KEDUDUKAN SAKSI PEREMPUAN DALAM KASUS PERCERAIAN
(Analisis Perbandingan pendapat Empat Madzhab dengan Hukum
Positif yang berlaku di Indonesia)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
NUR ADZIMAH
NIM : 1111044100072
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
(A H W A L S Y A K H S I Y Y A H)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/ 2015 M
v
ABSTRAK
Nur Adzimah. NIM 1111004100072. KEDUDUKAN SAKSIPEREMPUAN DALAM KASUS PERCERAIAN (Analisis Perbandinganpendapat Empat Madzhab dengan Hukum Positif yang berlaku diIndonesia). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum KeluargaFakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HidayatullahJakarta, 1436 H / 2015 M. x + 71 halaman.
Skripsi ini berjudul Kedudukan Saksi Perempuan dalam Kasus PerceraianAnalisis Perbandingan pendapat Empat Madzhab dengan Hukum Positif yangberlaku di Indonesia hasil penelitian yang menggambarkan tentang Kedudukansaksi perempuan dalam perbandingan empat madzhab dan hukum positif. Metodepenelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metodepenelitian kepustakaan (Library Research) yang memusatkan tidak pada hasilpenelitian lapangan, karena yang dikaji dalam penelitian ini hanya dokumen-dokumen saja.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang kedudukan saksiperempuan dalam perbandingan empat madzhab dengan hukum positif. Dan untukmengetahui perbandingan pendapat empat madzhab dan praktek yang ada dipengadilan agama dalam kedudukan saksi perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwakedudukan saksi perempuan pendapat empat madzhab ada perbedaan yaitumenurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah perempuan tidak boleh menjadisaksi tanpa adanya laki-laki dalam perceraian sedangkan menurut Hanafiyahperempuan dibolehkan menjadi saksi tanpa adanya laki-laki, namun dalam hukumpositif kedudukan saksi perempuan sama dengan kedudukan laki-laki, merekaboleh melakukan apa dilakukan oleh laki-laki. Hal ini mengindikasikan tidak adaperbedaan antara saksi laki-laki dan saksi perempuan.
Kata Kunci : Kedudukan Saksi Perempuan dalam Perbandingan
Pendapat Empat madzhab dan Hukum Positif yang berlaku
di Indonesia.
Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, MA.
Daftar Pustaka : Tahun 1971 s/d 2012
vi
KATA PENGANTAR
حیمالرحمنالرهللابسم
وسلمصلاللھم, ورسولھعبدهمحمداأنأشھدوهللاالالھالأنأشھد, لمینالعاربهللالحمد
بعداما, أجمعینبھوأصحاألھعلىومحمدعلى .
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah menciptakan
alam beserta hukum-hukumnya, melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
dengan pertolongan-Nya penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat
serta salam penyusun sanjungkan untuk junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya serta orang-orang yang mengkuti
ajarannya.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda H.Jamhari dan Ibunda
Hj.Khosyiah yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, serta
doa tanpa mengenal lelah sedikitpun. Semoga Allah senantiasa melimpahkan
rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-Nya,
kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya
sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih
yang sedalam-dalamnya kepada :
vii
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Bapak Arif Furqon, MA, selaku
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal al Syakhshiyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Dr. Hj. Azizah. MA, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan
Program studi Ahwalul Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku
perkuliahan.
5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu
penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
6. Ibu Dra. Hj. Rokhanah, S.H., M.H., selaku Ketua Pengadilan Agama
Jakarta Pusat dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.
7. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada adinda Imaduddin dan Nurus
Sa’adah yang senantiasa memberikan semangat sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi.
viii
8. Tidak lupa Sahabatku tercinta Muhammad Syamsul Hadi yang senantiasa
memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.
9. Sahabat seperjuangan penulis : Nia Octaviani, Robiatul Adawiyah, Nur
Azizah, Arisa Dykawresa, Putri Rahmawati, Ayu cyntia, Nabila Halabi.
10. Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2011 yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan
yang berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas
kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda pula.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Ciputat, 07 Oktober 2015
Nur Adzimah
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................... ii
LEMBARAN PENGESAHAN PENGUJI.................................................................. iii
LEMBARAN PERYATAAN ....................................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR................................................................................................... vi
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 10
D. Metode Penelitian ............................................................................. 11
E. Studi Review..................................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 14
BAB II : SAKSI DALAM KASUS PERCERAIAN MENURUT EMPAT
MADZHAB (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, dan
Madzhab Hanbali)
A. Pengertian Saksi................................................................................ 16
B. Syarat-Syarat Saksi Dalam Kasus Perceraian................................... 22
C. Fungsi Saksi dalam Kasus Perceraian............................................... 29
D. Kedudukan Saksi Perempuan dalam Kasus Perceraian .................... 30
BAB III : SAKSI DALAM KASUS PERCERAIAN MENURUT HUKUM
POSITIF ( UU No.1 Tahun 1974 dan KHI )
A. Pengertian Saksi................................................................................ 35
x
B. Syarat-Syarat Saksi dalam Kasus Perceraian.................................... 44
C. Fungsi Saksi dalam Kasus Perceraian............................................... 50
D. Kedudukan Saksi Perempuan dalam Kasus Perceraian .................... 53
BAB IV : ANALISIS PERBANDINGAN TENTANG KEDUDUKAN SAKSI
PEREMPUAN MENURUT EMPAT MADZHAB DAN HUKUM
POSITIF
A. Persamaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Di Indonesia
Tentang Kedudukan Saksi Perempuan ............................................. 55
B. Perbedaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Tentang
Kedudukan Saksi Perempuan ........................................................... 56
C. Analisis Penulis................................................................................. 62
BAB V : PENUTUP
A. KESIMPULAN................................................................................. 65
B. SARAN-SARAN .............................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri, tujuan perkawinan menurut Undang-
undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 adalah bahwa perkawinan
bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. sehingga dapat membentuk rumah tangga.
Sesuai dengan salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan
keturunan agar kehidupan kita berlanjut. Untuk mencapai ketenangan dan
kedamaian dalam hidup maka disamping cinta yang di berikan oleh Allah
SWT pada manusia, harus ada prinsip bahwa perkawinan adalah suatu
ikatan yang kuat dan selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja,
oleh karena itu perkawinan harus dilandasi atas dasar kerelaan dan
keikhlasan hati sehingga tujuan perkawinan yang langgeng dapat
terwujud. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mempertahankan
rumah tangga selamanya sungguh sangat berat dan penuh perjuangan.
Pada dasarnya benturan-benturan dalam rumah tangga sangat mudah untuk
dihindari dan dapat dengan mudah pula untuk ditangani seandainya terjadi,
semua berawal dari prinsip saling mengerti dan memahami satu sama lain
kekurangan maupun kelebihan masing-masing. Akan tetapi, apabila dapat
diselesaikan maka pasangan suami istri dapat mempertahankan rumah
2
tangganya, namun sebaliknya apabila tidak dapat diselesaikan maka yang
akan timbul adalah perceraian sebagai jalan keluarnya
Pada saat keretakan sudah terjadi, hubungan suami istri semakin
diliputi oleh berbagai hal yang tidak baik, saling mencaci, membenci dan
saling menyakiti, baik dengan tindakan ataupun dengan ucapan-ucapan
yang tidak pantas.
Dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 10 tentang
Perceraian, dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan
sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Pengadilan Agama merupakan badan untuk menyelesaikan
masalah-masalah keperdataan diantara orang-orang yang beragama Islam,
diantaranya masalah talak. Dalam hal ini untuk melakukan perceraian
harus mengajukan ke Pengadilan Agama.1
Dalam suatu proses persidangan yang diatur dalam Hukum Acara
Perdata pembuktian merupakan proses terpenting untuk menguji dan
memulai sesuatu perkara. Hukum pembuktian diperlukan memperoleh
kepastian bahwa peristiwa hukum benar-benar telah terjadi. Pembuktian
diperlukan untuk menerapkan hukum secara tepat, benar dan adil bagi
pihak-pihak yang berperkara. Oleh karena itu para pihak yang berperkara
1Raihan Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (jakarta: PT.Raja GrapindoPersada,2000),h.29.
3
wajib memberikan keterangan disertai dengan bukti-bukti yang berkaitan
dengan peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi.
Menurut ketentuan pasal 163 HIR, pasal 283 R.Bg dan pasal 1865
BW diatur hal-hal yang terkait dengan asas-asas pembuktian. Dalam pasal
1865 BW dijelaskan “Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau
mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya dan
menyangkal hak orang lain harus membuktikannya”. Adanya hak atau
peristiwa ini maka baik penggugat atau tergugat dibebani pembuktian,
terutama penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukan.2
Dalam Hukum Acara Perdata mengatur alat bukti yang sah
berdasarkan ketentuan yang berlaku. Setiap alat bukti yang diajukan
memiliki nilai yang berbeda antara yang satu dengan yang lain sehingga
kekuatan hukum yang melekat pada masing-masing alat bukti menjadi
berbeda.
Hakim menjatuhkan putusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah
ditentukan, menurut ketentuan yang terdapat dalam pasal 164 HIR, 284
R.Bg dan pasal 1866 KUHPerdata. Ada lima jenis alat bukti dalam perkara
yang dapat diajukan diantarannya: Alat bukti tulisan (surat), alat bukti
saksi, alat bukti persangkaan, alat bukti pengakuan dan alat bukti sumpah.3
2 Retno Wulan Sutanto dan Iskandar Oerip Kartawinata, Hukum Acara Dalam Praktek,(Bandung: Mandar Maju,1995), Cet,ke-1,h.28.
3 Abdurrahman, Hukum Acara Perdata,(Jakarta: Universitas Tri Sakti,2001) Cet,ke-5,h.82
4
Sesuai dengan ketentuan alat bukti diatas, selain alat bukti berupa
surat yang dapat diajukan penggugat atau tergugat, dalam proses
persidangan undang-undang memberi kesempatan kepada kedua belah
pihak untuk menguatkan dalil-dalilnya dengan menghadirkan saksi.
Menurut ketentuan pasal 1902 KUHPerdata bahwa membuktikan suatu
kejadian dengan saksi diperbolehkan setelah pembuktian dengan surat
dilakukan.
Saksi yang didatangkan ke muka persidangan adalah seseorang
yang melihat dan mendengar sendiri secara langsung kejadian atau
peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan
pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara.4
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pasal
1895 bahwasanya pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam
segala hal di mana itu tidak dikecualikan oleh undang-undang.5
Selain itu dalam hukum Islam pun terdapat banyak ayat al-Qur’an
sebagai landasan berpijak tentang pembuktian. Alat bukti yang diajukan
kedalam persidangan berdasarkan Hukum Islam, antara lain :
a. Ikrar (pengakuan)
b. Syahadah (saksi)
4 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,1977),Cet,ke-1, h.168
5 Subekti dan Tjitrosudibio, kitab undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: PradyaParamita, 2004) Cet.XXXIV.h.481.
5
c. Yamin (sumpah)
d. Maktubah (bukti tertulis)
e. Tabbiyah (pemeriksaan koneksitas)
Dari beberapa alat pembuktian diatas, maka dalam pembahasan ini
hanya akan membahas pada alat bukti saksi (syahadah) khususnya pada
kedudukan saksi perempuan. saksi adalah orang yang memberikan
keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu,
tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami
sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tertentu.6
Meskipun setelah datang Islam kedudukan perempuan lepas dari
praktik budaya Jahiliyah dan hak-haknya disamakan dengan kaum laki-
laki, namun masih ada problem yang dihadapi perempuan, yaitu masalah
kesaksiannya yang dianggap setengah dari kaum laki-laki. Hal inilah yang
mengakibatkan terjadi perdebatan dari dulu dan sekarang, di mana kaum
perempuan mulai sejajar dengan laki-laki dalam berbagai bidang.
Pada dasarnya ulama fikih mengakui kedudukan perempuan untuk
dapat menjadi saksi. Namun demikian, ulama fikih berbeda pendapat
tentang penerimaan kesaksian perempuan baik berdasarkan jumlah saksi
maupun masalah yang dimintakan kesaksian.7
Menurut Syaikh Ali Ahmad al Jurjawi dalam Hikmatu al-Tasyri’,
laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang suatu
6 Sualaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h.138-139.
7 Raihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Edisi baru (Jakarta: Pt. Raja GrafindoPersada, 2006), hlm.160
6
masalah yang dihadapinya, sedang perempuan lebih banyak menggunakan
perasaannya. Karena itu, perempuan lebih rendah iradahnya
(kehendaknya), kurang banyak menggunakan pikirannya dalam masalah
pelik, lebih-lebih apabila ia dalam keadaan benci dan marah atau ia dalam
keadaan gembira atau sedih karena sesuatu hal yang kecil. Lain halnya
dengan laki-laki, ia sanggup, tabah, dan sabar menanggung kesukaran, ia
tidak menetapkan sesuatu urusan kecuali setelah memikirkannya dengan
matang.8
Adapun dalam masalah kesaksian dua orang perempuan tersebut
dapat diterima bersama dengan kesaksian seorang laki-laki ulama fikih
berbeda pendapat.
