SKRIPSI
NILAI-NILAI KETATANEGARAAN ISLAMI DALAM PELAKSANAAN
PEMILU DI MALAYSIA
(Studi Analisis Kinerja Suruhanjaya Pilihan Raya dalam Pelaksanaan Pemilihan
Umum di Malaysia)
OLEH:
ABDUL HADI BIN RIPIN
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
NILAI-NILAI KETATANEGARAAN ISLAMI DALAM PELAKSANAAN
PEMILU DI MALAYSIA
(Studi Analisis Kinerja Suruhanjaya Pilihan Raya dalam Pelaksanaan Pemilihan
Umum di Malaysia)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh :
ABDUL HADI BIN RIPIN NIM : 106045203750
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
KOSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang puja dan puji
syukur seraya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya,
dan atas semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Shalawat dan salam semoga
senatiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah, Muhammad SAW, keluarga, sahabat,
dan orang-orang yang telah memberikan dorongan serta motivasi kepada penulis.
Penulis bangga akan hasil penulisan skripsi ini walaupun masih ada kekurangan
dalam penulisan skripsi ini sebagai manusia kita tak luput dari kesalahan, kesempurnaan dan
kebenaran hanyalah milik Allah SWT oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan sekali
masukan baik itu sifatnya saran maupun kritik selama itu dapat membangun dan terus
memotivasi penulis agar menyempurnakan dan memperbaiki kesalahan tersebut.
Namun demikian penulis sangat bersyukur sekali kepada Allah SWT dengan izin
dan kehendak-Nya maka penulis dapat menyelesaikan dan merampungkan skripsi dalam
rangka menyelesaikan studi di Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Siyasah Syar’iyyah
(Ketatanegaraan Islam ) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya, karena dengan bantuan dan dukungan merekalah penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih secara khusus yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
kesempatan kami untuk menimba ilmu
2. Kepada Negara Indonesia yang telah memberikan kami izin untuk mencari dan
mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat untuk kami.
3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum dan juga pembimbing penulis yang dengan arahan beliau pula sehingga
penulis dapat memahami dengan mudah apa yang akan dikerjakan.
5. Asmawi, M.Ag Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Syar’iyyah
6. Ayahanda Ariffin Abu Bakar yang telah mendidik dan membimbing penulis, Ibunda
Sukma Awang dan Ibunda Romlah yang telah kembali kerahmatullah semoga rohnya
dicucuri rahmat.
7. Dato Haji Mustafa Ali yang telah memberi dokongan dan bantuan diucapkan berbanyak
terima kasih.
8. Warga Kudqi yang telah memberikan tempat belajar terutama Dato Tuan Guru Haji
Harun Taib, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Ust Soud Said, Ust. Nik Mohd Nor, YB.
Ust. Mohd Nor Hamzah, Ust. Rizki Ilyas, Ustadzah Zaitun, Ustadzah Nabilah, Ustadzah
Yazidah, Ust. Kamaruzaman, Ust. Shahari Zulkirnain, Ust. Asmadi dan seluruh Ustad
dan Ustadzah juga pelajar Kudqi yang tidak dapat penulis sebutkan disini.
9. Kepada keluarga di Malaysia yang telah memberikan dorongan dan motivasi terutama
untuk istri tercinta (Suhaizan), dan anak-anakku yang memberikan inspirasi dalam
menyelesaikan skripsi ini (A’zim, Hannan, Ardini, Irdina) dan kakak dan adikku
tercinta (Azizah&Yusuf, Zaitun&Harun, Zaleha&M.Khoiruddin, Amir&Dalina,
Puspawati&Fazali, Adik Na&Fauzi, Jihaduddin& Na). saudara-saudaraku yang lain
Suryana & Nasir, Arffan&Sitti, Safawi & Su, Jamal & Liza, M. Zin Uda & Na,
Mahmud & Mah, Ust. Zailani & K. Mah, Ust. Abd. Wahid, Romli Abbas, M.Nor & Ni..
10. Teman-teman satu perjuangan baik itu teman-teman Malaysia, yang ada dalam satu atap
untuk perjuangan (Harun, Faisal, Baihaqi, Khairil, Amir, Mustofa, Mawardi, Ikram),
serta teman Malaysia yang di Aspa dan Aspi ( Baha, Siti Hajar, Nur Masyitah, Hajar
Harun, Salwa, Anisah, Hazrin, N. Syazwani, Halimah dll) atupun kawan-kawan
Indonesia yang telah membantu untuk memahami dan sharing lebih dalam mengenai
ketatanegaraan Islam (Zamroni, Sidiq, Lukman, Taufiq, Dinnur, dan Oyok yang
membantu kami dalam menerjemahkan bahasa Indonesia serta yang lainnya yang tidak
dapat disebutkan satu persatu).
Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik
dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis khususnya dan kepada
semua pihak pada umumnya. Dengan segala kerendahan hati yang penulis miliki, penulis
ingin menyampaikan harapan yang begitu besar agar skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi penulis sendiri dan pembaca sekalian. Dan semoga Allah menjadikan penulisan skripsi
ini sebagai suatu amalan yang baik di sisi-Nya. Ciputat, 13 April
2008 M
6 Rabiulakhir 1429 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................iii
DAFTAR ISI ..............................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .....................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................................8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...........................................................9
D. Tinjauan Pustaka ..............................................................................10
E. Metode Penelitian ............................................................................12
F. Sistematika Penulisan.......................................................................14
BAB II NILAI-NILAI KETATANEGARAAN ISLAM DALAM PELAKSANAAN
PEMILU
A. Pelaksanaan Pengangkatan Pimpinan dalam Ketatanegaraan Islam 16
B. Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam dalam pengangkatan kepala Negara 25
1. Nilai Musyawarah ......................................................................27
2. Nilai Keadilan.............................................................................32
3. Nilai Persamaan..........................................................................35
C. Konsep dan Teori Pelaksanaan Pengangkatan Kepala Negara dalam
Ketatanegaraan Islam .......................................................................38
1. Bai’at ..........................................................................................40
2. Ahlul Halli Wal Aqdi .................................................................42
3. Putera Mahkota...........................................................................45
D. Pelaksanaan Pemilu dalam Pandangan Ulama Kontemporer...........48
BAB III PELAKSANAAN PEMILU DI MALAYSIA OLEH SURUHANJAYA
PILIHAN RAYA
A. Sistem Pemilihan Umum di Malaysia. .............................................61
B. Pelaksanaan Pemilu di Malaysia Oleh Suruhanjaya Pilihan Raya. 68
C. Problematika Dalam Pelaksanaan Pemilu di Malaysia .....................85
D. Konsep Kebebasan dan Kebersihan Pelaksanaan Pemilu di Malaysia 93
BAB IV ANALISIS KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN
PEMILU DI MALAYSIA
A. Beberapa Hal Kesesuaian Pelaksanaan Pemilu Malaysia dengan
Ketatanegaraan Islam. ......................................................................98
B. Beberapa Hal Ketidaksesuaian Pelaksanaan Pemilu Malaysia dengan
Ketatanegaraan Islam. ....................................................................102
C. Analisis Ketetanegaraan Islam Terhadap Pengangkatan Kepala Negara 104
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................109
B. Saran ...............................................................................................114
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menggariskan bahwa dalam umat harus ada pemimpin yang menjadi
pengganti dan penerus fungsi kenabian untuk menjaga terselenggaranya ajaran agama,
memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi syariat agama dan menyatukan
umat dalam kepemimpinan yang tunggal. Imamah (kepemimpinan Negara) adalah dasar bagi
terselenggaranya dengan baik ajaran-ajaran agama dan pangkal bagi terwujudnya
kemaslahatan umat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman sejahtera.1 Mengenai arti
pentingnya seorang pemimpin diutarakan juga oleh Ibn Khaldun di dalam Muqaddimah, “
kedudukan pemimpin timbul dari keharusan hidup bergaul bagi manusia, dan didasarkan
kepada penaklukkan dan paksaan, yang merupakan pernyataan sifat murka dan sifat-sifat
kebinatangan.2
Sistem pemerintahan demokrasi berbeda dengan sistem pemerintahan diktator. Ia
berbeda dari segi cara untuk mendapatkan kekuasaan pemerintahan. Bagi sistem
pemerintahan demokrasi, kekuasaan ini ditentukan melalui pemilihan umum (pemilu).
Melalui pemilihan umum ini, rakyat diberi hak untuk memilih pemimpin mereka sendiri. Ini
berarti pemerintahan yang bercorak demokrasi ialah pemerintahan yang mendapat mandat
dan persetujuan rakyat untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Sebaliknya pemerintahan yang
bercorak diktator tidak membenarkan pemilu diadakan3. Asas kekuasaannya adalah bertumpu
kepada kekuatan raja yang absolut, rakyat tidak diberi hak untuk memilih, rakyat juga tidak
1 Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, cet. V, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2000), h. 14 2 Ibn Khaldun, Muqaddimah, Penterjemah Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus; 2008), cet. VII,
h.232. 3 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet. III, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn.Bhd, 2006), h. 169
dibenarkan untuk menegur atau mengkritik tindak tanduk raja. Jika rakyat membantah
perintah dan larangannya, mereka akan dipenjarakan dan mungkin dibunuh. Oleh sebab itu
orang-orang yang mempunyai kekuasaan memerintah selalu dikawal rapi oleh angkatan
bersenjata (pasukan khusus), yang menyebabkan mereka terasing daripada rakyat. Dengan
demikian tidak mengherankan jika terjadi pemberontakan untuk menjatuhkan kerajaan yang
otoriter itu.4
Pemerintahan yang demokrasi bergantung pada pemilu untuk menentukan wakil-
wakil rakyat yang akan menjalankan pemerintahan, maka sangatlah penting pemilu
dijalankan dengan adil. Karena pemilu yang dilaksanakan itu tidak adil, terdapat kecurangan
misalnya, sehingga hasil dari pemilihan umum itu tidak sesuai dengan kehendak rakyat, dapat
mengakibatkan timbulnya pertikaian dan perbuatan-perbuatan anarkis yang pada akhirnya
dapat menimbulkan kerugian materi bahkan jiwa dalam suatu negara.5
Untuk itu, agar pemilu dapat dilaksanakan dengan baik, yang bersih dan bebas jujur
dan adil haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:6
1. Pemilu itu haruslah dilaksanakan oleh suatu badan yang independen, jujur dan dipercayai
oleh rakyat.
2. Haruslah ada Undang-undang tentang pemilu yang mengatur tentang pelaksanaannya,
agar terhindar dari kecurangan-kecurangan.
3. Segala permasalahan pemilu haruslah diselesaikan dengan segera oleh mahkamah khusus.
Dengan melihat pernyataan diatas maka kita akan memahami bahwa setiap negara
dimanapun yang bercorak demokrasi di dalamnya pasti akan dilaksanakan suatu pemilu,
begitu pun dengan Negara Malaysia. Malaysia merupakan negara yang menganut sistem
4 Ibid, h. 170 5 Ibid, h. 171
6 Ibid. h. 170
monarki konstitusional dan demokrasi berparlemen. Dalam pemilu, Malaysia menganut
sistem pemilu berdasarkan tiga prinsip utama, yaitu:7
1. Berdasarkan suara terbanyak mengikuti kaedah First Past The Post System yang mana
calon yang menang adalah calon yang memperoleh suara terbanyak, walaupun hanya
mendapat kelebihan satu suara melebihi calon lawannya yang lain.
2. Berdasarkan pemilihan seorang perwakilan mengikuti bagian pemilu sama dengan bagian
pemilu parlimen atau bagian pemilu Negeri (Single Member Territorial Representation).
3. Berdasarkan sistem penyertaan berbagai partai politik dan pihak yang layak untuk
berkompetisi dalam suatu pemilihan umum (Multi Party Electoral System).
Untuk melaksanakan pemilu, dalam pasal 113 Perlembagaan (konstitusi) Malaysia
telah memberi wewenang kepada pemerintah untuk membuat sebuah suruhanjaya
(lembaga/badan) yang dinamakan Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR)8. Tugas pokok lembaga
ini adalah untuk memastikan rakyat Malaysia berpeluang untuk memilih wakil-wakil mereka
dalam membentuk pemerintahan dan memelihara hak ini melalui pemilu yang bebas dan adil.
Suruhanjaya atau lembaga ini dipimpin oleh seorang ketua dan tiga orang anggota.
Dalam sistem pemilu Malaysia, setiap negara bagian dibagi menjadi beberapa
wilayah pemilu yang diwakili oleh seorang atau beberapa orang wakil rakyat. Tiap satu
kawasan pemilu hanya diwakili oleh seorang wakil rakyat saja.9 Jadi jumlah wilayah pemilu
Dewan Rakyat adalah sama banyak dengan bilangan anggota Dewan Rakyat, begitu juga
jumlah wilayah pemilu bagi Dewan Undangan Negeri adalah sama banyak dengan jumlah
anggota Dewan Undangan Negeri. 10
7 Suruhanjaya Pilihan Raya Malaysia (SPR), 50 Tahun Demokrasi dan Pilihan Raya di Malaysia, (Kuala Lumpur: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 2007), h. 7 8 Istilah Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) sama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia dan Pemilihan Umum dalam bahasa Malaysia disebut Pilihan Raya.
9 Undang-Undang Malaysia, Perlembagaan Persekutuan, Perkara (pasal) 116 (2) 10 Dewan Undangan Negeri sama dengan DPRD dan Dewan Rakyat adalah DPR Pusat / Parlemen)
Dewan Negeri, tergantung pada jumlah anggota Dewan Negeri sebagaimana yang
telah ditetapkan oleh perlembagaan (UUD) negeri masing-masing. Walau bagaimanapun,
jumlah wilayah pemilu bagi setiap negara bagian mestilah sekurang-kurangnya sama banyak
atau dua kali lipat dengan jumlah wilayah pemilu Dewan Rakyat yang ditetapkan kepada
negara bagian itu, mengikuti Perlembagaan jumlah anggota Dewan Negeri di tiap-tiap negara
bagian adalah: Johor (40), Kedah (36), Kelantan (43), Melaka (25), Negeri Sembilan (32),
Pahang (38), Pulau Pinang (33), Perak (52), Perlis (15), Selangor (48), Terengganu (32),
Sabah (48), Sarawak (56).11
Dalam pemilu di Malaysia setiap pemilih ditentukan dalam undang-undang
Malaysia Perlembagaan Persekutuan pasal 119 disebutkan syarat-syarat pemilih seperti
Warga Negara Malaysia, berumur 21 tahun pada saat dilaksanakan pemilihan raya, kemudian
merupakan penduduk asli dari negara bagian. Dalam penelitian ini masalah yang diangkat
adalah mengenai problematika pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia seperti, daftar
pemilih yang tidak/bukan penduduk asli atau mastautin kemudian dimanakah fungsi utama
SPR yang bertugas untuk menyelenggarakan pelaksanaan pemilihan raya Malaysia secara
adil?, maka selayaknyalah SPR harus memperbaiki citra mereka, dengan melihat tatacara dan
praktek pemilihan kepala negara berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam
ketatanegaraan Islam.
Di kalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan
antara Islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-
mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan
Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan
pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Para
penganut aliran ini pada umumnya berpendirian bahwa :12
11 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 172 12 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), edisi kelima, hal. 1
1. Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain
sistem ketatanegaraan atau politik, oleh karenanya dalam bernegara umat Islam
hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan
jangan meniru sistem ketatanegaraan barat.
2. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah
dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad dan oleh empat Al-Khulafa al-Rasyidin.
3. Menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa
dalam agama Islam terdapat sistem ketatanegaraan.
Terlepas dari pernyataan diatas kita sebenarnya akan melihat bahwa proses
ketatanegaraan itu sifatnya kompleks dan fleksibel, sebetulnya Islam telah mengajarkan
kepada kita bagaimana mempraktekan ketatanegaraan secara Islami. Dalam sejarah
ketatanegaraan Islam mengenai proses pengangkatan kepala negara (khalifah) kita dapat
melihat bahwa Islam sudah mempraktekan pemilihan secara demokratis hal ini ditandai
dengan pemilihan khalifah yang ketiga dalam Islam yaitu Khalifah Utsman bin Affan, dalam
proses penunjukannya sampai pengangkatannya melalui proses yang sangat demokratis.
Dalam pengalihan (kekuasaan Umar kepada Utsman dibentuk suatu badan yang
beranggotakan enam orang dengan diketuai oleh Abdurrahman bin Auf disini kita akan
melihat sejauh mana proses keadilan yang berlangsung dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan
mengkaji lebih dalam masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu yang
diselenggarakan SPR di Malaysia yang dalam pelaksanaannya terdapat beberapa
permasalahan dan problematika sehingga penulis angkat menjadi judul skripsi: “Nilai-Nilai
Ketatanegaraan Islam dalam Pelaksanaan Pemilu di Malaysia” (Studi Analisis Kinerja
Suruhanjaya Pilihan Raya dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum di Malaysia).
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian dan penulisan skripsi adalah penting dengan adanya suatu
pembatasan masalah yang bertujuan agar penelitian menjadi tearah dan fokus
terhadap permasalahan yang akan diteliti. Kemudian pertanyaan penelitian haruslah
dapat dirumuskan untuk “mempersempit” ruang lingkup penelitian, dengan begitu
pertanyaan penelitian menjadikan penelitian lebih fokus dan terarah. Berdasarkan
paparan dalam latar belakang diatas, maka pokok permasalahan yang terdapat dalam
penelitian ini adalah mengenai penyelenggaraan pelaksanaan pemilihan umum.
2. Perumusan Masalah
Dari penjelasan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan “Bagaimana peranan
SPR (Suruhanjaya Pilihan Raya) dalam pelaksanaan Pemilihan Umum di Malaysia
dengan memperhatikan nilai-nilai ketatanegaraan Islam?”, yaitu mencakup hal-hal
sebagai berikut:
1) Bagaimana kinerja pelaksanaan pemilu Malaysia oleh SPR?.
2) Bagaimana konsep pemilihan atau pengangkatan pimpinan dalam ketatanegaraan
Islam?.
3) Bagaimana Nilai-nilai ketatanegaraan Islam dalam pelaksanaan Pemilihan Umum
Malaysia oleh SPR?.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai diantaranya:
1. Memberikan gambaran dan informasi mengenai SPR (Suruhanjaya Pilihan Raya)
2. Menjelaskan pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia
3. Untuk mengetahui peranan SPR dalam menerapkan nilai-nilai ketatanegaraan Islam.
Adapun dari segi manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Kajian keilmuan mengenai ketatanegaraan Islam.
2. Memberikan pengetahuan dan informasi tentang Badan Pemilu SPR di Malaysia.
3. Menambah wawasan bagi para akademik dan pembaca mengenai pelaksanaan pemilu
di Malaysia dan ketatanegaraan Islam.
D. Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian dengan pokok bahasan mengenai pelaksanaan pemilihan umum
di Malaysia 2005 serta pemilihan kepala negara yang didasarkan kepada rasa keadilan..
Pembahasan bersumber dari skripsi terdahulu, buku, selain itu ada beberapa jurnal dan
laporan tahunan yang berkaitan secara spesifik dan khusus bersinggungan dengan bahasan
penelitian. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya
penelitian tersebut.
Skripsi Pitri Anita, “Siyasah Dauliyah Pada Masa Khulafaur Rasyidun, 2004. Pada
bab IV skripsi ini ada pembahasan yang mengkaji praktek siyasah dauliyah pada masa
Khulafaur Rasyidun, dimulai dari Khalifah Abu Bakr As-Sidiq, Umar bin Khattab, Utsman
bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib di dalamnya memuat penerapan nilai-nilai ketatanegaraan
Islam yang mereka praktekkan sepertni nilai keadilan, nilai musyawarah, nilai keadilan, dll.
Skripsi Mohammad Adnin bin Yahya, “Konsep Negara Islam di Malaysia (menurut
UMNO dan PAS), 2006. Skripsi ini membahas mengenai penerapan nilai-nilai Islam yang
ada di Malaysia mulai dari sudut pandang yang berkuasa (UMNO) maupun dari pihak
pembangkang (PAS).
Karya Tun Mohd Salleh Abas tentang “Pilihan Raya Malaysia” di tulis dalam buku
yang berjudul “Prinsip Perlembangaan dan Pemerintahan di Malaysia”, buku ini membahas
permasalahan tentang pentingnya diadakan pemilihan umum untuk melangsungkan
kehidupan yang berdemokrasi. Mengenai pemilihan umum di Malaysia ini, Beliau berusaha
menjelaskan kenapa perlunya diadakan pemilu, mengenai daftar pemilih, kebebasan dan
kebersihan pemilu dijalankan.
Buku Laporan Tahunan SPR (Suruhanjaya Pilihan Raya) tahun 2005 “Misi,
Objektif, Moto dan Dasar kualiti”. Buku laporan ini membahas mengenai badan pelaksanaan
pemilu di Malaysia, dimana lembaga ini bertugas dalam menjalankan pemilihan umum yang
bebas dan adil.
Karya Tuan Guru Haji Abdul Hadi Awang, tentang “Prinsip-prinsip Amali Dalam
Negara Islam ”, di tulis dalam salah satu bab pada bukunya yang berjudul “Sistem
Pemerintahan Negara Islam”. Pokok masalah yang dibicarakan adalah prinsip keadilan
dalam prinsip-prinsip dasar pada negara islam.
Karya Munawir Sjadzali, tentang “Proses Pengangkatan Empat Al-Khulafa Al-
Rasyidin” Pada buku yang berjudul “Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran)”. Yang menjelaskan proses pengangkatan kepala negara (khalifah), dalam
pelaksanaannya Islam mengajarkan beberapa metode pengangkatan kepala negara, namun
demikian tidak terlepas dari konsep keadilan itu sendiri.
Karya Dr. Yusuf Qardhawi tentang “Islam dan Demokrasi” di dalam bukunya yang
berjudul “Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2”. Menjelaskan bahwa menurut Islam peraturan
seperti pemilihan umum atau pemungutan suara hal itu merupakan pemberian saksi terhadap
kelayakan si calon, oleh sebab itu pemberian suara haruslah memenuhi syarat sebagaimana
halnya saksi, yaitu adil dan baik perilakunya sehingga diridhai orang banyak.
Karya Imam Al-Mawardi tentang “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam
Takaran Islam” di dalam bukunya yang berjudul “Ahkamul Shulthan”, buku ini berisi kajian
tentang hukum tata Negara dan kepemimpinan agama, yang menjelaskan tentang
pengangkatan kepala Negara.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Jenis Penelitian
Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library
Recearch), yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan
menelusuri berbagai literatur, karena memang pada dasarnya sumber data yang hendak
digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif deskriftif. Deskriptif disini dimaksudkan dengan membuat deskripsi
secara sistematis dengan melihat dan menganalisis data-data secara kualitatif.
2. Objek Penelitian
Dalam penelitian ini objek yang terkait adalah Kerajaan/Negara Malaysia. Ini sangat
menarik karena dalam pelaksanaan pemilu 2005 di Malaysia terdapat problematika yang
signifikan, untuk itu perlulah kiranya penulis menentukan lokasi penelitian di tempat
tersebut.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan data
yang dilakukan dengan studi dokumenter/bahan tertulis. Yakni dengan mencari bahan-
bahan yang terkait serta mempunyai relevansi dengan penelitian. Sehingga data yang
diperoleh dapat dibedakan menjadi data primer dan data sekunder.
Sumber data primer yaitu buku-buku atau literatur yang membahas tentang pemilu
di Malaysia dan yang membahas tentang ketatanegaraan Islam. Sedangkan sumber data
sekunder adalah literatur-literatur yang ada kaitannya ada relevansinya dengan penelitian
ini.
4. Teknik Analisis Data
Dalam melakukan analisis terhadap data-data yang sudah terhimpun, digunakan
teknik analisis data kualitatif dengan pendekatan komparatif, yaitu analisis perbandingan
antara pelaksanaan pemilu di Malaysia dengan nilai-nilai ketatanegaraan Islam.
