i
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN LABORATORIUM
DANA ITS 2020
Pengaruh Penambahan Surfaktan Tween 80 Pada Produksi Biolistrik Dan
Degradasi Limbah Cair Perikanan Menggunakan Teknologi Microbial Fuel
Cells Single Chamber (MFC-SC)
Tim Peneliti :
Dr.Eng. R. Darmawan, ST., MT. (Departemen Teknik Kimia/ FT - IRS)
Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M.Eng (Departemen Teknik Kimia/ FT - IRS)
DIREKTORAT RISET DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2020
Sesuai Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian No: 909/PKS/ITS/2020
i
Daftar Isi
Daftar Isi ............................................................................................................................................ i
Daftar Tabel ...................................................................................................................................... ii
Daftar Gambar ................................................................................................................................. iii
Daftar Lampiran ............................................................................................................................... iv
BAB I RINGKASAN ....................................................................................................................... 1
BAB II HASIL PENELITIAN.......................................................................................................... 2
BAB III STATUS LUARAN.......................................................................................................... 18
BAB IV PERAN MITRA (UntukPenelitian Kerjasama Antar Perguruan Tinggi) ........................ 19
BAB V KENDALA PELAKSANAAN PENELITIAN ................................................................. 20
BAB VI RENCANA TAHAPAN SELANJUTNYA ..................................................................... 21
BAB VII DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 22
BAB VIII LAMPIRAN................................................................................................................... 26
LAMPIRAN 1 Tabel Daftar Luaran ............................................................................................... 26
ii
Daftar Tabel
Tabel III.1 Tabel Status Luaran 18
iii
Daftar Gambar
Gambar II.1 Power density vs Waktu untuk setiap variable 4
Gambar II.2 Jumlah Bakteri vs Waktu untuk setiap variable 6
Gambar II.3 Jumlah Bakteri vs Waktu pada lumpur lapindo 100% 7
Gambar II.4 Presentase degradasi BOD dan COD lumpur 100 % 8
Gambar II.5 Presentase degradasi BOD dan COD lumpur : limbah cair ikan 3:1 9
Gambar II.6 Presentase degradasi BOD dan COD lumpur : limbah cair ikan 1:1 9
Gambar II.7 Presentase degradasi BOD dan COD lumpur : limbah cair ikan 1:3 9
Gambar II.8 Hubungan Power Density vs Waktu elektroda 3F 11
Gambar II.9 Hubungan Power Density vs Waktu elektroda 5F 11
Gambar II.10. Cara kerja surfaktan didalam larutan 13
Gambar II.11 Hubungan Power Density vs Waktu tanpa penambahan surfaktan 13
Gambar II.12 Hubungan Power Density vs Waktu dengan penambahan surfaktan 100 ppm 14
Gambar II.13 Skema pembentukan emulsi yang terdegradasi dari air limbah berminyak 15
Gambar II.14 Power density vs Waktu untuk setiap variable 16
Gambar II.15 BOD vs Waktu untuk setiap variable 16
iv
Daftar Lampiran
Lampiran 1 Tabel Daftar Luaran
1
BAB I RINGKASAN
Berkembangnya agroindustri hasil perikanan selain membawa dampak positif yaitu sebagai
penghasil devisa, juga memberikan dampak negatif yaitu berupa buangan limbah. Limbah cair
perikanan yang dihasilkannya mengandung bahan organik yang tinggi dengan beban mencapai 20
kg BOD/ton. Microbial Fuel Cell (MFC) menjadi alternatif yang menjanjikan karena
kemampuannya untuk mereduksi limbah organik dan menghasilkan bioelektrik. Dalam aplikasi
MFCs agar dapat menghasilkan listrik, dibutuhkan culture source sebagai sumber mikroba.
Berdasarkan kandungan total karbon organiknya sebesar 54,75 – 55,47%, maka dimungkinkan di
dalam lumpur lapindo terdapat kehidupan bakteri electricigens yang bisa dimanfaatkan sebagai
culture source dalam penghasil listrik, sehingga penelitian untuk mengetahui mikroorganisme
(bakteri) yang berperan dalam MFCs sangat penting untuk dilakukan. Selain itu, tujuan penelitian
ini adalah mengetahui pengaruh variasi penambahan limbah cair perikanan dan lumpur lapindo,
pengaruh penambahan surfaktan tween 80 pada peningkatan power density dan degradasi limbah
cair perikanan serta mengetahui pengaruh jenis carbon cloth 3F dan 5F sebagai elektroda tempat
terjadinya reaksi oksidasi reduksi sistem MFC dalam menghasilkan listrik.. Basis Chamber seberat
1 kg yang terdiri dari variasi antara lumpur lapindo (culture cource) dan limbah cair perikanan
(substrat) sebanyak 16 sampel. Elektroda diletakkan didalam chamber selama 6 minggu. Hasil
penelitian menunjukkan listrik yang dihasilkan sebesar 95,36 mW/m2 pada variabel L 1:1 5F 100.
Perbandingan lumpur lapindo dan limbah cair ikan yang memberikan listirk terbaik adalah L 1:1
5F 100, namun dalam hal mendegradasi limbah cair yang terbaik adalah L 3:1 5F 100 dengan
removal COD 94,1% dan L 3:1 5F dengan removal BOD 92,2%. Hasil lainnya menunjukan
surfaktan berpengaruh terhadap peningkatan energi listrik hingga 4 kali lipat dan elektroda carbon
cloth 5F memberikan hasil listrik yang baik dibandingkan 3F, listrik yang dihasilkan sebesar 95,36
mW/m2 pada variabel L 1:1 5F 100.
Kata Kunci: MFCs, Limbah Cair Ikan, Lumpur Lapindo, Surfaktan tween 80, Carbon cloth
modifikasi.
Kata Kunci : MFCs, Limbah Cair Ikan, Lumpur Lapindo, Surfaktan tween 80, Carbon
cloth modifikasi.
2
Ringkasan penelitian berisi latar belakang penelitian,tujuan dan tahapan metode
penelitian, luaran yang ditargetkan, kata kunci
BAB II HASIL PENELITIAN
Berikut hasil penelitian dari penelitian yang disajikan sebagai berikut:
II.1. Single Chamber Microbial Fuel Cell (SCMFC)
Microbial Fuel Cell (MFC) dalam penelitian ini Single Chamber Microbial Fuell Cell
(SCMFC), yaitu antara kompartemen anoda dan kompartemen katoda diletakkan di dalam suatu
chamber yang berbentuk tabung (bahan PET, kode segitiga 1, diameter 8 cm, dan tinggi 15 cm),
(Triyadi dan Ramadhoni, 2018) (Hermawan dan Hidayat, 2018). Substrat menggunakan yang
digunakan sebagai sumber organik pada penelitian ini adalah limbah cair industri perikanan.
Limbah cair industri perikanan diperoleh dari proses perendaman dan pencucian ikan patin PT
Dimas Rezia Perwira, yang merupakan pabrik pengolahan hasil perikanan dengan jenis kegiatan
pembekuan ikan (fillet), beralamatkan di Jalan Rungkut Industri III No.34, Kutisari, Kecamatan
Tenggilis Mejoyo, Kota Surabaya. Dari hasil analisis laboratorium, limbah cair perikanan
mengandung beban organik sebesar COD: 602,30 mg/L dan BOD5 : 281,36 mg/L (Enviromental
Laboratory Sidoarjo, 2019). Nilai ambang batas COD dan BOD5 pada limbah cair perikanan
dengan jenis kegiatan pembekuan (fillet) ditetapkan pemerintah adalah sebesar masing-masing
COD 200 mg/L dan BOD5 100 mg/L (Permen LH No. 5 Tahun 2014).
