Download - Makalah Gizi Buruk

Transcript

MAKALAH

PERMASALAHAN GIZI BURUK DI INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan kewarganegaraan & pancasila

Dosen Pengampu : Drs. Wawan Setiawan, MM

Di susun oleh:

Nama: NIM:

M. Majdi Muhajir B.131.12.0340

Abdul Rahman B.131.12.0341

Saiful Febriarto B.131.12.0342

Abu Mansur B.131.12.0343

Wilis Pramudiyanti B.131.12.0390

FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN

UNIVERSITAS SEMARANG

2013

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gizi buruk adalah fenomena balita Indonesia yang tak terbantahkan.

Keberadaannya menampar keras setiap kali bangsa ini harus memperingati hari gizi

nasional yang ditetapkan pemerintah setiap tanggal 25 Januari. Satu persatu balita

penderita gizi buruk terkuak melalui media. Seperti yang pernah penulis jumpai ketika di

Makassar ada seorang ibu hamil dan bayinya yang meninggal dunia karena kelaparan.

Sering kali kelaparan inilah yang menyebabkan gizi buruk.

Ternyata masalah ini tidak hanya terjadi di Makassar. Kasus gizi buruk juga

terjadi di NTT, Papua, bahkan Tasikmalaya. Menurut Kepala Pusat Ketersediaan dan

Kerawanan Pangan Departemen Pertanian (Deptan) RI Tjuk Eko Hari Basuki, 27 persen

bayi di bawah lima tahun (balita) di Indonesia mengalami gizi buruk. Kondisi ini tentunya

sangat memprihatinkan. Adapun upaya untuk menanggulangi masalah ini sudah sering

dilakukan oleh pemerintah yaitu melalui dinas kesehatan yang berkoordinasi dengan

puskesmas atau rumah sakit setempat.

Sebagai generasi muda tentunya kita tidak ingin hal ini terjadi terus-menerus.

Oleh karena itu, penulis berusaha mencari tahu berbagai hal tentang gizi buruk di

Indonesia sebagaimana apa yang akan dibahas dalam makalah ini

B. Perumusan Masalah

Makalah ini berusaha mengetahui jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Apakah yang disebut dengan gizi buruk?

2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan gizi buruk?

3. Bagaimana persebaran gizi buruk di Indonesia?

4. Bagaimana masalah gizi buruk yang berkaitan dengan aspek sosial budaya?

5. Hal apa sajakah yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk

menanggulangi kasus gizi buruk?

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pegertian

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang

dikonsumsi ecara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat – zat yang tidak digunakan untuk

mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ – organ

serta menghasilkan energi. Akibat kekurangan gizi, maka simpanan zat gizi pada

tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan apabila keadaan ini berlangsung

lama maka simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi kemerosotan

jaringan. Pada saat ini orang bisa dikatakan malnutrisi. KEP seseorang yang gizi

buruk disebakan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan

sehari – hari. Pada umumnya penderita KEP berasal dari keluarga yang

berpenghasilan rendah, tanda – tanda klinis gizi buruk dapat menjadi indicator

yang sangat penting untuk mengetahui seseorang menderita gizi buruk. Kebutuhan

tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak factor.

B. Angka Gizi Buruk di Indonesia

Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Indonesia, pada tahun 2010,

kasus gizi kurang dan gizi buruk sebanyak 5,1 juta. Kemudian pada tahun 2011

turun menjadi 4,42 juta. Tahun 2012 turun menjadi 4,2 juta (944.246 di antaranya

kasus gizi buruk) dan tahun 2013 turun lagi menjadi 4,1 juta (755.397 di

antaranya kasus gizi buruk).

