PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN JAKSA
2019
MODUL
PENUNTUTAN
DISUSUN OLEH :
TIM PENYUSUN MODUL
BADAN DIKLAT KEJAKSAAN R.I.
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
2019
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang ......................................................... 1
B. Deskripsi Singkat ...................................................... 1
C. Tujuan Pembelajaran ................................................ 1
D. Indikator Keberhasilan .............................................. 2
E. Pokok / Sub Pembahasan ....................................... 3
BAB II PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP DAN DASAR
HUKUM PENUNTUTAN ...................................................... 6
A. Dasar Hukum Penuntutan ........................................ 6
B. Pengertian Penuntutan ............................................ 6
C. Ruang Lingkup Penuntutan ...................................... 7
D. Instruksional ............................................................ 8
E. Latihan ...................................................................... 8
BAB III PEMERIKSAAN TAMBAHAN ........................................ 9
A. Dasar Hukum ........................................................... 9
B. Hal Penting Yang Harus Diperhatikan Dalam
Pemeriksaan Tambahan ........................................... 11
C. Letak Pemeriksaan Tambahan ................................. 11
D. Syarat Atau Kondisi Kapan Pemeriksaan
ii
Tambahan Dilakukan ................................................ 11
E. Prosedur Pemeriksaan Tambahan ........................... 12
F. Latihan …………………………………………………… 15
BAB IV PRAPERADILAN ............................................................ 16
A. Dasar Hukum…………………………………………16
B. Hal Penting Yang Harus Diperhatikan Dalam Pra Peradila………………………………………………..17
C. Fungsi dan Letak PraPeradilan Secara Administratif
dan Yuridis…………………………………………….18
D. Prosedur dan Hukum Acara Pemeriksaan Praperadilan…………………………………………...18
E. Pelaksanaan Putusan PraPeradilan………………...21
F. Permintaan Ganti Kerugian atau Rehabilitasi Akibat
Tidak sahnya Penahanan, Penghentian Penuntutan Yang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan Mengenai Orangnya atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan Atau Penuntutan…………………………………………….22
G. Pelaksanaan Putusan Permintaan Ganti Kerugian
atau Rehabilitasi Akibat Tidak sahnya Penahanan, Penghentian PenuntutanYang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan Mengenai Orangnya atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan Atau Penuntutan ………………………..24
H. Latihan…………………………………………………25
BAB V PENERIMAAN DAN PENELITIAN TERSANGKA ............ 26
A. Dasar Hukum …………………………………………26
B. Prosedur Penerimaan dan Penelitian Tersangka…26
C. Latihan…………………………………………………27
iii
BAB VI PENERIMAAN DAN PENELITIAN BARANG BUKTI ...... 28
A. Dasar Hukum………………………………………….28
B. Prosedur Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti .28
C. Latihan …………………………………………………29 BAB VII PENANGGUHAN PENAHANAN ................................... 31
A. Dasar Hukum …………………………………………31
B. Prosedur Penangguhan Penahanan………………..32
C. Latihan…………………………………………………33
BAB VIII PEMBANTARAN PENAHANAN .................................... 35
A. Dasar Hukum …………………………………………35
B. Prosedur Pembantaran Penahanan………………..36
C. Latihan…………………………………………………37
BAB IX PELIMPAHAN PERKARA KE PENGADILAN ................. 38
A. Kompetensi Pengadilan………………………………38
B. Komponen Pelimpahan………………………………40
C. Acara Pemeriksaan…………………………………...40
D. Prosedur Pelimpahan Perkara Ke Pengadilan…….42
E. Dalam Hal Perkara Tidak Termasuk Wewenang Pengadilan Negeri Dimana BP Di Limpahkan, Sehingga Ditolak Oleh Pengadilan Karena Bukan Kompetensinya………………………………………. 42
F. Latihan…………………………………………………43
iv
BAB X EKSEPSI / KEBERATAN ................................................ 44
A. Pengertian Dan Ruang Lingkup Eksepsi ………….44
B. Tanggapan JPU Terhadap Eksepsi ………………..44
C. Putusan Sela dan Upaya JPU……………………….45
D. Latihan…………………………………………………45
BAB XI TEKNIK PEMERIKSAAN DAN PEMBUKTIAN
DI PENGADILAN .......................................................... 46
I. Teknik Pemeriksaan…………………………………46 1.1. Prinsip Pemeriksaan Sidang Di Pengadilan.47 1.2. Acara Pemeriksaan Biasa…………………...49 1.3. Acara Pemeriksaan Singkat………………….57 1.4. Acara Pemeriksaan Cepat…………………...58 1.5. Latihan…………………………………………59
II. Pembuktian……………………………………………..59
II.1 Pengertian………………………………………59 II.2 Sistem Teori Pembuktian dan Kekuatan
Pembuktian masing-masing alat bukti ………60 II.3 Prinsip Pembuktian…………………………….63 II.4. Alat Bukti ……………………………………….64 II.5. Beban Pembuktian Terbalik Dan Terbalik
Terbatas ………………………………………..75 II.6 Latihan………………………………………….77
BAB XII SURAT TUNTUTAN PIDANA ........................................ 78
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Penuntutan………78
B. Sistematika Surat Tuntutan…………………………80
C. Replik / Jawaban Atas Pembelaan Pledoi…………85
D. Rangkuman……………………………………………86
E. Diskusi dan Praktek Membuat Tuntutan Pidana dan Replik…………………………………………………..86
v
F. Latihan………………………………………………..86
G. Balikan dan Tindak Lanjut………………………….87 BAB XIII MENGHENTIKAN PENUNTUTAN ............................... 88
A. Alasan Penghentian Penuntutan…………………..88
B. Mengesampingkan Perkara Untuk Kepentingn Umum…………………………………………………89
C. Perbedaan Penghentian Penuntutan dengan
Penyampingan Perkara Untuk Kepentingan Umum 90
D. Latihan…………………………………………………90 BAB XIV PUTUSAN PENGADILAN ............................................ 91
A. Proses Pengambilan Putusan……………………….91
B. Jenis Putusan………………………………………….92
C. Jenis Pidana…………………………………………...92
D. Latihan…………………………………………………94 BAB XV PENUTUP……………………………………………..... 95
A. Kesimpulan …………………………………………...95
B. Implikasi.................................................................... 95
C. Tindak Lanjut……………………………………………. 96
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 97
Modul Penuntutan 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejaksaan Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan yang dilakukan untuk
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dengan tetap menghargai nilai dan
prinsip hukum dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai lembaga pemerintahan
yang melaksanakan tugas penuntutan, maka penuntutan yang dilaksanakan
Kejaksaan perlu diarahkan dalam rangka mengikuti re-orientasi pembaruan hukum
pidana, mempertimbangkan tingkat ketercelaan, sikap batin pelaku, kepentingan
hukum yang dilindungi, kerugian atau akibat yang ditimbulkan, serta memperhatikan
rasa keadilan masyarakat termasuk kearifan lokal.
Sebagai implementasi dari pelaksanaan kewenangan Kejaksaan di bidang
penuntutan maka Diklat pembentukan Jaksa diharapkan dapat membentuk Jaksa
yang mampu melaksanakan penuntutan yang mengakomodasi tujuan hukum dan
pertimbangan dimaksud dengan tetap menyesuaikan dengan perkembangan hukum
dan masyarakat.
B. Deskripsi Singkat
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan. Ruang lingkup materi penuntutan dalam modul ini akan memberikan
pengetahuan dan keterampilan teknis terkait pekerjaan Penuntut Umum di tahap
penuntutan yang dimulai dari pemeriksaan tambahan, praperadilan, penerimaan dan
penelitian Tersangka (tahap II), penerimaan dan penelitian barang bukti (tahap II),
penangguhan penahanan, pembantaran penahanan, pelimpahan perkara ke
pengadilan, pemanggilan saksi, ahli, terdakwa, terpidana tanggung jawab atas
tersangka dan barang bukti, penyusunan tuntutan pidana, pengesampingan perkara
demi kepentingan umum sampai dengan penerbitan surat ketetapan penghentian
penuntutan (SKPP).
C. Tujuan Pembelajaran
1. Tujuan Instruksional Umum / Kompetensi Dasar.
Modul Penuntutan 2
Setelah mengikuti pembelajaran dan pelatihan peserta Diklat mampu membuat surat
ketetapan penghentian penuntutan, pemeriksaan tambahan, praperadilan, membuat
surat pelimpahan perkara ke pengadilan, menyusunperlawanan dan pendapat
penuntut umum terhadap keberatan penasihathukum, menyusun surat tuntutan
pidana dan replik atas pembelaan terdakwa atau penasihat hukum.
2. Tujuan Instruksional Khusus
a. Peserta mampu memahami pengertian, ruang Iingkup, dan dasar hukum
penuntutan.
b. Peserta Peserta mampu memahami pemeriksaan tambahan,
c. Peserta mampu memahami praperadilan,
d. Peserta mampu memahami penerimaan dan penelitian Tersangka (tahap II),
e. Peserta mampu memahami penerimaan dan penelitian barang bukti (tahap II),
f. Peserta mampu memahami penangguhan penahanan, pembantaran penahanan,
g. Peserta mampu memahami pelimpahan perkara ke pengadilan,
h. Peserta mampu memahami penghentian penuntutan,
i. Peserta mampu memahami pemanggilan saksi, ahli, terdakwa, terpidana
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti,
j. Peserta mampu memahami penyusunan tuntutan pidana,
k. Peserta mampu memahami pengesampingan perkara demi kepentingan umum
l. Peserta mampu memahami penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan
(SKPP).
D. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan mampu :
a. Memahami pengertian, ruang lingkup dasar hukum penuntutan.
b. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur pemeriksaan tambahan,
c. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur praperadilan,
d. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penerimaan dan penelitian
Tersangka (tahap II),
e. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penerimaan dan penelitian
barang bukti (tahap II),
f. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penangguhan penahanan,
g. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur pembantaran penahanan,
h. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur pelimpahan perkara ke
pengadilan
i. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penghentian penuntutan
Modul Penuntutan 3
j. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur pemanggilan saksi, ahli,
terdakwa, terpidana tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti,
k. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penyusunan tuntutan
pidana,
l. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur pengesampingan perkara
demi kepentingan umum
m. Memahami, menjelaskan dan mempraktekan prosedur penerbitan surat
ketetapan penghentian penuntutan (SKPP).
E. Pokok / Sub Pokok Bahasan
a. Pengertian, ruang lingkup dan dasar hukum penuntutan.
1. Dasar Hukum Penuntutan
2. Pengertian Penuntutan.
3. Ruang Lingkup Penuntutan.
b. Pemeriksaan Tambahan
1. Dasar Hukum;
2. Hal Penting Yang Harus Diperhatikan tentang Pemeriksaan Tambahan;
3. Letak Pemeriksaan Tambahan;
4. Syarat Pemeriksaan Tambahan.
c. Praperadilan
1. Dasar Hukum;
2. Hal Penting yang Harus Diperhatikan Dalam Praperadilan;
3. Fungsi dan Letak Praperadilan Secara Adminitratif dan Yuridis ;
4. Prosedur Dan Hukum Acara Pemeriksaan Praperadilan;
5. Pelaksanaan Putusan Praperadilan;
6. Permintaan Ganti Kerugian Dan Atau Rehabilitasi Akibat Tidak Sahnya
Penahanan, Penghentian Penuntutan Atau Dikenakan Tindakan Lain1 Tanpa
Alasan Yang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan Mengenai
Orangnya Atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan Atau
Penuntutan;
7. Pelaksanaan Putusan Permintaan Ganti Kerugian Dan Atau Rehabilitasi Akibat
Tidak Sahnya Penahanan, Penghentian Penuntutan Atau Dikenakan Tindakan
1 Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP ini ialah tindakan-tindakan paksa hukum lainnya seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan barang, bukti surat-surat yang dilakukan secara melawan hukum dan menimbullkan kerugian materil. Hal ini dikarenakan adanya pandangan bahwa hak-hak terhadap benda dan hak-hak privacy tersebut perlu dilindungi terhadap tindakan – tindakan yang melawan hukum.
Modul Penuntutan 4
Lain2 Tanpa Alasan Yang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan
Mengenai Orangnya Atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan
Atau Penuntutan
d. Penerimaan dan Penelitian Tersangka (Tahap II)
Prosedur Penerimaan dan Penelitian Tersangka (Tahap II)
e. Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti (Tahap II)
Prosedur Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti (Tahap II)
f. Penangguhan Penahanan
1. Dasar Hukum;
2. Prosedur Penangguhan Penahanan.
g. Pembantaran
1. Dasar Hukum;
2. Prosedur Pembantaran Penahanan.
h. Pelimpahan perkara
1. Kompetensi pengadilan
2. Komponen pelimpahan
3. Acara pemeriksaan
i. Eksepsi/Keberatan
1. Pengertian dan ruang lingkup eksepsi
2. Pendapat JPU terhadap eksepsi
3. Putusan sela dan upaya JPU
j. Teknik pemeriksaan dan pembuktian di Pengadilan
1. Pemeriksaan saksi
2. Pemeriksaan ahli
3. Pemeriksaan barang bukti
4. Pemeriksaan harta kekayaan (asset)
5. Petunjuk
6. Pemeriksaan terdakwa
7. Alat bukti di luar KUHAP
8. Pembuktian terbalik
k. Surat tuntutan pidana
1. Pengertian dan ruang lingkup surat tuntutan
2 Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP: Yang dimaksud dengan “kerugian karena dikenakan tindakan lain” ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah. Termasuk penahanan tanpa alasan yaitu penahanan yang lebih lama dari pada pidana yang dijatuhkan.
Modul Penuntutan 5
2. Substansi surat tuntutan
3. Tekhnik penyusunan surat tuntutan
4. Pembuatan replik
g.Penghentian Penuntutan
1. Alasan penghentian penuntutan
2. Pengenyampingan perkara (deponering)
F. Petunjuk Belajar dan Latihan
a. Baca dan kuasai setiap bab
b. Lanjutkan bab berikut dengan cara yang sama
c. Lakukan diskusi kelompok
d. Presentasi hasil diskusi keiornpok
e. Tanya jawab dan curah pendapat
f. Latihan dengan menggunakan format formulir perkara
G. Metoda Pembelajaran dan Pelatihan
a. Ceramah
b. Diskusi / tugas kelompok
c. Presentasi hasil tugas kelompok
d. Tanya jawab / diskusi kelas
e. Tugas baca dan latihan
H. Media
a. White board
b. OHP
C. Power poin / laptop / proyektor
d. Alat tulis
e. Berkas perkara
Modul Penuntutan 6
BAB II PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP DAN DASAR HUKUM
PENUNTUTAN
Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu:
1. Memahami pengertian penuntutan
2. Memahami ruang lingkup penuntutan
A. DASAR HUKUM PENUNTUTAN
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP):
a. Pasal 137, mnegatur:
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang
didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan
melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
b. Pasal 140 ayat (1), mengatur:
Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
c. Pasal 143 ayat (1), mengatur:
Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan
permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat
dakwaan.
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan RI :
a. Pasal 30, ayat (1) huruf a mengatur:
Di bidang pidana, kejaksaan membunyai tugas dan wewenang melakukan
penuntutan.
b. Pasal 35 huruf a, mengatur:
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menetapkan serta mengendalikan
kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang
Kejaksaan
B. PENGERTIAN PENUNTUTAN
1. Secara Yuridis
Penuntutan secara yuridis adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkarapidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menuntut
Modul Penuntutan 7
carayang di atur dalam undang-undang ini, dengan permintaan supaya diperiksadan
diputus oleh Hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 7 KUHAP).
Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka secara teknis yuridis, penuntutandimulai
dengan melimpahkan perkara ke pengadilan oleh penuntut umum.
2. Secara Administratif, Penuntutan sudah dimulai sejak diterimanya penyerahan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (penyerahan tahap II) dimana
berkas perkara, tersangka dan barang bukti telah dimasukkan dalam buku register
perkara (RP.9). Sejak saat itulah perkara sudah berada dalam tahap penuntutan,
meskipun penuntut umum belum melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan.
Dengan mengacu kepada pengertian penuntutan secara administratif di atas, maka
pengertian penuntutan termasuk penghentian penuntutan, karena suatu perkara
pidana baru dapat dihentikan penuntutannya, setelah perkara tersebut beralih
tanggung jawab dari penyidik kepada penuntut umum, dan dari situlah penuntut
umum segera menentukan sikap apakah berkas perkara tersebut memenuhi syarat
untuk dapat atau tidak dapat dilimpahkan ke pengadilan sebagaimana ditentukankan
dalam Pasal 139 KUHAP.
C. RUANG LINGKUP PENUNTUTAN
Sesuai dengan pengertian Penuntutan yang dianut secara administrative
berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : KEP-518/A/J.A/11/2001 tanggal 1
November 2001, maka Penuntutan terhitung sejak penerimaan tanggung jawab atas
tersangka dan barang bukti (Penyerahan Tahap II) dan setelah dicatat dalam Register
Perkara (RP-9), Register Barang Bukti (RB-1) dan Register Tahanan (RT 17)
Oleh karena itu ruang lingkup penuntutan yang dianut dalam pembelajaran ini,
meliputi:
a. Pemeriksaan Tambahan
b. Praperadilan
c. Penerimaan dan Penelitian Tersangka (tahap II), pasal 8 ayat (3) KUHAP
d. Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti (tahap II)
e. Penangguhan Penahanan
f. Pembantaran Penahanan
g. Pelimpahan perkara ke Pengadilan
h. Penghentian Penuntutan
i. Pemanggilan saksi, ahli, terdakwa, terpidana tanggung jawab atas tersangka dan
barang bukti
j. Penyusunan tuntutan pidana, Pasal 182 KUHAP
Modul Penuntutan 8
k. Pengesampingan Perkara Demi Kepentingan Umum
D. INSTRUKSIONAL
1. Widyaiswara / Peserta mampu menjelaskan pengertian dan ruang lingkup penuntutan
2. Widyaiswara / Peserta menjelaskan pokok dan sub pokok bahasan serta memotivasi
peserta mencapai indikator keberhasilan.
E. LATIHAN
1) Jelaskan ruang lingkup penuntutan menurut teknis yuridis maupun secara
administratif?
2) Jelaskan ruang lingkup Penuntutan?
3) Jelaskan dasar hukum Penuntutan?