Dalam teknik penulisan ini, penulis menggunakan “Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2007”.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang utuh serta menyeluruh,
penelitian skripsi ini di tulis dengan menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut :
BAB I Berupa pendahuluan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode
Penelitian dan Teknik Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Membahas Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam dalam Pelaksanaan Pemilu yang
meliputi Pelaksanaan Pengangkatan Pimpinan dalam Ketatanegaraan Islam, Nilai-
nilai Ketatanegaraan Islam (nilai musyawarah, nilai keadilan, nilai persamaan,
nilai Kejujuran) dalam pengangkatan kepala negara, Konsep dan Teori
Pelaksanaan Pengangkatan Kepala Negara dalam Ketatanegaraan Islam,
Pandangan Ulama Kontemporer dalam Pelaksanaan Pemilu.
BAB III Tentang Pelaksanaan Pemilu di Malaysia meliputi Sistem Pemilihan Umum di
Malaysia, Pelaksanaan Pemilu di Malaysia Oleh Suruhanjaya Pilihan Raya,
Problematika Dalam Pelaksanaan Pemilu di Malaysia, Konsep kebebasan dan
kebersihan pelaksanaan pemilu di Malaysia.
BAB IV Berisi Analisis Ketatanegaraan Islam terhadap Pelaksanaan Pemilu di Malaysia
meliputi Beberapa Hal Kesesuaian Pelaksanaan Pemilu di Malaysia dengan Nilai-
nilai Ketatanegaraan Islam, Beberapa Hal Ketidaksesuaian Pelaksanaan Pemilu
Malaysia dengan Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam.
BAB V Merupakan penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran.
BAB II
PELAKSANAAN PENGANGKATAN PIMPINAN DALAM KETATANEGARAAN
ISLAM
A. Sejarah Pelaksanaan Pemilu Dalam Ketatanegaraan Islam
Penyelenggaraan negara menurut tuntutan Islam mirip dengan penyelenggaraan shalat
jama’ah di mana ada peimimpin negara sebagai imam, rakyat sebagai ma’mum, warga
masyarakat sebagai jama’ah, konstitusi dan peraturan perundang-undangan sebagai tata cara
dan bacaan shalat, tujuan negara sebagai terlihat dari tujuan shalat, antara lain mencegah
perbuatan keji dan mungkar, dan lain-lain.13 Shalat jama’ah juga mengenal koreksi terhadap
imam dan penggantian imam mirip seperti yang dilakukan terhadap kepemimpinan negara
dalam sistem modern. Pemilihan pemimpin atau penyelenggaraan negara juga mirip dengan
pemilihan pemimpin (imam) shalat yang dilihat melalui prioritas (1) kefasihan bacaan, (2)
kedalaman ilmu, (3) ketaqwaan dan (4) senioritas.
Sebagai agama yang paripurna, Islam tidak hanya mengatur dimensi hubungan antara
manusia dengan khaliknya, tetapi juga antara sesama manusia. Selama 23 tahun karir
kenabian Muhammad saw, kedua dimensi ini berhasil dilaksanakannya dengan baik. Pada
masa 13 tahun pertama, Nabi Muhammad menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat
Mekah dengan penekanan pada aspek akidah dan ibadah. Namun hal ini tidak berarti bahwa
aspek sosial diabaikan sama sekali pada periode Mekah ini. Ayat-ayat Al-Qur’an yang
diturunkan pada masa ini justru banyak berbicara tentang kecaman terhadap ketidakadilan,
praktik-praktik bisnis yang curang, penindasan oleh kelompok elit ekonomi dan politik
terhadap kelompok yang lemah dan berbagai ketimpangan sosial lainnya.14
13 Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, (Jakarta : Khairul Bayan, 2005), cet. I, h. 56
14 Muhalammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), cet. I, h. 31
Mengenai pengangkatan kepala negara, Islam lebih memperkenalkannya pada awal
pemerintahan Islam saat dipegang oleh para Khulafaur Rasyidun, hal ini dikarenakan
Muhammad tidak diangkat melalui suksesi melainkan melalui pesan-pesan yang
disampaikannya dalam Al-Qur’an itupun sebagai realisasi dari dakwahnya sebagai seorang
Nabi. Jadi kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai kepala negara Madinah menyatu dengan
tugas-tugas kerasulannya. Karena itu, beliau hanya bertanggung jawab sepenunya kepada
Allah.15
Persoalan pertama yang muncul setelah Nabi Muhammad SAW. wafat (632 M /10 H)
adalah suksesi. Semasa hidupnya, Nabi Muhammad SAW. memang tidak pernah menunjuk
siapa yang akan menggantikan kepemimpinannya kelak. Beliau juga tidak memberi petunjuk
tentang cara pengangkatan penggantinya (khilafah). Ketiadaan petunjuk ini menimbulkan
permasalahan di kalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW. wafat, sehingga
hampir membawa perpecahan antara kaum muhajirin dan anshar. Bahkan jenazah beliau
sendiri ‘terlantar’ oleh seputar pembicaraan khilafah ini.
Pengangkatan Khalifah (Kepala Negara)
Hampir semua ahli sejarah Islam sepakat bahwa persoalan pertama yang muncul
dalam sejarah umat Islam adalah masalah politik atau persoalan imamah, yakni masalah
penggantian Nabi Muhammad SAW selaku kepala Negara.16
Dalam Islam penetapan Khilafah pada saat adanya Kekhilafahan melibatkan tiga
unsur. Pertama: Mahkamah Mazhalim, yakni lembaga dalam Kekhilafahan Islam yang salah
satu kewenangannya adalah mengevaluasi dan menetapkan perlu tidaknya penggantian
Khilafah. Kedua: Majelis Umat, yakni lembaga perwakilan rakyat yang para anggotanya
dipilih secara langsung oleh rakyat. Salah satu wewenangnya adalah membatasi jumlah calon
khilafah. Ketiga: rakyat sebagai pemilik kekuasaan.
15 Ibid. h. 44
16 Ridwan HR, Fiqih Poliik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), Yogyakarta: FH UII Press, 2007, cet. Pertama, h.243.
Secara ringkas, prinsip umum pergantian khilafah dalam Islam dicontohkan dalam
praktik para Sahabat yang berbentuk Ijma Sahabat. Prinsip-prinsip tersebut adalah:17
1. Kekuasaan ada di tangan umat.
2. Bai’at merupakan hak seluruh kaum Muslim sekaligus merupakan fardhu kifayah. Rakyat
harus diberi kesempatan untuk menunaikan hak mereka. Apakah mereka menggunakan
haknya itu atau tidak, itu terserah mereka.
3. Syariah tidak menyaratkan jumlah tertentu dalam baiat in'iqâd. Yang penting berjamaah
dan dengan itu kaum Muslim ridha. Keridhaan kaum Muslim itu dapat ditunjukkan oleh
diamnya mereka, ketaatan mereka, atau dengan indikasi apapun. Hanya saja, berbagai
upaya untuk mengetahui pendapat publik dilakukan seoptimal mungkin.
4. Tidak sempurna pengangkatan kepala negara (Khilafah) kecuali jika dilakukan oleh
sekelompok orang yang hasil pengangkatannya itu diridhai oleh mayoritas kaum Muslim.
Adapun langkah-langkahnya adalah:18
1. Penetapan kapan Khilafah harus diganti. Islam tidak menetapkan masa jabatan seorang
khilafah. Khilafah kehilangan hak Kekhilafahan jika melanggar syarat-syarat utama
sebagai seorang khilafah (Muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, dan adil) atau
meninggal dunia. Pelanggaran terhadap syarat-syarat ini diputuskan dalam sidang
Mahkamah Mazhalim. Jika Mahkamah Mazhalim memutuskan Khilafah saatnya diganti
maka dikeluarkanlah keputusan tersebut dan diumumkan kepada publik.
2. Berdasarkan keputusan tersebut, pada saat Khilafah masih hidup, dilakukanlah
penjaringan bakal calon khilafah. Hal ini didasarkan pada Ijma Sahabat. Pada saat Abu
Bakar dalam keadaan sakit, kaum Muslim menentukan siapa bakal pengganti beliau.
Terpilihlah Umar. Akan tetapi, Umar baru dipandang sebagai khilafah setelah dibaiat oleh
17. www.perisaidakwaha.com di akses pada tanggal 5 Februari 2008.
18 Ibid
kaum Muslim paska kematian Abu Bakar. Demikian pula halnya saat terpilihnya Utsman
bin Affan menggantikan Umar bin al-Khaththab.
Adapun jika Khilafah meninggal tanpa ada tanda-tanda terlebih dahulu, dan
penjaringan dilakukan setelah meninggal Khilafah, maka ditunjuk seorang amir yang
mengurusi urusan masyarakat sebagai amir sementara (amir mu'aqqah) hingga
dibai’atnya khilafah pengganti. Ketetapan dan teknis praktis menyangkut hal ini perlu
ijtihad para ahli ketatanegaraan Islam kelak.19
Tatacara penjaringan calon khilafah bersifat teknis yang bisa bervariasi. Pada masa
Abu Bakar, calon dijaring melalui wakil dari kaum Anshar dan Muhajirin. Lalu saat
menentukan penggantinya, khilafah Abu Bakar yang saat itu merasa sakit keras
mengumpulkan beberapa Sahabat besar seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan,
Said bin Zaid, dan Usaid bin Hudhair untuk bermusyawarah secara rahasia. Mereka
melihat calon khilafah adalah Umar dan Ali. Setelah itu, kedua calon diumumkan kepada
seluruh masyarakat. Lalu masyarakat menyetujui Umar sebagai pengganti. Barulah
setelah Abu Bakar wafat, para Sahabat membai’at Umar. Lain lagi kondisinya pada saat
penggantian Umar. Saat beliau sakit parah, beliau meminta beberapa orang yang disebut
Rasul sebagai ahli surga (Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Said bin Abi Waqash,
Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, kecuali Abdullah bin Umar, putranya).
Setelah Umar wafat, mereka, selain Abu Thalhah, bermusyawarah. Abdurrahman bin Auf
keliling meminta pendapat publik. Jatuhlah pilihan kepada Utsman dan Ali. Di masjid
mayoritas masyarakat memilih Utsman. Beliaupun dibaiat sebagai khilafah. Pada saat
pengangkatan Ali paska kematian Utsman, yang ada hanya satu calon. Mayoritas Sahabat
dan kaum Muslim membaiat beliau di masjid. Lalu seluruh kaum Muslim lainnya
menaatinya.
Jadi, merujuk pada Ijma Sahabat tersebut, pihak yang menetapkan bakal calon dan
calon itu bisa perwakilan yang mewakili kaum Muslim (Majelis Umat) atau kaum
19 Ibid
Muslim secara umum (lewat sekumpulan orang-orang, partai, atau organisasi). Teknis
mana yang akan digunakan kelak, bergantung pada hasil ijtihad para ahli ketatanegaraan
Islam kelak. Yang jelas, itu hanyalah teknis, yang boleh dipilih sesuai dengan keperluan
dan sesuai realitas.
3. Tetapkan siapa di antara mereka yang akan dibaiat menjadi khilafah. Cara yang
dicontohkan para Sahabat bermacam-macam, seperti disinggung di atas. Langkah teknis
mana yang akan diambil, sama saja. Satu hal yang penting disadari adalah prinsip
"berbagai upaya untuk mengetahui pendapat publik harus dilakukan seoptimal mungkin",
misalnya melalui Pemilihan Umum Khilafah untuk mengetahui pilihan umat.
4. Setelah diketahui ada calon khilafah yang mendapatkan suara mayoritas, maka dilakukan
baiat terhadapnya oleh wakil kaum Muslim. Wakil kaum Muslim tersebut bisa perwakilan
dari tokoh-tokoh masyarakat, perwakilan organisasi, atau Majelis Umat. Pada masa
Khulafaur Rasyidin, baiat dilakukan oleh sebagian Sahabat. Ungkapan baiat tidak
ditentukan. Yang penting harus mencakup pengamalan al-Quran dan Sunnah Rasulullah
oleh Khilafah serta ketaatan dalam keadaan sulit maupun mudah, lapang maupun sempit,
dari pihak pemberi bai’at. Setelah terjadinya bai’at in'iqâd berarti khilafah baru telah
terpilih.
5. Lakukan bai’at thâ'ah. Pada masa Abu Bakar dan Umar, penegasan bagi kaum Muslim
untuk menaati Khilafah dilakukan dengan pidato kenegaraan. Lalu, para Sahabat yang
tidak sempat melakukan baiat in'iqâd menunjukkan ketatannya kepada Khilafah terpilih.
Saat sekarang, baiat thâ'ah dapat dilakukan baik lisan maupun tertulis, atau cukup dengan
menunjukkan sikap ketaatan, dan lain-lain.
Tampak, hal di atas masih memiliki alternatif. Pada masa khilafah berdiri kelak,
mekanisme teknis perlu ijtihad dan penetapan oleh ahli ketatanegaraan Islam. Di antara
langkah teknis yang dapat ditempuh adalah:20
20 Ibid.
1. Mahkamah mazhalim menetapkan kapan penggantian khilafah, baik karena khilafah
memang layak diganti sesuai dengan hukum syara atau karena meninggal. Bila karena
khilafah meninggal maka Majelis Umat menetapkan seorang Amir Sementara, sebut saja
Mu'awin Tafwidl (Pembantu Khilafah) yang ditetapkan untuk itu.
2. Berdasarkan keputusan Mahkamah Mazhalim, Majelis Umat dari kalangan Muslim
menjaring bakal calon khilafah. Pencalonan dapat berasal dari partai, ormas, dan lain
lain. Bisa saja dibentuk tim yang menangani hal ini. Lalu, berdasarkan syarat-syarat
khilafah baik syarat mutlak (syurûth in'iqâd) maupun syarat keutamaan (syurûth
afdhaliyah), Majelis Umat membatasi jumlah calon khilafah.
3. Untuk mengetahui kehendak publik, dilakukan Pemilu untuk memilih Khilafah.
4. Setelah Pemilu selesai akan diperoleh calon yang mendapatkan suara terbanyak.
Berikutnya:
a) Jika Khilafah yang sedang memimpin uzur atau tidak dapat menjalankan fungsinya,
maka secara resmi Mahkamah Mazhalim menghentikan Khilafah tersebut.
Keputusan tersebut dikeluarkan paling cepat dua hari sebelum pembaiatan khilafah
baru. Waktu tersebut adalah waktu toleransi maksimal bagi tidak adanya khilafah
pengganti. Lalu, khilafah terpilih dibai’at.
b) Jika Khilafah sedang sakit keras, calon khilafah tidak dibaiat dulu. Tunggu sampai
meninggal. Mahkamah Mazhalim dan atau Khilafah mengumumkan ke publik
bahwa orang yang mendapat suara mayoritas itu adalah calon penggantinya. Tinggal
membaiat. Jika keadaan sakit kerasnya itu menyebabkan ia tidak dapat menjalankan
fungsi Kekhilafahan maka Mahkamah Mazhalim menetapkan kapan kelayakan
penggantian Kekhilafahan dengan pembaiatan.
c) Jika Khilafah sudah meninggal dunia, Mahkamah Mazhalim mengeluarkan
keputusan penghentian amir sementara. Sesaat sesudah itu, dilakukanlah baiat
in'iqâd untuk khilafah baru.
5. Majelis Umat melakukan baiat in'iqâd terhadap calon khilafah, yang ditunjukkan
dengan adanya proses ijâb dan qabûl.
6. Khilafah baru sudah terpilih.
7. Keesokan harinya dilakukan semacam pidato kenegaraan dari khilafah baru untuk
mengenalkan bahwa dia adalah khilafah yang wajib ditaati.
8. Berikutnya, Khilafah dapat menerima ucapan baiat thâ'ah dari masyarakat, baik lisan
maupun tulisan. Rakyat yang tidak bisa secara langsung melakukannya, bisa
menunjukkannya dalam sikap dan perilaku berupa ketaatan dan ketundukan kepada
Khilafah tersebut.
B. Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam dalam pengangkatan Kepala Negara
Apa yang ada di dalam al-Qur’an dan sunnah dari hukum-hukum konstitusional dan
etika-etika politik dianggap sesuatu yang wajib diikuti dalam pemerintahan Islam (negara
Islam). Hal itu mempunyai pengaruh besar dalam membentuk gambaran Islam untuk sebuah
negara, tugas-tugasnya dan ciri khas sistem hukum di dalamnya, juga spesialisasi
kewenangan yang berada di dalamnya.
Prinsip-prinsip konstitusional ini dianggap seperti hak-hak Allah dalam bidang
politik, karena sejauh mana hal itu dianggap sebagai hak umat Islam untuk menuntut para
penguasa agar menghormati prinsip-prinsip konstitusional atau etika-etika politik ini, dan
agar bersedia turun dari jabatan politik mereka dalam pemerintahan, sejauh itu pula hal
tersebut menjadi kewajiban atas umat Islam dengan kapasitasnya sebagai kelompok dan
kewajiban atas setiap orang yang mampu dengan kapasitasnya sebagai individu, untuk
memegang erat prinsip-prinsip ini dan mengajak orang lain untuk memegangnya serta
mencari penyelesaian padanya.21
Jika kita tidak menemukan kesepakatan antara ulama syariat tentang prinsip-prinsip
ini, sebabnya bukan pada perbedaan seputar prinsip-prinsip itu saja, artinya sekitar apakah
21 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta : Amzah, 2005), Cet. I, h. 1
Islam membawa atau tidak membawa asas itu. Namun, sebab adanya ketidaksepakatan itu
adalah menurut kami seputar terikat atau tidaknya dengan urusan-urusan konstitusional atau
sistem hukum.
Prinsip-prinsip utama menurut sebagian ulama kontemporer dari para ahli fikih
syariat22 adalah tidak zalim, adil, musyawarah, dan persamaan. Namun, menurut sebagian
ulama lagi adalah keadilan (Al-‘Adalah), musyawarah, dan taat kepada ulil amri terhadap
perintah yang disenangi orang mukmin atau yang dibenci, kecuali bila dia memerintahkan
untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengarkannya dan taat kepadanya. Ada
satu pendapat lain lagi yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip utama itu adalah sebagai
berikut :23
1. Musyawarah dalam hal apa saja yang wajib dimusyawarahkan dari urusan-urusan umat
Islam.
2. Sikap tidak zalim dari penguasa tertinggi, dari para pemimpin, dan dari bawahannya.
3. Meminta bantuan orang-orang kuat dan terpercaya dalam segala hal yang penguasa
tertinggi wajib meminta bantuan dalam hal itu.
Dr. Abdul Hamid Mutawalli dan Dr. Muhammad Salim Al-Awa sangat sepakat dalam
hal prinsip-prinsip utama ini. Dr. Abdul hamid Mutawalli meletakkan di awalnya
musyawarah dan keadilan, lalu persamaan dan kebebasan, kemudian tanggung jawab ulil
amri. Sementara Dr. Muhammad Salim Al-Awa sama sepertinya, namun dia menambahkan
wajib taat.24
1. Nilai Musyawarah
Kata “syura” berasal dari sya-wa-ra, yang secara etimologis berarti
“mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Sejalan dengan pengertian ini, kata “syura”
22 Abdul Wahalab Khallaf, As-Siyasah Asy-Syar’iyah, cetakan pertama, tahun 1931, h. 19
23 Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 2 24 Ibid h. 37-38
atau dalam bahasa Indonesia menjadi “musyawarah” mengandung makna segala sesuatu
yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat) untuk
memperoleh kebaikan. Hal ini semakna dengan pengertian lebah yang mengeluarkan madu
yang berguna bagi manusia.25
Mayoritas ulama syariat dan pakar undang-undang konstitusional meletakkan
“musyawarah” sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional yang pokok diatas
prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku yang telah ditetapkan oleh nash-nash Al-
Qur’an dan hadits-hadits nabawi. Oleh karena itu musyawarah itu lazim dan tidak ada
alasan bagi seseorang pun untuk meninggalkannya.26
Mayoritas ulama fikih dan para peneliti berpendapat bahwa musyawarah adalah
prinsip hukum yang bagus. Ia merupakan jalan untuk menemukan kebenaran dan
mengetahui pendapat yang paling tepat. Al-Qur’an memerintahkan musyawarah dan
menjadikannya sebagai satu unsur dari unsur-unsur pijakan negara Islam.
Adapun yang dimaksud dengan “musyawarah” dalam istilah politik adalah hak
partisipasi rakyat dalam masalah-masalah hukum dan pembuatan keputusan politik. Jika
hak partisipasi rakyat ini tidak ada dalam masalah-masalah hukum, maka sistem hukum itu
adalah sistem hukum dikatatorial atau totaliter. Jika dinisbatkan kepada sistem Islam,
maka kediktatoran itu diharamkan dalam agama Islam sebab bertentangan dengan akidah
dan syariat.
Ibnu Taimiyah berkata: “Pemimpin tidak boleh meninggalkan musyawarah sebab
Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya dengan hal itu. Al-Qurtubi menukil dari Athiyah
sebagaimana dinukilkan juga oleh Abu Hayyan dalam Al-Bahru Al-Muhith: “Musyawarah
termasuk salah satu kaidah-kaidah syariat dan sendi-sendi hukum. Pemimpin yang tidak
25 M.Quraishal Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 469 26 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam h. 35
bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama maka wajib diberhentikan. Ini ketentuan yang
tidak ada yang membantahnya.27
Ada tiga ayat yang menyebutkan secara jelas akan adanya musyawarah, dan setiap
satu dari dua ayat itu mempunyai petunjuk masing-masing. Pertama, firman Allah SWT
dalam surat al-Imran/3 ayat 159:
☺ ☺ ⌧ ⌧
⌧
⌧
☺
Artinya : “ Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesunguhnya Allah mencintai orang yang bertawakal (Q.S: al-Imran/3 ayat 159).
Kedua firman Allah dalam surat asy-Syura/42 ayat 38:
☺
Artinya: “ Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menginfakan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. (Q.S Asy-Syura ayat 38).
Kemudian nilai musyawarah yang terkandung dalam surat Al-Baqarah/2 ayat 233:
⌧
☺
27 Ibid
⌧ ☺
⌧ ☺
☺
Artinya; “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh bagi Yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban bapak menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang baik. seseorang tidak dibebani lebih dari kemampuannya. Janganlah seseorang ibu itu menderita karena anaknya, dan (jangan juga seseorang bapak itu menderita karena anaknya; dan ahli waris juga menanggung kewajiban seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran, dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S Al-Baqarah/2 ayat 233).
Sepintas terkesan bahwa ayat yang berbicara tentang musyawarah sangat sedikit
dan itu pun hanya bersifat sangat umum dan global, al-Qur’an memang tidak
membicarakan masalah ini lebih jauh dan detil. Kalau dilihat secara mendalam, hikmahnya
tentu besar sekali. Al-Qur’an hanya memberikan seperangkat nilai-nilai yang bersifat
universal yang harus diikuti umat Islam. Sementara masalah cara, sistem bentuk dan hal-
hal lainnya yang bersifat terknis diserahkan sepenuhnya kepada manusia sesuai dengan
kebutuhan mereka dan tantangan yang mereka hadapi. Jadi, al-Qur’an menganut prinsip
bahwa untuk masalah-masalah yang bisa berkembang sesuai dengan kondisi sosial,
budaya, ekonomi dan politik umat Islam, maka al-Qur’an hanya menetapkan garis-garis
besarnya saja. Seandainya masalah musyawarah ini dijelaskan al-Qur’an secara rinci dan
kaku, besar kemungkinan umat Islam akan mengalami kesulitan ketika berhadapan
dengan realitas sosial yang berkembang.28
2. Nilai Keadilan
Kata dasar adil berasal dari kata Arab ‘adl yang berarti lurus, keadilan, tidak
berat sebelah, kepatutan, kandungan yang sama, kata kerjanya, ‘adala, ya’dilu, berarti
berlaku adil, tidak berat sebelah dan patut, sama, menyamakan, berimbang dan
seterusnya.29 John Penrice dalam Dictionary and Glosary of the Qur’an menjelaskan
bahwa kata kerja ‘adala dalam al-Qur’an mempunyai berbagai arti. Ia dapat berarti
mengurus dengan adil, menegakkan keadilan (Q.S. as-Syura: 14), menyimpang dari
keadilan (Q.S an-Nissa: 134), memandang sama (Q.S al-An’am: 1), membayar dengan
sama (Q.S. al-An’am: 69) menyocokkan dengan benar (Q.S. al-Infithar: 7).
