BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit rematik merupakan suatu kondisi yang menyakitkan, yang
mengefek berjutaan orang. Terdapat lebih dari 100 jenis penyakit rematik,
antaranya adalah, osteoartritis, rheumatoid artritis, spondiloartritis, gout,
lupu eritematosus sistemik, skleroderma, fibromialgia, dan lain-lain lagi.
Penyakit ini menyebabkan inflamasi, kekakuan, pembengkakan, dan rasa
sakit pada sendi, otot, tendon, ligamen, dan tulang. Berdasarkan
penelitian oleh Centers for Disease Control and Prevention, menunjukkan
bahwa 33% (69.9 juta) daripada populasi Amerika Serikat mengeluhkan
penyakit artritis atau penyakit sendi (Cush, J.J. dan Lipsky, P.E., 2005).
Penyakit rematik ini merupakan suatu sebab sering terjadinya
keterbatasan aktivitas jika dibandingkan dengan penyakit jantung, kanker
atau diabetes. Menurut Eustice (2007), berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention (2007), 38%
(17 juta) penderita penyakit rematik di Amerika Serikat mengeluhkan
keterbatasan fungsi fisik akibat daripada penyakitnya. Sementara,
berdasarkan hasil penelitian terakhir dari Qing, Y.Z., (2008) prevalensi
nyeri rematik di beberapa negara asean adalah, 26.3% Bangladesh,
18.2% India, 23.6-31.3% Indonesia, 16.3% Filipina, dan 14.9% Vietnam.
Dari data yang didapati ini, bisa dikatakan bahwa, negara Indonesia
mempunyai prevalensi nyeri rematik yang cukup tinggi dimana keadaan
seperti ini dapat menurunkan produktivitas negara akibat keterbatasan
fungsi fisik penderita yang mengefek kualitas hidupnya.
Keterbatasan fungsi fisik adalah suatu kondisi dimana seseorang
tidak dapat atau mengalami kesukaran untuk melakukan aktivitas
hariannya. Keterbatasan fungsi fisik yang sering terjadi pada penderita
rematik adalah pada hal-hal seperti berjalan 1 atau 2 kilometer, menaik 1
atau 2 tangga, mandi & mengeringkan tubuh dan lain-lain lagi. Pada
penderita rematik, keseimbangan antara istirahat dan olahraga menjadi
sangat penting untuk mempertahankan kondisi fungsi fisik yang optimal
(Bruce, B., et al., 2009).
Lebih lanjut awitan keadaan ini bisa bersifat akut, dan perjalanan
penyakitnya dapat ditandai oleh periode remisi (suatu periode ketika
gejala penyakit berkurang atau tidak terdapat) dan eksaserbasi (suatu
periode ketika gejala penyakit terjadi atau bertambah berat). Terapi dapat
sangat sederhana dan bertujuan untuk melokalisaasi rasa nyeri, atau
dapat kompleks dan dimaksudkan untuk mengurangi efek sistemiknya.
Perubahan yang permanent dapat terjadi akibat penyakit ini.
Arthritis rheumatoid merupakan kasus panjang yang sangat sering
diujikan. Biasanya terdapat banyak tanda-tanda fisik. Insiden puncak dari
arthritis rheumatoid terjadi pada umur dekade ke empat, dan penyakit ini
terdapat pada wanita 3 kali lebih sering dari pada laki-laki (Akhtyo, 2009).
Arthritis rheumatoid memang lebih sering dialami oleh lansia, untuk
itu perlu perawatan dan perhatian khusus bagi lansia dengan arthritis
rheumatoid terutama dalam keluarga. Kedudukan dan peranan orang
lansia dalam keluarga dianggap sebagai orang yang harus dihormati dan
dihargai apalagi dianggap memiliki prestise yang tinggi dalam masyarakat
menjadikan secara psikologis lebih sehat secara mental. Perasaan
diterima oleh orang lain akan mempengaruhi tanggapan mereka dalam
memasuki hai tua, dan berpengaruh pula kepada derajat kesehatan lansia
(Fitriani, 2009).