Modul Penuntutan 9
BAB III PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu :
1. Memahami dasar hukum pemeriksaan tambahan;
2. Memahami hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan tambahan;
3. Memahami pada tahapan apa pemeriksaan tambahan dilaksanakan;
4. Memahami dalam hal apa, syarat atau kondisi apa pemeriksaan tambahan dapat
dilaksanakan; serta
5. Mempraktekkan pemeriksaan tambahan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya
A. Dasar Hukum
KUHAP tidak mengatur secara eksplisit ketentuan terkait pemeriksaan
tambahan, meskipun dengan membaca ketentuan terkait penelitian berkas perkara
hingga dinyatakan lengkap, dalam pasal 138 KUHAP yang menyatakan,
“(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera
mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap
atau belum; (2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk
tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat
belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.”
Maka apabila ketentuan itu dibaca dalam landasan filosofi hak asasi manusia
untuk mempercepat akses seorang tersangka segera mendapat kepastian akan
nasibnya, ruang untuk bolak-baliknya berkas perkara itu seharusnya ada
batasannya. Pengaturan terkait batas waktu 7 (tujuh) hari untuk menentukan sikap
dan 14 (empat belas hari) untuk melengkapi kekurangan berkas perkara sesuai
petunjuk Penuntut Umum yang tidak diikuti dengan ketentutan yang bersifat lebih
tegas mengenai berapa kali hal itu dapat dilakukan menyebabkan aparat penegak
hukum kemudian mengartikan bahwa proses penelitian dan pengembalian berkas
perkara untuk dilengkapi itu dapat berlangsung berkali-kali. Padahal apabila
dihubungkan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan di bidang hukum pidana
untuk melakukan pemeriksaan tambahan, maka dalam hal setelah 14 (empat belas)
Modul Penuntutan 10
hari Penyidik tidak juga dapat melengkapi berkas perkara, Penuntut Umum dapat
melanjutkan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik dengan melakukan
pemeriksaan tambahan.
Pemeriksaan tambahan diatur dalam:
a. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4401);
b. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum kepada Kepala Kejaksaan
Tinggi Seluruh Indonesia Nomor: B-536/E/11/1993 tanggal 1 Nopember 1993
perihal Melengkapi Berkas Perkara Dengan Melakukan Pemeriksaan
Tambahan.
c. Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-518/A/J.A/11/2001 tentang Perubahan
Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-132/J.A/11/1994
tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, mengatur3:
“Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan
penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan
keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana
tertentu berdasarkan undang-undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu
dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan
ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik”.
Kemudian ditambahkan dalam penjelasan pasal, yang mengatur syarat atau
dalam hal apa pemeriksaan tambahan dilakukan, sebagai berikut:
“Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Tidak dilakukan terhadap tersangka;
3 Penjelasan pasal 30 ayat (1) huruf e UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Modul Penuntutan 11
2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat
meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan
negara;
3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah
diselesaikan ketentuan pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
4) Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik”.
B. Hal Penting yang Harus Diperhatikan Dalam Pemeriksaan Tambahan
a. Apabila pemerksaan tambahan tidak dilaksanakan, maka alat bukti tidak dapat
dikumpulkan secara optimal;
b. Pemeriksaan tambahan dilaksanakan atas usul JPU P-16, apabila syarat-
syaratnya terpenuhi dan setelah mendapat persetujuan Kepala Kejaksaan
Negeri;
c. Pemeriksaan tambahan dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti
sehingga ada penilaian bahwa sudah terdapat fakta yang dapat meyakinkan
Hakim.
C. Letak Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan tambahan berada dalam tahap penuntutan yang didahului dengan
pengambilan keputusan oleh Kepala Kejaksaan Negeri atas usul Penuntut Umum
(dalam hal ini JPU P-16) pada Berita Acara Pendapat Hasil Penelitian Berkas
Perkara (P-24) dan check list terhadap berkas perkara hasil penyidikan, yang setelah
dikembalikan dengan petunjuk sebanyak 2 (dua) kali ternyata setelah ke-2 (dua)
kalinya Penyidk mengembalikan berkas perkara, belum juga dapat melengkapi
petunjuk Penuntut Umum
D. Syarat atau Kondisi Kapan Pemeriksaan Tambahan Dilakukan
Pemeriksaan tambahan dilaksanakan apabila masih dalam batas waktu 14
hari penyidikan tambahan sejak diterimanya pengembalian berkas perkara (BP)
dengan petunjuk (P-19) kedua, Penyidik mengembalikan BP, namun pada P-19
kedua itu pun Penyidik belum dapat memenuhi baik sebagian atau seluruh petunjuk
JPU P-16.
Apabila perkara yang sampai dengan petunjuk yang ke-2 itu ternyata
merupakan perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan
masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara, JPU P-16
Modul Penuntutan 12
kemudian meneliti kembali berkas perkara yang belum lengkap tersebut. Dalam hal
JPU P-16 menemukan syarat atau kondisi sebagai berikut:
a. Ada dugaan tindak pidana;
b. Ada minimal 1 (satu) alat bukti baik terhadap perbuatan pidana maupun terhadap
pertanggungjawaban pidana;
c. Ada Berita Acara Pemeriksaan Tersangka,
maka JPU P-16 dapat mengusulkan kepada Kajari untuk melakukan
pemeriksaan tambahan
Usul JPU P-16 untuk melakukan pemeriksaan tambahan dituangkan dalam
Berita Acara Pendapat Hasil Penelitian BP (P-24) dan check list kemudian
diserahkan kepada Kepala seksi bidang tindak pidana terkait/Asisten pada bidang
terkait/Direktur pada direktorat terkait. Kepala seksi bidang tindak pidana
terkait/Asisten pada bidang terkait/Direktur pada direktorat terkait akan memberikan
saran/pendapat dalam P-24 dan check list atas usul JPU P-16 melakukan
pemeriksaan tambahan kemudian meneruskan kepada Kepala Kejaksaan
Negeri/Kepala Kejaksaan Tinggi/Jaksa Agung Muda untuk mendapatkan petunjuk.
Atas usul JPU P-16 dan saran/pendapat Kepala seksi bidang tindak pidana
terkait/Asisten pada bidang terkait/Direktur pada direktorat terkait, sebelum
mengambil keputusan Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Kejaksaan Tinggi/Jaksa
Agung Muda dapat melakukan 3 (tiga) opsi yang dicantumkan sebagai petunjuk
dalam P-24 dan check list, sebagai berikut:
a. setuju dilakukan pemeriksaan tambahan dan memerintahkan Kepala seksi
bidang tindak pidana terkait/Asisten pada bidang terkait/Direktur pada direktorat
terkait untuk membuat Surat Penyerahan tersangka dan barang bukti (untuk
dilakukan pemeriksaan tambahan P-22)
b. Dilakukan ekspos terlebih dahulu dengan atau tanpa Penyidik; atau
c. Dalam hal Kajari tidak setuju, agar JPU P-16 mengembalikan BP dengan
format surat biasa disertai petunjuk agar Penyidik menentukan sikap
sebagaimana pasal 109 ayat (2) KUHAP.
E. Prosedur Pemeriksaan Tambahan
Prosedur pemeriksaan tambahan dijabarkan dalam Surat Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Umum kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Seluruh Indonesia Nomor: B-
536/E/11/1993 tanggal 1 Nopember 1993 perihal Melengkapi Berkas Perkara
Dengan Melakukan Pemeriksaan Tambahan dan saat ini sedang disusun dalam
bentuk Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum
Modul Penuntutan 13
oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum agar dapat menjadi suatu rangkaian
aksi yang spesifik, tindakan atau operasi yang harus dijalankan atau dieksekusi
dengan cara yang baku (sama) agar selalu memperoleh hasil yang sama dari
keadaan yang sama.
Pemeriksaan tambahan dilaksanakan dalam hal Kepala Kejaksaan
Negeri/Kepala Kejaksaan Tinggi/Jaksa Agung Muda setuju melakukan pemeriksaan
tambahan dan memerintahkan Kepala seksi bidang tindak pidana terkait/Asisten
pada bidang terkait/Direktur pada direktorat terkait untuk membuat Surat Penyerahan
tersangka dan barang bukti (untuk dilakukan pemeriksaan tambahan P-22),
kemudian dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Setelah menerima surat pengantar surat pengantar penyerahan tersangka dan
barang bukti untuk dilakukan pemeriksaan tambahan dari Penyidik berdasarkan P-
22, Kepala Kejaksaan Negeri menerbitkan Surat Perintah Melengkapi Berkas
Perkara (P-25)
2. Penuntut Umum yang mendapatkan surat perintah untuk melakukan pemeriksaan
tambahan (JPU P-25) adalah penuntut umum yang ditunjuk untuk melakukan
pemeriksaan tambahan, dimana penunjukannya diprioritaskan kepada penuntut
umum yang melakukan pemantauan perkembangan penyidikan (JPU P-16)
dimana JPU P-16 dimaksud telah melakukan penelitian BP dan menemukan
syarat atau kondisi agar perkara dapat dilakukan pemeriksaan tambahan
3. Setelah mendapatkan P-25, JPU P-25 melakukan pemeriksaan tambahan
4. Pemeriksaan tambahan dilakukan menurut tata cara penyidikan sesuai hukum
acara pidana yang berlaku kecuali melakukan pemeriksaan Tersangka4.
