BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Dari segi kata, Farmasi didefinisikan sebagai ilmu penyediaan bahan obat, dari
sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada
pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai
identifikasi, pemilahan (selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan,
analisis, dan pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan
kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman,
baik melalui resep (prsecription) dokter berizin, dokter gigi, dan dokter hewan,
maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara menyalurkan atau menjual
langsung kepada pemakai.
Paradigma yang berkembang dimasyarakat, Apoteker atau Farmasis sebagai
seseorang yang ahli dibidang farmasi lebih dikenal sebagai pembuat obat di pabrik,
atau penjual obat di apotek. Di Indonesia, profesi farmasis mulai menggeliat, walau
masih perlu meniti jalan panjang.
JAKARTA (Media): ISFI menilai apoteker masih menjadi pedagang obat,
bukan profesi. Sementara itu, Badan POM meminta para apoteker memungut
keuntungan dari jasa profesi, bukan harga obat. Ketua Umum Badan Pimpinan Pusat
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (BPP ISFI) Ahaditomo melihat dari perspektif
sekarang, apoteker hanya sebagai penjual obat.
Kesimpulan yang didapat dalam berbagai forum internasional, baik forum
WHO seperti Nairobi Conference, International Conference on DrugRegulatory
1
Authorities (ICDRA) maupun forum profesi seperti World Conference onClinical
Pharmacology & Therepeutics, yang mengakui bahwa pelayanan informasi obat
merupakan salah satu kebutuhan kritis yang saat ini belum dipenuhi. Hal ini
memberikan kesan dan citra yang kurang baik bagi apoteker. Masyarakat tentunya
merasa sekali kekuranghadiran apoteker dalam setiap melayani langsung kepada
pasien. Di mata mereka, sosok apoteker semakin tidak jelas kedudukan spesifiknya.
Dan dampak lanjutannya, sedikit banyak masyarakat akan meremehkan peran dan
fungsi apoteker di apotek.
Terkait dengan hal – hal yang telah dituliskan, melalui makalah ini penulis
berharap para tenaga kesehatan khususnya para tenaga farmasi dapat meningkatkan
mutu pelayanan di beberapa bidang, diantaranya pelayanan rumah sakit, apotek,
pemasaran farmasi, industri, dan sosial. Dengan meningkatnya mutu pelayanan maka
citra farmasi pun dapat terangkat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Farmasis
II.1.1. Pengertian Farmasis
Farmasis adalah suatu profesi dibidang kesehatan yang meliputi kegiatan-
kegiatan di bidang penemuan, pengembangan, produksi, pengolahan, peracikan dan
distribusi obat.
Farmasis adalah tenaga ahli yang mempunyai kewenangan dibidang
kefarmasian melalui keahlian yang diperolehnya selama pendidikan tinggi
kefarmasian. Sifat kewenangan yang berlandaskan ilmu pengetahuan ini memberinya
semacam otoritas dalam berbagai aspek obat atau proses kefarmasian yang tidak
dimiliki oleh tenaga kesehatan lainnya. Farmasi sebagai tenaga kesehatan yang
dikelompokkan profesi, telah diakui secara universal. Lingkup pekerjaannya meliputi
semua aspek tentang obat, mulai penyediaan bahan baku obat dalam arti luas,
membuat sediaan jadinya sampai dengan pelayanan kepada pemakai obat atau pasien
(ISFI, Standar Kompetensi Farmasi Indonesia, 2004).
Jika kita berbicara tentang spesifikasi ilmu, bidang ilmu farmasi dapat
dikelompokkan menjadi 4, yaitu: farmasi komunitas, farmasi klinik, farmasi industri
dan farmasi regulatori (pendidikan dll). Farmasi komunitas yang dimaksud sering kita
identikkan dengan kata “apoteker”. Perannya yang spesifik adalah bersentuhan
langsung dengan pasien untuk menyerahkan obat (dispending) dan memberikan
informasi dan edukasi yang benar tentang obat. Posisinya adalah sebagai rekan kerja
3
dokter. Namun, baru-baru ini seperti kita tahu bahwa dokter sedang berusaha untuk
mereformasi sistem dispensing (penyerahan) obat. Tak bisa kita sangkal juga bahwa
pelayanan apoteker memang sangat kurang. Dalam hal ini yang patut mendapat
sorotan utama bukanlah sistemnya, namun orang-orang yang berada dalam sistem
tersebut.
Bidang farmasi industri dan regulatori bergerak pada pengembangan ilmu
pengetahuan dan tehnologi di bidang kefarmasian. Sepintas memang bidang ini
seolah-olah hampir sama dengan bidang yang ditekuni oleh para ahli kimia. Namun
tetap saja peran farmasi industri tidak dapat digantikan oleh para ahli kimia, karena
dalam penelitian dan pengembangan obat dibutuhkan juga ilmu yang spesifik
(misalnya farmakokinetik dll) dan ilmu ini tidak dipelajari oleh sarjana yang lain.