Sementara itu, kata al-‘adl dalam Al-Qur’an menurut al-Baidhawi bermakna
“pertengahan dan persamaan, sedangkan Sayyid Quthub menekankan atas dasar
persamaan sebagai asas kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang. Keadilan baginya
bersifat inklusif, tidak eksklusif untuk golongan tertentu, sekalipun seandainya yang
menetapkan keadilan itu orang muslim untuk orang non-muslim.30
Allah SWT menjadikan al-’adl (berlaku adil) dan Al-Qisth sama artinya sebab
hal itu merupakan dasar setiap apa yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha
Bijaksana dari nilai-nilai menyeluruh dan kaidah-kaidah umum dalam syariat-Nya. Hal
itu adalah sistem Allah dan syariat-Nya, dan atas dasarnya dunia dan akhirat manusia
akan beruntung. Di dalam Al-Qur’an nilai keadilan di jelaskan di dalam surat An-
Nisaa’/4 ayat 58
28 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), h. 186
29 Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, h. 82
30 Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah (ditinjau dari Pandangan al-Qur’an), (Jakarta;RajaGrafindo Persada, 1994), Cet. I, h. 225
⌧
☺ ☺
⌧ ☺ ⌧
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu supaya menyerahkan Segala jenis amanah kepada ahlinya (yang berhak menerimanya), dan apabila kamu menjalankan hukum di antara manusia, (Allah menyuruh) kamu menghukum Dengan adil. Sesungguhnya Allah Dengan (suruhanNya) itu memberi pengajaran Yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah sentiasa Mendengar, lagi sentiasa Melihat”. (Q.S. an-Nisaa’/4: 58).
Ayat yang turun tentang ulil amri ini menerangkan bahwa mereka harus
menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, yaitu perkara umum
yang harus dilaksanakan oleh penguasa.31 Dan apabila mereka menetapkan hukum
diantara manusia, dia harus menetapkannya dengan adil. Kesimpulannya bahwa tujuan
penguasa dengan keputusannya tersebut adalah memberikan hak kepada yang berhak.
Perhatian al-Qur’an dengan mengukuhkan prinsip “berlaku adil” di antara
manusia, baik dalam ayat-ayat makkiyah atau ayat-ayat madaniyah, dan peringatan al-
Qur’an terhadap lawannya, yaitu “berlaku zalim” dalam ayat-ayat makkiyah atau ayat
madaniyah, tampak jelas secara umum atau secara khusus, terhadap orang yang kita sukai
atau orang yang kita benci, baik dalam keadaan damai atau dalam keadaan perang, baik
dalam perkataan atau dalam perbuatan, baik terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain.
Dengan demikian jelaslah bahwa “berlaku adil” adalah manhaj Allah dan syariat-Nya.
Allah SWT mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar manusia
31 Lihat Al-Mawardi Al-Ahalkam As-Sulthaniyah, (Kairo: Daar al-Hadits, 2006), hal. 40, disana ia
berkata: “Dan yang harus dilakukan oleh pemimpin dari perkara-perkara umum ada 10 macam; 1) memelihalara agama berdasarkan dasar-dasar yang baku, 2) melaksanakan hukum, 3) menjaga kehalormatan Negara, 4) menegakkan sanksi, 5) membela, 6) berjihad melawan orang yang memusuhi Islam setelah memperingatkannya, 7) menarik pajak dan mengumpulkan sedekah, 8) membagikan apa yang harus dibagi dari baitul mal, 9) meminta pendapat kepada orang-orang yang terpercaya dan mengikuti saran para penasihat, 10) memantau langsung segala perkara dan situasi agar dia dapat melaksanakan dengan benar politik umat dan memelihara agama.
berlaku adil.32 Adil adalah tujuan dalam Negara Islam, adil adalah menegakkan agama dan
mewujudkan kemaslahatan rakyat dan sebagai bukti sebaik-baik umat.
3. Nilai Persamaan
Sesungguhnya Islam telah membuat dasar-dasar sistem politik musyawarah yang
menerapkan nilai persamaan sebelum Barat mengenalnya dan menyebutkannya dalam
perundang-undangan sejak lebih dari 14 abad silam. Begitu juga dengan “nilai
musyawarah”, dimana undang-undang positif tidak mengenalnya kecuali setelah revolusi
Perancis, selain undang-undang Inggris yang telah mengenalnya di abad ke-17 dan
ditetapkan oleh Undang-undang Amerika setelah pertengahan abad ke-18.
Syariat Islam berbeda dengan yang lainnya dalam menetapkan persamaan hak
secara mutlak yang tidak diputuskan kecuali sesuai dengan keadilan. Maka tidak ada
ikatan dan tidak ada pengecualian. Persamaan hak adalah persamaan yang sempurna antara
individu rakyat.
Dalam prakteknya nilai persamaan dapat dilihat dari peristiwa hijrahnya Nabi ke
Madinah. Maka ketika beliau hijrah ke Madinah dan kemudian membuat perjanjian
tertulis, beliau menetapkan seluruh penduduk Madinah memperoleh status yang sama atau
persamaan dalam kehidupan sosial. Ketetapan piagam tentang nilai persamaan ini dapat
dilihat pada beberapa pasal Piagam Madinah, diantaranya :
1. Dan bahwa orang Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh hak perlindungan
dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan dan tidak ada orang yang membantu
musuh mereka (pasal 16). 33
32 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 204 33 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, edisi V, (Jakarta: UI
Press, 1993), h. 12
2. Dan bahwa Yahudi al-Aus, sekutu mereka dan diri (jiwa) mereka memperoleh hak
seperti apa yang terdapat bagi pemilik shahifat ini serta memperoleh perlakuan yang
baik dari pemilik shahifat ini (pasal 46).34
Ketetapan ini berkaitan dengan kemaslahatan umum yang menjamin hak-hak
istimewa mereka sebagaimana hak dan kewajiban yang dimiliki oleh kaum muslimin.
Ketetapan tersebut disamping bersifat umum juga bersifat khusus, yaitu persamaan akan
hak hidup, hak keamanan jiwa, hak perlindungan baik laki-laki maupun perempuan, dan
baik golongan Islam maupun golongan non-muslim. Dengan begitu Piagam Madinah tidak
mengenal kategori dikotomi di antara manusia. Golongan Islam dan penduduk lain sama-
sama diakui hak-hak sipilnya, tidak satu golongan pun yang diistimewahkan.35
Nilai persamaan manusia diperkuat pula oleh Nabi dengan sabdanya:“Wahai
manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kamu satu dan bapak kamu satu. Ingatlah tidak
ada keutamaan orang Arab atas orang bukan Arab, tidak ada keutamaan orang bukan
Arab atas orang Arab, orang hitam atas orang berwarna, orang berwarna atas orang
hitam, kecuali karena takwanya”.36
Hadits ini menerangkan bahwa dari segi kemanusiaan tidak ada perbedaan antara
seluruh manusia, sekalipun mereka berbangsa-bangsa atau berbeda warna kulit. Umat
manusia seluruhnya adalah sama. Keutamaan masing-masing terletak pada kadar takwanya
kepada Tuhan.37
Persamaan seluruh umat manusia juga ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-
Nya, surat an-Nisaa’/4 ayat 1:
34 Ibid., h. 15 35 Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah (ditinjau dari Pandangan
al-Qur’an), h. 151 36 Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Badhrat (al-Mundzir bin Malik). Lihalat
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Jilid V, hlm. 441.
37 Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah (ditinjau dari Pandangan
al-Qur’an), h. 153
⌧ ☯ ……
Artinya, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak”…...(Q.S. an-Nisaa’/4 ayat 1).
Implementasi nilai persamaan dalam perspektif Piagam Madinah dan Al-Qur’an
pada hakikatya bertujuan agar setiap orang atau golongan menemukan harkat dan
martabat kemanusiaannya dan dapat mengembangkan potensinya secara wajar dan layak.
Nilai persamaan juga akan menimbulkan sifat tolong-menolong dan sikap kepedulian
sosial antara sesama, serta solidaritas sosial dalam ruang lingkup sosial yang luas.
C. Konsep dan Teori Pelaksanaan Pengangkatan Kepala Negara dalam
Ketatanegaraan Islam
Lembaga kepala Negara dan pemerintahan di adakan sebagai pengganti fungsi
kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan kepala Negara untuk
memimpin umat Islam adalah wajib menurut Ijma. Akan tetapi, dasar kewajiban itu
diperselisihkan, apakah berdasarkan rasio atau syariat?38 Jika kepemimpinan ini wajib
diadakan maka kewajibannya adalah wajib kifayah, seperti berjihad dan mencari ilmu
pengetahuan, jika ada orang yang menjalankannya dari kalangan orang yang berkompeten
maka kewajiban itu gugur atas orang lain, dan jika tidak ada seorang pun menjabatnya maka
kewajiban ini dibebankan kepada dua kelompok manusia; pertama adalah orang-orang yang
mempunyai wewenang memilih kepala Negara bagi umat Islam, kedua adalah orang-orang
yang mempunyai kompetensi untuk memimpin Negara sehingga mereka menunjuk salah
seorang dari mereka untuk memangku jabatan itu.
38 Imam Al-Mawardi, Al-Ahalkam As-Sulthaniyah, h. 15
Adapun orang-orang selain dua kelompok ini tidak berdosa dan tidak bersalah atas
penundaan pengangkatan kepala Negara. Jika individu-individu (yang bertugas melakukan
pengangkatan kepala Negara) dari dua kelompok ini telah diketahui maka masing-masing
mereka harus memenuhi kriteria dan kredibilitas pribadi yang ditetapkan bagi orang-orang
yang menjalankan tugas itu.
Mereka yang berhak memilih harus mempunyai tiga syarat berikut ini:39
1. Kredibilitas pribadinya atau keseimbangan (al-‘adalah) memenuhi semua kriteria.
2. Ia mempunyai ilmu pengetahuan yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang
berhak dan pantas untuk memangku jabatan kepala Negara dengan syarat-syaratnya.
3. Ia mempunyai pendapat yang kuat dan hikmah yang membuatnya dapat memilih siapa
yang paling pantas untuk memangku jabatan kepala Negara dan siapa yang paling
mampu dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan
umat. Orang yang berdomisili di wilayah yang sama dengan domisili kepala Negara
tidak mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan orang-orang yang tinggal di
wilayah lain, namun mereka itu biasanya dapat terlibat dalam pengangkatan kepala
Negara sebelumnya, juga karena orang yang pantas memangku jabatan kepala Negara
biasanya berada di wilayah itu.
Ketika syara’ mewajibkan umat Islam untuk mengangkat seorang Khilafah, syara’
pun ternyata telah menggariskan thariqah, metode (konsep) yang harus ditempuh untuk
mewujudkannya. Metode ini ditegaskan oleh al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat.40 Di
bawah ini merupakan beberapa konsep dan teori pengangkatan kepala Negara dalam Islam;
1. Bai’at
Bai’at adalah suatu kewajiban bagi seluruh kaum muslimin, sekaligus merupakan
hak setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan kewajiban bai’at tersebut
39 Ibid., h.17 40 Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam (Doktrin Sejarah Empirik), (Bangil Jatim: Al-
Izzah, 1997), cet. I, h. 88
didasarkan pada hadits-hadits Nabi, diantaranya ialah Sabda nabi Muhammad SAW:
“Siapa saja yang mati dan di pundaknya tidak ada bai’at (kepada Khilafah), maka matinya
dalam keadaan seperti mati jahiliyah”. (H.R. Imam Muslim).41
Secara etimologis bai’at dapat diartikan seperti pendapat Ibnul Maudzur
mengemukakan, baaya’ahu, mubaaya’ah, biyaa’ berarti menawarkannya dengan
penjualan. Bai’at adalah transaksi jual beli, pembaiatan, dan kesetiaan. Muchtar As-
Sihah menjelaskan, secara etimologis, bai’at berkisar antara jual beli dan jaminan. Baiat
berarti perjanjian, kesetiaan, jual beli dan jaminan. Dalam hal ini, Ibnu Hajar
menjelaskan orang yang membaiat penguasa telah memberikan kesetiannya dan
mengambil pemberian dari orang yang dibaiatnya. Ada perbedaan arti baiat dengan
lafadz-lafadz lain yang artinya berdekatan seperti mitsaaq (perjanjian), qasam (sumpah),
dan hilf (perjanjian/sumpah).42
al-‘Ahd (perjanjian) berarti menjaga dan melestarikan sesuatu secara
berkesinambungan. al-Mitsaaq (perjanjian) berarti akad/transaksi yang dikuasakan
dengan sumpah dan perjanjian. al-Yamin (sumpah) berarti tangan kanan yang dipinjam
sebagai arti sumpah, sebab tangan kananlah yang digunakan oleh orang yang melakukan
perjanjian dan sumpah. al-Hilf (perjanjian) berarti perjanjian diantara kaum. al-Qasam
(sumpah) berarti sumpah yang dilakukan oleh para kerabat orang yang terbunuh untuk
menuntut darah si pembunuh, kemudian ia menjadi nama untuk semua sumpah.
Sedangkan menurut istilah syara, arti bai’at sebagaimana di terangkan para ulama
adalah perjanjian (mu’ahadah), hal ini dijelaskan oleh Nawawi dan Ibnu Hajar. Menurut
Ibnu Hazm baiat adalah transaksi (akad), kepemimpinan (imamah), dan kesetiaan,
sedangkan menurut Ibnu Katsir dan Thabari berarti mitsaaq (perjanjian).
41 Ibid, h.84
42 Dr. Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan rakyat (Dalam Perspektif Sunnah ), (Jakarta; Gema
Insani Press), Cet. Pertama, h. 152
Pelaksanaan baiat terdiri dari dua, yaitu baiat khusus dan baiat umum. Baiat
khusus adalah baiat untuk tetap setia dalam kasus khusus yang tidak bisa dikuasakan
kepada orang lain.
2. Ahl al-Hal wa al-‘Aqd
Secara harfiyah, ahl al-hal wa al-‘aqd berarti orang yang dapat memutuskan dan
mengikat. Istilah ahlul hilli wal aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab para ahli dan ahli
fiqih setelah masa Rasulullah SAW. Mereka berada di antara orang-orang yang
dinamakan dengan Ash-Shahabah. Realitanya, masalah “kelompok ahlul Hilli wal Aqdi
dan pemilu, adalah seperti masalah kekhilafahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu
Khaldun yakni termasuk kemaslahatan umum yang semua pengaturannya diserahkan
kepada rakyat. Hal itu tidak termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah
atau keyakinan, tetapi termasuk adat.43
Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya sebutan kelompok Ahlul Hilli wal Aqdi
dalam turats fikih kita sejak awal Islam, yang mereka adalah Dewan Perwakilan Rakyat
atau Ahlul Ikhtiyar, yang para khilafah selalu merujuk kepada mereka dalam perkara-
perkara rakyat juga berkomitmen dengan pendapat mereka, dan mereka mempunyai hak
untuk memilih atau menobatkan khilafah juga memberhentikannya, menguatkan
kekuasaan besar yang dimiliki kelompok ini (ahlul Hilli wal Aqdi) dan jelas menujukkan
bahwa kelompok ini merupakan lembaga legislatif.
Metode pemilihan kepala Negara dalam Islam termasuk masalah-masalah yang
mempunyai bentuk politik konstitusional yang terpengaruh dengan kondisi dan keadaan
masyarakat juga perubahan-perubahan zaman. Di dalam masalah ini adalah bahwa rakyat
yang memiliki kekuasaan dalam memilih pemimpin, sementara Ahlul Hilli wal Aqdi
mewakili mereka, kecil jumlahnya dari rakyat, tetapi memiliki kapabilitas untuk memikul
tanggung jawab memilih pemimpin. Di dalam karangannya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah,
43 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 79
Al-Mawardi menjelaskan mengenai masalah ini bahwa berada di hadapan satu gambaran
dari beberapa gambaran pemilu “Apabila Ahlul Hilii wal Aqdi berkumpul untuk memilih,
mereka meneliti keadaan orang-orang yang berhak menjadi pemimpin yang sudah masuk
kriteria, lalu mereka mengajukan orang yang terbaik dan yang paling sempurna
kriterianya untuk disumpah, mengajak rakyat untuk taat kepadanya dan tidak menahan
diri dari membaiatnya”.44
Di dalam melaksanakan tugasnya, mereka tidak hanya bermusyawarah dalam
perkara-perkara umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan
kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar syariat yang baku
dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin tertinggi Negara saja.
Tetapi tugas mereka juga mencakup melaksanakan peran pengawasan atas kewenangan
legislatif sebagai wewenang pengawasan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah
dan penguasa untuk mencegah mereka dari tindakan pelanggaran terhadap satu hak dari
hak-hak Allah. Perkara ini mendorong para pakar di bidang perbandingan antara undang-
undang konstitusional modern dan fikih politik Islam untuk mengatakan bahwa dewan-
dewan parlementer sama dengan Majelis Permusyawaratan atau ahli syura dalam Islam.
Persyaratan yang harus dimiliki oleh Ahlu Hilli wal Aqdi, Al-Mawardi berkata di
dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, mengenai ahlul ikhtiyar, syarat-syarat yang layak
dipertimbangkan berkenaan dengan mereka ada tiga, kemudian Al-Mawardi
menerangkannya sebagai berikut:45
a) Keadilan yang integral dengan syarat-syaratnya, yang dimaksud dengan keadilan
adalah istiqamah, integritas (amanah), dan sifat wara’, atau dalam istilah sekarang kita
katakan ketakwaan dan akhlak yang mulia.
44 Imam Al Mawardi, Al-Ahalkam As-Sulthaniyah, h. 25 45 Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politk Islam, (Jakarta;Gema Insani Press 2001), Cet. I, h. 177
b) Kapabilitas keilmuan yang dengannya ahlul Hilli wal ‘Aqdi dapat mengetahui orang
yang berhak menjadi imam dan yang sesuai dengan syarat-syarat yang menjadi bahan
pertimbangan.
c) Memiliki sikap dan kebijaksanaan (al-hikmah) yang akan mendorong memilih siapa
yang paling tepat untuk menjadi imam dan lebih tepat dapat mewujudkan
kemaslahatan umum.
Itulah syarat-syarat bagi ahlul ikhtiyar, dapat dicermati bahwa dalam syarat-syarat
tersebut tidak terdapat syarat material seperti seorang ahlul ikhtiyar mesti memiliki harta
atau property tidak bergerak dalam jumlah tertentu.
Imam An-Nawawi sempat menyinggung juga tentang ahlul hilli wal Aqdi dalam
bukunya Al-Minhaj, bahwa mereka adalah para ulama, pemimpin-pemimpin, dan
pemuka-pemuka rakyat, yang mudah dikumpulkan, lebih ringkas An-Nawawi memahami
bahwa yang dimaksudkan ulama adalah para pemimpin umat, atau individu-individu
umat yang paling menonjol, ataupun juga orang yang mewakili kepentingan umat.46
3. Sistem Putera Mahkota
Sistem putra mahkota merupakan sistem yang mungkar dalam pandangan sistem
Islam, serta bertentangan dengan sistem Islam karena kekuasaan adalah milik umat,
bukan milik khilafah.47 Kalau khilafah hanya merupakan wakil umat untuk memegang
kekuasaan sementara statusnya tetap sebagai wakil, maka bagaimana mungkin khilafah
bisa menghadiahkan kekuasaannya kepada orang lain. Karena itu apa yang dilakukan oleh
Abu Bakr kepada Umar bukan merupakan wilayatul ahdi (pewarisan kepada putra
mahkota), karena ia melakukan pemilihan berdasarkan aspirasi umat Islam semasa
hidupnya. Lalu Umar di bai’at setelah beliau wafat.
46 Ibid, h. 178 47 Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahalan Islam (Doktrin Sejarah Empirik), h. 110
Di samping itu, Abu Bakar sebenarnya telah bertindak hati-hati untuk
menyelesaikan urusan tersebut sebagaimana nampak dalam khutbahnya, beliau
mengantungkan pelaksanaan urusan tersebut kepada ridla kaum muslimin, ketika beliau
berkhutbah di hadapan mereka, setelah menerapkan pendapatnya untuk menunjuk
pengganti beliau sembari berkata; “Apakah kalian menerima orang yang telah aku tunjuk
sebagai penggantiku (dalam memimpin) kalian? Demi Allah, aku telah menyerahkan
segenap kemampuan, dan aku tidak akan menunjuk sanak kerabat sebagai pemimpin”.48
Atas dasar ini pula Umar bin Khattab menjadikan puteranya, Abdullah bersama enam
orang calon khilafah, dimana keenam-enamnya memiliki hak untuk memilih dan dipilih,
sedangkan Abdullah hanya memiliki hak memilih dan tidak berhak dipilih, sehingga tidak
ada yang menyerupai wilayatul ahdi (putera mahkota). Berbeda dengan sistem putera
mahkota yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah karena dalam prakteknya memang jelas
bertentangan dengan Islam.
Sedangkan yang menyebabkan Mu’awiyah melakukan bid’ah yang jelas munkar
tersebut yaitu melakukan wilayatul ahdi adalah :49
a) Mu’awiyah memahami, bahwa sistem kepemimpinan Daulah Islam adalah sistem
kerajaan, bukan sistem khilafah.
b) Mu’awiyah telah memperalat nash-nash syara’ lalu mena’wilkannya (memberikan arti
tidak sesuai dengan maksud nash itu sendiri). Islam telah memberikan hak pemilihan
khilafah kepada umat, dan hal itu pun telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bahkan
beliau memberikan kebebasan kepada kaum muslimin memilih orang yang lebih
layak untuk memimpin urusan mereka. Namun Mu’awiyah justru terpengaruh untuk
memahami Islam dengan sistem yang sedang berlangsung ketika itu, yaitu yang ada
pada dua Negara: Bizantium dan Sasaniyah, dimana pada kedua Negara tersebut
48 Ibid
49 Ibid, h. 111
pemerintahannya mempergunakan sistem waris. Karena itu Mu’awiyah menjadikan
Yazid sebagai putera mahkotanya, lalu disiasati dengan mengambil bai’at untuk
Yazid semasa hidup Mu’awiyah.
c) Metode Ijtihad Mu’awiyah dalam masalah politik dibangun di atas asas manfaat.
Karena itu dia menjadikan hukum-hukum syara’ mengikuti problem yang ada, bukan
hukum-hukum tersebut dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada,
maka Mu’awiyah mena’wilkan hukum-hukum agar sesuai dengan problem-problem
yang ada. Padahal semestinya, dia harus mengikuti metode ijtihad yang Islami dengan
cara menjadikan asasnya adalah kitabullah dan sunnah Nabi-Nya, bukan berdasarkan
kemanfaatan materi. Dan semestinya menjadikan hukum-hukum Islam sebagai
penyelesai masalah-masalah pada zamannya tersebut untuk menyelesaikan hukum
Islam, sehingga akan terjadi perubahan penggantian bahkan pemutarbalikan terhadap
hukum-hukum Islam.
