K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 1
KUMPULAN CERPEN By Agung Webe
Created by Agung Webe
Mail:
web:
http://www.agungwebe.com
http://www.sakraindonesia.com
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 2
DAFTAR ISI
1. SANG PENYAIR
2. KUBURAN
3. GELAS PLASTIK
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 3
SANG PENYAIR
Langkahnya pelan menyusuri jalan sepanjang pertokoan Malioboro,
Yogyakarta. Malam itu jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Kegiatan
hiruk‐pikuk toko sudah berganti dengan pedagang makanan lesehan sepanjang
jalan itu. Tampak beberapa keluarga dan sepasang anak muda sedang menikmati
suguhan burung dara goreng yang menjadi menu khas masakan lesehan. Angin
malam yang berhembus agak kencang menggeraikan rambutnya yang sedikit agak
panjang. Celana jean warna hitam yang ia pakai, walau belum dicuci untuk
beberapa hari masih tampak bersih. Rambutnya sedikit beruban. Kerut di
wajahnya menandakan umurnya yang mendekati kepala empat. Badannya masih
tegak. Jaket kulit warna coklat malam itu membantu untuk membungkus
tubuhnya dari cakaran sang angin. Ia berhenti di depan penjual makanan lesehan
yang kelihatan ramai pengunjung. Ia mengamati sebentar. Belum ada pengamen
yang di situ. Kemudian ia mulai mengeluarkan beberapa lembar kertas.
Dimulainya untuk membacakan syair‐syair tulisannya.......
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 4
INDAH‐MU
Ke atas bersama awan, melayang
Dalam tujuh tangganya,
Aku diapit Jibril untuk meleleh dalam panasNYA.....
Semut‐semut tak tahu bahwa boraq menjemputku,
Keledai liar menertawakanku,
Sementara diri ini tetap terpejam........
Cahaya itu tak asing dalam rinduku,
Bahasa inipun gagal untuk menerangkan indahMU......
Duhai Engkau,
Yang Maha tak terjelaskan dari segalanya
WangiMU merasukiku sehingga aku lupa akan kotorku,
Bunga mawar indah itu,
Duhai Engkau yang semerbak berjutanya,
Menjadikan aku tetap dalam gagapku......
Dengan penuh ekspresif ia menjiwai betul apa yang dibacanya. Kemudian sebagai
penutup seperti biasa ia membacakan syair dari penyair sufi yang sangat ia
kagumi, Jalaludin Rumi. "Untuk guru saya, inspirasi saya, saya persembahkan
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 5
kepada anda syair Rumi." Demikian ia menutup pembacaan syairnya. Setelah
mengantongi uang yang ia sebut sebagai 'hadiah cinta' dari pendengar, ia
melanjutkan langkah kakinya.
Seseorang yang sejak semula memperhatikan dia membaca syair, bertanya
kepada ibu penjual lesehan. "Bu, ibu tahu nggak itu tadi siapa?"
"Wah ibu tidak tahu pastinya. Dia sering ngamen kok, hampir tiap malam. Bapak
bisa tanya sama pengamen yang ngumpul di pojok sana itu lho pak."
"Ya bu terimakasih. Ini berapa makanan saya?"
"Semuanya tujuh ribu lima ratus rupiah pak."
Bapak itu kemudian menghampiri sekumpulan pengamen yang sedang nongkrong
di pojokan sebuah toko.
"Maaf ya mas‐mas semua. Boleh saya tanya sesuatu?"
"Boleh pak, silahkan," begitu tutur seorang pengamen yang keliahatan seram
dengan rambut gondrong, namun ternyata santun dalam berbicara.
"Tadi ada yang ngamen dengan baca syair. Namanya siapa ya mas? Atau di mana
saya bisa ketemu?"
"Oh itu, namanya Onto pak, Ontobumi. Bapak bisa temui dia setelah jam 01.00
dini hari. Biasanya dia nongkrong sebentar di depan alun‐alun utara Yogya,
sebelum pulang. Tapi orangnya agak aneh pak, kadang nggak mau ngomong."
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 6
"Terimakasih mas, terimakasih banyak."
Bapak itu kemudian masuk ke mobilnya. Ia mengarahkan mobil itu ke alun‐
alun utara Yogya. Jam masih menunjukkan pukul 00.30 tengah malam. Mobil itu
berkeliling memutari alun‐alun, mencari tempat untuk berhenti. Tepat di depan
penjual minuman 'wedang ronde', yaitu minuman jahe khas dengan kacang,
bapak itu berhenti. Ia memesan satu minuman untuk menghangatkan tubuhnya.
Di depannya tampak alun‐alun utara Yogya. Walaupun sudah tengah
malam, di tengah alun‐alun itu masih banyak terlihat beberapa pasang anak muda
yang sedang pacaran duduk di atas sepeda motor. Keraton Yogya yang tertutupi
oleh gelapnya malam seolah akan tertawa kalau melihat anak‐anak muda itu
mengucapkan janji‐janji surga. Kalau bisa berkata dalam bahasa manusia, seolah
keraton itu akan menyerukan bahwa hidup ini bukan sekedar janji. Hidup ini
adalah tindakan masa kini, bukan harapan masa depan dan penyesalan masa lalu.
Bacalah anak muda, bacalah dengan nama Allah! Jangan terlengah dengan
kenikmatan semu akan cinta itu.
