8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
1/70
MODUL 11 :KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN
MASYARAKAT PESISIR
11.1. Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan kawasan sumberdaya potensial di Indonesia.
Kawasan ini adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Sumberdaya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai Indonesia
mencapai sepajang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang
panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumberdaya alam yang besar. Potensi
itu merupakan sumberdaya hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya:
perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi non-hayati
misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata. Di daerah ini juga
berdiam para nelayan yang sebagian besar masih miskin dan atau prasejahtera.
Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community-Based
Management (CBM) menurut Nikijuluw (2002), merupakan salah satu
pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir yang meletakkan pengetahuan
dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya.
Pengetahuan masyarakat tersebut juga memiliki akar budaya yang kuat dan
biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Mubyarto, dkk. (1983),
memberikan definisi strategi yang berpusat pada manusia sebagai : “Suatu
strategi untuk mencapai tujuan pembangunan, dimana pusat pengambilan
keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu
daerah berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah
tersebut”. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan ini,
masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan
pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri
yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu
pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya.
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
2/70
335
Dengan demikian pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat
adalah pendekatan pengelolaan yang melibatkan kerja sama antara
masyarakat setempat dalam bentuk pengelolaan secara bersama dimana
masyarakat berpartisipasi aktif baik dalam perencanaan sampai pada
pelaksanaan dan pengawasannya. Pemikiran ini didukung oleh tujuan jangka
panjang pembangunan wilayah pesisir di Indonesia antara lain adalah:
1. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja
dan kesempatan berusaha.
2. Pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada
peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumberdaya di
wilayah pesisir dan lautan.
3. Peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pesisir dalam
pelestarian lingkungan.
4. Peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah
pesisir dan lautan.
Dari beberapa tujuan tersebut diatas maka pemanfaatan secara optimal
dan berkelanjutan adalah salah satu dasar yang menjadi pertimbangan utama di
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Pemanfaatan secara
berkelanjutan hanya akan dicapai jika sumberdaya dikelola secara bertanggung
jawab (FAO, 1995). Sumberdaya yang dimaksud adalah sumberdaya manusia,
alam, buatan dan sosial. Sementara itu, pengembangan dan pengelolaan daerah
pesisir di Indonesia bukan hanya tanggung jawab dari pemerintah pusat tetapi
kewenangan tersebut telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah dengan
dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 yang memberikan kewenangan pada
daerah dalam mengelola pesisir dan lautnya sejauh 12 mil untuk propinsi dan 1/3
nya untuk kabupaten (UU No. 22 tahun 1999).Pengembangan wilayah pesisir dan kelautan, sebagai salah satu sektor
strategis dalam pembangunan ekonomi saat ini, merupakan sektor yang
masih perlu dioptimalkan mengingat potensi kelautan yang ada belum dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi
kemiskinan di kalangan sebagian besar masyarakat pesisir (nelayan)
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
3/70
336
tersebut tidak terlepas dari serangkaian kebijakan pembangunan yang selama ini
masih : (a) lebih banyak menempatkan masyarakat sebagai obyek
ketimbang sebagai subyek pembangunan, (b) lebih memprioritaskan
pertumbuhan industri ketimbang sektor pertanian dan kelautan, (c) serta
kebijakan pembangunan yang kurang mengacu pada karakteristik masing-
masing kondisi lokal di daerah, dan (d) profesi nelayan masih dipandang
sebagai pekerjaan yang tidak memerlukan tingkat keterampilan (skill) yang
tinggi dan (e) dari sudut pandang ekonomis, sering kali komunitas nelayan/
masyarakat pesisir diposisikan sebagai kelompok marginal yang
dipersepsikan sedikit sekali memiliki potensi untuk dikembangkan. Hal ini
berakibat pada lambatnya proses intervensi teknologi, penguatan kapasitas
masyarakat dan inovasi di kalangan nelayan. Sebagai contoh kasus
pembangunan pariwisata di Jimbaran dan Kedonganan Bali yang menggusur
perkampungan nelayan tanpa adanya good will untuk mensinergikan kedua
komunitas yang ada yakni nelayan dan pariwisata.
Dengan dikeluarkannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 yang berkaitan
dengan otonomi daerah, menunjukkan adanya komitmen pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat melalui penciptaan
lapangan kerja sekaligus meningkatkan perekonomian daerah. Salah satu faktor
penting dan esensial dari UU tersebut adalah semakin didorongnya
peranan masyarakat di daerah untuk secara bersama-sama merencanakan
dan melaksanakan pembangunan secara berkesinambungan. Pengentasan
kemiskinan diwujudkan dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat,
yakni kegiatan yang diarahkan untuk masyarakat agar dapat menolong dirinya
sendiri dalam memperbaiki kondisi materiil dan non materiil dari kehidupannya
sendiri.
Keperluan atas adanya program pemberdayaan masyarakat nelayan/
pesisir ini mengingat sampai saat ini sebagian besar masyarakat pesisir di
Indonesia masih berpenghasilan rendah. Program pemberdayaan ini sekaligus
juga ditujukan untuk pengentasan kemiskinan melalui program pembangunan
berkelanjutan. Bertolak dari kesemuanya itu, maka diperlukan adanya suatu
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
4/70
337
upaya yang komprehensif terhadap program pemberdayaan masyarakat,
khususnya nelayan mjskin di Lumajang.
