MODIFIKASI PATI SAGU DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE-TREATMENT (HMT) DAN
APLIKASINYA DALAM MEMPERBAIKI KUALITAS BIHUN
DIAN HERAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
Dian Herawati
NIM F251060171
ABSTRACT
DIAN HERAWATI. Sago Starch Modification by Heat Moisture-Treatment (HMT) and Its Application on Sago Bihon-Type Noodle Improvement. Supervised by FERI KUSNANDAR and SUGIYONO.
The objectives of this research were: (1) to develop optimum conditions in
HMT (heat-moisture treatment) for sago starch in order to reach C type pasting profile which was suitable for sago bihon-type noodle and (2) to study the effect of HMT modified sago starch substitution on sago bihon-type noodle quality. Sago starch was adjusted at 26-27% moisture content and exposed to heat-moisture treatment at 110oC for various times with washing and without washing. HMT modified sago starch was analyzed in term of pasting profile. The modified starch with C type pasting profile was characterized and formulated into bihon-type noodle production. HMT substituted bihon-type noodle was analyzed in term of cooking loss, cooking time, texture by objective measurement and sensory quality. Sago starch that HMT modified for 4 hours at washing condition showed C type pasting profile. HMT modified starch with C type pasting profile showed no viscosity breakdown indicating in heat stability during cooking. Furthermore, HMT sago starch has larger granule size, higher gel strength, lower degree of whiteness, lower syneresis and lower starch content than those of native sago starch. The substitution of native sago starch with 50% HMT sago starch improved the characteristics of sago bihon-type noodle quality, i.e. lower cooking time, higher hardness and better sensory quality in term of hardness, chewiness, stickiness and overall acceptability. Keyword: heat-moisture treatment, sago starch, bihon-type noodle
RINGKASAN
DIAN HERAWATI. Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun. Dibimbing oleh FERI KUSNANDAR and SUGIYONO.
Pati sagu yang memiliki potensi sangat besar dapat digunakan sebagai
bahan baku pangan pokok alternatif seperti bihun sagu. Pati sagu alami yang mempunyai profil gelatinisasi tipe A (puncak viskositas tinggi yang diikuti oleh pengenceran yang cepat selama pemanasan) kurang sesuai sebagai bahan baku bihun karena adonan yang dihasilkan sangat lengket sehingga antar untaiannya sulit dipisahkan dan cenderung rapuh. Sagu alami yang akan digunakan sebagai bahan baku bihun dapat ditingkatkan sifat fungsionalnya melalui modifikasi dengan metode HMT (heat-moisture treatment). Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menentukan kombinasi waktu dan perlakuan pencucian pada modifikasi HMT yang dapat menghasilkan pati sagu termodifikasi HMT yang mempunyai profil gelatinisasi type C (profil gelatinisasi dengan viskositas puncak terbatas dan viskositas yang stabil selama pemanasan) dan perbandingan karakteristik lain dari pati termodifikasi tipe C tersebut dengan pati alaminya serta (2) menentukan tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT yang dapat memperbaiki kualitas fisik dan sensori bihun sagu
Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap yaitu: (1) penentuan kombinasi waktu (4 jam, 8 jam dan 16 jam) dan perlakuan pencucian (dicuci dan tidak dicuci) dalam modifikasi pati sagu dengan metode HMT dan (2) substitusi pati sagu termodifikasi HMT terpilih pada formulasi bihun sagu. Penentuan kombinasi waktu dan perlakukan pencucian terpilih dilakukan berdasarkan profil gelatinisasi pati sagu termodifikasi HMT yang dianalisis dengan menggunakan instrumen brabender amylograph. Pati termodifikasi terpilih yaitu yang mempunyai profil gelatinisasi tipe C dikarakterisasi (bentuk dan ukuran granula dengan alat mikroskop polarisasi, gel strength (dengan texture analyzer), sineresis, derajat putih, swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel) kemudian dibandingkan dengan pati alaminya. Pati sagu termodifikasi HMT terpilih digunakan untuk mensubstitusi pati sagu alami untuk formulasi bihun masing-masing dengan perbandingan 0:100%, 25%:75% dan 50%:50% untuk pati sagu termodifikasi HMT: pati sagu alami. Tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT terbaik ditentukan berdasarkan hasil analisis kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), texture profile analysis (TPA), dan uji organoleptik dengan metode ranking hedonik (1= ranking terbaik sampai 3 = ranking terjelek) berdasarkan parameter kekerasan, elastisitas, kelengketan dan kesukaan secara keseluruhan dari 30 orang panelis.
Modifikasi pati sagu yang dilakukan dengan kombinasi perlakukan pencucian (dicuci dan tidak dicuci) dan waktu yang berbeda menghasilkan pati sagu dengan profil gelatinisasi yang berbeda dengan pati sagu alaminya. Modifikasi HMT yang dilakukan selama 4 jam pada pati sagu yang dicuci terlebih dahulu menghasilkan pati termodifikasi dengan viskositas pasta panas, suhu awal gelatinisasi, viskositas pasta dingin dan viskositas setback tertinggi bila dibandingkan perlakuan HMT lainnya. Sebaliknya, pati yang dimodifikasi pada
kondisi tersebut mempunyai nilai breakdown yang paling rendah yaitu mencapai 33 BU. Berdasarkan karakteristik gelatinisasi yang diperoleh dapat dikatakan bahwa pati sagu termodifikasi HMT dengan perlakuan pencucian dan waktu 4 jam memiliki karakteristik yang lebih mirip dengan karakteristik gelatinisasi tipe C. Perubahan profil gelatinisasi pati sagu alami dari tipe A menjadi tipe C karena proses modifikasi HMT menunjukkan bahwa modifikasi HMT mampu meningkatkan resistensi pati sagu terhadap pemanasan dan pengadukan. Selain mempunyai karakteristik gelatinisasi tipe C, pati termodifikasi terpilih mempunyai kekuatan gel lebih tinggi, % sineresis yang lebih rendah, derajat putih yang lebih rendah, swelling volume dan fraksi pati tidak membentuk gel yang tidak berbeda serta kandungan pati, amilosa dan amilopektin yang lebih rendah bila dibandingkan pati alaminya.
Substitusi pati sagu termodifikasi HMT dalam produksi bihun sagu dapat meningkatkan kualitas bihun sagu. Berdasarkan pengujian secara fisik (waktu pemasakan dan kekerasan) dan organoleptik, bihun sagu yang disubtitusi dengan pati sagu termodifikasi HMT sebanyak 50% mempunyai kualitas yang lebih baik bila dibandingkan dengan bihun yang disubstitusi pati termodifikasi HMT sebanyak 25% maupun bihun sagu yang tidak disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT. Bihun sagu yang disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT sebanyak 50% mempunyai waktu pemasakan paling singkat (4.5 menit), kekerasan tertinggi (1481.25 gf) dan paling disukai bila dibandingkan dengan dengan bihun yang disubstitusi pati termodifikasi HMT sebanyak 25% maupun bihun sagu yang tidak disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT.
Kata kunci: heat-moisture treatment, pati sagu, bihun sagu
@Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
MODIFIKASI PATI SAGU DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE-TREATMENT (HMT) DAN APLIKASINYA
DALAM MEMPERBAIKI KUALITAS BIHUN
DIAN HERAWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ridwan Thahir
Judul Tesis
: Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun
Nama : Dian Herawati NIM : F 251060171
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. Ketua
Dr. Ir. Sugiyono, M.AppSc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc.
Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian : 22 Juni 2009 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyususunan karya ilmiah ini.
Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Modifikasi Pati Sagu dengan
Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki
Kualitas Bihun.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Feri Kusnandar
MSc. dan Dr. Ir. Sugiyono M.AppSc atas bimbingan, arahan dan dorongan
sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Semoga Allah SWT memberikan
balasan yang terbaik atas segala pengorbanan curahan waktu dan tenaga, serta
ilmu yang diberikan kepada penulis. Kepada Dr. Ridwan Thahir, penulis
mengucapkan terima kasih atas kesediaannya untuk menjadi dosen penguji.
Masukan yang Bapak berikan akan sangat berarti untuk perbaikan karya ilmiah
ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada tim BPPS IPB 2006
yang telah memberikan beasiswa selama studi dan penelitian di Pascasarjana IPB.
Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Tim KKP3T Departemen Pertanian
yang telah memberikan dana penelitian sehingga dapat memperlancar kegiatan
penelitian yang penulis lakukan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Rektor
IPB, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan (ITP) dan Kepala Bagian Kimia Pangan atas izin dan kesempatan untuk
menempuh pendidikan program Magister di Sekolah Pascasarjana IPB. Kepada
Ketua Program Studi serta semua staf pengajar program studi Ilmu Pangan IPB
penulis ucapkan banyak terima kasih atas ilmu yang diberikan. Kepada rekan-
rekan sejawat di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan terima kasih banyak
atas bantuan, dorongan dan pengertiannya selama penulis mengikuti pendidikan
program Magister.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua
Ayahanda Dudung Supyadi dan Ibunda Kusminingsih serta ibu mertua Ibunda
Juhriah yang selalu memberikan dorongan, semangat dan do’a restu yang tidak
ada hentinya. Kepada suami tercinta Dr. Jakaria dan anak-anak tersayang Hafidz
Azhar Jakaria dan Galuh Samia Zahra, penulis mengucapkan terima kasih banyak
atas kasih sayang, pengertian dan pengorbanan yang diberikan selama penulis
menjalani studi.
Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Pangan Angkatan
2006 dan rekan-rekan seperjuangan di Laboratorium Pilot Plant Seafast Center,
penulis mengucapkan terima kasih banyak atas kerjasama dan kebersamaan yang
terjalin selama ini. Kepada rekan-rekan teknisi di Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan dan Seafast Center, penulis mengucapkan terima kasih banyak
atas bantuan dan kerjasamanya yang tidak ternilai harganya. Akhirnya penulis
berharap semoga karya kecil ini bermanfaat bagi penulis juga para pembaca
umumnya.
Bogor, Agustus 2009
Dian Herawati
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Januari 1975. Penulis
merupakan putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan ayah Dudung
Supyadi dan Ibu Kusminingsih.
Pada tahun 1993 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui
program USMI dan pada tahun 1994 penulis diterima di program studi Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian dan selesai pada tahun 1998. Pada tahun
2006 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S2 dengan bantuan
beasiswa BPPS Dirjen Dikti, Depdiknas.
Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB dari tahun 2007.
Sebelumnya penulis bekerja sebagai asisten dosen pada institusi yang sama dari
tahun 2000 – 2007.
xi
DAFTAR ISI
HalamanDAFTAR ISI ...................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .............................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xiv
PENDAHULUAN ............................................................................ 1
Latar Belakang .......................................................................... 1
Tujuan ....................................................................................... 4
Manfaat ...................................................................................... 5
Hipotesis ..................................................................................... 5
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 6
Potensi dan Pemanfaatan Tanaman Sagu .................................. 6
Ekstraksi Pati Sagu .................................................................... 9
Karakteristik Pati Sagu Alami ………………………………... 15
Evaluasi Pati Sebagai Bahan Baku Bihun ................................. 22
Modifikasi Pati dengan Metode HMT ...................................... 26
Aplikasi pati termodifikasi HMT ............................................. 32
BAHAN DAN METODE................................................................... 34
Bahan dan Alat Penelitian ......................................................... 34
Waktu dan Tempat Penelitian ................................................... 34
Metode Penelitian ..................................................................... 34
Rancangan Percobaan dan Analisis Data .................................. 40
Prosedur Penelitian ................................................................... 41
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 52
Modifikasi Pati Sagu dengan Metode HMT ............................. 52
Aplikasi Pati Termodifikasi HMT pada Bihun Sagu ................ 73
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 87
LAMPIRAN ....................................................................................... 92
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Estimasi lahan sagu dunia …………………………………….. 6
2 Luas areal tanaman sagu dan produksi sagu di Indonesia ......... 7
3 Persyaratan kandungan air, abu, serat kasar dan protein pati sagu .............................................................................................
15
4 Komposisi kimia sagu asal Indonesia ........................................ 16
5 Profil gelatinisasi pati sagu ........................................................ 19
6 Persentase penggunaan pati sagu termodifikasi dalam formulasi bihun sagu ..................................................................
38
7 Penetapan gula menurut Luff Schoorl ........................................ 46
8 Kadar amilosa standar ................................................................ 47
9 Profil gelatinisasi pati sagu alami dan termodifikasi HMT ........ 58
10 Ukuran granula pati alami dan termodifikasi HMT ................... 70
11 Kekuatan gel dan sineresis pati sagu alami dan termodifikasi HMT ...........................................................................................
70
12 Derajat putih pati sagu alami dan termodifikasi HMT ............... 72
13 Swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel ...... 73
14 Kandungan pati, amilosa, amilopektin dan proporsi amilosa:amilopektin ...................................................................
74
15 Intensitas warna bihun sagu ...................................................... 77
16 Waktu rehidrasi, berat rehidrasi dan KPAP bihun sagu ............. 80
17 Tekstur bihun sagu ..................................................................... 83
18 Penilaian organoleptik bihun sagu ............................................. 84
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman
1 Tanaman M. sagu dan M. sagu pada fase influorescence yang siap dipanen ................................................................................
9
2 Empulur sagu .............................................................................. 10
3 Pemarutan empulur sagu ............................................................ 11
4 Pemerasan parutan sagu (a) dan penampungan ekstrak pati sagu (b) .......................................................................................
12
5 Pengemasan sagu basah ............................................................. 13
6 Perendaman pati sagu (a) dan pencucian pati sagu (b) .............. 14
7 Pengeringan (a) dan pemasaran (b) pati sagu …………………. 14
8 Diagram alir tahapan penelitian ................................................. 35
9 Modifikasi pati sagu dengan metode HMT (Collado et al 2001; Purwani et al 2006) ....................................................................
37
10 Proses produksi bihun sagu yang disubstitusi pati sagu termodifikasi ..............................................................................
38
11 Kurva Profil gelatinisasi pati: SAG (suhu awal gelatinisasi), SPG (suhu puncak gelatinisasi), VP (viskositas puncak), VPP (viskositas pasta panas), VB (viskositas breakdown), VPD (viskositas pasta dingin) dan VB (viskositas set back) ..............
43
12 Kurva texture profile analysis (TPA) ......................................... 49
13 Profil gelatinisasi pati sagu alami dan termodifikasi HMT ........ 55
14 Grafik pola respon SAG pada kombinasi perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda .............................................................
59
15 Grafik pola respon VP pada kombinasi perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda .............................................................
61
16 Grafik pola respon VPP (a) dan VB (b) pada kombinasi perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda ...........................
64
17 Grafik pola respon VPD (a) dan SB (b) pada kombinasi perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda ...........................
66
18 Granula pati sagu yepha hungleu alami dan termodifikasi HMT ...........................................................................................
69
19 Ekstrusi adonan bihun (a) 0 pati HMT dan (b) 50% pati HMT 76
20 Penyusunan untaian bihun (a) 0 pati HMT dan (b) 50% pati HMT ...........................................................................................
76
21 Bihun sagu (a) 0% HMT, (b) 25% HMT dan (c) 50% HMT...... 78
22 Hasil pemasakan bihun sagu (a) 0% HMT, (b) 25% HMT dan (c) 50% HMT .............................................................................
79
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1 Hasil analisis data pengaruh pencucian dan waktu modifikasi HMT terhadap profil gelatinisasi pati sagu dengan metode GLM dan uji lanjut Duncan pada program SAS ........................
92
2 Hasil analisis data uji beda pati alami dengan termodifikasi HMT dengan uji t pada program excel ……………………......
98
3 Hasil analisis data pengaruh substitusi pati termodifikasi HMT terhadap warna bihun sagu dengan menggunakan oneway anova dan uji lanjut Duncan pada program SPSS ......................
102
4 Hasil analisis data pengaruh substitusi pati termodifikasi HMT terhadap waktu rehidrasi, berat rehidrasi dan KPAP bihun sagu dengan menggunakan oneway anova dan uji lanjut Duncan pada program SPSS ....................................................................
104
5 Hasil analisis data pengaruh penambahan pati termodifikasi HMT terhadap tekstur bihun sagu dengan menggunakan oneway anova dan uji lanjut Duncan pada program SPSS ........
106
6 Data pengaruh penambahan pati sagu termodifikasi HMT terhadap ranking hedonik bihun sagu .........................................
109
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pati sagu yang diperoleh dari tanaman sagu (Metroxylon sp.) merupakan
salah satu bahan pangan pokok lokal yang banyak terdapat di Indonesia terutama
di wilayah Timur. Menurut Flach (1997), lahan sagu dari berbagai spesies yang
terdapat di Indonesia mencapai 1.4 juta hektar dari 2.5 juta hektar lahan sagu
dunia dan sekitar 1.2 juta hektar berada di Papua. Menurut Ditjen Bina Produksi
Pertanian (2003), produksi sagu di Papua mencapai 5.400.000 ton. Potensi sagu
Indonesia (terutama Papua) yang sangat besar tersebut dapat digunakan sarana
diversifikasi pangan pokok sumber karbohidrat berbahan baku lokal.
Sebagian masyarakat Papua masih menggunakan sagu sebagai bahan pangan
pokok dan mengolahnya menjadi berbagai pangan tradisional seperti sagu
lempeng, bagea, sinoli, kue kering dan sebagainya. Namun demikian, konsumsi
sagu sebagai makanan pokok terus mengalami penurunan kerena keberadaanya
mulai tergeser oleh beras.
Peningkatan konsumsi sagu dapat dilakukan melalui pengembangan produk
berbasis sagu yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat seperti bihun.
Untuk menghasilkan bihun sagu dengan kualitas yang baik diperlukan bahan baku
sagu dengan karakteristik yang sesuai untuk produksi bihun. Pati yang ideal untuk
bahan baku bihun adalah pati yang mempunyai ukuran granula kecil (Singh et al.
2002), kandungan amilosa tinggi, derajat pembengkakan dan kelarutan terbatas
serta kurva brabender tipe C (tidak memiliki puncak viskositas namun viskositas
cenderung tinggi dan tidak mengalami penurunan selama pemanasan dan
pengadukan) (Lii and Chang 1981). Pati dengan ukuran granula kecil dan
kandungan amilosa tinggi umumnya mempunyai profil gelatinisasi tipe C dan
mempunyai pembengkakan yang terbatas. Pati tersebut lebih tahan terhadap
pemanasan maupun pengadukan sehingga pada saat tergelatinisasi hanya
mengalami peningkatan viskositas yang terbatas sebagai konsekuensi dari
pembengkakan granula yang terbatas. Terbatasnya pembengkakan granula
mengakibatkan granula tidak mudah pecah dan amilosa tidak mudah keluar dari
2
granula. Apabila pati tersebut digunakan sebagai bahan baku bihun maka untaian
bihun yang dihasilkan tidak lengket dan pada saat dimasak mempunyai berat
rehidrasi terbatas serta hanya mengalami sedikit kehilangan padatan.
Pati sagu alami (termasuk pati sagu asal Papua) mempunyai beberapa
keterbatasan yang dapat mempengaruhi sifat fungsionalnya pada pembentukan
adonan serta teksur dan kualitas masak bihun yang dihasilkannya. Pati sagu
mempunyai karakteristik gelatinisasi tipe A yaitu mempunyai viskositas puncak
yang tinggi namun akan menurun dengan cepat selama pemanasan dan
pengadukan (Purwani et al. 2006; Wattanachant et al. 2003; Muhammad et al.
2000). Selain itu, pati sagu mempunyai ukuran granula yang besar (Yiu et al.
2008) serta indeks pembengkakan (swelling power) dan kelarutan (solubility)
yang tinggi (Wattanachant et al. 2003).
Menurut Purwani et al. (2006), bihun yang dihasilkan dari pati sagu alami
cenderung mempunyai kekompakan dan elastisitas yang rendah sehingga mudah
patah selama penanganan maupun rehidrasi (pemasakan kembali). Pada saat
dimasak, bihun mudah mengembang dan menyerap air dalam jumlah besar
sehingga berat rehidrasinya menjadi tinggi. Pengembangan yang terjadi pada
bihun yang direhidrasi disertai dengan pelepasan padatan terlarut sehingga susut
masak pada bihun dari pati alami menjadi besar. Selain itu, bihun dari pati sagu
alami cenderung lengket karena molekul amilosa sangat mudah keluar dari
granula selama proses gelatinisasi berlangsung.
Peningkatan sifat fungsional pati alami sebagai bahan baku bihun dapat
dilakukan melalui modifikasi fisik dengan metode heat-moisture treatment
(HMT). Metode HMT dilakukan dengan cara memanaskan pati diatas suhu
gelatinisasi namun dengan kadar air terbatas sehingga pati tidak tergelatinisasi
tetapi hanya mengalami perubahan konformasi molekul yang disertai dengan
perubahan karakteristiknya (Collado and Corke 1999; Singh et al. 2005;
Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta and Varavinit 2007).
Metode HMT telah digunakan untuk meningkatkan kualitas bihun yang
dibuat dari pati ubi jalar (Collado et al. 2001) dan pati sagu (Purwani et al. 2006).
Purwani et al. (2006), melaporkan bahwa modifikasi HMT dapat menggeser
karakteristik pasta pati sagu dari tipe A menjadi tipe B. Pati dengan tipe B
3
mempunyai puncak viskositas yang tidak terlalu tinggi dan mengalami penurunan
yang tidak terlalu tajam selama pemanasan. Pergeseran ini berpengaruh pada
karakteristik bihun yang dihasilkan dari pati termodifikasi HMT yaitu adanya
peningkatan kualitas masak yang meliputi peningkatan kekompakan, peningkatan
elastisitas, penurunan susut masak dan penurunan berat rehidrasi. Namun
demikian, untaian bihun yang keluar dari ekstruder sulit diatur dan dibentuk
sehingga untaian harus diatur satu per satu di atas rak-rak pengukusan untuk
memperoleh bentuk untaian yang baik. Kondisi proses tersebut sangat sulit
diaplikasikan pada skala yang lebih besar karena sangat tidak efisien dari segi
waktu dan biaya produksi. Selain itu, waktu pemasakan bihun mencapai 7
sampai 9 menit, jauh lebih lama jika dibandingkan dengan bihun komersial yang
pada umumnya hanya berkisar antara 3 – 4 menit (Purwani et al. 2006; Kruger et
al. 1996).
Kajian pengaruh berbagai faktor kondisi modifikasi HMT terhadap
karakteristik pati sagu perlu dilakukan untuk memperoleh pati sagu termodifikasi
yang lebih sesuai untuk produk bihun yaitu pati dengan tipe C. Perubahan yang
terjadi pada pati termodifikasi HMT dipengaruhi oleh kondisi modifikasi seperti
suhu (Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta and Varavinit 2007), kadar air
(Vermeylen et al. 2006; Adebowale et al. 2005; Lawal and Adebowale 2005), pH
(Collado and Corke 1999), waktu (Collado and Corke 1999), serta karakteristik
awal pati seperti proporsi amilosa(Collado and Corke 1999) dan tipe kristalisasi
pati (Gunaratne and Hoover 2002). Menurut Collado et al. (2001); Pukkahuta and
Varavinit (2007), suhu modifikasi yang dapat menghasilkan pati dengan
karakteristik gelatinisasi yang paling mendekati tipe C adalah 110oC. Sementara
itu, kondisi lain seperti waktu masih perlu dikaji mengingat pengaruhnya yang
berbeda tergantung kepada karakteristik pati yang dimodifikasi. Selain waktu,
modifikasi yang dilakukan terhadap pati sagu Papua perlu mempertimbangkan pH
sagu karena sagu Papua mempunyai pH rendah (berasam tinggi) yang
kemungkinan akan mempengaruhi proses modifikasi yang dilakukan. Oleh karena
itu, modifikasi pati sagu Papua dilakukan dengan kombinasi perlakukan waktu
dan pencucian. Pencucian yang dilakukan terhadap pati sagu Papua akan
melarutkan asam-asam organik yang terkandung didalamnya sehingga pH sagu
4
akan meningkat. Kombinasi perlakuan dipilih berdasarkan kombinasi yang dapat
menghasilkan pati sagu termodifikasi dengan profil gelatinisasi tipe C.
Pati sagu dengan karakteristik gelatinisasi tipe C yang dihasilkan dari
kondisi waktu dan perlakuan pencucian terpilih akan diaplikasikan untuk produk
bihun. Aplikasi pati sagu termodifikasi HMT pada formula bihun perlu
dioptimalkan mengingat adanya perubahan sifat fungsional pati yang telah
mengalami modifikasi HMT. Pati yang telah mengalami modifikasi HMT
mempunyai sifat yang cenderung short yaitu pati dengan kemampuan daya rekat
yang rendah (Collado et al. 2001). Pada tingkat tertentu, sifat kelengketan pati
diperlukan sebagai pengikat dan pembentuk adonan maupun untaian bihun. Pada
kondisi tersebut diperlukan proporsi yang tepat antara pati termodifikasi HMT dan
pati alami untuk menghasilkan produk bihun sagu dengan karakteristik yang baik
yaitu bersifat elastis tetapi tidak lengket. Selain itu, optimalisasi proporsi antara
pati sagu termodifikasi dan pati sagu alami diharapkan dapat menghasilkan
formula bihun dengan jumlah pati sagu termodifikasi yang sekecil mungkin
sehingga dapat meminimumkan penggunaan pati sagu termodifikasi.
Kenyataan tersebut menunjukkan perlunya dilakukan penelitian untuk
memperoleh pati sagu termodifikasi HMT yang sesuai untuk bihun dan pengaruh
aplikasinya terhadap kualitas bihun sagu. Informasi yang diperoleh diharapkan
dapat dijadikan dasar untuk melakukan pengembangan produksi pati sagu
termodifikasi HMT dan bihun yang dihasilkannya pada skala yang lebih besar.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menentukan waktu dan perlakuan pencucian dalam modifikasi HMT yang
dapat menghasilkan pati sagu termodifikasi dengan karakteristik
gelatinisasi tipe C serta perbandingan karakteristik lain dari pati
termodifikasi tipe C tersebut dengan pati alaminya
2. Menentukan tingkat substitusi pati sagu termodifikasi yang dapat
menghasilkan bihun sagu dengan kualitas yang baik
5
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Informasi kondisi (waktu dan pengaruh pencucian) modifikasi HMT yang
dapat menghasilkan pati sagu termodifikasi dengan karakteristik
gelatinisasi yang sesuai untuk produk bihun dapat digunakan sebagai dasar
untuk melakukan modifikasi pati sagu pada skala yang lebih besar dan
perubahan yang terjadi pada pati sagu termodifikasi HMT dapat digunakan
untuk memperkirakan potensi penggunaannya pada berbagai produk
pangan selain bihun sagu.
2. Informasi mengenai proporsi pati sagu termodifikasi HMT dan pati alami
yang dapat menghasilkan bihun dengan kualitas yang lebih baik dapat
digunakan sebagai dasar untuk produksi bihun sagu pada skala yang lebih
besar.
Hipotesis
Penelitian ini dilakukan berdasarkan hipotesis sebagai berikut:
1. Kombinasi waktu dan pengaruh pencucian menghasilkan pati sagu
termodifikasi HMT dengan karakteristik gelatinisasi yang berbeda dan
mempunyai ketahanan pemanasan dan pengadukan yang lebih tinggi bila
dibanding pati alaminya.
2. Perbedaan proporsi antara pati termodifikasi HMT dan pati alami
memberikan peningkatan terhadap karakteristik fisik maupun sensori
bihun sagu.
TINJAUAN PUSTAKA
Potensi dan Pemanfaatan Tanaman Sagu
Tanaman sagu (Metroxylon) merupakan tanaman tahunan yang tumbuh
dengan baik pada daerah hutan hujan tropis, dataran rendah dengan kelembaban
yang tinggi dan di rawa-rawa. Habitat utama tanaman sagu berada pada 17o
lintang selatan dan 15 – 16o lintang utara yaitu dari Thailand, semenanjung
Malaysia dan Indonesia sampai Micronesia, Fiji serta Samoa (McClatchey et al.