Culture source (sumber mikroba) yang digunakan adalah bakteri anaerobik di dalam lumpur
lapindo, diambil pada kedalaman 30-45 cm dibawah permukaan lumpur, dekat dengan pusat
semburan Lumpur Lapindo Sidoarjo yaitu pada koordinat 7o31’45,6”S dan 112o42’43,6”E, tepatnya
di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. (Ibrahim, dkk., 2014)
menjelaskan bahwa pemodelan MFC menggunakan lumpur aktif pada limbah cair perikanan dapat
diterapkan untuk menghasilkan biolistrik. Kandungan mikroba dalam lumpur aktif dapat digunakan
pada sistem MFC untuk menghasilkan energi listrik melalui proses penghancuran senyawa-
senyawa organik. Lumpur aktif adalah ekosistem yang komplek yang terdiri dari bakteri, protozoa,
virus, dan organisme-organisme lain. Lumpur aktif tersebut biasanya terdiri dari kombinasi bakteri
pengurai.
Basis penelitian yang digunakan adalah seberat satu kg pada masing masing chamber, yang
terdiri dari 16 chamber dengan variasi substrat sebagai sumber karbon dan lumpur lapindo sebagai
sumber bakteri. Variasi antara lumpur lapindo dan substrat yang dibuat antara lain; lumpur lapindo
100% (w/w), lumpur lapindo : substrat adalah 3:1 (w/w), 1:1 (w/w), dan 1:3 (w/w). Elektroda yang
digunakan adalah elektroda jenis carbon cloth termodifikasi ukuran 2 cm x 5 cm dengan ketebalan
3 mm (3F) dan 5 mm (5F). Elektorda carbon cloth digunakan karena memiliki konduktifitas tinggi,
luas permukaan yang besar sehingga memberikan kontak yang lebih besar pada permukaan fase,
dan pada akhirnya dapat mengurangi resistensi ohmik. Selain itu elektroda carbon cloth lebih
fleksibel dan sesuai untuk digunakan dalam berbagai sistem reaktor (Jenicek, 2015).
Modifikasi elektroda juga dilakukan dengan penambahan luas area. Dedak padi
mengandung silika yang tinggi (Agung, 2013), sehingga mampu dimanfaatkan untuk meningkatkan
3
area kontak anoda. Sebelum digunakan, elektroda carbon cloth direndam dalam larutan NaOH 1
molar dan NaCl 0,3 molar, yang bertujuan untuk menghilangkan kontaminasi logam dan bahan
organik (Arya, 2018). Setelah itu, elektroda direndam dengan menggunakan dedak padi hingga akan
digunakan.
Kompartemen anoda diletakkan 3 cm diatas dasar chamber, guna menjaga kondisi anoda
dalam keadaan anaerobik, sebagai penghubung dan transfer elektron antara kompartemen anoda
dan katoda dipasang titanium wire (ti-wire), sekali seminggu dalam 6 minggu dilakukan
pengukuran tegangan (rangkaian paralel) dan kuat arus (rangkaian seri) menggunakan multimeter
analog. Beda halnya dengan anoda, sisi katoda dalam ditempatkan di atas permukaan substrat dan
berkontak dengan udara sehingga kondisi aerobik tempat berlangsungnya reaksi reduksi.
Tahapan mekanisme kerja single chamber microbial fuel cell pada penelitian ini secara
berurutan adalah sebagai berikut.
1. Bakteri penghasil listrik (electricigens) pada lumpur lapindo melakukan metabolisme yang
melibatkan limbah cair perikanan sebagai substrat sehingga menyebabkan degradasi senyawa
organik di kompartemen anoda. Metabolisme ini berlangsung secara anaerob yang
menghasilkan elektron (e-) dan proton (H+) dengan reaksi:
C6H12O6 + 6H2O 6CO2 + 24H+ + 24e− E0 = 0,01 V (1)
2. Elektron (e-) dan proton (H+) yang telah dihasilkan akan ditransfer ke kompartemen katoda
dengan mengikuti prinsip kerja sel volta. Elektron yang terbentuk dari reaksi tersebut
terakumulasi pada elektroda (carbon cloth) di kompartemen anoda. Perbedaan potensial antara
chamber anoda dan katoda menyebabkan aliran elektron yang dapat menghasilkan power
density. Aliran elektron tersebut mengalir melalui sirkuit elektroda dan ti-wire, sedangkan
proton (H+) melewati substrat dari kompartemen anoda menuju ke kompartemen katoda.
3. Elektron (e-) dan proton (H+) bereaksi dengan oksigen (O2) untuk membentuk air dengan reaksi
sebagai berikut :
O2 +4H+ + 4e−2H2O E0 = 1,29 V (2)
Namun, salah satu hambatan utama bagi bakteri untuk mengirimkan elektron secara eksogen
ke anoda adalah bahwa sebagian besar membran dan dinding sel mikroorganisme mengandung
bahan nonkonduktif, seperti lipid atau peptidoglikan (Lovley, 2006; Wen dkk., 2011). Ada beberapa
penelitian yang melaporkan bahwa kehadiran surfaktan tween 80 menghasilkan perubahan dalam
struktur membran sel untuk membentuk saluran trans-membran, mempengaruhi membran sel
dengan mengurangi resistansi, meningkatkan permeabilitas dan degradasi substrat dan dengan
mempercepat transportasi zat (Van Hamme dkk., 2006; Singh dkk., 2007).
II.2. Hasil Penelitian Pengukuran Potensial Listrik
Berikut adalah hasil pengukuran power density setiap 1 minggu sekali dalam kurun waktu
selama 6 minggu untuk berbagai variabel:
4
Gambar II.1 Power density vs Waktu untuk setiap variabel
Keterangan Gambar II.1:
L : Lumpur
L 3:1 : Lumpur : substrat, 3:1
3F : Ketebalan elektroda carbon cloth 3 mm
5F : Ketebalan elektroda carbon cloth 5 mm
100 : Penambahan konsentrasi surfaktan 100 ppm
Dapat dilihat dari Gambar II.1 listrik yang dihasilkan secara umum mulanya rendah, hal
ini menandakan bahwasanya bakteri katalitik yang berperan dalam transfer elektron masih
beradaptasi dengan lingkungan yang baru dalam mendegradasi substrat yang ada (Logan, 2008),
kemudian mengalami kenaikan hingga minggu ke-2 dan ke-3, lalu terjadi penurunan power density
dan bersifat fluktuatif hingga mungkin pada minggu berikutnya semua kandungan organiknya telah
habis atau komunitas bakterinya yang berkurang dan menuju pada fase kematian yang
menyebabkan power densitynya terus menerus menurun. Menurut (Logan, 2006), pada sistem batch
dimana tidak ada substrat organik yang tersisa, maka produksi listrik yang dihasilkan akan menurun
karena tidak ada lagi senyawa yang dioksidasi.
Nilai tegangan listrik yang fluktuatif pada pengukuran listrik pada gambar di atas dapat
dimungkinkan karena interaksi dan kompetisi yang terjadi pada mikroorganisme di dalam lumpur
lapindo. Kefluktuatifan tersebut dapat juga dijelaskan bahwa peningkatan nilai elektrisitas yang
terukur diduga terjadi saat mikroorganisme sedang melakukan pemecahan substrat sederhana di
dalam limbah, sedangkan penurunan nilai elektrisitas dapat diduga disebabkan ketika
mikroorganisme sedang beradaptasi untuk memecah substrat yang lebih kompleks menjadi
sederhana dan juga penurunan dikarenakan sumber nutrisi (organik) didalam substrat semakin
berkurang (Ibrahim, 2014).
