BAB I
PENDAHULUAN
Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,tuba
Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Banyak ahli membuat pembagian dan klasifikasi
otitis media. Secara mudah, otitis media terbagi atas otitismedia supuratif dan otitis media non
supuratif (=otitis media serosa, otitis mediasekretoria, otitis media musinosa, otitis media efusi /
OME).
Survei prevalensi di seluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi dalam hal definisi
penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban dunia akibat OMSK
melibatkan 65–330 juta orang dengan telinga berair, 60% di antaranya (39–200 juta) menderita
kurang pendengaran yang signifikan.3 Secara umum, prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8%
dan pasien OMSK merupakan 25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT rumah
sakit di Indonesia.1
Otitis media supuratif kronis dianggap sebagai salah satu penyebab tuli yang terpenting,
terutama di negara-negara berkembang, dengan prevalensi antara 1 -46%. Di Indonesia antara
2,10 - 5,20%, di Korea 3,33%, di Madras India 2,25%. Prevalensi tertinggi didapat pada
penduduk Aborigin di Australia dan Bangsa Indian di Amerika Utara.
Tipe klinik OMSK dibagi atas dua, yaitu tipe tubotimpanal (tipe rinogen, tipe sekunder,
OMSK tipe jinak) dan tipe atikoantral (tipe primer, tipe mastoid, OMSK tipe ganas). OMSK tipe
ganas ini dapat menimbulkan komplikasi ke dalam tulang temporal dan ke intrakranial yang
dapat berakibat fatal.5 Perbedaan tipe klinik penyakit ini dibuat berdasarkan apakah penyakit
melibatkan pars tensa atau pars plasida membran timpani sehingga perbedaan anatomi inilah
yang selanjutnya menimbulkan istilah “tubotimpanal” dan “atikoantral”.2
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Telinga Tengah
Gambar 1. Anatomi Telinga
Telinga merupakan organ pendengaran sekaligus juga organ keseimbangan.
Telinga terdiri atas 3 bagian, yaitu: (1) Telinga luar, (2) Telinga tengah, dan (3) Telinga
dalam.7
Telinga tengah atau rongga telinga adalah suatu ruang yang terisi udara yang
terletak di bagian petrosum tulang pendengaran. Telinga tengah berbentuk kubus. Batas-
batas telinga tengah:
Batas luar: membran timpani
Batas depan: Tuba Eustachius
Batas bawah: Vena jugularis (bulbus jugularis)
Batas belakang: aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
Batas atas: tegmen timpani (meningen/ otak)
2
Batas dalam: Berturut- turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis horizontal,
kanalis fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar dan promontorium.
2.1.1 Membran Timpani
Gambar 2. Struktur Membran Timpani
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga
dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida
(membran Sharpnell) sedangkan bagian bawah disebut pars tensa (membran propria).
Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga
dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran
pernafasan. Pars tensa memiliki satu lapisan lagi di tengah yaitu lapisan yang terdiri dari
serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan
sirkuler di bagian dalam.8
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut
sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah,
yaitu pada pukul 5 untuk membran timpani kanan, sementara membran timpani kiri pada
arah jam 7. Refleks cahaya adalah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran
timpani. Di membran timpani terdapat dua serabut yaitu sirkuler dan radier sehingga
menyebabkan timbulnya refleks cahaya.8
3
Membran timpani dibagi menjadi 4 kuadran dengan menarik garis searah dengan
prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga
didapatkan bagian/kuadran:
Atas-depan
Atas-belakang
Bawah depan
Bawah belakang
Epitel yang melapisi rongga timpani dan setiap bangunan di dalamnya merupakan
epitel selapis gepeng atau kuboid rendah, tetapi di bagian anterior pada pada celah tuba
auditiva (tuba Eustachius) epitelnya selapis silindris bersilia. Lamina propria tipis dan
menyatu dengan periosteum.7
2.1.2 Tulang Pendengaran
Yaitu tulang maleus, inkus dan stapes. Ketiga tulang ini merupakan tulang
kompak tanpa rongga sumsum tulang. Tulang maleus melekat pada membran timpani.
Tulang maleus dan inkus tergantung pada ligamen tipis di atap ruang timpani. Lempeng
dasar stapes melekat pada tingkap celah oval (fenestra ovalis) pada dinding dalam.7
2.1.3 Otot
Terdapat 2 otot kecil yang berhubungan dengan ketiga tulang pendengaran. Otot-
otot ini berfungsi protektif dengan cara meredam getaran-getaran berfrekuensi tinggi.
1. Otot tensor timpani terletak dalam saluran di atas tuba auditiva, tendonnya berjalan
mula-mula ke arah posterior kemudian mengait sekeliling sebuah tonjol tulang kecil
untuk melintasi rongga timpani dari dinding medial ke lateral untuk berinsersi ke
dalam gagang maleus.
2. Tendo otot stapedius berjalan dari tonjolan tulang berbentuk piramid dalam dinding
posterior dan berjalan anterior untuk berinsersi ke dalam leher stapes.