2006). Di Indonesia, tanaman sagu hampir menyebar di seluruh wilayah, namun
potensi terbesarnya berada di wilayah Timur seperti seperti Maluku, Sulawesi
dan Papua (Falch 1997; McClatchey et al. 2006) dan beberapa wilayah di bagian
barat seperti Riau. Menurut Flach (1997), estimasi lahan sagu di Indonesia
mencapai 1.4 juta hektar dari 2.5 juta hektar lahan sagu dunia dan 1.2 juta hektar
berada di Papua. Estimasi tanaman sagu dunia disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Estimasi lahan sagu dunia
Negara Penghasil Sagu Hutan Sagu Liar (ha) Kebun Sagu (ha)
Papua Nugini 1 000 000 20 000Indonesia 1 250 000 148 000
Papua 1 200 000 14 000Maluku 50 000 10 000Sulawesi 30 000Kalimantan 20 000Sumatera 30 000Riau 10 000Mentawai 10 000
Malaysia 45 000Thailand 3 000Philipina 3 000Lain-lain 5 000Dunia 2 250 000 224 000
Sumber: Flach (1997)
Menurut Ditjen Bina Produksi Pertanian (2003), luas areal tanaman sagu di
Papua mencapai 600 000 hektar. Area tersebut lebih luas bila dibandingkan
dengan daerah lain di Indonesia. Selanjutnya menurut Ditjen Bina Produksi
7
Pertanian (2003), Papua merupakan penghasil sagu yang paling tinggi di
Indonesia dimana produksinya mencapai 5 400 000 ton. Luas areal tanaman sagu
dan produksinya disajikan pada Tabel 2. Selain mampu menghasilkan sagu
dengan jumlah produksi yang paling banyak, sagu asal Papua memiliki
produktivitas yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan daerah lain di
Indonesia. Apabila dibuat rasio, produksi sagu Papua mencapai 9.0 ton/ha.
Sementara itu, produksi sagu dari daerah lain hanya mencapai kurang dari 5
ton/ha kecuali Kalimantan Selatan yang produksinya mencapai 9.2 ton/ha. Namun
demikian, luas area sagu di Kalimantan Selatan yang hanya mencapai 564 ha
hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 0.09% pada produksi sagu
Indonesia.
Tabel 2 Luas areal tanaman sagu dan produksi sagu di Indonesia
Sumber: Ditjen Bina Produksi Pertanian (2003)
Selain mempunyai areal paling luas, beberapa studi menunjukkan bahwa
sagu Papua memiliki keragaman genetik yang paling tinggi. Menurut Widjono et
al. (2000), terdapat 60 jenis sagu yang tumbuh di daerah Jayapura, Manokwari,
Merauke, dan Sorong. Miyazaki (2004) mengelompokkan 21 jenis sagu asal
Papua menjadi dua tipe yaitu sagu berduri (Metroxylon rumphii Mart) dan sagu
tidak berduri (Metroxylon sagu Rottb). Berbagai jenis sagu tersebut mempunyai
morfologi, produktivitas dan karakteristik tepung berbeda yang dapat digunakan
sebagai seleksi dan identifikasi sagu yang potensial untuk bahan baku produk
pangan.
Provinsi Area (Ha) Produksi (ton)
Riau 51250 192752 Jambi 29 12 Jawa Barat 292 1203 Kalimantan Barat 1576 7659 Kalimantan Selatan 564 5212 Sulawesi Utara 23400 113485 Sulawesi Tengah 7985 689 Sulawesi Tenggara 13706 38246 Sulawesi Selatan 7917 37479 Maluku 94989 78862 Papua 600000 5400000
8
Menurut Tenda et al. (2005), terdapat lima jenis sagu Papua yang
mempunyai produktivitas tepung paling tinggi yaitu empat jenis sagu dari spesies
Metroxylon sagu Rottb (Osokule Hongleu (9.8 ton/ha/thn), hapholo hongsai (8.4
ton/ha/thn), hapholo hongleu (8 ton/ha/thn) dan yepha hongleu (7.90 ton/ha/thn))
serta sagu para dari spesies Metroxylon rumphii Mart dengan produktivitas
tepung mencapai 8.3 ton/ha/thn.
Limbongan (2007) mengungkapkan bahwa sagu yepha merupakan sagu
yang umum dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Sagu jenis ini mampu tumbuh
hingga 25 meter sehingga masyarakat menyebutnya dengan yepha (yang berarti
tumbuh ke langit). Sagu yepha mempunyai morfologi tertentu untuk
membedakannya dengan spesies Metroxylon sagu Rottb lainnnya. Sagu yepha
mempunyai ciri kanopi berbentuk V dan berbatang lurus serta berdaun lurus
dengan ukuran medium. Sagu yepha yang ditemukan di Papua terdiri atas dua
jenis yaitu yepha hongsay yang mempunyai tepung berwana pink dan yepha
hongleu yang mempunyai tepung berwarna putih (Limbongan 2007).
Selain tergantung pada spesies, produktivitas M. sagu juga tergantung pada
tempat tumbuh, kondisi lingkungan dan waktu pemanenen. Setiap pohon sagu
yang tumbuh di beberapa daerah di Papua dapat menghasilkan pati basah berkisar
antara 85-1000 kg pati basah per batang (Kertopermono et al. 1983; Maturbongs
1984; PPUS UNIPA 2004; Maturbongs dan Rumbino 1996; Maturbongs et al.
2001).
Untuk memperoleh produktivitas (per unit waktu dan unit area) pati yang
optimum, sebaiknya pemanenan sagu yang ditanam secara semi kultivasi
dilakukan pada saat inisiasi pembentukan bunga. Masyarakat tradisional biasanya
menandai waktu pemanenan pada saat batang sagu sudah tidak mengkilap
(influorescence) (Flach, 1997). Selain itu, daun tanaman sagu yang siap
dipanen biasanya terlihat mengering dan berwarna coklat. Tanaman sagu
disajikan pada Gambar 1.
Masyarakat Papua menggunakan pati sagu sebagai bahan baku pangan
pokok dan kudapan. Untuk tujuan pangan pokok, masyarakat Papua mengolah
pati sagu menjadi bubur dan papeda basah atau mengolahnya menjadi produk
berbentuk kering seperti papeda kering dan sagu lempeng (Flach, 1997;
9
Limbongan, 2007). Sebagian masyarakat pendatang di Papua telah
mengembangkan berbagai kue kering dari pati sagu yang dapat dijadikan pangan
kudapan (Limbongan, 2007). Pengolahan pati sagu menjadi berbagai produk
pangan tersebut dimungkinkan oleh karakteristik tertentu yang dimiliki pati sagu.
Gambar 1 Tanaman M. sagu dan M. sagu pada fase influorescence yang siap dipanen
Ekstraksi Pati Sagu
Pati pada tanaman sagu terdapat di bagian empulur sagu yang dilindungi
oleh kulit kayu yang cukup keras. Untuk mengeluarkan pati dari batang
dibutuhkan proses ekstraksi yang dapat dilakukan secara tadisional maupun
modern. Ekstraksi secara tradisional dilakukan melalui tahapan penebangan
batang sagu, pemotongan batang secara melintang dengan ukuran tertentu,
pemisahan empulur sagu dari bagian batang sagu yang keras dengan penohokan,
penghancuran empulur sagu dengan pemarutan atau penggilingan bersama air,
pemisahan pati sagu dan komponen lain dari bubur pati sagu dengan cara
pengendapan, pemisahan endapan pati dan bagian lain yang larut air, serta
pengeringan endapan (pati sagu) dengan menggunakan sinar matahari (Flach,
1997; Istalaksana dan Maturbongs, 2007).
10
Ekstraksi sagu yepha hungleu di Kecamatan Sentani, Jayapura dilakukan di
hutan sagu di sekitar danau Sentani, Jayapura. Sanitasi air maupun peralatan yang
digunakan untuk ekstraksi sagu di Sentani sangat jauh dari persyaratan untuk
industri pangan sehingga peluang adanya kontaminasi mikroba selama proses
ekstraksi berlangsung sangat tinggi. Air yang digunakan sebagai pengekstrak sagu
merupakan air dari sungai yang bermuara ke danau Sentani. Sementara, peralatan
yang digunakan sangat sederhana dan sebagian besar diperoleh dari sekitar hutan
sagu seperti pelepah sagu untuk proses pemerasan parutan sagu dan penampung
sementara yang berupa bak dari alas plastik.
Proses ekstraksi sagu di sekitar danau Sentani dilakukan melalui beberapa
tahapan antara lain: penebangan, pengupasan batang sagu, pemotongan batang
sagu, pemarutan, pencampuran dengan air, penyaringan, pengendapan pati, dan
pemisahan endapan pati. Masyarakat Sentani memilih pohon sagu yang layak
panen (tebang) berdasarkan perubahan morfologi batang maupun pohon sagu.
Sagu yang mempunyai batang tidak mengkilap lagi dan sebagian besar daunnya
mengering mempunyai rendemen pati yang tinggi sehingga layak untuk ditebang.
Penebangan batang sagu di sekitar danau Sentani, Jayapura sudah dilakukan
secara semiotomatis dengan menggunakan gergaji mesin. Batang sagu dikupas
untuk memisahkan empulur dari kulit batang sagu yang keras. Empulur sagu
dipotong melintang dengan panjang sekitar 60 cm untuk memudahkan
pengangkutan (Gambar 2).
Gambar 2 Empulur sagu
11
Potongan empulur dibelah secara memanjang untuk memudahkan proses
pemarutan. Pemarutan empulur sagu dilakukan dengan cara mengumpankan
empulur pada pemarut mesin (Gambar 3). Hasil parutan empulur sagu merupakan
bagian sagu yang siap untuk diekstrak patinya. Proses penghancuran empulur
sagu yang dilakukan masyarakat di Sentani sudah sedikit lebih maju mengingat
proses penghancuran yang biasa dilakukan oleh masyarakat di beberapa daerah
lain di Papua adalah adalah dengan penohokan.
Gambar 3 Pemarutan empulur sagu
Ekstraksi pati sagu dilakukan dengan cara meletakkan parutan empulur sagu
diatas pelepah sagu dan ditambah dengan sejumlah air. Parutan sagu diperas
bersama dengan air secara berulang sehingga air yang keluar sudah relatif jernih
yang berarti ekstraksi pati sudah dapat dikatakan optimal (Gambar 4a). Cairan
yang keluar saat pemerasan dilewatkan pada kain saring sehingga akan terpisah
12
dari ampasnya. Ekstrak sagu yang berupa cairan diendapkan di dalam bak
penampung dan dibiarkan mengendap kurang-lebih selama 1 jam (Gambar 4b).
Bak tersebut digunakan secara terus menerus tanpa adanya proses pembersihan
sebelum ataupun setelah pemakaian berlangsung. Di sekitar bak pengendapan
terlihat sisa-sisa endapan pati sagu yang sangat mungkin berasal dari pengendapan
sebelumnya karena dari sisa-sisa endapan tersebut tercium bau asam. Selama
pengendapan berlangsung, pati yang mempunyai berat jenis lebih besar dari air
akan mengendap di bagian bawah bak pengendapan. Sementara itu, air beserta
komponen yang terlarut didalamnya akan berada di atas bak penampung. Bahan
kantung plastik yang digunakan sebagai bak penampung akan memudahkan
pemisahan cairan yang berada di atas lapisan pati sagu. Cairan yang berada
bagain atas bak pengendapan dikeluarkan melalui saluran pengeluaran yang
berada di sisi-sisi bak pengendapan. Cairan ini berwarna keruh kemerahan yang
menandakan bahwa sagu Papua yang diekstrak kemungkinan mengandung
pigmen alami. Endapan patai sagu yang berada di bagian dasar bak pengendapan
ditampung ke dalam karung dan siap dipasarkan oleh petani sagu (Gambar 5).
Sementara itu, ampas sagu yang tertinggal di atas pelepah sagu dikumpulkan oleh
masyarakat sekitar tempat pemarutan sagu. Ampas tersebut selanjutnya digunakan
sebagai pakan ternak babi atau media budidaya sayuran.
Gambar 4 Pemerasan parutan sagu (a) dan penampungan ekstrak pati sagu (b)
(a) (b)
13
Gambar 5 Pengemasan pati sagu basah
Pati sagu basah yang diperoleh dari petani di keringkan oleh pengrajin pati
sagu kering untuk mendapatkan sagu kering yang dapat disimpan dan lebih
mudah digunakan. Pengolahan pati sagu kering di Sentani dilakukan melalui
serangkaian proses seperti perendaman, pencucian, penjemuran, pengayakan dan
pengemasan.
Perendaman pati sagu dilakukan dengan tujuan untuk melarutkan kotoran
yang masih terdapat pada sagu basah yang dibeli dari petani (Gambar 6a). Selain
itu perendaman juga dapat mengurangi intensitas warna sagu dari yang tadinya
kecoklatan menjadi lebih putih. Perendaman ini berlangsung selama 1 malam
sehingga mengundang aktivitas bakteri pembentuk asam. Pemisahan kotoran dan
air perendam sagu dilakukan dengan cara menuangkan air perendam yang
terdapat di bagian atas bak penampung (6b).
Sagu yang telah bersih dijemur di bawah sinar matahari dengan cara
dihamparkan pada rak-rak penjemuran (7a). Sagu yang telah kering diayak,
kemudian dikemas dan dipasarkan di daerah Sentani dan sekitarnya (7b).
Sagu kering asal Sentani berbau asam yang menandakan adanya kandungan
asam organik pada sagu. Keberadaan asam ini kemungkinan karena fermentasi
yang terjadi selama proses produksi pati mengingat peralatan yang digunakan
14
untuk ekstraksi masih sangat sederhana dan kurang saniter. Kemungkinan
mikroba pembentuk asam (terutama bakteri asam laktat) akan mudah
mengkontaminasi ekstrak pati selama proses berlangsung. Ekstrak pati yang
diperoleh tidak langsung dikeringkan melainkan dijual dalam kondisi basah. Hal
ini juga akan menyebabkan terjadinya fermentasi pembentukan asam selama
penyimpanan sebelum pengeringan. Selain itu, pengeringan yang dilakukan oleh
industri rumah tangga di Sentani Papua juga memungkinkan terjadinya fermentasi
karena pati sagu basah yang diperoleh dari petani direndam selama satu malam
sebelum dikeringkan.
Gambar 6 Perendaman pati sagu (a) dan pencucian pati sagu (b)
Gambar 7 Pengeringan pati sagu (a) dan pati sagu dalam kemasan (b)
(a) (b)
(a) (b)
15
Karakteristik Pati Sagu Alami
Komposisi Kimia
Pati sagu yang ada di Indonesia umumnya merupakan pati sagu yang
diperoleh melalui ekstraksi secara tradisional. Proses ekstraksi yang dilakukan
secara tradisioanl hanya memisahkan pati berdasarkan kemampuannya untuk
tersuspensi di dalam air kemudian mengendapkan pati yang tersuspensi.
Komponen lain seperti protein, lemak kemungkinan, mineral (abu) dan serat
masih akan terbawa walaupun dalam jumlah yang sedikit.
Keberadaan komponen selain pati pada pati sagu menjadi bagian dari
penentu mutu pati sagu. Proses ekstraksi patu sagu yang dilakukan dengan baik
akan menghasilkan pati dengan tingkat kemurnian yang tinggi yaitu dengan
kandungan abu, lemak, protein dan serat kasar yang serendah mungkin. Sementara
itu, proses pengeringan yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan pati
kering dengan kandungan air yang rendah sehingga aman untuk penyimpanan.
Persyaratan kandungan air, abu, serat kasar dan protein pati sagu disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3 Persyaratan kandungan air, abu, serat kasar dan protein pati sagu Komponen Satuan Persyaratan
Air % (b/b) Maks 13* Abu % (b/b) Maks 0.5* Serat kasar % (b/b) Maks 0.1* Protein % Maks 0.3** *Sumber: SNI 01-3729-1995. **Sumber: Widaningrum et al. (2005).
Komposisi pati sagu asal Indonesia disajikan pada Tabel 4. Adanya variasi
metode dan peralatan yang digunakan dalam ekstraksi pati sagu di setiap daerah di
Indonesia menyebabkan adanya perbedaan tingkat kemurnian pati sagu yang
diperoleh.
Pengeringan yang dilakukan dengan sinar matahari pada produksi sagu
secara tradisional menyebabkan sulitnya menentukan waktu pengeringan optimum
karena seringkali intensitas cahaya matahari sangat tergantung pada musim.
Waktu pengeringan pati sagu sagu dengan sinar matahari seringkali ditentukan
16
berdasarkan pengalaman dan pengamatan pati sagu secara visual sehingga kadar
air tepung yang diperoleh tidak konsisten dan sulit memenuhi standar SNI.
Kandungan air pada pati sagu asal Indonesia > 13% (Tabel 4).
Karbohidrat merupakan komponen terbesar dalam pati sagu (Tabel 4).
Proses ekstraksi yang dilakukan pada produksi pati sagu memungkinkan
karbohidrat yang terekstrak adalah dalam bentuk pati. Karbohidrat lain seperti
gula dan serat kemungkinan akan terbawa dalam jumlah yang sangat sedikit.
Kandungan serat kasar pada pati asal Sukabumi dan Maluku hanya mencapai
kurang dari 1% (Tabel 4).
Seperti halnya pati dari sumber lainnya, molekul pati sagu disusun oleh dua
kelompok makromolekul, yaitu amilosa dan amilopektin. Baik amilosa maupun
amilopektin disusun oleh monomer α-D-glukosa yang berikatan satu sama lain
melalui ikatan glikosidik (Whistler and Daniel 1985). Perbedaan antara kedua
makromolekul tersebut terletak pada pembentukan percabangan pada struktur
liniernya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul dan pengaturan posisi pada
granula pati.
Tabel 4 Komposisi kimia sagu asal Indonesia Asal sagu
Maluku* Papua** Komponen Sukabumi* Tuni Molat Ihur Hapholo hungleu
Hapholo hongsay
Yepha hungleu
Yepha hongsay
Air (% bb) 14.01 16.90 17.03 17.03 Abu (% bb) 0.18 0.27 0.22 0.26 Lemak (% bb) 0.09 0.06 0.03 0.12 0.11 0.07 0.08 0.12
Protein (% bb) 0.37 0.30 0.48 0.25 0.06 0.12 0.19 0.25
Karbohidrat (% bb) 85.29 82.55 82.37 82.27 81.19 86.12 80.01 83.31
Serat kasar (% bb) 0.62 0.87 0.63 0.70
Amilosa (% bb) 34.15 33.82 34.96 30.90 28.63 29.52 27.55 27.34
Amilopektin (% bb) 52.79 52.83 56.54 55.43
*Sumber: Purwani et al. (2006). **Sumber: Tenda et al. (2005).
Amilosa disusun oleh molekul glukosa yang dihubungkan satu sama lain
dengan ikatan α-1,4-glikosidik sehingga membentuk polimer yang linear dengan
sedikit cabang yang dibentuk oleh ikatan α-1,6-glikosidik (<1%, Ball et al. 1996)
17
atau satu dari 300 – 1000 residu glukan (Roder et al. 2005). Berat molekul
amilosa berkisar antara 105 -106 Da dengan derajat polimerisasi yang mencapai
kisaran 500 – 6000 (Colonnna and Buléon 1992). Gugus OH pada molekul
amilosa dapat berinteraksi satu sama lain membentuk struktur heliks melalui
interaksi hidrogen (Whistler and Daniel 1985).
Amilopektin mempunyai ukuran molekul yang sangat besar dengan berat
molekul yang mencapai 107 - 109 Da (Colonna and Buléon, 1992) dan derajat
polimerisasi antara 3 x 105–3x106 (Zobel 1988). Glukosa penyusun molekul
amilopektin dihubungkan satu satu sama lain dengan ikatan α-1,4-glikosidik pada
rantai linier dan ikatan α-1,6-glikosidik pada percabangannya. Jarak yang
dibentuk antara cabang yang satu dengan cabang yang lain pada struktur
amilopektin sekitar 20 residu (Roder et al. 2005).
Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbeda-beda
demikian juga dengan berat molekulnya. Umumnya pati memiliki proporsi
amilopektin yang lebih besar jika dibandingkan dengan amilosa. Menurut Ahmad
et al. (1999), kandungan amilosa sagu berkisar antara 24 – 31% dengan berat
molekul 1.41 x 106 – 2.23 x 106 Da. Sementara itu, kandungan amilopektin pati
sagu berkisar antara 69 – 76% dengan berat molekul 6.70 x 106 – 9.23 x 106 Da
(Ahmad et al. 1999). Pati sagu asal Indonesia mempunyai kandungan amilosa
yang relatif lebih tinggi yaitu mencapai 27 – 35% (Tabel 3).
Kenyataan bahwa tanaman sagu yang tumbuh di Indonesia berasal dari jenis
yang sangat beragam serta tempat tumbuhnya yang tersebar di berbagai daerah
menyebabkan pati sagu yang dihasilkannya juga mempunyai proporsi amilosa dan
amilopektin yang beragam pula. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 3
terlihat bahwa pati sagu asal Sukabumi dan Maluku memiliki kandungan amilosa
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati sagu asal Papua. Sementara itu,
terdapat variasi proporsi amilosa/amilopektin antar sagu asal Pupua maupun antar
sagu asal Maluku.
Kandungan pati serta proporsi amilosa dan amilopektin pati sagu menjadi
penting apabila pati sagu tersebut akan digunakan sebagai bahan baku ataupun
bahan pembantu produk pangan seperti bihun. Kandungan amilosa tinggi
(>25g/100g) berperan penting dalam pembentukan jaringan gel dan struktur bihun
18
yang diproduksi dari beras (Juliano & Sakurai, 1985). Pembentukan gel yang baik
dapat mengurangi tingkat kelengketan produk yang dihasilkan. Pati sagu asal
Indonesia mengandung amilosa dengan kisaran yang lebih tinggi yaitu mencapai
27 - 35% (Tabel 3). Oleh karena itu pati sagu asal Indonesia berpotensi untuk
dijadikan bahan baku bihun.
Karakteristik Fisik
a. Karakteristik Gelatinisasi
Komposisi kimia pati sagu akan sangat berpengaruh pada karakteristik fisik
pati sagu yang pada akhirnya sangat berpengaruh pada sifat fungsionalnya ketika
diaplikasikan untuk produk pangan. Salah satu karakteristik fisik pati yang
penting dievaluasi adalah karakteristik gelatinisasi pati. Ketika pati dipanaskan
bersama air, pati akan mengalami peningkatan kelarutan yang diikuti dengan
peningkatan viskositas yang kemudian akan membentuk pasta. Fenomena ini
disebut dengan gelatinisasi pati. Apabila pemanasan dilanjutkan dalam jangka
waktu tertentu kemudian dilakukan pendinginan maka perubahan viskositas pati
akan membentuk profil yang berbeda-beda tergantung kepada jenis pati.
Berdarkan profil yang terbentuk, tipe gelatinisasi pati dapat digolongkan
menjadi 4 yaitu A, B, C dan D (Schoch and Maywad 1968 dikutip oleh Collado et
al. 2001). Tipe A memiliki ciri kemampuan pengembangan yang tinggi yang
ditunjukkan dengan tingginya viskositas puncak, namun akan mengalami
penurunan viskositas yang tajam selama pemanasan. Tipe B memiliki kemampuan
pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas
puncak dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam selama
pemanasan. Tipe C memiliki kemampuan pengembangan terbatas yang
ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak
mengalami penurunan bahkan dapat meningkat selama pemanasan. Tipe D
cenderung tidak memiliki kemampuan untuk mengambang sehingga tidak dapat
membentuk pasta apabila dipanaskan.
Profil gelatinisasi pati sagu dapat ditentukan dengan menggunakan
instrumen brabender amilograph maupun Rapid Visco Analizer. Ke dua instrumen
tersebut mempunyai prinsip yang serupa yaitu mengukur perubahan viskositas
19
suspensi pati ketika pengalami pemanasan dan pendinginan dengan pola tertentu.
Profil gelatinisasi pati sagu dari berbagai sumber disajikan pada Tabel 5.
Secara umum pati sagu memiliki kemampuan pengembangan yang besar.
Menurut standar SIRIM MS 470:1992 seperti yang dikutip oleh Wattanachant et
al. (20022), viskositas pasta pati sagu (suspensi 6% db) minimal mencapai 600
BU. Pati sagu asal Malaysia mempunyai Viskositas Puncak 635 BU (suspensi 6%
db). Sementara itu, pati sagu asal Indonesia mempunyai viskositas puncak 890 –
1230 Bu (suspensi 10% db) seperti yang terdapat pada Tabel 5. Baik pasta pati
asal Malaysia maupun asal Indonesia mengalami penurunan yang tajam selama
pemanasan yang dapat dilihat dari viskositas breakdown yang besar. Oleh karena
itu, pati sagu digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Profil
gelatinisasi pati sagu menyerupai profil gelatinisasi pati umbi-umbian (tapioka,
kentang, ubi jalar, dan garut) dan waxy cereal (waxy corn dan waxy barley)
(Collado et al. 2001; Wattanachant et al. 20022; Singh et al. 2005).
Tabel 5 Profil gelatinisasi pati sagu Asal sagu
Indonesia** Parameter gelatinisasi
Malaysia* Tuni Molat Ihur Pancasan
Suhu pasta (oC) 66.0a 72 71.25 66 71.25 Suhu puncak (oC) 81.0a 85.5 87 84.75 81 Viskositas Puncak (BU) 635.0a*** 990**** 890**** 1230**** 1100**** Viskositas Pasta panas
(BU) 332.5a 350 350 520 650
Viskositas Breakdown (BU)
302.5a 640 540 710 450
Viskositas Pasta Dingin (BU)
480.0a 710 690 950 1280
Setback (BU) 177.5a 360 340 500 690 Tipe A A A A A
*Sumber: Wattanachant et al. (20021) **Sumber: Purwani et al. (2006) ***Konsentrasi suspensi pati 6% db ****Konsentrasi suspensi pati 10% db
Pati dengan profil gelatinisasi tipe A umumnya mempunyai kandungan
amilosa yang rendah. Pati dengan kandungan amilosa yang rendah (amilopektin
yang tinggi) akan mengalami pengembangan yang tinggi pada saat mengalami
gelatinisasi yang ditandai dengan tingginya viskositas puncak pasta. Namun
apabila pemanasan dilanjutkan, viskositas pasta akan turun dengan tajam.
20
Menurut Wu and Seib (1990) seperti yang dikutip oleh Wattanachant et al.
20022), pati dengan kandungan amilosa tinggi akan mengalami pengembangan
yang terbatas karena keberadaan amilosa akan mencegah pengembangan granula
pati selama pemanasan. Hal ini ditandai dengan viskositas pasta pati yang
cenderung rendah. Apabila pemanasan dilanjutkan maka viskositas pasta pati
tersebut cenderung stabil bahkan dapat mengalami peningkatan sehingga pati
tersebut dikategorikan pati dengan profil gelatinisasi tipe C (Schoch and Maywad
1968 dikutip oleh Collado et al. 2001). Pati yang mempunyai profil gelatinisasi
tipe C adalah beberapa pati serealia seperti mungbean (kacang hijau) navy bean
dan pinto bean (Kim et al. 1996) dan pati yang telah mengalami modifikasi ikatan
silang (Wattanachant et al. 2003). Pati dengan kandungan amilosa moderat
umumnya mempunyai viskositas puncak pasta yang lebih rendah dari pati dengan
profil gelatinisasi tipe A namun lebih tinggi dari pati dengan profil gelatinisasi
tipe C sehingga digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe B.
Apabila dibandingkan dengan sumber pati lainnya, pati sagu khususnya pati
sagu asal Indonesia memiliki kandungan amilosa yang relatif tinggi bila
dibandingkan dengan pati serealia seperti pati beras, pati gandum, dan pati jagung
yang masing-masing mencapai 17%, 25% dan 26% (Wattanachant et al. 20022).
Namun demikian, pati serealia tersebut digolongkan sebagai pati dengan profil
gelatinisasi tipe B karena mempunyai kemampuan pengembangan sedang yang
ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas puncak dan viskositas mengalami
penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan.
b. Ukuran dan Bentuk Granula
Molekul amilosa dan amilopektin menyusun granula pati dengan pola
tertentu (Jane, 2006). Struktur amilosa yang cenderung lurus sebagian besar
berada pada bagian amorphous dari granula pati dan sebagian kecil menyusun
bagian kristalin pati. Sementara itu, molekul amilopektin berperan sebagai
komponen utama penyusun bagian kristalin pati (Belitz and Grosch, 1999).