Meskipun cara pelaksanaan pemerintahan yang menitikberatkan putera mahkota
banyak mendapatkan pertentangan, namun para fuqaha telah menetapkan bahwa
pembolehan tercapainya keimamahan dengan cara menentukan putera mahkota dapat
dijustifikasi dengan ijma ulama. Al-Mawardi berkata, “Mengenai terlaksananya
keimamahan dengan penunjukkan yang dilakukan oleh khilafah atau raja adalah hal yang
telah tercapai ijma/kesepakatan untuk pembolehannya, dan telah disepakati
keabsahannya, yaitu dengan dua perkara yang telah dilakukan oleh kaum muslimin dan
mereka tidak saling berselisih.50 Ijma yang pertama adalah bahwa Abu Bakr r.a telah
menurunkan kekhilafahan kepada Umar r.a dan kaum muslimin mengakui keimamahan
Umar dengan penujukkan yang dilakukan Abu Bakr. Ijma yang kedua, yaitu bahwa Umar
r.a telah mewariskan keimamahan kepada tim permusyawaratan (ahli syura). Para ahli
50 Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politk Islam, h. 183
syura tidak menolak untuk masuk ke dalam tim ini, padahal mereka merupakan
petinggi-petinggi masyarakat di kala itu.
D. Pelaksanaan Pemilu dalam Pandangan Ulama Kontemporer
Keseluruhan para pemimpin dan sarjana Islam, gerakan Islam di seluruh dunia
dimulai dari Asia Tenggara sampai Afrika Barat yang lahir melalui gerakan pembaharuan,
berijtihad ikut serta melaksanakan pemilihan umum yang merupakan ajaran demokrasi Barat.
Walaupun mereka tahu demokrasi merupakan warisan penjajah, tetapi mereka mendukung
mewujudkannya selepas para penjajah meninggalkan negeri mereka.
Kita tahu bahwa pelaksanaan pemilihan umum merupakan syarat tegaknya Negara
demokrasi, Islam memandang bahwa pemilihan kepala Negara sama halnya dengan pemilihan
Imam dalam pelaksanaan Shalat. Melihat strategisnya jabatan kepemimpinan umum dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara kita, maka proses pemilihan pemimpin melalui pemilihan
umum menjadi sangat strategis pula.51 Berbicara dari sudut kepentingan ummat, maka
kepemimpinan umum ini baik legislatif, dan eksekutif maupun yudikatif sangat menentukan
perjalanan ummat dan sejarah di beberapa Negara Islam.
Dalam pandangan Islam, hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya adalah
mubah. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, pemilu merupakan aqad wakalah dalam hal
aspirasi dan pendapat. Selama rukun dan syarat wakalahnya telah terpenuhi dan sejalan
dengan prinsip Islam, maka absahlah akad wakalah tersebut.52 Dalam sebuah riwayat
dituturkan bahwa, pada saat bai’at al-aqabah II, Rasulullah meminta 12 orang sebagai wakil
dari 75 orang Madinah yang membai’at beliau SAW. Lalu, 75 orang tersebut memilih 12
51 Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, h. 56
52 A. Said ‘Aqil Humam ‘Abdurrahman, Hukum Islam Seputar (Pemilu dan Parlemen), (Bogor: Al-
Azhar Press,2004), Cet. I, h. 1
orang sebagai wakil mereka. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW telah melakukan
aktivitas wakalah.53
Akan tetapi, pemilu dalam sistem Islam tentu saja berbeda dengan pemilu dalam sistem
pemerintahan demokratik. Asas, prinsip, maupun tujuan-tujuannya saling bertolak belakang
dan bertentangan. Oleh karena itu di bawah ini akan dikelompokkan kepada dua kelompok
ulama kontemporer yang mengkaji mengenai pemilihan umum , pertama mereka yang
menganggap pemilu dapat dilaksanakan oleh pemerintahan Islam, dan kedua mereka yang
menolak pelaksanakan pemilu didalam pemerintahan Islam.
1. Kelompok Yang Menerima Pelaksanaan Pemilu dalam Pemerintahan Islam
Pada dasarnya penerapan syariat Islam dalam bentuk konstitusi dan perundang-
undangan Negara merupakan tanggung jawab terbesar kaum muslimin. Selain karena
alasan normatif, penerapan syariat Islam dalam lingkup Negara diyakini sebagai satu-
satunya jalan keluar bagi seluruh umat manusia, bukan hanya umat Islam dari berbagai
problem yang menimpa mereka. Penerapan Islam dan Negara Islam adalah dua sisi yang
tidak mungkin dipisah-pisahkan lagi. Sebab, Islam tidak pernah mempertentangkan atau
mengkonfrontasikan hubungan antara Negara dan agama. Negara dan agama adalah satu
kesatuan yang tidak mungkin dibagi-bagi lagi. Pemerintahan dan Negara merupakan
bagian dari ajaran Islam yang mengatur hubungan antara manusia satu dengan manusia
yang lain.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, “Mesti dipahami bahwa mengurusi
urusan rakyat (pemerintahan/Negara) merupakan kewajiban agama yang paling besar.
Bahkan, agama ini tidak akan mungkin bisa tegak tanpa adanya Negara. Iman al-Ghazali
menegaskan, “Kita tidak mungkin bisa menetapkan suatu perkara ketika Negara tidak lagi
memiliki imam dan peradilan telah rusak.54
53 Ibid 54 Ibid
Dalam sistem pemerintahan Islam, pemilu merupakan media untuk memilih
anggota majelis ummat, serta salah satu cara (uslub) untuk memilih seseorang yang akan
dicalonkan sebagai kepala Negara, Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul
fatwa-fatwa kontemporer, beliau mengutarakan bahwa penguasa menurut pandangan
Islam merupakan wakil umat atau pelayan umat, maka di antara hak yang mendasar bagi
umat ialah mengoreksi sang wakil dan melepas atau menarik wewenang perwakilannya
jika mereka menghendaki.55 Lebih-lebih jika penguasa menyelewengkan wewenangnya
dan mengabaikan kewajibannya. Lebih jauh Qardhawi mengatakan tidak ada larangan
dalam syara’ untuk mengutip idea atau teori dan praktik dari kalangan non-muslim,
karena Nabi SAW, sendiri pada waktu perang Azhab telah mengambil gagasan “mengali
parit” sebagai suatu uslub (cara) yang biasa dipakai orang Persia. Beliau juga
memanfaatkan tawanan-tawanan musyrikin dalam perang Badar yang mengerti tulis baca
untuk mengajar tulis baca kepada anak-anak kaum muslimin.56
Kemudian Imam Qardhawi melihat peraturan seperti pemilihan umum atau
pemungutan suara, maka menurut pandangan Islam hal itu merupakan “pemberian
kesaksian” terhadap kelayakan si calon. Oleh sebab itu, pemberi suara haruslah
memenuhi syarat sebagaimana halnya saksi, yaitu adil dan baik perilakuknya sehingga
diridhai orang banyak. Maka barangsiapa memberikan kesaksian terhadap seseorang
bahwa ia orang yang saleh padahal orang itu bukan orang saleh, berarti ia telah
melakukan dosa besar, karena memberikan kesaksian palsu. Disisi lain, barangsiapa yang
tidak mau memberikan suaranya dalam pemilihan sehingga orang yang berkelayakan dan
terpercaya (jujur) mengalami kekalahan, sedangkan orang yang tidak layak dan tidak
55 Dr. Yusur Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer (jilid II), (Jakarta ; Gema Insani Press, tt.) h. 929
56 Ibid
memenuhi syarat sebagai orang “kuat dan terpecaya” mendapatkan kemenangan, berarti
dia telah menyembunyikan kesaksian yang sangat dibutuhkan umat.57
Kemudian Imam Hasan al-Banna berpendapat Daulat Islam di dalam Islam
terbentuk dari tiga kaedah pokok yaitu bentuk dasar bagi sistem pemerintahan Islam.
Kaedah-kaedah tersebut ialah:58
a) Tanggung jawab pemerintah di hadapan Allah dan manusia.
b) Kesatuan umat Islam atas dasar akidah Islam.
c) Menghormati kehendak umat dengan mewajibkan bermusyawarah, mengambil
pendapat dan menerima perintah serta larangan umat.
Apabila kaedah-kaedah ini telah mencukupi pada Negara ia maka ia termasuk ke
dalam ketegori Negara Islam meskipun apa dan bagaimana bentuknya, karena nama dan
bentuknya sudah tidak memberi arti lagi. Lebih jelas lagi Imam Hassan Al-Banna
memberi fatwa bahwa pemilihan umum dapat dilaksanakan asalkan dengan menggunakan
sistem Islam, seperti melakukan musyawarah, berlaku adil, dan lain-lain. Satu lagi ulama
kontemporer yang membolehkan pelaksanaan pemilihan umum adalah Haji Abdul Hadi
Awang seorang ulama Malaysia, beliau berpendapat “Oleh karena tidak ada dalil yang
menentukan pemimpin setelah wafatnya Nabi Muhammad, pemilihan dilakukan
dikalangan para sahabat. Cara pemilihan pula berubah di kalangan empat Khulafaur
Rasyidin karena mereka melakukan berdasarkan keadaan dan pendapat umum”.59
Menurutnya pelaksanaan pemilihan umum adalah konsep pemilihan yang juga wajib
dalam pelaksanaan demokrasi.
57 Ibid, h. 930
58 Dr. Muhalammad Abdul Qadir Abu Faris, Fiqh Siasah (menurut Imam Syahid Hassan Al-Banna),
(Kuala Lumpur: Pustaka Syuhada, 2000), Cet. I, h. 74 59 Abdul Hadi Awang, Islam dan Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika, 2007), Cet. I, h. 151-152
Kemudian kumpulan ulama Malaysia dari Partai PAS yang diketuai oleh Dato
Haji Husain Awang yang menjabat sebagai ketua dewan ulama PAS Negeri Terengganu
telah bermusyawarah bersama-sama dan menyepakati bahwa pelaksanaan pemilihan
umum merupakan menegakkan hukum syara, karena dengan adanya pemilihan umum
maka pemerintahan Islam dapat dijalanakn. Lebih lanjut pemerintahan Islam itu adalah
berbentuk “khilafah” atau “imarah mukminin” atau pun disebut juga sebagai “imamatul
uzma”. Ia merupakan sebuah pemerintahan yang berdasarkan kepada syaraiah islamiah
sama ada dari aspek perlembagaan, undang-undang, ekonomi dan lain-lain.60
2. Kelompok Yang Menolak Pelaksanaan Pemilu dalam Pemerintahan Islam
Di dalam pelaksanaan pemilihan umum dalam faktanya diantara sistem Islam
dengan sistem demokrasi berbeda baik dari segi asas, prinsip, maupun tujuan–tujuannya
saling bertolak belakang dan bertentangan. Pemilu di dalam sistem demokrasi terikat
dengan prinsip dan sistem demokrasi sekuler. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan
untuk memilih wakil rakyat yang memiliki beberapa fungsi salah satunya adalah fungsi
legislasi dan kontrol. Di dalam pemilihan umum biasanya menentukan orang-orang yang
akan duduk di parlemen, ketidak bolehan kaum muslim berkecimpung di dalam
parlemen, tidak boleh dipahami sebagai masalah ijtihadiyah. Sebab, dalil-dalil yang
mengharamkan memasuki dan berkecimpung di dalam parlemen (dengan sistem seperti
saat ini) dilalahnya adalah pasti. Disebut persoalan ijtihadiyah jika persoalan tersebut
diistinbatkan dari dalil-dalil yang bersifat dzanniyah, sehingga masih membuka ruang
untuk perbedaan pendapat dan interpretasi. Namun, jika suatu masalah diistinbathkan dari
dalil-dalil yang qath’i maka ia tidak lagi disebut sebagai persoalan ijtihadiyah. Sebab,
persoalan seperti ini (qath’i) tidak membuka ruang untuk perbedaan pendapat dan
interpretasi. Perbedaan pendapat dalam wilayah qath’i merupakan perbedaan yang
60 Tazkirah Pilihan Raya, “Islam (Tuntutan dan Kewajiban), tt, tp, h.137
dilarang dalam agama Islam (ikhtilaaf tadldlad). Adapun dalil-dalil yang mengharamkan
kaum muslimin berkecimpung dalam pemilu dan parlemen adalah sebagai berikut.61
Pertama, larangan duduk di majelis yang mempermainkan dan mendustakan ayat-
ayat Allah SWT. al-Qur’an telah menyatakan dengan jelas dalam Q.S al-An’am/6 ayat
68:
⌧
⌧
Artinya: “Jika kamu melihat orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat kami, maka berpalinglah kamu dari mereka, hingga mereka mengalihkan kepada pembicaraan lain. Dan jika kalian dilupakan setan (sehingga kamu duduk di forum itu), maka, setelah kamu ingat, janganlah kalian duduk bersama-sama orang yang dzalim itu”. (Q.S Al-An’am/6 ayat :68).
Ayat ini diperkuat juga dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa’/4
ayat 140:
⌧
⌧ ☺ ⌧
⌧
☺
Artinya: “Dan sungguhnya ia telah menurunkan atas kamu, di dalam al-Kitab ini, “Bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah tidak dipercayai, dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, hingga mereka masuk kepada pembicaraan ini, sebab jika kalian melakukan seperti itu, maka kamu seperti mereka”. (Q.S. An-Nisaa’/4: 140).
61 A. Said ‘Aqil Humam ‘Abdurrahman Hukum Islam Seputar (Pemilu dan Parlemen), h. l.43
Ayat-ayat ini dilalahnya qath’iy. Dari sisi hukum kita bisa menyimpulkan bahwa,
orang yang duduk di suatu forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah dan mengingkari
ayat-ayat Allah, telah terjatuh perbuatan haram. Haramnya duduk bersama orang-orang
yang mengolok-olok dan mengingkari ayat Allah, ditujukan (diindikasikan) dengan
firman-Nya, sebab jika kalian melakukan seperti itu maka kamu seperti mereka” (Q.S
An-Nisaa’ ayat 140).
Sesungguhnya, sistem aturan yang ada di parlemen dan pemilu merupakan
penghalang terbesar bagi kaum muslim untuk berkecimpung di dalamnya. Sebab, sistem
aturan tersebut akan memaksa siapa saja yang ada di dalamnya untuk tunduk pada aturan-
aturan kufur.
Kedua, ada larangan untuk berhukum dengan aturan yang tidak lahir dari aqidah
Islam. Pada dasarnya, sistem aturan yang mengatur pemilu dan parlemen sama sekali
tidak lahir dari aqidah Islam. Seluruh aturannya muncul dari paham sekulerisme dan
demokrasi yang sangat bertentangan dengan Islam. al-Qur’an telah menyatakan dengan
sangat jelas bahwa, pihak yang berhak menetapkan aturan hanyalah Allah SWT. Allah
SWT berfirman di dalam surat al-An’am/6 ayat 57:
………..
⌧
Artinya: “……….Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah SWT. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”. (Q.S al-An’am/6 ayat 57).
Ketiga, fakta-fakta pemilu dan parlemen yang berlangsung saat ini adalah faktor
yang menghalangi kaum muslimin untuk terlibat di dalamnya. Sebab, fakta-fakta
parlemen kita dan pemilu sekarang jelas-jelas bertentangan dengan syariah Islam.
Dalam menafsirkan surat al-An’am ayat 68, Ali Al-Shabuniy menyatakan, “Jika
engkau melihat orang-orang kafir mempermainkan al-Qur’an dengan kebohongan dan
kedustaan, dan olok-olok, maka janganlah kalian duduk dan berdiri bersama mereka
sampai mereka mengalihkan kepada perkataan lain, dan meninggalkan olok-olok dan
pendustaannya”.62
Imam al-Suddiy berkata, “Saat itu orang-orang musyrik jika duduk bersama
orang-orang mukmin, dan membicarakan tentang Nabi SAW dan al-Qur’an,orang-orang
musyrik itu lantas mencela dan mempermainkan”. Setelah itu, Allah SWT
memerintahkan kaum mukmin untuk tidak duduk bersama mereka, sampai mereka
mengalihkan kepada pembicaraan lainnya (Imam al-Thabariy, Tafsir Thabariy, Juz II,
h.437).63
Dan diantara ulama yang paling keras dalam menentang pemilu dan
mendasarkannya kepada demokrasi adalah Syaikh Abu Muhammad Ashim Al-Maqdisiy
di dalam karya ilmiahnya yang berjudul Syirik Demokrasi Menghantam Islam
(Demokrasi Adalah Agama Syirik Baru), beliau mengatakan bahwa:
Demokrasi adalah buah dari agama sekuler yang sangat jelek, dan anaknya yang tidak sah, karena sekulerisme adalah paham kafir yang intinya memisahkan agama dari tatanan kehidupan, atau memisahkan agama dari Negara dan hukum. Rakyat dalam paham demokrasi adalah diwakili oleh para wakilnya (para anggota dewan), setiap kelompok (organisasi), atau partai, atau suku memilih tuhan buatan dari arbaab yang beragam asal usulnya untuk menetapkan hukum dan perundang-undangan sesuai dengan selera dan keinginan mereka, namun ini sebagaimana yang sudah diketahui sesuai dengan rambu-rambu dan batasan undang-undang yang berlaku. Diantara mereka ada yang mengangkat (memilih) sembahan dan pembuat hukumnya sesuai dengan asas dan idelogi baik itu tuhan dari partai fulan, atau tuhan dari partai itu.64
Dan ulama yang memberikan komentar tentang dilarangnya penyelenggaraan
pemilu adalah Syaikh Muqbil, beliau melarang secara mutlak keikutsertaan dalam pemilu,
62 A. Said ‘Aqil Humam ‘Abdurrahman Hukum Islam Seputar (Pemilu dan Parlemen), h. 21
63 Ibid
64 Syaikhal Abu Muhammad Ashim Al-Maqdisiy, Syirik Demokrasi Menghantam Islam (Demokrasi
Adalah Agama Syirik Baru), (t.p. t.t), h. 32
dengan alasan pemilu dan demokrasi merupakan sistem yang mengandung berbagai
macam kebatilan bahkan kekufuran.65
3. Pendapat Penulis Mengenai Penyelenggaraan Pemilu
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa hukum asal pelaksanaan pemilu
adalah mubah, akan tetapi menurut pendapat kami sendiri adalah sebuah kewajiban
dimana kita sebagai makhluk ciptaan Allah diperintahkan untuk membentuk sebuah
Negara sehingga dengan Negara itu akan terwujud sebuah nilai-nilai musyawarah,
keadilan serta menanamkan perasaan tidak membeda-bedakan antar suku, ras, golongan
(persamaan).
Pada dasarnya kita dapat menerima konsep demokrasi dimasukan kedalam nilai-
nilai ketatanegaraan Islam, keistimewaan demokrasi ialah bahwa sistem ini dicelah-celah
perjuangannnya yang panjang menghadapi para penguasa, raja, dan pemerintahan yang
zalim dapat mengambil berbagai bentuk dan wasilah yang hingga kini dianggap paling
efektif untuk melindungi rakyat dari kesewenangan-wenangan penguasa. Selain itu
penulis melihat bahwa Islam lebih mencintai jalur damai dalam melaksanakan
pemerintahan, tidak dengan jalan kekerasan dalam membentuk pemerintahan dan kita di
perintahkan untuk melakukan musyawarah, dan pemilu menurut penulis adalah salah satu
ijtihad dalam pelaksanaan pemilihan umum baik itu untuk menentukan kepala Negara
maupun lembaga perwakilan.
Dalam dasar hukum pelaksanaan pemilihan umum, penulis tertarik dengan
pendapat kelompok pertama yang membolehkan seperti Yusuf Qardhawi beliau
mengisyaratkan pelaksanaan pemilihan umum seperti halnya persaksian. Dimana
pemberian kesaksian dilakukan kepada kelayakan si calon yang akan kita pilih untuk
duduk di pemerintahan. Kemudian sandaran yang kedua bahwa tidak ada nash yang qathi
65 www.perisaidakwah.com di akses pada tanggal 5 Februari 2008.
yang mengharamkan pelaksanaan pemilu, maka sewajarnya umat Islam mengambil sikap
untuk meninggikan syariat hukum Islam dan Negara, kemudian penulis juga melihat
kondisi sosial di Malaysia yang memberi peluang kepada semua partai untuk
menyuarakan visi dan misi sehingga rakyat dapat memilih sesuai dengan kehendak hati
nurani mereka.
BAB III
PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM DI MALAYSIA OLEH
SURUHANJAYA PILIHAN RAYA
A. Sistem Pemilihan Umum di Malaysia
1. Sejarah Pemilihan Umum di Malaysia
Malaysia merupakan sebuah Negara Kerajaan yang mengamalkan sistem
demokrasi. Di dalam Negara yang mengamalkan sistem demokrasi sudah semestinya
terdapat unsur-unsur demokrasi seperti, perlindungan terhadap hak asasi manusia,
pelaksanaan pemilihan umum dan lain-lain. Dalam menjalankan roda pemerintahannya,
maka Malaysia yang menganut sistem demokrasi itu harus melaksanakan pemilihan
umum yang dilaksanakan secara bebas dan bersih.
Pemilihan umum diadakan untuk membolehkan rakyat menggunakan hak
mereka dalam menentukan sebuah kerajaan (pemerintahan) yang pada pandangan
mereka dapat memerintah dengan baik serta dapat memenuhi kehendak rakyat. Melalui
pemilu ini partai yang paling banyak mendapat suara rakyat berhak menggunakan
mandat itu untuk membentuk sebuah pemerintahan yang akan memerintah selama satu
periode, yaitu selama lima tahun.66 Setelah habis satu masa (periode) tersebut maka
pemilihan umum dilakukan kembali, untuk memberi mandat kepada partai yang
memenangkan dalam pemilu tersebut, untuk memerintah pada periode berikutnya.
Dilihat dari sejarahnya bahwa keikutsertaan rakyat dalam sistem pemilihan
perwakilan telah ada jauh sebelum Negara Malaysia merdeka, yaitu pemilihan untuk
pertama kalinya dilakukan di negeri bagian Pulau Pinang dengan dibentuknya pejabat
sementara yang dinamakan Jawatankuasa Penilai (Committee of Assessors) pada tahun
1801.67 Pada awalnya pejabat ini bertanggungjawab atas aspek pembangunan kota
supaya lembaga ini dapat memenuhi kebutuhan penduduk setempat, termasuk di
dalamnya urusan jalan, pembangunan sistem saluran irigasi, pejabat pelaksana undang-
undang, urusan keamanan, serta urusan pajak. Penduduk-penduduk Asia dan Britis
yang kaya terlibat dalam musyawarah yang memilih anggota Jawatankuasa sukarela ini.
Walau bagaimanapun, pengurus Jawatankuasa ini dilantik oleh Lieutenant Governor.68
Yang kemudian Jawatankuasa ini berubah menjadi Majlis Perbandaran hingga
sekarang.
Pilihan Raya Majlis Bandaran69
66 Institut Tadbiran Awam Negara (INTAN) Malaysia, Pentadbiran dan Pengurusan Awam Malaysia,
(Kuala Lumpur: Institut Tadbiran Awam Negara (INTAN) Malaysia, 2006), h. 61-62 67 Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihan Raya di Malaysia, (Kuala Lumpur:
Suruhanjaya Pilihan Raya, 2007), h. 18 68 Lieutenant Governor adalah gubernur Negara Inggris ketika menjajah negeri-negeri Selat. 69 Yaitu pemilihan wakil rakyat di suatu daerah atau kota tertentu saja.