Perawat berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan kepada
anggota keluarga yang sakit, sebagai pendidik kesehatan dan sebagai
fasilitator agar pelayanan kesehatan mudah dijangkau dan perawat
dengan mudah dapat menampung permasalahan yang dihadapi keluarga
serta membantu mencarikan jalan pemecahannya, misalnya mengajarkan
kepada keluarga untuk mencegah agar tidak terjadi penyakit Artritis
Rhematoid.
Peran klien dan keluarga lebih difokuskan untuk menjalankan lima
tugas keluarga tersebut adalah mengenal masalah kesehatan, membuat
keputusan tindakan kesehatan yang tepat, memberi perawatan kepada
anggota keluarga yang sakit, mempertahankan atau menciptakan
suasana rumah yang sehat, mempertahankan hubungan dengan
menggunakan fasilitas kesehatan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk membahas tentang
perawatan keluarga terutama pada keluarga yang mempunyai masalah
kesehatan dengan nyeri sendi dan dapat mengaplikasikannya dalam
memberikan asuhan keperawatan keluarga dengan Rheumatoid Artritis.
1.2. TUJUAN PENULISAN
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran proses keperawatan kasus
rheumatoid artritis pada klien Tn. A. secara optimal.
1.2.2. Tujuan Khusus
a. Dapat melakukan pengkajian, analisa data, masalah
keperawatan pada klien Tn. A
b. Dapat menyusun rencana/ intervensi keperawatan pada klien
Tn. A
c. Dapat melaksanakan/ mengimplementasikan rencana
keperawatan kepada klien Tn. A
d. Dapat menilai hasil (evaluasi) tidakan keperawatan pada klien
Tn. A
e. Dapat membuat dokumentasi keperawatan pada klien Tn. A
1.3. Metodologi Penulisan
Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini penulis menggunakan
beberapa metode antaralain :
1. Studi kepustakaan yakni membaca literature yang
menerangkan dan berhubungan dengan kasus Rematik
dan perawatannya baik berupa buku-buku diktat dan bahan
informasi lainnya.
2. Studi kasus yaitu mengkaji, merencanakan, dan melaksanakan
asuhan keperawatan pada klien secara langsung di RS. Tk. II
Pelamonia makassar dengan cara :
a) Wawancara
Dalam pelaksanaan studi asuhan keperawatan terhadap
klien, penulis mendapatkan data secara lisan dari klien,
keluarga dan tim kesehatan lainnya melalui percakapan.
b) Mempelajari dokumentasi klien
Penulis mengkaji melalui catatan atau hasil-hasil
pemeriksaan yang ada pada status klien.
c) Observasi
Pada tahap pengkajian dan implementasi penulis dapat
melihat langsung keadaan klien.
d) Pemecahan masalah
Dalam penerapan studi asuhan keperawatan penulis
menyelesaikan masalah-masalah yang ada pada klien
dengan melakukan intervensi langsung dengan menjalin
kerja sama dengan tim kesehatan lainnya.
1.4. Manfaat penulisan
1. Manfaat ilmiah
Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
dan pengetahuan dan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya,
khususnya pada kasus Rematik.
2. Manfaat praktis
Diharapkan karya tulis ilmiah inidapat menjadi sumbangsih
referensi bagi institusi Rumah Sakit khususnya RS Tk. II
Pelamonia Makassar dalam proses manajemen pemberian
asuhan keperawatan khususnya pada kasus Rematik.
3. Manfaat bagi peneliti
Karya tulis ilmiah ini dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan peneliti dalam bidang ilmu keperawatan serta
penerapannya dalam proses keperawatan khususnya pada
kasus klien Rematik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 RHEUMATOID ARTRITIS
2.1.1 PENGERTIAN
Penyakit rematik yang sering disebut arthritis (radang sendi) adalah
penyakit yang mengenai otot-otot skelet, tulang, ligamentum, tendon dan
persendian pada laki-laki maupun wanita dengan segala usia (Smeltzer,
2002).