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 7
Pohon beringin yang berjejer di pinggiran alun‐alun sedang memainkan
lagunya sendiri, dipimpin oleh dua beringin besar yang berada di tengah alun‐
alun. Dibantu oleh angin, mereka menyanyikan suara alam. Indah sekali. Lagu itu
adalah dzikir dalam bahasa pohon. Tak henti‐hentinya pohon‐pohon itu
mendendangkan keesaanNya. Pohon‐pohon beringin itu setidaknya lebih sadar
daripada manusia yang menganggap dirinya lebih sadar dari makhluk lain.
"Sendirian saja pak?" penjual ronde itu bertanya kepada bapak itu.
"Iya pak. Saya tidak tinggal di Yogya. Keluarga saya di Jakarta. Saat ini sedang ada
tugas di Yogya, ya sekalian menikmati suasana yogya."
"Tugasnya lama pak di Yogya?"
"Hanya tiga hari. Ini hari terakhir, besok malam pulang."
"Wah enak ya jadi orang seperti bapak. Mondar‐mandir antar kota. Seperti saya
ini bagaimana akan melihat Jakarta, lha pendapatan dari ronde ini hanya pas
untuk makan sehari‐hari dengan keluarga. Itu juga dibantu isteri jualan sayur di
pasar. Kalau tidak mana bisa anak saya nerusin sekolah pak. Untung yang
pertama dibiayai oleh penyair kampung si Onto itu."
"Onto? Ontobumi itu?"
"Betul pak. Dia itu orang yang baik hati. Anak asuhnya banyak. Sering membantu
juga sama orang yang kekurangan makan. Bapak kenal dia?"
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 8
"Tidak. Tapi tadi saya melihat waktu ia ngamen. Di mana saya bisa ketemu?"
"Kebetulan pak. Biasanya dia mampir kesini untuk nge‐ronde."
Kebetulan? Ah mungkin kebetulan sekali bapak itu mampir di wedang ronde.
Penjual ronde itu bersemangat betul menceritakan tentang Onto, penyair
kampung yang baik hati.
Malam semakin mendekati pagi. Saat ini pukul 01.30. Dari arah timur
terlihat seseorang berjalan dengan santainya menuju warung wedang ronde itu.
Langkahnya ringan seakan tak ada beban hidup yang dipikulnya. Setelah dekat,
terlihat wajahnya masih cerah. Bola matanya bersinar terang menyinarkan
kesegaran jiwa. Hawa yang dibawanya tenang dan sejuk. Burung‐burung berhenti
berkicau seolah mempersilahkan Onto untuk duduk di kursi kayu warung ronde.
"Waduh, malam den Onto," sapa penjual ronde dengan akrab.
"Lha bagaimana to pak Kasno ini. Sudah dibilangin jangan panggil den. Saya inikan
bukan bangsawan," Onto menyahuti sapaan penjual ronde.
Bapak yang dari tadi memang menunggu Onto kemudian ikut dalam percakapan
itu. "Anda itulah bangsawan sejati mas Onto. Bangsawan itu artinya kelompok
mulia. Jadi sebenarnya bukan turunan fisik. Banyak yang fisiknya menganggap
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 9
bangsawan namun hatinya penjahat. Dari cerita pak Kasno anda berhati mulia
mas."
"Iya den Onto, bapak ini dari tadi nunggu den Onto. Kebetulan sekali ia mampir di
tempat yang tepat."
Bapak itu kemudian menyalami Ontobumi untuk memperkenalkan diri.
"Perkenalkan, nama saya Yurda. Saya baru mencari penyair Yogya untuk
bergabung dalam pertunjukan perdamaian yang baru kami rencanakan minggu
depan. Kalau mas Onto bersedia, besok kita berangkat bersama ke Jakarta. Nanti
mas Onto membaca syair bersama penyair Wimbi dari Jakarta."
"Ya, saya tahu Wimbi. Dia penyair terkenal. Bukunya sudah banyak beredar.
Apakah bapak tidak salah pilih? Banyak penyair Yogya yang sudah punya nama
untuk disejajarkan dengan Wimbi. Saya bukan apa‐apa lho pak."
"Tidak mas Onto. Saya melihat kekuatan dan kemurnian dalam syair‐syair mas
Onto. Mas Onto bisa mengajak pendengar untuk melihat dirinya sendiri."
"Wah, saya tidak mengajak siapapun untuk apapun pak. Saya hanya
mengungkapkan suara hati saya pak. Saya bersyair untuk Allah."
"Saya mohon mas Onto. Pertunjukan ini untuk amal. Pertunjukan perdamaian.
Untuk membantu korban‐korban bencana alam."
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 10
Ontobumi melihat keatas. Ia memperhatikan bintang‐bintang yang tak
henti‐hentinya berkelip walau tak ada yang memeperhatikannya. Ia diam
mengacuhkan pak Yurda yang menanti jawabannya. Bagi Onto, bintang‐bintang
itu sedang berbicara padanya. Kelipan sinarnya adalah bahasa yang menyuarakan
jawaban dari setiap lembaran hidup. Ia masih melihat keatas.
"Pak Yurda lihat bintang‐bintang itu?"
"Ya mas, ada apa dengan bintang itu?"