Menurut ulama madzhab Hanafi, kesaksian dua orang perempuan
dan satu orang laki-laki dapat diterima dalam masalah yag berkaitan
dengan hak sipil, baik berupa harta maupun hak, atau yang berkaitan
dengan harta seperti nikah, talak, ‘iddah, wakaf, wasiat, ikrar, riba’, nasab.
Adapun penerimaan kesaksian perempuan tersebut didasarkan pada
kualifikasi yang dimiliki oleh perempuan tersebut untuk menjadi saksi,
yaitu perempuan tersebut memiliki kesaksian atas apa yang dilihat dan
didengar, kecermatan dan ingatan, dan kemampuan untuk memberikan
kesaksian.9
8 Syaikh ‘Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatu al-Tasyri’ wafalsafatuhu (Jeddah: al-Haramain)juz I, h.162-163 dan juz II, h.154
9 Muhammad Jawad, Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab (Ja’fari, Maliki, Hanafi, Syafi’i,Hanbali), terj. Masykur AB dkk, jild IX (Jakarta: Lentera, 2002) h.58
7
Sedangkan menurut ulama madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali,
kesaksian perempuan bersama laki-laki hanya dapat diterima dalam
masalah harta. Adapun yang terkait dengan harta seperti jual beli, sewa,
hibah, wasiat, gadai. Sementara dalam masalah yang tidak memiliki
keterkaitan dengan harta dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan harta
dan biasanya menjadi urusan kaum laki-laki seperti nikah, rujuk, talak,
wakalah, pembunuhan dengan sengaja, dan hudud hanya dapat ditetapkan
berdasarkan kesaksian dua orang laki-laki. Adapun sebab tidak
diterimanya kesaksian perempuan adalah karena perempuan cenderung
merasa belas kasihan, ingatan yang tidak utuh, dan keterbatasan
kewenangan dalam berbagai hal.10
Seperti juga yang dikutip dalam bukunya Lia Aliyah al-Himmah
bahwa surat al-Baqarah: 282
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dandua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jikaseorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
barulah muncul pandangan dominan bahwa kesaksian perempuan
tidak bisa diterima, kecuali bersama dengan laki-laki. Jika hanya
perempuan saja tanpa laki-laki, meskipun jumlahnya banyak, tidak bisa
diterima kesaksiannya, kecuali berkaitan dengan masalah (rahasia)
10 Abdul Khalik, Fiqh an-Nisai fi Dhou’i al-‘Arba’ah, (Damaskus: Daar al-Kitab al-arba’ah,(Damaskus: Daar al-Kitab al-‘Arabi, 1414H), Hlm. 344
8
keperempuanan. Atau dalam hal hanya perempuan saja yang bisa dilihat
dan mengalaminya.11
Dalam praktik persidangan di Pengadilan umumnya yang
dipergunakan untuk memperkuat adanya pembuktian adalah 2 (dua) orang
saksi, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Namun dalam sistem
Islam, ternyata hal itu berlainan. Prioritas menjadi saksi adalah seorang
lelaki. Hal ini seperti dimaktubkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Malik.
Dalam kitabnya, “Al-Muwatta”, Imam Malik menukilkan tentang kualitas
saksi menurut aturan hukum Islam, yang menjadi amal Madinah.12
Dalam hal ini ternyata derajat perempuan dan laki-laki dalam
memberikan kesaksian di Pengadilan, jauh berbeda. Allah SWT lebih
menghendaki lelaki menjadi saksi, jika tidak ada, barulah dua orang
perempuan dibolehkan. Bahkan dalam persidangan di Pengadilan Agama
kerap kali hanya terdapat saksi perempuan saja tanpa didampingi oleh
laki-laki, hal ini tentu saja tidak sesuai sebagaimana yang tertera dalam al-
Qur’an surah Al-Baqarah: 282 yang menjadi sumber hukum materiil
Peradilan Agama.
Melihat hal tersebut bahwa antara undang-undang dan pendapat
fuqaha berbeda pendapat dalam masalah kesaksian perempuan. Oleh
karena itu sangat menarik bagi penulis untuk mengulangi lebih dalam
11 Lia Aliyah al-Himmah, Kesaksian Perempuan: Benarkah separoh Laki-laki?, (Jakarta:Rahima, 2008), hal.24
12 Mahkamah, “Bolehkah Perempuan bersaksi di Pengadilan ? ini jawaban Imam Malik”.Artikel diakses pada 11 februari 2014.
9
perbedaan tersebut dengan melihat persamaan dan perbedaan saksi
perempuan dalam pandangan masing-masing pendapat dari empat
madzhab dengan hukum positif. Berdasarkan latar belakang pemikiran di
atas, maka penelitian ini memfokuskan pada : “ KEDUDUKAN SAKSI
PEREMPUAN DALAM KASUS PERCERAIAN PERBANDINGAN
PENDAPAT EMPAT MADZHAB DENGAN HUKUM POSITIF
YANG BERLAKU DI INDONESIA”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini dibatasi pada kedudukan saksi perempuan
menurut pendapat empat madzhab dengan hukum positif yang berlaku
di Indonesia. Dengan cara melakukan perbandingan antara persamaan
dan perbedaan pendapat empat madzhab dengan hukum positif yang
berlaku di Indonesia tentang kedudukan saksi perempuan dalam
perceraian.
2. Rumusan Masalah
Melihat pada latar belakang masalah dan pembatasan masalah
diatas tentang kedudukan saksi perempuan menurut UU No.1 tahun
1974 KHI dan KUHPerdata dan dibandingkan dengan perbedaan
empat mazhab maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian
menurut empat madzhab dan hukum positif ?
10
b. Apa persamaan pendapat empat madzhab dengan hukum positif
yang berlaku di Indonesia tentang kedudukan saksi perempuan
dalam kasus perceraian ?
c. Apa perbedaan pendapat empat madzhab dengan hukum positif
tentang kedudukan saksi perempuan dalam perceraian ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skrispi ini
adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui kedudukan saksi perempuan dalam kasus
perceraian menurut empat madzhab dan hukum positif
b. Untuk mengetahui persamaan kedudukan saksi perempuan dalam
kasus perceraian pendapat empat madzhab dengan hukum positif
yang berlaku di Indonesia.
c. Untuk mengetahui alasan perbedaan antara empat madzhab dengan
hukum positif dalam kedudukan saksi perempuan dalam kasus
perceraian.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan dicapai dengan adanya penelitian ini adalah :
a. Untuk memberikan pengetahuan yang luas tentang persamaan
kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian pendapat
empat madzhab dan Hukum Positif.
11
b. Untuk memberikan penjelasan tentang perbedaan kedudukan saksi
perempuan dalam kasus perceraian pendapat empat madzhab dan
hukum positif.
c. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa Ahwal
Syakhsiyyah, dan khususnya bagi penulis, sebagai acuan mengenai
kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian di Pengadilan
Agama.
d. Menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi masyarakat umum
untuk mengetahui kedudukan saksi perempuan dalam kasus
perceraian di Pengadilan Agama.
D. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini,
maka penulis menggunakan metode :
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif
yang memusatkan perhatian tidak pada hasil penilitian lapangan,
dikarenakan yang dikaji dalam penelitian ini hanya dokumen-dokumen
saja.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan (Library Research).13
13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press,1986) h.201
12
a. Data primer yaitu data yang diproleh dari pendapat-pendapat
Ulama madzhab yang tercantum dalam kitab-kitab fiqih
kontemporer dan beberapa peraturan-peraturan yang ada di
Indonesia seperti KHI dan UU Perkawinan.
b. Data sekunder yaitu pendukung yang diperoleh dari pengkajian
buku-buku, serta pendapat pakar hukum yang di tuangkan dalam
artikel, jurnal dan website tentang kedudukan saksi perempuan
dalam kasus perceraian berkaitan dengan isu yang di hadapi dan
telah menjadi putusan hakim Pengadilan agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.14
3. Teknik Analisa Data
Yaitu menggunakan teknik analisa data deskriptif kualitatif, serta
menggunakan teknik perbandingan hukum, yang membandingkan para
fuqaha dengan beberapa pasal dalam peraturan Perundang-undangan di
Indonesia. Penelitian tersebut akan memberikan pengetahuan tentang
persamaan dan perbedaan mengenai kedudukan saksi perempuan
dalam kasus perceraian. Dengan penelitian ini penulis berharap dapat
lebih mudah untuk mengadakan unifikasi hukum, serta mendapatkan
kepastian hukum tentang kedudukan saksi. Hasil-hasil perbandingan
hukum akan sangat penting bagi penerapan hukum di suatu masyarakat
majemuk seperti Indonesia.
14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (jakarta: Kencana, 2005) Cet ke-1, h.96.
13
4. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan pada penelitian ini berpedoman
pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
E. Studi Review
Setelah melakukan penelitian dari perpustakaan, mengenai masalah
kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian, penulis mendapatkan
beberapa karya tulis berupa skripsi. Akan tetapi penelitian penulis berbeda
dengan penelitian penelitian yang telah ada tersebut pada perbandingan
antara pendapat empat mazhab dengan hukum positif.
Adapun karya tulis yang telah ada sebelumnya antara lain :
Wildan Ramadhian, tahun 2008, dengan judul skripsi “Relevansi
Pemikiran Asghar Ali Engineer Tentang Saksi Perempuan dalam
Pembuktian Jarimah zina” Skripsi ini menjelaskan dikonstruksi
metodologis Asghar Ali Engineer tentang pemahaman al-Qur’an agar
menghasilkan sebuah penafsiran yang berkeadilan gender dalam konteks
kesaksian perempuan dalam jarimah zina.
Abdul Aziz, tahun 2007, dengan judul skripsi “Kedudukan Saksi
dalam Pernikahan Tinjauan terhadap Imam Syafi’i dan Hanafi”. Skripsi ini
menjelaskan tentang kedudukan saksi dalam pernikahan menurut
pandangan Imam Madzhab Syafi’i dan Hanafi.
14
Muhammad Daerobi, tahun 2013, dengan judul skripsi “Kesaksian
Perempuan dalam Perkawinan perspektif Hukum Islam”. Skripsi ini
menjelaskan tentang kesaksian perempuan dalam sebuah perkawinan yang
masih ditangguhkan dalam KHI sehingga mengakibatkan kurang relevan
dengan UU No.1 tahun 1974 sehingga penelitiannya hanya difokuskan
pada kesaksian perempuan dalam akad pernikahan pada perspektif hukum
Islam.
Sainah, tahun 2014, dengan judul skripsi “Kekuatan Saksi
Perempuan dalam Sengketa Hukum Perdata di Pengadilan Agama”.
Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana kekuatan saksi perempuan
dalam sengketa yang berada di pengadilan agama Bekasi sehingga
penelitiannya hanya memfokuskan pada kekuatan saksi perempuan dalam
sengketa hukum perdata, berbeda dengan penelitian penulis yaitu
kedudukan saksi perempuan dalam perceraian menuerut pendapat fuqaha
dan peraturan perundang-undangan.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab adalah sebagai berikut :
Bab I : Tentang pendahuluan, dalam pendahuluan ini penulis akan
mengemukakan latar belakang masalah, menguraikan
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan,
metode penelitian, kajian terdahulu, dan sistem penulis.
15
Bab II : Tentang Saksi dalam kasus perceraian menurut empat
madzhab (madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab
Syafi’i, dan madzhab Hanbali) dalam bab ini pengertian
saksi , syarat-syarat saksi dalam kasus perceraian, fungsi
saksi dalam kasus perceraian, dan kedudukan saksi
perempuan dalam kasus perceraian, menurut Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Bab III : Tentang Saksi dalam kasus perceraian menurut hukum
positif (UU No.1 tahun 1974 dan KHI), pengertian saksi,
syarat-syarat saksi dalam kasus perceraian, fungsi saksi
dalam kasus perceraian, dan kedudukan saksi perempuan
dalam kasus perceraian.
Bab IV : Tentang Analisis Perbandingan kedudukan saksi
perempuan pendapat empat madzhab dengan hukum
positif. Persamaan pendapat empat madzhab dan hukum
positif yang berlaku di Indonesia tentang kedudukan saksi
perempuan, perbedaan pendapat empat madzhab dan
hukum positif tentang kedudukan saksi perempuan.
Bab V : kesimpulan dan saran-saran
Daftar Pustaka
16
BAB II
SAKSI DALAM KASUS PERCERAIAN MENURUT EMPAT MADZHAB
(Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hanbali)
A. Pengertian Saksi
Saksi dalam bahasa Arab disebut al-Syahadah, masdar dari
syahada yaitu al-syuhud yang berarti al-hudud (hadir). Secara bahasa
berarti pemutus, secara istilah artinya pemberitahuan orang yang jujur
untuk menetapkan kebenaran dengan lafal ‘kesaksian’ di dalam majelis
peradilan.1 Atau pemberitahuan seseorang yang sebenarnya atas selain
dirinya dengan lafal/ucapan yang khusus.2
Unsur dasarnya adalah lafal “asyahadu”, aku bersaksi, bukan
dengan kata lain. Karena setelah nash telah mensyaratkan lafal ini dan al-
Quran memerintahkan dengan lafal ini, dan juga pada kalimat ini lebih
tegas tersirat sumpah mengenai pengertian atau pengetahuan terhadap
sesuatu. Jika dikatakan “syahadatu”, aku telah bersaksi, tidak boleh
karena kata kerja lampau menunjukkan pengabaran sesuatu yang telah
berlalu, sementara kesaksian merupakan pengabaran sesuatu yang aktual.