Spesifikasi dari farmasi klinik berkaitan dengan analisis dan penegakan
diagnosa suatu penyakit serta cara penanganannya. Pemahaman yang mendalam
terhadap ilmu biokimia dan anatomi fisiologi manusia merupakan ilmu dasar yang
sangat diperlukan pada bidang farmasi ini, namun diperlukan juga pengetahuan yang
mendalam mengenai pengobatan dan obat (termasuk sampai pada tingkat molekuler),
inilah salah satu hal yan membedakan sarjana farmasi dengan sarjana biokimia
maupun biologi.
Selintas Sejarah Kefarmasian Indonesia
1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan
Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali dengan pendidikan
asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.
2. Periode Setelah Perang Kemerdekaan Sampai dengan Tahun 1958
Pada periode ini jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten apoteker mulai
bertambah jumlah yang relatif lebih besar. Pada tahun 1950 di Jakarta dibuka sekolah
4
asisten apoteker Negeri (Republik) yang pertama , dengan jangka waktu pendidikan selama
dua tahun. Lulusan angkatan pertama sekolah asisten apoteker ini tercatat sekitar 30 orang,
sementara itu jumlah apoteker juga mengalami peningkatan, baik yang berasal dari
pendidikan di luar negeri maupun lulusan dari dalam negeri.
3. Periode Tahun 1958 sampai dengan 1967
Pada periode ini meskipun untuk memproduksi obat telah banyak dirintis, dalam
kenyataannya industri-industri farmasi menghadapi hambatan dan kesulitan yang cukup
berat, antara lain kekurangan devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat
sehingga industri yang dapat bertahan hanyalah industri yang memperoleh bagian jatah
atau mereka yang mempunyai relasi dengan luar negeri. Pada periode ini, terutama antara
tahun 1960 – 1965, karena kesulitan devisa dan keadaan ekonomi yang suram, industri
farmasi dalam negeri hanya dapat berproduksi sekitar 30% dari kapasitas produksinya.
Oleh karena itu, penyediaan obat menjadi sangat terbatas dan sebagian besar berasal dari
impor. Sementara itu karena pengawasan belum dapat dilakukan dengan baik banyak
terjadi kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak memenuhi persyaratan
standar.Sekitar tahun 1960-1965, beberapa peraturan perundang-undangan yang penting
dan berkaitan dengan kefarmasian yang dikeluarkan oleh pemerintah antara lain :
(1) Undang-undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan
(2) Undang-undang Nomor 10 tahun 1961 tentang barang
(3) Undang-undang Nomor 7 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, dan
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 tentang Apotek. Pada periode ini pula ada hal
penting yang patut dicatat dalam sejarah kefarmasian di Indonesia, yakni berakhirnya apotek
dokter dan apotek darurat.
5
II.1.2. Pengertian Citra
Image atau Citra didefinisikan sebagai a picture of mind, yaitu suatu gambaran
yang ada di dalam benak seseorang. Citra dapat berubah menjadi buruk atau negatif,
apabila kemudian ternyata tidak didukung oleh kemampuan atau keadaan yang
sebenarnya.
Bentuk citra berhubungan dengan cara dimana farmasi didefinisikan dalam
pikiran masyarakat terdiri dari sisi fungsi dan sisi aura sifat psikologis. farmasis harus
berusaha keras untuk membangun citra yang akan menarik para pelanggan. Analisa
yang cermat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan citra akan
membantu seorang farmasis berstrategi pada pasar pelayanan kesehatan yang berdaya
sains tinggi ini.
Ada beberapa jenis citra menurut Frank Jefkins yaitu
a. Mirror image (Citra bayangan). Citra ini melekat pada orang dalam atau
anggota-anggota organisasi – biasanya adalah pemimpinnya – mengenai
anggapan pihak luar tentang organisasinya. Citra ini seringkali tidak tepat,
bahkan hanya sekedar ilusi, sebagai akibat dari tidak memadainya informasi,
pengetahuan ataupun pemahaman yang dimiliki oleh kalangan dalam
organisasi itu mengenai pendapat atau pandangan pihak-pihak luar.
b. Current image (Citra yang berlaku).Citra yang berlaku adalah suatu citra atau
pandangan yang dianut oleh pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi. Citra
ini sepenuhnya ditentukan oleh banyak-sedikitnya informasi yang dimiliki oleh
mereka yang mempercayainya.
c. Multiple image (Citra majemuk).Yaitu adanya image yang bermacam-macam
dari publiknya terhadap organisasi tertentu yang ditimbulkan oleh mereka yang
6
mewakili organisasi kita dengan tingkah laku yang berbeda-beda atau tidak
seirama dengan tujuan atau asas organisasi kita.
d. Corporate image (Citra perusahaan).Apa yang dimaksud dengan citra
perusahaan adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan
sekedar citra atas produk dan pelayanannya.
e. Wish image (Citra yang diharapkan).Citra harapan adalah suatu citra yang
diinginkan oleh pihak manajemen atau suatu organisasi. Citra yang diharapkn
biasanya dirumuskan dan diterapkan untuk sesuatu yang relatif baru, ketika
khalayak belum memiliki informasi yang memadai mengenainya.