Pengaturan susunan molekul amilosa dan amilopektin dalam granula pati bersifat
khas untuk setiap sumber pati sehingga akan menentukan bentuk dan ukuran
granula.
21
Granula pati sagu mempunyai bentuk elips terpancung dengan permukaan
yang halus (Yiu et al. 2008). Bila dibandingkan dengan beberapa jenis pati
lainnya, granula pati sagu mempunyai ukuran yang relatif besar yaitu mencapai
rata-rata 24.8 μm (Yiu et al. 2008) atau 25 μm (Wattanachant et al. 20022).
Sementara itu, granula pati serealia seperti beras, gandum dan jagung mempunyai
ukuran yang lebih kecil yaitu masing-masing mencapai rata-rata 5 μm, 15 μm
dan 15 μm (Wattanachant et al. 20022).
Granula pati yang lebih besar mempunyai ikatan hidrogen intermolekuler
yang lebih mudah putus selama pemanasan sehingga granula pati tersebut lebih
mudah mengembang bila dibandingkan dengan granula pati yang lebih kecil
(Wattanachant et al. 20022). Kondisi ini kemungkinan menyebabkan pati sagu
mempunyai profil gelatinisasi tipe A walaupun kandungan amilosanya relatif
tinggi.
c. Swelling power dan Kelarutan
Selain dari viskositas puncak pasta pada saat mengalami pemanasan,
kemampuan granula pati untuk mengembang dapat ditentukan dengan cara
mengukur swelling volume atau swelling power. Swelling volume adalah
perbandingan volume pasta pati terhadap berat keringnya (Collado et al. 2001).
Sementara itu swelling power adalah perbandingan antara berat sedimen pasta pati
dengan berat kering pati yang dapat membentuk pasta (Schoch 1964 seperti yang
dikutip oleh Wattanachant et al. 20022).
Pati dengan profil gelatinisasi tipe A cenderung mempunyai swelling volume
atau swelling power yang besar. Pati sagu yang mempunyai profil gelatinisasi
tipe A mempunyai swelling power yang lebih besar bila dibandingkan dengan pati
beras, pati gandum, pati jagung dan tapioka yang mempunyai profil gelatinisasi
tipe B (Wattanachant et al. 20022). Sementara itu, pati kacang-kacangan (navy
bean dan pinto bean) yang mempunyai profil gelatinisasi tipe C mempunyai
swelling power yang sangat terbatas (sangat rendah) bila dibandingkan dengan
pati kentang yang mempunyai profil gelatinisasi tipe A (Kim et al. 1996).
Pada umumnya pati dengan swelling power atau swelling volume yang
tinggi mempunyai kelarutan pasta pati yang tinggi pula. Seperti halnya studi yang
22
dilakukan oleh Kim et al. (1996), melaporkan bahwa pati kentang yang
mempunyai swelling power lebih tinggi dibanding pati kacang-kacangan (navy
bean dan pinto bean) mempunyai kelarutan yang lebih tinggi pula. Pati sagu
mempunyai swelling power yang tinggi sehingga kemungkinan akan mempunyai
kelarutan yang tinggi pula. Beberapa studi yang dikutip oleh Mohamed et al.
(2008), menunjukkan bahwa peningkatan swelling power pati sagu diiringi oleh
peningkatan kelarutan pula.
Keterkaitan antara swelling power dan kelarutan terkait dengan kemudahan
molekul air untuk berinteraksi dengan molekul dalam granula pati dan
menggantikan interaksi hidrogen antar molekul sehingga granula akan lebih
mudah menyerap air dan mempunyai pengembangan yang tinggi. Tester and
Karkalas (1996) seperti yang dikutip oleh Muhamed et al. (2008), telah
mengekspresikan bahwa pengembangan granula terjadi ketika granula dipanaskan
bersama air dan ikatan hidrogen yang menstabilisasi struktur double heliks dalam
kristal terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Adanya
pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam sehingga granula akan
pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar.
Semakin banyak molekul amilosa yang keluar dari granula pati maka
kelarutan semakin tinggi. Oleh karena itu, pati dengan kandungan amilosa yang
tinggi pada umumnya mempunyai kelarutan yang tinggi pula seperti halnya pati
sagu yang mengandung amilosa 27 – 35%. Namun demikian, kandungan amilosa
tidak selamanya berbanding lurus dengan kelarutan. Keberadaan komplek antara
amilosa dengan lipid seperti pada pati kacang-kacangan dapat mengurangi
kelarutan amilosa (Kim et al. 1996).
Evaluasi Pati Sebagai Bahan Baku Bihun
Sifat fisiko-kimia pati akan sangat mempengaruhi sifat fungsionalnya.
Dalam pembuatan bihun berbahan baku pati dibutuhkan pati dengan sifat
fungsional tertentu agar bihun yang dihasilkan mempunyai karakteristik yang
baik. Sifat fungsional pati sebagai bahan baku tersebut terutama berkaitan
dengan pembentukan adonan dan tekstur bihun yang dihasilkan.
23
Menurut Lii and Chang (1981), pati yang ideal sebagai bahan baku
bihun/soun adalah pati dengan kandungan amilosa yang tinggi, swelling
(pembengkakan granula) dan kelarutan terbatas serta mempunyai profil
gelatinisasi tipe C. Untuk dapat mengetahui potensi sagu sebagai bahan baku
bihun perlu dilakukan evaluasi terhadap sifat-sifat yang diperlukan untuk produksi
bihun.
Pati dengan amilosa yang yang tinggi cenderung mudah mengalami
retrogradasi dan mempunyai penampakan pasta yang lebih opaque seperti halnya
pati beras dan pati jagung (wattanachant et al. 20022). Namun tidak demikian
dengan pati sagu, walaupun mengandung amilosa yang cukup tinggi, pasta pati
sagu cenderung kurang mudah mengalami retrogradasi dan mempunyai
penampakan pasta yang lebih transparan (Purwani et al. 2006; wattanachant et al.
20022).
Kecepatan pati untuk mengalami retrogradasi dibutuhkan untuk
pembentukan tekstur bihun pada saat bihun mengalami pendinginan. Retrogradasi
pati turut bertanggung jawab terhadap tingkat kekerasan dan penampakan bihun
atau soun (starch noodle). Menurut Kim et al. (1996), soun (starch noodle) yang
diproduksi dari bahan baku pati dengan kandungan amilosa tinggi mempunyai
kekerasan yang lebih tinggi namun mempunyai transparansi yang lebih rendah
bila dibandingkan dengan soun yang diproduksi dari pati dengan kandungan
amilosa yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Kim et al. 1996, soun yang
diproduksi dari kacang-kacangan dengan kandungan amilosa 37.3 – 37.8%
mempunyai tekstur yang lebih keras dan lebih opaque bila dibandingkan dengan
soun yang diproduksi dari kentang dengan kandungan amilosa 20.0 – 26.5%
melalui pengukuran yang dilakukan dengan instrumen tekstur analizer. Pada
tingkat tertentu, kekerasan tekstur bihun atau soun dibutuhkan untuk memperoleh
soun yang tegar sehingga dapat memberikan mouthfeel yang disukai ketika
dikonsumsi.
Selain mempengaruhi tingkat kekerasan dan transparansi, kandungan
amilosa pati mempengaruhi kelengketan serta susut masak dan pengembangan
bihun atau soun kering pada saat dimasak (direhidrasi kembali). kemampuan
produk bihun atau soun untuk mengalami pengembangan. Namun demikian, Kim
24
et al. (1996), menunjukkan bahwa pati dengan swelling power dan kandungan
amilosa yang tinggi tidak selalu menghasilkan soun dengan susut masak yang
tinggi pula. Kompleks antara lemak dan amilosa diduga dapat menurunkan susut
masak soun yang dihasilkan (Kim et al. 1996). Selanjutnya menurut Kim et al.
(1996), pati dengan kandungan amilosa yang tinggi namun mempunyai ukuran
granula yang kecil menghasilkan soun dengan tingkat pengembangan dan susut
masak yang lebih rendah bila dibandingkan dengan soun dari pati dengan
kandungan amilosa yang lebih rendah namun mempunyai ukuran granula yang
besar.
Studi yang dilakukan oleh Singh et al. (2002) menunjukkan bahwa mutu
soun masak dipengaruhi oleh morfologi granula pati. Soun dari pati kentang
mempunyai bobot masak dan susut masak (cooking loss) yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan soun dari pati jagung. Hal ini berkaitan dengan
karakteristik pati kentang yang mempunyai ukuran granula lebih besar, swelling
power dan kelarutan yang lebih tinggi serta suhu gelatinisasi yang lebih rendah
bila dibandingkan dengan pati jagung. Ukuran granula pati kentang yang lebih
besar memungkinkan pati lebih mudah dan lebih banyak menyerap air sehingga
lebih mudah membengkak. Kondisi ini menyebabkan pati lebih mudah
mengalami gelatinisasi (suhu gelatinisasi relatif rendah) dan amilosa mudah
keluar dari granula. Oleh karena itu, selain mempunyai bobot masak dan susut
masak yang lebih tinggi, soun pati kentang juga lebih kohesif dan cenderung lebih
lengket bila dibandingkan dengan soun dari pati jagung (Singh et al. 2002).
Keterkaitan antara morfologi (terutama dari aspek ukuran granula pati)
dengan karakteristik adonan soun dan kualitas masak soun juga diperlihatkan
melalui studi yang dilakukan oleh Chen at al. (2003). Adonan yang dibuat dari
pati kentang ataupun ubi jalar dengan ukuran granula yang kecil (< 20 µm)
mempunyai sifat adonan yang lebih baik dibandingkan dengan adonan yang
dibuat dari pati dengan ukuran granula yang lebih besar. Untaian soun yang
dihasilkan mempunyai konsistensi yang lebih baik dan berukuran panjang (tidak
mudah patah).
Pengujian terhadap kualitas masak menunjukkan bahwa cooking loss (susut
masak) dan swelling indeks (indeks pembengkakan) soun yang dihasilkan dari pati
25
dengan ukuran granula yang kecil (< 20 µm) jauh lebih baik (lebih kecil) bila
dibandingkan dengan soun yang dihasilkan dari pati dengan ukuran granula yang
lebih besar (Chen et al. 2003).
Hubungan antara profil gelatinisasi pati dengan karakteristik soun telah
dilaporkan oleh Kim et al. (1996), soun yang dihasilkan dari pati kacang-
kacangan dengan profil gelatinisasi tipe C mempunyai susut masak, dan
kelengketan yang lebih rendah namun mempunyai kekerasan yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan soun yang dihasilkan dari pati dengan profil gelatinisasi
tipe A. Pati dengan profil gelatinisasi tipe C cenderung stabil terhadap
pemanasan sehingga keluarnya padatan dari soun yang diproduksi dari pati
tersebut dapat ditekan dan soun memiliki kelengketan yang rendah.
Pati sagu mempunyai kandungan amilosa yang tinggi (Purwani et al. 2006;
Wattanachant et al. 20022), ukuran granula yang besar (Wattanachant et al. 20021;
Yiu et al. 2008), swelling power dan kelarutan tinggi (Wattanachant et al. 20022)
dan profil gelatinisasi tipe A (Purwani et al. 2006; Wattanachant et al. 2003;
Muhammad 2000). Bila dibandingkan dengan syarat pati ideal untuk bahan baku
bihun, pati sagu hanya memenuhi satu syarat yaitu kandungan amilosa yang
tinggi. Namun demikian, kandungan amilosa yang tinggi pada sagu tidak
didukung oleh ukuran granula sagu yang kecil sehingga pada saat dipanaskan
granula mudah mengembang yang ditandai dengan viskositas puncak yang tinggi,
kemudian disusul dengan penurunan viskositas pasta yang tajam sehingga pati
sagu digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe A. Swelling power
dan kelarutan pati sagu yang relatif tinggi juga kurang mendukung penggunaan
pati sagu sebagai bahan baku bihun.
Purwani et al. (2006), melaporkan bahwa terdapat beberapa kendala dalam
penggunaan pati sagu alami sebagai bahan baku bihun. Kendala tersebut ditemui
untuk semua jenis sagu alami yang digunakan yaitu sagu asal Maluku (Tuni,
Molat dan Ihur) serta sagu asal Pancasan. Adonan bihun yang dibuat dari pati
sagu alami cenderung lengket sehingga untaian bihun yang diperoleh dari adonan
tersebut harus dipisahkan satu per satu agar tidak saling menyatu selama
pengukusan dan pengeringan. Ketika dimasak kembali (direhidrasi), bihun dari
pati sagu alami mempunyai berbagai kelemahan baik secara fisik maupun
26
organoleptik. Bihun dari pati alami mempunyai tekstur lembek, lengket dan
kurang elastis, mempunyai susut masak dan berat rehidrasi yang tinggi. Oleh
karena itu, pati sagu yang akan digunakan sebagai bahan baku bihun perlu
dimodifikasi terlebih dahulu agar karakteristiknya lebih sesuai dengan
karakteristik pati yang sesuai untuk produk bihun.
Modifikasi Pati dengan Metode HMT
Modifikasi pati dengan metode HMT (Heat Moisture Treatment) merupakan
metode modifikasi pati yang dilakukan secara fisik yaitu yang melibatkan
perlakuan panas dan pengaturan kadar air (Collado et al. 2001). Selanjutnya
menurut Collado et al. (2001), pemanasan yang dilakukan pada metode HMT
dilakukan diatas suhu gelatinisasi pati (80 – 120oC) namun pada kadar air yang
terbatas (<35%).
Energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung kemungkinan
dapat melemahkan ikatan hidrogen inter dan intra molekul amilosa dan
amilopektin di dalam granula pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air
untuk mengimbibisi granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan
pergerakan maupun pembentukan interaksi antara air dan molekul amilosa atau
amilopektin juga terbatas sehingga tidak menyebabkan adanya peningkatan
kelarutan pati di dalam air selama pemanasan berlangsung. Dengan kata lain,
keberadaan air yang terbatas selama pemanasan yang dilakukan pada modifikasi
HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi yang ditunjukkan
dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi HMT. yang dilihat
melalui studi diffraksi sinar X (Hoover and Manuel 1996; Gunaratne and Hoover
2002; Lawal 2005; Lawal and Adebowale 2005; Vermeylen et al. 2006) dan studi
bentuk granula dengan mikroskop polarisasi cahaya atau SEM (Scanning
Electrone Microscope) (Pukkahuta et al. 2008; Vermeylen et al. 2006). Gunaratne
dan Hoover (2002), melaporkan bahwa modifikasi HMT dapat menggeser pola
difraksi pati kentang dan pati uwi dari pola A menjadi pola A+B sebagai akibat
adanya penurunan bagian kristalin yang masing-masing mencapai 9% dan 8%.
Penurunan persentase daerah kristalin tersebut tidak menyebabkan pati kentang
27
maupun pati uwi tergelatinisasi. Pati yang mengalami gelatinisasi akan kehilangan
keseluruhan bagian kristalnya (Zobel et al. 1988).
Namun demikian, berbagai studi menunjukkan bahwa imbibisi air selama
modifikasi HMT berlangsung menyebabkan adanya pengaturan kembali
(rearrangement) molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati (Singh et
al. 2005; Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta and Varavinit 2007). Adanya
pengaturan kembali ini berimblikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik maupun
sifat kimia pati. Perubahan sifat fisik yang terjadi pada pati termodifikasi HMT
antara lain perubahan profil gelatinisasi (Collado and Corke 1999; Lawal and
Adebowale 2005; Collado et al. 2001; Purwani et al. 2006: Olayinka et al. 2008),
perubahan karakteristik termal melalui pengujian dengan DSC (Differential
Scanning Calorymetry) (Collado and Corke 1999; Vermeylen et al. 2006:
Pukkahuta et al. 2008), perubahan swelling power/swelling volume (Collado and
Corke 1999; Collado et al. 2001) dan perubahan kelarutan (Collado and Corke
1999). Sementara itu perubahan kimia yang terjadi pada pati termodifikasi HMT
antara lain terjadinya peningkatan fraksi pati yang mempunyai berat molekul
pendek (Lu et al. 1996; Vermeylen et al. 2006).
Perubahan karakteristik pati termodifikasi HMT dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain faktor internal (karakteristik awal pati) dan faktor eksternal
(kondisi modifikasi HMT seperti suhu, kadar air dan waktu (lamanya pemanasan
berlangsung). Kombinasi antar berbagai faktor tersebut dapat menghasilkan pati
dengan karakteristik fisik maupun kimia yang berbeda-beda.
Pengaruh Kadar Air
Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. (2005), menunjukkan bahwa
modifikasi dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat mengubah profil
gelatinisasi pati sorgum merah, yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi,
meningkatkan viskositas pasta pati, menurunkan viskositas pasta panas,
meningkatkan breakdown, meningkatkan viskositas akhir, dan meningkatkan
kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi (meningkatkan set back).
Selanjutnya menurut Adebowale et al. (2005), perubahan tersebut sangat
tergantung pada pengaturan kadar air modifikasi HMT. Peningkatan kadar air
28
modifikasi tidak memberikan pola yang khas dalam meningkatkan suhu
gelatinisasi pati sorgum merah. Peningkatan kadar air dari 18% menjadi 21%
meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi, namun peningkatan kadar air menjadi
24% dan 27% tidak meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi. Selain tidak
memberikan pola yang khas terhadap perubahan suhu gelatinisasi, peningkatan
kadar air juga tidak memberikan pola yang khas pada viskositas puncak,
viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir dan setback. Namun
demikian, modifikasi yang dilakuukan pada kadar air 24% memberikan pati
termodifikasi dengan puncak viskositas, viskositas pasta panas, breakdown,
viskositas akhir dan setback yang paling rendah bila dibandingkan dengan kadar
air 18%, 21% dan 24%.
Pengaruh kadar air modifikasi HMT terhadap profil gelatinisasi
diperlihatkan dengan jelas pada modifikasi yang dilakukan terhadap pati biji
nangka (Lawal and Adebowale 2005). Peningkatan kadar air dari 18% hingga
27% meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi, meningkatkan penurunan puncak
viskositas, meningkatkan penurunan viskositas pasta panas, meningkatkan
penurunan setback, dan meningkatkan penurunan breakdown. Pati termodifikasi
dengan profil yang paling mendekati pati dengan tipe C diperoleh dari pati yang
dimodifikasi pada kadar air 27%.
Sementara itu, menurut Vermeylen et al. (2006), modifikasi HMT pada pati
kentang dipengaruhi oleh kadar air dan suhu. Modifikasi yang dilakukan pada
kadar air 23% dengan suhu 130oC menghasilkan pati termodifikasi HMT dengan
suhu gelatinisasi tertinggi dan perubahan pola difraksi sinar-x dari tipe B menjadi
tipe A. Tipe A merupakan tipe difraksi sinar-x yang dimiliki oleh pati serealia
alami.
Pengaruh Sumber Pati
Pati dari sumber yang berbeda mempunyai proporsi amilosa/amilopektin
yang berbeda pula. Adanya perbedaan proporsi amilosa/amilopektin
kemungkinnan akan mempengaruhi sensitifitasnya terhadap pengaruh modifikasi
HMT. Perbedaan panjang rantai serta perbedaan pengaturan amilosa dan
amilopektin di dalam granula pati kemungkinan akan mempengaruhi
29
kemudahanan perubahannya pada saat dipanaskan bersama dengan sejumlah air.
Menurut manuel (1996), pati legum termodifikasi HMT dari berbagai jenis legum
dengan proporsi amilosa/amilopektin yang berbeda mengalami penurunan
pelepasan amilosa (amylosa leaching), penurunan faktor pembengkakan granula
(swelling factor) dan peningkatan suhu pelelehan dengan tingkat yang berbeda.
Namun demikian, dari perbedaan yang ada belum terlihat adanya kecenderungan
pati dengan proporsi amilosa yang lebih tinggi mempunyai perubahan yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan pati yang mempunyai proporsi amilosa yang
lebih rendah atau sebaliknya.
Studi yang dilakukan oleh Widaningrum dan Purwani (2006), menunjukkan
bahwa pati jagung dengan kandungan amilopektin lebih tinggi lebih sensitif
terhadap perlakuan HMT. Pati jagung dengan kandungan amilosa rendah
(17.69%) mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C.
Sementara itu, pati jagung dengan kandungan amilosa tinggi (46.15%) mengalami
pergeseran profil gelatinisasi dari tipe B menjadi tipe C.
Studi yang dilakukan oleh Purwani et al. (2006), menunjukkan bahwa teknik
HMT dapat menggeser type kurva profil gelatinisasi pati sagu dari tipe A menjadi
tipe B. Pada pergeseran pola gelatinisasi ini terjadi perubahan beberapa parameter
profil gelatinisasi diantaranya peningkatan suhu gelatinisasai, penurunan
viskositas breakdown dan peningkatan viskositas setback. Besarnya perubahan
beberapa parameter gelatinisasi tersebut berbeda untuk setiap asal sagu. Sagu Ihur
yang mempunyai kandungan amilosa yang paling rendah mengalami peningkatan
suhu gelatinisasi dan penurunan viskositas breakdown yang paling besar.
Modifikasi HMT yang dilakukan terhadap pati ubi jalar dengan kandungan
amilosa yang berbeda menunjukkan bahwa pati dengan kandungan amilosa yang
lebih rendah lebih mudah mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A
menjadi tipe C bila dibandingkan dengan pati dengan kandungan amilosa yang
lebih tinggi (Collado and Corke 1996). Selanjutnya menurut Collado and Corke
(1999), pati ubi jalar dengan kandungan amilosa yang lebih tinggi dapat
mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C bila
dimodifikasi HMT selama 4 dan 8 jam, penambahan waktu modifikasi menjadi 16
jam menghasilkan pati termodifikasi dengan profil gelatinisasi tipe B.
30
Pengaruh Suhu dan Kadar Air
Perubahan yang terjadi pada pati yang dimodifikasi HMT disebabkan oleh
adanya interaksi antara amilosa dan amilopektin didalam granula dengan air.
Imbibisi air ke dalam granula pati dimungkinkan oleh adanya suhu tinggi yang
dapat memutuskan ikatan hidrogen antar molekul amilosa-amilosa, amilosa-
amilopektin maupun amilopektin-amilopektin. Ikatan hidrogen antar molekul
tersebut kemudian digantikan dengan ikatan hidrogen dengan air. Oleh karena itu,
kadar air dan suhu yang diterapkan selama modifikasi kemungkinan akan saling
berinteraksi dalam mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan.
Studi yang dilakukan oleh Vermeylen et al. (2006) menunjukkan bahwa pati
termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih tinggi mempunyai suhu
gelatinisasi yang lebih tinggi, kisaran suhu gelatinisasi yang lebih lebar dan energi
entalpi gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pati termodifikasi
HMT pada kadar air dan suhu yang lebih rendah. Selain itu, pati termodifikasi
pada suhu dan kadar air yang lebih tinggi mempunyai ukuran lubang
(kekosongan) di pusat granula yang lebih besar dan integritas granula pati
termodifikasi pada suhu 130oC telah hilang sebagian.
Pengaruh Waktu dan Suhu
Adanya pengaruh interaksi waktu dan suhu modifikasi HMT terhadap
karakteristik pati termodifikasi dilaporkan oleh Ahmad (2009). Modifikasi yang
dilakukan pada suhu pemanasan 110oC selama 16 jam dapat menghasilkan pati
termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C yaitu pati yang cenderung
dapat mempertahankan viskositasnya selama pemanasan dan pengadukan. Selain
mempunyai profil gelatinisasi tipe C, pati tersebut juga mempunyai kelarutan
yang lebih rendah dan kekuatan gel yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
pati yang dimodifikasi pada kombinasi waktu dan suhu yang berbeda.
Studi yang dilakukan oleh Lestari (2009), menunjukkan bahwa tepung
jagung yang dimodifikasi HMT pada berbagai kombinasi suhu dan waktu yang
berbeda menghasilkan tepung jagung dengan karakteristik gelatinisasi yang
berbeda. Tepung jagung termodifikasi dengan tipe C yaitu tepung yang
mempunyai stabilitas panas dan pengadukan tinggi diperoleh dengan kombinasi
31
suhu 110oC dan waktu 6 jam. Selain itu, tepung tersebut juga mempunyai
swelling volume dan amylose leaching yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan tepung yang dimodifikasi pada perlakuan lainnya.
Studi yang dilakukan oleh Ahmad (2009) tidak menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan stabilitas pati dengan meningkatnya waktu dan suhu
modifikasi HMT. Stabilitas panas pasta pati meningkat dengan meningkatnya
waktu modifikasi dari 12 jam menjadi 16 jam, namun stabilitas panas tersebut
menurun ketika waktu modifikasi ditingkatkan menjadi 20 jam. Stabilitas pasta
panas pati meningkat dengan meningkatnya suhu modifikasi dari 100oC menjadi
110oC, namun stabilitas panas tersebut menurun dengan meningkatnya suhu
modifikasi dari 110oC menjadi 120oC.
Pengaruh pH dan Waktu
Menurut collado and corke (1999), pH dan waktu modifikasi HMT
mempengaruhi profil gelatinisasi pati ubi jalar termodifikasi yang dihasilkan. Pati
ubi jalar (kandungan amilosa 15.2%) yang dimodifikasi HMT pada pH asal (6.5-
6.7) mempunyai viskositas puncak dan viskositas breakdown yang lebih rendah
bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada pH basa (pH 10) pada
berbagai waktu modifikasi (4 jam, 8 jam dan 16 jam). Hal ini menunjukkan bahwa
kestabilan pati yang dimodifikasi pada pH asal terhadap pemanasan dan
pengadukan lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada
pH basa. Peningkatan waktu modifikasi dari 4 jam menjadi 8 jam dan 16 jam
cenderung meningkatkan breakdown pati ubi jalar termodifikasi baik yang
termodifikasi pada pH asal maupun pH basa atau dapat dikatakan bahwa
peningkatan waktu modifikasi cenderung menurunkan kestabilan pati terhadap
pemanasan dan pengadukan.
Kondisi pH tinggi selama modifikasi HMT berlangsung kemungkinan akan
mempengaruhi perubahan yang terjadi pada pati yang termodifikasi. Basa
kemungkinan akan melemahkan interaksi hidrogen antar molekul amilosa maupun
amilopektin sehingga pada saat digelatinisasi akan mengembang lebih bebas
(puncak viskositas meningkat) dan lebih mudah mengalami breakdown (Collado
and Corke 1999).
32
Selain kondisi basa, kondisi asam kemungkinan akan mempengaruhi
perubahan yang terjadi selama modifikasi pati. Studi terhadap pengaruh pH asam
selama modifikasi pati dengan metode HMT perlu dilakukan mengingat studi
tersebut belum pernah ada dan pati sagu yang digunakan pada penelitian ini
mempunyai pH yang rendah.
Aplikasi Pati Termodifikasi HMT
Perubahan yang terjadi pada pati termodifikasi HMT mengarah pada
pembentukan pati dengan stabilitas panas dan pengadukan yang lebih baik.
Adanya pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe B bahkan menjadi
tipe C (yang lebih stabil terhadap panas dan pengadukan) mengindikasikan
bahwa pati termodifikasi HMT dapat diaplikasikan untuk produksi bihun (Lii and
Chang 1981; Collado and Corke 1999; Collado et al. 2001; Purwani et al. 2006).
Studi yang dilakukan Collado et al. (2001) menunjukkan bahwa bihun yang
diproduksi dari pati ubi jalar termodifikasi HMT mempunyai kualitas fisik dan
organoleptik yang lebih baik bila dibandingkan dengan bihun dari pati ubi jalar
alami. Pengujian dengan texture analizer menunjukkan bahwa bihun dari pati ubi
jalar termodifikasi HMT mempunyai kekerasan yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan bihun dari pati ubi jalar alami. Sementara itu, pengujian
organoleptik menunjukkan bahwa bihun dari pati termodifikasi HMT memiliki
tekstur, flavor dan penerimaan umum yang lebih disukai dibandingkan dengan
bihun dari pati ubi jalar alami.
Menurut Purwani et al. (2006), aplikasi pati sagu termodifikasi HMT untuk
produksi bihun sagu dapat meningkatkan kualitas bihun sagu diantaranya
meningkatkan kekerasan, menurunkan kelengketan dan meningkatkan elstisitas
melalui pengukuran dengan tekstur analizer. Selanjutnya menurutn Purwani et al.