Dari beberapa hasil penelitian, kondisi wilayah pesisir Indonesia
tergolong padat penduduknya dengan tingkat kesejahteraan, baik secara
ekonomi, sosial dan budaya tergolong masih rendah. Namun jika dilihat dari
segi potensi sumberdaya pesisirnya, khusunya di desa Worgalih, Kecamatan
Yosowilangun, Kabupaten Lumajang, sebenarnya menyimpan potensi yang
cukup tinggi, khususnya pasir besi, sebagai pendukung industri baja dan
semen. Hanya saja “keikutsertaan” pemerintah maupun korporasi dalam
bentuk penyediaan fasititas serta sarana dan prasarana dirasakan relatif
masih kurang. Disamping itu beberapa hasil penelitian juga memperlihatkan
kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai teknologi modern dan ramah
lingkungan serta upaya kreatif untuk peningkatan pendapatan khususnya
dalam musim paceklik, dimana hasil melaut sangat terbatas.
Pada musim paceklik, berdasarkan fenomena yang berkembang, seba-
gian istri nelayan/ masyarakat pesisir dengan terpaksa menjual segala barang
rumahtangga yang dianggap berharga atau menggadaikannya ke lembaga-
lembaga pegadaian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada saat
demikian, mereka berharap keberpihakan atau perhatian pemerintah maupun
korporasi untuk ikut serta meringankan beban kehidupan yang menekan ini.
Sementara itu, para penguasa di daerah sering menyalahkan nelayan/
masyarakat pesisir tersebut karena dianggap boros membelanjakan uang ketika
musim ikan dan tidak ekonomis sehingga kualitas kesejahteraan hidup mereka
sulit meningkat. Mereka juga mengatakan bahwa tanggung jawab mengatasi
kehidupan yang sulit tersebut sepenuhnya menjadi urusan nelayan. Penyikapan
demikian tidak akan pernah bisa megurangi persoalan kesulitan hidup nelayan
yang masih diterpa kemiskinan tersebut (Kusnadi, 2003).
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
5/70
338
13.1.1 Masalah Kemiskinan
Dari uraian diatas, masalah kemiskinan masih merupakan masalah utama
dalam pembangunan wilayah pesisir dan nelayan kecil. Masalah tersebut
bersifat multi dimensi. Kemiskinan ditandai oleh keterbelakangan dan
pengangguran yang selanjutnya meningkat menjadi pemicu ketimpangan
pendapatan antar golongan penduduk. Penduduk miskin adalah yang paling
rendah kemampuannya. Pada saat ini mereka terpusat di kantong
kerniskinan, seperti di desa pesisir dan kepulauan atau daerah pasang surut.
Dari sejumlah studi menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin dan
termiskin di pedesaan masih cukup besar. World Bank (2002) melaporkan
bahwa, akibat kerentanan ekonomi rumahtangga penduduk miskin terhadap
setiap perubahan lingkungan sosial-ekonomi-politik, jumlah penduduk miskin
secara dinamis dapat berubah dari 27,0% penduduk dapat menjadi 50,0 %.
Sekalipun program pengentasan kemiskinan telah menunjukkan perbaikan
kondisi kesejahteraan masyarakat miskin, namun kemiskinan masih menjadi
bagian dari komunitas, struktur dan kultur pedesaan pesisir. Dengan adanya
kemajuan program pembangunan, diperkirakan masih separuh dari jumlah itu
benar-benar berada dalam kategori sangat miskin (the absolute poor). Kondisimereka sungguh memprihatinkan, antara lain ditandai oleh tingkat pendidikan
yang rendah, bahkan sebagian besar buta huruf dan rentan terhadap penyakit.
Jumlah penghasilan dari kelompok ini hanya cukup untuk makan. Oleh karena
itu tidak mengherankan apabila perkembangan pengetahuan mereka
berjalan sangat lambat. Kelambanan itu terasa ketika dalam kehidupan
mereka diintroduksi teknologi baru yang berbeda dari yang sudah ada.
Mereka cenderung memberi respon dengan tingkat penerimaan sangat lambat.
Pemerintah maupun korporasi, khususnya PT. ANTAM
RESOURCINDO telah berkomitmen mengembangkan dan melaksanakan
suatu strategi untuk mengurangi kemiskinan melalui dukungan program
Corporate Social Responsibility (CSR) Dengan adanya kesepakatan politik
untuk pelaksanaan otonomi daerah, maka kita semakin memerlukan
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
6/70
339
peningkatan sikap keprihatinan bersama antara pemerintah Daerah dan
Korporasi dalam mengurangi kemiskinan tersebut Pemerintah
Daerah dalam menghadapi tantangan pengurangan kemiskinan saat ini
masih berdasarkan kerangka kebijakan yang berorientasi pada pendekatan
top-down. Pada waktu yang akan datang diperlukan kebijakan yang dibangun
atas dasar kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah dan Korporasi
yang berbasis kearifan masyarakat lokal di wilayah otonomi daerah secara
luas (Muhammad, dkk, 2009).
