktunya.

Harapan penulis, semoga hasil pembahasan dalam skripsi ini akan bermanfaat

bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya serta mendapat ridha

Allah SWT.

Segala kekurangan dan kesalahan dalam skripsi ini mohon dimaklumi, segala

kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan senang hati, demi

kebaikan dan kebenaran. Semoga Allah SWT. berkenan mengampuni dosa dan

kesalahan kita. Amiin Ya Rabbal „Alamin..

Hormat penulis,

(Izzah Fauziah)

Page 10: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR KARYA SENDIRI

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi Masalah 6

C. Pembatasan Masalah 6

D. Perumusan Masalah 7

E. Tujuan Penelitian 7

F. Kegunaan Penelitian 7

BAB II LANDASAN TEORITIS

A. Pendidikan Islam

1. Pengertian Pendidikan Islam 9

2. Tujuan Pendidikan Islam 21

3. Fungsi Pendidikan Islam 29

4. Kurikulum Pendidikan Islam 32

5. Metodologi Pendidikan Islam 35

B. Pemikiran Pendidikan Islam 37

C. Hasil Penelitian yang Relevan 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian 40

Page 11: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

v

B. Metode Penelitian 41

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 42

D. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data 44

E. Analisis Data 44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas

1. Riwayat Hidup Syed Muhammad Naquib Al-Attas 45

2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir Syed Muhammad

Naquib Al-Attas 46

3. Karya-karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas 49

B. Pembahasan

1. Pengertian Pendidikan Islam 55

2. Pengertian Pendidikan Islam “Ta’dib” 58

3. Pengertian Pendidikan Islam “Tarbiyah” 61

4. Tujuan Pendidikan Islam 65

5. Sistem Pendidikan dalam Islam 67

6. Kurikulum Pendidikan Islam 69

7. Metode Pendidikan Islam 76

8. Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang

Pendidikan Islam dan Relevansinya pada Era Sekarang 77

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 79

B. Saran 80

DAFTAR PUSTAKA 81

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 12: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam adalah agama yang universal. Yang mengajarkan kepada umat

manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi.

Salah satu diantara ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada umat

Islam untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut ajaran Islam, pendidikan

adalah juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi

untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan

pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan

untuk bekal dan kehidupannya.1

Menurut Islam, pendidikan adalah pemberi corak hitam putihnya perjalanan

hidup seseorang. Oleh karena itu, ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan

merupakan salah satu kegiatan yang wajib hukumnya bagi pria dan wanita, dan

berlangsung seumur hidup – semenjak dari buaian hingga ajal datang (Al-Hadis) –

life long education.2

1 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet ke-5, h. 98

2 Zuhairini, op.cit., h. 1

Page 13: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

2

Apabila kita memperhatikan ayat-ayat yang pertama kali diturunkan oleh

Allah kepada Nabi Muhammad, maka nyatalah bahwa Allah telah menekankan

perlunya orang belajar baca tulis dan belajar ilmu pengetahuan.

Firman Allah dalam Surat Al-‘Alaq ayat 1-5 :

. الذي علم بالقلم . علم اق رأ باسم ربك الذى خلق . خلق االنسان من علق . اق رأ وربك االكرم

االنسان ما ل ي علم.

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan

manusia dari segumpal darah. Bacalah Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang

mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada apa yang

tidak ketahui. (QS. Al-‘Alaq : 1-5)

Dari ayat-ayat tersebut, jelaslah bahwa agama Islam mendorong umatnya agar

menjadi umat yang pandai, dimulai dengan belajar baca tulis dan diteruskan dengan

berbagai macam ilmu pengetahuan.3

Pendidikan merupakan disiplin ilmu yang di dalamnya mengandung berbagai

dimensi. Seperti dimensi manusia sebagai subyek atau pelaku pendidikan (baik

berstatus sebagai pendidik atau peserta didik), maupun dimensi landasan, tujuan,

materi atau kurikulum, metodologi, dan dimensi institusi dalam penyelenggaraan

pendidikan. Dimensi-dimensi tersebut merupakan faktor penting yang mendukung

keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan pendidikan, dan masing-masing dimensi ini

memiliki paradigma fungsional sendiri-sendiri dan saling terkait untuk bersinergi

dalam sebuah sistem pendidikan.4

Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan

kehidupan manusia. John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa:

Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan,

sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk

disiplin ilmu. Pernyataan ini setidaknya mengisyaratkan bahwa bagaimanapun

sederhananya suatu komunitas manusia, memerlukan adanya pendidikan.

3 Ibid., h. 99

4 A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN Malang Press), cet ke-1, h.

iii-iv

Page 14: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

3

Maka dalam pengertian umum, kehidupan dari komunitas tersebut akan

ditentukan aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab pendidikan secara alami

sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.5

Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia, karena

pendidikan Islam berorientasi dalam memberikan bekal kepada manusia untuk

mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan

menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan generasi sejalan dengan tuntutan

masyarakat.

Semestinya pendidikan Islam selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya

dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal,

agar manusia tidak hanya menginginkan kebahagiaan hidup setelah mati

(eskatologis), namun kebahagiaan di duniapun bisa diraihnya.

Pada kehidupan masyarakat yang semakin berbudaya dengan tuntutan hidup

yang makin tinggi, pendidikan ditujukan bukan hanya pada pembinaan keterampilan,

melainkan kepada pengembangan kemampuan-kemampuan teoretis dan praktis

berdasarkan konsep-konsep berpikir ilmiah.6

Dalam perkembangannya, pendidikan Islam telah melahirkan dua pola

pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada

aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai

akumulasi dari respon dari sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap

adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah

pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dan pendidikan Islam yang bercorak

modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya

lebih menekankan pada aspek doktriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis,

apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai

kehilangan ruh-ruh mendasarnya.7

5 Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), cet. ke-2, h. 67

6 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan

Interdisipliner, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), cet ke-1, h. 2

7 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi

Sistem Pendidikan Islam, (Jawa Timur: UMG Press, 2004), cet ke-1, h. 6

Page 15: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

4

Pada dasarnya, pendidikan dalam perspektif Islam berupaya untuk

mengembangkan seluruh potensi peserta didik seoptimal mungkin, baik yang

menyangkut aspek jasmaniah, maupun rohaniah, akal dan akhlak. Dengan

optimalisasi seluruh potensi yang dimiliknya, pendidikan Islam berupaya

mengantarkan peserta didik ke arah kedewasaan pribadi secara paripurna, yaitu yang

beriman dan berilmu pengetahuan.8

Islam memandang peserta didik sebagai makhluk Allah dengan segala

potensinya yang sempurna sebagai khalifah fil ardh, dan terbaik di antara makhluk

lainnya. Kelebihan manusia tersebut bukan hanya sekedar fisik, tetapi lebih jauh dari

itu, manusia memiliki kelebihan pada aspek psikisnya. Kedua aspek manusia tersebut

memiliki potensinya masing-masing yang sangat mendukung bagi proses aktualisasi

diri pada posisinya sebagai makhluk yang mulia. Dengan potensi fisik dan psikis,

atau dengan kata lain potensi material dan spiritual tersebut menjadikan manusia

sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbaik.9

Seperti diketahui, masalah pendidikan Islam merupakan masalah yang tidak

akan pernah tuntas diwacanakan, tidak akan pernah rampung didesign, dan tidak akan

pernah diperoleh solusi akhir, karena pendidikan Islam berkenaan dengan persoalan

umat Islam dengan jumlah yang sangat besar, melebihi satu milyar, dengan pola

kehidupan masing-masing yang sangat dinamis. Berbagai pemikiran dan solusi telah

dikemukakan oleh para ahli, terutama menyangkut konsep dan implementasi konsep

tersebut, yang sudah tentu bahwa warna-warni pemikirannya banyak dipengaruhi

oleh pandangan hidup, nilai-nilai, dan pengalaman yang mereka lalui. Tetapi ada

kesan kuat bahwa dalam satu hal mereka sepakat, bahwa pendidikan Islam harus

bertujuan memberikan bekal dan pengembangan potensi keimanan, keislaman dan

keihsanan. Selain itu, agar pendidikan Islam tidak mengabaikan pengembangan

potensi jasmani, ‘aqal, dan qalbunya secara seimbang dan integral, agar dia memiliki

8 Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001),

cet ke-1, h. vii

9 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), cet ke-1, h. 1

Page 16: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

5

kesiapan menghadapi masa depannya dengan penuh percaya diri dan penuh tanggung

jawab.10

Sejarah memang mencatat bahwa peradaban Islam pernah menikmati posisi

sebagai kiblat ilmu pengetahuan dunia, dan masa keemasan tersebut diperkirakan

dinikmati umat Islam sekitar abad ke-7 hingga ke-15. Setelah itu masa-masa tersebut

kejayaan peradaban ilmiah Islam mulai melayu dan statis, kalau tidak lebih tepat

dikatakan ‘mundur’, dan kemunduran itu berlanjut hingga abad ke-21 ini.11

Dunia Islam akhir-akhir ini tengah mengadapi berbagai permasalahan seputar

krisis pendidikan Islam. Masa depan Islam akan sangat tergantung pada bagaimana

dunia itu menghadapi tantangan ini. Inilah yang menuntut agar selalu dilakukan

pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan

kehidupan umat Islam.

Dari sudut pandang Islam, pendidikan menduduki posisi sangat urgen dan

prinsipil. Karena pendidikan merupakan sesuatu yang sangat inheren dalam

kehidupan umat manusia.12

Pendidikan berkembang dari yang sederhana (primitif),

yang berlangsung ketika manusia masih berada dalam ruang lingkup kehidupan yang

serba sederhana serta konsep tujuan yang amat terbatas pada hal-hal yang bersifat

survival (pertahanan hidup terhadap ancaman alam sekitar), sampai pada bentuk

pendidikan yang sarat dengan metode, tujuan, serta model pendidikan yang sesuai

dengan masyarakat saat ini.13

Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk

membentengi diri dari akses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen adalah

bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu

berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan,

10 Abdul Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas,

(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), cet ke-1, h. v

11

Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), cet. ke-

1, h. vii

12

Mohammad Tidjani Djauhari, Pendidikan untuk Kebangkitan Islam, (Jakarta: TAJ, 2008), cet.

ke-1, h. 48

13

Arifin, op.cit., h. 1

Page 17: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

6

kebodohan, dan keterbelakangan budaya dan ekonomi. Kandungan materi pelajaran

dalam pendidikan Islam yang masih berkutat pada tujuan yang lebih bersifat

ortodoksi diakibatkan adanya kesalahan dalam memahami konsep-konsep pendidikan

yang masih bersifat dikotomis, yakni pemilahan antara pendidikan agama dan

pendidikan umum (sekular), bahkan mendudukkan keduanya secara diametral.14

Menindaklanjuti masalah ini, salah satu tokoh pendidikan Islam yang sangat

peduli terhadap eksistensi pendidikan Islam kontemporer, Syed Muhammad Naquib

Al-Attas yang berdedukasi dipertengahan abad ke-20, merupakan otoritas yang

sangat berpengaruh pada kebijakan Islam Melayu bahkan dunia internasional. Al-

Attas bukan hanya seorang ideator ulung maupun hanya teoritis semata, namun Al-

Attas telah merealisasikan dalam penerapan gagasan dan idenya pada Universitas

(ISTAC) dan sukses dengan hasil yang patut dibanggakan.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis termotivasi untuk menyusun

sebuah skripsi dengan judul “Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas

tentang Pendidikan Islam”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di atas, maka dapat

diidentifikasikan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Terdapat banyak perbedaan terhadap konsep pendidikan Islam

2. Perlu dirumuskan konsep pendidikan Islam yang ideal, sehingga dapat

menjawab kekurangan pada pendidikan Islam yang telah diterapkan selama

ini.

C. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya permasalahan yang ada, terbatasnya waktu, biaya yang

diperlukan dan kemampuan berfikir penulis yang masih sangat terbatas, maka penulis

14 Moh. Shofan, op.cit., h. 5-6

Page 18: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

7

perlu membatasi masalah agar lebih terarah dan tidak menimbulkan kekeliruan dalam

pemahamannya.

Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini tentang:

1. Mengenal sosok Syed Muhammad Naquib Al-Attas, latar belakang keluarga,

pendidikan dan pengalaman serta karya – karyanya.

2. Menguraikan konsep pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-

Attas.

D. Perumusan Masalah

Dengan adanya pembatasan masalah di atas, penulis akan berusaha untuk

menjawab permasalahan tentang:

1. Bagaimana pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan

Islam?

2. Apa relevansi pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang

pendidikan Islam pada era sekarang?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan

Islam.

2. Mengeksplorasi relevansi pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas

tentang pendidikan Islam pada era sekarang.

F. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi di dunia

pendidikan pada umumnya, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, dan peneliti

khususnya. Dengan adanya penelitian ini, terdapat kegunaan bagi:

Page 19: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

8

1. Masyarakat sebagai tambahan bahan informasi tentang pemikiran Syed

Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan Islam.

2. Peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang sama untuk ditindaklanjuti

dan dikembangkan lebih jauh tentang pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-

Attas tentang pendidikan Islam.

3. Peneliti sendiri agar memperoleh wawasan yang cukup luas dalam mengkaji,

menemukan dan menganalisa pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas

tentang pendidikan Islam.

Page 20: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

9

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pendidikan Islam

1. Pengertian Pendidikan Islam

Dalam bahasa Indonesia, kata pendidikan terdiri dari kata didik yang

mendapat awalan pen- dan akiran –an. Kata tersebut sebagaimana dijelaskan dalam

Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal, cara dan sebagainya)

mendidik.1 Pengertian ini memberi kesan bahwa kata pendidikan lebih mengacu

kepada cara melakukan sesuatu perbuatan dalam hal ini mendidik. Selain kata

pendidikan, dalam bahasa Indonesia terdapat pula kata pengajaran. Kata ini

sebagaimana dijelaskan Poerwadarminta adalah cara (perbuatan dan sebagainya)

mengajar atau mengajarkan. Kata lain yang serumpun dengan kata tersebut adalah

mengajar yang berarti memberi pengetahuan dan pelajaran.

1 Js. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1994), cet ke-1, h. 342

Page 21: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

10

Kata pendidikan selanjutnya sering digunakan untuk menerjemahkan kata

education dalam bahasa Inggris. Sedangkan pengajaran digunakan untuk

menerjemahkan kata teaching juga dalam bahasa Inggris.

Jika pengertian secara semantik (kebahasaan) dari kata pendidikan,

pengajaran (education atau teaching) sebagaimana disebutkan di atas diperhatikan

secara seksama, nampak bahwa kata tersebut lebih menunjukkan pada suatu kegiatan

atau proses yang berhubungan dengan pembinaan yang dilakukan oleh seseorang

kepada orang lain. Pengertian tersebut belum menunjukkan adanya program, sistem,

dan metode yang lazimnya digunakan dalam melakukan pendidikan atau pengajaran.2

Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia

untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan

kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti

bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia

menjadi dewasa.3 Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan

oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat

hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.4

Pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek

kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata lain, pendidikan tidak

hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi berlangsung pula di luar kelas. Pendidikan

bukan sifat formal saja, tetapi mencakup pula yang non formal.5

Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan

anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah

kedewasaan. Atau lebih jelas lagi, pendidikan ialah pimpinan yang diberikan dengan

2 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1, h. 4-5

3 Dewasa di sini dimaksudkan adalah dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri secara biologis,

psikologis, paedagogis, dan sosiologis.

4 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 1

5 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), cet ke-3, h. 149

Page 22: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

11

sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan

rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.6

Dari pengertian pendidikan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan

adalah usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam mempengaruhi

orang lain yang bertujuan untuk mendewasakan manusia seutuhnya, baik lahir

maupun bathin. Artinya, dengan pendidikan, manusia bisa memiliki kesetabilan

dalam tingkah laku atau tindakan, kesetabilan dalam pandangan hidup dan

kesetabilan dalam nilai-nilai kehidupan dengan penuh rasa tanggung jawab.7

Di Indonesia, menurut UU No. 20 Th. 2003 dalam Hasbullah menyatakan

bahwa:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan

yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.” 8

Pengertian pendidikan saat ini sudah sangat beragam, sehingga banyak sekali

pakar pendidikan yang mendefinisikan pendidikan itu sendiri. Bukan hanya para

pakar yang mendefinisikan pendidikan itu sendiri, namun Islam (agama yang diridhai

oleh Allah SWT) mampu mendefinisikan pendidikan.

Pendidikan dalam Islam memiliki tiga istilah dalam bahasa Arab yaitu at-

tarbiyah, at-ta‟lim, dan at-ta‟dib. Dari ketiga istilah ini, kata at-tarbiyah sering kali

digunakan pada saat ini. Namun kata at-ta‟lim dan at-ta‟dib jarang sekali digunakan,

padahal kata at-ta‟lim dan at-ta‟dib ini sudah ada pada awal pertumbuhan pendidikan

Islam.9

6 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

t.t), h. 10

7 Armai Arief, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI, 2009), cet

ke-1, h. 33

8 Hasbullah, op.cit., h. 4

9 Zuhairini, op.cit., h. 120

Page 23: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

12

Istilah tarbiyah berakar dari tiga kata, yakni pertama dari kata rabba – yarbu

yang berarti “bertambah dan tumbuh”, kedua kata rabiya – yarba yang berarti

“tumbuh dan berkembang”, dan ketiga kata rabba – yarubbu yang berarti

“memperbaiki, menguasai, dan memimpin, menjaga dan memelihara”. Kata al-Rabb,

juga berasal dari kata tarbiyah dan berarti “mengantarkan sesuatu kepada

kesempurnaan” secara bertahap atau membuat sesuatu mencapai kesempurnaannya

secara bertahap atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-angsur. 10

Kata pendidikan, yang dalam bahasa Inggris ”education” dalam bahasa Arab

(bahasa persatuan Islam) disebut “tarbiyah”. Kata tarbiyah, berasal dari kata dasar

“rabba – yurabbi – tarbiyah ( –ربي ت ربية -ي ربي )” yang berarti tumbuh dan

berkembang (Al-Munjid). Dalam Al-Mu‟jam al-Wasith, terdapat penjelasan sebagai

berikut:

سديية والعقليية واللقيية نيى ق وياه ال ه وربيا “Mendidiknya, berarti menumbuhkan potensi jasmaniah, akliah (akal) serta

akhlak (budi pekerti)”. 11

Abdurrahman al-Nahlawi yang menggunakan kata Tarbiyah dalam arti

pendidikan berpendapat bahwa istilah tarbiyah berarti :

a. Memelihara fitrah anak.

b. Menumbuhkan seluruh bakat dan kesiapannya.

c. Mengarahkan fitrah dan seluruh bakatnya agar menjadi baik dan

sempurna.

d. Bertahap dalam prosesnya.