Pemilihan umum Majlis Bandaran telah diperkenalkan oleh pihak Inggris
sebagai suatu usaha ke arah memberikan keterbukaan dan pengalaman kepada
pemimpin-pemimpin setempat dan rakyat untuk memerintah sendiri. Pada 1 Desember
1951, pemilihan umum yang pertama kali telah dilakukan di George Town, Pulau
Pinang untuk memilih wakil-wakil rakyat dalam Majlis Bandaran Pulau Pinang. Dalam
pemilihan umum itu dimenangkan oleh Partai Radikal yang beranggotakan berbagai
kaum dengan meraih 6 kursi dari 9 kursi yang diperebutkan.70
Sementara itu, pemiliha umum Majlis bandaran Kuala Lumpur yang
dilaksanakan pada bulan februari 1952 telah memperlihatkan untuk pertama kalinya
koalisi antara partai politik kaum Melayu dan kaum cina yaitu United Malay
Organization (UMNO) dan Malayan Chinese Association (MCA) untuk menghadapi
pemilu yang penting itu. Koalisi tersebut telah menjadikan UMNO-MCA sebagai
sebuah pertumbuhan politik yang paling berpengaruh setelah memenangkan dalam
pemilu dengan meraih 9 dari 12 kursi yang diperebutkan.
Pilihan Raya Negeri71
Pilihan Raya Negeri dilaksanakan pada tahun 1945. Pemilu ini bertujuan untuk
memberi peluang kepada rakyat untuk membentuk pemerintahan yang akan memimpin
pemerintahan setelah kemerdekaan. Pemilu ini penting karena ia telah membuktikan
bahwa rakyat Tanah Melayu sangat memberikan dukungan dan ide kerjasama diantara
kalangan dalam gabungan Partai Perikatan UMNO-MCA yang telah Berjaya dengan
mengantongi 226 dari 268 kursi yang diperebutkan.
Pilihan Raya Persekutuan72
70 Haji Tajuddin Bin Haji Hussein, ed., Malaysia Negara Kita, (Kuala Lumpur: MDC Publisher Sdn
Bhd, 2007), cet. I, h. 269-270 71 Yaitu pemilihan wakil rakyat untuk negara bagian. 72 Pemilihan wakil rakyat untuk parlemen pusat
Pada tahun 1953, Partai Persekutuan menuntut agar anggota Majlis Musyawarah
Undangan Persekutuan dipilih melalui sistem pemilihan umum bukan oleh pihak
Inggris. Ini akan memberikan peluang kepada pemimpin-pemimpin Partai Perserikatan
untuk dapat menjadi anggota majlis Musyawarah kerajaan yang merupakan sebuah
badan penting dalam penyelenggaraan Negara. Di samping itu, Partai Persekutuan juga
menuntut pihak Inggris agar pilihan raya umum (pemilihan umum untuk memilih wakil
rakyat dan parlemen) agar diadakan selambat-lambatnya pada tahun 1954, dan anggota
Majlis Musyawarah undangan Persekutuan yang dipilih melalui pemilihan umum
hendaklah berdasarkan suara terbanyak dalam Majlis tersebut.73
Akhirnya dengan persetujuan Inggris, pemilu Majlis Perundangan Persekutuan
yang pertama bagi Negara Malaysia secara resmi dilaksanakan pada tanggal 27 Juli
1955. Sehari sebelum yang bersejarah itu, setiap partai politik yang terlibat dalam
pemilu akan mengadakan kampanye setelah mengumumkan calon pemimpinnya yaitu
pada tanggal 15 juli 1955.
Dalam pemilihan umum tersebut, kelompok-kelompok Partai Perikatan yaitu
UMNO, MCA dan MIC telah mengadakan beberapa perundingan untuk membagikan
wilayah pemilihan dan jumlah kursi yang akan diperebutkan. Hasilnya, UMNO
memegang di 35 wilayah, MCA di 15 wilayah dan MIC di 2 wilayah. Dalam pemilu ini,
Partai Perserikatan memenangkanya dengan memperoleh 51 kursi dari 52 yang
diperebutkan, sedangkan 1 kursi lagi diraih oleh Partai Islam Se-Malaya (PAS).74
2. Wilayah Pemilihan Umum
Dalam sistem pemilihan umum di Malaysia, setiap negara bagian di bagi
kedalam beberapa wilayah pemilihan yang diwakili oleh seorang atau beberapa orang
wakil rakyat. Berdasarkan sistem pemilihan umum di Malaysia, setiap satu wilayah
73 Haji Tajuddin Bin Haji Hussein, ed., Malaysia Negara Kita, h. 270-271 74 Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihan Raya di Malaysia, h. 32
pemilihan umum hanya diwakili oleh seorang wakil rakyat saja.75 Jadi jumlah wilayah
pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat adalah sama banyak dengan jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat.76 Begitu juga dengan jumlah wilayah pemilihan untuk
Dewan Undangan Negeri,77 adalah sama dengan jumlah anggota Dewan Undangan
Negeri.
Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari seluruh Negara bagian Malaysia
berjumlah 180 orang, sesuai dengan jumlah wilayah pemilihan, yaitu 180 wilayah
pemilihan umum. Wilayah pemilihan telah ditentukan pada tahun 1958, dan di ubah
pada tahun 1974, 1983, dan 1993.78 Mengikuti perundang-undangan yang berlaku,
jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari masing-masing negeri begian adalah ;
Johor (40 orang), Kedah (36 orang), Kelantan (43 orang), Melaka (25 orang), Negeri
Sembilan (32 orang), Pahang (38 orang), Pulau Pinang (33 orang), Perak (52 orang),
Perlis (25 orang), Selanggor (48 orang), Terengganu (32 orang), Sabah (48 orang),
Sarawak (56 orang).
Negeri-negeri Tanah Melayu (Malaysia) terbagi kedalam beberapa wilayah
pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Jadi, besar kecilnya wilayah pemilihan dan cara menentukan batas wilayah ditetapkan
berdasarkan undang-undang. Ini dapat dilihat dalam bab ketiga belas, dalam bab ini ada
empat prinsip yang harus dipatuhi untuk menentukan dan meneliti semula batas-batas
wilayah pemilihan. Keempat prinsip itu adalah sebagai berikut :
75 Pasal 116 (ayat 2), Undang-Undang Malaysia 76 Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, Cet.III (Kuala
Lumpu: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006), h.171 77 Dewan Undangan Negeri di Indonesia disebut dengan nama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 78 Akta Perlembagaan (Perubahan) 1983 (Akta A566)
1. Suatu wilayah pemilihan itu haruslah mempunyai batas wilayah, dan perlu
dijelaskan segala kesulitan kalau wilayah pemilihan bagi Dewan Perwakilan Rakyat
melintasi batas wilayah pemilihan bagi Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Harus dapat memberi kemudahan kepada pelaksana yang ada di wilayah pemilihan
itu untuk menjalankan pelaksanaan pemilih.
3. Jumlah pemilih di setiap wilayah pemilihan itu haruslah hampir sama di seluruh
negeri bagian kecuali wilayah luar kota. Oleh sebab keadaan di wilayah luar kota
tidak sama dengan wilayah kota, maka cara jumlah mayoritas pemilih harus
digunakan, dan cara ini di perbolehkan untuk menjadikan di suatu wilayah
pemilihan luar kota mempunyai bilangan pemilihnya setenggah saja dari jumlah
pemilih di wilayah pemilihan dalam kota.
4. Hendaklah dipertimbangkan segala kesulitan yang akan datang apabila wilayah
pemilihan umum itu di pisahkan.
Secara umum sistem pemilihan umum di Malaysia berdasarkan tiga prinsip
pokok, yaitu :79
1. Berdasarkan suara mayoritas mengikuti kaidah first past the post sistem dimana
calon yang menang adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak, walaupun
hanya terdapat kelebihan satu suara dapat mengalahkan calon lawannya yang lain.
2. Berdasarkan pemilihan seorang calon wakil rakyat mengikuti bagian pemilihan
umum sama dengan bagian pemilihan parlemen atau bagian pemilihan Negara
bagian (single member territorial representation).
3. Berdasarkan sistem partai politik yang ikut serta dan pihak yang sah mengikuti
pemilihan umum (multi party electoral sistem).
B. Pelaksanaan Pemilu di Malaysia oleh Suruhanjaya Pilihan Raya
79 Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihan Raya di Malaysia, h. 7
Untuk melaksanakan pemilihan umum di Malaysia, di jelaskan di dalam pasal
113 dan pasal 114 Perundang-undangan Malaysia, yang memberikan wewenang kepada
Negara untuk membentuk sebuah badan yang dinamakan Suruhanjaya Pilihan Raya.
Lembaga in pimpin oleh seorang ketua dan tiga orang anggota. Keempat anggota ini
dilantik oleh Yang di Pertuan Agung. Orang yang dilantik haruslah orang yang bebas
(independent) tidak terpengaruh dan terikat oleh harta benda dan jabatan seperti
dibawah ini:80
a. Orang yang bangkrut atau muflis.
b. Orang yang memegang jabatan tertentu baik dalam pemerintah maupun swasta.
c. Bukan anggota dari Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah maupun
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Untuk melaksanakan kewajibannya, Suruhanjaya Pilihan Raya diberi wewenang
untuk membuat beberapa peraturan dan melantik beberapa pegawai dan anggota untuk
melaksanakan pemilihan umum. Suruhanjaya Pilihan Raya diberi tugas oleh Undang-
undang untuk melaksanakan Pemilihan Umum bagi Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan rakyat Daerah.
Baru-baru ini Malaysia telah melaksanakan Pilihan Raya Umum (PRU) ke-12
tanggal 8 April 2008, ada beberapa partai atau gabungan partai yang mengikuti pemilu,
diantaranya BN (Barisan Nasional), PAS (Partai Islam Semalaysia) , DAP (Partai Koalisi
China), PKR (Partai Keadilan Rakyat), Partai Bebas, PRM (Partai Rakyat Malaysia),
Partai SNAP dan Partai Bersekutu.81
Jumlah kursi yang dimenangi partai dalam pilihan raya umum ke 12 tahun 2008
adalah sebagai berikut:82
80 Tun Mohd. Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 170 81 “Keputusan Penuh Pilihan Raya umum ke 12 tahun 2008”, Utusan Malaysia, Senin 10 Maret 2008,
h.26 82 Ibid
Nama Partai Jumlah Kursi Parlemen Pusat (DPR)
Jumlah Kursi Undangan Negeri (DPRD)
Barisan Nasional (BN) 140 307 Partai Islam
Semalaysia (PAS) 23 83
Partai Koalisi China (DAP)
28 73
Partai Keadilan Rakyat (PKR)
31 40
Partai Bebas 0 2 Partai Rakyat Malasia
(PRM) 0 0
Partai SNAP 0 0 Partai Bersekutu 0 0
Jumlah Keseluruhan Kursi
222 505
1. Sejarah Ringkas Pembentukan dan Keanggotaan SPR
Suruhanjaya Pilihan Raya Malaysia dibentuk pada tanggal 4 september 1957
berdasarkan pasal 114 Perlembagaan persekutuan. Semasa pembentukannya SPR
terdiri dari seorang ketua dan dua orang anggota ahli. Ketua pertama SPR ialah Dato
Dr. Mustafa Albakri bin Haji Hassan, dan kedua anggotanya masing-masing yaitu
Encik Lee Ewe Boon dan Encik Ditt Singh.83
Kemudian pada tahun 1963, Jumlah anggota SPR ditambah menjadi tiga
orang. Anggota ahli tambahan itu berasal dari Sabah atau Sarawak yang dilantik
secara bergantian. Datuk Abang Haji Marzuki bin Nor dari Sarawak menjadi anggota
ahli tambahan pertama mewakili dua Negara bagian tersebut. Pada tahun 1981,
perubahan atas pasal 114 Perundang-undangan persekutuan dibentuk sebuah Wakil
ketua. Pada tahun 2002, perubahan pada perundang-undangan persekutuan juga
terjadi penambahan keanggotaan SPR menjadi tujuh orang yaitu, seorang ketua,
83 Suruhanjaya Pilihan Raya, Laporan Tahunan 2005, h. 12
seorang wakil ketua, dan lima orang anggota ahli, termasuk anggota ahli dari Sabah
dan seorang ahli dari Sarawak.84
Sejak terbentuknya sampai tahun 1978, kantor SPR terletak di gedung Sultan
Abdul Samad, Jalan Clark, Kuala Lumpur. Dari tahun 1978 sampai tahun 1985 SPR
bertugas di gedung yayasan Selangor, Jalan Bukit Bintang, Kuala :Lumpur. Pada
tahun 1985 SPR pindah lagi ke gedung Tong Ah, Jalan P. Ramlee dan bertugas disana
sampai tahun 1988 sebelum berpindah ke menara Bank Pembangunan, Jalan sultan
Ismail, Kuala Lumpur.85
Pada bulan November 2000, kantor pusat SPR berpindah ke lokasi sampai
sekarang yaitu di Aras 4 – 5, Blok C7, Parcel C, Pusat pelaksana Negara bagian
Putrajaya. Sebagaimana di jelaskan diatas bahwa saat ini SPR terdiri dari tujuh orang
anggota dengan seorang ketua, seorang wakil ketua, dan lima orang anggota ahli.
Untuk keterangan dan struktur SPR yang lebih lengkap dapat dilihat dalam lampiran
1.
2. Visi dan Misi SPR
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa dalam pelaksanaan pemilihan umum di
Malaysia dilaksanakan oleh sebuah badan yang dinamakan SPR. Adapun Visi dari
SPR adalah memelihara dan menjalankan sistem demokrasi berparlemen di Malaysia
melalui pemilihan umum yang adil, cakap dan tulus.
Sedangkan misi dibentuknya badan SPR adalah untuk memastikan rakyat
Malaysia berpeluang untuk memilih wakil-wakil mereka untuk membentuk Negara
dan memelihara hak melalui pemilihan umum yang bebas serta adil.
3. Proses Pelaksanaan Pemilihan umum
84 Ibid. 85 Ibid. h. 13
Proses pemilihan umum diadakan apabila Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah selesai masa tugasnya. Untuk negeri-negeri di
Semenanjung, pemilihan umum diadakan dalam waktu 60 hari setelah berakhirnya
masa jabatan di dewan perwakilan rakyat dan dewan perwakilan daerah, berbeda di
negara bagian Sabah dan Serawak waktunya yaitu 90 hari, waktu yang lebih panjang
diberikan kepada Negara bagian Sabah dan Serawak untuk menjalankan pemilihan
umum dikarenakan penduduknya banyak yang tinggal di pedalaman.
Untuk menjalankan pemilihan umum, Suruhan Jaya Pilihan Raya akan
mengeluarkan satu perintah kepada petugas pemilihan untuk setiap wilayah
pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang dikehendaki. Setelah petugas pemilihan wilayah menerima
perintah itu, kemudian dia harus melaksanakan pemilihan umum berdasarkan
peraturan yang terkait.
Skema berikut menunjukkan secara umum proses pemilihan umum
di Malaysia.
Kampanye untuk para calon
Ketua Pemilu kawasan
(KPU/KPUD) Mengumumkan hasil keputusan
pemilu
SPR Menetapkan
waktu. Nama-nama calon dan hari pemilihan
umum
Penamaan calon Calon
melakukan penyampaian visi dan misi
SPR Memastikan
tempat memilih dan tempat menghitung kertas suara
Hari Pencoblosan
Tempat menghitung
suara
Kotak suara di buka dan kertas suara dihitung
Tempat memilih
Di beri kertas
Mencoblos/menandai calon yang
dipilih
Kertas suara dimasukan ke dalam kotak
suara
Penjelasan proses pelaksanaan pemilihan umum Malaysia di dalam buku Siri
Pendidikan Pengundi Bil 1/2008.86
1) Penetapan waktu, Penamaan calon dan Hari Memilih
Apabila sebuah dewan dibubarkan, berdasarkan keinginan dan perkenan Seri
Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agung atau Duli Yang Maha Mulia Raja atau
Tuan Yang Terutama Yang di-Pertuan Negeri atau setelah selesai waktu hidupnya,
oleh karenanya SPR di beri waktu selama 60 hari menurut Perlembagaan
Persekutuan dan Perlembagaan Negeri untuk mengadakan pemilihan umum.
Pemilihan umum juga dilaksanakan apabila kursi dewan yang ditempati oleh
seseorang wakil kosong tidak ditempati disebabkan kematian ataupun kursi
tersebut terpaksa dikosongkan akibat dari proses undang-undang seperti pemutusan
hak warganegara, diumumkan bangkrut/berhutang.
Apabila SPR mendapati tentang pembubaran Dewan atau kekosongan kursi,
SPR akan segera bermusyawarah untuk menentukan tiga perkara penting seperti
berikut:87
a) Tanggal untuk menetapkan hari penamaan calon
b) Tanggal untuk menetapkan hari untuk pemilihan, jika ada perlawanan dari
calon lain, dan
c) Buku daftar pemilih sebagaimana yang di jelaskan di dalam peraturan 9
Peraturan-peraturan Pilihan Raya (pendaftaran pemilih).
2) Penyediaan dan masalah Kertas suara
a) Setelah urusan penamaan calon selesai, SPR akan mendaftarkan nama-nama
calon dan nama-nama tempat pemilihan umum di mana mereka bertanding dan
86 Buku seri panduan untuk pemilih dalam memahami proses pemilihan umum yang dilaksanakan oleh
SPR. 87 Suruhanjaya Pilihan Raya Malaysia, Siri Pendidikan Pengundi Bil 1/2008 (Ketelusan Sistem
Pengundian Pengiraan Undi dan Pengumuman Keputusan Pilihan Raya), Kuala Lumpur; Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 2008 h.4
kemudian menyerahkan daftar nama tersebut kepada Percetakan Nasional
Malaysia Berhad (PNMB) untuk proses penyediaan kertas suara. Kertas suara
tidak dapat dicetak dengan segera karena harus menunggu waktu tiga hari yang
di peruntukkan kepada calon-calon untuk menarik diri dari ikut serta dalam
pemilihan seperti yang di jelaskan oleh peraturan 7 (1) Peraturan Pilihan raya)
1981.
b) Apabila kertas suara yang baru dicetak sampai ke pejabat pegawai pengurus,
semua petugas terlibat seperti pegawai pengurus, penolong pegawai pengurus
dan ketua tempat memilih akan memeriksa kertas-kertas suara tersebut. Untuk
kertas suara undi pos, ia akan diperiksa oleh penolong pegawai pengurus (undi
pos) dan para sekretaris pemilihan suara undi pos.
3) Pengurusan Hari Memilih dan Ketelusan Urusan Pemilihan
a) Tugas melaksanakan hari memilih dalam satu bagian pemilihan umum
parlemen atau negeri terletak di bahu pegawai pengurus. Pegawai pengurus ini
dilantik oleh SPR dan di beri surat kuasa yaitu wewenang untuk menjalankan
semua urusan berkaitan dengan pemilihan umum termasuk di dalamnya waktu
hari memilih bagi pihak SPR.
b) Pegawai pengurus dibantu juga oleh beberapa orang penolong pegawai
pengurus yang kebanyakan ialah penolong pegawai daerah. Di tempat-tempat
memilih (Bilik suara), ketua-ketua tempat memilih dilantik oleh pegawai
pengurus untuk mengawal perjalanan pemilihan di dalam setiap tempat atau
saluran memilih.
c) Di pusat memilih, ketua tempat memilih di saluran pertama akan bertindak
sebagai ketua pusat memilih. Gedung sekolah lazimnya dipilih sebagai pusat
memilih karena didukung oleh infrasturktur yang memadai dan sesuai
kelengkapannya untuk urusan pemilihan.
d) Pemilihan untuk semua Negara bagian dilaksanakan dalam satu hari di mulai
dari jam 8.00 pagi sampai 5.00 sore. Namun begitu, untuk beberapa tempat
pedalaman terutamanya di Sabah dan Sarawak, waktu pemilihan ditutup lebih
awal untuk membolehkan membawa kotak-kotak suara di bawa ke pusat
penjumlahan suara (tabulasi suara). Sebelum pusat-pusat memilih di buka ketua
tempat memilih (KTM) dan seorang sekretaris pemilihan akan mengambil
peralatan-peralatan untuk digunakan dalam pemilihan yang diambil dari pejabat
pegawai pengurus dan membawanya ke tempat-tempat memilih di mana
mereka bertugas. Tepat pada jam 8.00 pagi barulah tempat-tempat memilih
dibuka untuk para pemilih.
e) Beberapa orang anggota polisi dilantik untuk memastikan keselamatan dan
ketenteraman masyarakat di pusat dan saluran memilih.
f) Proses pemilihan di jalankan secara ikhlas dan adil. Ciri-ciri yang mendukung
keikhlasan dan keadilan proses pemilihan di Negara Malaysia adalah seperti
berikut:88
- Keikhlasan pertama: Penentuan daerah larangan 50 meter dari pusat memilih
di buat secara bersama.
- Keikhlasan kedua: menunjukkan kepada ejen89 calon bahwa kotak suara
adalah kosong sebelum proses pemilihan di mulai.
- Keikhlasan Ketiga: hanya mereka yang diperbolehkan oleh Undang-Undang
Saja yang boleh berada di dalam tempat pusat suara dan tempat memilih.
- Keikhlasan keempat: hanya pemilih yang terdaftar di dalam suatu pusat
memilih saja yang boleh memilih di pusat memilih.
- Keikhlasan kelima: kertas suara di keluarkan secara ikhlas/ jelas di depan mata
saksi-saksi pemilihan umum.
88 Ibid, h.7 89 Ejen dalam pemilihan umum di Indonesia dinamakan saksi, saksi dari pihak masing-masing partai
peserta pemilihan umum.
- Keikhlasan keenam: Mengunakan tinta permanen pada kuku jari untuk
menghindari pemilihan dua kali.
- Keikhlasan ketujuh: proses pemilihan di buat secara rahasia di bilik suara
- Keikhlasan kedelapan: penggunaan corak penanda kertas suara yang berbeda
bentuk untuk menentukan kesahihan kertas suara.
- Keikhlasan kesembilan: daftar pemilih yang sama untuk untuk digunakan oleh
semua pihak (baik di pakai oleh pegawai pengurus pemilihan maupun ketua
tempat mengundi)
- Keikhlasan kesepuluh: mekanisme melindungi kerahasiaan pemilihan melalui
penggunaan surat akuan identitas dan sumpah kerahasiaan.
- Keikhlasan kesebelas: pengumunan secara meluas perihal tanggal, hari dan
tempat dilaksanakannya pemilihan umum.
- Ketulusan kedua belas: petugas pemilihan umum dilantik dari berbagai lapisan
masyarakat dan golongan.
- Ketulusan ketiga belas: hak memilih di jamin dan majikan perlu memberikan
kebenaran untuk pekerja memilih.
- Keikhlasan keempat belas: memilih dalam keadaan aman dan tenteram serta
tanpa perasaan takut.
4. Fungsi Suruhanjaya Pilihan Raya
Ada tiga fungsi utama SPR seperti yang ditetapkan dalam perkara pasal 113
Undang-undang Persekutuan Malaysia, yaitu:90
a. Mewujudkan bagian-bagian pemilu dan menjalankan urusan pembatasan baru
bagian pemilu menurut waktu yang tidak kurang dari 8 tahun;
b. Menyediakan daftar pemilih dan menjalankan urusan pendaftaran pemilih dan
memeriksa daftar pemilih;
c. Mengendalikan Pemilihan Umum dan Pemilu Kecil.
90 Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihan Raya di Malaysia, h 54
5. Pemilih dan Calon Yang Dipilih
Seseorang yang ingin menjadi calon dalam pemilihan umum, baik itu untuk
Dewan Perwakilan Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, haruslah Warga
Negara yang tinggal di Malaysia, berumur tidak kurang dari 21 tahun, dewasa, bukan
seorang yang bermasalah seperti bangkrut, tidak pernah masuk penjara lebih dari 12
bulan dan didenda 2000 ringit Malaysia. Calon yang mendapatkan suara terbanyak
dalam pemilihan umum yang diadakan. Sekiranya hanya ada seorang calon saja yang
terdaftar setelah waktu penamaan calon yang lolos, calon tersebut akan diumumkan
menang tanpa melakukan pemilihan.91
Dalam setiap sistem pemilihan umum sudah sewajarnya ada pemilih.
Berdasarkan Perlembagaan Malaysia, pemilih dalam pemilihan umum Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ialah orang yang menjadi
warga Negara Malaysia, dan berumur 21 tahun pada saat dilaksanakan pemilihan.
