1
MODEL MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PEMECAHAN MASALAH
Bambang Suteng Sulasmono
Program Magister Manajemen Pendidikan –FKIP-UKSW Salatiga
ABSTRAK
Kecakapan pemecahan masalah merupakan hasil belajar yang
dipandang penting untuk dikuasai dan dikembangkan oleh para
peserta didik. Oleh karena itu terdapat sejumlah model
pembelajaran yang dikembangkan dewasa ini bertujuan untuk
memfasilitasi proses pembelajaran agar dapat mengembangkan
kecakapan peserta didik dalam memecahkan masalah. Pembelajaran
untuk memecahkan masalah itu sendiri berakar pada paradigma
konstruktivisme, yang menekankan peran peserta didik dalam
mengkonstruksi makna selama proses pembelajaran. Beberapa
model pembelajaran yang menopang proses pengembangan
kecakapan peserta didik dalam memecahkan masalah adalah model
pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran berbasis kasus
dan model pemecahan masalah secara kolaboratif.
Kata kunci: kecakapan pemecahan masalah, pembelajaran berbasis masalah,
pembelajaran berbasis kasus dan pemecahan masalah secara
kolaboratif
ABSTRACT Problem solving skills are seen as important learning outcomes for the
learners. Therefore there are a number of model developed which is
intended to facilitate the learning process so that learners can develop
skills in problem solving. Learning to solve problems are rooted in
constructivism, which emphasizes the role of learners in constructing
meaning during the learning process. Some learning models that support
the development of learners' skills in problem-solving are: problem-based
learning model, case-based learning model and collaborative problem
solving model.
Keywords: problem solving skills, problem-based learning, case-based
learning, and collaborative problem solving
1. Pendahuluan
Jonassen dan Serrano (2002) menyatakan bahwa kebanyakan model
pembelajaran dewasa ini termasuk „anchored instruction‟ dari Cognition and
Technology Group at Vanderbilt, belajar berbasis masalah (problem based learning)
dari Savery & Duffy, lingkungan belajar terbuka („open-ended learning environments)
dari Land & Hannafin, lingkungan belajar konstruktivis dari Jonassen, maupun
skenario berbasis tujuan (goal-based scenarios) dari Schank, Fano, Bell dan Jona;
semuanya memiliki ciri yang sama yaitu hendak membidik problem solving
2
(pemecahan masalah) sebagai hasil belajarnya. Masing masing model itu mendukung
kegiatan belajar bagaimana memecahkan masalah.
Di samping itu Jonassen & Seranno (2002) juga mencatat bahwa akhir-akhir ini
telah terjadi peningkatan perhatian terhadap hasil belajar pemecahan masalah/problem
solving dalam bidang perancangan pembelajaran. Kedua penulis itu juga mengutip
pendapat Merril (2000) yang menyatakan bahwa prinsip pertama (dalam disain
pembelajaran-pen) adalah: pembelajaran harus terjadi dalam konteks pemecahan suatu
masalah.
Berikut akan dikemukakan tiga dari berbagai model pembelajaran yang
memfasilitasi belajar pemecahan masalah yaitu (a) model belajar berbasis masalah
(problem based learning), (b) model belajar berbasis kasus (case-based learning) dan
(c) model pemecahan masalah (secara) kolaboratif (collaborative problem solving).
Namun oleh karena ketiga model itu bertolak dari pijakan paradigma yang sama maka
sebelumnya akan dikemukakan terlebih dulu landasan filosofis ketiga model
pembelajaran tersebut.
2. Landasan Filsafati Pembelajaran untuk Pemecahan Masalah.
Menurut Savery & Duffy (1996) landasan filosofis model belajar berbasis
masalah adalah konstruktivisme. Sementara Riesbeck (1996) menyatakan bahwa model
case-based reasoning (yang merupakan akar dari model belajar berbasis kasus-pen)
memberi daging pada kerangka pikir konstruktivis yang menyatakan bahwa fakta-fakta
dan konsep konsep bukanlah satu sistem kesatuan, melainkan terdistribusi di seluruh
memori. Sedang Nelson (1999) memang tidak secara eksplisit menyebut paradigma
dibalik model pemecahan masalah kolaboratif yang diajukannya, namun karena model
ini sebenarnya merupakan perpaduan dari pembelajaran kooperatif dengan
pembelajaran berbasis masalah maka tak terlalu keliru kiranya jika disimpulkan bahwa
model inipun mempunyai akar filsafati pada konstruktivisme.
Memang konstruktivisme itu sendiri bukanlah sesuatu yang tunggal melainkan
jamak, dalam arti terdiri dari beberapa aliran. Dalam catatan Prawat (1999) ada enam
aliran konstruktivisme yaitu (1) konstruktivisme radikal (konstruktivisme berbasis
skemata), (2) konstruktivisme berbasis teori pemrosesan informasi, (3) konstruktivisme
sosio-kultural, (4) konstruktivisme interaksionalis simbolik, (5) konstruksionisme sosial
(konstruktivisme sosio-psikologikal), dan (6) konstruktivisme sosial berbasis ide (aliran
3
Dewey). Dua aliran yang disebut terdahulu, menurut Prawat, termasuk kategori
konstruktivisme modern sedang empat aliran sisanya termasuk konstruktivisme pos-
modern.
Perbedaan antara konstruktivisme modern dan pos-modern itu sendiri terletak
pada perbedaan pandangan masing-masing tentang (a) „pemilik‟ pengetahuan, (b)
masalah dualisme pikiran dan dunia, (c) serta proses pembentukan pengetahuan.
Konstruktivisme modern berpendapat bahwa (a) pengetahuan itu milik individu, (b)
pengetahuan akan dengan sendirinya memecahkan masalah dualisme “pikiran-dunia”,
dan (c) pengetahuan adalah hasil sistem penarikan kesimpulan yang sederhana.
Sebaliknya konstruktivisme pos-modern berpendapat (a) pengetahuan merupakan
kekayaan kolektivitas yang terorganisir, (b) masalah dualisme “pikiran-dunia” tidak
dengan sendirinya dipecahkan oleh pengetahuan, dan (c) pengetahuan adalah hasil
konstruksi sosial
Bagaimanapun juga dari keragaman aliran konstruktivisme itu Savery & Duffy
(1996) telah menarik benang merah yang merupakan inti dari filsafat konstruktivisme
yaitu:
1) pemahaman seseorang itu merupakan hasil interaksi antara dirinya dengan
lingkungan; pemahaman seseorang itu merupakan fungsi dari isi bahan
pelajaran, konteks pembelajaran, kegiatan siswa, dan yang paling penting tujuan
siswa.