C. Peran Negara Dalam Perbaikan Gizi Buruk

Negara telah bersepakat untuk menemukan cara yang paling mudah dan

sederhana untuk mendeteksi penderita KKP sedini mungkin dengan melakukan

monitoring berat badan anak melalui penimbangan secara teratur setiap bulan

telah dijadikan sebagai kegiatan pokok. Usaha untuk menangani masalah gizi

buruk di Indonesia telah dimulai jauh sebelum Perang Dunia Ke II, strategi yang

digunakan untuk memperbaiki gizi di masyarakat berbeda – beda, ada caranya

masing – masing. Dewasa ini gizi bukan saja dikenal akan tetapi telah menjadi

bahan pembicaraan dan pembahasan di berbagai lingkungan masyarakat. Dewasa

ini program perbaikan gizi merupakan salah satu dari 5 program pokok Dep Kes

( Panca Karsa/Karya Husada )

 Kesehatan yang baik tidak terjadi karena ada perubahan yang berupa

kekurangan zat makanan tertentu ( defisiensi ) atau berlebih. Kekurangan

umumnya mencakup protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Sedangkan

kelebihan umumnya mencakup konsumsi lemak, protein, dan gula. Untuk

mencapai kondisi anak perlu/cukup gizi harus memperhatikan kebersihan diri dan

lingkungan serta melakukan kegiatan yang baik seperti olah raga, dan lain – lain.

Konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi

kesehatan gizi kurang/defisiensi. Keadaan kesehatan gizi masyarakat tergantung

pada tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan kuantitas hidangan. Penyakit

gizi di Indonesia terutama tergolong ke dalam kelompok penyakit defisiensi yang

sering dihubungkan dengan infeksi yang bisa berhubungan dengan gangguan gizi.

Defisiensi gizi merupakan awal dari gangguan system imun yang menghambat

reaksi imunologis. Gangguan gizi dan infeksi sering saling bekerja sama akan

memberikan prognosis yang lebih buruk. Ada berbagai zat gizi yang sangat

mempengaruhi kondisi kesehatan manusia. Masalah kesehatan gizi dapa timbul

dalam bentuk penyakit dengan tingkat yang tinggi

BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gizi Buruk

Berdasarkan pendapat salah seorang dokter spesialis di Rumah Sakit Pasar

Rebo, dr. Subagyo, Sp.P., gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang

kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk

dibagimenjadi tiga bagian, yakni gizi buruk karena kekurangan protein (disebut

kwashiorkor), karena kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut marasmus), dan

kekurangan kedua-duanya.

Gizi buruk ini biasanya terjadi pada anak balita (bawah lima tahun) dan

ditampakkan oleh membusungnya perut (busung lapar). Gizi buruk dapat

berpengaruh kepada pertumbuhan dan perkembangan anak, juga kecerdasan anak.

Pada tingkat yang lebih parah, jika dikombinasikan dengan perawatan yang buruk,

sanitasi yang buruk, dan munculnya penyakit lain, gizi buruk dapat menyebabkan

kematian.

B. Faktor-Faktor Penyebab Gizi Buruk

Menurut dr. Subagyo, Sp.P., gizi buruk disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama adalah faktor pengadaan makanan yang kurang mencukupi suatu wilayah

tertentu. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kurangnya potensi alam atau kesalahan

distribusi. Faktor kedua, adalah dari segi kesehatan sendiri, yakni adanya penyakit

kronis terutama gangguan pada metabolisme atau penyerapan makanan.

Selain itu, Menteri Kesehatan Indonesia, Dr. Siti Fadilah menyebutkan ada tiga

hal yang saling kait mengkait dalam hal gizi buruk, yaitu kemiskinan, pendidikan

rendah dan kesempatan kerja rendah.

Ketiga hal itu mengakibatkan kurangnya ketersediaan pangan di rumah

tangga dan pola asuh anak keliru. Hal ini mengakibatkan kurangnya asupan gizi

dan balita sering terkena infeksi penyakit2.

UNICEF dalam Soekirman (2002) juga telah memperkenalkan dan sudah

digunakan secara internasional mengenai berbagai faktor penyebab timbulnya gizi

kurang pada balita, yaitu :

1. Penyebab langsung

Yaitu makanan tidak seimbang untuk anak dan penyakit infeksi yang

mungkin diderita anak. Anak yang mendapat makanan yang cukup tetapi diserang

diare atau infeksi, nafsu makan menurun, akhirnya dapat menderita gizi kurang.

Sebaliknya, anak yang makan tidak cukup baik, daya tahan tubuh melemah,

mudah diserang infeksi. Kebersihan lingkungan, tersedianya air bersih, dan

berperilaku hidup bersih dan sehat akan menentukan tingginya kejadian penyakit

infeksi.