5. Dalam hal dilakukan penahanan terhadap Tersangka, maka jangka waktu
penahanan yang digunakan adalah jangka waktu penahanan penuntutan5
4 Penjelasan pasal 30 ayat (1) huruf e UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan: ““Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1) Tidak dilakukan terhadap tersangka; 2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat,
dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara; 3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan ketentuan pasal 110 dan
138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; 4) Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik”. 5 Pasal 25 (1) KUHAP: Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari; (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari;
Modul Penuntutan 14
6. Setelah dilakukan pemeriksaan tambahan, menuangkan hasil pemeriksaan
tambahan dalam Berita Acara pendapat (hasil pemeriksaan tambahan) dan
menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari)
7. Atas Berita Acara pendapat (hasil pemeriksaan tambahan) Kajari dapat
memberikan disposisi dilaksanakan atau tidak dilaksanakan gelar perkara dalam
kartu penerus disposisi
8. Dalam hal dilaksanakan gelar perkara, Kajari memerintahkan Kasi Pidum untuk
menyiapkan gelar perkara dengan/tanpa mengundang peserta gelar perkara dari
luar (penyidik/ahli)
9. JPU P-25 melaksanakan gelar perkara dengan dihadiri oleh peserta ekspose
seperti Kajari, Kasi Pidum, Kasubsi Pratut, Kasubsi Tut dan peserta ekspose
undangan lainnya
10. Pelaksanaan gelar perkara menghasilkan 2 (dua) alternatif kondisi yaitu:
a. Pemeriksaan tambahan lengkap;
b. Pemeriksaan tambahan tidak lengkap
11. Dalam hal hasil ekspose menyatakan pemeriksaan tambahan lengkap, maka
JPU P-25:
a. membuat berita acara hasil ekspose
b. menyusun hasil pemeriksaan tambahan dalam bentuk BP yang terpisah
dari BP Penyidik dibuat 2 (dua) rangkap
c. membuat nota dinas hasil pemeriksaan tambahan lengkap
d. membuat Berita acara pendapat (Resume) (BA-14)
e. menyerahkan kelengkapan berkas pemeriksaan tambahan kepada Kajari
f. melimpahkan perkara ke pengadilan setelah menerima perintah Kasi Pidum
atas disposisi Kajari.
12. Dalam hal hasil ekspose menyatakan pemeriksaan tambahan tidak lengkap,
maka JPU P-25:
a. membuat berita acara hasil ekspose sebanyak 3 (tiga) rangkap. 3 (tiga)
rangkap BA hasil ekspose untuk: Kajati (sebagai lampiran pemberitahuan
penghentian penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati); JPU P-25
(yang ada disposisi Kajari pada KPD) dan Kajari (sebagai arsip)
b. membuat konsep pemberitahuan penghentian penuntutan kepada Kajati
yang ditandatangani oleh Kajari
c. menyusun hasil pemeriksaan tambahan dalam bentuk BP yang terpisah dari
BP Penyidik dibuat 1 (satu) rangkap
d. membuat Berita acara pendapat (Resume) (BA-14)
Modul Penuntutan 15
e. membuat konsep Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan untuk
ditandatangani oleh Kajari atas perintah Kasi Pidum setelah menerima
disposisi dari Kajari
F. LATIHAN
1. Tindakan penyidikan apa saja yang dapat dilakukan Penuntut Umum dalam
pemeriksaan tambahan?
2. Pada tahap apa pemeriksaan tambahan dilakukan?
3. Dalam hal/kondisi apa pemeriksaan tambahan dilakukan?
4. Apa yang terjadi jika pemeriksaan tambahan tidak dilakukan?
5. Apakah pemeriksaan tambahan dilakukan setelah berkas perkara dinyatakan
lengkap? Apa alasan Saudara?
Modul Penuntutan 16
BAB IV PRAPERADILAN
Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu :
1. Memahami dasar hukum Praperadilan;
2. Memahami hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam Praperadilan;
3. Memahami fungsi praperadilan, pada tahap apa praperadilan dilaksanakan serta pada
siapa yang bertanggungjawab secara administratif; serta
4. Mempraktekkan Praperadilan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya
A. Dasar Hukum
1. Pasal 77 sampai dengan 83 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3209);
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 65/PUU-IX/2011 tanggal
19 April 2012;
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2012 tanggal
28 Oktober 2014;
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 102/PUU-XIII/2015 tanggal
9 November 2016;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan
KUHAP, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92
Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
6. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang
Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan;
7. Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Larangan Pengajuan Praperadilan Bagi
Tersangka Yang Melarikan Diri Atau Sedang Dalam Status Daftar Pencarian Orang
(DPO);
8. Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-518/A/J.A/11/2001 tentang Perubahan
Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-132/J.A/11/1994 tentang
Administrasi Perkara Tindak Pidana.
Modul Penuntutan 17
B. Hal Penting yang Harus Diperhatikan Dalam Praperadilan
1. Apabila prosedur Praperadilan tidak dilaksanakan, maka Kejaksaan sebagai Turut
Termohon atau Termohon II tidak dapat membuktikan prosedur penanganan perkara
terkait penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan telah sah
sesuai ketentuan undang-undang;
2. Praperadilan diajukan dan diproses sebelum perkara pokok disidangkan di
pengadilan Negeri, jika perkara pokok sudah mulai diperiksa maka Praperadilan
gugur6;
3. Putusan praperadilan tidak bisa diajukan banding7;
4. Putusan praperadilan tidak bisa diajukan kasasi8;
5. Putusan praperadilan tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali9;
6. Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang
larangan Peninjauan Kembali putusan praperadilan, maka dalam hal putusan
praperadilan ditemukan indikasi penyeludupan hukum tidak dapat diajukan
Peninjauan Kembali sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2014, khusus hal dimaksud dicabut dan dinyatakan tidak berlaku10;
7. Dengan berlakunya Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Larangan
Pengajuan Praperadilan Bagi Tersangka Yang Melarikan Diri Atau Sedang Dalam
Status Daftar Pencarian Orang (DPO), maka dalam hal tersangka melarikan diri atau
dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO), tidak dapat diajukan permintaan
praperadilan, baik dimohonkan oleh tersangka, penasehat hukum atau keluarganya,
6 Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang menentukan bahwa apabila suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan permintaan mengenai praperadilan belum selesai, maka praperadilan tersebut gugur. 7 Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 65/PUU-IX/2011 tanggal 19 April 2012: Pasal 83 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena Menurut Mahkamah, filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat, untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum maka yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah pemberian hak banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP. 8 Pasal 45A Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menentukan larangan diajukan kasasi terhadap putusan Praperadilan 9 Pasal 3 Perma Nomor 4 Tahun 2016: (1) Putusan Praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali (2) Permohonan peninjauan kembali terhadap praperadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan Ketua Pengadilan negeri dan berkas perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung (3) Penetapan Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan upaya hukum. 10 Pasal 6 Perma juga mencabut SEMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, khususnya mengenai peninjauan kembali terhadap putusan Praperadilan dalam hal ditemukan indikasi penyeleundupan hukum, dicabut dan dinatakan tidak berlaku.
Modul Penuntutan 18
dan terhadap putusan yang menyatakan permohonan praperadilan tersebut tidak
dapat diterima, tidak dapat diajukan upaya hukum.
C. Fungsi dan Letak Praperadilan Secara Adminitratif dan Yuridis
Pemeriksaan praperadilan dilakukan untuk memeriksa dan memutus sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan sebagaimana dalam pasal 77 huruf a KUHAP termasuk penetapan
Tersangka, penggeledahan dan penyitaan (vide Putusan MK No. 21/PUU-XII/2012
tanggal 28 Oktober 2014), ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Mekanisme praperadilan yang melibatkan Kejaksaan sebagai turut Termohon
atau Termohon II dapat terjadi pada tahap prapenuntutan dan tahap penuntutan.
Apabila Kejaksaan menjadi turut Termohon atau Termohon II karena penangkapan,
penahanan atau penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik, maka
sehingga secara administrasi praperadilan menjadi tanggung jawab Kasubdit
Pratut/Kasi /Kasubsi Pratut/Kasubsi Pidum dan Pidsus, sedangkan dalam hal
Kejaksaan menjadi Termohon karena penghentian penuntutan dalam tahap
penuntutan, maka secara administrasi menjadi tanggung jawab Kasubsi Penuntutan.
Registrasi praperadilan menjadi kebutuhan di Kejaksaan meskipun tidak diatur
dalam Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-518/A/J.A/11/2001 tentang
Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-132/J.A/11/1994
tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. Regster praperadilan harus
mengakomodir prapreadilan pada tahap penyidikan, penuntutan dan pelaksanakan
putusan praperadilan sehingga dibutuhkan 3 (tiga) register yaitu:
1. Register praperadilan tahap penyidikan secara administratif menjadi tanggung
jawab Kasubdit Pratut/Kasi /Kasubsi Pratut/Kasubsi Pidum dan Pidsus.
2. Register praperadilan tahap penuntutan secara administratif menjadi tanggung
jawab Kasubsi Penuntutan.
3. Register praperadilan dengan objek praperadilan permintaan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi secara administratif menjadi tanggung jawab Kasubsi Eksekusi dan
Eksaminasi.