Kata Saksi dalam bahasa arab memakai kata شاھد atau شھید yaitu
orang yang mengetahui yang menerangkan apa yang diketahuinya. Kata
jama’ شاھد ialah اشھاد dan شھود sedangkan, kata jama’ شھید ialah شھداء .
1 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, j-9, cet 4, (Suariah: Dar al-Fikr:Damsyiq-Suriah, 2002) h.6028
2 Sayid Abu Bakr al-Dimyati, I’anatu al-Thalibin, j 3-4, cet-4, (Beirut-Libanon: Ihya’ al-Turas al-‘Araby,) h.274
17
masdarnya adalah الشھادة yang artinya kabar yang pasti. Pengertian saksi
adalah orang yang mempertanggungjawabkan, karena dia menyaksikan
sesuatu (peristiwa) yang orang lain tidak menyaksikannya. Disamping itu
ada juga istilah yang disebut dengan kesaksian yaitu mengenai
pemberitahuan seseorang yang benar di depan pengadilan dengan ucapan
kesaksian untuk menetapkan suatu hak terhadap orang lain.
Dikatakan pula bahwa kesaksain berasal dari kata I’laam
(pemberitahuan). Firman Allah QS. Al-Imran : 18 yaitu.
العلم قا ئما بالقسط آل وأولوأ والملئكة آل إلھ إال ھو ,)18: ال عمران (زیز الحكیم ع لھ إال ھو الا
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan selainDia, yang menegakkan keadilan; para malaikat dan orang-orang yangberilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melainkanDia, yang Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ali Imran: 3/18).
Disini arti dari kata syahidah adalah alima (mengetahui). Syahid
adalah orang yang membawa kesaksian dan menyampaikannya, sebab dia
menyaksikan apa yang tidak diketahui oleh orang lain.3
Dalam hadits Nabi disebutkan bahwa:
)رواه الترمدي. (والیمین علي الدعي علیھ, البینة علي المدعي
kewajiban adalah kewajiban penggugat sedangkan sumpah adalahkewajiban tergugat”. (HR. Tirmidzi).
Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam saksi adalah orang yang
melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa untuk melihat,
3 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 14 (PT Al-Maarif: Bandung, 1989), h.55.
18
menyaksikan atau mengetahuinya, agar suatu ketika bila diperlukan ia
dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu
sungguh terjadi.4
Untuk dapat mendefinisikan saksi maka terlebih dahulu harus
mengetahui definisi kesaksian.:
حق على الغیرالثباتالشھادة عبارة عن صدق في مجلس الحكم بلفظ الشھادة
Artinya: ”Kesaksian adalah istilah mengenai pemberitahuan seseorangyang benar di pengadilan dengan kesaksian untuk menetapkan suatu hakterhadap orang lain.”5
Kesaksian dalam hukum Islam disebut dengan syahid (saksi laki-
laki) atau syahidah (saksi perempuan) yang terambil dari kata musyahadah
artinya menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jadi saksi yang
dimaksud adalah manusia yang hidup. Dalam hal kesaksian para ahli
hukum Islam (jumhur fuqaha) menyamakan kesaksian (syahadah) itu
dengan bayyinah. Kesaksian diberi nama al-bayyinah karena dengan
kesaksian itulah yang hak menjadi jelas.6 Pengertian al-bayyinah dalam al-
Qur’an, as-sunnah dan perkataan para sahabat Nabi saw adalah nama bagi
setiap sesuatu yang dapat menyatakan dan mengungkapkan kebenaran.7
4 Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1999), Cet ke-1h.202
5 Abdur Rahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum Islam,(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), Cet. Ke-1 h.50
6 Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002), Cet. Ke-9 h.152
7 Abd. Rahman Umar, Kedudukan Saksi Dalam Peradian Menurut Hukum Islam,h.38
19
Kesaksian secara syara’ adalah sebuah pemberitahuan yang jujur
untuk menetapkan, membuktikan, dan membenarkan suatu hak dengan
menggunakan kata-kata as-syahadah (bersaksi) di majelis persidangan.
Kesaksian adalah hujah bagi pihak penggugat, berdasarkan hadits,
البینة على المدعى
Artinya: “Mengajukan bayyinah (saksi) adalah tugas penggugat.”
Sesuai dengan firman Allah SWT. Sebagai berikut:
...منك م دل ى ع و وا د د اشھ و ....
Artinya: “...dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adildiantara kamu dan hendaklah kamu teggakkan kesaksian itu karenaAllah...” (Ath-Thalaq [65]: 2)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa, saksi yang dapat diterima
kesaksiannya yaitu orang yang adil dan tidak mengkatagorikan saksi harus
dari pihak keluarga sedarah atau diluar dari pihak keluarga, akan tetapi
yang ditekankan dari ayat tersebut adalah sifat keadilan seseorang dalam
memberikan kesaksiannya.
Kesaksian (syahadah) bisa juga diartikan melihat kepala, karena
syahid (orang yang menyaksikan) itu memberitahukan tentang apa yang
disaksikan dan dilihatnya. Maknanya ialah pemberitahuan seseorang
tentang apa yang diketahui dengan lafaz “aku menyaksikan atau aku telah
menyaksikan”.
Menurut Muhammad Salam Madzkur sebagaimana yang dikutip
oleh Asadullah al-Faruq, persaksian adalah suatu ungkapan tentang berita
yang benar disidang pengadilan dengan menggunakan lafaz syahadah
20
(ucapan kesaksian) untuk menetapkan suatu hal atas diri orang lain. Dalam
pengertian tersebut dikatakan yang menyangkut atas diri orang lain, sebab
bila yang menyangkut diri sendiri bukanlah kesaksian, melainkan ikrar
(pengakuan). Ahmad ad Daur yang juga dikutip oleh Assadulloh Al-Faruq
mendefinisikan kesaksian sebagai penaymapain perkara yang sebenarnya
untuk membuktikan sebuah kebenaran dengan mengucapkan lafal-lafal
kesaksian di hadapan sidang pengadilan.8
Hukum Kesaksian
Kesaksian adalah fardhu ain bagi orang yang mengetahuinya
selama dia diminta untuk menyampaikan kesaksian dan dikhawatirkan
adanya pengabaian terhadap hak, bahkan wajib hukumnya jika
dikhawatirkan ada hak yang diabaikan meskipun dia tidak diminta untuk
bersaksi. Ini berdasarkan firman Allah swt.,
... عليم تـعملون ومن يكتمها فإنه آثم قـلبه والله بما ...
“....Dan barang siapa yang menyembunyikan, maka sesungguhnya iaadalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yangkamu kerjakan.” (Al-Baqarah [2]: 283)
وأقيموا الشهادة لله
Dan firman-Nya, “Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karenaAllah.” (Ath-Thalaq [65]: 2)
Dalam hadits shahih,
8 Asadullah al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, (Jakarta : PT. Buku Kita, 2009), h.45-46.
21
.اوم ظل ا اؤ م م ال ظ اك خ ر ا نص ا
“Bantulah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi.” 9
Penjelasan hadits diatas yaitu bangsa Arab mendefinisikan kata al-Nashrdengan makna al-I’anah dan al-Ta’yid, keduanya mempunyai arti yangserupa, yaitu menolong atau membantu. contohnya : ketika seseorangberbuat zalim kepada orang lain lalu kita mencegahnya, maka padahakikatnya adalah memberikan pertolongan untuknya. dan membantunyauntuk menjadi saksi.
Dari Zaid bin Khalid, bahwa Rasullah saw, bersabda.
.یر الشھداء؟ الدي یأ ثي بشھادثھ قبل أن یسألھاأال أخبر كم بخ
“Maukah kalian aku beritahu tentang sebaik-baik saksi? (Yaitu) yangdatang dengan kesaksiannya sebelum diminta untuk bersaksi.”
Kesaksian hanya wajib disampaikan selama mampu untuk
menyampaikannya tanpa ada bahaya yang mengacamkan fisiknya,
kehormatannya, hartanya, atau keluarganya. Ini berdasarkan firman Allah
swt.
ممن وامرأتان فرجل رجلین یكونالم فإن رجالكم من شھیدین واستشھدوا..
...األخرىإحداھمافتذكرإحداھماتضل أن ھداء الش من ترضون .
“...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-oranglelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seoranglelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supayajika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya..” (Al-Baqarah[2]: 282)
Begitu jumlah saksi banyak dan tidak dikhawatirkan akan adanya
pengabaain terhadap hak, maka kesaksian dalam keadaan ini hukumnya
sebagai anjuran. Namun begitu kesaksian menjadi fardhu ain hukumnya,
9 HR Bukhari “al-Mazhalim” [46]
22
maka saksi tidak boleh mengambil imbalan atas kesaksiannya kecuali jika
dia mengalami kendala dalam perjalanan, maka dia boleh mengambil
imbalan untuk biaya transportasi.
B. Syarat-Syarat Saksi dalam Kasus Perceraian.
Menurut Hukum Islam syarat-syarat saksi yang dapat diterima
kesaksiannya adalah sebagai berikut:
1. Berakal dan Baligh. maka tidak boleh menerima kesaksian orang yang
tidak berakal, seperti; orang gila, orang mabuk, dan anak kecil. Karena
mereka tidak tsiqah (tidak terpercaya) perkataanya, anak kecil yang
belum baligh tidak mungkin memberikan kesakian sesuai yang
diinginkan (diperlukan) dan bukan merupakan saksi yang diridhai.
Sesuai yang disyaratkan dalam firman Allah Swt.: “min rijalikum”,
“zu ‘adlin” dan “min-man tardhauna min al-syuhada”.
2. Merdeka. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah, syarat
saksi harus merdeka, tidak diterima kesaksian seorang hamba.
Dasarnya firman Allah Swt dalam Surat Al-Nahl (16) ayat 75:
... دا مملو كا ال یقدر علي شئ ضرب هللا مثال عب
Allah membuat perumpumaan seorang hamba sahaya saya yangdimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun...
Kesaksian bermakna penguasaan, tidak ada kuasa pada seorang hamba.
Menurut Ulama Hanabilah dan Zahiri, kesaksian hamba dapat
diterima, makna ayat diatas bersifat umum sehingga penghambaan
23
tidak berdampak penolakan kesaksiannya. Hanabilah mengaitkannya
untuk selain kasus hudud dan qisas.
3. Islam. Ulama fikih sepakat seorang saksi harus muslim. Tidak diterima
kesaksian kafir atas orang Islam karena disangsikan kebenarannya.
Tetapi ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan kesaksian orang
kafir mengenai perkara wasiat dalam perjalanan.
Menurut Imam Abu Hanifah, Syuraih, Ibrahim an-Nakhaiy, dan Auzai
kesaksiannya di bolehkan dalam keadaan ini, berdasarkan firman
Allah swt., (Al-Mai’dah [5]: 106-107).
منكم يا أيـها الذين آمنوا شهادة بـينكم إذا حضر أحدكم الموت حين الوصية اثـنان ذوا عدل كم إن أنـتم ضربـتم في األرض فأصابـتكم مصيبة الموت تحبسونـهما من أو آخران من غير
هادة بـعد الصالة فـيـقسمان بالله إن ارتـبتم ال نشتري به ثمنا ولو كان ذا قـربى وال نكتم ش من اآلثمين الله إنا إذا ل
وليان فإن عثر على أنـهما استحقا إثما فآخران يـقومان مقامهما من الذين استحق عليهم األن الظالمين فـيـقسمان بالله لشهادتـنا أحق من شهادتهما وما اعتديـنا إنا إذا لم
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamumenghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah(wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, ataudua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalamperjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamutahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalumereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini denganharga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karibkerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah;sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orangyang berdosa".Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) memperbuat dosa, maka duaorang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekatkepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk
24
menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah:"Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripadapersaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas,sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orangyang menganiaya diri sendiri".
Menurut Syafi’i dan Malik, “Kesaksian kafir terhadap muslim
tidak dapat di perkenankan, baik dalam perkara wasiat di tengah
perjalanan maupun dalam perkara lainnya.” Karena saksi yang
dikehendaki ayat adalah orang yang merdeka, diridhai dan beragama
Islam, orang yang kita ridhai tentulah dari ahli agama kita, bukan
orang-orang musyrik, karena Allah Swt. memutus kewenangan
(wilayah) antara kita dan mereka dengan agama, tidak pula sahaya
yang dikuasai tuannya, orang fasik juga bukan orang yang kita ridhai,
kita hanya ridha terhadap orang-orang kita (Islam) yang adil, merdeka,
dan baligh “min rijalikum”.10
4. Dapat melihat. Imam Abu Hanifah, Muhammad dan Ulama Syafi’iyah
mensyaratkan saksi dalam melihat, tidak diterima kesaksian orang
buta, karena saksi harus tahu apa yang ia saksikan, tahu isyarat
padanya ketika menyaksikan, orang buta tidak dapat membedakan
orang kecuali dengan bunyi suara, sementara bunyi suara kadang-
kadang saling menyerupai. Terlebih lagi Ulama Hanafiyah, menolak
kesaksian orang buta meskipun di waktu menyaksikannya ia dapat
melihat.
10 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, j-3 (Beirut-Le-Libanon: Dar al-Ma’rifah), h.226
25
Ulama Malikiyah dan Hanabilah membolehkan kesaksian
orang buta jika ia yakin dengan suara yang ia dengar, karena
umumnya makna ayat mengenai saksi. Dan karena orang buta yang
adil dapat diterima riwayatnya sebagaimana orang yang dapat
menghasilkan yakin, begitu pula kesaksian orang buta yang ditetapkan
dengan Istifadah (testimonium de auditu) sebagaimana pula
dibolehkan menjadi saksi dalam terjemah, karena apa yang
didengarnya akan ditafsirkan oleh keberadaan hakim, pendengarannya
sama dengan pendengaran orang yang dapat melihat.
5. Dapat berbicara. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah,
mensyaratkan saksi itu mampu berbicara, tidak diterima kesaksian
orang bisu meskipun isyaratnya dapat dipahami, karena isyarat tidak
dianggap kesaksian yang syaratnya yakin sehingga dituntut
pelafalan/pengucapan kesaksian. Ulama Malikiyah membolehkan
kesaksian orang bisu bila dapat dipahami isyaratnya, karena isyarat
adalah bahasa tuturannya yang diterima dalam talak, nikah, dan
ziharnya sehingga kesaksiaannya juga begitu.
6. Adil. para ulama sepakat mensyaratkan saksi harus adil, tidak diterima
kesaksian orang fasik seperti pezina, pemabuk, pencuri dan yang
semisal. Tetapi orang fasik jika ia terpandang dalam masyarakat,
bermartabat dapat diterima kesaksiannya, karena kehormatan dan
martabatnya menghindarkannya dari kecondongan dan berdusta dalam
kesaksian. Akan tetapi, menurut ulama Hanafiyah kesaksian orang
26
fasik mutlak tidak diterima, hakim yang memutus berdasar kesaksian
orang fasik cacatlah putusannya dan jadilah dia hakim
durhaka/membangkang.
7. Bukan dugaan/sangkaan. orang yang suka menyangka ditolak
kesaksiannya. Suatu kesaksian, untuk dapat dijadikan sebagai dasar
dalam memutus perkara tidak boleh berupa dugaan ataupun dengan
keterangan yang belum cukup memadai dari yang seharusnya.11
Sumpah Saksi
Integritas saksi-saksi pada masa sekarang ini sudah semakin tidak
jelas. Maka dari itu kesaksian harus diperkuat dengan sumpah. Dalam
majalah al-Ahkam al-‘Adliyyah dinyatakan,“Jika pihak yang dipersaksikan
menyampaikan tuntutan sebelum ada keputusan hukum agar hakim
meminta saksi-saksi untuk bersumpah bahwa mereka tidak berdusta dalam
kesaksian mereka, dan ada ketentuan bahwa kesaksian dapat diperkuat
dengan sumpah, maka hakim boleh meminta saksi-saksi untuk bersumpah,
dan mengatakan kepada mereka, jika kalian bersumpah, maka kesaksian
kalian diterima. Pendapat ini dianut oleh Ibnu Nujaim al-Hanafy. Menurut
madzhab Hanafi, saksi tidak perlu bersumpah, karena lafal kesaksian
sudah mengandung makna sumpah. Menurut Imam Hanbali, saksi yang
memungkiri penyampaain kesaksian tidak perlu diminta untuk bersumpah
tidak pula hakim yang memungkiri keputusan hukum dan tidak pula orang
yang diberi wasiat atas penafian hutang pada pihak yang memberikan
11 Ibid., j-4, h.85
27
wasiat. Orang yang memungkiri pernikahan juga tidak perlu diminta untuk
bersumpah, termasuk dalam perkara cerai, rujuk, ila’, nasab, qishas, dan
tuduhan zina, karena itu semua bukan harta, dan tidak dimaksudkan untuk
mendapatkan harta tidak pula ditetapkan adanya penolakan padanya.12
Kesaksian Non-Muslim Terhadap Orang Islam
Ada dua pendapat ulama fikih yaitu:
1. Menurut jumhur selain Hanabilah. Tidak diterima kesaksian mereka
karena kesaksian adalah kewenangan (wilayah), tidak ada kewenangan
orang kafir terhadap orang Islam.
Al-Qur’an Surat Al-Nisa’ (4) ayat 141 :
یجعل ولن سبیالالمؤمنین علىفرین للكاهللا ...
...dan Allah sekali-kali tidak akan pernah memberi jalan kepadaorang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
2. Ulama Hanabilah membolehkan kesaksian non-Muslim dalam safar
(musafir) karena sangat dibutuhkan jika tidak didapati orang muslim
selain mereka, karena alasan darurat bahkan bisa saja dalam keadaan
muqim ataupun safar. Al-Qur’an surah Al-Maidah (5) ayat 106:
اثنان الوصیة ین ح الموت أحدكم حضر إذابینكم شھادة آمنواالذین أیھایا
فأصابتكم األرض فيضربتم أنتم إن غیركم من آخران أو منكم عدل ذوا
الة بعد من تحبسونھماالموت مصیبة الارتبتم إن فیقسمان الص
شھادة نكتم والقربىذاكان ولو اثمن بھ نشتري اآلثمین لمن إذاإناهللا
12 Aris Bintana, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha. (Jakarta :PT Raja Grafindo Persada)
28
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamumenghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, makahendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu,jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpabahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudahsembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpahdengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidakakan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untukkepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak(pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnyakami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yangberdosa".
Ibnu abbas membenarkan, bahwa bagi orang yang akan mati dan
ada orang Islam, Allah swt. menyuruh mempersaksikan wasiatnya dengan
dua orang muslim yang adil, jika tidak ada seorang pun orang Islam, Allah
Swt. menyuruh disaksikan oleh dua orang saksi non-Muslim, bila
kesaksian mereka diragukan keduanya diminta bersumpah bahwa: ‘Kami
tidak membeli kesaksian dengan harga yang sedikit. Ibnu Mas’ud pernah
memutuskan dengan kesaksian non-muslim dimasa Khalifah Usman, maka
diterima kesaksian sesama mereka sebagaimana antara umat Islam.
C. Fungsi Saksi dalam Kasus Perceraian.
Fungsi saksi dalam hukum Islam adalah bahwa kehadiran seorang
saksi dalam pembuktian mempunyai arti yang sangat penting. Betapa
pentingnya nilai suatu kesaksian, hukum Islam mewajibkan seorang saksi
untuk memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang ia lihat,
dengar dan alami, mengungkap segala sesuatu yang berhubungan dengan
Pemohon, Terhomon dan perkara yang diajukan dalam sidang pengadilan
29
sesuai dengan peran dan fungsinya selama mampu menunaikannya tanpa
adanya alasan yang menimpa, baik pada badannya, kehormatan, harta
maupun keluarganya. Sebaik-baik saksi adalah orang yang menyampaikan
kesaksiannya dimana keterangan kesaksiannya belum dimintakan oleh
Hakim. Barangsiapa yang enggan menjadi saksi dalam kesaksiannya,
menyembunyikan kebenaran/hak, maka Allah mengecamnya dengan
memberikan dosa kepadanya.
Kesaksian merupakan kewajiban peradilan atas hakim untuk
mewajibkannya. Hukum mendatangkan kesaksian dengan segala syarat-
syaratnya merupakan keharusan, jika kewajiban menghadirkan saksi
ditinggalkan semuanya akan berakibat menghilangkan hak atau kebenaran.
Memberi kesaksian hukumnya fardhu ‘ain, seorang saksi harus
memberikan kesaksiannya dan tidak boleh menyembunyikan jika
penggugat memintanya.13
Tujuan utama saksi ialah menjelaskan terungkapnya kejadian atau
peristiwa perkara yang terjadi, saksi melihat, mendengar, dan mengalami
langsung apa yang terjadi dalam perkara tersebut. Dengan memberikan
hak-hak kebenaran apa yang telah terjadi, maka hakim bisa menegakkan
keadilan.
13 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, j-9, cet 4, (Suariah: Dar al-Fikr:Damsyiq-Suriah, 2002) h.6028
30
D. Kedudukan Saksi Perempuan dalam Kasus Perceraian
Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah Swt. di Jajirah
Arab pada abad ke-VII, termasuk agama-agama semitik (Abrahamic
Religions), termasuk agama yahudi, Islam dan Kristen. 14 Islam merupakan
agama pembebas yang agung, ia melawan tradisi-tradisi Jahiliyah yang
jauh dari nilai-nilai kemanusian. Melalui ajaran-ajarannya, Islam
memberikan harga diri (sense of dignity) bagi umat manusia secara
keseluruhan, selain itu Islam pun memperlakukan manusia sebagaimana
mestinya dan sekaligus Islam memproklamasikan sebagai sebuah doktrin
(agama) yang membawa nilai-nilai pembebasan akan keseteraan bagi
seluruh anak cucu Adam.15
Wanita dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai beberapa
arti yaitu: 1. Orang (manusia) yang mempunyai puki, menstruasi, hamil,
melahirkan anak dan menyusui; 2. Istri; bini.16
Wanita (dalam bahasa Arab: al-mar’ah, jamaknya an-Nisaa’
wanita). Perempuan dewasa atau putri dewasa, lawan jenis pria. Di dalam
ajaran Islam, wanita didudukkan pada posisi dan kedudukan yang sejajar
dengan pria. Sebagaimana pria, wanita juga adalah makhluk Allah SWT
yang sempurna yang diciptakan untuk menjadi “khalifah di bumi”. Dalam
14 Wiwi Siti Sajaroh, Gender Dalam Islam, dalam Tim Penulis PSW UIN Jakarta, ed,Pengantar Kajian Gender, (Jakarta: PSW UIN-Jakarta-McGill Project,2003), h.205
15 Asgar Ali Engineer pada Kata Pengantar, dalam Moh. Yasir Alimi, Jenis Kelamin Tuhan:Lintas Batas Tafsir Agama, (Yogyakarta: Lkis,2002),
16 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (jakarta: BalaiPustaka, 2007) Cet,ke-III, h.856
31
Islam, wanita diibaratkan sebagai tiang negara; apabila ia baik, maka
negara akan baik dan jika rusak, maka negara akan rusak. Selanjutnya
memiliki seperangkat hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan
peranan yang diembannya.17
Wanita secara harfiah disebut kaum perempuan. Kaum yang amat
dihormati dalam konsepsi Islam. Sebab, pada telapak kaki wanita terletak
surga. Kaum wanita disebut pula dengan kaum hawa. Nama ini diambil
dari nama Ibunda manusia (Siti Hawa-Istri Nabi Adam as). Secara fisik
(kodrati), wanita lebih lemah dari pada pria. Mereka memiliki perasaan
yang sangat lembut dan halus. Wanita juga lebih banyak menggunakan
pertimbangan emosi dan perasaan dari pada akal pikirannya. Wanita
adalah lambang kesejukan, kelembutan dan cinta kasih. Itulah ciri-ciri
umum dari karateristik kaum wanita.18
Agama Islam memperbedakan pria dan wanita dalam beberapa
bidang. Namun jelas, bahwa perbedaan ini tidak ada hubungannya dengan
kemanusiaan, kemuliaan dan kecakapan, yang telah ditetapkan oleh Islam
persamaanya dengan laki-laki. Jadi, perbedaan itu hanyalah karena
keperluan masyarakat, masalah ekonomi dan masalah kejiwaan, yang
menghendaki suasana demikan.19
17 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet.III,h.186
18 Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Sholeha, (Jakarta: Peanamadani, 2004) Cet,ke-IV h.1
19 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Agama, h.250-251
32
Agama Islam menganggap kesaksian perempuan separoh dari laki-
laki. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Kaum laki-laki menganggap ingatan perempuan lebih sering lupa
dibandingkan dengan laki-laki, oleh sebab itu kesaksian dua orang
perempuan sama dengan satu laki-laki.
2. Saat perempuan melihat suatu kejadian, dia lebih sering menutup
matanya karena alasan takut.
3. Perempuan lebih cenderung malu untuk mengatakan sesuatu
dibandingkan laki-laki.
Dalam masalah perdata seperti nikah, rujuk, dan sejenisnya terdapat dua
pendapat.
- 20.ماءطالق والنكاح والحدود والد ال ثجوز شھاده النساء في ال: عن علي قال
Dari Ali berkata : tidak bolehkan kesaksian perempuan dalammasalah talak, nikah, hudud serta pembunuhan.
Pendapat pertama menurut Imam Syafi’i dan madzhabnya, Imam
Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal.21 Mensyaratkan pula saksi harus
laki-laki. Kesaksian wanita tidak bisa diterima walaupun di dampingi
laki-laki. Kesaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan
tidak sah sebagaimana hadist riwayat Abdul Razaq dan Zuhri yang
20 Hadits Riwayat Abd. Razaq, Kanzul ‘Amali, juz 8, No. 15405, h.329
21 Ibrahim Hosein, Fiqh Perbandingan:dalam Masalah Nikah, Talaq, Rujuk, dan HukumKewarisan, (Jakarta: Balai Pustaka Islam Yayasan Ihya Ulumuddin, 1971) jillid 2, h.184
33
menjelaskan bahwa Nabi SAW menyatakan perempuan tidak sah
menjadi saksi dalam urusan pidana, nikah dan thalaq.
- Pendapat kedua menurut Hanafiyah menyatakan bahwa dua orang
saksi boleh dari perempuan yakni dua orang perempuan dan satu laki-
laki karena adanya ayat:22
واستشهدوا شهيدين من رجالكم فإن لم يكونا رجلين فـرجل وامرأتان ممن تـرضون من ...
)282:اللبقرة ......(الشهداء أن تضل إحداهما فـتذكر إحداهما األخرى
....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki(diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seoranglelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya... (al-Baqarah :282)
Perkataan Ali di atas secara tekstual terdapat larangan bagi
perempuan dalam kesaksian pernikahan, namun demikian ulama
terjadi berbeda pendapat mengenai hal ini,
.لفوا في النكاح والطالق والنسب والوالءواخلت
Mereka (ulama) berbeda pendapat dalam kesaksian perempuanterkait masalah nikah, talak, nasab dan wali.
Dalam masalah wasiat, sebagian ulama berpendapat bahwa
perempuan tidak mendapat kedudukan sebagai saksi, persoalan wasiat
disyaratkan dua orang laki-laki ini adalah pendapat Imam Malik,
Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Syafi’i, ada juga sebagian ulama
yang berpendapat bahwa perempuan dapat menjadi saksi, karena tidak
22 Ibn Rusd, Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Daar Ahya al-Kitab al-‘Arabiyah,tt) juz 2, h.348
34
mensyaratkan laki-laki semua, ini adalah pendapat Imam Abu
Hanifah.
Adapun yang menyangkut masalah hak-hak badan biasanya
hanya boleh dilihat perempuan saja, seperti masalah kelahiran bayi,
bayi yang baru lahir, cacat-cacat yang ada pada perempuan maka
dapat diterima kesaksian perempuan secara mutlak, sebagaimana
pendapat jumhur ulama. Dalam masalah teriakan bayi yang baru lahir,
Imam Abu Hanifah tidak dapat menerima kesaksian perempuan secara
mutlak, dalam arti harus ada laki-laki, karena menurut beliau adalah
hal tersebut terjadi setelah kelahiran, jadi laki-laki boleh untuk
melihat.23
23 Utsman Hasyim, Teori Pembuktian Menurut Fiqh Jinayah Islam, (Yogyakarta: AndiOffset, 1984), h.95
35
BAB III
SAKSI DALAM KASUS PERCERAIAN MENURUT HUKUM POSITIF
YANG BERLAKU DI INDONESIA
A. Pengertian Saksi
Saksi dalam Kamus Bahasa Indonesia memiliki beberapa
pengertian, antara lain : 1. Orang yang melihat atau mengetahui sendiri
suatu peristiwa (kejadian); 2. Orang yang diminta hadir pada suatu
peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian tersebut agar pada suatu
ketika, apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan yang
membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi; 3. Orang
yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa
dan terdakwa.1
kesaksian dalam hukum acara perdata Islam dikenal dengan
sebutan Al-Syahadah, menurut bahasa ialah:
a. Pernyataan atau pemberitahuan yang pasti.
b. Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan
penyaksian langsung.
c. Mengetahui suatu secara pasti, mengalami dan melihatnya seperti
persaksian saya menyaksikan sesuatu artinya saya dan melihatnya
sendiri sesuatu itu maka saya ini sebagai saksi.2
1 Anando Santoso, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kartika, 1995), Cet.ke-1h..303
2 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara dan Hukum Positif,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004) Cet. Ke-1 h.73
36
Kesaksian merupakan sebuah istilah mengenai pemberitahuan
seseorang yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk
menerapkan suatu hak terhadap orang lain. Dengan kata lain saksi
merupakan alat bukti yang sah yang bertujuan untuk memberitahukan
peristiwa yang sebenarnya dengan lafaz “aku bersaksi”3
Kesaksian adalah menyampaikan perkara yang sebenarnya, untuk
membuktikan suatu kebenaran dengan lafaz-lafaz kesaksian di hadapan
sidang pengadilan. Kesaksian merupakan keterangan saksi secara lisan di
muka sidang atas apa yang dilihat sendiri oleh saksi tentang duduk perkara
yang disengketakan.4
Saksi ialah orang yang memberikan keterangan dimuka sidang,
dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau
keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya
peristiwa atau keadaan tersebut.5
Menurut Sudikno Mertokusumo saksi adalah kepastian yang
diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang
disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di
persidangan.6
3 Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002), Cet. Ke-9 h.55
4 Ropaun Rambe dan A.Mukri Agafi, Implementasi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Perca,2001), Cet. Ke-2 h.174
5 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Penagdilan Agama, (Cet,6 : Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005)h. 165.
6 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty,1998), h.112.
37
Dalam hukum acara perdata, pembuktian dengan saksi sangat
penting karena jika dalam suatu masyarakat biasanya perbuatan hukum
yang dilakukan tidak tertulis, melainkan dengan dihadiri oleh saksi-saksi
karena perbuatan hukum yang dilakukan kebanyakan masih menggunakan
faham saling mempercayai antara satu sama lain. Dalam perkara bahwa
tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti
tulisan atau akta saja. Akan tetapi jalan yang dapat ditempuh untuk
membuktikan saksi-saksi yang kebetulan melihat, mengalami atau
mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan.
Kesaksian menurut hukum acara perdata ialah kepastian yang
diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang
disengketakan, dengan jalan membuktikan secara lisan pribadi oleh orang
yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil dipersidangan.7
Dalam pasal 1907 KHUPerdata menjelaskan “Tiap-tiap kesaksian
harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana di ketahuinya hal-hal yang
diterangkan”. Pendapat-pendapat manapun pemikiran-pemikiran khusus
yang diperoleh dengan jalan pikiran atau kesimpulan bukan disebut
kesaksian.
Seorang saksi diharuskan benar-benar melihat, mendengar,
mengetahui atau mengalami sendiri terhadap apa yang disaksikannya,
bukan berdasarkan cerita dari mulut kemulut atau dari pendengaran ke
pendengaran, lalu kemudian saksi menyusun atau mengambil suatu
7 A. Juani Syukri, Keyakinan Hakim dalam Pembuktian Perkara Perdata Menurut HukumAcara Positif dan Hukum Acara Islam,(Jakarta: PT. Magenta Bhakti Guna, 1986) h.34.
38
kesimpulan atau memberi penilaiannya sendiri. Saksi tidak boleh
menyimpulkan atas apa yang disaksikannya itu melainkan menerangkan
yang bukan aslinya, dan seorang saksi harus menyebutkan sebab ia
mengetahui peristiwa tersebut.8
Tata Cara Pemeriksaan Saksi
Tata cara pemeriksaan saksi diatur dalam pasal 139-152 HIR yaitu:
1. Saksi ditunjuk oleh pihak yang berkepentingan atau oleh hakim karena
jabatannya, yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara.
2. Saksi dipanggil untuk menghadap dipersidangan. Panggilan dapat
dilakukan langsung oleh pihak yang berkepentingan. Apabila
dipandang perlu, pihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan
kepada hakim agar saksi yang diperlukan itu dipanggilkan oleh juru
sita Pengadilan (pasal 139 HIR).
3. Saksi menghadap ke pengadilan untuk memenuhinya (pasal 144 ayat
(2) HIR).
4. Saksi dipanggil keruang sidang seorang demi seorang (pasal 144 ayat
(1) HIR).
5. Hakim/ketua menanyakan kepada saksi tentang ;
- Namanya,
- Pekerjaannya,
- Umurnya,
8 Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta,2002), cet,kesembilan. H. 160.
39
- Tempat tinggalnya dan,
- Apakah ia berkeluarga sedarah dengan kedua belah pihak atau
salah satu daripadanya, atau karena berkeluarga semenda,
- Apakah ia makan gaji atau jadi pembantu dirumah salah satu pihak
(pasal 144 ayat (2) HIR).
Pertanyaan-pertanyaan kepada saksi tersebut diatas dimaksudkan
untuk mengetahui ;
a. Siapakah identitas saksi yang bersangkutan,
b. Apakah umur telah memenuhi syarat sebagai saksi,
c. Apakah keterangan yang nanti akan diberikan dapat diterima dan
masuk akal, umpamanya;
o Pekerjaan, katanya orang tani, jika keterangan yang
diberikan bersifat teknis dapat diragukan.
o Umur, kalau memberikan keterangan soal/hal-hal yang
lama berselang, apakah cocok dengan umurnya pada waktu
itu.
o Tempat tinggalnya, kalau orang yang berdiam dipelosok
dapat memberikan keterangan tentang mobil, radio yang
begitu teknis dapat diragukan.
d. Apakah keterangan yang akan diberikan data dianggap objektif,
karena adanya hubungan keluarga, hubungan kerja dengan
menerima upah, atau hubungan semenda membuat orang tidak
dapat objektif keterangannya.
40
e. Apakah ia memenuhi syarat sebagai saksi, apakah termasuk yang
berhak mengundurkan diri sebagai saksi, atau bahkan apakah ia
termasuk yang tidak dapat didengar sebagai saksi yang disumpah.
6. Saksi disumpah menurut agamanya bahwa ia akan menerangkan yang
sebenarnya dan tidak lain pada yang sebenarnya (pasal 147 HIR),
kecuali jika menurut hukum tidak boleh disumpah.
7. Atas pertanyaan hakim, saksi memberikan keterangan sesuai dengan
apa yang ia lihat, dengar dan dialami sendiri.
8. Para pihak dapat mengajukan pertanyaan pada saksi tentang hal-hal
yang mereka anggap penting , melalui hakim.
Para pihak minta kepada hakim agar hal-hal yang dianggap penting
itu ditanyakan kepada saksi. Hakim menimbang apakah hal itu relevan
dengan perkaranya atau tidak. Jika dinilai relevan maka hakim
meneruskan pertanyaan itu kepada saksi, dan jika tidak relevan maka
tidak perlu ditanyakan kepada saksi.
Hakim dapat mengajukan segala pertanyaan kepada saksi dengan
maunya sendiri yang dipertimbangkannya berguna untuk mendapat
kebenaran (pasal 150 HIR). Para pihak berhak mengajukan
keberatan/penilaian atas kesaksian tersebut.
9. Saksi yang telah diperiksa, tetap duduk berada dalam ruang sidang
agar supaya ;
- Ia tidak saling berhubungan dengan saksi-saksi yang lain.
41
- Apabila sewaktu diperlukan keterangan tambahan atau untuk
dikonfirmasikan dengan saksi yang lain tidak mengalami kesulitan,
10. Keterangan tentang saksi dan segala keterangan saksi serta jalannya
pemeriksaan saksi tersebut dicatat dalam Berita Acara Persidangan
yang dimuat oleh Panitera Sidang (pasal 152 HIR).
Adapun apabila saksi berada diluar daerah hukum pengadilan, maka :9
a. Ia dapat dipanggil untuk menghadiri sidang pengadilan yang
memeriksa perkara itu, tetapi tidak dapat dipaksakan.
b. Jika ia tidak mau hadir, maka hakim dapat meminta bantuan
kepada Pengadilan lain yang diwilayah hukumnya meliputi tempat
tinggal saksi tersebut supaya pengadilan tersebut :
o Memanggil saksi yang bersangkutan untuk menghadap
sidang di pengadilan setempat,
o Membuka sidang untuk memeriksa saksi tersebut sesuai
dengan permintaan hakim yang memeriksa perkara. (hakim
yang memeriksa perkara harus telah, membuat daftar
pertanyaan yang akan ditanyakan kepada saksi),
o Membuat berita acara persidangan saksi, dan
o Mengirim BAP tersebut kepada hakim yang memberikan
perkara.
c. Berita acara persidangan pemeriksaan tersebut dibacakan dalam
sidang. Permintaan bantuan kepada pengadilan lain untuk
9 Aris Bintana, Hukum Acara Peradilan Agama dalan Kerangka Fiqh Al-Qadha, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada 2012) h. 60.
42
memeriksa saksi yang diluar daerah tersebut dapat pula dilakukan
langsung tanpa memanggil saksi tersebut lebih dahulu ke
persidangan hakim yang memeriksa perkara.
Adapun apabila terdapat saksi yang beda maka,
o Saksi yang tidak memenuhi kewajibannya diancam dengan
hukuman pidana sesuai dengan pasal 224 KUHP.
o Jika saksi yang telah dipanggil dengan patut kemudian
tidak datang pada hari yang ditentukan itu maka ia dihukum
oleh pengadilan untuk membayar biaya yang dikeluarkan
dengan sia-sia itu, dan ia akan dipanggil sekali lagi dengan
ongkos sendiri. Jika ia tidak datang karena sesuatu alasan
yang sah, maka pengadilan harus menghapuskan hukuman
itu, setelah saksi memberikan keterangannya )pasal 140,142
HIR)
d. Jika saksi tersebut telah dipanggil untuk kedua kalinya dan juga
tidak menghadap maka ia dapat dihukum lagi membayar biaya
yang dikeluarkan untuk itu dengan sia-sia tersebut (pasal 141 ayat
(1) HIR).
e. Jika saksi yang dipanggil itu enggan dipanggil menghadap sidang
maka pengadilan dapat memerintahkan supaya saksi tersebut
dipaksa menghadap dengan menggunakan alat negara (polisi) ke
persidangan sesuai dengan pasal 141 ayat (2) HIR,
43
f. Jika saksi telah menghadap dipersidangan tetapi enggan
mengangkat sumpah atau memberikan keterangan atau permintaan
pihak yang berkepentingan, ketua dapat memberikan perintah
supaya saksi itu disandra sampai saksi memenuhi kewajibannya
sesuai dengan pasal 141 HIR.
Mengenai penyanderaan ini, berdasarkan SEMA No.2 tahun 1964,
telah dilarang oleh Mahkamah Agung dan hal itu dapat diterapkan pasal
140 dan 141 HIR di atas, yaitu supaya saksi membayar ganti rugi biaya
yang telah dikeluarkan untuk itu. Atau jika kesaksian yang dapat diberikan
sangat penting bagi menang kalahnya pihak yang bersangkutan, maka
pihak yang bersangkutan dapat menuntut ganti rugi. Namun demikian,
hakim sebagai orang yang arif dan bijaksana tentunya dapat memberikan
nasehat agar saksi yang bersangkutan memenuhi kewajibannya.
Dalam Praktik persidangan pengadilan umumnya saksi yang
dipergunakan untuk memperkuat adanya pembuktian 2 (dua) orang saksi
dalam suatu perkara adalah agar hakim dapat mencocokkan keterangan-
keterangan antara saksi yang satu dengan saksi lainnya ada kesamaan atau
tidak. Kecocokan keterangan-keterangan yang diberikan oleh para saksi
tersebut sesuai dengan yang diketahui dan apakah ada hubungannya
dengan perkara para pihak yang sedang dipersengketakan tersebut.10
10 Sarwono, Hukum Acara Perdata: Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Cet-II, h.255-256.
44
B. Syarat-Syarat Saksi dalam Kasus Perceraian
Kesaksian merupakan alat bukti wajar karena berasal dari pihak
ketiga yang melihat atau mengetahui sendiri peristiwa terkait, keterangan
saksi umumnya lebih objektif ketimbang keterangan pihak berkepentingan
sendiri.11 Pentingnya keterangan saksi dikarenakan banyaknya
peristiwa/keadaan hukum yang tidak dicatat atau tidak ada bukti
tertulisnya sehingga hanya kesaksian yang masih tersedia. Namun ada
kemungkinan saksi dengan sengaja dipalsukan oleh pihak yang
berperkara, atau karena suatu peristiwa telah lama terjadinya dan utuh,
apalagi tidak setiap pengamatan terhadap kejadian dimaksudkan sebagai
kesaksian sehingga pengamatan dan pengetahuan saksi yang kurang teliti
dan tidak cermat sehingga dapat saja mengaburkan keterangan yang
diberikan.
Persoalan pembuktian dengan saksi di pengadilan harus
membedakan antara saksi dan pembuktian karena fungsi keduanya sangat
berbeda, misalnya sebagai syarat hukum sahnya nikah harus disaksikan
minimal dua orang saksi, tetapi untuk membuktikan sahnya perkawinan
tidak mesti dua orang saksi, pembuktian bisa dengan pengakuan suami-
istri, dengan sumpahnya, dengan akta nikah, dan lain-lain. Status saksi
terkadang untuk memenuhi syarat hukum dan adakalanya sebagai alat
bukti bahkan bisa juga sekaligus sebagai syarat hukum dan syarat
11 Sudikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,1997),cet,1, h. 166
45
pembuktian. Syarat hukum merupakan syarat materiil sementara syarat
pembuktian merupakan syarat formal.12
Menurut Roihan A. Rasyid, Islam tidak boleh menutup diri dari
kemajuan, demikian pula dalam hal kesaksian wanita dan orang yang
bukan Islam, ia berpendapat apa gunanya Pengadilan Agama bertahan
bahwa saksi harus laki-laki semua dan Islam semua, jika ternyata dengan
menolak saksi perempuan atau kesaksian non-Muslim menyebabkan
hukum materiil Islam menjadi banyak diperkosa, sementara hukum formal
itu mengabdi kepada kepentingan hukum materiil, bukankah orang Islam
dapat menerima hadis-hadis yang diriwayatkan Siti Aisyah, sementara
hadis-hadis itu sendiri merupakan sumber hukum materiil Islam.13
Aturan perundang-undangan hukum positif di Indonesia tidak
mengenal adanya persyaratan mutlak untuk diterimanya seorang menjadi
saksi dari segi jenis kelamin, sifat dan berapa jumlah ideal, perbedaan
agama tidak menjadi halangan untuk menjadi saksi. Prinsip utama dalam
pembuktian adalah terungkapnya kebenaran peristiwa yang menjadi
sengketa sehingga keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan, karena
hukum acara Peradilan Agama adalah juga hukum acara yang berlaku di
Pengadilan Umum, maka tidak menutup kemungkinan hadirnya saksi non-
Muslim di Pengadilan Agama.14
12A Raihan Rosyid, , Hukum Acara Peradilan Agama. (Jakarta: PT.Raja GrapindoPersada,2000).
13 ibid, h.16314 Abdul Manan. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
(Jakarta: yayasan Al-Hikmah, 2000).
46
a. Seorang saksi harus dapat bersikap objektif, karena objektifitas
merupakan syarat yang harus diberikan oleh seorang saksi dalam
persidangan.
Objektifitas kesaksian yang diberikan oleh seorang saksi yaitu :
1) Kesaksiannya dengan keadilan yang relevan.
2) Mampu bertanggung jawab, yakni sudah dewasa sudah berumur 15
tahun keatas, atau sudah pernah kawin dan tidak pernah sakit
ingatan.
b. Syarat formal, merupakan syarat yang secara formal harus dipenuhi
dan dilakukan oleh seorang saksi yaitu:
1) Harus datang disidang pengadilan
2) Harus menerangkan dibawah sumpah
3) Tidak unus testi nulus testis; artinya satu saksi bukan saksi. Saksi
yang hanya seorang diri belum dapat dijadikan dasar pembuktian,
melainkan hanya bernilai sebagai bukti permulaan. Oleh sebab itu
harus disempurnakan dengan alat bukti yang lain, seperti sumpah
atau lainnya.
c. Syarat objektif/material, merupakan syarat mengenai materi yang
harus diterangkan oleh seorang saksi yaitu:
1) Menerangkan tentang apa yang dilihat, yang didengar dan dialami
oleh seorang saksi
47
2) Dasar-dasar atau alasan seorang saksi mengapa ia dapat melihat,
mendengar dan mengalami apa yang diterangkan.
Supaya saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak dapat didengar sebagai
alat bukti maka harus memenuhi syarat-syarat formil dan materiil. Syarat
formil saksi adalah:
a. Memberi keterangan di depan persidangan, pasal 145 ayat (1) HIR
b. Bukan orang-orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi bagi
kelompok yang berhak mengundurkan diri sebagai saksi menyatakan
kesediaannya untuk diperiksa sebagai saksi.
c. Mengangkat sumpah menurut agama yang dianutnya (pasal 147 HIR)
d. Cakap menjadi saksi
e. Diperiksa satu persatu
f. Berumur 15 tahun keatas
g. Sehat akalnya
h. Memberikan keterangan secara lisan, sesuai dengan pasal 144 ayat (1)
HIR
i. Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu
peristiwa, atau dikuatkan dengan alat bukti lain, sebagaimana pasal
169 HIR.15
Adapun orang-orang yang dapat mengundurkan diri dari kewajiban
menjadi saksi adalah:
15 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 165-166.
48
a. Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar perempuan dari salah
satu pihak.
b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki
dan saudara perempuan dari suami atau istri dari salah satu pihak.
c. Semua orang yang karena kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya
yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya
mengenai hal demikian yang dipercayakan padanya, pasal 146 ayat (1)
HIR.
Sumpah Saksi
Apabila orang tidak minta dibebaskan dari memberikan kesaksian
atau jika permintaan untuk dibebaskan tidak beralasan, maka sebelum
saksi itu memberi keterangan lebih dahulu haruslah ia disumpah menurut
agamanya, hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 175 RBg/147 HIR.
Sebagai pengganti sumpah seorang saksi dapat mengucapkan janji
apabila agama dan kepercayaan melarang mengangkat sumpah.
Keterangan saksi tanpa mengangkat sumpah sebelumnya, bukanlah
merupakan alat bukti yang sah.
Bagi saksi yang beragama Islam rumusan atau lafal sumpah itu
berbunyi sebagai berikut: “Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya akan
menerangkan yang benar dan tidak lain dari pada yang sebenarnya”.
Bagi saksi yang beragama Kristen, dengan berdiri sambil mengangkat
tangan kanannya setinggi telinga serta merentangkan jari telunjuk dan jari
49
tengahnya, sesuai pasal 1 S.1920 No.69, mengucapkan sumpah sebagai
berikut;
“saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar dan tidak lain
dari pada yang sebenarnya”.
Bagi saksi ahli rumusan sumpahnya berbunyi sebagai berikut:
saya bersumpah bahwa saya akan memberikan pendapat tentang soal-soal
yang dikemukakan menurut pengetahuan saya sebaik-baiknya”.16
Adapun kesaksian non-Muslim di Pengadilan Agama, dilihat dari
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku adalah merupakan bukti
yang sah dan dapat diterima oleh hakim dilingkungan Peradilan Agama.
Hanya saja, yang harus dipenuhi oleh hakim Pengadilan Agama adalah
syarat ketelitian dan seksama menilai segala hal-hal dan keadaan saksi-
saksi non-Muslim maupun keterangan yang diberikannya apakah dapat
dipercaya atau tidak guna mendukung fakta yang diajukan para pihak yang
bersengketa, sebagaimana juga harus dilakukan terhadap saksi-saksi yang
beragama Islam.
C. Fungsi Saksi dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Saksi dalam Kasus
Perceraian
Apabila saksi telah memenuhi syarat formil dan materiil, maka ia
mempunyai nilai pembuktian bebas. Hakim bebas untuk menilai kesaksian
16 M.Taufik Makaro, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. (Jakarta; PT Rineka Cipta,2004).h.107
50
itu sesuai dengan nuraninya. Hakim tidak terikat dengan keterangan saksi.
Hakim dapat menyingkirkannya asal dipertimbangan dengan cukup
berdasarkan argumentasi yang kuat.
Jika kesaksian itu berasing-asing dan tersendiri dari beberapa
orang, tentang beberapa kejadian dapat menguatkan satu perkara yang
tertentu oleh karena kesaksian itu bersesuaian dan berhubung-hubungan,
maka diserahkanlah pada pertimbangan hakim buat menghargai kesaksian
yang berasing-asing itu sedemikian kuat, sehingga menurut keadaan (pasal
170 HIR).
Dalam hal menimbang harga kesaksian hakim harus menumpahkan
perhatian sepenuhnya tentang permufakatan dari saksi-saksi, contohnya
kesaksian-kesaksian yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang
diperselisihkan, tentang sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi itu
untuk menerangkan dengan cara begini atau begitu, tentang perlakuan atau
adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat
menyebabkan saksi itu dapat dipercaya atau tidak (pasal 172 HIR). Unus
testis nulus testis (Pasal 169 HIR/306 RBg). Artinya satu saksi bukan
saksi. Saksi yang hanya seorang diri belum dapat dijadikan dasar
pembuktian, melainkan hanya bernilai sebagai bukti permulaan. Oleh
sebab itu harus disempurnakan dengan alat bukti lain, seperti sumpah atau
lainnya.
51
Hakim dilarang menetapkan suatu peristiwa sebagai bukti hanya
berdasarkan keterangan seorang saksi yang berdiri sendiri tanpa didukung
alat bukti lain.
Begitu pula ada istilah testimonium de auditu (pasal 171 HIR),
yang berarti kesaksian yang diperoleh secara tidak langsung dengan
melihat, mendengar dan mengalami sendiri melainkan melalui orang lain.
Dalam bahasa fiqh disebut Istifadhoh. Pada dasarnya tidak ada larangan
mendengarkan kesaksian mereka.
Nilai pembuktiannya tidak perlu dipertimbangkan. Menurut
Wirjono, dapat dipergunakan untuk menyusun bukti persangkaan. Begitu
pula keluarga, sedarah atau semenda, buruh/karyawan dan pembantu
rumah tangga dapat didengar sebagai saksi dibawah sumpah dalam
perkara tentang perselisihan keadaan menurut hukum perdata lain, dan
tentang perjanjian pekerjaan, serta tentang perkara perceraian, karena
alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus (pasal 145 ayat
(2) HIR, pasal 76 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 dan pasal 22 PP
No.9/1975).
Alat bukti saksi dalam praktik hukum acara perdata di persidangan
pengadilan sangatlah penting karena berfungsi untuk menguatkan tentang
kejadian atau peristiwa terhadap adanya perbuatan hukum yang dilakukan
oleh para pihak yang sedang berperkara, khususnya kejadian atau
peristiwa perbuatan hukum para pihak yang pembuatannya dilakukan
dibawah tangan, keberadaan saksi sangatlah penting karena apabila ada
52
salah satu pihak yang mengingkari dapat dijadikan alat bukti yang sah.
Dengan adanya saksi tersebut apabila dikemudian hari timbul suatu
permasalahan, maka saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami
langsung peristiwa hukumnya dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah
untuk memperkuat adanya kejadian atau peristiwa hukumnya.17
Pada dasarnya fungsi saksi baru diperlukan apabila bukti dengan
surat atau tulisan tidak ada atau kurang lengkap untuk mendukung atau
menguatkan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar pendiriannya para
pihak. Saksi-saksi ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami
sendiri peristiwa atau kejadian yang harus dibuktikan kebenarannya
dimuka sidang pengadilan, ada juga saksi-saksi itu sengaja diminta untuk
datang menyaksikan suatu peristiwa atau perbuatan hukum yang sedang
dilangsungkan.
Tujuan utama dalam pembuktian saksi adalah menjelaskan
terungkapnya kebenaran peristiwa dan keadaan yang dikemukakan pihak-
pihak yang bersengketa, sehingga putusan yang dihasilkan oleh majelis
hakim benar-benar mencerminkan keadilan, baik bagi pihak yang
dimenangkan maupun pihak yang kalah, sehingga keadilan dan kebenaran
dapat ditegakkan.
17 Sarwono,Hukum Acara Perdata: Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).h.255.
53
D. Kedudukan Saksi Perempuan dalam Kasus Perceraian
Kesaksian yang telah memenuhi syarat formal dan materiil
mempunyai nilai pembuktian bebas, nilai kebenaran kesaksian sifatnya
tidak sempurna dan tidak mengikat baik kepada pihak-pihak maupun
terhadap hakim, hakim bebas menilai kebenaran keterangan saksi sesuai
dengan nuraninya, bahkan hakim dapat mengesampingkan keterangan
saksi asal dipertimbangkan dengan cukup dan berdasarkan argumentasi
yang kuat.
Jika kesaksian berasing-asing tentang beberapa kejadian yang
saling bersesuaian dan berhubungan, maka diserahkan kepada hakim
dalam menghargai nilai kesaksian yang sedemikian kuat menurut keadaan.
Dalam pemeriksaan saksi-saksi, hakim tidak boleh menerima suatu hal
sebagai kenyataan yang di kemukakan oleh saksi selama ia belum yakin
benar tentang kebenaran yang disampaikan oleh saksi tersebut, suatu hal
meskipun disaksikan oleh sekian banyak saksi, tetapi perkara yang
diperiksa itu belum dianggap jika hakim belum yakin terhadap kebenaran
saksi atas segala yang disampaikannya.18
Agar dapat terlaksana dengan baik, hakim harus memerhatikan
dengan seksama cara hidup saksi-saksi yang diajukannya, adat istiadat dan
martabat kehidupan dalam masyarakat apakah tercela atau punya
kebiasaan jelek sehingga tidak dapat dipercaya atau memiliki reputasi baik
sehingga dapat dipercaya.
18 Aris Bintana, Hukum Acara Peradilan Agama dalan Kerangka Fiqh Al-Qadha, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada 2012).
54
Hakim harus memerhatikan dengan cermat segala sesuatu yang
memengaruhi sikap saksi dan apa yang mendorong saksi itu menerangkan
segala sesuatu dalam persidangan.
Hukum positif yang berlaku di Indonesia, termasuk di lingkungan
Peradilan Agama, tidak mengenal adanya pembedaan dan pemilahan
saksi-saksi untuk diterima atau ditolak kesaksiannya dari segi keyakinan
agama, suku bangsa, organisasi politik & masyarakat atau pun dari segi
jenis kelamin, tingkat pendidikan.
Masalah kesaksian dalam hukum positif di Indonesia tidak begitu
diatur. Dalam undang-undang Hukum Perdata (KHUPerdata), yang diatur
hanya sebatas mengenai teknis, hak-hak, siapa saja yang boleh menjadi
saksi dan kewajiban menjadi saksi, tidak diatur spesifik mengenai
bagaimana hukum kesaksian bagi seorang perempuan. Hal ini
mengidentifikasi bahwa dalam sistem hukum positif di Indonesia,
kedudukan saksi laki-laki maupun saksi perempuan sama dan tidak ada
perbedaan antara keduanya.
Kedudukan perempuan dalam hukum positif di Indonesia sama
dengan kedudukan laki-laki, mereka boleh melakukan apa dilakukan oleh
laki-laki. Hal ini mengindifikasikan tidak ada perbedaan antara saksi laki-
laki dan saksi perempuan.
55
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN TENTANG KEDUDUKAN SAKSI
PEREMPUAN MENURUT EMPAT MADZHAB DAN HUKUM POSITIF
A. Persamaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Tentang
kedudukan Saksi Perempuan
Persamaan kedudukan saksi perempuan menurut pendapat Para
Ulama dan Hukum Positif ada dua, yang pertama, memiliki fungsi
kesaksian yang sama yaitu: “Saksi merupakan alat bukti yang sangat
penting. Memberikan keterangan secara lisan di muka sidang atas apa
yang dilihat, didengar dan diketahui secara langsung oleh saksi tersebut
tentang duduk perkara yang disengketakan”. Karena sesungguhnya fungsi
kesaksian itu sendiri tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan
keterlibatan yang bersangkutan dengan peristiwa tersebut.
Persamaan yang kedua memiliki syarat-syarat yang sama yaitu:
1. Berakal sehat tidak gila : karena mereka tidak terpercaya
kesaksiannya jika tidak sehat akalnya, dan jika mabuk.
2. Adil : saksi harus adil dalam memberikan keterangan di dalam
sidang, tidak boleh menyembunyikan, dan memberikan hak-hak
para pihak.
3. Dapat melihat : karena saksi harus mengetahui apa yang dilihat
peristiwa yang sedang terjadi. Meskipun setelah melihat kejadian
saksi tersebut buta, maka kesaksiannya tetap diterima.
56
4. Dapat berbicara : karena keterangan saksi secara lisan dimuka
sidang.
5. Berumur 15 tahun keatas : mampu bertanggung jawab, karena anak
kecil yang belum baligh tidak dapat memberikan kesaksian sesuai
yang diperlukan.
6. Cakap hukum
B. Perbedaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Tentang
Kedudukan Saksi Perempuan.
Dalam kitab-kitab fiqh, hampir semua ulama sepakat bahwa
perempuan ditempatkan secara instrumental dari pada subtansi.
Ketidakhadiran suara perempuan dalam budaya di mana fiqih dirumuskan
diartikan dengan ketiadaan subtansi perempuan dalam Islam.1 Sekilas kita
bisa melihat betapa ketika kemunculan fiqh dalam peradaban Arab sangat
kental dengan budaya patriarkhi, yang melahirkan fiqh yang tidak adil dan
bias gender. Perempuan dinilai separoh dari laki-laki (aqiqah, waris,
kesaksian), mendapat lebel negatif dibatasi dan diproteksi dan masih
banyak diskriminasi lain terhadap hak-hak perempuan. Semua itu tentu
sangat tidak relevan dengan perkembangan realitas sosial budaya yang
semakin egaliter.
Akibat “kejumudan” fiqh akan berimplikasi pada eksitensinya di
kalangan umat Islam, sebagai konsekuensi atas hilangnya relevansi dengan
1 Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (jakarta:Ciputat Press, 2002), Cet, ke-2, h.214
57
realitas perkembangan dan perubahan sosial. Padahal sesungguhnya fiqh
lahir dalam rangka untuk menafsirkan agama dalam perspektif
perkembangan sosial, sehingga agama akan tetap relevan dengan
perkembangan dan persoalan umat.
Ketika Islam datang, harkat perempuan mulai terperhatikan
sehingga perempuan pada masa Rasullah bisa menjadi saksi walaupun
perbandingannya antara laki-laki dan perempuan masih 2 banding 1,
artinya dalam persaksian seorang laki-laki bobotnya sama dengan dua
orang perempuan berdasarkan pada QS. Al-Baqarah: 282, namun hal ini
sudah merupakan kemajuan yang sangat besar yang dilakukan Islam.
Merujuk pada maksud QS. Al-Baqarah: 282, dan persaksikanlah
dari dua orang saksi; bila tidak ada ada dua orang saksi, maka seorang
lelaki dan dua orang perempuan. Yang demikian ini adalah dalam urusan
harta benda.
Agama Islam menganggap kesaksian perempuan separoh dari laki-
laki. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Kaum laki-laki menganggap ingatan perempuan lebih sering lupa
dibandingkan dengan laki-laki, oleh sebab itu kesaksian dua orang
perempuan sama dengan satu orang laki-laki.
2. Saat perempuan melihat suatu kejadian, dia lebih sering menutup
matanya karena alasan takut.
58
3. Perempuan lebih cenderung malu untuk mengatakan sesuatu
dibandingkan laki-laki.2
Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu, Nabi bersabda :
لیس أ: (للنسا النبي صل هللا علیھ وسلم قالأبي سعید الخضري أنعن
). فدلك من نقصان عقلھا: ( قال , بلى: قلنا )شھادة المرأة مثل نصف شھادة الرجل
3).رواه البخاري(
Artinya: Dari Abi Said Al-Khudhri ra. Bahwa Nabi SAW bersabda kepadapara wanita,..“Bukankah kesaksian seorang wanita itu setengah darikesaksian seorang laki-laki?” Para sahabat wanita menjawab : “ya”“yang demikian itu karena (wanita) kekurangan akalnya.” (HR.Bukhari).
Perempuan adalah makhluk yang lemah, perasa dan memiliki
naluri lalai yang selalu takut untuk mendekati hal-hal yang berbau
kekerasan. Mereka menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan
pertengkaran antara mereka dengan kaum laki-laki yang hanya akan
menorehkan hal-hal negatif.
Jumlah saksi : dua saksi laki-laki dewasa atau satu laki-laki dan
dua orang perempuan mengenai hak-hak perdata terhadap harta ataupun
bukan seperti: perkawinan, perceraian, iddah, hiwalah, wakaf, perdamaian,
wikalah wasiat, hibah, perjanjian, ibra’,wiladah dan nasab.
2 Lia Aliyah al-Himmah, Kesaksian Perempuan: Benarkah separoh laki-laki?, (Jakarta :Rahima, 2008).
3 Shahih Bukhari, Kitab Shahih Bukhari Juz 2 Syahadatin Nisa,( Beirut-Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1998) h.195-196.
59
Menurut ulama Hanafiyah ganti satu saksi laki-laki dengan dua
orang perempuan karena lebih pelupa “jika yang satunya lupa yang lain
mengingatkan”(QS Al-Baqarah [2]:282).
Tetapi menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah saksi
perempuan bersama laki-laki tidak diterima kecuali yang ada kaitannya
dengan harta seperti; jual beli, sewa, hibah, wasiat, gadai dan kafalah.
Karena pada dasarnya tidak boleh menerima kesaksian perempuan karena
kelemahlembutannya akan mengalahkan dirinya dan sedikitnya kuasa
pada perempuan. Adapun dalam persoalan selain harta seperti; nikah,
rujuk, talak, hiwalah, pembunuhan sengaja, hudud selain zina, tidak boleh
diputuskan selain dua orang saksi laki-laki dewasa.
Kebenaran yang diambil untuk seseorang dari yang lain tidak boleh
kurang kesempurnaannya, yaitu tidak boleh diterima jika kurang dari dua,
sesuai perintah Allah sebagaimana persaksian dalam talak, rujuk, dan jual
beli. Saksi perempuan tidak boleh kecuali bersama laki-laki dan harus dua
orang atau lebih. Apabila jumlah saksi sempurna sesuai perintah Allah,
yaitu empat orang laki-laki dalam kasus zina.
Perbedaan Kedudukan saksi Perempuan dalam Hukum Positif
Masalah kesaksian dalam hukum positif di Indonesia tidak begitu
diatur, dalam kitab-kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KHUPerdata),
yang diatur hanya sebatas mengenai teknis, hak-hak, siapa saja yang boleh
menjadi saksi dan kewajiban menjadi saksi, tidak diatur secara spesifik
60
mengenai bagaimana hukum kesaksian bagi seorang perempuan, hal ini
mengindikasikan bahwa dalam sistem hukum positif di Indonesia,
kedudukan saksi laki-laki maupun saksi perempuan sama dan tidak ada
perbedaan di antara keduanya.
Kedudukan perempuan dalam hukum positif di Indonesia sama
dengan laki-laki, mereka boleh melakukan apa saja yang dilakukan oleh
laki-laki, dengan alih-alih kesetaraan gender dan hak asasi, kebebasan
perempuan tidak boleh dibatasi oleh siapapun.
Masalah kesaksian bisa di lihat dalam kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, pada umumnya dijelaskan, semua orang yang cakap
menjadi saksi, diharuskan memberikan kesaksian dimuka hakim atau
dapat meminta untuk dibebaskan dari kewajibannya memberikan
kesaksian. Hal ini sesuai dengan KHUPerdata, yang berbunyi: “Semua
orang yang cakap untuk menjadi saksi, diharuskan memberikan kesaksian
di muka hakim.
Adapun praktek Hukum Acara Perdata saat ini, khususnya di
lingkungan peradilan agama, kesaksian seorang perempuan diakui
memiliki nilai pembuktian yang sama dengan kesaksian seorang laki-laki.
Dalam kasus-kasus yang ditangani oleh pengadilan agama, khususnya
dalam masalah perceraian, saksi-saksi perempuan yang dihadirkan dalam
tahap persidangan pembuktian diakui sama kedudukannya dengan saksi
laki-laki. Ini merupakan sebuah fakta yang menunjukkan bahwa kesaksian
61
kaum perempuan sudah mendapatkan pengakuan sama dengan kesaksian
kaum laki-laki.
Hal ini mengindikasikan tidak ada perbedaan antara saksi laki-laki
dan perempuan. Hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan
peradilan agama terkait dengan alat bukti saksi bersumber dari HIR, pasal
139-152 dan KHUPerdata, pasal 1902-1912. Berkaitan dengan sumber
hukum tidak ditemukan ketentuan yang mengatur tentang nilai pembuktian
saksi berdasarkan jenis kelamin, dalam pengertian bahwa baik saksi laki-
laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama.
Kebanyakan pakar hukum berpendapat bahwa dalam persidangan
pengadilan agama dalam masalah perceraian kesaksian perempuan tidak
dipermasalahkan. selama saksi memenuhi syarat-syarat. Dan dalam hukum
formil dan materiil tidak mengatur ditentukannya harus laki-laki ataupun
perempuan artinya tidak ada pengecualian antara keduanya.
Berdasarkan yang mereka pahami, memang benar saksi yang
terdapat dalam nash al-Quran surah Al-Baqarah ayat 282 bahwa jika tidak
ada 2 orang laki-laki maka boleh 2 orang perempuan dengan 1 laki-laki.
Namun itu tidak berlakukan di Pengadilan Agama saat ini. Berdasarkan
pemahaman mereka bahwa awal turunnya ayat ini pada zaman di mana
perempuan itu tidak pernah berpengalaman dengan hal-hal politik, berbeda
dengan perempuan yang ada pada saat ini dengan berkembangnya zaman
yang semakin modern dan teknologi yang canggih banyak perempuan
yang berhubungan dengan hal-hal politik bahkan perempuan bisa menjadi
62
pemimpin. Di Pengadilan Agama kedudukan saksi seperti yang diatur oleh
hukum acara yang berlaku. Dimana pembuktian bisa terima selama saksi
mengetahui peristiwa yang akan dibuktikan, sebagaimana ketentuan dalam
hukum acara yang berlaku. Jadi berapa pun yang akan menjadi saksi jika
dia tidak mengetahui peristiwa atau dalil-dalil yang digugatkan maka itu
tidak berlaku di Pengadilan terhadap sengketa apapun. Jika, terdapat 1
saksi perempuan dan 1 laki-laki dan bisa mengetahui peristiwa itu
membuktikan dalil gugatannya maka diperbolehkan menjadi saksi selama
mamenuhi syarat formil dan materiil. Seperti: dewasa, berakal, adil, cakap,
menjadi saksi serta melihat, mendengar dan mengetahui peristiwa.
Sedangkan batas minimal saksi di Pengadilan sebagaimana yang
terdapat dalam hukum acara yaitu; 2 orang saksi sedang memenuhi syarat
formil dan materiil itulah yang dianggap saksi, memang jika lebih banyak
saksi itu lebih bagus, namun jika banyaknya saksi tidak memenuhi syarat
formil dan materiil maka tidak diperlukan menjadi saksi.
C. Analisis Penulis
Dari penjelasan diatas penulis lebih cenderung setuju dengan
pendapat undang-undang, karena kedudukan kesaksian dalam undang-
undang tidak membedakan antara saksi laki-laki maupun perempuan.
Meskipun pada dasarnya undang-undang mengikuti madzhab Imam
Syafi’i tetapi pendapat imam Syafi’i yang tidak memperbolehkan saksi
perempuan tidak bisa diterapkan pada zaman sekarang. Karena
sesungguhnya hukum itu berlaku sesuai dengan perkembangan zaman.
63
Tapi meskipun penulis lebih setuju dengan pendapat undang-undang,
penulis juga tidak menolak sepenuhnya pendapat imam syafi’i, karena
pada dasarnya memang benar pendapat imam Syafi’i bahwa perempuan
itu lebih mengutamakan perasaan dan emosional. Tapi perempuan yang
dimaksud oleh imam Syafi’i adalah perempuan pada zaman dahulu,
sedangkan perempuan pada zaman sekarang sudah banyak yang
berpendidikan bahkan tidak sedikit yang pendidikannya lebih tinggi dari
laki- laki. Jadi pendapat imam Syafi’i tersebut tidak bisa diterapkan lagi
pada zaman yang sudah modern seperti sekarang.
Selain itu kenapa penulis lebih setuju dengan undang-undang
karena pada dasarnya kesaksian seorang saksi itu tidak dipengaruhi oleh
jenis kelamin, tetapi yang lebih penting saksi tersebut memang benar-
benar memenuhi syarat- syarat materil dan formil sebagai saksi, yaitu:
a. Memberi keterangan di depan persidangan, pasal 145 ayat (1) HIR
b. Bukan orang-orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi bagi
kelompok yang berhak mengundurkan diri sebagai saksi menyatakan
kesediannya untuk diperiksa sebagai saksi.
c. Mengangkat sumpah menurut agama yang dianutnya (pasal 147 HIR)
d. Cakap menjadi saksi
e. Diperiksa satu persatu
f. Berumur 15 tahun keatas
g. Sehat akalnya
64
h. Memberikan keterangan secara lisan, sesuai dengan pasal 144 ayat (1)
HIR
i. Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa,
atau dikuatkan dengan alat bukti lain, sebagaimana pasal 169 HIR.
Jadi pada intinya jika syarat formil dan materil diatas sudah
terpenuhi maka kesaksian orang tersebut dapat diterima, baik dia laki- laki
maupun perempuan. Dan yang lebih pentingnya saksi tersebut memang
melihat, mendengar dan mengetahui secara langsung kejadian atau duduk
perkaranya.
65
BAB VPENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian menurut Empat
Madzhab yaitu Syafi’iyah, Imam Malikiyah, dan Imam Hanabilah.
mensyaratkan saksi harus laki-laki. Kesaksian perempuan tidak bisa
diterima walaupun di dampingi laki-laki. Kesaksian satu orang laki-
laki dan dua orang perempuan tidak sah sebagaimana hadis riwayat
Abdul Razaq dan Zuhri yang menjelaskan bahwa Nabi SAW
menyatakan perempuan tidak sah menjadi saksi dalam urusan pidana,
nikah dan thalaq. Sedangkan menurut Hanafiyah bahwa dua orang
saksi boleh dari perempuan yakni dua orang perempuan dan satu laki-
laki.
Adapun kedudukan saksi perempuan menurut Hukum Positif adalah
kedudukan perempuan dalam hukum positif di Indonesia sama dengan
kedudukan laki-laki, mereka boleh melakukan apa yang dilakukan oleh
laki-laki, dengan argumentasi kesetaraan gender dan hak asasi
manusia. Hal ini mengindikasikan tidak ada perbedaan antara saksi
laki-laki dan saksi perempuan.
2. Persamaan pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Di Indonesia
Tentang Kedudukan Saksi Perempuan yaitu Persamaan kedudukan
saksi perempuan menurut pendapat Para Ulama dan Hukum Positif ada
dua, yang pertama, memiliki fungsi kesaksian yang sama yaitu: “Saksi
66
merupakan alat bukti yang sangat penting. Memberikan keterangan
secara lisan di muka sidang atas apa yang dilihat, didengar dan
diketahui secara langsung oleh saksi tersebut tentang duduk perkara
yang disengketakan”. Karena sesungguhnya fungsi kesaksian itu
sendiri tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan keterlibatan
yang bersangkutan dengan peristiwa tersebut.
Persamaan yang kedua memiliki syarat-syarat yang sama yaitu:
Berakal sehat tidak gila, Adil, Dapat melihat, Dapat berbicara,
Berumur 15 tahun keatas, Cakap hukum.
3. Perbedaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Tentang
Kedudukan Saksi Perempuan. Agama Islam menganggap kesaksian
perempuan separoh dari laki-laki. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya:
- Kaum laki-laki menganggap ingatan perempuan lebih sering lupa
dibandingkan dengan laki-laki, oleh sebab itu kesaksian dua orang
perempuan sama dengan satu orang laki-laki.
- Saat perempuan melihat suatu kejadian, dia lebih sering menutup
matanya karena alasan takut.
- Perempuan lebih cenderung malu untuk mengatakan sesuatu
dibandingkan laki-laki.
Adapun kedudukan saksi perempuan dalam hukum positif di Indonesia
sama dengan laki-laki.
67
B. Saran-saran
1. Disarankan adanya penelitian lanjutan terkait dengan kekuatan saksi
perempuan dalam menyelesaikan suatu perkara di pengadilan agama.
2. Disarankan kepada hakim untuk lebih tegas dan lebih teliti dalam
memeriksa kesaksian dari para saksi baik laki-laki maupun perempuan.
68
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Khalik, Fiqh an-Nisai fi Dhou’i al-‘Arba’ah, (Damaskus: Daar al-Kitab al-arba’ah, (Damaskus: Daar al-Kitab al-‘Arabi, 1414H.
Al-jaziri, Abdurrahman, Hukum Acara Perdata. Jakarta: Universitas TriSakti,2001.
Ali Engineer,Asgar. Jenis Kelamin Tuhan: Lintas Batas Tafsir Agama.Yogyakarta: Lkis,2002.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika,2009.
Aliyah,Lia al-Himmah, Kesaksian Perempuan: Benarkah separohLaki-laki?. Jakarta: Rahima, 2008.
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara dan HukumPositif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004.
Arto,Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Penagdilan Agama.Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005.
Aris Bintana, Hukum Acara Peradilan Agama dalan Kerangka Fiqh Al-Qadha. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2012.
Dasuki,Hafidz. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru VanHoeve,1999.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Faruq,Assadulloh. Hukukm Acara Peradilan Islam. Jakarta : PT. BukuKita, 2009.
69
Hasyim,Utsman. Teori Pembuktian Menurut Fiqh Jinayah Islam.Yogyakarta: Andi Offset, 1984.
Het Herziene Indlandsche Reglement/Reglement Indonesia yang dibaharui(HIR/RIB).
Hosein,Ibrahim. Fiqh Perbandingan:dalam Masalah Nikah, Talaq, Rujuk,dan Hukum Kewarisan. Jakarta: Balai Pustaka Islam Yayasan IhyaUlumuddin, 1971.
Indra,Hasbi dkk. , Potret Wanita Sholeha. Jakarta: Peanamadani, 2004.
KUH Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. PustakaMahardika.
Makaro,Taufik,M. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta; PTRineka Cipta, 2004.
Manan,Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan PeradilanAgama. Jakarta: yayasan Al-Hikmah, 2000.
Mertokusumo,Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet-1,Yogyakarta: Liberty,2002.
Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Al-umm, j-3, Beirut-Libanon: Dar al-Ma’rifah.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab (Ja’fari, Maliki,Hanafi, syafi’i, Hanbali), terj. Masykur AB dkk, Jakarta:Lentera,2002.
Moeloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT.Remaja Rosda Karya 2004.
Natsir,M. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Djambatan, 2003.
70
Rambe,Ropaun, dan A.Mukri Agafi, Implementasi Hukum Islam. Jakarta:PT. Perca, 2001.
Rosyid, Raihan, Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT.RajaGrapindo Persada,2000.
Rusd Ibn, Bidayah al-Mujtahid. Beirut: Daar Ahya al-Kitab al-‘Arabiyah.
Sabiq,Sayyid, Fiqh Sunnah, Dar Fath Lili’lami al-Arabiy, cet-1. Jakarta:Cakrawala Publishing,2009.
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’am membangun Tradisi KesalehanHakiki. Jakarta: Ciputat Press, 2002
Santoso,Anando. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika,1995.
Sarwono, Hukum Acara Perdata: Teori dan Praktik. Jakarta: SinarGrafika, 2011.
Sayid Abu Bakr al-Dimyati, I’anatu al-Thalibin, Beirut-Libanon: Ihya’ al-Turas al-‘Araby,
Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung: Binacipta, 1989.
Supramono, Gatot, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama. UjungPnadang: Alumni 1993.
Syukri.Juani,A. Keyakinan Hakim dalam Pembuktian Perkara PerdataMenurut Hukum Acara Positif dan Hukum Acara Islam. Jakarta:PT. Magenta Bhakti Guna, 1986.
Tirmidzi, terjemahan hadits. Bairut: Libanon, 2004.
71
Umar,Abdur rahman. Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut HukumIslam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Siti Sajaroh,Wiwi. Gender Dalam Islam. Jakarta: PSW UIN-Jakarta-McGill Project,2003.
Zuhaili,Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatu. Suariah: Dar al-Fikr:Damsyiq-Suriah, 2002.
Top Related