2) konflik kognitif atau teka-teki adalah stimulus bagi kegiatan belajar dan akan
menentukan organisasi serta sifat dari apa yang dipelajari.
3) pengetahuan terbangun melalui negosiasi sosial dan melalui penilaian atas
viabilitas pengetahuan atau kemampuan bertahan lama dan berkembangnya di
masa depan pemahaman-pemahaman seseorang.
Savery & Duffy juga telah menjabarkan ketiga gagasan pokok di atas ke dalam
8 (delapan) prinsip perancangan dan/atau pembelajaran yang konstruktivistik sebagai
berikut ini.
1) Tempatkan semua kegiatan belajar dalam tugas atau masalah yang lebih
besar. Itu berarti bahwa belajar harus mempunyai tujuan di luar dari yang sekedar
ditugaskan. Tujuan dari setiap kegiatan belajar harus jelas bagi pebelajar. Pebelajar
4
harus mempunyai tujuan dalam belajar, dan harus melihat pentingnya kegiatan
belajar khusus dalam hubungannya dengan tugas yang lebih besar.
2) Dukunglah pebelajar dalam mengembangkan seluruh masalah atau tugasnya
sendiri. Tujuan-tujuan yang dimiliki oleh pebelajar akan sangat menentukan apa
yang akan dipelajari, sehingga pebelajar harus menentukan sendiri tugas yang
hendak dikerjakan.
3) Rancanglah tugas-tugas yang otentik. Lingkungan belajar yang otentik adalah
lingkungan yang tuntutan berpikirnya konsisten dengan tuntutan kognitif
lingkungan asal dari tugas belajar itu. Diperlukan diskusi dan negosiasi antara
pengajar dan pebelajar untuk mengembangkan masalah atau tugas yang otentik
tuntutan kognitifnya.
4) Rancanglah tugas-tugas dan lingkungan belajar untuk merefleksikan
kompleksitas lingkungan di mana pebelajar harus berfungsi kelak. Pebelajar
harus ditempatkan dalam lingkungan belajar yang kompleks. Hal itu sejalan
dengan teori pemagangan kognitif dan teori kelenturan kognitif, di samping
mencerminkan pentingnya peranan konteks dalam menentukan pemahaman
seseorang terhadap konsep atau prinsip tertentu.
5) Biarkan pebelajar menentukan sendiri proses yang akan digunakan dalam
menyelesaikan tugas atau memecahkan masalah. Dengan membiarkan
pebelajar mengembangkan prosesnya sendiri dalam memecahkan masalah, maka
mereka telah terlibat dalam berpikir otentik.
6) Rancang lingkungan belajar yang mendukung dan menantang pemikiran
pebelajar. Pemberian kesempatan kepada pebelajar untuk menentukan masalah
dan proses pemecahannya sendiri dimaksudkan agar mereka menjadi pekerja atau
pemikir yang efektif. Dengan demikian hubungan antara pebelajar dengan pengajar
lebih dekat dengan konsep konsep „perancah belajar‟ (learning scaffold) dan
„wilayah perkembangan terdekat‟ (the zone of proximal development) dari
Vygotsky.
7) Doronglah pengujian gagasan melalui gagasan atau pandangan alternatif dan
konteks-konteks alternatif. Konsturktivisme berpandangan bahwa pengetahuan
itu dinegosiasikan secara sosial. Oleh karenanya kualitas atau kedalaman
5
pemahaman seseorang itu hanya dapat dibangun dan dimantapkan dalam suatu
lingkungan sosial tertentu. Melalui interaksi dalam lingkungan sosial pebelajar
dapat melihat apakah pemahamannya tentang suatu pengetahuan dapat
mengakomodasi isu-isu dan pandangan-pandangan orang lain, dan apakah ada
sudut pandang yang bermanfaat untuk disatukan ke dalam pemahamannya.
8) Sediakan kesempatan dan dukungan agar pebelajar melakukan refleksi baik
tentang materi yang dipelajari maupun proses belajar yang mereka jalani.
Salah satu tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan ketrampilan-
ketrampilan pengaturan diri -menjadi mandiri. Refleksi dapat membantu siswa
mengembangkan kesadaran meta-kognisi, yaitu kesadaran tentang cara belajar dan
apa yang dipelajarinya.
Demikianlah prinsip-prinsip pembelajaran yang bersumber dari filsafat
konstruktivisme. Berikut akan diulas ketiga model belajar/pembelajaran yang dapat
dicandra sebagai bersumber dari filsafat tersebut.
3. Model Belajar Berbasis Masalah (Problem Based Learning).
Pembelajaran berbasis masalah pertama kali berkembang di lingkungan
pendidikan medis/kedokteran untuk menjawab kebutuhan adanya kurikulum yang tidak
terlalu kompetitif dan dapat mendorong siswa agar lebih terlibat dalam pembelajaran,
sehingga tidak terlalu memberi tekanan/stres sebagaimana yang terjadi dalam
kurikulum tradisional. Walaupun mungkin munculnya pendekatan pembelajaran
berbasis masalah lebih dipicu oleh kebutuhan praktis, namun kaijan yang kemudian
berkembang telah menemukan bahwa pembelajaran berbasis masalah memuat banyak
prinsip dalam teori kognitif sekarang ini. Lebih dari itu kini telah berkembang berbagai
upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran berbasis masalah ke
pembelajaran bidang studi di luar kedokteran.
Landasan Teoritis Belajar Berbasis Masalah
Landasan teoritis bagi pembelajaran berbasis masalah adalah teori kognitif
tentang belajar. Teori kognitif berpendapat bahwa proses belajar seseorang terjadi
bukan dengan cara menyerap informasi melainkan dengan menafsirkan informasi-
informasi tersebut. Efektivitas belajar bergantung pada proses-proses internal dalam
diri siswa, yang harus mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
6
Lebih dari itu pandangan terbaru dalam teori kognitif menyatakan bahwa proses
kognisi itu secara fundamental sangat ditentukan oleh situasi (situated cognition).
