KEBIJAKAN MONETER DAN RENTANNYA
SEKTOR RIIL
Oleh Drs. Rum Rosyid, MM
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PONTIANAK
2010
Daftar Isi
Kata Pengantar 3
Pendahuluan 4
Perbankan dan stabilitas system keuangan 4
Peran Bank Indonesia dalam Stabilitas Sistem Keuangan 6
Ketidakstabilan ekonomi dan ledakan pengangguran 9
Stabilitas Sistem Keuangan 13
Jaring Pengaman Sistem Keuangan 15
1. Pengaturan dan Pengawasan Bank yang efektif 16
2. Lender of last Resort 16
3. Skim Penjaminan Simpanan (deposit insurance) yang memadai 16
4. Kebijakan Resolusi Krisis yang efektif 17
Target Variables dan Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter 17
Benarkah investasi asing menguntungkan bagi Indonesia 18
Krisis ekonomi AS : pertumbuhan ekonomi Indonesia 21
Pemulihan Ekonomi Asia Terus Berlanjut 22
Kepustakaan
2
Kata Pengantar
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah dalam bidang moneter perbankan. Kebijakan moneter perbankan telah
mendominasi perekonomian. Dengan kata lain moneter lebih dominant dalam mengatur
dunia perekonomian. Paradigma ini merentang semenjak masa Wicksel hingga terjadinya
revolusi Keynesian yang berhasil merumuskan teori preferensi likuiditas. Dari model
inilah kita berhasil memahami bahwa sektor riil merupakan anak tiri dari dunia
perekonomian. Dimana model produksi dalam ekonomi klasik digantikan dengan uang
yang mampu memproduksi dirinya sendiri karena ianya selain alat tukar sekaligus
komoditi layaknya barang dan jasa.
Sebagai hasil paradigma tersebut adalah realitas Bubble economic. Dari sinilah muncul
berbagai macam antinormal realitas, berbagai macam krisis moneter hingga kelangkaan
komoditi. Keseimbangan antara sektor moneter dan sektor riil terus-menerus tarik
menarik dan sektor moneter adalah pemenangnya. Dengan kata lain antara pengusaha dan
kapitalis saling bersaing secara tidak seimbang pada gilirannya kapitalis yang
memenangkannya.
Upaya untuk memahami realitas kebijakan moneter adalah tujuan penulisan karya ilmiah
ini. Pada gilirannya secara jelas akan dapat ditemukan benang merah antara sektor
moneter dan sektor riil. Yaitu memahami keduanya bukan sebagai rival tetapi sebagai
pasangan ‘yin-yang’ yang terus menerus dan seimbang.
Akhirul kalam semoga bermanfaat bagi kita semua, Amiin
Pontianak, 24 Mei 2010
Wassalam
Penulis
3
Pendahuluan
Saat krisis ekonomi melanda Indonesia, tingkat inflasi meningkat tajam dan pernah
mencapai angka 82,40 persen pada September 1998. Tingkat inflasi yang tinggi pada saat
itu mencerminkan ketidakstabilan harga, hal ini tentu saja mengurangi daya beli
masyarakat. Ketika inflasi terjadi, jumlah uang yang beredar akan meningkat. Hal
tersebut akan berdampak pada terdepresiasinya nilai tukar Rupiah. Nilai tukar Rupiah
selalu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, pada saat sebelum krisis yaitu dari tahun
1993-1996, nilai tukar Rupiah berada pada kisaran 2.110 - 2.383 Rupiah per US Dollar.
Namun, ketika terjadi krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia pada pertengahan
tahun 1997, perekonomian Indonesia terkena dampak negatifnya. Krisis ekonomi yang
terjadi di Asia ini diawali dengan melemahnya Bath Thailand yang melahirkan
contagion-effect (efek menular ke negara lain) dan menyebabkan krisis mata uang yang
merambat ke negara Asia lainnya, termasuk Indonesia.
Krisis mata uang yang melanda Indonesia ditandai dengan melemahnya mata uang
Rupiah terhadap Dollar pada pertengahan tahun 1997. Rupiah yang bernilai Rp 2.540 per
US Dollar pada bulan Juni 1997, mengalami depresiasi secara terus menerus hingga akhir
tahun 1997 mencapai 4.650 Rupiah per US Dollar. Untuk menahan laju nilai tukar
Rupiah ini, maka pada tanggal 14 Agustus 1997 pemerintah melepas sistem kurs
mengambang terkendali (Managed Floating System) dan menerapkan sistem kurs
mengambang bebas (Free Floating System). Namun, memasuki tahun 1998 kondisi nilai
tukar Rupiah semakin parah dan puncaknya mencapai 14.850 Rupiah per US Dollar pada
Juni 1998.
Perbankan dan stabilitas system keuangan
4
Untuk meredam melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar dan tingkat inflasi yang
tinggi ini, Bank Sentral meningkatkan tingkat suku bunga SBI yang pada bulan
November 1998 menyentuh angka 61 persen per tiga bulan. Langkah yang dilakukan ini,
disatu sisi memang berhasil menurunkan laju inflasi dari 77,63 persen pada tahun 1998
menjadi 2 persen pada akhir tahun 1999. Namun, disisi lain keadaan ini berdampak
kurang baik pada tingkat investasi di Indonesia. Salah satu buktinya yaitu pada tahun
1997, pelarian arus modal keluar mencapai 3,5 milyar Dollar, sementara pada tahun 1998
dan tahun 1999 mengalami penurunan, yakni masing-masing sebesar 19,7 milyar Dollar
dan 11,3 milyar Dollar. Pelarian modal tentu akan mengakibatkan dana untuk investasi
menurun secara tajam, dan berdampak pada penyerapan tenaga kerja.
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sebenarnya belum memiliki definisi baku yang telah
diterima secara internasional. Oleh karena itu, muncul beberapa definisi mengenai SSK
yang pada intinya mengatakan bahwa suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil
pada saat sistem tersebut telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi. Di
bawah ini dikutip beberapa definisi SSK yang diambil dari berbagai sumber:
” Sistem keuangan yang stabil mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap
kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap kegiatan sektor
riil dan sistem keuangan.” . ” Sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang
kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan
fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik.”
” Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam
penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan
mendukung pertumbuhan ekonomi.” Arti stabilitas sistem keuangan dapat dipahami
dengan melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan instabilitas
di sektor keuangan. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam
penyebab dan gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar,
baik karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat
bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Risiko yang sering
menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko likuiditas,
risiko pasar dan risiko operasional.
5
Meningkatnya kecenderungan globalisasi sektor finansial yang didukung oleh
perkembangan teknologi menyebabkan sistem keuangan menjadi semakin terintegrasi
tanpa jeda waktu dan batas wilayah. Selain itu, inovasi produk keuangan semakin
dinamis dan beragam dengan kompleksitas yang semakin tinggi. Berbagai perkembangan
tersebut selain dapat mengakibatkan sumber-sumber pemicu ketidakstabilan sistem
keuangan meningkat dan semakin beragam, juga dapat mengakibatkan semakin sulitnya
mengatasi ketidakstabilan tersebut. Identifikasi terhadap sumber ketidakstabilan sistem
keuangan umumnya lebih bersifat forward looking (melihat kedepan). Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui potensi risiko yang akan timbul serta akan
mempengaruhi kondisi sistem keuangan mendatang. Atas dasar hasil identifikasi tersebut
selanjutnya dilakukan analisis sampai seberapa jauh risiko berpotensi menjadi semakin
membahayakan, meluas dan bersifat sistemik sehingga mampu melumpuhkan
perekonomian.
Peran Bank Indonesia dalam Stabilitas Sistem Keuangan
Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama Bank
Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan
(perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga
stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya
dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter dan
stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan
moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula
sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan
moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter,
sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter
tidak dapat berjalan secara normal.
Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas
sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi
latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan tugas dan
6
tanggung jawab Bank Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana peranan Bank Indonesia
dalam memelihara stabilitas sistem keuangan? Sebagai bank sentral, Bank Indonesia
memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran
utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan itu adalah: Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas
moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank
Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan
berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung
terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga
yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula
sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah
menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting framework.
Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga
keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan
seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di
negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem
keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan
keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan
tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan.
Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan
serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada
menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas
sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement)
dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong
kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan
secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia
dan rencana implementasi Basel II.
Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta
7
dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius
dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan
risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang
bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk
mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara
lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat real time atau dikenal dengan
nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan
keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran,
Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial
dalam sistem pembayaran.
Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat
mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui
pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor
keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada
stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan
instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan.
Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas
terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam
sektor keuangan..
Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan
melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR
merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis
guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR
mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya
diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu
terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat
diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih
memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai
LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu,
8
pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam
penyediaan likuiditas tersebut.
Dalam menetapkan anggaran negara untuk mengelola makro ekonomi, ada tiga
kebijakan yang bisa dilakukan, yaitu: kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan
nilai tukar. Namun sejak adanya krisis, nilai tukar sudah diserahkan pada market dan
kebijakan nilai tukar bukan lagi menjadi instrumen yang controllable. Praktis tinggal dua
instrumen besar lagi yang dimiliki pemerintah, yaitu kebijakan moneter dan fiskal.
Manajemen makro ekonomi harus mengacu pada necessary condition agar suatu
perekonomian berjalan normal. Oleh karena itu, kebijakan makro idealnya menghasilkan
pertumbuhan ekonomi tinggi, inflasi rendah, unemployment rendah, balance of payment
seimbang, dan membutuhkan sufficient condition. Kebijakan yang ditempuh harus
mampu menstimulasikan kondisi peningkatan peran ekonomi usaha kecil dan mampu
meredam lonjakan harga-harga barang, di samping memperbaiki undang-undang
lembaga keuangan atau perbankan dengan sebaik-baiknya.
Akibat krisis finansial yang terjadi, banyak para pengusaha yang gulung tikar karena
dililit hutang bank, sehingga banyak pekerja atau buruh pabrik yang terpaksa di-PHK
atau dibebastugaskan oleh perusahaan. Hal ini menjadi salah satu pemicu terjadinya
ledakan pengangguran, yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif
singkat.
Ketidakstabilan ekonomi dan ledakan pengangguran
Ledakan pengangguran yang terjadi di tahun 1998 yakni sekitar 1,4 juta pengangguran
terbuka baru. Selain itu, kinerja perekonomian yang lambat juga menyebabkan
pengangguran terbuka, dimana pada tahun 2005 mencapai 10,84 persen (11,6 juta orang),
jauh lebih tinggi dari level sebelum krisis pada tahun 1997 sebesar 4,7 persen. Dengan
kata lain, pertumbuhan ekonomi diperkirakan saat ini tidak cukup menampung angkatan
kerja yang bertambah 1,8 juta orang per tahunnya. Sulitnya mengurangi tingkat
pengangguran atau menciptakan lapangan kerja baru, menjadi cerminan lambatnya gerak
9
laju ekspansi sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja yang terus bertambah setiap
tahunnya. Berbagai indikator ekonomi makro moneter sepanjang tahun 2005
menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih belum stabil, ini berarti ekonomi
Indonesia masih rawan terhadap berbagai guncangan. Ketidakstabilan indikator makro
ekonomi ini dapat dilihat dari adanya peningkatan inflasi dan suku bunga, volatilitas nilai
tukar dan adanya kecenderungan kenaikan tingkat pengangguran.