Berdasarkan pengertian pendidikan di atas, al-Nahlawi menyimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan Tarbiyah adalah :

a. Pendidikan adalah proses yang mempunyai tujuan, sasaran, dan target.

10 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi

Sistem Pendidikan Islam, (Jawa Timur: UMG Press, 2004), cet ke-1, h. 38

11

Zuhairini, op.cit., h. 120-121

Page 24: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

13

b. Pendidik yang sebenarnya adalah Allah, karena Dialah yang

menciptakan fitrah dan bakat manusia. Dialah yang membuat dan

memberlakukan hukum-hukum perkembangan serta bagaimana fitrah

dan bakat itu berinteraksi. Dialah pula yang menggariskan syariat untuk

mewujudkan kesempurnaan, kebaikan, dan kebahagiaannya.

c. Pendidikan menghendaki penyusunan langkah-langkah sistematis yang

harus didahului secara bertahap oleh berbagai kegiatan dan pengajaran.

12

Tarbiyah dimaknai sebagai proses penanaman etika yang dimulai pada jiwa

anak yang sedang tumbuh dengan cara memberi petunjuk dan nasihat, sehingga ia

memiliki potensi–potensi dan kompetensi–kompetensi jiwa yang mantap, yang dapat

membuahkan sifat–sifat bijak, baik, cinta akan kreasi, dan berguna bagi tanah

airnya.13

Dari beberapa istilah di atas dapat disimpulkan bahwa kata tarbiyah berarti

upaya memelihara, mengurus, mengatur, dan memperbaiki sesuatu atau potensi atau

fitrah manusia yang sudah ada sejak lahir agar tumbuh dan berkembang menjadi

dewasa atau sempurna.14

Dalam pengertian tarbiyah ini, terdapat lima kata kunci yang dapat dianalisis :

a. Menyampaikan (al-tabligh). Pendidikan dipandang sebagai usaha

penyampaian, pemindahan, dan transformasi dari orang yang tahu

(pendidik) pada orang yang tidak tahu (peserta didik) dan dari orang

dewasa pada orang yang belum dewasa.

b. Sesuatu (asy-syay‟). Maksud dari “sesuatu” di sini adalah kebudayaan,

baik material maupun non-material (ilmu pengetahuan, seni, estetik,

etika, dan lain-lain) yang harus dketahui dan diinternalisasikan oleh

peserta didik.

12 Moh. Shofan, op.cit., h. 40-41

13

Rois Mahfud, Al-Islam : Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 144

14

A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 21

Page 25: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

14

c. Sampai pada batas kesempurnaan (ila kamalihi). Maksudnya adalah

bahwa proses pendidikan itu berlangsung terus–menerus tanpa henti,

sehingga peserta didik memperoleh kesempurnaan, baik dalam

pembentukan karakter dengan nilai – nilai tertentu maupun memiliki

kompetensi tertentu dengan ilmu pengetahuan.

d. Tahap demi tahap (syay‟ fa syay‟). Maksudnya, transformasi ilmu

pengetahuan dan nilai dilakukan dengan berjenjang menurut tingkat

kedewasaan peserta didik, baik secara biologis, psikologis, sosial

maupun spiritual.

e. Sebatas pada kesanggupannya (bi hasbi isti‟dadihi). Maksudnya, dalam

proses transformasi pengetahuan dan nilai itu harus mengetahui tingkat

peserta didik, baik dari sisi usia, kondisi fisik, psikis, sosial, ekonomi

dan sebagainya, agar dalam tarbiyah itu ia tidak mengalami kesulitan. 15

At – ta‟lim secara etimologis berasal dari kata kerja „allama yang berarti

“mengajar”. Jadi makna ta‟lim dapat diartikan “pengajaran” seperti dalam bahasa

Arab dinyatakan tarbiyah wa ta‟lim berarti “Pendidikan dan Pengajaran”, sedangkan

pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya “al–Tarbiyah al-Islamiyah”. Kata ta‟lim

dengan kata kerja „allama juga sudah digunakan pada zaman Nabi, baik di dalam Al-

Qur‟an maupun Hadis serta pemakaian sehari-hari pada masa dulu lebih sering

digunakan dari pada tarbiyah. Kata „allama memberi pengertian sekedar memberi

tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung arti pembinaan kepribadian,

karena sedikit sekali kemungkinan ke arah pembentukan kepribadian yang

disebabkan pemberian pengetahuan. 16

Kata ta‟lim adalah isim mashdar dari „allama – yu‟allimu – ta‟liiman.

Menurut al-Raghib al-Asfahani dalam Abudin Nata menyebutkan bahwa:

Kata al-ta‟lim adalah al-tanbih al-nafs littashawur al-ma‟aniy yang artinya

memperingatkan jiwa untuk menggambarkan berbagai pengertian. Sedangkan kata at-

15 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. ke-2,

h. 14

16

Moh. Shofan, op.cit., h. 41-42

Page 26: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

15

ta‟allum berarti proses mengingatkan jiwa dengan tujuan untuk memperoleh

gambaran tentang berbagai makna. Kata ta‟lim terkadang digunakan juga untuk

pengertian memberitahukan, jika penggunaan kata ta‟lim tersebut dilakukan secara

berulang-ulang.17

Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta‟lim dengan “proses transmisi

berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan

tertentu.” Pengertian ini didasarkan atas firman Allah SWT. dalam QS. Al-Baqarah

ayat 31 tentang „allama Tuhan kepada Nabi Adam as. Proses transmisi itu dilakukan

secara bertahap sebagaimana Nabi Adam menyaksikan dan menganalisis asma‟

(nama - nama) yang diajarkan oleh Allah kepadanya.18

Penunjukkan kata al-ta‟liim pada pengertian pendidikan, sesuai dengan

firman Allah SWT. :

ضهم على المالئكة ف قال أن بئون باساء هؤالء ان كنتم صادقي )البقرة : عر وعليم ءادم األساء كليها ثي ۱۳)

“Dan Allah mengajarkan kepada Adam segala nama, kemudian Allah berkata

kepada malaikat : ”Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama semua itu, jika kamu

besar”. (QS. Al-Baqarah : 31) 19

Al-Qur‟an tidak menyebutkan secara eksplisit kata “ta‟lim”. Rasyid Ridha

dalam Asrorun Niam Sholeh mendefinisikan:

“Al-ta‟lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan kepada jiwa

individu tanpa adanya batasan dan ketentuan. Muhammad Naquib Al-Attas

mengartikan ta‟lim dengan “pengajaran tanpa pengenalan secara

mendasar”.”20

Istilah ta‟lim merupakan bagian kecil dari tarbiyah al–aqliyah yang bertujuan

memperoleh pengetahuan dan keahlian berpikir, yang sifatnya mengacu pada

17 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 93

18

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op.cit., h. 19

19

Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media

Pratama, 2001), cet ke-1, h. 87

20

Asrorun Niam Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam : Mengurai Relevansi Konsep Al-Ghazali

dalam Konteks Kekinian, (Jakarta: ELSAS Jakarta, 2008), cet ke-6, h. 94

Page 27: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

16

dominan kognitif. Sebaliknya at – tarbiyah tidak hanya mencakup domain kognitif,

tetapi juga domain afektif dan psikomotorik.21

Kata ta‟diib merupakan mashdar dari addaba – yuaddibu – ta‟diiban ( – أديب

تأدي با - ياديب ) yang dapat diartikan kepada proses pendidik yang lebih tertuju pada

pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Orientasi kata

ta‟diib lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia.

Pengertian ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW. :

(احلديث) دبين ربي فأحسن تأديب “Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (Al-Hadits)

22

Proses ta‟dib harus didasarkan pada komitmen kuat untuk membangun

moralitas manusia dan dimulai diri sendiri. Dalam ta‟dib, seorang pendidik harus

selalu sadar bahwa proses ta‟dib tidak pernah lepas dari arahan Allah. Tuhan ikut

campur dengan mengarahkan langkah pendidik.23

Ta‟dib, sebagai upaya dalam pembentukan adab (tata krama) terbagi atas

empat macam :

a. Ta‟dib adab al-haqq, pendidikan tata krama spiritual dalam kebenaran,

yang memerlukan pengetahuan tentang wujud kebenaran, yang di

dalamnya segala yang ada memiliki kebenaran tersendiri dan yang

dengannya segala sesuatu diciptakan.

b. Ta‟dib adab al-khidmah, pendidikan tata krama spiritual dalam

pengabdian. Sebagai seorang hamba, manusia harus mengabdi kepada

sang Raja (Malik) dengan menempuh tata krama yang pantas.

c. Ta‟dib adab al-syari‟ah, pendidikan tata krama spiritual dalam syari‟a,

yang tata caranya telah digariskan oleh Tuhan melalui wahyu. Segala

21 Rois Mahfud, op.cit., h. 144

22

Samsul Nizar, op.cit., h. 90

23

Asrorun Niam Sholeh, op.cit., h. 95

Page 28: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

17

pemenuhan syari‟ah Tuhan akan berimplikasi pada tata krama yang

mulia.

d. Ta‟dib adab al-shuhbah, pendidikan tata krama spiritual dalam

persahabata, berupa saling menghormati dan berprilaku mulia di antara

sesama.24

Sedangkan istilah ta‟dib menurut Daud (1987) dalam Rois Mahfud

menyatakan bahwa

“Ta‟dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur–angsur

ditanamkan kepada manusia tentang tempat–tempat yang tepat dari segala

sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa untuk membimbing

manusia ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan

di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.”25

Hasil Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia Kedua tahun 1980 di Islamabad,

Pakistan, merumuskan bahwa pendidikan Islam adalah suatu usaha untuk

mengembangkan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual,

imajinasi, jasmaniah, dan ilmiah baik secara individual maupun kolektif menuju ke

arah pencapaian kesempurnaan hidup sesuai dengan ajaran Islam.26

Menurut Dr. Muhammad Fadil Al-Djamaly dalam Muzayyin Arifin

menyatakan:

“Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada yang

baik dan yang mengangkat derajat kemanusiannya sesuai dengan kemampuan

dasar (fithrah) dan kemampuan ajarnya (pengaruh dari luar).”27

Arifin dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis

Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner mengemukakan bahwa hakikat pendidikan

Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan

dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak

24 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op.cit., h. 20-21

25

Rois Mahfud, op.cit., h. 144

26

A. Fatah Yasin, op.cit., h. 24

27

Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), cet ke-5, h. 17-18

Page 29: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

18

didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan

perkembangannya. 28

Sedangkan menurut Armai Arief, pendidikan Islam adalah suatu proses

penanaman nilai-nilai Islam melalui pengajaran, bimbingan dan latihan yang

dilakukan dengan sadar dan penuh tanggung jawab dalam rangka pembentukan,

pembinaan, pendayagunaan, dan pengembangan pikir, zikir, dan kreasi manusia,

sehingga terbentuk pribadi muslim sejati, yang mampu mengembangkan

kehidupannya dengan penuh tanggung jawab dalam rangka beribadah kepada Allah

SWT. untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. 29

Dari pengertian ini nampak penekanannya kepada usaha membimbing

pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik ke tingkat

maksimal. Dalam pengertian ini terkandung makna usaha orang dewasa muslim yang

sadar (pendidik muslim), melalui ajaran Islam, menuju titik maksimal pertumbuhan

dan perkembangannya (sebagai tujuan pendidikan).30

Pendidikan Islam, sebelumnya hanya dipersepsi sebagai materi, sekarang

persepsi umat telah berubah, pendidikan Islam tidak hanya dipersepsi sebagai materi,

tetapi juga sebagai institusi, sebagai kultur dan aktivitas, dan sebagai sistem. Inilah

yang sekarang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah yang secara operasional

mengatur pelaksanaan undang-undang tersebut. Dengan demikian, maka penyebutan

istilah “Pendidikan Islam” bisa mencakup empat persepsi tersebut: pertama,

pendidikan Islam dalam pengertian materi; kedua, pendidikan Islam dalam pengertian

institusi; ketiga, pendidikan Islam dalam pengertian kultur dan aktivitas; keempat,

pendidikan Islam dalam pengertian pendidikan Islam yang islami.

Pendidikan Islam menurut pengertian yang pertama, (pendidikan Islam dalam

pengertian materi), maka yang dimaksud pendidikan Islam adalah “materi

28 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan

Interdisipliner, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), cet ke-1, h. 22

29

Armai Arief, op.cit., h. 36

30

Moh. Shofan, op.cit., h. 51-52

Page 30: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

19

Pendidikan Agama Islam (PAI)” yang wajib diberikan di semua jenis, bentuk, dan

jenjang pendidikan, baik di sekolah (SD, SMP, SMA, SMK, dan/atau yang sederajat),

di Madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam (MI, MTs, MA, MAK,

dan/atau yang sederajat), dan di Madrasah Diniyah (Ula, Wustha dan „Ulya), karena

sesuai dengan penegasan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

bahwa PAI adalah isi kurikulum yang wajib diajarkan di setiap jenis, jalur, dan

jenjang pendidikan. Perbedaan pokok antara materi PAI di Sekolah, di Sekolah

Umum Berciri Khas Islam, dan di Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut: kalau di

Sekolah, PAI merupakan mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran agama dan

akhlak (dengan sub mata pelajaran atau unsur pokok keimanan, ibadah, Al-Qur‟an -

hadis, akhlak, mu‟amalah, syari‟ah, dan tarikh) dengan satu silabi, sedang di

Madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam, PAI merupakan satu kelompok

mata pelajaran agama dan akhlak (terdiri dari Qur‟an, Hadis, Fikih, Akidah Akhlak,

SKI, dan bahasa Arab) dan setiap mata pelajaran memiliki silabi tersendiri.

Selanjutnya, di Madrasah Diniyah PAI menjadi materi inti dan tujuan institusional

lembaga adalah dalam rangka tafaqquh fiddin. Di Madrasah Diniyah ada variasi lagi,

kalau di Madrasah Salafiyah menggunakan referensi kitab kuning, sedang di Diniyah

Takmiliyah PAI bersifat pelengkap bagi peningkatan kompetensi keagamaan siswa

yang sedang belajar di Sekolah atau Sekolah Umum Berciri Khas Islam.

Pendidikan Islam menurut pengertian yang kedua, (pendidikan Islam dalam

pengertian institusi), maka yang dimaksud pendidikan Islam adalah institusi-institusi

pendidikan Islam seperti: pondok pesantren, madrasah diniyah, madrasah sebagai

sekolah umum berciri khas Islam, dan sebagainya. Berkembangnya bentuk institusi

pendidikan Islam seperti pondok pesantren, madrasah diniyah, madrasah sebagai

sekolah umum berciri khas Islam dan sekolah Islam itu, selain telah menunjukkan

keagamaan visi-misi perjuangan, sekaligus menunjukkan belum adanya grand design

sistem kelambagaan pendidikan Islam. Karena itu, rekonstruksi sistem kelembagaan

sangat diperlukan agar muncul ghirah yang bisa menginisiasi format institusi

pendidikan Islam yang mampu mengatur dan mensintesakan berbagai bentuk

Page 31: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

20

kelembagaan itu dalam sebuah kelembagaan yang integral, sistemik, dan holistik

serta mampu menjelma sebagai ”magnet school”, yakni lembaga yang mampu

menyedot potensi dari partisipasi masyarakat karena reputasi kelembagaannya yang

menyajikan layanan pendidikan yang berkualitas.31

Pendidikan Islam menurut pengertian yang ketiga, (pendidikan Islam dalam

pengertian kultur dan aktivitas), maka yang dimaksud adalah budaya, kultur atau

nilai-nilai keislaman dan aktivitas yang tumbuh dan berkembang dan berpengaruh

terhadap iklim pendidikan Islam, citra pendidikan Islam, performance institusi

pendidikan Islam, dan aktivitas pendidikan Islam. Kultur pendidikan Islam, selama

ini kurang tergarap secara baik dan profesional, sehingga terjadi kesenjangan yang

begitu jauh antara idealitas ajaran Islam yang menekankan kebesihan dan citra

kelembagaan pendidikan Islam yang kerap disebut “kumuh”, ada kesenjangan antara

cita dan fakta, dan sebagainya. Kultur dan aktivitas pendidikan Islam seperti ini

penting digagas dan dikembangkan dalam rangka memberdayakan pendidikan Islam

sekaligus mengangkat pendidikan Islam dari keterpurukannya.

Yang terakhir, pendidikan Islam menurut pengertian yang keempat,

(pendidikan Islam dalam pengertian pendidikan yang islami), maka yang dimaksud

adalah sistem pendidikan yang islami. Pendidikan Islam, sebagaimana pendidikan

lainnya, memiliki komponen-komponen utama, seperti: dasar, tujuan, prinsip,

metode, evaluasi dan sebagainya. Konstruksi komponen-komponen utama tersebut,

menurut pengertian yang keempat, selalu mengacu pada ajaran normatif (Al-Qur‟an

dan al-hadits) dan terapannya dalam pendidikan.32

Pendidikan Islam merupakan upaya pelayanan ataupun usaha secara sadar,

secara terencana bagi pengembangan optimalisasi potensi dasar yang ada dalam diri

setiap individu. Potensi dasar tersebut berupa potensi untuk mengakui Allah sebagai

Tuhan yang menciptakan alam semesta, potensi untuk menjadi manusia yang baik

31 Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU

SISDIKNAS, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), cet ke-1, h. 2-4

32

Ibid., h. 4-5

Page 32: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

21

dan berbuat baik, potensi untuk mengembangkan naluri kekhalifahan, dan potensi

untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan lain-lain.33

Jadi, pendidikan Islam adalah suatu upaya atau proses, pencarian,

pembentukan, dan pengembangan sikap dan perilaku untuk mencari,

mengembangkan, memelihara, serta menggunakan ilmu dan perangkat teknologi atau

keterampilan demi kepentingan manusia sesuai dengan ajaran Islam.34

2. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam

tujuan pendidikan suasana ideal itu nampak pada tujuan akhir (ultimate aims of

education). Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat.35

Sedangkan

tujuan umum dari pendidikan ialah membawa anak kepada kedewasaannya, yang

berarti bahwa ia harus dapat menentukan diri sendiri dan bertanggung jawab

sendiri.36

Secara umum, tujuan pendidikan Islam terbagi kepada: tujuan umum, tujuan

sementara, tujuan akhir dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah tujuan yang

akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran atau dengan

cara lain. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi

sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum. Tujuan

akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia-manusia

yang sempurna (insan kamil) setelah ia menghabisi sisa umurnya. Sementara tujuan

operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan

pendidikan tertentu.37

33 Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-Banna dan Mohammad

Natsir, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), h. 44

34

Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), cet. ke- 1,

h. 96

35

Zuhairini, op.cit., h. 160

36

M. Ngalim Purwanto, op.cit., h. 19

37

Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h.

