L a p o r a n N u s a n t a r a | 1
MEI 2014
VOLUME 9 NOMOR 2
L a p o r a n N u s a n t a r a | 2
Halaman ini sengaja dikosongkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 3
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Bank Indonesia Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Grup Asesmen Ekonomi Divisi Asesmen Ekonomi Regional Ph. 021-29818119, 29818868 Fax. 021-3452489, 2310553
Daftar Isi 3
Kata Pengantar 5
Bagian I Ringkasan Perkembangan dan Prospek Ekonomi Daerah 7
Bagian II Perekonomian Kawasan Timur Indonesia 13
II.1. Perekonomian Sulawesi, Maluku, dan Papua 15
II.2. Perekonomian Kalimantan 28
II.3. Perekonomian Bali-Nusa Tenggara 39
Bagian III Perekonomian Jawa 49
III.1. Perekonomian Jawa Bagian Timur 51
III.2. Perekonomian Jawa Bagian Tengah 63
III.3. Perekonomian Jawa Bagian Barat 72
III.4. Perekonomian Jakarta 85
Bagian IV Perekonomian Sumatera 99
IV.1. Perekonomian Sumatera Bagian Selatan 101
IV.2. Perekonomian Sumatera Bagian Tengah 113
IV.3. Perekonomian Sumatera Bagian Utara 125
Bagian V Isu Khusus Daerah 139
Isu Khusus 1: Daya Saing Ekspor Manufaktur Daerah
Isu Khusus 2: Dampak Kebijakan Pengaturan Ekspor Mineral Terhadap Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
Isu Khusus 3: Dampak Menurunnya Pendapatan Daerah terhadap Likuiditas Perbankan Daerah
Isu Khusus 4: Potensi El Nino dan Dampaknya terhadap Produksi Pangan
Isu Khusus 5: Kemiskinan dan Kebijakan Struktural Dalam Rangka Pengentasannya
139
144
147
150
L a p o r a n N u s a n t a r a | 4
Halaman ini sengaja dikosongkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 5
Dalam proses perumusan kebijakan moneter, Bank Indonesia mempertimbangkan seluruh aspek
perekonomian termasuk berbagai dinamika dan isu terkini yang berkembang di daerah. Pembahasan
menyeluruh tentang perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di
daerah dilakukan secara periodik antara Dewan Gubernur dengan para Kepala Kantor Perwakilan Bank
Indonesia dari seluruh Indonesia. Hasil pembahasan tersebut menjadi bagian penting yang melengkapi
pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi dengan berbagai aspek risiko yang
berkembang.
Pada pembahasan bersama antara Dewan Gubernur dan Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia pada
7 Mei 2014 disimpulkan beberapa hal penting. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan
I 2014 mencapai 5,21% (yoy), lebih lambat daripada triwulan sebelumnya yang mencapai 5,72%. Namun,
penurunan kinerja perekonomian tersebut tidak menimpa seluruh daerah. Perlambatan ini terutama
dipengaruhi oleh melambatnya kinerja ekonomi KTI dan beberapa daerah di Jawa yakni Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Perlambatan ekonomi di KTI disebabkan oleh menurunnya kinerja sektor pertambangan,
sementara di Jawa Barat dan Jawa Tengah perlambatan terutama terjadi di sektor pertanian. Sebaliknya,
kinerja ekonomi di beberapa daerah lain masih cukup kuat. Pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta tumbuh
mendekati 6%, dan Jawa Timur bahkan lebih tinggi daripada 6% pada triwulan I 2014.
Kedua, terkait dengan perkembangan inflasi di daerah, selama triwulan I hingga April 2014 sebagian
besar daerah di Indonesia berada dalam tren inflasi yang menurun. Perkembangan ini dipengaruhi oleh
harga komoditas pangan yang menurun akibat mulai masuknya masa panen di beberapa daerah sentra
produksi dan terjaganya kelancaran distribusi barang. Selain itu, peran aktif Tim Pengendalian Inflasi
Daerah (TPID) dalam mengatasi gangguan pasokan pangan juga berkontribusi positif terhadap
terkendalinya harga pangan di berbagai daerah. Meskipun demikian, beberapa daerah di KTI seperti
Papua, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Maluku, dan Maluku Utara masih mencatat kenaikan
inflasi yang cukup tinggi.
Ketiga, mencermati perkembanganan terakhir kinerja ekonomi daerah, maka untuk keseluruhan tahun
2014 pertumbuhan ekonomi daerah secara agregat diperkirakan berada pada kisaran yang sedikit lebih
rendah dibandingkan tahun 2013. Perlambatan tersebut lebih banyak disebabkan oleh menurunnya
kinerja ekspor barang tambang karena konsolidasi yang tengah dilakukan terkait kebijakan pengaturan
ekspor mineral disertai risiko dinamika pemulihan ekonomi global yang masih rentan. Perlambatan
ekonomi terutama akan terjadi di KTI mengingat perekonomian di kawasan ini sangat diwarnai oleh
aktivitas di sektor pertambangan. Sebaliknya, pertumbuhan permintaan domestik diperkirakan lebih
tinggi terutama terkait dengan masih kuatnya konsumsi rumah tangga, sehingga dapat menahan
pelemahan ekonomi lebih lanjut.
Keempat, laju inflasi di daerah untuk keseluruhan 2014 diperkirakan masih berada pada lintasan yang
konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi nasional sebesar 4,5%±1%. Perkembangan terakhir
mengindikasikan propek pasokan dan distribusi yang terjaga. Namun, Bank Indonesia terus mewaspadai
sejumlah risiko inflasi ke depan, termasuk gangguan pasokan pangan akibat El Nino dan fenomena alam
lainnya, kenaikan tarif tenaga listrik (TTL), dan dampak depresiasi rupiah. Terkait dengan hal ini, upaya
L a p o r a n N u s a n t a r a | 6
untuk membawa inflasi kembali ke arah sasarannya akan terus ditingkatkan melalui penguatan koordinasi
antara Bank Indonesia dan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Asesmen lebih lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap
dalam buku Laporan Nusantara ini. Penyusunan buku Laporan Nusantara dilakukan bersama oleh
Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter (DKEM) di kantor pusat Bank Indonesia dan para peneliti
ekonomi dari seluruh Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia. Laporan Nusantara edisi kali ini juga
mengangkat beberapa isu strategis daerah yang memiliki dampak pada kinerja nasional, yakni daya saing
ekspor manufaktur; dampak pemberlakuan kebijakan pengaturan ekspor mineral terhadap prospek
kinerja sektor pertambangan; dampak menurunnya prospek kinerja sektor pertambangan terhadap
prospek pendapatan pemerintah daerah dan kondisi likuiditas perbankan di daerah; potensi terjadinya El-
Nino dan dampaknya terhadap prospek produksi pangan daerah; serta isu struktural terkait
permasalahan kesenjangan pendapatan yang meningkat dan masih besarnya angka kemiskinan di daerah.
Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku
kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam
pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 12 Mei 2014
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
L a p o r a n N u s a n t a r a | 7
Bagian I
Ringkasan Perkembangan dan Prospek Ekonomi Daerah
PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2014 mencapai 5,21% (yoy), lebih lambat daripada
triwulan sebelumnya yang mencapai 5,72%. Namun, penurunan kinerja ekonomi tersebut tidak menimpa
seluruh daerah. Kawasan yang mengalami perlambatan adalah Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan
beberapa daerah di Jawa, yaitu Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sebaliknya, kinerja ekonomi di beberapa
daerah lain masih cukup kuat. Di kawasan Sumatera, pertumbuhan ekonomi relatif stabil, sedangkan DKI
Jakarta bahkan tumbuh lebih tinggi daripada triwulan sebelumnya.
Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan I 2014
Perlambatan ekonomi di KTI, Jawa Barat, dan Jawa Tengah juga tidak menimpa seluruh sektor ekonomi
di daerah-daerah tersebut. Di KTI, masalah lebih banyak melanda sektor pertambangan, sedangkan di
Jawa Barat dan Jawa Tengah, perlambatan terutama terjadi di sektor pertanian. Ketergantungan
perekonomian KTI terhadap sektor tambang sangat tinggi, yaitu sekitar 23%. Sejalan dengan itu,
pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut menurun tajam sebagai dampak dari diberlakukannya
kebijakan pembatasan ekspor mineral mentah dan melemahnya permintaan ekspor batubara di negara-
negara mitra dagang, terutama Tiongkok. Pembatasan ekspor mineral mentah sangat berdampak pada
penurunan kinerja ekonomi di Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Tenggara, sementara penurunan
permintaan ekspor batubara sangat berdampak terhadap perekonomian Kalimantan Timur. Pengaruh
Tiongkok terhadap kinerja ekspor batubara KTI sangat besar karena 28% dari total ekspor batubara
Indonesia ditujukan ke negara tersebut dan 99% dari total ekspor tersebut dipasok oleh KTI. Sementara
itu, kinerja sektor pertanian di Jawa Barat dan Jawa Tengah mengalami penurunan sejalan dengan
mundurnya masa panen akibat bencana banjir di sejumlah daerah sentra produksi.
Sumber: BPS, diolah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 8
Di sisi inflasi, selama triwulan I hingga April 2014 sebagian besar daerah di Indonesia berada dalam tren
inflasi yang menurun. Perkembangan positif ini dipengaruhi oleh harga komoditas pangan yang menurun
akibat mulai masuknya masa panen di beberapa daerah sentra produksi dan terjaganya kelancaran
distribusi barang. Selain itu, peran aktif Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dalam mengatasi
gangguan pasokan pangan juga berkontribusi positif terhadap terkendalinya harga pangan di berbagai
daerah. Koreksi harga pangan, moderasi permintaan domestik, dan ekspektasi inflasi yang terjaga pada
gilirannya berkontribusi pada terkendalinya inflasi inti di berbagai daerah. Meskipun demikian, beberapa
daerah di KTI seperti Papua, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Maluku, dan Maluku Utara masih
mencatat kenaikan inflasi yang cukup tinggi. Hal ini terutama terkait dengan kenaikan harga beberapa
komoditas pangan dan dampak dari kenaikan tuslah (surcharge) angkutan udara dan airport tax.
Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, April 2014
Memasuki triwulan II 2014, perkembangan berbagai indikator ekonomi di daerah mengindikasikan arah
pertumbuhan ekonomi yang membaik. Sektor pertanian yang memasuki masa panen, kinerja sektor
perdagangan, hotel dan restoran (PHR) yang membaik, seiring dengan permintaan domestik yang masih
kuat, diperkirakan dapat mendorong perekonomian Jawa. Meningkatnya kinerja sektor perdagangan
juga diperkirakan berdampak positif bagi meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi Jakarta, Sumatera
dan KTI. Meski demikian, perbaikan ekonomi KTI masih menghadapi tantangan mengingat konsolidasi di
sektor tambang masih berlanjut terkait kebijakan pengaturan ekspor minerba.
Sumber: BPS, diolah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 9
Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan II 2014
Bag.
Utara
Bag.
Tengah
Bag.
SelatanBag. Barat
Bag.
Tengah
Bag.
Timur
Kaliman
tan
Bali-
NustraSulampua
PDB/PDRB
Konsumsi RT
Ekspektasi
meningkat, kredit
konsumsi
meningkat
Penyelenggaraan
Pemilu, ekspektasi
meningkat
Penyelenggaraan
Pemilu, aktivitas
dagang meningkat,
dan liburan sekolah
Penyelenggaraan
Pemilu, kunjungan
wisatawan
meningkat, aktivitas
dagang
Konsumsi
Pemerintah
Dropping DBH
Migas stlh tertunda
pada Tw I
Realisasi proyek
pemerintah a.l MRT,
jalan tol pelabuhan
Realisasi proyek
pemerintah,
dropping dana utk
Kab/Kota di Jabar
stlh tertunda pada
Tw I
Penyelenggaraan
Pemilu, mulai
direalisasikan
proyek pemerintah,
pencairan DBH
Migas
Investasi
(PMTB)
Investor wait and
see untuk hasil
Pemilu
Investor wait and
see untuk hasil
Pemilu
Pabrik baru,
realisasi proyek
infrastruktur,
investasi smelter
Investasi smelter
dan realisasi
proyek infrastruktur
Ekspor LNPenurunan produksi
TBS
Peningkatan ekspor
manufaktur
Perbaikan
permintaan global,
peningkatan ekspor
manufaktur
Pemberlakuan UU
Minerba dan bea
keluar ekspor
komoditas
Impor LNPeningkatan
kebutuhan impor
pupuk, bahan baku
Peningkatan impor
bahan baku industri
Peningkatan impor
bahan baku industri
Terbatasnya kinerja
tambang
KTISumatera Jakarta Jawa
*) Prakiraan arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)
Dari sisi inflasi, tren penurunan inflasi diperkirakan masih akan berlanjut pada triwulan II 2014. Inflasi
triwulan II 2014 secara agregat diperkirakan berada di kisaran 7,0%, lebih rendah daripada realisasi
triwulan I 2014 sebesar 7,25%. Tekanan inflasi yang lebih rendah terutama berasal dari kelompok bahan
pangan karena pasokan diperkirakan akan tersedia cukup. Pasokan di sentra-sentra produksi pangan,
seperti Jawa dan Sumatera, diperkirakan meningkat seiring dengan masuknya masa panen pada awal
triwulan II 2014. Penurunan tekanan harga juga akan didukung oleh komoditas kelompok bumbu-
bumbuan, seperti cabe dan bawang merah, sejalan dengan melimpahnya pasokan.
Meskipun tekanan inflasi triwulan II 2014 berada pada tren yang menurun, beberapa daerah di KTI,
antara lain Maluku, Maluku Utara, Papua, Kalimantan Barat, serta di sebagian kawasan Jawa, terutama
Banten, diperkirakan mengalami inflasi yang lebih tinggi daripada daerah-daerah lain. Hal ini dipengaruhi
oleh kenaikan airport tax di sejumlah bandar udara. Selain itu, lebih tingginya tekanan inflasi di KTI dipicu
oleh potensi kenaikan harga tiket pesawat karena meningkatnya permintaan, terkait banyaknya festival
internasional serta kegiatan konferensi dan pameran (Meeting, Incentives, Confereces and
Exhibition/MICE) yang akan diselenggarakan pada triwulan II 2014 (high season). Selain itu, masalah
distribusi pangan yang lebih kompleks di KTI menyebabkan gejolak harga pangan di kawasan ini lebih
tinggi daripada daerah-daerah lainnya.
Kendati kinerja ekonomi di beberapa daerah mengalami penurunan, stabilitas sistem keuangan di daerah
masih terjaga. Kondisi ini tercermin pada tingkat risiko penyaluran kredit di daerah-daerah yang secara
umum masih berada pada level aman. Di beberapa daerah memang terjadi kenaikan non performing
loans (NPL), terutama di beberapa daerah di Sulawesi terkait dengan menurunnya aktivitas di sektor
tambang, tetapi belum sampai pada tingkat yang membahayakan. Secara umum, kondisi likuiditas
perbankan di daerah juga masih aman, meskipun di beberapa daerah yang ekonominya sangat
bergantung pada sektor tambang terjadi penurunan kinerja APBD yang kemudian berdampak pada
penurunan DPK di daerah-daerah tersebut.
Sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional, transaksi keuangan melalui sistem
pembayaran juga cenderung melambat. Selama triwulan I 2014, transaksi pembayaran melalui sistem BI-
RTGS rata-rata mencapai Rp17,3 ribu triliun per bulan, lebih rendah daripada triwulan sebelumnya yang
rata-rata mencapai Rp23,0 ribu triliun per bulan. Volume transaksi pembayaran juga mengalami
penurunan dari rata-rata sebesar 39 ribu transaksi pada triwulan sebelumnya menjadi sebesar 26 ribu
L a p o r a n N u s a n t a r a | 10
transaksi selama triwulan I 2014. Demikian pula dengan aliran uang tunai di berbagai kantor Bank
Indonesia di daerah yang cenderung menurun sesuai perkembangan aktivitas ekonomi. Sesuai pola
musiman yang berlaku selama ini, aliran uang di berbagai daerah di KTI selama triwulan I 2014 cenderung
lebih rendah daripada periode yang sama tahun sebelumnya. Kondisi serupa juga terlihat pada aliran
uang tunai di berbagai daerah lainnya di Jawa dan Sumatera. Bank Indonesia di berbagai daerah secara
konsisten terus melakukan upaya untuk memastikan seluruh wilayah Nusantara memperoleh uang layak
edar sesuai kebutuhan, termasuk menjangkau daerah-daerah yang memiliki keterbatasan akses
infrastruktur.
PROSPEK EKONOMI DAERAH DAN TANTANGAN KE DEPAN
Prospek Ekonomi Daerah Tahun 2014
Pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2014 diperkirakan akan berada pada kisaran 5,1%-5,5%
(yoy), lebih rendah daripada tahun 2013 yang mencapai 5,78% (yoy). Perlambatan tersebut lebih banyak
disebabkan oleh menurunnya kinerja ekspor barang tambang akibat ekonomi Tiongkok yang melambat
dan kebijakan pembatasan ekspor mineral mentah. Perlambatan ekonomi terutama akan terjadi di KTI
mengingat dinamika ekonomi di wilayah ini sangat diwarnai oleh aktivitas di sektor pertambangan.
Sebaliknya, pertumbuhan permintaan domestik diperkirakan lebih tinggi terutama terkait dengan masih
kuatnya konsumsi rumah tangga, sehingga dapat menahan pelemahan ekonomi lebih lanjut.
Berbeda dengan daerah-daerah lainnya, perekonomian Jakarta pada tahun 2014 diprakirakan mampu
tumbuh lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Dinamika perekonomian Jakarta sangat dipengaruhi oleh
aktivitas di bidang jasa layanan. Kuatnya daya beli masyarakat Jakarta, sebagaimana tercermin dari
tingkat konsumsi yang relatif tinggi, menjadi faktor pendorong masih kuatnya perekonomian Jakarta.
Kondisi ini semakin diperkuat dengan berbagai kegiatan terkait pemilu 2014 yang mendorong
meningkatnya konsumsi masyarakat.
Sejalan dengan tren penurunan inflasi yang terjadi hingga April 2014, laju inflasi di daerah untuk
keseluruhan 2014 diperkirakan akan lebih rendah daripada tahun 2013. Secara bersama-sama, tren
penurunan inflasi di berbagai daerah diperkirakan dapat mendukung pencapaian sasaran inflasi nasional
tahun 2014 sebesar 4,5±1%.
Tantangan Ke Depan
Ke depan, berbagai risiko dan tantangan, baik yang bersifat umum maupun spesifik daerah,
diperkirakan masih akan membayangi prospek pertumbuhan ekonomi dan inflasi di daerah.
Pertama, pemulihan ekonomi global yang masih rentan, terutama di negara-negara yang merupakan
mitra dagang utama, dapat menghambat prospek pemulihan kinerja ekspor daerah. Perkembangan
terakhir mengindikasikan prospek ekonomi Tiongkok cenderung terus melambat sehingga akan
memberikan dampak pada daerah-daerah yang memiliki pangsa ekspor yang cukup besar ke negara
tersebut.
Kedua, pemberlakuan kebijakan pengaturan ekspor mineral dapat menurunkan prospek kinerja sektor
pertambangan. Perkembangan selama tiga bulan pertama sejak diterapkannya kebijakan tersebut telah
memberikan dampak yang lebih dalam dari yang diperkirakan sebelumnya, khususnya terhadap kinerja
ekonomi berbagai daerah di KTI. Dukungan pemerintah dalam penyediaan sarana dan prasarana untuk
L a p o r a n N u s a n t a r a | 11
mendorong percepatan pembangunan smelter di berbagai daerah menjadi faktor yang sangat penting.
Termasuk dalam hal ini adalah dukungan kemudahan administrasi terkait prosedur dan perizinan
pembangunan smelter, dan dukungan infrastruktur, seperti pasokan listrik yang memadai. Dalam
jangka panjang, langkah kebijakan pengaturan ekspor mineral yang ditempuh oleh pemerintah
diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi peningkatan nilai tambah bagi perekonomian,
khususnya bagi daerah-daerah yang didominasi oleh kegiatan pertambangan.
Ketiga, menurunnya prospek kinerja sektor pertambangan dalam jangka pendek dapat berdampak
negatif terhadap prospek pendapatan pemerintah daerah dan kondisi likuiditas perbankan di daerah.
Penurunan pendapatan pemerintah daerah ini selanjutnya dapat memengaruhi kapasitas fiskal daerah
dalam pembiayaan pembangunan ekonomi daerah, terutama di daerah-daerah yang selama ini
mengandalkan pada sumber pendapatan dari sumber daya alam, khususnya tambang. Selain itu,
implikasi dari penurunan pendapatan daerah tersebut juga berpotensi memberikan risiko bagi likuiditas
perbankan daerah, khususnya bagi bank yang komposisi sumber pendanaan terbesarnya berasal dari
dana milik pemerintah daerah.
Keempat, daya saing ekspor manufaktur Indonesia secara umum masih rendah dan cenderung
menurun. Secara spasial, kekuatan daya saing ekspor manufaktur Indonesia hanya berada di kawasan
Jawa, itu pun dengan tren yang menurun. Mengatasi hal ini, diperlukan transformasi struktural untuk
meningkatkan daya saing ekspor manufaktur ke depan. Langkah prioritas harus diarahkan pada upaya
meningkatkan kapasitas lokal dalam memasok kebutuhan bahan baku bagi industri di dalam negeri
sebagai substitusi impor. Di samping itu, perlu dilakukan konfigurasi ulang dari rantai pasok antar
daerah untuk mendukung peningkatan efisiensi dan nilai tambah perekonomian.
Keempat, potensi terjadinya El-Nino dapat menurunkan produksi pangan. Di tengah prospek produksi
pangan yang tidak setinggi perkiraan sebelumnya akibat sejumlah bencana alam yang terjadi di awal
tahun, potensi El-Nino ini dapat meningkatkan risiko kenaikan inflasi pangan. Fenomena El–Nino
diperkirakan mulai terjadi pada pertengahan tahun dengan intensitas lemah. Namun, beberapa
lembaga memperkirakan intensitas El-Nino akan meningkat. Pengalaman historis menunjukkan bahwa
El-Nino berdampak pada kerusakan lahan (puso) dan penurunan produksi padi, sebagaimana terjadi
pada tahun 1997 dengan intensitas El-Nino kuat dan tahun 2006 dengan intensitas El-Nino lemah.
Indikasi terjadinya El-Nino terlihat dari prakiraan musim kemarau yang terjadi lebih awal dengan tingkat
kekeringan yang lebih tinggi. Beberapa daerah yang telah menunjukkan tanda-tanda kekeringan lebih
awal adalah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Untuk menghadapi berbagai risiko inflasi yang
dapat terjadi hingga akhir tahun 2014, diperlukan kerjasama dan koordinasi yang lebih intens antara
Bank Indonesia, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah. Pemantauan terhadap perkembangan
produksi pangan perlu dilakukan secara lebih intensif. Peran Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID)
menjadi krusial dalam rangka mengantisipasi penurunan produksi pangan tersebut. Melalui forum ini
dapat dirumuskan langkah-langkah yang perlu dilakukan, termasuk juga mendorong kerjasama
antardaerah untuk menstabilkan pasokan pangan dan harga.
Kelima, permasalahan kesenjangan pendapatan yang meningkat dan masih besarnya angka kemiskinan
di daerah. Permasalahan ini menunjukkan bahwa upaya untuk mendorong kembali naiknya
pertumbuhan ekonomi perlu dilakukan melalui strategi yang lebih inklusif. Hasil studi yang dilakukan
oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa setidaknya ada dua faktor utama yang menyebabkan masih
besarnya angka kemiskinan, yakni terkait dengan rendahnya pertumbuhan pendapatan per kapita dan
rendahnya akses masyarakat terhadap pekerjaan formal yang berkualitas. Kedua faktor utama tersebut
L a p o r a n N u s a n t a r a | 12
terkait erat dengan masih terbatasnya pendidikan dan keahlian yang dimiliki, keterbatasan konektivitas,
serta rendahnya tingkat keandalan dan aglomerasi industri di daerah.
Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan Kepala-Kepala Perwakilan Bank Indonesia Wilayah di seluruh Indonesia pada 7 Mei 2014 di Jakarta. Pertemuan dilakukan setiap triwulannya untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang
menjadi perhatian di daerah sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan moneter di Bank Indonesia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 13
Bagian II
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
Pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan I 2014 melambat cukup dalam.
Secara agregat, perekonomian KTI tercatat tumbuh 4,6% (yoy) setelah pada triwulan IV 2013 mampu
tumbuh hingga mencapai 6,6% (yoy). Perlambatan terutama terjadi di sejumlah provinsi basis kegiatan
pertambangan mineral utama, seperti Sulawesi Tenggara, Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Barat.
Kondisi ini terkait dengan menurunnya kinerja sektor tambang sebagai dampak penyesuaian yang
dilakukan oleh pelaku usaha di sektor tambang pasca diterapkannya kebijakan pengaturan ekspor
mineral pada Januari 2014. Orientasi penjualan ke luar negeri yang dominan serta kapasitas pabrik
pemurnian mineral yang masih terbatas memengaruhi kegiatan produksi tambang tembaga (Papua dan
Nusa Tenggara), nikel (Sulawesi), dan bauksit (Kalimantan). Sementara itu, aktivitas industri di Tiongkok
yang melambat mendorong perlambatan permintaan batubara (thermal coal) dari Kalimantan Timur
sehingga berdampak terhadap rendahnya realisasi pertumbuhan ekonomi di provinsi ini.
Memasuki triwulan II 2014, beberapa indikator perekonomian menunjukkan adanya potensi kembali
naiknya pertumbuhan ekonomi walaupun terbatas. Perbaikan ekonomi akan banyak ditopang oleh
menguatnya aktivitas konsumsi seiring dengan masuknya musim perayaan hari besar keagamaan
(Paskah, Galungan, Ramadhan) dan masa liburan sekolah. Konsumsi pemerintah juga diperkirakan
mampu menunjukkan perkembangan yang positif. Adanya kemungkinan realisasi pembayaran gaji ke-13
PNS dan mulai direalisasikannya pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) yang sempat tertunda diperkirakan
dapat menjadi pemicu realisasi belanja pemerintah sehingga mendukung membaiknya pertumbuhan
ekonomi. Prospek kenaikan pertumbuhan ekonomi di KTI juga didukung oleh berlanjutnya pembangunan
beberapa proyek infrastruktur pemerintah berskala besar dan juga realisasi pembangunan smelter di
sejumlah daerah.
Di sisi lain, ekspor ke luar negeri diperkirakan masih terbatas sehingga belum mampu mendorong
kenaikan pertumbuhan ekonomi KTI lebih lanjut. Kontraksi ekspor yang cukup dalam diprakirakan terjadi
di Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat karena
mayoritas hasil produksi tambangnya diekspor ke luar negeri. Perkembangan hingga pertengahan Mei
2014 mengindikasikan belum adanya ekspor mineral yang dilakukan dari KTI. Di samping itu, kinerja
ekspor batubara dari Kalimantan diperkirakan masih dibayangi oleh melemahnya permintaan, terutama
dari Tiongkok.
Dari sisi harga, perkembangan inflasi hingga April 2014 menunjukkan kenaikan yang didorong oleh
meningkatnya tekanan inflasi volatile food dan administered prices. Inflasi yang tinggi tercatat di Sulawesi
Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Meningkatnya harga pangan disebabkan oleh belum optimalnya produksi ikan budidaya, ikan tangkap,
dan aneka bumbu. Meskipun demikian, pada triwulan II 2014 tekanan inflasi di berbagai daerah di KTI
diperkirakan akan stabil. Hal ini didukung oleh adanya panen raya, dan berkurangnya kendala distribusi
terkait cuaca yang lebih kondusif. Kondisi tersebut diperkirakan akan dapat mengimbangi tekanan
kenaikan harga yang kemungkinan akan berasal dari kelompok administered prices sebagai dampak
kenaikan tarif tenaga listrik serta faktor musiman terkait hari raya keagamaan, dan libur sekolah.
Berbagai upaya pengendalian inflasi yang dilakukan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), antara lain
penyempurnaan sistem informasi harga pangan, rekomendasi pengaturan HET LPG, rehabilitasi sarana
L a p o r a n N u s a n t a r a | 14
irigasi, serta penerapan teknologi pangan yang tepat guna, diharapkan akan dapat memitigasi dampak
dari kenaikan harga administered prices dan faktor musiman tersebut.
Pada triwulan I 2014, pembiayaan perbankan di KTI tumbuh melambat menjadi 17,1% (yoy)
dibandingkan 19,8% (yoy) pada triwulan IV 2013. Pembiayaan kepada hampir seluruh sektor korporasi
tumbuh melambat, terutama untuk sektor pertambangan dan industri. Pembiayaan kepada sektor
rumah tangga juga menunjukkan tendensi melambat, terutama KPR, yang dipengaruhi oleh kenaikan
suku bunga. Sementara itu, pembiayaan kepada UMKM masih tumbuh cukup tinggi dengan pangsa
terhadap total pembiayaan sebesar 32,8%. Sementara itu, sesuai dengan pola historisnya, transaksi tunai
dan nontunai (melalui SKNBI dan BI-RTGS) cenderung menurun pada triwulan I 2014. Hal ini merupakan
siklus yang normal terjadi di awal tahun karena nasabah lebih banyak melakukan penyetoran
dibandingkan penarikan.
Ke depan, perekonomian KTI masih dihadapkan pada risiko yang bersumber dari konsolidasi yang
dilakukan di sektor pertambangan serta kerentanan permintaan ekspor dari negara mitra dagang utama.
Perekonomian KTI untuk keseluruhan tahun 2014 diperkirakan tumbuh di kisaran 4,8% - 5,3%, melambat
dari tahun 2013 (5,8%, yoy). Sumber pertumbuhan akan berasal dari meningkatnya produksi bahan baku
industri nonmigas serta masih kuatnya konsumsi. Tantangan jangka menengah adalah memastikan
realisasi pembangunan smelter untuk hilirisasi produk mineral serta meningkatkan produktivitas sektor
pertanian.
Pada sisi harga, inflasi tahun 2014 diprakirakan berada pada kisaran 4,9% - 5,4%, lebih rendah dari tahun
2013 (7,8%, yoy). Terkendalinya inflasi inti dan minimalnya rencana kebijakan pemerintah terkait harga
(administered price) mendukung arah proyeksi tersebut. Adapun faktor risiko yang perlu diwaspadai
adalah fenomena El-Nino yang dapat menurunkan produksi padi serta naiknya tarif listrik industri secara
bertahap. Tantangan yang mengemuka dalam koordinasi pengendalian harga di KTI adalah bagaimana
mendorong dan mengelola pembentukan TPID di seluruh DATI II serta mengoptimalkan kerjasama
antardaerah dalam proses distribusi, termasuk penguatan infrastruktur transportasi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 15
Bagian II.1 Perekonomian Sulawesi, Maluku, dan Papua
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian berbagai daerah di wilayah Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua) secara agregat tumbuh
melambat pada triwulan I 2014. Beberapa provinsi seperti Papua, Papua Barat, Sulawesi Tenggara, dan
Sulawesi Tengah mengalami perlambatan yang cukup dalam sehingga pertumbuhan ekonomi Sulampua
tercatat sebesar 5,5% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya (10,4%, yoy). Perlambatan tersebut
sejalan dengan proyeksi sebelumnya dan terutama disebabkan oleh menurunnya kinerja sektor
pertambangan (tembaga dan nikel) akibat implementasi pengaturan ekspor mineral dalam bentuk
mentah sejak awal Januari 2014.
Pada triwulan II 2014, perkembangan beberapa indikator ekonomi terkini di berbagai daerah di wilayah
Sulampua mengindikasikan potensi penguatan kinerja ekonomi. Faktor pendorong pertumbuhan antara
lain adalah kegiatan sektor industri pengolahan serta perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) yang
diperkirakan meningkat karena faktor musiman. Di sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Sulampua
diperkirakan ditopang oleh masih kuatnya konsumsi dan investasi bangunan. Untuk keseluruhan tahun
2014, pertumbuhan ekonomi Sulampua diproyeksikan tumbuh melambat pada kisaran 5,6% - 6,1% (yoy)
terutama sebagai imbas penurunan produksi dan ekspor mineral.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Pada triwulan I 2014, konsumsi rumah tangga (termasuk konsumsi nirlaba) kembali mengalami
percepatan pertumbuhan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Konsumsi rumah tangga tumbuh
sebesar 7,4% (yoy) setelah mencatat pertumbuhan 6,8% (yoy) pada triwulan IV 2013. Sejalan dengan
rata-rata kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2014 di wilayah Sulampua yang tercatat cukup
tinggi yaitu sekitar 18% (yoy), indeks keyakinan konsumen (IKK) di beberapa daerah menunjukkan
peningkatan pada triwulan I 2014 (Grafik II.1.1). Meningkatnya konsumsi rumah tangga juga didukung
oleh membaiknya pertumbuhan volume perdagangan barang antardaerah (Grafik II.1.2) serta Nilai Tukar
Petani (NTP) di beberapa daerah yang mengindikasikan perbaikan kesejahteraan masyarakat.
80
85
90
95
100
105
110
100110120130140150160170180
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
I II III IV I II III IV I II
2012 2013 2014
IndeksIndeks
IKK Gorontalo IKK Ambon
IKK Jayapura IKK Manokwari
IPER Makassar - Skala Kanan
Sumber : Kantor Administrasi Pelabuhan
Grafik II.1.1. Indeks Indikator Konsumsi,Survei dari Bank Indonesia
Grafik II.1.2. Volume Bongkar dan Muar Barang
L a p o r a n N u s a n t a r a | 16
Berdasarkan perkembangan indikator terkini, konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh stabil pada
triwulan II 2014. Hal ini didukung oleh maraknya aktivitas di sektor PHR. Secara historis, Indeks Penjualan
Eceran Riil (IPER) menunjukkan kegiatan perdagangan yang relatif stabil dengan potensi meningkat pada
triwulan II 2014 (Grafik II.1.1). Penopang aktivitas perdagangan dan pariwisata yang lain adalah perayaan
hari besar keagamaan (Paskah, Ramadhan), masa liburan sekolah, serta pelaksanaan beberapa kegiatan
berskala nasional maupun internasional, diantaranya Sail Raja Ampat 2014 (Juni), World Coral Reef
Conference (WCRC) 2014 di Manado (Mei), Sulawesi Tengah Expo 2014 di Palu (April), Makassar
International Food Expo (Mei), serta Legu Gam Festival 2014 di Ternate (April). Selain itu, meski berada
dalam tren yang melambat, kredit konsumsi masih mencatat angka pertumbuhan yang tinggi sehingga
memberikan indikasi tetap kuatnya aktivitas konsumsi masyarakat ke depan (Grafik II.1.3).
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah di Sulampua mengalami deselerasi pada triwulan I 2014 dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Konsumsi pemerintah hanya mampu tumbuh sebesar 7,5% (yoy) dari 8,9% (yoy)
pada triwulan IV 2013. Hal tersebut dipengaruhi oleh pola siklikal penyerapan anggaran belanja
pemerintah daerah (pemda) yang cenderung rendah di awal tahun serta efek tingginya pertumbuhan
konsumsi pemerintah pada akhir tahun 2013. Kendala realisasi belanja juga terkait dengan pergantian
formasi pelaksana program kerja yang mengakibatkan adanya proses adaptasi awal bagi karyawan
pelaksana maupun petugas administrasi anggaran yang baru. Indikasi perlambatan konsumsi pemerintah
tersebut tercermin dari posisi giro milik pemerintah daerah (pemda) di triwulan I 2014 yang cenderung
lebih tinggi dari triwulan sebelumnya (Grafik II.1.3).
Pada triwulan II 2014, realisasi belanja pemda diprakirakan membaik dan tumbuh lebih tinggi dari
triwulan sebelumnya. Pada periode ini, konsumsi pemerintah terutama akan didorong oleh peningkatan
belanja seiring bertambahnya realisasi proyek pembangunan milik pemda dan adanya pembayaran gaji
ke-13 PNS di akhir triwulan II 2014. Berlangsungnya beberapa kegiatan internasional yang dikelola pemda
juga dinilai akan turut mengatrol realisasi anggaran belanja. Kendala pergantian formasi akibat mutasi
juga semakin minimal sehingga pelaksanaan program kerja pemerintah dapat berlangsung dengan
intensitas yang lebih tinggi.
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia
Grafik II.1.3. Pertumbuhan Kredit Menurut Jenis Penggunaan dan Baki Debet Giro Pemerintah Daerah
Grafik II.1.4. Realisasi Pengadaan Semen
L a p o r a n N u s a n t a r a | 17
Investasi
Kinerja investasi Sulampua tumbuh tinggi dengan arah yang meningkat pada triwulan I 2014.
Pertumbuhan investasi yang dilihat dari Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tercatat tumbuh
sebesar 12,2% (yoy), lebih tinggi dari triwulan IV 2013 (10,3%, yoy). Investasi di hampir semua provinsi
tumbuh di atas 10%. Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara mencatat kenaikan yang
signifikan. Peningkatan investasi didorong oleh pembangunan smelter, infrastruktur transportasi, fasilitas
kesehatan, serta pembangkit listrik yang berlangsung di beberapa daerah. Hal ini terkonfirmasi dari
akselerasi impor barang modal dan realisasi pengadaan semen Sulampua pada triwulan I 2014 (Grafik
II.1.4).
Pertumbuhan investasi diprakirakan terus meningkat pada triwulan II 2014 seiring realisasi investasi
pemerintah serta proyek multiyears, termasuk proyek MP3EI. Proyek yang masih berlanjut antara lain
adalah pengembangan dan pembangunan bandara (Haluoleo Kendari, Jalaluddin Gorontalo, Bandara
Wamena), pembangunan Gorontalo Outer Ring Road (GORR), tol Manado-Bitung, PLTA Tumbuan, PLTU
Belang Belang, serta proyek superblok kantor pemerintahan Provinsi Gorontalo. Investasi swasta
terutama didorong pembangunan pabrik smelter (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
Maluku Utara), pabrik minyak goreng (Sulawesi Barat), pusat perbelanjaan di Palu dan Manado,
pembangunan hotel di Sorong, pabrik semen di Manokwari, serta pembangunan kabel serat optik di
Papua. Indikator pembiayaan investasi juga diproyeksikan masih dapat tumbuh di atas angka 30% secara
tahunan (Grafik II.1.3).
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Ekspor luar negeri dari Sulampua menurun tajam dan terkontraksi pada triwulan I 2014 setelah tumbuh
tinggi pada triwulan IV 2013. Kinerja penjualan sektor tradable turun hingga 4,3% (yoy) setelah tumbuh
20,3% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Penurunan terutama disumbang oleh daerah basis
pertambangan mineral yaitu Papua (tembaga), Sulawesi Tenggara (nikel), Sulawesi Tengah (nikel), dan
Maluku Utara (nikel). Diberlakukannya UU Minerba No. 4 Tahun 2009 pada awal tahun telah
menghentikan kegiatan ekspor mineral mentah secara masif. Penurunan ekspor mineral berdampak
signifikan bagi Sulampua karena pangsa komoditas pertambangan yang mencapai 54% dari total ekspor
luar negeri Sulampua.
Pada triwulan II 2014, kinerja ekspor Sulampua diprakirakan belum akan membaik dan cenderung
mengalami kontraksi yang lebih dalam. Hingga saat ini, eksportir mineral terdaftar belum memiliki
rekomendasi untuk melakukan ekspor dari Direktorat Jenderal Minerba, Kementerian ESDM. Hal ini
mengindikasikan nihilnya ekspor mineral dari Indonesia pada umumnya, dan Sulampua pada khususnya.
Di sisi lain, walaupun harga komoditas utama mulai pulih dan hasil liaison memberikan informasi adanya
peningkatan kinerja ekspor produk olahan ikan dan minyak nabati, ekspor luar negeri secara total dinilai
tidak akan mengalami akselerasi. Hal ini didorong oleh belum maksimalnya kinerja manufaktur negara
mitra dagang, khususnya negara-negara di Asia Timur (Grafik II.1.5).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 18
Impor
Berlawanan dengan ekspor, impor luar negeri tercatat tumbuh menguat pada triwulan I 2014. Angka
pertumbuhan impor luar negeri tercatat sebesar 33,1% (yoy), jauh lebih tinggi dari triwulan IV 2013
(2,8%, yoy). Menguatnya impor seiring dengan kegiatan investasi yang juga meningkat di awal tahun.
Untuk mendukung proyek pembangunan, impor mesin dan peralatan pembangunan, mesin listrik, serta
besi dan baja tercatat cukup besar. Di samping itu, impor gandum juga meningkat sebagai bahan dasar
pengolahan terigu. Hal ini mendorong volume pertumbuhan barang modal dan bahan baku tumbuh lebih
tinggi dari triwulan sebelumnya (Grafik II.1.6).
Pada triwulan II 2014, impor luar negeri Sulampua diprakirakan tumbuh sedikit melambat dibandingkan
dengan triwulan I 2014. Meski masih berada pada tingkat yang tinggi karena dipacu kegiatan investasi
dan dorongan kebutuhan industri pengolahan, impor barang modal dan bahan baku dinilai tidak akan
tumbuh lebih baik dari capaian sebelumnya. Terlebih, belum adanya rencana impor pesawat terbang
yang dapat mengakselerasi laju pertumbuhan seperti yang terjadi pada triwulan II 2013 sehingga akan
terjadi pelemahan pertumbuhan akibat efek basis perhitungan. Hal ini masih ditambah dengan kinerja
ekspor pertambangan yang juga diprakirakan turun sehingga kebutuhan barang modal dan bahan baku
yang mendukung kegiatan produksi perusahaan tambang ikut melambat.
Sumber : Bloomberg Sumber : Bea Cukai, diolah
Grafik II.1.5. Purchasing Managers Index Manufaktur Negara Tujuan Ekspor
Grafik II.1.6. Pertumbuhan Volume Impor Luar Negeri Menurut Kategori Barang
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertambangan dan Penggalian
Sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi sebesar -18,4% (yoy) pada triwulan I 2014.
Angka penurunan tersebut berada jauh di bawah pertumbuhan triwulan IV 2013 yang tercatat sebesar
22,6% (yoy). Pemberlakuan UU Minerba membuat kegiatan produksi konsentrat tembaga dari
perusahaan tambang di Papua tidak optimal. Tingkat produksi disesuaikan dan berada di bawah
kapasitas normal untuk memenuhi kebutuhan pengolahan dalam negeri saja. Di Sulawesi Tenggara, dari
hasil liaison, produsen utama bijih nikel menyatakan komitmennya untuk mematuhi UU Minerba dan
tidak mengekspor bijih nikel. Lebih lanjut, terdapat indikasi berhentinya kegiatan produksi puluhan
perusahaan skala kecil di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Pada triwulan II 2014, produksi sektor pertambangan dan penggalian Sulampua diprakirakan masih
terkontraksi akibat implementasi UU Minerba. UU tersebut mewajibkan pelaku usaha tambang untuk
mengolah mineral mentah melalui pabrik pemurnian (smelter) sesuai ketentuan yang telah ditetapkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 19
sebelum melakukan ekspor ke luar negeri. Dari hasil survei dan liaison, diketahui bahwa hampir seluruh
pelaku usaha tambang di Sulampua merupakan eksportir mineral mentah dan belum memiliki smelter.
Penerapan UU Minerba otomatis akan menurunkan bahkan menghentikan kegiatan produksi serta
ekspor. Kegiatan ekspor baru dapat dilakukan apabila eksportir terdaftar memperoleh rekomendasi
ekspor dan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) dari pemerintah. Akan tetapi, hingga periode laporan, belum
ada eksportir terdaftar di Sulampua yang telah mengantongi rekomendasi ekspor. Selain itu,
pembangunan smelter dinilai belum akan rampung sepenuhnya pada triwulan II 2014 sehingga tidak
mampu mendorong peningkatan aktivitas produksi kembali ke tingkat normal. Secara umum, kontraksi
yang terjadi juga tercermin dari prediksi awal penurunan produksi mineral yang berada pada kisaran 45%
- 60% (yoy) (Grafik II.1.7).
(100)
(50)
0
50
100
150
200
250
I II III IV I II III IV I II III IV I IIp
2011 2012 2013 2014
%, yoygProduksi Tembaga (Papua)
gProduksi Emas (Papua)
gProduksi Bijih Nikel (Sulawesi Tenggara)
(40)
(20)
0
20
40
60
80
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013* 2014*
%, yoygProduksi Feronikel (Sulawesi Tenggara)
gProduksi Nikel Matte (Sulawesi Selatan)
gProduksi LNG (Papua Barat)
Sumber : Produsen, diolah p) Proyeksi Bank Indonesia Sumber : Produsen, diolah *) Angka sementara
Grafik II.1.7. Pertumbuhan Produksi Mineral Grafik II.1.8. Pertumbuhan Produksi Manufaktur
Sektor Industri Pengolahan
Pada triwulan I 2014, sektor industri pengolahan tumbuh melambat sebesar 2,5% (yoy) setelah tumbuh
11,4% (yoy) pada triwulan IV 2013. Sejalan dengan perkiraan, perlambatan didorong oleh kontraksi
produksi ferronikel di Sulawesi Tenggara yang semakin besar pada triwulan I 2014 (Grafik II.1.8).
Implementasi UU Minerba dinilai memberi dampak cukup besar bagi produsen ferronikel yang bahan
baku utamanya adalah bijih nikel. Hal ini masih ditambah dengan belum selesainya penambahan
kapasitas produksi ferronikel milik produsen. Sementara itu, industri pengolahan Papua Barat juga
tercatat mengalami penurunan kinerja sebagai dampak dari belum maksimalnya produksi liquefied
natural gas (LNG) (Grafik II.1.8). Pada awal tahun 2014, produksi LNG memang diprakirakan turun karena
indikasi berakhirnya beberapa kontrak.
Pada triwulan II 2014, sektor industri pengolahan diprakirakan terakselerasi, didorong oleh aktivitas
beberapa provinsi penghasil produk olahan utama yang meningkat. Secara historis, produksi LNG di
Papua Barat cenderung meningkat pada triwulan II 2014 dan diprakirakan tumbuh positif. Produksi nikel
olahan, khususnya di Sulawesi Selatan, diprakirakan dapat beroperasi pada level kapasitas yang optimal.
Masa puasa dan antisipasi hari raya Lebaran dinilai dapat mendorong produksi tepung terigu (Sulawesi
Selatan) serta minyak nabati (Sulawesi Utara dan Sulawesi Barat). Industri pengolahan semen juga
memiliki prospek yang baik seiring kegiatan investasi bangunan yang masih marak di Sulampua. Selain
itu, meski terbatas pada tahap uji coba, mulai beroperasinya beberapa smelter tipe industri rumah
tangga di Sulawesi Tenggara dan pabrik pengolahan bauksit di Maluku Utara juga berpotensi mendorong
akselerasi sektor industri pengolahan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 20
Sektor Pertanian
Sesuai prakiraan, sektor pertanian tumbuh melambat dari 8,3% pada triwulan IV 2013 (yoy) menjadi
7,2% (yoy) pada triwulan I 2014. Masa panen raya padi yang belum tiba serta curah hujan yang tinggi
menjadi penyebab perlambatan. Panen padi pada dasarnya berlangsung di beberapa daerah seperti di
Sulawesi Selatan (Sidrap), Sulawesi Tengah (Sigi, Parigi Moutong), Sulawesi Tenggara (Konawe, Kolaka,
Bombana, Onembute, Pondidaha), serta Sulawesi Utara (Bolaang Mongondouw) namun dengan skala
yang tidak besar. Di Gorontalo, terjadi gagal panen padi akibat cuaca yang tidak mendukung dan luas
panen jagung turun dengan drastis pada Januari 2014. Selain itu, kendala cuaca, hama, dan belum
datangnya masa panen mendorong perlambatan produksi kakao, kopra, dan karet (Grafik II.1.9).
Pada triwulan II 2014, kinerja sektor pertanian diprakirakan masih belum membaik. Di beberapa daerah
sentra perikanan, produksi ikan tangkap diprakirakan menurun karena nelayan enggan melaut. Prakiraan
cuaca yang lebih kondusif ternyata dibayangi dengan ketidakpastian sehingga nelayan disinyalir tidak
melakukan penangkapan ikan ketika cuaca berawan. Penurunan ini terlihat dari hasil estimasi produksi
ikan yang tumbuh melambat pada April 2014 (Grafik II.1.10). Produksi ikan budidaya di Sulawesi Selatan
juga menurun karena gagal panen dari bibit ikan yang kualitasnya kurang baik. Panen kakao yang
diprakirakan berlangsung pada triwulan II 2014 juga belum akan optimal karena kegiatan replanting
(peremajaan) yang tergolong lambat. Adapun panen raya yang berlangsung di sejumlah sentra produksi
padi akan menjadi penopang pertumbuhan sektor pertanian sehingga perlambatan yang terjadi tidak
terlalu drastis.
Sumber : Produsen dan Dinas Pertanian
*) Angka sementara
Sumber : KKP
*) Angka sementara
Grafik II.1.9. Pertumbuhan Produksi Komoditas Pertanian
Grafik II.1.10. Produksi Ikan Tangkap
PERKEMBANGAN INFLASI
Pada triwulan I 2014, sesuai perkiraan, laju inflasi Sulampua menurun dibandingkan dengan triwulan IV
2013 yaitu dari 7,02% (yoy) menjadi 6,64% (yoy). Hal ini didukung oleh ketersediaan bahan pangan yang
tetap memadai serta terjaganya faktor-faktor fundamental yang memengaruhi inflasi, seperti pergerakan
nilai tukar maupun harga komoditas internasional yang dinilai masih wajar, sehingga ekspektasi
konsumen tidak meningkat secara signifikan (Grafik II.1.11). Kemudian, rilis inflasi periode April 2014
memperlihatkan naiknya tekanan inflasi di Sulampua menjadi 6,95% (yoy). Inflasi yang tinggi terjadi di
beberapa daerah antara lain Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Naiknya inflasi di
daerah tersebut didorong oleh kenaikan harga beberapa komoditas pangan serta tarif angkutan udara.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 21
Dilihat dari komponen disagregasinya, kenaikan inflasi pada April 2014 terutama disumbang oleh
komponen volatile food. Di beberapa daerah, harga ikan mengalami kenaikan karena kurangnya pasokan.
Ketidakpastian kondisi cuaca membuat para nelayan tidak melakukan kegiatan penangkapan ikan secara
maksimal. Harga aneka bumbu dan sayur juga meningkat di Ambon, Manado, Gorontalo, dan Ternate
karena produksi serta distribusi yang terganggu oleh masih tingginya curah hujan. Inflasi administered
price juga tercatat cukup tinggi didorong oleh penyesuaian tarif tiket pesawat akibat naiknya harga avtur
yang dibarengi oleh kuatnya permintaan jasa transportasi udara, khususnya di Sulawesi Tengah, Maluku
Utara, dan Papua. Sementara itu, inflasi inti (core inflation) masih berada pada tren yang stabil, didukung
oleh terjaganya ekspektasi dan harga emas internasional yang belum mengalami peningkatan yang
signifikan.
Perkembangan harga hingga April 2014 tersebut dinilai masih dalam pola yang wajar dan mendukung
pencapaian inflasi pada triwulan II 2014 yang diprakirakan lebih rendah dari triwulan I 2014. Panen padi
serta hortikultura di sentra produksi akan menunjang ketersediaan pasokan. Distribusi dan produksi ikan
tangkap juga diharapkan membaik seiring intensitas curah hujan serta gelombang laut yang tidak setinggi
periode sebelumnya. Survei Pemantauan Harga (SPH) menunjukkan adanya tendensi perlambatan untuk
harga bahan makanan (Grafik II.1.12). Ekspektasi konsumen terhadap harga pada Juni 2014 juga tercatat
lebih rendah dari indeks pada Maret 2014. Adapun kenaikan airport tax Bandara Sultan Hasanuddin,
pelaksanaan Pemilu, masa liburan sekolah, persiapan lebaran, serta rencana penyesuaian tarif listrik
industri menjadi faktor risiko yang dapat menambah tekanan inflasi.