7
IMAGE/ CITRA
MARKETCORPORATE
PROFESIONAL
II.2. Citra Farmasi
II.2.1. Kerangka Konsep
Komponen citra farmasi :
Konsep citra terbentuk dari beberapa sisi :
1. Citra perusahaan farmasi ditentukan oleh pengalaman, media massa dan
sumber lainnya.
2. Ketika pasien bertukar informasi mengenai pengalamannya dengan pihak lain,
maka akan terbentuk citra pasien yang konsisten berdasarkan penilaian pasien
terhadap produk dan perbandingan di antara beberapa pesaing.
3. Profesionalisme akan ditunjukkan melalui perilaku, sikap dan kepercayaan
kepada organisasi untuk memenuhi harapan pasien terhadap pelayanan.
II.2.2. Citra Perusahaan
Citra perusahaan adalah pandangan pasien mengenai kebijakan perusahaan
terhadap lingkungan sosial, karyawan, pasien dan individu lainnya. Kepercayaan,
ketahanan dan tanggung jawab adalah faktor penting dalam pendistribusian produk
farmasi maupun dalam pelayanan. Tanpa memperhatikan jenis produk yang
disalurkan, pasien ingin tahu produk atau pelayanan yang mereka dapatkan di saat
yang tepat. Jika dibutuhkan, mereka dapat bertanya lebih lanjut kepada para ahli.
8
Selain itu, jika ada masalah mereka ingin tahu bahwa masalah itu akan terselesaikan
dengan cepat.
II.2.3. Citra Pasar
Perhatian utama produk dan pelayanan adalah citra pasar. Citra pasar adalah
bagaimana pasien dan penyedia pelayanan kesehatan menilai harga produk dan
pelayanan dibandingkan dengan para pesaing. Jika pasien percaya bahwa mereka
mendapatkan harga yang pantas dari produk atau pelayanan, maka mereka akan terus
membeli produk atau pelayanan itu.
Pasien berharap harga yang masuk akal, konsisten dan adil. Banyak
perusahaan menggunakan sistem komputer yang canggih, mesin penyalur otomatis
dan proses klaim elektronik untuk mengontrol harga dan untuk menjamin kebijakan
harga yang konsisten.
Jaminan informasi, pelayanan kesehatan di rumah dan konsultasi profesional
adalah pelayanan yang dapat digunakan untuk membentuk citra pasar yang diinginkan
perusahaan. Pasien menyerahkan jaminan pelayanan berkelanjutan dan menunggu
komitmen agen terhadap pelayanan pasien. Kemudian, pasien akan mendapatkan
keuntungan lebih bila menjadi anggota dan akan terfasilitasi atas pengembangan
hubungan pasien dan kepercayaan.
II.2.4 Citra Professional
Citra profesional terfokus pada komitmen terhadap kualitas pelayanan
kesehatan dan kebutuhan pendidikan publik terkait penggunaan obat. Sebuah model
konsep citra profesional dikemukakan oleh “ Hall “ menyatakan bahwa ada
penyesuaian antara sisi struktural dan sisi sikap dalam profesionalisme. Aspek
9
struktural akan menghubungkan pelatihan profesional, pengetahuan, kode etik,
komitmen pelayanan dan ekonomi pekerjaan.
Sedangkan sisi sikap profesionalisme terpusat pada bagaimana tenaga
kesehatan memandang pekerjaannya dan bagaimana hal ini tergabung ke dalam
kerangka kognitif profesioanlisme. Secara umum, seperti yang disebutkan pada
penelitian sebelumnya, ada hubungan terbalik antara profesionalisme dengan birokrasi.
Selain itu, penelitian yang dilakukan pada tahu 1960 dan tahun 1970 itu
nebgungkapkan keinginan umum farmasis untuk memperbaiki citra mereka dan
mengembangkan pelayanan terhadap pasien.
10
BAB III
CITRA FARMASI
III.1. Sejarah Farmasis
Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai Bapak Ilmu
Kedokteran, belum dikenal adanya istilah farmasis. Seorang dokter yang mendiagnosis
penyakit sekaligus berperan sebagai “Apoteker” yang menyiapkan obat. Pada tahun
1240 M, Raja Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan secara resmi antara
Farmasi dan Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal “Two Silices“. Dari sejarah ini,
satu hal yang perlu direnungkan adalah bahwa akar ilmu farmasi dan ilmu
kedokteran adalah sama. Walaupun kedua bidang ilmu ini memiliki akar yang sama,
tapi pastilah terdapat perbedaan diantara keduanya sehingga Frederick II mengeluarkan
kebijakan tersebut.