Berdasarkan hal diatas, maka kegiatan pemberdayaan masyarakat
miskin perlu diarahkan untuk merubah strategi penanggulangan penduduk
miskin agar semakin menjadi lebih baik berdasarkan kebutuhan dan
harapan penduduk miskin itu sendiri pada tingkat lokal. Perencanaan dan
implementasi pemberdayaan sudah seharusnya berisi usaha untuk
penguatan usaha ekonomi produktif mereka berdasarkan “pandangan dan
kebutuhan mereka”, sehingga penduduk miskin mempunyai akses pada
sumber-sumber sosial-ekonomi dan politik secara mandiri. Untuk
meningkatkan kemampuan penduduk miskin, sekurang-kurangnya harus ada
perbaikan aksesabilitas sosial-ekonomi dan budaya terhadap empat hal,
yaitu : (1) akses terhadap sumberdaya alam, (2) akses terhadap teknologi
yang lebih efisien, (3) akses terhadap pasar dan (4) akses terhadap sumber
pembiayaan (Sumodiningrat, 1998).
Akses masyarakat pesisir pada sumber-sumber ekonomi sampai kini,
khususnya penduduk miskin di desa pantai masih memprihatinkan (Word
Bank, 2002). Dengan demikian, usaha memberdayakan masyarakat desa
pantai (pesisir) serta upaya untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan dipedesaan pantai masih harus menjadi agenda penting dalam kegiatan
pembangunan. Dengan perkataan lain, pembangunan masyarakat pesisir
miskin di pedesaan pantai masih sangat relevan untuk ditempatkan sebagai
prioritas pembangunan, mencakup implementasi program peningkatan
pemberdayaan masyarakat (community development) dan tidak hanya
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
7/70
340
melalui distribusi berupa bantuan sosial langsung tunai (BLT) uang dan jasa
untuk menenuhi kebutuhan dasar sehari-hari mereka.
Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat pesisir miskin di desa
pantai adalah merupakan rangkaian upaya dengan jangkauan kegiatan yang
menyentuh pemenuhan berbagai macam akses dan kebutuhan pokok
pangan, pendidikan, perumahan dan kesehatan, termasuk pemenuhan
kebutuhan untuk berpartisipasi dalam pengurangan kemiskinan mereka,
sehingga segenap anggota masyarakat miskin di pedesaan pantai dapat
mandiri, percaya diri, tidak bergantung dan dapat lepas dari belenggu struktur
sosial budaya dan ekonomi yang membuat mereka miskin (Wahyono, at al.,
2001).
Hendaknya kita sadari, bahwa kemiskinan yang mereka hadapi bersifat
multi demensi dan multi level faktor sosial, ekonomi, kebijakan dan budaya.
Mereka memiliki potensi pentagon aset , yaitu aset sosial, SDM, finansial,
sumberdaya alam dan aset fisik, walaupun aset tersebut masih terbatas (DFID,
2000). Mereka menjadi miskin karena pemilikan aset yang rendah, sehingga
tingkat pendapatannya rendah yang diakibatkan oleh rendahnya akses mereka
terhagap potensi ekonomi lokal. Tingkat pendapatan rendah karena
keterampilannya (aset SDM) yang rendah dan skala usaha mereka kecil.
Mengingat keterampilan yang rendah, maka akses terhadap pekerjaan yang ada
di sekitarnya juga rendah. Sekalipun mereka memiliki usaha secara mandiri, tapi
dengan skala usaha kecil. Dengan peralatan sederhana (aset fisik) yang mereka
miliki mereka bekerja bersama anak atau keluarga mereka. Sumber penghasilan
rumahtangga mereka bukan saja dari kerja keras suaminya, tapi juga kerja keras
isteri dan anak-anak mereka. Begitu selanjutnya, nelayan miskin berada dalam
lingkaran syetan kemiskinan.
Skala usaha masyarakat pesisir miskin adalah kecil, karena akses modal
rendah. Mereka harus dilepaskan dari belenggu lingkaran kemiskinan ini.
Menghadapi kenyataan kehidupan yang demikian maka ada dua fenomena yang
dilakukan rumahtangga nelayan miskin, yaitu : (a) menyesuaikan diri dengan
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
8/70
341
perkembangan lingkungan, dan (b) melakukan perlawanan dengan kekerasan.
Pilihan pertama mungkin dilakukan dengan merespon secara terbatas terhadap
perubahan sosial ekonomi yang terjadi disekitarnya. Menurut Betke (1987) dari
hasil penelitiannya di desa Lekok, Jawa Timur ditemukan bahwa nelayan kecil /
masyarakat pesisir pada dasarnya memberikan respon secara positif untuk
mengakses pengenalan teknologi perikanan sekalipun sangat lambat.
Adapun penyesuaian diri masyarakat pesisir miskin terhadap perubahan
kondisi sosial ekonomi sekitarnya dalam bentuk “perlawanan” , yaitu dengan
melakukan kegiatan melaut menggunakan bahan kimia atau peledak yang
akibatnya sangat buruk dan merusak. Penangkapan ikan dengan menggunakan
bahan kimia (potasium) dan peledak jelas merupakan jalan pintas dari reaksi
ketidakberdayaan nelayan miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
hidupnya (Wahyono, at al., 2001).
Dengan demikian program pengurangan kemiskinan bersifat multi dimensi,
multi tingkat dari berbagai aspek. Hasil penelitian selama tiga tahun 2006 – 2008
disimpulkan pendekatan pemberdayaan memerlukan tujuh aspek aksesabilitas
(heptagon access) untuk mengurangi penduduk miskin di pedesaan pantai, yaitu
: akses dalam (a) peningkatan mutu SDM melalui pendidik, (b) perbaikan
pelayanan fisik lingkungan, (c) penguatan jaringan sosial-budaya, (d)
keberpihakan politik kebijakan PEMDA, (e) perluasan pasar, (f) perbaikan kondisi
sumberdaya alam yang ada di lingkungannya dan (g) akses pelayanan
permodalan. Oleh karenanya program untuk mengurangi jumlah dan
pemberdayaan penduduk miskin di pesisir harus didekati secara multi-dimensi
dan multi tingkat (Mukherjee, Hardjono and Carriere, World Bank, 2002).