Bersamaan dengan tahun itu di juga harus menjadi penduduk tetap di tempat pemilihan
umum, atau jika bukan penduduk tetap, ia dianggap oleh undang-undang sebagai
pemilih yang tidak tercantum pada daftar pemilih tetap (pemilih tidak tetap). Seorang
itu tidak sah menjadi pemilih dalam pemilihan umum, baik untuk pemilihan Dewan
Perwakilan Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, jika dia termasuk
kedalam kelompok berikut:92
a. Seorang yang telah dibawah pengampuan karena ketidakdewasaannya atau karena
menjalankan hukuman penjara yang dikenakan kepada orang tersebut pada tahun di
sahkannya sebagai pemilih.
91 Institut Tadbiran Awam Negara (INTAN) Malaysia, Pentadbiran dan Pengurusan Awam Malaysia,
h. 64-65 92 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 174
b. Seorang yang terbukti bersalah dan akan dihukum mati atau penjara lebih dari 12
bulan di dalam Negara Persekutuan, sebelum tanggal sahnya sebagai pemilih dan
pada tanggal tersebut ia masih menjalani hukuman atas perbuatannya itu.
“Tanggal Kelayakan itu” ialah sebuah istilah yang sifatnya teknis yang
ditujukan kepada waktu yang menjadi pedoman kepada panitia kerja pemilihan untuk
mendata ulang dan untuk menyiapakan daftar-daftar pemilih pada setiap diadakan
pemilihan. Berdasarkan ketetapan yang dibuat oleh Peraturan Pemilihan Umum tahun
1958.93
Istilah “Penduduk Tetap” itu juga merupakan istilah teknis berdasarkan pasal
119 (2), yaitu jika seseorang itu berada di wilayah pemilihan umum sebagai orang
yang lemah mental dan cacat akal pikiran yang menerima perawatan, maka orang itu
tidak masuk dalam kategori “penduduk tetap” di wilayah pemilihan umum. Penduduk
tetap juga bukan berarti bahwa setiap orang yang harus tinggal di rumah diimana dia
tinggal. Berdasarkan beberapa penyebab tidak adanya orang bersangkutan di wilayah
pemilihan itu dia masih dianggap sebagai penduduk tetap di wilayah pemilihan umum
itu, misalnya, apabila seseorang meninggalkan rumahnya disebabkan menjalankan
tugas, di masih dianggap menjadi penduduk tetap di mana dia tinggal di rumahnya
yang dia tinggalkan itu, meskipun pada waktu itu dia telah memberikan orang lain
untuk tinggal dirumahnya itu.94
Seandainya seseorang Warga Negara itu pada saat waktu diperbolehkannya
untuk memilih tidak berada di tempat dia tinggal sebagai penduduk tetap pada wilayah
pemilihan umum, dia masih diperbolehkan memilih apabila dia masuk kedalam
kelompok pemilih yang tidak hadir. Pemilih yang tidak hadir ini yaitu warganegara
93 Ibid. 94 Ibid. h. 175
yang usianya beranjak pada umur 21 tahun. Di undang-undang kelompok ini terbagi
menjadi tiga jenis:95
a. Seseorang Warga Negara yang sedang bertugas dalam angkatan bersenjata Negara
komanwel (Negara bekas jajahan Inggris) dimana ia tinggal bersama-sama dengan
isterinya di rumah dinas yang disediakan oleh angkatan bersenjata pada tahun ia
membuat permohonan untuk mendaftar sebagai pemilih pada pemilihan umum
untuk Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
b. Seseorang warganegara yang tinggal bersama-sama beserta isterinya di luar batas
wilayah Negara dan bekerja dalam tugasnya pada umumnya untuk Negara pusat
maupun Negara bagian, kemudian dia membuat permohonan untuk mendaftar
sebagai pemilih pada pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat maupun
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
c. Seorang warganegara yang menjadi mahasiswa di Universitas, Institut Teknik,
pusat pelatihan atau yayasan-yayasan pendidikan lain yang berada di luar wilayah
Negara. Jika isteri dari mahasiswa yang bersangkutan itu tinggal bersama-sama di
luar wilayah Negara pada tanggal permohonan mendaftar sebagai pemilih untuk
pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.96
6. Daftar Pemilih
Walaupun seorang warganegara itu mempunyai kelayakan dalam memilih
sebagai orang yang menjadi penduduk tetap (pemilih tetap) maupun pemilih tidak
tetap, dia masih tidak dapat memilih apabila namanya tidak terdapat dalam daftar
pemilih. Daftar pemilih itu menjadi satu keterangan prima facie untuk menentukan
seseorang berhak atau tidaknya dalam memilih pada pemilihan umum di wilayah yang
95 Ibid. 96 Peraturan Pilihan Raya (Pendaftaran Pemilih), 1958- PU, 252 tahun 1958
bersangkutan. Seorang tidak dibenarkan memilih disembarang tempat pemilihan
kecuali namanya ada di dalam daftar pemilih dimana tempat dia memilih. Berdasarkan
undang-undang, seseorang itu tidak boleh dimasukkan kedalam daftar pemilih untuk
lebih dari satu tempat dilaksanakan pemilihan umum.97
C. Konsep Kebebasan dan Kebersihan Pelaksanaan Pemilu di Malaysia
Pemilihan umum diibaratkan seperti permainan sepak bola. Apabila setiap
pemain bola itu dibiarkan menggunakan segala taktik dan cara sesuka hatinya tanpa
mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh wasit permainan itu, maka sudah pasti
pemain akan meninggalkan permainan sepak bola itu dan mengantinya dengan adu
tinju, juga diikuti oleh para penonton dari kedua belah pihak yang bertanding.
Demikian juga halnya dengan pemilihan umum, seandainya seorang calon itu
boleh menggunakan segala cara dan taktik yang kotor dan tidak mengikuti pedoman
peraturan pelaksana yang bertujuan ingin menjatuhkan calon lawannya, maka tidak
ada maknanya pemilihan umum itu dilaksanakan. Salah satu diantaranya adalah
disebabkan siapa yang kuat, gagah, kaya dan mempunyai banyak uang ringgit sudah
pasti akan menang. Tetapi suara yang diperoleh oleh calon-calon yang menggunakan
cara dan taktik seperti itu biasanya tidak ikhlas dari hati nurani para pemilih itu. Suara
itu datang dari hati yang dipenuhi oleh uang ringgit yang diberi atau dijanjikan kepada
para pemilih.
Mungkin juga hati sudah diikat oleh jasa yang telah diberikan calon, atau
karena rasa takut karena intervensi calon kepada si pemilih. Pemilihan umum
semacam itu sudah tentu tidak bebas dan tidak adil. Keputusannya tidak boleh diterima
dan di hormati oleh siapapun, karena akan menyebabkan kacau balau yang akhirnya
97 Peraturan Pilihan Raya (Pemilih dengan Jalan Pos), 1959 P.U tahun 1959
akan membuat sebuah negara yang diktator untuk mengawal ketenteraman dalam
negeri.
Pemilihan umum yang bebas dan bersih yaitu pemilihan umum yang
memberi kebebasan kepada setiap pemilih untuk memberi suaranya kepada para calon
atau partai politik menurut pilihannya sendiri.98 Ini berarti segala taktik dan cara yang
berdasarkan politik uang, ikatan jasa dan intervensi haruslah dilarang oleh undang-
undang. Perlu regulasi (pengaturan) mengenai batasan yang jelas yang menyatakan
pelaksanaan kampanye-kampanye pemilihan umum boleh dilaksanakan. Di negara
Malaysia, batasan-batasan itu terdapat dalam Akta Kesalahan Pemilihan umum 1954.
Berdasarkan akta pemilihan ini kesalahan dalam pemilihan umum itu terbagi
menjadi tiga jenis, yaitu :99
a. Kesalahan yang dinamakan kesalahan pemilihan umum.
b. Kesalahan disebabkan karena melakukan perbuatan yang tidak jujur, dan Kesalahan
dengan sebab melakukan perbuatan yang salah.
Kesalahan Pemilihan Umum
Seorang yang melakukan kesalahan pemilihan umum itu boleh ditangkap
tanpa surat perintah.100 Tetapi dakwaan yang ditujukan kepadanya tidak dapat di
lakukan melainkan setelah mendapatkan bukti yang benar dari orang yang
mengadu.101 Siapa yang melakukan kesalahan pemilihan umum, jika terbukti
kesalahannya, dapat dihukum penjara kurang lebih dari tiga tahun atau denda kurang
lebih dari 2000 ringgit Malaysia atau pun bisa dikenakan kedua-duanya. Selain
hukuman ini, orang yang terbukti kesalahannya tidak boleh menjadi pemilih atau
98 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 190 99 Ibid. 100 Pasal 6 Ayat 2 Undang-Undang Malaysia 101 Pasal 6 Ayat 4 undang-Undang Malaysia
calon selama lima tahun mulai dari tanggal terbuktinya kesalahan atau pada tanggal
dia dibebaskan dari penjara.
Perbuatan-perbuatan yang dianggap menjadi kesalahan pemilihan umum ialah
seperti dibawah ini:102
1. Telah membuat pernyataan palsu tentang permohonan pendaftaran pemilih.
2. Telah memalsukan kertas suara atau dengan niat hendak menipu, telah merusak
atau telah menyerahkan kertas suara yang dia telah mengetahui bahwa surat suara
itu dipalsukan.
3. Telah memalsukan atau meniru atau dengan niat hendak menipu telah merusak
atau menghilangkan kertas suara atau tanda resmi yang ada pada kertas suara itu.
4. Tanpa memiliki wewenang telah memberi kertas suara kepada seseorang.
5. Telah menjual atau membeli kertas suara.
6. Memasukan benda-benda atau kertas suara ke dalam kotak suara yang tidak
diperbolehkan oleh undang-undang.
7. Tanpa memiliki wewenang telah membawa keluar kertas suara dari tempat
memilih atau telah ditemukan kertas suara di luar tempat pemilihan.
8. Tanpa memiliki wewenang telah menghilangkan,mengambil,membuka atau
dengan jalan apapun telah menggangu kotak suara.
9. Tanpa memiliki wewenang telah menandai kertas suara atau kertas yang boleh
dijadikan atau digunakan sebagai kertas suara dalam pemilihan umum.
Perbuatan Tidak Jujur
Perbuatan yang dianggap tidak jujur terbagi menjadi lima jenis, yaitu:103
a. Menyamar artinya bukan orang yang sesungguhnya telah terdaftar dalam daftar
pemilih.
102 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 191 103 Ibid. h.195-98
b. Menyogok dan memberi sesuatu kepada seseorang baik berupa uang, makanan
maupun minuman sehingga orang tersebut terpengaruh.
c. Pengaruh yang tidak jujur.
d. Korupsi, dan
e. Perbuatan-perbuatan berlebihan di media iklan.
BAB IV
ANALISIS KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN PEMILU
DI MALAYSIA
D. Beberapa Hal Kesesuaian Pelaksanaan Pemilu Malaysia dengan Ketatanegaraan
Islam.
Sebagai agama yang paripurna, Islam tidak hanya mengatur dimensi hubungan
antara manusia dengan khaliknya, tetapi juga antara sesama manusia. Islam adalah agama
universal artinya semua nilai-nilai yang diajarkan dapat dipraktekan dalam kehidupan sosial
bermasyarakat dan bernegara. Di antara nilai-nilai yang dapat di jadikan sandaran berpijak
adalah nilai musyawarah, nilai keadilan, nilai persamaan, nilai amanah dan masih banyak lagi
nilai-nilai yang terkandung di dalam Islam yang dapat di selenggarakan dalam pemerintahan.
Kemudian apakah nilai-nilai tersebut dapat dilaksanakan di negara-negara demokrasi seperti
halnya Malaysia. Di dalam konstitusinya dijelaskan bahwa Malaysia merupakan sebuah
Negara kerajaan yang mengamalkan sistem demokrasi. Umumnya negara yang menganut
paham demokrasi mencantumkan adanya penegakkan hak asasi manusia, dimana dalam
melaksanakan hak asasi manusia harus adanya nilai-nilai persamaan, keadilan, serta adanya
pelaksanaan pemilihan umum agar terpeliharanya sebuah negara yang berdemokrasi.
Prinsip-prinsip konstitusional seperti nilai musyawarah, nilai keadilan, dan nilai
persamaan dianggap seperti hak-hak Allah dalam bidang politik, karena sejauh mana hal itu
dianggap sebagai hak umat Islam untuk menuntut para penguasa agar menghormati prinsip-
prinsip konstitusional atau etika-etika politik ini. Prinsip-prinsip utama menurut sebagian
ulama kontemporer dari para ahli fikih syariat104 adalah tidak zalim, adil, musyawarah, dan
persamaan. Namun, menurut sebagian ulama lagi adalah keadilan (Al-‘Adalah), musyawarah,
dan taat kepada ulil amri terhadap perintah yang disenangi orang mukmin atau yang dibenci,
104 Abdul Wahab Khallaf, As-Siyasah Asy-Syar’iyah, cetakan tahun 1931, hal. 19
kecuali bila dia memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh
mendengarkannya dan taat kepadanya. Ada satu pendapat lain lagi yang menyatakan bahwa
prinsip-prinsip utama itu adalah sebagai berikut :
4. Musyawarah dalam hal apa saja yang wajib dimusyawarahkan dari urusan-urusan umat
Islam.
5. Sikap tidak zalim dari penguasa tertinggi, dari para pemimpin, dan dari bawahannya.
6. Meminta bantuan orang-orang kuat dan terpercaya dalam segala hal yang penguasa
tertinggi wajib meminta bantuan dalam hal itu.
Dr. Abdul Hamid Mutawalli dan Dr. Muhammad Salim Al-Awa sangat sepakat dalam
hal prinsip-prinsip utama ini. Dr. Abdul hamid Mutawalli meletakkan di awalnya
musyawarah dan keadilan, lalu persamaan dan kebebasan, kemudian tanggung jawab ulil
amri. Sementara Dr. Muhammad Salim Al-Awa sama sepertinya, namun dia menambahkan
wajib taat.
Malaysia ialah sebuah negara yang mempunyai banyak agama. Rakyat di negara ini
mengamalkan agama-agama yang berlainan seperti agama Islam, Hindu, Buddha, Kristian
dan kepercayaan lain. Orang Melayu hanya menganut satu agama yaitu Islam. Adalah asing
bagi orang Melayu bahwa seorang bangsa Melayu itu tidak menganut agama Islam.
Mengaitkan agama secara sepenuhnya dengan negara adalah dasar di dalam pemikiran orang
Melayu sehingga agama Islam telah menjadi suatu unsur yang penting dalam pengertian
“Melayu” menurut Undang-undang dan Perlembagaan pasal 160 mengartikan seorang
“Melayu” sebagai seorang yang beragama Islam, biasa berbicara dengan bahasa Melayu dan
menurut adat istiadat Melayu.105 Agama Islam telah menjadi agama orang Melayu sejak lebih
dari 500 tahun yang lalu. Agama Islam pertama kali dibawa kesini oleh pedagang-pedagang
Arab melalui India dan mendarat di pantai Malaka pada abad ke-15 atau mungkin lebih awal
lagi. Sejak itu orang Melayu memeluk agama Islam. Budaya Islam yang sangat kuat
105 Ini diambil dari defenisi yang diberi oleh pasal 2 Enakmen Kerakyatan Negeri-negeri Melayu yang disahkan pada tahun 1952 untuk menambah penjelasan kewarganegaraan dalam perjanjian Persekutuan Tanah melayu 1948.
pengaruhnya terhadap kehidupan sosial bermasyarakat di Malaysia juga berpengaruh kepada
hal-hal yang berkaitan dengan praktek kenegaraan.
Salah satu hal yang membuktikan bahwa Malaysia begitu kuat dengan nilai-nilai
keislamannya adalah dalam melaksanakan pemilihan umum, dimana dalam teorinya banyak
mengadopsi nilai-nilai ketatanegaraan Islam. Seperti telah disebutkan diatas bahwa nilai-nilai
ketatanegaraan Islam baik berupa nilai musyawarah, nilai keadilan, nilai persamaan dapat
diterima dan dilaksanakan di negeri Malaysia.
Kemudian dibuktikan pula dari penerapan nilai ketatanegaraan adalah nilai
musyawarah, kalau kita melihat praktek nilai musyawarah dalam Islam di jalankan fungsinya
oleh Ahlu Halli wal Aqdi sebagai lembaga representasi (perwujudan) dari rakyat di Malaysia
juga dikenal istilah Parlemen, yaitu suatu badan perundangan bagi Malaysia dan terdiri dari
tiga unsur, Yang di-Pertuan Agung dan dua majelis parlemen yaitu Dewan Negara dan
Dewan Rakyat.106
Selanjutnya adalah penerapan nilai keadilan juga dapat dilihat dari penyelenggaraan
pemilihan umum yang dilaksanakan di Malaysia, dimana lembaga yang dinamakan
Suruhanjaya Pilihan Raya di dalam visi dan misi dalam menjalankan pemilihan, yaitu Visi
dari SPR adalah memelihara dan menjalankan sistem demokrasi berparlemen di Malaysia
melalui pemilihan umum yang adil, cakap dan tulus. Sedangakn misi dibentuknya badan SPR
adalah untuk memastikan rakyat Malaysia berpeluang untuk memilih wakil-wakil mereka
untuk membentuk Negara dan memelihara hak melalui pemilihan umum yang bebas serta
adil.107
Pada akhirnya penulis memberikan analisa mengenai pengaruh ketatanegaraan Islam
terhadap pelaksanaan pemilu di Malaysia adalah penyerapan nilai-nilai berupa nilai
musyawarah, nilai keadilan dan nilai persamaan dalam hal ini hanya sebatas teori.
106 Pasal 44 Perlembagaan Malaysia. 107 Laporan Tahunan SPR, Tahun 2005, hal. 4-5
E. Beberapa Hal Ketidaksesuaian Pelaksanaan Pemilu Malaysia dengan
Ketatanegaraan Islam.
Islam mengajarkan kepada para pemimpin untuk berlaku adil dalam menetapkan
hukum hal ini dapat dijumpai di dalam surat An-Nisaa’ ayat 58:
⌧
☺ ☺ …………………….
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkan dengan adil………. (Q.S An-Nisaa’ ayat 58)
Ayat diatas merupakan sebuah perintah yang ditunjukkan kepada para pemimpin
baik itu sebagai eksekutif, legislatif maupun yudikatif apabila menetapkan sebuah hukum itu
harus seimbang (adil) tidak berat sebelah dan memihak. Ada sebuah pendapat yang
mengatakan bahwa lebih baik dipimpin oleh pemimpin non-muslim apabila didalamnya
menerapkan nilai keadilan daripada dipimpin oleh orang muslim yang zalim dan tidak
menjalankan nilai keadilan. Hal tersebut menandakan bahwa nilai keadilan itu sangat esensi
sekali dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kemudian Ibnu Taimiyah berkata : Jujur dalam setiap ucapan dan berlaku adil dalam
perkataan dan perbuatan, cocok di setiap keadaan. Jujur dan adil ini selalu berdampingan.108
Bahkan penerapan nilai musyawarah adalah dasar hukum dalam Islam dan jalan kehidupan
kaum muslimin, yang pada hakikatnya berlandaskan keadilan yang sangat bertentangan
sekali sekali dengan kesewenang-wenangan penguasa dan tidak mengikutsertakan rakyat
dalam membahas perkara. Nilai “mengkritik penguasa” termasuk diantara tuntutan keadilan.
Rakyat adalah yang memilih penguasa agar dia melaksanakan hukum-hukum syariat dan
108 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta : Amzah, 2005) Cetakan pertama, hal. 201
memperhatikan kemaslahatan mereka. Begitu juga halnya dengan nilai “persamaan hak” dan
kebebasan serta hak asasi manusia, sesungguhnya berlaku adillah dasarnya.109
Problematika Dalam Pelaksanaan Pemilu di Malaysia
Setiap negara yang menjalankan proses demokrasi biasanya mendapatkan tantangan-
tantangan, salah satunya di Negara Malaysia seperti telah disebutkan diatas Malaysia
merupakan negara yang berdasarkan sistem demokrasi yang berparlemen. Salah satu
problematika yang merupakan tantangan dari penegakan demokrasi di Malaysia diantaranya
adalah pelaksanaan pemilihan umum.
Di dalam pelaksanaan pemilihan umum ini banyak sekali terjadi penyimpangan-
penyimpangan mulai dari badan pelaksana yang diamanahkan oleh negara (SPR) dimana
lembaga ini membawa visi dan misi, kita tahu visi SPR adalah memelihara dan
menjalankan sistem demokrasi berparlemen di Malaysia melalui pemilihan umum yang
adil, cakap dan bersih sedangkan misi adalah untuk memastikan rakyat Malaysia
berpeluang untuk memilih wakil-wakil mereka untuk membentuk Negara dan memelihara
hak melalui pemilihan umum yang bebas serta adil. Namun dalam prakteknya terdapat
permasalahan yang timbul, hal ini dibuktikan sendiri oleh SPR di dalam sebuah laporan
yang diterbitkan oleh badan itu.
Di dalam buletin itu SPR menyebutkan dari hasil penelitiannya mengenai alamat
pemilih, dimana terdapat alamat pemilih yang didaftarkan lebih daripada tujuh orang dalam
satu alamat. Penyelidikan ini ini diterima oleh SPR setelah menerima pengaduan dari
banyak orang yang menyatakan terdapat banyak pemilih yang banyak terdaftar di alamat
pada beberapa wilayah pemilihan,110 hal ini bertentangan dengan pasal 119 (2), mengenai
penduduk tetap yang terdaftar dalam pemilihan umum harus terdaftar hanya dalam satu
wilayah, tidak terdaftar di wilayah lain.
109 Ibid 110 Suruhanjaya Pilihan Raya, Laporan Tahunan 2005, h. 154
Dalam penemuan mengenai hal ini juga terjadi pada tanggal 31 Desember 2005,
ditemukan sebanyak 37.946 alamat, yang termasuk alamat yang jelas dalam pengkajian
pokoknya yang mengikutsertakan 365.311 orang pemilih dan sisanya merupakan alamat
yang belum pasti kejelasannya.
Contoh diatas merupakan problematika yang harus diperbaiki oleh pemerintahan
Malaysia sehingga dikemudian hari dapat memperbaiki proses pemilihan umum yang lebih
adil, bersih dan jujur sebagaimana visi dan misi dari lembaga yang menjalankan pemilihan
umum Suruhanjaya Pilihan Raya.
Beberapa waktu lalu tepatnya pada tanggal 10 November 2007 di Malaysia terjadi
aksi besar-besaran yang menentang pemerintahan Malaysia, mereka menamakan Himpunan
Aman tidak mengganggu keselamatan Awam (Bersih). Berikut adalah memorandum Bersih
kepada Yang di-Pertuan Agung, yang disampaikan kepada wakil baginda pada malam 10
November 2007 setelah konpoi masa lebih dari 100.000 rakyat Malaysia yang merasa
prihatin dengan kondisi Malaysia saat ini. Bersih merasakan perlu bagi semua rakyat untuk
bahu membahu mengumpulkan tenaga untuk membawa perubahan menyeluruh dalam
proses pemilihan umum. Pihak Bersih mengagendakan perubahan jangka panjang dan tiga
sasaran kerja dengan segera, dan dalam perubahan jangka panjang itu terdapat beberapa
aspek yang perlu dikaji dan diadakan perubahan, diantaranya:111
c. Sistem Pemilihan Umum
Beberapa hal yang mendasari agar dilakukan perubahan dalam sistem pemilihan
umum, adalah :
1). Adalah perlu untuk membetulkan ketidakseimbangan yang tinggi antara pilihan
rakyat dan kursi yang diperebutkan dalam pemilihan umum, dimana suara sebanyak
64 perseratus boleh diartikan dengan 91 perseratus kursi bagi partai pemerintah. Ini
disebabkan pemilihan berlandaskan prinsip first past the post.