Dalam sejarah, profesi dokter dibedakan dengan apoteker. Pada awal abad ke-13
belumdikenal istilah Apoteker atau Pharmacist. Yang ada hanya seorang Penyembuh
(healer,shaman, dukun, tabib, sinshe dsb.) yang memeriksa penyakit pasien
kemudianmemberikan pula obat yang diperlukan. Praktek seperti ini saya kira bukan
asing dinegara kita malahan masih sangat banyak. Di Eropa praktek seperti ini diikuti
dengancermat sehingga ditemukan bahwa ini banyak merugikan pasien karena tidak ada
" check and balance". Karena perkembangan di bidang obat kemudian sangat pesat,
disadari bahwa satu orang tidak dapat menguasai semua ilmu. Maka pada tahun 1240 di
negaraKerajaan Sicilia untuk pertama kalinya dikeluarkan undang-undang yang
memisahkan pekerjaan Dokter dan Apoteker. Dokter hanya boleh memeriksa pasien dan
menulis reseptetapi obat dibuat dan diserahkan oleh Apoteker.
11
Farmasi sebagai profesi di Indonesia sebenarnya relatif masih muda dan baru
dapat berkembang secara berarti setelah masa kemerdekaan. Pada zaman penjajahan,
baik pada masa pemerintahan Hindia Belanda maupun masa pendudukan Jepang,
kefarmasian di Indonesia pertumbuhannya sangat lambat, dan profesi ini belum dikenal
secara luas oleh masyarakat. Sampai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, para
tenaga farmasi Indonesia pada umumnya masih terdiri dari asisten apoteker dengan
jumlah yang sangat sedikit.
Tenaga apoteker pada masa penjajahan umumnya berasal dari Denmark, Austria,
Jerman dan Belanda. Namun, semasa perang kemerdekaan, kefarmasian di Indonesia
mencatat sejarah yang sangat berarti.
III.2. Farmasis di Mata Masyarakat
JAKARTA (Media): ISFI menilai apoteker masih menjadi pedagang obat, bukan
profesi. Sementara itu, Badan POM meminta para apoteker memungut keuntungan dari
jasa profesi, bukan harga obat. Ketua Umum Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia (BPP ISFI) Ahaditomo melihat dari perspektif sekarang, apoteker
hanya sebagai penjual obat.
Kesimpulan yang didapat dalam berbagai forum internasional, baik forum WHO
seperti Nairobi Conference, International Conference on DrugRegulatory Authorities
(ICDRA) maupun forum profesi seperti World Conference onClinical Pharmacology &
Therepeutics, yang mengakui bahwa pelayanan informasi obatmerupakan salah satu
kebutuhan kritis yang saat ini belum dipenuhi.Kesenjangan ini memberikan kesan dan
citra yang kurang baik bagi profesi apoteker.Masyarakat tentunya merasa sekali
kekuranghadiran apoteker dalam setiap melayanilangsung kepada pasien. Di mata
mereka, sosok apoteker semakin tidak jelas kedudukanspesifiknya. Dan dampak
12
lanjutannya, sedikit banyak masyarakat akan meremehkan peran dan fungsi apoteker di
apotek.
Jika mencermati realita yang ada tentang peran, fungsi, dan posisi farmasis
sebagai profesi kesehatan yang kini tampak belum menunjukkan tajinya di masyarakat,
maka dapat ditarik suatu benang merah tentang penyebab terjadinya hal ini, yaitu lack
of self confidence. Kelemahan terbesar profesi farmasis adalah bahwasanya farmasis
masih belum pe-de dalam berinteraksi dengan profesi kesehatan lainnya. Sumber
ketidak pe-dean ini ditengarai dari maha luasnya ilmu farmasis yang jika tidak
dimonovalenkan makaakan mengakibatkan farmasis hanya akan menguasai outer skin
dari multi disiplin ilmukefarmasian. Tapi satu hal yang pasti adalah farmasis di bumi
Indonesia ini sedang berevolusi menuju suatu gerbang transformasi ke arah perbaikan.
Selain itu merosotnya profesi apoteker di mata masyarakat bukanlah semata
kesalahan APA saja, tapi merupakan bagian dari rusaknya sistem yang ada di negara
kita, termasuk sistem kesehatan secara umum, contoh yang nyata: sistem perasuransian
kesehatan yang tidak jalan. Faktor lain adalah organisasi profesi dibuat bukan untuk
menegakkan peraturan tapi malah melindungi anggotanya demi menegakkan harkat dan
martabat profesinya.