2. Penyebab tidak langsung

Pertama, ketahanan pangan dalam keluarga adalah kemampuan keluarga

untuk memenuhi kebutuhan makan untuk seluruh anggota keluarga baik dalam

jumlah maupun dalam komposisi zat gizinya. Kedua, pola pengasuhan anak,

berupa perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal memberikan makan, merawat,

kebersihan memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan

dengan kesehatan ibu (fisik dan mental), status gizi, pendidikan, pengetahuan,

pekerjaan, adat kebiasaan dan sebagainya dari si ibu dan pengasuh lainnya.

Ketiga, faktor pelayanan kesehatan yang baik, seperti; imunisasi, penimbangan

anak, pendidikan dan kesehatan gizi, serta pelayanan posyandu, puskesmas,

praktik bidan, dokter dan rumah sakit.

C. Persebaran Gizi Buruk di Indonesia

Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Indonesia, pada tahun 2009,

kasus gizi kurang dan gizi buruk sebanyak 5,1 juta. Kemudian pada tahun 2011

turun menjadi 4,42 juta. Tahun 2012 turun menjadi 4,2 juta (944.246 di antaranya

kasus gizi buruk) dan

tahun 2013 turun lagi menjadi 4,1 juta (755.397 di antaranya kasus gizi buruk).

Berdasarkan data Departemen Kesehatan Indonesia pada tahun 2013, gizi

buruk pada balita tersebar hampir merata di seluruh Indonesia. Tabel 1

menunjukkan ranking propinsi tertinggi penderita gizi buruk berdasarkan jumlah

kasus. Tabel 2 menunjukkan ranking propinsi tertinggi penderita gizi buruk

berdasarkan prosentase jumlah penduduk3.

Tabel 1

No. Provinsi No. Provinsi No. Provinsi No. Provinsi

1 Sulsel 9 Sumbar 17 Banten 25 Bali

2 Sumut 10 Sulteng 18 Sultra 26 Jambi

3 NTT 11 Kaltim 19 Papua 27 Maluku Utara

4 Jatim 12 Kalsel 20 DKI Jakarta 28 Maluku

5 Jateng 13 NTB 21 Kalteng 29 DI Yogya

6 Jabar 14 Sumsel 22 Sulut

7 Kalbar 15 Gorontalo 23 Bengkulu

8 Riau 16 Lampung 24 Bangka

Belitung

Tabel 2

No. Provinsi No. Provinsi No. Provinsi No. Provinsi

1 Gorontalo 9 Riau 17 Sulut 25 Jateng

2 Papua 10 Kalsel 18 Banten 26 Jabar

3 Kalbar 11 Sulteng 19 Bengkulu 27 Bali

4 NTT 12 Bangka

Belitung

20 Lampung 28 DI Yogya

5 Sumut 13 Kalteng 21 Sumbar 29 Jambi

6 NTB 14 Maluku 22 DKI Jakarta

7 Sumsel 15 Maluku Utara 23 Sultra

8 Sulsel 16 Kaltim 24 Jatim

D. Gizi Buruk yang Berkaitan dengan Aspek Sosial Budaya

Dari empat bilyun manusia di dunia, ratusan juta orang menderita gizi

buruk dan kekurangan gizi. Angka yang tepat tidak ada, tidak ada sensus

mengenai kelaparan dan perbedaan antara gizi cukup dan gizi kurang merupakan

jalur yang lebar, bukan suatu garis yang jelas. Apapun tolok ukur kita, kelaparan

(dan sering mati kelaparan) merupakan hambatan yang paling besar bagi

perbaikan kesehatan di sebagian terbesar negara-negara di dunia.

Kekurangan gizi menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi,

menyebabkan banyak penyakit kronis, dan menyebabkan orang tidak mungkin

melakukan kerja keras. Kekurangan gizi ini selain dari ketidakmampuan negara-

negra non industri untuk menghasilkan cukup makanan untuk memenuhi

kebutuhan penduduk mereka yang berkembang, juga muncul karena kepercayaan-

kepercayaan keliru yang terdapat di mana-mana, mengenai hubungan antara

makanan dan kesehatan, dan juga tergantung pada kepercayaan-kepercayaan,

pantangan-pantangan dan upacara-upacara, yang mencegah orang memanfaatkan

sebaik-baiknya makanan yang tersedia bagi mereka.

