KONSEP MUNAFIK DALAM AL-QUR’AN
(ANALISIS SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Asep Muhamad Pajarudin
1112034000024
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
KONSEP MUNAFIK DALAM AL-QUR’AN
(ANALISIS SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Asep Muhamad Pajarudin
1112034000024
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
v
ABSTRAK
Asep Muhamad Pajarudin
Konsep Munafik dalam al-Qur’an (Kajian Semantik Toshihiko Izutsu)
Skripsi ini membahas konsep munafik dalam al-Qur’an dengan pendekatan
semantik Toshihiko Izutsu. Penafsiran munafik sampai saat ini masih belum
terkonsepkan dengan rapih dan belum mengungkapkan makna lebih dalam seperti
makna dasar dan makna relasional. Sehingga memunculkan justifikasi munafik
antara umat Islam. Seperti yang terjadi pada proses PILKADA DKI Jaakarta 2016
lalu. Al-Qur’an sebagai landasan atau berisi kata kunci, sebenarnya makna di
kandungannya lebih luas dan dalam. Kekhasan dan kedalaman pesan yang
terkandung di setiap kosakata dalam ayat-ayat al-Qur’an, ayat digali misalnya
dengan melanjutkan proses penafsiran kebahasaan melalui pengungkapan makna-
makna dalam setiap kata dalam al-Qur’an. Skripsi ini merupakan suatu usaha
kecil ke proses penafsiran tersebut.
Dalam skripsi ini, penulis mengungkapkan makna dan konsep yang
terkandung di dalam kata munâfiq yang terdapat di dalam al-Qur’an dengan
menggunakan analisis semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu.
Semantik al-Qur’an menurut Toshihiko Izutsu berusaha menyingkap pandangan
dunia al-Qur’an (Weltanschauung) melalui analisis semantik terhadap kosakata
atau istilah-istilah kunci al-Qur’an. Proses yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah meneliti makna dasar dan makna relasional kata munâfiq dengan
menggunakan analisis sintagmatik dan paradigmatik, kemudian meneliti
penggunaan kosa kata munâfiq pada masa pra Qur’anik, Qur’anik dan pasca
Qur’anik.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah: kata munâfiq dalam al-Qur’an
berposisi sebagai subjek (pelaku) dan objek (yang dikenai perlakuan). Dalam
posisi subjek ditujukan untuk orang atau golongan yang melakukan kemunafikan
dengan dua bentuk sikap atau perilaku, (1) dalam bentuk perkataan, dan (2) dalam
bentuk perbuatan. Dalam bentuk perkatan, yang menjadi sasaran perbuatan
mereka adalah kafir dan mu’min. Dalam bentuk tindakan, yang menjadi sasaran
mereka adalah mu’min dan Allah. Bentuk sikap dan perilaku mereka bervariatif
namun tujuan akhirnya sama, yaitu: mereka mencari keuntungan, menghindar dari
kerugian, dan berargumentasi. Dalam posisi objek, maka Allah menjadi subjek.
Orang-orang munafik disejajarkan dengan kafir, musyrik, mujrif, dan fasik.
Mereka diancam, diperangi, dan disiksa. Kesimpulan tersebut didapat setelah
melihat makna dasar kata munâfiq (membuat lubang), dan makna relasional secara
sintagmatik dan paradigmatik. Secara sintagmatik kata munâfiq berrelasi dengan
kata kadzaba (berbohong), shudûdan (menghalangi beribadah), khodiûn (penipu),
kasala’ (malas beribadah), riya (tidak ikhlas dalam beribadah), yakbidhûn aidihim
(kikir atau tidak mau berinfak di jalan Allah), yaktumûn (yang tersembunyi), an-
Nâr wa Jahannam mereka sebagai calon penghuni neraka Jahanam. Kata munâfiq
memiliki relasi paradigmatik dengan kâfir, fâsiq, musyrik, murjifûn, dalam posisi
objek dan Allah sebagai subjek. Allah menjadi subjek maka mereka memiliki
posisi yang sama dalam ketentuan Allah, di ancam, diperangi, dan dimasukan ke
dalam neraka.
Kata Kunci: Tafsir, Munafik, Semantik, Toshihiko Izutsu.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmânirrahîm
Alhamdulillâh segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Tak ada kata
yang mampu merefleksikan rasa syukur kepadaNya. Atas bimbingan dan
kehendaknya, akhirnya penulis sanggup dan mampu menyelesaikan penulisan
skripsi dengan judul KONSEP MUNAFIK DALAM AL-QUR’AN: ANALISIS
SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU.
Salawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad saw, beserta
sahabat, dan keluarganya, nabi yang membawa manusia dari zaman kegelapan
menuju zaman terang menerang dengan ilmu pengetahuan. Beliau adalah sehebat-
hebatnya manusia yang menjadi teladan dan panutan seluruh manusia hingga
akhir zaman.
Skripsi ini penulis susun salah satu tujuannya adalah sebagai syarat dalam
penyelesaian pendidikan pada Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis akan menerima dengan senang hati semua
koreksi dan saran-saran demi untuk perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.
Rampungnya skripsi ini, tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak yang
turut memberikan andil, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik moril
maupun materil. Maka, sepatutnya peneliti mengucapkan rasa syukur, terima
kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A, Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik. Ummi Kultsum, M.A, selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum. M. Pd selaku Sekertaris
Jurusan al-Qur’an dan Tafsir.
4. Bapakku H Saad dan Ibuku Siti Munawaroh. Keduanya adalah orang tua
penulis yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan, kasih sayang, doa
yang tulus, serta nasihat kepada penulis agar selalu menjadi sosok yang kuat
dan sabar dalam menghadapi hidup. Manifestasi cintaNya penulis rasakan
melalui cinta dan kasih sayang kedua orang tua penulis yang tiada
bandingnya. Semoga apa dan umi selalu sehat, dan dipanjangkan umur di
bawah naungan kasih sayang dan cinta Allah Swt.
5. Dosen pembimbing skripsi penulis sekaligus Dosen penasehat akademik,
Bapak Eva Nugraha, MA, yang senantiasa membimbing, mengarahkan dan
memberikan motivasi kepada penulis dalam melakukan penelitian sehingga
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Terimakasih sebesar-
besarnya penulis haturkan kepada beliau dan keluarga.
6. Seluruh dosen di Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, yang dengan tulus
memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.
7. Para staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Ushuluddin. Terima kasih
atas referensi yang ada sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
8. Kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Ushuluddin
Cabang Ciputat. Yang telah mengenalkan pemikiran-pemikiran Cak Nur
tentang keislaman dan keindonesiaan. Bang Jarwo, Kang Arief, Teh Lail,
viii
Kang Irfan, Kanda Cengho, Bang Dullah, Anisul Fahmi, Aan Suherman,
dkk. Kalian lawan bicara sekaligus kawan dalam berpolitik di dunia
kampus.
9. Dulur-dulur primordial HIMABO Jakarta yang selalu menemani penulis
dan menjadi tempat sharing dalam segala aktivitas penulis, baik di kampus
ataupun di luar kampus, Di antara mereka adalah BPH dan Pengurus 2015-
2016 ( Janwar, Awaluddin, Yusuf Mardani, Azka Zakiyah,
Juariatunnuriyah, Fahmi al-Anzani, Abdul Malik, Ilham Mabruri, Annisa
Fujiani, dkk.) yang telah menemani berjuang bersama penulis ketika
diamanahi menjadi Ketua selama satu periode kepengurusan. Tak lupa juga
Kang Oi, Kang Mumuh, Kak Milal, Bang Ucup, beserta akang teteh senior
HIMABO lainnya.
10. Teman-teman satu Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang senantiasa
menemani penulis dalam menimba ilmu pengetahuan di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Di antara mereka adalah Ali Muharom, Riswan
Sulaiman, M Arif Maulana, Ahmad Nurkholis, Maulana Iskandar, Ahmad
Qomari, Haris Muda, Yusuf Kurniawan, Hilda Lisdianti, Badru Nurzaman,
Rizky dan mereka yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini.
Perjumpaan dengan kalian semua adalah sesuatu yang akan selalu
terkenang. Terima kasih dan semoga tuhan selalu menemani kita semua
dalam segala hal.
11. Kawan-kawan diskusi Komunitas SAUNG, Komunitas BALE AJAR,
KOPEL Bogor, Komunitas Gerakan Intelektual Muda (GIM), yang
ix
memberikan wawasan dan perspektif baru di dalam memandang dunia.
Kalian sahabat yang hangat di dalam berdialektika.
12. Komunitas Alumni Al-Farhan (KAAF) , Ali Sadikin, Pandu Firdaus, Akbar
Y N, Fajar Nur husain, Novi, Mimi Lutfiah, Dewi, Nurliaromadona, Ilma
Nafiyati, Asep Hudori, dkk. Tempat berkeluh kesah masalah kepesantrenan
dan wawasan keislaman.
13. Rekan-rekan IPNU, GP ANSOR, dan KNPI Kota dan Kabupaten Bogor, bang
Jejen, Tum Hira Hidayat, Kang Amin Fajrin, Kang Domiri, Kang Hasbullah. Tidak
lupa pada Om Bagus (Guru Sehat kahfi), rekan-rekan KAHFI BBC Motivator
School. Ustad Anugrah, ustadz Arief, Ustadz Fahmi, ustadz Wahid, ustadz Mufti,
ustadz Arul. Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan dan bimbingan Allah
Swt..
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan doa ke hadirat
Allah Swt. Semoga amal baik semua pihak yang telah membimbing,
mengarahkan, memperhatikan dan membantu penulis dicatat oleh Allah sebagai
amal shaleh dan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Dan mudah-mudahan
apa yang penulis usahakan dapat bermanfaat. Âmîn…
Ciputat, 2 April 2018
Asep Muhamad Pajarudin
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transeliterasi Arab-Latin yang digunkan dalam sekripsi ini berpedoman
pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman
Akademik Program Strata 1 tahun 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah.
a. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
J Je ج
H h dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
Z zet dengan garis bawah ظ
xi
‘ ع
koma terbalik keatas,
menghadap kekanan
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ‘ ء
Ye Ye ي
b. Vocal
Vocal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksarannya adalah sebagai berikut:
Tanda Voka Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai
berikut :
xii
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
ي ai a dan i
و au a dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alihaksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :
Tanda Voal Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
â ىا
a dengan topi di
atas
î ىي
i dengan topi di
atas
û ىو
u dengan topi di
atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu ال , dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun
huruf Qamariyyah. Contoh : al-rijal bukan ar-rijal, al-diwan bukan ad-diwan.
Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam system tuisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda (), dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
xiii
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang telah diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak
ditulis aḏ-ḏarurah melainkan al-darurah, demikian seterusnya.
Ta Marbutah
Berkaitan dengan alihaksra ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut di alihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut di ikuti
kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun jika huruf ta marbutah tersebut diikuti
kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat
contoh 3).
No. Tanda Vokal Latin Keterangan
Tarîqah طريقة .1
al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah الجامعة اإلسالمية .2
Wahdat al-wujûd وحدة الوجود .3
Huruf Kapital
Meski pun dalam system penulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam
alihaksara ini huruf kapitl tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku daam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal, nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap hurf awal atau kata
sandangnya. (Contoh : Abu Hamid al-Ghazali bukan Abu Hamid Al-Ghazali,al-
Kindi bukan Al-Kindi).
xiv
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dlam
alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alihaksaranya, demikin seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari duia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbani; Nuruddin al-Raniri, tidak Nur al-Din al-Raniri.
xv
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .............................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SIDANG .................................ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ...........................................................iii
ABSTRAK........................................................................................................iv
KATA PENGANTAR........................................................................................v
PEDOMAN TRANSLITERASI.........................................................................x
DAFTAR ISI......................................................................................................xv
DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM.................................................................xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................1
B. Identifikasi Masalah............................................................................6
C. Batasan dan Rumusan Masalah...........................................................7
D. Tujuan dan Manfaat penelitian............................................................7
E. Kajian Pustaka.....................................................................................7
F. Metode Penelitian..............................................................................10
G. Metode Pembahasan..........................................................................11
H. Tekhnik Penulisan.............................................................................12
BAB II SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU
A. Biografi.......................................................................................... 14
B. Pengertian Semantik........................................................................15
C. Semantik Al-Qur’an........................................................................16
D. Semantik Toshihiko Izutsu..............................................................20
BAB III DESKRIPSI AYAT AYAT MUNAFIK DALAM AL-QUR’AN
A. Ayat-ayat Munafik..........................................................................29
B. Ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah................................................30
C. Klasifikasi Ayat-ayat Munafik........................................................33
BAB IV ANALISIS SEMANTIK KONSEP MUNAFIK
A. Makna Dasar kata Munâfiq............................................................. 39
B. Makna Relasional kata Munâfiq......................................................40
1. Analisis Sintagmatik...................................................................41
2. Analisis Paradigmatik................................................................ 46
C. Makna Sinkronik dan Diakronik kata Munâfiq...............................53
1. Periode Pra Qur’anik.................................................................54
2. Periode Qur’anik........................................................................55
3. Periode Pasca Qur’anik..............................................................57
D. Weltanschauung kata Munâfiq dalam al-Qur’an...............................60
E. Tinjauan Kritis................................................................................61
BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan.....................................................................................66
B. Saran-saran.....................................................................................67
xvi
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................69
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM
A. Daftar Tabel
1. Tabel 3.1 Ayat-ayat Munafik...................................................................29
2. Tabel 3.2 Ayat-ayat Makiyyah.................................................................31
3. Tabel 3.3 Ayat-ayat Madaniyyah.............................................................32
4. Tabel 3.4 Munafik sebagai Subjek terhadap Allah...................................33
5. Tabel 3.5 Munafik sebagai Subjek terhadap Mu’min...............................34
6. Tabel 3.6 Munafik sebagai Subjek terhadap Kafir...................................36
7. Tabel 3.7 Allah sebagai Subjek terhadap Munafik...................................37
B. Daftar Diagram
1. Diagram 2.1 Medan Semantik Sintagmatik Kufr........................................24
2. Diagram 4.1 Medan Semantik Sintagmatik Munâfiq.................................46
3. Diagram 4.2 Medan Semantik Paradigmatik Munâfiq...............................53
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an memberi petunjuk bahwa manusia dilihat dari sisi perilakunya
terhadap Allah menjadi tiga golongan yaitu: pertama adalah golongan orang-
orang beriman (mu‟min), kedua adalah golongan orang-orang yang ingkar (kâfir),
dan ketiga adalah golongan orang-orang munafik (munâfiq). Ketiga golongan
tersebut dijelaskan dalam beberapa ayat dalam surat al-Baqarah.1
Beberapa Mufasir memberikan definisi tentang munafik diantaranya: Ibn
Katsir, bahwa orang-orang munafik adalah mereka yang memiliki problem dalam
kondisinya yang pada satu waktu berada di antara keimanan dan kekufuran.
Namun lebih dekat kepada kakufuran.2, al-Qurthubi menambahkan mereka (orang
munafik) telah menjelaskan keadaan mereka, menyingkap dinding mereka dan
membongkar kemunafikan mereka bagi orang yang mengira bahwa mereka adalah
orang-orang muslim oleh karena itu secara lahiriah mereka lebih dekat kepada
kekufuran, padahal jika diteliti lebih lanjut maka mereka adalah orang-orang
kafir.3
Sayid Qutb menambahkan mereka adalah orang-orang yang tidak berkata
jujur. Di dalam hati mereka terdapat nifâq, yang tidak membuat mereka ikhlas
kepada aqidah.4 Hasbi ash-Shiddieqy menambahkan mereka (orang-orang
1Pernyataan ini penulis simpulkan setelah membaca Qs. Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20.
Dari teks terjemahan saja sudah dapat disimpulkan. 2Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir (jilid 1) (Jakarta: Darus Sunnah,
2014),h.1034. 3Imam Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur‟an. Penerjemah: Dudi Rosyadi dkk.
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 667 4Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilâlil Qur‟an. Penerjemah: Anwar Rafiq Shaleh Tamhid dan
Syafril Halim (Jakarta: Rabbani Press, 2001), h. 511.
2
munafik) memperlihatkan iman dengan lisannya, tapi sesungguhnya kufur dalam
hatinya.5
Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa golongan munafik sangatlah
berbahaya dan perlu diwaspadai namun para mufasir dalam memberikan
interpretasi kata munafik sangat beragam sesuai dengan kultur, tempat dan jaman
dimana mereka hidup sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi.
M Fahirin,6 dalam skripsinya mencoba membandingkan penafsiran al-
Maraghi dan Hamka. Kesimpulan yang dapat diambil yaitu persamaan
penafsirannya adalah munafiq adalah orang yang mengaku beriman, mereka
mengaku beriman kepada Allah percaya pada apa yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad, sehingga sifat mereka antara laki laki dan perempuan sama saja,
namun dalam segi akhlak dan perbuatannya, mereka menyeru berbuat
kemungkaran dan mencegah untuk melakukan perbuatan ma‟ruf. Perbedaan
penafsirannya adalah dalam hal menafsirkan kata kata “al-Qulub” karena
penyakit hati merupakan salah satu sifat dari orang orang munafiq. Menurut al
Maraghi adalah akal karena itulah yang mampu mendorong manusia untuk
melakukan perbuatan. Sedangkan hamka “Al-Qulub” adalah hati karena penyakit
terutama dalam hati mereka merasa dirinya lebih pintar.
Siti aisyah,7 dalam skripsinya mencoba membicarakan tentang orang-
orang munafik, ciri-ciri dan kepribadiaanya serta ancamannya menurut al-Qur‟an
dengan metode maudhui atau tematik. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan
5Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nȗr (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2000),h.731. 6Skripsi M Farihin, “Studi Komparatif Tentang Penafsiran Munafik Antara Mustafa Al
Maraghi Dan Hamka,” (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2012.). 7Siti Aisyah, “Munafik Menurut Al-Qur‟an” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1999).
3
bahwa metode penafsiran para muffasir (sebagaimana tercantum dalam Ibn Katsir,
al-Maraghi, al-Azhar, dan an-Nur, al-Munir). Bahwa diantara ciri-ciri yang
relevan dengan orang munafik adalah: sifat tipu, menipu diri tanpa disadarinya,
penyakit hati, bermuka dua, malas beribadah, tidak memiliki pendirian, tidak
sabar dalam menghadapi rintangan, mengingkari janji, lahir dan batinnya berbeda
(berdusta), dan bersumpah palsu.
M Alfa Robi,8 dalam skripsinya menggambarkan orang-orang munafik
dengan menggunakan analisis balaghah. Kesimpulannya bahwa gaya bahasa
orang munafik di dalam Al-Qur‟an terdapat pada uslub al bayan terdapat pada 82
data, di antaranya yaitu 82 data menggunakan tasybih, dengan rincian: 7 data
menggunakan tasybih mursal, 8 data menggunakan tasybih mufasshol, 4 data
menggunakan tasybih mujmal, 3 data menggunakan tasybih baligh, dan 8 data
menggunakan tasybih ghairu tamstil. Sementara yang menggunakan isti‟arah ada
6 data, dengan rincian: 3 data menggunakan isti‟arah tashrihiyyah, 8 data
menggunakan isti‟arah tab‟iyyah, 8 data menggunakan isti‟arah ashliyah, dan 8
data menggunakan isti‟arah murasysahah. Sementara yang menggunakan kinayah
terdapat 5 data, yang kesemuanya menggunakan kinayah „anis shifat.
H. Fakhrudin dalam disertasinya mencoba mengkomparasikan pendapat
Sayyid Qutb dan Muhammad Husen at-Thabataba‟i.9 Terdapat persamaan bahwa
munafik ialah orang-orang yang pura-pura mengaku iman, pendusta, suka
menghujat, dan menghambat perkembangan Islam yang harus diperangi jika tidak
8M Alfa Robi, “Gaya Bahasa Tentang Munafik di dalam Al-Qur‟an Al-Karim: Penelitian
Analisis Balaghah,” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel, Surabaya,
2016). 9H Fakhrudin, “Munafik dalam Tafsir al-Qur‟an: Studi Pemikiran Sayyid Qutb dan
Muhammad Husain At-Thabataba‟i,” (Disertasi Pascasarjan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2005).
