BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penuaan kulit merupakan suatu fenomena biologi yang kompleks dan
berkelanjutan serta terjadi penurunan fungsi baik pada tingkat sel terutama pada sel
keratinosit epidermis dan sel fibroblas dermis. Penuaan kulit terjadi secara universal
terdiri dari dua komponen yaitu intrinsic aging (true aging), yang berhubungan
dengan waktu dan genetik serta extrinsic aging yang terutama disebabkan oleh
pajanan sinar ultraviolet (photoaging). Keduanya menghasilkan reactive oxygen
spesies dan berakhir pada cellular senencence.
Sebagai organ proteksi, kulit secara terus menerus terpajan sinar ultraviolet
sehingga menyebabkan premature aging. Akibat proses penuaan, kulit menjadi
kering, hidrasi permukaan kulit berkurang, kasar, kendur, timbul kerutan, pigmentasi,
dan tumor jinak kulit. Gambaran klinis kulit menua adalah perubahan pada
kandungan air dan fungsi sawar kulit termasuk xerosis kutis, akibat peningkatan
deskuamasi timbul kerapuhan kulit dan penyembuhan luka yang tertunda.
Faktor penting lain yang berperan dalam hidrasi kulit adalah adanya
Aquaglyceroporins. Aquaporins (AQPs) adalah sekelompok kecil protein,
hidrofobik, protein membran integral yang berfungsi terutama sebagai pori-pori air
selektif, memfasilitasi transportasi air yang secara osmotik melintasi membran
plasma sel. Setidaknya ada 13 AQPs mamalia (AQP0 - AQP12), yang telah dibagi
menjadi dua kelompok berdasarkan permeabilitas mereka. AQPs 1,2,4,5 dan 8
berfungsi sebagai transporter air-selektif; AQPs (aquaporins) 3,7,9 dan 10 disebut
“aquaglyceroporins”, berfungsi sebagai transporter air serta gliserol dan mungkin
zat terlarut kecil lainnya. Aquaglyceroporins permeabel terhadap air serta zat terlarut
kecil, seperti gliserol dan urea.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa AQP3 merupakan target obat yang
potensial untuk mengatur hidrasi air pada kulit, tidak hanya untuk reagen diuretik
retensi air patologis, tetapi juga ditargetkan untuk terapi “novel” untuk edema otak,
penyakit radang, glaukoma, obesitas dan kanker. Namun, modulator poten AQP
untuk aplikasi in vivo masih harus diteliti.
AQP3 adalah protein utama yang mempengaruhi hidrasi kulit dan ekspresinya
menurun pada penuaan kulit. AQP3 menjadi protein kunci untuk target pengobatan
masa depan terhadap penuaan kulit. Pada keratinosit, AQP3 mempengaruhi hidrasi
kulit dengan mengatur transportasi air dan gliserol sehingga berperan pada proliferasi
dan diferensiasi keratinosit. Aktivasi AQP3 oleh obat topikal bermanfaat dalam
penyembuhan luka dan pengobatan kulit menua dini, sehingga AQP3 tampaknya
menjadi protein kunci dan sebagai target untuk pengobatan di masa depan untuk
mengatur hidrasi kulit terutama pada kulit kering.
Formulasi kosmetik anti penuaan diharapkan mengandung bahan aktif yang
memiliki efek biologis maksimal atau optimal dengan efek samping seminimal
mungkin. Asam retinoat banyak digunakan dalam kosmetik anti penuaan kulit, tetapi
memiliki efek samping yaitu iritasi kulit, kulit kering dan kemerahan. Konsep baru
dari kosmetik anti penuaan yang inovatif adalah untuk merawat kulit dan mencegah
serta memperlambat proses penuaan, sehingga tidak hanya memperbaiki penampilan,
tapi juga dapat melindungi kulit terhadap faktor intrinsik dan ekstrinsik penuaan
tanpa efek samping.
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati herbal sehingga berpotensi untuk
pengembangan kosmetika dan kosmeseutikal herbal yang efektif dan aman. Centella
asiatica (gotukola = Hydrocotyle asiatica = pegagan) banyak terdapat di Indonesia
sebagai tanaman semak berdaun tunggal berbentuk ginjal yang tumbuh di kebun dan
hutan. Centella asiatica mengandung zat triterpene yaitu asiatic acid, madecassic
acid, triterpene ester glycoside, Asiatikosida dan madecassoside yang dapat
menyembuhkan luka, antimikroba dan antiinflamasi sehingga dapat dijadikan bahan
aktif pada kosmeseutikal anti akne dan peremajaan kulit (antiaging). Centella
asiatica 0,5% water in water untuk penyembuhan luka pada patch transdermal.
Centella asiatica dapat menstimulasi sintesis kolagen untuk regenerasi jaringan kulit.
