1
Laporan Tahunan 2004
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
2
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Strategi pembangunan pertanian dalam dua dasawarsa yang lalu lebih
banyak diarahkan pada usaha meningkatkan produksi pertanian. Upaya
peningkatan produktivitas dan produksi pertanian belum menunjukkan
keberhasilan pembangunan pertanian seutuhnya, terutama dalam
peningkatan kualitas hidup petani. Peningkatan produktivitas belum menjamin
terjadinya peningkatan kesejahteraan petani, selama petani hanya mampu
menjual hasil panennya dalam bentuk bahan mentah. Pemasaran hasil dalam
bentuk bahan mentah, memiliki beberapa kelemahan diantaranya: nilai
tambahnya rendah, mudah rusak, daya simpan terbatas, dan konsistensi mutu
sulit dijamin. Selain itu, penanganan hasil panen juga masih lemah dengan
tingginya tingkat kehilangan hasil panen. Sebagai gambaran, tingkat
kehilangan hasil panen padi selama tahun 1997-2002 rata-rata mencapai
24,61% per tahun (Ditjen BP2HP, 2003).
Kegiatan pascapanen merupakan bagian integral dari pengembangan
sistem pertanian secara keseluruhan, yang dimulai dari aspek produksi bahan
mentah sampai pemasaran produk akhir. Peran kegiatan pascapanen menjadi
sangat penting, karena merupakan salah satu sub-sistem agribisnis yang
mempunyai peluang besar dalam upaya meningkatkan nilai tambah produk
agribisnis. Sebagai gambaran, nilai PDB yang dihasilkan industri pengolahan
berbahan baku komoditas primer perkebunan adalah sebesar Rp. 1.666,6 triliun
atau lebih dari empat puluh kali lipat nilai PDB komoditas primer perkebunan
yang besarnya Rp. 37,6 triliun (Saragih, 2003).
Dibanding dengan produk segar, produk olahan mampu memberikan nilai
tambah yang sangat besar. Harga kelapa di tingkat petani sangat rendah Rp.
250–500 per butir, bila diolah menjadi minyak kelapa murni (Virgin Coconut
Oil/VCO) harganya Rp. 80.000–250.000 per kg (rendemen VCO = 1 kg/12-15
butir), belum termasuk nilai tambah dari produk sampingnya seperti: isotonic
3
drink air kelapa, nata de coco, tempurung dan sabut kelapa. Harga vanili
mentah di tingkat petani sangat rendah berkisar Rp. 10.000–50.000 per kg
polong segar, sedangkan harga vanili kering berkisar Rp. 400.000–3.000.000 per
kg (rendemen = 1/6 kg polong segar). Hasil pertanian, terutama yang bersifat
musiman seperti: cabai, mangga, tomat dan jeruk; biasanya merosot tajam
pada saat musim panen, dan harga tersebut naik seiring dengan berkurangnya
pasokan dari petani, sedangkan harga produk olahannya stabil dan tidak
pernah turun.
Walaupun Indonesia merupakan salah satu produsen utama produk
pertanian dunia, tetapi daya saing komoditas Indonesia di pasar internasional
masih lemah. Beberapa komoditas ekspor unggulan seperti sawit, karet, kakao,
kelapa, lada dan minyak atsiri, belum mampu menguasai pangsa pasar
maupun menjadi acuan harga internasional. Hal ini terjadi, karena selama ini
hanya mengandalkan keunggulan komparatif dengan kelimpahan
sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik (factor–driven), sehingga
produk yang dihasilkan didominasi oleh produk primer atau bersifat natural
resources-based dan unskilled-labor intensive (Saragih, 2003). Mutu produk
pertanian yang tidak konsisten dan tingginya cemaran (seperti aflatoxin dan
bakteri salmonella, kotoran dan hama gudang) merupakan salah satu
penyebab rendahnya daya saing produk pertanian Indonesia.
Untuk kepentingan kebutuhan pasar di dalam negeri, Indonesia
mengimpor cukup besar produk maupun komponen bahan industri, bahan
pangan, dan pakan yang bahan bakunya tersedia cukup besar di Indonesia
seperti pati dan produk turunan, konsentrat pakan, parfum, aneka produk
makanan, produk oleo-chemical, bahan kosmetika, dan farmasi. Dilihat dari
data impor, maka pada kurun waktu (tahun 1997-2000) rata-rata impor produk
olahan mencapai US$ 1.894,7 juta dan produk segar mencapai US$ 1.358,9 juta
(BPS, 2001). Besarnya nilai impor ini menunjukkan bahwa produksi pertanian dan
industri pengolahan khususnya yang bahan bakunya tersedia di dalam negeri
harus dipacu perkembangannya. Pengolahan lebih lanjut dan pengembangan
4
produk baru diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk dan
memaksimalkan nilai ekonomi komoditas pertanian, yang akan berdampak
pada peningkatan pendapatan petani.
Tingkat pendapatan pelaku agribisnis, khususnya petani dan pengolah
skala kecil-menengah masih tergolong pada tingkat ekonomi lemah.
Penguasaan teknologi maupun level teknologinya sebagian besar masih
tergolong tradisional. Lemahnya adopsi teknologi baru, selain terbatasnya
teknologi yang tersedia, juga disebabkan rendahnya kemampuan petani
mengakses teknologi baru. Pengolahan lebih lanjut dan pengembangan
produk baru diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk dan
memaksimalkan nilai ekonomi komoditas pertanian, yang akan berdampak
pada peningkatan pendapatan petani.
Pengembangan agribisnis dan agroindustri yang berdaya saing dalam
menyongsong perdagangan bebas memberi konsekuensi pengembangan
agroindustri harus berbasis inovasi teknologi. Dengan memperhatikan issu dan
tantangan dalam sistem dan usaha agribisnis, maka perakitan dan
pengembangan inovasi teknologi pascapanen membutuhkan pendekatan
serta strategi penelitian dan pengembangan yang lebih komprehensif.
B. TUGAS POKOK DAN FUNGSI
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB-
Pascapanen) merupakan institusi baru di lingkup Badan Litbang Pertanian yang
diawali dengan terbentuknya Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. Berdirinya
Balai Penelitian Pascapanen Pertanian (Balitpasca) berdasarkan Kepmen No.
76/Kpts/OT.210/1/2002 tanggal 29 Januari 2002, sebagai institusi penelitian
setingkat eselon IIIA, mempunyai tugas pokok melaksanakan kegiatan
penelitian bidang pascapanen pertanian. Berdasarkan SK Menteri Pertanian
No. 623/Kpts/OT.140/12/2003 tanggal 30 Desember 2003, organisasi Balai
Penelitian Pascapanen Pertanian ditingkatkan eselonnya menjadi Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (eselon IIB), dengan
5
tugas pokok melaksanakan dan merumuskan program penelitian dan
pengembangan teknologi pascapanen pertanian. Dalam melaksanakan tugas
pokok tersebut, BB-Pascapanen menyelenggarakan fungsi:
a. Menyusun program dan evaluasi penelitian dan pengembangan
pascapanen;
b. Melaksanakan penelitian identifikasi dan karakterisasi sifat fungsional dan
mutu hasil pertanian;
c. Melaksanakan penelitian pengolahan hasil, perbaikan mutu, pemanfaatan
limbah, dan pengembangan produk baru;
d. Melaksanakan penelitian teknologi proses fisik, kimia, dan biologi hasil
pertanian;
e. Melaksanakan penelitian sistem mutu dan keamanan pangan hasil
pertanian;
f. Melaksanakan pengembangan sistem informasi teknologi pascapanen
pertanian;
g. Melaksanakan pengembangan komponen teknologi sistem dan usaha
agribisnis bidang pascapanen pertanian;
h. Melaksanakan kerjasama dan pendayagunaan hasil penelitian pascapanen
pertanian.
6
PROGRAM PENELITIAN
A. VISI DAN MISI
Sebagai institusi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam
penelitian dan pengembangan teknologi pascapanen pertanian, BB-
Pascapanen menetapkan visinya sejalan dengan visi pembangunan pertanian
dan visi Badan Litbang Pertanian. Visi BB-Pascapanen dirumuskan berdasarkan
kajian orientasi masa depan (future oriented), perubahan paradigma
pembangunan pertanian, serta kebutuhan institusi yang profesional. Visi BB-
Pascapanen dirumuskan sebagai berikut:
Menjadi institusi utama dan andalan nasional dalam penelitian dan
pengembangan inovasi teknologi pascapanen pertanian.
Visi tersebut merupakan pandangan jauh ke depan, ke mana dan
bagaimana meletakkan BB-Pascapanen pada landasan SDM yang kuat,
disertai kebijakan penelitian dan pengembangan yang jelas dan terarah agar
BB-Pascapanen memiliki posisi strategis bagi peningkatan daya saing sistem
dan usaha agrabisnis yang berbasis inovasi teknologi. BB-Pascapanen harus
mampu menjadi institusi yang memiliki kompetensi di bidang penelitian dan
pengembangan pascapanen untuk mendukung dinamika dan nilai-nilai
pembangunan pertanian. Harapan tersebut merupakan suatu kondisi yang
menantang di masa depan baik cita, citra yang ingin diwujudkan mengingat
situasi dan kondisi yang dihadapi saat ini.
Untuk mewujudkan visi yang telah dirumuskan, maka disusun misi sebagai
suatu kesatuan gerak dan langkah dalam mencapai visi. Dalam merumuskan
misi ada 2 (dua) kepentingan yang menjadi bahan pertimbangan, yaitu: (1)
kepentingan internal (competence quality dan commitment growth) dan, (2)
kepentingan eksternal (masyarakat/ stakeholders). Misi yang dirumuskan
berkaitan erat dengan lembaga, karena keberhasilan organisasi akan diukur
7
dari keberhasilan misinya. Adapun rumusan Misi BB-Pascapanen adalah
sebagai berikut:
1. Menciptakan inovasi teknologi pascapanen pertanian dalam rangka
peningkatan nilai tambah hasil pertanian;
2. Melakukan pengembangan dan penyebarluasan inovasi teknologi dan
rekomendasi kebijakan pascapanen pertanian sesuai dinamika kebutuhan
pengguna;
3. Membangun jaringan kerjasama nasional dan internasional untuk
meningkatkan citra BB-Pascapanen;
4. Mengembangkan sistem kelembagaan dan kompetensi sumberdaya untuk
meningkatkan kinerja institusi agar mampu memberikan pelayanan prima.
B. PENDEKATAN STRATEGIS
Tahun 2004 merupakan tahun transisi perubahan Balai Penelitian
Pascapanen Pertanian (Balitpasca) menjadi Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB-Pascapanen), serta periode transisi
berakhirnya RIPP Balitpasca 2002–2004, yang akan dilanjutkan dengan Renstra
BB-Pascapanen 2005–2009. Program yang dilaksanakan oleh BB-Pascapanen
pada TA. 2004 merupakan pelaksanaan Tupoksi Balitpasca, karena kegiatan TA
2004 disusun pada tahun 2002.
BB-Pascapanen sebagai salah satu institusi penelitian, dalam penyusunan
program-program penelitian tidak terlepas dari perkembangan kebijakan Iptek
Nasional. Adanya UU No. 18/2002 mengenai Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan Iptek, menimbulkan paradigma baru sebagai
berikut: (a) kerjasama penelitian dan pengembangan antara lembaga tingkat
pusat dan daerah lebih digalakkan; (b) kerjasama penelitian dan
pengembangan antara lembaga publik dan swasta lebih dirangsang; (c)
kerjasama penelitian dan pengembangan antara lembaga nasional dan
internasional memperoleh peluang lebih besar.
8
Kegiatan pascapanen merupakan bagian integral dari pengembangan
sistem pertanian secara keseluruhan, yang dimulai dari aspek produksi bahan
mentah hingga pemasaran produk akhir. Sejalan dengan hal itu, keberadaan
BB-Pascapanen dalam melaksanakan tupoksinya sangat terkait dengan
mandat unit kerja lainnya dibawah Badan Litbang Pertanian, seperti dengan
Balai Penelitian Komoditas dalam mengembangkan hasil pertanian yang
berkualitas, dengan Pusat Litbang Sosial Ekonomi Pertanian dalam aspek
pemasaran, dan dengan Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian
dalam aspek penggunaan alat-alat pengolahan.
Pada tahun-tahun awal pelaksanaan program penelitian pascapanen
(2002–2004), prioritas kegiatan penelitian diarahkan kepada perakitan
komponen dan scale up teknologi yang sudah tersedia untuk menghasilkan
model agroindustri yang mempunyai daya saing tinggi melalui konsep
pengolahan terpadu, sehingga dalam waktu yang relatif singkat teknologi yang
dihasilkan dapat diimplementasikan di lapangan. Untuk mempertajam
pencapaian sasaran penelitian, maka kegiatan penelitian yang dilaksanakan
dalam periode tersebut ditentukan berdasarkan kriteria :
a. Hasil penelitian akan memberi nilai tambah yang tinggi.
b. Adanya permintaan yang tinggi terhadap produk baik di dalam negeri
maupun untuk kebutuhan ekspor.
c. Ketersediaan mitra dalam pengembangan atau adopsi teknologi yang
dihasilkan serta menunjang program pengembangan kawasan ekonomi
terpadu, baik dari Direktorat Teknis maupun Pemerintah Daerah.
d. Ketersediaan bahan baku atau sifat strategis dari komoditas dan luas
pertanamannya.
e. Peluang keberhasilan penelitian dipandang dari ketersediaan tenaga
peneliti, keahlian, dan fasilitas yang diperlukan.
9
C. PROGRAM PENELITIAN 2002 - 2004
Selama periode tahun 2002-2004, telah ditetapkan Program Utama
Penelitian Pascapanen jangka menengah sebagai berikut:
1. Program penelitian menyediakan teknologi pangan alternatif
Tujuan program penelitian adalah dapat memenuhi kebutuhan
pangan melalui diversifikasi produk, khususnya berbahan baku non-beras.
Sasaran produk diarahkan pada penyiapan bahan pangan untuk
masyarakat kurang gizi, balita, kecukupan gizi dan pangan untuk keadaan
darurat (instan). Penelitian juga diarahkan untuk mengangkat bahan
pangan tradisional menjadi bahan pangan yang bermutu dengan citra
tinggi.
2. Program penelitian peningkatan pemanfaatan hasil dan limbah pertanian
Program penelitian ini bertujuan untuk menampung berbagai
penelitian yang bersifat visioner dan eksploratif dalam usaha peningkatan
nilai tambah komoditas pertanian, baik dari produk yang sudah ada,
maupun penanganan bahan baku dan limbah pertanian, sehingga dapat
lebih bermanfaat bagi industri pangan, kosmetik dan farmasi. Kegiatan
penelitian ini dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi kimia, biofisika
dan bioproses.
3. Program penelitian peningkatan daya saing produk segar dan olahan hasil
pertanian
Proram penelitian ini bertujuan meningkatkan daya saing produk
melalui perbaikan mutu, efisiensi proses, penciptaan model agroindustri
terpadu, perakitan dan peningkatan skala komponen teknologi
pascapanen. Kegiatan penelitian menyangkut pengamatan terhadap
aspek tekno-sosio-ekonomis bagi kelayakan operasi dan panduan
komponen teknologi pascapanen yang telah dihasilkan.
10
4. Program penelitian mendukung pengembangan sistem mutu dan keamanan
pangan
Penelitian ini bertujuan mengembangkan sistem manajemen mutu
yang sesuai bagi agroindustri berbasis komoditas unggulan Indonesia untuk
dapat bersaing sehubungan dengan masuknya produk impor. Penelitian
diarahkan pada pengembangan sistem mutu dan pengawasan terhadap
keamanan pangan yang dapat diterapkan pada model agroindustri,
khususnya skala UKM.
5. Program diseminasi hasil penelitian untuk percepatan pengembangan
agroindusri
Program ini merupakan upaya penyampaian inovasi teknologi
pascapanen yang dihasilkan kepada pengguna, seperti petani, pengusaha
dan pemerintah yang dilakukan melalui berbagai medium dan cara.
Kerjasama internal unit penelitian lingkup Badan Litbang Pertanian dan
instansi terkait di daerah akan dilakukan untuk mendapatkan umpan balik
bagi teknologi yang diintroduksi.
11
HASIL KEGIATAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
A. PROGRAM PENYEDIAAN TEKNOLOGI PANGAN ALTERNATIF
1. Penelitian Pengembangan Teknologi Pangan Berbasis Sagu, Sukun dan Labu
Kuning
Sagu
Sagu dinilai sebagai salah satu pangan pokok di Kawasan Timur
Indonesia. Namun tidak dapat dipungkiri, sebagai pangan pokok, sagu
masih menempati posisi di bawah beras atau terigu. Oleh karena itu produk
olahan sagu perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
keinginan masyarakat. Saat ini konsumen cenderung menginginkan produk
yang sifatnya fleksibel, mudah dikonsumsi atau disajikan tanpa menimbulkan
kesan inferior. Pada penelitian ini dilakukan perbaikan teknologi pembuatan
mi sagu dan teknologi pembuatan sagu bakar.
Pada penelitian tahun 2004, telah diperoleh karakteristik pati sagu dari
Palopo Sulawesi Selatan yang diolah menjadi mi dan sagu lempeng. Pati
sagu mempunyai kandungan air 12,47 %, kadar abu 0,29 %, lemak 0,53 %,
protein 0,26 % dan amilosa 35,03 %.
Mi sagu
Produk pangan olahan dalam bentuk mi merupakan salah satu
produk yang dapat memenuhi selera konsumen. Pembuatan mi dari bahan
baku pati sagu (Metroxylon Sp) agak berbeda dengan pembuatan mi dari
bahan terigu. Berbeda dengan terigu, pati sagu tidak memiliki gluten dan
hal ini mengakibatkan adonan agak sulit ditangani. Pembuatan mi sagu
diawali dengan pembuatan binder yaitu berupa pati tergelatinasi.
Selanjutnya pati kering, ditambahkan ke dalamnya sambil diaduk hingga
terbentuk adonan licin. Adonan dicetak, direbus, direndam dan ditiriskan
serta dilumuri dengan minyak sayur agar tidak lengket. Penelitian untuk
12
memperbaiki mutu mi sagu dilakukan antara lain dengan perbaikan
teknologi pengolahan dan mengurangi penggunaan aditif, sehingga
menghasilkan mi sagu yang disukai konsumen dan produknya tidak berbau.
Pada penelitian ini, mi yang dihasilkan dalam keadaan kering.
Sebelum dikeringkan, mi diperam terlebih dahulu selama sekitar 24 jam di
ruangan yang berbeda kondisinya. Ruang pemeraman adalah “Freezer”,
“Cool Room” dan “Refrigerator”. Mi yang tidak diperam digunakan sebagai
kontrol. Perlakuan pemeraman mengakibatkan perbedaan beberapa sifat
fisik mi pati sagu terutama warna, lama waktu perebusan dan tekstur mi
setelah direhidrasi. Sedangkan komposisi kimia mi sagu tidak dipengaruhi
oleh perlakuan pemeraman. Warna mi lebih cerah diperoleh pada kondisi
pemeraman di dalam freezer, sedangkan pemeraman di dalam cool room
atau refrigerator menghaslkan mi yang warnanya sebanding dengan
perlakuan kontrol (tanpa pemeraman). Waktu perebusan paling singkat
(sekitar 7 menit) diperoleh pada mi sagu yang selama proses mengalami
pemeraman di cool room.
Perbedaan perlakuan pemeraman tidak mengakibatkan perbedaan
cooking losses dan kapasitas pengembangan produk. Cooking losses dan
kapasitas pengembangan mi sagu adalah 0,66-0,89% dan 238-257%. Mi
yang tidak diperam dan yang diperam dalam cool room bersifat lebih tidak
mudah patah dibanding mi yang diperan di dalam freezer maupun di
dalam refrigerator. Perlakuan pemeraman mengakibatkan tekstur mi setelah
rehidrasi menjadi relatif lebih mudah patah dibandingkan mi yang tidak
menerima perlakuan pemeraman. Meskipun secara obyektif terdapat
perbedaan warna mi dan tekstur mi (setelah rehidrasi), namun perbedaan
tersebut tidak terdeteksi oleh panelis. Kadar RS (resistant starch) tidak banyak
dipengaruhi oleh perlakuan pemeraman. Secara keseluruhan kadar RS di
dalam mi sagu lebih besar (4-5 kali) dibanding mi instan (terigu). Pemeraman
di dalam cool room dianggap paling baik karena menghasilkan mi yang
cukup kuat serta membutuhkan waktu perebusan paling singkat.
13
Sebagai pangan pokok, mi sagu dikonsumsi bersamaan dengan
bahan pangan lainnya agar diperoleh zat gizi yang memadai. Beberapa
resep olahan mi sagu dikembangkan dan enam diantaranya
dikembangkan lebih lanjut karena terbukti diminati oleh panelis. Resep yang
dikembangkan kemudian dihitung nilai gizinya dengan bantuan Daftar
Komposisi Bahan Makanan.
1. Mi sagu saus daging mempunyai kandungan kalori 160,4 kal dan
protein 6,07 g;
2. Martabak mi sagu mempunyai kandungan kalori 159,2 kal dan
protein 7,5 g;
3. Mi sagu sop asam pedas mempunyai kandungan kalori 147,7 kal
dan protein 5,8 g;
4. Mi silet mempunyai kandungan kalori 214,9 kal dan protein 7,0 g;
5. Skutel mi sagu mempunyai kandungan kalori 221,5 kal dan
protein 11,8 g;
6. Mi sagu bumbu kacang mempunyai kandungan kalori 338,6 kal
dan protein 5,6 g.
Mi sagu yang diperkenalkan di Masamba dan Makassar diterima oleh
lebih dari 70% responden anak-anak, orang dewasa dan rumah tangga. Mi
sagu yang diperkenalkan dapat memberikan kontribusi sekitar 7 % terhadap
kebutuhan kalori anak usia sekolah. Mi memberikan kontribusi kalori 3 %
berdasarkan angka kecukupan kalori rata-rata yaitu 2500 kalori.
Sagu bakar
Secara tradisional, sagu bakar/sagu lempeng dibuat dengan cara
memanaskan adonan secara langsung di dalam cetakan yang dibuat dari
tanah liat. Cara ini seringkali kurang praktis. Dalam penelitian ini proses
pembuatan sagu bakar dimodifikasi dengan cara memanaskan adonan
secara tidak langsung di dalam cetakan kemudian dipanggang di dalam
oven.
14
Pembakaran tidak langsung di dalam oven pada suhu 200 oC selama
5 menit menghasilkan sagu lempeng yang kompak dan matang.
Pengembangan formula sagu lempeng dengan menambahkan bahan-
bahan lain yaitu susu skim dan madu (Formula I), susu skim dan gula pasir
(Formula II), pisang dan gula (Formula III), pure labu kuning dan garam
(Formula IV) serta pasta kacang hijau (Formula V) berpengaruh sangat
nyata terhadap sifat fisik dan komposisi kimianya. Formula dapat
menambah pilihan/alternatif sagu lempeng dengan beberapa cita rasa.
Sagu lempeng yang diperkaya dengan bahan-bahan lain (Formula I, II, III, IV
dan V) memiliki warna lebih cerah dibanding sagu lempeng tanpa
penambahan bahan lain (Formula Standar).
Sagu lempeng Formula I, II dan III memiliki tekstur lebih lunak dan
daya serap air lebih kecil (kurang dari 0,6 g/g) dibanding sagu lempeng
Formula standar atau Formula IV dan V. Nilai aw sagu lempeng Formula I, II
dan III juga kecil (kurang dari 0,60), sehingga dapat disimpan lebih lama
dibanding Formula Standar maupun Formula IV dan V. Kadar protein di
dalam sagu lempeng yang mengandung susu skim (Formula I dan II) atau
kacang hijau (Formula V) mengandung protein masing-masing sekitar 4%
dan 7%. Kadar protein dalam formula lainnya kurang dari 1%. Sagu lempeng
yang mengandung kacang hijau memiliki rasa yang paling disukai oleh
panelis, namun karena nilai aw cukup tinggi maka formula ini tidak tahan
simpan.
Gambar 1. Contoh Produk mi sagu yang disajikan dengan sop asam pedas untuk
meningkatkan rasa dan kandungan gizinya
15
Sukun
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik sifat fisiko-kimia
bahan mentah dan tepung sukun dari berbagai varietas di Indonesia, dan
mengembangkan produk olahan dari bahan tepung sukun, serta
mengidentifikasi potensi lokasi untuk penerapan model agroindustri tepung
sukun. Rendemen tepung sukun yang diperoleh sebesar 21–23%. Buah sukun
yang sudah dalam bentuk tepung mempunyai daya simpan yang lebih
lama, lebih mudah dalam pengemasan dan penyimpanan, serta lebih
mudah untuk diolah menjadi berbagai produk olahan lain.
Hasil analisis terhadap sifat amilografi tepung sukun menunjukkan
viskositas puncaknya lebih dari 1.000 BU. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
tepung sukun mempunyai daya mengembang lebih baik dari terigu. Tepung
sukun dapat dimanfaatkan untuk mensubstitusi tepung terigu sampai 40%
dalam formulasi mi.
Dalam proses pembuatan tepung sukun masih diperlukan perbaikan
teknologi sebelum diaplikasikan di lapangan. Hal ini mengingat sifat sukun
segar mudah terjadi pencoklatan setelah proses pengupasan yang akan
mempengaruhi mutu tepung sukun. Diperlukan langkah optimal untuk
mencegah pencoklatan selain diperlukan proses yang cepat untuk
pengupasan. Pengupasan dilakukan dengan alat pengupas sukun,
kemudian langsung direndam air menghindari proses oksidasi. Perlu juga
proses pengepresan untuk mengurangi air dan enzim poliphenolase, serta
untuk mempercepat dalam pengeringan. Pada penelitian ini, telah
dirancang teknologi proses pengeringan untuk mencapai kadar air kurang
dari 14%. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah lama
pengeringan (39, 45, dan 51 menit) dan lama spin (5, 10 dan 15 menit).
Perlakuan tersebut memberikan pengaruh terhadap sifat kimiawi, fisik dan
amilografi tepung sukun. Dengan perlakuan lama spin 10-15 menit dan lama
pengeringan 39-51 menit pada suhu 650C menghasilkan rendemen, derajat
patah, kehalusan dan viskositas tepung sukun paling baik.
16
Pengembangan produk berbasis sukun
Produk kue kering, untuk pembuatan kue kering dari bahan tepung
sukun sampai 20% masih diterima konsumen, namun di atas 20%, kue kurang
disukai konsumen. Hasil uji organoliptik menunjukkan bahwa warna,
penampakan dan kesukaan produk sampai subtitusi tepung kasava 20%
masih disukai panelis, sedangkan masih adanya rasa pahit, aroma sukun
menyebabkan kurang disukai panelis.
Produk Roti, dari bahan substitusi tepung sukun pada terigu masih
disukai panelis. Perbandingan terigu dengan tepung sukun menunjukkan
formula 90:10. Hasil organoleptik roti sukun dengan bahan baku substitusi
tepung pada terigu sampai 10% masih disukai panelis. Parameter yang
mempengaruhi tingkat kesukaan panelis pada produk roti terutama karena
semakin banyak substitusi tepung sukun produk roti kurang mekar dan
aroma senyawa pada sukun semakin tajam dan tidak disukai panelis.
Produk ekstrudat, produk ekstrusi tepung sukun dibuat dengan
menggunakan alat ekstruder berulir tunggal. Ekstruder ini bekerja secara
termodinamik dimana alat ini menghasilkan panas sendiri melalui konversi
energi mekanik selama proses pengaliran bahan. Pemanasan awal
dilakukan pada sekitar lubang "die". Kadar air awal bahan 18-20%, suhu
selama proses 150-178oC, melalui corong pemasukan bahan akan
tercampur oleh ulir yang bergerak ke arah depan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa formula campuran tepung jagung dibanding tepung
sukun dengan perbandingan 75:25 menghasilkan produk ekstrudat seperti
pellet yang disukai oleh panelis.
Uji preferensi konsumen dan pemasaran terhadap produk tepung
sukun dan produk olahannya dilakukan melalui survey di Kabupaten Kediri.
Untuk menarik konsumen, dilakukan uji klinis yang menghasilkan informasi
tentang khasiat tepung sukun untuk menurunkan asam urat
Dari hasil uji klinis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak buah sukun
dosis sedang (1,08 g/ 200 g berat badan tikus) dapat menurunkan kadar
17
asam urat darah sampai 0,925 mg/dl, selanjutnya untuk dosis rendah (0,54 g/
200 g berat badan tikus) menurunkan asam urat sampai 0,66 mg/dl dan
dosis tinggi (2,16 g/ 200 g berat badan tikus) dapat menurunkan asam urat
sampai 0,3 mg/dl. Bila dibandingkan dengan pembanding (kontrol positif)
yaitu allopurinol dengan dosis 5,4 mg/ 200 berat badan tikus dapat
menurunkan asam urat sampai 2 mg/dl, berarti kemampuan ekstrak buah
sukun untuk menanggulangi masalah asam urat lebih kecil dibanding
dengan obat sintetis yang mengandung senyawa aktif allopurinol.
Pengembangan sistem kelembagaan agroindustri sukun
Pada proses produksi bahan baku buah sukun dilakukan oleh petani
sukun, sedangkan proses produksi tepung sukun dilakukan oleh Kelompok
Tani "Laju Makmur". Kelompok wanita tani memproduksi hasil olahan pangan
dari bahan baku tepung tersebut dan memasarkannya melalui tempat
pemasaran yang khusus dibuat oleh kelompok tani. Instansi pemerintah
sebagai fasilitator membantu dalam pembinaan pelaksanaan usaha
agroindustri tepung sukun tersebut.
Pembangunan industri pengolahan tepung sukun skala menengah
diawali dengan membangun kelembagaan antar stakeholder. Dilakukan
kesepakatan antara BB-Pascapanen dengan Dinas Pertanian Tanaman
Pangan (Pemda Kabupaten Kediri) untuk menciptakan pasar produk-produk
olahan dari bahan baku sukun sebagai "produk untuk oleh-oleh" khas
Kabupaten Kediri. Jenis produk olahan sukun yang diproduksi antara lain kue
kering (kue gabus, kue keju, kue gapit dan kue kering rasa coklat), kripik dan
stik sukun.
Labu Kuning
Hasil penelitian terhadap analisis sifat fisik labu kuning untuk
mengetahui pengaruh tingkat kematangan terhadap karakteristik fisik labu
kuning. Perubahan fisik yang umum terjadi selama proses pematangan
adalah perubahan warna kulit dan daging buah. Perubahan ini terjadi
18
karena perombakan pigmen klorofil. Hilangnya warna hijau pada kulit
menjadi kuning disebabkan oleh struktur pigmen klorofil terdegradasi yang
kemudian diikuti dengan pembentukan atau munculnya pigmen berwarna
kuning sampai merah. Struktur sel kulit labu selama pematangan juga
mengalami perubahan semakin keras, karena adanya sekumpulan sel-sel
sklerenkim yang mengalami penebalan. Selain itu juga terbentuk lapisan lilin
yang semakin tebal karena terjadi polimerisasi asam-asam hidrokarboksilat
dengan beberapa kelompok senyawa yang dapat diesterkan.
Hasil analisis skrining fitokimia labu kuning segar menunjukkan bahwa
bahan aktif yang ada pada bagian buah, kulit dan biji labu kuning adalah
alkaloid dan saponin. Hasil analisa secara kualitatif dengan reaksi warna
menunjukkan bahwa kandungan bahan aktif pada bagian buah lebih tinggi
dibandingkan pada kulit dan biji. Hal ini ditunjukkan dengan kepekatan
warna yang dihasilkan pada saat reaksi warna berdasarkan asumsi warna
yang lebih pekat berarti mengandung kadar bahan aktif yang lebih tinggi.
Hasil analisis kandungan gizi labu kuning menunjukkan kandungan
protein labu kuning cenderung mengalami penurunan selama proses
pematangan buah (1,27-0,81%), sedangkan kadar lemak dan serat kasar
mengalami peningkatan (0,20-0,43%) dan kadar pati selama proses
pematangan cenderung mengalami penurunan (21,63-10,56%), hal ini
disebabkan karena terjadi peningkatan aktivitas enzim α-amilase yang
menghidrolisis pati menjadi bentuk lebih sederhana. Kadar pektin selama
proses pematangan ternyata tidak mengalami perubahan yang berarti (+
6,90%). Hasil analisis terhadap kandungan vitamin A menunjukkan bahwa
kadar vitamin A selama proses pematangan mengalami peningkatan (435-
992 IU/100 g).
Penelitian pembuatan produk setengah jadi bertujuan untuk
mempersiapkan labu kuning sebagai bahan baku produk olahan,
penyimpanan bahan baku yang relatif lebih lama, serta lebih praktis pada
saat membuat produk. Produk intermediate labu kuning dikembangkan
19
dalam bentuk puree dan tepung labu kuning. Penelitian pengolahan puree
labu kuning dititikberatkan pada daya simpan produk. Untuk
memperpanjang daya simpan digunakan pengawet yang terdiri atas tiga
jenis yaitu bisulfit, benzoat dan potassium sorbat dengan konsentrasi 0,05%;
0,10% dan 0,15% dengan suhu penyimpanan yang berbeda yaitu suhu
lemari es (5oC) dan suhu kamar (27-280C). Metode pembuatan puree labu
kuning yang digunakan, yaitu (1) pengawet yang dicampur setelah labu
kuning dihaluskan, dan (2) pengawet yang digunakan sebagai cairan
perendam labu sebelum diblansir. Berdasarkan hasil uji fisik menunjukkan
bahwa puree dengan metode kedua memiliki ciri fisik yang lebih baik
dibandingkan metode 1, yaitu pada penyimpanan minggu kelima warna
orange puree yang disimpan pada suhu dingin lebih cerah, cairan yang
terpisah dari padatan puree labu hanya sedikit demikian pula halnya
dengan pembentukan gas. Perubahan kadar air mengalami peningkatan
selama penyimpanan 5 minggu, sedangkan kadar air pada penyimpanan
di suhu dingin relatif tetap. Peningkatan kadar lemak pada puree yang
disimpan di suhu dingin lebih rendah dibandingkan kadar lemak puree labu
yang disimpan di suhu kamar. Sementara itu kadar abu dan kadar protein
relatif tetap. Tingkat kecerahan warna puree labu setelah 5 minggu baik
pada penyimpanan suhu dingin maupun suhu ruang tampak menurun,
namun penurunan tingkat kecerahan warna puree pada suhu dingin tidak
sebesar pada suhu ruang. Pada derajat kemerahan warna puree,
beberapa perlakuan menunjukkan adanya perubahan warna dari kuning
kemerahan menuju warna kuning keputih-putihan.
Berdasarkan uji hedonik terhadap warna, tampak bahwa pada
pengamatan minggu ke-0 pada suhu dingin maupun suhu ruang panelis
menyukai warna puree labu pada taraf kesukaan 3,4 dengan penggunaan
pengawet benzoat 0,05% dan bisulfit 0,15% dan tidak menyukai puree (1,8)
pada penggunaan pengawet bisulfit 0,05%. Sedangkan kesukaan panelis
terhadap aroma puree pada suhu dingin maupun suhu ruang adalah 3,2
20
pada penggunaan bisulfit 0,05% dan terendah (2,4) pada penggunaan
sorbat 0,15%.
Pengamatan uji kesukaan warna puree pada minggu kelima,
menunjukan panelis menyukai (3,8) dengan penggunaan sorbat 0,15% dan
benzoat 0,10% pada penyimpanan suhu dingin dengan intensitas warna 2,7;
panelis tidak menyukai warna puree (1,5) dengan penggunaan pengawet
bisulfit 0,05%. Pada suhu ruang, warna puree disukai (3,9) pada penggunaan
sorbat 0,15% dengan intensitas warna 2,7; dan panelis tidak menyukai warna
puree (1,80 pada penggunaan sorbat 0,05% dan 0,10%.
Kesukaan terhadap aroma puree pada pengamatan minggu kelima
adalah disukai (2,9) dengan penggunaan pengawet bisulfit 0,15% pada
penyimpanan di suhu dingin dengan intensitas aroma 2,1; panelis tidak
menyukai puree (2,0) pada penggunaan benzoat 0,05%. Sedangkan pada
suhu ruang aroma puree disukai (2,8) dengan penggunaan benzoat 0,10%
dan intensitas 2,1; panelis tidak menyukai aroma puree (1,5) pada
penggunaan bisulfit 0,05% dengan intensitas 1,5.
Penelitian pembuatan tepung labu kuning dilakukan dengan 3
perlakuan yaitu buah labu kuning yang dikuliti dan tidak dikuliti,
menggunakan kapur dengan konsentrasi 0,15% dan 0,20% dengan lama
perendaman 1 dan 2 jam. Rendemen tepung labu kuning yang tidak dikuliti
berkisar antara 8,95% sampai 10,05%, lebih tinggi dibandingkan dengan
tepung tanpa kulit yaitu 6,27% sampai 6,58%. Lama perendaman
mempengaruhi kadar air tepung. Perendaman 2 jam memberikan kadar air
lebih kecil dibandingkan dengan perendaman 1 jam. Lama perendaman
akan meningkatkan kekerasan bahan karena akan terjadi ikatan antara
kalsium dengan pektin dalam buah sehingga terbentuk kalsium pektat yang
keras dan mudah dikeringkan. Air kapur adalah sumber ion kalsium yang
secara kimia akan berikatan dengan pektin dalam labu kuning membentuk
kalsium pektat sehingga produk menjadi renyah. Kalsium pektat ditemukan
pada semua buah dan sayuran serta merupakan sifat fitokimia yang penting
21
dan bertanggung jawab terhadap sifat kerenyahan, sehingga menimbulkan
rasa yang enak dari buah dan sayuran. Menurut hasil penelitian oleh USDA,
kalsium pektat dalam pencernaan akan mengikat asam empedu sehingga
menginduksi pengurangan sejumlah asam yang terbentuk dari kolesterol.
Tubuh selanjutnya akan mengeluarkan kolesterol dari darah untuk membuat
lebih banyak asam empedu untuk pencernaan.
Labu kuning yang berasal dari daerah yang berbeda menghasilkan
nilai analisis proksimat yang berbeda. Labu kuning dari gunung Sindoro Jawa
Tengah mempunyai kandungan protein, lemak dan serat kasar yang lebih
tinggi dibandingan labu kuning dari Cimande Bogor dan Barru Sulawesi
Selatan. Perbedaan ini dapat digunakan sebagai petunjuk dalam
pembuatan berbagai jenis produk olahan yang diinginkan. Produk diet yang
membutuhkan kadar serat kasar tinggi akan lebih baik bila menggunakan
labu kuning asal gunung Sindoro. Labu yang berasal dari Barru mempunyai
karakter kandungan gula yang lebih tinggi, sehingga mempunyai rasa yang
lebih manis dibandingkan labu kuning lainnya
Penelitian pengembangan produk olahan labu kuning mencakup
dua kegiatan yaitu produk olahan berbasis puree labu kuning dan berbasis
tepung labu kuning. Produk olahan berbasis puree labu kuning yang
dikembangkan adalah agar/jelly labu kuning dan es krim sedangkan produk
yang dikembangkan berbasis tepung labu kuning adalah serbuk instan labu
kuning.
Penelitian pembuatan agar labu kuning dititikberatkan pada
banyaknya puree labu kuning yang digunakan, yaitu 12,5%, 25% dan 37,5%
serta jenis pengental (karagenan dan agar). Penggunaan puree sampai
dengan 37,5% hasilnya menunjukkan bahwa produk belum memiliki karakter
khas labu kuning (aroma, rasa), sehingga dicoba penambahan puree
sampai 45%. Pembuatan jelly dengan menggunakan kombinasi karagenan
dan agar masing-masing F1: 2% & 0%, F2: 2% & 2%, F3: 2% & 1% dan F4: 1% &
2% menunjukkan bahwa dari segi kekenyalan dan kepadatan produk F1
22
lebih lembek (masih cair) dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan F2
adalah jelly yang sangat keras. Hasil uji oleh panelis menunjukkan F4 memiliki
tingkat kekenyalan dan kepadatan yang lebih disukai. Berdasarkan rasa,
jelly F1 masih terdeteksi rasa pahit dan getir dari getah labu kuning,
sedangkan jelly F4 lebih disukai dibandingkan F1, F2, dan F3. Tampaknya
pada formula yang lebih banyak mengandung karagenan, jelly
menunjukkan rasa pahit dan agak getir.
Penelitian es krim terdiri atas dua perlakuan yaitu konsentrasi puree
(50%, 60% dan 75%) dan jenis pati (pati jagung dan pati sagu). Hasil uji
organoleptik terhadap sampel dengan konsentrasi pengental pati jagung
dan arorut masing-masing 0,3; 0,4 dan 0,5% dengan konsentrasi labu kuning
50% menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai es krim dengan konsentrasi
bahan pengental 0,4%. Hal ini disebabkan karena pengental pati jagung
memiliki tekstur yang halus.
Penambahan pati bertujuan untuk bahan pengental, amilosa yang
merupakan salah satu komponen pati berperan dalam proses gelatinisasi.
Lemak susu (krim) dalam pembuatan es krim berfungsi untuk memberi tekstur
yang baik dan memberi ketahanan terhadap pelelehan es. Sifat lemak susu
yang lunak juga dapat menghalang-halangi terbentuknya kristal-kristal es
yang besar selama proses pembekuan. Bagian lain berupa bahan padatan
susu tanpa lemak (skim) dalam pembuatan es krim berfungsi untuk
menambah rasa, menurunkan titik beku dan meningkatkan kekentalan.
Dalam jumlah yang lebih banyak dapat menyebabkan es krim menjadi lebih
lambat meleleh. Laktosa di dalamnya selain memberi rasa manis juga dapat
menurunkan titik beku, sedangkan proteinnya berfungsi menambah nilai gizi,
memperbaiki cita rasa, membentuk pembuihan, pengikatan air dan tekstur
menjadi lembut.
Hasil analisis terhadap serbuk instan labu kuning yang dibuat
menggunakan alat pengering mollen dryer menunjukkan bahwa perlakuan
kombinasi suhu dan kecepatan putar mollen dryer tidak mempengaruhi
seluruh parameter yang diamati serta tidak saling berinteraksi. Secara
tunggal perlakuan suhu berpengaruh terhadap nilai kelarutan, perlakuan
kecepatan putar berpengaruh terhadap total gula, serta perbedaan
kelompok mempengaruhi nilai densitas kamba serbuk instan labu kuning.
Tampak bahwa nilai kelarutan instan labu kuning yang dibuat
menggunakan suhu pengeringan 60oC lebih tinggi dibandingkan instan
dengan suhu 70oC. Kecepatan putar mollen dryer 17 rpm mempunyai total
gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan 12 rpm. Sedangkan labu
kuning dari kelompok II memiliki densitas kamba lebih tinggi dibandingkan
serbuk instan dari kelompok labu I.
d c
b a
Gambar 2. Produk olahan labu kuning: a. Bahan labu, b. Puree labu kuning, c. Agar
labu kuning, d. Tepung instan labu kuning.
24
B. PROGRAM PENINGKATAN DAYA SAING PRODUK SEGAR DAN OLAHAN HASIL
PERTANIAN
1. Penelitian Pengembangan Produk Bunga Kering dan Ekstraksi Minyak Bunga
Bunga Kering
Alam tropika menyediakan berjenis-jenis tanaman berbunga dan
berdaun indah yang sangat menarik untuk dijadikan ornamen maupun
penghias lingkungan kantor, rumah tinggal maupun hotel. Kelemahannya
bunga dan daun potong segar tidak tahan lama, sehingga hanya dapat
dinikmati keindahannya dalam waktu yang singkat. Untuk mempertahankan
keindahannya agar dapat dinikmati lebih lama, perlu diupayakan melalui
pengawetan antara lain dengan pengeringan. Ada beberapa metode
untuk mengawetkan bunga dengan pengeringan yaitu: pengeringan
sederhana, pengeringan dengan media pengering, dan pengeringan yang
didahului dengan pemberian formula pengisi. Setiap metode memberikan
keindahan tersendiri.
Formula yang akan digunakan sebagai bahan pengisi adalah formula
pengawet (formula I) dari Balai Penelitian Tanaman Hias. Formula tersebut
telah mampu memberikan penampakkan bunga kering tetap segar, tetapi
kelemahannya bunga kering tersebut menyerap air bila disimpan di ruang
yang memiliki kelembaban di atas 70 %, sehingga kelopak bunga menjadi
lembek dan lemas. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan formula yang
dapat memperbaiki tekstur bunga kering.
Formula I ditambah pengencer dari satu bagian sampai enam bagian
kemudian ditambah gula dengan dosis: 0%, 1%, 2% dan 3%. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa mawar kering dengan penambahan satu bagian
formula I ditambah gula 1-3% memberikan penambahan yang terbaik.
Selain itu semakin sedikit penambahan pengencer kelopak bunga terasa
makin tebal. Bunga anyelir kering dengan perlakuan yang sama dengan
bunga mawar hasilnya menunjukkan bahwa perlakuan satu bagian formula
I ditambah 3–6 bagian pelarut ditambah gula 1–3%, menghasilkan warna
25
yang kuat. Untuk perlakuan satu bagian formula I ditambah 1–2 bagian
pelarut ditambah gula 1–3% menghasilkan warna yang pudar.
Pengeringan dengan silica gel terhadap beberapa jenis-jenis bunga
hasilnya bunga yang berbentuk terompet seperti kamboja Jepang
(Adenium), kembang sepatu, anggrek Dendrobium dan lain-lain bentuknya
dapat dipertahankan, demikian juga dengan mawar hibrida seperti first red,
kiss, papilon dan baby rose. Anyelir dari stadium kuncup sampai mekar
penuh bentuknya dapat dipertahankan. Bunga dengan warna kuat seperti
merah dan ungu tua jika dikeringkan dengan gel silika lebih tahan lama
terhadap sinar langsung dibandingkan dengan bunga berwarna lembut.
Pengeringan bunga anyelir dengan gel silika pada suhu ruang selama 7 hari
dan suhu 500C selama 23 jam memberikan penampakan warna yang
menarik tidak terlalu berbeda dengan warna segarnya, susut ukuran relatif
kecil (11,95–30,57%). Sedangkan pengeringan dengan microwave
menghasilkan warna ke arah coklat. Walaupun bentuknya dapat
dipertahankan, warnanya sangat tidak menarik. Pengeringan bunga mawar
dengan gel silika di suhu ruang selama 7 hari, suhu 500C selama 23 jam,
maupun microwave selama 8 menit, warna kuat dan susut ukuran tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun untuk warna yang lembut
pengeringan dengan microwave menghasilkan warna yang berkesan kotor.
Warnanya menjadi coklat kotor seperti bunga menjelang busuk.
Pengeringan bunga krisan dengan gel silika terhadap beberapa jenis
krisan hasilnya menunjukkan bahwa bunga krisan dengan susunan petal
selapis bentuknya lebih dapat dipertahankan dibandingkan bunga krisan
dengan susunan petal berlapis-lapis yang menghasilkan bentuk yang tidak
kompak. Warna dapat dipertahankan, untuk krisan puma kering susut ukuran
berkisar 16,66–33,33%; bentuk tetap kompak dan warna dapat
dipertahankan.
26
Ekstraksi Minyak Bunga
Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan minyak bunga
alamiah dari bunga khas Indonesia, antara lain melati, mawar dan sedap
malam. Ekstraksi minyak bunga melati dan mawar dapat meningkatkan nilai
tambahnya, karena berpeluang untuk mengisi kebutuhan industri parfum
dan kosmetik. Tujuan penelitian untuk memperoleh rangkaian taknologi
ekstraksi yang sesuai untuk produksi minyak bunga melati dan mawar, dan
dapat dikembangkan untuk mendukung agroindustri skala UKM. Tahapan
proses ekstraksi minyak bunga terdiri atas ekstraksi, leaching dan evaporasi.
Kegiatan penelitian meliputi efisiensi penggunaan pelarut, ekstraksi minyak
bunga skala pilot, analisis tekno-ekonomi dan ekstraksi minyak bunga
mawar.
Percobaan ekstraksi minyak bunga mawar
Penelitian ekstraksi minyak bunga mawar menggunakan leaching
apparatus kapasitas 3.000 g. Pelarut hasil leaching dievaporasi
menggunakan alat evaporator kapasitas 20 liter sampai 75% pelarut
teruapkan, kemudian dilanjutkan penguapannya menggunakan evaporator
vakum sampai berbentuk concrete dan absolut. Bunga mawar yang
digunakan mawar merah dan mawar putih asal Bandungan Semarang
(Jawa Tengah), dan mawar pink asal Boyolali.
Bunga mawar putih asal Bandungan Semarang (Jawa Tengah) setelah
diekstrak menghasilkan rendemen concrete lebih tinggi dibandingkan
mawar merah yang berasal dari Bandungan dan mawar pink asal Boyolali.
Rendemen concrete bunga mawar berkisar antara 0,18% - 0,28% dari 3000 g
bunga yang digunakan. Untuk ekstraksi satu kali bunga mawar pink
dihasilkan concrete 0,22%, sedangkan bunga mawar merah asal
Bandungan menghasilkan concrete 0,18%. Untuk perlakuan ekstraksi dua
kali, ke dua jenis bunga mawar tersebut menghasilkan rendemen concrete
27
relatif sama, mawar merah (5,28 g/3.000 g bunga) dan mawar putih (5,25
g/3.000 g bunga).
Jumlah kehilangan pelarut heksan pada proses ekstraksi dua kali lebih
besar dibandingkan ekstraksi satu kali (21,97%-26,54%). Hasil recovery pelarut
pada perlakuan ekstraksi dua kali lebih kecil dibandingkan ekstrkasi satu kali
(73,44%-78,03%). Kehilangan pelarut yang besar akan memperbesar biaya
produksi minyak mawar. Heksan hasil recovery dapat digunakan kembali
untuk proses ekstraksi.
Perbaikan teknologi ekstraksi minyak bunga melati
Penelitian ekstraksi minyak bunga melati dimulai sejak tahun 2002–2004.
Inovasi teknologi ekstraksi minyak melati dikembangkan bekerjasama
dengan pihak swasta. Dalam hal ini BB-Pascapanen hanya berperan
menyediakan teknologi, sedangkan produksi dan pemasaran dilakukan oleh
pihak swasta. Pihak petani dan kelompok tani tidak terlibat secara langsung,
hanya dampaknya bagi petani bila teknologi ini berkembang, dapat
menyerap produksi bunga melati yang selama ini sangat tergantung pada
satu pihak yaitu pabrik teh melati.
Teknologi ekstraksi yang dikembangkan dapat menekan kehilangan
produk dan pelarut, sehingga dapat diperoleh rendemen dan mutu minyak
yang tinggi. Dengan waktu ekstraksi 20 menit (satu kali ekstraksi), rendemen
concrete mencapai 0,383%. Pencucian ampas yang diikuti ekstraksi lanjutan
mampu meningkatkan rendemen hingga 0,408%.
Kehilangan pelarut heksan selama proses ekstraksi berkisar antara
10,31% - 19,18%, dengan jumlah recovery pelarut berkisar antara 80,82% -
89,69%. Dari total kehilangan pelarut selama proses, jumlah kehilangan
pelarut terbesar adalah pada saat proses leaching (10%-15%), sedangkan
kehilangan pelarut pada saat proses evaporasi berkisar antara 2,83%-7,10%.
Hal ini disebabkan karena pemisahan pelarut dari ampas bunga masih
dilakukan secara manual, sehingga hasilnya belum optimal. Pemerasan
dilakukan dengan memasukkan ampas bunga kedalam.
Leaching apparatus dapat berfungsi dengan baik. Jumlah pelarut yang
hilang selama proses leaching dapat ditekan, sehingga jumlah pelarut untuk
diproses lebih lanjut menjadi minyak bunga melati lebih banyak. Jumlah
heksan yang hilang selama proses leaching berkisar antara 7%-10%. Dengan
diperbaiki sistem pendingin, kehilangan pelarut selama proses dapat ditekan
yaitu turun menjadi 4, 5-6%. Kehilangan pelarut yang besar dapat
menyebabkan biaya operasional bertambah besar, karena heksan yang
hilang selama proses merupakan salah satu komponen biaya produksi pada
pembuatan minyak bunga melati.
Perbandingan bunga dan pelarut 1 : 2,5 dapat meningkatkan
rendemen concrete melati yang dihasilkan. Kombinasi perbandingan bunga
dan pelarut 1 : 2,5 dan lama leaching 20 menit menghasilkan rendemen
concrete tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya (0,33%) dan terendah
diperoleh pada perlakuan lama leaching 40 menit dan perbandingan
Gambar 3. Alat leaching yang dikembangkan pada proses ekstraksi minyak bunga
melati
bunga dan pelarut 1 : 2 (0,13%). Semakin lama waktu leaching, jumlah
pelarut yang hilang semakin besar. Kehilangan pelarut selama leaching
berkisar antara 1250 cc – 1900 cc atau 5,81% - 9,53% untuk sekali proses.
Waktu leaching 20 menit menghasilkan kehilangan pelarut paling sedikit
(1250 cc dan 1350cc atau 5,05% dan 5,81%) dibandingkan waktu leaching
30 menit dan 40 menit. Walaupun kehilangan pelarut paling kecil, namun
waktu leaching 20 menit menghasilkan rendemen concrete paling tinggi.
Selain hasil concrete yang lebih tinggi, waktu yang lebih singkat dapat
menekan biaya proses pada pembuatan minyak melati. Penambahan
waktu proses berarti penambahan biaya pada pemakaian listrik. Waktu
leaching 30 menit dan 40 menit menghasilkan kehilangan pelarut yang tidak
begitu banyak perbedannya. Kehilangan pelarut berkisar antara 1660 cc –
2050 cc (6,21% -9,53%).
Hasil uji proses bunga sebanyak 50 kg dengan 2-3 tahapan proses
leaching (15 kg, 15 - 20 kg, 20 - 30 kg) dengan lama leaching masing-
masing 20 menit diperoleh hasil, jumlah kehilangan pelarut selama proses
leaching sebanyak 9,14%. Proses evaporasi pelarut sampai menjadi
concrete dibutuhkan waktu 13 jam dengan kecepatan evaporasi rata-rata
Gambar 4. Evaporator vakum kapasitas 10 liter yang dikembangkan pada proses
ekstraksi minyak bunga melati
30
8-9,6 liter per jam. Proses lebih lanjut menjadi absolut diperoleh dari 50 kg
bunga melati yang diproses dihasilkan absolut sebanyak 52,99 gram atau
0,105% dari berat bunga yang digunakan atau 30,28% dari total berat
concrete yang diporses. Kehilangan pelarut selama evaporasi selama 13
jam sebanyak 3,19% dan concrete yang dihasilkan sebanyak 0,32-0,35% dari
berat bunga yang digunakan.
Teknoekonomi
Analisis teknoekonomi dilakukan untuk mengetahui biaya produksi
minyak melati menggunakan ekstraksi dengan pelarut menguap heksan.
Biaya dihitung berdasarkan biaya produksi 1000 kg/ton per bulan, harga
bunga melati Rp.10.000/kg, dengan hasil concrete sebanyak 3500 gr dan
absolut 1100 gr. Proses dilakukan menggunakan alat leaching dan
evaporator vakum skala pilot. Dengan asumsi, proses leaching dilakukan
tiga hari sekali, jumlah bunga yang diproses sebanyak 100 kg/hari, waktu
proses leaching 4-5 jam. Penguapan pelarut menggunakan evaportor
vakum kapasitas 10 liter dilakukan setiap hari selama 13 jam, dengan jumlah
recovery pelarut sebanyak 100 liter/hari. Dalam setahun produksi hanya 5
bulan. Dari perhitungan teknoekonomi diperoleh B/C concrete 1,11 dan B/C
absolut 1,02.
2. Penelitian Produksi Sayuran Instan Melalui Teknologi Far Infra Red (FIR) (2003-
2004)
Komoditas sayuran merupakan produk yang mudah rusak. Dalam
penanganan pascapanen sayuran diperlukan teknologi pengeringan
dengan akumulasi proses yang mampu mempertahankan atau
meminimalkan perubahan kandungan nutrisi, vitamin, aroma, rasa dan sifat
rehidrasinya. Teknologi pengeringan dengan memanfaatkan radiasi dengan
panjang gelombang lebih besar dari infrared dan lebih kecil dari
microwave, yaitu radiasi Far Infrared (FIR) panjang gelombang 25-1000µm
31
(Hashimoto, 1992), merupakan terobosan teknologi pengeringan dengan
perubahan karakteristik fisik dan kimia secara minimal.
Penelitian produksi sayuran kering melalui teknologi Far Infrared (FIR)
tahun 2004 sebagai kelanjutan tahun 2003 dan bertujuan untuk : (1)
Mengoptimalkan model awal teknologi proses FIR; (2) Mempelajari
karakteristik lanjutan fisikokimia dan fungsional sayuran segar dan kering; (3)
Studi orientasi dan analisis kelayakan ekonomi untuk penerapan teknologi
FIR skala ekonomi.
Optimasi unit proses dalam kegiatan penelitian tahun 2004 telah
menghasilkan teridentifikasinya kondisi operasional terbaik. Percobaan
pengeringan teknologi FIR pada tahun 2003 suhu dapat memperbesar
selang pengering dari kisaran 950-1500C menjadi 500C hingga 1500C (Tabel
1). Kisaran suhu yang rendah diperoleh dengan mengganti radiator FIR dari
tipe WS 1201 dengan kapasitas termal 3900 Kkal/jam menjadi radiator tipe
WS 601 dengan kapasitas termal 2000 Kkal/jam. Suhu operasional pengering
dapat dikendalikan dengan penggunaan thermostat (50-1500C) untuk
mencegah terjadinya kegosongan (over heating), sehingga kualitas hasil
pengeringan dapat ditingkatkan. Hasil penelitian model optimal
penggunaan alat pengering FIR-KR2 menunjukkan bahwa suhu rata-rata
600C dicapai dengan mengatur suplai bahan bakar gas secara sentral.
Penggunaan suhu 600C menghasilkan produk hasil pengeringan tanpa ada
yang gosong. Pengendalian suhu pengering telah menghemat konsumsi
bahan bakar LPG yang digunakan pada alat model FIR-KR1 dari 0,5 kg/jam
menjadi 0,25 kg/jam setelah dilakukan optimasi pada alat yang baru.
Pengaturan suhu dilakukan tergantung jenis dan karakteristik bahan yang
akan dikeringkan, tetapi secara umum suhu yang diperlukan untuk
pengeringan sayuran berkisar 50-600C. Optimasi unit proses dengan
melakukan pengaturan kecepatan konveyor yang menggunakan puly statis
diubah menjadi dinamis dengan menggunakan speed regulator.
32
Penggunaan regulator tersebut dapat mengubah kecepatan konveyor
dengan kisaran kecepatan 0,01 m/s sampai 0,17 m/s.
Tabel 1. Komponen dan spesifikasi teknologi FIR model KR1 dan KR2 yang
dikembangkan BB-Pascapanen
No Komponen Spesifikasi Model
Awal KR1
Spesifikasi Model
Optimasi KR2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Nama Alat
Kapasitas (kg input/jam)
Bahan bakar
Konsumsi bahan bakar
- Dimensi body (P x L x T)
- Panjang lintasan
- Lebar lintasan Model lintasan
Tenaga penggerak
Sistem transmisi
Jumlah radiator/model
Kapasitas energi tiap radiator
Kiasran temperatur (0C)
FIR-KR1
1 kg/jam
LPG
0,5 kg/jam
300 x 40 x 75 cm
3 m
40 cm Lurus
1 hp
Vanbelt dan rantai
2 buah/WS-1201
3900 Kkal/jam
95-1500C
FIR-KR2
5 kg/jam
LPG
0,17 kg/jam
300 x 250 x 75 cm
12 m
40 cm Oval (kontinyu)
1 hp
Vanbelt dan rantai
8 buah/WS-601
2000 Kkal/jam
50-1500C
Pengeringan sayuran bawang putih, bayam, seledri, cabe merah dan
jamur merang melalui teknologi FIR ditempuh dalam waktu yang relatif
singkat dan bervariasi yaitu antara 12 sampai 100 menit. Rendemen bahan
sayuran kering terhadap bahan segar diperoleh dengan kisaran antara 8,9%
sampai 24,4%. Bayam dan seledri memerlukan waktu pengeringan masing-
masing 12 dan 20 menit. Pengeringan bawang putih, jamur merang dan
cabe merah memerlukan waktu masing-masing 56, 60 dan 100 menit.
Adanya perbedaan waktu pengeringan ini diantaranya karena faktor kadar
air awal, ketebalan irisan dan bentuk strukturnya dari komoditas tersebut
tidak sama.
Kapasitas penyerapan air sayuran kering (rehidrasi) ditentukan dengan
perendaman dalam air pada suhu 75-80oC dengan lama waktu ditentukan
berdasar penambahan volume bahan kering (swelling). Rehidrasi sayuran
kering bervariasi dan dapat mencapai 60-90% dari keadaan normalnya
dengan waktu proses berkisar 3,5 hingga 6,51 menit. Bayam dan seledri
33
masing-masing memerlukan waktu 3,56 menit dan 4,52 menit. Sedangkan
bawang putih, Jamur merang, dan cabe merah memerlukan waktu rehidrasi
hampir sama yaitu sekitar 6-7 menit. Sifat rehidrasi tiap komoditas berbeda
karena waktu dan kapasitas penyerapan air partikel, porositas dan tingkat
kadar air keseimbangan untuk tiap komoditas tidak sama.
Proses pengeringan dapat mempengaruhi kualitas bahan yang
dikeringkan, seperti klorofil a dan b merupakan pigmen yang dominan
terdapat pada sayuran hijau. Pigmen ini rentan terhadap perubahan fisik
dan kimia selama pengolahan sayuran (Chen & Chen, 1993). Kadar klorofil
pada sayuran kering akan mengalami penurunan setelah dikeringkan (Tabel
2). Perubahan yang terjadi pada seledri relatif kecil dibandingkan dengan
yang lain. Sedangkan bayam sangat peka terhadap pemanasan sehingga
terlihat penurunan yang cukup signifikan, walaupun secara visual relatif
stabil. Hal ini terjadi seperti yang dinyatakan Schwartz & Lorenzo (1991)
bahwa jumlah klorofil yang tertinggal selama pengolahan sayuran
tergantung pada suhu dan lamanya pemanasan.
Volatile Reducing Substance (VRS) merupakan zat-zat yang mudah
menguap dalam suatu bahan atau produk yang mudah direduksi yaitu
senyawa sulfur seperti profil sulfur dan profenil sulfur dan aldehid seperti
asetadelhid dan propanoldehid. Semakin tinggi kadar VRS pada suatu
bahan menunjukkan mutu yang semakin baik. Dengan perlakuan
pengeringan, biasanya kadar VRS suatu bahan akan mengalami
penurunan.
Hasil pengeringan dengan FIR pada suhu 60OC, telah menurunkan
kadar VRS. Kadar VRS seledri dan bayam kering tidak terjadi penurunan
yang signifikan dibandingkan dengan bawang putih, jamur merang dan
cabai merah yang penurunannya mencapai lebih dari 50%. Walaupun
terdapat penurunan, tingkat kehilangannya masih menunjukkan aroma
representatif secara visual (Tabel 2). Hal ini diduga lama pengeringan
mempengaruhi kadar VRS pada sayuran kering tersebut.Proses pengeringan
34
dapat mempengaruhi penampakan dan aroma yang disebabkan oleh
kehilangan volatil atau pembentukan volatil baru sebagai akibat dari reaksi
oksidasi ataupun reaksi esterifikasi (Diaz-Maroto, et.al., 2002). Selain itu
perendaman dalam larutan natrium bisulfit juga diduga ikut berperan dalam
penurunan kadar VRS.
Tabel 2. Hasil analisa mutu pada sayuran dalam keadaan segar
dan kering yang dikeringkan dengan teknologi FIR
Sayuran Segar
Komponen Mutu
Klorofil
(mg/g)
Vitamin C
(mg/100g)
VRS
(ppm)
1 Seledri 15,00 14,47 89,02
2 Jamur 1,25 6,58 12,61
3 Cabe merah 3,92 72,18 114,29
4 Bayam 25,07 82,42 13,94
5 Bawang putih 0,05 18,53 17,89
Sayuran Kering
1. Seledri 11,14 3,5 55,83
2. Jamur 1,52 x 10-6 - 5,1 x 10-3
3. Cabe merah - 51,3 62
4. Bayam 6,45 43 11,58
5. Bawang Putih 0,03 1,8 5,86
Warna merupakan komponen penting dalam menentukan mutu
sayuran kering. Tingkat kecerahan warna (L) pada bayam dan seledri kering
mengalami kenaikan dari bahan segarnya. Hal ini diduga proses
pengeringan menyebabkan terjadinya degradasi senyawa klorofil,
pergeseran pigmen warna hijau pada bayam dan seledri tersebut
memberikan resultante/akumulasi penampilan warna pudar sehingga pada
kromameter terukur sebagai warna yang lebih terang/cerah (L). Hal ini
terjadi karena degradasi zat hijau daun (klorofil) pada bayam dan
terbentuknya turunan-turunan klorofil (Von Elbec et,al., 1986). Warna
kecoklatan pada jamur merang dan bawang putih kering memberikan
indikasi terjadinya browning, proses pengeringan akan menghasilkan
perubahan pigmen putih menjadi lebih pudar ke arah kuning yaitu nilai b
35
yang semakin besar. Khusus untuk cabe merah walaupun terdapat
perubahan, secara visual masih terlihat cerah.
Sayuran kering hasil pengeringan dengan teknologi FIR pada kondisi
optimal dijadikan bahan untuk penelitian daya simpan. Penelitian daya
simpan sayuran yang telah diketahui karakteristik fisikokimianya dilakukan
dalam tiga kemasan (alumunium foil, polyethilene 0,1 mm dan 0,3 mm) dan
ditempatkan pada ruang dengan AC (suhu 20-21oC; RH 63-85%) dan suhu
ruang kamar (suhu 24-28oC; RH 79-92%). Penyimpanan dilakukan selama 8
minggu dengan tiga kali pengamatan mutu pada awal penyimpanan,
serta setelah 4 dan 8 minggu.
Hasil akhir setelah penyimpanan 8 minggu menunjukkan bahwa pada
semua perlakuan seledri kering semakin hijau. Hal ini tidak dapat diartikan
sebagai peningkatan kadar klorofil, tetapi kemungkinannya adalah adanya
proses oksidasi atau reaksi non enzimatis pada komponen zat warna seledri
kering yang menyebabkan warna seledri kering menjadi lebih gelap. Warna
bayam kering cenderung menurun. Perubahan warna tersebut
kemungkinan terjadi karena adanya pencoklatan non enzimatis dan proses
oksidasi (Saravagos, 1993). Sedangkan tingkat warna kuning pada jamur
kering cenderung meningkat. Demikian juga kecerahan cabe merah kering
cenderung menurun. Secara umum terjadinya transfer uap air dan migrasi
komponen bahan kemasan turut mempengaruhi warna bayam kering
selama penyimpanan. Dari tiga kemasan yang dipergunakan, aluminium
foil menunjukkan hasil yang terbaik.
Hasil analisis karakteristik fisik dan kimia sayuran kering menunjukkan
bahwa teknologi FIR yang telah diaplikasikan pada bawang putih, seledri,
bayam, cabe dan jamur dapat menurunkan kadar air dalam jangka waktu
singkat tetapi dapat menekan kehilangan komponen mutu sayuran seperti
kadar klorofil, vitamin C dan kandungan senyawa volatil (VRS). Inovasi
teknologi FIR ini telah terdaftar HAKI-nya dengan nomor permohonan paten
S00200400184. Penggunaan teknologi FIR sangat prospektif dan mulai
diminati untuk pengeringan bahan-bahan yang mengandung komponen
aktif yang berkhasiat untuk kesehatan.
Hasil analisis ekonomi pengeringan sayuran dengan Teknologi FIR telah
dilakukan dengan beberapa asumsi yaitu harga alat, harga produk, umur
teknis alat, harga jual produk, bunga bank, upah tenaga kerja, dan jumlah
hari operasional dalam satu tahun. Keuntungan yang diperoleh untuk jamur
kering sebesar Rp. 31.040.000,- dan berada diurutan ketiga setelah bawang
putih dan cabe yang memberikan keuntungan dengan nilai Rp. 58.040.000,-
dan Rp. 53.540.000,-. Keuntungan pada bawang putih yang besar
dikarenakan nilai jual bawang putih kering yang cukup tinggi karena dapat
digunakan di industri farmasi. Sedangkan nilai keuntungan jamur yang relatif
kecil disebabkan rendemennya yang sangat rendah yaitu sekitar 10%.
Keuntungan yang diperoleh produk seledri kering sebesar Rp.26.540.000,-
dan berada diurutan terakhir dalam memberikan keuntungan usaha
a. Pengering teknologi FIR dengan konveyor berjalan lurus
b. Pengering teknologi FIR dengan model oval
Gambar 5. Dua model alat pengering teknologi FIR, a. Tipe konveyor lurus, b.
Tipe konveyor oval
37
dibandingkan 4 komoditas sayuran lainnya. Sedangkan keuntungan usaha
bayam yaitu sebesar Rp. 22.040.000,- B/C rasio dan produksi dari bawang
putih dan cabe merah adalah 1,75 dan 1,78 sedangkan B/C rasio usaha
jamur, seledri dan bayam yaitu masing-masing sebesar 1,4; 1,39 dan 1,37.
Dengan demikian usaha pengeringan sayuran dengan teknologi FIR ini
relatif layak untuk dikembangkan sebagai bidang usaha bagi kelompok
usaha kecil menengah.
3. Penelitian Teknologi Pengolahan Puree Mangga dan Sirsak Skala Komersial
Puree merupakan produk antara dari pengolahan buah-buahan, dan
merupakan bahan baku industri jus, sirup serta industri pangan lainnya.
Produk berbentuk puree akan memudahkan dalam transportasi, mutu
produk lebih konsisten, dan daya simpan lebih lama, sehingga kontinuitas
bahan baku untuk industri lanjutan dapat terjamin. Penelitian ini dimulai sejak
tahun 2002 hingga 2004. Kegiatan penelitian pada tahun 2004 bertujuan
menyempurnakan teknologi proses puree mangga dan sirsak, dan menguji
model agroindustri pengolahan puree yang telah terelokasi di lapang baik
dari aspek teknis maupun ekonomis. Rangkaian proses produksi yang
dikembangkan yaitu: pemeraman, pencucian, sortasi, pengupasan dan
perajangan, pulping, penyaringan, mixing, pasteurisasi dan packaging.
Standar produk puree mangga sebagai berikut: TSS 40oBrix, kalium
sorbat 0,1%, pH 3,7 dan vitamin C 0,2%. Pasteurisasi dilakukan pada suhu 80
oC selama 14,45 menit. Produk puree mangga harus disimpan pada suhu
sejuk (<26 oC). Puree mangga (20 oBrix) yang dipasteurisasi pada suhu 65 oC
selama 15 menit dan disimpan pada suhu 7oC, memiliki daya simpan hingga
14,3 bulan. Rekomendasi proses untuk puree buah sirsak adalah
penambahan gula sampai dengan 40oBrix, kalium sorbat 0,1%, pH 3,7, dan
vitamin C 0,2% dengan penurunan kualitas warna sangat kecil.
Model agroindustri tersebut dibangun di sentra produksi mangga di
Kabupaten Cirebon, dengan kapasitas 500 kg buah mangga per jam
dengan rendemen puree 50 %. Inovasi teknologi pada model agroindustri
puree mangga ini merupakan teknologi pengolahan puree mangga skala
kecil-menengah yang sesuai untuk dikembangkan di pedesaan (Gambar 6).
Selain aspek teknologi, juga dilakukan pembinaan manajemen usaha
agroindustri, sehingga diharapkan petani tidak hanya memperoleh
pendapatan dari usahataninya (on farm) tetapi juga dari usaha
pengolahan puree-nya. Pengembangan model agroindustri puree mangga
ini berkerjasama dengan Pemda Kabupaten Cirebon dan CV. Promindo
Utama, yang akan mendukung pendanaan pembangunan pabrik mini
(Gambar 7). Pihak Kementerian Negara Riset dan Teknologi juga telah
menyediakan dana ventura (melalui program Start-Up Capital) untuk
mendukung pengembangan model agroindustri puree mangga tersebut.
Dampak dari kerjasama pengembangan agroindustri puree mangga
yang diharapkan adalah meningkatnya pendapatan petani dengan
No Pendaftaran Merek di Dirjen
HKI: D002005-002189
Gambar 6. Unit pengolahan puree mangga skala 500 kg/jam yang
dikembangkan BB-Pascapanen
terjadinya peningkatan harga mangga di petani, dan pembagian
keuntungan dari pemilik saham di unit pengolahan. Puree dapat dipasarkan
dengan harga Rp. 20.000/kg, jauh di atas biaya produksi Rp. 15.000/kg.
Diluar musim mangga, model agroindustri ini dapat dimanfaatkan untuk
pengolahan puree sirsak, jambu biji dan strawbery. Produk puree dari model
agroindustri tersebut telah mulai dipasarkan dengan merk PURESSO.
Model agroindustri puree dengan merk dagang PURESSO telah
mendaftarkan dengan nomor merk dagang D002005-002189 P-IRI serta
mendapatkan sertifikasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon dengan
nomor P-IRT 213320903813. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian juga telah mendaftarkan mesin pulper untuk
mendapakan paten dengan nomor pendaftaran S0020040004. Beberapa
pengusaha seperti PT B, PT SF dan importir dari Jepang pada saat ini sedang
dalam proses evaluasi pasar untuk menampung produk puree. Kemitraan
lainnya yang sedang dalam penjajakan adalah permintaan dari sebuah
LSM di Bali dan BPTP Jawa Tengah. Sedangkan Dinas Perindustrian dan Agro
Bogor pada saat ini berencana menerapkan model agroindustri puree
untuk dikembangkan dengan komoditas jambu biji pada areal 80 ha di
wilayah Cilebut dan Citayam serta Tanah Sareal.
BB - PASCAPANEN
MODEL AGROINDUSTRI
PUREE
MANGGATERPADU
KEMENTERIAN
RISTEK
PASAR
PEMDA
PETANI
MITRA USAHACV. Promindo Utama
-Kelembagaan
-Dana
Saham
Sah
am
Produk-Sarana
-Pengelola
Saham
Tek
nolo
gi P
rose
s
Man
ajem
en U
sah
a
Bahan baku
income
incom
e
Pembinaan
Pengalihan Saham Pemerintah
Start up Capital
Gambar 7. Pola kerjasama pengembangan model agroindustri puree mangga
40
4. Penelitian Model Agroindustri Pengolahan Mete Terpadu
Saat ini mutu kacang mete hasil olahan petani masih rendah, baik dari
aspek penampakan (warna kusam, kotor dan keriput) maupun dari tingkat
keutuhannya (hanya mampu menghasilkan 55-60% kacang utuh). Hasil
penelitian sebelumnya (skala bangsal) menunjukkan bahwa penerapan
teknologi pengolahan kacang mete melalui proses pengukusan dan
penggunaan alat pengupas (kacip) tipe MM-99 mampu meningkatkan
kadar kacang utuh hingga 85-90%, yang disertai perbaikan penampakan
dan higienitas produk. Melalui teknologi ini petani mete dapat memperoleh
nilai tambah sebesar 27% per kg gelondong mete. Disamping itu, kulit mete
yang merupakan limbah hasil pengupasan kacang mete umumnya belum
dimanfaatkan oleh petani. Padahal dari kulit mete tersebut dapat dihasilkan
minyak yang disebut Cashew Nut Shell Liquid (CNSL) dan produk turunannya
yang bernilai ekonomi.
Untuk meningkatkan nilai tambah dari pengolahan gelondong mete,
penelitian ini pada dasarnya terbagi dua, yaitu pengembangan teknologi
pengolahan kacang mete dan pengepresan CNSL di lapangan, serta
penelitian pengolahan CNSL dan produk turunannya pada skala
laboratorium. Dalam hal ini, untuk kegiatan penelitian pengembangan (di
lapangan) dilakukan bekerjasama dengan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa
Timur.
Penelitian Pengembangan Teknologi pengolahan kacang mete dan
pengepresan CNSL di Lapangan
Sebagai persiapan proses produksi dalam rangka pengembangan
model agroindustri mete terpadu, telah dilakukan penelitian (sosialisasi
teknologi) pengolahan kacang mete dan uji coba pengepresan kulit mete
terhadap kelompok petani pengolah mete yang berasal dari Desa
Ketapang Laok dan Banyusokah, Kecamatan Ketapang, Kabupaten
Sampang, Madura. Di Sampang terdapat delapan kelompok petani
41
pengolah mete yang tersebar di Desa Ketapang Laok dan Banyusokah,
masing-masing beranggotakan rata-rata 50 orang yang sebagian besar
wanita.
Mengingat belum tersedianya ruang khusus pengoperasian unit
pengolah, pelatihan pengolahan kacang mete dilakukan di Kantor Dinas
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sampang. Persiapan dan pelatihan
dilakukan selama tiga hari, yaitu dari tanggal 30 Agustus sampai dengan 1
September 2004 dan diikuti oleh 25 orang peserta (Gambar 8). Secara teknis
peserta mudah dan dapat beradaptasi dengan teknologi yang
disosialisasikan. Peserta tidak mengalami kesulitan dalam menggunakan
kacip MM-99 dan persentase kacang mete utuh yang dihasilkan cukup
tinggi, yaitu ±80%. Angka tersebut masih dapat ditingkatkan mengingat
bahan (gelondong mete) yang dikupas tidak pada kondisi optimum.
Menurut prosedur standar yang direkomendasikan, gelondong mete yang
digunakan seharusnya telah dikeringkan (dijemur) selama tiga hari.
Kenyataannya bahan yang digunakan peserta adalah gelondong kering
panen satu hari penjemuran. Akibatnya, proses pengupasan sesudah
pengukusan tidak optimal, karena kulit gelondong masih mengandung air
yang cukup tinggi (kekerasan kulit yang diinginkan agar lebih mudah
dikupas tidak tercapai).
Gambar 8. Kegiatan pelatihan pengupasan gelondong mete kerjasama
pengembangan agroindustri mete dengan Pemda Jatim
Walaupun sebagian besar tahapan pengolahan kacang mete
dilakukan secara mekanis (hal baru bagi para petani), secara umum
42
peserta pelatihan tidak mengalami kesulitan dalam pengoperasian alat-alat
tersebut. Pada proses pengukusan, dengan sumber uap berasal dari boiler
(tekanan 1,3 atm selama 10 menit) tidak terdapat kendala yang timbul,
demikian pula pada proses pengeringan kacang mete menggunakan
pengering tipe rak. Pada proses pengupasan kulit ari juga tidak dijumpai
permasalahan karena peserta sudah terbiasa melakukan kegiatan tersebut
sebagaimana cara pengolahan tradisional. Hal baru lainnya yang dilakukan
pada pelatihan ini yaitu pembersihan kernel (kacang ose) dengan
menggunakan kuas sehingga diperoleh produk yang bersih dan mulus.
Selanjutnya dipraktekkan cara pengemasan kacang ose dengan
menggunakan vaccum sealer. Pada tahap ini pun peserta sudah dapat
melakukannya dengan baik.
Uji coba pengepresan kulit mete untuk mendapatkan CNSL dilakukan di
Desa Banyusokah dengan menggunakan alat press tipe screw, yang
berkapasitas 700-1000 kg kulit mete per hari (Gambar 9). Pada uji coba ini
masih ditemukan kendala, yaitu terjadinya penyumbatan pada saringan
sehingga minyak tidak keluar secara sempurna. Setelah kemudian di
perbaiki diperoleh peningkatan hasil namun masih belum optimal.
Berdasarkan uji coba yang berulang kali, disimpulkan bahwa saringan perlu
diganti dengan mengurangi satu lapisan rangkapnya, sehingga yang akan
digunakan untuk produksi adalah saringan rangkap dua (mesh 70).
Gambar 9. Uji coba pengepresan kulit mete dengan alat tipe screw bagian
dari kerjasama pengembangan agroindustri mete terpadu dengan
Pemda Jatim
43
Penelitian pengolahan CNSL dan produk turunannya pada skala
laboratorium
Kegiatan penelitian ini dimaksudkan untuk mendukung
pengembangan teknologi pengepresan kulit mete (CNSL) yang dilakukan di
lapangan. Penelitian ini terbagi ke dalam empat kegiatan, yaitu (i) optimasi
kondisi ekstraksi CNSL dari kulit mete, (ii) pemanfaatan CNSL sebagai bahan
baku cat, (iii) pembuatan vernis dengan bahan baku resin dari kardanol,
dan (iv) pemanfaatan CNSL sebagai bahan aktif dalam obat nyamuk
bakar.
1. Optimasi kondisi ekstraksi CNSL dari kulit mete
Pada penelitian ini bahan baku (kulit mete) yang digunakan berasal
dari empat daerah sentra mete, yaitu Wonogiri (Jawa Tengah), Bima (NTB),
Sampang (Madura, Jawa Timur), dan Pangkep (Sulawesi Selatan). Secara
umum, pengepresan tiga kali pada setiap contoh akan menaikkan
rendemen CNSL secara nyata. Namun lonjakan peningkatan rendemen
CNSL terjadi pada dua kali pengepresan yaitu 4,55-6,38%. Selanjutnya pada
pengepresan tiga kali peningkatan jumlah cairan yang diperoleh semakin
kecil. Pada uji coba dengan empat kali pengepresan cairan minyak yang
keluar sudah tidak efektif, bahkan terjadi kemacetan pada alat
pengepresan.
Rendemen CNSL yang diperoleh dari kulit mete berbagai daerah (tiga
kali pengepresan) berkisar 18,43 – 21,60%. Rendemen tertinggi diperoleh dari
kulit mete yang berasal dari daerah Wonogiri dan terendah berasal dari
Pangkep (Sulsel). Sifat-sifat fisiko-kimia dari keempat contoh bahan tersebut
menunjukkan bahwa bobot jenis untuk bahan asal Wonogiri (1,0159 g/ml),
Bima (1,0167g/ml) dan Sampang (1,0169 g/ml) hampir tidak berbeda,
sedangkan yang berasal dari Pangkep (1,0670 g/ml) menunjukkan nilai yang
lebih besar. Bilangan asam terendah berasal dari contoh Pangkep (93,95)
dan diikuti oleh Bima (101,48), sedangkan contoh yang berasal dari Wonogiri
44
(107,71) dan Sampang (106,63) hampir tidak berbeda. Untuk bilangan iod
nilai terendah berasal dari contoh Pangkep (181,54) dan tertinggi Wonogiri
(186,71). Sementera itu, bilangan iod CNSL dari Sampang dan Bima, masing-
masing yaitu 183,83 dan 185,82. Bilangan iod pada CNSL berhubungan
dengan kandungan senyawa tidak jenuh, bila nilai ini semakin tinggi maka
semakin tinggi pula kandungan senyawa tidak jenuhnya. Perbedaan yang
terjadi baik pada rendemen CNSL yang diperoleh maupun sifat-sifat fisiko-
kimia antara lain disebabkan perbedaan varitas maupun agroklimat dimana
tanaman tumbuh.
Pemanfaatan CNSL sebagai bahan baku cat
Komponen utama penyusun CNSL terdiri atas asam anakardat,
kardanol dan kardol. Komponen-komponen ini merupakan senyawa fenolik
yang mempunyai ikatan rangkap pada rantai sampingnya. Senyawa
kardanol mempunyai struktur kimia yang mirip dengan fenol, sehingga
berpeluang dimanfaatkan untuk mensubstitusi senyawa fenol, diantaranya
dalam produk resin fenolik sebagai bahan baku cat. Senyawa kardanol
memiliki rantai samping tak jenuh (C15) pada posisi meta dari inti fenolnya,
yang merupakan pembedanya dari senyawa fenol. Komposisi kimia CNSL
tersebut dipengaruhi oleh komponen asam anakardat yang bersifat
termolabil, dan akan terdekomposisi menjadi kardanol dan karbon dioksida
akibat pengaruh pemanasan.
Penelitian pemanfaatan CNSL sebagai bahan baku cat dilakukan
dalam dua percobaan yaitu: (1) pembuatan cat dengan bahan baku CNSL
yang telah terdekarboksilasi dan (2) pembuatan cat dengan bahan baku
kardanol dari CNSL.
Formulasi cat yang diperoleh dari CNSL dekarboksilasi menunjukkan
bahwa pada hasil pengujian daya lentur menunjukkan bahwa semua
sampel memiliki cat yang lentur. Daya lekat cat terbaik diperoleh dari
sampel (suhu formulasi resin 800C, dan perbandingan mol formaldehida
45
terhadap total fenolik 1,2 : 1), dengan daya lekat yang diperoleh termasuk
ke dalam kategori 3 B (5–15% mengelupas). Pengujian kekerasan
menunjukkan bahwa cat yang dihasilkan memiliki kekerasan yang kurang
baik. Cat yang diperoleh memiliki karakteristik sebagai berikut: bobot jenis
(28oC) 1,0734, kadar padatan 62,46 % dan bahan menguap 37,54 % ; nilai
tersebut sesuai dengan SNI 06-05-03-1989. Viskositas cat yang dihasilkan
masih berada di atas SNI 70 – 85 KU, mengakibatkan aplikasi cat pada
permukaan menjadi sulit, tetapi dapat diatasi dengan penambahan
pelarut.
Untuk pembuatan cat berbahan baku kardanol, terlebih dahulu
dilakukan pemisahan kardanol dari CNSL. Kardanol dipisahkan dengan
metode distilasi vakum. Tahap pertama CNSL dipanaskan pada suhu 140oC
selama 1 jam, sehingga asam anakardat berubah menjadi kardanol,
kemudian kardanol dipisahkan dengan metode destilasi vakum pada suhu
280oC dengan tekanan vakum (4-8 mmHg). Hasil yang diperoleh 74 % distilat
(kardanol) dan 26 % sisa destilasi berupa cairan kental berwarna hitam
dikenal dengan nama residol.
Formulasi cat dari kardanol yang terbaik memiliki berat jenis 0,96 g/ml
yang lebih rendah dari SNI 06-05-03-1989 (minimum 1,1 g/ml) namun lebih
tinggi dari cat komersial (0,95 g/ml). Kadar padatan total bahan menguap
cat berturut-turut 57,41 % dan 42,60 % yang memenuhi SNI (minimum 20 %)
dan lebih tinggi dibandingkan cat komersial. Waktu mengering sentuh cat
5,25 jam dan mengering keras 24 jam yang belum memenuhi SNI (maksimum
3 jam dan 8 jam). Waktu kering sentuh cat komersial 3 jam, lebih cepat
dibandingkan cat yang dihasilkan, sedangkan waktu kering kerasnya sama.
Daya kilap cat 96,2 % yang jauh lebih tinggi dari cat komesial (75%).
Ketahanan gores dan ketahanan pelarut lebih baik dibandingkan cat
komersial. Namun daya lekat dan lentur cat masih kurang baik. Cat yang
dihasilkan sebaiknya digunakan sebagai cat akhir (top coat)
46
Hasil evaluasi dari kedua jenis bahan baku cat (CNSL dekarboksilasi
dan kardanol), terlihat formulasi cat dengan bahan baku kardanol mutunya
lebih baik dibandingkan formulasi cat dengan bahan bahan baku CNSL
dekarboksilasi. Mutu cat yang dihasilkan dari percobaan ini masih perlu
ditingkatkan.
Pembuatan vernis dengan bahan baku resin dari kardanol
Pada penelitian ini kardanol (komponen utama CNSL) dimanfaatkan
untuk mensubstitusi fenol dalam resin fenolik, yang akan digunakan sebagai
bahan baku vernis. Karakteristik resin kardanol formaldehida (viskositas dan
kadar padatan) dipengaruhi baik oleh nisbah molar kardanol dengan
formaldehida (F/P) maupun pH reaksi. Viskositas resin semakin meningkat
dengan semakin tingginya nisbah molar. Hal yang sama juga terjadi pada
kadar padatan resin.
Viskositas resin yang dihasilkan dari pH reaksi 2 memiliki nilai yang jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan pH 3 dan pH 4. Viskositas resin yang terlalu
tinggi tidak dikehendaki karena kelarutan resin menjadi berkurang dan
mempersulit pemrosesan selanjutnya. Tingginya viskositas resin yang
dihasilkan dari pH 2, diduga disebabkan oleh adanya reaksi samping
selama proses resinifikasi, yaitu polimerisasi melalui ikatan rangkap pada
rantai samping kardanol.
Seluruh resin yang dihasilkan diformulasi menjadi vernis dengan
menambahkan bahan aditif, antara lain bahan pengering dan pelarut.
Pengujian film vernis terdiri atas pengujian kuantitatif (waktu kering dan
daya kilap) dan kualitatif (daya lentur, kekerasan, dan daya lekat). Hasil
analisis statistik terhadap pengujian kuantitatif menunjukkan bahwa waktu
kering dipengaruhi baik oleh nisbah molar F/P (Formalin/Phenol) dan pH
reaksi. Terhadap daya kilap film perlakuan tidak menunjukkan pengaruh
yang nyata.
47
Vernis yang dihasilkan dari nisbah molar F/P 0,9 cenderung memiliki sifat
film vernis yang lebih baik. Lapisan film vernis dari nisbah molar tinggi (F/P 0,9)
lebih cepat mengering dibandingkan dengan nisbah molar F/P 0,7 dan 0,8.
Terdapat kecenderungan peningkatan kekerasan lapisan film vernis sejalan
dengan semakin tingginya nisbah molar F/P, namun sebaliknya daya lentur
film mengalami penurunan. Daya kilap dan daya lekat film relatif sama
untuk seluruh perlakuan nisbah molar F/P. Formulasi vernis terbaik diperoleh
dari resin yang dihasilkan dari nisbah molar formaldehida terhadap kardanol
0,9 : 1 (F/P 0,9).
Formula vernis tersebut sangat prospektif sebagai vernis kayu tipe
interior karena memiliki kekerasan, kilap, dan daya lekat film yang cukup
baik. Hasil pengujian film vernis menunjukkan bahwa waktu kering film vernis
dapat memenuhi standar mutu vernis SNI No. 06-1009-1989. Sampel dengan
nisbah molar F/P 0,9 dan pH 3 sangat prospektif digunakan sebagai vernis
kayu tipe interior karena memiliki kekerasan, kilap, dan daya lekat film yang
cukup baik.
Pemanfaatan CNSL sebagai bahan aktif dalam obat nyamuk bakar
Formulasi obat nyamuk yang menggunakan bahan aktif CNSL yang
belum mengalami pemanasan (kandungan asam anakardat tinggi) lebih
baik dibandingkan CNSL yang telah didekarboksilasi atau dihidrogenasi.
Penambahan allethrin juga sangat berpengaruh terhadap efektifitas obat
nyamuk, dimana semakin rendah konsentrasi allethrin yang ditambahkan,
maka efektifitasnya akan semakin rendah. Untuk uji efektifitas terhadap
formula obat nyamuk menunjukkan bahwa campuran kandungan allethrin
dan CNSL sangat berpengaruh terhadap LD50.
5. Teknologi Pengolahan Minyak Kelapa Murni
Komoditas kelapa selama ini sebagian besar dimanfaatkan untuk
kelapa sayur dan minyak goreng. Di beberapa tempat telah dikembangkan
berbagai produk olahan dari kelapa dan pemanfaatan hasil samping
diantaranya seperti desicated coconut, nata de coco, serat sabut dan
arang tempurung. Minyak kelapa murni (virgin coconut oil) merupakan
produk olahan dari kelapa yang memiliki nilai tambah tinggi tetapi belum
banyak dikembangkan di Indonesia. Minyak kelapa murni merupakan
minyak kelapa yang diperoleh melalui proses dengan penggunaan panas
minimal dan tanpa proses pemurnian kimiawi. Minyak kelapa murni memiliki
kandungan asam laurat yang sangat tinggi (45-50%). Penggunaan produk
minyak kelapa murni lebih diutamakan untuk kesehatan dan kosmetika,
sedangkan minyak kelapa biasa digunakan untuk minyak goreng.
Teknologi pengolahan minyak kelapa murni dimplementasikan di
lapangan dalam bentuk model agroindustri minyak kelapa murni terpadu di
Desa Agrabinta, Cianjur Selatan. Unit pengolahan minyak kelapa murni yang
dibangun memiliki kapasitas produksi 250 kg/jam kelapa parut (Gambar 11).
Pengembangan model agroindustri ini bekerjasama dengan BPTP Jawa
Barat, Dinas Perdagangan dan Industri Kab. Cianjur, dan Koperasi Mutiara
Gambar 10. Vernis yang dihasilkan pada nisbah molar F/P 0.9 dengan pH reaksi 3
dalam media kayu
49
Baru (Gambar12). Keunggulan teknologi proses yang dikembangkan waktu
proses produksi minyak ± 3 jam (tradisional 24 jam), kebutuhan air relatif
sedikit (ekstraksi kering), dan hemat energi. Produk minyak kelapa murni
yang dihasilkan dilapangan mengandung kadar asam lemak bebas (FFA)
0,01 % (standar CODEX maksimum 0,04%) dan kadar asam laurat 48%
(komponen terpenting dalam minyak kelapa murni).
Dampak dari kerjasama pengembangan agroindustri kelapa secara
terpadu yang diharapkan adalah meningkatnya pendapatan petani
dengan terjadinya peningkatan harga buah kelapa di petani, dan
meningkatnya pendapatan masyarakat terutama anggota Koperasi
Mutiara Baru. Unit produksi pengolahan minyak kelapa murni yang
dikembangkan di Kabupaten Cianjur statusnya saat ini berada pada fase
menuju komersialisasi. Produk minyak kelapa murni dipasarkan dengan
nama Laurica dengan harga Rp. 80.000 per kg. Saat ini sedangan dilakukan
pengembangan teknologi pengolahan isotonic drink dari air kelapa.
Gambar 11. Unit pengolahan minyak kelapa murni dengan sistem mekanis dengan
yang dikembangkan BB-Pascapanen
No Pendaftaran
MerekD002005-002190
C. PENGEMBANGAN SISTEM MANAJEMEN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
1. Penelitian Perilaku Kontaminan pada Komoditas Sayuran
Sayuran merupakan komoditas yang mempunyai potensi sebagai
sumber zat gizi bagi masyarakat dan juga sebagai sumber pendapatan
maupun devisa. Sebagai bagian pangan utama, keamanan pangan
komoditas sayuran perlu diperhatikan, terutama terkait dengan kebiasaan
makan sebagian masyarakat Indonesia yang menyukai konsumsi sayuran
dalam keadaan segar (mentah). Masalah utama keamanan pangan
komoditas sayuran segar terletak pada tingginya tingkat kontaminasi baik
oleh mikrobia, logam berat, maupun residu pestisida. Tujuan penelitian ini
adalah untuk: mengidentifikasi jenis dan tingkat kontaminan mikrobia, logam
berat dan residu pestisida pada komoditas sayuran segar; menghimpun
berbagai data kontaminan dan keamanan pangan hasil pertanian,
khususnya sayuran, sebagai data dasar (database) keamanan pangan.
Sampel sayuran segar diambil dari dua lokasi sentra produksi sayuran
segar yaitu Cipanas, Jawa Barat dan Malang, Jawa Timur. Cakupan sayuran
yang diamati adalah kubis, tomat dan wortel. Survai dilakukan dengan
mengajukan sejumlah pertanyaan kepada responden. Responden adalah
petani dan pedagang sayuran di wilayah setempat. Dari setiap responden
BADAN LITBANG
PERTANIAN
MODEL AGROINDUSTRI
MINYAK KELAPA MURNI
TERPADU
BB-PASCAPANEN
DAN BPTP
INDUSTRI HILIR
PASAR
PEMDA
PETANI
KELAPA
MITRA USAHA
(Koperasi/UKM)
-Kelembagaan-Dana
Saham
Saham
Royal
ti
Produk Intermediet
Produk Produk-Sarana
-Pengelola
Saham
Tek
n.T
epatG
una
Manaje
men
Usa
ha
Teknologi Tinggi:
-Produksi monolaurin dari minyak kelapamurni
- Produksi galaktomannan dari ampas kelapa
- Karbon aktif
Kelapa
income
incom
e inco
me
Pembinaan
Pengalihan saham pemerintah
Gambar 12. Pola kerjasama pengembangan model agroindustri minyak kelapa murni
terpadu
51
diambil sejumlah sampel untuk diamati tingkat kontaminasi mikroba, logam
berat dan residu pestisida di laboratorium. Data yang dihasilkan akan
disusun ke dalam bentuk database. Kegiatan penjajakan potensi
kontaminan pada sayuran juga dilakukan di propinsi DKI Jakarta.
Kontaminan yang dianalisis terdiri dari tiga kelompok kontaminan,
yaitu logam berat, residu pestisida dan mikroba. Cemaran logam berat
yang melebihi BMR yang direkomendasikan oleh Codex Alimentarius
Commision (CAC), diantaranya cemaran Fe yang kadarnya mencapai lebih
dari 40 mg/kg (ppm) atau diatas BMR yang direkomendasikan CAC sebesar
1,0 mg/kg (ppm). Demikian pula tingkat cemaran logam berat Pb masih
diatas BMR yang direkomendasikan oleh CAC walaupun tidak terlalu jauh.
Tingkat cemaran Pb yang terjadi pada sayuran kubis yang berasal dari
Jawa Barat dan Jawa Timur berkisar 0,1-0,3 ppm. Nilai ini masih diatas BMR
(0,1 ppm). Sedangkan tingkat kontaminan logam berat Zn, Cd dan As masih
di bawah BMR.
Cemaran logam berat Zn, Cd dan As pada tomat masih di bawah
BMR. Sedangkan untuk cemaran logan berat Fe dan Pb pada tomat dari
beberapa sampel masih di atas BMR yang direkomendasikan oleh CAC.
Cemaran Fe pada tomat berkisar antara 37-49 ppm, masih di atas BMR
yang direkomendasikan dari CAC sebesar 1,0 ppm. Demikian pula untuk
tingkat cemaran Pb dari tomat yang dianalisis menunjukkan kadarnya masih
diatas 0,1 ppm, lebih besar dari BMR (0,1 ppm).
Tingkat cemaran logam berat pada wortel bervariasi antara 73-77 ppm.
Tingkat BMR cemaran logam berat Fe yang direkomendasikan oleh CAC
adalah sebesar 1,0 ppm. Dengan demikian cemaran Fe pada wortel jauh
melebihi BMR yang direkomendasikan oleh CAC. Tingkat cemaran Pb pada
wortel bervariasi antara 0,1-0,21 ppm. Cemaran logam berat Pb pada
wortel masih diatas BMR yang direkomendasikan oleh CAC, kecuali
cemaran Pb pada wortel yang diperoleh dari swalayan dari Jawa Barat
kadarnya 0,1 ppm. Tingkat cemaran Fe dan Pb pada tomat perlu
penanganan yang baik agar tingkat cemaran dapat dikurangi sampai
52
batas aman seperti yang direkomendasikan oleh CAC. Untuk cemaran
logam berat yang lain (Zn, Cd, dan As) masih pada tingkat yang aman
yaitu di bawah BMR.
Sayuran yang diamati sebagian besar tidak tercemar oleh
penggunaan pestisida. Deteksi terhadap keberadaan residu dari kelompok
Organoklorin, Organofosfat maupun kelompok Karbamat hanya mampu
menangkap adanya senyawa Endosulfan, Metidation dan Klorpirofos pada
komoditas kubis. Sementara itu pada tomat ditemukan adanya senyawa
Metidation, Profenofos dan Karbofuran, sedangkan dalam wortel terdeteksi
adanya Endosulfan dan Klorpirofos. Meskipun secara kualitatif, beberapa
senyawa di atas dapat terdeteksi, namun secara kuantitatif kandungan
senyawa tersebut masih berada di bawah ambang batas.
Cemaran mikroba pada sayuran segar umumnya masih sangat tinggi,
yaitu berkisar dari 3,3x104 yang ditemukan pada sayuran pada suatu
swalayan (super market) hingga kebanyakan mengandung 106-107 sel per g
sampel pada penanganan tingkat petani dan pasar tradisional.
Kandungan ini jauh di atas ketentuan yang dipersyaratkan, yaitu 103 sel per
g sampel. Populasi mikroba total yang tinggi pada sayur segar
mengindikasikan adanya kontaminan mikroba yang merugikan. Teknologi
optimal untuk budidaya dan penanganan sayuran segar yang dilakukan
oleh pelaku usaha sayuran (petani, pedagang tradisional, dan pedagang
swalayan) mampu menekan tingkat kontaminan logam berat, pestisida dan
mikroba. Dari hasil tersebut dapat direkomendasikan perlunya penanganan
sayuran segar secara komprehensif dari sejak proses produksi di lahan
pertanaman hingga siap di konsumsi. Konsep “safe from farm to table”
perlu diterapkan melalui pendekatan GAP dan GMP pada model Packing
House Operation.
Dari analisis yang dilakukan dengan cara membandingkan tingkat
kontaminan sampel sayuran yang diambil dari pelaku usaha sayuran
diketahui tingkat kontaminan sayuran dari Jawa Timur lebih rendah
53
dibandingkan dengan sampel sayuran dari Jawa Barat. Penanganan
sayuran yang dilakukan oleh pelaku usaha sayuran terhadap jenis sayuran
tertentu akan menghasilkan sayuran dengan tingkat cemaran tertentu.
Pelaku usaha petani sayuran yang terbaik dalam menghasilkan sayuran
segar adalah: kubis dihasilkan oleh petani Sumber Brantas, tomat dihasilkan
oleh petani Karang Ploso, dan wortel dihasilkan oleh petani Sumber Brantas.
Pelaku usaha pedagang pasar tradisional yang terbaik dalam menangani
sayuran segar adalah: sayuran kubis ditangani oleh pedagang Pasar
Karang Ploso, tomat ditangani oleh pedanga Pasar Batu, dan wortel
ditangani oleh pedagang Pasar Mantung. Beberapa swalayan juga
melakukan penanganan sayuran dengan baik dan beberapa lainnya
melakukan penanganan sayuran secara lebih baik.
Strategi penanggulangan kontaminan dapat disusun dengan
memperhatikan terlebih dahulu teknologi yang dikuasai pelaku usaha
sayuran saat ini. Teknologi budidaya yang mengacu pada program
pengendalian hama-penyakit terpadu (PHT) selayaknya dapat diteruskan,
karena penggunaan agrokimia dalam program ini terbukti tidak
memberikan dampak negatif. Namun demikian pemilihan lokasi budidaya
sebaiknya dipertimbangkan mengingat adanya kontaminasi logam berat,
yang diduga berasal dari sistem lahan (tanah, air, dan udara) yang
tercemar, baik secara alami maupun artifisial (misalnya dari dari limbah
industri).
2. Penelitian Perbaikan Mutu dan Keamanan Pangan Susu di Tingkat Peternak
dan Koperasi Susu
Susu sebagai salah satu produk hasil ternak mempunyai kandungan gizi
yang lengkap, hal tersebut memberikan peluang yang baik bagi
petumbuhan mikroba seperti bakteri, kapang dan khamir. Hal ini
mengakibatkan mudahnya susu mengalami penurunan mutu dan
kerusakan, ditandai perubahan rasa, aroma, warna dan penampakan.
54
Keadaan demikian seringkali terjadi pada susu asal peternakan rakyat,
dimana jumlah bakteri dapat mencapai puluhan juta sel/ml yang jauh dari
standar yang disyaratkan oleh SNI dan Industri Pengolahan Susu (IPS). Selain
hal di atas, penolakan susu oleh IPS disebabkan pula oleh rendahnya kadar
lemak dan protein (kurang dari 3%), BKTL dan TS. Tujuan penelitian ini adalah
untuk memperbaiki teknologi penanganan susu ditingkat peternak dan
koperasi susu.
Dari beberapa wilayah yang diidentifikasi, terpilih dua koperasi sebagai
kooperator, yaitu KSU Sarwa Mukti yang berlokasi di Lembang-Jawa Barat
dan KSU Tandang Sari yang berlokasi di Tanjung Sari, Sumedang. Susu yang
dikelola kedua koperasi tersebut berasal dari para pengumpul dan kolektor
susu dari peternak, sehingga secara keseluruhan akan mempengaruhi mutu
susu pada tingkat koperasi susu. Hasil analisis susu menunjukkan bahwa
mutu susu telah memenuhi syarat SNI 2000 (kecuali TPC), yaitu dengan
kriteria : uji alkohol negatif, rata-rata nilai pH 6,71; BJ 1,028; kadar lemak
3,03%; kadar protein 2,6%, BKTL 8,78%. Nilai TPC susu mencapai 8,8 x 107
sel/mL, melampaui batas maksimum SNI 2000 yaitu 1 x 106 sel/mL, dengan
cemaran mikroba jenis bakteri patogen E. coli dan S. agalactiae. Cemaran
aflatoksin M1 mencapai 0,2275 ppb, masih dibawah batas maksimum yang
disyaratkan SNI 2000, yaitu 0,001 ppm. Pestisida, antibiotika dan logam berat
Pb juga masih berada di bawah batas maksimal residu SNI 2000, sedangkan
tingkat cemaran logam berat Zn melebihi batas BMR yang disyaratkan SNI
2000 (3,3972 ppm), dengan tingkat cemaran mencapai 5,15 ppm. Selama
penanganan dalam jalur distribusi terjadi penurunan proksimat susu kecuali
BKTL, aflatoksin M1, penisilin, oksitetrasiklin, tetrasiklin, lindane, heptaklor, dan
klopirifos, namun Bj, PH, Pb, Zn, klortetrasiklin dan TPC mengalami
peningkatan.
Di tingkat peternak, pengumpul dan koperasi ternyata mutu susu
dengan nilai uji alkohol, pH, BJ, kadar lemak, kadar protein minimum dan
BKTL telah memenuhi persyaratan standar mutu susu SNI 01-6366-2000,
55
namun masih tercemar oleh bakteri patogen E.coli, dan S. Agalactiae, TPC
masih diatas standar SNI. Di tingkat peternak, pengumpul dan koperasi telah
terdeteksi cemaran aflatoksin M1, antibiotika (penisilin, tetrasiklin dan
chlortetrasiklin dan oksitetrasiklin), pestisida (lindan, heptaklor, klorpirifos,
endosulfan dan Dieldrin) namun berada dibawah BMR yang dipersyaratkan
SNI 2000. Tingkat cemaran logam berat Cd (cadmium) mencapai 0,0122
ppm namun belum disyaratkan SNI 2000. Tingkat cemaran logam Pb
(Plumbum) berada pada standar SNI 1998, adapun Zn (seng) berada di atas
standar SNI 2000.
Faktor yang sangat berperan terhadap mutu susu dan keamanannya
adalah manajemen perternakan (pakan ternak, perkandangan) dan
manajemen penanganan susu yang berada di tingkat peternakan.
Sedangkan di tingkat pengumpul dan koperasi yang berperan adalah
penanganan susu karena tempat terakumulasinya seluruh susu dari
peternak. Kondisi tempat penampungan sangat memprihatinkan, tanpa
adanya fasilitas pendingin dan pengujian mutu susu dilakukan dengan
fasilitas minimum.
D. DISEMINASI HASIL PENELITIAN
Setiap kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis
(UPT) lingkup Badan Litbang Pertanian diharapkan menghasilkan luaran yang
berkualitas dan bermanfaat, baik dalam kaitannya dengan nilai tambah ilmiah
maupun nilai tambah agribisnis. Untuk itu proses penelitian dan
pengembangan, mulai dari perencanaan hingga pelaporan, termasuk proses
diseminasi, promosi dan komersialisasi kepada para pengguna (beneficiaries
dan stakeholders) harus didukung oleh manajemen yang profesional.
Sejalan dengan perubahan paradigma Badan Litbang Pertanian, maka
setiap penelitian dan pengembangan pertanian harus selalu berorientasi pada
nilai tambah ilmiah dan nilai tambah agribisnis. Nilai tambah ilmiah
dimaksudkan bahwa setiap penelitian harus bermuatan ilmiah, baik dalam
56
pelaksanaan (pendekatan, metodologi dan analisis) maupun hasilnya
(informasi dan publikasi ilmiah, HKI dan hak paten). Nilai tambah agribisnis
diartikan bahwa setiap penelitian dan pengembangan harus bermanfaat,
memiliki nilai ekonomi atau bersifat komersial.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB-
Pascapanen) sebagai UPT Badan Litbang Pertanian di bidang penelitian dan
pengembangan pascapanen pertanian telah menghasilkan berbagai
teknologi untuk dapat segera dimanfaatkan oleh masyarakat dan dunia usaha.
Oleh karena itu berbagai kegiatan diseminasi yang dilaksanakan berupaya
mendekatkan penghasil teknologi dan penggunanya serta mempercepat
proses penyebaran informasi. Untuk itu, diperlukan pengembangan media
informasi yang belum dapat dilaksanakan pada tahun 2003, seperti penerbitan
Jurnal Ilmiah, buku teknologi, dan komunikasi lainnya. Belum dimilikinya jurnal
ilmiah merupakan masalah yang harus segera diatasi, antara lain dengan
menggali materi melalui seminar rutin dan segera menyusun Dewan Redaksi.
Metode lain dalam mengenalkan teknologi perlu ditempuh selain pameran,
misalnya open house untuk memberi kesempatan masyarakat mengenal dari
dekat peragaan teknologi.
Diseminasi pada tahap perkenalan organisasi yang telah berlangsung
untuk mempromosikan Tupoksi Balai perlu ditindaklanjuti dengan promosi hasil-
hasil kegiatan penelitian baik dari aspek program penelitian dan
pengembangan maupun dalam upaya menjaring mitra kerjasama guna
meningkatkan keterpakaian teknologi oleh pengguna. Komunikasi hasil
kegiatan BB-Pascapanen perlu dilaksanakan dalam berbagai kegiatan seperti
publikasi hasil penelitian, seminar, gelar teknologi, open house, maupun
pameran dengan jadwal yang disusun secara terencana.
Melalui kegiatan diseminasi dan komunikasi maka informasi dan teknologi
pascapanen hasil penelitian BB-Pascapanen dapat sampai dan digunakan
oleh masyarakat tani, dunia usaha, dan pengguna lainnya, dan pada
gilirannya dapat meningkatkan nilai tambah bagi penggunanya. Publikasi
57
ilmiah dapat menjadi media komunikasi ilmiah antar peneliti bidang
pascapanen baik yang berasal dari lingkup Badan Litbang pertanian maupun
perguruan tinggi atau lembaga penelitian lainnya. Upaya menghimpun
masukan dari stakesholders dapat memberikan arah kebutuhan teknologi yang
kemudian dipecahkan melalui penelitian yang disusun dalam program
pascapanen dalam Renstra lima tahun mendatang.
1. Diseminasi dan Komunikasi Hasil Penelitian
1.1. Temu Konsultasi dengan Pihak Swasta dan Lembaga Pemerintah
Acara Temu Konsultasi diselenggarakan pada tanggal 26 Januari 2004
bertempat di Hotel Borobudur, Jakarta. Acara tersebut dihadiri oleh lebih
kurang 100 peserta baik dari Departemen Pertanian, Pemda, Swasta dan Para
Peneliti. Temu konsultasi ini diselenggarakan dalam rangka: (1) mendapatkan
informasi tentang arah dan kecenderungan (trend) pengembangan teknologi
pascapanen dan pengolahan hasil di masa datang sebagai masukan untuk
program dan kebijakan penelitian teknologi pascapanen 2005 – 2009; (2)
mempromosikan hasil-hasil penelitian yang telah dicapai untuk mempercepat
transfer teknologi ke dunia usaha dan stakeholder; (3) menggali kerjasama dan
kemitraan dengan dunia usaha, instansi teknis dan masyarakat pengguna
lainnya, baik dalam bentuk kerjasama penelitian maupun dalam bentuk
komersialisasi hasil penelitian (komersialisasi paten, lisensi teknologi); dan (4)
merumuskan arah dan kebijakan program litbang teknologi pascapanen yang
dapat mendorong partisipasi swasta dan stakeholder dalam pengembangan
usaha agroindustri berbasis teknologi.
1.2. Seminar Rutin Pascapanen Pertanian
Seminar rutin diadakan setiap bulan dan pada tahun 2004 dimulai pada
bulan Maret 2004 sampai dengan bulan Desember 2004. Seminar rutin
dimaksudkan sebagai wahana untuk menyaring naskah-naskah yang akan
dimuat dalam Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian, penyampaian metode
58
baru untuk penelitian, dan tukar menukar informasi iptek lainnya. Judul-judul
makalah yang disampaikan pada seminar rutin tersebut adalah:
• Rice quality management through better drying, milling and storage
pratices : A case study in West Java and Central Java, Indonesia (Dr.
Ridwan Rachmat).
• Fisiologi kemasan dalam modifikasi atmosfir terhadap kesegaran etiologi
bunga potong mawar (Ir. Sunarmani, MS).
• Sintesis isoeugenol dari minyak daun cengkeh (Ir. Djajeng Sumangat,
MSc).
• Kajian pemisahan kardanol dari minyak kulit biji mete dengan metoda
distilasi vakum (Ir. Risfaheri, MSi)
• Perubahan sifat fisikokimia dan fungsional tepung beras akibat proses
modifikasi ikat silang (Dr. S.Joni Munarso)
• Pengaruh stater kombinasi berbagai jenis bakteri dan khamir terhadap
sifat fisikokimia dan sensori kefir (Sri Usmiati, SPt, MSi)
• Analisa perencanaan model pengembangan agroindustri minyak daun
cengkeh (Ir. Agus Supriatna)
• Efek androgenik ekstrak purwoceng terhadap anak ayam umur 3 hari
(Dra. Sri Yuliani, Apt.)
• Effect of MCP on the senescences of Srevilleasylia Inflorescences (Dr.
Setyadjit, MAppSc)
• Pengeringan gabah dengan bahan bakar sekam (Ir. Syafarudin Lubis )
• Kajian kelayakan proses tepung dan pati dari umbi-umbian ditinjau dari
sifat fisikokimia (Ir. Nur Richana, MS)
• Sosialisasi Website BB- Pascapanen (Ir. Agus Supriatna).
• Pengembangan kemitraan teknologi agroindustri minyak nilam (Ir.Pandji
Laksamanaharja)
• Pengembangan kemitraan teknologi agroindustri tepung kasava (Ir.
Suismono,MS).
59
• Pengembangan kemitraan teknologi agroindustri kulit- bulu dan daging
kelinci (Dr. Yono C. Raharjo)
• Pengembangan kemitraan teknologi agroindutri padi (Ir. Sudaryono).
• Uji toksisitas ekstrak rimpang lempuyang gajah terhadap larva udang
(Dra. Hernani,MSc)
• Effektifitas lilin ekstrak limbah nilam terhadap lalat rumah tangga (Dra.Sri
Yuliani, Apt).
• Kinetika inaktivasi enzim polifenol oksidase pada pengolahan teh hijau
(Andi Nur Alamsyah ,STP, MT)
• Edible coating sosis itik (Mulyana Hadipernata, STP).
• Kemajuan penelitian pengembangan teknologi pengolahan pasta cabai
dan tomat skala agroindustri mendukung agribisnis sayuran (Dr. Imam
Muhadjir)
• Kinetika reaksi oksidasi enzimatik polifenol pada pengolahan teh hitam
(Andi Nur Alamsyah, STP,MT)
• Model dinamika ketersediaan sagu sebagai sumber ketahanan pangan
(Ir. Agus Supriatna).
• Pengembangan agroindustri minyak nilam di Majalengka (Ir. Christina
Wienarti, MA)
• Development of thermophilic bacteria capable of producing ethanol (Ir.
Pujo Yuwono, MAppSc)
1.3. Penerbitan Media Ilmiah Jurnal Pascapanen
Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian (J. Pascapanen) Volume I Nomor
1, 2004, telah terbit pada bulan Desember 2004, dengan Nomor ISSN: 0216-1192.
Peluncuran Jurnal tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 2004 di
Kantor BB-Pascapanen, Bogor. Selanjutnya, J. Pascapanen didistribusikan
kepada Peneliti, Penyuluh, Perguruan Tinggi, P2JP Departemen Pertanian, PDII
LIPI, PUSTAKA dan seluruh Eselon II lingkup Badan Litbang Pertanian, BPTP, dan
lembaga terkait lainnya.
60
1.4. Pendaftaran Paten Teknologi dan Merek Produk
Pendaftaran paten yang telah dilakukan oleh Balai Besar Litbang
Pascapanen Pertanian pada tahun 2004 adalah paten sederhana. Paten
teknologi BB-Pascapanen yang sudah terdaftar adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Paten Teknologi BB-Pascapanen yang didaftar dalam kurun waktu
Desember 2003-2004
1. Mesin Pembubur Buah dengan Sistem Konveyor Ulir
Dr. Setyadjit, MAppSc S00200400181 14 Desember 2003
2. Perekat Kayu Lapis Berbasis
Kardanol
Ir. Risfaheri, MS S00200400181
14 Maret 2004.
3. Mesin Pembuat Sayuran
Kering dengan Teknologi Far
Infrared
Dr. Ridwan Rahmat,
et.al.
S00200400184
1 Desember 2004
1.5. Penyebaran Informasi dan Teknologi Pascapanen Melalui Media Cetak
dan Elektronik
Beberapa topik hasil penelitian dan informasi kegiatan telah dilakukan
diseminasi melalui media cetak. Dua naskah, yaitu: (1). “Seberapa organikkah
pangan organik ?” yang ditulis oleh Dr. Joni Munarso, dan (2). “Radiasi Far Infra
Red mempercepat pembuatan sayuran kering instan” oleh Dr. Ridwan
Rachmat, telah diterbitkan dalam media internal Badan Litbang Pertanian yaitu
Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Pemuatan berbagai teknologi dan aktivitas BB-Pascapanen bekerjasama
dengan Tabloid Sinar Tani telah direalisasikan dengan mengangkat topik
“Menjalin kerjasama kemitraan untuk mempercepat komersialisasi teknologi”.
Pada penerbitan ini mengetengahkan teknologi unggulan seperti pengolahan
puree mangga yang telah dikembangkan bersama mitra CV. Promindo Utama
dan Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon di Cirebon, teknologi pengolahan
padi terpadu, teknologi pengolahan daging dan bulu kelinci, dan teknologi
ekstraksi minyak daun nilam dengan model yang telah dikembangkan bersama
mitra Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Majalengka di Desa
Cikondang, Majalengka.
61
Promosi lainnya melalui Koran NTB-Post dan Lombok Post pada saat
berlangsungnya Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional yang menampilkan
teknologi pengolahan minyak kelapa murni dan kegiatan lainnya.
Penyebarluasan teknologi melalui media televisi belum banyak dilakukan
dan perlu ditingkatkan pada tahun mendatang, mengingat media ini demikian
luas dan cepat penyebarannya. Media radio sudah mulai dicoba bekerjasama
dengan Radio Pertanian Ciawi guna mempromosikan kegiatan open house BB-
Pascapanen pada bulan Agustus 2004. Kedepan, media radio ini akan
digunakan untuk menyebarluaskan teknologi tepat guna bagi petani.
Web milik BB-Pasacapanen yang telah dibuat embrionya sejak tahun 2004
telah diperbaiki penampilan/formatnya dan sebagian fitur-fitur yang tersedia
telah diperbaharui (up-date) antara lain fitur teknologi, berita, profil, kerjasama,
publikasi. Nama Web adalah Postharvestech dengan alamat situs:
http://pascapanen.litbang.deptan.go.id/. Situs ini dihosting di situs Badan
Litbang Pertanian (http://litbang.deptan.go.id/. Direncanakan situs tersebut
akan dihosting juga di situs milik Pustaka.(www.pustaka-deptan.go.id). Hal
mendesak yang harus dilakukan adalah melakukan up-dating secara kontinyu
terhadap fitur-fitur yang telah ada.
2. Ekspose Nasional Teknologi Pascapanen
2.1. Seminar dan Ekspose Nasional Teknologi Pascapanen
Seminar dan Ekspose Nasional tersebut mencakup 4 kegiatan, yaitu : (1).
Seminar Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional, (2). Open House Teknologi
Pengolahan Hasil Pertanian, (3). Lomba Produk Olahan Jajanan Anak dengan
Bahan Baku Aneka Tepung dan (4). Pameran pada Pekan Inovasi Teknologi
Pertanian. Seluruh kegiatan tersebut berada di Kampus Penelitian Pertanian
Cimanggu yang berpadu dalam Pekan Inovasi teknologi Pertanian dalam
rangka peringatan 30 tahun Badan Litbang Pertanian.
Seminar Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional diselenggarakan pada
tanggal 6 Agustus 2004. Seminar bertema Cinta Pangan Nusantara ini bertujuan
: (1) menghimpun gagasan pemikiran serta merumuskannya untuk menunjang
kebijakan pengembangan pangan tradisional berdaya saing, (2) menghimpun
dan menyebarkan (inventarisasi, diseminasi dan sosialisasi) komponen IPTEK
inovatif hasil penelitian dan pengembangan pangan tradisional, (3)
menghimpum dan menyebarkan karya teknologi tradisional berpotensi milik
masyarakat Indonesia di bidang pengolahan pangan, (4) membangun dan
mengembangkan jaringan kerjasama antara lembaga penelitian, pergururan
tinggi, praktisi pengusaha dan pengambil kebijakan dalam mengembangkan
industri pangan tradisional berdaya saing.
Seminar diikuti oleh 160 peserta, terdiri dari pejabat struktural baik dari
Direktorat teknis maupun lingkup Badan Litbang Pertanian, peneliti, penyuluh,
staf pengajar perguruan tinggi, pengusaha dan mahasiswa.
Makalah utama yang dibahas pada Sidang Panel :
1. Strategi dan kebijakan pangan tradisional dalam rangka ketahanan
pangan, (Dr. Ir. Kaman Nainggolan, Badan Bimas Ketahanan Pangan,
Departemen Pertanian)
2. Potensi, peluang dan kendala bisnis pangan tradisional (Ir. Thomas
Darmawan, GAPMMI)
Gambar 13. Pelaksanaan Seminar Peningkatan Daya Saing Pangan
Tradisional, Bogor, 6 Agustus 2004
63
3. Dukungan IPTEK dalam pengembangan pangan tradisional (Dr. Dahrul
Syah, Pusat Kajian Pangan dan Gizi, IPB)
4. Program penelitian dan pengembangan pangan tradisional (Dr. Ridwan
Thahir, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Badan Litbang
Pertanian, Departemen Pertanian)
5. Pengalaman empiris perusahaan dodol Garut Picnic dalam
pengembangan pangan tradisional (H. Ato Hermanto dan Ir Ayek Cahya
P, PT Herlinah Cipta Pratama, pengusaha industri dodol Garut Picnic )
Open House Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian telah dilaksanakan
mulai tanggal 3 sampai 7 Agustus 2004. Dari jumlah undangan yang disebar ke
berbagai SMA dan sederajat yang berada di daerah Bogor dan sekitarnya,
Perguruan Tinggi dan Perusahaan Swasta yang terkait, maka hampir sebagian
besar undangan yang disebar direspon dengan datang mengunjungi open
house. Rata rata pengunjung open house per hari sekitar 500 orang dengan
jumlah mencapai sekitar 2.650 orang. Minat yang tinggi ditunjukkan oleh
pengunjung terhadap teknologi yang ditampilkan, terutama yang berkaitan
dengan teknologi pengolahan yang dioperasikan, seperti pengolahan tahu,
susu kedele, minyak atsiri, pengolahan jambu mete, pengeringan sayur
ataupun penggoreng vakum.
Lomba Produk Olahan Jajanan Anak dengan Bahan Baku Aneka Tepung
diikuti oleh 54 peserta utusan dari PKK, Darma Wanita, karyawati, mahasiswa,
dan masyarakat umum yang berasal dari Jakarta dan Bogor. Tiap peserta
terdiri dari dua orang. Peserta berasal dari PKK di lima wilayah Jakarta (Jakarta
Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Timur), Darma
Wanita lingkup Departemen Pertanian Jakarta, Bogor, Sukamandi dan
Lembang, peserta umum dan Karyawati lingkup Departemen Pertanian dari
Jakarta dan Bogor. Dewan Juri terdiri dari 1 orang ahli gizi dan 2 orang ahli tata
boga.
64
Pameran Pekan Inovasi Teknologi Pertanian berlangsung di halaman BB-
Biogen Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu, mulai tanggal 3-8 Agustus 2004
dan dibuka oleh Menteri Pertanian. Stand BB-Pascapanen menempati area
seluas 3x3x4 m2, atau sebanyak 3 stand dari sekitar 60 stand yang disediakan
oleh panitia. Materi yang dipamerkan merupakan hasil-hasil penelitian yang
dilakukan oleh BB Pascapanen selama 3 tahun terakhir.
2.2. Ekspose dan Gelar Teknologi Pascapanen Berkoordinasi dengan Badan
Litbang Pertanian
2.2.1. Forum Komersialisasi Hasil Riset Teknologi Industri
Pameran dan Temu Bisnis Forum Komersialisasi Hasil Riset Teknologi
Industri diselenggarakan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan
bekerjasama dengan Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan,
Departemen Kelautan Perikanan, Departemen Pendidikan Nasional serta
Kementrian Riset dan Teknologi. Acara ini direncanakan menjadi agenda tetap
Deperindag yang direncanakan dua kali setahun didalam mengkomersialkan
hasil-hasil riset lembaga-lembaga penelitian yang ada. Pada pelaksanaan
penyelenggaraan Forum Komersialisasi Hasil Riset Teknologi Industri, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian bergabung menjadi satu stand besar
mewakili Departemen Pertanian.
Gambar 14. Suasana Stand BB-Pascapanen dalam Pekan Inovasi
Teknologi Pertanian, Bogor 3-8 Agustus 2004
Pameran dan temu bisnis pada Forum Komersialisasi Hasil Riset Teknologi
Industri bertempat di Semanggi Expo, Kawasan Niaga Terpadu pada
tanggal 3–5 Maret 2004. Pada acara pembukaan dilangsungkan acara
penandatanganan naskah kerjasama antara pemilik teknologi dan mitra yang
akan mengaplikasikan teknologi tersebut secara komersial. Dari Badan Litbang
Pertanian, Kepala Badan Litbang telah menunjuk Teknologi ekstraksi bunga
melati yang akan bermitra dengan PT Rezki Fortuna Andama, Yogyakarta untuk
disyahkan kerjasamanya pada acara tersebut. Teknologi tersebut dipilih dari
tiga teknologi yang diusulkan.
Pada komersialisasi hasil riset dan teknologi industri, dilaksanakan seminar
untuk membahas hasil riset yang mempunyai prospek untuk dimplementasikan
secara nasional. Ada 40 materi yang didiskusikan dan 2 diantaranya dari BB
Pascapanen yaitu Model agroindustri pengolahan puree mangga oleh Dr.
Setyadjit, MAppSc. dan Teknologi prosessing daging, kulit-bulu kelinci oleh Dr.
Yono Rahardjo.
Gambar 15. Penandatanganan Naskah Kerjasama Teknologi Ekstraksi Minyak
Bunga, pada acara Pameran dan Temu Bisnis. Forum Komersialisasi
Hasil Riset Teknologi Industri, Jakarta 3-5 Maret 2004
66
2.2.2. Agro and Food Expo
Kegiatan pameran dilaksanakan di Semanggi Expo, Jakarta pada
tanggal 29 April-3 Mei 2004. Peserta Pameran Agro and Food Expo adalah unit
kerja lingkup Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, Perusahaan Swasta yang bergerak di bidang pangan, dan
Pemda dari berbagai daerah di tanah air. Stand Badan Litbang Pertanian diisi
oleh unit kerja lingkup Badan Litbang seperti: PUSTAKA, Puslitbangnak,
Puslitbangtan, Puslitbang Horti, BBP Mekanisasi Pertanian, BB Pascapanen, BB
Biogen, dan Lembaga Riset Perkebunan Indonesia serta KP KIAT.
Materi yang disajikan BB Pascapanen mewakili hasil-hasil penelitian yang
telah dilakukan dan layak untuk dipromosikan. Adapun materi yang
dipamerkan adalah sebagai berikut :
1. Pemanfaatan Karbohidrat Lokal sebagai pangan alternatif
2. Agro Industri Pengolahan Puree Mangga
3. Agro Industri Padi Terpadu
4. Teknologi Pengolahan Minyak Kelapa Murni
5. Pewarnaan Bunga Sedap Malam
6. Pembuatan Bunga Kering
7. Pengolahan Daging, Kulit Bulu Kelinci
8. Pemanfaatan Minyak Nilam
2.2.3. Ekspose/Pameran Lainnya
BB-Pascapanen berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan
ekspose/pameran baik yang diselenggarakan oleh swasta dan instansi lain.
Adapun beberapa kegiatan yang telah diikuti antara lain:
• Kegiatan PENAS diadakan pada tanggal 5-10 Juni 2004 bertempat di
Kabupaten Tondano, Sulawesi Utara
• Pameran pada Pekan Padi Nasional II
• Gelar Teknologi Tepat Guna TTG Nasional VI di Lapangan Sarangkeang,
Mataram, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 22-28 Agustus 2004
• Sosialisasi Teknologi, Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Lembaga Riset
Perkebunan Indonesia dan diselenggarakan di Hotel Lombok pada
tanggal 22 Agustus 2004
• Ritech Expo, dilaksanakan di Semanggi Expo, Jakarta pada tanggal 27-
29 Agustus 2004
• Pameran Alat dan Mesin Pertanian, diselenggarakan oleh Bina Sarana
Pertanian bekerjasama dengan BB Mekanisasi Pertanian dan Fakultas
Teknologi Pertanian-UGM pada tanggal 7-12 September 2004 di
Yogyakarta
• Pameran Pangan pada Hari Pangan Sedunia, diselenggarakan dalam
rangka memperingati Hari Pangan Sedunia pada tanggal 7-10 Oktober
2004, bertempat di Semanggi Expo, Jakarta
• Ekspose Hortikultura Indonesia 2004, dilaksanakan di Balai Penelitian
Tanaman Buah, Solok, Sumatera Barat pada tanggal 8-11 Desember 2004
Gambar 16. Kegiatan Ekspose BB-Pascapanen dalam Tahun 2004
68
3. KERJASAMA PENELITIAN
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian telah
melakukan serangkaian kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah,
swasta maupun lembaga internasional. Beberapa kegiatan kemitraan yang
telah dibina dan dikembangkan oleh BB-Pascapanen dalam tahun 2004
meliputi:
3.1. Pengembangan Kemitraan Teknologi Ekstraksi Minyak Nilam
Kegiatan ini merupakan kegiatan kemitraan bekerjasama dengan Dinas
Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Majalengka yang naskah
perjanjian kerjasamanya ditandatangani tanggal 23 Mei 2003. Mitra pelaksana
kegiatan selain BB-Pascapanen adalah Dishutbun Kabupaten Majalengka dan
Kelompok Tani Nilam Mekar di Desa Cikondang, Kecamatan Cingambul,
Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, sebagai pengguna teknologi. Tujuan akhir
dari kegiatan adalah teradopsinya teknologi ekstraksi/penyulingan minyak
nilam secara maksimal oleh pengguna sebagai komponen dalam usaha
agroindustri minyak nilam. Kegiatan yang telah dilaksanakan adalah :
a. Pelatihan Agroindustri Nilam
Dilaksanakan bekerjasama dengan Dishutbun Majalengka di Balai Latihan
Kejuruan Kehutanan (BLKK) Kadipaten, Majalengka, tanggal 14-16 Desember
2004 dengan peserta 35 orang 1 peserta dari BPTP Jabar dan 34 peserta
petani dari Desa Cikondang). Tujuan kegiatan adalah mensosialisasikan
teknik-teknik budidaya dan pengolahan nilam serta manajemen usaha
agroindustrinya kepada para petani di lokasi kemitraan. Metodologi
pelatihan meliputi (a) penyampaian materi pelatihan di kelas, (b) praktek
lapang. Materi pelatihan di kelas terdiri atas (a) Budi daya nilam, (b)
Pengolahan minyak nilam, (c) Manajemen usaha dan mutu, (d) Pemasaran.
Praktek lapang terdiri atas (a) Praktek budidaya tanaman nilam, (b) Praktek
pengolahan minyak nilam dan pemeliharaan peralatan, (c) Studi banding
ke unit penyulingan minyak nilam di Kecamatan Argapura, Majalengka.
Hasil pelatihan menunjukkan bahwa respon petani cukup baik dalam
memahami materi pelatihan dan telah membantu membangun antusiasme
petani untuk ikut mengembangkan budidaya dan pengolahan nilam.
b. Optimalisasi teknik penyulingan minyak nilam dengan alat penyuling SBCS-
1000. Diperoleh hasil bahwa lama penyulingan 7 jam dengan bobot bahan
90 kg merupakan yang terbaik dibandingkan lama penyulingan 8 jam.
c. Penyiapan dan penataan kelembagaan unit usaha di antara unsur-unsur
kelembagaan yang telah ada yaitu Kelompok Tani Nilam Mekar, unit usaha
pengolahan, pemerintahan desa Cikondang, pembina teknis serta
kelembagaan pemasaran. Telah dibentuk koperasi Mekar Mulya sebagai
wadah kelembagaan usaha, namun belum beroperasi maksimal karena
kendala keterbatasan modal.
Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pemasyarakatan dan
pengembangan agroindustri minyak nilam adalah sebagai berikut : (1) Tidak
tercapainya target perluasan pertanaman nilam untuk bahan baku. Hal ini
disebabkan penyediaan bibit dari Dinas Hutbun Majalengka kurang tepat
waktu selain faktor kualitas bibitnya yang menyebabkan tingginya tingkat
Alat suling
sistem boiler
penuh
B A
Gambar 17. Kegiatan Pengembangan Kemitraan Teknologi Ekstraksi Minyak
Nilam di Majalengka (A), dan Pengembangan alat sling minyak nilam
dengan sistem boiler (B).
70
kematian bibit di lapang, selain juga faktor kekeringan. Kurang berhasilnya
kelompok tani dalam mengembangkan tanaman bantuan Dinas ini juga
menyebabkan agak terganggunya hubungan petani dengan Dinas Hutbun
Majalengka ; (2) Sebagian petani belum sepenuhnya tertarik dalam budidaya
nilam disebabkan secara tradisional masih mengandalkan tanaman lain (padi,
ubi kayu, bawang, sayuran) sebagai sumber penghasilannya. Dilain pihak
tingkat pengetahuan dan ketrampilan petani yang telah mulai
membudidayakan nilam masih rendah; (3) Walaupun mutu minyak nilam yang
dihasilkan memenuhi syarat mutu dan dinilai lebih baik oleh
pembeli/pedagang, tetapi harga yang diterima masih harga standar dan
belum diberikan bonus harga sesuai dengan mutu minyaknya; (4)
Kelembagaan kelompok tani dan koperasi Nilam Mekar serta pengelolaannya
masih baru dan memerlukan pembinaan dan fasilitas bantuan termasuk
pendanaan dari Pemda Kabupaten Majalengka.
Agar kendala dan masalah tersebut di atas dapat diatasi secara bertahap,
diperlukan usaha-usaha sebagai berikut: (a) Dilanjutkannya kegiatan perluasan
areal pertanaman nilam di lokasi yang telah dilaksanakan pada tahun 2004
dengan mendapat bantuan dana dan teknis dari Pemda Kabupaten
Majalengka ; (b) Ditingkatkannya pembinaan oleh instansi terkait (BB-
Pascapanen, Balittro dan Dishutbun Kabupaten Majalengka yang berkaitan
dengan aspek teknis budidaya, pengolahan hasil, pemasaran dan
kelembagaan maupun aspek sosial budaya. Dalam hal kelembagaan,
pembinaan ketrampilan manajemen terhadap wadah kelompok tani dan
koperasi yang telah dibentuk perlu terus ditingkatkan disamping bantuan akses
permodalan serta pembentukan dan pembinaan kemitraan dengan swasta
dalam kerjasama produksi dan pemasaran.
71
3.2. Pengembangan Kemitraan Teknologi Pengolahan Kulit- Bulu dan Daging
Kelinci Eksotis.
Kegiatan pada tahun 2004 ini lebih menitik beratkan pada sosialisasi/gelar
teknologi, yang diselenggarakan di Lembang, Jawa Barat dan Manado,
Sulawesi Utara. Sebelumnya dilaksanakan survey lokasi kegiatan, untuk dapat
menentukan lokasi yang diperkirakan sesuai untuk kegiatan pengembangan.
Daerah yang disurvai pada tahun 2004 adalah Manado, Lembang dan Dieng-
Banjarnegara. Berdasarkan pertimbangan potensi dan peluang
pengembangannya, terpilih lokasi Lembang dan Manado. Untuk lokasi Dieng,
produk kulit bulu dari PT Dirra masih berlanjut, namun jumlah ternak relatif sedikit
sehingga membangun unit penyamakan yang menguntungkan di lokasi belum
memungkinkan. Upaya peningkatan populasi kelinci melalui kerjasama dengan
masyarakat setempat kurang berhasil karena tingkat mortalitas tinggi.
Lembang secara historis merupakan sentra produksi kelinci yang terbesar
di Jawa Barat namun dengan tujuan pemeliharaan untuk menghasilkan kelinci
hias (pet rabbit). Namun mengingat sebagai daerah wisata, potensi bisnis
daging kelinci untuk restoran cukup besar, terbukti dengan kurangnya supply
sehingga harus dipasok dari Ciwidey, Pangalengan dan Garut.
Kegiatan Gelar Teknologi Pengolahan Produk Kelinci (Daging dan Kulit
Bulu) di Lembang dilaksanakan tanggal 14-15 September 2004, dengan peserta
40 orang yang mayoritas adalah peternak dan pengolah produk kelinci. Acara
ini dihadiri pula oleh Pembina Hipkindo (Himpunan Pengusaha, Peternak dan
Penggemar Kelinci Indonesia). Untuk pengolahan daging, yang disampaikan
adalah teori dan praktek pengolahan sosis, nugget, burger dan bakso,
sedangkan materi pada pengolahan kulit bulu adalah pemotongan,
pengulitan dan penyamakan kulit bulu. Respon peserta cukup antusias, antar
lain ditunjukkan oleh dikonsumsinya seluruh produk olahan daging kelinci yang
dibuat oleh peserta dan tidak terkendala dengan masalah preferensi daging,
sehingga peserta mempunyai keyakinan untuk dapat menjual sendiri
produknya.
72
Pada introduksi teknologi penyamakan kulit bulu, disampaikan teknik
pemotongan dan pengulitan, pengawetan dan penyimpanan serta
penyamakan. Walaupun pesertanya sebagian adalah pedagang pengumpul,
penyamak serta penjual kulit, namun ternyata belum mengetahui teknik
pengolahan kulit bulu yang benar sehingga gelar teknologi tersebut sangat
bermanfaat. Secara umum respon peserta cukup positif. Tindak lanjutnya
adalah menunggu permintaan dan koordinasi dari peternak, pengolah dengan
Dinas terkait. Diharapkan dengan introduksi teknologi tersebut dapat
ditumbuhkan usaha pengolahan produk kelinci yang menghasilkan kulit bulu
yang meningkat mutunya, diikuti dengan perbaikan harga serta diversifikasi
produk olahan daging kelinci yang lebih memasyarakat.
Kegiatan Gelar Teknologi Pengolahan Produk Kelinci di Manado
diselenggarakan selama 2 hari (26-27 Desember 2004) bekerjasama dengan
BPTP Sulawesi Utara di Kalasey, Manado. Diikuti oleh 63 orang peserta
(kelompok peternak, pengusaha, staf Dinas Peternakan, Kantor Ketahanan
Pangan Daerah Manado dan teknisi serta peneliti BPTP Sulawesi Utara).
Kegiatan gelar teknologi dilakukan di Manado didasarkan pertimbangan dan
kajian tahun sebelumnya Hasil survey tahun 2003 menunjukkan bahwa dengan
mempertimbangkan struktur agroekosistem dan sosial ekonomi masyarakatnya,
masyarakat Sulawesi Utara khususnya Manado memiliki potensi
pengembangan agribisnis dan pasar untuk produk daging dan kulit bulu kelinci
eksotis. Berdasarkan kajian tersebut, pihak swasta dan KTNA sangat berminat
menjadi mitra dalam penelitian pengembangan produk kelinci. Untuk tahap
awal, pada tahun 2004 pihak swasta telah membangun kandang kelinci
berkapasitas 320 kandang untuk 80 ekor induk dan 640 anak di daerah
Modoinding (1300 m dpl) yang merupakan sentra produk sayuran dataran
tinggi.
Respon peserta pelatihan di Manado sangat positif, terbukti dengan
adanya permintaan pelatihan serupa dari KTNA Sulut dan juga dari Kantor
Ketahanan Pangan Manado pada tahun 2005. Untuk menindak lanjuti
73
pengembangan teknologi pengolahan kulit bulu kelinci tersebut, BPTP Sulawesi
Utara telah dihimbau untuk dapat berperan lebih aktif dalam
memasyarakatkan dan mengembangkannya di Sulawesi Utara bersama
dengan instansi/dinas terkait. BB-Pascapanen menyediakan bantuan supervisi
teknologinya.
Kelompok Tani Toto Raharjo di Dieng yang menjadi mitra kerjasama
mengalami hambatan dalam pengembangan ternak kelinci, sehingga
teknologi pengolahan kulit bulu dan pengolahan daging kelinci di lokasi
tersebut tidak dapat dilanjutkan, dan dipertimbangkan untuk pengalihan ke
lokasi desa lain yang lebih prospektif. Desa Garung Kabupaten Wonosobo
memiliki peternak yang berpeluang untuk kegiatan pembesaran ternak kelinci,
sementara di desa lainnya berpotensi untuk pengolahan kulit bulu kelinci dan
kambing.
Kendala dan masalah yang dihadapi dalam pemasyarakatan dan
pengembangan agroindustri kulit bulu Kelinci di beberapa lokasi dapat
dirumuskan sebagai berikut: (1) Kurangnya populasi ternak kelinci di lokasi
Dieng, Jawa Tengah. PT Dirra Farm dan kelompok peternak Toto Raharjo
sebagai mitra belum berhasil meningkatkan populasi ternak kelinci karena
tingkat mortalitas ternak tinggi yang disebabkan keterbatasan ruang dan
tenaga pemeliharaan. Mortalitas juga diduga karena pemberian sisa sayuran
yang masih mengandung residu. Hal-hal tersebut menyebabkan terhentinya
usaha pengolahan produk kelinci ; (2) Usaha pengembangan pengolahan
produk daging kelinci di Lembang, kabupaten Bandung masih terbatas
konsumsinya walaupun berpotensi karena secara tradisional sudah lama ada
warung/restoran yang menjual makanan daging kelinci. Untuk pengembangan
pengolahan kulit bulu, memerlukan usaha pemasyarakatan teknologi yang
tepat dan didukung oleh penyediaan bahan baku ternaknya. Setelah
dilakukan gelar teknologi di Lembang, diperlukan langkah lanjutan dari instansi-
instansi terkait di Kabupaten Bandung agar permintaan untuk pelatihan dan
magang dapat dari kelompok peternak dan pengusaha dapat diwujudkan.
74
3.3. Pengembangan Kemitraan Agroindustri Tepung Kasava.
Kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahun 2004 adalah:
a. Pengembangan produk olahan tepung kasava yang diperlukan pasar,
meliputi kegiatan: (a) pemilihan produk olahan yang layak, (b) uji preferensi
konsumen/pengguna produk tepung kasava, (c) perbaikan teknik penyajian
dan pengemasan.
b. Pembinaan sumber daya manusia terhadap pelaku agroindustri tepung
kasava yang meliputi kegiatan:
1. Pelatihan penerapan sistem manajemen mutu (ISO 19-9001-2001)
terutama pada persyaratan teknis karena pelatihan persayaratan
manajemennya telah dilaksanakan pada tahun 2003. Pelatihan diikuti
kelompok tani dan operator unit pengolahan tepung kasava di lokasi
mitra binaan Kelompok Tani Setia Harapan, Desa Tambah Subur,
Kecamatan Probolinggo Utara, Kabupaten Lampung Timur.
2. Gelar teknologi/promosi/pameran.
Gelar teknologi, diselenggarakan pada tanggal 7 September 2004
bertempat di Auditorium BPTP Lampung, bekerjasama dengan BPTP
Lampung dan Pemda Propinsi Lampung. Tujuan kegiatan gelar
teknologi adalah dalam rangka promosi pemasaran tepung kasava
dan menjalin kerjasama antar stakeholder dalam agroindustri ubi kayu
di Lampung. Acara dalam gelar teknologi adalah seminar, pameran
dan demonstrasi teknologi pengolahan makanan dari bahan tepung
kasava. Dalam acara seminar telah disampaikan makalah Peluang
Pengembangan Agroindustri Tepung Kasava Lampung oleh Ir.
Suismono, MS. Peserta gelar teknologi adalah petani/kelompok tani,
pengusaha, dinas-dinas lingkup pemerintah daerah propinsi Lampung,
anggota DPRD Propinsi Lampung, Dharma Wanita Pemda Propinsi
Lampung, dosen perguruan tinggi dan peneliti. Promosi pemasaran
juga dilakukan dengan membantu memasarkan tepung kasava
75
sebanyak 3.115 kg ke PT Pachira Distrinusa – Tangerang. Tepung kasava
dari Kelompok Tani Setia Harapan, Lampung tersebut setelah diuji di
laboratorium PT Pachira Distrinusa, ternyata telah memenuhi
persyaratan mutu walaupun dikategorikan mutu II.
Beberapa kendala dan masalah yang dapat dirumuskan dalam
pemasyarakatan dan pengembangan agroindustri tepung kasava di Lampung
adalah sebagai berikut:
1. Pemasaran produk masih terbatas jumlahnya. Hal ini disebabkan
kurangnya informasi pemasaran tepung kasava ; hasil survey pemasaran
menunjukkan bahwa ada peluang pemasaran ke beberapa perusahaan
makanan antara lain di Jawa Barat dan juga pemasaran untuk bahan
baku industri lokal serta bahan untuk ekspor.
2. Kapasitas produksi di mitra binaan dianggap masih rendah (1-2 ton/hari)
dibandingkan dengan kapasitas produksi ubi kayu.
3. Ragam pemanfaatan tepung kasava masih terbatas untuk produk
makanan.
Usaha untuk mengatasi kendala-kendala tersebut antara lain; (a)
meningkatkan kapasitas produksi tepung, (b) meningkatkan promosi
pemasaran, (c) meningkatkan tingkat mutu tepung, (d) menciptakan ragam
produk olahan dari tepung kasava, tidak hanya untuk produk makanan tapi
juga produk non-pangan.
3.4. Pengembangan Kemitraan Agroindustri Padi
Tujuan dari kegiatan adalah: (1) Menyempurnakan inhouse model
agroindustri padi yang sudah ada di Laboratorium Pascapanen Karawang, (2)
Menerapkan paket industri padi berdaya saing yang menerapkan sistem
manajemen mutu di penggilingan padi (PP) Gapoktan (Gabungan Kelompok
Tani) Pancasari, desa Jatireja, kecamatan Compreng, Kabupaten Subang,
Jawa Barat. Hasil – hasil kegiatan pada tahun 2004 adalah sebagai berikut:
76
1. Penyempurnaan dan penerapan in-house model teknologi agroindustri padi
di Laboratorium Pascapanen Karawang.
Dilakukan bekerjasama dengan Koperasi Pascapanen Karawang.
Yang ingin dicapai adalah mampu memproduksi hasil utama (beras), hasil
samping dan limbah yang berkualitas dengan menerapkan sistem
manajemen mutu. Telah dilakukan koordinasi dengan Koperasi Pascapanen
Karawang untuk: (a) Menyamakan persepsi tentang sistem manajemen
mutu, (b) Sosialisasi Good Agricultural Practices (GAP) dan Good
Manufacturing Practices (GMP), (c) Penyusunan petunjuk teknis GAP dan
GMP, (d) Pembinaan teknik operasional agroindustri padi.
Untuk mendapatkan gabah berkualitas baik, koperasi Pascapanen
Karawang bekerjasama dengan kelompok tani Tirta Bakti, Kecamatan
Majalaya, Kabupaten Karawang dengan luas lahan 27 ha. Pembinaan cara
bercocok tanam yang baik dilakukan oleh Petugas Penyuluh Pertanian
Lapanagn sesuai paket rekomendasi Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Karawang.
Pembinaan teknik operasional model agroindustri padi di
penggilingan padi Laboratorium Pascapanen Karawang diarahkan untuk
meningkatkan efisiensi aliran bahan dari satu unit proses ke unit proses
lainnya dalam rangkaian proses penggilingan. Sebagai hasilnya,
penggilingan padi ini telah mampu menghasilkan produk utama (beras)
yang berkualitas berupa beras slip, beras kepala dan beras kristal. Mutu
beras giling yang dihasilkan selama tahun 2004 secara konsisten memenuhi
persyaratan mutu beras SNI No. 01-6128-1999 dan masuk kelas mutu III
dengan rendemen giling yang relatif tinggi yaitu rata-rata 65%. Dalam
rangka mendapat jaminan pasar yang baik, telah dilakukan kerjasama
antara Koperasi Pascapanen Karawang dengan PT Agrisindo selain
kerjasama dengan kelompok tani Tirta Bakti untuk mendapatkan pasokan
gabah yang bermutu. Kerjasama ini diharpkan akan menguntungkan baik
bagi petani, Koperasi maupun PT Agrisindo. Produk samping (beras pecah
77
dan beras menir) telah dapat diolah menjadi tepung beras dan kerupuk
legendar yang nilai jualnya lebih tinggi. Produk limbah (sekam) telah dapat
dimanfaatkan menjadi arang/briket arang sekam. Arang sekam yang
dihasilkan telah diminati dan diuji oleh PT Joro Horticulture Supplier di
Lembang sebagai media tumbuh tanaman hidroponik dan mutunya
dianggap terbaik dibandingkan arang sekam dari pabrik penggilingan lain.
Kebutuhan arang sekam PT Joro 15 ton/tahun. Arang sekam juga telah
digunakan sebagai bahan bakar mesin pengering bahan bakar sekam
(BBS) di Laboratorium Karawang untuk pengeringan gabah. Hasilnya
menunjukkan layak secara teknis maupun ekonomis terutama pada saat
musim hujan.
2. Penerapan paket industri padi berdaya saing melalui penerapan sistem
manajemen mutu di Penggilingan Padi Gapoktan Pancasari, Compreng,
Subang.
Gapoktan terdiri dari 5 kelompok tani dengan areal sawah 500 ha di
wilayah Peningkatan Mutu Intensifikasi (PMI) dengan binaan Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Kabupaten Subang sehingga gabah kering panennya
(GKP) terjamin mutunya dengan diterapkannya GAP.
Dengan pembinaan BB-Pascapanen, PP Gapoktan Pancasari yang
mulai operasional Oktober 2003 telah mampu menerapkan sistem
manajemen mutu beras yang telah dapat memberi jaminan mutu beras
bagi konsumennya. Kegiatannya meliputi penerapan petunjuk teknis
budidaya (GAP) padi yang baik bersama Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Kabupaten Subang dan penerapan petunjuk teknis
pengolahan/penggilingan (GMP) padi. Penerapannya terbukti dengan
telah tercapainya konsistensi produksi beras 10 ton/hari dan konsistensi mutu
berasnya. Dari bulan Januari sampai Oktober 2004 telah digiling 1.102 ton
gabah kering giling berkualitas. Pemasaran berasnya telah mencakup
78
wilayah Jakarta dan Jawa Barat dengan menggunakan kemasan merek
GPS. Dengan penerapan GAP, petani telah mampu memberi jaminan mutu
gabahnya bagi penggilingan padi, sebaliknya penggilingan padi memberi
jaminan gabah dibeli dengan harga layak bila memenuhi persyaratan mutu.
Penggilingan memberi jaminan mutu berasnya bagi para pedagang beras
dan dibeli dengan harga yang layak.
Pendaftaran label SNI beras milik Gapoktan Pancasari dengan merek
NYI POHACI telah disampaikan ke Departemen Kehakiman dan HAM dan
sedang dalam proses.
Beberapa kendala dan masalah yang dihadapi dalam
pemasyarakatan dan pengembangan kemitraan agroindustri padi adalah
sebagai berikut:
1. Dalam pengembangan in-house model Laboratorium Karawang,
kendala yang dihadapi antara lain pemasaran hasil olahan produk
samping berupa tepung beras. Pada tahun 2004, umumnya produk
samping (menir dan dedak) masih dipasarkan tanpa diolah lebih lanjut.
2. Walaupun sudah ada swasta (PT Joro, Lembang) yang membeli arang
sekam, namun keuntungan yang diperoleh belum optimum, tidak
sebanding dengan resiko yang terjadi dalam transportasi ke Lembang.
Walaupun demikian mengingat arang sekamnya bermutu baik dan PT
Joro membutuhkannya (15 ton/tahun), dapat dirundingkan kemungkinan
harga jual yang lebih tinggi dari Rp. 3.750,-/karung (15 kg).
3. Proses pendaftaran sertifikasi SNI dan labelnya masih perlu menunggu
dalam waktu lama karena di Indonesia belum ada lembaga sertifikasi
produk yang mempunyai ruang lingkup untuk gabah dan beras.
79
4. Kendala yang dihadapi PP Gapoktan untuk berproduksi secara kontinyu
pada tahun 2004 adalah tidak adanya fasilitas pengering yang
memadai. Fasilitas mesin pengering yang ada hanya 3 ton GKP, dibawah
kapasitas mesin giling padinya sebesar 14 ton GKP/hari. Pada saat panen
raya musim hujan, PP Gapoktan kesulitan mengeringkan gabahnya
karena sulit mendapatkan lantai jemur yang dapat disewa. Pada musim
kemarau, PP Gapoktan tidak kesulitan menyewa lantai jemur meskipun
harus keluar tambahan biaya untuk ongkos transportasi.
Untuk mengatasi kendala tersebut di atas, dapat diusulkan hal-hal sebagai
berikut: (1) Membuat promosi pemasaran untuk produk hasil samping (tepung
beras menir dan dedak awet) dengan kemasan yang menarik, (2)
Merundingkan kembali harga jual yang lebih tinggi untuk arang sekam dengan
PT Joro, Lembang atau mencari pembeli baru yang lebih menguntungkan, (3)
Jika memungkinkan meningkatkan kapasitas mesin pengering antara lain
dengan menambah unitnya.
Beberapa kegiatan kerjasama lainnya yang telah dikembangkan dalam tahun
2004 adalah seperti dapat dilihat pada Tabel 4.
80
Tabel 4. Judul Kegiatan Kerjasama Pascapanen dengan Mitra Kerjasama
No Judul Kegiatan Nama Mitra Ruang Lingkup Kerjasama
1 Teknologi
Pengolahan Minyak
Kelapa Secara Terpadu
Dinas Perindustrian dan
Perdagangan
kabupaten Cianjur, Koperasi Mutiara baru
• Identifikasi dan
karakterisasi bahan baku
dan produk • Pengujian kualitas
minyak kelapa murni
• Scale up proses minyak
kelapa murni
• Pembinaan kemitraan
usaha
2 Teknologi
Pengolahan Puree
Mangga Skala UKM
Dinas Pertanian
Kabupaten Cirebon, PT
Promindo Utama
• Penyedianan paket
teknologi pengolahan
mangga menjadi puree
• Pengembangan puree
skala UKM
3 Pengembangan
Aplikasi Teknologi
Far Infrared (FIR)
dalam Pembuatan
Minuman
Kesehatan Berbasis
Asparagus
(Asparagus
Officinalis)
Pusat Penelitian
Bioteknologi LIPI,
PT Asparagus Japonica
International
• Memanfaatkan
teknologi Far Infrared
(FIR) untuk pengolahan
minuman kesehatan
berbasis Asparagus
• Menyebarluaskan hasil
penelitian,
meningkatkan
pengetahuan dan
ketrampilan masyarakat
4 Teknologi Lada Food and Agricultural
Organization (FAO)
• Pengembangan
Teknologi pascapanen
Lada di Kalimantan Timur
5 Penelitian
Penanganan
Pascapanen Padi
International Rice
Research Institute
• Penyimpanan Hermetik
Gabah
• Mutu gabah
81
KELEMBAGAAN BB-PASCAPANEN
A. Dukungan Kelembagaan
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB
Pascapanen) merupakan pengembangan organisasi dari Balai Penelitian
Pascapanen Pertanian (Balitpasca). Seiring dengan peningkatan status
organisasi tersebut, maka struktur organisasinya juga mengalami perubahan.
Sesuai Keputusan Menteri Pertanian No. 632/Kpts/OT.140/12/-2003 tanggal 30
Desember 2003, B.B Pascapanen mempunyai 3 Bagian/Bidang dan 7 Sub
Bagian/Seksi serta Kelompok Jabatan Fungsional. Kelompok fungsional yang
mendukung kegiatan penelitian pascapanen di BB-Pascapanen terdiri dari 4
kelompok, yaitu Kelompok Peneliti (Kelti) Proses Kimia, Kelti Proses Fisik, Kelti
Proses Biologi, dan Kelti Pengelolaan Sistem Mutu.
Gambar 18. Struktur organisasi BB-Pascapanen
Dengan berubahnya status organisasi dari Balitpasca (eselon IIIA) menjadi
BB-Pascapanen (eselon IIB), maka diperlukan kelembagaan yang mapan dan
sumber daya yang kuat serta handal dalam menjalankan fungsi penelitian dan
pengembangan pascapanen. Semakin luasnya jangkauan penelitian dan
pengembangan, makin besar pula kebutuhan sumber daya, dana, sarana dan
82
prasarana yang perlu dikembangkan. Oleh karena itu, BB-Pascapanen dalam
kurun waktu 2005-2009 akan meningkatkan sumber daya yang dimiliki untuk
dapat menghasilkan teknologi yang bermutu guna memberi keuntungan dan
manfaat bagi petani dan pelaku agribisnis.
B. Perencanaan
Kegiatan Perencanaan dan Penyusunan Program Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian merupakan salah satu kegiatan
Manajemen Perencanaan Penelitian BB-Pascapanen TA 2004, yang disusun
berdasar kepada kebijakan Departemen Pertanian, Program Badan Litbang
Pertanian, Renstra Badan Litbang Pertanian, dan Renstra BB-Pascapanen.
Pada TA 2004, pelaksanaan kegiatan Perencanaan dan Penyusunan
Program Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, bertujuan
untuk 1) mengevaluasi matrik dan proposal penelitian 2005, 2) menyusun
rencana kegiatan penelitian dan anggaran dalam bentuk LK DIP dengan
software RKKAL berdasarkan satuan 3, 3) mengkoordinasikan Penyusunan dan
Evaluasi Renstra BB-Pascapanen 2005 – 2009, 4) penyusunan LAKIP dan Kinerja
BB-Pascapanen 2004, 5) menyusun bahan Rapim BB-Pascapanen 2004, 6)
melaksanakan validasi dan updating SIMPROG dan SIMKEU 2004, 7)
penyusunan laporan keuangan Sistem Akuntansi Pemerintahan 2004, dan 8)
memadukan kegiatan litkaji pascapanen antara BB-Pascapanen dan BPTP.
C. Sumberdaya Manusia
Untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, BB-Pascapanen didukung
oleh Sumber Daya Manusia (SDM) sebayak 145 tenaga yang terdiri dari 68
orang tenaga peneliti; 21 orang tenaga teknisi dan 56 orang tenaga
administrasi. Berdasarkan strata pendidikan terdiri atas 8 orang S3; 20 orang S2;
38 orang S1; 10 orang S0 dan 68 orang setingkat SLA. Sebanyak 4 orang tenaga
penelitinya masih menyelesaikan program S2 dan S3 di dalam dan di luar
negeri. Status SDM BB-Pascapanen pada tahun 2004 ditunjukkan pada Tabel 5.
83
Tabel 5. Suber Daya Manusia BB-Pascapanen per 31 Desember 2004
Pendidikan Jumlah,
(orang)
Usia s/d 50 tahun,
(orang)
Usia 51 s/d 60 tahun,
(orang)
Fungsional
• S3 8 4 4
• S2 18 14 4
• S1 34 30 4
• S0 8 5 3 • SLA 21 15 6
Struktural/Proyek
• S3 0 0 0
• S2 2 1 1
• S1 4 3 1
• S0 3 3 0
• SLTA 40 36 4 • SLTP 3 3 -
• SD 4 4 -
Jumlah 145 118 27
SDM merupakan aset yang sangat berharga bagi suatu organisasi. Tujuan
suatu organisasi tidak dapat tercapai tanpa memiliki SDM yang handal.
Masalah yang dihadapi dalam pengembangan SDM adalah berkurangnya
tenaga peneliti, teknisi, analis dan administrasi pada lima tahun mendatang
karena banyak yang akan menjalani masa pensiun. Oleh karena itu program
rekruitmen serta rasionalisasi antara tenaga S3, S2, S1, teknisi dan administrasi
akan menjadi perhatian BB-Pascapanen. Selain tiu, BB-Pascapanen berupaya
untuk dapat selalu meningkatkan kemampuan dan profesionalisme SDM yang
dimilikinya. Upaya peningkatan kemampuan SDM dilakukan melalui training
jangka pendek, training jangka panjang, tugas belajar, magang, dan seminar.
D. Pembiayaan
Dana yang diperlukan BB-Pascapanen untuk melaksanakan tupoksinya
berasal dari APBN, Loan dan kerjasama dengan instansi pemerintah dan
swasta. Biaya kegiatan penelitian dan non penelitian TA. 2004 disajikan pada
Tabel 2.
Pembiayaan kegiatan BB-Pascapanen untuk melaksanakan tupoksinya
pada tahun 2004 berasal dari dana DIP dan DIK. Dana Proyek Teknologi
84
Pascapanen berasal dari The Participatory Development of Agricultural
Technology Project/PAATP yang bersumber dari APBN dan Loan.
Tabel 6. Alokasi dana penelitian dan non penelitian pada BB-Pascapanen
TA. 2004
Alokasi dana Anggaran
(Rp.) Realisasi (Rp.)
A. DIP + DIK BB-Pascapanen
1. Dana kegiatan penelitian dan pengembangan serta
diseminasi
• Penelitian dan Pengembangan
1. Penelitian Pengolahan Puree Mangga & Sirsak
2. Penelitian Model Agroindustri Pengolahan Mente
Terpadu
3. Pengembangan Pengolahan Minyak Kelapa Murni
Terpadu
4. Penelitian Perbaikan Mutu dan Keamanan Pangan
Susu di tingkat Peternak dan Koperasi Susu
5. Penelitian Pengembangan Produk Bunga Kering
dan Ekstraksi Minyak Bunga
6. Penelitian Produk Sayuran Instan melalui Teknologi
FIR (Far Infra Red)
7. Penelitian Pengembangan Tek. Pengolahan
Pangan Non Beras Berbasis Sagu, Sukun dan Labu
Kuning
8. Penelitian Perilaku kontaminan pada Komoditas
Sayuran
• Diseminasi
2. Dana kegiatan non penelitian
• Penyusunan program
• Pengadaan sarana (gedung dan barang modal)
• Administrasi umum
B. DIP Proyek PAATP
Kegiatan Pengembangan Teknologi Pengolahan Pasta
Cabai dan Tomat Skala Agroindustri Mendukung Agribisnis
Sayuran
C. DIP Proyek Poor Farmer
Kegiatan Penelitian dan Pengkajian Pengembangan
Model Pengolahan Padi
D. DIP Proyek Pengembangan Laboratorium
Pembangunan Gedung Kantor
142.368.000
225.000.000
228.028.000
221.749.000
399.499.000
200.400.000
614.993.000
199.449.000
1.087.623.000
574.278.000
310.987.000
2.085.784.000
80.000.000
89.150.000
1.200.000.000
140.536.681
218.867.476
222.427.658
215.596.713
397.007.045
197.727.624
604.789.266
192.700.468
1.078.289.000
571.458.000
300.610.000
2.845.427.000
80.000.000
71.320.000
1.136.375.000
Jumlah 7.742.252.000 8.354.849.000
Keterangan :
Anggaran minus Rp. 612.597.000,- hal ini disebabkan :
- Gaji beberapa PNS pindahan dari instansi lain dibebankan pada BB-Pascapanen, sementara anggaran yang tersedia tidak berubah
85
1. Fasilitas Penelitian
BB-Pascapanen memiliki fasilitas laboratorium dan bangsal pengolahan
yang cukup memadai di tiga lokasi yaitu Bogor, Jakarta, dan Karawang.
Laboratorium Pasarminggu, Jakarta memiliki kompetensi di bidang pengujian
mutu dan keamanan pangan, serta pengolahan produk aneka minuman,
candy, dan baking. Laboratorium Karawang memiliki kompetensi di bidang
pengujian mutu fisik dan pengolahan aneka tepung. Laboratorium Bogor
merupakan laboratorium induk dengan akurasi tinggi yang memiliki kompetensi
di bidang analisis kimia dan biokimia, dan dilengkapi dengan fasilitas
pengolahan bidang teknologi kimia dan bioproses. Sejalan dengan
ditingkatkannya fasilitas laboratorium dan bangsal di Bogor mulai akhir tahun
2004, laboratorium di Jakarta akan dipindahkan ke Bogor.
2. Sarana pendukung
Sarana pendukung yang dimiliki berupa kendaraan bermotor roda
empat 7 unit yang terdiri 1 unit L300 (tahun 1982); 1 unit Jeep CJ7 (tahun 1983);
Jeep Toyota Hard Top (tahun 1982), 2 unit minibus Toyota Kijang (tahun 2003); 1
unit Toyota Kijang bak terbuka (tahun 2003); 1 unit minibus Mitsubishi Kuda
(tahun 2003); Sepeda motor 2 unit terdiri 1 unit Suzuki A100 (tahun 2002) dan 1
unit Honda GL Pro (tahun 2002) yang berada di Pasarminggu dan Karawang.
3. Pengembangan sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh BB-Pascapanen secara
bertahap dilengkapi untuk mendukung kelancaran tugas yang dimandatkan
ke BB-Pascapanen. Pada TA 2004 BB-Pascapanen mendapatkan alokasi
anggaran dari Proyek Pengembangan Laboratorium untuk pembangunan
gedung administrasi dan aula.
Buku/Jurnal ilmiah mengenai pascapanen yang tersedia masih sangat
terbatas. Agar tidak tertinggal dalam mendapatkan informasi yang up-to-date
mengenai ilmu pengetahun baik yang secara langsung maupun tidak langsung
terkait dengan program pascapanen, maka BB-Pascapanen secara terus
86
menerus akan melengkapi perpustakaannya dengan buku/jurnal ilmiah.
Diharapkan dengan adanya buku/jurnal ilmiah dapat memberi informasi bagi
yang membutuhkan dan menambah referensi serta menimbulkan gagasan-
gagasan baru bagi para peneliti untuk dapat menghasilkan inovasi teknologi
pascapanen yang bermutu.
Untuk mendukung kegiatan program penelitian masih sangat diperlukan
tambahan peralatan laboratorium. Kegiatan analisis maupun proses penelitian
memerlukan peralatan laboratorium yang dapat mendukung kecepatan dan
ketepatan analisis sehingga akurasi hasil-hasil penelitian dan pengembangan
pascapanen dapat dipertanggungjawabkan. Peralatan laboratorium yang
dimiliki oleh BB-Pascapanen banyak yang sudah tua dan rusak. Oleh karena itu,
BB-Pascapanen akan berupaya mendapatkan peralatan laboratorium untuk
melengkapi kekurangan peralatan dan penggantian yang sudah rusak. Selain
mengganti peralatan, untuk meningkatkan akurasi analisis dan mendapatkan
kepercayaan serta pengakuan masyarakat luas, telah pula dimulai persiapan
menuju akreditasi laboratorium pengujian.
87
PENUTUP
Perubahan lingkungan strategis yang terjadi di tingkat nasional terutama
kebijakan pembangunan pertanian mewarnai arah dan program penelitian di
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian diharapkan dapat
memberi kontribusi yang besar dalam melahirkan inovasi teknologi pascapanen
yang dapat diimplementasikan oleh petani maupun pelaku agribisnis, sehingga
dapat meningkatkan nilai tambah hasil pertanian dan daya saing baik di pasar
domestik maupun internasional. Era otonomi daerah dan berlakunya Undang-
undang No. 18/2002 mengenai Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan
Penerapan IPTEK, juga turut mempengaruhi strategi penerapan IPTEK di
lapangan.
Besarnya tuntutan pemerintahan yang baik terhadap penyelenggaraan
lembaga pemerintah dengan tiga ciri utama, yaitu kredibilitas, akuntabilitas,
dan transparansi, selalu menjadi acuan dalam pelaksanaan tupoksi Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Dengan segala
kekurangan yang ada, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian telah berupaya untuk berperan nyata dalam pembangunan
pertanian. Keberadaan dan hasil inovasi teknologi Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian tetap diharapkan dapat bermanfaat
bagi petani dan pelaku agribisnis.
Semoga di masa mendatang Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian lebih banyak lagi menghasilkan karya nyata yang
inovatif, teknologi yang membumi sesuai sumber daya yang melimpah, dan
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
88
Lampiran 1a. Matrik Judul RPTP pada BB-Pascapanen TA. 2004
No Judul RPTP Status
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Penelitian pengembangan teknologi pangan berbasis sagu,
sukun dan labu kuning
Penelitian pengembangan produk bunga kering dan
ekstraksi minyak bunga
Penelitian sayuran instan melalui teknologi FIR
Penelitian pengolahan puree mangga dan sirsak skala
komersial
Penelitian model agroindustri pengolahan mete terpadu
Pengembangan pengolahan minyak kelapa murni terpadu
Penelitian perilaku kontaminan pada komoditas sayuran
Penelitian perbaikan mutu dan keamanan susu di tingkat
peternak dan koperasi susu
Diseminasi dan komunikasi program dan hasil penelitian
pascapanen
Lanjutan
Lanjutan
Lanjutan
Lanjutan
Lanjutan
Lanjutan
Baru
Baru
Lanjutan
89
Lampiran 1b. Matrik Judul RPTP pada BB-Pascapanen TA. 2005
No Judul RPTP Status
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Penelitian dan pengembangan teknologi pengolahan sagu
sebagai pangan pokok di kawasan timur Indonesia
Penelitian dan pengembangan produk hilir pati kasava
Pengembangan teknologi penanganan dan pengolahan
jeruk
Penelitian dan pengembangan teknologi pengolahan
jagung terpadu
Pengembangan teknologi penanganan dan pengolahan
cabe dan tomat
Pengembangan teknologi pengolahan minyak kelapa
murni dan produk terunannya
Penekanan kehilangan hasil pascapanen padi dan
penerapan Good ManufacturePracties
Indentifikasi kontaminan dan perbaikan mutu produk
sayuran (kubis, tomat, wortel)
Penelitian perbaikan mutu dan keamanan pangan susu di
tingkat peternak dan koperasi susu
Teknologi pemanfaatan tanaman untuk bahan baku industri
biofarmaka
Pengembangan teknologi pengolahan mete terpadu
Lanjutan
Baru
Baru
Baru
Lanjutan
Lanjutan
Baru
Lanjutan
Lanjutan
Baru
Lanjutan
89
Lampiran 2a. Rekapitulasi Realisasi Anggaran Rutin dan Pembangunan pada BB-Pascapanen Tahun 2004
No
Jenis Anggaran
Gaji/Upah
Biaya Modal
Non Pegawai
Total
Pagu
(Rp.000)
Realisasi
(Rp.000)
Pagu
(Rp.000)
Realisasi
(Rp.000)
Pagu
(Rp.000)
Realisasi
(Rp.000)
Pagu
(Rp.000)
Realisasi
(Rp.000)
A
DIP TA. 2004
1
Penyusu
na
n R
enca
na
Teknis
56.7
60
56640
- -
517.5
18
514.8
18
574.2
78
571.4
58
2
Peng
ad
aa
n S
ara
na
-
- 310.9
87
300.6
10
- -
310.9
87
300.6
10
3
Penelit
ian d
an
Disem
ina
si
386.7
60
379.0
80
- -
3.0
15.2
93
2.9
70.5
92
3.4
02.0
53
3.3
49.6
72
4
Pem
anta
ua
n d
an
Eva
lua
si
12.0
00
10.9
80
- -
135.2
87
134.5
09
147.2
87
145.4
89
Total DIP
455.520
446.700
310.987
300.610 3.668.098 3.619.919 4.434.605 4.367.229
B DIK TA. 2004
A
dm
inistra
si U
mum
1.6
40.7
85
2.4
04.8
37
- -
297.7
12
295.1
01
1.9
38.4
97
2.6
99.9
38
Total DIK
1.640.785 2.404.837
- -
297.712
295.101 1.938.497 2.699.938
Total DIP + DIK TA. 2004
2.096.305 2.851.537
310.987
300.610 3.965.810 3.915.020 6.373.102 7.067.167
90
Lampiran 2b. Rekapitulasi Realisasi Anggaran Pembangunan dan Rutin pada BB-Pascapanen Tahun 2005
(Realisasi kumulatif per 31 Agustus 2005)
No
Jenis Anggaran
Gaji/Upah
Biaya Modal
Non Pegawai
Total
Pagu
(Rp.000)
Realisasi
(Rp.000)
Pagu
(Rp.000)
Realisasi
(Rp.000)
Pagu
(Rp.000)
Realisasi
(Rp.000)
Pagu
(Rp.000)
Realisasi
(Rp.000)
DIP TA. 2005
1
Penyusu
na
n P
rog
ram
41.5
00
14.8
00
- -
316.5
20
111.6
12
358.0
20
126.4
12
2
Penelit
ian d
an
Disem
ina
si
364.7
00
128.8
40
- -
2.2
92.9
44
779.5
82
2.6
57.6
44
908.4
22
3
Peng
ad
aa
n B
ara
ng
da
n
Ba
ng
una
n
- -
2.0
61.5
30
196.7
09
- -
2.0
61.5
30
196.7
09
4
Penyele
ng
ga
raa
n P
NBP
- -
- -
7.0
00
- 7.0
00
-
5
Ad
min
istra
si U
mum
1.3
11.5
70
1.7
80.4
44
401.2
24
16.3
90
1.1
77.3
13
723.7
47
2.8
90.1
07
2.5
20.5
81
Total DIPA 2005
1.717.770 1.924.084 2.462.754
213.099 3.793.777 1.614.941 7.974.301 3.752.124
Top Related