Grafik II.1.11. Ekspektasi Harga Jangka Pendek Konsumen, Survei Konsumen Bank Indonesia di
Makassar
Grafik II.1.12. Perubahan Harga Beberapa Komoditas, Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia di
Makassar
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Koordinasi pengendalian inflasi di Sulampua terus menunjukkan perkembangan yang positif. Hal ini
dibuktikan dengan telah terbentuknya Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di hampir semua kota
perhitungan inflasi di Sulampua kecuali di Mamuju1. Di Sulawesi Selatan, selain di lima kota perhitungan
inflasi, telah terbentuk 11 TPID kabupaten/kota lainnya yang kemudian dibagi ke dalam lima zona
koordinasi. Sementara itu, di Sulawesi Utara, selain TPID Kota Manado, telah terbentuk TPID Kabupaten
Minahasa sedangkan di Gorontalo, telah terbentuk empat TPID kabupaten/kota lainnya selain TPID Kota
Gorontalo.
1 Pembentukan TPID Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, diharapkan dapat selesai pada triwulan II 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 22
Di samping penguatan kelembagaan, TPID se-Sulampua juga melaksanakan berbagai program
pengendalian harga lainnya. Pimpinan TPID Provinsi di Sulampua telah menyepakati slogan (tagline) TPID
Sulampua yaitu “Meningkatkan Sinergi Menekan Inflasi” pada saat Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil)
yang diselenggarakan pada 14 April 2014 di Makassar. Terkait ketahanan pangan, akan dilakukan
pengkinian neraca pangan serta penambahan luas lahan pertanian. TPID Sulawesi Utara akan menambah
harga komoditas yang ditampilkan serta fitur untuk SMS broadcast pada sistem informasi harga
pangannya. Di Sulawesi Tengah, TPID setempat telah merancang proses bisnis sistem informasi harga
pangan yang rencananya akan dikembangkan menjadi layanan situs atau SMS. Penerapan teknologi tepat
guna dalam pengolahan produksi ikan tangkap diupayakan oleh TPID di Maluku dan Maluku Utara.
Sementara itu, TPID Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara akan terus menjaga kesinambungan program
workshop inflasi di tingkat kabupaten/kota.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Penyaluran kredit produktif (Rp86,2 triliun) di Sulampua hingga Maret 2014 didominasi oleh kredit sektor
perdagangan (61,6%). Sementara itu, sektor pertanian tercatat hanya memiliki pangsa 7,6%, diikuti
sektor industri sebesar 4,6%, dan sektor pertambangan sebesar 0,8%. Hal ini menunjukkan bahwa peran
perbankan terhadap sektor ekonomi utama di Sulampua masih belum optimal, khususnya untuk sektor
primer. Dari sisi pertumbuhan, kredit produktif yang disalurkan kepada sektor utama di Sulampua
memiliki tendensi yang melambat (Grafik II.1.13). Kredit ke sektor industri pengolahan dan sektor
pertambangan bahkan mengalami kontraksi. Dari sisi kualitas kredit, mayoritas sektor utama daerah
masih memiliki non performing loan (NPL) di bawah 5% (Grafik II.1.14), kecuali sektor pertanian yang
NPL-nya sebesar 7,0%. Terjaganya NPL kredit di sektor utama menandakan bahwa ketahanan sektor
korporasi cukup kuat. Di sisi lain, terdapat risiko pengaturan ekspor komoditas tambang yang akan
mempengaruhi kinerja sektor pertambangan maupun industri hasil tambang sehingga kredit kepada
sektor tersebut diprakirakan akan tumbuh melambat.
12.6
-13.0
-17.6
21.9
0
5
10
15
20
25
30
35
(40)
(20)
0
20
40
60
80
100
120
140
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
%, yoy%, yoyTotal - Skala Kanan Pertanian
Pertambangan Industri
Perdagangan
7.0
4.8
4.0
1.60
5
10
15
20
25
0
2
4
6
8
10
12
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
%%
Pertanian Industri Perdagangan Pertambangan - Skala Kanan
Grafik II.1.13. Pertumbuhan Kredit Sektor Utama Grafik II.1.14. Perkembangan NPL Kredit Sektor Utama
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Penyaluran kredit rumah tangga (konsumsi) di Sulampua tumbuh melambat pada triwulan I 2014 (Grafik
II.1.15), terutama Kredit Pemilikian Rumah (KPR) serta kredit rumah tangga yang lainnya. Kredit
multiguna bahkan terkontraksi makin dalam. Di sisi lain, Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) mengalami
L a p o r a n N u s a n t a r a | 23
akselerasi yang memberi sinyal bahwa permintaan masyarakat masih cukup kuat. Dari total kredit
konsumsi yang disalurkan sebanyak Rp89,6 triliun, kredit multiguna memiliki pangsa terbesar yaitu 38,4%
sedangkan KPR dan KKB masing-masing mengambil pangsa 25,0% dan 4,3%. Arah perkembangan NPL
KPR cenderung meningkat. Peningkatan NPL KPR tersebut dinilai merupakan dampak kenaikan suku
bunga yang membuat kewajiban nasabah ikut meningkat sehingga muncul kendala bagi nasabah yang
tadinya belum memperhitungkan potensi kenaikan suku bunga. Meski NPL KPR cenderung meningkat,
namun secara umum pembiayaan kepada rumah tangga di Sulampua masih memiliki ketahanan yang
cukup baik. Hal ini sebagaimana tercermin pada rasio NPL seluruh jenis kredit rumah tangga yang masih
berada di bawah level aman (5%) (Grafik II.1.16).
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Laju pertumbuhan kredit kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Sulampua berada dalam
tren melambat pada triwulan I 2014 (Grafik II.1.15). Kredit kepada UMKM di Sulampua tercatat sebesar
Rp59,8 triliun dengan pangsa 34,0% dari total kredit yang disalurkan. Kredit UMKM jenis investasi
memiliki porsi 28,2% sedangkan kredit modal kerja memiliki pangsa 71,8%. Kualitas pembiayaan UMKM
cukup baik seiring dengan angka NPL yang masih di bawah 5% (Grafik II.1.16). Untuk mendukung kinerja
dan kelayakan UMKM di Sulampua agar menjadi bankable, kegiatan pengembangan klaster komoditas
telah dilaksanakan di beberapa provinsi antara lain klaster padi (Sulawesi Selatan, Maluku), ayam
pedaging (Maluku Utara), dan ikan bandeng (Papua). Adapun langkah-langkah yang ditempuh pemda
bekerjasama dengan Bank Indonesia terkait pemantapan program klaster antara lain adalah: (1)
pemberian pelatihan dan pendampingan terkait penguatan kelembagaan; (2) pemberian pelatihan untuk
meningkatkan kompetensi teknis SDM; (3) melakukan studi banding ke daerah percontohan; dan (4)
pemberian bantuan peralatan dan perlengkapan.
39.9
15.0
53.2
18.5
-10.3
(50)
50
150
250
350
450
(60)
(40)
(20)
0
20
40
60
80
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
%, yoy%, yoy
KPR KKB Lainnya UMKM Multiguna - Skala Kanan
3.0
0.9
0.7
1.2
4.7
0
1
2
3
4
5
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
%
KPR KKB Lainnya Multiguna UMKM
Grafik II.1.15. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga dan Kredit UMKM
Grafik II.1.16. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga dan NPL UMKM
Kinerja Sistem Pembayaran
Kegiatan sistem pembayaran Sulampua menunjukkan penurunan pada triwulan I 2014, baik untuk
indikator transaksi melalui Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) maupun Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI). Menurunnya kegiatan sistem pembayaran merupakan siklus yang normal terjadi pada
awal tahun (Grafik II.1.17 dan Grafik II.1.18) karena pada periode ini pelaku usaha lebih fokus pada
konsolidasi perencanaan keuangan daripada menggencarkan transaksi. Memasuki April 2014, kegiatan
sistem pembayaran sudah mulai meningkat sesuai dengan pola historisnya meski masih terbatas.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 24
Peningkatan transaksi diharapkan akan terjadi pada pertengahan tahun terkait banyaknya kebutuhan
transaksi masyarakat menjelang lebaran serta meningkatnya realisasi anggaran.
Grafik II.1.17. Perkembangan Total Transaksi RTGS Grafik II.1.18. Perkembangan Total Transaksi Kliring Debet
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Pengedaran uang kartal di Sulampua mencatat penurunan pada sisi outflow dan peningkatan pada sisi
inflow hingga Maret 2014. Sesuai dengan pola historisnya, aliran outflow cenderung turun pada awal
tahun mengingat kegiatan masyarakat maupun pelaku usaha belum begitu banyak pada permulaan
tahun sehingga penarikan uang kartal relatif terbatas (Grafik II.1.19). Pada periode triwulan I 2014 ini,
terlihat bahwa peningkatan di sisi inflow relatif lebih tinggi dibandingkan peningkatannya di triwulan
yang sama beberapa tahun terakhir. Hal ini dinilai merupakan dampak dari perlambatan kinerja ekonomi,
khususnya di sektor pertambangan. Sementara itu, meskipun temuan uang palsu sedikit meningkat
hingga Februari 2014 (Grafik II.1.20), pangsa temuan uang palsu di Sulampua yang dihitung dari 2011
hingga Februari 2014 tercatat hanya sebesar 1,5% dari sekitar 338,4 ribu lembar uang palsu yang
ditemukan.
Untuk memastikan pengedaran uang layak edar di Sulampua, selain melalui layanan penukaran uang,
Bank Indonesia telah dan akan melakukan kegiatan kas keliling maupun kas titipan. Wilayah Sulampua
memang memiliki kendala tersendiri terkait transportasi antarpulau dan interpulau. Selama triwulan I
2014, kegiatan kas keliling telah mengakomodasi kebutuhan uang di beberapa daerah yang secara
infrastruktur cukup sulit untuk dijangkau. Di Papua, pengedaran uang dilakukan hingga ke Nabire, Paniai,
Deiyai, dan Supiori. Selain itu, telah dilakukan layanan kas keliling di Teminabuan (Papua Barat), Pulau
Obi (Maluku Utara), dan Nusa Laut (Maluku).
Grafik II.1.19. Perkembangan Aliran Uang Grafik II.1.20. Perkembangan Temuan Uang Palsu
L a p o r a n N u s a n t a r a | 25
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Untuk keseluruhan tahun 2014, ekonomi Sulampua diperkirakan tumbuh terbatas di kisaran 5,6% - 6,1%
(yoy). Perkiraan tersebut mengalami revisi ke atas dari proyeksi sebelumnya (5,4% - 5,9%, yoy) seiring
perkiraan lebih baiknya kinerja sektor pertanian serta adanya beberapa smelter yang beroperasi pada
paruh kedua tahun 2014. Meski demikian, prakiraan pertumbuhan ekonomi Sulampua tersebut
melambat cukup dalam jika dibandingkan dengan tahun 2013 yang tumbuh sebesar 8,7% (yoy).
Perlambatan terutama didorong oleh kinerja ekspor luar negeri yang melambat yang didominasi oleh
komoditas tambang mineral. Indeks ekspektasi dunia usaha juga belum menunjukkan tanda pemulihan
hingga akhir triwulan III 2014 (Grafik II.1.21). Adapun penopang pertumbuhan Sulampua untuk
keseluruhan tahun 2014 adalah investasi yang didukung oleh pembangunan infrastruktur dan sektor riil
yang meningkat di berbagai daerah.
Ke depan, terdapat dua tantangan utama yang dihadapi perekonomian di Sulampua. Pertama, adalah
memastikan terjaganya komitmen serta dukungan bagi pembangunan smelter. Hal ini penting untuk
memastikan hilirisasi mineral Sulampua yang berpotensi mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Yang
kedua adalah mendorong program pencetakan lahan pertanian baru (tanaman bahan makanan) serta
peremajaan atau replanting tanaman perkebunan (kakao, kelapa, karet). Hal ini diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas sektor pertanian yang pangsanya dominan dalam perekonomian Sulampua
sekaligus menjaga pasokan bahan baku bagi sektor industri pengolahan.
Prospek Inflasi
Pada akhir 2014, tingkat inflasi Sulampua diprakirakan berada pada kisaran 4,65% - 5,15% (yoy) lebih
rendah dari realisasi inflasi pada akhir tahun 2013 (7,02%, yoy) dengan kecenderungan bias ke batas
bawah. Lebih dalamnya penurunan inflasi volatile food di triwulan I 2014 dari perkiraan semula
diperkirakan mampu mempengaruhi pergerakan inflasi Sulampua hingga akhir tahun. Tekanan inflasi
pangan juga terindikasi relatif rendah sepanjang tahun 2014. Panen komoditas pangan akan mencapai
puncak di triwulan II 2014 dan tetap akan terjaga pasokannya hingga triwulan III 2014. Curah hujan yang
lebih rendah selama beberapa bulan ke depan hingga mendekati akhir 2014 akan mendukung kelancaran
distribusi. Nilai tukar rupiah diharapkan tetap bergerak stabil sehingga faktor imported inflation tidak
akan menambah tekanan inflasi.
Meski demikian, beberapa risiko terhadap inflasi tetap harus diwaspadai oleh TPID. Beberapa kebijakan
pemerintah seperti rencana kenaikan tarif tenaga listrik industri dan kenaikan airport tax berpotensi
meningkatkan inflasi komponen administered price. Curah hujan yang kembali tinggi pada akhir tahun
ditambah dengan faktor musiman meningkatnya permintaan di masa liburan juga harus diantisipasi.
Penggunaan teknologi pasca produksi pangan yang tepat guna harus segera ditindaklanjuti oleh TPID
dalam mengelola cadangan atau buffer stock pangan. Selain itu, TPID diharapkan dapat mengendalikan
ekspektasi konsumen yang diprakirakan mulai meningkat setelah triwulan II 2014 (Grafik II.1.22).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 26
Grafik II.1.21. Indeks Ekspektasi Kegiatan Dunia Usaha, Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik II.1.22. Ekspektasi Harga Jangka Panjang Konsumen, Survei Konsumen Bank Indonesia
TabeI II.1.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
I II III IV Total I IIp IIIp IVp Totalp
PDRB (%,yoy) 7.2 8.1 9.4 5.9 9.1 10.4 8.7 5.5 6.5 5.9 - 6.4 5.5 - 6.0 5.6 - 6.1
Sisi Permintaan
Konsumsi 6.6 7.2 6.7 6.4 6.7 7.3 6.8 7.4 8.1 7.2 - 7.7 7.6 - 8.1 7.4 - 7.9
Konsumsi swasta 6.9 7.0 6.9 6.8 6.8 6.8 6.8 7.4 7.4 6.8 - 7.3 7.0 - 7.5 6.9 - 7.4
Konsumsi Pemerintah 5.7 7.9 6.0 5.2 6.3 8.9 6.6 7.5 10.4 8.5 - 9.0 9.3 - 9.8 8.8 - 9.3
Pembentukan Modal Tetap Bruto 9.8 13.5 11.1 11.6 11.3 10.3 11.0 12.2 14.6 14.0 - 14.5 16.2 - 16.7 14.1 - 14.6
Ekspor (2.5) 1.9 11.2 2.7 15.7 22.7 13.3 1.9 (1.1) (7.0) - (6.5) (15.8) - (15.3) (6.5) - (6.0)
Impor 2.1 5.7 4.9 4.3 (0.1) 5.5 3.6 12.9 7.8 4.7 - 5.2 4.4 - 4.9 7.1 - 7.6
Sisi Produksi
Sektor pertanian 5.0 5.2 3.3 2.2 4.4 8.3 4.5 7.2 5.1 4.6 - 5.1 5.1 - 5.6 5.3 - 5.8
Sektor pertambangan & penggalian (11.7) 0.1 27.7 (1.5) 24.8 22.6 18.3 (18.4) (14.3) (12.5) - (12) (14.7) - (14.2)(15.1) - (14.6)
Industri pengolahan 18.5 12.7 9.6 5.5 7.2 11.4 8.4 2.5 11.2 9.8 - 10.3 9.1 - 9.6 8.0 - 8.5
Listrik, gas & air bersih 8.1 11.6 8.1 10.9 10.4 10.3 9.9 9.3 8.7 8.6 - 9.1 7.3 - 7.8 8.3 - 8.8
Bangunan 13.1 12.7 8.6 9.3 8.9 7.4 8.5 9.6 9.7 11.2 - 11.7 11.8 - 12.3 10.5 - 11.0
Perdagangan, hotel & restoran 10.7 10.2 10.2 10.0 9.1 10.2 9.9 10.0 10.4 9.9 - 10.4 9.3 - 9.8 9.7 - 10.2
Pengangkutan & komunikasi 9.6 10.8 8.0 8.8 8.6 7.5 8.2 9.0 9.2 9.7 - 10.2 9.8 - 10.3 9.3 - 9.8
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 11.9 11.9 15.1 13.1 13.9 13.0 13.7 11.6 10.6 9.9 - 10.4 9.6 - 10.1 10.2 - 10.7
Jasa-jasa 8.8 7.1 7.5 6.1 7.6 7.4 7.2 10.1 7.6 6.5 - 7.0 6.0 - 6.5 7.3 - 7.8
Inflasi IHK (%,yoy) 2.9 5.0 5.1 4.3 7.6 7.0 7.0 6.6 6.6 4.2 - 4.7 4.7 - 5.2 4.7 - 5.2
Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolahp proyeks i Bank Indones ia
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah 2011 20122013 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 27
Bagian II.2 Perekonomian Kalimantan
PERTUMBUHAN EKONOMI
Pertumbuhan ekonomi wilayah Kalimantan pada triwulan I 2014 mengalami sedikit perlambatan karena
menurunnya ekspor dan melambatnya investasi. Penurunan ekspor tersebut merupakan dampak dari
penurunan permintaan batu bara dari Tiongkok dan India serta pemberlakuan kebijakan pembatasan
ekspor mineral mentah sesuai UU Minerba No.4 tahun 2009. Dampak kebijakan ekspor mineral tersebut
terutama mempengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah. Selain itu, tekanan yang masih berlanjut pada harga batu bara dan adanya perhelatan pemilu
mendorong perusahaan mengurangi aktivitas investasi pada triwulan tersebut.
Memasuki triwulan II 2014, berbagai indikator ekonomi di wilayah Kalimantan mengindikasikan
pertumbuhan ekonomi yang kembali meningkat. Hal ini didukung oleh prakiraan meningkatnya
permintaan domestik terhadap komoditas batu bara dan minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO). Kegiatan
investasi terkait dengan infrastruktur dan smelter mineral juga diperkirakan mulai meningkat. Secara
keseluruhan tahun, prospek perekonomian Kalimantan pada tahun 2014 diperkirakan terus membaik
dan berpotensi untuk dapat tumbuh di kisaran 3,8% – 4,2% (yoy).
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga di triwulan I 2014 tumbuh lebih tinggi seiring dengan membaiknya pendapatan
masyarakat yang dipengaruhi oleh perbaikan harga komoditas CPO. Membaiknya pendapatan
masyarakat ini juga turut ditopang oleh kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) pada 2014 yang secara
rata-rata tertimbang mencapai 19,0% dengan kenaikan tertinggi terjadi di Kalimantan Barat. Selain itu,
meningkatnya intensitas kegiatan kampanye dan konsolidasi partai politik pada akhir triwulan turut
meningkatkan konsumsi.
Untuk triwulan II 2014, konsumsi rumah tangga diperkirakan masih mengalami peningkatan didorong
oleh kinerja investasi dan sektor utama. Berbagai kegiatan MICE dan pariwisata juga semakin bertambah
seiring dengan telah diresmikannya bandara Sepinggan Balikpapan dan beberapa hotel di Kalimantan
Barat dan Kalimantan Selatan. Hasil liaison terhadap peritel utama di wilayah Kalimantan dan Survei
Penjualan Eceran menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan penjualan pada triwulan II 2014.
Dari sisi pembiayaan, penyaluran kredit perbankan untuk konsumsi durable goods, seperti kepemilikan
kendaraan roda empat dan roda dua serta furnitur/peralatan lainnya juga menunjukkan tren meningkat.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 28
Grafik II.2.1. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Grafik II.2.2. Penyaluran Kredit Konsumsi
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah pada triwulan I 2014 tumbuh melambat karena terhambatnya proses pencairan
anggaran pemerintah pusat akibat masalah administrasi. Hal ini berdampak terhadap mundurnya
realisasi rencana kegiatan sejumlah pemerintah daerah di Kalimantan. Perlambatan juga dipengaruhi
oleh adanya penundaan dropping dana bagi hasil migas di Kalimantan Timur karena penyesuaian dengan
aturan penyaluran yang baru. Adapun dampak persiapan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) legislatif
dan eksekutif terhadap konsumsi pemerintah relatif minimal mengingat anggaran pelaksanaan
merupakan wewenang pemerintah pusat.
Memasuki triwulan II 2014, konsumsi pemerintah menunjukkan peningkatan. Berbagai kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah mulai meningkat seperti rapat koordinasi dan penyelenggaraan
pameran/expo. Terselesaikannya sejumlah kendala administrasi anggaran juga diperkirakan turut dapat
mendorong realisasi konsumsi pemerintah yang lebih baik. Selain itu, pada triwulan ini dana bagi hasil
migas yang sempat tertunda telah dapat dicairkan. Meskipun demikian, terdapat risiko penurunan
konsumsi pemerintah terutama di Kalimantan Timur sebagai akibat dari rasionalisasi sejumlah kegiatan
sampai sebesar 40% dari anggaran semula.
Investasi
Perkembangan investasi pada triwulan I 2014 tumbuh melambat karena beberapa perusahaan masih
menunggu kondisi setelah pemilu dan harga komoditas ekspor yang lebih baik. Hal ini terlihat dari data
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang mengalami penurunan hingga 46,7% (yoy). Selain itu,
sebagian besar proyek infrastruktur MP3EI banyak yang telah diselesaikan pada tahun 2013. Sementara
itu, beberapa proyek pembangunan infrastruktur pemerintah di daerah yang menggunakan dana APBN
juga terhambat karena belum selesai di audit oleh BPKP.
Memasuki triwulan II 2014, aktivitas investasi diperkirakan akan kembali meningkat. Beberapa proyek
pembangunan infrastruktur masih berlanjut dan memasuki tahap konstruksi yang mengeluarkan biaya
lebih besar; antara lain pembangunan sisi udara bandara Samarinda Baru, pembangunan terminal
penumpang bandara Supadio, penyelesaian pembangunan jalan layang Banjarmasin dan pembangunan
jalan tol Samarinda-Balikpapan. Selain itu, terdapat proyek infrastruktur yang mulai dibangun seperti
pembangunan jalur kereta api Purukcahu-Bangkuang-Mangkatip di Kalimantan Tengah serta jalur kereta
api batu bara di Kutai Timur dan Kutai Barat (Kalimantan Timur). Pembangunan sejumlah smelter,
L a p o r a n N u s a n t a r a | 29
khususnya di Kalimantan Barat, baik alumina maupun bijih besi, juga diperkirakan dapat mendorong
kinerja investasi di Kalimantan ke depan.
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor luar negeri wilayah Kalimantan pada triwulan I 2014 menunjukkan penurunan, khususnya
pada ekspor hasil pertambangan batu bara dan mineral mentah. Penurunan ekspor batu bara lebih
dominan disebabkan karena permintaan Tiongkok yang menurun seiring dengan pelemahan ekonomi
Tiongkok, depresiasi mata uang Renminbi dan persediaan batu bara yang masih tinggi di negara tersebut.
Selain itu, permintaan batu bara untuk ekspor ke India juga mengalami penurunan karena pelemahan
mata uang Rupee dan persiapan pemilu di negara tersebut. Sementara itu, seiring dengan pemberlakuan
UU Minerba, ekspor komoditas mineral Kalimantan seperti bauksit, bijih besi dan zircon dibatasi.
Berdasarkan hasil liaison, UU Minerba berdampak pada terhentinya operasional hampir seluruh tambang
mineral yang berlokasi di Kalimantan.
Penurunan ekspor luar negeri diperkirakan masih akan berlanjut di triwulan II 2014. Kondisi
perekonomian Tiongkok yang masih belum membaik dan masih besarnya persediaan batu bara di negara
tersebut diperkirakan masih akan mempengaruhi kinerja ekspor komoditas ini. Sementara itu, ekspor
mineral olahan dalam jumlah besar belum dapat dilakukan karena pembangunan smelter masih
berlanjut. Salah satu smelter alumina di Kalimantan Barat masih dalam tahap commissioning (uji coba)
dan diperkirakan baru akan beroperasi pada akhir triwulan II 2014. Sementara itu, terdapat ekspor bijih
besi hasil smelter pasir besi di Kalimantan Selatan yang masih tertahan karena surat rekomendasi ekspor
(SPE) belum dikeluarkan oleh Kementerian ESDM.
Impor
Impor luar negeri Kalimantan pada triwulan I 2014 tercatat mengalami perlambatan. Masih
terkontraksinya sumur-sumur migas di Kalimantan Timur menjadi faktor utama melambatnya
permintaan barang modal pendukung produksi migas. Sementara itu, masih terbatasnya perbaikan harga
batu bara dunia juga menyebabkan terjadinya perlambatan impor untuk barang-barang penolong
pertambangan batu bara. Perlambatan impor semakin dalam karena permintaan barang modal untuk
penolong pertambangan mineral menurun signifikan akibat berhentinya operasi tambang mineral pasca
penerapan UU Minerba.
Untuk triwulan II 2014, impor luar negeri diperkirakan belum akan mengalami perbaikan yang berarti.
Kondisi ekspor batu bara yang belum membaik akan mempengaruhi impor barang pendukung produksi
batu bara. Meskipun demikian, seiring dengan membaiknya prospek perkebunan kelapa sawit di
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, impor pupuk diperkirakan akan meningkat.
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertambangan
Kontraksi pertumbuhan sektor pertambangan pada triwulan I 2014 (-0,03%, yoy) dipengaruhi oleh
berhentinya kegiatan pertambangan bauksit di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah seiring dengan
berlakunya UU Minerba sejak Januari 2014. Berdasarkan hasil liason, sekurang-kurangnya terdapat tujuh
L a p o r a n N u s a n t a r a | 30
perusahaan tambang bauksit besar di Kalimantan Barat dan 6 perusahaan sejenis di Kalimantan Tengah
yang menghentikan produksinya. Perusahaan-perusahaan tersebut menghentikan produksi karena tidak
dapat melakukan ekspor hasil tambangnya dan tidak ada pembeli di pasar domestik yang dapat
menampung hasil produksi mereka. Disamping itu, penurunan kinerja sektor pertambangan turut
dipengaruhi oleh menurunnya lifting minyak bumi dan gas alam di Kalimantan Timur. Di sisi lain, produksi
batu bara di Kalimantan yang masih cukup baik dapat menopang penurunan sektor pertambangan lebih
lanjut. Hasil liaison ke sejumlah perusahaan batu bara di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan2
mengonfirmasi adanya peningkatan produksi batu bara, terutama untuk memenuhi kebutuhan domestik,
di tengah melambatnya permintaan ekspor – terutama dari Tiongkok.
Sumber : Dinas Pertambangan Provinsi, diolah
Grafik II.2.3. Produksi Batu bara Kalimantan Grafik II.2.4. Ekspor Tambang Nonmigas Kalimantan
Pada triwulan II 2014, kinerja sektor pertambangan terindikasi mengalami perbaikan didukung terutama
oleh adanya perkembangan positif di sisi pertambangan batu bara. Perusahaan pertambangan batu bara
masih terus berupaya meningkatkan produksinya untuk tetap memperoleh keuntungan di tengah harga
batu bara yang masih rendah. Selain itu, sentimen positif membaiknya permintaan India setelah pemilu
bulan Mei 2014 diperkirakan akan meningkatkan permintaan batu bara dari negara tersebut. Dari sisi
domestik, peningkatan penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik dan juga untuk keperluan industri
lainnya (pupuk, tekstil, dan baja) turut memperbesar potensi peningkatan produksi batu bara. Meskipun
demikian, terdapat risiko dari perlambatan ekonomi dan masih banyaknya persediaan batu bara di
negara mitra dagang utama Tiongkok. Adapun kinerja pertambangan mineral diperkirakan masih akan
mengalami penurunan pada triwulan II 2014. Sampai dengan akhir Juni diperkirakan baru lima smelter
yang siap beroperasi untuk komoditas pasir besi, emas, dan pasir zircon, sementara untuk smelter
bauksit masih dalam tahap pembangunan dan uji coba (commissioning).
Sektor Industri Pengolahan (Nonmigas)
Perkembangan industri pengolahan nonmigas pada triwulan I 2014 menunjukkan peningkatan, didorong
terutama oleh industri pengolahan kelapa sawit (CPO). Hasil produksi CPO di Wilayah Kalimantan
tumbuh 2,23% (yoy) pada triwulan I 2014 setelah mengalami kontraksi sejak triwulan II 2013 yang lalu.
Hal ini didorong oleh mulai bertambahnya pasokan bahan baku kelapa sawit di Kalimantan Selatan,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur setelah mengalami musim trek pada periode sebelumnya. Selain
2 Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan masih menjadi provinsi penentu arah kinerja industri batu bara Indonesia. Kedua provinsi ini
berkontribusi terhadap 88% produksi batu bara Nasional dan 90% ekspor batu bara Nasional.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 31
itu, dari hasil liaison diperoleh informasi bahwa perusahaan cenderung memproduksi untuk
meningkatkan stok karena kondisi harga relatif masih rendah dan persiapan untuk memenuhi
permintaan dalam negeri yang semakin membesar.
Sumber : Dinas Perkebunan
Grafik II.2.5. Produksi CPO Kalimantan Grafik II.2.6. Ekspor CPO Kalimantan
Mencermati kondisi terkini, perkembangan industri CPO pada triwulan II 2014 diperkirakan akan terus
meningkat dan mendorong sektor industri pengolahan Kalimantan tumbuh lebih baik. Produksi CPO
Indonesia pada 2014 ditargetkan bisa mencapai 29,5 juta ton, meningkat dari tahun lalu yang sekitar 26,2
juta ton. Hal ini juga dipengaruhi oleh permintaan domestik yang terus meningkat seiring dengan
komitmen Pemerintah dan para pengusaha minyak sawit dalam mendorong pemanfaatan biodiesel
mandatory 10% dengan menyetujui formula penghitungan pembelian bahan bakar nabati tersebut oleh
PT Pertamina. Adapun target pemerintah dalam penyerapan biodiesel pada tahun 2014 adalah sebesar 4
juta kiloliter. Target tersebut meningkat dibandingkan tahun 2012 dan 2013 yang masing-masing sebesar
669 ribu kiloliter dan 1,07 juta kiloliter.
Pada triwulan II 2014, permintaan CPO dari negara mitra dagang diperkirakan semakin meningkat seiring
dengan perkiraan peningkatan impor minyak goreng ke India dalam tiga tahun mendatang. Selain itu,
permasalahan yang terjadi terkait dengan pasokan kedelai yang merupakan salah satu sumber energi
nabati di negara tersebut diperkirakan dapat meningkatkan ketergantungan India terhadap impor CPO
dari Indonesia. Selain itu permintaan CPO global diperkirakan meningkat seiring dengan penurunan
minyak nabati dari kedelai dan jagung di Brasil dan Paraguay karena musim panas yang melanda kedua
negara tersebut.
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian Kalimantan pada triwulan I 2014 tumbuh melambat terutama terjadi pada
subsektor tabama (padi) yang mengalami kendala produksi dan pergeseran masa panen. Di Kalimantan
Barat, penurunan luas panen padi terjadi karena kekeringan yang melanda hampir seluruh sentra
produksi utama di wilayah tersebut. Sementara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah terjadi
pergeseran panen yang seharusnya terjadi pada Februari-Maret menjadi Maret-April karena musim
kemarau basah yang mempengaruhi masa tanam di periode sebelumnya. Penurunan kinerja sektor
pertanian Kalimantan lebih lanjut tertahan oleh produksi Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang
meningkat sebesar 10,3% (yoy). Kondisi cuaca 6 bulan yang lalu (curah hujan 151 - 300 mm)
menyebabkan tanaman kelapa sawit keluar dari masa trek sehingga produksinya kembali meningkat.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 32
Peningkatan produksi kelapa sawit juga disumbang oleh mulai berproduksinya lahan-lahan baru
terutama untuk lahan yang ditanami pada tahun 2011 (umur tanaman tiga tahun).
Perkembangan terakhir mengindikasikan sektor pertanian di triwulan II 2014 dapat kembali tumbuh
meningkat, baik bersumber dari produksi tabama maupun perkebunan kelapa sawit. Bergesernya puncak
panen di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah menyebabkan produksi padi pada periode triwulan
II 2014 akan lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, produksi kelapa sawit diperkirakan
terus meningkat dengan semakin besarnya tanaman yang memasuki usia produktif. Upaya peningkatan
produksi kelapa sawit masih terus dilakukan dengan membuka lahan baru dan meningkatkan
produktivitas perkebunan plasma atau swadaya. Hal tersebut seiring dengan peningkatan target produksi
CPO secara nasional dari 25 juta ton di 2013 menjadi 27 juta ton di tahun ini. Meskipun demikian,
terdapat risiko pada kondisi cuaca yang diperkirakan akan memiliki intensitas hujan yang tinggi. Kondisi
ini dapat memengaruhi produksi kelapa sawit dan karet karena tenaga kerja terkendala dalam
melakukan panen kelapa sawit maupun menyadap karet.
PERKEMBANGAN INFLASI
Perkembangan inflasi di Kalimantan sampai dengan April 2014 menunjukkan tren yang menurun
didukung oleh penurunan harga pangan seiring dengan terjaganya pasokan. Kondisi cuaca yang relatif
lebih normal dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dan tidak adanya kebijakan pelarangan
impor komoditas pangan turut memberikan andil positif dalam menjaga pasokan bahan makanan di
Kalimantan. Meskipun demikian, tingkat inflasi di beberapa daerah seperti Kalimantan Timur dan
Kalimantan Barat pada awal triwulan II ini tercatat masih cukup tinggi. Hal ini antara lain terkait dengan
adanya kegiatan kebudayaan seperti perayaan Imlek, Cap Go Meh, dan Sembahyang Kubur di Kalimantan
Barat yang mendorong permintaan bahan makanan dan tiket pesawat udara. Kenaikan tuslah (surcharge)
angkutan udara dan airport tax juga turut menambah peningkatan harga tiket pesawat udara.
Masih berlanjutnya pelaksanaan kegiatan kebudayaan seperti Ceng Beng di Kalimantan Barat, kenaikan
permintaan tiket pesawat udara, dan persiapan menghadapi puasa diperkirakan akan menahan tren
penurunan inflasi hingga akhir triwulan II 2014. Selain itu, pelaksanaan pemilu presiden yang akan
dilaksanakan pada Juli 2014 diperkirakan berpotensi mendorong inflasi meskipun dengan pengaruh yang
relatif minimal. Jumlah hari libur yang cukup banyak di triwulan II 2014 juga berpotensi mendorong
meningkatnya permintaan masyarakat. Hasil survei konsumen Bank Indonesia juga mengkonfirmasi
adanya kenaikan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi dalam jangka pendek (tiga bulan yang akan
datang). Dengan berbagai perkembangan tersebut, inflasi Kalimantan pada triwulan II 2014 diperkirakan
akan berada di kisaran 7,5% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 33
Sumber: BPS, diolah Sumber: BPS, diolah
Grafik II.2.7. Perkembangan Inflasi di Kalimantan Grafik II.2.8. Disagregasi Inflasi Wilayah Kalimantan
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Sebagai bentuk tindak lanjut Instruksi Mendagri No. 027/1696/SJ tanggal 2 April 2013 dan Surat Edaran
Mendagri No.500/6414/SJ tanggal 19 September 2013 dalam upaya pengendalian inflasi daerah, telah
terbentuk 28 TPID baru di wilayah Kalimantan. Selain itu, dalam upaya pengendalian inflasi di wilayah
Kalimantan, terdapat berbagai bentuk upaya yang dilakukan oleh TPID seperti mencanangkan
pengendalian inflasi dengan 6M di Kalimantan Selatan, yang terdiri dari 1) Meningkatkan produksi
pangan, 2) Mempelancar distribusi barang melalui perbaikan infrastruktur, 3) Memberi kepastian
ketersediaan energi, 4) Meningkatkan kerjasama perdagangan antar daerah, 5) Meningkatkan informasi
kepada publik, dan 6) Memperkuat kelembagaan TPID. Terkait pengendalian inflasi dari sisi ekspektasi,
seluruh provinsi telah mengembangkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) seperti papan
harga di tiga pasar di Kota Pontianak dan Kota Palangkaraya, pengembangan sistem PIHPS terintegrasi
(web, sms dan papan harga di dua pasar) di Banjarmasin, peluncuran PIHPS di tiga kota di Kalimantan
Timur.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Penyaluran kredit perbankan di wilayah Kalimantan pada triwulan I 2014 mengalami perlambatan
dibandingkan triwulan sebelumnya. Selain dipengaruhi kenaikan suku bunga, melambatnya penyaluran
kredit juga sejalan dengan kinerja perekonomian Kalimantan yang melambat pada triwulan I 2014.
Secara umum, kredit berdasarkan lokasi proyek di Kalimantan hanya mampu tumbuh sebesar 18,76%
(yoy) setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh sebesar 20,02% (yoy). Masih belum pulihnya
permintaan komoditas batu bara, karet dan kelapa sawit mempengaruhi kinerja penyaluran kredit pada
sektor utama. Perlambatan penyaluran kredit terutama terjadi di sektor pertanian yakni menjadi sebesar
20,58% (yoy) dan sektor industri pengolahan yakni menjadi sebesar 69,35% (yoy) setelah pada triwulan
sebelumnya masing-masing dapat tumbuh di kisaran 21,17% dan 90,50% (yoy). Sementara itu,
penyaluran kredit sektor pertambangan meningkat dari kontraksi sebesar 2,57% di triwulan IV 2013
menjadi tumbuh sebesar 5,47% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 34
Grafik II.2.9. Penyaluran Kredit Kalimantan Grafik II.2.10. Kredit Bank berdasarkan Sektor Ekonomi
Risiko perbankan di wilayah Kalimantan sebagaimana tercermin dari rasio NPL sedikit meningkat dari
1,81% menjadi 1,90% pada triwulan I 2014, namun masih dalam level aman. Kondisi ini terutama terjadi
karena meningkatnya risiko di sektor pertanian, sektor pertambangan dan sektor industri pengolahan.
Meningkatnya risiko perbankan juga terindikasi dari terjadinya peningkatan rasio kredit dalam perhatian
khusus dari 4,64% menjadi 6,22% di triwulan I 2014. Beberapa kebijakan yang mempengaruhi ekspor
komoditas sektor utama, seperti meningkatnya pajak ekspor CPO, Sertifikasi Indonesia Sustainable Palm
Oil (ISPO) dan implementasi UU Minerba mempengaruhi kinerja ekspor sehingga risiko kemampuan
bayar meningkat dan likuiditas perusahaan menjadi terbatas. Selain itu, harga komoditas batu bara yang
masih rendah turut menurunkan kemampuan finansial perusahaan pertambangan batu bara skala kecil-
menengah. Meskipun demikian, ketahanan sistem keuangan korporasi di Kalimantan diperkirakan masih
terjaga dengan risiko kredit tetap berada di bawah level 2%.
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit/pembiayaan kepada rumah tangga di wilayah Kalimantan pada triwulan I 2014 tumbuh sebesar
16,14% (yoy), melambat periode sebelumnya (17,4%, yoy) (Grafik II.2.2). Namun jika dilihat volumenya
kredit/pembiayaan pada triwulan I 2014 dibandingkan triwulan IV 2013 masih mengalami sedikit
peningkatan dari Rp58,2 triliun menjadi Rp58,8 triliun. Perlambatan terutama terjadi pada kredit
perumahan dan kredit multiguna seiring dengan peningkatan tingkat suku bunga pembiayaan secara
umum. Namun di sisi lain, terjadi peningkatan pertumbuhan kredit kendaraan bermotor yang cukup
signifikan dari 0,8% (yoy) pada triwulan IV 2013 menjadi 11,5% (yoy) di triwulan I 2014. Sementara itu,
secara umum untuk risiko kredit yang diperlihatkan NPL pada kredit kepada rumah tangga mencapai
1,35% masih dalam batas aman (dibawah 5%) meskipun cenderung meningkat dari periode sebelumnya.
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Kredit UMKM pada triwulan I 2014 tercatat masih dapat tumbuh meningkat mencapai 20,07% (yoy),
lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya yang tumbuh 16,60% (yoy). Secara sektoral, realisasi
kredit yang meningkat terjadi di sektor pertanian dan industri pengolahan yang masing-masing tumbuh
mencapai 17,24% dan 35,01% (yoy). Dukungan kepada UMKM diberikan oleh Bank Indonesia melalui
pengembangan klaster yang disertai program edukasi, penguatan kelembagaan, serta bantuan peralatan
dan perlengkapan. Selain itu, Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) telah berhasil dibentuk di
Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah untuk mendukung pembiayaan UMKM dari sisi kolateralnya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 35
Kinerja Sistem Pembayaran
Dari aspek sistem pembayaran, perkembangan transaksi nontunai, baik melalui SKNBI maupun BI-RTGS,
cenderung menurun pada triwulan I 2014. Transaksi melalui kliring pada triwulan I 2014 hanya sebesar
Rp13,19 triliun, turun dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai Rp21,80 triliun. Sementara itu,
transaksi melalui RTGS baru mencapai Rp55,85 triliun. Pertumbuhan ekonomi yang melambat terutama
di sektor pertambangan dan pertanian turut menurunkan transaksi perusahaan. Selain itu, kondisi pelaku
usaha yang cenderung fokus pada konsolidasi perencanaan keuangan di awal tahun turut menurunkan
transaksi yang terjadi di triwulan tersebut.
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Sejalan dengan masih terbatasnya aktivitas perekonomian di awal tahun, kondisi transaksi uang tunai di
wilayah Kalimantan pada triwulan I 2014 mengalami net inflow. Kondisi netinflow di Kalimantan selalu
terjadi pada triwulan I, sementara untuk triwulan lainnya kondisi yang terjadi adalah netoutflow.
Fenomena ini merupakan siklus yang juga normal di awal tahun karena nasabah lebih banyak melakukan
penyetoran dibandingkan penarikan, berlawanan dengan kondisi di akhir tahun. Untuk triwulan I 2014,
data inflow tercatat mencapai Rp7,73 triliun atau meningkat 112% (qtq) sedangkan outflow tercatat
sebesar Rp4,83 triliun atau menurun 66,5% (qtq). Dalam memastikan pengedaran uang layak tunai, Bank
Indonesia telah melakukan kegiatan kas keliling hingga ke daerah pelosok/perbatasan antara lain ke
Pulau Sebuku (Kalimantan Selatan), Bahaur (Kalimantan Tengah), Aruk (Kalimantan Barat) dan Kutai
Barat (Kalimantan Timur). Selain itu, di Kalimantan Selatan dilakukan pula kas keliling terapung di pasar
terapung Lok Baintan dan pasar terapung Kuin untuk menjangkau komunitas masyarakat yang hidup di
aliran sungai.
Terkait dengan uang palsu, rata-rata temuan di wilayah Kalimantan selama triwulan I 2014 mengalami
peningkatan yakni menjadi sebanyak 530 lembar per bulan dari 289 lembar per bulan pada triwulan lalu.
Temuan terbanyak terjadi di provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah dengan rata-rata temuan
masing-masing 188 lembar dan 163 lembar per bulan. Penemuan uang palsu ini akan selalu mendapat
perhatian khusus Bank Indonesia. Untuk mencegah meningkatnya peredaran uang palsu di Kalimantan,
Bank Indonesia terus menggalakkan kegiatan sosialisasi pengenalan keaslian Rupiah kepada masyarakat.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum, kinerja perekonomian Kalimantan untuk keseluruhan tahun 2014 diperkirakan masih
terjaga dengan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan tahun 2013 (3,5%, yoy) yaitu dalam kisaran
4,2%-4,6% (yoy). Dari sisi penggunaan, perekonomian diperkirakan akan didorong oleh konsumsi, yang
antara lain didorong oleh pelaksanaan Pemilu presiden dan wakil presiden. Kegiatan investasi juga
diperkirakan masih dapat tumbuh meningkat didukung pelaksanaan proyek Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pembangunan smelter dan pertambangan migas
yang masih berlanjut. Sementara itu, dari sisi sektoral, perekonomian Kalimantan masih didorong oleh
tiga sektor utamanya, yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan serta sektor industri pengolahan;
khususnya terkait komoditas batu bara dan CPO, yang diperkirakan mengalami perbaikan produksi,
seiring dengan bertambahnya permintaan domestik. Peningkatan pertumbuhan ekonomi diperkirakan
terutama terjadi di provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang menjadi sentra
L a p o r a n N u s a n t a r a | 36
pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Sebaliknya, di provinsi Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah pada tahun 2014 diperkirakan akan mengalami perlambatan sebagai dampak
pemberlakukan UU Minerba.
Meskipun demikian, terdapat faktor risiko yang dapat menahan laju pertumbuhan tahun 2014. Kendala
cuaca pada semester I 2014 yang masih bersifat basah dengan intensitas yang tinggi dapat
mempengaruhi kinerja sektor pertanian pada pertengahan tahun 2014. Sementara itu, perekonomian
Tiongkok yang masih melambat diperkirakan dapat menekan harga komoditas utama Kalimantan seperti
batu bara, CPO dan karet, sehingga dapat memengaruhi kinerja sektor pertambangan dan sektor industri
pengolahan di Kalimantan.
Prospek Inflasi
Tingkat inflasi tahunan di wilayah Kalimantan pada tahun 2014 akan lebih rendah dibandingkan tahun
2013. Inflasi Kalimantan tahun 2014 diperkirakan sebesar 5,3% - 5,7% (yoy), menurun dari Inflasi tahun
2013 sebesar 8,6% (yoy). Kondisi cuaca pada 2014 berdasarkan perkiraan BMKG cenderung stabil. Meski
dibayangi potensi terjadinya El Nino, sehingga dapat mendukung produksi pangan dan menjaga
ketersediaan pasokan. Hingga periode laporan, wacana terkait kebijakan penyesuaian harga energi
strategis relatif minimal, sehingga diperkirakan shock, akibat lonjakan inflasi administered price, dapat
terkendali. Kondisi tersebut didukung dengan pemahaman pemerintah daerah terhadap inflasi yang
semakin tinggi, seiring penguatan koordinasi pengendalian inflasi melalui pembentukan TPID di berbagai
Kabupaten/Kota di wilayah Kalimantan.
Beberapa faktor risiko yang berpotensi memicu inflasi 2014 menjadi lebih tinggi dari perkiraan terutama
bersumber dari beberapa hal sebagai berikut: 1) disparitas harga antar daerah dan pelaku ekonomi
(produsen dan konsumen) yang masih relatif lebar, 2) fluktuasi nilai tukar dan harga komoditas global
yang masih relatif tinggi, 3) kondisi cuaca yang meskipun diperkirakan stabil namun relatif cukup sulit
diprediksi dan 4) kondisi sosial politik pasca-pemilu legislatif dan presiden yang belum dapat diprediksi.
Tabel II.2.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
I II III IV Total I IIp IIIp IVp Totalp
PDRB (%,yoy) 5.0 4.8 2.9 3.5 3.8 3.8 3.5 3.7 4.0 4.5-4.9 4.9-5.3 4.2-4.6
Sisi Permintaan
Konsumsi 5.8 6.2 7.1 6.7 6.5 6.7 6.7 6.9 8.0 8.8-9.2 9.4-9.8 8.2-8.6
Konsumsi swasta 5.6 5.7 7.3 6.7 5.7 6.0 6.4 6.7 8.0 9.2-9.6 9.6-10 8.3-8.7
Konsumsi Pemerintah 6.3 7.6 6.6 6.5 9.2 8.8 7.8 7.7 7.8 7.4-7.8 8.7-9.1 7.8-8.2
Pembentukan Modal Tetap Bruto 7.9 9.8 7.9 6.4 5.7 5.9 6.5 5.0 7.7 8.5-8.9 7.2-7.6 7.0-7.4
Ekspor 5.5 2.9 4.7 3.9 7.1 4.3 5.0 (3.9) 1.0 4.6-5.0 4.9-5.3 1.6-2.0
Impor 8.4 7.9 8.7 7.4 13.0 8.7 9.4 (3.4) 3.3 7.3-7.7 7.3-7.7 3.6-4.0
Sisi Produksi
Sektor pertanian 4.5 4.1 2.6 5.7 3.9 6.4 4.6 4.9 5.9 5.0-5.4 5.4-5.8 5.2-5.6
Sektor pertambangan & penggalian 6.8 5.3 0.7 1.4 0.2 0.1 0.6 (0.0) 0.3 2.0-2.4 2.9-3.3 1.2-1.6
Industri pengolahan (3,7) (3,67) (3.1) (3.5) 0.9 (1.0) (1.7) 0.1 0.7 0.7-1.1 0.1-0.5 0.3-0.7
Listrik, gas & air bersih 8.7 7.3 5.9 5.4 4.7 4.8 5.2 4.4 5.9 5.7-6.1 5.4-5.8 5.3-5.7
Bangunan 9.8 10.9 10.6 8.2 6.7 7.4 8.1 7.7 6.7 6.8-7.2 7.1-7.5 7.0-7.4
Perdagangan, hotel & restoran 8.3 8.2 5.2 6.6 7.2 6.8 6.5 6.9 6.4 7.0-7.4 7.9-8.3 7.0-7.4
Pengangkutan & komunikasi 8.9 9.2 7.4 7.4 8.2 8.2 7.8 7.7 7.4 7.6-8.0 7.8-8.2 7.5-7.9
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 10.1 12.6 13.1 12.1 10.0 9.2 11.0 9.0 10.4 10.0-10.4 9.9-10.3 9.7-10.1
Jasa-jasa 8.5 8.4 7.6 6.6 8.9 8.4 7.9 8.3 8.1 7.8-8.2 8.0-8.4 8.0-8.4
Inflasi IHK (%,yoy) 5.3 5.8 6.0 6.3 8.4 8.6 8.6 7.3 7.5 5.1-5.5 5.3-5.7 5.3-5.7
Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolahp proyeks i Bank Indones ia
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah 2011 20122013 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 37
Bagian II.3 Perekonomian Bali dan Nusa Tenggara
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian wilayah Bali dan Nusa Tenggara (Bali-Nustra) tumbuh melambat pada triwulan I 2014.
Pertumbuhan ekonomi Bali-Nustra tercatat sebesar 5,3% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang mencapai 5,8% (yoy). Realisasi pertumbuhan tersebut juga lebih rendah
dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya terutama disebabkan oleh kinerja sektor pertambangan yang
menurun tajam pasca efektifnya implementasi UU Minerba pada Januari 2014. Di sisi permintaan,
perlambatan terutama bersumber dari terkontraksinya pertumbuhan investasi pasca-booming realisasi
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di Provinsi Bali, serta
berakhirnya fase pelebaran dinding lahan tambang di NTB pada tahun 2013.
Perekonomian Bali-Nustra pada triwulan II 2014 diprakirakan belum akan mengalami perbaikan yang
berarti. Adanya potensi risiko El Nino serta majunya masa panen menjadi faktor pendorong utama
melambatnya pertumbuhan sektor pertanian di Bali-Nustra. Kinerja sektor pertambangan diperkirakan
tetap mengalami kontraksi seiring dengan belum adanya tanda-tanda perbaikan produksi tembaga di
NTB, menunggu izin ekspor mineral dan penyelesaian pembangunan smelter. Meskipun demikian,
pertumbuhan di sektor perdagangan, hotel dan restora (PHR), seiring dengan masuknya masa liburan,
diperkirakan mampu menopang perekonomian Bali-Nustra pada triwulan II 2014.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga di Bali-Nustra pada triwulan I 2014 tumbuh stabil dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya, ditopang oleh masih kuatnya aktivitas konsumsi masyarakat. Hal ini didukung oleh
pertumbuhan kredit konsumsi Bali-Nustra yang meningkat dari 15,4% menjadi 16,5% (yoy) (Grafik II.3.1).
Selain itu, indikator Indeks Tendensi Konsumen (ITK) triwulan I 2014, yang menggambarkan ekspektasi
masyarakat terhadap situasi bisnis dan perekonomian, saat ini juga relatif stabil (Grafik II.3.2).
