KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH
PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) TERHADAP
TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAM
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Muhammad Reyza Ramadhan
NIM : 1113048000064
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H/2017M
iv
ABSTRAK
Muhammad Reyza Ramadhan. NIM 1113048000064. “KEWENANGAN
PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN
PENYIDIKAN (SP3) TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM
PERSPEKTIF HAM”. Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Program
Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2017 M. Ix + 63 Halaman + halaman daftar pustaka.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan latar belakang dan pertimbangan
penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam
tindak pindana korupsi serta ditinjau dalam perspektif HAM. Penelitian ini
menggunakan jenis metode penelitian normatif dengan kata lain penelitian ini
bertitik tolak dari bahan-bahan pustaka yang diperoleh dari buku, jurnal, artikel,
skripsi, serta dokumen yang berasal dari internet yang ada kaitannya dengan
pokok permasalahan penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa latar belakang kewenangan
penyidik dalam mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
dalam tindak pidana korupsi adalah demi mewujudkan peradilan yang cepat, tepat
dan biaya ringan dengan beberapa alasan seperti; tidak ditemukan alat/barang
bukti yang cukup, peristiwa bukan merupakan tindak pidana baik ringan, umum
maupun ekstra ordinary seperti korupsi, tersangka meninggal dunia dan tidak
terdapat unsur-unsur pidana dalam peristiwa yang terjadi sesuai dengan pasal 109
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Keputusan Jaksa Agung nomor
518/A/J.A/2001 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. Batas kewenangan
penyidik dalam mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dibatasi dengan jaminan hak sipil,
politik, ekonomi, sosial dan budaya dimana individu masyarakat harus mendapat
jaminan keadilan dan persamaan di depan hukum serta lepas dari intervensi
hukum dan kriminalisasi yang dipaksakan.
Kata Kunci : Kewenangan penyidik, tindak pidana korupsi, hak asasi manusia.
Pembimbing : Dr. Alfitra, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1981 sampai Tahun 2015
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Segala puji dan syukur kita panjatkan untuk
kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena berkat rahmat, nikmat dan
anugerah-Nya. Shalawat serta salam kita sampaikan kepada junjungan alam
semesta Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam, yang telah membawa
umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.
peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “KEWENANGAN
PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN
PENYIDIKAN (SP3) TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
DALAM PERSPEKTIF HAM Dalam penelitian skripsi ini, peneliti banyak
mendapatkan bimbingan, arahan, dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga
dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada yang
terhormat :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan dan Para Wakil Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat,SH.,MH., Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum, Sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi
dalam pembuatan skripsi ini.
3. Dr. Alfitra, S.H., M.H. Dosen Pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam
membimbing, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini
dengan tepat waktu.
4. Dosen penguji seminar proposal peneliti yang telah memberikan arahan
dan masukan yang bermanfaat sehingga peneliti bisa mengembangkan dan
menyelesaikan skripsi ini hingga selesai.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah
memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga Allah
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 9
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................................ 10
E. Kerangka Teori dan Konseptual ........................................................ 11
F. Metode Penelitian .............................................................................. 14
G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN
HAK ASASI MANUSIA 18
A. Tindak Pidana .................................................................................. 18
1. Pengertian Tindak Pidana ............................................................. 18
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana .. ....................................................... 20
B. Tindak Pidana Korupsi ..................................................................... 22
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ............................................... 22
2. Faktor Penyebab Tindak Pidana Korupsi ..................................... 24
C. Pengertian dan Hakikat Hak Asasi Manusia .................................... 26
D. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia ..................................... 29
E. Instrumen Nasional Pokok Hak Asasi Manusia ............................... 32
viii
BAB III LEMBAGA HUKUM YANG MENGELUARKAN SP3 45
A. Kepolisian Negara Republik Indonesia .......................................... 45
1. Sejarah Lembaga Kepolisian ...................................................... 45
2. Kedudukan Kepolisian Republik Indonesia .............................. 47
3. Tugas dan Kewenangan Polri .................................................... 48
B. Kejaksaan Republik Indonesia ....................................................... 50
1. Sejarah Lembaga Kejaksaan ...................................................... 50
2. Kedudukan Kejaksaan ............................................................... 53
3. Tugas dan Kewenangan Jaksa ................................................... 54
BAB IV TINJAUAN HAM TERHADAP KEWENANGAN PENYIDIK
DALAM MENGELUARKAN SP3 57
A. Dasar Hukum Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) ....... 57
B. Analis terhadap kewenangan Mengeluarkan SP3 dalam Perspektif
HAM ............................................................................................... 59
BAB V PENUTUP 62
A. Kesimpulan ...................................................................................... 62
B. Saran ................................................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan sebagai Negara hukum
(Rechtstaat) yang tercantum dalam UUD 1945, tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (Machstaat). Maka dari itu Republik Indonesia adalah
Negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, menjamin persamaan kedudukan
masyarakat dimata hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.1
Sejak dahulu awal kemerdekaan sampai pasca-reformasi Indonesia masih
menghadapi permasalahan yang tak kunjung selesai yaitu korupsi yang telah
mengakar dan membudaya.2 Oleh karenanya, pemberantasan korupsi harus
dilakukan secara tegas dan menyeluruh. Tentunya tidak semudah dengan apa
yang diharapkan, sehingga perlunya adanya keseriusan bagi para pelaku
penegak hukum yang terlibat langsung dalam penanganannya maupun
masyarakat sebagai social control.
Di dunia Internasional, Tindak Pidana Korupsi menjadi masalah yang
sangat serius untuk diselesaikan, karena seseorang yang korupsi dapat
membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat dan negara,
membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan
dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat
berdampak membudayanya tindak pidana korupsi tersebut.3
Tindak Pidana Korupsi adalah suatu fenomena sosial realitas perilaku
manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang dan melanggar
hukum, serta membahayakan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, segala
bentuk apapun perilaku korupsi pastinya akan dicela oleh masyarakat bahkan
1 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) h.1
2 Muhammad Yamin, Tindak Pidana Khusus, (Bandung: Pustaka Setia, 2012) h. 193
3 Ermansyah Djaja, Memberantas korupsi bersama KPK , (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)
h.7
2
termasuk oleh para koruptor itu sendiri sesuai dengan ungkapan “koruptor
teriak koruptor”. Dalam rumusan hukum pencelaan tersebut juga disebut
sebagai suatu bentuk tindak pidana. Di dalam politik hukum pidana indonesia,
korupsi itu dianggap sebagai suatu bentuk tindak pidana yang diperlukan
penanganannya secara khusus, dan diancam dengan pidana yang cukup berat.4
Proses penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi mengikuti
prosedur yang telah ditentukan dalam hukum acara pidana baik yang diatur
dalam KUHAP maupun yang diatur dalam undang-undang yang mengatur
secara khusus tentang korupsi, yang dalam beberapa hal menyimpang dari
ketentuan KUHAP. Dikarenakan tindak pidana korupsi bersifat khusus maka,
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan oleh tiga
institusi lembaga hukum yang berbeda yaitu polri, jaksa dan komisi
pemberantasan korupsi (KPK).5
Sebelum dimulainya suatu proses penyidikan, harus melewati tahap proses
penyelidikan oleh penyelidik pada suatu perkara tindak pidana yang terjadi.
Jadi penyelidikan yang dimaksud adalah proses untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa kasus yang masih diduga dan berpotensi adanya
tindak pidana. Sedangkan penyidikan yang dimaksud adalah mencari dan
mengumpulkan bukti-bukti agar peristiwa tindak pidana yang masih diduga
dalam penyelidikan sebelumnya, bisa menjadi langkah awal dalam proses
menentukan dan menetapkan pelaku tindak pidananya.6
Hasil dari proses tahap penyidikan haruslah diusahakan selengkap
mungkin sehingga berkas perkara bukti-bukti yang telah ditemukan tersebut
dapat dikatakan lengkap.7 Kelengkapan penyidik dalam suatu tindak pidana
akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut Umum
4 Elwi Danil, Korupsi Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011) h.1
5 Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-delik di Luar KUHP,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016) h.79 6 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan
dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h.101
7 Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut & Menjalankan Pidana, (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2012) h.7
3
pada tahap proses pemeriksaan sidang pengadilan nantinya. Setiap jaksa
penuntut umum diharuskan mengerti bahwa “penuntutan” merupakan proses
yang sangat penting dalam keseluruhan proses hukum acara pidana. Karena
pada tahap penuntutan inilah terdakwa akan dibuktikan apakah ia benar-benar
bersalah atau tidak.8 Namun bagaimana jika penyidikan yang sedang
dilakukan berhenti ditengah jalan? Didalam undang-undang diberikan
kewenangan kepada penyidik polri dan jaksa, yakni penyidik berwenang
bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya. Hal ini
berdasarkan Pasal 109 ayat 2 KUHAP yang memberi wewenang kepada
penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Dengan
demikian dapat disimpulkan alasan-alasan penyidik menghentikan penyidikan
sesuai dengan Pasal 109 ayat 2 KUHAP adalah sebagai berikut :
1. Karena tidak terdapat cukup bukti
2. Karena peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana
3. Penyidikan dihentikan demi hukum
Bolak-baliknya berkas perkara dari penuntut umum kepada penyidik
sangat bertentangan dengan hak-hak kepentingan tersangka.9 Alasan
pemberian wewenang penghentian ini, yaitu untuk menegakkan prinsip
peradilan yang cepat, tepat dan biaya ringan, dan untuk menegakannya
kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan
bahwa berdasar hasil penyelidikan dan penyidikan tidak memiliki cukup bukti
atau alasan untuk menuntut tersangka di muka persidangan, untuk apa
memperlama atau mengundur waktu dalam menangani dan memeriksa
tersangka. Lebih baik penyidik secara resmi memutuskan untuk melakukan
penghentian pemeriksaan penyidikan lalu proses penyidikan dihentikan demi
hukum, agar segera tercipta kepastian hukum baik bagi penyidik sendiri,
8 Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut & Menjalankan Pidana, (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2012) h.21
9 Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut & Menjalankan Pidana, (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2012) h.11
4
terutama kepada tersangka dan masyarakat.10
Ketika penyidik memulai tindakan penyidikan, maka diwajibankan untuk
diberitahu kepada penuntut umum telah dimulainya penyidikan tersebut.
Akan tetapi masalah kewajiban pemberitahuan itu bukan hanya pada tahap
proses awal tindakan penyidikan, melainkan juga pada tindakan penghentian
penyidikan. Untuk itu, setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak
penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3).11
Masyarakat masih berasumsi bahwa dikeluarkannya Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) ini aparat penegak hukum masih
belum serius dalam menangani kasus tindak pidana korupsi. Harapan
masyarakat adalah agar pelaku tindak pidana korupsi diproses secara hukum
dan dikenai hukuman yang adil dan seberat-beratnya, pemberian SP3 ini dapat
merusak harapan masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hal ini Peneliti amati dari contoh perkara korupsi yang terjadi, dilakukan
penghentian penyidikan oleh penyidik dalam beberapa perkara tindak pidana
korupsi yang dapat dikatakan besar. Berdasarkan data yang dihimpun
Indonesian Corruption Watch (ICW) -hingga saat ini- tercatat ada 25
tersangka kasus korupsi besar yang dihentikan penyidikannya, baik oleh
Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi di daerah. Data tersebut didapat
berdasarkan laporan media massa yang berhasil dihimpun selama lima tahun
terakhir (1999-2004). Pihak Kejaksaan selaku institusi penegak hukum yang
melakukan penghentian penyidikan tidak mempunyai data-data yang akurat
mengenai nama dan jumlah pelaku korupsi yang menerima SP3. Tentu saja ini
sangat mengenaskan dan sekaligus, menunjukkan betapa buruknya sistem
administrasi atau dokumentasi di lingkungan kejaksaan. Melihat pola
pemberian SP3 yang dilakukan secara diam-diam dan tertutup, maka ada
keyakinan kuat bahwa jumlah tersangka kasus korupsi penerima SP3 hingga
saat ini lebih dari 25 orang dan bukan tidak mungkin berjumlah lebih dari 100
10
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan
dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h.150 11
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan
Permasalahannya, (Bandung: P.T.Alumni,2007) h.54
5
orang di seluruh Indonesia.12
Terdapat suatu kejanggalan jika dilihat dari sisi tahapan awal proses
pemeriksaan suatu perkara pidana sehingga dihubungkan dengan alasan
dikeluarkannya SP3. Sebelum dilakukan proses penyidikan, penyelidik harus
lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti yang ada sebagai landasan
tindak lanjut penyidikan. Sehingga dengan adanya proses penyelidikan
diharapkan akan memiliki sikap hati-hati rasa tanggung jawab hukum yang
bersifat manusiawi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebelum
dilanjutkan dengan tindakan penyidikan agar tidak terjadi tindakan yang
melanggar hak-hak asasi yang merendahkan harkat dan martabat manusia.13
Didalam UUD NRI Tahun 1945 telah mengatur mengenai jaminan
terhadap perlindungan hak-Hak Asasi Manusia warga negara. Hal ini, yang
menjadi pertanyaan adalah, mengapa masalah HAM menjadi salah satu materi
yang dimuat di dalam konstitusi atau Undang- Undang Dasar? Jawaban atas
pertanyaan ini adalah karena negara sebagai organisasi kekuasaan cenderung
untuk menyalahgunakan kekuasaan tersebut, oleh sebab itu untuk memberikan
jaminan perlindungan terhadap hak-Hak Asasi Manusia, maka dimuatlah
pokok HAM yang berkekuatan dalam UUD NRI Tahun 1945. Dalam sejarah
pemikiran negara dan hukum menunjukkan bahwa negara selalu dimaknai
sebagai suatu lembaga yang mempunyai keabsahan untuk memaksakan
kehendak kepada warga negaranya. Pada hakikatnya konstitusi telah dibentuk
untuk membatasi kekuasaan, agar tidak diterapkan secara sewenang-wenang
oleh para pelaku penyelenggara pemerintahan. Dengan demikian pengaturan
mengenai HAM akan selalu disejajarkan dengan materi-materi lain di dalam
suatu konstitusi negara, bahkan salah satu ciri dari negara hukum adalah
adanya jaminan Hak Asasi Manusia, di samping pemisahan kekuasaan,
12 Emerson Yuntho, Mencermati Pemberian SP3 Kasus Korupsi, Artikel diakses dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol11608/mencermati-pemberian-sp3-kasus-korupsi
pada tanggal 18 Agustus 2017, Pukul 13:45 WIB
13
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan
dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h.102
6
legalitas pemerintahan, dan peradilan yang bebas.14
Ada beberapa perkara tindak pidana korupsi terkait penetapan status
sebagai tersangka menjadi persoalan bila dipandang dari perspektif
perlindungan HAM dan kepastian hukum, yaitu mengenai lamanya waktu
status tersangka yang dialami dan proses penetapan status tersangka. Seperti
yang diketahui oleh peneliti setelah tujuh tahun menyidik, akhirnya Kejaksaan
Agung menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara
dugaan korupsi pengadaan mobil ambulan dan peralatan kesehatan pada
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan Tahun
Anggaran (TA) 2009. Kasus ini dihentikan sejak Mei 2017 lalu. "Perkara itu
sudah kami hentikan penyidikannya sejak Mei 2017 lalu," ujar Direktur
Penyidikan pada Jampidsus Kejaksaan Agung, Warih Sadono, di kantornya,
Gedung Bundar, Jakarta, Rabu (19/7/2017). Pihak Jampidsus Kejaksaan
Agung telah menyidik kasus ini dengan menetapkan tiga tersangka sejak Juni
2017. Ketiganya yakni, Mangapul Bakara selaku Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK), Bulan Rachmadi selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang, dan
Firmansyah selaku Direktur PT Prosistek Indo Era.