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
9/70
342
13.1.2 Implimentasi Perencanaan dan PelaksanaanPemberdayaan
Rendahnya akses masyarakat pesisir miskin terhadap sumber-sumber
potensi pembangunan lebih diperparah, karena selama ini para perencana
pembangunan sering bias dalam memandang masyarakat nelayan/ pesisir
Nelayan / masyarakat pesisir cenderung diperlakukan sama dengan petani.
Dalam arti luas, perikanan memang dapat dipandang sebagai bagian dari
kegiatan pertanian. Namun jika kita lihat dari sifat sumberdayanya maupun sistem
mata pencaharian dan pemilikan lahan, ada perbedaan sangat mendasar antara
nelayan dan petani. Dalam hal pemanfaatan lahan, para petani mengenal batas-
batas pemilikan lahan secara jelas, sedangkan pada usaha perikanan, paranelayan menghadapi kenyataan dimana laut adalah milik umum (common
property), sehingga siapa saja yang menguasai dan memiliki modal dan teknologi
yang paling efisien adalah mereka yang mampu meningkatkan hasil tangkapan.
Para nelayan melakukan eksploitasi sumberdaya secara bebas-masuk (open
access) tanpa ada batas-batas wilayah yang jelas seperti halnya dalam
pemanfaatan sumberdaya lahan pertanian. Oleh karena itu, dalam kegiatan
perikanan, pemanfaatan sumberdaya lebih ditentukan oleh pemilikan modal dan
penguasaan teknologi.
Kesalahan yang juga sering terjadi dalam pemberdayaan masyarakat,
para perencana pembardayaan sering kurang memperhitungkan kondisi lokal
sasaran program. Program pemberdayaan masyarakat yang tidak
memperhatikan keunikan pola hubungan kerja dan sosial budaya yang terjadi
pada masyarakat kelompok sasaran akan selalu menemui kegagalan. Oleh
karena itu asumsi dasar yang melandasi kebijakan pemberdayaan masyarakat
nelayan / pesisir selama ini perlu ditinjau kembali. Satu hal yang perlu dilakukan
adalah perlunya identifikasi respon nelayan terhadap perubahan lingkungan dan
kelembagaan permodalan di tingkat lokal. Dengan demikian, sasaran penelitian
ini adalah merupakan pendalaman hasil penelitian tahun 2006 – 2008 dan
penelitian Strategis Nasional tahun 2009 yang menyimpulkan Model Kemitraan
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
10/70
343
Sosial sebagai pendekatan pemberdayaan yang direkomendasikan. Dengan
demikian Rencana pemberdayaan masyarakat (RPM) ini akan difokuskan untuk
memahami dan merumuskan pola dan arah pemberdayaan rumahtangga
masyarakat pesisir/ nelayan miskin serta peran kelembagaan lokal dalam
mendampingi rumahtangga nelayan melalui pendekatan Kemitraan Sosial dalam
penguatan usaha, ketahanan pangan rumahtangga, permodalan dan
pemasaran berwawasan gender di tingkat lokal agar pendekatan peningkatan
kesejahteraan ekonomi rumahtangga nelayan dapat dilakukan lebih cocok
dengan kebutuhan hidup dan budaya masyarakat nelayan tersebut.
Untuk melaksanakan pemberdayaan ekonomi masyarakat sebenarnya
memerlukan kepedulian dan komitmen korporasi/ perusahaan terhadap
pemberdayaan masyarakat sekitar sehingga akan terwujud keseimbangan yang
harmonis saling menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karenanya
perusahaan PT. ANTAM RESOURCINDO menyatakan kesanggupannya
tertuang dalam Dokumen Rencana Pemberdayaan Masyarakat atau
melaksanakan program corporate social responsibility (CSR)
Berdasarkan UUD 1945 wadah yang tepat untuk melaksanakan
pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah dengan membangun sistem
ekonomi kerakyatan melalui wadah Koperasi. Dengan berkehidupan ekonomi
koperasi berarti pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat diwujudkan secara
tepat guna dan berdaya guna sehingga meningkatkan kesejahteraan anggota.
Untuk dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada,
Indonesia sangat membutuhkan investor yang memiliki teknologi tinggi, modal
yang kuat, untuk kepentingannya membuat infra struktur sendiri. Oleh karena itu
diperlukan program pemberdayaan dalam rangka penyaluran kepedulian
korporasi terhadap lingkungan masyarakat sekitarnya. Melalui programpemberdayaan tersebut diharapkan tumbuh hubungan harmonis antara
korporasi dan masyarakat, disamping sebagai wujud kepedulian korporasi
terhadap pembangunan ekonomi masyarakat miskin di sekitarnya.
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
11/70
344
13.2 Tahap-Tahap Pemberdayaan
13.2.1. Konsep Pemberdayaan
Konsep "empowerment" (pemberdayaan), yang dibidani oleh Friedmann
(1992), muncul karena adanya dua premis mayor, yakni kegagalan dan harapan.