Anderson (2006 : 311) menyatakan karena pengakuan bahwa masalah gizi

di seluruh dunia didasarkan atas bentuk-bentuk budaya maupun karena kurang

berhasilnya pertanian, maka semua organisasi pengembangan internasional

maupun nasional yang utama menaruh perhatian tidak semata-mata pada

pertambahan produksi makanan, melainkan juga pada kebiasaan makanan

tradisional yang berubah, untuk mencapa keuntungan maksimal dari gizi yang

diperoleh dari makanan yang tersedia.

Karena kebiasaan makan hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya

yang menyeluruh, maka program-program pendidikan gizi yang efektif yang

mungin menuju kepada perbaikan kebiasaan makan harus didasarkan atas

pengertian tentang makanan sebagai suatu pranata sosial yang memenuhi banyak

fungsi. Studi mengenai makanan dalam konteks budayanya yang menunjuk kepada

masalah-masalah yang praktis ini, jelas merupakan suatu peranan para ahli

antropologi yang sejak pertama dalam penelitian lapangannya telah mengumpulkan

keterangan tentang praktek-praktek makan dan kepercayaan tentang makanan dari

penduduk yang mereka observasi.

Dalam buku karya Anderson (2006 : 312), Norge Jerome menyatakan bahwa

“Antropologi Gizi” meliputi disiplin ilmu tentang gizi dan antropologi. Bidang itu

memperhatikan gejala-gejala antropologi yang mengganggu status gizi dari

manusia. Dengan demikian, evolusi manusia, sejarah dan kebudayaan, dan

adaptasinya kepada variabel gizi yang berubah-ubah dalam kondisi lingkungan

yang beraneka ragam menggambarkan bahan-bahan yang merupakan titik

perhatian dalam antropologi gizi.

Menurut Anderson (2006 : 312) ada dua aspek penting dari antropologi gizi :

a. Sifat sosial, budaya, dan psikologis dari makanan (yaitu peranan-peranan sosial

budaya dari makanan yang berbeda dengan peranan-peranan gizinya).

b. Cara-cara dimana dimensi-dimensi sosial budaya dan psikologi dari makanan

berkaitan dengan masalah gizi yang cukup, terutama dalam masyarakat-

masyarakat tradisional.

Menurut Anderson (2006 : 313) menyatakan bahwa para ahli antropologi

memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak-memasak,

masalah kesukaran dan ketidaksukaran, kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan,

pantangan-pantangan, dan takhayul-takhayul yang berkaitan dengan produksi,

persiapan, dan konsumsi makanan. Pendeknya, sebagai suatu kategori budaya yang

penting, ahli-ahli antropologi melihat makanan mempengaruhi dan berkaitan

dengan banyak kategori budayaNlainnya.

Setelah mengetahui betapa kuatnya kepercayaan-kepercayaan kita atau suatu

masyarakat mengenai apa yang dianggap makanan dan apa yang dianggap bukan

makanan, sehingga terbukti sangat sukar untuk meyakinkan orang untuk

menyesuaikan makanan tradisional mereka demi kepentingan gizi yang baik.

Karena pantangan agama, takhayul, kepercayaan tentang kesehatan, dan suatu

peristiwa yang kebetulan dalam sejarah ada bahan-bahan yang bergizi baik yang

tidak boleh dimakan, mereka diklasifikasikan sebagai “bukan makanan”. Dengan

kata lain, penting untuk membedakan antara nutrimen dengan makanan.

Anderson (2006 : 313) menyatakan bahwa nutrimen adalah suatu konsep

biokimia, suatu zat yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan

organisme yang menelannya. Makanan adalah suatu konsep budaya, suaty

pernyataan yang sesungguhnya mengatakan “zat ini sesuai bagi kebutuhan gizi

kita.”

Dalam kebudayaan bukan hanya makanan saja yang dibatasi atau diatur,

akan tetapi konsep tentang makanan, kapan dimakannya, terdiri dri apa dan etiket

makan. Di antara masyarakat yang cukup makanan, kebudayaan mereka mendikte,

kapan mereka merasa lapar dan apa, serta berapa banyak mereka harus makan agar

memuaskan rasa lapar. Jadi dengan demikian, nafsu makan lapar adalah suatu

gejala yang berhubungan namun berbeda. Anderson (2006 : 315) menyatakan

nafsu makan, dan apa yang diperlukan untuk memuaskan adalah suatu konsep

budaya yang dapat sangat berbeda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan

lainnya. Sebaliknya, lapar menggambarkan suatu kekurangan gizi yang dasar dan

merupakan suatu konsep fisiologis.

Makanan selain penting bagi kelangsungan hidup kita, juga penting bagi

pergaulan sosial. Anderson (2006 : 317) menyatakan tentang simbolik dari

makanan :

a. Makanan sebagai ungkapan social

Makanan sebagai ungkapan sosial

Barangkali di setiap masyarakat, menawarkan makanan (dan kadang-

kadang minuman) adalah menawarkan kasih sayang, perhatian, dan

persahabatan. Menerima makanan yang ditawarkan adalah mengakui

dan menerima perasaan yang diungkapkan dan untuk membalasnya

b. Makanan sebagai penghargaan identitas kelompok.

Makanan sering dihargai sebagai lambang-lambang identitas suatu

bangsa atau nasional. Namun tidak semua makanan mempunyai nilai

lambang seperti ini, makanan yang mempunyai dampak yang besar

adalah makanan yang berasal atau dianggap berasal dari kelompok itu

sendiri dan bkan yang biasanya dimakan di banyak negara yang

berlainan atau juga dimakan oleh banyak suku bangsa.

c. MakananNdanNstress

Makanan memberi rasa ketenteraman dalam keadaan-keadaan yang

menyebabkan stres. Burgess dan Dean menyatakan bahwa sikap-sikap

terhadap makanan sering mencerminkan persepsi tentang bahaya

maupun perasaan stres. Menurut mereka, suatu cara untuk mengatasi

stres ini dari dalam, sehubungan dengan ancaman terhadap jiwa atau

terhadap keamanan emosional adalah melebih-lebihkan bahaya dari

luar, cara lainnya adalah mempersalahkan ancaman dari dalam akibat

pengaruh-pengaruh luar.

d. SimbolismeNmakananNdalamNbahasa

Pada tingkatan yang berbeda, bahasa mencerminkan hubungan-

hubungan psikologis yang sangat dalam di antara makanan, persepsi

kepribadian, dan keadaan emosional. Dalam bahasa Inggris, yang pada

ukuran tertentu mungkin tidak tertandingi oleh bahasa lain, kata-kata

sifat dasar yang biasa digunakan untuk menggambarkan kualitas-

kualitas makanan digunakan juga untuk menggambarkan kualitas-

kualitas manusia.

Setelah mengetahui betapa rumit masalah yang berhubungan dengan gizi

ini ataupun makanan karena berkaitan dengan kebudayaan masyarakat yang

berbeda-beda, maka salah satu cara adalah dengan memberikan pengetahuan

kepada masyarakat tentang apa yang sering belum dipelajari oleh masyarakat

rumpun maupun masyarakat pedesaan adalah hubungan antara makanan dan

kesehatan serta antara makanan yang baik dengan kehamilan, juga kebutuhan-

kebutuhan akan makanan khusus bagi anak setelah penyapihan.

Anderson (2006 : 323) menyatakan bahwa dalam perencanaan kesehatan,

masalahnya tidak terbatas pada pencarian cara-cara untuk menyelesaikan lebih

banyak bahan makanan, melainkan harus pula dicarikan cara-cara untuk

memastikan bahwa bahan-bahan makanan yang tersedia digunakan secara efektif.