Paradigma farmasis Indonesia saat ini dikenal dengan akronim “SI-ADI” yang
merupakan kependekan dari “Simpan, Ambil dan Distribusi”. Terkesan hanya dari sisi
managerialnya saja, lalu apa gunanya ilmu-ilmu yang lain? Kalau begitu, sarjana
ekonomi lebih cocok daripada farmasis itu sendiri karena mereka yang lebih patut
dijuluki “MANAGEMENT EXPERTS”. Terapi pengobatan pasien tidaklah sesederhana
berobat ke dokter, ambil obat ke apotek lalu pulang. Obat, pada hakekatnya adalah
racun bagi tubuh, yang bila tidak digunakan secara tepat akan membahayakan bagi
pasien. Disinilah peran penting farmasis dibutuhkan. Karena pasien hanya mempunyai
13
sedikit pengetahuan tentang obat atau bahkan tidak sama sekali. Dengan tidak
mengurangi rasa hormat, sesungguhnya tugas farmasis lebih banyak dibandingkan
dokter. Dokter hanyalah sebagai inisiator mulainya terapi. Namun dalam proses sampai
akhir terapi adalah bagian farmasis. Selama ini farmasis hanya bekerja di belakang layar
yang kurang mendapatkan perhatian langsung dari masyarakat umum. Keberhasilan
terapi sering dikaitkan dengan jasa dokter tanpa melibatkan jasa farmasis. Jika kita mau
belajar dari negara tetangga kita, Malaysia, farmasis sangatlah dihargai karena farmasis
mempunyai peranan dan manfaat yang penting bagi pasien. “Professional Fee” farmasis
di Malaysia tidak hanya diperoleh dari jasa managerialnya saja, namun juga dari jasa
konsultasi. Hampir sama dengan dokter, untuk mengeluarkan resep, dokter memperoleh
“Professional Fee”.
Dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 telah diatur
tentang peranan profesi apoteker, yakni pembuatan, termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengem- bangan
obat dan obat tradisional.Sejalan dengan itu, pemerintahpun secara spesifik telah
mengeluarkan PeraturanPemerintah Nomor 25 tentang tugas dan fungsi apoteker di
apotek, yaitu sebagai tempat pengabdian profesi apoteker yang paling sering
berhubungan langsung dengan masyarakat dan tempat pelayanan kefarmasian yang
dilakukan secara profesional. Keberadaan ini juga diakui dan tertuang dalam Etika
Profesi Apoteker, yaitu, ” Apoteker akan menyampaikan kebenaran informasi obat yang
diberikan berdasarkan ilmu pengetahuan yang sesuai dan bertanggung jawab secara
profesional dan kemanusiaan.”Kalau ternyata dalam realisasinya peran apoteker ini
belum memenuhi tugas dan fungsinya, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor:
14
1. Umumnya sebagian besar apoteker bukanlah sebagai Pemilik Sarana
apotek ( PSA ). Mereka bekerja hanya sebagai penanggungjawab, selebihnya
yang berperan aktif adalah PSA. Sehingga bekerja di apotek bukan sebagai
pekerjaan pokok tetapi pekerjaansambilan. Waktu kerja mereka lebih
difokuskan dan dicurahkan untuk pekerjaan pokoknya. Maka tak heran bila
seorang apoteker bisa bekerja di beberapa tempat atau berwiraswasta. Jam
kerja di apotek biasa mereka lakukan setelah waktu kerja pokok mereka
selesai, itu pun hanya beberapa jam.Alasan ini sebenarnya sangat manusiawi
sekali, karena gaji bekerja di apotek dirasa belum mampu memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Walaupun gaji ini sebenarnya sudahsebanding
dengan pekerjaan mereka, pada saat peran apoteker belum optimal,
merekamenjalankan sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
2. Terjadinya pergeseran fungsi apotek yang orientasinya semakin dominan ke
bisnisdibanding orientasi sosial. Pergeseran ini mengakibatkan peran sosial
apoteker sebagai pemberi informasi obat kepada pasien tidaklah menjadi
penting sepanjang usaha apotek yang dikelolanya tetap survive. Pelayanan
cepat dan harga obat yang murah menjadi titik yang strategis. Sehingga
kegiatan bisnis disini hampir tak ada bedanya dengan usaha bentuk lain, yang
penting untung sebesar-besarnya. Masyarakat sendiri ternyata
tidak mempedulikan, yang penting dapat obat murah dan pelayanan cepat.
3. Kurang siapnya apoteker, terutama apoteker lulusan baru, dalam
mempersiapkan bekal pengetahuan untuk bekerja di apotek. Cita-cita mereka
selama kuliah, inginnya bekerja di industri karena gajinya lebih besar dan
jenjang karier menjanjikan. Selain itu pemikiran mereka sudah terpola bahwa
15
kerja di apotek terkesan santai dan tidak membutuhkan jam kerja yang banyak.
Bahkan kadang-kadang jadwal kunjungannyatidak tentu.