"Ia menarik dan tetap bersinar karena menganggap dirinya tak bersinar. Ia
bersinar karena memang harus bersinar, tidak pernah mengeluh. Walau saya
teriak berhenti, ia tetap bersinar. Karena memang ia dibutuhkan."
Pak Yurda tak memahami Onto. Apa hubungannya bintang dengan ajakannya itu?
Namun ia ingat kata beberapa pengamen tadi bahwa Onto memang orang aneh.
"Jam berapa kita berangkat besok pak Yurda?" tanya Ontobumi mengagetkan pak
Yurda yang masih bingung dengan Onto. Tanpa menjawab pertanyaan tiba‐tiba
sekarang ia menanyakan jam berapa berangkat. Ha ha ha.. memang aneh, pikir
pak Yurda. Tapi menarik sekali dekat dengan dengan orang seperti ini, spontan.
"Besok sore jam 18.00 tepat. Saya tunggu di stasiun Tugu ya."
"Beres pak. Saya akan kesana sebelum jam 18.00."
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 11
Pak Yurda menyalami Onto untuk duluan pulang. Kemudian ia meninggalkan uang
lima puluh ribu kepada pak Kasno. Pak Kasno bingung karena tak punya
kembalian. Namun pak Yurda sudah pergi dengan mobilnya.
"Wah, rejeki apa malam ini? Den Onto, saya tidak mengira lho kalau satu ronde
dibayar lima puluh ribu. Ha ha ha...." pak Kasno gembira menerimanya.
Ontobumi hanya tersenyum sambil pergi meninggalkan pak Kasno. Suara jangkrik
kembali menghiasi sepi malam itu. Para penjual jagung bakar ada beberapa yang
sudah menutup dagangannya. Dingin malam tambah menyengat. Daun‐daun
yang berserakan seakan lembaran kalam yang menyiratkan kalau hari sudah
berganti.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐
Jakarta. Kota ini sungguh ramai. Kereta api dari Yogya baru sampai pukul
06.00 pagi hari. Namun sepagi itu kegiatan penduduk Jakarta sudah mulai ramai.
Beberapa ruas jalan bahkan sudah ada yang macet. Beberapa puluh orang terlihat
sedang berebut untuk naik bus kota. Udara pagi itupun sudah tercemar dengan
polusi dari knalpot kendaraan. Sayang, masih banyak ruas jalan yang kurang
dengan adanya pohon hijau yang tentunya sebagai penyaring udara. Tragis.
"Banyak orang bingung ya pak Yurda," Onto bertanya kepada pak Yurda di dalam
taksi menuju rumah pak Yurda di daerah Ciputat.
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 12
"Bingung kenapa mas?" Pak Yurda tak mengerti. Karena yang ia lihat ya kesibukan
seperti hari‐hari biasanya.
"Mereka itu berebut mau ngapain ya?"
"Ya jelas mau ke tempat kerja."
"Setelah kerja tentunya mereka dapat uang. Setelah dapat uang mereka akan
mencoba memenuhi tuntutannya. Setelah tuntutannya terpenuhi lalu mereka
akan menikmatinya. Bukan begitu pak?"
"Iya benar."
"Nah, itu tandanya orang bingung pak. Mereka menikmati hidup setelah
menunggu proses itu tadi. Mengapa tidak menikmati hidup sekarang juga? Kalau
bisa menikmatinya sekarang, mengapa mereka jadi budak uang dan waktu?
Mereka bingung karena tidak mengerti ke arah mana kehidupan ini berjalan."
"Memangnya ke mana arah kehidupan ini mas?"
"Kepada Tuhan pak. Semua akan kembali kepadaNya. Nah, kalau semua orang
sadar akan hal itu, untuk apa mati‐matian mengejar sesuatu? Toh nantinya akan
pulang juga ke sumber abadi itu."
"Kalau begitu semua orang akan diam saja dong."
"Tidak pak. Justru yang diam saja itu juga tidak tahu ke arah mana tujuan
kehidupan ini. Kalau seseorang sadar, ia akan mengerjakan sesuatu sesuai
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 13
porsinya. Kalau sudah cukup ya sudah. Masih banyak orang yang membutuhkan.
Kalau ia dapat lebih akan dibagikan kepada yang kurang. Tidak ngoyo kata orang
jawa. Sekarang yang terjadi kan tidak begitu pak. Yang kaya semakin menumpuk
kekayaan, yang punya jabatan tidak mau diganti. Semua ingin untung sebanyak‐
banyaknya. Mereka lupa kepada yang membutuhkan."
"Mas Onto, anda memang seorang penyair. Hati anda terbuka terhadap
kehidupan ini."
Taksi itu kemudian berhenti di sebuah rumah yang lumayan besar di daerah
Ciputat. Pak Yurda dan Ontobumi lalu turun. Pembantu rumah pak Yurda
menghampiri untuk membawakan tas mereka. Isteri pak Yurda yang masih
kelihatan cantik dengan umurnya yang menginjak 45 tahun menyambut dengan
ramahnya.
"Ma, ini mas Ontobumi penyair dari Yogyakarta," pak Yurda memeperkenalkan
Onto kepada isterinya.
"Apa kabar mas Onto, selamat datang di rumah kami."
"Terimakasih bu. Pak Yurda terlalu berlebihan. Saya bukan penyair, saya hanya
ngamen untuk bisa berbagi kepada sesama."