Kuatnya cadangan devisa kita sifatnya sementara (kondisional), yang didasarkan pada
kondisi ekonomi global bukan atas dasar kekuatan inti ekonomi Indonesia. Adalah benar
jika dikatakan bahwa kondisi ekonomi makro Indonesia saat ini adalah baik. Namun di
balik kondisi itu tersimpan masalah yang kiranya perlu dipersoalkan. Masalah ini
menyangkut pada kebijakan yang dijalankan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia,
selaku bank sentral. Kedua institusi ini telah gagal atau memang sengaja untuk tidak
menjaga keseimbangan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor) dengan maksud
untuk mengejar target inflasi yang rendah. Atau dengan kata lain, berupaya agar nilai
tukar rupiah menguat untuk menekan tingkat inflasi.
Kebijakan ini berdampak pada tingkat pengangguran menjadi tinggi dan tidak bangkitnya
sektor riil. Pengangguran yang tinggi dan tersendatnya sektor riil inilah yang merupakan
masalah dari kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
Kebijakan ekonomi makro seharusnya dapat menjaga keseimbangan pada perdagangan
luar negeri. Kebijakan ekonomi makro seharusnya dapat menjaga kepentingan kegiatan
ekspor dan impor.
Dalam kebijakan yang berjalan, hal ini tidak dilakukan sehingga terjadi kepincangan
antara kegiatan ekspor dan impor. Kegiatan impor berjalan mulus dengan kuatnya nilai
tukar rupiah. Namun kegiatan ekspor terganggu karena daya saingnya di pasar ekspor
menjadi menurun dan dorongan untuk memperkuat ekspor juga menjadi menurun,
dampak dari menguatnya nilai tukar rupiah tersebut. Harga barang ekspor Indonesia saat
ini relatif mahal sementara harga barang impor menjadi murah karena nilai tukar rupiah
yang semakin kuat. Inilah kepincangan yang dimaksud. Kekuatan dari keduanya (ekspor
10
dan impor) menjadi tidak seimbang dan ini tidak menyehatkan perekonomian Indonesia
dalam jangka panjang.
Kepincangan ini akan mempengaruhi (mengurangi) penerimaan cadangan devisa dan ini
sangat berbahaya. Hal ini juga memungkinkan bertambahnya tenaga kerja yang
menganggur jika nilai tukar rupiah semakin menguat, sejalan dengan semakin turunnya
kegiatan ekspor. Bank Indonesia selalu mengumumkan bahwa jumlah cadangan devisa
Indonesia terus bertambah sehingga mereka sangat optimis dengan kekuatan ekonomi
makro yang sebenarnya rapuh. Mereka tidak menyatakan bahwa naiknya jumlah
cadangan devisa bukan dari ekspor tapi sebagian besar dari masuknya modal luar negeri
(capital inflow) yang sifatnya sementara, di saat imbal hasil yang diberikan
perekonomian Indonesia relatif tinggi. Tapi bagaimana jika keadaan ekonomi global
membaik. Tentu capital inflow akan berubah menjadi capital outflow dan cadangan
devisa akan turun dan nilai tukar rupiah akan terkoreksi sangat dalam.
Jadi apa yang dikatakan bahwa cadangan devisa Indonesia cukup kuat sifatnya adalah
sementara (kondisional), yang didasarkan pada kondisi ekonomi global bukan atas dasar
kekuatan inti ekonomi Indonesia. Kekuatan inti ekonomi Indonesia saat ini adalah
kegiatan agraria dan ekspor (pertanian dan industri), bukan pada sektor keuangan seperti
yang dibanggakan oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Dengan demikian
terjawablah sudah mengapa perekonomian makro yang semakin kuat tidak menyentuh
dan mendorong sektor ekonomi riil. Terjawablah sudah mengapa ditengah ekonomi
makro yang kuat, yang dinyatakan pemerintah, justru tingkat pengangguran semakin
tinggi.
Sehingga sebagian orang mengatakan bahwa ekonomi Indonesia saat ini adalah ekonomi
bayang-bayang, cukup indah tapi tidak mempunyai kekuatan apapun bagi mendorong
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia hanya
bermain dalam angka keuangan dan persentase serta bermain dalam kondisi ekonomi
dunia yang sedang krisis, tidak pada bagaimana memperkuat perekonomian dalam negeri.
Dalam jangka panjang ini sangat berisiko dan dapat diprediksi akan terjadi kefatalan pada
11
perekonomian Indonesia dikala ekonomi negara negara dunia sudah pulih dan berkuasa
kembali. Kebijakan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia ini didasarkan pada
keinginan mereka untuk memfokuskan peran mereka pada tingkat inflasi yang rendah
dan ingin mendapatkan suku bunga yang rendah. Memang benar bahwa nilai tukar rupiah
dan suku bunga merupakan faktor pendorong naiknya inflasi dan oleh sebab itu perlu
dikawal. Tapi sekadar inikah yang ingin dicapai dalam kebijakan ekonomi makro.
Seharusnya tidak demikian karena kebijakan ekonomi makro menyangkut pada banyak
hal seperti bagaimana mendorong sektor riil, bagaimana memperbesar kesempatan kerja,
bagaimana menjaga kestabilan nilai tukar rupiah (bukan penguatan nilai tukar) dan
bagaimana menjaga keseimbangan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor). Ianya
mencakup pada kegiatan yang luas dan tidak hanya dengan memperhatikan satu elemen
saja. Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia menjadikan pencapaian tingkat inflasi
yang rendah sebagai suatu prestasi. Mereka tidak melihat pada sektor yang lainnya
seperti semakin tingginya jumlah tenaga kerja yang menganggur dan sebagainya. Itu
berarti mereka lebih senang bermain di sektor keuangan dari pada di sektor riil.
Mereka lebih senang bermain dalam hitungan angka angka yang tidak membumi pada
perekonomian Indonesia daripada bagaimana mendorong perekonomian riil,
meningkatkan produksi dan meningkatkan kesempatan kerja.
Berdasarkan pengamatan, Bank Indonesia sendiri selalu terlambat melakukan intervensi
dikala nilai tukar rupiah menguat. Tidak demikian yang dilakukan oleh Bank of Japan,
bank sentral Jepang. Mereka sangat sensitif dengan menguatnya mata uang Yen karena
akan mengganggu kinerja ekspor mereka. Kekuatan ekonomi Jepang ada pada ekspor
barang barang industri. Jepang sangat kuat menjaga kestabilan nilai tukar mata uang Yen.