Reumatik yang sering disebut artritis (radang sendi) terdiri atas lebih
dari 100 tipe kelainan yang berbeda. Penyakit ini terutama mengenai otot -
otot skelet, tulang, ligamentum, tendon dan persendian pada laki-laki maupun
wanita dengan segala usia (Cush, J.J. dan Lipsky, P.E., 2005).
Artritis rheumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik
dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ
tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien-pasien arthritis rheumatoid terjadi
setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat
progresivitasnya (Mansjoer,dkk, 2002).
Rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit inflamasi progresif,
sistemik, dan kronis. multisistem kronis yang penyebabnya tidak diketahui.
Terdapat berbagai manifestasi sistemik pada penyakit ini, karakteristiknya
adalah peradangan yang menetap pada cairan sendi (sinovitis), biasanya
menyerang area sekitar sendi dengan distribusi yang simetris (Cush, J.J. dan
Lipsky, P.E., 2005).
Potensi dari inflamasi yang terjadi pada cairan sendi dapat
menyebabkan kerusakan kartilago, erosi pada tulang, dan perubahan yang
lebih lanjut pada integritas sendi sebagai tanda khas pada penyakit ini.
Walaupun berpotensi merusak, Rheumatoid arthritis cukup bervariasi.
Beberapa penderita hanya menunjukkan penyakit oligoartikular yang ringan
dengan durasi yang singkat disertai dengan kerusakan sendi yang minimal,
sedangkan pada penderita yang lain dapat menunjukkan poliartritis progresif
yang ditandai kerusakan fungsional (Cush, J.J. dan Lipsky, P.E., 2005).
Beberapa penelitian mengatakan bahwa Rheumatoid arthritis
mengalami penuruanan dalam hal frekuensi dan tingkat keberatannya.
Sebagian besar, tanda dari Rheumatoid arthritis adalah homogen, dan pola
dari perubahan sendi dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor genetik. Artriris
reumatoid dihubungkan dengan penyakit ekstra-artikular yang secara
konsisten lebih sedikit terjadi pada orang Asia dan Afrika dibanding dengan
orang Kaukasia.
2.1.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI SENDI
Sendi sinovial memiliki karakteristik sedemikian rupa sehingga
Kemungkinkan jangkauan gerakan yang luas. Sendi sinovial diklasifikasikan
berdasarkan jangkauan gerakan atau berdasarkan bentuk bagian sendi dari
tulang yang terlibat.8
Setiap jenis sendi sinovial memiliki karakteristik yang sama, yaitu:
a. Kartilago hialin
Bagian tulang yang bersentuhan pasti dilindungi oleh kartilago hialin
yang menyediakan permukaan yang lembut dan cukup kuat untuk menyerap
gaya tekan serta menahan berat tubuh. Lapisan kartilago memiliki ketebalan
7 mm pada orang muda dan semakin tipis dan rentan terhadap tekanan
seiring dengan pertambahan usia. Hal ini menyebabkan bertambahnya
tekanan pada struktur sendi. Kartilago tidak diperdarahi tetapi menerima
nutrisi dari cairan sinovial.
b. Ligamentum kapsuler
Sendi dikelilingi dan ditutupi oleh jaringan fibrosa yang mengikat
tulang-tulang yang berkaitan. Jaringan tersebut cukup regang sehingga
Gambar 1 : Gambaran skematik dari sendi sinvial. (1) periosteum, (2) lapisan fibrous terluar dari kapsul, (3) lapisan sinovial bagian dalam dari kapsul, (4) lemak dan jaringan lunak longgar, (5) celah artikular, (6) kartilago, (7) tulang, (8) bare area.
pergerakan dapat dilakukan tapi juga cukup kuat untuk dapat melindungi dari
jejas.