D. Prosedur Dan Hukum Acara Pemeriksaan Praperadilan
1. setelah menerima surat panggilan sidang praperadilan dari Pengadilan dengan
permohonan praperadilan dari Pemohon sebagai lampiran, Kepala Kejaksaan
Negeri menerbitkan Surat Perintah Penunjukan Penuntut Umum Untuk Sidang
Modul Penuntutan 19
Praperadilan11, namun dalam Penunjukan JPU-Prapid, sedapat mungkin bukan
JPU P-16A, karena JPU P-16A dalam sidang praperadilan dapat memberikan
keterangan sebagai pejabat yang berwenang untuk menjelaskan prosedur yang
menjadi materi praperadilan sebagaimana dalam pasal 82 ayat (1) huruf b
KUHAP12. Hal ini berbeda dengan petunjuk Surat JAM Pidum Nomor:
B-249/E/5/1996 tanggal 15 Mei 1996 perihal Penugasan Jaksa dalam
Praperadilan yang pada angka 3 ketentuannya lebih mengutamakan Jaksa yang
ditugasi melakukan penelitian terhadap berkas perkara dalam tahap
Prapenuntutan sehingga diharapkan penguasaan atas perkaranya akan lebih
baik dan pada Jaksa lainnya. Jaksa P-16 justru tidak ditunjuk sebagai Jaksa
Prapid karena Jaksa P-16 lebih dibutuhkan untuk memberikan keterangan di
depan persidangan sebagai pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud
pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP untuk menjelaskan tentang sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penuntutan atau benda yang disita termasuk atau tidak alat pembuktian
2. Kasubdit Pratut/Kasi /Kasubsi Pratut/Kasubsi Pidum dan Pidsus mencatat surat
panggilan sidang praperadilan pada register praperadilan tahap penyidikan,
sedangkan Kasubsi Penuntutan mencatatnya pada register praperadilan tahap
penuntutan, kemudian menyerahkan Surat Perintah Penunjukan Penuntut Umum
Untuk Sidang Praperadilan yang telah ditandatangi Kajari kepada JPU
Praperadilan (JPU Prapid);
3. Setelah menerima Surat Perintah Penunjukan Penuntut Umum Untuk Sidang
Praperadilan, JPU Prapid menyiapkan tanggapan atas permohonan
praperadilan;
4. Dalam hal surat panggilan sidang praperadilan diterima tanpa lampiran
permohonan praperadilan, maka pada saat sidang hari pertama praperadilan,
11 Surat JAM Pidum Nomor: B-249/E/5/1996 tanggal 15 Mei 1996 perihal Penugasan Jaksa dalam Praperadilan angka 2: Tidaklah tepat kalau penugasan Jaksa yang menangani masalah Praperadilan dituangkan dalam bentuk ”Surat Kuasa Khusus” yang dipakai dalam proses perkara perdata dan tata usaha negara. Akan lebih tepat apabila penugasan tersebut dituangkan dalam bentuk ”Surat Perintah" sebagaimana terlampir (template Surat Perintah terlampir); 3: Dalam menghadapi pemeriksaan sidang Praperadilan hendaknya lebih diutamakan untuk Jaksa yang ditugasi melakukan penelitian terhadap berkas perkara dalam tahap Prapenuntutan sehingga diharapkan penguasaan atas perkaranya akan lebih baik dan pada Jaksa lainnya. 12 Pasal 82 ayat (1) huruf b: dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang
Modul Penuntutan 20
JPU Prapid mengajukan penundaan sidang dengan alasan belum menerima
permohonan praperadilan;
5. JPU Prapid menghadiri sidang praperadilan sesuai jadwal sidang;
6. JPU Prapid membacakan tanggapan atas permohonan praperadilan;
7. JPU Prapid menghadirkan pejabat yang berwenang memberikan keterangan di
hadapan sidang praperadilan, termasuk alat bukti lain yang relevan;
8. JPU Prapid membacakan kesimpulan Termohon
9. Persidangan perkara praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal karena sifat
pemeriksaannya tergolong singkat dan pembuktiannya hanya memeriksa aspek
formil
10. Pemeriksaan praperadilan paling lama 7 (tujuh) hari sebagaimana dalam pasal
82 ayat (1) huruf c KUHAP
11. Frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” dimaknai permintaan praperadilan
gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama
terhadap pokok perkara (vide Putusan MK No. 102/PUU-XIII/2015 tanggal 9
November 2016);
12. Dalam hal hakim menghendaki dipanggilnya pejabat yang berwenang untuk
memberi keterangan di hadapan sidang pengadilan, JPU-Prapid menghadirkan
pejabat yang relevan dengan permohonan materi praperadilan (seperti: JPU P-
16A / atasan JPU P-16A, Penyidik/ atasan penyidik, atau pejabat terkait lainnya)
13. JPU-Prapid membuktikan telah ada 2 (dua) alat bukti terhadap13:
perbuatan pidana dan/atau
pertanggunggjawaban pidana14
Hanya untuk membuktikan aspek formil yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua)
alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara
13 Sehubungan dalam menetapkan, menangkap dan menahan tersangka hanya dapat dilakukan berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2012 Tanggal 28 Oktober 2014 Tentang frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” pada pasal 1 angka 14, pasal 17, dan pasal 21 ayat (1) KUHAP) maka sebelum melakukan penahanan, Penyidik harus melampirkan surat Penetapan Tersangka, sebagai hasil penyidikan dalam surat permintaan perpanjangan penahanannya untuk membuktikan bahwa ketika menahan Tersangka, Penyidik sudah memiliki 2 (dua) alat bukti yang cukup (vide Putusan Praperadilan Nomor: 04/Pid. Prad/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 16 Februari 2015), dimana sebelumnya ketika menyampaikan dimulainya Penyidikan, Penyidik belum dapat menetapkan siapa tersangkanya 14 pandangan dualistis melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, di mana pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, yakni dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana.
Modul Penuntutan 21
14. Penilaian aspek formil terhadap alat bukti adalah apakah alat bukti tersebut telah
dilakukan berdasarkan cara yang sah (lawful legal evidence) dan terpenuhi
syarat administratifnya
15. JPU Prapid membuat laporan hasil persidangan praperadilan dan laporan
Penuntut Umum setelah putusan praperadilan atau laporan Penuntut Umum
setelah penetapan praperadilan (ganti kerugian & rehabilitasi);
16. Petikan putusan praperadilan diterbitkan segera setelah putusan diucapkan dan
salinan putusan diberikan 14 hari sejak putusan diucapkan (vide SEMA No. 1
Tahun 2011 tentang Perubahan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun
2010 tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan)
17. Setelah 14 hari, pengadilan belum menyampaikan putusan, JPU-Prapid
mengambil sikap untuk proaktif menghubungi panitera pengadilan atau
berkoordinasi dengan hakim/Ketua Pengadilan Negeri dan apabila dipandang
perlu membuat surat permintaan salinan putusan karena pengadilan belum
menyampaikan salinan putusan setelah lewat 14 hari yang ditandatangani oleh
Kajari dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan Tinggi
18. JPU Prapid melaksanakan putusan praperadilan
19. Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya
penetapan Tersangka tidak menggugurkan kewenangan Penyidik untuk
menetapkan yang bersangkutan sebagai Tersangka lagi setelah memenuhi
paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti
sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara (vide pasal 2 ayat (3)
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang
Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan)
E. Pelaksanaan Putusan Praperadilan
1. Dalam hal penahanan ditetapkan tidak sah, JPU Prapid segera membebaskan
tersangka sesudah putusan praperadilan diucapkan dengan membuat Berita
Acara pelaksanaan perintah pengeluaran dari tahanan (BA-10) dan Berita Acara
pelaksanaan putusan pengadilan (BA-17)15;
15 Pasal 82 dan 83 ayat (1) huruf a KUHAP: Dalam hal putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka
Modul Penuntutan 22
2. Dalam hal penghentian penyidikan ditetapkan tidak sah, kemudian Penyidik
menindaklanjuti dengan melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan, maka JPU
P-16 menerima berkas perkara (Tahap I) dan meneliti berkas perkara;
3. Dalam hal penghentian penuntutan ditetapkan tidak sah, maka Kajari
memberikan pendapat pada Laporan Penuntut Umum setelah putusan
praperadilan dan mendisposisi pada Kasi Pidum untuk membuat konsep
permintaan persetujuan JA RI atas putusan praperadilan;
4. Berdasarkan jawaban JA RI atas surat permintaan persetujuan JA RI,
sebagaimana huruf c, JPU Prapid menindaklanjuti tindakan hukum sebagai
berikut :
a. Dalam hal JA RI setuju, Penuntut Umum melanjutkan penuntutan dengan
melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan;
b. Dalam hal JA RI tidak setuju, Penuntut Umum melanjutkan penuntutan
dengan melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan, kemudian menarik
surat dakwaan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai,
untuk mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari
sidang, dengan tujuan untuk tidak melanjutkan penuntutannya (vide pasal
144 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP);
5. Dalam hal penetapan Tersangka ditetapkan tidak sah, maka JPU Prapid segera
membebaskan Tersangka sesudah putusan praperadilan diucapkan dengan
membuat Berita Acara pelaksanaan perintah pengeluaran dari tahanan (BA-10)
dan Berita Acara pelaksanaan putusan pengadilan (BA-17)16.
F. Permintaan Ganti Kerugian Dan Atau Rehabilitasi Akibat Tidak Sahnya
Penahanan, Penghentian Penuntutan Atau Dikenakan Tindakan Lain17 Tanpa
Alasan Yang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan Mengenai
Orangnya Atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan Atau
Penuntutan
1. Permintaan Ganti Kerugian
16 Ibid 17 Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP ini ialah tindakan-tindakan paksa hukum lainnya seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan barang, bukti surat-surat yang dilakukan secara melawan hukum dan menimbullkan kerugian materil. Hal ini dikarenakan adanya pandangan bahwa hak-hak terhadap benda dan hak-hak privacy tersebut perlu dilindungi terhadap tindakan – tindakan yang melawan hukum.