II I .3. Pengembangan Citra Farmasi
III.3.1.Farmasis yang Professional
Dengan berupaya mengembalikan kembali keberadaan profesi apoteker di
Indonesia yang ditunjang pengetahuan, ketrampilan dan keahlian dalam pelayanan
kefarmasian, di masa depan akan memberikan justifikasi yang kuat karena fungsi dan
peran apoteker ini semakin jelas. Keberadaan ini pada akhirnya menjadi kunci
kemajuan usaha apotek, yang tentunya akan berdampak menaikan kesejahteraan
apoteker dan menjadikan apotek sebagai pekerjaan pokok. Sikap perilaku
profesionalisme yang didukung keinginan selalu berbuat benar, merupakan wujud
realisasi yang menopang sistem dan aturan yang di tentukan mulus berjalan. Sikap
profesionalisme yang dicirikan oleh seorang apoteker akan tercermin pada :
a. Selalu berniat melaksanakan kebajikan dengan tidak mementingkan keuntungan
materi semata, sehingga terpancar dalam bentuk sikap objektif, menjaga diri dan
independen.
b. Bekerja berdasarkan keahlian dan kompeten sehingga mampu menjalankan
profesi secara bebas dan otonom.
c. Mempunyai klasifikasi teknis dan moral yang tinggi dengan ketaatan dan
pengamalan sumpah profesi, kode etik dan standar profesi.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang apoteker yang profesional memiliki 3 unsur
utama : keahlian, tanggung jawab, dan norma-norma yang mengatur kegiatan profesi.
Farmasis profesional harus mampu mengaplikasikan asuhan kefarmasian di apotik
tempat dia bekerja. Asuhan kefarmasian yang dimaksud :
16
a. Kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil
keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan
diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM
secarac efektif, selalu belajar sepanjang karir dan membantu pendidikan dan
memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
b. Dapat mengelola persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainya yang
meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
c. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan etika profesi.
d. Mampu melaksanakan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai
obat.
e. Memberikan konseling kepada pasien yang akan meningkatkan kepatuhan pasien
pada terapi obat.
f. Dapat melakukan pelayanan residensial (Home Care).
g. Apoteker dapat memberikan nasehat, memilih obat dan keamananya serta
keefektifan penggunaan pada ”pengobatan sendiri”pengobatan sendiri.
h. Dapat bekomunikasi antar profesi dalam pemakaian obat dan sebagai bagian dari
pembuat keputusan klinis bersama spesialis yang lain. Sebagai seorang yang ahli
dalam hal obat-obatan kerena pendidikannya, apoteker harus selalu dikenal dan
dapat dihubungi sebagai sumber nasehat yang benar tentang obat-obatan dan
masaalah pengobatan.
17
III.3.2 Pengembangan dan Professionalisme Farmasis
Sebagai anggota tim pelayanan kesehatan yang terdiri dari pasien dan profesi
kesehatan yang bertanggung jawab untuk kepedulian kesehatan pasien, apoteker harus
memiliki kompetensi guna melakukan fungsi-fungsi yang berbeda-beda di apotik.
Konsep the seven-star pharmacist diperkenalkan aleh WHO dan diambil oleh FIP
(ISFI Dunia) pada tahun 2000 sebagai kebijaksanaan tentang praktek pendidikan
farmasi yang baik (Good Pharmacy Education Practice) meliputi sikap apoteker
sebagai pemberi pelayanan (care giver), pembuat keputusan (decision-maker),
communicator, manager, pembelajaran jangka panjang (life-long learner), guru
(teacher) dan pimpinan (leader).
a. Care-giver.
Dalam memberikan pelayanan mereka harus memandang pekerjaan mereka
sebagai bagian dan terintegrasi dengan sistem pelayanan kesehatan dan profesi
lainya. Pelayanan harus dengan mutu yang tinggi.
b. Decision- maker.
Penggunaan sumber daya yang tepat, bermanfaat, aman dan tepat guna seperti
SMD, obat-obatan, bahan kimia, perlengkapan, prosedur dan pelayanan harus
merupakan dasar kerja dari apoteker.
c. Communicator.
Apoteker adalah merupakan posisi ideal untuk mendukung hubungan antara
dokter dan pasien dan untuk memberikan informasi kesehatan dan obat-obatan
pada masyarakat. Apoteker harus memiliki ilmu pengetahuan dan rasa percaya
diri dalam berintegrasi dengan profesi lain dan masyarakat. Komunikasi ini
dapat dilakukan secara verbal (langsung), non verbal, mendengarkan dan
kemampuan menulis.
18
d. Manager.
Apoteker harus dapat mengelola sumber daya (SDM, fisik, dan keuangan), dan
informasi secara efektif.
e. Life- long learner
Adalah tak mungkin memperoleh semua ilmu pengetahuan di sekolah farmasi
dan masih dibutuhkan pengalaman seseorang apoteker dalam karir yang lama.
Konsep-konsep, prinsip-prinsip, komitmen untuk pelajaran jangka panjang
harus dimulai disamping yang diperoleh di sekolah dan selama bekerja.
Apoteker harus belajar bagaimana menjaga ilmu pengetahbuan dan
ketrampilan mereka tetap up to date.
f. Teacher
Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk membantu pendidikan dan
pelatihan generasi berikutnya dan masyarakat.
g. Leader.