Perkembangan terakhir mengindikasikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga Bali-Nustra cenderung
meningkat pada triwulan II 2014, seiring dengan masuknya bulan puasa dan musim liburan. Peningkatan
jumlah kunjungan wisatawan ke Bali pada periode libur bulan Mei dan Juni diperkirakan menjadi
pendorong utama meningkatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga di wilayah ini. Selain itu,
pertumbuhan kredit konsumsi diperkirakan mengalami peningkatan pada triwulan II 2014.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 38
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik II.3.1. Penyaluran Kredit Konsumsi Grafik II.3.2. Indeks Tendensi Konsumen
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah di triwulan I 2014 tumbuh sebesar 16,7% (yoy), meningkat dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 13,5% (yoy). Peningkatan konsumsi pemerintah terjadi di
seluruh provinsi di Wilayah Bali-Nustra, yaitu provinsi Bali, NTB, maupun NTT. Pertumbuhan paling tinggi
ditunjukkan oleh pertumbuhan konsumsi pemerintah Provinsi Bali yang tumbuh dari 33,7% pada triwulan
IV 2013 menjadi sebesar 39,5% (yoy). Berdasarkan data realisasi APBD Provinsi Bali triwulan I 2014,
realisasi belanja pemerintah Bali tumbuh sebesar 9,6%, meningkat dibandingkan dengan periode yang
sama tahun sebelumnya yang sebesar 8,6% (yoy). Peningkatan konsumsi pemerintah pada awal tahun
tersebut sejalan dengan pola yang terjadi pada tahun sebelumnya.
Pada triwulan II 2014, pertumbuhan konsumsi pemerintah diprakirakan melambat. Hal tersebut
disebabkan oleh meningkatnya dana simpanan pemerintah, yang selanjutnya akan berpengaruh
terhadap penurunan konsumsi pemerintah pada triwulan II 2014. Perlambatan pertumbuhan konsumsi
rumah tangga tersebut juga merupakan dampak tingginya pertumbuhan konsumsi pemerintah pada
periode yang sama pada tahun sebelumnya (base effect).
Investasi
Investasi di wilayah Bali-Nustra pada triwulan I 2014 mengalami kontraksi karena berakhirnya proyek
infrastruktur berskala besar di beberapa daerah. Menurunnya kinerja investasi juga tercermin dari
penyaluran kredit investasi Bali-Nustra yang tumbuh melambat dari 47,4% pada triwulan IV 2013
menjadi sebesar 41,9% (yoy) (Grafik II.3.3). Di Provinsi Bali, booming investasi telah terjadi sebelumnya,
yaitu pada tahun 2012 hingga semester I 2013 dalam rangka menyambut KTT APEC pada Oktober 2013.
Selain itu, fase pelebaran dinding tambang salah satu produsen utama tembaga di NTB juga telah selesai
pada akhir tahun 2013.
Pada triwulan II 2014, investasi wilayah Bali-Nustra diperkirakan mengalami kontraksi yang lebih dalam
dipengaruhi terutama oleh tertundanya rencana investasi sejumlah pelaku usaha tambang. Belum
adanya kepastian hasil renegosiasi bea keluar progresif untuk komoditas tembaga diperkirakan
memengaruhi langkah produsen utama tembaga di NTB untuk cenderung menunggu dalam melakukan
investasi. Selain itu, kebutuhan modal yang cukup besar berdampak terhadap tertundanya rencana
pembangunan smelter mangan di NTT. Lambatnya realisasi proyek MP3EI khususnya terkait
L a p o r a n N u s a n t a r a | 39
pembangunan industri garam di Teluk Kupang serta PLTU 2 Kupang juga turut diperkirakan memberikan
andil terhadap perlambatan investasi di wilayah Bali-Nustra.
Grafik II.3.3. Penyaluran Kredit Investasi Grafik II.3.4. Perkembangan Impor Barang Modal
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Pada triwulan I 2014, kinerja ekspor luar negeri Bali-Nustra mengalami perlambatan terimbas
berhentinya ekspor biji tembaga pasca berlaku efektifnya UU Minerba pada Januari 2014 (Grafik II.3.5).
Penurunan tersebut menyebabkan pangsa ekspor tembaga berkurang secara signifikan dari 51,2%
menjadi sebesar 15,2%. Selain itu, ekspor komoditas utama lainnya seperti ikan segar juga mengalami
penurunan karena kondisi cuaca yang kurang kondusif pada awal tahun (Grafik II.3.6).
Pada triwulan II 2014, kinerja ekspor luar negeri Bali-Nustra diperkirakan mengalami sedikit perbaikan,
didorong oleh peningkatan kinerja ekspor Bali yang didorong oleh ekspor komoditas perikanan. Ekspor
perikanan diharapkan meningkat seiring dengan kondusifnya kondisi cuaca bagi nelayan sepanjang
triwulan II 2014. Faktor penahan pertumbuhan ekspor Bali-Nustra diperkirakan bersumber dari belum
dapat terealisasinya pengiriman tembaga ke luar negeri, menunggu izin ekspor, serta adanya penerapan
bea keluar untuk ekspor mineral yang meningkat gradual hingga akhir tahun.
Sumber: Produsen Utama Tembaga Bali-Nustra, diolah
Grafik II.3.5. Perkembangan Ekspor Konsentrat Tembaga
Grafik II.3.6. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Utama
L a p o r a n N u s a n t a r a | 40
Impor
Impor luar negeri Bali-Nusra pada triwulan I 2014 tumbuh meningkat dipicu oleh peningkatan impor
barang modal dan barang baku (Grafik II.3.4). Berdasarkan komposisi penggunaannya, impor Bali-Nustra
didominasi oleh impor barang modal sebesar 61,3%, disusul oleh impor barang baku sebesar 36,6%, dan
impor barang konsumsi 2,1%. Meningkatnya impor barang modal dipengaruhi oleh mulai berjalannya
sejumlah proyek pemda.
Pada triwulan II 2014, impor Bali-Nustra diperkirakan mengalami perlambatan seiring dengan adanya
indikasi perlambatan kinerja investasi. Perlambatan impor diperkirakan akan terjadi di NTB dan NTT,
khususnya untuk impor kelompok barang modal yang memiliki pangsa paling besar terhadap total
keseluruhan impor. Berakhirnya fase pelebaran dinding tambang produsen utama tembaga di NTB serta
pembangunan hotel dan penginapan di NTT pasca-Sail Komodo pada tahun 2013 diperkirakan menjadi
faktor pendorong perlambatan impor Bali-Nustra.
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR)
Kinerja pariwisata Bali yang meningkat mendukung capaian pertumbuhan sektor PHR Bali-Nustra yang
sebesar 6,4% (yoy) pada triwulan I 2014. Hal ini didukung oleh meningkatnya jumlah kunjungan
wisatawan khususnya dari mancanegara ke Provinsi Bali sepanjang triwulan I 2014 yang tumbuh sebesar
14,9% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (14,0%, yoy) (Grafik II.3.7). Masuknya
libur awal tahun dan adanya liburan panjang di akhir Maret diperkirakan menjadi pendorong
peningkatan kunjungan wisatawan tersebut. Selain itu, penambahan rute pesawat Lombok – Kupang juga
dinilai mampu mendorong kinerja pertumbuhan di sektor PHR.
Untuk triwulan II 2014, sektor PHR diprakirakan dapat kembali tumbuh meningkat seiring dengan
masuknya peak season kunjungan wisatawan asing pada musim panas pada bulan Mei dan Juni.
Pelaksanaan Festival Komodo di Labuan Bajo, Provinsi NTT di bulan Mei 2014 juga diperkirakan dapat
turut berkontribusi pada pertumbuhan di sektor ini. Aktivitas perdagangan diperkirakan juga akan
mengalami peningkatan, khususnya untuk komoditas pertanian yang didorong oleh masuknya musim
panen raya pada bulan April di Bali dan NTT serta membaiknya kondisi cuaca dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Hasil SKDU pun menunjukkan adanya ekspektasi peningkatan kinerja baik harga
jual, maupun penggunaan tenaga kerja di sektor PHR Bali-Nustra (Grafik II.3.8).
Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi Bali, diolah
Grafik II.3.7. Jumlah Kunjungan Wisman ke Bali Grafik II.3.8. Hasil SKDU – Sektor PHR
L a p o r a n N u s a n t a r a | 41
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian Bali-Nustra pada triwulan I 2014 mengalami peningkatan terutama didorong
oleh adanya percepatan awal musim panen padi dan jagung di Provinsi NTB. Sektor pertanian tumbuh
sebesar 2,6% (yoy), meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 1,6% (yoy).
Berdasarkan rilis data terkini, luas tanam dan luas panen untuk padi dan jagung di Provinsi NTB
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Selain itu, panen raya jagung di Kabupaten Dompu,
Provinsi NTB dengan luas panen mencapai 20 ribu hektar juga menjadi faktor pendorong pertumbuhan
sektor pertanian. Dari sisi kredit, penyaluran kredit ke sektor pertanian mengalami peningkatan
pertumbuhan dari 1,4% menjadi sebesar 2,1% (yoy) pada triwulan I 2014 (Grafik II.3.9).
Sektor pertanian Bali-Nustra pada triwulan II 2014 diperkirakan masih mampu tumbuh di kisaran 2,0%
(yoy), didukung perkiraan peningkatan sektor pertanian di Provinsi Bali dan NTT, seiring masuknya panen
raya pada April dan Mei. Hasil SKDU Bank Indonesia pun menunjukkan adanya penurunan ekspektasi
harga jual untuk komoditas di sektor pertanian pada triwulan berjalan (Grafik II.3.10). Realisasi program
intensifikasi dan ekstensifikasi di NTT diperkirakan mampu meningkatkan produksi tanaman bahan
makanan (tabama) di provinsi ini pada triwulan II 2014. Kondisi cuaca juga relatif membaik sehingga
dapat mendukung kinerja subsektor perikanan dan perkebunan. Meskipun demikian, pertumbuhan yang
lebih tinggi tertahan oleh berakhirnya musim panen di NTB.
Grafik II.3.9. Perkembangan Kredit Sektor
pertanian
Grafik II.3.10. Hasil SKDU – Sektor pertanian (Harga Jual)
Sektor Pertambangan
Kinerja sektor pertambangan Bali-Nustra mengalami perlambatan yang cukup dalam pada triwulan I
2014. Setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh di kisaran 16,8% (yoy), pertumbuhan sektor
pertambangan Bali-Nustra hanya mampu tumbuh 0,7% (yoy). Perlambatan terutama didorong oleh
menurunnya kinerja sektor pertambangan NTB yang memiliki pangsa mencapai 87,8% terhadap total
sektor pertambangan Bali-Nustra. Produksi tembaga produsen utama di NTB menurun hingga 50% pasca
implementasi UU Minerba dan bea keluar progresif (Grafik II.3.11).
Pada triwulan II 2014, kinerja sektor pertambangan Bali-Nustra diperkirakan masih akan melambat
menunggu proses turunnya izin ekspor dan dengan belum adanya kesepakatan renegosiasi bea keluar
progresif untuk komoditas tembaga hingga akhir April 2014. Selain itu, produksi tembaga diperkirakan
akan mengalami penurunan untuk mengantisipasi kelebihan stok akibat kapasitas gudang diperkirakan
mencapai batas maksimalnya pada Juni 2014.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 42
Sumber: Produsen Utama Tembaga Bali-Nustra, diolah
Grafik II.3.11. Perkembangan Produksi Tembaga
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi Bali-Nustra hingga April 2014 relatif terkendali seiring dengan turunnya permintaan dan
membaiknya kondisi pasokan pangan pada awal tahun. Bencana banjir yang terjadi di sejumlah sentra
produksi di Jawa dan Sumatera tidak terlalu berdampak terhadap laju perkembangan harga pangan di
wilayah Bali-Nustra karena produksi lokal yang mencukupi. Meskipun demikian, tekanan inflasi masih
cukup tinggi pada komponen komoditas inflasi inti dan administered prices sebagai dampak penyesuaian
harga oleh pelaku usaha pada awal tahun, serta adanya kebijakan kenaikan harga LPG dan ongkos
angkutan udara. Tekanan inflasi administered prices akan semakin meningkat jika rencana kenaikan Tarif
Tenaga Listrik (TTL) industri terealisasi pada bulan Mei. Selain itu, tekanan kenaikan inflasi juga
bersumber dari kenaikan sewa rumah di Bali, kenaikan tarif angkutan udara, serta potensi kenaikan
inflasi untuk kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga pda bulan Juni menjelang masuknya tahun
ajaran baru. Dengan berbagai perkembangan tersebut, tingkat inflasi Bali-Nustra pada triwulan II 2014
diprakirakan akan berada di kisaran 7,1% – 7,6% (yoy).
Tabel II.3.1. Inflasi Bali-Nustra (yoy)
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di wilayah Bali-Nustra secara konsisten terus berupaya menjaga
stabilitas harga barang dan jasa. Dalam menjaga ekspektasi inflasi, seluruh provinsi di Bali-Nustra telah
membangun Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS). Di samping itu, secara rutin dilaksanakan
konverensi pers (press converence) untuk mengarahkan ekspektasi masyarakat serta menggaungkan
keberadaan TPID kepada masyarakat. Dalam hal kelembagaan, telah terbentuk TPID di seluruh kota basis
perhitungan inflasi di Bali-Nustra. Berbagai program untuk menjamin kesinambungan pasokan juga terus
L a p o r a n N u s a n t a r a | 43
dilakukan oleh seluruh TPID di Bali-Nustra dalam rangka menjaga stabilitas harga pangan. Beberapa
kegiatan yang telah dilaksanakan sampai dengan triwulan I 2014 di antaranya urban farming , percepatan
distribusi raskin, operasi mendadak (sidak), operasi pasar, pembatasan ekspor sapi, dan rekayasa genetik
tanaman cabai. Selain itu, terus dilakukan upaya pemantauan terhadap realisasi program kerja lima pilar
kesepakatan TPID wilayah Bali-Nustra, yang terdiri dari pilar kelembagaan, konektivitas dan distribusi,
regulasi, kajian dan informasi, serta edukasi.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Penyaluran kredit perbankan secara umum di wilayah Bali-Nustra pada triwulan I 2014 melambat. Kredit
pada triwulan I 2014 tercatat tumbuh sebesar 20,0% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yang tumbuh sebesar 22,3% (yoy) (Grafik II.3.12). Penurunan pertumbuhan tersebut
berkaitan dengan peningkatan suku bunga acuan sehingga mendorong naiknya suku bunga kredit dan
mengurangi insentif bagi para pengusaha untuk menambah porsi kredit. Penyaluran kredit di sektor
utama juga menunjukkan perlambatan. Meskipun kredit pada sektor jasa kemasyarakatan dan sosial
budaya sempat mengalami percepatan pertumbuhan pada akhir tahun 2013, pertumbuhan pada awal
tahun 2014 tetap menunjukkan kecenderungan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah. Tingkat
pertumbuhan yang mengalami penurunan drastis adalah penyaluran kredit pada sektor pertanian dan
sektor pertambangan. Penyaluran kredit pada sektor pertambangan bahkan sudah mengalami kontraksi
sejak triwulan II 2012, terkait dengan penurunan kinerja produsen utama tembaga di NTB. Khusus untuk
awal tahun 2014, kinerja sektor pertambangan juga terhambat penerapan UU Minerba. Sementara itu,
penyaluran kredit pada sektor pertanian juga tumbuh melambat sejak pertengahan tahun 2013 akibat
luas lahan pertanian yang terus menyusut sehingga mengurangi potensi peningkatan produksi pertanian
(Grafik II.3.13).
Grafik II.3.12. Penyaluran Kredit Perbankan Grafik II.3.13. Kredit Bank berdasarkan Sektor
Ekonomi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Pertumbuhan penyaluran kredit sektor rumah tangga pada triwulan I 2014 cenderung stabil mencapai
18,3% (yoy) pada triwulan I 2014 (Grafik II.3.14) sejalan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga
yang juga tumbuh stabil sebesar 6,4% (yoy). Namun, adanya peningkatan suku bunga acuan, serta
kebijakan LTV memengaruhi pertumbuhan penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) serta Kredit
Kendaraan Bermotor (KKB) yang terus berada dalam tren perlambatan sejak akhir tahun 2012. Pada
L a p o r a n N u s a n t a r a | 44
triwulan I 2014, KPR tumbuh melambat dari 32,3% menjadi sebesar 28,3% (yoy), sedangkan
pertumbuhan KKB mengalami kontraksi sebesar 1,9% (yoy) (Grafik II.3.15).
Grafik II.3.14. Penyaluran Kredit Konsumsi Grafik II.3.15. Pertumbuhan KPR dan KKB
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Sedikit berbeda dengan kredit korporasi dan rumah tangga, pertumbuhan kredit UMKM pada triwulan I
2014 menunjukkkan sedikit peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kredit UMKM pada
triwulan I 2014 tumbuh sebesar 24,5% (yoy), sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan
triwulan sebelumnya yang sebesar 24,0% (yoy). Pangsa kredit UMKM terhadap total keseluruhan kredit
pun menunjukkan peningkatan dari triwulan sebelumnya 36,5% menjadi sebesar 36,8%. Hal tersebut
menunjukkan indikasi positif. Pembiayaan kepada UMKM masih tergolong baik dengan pangsa yang
mulai meningkat, khususnya di Bali, mengingat industri UMKM memiliki peranan penting terhadap
pertumbuhan ekonomi Bali. Langkah untuk memperluas akses UMKM terus ditempuh antara lain dengan
meminimalkan kesenjangan informasi antara pihak perbankan dan UMKM. Dari sisi pengembangan
klaster, Bank Indonesia KPwDN Wilayah III (Bali dan Nusa Tenggara) berencana mengembangkan klaster
sapi di Bali pada tahun ini, menyusul Provinsi NTB dan NTT yang telah terbentuk lebih dulu.
Kinerja Sistem Pembayaran
Perlambatan aktivitas ekonomi Bali-Nustra pada triwulan I 2014 turut memengaruhi menurunnya
kebutuhan transaksi nontunai baik melalui kliring ataupun RTGS. Transaksi kliring melambat dari Rp 16,4
triliun menjadi sebesar Rp 13,6 triliun (Grafik II.3.16). Transaksi RTGS Bali-Nustra tumbuh melambat
dengan nominal sebesar Rp 134,7 triliun, dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai Rp
153,9 triliun (Grafik II.3.17).
Grafik II.3.16. Perkembangan Transaksi Kliring Grafik II.3.17. Perkembangan Transaksi RTGS
L a p o r a n N u s a n t a r a | 45
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Sesuai dengan karakteristiknya di awal tahun, transaksi pembayaran tunai pada triwulan I 2014
menunjukkan peningkatan dari sisi inflow dan penurunan dari sisi outflow. Setelah mengalami netoutflow
sebesar Rp3,3 triliun pada triwulan sebelumnya, kinerja pengelolaan uang tunai pada triwulan I 2014
berada pada posisi netinflow sebesar Rp2,9 triliun, dengan total inflow mencapai Rp6,5 triliun dan total
outflow sebesar Rp3,5 triliun. Terkait dengan pengedaran uang, Bank Indonesia di wilayah Bali-Nustra
telah melakukan kas keliling ke seluruh daerah yang ada di Bali, NTB, maupun NTT. Di Provinsi Bali,
kegiatan kas keliling dilakukan hingga ke Nusa Penida (Kapubaten Klungkung). Di Provinsi NTB, kegiatan
kas keliling telah dilakukan sampai ke Lunyuk, Sumbawa Besar, serta daerah Kolo dan Kempo. Sedangkan
di Provinsi NTT, kegiatan kas keliling dilakukan hingga ke Pulau Solor, Rote Ndao, Sabu Raijua, serta
Kabupaten Belu dan Malaka.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Dengan berbagai perkembangan terkini, prospek pertumbuhan ekonomi Bali-Nustra untuk keseluruhan
tahun 2014 diperkirakan melambat dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya yang sebesar
5,8% dan berada di kisaran 4,7% – 5,2% (yoy). Perlambatan terutama dipengaruhi oleh menurunnya
kinerja sektor pertambangan pascapenerapan UU Minerba, seiring dengan belum adanya indikasi adanya
perbaikan produksi tembaga di NTB. Meskipun demikian, pertumbuhan di sektor PHR dan Pertanian
diperkirakan mampu sedikit menopang pertumbuhan Bali-Nustra sepanjang tahun 2014. Dari sisi
permintaan, perlambatan pertumbuhan diperkirakan didorong oleh perlambatan investasi pada tahun
2014 sejalan dengan minimnya proyek berskala besar hingga akhir tahun.
Prospek Inflasi
Tekanan inflasi hingga akhir tahun 2014 diperkirakan relatif terkendali sehingga tingkat inflasi Bali-Nustra
dapat berada pada rentang 5,5% – 6,0% (yoy). Hal ini didukung oleh sejumlah faktor seperti membaiknya
ekspektasi masyarakat terhadap dinamika harga pada tahun 2014, ketersediaan stok komoditas pangan,
kebijakan impor, serta kembali lancarnya distribusi pangan dari Jawa ke wilayah Bali-Nustra yang sempat
menurunan akibat sejumlah bencana yang melanda daerah sentra di Jawa dan Sumatera. Meningkatnya
komitmen pemda melalui TPID pada upaya peningkatan produksi pangan dan kelancaran distribusi serta
kerjasama antardaerah diperkirakan sedikit banyak dapat mendukung terjaganya pasokan pangan.
Namun, perlu diwaspadai adanya sejumlah faktor risiko yang dapat menyebabkan tingkat inflasi menjadi
bias ke atas dari proyeksi, di antaranya faktor cuaca, tekanan nilai tukar, serta beberapa kebijakan
pemerintah seperti kenaikan harga LPG dan TTL yang turut memberikan tekanan pada inflasi
administered prices.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 46
Tabel II.3.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
I II III IV Total I IIp IIIp IVp Totalp
PDRB (%,yoy) 3.2 4.2 6.0 5.6 5.9 5.8 5.8 5.3 4.9 4.8 - 5.3 4.1 - 4.6 4.7 - 5.2
Sisi Permintaan
Konsumsi 6.7 4.2 5.1 6.3 7.5 7.7 6.7 8.1 8.6 9.5 - 10.0 8.3 - 8.8 8.5 - 9.0
Konsumsi swasta 6.4 4.3 4.6 5.6 5.6 6.4 5.5 6.4 7.6 8.7 - 9.2 7.0 - 7.5 7.3 - 7.8
Konsumsi Pemerintah 8.1 3.9 8.1 9.3 16.6 13.5 12.1 16.7 12.8 12.6 - 13.1 13.4 - 13.9 13.6 - 14.1
Pembentukan Modal Tetap Bruto 10.0 15.0 14.1 11.9 4.7 1.6 7.9 (2.8) (3.0) 4.4 - 4.9 2.3 - 2.8 0.1 - 0.6
Ekspor 2.7 2.5 3.0 6.2 12.3 10.1 8.0 11.1 12.9 13.5 - 14.0 14.3 - 14.8 12.9 - 13.4
Impor 10.2 5.9 9.6 12.1 15.0 13.4 12.7 14.4 13.5 13.4 - 13.9 12.4 - 12.9 13.2 - 13.7
Sisi Produksi
Sektor pertanian 2.4 4.2 2.3 2.7 2.7 1.6 2.3 2.6 2.0 2.4 - 2.9 2.7 - 3.2 2.3 - 2.8
Sektor pertambangan & penggalian (24.3) (23.7) 6.3 (1.3) 5.4 16.8 6.8 0.7 (1.7) (5.2) - (4.7) (14.7) - (14.2) (5.7) - (5.2)
Industri pengolahan 3.1 5.6 6.7 6.0 5.0 6.2 5.9 6.3 5.2 4.8 - 5.3 4.9 - 5.4 5.2 - 5.7
Listrik, gas & air bersih 7.9 8.5 9.5 9.3 8.2 7.6 8.6 4.7 4.6 4.4 - 4.9 4.4 - 4.9 4.4 - 4.9
Bangunan 6.6 10.3 12.7 8.5 2.2 (0.1) 5.5 2.5 2.8 4.3- 4.8 2.6 - 3.1 2.9 - 3.4
Perdagangan, hotel & restoran 8.4 6.6 6.6 7.0 6.6 6.1 6.5 6.4 7.0 6.9 - 7.4 6.3 - 6.8 6.5 - 7.0
Pengangkutan & komunikasi 6.6 6.9 5.3 5.6 6.3 6.9 6.0 6.9 6.5 6.3 - 6.8 5.4 - 5.9 6.1 - 6.6
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 7.5 8.8 8.6 8.2 7.0 7.8 7.9 7.5 7.4 6.9 - 7.4 5.6 - 6.1 6.7 - 7.2
Jasa-jasa 8.6 6.1 7.1 7.8 11.0 9.0 8.7 8.0 6.5 6.8 - 7.3 7.9 - 8.4 7.2 - 7.7
Inflasi IHK (%,yoy) 4.8 4.6 6.2 5.4 8.1 8.3 8.3 6.6 7.3 5.6 - 6.1 5.5 - 6.0 5.5 - 6.0
Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolahp proyeks i Bank Indones ia
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah 2011 20122013 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 47
Bagian III
Perekonomian Jawa
Pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan I 2014 sedikit melambat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Perlambatan tersebut lebih dipengaruhi oleh melambatnya ekonomi Jawa Bagian Barat
(Jawa Barat dan Banten) dan Jawa Bagian Tengah terkait dengan gangguan di sektor pertanian akibat
bencana banjir yang terjadi di awal tahun. Sementara itu, ekonomi Jakarta dan Jawa Bagian Timur
tumbuh meningkat terkait masih tingginya konsumsi dan selesainya pembangunan beberapa proyek
infrastruktur.
Kinerja perekonomian Jawa pada triwulan II 2014 diperkirakan akan meningkat, dan terjadi di seluruh
provinsi di seluruh wilayah (Jawa Bagian Timur, Jawa Bagian Tengah, Jawa Bagian Timur, Jakarta).
Pendorong pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya konsumsi dan membaiknya ekspor. Prediksi
kenaikan konsumsi terjadi baik dari sisi rumah tangga maupun pemerintah. Konsumsi rumah tangga
diperkirakan tumbuh menguat didorong oleh penyelenggaraan pemilu presiden 2014, kenaikan aktivitas
perdagangan, dan adanya liburan sekolah. Selain itu, realisasi belanja pemerintah diperkirakan
meningkat seiring dengan penyaluran dana bagi hasil dan bantuan keuangan provinsi (BKP) dari
pemerintah provinsi ke kabupaten/kota setelah sempat tertunda pada triwulan sebelumnya.
Perkembangan ekspor juga diperkirakan mulai membaik, walaupun masih dibayangi dinamika pemulihan
ekonomi global yang masih rentan. Namun, perkembangan investasi masih tertahan oleh kecenderungan
pelaku usaha untuk menunggu hasil pemilu presiden 2014.
Di sisi harga, perkembangan inflasi Jawa hingga April 2014 masih menunjukkan tren menurun. Hal ini
dipengaruhi oleh koreksi harga yang terjadi pada beberapa kelompok pangan, terutama komoditas
hortikultura. Bencana banjir yang terjadi pada awal tahun berdampak relatif minimal pada harga-harga.
Hal ini tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam memitigasi dampak banjir melalui peran Tim
Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Sebaliknya, kelompok administered prices cenderung meningkat
karena kenaikan harga elpiji 12 kg pada awal tahun 2014, pengenaan tarif surcharge angkutan udara, dan
pengenaan pajak rokok di beberapa daerah. Sementara itu, kenaikan inflasi inti masih relatif terbatas.
Tren penurunan inflasi diperkirakan akan berlanjut pada triwulan II 2014. Inflasi diperkirakan berada
pada kisaran proyeksi 6,9% - 7,4% (yoy). Hal ini didasarkan pada ketersediaan pasokan pangan yang
meningkat seiring masuknya puncak panen raya. Di sisi lain, kenaikan tarif listrik industri berpotensi
menahan laju penurunan inflasi pada triwulan berjalan. Selain itu, faktor musiman seperti liburan
sekolah, tahun ajaran baru, dan bulan Ramadhan diperkirakan akan memberikan tekanan pada harga-
harga. Menghadapi hal tersebut, TPID di berbagai daerah di Jawa telah melakukan beberapa langkah
persiapan untuk meminimalkan potensi tekanan inflasi, seperti penguatan kerjasama antardaerah yang
dilakukan Jakarta dengan beberapa daerah sentra produksi dan optimalisasi penggunaan moda
transportasi kereta api untuk pengangkutan pangan di Jawa Barat.
Pertumbuhan kredit perbankan di Jawa (berdasarkan lokasi proyek) pada akhir triwulan I 2014 mencapai
20,8% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 22,6% (yoy). Penyaluran
kredit perbankan di Jawa sebagian besar masih dialokasikan pada sektor-sektor utama, yaitu sektor
industri pengolahan (20,7%) dan sektor PHR (20,6%). Pertumbuhan kredit di dua sektor tersebut masih
tercatat tinggi, masing-masing sebesar 26,0% (yoy) dan 24,3% (yoy). Sementara itu, rasio NPL pada dua
L a p o r a n N u s a n t a r a | 48
sektor tersebut terjaga pada kisaran 2%. Berdasarkan penggunaan, separuh kredit di Jawa disalurkan
dalam bentuk kredit modal kerja Adapun pembiayaan kredit pada UMKM menunjukkan peningkatan
sebesar 15,1% (yoy) dengan risiko kredit terjaga di level 3,3%.
Perkembangan pengelolaan uang pada triwulan I 2014, masih sejalan dengan pola triwulanannya. Pada
triwulan tersebut, umumnya di Jawa mengalami netinflow. Sementara pada triwulan lainnya, tercatat
netoutflow. Netinflow di Jawa tercatat Rp26.139 triliun atau meningkat sebesar 23,0% (yoy).
Prospek ekonomi Jawa hingga akhir tahun 2014 diperkirakan masih cukup baik dan mampu tumbuh
cukup tinggi. Hal ini didorong oleh kuatnya konsumsi, baik swasta maupun pemerintah, serta ekspor.
Kuatnya konsumsi pada tahun 2014 didukung oleh adanya belanja konsumsi terkait pemilu dan
optimisme konsumen yang masih cukup tinggi. Sementara itu, kinerja investasi diperkirakan relatif stabil
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini didukung oleh adanya realisasi proyek infrastruktur,
yaitu pembangunan pabrik serat tekstil di Jawa Tengah, proyek MRT dan perluasan pelabuhan Tanjung
Priok di Jakarta, serta penyelesaian pelabuhan Teluk Lamong di Jawa Timur. Adapun risiko terbatasnya
peningkatan ekspor pada tahun 2014 terkait dengan potensi perlambatan ekonomi Tiongkok dan masih
rentannya pemulihan ekonomi global. Mencermati perkembangan terkini dan berbagai faktor risiko
tersebut, pertumbuhan ekonomi Jawa pada tahun 2014 diperkirakan tumbuh pada kisaran 6,0% - 6,4%
(yoy).
Inflasi hingga akhir tahun 2014 diperkirakan masih berada dalam tren yang menurun terutama didukung
oleh terjaganya pasokan pangan. Perkembangan terakhir mengindikasikan pasokan pangan yang
memadai, baik dari pasokan domestik maupun sumber lainnya, berdampak positif pada stabilitas harga
pangan di berbagai daerah di Jawa. Meski demikian, indikasi capaian produksi pangan domestik yang
tidak sebesar yang diperkirakan sebelumnya karena dampak bencana di awal tahun serta potensi El-Nino
di pertengahan tahun 2014 perlu terus diwaspadai. Risiko yang membayangi inflasi juga bersumber dari
dampak kenaikan tarif listrik industri yang mulai berlaku pada pertengahan triwulan II 2014 terhadap
harga jual barang konsumsi. Mencermati perkembangan terakhir dan beberapa faktor risiko tersebut,
inflasi berbagi daerah di Jawa secara agregat berada pada kisaran 4,9% - 5,3% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 49
Bagian III.1 Perekonomian Jawa Bagian Timur
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian wilayah Jawa Bagian Timur (Jabagtim) menunjukkan perbaikan pada triwulan I 2014
dengan tumbuh meningkat sebesar 6,4% (yoy). Selain dinamika ekonomi nasional yang memengaruhi
kinerja perekonomian Jabagtim, faktor global juga turut menjadi faktor. Perekonomian negara maju dan
secara khusus negara mitra dagang yang sedikit membaik, berdampak pada surplus neraca perdagangan
luar negeri Jabagtim. Sejalan dengan hal itu, kinerja Industri meningkat guna memenuhi permintaan
ekspor. Di sisi domestik, permintaan kelompok rumah tangga juga masih kuat pada triwulan ini.
Sementara realisasi investasi terutama di sektor riil cenderung tertahan.
Tren perbaikan ekonomi Jabagtim diperkirakan masih terjadi di triwulan II 2014. Kinerja sektor riil, yakni
sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) serta sektor industri pengolahan diperkirakan meningkat
dalam merespon peningkatan konsumsi rumah tangga pada masa liburan sekolah. Beberapa pelaku
usaha juga mulai meningkatkan produksinya dalam rangka mengantisipasi tingginya permintaan
menjelang bulan puasa dan lebaran. Neraca perdagangan diperkirakan masih mengalami surplus
didorong oleh kondisi global yang kondusif khususnya di negara maju. Selain itu, konsumsi Pemerintah
Daerah juga diperkirakan meningkat seiring dengan pengeluaran Pemilu Presiden 2014. Sementara
investasi diperkirakan tumbuh stabil. Pada keseluruhan 2014, pertumbuhan ekonomi Jabagtim
diprakirakan lebih tinggi dibandingkan dengan 2013, yakni di kisaran 6,4% - 6,8% (yoy) atau sama dengan
prakiraan pada triwulan sebelumnya.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga Jabagtim masih berada dalam tren peningkatan pada triwulan I 2014. Kenaikan
UMK di angka 26% mendorong peningkatan pendapatan masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan
Pemilihan Legislatif (Pileg) turut menambah tingkat pengeluaran masyarakat Jatim. Peningkatan
konsumsi rumah tangga terutama terjadi pada komoditas makanan, minuman dan tembakau serta
barang budaya dan rekreasi yang ditunjukkan oleh indeks omset riilnya (Grafik III.1.1) . Faktor tersebut
mendorong konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 8,3% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang mencapai 8,2%. Dari sisi pembiayaan, tren kredit konsumsi menunjukkan
pertumbuhan yang melambat (Grafik III.1.3) seiring dengan adanya pembatasan kredit konsumtif dan
akselerasi kredit produktif yang disalurkan perbankan di Jabagtim. Untuk keseluruhan tahun 2014,
konsumsi rumah tangga tetap menjadi kontributor utama pertumbuhan di wilayah Jabagtim.
Pada triwulan II 2014, konsumsi rumah tangga diperkirakan masih berada dalam tren peningkatan.
Respon atas pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) diperkirakan lebih tinggi dibandingkan dengan
Pileg. Hal ini terindikasi dari Survei Konsumen (SK) di beberapa kota besar yang menunjukkan tingginya
ekspektasi masyarakat terhadap perekonomian (Grafik III.1.2). Pada triwulan ini, masyarakat juga
cenderung melakukan konsumsi yang lebih tinggi untuk mengantisipasi momen puasa dan libur sekolah.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 50
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di wilayah Jabagtim mengalami peningkatan di
triwulan I 2014 bila dibandingkan dengan periode yang sama di 2013. Pertumbuhan konsumsi
pemerintah pada triwulan I 2014 mencapai 2,6%. Namun, sesuai pola musimannya, realisasi belanja
pemerintah di awal tahun yang lebih rendah disebabkan oleh terlambatnya pengesahan APBD di
beberapa kab/kota. Selain itu, belum ditransfernya dana bagi hasil daerah dari pemerintah pusat turut
menyebabkan fenomena ini.
Realisasi penerimaan pada APBD provinsi maupun kabupaten/kota di Jawa Timur pada triwulan I 2014
cenderung meningkat dengan realisasi belanja yang masih tergolong rendah. Empat wilayah (Kota
Surabaya, Kota Kediri, Kabupaten Jember dan Kabupaten Sidoarjo) yang menyumbang 17% APBD Jawa
Timur mengalami surplus di triwulan ini (Grafik III.4). Diperkirakan, pada triwulan II 2014, pertumbuhan
belanja akan semakin meningkat dengan dukungan penyelenggaraan Pilpres. Selain itu, realisasi
pembangunan infrastruktur di Jabagtim juga berpotensi tumbuh meningkat pada triwulan berjalan.
Grafik III.1.1. Indeks Omset Riil Grafik III.1.2. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Grafik III.1.3. Kinerja Kredit Konsumsi Grafik III.1.4. Realisasi Pend. & Belanja Tw. I 2014
Investasi
Kinerja investasi di triwulan I 2014 tumbuh lebih rendah sebesar 7,5% (yoy) dibandingkan dengan
triwulan IV 2013 (7,7%). Perlambatan investasi terutama dari Penanaman Modal Asing (PMA) yang
tercatat mencapai -75,2% (yoy). Sementara investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
cenderung meningkat sebesar 18,1% (Grafik III.1.5). Berdasarkan hasil liaison dan survei, kenaikan Upah
Minimum Kota (UMK) di awal tahun 2014 memberikan sentimen negatif terhadap minat investor asing
maupun dalam negeri untuk berinvestasi di Jawa Timur. Faktor perlambatan investasi juga disebabkan
karena investor lebih memilih untuk melakukan wait and see terhadap hasil Pilpres 2014, sebagaimana
L a p o r a n N u s a n t a r a | 51
tercermin dari melambatnya impor barang modal (Grafik III.1.6). Pelemahan investasi di Jawa Timur pada
triwulan I 2014 juga diindikasikan dari penyaluran kredit investasi yang tumbuh menurun dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya.
Grafik III.1.5. Realisasi Investasi Jabagtim Grafik III.1.6. Perkembangan Impor Barang Modal
Pada triwulan II 2014, investasi diperkirakan masih tumbuh melambat, meskipun terdapat beberapa
proyek pembangunan infrastruktur yang masih terus berjalan. Di antara proyek infrastruktur di Jawa
Timur yang akan mendukung kinerja investasi adalah pengembangan Alur Pelayaran Barat Surabaya
(APBS) Tahap I, penyelesaian Bandara Notohadinegoro Jember dan Bandara Blimbingsari Banyuwangi
serta penyelesaian Jalan Tol Mojokerto – Kertosono. Selain itu, upaya Pemerintah Daerah untuk terus
mendorong pembangunan beberapa smelter di tahun ini diharapkan menahan laju perlambatan investasi
hingga akhir tahun 2014. Hingga saat ini, terdapat dua perusahaan smelter yang tengah melakukan
pembangunan, yakni di Kabupaten Tuban dan Situbondo.
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor luar negeri Jabagtim pada triwulan I 2014 mengalami perlambatan sebagai pengaruh dari
penurunan volume ekspor hasil olahan logam (dampak UU Minerba) dan indikasi terjadinya perlambatan
permintaan di kawasan Asia (China & ASEAN) seperti terlihat pada Grafik III. 7. Meski demikian, upaya
diversifikasi negara tujuan terlihat mulai membuahkan hasil dengan meningkatnya permintaan ke Afrika
dan Timur Tengah. Perlambatan ekspor diikuti dengan impor yang menurun, sehingga neraca
perdagangan Jabagtim surplus sebesar 438 juta USD (Grafik III.8).
Pada triwulan II 2014, ekspor diperkirakan tumbuh stabil seiring dengan semakin positifnya
perekonomian negara maju dan upaya diversifikasi tujuan ekspor. Pertumbuhan industri hilir di negara
lain, seperti industri makanan dan minuman akan turut mendorong ekspor minyak nabati dan hewani
serta bahan kimia organik dari Jabagtim. Potensi peningkatan harga emas perhiasan turut meningkatkan
kinerja ekspor perhiasan dan mutiara di Jabagtim.
Impor
Kinerja impor di Triwulan I 2014 menunjukkan penurunan sejalan dengan masih terbatasnya kinerja
eskpor manufaktur (Grafik III.8). Impor Jawa Timur yang sebagian besar didominasi oleh barang modal
masih relatif terbatas sejalan dengan kecerungan pelaku usaha di Jawa Timur untuk menahan ekspansi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 52
Berdasarkan klasifikasi HS 2-digit, impor Jawa Timur di awal tahun 2014 didominasi oleh komoditas
mesin industri (14,8% dari total impor), besi baja (9,53%) dan plastik (7,14%). Pada Triwulan II 2014,
impor Jawa Timur diperkirakan meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan domestik
masyarakat di Jabagtim dan meningkatnya impor bahan baku industri dalam memenuhi permintaan
tahun ajaran baru dan Lebaran.
Grafik III.1.7. Kinerja Perdagangan LN & DN Grafik III.1.8. Neraca Perdagangan Ekspor LN
Grafik III.1.9. Negara Utama Tujuan Ekspor Grafik III.1.10. Bongkar Muat Ekspor DN (Tj.Perak)
Perdagangan Antar Daerah
Net ekspor perdagangan antar daerah di wilayah Jabagtim pada triwulan I 2014 relatif stabil di tengah
pertumbuhan ekspor ke daerah lain yang cenderung meningkat. Membaiknya perdagangan domestik
terutama didukung oleh posisi Jawa Timur sebagai hub antara wilayah Indonesia Bagian Barat dengan
Indonesia Bagian Timur. Meski baik nilai maupun volume barang yang dikirim melalui Pelabuhan Tanjung
Perak cenderung menurun (Grafik III.13), namun jalur perdagangan darat diyakini masih cukup kuat.
Penurunan permintaan daerah di luar Jawa terutama pada komoditas makanan dari KTI seperti beras dan
Jagung serta komoditas hasil industri makanan dan minuman. Permintaan bahan makanan dari KTI
diyakini telah mencapai puncaknya pada triwulan sebelumnya (libur Natal dan Tahun Baru).
Kinerja Sektor Utama
Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR)
Sektor PHR mengalami perlambatan pada pada triwulan I 2014 yang disebabkan oleh menurunnya sub
sektor perdagangan besar. Masih terbatasnya transaksi perdagangan luar negeri Jabagtim menjadi faktor
penyebab perlambatan pertumbuhan sektor ini. Namun, tingginya kinerja subsektor hotel dan restoran
dapat menahan perlambatan sektor PHR. Hal ini terkonfirmasi dari peningkatan konsumsi listrik bisnis
L a p o r a n N u s a n t a r a | 53
(Grafik III.1.11). Informasi dari liaison mengindikasikan peningkatan yang signifikan pada tingkat hunian
kamar dari hotel-hotel bintang empat ke bawah. Sementara tingkat hunian hotel bintang lima cenderung
menurun akibat bergesernya preference konsumen pada hotel bintang empat (Grafik III.1.12).
Perbaikan kinerja di subsektor pariwisata diperkirakan terus berlanjut hingga triwulan II 2014 sebagai
pengaruh dari banyaknya momentum libur yang dimanfaatkan masyarakat dengan mengunjungi beragam
tempat wisata. Dengan diresmikannya bandara Banyuwangi dan Jember pada triwulan ini, diharapkan
kunjungan wisatawan mancanegara semakin meningkat, mengingat tingginya potensi obyek wisata di
kedua daerah ini.
Grafik III.1.11. Konsumsi Listrik Bisnis Grafik III.1.12. Indikator Subsektor Hotel
Sektor Industri Pengolahan
Kinerja sektor industri pengolahan mengalami peningkatan di triwulan I 2014 (6,81% - yoy) seiring
dengan meningkatnya permintaan domestik khususnya dipengaruhi oleh meningkatnya konsumsi
masyarakat di Kawasan Jawa. Menguatnya nilai tukar Rupiah pada level Rp 11.431/USD dengan fluktuasi
yang cenderung stabil turut berkontribusi pada menguatnya laba hasil usaha sektor industri pengolahan,
terutama yang berorientasi ke pasar luar negeri. Meski demikian, relatif tingginya biaya produksi,
terutama biaya energi dan biaya upah tenaga kerja berpotensi menekan kinerja sektor industri
pengolahan. Berdasarkan hasil liaison, ekspansi usaha serta peningkatan kapasitas produksi di sektor ini
relatif terbatas. Namun, masih rendahnya nilai tambah industri di Jawa Timur di tengah tingginya konten
impor bahan baku, merupakan permasalahan yang krusial. Adapun upaya mendorong subtitusi impor
dan peraturan pelarangan ekspor bahan mentah SDA telah digaungkan.
Grafik III.1.13. Indeks Produksi & Kapasitas Industri Grafik III.1.14. Konsumsi Listrik Industri
L a p o r a n N u s a n t a r a | 54
Faktor risiko yang perlu diwaspadai bagi keberlanjutan sektor industri pengolahan terkait dengan
peningkatan tarif listrik industri untuk perusahaan yang go public dan industri besar. Kebijakan
penerapan tarif tenaga listrik diperkirakan menambah biaya operasional perusahaan sebesar 20%.
Namun, tingginya permintaan global dan domestik di triwulan II 2014 mampu menahan penurunan
kinerja sektor ini. Pertumbuhan sektor industri pengolahan diperkirakan relatif stabil pada triwulan ini.
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian di triwulan I 2014 menunjukkan peningkatan. Hal ini dikonfirmasi dari indikator
luas lahan panen padi yang mengalami peningkatan sebesar 33,48% (Grafik III.1.16). Dimulainya masa
panen dan relatif berkurangnya curah hujan di sentra-sentra utama mendorong meningkatnya produksi
di sektor ini. Namun, keterbatasan lahan menyebabkan para petani memilih menanam komoditas
pertanian yang relatif menguntungkan sehingga masih terdapat potensi kurangnya pasokan pada
komoditas tertentu.
Grafik III.1.15. Perkembangan Kinerja Subsektor
Pertanian Grafik III.1.16. Luas Lahan Tanam dan Panen Padi
Pada triwulan II 2014, kinerja sektor pertanian diperkirakan mengalami peningkatan seiring dengan
semakin tingginya hasil panen di beberapa wilayah. Meski demikian, terdapat risiko El Nino yang perlu
diwaspadai mengingat telah terindikasi dimulainya musim kemarau pada awal bulan Mei yang berpotensi
memberikan dampak ke produksi padi. Sementara itu, produksi tanaman palawija, khususnya kedelai
dan jagung serta tembakau diperkirakan masih cukup baik.
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi Jabagtim hingga April 2014 mencapai 6,75% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan inflasi
nasional yang mencapai 7,25% (Grafik III.1.17). Berdasarkan disagregasinya secara tahunan, inflasi
Jabagtim didorong oleh peningkatan harga di kelompok administered prices. Kenaikan tarif angkutan
udara dan harga bahan bakar rumah tangga menjadi penyebab meningkatnya tekanan inflasi di
kelompok administered prices. Sementara itu, terjaganya ekspektasi inflasi, moderasi permintaan
domestik serta surutnya dampak nilai tukar turut menjaga inflasi inti. Tibanya masa panen raya
beberapa komoditas strategis turut mendorong peningkatan pasokan pangan. Hal ini menyebabkan
inflasi di kelompok volatile foods kembali pada pola normalnya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 55
Grafik III.1.17. Perkembangan Inflasi Tw I 2014 Grafik III.1.18. Disagregasi Inflasi Tw I 2014
Pada triwulan II 2014, inflasi Jawa Timur diperkirakan berada di kisaran 6,3% - 6,5% (yoy), dengan
penyumbang inflasi terbesar masih pada kelompok administered prices akibat kenaikan tarif tenaga listrik
industri per 1 Mei 2014. Selain itu, rencana penyesuaian tarif bahan bakar rumah tangga (LPG 12 kg) jika
tidak diimbangi dengan ketersediaan LPG 3 kg akan berdampak pada peningkatan inflasi kelompok ini.
Pada kelompok inflasi inti, masih belum stabilnya harga komoditas internasional dan dampak lanjutan
dari kenaikan tarif tenaga listrik industri berpotensi meningkatkan biaya produksi industri. Namun, inflasi
inti diperkirakan masih dalam level yang stabil sejalan dengan downward risk dari potensi penurunan
harga emas internasional. Inflasi kelompok volatile foods diproyeksikan terjaga di level stabil seiring
dengan tibanya panen sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan. Meski demikian, terdapat risiko peningkatan
permintaan seiring dengan masuknya bulan Ramadhan. Secara keseluruhan 2014, inflasi Jabagtim masih
searah dengan proyeksi inflasi nasional di kisaran 4,5% + 1%.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Strategi penguatan koordinasi pengendalian inflasi dari aspek kelembagaan dilakukan dengan
mendorong pembentukan TPID di tingkat Kab/Kota. Saat ini telah terbentuk 27 TPID Kab/Kota,
sedangkan 11 lainnya masih dalam proses pembentukan. Adapun program utama dari TPID Jawa Timur
saat ini adalah penyusunan Indonesia Network sebagai langkah awal penguatan produksi, distribusi dan
konektivitas antar wilayah dalam wadah TPID. TPID Jawa Timur juga berinisiatif melakukan pengukuran
inflasi kota non perhitungan BPS dalam rangka asesmen dan monitoring. Selain itu, juga dilakukan upaya
memperkaya data komoditas dan informasi harga produsen yang akan dipublikasikan melalui sistem
informasi pangan (www.siskaperbapo.com). Untuk mengarahkan ekspektasi inflasi, juga dilaksanakan
penguatan diseminasi informasi melalui media dan jejaring sosial.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Perkembangan kinerja bank umum di Jawa Timur sampai triwulan I 2014 menunjukkan pertumbuhan
yang stabil dengan tren melambat. Tercatat total aset bank umum di Jawa Timur pada periode laporan
adalah sebesar Rp 421,5 triliun atau tumbuh 16,3% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan
pertumbuhan triwulan IV 2013 yang tercatat sebesar 18,9% (yoy). Kinerja penghimpunan Dana Pihak
Ketiga (DPK) tumbuh 15,7% (yoy) hingga mencapai Rp 332,5 triliun yang juga lebih rendah dibandingkan
dengan pertumbuhan pada triwulan IV 2013 sebesar 15,9% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 56
Dari sisi kredit, pertumbuhan penyaluran kredit bank umum baik berdasarkan lokasi bank pelapor
maupun lokasi proyek pada periode laporan tumbuh melambat. Jumlah kredit berdasarkan lokasi bank
pelapor mencapai Rp 304,41 triliun di Jawa Timur atau tumbuh 23,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan
triwulan IV 2013 (26,4%). Sementara itu, kredit berdasarkan lokasi proyek yang disalurkan bank umum di
Jawa Timur tercatat lebih tinggi (Rp 344,75triliun) atau tumbuh 21,8% (yoy).
Grafik III.1.19. Penyaluran Kredit Grafik III.1.20. Penyaluran Kredit Sektor Utama
Tingginya rasio penyaluran kredit perbankan terhadap DPK hingga mencapai 91,6% (berdasarkan lokasi
bank) dan 103,7% (berdasarkan lokasi proyek) didukung oleh terjaganya risiko kredit di level cukup
rendah. Risiko kredit yang tercermin dari rasio Non Performing Loan (NPL) triwulan I 2014 adalah sebesar
2,1%, lebih tinggi apabila dibandingkan dengan triwulan IV 2013 yang tercatat lebih rendah yaitu di
kisaran 1,8%.
Ditinjau dari sisi sektoral, penyaluran kredit di Jawa Timur masih didominasi pada tiga sektor ekonomi
utama yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan besar dan eceran, serta sektor pertanian.
Kredit sektor industri pengolahan memiliki proporsi terbesar yaitu 29,1% atau sebesar Rp 88,69 triliun.
Adapun kredit sektor perdagangan besar dan eceran memperoleh porsi terbesar kedua yaitu mencapai
Rp 78,13 triliun atau 25,7%. Sementara itu, kredit sektor pertanian memiliki porsi 2,7% atau sebesar Rp
8,16 triliun. Rendahnya porsi pembiayaan ke sektor pertanian disebabkan oleh masih tingginya risiko
kredit yang mencapai 5,1%. Di sisi lain, rendahnya NPL sektor industri pengolahan dan perdagangan pada
level 2% menjadi faktor masih tingginya penyaluran kredit di sektor industri pengolahan.