18-19

Page 33: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

22

Ada yang memerinci tujuan pendidikan dalam bentuk taksonomi (sistem

klasifikasi) yang terutama meliputi:

a. Pembinaan kepribadian (nilai formil).

Sikap (attitude).

Daya pikir praktis rasional.

Obyektivitas.

Loyalitas kepada bangsa dan ideologi.

Sadar nilai-nilai moral dan agama.

b. Pembinaan aspek pengetahuan (nilai materiil), yaitu materi ilmu sendiri.

c. Pembinaan aspek kecakapan, keterampilain (skill) nilai-nilai praktis.

d. Pembinaan jasmani yang sehat.38

Tujuan pendidikan nasional menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II, Pasal 3 yang berbunyi: “Pendidikan

nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,

bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta

bertanggung jawab”.39

Sedangkan, tujuan pendidikan Islam adalah untuk mempersiapkan anak didik

atau individu dan menumbuhkan segenap potensi yang ada, baik jasmani maupun

rohani, dengan pertumbuhan yang terus menerus agar dapat hidup dan

berpenghidupan sempurna, sehingga ia dapat menjadi anggota masyarakat yang

berguna bagi dirinya dan umatnya.40

38 Zuhairini, op.cit., h. 161

39

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang

Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), h. 8

40

Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), cet ke-1, h. 21

Page 34: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

23

Secara umum, tujuan pendidikan Islam itu adalah dengan mengacu pada QS.

51 : 56, yaitu menjadikan manusia sebagai insan pengabdi kepada Khaliqnya, guna

mampu membangun dunia dan mengelola alam semesta sesuai dengan konsep yang

telah ditetapkan Allah SWT.41

Rumusan tujuan ini diilhami oleh firman Allah sebagai berikut :

(٦٥الذريات : ) الني و االنس االي لي عبدون وما خلقت “Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya menyembah-Ku”.

(QS. Adz-Dzariyat : 56) 42

Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal

yang perlu diperhatikan, yaitu :

a. Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertikal maupun

horizontal.

b. Sifat-sifat dasar manusia.

c. Tuntutan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan.

d. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dalam aspek ini, setidaknya ada

3 macam dimensi ideal Islam, yaitu : (a) mengandung nilai yang berupaya

meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di muka bumi. (b)

mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih

kehidupan yang baik, (c) mengandung nilai yang dapat memadukan antara

kepentingan kehidupan dunia dan akhirat (fi al-dunya hasanah wa fi al-

akhirat al-hasanah).

Menurut al-Syaibani dalam Samsul Nizar mengemukakan bahwa tujuan

tertinggi pendidikan Islam adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.

Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta

didik, baik ruh, pisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk

pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fil

41 Samsul Nizar, op.cit., h. 105

42

Abudin Nata, op.cit., h. 173

Page 35: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

24

ardh. Pendekatan tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah

pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak”

Tuhan sesuai dengan syariat Islam, serta mengisi tugas kehidupannya di dunia dan

menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya.43

Tujuan pendidikan dalam konsep Islam harus mengarah pada hakikat

pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya yaitu tujuan dan tugas hidup manusia,

memperhatikan sifat–sifat dasar manusia, tuntutan masyarakat, dan dimensi–dimensi

ideal Islam.

Pertama, terkait dengan ontologi hakikat manusia sudah sangat jelas dalam

konsep Islam di mana manusia diciptakan bukan karena kebetulan atau sia – sia, ia

diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu seperti dikatakan dalam

QS. Ali „Imran [3] : 191. Tujuan diciptakan manusia adalah mutlak untuk Allah

SWT, mendedikasikan dirinya baik sebagai wakil-Nya di muka bumi maupun sebagai

„abd Allah SWT.

Kedua, memperhatikan sifat – sifat dasar manusia (nature of human) yang

oleh Allah SWT ditempatkan sebagai khalifah-Nya di muka bumi yang bertujuan

untuk mengabdi kepada-Nya sebagaimana dilukiskan dalam QS. Al-Dzariyat [51] :

56 :

(٥٦)الذاريات : وما خلقت الني و االنس االي لي عبدون

Artinya :

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

mengabdi kepada – Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Ketiga, tuntutan masyarakat baik berupa pelestarian nilai – nilai budaya yang

telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat, maupun pemenuhan terhadap

tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan dan tuntutan dunia

modern.

43 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta:

Ciputat Press, 2002), cet ke-1, h. 35-36

Page 36: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

25

Keempat, dimensi kehidupan ideal Islam mengandung nilai yang dapat

meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia untuk mengelola dan

memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat, serta mengandung nilai

yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang

membahagiakan sehingga manusia dituntut agar tidak terbelenggu oleh rantai

kekayaan duniawi atau material yang dimiliki. Namun demikian, manusia dituntut

untuk menempatkan secara selaras antara kebutuhan dunia dan akhirat secara

proporsional seperti yang direkomendasikan dalam QS. Al-Qashash [28] : 77 :

يا و اراالخرة و ال ت نس نسبك من الن احسن كما احسن اهلل اليك وال ت بغ واب تغ فيما ءا تك اهلل الدي

ب المفسدون (٧٧)القصص : الفساد ف االرض اني اهلل ال ي

Artinya :

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu

(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu

dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)

sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu

berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai

orang – orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al – Qashash : 77)44

Menurut tugas dan fungsi manusia secara filosofis, tujuan pendidikan bisa

dibedakan sebagai berikut :

a. Tujuan individual yang menyangkut individu, melalui proses belajar

dengan tujuan mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat.

b. Tujuan sosial yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sebagai

keseluruhan, dan dengan tingkah laku masyarakat umumnya serta dengan

perubahan-perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan pribadi,

pengalaman dan kemajuan hidupnya.

44 Rois Mahfud, op.cit., h. 145-147

Page 37: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

26

c. Tujuan profesional yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni, dan

profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat.

Dalam proses kependidikan, ketiga tujuan di atas dicapai secara integral, tidak

terpisah, sehingga dapat mewujudkan tipe manusia paripurna seperti dikehendaki

oleh ajaran Islam. 45

Menurut al-Qabisy dalam A. Fattah Yasin menyatakan:

“Tujuan pendidikan Islam itu adalah upaya menyiapkan peserta didik agar

menjadi muslim yang dapat menyesuaikan hidupnya sesuai dengan ajaran-

ajaran Islam. Dengan tujuan ini diharapkan peserta didik juga mampu

memiliki pengetahuan dan mampu mengamalkan ajaran Islam, karena hidup

di dunia ini tidak lain adalah jembatan menuju hidup di akhirat.”46

Menurut Prof. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi dalam kajiannya tentang

pendidikan Islam dalam Muzayyin Arifin telah menyimpulkan 5 (lima) tujuan yang

asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “At-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa

Falsafatuha”, yaitu :

a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan

bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam – buitstu li

utammima makarimal akhlak – dan bahwa mencapai akhlak yang

sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya. Dan bukanlah tujuan

pendidikan dan pengajaran dalam rangka pemikiran Islam untuk mengisi

otak pelajar dengan informasi–informasi kering dan mengajar mereka

pelajaran–pelajaran yang belum mereka ketahui. Dapat diringkaskan

tujuan asasi pendidikan Islam itu dalam suatu kata, yaitu “keutamaan” (al-

fadhilah). Menurut tujuan ini setiap pengajaran harus berorientasi pada

pendidikan akhlak, dan akhlak keagamaan di atas segala – galanya.

b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam

tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya

45 Arifin, op.cit., h. 29

46

A. Fatah Yasin, op.cit., h. 110

Page 38: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

27

segi keduniaan saja, tetapi ia menaruh perhatian pada kedua–duanya

sekaligus dan ia memandang persiapan untuk kedua kehidupan itu sebagai

tujuan tertinggi dan terakhir bagi pendidikan.

c. Menumbuhkan ruh ilmiah (Scientific Spirit) pada pelajaran dan

memuaskan keinginan hati untuk mengetahui (curiosity) dan

memungkinkan ia mengkaji ilmu sebagai sekedar ilmu. Pada waktu

pendidik–pendidik muslim menaruh perhatian kepada pendidikan agama

dan akhlak dan mempersiapkan diri untuk kehidupan dunia dan akhirat

dan mempersiapkan untuk mencari rezeki, mereka juga menumbuhkan

perhatian pada sains, sastra, kesenian dalam berbagai jenisnya, sekedar

sebagai sains, sastra dan seni.

d. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan tertentu,

supaya ia dapat menguasai profesi tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki

dalam hidup dan hidup dengan mulia di samping memelihara segi

kerohanian dan keagamaan. Pendidikan Islam, sekalipun menekankan segi

kerohanian dan akhlak, tidaklah lupa menyiapkan seseorang untuk hidup

dan mencari rezeki. Begitu juga ia tak lupa melatih badan, akal, hati,

perasaan–perasaan, kemauan, tangan, lidah, dan pribadi.

e. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi–segi kemanfaatan.

Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau

spiritual semata–mata, tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan

pada tujuan–tujuan, kurikulum, dan aktifitasnya. 47

Menurut Ahmad D. Marimba dalam Moh. Shofan mengemukakan bahwa

suatu usaha tanpa tujuan tidak akan berarti apa-apa. Oleh karenanya, setiap usaha

mesti ada tujuan dan begitu pula dalam pendidikan Islam sangat penting adanya

tujuan pendidikan yang dilaksanakan. Ada empat fungsi tujuan dalam pendidikan

Islam, yaitu :

47 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), cet. ke- 4, h. 164-166

Page 39: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

28

Pertama, tujuan berfungsi mengakhiri usaha, dalam hal ini perlu sekali

antisipasi ke depan dan efisiensi dalam tujuan agar tidak terjadi penyimpangan.

Kedua, tujuan berfungsi mengerahkan usaha, dalam hal ini tujuan dapat menjadi

pedoman sebagai arah kegiatan. Ketiga, tujuan dapat merupakan titik pangkal untuk

mencapai tujaun lainnya, baik merupakan kelanjutan tujuan sebelumnya maupun bagi

tujuan baru, dalam hal ini ada tujuan yang lebih luhur, mulia daripada usaha lainnya.

Di samping itu tujuan bisa bersifat paralel ataupun garis lurus (linier), bisa juga

tujuan dekat, jauh dan lebih jauh atau tujuan sementara (antara) dan tujuan akhir.48

Tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya sama dan sesuai dengan tujuan

diturunkannya agama Islam itu sendiri, yaitu untuk membentuk manusia muttaqin

yang rentangannya berdimensi infinitum (tidak terbatas menurut jangkauan manusia),

baik secara linear maupun secara algoritmik (berurutan secara logis) berada dalam

garis-garis mukmin – muslim – muhsin dengan perangkat komponen, variabel, dan

parameternya masing-masing yang secara kualitatif bersifat kompetitif.

Oleh karena itu, tujuan pendidikan Islam dapat dipecah menjadi tujuan-tujuan

berikut ini:

a. Membentuk manusia muslim yang dapat melaksanakan ibadah mahdhah.

b. Membentuk manusia muslim yang di samping dapat melaksanakan ibadah

mahdhah dapat juga melaksanakan ibadah muamalah dalam

kedudukannya sebagai orang perorang atau sebagai anggota masyarakat

dalam lingkungan tertentu.

c. Membentuk warga negara yang bertanggungjawab kepada masyarakat dan

bangsanya dalam rangka bertanggungjawab kepada Allah Penciptanya.

d. Membentuk dan mengembangkan tenaga profesional yang siap dan

terampil atau tenaga setengah terampil untuk memungkinkan memasuki

teknostruktur masyarakatnya.

48 Moh. Shofan, op.cit., h. 55

Page 40: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

29

e. Mengembangkan tenaga ahli di bidang ilmu (agama dan ilmu-ilmu islami

lainnya). 49

Tujuan umum dalam pendidikan Islam adalah mencapai kepribadian yang

sempurna dari segala aspek insaniah, seperti jasmaniah, ruhaniah, intelek, dan

sebagainya. Sedangkan tujuan akhir dalam pendidikan Islam adalah perwujudan

ketundukkan yang sempurna kepada Allah SWT.

3. Fungsi Pendidikan Islam

Pendidikan mempunyai peran dan fungsi ganda, pertama peran dan fungsinya

sebagai instrumen penyiapan generasi bangsa yang berkualitas, kedua, peran serta

fungsi sebagai instrumen transfer nilai. Fungsi pertama menyiratkan bahwa

pendidikan memiliki peran artikulasi dalam membekali seseorang atau sekelompok

orang dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan, yang berfungsi

sebagai alat untuk menjalani hidup yang penuh dengan dinamika, kompetisi, dan

perubahan. Fungsi kedua menyiratkan peran dan fungsi pendidikan sebagai instrumen

transformasi nilai – nilai luhur dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua

fungsi tersebut secara eksplisit menandai bahwa pendidikan mengandung makna bagi

pengembangan sains dan teknologi serta pengembangan etika, moral, dan nilai – nilai

spiritual kepada masyarakat agar tumbuh dan berkembang menjadi warga negara

yang beradab dan bermartabat, terampil, demokratis, dan memiliki keunggulan

kompetitif (competitive advantage) serta keunggulan komperatif (comperative

advantage). 50

Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua

bentuk, yaitu:

49 Jusuf Amir Feisal, op.cit., h. 96

50

Rois Mahfud, op.cit., h. 147

Page 41: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

30

a. Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungkan tingkat-tingkat

kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan

nasional.

b. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan. Pada

garis besarnya, upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan

skill yang dimiliki, serta melatih tenaga-tenaga manusia (peserta didik)

yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan sosial dan

ekonomi yang demikian dinamis.51

Dari batasan terminologis dan tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan

Islam, terlihat bahwa peranan pendidikan sangat besar dalam membangun peradaban

manusia. Artinya, peradaban dan kebudayaan manusia tumbuh dan berkembang

melalui pendidikan. Agar peradaban bisa terbentuk sesuai dengan yang diinginkan,

maka dalam konsep pendidikan harus didasari oleh nilai-nilai, cita-cita, dan falsafah

yang berlaku di suatu masyarakat atau bangsa.

Untuk mencapai konsep di atas, maka kesemuanya itu merupakan tanggung

jawab yang dibebankan dalam pendidikan yang ada. Maka dalam konteks ini, fungsi

pendidikan Islam dapat dilihat dari dua dimensi :

a. Dimensi mikro (internal), yaitu manusia sebagai subyek dan obyek

pendidikan. Pada dimensi ini, pendidikan yang dilakukan berfungsi

memelihara dan mengembangkan fitrah (potensi) insani yang ada dalam

diri anak didik seoptimal mungkin sesuai dengan norma agama.

Dengan upaya ini diharapkan pendidikan Islam mampu membentuk insan

yang berkualitas dan mampu melaksanakan kewajiban dan tanggung

jawabnya, baik sebagai pribadi, maupun kepada masyarakat. Dengan kata

lain, fungsi pendidikan Islam sebagai upaya menuju terbentuknya

kepribadian insan muslim seutuhnya.

51 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis: Filsafat Pendidikan

Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press, 2005), h. 34

Page 42: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

31

Dari batasan di atas, terlihat bahwa fungsi pendidikan dalam perspektif

Islam adalah proses penanaman nilai-nilai Ilahiyah pada diri anak didik,

sehingga mereka mampu mengaktualisasikan dirinya semaksimal

mungkin sesuai dengan prinsip-prinsip religius.

b. Dimensi makro (eksternal), yaitu perkembangan kebudayaan dan

peradaban manusia sebagai hasil akumulasi dengan lingkungannya. Pada

dimensi ini, pendidikan yang dilakukan berfungsi sebagai sarana

pewarisan budaya dan identitas suatu komunitas yang di dalamnya

manusia melakukan berbagai bentuk interaksi dan saling mempengaruhi

antara satu dengan yang lain.52

Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu menjadi fasilitator bagi

pelaksanaan aktualisasi seluruh potensi peserta didik dan transformasi nilai-nilai

sosiokulturalnya dengan ruh islami. Upaya lintas sektoral ini, akan membuat

pendidikan Islam lebih proporsional dan mampu mengayomi seluruh kepentingan

manusia dengan segala karakteristik yang dimiliknya. Dengan pola ini akan

meletakkan pendidikan Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan

kepentingan masyarakat di mana pendidikan Islam itu terlaksana. Bila fungsi

pendidikan Islam diatas telah dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya, maka otomatis

akan memungkinkan akan terlaksananya tugas pendidikan sebagai alat yang

membimbing dan mengarahkan seluruh potensi peserta didik untuk tumbuh dan

berkembang seoptimal mungkin terwujud dengan baik pula.53

Pendidikan Islam, dengan bertitik tolak dari prinsip iman – islam – ihsan atau

akidah – ibadah – akhlak untuk menuju suatu sasaran kemuliaan manusia dan budaya

yang diridhai Allah SWT, setidak-tidaknya memiliki fungsi-fungsi berikut ini:

a. Individualisasi nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya derajat manusia

muttaqin dalam bersikap, berpikir, dan berperilaku.

b. Sosialisasi nilai-nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya umat Islam.