c. Membran sinovial
Membran sinovial disusun oleh sel epitel dan berfungsi:
- Melapisi kapsul
- Menutupi bagian tulang di dalam sendi yang tidak ditutupi oleh kartilago
sendi
- Menutupi seluruh struktur intrakapsuler yang tidak menyokong berat
tubuh
d. Cairan sinovial
Cairan sinovial merupakan cairan kental dengan konsistensi
menyerupai putih telur dan disekresikan oleh membran sinovial kedalam
kavitas sinovial, dan berfungsi:
- Menyediakan nutrisi untuk struktur di dalam kavitas sinovial
- Mengandung fagosit yang mengeliminasi mikroba dan debris seluler
- Berfungsi sebagai lubrikan
- Mempertahankan stabilitas sendi
- Mencegah terpisahnya kedua ujung tulang yang berlengketan, seperti
sedikit air yang terdapat diantara dua permukaan kaca
e. Struktur intrakapsular lainnya
Beberapa sendi memiliki struktur-struktur yang terdapat di dalam
kapsul, tetapi berada di luar membran sinovial yang membantu
mempertahankan stabilitas, contohnya bantalan lemak dan meniskus pada
sendi lutut. Jika struktur tersebut tidak menyokong berat tubuh, biasanya
struktur tersebut tidak ditutupi oleh membran sinovial
f. Struktur ekstrakapsular
- Ligamentum, yang bergabung dengan kapsul memberikan stabilitas lebih
lagi pada kebanyakan sendi
- Otot atau tendon, juga menyediakan stabilitas. Selain itu otot dan tendon
juga meregang melintasi sendi ketika terjadi pergerakan. Jika otot
berkontraksi, otot tersebut akan memendek dan menarik dua tulang
sehingga semakin berdekatan.
g. Suplai darah dan persarafan
Saraf dan pembuluh darah yang melintasi sendi biasanya bertugas
menyuplai kapsul dan otot yang menggerakkannya.
2.1.3 ETIOLOGI
Penyebab Rheumatoid arthritis masih belum diketahui. Dikatakan
bahwa Rheumatoid arthritis mungkin merupakan manifestasi dari respon
terhadap agen infeksius pada orang-orang yang rentan secara genetik.
Karena distibusi Rheumatoid arthritis yang luas, hal ini menimbulkan
hipotesis bahwa jika penyebabnya adalah agen infeksius, maka organisme
tersebut haruslah tersebar secara luas. Beberapa kemungkinan agen
penyebab tersebut diantaranya termasuk mikoplasma, virus Epstein-Barr
(EBV), sitomegalovirus, parvovirus, dan virus rubella, tapi berdasarkan bukti-
bukti, penyebab ini ataupun agen infeksius yang lain yang menyebabkan
Rheumatoid arthritis tidak muncul pada penderita Rheumatoid arthritis (Cush,
J.J. dan Lipsky, P.E., 2005).
Walupun etiologi dari Rheumatoid arthritis belum diketahui pasti,
namun nampaknya multifaktorial. Terdapat kerentanan genetik yang jelas,
dan penelitian pada orang kembar mengindikasikan indeks sekitar 15-20%.
Sebanyak 70% dari pasien artrirtis reumatoid ditemukan human leucocyte
antigen-DR4 (HLA-DR4), sedangkan faktor lingkungan seperti merokok dan
agen infeksius dikatakan memiliki peranan penting pada etiologi, namun
kontribusinya sampai saat ini belum terdefinisikan (Cush, J.J. dan Lipsky,
P.E., 2005).