111 Diambil dari harian Fikrah Harakah pada tanggal 16 – 30 November 2007, h. 17
2). Adalah perlu memperkenalkan satu sistem yang mendaftarkan semua perwakilan
partai, agar jumlah wanita minimal 30 persen di parlemen dapat terjamin.
3). Adalah perlu memperkenalkan kembali pemilihan umum dengan sistem pemilihan
yang adil, termasuk memberikan kesempatan yang lebih kepada keterlibatan wanita
dan kelompok terpinggir dalam masyarakat.
d. Pelaksana Pemilihan Umum
1). Adalah perlu untuk merubah SPR yang ternyata gagal bertindak sebagai sebuah
institusi yang bebas dengan bergerak kearah struktur perwakilan untuk semua
partai sebagaimana dilaksanakan di negara yang demokrasi.
2). Memberi hak undang-undang yang berkaitan dengan hak pemantau internasional
dan nasional.
e. Penamaan Calon dan Pendaftaran Partai
Ketimpangan berikut harus diperbaiki :
1). Keputusan berat sebelah dan sewenang-wenangnya oleh petugas pelaksana
pemilihan umum yang akhirnya akan menghapus kelayakan calon-calon yang
kontra terhadap partai pemerintah ini adalah perbuatan tidak adil.
2). Pendapat kontroversi yang membenarkan calon menarik diri selepas penamaan yang
akhirnya membawa kepada fitnah manipulasi dan kemenangan tanpa berkompetisi.
3). Bagi orang yang memiliki banyak uang secara langsung akan menghalangi
keikutsertaan warga Malaysia yang kurang sumber keuangannya.
f. Kampanye Pemilihan Umum
Pengaturan undang-undang bagi masalah-masalah berikut :
1). Menetapkan satu waktu berkampanye wajib yang lebih panjang dari waktu 8 hari
berkampanye dalam pemilihan umum, dimana 8 hari kurang berdampak langsung
kepada rakyat.
2). Memberikan hak kebebasan bersuara dan berkumpul yang sebenarnya diatur di
dalam Undang-Undang Dasar Malaysia.
3). Pengawasan secara ketat dan menyeluruh dalam proses pembiayaan kampanye agar
tidak terjadi korupsi dalam pendanaan kampanye.
g. Media
1). Merubah undang-undang yang hanya membolehkan media cetak dan lembaga
penyiaran di monopoli oleh partai pemerintah (Barisan Nasional).
2). Jaminan undang-undang untuk membolehkan semua partai politik mendapat akses
atau memberikan informasi melalui TV dan radio agar dapat sampai kepada rakyat
secara adil.
3). Jaminan undang-undang untuk menjamin hak semua partai politik dan calon untuk
menjawab segala bentuk tuduhan dan kritikan yang dilontarkan kepada mereka.
h. Daftar Pemilih
Mengenai daftar pemilih ada hal-hal yang harus diperhatikan, seperti :
1). Daftar pemilih perlu diperbaharui dengan tepat, untuk menghindarkan, pertama,
pencoretan dan pemindahan secara tidak sukarela para pemilih yang sah, dan kedua,
pemalsuan dan pemilihan dua kali oleh “pemilih hantu”.
2). Semua rakyat yang sudah layak memilih perlu secara automatik didaftarkan sebagai
pemilih.
i. Suara
1). Melaksanakan penyelenggaraan tinta jari untuk menghindari pemilihan dua kali.
2). Mengambil sistem pemilihan pos kecuali untuk para diplomat dan pemilih yang
berada di luar negara.
Untuk jangka terdekat, Bersih menyeru kepada ketua dan pelaksana SPR, Tan
Sri Abdul Rashid Abd Rahman dan Dato’kamaruzaman Mohd Noor untuk melaksanakan
empat pembaharuan yang diperlukan dan harus dilaksanakan secara serentak :
1). Mengawali pembaharuan daftar pemilih yang lengkap demi memastikan segala
kesalahan dan ketimpangan yang ada harus dihapuskan.
2). Penggunaan Tinta jari untuk menghindari pemilih dua kali mencoblos.112
3). Menggunakan sistem pemilihan pos kecuali untuk para diplomat dan pemilih lain yang
berada diluar negeri.
4). Akses media yang adil kepada semua pihak dalam pemilihan umum.
SPR Batal Menggunakan Tinta Jari Untuk Pemilihan Umum Raya Ke-12
Seperti yang diberitakan dalam salah satu surat kabar di malaysia, bahwa
Suruhan Jaya Pilihan Raya (SPR) membatalkan rencana menggunakan tanda tinta jari
permanen atau jari tangan pemilih pada Pemilihan Raya Umum 8 April 2008. Ketua
SPR Tan Sri Abdul Rahman Rashid Abdul Rahman ketika mengumumkan masalah itu
berkata, keputusan itu dibuat pada musyawarah berdasarkan nasihat dari segi
perundangan serta aspek ketenteraman dan keselamatan rakyat.113
Hasil penyelidikan terhadap laporan yang diajukan kepada Polisi, mengesahkan
bahwa terdapat pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab telah membeli tinta dari luar
negeri untuk menjalankan aktivitas membujuk dan menyogok orang yang kurang
paham mengenai penggunaan tinta untuk digunakan sebelum hari memilih.
SPR merasa kecewa atas keputusan yang dibuat ini. Namun begitu, demi
menunaikan kewajiban dan tanggungjawabnya dalam menjamin kelancaran proses
112 Ini adalah tuntutan rakyat Malaysia yang mengatasnamakan bersih, tuntututan ini terjadi pada saat
sebelum pelaksanaan pemilihan umum raya ke 12. Kemudian pada saat sebelum pemilihan di dalam panduan pemilih yang diterbitkan oleh SPR ada keikhlasan dan keadilan yang di dalamnya memuat tentang pengunaan tinta.
113 “SPR Batal Cadangan Guna Dakwat”, Sinar Harian, 5 Maret 2008.
pemilihan dan ketenteraman dan keselamatan rakyat. SPR perlu mengambil keputusan
tegas dan mengikat ini.114
Ketua SPR menjelaskan bahwa SPR ingin menjadikan (tinta) sebagai sistem
sebagaimana telah dijelaskan di dalam buku Seri Panduan Memilih yang di dalamnya
ada sistem keikhlasan dalam menggunakan tintan permanen. Namun keadaan yang
tidak memungkinkan penggunaan tinta. Jadi harus sabar, jangan menuduh SPR tidak
mahu melaksanakannya SPR mahu berbuat apa saja sebab kita tahu tidak akan ada
penipuan tetapi orang masih mengatakan ada penipuan, saya tidak pernah terima
sembarang bukti berlaku penipuan.
F. Analisis Ketetanegaraan Islam Terhadap Pengangkatan Kepala Negara
Hampir semua ahli sejarah Islam sepakat bahwa persoalan pertama yang muncul
dalam sejarah umat Islam adalah masalah poltik atau persoalan imamah, yakni masalah
penggantian Nabi Muhammad selaku kepala negara. Persoalan ini juga yang kemudian
melahirkan aliran-aliran dalam teologi. Telah jelas bahwa keberadaan imamah itu sangat
penting dalam pelaksanaan sebagian besar ajaran Islam, bahkan dapat dikatakan bahwa
imamah merupakan masalah yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama Islam, karena ada
beberapa ajaran Islam terutama masalah-masalah hukum yang tidak dapat terlaksana kecuali
dengan adanya imam atau kepala negara. Muthahari mengatakan, “tanpa imamah, seluruh
struktur Islam akan bercerai berai”. Begitu penting dan sentralnya kedudukan kepala negara
dalam ajaran Islam sehingga wajar jika masalah inilah yang pertama kali muncul ketika Nabi
Muhammad wafat.
Perbedaan pendapat masalah ini telah mewarnai sejarah kaum muslimin. Tidak ada
aspek-aspek ajaran Islam yang diiringi dengan polemik hebat dan berkepanjangan selain
masalah imamah, khususnya antara Syiah dengan Sunni. Di antara sekian polemik tersebut
114 Ibid, h.2
adalah tulisan al-Baqillani, “al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Muhidah wa al-Rafidah wa al-
Khawarij wa al-Mutazilah”, yang memuat bantahan terhadap doktrin khawarij, Mu’tazilah,
dan terutama Syi’ah. Ibnu Taimiyah, tokoh penting Sunni, yang menulis kitab Minhaj al-
Sunnah al-Nabawiyah fi Naqd Kalam al-Syi’ah wa al-Qadariyah sebagai bantahan atas karya
Jamaluddin al-Muthahar al-Hilli, yang beraliran Syi’ah, MInhaj al-Karamah fi Ma’rifat al-
Imamah. Karya Syarafuddin al-Musawi, al-Muraja’at, juga berkenaan dengan polemik ini.
Ada beberapa cara pengangkatan kepala negara yang berdasarkan ketatanegaraan
Islam
1. Pengangkatan Kepala Negara dengan Penetapan
Kaum Syi’ah berkeyakinan bahwa imamah adalah rukun agama, karena itu
tidak mungkin Nabi mengabaikannya dan menyerahkan persoalan imamah kepada
umat. Menurut Syi’ah, imam itu ma’shum dari dosa besar dan kecil. Ali adalah orang
yang sudah ditetapkan Nabi.115 Keyakinan ini dapat ditemukan pada beberapa
penjelasan hadits, diantaranya “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai
pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya”.116
Kalangan Syi’ah Imamiyah juga berkeyakinan bahwa rangkaian imam terdiri
dari dua belas orang, yaitu :
1). Ali bin Abi Thalib
2). Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib
3). Abu Abdillah Husain bin Ali bin Abi Thalib (Sayyid al-Syuhada).
4). Abu Muhammad Ali bin Husain (Zainal Abidin)
5). Abu Ja’far Muhammad bin Ali (al-Baqir)
6). Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad (al-Shadiq)
7). Abu Ibrahim Musa bin Ja’far (al-Kadhim)
115 Ridwan HR, Fiqih Poliik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), Yogyakarta, FH UII Press, 2007,
cet. Pertama, h.249. 116 Ibid, h.. 250
8). Abul Hasan Ali bin Musa
9). Abu Ja’far Muhammad bin Ali
10). Abul Hasan Ali bin Muhammad
11). Abu Muhammad Hasan bin Ali
12). Abul Qasim Muhammad bin Hasan
2. Pengangkatan Kepala Negara dengan Ikhtiar
Golongan yang meyakini pengangkatan imam dengan ikhtiyar adalah Ahlu
Sunnah wal Jama’ah, Mu’tazilah, Khawarij, dan Murji’ah.117 Madzhab Ahu Sunnah
wal Jamaah berpendapat bahwa pengangkatan imam itu dilakukan melalui pemilihan
dan kesepakatan ahlul halli wal aqdi serta harus dari keturunan Quraisy. Kalangan
Mu’tazilah mengatakan bahwa mengangkat imam itu wajib dan dengan cara
pemilihan, tanpa mensyaratkan asal usul ketutunan. Siapa pun bisa jadi imam dengan
syarat mampu melaksanakan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah rasulullah, seorang
mukmin, dan adil.
Meskipun umat Islam selain Syi’ah secara umum telah menyepakati
pengangkatan imam melalui pemilihan, namun di dalamnya ditemukan sejumlah
perbedaan tentang cara pemilihan dan jumlah pemilih. Ada yang menyebutkan harus
dipilih oleh 40 orang, tetapi ada yang menyebutkan 6 orang, 4 orang, 3 orang, 2
orang, bahkan 1 asalkan ia seorang mujtahid.118
Sehubungan dengan tidak adanya ketentuan baku tentang pengangkatan imam,
dan keberadaan imamah yang merupakan masalah publik, maka terhadap masalah
publik Al-Qur’an menganjurkan agar bermusyawarah. Bagaimana musyawarah
dilakukan, apakah dengan sistem perwakilan melalui ahlul halli wal aqdi atau secara
langsung, hal itu diserahkan kepada manusia dan dapat disesuaikan dengan tuntutan
tempat dan keadaan (muqtadha al-hal wa al-mahal). Dengan demikian dapat
117 Ibid, h. 256 118 Ibid, h.257
dikatakan Negara Malaysia yang mayoritas penduduknya Muslim dan dalam
prakteknya menggunakan pemahaman kepada ahlu sunnah wal jamaah sudah
semestinnya dalam menjalankan pemerintahan untuk menentukan kepala eksekuti
(pemerintahan) dengan jalan ikhtiyar (pemilihan).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan dan menjelaskan mengenai nilai-nilai ketatanegaraan Islam
dalam pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia (studi: kinerja Suruhanjaya Pilihan Raya
dalam pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia), maka pada akhir uraian penulis dapat
menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan tema tersebut :
1. Secara umum dalam ketatanegaraan Malaysia terdapat nilai-nilai ketatanegaraan Islam,
hal ini dapat dilihat bahwa konsep musyawarah, persamaan dan keadilan sudah berjalan
sebagaimana mestinya, namun demikian dalam praktek masih terdapat ketidaksesuaian.
2. Dalam hal pengangkatan kepemimpinan kepala Negara di Malaysia yang menjalankan
system kenegaraannya menganut monarki konstitusional, raja sebagai kepala negara
adalah payung kepada rakyat, dan kemudian untuk menjalankan pemerintahan
dilaksanakan oleh Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan yang dipilih melalui
pemilihan umum. Hal ini dapat dilihat dalam ketatanegaraan Islam terutama yang
dilaksanakan oleh khulafaur rasyidun, di mana mereka diangkat menjadi khalifah atau
kepala Negara dengan menggunakan jalan pemilihan mulai dari khalifah Abu Bakr As-
Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
3. Kinerja SPR menurut pandangan penulis sudah berjalan dengan baik hal ini di dapat dilihat
dengan terlaksanannya pemilu baru-baru ini tahun 2008 yang berjalan tertib dan aman,
dapat dilihat dari hasil kursi dari pemilihan yang memberikan tempat dan kedudukan
kepada pihak oposisi yang memenangi 5 negara bahagian (Kelantan, Kedah, Selangor,
Perak, dan Pulau Pinang) ini merupakan sejarah baru di negeri Malaysia sehingga dengan
demikian sudah jelaslah fungsi SPR sebagai lembaga yang independent telah berjalan
dengan semestinya. namun demikian ada beberapa hal yang menjadi catatan yang harus
diperbaiki di antaranya harus memiliki ketetapan yang kuat seperti adanya laporan tahunan
yang diterbitkan SPR untuk panduan pemilih yang di dalamnya ada beberapa hal yang
harus di laksanakan seperti penggunaan tinta jari, kelemahan dalam penulisan daftar
pemilih. Kami percaya SPR telah memperbaiki semua kesalahan-kesalahan yang telah lalu
dan berusaha menjadi lembaga yang lebih baik dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
SPR telah berjaya sebagai wasit dalam pelaksanaan pemilu di Malaysia dan telah
menerapkan nilai-nilai Islami yang terdapat di dalam ketatanegaraan Islam.
B. Saran-saran
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai pelaksanaan pemilihan umum di
Malaysia, di mana Malaysia merupakan negara yang di dalamnya mengakui keberadaan
hukum Islam, maka perlu kiranya ada penyesuaian nilai-nilai ketatanegaraan Islam dalam
praktek pelaksanaan pemilihan umum Malaysia. Di bawah ini merupakan suara hati nurani
penulis sebagai warga negara Malaysia dalam hal usaha perbaikan untuk perubahan Malaysia
kearah yang lebih baik, yaitu:
1. Ditunjukkan kepada pihak Suruhanjaya Pilihan Raya :
1) Suruhanjaya Pilihan Raya haruslah mendengarkan aspirasi rakyat, dan tidak berat
sebelah sehingga menimbulkan ketidak seimbangan antara partai pendukung
pemerintah dan partai oposisi dalam hal peyebaranluasan isu-isu berkaitan dengan
penengakkan demokrasi di Malaysia.
2) Perbaikan terhadap sistem pemilihan umum, membetulkan ketidakseimbangan
yang tinggi antara pilihan rakyat dan kursi yang diperebutkan dalam pemilihan
umum, dimana suara sebanyak 64 perseratus boleh diartikan dengan 91 perseratus
kursi bagi partai pemerintah. Ini disebabkan pemilihan berlandaskan prinsip first
past the post. Kemudian memperhatikan kedudukan wanita di parlemen.
3) Harus ada perbaikan dalam hal pendaftaran calon pemilih, sehingga dikemudian
hari tidak terjadi hal-hal seperti yang sudah-sudah.
4) Menggunakan tinta jari setelah melakukan pencoblosan, sehingga tidak akan
terjadi pemilihan dua kali.
2. Ditunjukkan kepada pemerintah Malaysia supaya mengawal pelaksanaan pemilihan
umum secara adil, bebas dan independent. Selain itu agar dilakukan pelatihan-
pelatihan dan tatacara pemilihan umum yang baik dan benar.
3. Kepada para pemilih agar memilih sebuah pilihan berdasarkan hati nurani sesuai
dengan keinginan perubahan.
4. Kepada partai-partai politik agar senantiasa memberikan contoh kepada para
pemilihnya untuk bersikap baik,benar dan sesuai dengan keinginan rakyatnya.
Walaupun terdapat banyak permasalahan dalam penyelenggaraan pemilihan umum,
penulis menghargai semua jerih payah yang telah di lakukan oleh Suruhanjaya Pilihan
Raya, namun saran-saran diatas merupakan sesuatu yang harus diterima dan direspon oleh
pemerintah sehingga mencerminkan bahwa Malaysia merupakan Negara yang
berdasarkan demokrasi. Hal ini telah dibuktikan dalam pilihan raya ke-12 tahun 2008
dimana fungsi dari SPR telah berjalan dengan baik tanpa adanya kecurangan, penulis juga
yang pernah menjadi seorang agen dan juga pemilih telah mengikuti dan melihat semua
perkembangan yang dilaksanakan oleh seluruh petugas SPR yang telah menunjukkan
komitmen yang tinggi dan bekerja dengan amanahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Khaliq, Farid, Fikih Politik Islam, Jakarta: Amzah, 2005 Abdul Qadir Abu Faris, Muhammad, Dr, Fiqh Siasah (menurut Imam Syahid Hassan Al-
Banna), (Kuala Lumpur;Pustaka Syuhada), Cet.Pertama, 2000 Abdurrahman, A. Said ‘Aqil Humam, Hukum Islam Seputar (Pemilu dan Parlemen), (Bogor:
Al-Azhar Press), Cet. Pertama, 2004 Abbas, Mahmud Al-Aqqad, Kejeniusan Utsman Bin Affan, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002 An-Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Pemerintahan Islam (Doktrin Sejarah Empirik), Bangil
Jatim:Al-Izzah, cet. pertama, 1997 Al-Mubarok, M, Sistem Pemerintahan dalam Persfektif Islam, Ter. Firman Harianto, Solo:
Pustaka Mantiq, 1995 Al-Mawardi, Abu Hasan Ali Ibnu Muhammad, al-Ahkam as-Sulthaniyah, Beirut: Dar Al
Fikr, 1960 Al, Maududi, Abu A’la, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1990 Awang, Abdul Hadi, Sistem Pemerintahan Negara Islam, Pulau Pinang: Dewan Muslimat
Sdn, Bhd, 1995 Aziz, Abdul Ghafar, Islam Politik (Pro dan Kontra), Jakarta: Pustaka Firdaus, tt Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’anul Karim dan Terjemah (Bandung; PT.
Syamil Cipta Media),tt. Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara, Jakarta: Paramadina, 1998 HR, Ridwan, Fiqih Poliik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), Yogyakarta, FH UII Press,
cet. Pertama, 2007. Ismail, Yahya Dr, Hubungan Penguasa dan rakyat (Dalam Perspektif Sunnah ), Jakarta;
Gema Insani Press, Cet. Pertama, 1995 Ibn, Khaldun, Muqaddimah, Penterjemah Ahmadie Thoha, ( Jakarta: Pustaka Firdaus), cet.
VII, 2008 Ka’bah, Rifyal, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, Jakarta: Khairul Bayan, 2005 Kamaruzaman, Datuk bin Haji Mohd Noor, Ketelusan Urusan Penamaan Calon Dalam
Pilihan Raya, (Suruhanjaya Pilihan Raya ), 2007
Laws Of Malaysia, Akta Pilihan Raya 1958 (Akta 19 ), Kuala Lumpur: Percetakan Nasional
Malaysia Berhad, 2004 Laws Of Malaysia, Peraturan-peraturan Pilihan Raya (Penjalanan Pilihan Raya) 1981 P.U
(a) 386/1981. Kuala Lumpur: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 2004 Mohd Salleh Abas, Tun, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia,
Ampang/Hulu Kelang Selangor: Darul Ehsan; Dawama Sdn.Bhd; 2006 Pulungan, Suyuti, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah (ditinjau dari
Pandangan Al-Qur’an), Jakarta;RajaGrafindo, Cet. Pertama, 1994 Qardhawi, Yusuf, Dr, Fatwa-fatwa Kontemporer (jilid II), (Jakarta: Gema Insani Press), tt,
Rais, M, Dhiauddin Dr. Teori Politik Islam, Terj. Abdul Hayyie Al-Katani, dari buku An-
Nizhariyatu as-Siyasatu Islamah, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Salim, Abdul Muin, Fikih Siyasah : Konsep Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002 Shiddieqy Ash, Muhammad Hasbi, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1971 Shihab, M.Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1996 Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran), Jakarta: UI
Press, 1993 Suruhanjaya Pilihan Raya, Buku Panduan (Ejen Tempat Mengundi dan Ejen Mengira), 2003 Suruhanjaya Pilihan Raya, Laporan Tahunan Suruhan Jaya Plihan Raya, Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihan Raya di Malaysia, Kuala
Lumpur: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 2004 Taimiyah, Ibnu, Siyasah Syar’iyah (Etika Politik Islam), Surabaya: Risalah Gusti, 2005 WAMY, “Al-Mausu’ah Al-Muyassarah Fil Adyan Wal Madzahib Wal Ahzab Al-
Mu’ashirah”, (Riyadh: Dar An-Nadwah Al-Alamiyah), vol I.
Daftar Website dan Harian (Koran): 1. Fikrah Harakah (Koran Malaysia) 2. www.perisaidakwah.com 3. http://muhammadzulifan.multiply.com/journal/item/16 4. http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5950&Itemid=1
5. http://satriopinandito.wordpress.com/2007/12/18/menjemput-pemilu-2009/ 6. http://www.dw-world.de/dw/article/0,,3164582,00.html?maca=ind-rss-ind-all-1487-rdf 7. http://forum-politisi.org/aktivitas/article.php?id=317
Undang-Undang Republik Indonesia 1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG
PARTAI POLITIK 2. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG
PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 3. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008
TENTANG
PARTAI POLITIK
Menimbang : a. bahwa kernerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran
dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indones.ia Tahun 1945;
b. bahwa untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta demokratis dan berdasarkan hukum;
b. bahwa kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, aspirasi, keterbukaan, keadilan, tanggung jawab, dan perlakuan yang tidak diskriminatif dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu diberi landasan hukum;
b. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi
kebebasan yang bertanggung jawab;
b. bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik perlu diperbarui sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Partai Politik.
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 20, Pasal 22E ayat (3), Pasal 24C
ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok
warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Anggaran Dasar Partai Politik, selanjutnya disingkat AD, adalah peraturan dasar Partai Politik.
3. Anggaran Rumah Tangga Partai Politik, selanjutnya disingkat ART, adalah peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD.
4. Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
5. Keuangan Partai Politik adalah semua hak dan kewajiban Partai Politik yang dapat dinilai dengan uang, berupa uang, atau barang serta segala bentuk kekayaan yang dimiliki dan menjadi tanggung jawab Partai Politik.