4
bertaubat. Perbedaan pendapat antara keduanya ialah Sayyid Qutb memandang
bahwa munafik muncul karena takut menghadapi al-Haqq sehingga menutup diri.
Oleh karena itu harus ditindak keras dan tegas sebab tindakan halus sering
merugikan. Berbeda dengan Muhammad Husain at-Thabataba‟i bahwa munafik
ialah orang yang tidak cinta iman, kadangkala masih ada sifat jujur, sehingga
tidak perlu ditindak dengan kekerasan.
Perbedaan interpretasi atau pemahaman tentang munafik terkadang
berdampak pada justifikasi golongan munafik. Ini terjadi dari masa ke masa
sampai sekarang. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, sebagaimana yang telah
disampaikan oleh Ustad Abdullah Manaf Amin berdasarkan Surat al-Mâidah` ayat
61 “Harus diragukan keimanan seseorang yang tidak menginginkan tegaknya
syariat Islam dalam suatu negeri. Kalau dia bertahan sampai mati, dia munafik
maka tidak boleh jenazahnya disalatkan”.10
ini juga berimplikasi pada proses
PILKADA DKI Jakarta. Berbeda dengan Buya Yahya yang lebih toleran
menyikapi munafik, menurutnya: ”urusan kemunafikan itu adalah di dalam hati
seseorang yang kita diberitahu tentang tanda-tanda kemunafikan saja. Justifikasi
munafik adalah hak preogratif Allah karena sangat tersembunyi, selagi masih
mengucapkan kalimat tauhid dan ada iman di dalam hatinya, maka fardhu kifayah
mensalatkanya.11
Kita baru saja selesai dengan proses Pesta Demokrasi PILKADA DKI
Jakarta sebelum pemilihan berlangsung, kita sama-sama melihat dan mendengar
justifikasi satu pihak ke pihak lain sangatlah terlihat nyata. Bahkan di masjid-
10
Abdul Manaf Amin, “Munafik,” Diakses pada tanggal 12 Juni 2017 dari
http://youtu.be/vgu65On3yxs 11
Yahya Zainul Ma‟arif, “Munafik,” Diakses pada tanggal 12 Juni 2017 dari
http://youtu.be/8yOXnsJ5jsg
5
masjid dibuat banner haram mensalatkan jenazah orang munafik. Kandungan
banner tersebut tidak berdasar.12
Memahami munafik membutuhkan pemaknaan yang mendalam dan
menyeluruh. Sebab, pemahaman konsep munafik masih menimbulkan
kontroversi. Kata munafik menjadi kata kunci menarik untuk dikaji dalam studi
linguistik, terlebih lagi al-Qur‟an menjadikan kata Munafik menjadi kata kunci
religius dalam Islam. Salah satu cabang linguistik yang mempelajari makna pada
sebuah bahasa adalah semantik. Semantik diartikan oleh ahli bahasa sebagai
kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa tersebut. Pandangan ini
tidak saja sebagai alat bicara dari berpikir, tetapi lebih penting lagi pengonsepan
dan penafsiran dunia yang melingkupinya.13
Dalam penelitian ini penulis mengambil kata munafik untuk
mengaplikasikan metode semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu,
seorang ahli linguistik yang sangat tertarik pada al-Qur‟an. Menurut Toshihiko
Izutsu semantik al-Qur‟an berusaha menyingkap pandangan dunia al-Qur‟an
melalui analisis semantik terhadap materi di dalam al-Qur‟an sendiri, yakni
kosakata atau istilah-istilah penting yang banyak digunakan oleh al-Qur‟an.14
Kosakata yang digunakan al-Qur‟an sarat akan pesan moral, budaya,
peradaban, dan sebagainya. Makna yang begitu luas tersebut ditampung oleh
kosakata-kosakata yang ada di dalam al-Qur‟an. Pesan yang disampaikan oleh
kosakata tersebut yang kemudian dikenal dengan konseptual total yakni
12
Arahmah, “Tuduhan Munafik dan Larangan Menshalati Jenazah Muslim”, Diakses pada
11 Juni 2017 dari https//serambimata.com/2017/03/15/tuduhan-munafik-dan-larangan-menshalati-
jenazah-muslim/ 13
Nur Kholis Setiawan, Al-Quran Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006),
h. 166 14
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia. Penerjemah Agus Fahri Husein (dkk)
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 3.
6
keseluruhan konsep terorganisir yang disimbolkan dengan kosakata yang
digunakan atau dikenal dengan weltanschauung15
. Inilah tujuan penelitian
semantik al-Qur‟an, yaitu berusaha menyingkap pandangan dunia al-Qur‟an
melalui analisis semantik terhadap kosakata atau istilah-istilah kunci al-Qur‟an.
Berdasarkan fungsi analisis semantik ini, maka amat beralasan apabila
analisis kebahasaan menempati porsi yang tinggi dalam mengungkap makna yang
terkandung dalam kosakata al-Qur‟an. Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis
tertarik untuk melakukan pengkajian lebih jauh mengenai konsep munafik dalam
al-Qur‟an, melalui judul skripsi “KONSEP MUNAFIK DALAM AL-QUR‟AN
( Studi Analisis Semantik Toshihiko Izutsu )”.
B. Permasalahan
Untuk memudahkan dalam penulisan, maka penulisan skripsi ini diberi
identifikasi, batasan dan rumusan masalah yang akan dibahas.
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka dapat di
identifikasi beberapa permasalahan yang timbul kemudian. Permasalahan tersebut
antara lain:
a. Perlu adanya pemahaman mendalam tentang konsep munafik dalam al-Qur‟an.
b. Toshihiko Izutsu melalui analisis semantiknya mencoba menyingkap
pandangan dunia al-Qur‟an terhadap materi yang ada di dalamnya, yakni
kosakata atau istilah-istilah penting yang banyak digunakan oleh al-Qur‟an.
15
Pandangan dunia masyarakat menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara
dan berfikir, tapi yang penting lagi sebagai pengkonsepan dan penafsiran dunia yang
melingkupinya. Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, h.3.
7
2. Batasan dan Rumusan Masalah
Setelah dilakukan pengidentifikasian masalah, kemudian yang menjadi
fokus penelitian disini antara lain kata munâfiq di dalam al-Qur‟an. Dalam
penelitian ini, bahasan mengenai munafik dikaji dengan menggunakan metode
semantik Toshihiko Izutsu. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan
seluruh ayat yang terdapat kata munafik di dalamnya, untuk diteliti menurut
metode semantik. Masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana makna kata munafik dalam al-Qur‟an jika dikaji dengan
menggunakan metode semantik Toshihiko Izutsu?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1. Menguraikan penyebutan kata munâfiq dalam al-Qur‟an.
2. Menerangkan penafsiran berkaitan tentang makna kata munafik.
3. Menjelaskan makna kata munâfiq menggunakan metode semantik Izutsu.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penulisan skripsi ini adalah:
1. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengetahuan baru dalam wacana ilmu tafsir
dan khususnya tentang makna munafik menurut metode semantik al-Quran
Toshihiko Izutsu.
2. Menambah wawasan para pengkaji Tafsir mengenai konsep munafik dalam al-
Qur‟an.
E. Kajian Pustaka
Setelah dilakukan eksplorasi tentang kajian munafik penulis menemukan
banyak pembahasan tentang munafik, namun belum ada penelitian yang
8
menggunakan metode semantik Toshihiko Izutsu untuk membahas munafik secara
eksplisit. Karenanya penulis merasa perlu mengisi ruang yang kosong tersebut.
Penulis hanya akan menyebutkan beberapa penelitian yang membahas tentang
munafik dan metode semantik Toshihiko Izutsu.
Siti Aisyah16
dalam skripsinya dengan judul “Munafik Menurut Al-Qur‟an”.
Skripsi ini membahas tentang metode penafsiran para mufassir ( sebagian
tercantum dalam Ibn Katsir, al-Maraghi, al-Azhar, dan anhar al-Munir) mengenai
ayat-ayat al-Qur‟an yang membicarakan maudhui atau tematik. Sedangkan secara
keseluruhan identifikasi ciri-ciri orang munafik sulit untuk dideteksi satu persatu,
sebab tidak jarang Allah menggunakan bahasa metafora yang memiliki makna
ganda. Namun demikian‟ di antara ciri-ciri yang relevan dengan orang munafik
adalah: sifat tipu, menipu diri tanpa disadarinya, penyakit hati, bermuka dua,
malas beribadah, tidak memiliki pendirian, tidak sabar dalam menghadapi
rintangan, mengingkari janji, lahir dan batinnya berbeda (beredusta), dan
bersumpah palsu.
M Farihin17
dalam skripsinya yang berjudul “Studi Komparatif Tentang
Penafsiran Munafik Antara Mustafa Al-Maraghi Dan Hamka” Skripsi ini
menjelaskan perbandingan antara Mustafa Al-Maraghi dan Hamka dalam
menafsirkan munafik. Kesimpulan yang dapat diambil yaitu persamaan
penafsirannya adalah munafik adalah orang yang mengaku aku beriman, mereka
mengaku beriman kepada Allah percaya pada apa yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad, sehingga sifat mereka antara laki laki dan perempuan sama saja
16
Siti Aisyah, “Munafik menurut al-Qur‟an,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1999). 17
M Farihin, “Studi Komparatif Tentang Penafsiran Munafiq antara Mustafa Al-Maraghi
Dan Hamka,” (Skripsi Fakultas S1 Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2012).
9
dalam segi akhlak dan perbuatannya, mereka menyuruh berbuat kemungkaran dan
mencegak untuk melakukan perbuatan ma‟ruf. Perbedaan penafsirannya adalah
dalam hal menafsirkan kata kata “ al-Qulub” karena sakit hati merupakan salah
satu sifat dari orang orang munafik. Menurut Al-Maraghi adalah akal karena
itulah yang mampu mendorong manusia untuk melakukan perbuatan. Sedangkan
Hamka “ al-Qulub” adalah hati karena penyakit terutama dalam hati mereka
merasa dirinya lebih pintar.
Muhammad Fikri18
, Konsep Munafik dalam al-Qur‟an dan Relevansinya
dengan kehidupan Modern: Sebuah Kajian Tematik. Dikeluarkan pada 2007.
Abu Bakar al-Farabi, Sifat al-Nifaq wa Dzammu al-Munafiqîn, penerbit
beirut: Dar al-Kutub „Ilmiah 1987. Buku ini penulis gunakan bagi mencari hadis-
hadis mengenai munafik karena al-Farabi memuatkan 112 hadis dari sekian kitab
seperti dari kitab sahih, sunan, musnad, sya‟bu iman dan banyak lagi.
Mahadi Sipatuhar19
dalam skripsinya dengan judul “konsep sabar dalam al-
Qur‟an: pendekatan Semantik”. Skripsi ini menjelaskan tentang semantik dalam
al-Qur‟an, makna sabar dan derevasinya dalam al-Qur‟an, dan aplikasi makna
sabar dalam kehidupan sehari-hari.
Muhammad Chirzin20
dalam skripsinya yang berjudul “Konsep Jihad
dalam al-Qur‟an: Aplikasi Smantik Toshihiko Izutsu. Skripsi ini menjelaskan
gambaran Jihad dalam al-Qur‟an melalui kajian semantik Toshihiko Izutsu.
18
Muhammad Fikri, “Konsep Munafik dalam Al-Qur‟an dan Relevansinya dengan
Kehidupan Modern,” (Skripsi S1Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 2007. 19
Mahadi Sipatuhar, “Konsep Sabar dalam Al-Qur‟an: Pendekatan Semantik,” (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013). 20
Muhammad Chirzin, “Jihad dalam al-Qur‟an: Telaah Normatif, Hitoris, dan Prospektif,”
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013).
10
F. Metodelogi Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang ditempuh untuk meneliti suatu objek
penelitian guna memperoleh pengertian secara ilmiah dan dapat dipertanggung
jawabkan. Metode penelitian ini sangatlah penting guna menentukan alur
penelitian dan sikap keilmiahannya.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (library research). penelitian
kepustakaan merupakan sebuah penelitian yang fokus penelitiannya
menggunakan data dan informasi dengan bantuan berbagai macam literatur yang
terdapat di perpustakaan, seperti kitab, buku, naskah, catatan, kisah sejarah,
dokumen dan lain-lain.21
2. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan kajian literatur
dan kepustakaan. Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari al-
Qur‟an, buku-buku tentang semantik, kamus-kamus klasik bahasa Arab, kitab-
kitab tafsir, buku-buku yang membahas mengenai munafik baik terkait dengan al-
Qur‟an maupun Hadis. Sumber data ini terbagi menjadi dua yaitu:
a. Sumber Data Primer
Dalam hal ini penulis menggunakan al-Qur‟an dan terjemahnya, Kitab
Tafsir, buku-buku tentang semantik dalam hal ini penulis menggunakan buku
Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Qur‟an karya
Toshihiko Izutsu.
21
Kartini, Pengantar Metodelogi Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1996), h. 33.
11
b. Sumber Data Sekunder
Dalam hal ini penulis menggunakan kamus klasik di antaranya yaitu Lisan
al-„Arab, al-Munjid Fi al-Lughah wa al-„Alam, Mu‟jam Mufahras Li Alfâzi al-
Qur‟ân al-Karîm, Mufradat Garib al-Qur‟ân dan kamus-kamus al-Qur‟an
lainnya. Kitab Tafsir, kitab hadis, buku-buku, jurnal, artikel-artikel dimajalah dan
internet, skripsi dan alat informasi lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenaran datanya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini dan
dianggap penting untuk dikutip dan dijadikan informasi tambahan.
3. Metode Pembahasan
Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif analisis, sebagai
upaya mengkaji kemudian memaparkan keadaan objek yang akan diteliti dengan
merujuk pada data-data yang ada (baik primer maupun sekunder) kemudian
menganalisanya secara profesional dan komprehensif dengan pendekatan
komparatif, sehingga akan tampak jelas perbedaan yang ada dan jawaban atas
persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan serta menghasilkan
pengetahuan yang valid.22
a. Deskripsi
Mengumpulkan dan mengelompokkan ayat-ayat tentang munafik, kemudian
menguraikan makna-makna kata munâfiq yang terdapat dalam al-Qur‟an.
b. Analisis
Menganalisa menggunakan teori semantik dengan tahapan sebagai berikut,
langkah awal mencari kata kunci (munâfiq), kemudian mengumpulkan ayat-ayat
yang terdapat kata kunci beserta derevasinya, selanjutnya menentukan makna
22
John W. Creswell, Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Apporoaches, Penerjemah: Achmad Fawaid dan Rianayati Kusmini Pancasari (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2016), h. 262.
12
dasar dan makna relasional melalui analisis sintagmatik dan paradigmatik.
Selanjutnya mencari diakronisasi konsep dengan menelusuri definisi munafik
dengan pra Qur‟anik, Qur‟anik dan pasca Qur‟anik. Kemudian mengemukakan
weltanschauung dari kata munafik.
4. Tekhnik Penulisan
Penulisan skripsi ini mengacu kepada Pedoman Penulisan Skripsi dalam
Buku Pedoman Akademik Program Strata 1 tahun terbitan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.23
G. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari beberapa sub
bab. Untuk memudahkan penyusunannya digunakan sistematika sebagai berikut.
Bab pertama, yang merupakan pendahuluan, berisikan latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika
penelitian. Pada bab ini penulis menunjukan alasan pengambilah tema, masalah,
dan pentingnya penelitian serta metode penelitia yang digunakan.
Bab kedua, memuat tentang semantik Toshihiko Izutsu. Bab ini menjadi
empat sub bab. Sub bab tersebut adalah biografi, pengertian semantik, semantik
al-Qur‟an, dan semantik Toshihiko Izutsu. Pada bab ini penulis mencoba
menghadirkan metodelogi Izutsu guna menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya.
Bab ketiga, membahas Munafik dalam al-Qur‟an. Bab ini terbagi menjadi
tiga sub bab. Sub bab tersebut adalah ayat-ayat munafik, ayat-ayat Makiyah dan
ayat-ayat Madaniah, klasifikasi ayat-ayat munafik. Pada bab ini penulis
23
Amsal Bakhtiar, dkk., Pedoman Akademik Program Strata I 2012/2013 (Jakarta: T.tt,
2012), h. 368.
13
mencantumkan ayat-ayat munafik, memisahkan berdasarkan makkiyah dan
madaniyyah dan mengkoding setiap ayat yang tercantum. Tujuannya untuk lebih
memudahkan penerapan semantik Izutsu pada bab selanjutnya.
Bab keempat, membahas tentang analisis semantik kata kunci munafik. Bab
ini memuat empat sub bab, sub bab tersebut adalah makna dasar dan makna
relasional kata munafik, makna sinkronik dan makna diakronik, walthanschauung
kata kunci munafik. Pada bab ini penulis menghadirkan hasil akhir dari penelitian
atau aplikasi semantik Izutsu dalam mencari konsep munafik di dalam al-Qur‟an.
Serta memunculkan waltanschauung munafik.
Bab kelima penutup, dalam bagian ini menjawab masalah yang diangkat dan
memberikan rekomendasi untuk penggunaan praktis dan penelitian-penilitian
selanjutnya.
14
BAB II
SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU
A. Biografi
Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo pada 4 Mei 1914 dan wafat pada 1 Juli
1993. Ia terlahir dalam keluarga kaya pemilik bisnis di Jepang, karena dengan
keadaan seperti itu ia tidak lagi memikirkan hal-hal pemenuhan kebutuhan
pokoknya, yang mana hal ini yang biasa menjadi dalih yang biasa menjadi dalih
dan alasan di negara kita.1 Ahmad Sahidah Rahem menjelaskan bahwa Izutsu
berasal dari keluarga taat, ia telah mengamalkan Zen Buddhisme sejak kecil.
Bahkan, pengalaman kontemplasi dari amalan Zen sejak muda telah turut
mempengaruhi cara berpikir dan pencariannya akan kedalaman pemikiran filsafat
dan mistisisme.2
Fathurahman dalam tesisnya menambahkan, dari kecil Izutsu dibiasakan
dengan cara berpikir Timur yang berpijak pada ketiadaan (nothingness).
Penemuan pengalaman mistikal sebagai sumber pemikiran filsafat menjadi titik
permulaan untuk seluruh filsafat Izutsu selanjutnya. Ia bukan hanya sebuah
penemuan di dalam ruang filsafat Yunani, tetapi juga menjadi asal-usul pemikiran
ketika beliau mengembangkan ruang lingkup aktivitas penelitiannya pada filsafat
Islam, pemikiran Yahudi, filsafat India, filsafat Lao-Tsu Cina, filsafat Yuishiki
dan Buddhisme Kegon dan filsafat Zen.3
1Nur Ahmad, “Tafsir Semantik ala Toshihiko Izutsu,” Diakses pada tanggal 18 Agustus
2017 dari Nurahmadbelajar.blogspot.co.id/2013/06/Tafsir-semantik-ala-toshihiko-
izutsu.html?m=1 2Ahmad Sahidah Rahem, Tuhan, Manusia dan Alam dalam Al-Qur‟an; Pandangan
Toshihiko Izutsu (Pulau Pinang, Universiti Sains Malaysia Press, 2014), h. 138-190 3Fathurahman, “Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu,” (Tesis S2
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 67.