Dari Gambar II.1 disimpulkan bahwa power density terbesar adalah variabel L 1:1 5F 100
yaitu variabel dengan perbandingan lumpur dan limbah cair perikanan 1:1, elektroda carbon cloth
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 1 2 3 4 5 6
Pow
er D
ensi
ty (
mW
/m2 )
Waktu (Minggu)
L 3FL 5FL 3F 100L 5F 100L 3:1 3FL 3:1 5FL 3:1 3F 100L 3:1 5F 100L 1:1 3FL 1:1 5FL 1:1 3F 100L 1:1 5F 100L 1:3 3FL 1:3 5FL 1:3 3F 100L 1:3 5F 100
5
dengan ketebalan 5 mm (5F), serta penambahan konsentrasi surfaktan 100 ppm, dimana power
density yang dihasilkan adalah 95,36 mW/m2 pada minggu ke 3 pengukuran listrik. Kemudian
diikuti perbandingan lumpur (culture source) dan substrat L 3:1 5F 100 ppm yang memiliki power
density 89,55 mW/m2, bahkan L 3:1 5F 100 ppm pernah menjadi yang tertinggi pada penelitian
sebelum minggu ke 3 namun setelah itu menurun secara perlahan – lahan hingga minggu ke 6. Dari
perbandingan itu dapat disimpulkan bahwa semakin besar perbandingan jumlah subsrat yang
ditambahkan terhadap bakteri maka power density yang dihasilkan akan meningkat. Namun, apabila
jumlah substrat lebih besar sehingga perbandingan substrat sebagai sumber karbon tiga kali lebih
banyak dari pada jumlah bakteri maka listrik yang dihasilkan tidak terlalu tinggi (lihat Gambar IV.
1 variabel L 1:3), pada variabel ini hanya dapat memberikan hasil power density tertinggi sebesar
53,76 mW/m2 pada minggu ke 3 yaitu pada variabel L 1:3 5F 100 ppm, sedangkan pada variabel
lumpur lapindo saja hanya memberikan power density tertinggi sebesar 30,82 mW/m2 yaitu pada
minggu ke 3. Kemampuan MFC dalam menghasilkan listrik bergantung pada reaksi elektrokimia
yang terjadi antara substrat organik berpotensial rendah dan penerima elektron akhir yang
berpotensial tinggi, yaitu oksigen. Sedangkan reaksi elektrokimia yang terjadi sangat bergantung
pada aktivitas bakteri itu sendiri. Aktivitas bakteri sangat bergantung pada konsentrasi bakteri, pH
kompartemen anoda, substrat, pembentukan biofilm, suhu serta modifikasi elektroda itu sendiri.
Gambar II.2 menunjukkan jumlah bakteri terhadap waktu untuk semua variabel.
Perhitungan jumlah bakteri ini menggunakan metode counting chamber dengan pengenceran
sebanyak 7 x hingga 8 x dan perbesaran mikroskop 400 x, di gambar tersebut terlihat bahwa L 1:3
5F 100 (lumpur: substrat 1:3), elektroda 5F, dan penambahan konsentrasi surfaktan 100 ppm)
menunjukkan jumlah bakteri yang relatif banyak dibanding bakteri pada variabel lainnya yaitu
dengan konsentrasi 2,9 x 1014 (sel/mL). Kemudian jumlah bakteri dengan perbandingan antara
lumpur lapindo: substrat 1:1, 3:1, dan lumpur lapindo 100%. Secara umum bakteri campuran antara
lumpur lapindo dan limbah cair perikanan memiliki konsentrasi yang lebih besar apabila
perbandingan limbah cair perikanan nya lebih besar, dapat juga disimpulkan bahwa bakteri didalam
limbah cair perikanan lebih banyak dari pada bakteri didalam lumpur lapindo.
6
Gambar II.2 Jumlah Bakteri vs Waktu untuk setiap variabel
Dari pertumbuhan bakteri pada Gambar II.2 dan power density listrik pada Gambar II.1
dapat dilihat bahwa pada minggu ke 2 terdapat jumlah sel mikroorganisme yang paling tinggi.
Namun, hasil tertinggi power density yang dihasilkan terjadi pada minggu ke 3 (Gambar II.1). Hal
ini tentu tidak sesuai dengan teorinya, secara teoritis jumlah bakteri berbanding lurus dengan power
density yang dihasilkan. Ada beberapa kemungkinan kenapa hal tersebut dapat terjadi, dalam sistem
MFC pada penelitian ini, bakteri yang terhitung menggunakan teknik counting chamber tidak dapat
dibedakan antara bakteri electricigen dan non-electricigen, karena bakteri yang menempel pada
kompartemen anoda merupakan campuran kelimpahan bakteri yang terdiri dari lumpur lapindo dan
limbah cair perikanan, beda halnya apabila pada chamber digunakan suatu jenis bakteri electricigen
khusus yang ditambahkan pada fase log nya. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan
(Puspitasari dan Fartati, 2019) semakin meningkatnya konsentrasi bakteri Shewanella oneidensis
MR-1 maka semakin meningkat pula produksi listrik yang dihasilkan. Disimpulkan bahwa
konsentrasi bakteri 1011 sel/ml baik tanpa atau dengan modifikasi mampu menghasilkan profil
listrik lebih tinggi dibandingkan konsentrasi 109 sel/ml.
Kecenderungan lain yang dapat dilihat pada Gambar II.1 diatas adalah umumnya
konsentrasi bakteri pada kompartemen anoda yang dihitung meningkat hingga minggu ke 2 namun
setelah itu jumlah bakteri mengalami penurunan hingga minggu selanjutnya. Hal ini dapat diduga
bahwasanya campuran bakteri pada kompartemen anoda sempat mengalami pertumbuhan jumlah
hingga minggu ke 2 karena ketersediaan nutrien yang dibutuhkan oleh bakteri. Akan tetapi setelah
itu bakteri perlahan-lahan mati namun power density yang dihasilkan tidak menurun, diduga
bahwasanya bakteri yang mati adalah bakteri dari limbah cair perikanan yang tidak tahan terhadap
kondisi anaerobik pada kompartemen anoda. Dugaan tersebut dapat juga diamati melalui layar
mikroskop hemacytometer, terlihat pada minggu permulaan bentuk bakteri yang tumbuh adalah
bakteri berbentuk bulat dan koma serta bentuk jenis bakteri lainnya, namun pada minggu
selanjutnya hanya bakteri yang berbentuk bulat pada lumpur lapindo saja yang tersisa.
1.0E+133.0E+135.0E+137.0E+139.0E+131.1E+141.3E+141.5E+141.7E+141.9E+142.1E+142.3E+142.5E+142.7E+142.9E+14
0 1 2 3 4 5 6
Jum
lah B
akte
ri (
Sel
/mL
)
Waktu (Minggu)
L 3F
L 5F
L 3F 100
L 5F 100
L 3:1 3F
L 3:1 5F
L 3:1 3F100L 3:1 5F100
7
Selain itu juga dapat dijelaskan pada Gambar II.3 berikut bahwasanya bakteri pada sampel
dengan lumpur lapindo 100% mengalami kenaikan dan penurunan dari minggu ke 0 hingga minggu
ke 6. Berbeda dengan bakteri campuran limbah ikan dan lumpur lapindo yang pada minggu ke 2
hingga ke 6 cenderung turun.