Kegagalan yang dimaksud, adalah gagalnya model-model pembangunan
ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang
berkelanjutan. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif-alternatif
pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender,
persamaan antar generasi, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai.
Kegagalan dan harapan, menurut Friedmann (1992) bukanlah merupakan alat
ukur dari hasil kerja ilmu-ilmu sosial, melainkan lebih merupakan cermin dari
nilai-nilai normatif dan moral. Kegagalan dan harapan, akan terasa sangat nyata
pada tingkat individu dan masyarakat. Dengan demikian, "pemberdayaan
masyarakat", pada hakekatnya adalah nilai kolektif dari pemberdayaan
individual.
Konsep "empowerment" , sebagai suatu konsep alternatif pembangunan,
pada intinya memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari
suatu kelompok masyarakat, yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi,
langsung, partisipatif, demokratis, dan pembelajaran sosial melalui pengalaman
langsung (Friedmann, 1992). Sebagai titik fokusnya adalah lokalitas, sebab "civil
society" menurut Friedmann (1992) akan merasa siap diberdayakan lewat issue--
issue lokal. Namun Friedmann mengingatkan, bahwa adalah sangat tidak
realistis apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur di luar "civil society"
diabaikan. Oleh karena itu, menurut Friedmann pemberdayaan masyarakat tidak
hanya sebatas sosial-ekonomi saja namun juga secar a “politis”, sehingga padaakhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar baik secara regional maupun
nasional.
Konsep "empowerment" , menurut Friedmann (1992) merupakan hasil
kerja dari proses interaktif baik ditingkat ideologis maupun praksis. Ditingkat
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
12/70
345
ideologis, konsep "empowerment" merupakan hasil interaksi antara konsep "top-
down dan bottom-up" , antara "growth strategy dan people-centered strategy" .
Sedangkan di tingkat praksis, interaktif akan terjadi lewat pertarungan antar
rumahtangga-masyarakat yang otonom. Beberapa pertanyaan kunci berikut dari
Friedman (1982:167-171) akan lebih memperjelas konsep "empowerment"/ atau
pemberdayaan yang dikenalkannya, sebagai berikut :
(1) Apa pinsip yang digunakan oleh pemerintah dalam pemberdayaan
kelembagaan masyarakat ?.
(2) Apakah pendekatan pemberdayaan masyarakat dilakukan terhadap
individu agar mampu bersaing atau pendekatan rumahtangga agar dapat
mengakses potensi sosial di lingkungannya ?.
(3) Apakah ada insentif yang dapat diperoleh masyarakat untuk
mengorganisasikan lingkungannya untuk melakukan prakarsa perbaikan
diri dan rumahtangganya oleh mereka sendiri ?
(4) Apa saja yang mendorong peran masyarakat, pemerintah dan LSM
dalam proses pemberdayaan masyarakat untuk berkembang secara
mandiri ?
(5) Bagaimana penguatan masyarakat berbasis kondisi masyarakat lokal
dapat dilakukan ?
(6) Bagaimana upaya untuk mendukung penghidupan rumahtangga yang
tidak berdaya dapat diorganisasikan?
(7) Bagaimana model perencanaan yang cocok dengan kondisi
rumahtangga dan masyarakat agar mampu memberdayakan dirinya
sendiri ?
(8) Apa kendala dalam struktur dan kebijakan yang harus diatasi untuk
menjadikan pengembangan masyarakat berlangsung sebagai jalan yangdapat dipilih secara berkelanjutan ?.
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
13/70
346
13.2.2 Tahapan Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat pesisir/ nelayan kecil (miskin) pada dasarnya
identik dengan tahap-tahap pemberdayaan secara umum yang terdiri dari 3 (tiga)
tahapan, yaitu pemberdayaan individu/ rumahtangga, pemberdayaan ikatan
antar individu/ kelompok, dan pemberdayaan politik. Upaya pemberdayaan
dimulai dengan pemberdayaan individu (rumahtangga) keluarga yang dilanjutkan
dengan pemberdayaan ikatan antar individu/ kelompok dan politik. Pentahapan
pemberdayaan ini dilakukan secara tumpang tindih, artinya dimulainya tahap
pemberdayaan tidak perlu menunggu selesainya proses pemberdayaan tahap
yang mendahuluinya. Secara rinci tahap-tahap pemberdayaan diuraikan sebagai
berikut.
(a) Pemberdayaan Individu (Housho ld Model)
Pemberdayaan individu yang dimaksud disini adalah pemberdayaan
keluarga (rumahtangga) dan setiap anggota keluarga. Asumsi yang dibangun
adalah, apabila setiap anggota keluarga dibangkitkan keberdayaannya maka
unit-unit keluarga berdaya ini akan membangun suatu jaringan keberdayaan
yang lebih luas lagi. Jaringan yang lebih luas ini kemudian akan membentuk apa
yang dinamakan sebagai keberdayaan sosial. Keluarga (rumahtangga), di dalam
konsep pemberdayaan ini didudukkan sebagai produser sekaligus konsumer.