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Seiring dengan tingginya pertumbuhan ekonomi Jawa Timur, permintaan kredit konsumsi masyarakat
khususnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) masih terus
menunjukkan peningkatan. KPR tercatat tumbuh sebesar 26,4% (yoy) atau sebesar Rp 27,83 triliun, lebih
rendah dari pertumbuhan di triwulan IV 2013 (32,1%). KPR terbesar adalah untuk pembelian rumah
dengan tipe 22 s.d 70 (44,2% dari total KPR yang disalurkan) yang juga mengalami pertumbuhan tertinggi
sebesar 30,6% (yoy). Hal tersebut terkait dengan masih tingginya kebutuhan rumah tinggal.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 57
Grafik III.1.21. Penyaluran Kredit Grafik III.1.22. Penyaluran Kredit Sektor Utama
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Sampai dengan triwulan I 2014, jumlah kredit UMKM yang disalurkan mencapai Rp 85 triliun atau
tumbuh 19,1% (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan di triwulan IV 2013
(20,5%). Penyaluran kredit UMKM di Jawa Timur sebagian besar ke tiga sektor utama yaitu sektor
perdagangan besar dan eceran (54,7%), sektor industri pengolahan (13,1%) dan sektorpertanian (68%).
NPL kredit UMKM tertinggi terdapat pada sektor pertanian yaitu di kisaran 7,11%. Penyaluran kredit
UMKM terbesar di kotamadya/kabupaten Jawa Timur, diantaranya Surabaya (41,30%), Kota Malang
(9,21%), Kota Kediri (5,74%) dan Kabupaten Jember (5,15%).
Grafik III.1.23.Penyaluran KreditUMKM Grafik III.1.24. NPL Kredit UMKM
Kinerja perbankan di Jawa Timur pada triwulan II 2014 diperkirakan tetap tumbuh stabil dengan tren
peningkatan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Beberapa momen pertengahan tahun seperti
persiapan tahun ajaran baru, liburan sekolah serta persiapan bulan Ramadhan berpotensi mendorong
penyaluran kredit perbankan khususnya kredit konsumsi.
Kinerja Sistem Pembayaran
Pada periode awal tahun 2014, transaksi keuangan nontunai dengan menggunakan sistem RTGS dan
kliring di Jawa Timur tumbuh melambat dibandingkan periode sebelumnya. Tercatat transaksi kliring
secara nominal mencapai Rp 44,55 triliun dengan jumlah warkat kliring sebanyak 1,17 juta lembar.
Jumlah tersebut meningkat 0,4% (qtq) dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara itu, nominal
transaksi RTGS mencapai Rp 392,4 triliun dengan volume sebanyak 377.063 transaksi. Apabila ditinjau
L a p o r a n N u s a n t a r a | 58
secara historis, tren penurunan transaksi sistem pembayaran non tunai pada awal tahun terkait dengan
penurunan aktivitas perekonomian.
Grafik III.1.25. Transaksi RTGS Grafik III.1.26. Transaksi Kliring
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Pada triwulan I 2014, jumlah aliran uang kartal dari dan ke Bank Indonesia di wilayah Jawa Timur kembali
menunjukkan posisi net inflow (Rp. 9,05 Triliun). Tercatat inflow Jatim mencapai Rp 18,02 Triliun, lebih
tinggi dibandingkan dengan outflow (Rp 8,97 triliun). Net inflow yang terjadi terkait dengan kembali
normalnya aktivitas ekonomi masyarakat pasca liburan natal 2013 dan tahun baru 2014.
Grafik III.1.27. Temuan UPAL Grafik III.1.28. Perkembangan Netflow
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Secara keseluruhan 2014, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Jabagtim mencapai 6,4 - 6,8% (yoy),
cenderung meningkat dibandingkan tahun 2013 yang mencapai 6,55%. Faktor utama pendorong
perbaikan perekonomian di triwulan II 2014 adalah kinerja sektor utama, yakni sektor pertanian dan
sektor industri pengolahan yang meningkat sebagai dampak dari membaiknya produksi pertanian serta
meningkatnya permintaan domestik pada produk manufaktur. Efisiensi waduk dan irigasi serta
penganekaragaman komoditas yang ditanam menjadi salah satu faktor yang menahan penurunan
produksi bahan pangan. Nilai tukar yang mulai menemukan keseimbangan baru juga menjadi salah satu
faktor pendorong perbaikan kinerja sektor perdagangan Jabagtim.
Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga dan pemerintah diperkirakan meningkat seiring dengan
belanja Pemilu 2014. Dampak Pemilu terbesar diperkirakan pada triwulan II yaitu pada saat pelaksanaan
Pilpres 2014. Sementara itu, investasi diperkirakan mampu tumbuh lebih tinggi, seiring dengan telah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 59
diselesaikannya banyak proyek infrastruktur dan ekspansi industri logam dan kimia organik. Faktor risiko
yang perlu diwaspadai pada tahun 2014 adalah rendahnya daya saing produk Jabagtim menjelang
pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean 2015, khususnya pada produk UMKM.
Prospek Inflasi
Pada tahun 2014, inflasi Jabagtim diproyeksikan berada di kisaran 4,9% - 5,4% (yoy) atau kembali pola
normal untuk mendukung pada sasaran inflasi nasional. Di bawah ini adalah beberapa faktor risiko inflasi
di 2014 yang berpotensi memengaruhi realisasi inflasi Jabagtim pada 2014.
Downward Risk
- Hilangnya dampak base effect dari kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) di 2013.
- Inflasi kelompok bahan makanan juga diperkirakan relatif stabil di kisaran 7% - 8% yang dipicu oleh
minimnya kendala impor. Impor bahan makanan diprediksi dapat menutupi pasokan domestik yang
diperkirakan sedikit terganggu sebagai dampak El Nino dan pergeseran masa tanam.
- Sentra produksi di Jawa Timur telah memiliki kualitas yang baik dan produktivitas tinggi.
Upward Risk
- Potensi peningkatan harga emas perhiasan domestik di kisaran 3% - 4%
- Potensi kenaikan inflasi kelompok administered prices melalui penyesuaian kembali tarif listrik
industri dan bahan bakar rumah tangga (LPG 12 kg).
- Masih berlanjutnya kenaikan harga komoditas rokok.
- Tata niaga pasar yang belum mendukung distribusi barang secara optimal ke semua daerah di
Jabagtim.
Tabel III.3.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
I II III IV Total I IIp IIIp IVp Totalp
PDRB (%,yoy) 7.2 7.3 6.6 6.9 6.5 6.2 6.5 6.4 6.5 6.5- 7.0 6.6 - 7.1 6.4 - 6.9
Sisi Permintaan
Konsumsi 6.8 6.9 6.3 6.6 7.1 7.7 7.5 7.9 7.9 7.6 - 8.1 7.3 - 7.8 6.9 - 7.4
Konsumsi swasta 7.4 6.1 6.8 6.9 7.5 8.2 8.0 8.2 8.3 8.0 - 8.5 7.9 - 8.4 7.3 - 7.8
Konsumsi Pemerintah 1.3 0.2 0.3 2.8 2.5 2.9 2.2 2.6 4.1 2.8 - 3.3 1.8 - 2.3 2.7 - 3.2
Pembentukan Modal Tetap Bruto 9.7 5.4 6.1 6.3 6.5 7.7 6.3 7.5 6.9 7.1 - 7.6 7.3 - 7.8 7.4 - 7.9
Ekspor 11.1 11.6 8.5 6.9 5.5 5.3 6.8 9.2 9.1 8.1 - 8.6 8.3 - 8.8 8.2 - 8.7
Impor 7.6 9.8 5.6 5.0 4.9 6.0 5.3 7.4 8.1 7.2 - 7.7 7.0 - 7.5 7.4 - 7.9
Sisi Produksi
Sektor pertanian 2.5 3.5 1.4 1.4 1.9 1.7 1.6 1.8 3.0 1.9 - 2.4 1.5 - 2.0 1.9 - 2.4
Sektor pertambangan & penggalian 6.1 2.3 2.9 2.3 4.7 3.2 3.3 4.6 2.4 1.9 - 2.4 3.3 - 3.8 2.8 - 3.3
Industri pengolahan 6.1 6.3 5.2 6.6 5.4 5.3 5.6 6.8 6.0 6.0 - 6.5 5.7 - 6.2 6.0 - 6.5
Listrik, gas & air bersih 6.2 6.2 5.6 4.6 4.6 4.2 4.7 4.9 5.0 4.9 - 5.4 4.5 - 5.0 4.7 - 5.2
Bangunan 9.1 7.1 8.3 10.5 8.5 9.0 9.1 9.5 8.2 8.8 - 9.3 8.8 - 9.3 8.7 - 9.2
Perdagangan, hotel & restoran 9.8 10.1 9.4 8.9 8.5 7.7 8.6 6.8 8.2 8.2 - 8.7 8.3 - 8.8 7.7 - 8.2
Pengangkutan & komunikasi 11.4 9.6 11.0 10.0 10.7 10.1 10.4 9.5 9.4 9.8 - 10.3 9.0 - 9.5 9.3 - 9.8
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 8.2 7.9 8.5 8.2 7.4 6.7 7.7 7.7 7.3 7.0 - 7.5 7.3 - 7.8 7.2 - 7.7
Jasa-jasa 5.1 5.1 5.7 5.7 5.0 5.0 5.3 8.4 4.8 5.8 - 6.3 6.1 - 6.6 6.1 - 6.6
Inflasi IHK (%,yoy) 4.3 4.5 6.8 5.9 7.8 7.6 7.6 6.6 6.4 4.4 - 4.9 4.9 - 5.4 4.9 - 5.4
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolahp proyeksi Bank Indonesia
Pertumbuhan
Ekonomi dan Inflasi Wilayah2011 2012
2013
L a p o r a n N u s a n t a r a | 60
Bagian III.2 Perekonomian Jawa Bagian Tengah
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian wilayah Jawa Bagian Tengah (Jabagteng) tumbuh melambat pada triwulan I 2014
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Jabagteng tumbuh melambat dari 5,4% (yoy) menjadi 5,3%
(yoy). Secara spasial, Jawa Tengah tumbuh melambat sementara DI Yogyakarta mengalami peningkatan
pertumbuhan. Sumber utama perlambatan ekonomi Jabagteng pada triwulan I 2014 adalah melemahnya
kinerja ekspor yang dibarengi dengan melambatnya konsumsi. Di sisi lain, impor masih tumbuh
meningkat.
Perkembangan berbagai indikator ekonomi terakhir mengindikasikan perekonomian wilayah Jabagteng
tumbuh meningkat pada triwulan II 2014. Perbaikan utamanya didorong oleh kenaikan ekspor dan
konsumsi. Hal ini terkait dengan optimisme konsumen dan pelaku usaha dalam memandang kondisi
perekonomian ke depan. Optimisme pelaku usaha terutama didasari oleh potensi peningkatan
permintaan domestik maupun ekspor luar negeri. Konsumsi swasta maupun pemerintah diperkirakan
meningkat pada triwulan berjalan. Demikian pula, ekspor diperkirakan akan mampu tumbuh meningkat
sejalan dengan membaiknya perekonomian sejumlah negara yang menjadi tujuan utama ekspor
Jabagteng. Secara sektoral, perbaikan sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) serta sektor
industri pengolahan diperkirakan menjadi faktor pendorong perekonomian Jabagteng pada triwulan II
2014. Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi wilayah Jabagteng pada 2014 diperkirakan tetap dapat
tumbuh stabil dibandingkan dengan tahun 2013 (5,5% - 6,0%, yoy) dengan dukungan dari kinerja ekspor
dan masih kuatnya konsumsi.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga tumbuh meningkat pada triwulan I 2014 dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Hal ini juga tercermin pada membaiknya kinerja sektor PHR. Penanganan dampak banjir
yang terjadi di awal tahun tergolong cukup baik sehingga tidak menghambat aktivitas perdagangan dan
belanja masyarakat. Menguatnya konsumsi rumah tangga juga didukung oleh naiknya pertumbuhan
konsumsi lembaga swasta nirlaba dari 7,1% (yoy) menjadi 12,8% (yoy). Hal ini terkait dengan adanya
penyelenggraan Pemilu Legislatif 2014. Secara spasial, konsumsi rumah tangga di DI Yogyakarta naik
tajam dari 6,1% (yoy) menjadi 6,7% (yoy), sementara konsumsi di Jawa Tengah naik tipis menjadi 5,1%
(yoy) dari sebelumnya 5,0% (yoy).
Perkembangan terakhir mengindikasikan konsumsi rumah tangga cenderung tumbuh menguat pada
triwulan II 2014. Hal ini antara lain terindikasi dari hasil survei penjualan eceran dan liaison pada
beberapa pelaku usaha perdagangan besar dan eceran (Grafik III.2.2.). Survei penjualan eceran
mengindikasikan penjualan eceran pada triwulan II 2014 tetap akan tinggi. Likert scale ekspektasi
penjualan pedagang besar dan eceran juga mendukung hal tersebut yang tercermin dari peningkatan
ekspektasi. Survei konsumen di beberapa kota besar di Jabagteng memperlihatkan optimisme dan
membaiknya keyakinan konsumen, baik terhadap kondisi perekonomian saat ini maupun ke depan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 61
(Grafik III.2.1.). Penyelenggaraan Pemilu Presiden 2014, diperkirakan akan meningkatkan konsumsi
rumah tangga, utamanya dari konsumsi swasta nirlaba.
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah tumbuh 5,1% (yoy) pada triwulan I 2014, melambat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya 7,7% (yoy). Sementara pada triwulan II 2014, konsumsi pemerintah diperkirakan tumbuh
meningkat sesuai pola musimannya.
Grafik III.2.1. Indeks Keyakinan Konsumen Grafik III.2.1. Indeks Penjualan Eceran serta Likert Scale Perdagangan Besar dan Eceran
Investasi
Investasi pada triwulan I 2014 tumbuh meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya, yakni dari 8,5%
(yoy) menjadi 9,0% (yoy). Kenaikan investasi tersebut dalam bentuk investasi non-bangunan dan
bangunan. Pada investasi non-bangunan, terdapat sejumlah investasi untuk peningkatan kapasitas
produksi pada industri pengolahan. Impor luar negeri barang modal naik cukup besar dari triwulan
sebelumnya (Grafik III.2.3). Hal ini didukung oleh data realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
baik secara jumlah proyek maupun nilai investasi (Grafik III.2.6). Penyaluran kredit investasi di Jabagteng
juga tercatat tinggi sebesar 36,7% (yoy) (Grafik III.2.4). Sementara itu, investasi Penanaman Modal Asing
(PMA) meningkat nilai realisasinya, meskipun secara jumlah proyek menurun (Grafik III.2.5). Kenaikan
investasi bangunan juga tercermin dari perbaikan kinerja sektor bangunan.
Survei pada pelaku usaha mengindikasikan rencana investasi cenderung melambat pada triwulan II 2014,
walaupun masih dalam level tinggi. Hal ini terkonfirmasi dari likert scale ekspektasi pelaku usaha yang
menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pelaku usaha di Jabagteng tetap optimis dalam
melihat prospek permintaan ke depan baik dari domestik maupun luar negeri. Dari sisi pembiayaan,
kredit investasi diperkirakan tumbuh stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 62
Grafik III.2.3. Impor Barang Modal Jabagteng Grafik III.2.4. Penyaluran Kredit Investasi
Sumber: Badan Penanaman Modal Sumber: Badan Penanaman Modal
Grafik III.2.5. Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) Grafik III.2.6. Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Ekspor luar negeri Jabagteng pada triwulan I 2014 tumbuh melambat. Perlambatan terutama untuk
ekspor produk Jabagteng ke pasar tujuan Amerika Serikat, Jepang dan Tiongkok. Kinerja ekspor ditopang
oleh penjualan ke pasar Eropa yang masih meningkat. Dilihat dari komoditasnya, ekspor furnitur tumbuh
melambat sejalan dengan kinerja industri barang kayu dan hasil hutan yang melambat cukup besar
dibandingkan periode sebelumnya. Sementara ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) berupa produk
benang tenun, kain, dan pakaian jadi masih mampu mencatatkan peningkatan lebih tinggi dibandingkan
periode sebelumnya (Grafik III.2.7).
Pada triwulan II 2014, ekspor luar negeri Jabagteng diperkirakan mengalami kenaikan dengan dukungan
membaiknya perekonomian dunia, khususnya di sejumlah negara maju. Hal ini akan mendukung ekspor
produk unggulan seperti TPT dan furniture yang sebagian besar ditujukan ke negara maju. Para pelaku
usaha TPT berpendapat daya saing ekspor komoditas unggulan Jabagteng masih cukup baik. Hal ini
menjadi faktor pendorong optimisme pelaku usaha yang tercermin dari hasil survei.
Impor
Impor luar negeri Jabagteng mengalami peningkatan baik secara nilai maupun volume pada triwulan I
2014. Kenaikan impor terjadi pada kelompok bahan baku dan barang modal (Grafik III.2.8). Kenaikan
impor barang modal yang tertinggi diantara jenis impor lainnya merupakan pengaruh dari masih kuatnya
investasi. Komoditas yang tercatat naik impornya adalah produk serat tekstil, benang dan kain sebagai
L a p o r a n N u s a n t a r a | 63
input industri TPT. Selain itu, mesin industri juga tercatat mengalami kenaikan yang signifikan. Pada
triwulan II 2014, impor diperkirakan masih tumbuh dalam level yang tinggi, meski melambat
dibandingkan dengan periode sebelumnya. Perlambatan impor terutama diperkirakan pada barang
konsumsi, sementara impor bahan baku diprediksi masih tumbuh stabil dengan masih kuatnya produksi
di sektor industri.
Grafik III.2.7. Pertumbuhan Tahunan Ekspor Komoditas Unggulan
Grafik III.2.8. Pertumbuhan Tahunan Impor berdasar BEC
Perdagangan Antar Daerah
Ekspor produk Jabagteng ke daerah lain tumbuh stabil pada triwulan I 2014 apabila dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Hal ini tercermin dari stabilnya pertumbuhan tahunan subsektor industri makanan
dan minuman olahan pada level yang tinggi. Pada triwulan II 2014, kinerja perdagangan antar daerah
diperkirakan naik yang terindikasi dari kenaikan produksi hasil industri pengolahan dan naiknya kinerja
sektor perdagangan, hotel, dan restoran.
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertanian
Pertumbuhan sektor pertanian Jabagteng pada triwulan I 2014 meningkat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Sektor pertanian tumbuh sebesar 2,4% (yoy), setelah pada triwulan IV 2013 tumbuh
sebesar 1,6% (yoy). Banjir yang cukup parah di awal tahun tidak berdampak signifikan pada produksi padi
pada triwulan I 2014. Luas lahan pertanian yang terkena bencana banjir sebesar 4%, dan sudah dilakukan
bantuan program replanting. Pada triwulan II 2014, sektor pertanian diperkirakan melambat sesuai
dengan siklus produksi padi yang puncak panennya di triwulan I.
Sektor Industri Pengolahan
Sektor industri pengolahan melambat pada triwulan I 2014. Industri pengolahan tumbuh sebesar 3,4%
(yoy) pada triwulan I 2014, melambat dibandingkan dengan pertumbuhan di triwulan IV 2013 sebesar
4,7% (yoy). Perlambatan terbesar terjadi pada subsektor industri migas, sementara subsektor non migas
melambat dalam level yang moderat. Industri makanan, minuman, dan tembakau tetap dapat tumbuh
tinggi, sehingga dapat menahan penurunan kinerja industri pengolahan yang lebih dalam.
Pada triwulan II 2014, pertumbuhan industri pengolahan diperkirakan meningkat dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan prediksi adanya perbaikan eskpor yang akan berdampak
L a p o r a n N u s a n t a r a | 64
positif pada kinerja subsektor migas maupun nonmigas. Adapun subsektor nonmigas yang diperkirakan
meningkat, diantaranya adalah subsektor makanan, minuman, dan tembakau, subsektor tekstil, barang
kulit, dan alas kaki. Sementara untuk pertumbuhan kinerja industri barang kayu dan hasil hutan lainnya
diperkirakan masih dalam level yang stabil.
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi Jabagteng hingga April 2014 masih dalam tren penurunan, yakni dari 7,9% (yoy) menjadi 7,0%
(yoy) (Grafik III.2.9). Secara spasial, penurunan inflasi terutama terjadi di DI Yogyakarta, yaitu dari 7,3%
menjadi 6,4% (yoy). Sementara di Jawa Tengah, inflasi menurun dari 8,0% menjadi 7,2% (yoy).
Penurunan inflasi terutama terjadi pada kelompok volatile foods sejalan dengan terjaganya pasokan
pangan. Mulai masa panen hasil pertanian di beberapa sentra produksi mendukung ketersediaan
pasokan pangan. Kondisi ini juga tercermin dari peningkatan kinerja PDRB sektor pertanian di triwulan I
2014. Peningkatan pasokan pangan tersebut juga diikuti stok beras Bulog yang mencukupi kebutuhan
pangan Jabagteng hingga 5 bulan kedepan. Di sisi lain, inflasi kelompok administered prices mengalami
peningkatan sebagai pengaruh dari kenaikan elpiji 12 kg di awal tahun dan pengenaan tarif surcharge
angkutan udara. Inflasi inti hingga April 2014 juga meningkat meski dalam level terbatas terkait dengan
penyesuaian upah tukang sejalan dengan kenaikan UMP serta penyesuaian harga produk yang dilakukan
para pelaku usaha (Grafik III.2.10).
Di triwulan II 2014, inflasi Jabagteng diperkirakan kembali meningkat sebagai pengaruh dari dari faktor
musiman menjelang Ramadhan. Faktor tahun ajaran baru dan libur sekolah juga berpotensi memberikan
tekanan inflasi daerah pada akhir triwulan berjalan. Selain itu, terdapat pula risiko gangguan pangan
sebagai dampak El Nino, meskipun diperkirakan inflasi di kelompok volatile foods masih dapat dijaga
dengan koordinasi di dalam forum TPID. Inflasi Jabagteng pada triwulan II 2014 diperkirakan berada di
level 7,2% (yoy).
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.2.9. Perkembangan Inflasi Grafik III.2.10. Disagregasi Inflasi Jawa Bagian Tengah
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Sampai dengan periode laporan, telah terbentuk 31 TPID kabupaten/kota di Jawa Tengah dan 5 TPID
kabupaten/kota di DI Yogyakarta. Direncanakan sepanjang tahun 2014, seluruh kabupaten/kota di
Jabagteng telah membentuk TPID. Koordinasi di dalam forum TPID juga semakin intensif dilakukan
terutama dalam mengantisipasi berbagai risiko inflasi ke depan. Paska banjir yang melanda daerah Pantai
Utara Jawa Tengah, TPID berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah Kudus yang terkena dampak banjir
L a p o r a n N u s a n t a r a | 65
cukup parah. Berbagai rekomendasi juga disampaikan untuk mengurangi dampak terhadap inflasi
pangan, diantaranya penyegeraan penanaman kembali sawah yang puso akibat banjir, perbaikan jalan
untuk memaksimalkan distribusi serta peningkatan cadangan pangan daerah. Dalam mengantisipasi
risiko kedepan seperti dampak El Nino, TPID telah melakukan koordinasi dengan SKPD terkait.
Peningkatan komunikasi kepada masyarakat guna mengendalikan ekspektasi juga direncanakan akan
intensif dilakukan terutama saat menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Penyaluran kredit perbankan di Jabagteng pada triwulan I 2014 tercatat tumbuh stabil dibandingkan
triwulan sebelumnya (Grafik III.2.11), di tengah kondisi kenaikan suku bunga dan melambatnya
pertumbuhan ekonomi. Kredit di Jabagteng tumbuh pada kisaran 17% dengan kualitas penyaluran kredit
yang ditunjukkan oleh gross NPL (Non Performing Loans) yang baik, yakni di bawah 5%. Berdasarkan
jenisnya, kredit investasi dan kredit konsumsi melambat dibanding triwulan sebelumnya (Grafik III.2.12).
Sementara kredit modal kerja mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kinerja sektor PHR.
Adapun kualitas penyaluran kredit berdasarkan penggunaannya baik kredit investasi, konsumsi maupun
modal kerja berada di bawah 5%. Pada triwulan II 2014, pertumbuhan kredit diperkirakan masih relatif
tinggi yaitu pada kisaran 15%. Adapun hal yang mendasari adalah konsumsi yang masih cukup kuat dan
peningkatan kinerja sektor industri.
Grafik III.2.11. Kinerja Penyaluran Kredit Perbankan Grafik III.2.12. Penyaluran Jenis Kredit Perbankan
Berdasarkan data kredit per sektor utama Jabagteng, kredit di seluruh sektor utama daerah mengalami
peningkatan, terutama pada sektor pertanian dan sektor PHR. Peningkatan kredit di kedua sektor
tersebut sejalan dengan peningkatan kinerja. Sementara itu, risiko penyaluran kredit pada sektor
pertanian, sektor industri dan sektor PHR juga masih berada di level aman (< 5%), meskipun terlihat
adanya tren peningkatan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 66
Grafik III.2.13. Kredit Bank berdasarkan Sektor Ekonomi
Grafik III.2.14. NPL Kredit Sektor Utama Perbankan
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit perbankan yang disalurkan perbankan masih dalam tren menurun pada triwulan I 2014, sejalan
dengan kenaikan suku bunga perbankan. Penurunan pertumbuhan terutama pada kredit keperluan
multiguna dan kredit pemilikan rumah tinggal tipe 22 s.d 70. Kedua jenis kredit ini memiliki pangsa
terbesar untuk kredit di sektor rumah tangga. Sementara itu, pembiayaan kredit perumahan untuk tipe
diatas 70 relatif stabil (Grafik III.2.15). Secara umum, ketahanan sistem keuangan sektor rumah tangga
masih terjaga, terkonfirmasi dari gross NPL stabil di bawah 5% (Grafik III.2.16) .
Grafik III.2.2. Kinerja Kredit Perbankan ke Rumah Tangga
Grafik III.2.16. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Kredit UMKM Jabagteng pada triwulan I 2014 mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Secara spasial, peningkatan kredit UMKM terjadi di Jawa Tengah. Sementara itu, kredit
UMKM di DI Yogyakarta tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan
penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) Jabagteng pada triwulan I 2014 tercatat sebesar Rp7,74 triliun.
Kredit tersebut sebagian besar disalurkan di Jawa Tengah sebesar Rp6,76 triliun. Secara nasional, Jawa
tengah merupakan provinsi terbesar kedua penyalur KUR di triwulan I 2014 dengan pangsa 14% terhadap
penyaluran KUR nasional. Sedangkan jumlah debitur Jawa Tengah merupakan yang terbanyak yaitu
sebesar 2,46 juta.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 67
Kinerja Sistem Pembayaran
Sejalan dengan melambatnya perekonomian di triwulan I 2014, pertumbuhan tahunan RTGS melambat.
Pertumbuhan tahunan RTGS melambat baik secara nilai maupun volume. Perlambatan utamanya terjadi
pada RTGS ke Jabagteng. Nilai RTGS ke Jabagteng turun 6,72% (yoy) dari sebelumnya tumbuh mencapai
19,80% (yoy). Di sisi lain, nilai RTGS dari Jabagteng naik tajam dari 20,40% (yoy) menjadi 34,28% (yoy).
Sementara nilai RTGS yang dilakukan di dalam Jabagteng mengalami perubahan yang tidak besar,
sebelumnya tumbuh 38,51% (yoy) menjadi 35,84% (yoy).
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Sejalan dengan melambatnya perekonomian Jabagteng, pertumbuhan tahunan baik inflow maupun
outflow tidak sebesar periode sebelumnya. Namun secara triwulanan baik inflow maupun outflow masih
naik sehingga secara nominal tercatat net inflow yang lebih besar pada triwulan I 2014 dibandingkan
triwulan sebelumnya. Net inflow triwulan I 2014 tercatat Rp10,36 triliun, sementara triwulan IV 2013
tercatat sebesar Rp0,39 triliun. Hal ini ditengarai terkait dengan adanya penyelenggaraan Pemilu 2014.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Jabagteng pada tahun 2014 diperkirakan tumbuh stabil dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Jabagteng diperkirakan tumbuh pada kisaran 5,5% – 6,0% (yoy). Dari sisi penggunaan,
konsumsi domestik diperkirakan mengalami peningkatan baik konsumsi swasta (rumah tangga dan
swasta nirlaba) maupun konsumsi pemerintah. Peningkatan terbesar terjadi pada konsumsi swasta
nirlaba, terkait adanya penyelenggaraan Pemilu di tahun 2014. Dari sisi konsumsi rumah tangga,
konsumen di wilayah Jabagteng cukup optimis dalam memandang perekonomian ke depan, yang
tercermin dari indeks penghasilan dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Sementara itu, investasi
diperkirakan meningkat, baik yang investasi dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Pemerintah
Jawa Tengah telah menetapkan tahun 2014 sebagai tahun infrastruktur. Sementara dari sisi swasta,
pembangunan pabrik dan peningkatan kapasitas pabrik dilakukan oleh beberapa industri pengolahan
besar di Jawa Tengah. Sejalan dengan hal tersebut, ekspor diperkirakan mengalami kenaikan, meskipun
peningkatan kinerja ekspor juga dibarengi dengan peningkatan impor mengingat ketergantungan pada
impor bahan baku maupun barang modal.
Secara sektoral, perbaikan diprediksi terutama pada sektor PHR terkait dengan adanya penyelenggaraan
Pemilu 2014. Sementara itu, sektor industri pengolahan diperkirakan tumbuh stabil pada level yang
masih cukup tinggi. Hal yang menahan industri pengolahan diantaranya kenaikan biaya produksi yang
bersumber dari kenaikan tarif listrik industri. Sektor pertanian diperkirakan tumbuh terbatas terkait
dengan risiko penurunan produksi padi di tahun 2014.
Prospek Inflasi
Inflasi Jabagteng para tahun 2014 diperkirakan berada pada level 5,1% – 5,6% (yoy) dengan
kecenderungan bias ke atas terkait dampak bencana banjir pada awal tahun dan risiko El Nino yang
berpotensi mengganggu produksi pangan. Meski demikian, pasokan komoditas hortikultura yang
mencukupi di tahun 2014, khususnya komoditas cabe merah dan cabe rawit seiring dengan normalnya
L a p o r a n N u s a n t a r a | 68
siklus penanaman serta minimalnya hambatan impor, diperkirakan akan menjadi faktor penahan inflasi
di kelompok inflasi volatile foods yang lebih dalam.
Faktor risiko lain yang cukup kuat memengaruhi inflasi di tahun ini adalah dari kelompok administered
price. Penyesuaian harga elpiji 12 kg di bulan Juli akan meningkatkan inflasi di kisaran 0,1%-0,3%.
Kenaikan harga elpiji diperkirakan juga akan memengaruhi pasokan elpiji 3 kg karena efek dari migrasi
pengguna elpiji 12 kg. Adanya keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik bagi perusahaan
besar juga berpotensi memengaruhi inflasi melalui penyesuaian harga jual produk ke konsumen.
Tabel III.2.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
I II III IV Total I IIp IIIp IVp Totalp
PDRB (%,yoy) 5.9 6.2 5.5 6.2 6.0 5.4 5.8 5.3 5.8 5,7 - 6,2 5,8 - 6,3 5.5-6.0
Sisi Permintaan
Konsumsi 6.7 5.1 4.8 4.8 5.8 5.6 5.2 5.2 5.6 5,5 - 6,0 5,6 - 6,1 5.3-5.8
Konsumsi swasta 6.6 5.2 5.1 5.2 5.4 5.1 5.2 5.2 5.6 5,4 - 5,9 5,5 - 6,0 5.3-5.8
Konsumsi Pemerintah 7.5 4.8 3.1 2.8 8.0 7.7 5.5 5.1 5.4 5,7 - 6,2 6,0 - 6,5 5.5-6.0
Pembentukan Modal Tetap Bruto 7.2 7.9 5.6 7.6 8.1 8.5 7.5 9.0 8.6 8,1 - 8,6 6,9 - 7,4 8.0-8.5
Ekspor 7.8 9.4 4.0 8.7 10.0 10.8 8.4 9.4 10.1 9,8 - 10,3 9,9 - 10,4 9.7-10.2
Impor 9.2 8.4 2.2 7.2 17.3 9.5 9.0 13.4 12.6 12,3 - 12,8 12,2 - 12,7 12.5-13.0
Sisi Produksi
Sektor pertanian 1.0 3.8 0.4 2.8 3.4 1.6 2.0 2.4 1.6 1,8 - 2,3 1,1 - 1,6 1.6-2.1
Sektor pertambangan & penggalian 5.4 7.0 5.2 5.7 5.4 8.7 6.2 4.9 4.2 5,6 - 6,1 3,4 - 3,9 4.4-4.9
Industri pengolahan 6.6 5.1 4.9 6.8 5.1 7.2 6.0 5.8 6.4 6,4 - 6,9 4,3 - 4,8 5.6-6.1
Listrik, gas & air bersih 5.8 6.5 9.5 7.0 9.0 7.4 8.2 5.2 8.1 7,1 - 7,6 7,2 - 7,7 6.8-7.3
Bangunan 6.8 6.8 6.3 7.5 6.8 6.6 6.8 6.9 7.2 6,3 - 6,8 7,3 - 7,8 6.8-7.3
Perdagangan, hotel & restoran 7.5 8.1 9.0 8.2 6.9 5.4 7.4 6.0 7.3 7,6 - 8,1 8,6 - 9,1 7.3-7.8
Pengangkutan & komunikasi 8.5 7.6 7.7 7.3 7.7 3.5 6.5 4.8 6.5 5,1 - 5,6 9,7 - 10,2 6.4-6.9
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 6.9 9.5 9.3 8.9 9.7 10.3 9.6 10.4 9.6 7,6 - 8,1 7,9 - 8,4 8.7-9.2
Jasa-jasa 7.4 7.3 6.2 3.4 7.4 3.3 5.0 5.3 4.9 4,7 - 5,2 5,9 - 6,4 5.1-5.6
Inflasi IHK (%,yoy) 2.9 4.3 6.3 5.5 8.3 7.9 7.9 7.0 7.2 4,8 - 5,3 5,1 - 5,6 5.1-5.6
Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolahp proyeks i Bank Indones ia
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah 2011 20122013 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 69
Bagian III.3 Perekonomian Jawa Bagian Barat
PERTUMBUHAN EKONOMI
Kinerja ekonomi wilayah Jawa Bagian Barat (Jabagbar) pada triwulan I 2014 tumbuh sebesar 5,4% (yoy),
melambat cukup signifikan dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2013 yang mencapai
6,2% (yoy). Kedua provinsi di Jabagbar, yaitu Jawa Barat dan Banten mengalami perlambatan ekonomi
pada triwulan I 2014, masing-masing sebesar 5,5% (yoy) dan 5,2% (yoy). Faktor yang mendorong
perlambatan ekonomi Jabagbar pada triwulan I 2014 adalah kinerja ekspor yang melambat cukup
signifikan. Investasi tumbuh sedikit melambat terutama di Banten. Sementara itu, seperti perkiraan
sebelumnya, konsumsi pemerintah daerah belum banyak terealisasi di awal tahun. Sebaliknya, kinerja
konsumsi rumah tangga yang meningkat, mampu menahan perlambatan yang lebih dalam. Dilihat dari
sektornya, perlambatan pertumbuhan ekonomi Jabagbar dipengaruhi oleh perlambatan di sektor-sektor
utama, yakni sektor industri pengolahan, sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR), serta sektor
pertanian.
Perkembangan berbagai indikator ekonomi terkini mengindikasikan laju perekonomian wilayah Jabagbar
pada triwulan II 2014 yang membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Optimisme tersebut tercermin
dari sikap pelaku usaha dan tendensi konsumen dalam memandang perkembangan perekonomian ke
depan berpotensi lebih baik. Membaiknya kondisi perekonomian global, khususnya di negara-negara
maju akan mendukung ekspor Jabagbar untuk tumbuh lebih tinggi. Hal ini diperkirakan juga akan
mendorong peningkatan impor pada triwulan berjalan. Konsumsi pemerintah diperkirakan meningkat
sesuai pola musimannya. Demikian pula, konsumsi rumah tangga yang masih cukup kuat diprediksi akan
tumbuh meningkat. Sementara itu, investasi diperkirakan melambat seiring dengan sikap wait and see
pelaku usaha dalam memandang dinamika politik pada tahun ini. Di sisi sektoral, laju pertumbuhan
ekonomi yang meningkat diperkirakan didorong oleh membaiknya kinerja sektor pertanian tanaman
pangan yang memasuki musim panen, serta di sektor industri pengolahan dan sektor PHR. Secara
keseluruhan, pertumbuhan ekonomi wilayah Jabagbar pada 2014 diperkirakan akan tumbuh lebih lambat
dibandingkan 2013, yakni pada kisaran 4,9% - 5,4% (yoy). Sumber pertumbuhan ekonomi di 2014 masih
berasal dari konsumsi rumah tangga yang masih cukup kuat serta peningkatan kinerja ekspor.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Dibandingkan triwulan IV 2013, konsumsi rumah tangga wilayah Jabagbar pada triwulan I 2014 tumbuh
meningkat dari 4,1% (yoy) menjadi 5,1% (yoy). Peningkatan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga
tersebut diindikasikan dengan nilai Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) baik di Jawa Barat maupun Banten
yang berada di atas level optimis. Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Jawa Barat dan Banten juga lebih
tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik III.3.1 dan Grafik III.3.3). Kondisi ekonomi
konsumen pada triwulan I 2014 yang membaik didorong oleh peningkatan pendapatan rumah tangga
sejalan dengan penerapan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota sejak awal tahun. Selain itu,
peningkatan daya beli konsumen juga disebabkan oleh tren penurunan inflasi. Hal ini terlihat dari indeks
pengaruh inflasi terhadap konsumsi yang semakin meningkat dari 107,7 menjadi 113,6 (semakin tinggi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 70
nilai indeks, semakin menunjukkan pengaruh inflasi yang dalam tren menurun). Peningkatan konsumsi
rumah tangga juga tercermin dari pertumbuhan indeks penjualan riil (Grafik III.3.2). Penyelenggaraan
Pemilu Legislatif mendorong konsumsi swasta nirlaba (partai politik, yayasan, dan LSM), khususnya di
Jawa Barat yang memiliki jumlah kursi DPR terbanyak secara nasional.
Perkembangan indikator terkini menunjukkan konsumsi rumah tangga diperkirakan stabil dengan
kecenderungan sedikit menguat pada triwulan II 2014. Berbagai indikator yang dapat mendorong
konsumsi rumah tangga tercermin dari perkiraan ITK yang meningkat menjadi sebesar 112,8
dibandingkan triwulan sebelumnya (Grafik III.3.3). Optimisme konsumen yang dalam tren meningkat juga
terindikasi dari peningkatan tingkat kepercayaan atau keyakinan konsumen terhadap kondisi
perekonomian. Indeks pendapatan rumah tangga di Jawa Barat pada triwulan berjalan diperkirakan
meningkat menjadi 113,9 dari 111 pada triwulan sebelumnya. Kondisi yang sama juga diprediksi di
Banten. Sejalan dengan ekspektasi peningkatan pendapatan, terdapat indikasi peningkatan pengeluaran
konsumen di Jawa Barat dan Banten dalam tiga bulan mendatang (Grafik III.3.1). Peningkatan konsumsi
rumah tangga didukung oleh terjaganya inflasi dan belanja kampanye Pemilu Presiden 2014. Asosiasi
pengusaha ritel Jawa Barat menginformasikan bahwa hampir 90% pengusaha ritel optimis tingkat
penjualan pada triwulan II 2014 akan meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Grafik III.3.1. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Grafik III.3.2. Penjualan Riil
Sumber : BPS, diolah
Sumber : Biro Keuangan Provinsi Jabar dan Banten, diolah
Grafik III.3.3. Indeks Tendensi Konsumen Grafik III.3.4 Realisasi Belanja Daerah
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah di wilayah Jabagbar tumbuh 2,8% (yoy) pada triwulan I 2014, melambat signifikan
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 13,4% (yoy). Konsumsi pemerintah Jawa Barat
melambat dari 11,5% (yoy) menjadi 1,8% (yoy), sedangkan di Banten melambat dari 24,8 (yoy) dari 8,6%
L a p o r a n N u s a n t a r a | 71
(yoy). Realisasi belanja pemerintah pada triwulan ini menunjukkan pola yang tidak berubah dibandingkan
dengan data historisnya. Realisasi belanja pemerintah triwulan I 2014 juga lebih rendah dibandingkan
dengan periode yang sama di 2013, baik di Jawa Barat maupun di Banten (Grafik III.3.4). Melambatnya
konsumsi pemerintah dipengaruhi oleh belum terealisasinya dana bagi hasil dan bantuan keuangan
kepada Kabupaten/Kota, dana bantuan sosial, dan belanja tidak terduga. Diperoleh informasi bahwa
penyaluran dana bantuan sosial dan hibah akan tertunda hingga tahapan Pemilu berakhir. Sementara itu,
belanja modal hanya terealisasi di kisaran 1,5%. Hal ini menunjukkan pelaksanaan program kerja dan
kegiatan pemerintah daerah masih terbatas.
Merujuk pada kondisi saat ini dan memperhatikan pola historis konsumsi pemerintah, maka
pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan II 2014 diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan
triwulan sebelumnya. Hal ini juga didukung oleh prediksi terealisasinya dana bagi hasil dan dana bantuan
keuangan kepada pemerintah kabupaten/kota yang kurang lebih sebesar 25%-30% dari alokasi yang
telah dianggarkan. Khusus di Jawa Barat, realisasi belanja modal diperkirakan akan meningkat seiring
dengan percepatan pembebasan lahan untuk percepatan pembangunan bandara internasional dan
pembangunan tol Cisumdawu. Dilihat dari alokasi anggaran, realisasi belanja pendidikan akan meningkat
pada triwulan berjalan seiring dengan pelaksanaan ujian di seluruh jenjang pendidikan.
Investasi
Pertumbuhan kinerja investasi Jabagbar pada triwulan I 2014 mencapai 5,8% (yoy), sedikit melambat
dibandingkan dengan triwulan IV 2013 yang mencapai 5,9% (yoy). Melambatnya investasi tercermin dari
penurunan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) di Jawa Barat dan Banten serta penurunan realisasi
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Banten (Grafik III.1.5). Investasi di Banten tumbuh melambat
dari 12,2% (yoy) menjadi 11,0% (yoy) di triwulan I 2014, sedangkan investasi PMDN di Jawa Barat masih
mengalami peningkatan. Melambatnya investasi di Jabagbar juga diindikasikan dengan melambatnya
pertumbuhan kredit investasi menjadi 45,6% (yoy) dari pertumbuhan pada triwulan sebelumnya yang
mencapai 47,0% (yoy). Berdasarkan hasil Focus Group Discussion dan Liaison dengan pelaku usaha,
perlambatan kredit investasi disebabkan karena tingkat suku bunga kredit.
Sumber : BKPM
Grafik III.3.5. Realisasi Investasi PMA danPMDN Jabagbar
Grafik III.3.6.Penyaluran Kredit Investasi Jabagbar
Perkembangan investasi pada triwulan II 2014 diperkirakan masih akan melambat mengingat pelaku
usaha masih menunggu hasil Pemilu Legislatif. Kinerja investasi diperkirakan masih akan terbatas hingga
berakhirnya Pemilu 2014. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion, Liaison dan survei terhadap pelaku
L a p o r a n N u s a n t a r a | 72
usaha, masih stabilnya BI Rate juga turut menjadi pertimbangan investor untuk melakukan ekspansi
usahanya di tengah tren perlambatan kredit perbankan. Untuk kegiatan investasi, beberapa perusahaan
masih mengandalkan sumber pembiayaan dari perusahaan induknya maupun dari dana internal sebagai
pilihan utama. Sementara itu, investor di Banten lebih memilih untuk melakukan ekspansi usahanya di
luar Jabagbar mengingat tingginya upah tenaga kerja di Jabagbar.
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Ekspor luar negeri Jabagbar pada triwulan I 2014 tumbuh 8,7% (yoy), melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya yang mencapai 12,4% (yoy). Perlambatan ekspor terutama terjadi di Jawa Barat, sementara
ekspor Banten masih mengalami pertumbuhan yang meningkat. Perlambatan ekspor di Jawa Barat
dipengaruhi oleh penurunan kinerja ekspor manufaktur, terutama ekspor produk TPT dan produk
elektronik yang mengalami penurunan. Perlambatan ekspor di Jawa Barat yang lebih dalam dapat
ditahan dengan masih meningkatnya kinerja ekspor produk kendaraan bermotor dan produk makanan
minuman (Grafik III.3.9). Permintaan yang kuat dari produk kendaraan bermotor terutama berasal dari
pasar Timur Tengah. Di Banten, pertumbuhan ekspor yang meningkat didukung oleh kinerja ekspor
produk alas kaki, plastik dan bahan kimia organik.
Berbagai perkembangan terakhir mengindikasikan potensi perbaikan kinerja ekspor Jabagbar pada
triwulan II 2014. Hal tersebut tercermin dari produksi industri kendaraan bermotor yang semakin
meningkat. Berdasarkan informasi anekdotal, sejumlah industri kendaraan bermotor yang mayoritas
berada di Jawa Barat telah meningkatkan kapasitas produksinya. Kapasitas produksi kendaraan Toyota
meningkat dua kali lipat, kendaraan Daihatsu meningkat tiga kali lipat, dan kendaraan Honda meningkat
dua kali lipat. Menurut data PT Pelindo II (persero), sekitar 2400 unit kendaraan dari berbagai jenis
diekspor setiap minggunya. Gaikindo menginformasikan bahwa sasaran target ekspor mobil CBU
(completely built-up) Indonesia pada tahun 2014 ditingkatkan menjadi 200.000 mobil dari sebelumnya
yang hanya 170.000 mobil. Target ekspor mobil CKD (completely knocked-down) dan komponennya juga
diperkirakan meningkat untuk memenuhi permintaan luar negeri. Selain itu, ekspor tekstil Jawa Barat
diprediksi juga akan kembali bangkit seiring dengan membaiknya perekonomian global. Contact Liaison
pengekspor tekstil mengonfirmasi permintaan terhadap produk Indonesia yang semakin meningkat
seiring dengan membaiknya perekonomian AS dan Eropa di tengah melambatnya penjualan tekstil dari
negara pesaing seperti Tiongkok dan Bangladesh.
Grafik III.3.7. Data Ekspor Impor Jabagbar Grafik III.3.8. Pertumbuhan Ekspor Impor Jabagbar
L a p o r a n N u s a n t a r a | 73
Grafik III.3.9. Pertumbuhan Ekspor Manufaktur Grafik III.3.10. Perkembangan Impor Jabagbar
Impor
Impor luar negeri Jabagbar pada triwulan I 2014 tumbuh 10,9% (yoy), melambat dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang mencapai 14,6% (yoy). Perlambatan impor yang sejalan melambatnya ekspor
terutama pada impor bahan baku dan barang konsumsi. Di sisi lain, impor barang modal masih tumbuh
meningkat (Grafik III.1.10). Secara sektoral, peningkatan impor terjadi pada sektor pertanian dan
pertambangan. Berdasarkan hasil Liaison, peningkatan impor di sektor pertambangan disebabkan oleh
kesulitan dari industri smelter di Jawa Barat dalam mendapatan pasokan bahan mentah dari
pertambangan domestik yang kapasitas produksinya semakin menurun. Sementara itu, impor di sektor
manufaktur mengalami penurunan terutama pada industri TPT, elektronik, mesin dan logam. Dilihat dari
perkiraan permintaan produk manufaktur yang meningkat pada triwulan II 2014 baik di dalam maupun
luar negeri, impor bahan baku berpotensi meningkat untuk mendukung proses produksi. Periode
seasonal puasa dan lebaran akan mendorong peningkatan impor barang konsumsi meskipun ditengarai
relatif terbatas mengingat tingkat suku bunga domestik yang masih cukup tinggi dan nilai tukar yang
belum sesuai harapan importir.
Kinerja Sektor Utama Daerah
Kinerja tiga sektor utama Jabagbar yakni sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan
restoran (PHR) serta sektor pertanian tumbuh melambat pada triwulan I 2014 (Grafik III.3.11).
Perlambatan pertumbuhan ketiga sektor utama tersebut mendorong perekonomian Jabagbar juga
tumbuh melambat. Beberapa faktor menjadi penyebab menurunnya ketiga sektor utama tersebut yakni
bencana banjir di awal tahun yang sangat mengganggu produktivitas pertanian dan kegiatan produksi di
beberapa kawasan industri. Selain itu, bencana banjir dan gangguan abu vulkanik dari letusan Gunung
Kelud turut mendorong perlambatan kunjungan wisatawan ke Jabagbar, terkait dengan terganggunya
transportasi udara. Penyelenggaraan Pemilu Legislatif pada triwulan I 2014 yang diharapkan dapat
mendorong pertumbuhan kegiatan MICE ternyata tidak seperti yang diperkirakan sebelumnya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 74
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat
Grafik III.3.11. Pertumbuhan Sektor Utama Jabagbar
Grafik III.3.12. Produksi Padi Jawa Barat
Sektor Industri Pengolahan
Kinerja sektor industri pengolahan Jabagbar pada triwulan I 2014 tumbuh 3,4% (yoy), melambat
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 4,7% (yoy). Secara spasial, baik industri
pengolahan di Jawa Barat dan Banten tumbuh melambat. Menurut data BPS, perlambatan industri
pengolahan di Jabagbar didorong oleh melambatnya pertumbuhan Industri Besar dan Sedang (IBS) di
Jawa Barat dan Industri Mikro dan Kecil (IMK) di Banten. Dilihat dari sub sektornya, industri yang
mengalami penurunan terbesar adalah industri TPT dan elektronik. Sementara itu, industri kendaraan
bermotor, makanan dan minuman, serta furnitur dapat menopang pertumbuhan industri pengolahan di
Jabagbar pada triwulan I 2014.
Perkembangan terakhir mengindikasikan adanya peningkatn kinerja di sub sektor otomotif dan TPT pada
triwulan II 2014. Faktor pendorong peningkatan kinerja pada kedua industri tersebut adalah permintaan
ekspor yang meningkat. Berdasarkan hasil liaison, dikonfirmasi penjualan ekspor yang naik cukup tinggi
dengan membaiknya perekonomian Eropa dan USA. Selain itu, produksi TPT juga didorong dengan
meningkatnya permintaan terhadap bahan pakaian dan pakaian jadi pada musim tahun ajaran baru dan
lebaran. Beroperasinya beberapa pabrik baru di kawasan industri Karawang sejak awal tahun 2014
menambah kapasitas produksi otomotif. Hal ini mengindikasikan prospek industri otomotif di 2014 yang
lebih baik dibandingkan dengan 2013 dengan dukungan permintaan domestik dan ekspor (Grafik
III.3.13).
Sumber: Gaikindo
Sumber: BPS, diolah
Grafik III.3.13. Perkembangan Industri Otomotif Grafik III.3.14. Perkembangan Perhotelan dan Pariwisata
L a p o r a n N u s a n t a r a | 75
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR)
Sektor PHR wilayah Jabagbar pada triwulan I 2014 tumbuh 7,4% (yoy), sedikit melambat dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 7,6% (yoy). Perlambatan sektor PHR ini merupakan
pengaruh dari dua event bencana, yakni banjir dan letusan Gunung Kelud yang mengganggu aktivitas
perdagangan dan pariwisata. Dari informasi yang diperoleh, terdapat penurunan pendapatan dari
pelaku usaha perdagangan, hotel dan restoran sebagai dampak dari kedua bencana tersebut. Tingkat
hunian kamar hotel mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Tren yang
sama juga terlihat dari pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegera ke Jabagbar (Grafik III.3.14).
Adapun pada triwulan II 2014, sektor PHR diperkirakan tumbuh meningkat sebagai dampak dari
kampanye Pemilu Presiden dan kuatnya konsumsi rumah tangga. Persatuan Hotel dan Restoran
Indonesia (PHRI) DPD Jabar dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Jabar memperlihatkan
optimismenya pada triwulan II 2014 akan adanya peningkatan okupansi hotel serta penjualan ritel.
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian Jabagbar pada triwulan I 2014 tumbuh 3,4% (yoy), melambat dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 4,7% (yoy). Dampak banjir di sebagian besar daerah sentra
produksi padi yang terjadi pada awal tahun menyebabkan produksi padi di Jawa Barat menurun.
Sampai dengan triwulan I 2014, produksi padi di Jawa Barat mencapai 3,1 juta ton, menurun
dibandingkan produksi pada triwulan I 2013 yang mencapai 3,5 juta ton (Grafik III.3.12). Kondisi serupa
juga terjadi di sebagian wilayah di Banten, meskipun penurunannya tidak sebesar di Jawa Barat. Di sisi
lain, penurunan kinerja sektor pertanian yang cukup tajam di Jawa Barat dapat ditahan oleh
peningkatan produksi cabai merah di Jawa Barat, terutama di Garut, Tasikmalaya dan Kabupaten
Bandung.
