BAB I
PENDAHULUAN
A. Defenisi
1. Trauma Capitis atau Cidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat
adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek
sekunder dari trauma yang terjadi (Sylvia Anderson Price, 2006).
2. Trauma kapitis adalah ganguan traumatik yang menyebabkan gangguan fungsi
otak disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitiel dan tidak menganggu
jaringan otak. ( Brunner & Suddarth, 2000 )
3. Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran dan menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi
fisik (Langlois, Rutland-Brown, Rosdiana Ramli, 2011).
B. Jenis-Jenis Trauma Kepala
Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana terjadi
trauma (Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari
dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala
tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada
kepala setelah luka. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah
menembus sampai kepada dura mater. (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006).
Kemungkinan kecederaan atau trauma adalah seperti berikut:
1. Fraktur
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4 jenis fraktur
yaitu :
a. Simple : Retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit
b. Linear or hairline: Retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi,
distorsi dan ‘splintering’.
c. Depressed: Retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
d. Compound : Retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain
retak terdapat juga hematoma subdural (Duldner, 2008).
1
2. sLuka Memar (kontosio)
Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana
pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya,
kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar
pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung
otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital. (Corrigan, 2004).
3. Laserasi (luka robek atau koyak)
Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau
runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda bermata tajam
dimana lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi
kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit.
4. Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa
mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan
subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang
rusak.
5. Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit
pada kranial terlepas setelah kecederaan (Mansjoer, 2000).
C. Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala
adalah sebagai berikut :
1. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau
kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).
2. Jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat
karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai
ke tanah.
2
3. Kekerasan
Kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang atau
kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan
kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).
D. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke
otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20
mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.
1. Faktor kardiovaskuler
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas
atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Tidak adanya
stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel.
Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium
kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik.
Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
2. Faktor Respiratori
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau hipertensi
paru menyebabkan hiperpnoe dan bronkokonstriksi Konsentrasi oksigen dan karbon
dioksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah, aliran darah bertambah
karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2, akan terjadi alkalosis yang
menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (cerebral blood
fluid). Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya tekanan
intra kranial (TIK) yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak
atau medulla oblongata.
3. Faktor Metabolisme
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya
yaitu kecenderungan retensi natrium dan air dan hilangnya sejumlah nitrogen.
3
Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang
menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron.
4. Faktor Gastrointestinal
Trauma kepala juga mempengaruhi sistem gastrointestinal. Setelah trauma
kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang aktivitas hipotalamus dan
stimulus vagal. Hal ini akan merangsang lambung menjadi hiperasiditas.
5. Faktor Psikologis
Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, trauma kepala pada
pasien adalah suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul
pascatrauma akan mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma berat
yang menyebabkan penurunan kesadaran dan penurunan fungsi neurologis akan
mempengaruhi psikososial pasien dan keluarga.
E. Tanda dan Gejala
1. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.
2. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:
a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan : Mengidentifikasi adanya SOL.Hemorogi, menentukan Ukuran ventrikel,
pergeseraan cairan otak.
4
2. MRI : Sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontras.
3. Angiografi Serebral : Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
4. Echoencephalografi : Memperlihatkan keberadaan atau perkembangan gelombang
patologis
5. Sinar X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (Fraktor) pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan) edema dan adanya frakmen tulang.
6. GDA (Gas Darah Arteri) : Mengetahui adanya masalah ventilasi oksigenasi yang
dapat menimbulkan
7. Kimia/Elektrolit Darah : Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK/perubahan
8. Pemeriksaan Toksikolog : Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran ( Marlyn. E. Doengoes; 2000 )
9. BAER (Brain Auditory Evoked) : Menentukan fungsi dari kortel dan batang otak .
10. PET (Positron Emission Tomografi) : Menunjukkan aktiitas metabolisme pada
otak.
11. Pungsi Lumbal CSS : Dapat menduga adanya perdarahan subarachnoi.
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada pasien yang mengalami trauma kapitis yaitu:
1. Shock disebabkan karena banyaknya darah yang hilang atau rasa sakit hebat. Bila
kehilangan lebih dari 50% darah dapat mengakibatkan kematian.
2. Peningkatan tekanan intrakranial, terjadi pada edema cerebri dan hematoma dalam
tulang tengkorak.
3. Meningitis, terjadi bila ada luka di daerah otak yang ada hubungannya dengan luar.
4. Infeksi/kejang, terjadi bila disertai luka pada anggota badan atau adanya luka pada
fraktur tulang tengkorak.