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 14
"Ngamen untuk berbagi kepada sesama? Menarik sekali mas. Kalau di sini,
kebanyakan yang ngamen di bus kota tidak berbagi, malah minta dibagi.
Bagaimana mas bisa seperti itu?" isteri pak Yurda penasaran dengan sikap hidup
Onto.
" Iya bu. Saya ngamen tidak untuk mencari sesuatu. Tidak ada yang perlu dicari.
Semua kebutuhan sudah dipenuhi oleh Allah. Kalau mereka mendengarkan syair
saya, saya sudah senang. Mungkin ada sedikit pencerahan di sana. Kalaupun tidak
didengarkan ya tidak apa‐apa, mungkin belum waktunya. Lalu kalau ada yang
kasih imbalan itu berarti tanda cinta dia kepada Allah. Lha saya bisa begini ini ya
karena Allah."
"Wah menarik sekali. Tapi sudah dulu ya ngobrolnya. Mungkin mas Onto mau
istirahat dulu. Silahkan ke kamar yang sudah disiapkan. Kebetulan dua anak saya
sudah tidak tinggal di sini lagi. Yang pertama ada di Medan, sudah berumah
tangga. Yang kecil kerja di Surabaya. Silahkan lho mas Onto, anggap rumah
sendiri."
"Terimakasih banyak lho bu, juga pak Yurda."
"Saya yang terimakasih sebenarnya," kata pak Yurda. "Banyak yang saya dapatkan
dari mas Onto walaupun umur kita terpaut sepuluh tahun. Pemahaman saya
belum seperti mas Onto."
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 15
Kemudian Ontobumi memasuki kamar yang sudah disiapkan. Setelah mandi,
kemudian ia istirahat untuk melepas lelah.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐
Malam ini, pertunjukan kesenian untuk forum perdamaian yang diadakan
oleh kelompok kebangkitan jiwa. Pak Yurda sebagai ketuanya. Kelompok ini
memang konsentrasi untuk membantu sesama. Pertunjukan kesenian itu
diadakan di Taman Mini Indonesia Indah. Wimbi seorang penyair terkenal ikut
memeriahkan acara itu. Acara dibuka dengan pembacaan syair oleh Wimbi. Lalu
ada sendra tari, juga drama kolosal. Ontobumi duduk diam di kursi pojok belakang
panggung sambil melihat bagaimana Wimbi membacakan syairnya.
Kini, giliran Onto untuk membaca syair......
TAK ADA ENGKAU
Tak kulihat apa‐apa kala kutatap langit bersih,
Tak ada awan, tak ada mendung,
Tak ada Engkau............
Kutelusuri setiap sudut pasar dan kubuka setiap pintu rumah,
Aku bertengger diatas pohon,
Tak ada Engkau............
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 16
Aku menyelam ke samudra bertanya pada ikan dan karang,
Lalu aku pergi ke kota,
Tak ada Engkau............
Kupelajari setiap ilmu, kuhabiskan ratusan buku,
Kudatangi setiap guru,
Tak ada engkau.........
Aku bingung aku lelah,
Kebingunganku mengantarku kepada diam,
Didalam diam Engkau membuka hijab itu,
Dalam diam aku menemuiMU.............
Semua terpana, seakan terbius oleh syair Onto. Kemudian tepuk tangan
dengan riuhnya menyambut Onto. Pak Yurda heran. Syair yang dibawakan Onto
lebih mengena daripada Wimbi. Banyak penonton yang juga mengakui bahwa
Onto lebih bagus daripada Wimbi. Onto menerima banyak pujian, namun ia diam
saja. Bukan itu yang ia harapkan. Ia tidak mengharapkan apa‐apa. Kemudian pak
Yurda mendekati Onto.
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 17
"Mas, sambutan mereka luar biasa. Kalau mas mau menerbitkannya dalam
bentuk buku saya pikir akan sukses."
"Bukan itu pak. Maaf, sukses saya adalah kalau banyak orang tercerahkan dengan
syair saya. Bukan keuntungan materi."
Terlihat penyair kenamaan Wimbi berjalan mendekati Onto. Lalu Wimbi
menyodorkan tangannya untuk menjabat tangan Onto.
"Anda hebat!" begitu kata Wimbi memujinya.
"Bukan saya yang hebat. Allah yang hebat. Saya hanya alatNya."
"Saya akui, anda lebih bagus daripada saya. Kalau boleh saya tanya, bagaimana
anda menemukan inspirasi sebagus itu dalam syair?"
"Mas Wimbi, saya bersyair bukan karena siapa‐siapa. Semata karena Allah ingin
saya bersyair. Saya tidak terikat dengan kepopuleran, dengan pasar buku, dengan
apapun. Saya hanya menyuarakan panggilanNya.
"Saya sadar sekarang. Saya terlalu berpikir untuk membuat orang lain senang.
Sehingga karya saya sudah tidak orisinil dari hati saya. Sudah banyak dipengaruhi
oleh pasar buku. Saya bersyair bagaimana yang cocok dengan orang. Saya terikat
dengan kepopuleran."
"Mas Wimbi, lakukanlah hanya untuk Allah semata, dalam semua hal."
Kemudian Onto memeluk Wimbi sebagai tanda persahabatan.
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 18
"Mas Onto, maukah tinggal di Jakarta untuk bersyair di sini?" ajak Wimbi kepada
Onto.