Artinya, kegiatan pengembangan pengetahuan adalah bagian tak terpisahkan dari apa
yang dipelajari, dan oleh karena itu memisahkan pengetahuan dari konteks di mana
pengetahuan itu digunakan, sama artinya dengan membuang makna dan tujuan belajar
yang ada dalam situasi kehidupan nyata. Dengan mengabaikan watak keterikatan
proses kognisi pada lingkungannya, pendidikan tradisional telah mengingkari tujuannya
sendiri yaitu untuk meningkatkan pengembangan pengetahuan siswa yang kokoh dan
bermanfaat.
Oleh karena itu para pakar strategi belajar kognitif merekomendasikan agar
sebagian besar kurikulum bidang studi di sekolah-sekolah diorganisasikan seputar
masalah-masalah kehidupan nyata yang dapat dipecahkan siswa dalam beberapa hari
atau beberapa minggu. Hal itu dapat dilakukan dengan pembelajaran berbasis masalah.
Pembelajaran berbasis masalah jadinya mengorganisasikan kurikulum di sekitar
persoalan-persoalan yang distrukturkan secara longgar dan para siswa memecahkan
persoalan itu dengan menggunakan pengetahuan dan ketrampilan yang berasal dari
sejumlah disiplin ilmu.
Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah.
Pembelajaran berbasis masalah menurut Baptise (2003) dilandasi oleh sejumlah
nilai dan asumsi yaitu (a) kerjasama/partnership, (b) kejujuran dan keterbukaan/
honesty and openness, (c) rasa hormat/respect, dan (d) kepercayaan/ trust.
Pembelajaran berbasis masalah dijalankan atas dasar pengakuan pentingnya
kerjasama. Pembelajaran ini mendorong mereka yang terlibat di dalamnya untuk
memandang setiap orang lain dalam kacamata persaudaraan dan kolaborasi serta
menjauhkan gagasan-gagasan berkompetisi. Sejak awal pembelajaran berbasis masalah
juga bersifat terbuka. Struktur pengalaman belajar, mulai dari tugas tugas individual
sampai ke tujuan tujuan kurikuler, semua dapat diketahui secara terbuka oleh siapapun.
Interaksi antar pribadi juga mencerminkan pengutamaan kejujuran dan keterbukaan.
Nilai lain yang juga mendasari pembelajaran berbasis masalah adalah rasa
hormat. Oleh karena sistem belajar diarahkan untuk memelihara integritas maka semua
pihak harus saling menghormati satu sama lain. Rasa hormat itu tercermin dalam
kedisiplinan, tatakrama, pemberian perhatian, pengajuan pertanyaan secara sopan dan
7
bermakna, dan yang paling penting adalah terlibat dalam proses belajar. Ketika semua
nilai di atas terwujud atau diintergrasikan dalam lingkungan belajar maka kepercayaan
akan mulai tumbuh dan kemudian terbangun dengan kokoh.
Jadi karakteristik pokok dari pembelajaran berbasis masalah adalah (a)
pembelajarannya berpusat kepada siswa, (b) lembaga memainkan peranan sebagai
fasilitator atau penunjuk jalan, (c) masalah atau skenario belajar menjadi landasan,
pusat perhatian dan struktur belajar, dan (d) informasi dan pemahaman baru siswa
diperoleh melalui belajar yang diarahkan sendiri (self directed learning).
Tampak bahwa pembelajaran berbasis masalah memang sejalan dengan
paradigma kontruktivisme yang berpendapat bahwa makna itu dikonstruksi oleh
individu melalui pengalamannya dalam konteks tertentu. Konteks belajar dan kegiatan
pebelajar berdampak pada bagaimana sesuatu itu dipahami, dan oleh karena itu
dipelajari. Melalui konteks pemecahan masalah yang diciptakan, dan juga kegiatan
yang harus dilakukan pebelajar dalam konteks itu, pembelajaran berbasis masalah
berdampak terhadap kegiatan pebelajar dalam mengkonstruksi pengetahuan
Fokus dalam pembelajaran berbasis masalah adalah pebelajar sebagai
konstruktor dari pengetahuannya sendiri dalam konteks yang mirip dengan situasi di
mana ia akan menerapkan pengetahuan kelak.
Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah.
Sebagai sebuah model maka ada banyak strategi untuk mengimplementasikan
pembelajaran berbasis masalah. Savery & Duffy (1996) misalnya lebih suka
mengadopsi model Barrow, dalam menjelaskan implementasi pembelajaran berbasis
masalah di lingkungan pendidikan kedokteran. Proses pembelajaran berbasis masalah
di bidang kedokteran mencakup:
(a) penyajian masalah berupa tugas mendiagnosa pasien dan merekomendasikan
penanganannya,
(b) pebelajar kemudian belajar mandiri dengan peluang konsultasi pada pakar,
(c) pertemuan kembali para pebelajar untuk mengevaluasi sumber daya dan
kemudian bekerja menangani masalah dengan tingkat pemahaman baru,
(d) penilaian di akhir proses dilakukan dalam bentuk penilaian diri atau penilaian
teman.
8
Sedang Borich (1996) dan juga Slavin (2000) mengemukakan teknik IDEAL
yang dikembangkan oleh Bransford & Stein tahun 1993, sebagai teknik pemecahan
masalah. Teknik IDEAL merupakan akronim dari lima langkah pemecahan masalah
dalam proses pembelajaran berbasis masalah yang terdiri dari Identify, Define, Explore,
Act dan Look. Kelima langkah pemecahan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
Identifikasi masalah. Pebelajar pertama-tama harus mengetahui apa masalah atau
masalah-masalah yang akan dipecahkannya. Pada tahap ini pebelajar menanyai
dirinya sendiri apakah ia memahami persoalannya dan apakah persoalan itu telah
dinyatakan dengan jelas.
Tentukan batasan-batasan istilah. Pebelajar mencek apakah mereka memahami
makna setiap kata yang terdapat dalam pernyataan masalah.
Mengeksplorasi strategi-strategi. Pebelajar mengumpulkan informasi yang relevan
dan menguji cobakan strategi strategi untuk memecahkan masalah.
Bertindak berdasar strategi. Sesudah para pebelajar mencari berragam pilihan
strategi, mereka kemudian menggunakan salah satu di antaranya.
Meninjau dampak-dampaknya. Di tahap ini pebelajar menanyai diri sendiri
apakah mereka telah mencapai pemecahan masalah yang dapat diterima.