Berbeda dengan Jepang, justru Bank Indonesia segera melakukan intervensi dikala nilai
tukar rupiah melemah. Bank Indonesia sangat berkepentingan dengan penguatan nilai
tukar rupiah dalam upaya mengejar target inflasi. Kebijakan Bank Indonesia tidak
memihak pada pengembangan sektor riil, khususnya kegiatan ekspor.
12
Kita juga melihat bagaimana kebijakan Kementerian Perdagangan tidak diperhatikan
dikala Kementerian Keuangan menetapkan sebuah kebijakan. Kebijakan ekonomi makro
yang dijalankan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia betul betul hanya bermain di
sektor keuangan dengan mengabaikan sektor riil. Dalam jangka panjang ini sangat
berisiko. Diharapkan agar kebijakan ini dapat ditinjau kembali sebelum terjadi hal yang
tidak diinginkan. Kebijakan ekonomi makro adalah suatu kebijakan yang bersifat
menyeluruh (komprehensif). Seharusnya, itulah yang perlu dilakukan oleh Kementerian
Keuangan dan Bank Indonesia.
Stabilitas Sistem Keuangan
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sebenarnya belum memiliki definisi baku yang telah
diterima secara internasional. Oleh karena itu, muncul beberapa definisi mengenai SSK
yang pada intinya mengatakan bahwa suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil
pada saat sistem tersebut telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi. Di
bawah ini dikutip beberapa definisi SSK yang diambil dari berbagai sumber:
” Sistem keuangan yang stabil mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap
kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap kegiatan sektor
riil dan sistem keuangan.”
” Sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap
berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi,
melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik.”.
” Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam
penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan
mendukung pertumbuhan ekonomi.” Arti stabilitas sistem keuangan dapat dipahami
dengan melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan instabilitas
di sektor keuangan. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam
penyebab dan gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar,
baik karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat
bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Risiko yang sering
menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko likuiditas,
risiko pasar dan risiko operasional.
13
Meningkatnya kecenderungan globalisasi sektor finansial yang didukung oleh
perkembangan teknologi menyebabkan sistem keuangan menjadi semakin terintegrasi
tanpa jeda waktu dan batas wilayah. Selain itu, inovasi produk keuangan semakin
dinamis dan beragam dengan kompleksitas yang semakin tinggi. Berbagai perkembangan
tersebut selain dapat mengakibatkan sumber-sumber pemicu ketidakstabilan sistem
keuangan meningkat dan semakin beragam, juga dapat mengakibatkan semakin sulitnya
mengatasi ketidakstabilan tersebut. Identifikasi terhadap sumber ketidakstabilan sistem
keuangan umumnya lebih bersifat forward looking (melihat kedepan). Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui potensi risiko yang akan timbul serta akan
mempengaruhi kondisi sistem keuangan mendatang. Atas dasar hasil identifikasi tersebut
selanjutnya dilakukan analisis sampai seberapa jauh risiko berpotensi menjadi semakin
membahayakan, meluas dan bersifat sistemik sehingga mampu melumpuhkan
perekonomian.
Perekonomian yang stabil akan lebih disukai dibandingkan dengan perekonomian yang
mengalami gejolak dan guncangan. Kestabilan menjadi sangat penting karena kondisi
yang stabil akan menciptakan suasana yang kondusif untuk perkembangan dunia usaha
dan bisnis. Salah satu parameter yang dapat mengukur kestabilan perekonomian yakni
dengan melihat kinerja dari stabilitas makroekonomi. Stabilitas makroekonomi dapat
ditelusuri dari dampak guncangan suatu variabel makroekonomi terhadap variabel
makroekonomi lainnya. Apabila dampak dari suatu guncangan menimbulkan fluktuasi
yang besar pada variabel makroekonomi dan diperlukan waktu yang relatif lama untuk
mencapai keseimbangan jangka panjang, maka dapat dikatakan bahwa stabilitas
makroekonomi sangat rentan terhadap perubahan.
Namun, apabila dampak guncangan indikator itu menunjukkan fluktuasi yang kecil dan
waktu mencapai keseimbangan jangka panjang relatif tidak lama, maka dapat dikatakan
kondisi makroekonomi relatif stabil. Pernyataan ini juga dijelaskan dan didiskusikan
bersama oleh Siregar dan kawan-kawan yang tergabung dalam International Center for
Applied Finance and Economics (InterCAFE)-Institut Pertanian Bogor. Upaya untuk
14
menstabilkan perekonomian dapat dicapai baik melalui kebijakan fiskal ataupun
kebijakan moneter. Kebijakan fiskal yang berkesinambungan berusaha menekan defisit
anggaran serendah mungkin, baik melalui peningkatan pajak maupun pengurangan
subsidi.
Jaring Pengaman Sistem Keuangan
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) merupakan kerangka kerja yang melandasi
pengaturan mengenai skim asuransi simpanan, mekanisme pemberian fasilitas
pembiayaan darurat oleh bank sentral (lender of last resort), serta kebijakan penyelesaian
krisis. JPSK pada dasarnya lebih ditujukan untuk pencegahan krisis, namun demikian
kerangka kerja ini juga meliputi mekanisme penyelesaian krisis sehingga tidak
menimbulkan biaya yang besar kepada perekonomian. Dengan demikian, sasaran JPSK
adalah menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga sektor keuangan dapat berfungsi
secara normal dan memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi yang
berkesinambungan.