Pemberdayaan individu dan keluarga, pada hakekatnya adalah upaya
menciptakan suatu lingkungan yang mampu membangkitkan keyakinan diri,
memberikan peluang dan motivasi agar setiap individu dalam rumahtangga
mampu meningkatkan kemampuan dirinya meraih atau mengakses sumber-
sumber daya sosial dan ekonomi bagi pengembangan dan kemajuan
kehidupannya. Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk
membangun keberdayaan individu adalah sebagai berikut
1. Pemberdayaan waktu, yang diartikan sebagai usaha mengurangi
pemborosan waktu yang dihabiskan oleh individu untuk memenuhi
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
14/70
347
kebutuhan dasarnya (pangan, pendidikan, perumahan, air bersih,
kesehatan dan transport). Penyediaan fasilitas air bersih dan transportasi
yang baik, akan sangat membantu individu-individu untuk memanfaatkan
waktunya bagi kegiatan-kegiatan ekonomi produktif. Juga informasi dan
pelayanan kesehatan harus tertuju langsung pada jarak yang relatif dekat
terhadap setiap individu;
2. Pemberdayaan psikologis, yang berarti pembangunan keyakinan diri
bahwa para individu berkemampuan untuk menularkan atau menarik
individu-individu lain yang belum beruntung untuk bergabung ke dalam
kegiatan usahanya;
3. Pemberdayaan usaha ekonomi, melalui suatu proses yang mengarah
pada terbentuknya jaringan usaha antar anggota keluarga, antar tetangga,
antar kelompok masyarakat, kemudian mengkait memasuki ekonomi
pasar (baik formal maupun informal). Pemberdayaan ini juga mengarah
pada terbangunnya keberlanjutan usaha ekonomi antar generasi (inter-
generational continuity).
(b) Pemberdayaan Ikatan Antar Individu/Kelompok (Spiral Model) :
Penguatan Permodalan dan Pemasaran
Pada hakekatnya individu dengan individu lainnya diikat oleh suatu ikatan
yang disebut keluarga. Demikian pula antar keluarga (rumahtangga) satu
dengan keluarga (rumahtangga) yang lain diikat oleh suatu ikatan
kebertetanggaan. Begitu seterusnya sampai pada tingkatan yang lebih tinggi.
Pada tingkatan yang pertama, hubungan yang terjadi dapat disebabkan oleh
adanya saling percaya satu terhadap lainnya, keyakinan keagamaan,
kesamaan keturunan, kesamaan nasib, dan atau kedekatan bertetangga.
Pada tingkatan yang lebih tinggi, hubungan ini dapat terwujud di dalam suatu
gerakan masyarakat, organisasi politik, dan sebagainya.
Tantangan utama di dalam pemberdayaan ikatan ini adalah bagaimana
memberdayakan sumberdaya : (1) waktu, (2) ketrampilan dan (3) modal yang
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
15/70
348
dimiliki oleh keluarga-keluarga nelayan di daerah pesisir ke dalam domain-
domain (a) ekonomi, (b) politik, dan (c) sosio-kultural. Penguatan hubungan
ikatan ini berlangsung secara bertahap mengikuti suatu lintasan spiral mulai dari
penguatan individu, antar kelompok, terus naik ke atas menuju pada domain
sosial-politik yang lebih luas lagi, sampai pada domain ekonomi meso dan
makro. Dalam kaitan ini, konsep keterkaitan (linkage) menjadi sangat penting,
sehingga diperlukan adanya aktor (organizer) yang dapat dan mampu
memainkan atau menggerakkan spiral ini dari bawah (tingkat individu) sampai
pada tingkat ekonomi meso dan makro secara institusional.
Sangat disadari, bahwa di dalam perjalanannya dalam praktek
pemberdayaan, lintasan spiral institusional ini akan banyak menghadapi
paradoks dan dialektika antara : (1) syarat-syarat ekonomi rasional melawan
nilai-nilai sosio-kultural (moral), (2) ekonomi formal melawan ekonomi informal,
(3) akumulasi kapital melawan ekonomi subsistensi, (4) ruang kehidupan biologi-
sosial melawan ruang kegiatan ekonomi. Adapun beberapa langkah untuk
membangun keberdayaan institusi adalah sebagai berikut :
1. Memperkuat ikatan antar individu, antar keluarga yang bertetangga dekat,
dan antar kelompok keluarga, melalui penciptaan ketergantungan yang
rasional antara kegiatan usaha ekonomi dan nilai-nilai sosio-kultural yang
hidup di dalam masyarakat.
2. Penguatan ikatan melalui penciptaan ketergantungan yang rasional antara
kegiatan usaha ekonomi dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat
dimaksudkan agar kegiatan usaha ekonomi yang dikembangkan dapat
berlanjut antar keturunan atau antar generasi (inter-generational
continuity);
3. Pengembangan (pengguliran) aset dan kegiatan usaha ekonomi
memanfaatkan dan mempertimbangkan ikatan-ikatan sosio kultural yang
telah ada. Pada tahap-tahap awal program, pengguliran institusional
(kelembagaan) diberikan kepada individu atau kelompok yang memiliki
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
16/70
349
dasar-dasar keterkaitan sosio-kultural dalam komunitas masyarakat
pesisir;
4. Pada pengembangan selanjutnya, keterkaitan antara kegiatan usaha
ekonomi individu, keluarga dan atau kelompok ini dengan domain sosial-
ekonomi pada tingkatan meso dan makro perlu dikembangkan, dalam
rangka membawa lintasan spiral tersebut ke atas. Dalam tingkatan ini,
selain diperlukan adanya aktor (organizer) pemimpin yang mampu
membawa lintasan spiral ini ke atas, juga diperlukan adanya
pemberdayaan politik yang menyertainya.