Modul Penuntutan 23
6. Jangka waktu pengajuan tuntutan ganti kerugian oleh Tersangka, Terdakwa,
Terpidana atau ahli warisnya dilakukan18:
A. Dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal sejak
tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap diterima;
B. Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara
yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan, maka
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat tanggal
pemberitahuan penetapan praperadilan.
7. JPU Prapid mengikuti persidangan tuntutan ganti rugi sebagaimana acara
praperadilan.
8. Besarnya ganti kerugian untuk perkara yang dihentikan pada tingkat
penyidikan atau tingkat penuntutan, ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili
atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan paling sedikit Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan paling
banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). (vide pasal 9 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
9. Besarnya ganti kerugian yang mengakibatkan luka berat dan cacat sehingga
tidak bisa melakukan pekerjaan paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh
lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah). (vide pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana).
10. Besarnya ganti kerugian yang mengakibatkan mati paling sedikit Rp
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,-
(enam ratus juta rupiah) (vide pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana).
18 Pasal 77 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur perubahan tentang ganti kerugian dalam pelaksanaan KUHAP
Modul Penuntutan 24
11. Petikan putusan atau penetapan mengenai ganti kerugian diberikan kepada
pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan (vide pasal 10
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
12. Petikan putusan atau penetapan ganti kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan kepada penuntut umum, penyidik, dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan (vide pasal 10
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
13. Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian
diterima oleh Menteri Keuangan RI. (vide pasal 11 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
2. Permintaan Rehabilitasi
a. Jangka waktu pengajuan permintaan rehabilitasi selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan
atau penahanan diberitahukan kepada Pemohon.
b. JPU Prapid mengikuti persidangan permintaan rehabilitasi sebagaimana
acara praperadilan.
G. Pelaksanaan Putusan Permintaan Ganti Kerugian Dan Atau Rehabilitasi Akibat
Tidak Sahnya Penahanan, Penghentian Penuntutan Atau Dikenakan Tindakan
Lain19 Tanpa Alasan Yang Berdasarkan Undang-Undang Atau Karena Kekeliruan
Mengenai Orangnya Atau Hukum Atau Akibat Sahnya Penghentian Penyidikan
Atau Penuntutan
a. Dalam hal tuntutan ganti kerugian dikabulkan dalam penetapan Pengadilan
Negeri, maka :
19 Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP: Yang dimaksud dengan “kerugian karena dikenakan tindakan lain” ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah. Termasuk penahanan tanpa alasan yaitu penahanan yang lebih lama dari pada pidana yang dijatuhkan.
Modul Penuntutan 25
i. JPU Prapid menerima salinan penetapan mengenai ganti kerugian dalam
waktu 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan dari Pengadilan bersama
dengan penyidik, dan Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.
ii. Setelah menerima salinan penetapan, JPU Prapid membuat Laporan
Penuntut Umum setelah penetapan praperadilan (ganti kerugian &
rehabilitasi) secara berjenjang;
iii. Kajari membuat surat permohonan pembayaran ganti kerugian akibat
tidak sahnya penahanan secara berjenjang kepada JA RI melalui Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) dengan melampirkan
penetapan mengenai ganti kerugian.
iv. JA RI meneruskan kepada Jaksa Agung Muda Pembinaan untuk
membuat surat permintaan pembayaran ganti kerugian berdasarkan
putusan praperadilan kepada Menteri Keuangan RI.
v. Setelah ganti kerugian disetujui dan dikirimkan kepada Kejaksaan Negeri
yang bersangkutan, JPU Prapid melaksanakan penetapan hakim
menyerahkan uang ganti kerugian kepada Pemohon dengan membuat
Berita Acara pelaksanaan putusan pengadilan (BA-17)
b. Dalam hal permintaan rehabilitasi akibat putusan praperadilan menetapkan tidak
sahnya penahanan atau kekeliruan orang, maka :
i. Setelah menerima salinan putusan praperadilan JPU Prapid “Memulihkan
hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya”, JPU Prapid membuat Berita Acara pelaksanaan putusan
pengadilan (BA-17).
ii. Penetapan rehabilitasi diumumkan pada papan pengumuman pengadilan
oleh Panitera.
H. LATIHAN
1. Bagaimana cara melaksanakan putusan praperadilan atas rehabilitasi ?
2. Bagaimana hukum acara/prosedur permintaan rehablitasi?
3. Bagaimana hukum acara/prosedur permintaan ganti rugi?
4. Bagaimana Prosedur Dan Hukum Acara Pemeriksaan Praperadilan?
5. Bagaimana melaksanakan tuntutan ganti rugi yang dikabulkan oleh Pengadilan?
Modul Penuntutan 26
BAB V PENERIMAAN DAN PENELITIAN TERSANGKA (TAHAP II)
Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat:
1. Menjelaskan prosedur penerimaan dan penelitian tersangka (Tahap II);
2. Membuat Nota Pendapat Penahanan.
A. Dasar Hukum
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia 3209):
Penyerahan berkas perkara dilakukan:
b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum
B. Prosedur Penerimaan dan Penelitian Tersangka
1. JPU P-16A meneliti tersangka yang dituangkan dalam Berita Acara Penerimaan Dan
Penelitian Tersangka (Tahap II) (BA-4);
2. JPU P-16A membuat nota pendapat mengenai penahanan status penahanan. Nota
pendapat berisi pendapat JPU P-16A untuk melanjutkan penahanan atau tidak
dilakukan penahanan;
3. JPU P-16A kemudian menyerahkan nota pendapat kepada Kasubsi Penuntutan
untuk diberikan saran/pendapat dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) untuk
memberikan pendapat;
4. Kasubsi Penuntutan mencatat nota pendapat JPU P-16A dalam Register Perkara
Tahap Penuntutan (RP-9);
5. Kajari apabila menyetujui penahanan terhadap tersangka, kemudian mendisposisi
Kasi Pidum untuk membuat konsep Surat Perintah Penahanan/Pengalihan Jenis
Penahanan (T-7) dan kepada JPU P-16A untuk membuat Berita Acara perintah
penahanan/penahanan lanjutan (BA-7) atau Berita Acara pelaksanaan pengalihan
jenis penahanan (BA-8);
6. T-7 dengan tembusan Ketua PN akan didistribusikan bersamaan dengan pelimpahan
BP;
Modul Penuntutan 27
7. Kasubsi Penuntutan kemudian mencatat T-7 pada Register tahanan tahap
penuntutan serta mengkompilir T-7 beserta BA-4 dan Nota Pendapat Penahanan
yang telah disetujui Kajari untuk diserahkan kepada JPU P-16A sebagai bagian dari
bendel berkas perkara;
8. JPU P-16 menggandakan BA-7 atau BA-8 serta Surat Dakwaan (P-29) masing-
masing sebanyak 1 (satu) rangkap untuk persiapan pelimpahan perkara.
C. LATIHAN
1. Bagaimana prosedur penerimaan dan penelitian Tersangka (Tahap II)?Jelaskan !
2. Apa saja kelengkapan dokumen formil/administrasi yang harus dikompilir dalam
berkas perkara pada saat tahap penerimaan dan penelitian Tersangka (Tahap II )?
3. Apa alternatif tindak lanjut dari pendapat Kajari terkait nota pendapat penahanan
yang dibuat oleh JPU P-16?
Modul Penuntutan 28
BAB VI PENERIMAAN DAN PENELITIAN BARANG BUKTI (TAHAP II)
Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat:
9. Menjelaskan prosedur penerimaan dan penelitian barang bukti (Tahap II);
10. Membuat Nota Pendapat Barang Bukti
A. Dasar Hukum
Pasal 8 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia 3209):
1. Penyerahan berkas perkara dilakukan:
Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum
B. Prosedur Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti
1. JPU P-16A meneliti benda sitaan/barang bukti yang dituangkan dalam Berita Acara
Penerimaan Dan Penelitian Benda Sitaan/Barang Bukti (BA-5). Setelah itu
diserahkan kepada Kasubsi Barang Bukti (Kasubsi BB). Dalam hal penelitian barang
bukti, JPU P-16A dapat dibantu oleh Kasubsi Tut:
2. Kasubsi Barang Bukti (Kasubsi BB) kemudian mencatat BA-5 dalam register barang
bukti serta menyerahkannya kepada Kasi Barang Bukti dan Barang Rampasan (Kasi
BB BR);
3. Kasi BB BR kemudian membuat konsep analisis rantai pengelolaan dan penyelesain
(chain of custody) benda sitaan/barang bukti/ temuan/rampasan yang kemudian
diserahkan kepada JPU P-16A untuk diberi pendapat, serta Kasi Pidum untuk
memperoleh saran, selanjutnya Kajari untuk memberikan petunjuk;
4. Kasubsi BB kemudian menyerahkan BA-5 kepada JPU P-16A untuk dikompilir
dengan Berkas Perkara (BP);
5. JPU P-16 A menggandakan BA-5 untuk persiapan pelimpahan perkara
Modul Penuntutan 29
C. LATIHAN
1. Bagaimana prosedur penerimaan dan penelitian barang bukti (Tahap II)? Jelaskan!
2. Apa saja kelengkapan dokumen formil/administrasi yang harus dikompilir dalam
berkas perkara pada saat tahap penerimaan dan penelitian barang bukti (Tahap II )?