"Tidak mas, saya harus berkarya di Yogya, tetap akan ngamen di Malioboro.
Begitu banyak yang saya temukan di sana. Begitu banyak mutiara hidup tercecer
yang diacuhkan orang. Nanti kalau mas Wimbi ke Yogya silahkan temui saya di
pojok warung ronde alun‐alun utara Yogya."
Ontobumi adalah penyair kampung, begitu teman‐teman menyebutnya. Ia
jauh dari kemewahan para selebriti. Namun sesungguhnya ialah seorang selebriti
sejati. Selebriti sejati adalah ia yang bisa merayakan hidup setiap saat tanpa
kemunafikan. Bukan para selebriti yang selalu memasang senyum palsu dan
keriangan padahal batinnya terkoyak dan jiwanya mati. Selebriti selalu
bersentuhan dengan Allah. Bukan hanya bentuk amal dan pakaian yang
ditonjolkan didepan wartawan. Namun hati yang selalu mengumandangkan
asmaNya. Penyair itu tetap berkarya untuk mengumandangkan dan
mengingatkan kita tentang kemuliaan Allah. Kita semua yang sedang
mengumandangkan asmaNya dengan penuh perayaan hidup sesungguhnyalah
seorang selebriti!! Ada satu syair dari Ontobumi yang tertinggal di meja pak
Yurda..............
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 19
JATUH CINTA
Setelah bertemu denganMU aku jadi gila,
Tak tau lagi siapa diriku,
Kala engkau memelukku dalam dekapan itu,
Aku jatuh cinta padaMU.......
Setiap desah nafasku dan denyut nadi dalam sel tubuhku,
Hanya kamu yang singgah di kalbuku,
Setelah bertemu denganMU,
Tak tau lagi apa yang harus kulakukan,
Aku hanya diam menikmati rindu padaMU,
Setiap waktu aku sempatkan untuk bersimpuh dikakiMU,
Untuk melebur didalamMU,
Siapakah aku didalam cinta itu??
Aku kini jatuh cinta padaMU karena nanti aku akan pulang kepangkuanMU............
Sekian.
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 20
KUBURAN
Toni masih menunggu Edi di depan rumahnya. Malam itu, Toni lengkap
dengan sarung dan senternya. Waktu menunjuk pukul 19.00, tapi Edi belum juga
muncul.
"Hai Ton, sorry nih, agak telat," sapa Edi yang tiba‐tiba datang dari ujung jalan.
"Wah, saya kira tidak jadi. Ayo buruan berangkat, kita harus ketempat Pak Sumo
dulu."
Pak Sumo adalah seorang paranormal yang terkenal di daerah Toni, di
wilayah Semarang, Jawa tengah. Seminggu yang lalu Toni sudah bikin janji dengan
Pak Sumo. Toni dan Edi adalah kawan akrab yang baru lulus sekolah, sekarang
berusaha mencari kerja ke sana ke mari yang ternyata sangatlah sulit.
Pertemuannya dengan Pak Sumo sangat kebetulan bagi Toni dan Edi. Bagaimana
tidak, Pak Sumo menawarkan bisa menarik pusaka peninggalan Soekarno, karena
dikatakan bahwa Tonilah pewaris yang berhak, karena Toni ada hubungan
spiritual dengan Soekarno.
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 21
Toni yang memang dari dulu menyukai dunia mistik, dan telah belajar lama
tentang tenaga dalam, langsung percaya. Karena menurut dia sendiri, dalam
setiap kali ia melakukan semedi, sering nampak wajah mantan Presiden RI
tersebut. Pernyataan Pak Sumo merupakan pembenaran bagi obsesinya sendiri.
Sedangkan Edi sebenarnya adalah orang yang rasional logis. Ia suka
membaca buku tentang filsafat dan menguasai teori fisika. Namun karena
terdesak kebutuhan dan Toni adalah kawan akrabnya, maka ia ikut juga walaupun
masih ada keraguan di hatinya.
"Ton, aku ragu dengan ini semua," kata Edi di tengah perjalanan menuju rumah
Pak Sumo.
"Ed, yang kamu ragukan itu apa? Pak Sumo itu benar. Ia bisa melihat bahwa aku
itu sering didatangi arwah Soekarno. Hanya saja, aku tidak bisa menangkap apa
yang akan beliau sampaikan. Dan ini kesempatan kita. Nanti kalau pusaka itu bisa
kita ambil, lalu kita jual. Harganya pasti sangat mahal. Uangnya bisa buat modal
usaha kita."
"Iya kalau bisa. Kalau tidak? Kita kehilangan uang 5 juta untuk mas kawin yang
harus kita sediakan."
"Lho kan Pak Sumo sudah bilang, kalau uang itu akan kembali apabila pusaka itu
tidak bisa kita ambil."
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 22
"Ya sudah, terserah kamu saja. Aku hanya menemani saja."
Mereka sudah sampai di depan rumah Pak Sumo. Sebuah rumah petak
kontrakan ukuaran 4 x 4 meter persegi. Alasan Pak Sumo tinggal di situ adalah
karena menghindari kemewahan. Ia tidak ingin mencari materi, katanya kepada
Toni seminggu yang lalu. Namun rumah itu kelihatan sepi. Beberapa kali Toni
mengetuk pintu, tidak ada jawaban dari dalam.
"Nah Ton, kemana Pak Sumo ini? Apa dia sengaja menghilang?"