Pada tahun 2005, Pemerintah dan Bank Indonesia telah menyusun kerangka Jaring
Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang kelak akan dituangkan dalam sebuah
Rancangan Undang Undang tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Dalam kerangka
JPSK dimaksud dimuat secara jelas mengenai tugas dan tanggung-jawab lembaga terkait
yakni Departemen Keuangan, BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai
pemain dalam jaring pengaman keuangan. Pada prinsipnya Departemen Keuangan
bertanggung jawab untuk menyusun perundang-undangan untuk sektor keuangan dan
menyediakan dana untuk penanganan krisis. BI sebagai bank sentral bertanggung-jawab
untuk menjaga stabilitas moneter dan kesehatan perbankan serta keamanan dan
kelancaran sistem pembayaran. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertanggung jawab
untuk menjamin simpanan nasabah bank serta resolusi bank bermasalah.
Kerangka JPK tersebut telah dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang JPSK yang
pada saat ini masih dalam tahap pembahasan Dengan demikian, UU JPSK kelak akan
berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh
otoritas terkait dalam rangka memelihara stabiltas sistem keuangan. Dalam RUU JPSK
semua komponen JPSK ditetapkan secara rinci yakni meliputi: (1) pengaturan dan
15
pengawasan bank yang efektif; (2) lender of the last resort; (3) skim asuransi simpanan
yang memadai dan (4) mekanisme penyelesaian krisis yang efektif.
1. Pengaturan dan Pengawasan Bank yang efektif
Pengaturan dan pengawasan bank yang efektif merupakan jarring pengaman pertama
dalam JPSK (first line of defense). MEngingat pentingnya fungsi pengawasan dan
pengaturan yang efektif, dalam kerangka JPSK telah digariskan guiding principles bahwa
pengawasan dan pengaturan terhadap lembaga dan pasar keuangan oleh otoritas terkait
harus senantiasa ditujukan untuk menjaga stabilitas system keuangan, serta harus
berpedoman kepada best practices dan standard yang berlaku.
2. Lender of last Resort
Kebijakan lender of last resort (LLR) yang baik terbukti sebagai salah satu alat efektif
dalam pencegahan dan penanganan krisis. Sejalan dengan itu, BI telah merumuskan
secara lebih jelas kebijakan the lender of last resort (LLR) dalam kerangka JPSK untuk
dalam kondisi normal dan darurat (krisis) mengacu pada best practices. Pada prinsipnya,
LLR untuk dalam kondisi normal hanya diberikan kepada bank yang illikuid tetapi solven
yang memiliki agunan likuid dan bernilai tinggi. Sedangkan dalam pemberian LLR untuk
kondisi krisis, potensi dampak sistemik menjadi faktor pertimbangan utama, dengan tetap
mensyaratkan solvensi dan agunan.
Untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik, Bank Indonesia sebagai
lender of last resort dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat kepada Bank Umum
yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah berdasarkan Undang-undang No 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No 3 Tahun 2004 yang telah disetujui DPR tanggal 15 Januari 2004. Sebagai peraturan
pelaksanaan fungsi lender of the last resort, telah diberlakukan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 136/PMK.05/2005 tanggal 30 Desember 2005 dan Peraturan
Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/1/2006 tanggal 3 Januari 2006. Pendanaan FPD
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
3. Skim Penjaminan Simpanan (deposit insurance) yang memadai
16
Pengalaman menunjukkan bahwa LPS merupakan salah satu elemen penting dalam
menjaga stabilitas sistem keuangan. Program penjaminan pemerintah (blanket guarantee)
yang diberlakukan akibat krisis sejak tahun 1998 memang telah berhasil memulihkan
kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan. Namun penelitian menunjukkan
bahwa blanket guarantee tersebut dapat mendorong moral hazard yang berpotensi
menimbulkan krisis dalam jangka panjang.
Sejalan dengan itu, telah diberlakukan Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) Nomor 24 Tahun 2004. Dalam undang-undang tersebut tersebut, LPS nantinya
memiliki dua tanggung jawab pokok yakni: (i) untuk menjamin simpanan nasabah bank;
dan (ii) untuk menangani (resolusi) bank bermasalah. Untuk menghindari dampak negatif
terhadap stabilitas keuangan, penerapan skim LPS tersebut akan dilakukan secara
bertahap. Selanjutnya, jaminan simpanan nasabah bank akan dibatasi sampai dengan
Rp100 juta per rekening mulai Maret 2007.
4. Kebijakan Resolusi Krisis yang efektif
Kebijakan penyelesaian krisis yang efektif dituangkan dalam kerangka kebijakan JPSK
agar krisis dapat ditangani secara cepat tanpa menimbulkan beban yang berat bagi
perekonomian. Dalam JPSK ditetapkan peran dan kewenangan masing-masing otoritas
dalam penanganan dan penyelesaian krisis, sehingga setiap lembaga memiliki tanggung
jawab dan akuntabilitas yang jelas. Dengan demikian, krisis dapat ditangani secara
efektif, cepat, dan tidak menimbulkan biaya sosial dan biaya ekonomi yang tinggi.
Dalam pelaksanaannya, JPSK memerlukan koordinasi yang efektif antar otoritas terkait.
Untuk itu dibentuk Komite Koordinasi yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur
Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Sebagai bagian dari kebijakan JPSK tersebut, telah dikeluarkan Keputusan Bersama
Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner LPS tentang
Forum Stabilitas Sistem Keuangan sebagai wadah koordinasi bagi BI, Depkeu dan LPS
dalam memelihara stabilitas sistem keuangan.
Target Variables dan Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
17
Mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dilakukan oleh
otoritas moneter dalam upaya mempengaruhi kegiatan ekonomi melalui beberapa saluran
(channels) (Thomas, 1997:602). Saluran-saluran tersebut yaitu : (1) saluran uang beredar
(money channel), (2) saluran kredit, (3) saluran suku bunga, (4) saluran nilai tukar, (5)
saluran harga aset, dan (6) saluran ekspektasi inflasi.