Warih menjelaskan penyidikan kasus tersebut dihentikan karena tidak
ditemui adanya kerugian negara dalam proyek pengadaan tersebut. "Jadi, hasil
audit BPK tidak ditemukan kerugian negaranya," ujarnya. Menurut Warih,
penghentian kasus ini berdasarkan Pasal 109 ayat 2 KUHAP. "Ini untuk
kepastian hukum, makanya dihentikan," kata dia. Ia menambahkan, dengan
dihentikannya kasus tersebut, maka status tersangka ketiga orang yang
sebelumnya ditetapkan telah gugur dengan sendirinya. "SP3 itu untuk ketiga
tersangka karena merupakan satu obyek penyidikan," tukasnya. Diberitakan
sebelumnya, Mangapul Bakara yang sempat menjadi tersangka dalam kasus
tersebut telah dilantik oleh Menteri Kesehatan sebagai Direktur Keuangan
RSUP H Adam Malik, Medan, Sumatera Utara. Sebelumnya, ia menjabat
posisi yang sama di RSUP Dr M Jamil di Padang, Sumatera Barat. Mangapul
14 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi
Manusia, (Yogyakarta:Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003) h. 272
7
sempat menyatakan tidak ada masalah hukum lagi terhadap dirinya karena
kasusnya di Kejaksaan Agung telah dihentikan.15
Diberlakukan KUHAP pada tahun 1981, dalam penetapan status tersangka
belum terlalu menjadi isu penting dan bermasalah dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara kesepakatan
dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan,
akan tetapi pada masa sekarang ini bentuk upaya paksa telah berkembang
salah satu bentuknya adalah “penetapan tersangka oleh penyidik” yang
dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka
pada seseorang tanpa ditentukannya batas waktu yang jelas, sehingga
seseorang tersebut dituntut paksa oleh negara untuk menerima status tersangka
tanpa tersedianya kesempatan berusaha untuk melakukan upaya hukum dalam
menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan. Dengan demikian, prinsip kehati-hatian haruslah dimiliki oleh
penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Hakikatnya memeriksa dan menyelesaikan perkara tindak pidana harus
memahami “manusia dan kemanusiaan” yang wajib dilindungi harkat
martabat kemanusiaannya, yang telah dirumuskan dalam Pasal 28D ayat 1
UUD NRI Tahun 1945 yaitu “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum”. Masyarakat menyadari bahwa tujuan tindakan penegakan
hukum untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan masyarakat itu
sendiri, penegak hukum juga tidak boleh mengorbankan hak dan martabat
tersangka, atau juga sebaliknya. Demi untuk melindungi dan menjunjung
harkat dan martabat tersangka tidak boleh dikorbankan, untuk kepentingan
masyarakat / negara. Harus mampu meletakkan asas keseimbangan yang telah
digariskan KUHAP, sehingga antara dua kepentingan yang harus dilindungi
15 Abdul Qodir, “7 Tahun Menyidik, Kejaksaan Agung Terbitkan SP3 Kasus Dugaan
Korupsi Ambulans Kemenkes”, Artikel diakses dari
http://www.tribunnews.com/nasional/2017/07/19/7-tahun-menyidik-kejaksaan-agung-terbitkan-
sp3-kasus-dugaan-korupsi-ambulans-kemenkes pada tanggal 23 September 2017, Pukul 08.41
WIB
8
oleh hukum sama-sama tidak dikorbankan,16
dan sesuai dalam Pasal 18 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM bahwa “Setiap
orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan
sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan
kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala
jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
Penetepan seseorang menjadi tersangka tidak ada batas waktunya, maka
adalah penting untuk menjamin dan melindungi Hak-Hak Asasi Manusia,
keadilan, dan kepastian hukum kepada tersangka. Dengan adanya aturan yang
mengikat dan memberi akibat hukum baik terhadap para penegak hukum, maka
akan lebih menjamin Perlindungan Hak Asasi Manusia kepada tersangka.
Dengan demikian berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan di
atas, Peneliti bermaksud menulis skripsi dengan judul : “KEWENANGAN
PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN
PENYIDIKAN (SP3) TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
DALAM PERSPEKTIF HAM”
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
1. Masalah yang dapat diidentifikasi oleh peneliti adalah sebagai berikut :
a. Adanya kewenangan serta mekanisme penyidik polri dan jaksa
dalam penghentian penyidikan.
b. Terjadi dampak dari tidak dikeluarkannya Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) bila ditinjau dari sudut pandang
HAM
2. Batasan Masalah
Agar masalah yang peneliti bahas tidak terlalu meluas sehingga
mengakibatkan ketidak jelasan maka peneliti membuat pembatasan
masalah yakni pada perkara tindak pidana khusus korupsi dan tinjauan
sudut pandang HAM.
16 M. Yahya Harahap, Pembahsan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002) h.68-69
9
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di
atas, maka disusun pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas
dalam skripsi ini, yaitu:
a. Apakah yang menjadi latar belakang dan pertimbangan penyidik
mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam
tindak pidana korupsi?
b. Bagaimana batas kewenangan penyidik mengeluarkan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam perspektif HAM?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian masalah ini adalah untuk mendalami
permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan
masalah, secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui latar belakang dan pertimbangan penyidik
mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam
tindak pindana korupsi.
b. Untuk mengetahui batas kewenangan penyidik mengeluarkan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam perspektif HAM.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian sebagai berikut:
a. Manfaat akademis
Secara akademis penelitian ini dapat memberikan khasanah ilmu
pengetahuan hukum pidana dan juga hukum tata negara dalam hal ini
studi analisis kewenangan penyidik mengeluarkan SP3 terhadap tindak
pidana korupsi ditinjau dalam sudut pandang HAM. Pada
kenyataannya banyak sekali kasus-kasus yang sedang berjalan akan
tetapi penyidik mengeluarkan SP3, dan dalam hal ini sesorang yang
dijadikan tersangka statusnya bisa bebas dan bisa juga tidak berjalan
kasusnya hingga bertahun-tahun serta status tersangkanya tidak jelas
10
karena kurangnya bukti. Selain dari pada itu adanya tulisan ini dapat
menambah perbendaharaan koleksi karya ilmiah dengan memberikan
kontribusi juga bagi perkembangan hukum tata negara Indonesia.
b. Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bentuk
kerangka dan landasan bagi peneliti lanjutan mengenai Hak Asasi
Manusia (HAM) terhadap tersangka maupun terdakwa tindak pidana
korupsi serta kewenangan penyidikan dalam mengeluarkan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Yang diharapkan bisa menjadi
bahan ilmu yang bermanfaat serta masukan bagi para pembaca dan
juga praktisi hukum lainya.
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Adapun skripsi dan buku yang terkait dengan judul penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Skripsi Sri Hayati, Fakultas Syariah dan Hukum Universitass Islam
Negeri 2013, dengan judul skripsi “Kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi” Sri Hayati dalam skripsi ini
menemukan, Adanya dua lembaga yang memiliki wewenangan yang
sama mudah membuka peluang terjadinya sengketa wewenang antar
lemabaga. Apalagi menyidik kasus yang sama tentu dapat terjadi
ketidakpastian hukum, Hasil penelitian ini mengetahui batasan
kewenangan masing-masing lembaga dan perbedaannya dalam
melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
2. Buku berjudul “Perlindungan Hak Asasi Manusia
Tersangka/Terdakwa” yang ditulis oleh Didi Sunardi dan Endra Wijaya.
Dalam buku ini membahas tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia
(HAM) kepada tersangka, Serta adanya jarak yang sangat lebar antara
nilai-nilai penghormatan terhadap HAM seperti yang termuat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan
implementasi pemenuhan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan.
11
Terkait dengan hal itu, maka sekalipun penegakan hukum mutlak
menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar, tetapi HAM seorang
tersangka juga tidak boleh diabaikan atau dilanggar.
3. Jurnal hukum berjudul “Alasan Pemberhentian Penyidikan Suatu
Tindak Pidana Korupsi” ditulis oleh johana olivia rumajar. Dalam
jurnal ini membahas tentang alasan-alasan serta landasan hukum yang
kuat bagaimana mekanisme penyidik bisa mengeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan, sedangkan kewenangan penyidik untuk
mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidik dalam kasus tindak
pidana korupsi, apabila dalam kasus tindak pidana korupsi tersebut:
Tidak ditemukannya perbuatan melawan hukum, tidak ditemukannya
bukti yang kuat dan tidak ditemukannya kerugian negara.
E. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Teori
Wewenang dalam bahasa Inggris disebut authority atau dalam bahasa
Belanda bovedegheid. Definisi dari wewenang adalah kekuasaan yang
sah/legitim. Menurut Philipus M. Hadjon, wewenang (bevoegdheid)
dijelaskan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep
hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.17
Ferrazi beranggapan bahwa kewenangan sebagai hak untuk
menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan
(regulasi dan standarisasi), pengurusan dan pengawasan atau suatu urusan
tertentu.18
Adapun unsur-unsur kewenangan dapat dibagi menjadi tiga,
yakni:
a. Pengaruh: penggunaan wewenang bertujuan untuk
mengendalikan perilaku subyek hukum.
b. Dasar hukum: segala apapun bentuk wewenang harus dapat
ditunjukan dasar hukumnya.
17 Philipus Mandiri Hadjon, Tentang Wewenang, (Jakarta: Yuridika, 1997) h.1
18
Ganjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2007) h.93
12
c. Konformitas hukum: memiliki makna adanya standard
wewenang, yaitu standard umum (semua jenis wewenang) dan
standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu).
Setiap wewenang itu dibatasi oleh isi/materi (materiae), wilayah/ruang
(locus), dan waktu (tempus). Kekurangan dalam aspek-aspek tersebut
menimbulkan kerusakan wewenang atau dalam artian bahwa di luar batas-
batas itu suatu tindakan pemerintahan merupakan tindakan tanpa
wewenang (onbevoegdheid).
Suatu perbuatan hukum yang cacat hukum jika perbuatan tersebut
dilakukan tanpa wewenang/alas hak yang jelas, dilakukan melalui
prosedur yang tidak benar (cacat prosedur), dan substansi perbuatan itu
sendiri (cacat substansi). Cacat wewenang mengakibatkan suatu perbuatan
menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig). Cacat prosedur hanya
tidak akan menyebabkan suatu perbuatan menjadi batal demi hukum,
melainkan hanya dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar). Cacat
substansi dapat berakibat pada batalnya suatu perbuatan hukum (nietig).
2. Konseptual
Pada penelitian ini dalam membahas permasalahannya akan diberikan
batasan-batasan pengertian atau istilah. Pembatasan tersebut dilakukan
untuk menghindari terjadinya multi tafsir maupun kerancuan definisi dan
diharapkan akan dapat membantu dalam menjawab pokok permasalahan
usulan penelitian ini. Beberapa pembatasan tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut
cara yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 undang-undang No.8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
b. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
13
tersangkanya telah diatur dalam Pasal 1 angka 2 undang-undang No.8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
c. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan terdapat dalam Pasal 1
angka 1 undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana
d. Tindak Pidana Korupsi adalah: “Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, sebagaimana tercantum dalam
Bab II Pasal 2.
e. Penghentian Penyidikan Meskipun KUHAP tidak merumuskan apa
yang dimaksud dengan penghentian penyidikan, namun dapat
dirumuskan bahwa penghentian penyidikan merupakan tindakan
penyidik menghentikan penyidikan yang diatu dalam Pasal 109 ayat 2
KUHAP dengan berdasar pada alasan-alasan sebagai berikut:
1) Tidak terdapat cukup bukti
2) Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana
3) Penyidikan dihentikan demi hukum
f. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) adalah surat perintah
yang dikeluarkan oleh penyidik sebagai bukti telah dihentikannya
penyidikan suatu tindak pidana.
g. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah prinsip-prinsip moral atau norma-
norma, yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia,
dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum
kota dan internasional.
Menurut penjelasan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, Kejaksaan berwenang melakukan penyidikan pada
tindak pidana tertentu, seperti tindak pidana terhadap Hak Asasi Manusia
14
dan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu berdasarkan pasal 6 Undang-
Undang No.30 Tahun 2002 tentang KPK dinyatakan bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik dalam tindak pidana korupsi.
Jadi dalam penelitian ini, penyidik adalah POLRI, Kejaksaan, dan KPK.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka
menggunakan metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian
hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah yang
mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, peneltian
sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum. Hal yang sama
dikemukakan oleh Ronny Hanitijo Soemitra bahwa penelitian hukum yang
normatif atau penelitian hukum doctrinal, yaitu penelitian hukum yang
menggunakan sumber data sekunder atau sumber data yang diperoleh
melalui bahan-bahan kepustakaan metode atau cara yang dipergunakan di
dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka yang ada.19
Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang
ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu
dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua
penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk
mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).
2. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Macam-
macam pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian
hukum normatif adalah: pendekatan undang-undang, Pendekatan kasus,
19 Mukti Fajar dan Achmad Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) h.153
15
Pendekatan historis, Pendekatan komparatif, Pendekatan konseptual.20
Suatu penelitian normatif mengarahkan refleksinya kepada norma-norma
dasar yang diberi bentuk konkret dalam norma-norma yang ditentukan
dalam bidang tersebut. Maka dari itu, harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.21
3. Sumber Data
Jenis data yang diperoleh adalah data sekunder, yaitu data yang
diperoleh dari bahan pustaka. Bahan hukum primer diperoleh dari seluruh
peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang mengatur masalah
kewenangan penghentian penyidikan (SP3) oleh penyidik ditinjau dari
perspektif Hak Asasi Manusia. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang
memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam hal ini, bahan
hukum sekunder yang diperoleh berasal dari buku, jurnal, artikel, skripsi,
dokumen yang diperoleh dari internet, serta penelitian dan tulisan dari para
ahli hukum.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode penelitian yang digunakan dalam mengumpulkan data dan
bahan bagi penelitian ini adalah bersifat normatif. Oleh karena itu, dengan
perkataan lain penelitian ini bertitik tolak dari bahan-bahan pustaka yang
diperoleh dari buku, jurnal, artikel, skripsi, serta dokumen yang berasal
dari internet yang ada kaitannya dengan pokok permasalahan penelitian
ini.22
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam memperoleh data
sekunder adalah dengan, penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka,
serta media elektronik.
5. Metode Analisis Data
20 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet. VI, (Jakarta: Kencana, 2010) h.93
21
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. IV, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2008) h.302
22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu tinjauan
singkat, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003) h.13
16
Melihat hukum sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak,
maka perhatian peneliti akan terpusat pada hukum sebagai suatu lembaga
yang benar-benar otonom yaitu sebagai subyek hukum tersendiri terlepas
kaitannya dengan hal-hal diluar peraturan tersebut.23
Penelitian ini
dilakukan untuk menjawab permasalahan dengan melakukan penelitian
yang bersifat normatif analitis yaitu dengan memberikan penjelasan
mengenai proses penyidikan, penghentian penyidikan oleh penyidik, serta
pemaparan yang jelas mengenai ketentuan yang mengatur HAM.
Kemudian dianalisis untuk menemukan permasalahan hukumnya serta
jawaban dari permasalahan tersebut.
6. Pedoman Penulisan
Penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian sesuai dengan
sistematika penelitian yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi,
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun
2017.
G. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, skripsi ini dibagi menjadi lima bab dengan beberapa
sub-bab, dengan uraian singkat sistem penelitian sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN: Dalam bab ini akan diuraikan menganai latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan kajian
terdahulu, kegunaan penelitian, kerangka teori dan konseptual, metode
penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II, TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
KORUPSI DAN HAK ASASI MANUSIA: Dalam bab ini akan
diuraikan secara teoritis mengenai apa yang dimaksud dengan tindak
pidana, pengertian dan bentuk-bentuk tindak pidana korupsi. Sejarah
HAM, Jaminan HAM dalam Konstitusi Republik Indonesia Hasil
Amandemen, Serta Asas & Hak yang diatur dalam Perlindungan HAM
menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999.
23 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2015) h.68
17
BAB III, LEMBAGA HUKUM YANG MENGELUARKAN SP3 :
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang sejarah, tugas/wewenang
dan juga kedudukan maupun peran lembaga hukum polri dan jaksa selaku
instansi yang mengeluarkan SP3.
BAB VI, TINJAUAN HAM TERHADAP KEWENANGAN
PENYIDIK DALAM MENGELUARKAN SP3 : Bab ini membahas
dasar hukum kewenangan penyidik mengeluarkan SP3, serta analisis batas
kewenangan penyidik mengeluarkan SP3 dilihat dalam perspektif Hak
Asasi Manusia.
BAB V PENUTUP : Bab ini adalah penutup dari penelitian penelitian
yang menguraikan secara singkat mengenai kesimpulan serta saran dari
penelitian.
18
BAB II
TINJAUAN UMUM
TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN HAK ASASI MANUSIA
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan perbuatan yang melanggar aturan hukum yang
telah dibuat dan diatur sehingga setiap individu yang melanggarnya dikenakan
sanksi pidana. Susunan undang-undang kita menggunakan istilah
straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, akan tetapi tidak
adanya penjelasan yang detail mengenai straafbaarfeit tersebut. Dalam bahasa
Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentukan kata, yaitu straafbaar
dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari
kenyataan, sedangkan straafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara
harfiah perkataan straafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat
dihukum.1 Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam kepustakaan
tentang hukum pidana sering mempergunakan delik, sedangkan pembuat
undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah
peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindakan pidana.2
Sebagai ahli hukum Moeljatno berpendapat, pada hakikatnya tindak
pidana merupakan suatu definisi dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana
adalah suatu pengertian yuridis, jadi tiadaklah mudah mendefinisikan istilah
tindak pidana. Pembahasan hukum pidana bertujuan agar memahami
pengertian pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan
dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang
tujuan pemidanaan. Perlu disampaikan di sini bahwa, pidana adalah
1 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h.5
2 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Rengkang Education 2012) h.20
19
merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai
terjemahan dari bahasa Belanda ”straf” yang dapat diartikan sebagai
‖hukuman‖.3
Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
―perbuatan jahat‖ atau ―kejahatan‖ (crime atau Verbrechen atau misdaad)
yang dapat diartikan secara kriminologis dan psikologis. Pengertian kejahatan
atau tindak pidana yang digambarkan oleh Djoko Prakoso secara yuridis
adalah ―perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan pelanggarannya
dikenakan sanksi‖, selanjutnya Djoko Prakoso menyatakan bahwa secara
kriminologis kejahatan atau tindak pidana adalah ―perbuatan yang melanggar
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan mendapatkan reaksi negatif
dari masyarakat‖, dan secara psikologis kejahatan atau tindak pidana adalah
―perbuatan manusia yang tidak normal dan bersifat melanggar hukum, yang
disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut‖.4
Mengenai definisi ahli hukum yang lain seperti Hamel mengatakan
bahwa: ”Strafbaarfeit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang
dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana
(strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan‖. Sedangkan pendapat Pompe
mengenai Strafbaarfeit adalah sebagai berikut : ‖Strafbaarfeit itu dapat
dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma yang sengaja atau tidak sengaja
dilakukan oleh pelaku‖.5
Dengan demikian atas dasar beberapa pendapat yang dikemukakan
tersebut yang dimaksud tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melawan
3 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987) h.37
4 Djoko Prakoso dan Agus Imunarso, Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologi dalam
Konteks KUHAP, (Jakarta: Bina Aksara, 1987) h.137
5 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru. 1984) h.173
20
hukum dan tidak sesuai dengan suatu aturan hukum yang berlaku atau
perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan hukuman
sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan
sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang
melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini
berlaku kepada setiap orang yang melakukan suatu pelanggaran hukum, maka
orang tersebut dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Mengetahui suatu peristiwa tindak pidana haruslah ada syarat yang
berlaku baik secara objektif maupun subjektif. Syarat-syarat tertentu ini
biasanya disebut dengan unsur-unsur tindak pidana. Jadi seseorang bisa
dipidanakan apabila perbuatan yang dilakukan memenuhi syarat-syarat tindak
pidana (strafbaarfeit).
Definisi unsur subjektif adalah unsur yang terdapat pada diri pelaku atau
pembuat, in de dader aan wezig. Unsur subjektif dapat juga dikatakan sebagai
tanggungjawab seseorang terhadapat perbuatan yang telah dilakukannya.
Sedangkan unsur objektif yaitu unsur yang terdapat diluar manusia atau suatu
akibat tertentu yang semuanya dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang yang berlaku.6
Menurut Sudarto, pengertian unsur tindak pidana harus dibedakan dengan
pengertian unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan yang tercantum dalam
rumusan undang-undang. Pengertian yang pertama (unsur) ialah lebih luas
dari pada kedua (unsur- unsur). Misalnya unsur-unsur (dalam arti sempit) dari
tindak pidana pencurian biasa, ialah yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP.7
6 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Hamzah, 2011) h.31
7Sudarto, Hukum Pidana 1A-1B. (Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, 1990) h.3
21
Jika peneliti menjabarkan rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang
dapat diketahui adalah sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu
seseorang telah melakukan sesuatu tindakan melawan hukum yang telah
diatur oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya bisa digambarkan ke
dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.8
a. Unsur-unsur subjektif
Unsur dari suatu tindak pidana itu adalah:
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus).
2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging
seperti dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya di dalam kejah natan – kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti
misalnya terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal
340 KUHP.
5) Perasaaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di
dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
b. Unsur-unsur objektif
Unsur dari suatu tindak pidana adalah :
1) Sifat melanggar hukum.
2) Kualitas si pelaku misalnya ―keadaan sebagai pegawai negeri‖ di
dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau ―keadaan
sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas‖
dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
8 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1997) h.193
22
3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat dari perbuatan
tertentu sebagai salah satu unsur obyektif dari perbuatan pidana .9
B. Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Di Indonesia, Jika orang berbicara tentang korupsi, Andi Hamzah
jelaskan, pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat yang merugikan
keuangan Negara dan suap. Ditinjau dalam perspektif etimologi, korupsi
merupakan kata yang asing dalam bahasa Indonesia. Dalam Webster Studen
Dictionary, korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus.
Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal
corrumpere, kata dalam bahasa latin yang sejak dulu lebih tua. Dari bahasa
latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption,
corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie),
dengan demikian asumsi yang kuat bisa dikatakan istilah korupsi dari bahasa
Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu ―korupsi‖.10
Di dalam Black’s Law Dictionary dalam bukunya Marwan Effendi tentang
korupsi itu sendiri yaitu Suatu perbuatan yang bertujuan untuk memberikan
suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari
pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk
mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain,
bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.11
9 P.A.F. Lamintang,. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru. 1984)
h.184
10
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi bersama KPK (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h.6
11
Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan
Hukum Pidana (Jakarta: Referensi, 2012) h.80
23
Arti harafiah dari korupsi itu sendiri adalah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian atau
dapat disuap.12
Sedangkan arti korupsi yang telah diterima dalam
perbendaharaan kata bahasa Indonesia, disimpulkan oleh Poerwadarminta
bahwa korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya.13
Dengan demikian, kata korupsi memiliki arti dan cakupan yang sangat
luas. Sependapat dengan ini adalah pengertian dari Encyclopedia Americana
yang dikutip dalam bukunya Andi Hamzah yaitu korupsi adalah suatu hal
yang sangat buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut
waktu, tempat, dan bangsa.14
Beberapa sarjana mencoba mendefinisakan
korupsi, Baharudin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmer,
menguraikan arti istilah korupsi dari berbagai bidang, yakni yang menyangkut
masalah penyuapan, yang berhubungan dengan penggelapan di bidang
ekonomi, dan yang menyangut bidang kepentingan umum. Sedangkan
Sudarto menjelaskan pengertian korupsi dari unsur-unsurnya sebagai
berikut:15
a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu
badan.
b. Perbuatan itu bersifat melawan hukum.
12 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional dan Internasional,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) h.4
13
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,1976)
h.524
14
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) h. 6
15
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) h. 18
24
c. Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara dan/atau perekonomian negara, atau perbuatan itu
diketahui atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Pernyataan dari World Bank yang dikutip dalam bukunya Marwan
Effendy berdasarkan hasil penelitiannya yang menjelaskan bahwa: ―Korupsi
adalah “An Abuse Of Public Power For PrivateGains” atau penyalahgunaan
kewenangan atau kekuasaan untuk kepentingan pribadi.‖16
Dalam sudut
pandang normatif, pengertian korupsi dapat dilihat dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal 2 ayat 1 danPasal 3 dijelaskan pengertian korupsi melalui unsur-
unsur dari tindak pidana korupsi. unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam
Pasal 2 ayat 1 adalah:
a. Melawan hukum.
b. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
c. Dapat merugikan keuangan negara atau perekomian negara.
Unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 3 adalah:
a. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan.
c. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Faktor Penyebab Tindak Pidana Korupsi
Adapun beberapa sebab awalnya terjadi korupsi di Indonesia dikarenakan
kondisi sosial ekonomi yang merasa tidak berkecukupan atau bahkan hanya
untuk memenuhi hasrat kekayaan serta kemewahan yang lebih dengan
16 Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan
Hukum Pidana (Jakarta: Referensi, 2012) h.81
25
berbagai cara. Andi Hamzah membuat hipotesis mengenai faktor penyebab
tindak pidana korupsi sebagai berikut:17
a. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan
kebutuhan yang makin hari makin meningkat;
b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia;
c. Manajemen yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan efisien;
d. Modernisasi.
Beberapa faktor lainnya adalah berupa penegakan hukum yang tidak tegas,
tidak konsisten, penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang, langkanya
lingkungan yang antikorup, budaya memberi upeti, imbalan dan hadiah,
konsekuensi ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi yang sangat
besar, budaya permisif/serba memperbolehkan serta gagalnya pendidikan agama
dan etika.18
Marwan Effendy menemukan jawaban dari sebab-sebab korupsi, dengan
berangkat dari definisi korupsi yang disampaikan oleh Sheldon S. Steinberg dan
David T. Ausytern yang berpendapat bahwa korupsi adalah perbuatan yang tidak
legal dengan merusak sendi-sendi pemerintahan yang baik yang disebabkan oleh
minimnya integritas, sistem karier dan penggajian yang tidak sesuai dengan
kinerja serta standar pelayanan minimal dan perilaku budaya masyarakat yang
hanya ingin serba instan dalam setiap urusan.19
Mengenai korupsi tersebut Patrick
Glynn, Stephen J.Korbin, dan Moise Naim dalam berpandangan bahwa korupsi
disebabkan sebagai akibat dari perubahan politik secara sistematis, sehingga
17 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005) h. 13-23
18
Eko Santoso, Mengenali dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: KPK, tth) h.23
19
Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap Beberapa Perkembangan
Hukum Pidana (Jakarta: Referensi, 2012) h.83-84
26
memperlemah atau mengahancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi
juga hukum.20
Dengan demikian, faktor penyebab korupsi secara umum dapat
diklarifikasikan menjadi dua bagian yaitu factor internal dan juga eksternal.