52 Samsul Nizar, op.cit., h. 121-122

53

Ibid., h. 123

Page 43: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

32

c. Rekayasa kultur Islam demi terbentuk dan berkembangnya peradaban

Islam.

d. Menemukan, mengembangkan, serta memelihara ilmu, teknologi, dan

keterampilan demi terbentuknya para manajer dan manusia profesional.

e. Pengembangan intelektual muslim yang mampu mencari,

mengembangkan, serta memelihara ilmu dan teknologi.

f. Pengembangan pendidikan yang berkelanjutan dalam bidang ekonomi,

fisika, kimia, arsitektur, seni musik, seni budaya, politik, olahraga,

kesehatan dan sebagainya.

g. Pengembangan kualitas muslim dan warga negara sebagai anggota dan

pembina masyarakat yang berkualitas kompetitif.54

4. Kurikulum Pendidikan Islam

Secara etimologi, kurikulum dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya

pelari dan curere yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada

mulanya digunakan dalam dunia olahraga yang berarti “a little racecourse” (suatu

jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olahraga). Berdasarkan pengertian ini,

dalam konteksnya dengan dunia pendidikan, memberinya pengertian sebagai “circle

of instruction” yaitu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat di

dalamnya. Sementara pendapat lain mengemukakan bahwa kurikulum ialah arena

pertandingan tempat pelajar bertanding untuk menguasai pelajaran guna mencapai

garis penamat berupa diploma, ijazah atau gelar kesarjanaan. 55

Kata “kurikulum” mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan sejak

kurang – lebih satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama kalinya

dalam kamus Webster tahun 1856. Pada tahun itu kurikulum digunakan dalam bidang

olahraga, yakni suatu alat yang membawa orang dari start sampai ke finish. Barulah

54 Jusuf Amir Feisal, op.cit., h. 95-96

55

Samsul Nizar, op.cit., h. 55-56

Page 44: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

33

pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti

sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan. Dalam kamus tersebut kurikulum

diartikan dua macam, yaitu :

a. Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa di

sekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu.

b. Sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga

pendidikan atau jurusan. 56

Di dalam kurikulum tidak hanya dijabarkan serangkaian ilmu yang harus

diajarkan oleh pendidik (guru) kepada anak didik, dan anak didik mempelajarinya,

tetapi juga segala kegiatan yang bersifat kependidikan yang dipandang perlu, karena

mempunyai pengaruh terhadap anak didik, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan

Islam, misalnya olahraga, kepramukaan, widya wisata, seni budaya; mempunyai

pengaruh cukup besar dalam proses mendidik anak didik, sehingga perlu

diintegrasikan ke dalam kurikulum itu.57

Dasar-dasar kurikulum pendidikan Islam antara lain adalah :

a. Dasar agama.

Kurikulum diharapkan dapat menolong siswa untuk membina iman yang

kuat, teguh terhadap ajaran agama, berakhlak mulia dan melengkapinya

dengan ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat.

b. Dasar falsafah

Pendidikan Islam harus berdasarkan wahyu Tuhan dan tuntunan Nabi

SAW. serta warisan para ulama.

c. Dasar psikologis

Kurikulum tersebut harus sejalan dengan ciri perkembangan siswa,

tahap kematangan dan semua segi perkembangannya.

56 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), cet. ke-7, h. 53

57

Muzayyin Arifin, op.cit., h. 77-78

Page 45: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

34

d. Dasar sosial

Kurikulum diharapkan turut serta dalam proses kemasyarakatan

terhadap siswa, penyesuaian mereka dengan lingkungannya,

pengetahuan dan kemahiran yang akan menambah produktifitas dan

keikutsertaan mereka dalam membina umat dan bangsanya. 58

Secara umum karakteristik kurikulum pendidikan Islam adalah pencerminan

nilai-nilai Islami yang dihasilkan dari pemikiran kefilsafatan dan termanifestasi dalam

seluruh aktivitas dan kegiatan pendidikan dalam prakteknya. Dalam konteks ini harus

difahami bahwa karakteristik kurikulum pendidikan Islam senantiasa memiliki

keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan dengan prinsip-prinsip yang telah diletakkan

Allah SWT dan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Konsep inilah yang membedakan

kurikulum pendidikan Islam dengan kurikulum pendidikan pada umumnya. 59

Dalam Islam, kurikulum pendidikan harus berdasarkan aqidah Islam. Apabila

aqidah Islam sudah menjadi asas yang mendasar bagi kehidupan seorang Muslim,

asas bagi negaranya, asass bagi hubungan antar Muslim, asas bagi aturan dan

masyarakat umumnya, maka seluruh pengetahuan yang diterima seorang Muslim

harus berdasarkan aqidah Islam pula, baik hal itu berupa antar Muslim, masalah-

masalah politik, dan kenegaraan, atau masalah apa pun yang ada kaitannya dengan

kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.60

Kurikulum pendidikan Islam seharusnya mempunyai ciri–ciri sebagai berikut:

a. Kurikulum pendidikan Islam harus menonjolkan mata pelajaran agama

dan akhlak. Agama dan akhlak itu harus diambil oleh Al-Qur‟an dan

hadis serta contoh – contoh dari tokoh terdahulu yang saleh.

b. Kurikulum pendidikan Islam harus memperhatikan pengembangan

menyeluruh aspek pribadi siswa, yaitu aspek jasmani, akal, dan rohani.

58 Armai Arief, op.cit., h. 34-35

59

Samsul Nizar, op.cit., h. 61

60

Abdur Rahman Al-Baghdadi, Sistem Pendidikan Islam di Masa Khilafah Islam, (Surabaya: Al-

Izzah, 1996), cet. ke-1, h. 9

Page 46: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

35

Untuk pengembangan menyeluruh ini kurikulum harus berisi mata

pelajaran yang banyak, sesuai dengan tujuan pembinaan setiap aspek itu.

c. Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan antara

pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat; jasmani, akal, dan rohani

manusia. Keseimbangan itu tentulah bersifat relatif karena tidak dapat

diukur secara objektif.

d. Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan juga seni halus, yaitu ukir,

pahat, tulis – indah, gambar dan sejenisnya. Selain itu, memperhatikan

juga pendidikan jasmani, latihan militer, teknik, keterampilan, dan

bahasa asing sekalipun semuanya ini diberikan kepada perseorangan

secara efektif berdasar bakat, minat, dan kebutuhan.

Kurikulum pendidikan Islam mempertimbangkan perbedaan–perbedaan

kebudayaan yang sering terdapat di tengah manusia karena perbedaan tempat dan

juga perbedaan zaman. Kurikulum dirancang sesuai dengan kebudayaan itu. 61

5. Metodologi Pendidikan Islam

Metodologi pendidikan adalah suatu ilmu pengetahuan tentang metode yang

dipergunakan dalam pekerjaan mendidik. Asal kata “metode” mengandung

pengertian “suatu jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan”. Metode berasal

dari dua perkataan yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui” dan hodos berarti

“jalan atau cara”, bila ditambah dengan logi sehingga menjadi metodologi berarti

“ilmu pengetahuan tentang jalan atau cara yang harus dilalui” untuk mencapai suatu

tujuan, oleh karena kata logi yang berasal dari bahasa Greek (Yunani) logos berarti

“akal” atau “ilmu”. 62

Sementara itu, pendidikan merupakan usaha membimbing dan membina serta

bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak didik ke arah

61 Ahmad Tafsir, op.cit., h. 65-66

62

Arifin, op.cit., h. 65

Page 47: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

36

kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka

pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia muslim

yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan

merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT., baik kepada

Tuhannya, sesama manusia dan sesama makhluk lainnya. Pendidikan yang dimaksud

selalu berdasarkan kepada ajaran Al-Qur‟an dan Hadits.

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan metodologi pendidikan Islam adalah

cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan pencapaian tujuan pendidikan Islam.

Metodologi Pendidikan Islam yang dinyatakan dalam Al-Qur‟an

menggunakan sistem multi approach yang meliputi antara lain :

a. Pendidikan religius, bahwa manusia diciptakan memiliki potensi dasar

(fitrah) atau bakat agama.

b. Pendekatan filosofis, bahwa manusia adalah makhluk rasional atau

berakal pikiran untuk mengembangkan diri dan kehidupannya.

c. Pendekatan rasio-kultural, bahwa manusia adalah makhluk

bermasyarakat dan berkebudayaan sehingga latar belakangnya

mempengaruhi proses pendidikan.

d. Pendekatan scientific, bahwa manusia memliki kemampuan kognitif dan

afektif yang harus ditumbuhkembangkan.

Berdasarkan multi approach tersebut, penggunaan metode harus dipandang

secara komprehensif terhadap anak. Karena anak didik tidak saja dipandang dari segi

perkembangan, tetapi juga harus dilihat dari berbagai aspek yang mempengaruhinya.

63

An-Nahlawi mengemukakan beberapa metode yang paling penting dalam

pendidikan Islam, yaitu :

a. Metode hiwar (percakapan) Qur‟ani dan Nabawi.

b. Mendidik dengan kisah-kisah Qur‟ani dan Nabawi.

63 Armai Arief, op.cit., h. 40-41

Page 48: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

37

c. Mendidik dengan amtsal (perumpamaan) Qur‟ani dan Nabawi.

d. Mendidik dengan memberi teladan.

e. Mendidik dengan pembiasaan diri dan pengamalan.

f. Mendidik dengan mengambil ibrah (pelajaran) dan mau‟izhah

(peringatan).

g. Mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat

takut). 64

Metodologi pendidikan Islam sebagai perangkat ilmu yang bukan saja bicara

tentang metode pendidikan/pengajaran pendidikan (agama) Islam secara

konvemsional, tapi di dalamnya menyangkut pendekatan/prosedur, metode/strategi,

dan teknik/langkah-langkah operasional pelaksanaan pendidikan Islam secara

menyeluruh. Hal ini menyangkut metodologi pendidikan Islam sebagai ilmu yang

perlu dididikkan dan dipelajari sehingga dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan,

juga Islam sebagai nilai normatif yang perlu tanamkan untuk dipedomani dan

diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.65

B. Pemikiran Pendidikan Islam

Secara etimologi, pemikiran berasal dari kata dasar “pikir” yang berarti

proses, cara, atau perbuatan memikir, yaitu menggunakan akal budi untuk

memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara

bijaksana. Dalam konteks ini, pemikiran dapat diartikan sebagai upaya cerdas dan

proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha mencari

penyelesaiannya secara bijaksana.

Secara terminologis, menurut Mohammad Labib An-Najihi dalam A. Susanto

mengemukakan:

64 Samsul Nizar, op.cit., h. 73

65

A. Fatah Yasin, op.cit., h. 147

Page 49: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

38

“Pemikiran pendidikan Islam adalah aktivitas pikiran yang teratur dengan

mempergunakan metode filsafat. Pendekatan tersebut dipergunakan untuk mengatur,

menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan dalam sebuah sistem yang

integral.”

Pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu

yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada

dalam pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah paradigma

pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta

didik secara paripurna.

Tujuan dari pemikiran pendidikan Islam untuk mengungkap dan merumuskan

paradigma pendidikan Islam dan peranannya dalam pengembangan sistem pendidikan

di Indonesia. Pemikiran pendidikan Islam ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan

masukan dalam merekonstruksi pola atau model pendidikan yang lebih adaptik dan

integral – dengan nuansa Islami – terutama bagi pengembangan sistem pendidikan

nasional, serta ikut memperkaya khazanah perkembangan pemikirian ilmu

pengetahuan, baik pengetahuan keislaman maupun pengetahuan umum lainnya. 66

C. Hasil Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian yang relevan dengan judul penelitian yang peneliti teliti

sebagai berikut :

1. Miftah Faridl, NIM: 108011000024, jurusan Pendidikan Agama Islam, masuk

tahun 2008, lulus tahun 2013, dengan judul “Konsep ta‟dib Menurut Syed

Muhammad Naqib Al-Attas”. Di dalam skripsinya, beliau menjelaskan dan

mengkaji tentang konsep ta‟dib saja tanpa menjelaskan pemikiran pendidikan

Islam yang lainnya menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Sehingga

peneliti tertarik untuk menjelaskan dan mengkaji lebih dalam tentang

pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas walaupun di

66 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), cet ke-1, h. 3-5

Page 50: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

39

dalam penjelasan, peneliti sedikit menyinggung konsep ta‟dib di dalam skripsi

ini. Karena Syed Muhammad Naquib Al-Attas, menggagas pendidikan Islam

dengan istilah ta‟dib bukan tarbiyah maupun ta‟lim. Dan beliau menjelaskan

tentang implementasi ta‟dib dalam pendidikan formal dan informal.

Sedangkan peneliti menjelaskan pendidikan Islam pada Era sekarang.

2. Baharudin, NIM : 01.2.001.03.01.0068, jurusan Pasca Sarjana Pendidikan

Agama Islam, lulus tahun 2005, dengan judul “Pemikiran Pendidikan Naquib

Al-Attas : Aktualisasinya dalam Konteks Pendidikan Islam Kontemporer”. Di

dalam tesisnya, beliau menjelaskan dan mengkaji lebih rinci dan mendetail

tentang pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas

terutama dalam sistem pendidikan yang digagas Al-Attas dalam bentuk

universitas. Sedangkan peneliti lebih mengkaji tentang tujuan pendidikan dan

kurikulum pendidikan Islam yang digagas oleh Al-Attas.

Page 51: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

40

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Iman Jama’, Lebak Bulus.

2. Waktu Penelitian

Penelitian yang berjudul “Pemikiran Pendidikan Islam menurut Syed

Muhammad Naquib Al-Attas” ini dilaksanakan dengan pengaturan waktu sebagai

berikut : 26 Februari 2013 sampai dengan 30 September 2013 digunakan untuk

pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari buku, jurnal,

dan internet yang mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan pendidikan

Islam.

Page 52: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

41

B. Metode Penelitian

Skripsi ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif

adalah suatu pendekatan penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan

menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi,

pemikiran orang secara individual atau kelompok.1

Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan library research

yaitu lebih menitikberatkan pada pengumpulan data dari berbagai sumber yang

relevan (seperti buku, jurnal, dan internet) yang terkait dengan judul. Guna menjawab

permasalahan Pemikiran Pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-

Attas.

Peneliti menelusuri karya-karya atau tulisan Syed Muhammad Naquib Al-

Attas serta sumber-sumber berkaitan dengan kerangka berpikir yang membangun

gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang

pendidikan Islam. Setelah data diperoleh, penulis menganalisis data tersebut dengan

pendekatan deskriptif analitik.

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menuturkan

pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data–data, jadi ia juga

menyajikan data, menganalisis, dan menginterpretasikan.2

Pendekatan deskriptif yaitu menjelaskan tentang pendidikan Islam.

Analisisnya yaitu menganalisis pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tersebut

dengan berbagai dalil-dalil yang memiliki keterkaitan, baik dalil Al-Qur’an, Hadits,

dan juga beberapa disiplin ilmu pengetahuan lainnya.

Berkenaan dengan teknik penulisan, penulis merujuk pedoman penulisan

skripsi yang menjadi acuan bagi civitas akademika di lingkungan UIN Syarif

1 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2007), cet. ke-3, h. 60

2 Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 44

Page 53: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

42

Hidayatullah Jakarta. Buku yang dimaksud adalah Panduan Akademik Thn. Ajaran

2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan untuk menunjang penelitian, karena

data yang digunakan adalah berbagai informasi, misalnya buku-buku yang berkaitan

dengan penelitian, ensiklopedi, dan internet.

Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan teknik metode

dokumentasi.

Pemeriksaan dokumentasi (studi dokumentasi) dilakukan dengan meneliti

bahan dokumentasi yang ada dan mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian.3

Untuk memperoleh data dan informasi yang berhubungan dengan tujuan

penelitian, maka sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada

pengumpul data.4 Sedangkan yang dimaksud dari sumber primer dalam penelitian ini

adalah karya-karya yang ditulis sendiri oleh tokoh yang diteliti, dalam penelitian ini

adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas.

Sumber primer yang menjadi acuan utama dalam penelitian ini adalah karya

Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang berjudul Konsep Pendidikan dalam Islam,

Terj. dari The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic

Philosophy of Education, terbit di Bandung: Mizan, tahun 1996. Buku ini membahas

tentang pemikiran-pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengenai

pendidikan Islam.

3 Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 30

4 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,

(Bandung: Alfabeta, 2010), cet. ke-11, h. 193

Page 54: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

43

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data

kepada pengumpul data. Sedangkan yang dimaksud dari sumber sekunder dalam

penelitian ini adalah karya-karya orang lain di dalamnya membahas tokoh yang akan

diteliti.

Sumber sekunder yang merujuk kepada penelitian ini, penulis menemukan

beberapa buku mengenai Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Diantaranya adalah:

1) Karya Wan Mohd Nor Wan Daud yang berjudul Filsafat dan Praktik

Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, terbit di

Bandung: Mizan, tahun 2003. Dalam buku ini membahas tentang

berbagai macam pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas,

mengenai pandangan Al-Attas tentang metafisika, ilmu pengetahuan,

islamisasi ilmu pengetahuan serta pemikiran yang lainnya. Namun,

dalam buku ini pula membahas tentang konsep pendidikan Islam.

Diantaranya mengenai profil, pendidikan, serta karya-karya Syed

Muhammad Naquib Al-Attas, dan pemikiran Syed Muhammad

Naquib Al-Attas tentang konsep pendidikan Islam.

2) Karya Achmad Gholib yang berjudul Teologi dalam Perspektif Islam,

terbit di Jakarta: UIN Jakarta Press, tahun 2004. Dalam buku ini

membahas tentang biografi singkat Syed Muhammad Naquib Al-

Attas, pemikirannya tentang konsep islamisasi ilmu pengetahuan, dan

pendidikan Islam yang menjadikan manusia menjadi insan kamil.

3) Karya Ridjaluddin yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam, terbit di

Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA, tahun 2009. Dalam buku

ini membahas tentang definisi pendidikan Islam (ta’dib) Syed

Muhammad Naquib Al-Attas.

Page 55: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

44

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, peneliti mengolah data dengan cara mengkaji,

menganalisis, menelaah dan mempelajari berbagai literatur yang erat kaitannya

dengan masalah yang dibahas.

D. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data

Pemeriksaan data yang dilakukan adalah berbagai literature yang digunakan

oleh peneliti terutama data-data primer maupun data sekunder. Apakah data-data

tersebut berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.

E. Analisis Data

Analisis yang dipergunakan dalam penelitian kualitatif adalah model analisis

mengalir (flow model). Sejumlah langkah analisis terdapat dalam model ini, yakni

pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.5

5 Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi FITK UIN Syarif

Hidayatullah, (Jakarta: tp, 2013), h. 69

Page 56: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

45

BAB IV

SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS

A. Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas

1. Riwayat Hidup Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada

tanggal 5 September 1931.1 Silsilah keluarganya bisa dilacak hingga ribuan tahun ke

belakang melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba‟Alawi di hadramaut dengan

silsilah yang sampai kepada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW. Di antara

leluhurnya ada yang menjadi wali dan ulama. Salah seorang di antara mereka adalah

Syed Muhammad Al-„Aydarus (dari pihak ibu), guru dan pembimbing ruhani syed

Abu Hafs „Umar ba Syaiban dari Hadramaut, yang mengantarkan Nur Al-Din Al-

Raniri, salah seorang alim ulama terkemuka di dunia Melayu, ke tarekat Rifa‟iyyah.