2.1.4 PATOFISIOLOGI
Rheumatoid arthritis adalah proses inflamasi kompleks yang
merupakan hasil reaksi dari berbagai populasi sel imun dengan aktivasi dan
proliferasi dari fibroblas sinovial. Respon inflamasi ini menyerang cairan
sinovial pada persendian, bursa dan tendon, serta jaringan lain di seluruh
tubuh. Orang-orang yang menderita penyakit ini menunjukkan tanda-tanda
klinik yang bermacam-macam dan distribusinya pada muskuloskeletal. Dalam
jaringan sinovial, proses inflamasi terjadi secara jelas, menimbulkan edema
dan proliferasi kapiler dan sel mesenkim. Pada jaringan sendi dan cairan
sinovial, terjadi akumulasi dari leukosit yang menghasilkan enzim lisosom dan
proinflamasi lain, serta mediator-mediator toksik. Kemudian, dengan
teraktivasinya sel-sel imun dan fibroblas sinovial, mediator ini dapat merusak
kartilago persendian yang bedekatan. Jika proses ini terus berlanjut dan tidak
dikendalikan, permukaan sendi akan hancur, dan secara bertahap terjadi
fibrosis pada jaringan fibrosa kapsul persendian dan jaringan sendi atau
terlihat ankilosis pada tulang (Carter, 2005).
Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah
destruksi akibat proses pencernaan oleh karena produksi protease,
kolagenase dan enzim-enzim hidrolitik lainnya. Enzim-enzim ini memecah
kartilago, ligamen, tendon dan tulang pada sendi, serta dilepaskan bersama
dengan radikal oksigen dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit
polimorfonuklear dalam cairan sinovial. Proses ini diduga adalah bagian dari
respon autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara lokal. Kedua
adalah, destruksi jaringan juga terjadi melalui kerja panus reumatoid. Panus
merupakan jaringan granulasi vaskular yang terbentuk dari sinovium yang
meradang dan kemudian meluas ke sendi. Disepanjang pinggir panus, terjadi
destruksi kolagen dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam
panus tersebut (Carter, 2005)
Hiperplasia sinovial dan formasi ke dalam panus merupakan
patogenesis Rheumatoid arthritis yang fundamental. Proses ini dimediasi oleh
produksi dari berbagai sitokin, contohnya tumor necrosis factor α (TNF-α) dan
interleukin-1 (IL-1) oleh antigen presenting cells dan sel T. TNF-α dan IL-1
juga memiliki peranan penting dalam destruksi tulang (Sommer, 2005).
2.1.5 Gambaran Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita
Rheumatoid arthritis. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat
yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang
bervariasi (Carter, 2005).
a) Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya
b) Poliartritis simetris: semua sendi dapat terserang terutama pada sendi
perifer, termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan
sendi-sendi interfalang distal.
c) Kekakuan pagi hari, selama lebih dari satu jam: dapat bersifat menyeluruh
tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan
kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung
selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam
d) Artritis erosif: merupakan ciri khas dari penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi
tulang.
e) Deformitas: kerusakan struktur penunjang sendi meningkat dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi
metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah
beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai. Pada kaki terdapat
protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dan subluksasi
metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan mengalami
pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak
ekstensi.
f) Nodul-nodul rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa pasien Rheumatoid arthritis. Lokasi yang
paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau
sepanjang permukaan ekstensor dari lengan. Walaupun demikan, nodul-
nodul ini dapat juga timbul pada tempat lainnya. Adanya nodul-nodul ini
biasanya merupakan petunjuk dari suatu penyakit yang aktif dan lebih
berat.
g) Manifestasi ekstra-artikular; Rheumatoid arthritis juga dapat menyerang
organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis),
mata, dan pembuluh darah dapat rusak.
Dibawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari
Rheumatoid arthritis dari American Rheumatism Association tahun 1987
Tabel 1: 1987 Revised American Rheumatism Association Criteria for the
Classification of Rheumatoid Arthritis
Kriteria Definisi
1. Kekakuan pagi
hari
Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar
sendi, lamanya setidaknya 1 jam
2. Artritis pada
tiga atau lebih
area sendi
Setidaknya tiga area sendi secara bersama-
sama dengan peradangan pada jaringan lunak atau
cairan sendi. 14 kemungkinan area yang terkena, kanan
maupun kiri proksimal interfalangs (PIP),
metakarpofalangs (MCP), pergelangan tangan, siku,
lutut, pergelangan kaki, dan sendi metatarsofalangs
(MTP)
3. Artritis pada
sendi tangan
Setidaknya satu sendi bengkak pada
pergelangan tangan, sendi MCP atau sendi PIP
4. Artritis simetris Secara bersama-sama terjadi pada area sendi
yang sama pada kedua bagian tubuh
5. Nodul-nodul
reumatoid
Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau
permukaan regio ekstensor atau regio juksta-artikular
6. Serum faktor
reumatoid
Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada
serum faktor reumatoid dengan berbagai metode yang
mana hasilnya positif jika < 5% pada subyek kontrol yang
normal
7. Perubahan
radiografik
Perubahan radiografik tipikal pada Rheumatoid
arthritis pada radiografik tangan dan pergelangan tangan
posteroanterior, dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi
terlokalisasi yang tegas pada tulang.
Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika
pasien memenuhi setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah
berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis,
tidak dikeluarkan pada kriteria ini.
2.1.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis dari Rheumatoid arthritis dengan anamnesis dan pemeriksaan
yang dikorelasikan dengan data laboratorium dan pemeriksaan radiologi.
Karakteristik pasien, termasuk umur, jenis kelamin dan etnis, sangat penting,
karena hal tersebut berhubungan dengan resiko dan tingkat keberatan dari
penyakit (Kent and Matteson, 2004)
1) Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis pada pasien dengan Rheumatoid arthritis adalah
penilaian standar untuk peradangan pada sendi, kelemahan dan
keterbatasan gerak. Selain itu, pada pemeriksaan fisis juga menunjukkan
adanya gejala-gejala ekstra-artikular seperti skleritis, nodul-nodul, efusi
pleura, splenomegali, dan ulkus kulit pada ekstremitas bawah (Kent and
Matteson, 2004).
Pada Rheumatoid arthritis yang lanjut, tangan pasien dapat
menunjukkan deformitas boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi
distal interfalangs (DIP) dan fleksi pada sendi proksimal interfalangs (PIP).
Deformitas yang lain merupakan kebalikan dari deformitas boutonniere, yaitu
deformitas swan-neck (leher angsa), dimana juga terjadi hiperekstensi dari
sendi PIP dan fleksi dari sendi DIP. Jika sendi metakarpofalangs telah
seutuhnya rusak, sangat mungkin untuk menggantinya dengan protesa
silikon (Mettler, 2004).
Gambar 2 : Gambaran skematik dari deformitas swan-neck dan deformitas boutonniere, sering telihat pada Rheumatoid arthritis lanjut.
2) Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
mendiagnosis Rheumatoid arthritis. Beberapa hasil uji laboratoirum dipakai
untuk membantu menegakkan diagnosis Rheumatoid arthritis. Sekitar 85%
pasien Rheumatoid arthritis memiliki autoantibodi di dalam serumnya yang
dikenal sebagai faktor reumatoid. Autoantibodi ini adalah imunoglobulin M
(IgM) yang beraksi terhadap perubahan imunoglobulin G (IgG). Keberadaan
dari faktor reumatoid bukan merupakan hal yang spesifik pada penderita
Rheumatoid arthritis. Faktor reumatoid ditemukan sekitar 5% pada serum
orang normal, insiden ini meningkat dengan pertambahan usia, sebanyak 10-
20% pada orang normal usia diatas 65 tahun positif memiliki faktro reumatoid
dalam titer yang rendah.
Laju endap darah (LED) adalah suatu indeks peradangan yang tidak
spesifik. Pasien dengan Rheumatoid arthritis nilainya dapat tinggi (100
mm/jam atau lebih tinggi lagi). Hal ini berarti bahwa LED dapat dipakai untuk
memantau aktivitas penyakit (Carter, 2004).
Anemia normositik normokrom sering didapatkan pada penderita
dengan artritis rematoid yang aktif melalui pengaruhnya pada sumsum tulang.