Centella asiatica (L.) Urb. (Gotu Kola) dikenal sebagai "ramuan panjang
umur" dan telah banyak digunakan sebagai obat herbal tradisional di Malaysia, India,
dan Nepal sebagai bagian dari obat-obatan Ayurvedic tradisional selama ratusan
tahun. Centella asiatica umumnya dikenal sebagai pegagan di Malaysia, pennywort
dan gotu kola di Amerika dan pegagan di Indonesia. Centella asiatica dapat
digunakan sebagai bahan aktif kosmetik herbal anti penuaan. Tanaman tropis ini telah
digunakan untuk berbagai tujuan pengobatan seperti penyembuhan luka, pengobatan
asma, luka, kusta, lupus eritematosus, psoriasis, penyakit pembuluh darah vena, untuk
perbaikan ingatan, dan sebagai antidepresan, antibakteri, antijamur, dan agen anti
kanker. Meskipun ekstrak Centella asiatica memiliki potensi aktivitas biologis yang
tinggi, penggunaan klinisnya terbatas karena stabilitas fisik yang kurang baik.
Centella asiatica ekstrak memiliki sifat sangat higroskopis. Bentuk padat ekstrak
Centela asiatica segera mencair dalam beberapa menit bila terpapar suhu ruang. Oleh
karena itu, pengembangan nanopartikel, untuk membungkus ekstrak dapat
melindungi dan menstabilkan dari kelembaban eksternal.
Bahan aktif dalam Centella asiatica adalah triterpen dan beberapa jenis asam
yaitu asiatic acid, madecassic acid, Asiatikosida, dan madecassosida. Asiatikosida
yang diisolasi dari Centella asiatica dapat meningkatkan proliferasi fibroblas dan
sintesis matriks ekstraseluler dalam proses penyembuhan luka dengan meningkatkan
pembentukan kolagen dan angiogenesis.
1.2. Perumusan Masalah
Masih diperlukan penelitian untuk mencari bahan lain selain asam retinoat
untuk kosmetika antiaging dalam meningkatkan status hidrasi kulit. Asiatikosida
merupakan salah satu bahan aktif dari Centella asiatica yang mempunyai efek
menginduksi proliferasi sel dan sintesis kolagen pada fibroblast dermis kulit manusia
namun belum ada penelitian apakah Asiatikosida dapat meningkatkan protein
aquaporin-3 pada keratinosit epidermis kulit manusia sehingga didapatkan formulasi
baru kosmeutikal yang efektif dan aman untuk mencegah proses penuaan kulit.
Untuk menjawab permasalahan diatas maka rumusan pertanyaan penelitian ini
adalah:
1. Apakah Asiatikosida dalam Centella asiatica mempunyai efek meningkatkan
aktivitas AQP3 (AQP3) pada keratinosit epidermis kulit manusia ?
2. Apakah Asiatikosida dalam Centella asiatica memiliki efek lebih baik
dibandingkan asam retinoat dalam meningkatkan aktivitas AQP3 pada
keratinosit epidermis kulit manusia ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Menganalisis efektifitas Asiatikosida sebagai bahan aktif dari Centella
asiatica terhadap aktivitas AQP3 pada keratinosit epidermis kulit manusia.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Menganalisis efektifitas Asiatikosida dalam Centella asiatica dalam
meningkatkan aktivitas protein AQP3 pada keratinosit epidermis kulit
manusia.
2. Membandingkan efektifitas Asiatikosida dalam Centella asiatica dengan asam
retinoat dalam meningkatkan aktivitas protein AQP3 pada keratinosit
epidermis kulit manusia.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengembangan kosmeseutikal
herbal dan memberikan informasi dalam penelitian selanjutnya.
2. Aplikasi dalam bidang klinis hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan
strategi penggunaan bahan alam atau herbal sebagai bahan aktif
kosmeseutikal.
3. Memberi nilai tambah pada produk herbal lokal yaitu Asiatikosida sebagai
salah satu bahan aktif dalam Centella asiatica untuk digunakan pada
kosmeseutikal anti penuaan kulit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Faal Kulit
Kulit adalah organ terluar tubuh sehingga mudah dilihat dan diraba, hidup,
berkembang dan berperan dalam kehidupan. Kulit juga mendukung penampilan dan
kepribadian seseorang, warna kulit menjadi ciri khas manusia yang berbeda ras,
bangsa dan budaya. Kulit dapat menjadi indikator kesehatan serta menjadi sarana
komunikasi non-verbal antar individu. Kulit merupakan organ terbesar tubuh
sehingga kerusakan lebih dari 30% luas kulit, misalnya akibat luka bakar, dapat
segera menyebabkan kematian. Faal kulit sangat kompleks dan berkaitan antara satu
fungsi dengan lainnya. Fungsi kulit yang terpenting adalah fungsi proteksi dan fungsi
keratinisasi.
2.2. Penuaan Kulit
Penuaan kulit merupakan suatu fenomena yang berkelanjutan dengan
penyebab multifaktorial dimana terjadi penurunan fungsi, jumlah serta ukuran baik
pada tingkat sel maupun molekul. Salah satunya penurunan fungsi keratinisasi kulit
oleh sel-sel keratinosit di epidermis serta penurunan kolagen dan sintesis elastin oleh
sel fibroblast dermis.
Penuaan kulit dibagi dalam penuaan intrinsik karena faktor internal
(chronological aging) yang terjadi secara alami sesuai dengan penambahan usia, dan
penuaan ekstrinsik karena faktor eksternal akibat pengaruh lingkungan terutama
sinar ultraviolet (photoaging).
Penuaan dini (premature skin aging, accelerated, extrinsic, photoaging) yaitu
bila penuaan kulit yang disebabkan oleh faktor-faktor luar misalnya lingkungan
hidup, penyakit sistemik, stress, merokok, alkohol, bahan kimia dan lainnya yang
sebenarnya dapat dihindari, disebut sebagai penuaan ekstrinsik. Penuaan ekstrinsik
akan menghasilkan kulit menua dini, yaitu lebih cepat dari seharusnya.
2.3. Hidrasi kulit
Proses penuaan membuat hidrasi kulit berkurang, kulit menjadi kering,
keratinosit menumpuk di stratum komeum karena terjadi penurunan “turn over rate”
sel pada epidermis. Hidrasi kulit sangat penting pada proses keratinisasi proliferasi
dan diferensiasi keratinosit. Epidermis adalah jaringan kulit yang menjaga
homeostasis pada proses remove and repair sel kulit dan merupakan jaringan yang
dapat beregenerasi. Kandungan air dalam epidermis mengatur elastisitas dan tonus
kulit serta berpengaruh pada proses proliferasi dan regenerasi keratinosit.5 Hidrasi
kulit yang optimal (tidak underhydration atau overhydration) diperlukan untuk
penampilan kulit yang sehat.
Kadar air pada kulit berkisar 70% pada lapisan viable epidermis (stratum
basale-granulosum), tetapi menurun tajam pada taut antara stratum granulosum dan
stratum korneum menjadi 15-30%.
Epidermis sebagai lapisan kulit terluar memerlukan hidrasi air yang seimbang
untuk proses proliferasi, diferensiasi, dan migrasi keratinosit dalam proses regenerasi
pada epidermis sehingga diperoleh keadaan homeostasis pada proses remove dan
repair sel kulit epidermis. Air di stratum korneum juga berfungsi penting pada proses
deskuamasi. Kulit akan kering bila hidrasi kulit di bawah 10%. Kadar air pada lapisan
epidermis juga mempengaruhi elastisitas dan tonus kulit. Retensi air dalam stratum
korneum tergantung pada NMF dan lipid interseluler pada stratum korneum..
Komposisi NMF terdiri atas berbagai asam amino yaitu free amino acid 40%,
pyrrolidone carboxylic acid (PCA) 12%, lactate 12%, sugars 8.5%, urea 7%,
chloride 6%, sodium 5%, potassium 4%, ammonia-uric acid-glucosamine-creatine
1.5%, kalsium 1.5%, magnesium 1.5%, fosfat 0.5%, formate 0.5%, dan air.
2.4. Kosmeseutikal
AM Kligman memberi istilah cosmeceutical (kosmeseutikal) adalah bahan
yang berada antara kosmetika dan obat.
Vermeer BJ mengusulkan definisi kosmeseutikal sebagai produk yang
mempunyai aktivitas farmakologis dan dapat digunakan pada kulit normal atau
mendekati normal. Produk yang tersedia untuk kelainan kulit minor (minor skin
disorder/cosmetic indication). Penyakit kulitnya harus ringan, produk harus berisiko
sangat rendah.
Zoe Diana Draelos berpendapat bahwa kosmeseutikal adalah kategori
kelompok yang undefined, unclassified, dan unregulated dalam dermatologi.
Kosmeseutikal modern harus merupakan kombinasi antara aspek estetik dari
kosmetika dengan efikasi sebagai obat. Di Amerika kosmeseutikal dijual sebagai
kosmetika (over the counter product). Berfungsi untuk meningkatkan penampilan
kulit tetapi bukan fungsi.
Definisi kosmeseutikal yang diharapkan di Indonesia tentu mengacu kepada
kebutuhan adanya suatu golongan yang berada antara kosmetika dan obat, yaitu
kosmeseutikal harus mempunyai afinitas biologis pada kulit normal atau mendekati
normal, berguna bagi kelainan kulit minor (ringan) dan berisiko rendah.