2.1.4 Dua Buah Tingkap
4
Tingkap oval pada dinding medial ditutupi oleh lempeng dasar stapes,
memisahkan rongga timpani dari perilimfe dalam skala vestibuli koklea. Oleh karenanya
getaran-getaran membrana timpani diteruskan oleh rangkaian tulang-tulang pendengaran
ke perilimf telinga dalam. Untuk menjaga keseimbangan tekanan di rongga-rongga
perilimf terdapat suatu katup pengaman yang terletak dalam dinding medial rongga
timpani di bawah dan belakang tingkap oval dan diliputi oleh suatu membran elastis yang
dikenal sebagai tingkap bulat (fenestra rotundum). Membran ini memisahkan rongga
timpani dari perilimf dalam skala timpani koklea.7
2.1.5 Tuba Auditiva (Eustachius)
Menghubungkan rongga timpani dengan nasofaring, lumennya gepeng, dengan
dinding medial dan lateral bagian tulang rawan biasanya saling berhadapan menutup
lumen. Epitelnya bervariasi dari epitel bertingkat, selapis silindris bersilia dengan sel
goblet dekat farings. Dengan menelan dinding tuba saling terpisah sehingga lumen
terbuka dan udara dapat masuk ke rongga telinga tengah. Dengan demikian tekanan udara
pada kedua sisi membran timpani menjadi seimbang.7
2.2 Otitis Media Supuratif Kronis
2.2.1 Pengertian
Otitis media supuratif kronis (OMSK) ialah infeksi kronis di telinga tengah
dengan perforasi membrane timpani dan secret yang keluar dari telinga tengah terus-
menerus atau hilang timbul. Sekret dapat berbentuk encer atau kental, bening atau
berupa nanah.8
2.2.2 Epidemiologi.
Prevalensi OMSK pada beberapa negara antara lain dipengaruhi, kondisi sosial,
ekonomi, suku, tempat tinggal yang padat, hygiene dan nutrisi yang jelek. Prevalensi
OMSK di dunia berkisar 1-46% pada komunitas masyarakat menengah ke bawah di
negara-negara berkembang. Di negara maju seperti Inggris prevalensinya hanya 0,9%.
Namun di Israel prevalensinya jauh lebih kecil yaitu 0,0039%. Menurut survey pada
5
1996 di & provinsi di Indonesia, didapatkan bahwa prevalensi OMSK adalah sekitar
6% atau 6,6 juta orang. Sementara survey oleh Kesehatan Indera Penglihatan dan
Pendengaran pada tahun 1993-1996 didapatkan prevalensi OMSK adalah sekitar 3,1-
5,20 %.2
2.2.3 Etiologi
Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak,
jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring
(adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba
Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi
yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan Down’s syndrom. Adanya tuba
patulous, menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor insiden OMSK
yang tinggi di Amerika Serikat. Kelainan humoral (seperti hipogammaglobulinemia)
dan cell-mediated (seperti infeksi HIV, sindrom kemalasan leukosit) dapat
bermanifestasi sebagai sekresi telinga kronis. 1,3,5
Penyebab OMSK antara lain:
1. Lingkungan
2. Genetik
3. Otitis media sebelumnya.
4. Infeksi
5. Infeksi saluran nafas atas
6. Autoimun
7. Alergi
8. Gangguan fungsi tuba eustachius.
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani menetap pada
OMSK: 1,3,4,5
6
1. Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi
sekret telinga purulen berlanjut.
2. Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan pada
perforasi.
3. Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme
migrasi epitel.
4. Pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang
cepat diatas sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga mencegah
penutupan spontan dari perforasi.
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi
kronis majemuk, antara lain: 1,3,4,5
1. Terapi yang terlambat
2. Terapi yang tidak adekuat
3. Virulensi kuman tinggi
4. Gangguan fungsi tuba eustachius yang kronis atau berulang.
a. Infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang.
b. Obstruksi anatomik tuba Eustachius parsial atau total
5. Perforasi membran timpani yang menetap.
6. Terjadinya metaplasia skumosa atau perubahan patologik menetap lainya pada
telinga tengah.
7. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga atau rongga mastoid.
8. Terdapat daerah-daerah dengan sekuester atau osteomielitis persisten di
mastoid.
9. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan
mekanisme pertahanan tubuh.
2.2.4 Patogenesis
7
Banyak penelitian pada hewan percobaan dan preparat tulang temporal
menemukan bahwa adanya disfungsi tuba Eustachius, yaitu suatu saluran yang
menghubungkan rongga di belakang hidung (nasofaring) dengan telinga tengah
(kavum timpani), merupakan penyebab utama terjadinya radang telinga tengah ini
(otitis media, OM).6
Pada keadaan normal, muara tuba Eustachius berada dalam keadaan tertutup dan
akan membuka bila kita menelan. Tuba Eustachius ini berfungsi untuk
menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah dengan tekanan udara luar (tekanan
udara atmosfer). Fungsi tuba yang belum sempurna, tuba yang pendek, penampang
relatif besar pada anak dan posisi tuba yang datar menjelaskan mengapa suatu infeksi
saluran nafas atas pada anak akan lebih mudah menjalar ke telinga tengah sehingga
lebih sering menimbulkan OM daripada dewasa.2,7 Pada anak dengan infeksi saluran
nafas atas, bakteri menyebar dari nasofaring melalui tuba Eustachius ke telinga tengah
yang menyebabkan terjadinya infeksi dari telinga tengah.
Pada saat ini terjadi respons imun di telinga tengah. Mediator peradangan pada
telinga tengah yang dihasilkan oleh sel-sel imun infiltrat, seperti netrofil, monosit, dan
leukosit serta sel lokal seperti keratinosit dan sel mastosit akibat proses infeksi tersebut
akan menambah permeabilitas pembuluh darah dan menambah pengeluaran sekret di
telinga tengah.9 Selain itu, adanya peningkatan beberapa kadar sitokin kemotaktik yang
dihasilkan mukosa telinga tengah karena stimulasi bakteri menyebabkan terjadinya
akumulasi sel-sel peradangan pada telinga tengah.10
Mukosa telinga tengah mengalami hiperplasia, mukosa berubah bentuk dari satu
lapisan, epitel skuamosa sederhana, menjadi pseudostratified respiratory epithelium
dengan banyak lapisan sel di antara sel tambahan tersebut. Epitel respirasi ini
mempunyai sel goblet dan sel yang bersilia, mempunyai stroma yang banyak serta
pembuluh darah. Penyembuhan OM ditandai dengan hilangnya sel-sel tambahan
tersebut dan kembali ke bentuk lapisan epitel sederhana.11
8
Terjadinya OMSK disebabkan oleh keadaan mukosa telinga tengah yang tidak
normal atau tidak kembali normal setelah proses peradangan akut telinga tengah,
keadaan tuba Eustachius yang tertutup dan adanya penyakit telinga pada waktu bayi.2,7
2.2.5 Klasifikasi
Berdasarkan letak perforasi, OMSK dapat terjadi pada :
1. Perforasi sentral
Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan postero-
superior, kadang-kadang sub total.
2. Perforasi marginal
Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus
fibrosus. Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi
total. Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan dengan kolesteatom.
3. Perforasi atik
Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma.
Selain klasifikasi di atas, OMSK dibagi atas 2 tipe, yaitu:
1. Tipe tubotimpanal (Benigna)
Tipe tubotimpanal disebut juga sebagai tipe jinak (benigna) dengan
perforasi yang letaknya sentral. Biasanya tipe ini didahului dengan gangguan
fungsi tuba yang menyebabkan kelainan di kavum timpani. Tipe ini disebut juga
dengan tipe mukosa karena proses peradangannya biasanya hanya pada mukosa
telinga tengah, dan disebut juga tipe aman karena tidak menimbulkan komplikasi
yang berbahaya.5
9
Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas :
Penyakit aktif
Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya didahului oleh
perluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba eutachius, atau setelah
berenang dimana kuman masuk melalui liang telinga luar. Sekret bervariasi
dari mukoid sampai mukopurulen.1,3
Penyakit tidak aktif
Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi yang kering dengan mukosa
telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa tuli konduktif
ringan. Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus, atau suatu rasa
penuh dalam telinga. 1,3
2. Tipe atikoantral (Maligna)
Beberapa nama lain digunakan untuk tipe ini OMSK tipe tulang karena
penyakit menyebabkan erosi tulang, tipe bahaya ataupun sering disebut sebagai
chronic supurative otitis media with cholesteatoma.5
Perforasi membran timpani yang terjadi pada tipe ini biasanya perforasi
yang marginal dan atik. Perforasi marginal ialah perforasi yang dihasilkan dari
suatu kantong retraksi dan muncul di pars plasida, merupakan perforasi yang
menyebabkan tidak ada sisa pinggir membran timpani (anulus timpanikus). Oleh
sebab itu dinding bagian tulang dari liang telinga luar, atik, antrum, dan sel-sel
mastoid dapat terlibat dalam proses inflamasi sehingga tipe ini disebut ‘penyakit
atikoantral’.5
Kolesteatoma pada OMSK tipe atikoantral adalah suatu kantong retraksi
yang dibatasi oleh epitel sel skuamosa yang diisi dengan debris keratin yang
muncul dalam ruang yang berpneumatisasi dari tulang temporal. Kolesteatoma
mempunyai kemampuan untuk tumbuh, mendestruksi tulang, dan menyebabkan
infeksi kronik sehingga suatu otitis media kronik dengan kolesteatoma sering
dikatakan sebagai ‘penyakit yang tidak aman’ dan secara umum memerlukan
penatalaksanaan bedah.5
10
2.2.6 Gejala Klinis
Gejala yang paling sering dijumpai adalah telinga berair, adanya sekret di liang
telinga yang pada tipe tubotimpanal sekretnya lebih banyak dan seperti berbenang
(mukous), tidak berbau busuk dan intermiten, sedangkan pada tipe atikoantral,
sekretnya lebih sedikit, berbau busuk, kadangkala disertai pembentukan jaringan
granulasi atau polip, maka sekret yang keluar dapat bercampur darah. Ada kalanya
penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga keluar darah.
2.2.7 Diagnosis
Diagnosis OMSK ditegakan dengan cara:5,8
1. Anamnesis
Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita
seringkali datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Pada
anamnesis ini digali keluhan utama dan keluhan penyerta.
2. Pemeriksaan otoskopi
Pemeriksaan otoskopi akan menunjukan adanya dan letak perforasi. Dari
perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.
3. Pemeriksaan audiologi
Evaluasi audiometri, pembuatan audiogram nada murni untuk menilai
hantaran tulang dan udara, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan
pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang. Audiometri tutur
berguna untuk menilai ‘speech reception threshold’ pada kasus dengan tujuan
untuk memperbaiki pendengaran.
4. Pemeriksaan radiologi
11
Radiologi konvensional, foto polos radiologi, posisi Schüller berguna untuk
menilai kasus kolesteatoma, sedangkan pemeriksaan CT scan dapat lebih efektif
menunjukkan anatomi tulang temporal dan kolesteatoma.
2.2.8 Penatalaksanaan Medis
Medikamentosa
Prinsip mendasar penatalaksanaan medis pada OMSK adalah:9
1. Aural toilet, yaitu pembersihan telinga dari sekret.
Obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari.
2. Terapi antimikroba topikal, yaitu pemberian tetes telinga antibiotik topikal.
Antibiotik (minimal selama 7 hari) : golongan penicilin (lini pertama). Jika alergi
pensilin, beri eritromisin.
3. Bila sekret telah kering tapi masih ada perforasi observasi 2 bulan.
penatalaksanaan bedah (bila sekret telah kering tapi masih ada perforasi observasi
2 bulan, idielnya bisa dilakukan miringoplasti/timpanoplastik)
Penatalaksanaan bedah dari OMSK adalah secara operasi Timpanoplasti, yang
terdiri dari:9,10.
1. Timpanoplasti
a. Pengertian
Timpanoplasti adalah tindakan operasi yang dilakukan untuk
menghilangkan penyakit atau rekonstruksi telinga tengah (dengan dan tanpa
tindakan mastoidektomi) serta memperbaiki mekanisme pendengaran dengan
memasang graft untuk menutup gendang telinga yang robek/perforasi.11
Timpanoplasti dilakukan melalui liang telinga ataupun insisi di belakang
telinga
12
Gambar 3. Gambaran Proses Operasi Timpanoplasti
b. Tujuan
Untuk memperbaiki membrane timpani yang perforasi, menghentikan
infeksi secara permanen, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan
pendengaran yang lebih berat, serta untuk memperbaiki fungsi
pendengaran.6.11
c. Indikasi Dan Syarat
Indikasi dilakukan timpanoplasti, antara lain:6.8
1. Otitis media supuratif kronik (infeksi telinga tengah menahun) atau
rekuren sekunder terhadap kontaminasi
2. Penderita dengan tuli konduksi karena perforasi membran timpani atau
disfungsi ossikular
3. Perforasi membran timpani atau tuli menetap lebih dari 3 bulan karena
trauma, infeksi atau pembedahan
4. Destruksi tulang yang telah meluas ke telinga tengah
5. Erosi tulang pendengaran
6. Kelumpuhan saraf fasialis
7. Fistel labirin
13
8. Ketidakmampuan untuk berenang dengan aman.
Syarat dilakukannya timpanoplasti adalah:8
1. Perforasi terjadi di sentral dimana keadaan telinga sudah kering paling
tidak 6 minggu.
2. Mukosa telinga tengah normal.
3. Osikular yang utuh
4. Keadaan koklea baik
d. Kontraindikasi
Beberapa ahli berpendapat bahwa fungsi tuba Eustachius yang tidak baik
merupakan kontraindikasi absolut timpanoplasti oleh karena akan
menyebabkan kegagalan timpanoplasti, akibat tidak terdapatnya udara dalam
telinga tengah.
e. Tipe
Ada lima tipe dasar dari prosedur timpanoplasti menurut Zollner dan
Wullstein (1952):8
Tipe I timpanoplasti disebut Miringoplasti.
Hanya merekonstruksi membran timpani yang berlubang.
Tipe II timpanoplasti digunakan untuk perforasi membran timpani dengan
erosimaleus.
Ini melibatkan pencangkokan pada inkus atau sisa-sisa maleus tersebut.
Tipe III timpanoplasti diindikasikan untuk penghancuran dua ossicles,
dengan stapes masih utuh dan mobile.
14
Ini melibatkan penempatan cangkokan ke stapes, dan menyediakan
perlindungan untuk perakitan.
Tipe IV timpanoplasti digunakan untuk penghancuran tulang
pendengaran, yang mencakup semua atau bagian dari lengkungan stapes.
Ini melibatkan penempatan cangkokan pada atau sekitar kaki stapes
mobile.
Tipe V timpanoplasti digunakan ketika kaki dari stapes menetap
f. Teknik
Sejak diperkenalkannya timpanoplasti tahun 1952 oleh Zollner dan
Wullstein, banyak material tandur dan metode penempatannya dilakukan
untuk menutup perforasi membran timpani.8 Diantaranya timpanoplasti
medial (underlay), timpanoplasti lateral (overlay), timpanoplasti sandwich
film, timpanoplasti Crowncork, timpanoplasti swinging door, laser-assisted
spot welding technique, fascia pegging, dan teknik mikroklip. Di antara
semua teknik, yang paling popular untuk menutup perforasi membran timpani
adalah teknik medial dan lateral.12
Teknik timpanoplasti ini dapat dilakukan dengan penipisan yang luas pada
dinding posterior dalam rongga mastoid sehingga dapat mengevaluasi semua
bagian dari telinga tengah.6 Dalam menjalankan teknik tersebut, dilakukan
pendekatan timpanoplasti pendekatan ganda (combined approach
tympanoplasty). Tujuan utama dalam pendekatan ini adalah untuk
membersihkan semua jaringan patologis dimana anatomi dari meatus
eksternus termasuk sulkus timpani utuh. Kavum mastoid dibuka untuk
menghindari sistem aerasi yang tertutup. Aerasi dapat diperoleh dengan
membersihkan penyumbatan antara kavum timpani, antrum dan sistem sel
mastoid.12
g. Persiapan
15
Hal-hal yang perlu dilakukan sebelum dilakukan tindakan timpanoplasti
ialah:8
Pemeriksaan laboratorium darah lengkap
EKG
Foto rontgen mastoid
CT Scan temporal
Tes penala dan audiometri
Pemeriksaan kuman dari cairan teling
h. Perawatan Setelah Operasi
Umumnya, pasien dapat kembali ke rumah 3-5 hari pasca operasi
timpanoplasti. Antibiotik dapat diberikan dengan analgetik. Setelah 10 hari,
perban dibuka, telinga dievaluasi untuk melihat adakah graft yang berhasil
tumbuh. Selain itu, pasien dianjurkan untuk mengindari telinga dari paparan
air. Jika terdapat alergi atau flu, pemberian antibiotic dan dekongestan dapat
dilakukan. Setelah 2 minggu pasca operasi, pasien sudah dapat kembali
beraktivitas.6.8
Untuk proses penyembuhan yang sempurna, graft membrane timpani
harus terbebas dari infeksi. Infeksi dapat dicegah dengan pemberian topikal
antibiotik pada liang telinga. Aktivitas yang dapat mengubah tekanan timpani
harus dihindari, seperti bersin, menggunakan pipet untuk minum, atau
peradangan pada hidung. Setelah 3 bulan pasca operasi dilakukan
pemeriksaan audiometry untuk evaluasi kemajuan timpanoplasti.8
Selama proses penyembuhan tersebut, ada beberapa hal yang harus
dilakukan pasien setelah operasi, antara lain:6.12
Selalu menggunakan penutup telinga selama 2 minggu
16
Gunakan penyumbat telinga yang lembut saat mandi sehingga air tidak
masuk ke telinga
Tidak bepergian dengan pesawat ataupun berenang selama masa
penyembuhan
Hindari olah raga atau aktivitas yang berat selama 6 minggu setelah
operasi
Pemeriksaan rutin untuk mengetahui perkembangan penyembuhan
membran timpani
i. Prognosis
Keberhasilan timpanoplasti mencapai 80-90% dalam memperbaiki fungsi
pendengaran. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan
timpanoplasti adalah:8.12
Telinga yang kering (keadaan telinga)
Letak perforasi membran timpani
Perforasi lebih dari 50%
Masih adanya malleus
Tipe graft
Menurut penelitian, timpanoplasti dapat membantu pendengaran hingga
kurang dari 40 dB.12
2. Mastoidektomi sederhana
Bertujuan untuk mengevakuasi penyakit yang hanya terbatas pada rongga
mastoid.
3. Mastoidektomi radikal
17
Bertujuan untuk mengeradikasi seluruh penyakit di mastoid dan telinga
tengah, di mana rongga mastoid, telinga tengah, dan liang telinga luar
digabungkan menjadi satu ruangan sehingga drainase mudah
2.2.9 Komplikasi
Klasifikasi komplikasi OMSK menurut Adams dkk (1989):
1. Komplikasi ditelinga tengah :
a. Perforasi persisten membran timpani
b. Erosi tulang pendengaran
c. Paralisis nervus fasial
2. Komplikasi telinga dalam
a. Fistel labirin
b. Labirinitis supuratif
c. Tuli saraf ( sensorineural)
3. Komplikasi ekstradural
a. Abses ekstradural
b. Trombosis sinus lateralis
c. Petrositis
4.Komplikasi ke susunan saraf pusat
a. Meningitis
b. Abses otak
c. Hindrosefalus otitis
Komplikasi di Telinga Tengah
Akibat infeksi telinga tengah hampir selalu berupa tuli konduktif. Pada
membran timpani yang masih utuh, tetapi rangkaian tulang pendengaran terputus,
akan menyebabkan tuli konduktif yang berat. Derajat tuli konduktif tidak selalu
berhubungan dengan penyakitnya, ssebab jarigan patologis yang terdapat pada 18
kavum timpani pun, misalnya kolesteatoma dapat menghantar suara ke telinga
dalam. 3
1. Paresis nervus fasialis
Dapat terjadi akibat penyebaran secara langsung melalui kanalis fasialis
pada otitis media akut. Pada otitis media kronis, kerusakan terjadi oleh erosi
tulang oleh kolestoma atau oleh jaringan granulasi, disusul oleh infeksi ke
dalam kanalis fasialis tersebut.
Pada otitis media akut operasi dekompresi kanalis fasialis tidak
diperlukan. Perlu diberikan antibiotik dosis tinggi dan terapi penunjang
lainnya, serta menghilangkan tekanan di dalam kavum timvani dengan
drainase. Bila dalam jangka waktu tertentu ternyata tidak ada perbaikan
setelah diukur dengan elektrodiagnostik, barulah dipikirkan untuk melakukan
dekompresi. Pada otitis media supuratif kronis, tindakan dekompresi harus
segera dilakukan tanpa harus menunggu pemeriksaan elektrodiagnostik. 3,6
Komplikasi di Telinga Dalam.
Apabila terjadi infeksi di telinga tengah ada kemungkinan untuk menjalar
ke telinga dalam malalui tingkap bulat. Selama kerusakan hanya sampai bagian
basalnya saja tidak akan ada keluhan dari pasien. Apabila telah menyebar ke
koklea akan menjadi masalah. Hal ini sering digunakan sebagai indikasi
miringotomi segera pada pasien otitis media akut yang tidak membaik dalam
empat puluh delapan jam dengan pengobatan medikamentosa saja. 3
Penyebaran melalui proses destruksi, seperti oleh kolesteatoma atau
infeksi langsung ke labirin akan menyebabkan gangguan keseimbangan dan
pendengaran, misalnya vertigo, mual dan muntah, serta tuli saraf.
1. Fistula labirin dan labirinitis
19
Otitis media supuratif kronis terutama yang dengna kolesteatoma, dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan pada bagian vestibuler labirin, sehingga
terbentuk fistula. Pada keadaan ini infeksi dapat masuk, sehingga terjadi
labirinitis dan akhirnya akan terjadi komplikasi tuli total dan meningitis.
Fistula di labirin dapat diketahui dengan tes fistula, yaitu dnegan
memberikan tekanan udara positif aau negative keliang telinga melalui
otoskop dengan corong telinga yang kedap atau balon karet dengna bentuk
elips pada unjungnya yang dimasukkan ke dalam liang telinga. Bila karet
dipencet dan udara yang didalamnya akan menyebabkan perubahan tekanan
udara di dalamnya akan menyebabkan perubahan tekana udara di liang
telinga. Bila fistula yang terjadi masih paten maka akan terjadi kompresi
dan ekspansi labirin membran. Tes fistula positif akan menimbulkan
nistagmus atau vertigo. Tes fistula negative, bila fistulanya sudah tertutup oleh
jaringan granulasi atau bila labirin sudah mati/ paresis kanal. 3,6
Pada fistula labirin, operasi segera dilakukan untuk menghilangkan infeksi
dan menutup fistula, sehingga fungsi telinga dalam dapat pulih kembali.
Tindakan bedah harus adekuat, untuk penyakit primer. Matriks kolesteatoma
dan jaringan granulasi harus diangkat dari fistula sampai bersih dan daerah
tersebut harus segera ditutup dengna jaringan ikat atau sekeping tulang/ tulang
rawan. 3,6
2. Labirinitis
Labirinitis terjadi karena penyebaran infeksi ke ruang perilimfe. Terdapat
dua bentuk labirinitis yaitu labirinitis serosa dan labirinitis supuratif.
Labirinitis serosa dapat berbentuk labirinitis serosa difusa dan serkumsripta,
sednagkan labirinitis supuratif dibagi dalam bentuk labirinitis supuratif akut
difusa dan labirinitis supuratif kronik difusa. 3
Pada labirinitis serosa toksin menyebabkan disfungsi labirin tanpa
inversi sel radang. Sedangkan pada labirinitis supuratif , sel radang
menginvasi labirin, sehingga terjadi kerusakan yang ireversibel, seperti
20
fibrosa dan osifikasi. Manifestasi klinis berupa tuli sensorineural tiba-tiba,
vertigo berat, nistagmus, mual dan muntah. 6
Pada kedua bentuk labirinitis itu oprasi harus segera dilakukan untuk
menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang –kadang diperlukan
drainase nanah dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis. Serta
perlu juga diberikan antibiotika yang adekuat
Komplikasi ke ekstradural
1. Petrositis
Penyebaran ke os petrosum melalui penyebaran langsung ke sel-sel udara
yang ada pada tulang temporal yang tersebar hingga os petrosum. Dicurigai
jika pasien otitis media disertai gejala diplopia, karena kelemahan nervus VI.
Seringkali disertai dengan rasa nyeri di daerah parietal , temporal atau
oksipital, oleh karena terkenanya nV ditambah dengan terdapatnya otore yang
persisten (sindrom Gradenigo). 3,6
Kecurigaan terhadap petrosis terutama bila terdapat nanah yang keluar
terus menrus dan rasa nyeri yang menetap pasca mastoidektomi.
Pengobatannya sendiri dengan operasi serta pemberian antibiotika protokol
komplikasi intracranial
2. Tromboflebitis Sinus Lateralis
Invasi infeksi ke sinus sigmoid keika melewati tulang mastoid akan
menyebabkan terjadinya thrombosis sinus lateralis. Komplikasi ini sering
dijumpai sebelum era antibiotik, namun kini telah jarang. Demam yang tidak
dapat diterangkan penyebabnya merupakan tanda pertama dari infeksi
pembuluh darah. Pada mulanya suhu tubuh turun naik, tetapi setelah penyakit
menjadi berat didaptkan kurve suhu yang baik turun dengan sangat curam
disetai dengan menggigil. Kurve suhu demikian menandakan adanya sepsis.
Rasa nyeri biasanya tidak jelas, keculai bila sudah terdapat abses
perisinus. Kultur darah biasnaya positif, terutama bila darah diambil ketika
demam. Pengobatan harus dengna bedah yakni dengan melakukan
21
pembuangan pada sumber infeksi di sel-sel mastoid, membuang tulang yang
berbatasan dengan sinus yang nekrotik. 3,6
3. Abses Ekstradural
Merupakan terkumpulnya nanah di antara duramater dan tulang. Pada otitis
media supuratif kronis keadaan ini berhubungna dengna jaringan granulasi
dan kolesteatomi yang menyebabkan erosi tegmen timpani atau mastoid. 3,6
Gejalanya berupa nyeri telinga hebat dan nyeri kepala. Dengan foto
ronsen mastoid yang baik, terutama posisi schuller, dapat dilihat kerusakan di
lempeng tegmen.
4. Abses Subdural
Biasanya terjadi akibat perluasan tromboflebitis melalui pembuluh vena.
Gejalanya dapat berupa demam, nyeri kepala dan penurunan kesadaran
sampai koma pada pasien OMSK. Gejala SSSP dapat berupa kejang,
hemiplegia dan pada pemeriksaan terdapat tanda kernig positif. 3,6
Pungsi lumbal diperlukan untuk membedakan abses subdural dengan
meningitis. Pada abses subdural pada pemeriksaan likior serebrospinal kadar
protein biasanya normal dan tidak ditemukan bakteri. Kalau pada abses
ekstradural nanah keluar pada waktu oprasi mastoidektomi, pada abses
subdural nanah harus dikeluarkan secara bedah saraf. 3,6
Komplikasi ke SSP
1. Meningitis
Kompikasi otitis media ke SSP yang tersering adalah meningitis. Baik
otitis media akut mapun kronik serta dapat terlokalisasi dan umum. Gejala
klinik meningitis biasanya berupa kaku kuduk, kenaikan suhu tubuh, mual
muntah yang kadang-kadang muntahnya muncrat, serta nyeri kepala hebat.
Pada kasus yang berat biasanya kesadaran menurun(sampai koma). Terdapat
tanda kernig (+). Pengobatan meningitis otogenik ialah dengan mengobati
meningitisnya dulu dnegna antibiotic yang sesuai,, kemudian infeksi di
telinganya ditanggulangi dengan oprasi mastoidektomi. 3,6
22
2. Abses Otak
Abses otak biasanya ditemui di serebelum, fosa kranial posterior atu di
lobus temporal dan di fosa kranial media. Sering akibat tromboflebitis sinus
lateralis, petrositis atau meningitis. Gejala abses serebelum biasnaya lebih
jelas daripada abses temporal. Abses serebelum dapat ditandai dengan
ataksia, disdiadokokinetis, tremor intensif dna tidak tepat menunjuk suatu
objek.
Afasia dapat terjadi pada abses lobus temporal. Gejala lain toksisitas
berupa nyeri kepala, demam, muntah, serta keadaan latargik. Selain itu
sebgai tanda yang nyata sutau abses otak ialah nadi yang lambat serta
serangan kejang. Pemeriksaan liqior serebrospinal memperlihatkan kadar
protein yang meninggi seta kenaikan tekanan liqior. Mungkin terdapat juga
edema papil. Lokasi abses dapat diketahui melalui pemeriksaan angigrafi,
ventrikulografi atau dengan tomografi computer. 3,6
Pengobatan abses otak ialah dengan antibiotika parenteral dosis tinggi,
dengan atau tanpa oprasi untuk melakukan draenase dari lesi. Pengobatan
dengan antibiotic harus intensef. Mastoidektomi dilakuikan guna membuang
sumber infeksi.
3. Hidrosefalus Otitis
Ditandai dengan peninggian tekanan lokuor serebrospinal yang hebat
tanpa adanya kealinan kimiawi dari likuor itu. Pada pemeriksaan terdat edema
papil. Keadaan ini dapat menyertai otitis media akut atau kronis. Gejala
berupa nyeri kepala yang menetap, diplopia, pandanganyang kabur, mual
muntah. Keadaan ini desebabkan oleh tertekannnya sinus lateralis yang
mengakibatkan kegagalan absorbsi likuor serebrospinal oleh lapisan
araknoid. 3,6
23
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Nur wildan salis
Umur : 6 ½ tahun
Jenis kelamin : perempuan
Alamat : mataram
Berat badan : 15 kg
Waktu Pemeriksaan : juni 2012
ANAMNESIS
Keluhan utama:
Keluar cairan telingah kanan
Riwayat penyakit sekarang:
pasien datang ke poli THT RSUP NTB dengan keluhan keluar cairan bening dari telinga
kanan sejak 3 hari yang lalu disertai dengan nyeri dan sering pegang telingah yang kanan,
cairan tidak berbau, jika di beri obat cairan berhenti keluar. Pasien juga mengeluh sering
pilek. Bengkak (+) sakit (+), berbau (-),demam (-),batuk(-) mimisan (-). Pasien juga sering
mandi di sungai.
Riwayat penyakit dahulu:
Awal tahun baru pasien pernah meniup balon, bengkak dan sakit keluar cairan bening.
Riwayat penyakit keluarga:
Misan dari pasien ini pernah keluar cairan kaya gini..
Orang tua pernah gamgguan pendengaran tapi belum pernah di periksa atau di obtain.
Riwayat pengobatan:
Pernah di obatin dengan sirup dan salep
24
Riwayat alergi:
Pasien memiliki riwayat alergi susu dan miskuat.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,4ºC
Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No. Pemeriksaan
Telinga
Telinga kanan Telinga kiri
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam
batas normal, hematoma (-),
nyeri tarik aurikula (-)
Bentuk dan ukuran dalam
batas normal, hematoma (-),
nyeri tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-),
otorhea (-)
Serumen (+) minimal,
hiperemis (-), furunkel (-),
edema (-), otorhea (-)
serumen
25
4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-),
perforasi (+), sentral postero-
inferior), cone of light (-),
gambaran pulsasi (-)
Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-), cone of light (-)
Pemeriksaan hidung
Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri
Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi
(-), nyeri tekan (-),
deformitas (-)
Bentuk (normal), hiperemi
(-), nyeri tekan (-),
deformitas (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)
Cavum nasi Bentuk (normal), mukosa
pucat (-), hiperemia (-)
Bentuk (normal), mukosa
pucat (-), hiperemia (-)
Meatus nasi media Mukosa normal, sekret (-),
massa berwara putih
mengkilat (-).
Mukosa normal, sekret (-),
massa berwara putih
mengkilat (-).
Konka nasi inferior Edema (-), mukosa hiperemi Edema (-), mukosa
26
Perforasi
(-) hiperemi (-)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-),
ulkus (-)
Deviasi (-), perdarahan (-),
ulkus (-)
Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Normal
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-),
sekret (-)
Tonsila palatine Kanan Kiri
- -
Fossa Tonsillaris
dan Arkus Faringeus
hiperemi (-) hiperemi (-)
DIAGNOSIS
Otitis Media Supuratif Kronis fase aktif.
DIAGNOSIS BANDING
-
27
PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
RENCANAN TERAPI
Medikamentosa
Obat cuci telingah : H2O2 3% selama 3-5 hari
Antibiotik sistemik :
Amoxicillin: 20 kg x 40 mg/kgBB/hari = 800 mg/hari, terbagi dalam 3 dosis selama 7
hari.
Analgetik :
Paracetamol 250 mg, bila perlu dapat diulangi tiap 4 – 6 jam, maksimal pemberian 6x
Nasal Dekongestan
Tablet pseudoefedrine HCL oral 3 x 30 mg selama 3-4 hari
KIE
Pasien dianjurkan untuk tetap menjaga kebersihan telinga dan tidak mengorek-ngorek
liang telinga.
Antibiotik harus diminum sampai habis walaupun gejala sudah hilang, agar
penyembuhan berlangsung baik dan tidak terjadi komplikasi.
Untuk sementara, telinga kanan jangan dulu terkena air. Bila mandi telinga kanan
ditutup dengan kapas.
Pasien dianjurkan menghindari makan jajanan dan es-es yang dijual di pinggir jalan.
Datang kembali untuk kontrol setelah 1 minggu, untuk melihat perkembangan
pengobatan.
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
28
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis Otitis Media Akut fase aktif didapatkan melalui hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik telinga yang dilakukan. Pada anamnesis, adanya riwayat pilek sebelum
keluhan telinga muncul menunjukkan penyebab terjadinya infeksi pada telinga tengah. Infeksi
pada hidung dan tenggorokan dapat menyebabkan sumbatan tuba auditiva. Sumbatan tuba yang
terus berlanjut menyebabkan hipersekresi sel goblet pada mukosa telinga tengah. Sekret
merupakan media pertumbuhan bakteri yang baik, sehingga kemudian timbul proses infeksi pada
telinga tengah. Rasa nyeri pada telinga muncul akibat proses inflamasi terhadap infeksi yang
terjadi.
Pemeriksaan fisik telinga mengonfirmasi adanya proses inflamasi akibat infeksi pada
telinga tengah. Tampak adanya perforasi sentral membran timpani pada postero-inferior pars
tensa.
Harus dibedakan antara OMA dan OMSK. Riwayat keluhan telinga yang baru terjadi
selama 1 hari dengan tanpa pengeluaran sekret, menunjukkan adanya proses akut pada telinga.
Pasien juga mengaku sebelumnya tidak pernah keluar cairan dari telinga kanan.
Penanganan ditujukan pada eradikasi infeksi dan simtomatis untuk mengurangi gejala yang
dirasakan pasien. Eradikasi infeksi pada OMA harus adekuat sehingga infeksi tidak menetap dan
berubah menjadi OMSK. Terapi lini pertama diberikan pada pasien ini berupa antibiotik
spektrum luas Amoxicillin selama 7 hari, dan paracetamol diminum bila perlu sebagai analgetik.
Pasien diminta kembali lagi untuk kontrol setelah 7 hari untuk melihat perkembangan
pengobatan, diharapkan proses infeksi tidak berlanjut menuju stadium berikutnya.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Kelompok studi otologi PERHATI–KL. Panduan Penatalaksanaan Baku Otitis Media
Supuratif Kronik (OMSK) di Indonesia. Jakarta, Mei, 2002.
2. Browning G.G. Aetiopathology of Inflammatory Conditions of the External and Middle Ear.
In: Scott-Brown’s Otolaryngology. 6 edition. Vol. 3. Butterworth-Heinemann, 1997; 3/3/15.
3. World Health Organization. Chronic suppurative otitis media: Burden of Illness and
Management Options. Geneva, Switzerland, 2004.
4. Kadriyan, Hamsu. Seminar Otology Otitis Media Supurative Kronik (OMSK) di NTB.
Mataram, 2012.
5. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Dalam: Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Balai
Penerbit FK-UI, Jakarta, 2005; 55 – 7.
6. Murakami Y. Surgical Anatomy and Pathology for Reconstructive Middle Ear Surgery. In:
Suzuki JI et al. Reconstructive Surgery of the Middle Ear. Elsevier, Amsterdam, 1999, 116–8.
7. Seeley, Stephens, Tate. 2004. Anatomy and Physiology, Ch 15 The Special Senses 6th Ed. The
McGraw−Hill Companies, New York
8. Soepardi EA, Iskandar HN, editor. 2001, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher Edisi kelima. Jakarta: Balai penerbit FKUI
9. Ballenger J.J. Penyakit Telinga Kronis. Dalam: Ballenger J.J. Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid dua. Binarupa Aksara, Jakarta, 1997; 392.
10.Frootko N.J. Reconstruction of the Middle Ear. In: Scott-Brown’s Otolaryngology. 6th
edition. Vol. 3. Butterworth-Heinemann, 1997;3/11/1-2.
11.Johnson G.D. Simple Mastoid Operation. In: Glasscock-Shambough Surgery of the Ear. 5th
edition. BC. Decker, Hamilton, Ontario, 2003;487.
12.Boesoirie Shinta, Lasminingrum Lina, dkk. Perbandingan Keberhasilan Miringoplasti
Mediolateral Dengan Medial Dan Lateral Pada PErforasi Anterior Dan Subtotal Dengan
Pendekatan Transkanal.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/04/perbandingan_keberhasilan_miringopl
asti_mediolateral_dengan_medial_dan_lateral.pdf. Diakses pada 29 Januari 2012.
30