15
Izutsu menyelesaikan pendidikan tinggi di Universitas Keio, Tokyo. Di
tempat inilah dia juga mengabdikan dirinya menjadi peneliti dan mengembangkan
profesinya sebagai seorang intelektual yang dikenal dunia. Izutsu mengajar di sini
dari tahun 1954 sampai dengan 1968 dan mendapatkan gelar Profesor Madya
pada tahun 1950. Hingga akhirnya, beliau juga mendapatkan gelar profesornya di
universitas yang sama.4
B. Pengertian Semantik
Semantik lebih dikenal sebagai bagian dari struktur ilmu kebahasaan
(linguistik) yang membicarakan tentang makna sebuah ungkapan atau kata dalam
sebuah bahasa.5 Istilah semantik berasal dari bahasa Yunani, semantikos yang
mengandung makna to signify berarti memaknai.6 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, semantik adalah ilmu tentang makna kata dan kalimat; pengetahuan
mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata-kata.7
Adapun secara istilah semantik adalah ilmu yang meneliti tentang makna,
baik berkenaan dengan hubungan antar kata-kata dan lambang-lambang dengan
gagasan atau benda yang diwakilinya, maupun berkenaan dengan pelacakan atas
riwayat makna-makna itu beserta perubahan-perubahan yang terjadi atasnya atau
disebut juga semiologi.8 Semantik menurut para ahli bahasa merupakan cabang
ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-
hal yang ditandainya (makna). Tanda linguistik yang dimaksud di sini adalah
seperti yang dikemukakan Ferdinand de Saussure yang terdiri dari dua komponen
4Fathurahman, “Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu,” h. 67.
5Harimukti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia, 1993), h. 19.
6Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna (Bandung: PT. Sinar Baru
Algesindo, 2008), h. 15. 7Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Rineka Cipta, 2009), h. 850 8Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LPKN, 2006), h. 1016.
16
yaitu: komponen yang mengartikan, yang terwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa
dan komponen yang diartikan, atau makna yang dari komponen yang pertama.
Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau
yang dilambangi adalah sesutu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut
referen atau hal yang ditunjuk.9
Semantik menurut Toshihiko Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-
istilah kunci suatu bangsa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada
pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang
menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir tetapi yang
lebih penting lagi, pengonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.10
Dari pemaparan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa semantik
merupakan analisis tentang makna-makna kata dalam bahasa. Ia berusaha
menelaah tanda-tanda atau lambang yang menyatakan, serta perkembangan makna
dan perubahannya.
C. Semantik Al-Qur‟an
Ketika membicarakan tentang al-Qur‟an, kita tidak bisa lepas dari bahasa
yang digunakan karena al-Qur‟an menggunakan bahasa sebagai media
komunikasi terhadap pembacanya. Abu Zaid berkata: “Ketika mewahyukan al-
Qur‟an kepada Rasulullah Saw., Allah Swt., memilih sistem bahasa tertentu sesuai
dengan penerima pertamanya. Pemilihan bahasa ini tidak berangkat dari ruang
kosong. Sebab, bahasa adalah perangkat sosial yang paling penting dalam
9Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 2.
10Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an
(Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 3.
17
menangkap dan mengorganisir dunia.”11
Dengan demikian, kerangka komunikasi
dalam bingkai ini terdiri dari: Tuhan sebagai komunikator aktif yang mengirim
pesan, Muhammad Saw., sebagai komunikator pasif, dan bahasa Arab sebagai
kode komunikasi.12
Karenanya, bahasa memiliki peranan penting dalam
penyampaian wahyu dan ajaran agama. Bahasa juga merupakan media efektif
untuk memberikan pengetahuan kepada orang lain.
Bahasa merupakan rangkaian kata-kata yang mengandung makna dan
merujuk pada objek tertentu, baik objek fisik maupun psikis. Oleh karena itu,
diperlukan metode yang bisa mengungkap makna yang terdapat di dalam kata-
kata tersebut sehingga bisa menghasilkan sebuah pemahaman yang menyeluruh
terhadap rangkaian kata dan bahasa yang terdapat di dalam sebuah ucapan
maupun tulisan.
Al-Qur‟an merupakan tulisan dari kalam Illahi yang disampaikan melalui
lisan Muhammad Saw., Wahyu yang awalnya berbentuk ucapan kemudian
dibukukan dalam bentuk tulisan agar tidak terjadi kekeliruan dimasa yang akan
datang ketika ajaran tersebut mulai menyebar luas. Di sisi lain, media tulisan
merupakan media efektif yang terjamin orisinalitasnya dari sang penulis dan bisa
dibawa kemana saja tanpa takut akan kehilangan detail dari memori tentang suatu
hal.
Al-Qur‟an yang kita pegang saat ini memuat bahasa 14 abad yang lalu. Kita
tidak akan mampu memahami makna dan pengetahuan apa saja yang terdapat di
dalam al-Qur‟an jika tidak mengetahui bahasa yang digunakan pada saat ia
11
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur‟an. Penerjemah Khoiron Nahdiyin
(Yogyakarta: LkiS, 2005), h. 19. 12
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: Elsaq Press,
2006), h..2.
18
diturunkan. Amin Al-Khuli menjelaskan, salah satu cara memahami isi al-Qur‟an
adalah dengan melakukan studi aspek internal al-Qur‟an. Studi ini meliputi
pelacakan perkembangan makna dan signifikasi kata-kata tertentu di dalam al-
Qur‟an dalam bentuk tunggalnya, kemudian melihat indikasi makna ini dalam
berbagai generasi serta pengaruhnya secara psikologi sosial dan peradaban umat
terhadap pergeseran makna.13
Berdasarkan ungkapan di atas, pemaknaan al-Qur‟an terikat oleh historis
kata yang digunakan dalam kitab tersebut. Oleh karena itu, semantik merupakan
salah satu metode ideal dalam pengungkapan makna dan pelacakan perubahan
makna yang berkembang pada sebuah kata sehingga bisa diperoleh sebuah makna
yang sesuai dengan maksud penyampaian oleh sang author (Tuhan). Pendekatan
yang cocok dalam pengungkapan makna serta konsep yang terkandung di dalam
al-Qur‟an di antaranya adalah semantik al-Qur‟an.
Jika dilihat dari struktur kebahasaan, semantik mirip dengan ilmu balâghah
yang dimiliki oleh bahasa Arab pada umumnya. Persamaan tersebut di
antarannya terletak pada pemaknaan yang dibagi pada makna asli dan makna yang
berkaitan.14
Selain itu medan perbandingan makna satu kata dengan kata yang lain
dalam semantik mirip dengan munâsabah ayat dengan ayat. Hal ini menjadikan
semantik cukup identik dengan ulum al-Qur‟ân, walaupun terdapat perbedaan
dalam analisisnya dimana semantik lebih banyak berbicara dari segi historitas kata
untuk mendapatkan makna yang sesuai pada kata tersebut.
Pendapat M. Nur Khalis, kajian semantik al-Qur‟an pertama kalinya
dilakukan salah seorang sarjana yang bernama Muqatil ibn Sulaiman (w. 150/767)
13
M. Yusron, dkk., Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: Teras, 2006), h.18. 14
Dalam semantik istilah ini dikenal dengan sebutan makna dasar dan makna relasional
19
dalam tafsirnya al-Asybah wa al-Nazhâ‟ir f𝑖 al-Qur‟𝑎n al-Karîm dan Tafsir
Muqâtil ibn Sulaimân. Muqatil menegaskan bahwa setiap kata yang terdapat
dalam al-Qur‟an, selain memiliki arti yang definitif (makna dasar) juga memiliki
beberapa alternatif makna lainnya (makna relasional). Contohnya adalah kata mâ‟
yang dalam konteks pembicaraan al-Qur‟an memiliki tiga alternatif makna.
Pertama bermakna hujan, seperti dalam QS. al-Hijr: 22, al-Furqân: 48, al-Anfâl:
11, dan Luqmân: 10. Kedua bermakna air sperma, seperti dalam QS. al-Furqân:
54. Ketiga bermakna pijakan yang amat fundamental dalam kehidupan orang
beriman, seperti dalam QS. an-Nahl: 65. Dalam ayat ini kata mâ‟ yang berarti air
oleh Muqâtil dipahami sebagai metafor (matsal).15
Selain Muqâtil yang
melakukan hal senada adalah Harun Ibn Musa (w. 170/768) dalam bukunya al-
Wujûh wa al-Nazhâ‟ir fi al-Qur‟an al-Karim. Kata wajh, dalam karya ini,
dimaksudkan sebagai makna yang dikembangkan dari sebuah kosa kata. Di
samping kosa kata, sebagai faktor penentu makna adalah konteks linguistik, serta
struktur atau sintaksis. Karya tersebut termasuk kategori tafsir dan bahasa. Yang
dimana pada paruh kedua abad kedua Hijriah Ilmu keislaman terbagi dalam tiga
spesialisasi besar, yakni 1) hadis, 2) tafsir, 3) bahasa.16
Era kontemporer saat ini, pendekatan semantik diteruskan oleh ilmuan
Jepang, yakni Toshihiko Izutsu (1914-1993). Izutsu mengatakan bahwa kajian
semantik adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan
suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual
Weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat menggunakan bahasa itu,
pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Oleh karena itu tujuan
15
Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 169-171. 16
Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 172.
20
semantik al-Qur‟an menurut Izutsu adalah al-Qu‟an harus dipahami dalam
pengertian pandangan dunia Qur‟ani yaitu visi al-Qur‟an tentang alam semesta.17
Artinya dengan adanya studi semantik al-Qur‟an akan menjadikan suatu alat yang
mengkaji makna yang ada dalam tiap kosakata yang disediakan al-Qur‟an. Kajian
tentang kosakata al-Qur‟an sangat diperlukan karena sering dijumpai kata-kata
yang mengandung pengertian lebih dari satu. Di samping itu juga sering
ditemukan kata yang berkonotasi metaforis atau di dalam ilmu balaghah disebut
majaz.
D. Semantik Toshihiko Izutsu
Izutsu menjelaskan bahwa maksud semantik di sini menurutnya adalah
kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan
yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual Weltanschauung atau
pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai
alat bicara dan berpikir, tetapi yang lebih penting lagi, pengkonsepan dan
penafsiran dunia yang melingkupinya. Dalam hal ini ia menambahkan, bahwa apa
yang disebut semantik sekarang ini adalah susunan rumit yang sangat
membingungkan. Sangat sulit bagi seorang di luar (disiplin linguistik) untuk
mendapat gambaran secara umum seperti apa (semantik) itu. salah satu alasannya,
semantik menurut etimologinya adalah merupakan ilmu yang berhubungan
dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata, begitu luas
sehingga hampir apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna merupakan
objek semantik.18
17
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 3. 18
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 3.
21
Agar pemahaman terhadap kitab suci ini tidak mengalami korosi, Izutsu
berusaha untuk membiarkan al-Qur‟an menafsirkan konsepnya sendiri dan
berbicara untuk dirinya sendiri. Uraian di bawah ini akan mengantarkan kita pada
bagaimana kaidah semantik bisa memahami makna yang diinginkan oleh al-
Qur‟an, bukan sang penafsir. Namun, tak dapat dielakkan bahwa terkadang
mufassir tidak bisa sepenuhnya mengelak dari pandangan peribadi ketika
memahami sebuah teks dalam kaitannya dengan pendekatan yang digunakan.
Pendek kata, campur tangan (pra-konsepsi maupun post-kosepsi) dari mufassir
tetap tak dapat dihindari.
Kaidah semantik ini dimulai dengan membuka seluruh kosakata al-Qur‟ān,
semua kata penting yang mewakili konsep-konsep penting serta menelaah apa
makna kata semua kata itu dalam konteks al-Qur‟an, bukan konteks sempit
berkaitan dengan alasan turunnya ayat tertentu, tetapi konteks yang lebih luas.
Namun, ini tidak mudah. Kata-kata atau konsep-konsep di dalam al-Qur‟an adalah
tidak sederhana (simple). Kedudukan masing-masing saling terpisah, tetapi sangat
saling bergantung dan menghasilkan makna konkrit justru dari seluruh sistem
hubungan itu. Artinya, kata-kata itu membentuk kelompok-kelompok yang
beragam, besar dan kecil, dan saling terkait satu sama lain dengan berbagai cara,
lalu pada akhirnya menghasilkan keteraturan yang syumul, sangat kompleks dan
rumit sebagai rangka kerja gabungan konseptual. Dengan demikian, dalam
menganalisis konsep-konsep kunci individual yang ditemukan di dalam al-Qur‟an
kita tidak bisa kehilangan wawasan hubungan ganda yang saling memberi muatan
dalam keseluruhan sistem.19
19
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 10.
22
Kosakata al-Qur‟an dapat terbagi menjadi tiga kosakata. Pertama kosakata
yang hanya memiliki satu makna, kedua kosakata yang memiliki dua alternatif
makna dan ketiga kosakata yang memiliki banyak kemungkinan arti selaras
dengan konteks dan struktur dalam kalimat yang memakainya.20
Untuk
mendapatkan konsep-konsep pokok yang jelas dalam al-Qur‟an, Izutsu memberi
dua konsep metodologi, yaitu makna dasar dan makna relasional.
Makna dasar adalah makna yang melekat pada sebuah kata dan akan terus
terbawa dimanapun kata itu dipakai. Misalnya kata al-kitab, makna dasarnya sama
baik di dalam al-Qur‟an maupun di luar al-Qur‟an. Kata ini mempertahankan
makna aslinya kitab. Sedangkan makna relasional adalah makna baru yang
diberikan pada sebuah kata yang tergantung pada kalimat dimana kata tersebut
diletakkan.21
Dalam menelusuri makna rasional dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
melakukan analisis sintagmatik, suatu analisis yang berusaha menentukan makna
suatu kata dengan cara memperhatikan kata-kata yang ada di depan dan di
belakang kata yang sedang dibahas dalam satu bagian tertentu, kata-kata tersebut
memiliki hubungan keterkaitan satu sama lain dalam membentuk makna sebuah
kata22
dan melakukan analisis paradigmatik, suatu analisis yang
mengkompromikan kata atau konsep tertentu dengan kata atau konsep lain yang
mirip (sinonimitas) atau bertentangan (antonimitas).23
20
Setiawan, Al-Qur‟an Kkitab Sastra Terbesar, h. 177. 21
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 12. 22
Nailul Rahman, “Konsep Salam dalam al-Qur„an dengan Pendekatan Semantik
Thoshihiko Izutsu,” (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.
Yogyakarta. 2014), h. 43. 23
Zunaidi Nur, “Konsep Al-Jannah dalam Al-Qur„an: Aplikasi Semantik Toshihiko Isutzu,”
(Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2014), h. 64.
23
Mencari hubungan makna antar satu konsep dengan konsep lain (integrasi
antar konsep), serta mengetahui posisi konsep yang memiliki makna yang lebih
luas dan posisi konsep yang memiliki makna yang lebih sempit sehingga
menghasilkan pemahaman yang komprehensif sesuai pandangan dunia al-Qur‟an.
Istilah–istilah yang digunaknan dalam analisis ini adalah kata kunci, kata fokus,
dan medan semantik.
Kata kunci adalah kata-kata yang memainkan peranan yang sangat
menentukan dalam penyusunan struktur konseptual dasar pandangan dunia al-
Qur‟an. Kata fokus adalah kata kunci yang secara khusus menunjukkan dan
membatasi bidang konseptual yang relatif independen dan berbeda dalam
kosakata yang lebih besar dan ia merupakan pusat konseptual dari sejumlah kata
kunci tersebut. Kata fokus ini menjadi prinsip penyatu. Sedangkan medan
semantik adalah wilayah atau kawasan yang dibentuk oleh beragam hubungan
diantaranya kata-kata dalam sebuah bahasa.24
Misalnya konsep kufr, ia menjadi kata fokus yang menguasai seluruh medan
semantik yang tersusun dari kata-kata kunci yang masing-masing mewakili segi
esensial pemikiran al-Qur„an dengan caranya sendiri dengan sudut pandang yang
khusus. Medan semantik dengan kata kufr sebagai kata fokus, kata-kata lain yang
mengitarinya dalam diagram adalah kata-kata kunci yang menandai aspek-aspek
khusus dan parsial dari konsep kufr itu sendiri atau kata kunci yang mewakili
konsep-konsep yang erat terkait dengan kufr dalam konteks al-Qur‟an.25
24
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 18-20. 25
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h 25.
24
Diagram 2.1: Medan Semantik Sintagmatik Kufr
Pada tahapan selanjutnya, Toshihiko Izutsu menggunakan istilah yang
berhubungan dengan kesejarahan kosakata dalam al-Qur‟an yang disebut dengan
semantik historis, istilah tersebut sinkronik dan diakronik. Kata sinkronik, berasal
dari bahasa Yunani yaitu syn yang berarti dengan, dan chronoss yang berarti
waktu. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinkronik diartikan sebagai
segala sesuatu yang bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi pada suatu masa.
Secara etimologis kata diakronis berasal dari bahasa Yunani yaitu dia dan
chronoss. Dia mempunyai arti melintas sedangkan chronoss berarti waktu. Jadi
diakronik berarti sesuatu yang melintas, melalui, dan melampaui dalam batasan
waktu.26
Sinkronik adalah sudut pandang masa dimana kata tersebut lahir dan
berkembang untuk memperoleh suatu sistem kata yang statis. Dengan sudut
pandang ini, akan terlihat unsur-unsur lama yang terlepas dalam sebuah bahasa,
26
Muhammad Darwis, “Konsep Sinkronik dan Diakronik Dalam Sejarah”, Diakses pada 29
April 2018 dari twentynov.blogspot.com/2016/01/konsep-dan-sinkronik-dalam.htmI?m=1
Allah
Kufr
Fisk
Dalal
Julm
Istikbar
Takzib
Syirk
Isyan
25
kemudian muncul unsur-unsur baru yang menemukan tempatnya sendiri dalam
sistem bahasa tersebut.
Sedangkan diakronik adalah pandangan terhadap bahasa yang pada
prinsipnya menitik beratkan pada unsur waktu. Dengan demikian, secara
diakronik, kosakata bentuk sekumpulan kata yang masing-masing tumbuh dan
berubah secara bebas dengan caranya sendiri yang khas. Kemungkinan dalam
suatu masa sebuah kata tersebut mengandung makna yang penting dalam
kehidupan masyarakat, dan pada masa lain mungkin kata itu mengalami distorsi
makna karena ada kata-kata baru yang muncul. Tidak menutup kemungkinan juga
sebuah kata bisa bertahan dalam jangka waktu lama pada masyarakat yang
menggunakannya.27
Toshihiko Izutsu membagi periode waktu penggunaan kosakata dalam tiga
periode waktu, yaitu pra-Qur‟anik (Jahiliyah), Qur‟anik dan pasca-Qur‟anik.28
Yang menjadi patokan pencarian kosakata pra-Qur‟anik adalah (kosa kata Badwi
murni masa nomaden, (2) kosa kata kelompok pedagang, (3) kosa kata Yahudi-
Kristen. Ketiga point tersebut merupakan unsur-unsur penting kosa kata Arab pra-
Islam.29
Pada masa Qur‟anik, kosakata al-Qur‟an sangat luar biasa, bahkan tiada
taranya sebagai bahasa Wahyu Ilahi, wajarlah semua sistem pasca al-Qur‟an
sangat terpengaruh oleh kosa kata al-Qur‟an tersebut. Pada periode pasca-al-
Qur‟an, Islam banyak menghasilkan banyak sistem pemikiran yang berbeda
khususnya pada masa Abasiyah, yakni teologi, hukum, teori politik, filsafat,
tasawuf. Masing-masing produk kultural Islam ini mengembangkan sistem
konseptualnya sendiri, kosakatnya sendiri yang mencakup sejumlah subsistem.
27
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 22-23. 28
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 25. 29
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 35.
26
Dengan demikian, kita sepenuhnya berhak untuk membicarakan kosakata teologi,
Islam, kosa kata tasawuf dan yang lain-lain menurut teknis yang berbeda-beda.30
Misalnya kata taqwâ, di dalam al-Qur„an kata ini merupakan kata yang
sangat penting sebagai salah satu istilah kunci al-Qur‟an yang paling khas. Namun
kata ini pada masa Jahiliyah tidak digunakan dalam pengertian religius. Konsep
dasar taqwâ pada masa Jahiliyah dapat diungkapkan dengan melihat syair-syair
pra-Islam. Diantara syair yang berbicara tentang taqwâ (dengan kata kerja ittaqâ
dan ittaqî) yaitu:
اإلتقاء أن تعل بينك وبني ما تافو حاجرا يفظك “Ittaqâ maknanya adalah engkau menempatkan antara dirimu sendiri
dan sesuatu yang kau takuti. Sesuatu yang dapat melindungimu dengan
mencegahnya mencapaimu”
Pada dasarnya, taqwâ bernakna membela diri dengan menggunakan sesuatu.
Syair pra-Islam di atas memiliki pola yang sama dengan syair berikut ini:
لجم *وقال سأقضى حاجت ث أتقى
عدوى بألف من ورائى امل“Ia berkata (kepada dirinya sendiri): aku akan memuaskan nafsuku
(yakni aku akan membunuh orang yang telah membunuh saudaraku),
kemudian aku akan membela diriku (attaqî) terhadap musuh (yang sudah
barang tentu akan membalas) dengan seribu kuda beserta kendalinya untuk
mendukung maksudku.”
Kata taqwâ pada zaman Jahiliyah bermakna sikap membela diri sendiri baik
binatang maupun manusia untuk tetap hidup melawan sejumlah kekuatan
distruktif dari luar.
Pada periode Qur‟anik, kata taqwâ masuk ke dalam sistem Qur‟anik dengan
membawa serta makna dasar. Namun kata ini ditempatkan dalam semantik khusus
yang tersusun dari sekelompok konsep yang berkaitan dengan “kepercayaan”
yang khas “monoteisme” Islam. Kata tersebut mendapatkan makna religius yang
30
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 42.
27
sangat penting yaitu takut kepada hukuman Allah pada hari kiamat, namun
struktur formalnya sendiri tidak berubah. Di sini yang dapat mencelakakan bukan
lagi bahaya fisik tetapi bahaya eskatologi, yakni siksa pedih dari Allah yang
dilimpahkan kepada orang-orang yang menolak untuk beriman dan berserah diri.
Struktur dasar taqwâ dalam al-Qur‟an menurut bentuk aslinya dalam
pengertian di atas merupakan bentuk konsep eskatologi, yang maknanya adalah
takut akan siksaan Ilahi di akhirat. Dari makna yang asli ini sehingga muncul
makna ketakutan yang patuh (kepada Allah)‖. Hal ini menunjukkan suasana yang
sangat khusus berkaitan secara langsung dengan konsep hari pengadilan kelak di
akhirat.31
Dalam konteks Al-Qur‟an, ittaqâ berarti seseorang yang menjaga dirinya
sendiri dari bahaya yang akan dihadapi, yakni siksaan Allah dengan cara
menempatkan dirinya dalam perlindungan berupa iman dan kepatuhan yang
sungguh-sungguh. Itulah sebabnya di dalam al-Qur‟an muttaqî sering kali
digunakan dengan pengertian orang beriman yang taat lawan dari kafir.32
Pada periode pasca Qur‟anik, makna taqwâ mencapai tahap tidak lagi
memiliki hubungan nyata dengan citra hari akhir, namun berubah menjadi hampir
sama dengan ketaatan. Pada tahap ini taqwâ kehilangan nilai eskatologisnya yang
sangat kuat, sehingga kata taqwâ hanya terkait sedikit atau sama sekali tidak ada
kaitannya dengan konsep takut (khawf).33
Seiring dengan berjalannya waktu pada
akhirnya kata taqwâ dikonsepkan dengan taat yang berarti menjalankan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
31
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h 262. 32
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h 263. 33
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h 267
28
29
BAB III
DESKRIPSI AYAT-AYAT MUNAFIK DALAM AL-QUR‟AN
A. Ayat-ayat Munafik
Dalam al-Qur‟an akar kata nun fa qaf beserta derivasinya disebut berulang
kali sebanyak 108 kali.1 Kata munafik beserta derevasinya disebut berulang kali
sebanyak 38 kali pada 29 ayat 12 surat. Dalam hal ini, penulis menggunakan kitab
Mu‟jam Mufahras li Al-fâz Al-Qur‟ân Al-Karîm karya M. Fuad Abdul Baqi.2
Kata munafik di dalam al-Qur‟an biasanya disebutkan dengan menggunakan
kata Nâfaqû terulang 2 kali, an-Nifâq terulang 1 kali, nifâqon 2 kali, munâfiqotu 5
kali, munafikûn 8 kali, munafiqûn 19 kali, dan nafaqon 1 kali. Rinciannya sebagai
berikut:
Tabel 3.1: Ayat-ayat Munafik
No Lafadz Jumlah Nama Surat
.Ali-„Imrân: 167, al-Hasyr: 11 2 نافقوا 1
Al-Taubah: 101 1 النفاق 2
Al-Taubah: 77, 79 2 نفاقا 3
5 املنافقات 4
Al-Aẖzâb: 73, Al-Hadîd: 13, Al-Taubah: 67,68,
Al-Fatẖ: 6.
8 املنافقون 5Al-Anfâl: 49, Al-Aẖzâb 12, 60, Al-Hadîd: 13, Al-
1Tahap awal Penulis mencoba mencari setiap kata yang berasal dari bentuk huruf: nun fa
qof. Kata yang berasal dari tiga akar kata tersebut memiliki dua kegunaan yang berbeda di dalam
al-Qur‟an. Pertama نافق untuk menunjukan makna karakteristik perilaku manusia, kedua انفق untuk menunjukan makna memberikan atau menafkahkan dengan menggunakan kitab
fatẖurahmân lithâlbî âyatil Qur‟an karya Aẖmad Ibn Hasan. Aẖmad Ibn Hasan, fatẖurahmân
lithâlbî âyatil Qur‟a (Jakarta: Darul Hikmah, 1422), h. 444-445. 2Muhammad Fuad Abdul Bāqi‟, Mu‟jam Mufahras li Al-fâz Al-Qur‟ân Al-Karîm (Beirut:
Darr al-Fikr, 1981), h. 716.
30
Munâfiqûn: 1, Al-Taubah: 64, 67, 101.
نياملنافق 6 19
Al-Ankabût: 11, al-Aẖzâb: 1,24,48,73, Al-Nisâ:
61,88,138,140,142,145, Al-Munâfiqûn: 1,7,8, Al-
Taubah: 67,68,73, Al-Fatẖ: 6. At-Taẖrîm 9.
Al-An‟âm: 35 1 نفقا 7
B. Ayat-ayat Makiyah dan Madaniyyah.
Perkembangan dan dinamika turunnya wahyu mendapatkan respon yang
sangat beragam, begitu pula peristilahan-peristilahan yang muncul dari kajian
terhadap al-Qur‟an. Mulai dari istilah ayat, surat, asbabun nuzul, waqaf, washal
dan lain sebagainya. Yang tak kalah menarik mengenai istilah yang disebutkan
dalam studi al-Qur‟an adalah Makki dan Madani. Ada juga yang menyebut
dengan istilah Makkiyah dan Madaniyyah.3
Manna‟ al-Qaṯṯhan memberikan gambaran bahwa untuk membedakan
Makki dengan Madani, para ulama mempunyai tiga macam pandangan yang
masing-masing mempunyai dasar.4 Pandangan para ulama ini tentunya tetap
berkiblat pada sebuah argumentasi yang disesuaikan dengan kondisi keilmuan
yang ada dalam kajian al-Qur‟an. Ketiga pandangan yang disebut oleh Al-Qaṯṯhan
dalam Mabahits fi „Ulum al-Qur‟ân adalah sebagai berikut;
3Perlu juga dimengerti bahwa yang dimaksudkan dengan madaniyyah di sini bukanlah
sebuah terminologi madaniah dalam kajian peradaban. Tapi madaniyyah yang dipakai dalam
terminologi kajian al-Qur'an. Karena dalam tradisi intelektual Islam (Arab-Persia-Melayu) untuk
kata-kata kebudayaan digunakan kata-kata al-hadharah atau hadharah, sedangkan untuk kata-kata
peradaban atau civilization digunakan kata-kata al-madaniyah atau madaniyah saja. Kata-kata
yang sama pengertiannya dengan madaniyah ialah altsaqafah (peradaban). 4Mannâ‟ Khalil al-Qaṯṯân, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an. Penerjemah Mudzakir AS (Jakarta:
Litera Antar Nusa, 2009), h. 61.
31
1. Dari segi turunnya. Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun
bukan di Makkah. Adapun Madani adalah yang diturunkan sesudah hijrah
sekalipun bukan di Madinah.
2. Dari segi tempat turunnya. Makki ialah yang turun di Makkah dan sekitarnya,
seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di
Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sil.
3. Dari segi sasarannya (i‟tibar al-mukhâtab). Makki adalah yang seruannya
ditujukan kepada penduduk Makah dan Madani adalah yang seruannya
ditujukan kepada penduduk Madinah. Berdasarkan pendapat ini, para
pendukungnya menyatakan bahwa ayat al-Quran yang mengandung seruan ya
ayyuha al-nâs (wahai manusia) adalah Makki, sedang ayat yang mengandung
seruan yâ ayyuha al-lazhîna âmanȗ (wahai orang-orang yang beriman) adalah
Madani.5
Tujuan penulis memasukan makiyyah dan madaniyah adalah untuk
mempermudah melihat perubahan makna sesuai tartib al-Nuzul surat.
Ayat-ayat yang tergolong surat makiyyah terdapat satu surat. Adapun
kronologi ayat-ayat munafik dalam fase makiyyah diriwayatkan oleh Ibn Abbas
adalah sebagai berikut6:
Tabel 3.2: Ayat-ayat Makiyyah
No Urut
Kronologi Nama Surat Urutan Mushaf
1 84 Al-Ankabût 29
5Al-Qaṯṯân, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an. Penerjemah Mudzakir AS, h. 62.
6Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an (Yogyakarta: FkBA, 2001), h. 102.
32
Ayat-ayat yang tergolong surat madaniyyah terdapat sapuluh surat. Adapun
kronologi ayat-ayat munafik dalam fase madaniyyah diriwayatkan oleh Ibn Abbas
adalah sebagai berikut7:
Tabel 3.3: Ayat-ayat Madaniyyah
No Urut
Kronologi Nama Surat Urutan Mushaf
1 2 Qs. Al-Anfâl 29
2 3 Qs. Ali-„Imrân 3
3 4 Qs. Al-Aẖzâb 33
4 6 Qs. Al-Nisâ‟ 4
5 8 Qs. Al-Hadîd 57
6 15 Qs. Al-Hasyr 59
7 19 Qs. Al-Munâfiqûn 63
8 22 Qs Al-Taẖrîm 66
9 26 Qs. Al-Fatẖ 48
10 28 Qs. Al-Taubah 9
Secara umum ayat-ayat munafik pada fase makiyyah berbeda dengan fase
madaniah. Pada fase makkiyah Allah hanya memberi perhatian bahwa Allah
mengetahui orang-orang yang beriman dan orang-orang yang munafik.8 Pada fase
madaniyyah Allah memberi gambaran tentang orang-orang munafik lengkap
dengan sifat-sifatnya dan azab bagi orang-orang munafik. Seperti yang
dicontohkan penulis di atas. Perbedaan dua fase tersebut dapat terlihat bahwa pada
7Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an (Yogyakarta: FkBA, 2001), h. 103-
104. 8“Dan sesungguhnya Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang beriman; dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang munafik” (Qs. Al-Ankabut 11).
33
fase madaniah Allah lebih memberi gambaran luas tentang orang-orang munafik.
Namun, dari perbedaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ayat-ayat
munafik masih dalam satu runtutan pembahasan.
C. Klasifikasi Ayat-ayat Munafik
Kata munâfiq yang digunakan oleh al-Qur‟an secara umum berarti prilaku
atau karakter seseorang yang terdapat penyakit di dalam hatinya. Bahkan sampai
diturunkannya surat Al-Munâfiqûn yang khusus membahas tentang karakteristik
munafik tersebut. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan hasil coding ayat-ayat
munafik dengan pilihan kode subjek, predikat, dan objek. Coding merupakan
proses mengorganisasikan data dengan mengumpulkan potongan (atau bagian teks
atau bagian gambar) dan menuliskan kategori dalam batas-batas.9 Berikut
perinciannya:
1. Kata munâfiq dalam posisi sebagai subjek (pelaku) memiliki tiga objek (yang
dikenai perlakuan). Di antaranya: (1) Allah, (2) Mu‟min. (3) Kafir. Maksudnya
orang-orang munafik melakukan kemunafikannya terhadap tiga objek tersebut.
a. Orang-orang munafik melakukan kemunafikannya terhadap Allah, mereka
tidak bertakwa, tidak patuh, menipu, dan berprasangka buruk. Berikut
perinciannya:
Tabel 3.4: Munafik sebagai Subjek terhadap Allah
No Surat &
Ayat Subjek Predikat Objek Kondisi
1 Al-Aẖzâb
منافق 1 اليتق(Tidak
Bertaqwa)
اهللPeringatan pada Nabi
untuk terus bertaqwa
dan jangan mengikuti
kemauan orang-orang
9John W. Creswell, Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Apporoaches, Penerjemah: Achmad Fawaid dan Rianayati Kusmini Pancasari (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2016), h. 265.
34
munafik yang tidak
bertakwa
2 Al-Aẖzâb
48 التطع( Tidak
Patuh)
Orang-orang munafik
tidak menjalankan
Syariat.
3 Al-Nisâ‟
142
-خيادعون-كساىل -يراءون
يذكرونقليل
(menipu)
Mereka ada pada
keraguan sehingga
mencari keuntungan
dalam tubuh Islam.
4 Al-Fatẖ
6 الظانني السوء(Berprasang
ka Buruk)
Mereka menganggap
Nabi dan Mu‟min
tidak akan pernah
diselamatkan oleh
Allah.
5 Al-Taubah
67 Mereka tidak mau يقبضون ايديهم
berinfak ketika
diperintahkan untuk
berinfak.
b. Orang-orang Munafik melakukan kemunafikannya terhadap Mu‟min. Mereka
mencoba mempengaruhi dan menghalangi orang-orang mu‟min dengan tujuan
untuk melemahkan iman dan menghalangi beribadah terhadap Allah dan
Rasul-Nya. Bentuk kemunafikannya berupa ucapan dan tindakan. Berikut
perinciannya:
Tabel 3.5: Munafik sebagai Subjek terhadap Mu‟min
No Surat &
Ayat Subjek Predikat Objek Kondisi
1 Ali-
„imrân
167
منافق
يقلون )لو نعلم قتاال ال تبعنكم(sekiranya kami tahu
akan terjadi perang,
tentulah kami
mengikuti kamu
مؤمن
Mereka tidak mau
ikut berperang.
2 Al-
Aẖzâb يقولون )وعدنا اهلل ورسولو Dalam kondisi
perang mereka
35
اال غرورا( 12Allah dan Rasul-Nya
tidak menjanjikan
kepada kami
melainkan tipu daya
menyuruh untuk
membelot dan
pulang kembali ke
Madinah.
3 Al-Nisâ‟
61 يصدون عنك صدود
menghalangi
manusia mendekat
pada Allah
Ketika Nabi
mengajak untuk
patuh terhadap
perintah Allah
mereka
menghalangi dan
berprilaku thagut.
4 Al-
Munâfiq
ûn
1
انك نيقولون ) نشهد لرسول اهلل(Kami mengakui
bahwa sesungguhnya
Engkau utusan Allah
Ketika diminta
untuk bersumpah
setia, mereka
menjadikan
sumpah sebagai
perisai, kemudian
menghalangi
manusia dalam
beribadah.
5 Al-
Munâfiq
ûn
8
يقلون )لئن رجعنا اىل األعز منها املدينة ليخرجن
األذل(Jika kita kembali ke
Madinah, pastilah
orang-orang kuat akan
memusuhi orang-orang
lemah
Dalam kondisi
perang mereka
mencoba
mempengaruhi
sebagian teman-
temannya.
6 Al-
Taubah
67
يأمرون بأاملنكر ينهون عن املعروفmengajak pada yang
munkar mencegah
dari yang ma‟ruf
Mereka tidak patuh
pada Allah dan
RasulNya dan
berprilaku
demikian.
7 Al-
Munâfiq
ûn
7
يقولون )ال تنفقوا على من عند رسول اهلل(Janganlah
memberikan
pembelanjaan pada
muhajiri
n.
Orang munafik
dengan sengaja
melarang teman-
temannya untuk
menginfaqkan
sebagian hartanya
pada Nabi dan
Sahabatnya dengan
tujuan agar bubar.
36
c. Orang-orang munafik melakukan kemunafikan terhadap kafir. Mereka
mencoba membohongi orang-orang kafir dengan tujuan untuk mendapat
pengakuan dan mencari keuntungan. Dalam konteks terhadap orang-orang
kafir mereka mempengaruhi dengan berbicara. Berikut perinciannya:
Tabel 3.6: Munafik sebagai Subjek terhadap Orang Kafir
No Surat &
Ayat Subjek Predikat Objek Kondisi
1 Al-Anfâl
49
منافق
ىؤالء يقولون ) غر دينوىم( mereka telah
ditipu oleh
agamanya
كافر
Ketika Nabi
berperang.
2 Al-Hayr
11 يقولون )ألن اخرجتم
لنخرجن(Jika kalian di usir,
niscahya kami
pun akan keluar
ان قوتلتم لننصرنكمJika kalian
diperangi, maka
kami akan
membantu.
Ketika Islam belum
lama masuk
Madinah orang-
orang munafik
berbicara kepada
saudara mereka
yang kafir.
Dari perincian tersebut penulis mencoba melihat motivasi dan tujuan orang-
orang munafik. Motivasi prilaku mereka adalah merasa terganggu akan kehadiran
Rasulullah dan umat-umatnya, karena akan mengganggu stabilitas pendapatan dan
kedudukan mereka. Tujuan akhirnya adalah untuk mencari keuntungan dan
menghindari kerugian-kerugian yang akan menimpa mereka.
2. Kata munâfiq dalam posisi sebagai objek memiliki subjek 1 yaitu Allah.
Maksudnya dalam beberapa ayat Allah berperan sebagai subjek dan yang
37
menjadi sasarannya yaitu orang-orang munafik. Dalam hal ini Allah dalam
beberapa ayat menunjukkan hak preogratif-Nya. Allah yang mengetahui orang-
orang yang melakukan kemunafikan dan Allah pula yang berhak menghakimi
mereka. Berikut perinciannya:
Tabel 3.7: Allah sebagai Subjek terhadap Munafik
No Surat &
Ayat Subjek Predikat Objek
1 Al-Ankabût
11
Al-Taubah
101
اهلل
(mengetahui) يعلم
منافق
2 Al-Aẖzâb
24,73.
Al-Nisâ 138
Al-Fatẖ 6
(mengadzab) يعذب
3 Al-Aẖzâb 60 لنغرينك (memerangi)
4 Al-Nisâ‟ 88 اركسهم (mengembalikan pada
kekapiran) 5 Al-Nisâ‟ 88 يضلل (menyesatkan) 6 Al-Nisâ‟ 140
67 مجامع يف جهن (mengumpulkan di
neraka Jahannam) 7 Al-Nisâ‟ 145 يف الدرك االسفل من النار (dineraka
paling bawah) 8 Al-Taẖrîm 9
Al-Taubah 73 دجاه (memerangi)
9 Al-Taubah 68 وعد (mengancam) 10 Al-Taubah 77 اعقبهم نفاق يف قلوهبم
(menimbulkan/menanamkan
kemunafikan)
Dalam posisi sebagai objek (yang dikenai perlakuan) penulis menyimpulkan
bahwa: Allah yang mempunyai hak preogratif terhadap orang-orang yang
melakukan kemunafikan. Dia yang mengetahui, menanamkan kemunafikan,
38
mengancam, memerangi, dan menghukum mereka. Rasulallah berperan sebagai
perantara dalam menyikapi orang-orang munafik.
39
BAB IV
ANALISIS SEMANTIK KONSEP MUNAFIK
Al-Qur‟an menggambarkan munafik dengan begitu kompleks, dari
karakteristik munafik dan ancaman bagi orang-orang munafik. Kata munafik
beserta derivasinya disebutkan terulang sebanyak 38 kali pada 30 ayat dalam 12
surat. Kata munâfiq tersebut tentunya memiliki banyak makna. Berikut uraiannya;
A. Makna Dasar Munafik
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab dua, makna dasar adalah
makna yang melekat pada kata itu sendiri dan selalu terbawa pada kata tersebut di
manapun kata itu diletakkan.1 Makna dasar juga disebut dengan makna leksikal
yaitu makna sebenarnya dari sebuah kata tanpa konteks tertentu. Untuk
mendapatkan makna dasar, kamus merupakan media yang representatif dalam
melacak makna secara leksikal.
Secara leksial, kata munâfiq adalah isim fâ‟il yang berasal dari ي نافق - نافق- نفقا -منافق ة naafaqo yunaafiqu munaafaqotan wa nifâqon. Kata munâfiq tersebut
merupakan majid yang sudah mengalami perubahan dengan tambahan satu huruf
setelah ف fiil.
Akar kata dari munâfiq adalah نا انفق –ن فقا -ي نفق - نفق artinya as-sarobun fil
al-ad (membuat lubang di bumi).2 Munafik adalah pelaku dari sesuatu yang
memiliki sifat nifâq. Bisa diartikan juga dengan kata Nâfiqa Lil Yarbu yaitu keluar
dari lubang persembunyian binatang seperti tikus,3
dalam hal ini, antara lubang
tikus dan kemunafikan memang sejajar. Jika dilihat dari sifatnya, bagian atas
1Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an
(Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 12. 2Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram bin Manẓȗr al-Mishrî, Lisan al-„Arab
jilid 16 (Beirut: Dar Ihyâ‟ al-Turas al-„Arabi, t.th), h. 358. 3Husin Ibn Awang, Qâmûs al-Tulâb, Cet.ke-1. (Kuala Lumpur: Dar al-Fikr 1994), h. 1041
40
(luar) liang tikus tertutup dengan tanah, sedangkan bagian bawah berlubang.
Demikian pula kemunafikan yang bagian luarnya adalah Islam dan dalamnya
merupakan keingkaran serta penipuan.4
Kata munâfiq berarti buat-buat atau pura-pura5 dan kata masdar nya pula
nifâq berarti kepura-puraan yaitu keluar dari keimanan secara diam-diam.6 Di
dalam kamus al-Mu‟jam al-Wajiz menyatakan demikian bahwa munafik berasal
dari kata nâfaqa berarti menzahirkan apa yang berlainan dari batin.7
Dari kata nifâq tersebut, maka al-Raghib al-Asfahâni mengatakan bahwa
seorang munafik, bisa terlihat bahwa ia masuk Islam dari pintu satu dan keluar
dari pintu lainnya.8 Dalam Syarah Usul I‟tikad Ahl Sunnah wa al-Jama‟ah
mengatakan bahwa nifâq itu adalah kekufuran yaitu mengkufurkan Allah dan
menzahirkan keimanan secara terang-terangan.9
B. Makna Relasional
Setelah menentukan makna dasar kata munâfiq, selanjutnya adalah
menentukan makna relasional kata tersebut. Seperti yang telah dijelaskan dalam
bab dua bahwa makna relasional adalah makna baru yang diberikan pada sebuah
kata yang bergantung pada kalimat dimana kata tersebut diletakkan.10
Untuk
mendapatkan makna relasional, dilakukan analisis sintagmatik dan paradigmatik.
4M.Quraish Shihab dan dkk, Ensiklopedia Al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya
(Jakarta: Internusa 1997), h. 277 5Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Qâmus Idrîs al-Marbawi (Kuala Lumpur: Dar
al-Fikr 2006), cet. ke-3, h. 336. 6Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Pondok
Pasentren al-Munawwir 1984), h. 1548 7Kumpulan Bahasa Arab, al-Mu‟jam Al-Wajiz, h. 628
8Al-Raghib al-Asfahâni, Mu‟jam Mufradat Alfaz al-Qur‟an, Beirut: Dar al-Fikr 1986), h.
253 9Habbatullah Ibn al-Hasan ibn Mansur, Syarah Usul I‟tikad Ahl Sunnah wa al-Jama‟ah
min al-Kitâb wa al-Sunnah wa Ijma‟ Sahâbat (Riyadh: Dar al-Tibah 1983), h. 169 10
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an,
h. 12.
41
1. Analisis Sintagmatik
Kata munâfiq dalam al-Qur„an mengalami perkembangan dan menghasilkan
makna-makna lain, ketika dikaitkan dengan konsep lain seperti:
a. Pembohong
Kata munâfiq yang pada mulanya memiliki arti sebagai pembuat lubang di
dalam hati atau berpura-pura beriman, ketika bersandar dengan kata al-kadzib,
maka menjadi bermakna golongan penebar kebohongan, sebagaimana yang
disebutkan di dalam al-Qur‟an:
ذين ناف قوا ي قولون إلخوانم الذين كفروا من أىل الكتاب لئن أخرجتم لنخرجن أل ت ر إىل ال (١١)معكم وال نطيع فيكم أحدا أبدا وإن قوتلتم لن نصرنكم واللو يشهد إن هم لكاذبون
“Allah berfirman: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang
munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara
ahli kitab: "Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar
bersamamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun
untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan
membantu kamu." dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka
benar-benar pendusta.”11
(Qs. Al-Hasyr ayat 11)
Berdasarkan ayat di atas, munafik telah melakukan kebohongan dengan
berkata kepada kafir apa yang sebenarnya tidak terkandung di dalam hatinya.
kebohongan merupakan makna lain dari sifat nifâq. Kebohongan tersebut bukan
saja dilontarkan kepada kafir, namun kebohongan tersebut dilontarkan terhadap
Nabi. seperti yang terdapat dalam surat Al-Munâfiqûn ayat 1.
ن قالوا نشهد إنك لرسول اللو واللو ي علم إنك لرسولو واللو يشهد إن المنافق ين و إذا جاءك المنافق (١لكاذبون )
“Allah berfirman: Apabila orang-orang munafik datang kepadamu,
mereka berkata: "kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar
Rasul Allah". dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-
benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang
munafik itu benar-benar orang pendusta.”12
(Qs. Al-Munâfiqûn ayat 1)
11
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Depok: Adwaul Bayan, 2015),
h. 547. 12
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 554.
42
Berdasarkan ayat di atas golongan munafik yang telah memiliki sifat nifâq
telah membohongi Nabi dengan berpura-pura bersyahadat. Padahal pernyataan
syahadat tersebut hanya untuk mencari kepentingan saja. “al-munâfiqîna
lakâdzibȗn” merupakan lebeling dari Allah bahwa mereka adalah pendusta.
Orang-orang munafik senantiasa menggunakan lidah atau mulutnya untuk
membohongi lawan bicaranya atau komunikan yang sedang mereka hadapi. Selain
dari gambaran dua ayat di atas al-Qur‟an memberikan gambaran perilaku
kemunafikan mereka dalam beberapa ayat berikut, yaitu Qs. Ali-„imrân ayat 167,
Qs. Al-Ahzâb ayat 12, Qs. Al-Munâfiqûn ayat 8, dan Qs. Al-Anfâl ayat 49.
b. Menghalangi Beribadah
Kata munâfiq ketika bersanding dengan kata shudûd maka memiliki makna
sebagai golongan yang menghalangi manusia beribadah kepada Allah.
Sebagaimana yang disebutkan Allah dalam al-Qur‟an:
ون عن ك صدودا وإذا قيل لم ت عالوا إىل ما أن زل اللو وإىل الرسول رأيت المنافق ين يصد“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada
hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu
Lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya
dari (mendekati) kamu.”13
(Qs. Al-Nisâ‟ ayat 61).
Allah memberi perhatian kepada Nabi bahwa sebagian dari pengikutnya
terdapat orang-orang yang mencoba menghalangi yang lainnya untuk mendekat
pada Nabi. Bentuk perlakuannya adalah dengan tidak menjadikan Nabi sebagai
hakim dalam penyelesaian sengketa.14
Menghalangi pada kebaikan merupakan
bagian dari sifat nifâq. Selain itu mereka juga selalu mengajak pada yang munkar
13
Departemen Agama RI.,Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 88. 14
Imam al-Suyuthi, Asbabun Nuzul. Penerjemah Andi Muhamad Syahrik dan Yasir
Maqosid. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), h.151.
43
dan mencegah dari yang ma‟ruf. Seperti yang tergambar dalam dua ayat Firman
Allah sebagai berikut:
هون عن المعروف وي قبضون أيدي هم نسوا المنافقون والمنافقا ت ب عضهم من ب عض يأمرون بالمنكر وي ن اللو ف نسي هم إن المنافق ين ىم الفاسقون
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan
sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar
dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan
tangannya. mereka telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka.
Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.”15
(Qs. Al-Taubah ayat 67)
ماوات فضوا وللو خزائن الس ولكن ىم الذين ي قولون ال ت نفقوا على من عند رسول اللو حت ي ن واألر المنافق ين ال ي فقهون
“Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Ansar):
"Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin)
yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan
Rasulullah)." Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi,
tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.”16
(Qs. Al-Munâfiqûn ayat
7)
Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang-orang munafik “hum
al-fâsiqȗn” adalah orang-orang yang fasik “y‟amurȗna bil munkar wa yanhauna
an al-ma‟ruf” Mereka mengajak kepada yang munkar, mencegah dari yang
ma‟ruf, “wa yaqbidȗna aidiyahum” dan mereka juga berbuat kikir, dan senantiasa
melupakan Allah sang pencipta dan pemilik segalanya.
c. Menipu Allah
Kata munâfiq ketika bersanding dengan kata khōdiûn maka memiliki
makna sebagai orang atau golongan yang menipu Allah. Sebagaimana yang
disebutkan Allah dalam al-Qur‟an:
الة قاموا كساىل ي راءون الن إ ذكرون اللو اس وال ي ن المنافقني خيادعون اللو وىو خادعهم وإذا قاموا إىل الص إال قليال
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah
akan membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat
15
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 197. 16
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 555.
44
mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan salat) di
hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit
sekali.”17
(Qs. Al-Nisâ ayat 142).
Kata “yukhâdi‟ȗna Allah” menunjukkan bahwa munafik adalah orang yang
mencoba menipu Allah dengan berprilaku “kusalâ” malas beribadah dan riya
ketika beribadah. Mereka juga “wa lâ yadzkurȗna Allah illa qolîla” senantiasa
melupakan Allah dalam waktu yang lama. Artinya sedikit sekali berzikir
terhadap-Nya. Selain itu orang-orang munafik mencoba menipu Allah dengan
tidak bertakwa, tidak patuh dan berprasangka buruk. Seperti yang dijelaskan
dalam Qs. Al-Ahzâb ayat 1, 48, dan Qs. Al-Fath ayat 6. Dalam 3 ayat tersebut
tampak bahwa orang-orang munafik telah berlaku tidak pantas terhadap Allah.
d. Tersembunyi
Kata munâfiq ketika bersanding dengan kata yaktumûna maka menjadi
bermakna sifat seseorang atau golongan yang tersembunyi, sebagaimana yang
disebutkan di dalam al-Qur„an:
كفر قتاال الت ب عناكم ىم لل ولي علم الذين ناف قوا وقيل لم ت عالوا قاتلوا يف سبيل اللو أو ادف عوا قالوا لو ن علم هم لإلميان ي قولون بأفواىهم ما ليس يف ق لوهبم واللو أعلم با يكتم ون ي ومئذ أق رب من
“Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik.
kepada mereka dikatakan: "Marilah berperang di jalan Allah atau
pertahankanlah (dirimu)”. mereka berkata: “Sekiranya Kami mengetahui
akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu. mereka pada hari
itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. mereka mengatakan
dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. dan Allah lebih
mengetahui dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka
sembunyikan.”18
(Qs. Ali-„imrân ayat 167)
Kata yaktumȗn pada ayat di atas menunjukkan bahwa kemunafikan
tersembunyi dan Allah mengetahui apa yang disembunyikan oleh orang-orang
munafik. Mereka dekat pada kekafiran, berbicara dengan mulut apa yang tidak
terkandung di dalam hati mereka, namun Allah mengetahui apa yang tersembunyi
17
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 101. 18
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 72.
45
e. Calon Penghuni Neraka Jahanam
Kata munâfiq ketika bersanding dengan kata al-Nâr dan Jahannam maka
menjadi bermakna golongan yang akan menghuni neraka Jahannam, sebagaimana
yang disebutkan di dalam al-Qur„an:
ار والمنافقني واغلظ عليهم ومأواىم جهنم وبئس المصي يا أي ها النب جاىد الكف“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang
munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah
Jahanam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.”19
(Qs. Al-
Taẖîm ayat 9)
Berdasarkan ayat di atas, Nabi diperintahkan untuk memerangi orang-orang
munafik dan mengabarkan “wâ hum jahannamu wab‟isa al-masîro” bahwa
mereka akan ditempatkan di yang paling buruk. Tidak hanya itu, mereka juga
akan mendapat siksaan yang kekal, seperti yang terdapat dalam surat Al-Ahzâb
ayat 68 sebagaimana ayatnya:
ين خال نه المنافقني والمنافقات والكفهار نر ج ولهم عذاب مقمي )وعد الله بم ولعنم الله (٨٦فهيا ه حس
Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan
orang-orang kafir dengan neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya.
cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela'nat mereka, dan bagi
mereka azab yang kekal. (Qs. Al-Ahzâb ayat 68).
Kata „adzâbun muqîma menunjukkan bahwa Allah akan mengazab orang-
orang munafik dengan azab yang kekal. Siksaan yang kekal tentunya bagi mereka
yang terlarut dalam kemunafikannya. Karena dalam ayat lain Allah bisa saja
mengampuni mereka apabila mereka bertaubat. Berikut ayatnya:
ب المنافقني إن شاء أو ي توب عليهم إن اللو ك ان غفورا رحيما ليجزي اللو الصادقني بصدقهم وي عذ“Supaya Allah memberikan Balasan kepada orang-orang yang benar
itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-
Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”20
(Qs. Al-Ahzâb ayat 24)
19
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 561. 20
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 420.
46
Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa azab yang kekal adalah
diperuntukkan bagi mereka yang terlelap dalam kemunafikannya sampai akhir
hayatnya. “Aw yatȗba „alaihim in syâʹa” Bila mereka bertaubat tentulah Allah
akan menerima taubat mereka dengan catatan taubat yang sempurna.
Sebagai kesimpulan dari penjelasan kata-kata kunci di atas, penulis akan
memberikan sebuah bentuk diagram sederhana dari makna relasional sentagmatik
sebagai berikut:
Diagram 4.1: Medan Semantik Sintagmatik Munâfiq.
2. Analisis Paradigmatik
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa analisis paradigmatik merupakan
analisis yang mengkomparasikan kata tertentu dengan kata lain, baik dengan kata
yang memiliki kemiripan makna ataupun dengan kata yang maknanya
berlawanan. Dalam hal ini penulis tidak mencari makna yang mirip dan
berlawanan. Sinonimi ataupun antonimi adalah hasil akhir dari analisis
paradigmatik. Boleh jadi terdapat sinonimi ataupun antonimi boleh jadi tidak ada.
Karena pada dasarnya yang dimaksud analisis paradigmatik oleh Izutsu adalah
asosiatif menurut Saussure. Hubungan asosiatif ini disebut juga hubungan
كذب
منافق
كاسلى
صدودا قبض
يكتمون جهنم
رياء
47
inabsentia karena butir-butir yang dihubungkan itu ada yang muncul, ada yang
tidak dalam ujaran. Istilah asosiatif diganti menjadi paradigmatis, atas saran
seorang pengikut Saussure, Louis Hjelmslev, seorang ahli linguistik Denmark.21
Adapun kata-kata lain yang berrelasi secara paradigmatis dengan kata
munâfiq antara lain:
a. Kâfir
Selain terhadap kaum Munafik Al-Qur„an juga memberi pandangan khusus
terhadap kafir. Kafir merupakan sinonim kata munâfiq, dilihat dari 2 sisi. 1. Dari
sisi prilaku, 2 dari sisi perlakuan Allah terhadap kedua golongan tersebut.
Kata kafir berasal dari bahasa Arab yaitu: كفر -يكفر -كفر artinya menutupi,
menyelubungi.22
Menurut Hasan Muhammad Musa, di dalam bukunya yang
berjudul Qamus Qur‟ani, kufur mempunyai banyak pengertian yang saling
berdekatan, seperti: “menyembunyikan”, “menutupi”, “menghalangi”, “dinding”,
“selubung”, “mengingkari”, dan “menentang”.23
Adapun الكافر berarti lawan dari
muslim, sedangkan المرتد berarti kafir setelah islam; baik secara perkataan, atau
perbuatan, atau keragu-raguan.24
Dengan demikian pengertian kafir secara istilah berarti: seseorang yang
menolak, atau menutupi kebenaran dari Allah SWT. Yang disampaikan kepada
Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW dan ajaran-ajaran yang dibawanya.25
Kata kâfir beserta derivasinya di dalam al-Qur‟an terulang sebanyak 524
kali.26
Kafir adalah orang yang tetap mempertahankan pendiriannya dengan
21
Harimurti Kridalaksana, Mogin Ferdinand de Saussure, Peletak Dasar Strukturalisme
dan Linguistik Modern (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 33. 22
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Prograsif, 1997), h. 1217. 23
Azyumardi Azra, Kajian Tematik Al-Qur‟an Tentang Ketuhanan (Bandung: Angkasa,
2008), h. 248. 24
Syaikh Said bin Ali bin Wahf al-Qatani, Kapan Manusia Menjadi Kafir? (Solo: Pustaka
Al-Alaq, 2005), h. 55. 25
Azyumardi Azra, Kajian Tematik Al-Qur‟an Tentang Ketuhanan, h. 248.
48
menolak untuk beriman, sedangkan munafik adalah yang berpura-pura beriman
tapi hatinya menolak.27
Dari sisi penolakan tersebut kemudian muncullah sikap-
sikap atau prilaku yang menunjukkan persamaan antara munafik dengan kafir
perbedaan antara munafik dengan mu‟min. Maka tidaklah mengherankan bahwa
al-Qur‟an sendiri tampaknya hampir tidak memiliki perbedaan esensial antara
keduanya. Bahkan Allah berfirman:
ار والمنافقني واغلظ عليهم ومأواىم جهنم وبئس المصي يا أي ها النب جاىد الكف“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan
bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu
adalah seburuk-buruknya tempat kembali.”28
(Qs. Al-Tahrîm ayat 9)
Firman Allah tersebut menyatakan bahwa tempat tinggal orang munafik
pada akhirnya di neraka. Merupakan hal yang sangat penting karena
mengungkapkan hubungan esensial antara nifâq dan kufr. Karena tingkat
siksaannya setaraf. Bukti siksaan mereka setaraf juga di gambarkan dalam
beberapa ayat di surat yang lain sebagai mana yang sebelumnya penulis uraikan.
b. Fâsiq
Kata fâsiq beserta derivasinya di dalam al-Qur„an disebutkan terulang
sebanyak 54 kali.29
Semua kata fisq yang terdapat pada masing-masing ayat
selalu dikaitkan dengan perbuatan seorang kafir dan munafik.
Kata fisq berarti khuruj an al-Ta‟ah, yang secara harfiah berarti
“menyimpang dari ketaatan”, yakni tidak taat kepada perintah Tuhan”. Karena itu
fisq lebih luas penggunaannya daripada kufir. Siapa saja yang inkar pada perintah
Tuhan dengan cara apapun dapat disebut fasik, sedangkan pengertian kafir lebih
26
Muhammad Fuad Abdul Bâqi‟, Mu‟jam Mufahras li Al-fâz Al-Qur‟an Al-Karim, h. 606-
612. 27
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur‟an, Penerjemah, Mansuruddin Djoely
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 290. 28
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 561. 29
Muhammad Fuad Abdul Bāqi‟, Mu‟jam Mufahras li Al-fâz Al-Qur‟an Al-Karim, h. 519-
520.
49
terbatas.30
Dari sisi penginkarannya fasik bersinonomi dengan kafir dan munafik.
Orang fasik bukanlah orang yang benar-benar kafir, karena paling tidak dari
statusnya mereka berkubu dengan muslim. Hanya, mereka merupakan kelompok
muslim yang paling tidak bisa dipercaya dan cenderung menampakkan sifat nifâq-
nya pada setiap kesempatan.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa fasik sama seperti munafik. Sama sama
muslim dan melakukan ketidaksetiaan dan penghianatan. Sebenarnya kita
mempunya rujukan resmi menegaskan bahwa “orang munafik” sama dengan
“orang fasik”. Allah berfirman:
هون عن المعروف وي قبض ون أيدي هم نسوا المنافقون والمنافقات ب عضهم من ب عض يأمرون بالمنكر وي ن (٧٦اللو ف نسي هم إن المنافقني ىم الفاسقون )
“orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan
sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar
dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan
tangannya. mereka telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka.
Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.”31
(Qs. Al-Taubah ayat 67).
Ayat tersebut berkenaan dengan sekelompok orang kaya yang berjanji
muluk kepada Nabi Muhammad untuk menolongnya. Namun ketika pertolongan
betul-betul dibutuhkan, dan ternyata mengancam kehidupan dan hartanya, lalu
mengingkarinya dan menolak turut serta dalam perang jihad.32
Jelaslah dari
prilaku fasik bersinonim dengan munafik.
c. Marid al-qalb
Maridun al-Qalbi adalah frasa yang terbentuk dari Maridun (sakit) dan
Qalbun (hati). Kiasan tentang “penyakit” atau “wabah” (maradh) yang ada di hati
mereka ini merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam penetapan
30
Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur‟an, h. 253. 31
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 197. 32
Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur‟an, h. 255.
50
semantik nifâq. Sebenarnya kita melihat ada ungkapan paling khas, “mereka di
hatinya ada penyakit”, yang tak henti-hentinya muncul di dalam al-Qur‟an untuk
menunjukkan “orang-orang munafik”.33
Allah berfirman:
دعون اللو والذين آمنوا وما خيدعون إال أن فسهم وما يشعرون اخي “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman,
Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.”34
(Qs. Al-Baqoroh ayat 9)
ف زادىم اللو مرضا ولم عذاب أليم با كانوا يكذبون يف ق لوهبم مر“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya;
dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”35
(Qs. Al-
Baqarah ayat 10)
d. Murjifûn
Penebar kabar bohong dalam konteks Indonesia biasanya disebut penebar
hoax. Hoax secara bahasa berarti berita palsu. Sedangkan menurut wikipedia hoax
adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar
adanya. Al-Qur‟an menyebut penebar hoax dengan kata Murjifûn. Kata Murjifûn
berasal dari kata رجفأ –ي رجف –رجف artinya bergoncang.36
Murjifûn adalah fail
dalam bentuk jama yang berarti golongan yang menggoncangkan.
Murjifûn beserta derivasinya di dalam al-Qur‟an terulang sebanyak 6 kali
dalam 6 ayat. Sebagian menjelaskan tentang fenomena alam dan terdapat juga
ayat yang menjelaskan tentang pelaku penyabar kabar bohong (hoax). Allah
berfirman:
لم ي نته المنافقون والذين في ق لوبهم مرض والمرجفون في المدينة لن غري نك بهم ثم لئن (٠٦يجاورونك فيها إ قليال )
33
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur‟an, h. 296. 34
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 3. 35
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 3. 36
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Prograsif, 1997), h. 477.
51
“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang- orang
yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar
bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu
(untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di
Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.”37
(Qs. Al-Aẖzâb ayat 60)
Imam al-Qurthubî berpendapat bahwa huruf wau yang menghubungkan
sifat-sifat tersebut pada ayat ini adalah huruf tambahan saja. Jadi, orang munafik
ialah yang memiliki penyakit di dalam hatinya dan suka menyebarkan kabar
bohong (hoax). Orang-orang yang suka menyebarkan berita palsu disebut dengan
kaum murjifûn / ashâb al-ifk, karena mereka sangat suka dengan fitnah dan
kebohongan. 38
Jelaslah bahwa penyebar kabar bohong adalah dari bagian orang-orang
munafik. Munâfikûn dan murjifûn sama-sama memiliki sifat nifâq. Mereka
menggoncangkan hati seseorang. Dan Allah memposisikan sama dalam hal
ancaman dan hukuman. Karnanya murjif bersinonimi dengan munafik.
e. Mu’min
Selanjutnya yang berrelasi dengan kata munâfiq secara paradigmatis dan
berposisi sebagai fail yaitu kata mu‟min. Adapun kata mu‟min memiliki makna
berlawanan (antonim) dengan kata munâfiq. Izutsu menjelaskan dalam bukunya
Etika Beragama Dalam Qur‟an: yang menjadi antonim dari iman adalah kafir.
Bahwa kafir merupakan antitesis yang paling tepat dari “percaya” adalah hal yang
tak perlu dibicarakan lagi. Antitesis antara mu‟min dan kafir memberi ukuran
37
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 426. 38
Abȗ Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansarî al-Qurtubî,Ta‟liq. Muhammad Ibrahim
al-Hifnawi, Takhrij. Mahmud Hamid Utsman, Tafsîr al-Qurtubî, Vol. XV (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), h. 588.
52
tertinggi tentang semua sifat manusia. Watak-watak manusia itu dalam Islam
dibagi ke dalam dua kategori moral radikal yang bertentangan.39
Namun, kita dapat melihat juga pertentangan antara nifâq dengan iman.
Keberlawanan tersebut dapat terlihat dari sikap masing-masingnya. Antara
percaya dengan ragu-ragu tentulah berlawanan. Dari sisi perlakuan Allah terhadap
kedua kelompok tersebut pun tentulah berbeda. Sebagaimana Allah berfirman:
ب اللو المنافقني والمنافقات والمشركني والمشركات وي توب اللو على المؤمنني والمؤمنات لي عذ وكان اللو غفورا رحيما
“Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan
perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan
sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan
perempuan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”40
(Qs. Al-Aẖzâb ayat 73).
Dari ayat tersebut terlihat bahwa perlakuan Allah terhadap orang munafik
sangat berlawanan dengan orang mu‟min dan menjadi kesimpulan bahwa kedua
kata tersebut ketika berposisi sebagai maf‟ul (yang dikenai perlakuan) maka
bermakna berlawanan.
Sebagai kesimpulan dari penjelasan kata-kata di atas, penulis akan
memberikan sebuah bentuk diagram sederhana mengenai sesuatu kata kunci
dengan kata kunci lainnya. Adapun kata kunci yang menjadi sinonim kata
munâfiq, adalah kâfir, fâsiq, mujrif dan maridun qolbi. Sementara yang menjadi
antonim dari kata munafik adalah kata mu‟min .
39
Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur‟an, h. 403 40
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 426.
53
Diagram 4.2: Medan Semantik Paradigmatik Munâfiq.
C. Makna Sinkronik dan Diakronik
Istilah sinkronik dan diakronik secara sederhana dapat dipahami sebagai
suatu analisis terhadap kosakata yang titik tekannya terhadap waktu atau sejarah
dari kosakata tersebut. Dalam hal ini akan menjelaskan tentang perkembangan
suatu kosakata yang dipahami oleh masyarakat tertentu pada masa tertentu. Sebab,
suatu kosakata tidak hanya sekedar susunan kata-kata namun juga membawa
pandangan dunia, kultur, dan prasangka-prasangka masyarakat memaknainya.41
Dalam pengertiannya sinkronik adalah aspek kata yang tidak mengalami
perubahan dari konsep atau kata tersebut. Kata yang tergolong sinkronik ialah
kata yang sistem kata tersebut bersifat statis. Sedangkan diakronik adalah aspek
kata yang mengalami perubahan dari konsep atau kata tersebut. Dengan demikian
kosakata yang tergolong diakronik ialah kosakata yang tumbuh dan berusaha
bebas dengan cara sendiri yang khas. Toshihiko Izutsu menyederhanakan dalam
41
Saefuddin Zuhri Qudsy, Dzulmannai (ed). Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah
Pertarungan Wacana (Yogyakarta: eLSAQ, 2007), h. 268-269.
مرجف
فاسق
مؤمن
منافق
مشرك
كافر
54
analisis semantik historis kosakata ini dalam tiga periode yaitu: periode pra
Qur‟anik, periode Qur‟anik dan periode pasca Qur‟anik.42
1. Periode Pra Qur„anik
Pada langkah ini, pembahasan kosakata yang digunakan pada masa pra
Islam yakni kosakata yang digunakan sebelum turunnya al-Qur‟an atau yang biasa
disebut zaman Jahiliyyah. Namun sebelum sampai pada pandangan dunia al-
Qur„an, menjadi keharusan untuk memahami bagaimana suatu kosakata
digunakan dan dipahami oleh masyarakat pra Islam, karena analisis terhadap
sejarah penggunaan kosakata pra Islam akan mengantarkan dalam memahami
pada masa Islam (Qur‟anik).
Kata munâfiq pada masa Pra Qur‟anik belum muncul sebagai bahasa
komunikasi ataupun kata untuk menunjukkan sesuatu, terlebih sebagai sistem
bahasa religi. Penulis menggunakan kitab lisan al-Arab untuk menjadi bahan
penelitian. Karena kitab tersebut bisa menjadi refresentasi dari bahan atau
referensi yang penulis cari. Dari hasil pembacaan penulis berkesimpulan, bahwa
munafik merupakan kata yang asing sebelum diturunkannya al-Qur‟an. Namun,
nifâq sudah ada sebagai kata sifat dari hewan yarbu. Nifâq merupakan sifat atau
prilaku hewan yarbu, dia membuat lubang, masuk di lubang yang satu dan keluar
di lubang yang berbeda.
فاق وما تصرف منو اسا و فعال، وىو اسم إسالمي ل ت عرفو العرب وقد تكرر ف اللحديث ذكر الن باالمعن المخصوص بو
“Bahwasannya penyebutan nifâq beserta derevasinya telah diulang-
ulang dalam hadis baik itu yang berbentuk isim maupun berbentuk fiil, yaitu
nama islami yang tidak diberikan makna khusus oleh bangsa arab.”43
42
Nailul Rahman, “Konsep Salam dalam Al-Qur‟an dengan Pendekatan Semantik
Thoshihiko Izutsu” (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga), h.
72.
55
Masyarakat Jahiliyah menggunakan kata nifâq hanya untuk prilaku hewan
saja. Tidak dikaitkan dengan prilaku manusia. Kata munâfik baru muncul ketika
masa Qur‟anik, sebagai kata religi, dipergunakan untuk prilaku seseorang atau
golongan yang menyerupai yarbu.44
2. Periode Qur‟anik
Pada masa Qur‟anik, kata nifâq masuk ke dalam sistem Qur‟anik dengan
membawa makna dasar membuat lubang dan makna relasionalnya sebagai
golongan yang berbicara dengan mulutnya apa yang tidak terkandung di dalam
hatinya. Karakternya sama jika pra qur‟anik dianalogikan fatamorgana pada masa
qur‟anik al-Qur‟an menjelaskan kemunafikan itu tersembunyi. Pembicaraan
tersebut kemudian membentuk berbagai sikap, sebagaimana yang telah penulis
paparkan pada sub bab di atas. Golongan orang-orang munafik senantiasa
menggunakan mulutnya untuk menutupi setiap apa yang terkandung di dalam
hatinya. Mereka berada dalam keragu-raguan, mencari keuntungan dan selalu
menghindari kerugian. Allah memberi ciri terhadap orang-orang munafik yang
tidak jauh berbeda dengan orang-orang kafir, musyrik, fasik, dan tentunya
berlawanan dengan orang-orang yang beriman (mu‟min). Allah juga
mensejajarkan mereka pada tingkatan siksaannya yaitu di neraka Jahanam.
Surat al-Munâfiqûn merupakan surat ke 63 yang terdiri dari 11 ayat. Surat
ini menjelaskan tentang karakteristik orang munafik. Pada masa ini munafik
diartikan sebagai golongan yang yang berbicara dengan mulutnya apa yang tidak
terkandung di dalam hatinya. sesuai dengan kejadian ketika Zaid bin Arqam, ia
mengatakan; aku mendengar Abdullah bin Ubay bin Salul berkata kepada para
43
Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram bin Manẓȗr al-Mishrî, Lisan al-
„Arab jilid 16, h. 359 44
Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram bin Manẓȗr al-Mishrî, Lisan al-
„Arab jilid 16, h. 359-361.
56
sahabatnya, “janganlah engkau memberikan perbelanjaan kepada orang-orang
yang ada di sisi Rasulallah supaya mereka bubar. Sesungguhnya jika kita telah
kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang
yang lemah daripadanya.” Perkataan itu lalu disampaikan kepada pamanku.
Pamanku lalu menyampaikannya kepada nabi. Nabi kemudian memanggilku dan
aku menceritakan apa yang terjadi kepada beliau. Rasulallah kemudian mengutus
seseorang untuk menemui Abdullah bin Ubay dan para sahabatnya. Mereka
kemudian bersumpah atas ucapannya dan mendustakan perkataanku. Ternyata
beliau kemudian membenarkan perkataan mereka sehingga aku merasa sesuatu
yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku lalu duduk di rumah. Pamanku
kemudian berkata, “tidak ada yang engkau kehendaki selain hal itu
mengakibatkan Rasulallah mendustakanmu dan membencimu.” Maka Allah
menurunkan ayat, “ketika datang orang-orang munafik kepadamu...” Rasulallah
lalu mengutus seseorang kepadaku kemudian membacakan ayat tersebut. Utusan
itu lalu berkata,” Sesungguhnya Allah telah membenarkanmu.” 45
Rasulullah Saw., juga memberikan tanda bagi orang-orang munafik, yaitu:
bila berbicara ia dusta, jika berjanji ia menginkari dan jika dipercaya ia khianat.46
Selain itu mereka juga bermuka dua,47
Berkata-kata Dengan Berdalilkan al-
Qur‟an,48
dan berdebat mengenai al-Qur‟an.49
45
Imam Al-Suyuti, Asbabun Nuzul ( Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), h. 548. 46
Sulaiman Abu al-Rabi‟ memberitahu kami, ia berkata, Ismail bin Ja‟far memberitahu
kami, ia berkata, Nafi‟ bin Malik bin Abi Amir Abu Suhail memberitahu kami, dari ayahnya, dari
Abu Hurairah, dari Nabi Saw., beliau bersabda: “Tanda-tanda orang munafik itu tiga, yaitu:
apabila berbicara ia dusta, jika berjanji ia menginkari dan jika dipercaya ia khianat.”. Ahmad Ibnu
Hanbal Abu Abdullah al-Syaibâni, Musnad al-Imam Aẖmad ibn Hanbal (Beirut: Dar Fikr 1987)
Jilid 2. h. 357 47
Hasyim menceritakan kami, Laits memberitahu Yazid ibn Abi Habib dari „irak dari Abi
Hurairah bahwa sesungguhnya telah mendengar Rasulullah Saw. berkata “bahwa seburuk-buruk
manusia adalah orang yang bermuka dua, dia datang kepada mereka dengan satu wajah dan pada
mereka dengan wajah yang lain.”. Al-Syaibâni, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, jilid 2, h.
307 48
Abu Mu‟awiyah menceritakan, al-A‟masy mengkhabarkan dari Khaitsamah dari Suwaid
ibn Ghaflah berkata, berkata Ali Ra. Apabila kamu menceritakan hadis Rasulullah akan satu hadis
57
3. Periode Pasca Qur‟anik
Pada masa ini, kosakata al-Qur‟an banyak digunakan dalam sistem
pemikiran islam, seperti teologi, hukum, filsafat, dan tasawuf. Masing-masing
sistem ini mengembangkan konseptualnya sendiri, yang tentu saja sangat
terpengaruh oleh konseptual al-Qur‟an. Sistem pasca al-Qur‟an hanya dapat
tumbuh dan berkembang pada tanah yang telah disiapkan oleh bahasa wahyu.50
Menurut Ibn Katsir51
ketika menafsirkan surat Ali-„imrân ayat 167 ( ىم للكفر menerangkan bahwa orang-orang munafik adalah mereka ( ي ومئذ أق رب من هم لإلميان
yang memiliki problem dalam kondisinya yang pada satu waktu berada di antara
keimanan dan kekufuran. Namun lebih dekat kepada kakufuran. ( ي قولون بأفواىهم مام .mereka mengatakan satu perkataan dan tidak meyakini kebenarannya ( ليس يف ق لوهب
Al-Qurthubi52
menambahkan mereka (orang munafik) telah menjelaskan keadaan
mereka, menyingkap dinding mereka dan membongkar kemunafikan mereka bagi
orang yang mengira bahwa mereka adalah orang-orang muslim oleh karena itu
secara lahiriah mereka lebih dekat kepada kekufuran, padahal jika diteliti lebih
lanjut maka mereka adalah orang-orang kafir.
maka lembutlah satu bagian yang tinggi dari langit yang paling suka kepadaku dari berkata
bohong, dan apabila dari selainnya, maka sesungguhnya aku lah lelaki pertama memeranginya dan
peperangan itu adalah tipu daya, aku mendengar Rasulullah bersabda “Akan datang suatu kaum di
akhir zaman di mana para pemuda pada saat itu berakal buruk mereka berkata dengan ayat-ayat al-
Qur‟an, tidaklah imannya melebihi kecuali sekedar pada bibir mulut, barang siapa menjumpai
mereka, bunuhlah mereka, maka sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu ganjaran di hari
Kiamat nanti.”. Al-Syaibâni, Musnad al-Imâm Aîmad ibn Hanbal, jilid 1, h. 181 49
Zaid ibn al-Hubbab menceritakan kami, abu al-Samhi memberitahu Abu Qabil bahwa
sesungguhnya Uqbah ibn „amir mendengar beliau bersabda, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw.
bersabda “Sesungguhnya aku paling takut terjadi ke atas umatku 2 perkara, yaitu al-Qur‟an dan
buruh (tukang batu bata), adapun para buruh mencari tanah yang subur dan mengerjakannya
dengan mengikuti syahwat, dan mereka sering meninggalkan solat, adapun al-Qur‟an maka orang-
orang munafik mempelajarinya hanya untuk berdebat melawan orang beriman.”. Al-Syaibâni,
Musnad al-Imâm Aẖmad ibn Hanbal, jilid 4, h. 155 50
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, h. 42-43. 51
Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir (jilid 1) (Jakarta: Darus Sunnah,
2014), h.1034. 52
Imam Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkaam Al-Qur‟an, Penerjemah: Dudi Rosyadi dkk
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 667
58
Menurut Qurais Syihab dalam Tafsir al-Misbah53
, orang munafik yaitu
mereka yang jiwanya lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Al-Qur‟an
menggunakan kata أفواىهم yakni mulut-mulut mereka, bukan السنتهم yakni lidah
mereka untuk mengisyaratkan bahwa apa yang mereka suarakan itu lebih dekat
untuk dinamai suara binatang daripada suara manusia yang memiliki akal dan
lidah. Tidak ada makna dan hakikatnya, karena itu ditekankan lagi bahwa apa
yang mereka katakan itu tidak terkandung dalam hati mereka. Beliau juga
menambahkan kata munafik Bisa diartikan juga dengan kata nâfiqa lil yarbu yaitu
keluar dari lubang persembunyian binatang seperti tikus, dalam hal ini, antara
lubang tikus dan kemunafikan memang sejajar. Jika dilihat dari sifatnya, bagian
atas (luar) liang tikus tertutup dengan tanah, sedangkan bagian bawah berlubang.
Demikian pula kemunafikan yang bagian luarnya adalah Islam dan dalamnya
merupakan keingkaran serta penipuan.54
Sayyid Qutb menambahkan dalam ayat tersebut Allah membongkar hakikat
mereka dan membersihkan barisan Islam dari mereka. Allah menegaskan hakikat
sifat mereka lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka tidak
berkata jujur. Di dalam hati mereka terdapat nifâq, yang tidak membuat mereka
ikhlas kepada aqidah, tetapi membuat diri pribadi dan pertimbangan-
pertimbangannya di atas aqidah dan pertimbangan-pertimbangan aqidah.55
Menurut Hasbi ash-Shiddieqy56
, Allah menyatakan mereka lebih dekat
kepada kufur, tidak mengatakan mereka sungguh-sungguh kufur, karena tidak
53
M.Quraisy Shihab, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an (Ciputat: Lentera Hati,
2009), h. 277 328-329 54
M.Quraisy Shihab dan dkk, Ensiklopedia Al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata Dan Tafsirnya
(Jakarta: Internusa 1997), h. 277 55
Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur‟an, Penerjemah: Anwar Rafiq Shaleh Tamhid dan
Syafril Halim (Jakarta: Rabbani Press, 2001), h.511. 56
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nȗr (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), h.731.
59
begitu mudah mengatakan seseorang kafir hanya dengan melihat tanda-tandanya
atau gejalanya. Sebelum nyata benar-benar kekafirannya. Inilah sebabnya Nabi
juga bergaul dengan orang-orang munafik seperti bergaul dengan orang-orang
Islam. Nabi juga menyembahyangi jenazah Abdullah bin Ubay ketika beberapa
tahun kemudian setelah perang Uhud meninggal. Baru pada perang Tabuklah
Allah mengungkapkan secara jelas kekafiran Abdullah bin Ubay dan menurunkan
ayat 84 surat Al-Taubah. Firman Allah ini ( ىم للكفر ي ومئذ أق رب من هم لإلميان ) memberi
pengertian bahwa keyakinan seseorang sering berubah-rubah, ada pasang ada
surut, kadang-kadang dekat dengan kufur, kadang dekat dengan iman. Ayat ini
juga memberi pengertian seseorang yang mengucapkan kalimat Tauhid tidak
boleh dikatakan kafir. ( مي قولون بأفواىهم ما ليس يف ق لوهب ) Mereka (orang-orang munafik)
memperlihatkan iman dengan lisannya, tapi sesungguhnya kufur dalam hatinya.
.dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan واللو أعلم با يكتمون
Ulama banyak membahas tentang tingkatan-tingkatan munafik. Dalam
pandangan syariat Islam, munafik ada dua macam, yaitu munafik i‟tiqad dan
munafik „amal. Pandangan syariat menyatakan bahwa pertama al-nifâq al-i‟tiqâdi
yaitu mereka yang menonjolkan keislamannya tetapi pada hakekatnya dia tidak
percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Seperti Abdullah bin Ubay dan kawan-
kawannya. Mereka termasuk ke dalam golongan kafir, bahkan lebih jahat. Dan
orang-orang itulah yang dijanjikan Allah tempatnya di tingkatan paling bawah
sekali dalam neraka.57
Menurut Hamdi Ahmad Ibrahim dalam bukunya Karakter
Orang-Orang Munafik, bahwa al-nifâq al-i‟tiqâdi itu ada delapan perkara.58
Kedua al-nifâq al-„amali adalah munafik yang tidak membawa kepada kekafiran
57
Ahzami Sami‟un Jazuli, Seri Tafsir Tematik Fiqh al-Qur‟an, Cet. ke-1 (Kg. Melayu
Kecil: Kilau Intan 2005), h. 148. 58
Hamdi Ahmad Ibrahim, Karakter Orang-Orang Munafik, Penerjemah Abu Barzani, Cet.
ke-1 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar 1995), h. 15-20
60
yaitu tidak akan menyebabkan seseorang itu keluar dari Islam, tetapi hanya saja
pelakunya divonis sebagai orang yang berdosa dan amat merugikan diri serta
merusakkan pergaulan.59
Meskipun kemunafikan „amaliah ini tidak sesuai
menyebabkan pelaku-pelakunya keluar dari keimanan secara total tetapi
merupakan lorong menuju kekufuran. Dalam bentuk ini, menurut „Aidh Abdullah
al-Qarni terdapat 30 sifat-sifat yang menunjukkan prilakunya akan menyebabkan
terus kepada kemunafikan.60
Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan diatas, dapat
disimpulkan bahwa makna kata munâfiq pada masa pasca Qur‟anik ini memiliki
perkembangan makna yang tidak meninggalkan makna munâfiq pada masa pra
Qur‟anik dan Qur‟anik, serta tidak merubah makna dasar nafaqon yang berarti
membuat lubang. Namun pada masa pasca Qur‟ani terlihat terperincian dan terjadi
perluasan makna kata munâfiq
D. Weltanschauung Kata Munâfiq dalam Al-Qur‟an.
Kosakata munâfiq dalam al-Qur‟an menunjukan orang atau golongan yang
memiliki sifat kemunafikan. Perilaku orang-orang munafik bersifat materi dan
imateri. Yang bersifat materi adalah ketika perbuatan atau prilaku
kemunafikannya berhubungan dengan mu‟min dan kafir. Mereka melakukan
kemunafikan terhadap mu‟min dan kafir dengan berbicara melalui mulutnya
padahal isi kandungannya tidak terdapat di dalam hati mereka. Pembicaraan itu
ada baik dalam konteks perang maupun dalam menjalankan perintah Nabi yang
lainnya. Mereka pandai berargumentasi dan bersilat lidah. Selain dengan
berbicara, mereka juga melakukan kemunafikan terhadap mu‟min dalam bentuk
59
Ahzami Sami‟un Jazuli, Seri Tafsir Tematik Fiqh Al-Qur‟an, h. 149. 60
„Aidh Abdullah al-Qarni, Bahaya Kemunafikan di Tengah Kita. Penerjemah H. Nandang
Burhanudin, Cet. ke-1 (Jakarta: Qisthi Press 2003), h. XIII
61
perbuatan, yaitu dengan menghalangi beribadah atau mendekat pada Nabi dan
Allah Swt., mereka juga mengajak kepada kemunkaran dan mencegah dari yang
ma‟ruf. Adapun variasi bentuk kemunafikannya tercantum dalam bab 4 pada
analisis sintagmatik. Tujuan akhirnya adalah mencari untung dan tidak mau rugi.
Perilaku orang munafik yang bersifat imateri adalah ketika dihubungkan
dengan Allah. Mereka tidak bertakwa, tidak ta‟at, malas beribadah, riya,
berprasangka buruk, menipu, kikir, dan sedikit sekali berzikir kepada-Nya. Dalam
hal keta‟atan terhadap Allah, orang-orang munafik persis seperti kafir, musyrik,
mujrif, dan fasik. Mereka juga akan mendapat perlakuan yang sama dari Allah
nantinya. Kedua bentuk sikap dan perilaku orang-orang munafikyang
digambarkan al-Qur‟an dapat diambil kesimpulan bahwa: yang menjadi prinsif
atau nilai dari golongan tersebut adalah mereka selalu mencari keuntungan,
menghindar dari kerugian, dan berargumentasi. Untuk lebih mudah difahami
penulis membuat struktur pada lampiran 2.
E. Tinjauan Kritis
Penafsiran Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‟an berusaha untuk menemukan
pandangan dunia (weltanschauung) kitab suci ini. Suatu usaha yang menurut
Fazlus Rahman belum pernah dilakukan secara sistematis oleh sarjana-sarjana
Muslim sendiri sebelumnya.61
Untuk memenuhu tujuan tersebut, Izutsu
menggunakan pendekatan strukturalisme linguistik. Pemilihannya terhadap
pendekatan ini dapat dilihat dari keyakinannya, bahasa itu tidak hanya sebagai alat
untuk berbicara dan berpikir, namun lebih penting lagi sebagai alat untuk
menangkap dan menerjemahkan dunia yang mengelilinginya.62
Berdasarkan
61
Fathurahman, “Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu,”, h. 84. 62
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an h. 3.
62
paparan tersebut Izutsu mengikuti hipotesis Edwar Sapir (1884-1939), salah
seorang tokoh Strukturalisme,63
yang menyatakan bahwa bahasa, budaya, dan
kepribadian adalah satu kesatuan utuh. Bahasa adalah sarana apresiasi perilaku
dan pengalaman manusia, karena pengalaman dapat diinterpretasikan oleh adat
kebiasaan bahasa.64
Dengan demikian bahasa adalah alat untuk mengungkapkan
ide atau gagasan. Hipotesis tersebut kemudian diperkuat oleh Hans Georg
Gadamer (1900-1960) yang menyatakan bahwa bahasa adalah hasil kekuatan
mental manusia, dan setiap bahasa dengan kekuatan linguistiknya merupakan
wadah akal-budi manusia.65
Pendekatan linguistik ala Saussurian ini tampak telah nyata apabila
diperhatikan penjelasannya mengenai al-Qur‟an sebagaimana yang dijelaskan di
atas. Al-Qur‟an menurutnya adalah kalam Tuhan yang termanifestasikan dalam
lisan Arab. Ia menyamakan kalam dengan parole, sementara lisan dengan
langue.66
Istilah-istilah tersebut pertama digagas oleh Ferdinand de Saussure
(1857-1013),67
salah seorang tokoh pendiri Strukturalisme yang melakukan
diferensiasi terhadap istilah bahasa. Menurut Saussure, bahasa pada dasarnya 63
Strukturalisme merupakan cara berpikir tentang dunia sebagai sebuah struktur berikut
unsur-unsur pembangunnya. Berbagai unsur pembangun struktur tersebut dipandang lebih sebagai
susunan hubungan yang dinamis daripada sekedar susunan benda-benda. Oleh karena itu, masing-
masing unsur hanya akan bermakna karena, dan ditentukan oleh, hubungannya dengan unsur yang
lain di dalam struktur. Terence Hawkes, Strukturalism and Semiotics, (Taylor & Francis e-Library,
2004), h. 6-7. 64
Lihat Edwar Sapir, Language: An Introduction to Study of Speech, (New York: Harcourt
Brece, 1921), h. 13. 65
Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Continuum, 1989), 2nd
Revision, h.
490. 66
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an h. 164. 67
Seorang sarjana kebangsaan Swiss yang beberapa waktu pernah mengajar di Paris
(Prancis) dan akhirnya menjadi Guru Besar di Janewa. Selama hidupnya ia sedikit sekali
mempublikasikan karyanya. Buku yang membuat namanya terkenal dalam bidang linguistik pada
mulanya merupakan tiga seri kuliah tentang linguistik umum yang dikumpulkan dan diterbitkan
pada tahun 1016 atau tiga tahyn setelah kematiannya oleh tiga orang muridnya, yaitu C. H. Bally,
A. Sechehaye, dan A. Reidlinger dan diberi judul Cours de Linguistique Generale. Lihat
Ferdinand de Saussure, Cours de Linguistique Generale, penerjemah Rahayu S. Hidayat,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss, 1996), h. 374.
63
memiliki dua aspek, yaitu: parole dan langue. Strukturalisme linguistik Toshihiko
Izutsu tampak nyata ketika ia juga sangat menekankan pembahasan semantik
secara sinkronik terhadap data-data kebahasaan yang disediakan oleh al-Qur‟an.
Meskipun demikian ia juga tidak mengabaikan pembahasan semantik secara
diakronis. Sebagaimana yang telah penulis bahas pada bab terdahulu.
Izutsu, dalam usahanya untuk memahami weltanschauung al-Qur‟an, tidak
menafsirkan seluruh ayat al-Qur‟an, namun hanya konsep-konsep tertentu dari al-
Qur‟an yang menggambarkan pandangan dunia kitab Suci ini. Sebagaimana yang
tercermin dari judul bukunya yang berkenaan dengan kajian al-Qur‟an. Pertama
yaitu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, yang terbit untuk pertama kalinya
pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of the Ethical Terms in the Koran.68
Buku kedua yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur‟an adalah: God and Man in
the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung, pertama kali diterbitkan
pada tahun 1964 di Tokyo, Jepang, oleh Universitas Keio. Dari judul buku ini,
jelaslah Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al-Qur‟an tentang
relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al-
Qur‟an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan-
hamba, dan etik.69
Penafsiran yang hanya mengambil konsep atau tema tertentu dari al-Qur‟an,
dalam tradisi kesarjanaan Muslim dikenal dengan Tafsir Tematik (al-tafsir al-
maudhûî).70
Pemikiran dasar dari metode sematik diarahkan pada kajian pesan al-
68
Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 17. 69
Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h.127-168. 70
„Abd Hayy al-Farmawî mengemukakan ada empat metode yang biasa digunakan dalam
penafsiran al-Qur‟an, yaitu: pertama, metode global (tharîqah ijmalî); kedua, metode analitis
64
Qur‟an secara menyeluruh, dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat
atau surat al-Qur‟an menjadi kesatuan yang utuh dan saling berkaitan.71
Prosedur penafsiran al-Qur‟an dengan menggunakan metode tematik dapat
dirinci sebagai berikut: Pertama, menentukan bahasan al-Qur‟an yang akan
diteliti secara tematik; Kedua, melacak dan mengoleksi ayat-ayat sesuai topik
yang diangkat; Ketiga, menata ayat-ayat tersebut secara kronologis (sebab
turunnya), mendahulukan ayat makkiyah dari madaniyah, dan disertai dengan
pengetahuan tentang latar belakang turunnya ayat; Keempat, mengetahui korelasi
(munâsabah) ayat-ayat tersebut; Kelima menyusun tema bahasan dalam kerangka
yang sistematis; Keenam, melengkapi bahasan dengan hadis-hadis tertkait;
Ketujuh, mempelajari ayat-ayat itu secara tematik dan konprehensif dengan cara
mengoleksi ayat-ayat yang membuat makna yang sama, mengkompromikan
pengertian yang umum dan khusus, mutlaq dan muqayyad, menyingkronkan ayat-
ayat yang tampak kontradiktif, menjelaskan nâsikh dan mansûkh, sehingga
semuanya terkumpul dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam
penafsiran.72
Berdasarkan uraian tersebut, sekarang dapat diketahui perbedaan antara
metode semantik Izutsu dengan metode tematik. Perbedaan tersebut tampak pada
prosedur kerja dan tujuan yang hendak dicapai. Akan tetapi baik metode semantik
Izutsu maupun metode tematik merupakan proses penafsiran yang sama-sama
(tharîqah tahlilî); ketiga, metode perbandingan (tharîqah muqârin); dan keempat, metode
tematik(thâriqah maudhû‟î). „Abd Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû‟î:
Dirâsah Manhajîyah Maudhû‟îyah, (Kairo: Mathb‟ah al-Hadhârah al-„Arabiyah, 1997), h. 23. 71
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h.
27. 72
Al-Farmawî, al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû‟î: Dirâsah Manhajîyah Maudhû‟îyah, h.
52.
65
terfokus pada teks, dan tidak menekankan pada pembacaan realitas. Penafsiran
yang terfokus pada teks cenderung memaksa realitas takluk kepada teks jika ada
kesenjangan antara keduanya.
Hasil akhir penafsiran al-Qur‟an yang dilakukan Izutsu tentulah berbeda
dengan para mufassir lain, baik klasik maupun modern. Kiranya perlu kita lihat
perbedaan dan persamaan yang terjadi setelah membandingkan hasil akhir dari
penafsiran menggunakan semantik Izutsu dengan penafsiran dari mufassir lain.
Penulis menghadirkan penafsiran ayat munafik yaitu, surat ali-„Imran ayat 167
sebagaimana yang telah penusil munculkan 5 pendapat mufassir di sub bab
sebelumnya. Terjadi persamaan persefsi ketika memaknai ( ىم للكفر ي ومئذ أق رب من هم
mereka (munafik) adalah golongan yang berada di antara kedua lebel, yaitu ( لإلميان
antara iman dan kufur, mereka memikiki problem di dalam hatinya. perbedaannya
terletak pada bagaimana memposisikan orang-orang munafik, apakah lebih dekat
dengan keimanan atau kekufuran. Cara penafsiran menggunakan semantik Izutsu
tidak sesederhana itu. Begitupun ketika memaknai . (م (ي قولون بأفواىهم ما ليس يف ق لوهب
mereka bermuka dua dan pembicaraannya tidak dapat dipercaya. Semua hampir
sama Cuma cara pengemasannya saja yang berbeda.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah di bab satu, maka jawaban atas pertanyaan
tersebut adalah: kata munâfiq dalam al-Qur‟an jika dikaji menggunakan analisis
semantik Toshihiko Izutsu, maka dapat disimpulkan, kata munâfiq dalam al-
Qur‟an berposisi sebagai subjek (pelaku) dan objek (yang dikenai perlakuan).
Dalam posisi subjek ditujukan untuk orang atau golongan yang melakukan
kemunafikan dengan dua bentuk sikap atau perilaku, (1) dalam bentuk perkataan,
dan (2) dalam bentuk perbuatan. Dalam bentuk perkatan, yang menjadi sasaran
perbuatan mereka adalah kafir dan mu‟min. Dalam bentuk tindakan, yang menjadi
sasaran mereka adalah mu‟min dan Allah. Bentuk sikap dan perilaku mereka
bervariatif namun tujuan akhirnya sama, yaitu: mereka mencari keuntungan,
menghindar dari kerugian, dan berargumentasi. Tiga point tersebut kemudian
menjadi nilai atau prinsip orang-orang munafik. Dalam posisi objek, maka Allah
menjadi subjek. Orang-orang munafik disejajarkan dengan kafir, musyrik, mujrif,
dan fasik. Mereka diancam, diperangi, dan disiksa.
Kesimpulan tersebut didapat setelah melihat makna dasar kata munâfiq
(membuat lubang), dan makna relasional secara sintagmatik dan paradigmatik.
Secara sintagmatik kata munâfiq berrelasi dengan kata kadzaba (berbohong),
shudûdan (menghalangi beribadah), khodiûn (penipu), kasala‟ (malas beribadah),
riya (tidak ikhlas dalam beribadah), yakbidhûn aidihim (kikir atau tidak mau
berinfak di jalan Allah), yaktumûn (yang tersembunyi), an-Nâr wa Jahannam
mereka sebagai calon penghuni neraka Jahanam.
67
Kata munâfiq memiliki relasi paradigmatik dengan kâfir, fâsiq, musyrik,
murjifûn, dari sisi prilaku atau ditinjau dari posisi sebagai subjek, mereka
memiliki kemiripan dalam prilaku dengan kapasitas yang berbeda. Ketika di
tinjau dari sisi objek dan Allah menjadi subjek maka mereka memiliki posisi yang
sama dalam ketentuan Allah, di ancam, diperangi, dan dimasukan ke dalam
neraka. Kata munafik juga berelasi dengan kata maridun qolb karna di sebagian
ayat-ayat yang menerangkan munafik diwakili oleh kata maridun qalb, artinya
kata munafik tidak muncul di banyak ayat yang menjelaskan tentang munafik baik
karakter maupun ancaman. Dalam al-Qur‟an kata mu‟min atau iman bersanding
dengan kata munâfik menyatakan bahwa keduanya memiliki kesamaan dari segi
kehidupannya yakni sama-sama manusia. Namun memiliki perbedaan dari segi
karakteristik dan Ancaman dari Allah. Mu‟min yakin kepada Allah dan akan
ditempatkan di Surga sedangkan munafik ragu-ragu terhadap Allah dan akan
ditempatkan di Neraka.
B. Saran
Setelah penulisan menyelesaikan penyusunan skripsi ini, penulis menyadari
bahwa sebuah penelitian pasti tidak terlepas dri kekurangan dan kesalahan. Untuk
itu, penelitian ini tidak dapat dikatakan telah selesai, tapi masih bisa dikaji ulang
secara mendalam lagi, mengingat masih ada yang perlu dikaji lebih mendalam
lagi dalam penelitian ini:
Pertama, pengkajian secara mendetail mengenai konsep munafik dalam
pasca Qur‟anik yang tidak hanya menggunakan kamus lisan al-Arab tapi bisa
menggunakan literatur lain seperti syair-syair Arab dan lain-lain.
68
Kedua, pengkajian konsep munafik dalam metode yang lain seperti
semiotika, hermeneutika dan lain sebagainya. Namun bisa juga pengkajian
terhadap konsep lain dengan pendekatan semantik mengingat bahwa suatu
pengkajian terhadap kosakata dalam al-Qur‟an dengan pendekatan semantik amat
sangat membantu dalam memahami kosakata dalam al-Qur‟an yang erat akan
budaya, pesan moral, dan peradaban.
69
DAFTAR PUSTAKA
al-Aṣfihânî, Al-Râgîb. Mufradât Al-Fâẓ Al-Qur‟an. Beirut: al-Dâr al-Syâmiyyah,
2009.
Ahmad, Nur. “Tafsir Semantik ala Toshihiko Izutsu,” Diakses pada tanggal 18
Agustus 2017 dari Nurahmadbelajar.blogspot.co.id/2013/06/Tafsir-
semantik-ala-toshihiko-izutsu.html?m=1
Aisyah, Siti. “Munafik menurut al-Qur‟an” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1999.
Amin, Abdul Manaf. “Munafik,” Diakses pada tanggal 12 Juni 2017 dari
http://youtu.be/vgu65On3yxs
Aminuddin. Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: PT. Sinar Baru
Algesindo, 2008.
Arahmah, “Tuduhan Munafik dan Larangan Menshalati Jenazah Muslim”,
Diakses pada 11 Juni 2017 dari
https//serambimata.com/2017/03/15/tuduhan-munafik-dan-larangan-
menshalati-jenazah-muslim/
Ash-Shiddiqy, Tengku Muhammad Hasbi. Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nȗr.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000.
Awang, Husin ibn. Qâmûs al-Tulâb. Kuala Lumpur: Dar al-Fikr, 1994.
Azra, Azyumardi. Kajian Tematik Al-Qur‟an Tentang Ketuhanan, Bandung:
Angkasa, 2008.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Al-Mu`jam al-Mufahras li Alfâzhi al-Qur‟an al-
Karîm. Lebanon: Dâr al-Fikr, 1981 M/1401 H.
Chair, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta,
2002.
Chirzin, Muhammad. “Jihad dalam al-Qur‟an: Telaah Normatif, Hitoris, dan
Prospektif,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013.
Creswell, John W. Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Apporoaches, Penerjemah: Achmad Fawaid dan Rianayati
Kusmini Pancasari. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.
Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LPKN, 2006.
70
de Saussure, Ferdinand. Pengantar Linguistik Umum, Penerjemah Rahayu S.
Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Fakhrudin, H. “Munafik dalam Tafsir al-Qur‟an” Studi Pemikiran Sayyid Qutb
dan Muhammad Husain At-Thabataba‟i. Disertasi Pascasarjan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta 2005.
Farihin, M. “Studi Komparatif Tentang Penafsiran Munafik antara Mustafa al-
Maraghi Dan Hamka,” Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012
al-Farmawî, „Abd Hayy. al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû‟î: Dirâsah
Manhajîyah Maudhû‟îyah, Kairo: Mathb‟ah al-Hadhârah al-„Arabiyah,
1997.
Faturrahman. “Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu.” Tesis
Pasca Sarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Fikri, Muhammad. “Konsep Munafik dalam al-Qur‟an dan Relevansinya dengan
kehidupan Modern,”(Skripsi S1Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta 2007.
Gadamer, Hans Georg. Truth and Method, New York: Continuum, 1989.
Hawkes, Terence. Strukturalism and Semiotics, Taylor & Francis e-Library, 2004.
Ibrahim, Hamdi Ahmad. Karakter Orang-Orang Munafik, Penerjemah Abu
Barzani. Jakarta: Pustaka al-Kautsar 1995.
Izutsu, Toshihiko. Etika beragama dalam al-Qur‟an, penerjemah Mansuruddin
Djoely. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
_______, Relasi Tuhan dan Manusia, penerjemah Agus Fakhri Husein (dkk).
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Jazuli, Ahzami Sami‟un. Seri Tafsir Tematik Fiqh al-Qur‟an, Kg. Melayu Kecil:
Kilau Intan 2005.
Kementrian Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya. Depok: Adwaul Bayan,
2015.
Khoiriyah. “Jin dalam Al-Qur‟an: Kajian Semantik,” Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.
71
Kridalaksana, Harimurti. Mogin Ferdinand de Saussure, Peletak Dasar
Strukturalisme dan Linguistik Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005.
al-Mahallî, Jalal al-Dîn, dan Jalal al-Dîn al-Suyȗtî. Tafsir Jalalain. Bairut:
Maktabah Libanon Nasirun, 2008.
al-Marbawi, Muhammad Idris Abdul Rauf. Qâmus Idrîs al-Marbawi. Kuala
Lumpur: Dar al-Fikr 2006.
al-Mishrî, Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram bin Manẓūr. Lisan
al-Arab, Jilid. 4. Beirut: Dār al-Ihyâ′ al-Turâs, t.t.
Ma‟arif, Yahya Zainul. “Munafik,” Diakses pada tanggal 12 Juni 2017 dari
http://youtu.be/8yOXnsJ5jsg
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif,
1997 M.
Mustaqim, Abdul. Studi Al-Qur‟an Kontemporer: Wacana Baru berbagai
Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.
Nur, Zunaidi. Konsep al-Jannah dalam al-Qur„an: Aplikasi Semantik Toshihiko
Isutzu‖. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan
Kalijaga. Yogyakarta. 2014.
al-Qarni, „Aidh Abdullah Bahaya Kemunafikan di Tengah Kita. Penerjemah H.
Nandang Burhanudin. Jakarta: Qisthi Press 2003.
al-Qattân, Mannâʻ Khalîl. Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an. penerjemah Mudzakir AS.
Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009.
al-Qurthubi, Imam. Al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur‟an. Penerjemah: Dudi Rosyadi dkk.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
al-Quthb, Sayyid. Tafsir Fi-Zhilâlil Qur‟an. Penerjemah: Anwar Rafiq Shaleh
Tamhid dan Syafril Halim. Jakarta: Rabbani Press, 2001.
Qudsy, Saefuddin Zuhri. Dzulmannai (ed). Islam Liberal dan Fundamental:
Sebuah Pertarungan Wacana. Yogyakarta: eLSAQ, 2007.
Rahem, Ahmad Sahidah. Tuhan, Manusia dan Alam dalam Al-Qur‟an;
Pandangan Toshihiko Izutsu. Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia
Press, 2014.
Rahman, Nailul. Konsep Salam dalam Al-Qur„an dengan Pendekatan Semantik
Thoshihiko Izutsu‖. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN
Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2014.
72
Robi, M Alfa, “Gaya Bahasa Tentang Munafik di dalam Al-Qur‟an Al-Karim
Penelitian Analisis Balaghah”. Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016. Sapir, Edwar. Language: An Introduction to Study of Speech, New York: Harcourt Brece,
1921.
al-Suyuti, Imam. Asbabun Nuzul. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014.
al-Syaibâni, Ahmad Ibn Hanbal Abu Abdullah. Musnad al-Imam Ahmad Ibn
Hanbal. Beirut: Dar Fikr 1987.
Setiawan, Muhammad Nur Khalis. Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2006.
Shihab, M.Quraish. dan dkk. Ensiklopedia Al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata dan
Tafsirnya. Jakarta: Internusa 1997.
Shihab, M.Quraish. Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an. Ciputat: Lentera
Hati, 2009.
Shihab, M. Quraish. Studi Kritis Tafsir al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah,
1994.
Sipatuhar, Mahadi. “Konsep Sabar dalam Al-Qur‟an: Pendekatan Semantik,”
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2013.
Syakir, Syaikh Ahmad. Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir jilid 1. Jakarta: Darus
Sunnah, 2014.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008.
Yunus, Mahmud. Tafsir Qur‟an Karim. Jakarta: Pt. Hidakarya Agung Jakarta
2004.
Yusron, M. dkk., Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras, 2006.
Zaid, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur‟an, penerjemah Khoirun Nahdlyin.
Yogyakarta: LkiS, 2005.
73
LAMPIRAN I
AYAT-AYAT MUNAFIK
1. QS. Al-an’am Ayat 35
ماء تي هم ي وإن كان كب ر عليك إعراضهم فإن استطعت أن ت بتغي ن فقا ف األرض أو سلما ف الس ف ت (تكونن من الاىلني )ولو شاء اللو لمعهم على الدى فال
Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa Amat berat bagimu,
Maka jika kamu dapat membuat lobang di bumi atau tangga ke langit lalu
kamu dapat mendatangkan mukjizat kepada mereka (maka buatlah. kalau
Allah menghendaki, tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam
petunjuk sebab itu janganlah sekali-kali kamu Termasuk orang-orang yang
jahil
2. QS. Al-ankabut Ayat 11
(ولي علمن اللو الذن آمنوا ولي علمن المنافقني )Dan Sesungguhnya Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang
beriman: dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang munafik.
3. QS. Al-anfal Ayat 49
ل على اللو فإ ت وك كيم إذ قول المنافقون والذن ف ق لوبم مرض غر ىؤالء دن هم ومن ن اللو ع()
(ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada
penyakit di dalam hatinya berkata: “Mereka itu (orang-orang mukmin)
ditipu oleh agamanya". (Allah berfirman): "Barangsiapa yang bertawakkal
kepada Allah, Maka Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.
4. QS. Ali-imrân Ayat 167
ت عالوا قاتلوا ف سبيل اللو أو ادف عوا قالوا لو ن علم قتاال الت ب عناكم ىم للكفر ولي علم الذن ناف قوا وقيل لم كتم هم لإلميان قولون فواىهم ما ليس ف ق لوبم واللو أعلم با () ون ومئذ أق رب من
Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik.
kepada mereka dikatakan: “Marilah berperang di jalan Allah atau
pertahankanlah (dirimu)”. mereka berkata: “Sekiranya Kami mengetahui
akan terjadi peperangan, tentulah Kami mengikuti kamu”. mereka pada hari
itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. mereka mengatakan
dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. dan Allah lebih
mengetahui dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka
sembunyikan.
74
5. QS. Al-aẖzab Ayat 1, 12, 24, 48, 60, 73.
كيما ) (ا أ ها النب اتق اللو وال تطع الكافرن والمنافقني إن اللو كان عليما Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti
(keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(وإذ قول المنافقون والذن ف ق لوبم مرض ما وعدنا اللو ورسولو إال غرورا )
Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang
berpenyakit dalam hatinya berkata : “Allah dan Rasul-Nya tidak
menjanjikan kepada Kami melainkan tipu daya”.
ب المنافقني إن شاء أو توب عليهم إن اللو ك عذ صدقهم و ي اللو الصادقني يماليج ان غفورا ر()
Supaya Allah memberikan Balasan kepada orang-orang yang benar itu
karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya,
atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
ل على اللو وكفى اللو وكيال )وال تطع الكافر (ن والمنافقني ودع أذاىم وت وك
Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang-
orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan
bertawakkallah kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pelindung.
اورونك فيها إال لئن ل نتو المنافقون والذن ف ق لوبم مرض والمرجفون ف المدن لن غر نك ب ال م (قليال )
Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang- orang
yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar
bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu
(untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di
Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.
ب اللو المنافقني والمنافقات والمشركني والمشركات و توب اللو على المؤمنني والمؤمنات وكان اللو لي عذيما ) (غفورا ر
Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan
perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan
sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan
perempuan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
6. QS. Al-Nisâ’ Ayat 61, 88, 138, 140, 142, 145.
ون عنك صدودا )وإذا صد ت المنافقني (قيل لم ت عالوا إل ما أن ل اللو وإل الرسول رأ
75
Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada
hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu
Lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya
dari (mendekati) kamu.
للل اللو ف ل فما لكم ف المنافقني فئت ني واللو أركسهم با كسبوا أتردون أن ت هدوا من أضل الل ن و ومن د لو سبيال ) (ت
Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam
(menghadapi) orang-orang munafik, Padahal Allah telah membalikkan
mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? Apakah kamu
bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan
Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak
mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.
ن لم عذاا أليما ) ر المنافقني (شKabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan
mendapat siksaan yang pedih,
با فال ت قع أ عتم آات اللو كفر با وست ه ت يوضوا وقد ن ل عليكم ف الكتاب أن إذا س دوا معهم
دث غيه إنكم إذا مث لهم إن يعا ) ف (اللو جامع المنافقني والكافرن ف جهنم جDan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di
dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari
dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), Maka janganlah kamu
duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain.
karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa
dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-
orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam,
الة قاموا كسال راءون الن ا وال ذكرون اللو إن المنافقني يادعون اللو وىو خادعهم وإذا قاموا إل الص (إال قليال )
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan
membalas tipuan mereka[364]. dan apabila mereka berdiri untuk shalat
mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya(dengan shalat) di
hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit
sekali
(رك األسفل من النار ولن تد لم نصيا )إن المنافقني ف الد 8Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan
yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat
seorang penolongpun bagi mereka.
76
7. QS. Al-ẖadîd Ayat 13
اءكم فالتمسوا نورا وم قول المنافقون والمنافقات للذن آمنوا انظرونا ن قتبس من نوركم قيل ارجعوا ور سور لو اب اطنو فيو الرح وظاىره من قبلو ن هم (العذاب ) فلرب ي
Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata
kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah Kami supaya Kami dapat
mengambil sebahagian dari cahayamu”. dikatakan (kepada mereka):
“Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)”. lalu
diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. di sebelah
dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.
8. QS. Al-ẖasyr Ayat 11
قولون إلخوانم الذن كفروا من أىل الكتاب لئن أخرجتم لنخرجن معكم وال أل ت ر إل الذن ناف قوا شهد إن هم لكاذون ) دا أدا وإن قوتلتم لن نصرنكم واللو (نطيع فيكم أ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang
berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab:
“Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya Kamipun akan keluar bersamamu;
dan Kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk
(menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti Kami akan membantu
kamu.” dan Allah menyaksikan bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar
pendusta.
9. QS. Al-munâfiqȗn Ayat 1, 7, 8.
علم إنك لرسولو واللو شهد إن المنافقني لكاذون إذا جاءك المنافقون قالوا نشهد إنك لرسول اللو واللو ()
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata:
“Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.”
dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya;
dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-
benar orang pendusta.
ماوات ه ائن الس فلوا وللو خ ت ن م الذن قولون ال ت نفقوا على من عند رسول اللو واألرض ولكن ( فقهون )المنافقني ال
Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar):
“Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin)
yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan
Rasulullah).” Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi,
tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.
77
ها األذل وللو العة ولرسولو ول المنافقني ال لمؤمنني ولكن قولون لئن رجعنا إل المدن ليخرجن األع من ( علمون )
Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah,
benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari
padanya." Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan
bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.
10. Al-Taẖrim Ayat 9
واىم جهنم وئس المصي ار والمنافقني واغلظ عليهم وم ( )ا أ ها النب جاىد الكفHai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan
bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu
adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
11. Al-Fatẖ Ayat 6
ب المنافقني والمنافقات والمشركني والمشركات الظانني اللو وء وغلب و عذ وء عليهم دائرة الس ظن الس (اللو عليهم ولعن هم وأعد لم جهنم وساءت مصيا )
Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan
perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka
itu berprasangka buruk terhadap Allah. mereka akan mendapat giliran
(kebinasaan) yang Amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka
serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. dan (neraka Jahannam)
Itulah sejahat-jahat tempat kembali.
12. QS. Al-taubah Ayat 67, 68, 73, 77, 101.
ئوا إن الل (و مرج ما تذرون )يذر المنافقون أن ت ن ل عليهم سورة ت نبئ هم با ف ق لوبم قل است هOrang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka
sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka.
Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah
dan rasul-Nya).” Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu
takuti itu.
د هم المنافقون هون عن المعروف و قبلون أ مرون المنكر و ن نسوا والمنافقات علهم من عض (اللو ف نسي هم إن المنافقني ىم الفاسقون )
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan
sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar
dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan
tangannya. mereka telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka.
Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.
سب هم ولعن هم ار نار جهنم خالدن فيها ىي اللو ولم عذاب وعد اللو المنافقني والمنافقات والكف (مقيم )
78
Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan
orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya.
cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela'nati mereka, dan bagi
mereka azab yang kekal.
واىم ار والمنافقني واغلظ عليهم وم (جهنم وئس المصي )ا أ ها النب جاىد الكفHai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang
munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah
Jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.
عقب هم نف كذون )ف (اقا ف ق لوبم إل وم لقونو با أخلفوا اللو ما وعدوه وبا كانوا Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai
kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri
terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena
mereka selalu berdusta.
دون إال جهدىم ف يسخ ون المطوعني من المؤمنني ف الصدقات والذن ال هم سخر الذن لم رون من هم ول (م عذاب أليم )اللو من
(orang-orang munafik itu) Yaitu orang-orang yang mencela orang-
orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela)
orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar
kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah
akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.
فاق ال ت علمهم نن ولكم من األعراب منافقون ومن أىل المدن مردوا على الن ومن هم ن علمهم سن عذ ردون إل عذاب عظيم ) (مرت ني
Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmuitu, ada
orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. mereka
keterlaluan dalam kemunafikannya. kamu (Muhammad) tidak mengetahui
mereka, (tetapi) kamilah yang mengetahui mereka. nanti mereka akan Kami
siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.
79
LAMPIRAN II
ANALISIS SINTAGMATIK
POLA I
يقو ل
يفعل
اهلل
مؤمن
مؤمن
كافر
استرباح
صرف الخسره
تحججا
80
ANALISIS SINTAGMATIK
POLA II
يقول
مؤمن
كافر
) غر ىؤالء دينوىم
)ألن اخرجتم لنخرجن ان قوتلتم لننصرنكم
)لو نعلم قتاال ال تبعنكم
وعدنا اهلل ورسولو اال نشهد ان ك لرسول اهلل
لئن رجعنا
الى المدينة ليخرجن األعز منها
األذل
ال تنفقوا على من عند رسول اهلل
Merek
a telah ditipu agam
anya
Jika k
alian d
i usir, n
iscahya k
am
i pu
n
akan
kelu
ar. Jika k
alian d
iperan
gi,
maka k
am
i akan
mem
ban
tu.
Sek
iranya k
ami tah
u ak
an terjad
i
peran
g, ten
tulah
kam
i men
gik
uti k
amu
Allah
dan
Rasu
l-Nya tid
ak m
enjan
jikan
kep
ada k
ami m
elainkan
tipu
day
a
Kam
i men
gak
ui b
ahw
a sesun
ggu
hn
ya
En
gkau
utu
san A
llah
Jika k
ita kem
bali k
e Mad
inah, p
astilah
oran
g-o
rang k
uat ak
an m
em
usu
hi o
rang
-
oran
g le
mah
.
Jangan
lah
mem
berik
an
pem
belan
jaan p
ada m
uhajiri.
منافق
81
يفعل
مؤمن اهلل
يصد ون عنك صدود
يأمرون بأالمنكر ينهون عن المعروف
يخادعون
كسالى
الظانين يراءون
السوء
يقبضون ايديهم
Men
gh
alangi m
anusia m
endek
ati
Allah
dan
Rasu
l
Men
gajak
kep
ada k
emu
nkaran
dan
men
cegah
dari y
ang m
a’ruf
Men
ipu A
llah
Malas b
eribad
ah
Riy
a dalam
berib
adah
Berp
rasangka b
uru
k
n. Men
ggen
ggam
kan
tangan
(kik
ir)
منافق
يذكرون
قليل
Sed
ikit m
engin
gat alla
h
ANALISIS SINTAGMATIK
POLA III
82
ANALISIS SINTAGMATIK
POLA IV
اهلل منافق
يعلم
يعذب
جاىد
اركسهم
يضلل
جامع في جهن م
وعد
أعقبهم نفاقا
Mengetahui
mengadzab
Mem
erangi
Mengem
balikan pada kekafiran
menyesatkan
Mengum
pulkan di Neraka
m
engancam
Mem
unculkan kemunafikan
83
LAMPIRAN III
ANALISIS PARADIGMATIK
Pola 1.
مفعول معنئى فعل فاعل اهلل Membuat lubang نافق منافق اهلل Menutupi كفر كافر اهلل Menduakan شرك مشرك اهلل Menyimpang فسق فاسق
اهلل Menggoncangkan رجف مرجفون اهلل Membuat lubang نافق مرض القلب
اهلل Percaya أمن مؤمن
Pola 2.
مفعول معنئى فعل فاعل اهلل
وعد جاىد عذب
Mengancam
Memerangi
mengadzab
منافق كافر اهلل مشرك اهلل فاسق اهلل مرجفون اهلل
مؤمن اهلل
Top Related