(c) Pemberdayaan Kelembagaan (Ins t i tut ion Model)
Pada hakekatnya pemberdayaan politik di sini dimaksudkan sebagai
lawan dari pengabaian politik (political exclusion). Pada praktek ekonomi yang
terjadi saat ini telah ditemukan adanya pengabaian politik dan ekonomi
(economic and political exclusion) oleh "urban-metropolitan economy" dan
"multinational economy" terhadap si-miskin, termasuk nelayan miskin di wilayah
pesisir. Pengabaian ekonomi dan politik nampak pada tidak dimasukkannya para
pemduduk miskin di pesisir ke dalam proses dan struktur akumulasi kapital dari
"multinational" maupun "national/regional corporation". Dengan demikian, konsep
pemberdayaan politik yang ditawarkan disini merupakan konsep penataan
terhadap fenomena-fenomena yang dilukiskan diatas. Beberapa konsep dasar
untuk membangun keberdayaan politik dari para nelayan miskin di pesisir ini
adalah sebagai berikut:
1. Bahwa pemberdayaan politik yang dituju di sini adalah terbentuknya
kepedulian dan partisipasi serta "kesalingterkaitan" antara kekuatan
negara (state power), kekuatan ekonomi (economic power) dan kekuatan
sosial (social power);
2. Dalam peta "kesalingterkaitan" antara kekuatan-kekuatan tersebut dapat
ditunjukkan letak inti (core) dari masing-masing kekuatan tersebut. Pada
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
17/70
350
negara (state), inti kekuatan terletak pada lembaga-lembaga formal
kepemerintahan dan perangkat-perangkat hukum yang dimiliki yang
menjangkau masyarakat sampai tingkat pedesaan. Pada kekuatan sosial
(civil society), inti kekuatan terletak pada institusi keluarga melebar ke
institusi sosial (keagamaan, kesenian, dan sebagainya). Pada kekuatan
ekonomi, inti kekuatan terletak pada institusi-institusi yang berujud dalam
korporasi dan atau kegiatan / jaringan ekonomi sampai pada tingkat lokal
.
3. Jadi, pada tingkat praksis, pemberdayaan politik di sini akan mengarah
pada terbangunnya "kesalingterkaitan" (linkage) antara keluarga-keluarga
miskin di pesisir dengan lembaga-lembaga pemerintah dan kegiatan
jaringan ekonomi baik regional maupun nasional.
Secara praksis, langkah-langkah pemberdayaan politik adalah sebagai
berikut :
1. Mendorong agar kelompok-kelompok individu berkembang menjadi "civil
society" yang memiliki kekuatan tawar-menawar (bargaining position);
2. Mendudukkan lembaga-lembaga pemerintah sebagai tulang punggung
(backbone) bagi terbangunnya keterkaitan antara kekuatan-kekuatan
sosial masyarakat pesisir dengan jaringan ekonomi regional dan nasional
dan nasional;
3. Melalui kekuatan lembaga-lembaga pemerintah, korporasi jaringan
ekonomi regional dan nasional diminta untuk membuka pasarnya bagi
produk-produk yang dihasilkan oleh komunitas pesisir, atau memberikan
sebagian dari kegiatan produksinya kepada para keluarga miskin di
daerah pesisir melalui mekanisme sub-kontrak dan bentuk kemitraan yang
sesuai sosial budaya masyarakat pesisir.Dalam perspektif spasial, pembangunan masyarakat pesisir dalam kaitannya
dengan konsep pemberdayaan lebih diartikan sebagai penguatan territory based
identities dan kepemimpinan masyarakat lokal. Pemberdayaan masyarakat
pesisir, salah satunya adalah penguatan identitas dan kepemimpinan yang
berbasis teritori lokal tersebut. Dan identitas ini tidak begitu saja diseragamkan
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
18/70
351
atas nama pembangunan. Dengan demikian proses pengembangan masyarakat
pesisir, seyogyanya tidak didasari oleh rencana standar yang sama dan/atau
seragam untuk seluruh wilayah, namun di dasarkan pada kondisi dan potensi
sumber daya alam, SDM / pemimpin dan kegiatan usaha yang ada dan akan
berkembang di tingkat lokal maupun regional.
13.3. Pendekatan Penguatan Kelembagaan Ekonomi MasyarakatPesisir
Secara umum pemberdayaan nelayan miskin/ masyarakat pesisir dapat
dilakukan dengan cara meningkatkan aksesibilitas mereka pada sumber-sumber
kekayaan sosial, ekonomi dan budaya. Secara sosial, beban kemiskinan yang
mereka hadapi akan dapat diatasi dengan cara menyediakan untuk mereka
bantuan sosial. Secara ekonomi, beban meraka akan juga dapat diatasi melalui
dukungan modal. Secara budaya, beban mereka akan dapat mereka atasi sendiri
dengan cara membangkitkan etos kerja dan kemampuan bekerja melalui
peningkatan keterampilan kerja mereka. Pendekatan sosial, ekonomi atau budaya
semata untuk memberdayakan nelayan atau petani ikan hanya akan berdampak
sekejap atau jangka pendek. Pemberdayaan nelayan atau petani ikanmengandung makna penyelesaian masalah pemberdayaan dan penaggulangan
kemiskinan multi dimensi sosial, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu pendekatan
pemecahan masalah adalah bersifat multi dimensi dan komprehensif.