"Sudahlah, jangan berpikir macam‐macam dulu."
Toni juga sudah mulai berpikir, jangan‐jangan benar juga apa yang dikhawatirkan
Edi. Namun beberapa saat kemudian ada seorang wanita tua keluar dari rumah
sebelah.
"Mencari Pak Sumo ya nak?"
"Iya nek. Nenek tahu kemana beliau?" kata Toni menyahut.
"Tadi Pak Sumo titip pesan. Ia berangkat dulu. Kalian disuruh nyusul ke sana.
Katanya kalian sudah tahu tempatnya. Pak Sumo harus bertemu dengan penjaga
sana dulu supaya tidak mengganggu kalian."
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 23
"Terimakasih nek," kata Toni yang kemudian buru‐buru keluar dari halaman
rumah Pak Sumo. Edi yang menyetir motor kemudian menyalakan motornya.
Mereka menuju kuburan yang telah dijanjikan.
Kuburan itu terlihat tidak terawat. Banyak pohon besar dan kotor. Mungkin
sudah lama tidak dipakai. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Malam itu
menjadikan suasana kuburan semakin angker. Hanya suara jangkerik yang
menemani Toni dan Edi memasuki pintu gerbang kuburan tua tersebut. Mereka
langsung menuju salah satu pohon terbesar di tengah kuburan itu.
Di sana sudah ada tikar. Lengkap dengan kemenyan yang sudah menyala,
kembang setaman dan sesaji yang lain. Toni berpikir pastilah semua ini Pak Sumo
yang menyiapkannya. Sementara Edi agak pasif, ia diam saja karena menurut dia
semua itu kelihatan ganjil. Di jaman yang serba komputer ini masih ada saja orang
yang melakukan hal seperti ini. Termasuk dirinya.
"Ton, kemana Pak Sumo?"
"Kita tunggu saja. Kita duduk di sini dulu."
"Ton, kamu kebanyakan melihat tayangan mistik di teve sih. Itu semua
membodohi kita. Mengkondisikan kita untuk percaya dengan hal yang merugikan
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 24
kita. Coba lihat, ngapain malam‐malam begini kita ada di sini, jelas merugikan
kan?"
"Mengapa kamu mau Ed?"
Edi diam. Iya ya, mengapa dirinya mau ada di sana malam‐malam begini.
Walaupun dia tidak percaya, keberadaan dia di sana sudah membuktikan bahwa
dia juga percaya. Walaupun alasan yang dikemukakan Edi adalah sekedar
mencoba, kedatangan dia adalah dorongan rasa percaya yang tidak disadarinya.
Alasan sekedar mencoba hanyalah pembenaran bagi langkahnya.
Sudah hampir jam dua belas malam. Sebentar lagi tengah malam, namun
Pak Sumo belum juga muncul. Toni dan Edi sudah mulai gelisah. Dari arah depan
terlihat bayangan seseorang menuju tempat mereka. Dengan pakaian serba
hitam, jalan agak tergesa‐gesa. Nafasnya terlihat kecapaian karena lari. Ternyata
orang itu Pak Sumo, paranormal yang mereka tunggu‐tunggu.
"Aduh, maaf nak Toni dan nak Edi. Bapak terlambat."
"Lho, bukannya tadi bapak ke sini duluan?" kata Toni menyela.
"Tadinya demikian. Namun bapak mampir di mushola. Eh ternyata bapak
ketiduran. Kelihatannya ada yang menghalangi usaha kita nak. Ada yang tidak
suka dengan pengambilan pusaka ini. Bapak sengaja dibuat tidur."
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 25
"Jadi?" Edi melihat ke arah Toni.
Toni tanggap, ia melihat ke arah tikar dan sesaji.
"Jadi nak Toni dan nak Edi sudah mempersiapkan segalanya toh? Sudah lengkap
ada kembangnya segala."
"Bukan Pak Sumo, bukan kami," Toni berkata sambil masih bingung.
"Lho, lalu punya siapa? Tidak ada orang lain di sini."
"Itulah yang membingungkan saya pak," kata Toni, "Tadi sewaktu kami datang,
kami kira bapak yang menyiapkan semua ini. Kalau ternyata bapak juga baru saja
datang, lalu punya siapa ini?"
Pak Sumo juga bingung. Kelihatan aneh. Seorang paranormal kok bingung.
Harusnya tidak. Paranormal kan tahu segalanya, bahkan yang belum kejadian juga
tahu. Suasana kuburan jadi semakin mencekam. Ada tanda tanya yang besar.
Siapa yang mempersiapkan semua ini? Yang tahu rencana untuk pengambilan
pusaka, kan hanya mereka bertiga.
"Kalau bapak saja tidak tahu, bagaimana kami?" kata Edi.
"Bukan demikian," Pak Sumo mulai melakukan pembelaan. Ia seorang
paranormal. Malu kalau dibilang tidak tahu. Paranormal harus serba tahu. Untuk
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 26
menjaga reputasinya ia segera mempersiapkan jawaban supaya kelihatan bahwa
ia menguasai keadaan.
"Begini nak, baru saja bapak mendapat bisikan."
Edi mengerutkan keningnya. Sudah ia duga. Kuncinya adalah kata 'bisikan'. Ya,
kata itu adalah senjata kunci supaya tidak ada argumentasi selanjutnya.
Bagaimana mungkin bisikan itu dibuktikan?
"Bisikan itu mengatakan bahwa yang mempersiapkan semuanya adalah pasukan
Soekarno untuk menyambut kalian. Jadi tidak usah takut, tidak usah khawatir.
Kedatangan kita sudah disambut."
"Bagaimana mungkin pak," kata Edi membantah, "Kalau pasukan itu makhluk
halus mana bisa menyiapkan tikar segala."
"Bisa nak. Sebenarnya benda ini semua tidak ada. Tadinya tidak ada, hanya
berujud energi. Seperti makhluk halus itu, mereka energi. Karena energi maka kita
tidak bisa melihatnya. Tetapi energi itu bisa menjadi materi kalau strukturnya
memadat. Nah, tikar dan sesaji ini adalah energi yang telah berubah strukturnya
karena bantuan proyeksi dari pikiran kalian yang bisa tertangkap oleh panca
indera."
Edi tercengang dengan jawaban Pak Sumo. Gila! Paranormal sekarang juga
sudah menguasai teori fisika. Bahkan kebingungan ini bisa ia jelaskan dengan teori
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 27
energi. Benar‐benar gila. Namun, ya masih membingungkan. Bagaimana tidak,
seorang yang bingung menjelaskan kebingungan. Bisa ditebak, semua jadi
bingung.
"Bagaimana dengan pusaka itu pak?" Edi masih mengejarnya.
"Sama saja. Pusaka itu secara materi tidak ada. Namun proyeksi dari pikiran kita
yang memfasilitatori untuk berubah menjadi energi padat sehingga mata bisa
melihatnya."
Edi diam. Toni juga. Pak Sumo merasa lega bisa memberikan jawaban yang
dianggap memuaskan bagi Edi. Padahal Edi diam karena bingung. Darimana Pak
Sumo belajar teori‐teori ini. Ah sudahlah, mungkin juga benar.
Pak Sumo kemudian melakukan semedi. Tangannya menyilang sementara
mulutnya komat‐kamit membaca mantra. Toni dan Edi duduk diam di
belakangnya. Kemudian Pak Sumo berdiri, meloncat‐loncat seakan mau
menangkap sesuatu. Seperti mau mengangkap kupu‐kupu yang terbang. Lalu
dengan hentakan kaki, Pak Sumo menjatuhkan tangannya ke tanah.
"Pusaka itu masuk ke sini, ke dalam tanah di sini," kata Pak Sumo, "Coba nak Toni
gali tanah ini, karena nak Toni yang berhak."
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 28
Toni menggali tanah yang dimaksud Pak Sumo. Tidak berapa lama,
muncullah sebuah besi yang agak panjang. Toni terus menggali sampai barang itu
terangkat semuanya. Setelah utuh baru terlihat kalau barang itu ternyata sebuah
keris.
"Keris ini bernama Kalamanjang, pusaka Soekarno. Kita berhasil menariknya. Ini
jodohmu nak Toni. Sekarang pulanglah, bersihkan keris ini dan simpan baik‐baik."
Keesokan harinya, setelah keris yang dibawa Toni dibersihkan, Toni dan Edi
menghampiri rumah Pak Sumo untuk menanyakan lebih lanjut tentang keris
tersebut.
"Sekarang kamu percaya tidak Ed?"
"Saya tidak berkomentar Ton, semua masih misteri bagi saya. Bahkan keberadaan
Pak Sumo, tikar dan sesaji tadi malam juga misteri. Jangan‐jangan apa yang
dikatakan Pak Sumo bahwa semua itu tidak ada benar adanya."
"Maksudmu?"
"Entahlah Ton, saya bingung."
Sesampai rumah Pak Sumo, Toni dan Edi sempat kaget. Rumah itu kelihatan
ramai sekali orang.
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 29
"Maaf pak, ada apa ya di rumah Pak Sumo?" tanya Toni pada salah satu orang di
sana.
"Pak Sumo meninggal dik, kemaren malam. Diperkirakan meninggalnya maghrib
kemaren."
"Hah?"
Toni dan Edi terperanjat. Maghrib? Berarti pada waktu mereka ke sini Pak Sumo
sudah meninggal. Lalu siapa nenek yang memberitahu kalau Pak Sumo sudah
menuju kuburan itu? Toni sempat menanyakan tentang nenek yang muncul dari
rumah sebelah. Namun alangkah kagetnya mereka berdua bahwa di sekitar
rumah itu tidak ada seorang nenek.
Toni kelihatan gemetar, sementara Edi tetap tenang. Siapa yang mereka
temui tadi malam? Bagi Edi semuanya sudah terjawab. Walaupun sulit untuk
menjelaskan pada Toni, namun Edi memahaminya.
"Sudahlah Ton. Ini pengalaman. Simpan saja keris itu."
"Ed, berarti tadi malam kita ketemu siapa?"
"Itu tidak penting. Yang jelas, untuk mendapatkan uang, tidak begini caranya. Ini
peringatan bagi kita untuk tetap mencari kerja. Untuk tetap berusaha, tidak
gampang menyerah begitu saja."
"Kamu kelihatannya memahami sesuatu Ed."
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 30
Edi diam. Percuma menjelaskan kepada Toni. Pikiran Toni telah terkondisi
sedemikian tebal tentang mistik yang disalahartikan, seperti tayangan di teve‐teve
itu. Edi jadi marah juga dengan stasiun‐stasiun teve yang turut andil menciptakan
keterkondisian baru bagi anak‐anak, bagi orang seperti Toni. Bagi Edi, semua
memang proyeksi dari pikiran manusia sendiri. Hanya proyeksi. Karena memang
segala sesuatu itu tidak ada. Ia ada dari energi membentuk materi karena pikiran
kita, harapan kita. Pak Sumo, nenek samping rumahnya dan tikar itu adalah
proyeksi dari pikiran Toni dan dia yang secara tidak sadar ia harapkan. Secara
tidak sadar, mereka telah membentuk cerita sendiri di dalam pikirannya, sebelum
kemudian benar‐benar bisa mewujud di permukaan panca indera.
Edi kemudian tersenyum, dan hanya bisa mengatakan kepada sahabatnya,
"Ton, ini semua hanya mimpi. Sadarlah!"
sekian
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 31
G E L A S P L A S T I K
Tetangga saya kemaren sempat uring‐uringan, memarahi anaknya yang
masih kecil. Pasalnya, sudah beberapa kali ini anaknya memecahkan gelas
dirumah. Tidak tanggung‐tanggung, gelas itu dibanting di depan ibunya. Suara
teriak sang ibu sampai di rumah saya.
Mendengar peristiwa itu, salah satu isteri tetangga yang lainnya mencoba
memberi nasehat kepada ibu itu.
“Bu, kalau anak kecil sebaiknya diberi gelas plastik saja biar kalau dibanting tidak
pecah.”
Saat itu juga si ibu mendapat pencerahan! Ya, gelas plastik. Gelas plastik akan
menyelesaikan masalah marah‐marahnya.
Esok harinya, si ibu memborong gelas plastik di pasar. Seluruh gelas kaca
dirumahnya akan di restrukrisasi, akan dirampingkan. Benar juga, gelas‐gelas kaca
yang dulu dimasukkannya dalam kardus, disimpan di dalam almari.
“Sekarang, beres. Gelas‐gelas ini tidak akan pecah dibanting anakku,” katanya.
Sore hari, seperti biasa, si anak sudah beraksi seperti biasa, membanting
gelas! Kali ini giliran anaknya yang heran. Sudah dibanting berkali‐kali kok tidak
pecah.
“Tidak seperti kemaren nih gelas, beberapa kali kubanting tidak pecah. Dari apa
ya gelas ini?” demikian pikir si anak.
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 32
Ibunya melihat si anak sedang membanting gelas. Ia hanya tersenyum saja.
Saat itu si ibu sudah bisa tersenyum setelah pencerahan tentang gelas plastik. Ya,
pencerahan yang dia dapatkan bisa membawa dirinya tidak marah‐marah lagi,
dan bisa memandang anaknya dengan senyuman.
Tidak bagi si anak, pencerahan yang didapatkan ibunya membawa kekesalan
untuk dirinya. Kemaren dia bisa tertawa setelah memecahkan gelas. Kali ini ia
murung karena gelasnya dibanting tidak pecah.
Tidak lama kemudian, sang bapak pulang dari kerja. Bapak itu melihat
isterinya tersenyum melihat anaknya yang ngambek sambil memegang‐megang
gelas.
“Ada apa bu?” tanya bapak itu
“Lihat anak kita pak, dia tidak bisa memecahkan gelas lagi.”
“Ya, lalu?”
“Gelas kita sekarang tidak pecah lagi.”
“Tetapi ibu sekarang ngapain?”
“Nyuapin dia.”
“Udah belum bu?”
“Belum......”
“!!!!.........”
Celaka! Gara‐gara menikmati kebebasan gelas tidak pecah, kemerdekaan tidak
marah‐marah, ibu itu lupa nyuapin anaknya, lupa akan tugas utamanya. Beberapa
hari ia hanya mikirin gelas sehingga beberapa hari juga lupa bahwa anaknya tidak
dikasih makan. Sebetulnya si anak membanting gelas bukan karena ingin
K u m p u l a n c e r p e n A g u n g W e b e , f r e e e b o o k Page 33
membanting. Ia protes dengan ibunya karena sang ibu hobinya mengoleksi gelas
kaca!
Namun, apa mau dikata, si bapak akhirnya masuk rumah dan mengambil
nafas panjang. Ia duduk rileks dan santai. Sesaat kemudian ia mendengar nasehat
dari gurunya,
Sesungguhnya Kesadaran dan kebahagiaani bagaikan dua sisi kepingan uang
logam yang sama. Bila sulit berada dalam alam kesadaran 24 jam, berupayalah
untuk selalu bahagia, selalu ceria, maka matahari kesadaran akan terbit sendiri.
Keceriaan adalah kesadaran‐pencerahan!‐‐‐
Kemudian bapak itu keluar melihat ibunya. Bapak itu tersenyum melihat
drama ‘gelas plastik’ itu. Si ibu heran kok bapaknya malah tersenyum, tidak
marah.
“Bapak tersenyum gara‐gara gelas platik juga?”
Bapak itu tidak menjawab. Menurut dia, senyuman dia tidak ada sebabnya. Ia
tersenyum karena ia ingin tersenyum.
Tercerahkannya seseorang memang merupakan pengalaman baru bagi orang itu.
–
Salam ‐ WEBE
Top Related