4. Model Belajar/Pembelajaran Berbasis Kasus (Case-Based Learning).
Pembelajaran berbasis kasus (Case-based instruction) menurut Ertmer dkk
(1996) telah lama diterima sebagai metode pengajaran efektif di sekolah sekolah
hukum dan bisnis dan sekarang meningkat penggunaannya dalam bidang profesional
lain seperti kesehatan, ilmu politik, jurnalistik, pendidikan guru, arsitektur, psikologi
dan pengukuran pendidikan, serta desain pembelajaran. Kagan (1993) juga mencatat
terjadinya peningkatan perhatian para peneliti dan pendidik terhadap pemanfaatan
kasus-kasus dalam kelas dalam pendidikan guru selama beberapa tahun terakhir ini.
Landasan Teoritis Belajar Berbasis Kasus
Landasan teoritis pembelajaran/belajar berbasis kasus adalah teori pemrosesan
informasi, karena belajar berbasis kasus dilandasi oleh model berpikir berbasis kasus
(case-based reasoning/CBR). Menurut Riesbeck (1996) CBR pada intnya adalah
memecahkan masalah dengan mengadaptasikan solusi-solusi lama, dan menafsirkan
9
situasi-situasi baru dengan membandingkannya dengan situasi-situasi lama. Ada tiga
proses dasar dalam CBR yaitu pemanggilan kembali, adaptasi dan penyimpanan.
Ketika pemecah masalah diperhadapkan pada situasi baru, proses pemanggilan
kembali (informasi-pen) akan menemukan kasus (deskripsi beberapa bagian episode
dari kasus lama) yang mirip dengan situasi baru itu. Proses adaptasi kemudian akan
terjadi ketika pemecah masalah menerapkan informasi-informasi yang telah direkam
dalam kasus lama ke dalam situasi baru, dan menimbang perbedaan-perbedaan
signifikan di antara situasi lama dan situasi baru itu. Proses penyimpanan terjadi
manakala pebelajar menambahkan kasus baru yang sudah diadaptasikan, sejalan
dengan pengetahuan tentang bagaimana hal itu harus dikerjakan, ke dalam ingatan,
untuk digunakan di masa depan.
Model penalaran berbasis kasus di atas mengimplikasikan bahwa hal yang
paling penting untuk dipelajari dalam sebuah pembelajaran adalah kasus-kasus baru
dan cara cara baru dalam mengindeks kasus-kasus tersebut. Persoalan yang dihadapi
manusia, dan juga komputer, dalam memecahkan kasus adalah persoalan pemberian
indeks yaitu bagaimana memberi nama/label kepada kasus-kasus baru secara tepat
sehingga mereka dapat dipanggil kembali kelak dalam situasi yang relevan. Jika kasus-
kasus diberi label terlalu khusus maka mereka tidak akan dapat diingat jika situasi yang
mirip muncul. Jika kasus-kasus diberi label dengan rincian rincian yang tak relevan
atau terlalu abstrak, maka mereka akan diingat justru ketika tidak diperlukan. Jadi
mempelajari cara terbaik memberikan indeks pada kasus-kasus berarti mempelajari
prinsip prinsip penting yang melandasi sebuah kasus.
Penalaran berbasis kasus itu juga mengimplikasikan prinsip-prinsip perancangan
lingkungan pembelajaran yang mencakup:
(a) Dalam rangka mempelajari kasus-kasus, siswa memerlukan pengalaman. Oleh
karena itu lingkungan belajar harus menyimulasikan dunia di mana mereka
dapat memperoleh pengalaman itu.
(b) Dalam rangka membangun kasus berbasis luas, para pebelajar memerlukan
lebih banyak contoh-contoh dibanding yang mungkin diperolehnya secara
mandiri. Lebih dari itu mereka perlu diperhadapkan pada kasus-kasus nyata,
bukan sekedar simulasi. Oleh karena itu lingkungan belajar harus menyediakan
10
akses ke kasus-kasus yang berbasis pada pengalaman-pengalaman dari dunia
nyata.
(c) Dalam rangka mengindeks kasus-kasus dengan indeks yang meningkatkan
pemangggilan dan penggunaan kembali kasus-kasus itu, maka para pebelajar
memerlukan tujuan tujuan dan rencana-rencana yang jelas. Oleh karena itu
lingkungan belajar harus mencakup tugas tugas dan peran-peran yang jelas bagi
para pebelajar.
(d) Dalam rangka agar mampu belajar memberi indeks secara lebih baik, maka para
pebelajar sesekali perlu mengalami kegagalan. Oleh karena itu lingkungan
belajar harus menantang para pebelajar dengan masalah-masalah yang sulit.
(e) Dalam rangka membangun indeks yang lebih baik pebelajar perlu membangun
penjelasan yang baik tentang apa yang salah. Oleh karena itu lingkungan belajar
harus sangat mendukung bagi terjadinya proses proses pemberian penjelasan.
Karakteristik Pembelajaran Berbasis Kasus
Blumenfeld, Soloway, Marx, Krajcik, Guzdizal dan Palincar sebagaimana
dikutip Ertmer dkk (1996) menyatakan bahwa belajar berbasis kasus memerlukan
keterlibatan dari „pengetahuan, usaha, ketekunan dan pengaturan diri’ dari pebelajar
yang harus membuat rencana, mengumpulkan informasi, membangun dan merevisi
solusi masalah,. Meskipun komponen komponen itu tidak merupakan syarat khusus
bagi belajar berbasis kasus namun memang merupakan hal yang penting dalam
lingkungan belajar yang mensyaratkan siswa terlibat dalam tugas tugas belajar yang
kompleks dan mendua arti.
Meskipun ada banyak variasi bentuk dan gaya, pembelajaran berbasis kasus
cenderung melibatkan masalah-masalah yang kompleks yang terjadi dalam praktik
kehidupan. Sebagai pendekatan yang berpusat pada pebelajar, pembelajaran berbasis
kasus memberikan berbagai macam tuntutan pada pebelajar yang jauh melebihi
tuntutan pembelajaran tradisional, atau kelas yang berpusat pada Guru. Para pebelajar
harus dapat menyelesaikan sejumlah tugas yang sulit, mengajukan masalah, terlibat
secara pribadi atau dalam kelompok dalam menganalisa situasi problematik, membuat
keputusan tentang bobot relatif dari masing masing potongan bukti, membuat
keputusan dari sekian banyak pilihan/kemungkinan, menggunakan orang lain sebagai
11
sumber dan melaksanakan keputusan yang dipilih berdasarkan pada rekomendasi-
rekomendasi yang diajukan. Pendek kata para pebelajar harus memiliki ketrampilan-
ketrampilan proses belajar mandiri.