(2006), bihun dari pati sagu termodifikasi HMT mempunyai susut masak yang
lebih tinggi, berat rehidrasi yang lebih rendah dan karakteristik organoleptik yang
lebih disukai bila dibandingkan dengan bihun dari pati sagu alami. Namun
demikian, masih terdapat hambatan dalam aplikasi pati sagu termodifikasi untuk
produk bihun terutama pada saat pembentukan bihun dengan ekstruder. Untaian
33
bihun yang keluar dari ekstruder cenderung saling menyatu sesamanya sehingga
untaian harus dipisahkan satu-persatu diatas rak-rak pengukusan (Purwani et al.
2006). Selain itu, waktu masak (waktu rehidrasi) bihun dari pati sagu
termodifikasi lebih lama bila dibandingkan dengan bihun dari pati sagu alami.
Pengaruh penggunaan pati termodifikasi HMT terhadap peningkatan
karakteristik fisik bihun juga dilaporkan oleh Lorlowhakarn and Naivikul (2006).
Bihun yang disubstitusi dengan tepung beras termodifikasi HMT mempunyai
elastisitas yang lebih tinggi bila dibanding dengan bihun dari tepung beras alami
saja.
Selain dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas bihun, pati ataupun
tepung termodifikasi HMT dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas produk
pasta lain seperti mi. Menurut Ahmad (2009), substitusi pati jagung termodifikasi
HMT pada produk mi jagung dapat menurunkan susut masak dan memperbaiki
penerimaan konsumen terhadap parameter kekerasan, elastisitas dan kelengketan
mi. Lestari (2009), melaporkan bahwa mi jagung yang disubtitusi tepung jagung
termodifikasi HMT mempunyai susut masak (Kehilangan Padatan Akibat
Pemasakan), kekerasan, dan kelengketan yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan mi dari tepung jagung alami.. Selanjutnya menurut Lestari (2009), mi
jagung yang disubstitusi tepung jagung termodifikasi HMT memiliki tingkat
kesukaan yang lebih tinggi bila dibanding mi dari tepung jagung alami. Tingkat
substitusi tepung jagung termodifikasi HMT optimum adalah 10%.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan utama penelitian ini adalah pati sagu yepha hongleu yang diperoleh
dari Papua. Bahan pendukung yang digunakan antara lain: aquades, STPP,
guargum, I2, HCl pekat, NaOH, fenolftalein, Na2CO3, asam sitrat, CuSO4.5H2O,
KI, H2SO4, Na2S2O3, lakmus, asam asetat, serta bahan pendukung lain yang
digunakan untuk preparasi maupun analisis sampel.
Peralatan yang digunakan antara lain terdiri atas peralatan utama dan
peralatan pendukung. Peralatan utama yang digunakan adalah oven pengering
dan ekstruder mi. Peralatan pendukung yang digunakan anatara lain: timbangan
analitik, ayakan tepung, sentrifuse, mikroskop polarisasi cahaya, whiteness meter,
brabender amilograph, tekstur analizer, freezer/refrigerator, spektrofotometer, pH
meter, gelas jar, dan alat memasak (kompor, panci dan lain-lain) serta alat-alat
lain yang digunakan untuk preparasi maupun analisis sampel.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan yaitu dari bulan Mei – Desember
2008. Penelitian ini menggunakan fasilitas laboratorium yang terdapat di
lingkungan kampus IPB Dramaga yaitu laboratorium Pilot Plant Seafast Center
dan laboratorium kimia serta laboratorium rekayasa proses pangan Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.
Metode Penelitian
Penelitian ini dibagi ke dalam dua tahap yaitu tahap penentuan perlakuan
pencucian dan waktu modifikasi pati sagu dengan metode HMT dan tahap
penentuan tingkat substitusi pati sagu termodifikasi yang dapat menghasilkan
bihun sagu dengan kualitas yang baik. Diagram alir tahapan penelitian dapat
dilihat pada Gambar 8.
35
Gambar 8 Diagram alir tahapan penelitian
Penentuan Perlakuan Pencucian dan Waktu Modifikasi Pati Sagu dengan Metode HMT
Modifikasi pati sagu dengan metode HMT dilakukan dengan menggunakan
kombinasi perlakukan pencucian (dicuci dan tidak dicuci) dan waktu (4 jam, 8
jam dan 16 jam) untuk memperoleh pati termodifikasi dengan karakteristik
gelatinisasi tipe C (pati yang stabil terhadap pemanasan dan pengadukan).
Perlakuan pencucian pada pati sagu dimaksudkan untuk meningkatkan pH pati
sagu. Pati sagu dicuci dengan menggunakan air minum dalam kemasan yang
mempunyai pH netral (pH 7). Pencucian dilakukan dengan menggunakan
perbandingan 1: 3 untuk pati sagu : air pencuci. Pati sagu dan air pencuci diaduk
sampai membentuk suspensi yang homogen. Pati pada suspensi diendapkan
Pati Sagu Alami Karakterisasi sifat fisiko-kimia
Analisis profil gelatinisasi
Pati termodifikasi terbaik
Formula yang memberikan bihun dengan kualitas
terbaik
Modifikasi HMT (Kombinasi perlakuan pencucian dan waktu)
Karakterisasi sifat fisiko-kimia
Informasi perubahan sifat fungsional pati
Aplikasi pada bihun
Karakterisasi kimia, fisik dan organoleptik bihun
Formulasi bihun sagu dengan substitusi pati sagu termodifikasi:
0%, 25% dan 50%
Tahap 1
Tahap 2
36
kemudian air pencuci dibuang. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali (sampai air
pencuci bersifat netral). Pati sagu yang telah terpisah dari air pencuci dikeringkan
pada suhu 50oC selama satu malam (sampai kering) yaitu sampai kadar air < 13%.
Terhadap pati sagu kering yang diperoleh dilakukan pengukuran pH untuk
memastikan pH netral telah tercapai. Pati sagu dengan pH netral tersebut dikemas
kemudian disimpan untuk digunakan dalam perlakuan HMT.
Pati sagu yang telah dicuci ataupun yang belum dicuci dimodifikasi HMT
dengan waktu yang sesuai dengan perlakukan (4 jam, 8 jam dan 16 jam). Metode
modifikasi yang digunakan mengacu kepada metode Collado et al. (2001) dan
Purwani et al. (2006).
Sebelum dilakukan tahap modifikasi, kadar air pati sagu dianalisis sebagai
dasar untuk menentukan jumlah air yang harus ditambahkan untuk mencapai
kadar air pati sagu yang diinginkan (±26%). Penambahan air pada tepung
dilakukan dengan cara penyemprotan yang disertai dengan pengadukan. Pati sagu
yang telah diatur kadar airnya ditempatkan di dalam loyang tertutup. Loyang
berisi sampel pati disimpan dalam refrigerator bersuhu 4oC selama satu malam
untuk menyeimbangkan kadar air dalam sampel pati. Setelah satu malam, loyang
berisi sampel dipanaskan di dalam oven bersuhu 110oC selama 4, 8 dan 16 jam
sesuai dengan perlakuan sambil dilakukan pengadukan dengan selang waktu 2
jam. Loyang dikeluarkan dari oven dan didindinkan selama 1 jam di suhu ruang.
Pati dikeringkan selama 4 jam pada suhu 50oC. Pati kering digiling kemudian
diayak dengan menggunakan ayakan 100 mesh. Modifikasi pati sagu dengan
metode HMT disajikan pada Gambar 9.
Pati termodifikasi terpilih ditentukan berdasarkan analisis profil gelatinisasi
dengan menggunakan brabender amilograf. Terhadap pati terpilih yaitu pati
dengan profil gelatinisasai yang paling mendekati tipe C dilakukan analisis kimia
(kadar air, kadar pati dan kadar amilosa) serta analisis fisik (bentuk dan ukuran
granula, swelling volume, kelarutan, dan kekuatan gel). Karakteristik pati sagu
termodifikasi terpilih dibandingkan dengan karakteristik pati sagu alami untuk
mengetahui informasi perubahan karakteristik pati karena modifikasi HMT.
37
Gambar 9 Modifikasi pati sagu dengan metode HMT (Collado et al. 2001;
Purwani et al. 2006) Penentuan Tingkat Substitusi Pati Sagu Termodifikasi yang Dapat Menghasilkan Bihun Sagu dengan Kualitas yang Baik
Penentuan tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT untuk produksi
bihun sagu dilakukan melalui tiga formulasi. Formulasi bihun sagu disajikan pada
Tabel 6.
Pati sagu (600 g)
Pengaturan kadar air sampai ±26%
Penyimpanan dalam loyang tertutup
Penyimpanan loyang berisi pati di dalam refrigerator (4 – 5oC) selama 1
malam
Pemanasan loyang pada suhu 110oC dengan waktu yang sesuai perlakuan (4 jam, 8 jam dan 16 jam)
Pendingininan di suhu ruang selama 1 jam
Pengeringan pada suhu 50oC selama 4 jam
Pendinginan
Penggilingan dan pengayakan dengan ayakan 100 mesh
Pengemasan
38
Tabel 6 Persentase penggunaan pati sagu termodifikasi dalam formulasi bihun sagu
Tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT Bahan
0% 25% 50%
Pati sagu alami 100% 75% 50%
Pati sagu
termodifikasi
HMT
0% 25% 50%
Air* 40% 40% 40%
STPP* 0.2% 0.2% 0.2%
Guar gum* 1% 1% 1%
Keterangan: *Persentase air, STPP dan guar gum adalah persentase terhadap pati sagu
Tingkat substitusi pati termodifikasi yang digunakan adalah 0% (tanpa pati
termodifikasi HMT), 25% pati termodifikasi HMT dan 50% pati termodifikasi
HMT. Sementara itu bahan tambahan yang lain seperti air, STPP dan guar gum
dibuat sama yaitu masing-masing mencapai 60%, 0.2% dan 1%. Persentase bahan
tambahan lain tersebut adalah persentase terhadap pati sagu.
Produksi bihun sagu diawali dengan pembentukan binder (perekat).
Pembentukan binder dilakukan dengan cara menggelatinisasi sebagain pati (20%)
yang akan digunakan dalam pembentukan adonan bihun. Pati yang digunakan
sebagai binder adalah pati sagu alami mengingat pati sagu termodifikasi
mempunyai daya rekat yang relatif rendah. Pada pembuatan binder, STPP
dilarutkan bersama air. Larutan STPP dicampurkan dengan pati sagu. Suspensi
pati sagu yang terbentuk dipanaskan sampai tergelatinisasi sempurna yaitu
mempunyai penampakan yang transparan. Gel pati yang terbentuk bersifat lengket
sehingga dapat digunakan sebagai binder dalam pembuatan adonan bihun sagu.
Sisa pati sagu yang belum tergelatinisasi (80%) dicampur kering bersama
guar gum kemudian diadon bersama binder yang berupa pati yang telah
tergelatinisasi. Adonan yang telah homogen dimasukkan ke dalam pencetak bihun
yang berupa multifunc-tional noodle machine yang bekerja dengan prinsip
ekstrusi. Selama proses ekstrusi berlangsung, ulir yang terdapat pada alat
ekstruder akan berputar sehingga adonan bihun terdorong keluar dan melewati
39
lubang (die) dengan ukuran tertentu. Untaian bihun yang keluar dari ekstruder
dibentuk kemudian diletakkan di atas rak-rak pengukusan. Pengukusan bihun sagu
dilakukan selama 2 menit pada suhu 90oC. Selanjutnya, untaian bihun
dikeringkan di dalam oven udara pada suhu 60oC selama 35 menit. Bihun kering
yang diperoleh dikemas dengan menggunakan kemasan plastik polyprophylene.
Produksi bihun sagu disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Proses produksi bihun sagu yang disubstitusi pati sagu termodifikasi
Bihun yang diperoleh dianalisis yang terdiri atas kadar air, analisis tekstur
(dengan texture analyzer), waktu pemasakan, analisis cooking lose (susut masak)
yang dinyatakan dengan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), berat
rehidrasi (berat setelah dimasak), dan analisis organoleptik. Bihun yang terpilih
adalah bihun yang mempunyai tekstur yang paling baik, waktu pemasakan
tercepat, KPAP terendah, berat rehidrasi terendah dan mempunyai sifat
organoleptik yang paling disukai oleh panelis.
Pati sagu (20%) STPP Air
Pelarutan Pencampuran
Pemanasan
Pengadonan
Pati sagu (80%) Guar gum
Pencampuran
Pembentukan untaian bihun
Pengukusan (T=90oC dan t=2 menit)
Pengeringan (T=60oC dan t=35 menit)
Bihun sagu
40
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan Percobaan
Penelitian tahap 1 yaitu modifikasi pati sagu dengan metode HMT didisain
dengan dua faktor perlakuan dengan menggunakan rancangan dua faktor dalam
rancangan acak lengkap. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006), model aditif
linier pada rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut:
Dimana:
Yijk = nilai pengamatan pada faktor pH taraf ke-i dan faktor waktu taraf ke-j dan ulangan ke k
μ = komponen aditif dari rataan αi = pengaruh utama faktor pencucian (tidak dicuci dan dicuci) βj = pengaruh utama faktor waktu (4, 8, 16 jam) (αβ)ij = komponen interaksi dari faktor pencucian dan faktor waktuεijk = pengaruh acak yang menyebar normal (0, σ2)
Penelitian tahap 2 yaitu aplikasi pati sagu termodifikasi terpilih pada bihun
sagu didisain dengan satu faktor perlakuan yaitu dengan menggunakan rancangan
satu faktor dalam acak lengkap. Model aditif linier pada rangcangan percobaan
tersebut adalah sebagai berikut:
Dimana :
Yij = nilai pengamatan taraf ke-i ulangan ke j μ = komponen aditif dari rataan βi = pengaruh utama faktor perlakuan ke-i εij = Galat perlakuan ke-i, ulangan ke-j
Analisis Data
Penentuan pengaruh kombinasi perlakuan pencucian dan waktu terhadap
karakteristik pati sagu termodifikasi dilakukan berdasarkan analisis data
parameter profil gelatinisasi pati dengan metode General Linier Method (GLM)
pada program Statistical Analysis System (SAS). Apabila kombinasi perlakuan
Yij = μ + βi + εij
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
41
pencucian dan waktu berpengaruh terhadap parameter profil gelatinisasi pati sagu
maka dilakukan uji lanjut Duncan pada program yang sama untuk mengetahui
perlakuan pencucian dan waktu yang dapat memberikan pati sagu termodifikasi
yang paling sesuai untuk produk bihun. Selanjutnya, karakteristik pati sagu
termodifikasi terpilih dibandingkan dengan karakteristik pati alami dengan
menggunakan uji T untuk mengetahui adanya perubahan karakteristik karena
modifikasi HMT.
Penentuan pengaruh tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT terhadap
produk bihun sagu dilakukan dengan menggunakan metode oneway ANOVA
pada program SPSS. Untuk mengetahui tingkat substitusi yang memberikan
karakteristik bihun yang paling baik dilakukan analisis lanjut dengan metode
Duncan pada program yang sama.
Prosedur Penelitian
Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Pati Sagu Alami dan Pati Sagu Termodifikasi HMT a. Bentuk, Ukuran dan Sifat Birefringence Granula Pati dengan Mikroskop
Polarisasi Cahaya Pati/tepung dibuat suspensi dalam air dan dilihat dibawah mikroskop
polarisasi cahaya. Bentuk dan sifat birefringence granula pati dapat langsung
dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 x. Ukuran granula pati
ditentukan berdasarkan rata-rata dan kisaran dari granula pati yang berhasil
didokumentasikan oleh kamera.
b. Swelling Volume dan Klarutan (Collado and Corke 1999; Singh et al. 2005) Sebanyak masing-masing 0.35 g pati dimasukkan ke dalam tabung
sentrifuse berukuran 12.5 x 16 mm. Sebanyak 12.5 ml aquades ditambahkan ke
dalam tabung kemudian disetimbangkan selama 5 menit. Tabung dipanaskan pada
pengangas dengan suhu 92.5oC selama 30 menit sambil sesekali dikocok. Sampel
didinginkan pada air es selama 1 menit, didiamkan pada suhu ruang selama 5
menit kemudian disentrifugasi pada 3500 rpm selama 30 menit. Tinggi gel yang
diperoleh diukur kemudian dikonversi menjadi volume gel per g sampel yang
42
kemudian dinyatakan dengan swelling power. Supernatan yang berada di bagian
atas tabung disaring melalui kertas saring yang telah diketahui beratnya dan filtrat
yang diperoleh ditampung dengan cawan yang telah diketahui beratnya pula.
Kertas saring dan cawan dikeringkan pada suhu 110oC selama satu malam.
Sampel yang tertinggal pada kertas saring merupakan berat pati yang tersuspensi
di dalam supernatan dan sampel yang tertinggal pada cawan merupakan pati yang
terlarut. Persentase pati yang tersuspensi dan terlarut dihitung berdasarkan
perbandingan beratnya terhadap berat kering sampel awal.
c. Analisis Profil Gelatinisasi Pati dengan Brabender Amilograph (Wattanachant et al. 20021; Purwani et al. 2006)
Karakteristik gelatinisasi dapat dilihat dengan menggunakan alat Brabender
Amylograph. Pati disuspensikan dalam air dengan konsentrasi 6% (6% padatan
pati dalam 450 ml air). Suspensi dipanaskan dari suhu 30oC sampai 95oC dengan
kecepatan peningkatan suhu sebanyak 1.5oC/ menit. Setelah mencapai 95oC, suhu
dipertahankan selama 20 menit. Suhu kemudian diturunkan sampai 50oC dan
dipertahankan kembali selama 20 menit. Perubahan viskositas selama analisis
akan dicatat di atas kertas yang dinamakan amilogram.
Informasi yang dapat diperoleh dari amilogram adalah parameter profil
gelatinisasi pati antara lain: suhu awal gelatinisasi (SAG) yaitu suhu pada saat
viskositas pasta mulai naik, suhu puncak gelatinisasi (SPG) yaitu suhu pada saat
pasta mencapai viskositas maksimum, viskositas puncak gelatinisasi (VP),
viskositas pasta panas (VPP) yaitu viskositas setelah dipertahankan pada suhu
95oC selama 20 menit, viskositas breakdown (VB) yaitu perubahan viskositas
selama pemanasan, viskositas pasta dingin (VPD) yaitu viskositas pada saat pasta
didinginkan pada suhu 50oC selama 20 menit, dan viskositas set back (VB) yaitu
perubahan viskositas selama pendinginan. Penentuan parameter profil gelatinisasi
pati disajikan pada Gambar 11.
Kurva profil gelatinisasi yang terdapat pada amilogram tidak dapat
memberikan informasi suhu awal gelatinisasi (SAG) maupun suhu puncak
gelatinisasi (SPG). Penentuan SAG dan SPG dilakukan berdasarkan waktu pada
saat kurva mulai menaik (untuk SAG) dan waktu pada saat kurva mencapai
viskositas maksimumnya (untuk SPG). Brabender amilograf yang digunakan
43
mempunyai peningkatan suhu per satuan waktu yang konstan sehingga
perhitungan suhu setelah waktu tertentu dapat dihitung dengan mudah yaitu
dengan cara menambahkan suhu awal analisis dengan kenaikan suhu selama
waktu tertentu.
Gambar 11 Kurva Profil gelatinisasi pati: SAG (suhu awal gelatinisasi), SPG (suhu puncak gelatinisasi), VP (viskositas puncak), VPP (viskositas pasta panas), VB (viskositas breakdown), VPD (viskositas pasta dingin) dan VB (viskositas set back).
Suhu awal analisis dengan amilograf merupakan suhu ruang yaitu 30oC.
Apabila selama analisis suhu pemanas meningkat dengan kecepatan 1.5oC/ menit,
maka SAG dan SPG dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Dimana: SAG=Suhu awal gelatinisasi (oC) SPG=Suhu puncak gelatinisasi (oC) WAG=Waktu pada saat kurva mulai menaik (menit) WPG=Waktu pada saat kurva mencapai viskositas maksimumnya (menit) 1.5=kenaikan suhu sebanyak 1.5oC/menit 30=Suhu awal analisis (30oC)
0
100
200
300
400
500
600
700
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
Waktu (menit)
Visk
osita
s (B
U)
0102030405060708090100
Suhu
(o C)
SAG SPG
VP
VPP
VB
SB
VPD
Profil suhu
30)xWPG5.1(SPG30)xWAG5.1(SAG
+=+=
44
d. Kekuatan Gel (Wattanachant et al. 2002 yang dimodifikasi) Pati dibuat suspensi dengan konsentrasi padatan kering sebanyak 6%.
Suspensi dipanaskan sampai mencapai suhu gelatinisasinya. Pasta pati dituang
ke dalam tabung plastik (diameter 4 cm dan tinggi 5 cm) sampai penuh. Tabung
disimpan pada suhu 4oC selama 24 jam. Pengukuran kekuatan gel dilakukan
dengan menggunakan tekstur analizer pada kondisi sebagai berikut mode:
kekuatan gel Test mode and option measure force in compression, pre test speed:
0.2 mm/detik, test speed: 0.2 mm/detik, post test speed: 0.2 mm/detik, distance:
4.0 mm, tipe: Auto, force: 4 g, dan acessory: 0.5 radius cylinder (P/0.5 R).
Penentuan kekuatan gel didasarkan pada maksimum gaya (nilai puncak) pada
tekanan/ kompresi pertama dengan satuan gf (gram force).
e. Analisis Sineresis (Wattanachant et al. 2003 yang dimodifikasi)
Pasta pati dibuat dengan prosedur seperti pada persiapan pasta pati untuk
analisis kekuatan gel. Pasta pati ditimbang sebanyak masing-masing 20 g ke
dalam 2 buah tabung sentrifuse yang telah diketahui beratnya. Tabung sentrifuse
ditutup dengan rapat. Tabung disimpan pada suhu 4oC selama 24 jam diikuti
dengan pembekuan pada suhu -20oC selama 48 jam. Pati dikeluarkan dari freezer
kemudian dithawing pada suhu ruang selama 4 jam.
Sampel yang telah mendapat perlakuan satu siklus freeze-thaw disentrifusi
selama 15 menit pada kecepatan 3500 rpm. Selama sentrifusi berlangsung, air
yang keluar dari matriks gel selama perlakuan freeze-thaw akan berada dibagian
atas tabung dan gel pati akan berada di bagian bawah tabung. Air yang berada di
atas tabung dipisahkan kemudian diukur beratnya. Pesentase sineresis dinyatakan
dengan perbandingan antara air yang keluar terhadap berat awal pasta pati.
f. Analisis Kadar Air Pati (AOAC 1999)
Sebanyak 1 – 2 g pati sagu ditimbang ke dalam cawan yang telah diketahui
beratnya. Cawan berisi sampel sagu dimasukkan ke dalam oven bersuhu 130oC
selama 1 jam. Cawan dikeluarkan dari oven dan dipindahkan ke dalam desikator
selama 15 menit. Selanjutnya, cawan berisi sampel pati sagu ditimbang dengan
menggunakan timbangan analitik. Cawan dipanaskan kembali di dalam oven
45
sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus
berikut:
Kadar air (g/100 g bahan basah) 100)21( xW
WWW −−=
dimana : W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)
W1 = bobot contoh + cawan sesudah dikeringkan (g) W2 = bobot cawan kosong (g)
g. Analisis Kandungan Pati (SNI 01-2891-1992)
Timbang sebanyak 5 g sampel ke dalam erlenymeyer 500 ml. Sebanyak 200
ml larutan HCl 3% ditambahkan ke dalam erlenmeyer. Erlenmeyer dididihkan
selama 3 jam dengan pendingin tegak. Larutan dalam erlenmeyer dinetralkan
dengan larutan NaOH 30% (dilihat dengan lakmus atau fenolftalein) dan
ditambahkan sedikit CH3COOH 3% agar suasana larutan menjadi sedikit asam.
Larutan dipindahkan ke dalam labu ukur 500 ml dan ditepatkan hingga tanda tera
kemudian disaring. Sebanyak 10 ml filtrat dipipet ke dalam erlenmeyer 500 ml
dan ditambah dengan 25 ml larutan luff, batu didih dan 15 ml aquadest.
Erlenmeyer dipanaskan dengan nyala api tetap. Setelah mendidih selama 10
menit, erlenmeyer didinginkan di dalam bak berisi es. Setelah campuran dingin,
dilakukan penambahan 15 ml larutan KI 20% dan 25 ml H2SO4 25% secara
perlahan-lahan. Campuran dititrasi dengan menggunakan larutan Na2S2O3 0.1 N.
Titik akhir titrasi ditentukan dengan indikator pati 0.5%. Prosedur analisis yang
sama dilakukan terhadap blanko.
Perhitungan kadar pati sampel ditentukan berdasaran kadar glukosa yang
terkuantifikasi pada titrasi sampel. Kadar glukosa dihitung berdasarkan volume
dan normalitas larutan Na2S2O3 yang digunakan, sebagai berikut:
Na2S2O3 yang dipergunakan = 10xOSxNNa)VsVb( 322−
dimana:
Vb = volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi blanko Vs = volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi sampel N Na2S2O3 = Konsentrasi Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi
46
Jumlah (mg) gula yang terkandung untuk ml Na2S2O3 yang digunakan
ditentukan dengan daftar Luff Schrool (Tabel 7). Dari tabel tersebut dapat
diketahui hubungan antara volume Na2S2O3 0.1N yang dipergunakan dengan
jumlah glukosa yang ada pada sampel yang dititrasi. Selanjutnya, kadar glukosa
dan kadar pati dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
dimana:
G = kadar glukosa sampel (%) w = glukosa yang terkandung untuk ml Na2S2O3 yang
dipergunakan (mg) dari tabel w1 = bobot sampel (mg) fp = faktor pengenceran P = kadar pati (%)
Tabel 7 Penetapan Gula menurut Luff Schoorl Na2S2O3 0.1N (ml)
Glukosa, Fruktosa dan Gula inversi (mg)
Na2S2O3 0.1N (ml)
Glukosa, Fruktosa dan Gula inversi (mg)
1 2.4 13 33.0 2 4.8 14 35.7 3 7.2 15 38.5 4 9.7 16 41.3 5 12.2 17 44.2 6 14.7 18 47.1 7 17.2 19 50.0 8 19.8 20 53.0 9 22.4 21 56.0 10 25.0 22 59.1 11 27.6 23 62.2 12 30.3
h. Analisis Kandungan Amilosa dan Amilopektin (Apriyantono et al. 1989; Riley et al. 2006)
Lemak dari pati/tepung diekstrak dengan heksan (AOAC 1990). Sebanyak
100 mg pati/tepung bebas lemak didispersikan di dalam 1.0 ml etanol dan 9.0 ml
NaCl 1 M. Volume ditepatkan menjadi 100 ml dengan menggunakan air destilata.
Sebanyak 5 ml aliquot ditransfer ke dalam labu takar 50 ml yang berisi 25 ml air
destilata. Sebanyak 0.5 ml asam asetat 1 M dan 1 ml larutan iod (0.2 % iod dalam
100x1w
wxfpG =
90.0GxP =
47
2% potasium iodida) ditambahkan kedalam labu takar. Volume aliquot ditepatkan
sampai tanda tera dengan menggunakan aquades. Aliquot diukur absorbansinya
pada λ 620 nm.
Kandungan amilosa ditentukan dengan menggunakan kurva standar amilosa
murni dari kentang. Standar amilosa dibuat dengan cara menimbang 40 mg
amilosa murni dan masukkan ke dalam tabung reaksi. Ke dalam tabung reaksi
ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1N. Tabung reaksi dipanaskan di
dalam air mendidih sekitar 10 menit sampai semua amilosa membentuk gel.
Setelah didinginkan, campuran dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar
100 ml dan ditepatkan dengan akuades sampai tanda tera. Sebanyak masing-
masing 1, 2, 3, 4 dan 5 ml larutan tersebut dipipet ke dalam labu takar 100 ml. Ke
dalam masing-masing labu takar ditambahkan asam asetat 1N sebanyak 0.2, 0.4,
0.6, 0.8 dan 1 ml, kemudian masing-masing ditambah dengan 2 ml larutan iod.