5. Edema pulmonal akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya
peningkatan tekanan darah sistemik sebagai respon dari sistem saraf simpatis pada
peningkatan TIK. Peningkatan vasokontriksi tubuh ini menyebabkan lebih banyak
darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru
berperan dalam proses memungkinkan cairan berpindah ke dalam alveolus.
5
H. Penatalaksanaan
1. Medik
a. Manitol IV
Dosis awal 1 g / kg BB
Evaluasi 15 – 20 menit (bila belum ada perbaikan tambahan dosis 0,25 g / kg
BB)
Hati-hati terhadap kerusakan ginjal
b. Steroid : digunakan untuk mengurangi edema otak
c. Bikarbonas Natrikus : untuk mencegah terjadinya asidosis
d. Antikonvulsan : prifilaksis kejang
e. Terapi Koma : merupakan langkah terakhir untuk mengendalikan TIK secara
konservatif. Terapi ini menurunkan metabolisme otak, mengurangi edema &
menurunkan TIK Biasanya dilakukan 24 – 48 jam.
f. Antipiretik : Demam akan memperburuk keadaan karena akan meningkatkan
metabolisme dan dapat terjadi dehidrasi, kerusakan otak. Jika penyebab infeksi
tambahkan antibiotik.
g. Sedasi : gaduh, gelisah merupakan gejala yang sering ditemukan pada penderita
cidera otak dan dapat meningkatkan TIK.
h. Lorazepam (ativan) 1 – 2 mg IV/IM dapat diberikan dan dapat diulang
pemberiannya dalam 2 – 4 jam. Kerugian : tidak dapat memantau kesadaran
penderita.
i. Antasida – AH2 : untuk mencegah perdarahan GIT : simetidin, ranitidin,
famotidin. Furosemid adakalanya diberikan bersama dengan obat anti edema lain.
Dosis : 1 mg/kg BB IV, dapat diulang tiap 6 – 12 jam.
2. Non-Medik
a. Pengelolaan Pernapasan:
Pasien ditempatkan dalam posisi miring atau seperti posisi koma.
Periksa mulut, keluarkan gigi palsu bila ada.
Jika banyak ludah atau lendir atau sisa muntahan lakukan penghisapan.
6
Hindari flexi leher yang berlebihan karena bias menyebabkan terganggunya
jalan napas/peningkatan TIK.
Trakeostomi dilakukan bila lesi di daerah mulut atau faring parah.
Perawat mengkaji frekuensi dan upaya pernapasan pasien, warna kulit, bunyi
pernapasan dan ekspansi dada.
Berikan penenang diazepam.
Posisi pasien selalu diubah setiap 3 jam dan lakukan fisioterapi dada 2x/sehari
b. Gangguan Mobilitas Fisik
Posisikan tubuh pasien dengan posisi opistotonus; perawatan harus dilakukan
dengan tujuan untuk menghentikan pola refleksif dan penurunan tonus otot
abnormal.
Perawat menghindarkan terjadinya kontraktur dengan melakukan ROM pasif
dengan merenggangkan otot dan mempertahankan mobilitas fisik.
c. Kerusakan Kulit : menghilangkan penekanan dan lakukan intervensi mobilitas.
d. Masalah Hidrasi : pada cidera kepala terjadi kontriksi arteri-arteri renalis sehingga
pembentukan urine berkurang dan garam ditahan didalam tubuh akibat
peningkatan tonus ortosimpatik.
e. Nutrisi pada Trauma otak berat
memerlukan jumlah kalori 2 kali lipat dengan meningkatnya aktivitas system
saraf ortosimpatik yang tampak pada hipertensi dan takikardi.
kegelisahan dan tonus otot yang meningkat menambah kebutuhan kalori.
bila kebutuhan kalori tidak terpenuhi maka jaringan tubuh dan lemak akan
diurai, penyembuhan luka akan lebih lama, timbul dekubitus, daya tahan
menurun ( Cholik dan Saiful, 2007)
7
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama : Alamat : Umur
: Diagnosa Medik :
Pendidikan : Tanggal Masuk :
Pekerjaan : Tanggal Pengkajian :
2. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
3. Pengkajian Fisik
a. Aktifitas atau istirahat
Adanya kelemahan , kaku, hilang keseimbangan
Kesadaran menurun, kelemahan otot/spasme.