2.4. Asam Retinoat
Derivat AR (vitamin A) yang sering dipakai dalam kosmetika antipenuaan
adalah all-trans retinoic acid (ATRA). Epidermis kulit manusia mengandung vitamin
A dalam jumlah yang bermakna, namun vitamin A tidak bisa disintesis di dalam
tubuh sehingga harus didapat dari diet yaitu retinoid (dari hewan), dan karotenoid
(tumbuhan) yang diubah sebagai bentuk biologis aktif yaitu ATRA melewati bentuk
intermediate retinaldehyde.
Ada tiga jenis golongan retinoid topikal dan sistemik, yaitu golongan
nonaromatik (retinol, tretinoin, isotretinoin), golongan monoaromatik (etretinate,
acitretin), golongan poliaromatik (arotinoid, adapalene, tazorotene).
Efektivitas terapi tretinoin topikal sebagai baku emas pada pengobatan
photoaging dan penuaan intrinsik melalui mekanisme ikatan pada nuclear retinoic
acid receptor (RARs), menginduksi ekspresi gen prokolagen tipe I dan III serta
meningkatkan produksi kolagen fibril dalam dermis serta mengurangi pemecahan
kolagen dengan menghambat enzim metalloproteinase. Mekanisme kerja ini pada
dermis membutuhkan waktu lama.
Pada keratinosit epidermis, tretinoin akan membentuk lapisan korneum yang
lebih padat (compact) dan mendeposisi bahan mucin (glycosaminoglykan) pada
stratum korneum dan lamellar space, memicu proliferasi keratinosit, meningkatkan
turn over sel dan deskuamasi.
Krim tretinoin pada dosis 0.025%; 0.05%; 0.1% serta penggunaan
0.1% isotretinoin dan 0.1% tazorotene sering menimbulkan iritasi kulit ringan sampai
sangat berat.12 Bentuk aldehid dari AR, yaitu retinal, mempunyai khasiat 20x kurang
efektif daripada tretinoin dan konsentrasinya di kulit berkurang 1000x lipat
dibandingkan AR sehingga lebih sering dipakai sebagai kosmetika antipenuaan kulit.
2.5. Centella Asiatica
Centella asiatica (Gotu Kola = Hydrocotyle asiatica) adalah tanaman semak
rendah berdaun tunggal berbentuk ginjal yang tumbuh di India, Srilanka,
Madagaskar, Afrika Selatan, Cina, Jepang, Thailand, Australia, Malaysia dan banyak
pula tumbuh di Indonesia yang dikenal sebagai pegagan.18 Centella asiatica (L) urban
(Umbilliferae) dikenal dalam “Ayurvedic medicine” untuk mengobati berbagai
penyakit sehingga dikenal sebagai “longevity herbs” Ekstrak segar daun pegangan
digunakan di Jawa dan Semenanjung Malaysia sebagai obat topikal dan internal
untuk menyembuhkan luka.
Di India dan Madagaskar CA digunakan untuk mengobati Lepra (Sahu, Roy
& Mahato 1989), di Cina mengunakan daun CAuntuk mengobati keputihan
(leukorea) dan demam toksik (Kan 1986). Di Malaysia daun pegagan dimakan
sebagai lalap berkhasiat untuk meningkatkan daya ingat dan mengobati kelelahan
mental, fatigue, kecemasan, anxiety dan eksim (Goh, Chuah, Mok & Soepadmo
1995).
Semua khasiat bahan aktif dalam CA untuk mempercepat proses
penyembuhan luka atau sebagai antioksidan. Penelitian Hamid AA.et al 2002,
memperlihatkan maksimal aktivitas antioksidan pada pH 7 dari akar, lebih superior
daripada α-tocopherol dan stabil sampai suhu 50 C.⁰
Daun pegagan (CA) mengandung 4 triterpene, komposisi yang terdiri atas
asiatic acid, madecassic, Asiatikosida, madecassic acid. Komponen triterpene tidak
selalu sama tersebut tergantung dari lokasi tumbuh dan perbedaan lingkungan hidup.
CA juga mengandungcentelloside dengan kandungan yang berbeda-beda dalam
varietas CA (India Variety). Varietas CA India mengandung pula zat aktif
indicentelloside, brahmanoside, brahmaside dengan volatile, fatty acid, alkaloid dan
flavanoid.
Khasiat CA sebagai “The Elixir of Life” pada sistem persarafan sebagai
antiepilepsi, antikonvulsan, neuroprotektif, antiansietas dan antidepresan, berperan
sebagai antiulserasi untuk proteksi mukosa gaster.
Dalam bidang dermatologi aplikasi CA sebagai antialergi, antipruritus,
antiinflamasi, untuk pengobatan lepra, mempercepat penyembuhan luka (wound
healing), imunomodulasi, antioksidan dan antimikroba. Studi kultur sel
memperlihatkan bahwa asiaticuside dan madecassuide mampu menstimulasi kolagen,
tetapi pada penelitian lain menunjukkan bahwa hanya asiatic acid yang berperan.
Efek CA dalam produk kosmetika perawatan kulit adalah untuk memperbaiki
kekenyalan kulit dan elastisitas sehingga kulit tampak lebih muda.
2.6. Asiatikosida
Asiatikosida merupakan senyawa aktif dalam Centella asiatica yang
mempunyai aktivitas paling tinggi dibandingan dengan senyawa yang lain.
Asiatikosida diteliti kegunaannya dalam pengobatan ulkus peptikum, lepra dan
tuberkulosis. Asiatikosida juga dapat menghambat proliferasi terbentuknya keloid dan
skar hipertrofi. Saat ini sedang banyak penelitian secara in vivo maupun in vitro
terhadap manfaat Asiatikosida sebagai terapi wound healing pada kulit manusia.
2.7. AQP3 (AQP3)
Aquaporin (AQP) (membrane-bound pores) berfungsi sebagai “selective
pore” yang membuat air, gliserol dan bahan lain (urea) dapat melewati sel membran,
AQP terdapat pada sel-sel epitel.
Terdapat 13 Aquaporin pada sel mamalia, dibagi dalam AQP (aquaporin
group) yaitu AQP0, AQP1, AQP2, AQP4, AQ5, AQP6 dan AQP8 yang berperan
dalam transport air. Kelompok aquaglyseroporins yaitu AQP3, AQP7, AQP9 dan
AQP10 mengatur transpor air dan gliserol.
AQP3 adalah aquaporin terpenting yang terdapat pada epidermis. Tingkat
hidrasi epidermis berkaitan dengan level gliserol endogen dan distribusi saluran
AQP3. AQP3 dikloning pada kulit manusia tahun 1996 dan berperan sebagai suatu
saluran membran untuk air, gliserol dan urea, mengatur homeostasis cairan. AQP3
dideteksi di fibroblas kulit manusia tahun 2006. AQP3 dapat terekspresi pada
epidermis dan dermis kulit manusia, ekspresi AQP3 pada keratinosit epidermis mulai
dari lapisan basal yang semakin keatas semakin berkurang dan tidak ditemukan lagi
pada satu lapisan sel sebelum stratum korneum. Ekspresi gen AQP3 dan protein
menurun pada penuaan kulit akibat pajanan sinar matahari.
Ekspresi m-RNA AQP3 berkurang dengan bertambahnya usia, lebih rendah
pada usia >60 tahun. AQP3 memegang peranan penting dalam migrasi keratinosit
epidermis kulit manusia dan proses penyembuhan luka (wound healing). Peran AQP3
sangat penting pada proliferasi keratinosit epidermis, karena itu AQP3 merupakan
target potensial untuk pengembangan obat yang berhubungan dengan wound healing.
Ekspresi AQP3 gen dan protein pada kulit terproteksi yang tidak terpapar
sinar ultraviolet menurun dengan bertambahnya usia atau proses penuaan kulit. AQP3
memfasilitasi transportasi air melewati membran sel, ekspresi AQP3 gen-hidrasi kulit
sehingga bahan aktif kosmetika yang dapat memodulasi ekspresi AQP3 akan menjadi
agen hidrasi dan proliferasi sel-sel kulit yang efektif.
Beberapa penelitian memperlihatkan regulasi ekspresi AQP3 pada keratinosit.
Cao dkk meneliti AR sebagai regulator proliferasi dan diferensiasi keratinosit dapat
meningkatkan ekspresi AQP3 dua kali lipat setelah 2 jam pada kultur keratinosit.
Ekstrak Piptadenia colubrina menjaga hidrasi seluler dan menginduksi gen AQP3,
gen involucoin dan fillagrin pada kultur keratinosit.
Ekspresi AQP3 Pada Keratinosit Epidermis Kulit Manusia
Ekspresi AQP3 ini dinyatakan dalam membran keratinosit epidermis dan
sitoplasma, tampak sangat banyak dalam kelompok umur <20 tahun (Gbr.1). RT-
PCR, imunositokimia dan analisis western blot menunjukkan bahwa AQP3 mRNA
dan protein secara signifikan lebih rendah pada kelompok umur >60 tahun daripada
usia 30-45-tahun (p< 0.05) dan kelompok umur <20 tahun dalam KEKM (p <0.05).
AQP3 mRNA dan protein di KEKM berasal dari kelompok umur 30-45 tahun secara
signifikan lebih rendah daripada yang berasal dari dari kelompok umur <20 tahun (n
= 6).