Larutan tersebut ditepatkan dengan akuades hingga tanda tera. Setelah didiamkan
selama 20 menit, absorbansi dari intensitas warna biru yang terbentuk diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar dibuat
sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dengan absorbansi (sumbu y).
Kadar amilosa standar yang digunakan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Kadar amilosa standar
Volume Amilosa Standar (ml)
Konsentrasi Amilosa Standar (mg/ml)
1 0.004 2 0.008 3 0.012 4 0.016 5 0.020
Kadar amilosa dalam sampel dihitung dengan menggunakan rumus
berikut:
Kadar amilosa%W
100CxVxFx=
Keterangan: C = konsentrasi amilosa contoh dari kurva standar (mg/ml) V =Volume akhir contoh (ml) F =Faktor pengenceran W = berat contoh (mg)
48
Kandungan amilosa dalam sampel dapat digunakan untuk memperkirakan
kandungan amilopektin. Kandungan amilopektin dapat dihitung berdasarkan
selisih antara total kandungan pati dengan kandungan amilosa.
Analisis Karakteristik Bihun (Chen 2003; Purwani et al. 2006; Codex Stan 249-2006)
a. Kadar Air dengan Metode Oven
Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan
didinginkan dalam desikator (selama 10 menit untuk cawan aluminium). Cawan
kering ditimbang.
Sebanyak 1 g sampel ditimbang dengan cepat ke dalam cawan kering,
kemudian dihomogenkan. Tutup cawan dibuka, cawan sampel beserta tutupnya di
keringkan dalam oven suhu 105oC selama 3 jam. Cawan diletakan secara seksama
agar tidak menyentuh dinding oven. Cawan sampel dipindahkan ke dalam
desikator, ditutup dengan penutup cawan, didinginkan lalu ditimbang kembali.
Cawan dimasukkan kembali ke dalam oven sanpai diperoleh berat konstan. Kadar
air dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Kadar air (g/100 g bahan basah) 100)21( xW
WWW −−=
dimana : W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)
W1 = bobot contoh + cawan sesudah dikeringkan (g) W2 = bobot cawan kosong (g)
b. Waktu Pemasakan (Waktu Rehidrasi)
Waktu pemasakan diukur dengan cara merebus 5 g bihun dengan ukuran 2 -
3 cm di dalam 200 ml air mendidih. Bihun diambil setiap 30 detik dan ditekan
diantara 2 dua permukaan gelas. Waktu pemasakan optimum tercapai ketika
bagian tengah bihun sudah terehidrasi sempurna.
c. Analisis Tekstur
Pengukuran tekstur bihun dilakukan terhadap bihun yang telah dimasak
sesuai dengan waktu pemasakan optimumnya. Pemasakan dilakukan dengan cara
49
memasukkan 25 g bihun ke dalam 500 ml air yang telah dididihkan. Bihun yang
telah masak disiram dengan air dingin untuk menghentikan pemanasan. Bihun
disiram dengan 200 ml air dingin, ditiriskan dan diukur dengan menggunakan
Texture Analizer TA-XT2.
Kondisi yang digunakan pada pengukuran tekstur bihun antara lain test
mode and option: TPA, probe dengan bentuk selinder berdiameter 35 mm, pre test
speed: 2.0 mm/s, test speed: 0.1 mm/s, post test speed: 2.0 mm/s, distance:75%,
time: 5 sec dan calibrate probe: 15 mm. Selama pengukuran, bihun akan diberi
gaya kompresi sebanyak dua kali. Dari kondisi yang di setting tersebut akan
diperoleh kurva texture profile analysis (TPA) bihun seperti yang terdapat pada
Gambar 12.
Gambar 12 Kurva texture profile analysis (TPA)
Kurva TPA yang diperoleh dapat memberikan informasi mengenai
parameter tekstur bihun antara lain: kekerasa (hardness), daya kohesif
(cohesiveness), daya adhesif (adhesiveness), elastisitas (elasticity), dan
kelengketan (gumminess/stickiness). Kekerasan ditentukan dari maksimum gaya
(nilai puncak) pada tekanan/ kompresi pertama dan dinyatakan dengan satuan gf.
L2 L1
50
Daya kohesif dihitung dari luasan di bawah kurva pada tekanan kedua (A2) dibagi
dengan luasan di bawah kurva pada tekanan pertama (A1) atau A2/A1. Elastisitas
ditentukan dari jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan kedua sehingga
tercapai nilai gaya maksimumnya (L2) dibandingkan dengan jarak yang ditempuh
oleh produk pada tekanan pertama sehingga tercapai nilai gaya maksimum-nya
(L1) atau L2/L1. Kelengketan ditentukan dari luasan yang berada dibawah sumbu
x (nilai negatif dengan satuan gf).
d. KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) dan Berat Rehidrasi
Sebanyak 5 g bihun dengan ukuran 2 -3 cm direbus di dalam 200 ml air
mendidih sesuai dengan waktu rehidrasinya. Bihun ditiriskan dan dibilas dengan
air destilata, kemudian ditimbang di dalam cawan yang telah diketahui beratnya.
Bihun dikeringkan dengan menggunakan oven udara pada suhu 105oC selama satu
malam. Persentase berat hehidrasi dan persentase KPAP dihitung sebagai berikut:
dimana:
A = Berat cawan dan sampel setelah direhidrasi B = Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan C = Berat cawan KAm = Kadar air mula-mula BSm = Berat sampel mula-mula BR = Berat rehidrasi KPAP = Kehilangan padatan akibat pemasakan
e. Analisis Organoleptik Bihun
Analisis organoleptik dilakukan terhadap 3 formula dengan 4 kriteria mutu
yaitu kekenyalan, kekerasan, kelengketan dan kesan keseluruhan. Uji yang
digunakan adalah uji rangking hedonik dengan mengurutkan sampel yang
mempunyai tingkat kesukaan tertinggi (rangking 1) sampai yang mempunyai
100x))KA1(BS
)CB(1((%)KPAPmm −
−−=
100xBS
CA(%)BRm
−=
51
tingkat kesukaan terendah (rangking 3). Penelis yang digunakan adalah panelis
semi terlatih dengan jumlah 30 orang. Data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan uji Friedman untuk mengetahui pengaruh perbedaan formula
terhadap rangking kesukaan sampel. Apabila hasil analisis berbeda nyata maka
dilakukan uji lanjut dengan uji LSD (least significant difference) untuk
mengetahui formula yang mempunyai rangking terbaik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Modifikasi Pati Sagu dengan Metode HMT
Perubahan karakteristik pati sagu karena modifikasi HMT kemungkinan
dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya pH dan waktu. Untuk mengetahui
keberadaan interaksi antara waktu dan pH modifikasi HMT terhadap karakteristik
pati termodifikasi, pati sagu yepha hungleu dimodifikasi pada kombinasi waktu
dan pH yang berbeda. Waktu modifikasi yang digunakan adalah 4 jam, 8 jam dan
16 jam. Sementara itu untuk perlakukan pH digunakan perlakuan pencucian yaitu
dicuci (untuk meningkatkan pH) dan tidak dicuci.
Pemilihan waktu modifikasi dilakukan berdasarkan beberapa studi yang
dilakukan sebelumnya bahwa modifikasi HMT dengan waktu 16 jam dapat
menghasilkan pati termodifikasi dengan karakteristik yang lebih baik bila
dibandingkan dengan pati alaminya (Collado 2001; Adebowale and Lawal 2005;
Purwani 2006; Olayinka 2008). Studi yang dilakukan oleh Collado et al. (1999);
menunjukkan bahwa modifikasi HMT dapat dilakukan dengan waktu yang lebih
singkat (<16 jam).
Pati sagu yepha hungleu yang diperoleh dari Sentani, Jayapura merupakan
pati sagu yang telah melalui berbagai tahapan proses. Pada rangkaian proses
pengolahan pati sagu tersebut banyak tahapan proses yang tertunda sehingga
memungkinkan adanya aktivitas mikroba pembentuk asam yang membuat pati
sagu yang dihasilkan mempunyai pH yang rendah. Pengukuran pH yang
dilakukan menunjukkan bahwa pati sagu mempunyai pH rendah yaitu mencapai
4.75. Rendahnya pH asal pati sagu kemungkinan akan mempengaruhi
karakteristik pati sagu termodifikasi yang dihasilkan mengingat keberadaan asam
organik dan suhu tinggi berpeluang menyebabkan adanya hidrolisis pati secara
parsial selama modifikasi berlangsung. Oleh karena itu, pada penelitian ini
dilakukan modifikasi pati sagu dengan perlakuan persiapan sampel yang berbeda
yaitu tanpa tahap pencucian atau melalui tahap pencucian. Sampel yang tidak
dicuci memiliki pH asam yaitu 4.75. Sementara itu pati yang dicuci mempunyai
pH yang lebih tinggi.
53
Air yang digunakan dalam proses pencucian pati sagu asal Papua adalah air
minum dalam kemasan dengan pH netral. Selama pencucian berlangsung, asam-
asam organik yang terdapat pada pati sagu akan terlarut bersama air pencuci
sehingga konsentrasinya menjadi jauh berkurang. Pencucian pati sagu dilakukan
secara berulang untuk mengoptimalkan pengurangan asam organik yang terdapat
pada pati sagu. Pencucian dengan air sebanyak tiga kali yang menggunakan
perbandingan 1:3 untuk pati : air menghasilkan pati sagu dengan pH netral (pH ±
7).
Pati tanpa pencucian dan pati dengan pencucian dimodifikasi HMT dengan 3
perlakuan waktu (4 jam, 8 jam dan 16 jam) sehingga akan diperoleh 6 kombinasi
yang berbeda. Kombinasi antara waktu dan perlakuan pencucian yang telah
ditetapkan diharapkan dapat memberikan interaksi yang nyata terhadap
karakteristik pati termodifikasi yang dituju yaitu pati dengan profil gelatinisasi
tipe C yang sesuai untuk produksi bihun. Kondisi modifikasi yang lain seperti
kadar air, suhu, dan jenis pati sagu dibuat homogen yaitu kadar air 26 - 27%,
suhu 110oC dan menggunakan satu jenis pati sagu.
Estimasi penambahan jumlah air pada pati sagu dilakukan dengan
menggunakan prinsip kesetimbangan masa. Melalui prinsip kesetimbangan masa
tersebut ditetapkan kadar air target adalah sebesar 28%. Target kadar air yang
lebih tinggi pada penghitungan kesetimbangan masa ditujukan untuk
mengantisipasi adanya penguapan air yang terjadi pada proses penambahan air
yang dilakukan dengan penyemprotan. Penyemprotan yang disertai dengan
pengadukan pada wadah terbuka memungkinkan air menguap dan kadar air
sebenarnya akan lebih kecil dari kadar air target. Analisis kadar air yang
dilakukan terhadap pati sagu yang telah disetimbangkan selama satu malam pada
suhu refrigerator menunjukkan bahwa pati sagu mempunyai kisaran kadar air 26 –
27%. Kadar air tersebut sesuai dengan kadar air yang telah ditargetkan semula.
Menurut Lawal and Adebowale (2005) pati jack bean yang dimodifikasi HMT
pada kadar air 27% memiliki suhu awal gelatinisasi yang paling tinggi, viskositas
puncak yang paling rendah dan breakdown yang paling rendah bila dibandingkan
dengan pati yang dimodifikasi pada kadar air yang lebih rendah (18%, 21% dan
24%) serta pati alaminya. Hal ini menunjukkan bahwa pati jack bean yang
54
dimodifikasi pada kadar air 27% memiliki profil gelatinisasi yang lebih mendekati
pati dengan profil gelatinisasi tipe C. Studi yang dilakukan oleh Collado et al.
2001 menunjukkan bahwa pati termodifikasi dengan profil gelatinisasi tipe C
dapat dihasilkan melalui modifikasi HMT yang dilakukan pada kadar air 27 –
30%.
Pemilihan suhu modifikasi dilakukan berdasarkan beberapa studi yang
dilakukan sebelumnya. Modifikasi HMT pada suhu 110oC dapat menghasilkan
pati termodifikasi dengan profil gelatinisasi tipe C (Collado et al. 1999; Collado et
al. 2001; Olayinka et al. 2008).
Penggunaan kondisi modifikasi yang homogen diharapkan tidak
memberikan pengaruh yang berbeda pada perlakuan yang diterapkan. Dengan
demikian perbedaan karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan diharapkan
hanya dipengaruhi oleh perlakuan pencucian dan waktu.
Pengaruh Perlakuan Pencucian, Waktu Modifikasi HMT dan Interaksinya Terhadap Profil Gelatinisasi Pati Sagu
Modifikasi pati sagu yang dilakukan pada kombinasi waktu (4 jam, 8 jam
dan 16 jam) dan pencucian (tidak dicuci dan dicuci) menghasilkan pati sagu
termodifikasi dengan profil gelatinisasi yang berbeda dengan pati sagu alaminya
(Gambar 13). Secara visual terlihat bahwa pati sagu alami lebih mudah
mengalami gelatinisasi yang dapat dilihat dari peningkatan viskositas pasta sagu
alami yang lebih cepat bila dibanding pati sagu termodifikasi HMT pada semua
perlakuan. Viskositas pasta sagu alami semakin meningkat dengan meningkatnya
waktu dan suhu pemanasan sampai mencapai puncaknya dimana pasta pati sagu
tidak dapat meningkat lagi. Secara umum sagu alami mempunyai viskositas
puncak yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan puncak viskositas pati
termodifikasi HMT pada semua perlakuan. Adanya penurunan puncak viskositas
pati yang termodifikasi HMT dilaporkan oleh Collado and Corke (1999); Collado
et al. (2001); dan Pukkahuta et al. (2008).
Puncak viskositas pasta yang tinggi pada pati sagu alami menurun dengan
cepat ketika pemanasan dipertahankan pada suhu 95oC. Penurunan puncak
viskositas yang tajam pada pati sagu alami mengindikasikan bahwa pati sagu
alami memiliki viskositas breakdown (selisih antara viskositas puncak dengan
55
viskositas pasta pada saat dipertahankan pada suhu 95oC selama 20 menit) yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati sagu termodifikasi HMT pada semua
perlakuan. Tingginya viskositas puncak dan viskositas breakdown pati sagu alami
menunjukkan bahwa pati sagu alami lebih rentan terhadap pemanasan yang
disertai pengadukan bila dibandingkan dengan pati sagu termodifikasi HMT pada
semua perlakuan. Peningkatan stabilitas pati termodifikasi HMT terhadap panas
disebabkan oleh terjadinya pergeseran tipe kristalisasi pati yang mengarah pada
peningkatan stabilitas granula pati (Gunaratne dan Hoover, 2002; Vermeylen et
al. 2006). Selanjutnya menurut Gunaratne dan Hoover (2002), pati kentang dan
uwi termodifikasi HMT mengalami pergeseran tipe kristalisasi dari tipe B menjadi
A+B, dimana pati dengan tipe A mempunyai susunan kristal double heliks yang
lebih rapat sehingga lebih resisten terhadap perlakuan panas.
Gambar 13 Profil gelatinisasi pati sagu alami dan termodifikasi HMT
Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa perbedaan profil gelatinisasi secara
keseluruhan tidak hanya terjadi antara pati sagu alami dengan pati sagu
termodifiksi HMT, melainkan antara sesama pati termodifikasi HMT dari semua
perlakuan. Secara visual dapat dilihat bahwa pati sagu yang melalui proses
pencucian dan dimodifikasi selama 4 jam mempunyai viskositas panas yang lebih
0
100
200
300
400
500
600
700
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
Waktu (menit)
Visk
osita
s (B
U)
0102030405060708090100
Suhu
(o C)
Sagu Alami HMT tidak dicuci dan w aktu 4 jamHMT tidak dicuci dan w aktu 8 jam HMT tidak dicuci dan w aktu 16 jamHMT dicuci dan w aktu 4 jam HMT dicuci dan w aktu 8 jamHMT dicuci dan w aktu 16 jam Profil suhu analisis gelatinisasi
56
tinggi dan viskositas breakdown yang lebih rendah yang menunjukkan bahwa pati
tersebut memiliki stabilitas panas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati
yang dimodifikasi dengan perlakuan yang lain. Namun demikian, untuk
mengetahui adanya pengaruh kombinasi perlakuan pencucian dan waktu
modifikasi yang nyata terhadap profil gelatinisasi pati sagu termodifikasi HMT
diperlukan pengujian pengaruh perlakuan yang ada terhadap parameter profil
gelatinisasi. Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian pengaruh pencucian,
pengaruh waktu dan pengaruh interaksi antara pencucian dengan waktu terhadap
profil gelatinisasi yang terdiri atas: suhu awal gelatinisasi (SAG), suhu puncak
gelatinisasi (SPG), viskositas puncak pasta (VP), VPP (viskositas pasta panas),
VB (viskositas breakdown), VPD (viskositas pasta dingin) dan VB (viskositas set
back).
a. Pengaruh Pencucian
Berdasarkan pengujian dengan metode General Linier Method (GLM) pada
program Statistical Analysis System (SAS) diketahui bahwa pencucian
berpengaruh nyata terhadap VP (P<0.05), VPP (P<0.05), VPD (P<0.05), BD
(P<0.05), dan SB (P<0.05) seperti yang disajikan pada Lampiran 1. Uji lanjut
dengan metode duncan menunjukkan bahwa urutan VP pati dari yang tertinggi
sampai yang terendah adalah pati alami, pati HMT dicuci dan pati HMT tidak
dicuci. Urutan VPP, VPD, dan SB dari yang tertinggi sampai yang terendah pati
HMT dicuci, pati HMT tidak dicuci dan pati alami. Sebaliknya urutan BD yang
tertinggi sampai yang terendah adalah pati alami, pati HMT tidak dicuci dan pati
HMT dicuci.
Mengingat nilai VPP dan BD dari pati HMT yang diberi perlakukan
pencucian sebelumnya mempunyai nilai lebih tinggi maka dapat dikatakan bahwa
pati tersebut mempunyai stabilitas panas yang lebih tinggi bila dibandingkan pati
HMT yang tidak diberi perlakuan pencucian sebelumnya ataupun pati alaminya.
Sementara itu, berdasarkan nilai VPD dan SB dapat dikatakan bahwa pati HMT
yang diberi perlakukan pencucian sebelumnya dapat dikatakan mempunyai
kemampuan membentuk gel yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati
HMT yang tidak diberi perlakukan pencucian sebelumnya ataupun pati alaminya.
57
Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan asam organik pada pati yang belum
dicuci mempengaruhi perubahan yang terjadi selama modifikasi berlangsung.
b. Pengaruh Waktu
Waktu modifikasi HMT memberikan pengaruh yang nyata terhadap SAG,
VP, VPP, VPD, BD dan SB seperti yang disajikan pada Lampiran 1. Semakin
singkat waktu modifikasi maka SAG, VP, VPP, VPD dan SB semakin meningkat.
Sebaliknya semakin singkat waktu modifikasi, VB semakin menurun.
Meningkatnya SAG dan VPP serta menurunnya VB pada pati yang
dimodifikasi dengan waktu yang lebih singkat menunjukkan bahwa stabilitas
panas dan pengadukan pati termodifikasi semakin meningkat dengan semakin
singkatnya waktu modifikasi. Meningkatnya VPD dan SB pati yang dimodifikasi
dengan waktu yang lebih singkat menunjukkan bahwa pati tersebut mempunyai
kemampuan membentuk gel yang lebih baik. Kenyataan tersebut menunjukkan
bahwa waktu modifikasi memberikan pengaruh yang nyata terhadp profil
gelatinisasi pati termodifikasi yang dihasilkan.
Adanya pengaruh waktu terhadap profil gelatinisasi telah dilaporkan oleh
Collado and Corke (1999). Menurut Collado and Corke (1999), pati dengan
kandungan amilosa yang berbeda mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap
perubahan waktu modifikasi. Pati dengan kandungan amilosa yang lebih rendah
lebih sensitif terhadap perubahan waktu modifikasi.
c. Pengaruh Interaksi Pencucian dan Waktu
Untuk mengetahui pengaruh interaksi antara pencucian dan waktu terhadap
seluruh parameter gelatinisasi dilakukan pengujian dengan metode General Linier
Method (GLM) pada program Statistical Analysis System (SAS) dan uji lanjut
dengan metode Duncan pada program yang sama seperti yang disajikan pada
Tabel 9 dan Lampiran 1. Selain itu, interaksi antara pencucian dan waktu terhadap
parameter profil gelatinisasi dapat diketahui melalui pemetaan masing-masing
parameter gelatinisasi pada kombinasi perlakuan pencucian dan waktu modifikasi
yang berbeda.
58
Tabel 9 Profil gelatinisasi pati sagu alami dan termodifikasi HMT
Parameter profil gelatinisasi Perlakuan HMT pencucian: waktu (jam) SAG (oC) SPG (oC) VP (BU) VPP (BU) VPD (BU) VB (BU) VSB (BU) Tipe
Alami 73.5 ± 1.1a 87 ± 1.1 590 ± 0d 240 ± 0a 350± 0a 350 ± 0d 110± 0a A
HMT tidak dicuci:4 78.7 ± 0.0c 84.0 ± 1.1 438 ± 11b 346 ± 2d 525 ± 7d 91 ± 8c 178 ± 5c B
HMT tidak dicuci:8 75.4 ± 0.5b 83.6 ± 0.5 383 ± 4a 288 ± 11b 405 ± 7b 95 ± 7c 118 ± 4ab B
HMT tidak dicuci:16 78.8 ± 1.1c 83.6 ± 0.5 388 ± 4a 290 ± 0b 390 ± 14b 98 ± 4c 100 ± 14a B
HMT dicuci:4 79.1 ± 0.5c Ttd* 465 ± 7c 433 ± 11f 650 ± 28e 33 ± 4a 218 ± 18d C
HMT dicuci:8 79.1 ± 0.5c 85.1 ± 0.5 445 ± 7b 400 ± 0e 630 ± 0e 45 ± 7a 230 ± 0d B
HMT dicuci:16 75.4 ± 0.5b 82.1 ± 0.5 380 ± 7a 305 ± 7c 438 ± 11c 75 ± 0b 133 ± 4b B
Keterangan: *tidak terdeteksi Superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji Duncan (P<0.05)
59
c.1. Suhu awal gelatinisasi (SAG) pati sagu
Analisis data yang disajikan pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa interaksi
antara perlakuan pencucian dan waktu berpengaruh nyata terhadap suhu awal
gelatinisasi (SAG) sagu (P<0.05). Adanya interaksi tersebut juga ditunjukkan
dengan adanya perubahan pola SAG pada perlakuan dicuci dan tidak dicuci untuk
tiga taraf waktu (Gambar 14). Perubahan pola respon baik yang disertai dengan
adanya perpotongan garis ataupun tidak pada grafik respon menunjukkan adanya
pengaruh interaksi dari faktor-faktor utama yang digunakan (Mattjik dan
Sumertajaya 2006).
Gambar 14 Grafik pola respon SAG pada kombinasi perlakuan pencucian dan
waktu yang berbeda
Uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa pati sagu HMT
dengan pencucian dan waktu 4 jam memiliki suhu awal gelatinisasi yang sama
dengan HMT dengan pencucian dan waktu 8 jam yaitu mencapai 79.1 ± 0.5oC,
namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pengaruh
interaksi pencucian dan waktu terhadap suhu awal gelatinisasi cenderung
memperlihatkan bahwa modifikasi yang dilakukan pada pati yang terlebih dahulu
dicuci dan waktu lebih singkat dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan suhu
awal gelatinisasi yang lebih tinggi. Selanjutnya, pati termodifikasi pada semua
75
76
77
78
79
80
0 4 8 12 16 20Waktu (Jam)
SAG
(o C)
Tidak dicuci Dicuci
60
perlakuan memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan pati alaminya.
Adanya peningkatan suhu awal gelatinisasi pati sagu termodifiksi HMT
mengindikasikan bahwa energi yang diperlukan untuk memutuskan ikatan
hidrogen antar dan intermolekuler di dalam granula pati sagu termodifikasi lebih
besar bila dibandingkan dengan pati alaminya. Hal ini dapat terjadi apabila
pengaturan kembali molekul amilosa dan amilopektin pada granula selama proses
modifikasi mengarah pada peningkatan stabilitas interaksi molekul di dalam
granula pati.
Pati termodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam dan 8 jam
terlihat membutuhkan suhu yang paling tinggi untuk memulai proses gelatinisasi.
Pati termodifikasi tersebut diduga mempunyai interaksi hidrogen inter dan antar
molekul dalam granula yang lebih kuat bila dibandingkan dengan pati
termodifikasi lain ataupun pati alaminya. Beberapa studi menunjukkan bahwa
modifikasi HMT dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi pati antara lain pati
sagu (Purwani et al. 2006), pati new cocoyam (Lawal 2005) dan pati shorgum
putih (Olayinka et al. 2008). Peningkatan suhu gelatinisasi juga terjadi pada pati
yang mengalami modifikasi ikatan silang (Muhammad et al. 2000; Wattanachant
et al. 2003). Peningkatan stabilitas pati termodifikasi ikatan silang terjadi karena
pembentukan ikatan kovalen yang menggantikan sebagian ikatan hidrogen yang
menstabilisasi interaksi molekul di dalam granula pati.
c.2. Suhu puncak gelatinisasi (SPG) pati sagu
Pati sagu termodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam terlihat
tidak memiliki suhu puncak gelatinisasi (Tabel 9) sehingga tidak dilakukan uji
statistik terhadap parameter suhu puncak gelatinisasi. Suhu puncak gelatinisasi
pati sagu termodifikasi pada perlakuan lain cenderung menurun. Peningkatan suhu
awal gelatinisasi yang tidak diikuti dengan peningkatan suhu puncak gelatinisasi
menyebabkan rentang suhu gelatinisasi pati sagu termodifikasi menjadi lebih
sempit. Penyempitan rentang suhu gelatinisasi pati sagu termodifikasi HMT telah
dilaporkan oleh Purwani et al. (2006).
61
c.3. Viskositas puncak (VP) pasta pati sagu
Analisis data seperti yang disajikan pada Lampiran 1 menunjukkan adanya
pengaruh interaksi perlakuan pencucian dan waktu modifikasi HMT terhadap
viskositas puncak (VP) pati sagu. Interaksi antara perlakuan pencucian dan waktu
modifikasi menyebabkan adanya perbedaan pola respon viskositas puncak pasta
pati sagu termodifikasi pada kombinasi perlakuan pencucian dan waktu yang
berbeda (Gambar 15).
Gambar 15 Grafik pola respon VP pada kombinasi perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda
Semakin panjang waktu modifikasi yang dilakukan pada sagu yang dicuci
maka VP pati semakin rendah dan penurunan viskositas puncak pasta yang tajam
terlihat pada saat waktu modifikasi dinaikkan dari 8 jam menjadi 16 jam.
Modifikasi yang dilakukan pada pati yang tidak dicuci memperlihatkan adanya
penurunan viskositas pasta pati yang tajam ketika waktu modifikasi ditingkatkan
dari 4 jam menjadi 8 jam. Uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa
pati sagu termodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam memiliki VP
tertinggi bila dibandingkan perlakuan HMT lainnya yaitu mencapai 465 ± 7 BU
(Tabel 9). Sementara itu, pati yang mempunyai VP terendah adalah pati sagu yang
dimodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu 16 jam, namun VP pati tersebut
340
360
380
400
420
440
460
480
0 4 8 12 16 20Waktu (jam)
Vis
kosi
tas
(BU
)
Tidak dicuci Dicuci
62
tidak berbeda nyata dengan pati yang dimodifikasi tanpa pencucian dengan waktu
8 dan 16 jam.
Pengaruh interaksi antara pencucian dan waktu terhadap viskositas pasta
diduga terkait dengan reaksi hidrolisis parsial selama modifikasi HMT
berlangsung. Keberadaan air dan suhu tinggi yang diterapkan pada modifikasi
HMT menyebabkan berkurangnya amilopektin pati dan bertambahnya fraksi pati
yang mempunyai berat molekul rendah (Lu et al. 1996; Vermeylen et al. 2006).