Anemia ini tidak berespon pada pengobatan anemia yang biasa dan dapat
membuat seseorang merasa kelelahan (Lipsky, 2005).
Analisis cairan sinovial menunjukkan keadaan inflamasi pada sendi,
walaupun tidak ada satupun temuan pada cairan sinovial spesifik untuk
Rheumatoid arthritis. Cairan sinovial biasanya keruh, dengan kekentalan
yang menurun, peningkatan kandungan protein, dan konsentrasi glukosa
yang mengalami sedikit penurunan atau normal. Hitung sel leukosit (WBC)
meningkat mencapai 2000/µL dengan lebih dari 75% leukosit PMN, hal ini
merupakan karakteristik peradangan pada artritis, walaupun demikian,
temuan ini tidak mendiagnosis Rheumatoid arthritis (Lipsky, 2005).
3) Pemeriksaan Radiologi
a) Foto Polos
Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan radiologis kecuali pembengkakan jaringan lunak. Tetapi, setelah
sendi mengalami kerusakan yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan
ruang sendi karena hilangnya rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang
pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini
biasanya irreversibel (Carter, 2004).
Gambar 3 : Artritis erosif yang mengenai tulang karpal dan sendi metakarpofalangs
Gambar 4: A. Perubahan erosif pada ulna dan distal radius. B. Erosi komplit pada pergelangan tangan
Gambar 5: C. Swelling dan erosi pada sendi MTP 5. D. Nodul subkutaneus multipel pada tangan
Tanda pada foto polos awal dari Rheumatoid arthritis adalah
peradangan periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan
oleh efusi sendi dan inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid
merupakan massa jaringan lunak yang biasanya tampak diatas permukaan
ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau pada olekranon, namun
adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan.
Karakteristik nodul ini berkembang sekitar 20% pada penderita Rheumatoid
arthritis dan tidak terjadi pada penyakit lain, sehingga membantu dalam
menegakkan diagnosis.
b) CT Scan
Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal dalam
mendiagnosis Rheumatoid arthritis. Walaupun demikian, CT scan berguna
dalam memperlihatkan patologi dari tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di
tangan yang sangat baik dievaluasi dengan kombinasi dari foto polos dan
MRI (Tsou, 2011).
CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan memiliki
kerugian dalam hal radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk
mengindikasikan letak destruksi tulang dan stabilitas tertinggi tulang secara
tepat, seperti pada pengaturan pre-operatif atau pada tulang belakang.
c) Ultrasonografi (USG)
Sonografi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi
tinggi digunakan untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada Rheumatoid
arthritis. Efusi dari sendi adalah hipoekhoik, sedangkan hipertrofi pada
sinovium lebih ekhogenik. Nodul-nodul reumatoid terlihat sebagai cairan yang
memenuhi area kavitas dengan pinggiran yang tajam. Erosi tulang dapat
terlihat sebagai irregularitas pada korteks hiperekhoik. Komplikasi dari
arthritis reumatoid, seperti tenosinovitis dan ruptur tendon, juga dapat
divisualisasikan dengan menggunakan ultrasonografi. Hal ini sangat berguna
pada sendi MCP dan IP. Tulang karpal dan sendi karpometakarpal tidak
tervisualisasi dengan baik karena konfigurasinya yang tidak rata dan
lokasinya yang dalam.14
Sonografi telah digunakan dalam mendiagnosis Rheumatoid arthritis
dengan tujuan meningkatkan standar yang tepat untuk radiografi
konvensional. Ultrasonografi, terkhusus dengan menambahkan amplitude
color doppler (ACD) Imaging, juga menyediakan informasi klinis yang
berguna untuk dugaan Rheumatoid arthritis. ACD imaging telah diaplikasikan
untuk Rheumatoid arthritis dengan tujuan mengevaluasi manifestasi dari
hiperemia pada peradangan jaringan sendi. Hiperemia sinovial merupakan
ciri patofisiologi yang fundamental untuk Rheumatoid arthritis (Tsou, 2011).
d) MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) menyediakan gambaran yang
baik dengan penggambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak,
kerusakan kartilago, dan erosi tulang-tulang yang dihubungkan dengan
Rheumatoid arthritis (Tsou, 2011).