Penelitian Cao dkk membuktikan bahwa AQP3 juga terekspresi pada kultur
sel fibroblas kulit manusia, yang pada proses penyembuhan luka normal. Epidermal
Growth Factor (EGF) mengontrol migrasi fibroblas dan juga menginduksi ekspresi
AQP3 dimana sangat tergantung pada dosis dan waktu.
Gambar 1. Ekspresi AQP3 pada keratinosit. (a) Imunositokimia AQP3 pada KEKM
di masing-masing kelompok (x400). (b) Grafik meringkas data yang disajikan dalam
(a). n = 6 kelompok umur <20 tahun : 0.64-0.12; Kelompok umur 30-45 tahun : 0.34-
0.08; Kelompok umur >60 tahun : 0.18-0.06. * Signifikan secara statistik pada p<
0.05.
AQP3 diekspresikan pada lapisan basal keratinosit pada kulit normal,
fungsinya terutama untuk memungkinkan gliserol pindah ke lapisan atas dari
epidermis dan stratum korneum. Studi pada tikus yang kekurangan AQP3
menunjukkan kulitnya kering dengan berkurangnya hidrasi stratum korneum,
penurunan elastisitas, dan gangguan biosintesis. Hal ini menunjukkan pentingnya
AQP3 dalam fisiologi kulit menjadi dasar ilmiah yang rasional untuk pengujian
gliserol dan bahan aktif lain dalam kosmetika pelembab.
Gambar 2. Immunolocalization pada AQP3 dengan imunofluoresensi langsung
(hijau) pada epidermis manusia (a) dan tikus (b). Dalam epidermis manusia, AQP3
ditemukan pada stratum basal dan stratum spinosum. Dalam epidermis tikus, AQP3
hanya terdeteksi pada stratum basal, sedikit atau tidak ada pewarnaan pada stratum
granulosum atau stratum korneum.
2.8. Kerangka Teori
Proses penuaan (aging) pada kulit berakhir pada cell senescence, terjadi
penurunan kemampuan proliferasi dan turn over sel-sel kulit pada sel epidermis dan
dermis. Proses aging dipengaruhi oleh pajanan ultraviolet dan reactive oxygen
species.
Strategi untuk penemuan kosmeseutikal anti penuaan kulit ditujukan pada proses
peningkatkan kemampuan remove and repair sel-sel kulit. Pengembangan
kosmeseutikal juga ditujukan pada genomik skin care melihat ekspresi gen AQP3
yang mengatur trasport air dan gliserol pada sel keratinosit epidermis. AQP3
terekspresi pada membran plasma sel keratinosit di lapisan basal epidermis dan
berperan pada proses proliferasi keratinosit dan hidrasi kulit yang diperlukan dalam
proses penyembuhan luka (wound healing).
Kemampuan bahan aktif yang dapat meningkatkan ekspresi gen AQP3 pada sel
keratinosit memungkinkan pengembangan bahan aktif untuk terapi penyakit kulit
dengan proliferasi abnormal dan gangguan homeostasis kadar air (hidrasi kulit)
termasuk proses penuaan kulit.
2.9. Kerangka Konsep
Pada penelitian ini diharapkan Asiatikosida sebagai bahan aktif dari Centella
asiatica dapat meningkatkan ekspresi AQP3 pada sel NHEK (Normal Human
Epidermal Keratinocyte) tapi tidak bersifat sitotoksik. Fokus penelitian ini ingin
melihat apakah formulasi kosmeseutikal herbal Asiatikosida dalam Centella asiatica
dapat meningkatkan ekspresi gen AQP3 yang berperan mengatur hidrasi dan
proliferasi sel kulit dalam proses penyembuhan luka jika dibandingkan dengan asam
retinoat.
Elasticity
2.10. Hipotesis penelitian
1. Asiatikosida dalam Centella asiatica dapat meningkatkan ekspresi AQP3 pada
keratinosit epidermis kulit manusia.
2. Asiatikosida dalam Centella asiatica dapat meningkatkan ekspresi AQP3 pada
keratinosit kulit manusia lebih tinggi daripada AR.
Asiatikosida dalam Centella asiatica
Sel NHEK
(Normal Human Epidermial Keratinocyte)
Asam retinoat
Ekspresi AQP3
BAB 3
METODE PENELITIAN
a. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental in vitro menggunakan cell
line Normal Human Epidermal Keratinocyte (NHEK) yang diperoleh dari kultur
primer yang berasal dari kulit preputium anak usia 4-8 tahun.
Penelitian dibagi menjadi penelitian pendahuluan dan penelitian utama.
1. Penelitian pendahuluan: uji proliferasi sel NHEK setelah pemajanan terhadap
a. Asiatikosida dalam Centella asiatica
b. Asam retinoat
Penelitian pendahuluan bertujuan untuk optimasi Asiatikosida dalam Centella
asiatica dan asam retinoat sehingga dapat menentukan bentuk sediaan dan dosis yang
optimal yang akan digunakan dalam penelitian utama.