Dalam situasi pelayanan multi disiplin atau dalam wilayah dimana pemberi
pelayanan kesehatan lainya ada dalam jumlah yang sedikit, apoteker diberi
tanggung jawab untuk menjadi pemimpin dalam semua hal yang menyangkut
kesejahteraan pasien dan masyarakat. Seorang apoteker yang memegang
peranan sebagai pemimpin harus mempunyai visi dan kemampuan memimpin.
Untuk menerapkan konsep the seven-star pharmacist , seorang apoteker dapat
mengembangkan kompetensi dengan meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan
perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Kemampuan
tersebut dapat diperoleh dengan :
a. Mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pelayanan
kefarmasian.
19
b. Mengikuti penataran dan uji kompetensi yang diselengarakan oleh Perguruan
Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi (ISFI).
c. Memahami kewajiban apoteker terhadap penderita, teman sejawat, sejawat
petugas kesehatan lainya sesuai dengan kode etik profesi secara benar.
III.3.3.Penelitian Terbaru Mengenai Professionalisme dan Citra Farmasis
Dengan adanya perubahan pada dunia pemeliharaan kesehatan, kemajuan
pemeliharaan kesehatan diri dan keinginan farmasi untuk lebih terlibat dalam
pemeliharaan kesehatan pasien, maka citra farmasi harus ditingkatkan kembali. Seperti
selera orang terhadap pakaian, hobi, atau makanan yang berubah – ubah, image
farmasi juga berubah sejak penelitian di tahun 1960 dan 1970 dilakukan. Beberapa
pertanyaan pada penelitian terkini memasukkan masalah identifikasi profesional citra
farmasi dan sikap farmasi terhadap profesinya.
Di tahun 1984, sebuah penelitian dilakukan untuk melihat apakah pasien dapat
mengenal farmasis saat berada di apotek, mengidentifikasi kartu pengenal dan
membedakan farmasis dari staff lain. Peneliti menyarankan agar masing – masing
berada pada tempatnya saat pasien datang untuk pertama kalinya ke apotek.
Hasil penelitian menyatakan bahwa farmasis dapat dikenali dari pakaiannya
sebanyak 69 (65,1%). Hasil pengolahan data mengungkapkan bahwa kemampuan
mengenali farmasis berbeda untuk tiap jenis apotik. Apotik berantai memperoleh nilai
tertinggi yaitu 88% sedangkan kemampuan membedakan farmasis dari staff lain
diperoleh angka 52 (62,7%). Kesimpulannya, identitas profesi adalah penting bagi
farmasis karena memudahkan pasien untuk mencarinya saat akan konsultasi. Ketika
farmasis tampil berbeda, maka dia harus memikirkan cara untuk menciptakan citra
profesionalnya. Karena farmasis memainkan peran utama dalam memonitor terapi
20
obat untuk pengobatan pasien jangka panjang, maka farmasis berada pada posisi yang
paling terlihat dan dapat membuat sebuah kontribusi penting dalam membangun citra
profesional perusahaan.
Pelayanan konsultasi, opini publik, keterlibatan komunitas, kode etik, iklan
pelayanan farmasi dan pelayanan farmasetika memiliki pengaruh positif kuat terhadap
citra profesional farmasi. Farmasis harus memiliki perhatian terhadap lingkungan
kerjanya dan kemungkinan hilangnya otonomi dalam penyaluran obat, sedangkan
yang memiliki penilaian negatif oleh farmasis adalah iklan harga obat resep dokter dan
pelayanan pesan antar.
Direktur apotik dan staff administrasi harus terlibat dalam mempersiapkan
pelayanan jangka panjang dengan mendiskusikan bagaimana informasi ini dapat
digunakan untuk meningkatkan citra profesional farmasi.
Hal lain yang terungkap pada penelitian ini adalah bahwa kesopanan
profesional merupakan hal terpenting dalam membangun citra positif perusahaan.
Farmasis harus menarik, berpengetahuan luas dan mau mendengar kebutuhan
pasiennya. Semua unsur ini dapat dihimpun ke dalam kebijakan apotik. Pasien akan
memilih apotik yang memiliki lingkungan kerja yang positif dan memiliki tingkat
kebersamaan yang baik antar staffnya.
Iklan dapat digunakan untuk meningkatkan aspek profesional perusahaan.
Selain bentuk iklan standar juga dapat melalui jurnal profesi, pusat pelayanan umum,
rumah sakit, perawatan di rumah, fasilitas perawatan jangka panjang dan apotik.
Berdasarkan hasil penelitian, perhatian akan lebih ditunjukkan pada pelayanan
profesional dan pelayanan apotik profesional yang disediakan perusahaan daripada
harga resep obat dokter. Promosi lain dapat pula melalui radio atau pengiriman brosur
lewat pos. Banyak pasien merasa senang dengan perkenalan pribadi saat hari ulang
21
tahun, perayaan tahunan atau peristiwa spesial lainnya. Peluang lainnya untuk
meningkatkan citra perusahaan yaitu dengan mengirimkan tulisan pada koran lokal.