Kesenjangan yang besar dalam pemahaman tentang bagaimana makanan itu

digunakan dengan sebaik-baiknya. Barangkali yang terpenting dari kesenjangan

itu adalah kegagalan yang berulangkali terjadi untuk mengenal hubungan yang

pasti antara makanan dan kesehatan. Susunan makanan yang cukup cenderung

ditafsirkan dalam rangka kuantitas, bukan kualitasnya mengenai makanan yang

pokok, yang cukup, bukan pula dari keseimbangannya dalam hal berbagai

makanan. Kesenjangan besar yang kedua dalam kearifan makanan tradisional

pada masyarakat rumpun dan masyarakat petani adalah seringnya kegagalan

mereka untuk mengenali bahwa anak-anak mempunyai kebutuhan-kebutuhan gizi

khusus, baik sebelum maupun sesudah penyapihan.

Penemuan Burgess dan Dean tentang masalah gizi karena perubahan

budaya dalam buku karya Anderson (2006 : 325) menggambarkan aturan yang

umum. Meskipun terdapat suatu kecenderungan umum bahwa makanan menjadi

lebih baik dengan bertambahnya penghasilan. Kebalikannya, makanan juga bisa

lebih buruk terutama dalam perubahan dari ekonomi sub sistem menjadi ekonomi

uang. Dan Marchione yang berpendapat tentang masalah gizi karena perubahan

budaya. Beliau menemukan masalah kekurangan gizi pada rumah tangga-rumah

tangga di desa yang lebih miskin, yang hidupnya berorientasi pada pertanian

setengah sub sistem, menurun secara menyolok terutama di atara anak-anak.

Bahwa suatu peningkatan dalam pertanian sub sistem sebagian besar atau

seluruhnya menjelaskan perbaikan ini, hal itu dibuktikan oleh angka-angka

kekurangan gizi di perkotaan, yang tetap konstan karena perubahan yang berarti

dalam hal pola penyediaan makanan.

Setelah mengetahui keterkaitan atau hubungan antara gizi atau makanan

dengan antropologi atau kebudayaan, bagi kita yang menaruh perhatian pada

usaha memperbaiki tingkatan gizi dari masyarakat yang menderita kurang gizi,

jelaslah bahwa analisis klinis dari kekurangan gizi baru merupakan langkah awal.

Kemajuan akan sedikit sekali tercapai, kecuali apabila petugas penyuluhan juga

memahami fungsi-fungsi sosial dari makanan, arti simbolik, dan kepercayaan

yang terkait dengannya. Pengetahuan mengenai kepercayaan lokal tersebut dapat

dipakai dalam perencanaan perbaikan gizi. Dalam buku Anderson (2006 : 330)

Cassel telah menunjukkan netapa pengidentifikasian makanan-makanan sehat

dalam makanan kuno orang Zulu dapat membangkitkan perhatian mereka

terhadap makanan dan dengan motivasi nasionalistik bersedia menerima banyak

perubahan-perubahan demi peningkatan gizi mereka.

Kemiskinan dan kekurangan akan gizi yang memadai pada tingkatan

tertentu membatasi kemungkinan untuk memperbaiki gizi jutaan penduduk yang

menderita kurang pangan. Sebaliknya, sungguh mengecewakan untuk melihat

bahwa betapa seringnya praktek-praktek budaya menimbulkan kekurangan

kebutuhan dasar. Kesadaran akan praktek-praktek demikian dan pengetahuan

tentang “hambatan-hambatan” yang harus diatasi untuk dapat merubah mereka

adalah sangat penting untuk membantu masyarakat memaksimalkan sumber-

sumber pangan yang tersedia bagi mereka. Di sinilah antropologi memberikan

sumbangan besar kepada ilmu gizi dalam lapangan penelitian danNpengajaran.

E. Tindakan Pemerintah Untuk Menanggulangi Gizi Buruk

Menurut Menteri Kesehatan RI, tanggung jawab pemerintah Pusat dalam

hal ini Depkes adalah merencanakan dan menyediakan anggaran bagi keluarga

miskin melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat, membuat standar pelayanan, buku

pedoman serta melakukan pembinaan dan supervisi program ke provinsi,

kabupaten dan kota4. Dalam kaitannya dengan gizi buruk, Depkes pada tahun

2008 telah mencanangkan Rencana Aksi

Nasional (RAN) Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2008 –

2013. Menteri kesehatan menambahkan, pemerintah berusaha meningkatkan

aktivitas pelayanan kesehatan dan gizi yang bermutu melalui penambahan

anggaran penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk menjadi Rp. 600 milyar

pada tahun 2010 dari yang sebelumnya 63 milyar pada tahun 2005. Anggaran

tersebut ditujukan untuk:

1. Meningkatkan cakupan deteksi dini gizi buruk melalui penimbangan bulanan

balita di posyandu

2. Meningkatkan cakupan dan kualitas tatalaksana kasus gizi buruk di puskesmas/RS

dan rumah tangga

3. Menyediakan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) kepada balita

kurang gizi dari keluarga miskin

4. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan ibu dalam memberikan asuhan gizi

kepada anak (ASI/MP-ASI)

5. Memberikan suplementasi gizi (kapsul Vit.A) kepada semua balita

Adapun strategi dan kegiatan Departemen kesehatan dan organ-organnya,

untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut antara lain:

Strategi:

1. Revitalisasi posyandu untuk mendukung pemantauan pertumbuhan

2. Melibatkan peran aktif tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuka adat dan

kelompok potensial lainnya.

3. Meningkatkan cakupan dan kualitas melalui peningkatan keterampilan

tatalaksana gizi buruk

4. Menyediakan sarana pendukung (sarana dan prasarana)

5. Menyediakan dan melakukan KIE

6. Meningkatkan kewaspadaan dini KLB gizi buruk

Kegiatan:

1. Deteksi dini gizi buruk melalui bulan penimbangan balita di posyandu

Melengkapi kebutuhan sarana di posyandu (dacin, KMS/Buku KIA, RR)

Orientasi kader

Menyediakan biaya operasional

Menyediakan materi KIE

Menyediakan suplementasi kapsul Vit. A

2. Tatalaksana kasus gizi buruk

Menyediakan biaya rujukan khusus untuk gizi buruk gakin baik di puskesmas

atau rumah sakit (biaya perawatan dibebankan pada PKPS BBM)

Kunjungan rumah tindak lanjut setelah perawatan di puskesmas/RS

Menyediakan paket PMT (modisko, MP-ASI) bagi pasien paska perawatan

Meningkatkan ketrampilan petugas puskesmas/RS dalam tatalaksana gizi

Buruk

3. Pencegahan gizi buruk

Pemberian makanan tambahan pemulihan (MP-ASI) kepada balita yang berat

badannya tidak naik atau gizi kurang

Penyelenggaraan PMT penyuluhan setiap bulan di posyandu

Konseling kepada ibu-ibu yang anaknya mempunyai gangguan pertumbuhan

4. Surveilen gizi buruk

Pelaksanaan pemantauan wilayah setempat gizi (PWS-Gizi)

Pelaksanaan sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa gizi buruk

Pemantauan status gizi (PSG)

5. Advokasi, sosialisasi dan kampanye penanggulangan gizi buruk

Advokasi kepada pengambil keputusan (DPR, DPRD, pemda, LSM, dunia

usaha dan masyarakat)

Kampanye penanggulangan gizi buruk melalui media efektif

6. Manajemen program:

Pelatihan petugas

Bimbingan teknis

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Gizi buruk adalah status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau

nutrisinya di bawah standar rata-rata. Faktor yang menyebabkan gizi buruk ada

tiga hal yaitu kemiskinan, pendidikan rendah dan kesempatan kerja rendah. Ketiga

hal itu mengakibatkan kurangnya ketersediaan pangan di rumah tangga dan pola

asuh anak keliru. Di Indonesia, gizi buruk pada balita tersebar hampir merata di

seluruh propinsi.

Kemiskinan dan kekurangan akan gizi yang memadai pada tingkatan

tertentu membatasi kemungkinan untuk memperbaiki gizi jutaan penduduk yang

menderita kurang pangan. Sebaliknya, sungguh mengecewakan untuk melihat

bahwa betapa seringnya praktek-praktek budaya menimbulkan kekurangan

kebutuhan dasar. Kesadaran akan praktek-praktek demikian dan pengetahuan

tentang “hambatan-hambatan” yang harus diatasi untuk dapat merubah mereka

adalah sangat penting untuk membantu masyarakat memaksimalkan sumber-

sumber pangan yang tersedia bagi mereka. Di sinilah antropologi memberikan

sumbangan besar kepada ilmu gizi dalam lapangan penelitian danNpengajaran.