Pada triwulan II 2014, kinerja sektor pertanian diperkirakan meningkat seiring dengan bergesernya
periode panen raya yang diperkirakan terjadi pada April-Mei 2014. Sejauh ini, proses replanting sebagai
bagian dari kebijakan paska bencana banjir telah dilaksanakan dan belum mengalami gangguan berarti.
Terkait dengan ancaman El Nino, pemerintah dan pelaku usaha pertanian telah memiliki rencana untuk
memitigasi risiko, melalui penggunaan varietas yang sesuai untuk kondisi iklim kering dan pengaturan
kalender tanam.
Tabel III.3.1. Dampak Banjir Terhadap Produksi Padi di Jawa Barat
Januari Februari Januari Februari Januari Februari
Tahun 2013 226.570 116.217 62.980 183.307 398.593 1.068.215
Tahun 2014 253.472 127.272 71.394 129.612 448.243 758.215
Selisih 26.902 11.055 8.414 (53.695) 49.650 (310.000)
JABAR
Realisasi Tanam Padi
Satuan : Ha
Luas Panen Padi
Satuan : Ha
Produksi Padi
Satuan : Ton
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat
PERKEMBANGAN INFLASI
Sampai dengan April 2014, perkembangan inflasi di wilayah Jabagbar mencapai 7,8% (yoy). Tren
meredanya inflasi di Jabagbar disumbang oleh kelompok bahan makanan (volatile foods). Penurunan
harga pangan pokok seperti beras, cabai merah dan telur ayam ras mendorong terjadinya deflasi di April
L a p o r a n N u s a n t a r a | 76
2014. Adapun tekanan inflasi wilayah Jabagbar terutama disebabkan oleh kenaikan administered prices
teruama kenaikan harga gas LPG 12 kg pada awal tahun dan kenaikan harga rokok dengan adanya pajak
rokok daerah. Sementara itu, inflasi inti relatif stabil meskipun masih dipengaruhi oleh kenaikan harga di
kelompok makanan jadi, kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Secara spasial, inflasi Banten mencapai
9,9% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi Jawa Barat yang mencapai 7,1% (yoy) (Grafik III.3.15).
Lebih tingginya inflasi di Banten disebabkan oleh koreksi harga bahan makanan di Banten yang relatif
lebih lambat dibandingkan di Jawa Barat.
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.3.15. Perkembangan Inflasi Jabagbar Grafik III.3.16. Disagregasi Inflasi
Grafik III.3.17. Perkiraan Harga Grafik III.3.18. Ekspektasi Harga Jual Pelaku Usaha
Berbagai perkembangan indikator harga menunjukkan adanya potensi tekanan inflasi di wilayah
Jabagbar pada triwulan II 2014 yang antara lain didorong oleh kenaikan harga gas LPG 3 kg dengan
meningkatnya permintaan konsumen serta kenaikan tarif listrik industri. Survei konsumen
mengonfirmasi peningkatan ekspektasi konsumen terhadap kenaikan harga dalam 3 bulan mendatang
(Grafik III.3.17). Sementara itu berdasarkan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) di Jawa Barat, harga
jual pada triwulan II 2014 diperkirakan cenderung sedikit meningkat dibandingkan dengan triwulan I
2014. Hal tersebut tercermin dari nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) ekspektasi responden terhadap
harga jual pada triwulan II 2014 sebesar 34,76%, lebih tinggi dibandingkan dengan SBT triwulan I 2014
sebesar 22,53%. Menurut sebagian besar responden, peningkatan harga jual ini terkait faktor musiman
menjelang bulan Ramadhan dan persiapan dunia usaha dalam merespons kenaikan tarif listrik industri
(Grafik III.3.18). Berdasarkan informasi, daerah Cianjur, Ciamis, Subang, Karawang, dan Indramayu akan
memasuki musim panen raya pada triwulan II 2014. Hal ini diprediksi akan mampu menahan tekanan
inflasi di kelompok volatile foods.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 77
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Berbagai upaya dilakukan untuk meredakan tekanan inflasi yang terjadi di wilayah Jabagbar baik secara
jangka pendek maupun jangka panjang, salah satunya melalui kegiatan Conference Series on Managing
Inflation. Sebagai pembuka dalam kegiatan konferensi ini, diambil tema Sistem Logistik Pangan Berbasis
Transportasi Kereta Api. Latar belakang diangkatnya tema tersebut adalah kurang efisiensinya biaya
logistik pangan di kawasan Jawa sebagai akibat dari kondisi infrastruktur yang buruk dan beban
transportasi darat melalui jalan raya yang semakin meningkat. Hal ini tercermin dari gangguan arus
distribusi barang pada saat terjadinya banjir di pantura. Berbagai pihak seperti PT Pos Logistik, PT
Kereta Api Logistik, Kementerian Perhubungan, Akademisi, TPID-TPID, telah sepakat untuk
mengedepankan sarana kereta api barang sebagai salah satu terobosan untuk mengatasi permasalahan
tranportasi jalan raya. Salah satu rekomendasi dalam kegiatan konferensi tersebut adalah rencana aksi
masing-masing pihak untuk lebih mengoptimalkan penggunaan transportasi barang melalui kereta api
(PT KAI Logistik) yang terintegrasi dengan transportasi pedesaan untuk menjangkau daerah basis
produksi (PT Pos Logistik). Selain itu, dalam menyikapi ancaman badai El Nino, sebagian besar TPID di
Jabagbar telah menyelenggarakan pertemuan untuk memitigasi dan mengantisipasi dampak El Nino
terhadap sektor pertanian
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Stabilitas sistem keuangan wilayah Jabagbar pada triwulan I 2104 secara umum masih terjaga, merujuk
pada kualitas kredit yang masih terjaga. Rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL)
berada di bawah ambang batas aman 5%. Sementara itu, pertumbuhan kredit terutama di sektor-
sketor utama menunjukkan perlambatan.
Grafik III.3.19. Kredit Sektor Industri Jabagbar Grafik III.3.20. Pangsa Sumber Pembiayaan
Pembiayaan perbankan untuk sektor industri pengolahan yang memiliki pangsa sekitar 27% terhadap
total kredit Jabagbar, menunjukkan perlambatan pada triwulan I 2014. Total kredit untuk sektor
manufaktur tersebut berada pada level Rp166,44 triliun (Grafik III.3.19) atau tumbuh sebesar 24,8%
(yoy), lebih lambat dibandingkan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 33,1% (yoy). Industri
tekstil masih menjadi subsektor yang menyerap kredit terbesar (sekitar 10%) yang diikuti oleh industri
logam, plastik dan otomotif. Rasio kredit bermasalah sektor industri pengolahan pada triwulan I 2014
terjaga sebesar 2,16% atau berada di bawah rata-ratanya sepanjang tiga tahun terakhir. Berdasarkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 78
hasil liaison, sumber pembiayaan dari perusahaan induk maupun dana internal masih menjadi pilihan
utama sumber pembiayaan modal kerja dan investasi, yakni pada kisaran 78%-84% (Grafik III.3.20).
Melambatnya pembiayaan perbankan pada triwulan I 2014 juga terjadi pada sektor PHR yang
mencatatkan pertumbuhan 9,2% (yoy) atau secara nominal sebesar Rp96,31 triliun. Pertumbuhan
kredit di sektor ini melambat signifikan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh
sebesar 15,0% (yoy). Dari sisi risiko, kinerja pengembalian kredit sektor PHR relatif masih baik dengan
rasio kredit bermasalah berada di bawah ambang aman 5%, meski terdapat kecenderungan meningkat.
Perhitungan mortality rate3 dari seluruh debitur kota/kabupaten (berdasarkan pendekatan nominal
baki debet) memperlihatkan adanya peningkatan pada ketiga sektor utama Jawa Barat, yaitu sektor
pertanian, sektor PHR dan sektor industri pengolahan (Grafik III.3.21). Gambaran ini sedikit berbeda jika
merujuk pada perhitungan mortality rate dengan pendekatan jumlah debitur yang mana peningkatan
jumlah debitur bermasalah hanya pada sektor pertanian dan industri pengolahan. Mortality rate pada
sektor PHR relatif stabil dengan kecenderungan sedikit menurun (Grafik III.3.22). Terkait dengan hal
tersebut, faktor pembiayaan kredit sektor pertanian secara khusus perlu mendapat perhatian.
Meskipun penyaluran kredit pada sektor ini dalam tren melambat, namun terdapat potensi risiko dari
kinerja pengembalian kredit sebagai dampak dari bencana banjir pada awal 2014.
Grafik III.3.21. Mortality Rate Sektor Utama Berdasarkan Nominal Baki Debet
Grafik III.3.22. Mortality Rate Sektor Utama Berdasarkan Jumlah Debitur
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Di sektor rumah tangga wilayah Jabagbar, penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pada triwulan I
2014 mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Kondisi yang sama juga terjadi dalam
penyaluran kredit multiguna yang juga menurun. Sebaliknya, penyaluran kredit kepemilikan kendaraan
bermotor khususnya roda 4 justru mengalami peningkatan sejalan dengan menjamurnya mobil Low
Cost Gren Car (LCGC). Meskipun demikian, kualitas kredit sektor rumah tangga ini mengalami sedikit
penurunan karena NPL yang meningkat, namun masih di bawah 5% atau pada kisaran 0,9% – 2,9% atau
lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya pada kisaran 0,7%-2,8% (Grafik III.3.23).
3Perhitungan Mortality Rate menggunakan Altman Approach
L a p o r a n N u s a n t a r a | 79
Grafik III.3.23. Perkembangan Kredit Rumah Tangga
Grafik III.3.24. Perkembangan Kredit UMKM
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Pada triwulan I 2014, penyaluran kredit kepada kategori debitur UMKM di wilayah Jabagbar mencapai
Rp82,1 triliun dengan pertumbuhan sebesar 16,7% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya
sebesar 15,5% (yoy). Sementara itu, pangsa kredit untuk debitur UMKM terhadap total kredit Jabagbar
mencapai sekitar 17,7% atau sedikit peningkatan dari triwulan sebelumnya sebesar 17,4%. Di sisi lain,
terjadi penurunan kualitas kredit UMKM yang ditunjukkan oleh rasio NPL yang meningkat dari triwulan
IV-2013 sebesar 3,9% menjadi 4,4% pada triwulan I 2014 (Grafik III.3.24).
Kinerja Sistem Pembayaran
Kinerja sistem pembayaran non tunai pada triwulan I 2014 menunjukkan penggunaan fasilitas RTGS
yang meningkat baik dari sisi nominal maupun volume transaksi. Kondisi sebaliknya terjadi pada Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang cenderung mengalami tren penurunan. Adapun transaksi
RTGS dari Jawa Barat lebih besar dibandingkan transaksi RTGS yang menuju ke Jawa Barat,
mengindikasikan banyaknya aliran dana yang keluar dari Jawa Barat menuju ke daerah lain. Kondisi ini
dipengaruhi antara lain oleh semakin banyaknya pekerja yang hanya tinggal untuk bekerja di Jawa Barat
dan mengirimkan hasil upah kerja ke luar Jawa Barat (Grafik III.3.26).
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Perkembangan peredaran uang pada triwulan I 2014 masih didominasi oleh aliran inflow. Jumlah aliran
uang kartal yang masuk ke Bank Indonesia Wilayah VI mencapai Rp19,7 triliun, sedangkan aliran
outflow mencapai Rp6,3 triliun (Grafik III.3.25). Untuk memastikan masyarakat memperoleh uang tunai
yang layak edar Bank Indonesia secara konsisten kebijakan Clean Money Policy. Sepanjang triwulan I
2014, uang yang tidak layak edar yang dimusnahkan sebesar 206,7 juta lembar. Disamping itu, Bank
Indonesia Wilayah VI sejak awal tahun 2014 memperluas kerjasama dengan perbankan daerah dalam
hal penukaran uang tunai.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 80
Grafik III.3.25.Perkembangan Inflow Outflow Grafik III.3.26.Perkembangan Transaksi Non Tunai
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Prospek perekonomian wilayah Jabagbar diperkirakan berada pada masa konsolidasi sebagaimana
kondisi nasional. Pertumbuhan ekonomi Jabagbar tahun 2014 diperkirakan stabil pada kisaran 5,6% -
6,1% (yoy) dengan kecenderungan bias ke bawah. Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga
diperkirakan meningkat yang dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan (kenaikan UMP/UMK) serta
prospek melemahnya tekanan inflasi. Hasil quick survey mengindikasikan peningkatan permintaan
domestik pada tahun 2014 terkait dengan prospek sektor ekonomi utama. Sekitar 58% responden
berekspektasi bahwa permintaan domestik akan meningkat tahun 2014. Di sisi lain, investasi
diperkirakan cenderung tertahan sebagai faktor PEMILU. Berdasarkan hasil FGD dengan BKPPMD Jawa
Barat, pelaku usaha diperkirakan akan sedikit menahan investasinya hingga pemerintahan yang baru
telah terpilih. Hasil liaison terhadap pelaku usaha menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku usaha
cenderung menahan investasi di tahun 2014 khususnya untuk investasi yang bersifat ekspansif. Kinerja
ekspor diperkirakan tumbuh moderat seiring dengan pemulihan ekonomi global, meskipun masih
terdapat kemungkinan risiko dari tekanan nilai tukar yang berpotensi berimbas pada kinerja eksportir
dengan memiliki ketergantungan impor cukup tinggi (impor bahan baku dan impor barang modal). Dari
hasil quick survey, sekitar 70% responden memperkirakan ekspor berpotensi meningkat. Di sisi lain,
perkembangan impor sejalan dengan kinerja sektor industri dan konsumsi yang meningkat.
Peningkatan impor diperkirakan untuk impor bahan baku mengingat 90% impor Jawa Barat merupakan
impor bahan baku.
Prospek Inflasi
Inflasi Jabagbar pada tahun 2014 diperkirakan berada pada pola historisnya dan diperkirakan lebih
rendah dibandingkan inflasi tahun 2013. Tekanan inflasi pada 2014 didorong oleh terjadinya bencana
banjir, kenaikan harga gas elpiji, tarif tenaga listrik untuk industri, dan periode musiman peningkatan
permintaan pada hari raya keagamaan dan libur tahun ajaran baru.
Sementara itu faktor penahan inflasi diperkirakan dari membaiknya ekspektasi masyarakat terhadap
penurunan inflasi di 2014. Selain itu, meningkatnya perhatian pemerintah terutama pemerintah daerah
terkait ketersediaan stok komoditas pangan dan antisipasi dampak bencana yang lebih responsif juga
diyakini dapat memitigasi risiko kenaikan inflasi. Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah
daerah untuk meningkatkan produksi pangan khususnya makanan pokok (beras dan kedelai) serta
L a p o r a n N u s a n t a r a | 81
hortikultura (cabai merah dan bawang merah), adalah dengan melakukan peningkatan luas areal
tanam, pembuatan lahan sawah baru, bantuan benih pupuk, dan peralatan pertanian, serta
pendampaingan melalui Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Di samping itu, sejumlah
daerah kabupaten/kotamadya kini juga sedang berupaya untuk membentuk Tim Pengendalian Inflasi
Daerah (TPID). Dengan demikian, untuk keseluruhan tahun 2014, inflasi diperkirakan berada pada
rentang 4,9-5,4% (yoy) dengan kecenderungan bias ke atas.
Tabel III.3.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
I II III IV Total I IIp IIIp IVp Totalp
PDRB (%.yoy) 6.5 6.3 6.0 6.1 5.7 6.2 6.0 5.4 6.0 5.6-6.1 5.6-6.1 5.6-6.1
Sisi Permintaan
Konsumsi 5.7 4.4 4.3 3.8 4.7 4.9 4.4 4.9 6.1 5.3-5.8 5.0-5.5 5.3-5.8
Konsumsi swasta 5.7 4.6 4.4 4.5 4.1 4.1 4.3 5.1 5.2 4.7-5.2 4.1-4.6 4.6-5.1
Konsumsi Pemerintah 6.5 1.5 2.9 (3.2) 11.2 13.4 6.5 2.8 16.2 13.3-13.8 13.3-13.8 11.8-12.3
Pembentukan Modal Tetap Bruto 9.5 10.1 10.4 9.7 7.6 5.9 8.4 5.8 5.0 6.9-7.4 6.8-7.3 6.0-6.5
Ekspor 8.9 6.9 9.1 8.7 10.6 12.4 10.2 8.7 9.7 12.0-12.5 12.6-13.1 10.7-11.2
Impor 12.8 6.7 13.9 10.8 15.7 14.6 13.8 10.9 12.2 14.5-15.0 14.8-15.3 12.9 -13.4
Sisi Produksi
Sektor pertanian 0.3 (0.0) 2.7 1.3 4.6 8.6 4.1 0.9 4.3 2.8-3.3 1.6-2.1 2.3-2.8
Sektor pertambangan & penggalian (5.0) (7.0) 4.6 (7.2) (2.0) 2.8 (0.6) (2.9) 1.1 0.8-1.3 2.4-2.9 0.2-0.7
Industri pengolahan 5.8 3.7 4.8 5.5 4.9 4.7 5.0 3.4 3.6 3.9-4.4 4.5-5.0 3.8-4.3
Listrik. gas & air bersih 2.4 8.3 5.4 5.7 6.1 7.2 6.1 10.2 8.5 7.0-7.5 6.5-7.0 7.9-8.4
Bangunan 13.3 13.0 9.9 10.2 7.2 7.3 8.6 10.7 11.0 8.9-9.4 7.4-7.9 9.2-9.7
Perdagangan. hotel & restoran 8.5 11.7 7.1 9.1 6.9 7.6 7.6 7.4 7.8 7.3-7.8 7.6-8.1 7.4-7.9
Pengangkutan & komunikasi 13.7 11.5 11.5 10.5 7.8 6.7 9.0 10.8 10.3 10.2-10.7 8.7-9.2 10.0-10.5
Keuangan. persewaan dan jasa perush. 12.0 9.7 9.6 8.3 7.8 8.0 8.4 8.1 7.7 7.0-7.5 7.9-8.4 7.4-7.9
Jasa-jasa 7.9 8.2 7.7 4.0 6.0 5.9 5.9 9.7 8.8 6.9-7.4 7.0-7.5 8.0-8.5
Inflasi IHK (%.yoy) 3.3 4.0 6.1 6.7 9.3 9.2 9.2 8.0 7.3 4.3-4.8 4.9-5.4 4.9-5.4
Sumber: Badan Pusat Statistik. diolahp proyeksi Bank Indonesia
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah 2011 20122013 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 82
Bagian III.4 Perekonomian Jakarta
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian wilayah Jakarta tumbuh meningkat pada Tw I 2014 dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Pada triwulan I 2014 ekonomi wilayah Jakarta tumbuh sebesar 6,0% (yoy) atau 0,4% (qtq)
lebih tinggi dibandingkan capaian pada triwulan IV 2013. Peningkatan ekonomi wilayah Jakarta
dipengaruhi oleh kenaikan konsumsi dan investasi secara signifikan. Pertumbuhan konsumsi pada
triwulan I 2014 terkait dengan belanja Pemilu dan membaiknya keyakinan konsumen. Meningkatnya
investasi didukung oleh membaiknya investasi bangunan dengan masih kuatnya pasar properti.
Perbaikan perekonomian wilayah Jakarta diperkirakan berlanjut. Hal ini didukung oleh faktor belanja
Pemilihan Presiden 2014 yang akan mendukung peningkatan konsumsi. Kinerja investasi diperkirakan
juga akan tumbuh dengan kondusifnya dinamika politik serta terjaganya fundamental ekonomi makro
terutama berakhirnya Pemilu serta realisasi berbagai proyek infrastruktur skala besar. Demikian pula
dengan ekspor luar negeri diprediksi masih berpotensi membaik, walaupun untuk keseluruhan 2014
kinerja ekspor diprediksi tidak setinggi ekspor 2013 terkait dengan terbatasnya pertumbuhan ekonomi
negara mitra dagang. Secara sektoral, perbaikan kinerja pada triwulan II 2014 diperkirakan terjadi pada
sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR) dan sektor jasa-jasa. Sementara itu, pertumbuhan sektor
konstruksi diperkirakan melambat. Pertumbuhan ekonomi wilayah Jakarta untuk keseluruhan tahun
2014 diprakirakan berada di kisaran 6,0% – 6,4% (yoy).
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2014 tumbuh lebih tinggi sebesar 5,9% (yoy) dibandingkan
dengan triwulan lalu sebesar 5,6% (yoy). Pertumbuhan konsumsi pada triwulan I 2014 didukung oleh
membaiknya keyakinan konsumen dan realisasi belanja Pemilu Legislatif. Hasil Survei Konsumen
menunjukkan adanya peningkatan ekspektasi terhadap kondisi perekonomian ke depan yang salah
satunya dipengaruhi oleh optimisme terhadap hasil Pemilu 2014. Belanja terkait Pemilu salah satunya
tercermin dari penjualan perlengkapan telekomunikasi dan voucher komunikasi yang meningkat
berdasarkan survei perdagangan eceran. Karakteristik pemilih Jakarta yang sebagian besar kalangan
muda dan pengguna aktif media telekomunikasi membuat media komunikasi dalam Pemilu kali ini
banyak melalui media sosial dan layanan telekomunikasi lainnya.
Mencermati perkembangan indikator terkini, konsumsi rumah tangga pada triwulan II 2014 diprakirakan
mampu tumbuh lebih baik dibandingkan triwulan I 2014. Peningkatan konsumsi rumah tangga selain
terkait dengan berlanjutnya belanja Pemilu dengan adanya Pemilu Presiden, juga dipengaruhi oleh
terjaganya nilai tukar yang berdampak pada harga barang konsumsi dari impor. Survei penjualan eceran
memperlihatkan penjualan barang tahan lama, khususnya barang elektronik, perlengkapan
telekomunikasi dan furnitur masih dalam tren meningkat hingga April 2014. Selain itu, data penjualan
kendaraan bermotor menunjukkan adanya tren peningkatan penjualan semenjak awal tahun 2014 yang
diprediksi berlanjut pada triwulan berjalan. Peningkatan penjualan kendaraan roda empat saat ini
L a p o r a n N u s a n t a r a | 83
didukung oleh penjualan low cost green car (LCGC), yang berdasarkan prakiraan setiap bulannya mampu
tumbuh sekitar 13%-14%. Meskipun penjualan kendaraan roda dua masih tumbuh negatif, kontak liaison
memperkirakan penjualan kendaraan bermotor roda dua tetap memiliki potensi peningkatan, mengingat
masih tingginya kebutuhan alat transportasi yang terjangkau oleh masyarakat umum.
Grafik III.4.1. Indeks Keyakinan Konsumen Grafik III.4.2. Perkembangan Survei Penjualan Eceran
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah pada triwulan I 2014 mengalami peningkatan signifikan (10,7%, yoy) yang
terutama dikontribusikan oleh belanja Pemerintah Pusat terkait dengan penyelenggaraan Pemilu 2014.
Meski demikian, konsumsi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan
triwulan lalu terkait dengan terlambatnya pencairan dana APBD 2014. Keterlambatan persetujuan
pencairan dana APBD disebabkan oleh adanya penambahan kegiatan dan proyek. Belanja Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta tercatat sebesar 3,67% atau senilai Rp2,64 triliun dari keseluruhan anggaran belanja
Rp72 triliun.
Penyerapan belanja di triwulan II 2014 diprakirakan tumbuh stabil dengan dukungan belanja
penyelenggaraan Pemilu Presiden dan peningkatan belanja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tingginya
komitmen Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengakselerasi penyerapan anggaran melalui
implementasi sistem pengadaan yang lebih baik, diprediksi akan mampu mendukung perbaikan belanja
APBD Selain belanja barang dan jasa, beberapa pembangunan sejumlah proyek infrastruktur yang
sebagian atau seluruhnya dibiayai oleh APBD, diantaranya adalah pembangunan dan perbaikan
prasarana fisik (jalan dan drainase), proyek rumah susun (rusun) serta sarana publik lainnya.
Investasi
Investasi Jakarta pada triwulan I 2014 tetap terjaga dan tumbuh positif. Berdasarkan realisasi investasi
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) yang dirilis oleh BKPM
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan investasi terutama pada investasi PMDN. Investasi PMDN di
Jakarta meningkat hingga 512% atau 5 kali lipat lebih dibandingkan dengan triwulan lalu. Kinerja investasi
PMDN yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi PMA tersebut mengindikasikan masih
kuatnya sumber pembiayaan investasi domestik, baik melalui kredit perbankan maupun dana sindikasi
korporasi. Sementara itu, melambatnya investasi properti pada triwulan I 2014 terindikasi dari
menurunnya kinerja emiten properti yang tercatat di pasar modal dan terbatasnya peningkatan harga
properti.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 84
Investasi Jakarta pada triwulan II 2014 diprakirakan tumbuh melambat terkait dengan kecenderungan
investor untuk menunggu hasil Pemilu Presiden 2014 yang menentukan kepastian arah kebijakan
perekonomian dan prospek bisnis ke depan. Pertumbuhan investasi pada triwulan berjalan diyakini
masih dikontribusikan oleh investasi bangunan baik di subsektor properti dan infrastruktur. Pengakuan
Jakarta sebagai destinasi investasi properti terbaik di Asia dan bahkan di dunia4, memberikan prospek
positif pada pertumbuhan investasi bangunan. Sejumlah proyek properti komersial baik kantor sewa,
apartemen dan kondominium direncanakan realisasinya pada tahun 2014. Tercatat 43 gedung
perkantoran, 7 apartemen sewa dan 83 apartemen strata (kondominium) yang saat ini direncanakan
pembangunannya di Jakarta.
Peningkatan investasi bangunan juga akan didukung oleh berbagai proyek prasarana dan sarana publik di
Jakarta. Proyek MRT yang menduduki peringkat 16 dari 20 proyek infrastruktur terbaik di dunia (versi
World Finance) tersebut menelan investasi hingga Rp15,7 triliun untuk tahap I dan Rp13,2 triliun untuk
tahap II. Berdasarkan informasi PT MRT, pada tahun 2014, estimasi biaya proyek MRT yang akan
disalurkan sebesar Rp2,5 triliun. Di samping itu, saat ini juga masih berlangsung perencanaan
pembangunan monorel oleh konsorsium perusahaan BUMN dan publik.
Sumber: BKPM, diolah
Grafik III.4.3. Realisasi Investasi PMDN & PMA Grafik III.4.4. Kredit Investasi
Sementara itu, berdasarkan informasi liaison pada industri manufaktur, terlihat adanya kecenderungan
untuk menahan investasi dalam skala besar pada tahun politik. Sejumlah perusahaan manufaktur melihat
prospek perekonomian yang belum membaik secara signifikan, meskipun kondisi ekonomi makro jauh
lebih baik dibandingkan dengan dua triwulan terakhir. Adapun investasi yang dilakukan pada industri
manufaktur lebih bersifat operasional seperti untuk pemeliharaan mesin dan peralatan.
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Ekspor Jakarta sedikit mengalami perlambatan pada triwulan I 2014 dengan tumbuh sebesar 0,5% (yoy)
atau 0,1% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan lalu. Perlambatan volume ekspor produk Jakarta
pada Januari 2014 merupakan yang terdalam dalam 6 bulan terakhir. Hal ini merupakan dampak dari
terjadinya banjir yang mengganggu aktivitas ekspor melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Penurunan volume
4 Knight Frank – Global Cities Prime International Residential Index
L a p o r a n N u s a n t a r a | 85
ekspor terutama pada komoditas barang manufaktur. Sementara itu, ekspor kendaraan roda empat
masih mampu tumbuh meningkat terkait dengan permintaan global.
Memasuki triwulan II 2014, kinerja ekspor Jakarta diprakirakan akan membaik di tengah penguatan nilai
tukar dan terbatasnya permintaan dari negara mitra dagang khususnya negara Tiongkok. Perbaikan
tersebut juga didukung oleh ekspor produk utama Jakarta seperti kendaraan bermotor yang terus
menngindikasikan pertumbuhan positif. Hal ini didukung ekspor kendaraan bermotor tipe Low Cost
Green Car (LCGC) ke negara-negara di Asia Tenggara, Afrika dan Amerika Selatan yang cukup besar.
Ekspor mobil secara utuh (CBU) juga berpotensi mengalami peningkatan sejalan dengan daya saing
industri otomotif yang semakin meningkat dan target pemerintah untuk mendorong ekspor produk
dengan nilai tambah tinggi. Selain itu, juga terdapat indikasi peningkatan ekspor ke negara tujuan Korea
Selatan khususnya pada produk komponen elektronik. Ekspor bahan kimia organik ke sejumlah negara
Asia juga diprediksi akan kembali meningkat pada triwulan berjalan.
Impor
Pertumbuhan nilai impor masih terbatas, sehingga turut mendukung upaya menaikkan surplus neraca
perdagangan. Perlambatan nilai impor terjadi pada impor barang modal sejalan dengan terbatasnya
investasi di subsektor industri manufaktur. Impor barang modal yang melambat terjadi pada jenis
peralatan transpor untuk keperluan industri, termasuk di dalamnya untuk keperluan material handling.
Meski demikian, pertumbuhan impor bahan baku yang sebagian besar dipakai dalam proses produksi
manufaktur relatif stabil. Sedangkan peningkatan pertumbuhan impor terindikasi pada produk konsumsi
sebagai dampak dari penguatan konsumsi rumah tangga di Jakarta. Penguatan nilai tukar pada akhir
triwulan I 2014 juga ditengarai sebagai salah satu penyebab kenaikan impor barang konsumsi.
Adapun pada triwulan II 2014, impor Jakarta diprakirakan kembali menunjukkan peningkatan
pertumbuhan sejalan dengan perbaikan ekspor. Potensi peningkatan ekspor terutama pada barang baku
industri manufaktur. Impor barang konsumsi juga diprediksi mengalami peningkatan terkait dengan
peningkatan konsumsi pada masa Lebaran. Di sisi lain, impor barang modal masih akan tumbuh terbatas
terkait dengan investasi yang diperkirakan mengalami sedikit perlambatan.
-40
-20
0
20
40
60
80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3
2011 2012 2013 2014
%, yoy
g.Nilai Ekspor g.Volume Ekspor
-100
-50
0
50
100
150
200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2012 2013 2014
%
Bahan Kimia Barang Manufaktur Alat Transportasi
Grafik III.4.5.Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor Grafik III.4.6. Perkembangan Volume Ekspor Komoditas Utama
L a p o r a n N u s a n t a r a | 86
-40
-20
0
20
40
60
80
100
120
140
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3
2011 2012 2013 2014
%, yoy
g.Nilai Impor g.Volume Impor
(40)
(20)
0
20
40
60
80
100
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3
2011 2012 2013 2014
%
gBarang Konsumsi gBarang Modal
Grafik III.4.7.Perkembangan Nilai dan Volume Impor Grafik III.4.8.Nilai Impor Berdasarkan Jenis
Kinerja Sektor Utama
Sektor Jasa Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan
Perbaikan kinerja di sektor jasa keuangan, real estate, dan jasa perusahaan pada triwulan I 2014
terindikasi dari peningkatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Sektor ini mencatat pertumbuhan
sebesar 4,9% (yoy), lebih tinggi dari pencapaian pada triwulan IV 2013 sebesar 4,6% (yoy). Sentimen
positif pasar keuangan pada triwulan I 2014 terkait dengan stabilnya kondisi ekonomi makro setelah
tekanan pada periode triwulan sebelumnya. Pengetatan kebijakan moneter yang berdampak pada
membaiknya neraca perdagangan membawa penguatan pada nilai tukar sebesar 7,14% pada triwulan I
2014 apabila dibandingkan dengan level pada akhir 2013. Meningkatnya cadangan devisa dan terjaganya
tingkat inflasi turut memberikan persepsi yang lebih baik pada investor pasar keuangan. Selain itu,
Membaiknya pasar keuangan juga terdeteksi dari imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang
menurun. Hal ini menyebabkan masuknya kembali dana asing ke pasar keuangan.
Sumber : CEIC diolah Sumber : Bloomberg
Grafik III.4.9.Perkembangan Indeks Pasar Keuangan Grafik III.4.10. Tracking IHSG Januari 2014
Kinerja pasar keuangan pada triwulan II 2014 diprakirakan tumbuh stabil yang berpengaruh pada kinerja
sektor jasa keuangan, real estate dan jasa perusahaan. Meski terdapat potensi peningkatan indeks pasar
keuangan, namun terdapat pula indikasi penurunan menyikapi hasil Pemilu Legislatif 2014. Tidak adanya
partai politik dengan suara dominan yang lolos batas ambang pencalonan presiden memberikan
ketidakpastian pada dinamika politik menjelang Pemilihan Presiden 2014 terkait dengan proses koalisi
antarpartai politik. Sementara itu, kinerja subsektor real estate diperkirakan juga tumbuh stabil
mengingat investor cenderung wait and see dalam melakukan pembelian maupun penyewaan properti.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 87
Di sisi lain, subsektor jasa perusahaan berpotensi menguat pada triwulan berjalan terkait dengan
aktivitas kampanye Pemilihan Presiden.
Sektor Industri Pengolahan
Kinerja sektor industri pengolahan Jakarta pada triwulan I 2014 mengalami peningkatan, sejalan dengan
membaiknya penjualan berbagai produk manufaktur Jakarta. Sektor industri pengolahan Jakarta
mencatat pertumbuhan sebesar 3,8% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan capaian pada triwulan
sebelumnya sebesar 3,3% (yoy). Adanya peningkatan permintaan, khususnya dari pasar domestik telah
mendorong penjualan kendaraan bermotor dan produk manufaktur lainnya seperti suku cadang
kendaraan, makanan dan minuman serta consumer goods. Hasil liaison ke sejumlah industri pengolahan
mengonfirmasi perbaikan kinerja produksi dibandingkan dengan periode triwulan sebelumnya. Meskipun
demikian, sejumlah industri pengolahan juga menyampaikan penurunan produksi bila dibandingkan
dengan periode yang sama pada tahun 2013. Survei industri manufaktur menunjukkan pertumbuhan
produksi pada industri besar dan sedang sebesar 8,4% (yoy). Sedangkan pada industri mikro dan kecil
terlihat pertumbuhan produksi industri mikro dan kecil sebesar 9,7% (yoy).
Adapun kinerja sektor industri pada triwulan II 2014 diprediksi stabil meskipun diprediksi terdapat
peningkatan permintaan domestik terkait dengan kebutuhan Lebaran. Terbatasnya permintaan sebagai
dampak dari kenaikan listrik untuk industri yang memberikan pengaruh pada harga jual produk
manufaktur, merupakan faktor yang dapat menahan kinerja sektor industri pengolahan. Meski demikian,
hasil liaison ke industri manufaktur produsen consumer goods mengindikasikan adanya optimisme
peningkatan produksi pada tahun 2014, seiring dengan berakhirnya Pemilu. Selain itu, terdapat pula
optimisme peningkatan permintaan produk kendaraan bermotor baik dari global maupun domestik (pola
musiman Lebaran) yang dapat mendukung peningkatan produksi pada triwulan berjalan.
Sumber : CEIC diolah
Grafik III.4.11. Perkembangan Ekspor Manufaktur
Sumber : Survei Industri Manufaktur – BPS DKI Jakarta
Grafik III.4.12. Impor Bahan Baku di Jakarta
Sektor Konstruksi
Pada triwulan I 2014 sektor konstruksi mampu tumbuh tinggi sebesar 6,3% (yoy) dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Data konsumsi semen mendukung pertumbuhan sektor konstruksi di Jakarta.
Hingga akhir triwulan I 2014, penjualan eceran semen mengalami peningkatan lebih dari 12%
dibandingkan dengan akhir triwulan lalu. Demikian pula data penjualan bahan bangunan dan
perlengkapan konstruksi di Jakarta juga tumbuh meningkat (Grafik III.4.13). Penjualan eceran pasir
bahkan mengalami peningkatan hingga 34% dibandingkan akhir triwulan lalu. Kinerja sektor konstruksi
selain didukung oleh berlanjutnya pembangunan proyek properti komersial juga didorong oleh mulainya
L a p o r a n N u s a n t a r a | 88
sejumlah proyek infrastruktur dalam skala besar. Kebutuhan ruang kantor yang tinggi di Jakarta serta
adanya penguatan nilai tukar menjadi pendorong dimulainya berbagai proyek pembangunan gedung
kantor di Jakarta.
Kinerja sektor konstruksi pada triwulan II 2014 diperkirakan tumbuh sedikit melambat sejalan dengan
masih terbatasnya proyek properti hunian komersial, meskipun terdapat peningkatan aktivitas
pembangunan pada sejumlah proyek infrastruktur. Berbagai proyek pembangunan infrastruktur skala
besar dan multi-year yang mendukung pertumbuhan sektor konstruksi sepanjang 2014 adalah proyek
MRT Jakarta, tol akses pelabuhan dan perluasan pelabuhan Tanjung Priok, serta penyelesaian lingkar luar
II (JORR II). Khusus dalam kaitan dengan pembangunan MRT, telah dimulai tahap penggalian dan
pembangunan stasiun bawah tanah. Di samping itu, terdapat pula beberapa proyek konstruksi dengan
skala yang lebih kecil yang sebagian atau keseluruhan dibiayai oleh APBD Jakarta, diantaranya proyek
pembangunan Rumah Sakit Pekerja Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Rumah Susun Daan Mogot
dan Muara Baru serta kampung deret di sejumlah lokasi.
Sumber : CEIC diolah
Grafik III.4.13. Konsumsi Semen di Jakarta Grafik III.4.14. Penjualan Bahan Bangunan di Jakarta
PERKEMBANGAN INFLASI
Tekanan inflasi Jakarta pada triwulan I 2014 lebih rendah dibandingkan dengan akhir tahun lalu, kendati
sempat mengalami tekanan inflasi volatile foods pada bulan Januari 2014. Inflasi Jakarta pada triwulan I
2014 tercatat sebesar 7,53% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan inflasi triwulan lalu sebesar 8,00%
(yoy). Kendati demikian realisasi triwulan ini lebih tinggi dibandingkan dengan nasional sebesar 7,32%
(yoy) (Grafik III.4.15). Sepanjang triwulan I 2014, tekanan inflasi lebih banyak bersumber dari inflasi
administered prices, baik karena rigiditas penurunan harga LPG5, kenaikan tarif angkutan udara tidak
terlepas dari penerapan biaya tambahan penerbangan (surcharge), dan kenaikan cukai rokok. Di sisi lain,
tekanan inflasi volatile foods yang cukup tinggi pada awal tahun karena banjir sehingga pasokan pangan
Jakarta, mulai mereda pada akhir triwulan (Grafik III.4.16).
Penurunan tekanan inflasi volatile foods diprakirakan masih berlanjut hingga triwulan II 2014. Di sisi lain,
tekanan inflasi muncul dari kelompok administered prices. Penurunan tekanan inflasi volatile foods
seiring dengan koreksi harga beberapa komoditas pangan seperti beras, cabe merah, dan bawang merah
5 Pada Januari 2014, komoditas bahan bakar rumah tangga memberikan andil inflasi tertinggi 0,175%, kendati harga LPG
telah direvisi dari Rp4.000 per kg menjadi Rp1.000 per kg pada minggu kedua Januari 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 89
seiring membaiknya pasokan dari daerah sentra karena memasuki masa panen. Sementara itu, tekanan
inflasi administered prices bersumber dari kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) mulai 1 Mei 2014.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi DKI Jakarta menguatkan koordinasi baik internal maupun
eksternal dengan TPID di daerah lain. Hal tersebut penting mengingat sebagai salah satu upaya dalam
mengendalikan inflasi. Koordinasi pengendalian inflasi tersebut salah satunya terkait dampak banjir
terhadap inflasi Jakarta dan upaya daerah-daerah sentra atau pemasok bahan pangan Jakarta, seperti
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara. Tidak terbatas pada pengendalian inflasi dalam rangka
meminimalisasi dampak banjir terhadap tekanan inflasi, tetapi juga membahas kerja sama antardaerah.
Hal tersebut penting untuk menjaga pasokan pangan Jakarta, karena pasokan pangan Jakarta banyak
dipasok dari daerah lain.
Sumber : Badan Sumber Pusat Statistik, diolah Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.4.15. Perkembangan Inflasi Grafik III.4.16. Disagregasi Inflasi
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Penyaluran kredit perbankan pada triwulan I 2014 relatif stabil secara nominal, namun secara
pertumbuhan masih dalam tren melambat. Pertumbuhan kredit di Jakarta tercatat sebesar 21,8% (yoy)
pada Maret 2014, jauh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini merupakan
dampak dari penyesuaian suku bunga dan biaya jasa perbankan. Selain itu, relatif moderatnya
pertumbuhan perekonomian turut berpengaruh pada perlambatan pertumbuhan kredit di Jakarta.
Apabila dilihat berdasarkan jenisnya, maka hanya pertumbuhan kredit investasi yang tetap dalam tren
meningkat dan perlu mendapat perhatian.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 90
Grafik III.4.17. Kinerja Penyaluran Kredit Perbankan
Grafik III.4.18. Penyaluran Jenis Kredit Perbankan
Berdasarkan data kredit per sektor utama perekonomian Jakarta, kredit di subsektor real estate,
perdagangan besar dan eceran serta perantara keuangan mengalami perlambatan. Penurunan kredit di
sektor perdagangan ini ditengarai sebagai pengaruh dari menurunnya kredit modal kerja. Selain itu,
penurunan juga terjadi pada Kredit Peruntukan Apartemen (KPA) dan kredit multiguna. Sementara itu,
kredit untuk hunian dibawah tipe 21 dan kredit sepeda motor tumbuh meningkat. Walaupun kredit
peruntukan apartemen menurun, namun diprediksi tidak terlalu berpengaruh pada kinerja subsektor
properti mengingat masih adanya kemampuan konsumen untuk melakukan pembelian secara tunai.
Porsi dari Non Performing Loans (NPL) untuk sektor utama Jakarta seperti sektor industri, sektor
perdagangan, sektor real estate dan jasa perusahaan menunjukkan peningkatan pada triwulan I 2014.
Peningkatan NPL tertinggi terjadi pada sektor industri sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan kredit
di sektor tersebut. Pada Maret 2014, NPL di sektor industri tercatat sebesar 2,8%, naik tajam dalam
waktu yang relatif singkat. Kenaikan tajam dari NPL di sektor industri ini ditengarai sebagai dampak dari
peningkatan biaya produksi serta penurunan margin usaha dengan adanya depresiasi nilai tukar dan
kenaikan biaya bunga. Secara total, porsi NPL juga mengalami peningkatan pada triwulan I 2014,
meskipun masih berada di bawah level 2% dengan terjaganya stabilitas ekonomi makro dengan
dukungan kebijakan moneter. Merujuk pada asesmen terkini, ketahanan sistem keuangan korporasi di
Jakarta diperkirakan masih terjaga pada level yang cukup aman.
Grafik III.4.19. Kredit Bank berdasarkan Sektor Ekonomi
Grafik III.4.20. Rasio NPL Kredit Sektor Utama Perbankan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 91
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit sektor rumah tangga yang utamanya kredit konsumsi dalam tren menurun pada triwulan I 2014
yang ditengarai merupakan dampak dari kenaikan suku bunga kredit dan lebih berhati-hatinya rumah
tangga Jakarta dalam berkonsumsi. Meskipun terlihat adanya perbaikan pada stabilitas ekonomi makro,
rumah tangga Jakarta cenderung untuk lebih selektif dalam melakukan pembelian barang-barang
konsumsi melalui kredit. Dengan masih adanya peningkatan pendapatan, diprediksi sebagian rumah
tangga melakukan pembelian barang tahan lama dengan tunai. Berdasarkan jenisnya, pembiayaan kredit
multiguna tercatat tumbuh negatif pada triwulan I 2014. Selain itu, kredit pemilikan rumah (KPR) untuk
hunian tipe diatas 70 meter persegi juga masih dalam tren melambat. Di sisi lain, KPR untuk hunian tipe
22 hingga 70 meter persegi dan kendaraan roda empat tumbuh sedikit meningkat. Hal ini terkait dengan
masih tingginya kebutuhan golongan menengah akan perumahan dan kendaraan bermotor. Adapun
kredit yang diberikan lembaga keuangan (LK) nonperbankan relatif stabil di tengah peningkatan suku
bunga pada triwulan I 2014.
Grafik III.4.21. Perkembangan Kredit Perbankan ke
Rumah Tangga Grafik III.4.22. Kinerja Penyaluran Kredit LK
NonPerbankan
Grafik III.4.23. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga Grafik III.4.24. Rasio NPL Kredit Perumahan
Secara umum ketahanan sistem keuangan rumah tangga masih terjaga yang terlihat dari rasio NPL untuk
sejumlah kredit rumah tangga. Penurunan rasio NPL yang paling dalam terjadi pada kredit pemilikan
komputer dan barang elektronik yang pada akhir Maret 2014 tercatat sebesar 4%. Hal ini sejalan dengan
terbatasnya penjualan barang elektronik semenjak awal 2014 sebagai dampak dari kenaikan harga
dengan terdepresiasinya nilai tukar. Sementara itu, rasio NPL untuk kredit sepeda motor dan keperluan
multiguna mengindikasikan adanya tren peningkatan yang moderat. Hal ini diprediksi sebagai respons
dari peningkatan biaya bunga yang harus dibayar rumah tangga peminjam. Pada kredit di subsektor
perumahan, rasio NPL untuk KPA sampai dengan tipe 21 meter persegi masih dalam tren meningkat.
Pada akhir Maret 2014, rasio NPL untuk KPA sampai dengan tipe 21 tercatat sebesar 3,4%. Demikian
L a p o r a n N u s a n t a r a | 92
pula halnya dengan rasio NPL untuk kredit pembelian rumah toko (ruko) serta rumah kantor (rukan) yang
berada di atas level 2% pada akhir triwulan I 2014. Sedangkan rasio NPL untuk KPR tipe 22 – 70 relatif
stabil.
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Kredit sektor UMKM di Jakarta menunjukkan peningkatan pertumbuhan pada triwulan I 2014 yang
disertai dengan peningkatan NPL dalam level yang moderat. Kredit UMKM tercatat tumbuh sebesar 6,6%
(yoy) pada akhir Maret 2014, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir triwulan IV 2013
sebesar 2,3% (yoy). Membaiknya iklim usaha sebagai pengaruh dari terjaganya kondisi ekonomi makro
dan adanya dampak belanja Pemilu, ditengarai sebagai faktor yang mendorong pertumbuhan kredit
UMKM di Jakarta. Selain itu, juga terdapat upaya perluasan akses kredit untuk meningkatkan kapabilitas
UMKM dalam bersaing di Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. DKI Jakarta masih mendominasi
pemberian kredit UMKM terkait dengan potensinya yang sangat besar. Namun, risiko kredit UMKM yang
relatif tinggi tetap menjadi salah satu faktor yang menjadi perhatian bank pemberi kredit UMKM. Rasio
NPL untuk kredit UMKM di Jakarta tercatat sebesar 2,1% pada Maret 2014.
Kinerja Sistem Pembayaran
Sejalan dengan tumbuh meningkatnya perekonomian Jakarta, nilai transaksi melalui BI-RTGS pada
triwulan I 2014 mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Nilai transaksi RTGS
pada triwulan I 2013 tercatat sebesar Rp91,7 triliun atau sebanyak 24.087 transaksi per hari. Realisasi
tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp82 triliun atau
sebanyak 23.928 transaksi per hari. Sementara itu, transaksi melalui kliring pada triwulan I 2013
mengalami peningkatan baik secara nilai maupun volume, yaitu tercatat sekitar Rp6,3 triliun dengan
volume rata-rata sekitar 280.000 warkat. Hal ini diperkirakan terkait juga dengan adanya belanja Pemilu.
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Sesuai dengan karakteristiknya, pada triwulan I 2014 Jakarta mengalami netoutflow sebesar Rp34,18
triliun. Peningkatan outflow yang tercatat lebih besar dibandingkan dengan inflow tersebut diduga
terkait dengan kegiatan kampanye pemilu 2014 yang menyebabkan kebutuhan uang meningkat. Adapun
temuan uang palsu di wilayah Jakarta tetap melanjutkan tren penurunan sejalan dengan semakin
ketatnya pengawasan.
Grafik III.4.25. Transaksi Kliring Grafik III.4.26. Inflow - Outflow
L a p o r a n N u s a n t a r a | 93
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Prospek pertumbuhan ekonomi Jakarta untuk keseluruhan tahun 2014 diprakirakan tetap berada di
kisaran 6,0%-6,4% (yoy). Hal yang mendasari proyeksi tersebut adalah adanya indikasi perbaikan kinerja
ekspor dan masih kuatnya konsumsi domestik. Perbaikan kinerja ekspor sangat dipengaruhi oleh faktor
global, khususnya dari ekspor kendaraan bermotor dan komponennya. Perbaikan ekspor produk Jakarta
relatif masih terbatas dengan adanya risiko perlambatan ekonomi Tiongkok yang merupakan salah satu
mitra dagang Jakarta. Menjelang implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, peningkatan
kapabilitas dan kapasitas industri berteknologi tinggi di Jakarta merupakan suatu yang mutlak mengingat
hal tersebut akan mendukung peningkatan daya saing dan berkelanjutannya pertumbuhan ekonomi
Jakarta.
Konsumen di wilayah Jakarta juga memiliki ekspektasi yang positif terhadap ketersediaan lapangan kerja
dan potensi tingkat penghasilan. Hal ini ditengarai sebagai dampak positif dari integrasi Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) terutama di sektor non-tradable, yakni sektor konstruksi, sektor pengangkutan
dan telekomunikasi, serta sektor jasa keuangan, real estate dan jasa perusahaan. MEA juga diprediksi
berdampak positif pada kinerja investasi di Jakarta khususnya terkait dengan investasi pada ruang
perkantoran. Selain itu, masih kuatnya investasi juga didukung oleh pembangunan infrastruktur publik
dalam skala besar.
Dari sisi sektoral, kinerja sektor non-tradable masih akan memberikan kontribusi yang lebih besar pada
pertumbuhan ekonomi Jakarta. Adapun sektor utama penyumbang pertumbuhan terbesar di Jakarta
pada tahun 2014 adalah sektor PHR, sektor jasa keuangan, real estate dan jasa perusahaan, sektor
transportasi dan komunikasi serta sektor konstruksi. Penyelenggaraan Pemilu 2014 selain mendorong
kegiatan di sektor PHR, juga mendorong kinerja sektor transportasi dan komunikasi. Hal yang lain adalah
peningkatan aktivitas di Pelabuhan Udara Halim Perdana Kusuma serta pertumbuhan sarana transportasi
publik (KRL dan Bus Rapid Transit). Pertumbuhan jasa keuangan, real estate dan jasa keuangan relatif
lebih terbatas namun tetap memiliki pangsa yang tertinggi. Di sisi lain, peningkatan suplai properti di
tengah perlambatan kenaikan harga di sektor properti komersial khususnya untuk hunian, akan mampu
mendukung subsektor real estate.
Prospek Inflasi
Inflasi Jakarta untuk keseluruhan tahun 2014 diprakirakan sebesar 4,9%-5,3% (yoy) dengan
kecenderungan bias ke atas terkait dengan peningkatan inflasi inti pada awal triwulan I 2014. Namun,
pada triwulan II 2014, tekanan pada inflasi inti diprakirakan telah berkurang, termasuk dengan adanya
perkiraan penurunan harga emas dunia. Sementara itu, inflasi di kelompok pangan diprediksi akan
terkendali dengan masih berlanjutnya panen di sejumlah sentra dan tersedianya pasokan. Namun adanya
potensi El Nino khususnya di kawasan Sumatera, memberikan risiko pada inflasi Jakarta pada tahun
2014. Sementara itu, prakiraan untuk tahun 2014 belum mengasumsikan adanya kebijakan terkait harga
energi yaitu kenaikan harga BBM atau penetapan subisidi BBM tetap.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 94
Tabel III.4.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
I II III IV Total I IIp IIIp IVp Totalp
PDRB (%,yoy) 6.7 6.5 6.5 6.3 6.2 5.6 6.1 6.1 6.2 5.9 - 6.3 5.9 - 6.3 6.0 - 6.4
Sisi Permintaan
Konsumsi 6.2 5.8 5.3 5.6 6.2 5.6 5.7 6.4 6.6 6.0 - 6.4 5.7 - 6.1 5.9 - 6.3
Konsumsi swasta 6.2 6.3 5.7 5.9 6.0 5.7 5.8 6.1 6.3 6.1 - 6.5 5.8 - 6.2 6.0 - 6.4
Konsumsi Pemerintah 3.7 1.1 0.4 2.8 9.5 5.2 4.7 10.7 9.9 5.3 - 5.7 4.8 - 5.2 7.4 - 7.8
Pembentukan Modal Tetap Bruto 10.0 9.0 5.9 5.0 4.7 5.3 5.3 5.8 5.6 5.5 - 5.9 5.5 - 5.9 5.3 - 5.7
Ekspor 12.2 6.3 5.7 4.7 3.3 0.6 3.5 0.5 1.5 1.6 - 2.0 2.1 - 2.5 1.5 - 1.9
Impor 12.8 7.0 4.3 3.2 2.2 0.1 2.5 0.1 1.0 1.0 - 1.4 1.2 - 1.6 0.9 - 1.3
Sisi Produksi
Sektor pertanian 0.8 0.8 1.5 0.7 2.7 1.8 1.6 0.5 0.5 0.5 - 0.9 0.5 - 0.9 0.4 - 0.8
Sektor pertambangan & penggalian 8.6 (0.9) (0.4) (0.7) (1.0) (1.3) (0.8) (2.3) (0.5) (0.6) - (0.2) (1.0) - (0.6) (1.0) - (0.6)
Industri pengolahan 2.4 2.4 1.9 1.5 2.8 3.3 2.4 3.8 3.8 3.6 - 4.0 3.6 - 4.0 3.8 - 4.2
Listrik, gas & air bersih 4.0 4.5 3.8 2.6 1.7 2.5 2.9 4.0 4.4 4.0 - 4.4 3.9 - 4.3 4.0 - 4.4
Bangunan 7.9 6.9 6.5 6.3 5.7 6.1 5.7 6.3 6.0 5.8 - 6.2 5.8 - 6.2 6.1 - 6.5
Perdagangan, hotel & restoran 7.4 7.2 7.2 7.2 6.6 4.8 6.4 5.3 6.0 5.7 - 6.1 5.8 - 6.2 5.7 - 6.1
Pengangkutan & komunikasi 13.9 11.8 11.4 11.4 10.9 9.8 10.8 11.0 10.8 10.9 - 11.3 10.8 - 11.2 11.0 - 11.4
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 5.0 5.4 5.7 5.4 5.0 4.6 5.2 4.9 4.9 4.7 - 5.1 4.7 - 5.1 4.7 - 5.1
Jasa-jasa 6.9 7.6 7.5 7.4 7.9 7.4 7.5 7.2 7.5 7.0 - 7.4 7.0 - 7.4 7.1 - 7.5
Inflasi IHK (%,yoy) 4.0 4.5 5.7 5.7 8.4 8.0 8.0 7.8 7.3 4.8 - 5.2 4.9 - 5.3 4.9 - 5.3
Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolahp proyeks i Bank Indones ia
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah 2011 20122013 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 95
Bagian IV
Perekonomian Sumatera
Pertumbuhan ekonomi Kawasan Sumatera relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Secara agregat, perekonomian Sumatera pada triwulan I 2014 tumbuh sebesar 5,4% (yoy). Stabilnya
perekonomian Sumatera didukung terutama oleh kinerja ekonomi beberapa daerah di Sumatera Bagian
Tengah seperti Riau dan Kepulauan Riau yang cenderung meningkat terkait membaiknya produksi
tambang migas. Kondisi yang berbeda terjadi di sebagian besar daerah lainnya di Sumatera yang justru
menghadapi tantangan dari melambatnya aktivitas sektor primer sehingga berdampak pada laju
pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
Memasuki triwulan II 2014, berbagai indikator ekonomi di Sumatera mengindikasikan potensi
membaiknya pertumbuhan ekonomi, terutama yang bersumber dari menguatnya aktivitas perdagangan.
Kenaikan aktivitas perdagangan didorong oleh peningkatan konsumsi terkait penyelenggaraan pemilu,
mulai masuknya masa liburan sekolah, masa Ramadhan, dan adanya penyelenggaraan beberapa even
berskala nasional dan internasional di Sumatera. Di samping itu, indikasi meningkatan produksi
manufaktur di Kepulauan Riau dan Lampung diperkirakan turut memberi dampak positif bagi
membaiknya ekonomi Sumatera pada triwulan II 2014. Namun, kinerja sektor pertanian diperkirakan
masih belum membaik terkait dengan produksi beberapa tanaman perkebunan, khususnya karet, yang
cenderung terbatas.
Perkembangan inflasi hingga April 2014 menunjukkan tren yang terus menurun. Koreksi harga komoditas
pangan seiring dengan melimpahnya pasokan di beberapa daerah di Sumatera berkontribusi besar pada
menurunnya laju inflasi di kawasan ini. Tekanan inflasi lebih banyak datang dari kenaikan tarif surcharge
angkutan udara dan bencana alam, seperti erupsi Gunung Sinabung di Sumatera Utara dan kabut asap di
Riau, yang telah mengganggu distribusi barang. Namun, upaya pemerintah untuk mengendalikan
dampak lanjutan dari bencana alam yang terjadi di Sumatera dan peran TPID dalam memastikan
ketersediaan pasokan dapat meredam potensi kenaikan inflasi lebih lanjut. Tekanan inflasi di berbagai
daerah di Sumatera diperkirakan terus berada dalam tren yang menurun hingga akhir triwulan II 2014,
didukung oleh melimpahnya pasokan pangan seiring dengan masuknya masa panen raya di sejumlah
daerah sentra produksi beras, seperti di Kabupaten Simulungun (Sumatera Bagian Utara), Solok
(Sumatera Bagian Tengah), dan Oku Timur (Sumatera Bagian Selatan).
Stabilitas perekonomian Sumatera didukung oleh masih meningkatnya penyaluran kredit pada sektor-
sektor utama. Kredit di Kawasan Sumatera tumbuh sebesar 16,1% (yoy), sedikit melambat dibandingkan
dengan triwulan lalu yang tumbuh 18,1% (yoy). Penyaluran kredit perbankan Sumatera pada triwulan I
2014 masih didominasi oleh kredit kepada korporasi berupa Kredit Modal Kerja (KMK) sebesar 40,5% dan
Kredit Investasi sebesar 26,9%. Secara sektoral, penyaluran kredit di Sumatera juga lebih banyak terserap
untuk tiga sektor utama, yaitu PHR, industri pengolahan, dan pertanian, dengan pangsa masing-masing
33,3%, 21,4%, dan 20,7%. Kualitas penyaluran kredit kepada tiga sektor utama tersebut masih relatif baik
dengan rasio NPL berada di bawah 5%. Namun, perbankan di beberapa daerah Sumatera terindikasi
mengalami penurunan likuiditas terkait dengan menurunnya dana milik Pemda yang tersimpan di
perbankan daerah. Kondisi ini diperkirakan terkait dengan defisit APBD yang dialami sejumlah daerah
dan belum tersalurkannya Dana Bagi Hasil (DBH) triwulan I 2014.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 96
Perkembangan kinerja perekonomian di Sumatera tercermin dari transaksi keuangan yang dilakukan
melalui sistem BI-RTGS dan aliran uang tunai melalui kantor Bank Indonesia di berbagai daerah di
Sumatera. Karakteristik aliran uang tunai di Sumatera yang cenderung netinflow, pada triwulan I 2014
cenderung menunjukkan adanya kenaikan. Total netinflow di Sumatera pada triwulan I 2014 mencapai
Rp12,4 ribu triliun meningkat dibandingkan dengan periode triwulan yang sama tahun sebelumnya
sebesar Rp8,9 ribu triliun. Sementara itu, transaksi pembayaran non tunai melalui sistem BI-RTGS dan
kliring menunjukkan sedikit penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Perekonomian Sumatera tahun 2014 diproyeksikan tumbuh lebih tinggi daripada tahun 2013, yaitu
dalam kisaran 5,5% - 6,0% (yoy). Membaiknya perkiraan pertumbuhan ekonomi tersebut didorong oleh
lebih tingginya konsumsi, sebagai dampak dari pelaksanaan pemilu dan membaiknya daya beli seiring
dengan menurunnya inflasi. Sumber pertumbuhan ekonomi di Kawasan Sumatera terutama berasal dari
wilayah Sumatera Bagian Tengah yang didukung oleh peningkatan kinerja sektor pertambangan dan
penggalian, khususnya peningkatan lifting minyak di Riau. Sebaliknya, laju pertumbuhan Sumatera
Bagian Utara tertahan oleh kinerja sektor utama yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang
tidak sebaik tahun lalu.
Inflasi Sumatera pada akhir tahun 2014 diprakirakan masih akan berada dalam tren yang menurun.
Penurunan inflasi diprakirakan terjadi di seluruh wilayah. Inflasi Sumatera keluruhan tahun diprakirakan
berada pada kisaran 4,8%-5,2% (yoy). Tren penurunan inflasi ini dipengaruhi oleh minimalnya rencana
kebijakan pemerintah terkait harga (administered price), terjaganya pasokan pangan disertai minimalnya
gangguan distribusi (volatile food), dan terjaganya inflasi inti. Di samping itu, langkah koordinasi yang
terus ditempuh di daerah melalui TPID untuk mengendalikan harga-harga turut mendukung tren
penurunan inflasi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 97
Bagian IV.1 Perekonomian Sumatera Bagian Selatan
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) mengalami perlambatan, setelah triwulan
sebelumnya tumbuh tinggi. Perlambatan Sumbagsel terutama terjadi di Sumatera Selatan (Sumsel) dan
Lampung. Secara agregat, perekonomian Sumbagsel menjadi 5,9% (yoy) dibandingkan triwulan
sebelumnya yang sebesar 6,3% (yoy). Perlambatan perekonomian Sumbagsel tersebut terutama
bersumber dari perlambatan konsumsi rumah tangga dan ekspor. Perlambatan konsumsi rumah tangga
tersebut sejalan dengan perlambatan subsektor perkebunan, khususnya karet dan kopi, sektor industri
pengolahan, sektor pertambangan dan pengggalian. Perlambatan sektor pertambangan tersebut terkait
dengan penurunan penjualan timah pada di Babel dan pola produksi batu bara yang melambat di Sumsel.
Laju pertumbuhan ekspor komoditas utama, seperti karet, timah, dan batu bara tertahan oleh harga
internasional yang belum membaik.
Perlambatan ekonomi Sumbagsel diprakirakan masih berlanjut hingga triwulan II 2014 terkait dengan
kinerja produksi pertanian dan pertambangan yang cenderung melambat. Replanting sawit yang masih
berlanjut di sejumlah daerah di Sumbagsel diperkirakan berdampak pada capaian produksi sawit yang
cenderung terbatas. Sementara itu, kinerja produksi batu bara dibayangi harga komoditas yang masih
cenderung menurun serta dilakukannya penertiban terhadap Izin Usaha Penambangan (IUP) batu bara.
Mencermati perkembangan terakhir, untuk keseluruhan tahun 2014 perekonomian Sumbagsel
diperkirakan tumbuh relatif stabil dikisaran 5,8-6,3% (yoy).
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh melambat pada triwulan I 2014 terkait dengan kinerja sektor
pertanian dan industri pengolahan yang juga tumbuh melambat. Konsumsi rumah tangga di Sumbagsel
tercatat tumbuh 7,3% (yoy), melambat dibandingkan triwulan IV 2013 sebesar 8,1% (yoy). Melambatnya
konsumsi rumah tangga diperkirakan terkait dengan kinerja sektor pertanian yang tengah memasuki
masa tanam. Di samping itu, produksi karet dan kopi yang cenderung terbatas disertai harga yang masih
cenderung rendah turut memengaruhi daya beli masyarakat di Sumbagsel.
Memasuki triwulan II 2014, konsumsi rumah tangga diperkirakan mulai kembali tumbuh meningkat.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan ini tidak hanya didukung oleh aktivitas menjelang
Ramadhan dan Lebaran serta belanja terkait tahun ajaran Baru, tetapi juga aktivitas Pemilihan Umum.
Beberapa indikator konsumsi rumah tangga terkini seperti Indeks Keyakinan Konsumen, penjualan
kendaraan bermotor dan konsumsi elpiji mengkonfirmasi konsumsi rumah tangga pada triwulan II 2014
berpotensi tumbuh lebih tinggi (Grafik IV.1.1 dan Grafik IV.1.2). Konsumsi elpiji terkini menunjukkan
adanya peningkatan penjualan sebesar 15,7% (yoy) menjadi 4,7 juta tabung. Peningkatan tersebut
diprakirakan masih akan terus berlanjut hingga akhir triwulan II 2014.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 98
*Posisi April 2014
Grafik IV.1.1. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Grafik IV.1.2. Penjualan Kendaraan
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi Pemerintah mengalami akselerasi pertumbuhan pada triwulan I 2014. Peningkatan konsumsi
pemerintah yang terjadi di seluruh provinsi di Sumbagsel menyebabkan konsumsi pemerintah
mengalami pertumbuhan sebesar 5,6% (yoy) lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar
3,9% (yoy). Peningkatan konsumsi pemerintah tersebut terkonfirmasi dari penurunan simpanan Pemda
(Grafik IV.1.3). Penurunan tersebut menunjukkan banyak kegiatan proyek Pemda dilakukan pada
triwulan I 2014 ini.
Pada triwulan II 2014, konsumsi pemerintah diperkirakan melambat. Anggaran kegiatan Pemilu legislatif
dan Pemilu Presiden yang berasal dari Pemerintah Pusat diperkirakan membuat dampak Pemilu
terhadap konsumsi Pemerintah Daerah menjadi minimal bagi kenaikan konsumsi pemerintah di daeerah.
Indikasi dana simpanan Pemda diperkirakan menunjukkan peningkatan hingga triwulan II 2014 sehingga
realisasi proyek Pemerintah diperkirakan masih terbatas.
Grafik IV.1.3. Simpanan Pemda Grafik IV.1.4. Perkembangan Konsumsi Pemerintah
Investasi
Kinerja investasi Sumbagsel pada triwulan I 2014 masih mengalami perlambatan yang cukup dalam bila
dibandingkan dengan triwulan lalu. Investasi Sumbagsel tercatat tumbuh sebesar 6,8% (yoy), jauh
melambat dibandingkan dengan triwulan lalu sebesar 7,5% (yoy). Perlambatan investasi pada triwulan ini
terutama bersumber dari perlambatan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) (Grafik IV.1.5).
Perlambatan investasi juga tercermin dari pertumbuhan kredit investasi yang melambat (Grafik IV.1.6).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 99
Memasuki triwulan II 2014, investasi diperkirakan mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut
terutama bersumber dari investasi non bangunan. Investasi tersebut terutama dilakukan untuk
melakukan replanting tanaman kelapa sawit dan ekspansi yang dilakukan oleh beberapa pelaku usaha
perkebunan. Selain itu, investasi yang dilakukan perusahaan pengolahan batu bara untuk pembangunan
pembangunan infrastruktur pendukung dan pembangkit listrik diprakirakan mampu mendorong
pertumbuhan investasi Sumbagsel tumbuh lebih tinggi pada triwulan mendatang.
Sumber: BKPM
Grafik IV.1.5. Perkembangan Investasi Sumbagsel
Grafik IV.1.6. Penyaluran Kredit Investasi
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Pada triwulan I 2014, ekspor luar negeri mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan lalu.
Perlambatan ekspor Sumbagsel tersebut akibat penurunan volume ekspor komoditas utama Sumbagsel
yaitu karet (Grafik IV.1.7) dan CPO (Grafik IV.1.8). Penurunan volume ekspor komoditas tersebut terkait
dengan preferensi eksportir untuk menahan ekspor karena harga internasional kedua komoditas
tersebut yang tidak sebaik triwulan lalu. Hal tersebut juga sejalan dengan penurunan harga beberapa
komoditas perkebunan seperti karet dan kopi.
Memasuki triwulan II 2014, ekspor luar negeri Sumbagsel diprakirakan mengalami peningkatan.
Peningkatan tersebut disebabkan oleh perbaikan harga komoditas di pasar internasional. Perbaikan
harga CPO dan karet yang sudah terjadi hingga awal Mei 2014 ini dapat mencegah perlambatan ekspor
komoditas perkebunan lebih dalam. Selain itu, realisasi penjualan timah dan batubara yang diprakirakan
mencapai puncaknya pada pertengahan tahun turut mendorong kinerja ekspor Sumbagsel pada triwulan
II 2014.
Grafik IV.1.7. Perkembangan Ekspor Crude Rubber
Grafik IV.1.8. Perkembangan Ekspor Minyak Sawit
L a p o r a n N u s a n t a r a | 100
Impor
Pada triwulan I 2014, impor Sumbagsel mengalami penurunan. Penurunan impor baik secara volume
maupun nilai tersebut, terutama terjadi pada kelompok impor barang modal. Pada triwulan I 2014 nilai
impor Sumabgsel menurun dari USD423 juta menjadi USD417 juta. Penurunan impor barang modal
tersebut sejalan dengan penurunan investasi (Grafik IV.1.9). Kendati demikian, dibandingkan dengan
tahun lalu impor Sumbagsel masih mampu tumbuh sekitar 31,5% (yoy). Hal tersebut disebabkan oleh
impor Sumsel dan Lampung untuk bahan baku industri yang masih cukup tinggi.
Pada triwulan II 2014, impor luar negeri diperkirakan akan relatif meningkat seiring dengan perkiraan
investasi yang akan meningkat. Berdasarkan liaison dengan beberapa perusahaan di wilayah Sumbagsel,
pada triwulan II 2014 akan mulai dibangun beberapa PLTU yang akan mengolah batubara serta
pembuatan jalan khusus pengangkutan batubara di Sumsel. Hal tersebut diperkirakan akan
meningkatkan pertumbuhan barang modal.
Grafik IV.1.9. Perkembangan Impor Barang modal
Grafik IV.1.10. Perkembangan Ekspor Impor Luar Negeri
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian pada triwulan I 2014 kembali pola normalnya, setelah peningkatan signifikan
pada triwulan IV 2013. Sektor pertanian tumbuh 5,8% pada triwulan I 2014, lebih rendah dibandingkan
triwulan IV 2013 lalu sebesar 10,0%. Perlambatan sektor pertanian tersebut terutama disumbang oleh
subsektor perkebunan akibat penurunan produksi karet (Grafik IV.1.12). Kredit sektor pertanian juga
menunjukkan perlambatan (Grafik IV.1.11). Selain itu, komoditas CPO memasuki masa replanting
sehingga mempengaruhi ekspor CPO yang menunjukkan penurunan hingga Februari 2014.
Pada triwulan II 2014, kinerja sektor pertanian diperkirakan masih cenderung melambat sejalan dengan
berakhirnya musim panen bahan pangan di wilayah Sumbagsel. Selain itu, berdasarkan hasil liaison,
beberapa perusahaan akan memulai replanting kelapa sawit di Sumsel, Babel, dan Bengkulu sehingga
kinerja perkebunan kelapa sawit diperkirakan akan melambat. Kinerja produksi karet juga diperkirakan
masih relatif rendah walaupun sudah mulai terlihat penguatan harga.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 101
Grafik IV.1.11. Kredit Sektor Pertanian
Sumber : Gapkindo Sumsel
Grafik IV.1.12. Produksi Karet
Sektor Pertambangan
Sektor pertambangan di Sumbagsel mengalami sedikit perlambatan. Pada triwulan I 2014, sektor
pertambangan tercatat tumbuh 1,8% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 1,9%
(yoy). Melambatnya kinerja pertambangan ini terkait dengan penyesuaian yang dilakukan oleh pelaku
usaha terkait aturan yang diberlakukan terkait pola perdagangan timah. Aturan yang berlaku sejak
pertengahan tahun 2013 lalu tersebut mewajiban ekspor timah harus melalui Bursa Timah atau Bursa
Komoditas Derivatif Indonesia (BKDI), dan dilakukan verifikasi asal bijih timah yang menjadi bahan baku
timah sebelum dijual melalui bursa6. Secara temporer, penyesuaian terhadap aturan baru tersebut
menyebabkan kinerja produksi timah secara temporer menjadi lebih terbatas karena terkendalinya
pasokan dari penambang liar. Sementara itu, kinerja produksi batu bara yang cenderung meningkat
menghadapi tekanan harga yang cenderung menurun karena faktor melemahnya permintaan global.
Pada triwulan II 2014, sektor ini masih diperkirakan melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Harga
batu bara hingga Mei 2014 masih turun mencapai 10,0% (yoy) lebih dalam dibanding triwulan I 2014. Hal
ini dapat membuat pengusaha batu bara cenderung mengalihkan produksinya ke pasar domestik. Di
samping itu, rencana pemerintah untuk memberlakukan kuota produksi batu bara diperkirakan dapat
memengaruhi capaian produksi batu bara ke depan. Untuk produksi timah, berdasarkan hasil liaison,
produksi timah diperkirakan tumbuh sejalan dengan kebutuhan global timah dan harga timah di BKDI
yang membaik.
Sektor Industri Pengolahan
Sektor industri pengolahan pada triwulan I 2014 mengalami perlambatan dari 5,6% (yoy) menjadi 4,4%
(yoy) seiring dengan perlambatan sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian. Hal
tersebut juga sesuai dengan perlambatan harga komoditas internasional karet dan CPO. Sektor industri
pengolahan Lampung mengalami perlambatan cukup dalam, disebabkan oleh perlambatan sektor
industri pengolahan makanan dan minuman khususnya komoditas kopi. Perlambatan tersebut juga
tercermin oleh perlambatan kredit sektor industri pengolahan dari 23,5% (yoy) di triwulan IV 2013
menjadi 20,4% (yoy) di triwulan I 2014.
6 Peraturan No. 23/M-DAG/PER/6/2013 tanggal 28 Juni 2013 tentang Ketentuan Ekspor Timah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 102
Pada triwulan II 2014, industri pengolahan diperkirakan tumbuh seiring dengan perbaikan harga
internasional karet (Grafik IV.1.13) dan CPO (Grafik IV.1.14). Perkiraan membaiknya ekonomi global juga
membuat beberapa perusahaan eksportir CPO di Sumsel dan Bengkulu mengungkapkan optimisme
perbaikan kinerja ekspor CPO. Hasil liaison juga menunjukkan bahwa kinerja pengolahan timah
diperkirakan akan mengalami peningkatan sejalan dengan pola puncak permintaan di triwulan II.
Sumber : Bloomberg
Grafik IV.1.13. Harga Karet Internasional
Sumber : Bloomberg
Grafik IV.1.14. Harga CPO Internasional
PERKEMBANGAN INFLASI
Perkembangan inflasi Sumbagsel terus menunjukkan tren penurunan hingga April 2014. Inflasi
Sumbagsel tercatat 5,95% (yoy), melambat dibanding akhir tahun 2013 yang tercatat 7,63% (yoy). Empat
dari lima kota dengan inflasi terendah terdapat di wilayah Sumbagsel, yaitu kota Lubuklinggau,
Bandarlampung, Palembang, dan Pangkalpinang. Menurunnya tekanan kenaikan inflasi dipengaruhi
terutama oleh cukup melimpahnya pasokan pangan di berbagai daerah di Sumbagsel disertai minimalnya
kendala distribusi. Disamping itu, dampak dari tekanan kenaikan harga pada awal tahun 2014 yang
cukup tinggi akibat kenaikan harga pangan dan harga elpiji cukup terkendali.
Tekanan inflasi hingga akhir triwulan II 2014 diperkirakan masih akan terut melambat seiring dengan
masa panen raya di sejumlah daerah sentra produksi. Terkendalinya harga pangan juga tidak terlepas
dari komitmen Pemerintah, bersama-sama dengan Bulog untuk menjaga kecukupan stok pangan di
daerah. Hal ini membuat tekanan volatile food diperkirakan minimal (Grafik IV.1.15). Harga internasional
emas juga masih mengalami penurunan 12,52% (yoy) pada Mei 2014 sehingga tekanan kelompok inti
masih relatif rendah. Beberapa faktor yang memberikan risiko pada kenaikan inflasi di Sumbagsel terkait
dengan rencana kenaikan harga listrik untuk industri besar dan menguatnya tekanan permintaan dengan
masuknya masa libur sekolah dan menjelang Ramadhan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 103
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.1.15. Disagregasi Inflasi
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.1.16. Perkembangan Inflasi Sumbagsel
Koordinasi Pengendalian Inflasi
TPID sudah didirikan di setiap provinsi di wilayah Sumbagsel. Beberapa TPID setiap kota/kabupaten juga
sudah mulai didirikan seperti TPID Kota Bandarlampung dan Kota Metro di provinsi Lampung dan TPID
kota Pangkalpinang di provinsi Babel. Beberapa kota/kabupaten lainnya juga sedang tahap proses
pendirian seperti Kota Lubuk Linggau dan Palembang di Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Tanjung
Pandan di Provinsi Bangka Belitung. Saat ini, dalam meningkatkan kerjasama pengendalian inflasi melalui
penguatan peran kerja sama antar daerah, TPID di wilayah Sumbagsel telah melakukan pertemuan rutin
untuk mengkaji pencapaian kegiatan TPID periode sebelumnya dan merumuskan rencana kegiatan TPID
pada periode kedepan. Beberapa poin penting yang telah disepakati menjadi program kegiatan TPID di
tahun 2014 didalam menjaga stabilitas harga dan pengendalian inflasi diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Perlunya melanjutkan implementasi penyediaan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS)
melalui Papan Harga Elektronik, Website dan SMS Gateway di masing-masing daerah yang
terintegrasi secara wilayah Sumbagsel maupun nasional sebagai upaya untuk memonitoring harga
agar tercapai kestabilan harga.
2. Perlunya melakukan koordinasi dengan mengadakan pertemuan rutin antar tim teknis dari dinas
terkait di wilayah Sumbagsel dan masing-masing pemerintah provinsi untuk membahas secara
intensif mengenai segala permasalahan yang menyangkut permasalahan ekonomi dan pengendalian
harga (misalnya: infrastruktur, strategi masing-masing daerah, teknis pendistribusian, konflik sosial,
dsb).
3. Perlu segera melengkapi dan meng-update data surplus defisit pangan di tiap provinsi sebagai dasar
untuk melakukan kerjasama antar daerah yang pada tahap selanjutnya juga melibatkan Pokjanas
TPID.
4. Perluasan akses perbankan kepada petani antara lain melalui optimalisasi penyaluran skim kredit
KKPE yang disalurkan oleh bank BUMN dan BPD dengan penjaminan Jamkrida.
5. Pembangunan gudang Bulog di sentra produksi dan pembangunan resi gudang dan optimalisasi
penggunaanya untuk memperkuat pasokan pangan
6. Optimalisasi cadangan pangan Pemda dan masyarakat (Gapoktan), melalui penguatan modal,
lembaga, dan jumlah lumbung.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 104
7. Melakukan sosialisasi terhadap potensi risiko gangguan iklim terutama pada daerah-daerah yang
berpotensi mengalami kekeringan serta merumuskan langkah-langkah mitigasinnya.
8. Mempersiapkan langkah antisipasi yang diperlukan untuk menghindari kelangkaan pasokan
menjelang bulan Juli khususnya LPG ukuran 3 kg karena disparitas harga yang semakin lebar dengan
LPG 12 kg. Termasuk dalam hal ini adalah penguatan program komunikasi di daerah terkait kesiapan
pemerintah dalam rangka mengarahkan ekspektasi masyarakat dan menjelaskan komitmen
penegakan hukum terkait tindakan penimbunan/spekulasi yang berpotensi menimbulkan gejolak
harga di konsumen.
9. Mengelola ekspektasi masyarakat melalui proses komunikasi dan publikasi khususnya mengenai
ketersediaan dan kesiapan Pemerintah Daerah dalam memenuhi pasokan bahan pangan dan
kebutuhan energi di wilayahnya.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Melambatnya pertumbuhan ekonomi Sumbagsel juga tercermin dari perlambatan penyaluran kredit
dibandingkan triwulan IV 2013 (Grafik IV.1.17). Kredit yang disalurkan di wilayah Sumbagsel pada
triwulan I 2014 ini mencapai Rp 149,7 triliun atau tumbuh 19,2% (yoy) melambat dibandingkan triwulan
IV 2013 lalu sebesar 21,4% (yoy). Penurunan volume kredit terjadi di seluruh provinsi Sumbagsel kecuali
Bengkulu. Perlambatan terjadi pada kredit modal kerja dan kredit investasi, sementara kredit konsumsi
mengalami pertumbuhan. Secara sektoral, sektor pertambangan dan penggalian memiliki pertumbuhan
tertinggi (Grafik IV.1.18) seiring dengan berbagai rencana pembangunan PLTU dan infrastruktur
batubara. Di sisi lain, kredit sektor pertanian mengalami perlambatan yang mengakibatkan kredit sektor
industri pengolahan mengalami perlambatan. Berdasarkan hasil liaison, penyaluran kredit sektor
pertanian tidak dilakukan penambahan seiring dengan fluktuatif harga internasional komoditas utama
pertanian. Meski cenderung melambat, risiko kredit masih terjaga yang ditunjukkan dengan penurunan
NPL dari 2,19% di triwulan IV 2013 menjadi 2,06% pada triwulan I 2014 ini. Penurunan terjadi akibat
penurunan NPL industri pengolahan yang turun signifikan. Sementara NPL sektor lainnya masih terjaga
pada level yang aman.
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
0
20
40
60
80
100
120
140
160
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
%yoyTriliun Rupiah Kredit gKredit (RHS)
Grafik IV.1.17. Penyaluran Kredit
Grafik IV.1.18. Pertumbuhan Kredit Sektor Ekonomi
Utama
L a p o r a n N u s a n t a r a | 105
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit kepada bukan lapangan usaha atau sektor rumah tangga pada triwulan I 2014 tercatat sedikit
meningkat dari 11,45% (yoy) menjadi 11,57% (yoy), (Grafik IV.1.19). Peningkatan terjadi pada kredit
kendaraan bermotor khususnya kendaraan roda dua yang mengalami pertumbuhan setelah penurunan
yang cukup signifikan hingga akhir tahun 2013. Sementara itu kredit kepemilikan rumah mengalami
perlambatan (Grafik IV.1.20) terutama untuk jenis rumah tipe 21 ke bawah dan tipe 70 ke atas. NPL
kredit kepemilikan rumah untuk semua tipe rumah mengalami peningkatan dan mendorong NPL kredit
non produktif ini, dari 1,40% (yoy) pada triwulan IV 2013 menjadi 1,61% (yoy). Kebijakan loan-to-value
yang diberlakukan Bank Indonesia sudah mampu diadaptasi oleh masyarakat terutama untuk kredit
kepemilikan kendaraan bermotor. Di sisi lain, peraturan tersebut masih mampu meredam pertumbuhan
kredit kepemilikan rumah.
Grafik II.7.19. Penyaluran Kredit Tempat Tinggal
dan Kendaraan
Grafik II.7.20. NPL Kredit Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Peningkatan kredit UMKM pada triwulan I 2014 terutama didukung oleh sektor sektor Perdagangan,
Hotel, dan Restoran (Grafik IV.1.21) dengan golongan yang mendominasi adalah golongan kecil
menengah dengan pangsa 76%. Kredit UMKM pada triwulan I 2014 mengalami sedikit peningkatan dari
16,0% (yoy) pada triwulan IV 2013 menjadi 17,8% (yoy) (Grafik IV.1.22). Pangsa UMKM mayoritas pada
Namun demikian, pertumbuhan ini tidak disertai dengan perbaikan kualitas kredit yang ditandai dengan
NPL yang meningkat. Hal tersebut juga membuat perbankan terus menaikkan suku bunga kredit UMKM.
Bank Indonesia juga senantiasa mendukung pengembangan UMKM dan edukasi kepada masyarakat guna
mendukung perluasan akses keuangan. Pengembangan UMKM dilakukan melalui pengembangan kluster
seperti kluster padi organik di Sumsel, rumput laut, dan cabai merah di Babel, ikan teri di Lampung, dan
cabai merah di Bengkulu. Selain itu, Bank Indonesia juga turut membina wirausaha baru dan
pengembangan database UMKM. Keseluruhan kegiatan dilakukan dengan bekerjasama dengan dinas-
dinas terkait.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 106
Grafik IV.1.21. Penyaluran Kredit UMKM
Grafik IV.1.22. Pangsa Kredit UMKM
Kinerja Sistem Pembayaran
Melambatnya pertumbuhan ekonomi juga tercermin dari penurunan aktivitas sistem pembayaran non
tunai, baik Real Time Gross Settlement (RTGS) maupun kliring. Pada triwulan I 2014, transaksi RTGS
mencapai 63,9 triliun rupiah atau menurun 35,8% (yoy) dibandingkan triwulan IV 2013 yang tumbuh
5,9% (yoy) (Grafik IV.1.23). RTGS keluar wilayah Sumbagsel tercatat sebesar Rp38,5 triliun, lebih besar
dibandingkan masuk ke wilayah Sumbagsel sebesar Rp25,3 triliun.
Kliring pada triwulan I 2014 tercatat sebesar 17,9 triliun rupiah, mengalami penurunan -0,4% (yoy),
lebih rendah dibandingkan pertumbuhan triwulan IV 2013 sebesar 31,6% (yoy), (Grafik IV.1.26). Di sisi
lain, jumlah bilyet yang ditolak mengalami penurunan dari 11.500 bilyet menjadi 10.467 bilyet atau
melambat dari 18,3% (yoy) di triwulan IV 2013 menjadi 3,7% (yoy).
-40
-30
-20
-10
-
10
20
30
40
50
-
20
40
60
80
100
120
140
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
%yoyRp Triliun RTGS gRTGS (RHS)
Grafik IV.1.23. Perkembangan RTGS Outgoing
-5
-
5
10
15
20
25
30
35
-
5
10
15
20
25
30
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
%yoyRp Triliun Kliring gKliring (RHS)
Grafik IV.1.24. Perkembangan Perputaran Kliring
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Sementara itu, uang kartal Sumbagsel triwulan I 2014 mengalami net inflow, berbeda dengan pola
normalnya. Pola yang berbeda ini terjadi di seluruh provinsi di Sumbagsel. Pada triwulan I 2013, aliran
uang kartal menunjukkan peningkatan net inflow sebesar Rp1,77 triliun rupiah (Grafik IV.1.27). Di sisi
lain, rasio pemusnahan uang lusuh terhadap uang kartal yang masuk ke kantor Bank Indonesia sempat
menurun di bulan Januari 2014 walaupun sempat meningkat di bulan Februari 2014 (Grafik IV.1.28).
Dalam pengelolaan peredaran uang, seluruh Kantor Perwakilan Bank Indonesia sudah melakukan kas
keliling. Di provinsi Bengkulu, kas keliling dilakukan di Alas Maras, Curup, Tais, Manna. Di provinsi
Lampung, kas keliling dilakukan di Bandar Jaya, Metro, Kota Bumi, Pringsewu. Sementara di provinsi
Sumsel, kas keliling dilakukan di Pagaralam, Lahat, Baturaja, dan Babat Toman di provinsi Sumsel. Di
L a p o r a n N u s a n t a r a | 107
Sumsel, kas keliling dilakukan dengan menggunakan sistem wholesale atau bekerjasama dengan
perbankan. Selain meningkatkan efektivitas, sistem wholesale juga dapat mengarahkan masyarakat agar
lebih banking-minded dan terbiasa memenuhi uangnya tanpa perlu ke daerah lain.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Mencermati perkembangan terakhir, pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2014 diprakirakan
berada di kisaran 5,8-6,3% atau masih sejalan dengan prakiraan sebelumnya. Kondisi ini didukung oleh
prospek pemulihan ekonomi global yang diperkirakan berlanjut walaupun dengan kecepatan yang lebih
rendah dari prakiraan sebelumnya. Membaiknya pemulihan ekonomi global tersebut akan berdampak
pada kinerja ekspor dari berbagai daerah di Sumbagsel, terutama untuk komoditas karet, timah, dan
CPO. Dampak positif dari berlakunya BKDI bagi ekspor komoditas timah diperkirakan membawa harga
timah dunia pada tingkat yang lebih baik. Hasil liaison mengindikasikan bahwa ekspor timah diperkirakan
tumbuh meningkat seiring dengan masih tingginya permintaan produk elektronik di dunia. Selain itu,
komoditas batu bara masih akan terus tumbuh didukung oleh persediaan batu bara yang masih
melimpah. Namun, prospek perekonomian yang membaik tersebut masih akan dibayangi oleh risiko
fluktuasi harga. Pemulihan ekonomi global yang masih rentan, terutama di Tiongkok, diperkirakan akan
berdampak pada harga internasional nonmigas seperti karet dan batu bara.
Prospek Inflasi
Inflasi Sumbagsel pada tahun 2014 diperkirakan akan terus menurun dan kembali ke pola normalnya
pasca kenaikan BBM di tahun sebeumnya hingga dapat berada di kisaran 5,0%-5,5%. Prospek terjaganya
inflasi didukung oleh perkiraan pasokan pangan yang terjaga disertai membaiknya infrastruktur jalan ruas
jalan dari proyek MP3EI, dan ekspektasi inflasi sebagai dampak optimalisasi PIHPS yang dibuat oleh TPID,
serta semakin besarnya peran aktif pemangku kebijakan di daerah untuk turut menjaga stabilitas harga
yang terlihat dari bertambahnya TPID di kabupaten/kota sehingga kegiatan pengendalian inflasi. Namun,
masih terdapat potensi risiko yang membayangi inflasi antara lain terkait dengan kebijakan kenaikan
harga listrik untuk golongan industri besar yang akan mulai diberlakukan pada Mei 2014, ancaman
dampak El Nino, serta pelaksanaan pemilu yang mendorong konsumsi masyarakat.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 108
Tabel IV.1.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah
2011 2012 2013 2014
I II III IV Total I IIp III
p IV
p Total
p
PDRB (%,yoy) 6.5 6.2 6.0 5.8 5.6 6.4 5.9 5.9 5.8 5.5-6.0 6.1-6.6 5.8-6.3
Sisi Permintaan Konsumsi 6.5 6.5 7.2 7.1 8.3 7.3 7.5 7.1 7.4 7.5-8.0 7.3-7.8 7.2-7.7
Konsumsi swasta 6.2 6.6 7.3 7.7 8.1 8.1 7.8 7.5 8.2 6.4-6.9 7.6-8.1 7.3-7.8
Konsumsi Pemerintah 7.9 5.5 6.1 3.1 9.3 3.9 5.5 5.6 3.2 14.3-
14.8 6.0-6.5 7.3-7.8
PMTB 11.6 11.4 8.7 7.0 4.3 7.5 6.8 6.8 9.2 9.5-10.0 4.4-4.9 7.4-7.9
Ekspor 17.0 3.5 10.5 7.3 5.7 11.0 8.6 12.0 14.8 8.6-9.1 13.1-
13.6 12.1-12.6
Impor 25.8 7.5 11.9 15.0 12.6 31.3 18.0 18.2 22.2 3.3-3.8 5.3-5.8 11.6-
12.1 Sisi Produksi
Sektor pertanian 5.1 5.1 1.7 3.2 3.2 10.0 4.4 5.8 4.7 3.2-3.7 5.3-5.8 4.6-5.1 Sektor pertambangan &
penggalian 3.1 0.8 1.4 2.5 1.0 1.9 1.7 1.8 1.2 1.2-1.7 0.0-0.5 0.8-1.3
Industri pengolahan 5.3 5.1 8.1 7.0 5.8 5.6 6.6 4.4 6.7 5.5-6.0 7.1-7.6 5.9-6.4
Listrik, gas & air bersih 8.7 8.7 7.3 8.3 8.8 7.4 8.3 6.1 5.8 8.1-8.6 12.2-
12.7 7.7-8.2
Bangunan 11.6 8.4 10.2 8.7 7.2 4.2 7.5 6.0 6.1 6.3-6.8 8.7-9.2 6.7-7.2 Perdagangan, hotel &
restoran 7.1 7.6 8.6 6.9 7.1 5.0 6.9 7.3 7.7 8.9-9.4 6.1-6.6 7.4-7.9
Pengangkutan & komunikasi 12.2 11.3 8.9 8.8 7.5 7.1 8.0 8.0 9.1 9.8-10.3 8.5-9.0 8.8-9.3 Keuangan, persewaan dan
jasa perush. 8.1 10.5 10.9 8.8 9.3 7.3 9.0 8.9 6.8 7.4-7.9 10.4-
10.9 8.3-8.8
Jasa-jasa 7.9 8.4 8.8 7.2 10.5 6.7 8.3 8.4 7.2 7.1-7.6 7.3-7.7 7.4-7.9
Inflasi IHK (%,yoy) 4.0 3.7 6.2 4.9 7.6 7.6 7.6 6.2 6.1 4.6-5.1 5.0-5.5 5.0-5.5
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah p proyeksi Bank Indonesia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 109
Bagian IV.2 Perekonomian Sumatera Bagian Tengah
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian wilayah Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) mengalami kenaikan dibandingkan
dengan triwulan lalu. Berbeda dengan perkiraan sebelumnya, bencana asap yang sempat melanda di
beberapa daerah di wilayah ini secara keseluruhan ternyata tidak memberikan dampak yang berarti
bagi kinerja ekonomi Sumbagteng. Kenaikan pertumbuhan ekonomi banyak ditopang oleh
meningkatnya kinerja sektor pertambangan seiring dengan capaian produksi migas yang lebih baik di
Riau, kinerja pertanian yang masih cenderung meningkat di Riau dan Jambi, serta kinerja sektor
perdagangan yang masih terjaga ditengah terkendalanya aktivitas perdagangan akibat bencana asap di
sejumlah daerah di Sumbagteng.
Berbagai indikator ekonomi terakhir menunjukkan kinerja ekonomi Sumbagteng masih tumbuh relatif
stabil pada triwulan II 2014. Pertumbuhan ekonomi ini ditopang oleh kegiatan konsumsi baik rumah
tangga maupun pemerintah. Membaiknya daya beli masyarakat dan tahun politik di tahun 2014
menjadi pendorong konsumsi. Meningkatnya aktivitas konsumsi tersebut berdampak pada peningkatan
sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR). Di sisi lain, perbaikan kinerja ekonomi lebih lanjut
tertahan oleh perkembangan ekspor yang masih terbatas dan perkiraan kinerja lifting migas yang masih
fluktuatif. Untuk keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan ekonomi Sumbagteng diprakirakan mampu
tumbuh di kisaran 5,3%-5,8% (yoy).
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Perbaikan daya beli masyarakat seiring perbaikan harga CPO berdampak positif bagi peningkatan
konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga Sumbagteng pada triwulan I 2014 tercatat sebesar
6,1% (yoy), tumbuh meningkat dari triwulan sebelumnya yang sebesar 5,7% (yoy). Peningkatan
konsumsi RT terutama terjadi di Sumatera Barat dan Riau. Selain itu, penyelenggaraan sejumlah
kegiatan berskala nasional dan internasional antara lain hari raya Imlek dan Multilateral Naval Exercise
di Kepulauan Riau yang berlangsung pada triwulan I 2014 mampu mendorong konsumsi rumah tangga
tumbuh meningkat.
Perkembangan terakhir mengindikasikan konsumsi rumah tangga masih akan tumbuh menguat pada
triwulan II 2014. Hal ini antara lain tercermin dari hasil Survei Konsumen di Sumbar dan Riau dan hasil
liaison kepada beberapa pelaku usaha. Hasil Survei Konsumen menunjukkan Indeks Keyakinan
Konsumen (IKK) masih berada pada level yang tinggi karena ditopang oleh optimisme pelaku usaha dan
ketersediaan lapangan kerja seiring dengan stabilnya kondisi perekonomian dan pelaksanaan pemilu
(Grafik IV.2.1). Di samping itu, hasil liaison kepada beberapa pelaku usaha mengindikasikan penjualan
ritel akan terus meningkat memasuki bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Rencana
penyelenggaraan beberapa kegiatan berskala besar seperti Tour de Singkarak di Sumatera dan Bintan
Triathlon di Kepulauan Riau, serta MTQ XXV di Kepulauan Riau akan berdampak positif bagi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 110
peningkatan konsumsi. Namun demikian, penguatan konsumsi tersebut diperkirakan masih terbatas
tercermin dari stabilnya pertumbuhan kredit konsumsi (Grafik IV.2.2).
Grafik IV.2.1. Indeks Keyakinan Konsumen Grafik IV.2.2. Penyaluran Kredit Konsumsi
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah melambat pada triwulan I 2014. Masih minimalnya belanja pemerintah di awal
tahun berdampak pada pertumbuhan konsumsi pemerintah hanya mencapai 1,9% (yoy), menurun
dibandingkan triwulan IV 2013 sebesar 9,7% (yoy). Persiapan penyelenggaraan Pemilu legislatif tidak
memberikan dampak yang signifikan mengingat lambatnya pengesahan APBD di sebagian besar daerah.
Selain itu tertundanya penyaluran DBH migas di triwulan I karena beberapa penyesuaian yang tengah
dirumuskan oleh pemerintah pusat berdampak pada masih terbatasnya belanja daerah. Beberapa
daerah di Sumbagteng yang diperkirakan mengalami defisit pada tahun 2013 masih akan menghadapi
tantangan terkait risiko menurunnya pendapatan migas. Kondisi ini terlihat dari melambatnya
pertumbuhan simpanan dana milik Pemda di perbankan (Grafik IV.2.3).
Peningkatan konsumsi pemerintah diperkirakan mulai kembali meningkat pada triwulan II 2014. Mulai
terealisasinya dana bagi hasil yang sempat tertunda pada triwulan sebelumnya dapat berdampak positif
bagi peningkatan belanja daerah. Selain itu, realisasi beberapa proyek pemerintah akan turut
mendorong pengeluaran belanja daerah.
-2%
0%
2%
4%
6%
8%
10%
12%
14%
16%
Realisasi Perkiraan
Jasa Keuangan Angkutan&Komunikasi
PHR Bangunan Listrik,Gas&Air Bersih
Ind. Pengolahan Pertambangan Pertanian
SBT
Grafik IV.2.3. Perkembangan Simpanan Pemda di Bank Umum
Grafik IV.2.4. Realisasi dan Perkiraan Investasi Triwulan I 2014 (SKDU)
Investasi
Pertumbuhan investasi mengalami perlambatan pada triwulan I 2014. Investasi tumbuh 5,9% (yoy),
lebih rendah dibandingkan triwulan IV 2013 sebesar 7,3% (yoy). Melambatnya investasi terutama
L a p o r a n N u s a n t a r a | 111
berasal dari domestik. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tercatat mengalami penurunan nilai
dan jumlah proyek di triwulan I (Grafik IV.2.5). Berdasarkan hasil liaison, beberapa permasalahan yang
menghambat laju kenaikan investsi antara lain terkait terbatasnya penambahan luas areal perkebunan
sawit, masih rendahnya harga karet dunia serta keterbatasan bahan baku menahan keinginan investasi
oleh perusahaan-perusahaan di Riau. Perlambatan tersebut juga terkonfirmasi dari penurunan
pertumbuhan kredit investasi Sumbagteng dari 34,5% (yoy) di triwulan IV 2013 menjadi 30,4% di
triwulan I 2014 (Grafik IV.2.6).
Perlambatan investasi diprakirakan masih berlanjut di triwulan II 2014. Sebagian besar investasi hanya
dilakukan untuk perawatan dan peremajaan mesin industri. Berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia
Usaha (SKDU), kegiatan investasi baru akan meningkat di semester II 2014 (Grafik IV.2.4). Hal ini
diyakini karena pihak swasta melihat adanya faktor ketidakpastian politik terkait pelaksanaan pemilu.
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal
Grafik IV.2.5. Investasi PMA dan PMDN Grafik IV.2.6. Penyaluran Kredit Investasi
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kegiatan ekspor mengalami perlambatan dari tumbuh 6,8% (yoy) di triwulan IV 2013 menjadi 4,4%
(yoy) di triwulan I 2014. Walaupun harga CPO berada dalam tren yang meningkat (Grafik IV.2.9), hasil
produksi CPO sebagai komoditas ekspor utama Riau dan Sumbar mulai mengalami penurunan pasca
berakhirnya puncak masa panen kelapa sawit di akhir tahun 2013 (Grafik IV.2.7). Penurunan ekspor
juga berasal dari masih melemahnya harga karet dunia (Grafik IV.2.10).
Kinerja ekspor diprakirakan kembali melambat di triwulan II 2014. Tren kenaikan harga komoditas CPO
tidak cukup kuat mendorong nilai ekspor karena cenderung menurunnya stok kelapa sawit. Masuknya
masa tanam pada sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit membuat pelaku usaha di Riau dan
Sumbar tidak mampu memanfaatkan momentum penguatan harga. Masih rendahnya harga karet dan
batubara dunia turut mendorong pelemahan ekspor terutama di Jambi. Namun demikian, perlambatan
ekspor dapat sedikit tertahan oleh meningkatnya permintaan akan produk industri pengolahan
elektronik serta besi dan baja dari Kepulauan Riau.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 112
Grafik IV.2.7. Perkembangan Nilai Ekspor Nonmigas dan Komoditas Utama
Grafik IV.2.8. Pertumbuhan Nilai Impor Menurut Kategori Barang
Impor
Aktivitas impor wilayah Sumbagteng pada triwulan II 2014 mengalami peningkatan. Impor Sumbagteng
tumbuh sebesar 2,1% (yoy), meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 1,5% (yoy).
Peningkatan pertumbuhan impor terutama berasal dari impor barang modal (Grafik IV.2.8). Persiapan
pelaku usaha untuk melakukan investasinya di masa mendatang mulai terlihat. Peningkatan impor juga
terjadi seiring dengan tren penguatan nilai tukar Rupiah. Sementara itu, moderasi permintaan domestik
terus menahan laju impor barang konsumsi dan bahan baku.
Kebutuhan impor pada triwulan II 2014 diprakirakan masih mengalami kenaikan. Dengan membaiknya
kondisi perekonomian global, terutama negara mitra dagang, permintaan barang ekspor diperkirakan
membaik. Peningkatan ekspor, terutama untuk produk industri, akan meningkatkan kebutuhan bahan
baku yang umumnya masih bergantung dari impor. Selain itu kebutuhan pupuk untuk perkebunan
kelapa sawit, yang sebagian besar masih dipenuhi melalui impor, diprakirakan meningkat. Faktor
pendukung lainnya adalah mulai meningkatnya kegiatan investasi, yang membutuhkan barang modal,
pascapemilu.
-
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
-
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
1,800
2,000
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3
2011 2012 2013 2014
Harga TBS Harga CPO Dunia-sisi kanan
Rp/kg USD/MT
-
100
200
300
400
500
600
700
-
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
45,000
50,000
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3
2011 2012 2013 2014
Harga Bokar Harga Karet Dunia-sisi kanan
Rp/kg USD cent/kg
Sumber: Dinas Pertanian dan Bloomberg Sumber: Dinas Pertanian dan Bloomberg
Grafik IV.2.9. Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit dan CPO Dunia
Grafik IV.2.10. Harga Karet Mentah Domestik (Bokar) dan Karet Mentah Dunia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 113
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian masih menunjukkan tren yang meningkat. Pada triwulan I 2014, sektor pertanian
Sumbagteng tumbuh sebesar 6,7% (yoy), meningkat dibandingkan dengan triwulan IV 2013 sebesar 6,3%
(yoy). Berbeda dengan dengan triwulan sebelumnya dimana subsektor perkebunan menjadi penopang
pertumbuhan, perbaikan di sektor pertanian pada periode ini ditopang oleh kinerja produksi tanaman
bahan makanan. Masuknya musim panen beberapa komoditas pertanian, terutama beras, mendorong
produksi pangan. Hal ini juga didukung oleh kenaikan harga gabah di Sumbagteng yang berimbas pada
membaiknya indeks Nilai Tukar Petani (NTP) pada triwulan I 2014 (Grafik IV.2.11 dan Grafik IV.2.12).
Perlambatan di sektor pertanian diprakirakan mulai terjadi di triwulan II 2014. Masih berlangsungnya
masa trek tanaman perkebunan kelapa sawit dan cuaca yang lebih kering dengan curah hujan yang relatif
lebih rendah akibat kondisi Dipole Mode diprakirakan berdampak negatif terhadap produksi kelapa sawit.
Kondisi cuaca yang lebih kering juga berdampak pada menurunnya produksi karet di Jambi akibat
berkurangnya kandungan getah karet. Penurunan produksi juga merupakan imbas dari kebijakan yang
diambil oleh beberapa produsen utama yang tergabung di dalam Gabungan Pengusaha Karet Indonesia
(Gapkindo) untuk mengurangi produksi karet yang berorientasi ekspor sebesar 10%. Hal ini dilakukan
sebagai upaya untuk meningkatkan harga karet mentah di pasar internasional yang sedang dalam tren
menurun.
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3
2011 2012 2013 2014
Indeks
NTP Umum NTP Perkebunan NTP Tanaman Pangan
-10
0
10
20
30
40
50
2,000
2,500
3,000
3,500
4,000
4,500
5,000
5,500
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3
2011 2012 2013 2014
%, yoyRp/kg
Rata-rata Harga Gabah GKP Pertumbuhan-sisi kanan
Sumber: BPS, diolah Sumber: BPS Sumbar
Grafik IV.2.11. Indeks Nilai Tukar Petani Umum dan Sektor Perkebunan Sumbagteng
Grafik IV.2.12. Harga Gabah di Tingkat Penggilingan Sumbar
Sektor Pertambangan
Kinerja pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian yang positif sejak triwulan III 2013 terus
berlanjut. Sektor pertambangan tumbuh 1,8% (yoy) di triwulan I 2014 dari sebelumnya 1,2% (yoy).
Peningkatan lifting minyak di Riau yang cukup tinggi menjadi sumber utama kenaikan pertumbuhan
sektor ini secara keseluruhan karena kontribusi Riau terhadap sektor pertambangan dan penggalian di
Sumbagteng mencapai 88%. Lifting minyak Riau meningkat sekitar 49,3 ribu barel per hari dibandingkan
dengan triwulan IV 2013 dan merupakan perolehan tertinggi sejak akhir tahun 2010 (Grafik IV.2.13).
Meningkatnya produktivitas tersebut tidak terlepas dari peningkatan investasi yang dilakukan industri
pertambangan. Hal tersebut terlihat dari tren pertumbuhan kredit sektor tersebut di Riau yang
meningkat pada triwulan IV 2013 (Grafik IV.2.14).
Sektor pertambangan dan penggalian diprakirakan melambat namun masih positif di triwulan II 2014.
Dari perkembangan terkini, lifting minyak di Riau terindikasi kembali menurun sehingga menahan kinerja
L a p o r a n N u s a n t a r a | 114
subsektor pertambangan. Sulitnya menjaga konsistensi produktifitas sumur-sumur minyak tua menjadi
permasalahan fundamental yang menyebabkan sektor pertambangan dan penggalian di Riau tumbuh
negatif dalam dua tahun terakhir. Namun meningkatnya investasi diharapkan dapat menjaga kinerja
sektor ini sebagaimana terindikasi dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang mengkonfirmasi
perbaikan kegiatan usaha (Grafik IV.2.15).
(10.0)
(5.0)
-
5.0
10.0
15.0
280
300
320
340
360
380
400
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013 2014
Lifting Pertumbuhan-sisi kanan
Ribu barel/hari % yoy
14.5%
-60%
-40%
-20%
0%
20%
40%
60%
80%
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
Nominal Sumbagteng Pertumbuhan-sisi kanan
Pertumbuhan Riau-sisi kanan
Triliun Rp yoy
Sumber: Kementerian ESDM
Grafik IV.2.13. Lifting Minyak Riau Grafik IV.2.14. Penyaluran Kredit Sektor Pertambangan dan Penggalian
Sektor Industri Pengolahan
Pada triwulan I 2014, sektor industri pengolahan Sumbagteng tumbuh sebesar di 5,2% (yoy) relatif stabil
dibanding triwulan sebelumnya. Kondisi ini didukung oleh meningkatnya kinerja pertumbuhan produksi
industri elektronik dan mesin-mesin industri yang sebagian besar berbasis ekspor dan berada di
Kepulauan Riau. Permintaan produk elektronik kembali normal di triwulan I 2014 setelah terjadi
penurunan permintaan ekspor dari Amerika Serikat dan Eropa di triwulan sebelumnya (Grafik IV.2.16).
Berdasarkan hasil liaison, membaiknya kinerja industri elektronik sejalan dengan informasi adanya inovasi
dan pengeluaran produk-produk elektronik baru oleh pelaku industri yang berdampak pada peningkatan
produksi dan penjualan. Perbaikan juga terlihat pada kinerja ekspor hasil produk industri mesin. Kondisi
ini seiring dengan peningkatan aktivitas eksplorasi maupun pengeboran minyak dan gas di Australia
mengingat sebagian besar produk mesin merupakan mesin pompa dan kompresor serta mesin pemanas
dan pendingin untuk keperluan kegiatan pengeboran minyak dan gas.
Pertumbuhan sektor industri pengolahan pada triwulan II 2014 diperkirakan membaik terutama akibat
membaiknya perkembangan kegiatan industri di sentra kawasan industri Kepulauan Riau. Optimisme
tersebut dilandasi oleh informasi sejumlah perusahaan yang telah menerima pesanan dalam kontrak
jangka panjang. Selain peningkatan permintaan ekspor, beberapa perusahaan juga mulai melakukan
penggantian dan pengadaan mesin-mesin baru untuk mendukung varian produk elektronik baru yang
akan dikeluarkan. Perbaikan kinerja ekspor industri mesin diperkirakan juga masih berlangsung
mengingat proyek pemasangan fasilitas pengeboran minyak dan gas merupakan proyek dengan jangka
waktu yang panjang. Di sisi permintaan domestik, meningkatnya konsumsi rumah tangga seiring dengan
perbaikan daya beli dan peningkatan jumlah wisatawan diprakirakan mampu menopang industri
pengolahan di Sumbar.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 115
-50%
-40%
-30%
-20%
-10%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
Realisasi Perkiraan
Jasa Keuangan
Angkutan&Komunikasi PHR
Bangunan Listrik,Gas&Air Bersih
Ind. Pengolahan Pertambangan
Pertanian
SBT
(20)
0
20
40
60
80
100
0
100
200
300
400
500
600
700
800
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013 2014
Nilai Ekspor Produk Elektronik
g.Ekspor Brg. Elektronik-sisi kanan
Juta US$ % yoy
Grafik IV.2.15. Realisasi dan Perkiraan Kegiatan Usaha Triwulan I 2014 (SKDU)
Grafik IV.2.16. Nilai Ekspor Produk Elektronik
PERKEMBANGAN INFLASI
Laju inflasi Sumbagteng terus mengalami penurunan sejak awal tahun sampai dengan bulan April
2014. Inflasi Sumbagteng tercatat sebesar 7,42% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan akhir tahun
2013 yang mencapai 9,11% (yoy). Melimpahnya pasokan bahan makanan terutama beras, cabai merah,
dan bawang merah akibat musim panen dan cuaca yang kondusif menjadi faktor berkurangnya tekanan
inflasi, khususnya di Sumatera Barat (Sumbar) (Grafik IV.2.17). Kondisi tersebut didukung dengan
stabilnya inflasi kelompok inti seiring dengan permintaan masyarakat yang moderat (Grafik IV.2.18). Di
sisi lain, penurunan inflasi lebih lanjut tertahan oleh sedikit meningkatnya inflasi di kelompok
administered prices akibat kenaikan fuel surcharge tarif angkutan udara.
Dengan perkembangan tersebut, tekanan inflasi secara tahunan diprakirakan masih cenderung
menurun pada triwulan II 2014. Selain pasokan bahan makanan yang masih terjaga, menurunnya laju
inflasi juga disebabkan oleh base effect inflasi triwulan II 2013 yang tinggi imbas dari kebijakan
kenaikan harga BBM bersubsidi di akhir Juni 2013. Namun demikian, terdapat sejumlah faktor risiko
yang berpotensi memberikan tekanan inflasi di antaranya tekanan permintaan akibat aktifitas pemilu,
liburan sekolah, dan periode bulan puasa serta tekanan harga akibat rencana kenaikan Tarif Tenaga
Listrik (TTL) untuk sektor industri oleh Pemerintah.
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.2.17. Perkembangan Inflasi Sumbagteng dan Nasional
Grafik IV.2.18. Disagregasi Inflasi Sumbagteng
L a p o r a n N u s a n t a r a | 116
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di Sumbagteng
meningkatkan koordinasi pengendalian inflasi guna menjamin terjaganya level inflasi, salah satunya
melalui Rapat Koordinasi Wilayah pada awal bulan April 2014. Dalam pertemuan tersebut dihasilkan
beberapa kesepakatan, yaitu: (1) melakukan pemetaan dan updating informasi surplus dan kebutuhan
daerah komoditas utama, (2) melakukan identifikasi terhadap produsen atau pedagang bahan pangan
yang berpotensi untuk bermitra dengan produsen atau pedagang daerah lain, (3) berupaya untuk
menganalisa kapasitas produksi untuk setiap produsen dan kebutuhan impor untuk setiap importir
khususnya untuk Provinsi Kepri, (4) melanjutkan pengembangan Pusat Informasi Harga Pangan
Strategis (PIHPS), (5) berupaya untuk memitigasi risiko El Nino, (6) menyiapkan langkah antisipasi atas
kemungkinan kenaikan LPG 12 kg di waktu mendatang, (7) menghindari penerbitan peraturan-
peraturan daerah yang berpotensi menghambat arus distribusi barang antar provinsi, (8) meningkatkan
koordinasi dengan Legislatif agar lebih memberikan dukungan terhadap program-program TPID, (9)
mengintensifkan pemantauan harga-harga bahan makanan secara periodik agar dapat ditindaklanjuti
secara cepat melalui kebijakan pemerintah daerah seperti operasi pasar, dan (10) membuka opsi agar
pemerintah daerah dapat menganggarkan operasi pasar untuk komoditas selain beras dalam rangka
meningkatkan efektifitas pengendalian inflasi serta dianjurkan dapat mengalokasikan anggaran untuk
kebijakan beras miskin otonom dan pasar murah.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Penyaluran kredit kepada sektor utama di wilayah Sumbagteng mengalami perlambatan pada triwulan I
2014. Berdasarkan informasi sejumlah perusahaan, preferensi sektor usaha untuk menggunakan dana
pinjaman bank cenderung rendah. Namun, pertumbuhan kredit di sektor industri pengolahan masih
berada di level yang tinggi mencapai 24,2% (yoy) (Grafik IV.2.19). Dari empat sektor utama di
Sumbagteng, sektor pertambangan dan penggalian menjadi sektor yang pembiayaan kreditnya paling
rendah, yaitu 1,7% dari total kredit sebesar Rp174,8 triliun. Pelaku usaha cenderung untuk
menggunakan dana sendiri maupun dana dari perusahaan induk. Sementara itu, penyaluran kredit lebih
banyak terserap untuk sektor perdagangan dengan pangsa sebesar 19,9%, sektor pertanian sebesar
13,0% dan sektor industri pengolahan sebesar 11,9%. Secara kualitas, penyaluran kredit yang diberikan
kepada sektor utama mengalami penurunan. Hal tersebut tercermin dari nonperforming loan (NPL)
sektor pertambangan dan sektor perdagangan yang memburuk (Grafik IV.2.20). Penurunan kualitas
kredit sektor pertambangan diindikasi karena kelesuan produksi batubara di Jambi akibat tren
menurunnya harga batubara internasional dan adanya peraturan daerah yang mengatur jalur khusus
pengangkutan batubara.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 117
Grafik IV.2.19. Pertumbuhan Kredit Sektor Utama Grafik IV.2.20. Perkembangan NPL Kredit Sektor Utama
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit yang disalurkan kepada sektor rumah tangga di Sumbagteng menunjukkan peningkatan pada
triwulan I 2014. Pertumbuhan kredit rumah tangga tercatat sebesar 12,1% (yoy), meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 11,6% (yoy). Peningkatan tersebut berasal dari Kredit
Kendaraan Bermotor (KKB) yang mampu tumbuh positif untuk pertama kalinya sejak triwulan IV 2012
(Grafik IV.2.21). Selain itu, pertumbuhan kredit juga bersumber dari Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang
terus melanjutkan penguatan. Menguatnya daya beli masyarakat seiring dengan tren kenaikan harga
komoditas CPO di tengah tekanan inflasi yang mereda berdampak pada meningkatnya konsumsi non
makanan. Dari total kredit konsumsi yang telah disalurkan sebesar Rp61,8 triliun sampai dengan Maret
2014, pangsa kredit KPR dan KKB masing-masing mencapai 18,3% dan 7,4%. Penguatan kredit kepada
sektor rumah tangga didukung oleh kualitas kredit yang terjaga. Walaupun NPL KPR mengalami
kenaikan, NPL kredit rumah tangga secara keseluruhan stabil di level yang rendah (Grafik IV.2.22).
Grafik IV.2.21. Perkembangan NPL Kredit RT Grafik IV.2.22. Pertumbuhan Kredit RT
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Laju pertumbuhan kredit kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Sumbagteng mengalami
kenaikan pada triwulan I 2014. Kredit UMKM tercatat sebesar Rp50,6 triliun tumbuh 18,8% (yoy),
meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 15,3% (yoy) (Grafik IV.2.23). Sektor perdagangan
dan sektor pertanian merupakan pengguna kredit UMKM terbesar di Sumbagteng dengan porsi
mencapai 45,3% dan 20,6%. Di tengah peningkatan kredit UMKM, kualitas kredit mengalami penurunan
dengan tingkat NPL yang mulai perlu untuk diwaspadai di level 4,7%. Adapun NPL tertinggi terjadi di
Sumbar sebesar 6,7% sementara NPL terendah tercatat di Kepulauan Riau sebesar 2,8%. Belum kuatnya
L a p o r a n N u s a n t a r a | 118
UMKM sektor perdagangan di Sumbar berdampak pada rentannya pelaku usaha terhadap siklus
perekonomian.
18.8
4.7
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
0
10
20
30
40
50
60
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
g.UMKM NPL-sisi kanan
%,yoy %
(30)
(20)
(10)
0
10
20
30
40
50
60
0
50
100
150
200
250
I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014
%, yoyTriliun Rp
Total Transaksi RTGS Pertumbuhan-sisi kanan
Grafik IV.2.23. Pertumbuhan Kredit UMKM dan NPL UMKM
Grafik IV.2.24. Perkembangan Transaksi RTGS
Kinerja Sistem Pembayaran
Aktivitas sistem pembayaran di Sumbagteng mengalami penurunan pada triwulan I 2014, baik transaksi
melalui Realtime Gross Settlement (BI-RTGS) maupun melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
(SKNBI). Bencana kabut asap di Riau terindikasi mengurangi transaksi masyarakat. Hal tersebut terlihat
dari penurunan transaksi RTGS dan kliring yang signifikan di Riau. Penurunan transaksi RTGS di Riau
mencapai Rp28,1 triliun dari penurunan total Rp35,4 triliun di Sumbagteng (Grafik IV.2.24). Sementara
itu, penurunan kliring di Riau mencapai Rp1 triliun dari penurunan total sebesar Rp1,3 triliun di
Sumbagteng (Grafik IV.2.25). Selain itu, berkurangnya aktifitas masyarakat paska meningkatnya
kegiatan transaksi di akhir tahun turut berdampak pada menurunnya kinerja sistem pembayaran.
Secara karakteristik, transaksi RTGS di Sumbagteng relatif berimbang antara aliran dana yang masuk ke
perbankan Sumbagteng dan yang keluar dari perbankan Sumbagteng.
-8
-6
-4
-2
0
2
4
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2012 2013 2014
Triliun Rp
Outflow Inflow Net Inflow/(Outflow)
Grafik IV.2.25. Perkembangan Transaksi SKNBI Grafik IV.2.26. Perkembangan Pengedaran Uang
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Pengedaran uang tunai di Sumbagteng mencatat aliran uang kartal yang masuk (inflow) di triwulan I
2014 (Grafik IV.2.26). Masyarakat kembali menyimpan dananya di perbankan pada awal tahun setelah
menarik dana pada triwulan sebelumnya sejalan dengan kebutuhan meningkat pada masa liburan Natal
dan tahun baru. Netinflow yang terjadi dikarenakan oleh meningkatnya netinflow Sumbar dan
menurunnya netoutflow di Riau, Kepulauan Riau dan Jambi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 119
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Sumbagteng mengawali tahun dengan kinerja yang positif. Kinerja ekspor yang mencatat
perbaikan seiring dengan meningkatnya harga komoditas CPO dunia dan permintaan eksternal
menopang pertumbuhan ekonomi Sumbagteng. Selain itu, meningkatnya lifting minyak di Riau
memberikan harapan baru setelah sektor pertambangan dan penggalian terus berada dalam tren yang
menurun sejak tahun 2012.
Mencermati perkembangan tersebut di atas, pertumbuhan ekonomi Sumbagteng diprakirakan
cenderung bias ke atas dari prakiraan sebelumnya dengan tumbuh pada kisaran 5,3% - 5,8% (yoy) untuk
keseluruhan tahun 2014 (Tabel IV.2.1). Berdasarkan komponen permintaan, konsumsi masyarakat dan
ekspor menjadi penggerak utama ekonomi Sumbagteng. Daya beli masyarakat menguat di tengah
meredanya tekanan inflasi. Sementara itu, kenaikan ekspor terjadi seiring dengan meningkatnya harga
komoditas dan menguatnya permintaan eksternal. Dari sisi lapangan usaha, lifting minyak dan harga
komoditas CPO yang meningkat membuat roda pertumbuhan berasal dari sektor pertambangan dan
penggalian serta sektor pertanian.
Prospek Inflasi
Dari sisi harga, laju inflasi pada tahun 2014 diprakirakan mengalami penurunan dibandingkan tahun
2013, yakni pada rentang 5,1% - 5,6% (yoy). Meredanya inflasi ke depan terutama bersumber dari
kelompok administered prices dan volatile foods. Tidak adanya kebijakan kenaikan harga energi
strategis yang signifikan di tahun 2014 dan membaiknya pasokan bahan pangan sejak awal tahun
berdampak pada minimalnya tekanan inflasi. Namun demikian, masih terdapat risiko inflasi terutama
gangguan cuaca akibat Dipole Mode yang berdampak pada musim kemarau yang lebih kering dan dapat
mempengaruhi pasokan pangan di semester II 2014.
Tabel IV.2.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
I II III IV Total I IIp IIIp IVp Totalp
PDRB (%,yoy) 5.9 5.2 4.7 4.5 4.2 5.0 4.6 5.4 5.4 5.3 - 5.8 5.3 - 5.8 5.3 - 5.8
Sisi Permintaan
Konsumsi 5.7 6.2 6.8 6.1 5.3 6.3 6.1 5.5 7.7 7.6 - 8.1 6.3 - 6.8 6.7 - 7.2
Konsumsi swasta 5.5 6.3 7.4 6.8 5.9 5.7 6.4 6.1 7.8 7.6 - 8.1 7.1 - 7.6 7.1 - 7.6
Konsumsi Pemerintah 7.0 5.3 3.3 2.2 2.1 9.7 4.5 1.9 6.9 7.9 - 8.4 2.2 - 2.7 4.6 - 5.1
Pembentukan Modal Tetap Bruto 10.5 8.1 8.4 7.9 7.8 7.3 7.8 5.9 5.4 4.2 - 4.7 3.6 - 4.1 4.7 - 5.2
Ekspor 7.8 3.1 0.4 (0.2) 0.1 6.8 1.8 4.4 2.9 4.0 - 4.5 1.4 - 1.9 3.0 - 3.5
Impor 8.8 5.5 3.2 1.4 1.6 1.5 1.9 2.1 2.4 5.3 - 5.8 6.5 - 7.0 4.0 - 4.5
Sisi Produksi
Sektor pertanian 4.5 3.9 4.1 3.4 4.5 6.3 4.6 6.7 6.1 5.7 - 6.2 6.0 - 6.5 6.0 - 6.5
Sektor pertambangan & penggalian 3.3 (0.4) (4.1) (1.6) 0.4 1.2 (1.0) 1.8 1.5 1.2 - 1.7 1.2 - 1.7 1.3 - 1.8
Industri pengolahan 6.3 4.9 7.4 6.0 5.3 5.2 5.9 5.2 5.7 5.9 - 6.4 6.4 - 6.9 5.7 - 6.2
Listrik, gas & air bersih 7.7 5.1 6.0 5.8 3.3 4.8 4.9 4.4 3.7 4.8 - 5.3 3.6 - 4.1 4.0 - 4.5
Bangunan 10.5 11.9 11.5 9.2 8.4 9.4 9.6 9.1 7.6 8.1 - 8.6 7.9 - 8.4 8.1 - 8.6
Perdagangan, hotel & restoran 8.2 11.3 11.2 8.5 4.9 5.9 7.5 8.0 8.6 8.6 - 9.1 7.8 - 8.3 8.1 - 8.6
Pengangkutan & komunikasi 8.6 9.0 8.8 8.5 6.2 7.2 7.7 7.2 6.9 7.1 - 7.6 6.4 - 6.9 6.8 - 7.3
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 7.1 8.5 9.5 7.2 5.7 4.9 6.7 4.5 5.0 5.2 - 5.7 5.3 - 5.8 4.9 - 5.4
Jasa-jasa 7.8 7.6 6.9 7.3 6.1 6.7 6.8 5.3 6.5 5.9 - 6.4 5.6 - 6.1 5.7 - 6.2
Inflasi IHK (%,yoy) 4.4 3.2 5.0 5.5 8.2 9.1 9.1 7.9 7.0 5.15 - 5.65 5.05 - 5.55 5.05 - 5.55
Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolahp proyeks i Bank Indones ia
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah2011 2012
2013 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 120
Bagian IV.3 Perekonomian Sumatera Bagian Utara
PERTUMBUHAN EKONOMI
Pertumbuhan ekonomi wilayah Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) pada triwulan I 2014 secara agregat
tumbuh 5,1% (yoy) atau melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (5,4%, yoy). Melambatnya
pertumbuhan ekonomi di wilayah ini dialami baik oleh Provinsi Aceh maupun di Provinsi Sumatera
Utara. Di kedua provinsi tersebut kinerja ekspor dan investasi menjadi faktor yang menyebabkan realisasi
pertumbuhan ekonomi cenderung melambat. Di samping itu, erupsi Gunung Sinabung yang terjadi pada
awal tahun 2014 turut memengaruhi aktivitas produksi di wilayah ini sehingga berdampak pada capaian
pertumbuhan ekonomi yang melambat. Sementara itu, konsumsi rumah tangga di kedua provinsi masih
cenderung menguat sehingga menahan perlambatan ekonomi lebih lanjut di kedua provinsi tersebut.
Pada triwulan II 2014, perekonomian wilayah Sumbagut diprakirakan dapat tumbuh lebih tinggi
dibandingkan dengan sebelumnya. Keyakinan konsumen yang masih cenderung menguat diperkirakan
dapat mendorong kinerja konsumsi rumah tangga untuk tumbuh meningkat. Hal ini juga didukung oleh
cenderung meningkatnya daya beli masyarakat seiring dengan meningkatnya aktivitas produksi. Di
samping itu, beberapa kegiatan berskala besar yang terselenggara pada triwulan II 2014 – termasuk
penyelenggaraan Pemilu – diperkirakan turut berdampak positif bagi perbaikan ekonomi di Sumbagut.
Sementara itu, ekspor diperkirakan masih cenderung melambat terkait dengan masih terbatasnya kinerja
produksi hasil perkebunan.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga wilayah Sumbagut pada triwulan I 2014 tumbuh meningkat dibandingkan
triwulan sebelumnya. Peningkatan konsumsi rumah tangga terjadi baik pada konsumsi rumah tangga di
Provinsi Aceh maupun di Provinsi Sumatera Utara. Menguatnya konsumsi rumah tangga ini turut
dipengaruhi oleh membaiknya optimisme masyarakat seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat
dan cenderung menurunnya tekanan inflasi dalam beberapa waktu terakhir (Grafik IV.3.1). Meredanya
tekanan inflasi ini berdampak positif pada meningkatnya nilai tukar petani (Grafik IV.3.2).
3
4
5
6
7
8
9
80859095
100105110115120125130
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
%indeks IKK gKonsumsi (PDRB)
0
5
10
15
20
25
30
35
9596979899
100101102103104105
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
%, yoyIndeks NTP Petani Sumbagut gKredit Konsumsi (skala kanan)
Sumber: BPS Provinsi Sumut dan Aceh, diolah
Grafik IV.3.1. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Grafik IV.3.2. Indeks Nilai Tukar Petani dan Pertumbuhan Kredit Konsumsi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 121
Penguatan konsumsi rumah tangga diprakirakan masih terus berlanjut hingga triwulan II 2014.
Meningatnya aktivitas perdagangan dan penyelenggaraan Pemilu diprakirakan dapat mendorong
kenaikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga lebih lanjut. Hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) yang
dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan penjualan ritel yang cenderung meningkat di awal triwulan II
2014. Selain itu, optimisme masyarakat diperkirakan masih akan terus terjaga sehingga dapat berdampak
positif bagi kenaikan konsumsi rumah tangga lebih lanjut.
Konsumsi Pemerintah
Berbeda dengan pola musimannya, pada triwulan I 2014, konsumsi pemerintah masih tumbuh lebih
tinggi yakni sebesar 4,1% dibandingkan dengan triwulan IV 2013 (3,9%). Meningkatnya konsumsi
pemerintah pada triwulan I 2014 dibandingkan dengan triwulan IV 2013 diperkirakan terkait dengan
pengeluaran terkait persiapan penyelenggaraan Pemilu. Aktivitas konsumsi pemerintah diperkirakan
semakin meningkat terkait dengan sarana dan prasarana Pemilu. Hal tersebut meningkatkan
pertumbuhan konsumsi pemerintah dari 3,9% pada triwulan IV 2014 menjadi sebesar 4,1%. Memasuki
triwulan II 2014, kenaikan konsumsi pemerintah diperkirakan cenderung lebih tinggi antara lain terkait
dengan peningkatan realisasi belanja infrastruktur yang cenderung meningkat di triwulan II 2014. Selain
itu, penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden diperkirakan masih akan turut mendorong
kenaikan belanja pemerintah.
Investasi
Kinerja pertumbuhan investasi di wilayah Sumbagut pada triwulan I 2014 lebih lambat jika dibandingkan
dengan realisasi investasi triwulan IV 2013. Pada triwulan I 2014 pertumbuhan investasi tercatat sebesar
4,4% lebih rendah dibanding realisasi triwulan IV 2014 yang mencapai 5,0%. Relatif turunnya kegiatan
investasi ini terutama terjadi di Provinsi Sumatera Utara yang mengalami penurunan dari sebesar 4,7%
pada triwulan IV 2013 menjadi sebesar 3,9% pada triwulan I 2014. Pelaku usaha di Sumatera Utara
cenderung menahan aktivitas investasi karena masih menunggu hasil pemilu. Penurunan investasi di
wilayah Sumbagut sejalan dengan cenderung menurunnya impor barang modal (Grafik IV.3.3)
Perkembangan beberapa indikator terkini mengindikasikan kegiatan investasi pada triwulan II 2014
berpotensi cenderung kembali meningkat. Hal ini terindikasi antara lain dari meningkatnya penyaluran
semen di wilayah Sumbagut (Grafik IV.3.4). Tingginya realisasi semen diperkirakan dapat mendorong
investasi fisik terutama terkait dengan penyelesaian infrastuktur penghubung diantaranya pembangunan
jalan tol ruas Medan – Tebing Tinggi, ruas Medan – Binjai, Pengembangan Jalan Akses Kuala Namu Tahap
II (14 Km) dan fly over Tahap I dan II (2 jembatan 1 Km). Beberapa rencana ekspansi yang akan dilakukan
oleh pelaku usaha seperti pengembangan fasilitas pengolahan sawit di Sei Mangkei dan penyelesaian
proyek PLTU di Aceh akan turut berdampak pada kenaikan kinerja investasi triwulan mendatang.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 122
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kegiatan ekspor luar negeri pada triwulan I 2014 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Menurunnya ekspor luar negeri di wilayah Sumbagut terutama disebabkan oleh
berkurangnya ekspor LNG di Aceh dan juga perkembangan ekspor beberapa komoditas perkebunan yang
masih cenderung terbatas terkait belum cukup membaiknya harga di pasar global. Di samping itu, faktor
produksi yang beberapa komoditas perkebunan yang cenderung menurun terkait kendala cuaca
diperkirakan turut memengaruhi perkembangan ekspor Sumbagut.
Tren penurunan ekspor luar negeri Sumbagut diprakirakan masih berlanjut hingga triwulan II 2014.
Penurunan tersebut disebabkan oleh belum membaiknya harga ekspor utama seperti karet serta
melimpahnya stok komoditas tersebut di China sehingga membuat permintaan cenderung masih
terbatas. Penurunan ekspor CPO diprakirakan juga berasal dari kebijakan dalam melakukan penyesuaian
biaya impor CPO yang diterapkan oleh beberapa negara mitra dagang.
Impor
Dari sisi impor luar negeri, realiasasi impor Sumbagut sampai dengan triwulan I 2014 lebih rendah dari
periode sebelumnya. Jika dilihat berdasarkan provinsi, rendahnya impor Sumbagut pada triwulan I 2014
didorong oleh turunnya impor luar negeri di Provinsi Sumatera Utara dari 6,6% pada triwulan IV 2013
menjadi 4,8% pada triwulan I 2014. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pelaku usaha, pelemahan
impor Sumatera Utara merupakan dampak dari pergerakan nilai tukar rupiah.
Perlambatan impor Sumbagut diprakirakan masih berlanjut hingga triwulan II 2014. Penurunan impor
terutama terjadi pada kelompok bahan baku. Impor bahan baku mengalami penurunan 12% (yoy) secara
nilai dan mengalami penurunan 11,8% (yoy) secara volume. Selain itu, impor barang modal juga
mengalami penurunan terkait dengan kinerja industri pengolahan di wilayah Sumbagut yang melambat.
Perilaku pelaku usaha Industri pengolahan yang masih menahan kegaiatan produksinya berdampak pada
turunnya impor luar negeri secara umum.
-200%
-100%
0%
100%
200%
300%
400%
500%
600%
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2012 2013 2014
persen %juta USD
Impor Barang Modal (juta USD) Impor Barang Modal (ribu Ton)
Growth Value % (yoy) Growth Volume % (yoy)
-30%
-20%
-10%
0%
10%
20%
30%
0,00
50,00
100,00
150,00
200,00
250,00
300,00
350,00
400,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2012 2013 2014
persen %ribu ton
Sumut Aceh Pertumbuhan (yoy)
Sumber :ASI (Asosiasi Semen Indonesia)
Grafik IV.3.3. Impor Berdasarkan Jenis Penggunaan Grafik IV.3.4. Perkembangan Realiasasi Semen Sumbagut
L a p o r a n N u s a n t a r a | 123
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian pada triwulan I 2014 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kinerja
sektor ini triwulan sebelumnya. Turunnya sektor pertanian terutama didorong rendahnya realisasi
pertumbuhan sektor pertanian di Provinsi Aceh yang melambat dari 4,4% pada akhir tahun lalu menjadi
hanya sebesar 2,6% pada triwulan I 2014. Sementara itu pertumbuhan sektor ini di Provinsi Sumatera
Utara relatif stabil pada kisaran 2,9%. Turunnya pertumbuhan di propinsi Aceh disebabkan karena
terjadinya gagal panen akibat kekeringan di beberapa daerah di Aceh seperti Kabupaten Pidie, Bireuen,
Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Pidie Jaya yang menurunkan produksi
beras.
Kondisi sektor pertanian pada triwulan II 2014 diperkirakan meningkat jika dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Optimisme peningkatan sektor ini pada triwulan II 2014 terutama bersumber dari sub
sektor tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Mulai pulihnya areal pertanian yang terkena dampak
Letusan Gunung Sinabung diperkirakan menjadi pendorong utama meningkatnya optimisme dari
tanaman pangan. Sementara itu, optimisme dari sub sektor perkebunan di triwulan II 2014 diperkirakan
sebagai pengaruh mulai meningkatnya harga komoditas internasional khususnya CPO. Perkiraan masih
tumbuhnya sektor pertanian juga didukung dengan masih tingginya penyaluran kredit terhadap sektor
pertanian yang sampai akhir triwulan I 2014 meningkat sebesar 18,2% (yoy). Sebagian besar penyaluran
kredit sektor pertanian disalurkan ke sub sektor perkebunan. (Grafik IV.3.5 dan Grafik IV.3.6).
0
10
20
30
40
50
60
70
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
persen %milyar Rp
Sumut Aceh Growth % (yoy)
0
50
100
150
200
250
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
16.000
18.000
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
indeks %milyar RpKredit Sawit Kredit Karet
Growth Sawit % (yoy) Growth Karet % (yoy)
Grafik IV.3.5. Kredit Sektor Pertanian Umum Grafik IV.3.6. Penyaluran kredit Sawit dan Karet
Sektor Industri Pengolahan
Kinerja sektor industri pengolahan pada triwulan I 2014 tumbuh meningkat menjadi 4,5% dari triwulan
sebelumnya yang sebesar 4,3%. Meningkatnya kinerja di sektor industri pengolahan terutama
dipengaruhi oleh masih kuatnya konsumsi rumah tangga. Beberapa pelaku usaha di bidang tersebut
menyatakan bahwa masih kuatnya konsumsi mendorong peningkatan kegiatan industri pengolahan
mereka. Pertumbuhan sektor ini juga didukung oleh tingginya penyaluran kredit perbankan ke sektor
industri pengolahan pada triwulan I 2014 yang mengalami peningkatan hingga 30% (yoy). Optimisme
industri pengolahan Sumbagut pada triwulan I 2014 tercermin dari peningkatan volume dan nilai ekspor
manufaktur wilayah Sumbagut.
Pada triwulan II 2014 kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan cenderung kembali tumbuh
melambat. Hal ini terindikasi dari volume impor bahan baku di wilayah Sumbagut yang turun 11,8%
dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan kredit kepada sektor industri yang juga tumbuh melambat.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 124
Di samping itu, prospek ekspor luar negeri yang masih terbatas diperkirakan turut memengaruhi kinerja
industri pengolahan.
Sektor Industri Pengolahan
Perkembangan kinerja sektor PHR pada triwulan I 2014 mengalami perlambatan jika dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Melambatnya sektor PHR terkait dengan kinerja ekspor luar negeri yang
masih cenderung terbatas selama triwulan laporan. Di samping itu, minimalnya dampak dari aktivitas
terkait Pemilu dan imbas dari erupsi Gunung Sinabung terindikasi dari rendahnya tingkat hunian kamar
hingga akhir triwulan I 2014. Selama pelaksanaan Pemilu kali ini relatif tidak ada pengumpulan masa
dalam jumlah besar atau penggunaan hotel sebagai tempat berkampanye. Pelaku usaha perhotelan
memperkirakan tingkat hunian kamar cenderung stagnan, bahkan menurun. Beberapa hotel menyatakan
pengunjung yang berasal dari dunia usaha justru menahan aktivitas bisnisnya dan lebih memilih untuk
menunggu hingga kondisi kembali stabil dan jelas pasca Pemilu 2014.
Kondisi sektor PHR pada triwulan II 2014 diperkirakan akan meningkat apabila dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Masuknya masa liburan sekolah pada triwulan II 2014 dan aktivitas punggahan
yang merupakan perayaan ziarah kubur sebelum ramadhan diperkirakan juga akan mendorong
peningkatan sektor PHR di Sumbagut. Perkiraan peningkatan sektor PHR ini juga didukung oleh positifnya
hasil Survei Konsumen, terutama dari peningkatan indeks penghasilan saat ini yang mengalami
peningkatan 1,5% dibandingkan dengan triwulan I 2014. Selain itu, optimisme sektor PHR juga tercermin
dari peningkatan indeks Penjualan eceran yang meningkat 2,76% (mtm) dan 15,9% (yoy). Meningkatnya
penyaluran kredit perbankan ke sektor PHR yang masih mengalami peningkatan 22,8% (yoy) diperkirakan
ikut mendorong meningkatnya kinerja sektor ini pada triwulan II 2014.
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0
50
100
150
200
250
Jan
Fe
b
Ma
r
Ap
r
Me
i
Jun
Jul
Ag
ust
Se
p
Ok
t
No
p
De
s
Jan
Fe
b
Ma
r
Ap
r
Me
i
Jun
Jul
Ag
ust
Se
p
Ok
t
No
p
De
s
Jan
Fe
b
Ma
r
Ap
r
2012 2013 2014
persen %Indeks
Indeks SPE Growth mtm (%) Growth yoy (%)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
45.000
I II III IV I II III IV I II III IV I
2011 2012 2013 2014
persen %milyar Rp
Sumut Aceh Growth % (yoy)
Grafik IV.3.7. Indeks Penjualan Eceran Grafik IV.3.8. Kredit Sektor PHR
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi wilayah Sumbagut hingga bulan April 2014 mengalami penurunan seiring dengan koreksi beberapa
komoditas pangan. Realisasi inflasi Sumbagut pada akhir bulan April bahkan dapat lebih rendah dari
realisasi inflasi inflasi (Grafik IV.3.9 dan Grafik IV.3.10). Terus menurunnya inflasi di Sumbagut
dipengaruhi terutama oleh melimpahnya pasokan beberapa komoditas penyumbang inflasi seperti beras,
bawang merah dan cabai merah. Di beberapa daerah di wilayah ini, melimpahnya pasokan beberapa
komoditas pangan berasal dari pasokan impor sehingga mendukung terjadinya deflasi pada kelompok
pangan. Di samping itu, mulai masuknya masa panen di beberapa daerah sentra produksi turut
mendorong kenaikan pasokan pangan di Sumatera Utara dan Aceh.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 125
Pada triwulan II 2014 diperkirakan tekanan inflasi Sumbagut masih terus cenderung menurun. Lebih
rendahnya tekanan inflasi disebabkan oleh stabilnya harga berbagai komoditas pangan dan meredanya
tekanan pada kelompok administered prices. Hal ini didukung oleh masih cukup melimpahnya pasokan
komoditas pertanian seperti cabai merah, bawang merah, dan beras. Selain itu, kondisi cuaca yang
mendukung di pantai timur dan pantai barat Sumbagut diperkirakan berdampak positif bagi pasokan ikan
segar sehingga harga sub kelompok ikan segar di Sumbagut dapat terjaga. Berbagai upaya yang
ditempuh oleh TPID untuk menjaga stabilitas harga turut berkontribusi positif pada perkembangan inflasi
Sumbagut ke depan.
Sumber: BPS, diolah
Sumber: BPS, diolah
Grafik IV.3.9. Inflasi Sumbagut vs Nasional Grafik IV.3.10. Inflasi Kota di Sumbagut vs Nasional
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Menjelang pertengahan tahun 2014 TPID hampir setiap Kabupaten/Kota di wilayah Sumbagut telah
terbentuk TPID daerah. Kerjasama yang baik dengan Pemerintah daerah dalam pembentukan TPID ini
diharapkan terus berlanjut terutama untuk dalam mensukseskan kegiatan TPID. Langkah Provinsi
Sumatera Utara dalam meluncurkan PIHPS (Pusat Informasi Harga Pangan Strategis) dengan nama
“SiHarapanKu” (Sistem Informasi Harga Pangan dan Komoditas Utama) akan diikuti oleh TPID Provinsi
Aceh dan akan diintegrasikan dengan PIHPS Sumatera Utara. Diharapkan dengan pembuatan PIHPS ini,
upaya TPID untuk mempermudah akses masyarakat terhadap informasi harga dapat semakin baik.
1. Langkah lain yang akan dilakukan tim TPID di wilayah Sumbagut dalam melakukan pengendalian
harga diantaranya adalah:
2. Melakukan update pemetaan data surplus defisit komoditas utama penyumbang inflasi di Sumatera
Utara maupun Aceh untuk tahun 2013. Berdasarkan pemetaan tersebut, masing-masing TPID
Kabupaten/Kota akan memfasilitasi perdagangan antar daerah dengan mengarahkan komoditas
yang surplus ke daerah tetangga yang mengalami kekurangan pasokan komoditas.
3. Untuk semakin meningkatkan pengendalian inflasi, TPID Kabupaten/Kota diwilayah Sumbagut
berencanauntuk membangun sistem logistik yang terintegrasi di wilayah Sumatera Bagian Utara.
4. Lebih memanfaatkan dan mensosialisasikan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS)
“SiharapanKu” (www.hargasumut.org) yang telah terbentuk pada awal tahun lalu di daerahnya
masing-masing sebagai upaya meminimalisasi perbedaan tingkat harga dari produsen ke konsumen
untuk mencapai kestabilan harga di pasar.
5. TPID di seluruh Sumbagut sepakat untuk memonitor perkembangan harga yang ada pada PIHPS
sebagai leading indicator dalam rapat pengendalian inflasi oleh TPID.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 126
6. TPID di seluruh Sumbagut sepakat untuk memperkuat koordinasi pusat dan daerah terutama terkait
dengan pembangunan infrastruktur dan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat terutama yang
berhubungan dengan penguatan kembali peran BULOG, Koperasi dan BUMD di pusat maupun
daerah.
7. Mempercepat kerjasama antardaerahterutamadalam memperkuat dan meningkatkan produksi
pangan strategis yang potensial di setiap Kabupaten/Kota di seluruh wilayah Sumbagut.
8. Sementara itu hal-hal yang perlu diperhatikan terutama terkait dengan pengendalian inflasi adalah :
9. Antisipasi terhadap tingginya inflasi terutama terkait dengan perayaan Hari Raya Lebaran dan Tahun
Ajaran Baru Sekolah.
10. Kemungkinan tekanan dari kelompok administered prices terutama terkait dengan kebijakan
pemerintah pada tarif listrik, harga gas, dan subsidi BBM.
11. Kemungkinan terjadinya masa kemarau panjang yang terkait dengan EL Nino yang dapat berdampak
pada pengurangan komoditas pertanian.
12. Kemungkinan dampak dari Pemilu Presiden pada peningkatan inflasi daerah.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Pembiayaan kegiatan pada sektor Korporasi di triwulan I-2014 khususnya sektor lapangan usaha berupa
kredit yang diterima dari Bank Umum masih menunjukkan pertumbuhan yang relatif baik meskipun
melambat. Kredit yang disalurkan Perbankan pada 3 sektor utama di Sumbagut (Pertanian, Industri
Pengolahan, dan Perdagangan Hotel dan Restoran/PHR) masih cukup baik, meningkat 17,4% jika
dibandingkan dengan penyaluran kredit pada tahun sebelumnya. Sektor Utama Sumbagut yang
mengalami peningkatan penyaluran kredit tertinggi adalah sektor PHR yang meningkat 25,3% (yoy).
Pertumbuhan penyaluran kredit sektor utama tertinggi berikutnya adalah sektor pertanian (22,8%) dan
Industri pengolahan (19,3%). Sementara itu, pada triwulan I 2014 indikator Non Performing Loans (NPL)
kredit pada sektor lapangan usaha di wilayah Sumbagut menunjukkan kondisi yang realtif stabil dan
berada pada kisaran 3%. Berdasarkan tiga sektor utama Sumbagut, NPL kredit sektor pertanian dan
industri pengolahan relatif stabil aman, sedangkan NPL Kredit PHR meningkat dibandingkan posisi
triwulan IV 2013, meskipun masih berada dibawah batas aman. Meningkatnya NPL Kredit PHR diduga
sebagai dampak menurunnya transaksi perdagangan, khususnya perdagangan yang terkait dengan
produk hasil-hasil pertanian, dan pariwisata diwilayah Sumbagut terkait erupsi Gunung Sinabung.
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit konsumsi yang disalurkan kepada sektor ekonomi bukan lapangan usaha Rumah Tangga (RT) di
wilayah Sumbagut secara nominal terus mengalami peningkatan hingga akhir Maret 2014, walapun tidak
setinggi pertumbuhan periode sebelumnya. Berdasarkan kelompoknya, kredit yang diterima RT terutama
digunakan untuk kredit kepemilikan rumah dan kredit kendaraan bermotor. Penyaluran kredit untuk
pembiayaan kepemilikan rumah dan kendaraan bermotor mengalami peningkatan 13,3% dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Penerapan Loan to Value (LTV) oleh Bank Indonesia sejak Juni 2012
berdampak pada penurunan penyaluran kredit hingga awal tahun 2013. Walapun masih berdampak,
tetapi dampak kebijakan LTV terutama pada kepemilikan rumah relatif menurun pada tahun 2013. Untuk
kredit kepemilikan kendaraan bermotor, penyaluran kredit terus mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan sebelum penerapan LTV. Berdasarkan Non Performing Loan (NPL), tingkat NPL KPR
L a p o r a n N u s a n t a r a | 127
relatif meningkat sejak tahun 2012 walau masih dalam kisaran yang cukup rendah (di bawah 5%). Hal ini
diduga terkait menurunnya kemampuan bayar debitur yang terkait erat dengan pergerakan harga
komoditas. Hal ini juga sejalan dengan growth DPK perorangan yang cenderung menurun, dimana hal ini
diduga karena adanya pembayaran kewajiban yaitu cicilan KKB/KPR yang berasal dari DPK. Sementara
itu, untuk NPL kredit KKB relatif masih cukup rendah (di bawah 2%).
Grafik IV.3.10. Kredit Sektor Industri Pengolahan Grafik IV.3.11. Perkembangan Kredit dan Pertumbuhan Tahunan Kredit KPR dan KKB
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Dari keseluruhan kredit yang disalurkan pada triwulan I 2014, total kredit UMKM di wilayah Sumatera
Bagian Utara (Sumbagut) masih relatif rendah yaitu sebesar 26,9%. Kondisi ini mengindikasikan bahwa
penyaluran kredit kepada usaha mikro, kecil, maupun menengah di wilayah Sumbagut masih cukup
rendah. Secara sektoral, pangsa kredit UMKM masih didominasi oleh sektor pertanian yang meningkat
dari 15,4% pada triwulan IV 2013 menjadi 16,3% di triwulan laporan terhadap total kredit, sedangkan
sektor Perdagangan Hotel Restoran dan sektor industri pengolahan relatif stabil. Terkait dengan Kredit
Usaha Rakyat (KUR), outstanding KUR di wilayah Sumbagut relatif tidak mengalami perubahan berarti
meskipun plafon KUR yang diberikan lebih tinggi dari triwulan IV 2013. Hingga akhir Februari 2014,
outstanding KUR wilayah Sumbagut baru mencapai 33,8% dari plafon kredit atau sekitar Rp3,19 triliun,
menurun dari 35% di akhir Tahun 2013.
Kinerja Sistem Pembayaran
Transaksi perbankan di wilayah Sumbagut melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS)
pada triwulan I-2014 baik secara nominal maupun volume mengalami penurunan. Secara nominal,
transaksi RTGS pada triwulan laporan turun sebesar 37,9% (qtq) menjadi Rp179,63 triliun, sedangkan
untuk volume mengalami penurunan 35,9% (qtq) menjadi sebesar 156 transaksi. Penurunan nominal
maupun volume transaksi RTGS di Provinsi Sumatera Utara pada triwulan I-2014 tersebut terjadi karena
transaksi keuangan di akhir tahun meningkat akibat pelunasan pembayaran di akhir tahun. Sementara
itu, perputaran kliring perbankan di kawasan Sumatera Bagian Utara pada triwulan I-2014 mengalami
penurunan secara nominal sebesar 28,1% (qtq) menjadi sebesar Rp24,69 triliun. Searah dengan
penurunan nominal, volume transaksi warkat kliring juga turun sebesar 23,1% (qtq). Meskipun demikian,
besaran rata-rata perhari nilai transaksi kliring di Sumatera Utara justru meningkat sebesar 11,4%
menjadi Rp617,35 miliar.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 128
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Perkembangan aliran uang kartal di kawasan Sumatera Bagian Utara pada triwulan I 2014 mengalami
netinflow Rp4,22 triliun dan meningkat 59,5% (qtq). Temuan uang rupiah tidak asli pada triwulan laporan
mengalami peningkatan yang dibandingkan triwulan sebelumnya. Untuk terus mengantisipasi
meningkatnya temuan uang rupiah tidak asli tersebut, Bank Indonesia terus melakukan berbagai upaya
yang antara lain melalui peningkatan security features uang yang dicetak dan sosialisasi ciri-ciri keaslian
uang rupiah.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum, pertumbuhan ekonomi wilayah Sumbagut pada tahun 2014 diperkirakan masih dapat
tumbuh pada kisaran 5,2%–5,6%. Optimisme perekonomian Sumbagut diperkirakan masih bersumber
dari masih kuatnya permintaan domestik. Dari sisi permintaan, konsumsi diperkirakan masih tinggi yang
didorong oleh dampak Pemilu 2014 walaupun diperkirakan tidak setinggi proyeksi sebelumnya. Selain itu
kembali normalnya inflasi di wilayah Sumbagut diperkirakan berdampak pada pulihnya daya beli
masyarakat. Hal ini terkonfirmasi dari meningkatnya nilai IEK yang menunjukkan optimisme konsumen
terhadap kegiatan usaha mereka pada masa yang akan datang. Nilai IEK sampai dengan Triwulan II 2014
menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi (14,67%) jika dibandingkan dengan akhir tahun lalu.
Perkiraan pulihnya harga komoditas utama seperti CPO di pasar Internasional diperkirakan mendorong
peningkatan ekspor wilayah Sumbagut. Pengaruh dari menguatnya nilai tukar diperkirakan berdampak
pada menurunnya nilai Impor Sumbagut pada akhir tahun. Sementara itu dari sisi penawaran,
pertumbuhan sektor keuangan persewaan dan jasa perusahaan dan pertumbuhan sektor jasa-jasa
diperkirakan menjadi pendorong utama pertumbuhan Ekonomi Sumbagut pada akhir tahun 2014.
Pembangunan infrastruktur baik berupa jalan maupun pembangkit listrik diperkirakan berdampak pada
meningkatnya pertumbuhan sektor bangunan tahun 2014.
Prospek Inflasi
Inflasi Sumbagut di tahun 2014 diperkirakan berada pada kisaran 4,4%-4,9% (yoy), hal ini terutama
bersumber dari penurunan komponen volatile foods. Penurunan inflasi diperkirakan bersumber dari
membaiknya pasokan bahan pangan baik bersumber dari domestik maupun dari sumber lainnya
sehingga pasokan komoditas khususnya dari kelompok bumbu-bumbuan seperti bawang merah dan
cabe merah reaktif terkendali. Komitmen dari pemerintah daerah dalam rakorwil TPID untuk lebih
memanfaatkan dan mensosialisasikan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) “SiharapanKu”
sebagai upaya meminimalisasi perbedaan tingkat harga dari produsen ke konsumen untuk mencapai
kestabilan harga di pasar perlu lebih ditingkatkan dan mendapatkan dukungan dari semua pihak.