Ibunda Syed Muhammad Naquib Al-Attas yaitu Syarifah Raquan Al-„Ayadrus,

berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan ningrat Sunda di Sukapura.

1 Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press,

2005), h. 118

Page 57: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

46

Dari pihak bapak, kakek Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang bernama

Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad Al-Attas adalah seorang wali yang

pengaruhnya tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab.

Muridnya, Syed Hasan Fad‟ak, kawan Lawrence of Arabia, dilantik menjadi

penasihat agama Amir Faisal, saudara Raja Abdullah dari Yordania. Neneknya,

Ruqayah Hanum adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan

Ungku Abdul Majid, adik Sultan Abu Bakar Johor (w. 1895) yang menikah dengan

adik Ruqayah Hanum, Khadijah, yang kemudian menjadi Ratu Johor. Setelah Ungku

Abdul Majid wafat (meninggalkan dua orang anak), Ruqayah menikah yang kedua

kalinya dengan Syed Abdullah Al-Attas, dan dikaruniai seorang anak, Syed Ali Al-

Attas, yaitu bapak Syed Muhammad Naquib Al-Attas.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara.

Yang sulung bernama Syed Hussein, seorang ahli sosiologi dan mantan Wakil rektor

Universitas Malaya, sedangkan yang bungsu bernama Syed Zaid, seorang insinyur

kimia dan mantan dosen Institut Teknologi MARA.2

2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir Syed Muhammad Naquib Al-

Attas

Sejarawan, ahli filsafat, dan seniman berkewarganegaraan Malaysia. Dalam

dunia akademis, ia dikenal sebagai sejarawan yang mengkhususkan diri pada sejarah

Islam di Melayu. Ia adalah pendiri The International Institute of Islamic Thought and

Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, Malaysia.3

Pada waktu itu Indonesia berada di bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat

dari garis keturunannya, al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inheren.

Sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu merupakan orang-orang

2 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-

Attas, (Bandung: Mizan, 2003), cet. ke-1, h. 45-46

3 Hasan Muarif Hambaly. et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1996), cet. ke-1, h. 78

Page 58: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

47

yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda.

Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor. Bahkan mendapat gelar

sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan

keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. 4

Ketika berusia 5 tahun, Al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Di

Malaysia, Al-Attas dimasukkan dalam pendidikan dasar Ngee Heng Primary School

sampai usia 10 tahun (1936-1941). Melihat perkembangan yang menguntungkan

yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, maka Al-Attas dan keluarga pindah lagi ke

Indonesia. Di sini, ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah „Urwah al-Wusqa,

Sukabumi selama lima tahun. Di tempat lain, Al-Attas mulai mendalami dan

mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa

difahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat

Naqsabandiyyah.5

Ia kembali ke Indonesia ketika Jepang menduduki Malaya untuk belajar ilmu-

ilmu keislaman di madrasah al-Urwatul Wutsqa‟, Sukabumi, Jawa Barat (1941-1945).

Setelah menyelesaikan sekolah lanjutan atas, ia memasuki ketentaraan Malaysia dan

sempat dikirim untuk belajar di beberapa sekolah militer di Inggris, termasuk Royal

Military Academy, Sandhurst (1952-1955). Pada tahun 1957, ia keluar dari duni

militer dan belajar di Universiti Malaya, Malaysia, selama dua tahun. Kemudian ia

melanjutkan pendidikannya di Institute of Islamic Studies, Mc.Gill University,

Canada (1959-1962), hingga meraih gelar Master dengan tesis yang berjudul Raniri

and The Wujudiyyah of 17th Century Acheh (diterbitkan 1966).6

Belum puas dengan pengembaraan intelektualnya, Al-Attas kemudian

melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies di Universitas London.

Di sinilah ia bertemu dengan Lings, seorang profesor asal Inggris yang mempunyai

pengaruh besar dalam diri Al-Attas, walaupun itu hanya terbatas pada dataran

4 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis: Filsafat Pendidikan

Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press, 2005), h. 117

5 Ramayulis dan Samsul Nizar, op.cit., h. 118

6 Hasan Muarif Hambaly. et.al., op.cit., h. 78

Page 59: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

48

metodologis. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan Martin

Lings, Al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan mempertahankan disertasinya yang

berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri (diterbitkan 1970).7

Dalam perjalanan karir akademiknya, Al-Attas mengawali karirnya dengan

menjadi seorang dosen. Dia banyak membina perguruan tinggi dan ikut berpartisipasi

dalam pendirian universitas di Malaysia, baik sebagai ketua jurusan, dekan, direktur

dan rektor. Pada tahun 1968-1970 Al-Attas menjabat sebagai ketua Departemen

Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu. Al-Attas merancang dasar bahasa Malaysia

pada tahun 1970. Dan pada tahun 1970-1973 Al-Attas menjabat Dekan pada Fakultas

Sastra di universitas tersebut. Akhirnya pada tanggal 24 Januari 1972 dia diangkat

menjadi Profesor Bahasa dan Kesusastraan Melayu, dalam pengukuhannya dia

membacakan pidato ilmiah yang berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan

Melayu.8

Mulai awal 1980-an, Al-Attas berusaha mempraktekkan gagasannya

mengenai konsep pendidikan Islam dalam bentuk universitas. Hal ini antara lain

dikemukakan dalam Konferensi Dunia Pendidikan Islam pertama di Mekah pada

tahun 1977. Sebgai tindak lanjut konferensi tersebut, Organisasi Konferensi Islam

(OKI) bersedia membantu pemerintah Malaysia mendirikan suatu universitas Islam

internasional di Malaysia, yang kemudian diberi nama International Islamic

University (Universitas Islam Internasional), pada tahun 1984. Konsep universitas ini

adalah universitas biasa, namun dengan tambahan pengajaran dan dasar-dasar Islam

dan bahasa Arab. Pengetahuan dasar tentang Islam diberi cukup mendalam agar

mahasiswa dapat menyaring konsep-konsep tak islami dari ilmu-ilmu yang

dipelajarinya. Artinya, islamisasi terjadi dalam diri mahasiswa yang mempelajari

ilmu-ilmu modern itu, dan bukan sesuatu yang dilakukan terhadap disiplin itu sendiri.

7 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, op.cit., h. 118

8 Inpas Online, Islamisasi Ilmu Pengetahuan Tinjauan Atas Pemikiran Syed M. Naquib Al-Attas

dan Ismail Raji‟ Al-Faruqi, dalam http://www.Inpasonline.com, diakses pada tanggal 16 Oktober 2013

Page 60: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

49

Belakangan arah konsep universitas ini berubah menjadi lebih dekat dengan

konsep universitas Islam versi International Institute of Islamic Thought (IIIT) –

sebuah lembaga penelitian yang berpusat di Washington D.C., Amerika Serikat, serta

diilhami oleh pemikiran almarhum Ismail Raji‟ Al-Faruqi – yaitu islamisasi disiplin

ilmu itu sendiri. Merasa tidak sejalan dengan arah baru universitas ini, Al-Attas

berusaha mendirikan sebuah lembaga pengajaran dan penelitian yang mengkhususkan

diri pada pemikiran Islam – khususnya filsafat – sebagai jantung dari proses

islamisasi yang dibayangkannya itu. Gagasannya tersebut terwujud dengan berdirinya

ISTAC di Kuala Lumpur pada tanggal 27 Februari 1987. Pada bulan Desember 1987,

Al-Attas diangkat menjadi profesor bidang pemikiran dan peradaban Islam pada

lembaga tersebut. Ia juga merancang gedung ISTAC yang diresmikan tahun 1991.

Selain itu, ia juga memperoleh penghargaan Al-Ghazali Chair of Islamic Thought

pada bulan Desember 1993 dari lembaga ini atas sumbangannya dalam pemikiran

Islam kontemporer.9

3. Karya-karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Al-Attas di samping mengajar dan memberikan seminar di berbagai tempat, ia

juga sangat produktif dalam menulis, berbagai karya, baik dalam bahasa Inggris

maupun Melayu telah ia hasilkan. Hasil karyanya telah banyak diterjemahkan dalam

berbagai bahasa, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malaya, Indonesia,

Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea, dan Al-Bania.10

Di antara karya-karya Al-Attas dalam buku dan monograph:

a. Al-Raniry and the Wujudiyah of 17th Century Acheh (Monograph of the

Royal Asiatic Society, Cabang Malaysia, No. 111, Singapura, 1996)

adalah judul tesis yang ditulis ketika menempuh dan menyelesaikan studi

S2 di Mc. Gill, Canada. Dalam tesis ini Al-Attas berpendapat bahwa

9 Hasan Muarif Hambaly. et.al., op.cit., h. 78

10

A. Khudhori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ) cet. ke-1, h.

251

Page 61: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

50

Nuruddin al-Raniry telah mampu mendefinisikan dan menjelaskan medan

semantik dari kata kunci Melayu yang berhubungan dengan Islam.

Dengan kata lain tesis ini menjelaskan tentang hubungan yang sangat erat

antara proses islamisasi dengan sejarah Melayu itu sendiri. Hal ini

dibuktikan dengan istilah yang yang berkembang dalam sejarah Melayu.

Tesis ini diperkuat dengan hasil riset al-Attas sendiri yang berjudul Some

Aspects of Sufism as Understood and Practiced Among the Malays yang

diterbitkan oleh Malaysian Sociological Research di Singapura.

b. The Origin of The Malay Sha‟ir (DPB, Kuala Lumpur, 1968), Islam in the

History and Cultures of Malays (Universiti Malaysia, Kuala Lumpur,

1972) dan Comments on the Re examination of alRaniry‟s Hujjat al-

Shiddiq: Refutation (Museums Department, Kuala Lumpur, 1975), The

Mysticism of Hamzah Fansuri (University of Malaya Press, Kuala

Lumpur, 1970) merupakan disertasi yang berhasil dipertahankan ketika

menempuh studi program doktoral di Universitas London di bawah

bimbingan Martin Lings. Dalam disertasi ini, al-Attas mengemukakan

bahwa terdapat kesatuan gagasan metafisika di dunia Islam dan pandangan

sistemik tentang realitas baik mengenal Tuhan, alam semesta, manusia

maupun ilmu. Semua itu dapat diungkapkan dalam bahasa rasional dan

teoritis, sehingga dapat menjadi dasar dari suatu filsafat sains Islami.

c. Islam dan Sekulerisme merupakan terjemahan Islam and Secularism

(ABIM, Kuala Lumpur, 1978). Buku berisi tentang terjadinya reduksi

terminologi Islam, sehingga perlu dilakukan kajian ulang secara filologis

dan hermeneutis tentang istilah tersebut. Langkahnya adalah dengan de

westernisasi dan islamisasi yang berusaha mengembalikan terminologi

Islam pada posisi yang proporsional.

d. Islam the Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Moralty

(Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Kuala Lumpur, 1976), Al-Attas

mencoba menjelaskan tentang arti pentingnya penguasaan ilmu sebagai

Page 62: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

51

landasan bagi praktek, etika, dan moralitas keagamaan secara menyeluruh.

Hal ini dapat dilakukan dengan memahami secara mendalam teks Al-

Qur‟an dan segala yang telah diperbuat oleh Nabi Muhammad sebagai

uswatun hasanah, sehingga dalam upaya ini harus didudukkan dulu istilah

din dalam terminologi Islam, agar tidak terjebak dalam distorsi makna.

e. Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and

Aims of Education mengungkap tentang arti pentingnya upaya

merumuskan dan memadukan unsur-unsur Islam yang esensial serta

konsep-konsep kuncinya sehingga menghasilkan suatu komposisi yang

akan merangkum pengetahuan inti, kemudian dikembangkan dalam sistem

pendidikan Islam dari tingkat bawah sampai tingkat tertinggi.

f. The Concept of Education in Islam, A Framework for an Islamic

Philosophy of Education (ABIM, Kuala Lumpur, 1980), Al-Attas

menjelaskan tentang penggunaan istilah tarbiyah, ta‟lim, dan ta‟dib,

sebagai terma yang tepat untuk menterjemahkan pendidikan adalah ta‟dib.

Sebab inti dari pendidikan adalah pembentukan watak dan akhlak yang

mulia. Juga disinggung pembagian ilmu yang terdiri dari dua bagian besar

yaitu pertama, ilmu agama yang meliputi Al-Qur‟an, Al-Sunnah, Al-

Syari‟ah, Al-Tauhid, Al-Tasawuf, dan bahasa. Kedua, ilmu rasional,

intelektual dan filsafat yang meliputi ilmu tentang manusia, alam, terapan

dan teknologi.11

g. Islam and the Philosophy of Science (ISTAC, Kuala Lumpur, 1989). Buku

ini telah diterjemahkan berbagai bahasa, seperti bahasa Indonesia, Bosnia,

Persia, dan Turki. Karya ini memaparkan masalah penting yang dihadapi

umat Islam dewasa ini adalah masalah ilmu yang kemudian menjadi faktor

penyebab dari masalah-masalah lain. Oleh sebab itu, Al-Attas berusaha

mengungkap kembali sistem metafisika yang pernah terbangun dalam

11 Ramayulis dan Samsul Nizar, op.cit., h. 122-125

Page 63: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

52

tradisi Islam. Sebagai langkah praktisnya adalah perencanaan sebuah

universitas yang memiliki struktur yang berasas pada pandangan dunia

Islam dan merupakan medium penyampaian hikmah dalam tradisi Islam.

h. The Natural Man and the Psychology of Human Soul (ISTAC, Kuala

Lumpur, 1990). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia. Isi

buku ini merupakan kelanjutan dari gagasan Al-Attas dalam menjelaskan

kembali tentang metafisika Islam sebagaimana yang dituangkan dalam

bukunya yang pertama seri metafisika Islam, yaitu Islam and the

Philosophy of Science.12

i. The Meaning and Experince of Happines in Islam (ISTAC, Kuala

Lumpur, 1993).

j. On Quiddity and Essence (ISTAC, Kuala Lumpur, 1990).

k. The Intuition of Existence (ISTAC, Kuala Lumpur, 1990).

l. Degrees of Existence (ISTAC, Kuala Lumpur, 1994).13

m. Rangkaian Ruba‟iyat (Dewan Bahasa dan Pustaka (DPB), Kuala Lumpur

1959).

n. Some Aspects of Shufism as Understood and Practised Among the Malays

(Malaysian Sociological Research Institue, Singapura, 1963).

o. Concluding Postscript to the Origin of The Malays Sya‟ir (DPB, Kuala

Lumpur, 1971).

p. The Correct Date of Terengganu Inscriptio (Museums Department, Kuala

Lumpur, 1972).

q. Risalah untuk Kaum Muslimin (monograf yang belum diterbitkan, 286 h.,

ditulis antara Februari-Maret 1973). Buku ini kemudian diterbitkan di

Kuala Lumpur oleh ISTAC pada 2001 – penerj.

r. Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak (ABIM, Kuala Lumpur, 1997).

12 A. Khudhori Sholeh, op.cit., h. 55

13

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, op.cit., hal. 122-125

Page 64: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

53

s. (Ed.) Aims and Objectives of Islamic Education : Islamic Eduv=cation

Series (Hodder and Stiughton dan King Abdul Aziz University, London,

1979).

t. Islam, Secularism, and The Philosophy of The Future (Mansell, London

dan New York, 1985).

u. A Commentary on The Hujjat Al-Shiddiq of nur Al-Din Al-Raniri

(Kementerian Kebudayaan, Kuala Lumpur, 1986).

v. The Oldest Known Malay Manuscript : A 16th Century Malay Translation

of the Aqa‟id Al-Nasafi (Dept. Penerbitan Universitas Malaya, Kuala

Lumpur, 1988). 14

Sedangkan karya-karya Al-Attas dalam bentuk artikel tidak termasuk

ceramah-ceramah ilmiah yang telah disampaikannya di depan publik. Berjumlah

lebih dari 400 dan disampaikan di Malaysia dan luar negeri antara pertengahan 1960-

1970, aktivitas ceramah ilmiah ini masih berlangsung sampai sekarang.

a. “Note on The Opening of Relations between Malaka and Cina, 1403-5”,

Journal of The Malayan Branch of The Royal Asiatic Society (JMBARS),

vol. 38, pt. 1, Singapura, 1965.

b. “Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society od Orientalist, Kuala

Lumpur, 1966.

c. “New Light on The Life of Hamzah Fanshuri”, JMBRAS, vol. 40, pt. 1,

Singapura, 1967.

d. “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu Universiti Malaya

no.9, Kuala Lumpur, 1968.

e. “hamzah Fanshuri”, The Penguin Companion to Literature, Classical and

Byzantine, Oriental, and African, vol. 4, London, 1969.

f. “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam,

edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971.

14 Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 55-57

Page 65: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

54

g. “Comparative Philosophy: A Southeast Asian Islamic Viewpoint”, Acts of

the V International Congress of Medieval Philosophy, Madrid-Cordova-

Granada, 5-12 September 1971.

h. “Konsep Baru mengenai Rencana serta Cara-gaya Penelitian Ilmiah

Pengkajian Bahasa, Kesusasteraan, dan Kebudayaan Melayu”, Buku

Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusasteraan Melayu, Universiti

Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, t.t.

i. “The Art of Writing, Dept. Museum”, Kuala Lumpur, t.t.

j. “Perkembangan Tulisan Jawi Sepintas Lalu”, Pameran Khat, Kuala

Lumpur, 14-21 Oktober 1973.

k. “Nilai-nilai Kebudayaan, Bahasa, Kesusasteraan Melayu”, Asas

Kebudayaan Kebangsaan, Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan,

Kuala Lumpur, 1973.

l. “Islam in Malaysia” (versi bahasa Jerman), Kleines Lexicon der

Islamischen Welt, ed. K. Kreiser, W. Kohlhammer, Berlin (Barat), Jerman,

1974.

m. “Islam in Malaysia”, Malaysia Panorama, Edisi Spesial, Kementerian

Luar Negeri Malaysia, Kuala Lumpur, 1974. Juga diterbitkan dalam edisi

bahasa Arab dan Prancis,

n. “Islam dan Kebudayaan Malaysia”, Syarahan Tun Sri Lanang, seri kedua,

Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1974.

o. “Pidato Penghargaan terhadap ZAABA”, Zainal Abidin ibn Ahmad,

Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1976.

p. “A General Theory of The Islamization of The Malay Archipelago”,

Profils of Malay Culture, Historiagraphy, Religion, and Politics, editor

Sartono Kartodirdjo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1976.

q. “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition

and Aims of Education”, First World Conference on Muslim Education,

Makkah, 1977. Juga tersedia dalam edisi bahasa Arab dan Urdu.