(a) Penguatan Organisasi Ekonomi
"Desa" adalah unit dasar dari kehidupan pedesaan. Disini "desa"
mengandung arti sebagai "desa alamiah" atau dukuh tempat orang hidup dalarn
ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan
yang besar di bidang sosial dan ekonomi, tidak ada keharusan untuk sama
dengan unit administratif setempat. Komunitas desa dalam ekonomi yang sedang
berkembang untuk sebagian besar memenuhi kebutuhan sendiri dan berorientasi
pada kebutuhan pokok, sungguhpun hubungan pasar dengan sektor perkotaan
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
19/70
352
dapat juga berlangsung. Berlainan dengan ekonomi pasar di daerah perkotaan
dengan pembagian fungsinya yang menyolok antara perusahaan dan
rumahtangga, antara bidang produksi dan konsumsi. Produksi seorang nelayan
dan petani ikan tidak dapat dipisahkan dengan konsumsi keluarganya. Komunitas
desa mengatur kegiatan ekonomi nelayan dengan mengadakan koordinasi dalarn
pemakaian sumberdaya yang langka melalui adat kebiasaan dan kelembagaan.
Seorang nelayan merupakan satu unit produksi yang terlalu kecil untuk dapat
berbuat banyak demi menanggulangi kepentingan bersama.
Bagi komunitas desa adalah merupakan suatu keharusan untuk
menyusun tindakan secara kolektif dan mendorong kerja sama dalarn satu
komunitas. Faktor utama lain yang mendorong kerja sama antara para
nelayan adalah permintaan akan pekerja yang sifatnya sangat bergantung
pada musim dan produksi perikanan. Pada masa-masa puncak musim,
jumlah pekerja yang melebihi kapasitas kerja keluarga selalu diperlukan untuk
memenuhi jadwal kerja. Disamping itu, merupakan hal yang lazim, bahwa
penduduk desa pantai terbagi dalam berbagai sub-klas nelayan. Hanya saja
dalam komunitas pedesaan pantai, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki
alat produksi merasa berhak atas pemakaian alat produksi (kapal) bukan
miliknya dengan cara khas penetapan seperti sistem bagi basil.
Seperti lazimnya di dalam perjanjian bagi hasil, di dalam komunitas
desa ada kecenderungan yang amat kuat untuk mengaitkan berbagai
transaksi ekonomi menjadi hubungan yang sangat pribadi sifatnya. Seorang
pemilik perahu tidak hanya menerima bagian perahu atas hasil
tangkapannya, dia ada kewajiban menanggung biaya-biaya produksi,
bahkan memberikan kredit untuk para pekerja yang selanjutnya disebut
pendega memenuhi keperluan konsumsinya. Sering pula, para pemilik kapal,
yang selanjutnya disebut juragan, bertindak sebagai pelindung (patron)
terhadap si pendega.
Hubungan semacam ini biasanya disebutkan sebagai hubungan antara
bapak dan anak buah (patron-client relationship), dalarn hal ini hubungan
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
20/70
353
juragan dan anak buah kapal (ABK). Dalam hubungan ini, seseorang dengan
status sosial-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan
sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau
keuntungan bagi individu yang statusnya lebih rendah (client), dan sebaliknya
para client tadi membalas dengan memberikan dukungan kepada bapak
(patron) tadi. Kelembagaan yang menguasai ekonomi nelayan tersebut yang
bercirikan cara-cara produksi seperti digambarkan di atas, lebih merupakan
adat kebiasaan dan prinsip-pinsip moral dari pada perjanjian resmi. Prinsip
moral yang tertanam adalah "saling menolong dan berbagi pendapatan di
kalangan nelayan".
(b) Pendekatan Ekonomi Dari Sudut Moral
Adat kebiasaan dan prinsip moral dijalankan melalui interaksi sosial
dalam komunitas desa. Oleh karena tradisi, kekerabatan, pertalian karena
tempat tinggal yang sama dan kebutuhan untuk kerja sama demi
keamanan dan daya tahan hidup pada tingkat minimal, maka suatu
interaksi sosial yang akrab merupakan ciri masyarakat nelayan.
Para ahli ekonomi moral mempunyai pandangan bahwa hubungan
sosial pada komunitas nelayan prakapitalis disesuaikan untuk menjamin
kebutuhan pokok yang minimum bagi seluruh anggota komunitas. Biasanya
para nelayan dan petani ikan gurem memenuhi nafkahnya pada tingkat yang
hampir mendekaii kebutuhan pokok minimum untuk hidupnya. Para nelayan
gurem (pendega) selalu dihadapkan pada bahaya pendapatan mereka
mungkin menurun di bawah tingkat kebutuhan pokok yang terendah yang
disebabkan oleh berbagai hal yang terjadi di luar mereka, seperti cuaca atau
terjadinya keadaan yang tidak diinginkan dalam keluarganya, misalnya sakit.
Menurut Hayami dan Kikuchi (1987), bahwa pandangan para ahli
ekonomi moral tentang kecenderungan masyarakat desa pra-kapitalis
mengarah menjadi dua aliran, yaitu
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
21/70
354
1. Aliran pertama : menduga orientasi masyarakat desa pra-kapitalis untuk
membangun kontrol sosial terhadap warga yang berkecukupan supaya
ikut serta menggunakan kekayaannya dalam upaya memenuhi
kebutuhan minimum bagi orang miskin. