Download - Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

Transcript
Page 1: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

1

Page 2: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

i

KATA PENGANTAR

Kasus, sengketa dan konflik pertanahan di Indonesia marak terjadi baik skala besar maupun kecil dengan melibatkan berbagai pihak (masyarakat, swasta maupun pemerintah). Berdasarkan data BPN pada tahun 2012 tercatat dari 7.196 kasus pertanahan baru 4.291 kasus yang telah diselesaikan melalui gelar perkara internal maupun eksternal dengan mengundang berbagai pihak yang berperkara. Untuk itu diperlukan upaya penyelesaian permasalahan pertanahan tersebut. Berkenaan dengan hal itu, pada tahun 2013 Menteri PPN/Kepala Bappenas membentuk Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria melalui Surat Keputusan Nomor Kep.55/M.PPN/HK/03/2013 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional. Tim Koordinasi tersebut berusaha menemukenali akar permasalahan sistem pengelolaan pertanahan.

Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional telah melakukan identifikasi terhadap akar permasalahan dalam sistem pengelolaan pertanahan antara lain: tidak terjaminnya kepastian hukum hak atas tanah serta tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, telah disusun Rencana Kerja Tim Koordinasi tahun 2013 untuk mempersiapkan perubahan sistem pengelolaan pertanahan Indonesia yang lebih berkeadilan dan dapat mensejahterakan masyarakat. Selain itu, tim juga melakukan koordinasi lintas sektor dan daerah untuk menyelesaikan beberapa permasalahan pertanahan aktual yang dihadapi seperti koordinasi sertipikasi tanah transmigrasi dan koordinasi pelaksanaan Proda di Kalimantan Timur. Melalui pelaksanaan kegiatan sebagaimana tertuang dalam rencana kegiatan tersebut diharapkan dapat dicapai kesepakatan bersama oleh kementerian/lembaga terkait dalam upaya perubahan kebijakan sistem pengelolaan pertanahan nasional. Laporan ini memuat capaian pelaksanaan kegiatan Tim Koordinasi Reforma Agraria Nasional tahun 2013.

Pelaksanaan kegiatan Tim Koordinasi telah melibatkan berbagai pihak terkait dengan pengelolaan pertanahan. Untuk itu Tim Koordinasi menyampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah terlibat, ,akan terjalin kerjasama dalam mewujudkan perubahan sistem pengelolaan pertanahan yang lebih baik.

Jakarta Desember 2013

Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian PPN/Bappenas

selaku Ketua Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional

Page 3: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii DAFTAR ISTILAH ................................................................................................................ iii BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1 BAB 2 TUJUAN DAN SASARAN KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL 3

2.1 Identifikasi dan Klarifikasi Akar Permasalahan Pertanahan .................................. 3 2.2 Penyusunan Rencana Intervensi Kebijakan .......................................................... 3

BAB 3 RUANG LINGKUP KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL .......... 5 BAB 4 CAPAIAN KERJA TIM KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL TAHUN 2013 ..................................................................................................................... 7

4.1 Intervensi Kebijakan ............................................................................................. 7 4.1.1 Kebijakan Sistem Publikasi Tanah Stelsel Positif ........................................... 7 4.1.2 Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform ......................................... 16 4.1.3 Kebijakan Pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan ............................. 23 4.1.4 Kebijakan Pembentukan Bank Tanah ........................................................... 26 4.1.5 Kebijakan Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan................................... 35

4.2 Koordinasi Lintas Sektor Daerah ........................................................................... 37 4.2.1 Sertifikasi Tanah Transmigrasi ...................................................................... 37 4.2.2 Program Nasional Agraria Daerah (PRODA) Kalimantan Timur ..................... 39

BAB 5 PENUTUP ................................................................................................................ 41

Page 4: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

iii

DAFTAR ISTILAH

1. Tim Koordinasi Reforma Agraria Nasional adalah Tim Koordinasi yang dibentuk oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas yang bertugas untuk memperbaiki kebijakan bidang pertanahan nasional.

2. Pertanahan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pendaftaran, penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan tanah, serta perbuatan mengenai tanah, yang diatur dengan hukum tanah.

3. Tanah adalah permukaan bumi baik berupa daratan maupun yang tertutup air dalam batas tertentu sepanjang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung dengan permukaan bumi termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi.

4. Tanah Negara adalah Tanah yang tidak dipunyai dengan suatu Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan/atau tidak merupakan tanah ulayat Masyarakat Hukum Adat.

5. Reforma Agraria adalah penataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan Tanah yang lebih berkeadilan disertai dengan akses reform.

6. Akses Reform (access reform) adalah pemberian akses bagi penerima tanah obyek reforma agraria untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya secara optimal baik untuk bidang pertanian maupun nonpertanian.

7. Tanah Obyek Reforma Agraria yang selanjutnya disingkat TORA adalah Tanah yang dikuasai oleh negara untuk didistribusikan atau diredistribusikan dalam rangka Reforma Agraria.

8. Penerima TORA adalah orang yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan untuk menerima TORA.

9. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

10. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

11. Pengadilan Pertanahan adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap perkara pertanahan.

12. PRONA (singkatan dari Proyek Operasi Nasional Agraria) adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi asset dan pada hakekatnya merupakan proses administrasi pertanahan yang meliputi; adjudikasi, pendaftaran tanah sampai dengan penerbitan sertipikat/tanda bukti hak atas tanah dan diselenggarakan secara massal.

Page 5: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

iv

13. PRODA (singkatan dari Proyek Operasi Nasional Agraria Daerah) adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi asset pada suatu daerah yang dibiayai oleh pemerintah daerah, dan pada hakekatnya merupakan proses administrasi pertanahan yang meliputi; adjudikasi, pendaftaran tanah sampai dengan penerbitan sertipikat/tanda bukti hak atas tanah dan diselenggarakan secara massal.

14. Sertifikasi tanah lintas K/L adalah adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi asset yang dibiayai pemerintah untuk beberapa target sektor seperti: petani, nelayan, transmigrasi, UKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah.

Page 6: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

1

BAB 1 PENDAHULUAN

Selama Tahun 2012 sampai saat ini seringkali muncul kasus-kasus yang terkait dengan bidang pertanahan. Di berbagai daerah marak terjadi sengketa, konflik, maupun perkara pertanahan baik skala besar maupun kecil dan yang gencar diberitakan oleh media massa secara nasional maupun lokal. Data BPN Tahun 2012 mencatat 7.196 kasus pertanahan yang tersebar di seluruh tanah air yang melibatkan berbagai pihak. Dari jumlah tersebut, baru 4.291 kasus yang telah diselesaikan baik itu yang diselesaikan melalui gelar perkara internal baik internal pusat maupun daerah serta gelar perkara eksternal dengan mengundang berbagai pihak yang berperkara. Dengan mekanisme penyelesaian kasus tersebut dihasilkan 2 (dua) keputusan yaitu selesai diluar pengadilan (musyawarah) atau selesai melalui pengadilan. Maraknya terjadi kasus pertanahan tersebut menjadi salah satu gambaran belum baiknya pengelolaan bidang pertanahan.

Perbaikan sistem pengelolaan pertanahan nasional diperlukan untuk memberikan arah yang lebih baik bagi upaya pencegahan terjadinya kasus pertanahan. Selain itu agar pengelolaan pertanahan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga dapat lebih menjamin terlaksananya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perbaikan sistem pengelolaan pertanahan nasional tersebut di atas memerlukan koordinasi lintas sektor yang melibatkan kementerian/lembaga terkait. Memperhatikan salah satu tupoksi Kementerian PPN/Bappenas yang mengemban fungsi koordinasi, maka pada tahun 2013 dilaksanakan kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional. Kegiatan tersebut ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri PPN/Bappenas Nomor Kep.55/M.PPN/HK/03/2013 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional pada tanggal 28 Maret 2013. Tim Koordinasi Strategis tersebut beranggotakan Perwakilan dari Kementerian PPN/Bappenas, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Perwakilan Kementerian atau Lembaga (K/L) terkait kegiatan Pertanahan Nasional. Secara umum tujuan kegiatan tersebut adalah dalam rangka melaksanakan tugas dalam menyelenggarakan fungsi koordinasi dan sinkronisasi serta perumusan kebijakan yang diperlukan dalam pelaksanaan reforma agraria nasional yang melibatkan Kementerian/Lembaga terkait, pemerintah daerah, dan organisasi non pemerintah.

Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas di atas, Tim Koordinasi Reforma Agraria Nasional melakukan rapat koordinasi pada Bulan Juni 2013 untuk menyusun dan menyepakati Rencana Kerja tahun 2013. Rencana kerja tersebut menjadi acuan dan pegangan bagi masing-masing stakeholder terkait.

Untuk menggambarkan berbagai capaian dan progres kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional sampai dengan Bulan September 2013 tim koordinasi telah menyusun Laporan Antara (midterm report). Memasuki akhir tahun 2013 telah disusun laporan akhir tim koordinasi yang memuat capaian kegiatan sepanjang tahun 2013. Penyusunan laporan akhir dilakukan melalui rangkaian rapat anggota tim, focus group discussion (FGD), lokakarya yang melibatkan berbagai stakeholder terkait untuk

Page 7: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

2

mendapatkan pemahaman yang sama mengenai reforma agraria (perbaikan sistem pengelolaan pertanahan). Secara umum laporan akhir ini memuat tujuan dan sasaran kegiatan, ruang lingkup kegiatan, rencana kebijakan, capaian, dan penutup.

Page 8: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

3

BAB 2 TUJUAN DAN SASARAN

KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL

Sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas dan TOR, kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional bertujuan untuk melakukan koordinasi dan penyusunan kebijakan serta rencana program dan kegiatan dalam mengawal pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia. Adapun sasaran yang akan dicapai, antara lain: a. Melaksanakan pengkajian, perumusan dan pengembangan kebijakan pertanahan

nasional yang mendukung pelaksanaan reforma agraria; b. Melaksanakan koordinasi penyusunan rencana, program dan kegiatan (RPK) terkait

reforma agraria nasional serta pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan RPK tersebut; c. Melaksanakan diseminasi kebijakan pertanahan, membangun konsensus, dan

mendapatkan dukungan komitmen dari pelaku terkait pelaksanaan reforma agraria. Khusus untuk Tahun Anggaran 2013 dibatasi pada beberapa pokok

bahasan/penyelesaian sebagaimana diuraikan berikut:

2.1. Identifikasi dan Klarifikasi Akar Permasalahan Pertanahan

Dari beberapa akar permasalahan di bidang pertanahan yang teridentifikasi, terutama untuk aspek rendahnya kepastian hukum hak atas tanah, memerlukan identifikasi lebih lanjut sekaligus klarifikasi atas informasi spasial yang berbeda-beda. Sasaran kegiatan dimaksud meliputi penyusunan informasi spasial pada wilayah nasional daratan bukan hutan tentang:

a. Cakupan peta dasar pertanahan; b. Cakupan bidang tanah yang telah bersertipikat; c. Potensi sumber tanah obyek reforma agraria (TORA); d. Tanah yang telah diredistribusi. Sasaran yang ingin dicapai adalah disepakatinya informasi spasial di atas sehingga

dapat digunakan sebagai dasar perencanaan rinci dan juga instrumen dasar monitoring-evaluasi kegiatan reforma agraria nasional.

2.2. Penyusunan Rencana Intervensi Kebijakan

Rencana intervensi kebijakan yang terdapat pada draf Kebijakan Pertanahan Nasional sebagian merupakan perubahan kebijakan dasar dan sebagian lagi merupakan kebijakan baru yang belum pernah dilakukan di Indonesia. Dengan demikian rencana tersebut memerlukan elaborasi identifikasi kebutuhan persiapan penyusunan kebijakan, meliputi:

Perubahan kebijakan publikasi tanah dari Stelsel Negatif menjadi Stelsel Positif; Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform; Pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan; Pembentukan Bank Tanah; Kebijakan Perbaikan Proporsi Sumber Daya Manusia (SDM) Bidang Pertanahan;

Page 9: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

4

Sasaran yang ingin dicapai adalah tersusunnya rencana tindak rinci meliputi persiapan-persiapan yang perlu dilakukan pada lima tahun pertama ke depan.

Page 10: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

5

BAB 3 RUANG LINGKUP

KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL

Reforma agraria secara menyeluruh merupakan upaya perbaikan sistem pengelolaan pertanahan nasional. Perbaikan tersebut memerlukan koordinasi antara Kementerian Lembaga (K/L) terkait baik di tingkat pusat maupun daerah. Berkenaan dengan fungsi koordinasi yang strategis dan penting dalam menyusun kebijakan pada pelaksanaan reforma agraria tersebut maka Kementerian PPN/Bappenas berinisiatif untuk membantu mengkoordinasikan, khususnya dalam konteks perumusan rencana kebijakan pada pelaksanaan reforma agraria nasional. Secara teknis, diharapkan Kementerian PPN/Bappenas dapat menyelenggarakan kegiatan fungsi koordinasi serta sinkronisasi dalam perumusan kebijakan reforma agraria nasional yang melibatkan K/L terkait, Pemerintah Daerah, dan organisasi non pemerintah. Selain itu, Kementerian PPN/Bappenas juga perlu melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan reforma agraria nasional yang sedang berjalan. Sebagai upaya untuk mencapai tujuan koordinasi strategis reforma agraria nasional, beberapa lingkup kegiatan yang diperkirakan dapat diselesaikan dalam satu tahun anggaran meliputi: o Rapat Koordinasi Kebijakan, dilakukan di tingkat Eselon I dan Eselon II untuk

mewujudkan kesepahaman antar sektor terkait dengan melakukan review terhadap berbagai kebijakan pertanahan eksisting. Hal ini bertujuan untuk menemukenali dan melakukan klarifikasi atas akar permasalahan bidang pertanahan nasional untuk selanjutnya bersama-sama membangun konsensus dalam menentukan arah kebijakan pelaksanaan reforma agraria nasional.

o Rapat Koordinasi Teknis, dilakukan di tingkat tim teknis dan kesekretariatan yang melibatkan sektor-sektor terkait dengan pelaksanaan kegiatan, baik didalam Kementerian PPN/Bappenas maupun dengan K/L dan Pemerintah Daerah. Secara khusus kegiatan ini dilakukan secara intensif bersama dengan BPN, terkait dengan sasaran penyusunan informasi spasial cakupan peta dasar pertanahan, bidang tanah yang bersertipikat, serta potensi sumber tanah obyek reforma agraria (TORA).

o Kunjungan lapangan, berupa kunjungan ke beberapa daerah yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dalam melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan reforma agraria nasional maupun dalam menyusun kebijakan dan rencana di bidang pertanahan. Instansi yang akan dikunjungi antara lain Kantor Wilayah BPN Provinsi, Kantor Pertanahan BPN Kabupaten/Kota, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) di tingkat provinsi dan Kabupaten/kota. Selain instansi pemerintah, kunjungan lapangan dapat juga dilakukan ke penerima manfaat program reforma agraria, tokoh-tokoh masyarakat. Dengan demikian diharapkan melalui kunjungan lapangan, utamanya dapat ditarik pembelajaran (lesson learned) untuk menjadi masukan dalam penyusunan rencana kebijakan.

Page 11: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

6

o Studi kebijakan nasional, dilakukan untuk menggali, melakukan analisis dan mendapatkan masukan mengenai kebijakan dan pelaksanaan RAN;

o Konsinyasi, dilakukan melalui diskusi antar sektor dalam rangka pematangan dan finalisasi konsep kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan RAN;

o Lokakarya. Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan diseminasi hasil studi kebijakan yang telah dilaksanakan oleh tim dan dibantu oleh konsultan individu. Dalam pelaksanaannya, lokakarya menghadirkan pakar yang terkait dengan kebijakan tersebut dan mengundang berbagai sektor terkait di tingkat pusat dan daerah, serta organisasi non pemerintah;

o Seminar. Kegiatan ini dilaksanakan untuk mensosialisasikan dan menginformasikan kebijakan, khususnya dalam bentuk peraturan perundangan yang terkait dengan reforma agraria nasional. Dalam pelaksanaannya, seminar juga akan menghadirkan narasumber yang kompeten dan mengundang berbagai sektor terkait, instansi pemerintah serta organisasi non pemerintah.

Page 12: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

7

BAB 4 CAPAIAN KERJA

TIM KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL TAHUN 2013

Berdasarkan hasil assessment terhadap berbagai permasalahan bidang pertanahan termasuk terjadinya kasus-kasus pertanahan diperlukan paling tidak 5 (lima) intervensi kebijakan bidang pertanahan yaitu:

1) Kebijakan sistem pendaftaran tanah stelsel positif; 2) Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform; 3) Kebijakan Pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan; 4) Kebijakan Pembentukan Bank Tanah; 5) Kebijakan Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan.

Kelima intervensi kebijakan tersebut di atas diharapkan dapat menjamin kepastian hukum hak atas tanah masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam pelaksanaannya intervensi kebijakan tersebut tidak dapat dilakukan tanpa dipenuhinya pre-requisite condition yang mendukung perubahan kebijakan tersebut. Dengan demikian perbaikan kebijakan harus dilakukan secara bertahap dan massif serta menjadi bagian dari kebijakan pengelolaan pertanahan nasional pada periode perencanaan pembangunan nasional. Selain itu perlu mendapat dukungan dari berbagai stakeholders terkait melalui Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional dan dimasukan kedalam forum-forum seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan sebagainya untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan aktual bidang pertanahan.

Pada tahun 2013, pelaksanaan kegiatan Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional tahun 2013 secara umum meliputi dua substansi yaitu intervensi kebijakan bidang pertanahan, dan koordinasi lintas sektor dan daerah. Intervensi kebijakan yang dilakukan merupakan rincian dari kelima kebijakan di atas. Sedangkan koordinasi lintas sektor dan daerah yang dilakukan meliputi: Koordinasi Sertipikasi Tanah Transmigrasi; dan koordinasi pelaksanaan Program Nasional Agraria Daerah (PRODA) di Kalimantan Timur. Bagian berikut akan dijelaskan secara rinci masing-masing capaian intervensi kebijakan dan koordinasi lintas sektor dan daerah yang dicapai sepanjang tahun anggaran 2013.

4.1. INTERVENSI KEBIJAKAN

4.1.1. Kebijakan Sistem Publikasi Tanah Stelsel Positif

Secara umum sistem publikasi tanah terdiri atas sistem publikasi negatif dan sistem publikasi positif. Sistem publikasi tanah yang dianut oleh Indonesia saat ini adalah sistem publikasi tanah negatif atau dikenal juga dengan sistem stelsel negatif. Dalam sistem stelsel negatif ini Negara tidak menjamin kebenaran informasi yang tercantum di dalam sertipikat hak atas tanah. Dengan demikian sistem ini tidak dapat menjamin kepastian hukum hak atas tanah karena masih terdapat peluang pembatalan hak atas tanah. Untuk meningkatkan

Page 13: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

8

kepastian hukum diperlukan perubahan sistem publikasi tanah nasional dari sistem publikasi negatif menuju sistem publikasi positif. Pada sistem publikasi positif setiap informasi dijamin kebenarannya oleh negara sehingga jika terjadi kesalahan informasi yang dilakukan oleh negara, negara sebagai bentuk tanggung jawabnya mengganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan.

Namun demikian perubahan menjadi sistem publikasi posisitif tidak dapat dilakukan saat ini mengingat ketersediaan cakupan peta dasar pertanahan baru mencapai 13,31% dari luas wilayah nasional di luar kawasan hutan dan cakupan bidang tanah yang bersertipikat baru mencapai 47% dari total jumlah bidang tanah yang berjumlah sekitar 87 juta bidang. Jumlah cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan wilayah yang bersertifikat letaknya pun tidak diketahui dengan pasti. Kondisi ini memungkinkan terjadinya kesalahan informasi dalam publikasi menjadi amat besar sehingga diperkirakan kemampuan finansial APBN belum mampu menanggung beban potensi ganti rugi apabila terjadi kesalahan dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah.

Perubahan sistem publikasi stelsel positif diperkirakan dapat dilakukan apabila ketersedian cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan wilayah yang bersertifikat telah mencapai 80% dari luas wilayah Indonesia. Dengan demikian diperlukan upaya untuk menyusun rencana identifikasi sebaran lokasi ketersediaan peta pertanahan dan cakupan wilayah yang telah bersertifikat. Bebeberapa langkah yang diperlukan untuk mencapai pre-requisite condition perubahan sistem pendaftaran tanah menjadi stelsel positif meliputi: (i) Percepatan Sertipikasi Tanah; dan (ii) Percepatan Penyediaan Peta Dasar Pertanahan.

Selain itu, konsekuensi logis penjaminan kebenaran informasi batas bidang tanah, maka perlu juga dilakukan upaya memastikan batas hutan dan non hutan. Publikasi batas kawasan hutan dan non hutan harus terdaftar (teregistrasi) dan terukur pada skala rinci yang sama pada setiap bidang (persil) yang berkaitan. Hal tersebut berimplikasi kepada diperlukannya pengukuran batas kawasan hutan dan non hutan pada skala yang sama untuk dapat memberikan kepastian hukum hak atas bidang tanah yang berbatasan dengan kawasan hutan.

A. Rencana

Berdasarkan uraian di atas terkait perubahan sistem pendaftaran tanah menuju stelsel positif, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria pada tahun anggaran 2013 telah merancang beberapa target kegiatan sebagai berikut: (i) Teridentifikasinya informasi spasial peta dasar pertanahan; (ii) Teridentifikasinya informasi spasial peta cakupan wilayah bersertipikat; (iii) Penyusunan draf TOR background study pilot project publikasi tata batas kawasan

hutan dan non hutan; (iv) Tercapainya kesepakatan draf TOR background study pilot project publikasi tata

batas kawasan hutan dan non hutan.

Page 14: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

9

B. Capaian Tahun 2013

Pelaksanaan kegiatan koordinasi yang telah dilakukan selama satu tahun menghasilkan beberapa pencapaian sebagai berikut:

(i) Informasi spasial peta dasar pertanahan Informasi spasial peta dasar pertanahan diperlukan untuk mengidentifikasi cakupan wilayah nasional yang telah memiliki peta dasar pertanahan. Total luas wilayah nasional diperkirakan mencapai sekitar 191,09 juta hektar. Dari jumlah luasan tersebut, data citra satelit yang telah tersedia mencapai 102,51 juta hetar (53,64%), sedangkan sisanya belum tersedia data cita satelit. Kemudian dari data citra satelit yang tersedia dan telah diolah menjadi Peta Dasar Pertanahan serta tersedia dengan format digital dengan cakupan seluruh wilayah nasional sampai dengan Bulan November 2013 adalah sekitar 25,44 juta Ha atau sekitar 13,31% dari total luas wilayah nasional secara keseluruhan (191,09 juta hektar). BPN melalui Direktorat Pemetaan Dasar telah menyusun peta dasar pertanahan tersebut pada 3 (tiga) besaran skala berbeda, yakni sekitar 19 Juta ha dipetakan pada peta skala 1:10.000, sekitar 4 Juta hektar pada peta skala 1:2.500, dan sekitar 2 Juta hektar pada skala 1:1.000. Data tersebut mencakup wilayah kabupaten/kota di seluruh Indonesia sedangkan 77,07 juta hektar sisanya belum diolah menjadi peta dasar pertanahan. Namun dari jumlah tersebut yang kemungkinan dapat diolah menjadi peta dasar pertanahan hanya sekitar 65,09 juta hektar dan siasanya 11,98 juta hektar kemungkinan tidak dapat diolah karena tertutup awan dan teridentifikasi sebagai kawasan hutan. Secara sistematis, lingkup ketersediaan informasi mengenai peta dasar pertanahan secara nasional disajikan pada bagan berikut.

Page 15: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

10

Gambar 1. Bagan Lingkup Informasi Peta Dasar Pertanahan secara Nasional

Data ketersediaan cakupan wilayah yang telah tersedia peta dasar pertanahan tersebut telah disusun dan diverifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional (c.q. Direktorat Pemetaan Dasar) sebagai instansi yang mengolah dan bertanggung jawab atas peta dasar pertanahan pada tanggal 3 September 2013. Gambaran cakupan peta dasar pertanahan tersebut disajikan sebagai berikut.

Page 16: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

11

Data yang dipetakan: 25,437 Juta Ha (13,31%) Total Luas Wilayah Nasional: 191,093 Juta Ha

Page 17: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

12

(ii) Informasi spasial peta cakupan wilayah bersertipikat

Informasi spasial peta cakupan wilayah bersertipikat diperlukan untuk memberikan informasi cakupan wilayah nasional yang telah dilakukan penerbitan sertipikat hak atas tanah nasional. Secara keseluruhan jumlah bidang tanah di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 86 juta bidang. Dari jumlah tersebut 40-45 juta diantaranya sudah bersertipikat yang tersebar di seluruh wilayah, sedangkan sisanya 41-46 juta belum bersertipikat. Dari jumlah bidang tanah yang telah bersertipikat, 32 juta diantaranya terdata di BPN Pusat (data center), sedangkan sisanya 8-13 juta bidang data hanya tersedia di Kantor Pertanahan di seluruh Indonesia. Data yang tersedia di BPN pusat tersebut sebagian besar (sekitar 27 juta bidang) sudah terdigitasi pada sistem informasi geografis sedangkan 5 juta bidang belum terdigitasi pada sistem informasi geografis. Selanjutnya berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi Pertanahan, BPN hanya sekitar 2 juta bidang data yang terdigitasi yang memiliki referensi koordinat yang sesuai dan 25 juta bidang sisanya belum memiliki referensi koordinat yang sesuai. Adapun ketelitian data tersebut didapatkan sampai pada tingkat kabupaten/kota. Secara skematis informasi mengenai ketersedian bidang tanah bersertipikat secara nasional disajikan sebagai berikut.

Gambar 2. Bagan Lingkup Informasi Bidang Tanah Bersertipikat secara Nasional

Page 18: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

13

Data spasial ketersediaan cakupan wilayah yang bersertipikat bersumber dari Pusat Data dan Informasi Pertanahan (Pusdatin) Badan Pertanahan Nasional namun belum mendapat persetujuan dan verifikasi atas data yang disajikan. Gambaran cakupan peta wilayah yang telah bersertipikat tersebut disajikan sebagai berikut.

Page 19: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

14

(i)

Data yang dipetakan: 27 Juta Bidang (31,40%) Total Luas Wilayah Nasional: 86 Juta Bidang

Page 20: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

15

(iii) Penyusunan draft TOR background study pilot project publikasi tata batas hutan Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, diperlukan publikasi tata batas antara kawasan hutan dan non hutan untuk memberikan jaminan kepastian hak atas tanah pada seluruh wilayah nasional. Untuk itu direncanakan akan dilaksanakan pilot project publikasi tata batas kawasan hutan dan non hutan di Provinsi Bangka-Belitung dan Provinsi Bali. Pada tahun 2013, Tim Koordinasi telah menyusun draf kerangka acuan kerja (term of reference/TOR) rencana pilot project publikasi tata batas kawasan hutan dan non hutan sebagaimana terlampir. Beberapa garis besar substansi draf TOR tersebut memuat antara lain: urgensi publikasi tata batas kawasan hutan dan non hutan sebagai implikasi logis pengukuran antar bidang tanah pada skala sama pada seluruh wilayah dalam upaya perubahan menuju sistem publikasi tanah stelsel positif; ruang lingkup kegiatan yang meliputi perumusan konsep penentuan tata batas maupun instrumen publikasi tata batas kawasan hutan dengan non hutan serta rencana penyempurnaan konsep publikasi tata batas kawasan hutan. Dalam penyusunan TOR, Tim koordinasi telah mengidentifikasi beberapa calon lokasi hutan kegiatan pilot project publikasi tata batas kawasan hutan dan melakukan kunjungan lapangan pendahuluan ke Provinsi Bangka-Belitung pada 19 September 2013 dan Provinsi Bali pada 25 September 2013. Kunjungan tersebut juga bertujuan untuk melakukan koordinasi awal dengan BPN Kanwil dan Kantah setempat maupun pemerintah daerah. Adapun calon lokasi tersebut dipilih karena memenuhi 3 kriteria sebagai berikut: (1) luasan wilayah terjangkau secara aksesibilitas serta tidak terlalu luas, agar kegiatan pilot project dapat dilaksanakan dalam waktu 1 tahun; (2) corak pemanfaatan lahan disekitarnya yang tergolong beragam, untuk lebih menunjukkan bahwa kegiatan pilot project menjadi penting untuk dilakukan, serta (3) lokasi di provinsi yang tergolong kecil luas wilayahnya, agar penyelesaian pilot project (terhitung 1 provinsi) dapat dilakukan dalam kurun waktu 3-5 tahun. Lokasi yang teridentifikasi adalah Kawasan hutan Yeh-Ayeh di Provinsi Bali, Kawasan hutan Pantai Rebo dan Kawasan hutan Gunung Mangkol di Provinsi Bangka-Belitung.

(iv) Kesepakatan draft TOR background study pilot project publikasi tata batas kawasan hutan dan non hutan

Pelaksanaan pilot project publikasi tata batas kawasan hutan dan non hutan harus melibatkan Kementerian Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam upayanya untuk mendapatkan kesepahaman mengenai rencana kegiatan tersebut, telah dilakukan pertemuan bersama antara Bappenas-Kementerian Kehutanan-BPN pada 14 November 2013. Dalam pertemuan tersebut, baik Kementerian Kehutanan maupun BPN pada dasarnya menyetujui konsep publikasi tata batas kawasan hutan dan non hutan. Lokasi Pilot Project juga disepakati untuk dilakukan di 3 lokasi yaitu: 1) Hutan Yeh Ayeh (Provinsi Bali), untuk kategori review publikasi tata batas; serta

Page 21: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

16

2) Hutan Lindung Pantai Rebo (Provinsi Bangka Belitung) dan 3) Hutan Konservasi Gunung Mangkol (Provinsi Bangka Belitung) untuk kategori pemetaan sekaligus publikasi tata batas kawasan hutan dan non hutan. Namun untuk mendapatkan beberapa kesepakatan yang mengarah pada konsep secara lebih khusus maupun mekanisme operasional pelaksanaan sebagaimana diharapkan, disusun TOR background study. Namun, masih dibutuhkan diskusi pembahasan terhadap mekanisme penentuan tata batas yang saat ini digunakan baik oleh Kementerian Kehutanan dan BPN untuk kemudian secara bersama-sama dapat menemukenali pokok-pokok permasalahan dalam pelaksanaan tata batas kawasan hutan dan non hutan.

4.1.2. Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform

Kebijakan Redistribusi Tanah dan access reform bertujuan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T). Pelaksanaan reforma agraria tersebut merupakan amanat dari UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Selain itu juga sebagaimana dimuat dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam adalah melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan. Ini berarti kegiatan Reforma Agraria melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) telah menjadi komitmen Pemerintah Republik Indonesia dalam upaya memperbaiki permasalahan utama pada ketimpangan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T). Secara umum Reforma Agraria yang dilaksanakan oleh BPN saat ini memiliki tujuan antara lain: a. Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah ke arah yang lebih adil; b. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; c. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah; d. Mengurangi kemiskinan; e. Menciptakan lapangan kerja; f. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; dan g. Menguatkan ketahanan pangan dan energi.

Namun dalam pelaksanaan Redistribusi Tanah dan access reform terdapat beberapa permasalahan seperti (1) kelangkaan sumber tanah obyek reforma agria (TORA) dimana dari jumlah 11 sumber TORA yang teridentifikasi, sebagian besar hanya tinggal berasal dari tanah kawasan hutan yang dapat dikonversi dan tanah terlantar; (2) Data subjek penerima redistribusi tanah belum tersedia dengan baik; (3) Ketentuan tentang tata cara pengaturan (delivery mechanism) pelaksanaan redistribusi tanah belum jelas secara operasional; dan (4)

Page 22: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

17

Pengukuran kadastral dan identifikasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T) yang belum mencakup seluruh wilayah nasional.

Selain itu, permasalahan lainnya adalah adanya kemungkinan pengalihan hak atas tanah yang telah diredistribusikan kepada pihak lain dikarenakan masyarakat miskin penerima tidak memiliki akses terhadap sumberdaya yang cukup untuk mengolah dan memanfaatkan tanah tersebut seperti permodalan, sarana produksi pertanian, pelatihan dan sebagainya. Sehingga pada akhirnya program redistribusi tanah sebagai bagian dari reforma agraria belum dapat meningkatkan kesejahteraan dan keadilan masyarakat sebagaimana tujuan awal dalam mensejahterakan rakyat. Pelaksanaan redistribusi tanah dan access reform harus dilakukan bersama BPN dan K/L terkait. BPN akan me-redistribusi tanah dengan menerbitkan sertipikat hak atas tanah yang dapat dijadikan sebagai agunan untuk mendapatkan sumber permodalan. Sedangkan K/L terkait akan melaksanakan pemberdayaan pasca redistribusi tanah dalam bentuk pendampingan usaha, pelatihan, pemberian modal usaha, bantuan pemasaran dan sebagainya.

A. Rencana

Terkait dengan kebijakan redistribusi tanah dan access reform Tim Koordinasi Strategis reforma Agraria Nasional pada tahun 2013 telah menyusun beberapa kegiatan dengan target sebagai berikut: (i) Teridentifkasinya Tanah Objek Landreform (TOL); (ii) Teridentifikasinya Potensi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA); (iii) Teridentifikasinya Jumlah Bidang Tanah yang telah Diredistribusi; (iv) Teridentifikasnya berbagai kegiatan institusi (K/L) yang mendukung upaya

pemberdayaan masyarakat untuk dapat dijadikan access reform; (v) Tersusunnya dan disepakatinya draf TOR background study pelaksanaan redistribusi

tanah dan access reform.

B. Capaian Tahun 2013

Pelaksanaan kegiatan koordinasi selama satu tahun menghasilkan beberapa pencapaian sebagai berikut:

(i) Tanah Objek Landreform (TOL Tahun 1961-2007)

Pelaksanaan landreform (reforma agraria) melalui program redsitribusi telah dilakukan di Indonesia semenjak tahun 1961. Secara umum program tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi kesenjangan pemilikan, penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah (P4T). Untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan landreform yang telah dilakukan selama ini, pada tahun 2013 Tim Koordinasi melakukan identifikasi terhadap tanah-tanah yang menjadi objek landreform (TOL) yang meliputi luas tanah, lokasi dan jumlah penerima manfaat. Pada tahun 2013 Tim Koordinasi telah memperoleh data Tanah Objek Landreform dari Direktorat Landreform, Badan Pertanahan Nasional sejak tahun 1961 s.d 2007 jumlah tanah yang telah diredistribusi sebanyak 2.498.340 ha yang tersebar di

Page 23: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

18

seluruh Indonesia. Namun tidak diperoleh data lokasi dari pelaksanaan redistribusi tanah tersebut. Dengan ketersediaan data dalam bentuk tabular maka identifikasi data spasial belum dilakukan. Tabel berikut merupakan data hasil inventarisasi Tanah Objek Landreform dari tahun 1961-2007.

Tabel Hasil Inventarisasi Tanah Objek Landreform Tahun 1961-2007

Tahun Luas (Ha) Rata-rata (Ha) / Tahun 1961-2004 2.398.001 54.500

2005 5.842 5.842 2006 2.346 2.346 2007 92.151 92.151

Jumlah 2.498.340 52.745

Sumber: BPN RI, 2013

(ii) Potensi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) (2008-Saat ini)

Identifikasi terhadap data potensi tanah objek reforma agraria (TORA) dilakukan berkenaan dengan rencana pelaksanaan redistribusi tanah yang akan dilakukan pada tahun berikutnya. Secara umum potensi objek TORA yang masih hanya berasal dari penertiban tanah terlantar dan konversi kawasan hutan menjadi kawasan budidaya. Pada tahun 2013, Tim Koordinasi hanya memperoleh data TORA yang berasal dari penertiban tanah terlantar pada tahun 2012 dan 2013. Data dari Direktorat Landreform, BPN menunjukkan bahwa luas tanah terlantar tahun 2012 berjumlah 41.078,78 hektar, sedangkan data tahun 2013 jumlah tanah terlantar seluas 27.124,41 hektar. Dengan demikian jumlah total tanah terlantar tahun 2012 dan 2013 adalah seluas 68.203,20 hektar yang tersebar pada 11 provinsi seluruh Indonesia. Sedangkan data TORA tahun 2008 s.d 2011 tidak tersedia. Demikian halnya data jumlah konversi kawasan hutan menjadi kawasan budidaya yang dapat dijadikan TORA juga tidak tersedia. Gambaran rincian luas tanah terlantar pada masing-masing provinsi yang merupakan data potensi tanah objek reforma agraria (TORA) tahun 2012-2013 disajikan pada tabel berikut.

Page 24: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

19

Tabel Potensi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) Berdasarkan SK Penetapan Tanah Terlantar Tahun 2012-2013

Tahun No. Provinsi Jumlah SK Luas Hak (Ha) Luas Terlantar (Ha)

2012 1 Bangka Belitung 2 508,40 463,40 2 Riau 1 726,25 726,25 3 Kepulauan Riau 1 2.787,15 2.787,15 4 Lampung 2 636,08 560,28 5 Banten 4 302,04 302,04 6 Kalimantan Timur 3 7.248,18 7.236,18 7 Kalimantan Selatan 2 141,40 141,40 8 Kalimantan Tengah 3 47.492,27 3.834,08 9 Sulawesi Selatan 2 23.718,00 23.712,00 10 Sulawesi Tengah 1 539,00 539,00 11 NTT 1 777,00 777,00 JUMLAH SK Th 2012 22 84.875,78 41.078,78

2013 1 Sumatera Selatan 2 7.748,24 1.338,25 2 Jambi 1 11.419,20 5.352,80 3 Bangka Belitung 4 20.854,59 4.869,00 4 Jawa Tengah 1 89,84 82,44 5 Jawa Timur 45 160,96 159,96 6 Kalimantan Barat 3 4.852,33 2.771,86 7 Kalimantan Tengah 10 104.932,40 10.457,58 8 Sulawesi Barat 2 1.594,30 226,53 9 Sulawesi Selatan 1 805,06 805,06 10 NTT 3 1.060,90 1.060,90 JUMLAH SK Th 2013 72 153.517,86 27.124,41

JUMLAH TOTAL 94 238.393,65 68.203,20

Sumber: BPN RI, 2013

Data yang tersedia masih dalam bentuk tabular, sehingga data lokasi sebaran tanah tersebut belum dapat diketahui secara pasti dikarenakan data yang tersedia tidak dalam data spasial (GIS). Kedepan perlu koordinasi lebih lanjut bersama BPN untuk mengidentifikasi letak tanah TORA secara lebih jelas untuk memudahkan pelaksanaan program access reform.

(iii) Tanah yang telah Diredistribusi

Identifikasi terhadap tanah yang telah diredistribusi diperlukan untuk mengetahui lokasi pelaksanaan program tersebut selama ini. Data tersebut akan menjadi basis data K/L yang akan melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat yang telah

Page 25: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

20

menerima redistribusi tanah. Dalam pelaksanaannya diharapkan K/L dapat memberikan pendampingan pada lokasi (daerah) dimana masyarakat telah menerima sertifikat hak atas tanah. Pada tahun 2013 Tim Koordinasi telah memperoleh data luas tanah yang telah diredistribusi pada tahun 1961 s.d. 2012 adalah 2.177.550 hektar dengan jumlah penerima sebanyak 2.339.626 kepala keluarga (KK). Dengan demikian rata-rata setiap kepala keluarga mendapatkan tanah redistribusi seluas 0.93 hektar. Tabel berikut menjelaskan jumlah tanah yang telah diredistribusikan dan jumlah kepala keluarga penerima manfaat. Namun demikian data yang diperoleh Tim Koordinasi sampai saat ini hanya dalam bentuk tabulasi dan tidak tersedia data spasial. Kedepan perlu dilakukan koordinasi lebih lanjut untuk memperoleh data lokasi pelaksanaan redistribusi tanah secara spasial.

Tabel Jumlah Tanah Yang Telah Diredistribusi dan Jumlah Penerimanya (KK) Pada Tahun 1961-2012

Tahun Luas (Ha)

Jumlah Penerima (KK)

1961-2004 1.153.685 1.504.572 2005 5.560 6.510 2006 7.527 4.924 2007 91.969 78.311 2008 284.087 220.212 2009 176.198 169.110 2010 150.499 152.538 2011 181.429 111.762 2012 126.662 91.687

Jumlah 2.177.550 2.339.626

Sumber: BPN RI, 2013

(iv) Kegiatan institusi yang mendukung upaya pemberdayaan masyarakat untuk dapat dijadikan access reform

Identifikasi program dan kegiatan K/L dan Pemda yang mendukung pemberdayaan masyarakat diperlukan untuk mengidentifikasi K/L dan Pemda berikut program dan kegiatan yang dapat dijadikan sebagai access reform pasca pelaksanaan redistribusi tanah. Langkah awal yang dilakukan Tim Koordinasi pada tahun 2013 adalah melakukan identifikasi kegiatan institusi yang dapat mendukung kegiatan access reform menggunakan data Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang kemudian dilanjutkan dengan berkoordinasi dengan K/L terkait, Pemda dan Direktorat mitra K/L di Bappenas. Beberapa indikator yang digunakan dalam proses identifikasi program K/L yang dapat mendukung kegiatan access reform diantaranya: 1. Memberikan dampak langsung kepada masyarakat; 2. Merupakan program yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan; 3. Merupakan program yang mendukung kegiatan pemanfaatan lahan.

Page 26: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

21

Berdasarkan indikator tersebut, dapat dilakukan identifikasi terhadap kegiatan beberapa K/L yang dapat mendukung pelaksanaan access reform, yaitu meliputi lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Kementerian Perumahan Rakyat. Kegiatan-kegiatan K/L yang dipilih baru terbatas pada kegiatan yang dilakukan di Provinsi Bangka Belitung dan Jawa Tengah, karena kegiatan Pilot Project pada tahun 2014 hanya akan dilakukan di 2 provinsi tersebut. Provinsi Bangka Belitung dipilih karena terdapat program Pemda yang juga diperkirakan akan dapat diintegrasikan dengan access reform, yaitu program “Satam Emas”, dengan beberapa jenis kegiatan seperti revitalisasi lada, revitalisasi rumput laut, bedah rumah dan sebagainya. Adapun Provinsi Jawa Tengah dipilih karena sebelumnya di lokasi tersebut telah dilakukan beberapa kegiatan BPN Kanwil maupun Pemda yang teridentifikasi sebagai access reform, sehingga diharapkan pelaksanaan Pilot Project nantinya akan mendapat dukungan kemudahan dari BPN Kanwil serta Pemda. Kegiatan-kegiatan K/L yang teridentifikasi tersebut yaitu antara lain:

o Kementerian Kelautan dan Perikanan Program dan kegiatan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang terkait pemberdayaan, meliputi: 1. Pengembangan usaha penangkapan ikan dan pemberdayaan nelayan skala

kecil; 2. Pengembangan sistem usaha pembudidayaan ikan; 3. Fasilitasi pembinaan dan pengembangan sistem usaha dan investasi

perikanan; 4. Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pengembangan usaha; 5. Pengawalan dan penerapan teknologi terapan adaptif perikanan budidaya; 6. Penyuluhan kelautan dan perikanan; 7. Pelatihan kelautan dan perikanan.

o Kementerian Koperasi dan UKM Program dan kegiatan Kementerian Koperasi dan UKM yang terkait pemberdayaan, meliputi: 1. Peningkatan dan perluasan akses permodalan bagi koperasi, usaha mikro,

kecil, dan menengah; 2. Pemasyarakatan dan pengembangan kewirausahaan; 3. Revitalisasi sistem pendidikan, pelatihan dan penyuluhan perkoperasian; 4. Perluasan KUR; 5. Peningkatan produktivitas dan mutu KUMKM; 6. Revitalisasi dan pengembangan lembaga pendidikan dan pelatihan KUMKM; 7. Pengembangan Koperasi dan UMKM; 8. Peningkatan kualitas ketatalaksanaan UMKM.

Page 27: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

22

o Kementerian Pertanian Program dan kegiatan Kementerian Pertanian yang terkait pemberdayaan, meliputi: 1. Pelayanan pembiayaan pertanian, pengembangan usaha agribisnis

perdesaan (PUAP) (Prioritas nasional dan bidang); 2. Perluasan areal dan pengelolaan lahan pertanian; 3. Pengelolaan air irigasi untuk pertanian; 4. Penanganan pasca panen tanaman pangan; 5. Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu produk tanaman buah

berkelanjutan; 6. Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu produk tanaman sayuran dan

tanaman obat berkelanjutan; 7. Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu produk tanaman semusim; 8. Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu produk tanaman rempah dan

penyegar; 9. Peningkatan produksi ternak dengan pendayagunaan sumber daya lokal; 10. Peningkatan produksi pakan ternak dengan pendayagunaan sumber daya

lokal; 11. Peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman tahunan; 12. Peningkatan kuantitas dan kualitas benih dan bibit dengan mengoptimalkan

sumber daya lokal; 13. Pengembangan sistem distribusi dan stabilitas harga pangan.

o Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Program dan kegiatan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang terkait pemberdayaan, meliputi: 1. Pengembangan sarana dan prasarana kawasan transmigrasi; 2. Pengembangan usaha di kawasan transmigrasi.

(v) Penyusunan dan penyepakatan draft TOR background study pelaksanaan redistribusi tanah dan access reform

Dalam mendukung pelaksanaan kegiatan access reform yang didahului pilot project pada tahun 2014 di Provinsi Bangka Belitung dan Jawa Tengah, Tim Koordinasi telah menyusun draf TOR background study pelaksanaan redistribusi tanah dan access reform. Pembelajaran dari pelaksanaan redistribusi tanah dan access reform pada tahun 2014 akan dijadikan masukan dalam penyusunan pedoman umum pelaksanaan kebijakan dimasa mendatang. Secara umum TOR background study pelaksanaan redistribusi dan access reform meliputi rencana kegiatan penyusunan background study mengenai redistribusi tanah dan access reform yang akan dilaksanakan pada tahun anggaran 2014, serta tujuan dan sasaran kegiatan. TOR background study yang telah disusun dan disepakati oleh anggota Tim Koordinasi Reforma Agraria Nasional pada saat dilakukan konsinyering tim koordinasi strategis

Page 28: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

23

reforma agraria nasional pada tanggal 2 Agustus 2013 di Swissbell-Hotel Kemang, Jakarta.

4.1.3. Kebijakan Pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan

Secara nasional kasus pertanahan merupakan salah satu kasus dengan jumlah terbanyak yang masuk kedalam pengadilan. Data beberapa tahun terakhir menunjukkan persentase akumulasi perkara bidang pertanahan yang diajukan ke Mahkamah Agung diperkirakan berkisar antara 65% hingga 70% dari keseluruhan perkara yang ditangani setiap tahunnya. Berbagai pihak yang bersengketa adalah antar masyarakat, masyarakat dengan badan hukum, masyarakat dengan pemerintah, antar badan hukum, maupun antar pemerintah. Penyelesaian sengketa atau permasalahan terkait bidang pertanahan di Indonesia dapat melalui beberapa jalur pengadilan yaitu: Pengadilan Umum, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Agama. Dalam prakteknya, ketiga pengadilan tersebut dapat melakukan acara peradilan pada kasus yang sama dengan hasil keputusan yang berbeda-beda, sehingga proses peradilan didalamnya membutuhkan waktu lebih panjang serta tidak terdapat kepastian hukum bagi penyelesaian kasus pertanahan. Dalam hal terjadi perbedaan keputusan di lapangan sangat sulit untuk melaksanakan keputusan pengadilan tersebut. Selain itu, keputusan pada tingkat pertama dapat dilakukan banding pada tingkat Mahkamah Agung sehingga waktu yang diperlukan penanganan kasus sangat lama dan berlarut-larut. Permasalahannya semakin bertambah karena sebagian besar hakim yang mengadili perkara pertanahan tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai hukum agraria. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian atas hukum tanah yang berlaku.

Untuk itu maka perlu dilakukan upaya-upaya mendasar di sektor kebijakan penyelesaian permasalahan pertanahan pada acara peradilan dengan memperhatikan praktek selama ini. Secara logis seharusnya Indonesia memiliki pengadilan khusus pertanahan yang paling tidak meliputi: (i) pelibatan hakim khusus yang menguasai permasalahan teknis pertanahan; (ii) pembatasan jenis pengadilan bagi penyelesaian kasus pertanahan; serta (iii) pembatasan banding yang boleh dilakukan.

A. Rencana

Berkenaan dengan kebijakan pembentukan pengadilan khusus pertanahan, khusus pada tahun 2013 Tim Koordinasi telah menyusun beberapa kegiatan dengan target sebagai berikut: (i) Penyusunan draft TOR background study pembentukan pengadilan khusus

pertanahan (ii) Tercapainya kesepakatan draft TOR background study pembentukan pengadilan

khusus pertanahan

B. Capaian Tahun 2013

Pelaksanaan kegiatan koordinasi selama satu tahun menghasilkan beberapa pencapaian sebagai berikut:

Page 29: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

24

(i) Penyusunan draft TOR background study pembentukan pengadilan khusus pertanahan

Draf TOR yang telah disusun sebagaimana terlampir secara umum meliputi: Latar Belakang; Tujuan dan Sasaran; Manfaat Studi; Ruang Lingkup Kegiatan; Metodologi; Output Kegiatan; Pelaksana Kegiatan; Kebutuhan Tenaga Ahli; serta Jadwal Pelaksanaan Kegiatan. Secara garis besar, substansi draf TOR berisikan: review pelaksanaan peradilan dari kasus-kasus pertanahan; ruang lingkup kegiatan yang meliputi kajian peraturan perundangan, studi kebijakan peradilan, serta identifikasi sumber daya manusia pengadilan khusus pertanahan.

(ii) Tercapainya kesepakatan draft TOR background study pembentukan pengadilan khusus pertanahan

Kesepakatan draf TOR didapat pada rapat koordinasi tanggal 2 Agustus 2013 dengan beberapa catatan masukan mengenai gambaran awal tata cara penyelenggaraan peradilan serta penggunaan sejumlah istilah bidang hukum. Terkait dengan rencana pembentukan pengadilan khusus pertanahan tersebut perlu dilakukan koordinasi intensif dengan pihak peradilan, Kementerian Hukum dan HAM, Mahkamah Agung, maupun dengan Direktorat yang membidangi masalah hukum di Bappenas.

Adapun berdasarkan sejumlah literatur, secara umum beberapa temuan awal terkait pembentukan pengadilan khusus pertanahan di Indonesia memiiki beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu meliputi:

Susunan Pengadilan Susunan Pengadilan Pertanahan pada pengadilan negeri terdiri atas pimpinan, hakim, dan panitera. Pimpinan Pengadilan Pertanahan terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua. Ketua dan wakil ketua pengadilan negeri karena jabatannya menjadi ketua dan wakil ketua Pengadilan Pertanahan Ketua bertanggung jawab atas administrasi dan pelaksanaan Pengadilan Pertanahan. Dalam hal tertentu ketua dapat mendelegasikan penyelenggaraan administrasi kepada wakil ketua.

Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pertanahan, hakim pada Pengadilan Pertanahan terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc.

Kepaniteraan Pada setiap pengadilan negeri yang telah ada Pengadilan Pertanahan dibentuk kepaniteraan Pengadilan Pertanahan yang dipimpin oleh seorang panitera muda. Dalam melaksanakan tugasnya, panitera muda dibantu oleh beberapa orang panitera pengganti. Kepaniteraan mempunyai tugas: a. menyelenggarakan administrasi Pengadilan Pertanahan; dan b. membuat daftar semua perkara yang diterima dalam buku perkara. Buku perkara

paling sedikit memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak, dan jenis perkara.

Page 30: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

25

Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan sidang, penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan. Untuk pertama kali panitera muda dan panitera pengganti Pengadilan Pertanahan diangkat dari pegawai negeri sipil dari instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pertanahan.

Hakim Ad-Hoc Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad-hoc pada Pengadilan Pertanahan dan hakim ad-hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia; b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun; e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter; f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; g. berpendidikan paling rendah sarjana di bidang hukum atau pertanahan; dan h. berpengalaman di bidang pertanahan paling singkat 5 (lima) tahun.

Hakim ad-hoc Pengadilan pertanahan diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Calon hakim ad-hoc diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan HAM. Ketua Mahkamah Agung juga dapat mengusulkan pemberhentian hakim ad-hoc pertanahan kepada Presiden. Selama memegang jabatan, Hakim ad-hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai : a. anggota lembaga negara; b. kepala daerah/kepala wilayah; c. lembaga legislatif; d. pegawai negeri sipil; e. anggota TNI/Polri; f. anggota partai politik; g. advokat.

Pengawasan Ketua pengadilan negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas hakim, hakim ad-hoc, panitera muda, dan panitera pengganti Pengadilan Pertanahan pada pengadilan negeri sesuai dengan kewenangannya. Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas hakim kasasi, panitera muda, dan panitera pengganti Pengadilan Pertanahan pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya. Dalam melakukan pengawasan ketua pengadilan negeri dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada hakim dan hakim ad-hoc. Dalam melakukan pengawasan ketua Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada hakim kasasi. Petunjuk dan tidak boleh mengurangi kebebasan hakim, hakim ad-hoc dan hakim kasasi Pengadilan Pertanahan dalam memeriksa dan memutus perselisihan.

Page 31: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

26

4.1.4. Kebijakan Pembentukan Bank Tanah

Seiring dengan semakin meningkatnya intensitas pelaksanaan pembangunan, maka semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan (tanah) untuk pembangunan. Namun di sisi lain dipahami bahwa ketersediaan tanah semakin terbatas. Hal tersebut menuntut dilakukannya optimalisasi pemanfaatan dan penggunaan tanah khususnya bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh negara. Beberapa fakta menunjukkan bahwa telah terjadi penguasaan tanah oleh badan usaha swasta dalam skala luas untuk dimanfaatkan pada waktu yang akan datang. Kondisi seperti ini menyebabkan pihak pemerintah mengalami kesulitan dalam melakukan proses pembebasan lahan terutama terkait eksekusi pembebasan penguasaan lahan dan pembiayaannya yang menjadi sangat mahal. Praktik pencadangan tanah oleh badan usaha swasta ini sebenarnya merupakan praktek spekulasi dan menurut peraturan perundangan termasuk dalam kategori penelantaran tanah, serta dapat dikatakan tidak diusahakan untuk mendorong pembangunan ekonomi tetapi cenderung dimanfaatkan sebagai objek spekulasi dan investasi oleh beberapa pihak tertentu.

UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dimana negara diberi kewenangan untuk melepaskan hak penduduk atas bidang tanah yang diperlukan untuk pembangunan bagi kepentingan umum, dengan syarat kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah. Berdasarkan gambaran di atas maka diperlukan adanya kebijakan pembentukan bank tanah. Bank Tanah diharapkan agar tanah yang diperlukan dalam pembangunan untuk kepentingan umum tersedia dengan harga yang terjangkau. Oleh sebab itu, konsep Bank Tanah selanjutnya dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai badan hukum yang mewakili negara dalam melakukan pencadangan tanah bagi keperluan negara dengan tanpa mengambil keuntungan dalam proses pencadangan tanah tersebut.

Berdasarkan temuan awal dari sejumlah literatur, bank tanah sendiri pada pelaksanaannya akan sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang terkait dengan manajemen kelembagaan serta regulasi yang menaunginya. Secara umum beberapa temuan awal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

Manajemen Bank Tanah Akuisisi tanah publik yang dilakukan bank tanah diadakan untuk penggunaan masa

depan dan dalam rangka menerapkan kebijakan tanah publik.1 Bank tanah mengacu pada proses akuisisi tanah masyarakat yang belum dikembangkan atau tidak produktif untuk tujuan pengembangan di masa mendatang.2 Efektifitas penerapan konsep bank tanah sangat tergantung pada regulasi yang mengaturnya, kelembagaan, dukungan pendanaan,

1 Van Dijk, T. and D Kopeva, Land Banking And Central Europe: Future Relevance Current Initiatives, Western

European Past Experience, Land Use Policy, 23, 3, 286-301, 2006, hlm. 290 2 Frank S. Alexander, Land Banking As Metropolitan Policy, Brookings Intitution Metropolitan Policy Program, 2008

Page 32: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

27

dan bagaimana kegiatan bank tanah itu dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen modern.

Manajemen bank tanah berhubungan dengan bagaimana perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan serta pengawasan terhadap kegiatan bank tanah dalam mewujudkan tujuan bank tanah. Didukung oleh regulasi yang memadai dan kelembagaan yang kuat, manajemen bank tanah pada akhirnya bisa mewujudkan enam fungsi bank tanah, yaitu penghimpun tanah (land keeper); sebagai pengaman tanah (land warrantee); sebagai pengendali penguasaan tanah (land purchase); sebagai pengelola tanah (land management); sebagai penilai tanah (land appraisal); dan sebagai penyalur tanah (land distributor). Kegiatan bank tanah secara konseptual harus memuat kebijakan dan strategi optimalisasi pemanfaatan dan penggunaan tanah.

Regulasi Bank Tanah Regulasi bank tanah seyogyanya mengakomodasi aspek-aspek hukum berikut, yakni:

1. Bank tanah harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kemakmuran rakyat;

2. Bank tanah harus berkontribusi nyata dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan melalui pendistribusian tanah;

3. Bank tanah harus berkontribusi dalam menyediakan tanah secara fisik dan administrasi guna menjamin keberlanjutan pembangunan dengan kebijakan alokasi tanah, baik untuk kegiatan sosial maupun untuk kegiatan komersial; dan

4. Bank tanah harus mampu menyempurnakan sistem pengendalian atas nilai-nilai tanah sehingga dapat terjangkau oleh kemampuan seluruh lapisan masyarakat.

Dalam rangka mengakomodasi aspek-aspek hukum tersebut, maka pembuat regulasi perlu memperhatikan struktur regulasi dan pelibatan pemangku kepentingan dalam membuat regulasi bank tanah.

1. Struktur Regulasi : regulasi berbentuk undang-undang, keputusan penerapan bank tanah memilki kekuatan hukum yang mengikat. Secara materiil, substansi regulasi bank tanah harus mengatur beberapa aspek penting seperti tujuan dan asas, kewenangan, mekanisme penyediaan-pematangan-pendistribusian tanah, kelembagaan, pelaku atau penyelenggara, sumber pembiayaan, pelibatan para pihak (swasta atau masyarakat) a. Tujuan dan asas : Bank tanah publik, baik jenis bank tanah umum maupun

khusus/proyek, harus mempublikasikan tujuan pembentukannya untuk kepentingan umum. Dalam hal ini, regulasi mengharuskan tanah-tanah milik bank tanah umum ditujukan pada pemanfaatan tanah yang bersifat umum dimasa depan. Bank tanah khusus publik harus menjelaskan kepada publik tujuan/proyek yang akan dibangun diatas tanah yang dimiliki atau diakuisisi. Sedangkan bank tanah swasta harus dibatasi tujuan akuisisi dan sasaran pendistribusian tanah.

Page 33: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

28

b. Kewenangan Bank Tanah : kewenangan bank tanah harus diatur karena pada bank tanah juga melekat tanggungjawab yang besar menyangkut kepentingan masyarakat banyak. Karena itu, regulasi dan kontrol pemerintah memegang peran penuh dalam setiap proses kegiatan bank tanah. Dalam hal ini, lembaga yang bertanggungjawab mengawasi perusahaan bank tanah publik maupun swasta ialah BPN sebagai pelaksana pemerintah di bidang pertanahan. Beberapa pembatasan yang eprlu diatur diantaranya sumber-sumber tanah bank tanah, mengenai luas tanah, waktu pemakaian atau sewa / kontrak (HGU, IUP, HGB), kepatuhan pada tata ruang dan tujuan bank tanah. Bank tanah swasta, misalnya, harus ada pembatasan yang jelas tentang tujuan akuisisi tananh dan luas maksimum pencadangan tanah agar tidak terjadi ketimpangan penguasaan tanah dan meredam praktek spekulasi

c. Pelaku Bank Tanah : Pelaku bank tanah bisa berbentuk bank tanah publik umum, bank tanah publik khusus, dan bank tanah swasta. Bank tanah swasta umumnya menjadi unit dari perusahaan yang sudah ada. Pihak swasta yang secara khusus mau mendirikan bank tanah harus memenuhi sejumlah persyaratan yang ketat, terutama terkait tujuan bank tanah, batas maksimal luas tanah, masa sewa atau hak pakai, dan sumber pembiayaan. Selain menghindari konsentrasi kepemilikan tanah yang membatasi akses rakyat banyak ke tanah, hal itu bisa memicu spekulasi dan mafia tanah yang semakin kompleks. Khusus bank tanah asing, komposisi kepemilikan saham pihak asing harus dibatasi secara ketat, misalnya tidak boleh lebih dari 50% dan harus melakukan kerjasama minimal dengan 2 perusahaan lokal.

d. Mekanisme Akuisisi, Distribusi, dan Pembiayaan Bank Tanah : Sumber-sumber pembiayaan dimaksud antara lain dana APBN/APBD, peminjaman bank jangka panjang berbunga rendah, bantuan atau hibah, dan penerimaan pajak. Peran Pemerintah adalah menyediakan dana sebagai modal awal program bank tanah lokal dan regional untuk memperoleh dan mengelola persediaan tanah yang lebih mendorong inisiatif dan entitas bank tanah, dan menciptakan insentif untuk kolaborasi regional. Disisi lain, Negara (regulasi) harus memastikan bahwa bank tanah diberi wewenang untuk menghasilkan pendapatan seperti kontrak sewa dan menerbitkan obligasi. Kebutuhan pembiayaan spesifik akan tergantung pada persediaan bank tanah dan prioritas program.

e. Kebijakan Insentif dan Sanksi : Regulasi bank tanah juga mebdorong perngambangan bank tanah yang memenuhi ketentuan yanga da berupa mekanisme disinsentif. Bank tanah yang memenuhi ketentuan diberikan keringanan pajak barang modal, pembangunan infrastruktur dasar, atau kebijakan bunga rendah. Regulasi juga harus mengatur sanksi hukum atau administratif bagi pelaku bank tanah yang melanggar seperti (1) ketidaksesuaian antara tujuan peruntukan lahan dan pelaksanaannya (2) pembayaran pajak jual beli, pajak properti; (3) pelanggaran luas tanah maksimum; (4) pelanggaran

Page 34: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

29

rencana tata ruang wilayah / kota; (5) kewajiban mengenai amdal; ketentuan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka publik sebesar 30% dari luas lahan. Dalam kasus tertentu, pihak otoritas barhak mengambil alih tanah milik bank tanah jika dianggap melakukan pelanggaran berat.

2. Pelibatan Pemangku kepentingan Secara umum, stakeholder yang harus dilibatkan sedari awal, mencakup :3

pemerintah daerah dan masyarakat bisnis. Pemerintah daerah dilibatkan dalam rangka mendukung bank tanah dalam mengambil alih properti yang ditelantarkan. Pemerintah daerah harus memastikan kontrol terhadap peraturan penggunaan tanah lokal. Pelibatan masyarakat bisnis, termasuk para pemimpin ekonomi dan bisnis, kamar dagang dan pengembang diperlukan dalam hal melihat sisi keuntungan keuangan dan investasi bank tanah.

Khusus untuk bank tanah pemerintah, kelembagaan bank tanah dapat mengambil beberapa bentuk, yaitu: (1) bank tanah BUMN, (2) bank tanah departemen atau lembaga, (3) bank tanah BPN, (4) bank tanah BPN, (4) bank tanah pemerintah daerah, (5) bank tanah pemerintah kota, (6) bank tanah BUMD. Bentuk lembaga bank tanah yang paling ideal dikembangkan di Indonesia adlah bank tanah BUMN. Pembentukan lembaga bank tanah berupa BUMN telah dilaksanakan di sejumlah Negara seperti Singapura dan Jepang.

Keberhasilan pelaksanaan bank tanah mensyaratkan dukungan dari berbagai factor, antara lain: (1) Political Will sekaligus Political Action dari pemerintah, (2) rencana tata ruang wilayah yang tuntas, (3) Tertib administrasi pertanahan, (4) sumber daya manusia dan supporting system yang memadai, dan partisipasi masyarakat yang aktif.

A. Rencana

Terkait dengan Kebijakan Pembentukan Bank Tanah sebagai salah satu upaya perbaikan pengelolaan pertanahan nasional, pada tahun anggaran 2013 Tim Koordinasi telah melakukan beberapa kegiatan dengan target sebagai berikut: (i) Teridentifikasinya model bank tanah di negara lain; (ii) Tercapainya kesepahaman konsep awal pembentukan bank tanah.

B. Capaian Tahun 2013

Pelaksanaan kegiatan koordinasi selama satu tahun menghasilkan beberapa pencapaian sebagai berikut:

(i) Model bank tanah di negara lain

Bank tanah adalah akuisisi tanah secara sistematis terhadap tanah yang belum dikembangkan, tanah terlantar atau yang ditinggalkan kosong dan dianggap memiliki potensi untuk pengembangan tujuan Bank Tanah dari segi pemerintahan adalah untuk i) membentuk pertumbuhan regional masyarakat, ii) menata perkembangan kota, iii)

3 Alexander, F. Bank tanah Authorities. A Guide for the creation and Operation of Bank tanahs. Local Initiatives Support Corporation

Page 35: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

30

Mengurangi spekulasi tanah, iv) Menurunkan biaya perbaikan oleh masyarakat, v) Menurunkan biaya pelayanan publik akibat pola pembangunan.

Manfaat adanya Bank Tanah, antara lain sebagai berikut: i) Selalu tersedianya lahan untuk pembangunan sehingga rencana pembangunan oleh pemerintah dan swasta tidak terhambat, ii) Efisiensi kegiatan pembebasan lahan, iii) Mampu menjaga stabilitas harga tanah, iv) Mampu membantu pengembangan dan peremajaan wilayah perkotaan, v) Mampu mendukung program ketahanan pangan, vi) Mampu menyediakan perumahan bagi rakyat dan Menjamin pelaksanaan reforma agraria dan modernisasi. Secara umum Bank Tanah terdiri atas: Bank tanah publik, bank tanah swasta, dan bank tanah campuran. Berikut dijelaskan masing-masing konsep bank tanah dimaksud. A. Bank Tanah Publik

a. Bank Tanah Publik merupakan bank tanah yang penyelenggaraannya dijalankan oleh sebuah lembaga publik atau badan hukum publik.

b. Bank Tanah Publik bersifat independen dengan tugas murni bersifat layanan publik yang tanggung jawabnya sepenuhnya berada di pemerintah Bank Tanah Umum : melayani perolehan yang belum dikembangkan dan

membaginya untuk semua jenis penggunaan lahan Bank Tanah Khusus : membagi tanah yang belum dikembangkan untuk

penggunaan lahan tertentu B. Bank Tanah Swasta

a. Bank tanah swasta terbentuk apabila satu atau lenih pelaku swasta mengambil inisiatif untuk mendanai bank tanah

b. Bank tanah swasta dapat dijalankan oleh perorangan maupun perusahaan swasta C. Bank Tanah Campuran

a. Bank tanah campuran adalah bank tanah yang dijalankan secara bersama sama oleh pemerintah dan swasta.

b. Praktek Bank Tanah Campuran dilakukan terutama untuk menyiasati keterbatasan pembiayaan dalam akuisisi lahan.

c. Bank tanah campuran harus tetap berorientasi pada publik sehingga kepemilikan saham perusahaan harus didominasi pemerintah.

Kegiatan desk study terkait model bank tanah di negara lain telah dilakukan, sebagai bahan dasar dalam pembahasan yang diharapkan dapat menjadi gambaran dalam menciptakan kesepahaman suatu konsep awal pembentukan bank tanah. Berikut capaian terindikasinya model bank tanah di Negara lain.

1. Bank Tanah Di Taiwan Land Bank of Taiwan adalah bank milik negara bermarkas di Taipei, Taiwan (Republik Cina), didirikan pada tahun 1946. Bank ini dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Taiwan sebelum perampingan pada 21 Desember 1998, ketika bank dipindahkan ke yurisdiksi di Eksekutif Yuan. Land Bank of Taiwan adalah satu-satunya bank yang ditunjuk oleh pemerintah Republik Cina sebagai bank khusus

Page 36: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

31

untuk menangani kredit pertanian dan lahan. Tujuannya untuk mengembangkan pembangunan ekonomi nasional dalam koordinasi dengan implementasi di kebijakan perumahan, pertanian, dan tanah pemerintah.

Pada saat ini, Land Bank of Taiwan memiliki 5 kantor cabang bisnis di bangsa: Taipei, Hsinchu, Taichung, Tainan, dan Kaohsiung. Bank Tanah di Taiwan bertindak sebagai badan financial yang memainkan peranan penting dalam pembelian tanah-tanah dari tuan tanah dan menjualnya kembali kepada para penyewa tanah dan buruh tani.

2. Otoritas Pembangunan Delhi , India Delhi Land Bank , yang dikenal sebagai Otoritas Pembangunan Delhi (Delhi Development Authority (DDA) , adalah pemilik tanah terbesar di Delhi, India. Didirikan pada tahun 1950 untuk memastikan bahwa negara India mampu mengendalikan penggunaan lahan di kota. DDA telah mengakuisisi lahan-lahan raksasa di kota lebih dari 50 tahun. Salah satu tujuan dari DDA adalah untuk mencegah konsentrasi kepemilikan tanah oleh sedikit swasta dan melindungi kepentingan masyarakat miskin dan tidak mampu.

Efisiensi keberadaan DDA dipertanyakan oleh beberapa peneliti maupun oleh PBB (UNESCAP). Keberadaan DDA dianggap malah menaikkan harga tanah secara dramatis. Tidak ada tujuan yang khusus, memiliki proses yang rumit, tidak efisien, kurangnya arah yang jelas dalam proses akuisisi tanah. Pada tahun 1982 , hanya 44 persen dari bidang tanah didistribusikan untuk kelompok berpenghasilan rendah. Keluarga berpenghasilan rendah belum menerima akses ke perumahan yang terjangkau karena kategori pendapatan yang diperlukan untuk penjatahan diabaikan. Sebaliknya, keluarga menengah dan berpenghasilan tinggi adalah penerima perumahan sehingga melemahkan tujuan ekuitas perbankan tanah.

3. MetroVivienda, Bogota (Kolombia) The MetroVivienda adalah lembaga Bank Tanah Bogota. Didirikan untuk mengatasi masalah kurangnya perumahan yang terjangkau di kota dan mitigasi terhadap perkembangan informal pasar perumahan. Fungsi MetroVivienda adalah untuk membeli ruang terbuka di pinggiran kota untuk pembangunan perumahan. Badan ini menyiapkan bidang tanah yang besar dan menjual kepada pengembang swasta untuk membangun perumahan yang terjangkau. Badan ini secara finansial mandiri dan ditujukan untuk pembangunan perumahan murah.

The MetroVivienda melakukan pembelian tanah di pinggiran Bogota dan tidak pada lokasi yang lebih strategis pada tanah di kota. Serangkaian kritik ditujukan pada MetroVivienda meliputi :

o Perumahan yang dibuat ditujukan untuk rumah tangga berpenghasilan rendah, bukan ditujukan pada kaum miskin kota; dan

Page 37: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

32

o Tanah yang diperoleh dibagi menjadi penggunaan seperti komersial, perumahan, dengan dominasi pembangunan gedung komersil tanpa mempertimbangkan akses dan layanan publik.

4. Genesee County and City of Flint Land Bank, Michigan (USA) Pembentukan Land Bank Genesee pada tahun 2003 berusaha untuk mengubah wajah kota. Bank Tanah dengan dukungan legislasi, melakukan perubahan sistem perencanaan kota yang semula memiliki konsep aset non-performing diubah menjadi performing. Salah satu perubahan legislatif yang paling berguna adalah kewenangan yang diberikan kepada Bank Tanah untuk mempercepat pembebasan tanah.

Tanah diperoleh yang kemudian kembali digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sejak berdirinya Bank Tanah, telah mengakuisisi 3.600 bidang tanah sebesar 6% dari Kota tanah Flint, 1.004 keluarga telah dibantu saat mengalami masalah penyitaan akibat tunggakan pajak properti melalui intervensi dari Program Pencegahan penyitaan. Bank Tanah dikelola oleh organisasi perumahan non–profit. Sebuah fitur yang berbeda dari proses perbankan tanah telah menjadi kolaborasi antara negara, organisasi non-profit dan masyarakat setempat dalam menentukan bagaimana tanah akan digunakan di masa depan. Bank Tanah berusaha untuk membantu pemilik properti yang mengalami masalah keuangan dan mempertahankan kepemilikan properti. Bank Tanah membeli tanah dan pembangunan kembali sebelumnya akan dibahas dengan semua pihak terkait.

5. Urban Land Bank Program – Dallas, Texas (USA) Sebagai tanggapan terhadap prevalensi bangunan yang ditinggalkan dan terlantar di Dallas, Pemerintah Kota Dallas mendirikan Urban Land Bank Program dalam mempercepat akuisisi tanah dan bangunan. Tujuan dari Urban Land Bank Program adalah untuk mengembangkan rumah terjangkau untuk keluarga tunggal dengan mengatur penyelesaian tunggakkan pajak properti di Kota Dallas. Urban Land Bank Program diperbolehkan untuk ekspedisi dalam proses penyitaan pajak, dan penjualan kembali properti ini kepada pengembang perumahan untuk perumahan yang terjangkau.

6. Cleveland Land Bank , USA Tujuan dari Bank Tanah Cleveland ada dua yaitu: o Untuk mengatasi masalah properti kosong dan ditinggalkan di Cleveland; dan o Untuk mempercepat pembangunan kembali lingkungan.

The Cleveland Land Bank bekerja sama dengan anggota masyarakat. Bank Tanah juga penting memiliki kemampuan untuk melacak akses ke properti cepat dan mampu untuk mengatur dalam tunggakan atas tanah pajak properti. Dalam studi praktek terbaik yang dilakukan oleh Universitas Cleveland, berpendapat bahwa The Cleveland Land Bank memiliki keunikan yaitu :

Page 38: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

33

o Dapat menjual properti di bawah nilai pasar; o Dapat mempercepat proses penyitaan; o Dapat tidak mengklaim pajak properti pada property; dan o Dapat bekerja langsung dengan anggota masyarakat dan departemen

pemerintah lainnya.

7. The Philadelphia Land Bank, USA The Philadelphia Land Bank menggunakan teknologi sebagai alat perencanaan strategis dalam operasinya. Bank Tanah mengidentifikasi lahan strategis melalui proses GIS canggih dan kemudian melalui penggunaan Dukungan Model Keputusan mampu memperoleh, mengelola dan mengembangkan tanah sesuai dengan tujuan strategis jangka panjang Kota.

8. The Atlanta Land Bank Authority, USA Otoritas Bank Tanah secara struktur mirip dengan Bank Tanah lainnya di Amerika Serikat. Fokus utamanya adalah pembangunan kembali properti perumahan. The Atlanta Land Bank Authority bertemu dengan para anggota komunitas bulanan melalui forum perumahan, untuk berinteraksi dengan masyarakat setempat. Interaksi ini mengarahkan pembangunan kembali sektor properti.

Bank tanah secara struktur, komposisi dan tujuan hukum berbeda-beda di setiap Kota atau Negara. Bank Tanah diatur sesuai dengan kebutuhan dan kekhususan dari kota atau negara di mana Bank Tanah beroperasi. Bank Tanah perlu disusun untuk memenuhi kebutuhan unik dari setiap kota atau Negara. Dalam review yang dilakukan oleh Cleveland State University delapan fitur dianggap faktor yang berkontribusi paling penting untuk melihat keberhasilan Bank Tanah, meliputi :

1) Tujuan Bank Tanah harus sempit dan terfokus serta harus spesifik. 2) Keberhasilan Bank Tanah bergantung pada koordinasi antara berbagai pelaksana.

Jika ada in-efisiensi dalam otoritas, keberhasilan Bank Tanah akan terganggu. 3) Diperlukan sebuah proses peradilan dalam mengatasi permasalahan dalam proses

mendapatkan tanah. 4) Sebuah entitas independen yang didirikan diperlukan untuk mengelola distribusi

tanah. 5) Sebuah sistem informasi manajemen yang terintegrasi dengan informasi properti

secara rinci sangat dibutuhkan. 6) Tujuan perbankan tanah harus dimasukkan ke dalam perencanaan strategis kota

atau negara. 7) Prosedur Pengambilalihan harus efisien. 8) Pembiayaan diperlukan untuk menjadi efisien dan progresif.

Page 39: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

34

(ii) Kesepahaman konsep awal pembentukan bank tanah

Kesepahaman konsep awal pembentukan bank tanah akan dilakukan dalam proses pembahasan Tim Koordinasi Strategis. Berikut beberapa poin pembahasan dalam mencapai kesepahaman konsep awal pembentukan bank tanah adalah sebagai berikut: Kegiatan tahun ini difokuskan pada penggalian konsep dan ide bank tanah, rencana

strategis dan rencana aksi untuk pembentukan bank tanah diharapkan dapat menjadi bahan dan masukan untuk penyusunan RPJMN 2015-2019.

Terdapat 6 hal yang perlu disepakati dalam pembentukan bank tanah, yaitu : (i) regulasi; (ii) badan hukum; (iii) kewenangan; (iv) mekanisme kerja; (v) instansi penyelenggara; dan (vi) koordinasi dengan instansi terkait. Backgorund study RPJMN 2015-2019 yang disusun oleh BPN diharapkan dapat merumuskan kegiatan persiapan dalam rangka pembentukan bank tanah di Indonesia seperti regulasi dan mekanisme pembentukan bank tanah.

BPN membentuk tim khusus untuk menyusun background study RPJMN 2015-2019, di mana terkait dengan pembentukan bank tanah BPN hanya melempar isu tentang pentingnya pembentukan bank tanah.

Konsep pembentukan bank tanah memerlukan banyak masukan untuk disempurnakan dan perlu melakukan penggalian mengenai konsep bank tanah yang lebih mendalam.

Bank tanah dan pengadilan khusus pertanahan merupakan suatu alat yang harus disediakan dalam rangka mendukung kebijakan pendaftaran tanah stelsel positif.

Identifikasi konsep bank tanah harus memperhatikan sisi positif dan negatifnya sehingga dapat disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.

Roadmap untuk persiapan pembentukan bank tanah diperlukan untuk mengalokasikan anggaran dan pendanaan.

Bank tanah sangat diperlukan karena dengan semakin tingginya harga tanah semakin banyak kegiatan pembangunan yang terhambat.

Bank tanah di Indonesia sebaiknya bekerja sama dengan pihak swasta karena swasta banyak mempunyai tanah yang kemudian diterlantarkan.

Tanah pencabutan hak mempunyai kesamaan dengan tanah terlantar yang kemudian digunakan sebagai tanah objek reforma agraria, apabila bank tanah ingin menggunakan tanah objek reforma agraria sebagai objek bank tanah maka perlu dilakukan identifikasi prosentase jumlah tanah untuk penggunaan bank tanah dan reforma agraria.

Pembentukan bank tanah harus terikat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Akuisisi tanah untuk bank tanah melalui mekanisme jual beli membutuhkan modal

yang cukup besar sehingga akan lebih ideal apabila penyediaan tanah untuk bank tanah menggunakan tanah terlantar dan untuk mendukung mekanisme penggunaan tanah terlantar untuk bank tanah diperlukan regulasi yang tegas.

Page 40: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

35

Model bank tanah di Indonesia dapat bersifat campuran, disesuaikan dengan kondisi wilayah dan ketersediaan lahan, seperti pada kawasan perkotaan dapat diterapkan bank tanah yang bekerja sama dengan swasta karena sebagian besar tanah telah dikuasai oleh swasta, sementara untuk kawasan sub urban dan rural mekanisme bank tanah yang digunakan adalah bank tanah pemerintah karena terdapat banyak tanah yang dikuasai oleh BUMN.

Penerapan bank tanah di kawasan perkotaan dapat membantu pemerintah dalam mengontrol harga tanah, sedangkan penerapan bank tanah di kawasan rural dapat mengontrol alih fungsi lahan.

Bank tanah tidak akan menggunakan seluruh tora (tanah objek reforma agraria). Bank tanah dapat digunakan untuk memastikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) berjalan.

Beberapa hal yang berhasil disimpulkan dari kesepahaman konsep awal pembentukan bank tanah adalah sebagai berikut : (i) hasil tindak lanjut dari background study yang disusun oleh BPN adalah kegiatan background study tentang regulasi dan mekanisme pembentukan bank tanah dan roadmap; (ii) roadmap terdiri dari materi regulasi dan kelembagaan, pihak-pihak yang terkait, dan output; dan (iv) forum menyepakati usulan pembentukan bank tanah namun perlu dilakukan kajian konsep yang lebih mendalam.

4.1.5. Kebijakan Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan

Badan Pertanahan Nasional (BPN) secara umum memiliki tugas dan fungsi pokok sebagai instansi Pemerintah yang melakukan penataan dan pengelolaan bidang pertanahan di seluruh wilayah Republik Indonesia (Perpres Nomor 10 Tahun 2006 jo Perpres Nomor 85 Tahun 2012). Dalam rangka melaksanakan kebijakan pengelolaan pertanahan tersebut diperlukan dukungan sumber daya manusia bidang pertanahan sebagai pelaksana teknis pengelolaan pertanahan nasional. Selain itu sebagai instansi pusat yang memiliki Kantor Wilayah di 33 Provinsi dan Kantor Pertanahan di 458 kabupaten/kota, tentu BPN memerlukan dukungan sumber daya pertanahan yang memadai baik dari segi jumlah maupun kualitas.

Dengan memperhatikan ketersediaan/kekuatan jumlah pegawai BPN saat ini (Tahun 2012) sebesar 21.600 orang, dengan perbandingan antara juru ukur dan non juru ukur sebesar 8:92, artinya jumlah ketersediaan juru ukur hanya sekitar 8% dari total pegawai BPN. Ketersediaan juru ukur sangat penting karena merupakan ujung tombak pelaksanaan pengukuran bidang-bidang tanah di lapangan. Dengan perbandingan tersebut terlihat bahwa kekuatan SDM BPN masih jauh dari memadai untuk dapat memberikan pelayanan pertanahan nasional. Selain ketersediaan yang belum memadai, pola penyebaran SDM bidang pertanahan pun tidak merata, tercatat sebagian besar pegawai terkonsentrasi di wilayah Jawa, Bali, serta kota-kota besar lainnya di Indonesia, seperti Makasar, Medan, dll. Kebijakan penerimaan pegawai yang sedang berjalan saat ini juga belum mengarah pada

Page 41: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

36

upaya mencapai kekuatan ideal, termasuk penerimaan juru ukur. Hal ini tentu akan mempengaruhi kinerja pelayanan pertanahan kepada masyarakat.

A. Rencana

Untuk itu kegiatan yang dilakukan di tahun anggaran 2013 adalah perumusan kebijakan sumber daya manusia bidang pertanahan yang ideal bersama dengan pihak pelaksana lainnya, dengan indikator dan target sebagai berikut. (i) Teridentifikasinya kebutuhan ideal SDM bidang pertanahan; (ii) Teridentifikasinya mekanisme pemenuhan kebutuhan ideal SDM pertanahan; (iii) Konfirmasi kesepakatan kebutuhan ideal SDM bidang pertanahan.

B. Capaian Tahun 2013

Pelaksanaan kegiatan koordinasi selama satu tahun menghasilkan beberapa pencapaian sebagai berikut:

(i) Teridentifikasinya kebutuhan ideal SDM bidang pertanahan

Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada seperti proporsi eksisting antara juru ukur dan non juru ukur, rata-rata jumlah penerimaan pegawai dalam beberapa tahun terakhir, serta rata-rata jumlah pegawai purnajabatan dalam beberapa tahun terakhir, maka pada tahun ke-10 diperkirakan jumlah SDM juru ukur telah mencapai sekitar angka 10.000 dengan SDM non juru ukur yang berjumlah sekitar 15.000. Jumlah tersebut setidaknya bila diproporsikan telah mencapai angka yang tidak terlalu timpang yakni 40% : 60% berturut-turut untuk juru ukur dan non juru ukur, sehingga pada akhirnya pelayanan pertanahan diharapkan dapat dilakukan secara lebih optimal

(ii) Teridentifikasinya mekanisme pemenuhan kebutuhan ideal SDM pertanahan

Selain pertimbangan kondisi eksisting, diperlukan pula beberapa asumsi dan strategi untuk mendukung pencapaian kebutuhan ideal SDM pertanahan. Beberapa asumsi tersebut meliputi:

Diasumsikan : (i) kemampuan penerimaan PNS baru rata-rata setiap tahun adalah 1.500 orang; dan (ii) rata-rata jumlah PNS pensiun per tahun adalah 930 orang;

Jangka waktu yang digunakan adalah 10 tahun, disesuaikan dengan masa berakhirnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) pada tahun 2025

Pada 2 tahun pertama, digunakan asumsi penerapan moratorium untuk penerimaan SDM bukan juru ukur, dengan formasi penerimaan juru ukur yang mencapai 1.500 orang

Pada tahun ke 3-5, formasi penerimaan adalah 1.350 dan 150 (juru ukur dan bukan juru ukur)

Pada tahun ke 5-10, formasi penerimaan adalah 1.200 dan 300 (juru ukur dan bukan juru ukur)

Page 42: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

37

Dalam kurun waktu 10 tahun, formasi purnajabatan menggunakan asumsi data saat ini dengan total jumlah SDM yang purnajabatan sebanyak 930 setiap tahunnya (442 juru ukur dan 488 bukan juru ukur)

(iii) Konfirmasi kesepakatan kebutuhan ideal SDM bidang pertanahan

Konfirmasi kesepakatan terutama dilakukan dengan Biro Perencanaan BPN. Melalui data yang didapatkan dari Biro Perencanaan BPN (bersumber: Biro SDM BPN) mengenai proyeksi Pegawai BPN dari tahun 2013-2017, secara tidak langsung diketahui bahwa kesepahaman terhadap perbaikan proporsi juru ukur dan non juru ukur masih belum tercapai. Hal ini terlihat dari jumlah proporsi antara juru ukur dan non juru ukur yang relatif tidak berubah dari tahun 2013 sampai 2017.

4.2. KOORDINASI LINTAS SEKTOR DAERAH

Pelaksanaan koordinasi lintas sektor dan daerah merupakan upaya yang dilakukan Tim Koordinasi untuk mengatasi permasalahan pertanahan aktual yang muncul dan dianggap strategis untuk segera diselesaikan. Koordinasi ini bukan merupakan intervensi kebijakan, namun sebagai upaya sementara bersifat mengkoordinasi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Kegiatan koordinasi ini menjadi bagian dari tugas Tim Koordinasi karena melibatkan berbagai stakeholder terkait baik di pusat maupun daerah. Pada tahun 2013 koordinasi dilakukan meliputi: (i) Koordinasi sertifikasi tanah transmigrasi, dan (ii) koordinasi pelaksanaan Proda di Provinsi Kalimantan Timur. Koordinasi ini menjadi perlu dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh Tim koordinasi pada saat penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Tahun 2013 mengenai adanya kendala koordinasi yang dihadapi selama ini dalam menyelesaikan permasalahan sertifikasi tanah transmigrasi dan juga tidak berlanjutnya pelaksanaan Proda di Kalimantan Timur.

4.2.1. Sertipikasi Tanah Transmigrasi

Pelaksanaan sertifikasi tanah transmigrasi merupakan salah satu dari pelaksanaan sertifikasi tanah lintas kementerian/lembaga (K/L). Pelaksanaan sertipikasi tanah lintas K/L melibatkan beberapa instansi yaitu: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Perumahan Rakyat. Secara umum pelaksanaan kegiatan tersebut bertujuan agar pasca sertipikasi tanah, masyarakat dapat mengakses sumber-sumber permodalan, pelatihan dan pemberdayaan lainnya sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Untuk tahun 2013 ini koordinasi lintas K/L difokuskan kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Hal ini karena teridentifikasi bahwa jumlah target sertipikasi tanah transmigrasi merupakan yang paling besar dikelompok kegiatan sertpikasi tanah lintas K/L. Namun demikian persentase capaian berbanding target tercatat paling rendah.

Page 43: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

38

A. Rencana

Berdasarkan uraian di atas terkait sertipikasi tanah transmigrasi, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria pada tahun anggaran 2013 telah merancang target kegiatan sebagai berikut: (i) Disepakati penerima manfaat dan jumlah bidang tanah dengan kriteria clean and

clear untuk kegiatan sertipikasi tanah transmigrasi

B. Capaian Tahun 2013

Dalam keberjalanannya selama satu tahun pelaksanaan, penyepakatan penerima manfaat maupun jumlah bidang yang sudah clean and clear ternyata masih sulit untuk dilakukan karena terdapat beberapa pra kondisi yang harus dilakukan. Salah satu pra kondisi tersebut yaitu terkait penentuan target sertipikasi dalam satuan luasan-Ha untuk HPL (Hak Pengelolaan) dan bidang untuk HM (Hak Milik). Sehingga capaian kegiatan sampai saat ini adalah hasil identifikasi jumlah target tanah transmigrasi yang harus disertipikatkan.

Data dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2013) menyebutkan bahwa beban target yang harus diselesaikan terkait dengan sertifikasi tanah transmigrasi terdiri atas: (i) penerbitan sertipikat Hak Pengelolaan (HPL) seluas 311.291 hektar, dan (ii) jumlah sertipikat hak milik (HM) yang harus diterbitkan sebanyak 342.932 bidang. Sebelum diterbitkan sertipikat hak milik atas tanah, BPN harus terlebih dahulu menerbitkan sertipikat HPL. Dari jumlah tersebut, pada tahun 2013 pelaksanaan sertipikasi tanah transmigrasi ditargetkan untuk sertipikat HPL seluas 30.337 hektar dan sertipikat HM 14.901 bidang. Sedangkan tahun 2014 untuk sertipikat HPL ditargetkan seluas 87.016 hektar dan sertipikat HM 73.588 bidang. Dengan demikian jumlah HPL yang perlu diterbitkan sertifikatnya berjumlah sekitar 193.938 hektar. Sedangkan jumlah bidang tanah transmigrasi yang perlu diterbitkan sertifikan Hak Milik adalah 254.443 bidang. Rincian target sertipikasi tanah transmigran pada masing-masing provinsi disajikan dalam Lampiran.

Berdasarkan hasil koordinasi bersama Kemenakertrans dan BPN diketahui beberapa hal yang menyebabkan capaian pelaksanaan sertifikasi tanah transmigrasi rendah antara lain sebagai berikut: a. Ketidakakuratan data rencana sertifikasi tanah transmigrasi; b. Beberapa lokasi belum diterbitkan Hak Pengelolaan (HPL) karena SK penetapan

lokasi ada yang hilang dan tidak terdapat peta batas lokasi sehingga BPN tidak dapat diproses lebih lanjut untuk penerbitan HPL;

c. Di lapangan batas-batas lokasi transmigrasi sering tidak dapat diketahui; d. Lokasi transmigrasi belum ditetapkan oleh Bupati; e. Data spasial lokasi tidak akurat sehingga tidak diketahui dengan pasti lokasi objek

sertipikasi tanah transmigrasi.

Page 44: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

39

f. Beberapa lokasi yang sudah ditempati oleh transmigran merupakan kawasan hutan yang belum dilepaskan menjadi kawasan non hutan.

4.2.2. Program Nasional Agraria Daerah (PRODA) Provinsi Kalimantan Timur

Secara nasional, data dari Badan Pertanahan Nasional menunjukan bahwa jumlah total bidang tanah yang telah bersertipikat di Indonesia hingga tahun 2012 mencapai 42.754.257 bidang tanah atau sekitar 49,23% dari jumlah keseluruhan 86.845.839 bidang tanah yang ada di Indonesia. Salah satu program pemerintah di bidang pertanahan adalah penerbitan sertipikat tanah bagi masyarakat melalui kegiatan Program Nasional Agraria (PRONA) yang dibiayai melalui APBN, namun keterbatasan alokasi anggaran APBN menyebabkan jumlah target sertipikasi melalui PRONA masih sangat terbatas sehingga masih banyak tanah masyarakat yang belum bersertipikat. Untuk membantu percepatan pelaksanaan kegiatan sertipikasi tanah secara massal maka beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki program seperti PRONA yang dikenal dengan PRODA. Program Agraria Daerah (PRODA) merupakan program bantuan pemerintah daerah untuk warga di wilayahnya yang memiliki lahan tetapi belum memiliki sertipikat. Bantuan ini menggunakan alokasi anggaran APBD yang diperuntukan bagi mereka yang kurang mampu, atau berpenghasilan rendah. Salah satu daerah yang memiliki program tersebut adalah Provinsi Kalimantan Timur. Hal ini terungkap pada saat pelaksanaan Pramusrenbangnas tahun 2013 yang lalu.

Mengingat pentingnya kegiatan PRODA, selain dapat membantu masyarakat yang tidak mampu untuk mendapatkan sertipikat tanah tetapi juga dapat meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah maka program ini perlu dikoordinasikan dan didukung oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder). Beberapa pihak yang terlibat dalam pelaksanaan PRODA antara lain : (i) BPN Pusat; (ii) BPN Kanwil Provinsi Kalimantan Timur; (iii) Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur; (iv) BPKP Perwakilan Wilayah Kalimantan Timur, dan (v) BPN Kantah yang ada di Provinsi Kalimantan Timur. Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam pelaksanaan program tersebut adalah sulitnya melakukan koordinasi dengan Kantor Wilayah BPN (Kanwil) dan Kantor Pertanahan BPN (Kantah) yang ada di Kalimantan Timur sebagai instansi teknis yang menerbitkan sertipikat.

A. Rencana

Salah satu rencana kerja Tim Koordinasi Reforma Agraria Nasional pada tahun 2013 adalah melakukan kegiatan koordinasi Program Nasional Agraria Daerah (PRODA) di Provinsi Kalimantan Timur, dengan target capaian meliputi:

(i) Disepakatinya penerima manfaat dan jumlah bidang tanah dengan kriteria clean and clear untuk kegiatan PRODA Provinsi Kalimantan Timur.

Page 45: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

40

B. Capaian Tahun 2013

Hampir sama halnya dengan kegiatan sertipikasi tanah transmigrasi, pada pelaksanaan koordinasi, penyepakatan penerima manfaat maupun jumlah bidang yang sudah clean and clear ternyata masih sulit untuk dilakukan karena terdapat beberapa pra kondisi yang harus dipenuhi, antara lain data subyek dan obyek belum tersedia dengan baik. Pada tahun 2013, Tim Koordinasi telah melaksanakan Rapat Koordinasi Program Agraria Daerah (PRODA) pada tanggal 11 Juli 2013 dan 19 Juli 2013 bertempat di Bappeda Provinsi Kalimantan Timur. Secara umum rapat koordinasi tersebut bertujuan untuk mendapatkan informasi yang valid mengenai permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan PRODA di Kaltim. Selain itu, mendapatkan masukan dari berbagai stakeholder terkait mengenai rencana pelaksanaan PRODA kedepan. Berikut beberapa temuan yang didapatkan dalam rapat koordinasi PRODA di Kaltim diantaranya: a. Kegiatan PRODA di Provinsi Kalimantan Timur difokuskan kepada sertipikasi lahan

pertanian yang sudah dimulai sejak tahun 2011 untuk mengembangkan usaha pertanian di Provinsi Kalimantan Barat. Hingga tahun 2012 program tersebut telah dilaksanakan di 10 kabupaten, namun terhenti di tahun 2013 karena adanya beberapa hambatan/permasalahan.

b. Permasalahan umum yang terjadi dalam pelaksanaan sertipikasi tanah pertanian, yaitu : (i) keterbatasan juru ukur yang ada di kantor wilayah BPN baik di kabupaten maupun di provinsi; (ii) alokasi dana yang disediakan pemerintah kabupaten/kota tidak mencukupi untuk biaya pelaksanaan sertipikasi tanah sesuai dengan mekanisme dan peraturan yang ada di BPN; dan (iii) kriteria subyek dan objek sertifikasi tanah tidak jelas (tidak ‘clean and clear’).

c. Untuk mengatasi permasalahan di atas, telah dirumuskan beberapa kesepakatan sebagai berikut: (i) Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyepakati untuk menyediakan bantuan keuangan bagi pemerintah kabupaten/kota untuk biaya sertifikasi dan juga akan menyusun kesepakatan/MoU dengan Kanwil BPN setempat; (ii) Pemerintah Kabupaten/Kota menyanggupi dan berkomitmen melanjutkan program sertipikasi tanah pertanian. Pada tahun 2013 Gubernur Kaltim sudah menyampaikan surat kepada bupati/walikota untuk mempersiapkan kegiatan PRODA. Selanjutnya pada tahun 2014 akan dilakukan kegiatan pra-sertipikasi tanah pertanian dan proses sertipikasi tanah akan dilanjutkan pada tahun 2015; (iii) Kegiatan pra-sertifikasi tanah pertanian dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dengan mempersiapkan data subjek dan objek tanah yang ‘clean and clear’ dan juga data yudiris yang valid untuk disertipikatkan di tahun anggaran berikutnya; dan (iv) Pemerintah Kabupaten/Kota perlu berkoordinasi dengan pihak yanga terkait dengan pajak untuk menyepakati solusi bagi permasalahan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) serta biaya BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan).

Page 46: Laporan Akhir Tim Koordinasi Strategis Reformasi Agraria Nasional Tahun 2013

41

BAB 5 PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, berikut beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain: 1. Intervensi terhadap 5 kebijakan yaitu: Kebijakan perubahan sistem pendaftaran tanah

menjadi stelsel positif, kebijakan redistribusi tanah dan access reform, kebijakan pembentukan pengadilan khusus pertanahan, kebijakan pembentukan bank tanah, dan kebijakan pemenuhi SDM bidang pertanahan bersifat jangka panjang sehingga perlu terus dipantau terhadap pencapaian kegiatan untuk memenuhi target jangka panjang;

2. Data cakupan peta pertanahan dan cakupan wilayah bersertifikat masih relatif kecil, untuk mencapai target 80% dari seluruh wilayah nasional kedepan perlu ada penetapan target dan update tiap tahun.

3. Tim Koordinasi harus melakukan pemantauan pelaksanaan kegiatan yang mendukung pelaksanaan tahapan kebijakan pengelolaan pertanahan nasional dalam setiap perencanaan pembangunan.

4. Berbagai program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan K/L perlu diidentifikasi lebih lanjut sebagai access reform pasca redistribusi tanah.

5. Konsep kebijakan pembentukan pengadilan khusus pertanahan dan pembentukan bank tanah perlu dikoordinasikan dengan berbagai stakeholder terkait untuk mendapat kesepahaman dan dukungan dalam pembentukannya.