Bertambahnya pati dengan berat molekul rendah dapat menurunkan viskositas
puncak pasta karena pati dengan berat molekul rendah memiliki kemampuan
pengembangan yang terbatas. Keterlibatan asam-asam organik (yang banyak
terdapat pada pati yang tidak dicuci) dalam mengkatalisis reaksi hidrolisis pati
sagu terlihat dari lebih rendahnya viskositas puncak pasta pati yang dimodifikasi
tanpa perlakuan pencucian sebelumnya. Perbedaan tersebut hanya terjadi ketika
modifikasi dilakukan selama 4 dan 8 jam. Modifikasi yang dilakukan dengan
waktu yang lebih lama (16 jam) tidak menyebabkan adanya perbedaan viskositas
puncak pasta yang nyata antara pati yang dicuci dan tidak dicuci karena diduga
asam organik yang terdapat pada pati sagu yang tidak dicuci telah banyak
menguap sehingga tidak lagi mempengaruhi hidrolisis yang terjadi selama
modifikasi HMT.
Walaupun uji lanjut menunjukkan adanya kombinasi perlakuan pencucian
dan waktu yang menghasilkan pati dengan viskositas puncak tertinggi, uji lanjut
tersebut juga menunjukkan bahwa pati sagu termodifikasi HMT pada semua
perlakuan memiliki viskositas yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pati
alaminya. Penurununan viskositas pasta pati termodifikasi HMT terjadi pada pati
sorgum putih (Olayinka et al. 2008), pati ubi jalar (Collado and Cork 1999;
Collado et al. 2001), pati sagu (Purwani et al. 2006), dan pati jagung
(Widaningrum dan Purwani 2006; Ahmad 2009). Penurunan viskositas pasta
menunjukkan adanya penurunan kemampuan penyerapan air oleh granula pati.
Pati yang mempunyai kemampuan penyerapan air yang tingi akan mengalami
pembengkakan yang tinggi pula yang berakibat pada tingginya viskositas puncak
pasta. Pembengkakan granula pati yang berlebihan akan diikuti dengan peluruhan
molekul amilosa dari dalam granula sebagai akibat dari ketidakmampuannya
63
menahan tekanan. Peluruhan yang terjadi akan diikuti dengan penurunan
viskositas pasta yang tajam (breakdown) yang tinggi selama pemanasan seperti
halnya pada pati sagu alami.
Perlakuan hidrotermal seperti HMT dapat membuat granula pati lebih
resisten terhadap deformasi sebagai akibat dari penguatan gaya ikatan intra-
granula (Stute et al. 1992). Oleh karena itu, pati cenderung mempunyai
kemampuan penyerapan air yang rendah dan mengalami pengembangan yang
terbatas pada saat mengalami gelatinisasi. Hubungan antara pengembangan
granula pati dan viskositas puncak pasta terlihat jelas pada pati barley dengan
berbagai proporsi amilosa dan amilopektin. Pati barley dengan kandungan amilosa
tinggi mempunyai pengembangan terbatas sehingga mempunyai viskositas puncak
pasta yang terbatas pula (Song and Jane 2000). Selanjutnya menurut Song and
Jane (2000), barley dengan kadungan amilopektin tinggi dapat mengembang lebih
bebas dan menghasilkan viskositas puncak pasta yang tinggi pada temperatur
gelatinisasi yang rendah. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa amilopektin
merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap pengembangan granula.
Menurut Collado and Corke (1999), perubahan viskositas puncak pati ubi
jalar termodifikasi HMT dipengaruhi oleh waktu, pH dan kandungan amilosa pati.
Untuk pati dengan kandungan amilosa rendah, viskositas puncak terendah dicapai
pada modifikasi HMT selama 16 jam pada pH asal (pH 6.5 – 6.7). Sementara itu,
untuk pati dengan kandungan amilosa tinggi, modifikasi HMT yang dilakukan
pada pH asal selama 4 jam cenderung mempunyai viskositas yang lebih rendah
bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi selama 8 jam dan 16 jam baik
pada pH asal (pH 6.5 – 6.7) maupun pH basa (pH 10).
c.4. Viskositas pasta panas (VPP) dan viskositas breakdown (VB)
Parameter viskositas pasta panas dan viskositas breakdown terkait satu sama
lain karena viskositas breakdown merupakan selisih antara viskositas puncak
pasta dengan viskositas pasta panas. Penurunan nilai viskositas pasta panas pati
umumnya selalu diikuti dengan peningkatan breakdown. Namun demikian, pada
kondisi tertentu penurunan viskositas pasta panas tidak selalu diiringi dengan
64
peningkatan breakdown. Apabila viskositas pasta panas dan viskositas puncak
pasta menurun secara proporsional maka breakdown akan cenderung tetap.
Pada penelitian ini, keterkaitan antara viskositas pasta panas dan breakdown
pada pati sagu termodifikasi HMT terlihat jelas pada Tabel 9 maupun Gambar 16.
Respon viskositas pasta panas pati sagu termodifikasi HMT memperlihatkan
bahwa pati yang dimodifikasi dengan perlakuan pencucian mempunyai viskositas
pasta panas yang semakin menurun dengan semakin lamanya waktu modifikasi
(dari 4 jam hingga 16 jam) dan viskositas breakdown semakin meningkat dengan
semakin lamanya waktu modifikasi. Sementara itu, peningkatan waktu modifikasi
pada pati tanpa pencucian cenderung tidak merubah breakdown karena viskositas
puncak dan viskositas pasta panas menurun secara proporsional.
Gambar 16 Grafik pola respon VPP (a) dan VB (b) pada kombinasi perlakuan pencucian dan waktu yang berbeda
Adanya perubahan pola respon VPP maupun VB pada kombinasi perlakuan
pencucian dan waktu yang berbeda menunjukkan adanya interaksi perlakukan
pencucian dengan waktu modifikasi terhadap VPP maupun VB. Adanya interksi
tersebut didukung dengan hasil analisis data yang menunjukkan bahwa interaksi
perlakuan pencucian dan waktu berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap VPP
maupun SB (hasil pengolahan data disajikan pada Lampiran 1).
(a) (b)
260280300320340360380400420440460
0 4 8 12 16 20Waktu (Jam)
Vis
kosi
tas
(BU
)
Tidak dicuci Dicucil
0
20
40
60
80
100
120
0 4 8 12 16 20
Waktu (jam)
Vis
kosi
tas
(BU
)
Tidak dicuci Dicuci
65
Uji lanjut Duncan yang dilakukan menunjukkan bahwa pati sagu
termodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam memiliki viskositas panas
tertinggi (433 ± 11 BU) dan breakdown terendah (33 ± 4 BU) bila dibandingkan
dengan pati termodifikasi pada perlakuan lain. Kenyataan tersebut menunjukkan
bahwa pati sagu termodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam memiliki
stabilitas panas dan pengadukan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati
termodifikasi pada perlakuan yang lain.
Pati sagu termodifikasi HMT pada semua perlakuan memiliki viskositas
pasta panas yang lebih tinggi dan breakdown yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan pati alaminya. Adanya peningkatan viskositas pasta panas dan penurunan
viskositas breakdown pada pati sagu termodifikasi HMT serupa dengan pati ubi
jalar (Collado et al. 2001) dan pati sagu (Purwani et al. 2006) termodifikasi
HMT.
c.5. Viskositas pasta dingin (VPD) dan viskositas setback (SB)
Pemetaan respon VPD dan SB terhadap perlakuan pencucian dan waktu
yang berbeda seperti yang ditunjukkan pada Gambar 17 menunjukkan adanya
interaksi antara perlakuan pencucian dan waktu modifikasi terhadap VPD dan SB.
Adanya interaksi perlakuan pencucian dan waktu terhadap VPD dan SB yang
nyata (P<0.05) juga diperlihatkan dari hasil analisis data seperti yang disajikan
pada Lampiran 1.
Melalui uji lanjut dengan metode Duncan, diketahui bahwa modifikasi
HMT dapat meningkatkan viskositas pasta dingin secara nyata (Tabel 9 dan
Lampiran 1). Peningkatan ini tergantung pada kombinasi antara perlakuan
pencucian dan waktu yang digunakan. Selanjutnya, pati yang dimodifikasi HMT
dengan pencucian dan waktu selama 4 jam dan 8 jam mempunyai VPD yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu masing-masing mencapai
650 ± 28 BU dan 630 ± 0 BU. Pola respon viskositas pasta dingin pati
termodifikasi pada perlakuan pencucian dan waktu berbeda cenderung serupa
dengan respon viskositas puncak pasta dan viskositas pasta panas.
66
Gambar 17 Grafik pola respon VPD (a) dan SB (b) pada kombinasi perlakuan
pencucian dan waktu yang berbeda
Dari Gambar 17a dapat dilihat bahwa VPD semakin menurun dengan
semakin lamanya waktu modifikasi baik yang dilakukan pada pati yang dicuci
maupun pati yang tidak dicuci. Namun demikian, kecepatan penurunan VPD
antara pati yang dimodifikasi dengan pencucian dan pati yang dimodifikasi tanpa
pencucian mempunyai pola yang berbeda sehingga dapat memperlihatkan adanya
interaksi antara pencucian dan waktu modifikasi terhadap VPD. Pada modifikasi
yang dilakukan dengan pencucian terlihat bahwa VPD menurun dengan tajam
ketika waktu modifikasi ditingkatkan dari 8 jam menjadi 16 jam. Sementara itu,
pada modifikasi tanpa pencucian terlihat bahwa VPD menurun dengan tajam
ketika waktu modifikasi ditingkatkan dari 4 jam menjadi 8 jam.
Studi terhadap pati ubi jalar (Collado and Corke 1999) dan pati sagu
(Purwani et al. 2006) menunjukkan bahwa modifikasi HMT dapat meningkatkan
viskositas pasta dingin. Selanjutnya menurut Collado and Corke (1999),
peningkatan waktu modifikasi yang dilakukan pada pH pH 6.5 – 6.7 cenderung
meningkatkan viskositas pasta dingin pati dan viskositas tertinggi dicapai pada
modifikasi yang dilakukan selama 16 jam. Studi yang dilakukan oleh Ahmad
b 50
75100
125
150
175200
225
250
0 4 8 12 16 20Waktu (jam)
Visk
osita
s (B
U)
Tidak dicuci Dicuci
(a) (b)
300
350
400
450500
550
600
650
700
0 4 8 12 16 20Waktu (jam)
Vis
kosi
tas
(BU
)
Tidak dicuci Dicuci
67
(2009) menunjukkan hal sebaliknya yaitu modifikasi HMT dapat menurunkan
viskositas pasta dingin pati jagung.
Respon VPD pati sagu yang dimodifikasi pada perlakuan pencucian dan
waktu yang berbeda memiliki pola yang serupa dengan SB karena SB merupakan
selisih antara viskositas pasta dingin (VPD) dengan viskositas pasta panas (VPP).
Uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa pati sagu yang
dimodifikasi dengan pencucian dan waktu selama 8 jam memiliki SB yang paling
tinggi (230 ± 0 BU) namun tidak berbeda nyata dengan pati yang dimodifikasi
dengan pencucian dan waktu selama 4 jam (218 ± 18 BU) (Tabel 9 dan Lampiran
1). Pati sagu termodifikasi yang memiliki SB paling rendah adalah pati sagu yang
dimodifikasi tanpa pencucian dan waktu selama 16 jam.
Pati termodifikasi dengan viskositas pasta dingin dan viskositas setback
yang tinggi mempunyai kemampuan membentuk gel yang baik. Pati dengan
setback yang tinggi mudah mengalami retrogradasi sehingga lebih baik digunakan
sebagai bahan baku bihun dibanding pati dengan setback yang rendah (Colado et
al. 2001). Secara visual, gel pati sagu termodifikasi dengan pencucian dan waktu
selama 4 dan 8 jam terlihat lebih kaku bila dibandingkan dengan gel pati sagu
alami maupun termodifikasi pada kondisi lainnya. Menurut Stute et al. (1992),
bila granula pati yang telah mengalami modifikasi annealing tergelatinisasi maka
akan membentuk tekstur yang kaku dan akan yang berpengaruh nyata pada
peningkatan viskositas pasta dingin.
c.6. Tipe profil gelatinisasi
Dari uji lanjut dengan metode Duncan yang dilakukan terhadap seluruh
parameter gelatinisasi (kecuali suhu puncak gelatinisasi) diperoleh informasi
bahwa pati sagu termodifikasi HMT dengan pencucian dan waktu selama 4 jam
memiliki profil gelatinisasi yang lebih mendekati profil gelatinisasi tipe C.
Sementara itu, pati sagu yang dimodifikasi dengan perlakuan lain memiliki profil
gelatinisasi tipe B dan pati sagu alami mempunyai profil gelatinisasi tipe A.
Modifikasi yang dilakukan dengan pencucian dan waktu selama 4 jam
memiliki suhu awal gelatinisasi, viskositas pasta dingin dan viskositas setback
yang sama dengan pencucian dan waktu selama 8 jam namun lebih tinggi bila
68
dibandingkan dengan perlakuan lain serta memiliki breakdown sama dengan pati
HMT dengan pencucian dan waktu selama 8 jam namun lebih rendah bila
dibandingkan dengan pati HMT lain. Selain itu, pati yang dimodifikasi pada
kondisi tersebut tidak mempunyai suhu puncak gelatinisasi. Hasil serupa
mengenai pengaruh pH dan waktu terhadap profil gelatinisasi pati termodifikasi
HMT dilaporkan oleh Collado and Corke (1999), dimana pati termodifikasi HMT
dengan tipe C dicapai pada pH netral selama 4 dan 8 jam.
Profil gelatinisasi pati sagu yang dimodifikasi HMT dengan pencucian dan
waktu selama 4 jam menyerupai pati termodifikasi ikatan silang yang
dikombinasikan dengan stabilisasi (dual modifikasi). Menurut Wattanachant et al.
(2002) dan Wattanachant et al. (2003), pati sagu yang mengalami dual modifikasi
(ikatan silang dan stabilisasi) memiliki profil gelatinisasi tipe C.
Karakterisasi Pati Sagu Alami dan Pati Sagu Termodifikasi HMT Terpilih
a. Bentuk, Ukuran dan Sifat Birefringence Granula Pati
Pengamatan dibawah mikroskop polarisasi menunjukkan bahwa granula pati
sagu yepha hungleu alami mempunyai bentuk elips terpancung (Gambar 18a).
Ukuran pati sagu alami relatif besar bila dibandingkan sengan sumber pati lainnya
terutama pati serealia seperti pati jagung, beras atau gandum. Selain relatif besar,
ukuran pati sagu alami juga bervariasi yaitu berkisar antara 45.1 μm sampai 91.6
μm. Sifat birefringent pati sagu alami tampak sangat jelas yang menandakan pati
sagu alami masih mempunyai struktur semikristalin dan belum mengalami
gelatinisasi.
Granula pati sagu termodifikasi HMT (Gambar 18b) terlihat mempunyai
penampakan yang agak berbeda dengan pati sagu alami. Walaupun terlihat masih
berbentuk elips terpotong, pati sagu termodifikasi HMT mengalami perubahan
sifat birefringence. Maltose cross yang terletak pada daerah hylum granula pati
tampak mulai memudar walaupun disekitar daerah maltose cross masih tampak
membentuk warna biru kuning yang menandakan integritas granula masih terjaga.
Perubahan sifat birefringence di pusat granula sebagai akibat modifikasi HMT
terjadi pada pati kentang (Vermeylen et al. 2006) dan pati jagung (Pukkahuta and
Varavinit 2007; Pukkahuta et al. 2008). Selanjutnya menurut Vermeylen et al.
69
(b)
(2006), birefringence pada pusat granula pati kentang termodifikasi HMT
memudar dan material yang berada di pusat granula menjadi kehilangan orientasi
radialnya.
Menurut Eliasson (2004), pusat granula pati sagu merupakan daerah
amorphous. Selanjutnya menurut Eliasson (2004), penyusunan molekul pada
daerah amourphous bersifat lebih renggang bila dibandingkan dengan daerah
kristalin sehingga interaksi antar molekulnya kemungkinan akan lebih mudah
diubah selama proses modifikasi HMT berlangsung.
Gambar 18 Granula (a) pati sagu yepha hungleu alami dan (b) termodifikasi HMT
Perubahan bentuk granula pati selama modifikasi HMT dimungkinkan
karena adanya imbibisi air yang didukung oleh suhu tinggi. Energi panas yang
digunakan selama modifikasi berlangsung menurunkan kekuatan interaksi
hidrogen inter dan intra molekul amilosa dengan amilosa, amilosa dengan
amilopektin maupun amilopektin dengan amilopektin. Pada saat yang bersamaan,
molekul air akan berinteraksi melalui ikatan hidrogen dengan molekul amilosa
dan atau molekul amilopektin yang telah terputus ikatan hidrogen antar
sesamanya. Terbatasnya jumlah air pada pati sagu yang hanya mencapai 26 – 27%
menyebabkan interaksi hidrogen yang terbentuk antara air dengan molekul
amilosa dan molekul amilopektin juga terbatas sehingga pati belum mengalami
gelatinisasi. Pati yang sudah mengalami gelatinisasi akan kehilangan intergitasnya
yang ditandai menghilangnya sifat birefringence diseluruh bagian granula.
(a)
70
Perubahan bentuk granula pati yang bermula dari daerah hilum membawa
dampak pada ukuran granula. Pati sagu termodifikasi HMT dengan perlakuan
pencucian dan waktu 4 jam mempunyai rataan dan kisaran ukuran granula yang
lebih besar bila dibandingkan dengan pati sagu alaminya (Tabel 10).
Tabel 10 Ukuran granula pati alami dan termodifikasi HMT Ukuran granula (μm)
Pati sagu Rataan panjang Rataan lebar Kisaran panjang Kisaran lebar
Alami 64.7 ± 20.2 46.8 ± 18.6 45.1 – 91.6 29.8 – 74.8 HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam 97.6 ± 22.4 64.6 ± 8.5 73.9 – 118.1 55.3 – 70.0
b. Kekuatan Gel dan Sineresis
Perlakuan HMT dengan pencucian dan waktu selama 4 jam mampu
meningkatkan kekuatan gel pati secara signifikan (P<0.05). Kekuatan gel pati
alami dan pati termodifikasi HMT masing-masing mencapai 8.8 ± 0.6 gf dan 50.8
± 3.7 gf seperti yang terdapat pada Tabel 11 dan Lampiran 2. Peningkatan
kekuatan gel pati ubi jalar termodifikasi HMT dilaporkan oleh Collado and Corke
(1999).
Tabel 11 Kekuatan gel dan sineresis pati sagu alami dan termodifikasi HMT Pati sagu Kekuatan gel (gf) Sineresis (%)
Alami 8.8 ± 0.6a 32.15 ± 3.71b HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam 50.8 ± 3.7b 19.68 ± 2.40a
Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji t (P<0.05).
Peningkatan kekuatan gel pati sagu termodifikasi HMT dapat dijelaskan dari
peningkatan viskositas (setback) pasta pati pada saat mengalami pendinginan
(Gambar 13 dan Tabel 9). Peningkatan viskositas pasta (viskositas setback) pati
termodifikasi HMT terpilih pada saat didinginkan pada suhu 50oC selama 20
menit mencapai 218 ± 18 BU, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati
alami yang hanya mencapai 110 ± 0 BU. Peningkatan viskositas ini
menggambarkan adanya peningkatan interaksi molekul antar sesama amilosa,
sesama amilopektin dan antar amilosa dengan amilopektin selama pendinginan
berlangsung. Pati dengan setback yang tinggi mempunyai kemampuan
71
membentuk gel yang lebih baik bila dibandingkan dengan pati yang mempunyai
setback yang lebih rendah. Disisi lain, peningkatan viskositas selama pendinginan
menggambarkan kemudahan pati untuk mengalami retrogradasi.
Retrogradasi pati terjadi ketika molekul pati yang telah mengalami
gelatinisasi membentuk struktur kristal kembali melalui interaksi hidrogen antar
sesamanya. Akibatnya, molekul air yang semula terperangkap di dalam matriks
gel pati akan keluar. Pengeluaran molekul air dari matriks gel pati dinamakan
dengan sineresis. Retrogradasi dan sineresis akan semakin cepat bila gel pati
disimpan pada suhu rendah terutama suhu beku. Stabilitas gel pati terhadap
retrogradasi dan sineresis dapat diketahui dengan mengukur jumlah air yang
keluar dari gel pati yang telah mengalami proses pendinginan, pembekuan dan
thawing. Pati yang lebih mudah mengalami retrogradasi umumnya mempuyai
persentase sineresis yang tinggi. Pati sagu termodifikasi HMT yang diperoleh
mempunyai sifat yang unik. Berdasarkan profil gelatinisasi yang diperoleh,
terlihat bahwa pati termodifikasi cenderung lebih mudah mengalami retrogradasi
bila dibandingkan dengan pati alaminya. Namun demikian, persentase sineresis
pati termodifikasi HMT lebih rendah bila dibandingkan dengan pati alaminya
(P<0.05) seperti yang disajikan pada Tabel 11 dan Lampiran 2. Hal ini
menunjukkan bahwa pati termodifikasi yang dihasilkan lebih stabil terhadap
pembekuan dan thawing.
c. Derajat Putih
Pati sagu yang dimodifikasi dengan perlakuan pencucian mempunyai derajat
putih yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pati alaminya (Tabel 12 dan
Lampiran 2). Hal ini disebabkan oleh berubahnya pigmen alami yang terdapat
pada sagu Papua yaitu yang tadinya tidak berwarna pada pH asam (pH pati sagu
asal) menjadi menjadi berwarna pink pada pH netral (pH pati sagu yang telah
dicuci).
Perubahan warna sagu telah terjadi sejak proses pencucian sagu. Pencucian
sagu dengan air akan menyebabkan asam-asam organik dari sagu alami akan
terlarut dan pH sagu menjadi naik. Kenaikan pH sagu menyebabkan pigmen alami
yang terdapat pada sagu berubah dari tidak berwarna menjadi berwarna pink
72
pudar. Proses modifikasi HMT yang dilakukan pada pati sagu tersebut membuat
warna pink pati sagu semakin kuat yang menyebabkan terjadinya penurunan
derajat putih secara nyata.
Tabel 12 Derajat putih pati sagu alami dan termodifikasi HMT
Pati sagu Derajat putih (% terhadap BaSO4)
Alami 73.87 ± 0.06b HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam 52.89 ± 0.40a
Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji t (P<0.05)
d. Swelling Volume dan Fraksi Pati yang Tidak Membentuk Gel
Penentuan swelling volume dan kelarutan pati sagu dilakukan secara
bersamaan. Pada penentuan tersebut, suspensi pati dengan konsentrasi tertentu
digelatinisasi kemudian disentrifusi. Sentrifusi ini akan menghasilkan dua fraksi
yang terpisah yaitu fraksi pati pembentuk gel dan fraksi pati larut air. Namun
tidak demikian halnya dengan pati sagu alami maupun pati sagu termodifikasi
HMT yang diperoleh. Pada saat pati tergelatinisasi tersebut disentrifusi diperoleh
tiga fraksi yaitu fraksi gel, fraksi larut air dan fraksi tersuspensi yang berada di
antara fraksi gel dan fraksi terlarut. Olah karena itu, pengaruh modifikasi HMT
terhadap kelarutan pati ditentukan berdasarkan pengukuran fraksi pati yang tidak
membentuk gel (penjumlahan dari pati terlarut dan pati tersuspensi).
Analisis data dengan uji t menunjukkan bahwa Swelling volume dan fraksi
pati yang tidak membentuk gel antara pati alami dan pati termodifikasi HMT
terpilih tidak berbeda nyata (P>0.05) seperti yang terdapat pada Tabel 13 dan
Lampiran 2. Perlakuan HMT semula diharapkan dapat menurunkan swelling
volume dan pembentukan fraksi pati yang tidak membentuk gel. Namun
demikian, hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan HMT
dengan kondisi suhu 110oC, kadar air 26-27%, waktu 4 jam dan perlakuan
pencucian belum terbukti dapat menurunkan swelling volume dan fraksi pati sagu
yang tidak membentuk gel.
Perubahan sifat fisik pati oleh modifikasi HMT sangat tergantung pada jenis
dan sumber pati (Belitz and Grosch 1999). Modifikasi pada kadar air rendah dan
73
suhu tinggi dapat menurunkan swelling capacity pati gandum maupun pati
kentang. Di sisi lain, penurunan kelarutan oleh modifikasi tersebut hanya terjadi
pada pati kentang namun tidak demikian halnya dengan pati gandum. Pati gandum
mempunyai kelarutan yang lebih tinggi setelah diberi perlakuan HMT. Penurunan
kelarutan pada pati kentang terjadi karena adanya konversi molekul amilosa yang
semula berada pada bagian amorpous menjadi berada pada bagian yang lebih
rapat (kondisi yang sulit terlarut). Sebaliknya, molekul amilosa pada granula pati
gandum menjadi lebih mudah terlarut (Belitz and Grosch, 1999). Peningkatan
kelarutan juga terjadi pada sorgum merah termodifikasi HMT (Adebowale et al.
2005). Adebowale et al. (2005), melaporkan tingkat kelarutan pati sorgum
termodifikasi HMT tergantung pada kadar air perlakukan HMT dan suhu
pengujian kelarutan. Kelarutan semakin tinggi dengan semakin tingginya kadar air
HMT dan suhu pengujian kelarutan.
Tabel 13 Swelling volume dan fraksi pati yang tidak membentuk gel Pati sagu Swelling
volume (ml/g) Fraksi pati tidak
membentuk gel (%)
Alami 6.1 ± 0.6a 9.32 ± 1.27a HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam 5.9 ± 0.1a 12.76 ± 0.59a
Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji t (P<0.05)
e. Kandungan Pati, Amilosa, Amilopektin dan Proporsi Amilosa:Amilopektin
Pati yang telah mengalami modifikasi HMT kemungkinan akan mengalami
perubahan kandungan pati maupun proporsi amilosa dan amilopektin mengingat
adanya kemungkinan hidrolisis selama modifikasi berlangsung. Pati sagu
termodifikasi HMT dengan percucian memiliki kandungan pati, amilosa dan
amilopektin yang berbeda nyata dengan pati sagu alaminya (P<0.05) seperti yang
disajikan pada Tabel 14 dan Lampiran 2.
Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa pati sagu termodifikasi HMT memiliki
kandungan pati, amilosa dan amilopektin yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan pati sagu alaminya. Penurunan kandungan pati, amilosa dan amilopektin
pati sagu akibat modifikasi HMT masing-masing mencapai 7.48%, 6.51%, dan
74
8.32%. Adanya perbedaan penurunan kandungan pati, amilosa dan amilopektin
pada pati termodifikasi menyebabkan adanya peningkatan proporsi amilosa dari
46.8 bagian menjadi 47.3 bagian dan penurunan proporsi amilopektin dari 53.2
bagian menjadi 52.7 bagian.
Tabel 14 Kandungan pati, amilosa, amilopektin dan proporsi amilosa:amilopektin Sampel
Pati
(% bk)
Amilosa (% bk)
Amilopektin
(% bk)
Proporsi
Amilosa:Amilopektin
Alami 88.32 ± 0.38b 41.34 ± 0.36b 46.97 ± 0.74b 46.8:53.2 HMT dengan pencucian dan waktu 4 jam
81.71 ± 0.92a 38.65 ± 0.45a 43.06 ± 1.16a 47.3:52.7
Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji t (P<0.05)
Menurut Lu et al. (1996), panas yang diberikan pada modifikasi HMT
menyebabkan molekul amilopektin terdegradasi. Selanjutnya menurut Lu et al.
(1996), degradasi molekul amilopektin diperlihatkan dengan adanya penurunan
jumlah komponen berberat molekul tinggi yang mengindikasikan adanya
degradasi termal terutama pada rantai linier dibagian luar molekul amilopektin.
Studi yang dilakukan oleh vermeylen et al. (2006), menunjukkan hal serupa
dimana pati kentang termodifikasi HMT pada kadar air 23% dan suhu 130oC
mempunyai lebih banyak molekul dengan DP (degree of polimerization) yang
lebih rendah bila dibandingkan dengan pati alaminya.
Aplikasi Pati Termodifikasi HMT pada Bihun Sagu
Produksi Bihun Sagu yang Disubstitusi Pati Sagu Termodifikasi HMT
Kondisi optimum modifikasi pati sagu dicapai dengan waktu modifikasi 4
jam dan melalui pencucian. Dengan karakteristik gelatinisasi yang mendekati tipe
C dan kekuatan gel yang tinggi, pati yang termodifikasi pada kondisi optimum
tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas bihun sagu.