Page 66: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

55

r. “Some Reflections on The Philosopichal Aspects of Iqbal‟s Thought”,

International Congress on the Centenary of Muhammad Iqbal, Lahore,

1977.

s. “The Concept of Education in Islam: Its Form, method, and System of

Implementation”, World Symposium of Al-Isra‟, Amman, 1979. Juga

tersedia dalam edisi bahasa Arab.

t. “ASEAN – Ke mana Haluan Gagasan Kebudayaan Mau Diarahkan?”

Diskusi, jil.4, no. 11-12, November-Desember, 1979.

u. “Hijrah: Apa Artinya?” Panji Masyarakat, Desember, 1979.

v. “Knowledge and Non-Knowledge”, Reading in Islam, no.8, first quarter,

Kuala Lumpur, 1980.

w. “Islam dan Alam Melayu”, Budiman, Edisi Spesial Memperingati Abad

Ke-15 Hijriah, Universiti Malaya, Desember 1979.

x. “The Concept of Education in Islam”, Second World Conference on

Muslim Education, Islamabad, 1980.

y. “Preliminary Thoughts on an Islamic Philosophy of Science”, Zarrouq

Festival, Misrata, Libia: 1980. Juga diterbitkan dalam edisi bahasa Arab.

z. “Religion and Secularity”, Congress of the World‟s Religions, New York,

1985.

aa. “The Corruption of Knowledge”, Congress of the World‟s Religions,

Istanbul, 1985.15

B. Pembahasan

1. Pengertian Pendidikan Islam

Makna pendidikan dan segala yang terlibat di dalamnya merupakan hal yang

sangat penting dalam perumusana sistem pendidikan dan implementasinya. Sekiranya

15 Ibid., h. 57-59

Page 67: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

56

saya ditanya : “Apakah pendidikan itu?”, saya menjawab : “Pendidikan adalah suatu

proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia”. Dalam jawaban ini, “ suatu

proses penanaman” mengacu pada metode dan sistem untuk menanamkan apa yang

disebut sebagai “pendidikan” secara bertahap. “Sesuatu” mengacu pada kandungan

yang ditanamkan; dan “diri manusia” mengacu pada penerima proses dan kandungan

itu. 16

Jawaban yang diberikan diatas telah meliputi tiga unsur dasar yang

membentuk pendidikan : proses, kandungan dan penerima. Tetapi semuanya itu

belum lagi suatu definisi, karena unsur-unsur tersebut masih begitu saja dibiarkan

tidak jelas. Lagipula cara merumuskan kalimat yang dimaksudkan untuk

dikembangkan menjadi suatu definisi sebagaimana di atas, memberikan kesan bahwa

yang ditonjolkan adalah prosesnya. Misalnya saya rumuskan kembali jawaban

terhadap pertanyaan di atas seperti ini : “Pendidikan adalah sesuatu yang secara

bertahap ditanamkan ke dalam manusia”.

Di dalam konteks tersebut masih meliputi tiga unsur dasar yang melekat

dalam pendidikan, tetapi urutan keterdahuluan unsur penting yang membentuk

pendidikan kali ini adalah kandungan dan bukan proses.

Unsur pertama dalam pendidikan adalah manusia. Definisi manusia telah

secara umum diketahui, yakni bahwa ia adalah “binatang rasional”. Karena

rasionalitas adalah penentu manusia, maka sekurang-kurangnya kita harus memiliki

beberapa gagasan tentang apa arti “rasional” dan semua sepakat bahwa hal itu

mengacu pada “nalar”.

Pemikir-pemikir muslim tidak menganggap apa yang dipahami sebagai rasio

sebagai sesuatu yang terpisah dari apa yang dipahamkan sebagai intellectus. Mereka

menganggap „aql (عقل) sebagai suatu kesatuan organik dari rasio maupun intellectus.

16 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terj. dari The Concept of

Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education oleh Haidar Bagir,

(Bandung: Mizan, 1996), cet.ke-7, h. 35

Page 68: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

57

Dengan pemikiran seperti ini, seorang muslim mendefinisikan manusia sebagai al-

Hayawanu Nathiq (احليوان الناطق) yang dalam hal ini istilah nathiq berarti “rasional”.17

Unsur penting kedua yang melekat di dalam pendidikan adalah

kandungannya, yang di sini disebut sebagai “sesuatu”. Hal ini dilakukan secara

sengaja, karena meskipun kita telah tahu bahwa hal itu harus mengacu kepada ilmu,

kita masih harus menetapkan apa yang kita maksud dengannya. Pengajaran dan

proses mempelajari keterampilan saja – betapapun ilmiahnya dan bagaimanapun yang

diajarkan dan dipelajari tercakupkan dalam konsep umum tentang “ilmu” – tidak

harus berarti pendidikan. Pengajaran dan proses belajar sains-sains kemanusiaan,

alam, dan terapan saja tidak merupakan bagian dari pendidikan dalam arti yang

sedang dijelaskan sekarang ini. Harus ada “sesuatu” di dalam pendidikan yang jika

tidak ditanamkan, tidak akan membuat pengajaran serta proses belajar dan

asimilasinya sebagai suatu pendidikan. Kenyataannya, “sesuatu” yang disinggung di

sini itu sendiri adalah ilmu. 18

Ada banyak definisi yang menguraikan sifat ilmu, tetapi yang relevan di sisni

adalah definisi epitemologis, mengingat pentingnya memahami segala sesuatu yang

dilibatkan dan disiratkan dalam konteks epistemologi Islam. Barangkali implikasinya

yang paling besar terletak pada pengaruhnya atas cara pandang kita terhadap hakikat,

kebenaran dan metodologi penelitian; cakupan intelektual dan penerapan praktikal

dalam perencanaan apa yang disebut sebagai “perkembangan”, yang semuanya

didasarkan pada pemahaman tentang pendidikan.

Orang-orang muslim sepakat bahwa semua ilmu datang dari Allah. Dan

manusia pun tahu cara kedatangannya, tempat dan indera yang menerima dan

menafsirkannya tidaklah sama. Oleh karena semua pengetahuan datang dari Allah

dan ditafsirkan oleh jiwa lewat tempat-tempat spiritualnya dan fisikalnya, maka

definisi yang paling cocok – dengan mengacu kepada Allah sebagai asalnya – adalah

17 Ibid., h. 36-37

18

Ibid., h. 41

Page 69: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

58

bahwa ilmu pengetahuan ialah kedatangan (hushul : حصول) makna sesuatu atau

suatu obyek pengetahuan dalam jiwa. Sedangkan dengan mengacu kepada jiwa

sebagai penafsirnya, pengetahuan adalah sampainya (wushul : jiwa pada ( وصول

makna sesuatu atau obyek pengetahuan. 19

Format pemikiran pendidikan yang ditawarkan Al-Attas berusaha

menampilkan wajah pendidikan menurutnya adalah mewujudkan manusia yang baik

yaitu manusia universal (Al-Insan Kamil). Al-Insan Kamil yang dimaksud adalah

manusia yang bercirikan pertama manusia yang seimbang memiliki keterpaduan dua

dimensi kepribadiannya. Kedua manusia seimbang dalam kualitas fikir, zikir, dan

amalnya. Sistem pendidikan terpadu menurut Al-Attas adalah yang tertuang dalam

rumusan sistem pendidikan yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas

upaya Al-Attas untuk mengislamisasi ilmu pengetahuan dimana pendidikan Islam

harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-

ilmu agama tetapi ilmu-ilmu rasional intelek dan filosofis.20

2. Pengertian Pendidikan Islam “Ta’dib”

Dalam dunia pendidikan dikenal adanya tiga rangkaian istilah yang disering

digunakan untuk menunjukkan pendidikan Islam, secara keseluruhan yang terdapat

dalam konotasi istilah tarbiyah, ta‟lim, dan ta‟dib, yang dipakai secara bersamaan.

Ketika tampil sebagai pembicara utama dalam Konferensi Dunia pertama tentang

pendidikan Islam tahun 1977 di Makkah, Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai

ketua komite yang membahas tentang cita-cita dan tujuan pendidikan dalam

konferensi tersebut, secara sistematis mengajukan agar definisi pendidikan Islam

diganti menjadi “Penanaman adab” dan istilah pendidikan dalam Islam, menjadi

19 Ibid., h. 42-43

20

Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), cet. ke-1, h.

155

Page 70: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

59

ta‟dib. Setelah melalui perdebatan yang sengit, akhirnya usul tersebut di atas untuk

merujuk kepada istilah pendidikan Islam.21

Lebih jelasnya Al-Attas menegaskan

bahwa:

Bagi saya, istilah tarbiyah bukanlah istilah yang tepat dan bukan pula istilah

yang benar untuk memaksudkan pendidikan dalam pengertian Islam. Karena

istilah yang dipergunakan mesti membawa gagasan yang benar tentang

pendidikan dan segala yang terlibat dalam proses pendidikan, maka wajib bagi

kita sekarang untuk menguji istilah tarbiyah secara kritis dan jika perlu

menggantikannya dengan pilihan yang lebih tepat dan benar.

Menurut Al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan

Islam adalah al-ta‟dib. Konsep ini didasarkan pada hadis Nabi :

)رواه العسكرى عن علي( ربي فاحسن تأ دييبي ادبني

Artinya :

“Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (HR. Al-

„Askary dari „Ali ra)

Kata addaba dalam hadis di atas dimaknai Al-Attas sebagai “mendidik”.

Selanjutnya ia mengemukakan, bahwa hadis tersebut bisa dimaknai kepada “Tuhanku

telah membuatku mengenali dan mengakui dengan adab yang dilakukan secara

berangsur-angsur ditanamkan-Nya ke dalam diriku, tempat-tempat yang tepat bagi

segala sesuatu di dalam penciptaan, sehingga hal itu membimbingku ke arah

pengenalan dan pengakuan tempat-Nya yang tepat di dalam tatanan wujud dan

kepribadian, serta – sebagai akibatnya – Ia telah membuat pendidikanku yang paling

baik”.

Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, Al-Attas adalah orang pertama yang

memahami dan menerjemahkan perkataan “addabani” dengan “mendidikku”.

Menurut sarjana-sarjana terdahulu, kandungan ta‟dib adalah akhlak. Fakta

21 Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA, 2009), h.

101-102

Page 71: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

60

bahwasannya pendidikan Nabi Muhammad SAW. dijadikan Allah sebagai

pendidikan yang terbaik didukung oleh Al-Qur‟an yang mengafirmasikan kedudukan

Rasulullah yang mulia (akram), teladan yang paling baik.22

Berdasarkan batasan tersebut, maka al-ta‟dib berarti pengenalan dan

pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta

didik) tentang tempat–tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan

penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing

ke arah pengenalan dan pengakuan Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan

kepribadiannya.23

Al-Attas yang tidak setuju dengan penerimaan yang kompromis ini kemudia

menyatakan kembali argumentasinya dalam The Concept of Education in Islam yang

disampaikannya pada Konferensi Dunia Kedua mengenai Pendidikan Islam yang

diselenggarakan di Islamabad, pada 1980. Menurut Al-Attas, jika benar-benar

dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep ta‟dib adalah konsep yang paling tepat

untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta‟lim sebagaimana yang dipakai

pada masa itu. Al-Attas dalam Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan, “struktur

konsep ta‟dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu („ilm), instruksi (ta‟lim), dan

pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep

pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah-

ta‟lim-ta‟dib.” Walaupun Al-Qur‟an tidak memakai istilah adab ataupun istilah lain

yang memiliki akar kata yang sama dengannya, perkataan adab itu sendiri dan

cabang-cabangnya disebutkan dalam ucapan-ucapan Nabi SAW., para sahabat r.a.,

dalam puisi ataupun karya sarjana-sarjana Muslim yang datang setelah mereka.24

Salah satu bidang spesialisasi Al-Attas adalah bahasa dan sastra, oleh karena

itu ia sangat menekankan penggunaan sebuah istilah yang benar. Karena menurutnya,

penggunaan sebuah istilah yang keliru bukan hanya merusak eksistensi bahasa itu

22 Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 176

23

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta:

Ciputat Pers, 2002), cet. ke-1, h. 30

24

Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 175

Page 72: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

61

snediri, akan tetapi juga dapat merusak persepsi kita tentang suatu kebenaran.

Penekanan terhadap istilah ta‟dib bagi pendidikan Islam tersebut, nampaknya

merupakan salah satu upaya merekonstruksi kembali arah dan tujuan pendidikan yang

dikehendaki oleh Al-Attas.

Senada dengan ini, cendekiawan Muslim Indonesia Prof. Dr. H. Azyumardi

Azra dalam Ridjaluddin menyatakan:

Proses pengajaran dalam pendidikan dewasa ini, hanya mengisi aspek

kognitif intelektual saja, tapi tidak mengisi aspek pembentukan kepribadian

dan watak. Oleh karena itu, ia menawarkan beberapa arah rekonstruksi

pendidikan Islam, salah satunya adalah perumusan kembali makna

pendidikan dan menyatakan kesetujuannya dengan konsep ta‟dib yang

diajukan Al-Attas, lebih lanjut Azyumardi Azra menegaskan:

.....arah rekonstruksi keempat adalah perumusan kembali makna

pendidikan. Dalam hal ini saya setuju dnegan Prof. Naquib Al-Attas:

bahwa proses pendidikan Islam yang kita tempuh lebih baik menggunakan

istilah ta‟dib ketimbang tarbiyah, karena ta‟dib mengandung proses

inkulturasi, proses pembudayaan. Tidak hanya proses intelektualisasi,

tapi karena ta‟dib berkaitan dengan kata adab, akhlak dan sebagainya,

maka kemudian yang akan muncul dari sistem pendidikan di dalam

paradigma ta‟dib ini adalah manusia yang betul-betul berbudaya,

berkarakter, dan berakhlak.25

3. Pengertian Pendidikan Islam “Tarbiyah”

Menurut Al-Attas, tarbiyah merupakan istilah yang relatif baru, yang bisa

dikatakan telah dibuat–buat oleh orang–orang yang mengaitkan dirinya dengan

pemikiran modernis. Istilah tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan makna

pendidikan tanpa memperhatikan sifat yang sebenarnya. Adapun kata – kata Latin

educare dan educatio, yang dalam bahasa Inggris berarti “educate” dan “education”,

secara konseptual dikaitkan dengan bahasa Latin educare atau dalam bahasa Inggris

“educe” – menghasilkan, mengembangkan dari kepribadian yang tersembunyi atau

potensial, yang di dalamnya “proses menghasilkan dan mengembangkan” mengacu

kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material. Yang dituju dalam konsepsi

25 Ridjaluddin, op.cit., h. 103-105

Page 73: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

62

pendidikan yang diturunkan dari konsep–konsep Latin yang dikembangkan dari

istilah–istilah tersebut di atas meliputi spesies hewan dan tidak dibatasi pada “hewan

berakal”.26

Mereka yang membuat–buat istilah tarbiyah untuk maksud pendidikan pada

hakikatnya mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan. Mengingat istilah

tarbiyah, tidak sebagaimana mereka masih nyatakan, adalah suatu terjemahan yang

jelas dari istilah education menurut artian Barat, karena makna–makna dasar yang

dikandung olehnya mirip dengan yang bisa ditemui di dalam rekanan Latinnya.

Meskipun para penganjur penggunaan istilah tarbiyah terus membela istilah itu –

yang mereka katakan sebagai dikembangkan dari Al-Qur‟an – pengembangannya

didasarkan atas dugaan belaka. Hal ini mengungkapkan ketidaksadaran mereka akan

struktur semantik sistem konseptual al-Qur‟an, mengingat secara semantik istilah

tarbiyah tidak tepat dan tidak memadai untuk membawakan konsep pendidikan

dalam pengertian Islam sebagaimana dipaparkan berikut ini.

Pertama, istilah tarbiyah yang dipahami dalam pengertian pendidikan,

sebagaimana dipergunakan di masa kini. Ibnu Manzhur memang merekam bentuk

tarbiyah bersama dengan beberapa bentuk–bentuk lain dari akar raba (رب) dan

rabba (ربا) sebagaimana diriwayatkan oleh al-Asma‟i yang mengatakan bahwa

istilah–istilah tersebut memuat makna yang sama. Mengenai maknanya, al-Jauhari

mengatakan bahwa tarbiyah dan beberapa bentuk lain yang disebutkan oleh al-

Asma‟i berarti : memberi makan, memelihara, mengasuh; yakni dari kata ghadza atau

ghadzau (غذو dan غذا). Makna ini mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh,

seperti anak-anak, tanaman, dan sebagainya. Pada dasarnya tarbiyah berarti

mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat,

menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil–hasil

26 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., h. 64

Page 74: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

63

yang sudah matang dan menjinakkan. Penerapannya dalam bahasa Arab tidak hanya

terbatas pada manusia saja, dan medan–medan semantiknya meluas kepada spesies–

spesies lain – untuk mineral, tanaman, dan hewan. Orang bisa mengacu pada

peternakan sapi, peternakan hewan, peternakan ayam dan unggas; peternakan ikan

serta perkebunan; masing–masing sebagai suatu bentuk tarbiyah. Meskipun

demikian, sebagaimana telah terlebih dulu kita tunjukkan, pendidikan dalam arti

Islam adalah sesuatu yang khusus hanya untuk manusia. Dengan mengacu pada

kaidah penerapan secara tepat istilah–istilah dan konsep–konsep sebagaimana

dilukiskan oleh al-Jahiz sehubungan dengan bukhl misalnya; soal di atas itu saja

sudah cukup menunjukkan bahwa tarbiyah sebagai sebuah istilah dan konsep yang

bisa diterapkan untuk berbagai spesies dan tidak terbatas hanya untuk manusia, tidak

cukup cocok untuk menunjukkan pendidikan dalam arti Islam yang dimaksudkan

hanya untuk manusia saja. 27

Sudah jelas bahwa unsur–unsur kualitatif bawaan dalam konsep Islam

tentang pendidikan dan kegiatan atau proses yang dicakupnya tidak sama dengan

yang tercakup di dalam tarbiyah. Lagipula, tarbiyah pada dasarnya juga mengacu

pada gagasan “pemilikan”, seperti pemilikan keturunan oleh orang–orang tuanya dan

biasanya para orang tua – pemilik inilah yang melaksanakan tarbiyah atas obyek–

obyek pemilikan yang relevan seperti keturunannya atau yang lain–lain. Pemilikan–

pemilikan yang dimaksudkan di sini hanyalah jenis relasional, mengingat pemilikan

yang sebenarnya ada pada Tuhan saja, Sang Pencipta, Pemelihara, Penjaga, Pemberi,

Pengurus, dan Pemilik segala sesuatu, yang ke semuanya itu tercakup dan

ditunjukkan oleh sebuah istilah tunggal ar-Rabb. Jadi, kata rabba dan yang

diturunkan daripadanya, jika diterapkan pada manusia dan hewan–hewan,

menunjukkan suatu “milik yang dipinjam”. Yang mereka kerjakan dengan milik yang

dipinjam ini adalah tarbiyah jika yang mereka kerjakan adalah mengasuh,

menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan,

27 Ibid., h. 65-67

Page 75: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

64

menjadikan bertambah di dalam pertumbuhan, menghasilkan produk matang,

menjinakkan dan sebagainya. Kesemuanya itu tentu bukan pekerjaan mendidik jika

pendidikan kita maksudkan terutama sebagai penanaman pengetahuanyang berkenaan

dengan manusia saja, dan dengan intelek manusia pada khususnya. Jadi, jika dalam

menggambarkan tarbiyah, sebagai pendidikan, kita susupkan ke dalam istilah itu

makna esensial yang membawa unsur fundamental pengetahuan, maka penyusupan

seperti itu hanyalah dibuat-buat, karena makna bawaan struktur konseptual tarbiyah

tidak secara alami mencakup pengetahuan sebagai salah satu di antaranya. Sekarang,

dalam kasus manusia, biasanya orangtualah yang melakukan tarbiyah atas

keturunannya sehubungan dengan hak milik pinjaman dari orang tua terhadap

anaknya.

Jika penyelenggaraan tarbiyah dipandang sebagai pendidikan dialihkan

kepada keadaan seperti itu terdapat bahaya bahwa pendidikan akan menjadi suatu

pekerjaan sekuler, dan itulah kenyataan yang terjadi. Hal itu terjadi karena tujuan

tarbiyah, secara normal, bersifat fisik dan material serta berwatak kuantitatif,

mengingat konsep bawaan yang termuat dalam istilah tersebut berhubungan dengan

pertumbuhan dan kematangan material dan fisik saja; dan karena nilai – nilai yang

ditetapkan oleh keadaan itu disesuaikan dengan tujuan menghasilkan penduduk-

penduduk – nilai-nilai yang secara alami diatur oleh prinsip-prinsip utilitarian yang

cenderung pada aspek–aspek fisik dan material kehidupan sosial dan politis manusia.

28

Kedua, dengan mengacu pada alasan bahwa tarbiyah, dipandang sebagai

pendidikan, dikembangkan dari penggunaan Al-Qur‟an berkenaan dengan istilah raba

dan rabba yang berarti sama, apa yang dikatakan pada sebelumnya sudah dijelaskan

titik poros masalah, yaitu bahwa makna dasar istilah–istilah ini – tentunya berpuncak

pada otoritas Al-Qur‟an sendiri – tidak secara alami mengandung unsur-unsur

28 Ibid., h. 67-69

Page 76: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

65

esensial pengetahuan, intelegensi dan kebajikan yang pada hakikatnya, merupakan

unsur-unsur pendidikan yang sebenarnya.29

Ketiga, jika sekiranya dikatakan bahwa suatu makna yang berhubungan

dengan pengetahuan bisa disusupkan ke dalam konsep rabba, makna tersebut

mengacu pada pemilikan pengetahuan dan bukan penanamannya. Oleh karenanya,

hal itu tidak mengacu pada pendidikan dalam artian yang dimaksudkan. Yang Al-

Attas maksudkan adalah istilah rabbani ( رباني) yaitu nama yang diberikan bagi orang-

orang bijaksana yang terpelajar dalam bidang pengetahuan tentang ar-Rabb.

Al-Attas menolak peristilahan tarbiyah dan ta‟lim yang selama ini dianggap

sebagai pengertian yang lengkap mengenai pendidikan dalam Islam, baik salah satu

(tarbiyah atau ta‟lim) maupun keduanya (tarbiyah wa ta‟lim), sebab istilah tersebut

menunjukkan ketidaksesuaian makna. Beliau menolak istilah tarbiyah sebab istilah

ini hanya menyinggung aspek fisikal dalam mengembangkan tanam-tanaman dan

terbatas pada aspek fisikal dan emosional dalam pertumbuhan dan perkembangan

binatang dan manusia.30

4. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam

diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir pendidikan

Islam ialah menghasilkan manusia yang baik dan bukan, seperti dalam peradaban

Barat, warganegara yang baik. “Baik” dalam konsep manusia yang baik berarti tepat

sebagai manusia adab dalam pengertian yang dijelaskan di sini, yakni meliputi

kehidupan material dan spiritual manusia. Karena manusia, sebelum menjadi manusia

telah mengikat perjanjian (mitsaq : اقميث ) individual secara kolektif dengan Tuhan,

29 Ibid., h. 69-70

30

Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 180

Page 77: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

66

serta telah mengenal dan mengakui Allah sebagai Tuhan (ar-Rabb : الرب) ketika ia

mempersaksikan untuk dirinya dan menegaskan “benar!” (bala : بلى) pada pertanyaan

Allah “Bukankah Aku Tuhanmu?” ( .( ك م بيربي الست 31

Jika tujuan pengetahuan adalah untuk menghasilkan seorang manusia yang

baik, maka kita tidak bermaksud mengatakan bahwa menghasilkan sebuah

masyarakat yang baik bukanlah merupakan tujuan, karena masyarakat terdiri dari

perseorangan–perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di

antaranya menjadi orang–orang baik berarti pula menghasilkan masyarakat yang

baik. Pendidikan adalah bahan masyarakat. Penekanan pada adab yang mencakup

„amal dalam pendidikan dan proses pendidikan adalah untuk menjamin bahwasannya

ilmu („ilm) dipergunakan secara baik di dalam masyarakat. Karena alasan inilah maka

orang-orang bijak, para cerdik cendekia dan para sarjana di antara orang–orang Islam

terdahulu mengombinasikan „ilm dengan „amal dan adab, dan menganggap

kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan. Pendidikan dalam kenyataannya

adalah ta‟dib (تأديب) karena adab, sebagaimana didefinisikan di sini, sudah mencakup

„ilmu dan „amal sekaligus.32

Al-Attas, pemikir kontemporer Muslim pertama yang mendefinisikan arti

pendidikan secara sistematis, menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan

menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik.

Sebaliknya, tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Pada

September 1970, Al-Attas mengajukan kepada Ghazali Syafie, yang kemudian

menjadi Menteri Dalam Negeri Malaysia, bahwa “tujuan pendidikan dari tingkat yang

paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk

menghasilkan warga negara yang sempurna (complete citizen), tetapi untuk

31 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., h. 54-55

32

Ibid., h. 59-60

Page 78: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

67

memunculkan manusia paripurna”. Hal ini disebutkannya lagi secara lebih detail

dalam bukunya Islam and Secularism dalam Wan Mohd Nor Wan Daud :

Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan

dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya

sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu

ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati,

sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro,

sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu)

bukanlah nilai manusia sebagai identitas fisik yang diukur dalam konteks

pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat,

dan dunia.33

5. Sistem Pendidikan dalam Islam

Setiap manusia tak ubahnya sebuah miniatur kerajaan, representasi

mikrokosmos (alam shaghir : صغري عامل ) dari makrokosmos (alam kabir : كبري عامل ). Ia

adalah seorang penghuni di dalam kota (madinah : مدينة) dirinya sendiri, tempat ia

menyelenggarakan dinnya. Karena dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan pada

puncaknya adalah untuk menjadi seorang manusia yang baik – sebagaimana telah

diuraikan – dan bukannya seorang penduduk yang baik dari sebuah negara sekuler,

maka sistem pendidikan dalam Islam mestilah mencerminkan manusia, bukan negara.

Perwujudan paling tinggi dan paling sempurna dari sistem pendidikan adalah

universitas. Dan mengingat bahwa universitas merupakan sistematisasi pengetahuan

yang paling tinggi dan yang sempurna – yang dirancang untuk mencerminkan yang

universal – maka ia mestilah juga merupakan pencerminan dari bukan sekedar

manusia apa saja, melainkan Manusia Universal atau Sempurna (al-insanul kamil :

33 Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 172

Page 79: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

68

Universitas modern yang berdasarkan model-model Barat tidak .(االنسان الكامل

mencerminkan manusia, melainkan lebih mencerminkan negara sekuler. Hal ini

terjadi karena dalam peradaban Barat, atau peradaban–peradaban lain selain Islam,

tidak pernah ada seorang Manusia Sempurna pun yang bisa menjadi model untuk

ditiru dalam hidup dan yang bisa dipakai untuk memproyeksikan pengetahuan dan

tindakan yang benar dalam bentuk universal sebagai universitas. Hanya dalam Islam,

dalam pribadi suci Nabi SAW. sajalah Manusia Universal atau Sempurna

ternyatakan. Karena konsep pendidikan dalam Islam hanya berkenaan dengan

manusia saja, maka perumusannya sebagai suatu sistem harus mengambil model

manusia tersempurnakan di dalam pribadi suci Nabi SAW. Jadi, universitas Islam itu

mesti mencerminkan Nabi dalam hal pengetahuan dan tindakan yang benar; dan

fungsinya adalah untuk menghasilkan manusia, laki–laki dan perempuan, yang

mutunya sedekat mungkin menyerupai beliau – masing-masing sesuai dengan

kapasitas dan potensi bawaannya – untuk menghasilkan laki–laki dan perempuan

yang baik; untuk menghasilkan laki–laki dan perempuan beradab sebagai tiruan dia

yang bersabda: “Tuhanku telah mendidikku, dan dengan demikian menjadikan

pendidikanku yang terbaik”.34

Dengan adanya tujuan pendidikan Islam yang menjadikan manusia menjadi

manusia sempurna, Al-Attas menganggap ISTAC sebagai nucleus dari universitas

Islam yang sebenarnya. Al-Attas berjuang untuk menjadikan ISTAC sebagai refleksi

dari insan kamil. Ditinjau dari aspek spiritual, Al-Attas telah berusaha dan berhasil

melaksanakan peletakan batu pertama untuk pembangunan ISTAC pada malam ke-

27 bulan Rajab, menurut kalender Muslim, bersamaan peringatan Isra‟ dan Mi‟raj

Nabi Muhammad SAW. Selama acara tersebut, dia berdoa semoga Allah melimpahi

kita dengan hikmah dan sifat-sifat terpuji yang telah dikaruniakan kepada Nabi

tercinta-Nya.35

34 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., h. 83-85

35

Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 209

Page 80: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

69

Konsepsi mengenai universitas yang benar-benar islami sebagai sebuah

refleksi dari insan kamil atau manusia universal tidak saja signifikan, tetapi juga riil.

Alasannya, figur seperti Nabi Muhammad SAW. adalah contoh riil insan kamil dan

universal tersebut. Oleh karena itu, universitas dalam Islam harus merefleksikan figur

Nabi Muhammad dalam hal ilmu pengetahuan dan amal saleh dan fungsinya adalah

membentuk laki-laki dan wanita yang beradab agar memiliki kualitas seperti Nabi

Muhammad SAW. sesuai dengan kemampuan dan potensinya masing-masing.36

6. Kurikulum Pendidikan Islam

Manusia adalah jiwa sekaligus jasad, sekaligus wujud jasmaniah dan

ruhaniah; dan jiwanya mesti mengatur jasadnya sebagaimana Allah mengatur jagad.

Dia terpadukan sebagai satu kesatuan dan dengan adanya saling keterkaitan antara

wujud ruhaniah dengan wujud jasmaniah serta inderanya, ia membimbing dan

memelihara kehidupannya di dalam dunia ini. Sebagaimana manusia memiliki dwi –

sifat, demikian pulalah ilmu terdiri dari dua jenis: yang pertama adalah berian Allah,

dan yang kedua adalah ilmu capaian (yang diperoleh dengan usaha). Pada hakikatnya,

dalam Islam, semua ilmu datang dari Allah, tapi cara kedatangannya – yaitu hushul

dan wushul – serta wujud–wujud dan indera–indera yang menerima dan

menafsirkannya berbeda. Mengingat ilmu jenis pertama adalah mutlak penting bagi

pembimbingan dan penyelamatan manusia, maka ilmu tentangnya – yang tercakup di

dalam ilmu–ilmu agama – bersifat perlu dan wajib atas semua muslim (fardhu „ain :

,Pencapaian ilmu jenis kedua – yang mencakup ilmu–ilmu rasional .(فرض عني

intelektual dan filosofis – wajib bagi sebagian muslim saja (fardhu kifayah :

كفاية فرض ).

36 Ibid., h. 211-213

Page 81: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

70

Skema berikut ini tentang manusia, ilmu dan universitas akan menjelaskan

kaitan yang ditemukan di antara kesemuanya itu :

I MANUSIA

a. Jiwa dan wujud batini

yahnya (ruh, nafs, qalb, „aql).

b. Jasad, wujud jasmaniah dan indera – inderanya.

II PENGETAHUAN

a. Ilmu berian Allah.

b. Ilmu capaian.

III UNIVERSITAS

a. Ilmu – ilmu agama (fardhu „ain).

b. Ilmu – ilmu rasional, intelektual, dan filosofis (fardhu kifayah).37

Jika kita tumpangtindihkan skema pengetahuan dengan skema manusia,

tampak jelas bahwa pengetahuan berian Allah mengacu pada wujud dan indera

ruhaniah manusia, sementara ilmu capaian mengacu pada fakultas dan indera

jasmaniahnya. Intelek („aql) adalah mata rantai penghubung antara yang jasmaniah

dan ruhaniah yang menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran

ruhaniah. Dan jika kita tumpangtindihkan skema manusia – yang mencerminkan

universitas – dengan skema ilmu dan manusia, tampak jelas bahwa ilmu–ilmu agama

memiliki pengetahuan fardhu „ain pada jantung universitas yang sebagaimana jiwa

manusia, merupakan pusat universitas yang permanen dan abadi, dan mewujudkan

pengungkapan dan sistematisasi tertinggi dari segala yang wajib atas tiap muslim.

Apa yang secara umum di masa kini telah dipahami sebagai konsep fardhu „ain

adalah bentuk terbatas yang tersusun dari sebuah rumus statis yang diajarkan pada

tahap kehidupan anak–anak dan dibatasi hanya pada esensi–esensi pokoknya. Yang

mesti dipahami mengenai konsep itu adalah makna dan maksud aslinya, yaitu bahwa

ilmu seperti itu bebas alirannya, dan tidak tersekat, dan bertambah dalam hal ruang

lingkup dan kandungannya, sebagaimana seseorang bertambah dalam hal kedewasaan

dan tanggung jawab serta sesuai dengan kapasitas dan potensi seseorang. Jadi, dalam

sistem pendidikan tiga tahap (rendah, menengah, tinggi) ilmu fardhu „ain diajarkan

tidak hanya pada tingkat primer (rendah) melainkan juga pada tingkat sekunder

37 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., h.85-87

Page 82: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

71

(menengah) pra-universitas dan juga tingkat universitas. Ruang lingkup dan

kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa

diproyeksikan ke dalam tahapan–tahapan yang lebih sedikit secara berurutan ke

tingkat–tingkat yang lebih rendah, mengingat tingkat universitas mencerminkan

perumusan sistematisasi yang paling lengkap dan paling tinggi, dan hanya jika hal itu

bisa dicapai barulah dia akan bisa menjadi model bagi yang berikut di bawahnya. Jika

tidak – yaitu kalau kita mulai dengan usaha perumusan ruang lingkup dan

kandungannya dari tingkat – tingkat yang lebih rendah – kita taka akan pernah

berhasil, mengingat tidak adanya model yang sempurna dan lengkap dari keteraturan

yang lebih tinggi agar bisa bertindak sebagai kriteria bagi perumusan ruang lingkup

dan kandungannya. Pengetahuan inti yang mencerminkan fardhu „ain – yang

terpadukan dan tersusun sebagai suatu kesatuan harmonis pada tingkat universitas

sebagai struktur model bagi tingkat–tingkat yang lebih rendah, dan mesti dicerminkan

dalam bentuk yang lebih mudah secara berurutan pada pra-universitas, tingkat–

tingkat sekunder dan primer dari sistem pendidikan di seluruh dunia muslim – harus

mencerminkan tidak hanya pemahaman Sunni tentangnya, tapi juga mencakup

penafsiran Syi‟i. Pembagian dua jenis ilmu tersebut bisa secara ringkas diikhtisarkan

sebagai berikut :

a. Ilmu–ilmu agama

1) Al-Qur‟an: pembacaan dan penafsirannya (tafsir dan ta‟wil).

2) As-Sunnah: kehidupan Nabi, sejarah dan pesan–pesan para rasul

sebelumnya, hadits, dan riwayat–riwayat otoritatifnya.

3) Asy-Syari‟ah : Undang–undang dan Hukum, prinsip–prinsip dan

praktek–praktek Islam (Islam : اسالم, Iman : اميان, dan Ihsan : احسان)

4) Teologi: Tuhan, Esensi-Nya, Sifat–sifat dan nama–nama–Nya serta

tindakan–tindakan–Nya (at-Tauhid : التوحيد)

Page 83: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

72

5) Metafisika Islam (at–Tashawwuf : التصوف) psikologi, kosmologi dan

ontologi: unsur–unsur yang sah dalam filsafat Islam (termasuk

doktrin–doktrin kosmologis yang benar, berkenaan dengan tingkatan–

tingkatan wujud)

6) Ilmu–ilmu Linguistik: bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi, dan

kesusasteraannya.

b. Ilmu–ilmu rasional, intelektual, dan filosofis

1) Ilmu–ilmu kemanusiaan.

2) Ilmu–ilmu alam.

3) Ilmu–ilmu terapan.