Gambar II.3 Jumlah Bakteri vs Waktu pada lumpur lapindo 100%
Selain konsentrasi bakteri, kondisi derajat keasaman atau pH juga sangat berpengaruh
terhadap produksi listrik yang dihasilkan hal ini dikarenakan populasi bakteri pengurai sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yaitu pH. Sementara di penelitian ini, bakteri yang digunakan
adalah bakteri dari lumpur lapindo, menurut (Juniawan, 2013) parameter pH pada lumpur lapindo
adalah 6,6-7, diperkirakan bakteri dalam penelitian ini dapat hidup pada pH yang sama dengan
lumpur lapindo itu sendiri. Adanya reaksi pembentukan H+ pada kompartemen anoda diperkirakan
akan menaikkan pH sistem, namun pada SCMFC pH cenderung netral dan tidak mengalami
penurunan atau kenaikan yang signifikan, dengan nilai pH berkisar di rentang angka 6,7 – 7,5 yang
artinya pH tersebut optimal untuk sistem. Hal ini dapat dijelaskan karena pergerakan H+ dan e-
didalam chamber sebagaimana yang telah dijelaskan pada reaksi (1) dan (2) pada bab ini.
Pembentukan biofilm juga turut mempengaruhi produksi listrik MFC. Pada proses
pengolahan awal, energi yang dihasilkan dari metabolisme bakteri sebagian besar digunakan untuk
membentuk biofilm. Sel – sel teradsorbsi dipermukaan media kemudian tumbuh, berkembang biak
dan menghasilkan Extracellular Polymeric Substance (EPS) untuk membentuk biofilm. Elektroda
karbon pada kompartemen anoda MFCs juga berperan menjadi media lekat bagi mikroorganisme
untuk membentuk biofilm (Purwono, 2015). Bakteri dapat mati disekitar biofilm baik di lapisan
dalam maupun di lapisan luar. Substrat juga tidak mampu menembus lapisan tersebut, sehingga
bakteri didalam lapisan biofilm tidak mendapatkan substrat untuk melakukan metabolisme. Apabila
permukaan elektroda sudah dipenuhi oleh biofilm, jumlah elektron yang dapat ditransfer ke
1.0E+13
2.0E+13
3.0E+13
4.0E+13
5.0E+13
0 1 2 3 4 5 6
Jum
lah B
akte
ri (
Sel
/mL
)
Waktu (Minggu)
L 3F
L 5F
L 3F 100
L 5F 100
8
elektroda akan sedikit sehingga terjadi penurunan arus listrik yang berdampak pada penurunan
power density (Kim dkk, 2003).
Berdasarkan kinetika bakteri, transfer massa proton melalui elektrolit dan laju reaksi
oksigen pada katoda yang akan menentukan performa MFCs dan semuanya secara tidak langsung
akan tergantung pada temperatur. Biasanya konstanta reaksi biokimia meningkat setiap kenaikan
temperatur 10oC sampai tercapai temperatur optimal. Sebagian besar penelitian MFCs dilakukan
pada temperatur 27-35 ᵒC (Liu, 2008). Sementara pada penelitian ini, suhu sistem berada di dalam
rentang 27 – 33 oC yang artinya suhu sistem tidak terlalu mempengaruhi kinerja MFCs secara
keseluruhan.
II.3 Degradasi BOD dan COD terhadap waktu pada proses MFC
BOD atau (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand)
merupakan suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung
dalam perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat terurai (Mays, 1996).
Penguraian zat organik adalah peristiwa alamiah oleh mikroorganisme, apabila suatu badan air
tercemar oleh bahan organik maka mikroba yang ada dalam perairan akan memanfaatkan oksigen
terlarut dalam air selama proses penguraian bahan organik berlangsung, sehingga mengakibatkan
semakin menurunnya kadar oksigen terlarut dalam air dan dapat menimbulkan kematian pada biota
air lainnya karena kondisi air menjadi anaerobik. Biasanya ditandai dengan timbulnya bau busuk.
Gambar II.4 Presentase degradasi BOD dan COD lumpur 100 %
Pengamatan secara fisik pada limbah industri perikanan dilakukan, bahwasanya pada
minggu pertama, bau busuk yang dikeluarkan limbah ikan sudah mulai berkurang, kemudian dari
segi warna, warna kuning kecoklatan pada limbah ikan sudah mulai agak jernih. Penurunan beban
organik BOD dan COD pada penilitian ini pada masing –masing sampel dapat dilihat pada Gambar
II.4, II.5, II.6, dan II.7 berikut:
Per
sen
tase
Deg
rad
asi B
OD
Per
sen
tase
Deg
rad
asi
CO
D
9
Gambar II.5 Presentase degradasi BOD dan COD lumpur : limbah cair ikan 3:1
Gambar II.6 Presentase degradasi BOD dan COD lumpur : limbah cair ikan 1:1
Gambar II.7 Presentase degradasi BOD dan COD lumpur : limbah cair ikan 1:3
10
Secara keseluruhan dari variabel penelitian ini hasil uji menunjukkan perbedaan penurunan
kandungan BOD dan COD dari t0 hingga t6 pada chamber dengan segala perlakuan (perbandingan
lumpur dan substrat, penambahan surfaktan, dan perbedaan ketebalan elektroda). Pada periode
akhir penelitian semua variabel tersebut sudah memenuhi syarat baku mutu sesuai dengan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang batas minimal limbah cair perikanan
dengan kegiatan industri pembekuan, baik itu batas minimal BOD 100 mg/L ataupun COD 200
mg/L.
Penurunan kadar COD terbesar adalah pada variabel L 3:1 5F 100, dengan kadar removal
sebesar 94,1% pada minggu ke 6, bahkan pada minggu ke 3 kadar removal variabel ini sudah
mencapai 91,7 %. Penurunan COD mengindikasikan terjadinya proses bioremediasi pada lumpur
Lapindo yang mendukung konsep pemanfaatan unsur organik oleh mikroba untuk proses oksidasi
(Nair dkk, 2013). Penurunan kadar BOD terbesar adalah pada variabel L 3:1 5F, dengan kadar
removal sebesar 82,2% pada minggu ke 3 dan pada akhir periode sebesar 92,2. Hal ini menunjukkan
adanya aktifitas mikroba dalam menguraikan unsur organik yang terdapat di dalam substrat lumpur
Lapindo.
Variabel L 3:1 5F (baik tanpa penambahan surfaktan maupun dengan penambahan
surfaktan 100 ppm) ternyata memberikan hasil removal beban organik yang terbaik, hal ini dapat
dijelaskan karena sumber mikroba (electricigens) dari lumpur lapindo pada chamber lebih banyak
dari pada substrat organiknya (750 g: 250 g). Semakin tinggi konsentrasi bakteri setiap ml nya,
maka semakin banyak bakteri yang mendegradasi substrat, sehingga nilai COD dan BOD nya juga
akan semakin rendah.
Variabel L 1:1 5F 100, meskipun memproduksi listrik yang lebih tinggi dari pada variabel
lain akan tetapi persen removal sebesar 91,5 % untuk COD dan 84,4 % untuk BOD, hal ini tentu
saja karena substrat organik yang terdapat pada chamber lebih besar dari pada L 3:1, selain itu
jumlah bakterinya juga lebih sedikit. Pada lumpur lapindo 100%, meskipun persen removal COD
nya hanya 19,3% dan BOD 25,9% namun kadar organik nya sudah sangat sedikit yaitu: 19,36 mg/L
COD dan 12,11 mg/L BOD. Dapat disimpulkan penambahan lumpur sangat efektif dalam
penurunan BOD dan COD. Dilihat dari hasil analisa BOD dan COD 3:1 5F 100 ppm dengan kadar
removal sebesar 94,1% pada minggu ke 6. Tetapi untuk produksi listrik yang terbaik pada
perbandingan 1:1 5F 100, dikarenakan sumber karbon yang lebih banyak dan perbandingan sumber
karbon dan substart bakternya seimbang. Untuk perbandingan 1:3 produksi listrik lebih sedikit
karna jumlah bakteri /perbandingan lumpur sedikit sehingga transfer electron oleh bakteri
elektricigent tidak semaksimal 3:1.
II.4 Pengaruh Penggunaan Elektroda Jenis 3F dan 5F
Pada penelitian yang telah dilakukan, digunakan jenis carbon cloth 3F (ketebalan 3 mm)
dan carbon cloth 5F (ketebalan 5 mm) untuk mengetahui bagaimana pengaruh ketebalan elektroda
terhadap power density yang dihasilkan. Berdasarkan Gambar II.1 menunjukkan bahwa elektroda
5F memberikan hasil power density yang lebih besar dibandingkan 3F. Perbandingan elektroda 3F
dan 5F dalam menghasilkan listrik ditunjukkan pada Gambar II.4 dan Gambar II.5 secara
berturut - turut.
11
Gambar II.8 Hubungan Power Density vs Waktu elektroda 3F
Gambar II.9 Hubungan Power Density vs Waktu elektroda 5F
Dapat diketahui bahwa elektroda 5F menghasilkan power density yang lebih besar
dibandingkan dengan elektroda 3F. Hal ini dapat terjadi karena elektroda 5F memiliki ketebalan
yang lebih besar dari pada elektroda 3F, sehingga elektroda 5F memiliki luas permukaan yang lebih
besar. Elektroda 5F memiliki luas permukaan 27,0 cm2, sedangkan elektroda 3F memiliki luas
permukaan 24,2 cm2. Luas permukaan tersebut merupakan perhitungan permukaan elektroda saja
tanpa luas permukaan pada rongga bagian dalam elektroda, dengan mengasumsikan luas permukaan
tersebut sudah termasuk perhitungan pada rongga bagian dalam elektroda. Semakin luas permukaan
elektroda, maka power density yang dihasilkan akan semakin besar pula. Hal ini dikarenakan
semakin banyak elektron yang dapat ditransfer menuju elektroda dan mengalir menuju
kompartemen katoda.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 1 2 3 4 5 6
Pow
er D
ensi
ty (
mW
/m2
)
Waktu (Minggu)
L 3F
L 3F 100
L 3:1 3F
L 3:1 3F 100
L 1:1 3F
L 1:1 3F 100
L 1:3 3F
L 1:3 3F 100
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 1 2 3 4 5 6
Pow
er D
ensi
ty (
mW
/m2
)
Waktu (Minggu)
L 5F
L 5F 100
L 3:1 5F
L 3:1 5F 100
L 1:1 5F
L 1:1 5F 100
L 1:3 5F
L 1:3 5F 100
12
Begitu juga dengan kadar BOD dan COD yang dapat dilihat pada Gambar II.4 – II.7,
bahwa terlihat pada gambar, semua penurunan kadar BOD dan COD terbesar adalah pada elektroda
dengan ketebalan sebesar 5 mm (5F). Hal ini tentu sebanding dengan produksi listrik yang
dihasilkan, karena semakin banyak kandungan organik yang terdegradasi maka semakin banyak
produksi listrik yang dihasilkan oleh mikroba electricigens, karena semakin besarnya luas
permukaan elektroda maka semakin banyak bakteri yang melekat pada kompartmen anoda yang
berguna untuk mendegradasi substrat dan menghasilkan listrik
Permukaan dan morfologi anoda merupakan parameter penting dalam MFC. Permukaan
anoda yang kasar mempercepat pelekatan bakteri. Karenanya, power density pada anoda kasar
secara signifikan lebih tinggi dari pada anoda halus (Michaelidou dkk., 2011). Porositas dan surface
area memastikan aksesibilitas mikroorganisme ke elektroda. Secara umum, porositas yang
diperluas menghasilkan area permukaan yang tinggi dari bahan elektroda. Area permukaan yang
tinggi menyediakan lebih banyak ruang bagi mikroorganisme untuk bergerak secara efektif pada
anoda. Peningkatan luas permukaan elektroda juga dapat meminimalkan resistansi internal sistem
MFC (Kumar dkk., 2013), sehingga meningkatkan kinerja MFC. Hal ini juga menjadi alasan
penggunaan dedak padi dalam modifikasi elektroda yang dapat memberikan porositas dan luas
permukaan yang luas dikarenakan bakteri lebih cepat menempel pada permukaan anoda yang kasar.
II.4 Pengaruh Penambahan Surfaktan Tween 80
Pada penelitian ini surfaktan jenis nonionik surfaktan digunakan polysorbate 80 (Tween®
80). Polisorbat 80 atau yang biasa dikenal dengan Tween® 80, C64H124O26 adalah surfaktan
nonionik kental yang larut dalam air, mengandung kelompok kepala hidrofilik polioksietilena
sorbitan dan ekornya disusun oleh monooleat atau yang biasa dikenal dengan asam oleat, kelompok
alkil hidrofobik (Shen dkk., 2011). Berat molekulnya adalah 1310 g mol-1 dan CMC-nya dalam air
murni 15,72 mg L-1 (Chou dkk., 2005).
Surfaktan (surface active agent) merupakan molekul-molekul yang mengandung gugus
hidrofilik (suka air) dan gugus lipofilik (suka minyak/lemak) pada molekul yang sama (Sheat dan
Foster, 1997). Sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Surfaktan
adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya.
Molekul surfaktan yang suka akan air (hidrofilik) merupakan bagian polar dan molekul yang suka
akan minyak/lemak (lipofilik) merupakan bagian non polar. Bagian polar molekul surfaktan dapat
bermuatan positif, negatif atau netral. Umumnya bagian non polar (lipofilik) merupakan rantai alkil
yang panjang, sedangkan bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil (Gambar
II.10).
13
Gambar II.10. Cara kerja surfaktan didalam larutan
Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air,
minyak-air, dan zat padat-air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase
air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase
minyak. Pada Limbah cair perikanan terkandung sejumlah protein dan lemak atau minyak sehingga
menyebabkan bau busuk yang keluar dari limbah tersebut (Ibrahim, 2014). Surfaktan berguna untuk
membentuk emulsi oli-air yang stabil secara termodinamik dalam air limbah berminyak (Hwang,
2019), meningkatkan bioavailabilitas komponen berminyak. Studi terbaru menguji lima jenis
surfaktan yang berbeda untuk meningkatkan bioavailabilitas hidrokarbon minyak bumi di tanah,
perbedaan karakteristik surfaktan menghasilkan produksi listrik yang berbeda-beda.
Gambar II.11 Hubungan Power Density vs Waktu tanpa penambahan surfaktan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 1 2 3 4 5 6
Pow
er D
ensi
ty (
mW
/m2
)
Waktu (Minggu)
L 3F
L 5F
L 3:1 3F
L 3:1 5F
L 1:1 3F
L 1:1 5F
L 1:3 3F
L 1:3 5F
14
Gambar II.12 Hubungan Power Density vs Waktu dengan penambahan surfaktan 100 ppm
Dari Gambar II.11 dan II.12 terlihat bahwasanya penambahan surfaktan tween 80 dapat
meningkatkan power density, peningkatan terbesar dapat diamati pada variabel L 3:1 5F dan L 3:1
5F 100, dengan perbandingan yang sama yaitu jumlah lumpur lapindo dan limbah cair perikanan
3:1, serta ukuran ketebelan elektrodan carbon cloth sebesar 5 mm, pada variabel yang dibandingkan
dengan penambahan konsentrasi surfaktan 100 ppm pada chamber meningkatkan produksi listrik
hampir empat kali lipat dari 28,04 mW/m2 pada L 3:1 F menjadi 89,55 mW/m2 pada L 3:1 5F 100
ppm. Adanya peningkatan daya dikaitkan dengan peningkatan luas permukaan anoda untuk bakteri
aktif apabila ditambah surfaktan, biokompatibilitas yang lebih baik, mengurangi resistensi dan
meningkatkan kecepatan transfer electron dari bakteri aktif ke anoda. Transfer electron yang
meningkat dari bakteri aktif ke anoda disebabkan oleh gaya adhesi. Gaya adhesi dipengaruhi oleh
interaksi hidrofilik dan hidrofobik, adhesi dari ekor hidrofobik dari surfaktan meningkakan sifat
hidrofilik dari anoda. Sifat hidrofilik dari permukaan anoda tidak hanya membuat permukaan anoda
lebih mudah diaskses oleh bakteri aktif tetapi juga membuatnya mudah untuk membentuk ikatan
hydrogen yang melekat.
Begitu juga dengan kadar BOD dan COD yang dapat dilihat pada Gambar II.4-II.7,
bahwasanya terlihat pada gambar, hampir semua penurunan kadar BOD dan COD terbesar adalah
karena adanya pengaruh penambahan surfaktan tween 80. Efek penambahan surfaktan tween 80
juga dapat dilihat pada variabel 3:1 5F 100 dan 3:1 5F. Pada variabel 3:1 5F nilai removal BOD
lebih besar dari pada nilai removal BOD 3:1 5F 100, namun nilai removal COD nya lebih rendah.
Hal ini dikarenakan surfaktan tween 80 membantu meningkatkan bioavailibilitas limbah yang
mengandung lemak atau minyak, dapat membentuk emulsi minyak dalam air yang stabil secara
termodinamik dalam air limbah berminyak, mengurangi tegangan permukaan yang mengarah pada
stabilitas emulsi untuk mempermudah komponen lemak atau minyak terdegradasi (Hwang, 2019).
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 1 2 3 4 5 6
Pow
er D
ensi
ty (
mW
/m2
)
Waktu (Minggu)
L 3F 100
L 5F 100
L 3:1 3F 100
L 3:1 5F 100
L 1:1 3F 100
L 1:1 5F 100
L 1:3 3F 100
L 1:3 5F 100
15
Kandungan lemak dan minyak pada limbah cair ikan pada penelitian ini adalah 27 mg/L
(Environment Lab. Sidoarjo, 2019).
Salah satu hambatan utama bagi bakteri untuk mengirimkan elektron secara eksogen ke
anoda adalah bahwa sebagian besar membran dan dinding sel mikroorganisme mengandung bahan
nonkonduktif, seperti lipid atau peptidoglikan (Lovley, 2006; Wen et al., 2011). Sedangkan
Elektron harus ditransfer melalui membrane sel ke anoda untuk menghasilkan arus, namun transfer
electron melalui membrane sel ditentukan oleh komposisi dan kinerja membrane. Ada beberapa
penelitian yang melaporkan bahwa kehadiran surfaktan menghasilkan perubahan dalam struktur
membran sel untuk membentuk saluran trans-membran, mempengaruhi membran sel dengan
mengurangi resistansi, meningkatkan permeabilitas membrane sehingga dapat mempercepat dan
mempermudah meloloskan sejumlah elektron yang menebus /melaluinya dan degradasi substrat dan
dengan mempercepat transportasi zat (Van Hamme dkk. 2006; Singh dkk. 2007).
(Wen dkk., 2011) meneliti efek surfaktan terhadap kinerja MFC, membuktikan bahwa
penggunaan surfaktan nonionik tween 80 dalam MFC katoda udara meningkatkan produksi daya
secara signifikan dari 21,5 W/ m3 tanpa surfaktan menjadi 187 W/m3 setelah penambahan surfaktan.
Dalam studi lain menggunakan beberapa surfaktan nonionik, Tween 80 mencapai nilai kepadatan
sel tertinggi dan laju pertumbuhan spesifik maksimum (Van Hamme dkk., 2006).
Sifat menakjubkan surfaktan dan pengaruhnya terhadap membran sel menjadikannya
kelompok bahan kimia yang menarik untuk dipelajari dalam MFC untuk mengevaluasi efeknya
terhadap laju transfer elektron dari sel ke anoda dan sebagai konsekuensi dalam daya yang
dihasilkan oleh MFC (Wen dkk., 2011).
Gambar II.13 Skema pembentukan emulsi yang terdegradasi dari air limbah berminyak
16
II.5 Hubungan antara BOD dengan Power Density
Gambar II.14 Power density vs Waktu untuk setiap variabel
Gambar II.15 BOD vs Waktu untuk setiap variabel
Dapat dilihat dari Gambar II.14 dan Gambar II.15 bahwa power density yang dihasilkan
secara umum mulanya rendah, hal ini menunjukan bahwa bakteri katalitik yang berperan dalam
transfer elektron masih beradaptasi dengan lingkungan dan tahap awal bakteri mulai mendegradasi
substrat, dan dapat dilihat pada Gambar II.13 yang menandakan BOD pada setiap variabel masih
tinggi dimana bakteri tersebut belum mendegradasi kandungan organik yang ada didalam substrat.
Pada minggu ketiga pengukuran listrik didapatka power density terbesar pada variabel 1:1 5F 100
yaitu variabel dengan perbandingan lumpur dan limbah cair perikanan 1:1 elektroda carbon cloth
dengan ketebalan 5 mm (5F) serta penambahan konsentrasi surfaktan 100 ppm, dimana power
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 1 2 3 4 5 6
Pow
er D
ensi
ty (
mW
/m2 )
Waktu (Minggu)
L 3F
L 5F
L 3F 100
L 5F 100
L 3:1 3F
L 3:1 5F
L 3:1 3F100
0
100
200
300
400
0 3 6
BO
D (
mg
/l)
Waktu (Minggu)
L 3F (non S)
L 5F (non S)
L 3F (100 ppm)
L 5F (100 ppm)
L 3:1 3F (non S)
L 3:1 5F (non S)
L 3:1 3F (100 ppm)
L 3:1 5F (100)
L 1:1 3F (non S)
L1:1 5F (non S)
L 1:1 3F (100 ppm)
L 1:1 5F (100 ppm)
L 1:3 3F (non S)
L 1:3 5F (non S)
L 1:3 5F ( 100 ppm)
17
density yang dihasilkan adalah 95,36 mW/m. Sedangkan untuk penurunan BOD terbesar adalah
pada minggu ketiga setelah bakteri mendegradasi senyawa organik yang terkandung pada substrat
yaitu pada variabel perbandingan lumpur dan limbah cair perikanan (3:1) dengan elektroda 5F dan
penambahan surfaktan 100 ppm. Dengan BOD awal 316,46 mg/L turun menjadi 50,13 mg/L pada
minggu ke tiga dan 25, 18 mg/L pada minggu ke enam. Meskipun secara teori peningkatan power
density berbanding lurus dengan penurunan beban organik tetapi pada penelitian ini hasil yang
didapatkan berbeda, hal ini mungkin dikarenakan variabel L 1:1 5F 100, meskipun memproduksi
listrik yang lebih tinggi dari pada variabel lain akan tetapi hanya terremoval sebesar 91,5 % untuk
COD dan 84,4 % untuk BOD, hal ini disebabkan substrat organik yang terdapat pada chamber lebih
besar dari pada L 3:1, sehingga perbandingan optimumnya di 1:1 lebih besar peningkatan power
densitynya tetapi belum maksimal di penurunan degradasinya, selain itu jumlah bakterinya juga
lebih sedikit. Sedangkan variabel L 3:1 5F (baik tanpa penambahan surfaktan maupun dengan
penambahan surfaktan 100 ppm) ternyata memberikan hasil penurunan beban organik yang terbaik,
dengan penurunan BOD yang besar, hal ini dapat dijelaskan karena sumber mikroba (electricigens)
dari lumpur lapindo pada chamber lebih banyak dari pada substrat organiknya (750 g: 250 g).
Sehingga bakteri tersebut dapat mendegradasi substrat organik yang tersedia didalam chamber
tersebut sehingga menghasilkan penurunan BOD yang relatif lebih maksimal. Tetapi untuk
perbandingan L 3:1 5F 100 ppm removal dengan L 1:1 5F untuk penurunan degradasinya tidak
terlalu signifikan perbedaannya. Dengan BOD awal untuk L 3:1 5F 100 ppm 316,46 mg/L turun
menjadi 50,13 mg/L pada minggu ke tiga dan 25, 18 mg/L pada minggu ke enam, dengan persentase
removal 84,4 %. Sedangkan untuk L 1:1 5F dengan BOD awal 304 mg/L turun menjadi 61,11 mg/L
dengan presentase removalnya 81,3 %. Untuk Semakin tinggi konsentrasi bakteri setiap ml nya,
maka semakin banyak bakteri yang mendegradasi substrat, sehingga nilai COD dan BOD nya juga
akan semakin rendah. Pada lumpur lapindo 100%, meskipun persen removal COD nya hanya 19,3%
dan BOD 25,9% namun kadar organik nya sudah sangat sedikit yaitu: 19,36 mg/L COD dan 12,11
mg/L BOD.
18
BAB III STATUS LUARAN
Tabel III.1 Tabel Status Luaran
No Judul Artikel Nama Jurnal Status Kemajuan*)
1 Microbial Community and
Performance Analysis of Lapindo
Mud as Culture Source on Single
Chamber Microbial Fuel Cell using
Fishery Wastewater
Journal of Engineering
and Technological
Sciences (Q2)
Submitted
19
BAB IV PERAN MITRA (UntukPenelitian Kerjasama Antar Perguruan Tinggi)
- Dalam penelitian ini, terdapat Mitra dari Prof. Masato Tominaga dari Saga University, terkait
dengan carbon cloth yang digunakan sebagai elektroda dari system Microbial Fuel Cell.
20
BAB V KENDALA PELAKSANAAN PENELITIAN
Dalam penelitian terdapat kendala yaitu tidak bisa dianalisa sequence 16S DNA/ RNA karena
sample mengandung minyak yang berasal dari limbah perikanan.
21
BAB VI RENCANA TAHAPAN SELANJUTNYA
Rencana Tahapan Selanjutnya adalah publikasi
22
BAB VII DAFTAR PUSTAKA
Adith dan Ricki. 2018. Pemanfaatan Lumpur Lapindo sebagai Culture Source Guna Menghasilkan
Biolistrik dengan Menggunakan Microbial Fuel Cells (mfcs) dan Analisa Komunitas
Mikroba
Agung, F., 2013. Ekstraksi Silika dari Abu Sekam Padi dengan Pelarut KOH, Konversi, 2 (1), pp.
1-8.
Ahmad, H., Kamarudin, S. K., Hasran, U. A., & Daud, W. R. W. (2010), “Overview of Hybrid
Membranes for Direct-Methanol Fuel–Cell Applications”,
Arisandi, P. 2006. Menebar bencana lumpur di Kali Porong. Ecological Observation And Wetlands
Conservation
Aulia dan Gusti ,2016. Pengaruh Optical Density Bakteri Bacillus Subtilis Terhadap
Efisiesi Listrik Microbial Fuel Celslls.Departement Chemical Engineering, Uiversity State
Surabaya.
Allen RM dan Bennetto HP, 1993. Microbial Fuel Cells: Electricity Production from
Carbohydrates. J. Appl. Biochem.Biotechnol, 39: 27-40.
Cae, Kyu-Jung., Choi Mi-Jin., Lee, Jin-Wook., Kim, Kyoung-Yeol., Kim, In S. 2009. “Effect of
different substrates on the performance, bacterial diversity, and bacterial viability in
microbial fuel cells”. Gwangju Institute of Science and Technology ; Elsevier.
Chandrasekhar, K., dan Venkata Mohan, S., 2014. Bio-Electrohydrolysis As A Pretreatment
Strategy To Catabolize Complex Food Waste In Closed Circuitry, 39(22), pp. 11411–
11422.
Cholid. 2007. Pengolahan Limbah Industri Pengolahan Ikan Dengan Teknologi Gabungan. Balai
Besar Teknologi Pencemaran Industri
Chou, D.K., Krishnamurthy, R., Randolph, T.W., Carpenter, J.F., Manning, M.C., 2005.
Effects of Tween 20® and Tween 80® on the stability of Albutropin during
agitation. J. Pharm. Sci. 94, 1368-1381.
David. 2014. Study Pendahuluan Pemanfaatan Whey Tahu Sebagai Substrat dan Efek Luas
Permukaan Elektroda Terhadap Sistem MFCs. Journal Sains dan Matematika
Dena Y, Rebaay H. 2018. Effect Of Vitamin And Cells Contruction On Activity Of Microbial Fuel
Cell. Journal of genetic Engineering and Biotechnoloy
Guo, K., D.J. Hassett dan T. Gu. 2012. Microbial Fuel Cells in Power Generation and Extended
Applications. Adv Biochem Engin/Biotechnol. 128, pp. 165–197
Goff, H., 1997. Colloidal aspects of ice cream—A review. International Dairy Journal
7, 363-373.
23
Hoogers, G. 2002. Fuel Cell Technology Handbook.
Ibrahim B, Salamah E, Alwinsyah R. 2014. Pembangkit biolistrik dari limbah cair industri
perikanan menggunakan Microbial Fuel cell dengan jumlah elektroda yang berbeda. Jurnal
Dinamika Maritim. 4 (1): 1-9.
Ibrahim B,Erungan.2009. Nilai Parameter Bikinetika Proses Denitrifikasi Limbah Cair Industri
Perikanan Pada Rasio COD/TKN Yang Berbena. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan
Indonesia (12:2); 154-166.
Ibrahim B, Suptijah P, Adjani ZN. (2017). Kinerja Microbial Fuel Cell Penghasil Biolistrik Dengan
Perbedaan Jenis Elektroda Pada Limbah Cair Industri Perikanan. Jurnal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia. 20(2): 296-304.
Ibrahim B, Trilaksani W, Apriyani D. 2013. Potensi Biolistrik Dari Limbah Cair Industri Perikanan
Dengan Microbial Fuel Cell Satu Bejana. Jurnal Dinamika Maritim. 3(2): 45-55.
Ibrahim B. 2005. Kaji Ulang Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Hasil Perikanan Secara
Biologis Dengan Lumpur Aktif. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. 8(1): 31-41
Idham F, Halimi S, dan Latifah S. 2009. Alternatif Baru Sumber Pembangkit Listrik dengan
Menggunakan Sedimen Laut Tropika Melalui Teknologi Microbial Fuel Cell. Bogor:
Teknologi Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor.
Jenicek. 2015. High Performance Acivated Carbon/Carbon Cloth Chatodes For Microbial Fuel
Cells. Biological and Ecological Engineering. Corvallis.97331 USA.
Juniawan, A., Rumhayati, B. dan Ismuyanto, B., 2013. Karakteristik Lumpur Lapindo Dan
Fluktuasi Logam Berat Pb Dan Cu Pada Sungai Porong Dan Aloo. Sains dan Terapan
Kimia, 7(1), pp. 50-59
Kim, B.H, Chang I.S, Gil, G.C, Park H.S, Kim H.J., 2003. Novel BOD sensor using mediatorless
microbial fuel cell. Biotechnol. Lett. 25, pp. 541–545.
Lai, Janice. 1999. Automated Cell Counting and Characterization. Stanford, CA: Departement of
Mechanical Engineering Stanford University.
Li, Zhongjian, Xingwang Zhang dan Lecheng Lei., 2008. Electricity Production During The
Treatment of Real Electriplating Containing Cr6+ Using Microbial Fuel Cell. Process
Biochemistry, 43, pp. 1352 – 1358.
24
Liu. H. 2008. Microbial Fuel Cells: Novel Anaerobic Biotechnology for Energy Generation From
Wastewater. Anaerobic Biotechnology for Bioenergy Production: Principle and
Appllication S.K. Khanal lowa, Blackwell Publshing: 221-243
Logan E. Bruce, Bert Hamelers, Rene R, Uwe S, Jurg K, Stefano F, Peter A, Willy V dan K.
Rabaey., 2006. Microbial Fuel Cells: Methodology And Technology. 40 (17), pp. 14000-
14006
Lovley, D. R., 2006. Bug juice: harvesting electricity with microorganisms. [Erratum to document
cited in CA145:079425]. Nat. Rev. Microbiol., 4, 797.
Novitasari, Deni., 2011. Opimalisasi Kinerja Microbial Fuel Cell (MFC) untuk Produksi Energi
Listrik Menggunakan Bakteri Lactobacillus bulgaricus. Skripsi. Departemen Teknik Kimia
FT Universitas Indonesia
Park, D., dan Zeikus, J., 2002. Impact of electrode composition on electricity generation in a single-
compartment fuel cell using Shewanella putrefaciens. Applied Microbiology and
Biotechnology, 59(1), pp. 58–61.
Peraturan Pemerintah Lingkungan Hidup No 5 tahun 2014. Tentang Baku Mutu Kegiatan
Pengolahan Ikan
Priambodo G. 2011. Technical and social impacts of wastewater from fish processing industry in
kota muncar of indonesia. JATES 1(1): 1-17.
Reddy, L. V., Pradeep Kumar, S., dan Wee, Y.-J., 2010. Microbial Fuel Cells (Mfcs) -A Novel
Source Of Energy For New Millennium. Current Research, Technology And Education
Topics In Applied Microbiology And Microbial Biotechnology, pp. 956–964.
Rieger MM. 1985. Surfactant in Cosmetics. Surfactant Science Series. New York: Marcel Dekker,
Inc.
Ringeisen, Bradley & Ray, Ricky & Little, Brenda., 2007. A miniature microbial fuel cell operating
with an aerobic anode chamber. Journal of Power Sources. 165. 591-597.
Shukla AK, Suresh P, Berchmans S, dan Rajendran A. 2004. Biological fuel cells and their
applications. J. Current Science, 87, pp. 455-468.
Sheats, W. Brad dan Norman C. Foster. 1997. Concentrated Products from Methyl Ester
Sulfonates.(http://www.chemiton.com/papers_brochures./Concentrated_Products.doc.pdf)
Singh, A., Vanhamme, J., Ward, O., 2007. Surfactants in microbiology and biotechnology: Part 2.
Application aspects. Biotechnology Advances 25, 99-
121.
25
Suhada, Hendrata. 2001. Fuel Cell Sebagai Penghasil Energi Abad 21. Jurnal Teknik
Supriningsih, Dwi. 2010. Pembuatan Metil Ester Sulfonat (MES) sebagai Surfaktan untuk EOR.
Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.
Swasono, 2012. Sintesis Surfaktan Alkil Poliglikosida Dari Glukosa Dan Dodekanol Dengan
Katalis Asam. Jurnal Teknik Kimia Usu.
Van Hamme JD, Word OP. 2006. Influence of Chemical Surfactants on the Biodegradation of
Crude Oil by Mixed Bacteria Culture. Can J Mikrobiol, 45: 130-7.
Wangsit. 2018. Degradasi Stillage Dengan Menggunakan Teknologi Microbial Fuel Cells Yang
Memanfaatkan Lumpur Lapindo Sebagai Culture Source Dan Pengaruhnya Kepada Power
Density Yang Dihasilkan.
Xuboujun, Fei, He, Zhen, Ge, Zheng. 2015. “Using Microbial Fuel Cells to Treat Raw Sludge and
Primary Effluent for Bioelectricity Generation”. Department of Civil Engineering and
Mechanics; University of Wisconsin - Milwaukee.
26
BAB VIII LAMPIRAN
- LAMPIRAN 1 Tabel Daftar Luaran
Program : Penelitian
Nama Ketua Tim : Dr.Eng. R. Darmawan, ST., MT.
Judul : Pengaruh Penambahan Surfaktan Tween 80 Pada Produksi
Biolistrik Dan Degradasi Limbah Cair Perikanan
Menggunakan Teknologi Microbial Fuel Cells Single
Chamber (MFC-SC)
1.Artikel Jurnal
No Judul Artikel Nama Jurnal Status Kemajuan*)
Microbial Community and
Performance Analysis of Lapindo
Mud as Culture Source on Single
Chamber Microbial Fuel Cell using
Fishery Wastewater
Journal of Engineering
and Technological
Sciences
Draft
*) Status kemajuan: Persiapan, submitted, under review, accepted, published
2. Artikel Konferensi
No Judul Artikel Nama Konferensi (Nama
Penyelenggara, Tempat,
Tanggal)
Status Kemajuan*)
*) Status kemajuan: Persiapan, submitted, under review, accepted, presented
3. Paten
No Judul Usulan Paten Status Kemajuan
*) Status kemajuan: Persiapan, submitted, under review
4. Buku
No Judul Buku (Rencana) Penerbit Status Kemajuan*)
*) Status kemajuan: Persiapan, under review, published
5. Hasil Lain
No Nama Output Detail Output Status Kemajuan*)
*) Status kemajuan: cantumkan status kemajuan sesuai kondisi saat ini
27
6. Disertasi/Tesis/Tugas Akhir/PKM yang dihasilkan
No Nama Mahasiswa NRP Judul Status*)
*) Status kemajuan: cantumkan lulus dan tahun kelulusan atau in progress
Top Related