Komoditas yang patut diwaspadai hingga akhir tahun adalah beras, bawang putih, bawang merah, dan
cabai merah. Walapun pergerakannya pada awal hingga pertengahan tahun cenderung stabil tetapi
pergerakan komoditas-komoditas tersebut perlu diwaspadai terutama terkait dengan tingginya
permintaan pada saat perayaan hari Raya keagamaan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 129
Tabel IV.3.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
I II III IV Total I IIp IIIp IVp Totalp
PDRB (%,yoy) 6.3 6.0 5.9 5.6 5.5 5.4 5.6 5.1 5.3 5.2-5.7 5.6-6.1 5.2-5.7
Sisi Permintaan
Konsumsi 6.2 5.6 7.0 6.7 6.7 5.7 6.5 6.1 6.0 6.0-6.4 6.2-6.7 6.0-6.5
Konsumsi swasta 6.4 5.9 7.5 6.7 6.6 5.5 6.6 6.0 6.9 6.9-7.4 7.2-7.7 6.6-7.1
Konsumsi Pemerintah 5.4 4.5 4.8 4.1 4.4 3.9 4.3 4.1 4.8 4.5-5.0 4.3-4.8 4.3-4.8
Pembentukan Modal Tetap Bruto 6.8 6.8 8.6 8.2 7.0 5.0 7.2 4.4 5.5 6.2-6.7 6.4-6.9 5.5-6.0
Ekspor 12.7 2.8 1.2 3.6 4.0 5.7 3.6 4.6 3.6 2.9-3.4 3.0-3.5 3.4-3.9
Impor 16.3 4.9 6.7 7.3 7.9 6.4 7.1 5.4 4.7 4.2-4.7 4.1-4.6 4.5-5.0
Sisi Produksi
Sektor pertanian 5.0 4.9 5.5 3.5 3.1 3.2 3.8 2.8 4.3 3.8-4.3 3.8-4.3 3.6-4.1
Sektor pertambangan & penggalian 2.5 0.2 1.0 2.1 1.8 0.2 1.3 1.0 0.1 0.1-0.6 (0.9) - (0.4) 0.1-0.5
Industri pengolahan 2.0 3.4 2.4 3.3 2.8 4.3 3.2 4.5 3.5 3.3-3.8 2.3-2.8 3.2-3.7
Listrik, gas & air bersih 8.2 3.9 5.5 4.7 3.5 3.0 4.1 3.9 5.3 5.5-6.0 5.3-5.8 4.9-5.4
Bangunan 8.1 6.8 7.1 7.9 6.8 6.4 7.0 6.3 5.4 6.5-7.0 8.2-8.7 6.5-7.0
Perdagangan, hotel & restoran 7.8 7.2 7.7 7.8 7.8 7.2 7.6 5.3 5.8 6.2-6.7 7.8-8.3 6.2-6.7
Pengangkutan & komunikasi 9.7 8.3 8.1 7.8 7.2 5.4 7.1 5.1 5.8 6.0-6.5 7.3-7.8 5.9-6.4
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 13.1 10.9 8.1 8.2 10.0 6.6 8.2 10.2 8.4 7.7-8.2 10.9-11.4 9.2-9.7
Jasa-jasa 7.3 6.7 6.4 6.1 7.2 8.2 7.0 7.5 7.8 7.0-7.5 5.0-5.5 6.7-7.2
Inflasi IHK (%,yoy) 3.64 3.52 5.49 6.33 8.99 9.92 9.92 7.4 6.3 4.6-5.1 4.4-4.9 4.4-4.9
Sumber: Badan Pusat Statis tik, diolah
p : angka proyeksi
2011 20122013 2014
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 130
Halaman ini sengaja dikosongkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 131
Bagian V – Isu Strategis
Isu Khusus 1 : Daya Saing Ekspor Manufaktur Daerah
Daya saing ekspor manufaktur menjadi salah satu faktor penting dalam menjaga kinerja neraca
perdagangan, yang pada akhirnya bermuara pada terciptanya stabilitas ekonomi makro. Ekspor
diharapkan dapat menjadi tumpuan dalam menyeimbangkan neraca perdagangan yang mengalami
tekanan akibat kenaikan impor. Defisit neraca perdagangan yang terjadi pada tahun 2013 menunjukkan
pentingnya peningkatan daya saing ekspor manufaktur. Daya saing ekspor juga berperan dalam
menentukan ketahanan ekonomi suatu negara atau daerah pada era perekonomian global.
Daya saing ekspor manufaktur dapat diartikan sebagai kemampuan suatu negara atau daerah dalam
meningkatkan nilai tambah ekspor sehingga lebih tinggi daripada impor. Kemampuan tersebut juga
diukur dengan memperhitungkan baik hambatan impor (import barriers) maupun insentif kebijakan
pemerintah. Pengertian daya saing di atas memiliki arti yang lebih luas daripada definisi umum yang lebih
memfokuskan pada peningkatan produktivitas.
Daya saing ekspor manufaktur dapat diukur melalui term of trade yaitu dengan melihat kondisi nilai tukar
riil atau real effective exchange rate (REER). Apresiasi nilai tukar riil mengindentifikasikan adanya
penurunan daya saing harga dari produsen domestik. Sebaliknya, apabila terjadi depresiasi nilai tukar riil,
baik yang dipengaruhi oleh faktor global maupun fundamental perekonomian domestik, dipersepsikan
sebagai peningkatan daya saing harga secara relatif di tingkat global. Hal terakhir menjadi salah satu
faktor pendorong ekspor dan merupakan bagian dari strategi suatu negara untuk mendukung kinerja
ekspor pada era globalisasi.
Isu strategis daya saing ekspor manufaktur ini disusun dalam rangka melakukan asesmen tentang korelasi
antara pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi pada tahun 2013 dengan peningkatan ekspor
manufaktur daerah.
GAMBARAN DAYA SAING EKSPOR MANUFAKTUR DAN DINAMIKA NILAI TUKAR
Pengukuran daya saing ekspor manufaktur antara lain dilakukan dengan melihat rasio ekspor manufaktur
terhadap produk domestik bruto (PDB) dari negara atau daerah dibandingkan dengan rasio yang sama di
tingkat dunia. Berdasarkan pengukuran tersebut (menggunakan data tahun 2010-2013), terlihat adanya
indikasi penurunan daya saing ekspor manufaktur secara nasional maupun spasial. Rasio ekspor
manufaktur terhadap PDB secara nasional pada tahun 2013 sebesar 8,2%, menurun secara konsisten
semenjak tahun 2010. Adapun rasio daya saing ekspor manufaktur nasional tercatat lebih kecil daripada
1, yaitu sebesar 0,64 pada tahun 2013, yang mengindikasikan belum kompetitifnya ekspor manufaktur
Indonesia di tingkat dunia.7 Hal ini ditengarai sebagai pengaruh dari deindustrialisasi yang telah
berlangsung dalam beberapa tahun terakhir serta belum optimalnya sinkronisasi kebijakan industri
nasional. Secara spasial, penurunan rasio daya saing ekspor manufaktur terutama terjadi di Kawasan
Jawa. Meski demikian, rasio daya saing ekspor manufaktur Jawa masih jauh di atas kawasan lainnya.
7 Rasio ekspor manufaktur terhadap PDB dari daerah dibandingkan dengan rasio yang sama di tingkat dunia di
bawah 1 mengindikasikan daya saing ekpor manufaktur daerah yang relatif lebih rendah di tingkat dunia.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 132
Sementara itu, rasio daya saing ekspor manufaktur di Kawasan Sumatera dan KTI tumbuh stagnan dalam
empat tahun terakhir.8
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
2010 2011 2012 2013
% Rasio Ekspor Manuf thd PDB
Rasio Daya Saing Ekspor Manuf
Daya Saing Ekspor Manuf Nasional Daya Saing Ekspor Manuf Sumatera
Daya Saing Ekspor Manuf Jawa-Jkt Daya Saing Ekspor Manuf KTI
Ekspor Manuf thd PDB Nasional (skala kanan)
70
75
80
85
90
95
100
105
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
2012 2013 2014
%
gEkspor Manufaktur Jawa-Jakarta gEkspor Manufaktur Sumatera
gEkspor Manufaktur KTI Pergerakan REER (skala kanan)
Grafik V.1.1. Daya Saing Ekspor Manufaktur Daerah Grafik V.1.2. Ekspor Manufaktur Daerah dan Pergerakan Nilai Tukar
Tren pelemahan nilai tukar semenjak semester II 2013 cenderung memberikan pengaruh positif terhadap
kinerja ekspor manufaktur, terutama di Kawasan Sumatera, Jawa dan Jakarta (Grafik V.4.2). Namun,
peningkatan kinerja ekspor manufaktur itu sendiri masih dalam level terbatas karena prospek pemulihan
ekonomi global masih dibayangi oleh ketidakpastian pasca rencana tapering (pengurangan bertahap)
stimulus moneter oleh Bank Sentral Amerika Serikat. Berkaitan dengan kinerja ekspor manufaktur di KTI,
pada periode pelemahan nilai tukar rupiah tahun 2013 justru melambat, perkembangan tersebut
diperkirakan akibat terbatasnya permintaan global dan harga komoditas sumber daya alam (SDA) yang
belum membaik.
Berdasarkan survei yang dilakukan kepada pelaku usaha manufaktur di keseluruhan kawasan, secara
umum kinerja ekspor manufaktur lebih dipengaruhi oleh permintaan global daripada oleh pergerakan
nilai tukar. Namun, sejumlah industri pengolahan di Sumatera, yang mayoritas menghasikan crumb
rubber dan CPO memandang pelemahan nilai tukar rupiah memberikan dampak positif pada kegiatan
usaha, terutama dari selisih kurs. Sekitar 37% responden survei mengonfirmasi peningkatan ekspor pada
periode depresiasi nilai tukar. Pelemahan nilai tukar dianggap membantu menopang keuntungan
perusahaan di tengah perkembangan harga di pasar internasional yang belum sepenuhnya membaik.
Mayoritas responden di Sumatera tidak sepenuhnya dapat melakukan penyesuaian harga jual terkait
dengan dinamika nilai tukar pada tahun 2013. Hal ini mengingat faktor yang lebih berpengaruh pada
harga jual komoditas manufaktur berbasis SDA di Sumatera adalah harga internasional. Hal yang sama
juga diungkapkan oleh responden di KTI yang juga sebagian besar produk manufakturnya berbasis
sumber daya alam, seperti produk kayu, karet, kakao dan ikan. Hasil survei di KTI bahkan
mengindikasikan bahwa kinerja ekspor manufaktur lebih sensitif terhadap pergerakan harga internasional
dibandingkan dengan dinamika nilai tukar.
8 Daya saing industri manufaktur Indonesia diperkirakan akan masuk dalam 15 besar dunia pada lima tahun ke
depan, merujuk pada 2013 Global Competitiveness Index yang dirilis Konsultan Deloitte Touche Tohmatsu dan US Council of Competitiveness. Optimisme tersebut didasari oleh daya saing biaya produksi terutama dari biaya faktor tenaga kerja dan bahan baku atau alat produksi yang lebih rendah, serta besarnya pasar domestik.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 133
Grafik V.3. Pengaruh Pergerakan Niali Tukar ke Ekspor Manufaktur
Sumatera
Grafik V.4. Dampak Nilai Tukar terhadap Harga Ekspor Produk Manufaktur Sumatera
Grafik V.5. Faktor yang Memengaruhi Harga Ekspor
Produk Manufaktur Sumatera
Mayoritas pelaku usaha manufaktur di Jawa menyatakan bahwa pelemahan nilai tukar tidak berdampak
secara signifikan terhadap kinerja ekspor. Sebagian responden di Jawa juga mengindikasikan peningkatan
margin keuntungan dari melemahnya nilai tukar relatif cenderung terbatas. Pada tabel V.4.1 dapat dilihat
bahwa dari sejumlah subsektor manufaktur unggulan di Jawa, peningkatan kinerja penjualan hanya
terlihat pada industri pengolahan tekstil dan produk tekstil (TPT).
Tabel V.1. Pengaruh Perubahan Nilai Tukar pada Industri Olahan di Jawa
Penjualan Biaya Perubahan Harga Margin Keuntungan
TPT V V X Stabil
Otomotif X X X Stabil
Pupuk X V V Stabil
Kimia dasar X X X Stabil
Elektronik X V X Turun
Kayu olahan X X X Naik
Mamin olahan X V X Turun
Kertas X V V Stabil
Faktor lain yang menahan peningkatan kinerja ekspor manufaktur di saat terjadi pelemahan nilai tukar
adalah peningkatan biaya produksi terkait dengan masih tingginya ketergantungan pada bahan baku
impor. Ketergantungan impor yang tinggi dari industri manufaktur memberikan eksposur terhadap risiko
volatilitas nilai tukar, sehingga ditengarai harga jual produk manufaktur di pasar global juga harus
disesuaikan apabila terjadi depresiasi nilai tukar yang menyebabkan kenaikan harga bahan baku impor.
Hasil survei mengindikasikan adanya dampak positif dari selisih kurs, khususnya bagi pelaku usaha
manufaktur yang tidak memiliki ketergantungan tinggi pada impor faktor produksi. Sementara itu, bagi
pelaku usaha yang industrinya sangat bergantung pada impor bahan baku, keuntungan dari nilai tukar
dibarengi dengan adanya peningkatan biaya bahan baku.
Selain faktor ketergantungan impor, orientasi penjualan domestik atau ekspor juga memberikan dampak
berbeda terkait dengan adanya depresiasi atau apresiasi nilai tukar. Pelaku usaha manufaktur yang
orientasi penjualannya ke pasar domestik mengindikasikan turunnya margin. Hal ini ditengarai sebagai
pengaruh dari keterbatasan dalam menyesuaikan harga jual domestik mengingat daya beli yang menurun
akibat dari pelemahan nilai tukar.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 134
FAKTOR KETERGANTUNGAN IMPOR DAN INTEGRASI RANTAI SUPLAI GLOBAL
Dilema peningkatan impor yang cukup tinggi pada industri manufaktur juga terjadi di sejumlah negara
emerging market yang berada pada fase industrialisasi, di antaranya Turki dan India. Studi kasus Turki
mengonfirmasi rasio ketergantungan impor sebagai faktor utama yang mengurangi daya saing ekspor
manufaktur (Dogruel 2009). Hal tersebut juga menjelaskan mengapa teori ekonomi yang menyatakan
bahwa harga dari barang tradable cenderung sama di seluruh negara tidak selalu terbukti.
Hasil uji statistik dengan menggunakan panel data fixed effect dari Kawasan Sumatera, Jawa dan KTI juga
membuktikan adanya korelasi negatif antara rasio ketergantungan impor dan pertumbuhan ekspor
manufaktur (menggunakan data bulanan pertumbuhan rasio impor bahan baku manufaktur pada tahun
2012 dan tahun 2013). Secara umum, penurunan rasio impor bahan baku manufaktur menjadi faktor
yang meningkatkan pertumbuhan ekspor manufaktur di keseluruhan kawasan, meskipun koefisien dari
uji statistik tidak signifikan untuk Kawasan Jawa dan Jakarta. Pertumbuhan ekspor manufaktur sebesar
1% dikontribusikan oleh penurunan rasio impor bahan baku manufaktur sebesar 4,1% di Kawasan
Sumatera dan 8% di KTI. Adapun pertumbuhan PDB dunia juga menjadi faktor pertumbuhan ekspor
manufaktur di Kawasan Jawa dan Jakarta serta KTI. Sementara itu, pertumbuhan kredit di sektor
manufaktur dan nilai tukar riil tidak menunjukkan signifikansi terhadap pertumbuhan ekspor manufaktur.
Temuan secara statistik yang terakhir mendukung gambaran data yang tidak secara jelas memperlihatkan
efek nilai tukar terhadap peningkatan kinerja ekspor.
Tabel V.2. Panel Data Regresi Rasio Impor dan Pertumbuhan Ekspor Manufatur
Dependent Variable : gEkspor Manufaktur
Rasio Impor Bahan Baku -4.12** -2.10 -1.84 -0.09 -7.99* -3.34
gPDB Dunia -8.32** -2.56 3.53* 3.26 4.35 0.82
gImpor Manufaktur 0.45* 3.32 0.46* 3.27 0.45*** 1.78
REER -12.59 -1.56 0.97 0.46 5.19 0.30
gKredit Manufaktur -0.73 -0.85 0.26 0.24 -1.06 -1.22
Sumatera Jawa & Jakarta
Parameter t-stat Parameter
R-sq : 0.45 R-sq : 0.65 R-sq : 0.57
t-stat
KTI
Parameter t-stat
Terkait dengan transformasi struktural industri untuk mengurangi ketergantungan impor, perlu dipikirkan
integrasi ke rantai suplai global yang dapat meminimalkan risiko eksposur terhadap volatilitas nilai tukar.
Prinsip kehati-hatian oleh pelaku usaha manufaktur dalam pengelolaan risiko nilai tukar merupakan
kunci. Hal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan besarnya ketergantungan impor dan juga
besarnya komitmen atas utang yang diberikan dalam mata uang asing. Selain dari sisi financial hedging,
upaya melakukan strategi subsitusi impor juga hal yang krusial dengan memerhatikan kapasitas domestic.
Meski demikian, integrasi ke rantai suplai global merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam rangka
transformasi dari negara berpendapatan menengah ke berpendapatan tinggi.
Strategi lain yang dapat diambil dalam rangka integrasi ke rantai suplai global adalah dengan memberikan
dukungan pada industri strategis yang memberikan nilai tambah tinggi dan lebih berorientasi pada pasar
ekspor. Kebijakan untuk menarik investasi pada industri strategis berbasis teknologi yang bernilai tambah
tinggi juga perlu didorong. Terkait dengan hal tersebut, peningkatan kapasitas lokal baik SDM maupun
infrastruktur serta terjaganya iklim investasi perlu mendapat perhatian ke depan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 135
Sebagai catatan akhir, daya saing ekspor manufaktur memiliki berbagai dimensi yang tidak hanya
mencakup dimensi antarpelaku (perusahaan atau firm) dalam tataran mikro, namun juga dimensi
antarwilayah atau negara dalam skala makro. Produktivitas atau efisiensi pada level mikro membutuhkan
dukungan kebijakan yang efektif (tepat sasaran) dan optimal. Pemerintah baik di pusat maupun daerah
memiliki peran untuk mendorong dan memfasilitasi peningkatan daya saing ekspor manufaktur tersebut.
Selain komitmen dan konsistensi kebijakan di sektor industri, dukungan pelaku usaha industri manufaktur
juga menjadi faktor penting. Berbagai skema kebijakan insentif dan disinsentif ditujukan agar langkah
pelaku usaha industri manufaktur selaras dengan strategi peningkatan daya saing ekspor manufaktur
dalam jangka panjang.
Pemerintah Daerah perlu memprioritaskan koordinasi kebijakan dalam mendorong daya saing ekspor
manufaktur ke depan dengan memerhatikan potensi, tantangan dan kapasitas lokal perlu menjadi
prioritas. Adapun langkah konkrit yang dapat segera dilakukan, di antaranya melalui kebijakan berikut ini:
pengembangan Balai Latihan Kerja dan fasilitas pendukung yang menunjang peningkatan
produktivitas dan kapasitas produk ekspor manufaktur spesifik di tiap kawasan. Hal ini dilakukan
dengan kerjasama antara Pemerintah Daerah, Pendidikan tinggi dan dunia usaha;
alokasi dana bantuan pendidikan tingkat tinggi dalam bentuk pool of fund melalui dukungan APBD
Pemerintah Daerah Tingkat I dan II di setiap kawasan serta program social perusahaan (corporate
social responsibility/CSR) dari dunia usaha;
optimalisasi jaringan infrastruktur yang telah ada dengan perbaikan kualitas maupun peningkatan
kapasitas, sembari menunggu selesainya pembangunan prasarana dan sarana baru;
perbaikan fasilitasi perdagangan dan investasi pada industri manufaktur yang memberikan nilai
tambah tinggi dan penyempurnaan Peraturan Daerah yang mendukung transformasi struktural.
Daftar Pustaka Adriana, G. and Dodescu A. (2009), Globalisation And Export Competitiveness: A Theoretical Approach, The
Journal of the Faculty of Economics, University of Oradea, Volume 1 : 318 – 324.
Aydin, F. et al (2007), Empirical Analysis of Structural Change in Turkish Exports, Working Paper No:07/08, Research and Monetary Policy Department, Central Bank of the Republic of Turkey.
Delgado, M. et al (2012), The Determinants of National Competitiveness, Working Paper 18249, National Bureau of Economic Research (NBER).
Dhasmana, A. (2013), Real Efective Exchange Rate and Manufacturing Sector Performance: Evidence from Indian Firms, Working Paper 412, Indian Institute of Management Bangalore.
Dogruel A.S. et al (1990), Changes in Exchange Rates and The Performance of The Manufacturing Sectors in Turkey, Working Paper, Department of Economics, Marmara University.
Esteves P.S. and Carolina R. (2006), Measuring Export Competitiveness: Revisiting The Effective Exchange Rate
Weights for The Euro Area Countries, Working Paper 11/06, Banco de Portugal.
Farole T. and Deborah W. (2012), Export Competitiveness in Indonesia’s Manufacturing Sector, Background Report for the World Bank Study on The Competitiveness of Manufacturing Sector, Multi-Partner Facility for Trade and Investment Climate.
Porter, E. Michael (1990), The Competitive Advantage of Nations, London: Macmillan.
Porter, E. et al (2008), The Microeconomic Foundations of Prosperity: Findings from the Business Competitiveness Index, The Global Competitiveness Report 2007-2008.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 136
Isu Khusus 2: Dampak Kebijakan Pengaturan Ekspor Mineral Terhadap Perekonomian Kawasan Timur
Indonesia
Diterbitkannya Undang-undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (UU
Minerba) membuka babak baru bagi sektor pertambangan Indonesia. Peraturan yang berlaku efektif
pada Januari 2014 ini mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUKS) untuk melakukan pengolahan lebih lanjut terhadap hasil tambang
mineral dan/atau batu bara sebelum diekspor ke luar negeri. Hal ini antara lain berimplikasi pada
keharusan bagi pelaku usaha tambang yang juga merupakan eksportir mineral mentah untuk
membangun unit pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di dalam negeri. Dalam
perkembangannya, pelaku usaha ekspor tambang juga diharuskan untuk mendapatkan status Eksportir
Terdaftar (ET) dari Kementerian Perdagangan serta dikenakan bea keluar dengan tarif yang meningkat
secara gradual hingga tahun 2017. Tabel V.2.1. Peraturan terkait UU Minerba
Dalam tiga bulan pertama pasca-penerapan kebijakan pengaturan ekspor mineral, terlihat bahwa kinerja
ekonomi KTI mengalami penurunan yang cukup tajam. Realisasi pertumbuhan ekonomi KTI pada triwulan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 137
I 2014 “hanya” tercatat sebesar 4,6% (yoy) dari triwulan sebelumnya yang mencapai 6,6% (yoy). Lebih
lambatnya realisasi pertumbuhan ekonomi ini terutama disebabkan oleh kontraksi pertumbuhan sektor
pertambangan disertai realisasi ekspor yang juga tumbuh negatif. Kondisi ini sejalan dengan terhentinya
aktivitas kegiatan penambangan oleh sebagian pelaku usaha tambang yang belum memiliki unit
pemurnian dan pengolahan mineral (smelter). Penurunan yang lebih besar terjadi pada produksi
konsentrat tembaga di Papua sehingga berdampak pada kinerja sektor pertambangan KTI secara
keseluruhan (Grafik V.2.1). Hal ini dipengaruhi oleh besarnya peran tembaga dalam struktur ekspor
mineral dari KTI (Grafik V.2.2).
Grafik V.2.1. Produksi Tembaga dan Pertumbuhan
Ekonomi Sulampua Grafik V.2.2. Pangsa Ekspor Mineral KTI
Dalam kurun waktu lima tahun sejak UU Minerba diundangkan, pembangunan smelter hingga saat ini
relatif masih sedikit. Hasil survei yang dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia di KTI kepada sejumlah
pelaku usaha tambang diperoleh informasi bahwa smelter yang telah dan akan siap beroperasi pada
tahun ini antara lain untuk pengolahan dan pemurnian hasil tambang yang relatif tidak dominan seperti
cobalt, bijih besi, mangan, zircon dan nikel dengan kapasitas yang tidak terlalu besar. Realisasi
pembangunan smelter diperkirakan baru meningkat dalam tiga tahun mendatang khususnya untuk
mineral jenis tembaga, nikel dan bauksit. Hal ini diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi dan
ekspor mineral KTI ke depan.
Rencana pembangunan smelter juga masih menghadapi sejumlah tantangan terutama dari segi
ketersediaan infrastruktur yang belum memadai. Minimnya pembangkit listrik berkapasitas besar untuk
menunjang operasional smelter khususnya di KTI menjadi tantangan utama yang dihadapi oleh pelaku
usaha tambang. Investasi yang dibutuhkan untuk membangun pembangkit listrik privat diperkirakan
mencapai Rp100 miliar, sementara investasi yang dibutuhkan untuk membangun smelter itu sendiri juga
tidak sedikit. Kebutuhan dana yang cukup besar menjadi kendala utama yang dihadapi oleh perusahaan
tambang mineral dalam membangun smelter khususnya bagi perusahaan berskala menengah bawah
dengan skala modal yang tidak terlalu besar. Hasil liaison kepada sejumlah pelaku usaha tambang di KTI
mengonfirmasi adanya perusahaan yang tidak membangun smelter karena tidak terpenuhinya financial
feasibility. Selain pasokan listrik, sarana pendukung lainnya seperti pelabuhan apung yang diperlukan
untuk transportasi bahan hasil tambang yang umumnya menggunakan angkutan mother vessel juga
masih sedikit.
Tertahannya kenaikan produksi mineral diperkirakan masih berlanjut pada triwulan II 2014. Selain masih
menunggu rampungnya pembangunan smelter, perusahaan tambang yang telah berstatus Eksportir
Terdaftar (ET) saat ini masih menunggu terbitnya Rekomendasi Ekspor (RE) dari Dirjen Minerba
L a p o r a n N u s a n t a r a | 138
Kementerian ESDM. Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.1 tahun 2014, RE dapat dikeluarkan
setelah perusahaan tambang dapat memenuhi hal-hal sebagai berikut: (1) data cadangan mineral; (2)
bukti rencana pembangunan smelter; (3) memenuhi kinerja pengelolaan lingkungan; (4) jaminan
kesungguhan sebesar 5% dari total investasi smelter; (5) bukti pelunasan kewajiban pembayaran
keuangan kepada negara. Informasi terkini menyebutkan terdapat lima perusahaan yang akan
mendapatkan RE dalam waktu dekat sehingga Surat Persetujuan Ekspor (SPE) oleh Kementerian
Perdagangan diharapkan dapat terbit selambat-lambatnya pada Mei 2014.
Gambar V.2.1 Prosedur Perolehan Izin Ekspor
Dengan berbagai perkembangan tersebut, sektor pertambangan KTI hingga akhir tahun 2014
diperkirakan masih menghadapi tantangan yang besar. Produksi mineral oleh sejumlah produsen utama
terindikasi belum akan kembali ke level normalnya dalam waktu dekat. Perbaikan produksi mineral
diperkirakan dapat terjadi pada semester II 2014 seiring dengan keluarnya izin ekspor oleh Kementerian
Perdagangan. Namun, apabila proses pemberian persetujuan ekspor menjadi berlarut-larut dapat
berisiko menurunkan kinerja pertambangan KTI lebih lanjut. Risiko lain yang perlu diperhatikan adalah
terkait dengan meningkatnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai langkah yang diambil pelaku
usaha tambang untuk mengurangi biaya operasional perusahaan. Dalam jangka pendek, pemerintah
perlu menjaga iklim usaha pertambangan saat ini dengan memastikan proses pemberian izin ekspor
konsentrat mineral berjalan lancar. Selain itu, kebijakan bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) juga perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 139
Isu Khusus 3: Dampak Menurunnya Pendapatan Daerah terhadap Likuiditas Perbankan Daerah
Dalam beberapa waktu terakhir, likuiditas perbankan di daerah cenderung mengalami penurunan
khususnya pada kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD). Hal ini terutama dipengaruhi oleh
pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibanding laju kenaikan dana pihak ketiga (DPK) sejak awal 2013.
Hingga akhir Maret 2014, laju pertumbuhan tahunan (year-on-year) DPK pada kelompok BPD tercatat
sebesar 2,7% sementara kredit masih tumbuh cukup tinggi pada kisaran 18,3% (Grafik V.3.1). Kondisi
terus melambatnya DPK di BPD terkait erat dengan dana milik pemerintah daerah yang memiliki pangsa
cukup besar dari keseluruhan DPK (Grafik V.3.2). Di beberapa daerah, komposisi kepemilikan dana milik
pemda dalam DPK BPD bahkan dapat mencapai lebih dari 60%. Menurunnya dana milik pemda yang
tersimpan di perbankan di satu sisi merupakan hal yang positif karena dapat memberikan suatu indikasi
dari semakin optimalnya penggunaan dana untuk belanja daerah. Namun, di sisi lain, apabila dilihat
secara lebih jauh, penurunan dana milik pemda di perbankan tersebut justru banyak dipengaruhi oleh
lebih rendahnya laju kenaikan pendapatan yang diterima APBD dibandingkan kenaikan belanja daerah.
Kondisi ini terutama terjadi di daerah-daerah yang memiliki pangsa pendapatan APBD yang cukup besar
dari bagi hasil sumber daya alam seperti di Sumatera dan Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Grafik V.3.1. Pertumbuhan Kredit dan DPK di BPD Grafik V.3.2. Komposisi DPK di BPD Berdasarkan
Kepemilikan
Lebih rendahnya kenaikan realisasi pendapatan APBD di tahun 2013 dibandingkan kenaikan laju belanja
daerah pada gilirannya diikuti oleh mengecilnya besaran surplus yang terbentuk. Beberapa daerah di
Sumatera dan Kalimantan bahkan diperkirakan mengalami defisit APBD pada tahun 2013. Defisit yang
terjadi di beberapa daerah di Kalimantan lebih besar dibandingkan daerah lainya. Surplus yang lebih kecil
dan defisit yang terjadi di beberapa daerah tersebut tidak terlepas dari menurunnya kinerja sektor
produksi, khususnya terkait minyak bumi dan gas, serta melemahnya harga komoditas selama tahun
2013 dibandingkan dengan capaiannya pada tahun 2012. Kondisi ini selanjutnya berdampak pada
pendapatan yang diterima oleh daerah terutama pada lebih rendahnya Dana Bagi Hasil (DBH) disertai laju
kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang juga cenderung melambat. Secara keseluruhan, pendapatan
APBD daerah (termasuk di dalamnya PAD dan dana perimbangan) pada tahun 2013 meningkat di kisaran
8%, lebih rendah dibandingkan kenaikan realisasi tahun sebelumnya yang mencapai 15%.
Realisasi transfer DBH hingga akhir 2013 tercatat sebesar Rp88,5 triliun, menurun dibandingkan realisasi
transfer DBH selama periode 2010-2012. Penurunan terbesar transfer DBH tersebut bersumber dari DBH
L a p o r a n N u s a n t a r a | 140
Sumber Daya Alam, khususnya Minyak Bumi dan Gas (Migas). Berdasarkan alokasi perkiraan terakhir,
DBH Migas pada tahun 2013 tercatat sebesar Rp27,7triliun, menurun dibandingkan tahun 2012 yang
sebesar Rp47,4 triliun9 (Grafik V.3.3). Menurunnya DBH Migas terutama di Kalimantan Timur, Riau, dan
Kepulauan Riau yang merupakan provinsi penerima alokasi DBH Migas terbesar (Grafik V.3.4). DBH
Provinsi Kalimantan Timur mengalami penurunan dari Rp12,7 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp8,9
triliun pada tahun 2013. Penurunan yang lebih dalam terjadi di Provinsi Riau yaitu dari Rp12,1 triliun pada
tahun 2012 menjadi Rp8,3 triliun pada tahun 2013. Sementara itu, DBH Migas di Kepulauan Riau
mengalami penurunan dari Rp2,8 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp2,4 triliun pada tahun 2013. Secara
umum, penurunan DBH di ketiga provinsi tersebut sejalan dengan penurunan lifting migas di ketiga
provinsi tersebut. Sejalan dengan perkembangan aktivitas ekonomi di daerah yang melambat,
Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara agregat pada 2013 diperkirakan meningkat sekitar 12% atau lebih
rendah dibandingkan kenaikannya di tahun 2012 yang mencapai 19%.
Grafik V.3.3. DBH Sumber Daya Alam (SDA) Grafik V.3.4. Pangsa Daerah Penerima DBH Sumber Daya Alam (SDA)
Grafik V.3.5. Belanja Daerah dan Pendapatan Daerah Grafik V.3.6. Surplus/Defisit APBD
Di sisi belanja daerah, secara agregat belanja APBD pada tahun 2013 diperkirakan tumbuh melambat
dibanding realisasi di tahun 2012. Estimasi dari Kementerian Keuangan menunjukkan total belanja daerah
pada tahun 2013 mencapai Rp680 triliun10, naik 14,8% dari realisasi di tahun 2012 yang sebesar Rp596,9
triliun11. Namun, kenaikan tersebut lebih rendah dibandingkan realisasi kenaikan belanja pada tahun
9 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.20/PMK.07/2014 tentang Perubahan Kedua Atas PMK
No.19/PMK.07/2013 tentang Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Tahun Anggaran 2013 10
Estimasi realisasi APBD Desember 2013, Kementerian Keuangan 11
Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran 2012, Kementerian Keuangan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 141
2012 yang mencapai 19,8%. Lebih rendahnya pertumbuhan kenaikan belanja daerah ini diperkirakan
merupakan implikasi penyesuaian yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah terhadap laju pendapatan
yang tumbuh lebih lambat (Grafik V.3.5). Beberapa informasi anecdotal dari berbagai daerah
mengindikasikan penyesuaian yang dilakukan antara lain pada belanja hibah dan pengeluaran terkait
infrastruktur. Meski demikian, pertumbuhan belanja daerah yang lebih tinggi dari pendapatan daerah
berpengaruh pada lebih rendahnya surplus yang terbentuk dan di beberapa daerah bahkan mengalami
defisit APBD yang cukup besar (Grafik V.3.6). Perkembangan, ini selanjutnya berpengaruh pada lebih
rendahnya SiLPA di tahun 2013 yakni dikisaran Rp94,1 triliun12, dibanding akhir 2012 yang sebesar Rp99,1
triliun. Kondisi ini sejalan dengan perkembangan dana pihak ketiga milik Pemda di perbankan yang juga
mengalami penurunan diakhir 2013 (Rp94 triliun) dibanding posisinya di akhir 2012 (Rp99 triliun).
Ke depan, penerimaan APBD diperkirakan masih dibayangi oleh prospek kinerja produksi komoditas
tambang yang menghadapi berbagai tantangan. Prospek lifting minyak bumi yang tidak sebesar perkiraan
awal akan berdampak pada penerimaan daerah penghasil utama seperti di Sumatera dan Kalimantan.
Demikian halnya dengan kebijakan pengaturan ekspor mineral yang mulai berlaku sejak awal tahun 2014
dalam jangka pendek akan memengaruhi pendapatan daerah penghasil mineral seperti di Sulawesi,
Maluku, Papua, dan sebagian Kalimantan. Selain itu, prospek harga komoditas tambang masih rentan
mengalami penurunan turut memberikan risiko bagi lebih rendahnya pendapatan daerah. Setidaknya
terdapat dua hal penting yang perlu dicermati lebih lanjut terkait prospek penerimaan daerah. Pertama,
kapasitas fiskal daerah dalam pembiayaan pembangunan berpotensi melemah. Kedua, implikasinya
terhadap perbankan daerah yang memiliki komposisi dana pihak ketiga milik pemerintah daerah yang
cukup besar akan menghadapi risiko likuiditas yang lebih besar.
Menghadapi tantangan tersebut, diperlukan upaya lebih lanjut untuk melakukan optimalisasi sumber-
sumber pendapatan daerah disertai upaya untuk meningkatkan optimalisasi penyerapan belanja daerah.
Penyerapan belanja daerah yang lebih efektif diarahkan pada program pembangunan yang dapat
memberikan nilai tambah besar pada perekonomian daerah. Kesinambungan penyerapan belanja daerah
yang lebih optimal pada gilirannya akan memberikan implikasi positif bagi sumber pendapatan daerah
yang lebih baik – tidak semata tergantung pada sumber daya alam. Bagi perbankan daerah, upaya untuk
mengurangi ketergantungan pada sumber pendanaan dari pemerintah daerah perlu terus dilakukan
melalui inovasi mendiversifikasi sumber dana lainnya.
12
Memperhitungkan posisi Dana Pihak Ketiga milik Pemda di perbankan pada Desember 2013
L a p o r a n N u s a n t a r a | 142
Isu Khusus 4: Potensi El Nino dan Dampaknya terhadap Produksi Pangan
Beberapa institusi memperkirakan terdapat potensi El Nino dengan intensitas lemah hingga moderat
pada pertengahan tahun 2014. Badan Meteorologi dan Klimatologi (BMKG) memperkirakan gejala
penyimpangan temperatur permukaan Samudera Pasifik, yang secara periodik terjadi di Pantai Pasifik
Amerika Selatan dan mengakibatkan perubahan pola angin dan curah hujan tersebut terjadi setelah
pertengahan tahun 2014.
Tabel V.4.1 Prediksi El Nino
No. Institusi Prediksi El Nino
1 NCEP/NOAA (USA) April-Juni 2014 : El Nino Lemah
Juli-Sept 2014 : El Nino Moderate
2 Jamstec (Japan) April-Juni 2014 : Kondisi Normal
Juli-Sept 2014 : El Nino Lemah
3 BoM/POAMA (Australia) April-Juli 2014 : Kondisi Normal
Agt-Sept 2014 : El Nino Lemah
4 BMKG (Indonesia) April-Agt 2014 : Kondisi Normal
Sept 2014 : El Nino Lemah
Pengalaman empiris menunjukkan El Nino berdampak pada kerusakan lahan (puso) dengan luas puso
yang bervariasi tergantung pada intensitas El Nino. El Nino dengan intensitas lemah yang terjadi pada
tahun 2006 menyebabkan kerusakan lahan sekitar 73.045 ha dan terdapat 337.468 ton padi yang
mengalami puso. Sementara itu, El Nino dengan intensitas kuat yang terjadi pada tahun 1997
menyebabkan kehilangan produksi padi mencapai 714.512 ton.
Grafik V.4.1 Kerusakan Akibat El Nino Grafik V.4.2 Produksi Padi Daerah 1994-2013
L a p o r a n N u s a n t a r a | 143
Pada tahun 2014, indikasi terjadinya El Nino terlihat dari prakiraan musim kemarau yang lebih awal
dengan tingkat kekeringan yang sedikit lebih tinggi di beberapa daerah, terutama Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua. Saat ini, sebagian besar wilayah di Indonesia sedang memasuki masa transisi
(peralihan) ke musim kemarau. Kendati demikian, beberapa daerah di Sumatera seperti Wilayah
Sumatera Bagian Tengah dan Sumatera Bagian Utara sudah mulai mengalami kemarau sejak Januari dan
Februari 2014. Sementara itu, beberapa daerah di Pantai Utara (Pantura) Jawa, Bali, Nusa Tenggara
Barat, dan Nusa Tenggara Timur mulai memasuki masa kemarau sejak akhir Maret. Beberapa daerah lain
mulai memasuki kemarau pada pertengahan tahun 2014.
Gambar V.4.1 Peta Prakiraan Sifat Musim Kemarau 2014 di 342 Zona Musim Kemarau
Musim kemarau di berbagai daerah yang terjadi lebih awal dan prakiraan sifat musim kemarau sepanjang
tahun yang relatif lebih kering berpotensi menyebabkan terganggunya pasokan dari sisi produksi.
Terlebih lagi terjadi bencana alam pada awal tahun 2014 di beberapa daerah, khususnya di Kawasan
Sumatera dan Jawa. Bencana meletusnya Gunung Sinabung, Sumatera Utara telah menimbulkan
kerusakan lahan pertanian termasuk di sentra produksi pangan (Kabupaten Simalungun dan Kabupaten
Karo). Begitu pula dengan bencana kabut asap di Riau yang menyebabkan lahan pertanian mengalami
kerusakan. Ditambah lagi banjir yang terjadi pada awal tahun telah menyebabkan kerusakan lahan
pertanian khususnya di daerah Pantai Utara (Pantura).
Mencermati risiko tersebut dan berbagai perkembangan terakhir, produksi pangan untuk keseluruhan
tahun 2014 diprakirakan menghadapi risiko lebih rendah dari yang diprakirakan. Potensi penurunan
produksi terjadi terutama di berbagai daerah sentra produksi Jawa. Sementara itu, produksi padi di
Wilayah Kalimantan dan Wilayah Sulawesi Maluku Papua (Sulampua) diprakirakan masih mampu tumbuh
lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu, walaupun cenderung lebih rendah dari yang diperkirakan.
Untuk meminimalisasi risiko yang membayangi prospek produksi pangan ini, diperlukan langkah-langkah
kebijakan yang terkoordinasi di daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) untuk menjamin
kesinambungan produksi dan ketersediaan pasokan pangan, meredam potensi kendala distribusi yang
dapat memicu kenaikan harga pangan, serta memperkuat kerjasama antardaerah.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 144
Isu Khusus 5: Kemiskinan dan Kebijakan Struktural Dalam Rangka Pengentasannya13
Kemiskinan masih tetap perlu menjadi pokok perhatian dalam perumusan kebijakan pembangunan
karena jumlah penduduk miskin di Indonesia masih sangat banyak. Faktor-faktor yang dapat
mempercepat pengentasan kemiskinan dalam perspektif perekonomian regional antara lain adalah akses
ke pendidikan bagi angkatan kerja dan ketersediaan infrastruktur konektivitas. Terkait infrastruktur,
penguatan konektivitas maritim dapat membantu memperkuat integrasi perekonomian Indonesia,
membantu konvergensi produktivitas antar wilayah, sehingga mempercepat pengentasan kemiskinan.
Kemiskinan Dari Perspektif Ekonomi Regional
Sejak masuk ke dalam kategori negara berpendapatan menengah (middle income country) pendapatan
per kapita Indonesia terus melanjutkan tren peningkatannya. Sejalan dengan tren peningkatan
pendapatan per kapita tersebut, tingkat kemiskinan menurun (Grafik 5.1 dan 5.2). Tren peningkatan
pendapatan perkapita nasional terkonfirmasi pada data produk domestik bruto per kapita provinsi, yang
walaupun bervariasi, secara umum menunjukkan peningkatan. Demikian pula dengan tingkat kemiskinan
provinsi yang menunjukkan tren penurunan mengkonfirmasi angka nasional (Grafik 5.3). Kedepan, upaya
pengentasan kemiskinan perlu tetap menjadi pokok perhatian dalam upaya membangun perekonomian
nasional yang lebih sejahtera. Demikian halnya karena walaupun tingkat kemiskinan menurun, jumlah
orang miskin di Indonesia masih sangat besar, yaitu sekitar 40 juta orang pada akhir 2012 (Grafik 5.3),
dengan tingkat ketimpangan pendapatan yang tinggi dan meningkat (Grafik 5.4).
Sumber: Bank Dunia, diolah
Grafik 5.1. Pendapatan Per Kapita Indonesia vs Beberapa Negara Peer Asia (GNI / capita, Atlas
Method).
Sumber: BPS, diolah
Grafik 5.2. Tingkat Kemiskinan dan Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan
13
Disusun oleh Spesialis Riset Sektor Riil dan Regional – Grup Riset Ekonomi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 145
Sumber: BPS, diolah
Grafik 5.3. PDRB/Kapita dan Tingkat Kemiskinan Provinsi (2007 vs 2012)
Sumber: BPS, diolah
Grafik 5.4. Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini) Nasional
Dari perspektif ekonomi regional, hasil studi (Diagram 5.1) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan pada
satu provinsi dipengaruhi oleh (a) akses pada ketersediaan pekerjaan layak di sektor formal dan/atau (b)
pertumbuhan output per penduduk (produktivitas). Jika kemudian sisi produktivitas dibedah lebih lanjut,
maka dapat diperoleh gambaran bahwa pertumbuhan output / kapita (produktivitas) di satu provinsi
dipengaruhi oleh ketersediaan input-input faktor produksi, baik berupa modal fisik maupun modal
manusia.
Sumber: BPS, diolah
Diagram 5.1. Determinan Tingkat Kemiskinan dan Output / Kapita Provinsi.
Ket: Estimasi dilakukan dengan menggunakan metode ekonometri cross-section spasial (Spatial Durbin Model). Matriks
pembobot spasial menggunakan Queen Contiguity. Untuk provinsi yang terpisah antar pulau maka contiguity didasarkan
pada jarak antara dua pulau besar (min 1000 m2) dan berjarak kurang dari 150 km. Data yang digunakan adalah rata-rata
provinsi untuk 2010-2012. .
Dari sisi modal fisik, pertumbuhan produktivitas dapat meningkat jika tersedia input-input fisik berupa
energi (listrik), dan akses ke konektivitas yang memadai, terutama konektivitas maritim (pelabuhan).
Sementara itu, dari sisi modal manusia, ketersediaan penduduk usia kerja berketerampilan yang memiliki
pendidikan setidaknya setingkat S1 atau diatasnya merupakan faktor yang mendukung pertumbuhan
produktivitas di satu provinsi. Hal yang menarik terkait ketersediaan modal manusia ini adalah adanya
indikasi bahwa faktor produksi ini diperebutkan antara satu provinsi dan provinsi-provinsi lain
L a p o r a n N u s a n t a r a | 146
disekitarnya, sebagaimana ditunjukkan oleh efek spasial negatif stok modal manusia dari wilayah sekitar
terhadap provinsi bersangkutan. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kelangkaan tenaga kerja terampil untuk
menopang aktivitas ekonomi yang semakin beragam, sehingga jika stok modal manusia meningkat di satu
provinsi maka, dengan adanya kelangkaan, provinsi di sekitar akan mengalami kekurangan, yang
kemudian berakibat pada laju produktivitas yang menurun dan tingkat kemiskinan yang meningkat di
provinsi sekitar.
Dari gambaran diatas, dapat ditarik implikasi kebijakan struktural yang diperlukan dalam rangka
pengentasan kemiskinan. Pertama, upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan akan sangat bergantung
pada koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah dalam memperkuat kuantitas dan kualitas input-input
faktor produksi diberbagai wilayah di Indonesia. Kedua, dalam kaitan itu, input-input yang penting
adalah pekerja dengan pendidikan tersier yang berketrampilan, ketersediaan energi, dan akses ke
konektivitas. Aspek yang terakhir ini akan dibahas lebih lanjut dibawah.
Implikasi Kebijakan Struktural: Konektivitas
Sebagaimana yang disampaikan, akses yang memadai ke infrastruktur konektivitas merupakan salah satu
simpul kebijakan yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membantu menurunkan tingkat
kemiskinan. Dari perspektif perekonomian regional, salah satu yang terpenting adalah akses ke
infrastruktur konektivitas maritim, yaitu pelabuhan. Bagi sebuah negara kepulauan seperti Indonesia,
konektivitas maritim memiliki peran vital dalam keseluruhan aktivitas perekonomian didalam negeri.
Konektivitas maritim yang efisien merupakan salah satu bentuk fasilitasi perdagangan yang membantu
menekan biaya dunia usaha dalam menjalankan aktivitasnya.
Sumber: BPS, diolah
Grafik 5.5. Volume Bongkar Muat Nasional
Kondisi saat ini di Indonesia mengindikasikan bahwa terdapat kebutuhan peningkatan kapasitas pada
pelabuhan-pelabuhan utama. Aktivitas bongkar muat telah terus meningkat dalam satu dekade terakhir
sementara kapasitas di pelabuhan-pelabuhan utama telah jenuh (Grafik 5.5). Di tengah terus
meningkatnya permintaan untuk memenuhi aktivitas perdagangan (impor-ekspor) kapasitas pelabuhan
utama bongkar muat terutama di Jawa, sebagai pusat aktivitas industri manufaktur di Indonesia, semakin
tidak memadai (Grafik 5.6).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 147
Sumber: BPS, diolah
Grafik 5.6. Aktivitas Bongkar Muat di Pelabuhan Utama
Peningkatan kapasitas pelabuhan dan inter-konektivitasnya antar pulau dapat membantu integrasi
internal perekonomian wilayah di Nusantara. Saat ini, terdapat indikasi bahwa integrasi internal tersebut
belum sepenuhnya optimal, walaupun Indonesia adalah sebuah uni-ekonomi, moneter dan fiskal.
Konektivitas antar pulau yang efisien sangat diperlukan untuk memperkuat mobilitas barang dan jasa
serta input-input faktor produksi, seperti modal manusia dan kapital fisik, sehingga integrasi internal
tersebut dapat lebih optimal dan konvergensi produktivitas antar berbagai wilayah perekonomian dapat
lebih cepat.
Terkait integrasi internal, beragam industri yang ter-aglomerasi di Jawa saat ini berpotensi memberi
dampak positif pada aglomerasi aktivitas ekonomi yang lebih terspesialisasi di luar Jawa melalui
perdagangan antar daerah, terutama jika tersedia inter-konektivitas maritim yang memadai dan efisien.
Analisis I/O regional misalnya menunjukkan bahwa arah ekspor barang-barang antara dan barang akhir
dari luar Jawa banyak didorong oleh permintaan dari Jawa, selain oleh perekonomian global (Gambar 5.1
Peta Perdagangan Ekspor Barang Antara dan Jadi di Nusantara). Sementara itu, Jawa adalah wilayah
dimana terdapat ko-lokasi industri-industri ekspor dengan aktivitas dan peran global yang berpotensi
meningkat kedepan. Oleh karenanya penguatan konektivitas maritim, berupa pelabuhan transshipment
nasional di Jawa dan pelabuhan-pelabuhan pengumpul dan pengumpan di luar Jawa dapat memperkuat
dampak spill-over positif dari perekonomian Jawa ke luar Jawa, demikian pula sebaliknya (Boks 1).
Akhirnya, melalui penguatan konektivitas antar pulau, dan dampak spill-over positif yang ditimbulkannya,
dapat diharapkan pertumbuhan dan konvergensi produktivitas yang lebih cepat di berbagai provinsi di
Indonesia yang pada gilirannya membantu menurunkan tingkat kemiskinan.
Pertumbuhan (yoy, kanan)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 148
Sumber: IRIO 2005, BPS, diolah.
Gambar 5.1. Peta Perdagangan Barang Antara di Nusantara
L a p o r a n N u s a n t a r a | 149
Boks 1. Konektivitas Maritim Dapat Memperkuat Keterkaitan Antar Aglomerasi Industri di Nusantara
Pengukuran aglomerasi keragaman industri (ko-lokasi industri-industi yang beragam) pada level
kabupaten menunjukkan bahwa terdapat aglomerasi industri-industri yang beragam di Jawa dengan
korelasi spasial positif antar kabupaten (hot spots di peta). Sementara di luar Jawa, ko-lokasi industri-
industri yang sejenis lebih dominan dengan korelasi spasial positif antar kabupaten (cold spots di peta).
Dengan adanya konektivitas maritim antar pulau yang kuat dan efisien, maka kedua tipe ko-lokasi
industrial ini dapat saling mendukung.
Grafik. Tipologi Aglomerasi Industri di Indonesia dan Konektivitas Maritim
Ket: Aglomerasi industri diukur dengan menggunakan indeks aglomerasi Shannon berdasarkan data rata-rata (2010-2011) pangsa penyerapan tenaga kerja berdasarkan industri. Identifikasi hot dan cold spots dan perhitungan korelasi spasial menggunakan metode Global Moran’s I dan queen contiguity matrix yang mencakup 398 kabupaten / kota. Jika kabupaten terpisah oleh laut maka contiguity diukur berdasarkan jarak ke dua ibukota kabupaten terdekat. Hot spot adalah kabupaten dengan struktur industri yang terdiversifikasi dan dikelilingi oleh kabupaten-kabupaten yang juga terdiversifikasi. Sementara itu, cold spot adalah kabupaten dengan struktur industri yang lebih terspesialisasi dan dikelilingi oleh kabupaten-kabupated dengan struktur industri yang juga terspesialisasi. Informasi terkait rencana pengembangan pelabuhan merujuk pada MP3EI. Sumber data pengukuran aglomerasi adalah BPS (Sakernas).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 150
Editor
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Kontributor
Kantor Perwakilan Wilayah I – Sulawesi, Maluku & Papua
: Andree Breitner
Kantor Perwakilan Wilayah II – Kalimantan
: Daniel Agus Prasetyo
Kantor Perwakilan Wilayah III – Bali & Nusa Tenggara
: Ikhsan Utama
Kantor Perwakilan Wilayah IV – Jawa Bagian Timur
: Komalia Rahmayani
Kantor Perwakilan Wilayah V – Jawa Bagian Tengah
: Adela Putri Rizkia
Kantor Perwakilan Wilayah VI – Jawa Bagian Barat
: Rifki Ismail
Kantor Perwakilan Wilayah VII – Sumatera Bagian Selatan
: Septine Wulandini
Kantor Perwakilan Wilayah VIII – Sumatera Bagian Tengah
: Dythia Sendrata
Kantor Perwakilan Wilayah IX – Sumatera Bagian Utara
: Ciptoning Suryo Condro
Grup Riset Ekonomi : Reza Anglingkusumo
Hesti Werdaningtyas
Grup Asesmen Ekonomi : Prijono
M. Cahyaningtyas
Handri Adiwilaga
Darius Tirtosuharto
Soraefi Oktafihani
Nurul Pratiwi Andi Parenrengi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 151
Top Related