b. Peredaran darah/sirkulasi
Tekanan Darah normal / berubah (hipertensi)
Nadi (bradikardi, takikardi, disritmia)
c. Eliminasi
Verbal dapat menahan BAK dan BAB
Blader dan bowel Incontentia
d. Makanan/cairan
Mual atau muntah
Muntah yang memancar, masalah kesukaran menelan
e. Persarafan/Neurosensori
Pusing, kehilangan kesadaran sementara
amnesia seputar kejadian
8
f. Kenyamanan/Nyeri
Nyeri kepala yang bervariasi tekanan dan lokasi nyerinya, agak lama.
g. Pernapasan
Perubahan pola napas, stridor, ronchi.
h. Pengkajian keamanan
Ada riwayat kecelakaan,
Terdapat trauma/fraktur/distorsi, perubahan penglihatan, kulit.
i. Konsep diri
Adanya perubahan tingkah laku
Kecemasan, berdebar, bingung, dellirium
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan
trauma kepala
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia
(hipovolemia, disritmia jantung)
3. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi atau integrasi
(trauma atau defisit neurologis).
4. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada
pusat pernapasan di otak).
5. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan
kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot
yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
6. Resiko tinggi berkurangnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
7. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak,
prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi.
Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid).
C. Intervensi keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan
trauma kepala
9
Tujuan : Pasien akan merasa nyaman dan nyeri hilang/berkurang
Kriteria Hasil : pasien tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas
normal
No. Intervensi Rasional
1.
2.
3.
4.
5.
kaji riwayat, intensitas dan
lokasi nyeri.
Mengatur posisi sesuai
kebutuhan klien untuk
mengurangi nyeri.
Ciptakan lingkungan yang
nyaman termasuk tempat tidur.
Berikan sentuhan terapeutik,
lakukan distraksi dan
relaksasi.
Kolaborasi pemberian obat
analgetik sesuai dengan
program pengobatan.
Menentukan intervensi
selanjutnya
posisi yang sesuai akan
mengurangi nyeri pada pasien dan
memberi rasa nyaman.
Memberikan rasa nyaman pada
klien agar dapat mengurangi
stress yang memicu nyeri.
Ketegangan saraf yang
mengendor akan mengurangi rasa
nyeri.
mengurangi tingkat nyeri yang
dirasakan klien.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan
dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan
TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung).
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat.
Kriteria Hasil :
a. Pasien tidak menunjukkan peningkatan TIK
b. Terorientasi pada tempat, waktu dan respon
c. Tidak ada gangguan tingkat kesadaran
No. Intervensi Rasional
1. Kaji status neurologi secara untuk menentukan lokasi,
10
2.
3.
4.
5.
3.
teratur dan tanda-tanda adanya
peningkatan TIK.
Pantau tanda-tanda vital
Berikan posisi dengan
meninggikan bagian kepala 30
derajat.
Batasi pemberian cairan sesuai
indikasi
Kolaborasi dengan dokter
untuk memberikan obat sesuai
indikasi seperti diuretic.
perluasan dan perkembangan
kerusakan SSP
Peningkatan TD sistemik yang
diikuti oleh penurunan TD
merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK, Demam dapat
mencerminkan kerusakan pada
hipotalamus.
Mencegah peningkatan TIK
menurunkan edema serebral,
meminimalkan fluktuasi aliran
vaskuler TD dan TIK.
Diuretik untuk menurunkan air
dari sel otak sehingga mengurangi
edema otak.
3. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi atau integrasi
(trauma atau defisit neurologis).
Tujuan : Tidak terjadi perubahan persepsi sensori
Kriteria Hasil :
a. Kesadaran pasien kembali normal
b. Tidak terjadi peningkatan TIK
No. Intervensi Rasional
1.
2.
3.
Observasi KU serta TTV
Orientasikan pasien terhadap
orang, tempat dan waktu.
Gunakan berbagai metode
untuk menstimulasi indra,
misalnya: parfum
Mengetahui keadaan umum pasien.
Melatih kemampuan pasien dalam
mengenal waktu, tempat dan
lingkungan pasien.
Melatih kepekaan nervus
11
4.
Kolaborasi dengan tim medik
untuk membatasi penggunaan
sedative
olfaktorius.
Sedativa mempengaruhi tingkat
kesadaran pasien
4. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan di otak).
Tujuan : pola nafas kembali efektif.
Kriteria Hasil : bebas sianosis, GCS dalam batas normal
No. Intervensi Rasional
1.
2.
3.
4.
Pantau frekuensi dan irama
pernapasan.
Pastikan jalan nafas tetap
terbuka dan kaji adanya secret.
Bila ada secret lakukan suction.
Tinggikan kepala tempat tidur
15-300, dan posisikan dalam
posisi miring.
Berikan oksigen.
Perubahan dapat menandakan
komplikasi pulmonal.
pengisapan lendir dilakukan untuk
mempermudah jalan nafas
Untuk memudahkan ekspansi
paru/ventilasi paru dan menurunkan
adanya kemungkinan lidah jatuh
yang menyumbat jalan napas.
Memaksimalkan oksigen pada
darah arteri dan membantu dalam
pencegahan hipoksia.
5. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan kemampuan
untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan
untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
Tujuan : intake nutrisi adekuat
Kriteria Hasil :
a. Klien tidak mengalami penurunan BB
b. Klien menghabiskan porsi makan yang disajikan
No. Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan makan dan Membantu dalam menentukan jenis
12
2.
3.
4.
5.
menelan klien
Dengarkan suara peristaltik
usus.
Berikan rasa nyaman saat
makan, seperti posisi semi
fowler/fowler.
Berikan makanan dalam porsi
kecil tapi sering dan dalam
keadaan hangat.
Kolaborasi dengan dokter
untuk pemberian vitamin.
makanan
Membantu menentukan respon dari
pemberian makanan dan adanya
hiperperistaltik kemungkinan
adanya komplikasi ileus.
Mencegah adanya regurgitasi dan
aspirasi
Meningkatkan nafsu makan.
Vitamin membantu meningkatkan
nafsu makan dan mencegah
malnutrisi
6. Resiko tinggi berkurangnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan atau dehidrasi.
Kriteria Hasil :
a. membrane mukosa lembab
b. integritas kulit baik
c. nilai elektrolit dalam batas normal
No. Intervensi Rasional
1.
2.
3.
4.
Kaji intake dan out put
Kaji tanda-tanda dehidrasi:
turgor kulit, membrane
mukosa, dan ubun-ubun atau
mata cekung dan out put urine.
Berikan pasien banyak minum
Kolaborasi dengan tim medis
Untuk mengetahui intake dan out
put cairan pasien
Mengetahui tanda-tanda jika pasien
mengalami dehidrasi
Banyak minum untuk mengganti
cairan yang hilang
4. Untuk memenuhi cairan pasien
13
untuk pemberian cairan intra
vena sesuai program
7. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi
tertekan (penggunaan steroid).
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria Hasil :
a. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi
b. TTV dalam batas normal
c. Luka sembuh tepat pada waktunya.
No. Intervensi Rasional
1.
2.
3.
4
4.
Pertahankan tehnik cuci tangan
yang baik.
Observasi daerah kulit yang
mengalami kerusakan, catat
adanya tanda-tanda inflamasi.
Pantau suhu tubuh secara
teratur, catat adanya demam,
menggigil, diaforesis dan
perubahan fungsi mental
(penurunan kesadaran).
Berikan antibiotik sesuai
indikasi
Cara pertama untuk menghindari
terjadinya infeksi nosokomial.
Deteksi dini perkembangan infeksi
memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan
pencegahan terhadap komplikasi
selanjutnya.
Dapat mengindikasikan
perkembangan sepsis yang
selanjutnya memerlukan evaluasi
atau tindakan dengan segera.
Terapi profilatik dapat digunakan
pada pasien yang mengalami
trauma, kebocoran CSS atau setelah
dilakukan pembedahan untuk
menurunkan resiko terjadinya
infeksi nosokomial.
14
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja Mangun, 2009. Trauma Kepala. http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=20095592140. Diakses 24 April 2012
Bare S, et al, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Volume 2, Jakarta : EGC.
Brunner & Suddart, 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan vol 3. EGC, Jakarta
Corwin, EJ, 2001. Patofisiologi. Jakarta : EGC
Doenges, ME, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta : EGC
Mansjoer A, et al, 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius
Long, BC, 1992. Perawatan Medikal Bedah, Buku 3. Jakarta : EGC
Price, SA, 1995. Patofisiologi; Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, Jilid 2. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta
Ramli, Rosdiana. 2011. Trauma Capitis. http://www.artikelkedokteran.com/722/trauma-capitis-trauma-kepala.html/trauma-kepala . Diakses 24 April 2012
15
Top Related