4) Ilmu–ilmu teknologi. 38

Menurut Al-Attas, struktur ilmu pengetahuan dan kurikulum pendidikan Islam

seharusnya menggambarkan manusia dan hakikatnya yang harus diimplementasikan

pertama-tama pada tingkat universitas. Struktur dan kurikulum ini secara bertahap

kemudian diaplikasikan pada tingkat rendah. Secara alami, kurikulum tersebut

diambil dari hakikat manusia yang bersifat ganda (dual nature); aspek fisikalnya

lebih berhubungan dengan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu fisikal dan teknikal,

atau fardhu kifayah; sedangkan keadaan spiritualnya sebagaimana terkandung dalam

istilah-istilah ruh, nafs, qalb, dan „aql lebih tepatnya berhubungan dengan ilmu inti

atau fardhu „ain. Kandungan umum yang terperinci dari dua ketgori tersebut pada

tingkat pendidikan tinggi adalah :

a. Fardhu ‘Ain (ilmu-ilmu agama)

1) Kitab suci Al-Qur‟an: pembacaannya dan interpretasinya (tafsir dan

ta‟wil). Di ISTAC, Al-Attas telah menyetujui mata kuliah sejarah dan

metodologi „Ulum Al-Qur‟an. Ia merupakan studi mengenai Al-

Qur‟an, konsep dan sejarah wahyu, penurunannya, pengumpulan,

penjagaan, dan penyebarannya, ilmu-ilmu untuk memahami Al-Qur‟an

38

Ibid., h. 87-90

Page 84: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

73

(seperti nasikh-mansukh, al-khashsh wa al-„am, muhkam-mutasyabih,

dan amr-nahy). Ia juga meliputi studi komparatif mengenai asal-usul,

perkembangan, dan metodologi literatur tafsir, jenis-jenis dan mazhab-

mazhabnya.

2) Sunnah : kehidupan Nabi : sejarah dan risalah nabi-nabi terdahulu,

hadis dan perawiannya. Mata kuliah sejarah dan metodologi hadis

wajib bagi semua mahasiswa ISTAC. Selain itu, mata kuliah ini

merupakan pengkajian yang mendalam mengenai sejarah kritik hadis,

beberapa istilah teknisnya (musthalahat al-hadis), analisis

perbandingan terhadap kitab-kitab kumpulan hadis yang penting dan

pengategoriannya, ilmu biografi, dan kamus utama mengenai

biografi.39

3) Syariat : fiqih dan hukum; prinsip-prinsip dan pengamalan Islam

(Islam, iman, ihsan). Al-Attas menganggap pengetahuan syariat

sebagai aspek terpenting dalam pendidikan Islam. Bagaimanapun,

pelaksanaan syariat dalam kehidupan individu dan masyarakat harus

didasarkan pada ilmu yang tepat, sikap moderat, dan adil. Al-Attas

menilai bahwa pengajaran hukum Islam mendapat perhatian yang

lebih besar daripada yang diperlukan kebanyakan Muslim dalam

bidang pemikiran pendidikan dan administratif, sampai pada tingkat

mengurangi perhatian pada masalah-masalah yang lebih fundamental

lainnya, seperti teologi, metafisika, dan etika.

4) Teologi (Ilmu Kalam): Tuhan, Zat-Nya, Sifat-sifat, Nama-nama, dan

Perbuatan-Nya (al-tauhid). Teologi Islam merupakan subjek yang

sangat penting yang masih belum diberi tempat yang layak dalam

kurikulum pendidikan tinggi Islam sekarang ini. Alasannya,

ketidakmampuan banyak ilmuwan Muslim modern menunjukkan

39 Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h.274-276

Page 85: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

74

bahwa permasalahan dan isu yang diangkat dalam subjek ini bukanlah

hal kuno dan ketinggalan zaman, karena itu tidak relevan bagi Muslim

modern. Sebaliknya, Al-Attas secara konsisten berpendapat dan

membuktikan bahwa permasalahan dan isu-isu yang diangkat dalam

teologi itu muncul kembali, terutama dari sumber-sumber kebudayaan.

Memahami dengan baik pendapat yang dikembangkan oleh beberapa

ahli teologi Muslim yang terkenal akan sangat membantu mengurangi

kerancuan (pemahaman) keagamaan yang terjadi di kalangan

pemimpin Muslim hari ini.40

5) Metafisika Islam (al-tashawwuf „irfan): psikologi, kosmologi, dan

ontologi; elemen-eleman filsafat Islam yang cukup dikenal terdiri dari

doktrin-doktrin kosmologi yang berkaitan dengan hierarki wujud.

Mata kuliah ini mungkin merupakan yang paling fundamental dalam

kurikulum pendidikan Al-Attas, bukan saja karena meliputi semua

elemen yang paling penting dalam pandangan Islam mengenai realitas

dan kebenaran sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur‟an dan hadis,

melainkan juga karena mencakup ringkasan semua disiplin intelektual

lain, seperti ilmu Al-Qur‟an, hadis, teologi dan filsafat, serta ilmu

pengetahuan mengenai bahasa Arab klasik.

6) Ilmu bahasa: bahasa Arab, tata bahasanya, leksikografi, dan sastra.

Tujuannya bukan hanya menguasai keterampilan berbicara melainkan

lebih penting lagi untuk menganalisis dan menginterpretasikan

sumber-sumber primer dalam Islam, khazanah intelektual dan spiritual

penting dalam bahasa Arab.41

Harus disebutkan di sini bahwa kategori fardhu „ain merupakan gambaran

dari integrasi pelbagai mazhab yang dianut dalam tradisi pendidikan Muslim. Lebih

jauh lagi, harus digarisbawahi bahwa konsepsi Islam mengenai fardhu „ain,

40 Ibid., 276-277

41

Ibid., h. 277

Page 86: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

75

sebagaimana dipahami oleh Al-Attas, pada dasarnya berbeda dari pengategorian

bidang studi pendidikan sekuler liberal modern yang biasanya berupa bidang studi

permanen atau kurikulum inti atau pendidikan umum, dengan alasan berikut.

Pertama, bidang studi permanen pada pendidikan umum tidak pernah diberi

status normatif sebagaimana fardhu „ain.

Kedua, bidang studi permanen dan pendidikan umum secara keseluruhan pada

dasarnya difokuskan untuk program S1 pada pendidikan universitas, sedangkan

pengetahuan fardhu „ain harus dipelajari sejak akil baligh sampai tingkat pendidikan

tertinggi bahkan sampai meninggal dunia.

Ketiga, berbeda dari pengetahuan inti pada pendidikan umum, pengetahuan

fardu „ain diambil dari dan berakar pada Wahyu Ilahi dan hadis Nabi yang tidak

pernah ditentang oleh ilmuwan Muslim siapa pun sepanjang zaman.42

b. Fardhu Kifayah

Pengetahuan mengenai fardhu kifayah tidak diwajibkan kepada setiap Muslim

untuk mempelajarinya, tetapi seluruh masyarakat Mukmin akan bertanggung jawab

jika tidak ada seorangpun dari masyarakat tersebut yang mempelajarinya, karena

memberikan landasan teoretis dan motivasi keagamaan kepada umat Islam untuk

mempelajari dan mengembangkan segala ilmu ataupun teknologi yang diperlukan

untuk kemakmuran masyarakat. Al-Attas membagi pengetahuan fardhu kifayah

menjadi delapan disiplin ilmu :

1) Ilmu Kemanusiaan.

2) Ilmu Alam.

3) Ilmu Terapan.

4) Ilmu Teknologi.

5) Perbandingan Agama.

6) Kebudayaan Barat.

42 Ibid., h. 279-281

Page 87: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

76

7) Ilmu Linguistik: Bahasa Islam.

8) Sejarah Islam

Sudah tentu Al-Attas tidak membatasi pengetahuan fardhu kifayah pada

delapan disiplin ilmu di atas. Hal ini bisa dipahami karena pengetahuan („ilm) itu

sendiri, sebagai Sifat Tuhan, tidak terbatas. Selain itu, fardhu „ain itu dinamis dan

berkembang seseuai dengan kemampuan intelektual dan spiritual seseorang serta

keadaan masyarakatnya, pengetahuan fardhu kifayah juga akan berkembang dengan

keperluan dan program masyarakat tertentu.43

7. Metode Pendidikan Islam

Ciri-ciri metode pendidikan Al-Attas yang lain adalah penggunaan metafora

dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan yang juga banyak digunkana dalam Al-

Qur‟an dan hadis. Adalah sesuatu yang wajar bahwa para ulama, khususnya para sufi

(sebagaimana digambarkan oleh Izutsu, yang mengamati kecenderungan serupa pada

kalangan cerdik pandai di Timur) menggunakan cara-cara ini sebagai bagian integral

dari paedagogi mereka. Efektifitas metode ini tidak diragukan lagi, pun di dalam

sejarah pendidikan Barat. Komentar Izutsu dalam Wan Mohd Nor Wan Daud sangat

relevan :

Para filosof Muslim cenderung menggunakan metafora dan perumpamaan

dalam metafisika, khususnya dalam penjelasan mengenai hubungan antara

Kesatuan dan Keragaman atau realitas absolut dan hal-hal fenomenal yang

tampak kontradiktif. Metafora yang sering dipakai dalam metafisika adalah

salah satu ciri khas filsafat Islam, atau boleh juga kita katakan filsafat Timur

umumnya. Ia tidak dapat dianggap sekadar hiasan puitis. Sebenarnya, fungsi

kognitif itu lebih tepat melalui penggunaan metafora.44

43 Ibid., h. 281-282

44

Ibid., h. 310-311

Page 88: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

77

8. Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang Pendidikan Islam

dan Relevansinya pada Era Sekarang

Terhadap tantangan-tantangan yang sedang dihadapi dunia pendidikan Islam

dewasa ini, ternyata konsep pendidikan yang digagas Al-Attas adalah berusaha untuk

menjawabnya. Al-Attas muncul pada era yang telah mengalami kemajuan zaman

modern (canggih) yang nota bene seluruh aspek kehidupan telah berhubungan dan

tersentuh oleh teknologi dan sains.

Melalui pandangan filosofisnya, Al-Attas telah berhasil mendiagnosa

penyebab kemunduran umat Islam di zaman ini. Perspektif yang menyatakan bahwa

hancurnya umat Islam bukan disebabkan karena kemunduran dibidang ekonomi,

politik dan sebagainya. Namun persoalan yang lebih fundamental adalah kehancuran

pada tingkatan metafisis, dimana umat Islam telah mengalami yang namanya

corruption of knowledge (korupsi ilmu pengetahuan), keadaan inilah yang

menyebabkan umat Islam kehilangan sebuah pijakan pada tradisi keilmuan yang

gemilang tersimpan. Sehingga nilai adab dalam diri umat Islam dan jatuh pada

kemerosotan yang sangat dalam.

Perlu kembali ditegaskan, bahwa tujuan mencari ilmu pengetahuan pada

puncaknya adalah untuk menjadi manusia-manusia yang baik, dan bukan menjadi

seorang warganegara yang baik, karena itu pendidikan mencerminkan manusia bukan

negara. Menurut Islam, manusia seperti itu (Insan al-Kamil) itu telah ternyatakan

pada diri Nabi Muhammad SAW.

Rumusan tujuan pendidikan Islam dewasa ini yang merupakan hasil tiruan

dari Barat, ternyata tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi

pendidikan Islam. Menurut Al-Attas cara seperti itu tidak akan pernah berhasil

mengingat tidak adanya model yang sempurna dan lengkap dari keteraturan yang

yang lebih tinggi untuk dijadikan kriteria bagi perumusan ruang lingkup dan

kandungannya, dan pada pendidikan sekuler gambaran mengenai manusia yang utuh

memang tidak dimilikinya. Karena tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah

Page 89: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

78

pembentukan manusia yang baik (insan kamil), maka puncak perwujudan dan

kesempurnaan dalam pendidikan Islam adalah universitas, maka Al-Attas

merumuskan skema antara manusia, pengetahuan, dan universitas sebagaimana

dibawa ini:

Upaya yang dilakukan Al-Attas ini merupakan kelanjutan dari upaya yang

telah dilakukan Al-Ghazali dalam konsep “Ihya Ulum Ad-Din” yang memulihkan

kembali nilai adab, dan Al-Attas ini mengemukakannya kembali konsep tersebut pada

zaman yang sudah modern ini. Zaman yang telah penuh dengan kontaminasi unsur

sekuler dari Barat, dan upaya yang dilakukan pun tidak lain adalah upaya penanaman

nilai-nilai Islam dengan ta‟dib. Indikasi sederhananya berusaha bertindak dan

bertingkah laku secara Islami. Oleh karena itu, wajar kalau pendidikan juga dapat

diartikan sebagai upaya bimbingan atau tuntutan secara sadar oleh pendidik terhadap

perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian

utama.45

45 Zulkarnain Ar, Pendidikan Islam Menurut Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, dalam

http://andeskopraya.blogspot.com, 13 Februari 2014

Page 90: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

79

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka peneliti dapat menemukan

beberapa kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah. Adapun hasil

kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menurut pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan Islam

adalah proses penanaman ilmu ke dalam diri manusia.

Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam

diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir

pendidikan Islam ialah menghasilkan manusia yang baik dan bukan, seperti

dalam peradaban Barat, warganegara yang baik. “Baik” dalam konsep

manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab dalam pengertian yang

dijelaskan di sini, yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia.

Karena dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya adalah

untuk menjadi seorang manusia yang baik.

2. Relevansi pendidikan Islam pada era sekarang bagi Syed Muhammad Naquib

Al-Attas adalah perwujudan paling tinggi dan paling sempurna dari sistem

pendidikan adalah universitas. Dan mengingat bahwa universitas merupakan

Page 91: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

80

sistematisasi pengetahuan yang paling tinggi dan yang sempurna – yang

dirancang untuk mencerminkan yang universal – maka ia mestilah juga

merupakan pencerminan dari bukan sekedar manusia apa saja, melainkan

Manusia Universal atau Sempurna (al-insanul kamil : االنسان الكامل). Maka

dari itu, pendidikan Islam membutuhkan adanya tempat/lembaga pendidikan

yang mampu membina manusia sempurna.

B. Saran

Dari pembahasan yang telah dikaji, maka peneliti dapat memberikan saran-

saran kepada para pembaca baik sebagai pemimpin pendidikan atau pendidik.

Adapun saran-saran tersebut sebagai berikut :

1. Dalam dunia pendidikan, terdapat banyak tokoh yang menuangkan

pemikirannya tentang pendidikan Islam. Sehingga banyak pandangan yang

didapat, namun sebagai pendidik perlu memilih pendidikan Islam yang pantas

dirumuskan di dalam suatu instansi atau lembaga. Agar pendidikan yang ada

di Indonesia mampu menanamkan adab dan pengajaran yang baik sehingga

mencapai tujuan akhir pendidikan Islam yaitu perwujudan ketundukkan yang

sempurna kepada Allah SWT.

2. Dalam dunia pendidikan, banyak sekali pengaruh dari luar (Barat) yang

bersifat negatif. Sehingga pendidik harus selektif dalam memfilter pengaruh

yang ditimbulkan dari luar (Barat). Karena pendidikan Barat seringkali

membawa dampak negatif dalam pendidikan Islam. Namun, tidak semua

pendidikan Barat memberikan dampak negatif ke dalam pendidikan Islam,

ada dampak positif yang bisa diambil dari pendidikan Barat untuk kemajuan

pendidikan Islam.

Page 92: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

81

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam. Terj. dari The

Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of

Education oleh Haidar Bagir. Bandung: Mizan. 1996. Cet.ke-7.

Al-Baghdadi, Abdur Rahman. Sistem Pendidikan Islam di Masa Khilafah Islam.

Surabaya: Al-Izzah. 1996. Cet. ke-1.

Al-Rasyidin., dan Nizar, Samsul. Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis: Filsafat

Pendidikan Islam. Jakarta: PT Ciputat Press. 2005.

Arief, Armai. Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press. 2005. Cet ke-1.

-----. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press. 2002.

-----.Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau. Jakarta: Suara ADI 2009. Cet.

ke-1.

Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2008. Cet. ke- 4.

-----. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2010. Cet ke-5.

Arifin. Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan

Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2003. Cet ke-1.

Badudu, Js., dan Zain, Sutan Muhammad. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan. 1994. Cet ke-1.

Daud,Wan Mohd Nor Wan.Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad

Naquib Al-Attas.Bandung: Mizan. 2003. Cet. ke-1.

Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah. Pedoman Penulisan Skripsi FITK UIN Syarif

Hidayatullah. Jakarta: tp. 2013.

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI

tentang Pendidikan. Jakarta: Departemen Agama RI. 2006.

Feisal, Jusuf Amir.Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press. 1995.

Cet. ke- 1.

Page 93: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

82

Gholib,Achmad.Teologi dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2004.

Cet. ke-1.

Hambaly,Hasan Muarif. et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 2. Jakarta: PT Ichtiar

Baru Van Hoeve. 1996. Cet. ke-1.

Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005.

Jalaludin. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2002. Cet. ke-2.

Mahfud, Rois. Al-Islam : Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga. 2011.

Mujib, Abdul., dan Mudzakkir, Jusuf. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

2008. Cet. ke-2.

Narbuko, Chalid., dan Abu Achmadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.

2009.

Nata, Abuddin. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: UIN Jakarta Press

2005.

-----. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet ke-1.

Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan

Praktis. Jakarta: Ciputat Press. 2002. Cet ke-1.

-----. Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media

Pratama. 2001. Cet ke-1.

Online, Inpas. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Tinjauan Atas Pemikiran Syed M.

Naquib Al-Attas dan Ismail Raji’ Al-Faruqi.dalam

http://www.Inpasonline.com. diakses pada tanggal 16 Oktober 2013.

Purwanto, M. Ngalim Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya. t.t.

Ramayulis., dan Nizar, Samsul. Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT

Ciputat Press. 2005.

Ridjaluddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA.

2009.

Saidan.Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-Banna dan

Mohammad Natsir. Jakarta: Kementerian Agama RI. 2011.

Page 94: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan

83

Shofan, Moh. Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar

Dikotomi Sistem Pendidikan Islam. Jawa Timur: UMG Press. 2004. Cet ke-1.

Sholeh, A. Khudhori.Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. t.t.

Cet. ke-1.

Sholeh,Asrorun Niam.Reorientasi Pendidikan Islam : Mengurai Relevansi Konsep

Al-Ghazali dalam Konteks Kekinian. Jakarta: ELSAS Jakarta. 2008. Cet. ke-6.

Soebahar, Abdul Halim. Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai

UU Sisdiknas. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2013. Cet ke-1.

Sudijono, Anas. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

2008.

Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya. 2007. Cet ke-3.

Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: AMZAH. 2009. Cet ke-1.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2007. Cet.

ke-7.

Yasin, A. Fatah.Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press

2008. Cet ke-1

Zuhairini Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2009. Cet ke-5.

-----. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004. Cet ke-3.

Zulkarnain Ar, Pendidikan Islam Menurut Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, dalam

http://andeskopraya.blogspot.com, 13 Februari 2014.

Page 95: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan
Page 96: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan
Page 97: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan
Page 98: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan
Page 99: PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24620/1/IZZAH... · John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan