Triger:
Mbah Kung dan Eyang Uti sudah menikah selama 47 tahun, keduanya berusia 66
tahun. Kedua anaknya sudah menikah dan tinggal terpisah. Selama 9 bulan terakhir,
Eyang Uti tidak bisa mengingat nama anak-anaknya dan juga nomor telepon mereka.
Kesehariannya, sebagian besar aktifitas di rumah dibantu oleh Mbah Kung, bahkan
untuk memilih bajunya pun tidak bisa. Untuk berpakaian, Eyang Uti dibantu oleh Mbah
Kung. Suatu sore, Mbah Kung meminta Eyang Uti untuk membelikan roti di warung,
namun setelah ditunggu 1 jam, Eyang Uti tidak kunjung pulang. Tetangga mereka
menemukan Eyang Uti terlihat gemetar, bingung dan berjalan tanpa tujuan yang jelas.
Saat diperiksa oleh perawat, kesadaran baik, afebril, skor MMSE 20/30, mempunyai
riwayat DM tipe 2, TD 160/100mmHg, N=80x/mnt, RR=18x/mnt, S=37,5oC, penampilan
tidak rapi, kancing baju tidak urut, rambut gimbal. Mbah Kung mengatakan kesulitan
merawat Eyang Uti dengan kondisi seperti ini. Dokter menginstruksikan pemberian anti
kholinesterase, anti hipertensi.
SLO:
a) Definisi Alzheimer
b) Epidemiologi Alzheimer
c) Patofisiologi Alzheimer
d) Faktor resiko Alzheimer
e) Manifestasi klinis Alzheimer
f) Pemeriksaan diagnosis
Alzheimer
g) Penatalaksanaan medis
Alzheimer
h) Asuhan keperawatan Alzheimer
Analisis:
a) Definisi Alzheimer
Penyakit Alzheimer adalah suatu sindrom demensia yang ditandai dengan
penurunan ingatan dan kemampuan kognitif pasien secara progresif.
Penyakit Alzheimer adalah suatu gangguan otak progresif yang tidak dapat
dibalik, yang dicirikan dengan kemerosotan secara perlahan dari ingatan,
penalaran, bahasa, dan fungsi fisik (Santrock, 1995).
Penyakit Alzheimer adalah penyakit syaraf yang sifatnya irreversible akibat
penyakit ini berupa kerusakan ingatan, penilaian, pengambilan keputusan,
orientasi fisik secara keseluruhan dan pada cara berbicara.
Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan
kelumpuhan, yang terutama menyerang orang berusia 65 tahun ke atas.
Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang dapat dimulai dengan hilangnya sedikit
ingatan dan kebingungan, tetapi pada akhirnya akan menyebabkan pelemahan
mental yang tidak dapat diubah dan menghancurkan kemampuan seseorang
dalam mengingat, berfikir , belajar dan berimajinasi.
Penyakit Alzheimer adalah bentuk demensia yang paling umum dan terdapat
pada 50% sampai 70% dari semua kasus demensia. Ini adalah penyakit menurunnya
fungsi otak secara berangsur-angsur. Dengan mengecil atau menghilangnya sel-sel
otak, bahan-bahan abnormal bertimbun membentuk “kekusutan” di tengah sel otak,
dan sebagian “lapisan” di luar sel otak. Sel-sel abnormal itu mengganggu jalannya
pesan-pesan di dalam otak dan merusak hubungan antar sel otak. Sel otak pada
akhirnya mati dan ini berarti informasi tidak dapat diterima atau dicerna. Karena
penyakit Alzhaimer berefek pada setiap area di otak, fungsi-fungsi atau kemampuan-
kemampuan tertentu hilang.
b) Epidemiologi Alzheimer
Tahun 2000 : Kurang lebih 4 juta orang Amerika menderita Alzhaimer.
Tahun 2050 : Diperkirakan 7,4 – 14 juta orang mengidap Alzhaimer.
Biasanya terjadi di atas usia 60 tahun dan meningkat dengan bertambahnya
usia.
Kejadian pada wanita dua kali lebih banyak daripada kejadian pada pria.
3% wanita atau pria berumur 65 – 74 tahun mengalami Alzhaimer.
Presentase menjadi meningkat 50% pada usia 85 tahun ke atas.
Survival rate: 3 – 20 tahun.
Penyakit Alzhaimer dapat muncul pada semua umur, 96% dijumpai pada usia 40
tahun ke atas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan insidensi berdasarkan
umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada usia > 80 tahun.
Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada kelompok usia
60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80
tahun. Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit
alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjt berkisar, 18,5 juta
orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit alzheimer belum diketahui
dengan pasti.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan
laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama
dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap jenis
kelamin.
c) Patofisiologi Alzheimer
Keterangan: Tampak secara jelas plak senilis disebelah kiri. Beberapa serabut
neuron tampak kusut disebelah kanan. Menjadi catatan tentang adanya
kekacauan hantaran listrik pada sistem kortikal
Keterangan: Sel otak pada Penyakit Alzheimer dibandingkan dengan sel otak normal
d) Faktor resiko
Usia
Meskipun rata-rata umur serangan pikun kira-kira 80 tahun, onset penyakit
menggambarkan bahwa hal ini sebenarnya telah terjadi pada usia 60-65 tahun, ini
dapat terjadi akan tetapi jarang. Suatu komunitas di Perancis telah diteliti bahwa
serangan terjadi pada usia sebelum 61 tahun dengan prevalensi 41 pasien tiap
100.000.
Faktor Genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan
melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga
penderita alzheimer mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih besar
dibandingkan kelompok kontrol normal
Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan familial early onset
terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio proximal log arm, sedangkan pada
familial late onset didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19. Begitu pula pada
penderita down syndrome mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40
tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan penurunan Marker
kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan
histopatologi pada penderita alzheimer.
Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-50% adalah
monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik
berperan dalam penyaki
alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa penderitanya ditemukan
kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor
lingkungan menentukan ekspresi genetika pada alzheimer.
Faktor Infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita alzheimer
yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya antibodi
reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang
bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob
disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer. Hipotesa tersebut
mempunyai beberapa persamaan antara lain:
Manifestasi klinis yang sama.
Tidak adanya respons imun yang spesifik.
Adanya plak amyloid pada susunan syaraf pusat.
Timbulnya gejala mioklonus.
Adanya gambaran spongioform.
Abnormalitas pada gen ApolipoproteinE (ApoE) terutama pada ras Kaukasian.
Faktor Lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam
penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antar alain, aluminium, silicon, mercury, zinc.
Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan
neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum
dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah penyebab
degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita
alzheimer, juga ditemukan keadan ketidakseimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium,
dengan patogenesa yang belum jelas.
Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui
reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-
influks) danmenyebabkan kerusakan
metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.
Faktor Imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer didapatkan
kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti
trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.
Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari
penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit
inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor
immunitas
Faktor Trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan trauma
kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik, dimana
pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.
Faktor Neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita alzheimer mempunyai
peranan yang sangat penting seperti:
Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmiter
dengan cara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita alzheimer
didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport
kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan postsynaptik
kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior, nukleus
basalis, hipokampus. Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang
selalu ada dibandingkan jenis neurottansmiter lainnyapd penyakit alzheimer, dimana
pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan cholinergik Marker. Pada
penelitian dengan pemberian scopolamin pada orang normal, akan menyebabkan
berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik
sebagai patogenesa penyakit alzheimer
Noradrenalin
Kadar metabolisma norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun pada jaringan otak
penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan
tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan defisit
kortikal noradrenergik. Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan
otak penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada presinaptik
neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi
noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita alzheimer.
Dopamin
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter regio
hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada
penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena
potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.
Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acid
pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada
nukleus basalis dari meynert.
Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan
maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler
hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini
berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nukleus
rephe dorsalis.
MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine. Aktivitas normal
MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin dan
sebagian kecil dopamin,
sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin. Pada penderita alzheimer,
didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus dan frontais sedangkan MAO B
meningkat pada daerah temporal dan menurun pada nukleus basalis dari meynert.
Gen E4 multipel
Sebuah penelitian menunjukkan peran gen E4 dalam perjalanan penyakit
Alzheimer. Individu yang memiliki satu kopi gen tersebut memiliki kemungkinan
tiga kali lebih besar daripada individu yang tidak memiliki gen E4 tersebut, dan individu
yang memiliki dua kopi gen E4 memiliki kemungkinan delapan kali lebih besar
daripada yang tidak memiliki gen tersebut. Pemeriksaan diagnostik terhadap gen ini
tidak direkomendasikan untuk saat ini, karena gen tersebut ditemukan juga pada
individu tanpa demensia dan juga belum tentu ditemukan pada seluruh penderita
demensia.
e) Manifestasi klinis Alzheimer
Penyakit ini menyebabkan penurunan kemampuan intelektual penderita secara
progresif yang mempengaruhi fungsi sosialnya, meliputi:
Penurunan ingatan jangka pendek atau kemampuan belajar atau menyimpan informasi.
Penurunan kemampuan berbahasa : kesulitan menemukan kata atau kesulitan
memahami pernyataan atau petunjuk.
Ketidakmampuan menggambar atau mengenal gambar dua-tiga dimensi, dll.
Defisit Kognitif Gejala psikiatrik non-kognitif
Memori loss: susah mengingat, agnosia,
kehilangan barang
Depresi
Dysphasia: Anomia (susah mengingat
nama benda atau orang), aphasia
Gejala psikotik: halusinasi, delusi, curiga
Dispraxia/apraxia Gangguan non-psikotik yang merusak:
Agresif (fisik maupun verbal),
hiperreaktif, tidak kooperatif,
menentang, melakukan kegiatan
berulang-ulang
Disorientation: waktu, tempat, tidak
mengenal keluarga, teman, diri sendiri
Tidak bisa menghitung
Impaired judgmen & problem solving skills
Terdapat beberapa stadium perkembangan penyakit Alzheimer yaitu:
Stadium I (Lama penyakit 1 – 3 tahun)
Memory : new learning defective, remote recall mildly impaired
Visuospatial skills : topographic disorientation, poor complex contructions
Language : poor woordlist generation, anomia
Personality : indifference,occasional irritability
Psychiatry feature : sadness, or delution in some
Motor system : normal
EEG : normal
CT/MRI : normal
PET/SPECT : bilateral posterior hypometabolism/hyperfusion
Stadium II (lama penyakit 3 – 10 tahun)
Memory : recent and remote recall more severely impaired
Visuospatial skills : spatial disorientation, poor contructions
Language : fluent aphasia
Calculation : acalculation
Personality : indifference, irritability
Psychiatry feature : delution in some
Motor system : restlessness, pacing
EEG : slow background rhythm
CT/MRI : normal or ventricular and sulcal enlargeent
PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion
Stadium III (lama penyakit 8 – 12 tahun)
Intelectual function : severely deteriorated
Motor system : limb rigidity and flexion poeture
Sphincter control : urinary and fecal
EEG : diffusely slow
CT/MRI : ventricular and sulcal enlargeent
PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion
Tahapan penurunan kognitif menurut GDS
Stage Level Deskripsi
Stage 1 normal Tidak ada perubahan fungsi kognitif
Stage 2 pelupa Mengeluh kehilangan sesuatu atau lupa nama teman,
tetapi tidak mempengaruhi pekerjaan dab fungsi sosial.
Umumnya merupakan bagian dari proses penuaan yang
normal
Stage 3 Early
confusion
Adanya penurunan kognisi yang menyebabkan gangguan
fungsi sosial dan kerja. Anomia, kesulitan mengingat kata
yang tepat dalam percakapan, dan sulit mengingat. Pasien
mulai sering bingung/anxiety
Stage 4 Late confusion
(Early AD)
Pasien tidak bisa lagi mengatur keuangan atau aktivitas
rumah tangga, sulit mengingat peristiwa yang baru terjadi,
mulai meninggalkan tugas yang sulit, tetapi biasanya
masih menyangkal mempunyai masalah memori
Stage 5 Early
dementia
(moderate
AD)
Pasien tidak bisa lagi bertahan tanpa bantuan orang lain.
Sering terjadi disorientasi (waktu, tempat), sulit memilih
pakaian, lupa kejadian masa lalu. Tetapi pasien pada
umumnya masih menyangkal punya masalah, hanya
biasanya jadi curigaan atau mudah depresi
Stage 6 Middle
dementia
(moderately
severe AD)
Pasien butuh bantuan untuk kegiatan sehari-hari(mandi,
berpakaian, toileting), lupa nama keluarga, sulit
menghitung mundur dari angka 10. Mulai muncul gejala
agitasi, paranoid, dan delusion
Stage 7 Late dementia Pasien tidak bisa bicara dengan jelas (mungkin cuma
bergumam atau teriak), tidak bisa jalan, atau makan
sendiri. Inkontinensi urin dan feses. Kesadaran bisa
berkurang dan akhirnya koma.
f) Pemeriksaan diagnosis Alzheimer
Terdapat beberapa kriteria untukdiagnosa klinis penyakit alzheimer yaitu:
Kriteria diagnosis tersangka penyakit Alzheimer terdiri dari:
Demensia ditegakkan dengan pemeriksaan klinik dan pemeriksaan status mini
mental
atau beberapa pemeriksaan serupa, serta dikonfirmasikan dengan test
neuropsikologik
Didapatkan gangguan defisit fungsi kognisi >2
Tidak ada gangguan tingkat kesadaran
Awitan antara umur 40-90 tahun, atau sering >65 tahun
Tidak ada kelainan sistematik atau penyakit otak lainnya
Diagnosa tersangka penyakit Alzheimer ditunjang oleh:
Perburukan progresif fungsi kognisi spesifik seperti berbahasa, ketrampilan
motorik, dan persepsi
ADL terganggu dan perubahan pola tingkah laku
Adanya riwayat keluarga, khususnya kalau dikonfirmasikan dengan
neuropatologi
Pada gambaran EEG memberikan gambaran normal atau perubahan non spesifik
seperti peningkatan aktivitas gelombang lambat
Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan atropu serebri
Scales used in the Management of Alzheimer’s Disease
mm
Menurut Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003: beberapa langkah praktis yang dapat
dilakukan antara lain :
Riwayat medik umum
Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang dapat
menyebabkan demensia seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi kronik. Penyakit
jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan
arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia vaskular. Pada saat wawancara biasanya
pada penderita demensia sering menoleh yang disebut head turning sign.
Riwayat neurologi umum
Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui kondisi-kondisi khusus
penyebab demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis, infeksi susunan saraf
pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak karena tumor atau hidrosefalus. Gejala
penyerta demensia seperti gangguan motorik, sensorik, gangguan berjalan, nyeri kepala
saat awitan demesia lebih mengindikasikan kelainan struktural dari pada sebab
degeneratif.
Riwayat neurobehavioral
Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis demensia atau tidaknya
seseorang. Ini meliputi komponen memori. (memori jangka pendek dan memori jangka
panjang) orientasi ruang dan waktu, kesulitan bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan
mengenal wajah orang, bepergian, mengurus uang dan membuat keputusan.
Riwayat psikiatrik
Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah penyandang pernah mengalami
gangguan psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan ada tidaknya riwayat depresi,
psikosis, perubahan kepribadian, tingkah laku agresif, delusi, halusinasi, dan pikiran
paranoid. Gangguan depresi juga dapat menurunkan fungsi kognitif, hal ini disebut
pseudodemensia.
Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan
Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik dan gangguan
kognitif walaupun laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi nutrisi, alkoholism
kronik perlu menjadi pertimbangan walau tidak spesifik untuk demensia Alzheimer.
Perlu diketahui bahwa anti depresan golongan trisiklik dan anti kolinergik dapat
menurunkan fungsi kognitif.
Riwayat keluarga
Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di keluarga, terutama
hubungan keluarga langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.
Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum,
pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status fungsional
dan pemeriksaan psikiatrik.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia ditegakkan
untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada demensia reversible,
walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil
laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan
laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis,
elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat.
Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi
pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih
dipertanyakan.Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat
kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita alzheimer antemortem.
Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab
demensia lainnya selain alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal
menyeluruh danpembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan
yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada
demensia lainnya seperti multiinfark, parkinson, binswanger sehingga kita sukar untuk
membedakan dengan penyakit alzheimer.
Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan
beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI ditemukan
peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn
pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain
didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal
seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan
fissura sylvii. Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia
dari penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi)
dari hipokampus.
Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada sebagian
besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi gambaran
perlambatan difus dan kompleks periodik.
Pemeriksaan cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut, penyandang
dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas, demensia presentasi
atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.
Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik yang memiliki
3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang
berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer
tipe awitan lambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4
sebagai penanda semakin meningkat.
Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi. Secara
umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering kali berat otaknya berkisar 1000
gr (850-1250gr). Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus
temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer,
sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937).
Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan
neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif
umum danmengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga
bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang
berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan
pengertian berbahasa. Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi
diagnostik yang penting.
PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah, metabolisma
O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada regional parietal,
hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi danselalu dan sesuai dengan
hasil observasi penelitian neuropatologi.
SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Aktivitas I. 123 terendah pada refio parieral penderita alzheimer. Kelainan ini berkolerasi
dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua pemeriksaan ini (SPECT
dan PET) tidak digunakan secara rutin.
g) Penatalaksaan medis Alzheimer
Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada
penderita dankeluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai
efek yang menguntungkan.
Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan
simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer didapatkan penurunan
kadar asetilkolin. Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA
(tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori
dan apraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti menatakan bahwa obat-
obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada orang normal
dan penderita alzheimer.
Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer didapatkan penurunan
thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan
transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis.
Pemberian thiamin hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral,
menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo
selama periode yang sama.
Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki fungsi
kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian 4000 mg pada
penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna.
Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan kerusakan
noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik
alfa 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu,
didapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif.
Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan
tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan
memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita alzheimer menderita depresi sebaiknya
diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline 25-100 mg/hari).
Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam miktokomdria dengan
bantuan enzym ALC transferase. Penelitian ini menunjukkan bahwa ALC dapat
meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberian
dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulkan bahwa dapat
memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif.
h) Asuhan keperawatan Alzheimer
Identitas Pasien:
Nama : Eyang Uti
Umur : 66 tahun
Jenis kelamin : P
Pendidikan : -
Pekerjaan : Ibu rumah tangga.
Status pernikahan : kawin
Alamat : -
Diagnosa medis : Alzheimer
Tanggal masuk : -
Tanggal pengkajian : -
Status kesehatan saat ini:
Keluhan utama: Klien tidak bisa mengingat nama anak-anaknya dan juga nomor telepon
mereka. Kesehariannya, sebagian besar aktifitas di rumah dibantu oleh suaminya,
bahkan untuk memilih bajunya pun tidak bisa.
Lama keluhan: 9 bulan terakhir.
Kualitas keluhan: - (tergantung stadium)
Faktor pencetus: Usia (66 tahun)
Keluhan saat pengkajian: bingung (mungkin juga: gemetar)
Riwayat kesehatan saat ini: Selama 9 bulan terakhir, klien tidak bisa mengingat nama
anak-anaknya dan juga nomor telepon mereka. Kesehariannya, sebagian besar aktifitas
di rumah dibantu oleh suaminya.
Riwayat kesehatan terdahulu: - (utamanya yang berhubungan dengan faktor resiko dan
gejala awal Alzheimer) riwayat DM tipe 2.
Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: penampilan tidak rapi, kancing baju tidak urut, rambut gimbal.
Kesadaran: baik
Head to toe: penampilan tidak rapi, kancing baju tidak urut, rambut gimbal.
Tampilan: penampilan tidak rapi, kancing baju tidak urut, rambut gimbal.
TTV: TD 160/100mmHg, N=80x/mnt, RR=18x/mnt, S=37,5oC
skor MMSE 20/30
Analisis data:
Data Etiologi Masalah
keperawatan
Kesehariannya,
sebagian besar
aktifitas di rumah
dibantu oleh suami
klien, bahkan untuk
memilih bajunya pun
tidak bias.
Berpakaina dibantu
oleh suami klien.
Tetangga mereka
menemukan klien
terlihat gemetar,
bingung dan berjalan
tanpa tujuan yang
jelas.
DO: umur 66 tahun,
kesadaran baik,
afebril, skor MMSE
20/30, mempunyai
riwayat DM tipe 2, TD
160/100mmHg,
Kemudian terjadi perubahan
kemampuan merawat diri yaitu
menurun Defisit perawat diri:
Berpakaian
Defisit perawat diri:
Berpakaian
N=80x/mnt,
RR=18x/mnt,
S=37,5oC, penampilan
tidak rapi, kancing
baju tidak urut,
rambut gimbal.
9 bulan terakhir,
klien tidak bisa
mengingat nama
anak-anaknya dan
juga nomor telepon
mereka
Kesehariannya,
sebagian besar
aktifitas di rumah
dibantu oleh suami
klien, bahkan untuk
memilih bajunya pun
tidak bias.
Berpakaina dibantu
oleh suami klien.
Tetangga mereka
menemukan klien
terlihat gemetar,
bingung dan berjalan
tanpa tujuan yang
jelas.
DO: umur 66 tahun,
kesadaran baik,
afebril, skor MMSE
20/30, mempunyai
riwayat DM tipe 2, TD
Selanjutnya tidak mampu
mengidentifikasikan bahaya dalam
lingkungan, disorientasi, bingung
resiko cidera
Resiko cidera
160/100mmHg,
N=80x/mnt,
RR=18x/mnt,
S=37,5oC, penampilan
tidak rapi, kancing
baju tidak urut,
rambut gimbal.
DS:
9 bulan terakhir,
klien tidak bisa
mengingat nama
anak-anaknya dan
juga nomor telepon
mereka
Kesehariannya,
sebagian besar
aktifitas di rumah
dibantu oleh suami
klien, bahkan untuk
memilih bajunya pun
tidak bias.
Berpakaina dibantu
oleh suami klien.
Tetangga mereka
menemukan klien
terlihat gemetar,
bingung dan berjalan
tanpa tujuan yang
jelas.
DO: umur 66 tahun,
kesadaran baik,
afebril, skor MMSE
20/30, mempunyai
riwayat DM tipe 2, TD
160/100mmHg,
N=80x/mnt,
RR=18x/mnt,
S=37,5oC, penampilan
Sehingga afasia, disfasia hambatan
komunikasi verbal
Hambatan
komunikasi verbal
tidak rapi, kancing
baju tidak urut,
rambut gimbal.
Dx Tujuan dan KH (NOC) Intervensi (NIC)
I Dalam kurun waktu sekian kali
24 jam, pasien mampu
menunjukkan peningkatan
perawatan diri: berpakaian
KH:
Memilih pakaian dan
mengambilanya dari lemari
atau laci baju
Menritsleting dan mengancing
pakaian
Pantau tingkat kekuatan dan toleransi terhadap
aktivitas
Pantau peningkatan atau penurunan
kemampuan untuk berpakaian dan melakukan
perawatan rambut
Pantau defisit sensori, kognitif, atau fisik yang
dapat membuat kesulitan dalam berpakaian
pada pasien
Dukung kemandirian dalam
berpakaian/berhias, bantu pasien jika
diperlukan
Berbicara denga pelan dan pertahankan arahan
yang sederhana
Beri kesempatan untuk keberhasilan kecil
Dukung pasien untuk mengatur langkahnya
sendiri saat berpakaian/merapikan diri
Bantu pasien memilih pakaian yang mudah
dipakai dan dilepas
Berikan keamanan dengan mempertahankan
lingkungan yang teratur dan pencahayaan yang
baik
Berikan pakaian pasien pada tempat yang
mudah dijangkau
Fasilitasi pasien untuk menyisir rambut, bila
memungkinkan
Pertahankan privasi saat pasien berpakaian
Bantu pasien untuk menalikan, mengancingkan,
dan merisleting pakaian, jika diperlukan
Gunakan alat bantu tambahan untuk menarik
pakaian, jika perlu
II Dalam kurun waktu sekian kali
24 jam, pasien dapat
mengendalikan resiko cidera
dengan lebih baik
KH:
Mengidentifikasikan resiko
yang meningkatkan
kerentanan terhadap cidera
Menghindari cidera fisik
Memilih berada pada
lingkungan yang aman
Identifikasi faktor yang mempengaruhi
kebutuhan utama, misalnya perubahan status
mental, defisit motorik atau sensorik
Identifikasi faktor lingkungan yang
memungkinkan resiko terjatuh
Periksa apakah pasien memakai pakaian yang
terlalu ketat, mengalami luka, luka bakar, atau
memar
Gunakan alarm untuk mengingatkan pemberi
perawat bila pasien bangun dari tempat tidur
atau meninggalkan ruangan
Bila diperlukan, gunakan restrain fisik untuk
membatasi resiko jatuh
Jauhi bahaya lingkungan
III Dalam kurun waktu sekian kali
24 jam, klien mampu mulai
mampu mengenal pesan yang
diterima
KH:
Menunjukkan ekspresi
mengerti atau paham
Mengunakan kontak mata
Kaji dan dokumentasikan :
Bahasa utama
Kemampuan berbicara, mendengar, menulis,
membaca, dan memahami
Kemampuan untuk melakukan komunikasi
dengan staf dan keluarga
Berespons terhadap sentuhanm jarak spasial,
budaya, peran pria dan wanita yang dapat
memengaruhi komunikasi
Menjelaskan kepada pasien mengapa ia tidak
dapat berbicara atau memahami jika perlu
Anjurkan kunjungan keluarga secara teratur
untuk memberi stimulasi komunikasi
Dorong pasien untuk berkomunikasi secara
perlahan dan mengulangi permintaan
Bicara perlahan, jelas, dan tenang , menghadap
pasien
Dapatkan perhatian pasien yang mengalami
penurunan pendengaran melalui sentuhan
Libatkan pasien dan keluarga dalam
mengembangkan rencana komunikasi
Berikan perawatan dengan sikap yang rileks,
tidak terburu-buru, dan tidak menghakimi
Dengarkan dengan penuh perhatian
Referensi
Nanda. (2009-2011). Panduan Diagnosa Keperawatan. Prima medika.
Price. A. Sylvia,Lorraine. M. Wilsion,2006.PATOFISIOLOGI konsep klinis proses-proses
penyakit Edisi 6 volume 2. Jakarta: EGC
Price. A. Sylvia,Lorraine. M. Wilsion,2006.PATOFISIOLOGI konsep klinis proses-proses
penyakit Edisi 4 buku 2. Jakarta: EGC
Suzanne C.Smeltzer & Brenda G.Bare.2001. KMB vol 3. Hal.2194 BAB 60 UNIT 15.
Jakarta: EGC
Wilkinson, J.M & Ahern, N.R. (2012). Buku saku Diagnosis Keperawatan edisi 9. Jakarta:
EGC
Wilson M,Lorraine,sylvia A. Price.2005. Patofisisologi. Jakarta: EGC