Benarkah investasi asing menguntungkan bagi Indonesia
Krisis mata uang yang melanda Indonesia ditandai dengan melemahnya mata uang
Rupiah terhadap Dollar pada pertengahan tahun 1997. Rupiah yang bernilai Rp 2.540 per
US Dollar pada bulan Juni 1997, mengalami depresiasi secara terus menerus hingga akhir
tahun 1997 mencapai 4.650 Rupiah per US Dollar. Untuk menahan laju nilai tukar
Rupiah ini, maka pada tanggal 14 Agustus 1997 pemerintah melepas sistem kurs
mengambang terkendali (Managed Floating System) dan menerapkan sistem kurs
mengambang bebas (Free Floating System). Namun, memasuki tahun 1998 kondisi nilai
tukar Rupiah semakin parah dan puncaknya mencapai 14.850 Rupiah per US Dollar pada
Juni 1998.
Untuk meredam melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar dan tingkat inflasi yang
tinggi ini, Bank Sentral meningkatkan tingkat suku bunga SBI yang pada bulan
November 1998 menyentuh angka 61 persen per tiga bulan. Langkah yang dilakukan ini,
disatu sisi memang berhasil menurunkan laju inflasi dari 77,63 persen pada tahun 1998
menjadi 2 persen pada akhir tahun 1999. Namun, disisi lain keadaan ini berdampak
kurang baik pada tingkat investasi di Indonesia. Salah satu buktinya yaitu pada tahun
1997, pelarian arus modal keluar mencapai 3,5 milyar Dollar, sementara pada tahun 1998
dan tahun 1999 mengalami penurunan, yakni masing-masing sebesar 19,7 milyar Dollar
dan 11,3 milyar Dollar.
Pelarian modal tentu akan mengakibatkan dana untuk investasi menurun secara tajam,
akibatnya terjadi perputaran dana di sektor riil, dan berdampak pada penyerapan tenaga
kerja. Akibat krisis finansial yang terjadi, banyak para pengusaha yang gulung tikar
karena dililit hutang bank, sehingga banyak pekerja atau buruh pabrik yang terpaksa di-
18
PHK atau dibebastugaskan oleh perusahaan. Hal ini menjadi salah satu pemicu terjadinya
ledakan pengangguran, yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif
singkat. Ledakan pengangguran yang terjadi di tahun 1998 yakni sekitar 1,4 juta
pengangguran terbuka baru. Selain itu, kinerja perekonomian yang lambat juga
menyebabkan pengangguran terbuka, dimana pada tahun 2005 mencapai 10,84 persen
(11,6 juta orang), jauh lebih tinggi dari level sebelum krisis pada tahun 1997 sebesar 4,7
persen. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi diperkirakan saat ini tidak cukup
menampung angkatan kerja yang bertambah 1,8 juta orang per tahunnya. Sulitnya
mengurangi tingkat pengangguran atau menciptakan lapangan kerja baru, menjadi
cerminan lambatnya gerak laju ekspansi sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja
yang terus bertambah setiap tahunnya.
Besarnya arus modal asing yang masuk ke Indonesia, selain menggerakkan roda usaha
sektor riil juga diharapkan dapat memperbesar arus perputaran uang di pasar uang,
menambah kapitalisasi pasar modal/bursa saham Indonesia, serta menutup defisit neraca
transaksi berjalan yang selama ini selalu dialami Indonesia. Jika pertumbuhan ekonomi,
pendapatan per kapita, serta arus masuk modal asing ke Indonesia tinggi, apakah hal itu
menggambarkan majunya perekonomian Indonesia. Belum tentu, pertumbuhan ekonomi
yang tinggi di Indonesia sebelum era krisis, tidak menggambarkan bahwa yang
mengalami pertumbuhan adalah unit-unit usaha yang dimiliki oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia. Justru sebaliknya, yang mendorong pertumbuhan adalah unit-unit
usaha yang dimiliki orang asing dan para konglomerat.
Jadi selama ini malah usaha milik orang asing yang ditumbuhkan pemerintah. Begitu
pula dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita Indonesia tidak menunjukkan
bahwa penghasilan setiap warga negara Indonesia bertambah baik. Di dalam PDB
terdapat milik orang asing yang kontribusinya cukup besar. Jadi bagaimana mungkin
PDB digunakan sebagai basis menghitung pendapatan per kapita bagi warga negara
Indonesia. Jumlah yang besar dan terus bertambah dari investasi asing di Indonesia
membuktikan ketergantungan yang besar perekonomian dalam negeri terhadap luar
negeri. Ini bukanlah hal yang menggembirakan apalagi bila dihubungkan dengan
kepercayaan luar negeri. Benarkah investasi asing menguntungkan bagi Indonesia.
19
Investasi asing bagi perekonomian riil, baik terhadap negara maupun masyarakat sangat
merugikan. Sekarang banyak investasi asing yang memasuki wilayah publik serta sumber
daya alam. Tentu dengan dikuasainya aset-aset pelayan publik ataupun industri yang
menguasai hajat hidup orang banyak tersebut, maka pihak asing sangat dominan dalam
mengatur supply dan menentukan harga. Adalah sangat lucu kebijakan pemerintah
sekarang dengan mengupayakan 'sekuat-kuatnya' untuk meningkatkan kepercayaan para
investor luar negeri terhadap perekonomian Indonesia agar mereka menanamkan
modalnya di Indonesia. Hal ini sama saja dengan pemerintah mempersilakan pihak asing
untuk menggorok usaha-usaha ekonomi masyarakat serta mencekik hak masyarakat
terhadap pelayanan publik dan hak akan manfaat dari sumber daya alam Indonesia.
Investasi asing bagi perekonomian riil, baik terhadap negara maupun masyarakat sangat
merugikan. Sekarang banyak investasi asing yang memasuki wilayah publik serta sumber
daya alam. Tentu dengan dikuasainya aset-aset pelayan publik ataupun industri yang
menguasai hajat hidup orang banyak tersebut, maka pihak asing sangat dominan dalam
mengatur supply dan menentukan harga. Adalah sangat lucu kebijakan pemerintah
sekarang dengan mengupayakan ’sekuat-kuatnya’ untuk meningkatkan kepercayaan para
investor luar negeri terhadap perekonomian Indonesia agar mereka menanamkan
modalnya di Indonesia. Hal ini sama saja dengan pemerintah mempersilakan pihak asing
untuk menggorok usaha-usaha ekonomi masyarakat serta mencekik hak masyarakat
terhadap pelayanan publik dan hak akan manfaat dari sumber daya alam Indonesia.
Terlalu percayanya pemerintah dan para analis terhadap indikator makro ekonomi
tersebut, harus digugat. Pertama, karena hal itu menyebabkan negara menjadi lalai dan
tidak waspada terhadap bahaya besar yang menimpa negara dan masyarakat Indonesia.
Kedua, kebijakan tersebut secara riil mencerminkan pembangunan dilakukan untuk pihak
asing dan konglomerat, bukan untuk masyarakat. Ketiga, supaya pemerintah menjalankan
kebijakan pembangunan yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.
Untuk mengetahui perkembangan pembangunan dan perekonomian, seharusnya yang
diutamakan dan menjadi target adalah indikator-indikator yang lebih menyentuh
20
bagaimana gambaran tingkat kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya. Indikator
tersebut misalnya terpenuhi tidaknya kebutuhan-kebutuhan primer setiap warga negara.
Krisis ekonomi AS : pertumbuhan ekonomi Indonesia
Menurut IMF, sekitar 1% penurunan pertumbuhan ekonomi di AS akan menurunkan
pertumbuhan ekonomi di Asia sebesar 0,5%-1%. Dampak dari resesi global yang berasal
dari resesi di AS akan mempengaruhi proyeksi perekonomian negara-negara di Asia,
termasuk Indonesia. Perekonomian global, diperkirakan akan mengalami penurunan
pertumbuhan sebesar 0,4%, yang sebelumnya sebesar 5,2% pada tahun 2007 menjadi
4,8% pada tahun 2008. Negara-negara di Asia Tenggara diperkirakan akan mengalami
tekanan yang paling parah akibat perlambatan ekonomi yang terjadi di AS.
Bank Pembangunan Asia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2010
akan mencapai 5,5 persen atau meningkat dibanding 2009 sebesar 4,5 persen. Asian
Development Outlook (ADO 2010) yang disampaikan dalam siaran persnya di Jakarta,
Selasa [13/04/010] ] menyebutkan, penguatan konsumsi publik dan investasi akan
membawa pertumbuhan Indonesia mencapai 5,5 persen. Resesi ekonomi global hanya
menimbulkan dampak ringan terhadap ekonomi Indonesia, sehingga pada 2010 dan 2011
aktivitas ekonomi akan bergerak lebih cepat dengan landasan tingginya permintaan
domestik dan dukungan dari kebijakan makro ekonomi. Selain itu, pertumbuhan investasi
di infrastruktur dan meningkatnya lapangan kerja masih menyisakan beberapa tantangan.
Sementara di Asia Tenggara, ADB menilai pertumbuhan agregat kemungkinan akan
pulih menjadi 5,1 persen pada 2010 dari 1,2 persen pada 2009, ketika lima dari 10
ekonomi di kawasan ini mengalami kontraksi (Brunei Darussalam, Kamboja, Malaysia,
Singapura dan Thailand). Pemulihan ini sebagian besar dikarenakan pulihnya kembali
perdagangan global dan meningkatnya investasi. Pertumbuhan ekonomi kemungkinan
akan sedikit lebih cepat pada 2011. Untuk Asia Timur, pemulihan ekonomi berlangsung
paling kuat, ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan naik menjadi 8,3 persen
pada 2010 dari 5,3 persen pada 2009, dengan pemulihan ekonomi yang mantap di tiga
ekonomi yang mengalami penurunan tahun lalu (Hong Kong, Cina; Mongolia dan Taipei,
21
China). Produk Domestik Bruto akan tetap tinggi di RRC, dimana stimulus fiskal yang
besar yang dilakukan pemerintah akan terus berdampak. Republik Korea diperkirakan
akan pulih dan tumbuh sebesar 5,2 persen didorong oleh pulihnya investasi swasta dan
konsumsi rumah tangga dan meningkatnya perdagangan global.
Pertumbuhan di Asia Selatan juga akan meningkat pada 2010, dipimpin oleh India yang
kemungkinan akan tumbuh sebesar 8,2 persen, begitu juga Srilanka (6,0 persen), di saat
negara itu terus mendapat manfaat dari perdamaian yang terjadi baru-baru ini setelah
perang saudara yang berlangsung lama. Pertumbuhan ekonomi di Pakistan kemungkinan
akan meningkat sebesar 3,0 persen mencerminkan membaiknya fundamental ekonomi
domestik, sementara pertumbuhan ekonomi di Bangladesh dan Nepal diperkirakan akan
sedikit turun. Pertumbuhan ekonomi juga diperkirakan akan meningkat di Asia Tengah
pada 2010, dari 2,7 persen pada 2009 sejalan dengan meningkatnya harga minyak dan
pulihnya Federasi Rusia yang mendorong aktivitas ekonomi. Namun melemahnya
perekonomian non-minyak di Kazakhstan akan menahan pertumbuhan ekonomi negara
tersebut menjadi 2,5 persen sementara Armenia dan Georgia akan mengalami
pertumbuhan yang kecil sekitar 2 persen.
Di kawasan Pasifik, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan diperkirakan akan
meningkat menjadi 3,7 persen pada 2010 dari 2,3 persen pada 2009, diuntungkan
terutama oleh pertumbuhan ekonomi yang menguat di Papua Nugini dan Timor-Leste,
yang keduanya mendapatkan manfaat dari meningkatnya permintaan ekspor dan harga
sumber daya alam. Namun PDB di Fiji diperkirakan akan kembali mengalami kontraksi,
dan sebagian besar perekonomian yang lebih kecil di kawasan ini akan tumbuh kurang
dari satu persen.
Pemulihan Ekonomi Asia Terus Berlanjut
Bank Pembangunan Asia (ADB) menyatakan bahwa pemulihan ekonomi yang kuat oleh
negara-negara berkembang di kawasan Asia akibat krisis ekonomi global diperkirakan
akan terus berlanjut hingga dua tahun ke depan. Asian Development Outlook (ADO
22
2010) yang disampaikan dalam siaran pers di Jakarta, Selasa memperkirakan
pertumbuhan ekonomi Asia akan tumbuh kuat sebesar 7,5 persen pada 2010, jauh di atas
5,2 persen pada 2009, karena didukung pemulihan moderat perdagangan global dan
dampak stimulus fiskal dan moneter yang terus berlangsung. Namun, pertumbuhan akan
sedikit melambat menjadi 7,3 persen pada 2011 karena menghilangnya dampak dari
kebijakan-kebijakan stimulus tersebut. “Pemulihan ekonomi di negara-negara
berkembang di Asia terus bertahan dan sekarang sudah kelihatan bahwa ekonomi akan
kembali bisa tumbuh lebih tinggi dan berkelanjutan jika kawasan ini bisa menghadapi
tantangan meningkatnya permintaan domestik,” kata Ekonom Utama ADB Jong-Wha
Lee.
Prospek ekonomi Asia menurut ADB, membaik setelah ekonomi tumbuh melebihi
harapan pada paruh kedua tahun 2009, terutama dibantu oleh kinerja ekonomi yang kuat
dari Republik Rakyat Cina (RRC) dan India. Upaya-upaya stimulus yang dilancarkan
tahun lalu akan terus mendorong investasi di kawasan ini, sementara konsumsi rumah
tangga kemungkinan akan meningkat karena prospek pendapatan naik dan pengangguran
turun. Karena pemulihan ekonomi mendongkrak permintaan domestik, maka
kemungkinan juga akan meningkatkan inflasi harga konsumsi sekitar 4 persen setiap
tahun dalam dua tahun ke depan. Surplus transaksi berjalan secara keseluruhan
diperkirakan akan terus turun tahun ini dan tahun depan karena permintaan eksternal
hanya naik secara perlahan dan permintaan domestik menguat.
Namun menurut laporan ini di saat pemulihan ekonomi berlangsung, kawasan tersebut
menghadapi sejumlah risiko termasuk pemulihan ekonomi global yang lebih lambat dan
perkiraan pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri yang masih tidak menentu.
Ada kekhawatiran pada saat upaya-upaya stimulus tidak dilakukan lagi, terutama di
negara-negara besar, kekuatan permintaan rumah tangga tidak cukup sehat untuk
mengambil alih. Sementara, potensi masalah-masalah lain yang mengganggu yang harus
diwaspadai di antaranya adalah melonjaknya harga komoditas internasional, posisi fiskal
yang memburuk dan terus terjadinya ketidakseimbangan global. Negara-negara
berkembang di Asia menghadapi masalah lain, yakni ekonomi yang pulih dengan kuat
23
dan lebih awal serta bunga yang lumayan tinggi, telah menarik masuknya aliran modal
yang memiliki volatilitas tinggi, akan memperumit pengelolaan makro-ekonomi.
Melonjaknya harga pangan, yang lebih berdampak besar pada kelompok miskin juga
menimbulkan risiko.
Kepustakaan
Achjar Iljas, Inflasi dan Akuntabilitas BI, Media Indonesia - Ekonomi (24/07/2001)
Admin, Menakar Inflasi di tengah Pengkhianatan FPI, 19 Maret 2009, 17:06
Mudrajad Kuncoro,Ph.D, Prof(2007), Miranda dan Koordinasi Kebijakan , Sumber:
http://www.investorindonesia.com , 26/12/2007 21:20:15 WIB
SUNNY BOY BATUBARA, Gejolak Ekonomi Global dan Implikasinya bagi Kebijakan
Ekonomi Makro di Indonesia, Posted on February 1st, 2009
Ascarya, (2002). Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter. Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.
Dernburg, T.F., and McDougall, D.M., (1983). Macroeconomics : The Measurement,
Analysis, and Control of Aggregate Economic Activity. Sixth Edition, Asian
Student Edition, McGraw-Hill International Book Company, London,
Ferry Warjiyo, (2004). Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia. Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.
Froyen, R.T., (1993). Macroeconomics : Theories and Policies. Fourth Edition,
University of North Carolina at Chapel Hill, Macmillan Publishing
Company, New York, USA.
F.X. Sugiyono, (2004). Instrumen Pengendalian Moneter : Operasi Pasar Terbuka. Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.
Gordon, R.J., (1993). Macroeconomics. Sixth Edition, Harper-Collins Publishers, New
York, USA.
McKenzie, R.B., and Tullock G., (1985). Modern Political Economy : An Introduction to
Economics. International Student Edition, McGraw-Hill International Book
Company, London, UK.
Samuelson, P.A. and Nordhaus, W. D. (2002). Economics. 17th Edition, McGraw-Hill
Irwin, International Edition, USA.
24
Sutyastie soemitro, dkk. (2007). Kinerja dan Prospek Ekonomi Indonesia. Jurusan
Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas
Padjadjaran Bandung.
Thomas, Lloyd B., (1997). Money, Banking and Financial Markets. McGraw-Hill Irwin,
International Edition, Kansas University, USA.
Mankiw, N. Gregory, and David Romer, eds. New Keynesian Economics. 2 vols.
Cambridge: MIT Press, 1991.
N. Gregory Mankiw is a professor of economics at Harvard University.
(http://gregmankiw.blogspot.com/).
Clarida, Richard, Jordi Gali, and Mark Gertler. “The Science of Monetary Policy: A New
Keynesian Perspective.” Journal of Economic Literature 37 (1999): 1661–
1707.
Goodfriend, Marvin, and Robert King. “The New Neoclassical Synthesis and the Role of
Monetary Policy.” In Ben S. Bernanke and Julio Rotemberg, eds., NBER
Macroeconomics Annual 1997. Cambridge: MIT Press, 1997. Pp. 231–283.
25
Top Related