III.3.4.Strategi Meningkatkan Citra
a. Pendidikan pasien
Ada banyak cara yang bisa digunakan untuk mengenalkan pasien pada aspek
profesional pelayanan perawatan jangka panjang. Pelatihan atau seminar dapat
diselenggarakan agar pasien memahami pengobatan yang mereka jalani.
Seminar – seminar ini juga dapat memberikan dorongan bagi staff perawatan
di rumah dan fasilitas perawatan jangka panjang lainnya untuk menjamin
pemenuhan keperluan pasien dan penyembuhannya.
Cara manual juga dapat dikembangkan dan disebarkan pada staff administrasi
mengenai ketersediaan pelayanan pendidikan. Cara lain untuk meningkatkan
citra yaitu dengan iklan yang memberikan informasi medis seperti informasi
mengenai pengobatan.
b. Pelayanan masyarakat
Keterlibatan dalam masyarakat dapat meningkatkan citra perusahaan misalnya
dalam bentuk sponsor kegiatan atletik, organisasi kemasyarakatan di kegiatan
keagamaan. Program – program yang menggunakan obat dapat dilaksanakan
dengan menghadirkan dokter, apoteker, atau perawat dengan target penduduk
dewasa. Selain itu, dukungan keuangan untuk program – program liburan,
kegiatan amal atau sosial, dan program untuk penderita cacat dapat
meningkatkan citra positif perusahaan. Dukungan waktu dan keuangan akan
dihargai warga masyarakat dan kehadiran di tengah mereka akan menarik
pasien pada bisnis.
22
c. Jaringan pelayanan terpadu
Hubungan interorganisasi tercipta saat dua atau lebih organisasi saling bertukar
sumber daya berupa uang, fasilitas fisik dan material, pasien, rujukan, atau
staff pelayanan teknis. Jaringan interorganisasi dapat bertindak sebagai sebuah
unit dan membuat keputusan, melakukan tindakan, dan mengejar tujuan serupa
pada sebuah organisasi berotonomi. Beberapa tujuan dari hubungan ini adalah
untuk mendirikan sebuah titik distribusi untuk menjaga keberlangsungan
pelayanan pasien
Oleh karena itu, tujuan untuk memperoleh sumber daya yang normal tidak
akan tersedia apabila sebuah organisasi bertindak sendirian. Citra perusahaan akan
meningkat melalui sebuah hubungan dengan perusahaan lain yang telah memiliki citra
terkenal dan dihormati. Salah satu tujuan merubah bentuk pelayanan kesehatan adalah
untuk membentuk sebuah jaringan sistem pelayanan terorganisir. Sistem ini
menyediakan pelayanan terpadu yang terkoordinasi dengan pelayanan klinis maupun
sistem keuangan yang dapat dipertanggung jawabkan.
Selain memperbanyak kontak dengan pasien, farmasis juga harus menambah
pelayanan farmasetik terpadu, menambah akses informasi bagi pasien dan lebih
banyak berinteraksi dengan tenaga kesehatan lain.
Jika farmasis tidak mempromosikan kualitas profesional mereka sebagai strategi
untuk meningkatkan citra, maka persepsi publik terhadap farmasis akan mengalami
kemunduran.
23
BAB IV
KESIMPULAN
Dari hasil diskusi yang telah dilakukan oleh kelompok kami, maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
a. Citra Farmasi adalah kesan, perasaan, gambaran dari masyarakat terhadap farmasis;
kesan yang sengaja diciptakan dari farmasis.
b. Faktor - faktor pengembangan profesionalisme farmasi terdiri dari :
Care-giver
Life long learner
Teacher
Decision- maker
Leader
Manager
Comunicator
c. Strategi yang dapat meningkatkan citra farmasi terdiri dari :
Pendidikan pasien
Pelayanan masyarakat
Jaringan pelayanan terpadu
24
DAFTAR PUSTAKA
Sari IP. Motivasi Konsumen Terhadap Layanan Informasi dan Konsultasi Obat di Apotek
Kota Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia 2001;12(2):80-84.
Depkes RI. Standar Pelayanan Farmasi Komunitas. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik Ditjen Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan, 2004.
Sudibyo S, et al. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan dan
Rawat Inap di Puskesmas (Analisis Data SKRT 2004). Bulletin Penelitian Kesehatan
2008;3:135-144.
Matmunah N. Medicaction Error di Apotek. Pendidikan Berkelanjutan ISFI Cabang Solo, 13
Januari 2007. http://www.ums.ac.id.
Badan Pimpinan Pusat Sarjana Farmasi Indonesia. Standar Farmasis Komunitas. Jakarta:
BPP-ISFI 2002:1-20.
Ingerani, et al. Tingkat Kepuasan Pelanggan Terhadap Pelayanan Kesehatan di Propinsi DKI
Jakarta. Laporan Penelitian Kerjasama Dinkes Prop.DKI Jakarta dan Badan Litbangkes
Depkes RI. Jakarta, 2002.
www.wikipedia.com
www.google.com
25
Top Related