6. Menteri adalah Menteri yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia. 7. Departemen adalah Departemen yang membidangi urusan hukum dan hak asasi
manusia.
BAB II PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK
Pasal 2
(1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris.
(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
(3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan ART serta
kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.
(4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit: a. asas dan ciri Partai Politik; b. visi dan misi Partai Politik; c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik; d. tujuan dan fungsi Partai Politik; e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; f. kepengurusan Partai Politik; g. peraturan dan keputusan Partai Politik; h. pendidikan politik; dan i. keuangan Partai Politik.
(5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
Pasal 3
(1) Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan hukum. (2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus
mempunyai: a. akta notaris pendirian Partai Politik; b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. kantor tetap; d. kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50%
(lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan; dan
e. memiliki rekening atas nama Partai Politik.
Pasal 4 (1) Departemen menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau verifikasi
kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (2).
(2) Penelitian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap.
(3) Pengesahan Partai Politik menjadi badan hukum dilakukan dengan Keputusan Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya proses penelitian dan/atau verifikasi.
(4) Keputusan Menteri mengenai pengesahan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
BAB III
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PARTAI POLITIK
Pasal 5
(1) Perubahan AD dan ART harus didaftarkan ke Departemen paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak terjadinya perubahan tersebut.
(2) Pendaftaran perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan akta notaris
mengenai perubahan AD dan ART.
Pasal 6 Perubahan yang tidak menyangkut hal pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) diberitahukan kepada Menteri tanpa menyertakan akta notaris.
Pasal 7 (1) Menteri mengesahkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 paling lama 14
(empat belas) hari terhitung sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap. (2) Pengesahan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri. (3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Pasal 8 Dalam hal terjadi perselisihan Partai Politik, pengesahan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) tidak dapat dilakukan oleh Menteri.
BAB IV
ASAS DAN CIRI
Pasal 9 (1) Asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Partai Politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-
cita Partai Politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Asas dan ciri Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan penjabaran dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
BAB V
TUJUAN DAN FUNGSI
Pasal 10 (1) Tujuan umum Partai Politik adalah:
a. Mewujudkan cita-cita nasional bartgsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Tujuan khusus Partai Politik adalah: a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka
penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara; dan c. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. (3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan
secara konstitusional.
Pasal 11 (1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana:
a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme
demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. (2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara
konstitusional.
BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 12
Partai Politik berhak: a. memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara; b. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri; c. memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan; d. ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
e. membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
f. mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
g. mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
h. mengusulkan pemberhentian anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
i. mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
j. membentuk dan memiliki organisasi sayap Partai Politik; dan k. memperoleh bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
Partai Politik berkewajiban: a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang - undangan; b. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. berpartisipasi dalam pembangunan nasional; d. menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia; e. melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya; f. menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum; g. melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban data anggota; h. membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang
diterima, serta terbuka kepada masyarakat; i. menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan
yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara berkala 1 (satu) tahun sekali kepada Pemerintah setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
j. memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum; dan k. menyosialisasikan program Partai Politik kepada masyarakat.
BAB VII KEANGGOTAAN DAN KEDAULATAN ANGGGTA
Pasal 14
(1) Warga negara Indonesia dapat menjadi anggota Partai Politik apabila telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin.
(2) Keanggotaan Partai Politik bersifat sukarela, terbuka, dan tidak diskriminatif bagi warga negara Indonesia yang menyetujui AD dan ART.
Pasal 15
(1) Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART.
(2) Anggota Partai Politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan serta hak memilih dan dipilih.
(3) Anggota Partai Politik wajib mematuhi dan melaksanakan AD dan ART serta berpartisipasi dalam kegiatan Partai Politik.
Pasal 16
(1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotannya dari Partai Politik apabila: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri secara tertulis; c. menjadi anggota Partai Politik lain; atau d. melanggar AD dan ART.
(2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Partai Politik.
(3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
ORGANISASI DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Pasal 17 (1) Organisasi Partai Politik terdiri atas:
a. organisasi tingkat pusat; b. organisasi tingkat provinsi; dan c. organisasi tingkat kabupaten/kota.
(2) Organisasi Partai Politik dapat dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain.
(3) Organisasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai hubungan kerja yang bersifat hierarkis.
Pasal 18
(1) Organisasi Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara. (2) Organisasi Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. (3) Organisasi Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/
kota.
BAB IX
KEPENGURUSAN
Pasal 19 (1) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara. (2) Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. (3) Kepengurusan Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota
kabupaten/kota. (4) Dalam hal kepengurusan Partai Politik dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau
sebutan lain, kedudukan kepengurusannya disesuaikan dengan wilayah yang bersangkutan.
Pasal 20
Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.
Pasal 21 Kepengurusan Partai Politik dapat membentuk badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya.
Pasal 22 Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART.
Pasal 23 (1) Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD
dan ART. (2) Susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan Partai Politik tingkat pusat
didaftarkan ke Departemen paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya pergantian kepengurusan.
(3) Susunan kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya persyaratan.
Pasal 24
Dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan Partai Politik hasil forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik, pengesahan perubahan kepengurusan belum dapat dilakukan oleh Menteri sampai perselisihan terselesaikan.
Pasal 25 Perselisihan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 terjadi apabila pergantian kepengurusan Partai Politik yang bersangkutan ditolak oleh paling rendah 2/3 (dua pertiga) dari jumlah peserta forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik.
Pasal 26
(1) Anggota Partai Politik yang berhenti atau yang diberhentikan dari kepengurusan dan/ atau keanggotaan Partai Politiknya tidak dapat membentuk kepengurusan dan/atau Partai Politik yang sama.
(2) Dalam hal dibentuk kepengurusan dan/atau Partai Politik yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberadaannya tidak diakui oleh Undang-Undang ini.
BAB X
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal 27 Pengambilan keputusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan secara demokratis.
Pasal 28 Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sesuai dengan AD dan ART Partai Politik.
BAB XI REKRUTMEN POLITIK
Pasal 29
(1) Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi: a. anggota Partai Politik; b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah; c. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden; dan d. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(2) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan.
(3) Penetapan atas rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD dan ART.
BAB XII
PERATURAN DAN KEPUTUSAN PARTAI POLITIK
Pasal 30 Partai Politik berwenang membentuk dan menetapkan peraturan dan/atau keputusan Partai Politik berdasarkan AD dan ART serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
BAB XIII
PENDIDlKAN POLITIK
Pasal 31 (1) Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup
tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dengan tujuan antara lain: a. meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
c. meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
(2) Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila.
BAB XIV
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PARTAI POLITIK
Pasal 32 (1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat. (2) Dalam hal musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai,
penyelesaian perselisihan Partai Politik ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
(3) Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase Partai Politik yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART.
Pasal 33
(1) Perkara Partai Politik berkenaan dengan ketentuan Undang-Undang ini diajukan melalui pengadilan negeri.
(2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
(3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung.
BAB XV
KEUANGAN
Pasal 34 (1) Keuangan Partai Politik bersumber dari:
a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. (2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa uang, barang,
dan/atau jasa. (3) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara.
(4) Bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b yang diterima Partai Politik berasal dari: a. perseorangan anggota Partai Politik yang pelaksanaannya diatur dalam AD dan
ART; b. perseorangan bukan anggota Partai Politik, paling banyak senilai
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran; dan
c. perusahaan dan/ atau badan usaha, paling banyak senilai Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) per perusahaan dan/ atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.
(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada prinsip kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab, serta kedaulatan dan kemandirian Partai Politik.
Pasal 36
(1) Sumber keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 merupakan pendapatan yang dapat digunakan untuk pengeluaran dalam pelaksanaan program, mencakup pendidikan politik, dan operasional sekretariat Partai Politik.
(2) Penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik dikelola melalui rekening kas umum Partai Politik.
(3) Pengurus Partai Politik di setiap tingkatan melakukan pencatatan atas semua penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik.
Pasal 37
Pengurus Partai Politik di setiap tingkatan organisasi menyusun laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah tahun anggaran berkenaan berakhir.
Pasal 38 Hasil pemeriksaan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 terbuka untuk diketahui masyarakat.
Pasal 39 Pengelolaan keuangan Partai Politik diatur lebih lanjut dalam AD dan ART.
BAB XVI
LARANGAN
Pasal 40 (1) Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama
dengan: a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah; c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional; d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; e. nama atau gambar seseorang; atau f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama,
lambang, atau tanda gambar Partai Politik lain. (2) Partai Politik dilarang:
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan; atau
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Partai Politik dilarang: a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa
pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; b. menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun
tanpa mencantumkan identitas yang jelas;
c. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
d. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya;atau
e. menggunakan fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagai sumber pendanaan Partai Politik.
(4) Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/ atau memiliki saham suatu badan usaha.
(5) Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme.
BAB XVII
PEMBUBARAN DAN PENGGABUNGAN PARTAI POLITIK
Pasal 41 Partai Politik bubar apabila: a. membubarkan diri atas keputusan sendiri; b. menggabungkan diri dengan Partai Politik lain; atau c. dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 42 Pembubaran Partai Politik atas keputusan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a dilakukan berdasarkan AD dan ART.
Pasal 43 (1) Penggabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b dapat
dilakukan dengan cara: a. menggabungkan diri membentuk Partai Politik baru dengan nama, lambang, dan
tanda gambar baru; atau b. menggabungkan diri dengan menggunakan nama, lambang, dan tanda gambar
salah satu Partai Politik. (2) Partai Politik baru hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. (3) Partai Politik yang menerima penggabungan Partai Politik lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b tidak diwajibkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Pasal 44
(1) Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 di beritahukan kepada Menteri.
(2) Menteri mencabut status badan hukum Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 45
Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Departemen.
BAB XVIII
PENGAWASAN
Pasal 46
Pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan oleh lembaga negara yang berwenang secara fungsional sesuai dengan undang-undang.
BAB XIX SANKSI
Pasal 47
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Departemen.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf h dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Pemerintah.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf i dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sampai laporan diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran berkenaan.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf j dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Komisi Pemilihan Umum.
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf e dikenai sanksi administratif yang ditetapkan oleh badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya.
Pasal 48
(1) Partai politik yang telah memiliki badan hukum melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan kepengurusan oleh pengadilan negeri.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan semen tara Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Partai Politik yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
(4) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya.
(5) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya.
(6) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara kepengurusan Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri serta aset dan sahamnya disita untuk negara.
(7) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dikenai sanksi pembubaran Partai Politik oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 49
(1) Setiap orang atau perusahaan danjatau badan usaha yang memberikan sumbangan kepada Partai Politik melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang disumbangkannya.
(2) Pengurus Partai Politik yang menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterima.
(3) Sumbangan yang diterima Partai Politik dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi batas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c disita untuk negara.
Pasal 50
Pengurus Partai Politik yang menggunakan Partai Politiknya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dituntut berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, atau huruf e, dan Partai Politiknya dapat dibubarkan.
BAB XX KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 51
(1) Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya.
(2) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), paling lama pada forum tertinggi pengambilan keputusan, Partai Politik pada kesempatan pertama sesuai dengan AD dan ART setelah Undang-Undang ini diundangkan.
(3) Partai Politik yang sudah mendaftarkan diri ke Departemen sebelum Undang-Undang ini diundangkan, diproses sebagai badan hukum menurut Undang-Undang ini.
(4) Penyelesaian perkara Partai Politik yang sedang dalam proses pemeriksaan di pengadilan dan belum diputus sebelum Undang-Undang ini diundangkan, penyelesaiannya diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
(5) Perkara Partai Politik yang telah didaftarkan ke pengadilan sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum diproses, perkara dimaksud diperiksa dan diputus berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XXI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 52
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 53 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 4 Januari 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Januari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 2
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik danan Kesejahteraan Rakyat,
Ttd
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG
PARTAI POLITIK
I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum.
Dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk menuntut peningkatan peran, fungsi, dan tanggung jawab Partai Politik dalam kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum optimal mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran Partai Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern sehingga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik perlu diperbarui.
Undang-Undang ini mengakomodasi beberapa paradigma baru seiring dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah pembaruan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan Partai
Politik, yang menyangkut demokratisasi internal Partai Politik, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan Partai Politik, peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan Partai Politik dalam sistem nasional berbangsa dan bernegara.
Dalam Undang-Undang ini diamanatkan perlunya pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk itu, pendidikan politik terus ditingkatkan agar terbangun karakter bangsa yang merupakan watak atau kepribadian bangsa Indonesia yang terbcntuk atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai kcbangsaan yang lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara lain kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti, dan
keikhlasan untuk berkorban bagi kepentingan bangsa.
Dalam Undang-Undang ini dinyatakan secara tegas larangan untuk menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPRS Nomor XXV /MPRS/Tahun 1966. Ketetapan MPRS ini diberlakukan dengan memegang teguh prinsip berkeadilan dan menghormati hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Seluruh pokok pikiran di atas dituangkan dalam Undang-Undang Inl dengan sistematika sebagai berikut: (1) Ketentuan Umum; (2) Pembentukan Partai Politik; (3) Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; (4) Asas dan Ciri; (5) Tujuan dan Fungsi; (6) Hak dan Kewajiban; (7) Keanggotaan dan Kedaulatan Anggota; (8) Organisasi dan Tempat Kedudukan; (9) Kepengurusan; (10) Pengambilan Keputusan; (11) Rekrutmen Politik; (12) Peraturan dan Keputusan Partai Politik; (13) Pendidikan Politik; (14) Penyelesaian Perselisihan Partai Politik; (15) Keuangan; (16) Larangan; (17) Pembubaran dan Penggabungan Partai Politik; (18) Pengawasan; (19) Sanksi; (20) Ketentuan Peralihan; dan (21) Ketentuan Penutup.
II PASAL DEMI PASAL Pasal 1
Cukup jelas. Pasal 2
Cukup jelas. Pasal 3
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Huruf a
Cukup jelas Huruf b
Yang dimaksud dengan "mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik lain" adalah memiliki kemiripan yang menonjol dan menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan maupun kombinasi antara unsur-unsur yang terdapat dalam nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik lain.
Huruf c Kantor tetap ialah kantor yang layak, milik sendiri, sewa, pinjam pakai, serta mempunyai alamat tetap.
Huruf d Kota/kabupaten administratif di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta kedudukannya setara dengan kota/kabupaten di provinsi lain.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1) Penelitian dan/atau verifikasi Partai Politik dilakukan secara administratif dan periodik oleh Departemen bekerja sama dengan instansi terkait.
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6
Cukup jelas. Pasal 7
Cukup jelas. Pasal 8
Cukup jelas. Pasal 9
Cukup jelas. Pasal 10
Cukup jelas. Pasal 11
Cukup jelas. Pasal 12
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Cukup jelas.
Huruf i Cukup jelas.
Huruf j
Organisasi sayap Partai Politik merupakan organisasi yang dibentuk oleh dan/ atau menyatakan diri sebagai sayap Partai Politik sesuai dengan AD dan ART masing-masing Partai Politik.
Huruf k Yang memperoleh bantuan keuangan adalah Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupatenjkdta
Pasal 13 Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas. Huruf i
Laporan penggunaan dana bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah diperiksa aleh Badan Pemeriksa Keuangan disampaikan oleh Partai Politik kepada Departemen Dalam Negeri.
Huruf j Rekening khusus dana kampanye pemilihan umum hanya diberlakukan bagi Partai Politik peserta pemilihan umum.
Huruf k Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas. Pasal 15
Cukup jelas. Pasal 16
Cukup jelas. Pasal 17
Cukup jelas. Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas. Pasal 20
Cukup jelas. Pasal 21
Cukup jelas. Pasal 22
Cukup jelas. Pasal23
Cukup jelas. Pasa124
Yang dimaksud dengan "forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik" adalah musyawarah nasional, kongres, muktamar, atau sebutan lainnya yang sejenis.
Pasal 25
Cukup jelas. Pasal 26
Cukup jelas. Pasa127
Cukup jelas. Pasal 28
Cukup jelas. Pasal 29
Cukup jelas. Pasal 30
Cukup jelas. Pasal 31
Cukup jelas. Pasal 32
Cukup jelas. Ayat(1)
Yang dimaksud dengan "perselisihan Partai Politik" meliputi antara lain: (1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; (3) pemecatan tanpa alasan yang jelas; (4) penyalahgunaan kewenangan; (5) pertanggung jawaban keuangan; dan/ atau (6) keberatan terhadap
keputusan Partai Politik. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Pasal 33
Cukup jelas. Pasal 34
Cukup jelas. Pasal 35
Cukup jelas. Pasal 36
Cukup jelas. Pasal 37
Cukup jelas. Pasal 38
Cukup jelas. Pasal 39
Cukup jelas. Pasal 40
Ayat(1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Huruf a
Yang dimaksud dengan "pihak asing" dalam ketentuan ini adalah warga negara asing, pemerintahan asing, atau organisasi kemasyarakatan asing.
Huruf b Yang dimaksud dengan "identitas yang jelas" dalam ketentuan ini adalah nama dan alamat lengkap perseorangan atau perusahaan dan/ atau badan usaha.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Larangan dalam ketentuan ini tidak termasuk sumbangan dari anggota fraksi.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasa142 Cukup jelas.
Pasa143
Ayat (1) Penggabungan Partai Politik dalam ketentuan ini bukan merupakan gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Undang--Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota hasil pemilihan umum tahun 2004 tidak hilang bagi Partai Politik yang bergabung.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas. Pasal 46
Yang dimaksud dengan "sesuai dengan undang-undang" dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan undang-undang organik yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara untuk melakukan pengawasan.
Pasal 47
Cukup jelas. Pasal 48
Cukup jelas. Pasal 49
Cukup jelas. Pasal 50
Cukup jelas. Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52 Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4801
Wawancara Penulis dengan Timbalan Pengarah Pilihan Raya Negeri Terengganu
Nama : Abdul Hadi bin Aripin
Konsentrasi : Ketatanegaraan Islam
Jurusan : Jinayah Siyasah Syar’iyyah
Fakultas : Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Soalan :
1. Mengapa SPR tidak melaksanakan penggunaan tinta jari (dakwat) untuk
menghindari pemilihan dua kali dalam pemilu (pilihan raya ) 2008 baru-
baru ini ?
2. Bagaimana SPR mengawali pembaharuan daftar pemilih yang lengkap
demi memastikan segala kesalahan dan ketimpangan yang ada harus
dihapuskan ?
3. Saya sebagai mahasiswa Universias Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta telah berpengalaman menjadi agen (saksi) pilihan raya dalam
tempat mengundi pada pilihan raya than 2008 yang telah berlangsung
beberapa hari yang lalu dan saya melihat ketelusan keadilan dan disiplin
yang tinggi yang dilaksanakan oleh pegawai-pegawai SPR yang bertugas.
Bagaimana SPR sebuah badan yang independent dapat mempertahankan
keadilan, apakah prinsip-prinsipnya?
Jawaban dari soalan diatas yang di sampaikan oleh Timbalan Pengarah Pilihan
Raya Negeri Terengganu
1. jaja
2. Tuk soalan mengenai pendaftaran pemilih sekiranya kita hendak tahu dahulu
apakah yang dimaksudkan dengan urusan pendaftaran pemilih. Urusan
pendaftaran pemilih ialah suatu urusan di mana seseorang warganegara yang
layak diberi peluang untuk mendaftarkan nama mereka sebagai pemilih baru
di dalam daftar pemilih yang akan digunakan semasa sesuatu pilihan raya.
Bagi mereka yang sudah mendaftar dan telah bertukar alamat kediaman pula,
mereka dibenarkan membuat permohonan pertukaran alamat tempat mengundi
mengikut alamat kediaman mereka yang terkini.
Selanjutnya kita juga hendaknya tahu mengenai peranan SPR dalam urusan
pendaftaran. Apabila SPR ditubuhkan pada 4 September 1957, tugas
pendaftaran pemilih telah menjadi sebahagian daripada tanggungjawabnya
selain daripada urusan persempadanan bahagian-bahagian pilihan raya dan
menjalankan pilihan raya. Tugas ketua pegawai pendaftar ketika itu telah
diserapkan ke dalam organisasi SPR apabila jawatan tersebut dikekalkan
dalam struktur baru urus setia SPR.
Urusan pendaftaran pemilih pertama kali yang dikendalikan oleh SPR telah
diadakan pada tahun 1958. dalam urusan tersebut SPR telah melantik seramai
2500 orang penolong pendaftar untuk melawat dari rumah ke rumah bagi
menyemak kelayakan pemohon untuk di daftarkan sebagi pemilih. Urusan
pendaftaran ini adalah dilakukan secara langsung oleh penolong pendaftar
kerana mereka inilah yang dipertanggungjawabkan untuk mendaftarkan orang
ramai sebagai pemilih.
Pada tahun 2002, apabila system pendaftaran pemilih sepanjang tahun
(SPPST) diperkenalkan, urusan pendaftaran pemilih telah diperluas kepada
pejabat pos dengan harapan orang ramai akan lebih mudah untuk mendaftar
sebagai pemilih. Namun demikian sambutan yang diperoleh tidak juga
membanggakan. Daripada rekod data warganegara Malaysia berumur 21 tahun
keatas yang diperoleh daripada jabatan pendaftaran Negara. SPR mendapati
masih terdapat hamper empat juta warganegara Malaysia yang layak
mendaftar tetapi belum mendaftar sebagai pemilih. Untuk menyelesaikan
permasalahan semacam ini, bagi SPR dalam mesyuaratnya pada pertenggahan
tahun 205 telah bersetuju untuk membenarkan parti-parti politik membantu
SPR untuk mendaftarkan warganegara Malaysia sebagai pemilih. Sehubungan
dengan ini SPR telahpun mendapatkan kelulusan perbendaharaan untuk
membuat bayaran kepada penolong pendaftar yang dilantik dengan kadar RM
1.00 bagi satu borang permohonan pendaftaran pemilih yang sah diterima
sebagai dorongan kepada penolong pendaftar untuk mendaftar seramai yang
boleh. Dengan pelantikan penolong pendaftar (parti-parti politik) ini adalah
diharapkan mereka akan dapat membantu SPR mendaftarkan pemilih-pemilih
yang belum mendaftar sebagai pemilih. SPR percaya bahawa sebagai parti
politik, mereka akan dapat melaksanakan tugas dengan baik kerana ini adalah
berkaitan dengan kepentingan parti masing-masing. dengan kebenaran yang
diberikan ini SPR berharap tidak ada mana-mana pihak menuduh SPR
menyebelahi pihak tertentu dalam urusan pendaftaran kerana peluang yang
sama untuk melantik penolong pendaftar di kalangan parti-parti politik
dibenarkan kepada semua pihak tanpa sebarang sekatan.
3. Menjalankan pilihan raya merupakan suatu tanggungjawab berat yang perlu
dipikul demi memastikan bahawa proses pemilihan wakil secara legitimate
dan demokratik melalui system pilihan raya dilaksanakan dengan cakap dan
telus. Sebagai sebuah badan pengurusan pilihan raya, suruhanjaya pilihan raya
(SPR) tidak terkecuali daripada melaksanakan tanggungjawab yang senantiasa
terbuka kepada kritikan umum ini. Sebagai pengadil, kecakapan dalam
menguruskan pertandingan diantara pihak-pihak yang bertanding di antara
pihak-pihak yang bertanding sentiasa diperhatikan oleh semua pihak, sama
ada pihak yang bertanding mahupun pihak yang berada di luar pertandingan.
Bagi memastikan pertandingan itu dijalankan mengikut ketetapan undang-
undang dan semangat pertandingan yang luhur, kerjasama semua pihak adalah
diperlukan. Ini kerana semua pihak sama ada yang berada di dalam
gelanggang pertandingan ataupun yang hanya duduk sebagai pemerhati
mempunyai peranan yang tersendiri bagi memastikan pertandingan itu
dijalankan secara adil dan saksama serta dalam semangat pertandingan yang
positif.
Top Related