Aplikasi pati termodifikasi HMT pada produksi bihun sagu berperan
sebagai pensubstitusi pati sagu alami. Tingkat substitusi yang digunakan adalah
0%, 25% dan 50%. Substitusi pati sagu termodifikasi HMT pada produksi bihun
bertujuan untuk memperbaiki kualitas adonan maupun kualitas bihun yang
dihasilkan.
75
Pembuatan bihun sagu diawali dengan membuat binder (pengikat) adonan.
Sebanyak 20% sagu dicampurkan dengan air dengan perbandingan 1:2. Ke dalam
suspensi ditambahkan STPP (sodium tripolifosfat) sebagai pembentuk tekstur.
Suspensi dipanaskan sambil diaduk hingga tergelatinisasi yang ditandai dengan
meningkatnya kekentalan maupun transparansi suspensi. Sagu yang digunakan
sebagai binder adalah sagu alami karena pasta pati sagu termodifikasi HMT
cenderung bersifat short atau sponable sehingga tidak mampu berperan sebagai
pengikat adonan.
Binder yang diperoleh dicampurkan dengan 80% bagian tepung yang
sebelumnya telah dicampur dengan guar gum. Campuran diadon sehingga
diperoleh adonan yang homogen. Adonan dimasukkan ke dalam multifunctional
noodle machine yang bekerja dengan prinsip ekstrusi. Ulir tunggal yang berputar
dalam mesin akan menekan dan mendorong adonan keluar melalui die dengan
ukuran tertentu.
Penggunaan pati termodifikasi pada produksi bihun mulai terlihat saat
proses ekstrusi. Bihun yang diproduksi dari 100% pati alami bersifat sangat
lengket sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk proses ekstrusi.
Keluarnya untaian bihun juga menjadi tidak seragam dan bihun hanya keluar
melalui beberapa die. Lebih lanjut, untaian bihun yang keluar dari die yang
berdekatan akan saling menyatu dan sulit untuk dipisahkan. Proses ekstrusi bihun
dari pati sagu alami dapat dilihat pada Gambar 19a.
Adonan bihun yang dibuat dari campuran pati termodifikasi HMT 25% dan
50% bersifat tidak terlalu lengket sehingga lebih mudah diekstrusi. Untaian bihun
dari adonan tersebut dapat keluar secara bersamaan melalui seluruh lubang die
seperti yang dapat dilihat pada Gambar 19b.
Untaian bihun selanjutnya dibentuk dan diletakkan di atas pelat-pelat
berlubang. Penyusunan untaian bihun dari pati alami 100% sulit dilakukan karena
untaian melekat satu sama lain (Gambar 20a). Sementara itu, penyusunan untaian
bihun dari pati sagu HMT 50% mudah dilakukan karena antai untaian terpisah
dengan baik (Gambar 20b).
Untaian bihun yang diletakkan di atas pelat berlubang dikukus pada suhu
95oC selama 2 menit. Kelengketan untaian bihun pati 0% HMT semakin
76
meningkat setelah pengukusan berlangsung, dimana penyatuan untaian bihun
menjadi semakin kuat dan sulit dipisahkan. Untaian bihun yang telah dikukus
dikeringkan dengan oven udara pada suhu 60oC selama 35 menit untuk mencapai
kadar air yang relatif aman untuk penyimpanan. Bihun sagu yang diperoleh
dikemas dengan menggunakan kemasan plastik PP (Polyprophylene) untuk
melindunginya selama penyimpanan.
Gambar 19 Ekstrusi adonan bihun (a) 0 pati HMT dan (b) 50% pati HMT
Gambar 20 Penyusunan untaian bihun (a) 0 pati HMT dan (b) 50% pati HMT
(b) (a)
(a) (b)
77
Pengaruh Substitusi Pati Termodifikasi HMT Terhadap Kualitas Bihun Sagu
Pengaruh penggunaan pati sagu termodifikasi HMT diketahui dengan
melakukan karakterisasi terhadap bihun sagu yang diperoleh. Karakteristik yang
diuji antara lain intensitas warna, waktu rehidrasi, berat rehidrasi, kehilangan
padatan akibat pemasakan (KPAP), tekstur dengan texture analyzer dan penilaian
organoleptik.
a. Warna Bihun Sagu
Perbedaan tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT memberikan
pengaruh yang nyata terhadap intensitas warna merah, intensitas warna kuning
dan intensitas kecerahan bihun sagu (P < 0.05) seperti yang disajikan pada Tabel
15 dan Lampiran 3. Uji lanjut Duncan yang disajikan pada Lampiran 8
menunjukkan bahwa intensitas warna merah bihun sagu 100% alami (0% HMT)
lebih rendah bila dibandingkan dengan bihun sagu 25% HMT dan 50% HMT.
Sebaliknya, intensitas kecerahan bihun 0% HMT lebih tinggi bila dibandingkan
dengan bihun sagu 50% HMT. Intensitas kecerahan bihun pati sagu HMT 25%
tidak berbeda nyata dengan bihun sagu 0% maupun bihun sagu 50% HMT. Bihun
sagu yang disubstitusi pati HMT 25% memiliki intensitas warna kuning yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan bihun sagu 0% HMT dan 50% HMT.
Tabel 15 Intensitas warna bihun sagu Sampel Intensitas Warna
Merah Intensitas Warna
Kuning Intensitas Kecerahan
Alami 100% 10.96 ± 0.70a 17.70 ± 0.97a 62.61 ± 0.39b Alami 75%, HMT 25% 13.32 ± 0.11b 19.06 ± 0.23b 59.60 ± 4.68ab Alami 50%, HMT 50% 13.78 ± 0.41b 17.95 ± 0.48a 55.92 ± 0.58a
Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji Duncan (P<0.05)
Perbedaan intensitas warna merah dan kecerahan bihun sagu dengan tingkat
substitusi pati HMT yang berbeda terlihat jelas pada Gambar 21. Bihun sagu 50%
terlihat lebih merah dan lebih kusam bila dibandingkan dengan bihun sagu 0%
dan 25% HMT. Peningkatan intensitas warna merah dan penurunan kecerahan
pada bihun sagu 50% disebabkan karena pati sagu HMT yang digunakan sebagai
78
pensubstitusi berwarna pink dan mempunyai derajat putih yang lebih rendah bila
dibandingkan pati alaminya seperti yang dapat dilihat pada Tabel 12.
Gambar 21 Bihun sagu (a) 0% HMT, (b) 25% HMT dan (c) 50% HMT
Secara visual, perbedaan warna dan kecerahan bihun sagu dengan tingkat
substitusi pati sagu termodifikasi HMT yang berbeda juga terlihat pada bihun
yang telah direhidrasi (dimasak) kembali seperti yang disajikan pada Gambar 22.
Bihun sagu dengan substitusi 50% pati sagu HMT terlihat mempunyai warna yang
lebih gelap bila dibandingkan dengan bihun sagu tanpa subtitusi dan substitusi
sebanyak 25%.
Studi yang dilakukan oleh Purwani et al. (2006), menunjukkan bahwa bihun
sagu dari bahan baku pati termodifikasi HMT mempunyai intensitas warna merah
yang lebih tinggi namun mempunyai kecerahan yang lebih rendah bila
(c)
(a)
(b)
79
dibandingkan dengan bihun sagu dari bahan baku pati alami. Demikian juga
halnya hasil rehidrasi bihun tersebut. Hasil rehidrasi bihun dari bahan baku pati
sagu termodifikasi HMT memiliki intensitas warna merah yang lebih tinggi
namun memiliki tingkat kecerahan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan
bihun dari pati sagu alaminya (Purwani et al. 2006).
Gambar 22 Hasil pemasakan bihun sagu (a) 0% HMT, (b) 25% HMT dan (c) 50% HMT
b. Waktu Rehidrasi, Berat Rehidrasi dan KPAP Bihun Sagu
Perbedaan tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT memberikan
pengaruh yang nyata terhadap waktu rehidrasi bihun sagu (P < 0.05) seperti yang
disajikan pada Tabel 16 dan Lampiran 4. Sementara itu, pengaruh tingkat
(a)
(b) (c)
80
substitusi pati HMT tidak berpengaruh nyata terhadap berat rehidrasi bihun sagu
dan KPAP (kehilangan padatan akibat pemasakan) (P>0.05).
Melalui uji lanjut Duncan terlihat bahwa waktu rehidrasi bihun sagu HMT
50% mempunyai waktu rehidrasi yang lebih singkat bila dibandingkan dengan
bihun sagu HMT 0% maupun 25%. Terjadinya penurunan waktu rehidrasi ini
kemungkinan terkait dengan karakteristik gelatinisasi pati sagu termodifikasi
HMT. Kisaran suhu gelatinisasi pati sagu HMT yang lebih sempit bila
dibandingkan dengan pati alami menyebabkan pati akan lebih cepat tergelatinisasi
sempurna setelah introduksi gelatinisasi terjadi. Oleh karena itu, bihun sagu yang
disubstitusi dengan pati termodifikasi HMT sebanyak 50% mempunyai waktu
rehidrasi yang lebih singkat.
Tabel 16 Waktu rehidrasi, berat rehidrasi dan KPAP bihun sagu
Sampel Waktu rehidrasi (menit)
Berat rehidrasi (%) KPAP (%)
Alami 100% 6.2 ± 0.4b 248.73 ± 6.18a 12.65 ± 4.49a Alami 75%, HMT 25% 5.5 ± 0.0b 259.82 ± 21.14a 12.67 ± 6.98a Alami 50%, HMT 50% 4.5 ± 0.0a 264.79 ± 10.10a 15.68 ± 0.30a
Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji Duncan (P<0.05)
Penambahan pati sagu termodifikasi HMT diharapkan dapat menurunkan
berat rehidrasi bihun, karena bihun dengan berat rehidrasi yang tinggi cenderung
mengalami pembengkakan baik selama pemasakan maupun pascapemasakan.
Berat rehidrasi produk bihun sangat terkait dengan kemampuan penyerapan air
selama proses rehidrasi berlangsung. Untaian bihun yang dapat menyerap air
lebih banyak akan mempunyai berat rehidrasi yang lebih tinggi dan sebaliknya
untaian bihun yang kurang mampu menyerap air akan mempunyai berat rehidrasi
yang lebih rendah.
Ketidakmampuan pati sagu termodifikasi HMT dalam menurunkan berat
rehidrasi dapat dikaitkan dengan karakteristik pati sagu termodifikasi HMT yang
diperoleh. Pati sagu termodifikasi HMT dengan perlakuan pencucian dan waktu 4
jam memiliki swelling volume yang tidak berbeda nyata dengan pati sagu alami
(Tabel 13). Swelling volume suatu sumber pati yang digunakan untuk bahan baku
bihun dapat digunakan untuk menduga derajat pengembangannya saat direhidrasi.
81
Sumber pati dengan swelling volume yang tidak berbeda kemungkinan akan
menghasilkan bihun dengan derajat pengembangan yang tidak berbeda pula. Oleh
karena itu, bihun yang dihasilkan dari 100% pati alami maupun yang disubstitusi
dengan pati termodifikasi HMT mempunyai berat rehidrasi yang tidak berbeda
nyata.
Selama bihun direhidrasi, padatan dari bihun sagu akan keluar dari
permukaan untaian bihun. Jumlah padatan yang keluar dari untaian bihun selama
rehidrasi berlangsung dinyatakan dengan KPAP (kehilangan padatan akibat
pemasakan). Perlakuan substitusi pati sagu termodifikasi HMT tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap KPAP bihun sagu. Namun demikian, bihun
substitusi HMT 50% memiliki nilai rataan KPAP yang paling tinggi yaitu
mencapai 15.68 ± 0.30 %. Bihun pati alami 100% dan substitusi HMT 25%
memiliki rataan KPAP yang lebih rendah yaitu masing-masing mencapai 12.65 ±
4.49 % dan 12.67 ± 6.98 %.
Belum terlihatnya pengaruh penambahan pati termodifikasi HMT terhadap
KPAP lebih disebabkan oleh standar deviasi nilai KPAP bihun pati alami 100%
dan substitusi HMT 25%. Adonan bihun yang disubstitusi pati HMT 50% sangat
mudah diekstrusi dan untaian bihun yang dihasilkan seragam. Sementara itu,
adonan bihun dari 100% pati alami dan substitusi HMT 25% bersifat sangat
lengket sehingga menyulitkan ekstrusi. Waktu yang dibutuhkan untuk ekstrusi
adonan tersebut menjadi lebih lama dan suhu ekstruder berfluktuasi selama
ekstrusi berlangsung. Fluktuasi suhu ini terjadi karena adanya gesekan pada ulir
saat mendorong adonan ke luar dari die. Pada saat suhu meningkat, bihun yang
keluar dari die ekstruder telah mengalami gelatinisasi. Sementara itu, pada saat
suhu menurun, gelatinisasi untaian bihun tidak terjadi. Untaian bihun yang telah
tergelatinisasi cenderung memiliki daya rekat yang lebih tinggi sehingga pada saat
direhidrasi padatan tidak mudah keluar dari untaian bihun. Namun demikian,
apabila bihun tersebut dimasak maka untaiannya tidak dapat memisah dengan
baik. Sementara itu, untaian bihun yang tidak tergelatinisasi terlebih dahulu di
dalam ekstruder cenderung lebih mudah memisah antar untaiannya tetapi
memiliki tekstur yang lebih rapuh. Akibatnya padatan yang keluar saat pemasakan
menjadi jauh lebih tinggi. Bihun sagu yang diproduksi dari pati alami 100%
82
maupun substitusi pati termodifikasi HMT 25% sulit diterapkan dalam skala yang
lebih besar karena mutu bihun yang dihasilkan akan berubah-ubah sesuai dengan
perubahan suhu ekstruder.
Walaupun mempunyai kehilangan padatan terlarut yang relatif lebih tinggi,
bihun yang dihasilkan dari pati sagu yang disubstitusi pati termodifikasi HMT
mempunyai nilai KPAP yang lebih konsisten. Tingginya nilai KPAP pada bihun
yang disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT sebanyak 50% sangat terkait
dengan tingginya fraksi pati terlarut dan pati yang tidak mampu membentuk gel
(tersuspensi) pada pati sagu termodifikasi HMT dengan pencucian yang
digunakan sebagai pensubstitusi. Apabila dijumlahkan, pati terlarut dan
tersuspensi pada pati sagu termodifikasi HMT dengan pencucian mencapai
12.76% (seperti yang dapat dilihat pada Tabel 13). Pati yang mudah larut maupun
yang hanya membentuk suspensi apabila digelatinisasi kemungkinan tidak dapat
terikat dengan kuat di dalam struktur untaian bihun. Pati jenis ini kemungkinan
akan mudah keluar dari untaian bihun apabila bihun terekspos oleh air selama
pemasakan kembali (rehidrasi).
c. Tekstur Bihun Sagu
Melalui pengukuran dengan instrumen texture analyzer, diketahui bahwa
substitusi pati termodifikasi HMT sebanyak 50% dapat meningkatkan kekerasan
bihun sagu (P<0.05) seperti yang disajikan pada Tabel 17 dan Lampiran 5.
Kemampuan pati termodifikasi HMT dalam meningkatkan tekstur bihun
kemungkinan terkait dengan kekuatan gel dan viskositas setback pati
termodifikasi HMT. Pati termodifikasi HMT dengan perlakuan pencucian dan
waktu 4 jam memiliki kekuatan gel dan viskositas setback yang jauh lebih tinggi
dan bila dibandingkan dengan pati alaminya. Pati dengan kekuatan gel yang lebih
tinggi kemungkinan akan membentuk tekstur bihun yang lebih kokoh dan
meningkatkan mouthfeel pada saat bihun tersebut dikonsumsi. Peningkatan
kekerasan bihun yang dibuat dari pati termodifikasi HMT telah dilaporkan oleh
Purwani et al. (2006) dan Collado et al. (2001).
Selain berpengaruh nyata terhadap kekerasan bihun, substitusi pati
termodifikasi HMT juga memberikan pengaruh nyata terhadap elastisitas bihun
83
(P<0.05). Bihun yang dibuat dari 50% pati termodifikasi HMT memiliki
elastisitas yang lebih rendah dari bihun yang buat dari 100% pati alami dan lebih
tinggi dari elastisitas bihun yang dibuat dari pati alami 75%. Penurunan elastisitas
bihun yang disubstitusi pati termodifikasi HMT kemungkinan disebabkan oleh
karakteristik pati termodifikasi HMT yang cenderung short (spoonable).
Tabel 17 Tekstur bihun sagu
Parameter Alami 100% Alami 75%, HMT 25%
Alami 50%, HMT 50%
Kekerasan (gf) 986.5 ± 168.4a 891.6 ± 211.5a 1481.25 ± 218.9b Elastisitas 0.72 ± 0.04b 0.56 ± 0.08a 0.67 ± 0.01ab Daya Kohesif 0.44 ± 0.15a 0.47 ± 0.06a 0.40 ± 0.02a Kelengketan (gf) -48.5 ± 15.2a -53.1 ± 16.6a -95.4 ± 38.1a
Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji Duncan (P<0.05)
Data yang disajikan pada Tabel 17 dan Lampiran 5 menunjukkan bahwa
substitusi pati sagu termodifikasi HMT pada bihun belum dapat memberikan
pengaruh yang nyata terhadap daya kohesif dan kelengketan. Walaupun secara
visual bihun yang disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT terlihat mempunyai
kelengketan yang lebih rendah dan mudah dipisahkan antar untaianya pada saat
dimasak kembali, pengukuran dengan texture analyzer menunjukkan bahwa bihun
tersebut memiliki kelengketan yang tidak berbeda nyata dengan bihun dari bahan
baku 100% pati alami. Lebih lanjut bila dilihat dari nilai rata-rata yang diperoleh
terlihat bahwa bihun yang disubstitusi pati termodifikasi HMT 50% cenderung
memiliki kelengketan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan bihun dari 100
% pati alami maupun pati alami 75%. Peningkatan kelengketan bihun yang
disubstitusi pati termodifikasi HMT sebanyak 50% kemungkinan terkait dengan
tingginya KPAP bihun tersebut.
d. Penilaian Organoleptik Bihun Sagu
Pengaruh substitusi pati sagu termodifikasi HMT terhadap penilaian
organoleptik bihun sagu dapat diketahui dengan melakukan uji ranking hedonik.
Uji tersebut dapat digunakan untuk menentukan bihun yang lebih disukai oleh
panelis. Uji yang telah dilakukan menunjukkan bahwa substitusi pati sagu
termodifikasi HMT berpengaruh nyata terhadap seluruh parameter uji yang terdiri
84
atas warna, kelengketan, kekenyalan, kekerasan, rasa dan kesan keseluruhan
(P<0.05) seperti yang terdapat pada Tabel 18 dan Lampiran 6.
Uji lanjut dengan uji LSD (least significant difference) menunjukkan bahwa
bihun yang disubstitusi dengan pati termodifikasi HMT sebanyak 50% memiliki
kelengketan dan kesan keseluruhan yang lebih disukai dibandingkan dengan bihun
dari 100% pati sagu alami dan bihun dari 75% pati alami. Lebih lanjut, bihun dari
pati alami 100% memiliki warna, kekenyalan, kekerasan, dan rasa yang paling
tidak disukai bila dibandingkan dengan bihun dari pati alami 75% dan bihun pati
termodifikasi HMT 50%.
Tabel 18 Penilaian organoleptik bihun sagu
Parameter Alami 100% Alami 75%, HMT 25%
Alami 50%, HMT 50%
Warna 2.87b 1.8a 1.33a Kelengketan 2.87c 1.93b 1.2a Kekenyalan 2.77b 1.7a 1.5a Kekerasan 2.7b 1.8a 1.5a Rasa 2.87b 1.6a 1.6a Kesan Keseluruhan 3c 1.8b 1.2a
Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji LSD (P<0.05)
Adanya perbedaan tingkat kesukaan bihun sagu menunjukkan bahwa
substitusi bihun sagu dengan pati termodifikasi HMT dapat meningkatkan
penerimaan panelis. Peningkatan penerimaan panelis terhadap bihun sagu yang
disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT memberikan bukti bahwa pati
termodifikasi HMT dapat memperbaiki kualitas bihun sagu walaupun penilaian
yang dilakukan secara objektif hanya dapat menjelaskan adanya penurunan waktu
rehidrasi dan peningkatan kekerasan bihun sagu.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Modifikasi HMT yang dilakukan terhadap pati sagu dengan kombinasi
perlakuan pencucian dan waktu modifikasi dapat menghasilkan pati dengan
stabilitas panas, stabilitas pengadukan dan kemampuan pembentuk gel yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan pati sagu alaminya. Perlakukan pencucian dapat
menghasilkan pati sagu termodifikasi dengan ketahanan panas, ketahanan
pengadukan dan kemampuan pembentuk gel yang lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan tanpa pencucian. Ketahanan panas, ketahanan pengadukan dan
kemampuan membentuk gel pati termodifikasi semakin tinggi dengan semakin
singkatnya waktu modifikasi. Kombinasi perlakuan pencucian dan waktu
modifikasi yang dapat menghasilkan pati dengan tipe C yaitu dengan ketahanan
panas, ketahanan pengadukan dan kemampuan membentuk gel yang paling tinggi
diperoleh dari modifikasi yang dilakukan dengan perlakuan pencucian dan waktu
4 jam. Pati termodifikasi terpilih mengalami perubahan bentuk pada pusat granula
serta mempunyai kekuatan gel lebih tinggi, persentase sineresis yang lebih rendah,
derajat putih yang lebih rendah, swelling volume dan fraksi pati tidak membentuk
gel yang tidak berbeda, kandungan pati, amilosa dan amilopektin yang lebih
rendah bila dibandingkan pati alaminya. Kekutan gel, persentase sineresis, derajat
putih, swelling volume, fraksi pati tidak membentuk gel, kandungan pati,
kandungan amilosa dan kandungan amilopektin pati sagu termodifikasi HMT
terpilih adalah 50.8 ± 3.7 gf, 19.68 ± 2.40%, 52.89 ± 0.40%, 5.9 ± 0.1 ml/g, 12.76
± 0.59% 81.71 ± 0.92%bk, 38.65 ± 0.45%bk, 43.06 ± 1.16%bk. Kekutan gel,
persentase sineresis, derajat putih, swelling volume, fraksi pati tidak membentuk
gel, kandungan pati, kandungan amilosa dan kandungan amilopektin pati sagu
alami adalah 8.8 ± 0.6 gf, 32.15 ± 3.71%, 73.87 ± 0.06%, 6.1 ± 0.6ml/g, 9.32 ±
1.27%, 88.32 ± 0.38%bk, 41.34 ± 0.36%bk, dan 46.97 ± 0.74%.
Substitusi pati sagu termodifikasi HMT dalam produksi bihun sagu dapat
meningkatkan kualitas bihun sagu. Berdasarkan pengujian secara fisik (waktu
pemasakan dan kekerasan) dan organoleptik, bihun sagu yang disubtitusi dengan
86
pati sagu termodifikasi HMT sebanyak 50% mempunyai kualitas yang lebih baik
bila dibandingkan dengan bihun yang disubstitusi pati termodifikasi HMT
sebanyak 25% maupun bihun sagu yang tidak disubstitusi pati sagu termodifikasi
HMT. Bihun sagu yang disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT sebanyak 50%
mempunyai waktu pemasakan paling singkat (4.5 menit), kekerasan tertinggi
(1481.25 gf) dan paling disukai bila dibandingkan dengan dengan bihun yang
disubstitusi pati termodifikasi HMT sebanyak 25% maupun bihun sagu yang tidak
disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT.
Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini
antara lain:
1. Perlu dilakukan penentuan sensitifitas perubahan profil gelatinisasi
terhadap kisaran kadar air pati sagu mengingat sulitnya memperoleh kadar
air yang tepat (sesuai target) pada pengaturan kadar air pati yang akan
dimodifikasi.
2. Perlu dilakukan pemantauan perubahan kadar air selama modifikasi pati
sagu dengan metode HMT mengingat kadar air pati sagu mengalami
penurunan selama modifikasi berlangsung.
3. Perlu dilakukan modifikasi HMT pada kisaran pH yang lebih luas (dengan
perlakuan pencucian yang berbeda hingga pencucian pati tersebut
menghasilkan pati dengan pH yang berbeda).
4. Perlu dilakukan substitusi pati termodifikasi HMT dengan konsentrasi
yang lebih rendah untuk menekan penggunaan pati termodifikasi HMT
pada pembuatan bihun.
DAFTAR PUSTAKA
Adebowale KO, Olu-Owolabi BI, Olayinka OO, and Lawal OS. 2005. Effect of Heat Moisture Treatment and Annealing on Physicochemical Properties of Red Sorgum Starch. African J of Biotech Vol. 4 (9):928-933.
Ahmad BF, Williams PA, Doublier J, Durand S and Buleon. 1999.
Physicochemical Characterization of Sago Starch. Carbohydrate Polymer 38: 361 – 370.
Ahmad L. 2009. Modifikasi Fisik Pati Jagung dan Aplikasinya untuk Perbaikan Kualitas Mi Jagung [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
AOAC official Methods 925.10. Ed ke-16. 1999. Solids (Total) and Moisture in Flour, Air Oven Methods, Final Action. AOAC International. USA.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S dan Budiyanto S. 1989.
Petunjuk Praktikum Analisis Pangan. PT IPB Press, Bogor. Belitz HD and Grosch W. 1999. Food Chemistry. Springer, Germany. Chen Z. 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their
Application in Noodle Products [tesis]. The Netherlands, Wageningen University,
Chen Z, Schols HA, and Voragen AGJ. 2003. Starch Granule Size Strongly Determines Starch Noodle Processing and Noodle Quality. J of Food Sci 68 (5): 1584 – 1589.
Codex Stan 249-2006. Codex Standard for Instant Noodles.
Collado LS, and Corke H. 1999. Heat-Moisture Treatment Effects on Sweetpotato Starches Differing in Amylose Content. Food Chem 65 (3): 339-346.
Collado LS, Mabesa LB, Oates CG, and Corke H. 2001. “Bihon-type of Noodles from Heat-Moisture Treated Sweetpotato Starch”. J. Food Sci 66(4):604-609.
Collona P. and Buléon A. 1992. In Verwimp, T. 2007. Isolation, Characterization and Structura; Features of Rye Fluor Starch and Non-starch Polysaccharide Constituents [Dissertationes]. Leuven. De Agricultura, Faculteit Bio-ingenieurswetenschappen, Katholieke Universiteit.
Dewan Standarisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia Tepung Sagu 01-3729-1995.
Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992.
88
Direktur Jenderal Bina Produksi Pertanian Departemen Pertanian RI. 2003. Arah Kebijakan Pengembangan Agribisnis Sagu di Indonesia. Dalam Sagu Untuk Ketahanan Pangan. Prosiding Seminara Nasional Sagu. Manado, 6 Oktober 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2003.
Eliasson A-C editor. 2004. Starch in Food (Structure, function and applications).
Woodhead Publishing Limited. Cambridge England. Flach M. 1997. Sago Palm: Metroxylon Sagu Rottb. Institute of Plant Genetics
and Crops Plant Research (Gatersleben) and International Plant Genetic Resources Institute (Rome, Italy). http://www.ipgri.cgiar.org/publications/ pdf/238.pdf
Gunaratne A and Hoover R. 2002. Effect of Moisture Treatment on the Structure and Physical Properties of Tuber and Root Starches. Carbohydrate Polymers 49:425-437.
Hoover R and Manuel H. 1996. The Effect of Heat-Moisture Treatment on the Structure and Physicochemical Properties of Normal Maize, Waxy Maize, Dull Waxy Maize and Amylomaize V Starches. J of Cereal Sci 23:153-162.
Istalaksana dan Maturbongs. 2007. Studi Teknik dan Sosial-Budaya Terhentinya Operasi PT. Sasari di Distrik Arandai, Kabupaten Bintuni, Papua. Laporan Akhir Penelitian Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok. KMNRT-Seafast Center, IPB.
Jane J-l. 2006. Curret Understanding on Starch Granule Structures. J Appl Glycosci 53: 205-213.