B. Saran-Saran

Diperlukan terobosan - terobosan baru yang dapat menangulangi masalah

gizi buruk hingga ke akar-akarnya. Oleh karena itu departemen kesehatan juga

harus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengatasi masalah kemiskinan,

pendidikan rendah, dan kesempatan kerja rendah. Selain itu, anak-anak Indonesia

harus lebih bersungguh-sungguh belajar dengan tekun, agar Indonesia lebih maju.

DAFTAR PUSTAKA

ANTARA News, 13 Maret 2013, “27 Persen Balita Indonesia Alami Gizi Buruk”,

diakses dari http://www.antara.co.id/print/?i=1205419661.

Blog yudhie-router. 21 Mei 20010, “Aspek Sosial Budaya yang Mempengaruhi Status

Gizi”, Jumat, 21 Mei 2010, diakses dari

http://yudhie-router.blogspot.com/2010/05/aspek-sosial-budaya-yang-

mempengaruhi.html

Blog Muji Rachman, 5 Januari 2010 “Hubungan Antropologi Dengan Gizi”, diakses dari

http://muji-rachman.blogspot.com/2010/01/hubungan-antropologi-dengan-gizi.html

Blog Milyandra, 22 Februari 2012, “Seminar Kesehatan Gizi dan Gizi Buruk”, diakses

dari http://mily.wordpress.com/seminar-kesehatan-gizi-vz-gizi-buruk/

Budi Bach, 2013, “Gizi Buruk Tamparan Keras Hari Gizi Nasional”, diakses dari

http://www.budibach.com/home/index.php?

option=com_content&view=article&id=169:gizi-buruk-tamparan-keras-hari-gizi-

nasional&catid=20:reportase&Itemid=27

Departemen Kesehatan, Berita 11 Maret 2008, “Penulisan Data Gizi Buruk Harus Akurat

dan Tidak Dipolitisir”, diakses dari http://www.depkes.go.id.

Dhian Tri Ratna, 2005, “Perbedaan Status Gizi”, diakses dari

http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH0147/86007b4e.dir/doc.pdf

Gizi – Depkes, 2003 “Analisis Antropometri Balita – Susenas 2003”, diakses dari

http://www.gizi.net.

Nurpudji A. Taslim, 2009, “Kontroversi seputar gizi buruk: Apakah Ketidakberhasilan

Departemen Kesehatan”, diakses dari http://www.gizi.net/makalah/Kontroversi-

giziburuk-column.pdf.

Pangan Untuk Semua, 2010, “Rencana Penanggulangan masalah Gizi Buruk”,

diakses dari http://panganuntuksemua.files.wordpress.com/2007/04/rencana-

penanggulanganmasalah-

gizi-buruk.doc.

Prakarsa Rakyat, Forum Belajar Bersama, 27 Juni 2008, “ Pendapatan Rendah, Faktor

Penyebab Busung Lapar”, diakses dari

http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/news/artikel.php?aid=3705

Suara Pembaharuan, Selasa 27 Maret 2007, “Upaya Mengatasi Masalah Kelaparan dan

Kurang Gizi“, diakses dari http://kikisrirezeki.multiply.com/journal/item/87http://yudhie

Susilowati, S.KM, 2008, “Konsep Dasar Timbulnya Masalah”, diakses dari

http://www.eurekaindonesia.org/wp-content/uploads/konsep-dasar-timbulnya-masalah-

gizi.pdf

Website Maluku, 14 Oktober 2009, “Gizi Buruk”, diakses dari

http://www.malukuprov.go.id/index.php/kesehatan/47-kesehatan/66-gizi-buruk

WebsiteNtvONE,N31NMaretN2010, “Penderita Gizi Buruk Tak Hanya Keluarga

Miskin”, diakses dari

http://sosialbudaya.tvone.co.id/berita/view/35625/2010/03/31/penderita_gizi_buruk_tak_