2. Penelitian utama:
a. Analisis ekspresi protein AQP3 pada sel NHEK dengan pemeriksaan
imunositokimia menggunakan antibodi Anti-Aquaporin3 ab125219
setelah pemajanan Asiatikosida dalam Centella asiatica dibandingkan
dengan AR.
b. Hasil kuantitatif imunositokimia dianalisis menggunakan software
ImageJ.
3.2 Strategi Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan studi eksperimental analitik. Parameter yang
diukur adalah
1. Analisis proliferasi keratinosit setelah dipajankan Asiatikosida dalam Centella
asiatica dan asam retinoat menggunakan uji MTT dalam satuan persen (%).
2. Analisis kuantitatif hasil imunositokimia protein AQP3 dengan menggunakan
Software ImageJ dalam satuan densitas partikel (µm2).
3.3. Bahan Penelitian
3.3.1. Kultur Sel Keratinosit
Kultur sel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan sel primer
yang berasal dari kulit preputium. Uji proliferasi dan imunositokimia untuk
keratinosit digunakan keratinosit passage 2 (Sun X) dari laboratorium terpadu
Universitas Yarsi.
3.3.2 Sampel Uji
Asiatikosida dalam Centella asiatica yang berasal dari Tawangmangu
disiapkan dan dibuat di laboratorium Teknologi Farmasi dan Medika BPPT kawasan
PUSPITEK Serpong dengan derajat deasetilisasi >75%. Asam retinoat didapat dari
perusahaan kimia BASF.
Bahan Uji berupa:
1. Asiatikosida dalam Centella asiatica (EECA) dengan dosis 0,25 mg/mL, 0,5
mg/mL dan 1 mg/m untuk uji proliferasi keratinosit pada epidermis kulit
manusia serta uji imunositokimia ekspresis protein aquaporin-3.
2. Asam retinoat dengan dosis 0,25 mg/mL, 0,5 mg/mL dan 1 mg/m untuk uji
proliferasi keratinosit pada epidermis kulit manusia serta uji imunositokimia
ekspresis protein aquaporin-3.
3.4. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Penelitian pendahuluan untuk uji proliferasi keratinosit dilakukan di
Teknologi Farmasi dan Medika BPPT kawasan PUSPITEK Serpong pada
bulan Januari-Maret 2016.
2. Penelitian ekspresi protein AQP3 dan Analisis ekspresi gen AQP3 (penelitian
utama) dilakukan di Laboratorium Transmission Electron Microscopy (TEM)
dan Histologi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pada bulan April 2016-
Juni 2016.
3.5. Prosedur Penelitian
3.5.1 Uji Proliferasi Keratinosit menggunakan Uji MTT.
Uji MTT adalah uji menggunakan microplate tanpa memerlukan proses
transfer sel. Metode ini diadaptasi untuk mengukur proliferasi dan sitotoksisitas
secara sensitif, cepat, dan semi-otomatis tanpa isotop l0 radioaktif. Uji MTT
didasarkan pada kemampuan selektif sel-sel hidup untuk mengurangi warna kuning
hasil presipitasi dari senyawa 3-(4,5-dimethylthiazolbromide). Jumlah sel yang hidup
terdeteksi karena konsentrasi produk reaksi MTT terlarut dan diukur menggunakan
spektrofotometer. Kelarutan produk MTT-reduksi formazan sedikit dalam isopropil
alkohol sementara karakteristik penyerapan yang lebih baik diamati dengan minyak
mineral dan DMSO sebagai pelarut. Jumlah produk formazan yang dihasilkan dan
kemudian diukur setelah pelarutan dalam DMSO sebanding dengan jumlah sel,
meskipun absorbansi mutlak untuk sejumlah sel yang diberikan bervariasi antara jenis
sel.
Pada 96 sumur dari monolayer fibroblas ditambahkan 20 µL MTT, dan
diinkubasi pada 37° C selama lebih 4 jam, kemudian ditambahkan 50 µL DMSO ke
setiap sumur. Setelah 15 menit inkubasi, absorbansi dideteksi dengan menggunakan
ELISA reader pada panjang gelombang 540 nm sampai dengan 690 nm. Uji MTT
diulang tiga kali menggunakan 3-(4,5-Dimethylthiazol-2-il)-2,5-diphenyltetrazolium
bromida sebagai substrat, yang secara aktif diserap oleh kertinosit dan kemudian
dinormalisasi dengan suksinat dehidrogenase mitokondria dengan melakukan
penambahan Nikotinamida Adenina Dinukleotida Dehydrogenase (NADH) yang
mengubah larutan berwarna kuning dalam air menjadi warna ungu formazane yang
tidak larut dalam air. Aktivitas proliferasi keratinosit dievaluasi pada 24, 48, dan 72
jam setelah perlakuan.