Faktor internal berkaitan dengan pelaku korupsi sebagai pemegang amanat berupa
jabatan dan wewenang yang diamanatkannya. Sedangkan factor eksternal berupa
system pemerintahan dan kepemimpinan serta pengawasan yang tidak seimbang
sehingga bisa berpeluang terjadinya korupsi.21
Pendapat yang telah dikemukakan
diatas nampak terbukti dalam perubahan politik di Indonesia pada masa tahap
reformasi ini. Sebelum reformasi atau ketika orde baru, korupsi menjadi penyakit
dan turunan. Kemudian pada saat runtuhnya orde baru maka lahir pengenalan
sistem pemilihan umum yang baru di tahun 1999 dan implementasi penyerahan
kewenangan atau desentralisasi di tahun 2001 berdampak pada korupsi era orde
baru menurun, namun dalam perkembangannya justru korupsi dalam skala kecil
semakin meningkat dikarenakan para pejabat kelas kakap yang sudah absen
dalam penyelenggara pemerintahan. Maka dampak dari meningkatnya korupsi
skala kecil ini membuat masyarakat semakin memaklumi dengan tindakan
korupsi maupun suap diberbagai elemen pemerintahan.
C. Pengertian dan Hakikat Hak Asasi Manusia
Pengertian Hak Asasi Manusia telah dirumuskan ke dalam undang-undang
hukum positif Negara Indonesia yaitu diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi
sebagai berikut : Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
20
Kimberly Ann Elliot, Corruption and The Global Economy, Edisi Pertama (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia 1999) h.11
21
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Hamzah, 2011) h.37
27
merupakan anugerahnya yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut sudah dijelaskan
bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak yang paling mendasar yang harus dimiliki
oleh manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, atas dasar itulah
Negara wajib melindungi hak-hak warganya negaranya tersebut.
Indonesia merupakan negara hukum yang mana di dalam negara hukum selalu
ada pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Semua manusia
akan mendapat perlakuan yang sama kedudukannya dalam hukum, sosial,
ekonomi, dan kebudayaan. Istilah hak asasi manusia berasal dari istilah droits de
l’homme dalam bahasa Perancis atau Human Rights dalam bahasa Inggris, yang
artinya ―hak manusia‖. Pengertian secara teoritis dari hak asasi manusia adalah :
―hak yang melekat pada martabat manusia yang melekat padanya sebagai insan
ciptaan Allah Yang Maha Esa, atau hak-hak dasar yang prinsip sebagai anugerah
Illahi. Berarti hak-hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia
menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya, karena itu Hak
Asasi Manusia bersifat luhur dan suci.‖22
Adanya konsep hak asasi manusia pada dasarnya sebagai tertib dunia, jika
tidak ada konsep HAM tersebut, maka usaha manusia akan sulit untuk mencapai
dunia yang tertib. Seperti tujuan hukum dan tujuan ilmu-ilmu lainnya yang
berusaha mengangkat derajat perkembangan manusia agar lebih adil, makmur,
sejahtera, aman, tertib, dan tenteram tidak akan mudah diraih.23
Perkembangan
22
Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia (Jakarta:Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1983) h.7-8
23 A. Masyhur Effendy. Perkembangan dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses
Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (Bogor: Ghalia, 2005) h.127
28
dalam perlindungan HAM untuk semua orang dan di seluruh dunia bukanlah
suatu hal yang mudah, dikarenakan banyaknya keragaman bangsa-bangsa dari
latar belajar sejarah, kebudayaan, sosial, latar belakang politik, agama dan tingkat
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian banyaknya perbedaan latar bralakang
ini mengakibatkanya perbedaan tanggapan dalam perumusan HAM.
Kecenderung kosep HAM yang sebelumnya bersifat teologis, filsafati,
ideologis, atau moralistik, dengan adanya kemajuan modern berbangsa dan
bernegara akan cenderung ke sifat yuridik dan politik, karena instrumen HAM
dikembangkan sebagai bagian yang menyeluruh dan hukum internasional baik
tertulis maupun tidak tertulis. Instrumen tersebut akan mengikat kepada para
anggota Negara-negara PBB secara yuridis walaupun para negara anggota belum
melakukan ratifikasi atau tahapan perjanjian secara formal.24
Pada hakekatnya Hak Asasi Manusia dipercayai memiliki nilai yang
universal. Nilai universal berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu, nilai
universal ini yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum
nasional di berbagai negara untuk dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai
kemanusiaan. Bahkan nilai universal ini dikukuhkan dalam instrumen
internasional, termasuk perjanjian internasional di bidang HAM, Namun
kenyataan menunjukkan bahwa nilai-nilai HAM yang universal ternyata dalam
penerapannya tidak memiliki kesamaan dan keseragaman.
Penerapan instrumen HAM internasional akan terkait dengan karakteristik
ataupun sifat khusus yang melekat dari setiap negara. Adalah merupakan suatu
fakta bahwa negara di dunia tidak memiliki kesamaan dari berbagai aspek,
termasuk ekonomi, sosial, politik dan terpenting sistem budaya hukum sebagai
akibatnya terjadi ketidakseragaman dalam pelaksanaan HAM di tingkat paling
nyata di masyarakat. Ada empat penyebab utama alasan perjanjian internasional
24
H. Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat (PT Refika Aditama, Bandung, 2005) h.6
29
di bidang HAM tidak dapat ditegakkan oleh negara setelah diikuti, yaitu :
Pertama, perancangan dan pembentukan berbagai perjanjian internasional di
bidang HAM yang sangat terdeviasi (bias) oleh kerangka berfikir (framework of
thinking) dari perancangnya. Kedua, kendala pada saat perjanjian internasional
diperdebatkan. Ketiga, menyangkut tujuan pembentukan perjanjian internasional
di bidang HAM yang dibuat tidak untuk tujuan mulia menghormati HAM
melainkan untuk tujuan politis. Keempat, perjanjian internasional di bidang HAM
setelah diikuti kerap hanya mendapatkan perhatian secara setengah hati oleh
negara berkembang.25
D. Sejarah Perkembangan HAM
Dalam perkembangan hak asasi manusia, pemikiran mengenai hak asasi
manusia mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah peradaban manusia,
terutama dalam ikatan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasang
surut hak asasi manusia ini, sebenarnya mulai muncul setelah manusia
memikirkan dirinya dalam lingkungan semesta. Pemikiran mengenai hak asasi
manusia ini mulai mencapai titik paling rendah setelah dikemukakannya konsep
kedaulatan Tuhan yang dilakukan didunia ini dilakukan oleh seorang Raja atau
Paus (Pemimpin Gereja sedunia).
Kedaulatan Tuhan yang dilaksanakan oleh raja ataupun Paus tersebut,
menjadikan raja atau Paus mempunyai kekuasaan yang maha dasyat, sehingga
mengakibatkan hak-hak raja termasuk para keturunannya dan Paus dapat
terpenuhi secara optimal, sementara bagi manusia kebanyakan sama sekali tidak
memiliki hak apapun. Raja ataupun Paus mampu melakukan itu semua, karena
menganggap bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata adalah perintah Tuhan,
dan memperolah kuasa dari Tuhan. Kondisi yang demikian ini, maka hak asasi
25
H. Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat (PT Refika Aditama, Bandung, 2005) h.70-71
30
manusia dapat diibaratkan merupakan suatu impian dan barang impian dan barang
komoditi yang sangat mahal harganya, sekaligus langka keberadaannya. 26
Perkembangan pemikiran mengenai hak asasi manusia dapat dijelaskan
sebagai berikut: Berdasarkan sejarah perkembangannya, dijumpai adanya
beberapa naskah yang dapat dikategorikan sebagai dokumentasi perkembangan
hak asasi manusia, yaitu:
a. Magna Charta (Piagam Agung 1215): Suatu dokumen yang mencatat
hak yang diberikan oleh Raja John Lackland dari Inggris
kepadabeberapa bangsawan bawahannya atas tutntutan mereka.
Dengan adanya naskah ini, sekaligus menimbulkan konsekuensi
terhadap pembatasan kekuasaan Raja John Lackland. Hak yang
diberikan kepada para bangsawan ini merupakan kompensasi dari jasa-
jasa kaum bangsawan dalam mendukung Raja John di bidang
keuangan.
b. Bill of Rights (UU Hak 1689): Suatu Undang-undang yang diterima
oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun sebelumnya
mengadakan perlawanan terhadap Raja James II, dalam suatu revolusi
gemilang. Dalam analisis Marxis, Revolusi Gemilang tahun 1688 dan
Bill of Rights yang melembagakan adalah kaum borjuis yang hanya
menegaskan naiknya kelas bangsawan dan pedagang diatas monarki.
Sementara rakyat dan kaum pekerja tetap hidup tertindas.
c. Declaration des droits de I’homme et du citoyen (Peryataan hak-hak
manusia dan warga negara 1789), yakni suatu naskah yang dicetuskan
pada permulaan Revolusi Perancis, sebagai perlawanan terhadap
kesewenang-wenangan dari rezim lama.
26
Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, & Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2003) h. 266-267
31
d. Bill of Rights (UU Hak): suatu naskah yang disusun oleh rakyat
Amerika dalam tahun 1789 (sama dengan Deklarasi Perancis) dan
menjadi bagian dari UUD Amerika pada tahun 1791.
Berdasarkan naskah-naskah dokumentasi tersebut diatas, maka dapat ditarik
pemahaman bahwa perkembangan mengenai Hak Asasi Manusia abad XVII dan
XVIII muncul sebagai akibat adanya kesewenang-wenangan penguasa. Naskah-
naskah itu merupakan ekspresi perlawanan terhadap penguasa yang dzalim. Hak-
hak yang dirumuskan pada abad ini sangat dipengaruhi oleh gagasan mengenai
Hukum Alam (Natural Law) oleh John Locke (1632-1714) dan JJ. Rousseau
(1712-1778) yang hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja seperti
kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan lainnya.
Abad XX dalam abad ini ditandai dengan terjadinya Perang Dunia II yang
memporak-porandakan kehidupan kemanusiaan. Perang dunia ini disebabkan oleh
ulah pemimpin-pemimpin negara yang tidak demokratis, seperti Jerman oleh
Hitler, Italia oleh Benito Mussolini, dan Jepang oleh Hirohito. Berkaitan dengan
hal ini, maka hak-hak politik yang telah tertuang dalam naskah-naskah abad XVII
dan XVIII dianggap kurang sempurna dan perlu diperluas ruang lingkupnya.
Franklin D. Roosevelt pada permulaan Perang Dunia II merumuskan ide adanya 4
(empat) hak, yaitu: (a) Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat
(Freedom of Speech) (b) Kebebasan beragama (c) Kebebasan dari ketakutan (d)
Kebebasan dari kemelaratan.
Kemudian pada tahun 1946, Commision on Human Rights (PBB) menetapkan
secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial, disamping hak-hak politik.
Penetapan ini dilanjutkan pada tahun 1948 dengan disusun pernyataan sedunia
tentang Hak-hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada
tanggal 10 Desember 1948. Dari penjelasan sejarah perkembangan tersebut diatas,
maka nampak bahwa pengertian hak asasi manusia mengalami peralihan yang
32
cukup signifikan, yakni dari semata-mata kepedulian akan perlindungan individu-
individu dalam menghadapi absolutisme kekuasaan negara, beralih kepada
penciptaan kondisi sosial ekonomi yang diperhitungkan akan memungkinkan
individu-individu mengembangkan potensinya sampai maksimal.
E. Instrumen Nasional Pokok Hak Asasi Manusia
Perkembangan hak asasi manusia tidak dapat dilepaskan dari faktor politik
dan sosial pada masa kekuasaan Soeharto. Evolusi perkembangan hak asasi
manusia di Indonesia terjadi sejak masa-masa kemerdekaan hingga proses
pelembagaannya dengan TAP MPR dan Undang-Undang setelah masa reformasi
tahun 1998. Pelembagaan instrumen hak asasi manusia kemudian meningkat
bahkan masuk ke dalam substansi Undang-Undang Dasar hasil amandemen.
Selain diatur di dalam Konstitusi, hak asasi manusia juga melembaga di berbagai
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pada bab ini akan diuraikan secara
rinci tentang jaminan hak asasi manusia dalam Konstitusi Republik Indonesia
Hasil Amandemen, jaminan perlindungan hak asasi manusia dalam Undang-
Undang Nomor 39 tahun 1999.27
1. Jaminan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Republik Indonesia Hasil
Amandemen
Perdebatan antara Soekarno-Soepomo dengan M. Hatta - M. Yamin
tentang apakah pasal-pasal hak asasi manusia perlu dimasukkan di dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Perdebatan tersebut berakhir
dengan diakomodasinya pasal hak kebebasan berserikat dan berkumpul
dengan pembatasan oleh undang-undang. Kekhawatiran M. Hatta nampaknya
dapat dirasakan kebenarannya di kemudian hari. Tak bisa dibayangkan betapa
represifnya penguasa dan kekuasaan yang dijalankan, apabila Undang-
27
Rhona K. M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008) h.247
33
Undang Dasar 1945 tidak memuat pasal-pasal yang mengatur mengenai hak
asasi manusia.
Sejarah mencatat bahwa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)
1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yang pernah
berlaku selama sekitar 10 tahun (1949–1959), justru memuat pasal-pasal
tentang hak asasi manusia yang lebih banyak dan lebih lengkap dibandingkan
dengan Undang-Undang Dasar 1945.28
Bahkan bisa dikatakan bahwa kedua
Undang-Undang Dasar tersebut mendasarkan ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan hak asasi manusia-nya pada Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang mulai berlaku pada
tanggal 10 Desember 1948. Konstitusi RIS 1949 mengatur tentang hak asasi
manusia dalam Bagian V yang berjudul ―Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan
Dasar Manusia‖. Pada bagian tersebut terdapat 27 pasal, dari Pasal 7 sampai
dengan Pasal 33.29
Pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang isinya hampir
seluruhnya serupa dengan Konstitusi RIS 1949 juga terdapat dalam UUDS
1950. Di dalam UUDS 1950, pasal-pasal tersebut juga terdapat dalam Bagian
V yang berjudul ―Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia‖.
Bagian ini terdiri dari 28 pasal, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 34.30
Perdebatan tentang konsepsi hak asasi manusia kemudian muncul dalam
persidangan Konstituante yang dibentuk antara lain berdasarkan Pasal 134
UUDS 1950. Pasal tersebut menyatakan bahwa Konstituante (Sidang Pembuat
Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya
28
Supomo, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, (Jakarta PT. Pradnya
Paramita,1974)
29 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia, 1985) h.129–137
30
Suradji, Pularjono, dan Tim Redaksi Tatanusa, eds., Tiga Undang-Undang Dasar: UUD
1945, KonstitusiRIS 1949, dan UUDS 1950 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981) h 88–94
34
menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan
menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini (UUDS 1950).
Konstituante yang terbentuk melalui pemilihan umum pada tahun 1955
tersebut kemudian bersidang, hingga dibubarkan melalui Keppres Nomor 150
Tahun 1959. Pada tanggal 12 Agustus 1958, dibentuklah suatu Drafting
Committee di dalam Konstituante. Ia bertugas untuk meringkas berbagai
perdebatan dalam bidang hak asasi manusia dan memformulasikan rancangan
putusanputusan dalam bidang hak asasi manusia yang akan diambil dalam
Sidang Paripurna. Laporan Komite tersebut disampaikan pada tanggal 19
Agustus 1958. Di dalamnya terdapat 88 formulasi yang berkaitan dengan 24
macam hak yang berasal dari hak asasi manusia dari daftar I yang asli; 18
hak-hak warga negara; 13 hak-hak tambahan yang belum diputuskan apakah
mereka akan digolongkan sebagai hak asasi manusia atau hak-hak sipil; hak-
hak yang masih dalam perdebatan, hak-hak yang dihapus atau digabungkan
dengan hak-hak lainnya. Untuk setiap masing-masing kategori ini juga ada
suatu usulan prosedural tentang bagaimana mereka harus diputuskan dengan
baik.31
Babakan sejarah selanjutnya ternyata berpaling kembali ke Undang-
Undang Dasar 1945, ketika melalui Keppres Nomor 150 Tahun 1959
tertanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno antara lain menyatakan bahwa
Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku kembali.32
Kembalinya
Republik Indonesia ke Undang-Undang Dasar 1945 berarti juga berlakunya
kembali ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia yang tercantum di
31
Rhona K. M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008)
h.248-249
32 Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Dekrit Presiden Republik Indonesia,
Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945, Keppres
Nomor 150 Tahun 1959.
35
dalamnya. Pada masa awal Orde Baru, Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) telah berhasil merancang suatu dokumen yang diberi
nama ―Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak Serta Kewajiban Warga
Negara.‖ Di samping itu, sambil menunggu berlakunya Piagam tersebut,
Pimpinan MPRS ketika itu juga menyampaikan ―Nota MPRS kepada Presiden
dan DPR tentang Pelaksanaan Hak-Hak Asasi Manusia‖. Namun demikian,
sejarah menunjukkan bahwa karena berbagai latar belakang, Piagam tersebut
kemudian tidak jadi diberlakukan. Menurut mantan Seretaris Jenderal
(Sekjen) Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPRS),
Abdulkadir Besar, kegagalan pemberlakuan kedua Piagam tersebut --―Piagam
Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak Serta Kewajiban Warga Negara‖—
bermula dari keinginan Soeharto untuk segera dilantik sebagai Presiden
penuh. Sebagaimana diketahui, pada saat itu Soeharto masih berkedudukan
sebagai Pejabat Presiden.33
Menurut Abdulkadir, keinginan Soeharto untuk dilantik sebagai
Presiden penuh itu dilatarbelakangi oleh rencananya untuk mengikuti Sidang
Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang pertama di Tokyo. Ia
ingin hadir di sana sebagai Presiden penuh, agar lebih mantap dari pada jika
hanya berkedudukan sebagai Pejabat Presiden. Para petinggi militer pun
kemudian mendatangi A.H. Nasution yang pada saat itu berkedudukan
sebagai Ketua MPRS. Mereka meminta agar Nasution segera melantik
Soeharto sebagai Presiden penuh. Namun demikian, pada awalnya Nasution
menolak permintaan itu dengan alasan bahwa mereka --para petinggi militer
tersebut-- boleh meminta apa saja kepadanya, asalkan jangan minta agar ia
melanggar konstitusi. Selain dilatarbelakangi alasan konstitusional tersebut,
menurut Abdulkadir, penolakan Nasution tersebut setidak-tidaknya
33 A.H. Nasution (b), Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 7: Masa Konsolidasi Orde Baru,
(Jakarta: CV Haji Masagung, 1989) h.289 – 295
36
dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, Undang-Undang Pemilu pada saat itu
belum ditetapkan. Kedua, penghitungan masa jabatan (office terms) Presiden
dianggap tidak sesuai jika dimulai pada tahun 1968.34
Salah seorang Wakil Ketua MPRS dari unsur Nadhlatul Ulama, H.M.
Subchan Z.E., kemudian menyatakan menarik dukungan kepada Nasution. Ia
menulis memo yang ditujukan kepada Nasution di atas block note Operasi
Khusus (Opsus) dan minta agar memo tersebut disampaikan kepada Nasution
melalui Abdulkadir. Memo yang ditulis di atas block note tersebut
menimbulkan penafsiran bahwa Subchan pada saat itu sudah menjadi
―binaan‖ Ali Moertopo, salah seorang tokoh Opsus. Karena berbagai desakan
tersebut, akhirnya MPRS RI melantik Soeharto sebagai Presiden penuh RI
pada sekitar pukul 01:30 WIB dinihari, hanya beberapa jam menjelang
keberangkatan Soeharto ke Tokyo. Pelantikan Soeharto menjadi Presiden
penuh tersebut menjadikan tujuan utama (the main goal) dari kelompok-
kelompok pendukung Soeharto dianggap sudah tercapai. Mashuri, salah satu
di antara tokoh dari kelompok tersebut kemudian menyatakan bahwa
komposisi Badan Pekerja MPRS tidak sesuai lagi dengan Peraturan Tata
Tertib MPRS. Dengan demikian MPRS sudah tidak perlu bersidang lagi.
Pendapat Mashuri ini kemudian mendapatkan dukungan, sehingga pada
akhirnya MPRS tidak mengadakan persidangan lagi. Dengan demikian
pembahasan ―Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban
Warga Negara‖ itu pun kemudian menjadi tidak jelas nasibnya dan tidak jadi
diberlakukan.35
34 Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1999)
h.51 35
Rhona K. M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008) h.250
37
Perjalanan sejarah kemudian, Pemerintah Orde Baru seakan-akan
bersikap anti terhadap eksistensi suatu piagam hak asasi manusia. Setiap
pertanyaan yang mengarah kepada perlunya piagam hak asasi manusia,
cenderung untuk dijawab bahwa piagam semacam itu (pada saat itu) tidak
dibutuhkan, karena masalah hak asasi manusia telah diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan.36
Secara kongkrit, pendapat semacam ini
kemudian luruh dengan sendirinya semenjak diberlakukannya Ketetapan
MPR Nomor XVII/ MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia sebagaimana
disebutkan di muka, yang ditetapkan dalam Sidang Istimewa MPR tanggal 13
November 1998. Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang oleh sementara
kalangan dianggap masih melekat di dalamnya, pemberlakuan Ketetapan ini
bisa dianggap sebagai semacam ―penebus‖ kegagalan ditetapkannya ―Piagam
Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara‖ oleh
MPRS sekitar 35 tahun sebelumnya. Pada intinya, Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tersebut menugaskan kepada Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan,
dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada
seluruh masyarakat. Di samping itu, Ketetapan ini juga menegaskan kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meratifikasi berbagai
instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak asasi manusia,
sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Ditegaskan pula bahwa penghormatan, penegakan, dan penyebarluasan
hak asasi manusia oleh masyarakat dilaksanakan melalui gerakan
kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai warga
36
Satya Arinanto, Hukum dan Demokrasi (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1991) h.30
38
negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi
tentang hak asasi manusia dilakukan oleh suatu Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia yang ditetapkan dengan undang-undang. Ketetapan ini juga dilampiri
oleh naskah hak asasi manusia yang di dalam sistematikanya mencakup: (1)
Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia; dan (2)
Piagam Hak Asasi Manusia.
Sebagaimana diuraikan, sebelum ditetapkannya Ketetapan tersebut, pada
tanggal 15 Agustus 1998 Presiden B.J. Habibie telah menetapkan berlakunya
Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang ―Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia Indonesia 1998–2003‖, yang lazim disebut sebagai RANHAM.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi begitu cepat dalam lingkup
domestik maupun internasional, dan kehadiran Kementerian Negara Urusan
Hak Asasi Manusia pada Kabinet Persatuan Nasional, yang kemudian
digabungkan dengan Departemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia - membuat RANHAM ini
harus disesuaikan.
Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tersebut antara lain menegaskan
bahwa RANHAM tersebut akan dilaksanakan secara bertahap dan
berkesinambungan dalam suatu program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau
dan disempurnakan setiap 5 (lima) tahun. Untuk melaksanakan RANHAM
tersebut dibentuk suatu Panitia Nasional yang berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tugas Panitia Nasional
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang hak asasi manusia;
b. Diseminasi informasi dan pendidikan di bidang hak asasi manusia;
c. Penentuan prioritas pelaksanaan hak asasi manusia;
39
d. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang hak asasi manusia yang
telah disahkan.
Sebagai tindak lanjut dari diberlakukannya Keppres Nomor 129 Tahun
1998 tersebut, pada tanggal 28 September 1998 ditetapkanlah Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1998. Undang-undang tersebut menetapkan tentang
pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia), namun dengan Declaration (Pernyataan)
terhadap Pasal 20 dan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1).37
Babakan selanjutnya yang sangat penting bagi penegakan hak asasi
Manusia dalam era reformasi (setelah bulan Mei tahun 1998) adalah
Ditetapkannya Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 dalam Sidang
Tahunan MPR yang pertama pada tanggal 7 – 18 Agustus 2000. Babakan
penting yang dihasilkan dalam Sidang Tahunan tersebut adalah ditetapkannya
Bab khusus yang mengatur mengenai ―Hak asasi manusia‖ dalam Bab XA
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945. Isi Bab tersebut memperluas
Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang semula hanya terdiri dari 1 pasal
dan 1 ayat, menjadi beberapa pasal dan beberapa ayat. Pasal-pasal dan ayat-
ayat tersebut tercantum dalam Pasal 28A hingga Pasal 28J. Di satu sisi
pencantuman pasal-pasal yang secara khusus mengatur mengenai hak asasi
manusia dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 merupakan
suatu kemajuan yang cukup signifikan, karena proses perjuangan untuk
melakukan hal itu telah lama dilakukan. Namun di sisi lain hal ini justru
37
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pengesahan Convention Against Torture and
Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat
Manusia) Pasal 1.
40
menjadi sesuatu yang merancukan karena pasal-pasal tentang hak asasi
manusia yang dicantumkan dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
1945 tersebut sebagian besar merupakan pasal-pasal yang berasal –atau
setidak-tidaknya memiliki redaksional yang serupa dengan beberapa pasal--
dari Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999. Kedua ketentuan yang disebut terakhir ini juga mengatur
mengenai ―Hak Asasi Manusia‖. Dengan dicantumkannya ketentuan-
ketentuan tentang hak asasi manusia di dalam Perubahan Kedua Undang-
Undang Dasar 1945 itu –terlepas dari masih adanya kekurangan-kekurangan
di dalam rumusan dari beberapa pasalnya, setidak-tidaknya bangsa Indonesia
telah memiliki landasan yang lebih signifikan dalam bidang hak asasi
manusia. Namun demikian, bukan berarti masalah-masalah hak asasi manusia
akan segera menghilang dari dunia politik dan ketatanegaraan Indonesia.38
2. Asas-Asas Perlindungan Hak Asasi Manusia menurut Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 sering disebut sebagai angin
Segar bagi jaminan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, meskipun
pada waktu itu Undang-Undang Dasar 1945 masih dianggap cukup
memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 ini memberi pengaturan yang lebih rinci tentang
pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan dilandasi asas-asas
hak asasi manusia yang universal seperti tertuang dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia, Undang-Undang ini memberikan jaminan perlindungan
dan pelaksanaan hak asasi manusia bagi setiap warga negara. Asas-asas
tersebut di antaranya, pertama, Undang-Undang ini mengaskan komitmen
bangsa Indonesia untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan
38
Rhona K. M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008) h.252
41
manusia (Pasal 2).39
Dinyatakan bahwa Negara Republik Indonesia mengakui
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kewajiban manusia sebagai hak
kodrati yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari manusia. Hak ini harus
dilindungi, dihormati dan ditingkatkan demi peningkatan martabat
kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan.
Untuk itu negara disebut sebagai unsur utama dalam pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia.
Kedua, menegaskan prinsip nondiskriminasi (Pasal 3 dan Pasal 5).
Setiap orang dilahirkan dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat,
sehingga berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan yang
sama di hadapan hukum. Ketiga, jaminan perlindungan atas hak-hak yang
tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun (Pasal 4). Hak yang termasuk ke
dalam kategori ini adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak atas
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak untuk beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi, persamaan hukum dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroactive).
Berikut ini beberapa Asas-Asas Perlindungan Hak Asasi Manusia
menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 :
(a) Persamaan di Hadapan Hukum dan Imparsialitas (Pasal 5)
Setiap orang berhak menuntut dan diadili dengan memperoleh
perlakuan dan pelindungan yang sama di depan hukum. Setiap
orang tanpa kecuali, termasuk mereka yang tergolong kelompok
rentan, berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari
pengadilan yang objektif dan tidak berpihak.
(b) Perlindungan Masyarakat Adat (Pasal 6)
Keberagaman masyarakat adat di Indonesia yang telah memiliki
hukum adat yang juga merupakan bagian dari hukum Indonesia
ikut melatar belakangi jaminan perlindungan hak asasi manusia
bagi hak-hak masyarakat adat. Dalam rangka penegakan hak asasi
manusia, perbedaaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat
39
Rhona K. M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008) h.253
42
harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan
pemerintah. Idenitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak
atas tanah, harus dilindungi selaras dengan perkembangan jaman.
(c) Upaya Hukum Nasional dan Internasional (Pasal 7)
Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum
nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi
manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum
internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh
Indonesia.
(d) Tanggung Jawab Pemerintah (Pasal 8)
Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia menjadi tanggung jawab pemerintah, Undang-Undang
Dasar 1945 pun telah menyebutkan hal ini.
3. Hak-Hak yang Diatur dan Dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999
(a) Hak untuk Hidup (Pasal 9)
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya. Setiap orang berhak hidup tentram,
aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(b) Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan (Pasal 10)
Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui pernikahan yang sah. Perkawinan yang sah hanya dapat
berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang
bersagkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(c) Hak untuk Mengembangkan Diri (Pasal 11-16)
Undang-Undang Dasar 1945 juga memberi jaminan perlindungan hak
untuk mengembangkan diri dalam Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28F Di
antaranya menegaskan perlindungan hak untuk tumbuh kembang, bidang
pendidikan, hak untuk memperoleh dan menyebarkan informasi,
termasuk di dalammnya hak untuk berkomunikasi, dan hak untuk
bersosialisasi. Undang-Undang ini memberikan jaminan bagi setiap orang
untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya baik secara pribadi
maupun kolektif untuk membagun dirinya, masyarakat lingkungannya
serta bangsa dan negara dengan segala jenis sarana yang tersedia. Hal ini
termasuk dalam pemanfaatan informasi dan teknologi serta kesempatan
dalam melakukan pekerjaan sosial dan mendirikan organisasi untuk itu
dan penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran.
43
(d) Hak untuk Memperoleh Keadilan (Pasal 17-19)
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan
dengan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang
bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin
pemerikasaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar.
(e) Hak atas Kebebasan Pribadi (Pasal 20-27)
Hak atas kebebasan pribadi merupakan salah satu hak yang paling
mendasar bagi setiap orang karena menyangkut juga hak menentukan
nasib sendiri. Dari berbagai hak yang dilindungi dalam hak asasi manusia,
hak atas kebebasan pribadi dan kebebasan berekspresi, mengeluarkan
pendapat, berserikat dan berkumpul adalah hak yang paling penting.
(f) Hak atas Rasa Aman (Pasal 28-35)
Hak atas rasa aman ini meliputi hak-hak yang dapat dilindungi secara
fisik maupun psikologis. Hak ini di antaranya meliputi hak suaka, hak
perlindungan, hak rasa aman, hak rahasia surat, hak bebas dari
penyiksaan, dan hak tidak diperlakukan sewenang-wenang.
(g) Hak atas Kesejahteraan (Pasal 36-42)
Hak-hak generasi kedua ini sejajar dengan perlindungan bagi hak
ekonomi, sosial dan budaya yaitu hak atas terciptanya kondisi yang
memungkinkan bagi setiap individu untuk mengembangkan
kemampuannya semaksimal mungkin. Hak-hak tersebut di antaranya
meliputi hak milik, hak atas pekerjaan, hak mendirikan serikat pekerja,
hak atas kehidupan yang layak, hak atas jaminan sosial dan hak atas
perawatan. Hak-hak atas kesejahteraan ini sangat diperjuangkan dengan
gigih oleh bangsa-bangsa sosialis, sehingga kental sekali keberpihakan
terhadap kaum buruh. Bukan hanya bagi kaum buruh, hak atas
kesejahteraan ini berlaku untuk siapa pun, tidak terkecuali orang-orang
yang berkebutuhan khusus. Tidak ada diskriminasi dalam jaminan
perlindungan hak atas kesejahteraan ini. Anak-anak, dewasa, perempuan,
laki-laki, orang berkebutuhan khusus atau tidak, semua berhak
mendapatkan porsi yang sesuai. Misalnya perlakuan khusus bagi orang
seperti lansia, anak-anak, penyandang cacat, hal ini tentunya dengan
mempertimbangkan keterbatasan mereka.
(h) Hak untuk Turut Serta dalam Pemerintahan (Pasal 43-44)
(i) Hak untuk Memilih dan Dipilih
Hak ini sangat terkait dengan hak di bidang politik, di antaranya
keikutsertaan dalam pemilu, baik sebagai calon yang akan dipilih
maupun sebagai pemilih. Hak memlilih dan dipilih ini haruslah sesuai
hati nurani, bukan karena paksaan atau di bawah ancaman. Setiap
44
warga negara yang telah memenuhi syarat, diantaranya berusia
minimal 17 tahun dan/atau sudah menikah mempunyai hak ini. .
(ii) Hak untuk Mengajukan Pendapat
Melalui wakil rakyat di DPR, DPRD maupun DPD, masyarakat dapat
berpartisipasi dalam pemerintahan. Termasuk mengajukan usulan,
permohonan, pengaduan dan bahkan kritik terhadap pemerintah dalam
rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif dan efisien.
Upaya yang dilakukan dapat secara lisan maupun tulisan. Aspirasi
dapat disampaikan secara langsung di antaranya kepada para wakil
rakyat yang duduk di pemerintahan, lembaga-lembaga pemerintah,
lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Dengan adanya kemajuan
teknologi dan informasi, masyarakat bahkan dapat menyampaikan
aspirasinya melalui surat dan bahkan short message service (sms)
kepada Presiden. Hal ini menunjukkan adanya jaminan atas hak
mengajukan pendapat dalam rangka berpartisipasi dalam
pemerintahan.
(i) Hak Perempuan (Pasal 45-51)
Perempuan yang digolongkan dalam kelompok masyarakat rentan
(vulnerable people) mendapat tempat khusus dalam pengaturan jaminan
perlindungan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 ini. Pada umumnya hak yang diberikan kepada kaum perempuan
sama dengan hak-hak lain seperti yang telah disebut di atas, hanya saja
dalam bagian ini hak bagi kaum perempuan lebih dipertegas. Asas yang
sangat mendasari hak asasi bagi perempuan di antaranya hak perspektif
gender dan anti diskriminasi. Artinya kaum perempuan mempunyai
kesempatan yang sama seperti kaum pria untuk mengembangkan dirinya,
seperti dalam dunia pendidikan, pekerjaan, hak politik, kedudukan dalam
hukum, kewarganegaraan, hak dan kewajiban dalam perkawinan.
(j) Hak Anak (Pasal 52-66)
Dalam Konvensi tentang Hak Anak, yang dimaksud dengan anak
adalah setiap orang belum mencapai usia 18 tahun. Hak asasi anak telah
diakui dan dilindungi sejak masih dalam kandungan. Setiap anak yang
cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan,
pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin
kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa
percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Setiap anak berhak
untukmemperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan
setiap pekerjaan yang membehayakan dirinya, sehingga dapa
mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan
mental spiritualnya.
45
BAB III
LEMBAGA HUKUM YANG MENGELUARKAN SP3
A. Kepolisian Negara Republik Indonesia
1. Sejarah Lembaga Kepolisian
Lahir, tumbuh dan berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia sejak Proklamasi. Kemerdekaan Indonesia,
Polri telah dihadapkan pada tugas-tugas yang unik dan kompleks. Selain menata
keamanan dan ketertiban masyarakat di masa perang, Polri juga terlibat langsung
dalam pertempuran melawan penjajah dan berbagai opersai militer bersama-sama
satuan angkatan bersenjata yang lain. Proses sejarah didirikan nya Polri sudah
melewati beberapa masa/jaman dari Kerajaan Majapahit hingga saat ini, Dalam
perkembangan paling akhir dalam kepolisian yang semakin modern dan global,
Polri bukan hanya mengurusi keamanan dan ketertiban di dalam negeri, akan
tetapi juga terlibat dalam masalah-masalah keamanan dan ketertiban regional
maupun internasional, sebagaimana yang di tempuh oleh kebijakan PBB yang
telah meminta pasukan-pasukan polisi, termasuk Indonesia, untuk ikut aktif
dalam berbagai operasi kepolisian, misalnya di Namibia (Afrika Selatan) dan di
Kamboja (Asia).
Pada saat Nusantara/Indonesia masih menganut sistem kerajaan, sudah
dibentuk pasukan yang bertugas melindungi raja dan kerajaan yang disebut
dengan Bhayangkara oleh Kerajaan Majapahit patih Gajah Mada. Semasa zaman
kolonial Belanda pembentukan pasukan pengamanan diawali dengan bertujuan
untuk mengamankan kekayaan dan aset orang-orang eropa di Hindia Belanda
pada saat itu. Tahun 1867 sejumlah warga Eropa di kota Semarang, merekrut 78
orang pribumi untuk menjaga keamanan mereka. Seiring berkembangnya zaman
pemerintahan Belanda membentuk pasukan pengamanan kepolisian hanya dari
kalangan orang berkulit putih saja. Sehingga pada masa pemerintahan Deandels,
kepolisian menjadi dua bentuk bagian yaitu kepolisian bersenjata yang diisi oleh
orang-orang Belanda dan kepolisian pamong praja yang diisi oleh orang pribumi
46
dan tidak diperkenankan memegang senjata. Selain kedua bentuk tersebut,
dibentuk pula satuan pasukan bernama gewarpende politie yang kemudian
berubah menjadi veld politie merupakan bagian dari unit pemadam
pemberontakan pada waktu itu.1
Pada waktu Indonesia merdeka yang diproklamasikan oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 Secara resmi kepolisian menjadi
kepolisian Indonesia yang merdeka. Dalam peoses perkembangannya struktural
kedudukan Kepolisian Republik Indonesia mengalami perubahan.2 Setelah
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada tanggal 19 agustus 1945 menetapkan bahwa polisi
dimasukan kedalam lingkungan Departemen Dalam Negeri. Pada tanggal 22
agustus 1945, dideklarasikan kelahiran Polisi Nasional Indonesia. Pada tanggal 1
oktober 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat pemerintah yang
ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman dan Jaksa
Agung, yang menyatakan bahwa semua kantor Kejaksaan masuk ke dalam
lingkungan Departemen Kehakiman, sedangkan semua kantor badan
Kepolisian masuk ke dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri.3
Setelah berjalannya waktu kedudukan kepolisian yang berada dibawah
Departemen Dalam Negeri pada saat pelaksanaan dirasa menyulitkan kinerja
kepolisian. Maka diterbitkanlah PP nomor 11/SD tahun 1946 pada tanggal 1 juli
1946, yang menjadikan Polri sebagai institusi yang mandiri, berdiri sendiri
langsung dibawah perdana menteri.4 Pada tanggal ini pula ditetapkanya hari
kelahiran Polri (Hari Bhayangkara).
1 Artikel diakses dari https://www.polri.go.id/tentang-sejarah.php pada tanggal 21 September
2017, Pukul 09:16 WIB
2 Bibit S.rianto, Reformasi Polri Suatu Pemikiran ke Arah Kemandirian Dalam Rangka
Menegakkan Supremasi Hukum (Jakarta: Ghalia, 1999) h.29 3 Mabes Polri, Derap Langkah Polri di Tengah Dinamika Bangsa (Jakarta: Mabes, 2008) h.81
4 Mabes Polri, Derap Langkah Polri di Tengah Dinamika Bangsa (Jakarta: Mabes, 2008) h.83
47
Perkembangan selanjutnya Kepolisian kemudian disatukan dengan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) melalui Undang-Undang No 13 tahun 1961 yang berisi
“Polri berada dibawah Departemen Pertahanan dan Keamanan”. Kepolisian yang
sebelumnya berada di bawah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)
maka melalui Inpres Nomor 2 tahun 1999 kemudian lahir pula Tap MPR nomor
VI dan VII tahun 2002 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Republik Indonesia ditetapkanlah pemisahan Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI) dari tubuh Tentara Nasional Indonsia (TNI). Pemisahan tersebut
dipertegas dengan diubahnya undang-undang nomor 27 tahun 1997 menjadi
undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
2. Kedudukan Kepolisian Republik Indonesia
Berlandaskan pada teori pembagian kekuasaan dan sistem pemerintahan
presidensil, fungsi pemerintahan dipimpin oleh Presiden sebagai lembaga
eksekutif, segala bentuk penyelenggaraan pemerintahan dipertanggungjawabakan
oleh presiden termasuk penyelenggaraan keamanan, ketenteraman dan ketertiban
umum. Setiap lembaga Negara harus menjalankan wewenangnya berdasarkan
undang-undang dalam arti materiil, hal tersebut sebagai konsekuensi logis dari
negara hukum, supremasi hukum dan pemerintahan yang menganut sistem
presidensial yang harus menempatkan semua lembaga kenegaraan berada di
bawah Undang-Undang Dasar 1945, seperti dikemukakan oleh Soewoto
Mulyosudarmo, bahwa konsekuensi dari sistem presidensil, yaitu sebagai sistem
yang menempatkan semua lembaga kenegaraan berada di bawah Undang-
Undang Dasar 1945.5
Pada teori ketatanegaraan, Negara yang dipimpin oleh presiden sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan maka menganut sistem pemerintahan
5 Soewoto Mutyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalu Perubahan Konstitusi
(Prosiding workshop: Assosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur Malang, 2004) h. 7
48
presidensial dikaitkan dengan makna kepolisian sebagai “alat negara”
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945,
berarti kepolisian dalam menjalankan wewenangnya berada di bawah Presiden
selaku Kepala Negara. Disisi lain fungsi kepolisian juga menjalankan amanat
salah satu “fungsi pemerintahan” yang diselenggarakan oleh Presiden selaku
pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) dan memandatkan sebagiannya
kepada kepolisian terutama tugas dan wewenang di bidang keamanan dan
ketertiban. Sebagaimana dikatakan oleh Bagir Manan, bahwa “Presiden adalah
pimpinan tertinggi penyelenggaraan administrasi Negara” tugas dan wewenang
dalam melaksanakan penyelenggaraan Negara sangatlah luas.6
Undang-Undang Dasar 1945 tidak menjelaskan secara tegas kedudukan
kepolisian, Akan tetapi ketentuan ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian, yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut
lembaga kepolisian diposisikan dibawah Presiden dan bertanggungjawab kepada
Presiden. Disamping itu sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
instrumen hukum telah mengatur tentang kedudukan lembaga kepolisian di
bawah Presiden, seperti Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2000 dan Ketetapan
MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.
3. Tugas dan Kewenangan POLRI
Tugas pokok kepolisian dan wewenangnya adalah memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat serta menyelenggarakan kepentingan umum, sehingga
fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya untuk mendukung tujuan
negara, dengan terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat.
Tugas kepolisian dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu tugas represif
(pengendalian) dan tugas preventif (Pencegahan). Tugas represif ini adalah
menjalankan peraturan berdasarkan undang-undang apabila terjadi adanya
6 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan (Yogyakarta:GamaMedia-Pusat Studi Hukum
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,1999) h.122
49
peneyimpangan/pelanggaran norma hukum. Sedangkan tugas preventif dari
kepolisian ialah menjaga serta mengawasi agar tidak terjadinya pelanggaran
norma hukum yang dilakukan oleh seseorang. Maka dari itu Tugas utama dari
kepolisian adalah memelihara keamanan di dalam negeri. Didalam Undang-
Undang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 13 Nomor 2 Tahun 2002 dijelaskan
bahwasannya tugas pokok kepolisian adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum;
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Selanjutnya pada Pasal 14 dijelaskan bahwasanya dalam melaksanakan
tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertugas :
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat
terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Mengenai ketentuan-ketentuan penyelidikan dan penyidikan
ini, lebih jelasnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHP) yang diantaranya menguraikan pengertian
penyidikan, penyelidikan, penyidik dan penyelidik serta tugas dan
wewenangnya;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan
tugas kepolisian;
50
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta melaksanakan
tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Tercantum pada Pasal 15 Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan, bahwasannya dalam rangka
menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14
Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
a. menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam ruang lingkup kewenangan
administratif kepolisian;
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. mencari keterangan dan barang bukti;
j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan
dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
B. Kejaksaan Republik Indonesia
1. Sejarah Lembaga Kejaksaan
Dalam sejarahnya Lembaga Kejaksaan sebenarnya sudah dipraktekkan jauh
sebelum Indonesia merdeka. Salah satunya dipraktekkan pada zaman Kerajaan
51
Majapahit, pada masa tersebut menggunakan istilah dhyaksa, adhyaksa, dan
dharmadhyaksa ketiga istilah tersebut digunakan untuk menempatkan posisi dan
jabatan tertentu di kerajaan. Ketiga istilah tersebut berasal dari bahasa kuno, yakni
dalam Bahasa Sansekerta. W.F. Stutterheim seorang peneliti dari Belanda
mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat Negara di zaman Kerajaan Majapahit,
lalu adhyaksa adalah hakim yang bertugas untuk menangani perkara peradilan
dalam sidang pengadilan, sedangkan dharmadhyaksa adalah pejabat khusus yang
menangani persoalan agama.7
Dalam perkembangannya pada zaman kolonial belanda, dibentuk sebuah
institusi yang dinamakan dengan istilah officer van justitie, dalam tugas pokoknya
adalah menuntut sesorang yang melanggar norma hukum ke pengadilan. Istilah
jaksa umumnya digunakan untuk menerjemahkan istilah officer van justitie,
istilah tersebut digunakan oleh kesultanan di jawa untuk menuntut sesorang yang
melakukan tindak kejahatan diproses kehadapan mahkamah dan dihukum. Namun
demikian pada prakteknya hanya digunakan sebagai alat kekuasaan Belanda.
Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan belanda mengemban
misi yakni antara lain:8
a. Untuk mempertahankan segala peraturan Negara
b. Untuk melakukan penuntutan dalam segala tindak pidana
c. Untuk melaksanakan putusan pengadilan pidana
Seiring berkembangnya zaman di Indonesia Peranan Kejaksaan sebagai satu-
satunya lembaga penuntut umum secara resmi difungsikan pertama kali oleh
Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942.
Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak
Saikoo Hoooin (Pengadilan Agung), Koootooo Hooin (Pengadilan Tinggi) dan
7 Kejaksaan RI http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3 pada tanggal 10
september 2017, Pukul 20.40 WIB
8 Yuzril Ihza Mahendra http://yusril.ihzamahendra.com/?p=329/ pada tanggal tanggal 10
september 2017, Pukul 21.10 WIB
52
Tihooo Hooin (Pengadilan Negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa
Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk:9
a. Menyidik kejahatan dan pelanggaran;
b. Menuntut Perkara;
c. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal;
d. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.
Pada tanggal 19 Agustus 1945 awal masa kemerdekaan, fungsi kejaksaan
dalam hal penuntutan tetap dilaksanakan, Lalu Presiden RI mengumumkan
pengangkatan Jaksa Agung RI yang pertama yaitu Mr. Gatot. Kedudukan Jaksa
Agung pada saat itu ada pada Mahkamah Agung, karena pada masa awal
kemerdekaan disebutkan Jaksa Agung ada pada Mahkamah Agung, dan kejaksaan
Tinggi ada pada Pengadilan Tinggi serta Kejaksaan Negeri ada pada Pengadilan
Negeri. Dari dasar tersebut, maka Jaksa Agung pada saat itu secara operasional
bertanggung jawab pada Mahkamah Agung, sedangkan secara administratif
bertanggung jawab pada Departemen Kehakiman.10
Walaupun Indonesia telah merdeka namun, kejaksaan belum memiliki
peraturan perundang-undangan pada awal kemerdekaan yang mengatur secara
khusus tentang kedudukan, tugas dan kewenangan kejaksaan, maka dari itu
pemerintah masih tetap menggunakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah
Hindia Belanda. Dasar hukum yang dipakai yaitu berdasarkan Aturan Peralihan
UUD 1945 Pasal II yang mengatakan bahwa ”segala badan Negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini”.11
Kedudukan tersebut bertahan sampai 1961,
9 Kejaksaan RI http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3/ diakses pada
tanggal 10 september 2017, Pukul 20.40 WIB
10
Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa Ditengah-tengah Masyarakat (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985) h.87
11
Yuzril Ihza Mahendra http://yusril.ihzamahendra.com/?p=329/ pada tanggal tanggal 10
september 2017, Pukul 21.10 WIB
53
kemudian pada saat dikeluarkannya undang-undang No. 15 tahun 1961 tentang
kejaksaan, maka mulai saat lahirnya undang-undang tersebut, Kejaksaan terpisah
dari Departemen Kehakiman. Dan pada saat ini Kejaksaan Republik Indonesia
adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara. Sebagai badan
yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh
Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan
kekuasaan Negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan
satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan
2. Kedudukan Kejaksaan
Struktur Ketatanegaraan Indonesia disusun dengan sedemikian rupa dengan
karakter yang lahir dari sejarah perkembangan bangsa. dalam perkembangan
ilmunya, hukum dapat dibagi dalam hukm Privat dan Hukum Publik. Hukum
Privat merupakan hukum yang mengatur orang perorangan, sedangkan hukum
publik merupakan hukum yang mengatur hubungan orang dengan negara. Dalam
hukum Publik terdapat hukum pidana yang mempunyai sifat utama dalam
pelaksanaannya tidak tergantung kepada persetujuan seorang oknum yang
dirugikan oleh suatu tindak pidana melainkan diserhakan pada lembaga pemeritah
terkait dengan hal tersebut.12
Dasar hukum yang mengatur kedudukan kejaksaan terdapat pada Pasal 2 ayat
(2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia menentukan bahwa kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan secara merdeka. Penjelasan Pasal 2 ayat 2 menguraikan bahwa
yang dimaksud dengan “secara merdeka” dalam ketentuan ini adalah dalam
melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Secara fungsional kejaksaan
12 Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa Ditengah-tengah Masyarakat (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985) h.81
54
merupakan lembaga yudikatif yang menjalankan penuntutan di pengadilan,
merupakan salah satu bentuk penegakan hukum yang terikat asas-asas hukum
dan penegakan hukum yang independen terlepas dari kepentingan kekuasaan dan
tidak boleh di intervensi kekuasaan demi pertanggung jawaban hukum dan
keadilan yang merupakan kewajiban negara dan melindungi rakyat.
Mengenai tempat kedudukannya, Kejaksaan Agung berkedudukan di Ibukota
Negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan
Negara Republik Indonesia. Kejaksaan Tinggi berkedudukan di Ibukota Propinsi
dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. Khusus mengenai Kejaksaan
Tinggi Daerah Ibukota Jakarta berkedudukan di Jakarta. Kejaksaan Negeri
berkedudukan di Ibukota Kabupaten atau Kotamadya dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kabupaten atau kotamadya.
3. Tugas dan Kewenangan
Kejaksaan mempunyai beragam tugas dan wewenang didalamnya. Istilah
jaksa dalam peradilan di Indonesia dan dalam menajalankan amanatnya dikenal
dengan istilah jaksa penuntut umum. Istilah tersebut tercantum pula dalam
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ini. Tugas penuntutan yang
diamanatkan oleh jaksa mempunyai pengertian yang dicantumkan dalam KUHAP
Pasal 1 ayat (7), bahwa:
“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus
oleh hakim pengadilan.”13
Definisi penuntutan menurut KUHAP tersebut hampir mirip dengan definisi
yang diaajukan oleh Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa, menuntut
seorang terdakwa didepan hakim Pidana adalah menyerahkan perkara dari
seorang terdakwa dengan berkas perkara kepada hakim, dengan permohonan,
13 Lembaran Negara RI, No 76 tahun 1981 (31 Desember 1981) Tentang KUHAP
55
supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap
terdakwa.14
Wewenang penuntut umum dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana daitur dalam Pasal 14, yaitu:15
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu;
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),
dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan
dari penyidik; memberikan perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
c. membuat surat dakwaan;
d. melimpahkan perkara ke pengadilan;
e. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik
kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang
telah ditentukan; melakukan penuntutan;
f. menutup perkara demi kepentingan hukum;
g. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
h. melaksanakan penetapan hakim.
Adapun tugas kewajiban dan wewenang jaksa diatur dalam Undang-Undang
Kejaksaan Nomor 16 tahun 2004, yang terbagi menjadi dua bagian, yakni tugas
secara umum dan tugas secara khusus. Tugas umum jaksa dapat diperinci dari
Pasal 30 sampai Pasal 34. Sedangkan tugas khusus terdapat pada Pasal 35 sampai
Pasal 37. Adapun tugas tersebut sebagaimana termuat dalam Pasal 30 (umum)
adalah:
a. Di bidang pidana
1) kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: melakukan
penuntutan;
2) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
14 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) h.162
15
Lembaran Negara RI, No 76 tahun 1981 (31 Desember 1981) Tentang KUHAP
56
3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;
4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang- undang;
5) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
b. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk
dan atas nama negara atau pemerintah.
c. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:
1) peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
2) pengamanan kebijakan penegakan hukum;
3) pengawasan peredaran barang cetakan;
4) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara;
5) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
6) penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
57
BAB IV
TINJAUN HAM TERHADAP KEWENANGAN PENYIDIK DALAM
MENGELUARKAN SP3
A. Dasar Hukum Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
Pengaturan mengenai kewenangan penyidik mengeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan didasarkan pada:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Dalam pasal 109 KUHAP dijelaskan bahwa:1
“ayat 1 Dalam hal penyidik telah melakukan penyidikan peristiwa
yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu
kepada penuntut umum, ayat 2 dalam hal penyidik menghentikan
penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut
bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi
hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut
umum, tersangka atau keluarganya, dan ayat 3 dalam hal penghentian
tersebut pada ayat 2 dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud
dalam pasal 6 ayat 1 huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera
disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.”
2. Keputusan Jaksa Agung Nomor 518/A/J.A/11/2001 tentang Administrasi
Perkara Tindak Pidana.
Dalam keputusan tersebut dijelaskan mengenai prosedur mekanisme
dan tahapan administrasi dalam penyelidikan, penahanan, penyidikan
atau bahkan penghentian penyidikan oleh penyidik.2
Dasar hukum di atas pada secara hakiki dapat diklasifikasikan ke dalam
beberapa faktor, seperti; tidak terdapat alat bukti yang cukup, tersangka
meninggal dunia, peristiwa bukan merupakan tindak pidana, tidak terpenuhinya
unsur-unsur tindak pidana baik secara subjektif maupun secara objektif. Faktor
tersebut di atas kemudian dilegitimasi atau diakui sebagai salah satu terobosan
1 Gerry Muhamad Rizki, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), (Jakarta: Pertama Press, 2008) h. 238
2 Artikel diakses pada tanggal 11 oktober 2017, pukul 21:39 pada website resmi kejaksaan
https://kejaksaan.go.id/uplimg/File/KEP-518-A-JA-11-2001%20Tgl.%201%20Nopember%202001.pdf.
58
dalam menciptakan asas peradilan cepat, tepat dan biaya ringan. Tahapan dalam
prosesi hukum pidana sebagaimana tercantum dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimulai dari penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dakwaan dan putusan pengadilan.
Penyelidikan adalah serangkaian, tindakan penyeledikan untuk mencari dan
menemukan suatu pertistiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan sesuai dengan aturan perundang-
undangan yang berlaku. Adapun penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undan-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.3
Secara praktis penyidikan dimulai atas dasar didapatkannya bukti permulaan
guna ditingkatkan ke proses penyidikan, kemudian setelah dinyatakan lengkap
penyidik memberikan berkas penyidikannya ke kejaksaan. Akan tetapi, apabila
dalam proses penyelidikan dalam proses penyidikan ternyata ditemukan beberapa
fakta dan bukti yang mengarah bahwa peristiwa tersebut bukan tindak pidana,
tidak terpenuhi unsur-unsur pidana atau bahkan tidak ditemukan kembali barang
dan alat bukti selain bukti permulaan maka pada saat itulah penyidik berwenang
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Hal ini didasarkan pada
pemikiran bahwa dalam proses pemidanaan tidak dikehendaki adanya pemaksaan
pemidanaan atau kriminalisasi terhadap seorang tersangka tindak pidana baik
tindak pidana umum, khusus atau bahkan tindak pidana korupsi sekalipun. Tidak
hanya itu, adanya kewenangan penyidik untuk mengeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan didasarkan pada potensi ganti rugi atau pun rehabilitasi
yang dapat dituntut oleh seorang terdakwa apabila kemudian majelis hakim
menyatakan –dalam putusannya- bahwa terdakwa dinyatakan bebas.
3 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, cet.VI (Jakarta: Sinar Grafika,
2012) h.119-120
59
B. Analisis terhadap Kewenangan Mengeluarkan SP3 dalam Perspektif HAM
Secara filosofis hukum hadir sebagai aturan di tengah masyarakat yang
bertujuan untuk menciptakan perdamaian dan kehidupan yang tertib dan aman.
Dalam persepktif aliran hukum lain dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk
memberikan kemanfaatan dan menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat.4
Seperti yang tercantum pada Al-Qur’an surat An-nisa ayat 135 dan juga hadist
riwayat Bukhari dan Muslim mengenai Hak Asasi Manusia.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
فسكن أو الىالدي أ ولى عل اهيي بالقسط شهداء لل ي والقربيي إى يكي يا أيها الذيي آهىا كىىا قى
بهوا فل تتبعىا الهىي أى تعدلىا أول ا فالل كاى بوا غيا أو فقير وإى تلىوا أو تعرضىا فإى للا
ا تعولىى خبير
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka
Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Surat An-Nisa ayat 135)
في بلدكن فإى دهاءكن، وأهىالكن، وأعراضكن، بيكن حرام، كحرهة يىهكن هذا، في شهركن هذا،
هذا
Artinya: “Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu terpelihara
antara sesama kamu sebagaimana terpeliharanya hari ini, bulan ini dan
negerimu ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4 Muhamad Sadi Is, Pengantar Ilmu Hukum, cet.I (Jakarta: Prenada Media Group, 2015) h.77
60
Peningkatan harkat dan martabat manusia hanya bisa bermakna jika dikaitkan
dengan aspek keadilan ekonomi, sosial, dan politik yang menjadikan itu sebagai
kemaslahatan masyrakat bersama. Prinsip-prinsip al-Qur'an di atas mengatur
sedemikian rupa sehingga hak-hak manusia tidak dilanggar baik dalam tingkat
individu, keluarga, maupun masyarakat. Baik secara ekonomi, sosial, maupun
politik. Jadi, persamaan hak, keadilan, tolong-menolong, dan persamaan di depan
hukum adalah prinsip-prinsip kunci yang sangat diperhatikan di dalam Syari'ah.
Dalam sejarah peradaban Islam, prinsip-prinsip ini dipegang oleh umat Islam
sebagai cara hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan prinsip-
prinsip yang sangat jelas di atas, maka setiap pemaksaan kehendak, penindasan,
diskriminasi, intoleransi, terorisme, dan hal-hal yang menyalahi sunnatullah
bukanlah ajaran Islam. Sekalipun hal ini dilakukan oleh oknum umat Islam,
namun ini tetap sebagai bukan ajaran Islam.5
Aristoteles membedakan keadilan pada dua hal, seperti; keadilan distributif
dan keadilan komulatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang titik tolak
pengukurannya didasarkan pada kebutuhan individu masyarakat. Konsep keadilan
itu tidak memandang persamaan pemenuhan kebutuhan antar individu melainkan
disesuaikan dengan profesi dan aktivitasnya. Sementara itu, keadilan komulatif
adalah keadilan yang diukur berdasarkan persamaan kebutuhan masyarakat tanpa
memandang perbedaan kebutuhan profesi dan aktifitasnya.6
Legitimasi terhadap dua kategori keadilan tersebut tentunya berangkat dan
bertitik tolak pada pertimbangan terhadap Hak Asasi Manusia, dimana HAM
mengakomodir mengenai hak sipil politik dan hak ekonomi, social dan budaya
sesuai dengan konsideran Universal Declaration of Human Right. Dalam UDHD
tersebut seorang individu harus mendapatkan pengakuan dan jaminan keadilan di
5 Artikel diakses dari http://www.annaba-center.com/kajian/hak-asasi-manusia-ham-dalam-
perpesktif-al-quran-dan-al-sunnah Pada tanggal 16 november 2017, Pukul 12:50 WIB.
6 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet.VII (Jakarta: Balai
Pustaka, 1987) h.13
61
depan hukum.7 Dalam penerapannya, hukum positif Indonesia mendudukkan
seluruh individu masyarakat dalam kedudukan yang sama di mata hukum
(Equality before The Law). Dalam Hak Asasi Manusia terdapat poin penting
sebagai berikut:
1. Jaminan pengakuan oleh negara;
2. Kebebasan berpendapat;
3. Kebebasan berserikat;
4. Persamaan di mata hukum; dan
5. Kebebasan beragama.
Asas persamaan di depan hukum sejatinya harus diterapkan dalam mekanimse
pembuktian baik di pengadilan maupun di luar pengadilan dalam menciptakkan
keadilan tersebut. Hukum tidak memandang profesi, sifat mapun hal lain terkait
di luar yang berkaitan dengan unsur-unsur yang dapat mengintimidasi penerapan
hukum di nasional. Oleh karena itu, Hak Asasi Manusia (HAM) jelas tidak
mentolelir upaya pemidanaan secara paksa (kriminalisasi) sehingga apabila tidak
terdapat alat bukti yang mengarah pada ditemukannya status tersangka seorang
pelaku perlu diberikan kewenangan kepada penyidik untuk mengeluarkan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) karena apabila tejadi pemaksaan
pemidanaan akan berbenturan dengan norma-norma hukum dan Hak Asasi
Manusia.
7 Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, cet.V (Jakarta: Grafiti, 2008) h.16-18
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk menjawab semua rumusan masalah dan pembahasan
sebagimana dijelaskan pada bab sebelumnya, penulis mengemukakan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Latar belakang kewenangan penyidik dalam mengeluarkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam tindak
pidana korupsi adalah demi mewujudkan peradilan yang cepat,
tepat dan biaya ringan dengan beberapa alasan seperti; tidak
ditemukan alat/barang bukti yang cukup, peristiwa bukan
merupakan tindak pidana baik ringan, umum maupun ekstra
ordinary seperti korupsi, tersangka meninggal dunia dan tidak
terdapat unsur-unsur pidana dalam peristiwa yang terjadi sesuai
dengan pasal 109 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
dan Keputusan Jaksa Agung nomor 518/A/J.A/2001 tentang
Administrasi Perkara Tindak Pidana.
2. Batas kewenangan penyidik dalam mengeluarkan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam perspektif Hak
Asasi Manusia (HAM) dibatasi dengan jaminan hak sipil,
politik, ekonomi, social dan budaya dimana individu
masyarakat harus mendapat jaminan keadilan dan persamaan di
depan hukum serta lepas dari intervensi hukum dan
kriminalisasi yang dipaksakan.
63
B. Saran
Berdasarkan semua penjelasan tersebut, penulis memberikan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Peninjauan kembali terhadap kedudukan penyidik di Komisi
Pemberantasan Korupsi yang tidak memiliki kewenangan
untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan
terkait korupsi berdasarkan persepktif Hak Asasi Manusia atas
tersangka Koruptor.
2. Perumusan peraturan perundang-undangan spesifik secara
komprehensif terkait posisi penyidik di Komisi Pemberantasan
Korupsi.
3. Konsekuensi dari kewenangan dan kewajiban khusus mengenai
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) itu dengan
sendirinya menuntun kepolisian dan kejaksaan bekerja cermat
sehingga tidak boleh ada orang yang ditetapkan sebagai
tersangka (dan ditangkap) sebelum ada bukti yang benar-benar
kuat, tidak boleh pula ceroboh dalam menyusun dakwaan yang
dapat menyebab kanseorang terdakwa lolos dari hukuman.
4. Alasan “tidak cukup bukti” yang sering digunakan oleh
penyidik untuk menghentikan penyidikan jangan digunakan
lagi. Dengan tidak digunakannya alasan tersebut maka
masyarakat tidak lagi beranggapan bahwa penegak hukum
tidak serius dalam penanganan suatu kasus perkara tindak
pidama korupsi.
64
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Alfitra. “Hapusnya Hak Menuntut & Menjalankan Pidana” (Jakarta:
Raih Asa Sukses, 2012)
Alrasid, Harun. Pengisian Jabatan Presiden, (Jakarta: PT Pustaka
Utama Grafiti, 1999)
Arinanto Satya. “Hukum dan Demokrasi” (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1991)
Budiardjo, Miriam. “Dasar-dasar Ilmu Politik” (Jakarta: PT.
Gramedia, 1985)
Danil, Elwi. “Korupsi Konsep, Tindak Pidana, dan
Pemberantasannya” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2011)
Davidson, Scott. “Hak Asasi Manusia, cet.V” (Jakarta: Grafiti, 2008)
Djaja, Ermansyah. “Memberantas korupsi bersama KPK” (Jakarta:
Sinar Grafika, 2009)
Effendy, Marwan. “Sistem Peradilan Pidana: Tinjauan terhadap
Beberapa Perkembangan Hukum Pidana” (Jakarta: Referensi,
2012) Effendy, A. Masyhur. “Perkembangan dimensi Hak Asasi Manusia
(HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia” (Bogor: Ghalia, 2005)
Elliot, Kimberly Ann. “Corruption and The Global Economy” Edisi
Pertama (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1999)
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. “Dualisme Penelitian Hukum
Normatif dan Empiris” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Ganjong. “Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum” (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2007)
Hadjon, Philipus Mandiri. “Tentang Wewenang” (Jakarta: Yuridika,
1997)
Handoyo, B. Hestu Cipto. “Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan
dan Hak Asasi Manusia” (Yogyakarta:Universitas Atma Jaya
65
Yogyakarta, 2003)
Harahap M, Yahya. “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan” (Jakarta: Sinar Grafika,
2009)
Hartanti, Evi. “Tindak Pidana Korupsi” (Jakarta: Sinar Grafika, 2012)
Hamzah, Andi. “Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional dan
Internasional” (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)
-------------------- “Hukum Acara Pidana Indonesia” (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008)
-------------------- “Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, cet.
VI” (Jakarta: Sinar Grafika, 2012)
Ibrahim, Jhonny. “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”
(Malang: Bayumedia Publishing, 2008)
Irfan, M. Nurul. “Korupsi dalam Hukum Pidana Islam” (Jakarta:
Hamzah, 2011)
Ilyas, Amir. “Asas-Asas Hukum Pidana” (Yogyakarta: Rengkang
Education 2012)
Kansil, C.S.T. “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
cet.VII” (Jakarta: Balai Pustaka, 1987)
K. M. Rhona, Smith. “Hukum Hak Asasi Manusia” (Yogyakarta:
PUSHAM UII, 2008
Lamintang, P.A.F. “Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia”
(Bandung: Sinar Baru, 1984)
-------------------- “Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia” (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1997)
Manan, Bagir. “Lembaga Kepresidenan” (Yogyakarta: Gama Media
Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia,1999)
Marzuki, Peter Mahmud. “Penelitian Hukum” (Jakarta: Kencana,
2010)
Muladi, H. “Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya
66
dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat” (PT Refika
Aditama, Bandung, 2005)
Mulyadi, Lilik. “Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan
Permasalahannya” (Bandung: P.T.Alumni, 2007)
Mutyosudarmo, Soewoto. “Pembaharuan Ketatanegaraan Melalu
Perubahan Konstitusi” (Prosiding workshop: Assosiasi
Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur Malang, 2004)
Moeljatno. “Asas-asas Hukum Pidana” (Jakarta: Bina Aksara, 1987)
Nasution, A.H. “Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 7: Masa
Konsolidasi Orde Baru” (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989)
Naning, Ramdlon. “Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di
Indonesia” (Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas
Indonesia, 1983)
Poerwadarminta, W. J. S. “Kamus Umum Bahasa Indonesia” (Jakarta:
Balai Pustaka,1976)
Prakoso, Djoko dan Agus Imunarso. “Hak Asasi Tersangka dan
Peranan Psikologi dalam Konteks KUHAP” (Jakarta: Bina
Aksara, 1987)
Prakoso, Djoko. “Eksistensi Jaksa Ditengah-tengah Masyarakat”
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985)
Renggong, Ruslan. “Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-delik di
Luar KUHP” (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016)
Rizki, Gerry Muhamad. “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)” (Jakarta: Pertama Press, 2008)
Rozali, Abdullah dan Syamsir. “Perkembangan HAM dan Keberadaan
Peradilan HAM di Indonesia” (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002)
S.rianto, Bibit. “Reformasi Polri Suatu Pemikiran ke Arah
Kemandirian Dalam Rangka Menegakkan Supremasi Hukum”
(Jakarta: Ghalia, 1999)
Sadi Is, Muhamad. “Pengantar Ilmu Hukum, cet.I” (Jakarta: Prenada
Media Group, 2015)
67
Santoso, Eko. “Mengenali dan Memberantas Korupsi” (Jakarta: KPK,
tth)
Soekanto, Soerjono dan Mamudji Sri. “Penelitian Hukum Normatif :
Suatu tinjauan singkat” (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2003)
Sudarto. “Hukum Pidana 1A-1B” (Purwokerto: Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, 1990)
Sunggono, Bambang. “Metodologi Penelitian Hukum” (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2015)
Supomo. “Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia”
(Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1974)
Suradji, Pularjono, dan Tim Redaksi Tatanusa, eds., “Tiga Undang-
Undang Dasar: UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS
1950” (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981)
Yamin, Muhammad. “Tindak Pidana Khusus” (Bandung: Pustaka
Setia, 2012)
Polri, Mabes. “Derap Langkah Polri di Tengah Dinamika Bangsa”
(Jakarta: Mabes, 2008)
Republik Indonesia. “Keputusan Presiden tentang Dekrit Presiden
Republik Indonesia, Panglima Tertinggi Angkatan Perang
tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945”,
Keppres Nomor 150 Tahun 1959
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 129 Tahun 1998. Keppres
tentang Rencana Hak Asasi Manusia Indonesia.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
68
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 Tentang
KUHP
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) No. 8 tahun
1981.
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998
INTERNET
http://www.kejaksaan.go.id/ Sejarah Kejaksaan RI, Keputusan Jaksa
Agung Nomor 518/A/J.A/11/2001 tentang Administrasi
Perkara Tindak Pidana. Artikel diakses dari web resmi
Kejaksaan RI.
https://www.polri.go.id/ Sejarah Polri, Artikel diakses dari web resmi
kepolisian RI
http://www.tribunnews.com/ Qodir, Abdul. “7 Tahun Menyidik,
Kejaksaan Agung Terbitkan SP3 Kasus Dugaan Korupsi
Ambulans Kemenkes”
http://www.hukumonline.com/ Yuntho, Emerson. “Mencermati
Pemberian SP3 Kasus Korupsi”
http://yusril.ihzamahendra.com/ Mahendra, Yuzril Ihza. “Kedudukan
kejaksaan dan posisi jaksa agung dalam sistem presidensial di
bawah uud 1945”
http://www.annaba-center.com/ Ust. Syamsul Arifin Nababan “Hak
Asasi Manusia (HAM) dalam Perpesktif Al-Qur'an dan Al-
Sunnah”
Top Related