Juliano BO, and Sakurai J. 1985. Miscellaneous Rice products. In B.O. Juliano, Rice: Chemistry and Technology (2nd ed., pp. 592 – 599). St. Paul, Minessota: AACC.
Kruger JE, Matsuo RB, Dick JW editor. 1996. Pasta and Noodle Technology, American Association of Cereal Chemists, Inc. St. Paul, Minnesota, U.S.A.
Kertopermono AP, Munami, Maturbongs L, and Sukarwo. 1983. Penerapan Remote Sinsing untuk Penelitian, Pemetaan Distribusi Areal Sagu di Agats Irian Jaya. PPUS UNIPA.
Kim YS, Wiesenborn DP, Lorenzen JH, and Berglund P. 1996. Suitable of Edible Bean and Potato Starches for Starch Noodles. Cereal Chem 73(3): 302 – 308.
Lawal OS. and Adebowale KO. 2005. An Assessment of Changes in Thermal and Physico-chemical Parameter of Jack Bean (Canavalia ensiformis) Starch Following Hidrothermal Modification. Eur Food Res Technol 221:631-638.
Lawal OS. Studies on The Hydrothermal Modifications of New Cocoyam (Xanthosoma sagittifolium) Starch. 2005. International J of Biol Macromolecule 37: 268 – 277.
89
Lestari, OA. 2009. Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia dan Evaluasi Nilai Gizi Biologis Mi Jagung Kering yang Disubstitusi Tepung Jagung Termodifikasi [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lii C-Y and Chang SM. 1981. Characterization of Read Bean (Phaseolus radiatus var. auea) starch and its noodle quality. J Food Sci 46: 78 -81.
Lim S-T Chang E-H, and Chung H-J 2001. Thermal Transition Characteristics of Heat-Moisture Treated Corn and Potato Starches. Carbohydrate Polymers 46: 107-115.
Limbongan J. 2007. Morfologi Beberapa Jenis Sagu Potensial di Papua. J Litbang Pertanian 26 (1): 16-24.
Lorlowhakarn K and Naivikul O. 2006. Modification of Rice Flour by Heat Moisture Treatment (HMT) to Produce Rice Noodle. Kasetsart J (Nat Sci) 40 (Suppl.): 135 – 143.
Lu S. Chen C-Y. and Lii C-Y. 1996. Gel-Chromatography Fractionation and
Thermal Characterization of Rice Starch Affected by Hydrothermal Treatment. Cereal Chem 73(1):5-11.
Manuel HJ. 1996. The Effect of Heat-Moisture Treatment on The Structure & Physicochemical Properties of Legum Starches. Thesis-Department of Biochemistry Memorial University of Newfoundland, St. John’s Newfoundland, Canada.
Mattjik AA dan Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB PRESS. Bogor.
Maturbongs L. 1984. Potensi dan Distribusi Sagu di Memberamo Hilir. Irian Jaya.
Maturbongs L dan Rumbino A. 1996. Potensi dan Distribusi Sagu di Mimika-Irian Jaya.
Maturbongs L, Istalaksana P, Rochani A, Kesaulija DN dan Musaad I. 2001.
Pengembangan Komoditas Sagu di Kabupaten Biak Numfor dalam Rangka Menunjang KAPET Biak. PPUS UNIPA.
Miyazaki, A. 2004. Di dalam Limbongan, J. 2007. Morfologi Beberapa Jenis Sagu
Potensial di Papua. J Litbang Pertanian 26(1): 16 – 24. McClatchey W, Manner HI, and Elevitch CR. 2006. Metroxylon amicarum, M.
paulcoxii, M. sagu, M. salomonense, M. vitiense, and M. warburgii (sago palm Spesies Profile for Pasific Island Agroforestry. www.traditionaltree.org
Mohamed A, Jamilah B, Abbas KA, Rahman RA and Roseline K. 2008. A
Review on Physicochemical and Thermorheological Properties of Sago Starch. Am J of Agric and Bio Sci 3(4): 639 – 646.
90
Muhammad K, Hussin F, Man YC, Ghazali HM and Kennedy JF. 2000. Effect of pH on Phosphorylation of Sago Starch. Carbohydrate Polymers 42: 85-90.
Olayinka OO, Adebowale KO, Olu-Owolabi BI. 2008. Effect of Heat-Moisture
Treatment on Physicochemical Properties of White Sorghum Starch. Food Hydrocolloids 22: 225-230.
Pukkahuta C and Varavinit S. 2007. Structural Transformation of Sago Starch by
Heat-Moisture and Osmotic-Pressure Treatment. Starch-stärke 59(12): 624-631.
Pukkahuta C, Suwannawat B, Shobsngob S, and Varavinit S. 2008. Comparative
Study of Pasting and Thermal Transition Characteristic of Osmotic Pressure and Heat-Moisture Treated Corn Starch. Carbohydrate Polymer 72: 527 – 536.
Purwani EY, Widaningrum, Thahrir R dan Muslich. 2006. Effect of Moisture
Treatment of Sago Starch on Its Noodle Quality. Indonesian J of Agric Sci 7(1): 8 -14.
Riley CK, Wheatley AO, Asemota HN. 2006. Isolation and Characterization of
Starches from Eight Dioscorea alata Cultivars Grown in Jamaica. African J of Biotech 5(17):1528 – 1536.
Roder N, Ellis PR and Butterworth PJ. 2005. Starch Molecular and Nutritional
Properties: a Review. Advance in Molecular Medicine 1(1): 5 – 14. Schoch TJ and Maywald EC. 1968. Preparation and Properties of Various Legume
Starches. In Collado, L.S., L.B. Mabesa, C.G. Oates and H. Corke. 2001. Bihon-Type Noodles from Heat- Moisture-Treated Sweet Potato Starch. J of Food Sci 66(4): 604-609.
Singh N, Singh J and Sodhi NS. 2002. Morphological, Thermal, Rheological and Noodle-Making properties of Potato and Corn Starch. J of Food and Agric 82: 1376-1383.
Singh S, Raina CS, Bawa AS, and Saxena DC. 2005. Effect of Heat-Moisture Treatment and Acid Modification on Rheological, Textural, and Differential Scanning Calorimetry Characteristics of Sweetpotato Starch. J of Food Sci 70(6):373 – 378.
Song Y and Jane J. 2001. Characterization of Barley Starches of Waxy, normal and high amylose varieties. Carbohydrate Polymers 41: 365 – 377.
Stute R. 1992. Hydrothermal modification of starches: The difference between annealing and heat moisture treatment. In Collado, L.S., L.B. Mabesa, C.G. Oates and H. Corke. 2001. Bihon-Type Noodles from Heat- Moisture-Treated Sweet Potato Starch. J of Food Sci 66 (4): 2001: 604-609.
91
Tenda ET, Noviantoro H, and Limbongan J. 2005. Di dalam Limbongan, J. 2007. Morfologi Beberapa Jenis Sagu Potensial di Papua. J Litbang Pertanian 26 (1): 16 – 24.
Vermeylen RB, Goderis and Delcour JA. 2006. An X-ray Study of
Hydrothermally Treated Potato Starch. Carbohydrate Polymers 64(2): 364-375.
Wattanachant S, Muhammad K, Hasyim DM, Rahman RA. 2003. Effect of
Crosslink Reagent and Hydroxypropilation Levels on Dual-Modified Sago Starch Properties. Food Chemistry 80: 463-471.
Wattanachant S, Muhammad SKS, Hasyim DM, Rahman RA. 20021. Characterization of Hydroxypropylated Crosslinked Sago Starch as Compared to Commercial Modified Starches. Songklanakarin J Sci Technol 24(3): 439-450.
Wattanachant S, Muhammad SKS, Hasyim DM, Rahman RA. 20022. Suitability of sago starch as a base for dual-modification. Songklanakarin J.Sci.Technol 24(3):432 – 438.
Whistler RY and Daniel JR. 1985. Carbohydrates. Di dalam Fennema, O.R (ed). 1985. Princiles of Food Science-Part 1-Food Chemistry. Marcell Dekker, Inc, Newyork and Bassel.
Widaningrum, Purwani E Y dan Munarso S J. 2005. Kajian Terhadap SNI Mutu
Pati Sagu. J Standardisasi 7(3) November 2005. Badan Standardisasi Nasional.
Widaningrum dan Purwani E Y. 2006. Karakterisasi serta Studi Pengaruh
Perlakuan Panas Annealing dan Heat Moisture Treatment (HMT) terhadap Sifat Fisikokimia Pati Jagung. J Pascapanen 3(2) 2006: 109-118.
Yiu PH, Loh SL, Rajan A, Wong SC and Bong CFJ. 2008. Physiochemical
Properties of Sago Starch Modified by Acid Treatment in Alcohol. Am J of appl Sci 5 (4):307 – 311.
Zobel HF. 1988. Molecules to granules: A Comprehensive starch review. Starch
40: 44-50. Zobel HF, Young SN and Rocca LA. 1988. Starch Gelatinization: An X-ray
Diffraction Study. Cereal Chem 65(6): 443 - 446.
Lampiran 1. Hasil analisis data pengaruh pencucian dan waktu modifikasi HMT terhadap profil gelatinisasi pati sagu dengan metode GLM pada program SAS
a. Suhu awal gelatinisasi (SAG) Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F pencucian 2 30.78857143 15.39428571 31.88 0.0003 waktu 2 8.72000000 4.36000000 9.03 0.0115 pencucian*waktu 2 25.22000000 12.61000000 26.12 0.0006 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F pencucian 1 0.18750000 0.18750000 0.39 0.5529 waktu 2 8.72000000 4.36000000 9.03 0.0115 pencucian*waktu 2 25.22000000 12.61000000 26.12 0.0006 Duncan Grouping Mean N pencucian A 77.9000 6 DC A A 77.6500 6 TD B 73.5500 2 Kontrol Duncan Grouping Mean N waktu A 78.9750 4 4 B 77.2750 4 8 B B 77.0750 4 16 C 73.5500 2 0 Duncan Grouping Mean N inter A 79.1500 2 DC_8 A A 79.1500 2 DC_4 A A 78.8000 2 TD_4 A A 78.7500 2 TD_16 B 75.4000 2 DC_16 B B 75.4000 2 TD_8 C 73.5500 2 Kontrol_
b. Viskositas puncak (VP) Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F pencucian 2 54021.42857 27010.71429 657.65 <.0001 waktu 2 9150.00000 4575.00000 111.39 <.0001 pencucian*waktu 2 2450.00000 1225.00000 29.83 0.0004 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
93
pencucian 1 2268.750000 2268.750000 55.24 0.0001 waktu 2 9150.000000 4575.000000 111.39 <.0001 pencucian*waktu 2 2450.000000 1225.000000 29.83 0.0004 Duncan Grouping Mean N pencucian A 590.000 2 Kontrol B 430.000 6 DC C 402.500 6 TD Duncan Grouping Mean N waktu A 590.000 2 0 B 451.250 4 4 C 413.750 4 8 D 383.750 4 16 Duncan Grouping Mean N inter A 590.000 2 Kontrol_ B 465.000 2 DC_4 C 445.000 2 DC_8 C C 437.500 2 TD_4 D 387.500 2 TD_16 D D 382.500 2 TD_8 D D 380.000 2 DC_16
c. Viskositas pasta panas (VPP) Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F pencucian 2 33587.52381 16793.76190 420.60 <.0001 waktu 2 16928.16667 8464.08333 211.98 <.0001 pencucian*waktu 2 5083.16667 2541.58333 63.65 <.0001 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F pencucian 1 15194.08333 15194.08333 380.53 <.0001 waktu 2 16928.16667 8464.08333 211.98 <.0001 pencucian*waktu 2 5083.16667 2541.58333 63.65 <.0001 Duncan Grouping Mean N pencucian A 379.167 6 DC B 308.000 6 TD
94
C 240.000 2 Kontrol Duncan Grouping Mean N waktu A 389.500 4 4 B 343.750 4 8 C 297.500 4 16 D 240.000 2 0 Duncan Grouping Mean N inter A 432.500 2 DC_4 B 400.000 2 DC_8 C 346.500 2 TD_4 D 305.000 2 DC_16 E 290.000 2 TD_16 E E 287.500 2 TD_8 F 240.000 2 Kontrol_
d. Viskositas pasta dingin (VPD)
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F pencucian 2 94521.42857 47260.71429 272.85 <.0001 waktu 2 61137.50000 30568.75000 176.48 <.0001 pencucian*waktu 2 15837.50000 7918.75000 45.72 <.0001 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F pencucian 1 52668.75000 52668.75000 304.07 <.0001 waktu 2 61137.50000 30568.75000 176.48 <.0001 pencucian*waktu 2 15837.50000 7918.75000 45.72 <.0001 Duncan Grouping Mean N pencucian A 572.500 6 DC B 440.000 6 TD C 350.000 2 Kontrol Duncan Grouping Mean N waktu A 587.50 4 4 B 517.50 4 8 C 413.75 4 16
95
D 350.00 2 0 Duncan Grouping Mean N inter A 650.00 2 DC_4 A A 630.00 2 DC_8 B 525.00 2 TD_4 C 437.50 2 DC_16 D 405.00 2 TD_8 D D 390.00 2 TD_16 E 350.00 2 Kontrol_
e. Viskositas breakdown (BD)
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F pencucian 2 137572.5238 68786.2619 2444.18 <.0001 waktu 2 1243.1667 621.5833 22.09 0.0009 pencucian*waktu 2 708.1667 354.0833 12.58 0.0048 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F pencucian 1 5720.333333 5720.333333 203.26 <.0001 waktu 2 1243.166667 621.583333 22.09 0.0009 pencucian*waktu 2 708.166667 354.083333 12.58 0.0048 Duncan Grouping Mean N pencucian A 350.000 2 Kontrol B 94.500 6 TD C 50.833 6 DC Duncan Grouping Mean N waktu A 350.000 2 0 B 86.250 4 16 C 70.000 4 8 C C 61.750 4 4 Duncan Grouping Mean N inter A 350.000 2 Kontrol_ B 97.500 2 TD_16 B B 95.000 2 TD_8 B B 91.000 2 TD_4
96
C 75.000 2 DC_16 D 45.000 2 DC_8 D D 32.500 2 DC_4
f. Viskositas setback (SB)
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F pencucian 2 16040.38095 8020.19048 99.90 <.0001 waktu 2 14103.16667 7051.58333 87.83 <.0001 pencucian*waktu 2 3948.16667 1974.08333 24.59 0.0007 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F pencucian 1 11285.33333 11285.33333 140.56 <.0001 waktu 2 14103.16667 7051.58333 87.83 <.0001 pencucian*waktu 2 3948.16667 1974.08333 24.59 0.0007 Duncan Grouping Mean N pencucian A 193.333 6 DC B 132.000 6 TD C 110.000 2 Kontrol Duncan Grouping Mean N waktu A 198.000 4 4 B 173.750 4 8 C 116.250 4 16 C C 110.000 2 0 Duncan Grouping Mean N inter A 230.000 2 DC_8 A A 217.500 2 DC_4 B 178.500 2 TD_4 C 132.500 2 DC_16 C D C 117.500 2 TD_8 D D 110.000 2 Kontrol_ D D 100.000 2 TD_16
97
Lampiran 2 Hasil analisis data uji beda pati alami dengan termodifikasi HMT dengan uji t pada program excel
a. Kekuaatan gel
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2 Mean 8.800 50.825Variance 0.320 13.769Observations 2.000 4.000Pooled Variance 10.407 Hypothesized Mean Difference 0.000 df 4.000 t Stat -15.042 P(T<=t) one-tail 0.000 t Critical one-tail 2.132 P(T<=t) two-tail 0.000 t Critical two-tail 2.776
b. Sineresis
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2 Mean 32.135 19.67667Variance 13.78125 5.773233Observations 2 3Pooled Variance 8.442572 Hypothesized Mean Difference 0 df 3 t Stat 4.69692 P(T<=t) one-tail 0.009127 t Critical one-tail 2.353363 P(T<=t) two-tail 0.018253 t Critical two-tail 3.182446
98
c Derajat putih t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2 Mean 73.865 52.885Variance 0.00405 0.1615Observations 2 4Pooled Variance 0.1221375 Hypothesized Mean Difference 0 df 4 t Stat 69.31868877 P(T<=t) one-tail 1.29753E-07 t Critical one-tail 2.131846782 P(T<=t) two-tail 2.59506E-07 t Critical two-tail 2.776445105
d Uji t swelling volume t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2 Mean 6.05 5.9Variance 0.405 0.02Observations 2 2Pooled Variance 0.2125 Hypothesized Mean Difference 0 df 2 t Stat 0.325396 P(T<=t) one-tail 0.387885 t Critical one-tail 2.919986 P(T<=t) two-tail 0.775769 t Critical two-tail 4.302653
99
e Fraksi pati tidak membentuk gel t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2 Mean 9.32 12.755Variance 1.62 0.34445Observations 2 2Pooled Variance 0.982225 Hypothesized Mean Difference 0 df 2 t Stat -3.46594 P(T<=t) one-tail 0.037055 t Critical one-tail 2.919986 P(T<=t) two-tail 0.07411 t Critical two-tail 4.302653
f Kandungan pati t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2 Mean 88.315 81.7125Variance 0.14045 0.850825Observations 2 4Pooled Variance 0.673231 Hypothesized Mean Difference 0 df 4 t Stat 9.29171 P(T<=t) one-tail 0.000373 t Critical one-tail 2.131847 P(T<=t) two-tail 0.000746 t Critical two-tail 2.776445
100
g Kandungan amilosa t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2 Mean 41.345 38.655Variance 0.13005 0.203367Observations 2 4Pooled Variance 0.185038 Hypothesized Mean Difference 0 df 4 t Stat 7.220907 P(T<=t) one-tail 0.000975 t Critical one-tail 2.131847 P(T<=t) two-tail 0.001951 t Critical two-tail 2.776445
h kandungan amilopektin t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2 Mean 46.97 43.055Variance 0.5408 1.3473Observations 2 4Pooled Variance 1.145675 Hypothesized Mean Difference 0 df 4 t Stat 4.22348 P(T<=t) one-tail 0.00672 t Critical one-tail 2.131847 P(T<=t) two-tail 0.01344 t Critical two-tail 2.776445
101
Lampiran 3 Hasil analisis data pengaruh substitusi pati termodifikasi HMT terhadap warna bihun sagu dengan menggunakan oneway anova dan uji lanjut Duncan pada program SPSS
Hasil analisis oneway anova
Sum of Squares df
Mean Square F Sig
Between Groups 27.505 2 13.753 62.241 .000
Within Groups 3.314 15 .221
Intensitas warna merah Total 30.820 17
Between Groups 6.326 2 3.163 7.773 .005
Within Groups 6.104 15 .407
Intensitas warna kuning Total 12.430 17
Between Groups 134.588 2 67.294 9.006 .003
Within Groups 112.087 15 7.472
Intensitas kecerahan
Total 246.675 17 Uji lanjut Duncan untuk intensitas warna merah VAR00001 N Subset for alpha = .05 1 2 Pati sagu alami 100% 6 10.9567 Pati sagu alami 75% dan pati HMT 25% 6 13.3217
Pati sagu alami 50% dan pati HMT 50% 6 13.7767
Sig. 1.000 .114Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
102
Uji lanjut Duncan untuk intensitas warna kuning VAR00001 N Subset for alpha = .05 1 2 Pati sagu alami 100% 6 17.6983 Pati sagu alami 50% dan pati HMT 50% 6 17.9567
Pati sagu alami 75% dan pati HMT 25% 6 19.0650
Sig. .494 1.000Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. Uji lanjut Duncan untuk intensitas kecerahan VAR00001 N Subset for alpha = .05 1 2 Pati sagu alami 50% dan pati HMT 50% 6 55.9200
Pati sagu alami 75% dan pati HMT 25% 6 59.6000
Pati sagu alami 100% 6 62.6067Sig. 1.000 .076
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
103
Lampiran 4 Hasil analisis data pengaruh substitusi pati termodifikasi HMT terhadap waktu rehidrasi, berat rehidrasi dan KPAP bihun sagu dengan metode oneway anova dan uji lanjut Duncan pada program SPSS
Hasil analisis oneway anova untuk waktu rehidrasi dan berat rehidrasi
Sum of Squares df
Mean Square F Sig
Waktu rehidrasi
Between Groups 3.083 2 1.542 37.000 .008
Within Groups .125 3 .042 Total 3.208 5 Berat rehidrasi
Between Groups 540.677 2 270.338 1.381 .300
Within Groups 1761.668 9 195.741 Total 2302.345 11
Hasil analisis Duncan untuk waktu rehidrasi VAR00001 N Subset for alpha = .05 1 2 3 Native 50% dan HMT 50% 2 4.5000
Native 75% dan HMT 25% 2 5.5000
Native 100% 2 6.2500Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
Hasil analisis Duncan untuk berat rehidrasi
VAR00001 N Subset for alpha = .05
1 Native 100% 4 248.7300 Native 75% dan HMT 25% 4 259.8200
Native 50% dan HMT 50% 4 264.7875
Sig. .155 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
104
Hasil analisis oneway anova untuk kehilangan padatan akibat pemasakan
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 24.363 2 12.181 .599 .570
Within Groups 183.044 9 20.338 Total 207.407 11
Hasil analisis Duncan untuk kehilangan padatan akibat pemasakan
VAR00001 N Subset for alpha = .05
1 Alami 100% 4 12.6475
Alami 75% dan HMT 25% 4 12.6725
Alami 50% dan HMT 50% 4 15.6825
Sig. .386 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
105
Lampiran 5 Hasil analisis data pengaruh penambahan pati sagu termodifikasi HMT terhadap tekstur bihun sagu dengan metode oneyaw anova dan uji lanjut Duncan pada program SPSS
Hasil analisis oneway anova untuk tekstur bihun sagu
Sum of Squares df
Mean Square
F Sig
Kekerasan Between Groups
782552.452 2 391276.22
6 8.251 .011
Within Groups
379394.417 8 47424.302
Total 1161946.869 10
Kelengketan Between Groups 5024.348 2 2512.174 3.388 .086
Within Groups 5931.154 8 741.394
Total 10955.502 10
Elastisitas Between Groups .049 2 .025 6.735 .019
Within Groups .029 8 .004
Total .078 10 Daya kohesif
Between Groups .008 2 .004 .535 .605
Within Groups .060 8 .007
Total .068 10
Hasil analisis uji lanjut Duncan untuk kekerasan VAR00001 N Subset for alpha = .05 1 2 HMT 25% dan Native 75% 4 891.6000
Native 100% 3 986.5333 HMT 50% dan Native 50% 4 1481.2500
Sig. .575 1.000Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.600. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
106
Hasil analisis uji lanjut Duncan untuk kelengketan
VAR00001 N Subset for alpha = .05
1 HMT 50% dan Native 50% 4 -95.4000
HMT 25% dan Native 75% 4 -53.0750
Native 100% 3 -48.5333 Sig. .058 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.600. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Hasil analisis uji lanjut Duncan untuk elastisitas VAR00001 N Subset for alpha = .05 1 2 HMT 25% dan Native 75% 4 .5578
HMT 50% dan Native 50% 4 .6741
Native 100% 3 .7165Sig. 1.000 .374
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.600. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
107
Hasil analisis uji lanjut Duncan untuk daya kohesif
VAR00001 N Subset for alpha = .05
1 HMT 50% dan Native 50% 4 .4044
Native 100% 3 .4425 HMT 25% dan Native 75% 4 .4672
Sig. .377 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.600. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
109
Lampiran 6 Data pengaruh penambahan pati sagu termodifikasi HMT terhadap ranking hedonik bihun sagu
Warna Kelengketan Kekenyalan Kekerasan Rasa Kesan keseluruhan Panelis100% 75% 50% 100% 75% 50% 100% 75% 50% 100% 75% 50% 100% 75% 50% 100% 75% 50%
1 3 2 1 3 2 1 1 3 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 2 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 3 2 1 3 2 1 3 1 2 3 1 2 3 2 1 3 2 1 4 3 2 1 3 2 1 3 1 2 3 1 2 1 2 3 3 1 2 5 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 6 3 2 1 3 1 2 3 2 1 3 1 2 3 2 1 3 2 1 7 3 2 1 3 1 2 3 2 1 3 2 1 3 1 2 3 2 1 8 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 9 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1
10 3 2 1 2 3 1 3 2 1 1 2 3 3 1 2 3 2 1 11 3 2 1 3 2 1 3 1 2 3 2 1 3 2 1 3 2 1 12 3 2 1 3 2 1 1 3 2 1 3 2 2 1 3 3 2 1 13 2 1 3 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 14 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 15 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 16 1 2 3 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 17 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 1 2 3 1 2 3 2 1 18 3 1 2 3 2 1 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 19 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 20 3 2 1 3 2 1 3 1 2 3 2 1 2 1 3 3 2 1 21 3 2 1 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 22 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 1 2 3 2 1 23 3 1 2 1 2 3 3 2 1 2 3 1 3 1 2 3 2 1 24 3 2 1 3 2 1 3 1 2 1 3 2 3 1 2 3 2 1
110
Warna Kelengketan Kekenyalan Kekerasan Rasa Kesan keseluruhan Panelis100% 75% 50% 100% 75% 50% 100% 75% 50% 100% 75% 50% 100% 75% 50% 100% 75% 50%
25 3 2 1 2 3 1 3 1 2 3 2 1 3 2 1 3 2 1 26 2 1 3 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 27 3 1 2 3 2 1 1 3 2 1 3 2 3 2 1 3 2 1 28 3 2 1 3 2 1 2 1 3 3 2 1 3 2 1 3 2 1 29 3 2 1 3 2 1 3 1 2 3 1 2 3 2 1 3 2 1 30 3 2 1 3 2 1 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2
Jumlah 86 54 40 86 58 36 83 51 46 81 54 45 86 47 47 90 54 36 Rataan 2.87 1.8 1.33 2.87 1.93 1.2 2.77 1.7 1.5 2.7 1.8 1.5 2.87 1.6 1.6 3 1.8 1.2 SD 0.43 0.41 0.66 0.43 0.45 0.5 0.63 0.7 0.6 0.7 0.7 0.6 0.43 0.5 0.7
111
Rata-rata ranking untuk warna
Mean Rank Alami 100% 2.87 Alami 75%, HMT 25% 1.80 Alami 50%, HMT 50% 1.33
Hasil uji friedman untuk warna
N 30 Chi-Square 37.067 df 2 Asymp. Sig. .000
Rata-rata ranking untuk kelengketan
Mean Rank Alami 100% 2.87 Alami 75%, HMT 25% 1.93 Alami 50%, HMT 50% 1.20
Hasil uji friedman untuk kelengketan
N 30 Chi-Square 41.867 df 2 Asymp. Sig. .000
Rata-rata ranking untuk kekenyalan
Mean Rank Alami 100% 2.77 Alami 75%, HMT 25% 1.70 Alami 50%, HMT 50% 1.53
Hasil uji friedman untuk kekenyalan
N 30 Chi-Square 26.867 df 2 Asymp. Sig. .000
112
Rata-rata ranking untuk kekerasan
Mean Rank Alami 100% 2.70 Alami 75%, HMT 25% 1.80 Alami 50%, HMT 50% 1.50
Hasil uji friedman untuk kekerasan
N 30 Chi-Square 23.400 df 2 Asymp. Sig. .000
Rata-rata ranking untuk Rasa
Mean Rank Alami 100% 2.87 Alami 75%, HMT 25% 1.57 Alami 50%, HMT 50% 1.57
Hasil uji friedman untuk rasa
N 30 Chi-Square 33.800 df 2 Asymp. Sig. .000
Rata-rata ranking untuk kesan keseluruhan
Mean Rank Alami 100% 3.00 Alami 75%, HMT 25% 1.80 Alami 50%, HMT 50% 1.20
Hasil uji friedman untuk kesan keseluruhan
N 30 Chi-Square 50.400 df 2 Asymp. Sig. .000
113
Uji lanjut dengan LSD Warna Kelengketan Kekenyalan Kekerasan Rasa Kesan
keseluruhan A-B 32 28 32 27 39 54A-C 46 50 37 36 39 36B-C 14 22 5 9 0 18 A = Pati sagu alami 100% B=Pati sagu alami 75%, HMT 25% C=Pati sagu alami 50%, HMT 50%
Top Related