3.5.2. Uji Imunositokimia
Imunositokimia adalah teknik pendeteksi protein atau antigen spesifik pada
suspensi sel yang menggunakan antibodi spesifik. 103
Persiapan awal coverslip dibungkus dengan polieteilen selama 1 jam, bilas
dengan H2O steril 3x5 menit, keringkan dan sterilkan di bawah sinar ultraviolet
selama 4 jam. Tumbuhkan sel pada kaca coverslip dan bilas dengan Phosphate Buffer
Saline (PBS).
Fiksasi dengan methanol dan aseton selama 15 menit, kemudian dicuci
dengan PBS dingin 2x selama 5 menit. Untuk permeabilisasi inkubasi di PBS-Tween
20 kemudian cuci 3x dengan PBS selama 5 menit. Untuk blocking dan inkubasi
dalam 1% Bovine Serum Albumin (BSA) dalam Phosphate Buffered Saline Tween
(PBST) selama 30 menit, kemudian dilanjutkan dengan inkubasi di antibodi primer
selama 24 jam pada suhu 4⁰C, dengan pengenceran 1:10 untuk sel fibroblas dan 1:25
untuk keratinosit. Tuang dan cuci sel dengan PBS 3x selama 5 menit. Inkubasi lagi
dengan antibodi sekunder selama 1 jam, kemudian dicuci kembali dengan PBS 3x
selama 5 menit. Terakhir diinkubasi lagi dalam 3,3'Diaminobenzidine
tetrahydrochloride (DAB) dan bilas dengan PBS selama 3 menit dalam kondisi gelap.
Untuk counterstain dan mounting, sel diinkubasi dengan hematoxylin 5-7 kali, dicuci
dengan H2O 3 menit, difiksasi berturut-turut dengan etanol 96% 5x, etanol absolut
5x, dan mounted dengan gliserin gel dan coverslip. Ekspresi protein AQP3 pada sel
fibroblas dan keratinosit dianalisis menggunakan mikroskop cahaya Nikon dengan
pembesaran 400x. Pemeriksaan imunositokimia dilakukan di laboratorium TEM
Lembaga Eijkman di jalan Diponegoro, Jakarta.
3.5.3. Analisis Kuantitatif Protein AQP3 dalam Sel Keratinosit dengan software
ImageJ dari hasil Imunositokimia
Foto hasil imunositokimia disimpan dalam format gambar dan diedit untuk
menghapus bagian inti sel dan area yang tidak diinginkan guna menghitung ekspresi
warnanya. Foto yang sudah diedit disimpan dalam bentuk JPEG. Software ImageJ
dibuka untuk memilih gambar yang akan dianalisis. Ketika gambar telah terbuka,
pilih “Color Treshold” maka warna pada gambar akan diubah menjadi hitam putih
sehingga protein yang akan dianalisis berubah menjadi partikel-partikel hitam dengan
mengganti “Treshold Color” menjadi “Black and white” dan “Color Space” menjadi
“Hue Saturation Brightness”. Gambar akan berubah menjadi partikel hitam dan
putih, kemudian dianalisis dengan “Analyze Particle”. Tabel hasil perhitungan Image
J akan muncul beberapa saat. Tabel hasil perhitungan disimpan, dalam format yang
akan berubah menjadi Excel untuk dianalisis lebih lanjut dalam bentuk grafik, Total
Area, yaitu dengan cara merata-ratakan total area sebelum diubah dalam bentuk
grafik. 104
3.6. Analisis Statistik
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk gambar, tabel, atau grafik.
Untuk menilai hubungan kemaknaan dilakukan uji ANOVA one way apabila terdapat
perbedaan bermakana maka dilanjutkan dengan uji post hoc Tukey. Nilai kemaknaan
ditentukan pada p<0,05 menggunakan software Statistical Package for the Social
Sciences (SPSS).
3.7. Alur Penelitian
Analisis Aktivitas Proliferasi Keratinosit dengan Uji MTT
Analisis Ekspresi Protein AQP-3 dengan Teknik Imunositokimia dan Software
Image-J pada Keratinosit
Normal Human Epidermal Keratinocyte
Asiaticosida dalam Centella asiatica (3 dosis)
Kontrol Positif Asam Retinoat (3 dosis)
Kontrol Negatif
Analisis Aktivitas Proliferasi Keratinosit
24 jam (3
24 jam (3
24 jam (3
Normal Human Epidermal Keratinocyte
Asiaticosida dalam Centella asiatica (3 dosis)
Asam retinoat (3 dosis)
Analisis Ekspresi AQP3
Analisis Kuantitatif Ekspresi AQP3
Software Image-J
Teknik Imunositokimia
UJ I
MTT
UJ I
MTT
UJ I
MTT
24 jam
Top Related