Diagnosis awal dan penanganan awal merupakan manajemen utama
pada Rheumatoid arthritis. Dengan adanya laporan mengenai sensitivitas
MRI dalam mendeteksi erosi dan sinovitis, serta spesifitas yang nyata untuk
perubahan edema tulang, hal itu menandakan bahwa MRI merupakan
penolong untuk mendiagnosis awal penyakit Rheumatoid arthritis. MRI juga
memberikan gambaran yang berbeda pada abnormalitas dari Rheumatoid
arthritis, sebagai contoh, erosi tulang, edema tulang, sinovitis, dan
tenosinovitis (Wakefield, 2004).
2.1.7 PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi dari Rheumatoid arthritis adalah (1) mengurangi nyeri, (2)
mengurangi inflamasi, (3) menjaga struktur persendian, (4) mempertahankan
fungsi sendi, dan (5) mengontrol perkembangan sistemik.
Adapun penatalaksanaan dari Rheumatoid arthritis adalah sebagai berikut:
1) Obat-obatan
a. Non-steroid anti-inflammatoy drugs (NSAID)
Kelompok obat ini mengurangi peradangan dengan menghalangi
proses produksi mediator peradangan. Tepatnya, obat ini menghambat
sintetase prostaglandin atau siklooksigenase. Enzim-enzim ini mengubah
asam lemak sistemik andogen, yaitu asam arakidonat menjadi
prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan radikal-radikal oksigen. Obat
standar yang sudah dipakai sejak lama dalam kelompok ini adalah
aspirin.
Selain aspirin, NSAID yang lain juga dapat menyembuhkan
Rheumatoid arthritis. Produksi dari prostaglandin, prostasiklin, dan
tromboksan ini memberikan efek analgesik, anti-inflamasi, dan anti-
piretik.
b. Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD)
Kelompok obat-obatan ini termasuk metotrexat, senyawa emas,
D-penicilamine, antimalaria, dan sulfasalazine. Walaupun tidak memiliki
kesamaan kimia dan farmakologis, pada prakteknya, obat-obat ini
memberikan beberapa karakteristik (Lipsky, 2005).
Pemberian obat ini baru menjadi indikasi apabila NSAID tidak
dapat mengendalikan Rheumatoid arthritis. Beberapa obat-obatan yang
telah disebutkan sebelumnya tidak disetujui oleh U.S Food and Drugs
Administration untuk dipakai sebagai obat Rheumatoid arthritis. Tujuan
pengobatan dengan obat-obat kerja lambat ini adalah untuk
mengendalikan manifestasi klinis dan menghentikan atau memperlambat
kemajuan penyakit.
c. Terapi glukokortikoid
Terapi glukokortikoid sistemik dapat memberikan efek untuk terapi
simptomatik pada penderita Rheumatoid arthritis. Prednison dosis rendah
(7,5 mg/hari) telah menjadi terapi suportif yang berguna untuk mengontrol
gejala. Walaupun demikian, bukti-bukti terbaru mengatakan bahwa terapi
glukokortikoid dosis rendah dapat memperlambat progresifitas erosi
tulang (Lipsky, 2005)
2) Operasi
Operasi memiliki peranan penting dalam penanganan penderita
Rheumatoid arthritis dengan kerusakan sendi yang parah. Meskipun
artroplasti dan penggantian total sendi dapat dilakukan pada beberapa
sendi, prosedur yang paling sukses adalah operasi pada pinggul, lutut, dan
bahu. Tujuan realistik dari prosedur ini adalah mengurangi nyeri dan
mengurangi disabilitas (Lipsky, 2005).
Top Related