Blumenfeld dkk juga dikutip Ertmer dkk (1996) sebagai menyebut adanya tiga
faktor penting bagi keberhasilan belajar berbasis kasus dan proyek yaitu:
(a) pebelajar tertarik dan menghargai proyek (kasus) ybs;
(b) persepsi pebelajar terhadap kompetensinya untuk menyelesaikan proyek/ tugas
(c) pebelajar memusatkan perhatian pada proses proses belajar bukannya pada hasil
pekerjaan mereka
Faktor-faktor itu – minat dan penghargaan pada tugas belajar, persepsi terhadap
kemampuan dan fokus pada proses proses mencapai tujuan – hakikatnya merupakan
karakteristik dari pebelajar yang mampu mengatur diri sendiri (self-regulated learner).
Jadi keberhasilan belajar berbasis kasus bergantung pada kemampuan pebelajar untuk
mengatur belajarnya. Dengan perkataan lain sekedar memberikan kesempatan untuk
mengintegrasikan pengetahuannya melalui studi kasus pada pebelajar, belum menjamin
bahwa terjadinya pembelajaran berbasis kasus, jika para pebelajar itu tidak memiliki
ketrampilan atau motivasi yang diperlukan untuk mengatur belajarnya.
Dalam rangka pengembangan pembelajaran berbasis kasus dengan bantuan
komputer, Hung dkk (2003) menyatakan bahwa pada intinya prinsip-prinsip yang
menandai pembelajaran berbasis kasus adalah sebagai berikut:
(a) Dari segi seting tujuan: diperlukan penyediaan ceritera menyeluruh (cover
story) untuk memberikan seting belajar yang bermakna.
(b) Dari sisi motivasi: kegiatan belajar harus menarik dan relevan dengan pebelajar.
(c) Dari sisi peran-peran pebelajar: diperlukan rekayasa peran-peran khusus bagi
masing-masing pebelajar dalam keterlibatan mereka dalam tugas-tugas dan
kegiatan-kegiatan di mana mereka dapat menerapkan ketrampilan-ketrampilan
dan pengetahuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
(d) Dari segi kegiatan belajar: harus disediakan kesempatan belajar yang kaya bagi
para pebelajar
12
(e) Dari sisi sumber daya: harus pula disediakan sumber sumber informasi dalam
bentuk ceritera-ceritera yang terkait.
(f) Dalam hal umpan balik: pebelajar harus menerima umpan balik yang memadai
baik dari pengajar maupun lingkungan belajar simulatifnya.
Strategi Pembelajaran Berbasis Kasus
Belajar berbasis kasus dilaksanakan dengan skenario pembelajaran yang
berbasis tujuan (goal based scenarios/GBS). Dalam GBS pebelajar diberi permainan
peran dan masalah yang menarik untuk dipecahkan, atau tujuan-tujuan untuk dicapai.
Peran dan masalah masalah harus benar benat merupakan minat nyata pebelajar dan
bukan sekedar soal beritera yang artifisial.
Masalah dipecahkan melalui interaksi pebelajar dengan lingkungan simulatif,
seperti laboratorium penelitian pertanian, tenda komando atau rumah sakit. Simulasi itu
mencakup pula interaksi-interaksi berbasis grafis atau video dengan agen-agen
simulasi. Jika pebelajar menghadapi masalah atau macet, seorang tutor, dalam bentuk
video muncul untuk memberikan saran, menceriterakan ceritera dan sejenisnya.
Ceritera ceritera itu berasal dari arsip-teks multi media, video wawancara dengan pakar
bidang tertentu, dan ceritera pengalaman pribadi yang mirip dengan situasi simulasi
yang dihadapi pebelajar.
Ada dua kelompok ketrampilan utama yang harus dipelajari melalui GBS yaitu:
1) Ketrampilan-ketrampilan proses, seperti menjadi teller bank, menerbangkan
pesawat, di mana fokusnya adalah belajar satu atau beberapa langkah prosedur yang
saling berhubungan. Ketrampilan semacam ini harus diajarkan dengan GBS yang
diarahkan oleh peran (role-driven GBS’s)
2) Ketrampilan-ketrampilan mencapai hasil seperti membangun jembatan atau
mengatasikerusakan mesin disel, di mana fokusnya adalah pada hasil, dan teknik-
teknik yang diperlukan untuk mencapai hasil. Ketrampilan semacam ini harus
diajarkan dengan GBS yang diarahkan oleh hasil (outcome-driven GBS’s)
GBS yang diarahkan oleh peran (role-driven GBS’s)
Dalam GBS`ini ada cara salah dan benar untuk melakukan sesuatu, dan tatanan
tentang bagaimana mereka melakukan sesuatu sering menjadi penting. Permainan
peran dalam situasi yang disimulasikan memperkuat pengetahuan para pebelajar
13
dengan rehearsal, pengulangan dan refleksi. Pengalaman-pengalaman khusus dalam
GBS memotovasi dan memperkuat prinsip prinsip prosedural. Dengan membiarkan
pebelajar mencoba cara cara yang berbeda dalam melakukan sesuatu mereka belajar
mengapa sesuatu harus dikerjakan dengan cara tertentu.
Inti dari sistem semacam ini adalah kekayaan dan keaneka-ragaman dari
interaksi-interaksi yang disimulasikan. Interaksi-interaksi itu diorganisasikan ke dalam
skrip, yaitu urutan-rutan kejadian yang dipersiapkan terlebih dulu berdasarkan dugaan,
yang kadang dilengkapi dengan cabang-cabang di mana kegiatan mungkin menyebar,
tergantung pada pilihan seorang aktor terhadap apa yang ada dalam skrip.
Kunci dari kegiatan semacam ini adalah dimilikinya sejumlah besar skrip,
masing masing dengan cabang yang banyak, untuk „menampung‟ banyak hal yang
dapat terjadi dalam menampilkan satu tugas yang sama.
GBS yang diarahkan oleh hasil (outcome-driven GBS’s)
Dalam GBS`s model ini fokusnya adalah hasil dan proses pencapaian hasil,
bukan pada prosedur atau skrip, dengan asumsi bahwa jarang ada satu langkah berikut
yang benar, dan biasanya banyak kemungkinan tentang jawaban yang terbaik.
Pensimulasi membiarkan pebelajar mencoba tindakan yang berbeda-beda dan
melihat apa yang terjadi. Simulasi-simulasi yang diarahkan oleh hasil ini dibangun
dengan menambahkan agen-agen dan obyek-obyek, keadaan-keadaan mereka dan
saling hubungannya, tindakan-tindakan yang munkin dilakukan pebelajar, dan
bagaimana keadaan-keadaan, hubungan-hubungan dan tindakan-tindakan yang
mungkin itu berubah pada setiap tindakan yang dilakukan masing masing pebelajar.
Jadi GBS`s ini tidak bertumpu pada skrip-skrip tingkat tertinggi.
Contoh dari belajar berbasis kasus boleh jadi adalah Creative Problem
Solving/CPS atau Pemecahan Masalah (secara) Kreatif/PMK, yang oleh Sewell dkk
(2003) dinilai sebagai kerangka kerja yang amat cocok dengan Pendidikan IPS, karena
dimulai dengan pengenalan masalah dan diakhiri dengan pengambilan keputusan serta
tindakan sosial. CPS terdiri atas enam tahap kegiatan yaitu (a) mengenali adanya
masalah, (b) menemukan fakta-fakta, (c) menemukan masalah, (d) menemukan ide-ide,
(e) menemukan solusi-solusi, (e) mewujudnyatakan solusi. Keenam langkah itu
mendukung tingkat berpikir tinggi karena dalam masing masing tahap itu sisa harus
14
memusatkan perhatiannya pada a) bagaimana mengenali adanya masalah, b) bagaimana
mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk memperjelas masalah, c) bagaimana
membuat rumusan permasalahan, d) bagaimana mencurahkan ide-ide pemecahan
masalah, e) bagaimana berpikir logis melaui ide ide kreatif guna memutuskan solusi
masalah yang tepat, dan f) bagaimana melaksakan solusi
5. Model Pemecahan Masalah Kolaboratif
Nelson (Reigeluth; 1999) mencatat bahwa kini semakin banyak pendidik yang
menyadari kebutuhan akan adanya teori dan metode metode pembelajaran untuk
membantu siswa terlibat dalam proses pemecahan masalah secara kolaboratif, efektif
dan efisien. Menjawab kebutuhan itu model belajar kooperatif telah memberi pedoman
tentang bagaimana mengorganisasikan kelompok-kelompok belajar dan menyarankan
kegiatan-kegiatan khusus untuk menstrukturkan pengalaman belajar siswa. Sedang
model belajar berbasis masalah menekankan pengembangan skenario masalah yang
dikonstruksi secara cermat, melalui kelompok-kelompok kolaboratif, dengan bantuan
tutor untuk bekerja memecahkan masalah.
Dalam penilaian Nelson (Reigeluth; 1999), kedua pendekatan itu memang
memberikan pedoman pembelajaran yang bernilai dalam membangun lingkungan
belajar yang kolaboratif, namun demikian kedua-duanya tidak bersifat menyeluruh.
Oleh karena itu Nelson menawarkan model pemecahan masalah kolaboratif, yang
menurutnya mencakup keseluruhan proses belajar kolaboratif, termasuk membangun
kesiapan pebelajar untuk belajar secara kolaboratif, pengembangan ketrampilan-
ketrampilan kelompok, membentuk kelompok, terlibat dalam pemecahan masalah
secara kolaboratif, dan mengakhiri proses melalui kegiatan mensintesakan, menilai dan
penutupan yang sesuai.
Landasan teoritis
Oleh karena pemecahan masalah kolaboratif merupakan perpaduan antara
pendekatan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran berbasis masalah maka landasan
teoritis model ini dapat dilacak dari landasan teoritis kedua pendekatan itu. Agar tidak
mengulang apa yang sudah disajikan terdahulu maka berikut hanya akan disajikan tiga
pilar psikologis pembelajaran kooperatif.
15
Pembelajaran kooperatif pada hakikatnya dilandasi oleh tiga pilar teori belajar
yang bersumber pada teori belajar sosialnya Albert Bandura, teori watak sosial dari
belajarnya Vygotsky dan teori saling ketergantungan sosial dari psikologi sosial. Ketiga
teori itu pada dasarnya menyatakan pentingnya kehadiran orang lain dalam proses
belajar seseorang. Teori belajar sosialnya Albert Bandura menekankan pentingnya
kehadiran orang lain (pengajar dan sesama pebelajar) sebagai model perilaku baik
dalam belajar melalui modeling maupun vicarious experience. (Borich, 1996; Brown,
1999; Gredler, 1994 dan Slavin, 2000).
Konsep scaffold (perancah) yang berupa bantuan bagi pebelajar yang tengah
belajar dalam „wilayah perkembangan terdekat‟ (the zone of proximal development) nya
Vygotsky juga melandasi pembelajaran kooperatif. Dalam kegiatan-kegiatan kooperatif
para pebelajar belajar melalui interaksi kerjasama dengan orang dewasa dan teman
sebaya yang lebih mampu. Para pebelajar diperhadapkan pada proses berpikir teman
sebayanya sehingga hasil maupun proses berpikir seorang pebelajar dapat dipelajari
oleh pebelajar lainnya (Wertsch, 1985; Steiner & Mahn, 1996 dan Slavin, 1995).
Teori saling ketergantungan positif dalam interaksi yang promotif yang
berkembang dalam psikologi sosial juga menjadi roh dari pembelajaran kooperatif.
Sebab tanpa itu maka belajar dalam kelompok tidak akan menghasilkan pembelajaran
kooperatif. Pembelajaran kooperatif harus memenuhi lima karakteristik yaitu (a) saling
ketergantungan positif, (b) tanggungjawab perseorangan, (c) tatap muka, (d)
komunikasi antar anggota, dan (e) evaluasi proses kelompok (Johnson &Johnson, 1998
dan Johnson dkk 2000).
Karakteristik Pemecahan Masalah secara Kolaboratif
Nellson menyatakan bahwa pendekatan pemecahan kolaboratif tidak dapat
dipergunakan untuk mengajarkan bahan bahan pelajaran yang berupa informasi-
informasi faktual maupun tugas-tugas prosedural yang harus dijalani dengan langkah
yang pasti. Kondisi kondisi bahan ajar, lingkungan belajar, karakteristik pebelajar dan
pengajar yang sesuai bagi penggunaan model ini adalah sebagai berikut:
1) Jenis bahan ajar/konten
Pendekatan pemecahan masalah secara kolaboratif sangat cocok dengan tugas tugas
heuristik, pengembangan pemahaman konseptual, dan strategi-strategi kognitif.
16
Tugas-tugas heuristik adalah tugas-tugas yang terbangun dari sistem ketrampilan
dan pengetahuan yang kompleks yang dapat dikombinasikan dengan berbagai
macam cara untuk menjalankan tugas dengan berhasil. Pengembangan pemahaman
konseptual mencakup baik pengembangan skema-skema bagi pengetahuan baru
maupun asimilasi isi pelajaran ke dalam skema yang sudah ada. Strategi kognitif
mencakup ketrampilan-ketrampilan berpikir kritis, strategi-strategi belajar, dan
ketrampilan ketrampilan meta-kognitif.
2) Lingkungan Belajar
Lingkungan yang amat cocok bagi belajar pemecahan masalah secara kolaboratif
adalah lingkungan yang kondusif bagi kerjasama, percobaan, dan inkuiri, yaitu
lingkungan yang mendorong terjadinya pertukaran gagasan dan informasi secara
terbuka. Lingkungan belajar haruslah mencerminkan nilai-nilai yang secara hakiki
terkandung dalam sebuah kolaborasi. Waktu, ruang, dan sumber daya yang memadai
harus disediakan. Perencanaan yang matang diperlukan agar tersedia cukup waktu
bagi setiap kelompok untuk bertemu dan menyelesaikan tugas. Ruang yang
memadai juga harus disediakan untuk pertemuan-pertemuan kelompok maupun
pengerjaan tugas. Berragam informasi, bahan, sumber daya manusia harus cukup
tersedia bagi pebelajar.
3) Karakteristik Pebelajar
Karakteristik pebelajar yang cocok untuk terlibat dalam belajar pemecahan masalah
secara kolaboratif adalah pebelajar yang merupakan pebelajar mandiri (self-
regulated learner) yang nyaman dengan dan berkemauan untuk memikul
tanggungjawab atas belajarnya sendiri.
4) Karakteristik Pengajar
Pengajar juga harus yang merasa nyaman dengan berkurangnya kekuasaan kontrol
nya terhadap pebelajar maupun pembelajaran. Mereka harus mau mendorong
pebelajar untuk belajar mandiri dan lebih menempatkan diri sebagai fasilitator
ketimbang manajer. Pengajar haruslah fleksibel dan toleran terhadap tingkat
ketidakpastian tertentu tentang apa yang sesungguhnya dipelajari dan bagaimana
kegiatan belajar akan berlangsung. Pengajar juga harus siap dengan pendekatan
17
mengajar yang bervariasi manakala diperlukan, seperti diskusi kelompok kecil dan
besar, pembelajaran langsung, dan pembelajaran aktif.
Strategi Pemecahan Masalah secara Kolaboratif
Pembelajaran untuk memecahkan masalah secara kolaboratif dilaksanakan
melalui 9 (sembilan) tahap yang mencakup (1) membangun kesiapan, (2) membentuk
kelompok dan normanya, (3) menentukan batasan masalah awal, (4) menentukan dan
membagi tugas-tugas, (5) terlibat dalam proses pemecahan masalah bersama secara
iteratif (berulang-alik), (6) merampungkan solusi atau tugas, (7) mensintesakan dan
melakukan refleksi, (8) mengukur hasil hasil dan proses, serta (9) melakukan
penutupan.
(a) Membangun Kesiapan
Dalam kegiatan persiapan ini dilakukan (a) pemahaman terhadap proses pemecahan
masalah secara kolaboratif, (b) pengembangan skenario tugas atau masalah otentik
untuk mengikat kegiatan-kegiatan pembelajaran dan belajar, serta (c) pelatihan
ketrampilan-ketrampilan proses bekerja kelompok.
(b) Membentuk Kelompok Dan Normanya
Dalam tahap ini dilakukan pembentukkan kelompok-kelompok kerja kecil yang
heterogen keanggotannya. Kelompok – kelompok itu kemudian didorong untuk
membangun pedoman pelaksanaan kerja sebagai norma bersama.
(c) Menentukan Batasan Masalah Awal
Di tahap ketiga, semestinya berlangsung pemahaman bersama tentang masalah
melalui negosiasi, identifikasi isu-isu dan tujuan-tujuan belajar, curah pendapat
tentang solusi awal atau rencana pelaksanaan tugas, memilih dan membangun
rencana kegiatan tertentu, mengidentifikasi sumber-sumber yang diperlukan, serta
mengumpulkan informasi informasi awal untuk mevalidasi rencana kegiatan.
(d) Menentukan dan Membagi Peran
Dalam tahap ini dilakukan identifikasi peran-peran pokok yang diperlukan untuk
menjalankan rencana kerja, dan negosiasi tentang pembagian peran di antara para
pebelajar.
(e) Proses Pemecahan Masalah Bersama Secara Iteratif (Ulang-Alik)
18
Dalam tahap ini dilakukan kegiatan membangun dan menajamkan rencana kerja,
mengidentifikasi dan membagi tugas-tugas, mengumpulkan informasi, sumber-
sumber dan ahli yang diperlukan. Pebelajar juga bekerjasama dengan pengajar
untuk memperoleh sumber-sumber maupun ketrampilan-ketrampilan tambahan
yang diperlukan, menyebarluaskan informasi, sumber sumber dan kepakaran yang
diperoleh kepada sesama anggota kelompok, terlibat dalam pencapaian souisi atau
perkembangan kerja kelompok, melaporkan secara reguler sumbangan individual
dan kegiatan kegiatan kelompok, berpartisipasi dalam kerjasama dan evaluasi antar
kelompok, serta melakukan evaluasi formatif atas solusi atau pelaksanaan tugas.
(f) Merampungkan Solusi atau Tugas
Pada tahap ini dilakukan penyusunan draft versi akhir solusi atau laporan tugas,
evaluasi akhir atau tes kemanfaatan dari solusi atau hasil kinerja, serta merevisi dan
melengkapi versi akhir dari solusi atau laporan kerja.
(g) Melakukan Sintesa dan Refleksi
Inti dari kegiatan dalam tahap ini adalah mengidentifikasi perolehan belajar,
pebelajar diminta untuk saling bertanya-jawab tentang pengalaman-pengalaman
serta perasaan-perasaan mengenai proses pelaksanaan tugas, dan melakukan
refleksi atas proses belajar kelompok dan individual.
(h) Mengukur Hasil dan Proses
Pengukuran hasil dan proses belajar dilakukan dengan mengevaluasi hasil karya
dan artifak artifak yang diciptakan para pebelajar, serta mengevaluasi proses yang
sudah dilasanakan selama proses pembelajaran.
(i) Mengakhiri Kegiatan.
Sebagai akhir dari kegiatan dilakukan upaya untuk memformalkan pengalaman
kelompok melalui kegiatan penutupan
Demikian garis besar kegiatan dalam proses pemecahan masalah secara
kolaboratif yang merupakan perpaduan antara pembelajaran kooperatif dan
pembelajaran berbasis masalah.
6. Penutup
19
Paparan di atas menunjukkan bahwa sebagai model yang sama sama berpijak
pada paradigma konstruktivis, serta bertolak dari psikologi kognitif dan teori
pemrosesan informasi tentang belajar ketiga model di atas mempunyai banyak
kesamaan. Kesamaan itu misalnya tampak dalam hal karakteristik pebelajar yang tepat
bagi (namun sekaligus hendak dikembangkan melalui) ketiga model pembelajaran itu
yaitu pebelajar yang mandiri dan mampu mengatur sendiri belajarnya (self-regulated
learner). Peran pengajar dalam ketiga model pembelajaran itu pun lebih sekedar
sebagai fasilitator pembelajaran bukan penguasa/penentu pembelajaran. Lingkungan
belajar yang tepat bagi ketiga model itu juga lingkungan belajar yang otentik dalam arti
persoalan atau kasus yang menjadi basis pembelajaran semestinya juga merupakan
persoalan atau kasus yang otentik. Proses-proses kognitif yang dikembangkan atau
dituntut dalam proses pembelajaran dalam ketiga model itupun merupakan proses
proses kognitif tingkat tinggi.
Perbedaan di antara ketiga model di atas tampaknya lebih pada asal-usul
perkembangannya, rincian teknis pelaksanaannya maupun bidang studi yang lebih tepat
untuk menggunakannya. Belajar berbasis masalah misalnya lebih tepat digunakan
dalam pembelajaran bidang studi di mana ia berasal-usul, yaitu bidang kedokteran,
dan bidang bidang yang mempunyai hakikat yang setara dengannya. Sementara belajar
berbasis kasus lebih tepat digunakan dalam pembelajaran bidang studi hukum,
ekonomi, pendidikan dan ilmu ilmu sosial lainnya. Sementara model pemecahan
masalah secara kolaboratif tampaknya juga lebih tepat dipergunakan dalam
pembelajaran bidang ilmu sosial.
Satu hal yang jelas adalah bahwa ketiga model itu memang bermanfaat bagi
pengembangan disain pembelajaran yang hendak menopang perkembangan
kemampuan para pebelajar dalam memecahkan masalah.
*****
20
21
DAFTAR PUSTAKA
Baptise, S.E. 2003. Problem-Based Learning.A Self-Directed Journey; NJ: SLACK Inc.
Borich, G.D. 1996. Effective Teaching Methods. Third Edition, NJ: Prentice Hall
Brown, K.Mc., 1999. Social Cognitive Theory. http://hsc.usf.edu/~kmbbrown/Social_
Cognitive_Theory_Overview.htm diakses tanggal 12 Desember 2004
Gredler, M.E.B. 1994. Belajar dan Membelajarkan (terj. Munandir) Jakarta: PT Raja
Grafindo Perkasa & PAU-UT
Ertmer, P.A., Newby, T.J., and MacDougall, M. 1996. Students‟ Responses and
Approaches to case-based Instruction: The Role of Reflective Self-Regulation;
American Educational Research Journal. Fall Vol. 33 (3) pp 719 – 752
Hung, D., Chen, D.T. & Tan, S.C. 2003. A Social-Constructivist Adaption of Case-
Based Reasoning: Integrating Goal-Based Scenarios with Computer-
Supported Collaborative Learning; Educational Technology: March-April.
Johnson D.W. & Johnson R.T. 1998 Cooperative Learning And Social Interdependence
Theory; Social Psychological To Social Issues;?: ?
Johnson D.W., Johnson R.T. & Stanne, M.B., 2000. Cooperative Learning Methods: A
Meta-Analysis; Minnesota: University of Minnesota
Jonnasen, D.H. & Serrano, J.H. 2002. Case-Based Reasoning and Instructional Design:
Using Stories to Support Problem Solving; ETR&D: Vol. 50 (2) pp 65 – 77.
Kagan, D.M. 1993. Contexts for the Use of Classroom Cases; American Educational
Research Journal. Winter Vol. 30 (4) pp 703 – 723.
Nelson, ,L.M. 1999. Collaborative Problem Solving. Dalam Reigeluth. C.M. (ed)
Instructional Design Theories and Models Volume II. A new paradigm of
Instructional Theory; New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Prawat R.S. 1996. Constructivism Modern and Postmodern; Educational Psychologist,
Vol. 31 No ¾ Summer & Fall 215 –226.
Reigeluth, C.M. 1999. (ed), Instructional Design Theories and Models Volume II. A
New Paradigm of Instructional Theory. Mahwah, New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates Publishers.
Riesbeck, C.K. 1996 Case-based Teaching and Constructivism: Carpenters and Tools.
Dalam Brent G. Wilson (ed) Constructivist Learning Environment; New
Jersey: Educational Technology Publications.
Savery, J.R. & T.M. Duffy. 1996. Problem Based Learning: An Instructional Model
and Its Constructivist Framework. Dalam Brent G. Wilson (ed) Constructivist
Learning Environment; New Jersey: Educational Technology Publications.
Slavin, R.E., 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice; Boston:
Allyn & Bacon
Slavin, R.E., 2000. Educational Psychology. Theory and Practice. Sixth Edition.
Needham Heights, MA: Allyn & Bacon
Steiner, V. J. & Mahn, H. 1996. Socio cultural Approaches to Learning and Develop-
ment: A Vygotskyan Framework, Educational Psychologist, Vol. 31 (¾)
22
Wertsch, J.V.,1985. Vigotsky and the Social Formation of Mind; Cambridge: Harvard
University Press
*****
Top Related