Modul Penuntutan 30
BAB VII PENANGGUHAN PENAHANAN
Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat: 1. Menjelaskan jaminan apa saja yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan penangguhan
penahanan 2. Menjelaskan prosedur jaminan penangguhan penahanan 3. Menjelaskan prosedur pelaksanaan penangguhan penahanan
A. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia 3209);
Pasal 31 ayat (1)
(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau
hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan
penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang,
berdasarkan syarat yang ditentukan;
(2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat
mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa
melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP,
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor
92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Pasal 35 (Jaminan Uang)
(1) Uang jaminan penangguhan penahanan yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, disimpan di kepaniteraan
pengadilan negeri.
Penjelasan
i. Penyerahan uang jaminan kepada kepaniteraan pengadilan negeri dilakukan
sendiri oleh pemberi jaminan dan untuk itu panitera memberikan tanda terima.
Tembusan tanda penyetoran tersebut oleh panitera disampaikan kepada
pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
ii. Penyetoran ini dilakukan berdasar “formulir penyetoran” yang dikeluarkan
instansi yang bersangkutan.
Modul Penuntutan 31
iii. Bukti setoran ini dibuat dalam rangkap tiga sesuai ketentuan angka 8 huruf f
Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983.
Tembusan tanda penyetoran tersebut oleh panitera disampaikan kepada
pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan untuk menjadi
dasar bagi pejabat yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat
penetapan penangguhan penahanan.
(2) Apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu 3 (tiga)
bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut menjadi milik negara dan disetor
ke Kas Negara.
3. Pasal 36 (Jaminan Orang)
(1) Dalam hal jaminan itu adalah orang, dan tersangka atau terdakwa melarikan diri
maka setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, penjamin diwajibkan
membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
Penjelasan
Jumlah uang sebagaimana dimaksud dalam ayat ini ditetapkan oleh pejabat
yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, pada waktu menerima
permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan orang.
(2) Uang yang dimaksud dalam ayat (1) harus disetor ke Kas Negara melalui
panitera pengadilan negeri.
(3) Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang dimaksud ayat (1)
jurusita menyita barang miliknya untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke Kas
Negara melalui panitera pengadilan negeri. Menurut Pasal 15 dan Pasal 137
KUHAP, penuntut umum melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana
yang terjadi di dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkaranya ke
pengadilan yang berwenang mengadili.
Catatan
i. Jaminan orang dapat merupakan penasehat hukum tersangka/terdakwa,
keluarga tersangka atau orang lain yang tidak mempunyai hubungan apa pun
dengan tersangka/terdakwa.
ii. Harus ada “pernyataan” Penjamin bahwa Ia “bersedia” dan bertanggung jawab
memikul segala risiko dan akibat yang timbul apabila tahanan melarikan diri.
iii. Penjamin harus disebutkan lengkap Identitasnya
Modul Penuntutan 32
iv. Lembaga/Instansi yang memiliki kewenangan menahan, menetapkan besarnya
uang yang harus ditanggung penjamin, sebagai “uang tanggungan” (apabila
tersangka/terdakwa melarikan diri).
v. Timbulnya kewajiban orang yang menjamin menyetor uang tanggungan yang
ditetapkan dalam perjanjian penangguhan penahanan:
1. Apabila tersangka/terdakwa melarikan diri; dan
2. setelah lewat 3 bulan tidak ditemukan;
vi. Penyetoran uang tanggungan ke kas Negara dilakukan oleh orang yang menjamin
melalui panitera Pengadilan Negeri;
vii. Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang ditentukan tersebut,
jurusita menyita barang miliknya untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke Kas
Negara melalui panitera pengadilan negeri.
4. Surat JAM Pidum kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Seluruh Indonesia Nomor:
B-675/E/EPO/1994 Perihal Permohonan Penangguhan Penahanan/Tahanan Luar dan
Wajib lapor
5. Pada intinya mengatur bahwa permohonan penangguhan penahan/tahanan luar
dilakukan denan memperhatikan hal-hal berikut :
(1) Permohonan Penangguhan penahanannya hanya dilakukan terhadap tersangka
yang dalam status tahanan. Dengan demikian tidak dibenarkan adanya surat
permohonan penangguhan penahanan atau permohonan untuk ditahan luar/
tidak ditahan dalam hal tersangka tidak dalam status tahanan tidak dilahan;
(2) Perubahan status tersangka yang diserahkan Penyidik kepada Kejaksaan hanya
dapat dilakukan apabila benar-benar beralasan. Dengan demikian akan dapat
dicegah terjadinya rekayasa penahanan dimana disangkakan/didakwakan pasal-
pasal yang memungkinkan tersangka/terdakwa dapat ditahan padahal
sebenarnya perbuatan yang disangkakan tidak dapat dilakukan penahanan.
(3) Kewajiban melapor hanya dapat dibebankan kepada tersangka yang dalam
status tahanan rumah, tahanan kota dan yang ditangguhkan penahanannya;
B. Prosedur Penangguhan Penahanan
1. Setelah menerima surat permohonan penangguhan penahanan, Kepala
Kejaksaan Negeri (Kajari) mendisposisi JPU P-16A untuk membuat nota pendapat
mengenai penangguhan penahanan
2. JPU P-16A membuat nota pendapat mengenai penangguhan penahanan
3. Nota pendapat JPU P-16A mengenai penangguhan penahanan dilakukan dengan:
Modul Penuntutan 33
(1) Melampirkan surat permohonan penangguhan penahanan dari Tersangka
(2) Permohonan penangguhan penahanan disetujui JPU P16A dengan atau
tanpa jaminan (pasal 31 ayat (1) KUHAP)
(3) Ada persetujuan dari Tersangka yang ditahan untuk mematuhi syarat dan
jaminan yang ditetapkan d. Tersangka wajib lapor, tidak keluar rumah atau
kota (penjelasan pasal 31 ayat (1) KUHAP)
4. JPU P-16A kemudian menyerahkan nota pendapat mengenai penangguhan
penahanan kepada Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) untuk
meminta saran/pendapat, lalu meneruskannya kepada Kajari
5. Kajari memberikan pendapat setuju atau tidak setuju.
6. Apabila Kajari memberikan pendapat setuju, sekaligus mendisposisi Kasi Pidum
untuk membuat Surat perintah penangguhan penahanan/pengeluaran dari
tahanan/pencabutan penangguhan penahanan (T-8)
7. Setelah Surat perintah penangguhan penahanan/pengeluaran dari
tahanan/pencabutan penangguhan penahanan (T-8) ditandatangani oleh Kajari,
Kepala Sub Seksi Penuntututan (Kasubsi Tut) mencatat nomor dan tanggal T-8
pada Register tahanan tahap penuntutan (RT-3)
8. Setelah T-8 beserta nota pendapat mengenai penangguhan penahanan dan surat
permohonan penangguhan penahanan diserahkan oleh Kasubsi Tut kepada JPU
P-16A, maka JPU P-16A membuat dan menandatangani Berita acara
pelaksanaan perintah penangguhan penahanan (BA-9) dan Berita acara
pelaksanaan perintah pengeluaran dari tahanan (BA-10)
9. JPU P16A kemudian dibantu oleh Pengawal Tahanan mengeluarkan Tersangka
dari tahanan serta menyerahkan BA-9 dan BA-10 kepada Kepala Rutan dan
Tersangka untuk ditandatangani
10. Menyertakan Berkas Perkara (BP) dengan T-8, BA-9, BA-10, surat permohonan
penangguhan penahanan dan nota pendapat mengenai penangguhan penahanan
(menjadi satu kelengkapan dengan seluruh administrasi penanganan perkara
dalam kompilir berkas perkara)
C. Latihan
1. Jelaskan jaminan apa saja yang dapat dilakukan dalam penangguhan
penahanan?
2. Apa yang dilakukan JPU P-16A apabila menerima surat permohonan
penangguhan penahanan?
Modul Penuntutan 34
3. Bagaimana cara membuat Berita acara pelaksanaan perintah penangguhan
penahanan (BA-9) dan Berita acara pelaksanaan perintah pengeluaran dari
tahanan (BA-10)?
Modul Penuntutan 35
BAB VIII PEMBANTARAN PENAHANAN
Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat: 1. Menjelaskan dalam keadaan apa pembantaran penahanan dapat dilakukan 2. Menjelaskan prosedur pembantaran penahanan 3. Mengetahui keadaan-keadaan yang dipertimbangkan dalam membuat nota pendapat
pembantaran penahanan
A.Dasar Hukum
1. Pasal 36 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4401);
Pembantaran dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung kepada Terdakwa untuk
berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam negeri atau dalam keadaan
tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri vide
2. Surat Edaran Nomor: SE- 001/A/J.A/03/2004 Tentang Pemberian Ijin Berobat Ke Luar
Negeri Bagi Tersangka/Terdakwa Perkara Pidana
a. Dalam hal Terdakwa berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam
negeri dapat berdasarkan izin tertulis Kejaksaan Negeri setempat atas nama
Jaksa Agung.
b. Ijin berobat ke luar negeri diajukan kepada Jaksa Agung melalui jalur
berjenjang ( Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi dan Jaksa Agung Muda
Pidana Umum).
c. Dalam hal Terdakwa berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit luar
negeri, syarat untuk dilakukan perawatan di rumah sakit luar negeri :
i. Surat permohonan diajukan oleh Terdakwa atau keluarganya dengan
pernyataan Jaminan dari Keluarga terdakwa.
ii. Surat rekomendasi Dokter spesialis penyakit Terdakwa
iii. Surat keterangan resmi dari rumah sakit Pemerintah yang ditunjuk untuk
dapat memberikan rujukan berobat ke luar negeri dengan penjelasan
bahwa rumah sakit di Indonesia belum dapat memberikan pelayanan
medis/pengobatan terhadap penyakit yang diderita oleh Terdakwa.
iv. Informasi rumah sakit luar negeri yang ditunjuk, Nama, Alamat Lengkap
Rumah Sakit dan kontak yang dapat dihubungi.
Modul Penuntutan 36
v. Surat keterangan resmi dari rumah sakit luar negeri yang ditunjuk bahwa
Tersangka/Terdakwa dapat dirawat kembali di Indonesia setelah proses
pelayanan medis/pengobatan.
vi. Jaksa P-16A wajib melakukan pemantauan dan meminta pekembangan
hasil pengobatan terdakwa dari rumah sakit luar negeri yang ditunjuk
sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sekali dan meminta penjelasan masih
perlu atau tidak Terdakwa dirawat di rumah sakit luar negeri.
vii. Laporan hasil pemantauan dikirim setiap bulan kepada Jaksa Agung
tembusan kepada Jaksa Agung Muda Intelijen dan Jaksa Agung Muda
Pidana Umum.
3.Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 1 Tahun 1989 Tentang Pembantaran
(Stuiting) Tenggang Waktu Penahanan Bagi Terdakwa yang Dirawat Nginap di
Rumah Sakit di Luar Rumah Tahanan Negara Atas Izin Instansi yang Berwenang
Menahan.
d. Proses pembantaran dihitung semenjak secara nyata Terdakwa dirawat inap
pada rumah sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala
Rumah Sakit di tempat Terdakwa ditahan vide Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 1989 tentang pembantaran (Stuiting) tenggang waktu
penahanan bagi Terdakwa.
e. Pembantaran dilakukan tidak hanya untuk dirawat inap pada rumah sakit
namun juga untuk dirawat inap pada rumah sakit jiwa.
B. Prosedur Pembantaran Penahanan
1. Setelah menerima surat permohonan pembantaran penahanan dan surat
keterangan sakit dokter pemerintah dari Tersangka/keluarga Tersangka, Kepala
Kejaksaan Negeri (Kajari) mendisposisi JPU P-16A untuk membuat nota pendapat
mengenai pembantaran penahanan
2. JPU P-16A membuat nota pendapat mengenai pembantaran penahanan
3. JPU P-16A sebelum menuangkan pendapatnya dalam nota pendapat mengenai
pembantaran penahanan dapat mencari dan/atau mendatangkan dokter yang lain
terkait kesehatan Tersangka untuk memberikan pendapatnya (sebagai second
opinion )
4. JPU P-16A kemudian menyerahkan nota pendapat mengenai pembantaran
penahanan kepada Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) untuk
meminta saran/pendapat, lalu meneruskannya kepada Kajari
5. Kajari memberikan pendapat setuju atau tidak setuju
Modul Penuntutan 37
6. Apabila Kajari memberikan pendapat setuju, sekaligus mendisposisi Kasi Pidum
untuk membuat Surat Perintah Pembantaran Penahanan/Pengeluaran Dari
Pencabutan Pembantaran Penahanan
7. Setelah Surat Perintah Pembantaran Penahanan/Pengeluaran Dari Pencabutan
Pembantaran Penahanan ditandatangani oleh Kajari, Kepala Sub Seksi
Penuntututan (Kasubsi Tut) mencatat nomor dan tanggal Surat Perintah
Pembantaran Penahanan/Pengeluaran Dari Pencabutan Pembantaran
Penahanan pada Register tahanan tahap penuntutan (RT-3);
8. Setelah Surat Perintah Pembantaran Penahanan/Pengeluaran Dari Pencabutan
Pembantaran Penahanan beserta nota pendapat mengenai pembantaran
penahanan dan surat permohonan pembantaran penahanan diserahkan oleh
Kasubsi Tut kepada JPU P-16A, maka JPU P-16A membuat dan menandatangani
Berita Acara pelaksanaan perintah pembantaran/pencabutan pembantaran
penahanan;
9. JPU P16A kemudian dibantu oleh Pengawal Tahanan mengeluarkan Tersangka
dari tahanan serta menyerahkan Berita Acara pelaksanaan perintah
pembantaran/pencabutan pembantaran penahanan kepada Kepala Rutan dan
Tersangka untuk ditandatangani
10. Menyertakan Berkas Perkara (BP) dengan Surat Perintah Pembantaran
Penahanan/Pengeluaran Dari Pencabutan Pembantaran Penahanan, Berita Acara
pelaksanaan perintah pembantaran/pencabutan pembantaran penahanan surat
permohonan penangguhan penahanan dan nota pendapat mengenai
pembantaran penahanan (menjadi satu kelengkapan dengan seluruh administrasi
penanganan perkara dalam kompilir berkas perkara)
C. Latihan
1. Jelaskan bagaimana pembantaran penahanan diperhitungkan dengan masa
penahanan?
2. Bagaimana prosedur pengajuan permohonan tersangka yang hendak berobat ke
luar negeri?
3. Bagaimana prosedur pembantaran penahanan?
4. Bagaimana cara membuat nota pendapat mengenai pembantaran penahanan?
Modul Penuntutan 38
BAB IX PELIMPAHAN PERKARA KE PENGADILAN
Indikator Keberhasilan :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan dapat:
1. Menjelaskan pengertian pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa dan acara
pemeriksaan singkat
2. Memahami komponen pelimpahan perkara
3. Memahami pelimpahan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang mengadili
(kewenangan mengadili)
4. Memahami perlawanan terhadap penetapan pengadilan tidak berwenang mengadili
5. Membuat surat pelimpahan perkara ke pengadilan
Menurut Pasal 15 dan Pasal 137 KUHAP, penuntut umum melakukan penuntutan
terhadap pelaku tindak pidana yang terjadi di dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan
perkaranya ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Menurut Pasal 4 ayat (3) UU No. 16 tahun 2004, daerah hukum Kejaksaan Negeri
meliputi wilayah hukum kabupaten dan / atau kota.
Jadi penuntut umum menuntut tindak pidana yang terjadi di dalam daerah hukum
Kejaksaan Negeri dimana ia bertugas.
Menurut Pasal 143 ayat (1) KUHAP, penuntut umum melimpahkan perkara ke
pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai
dengan surat dakwaan. (dalam hal acara pemeriksaan biasa).
A. Kompetansi Pengadilan
1. Kompetensi Relatif
Sama halnya dengan kewenangan penuntut umum, menuntut pelaku tindak
pidana yang terjadi di dalam daerah hukum Kejaksaan Negeri, maka Pengadilan
Negeri juga berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang
dilakukan didalam daerah hukumnya (Pasal 84 ayat (1) KUHAP) kecuali dalam hal,
yaitu :
1. Pengadilan negeri yang didalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal,
berdiam terakhir, ditempat ia diketemukan atau ditahan, berwenang mengadili
perkara tersebut dengan ketentuan apabila tempat kediaman sebagian besar saksi
yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri dimana terdakwa
Modul Penuntutan 39
berada daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang didalam daerah
hukumnya tindak pidana dilakukan (Pasal 84 ayat (2) KUHAP).
Contoh : tindak pidana terjadi di Universitas Indonesia di Depok, maka menurut
Pasal 84 ayat (1) KUHAP, Pengadilan Negeri Depok yang berwenang mengadili,
akan tetapi karena terdakwa bertempat tinggal di Pasar Minggu dan saksi-saksi
yang ada dalam berkas perkara lebih banyak bertempat tinggal lebih dekat ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan daripada ke PN Depok maka Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut.
2. Dalam hal seorang melakukan beberapa tindak pidana yang satu sama lain ada
sangkut pautnya yang dilakukan dalam daerah hukum pengadilan negeri yang
berbeda-beda, maka dibuka kemungkinan semua perkara tersebut digabung
dalam satu surat dakwaan (dakwaan kumulasi) kemudian perkaranya dilimpahkan
dan diadili oleh salah satu pengadilan negeri saja (azas cepat sederhana dan
biaya murah) (lihat Pasal 84 ayat (4) KUHAP).
3. Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri mengadili
Suatu perkara, maka atas usul Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan
Negeri setempat, Mahkamah Agung menetapkan dengan menunjuk pengadilan
negeri lain untuk mengadili perkara tersebut (Pasal 85 KUHAP, Pasal 1 (2) UU No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
4. Dalam hal seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili
menurut hukum Rl, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang
menjadi (Pasal 86 KUHAP, jo Pasal 5 KUHP)
2. Kompetensi Absolut.
Dalam hal kompetensi absolut, hanya mungkin terjadi dalam hal tindak pidana
dilakukan oleh orang yang termasuk lingkungan peradilan umum atau lingkungan
peradilan militer. Apabila yang melakukan tindak pidana adalah seorang militer maka
ia dituntut dan diadili oleh Pengadilan Militer yang termasuk dalam lingkungan
Peradilan Militer (UU No. 31 tahun 1997), sedangkan apabila tindak pidana dilakukan
oleh orang selain dari mili
Top Related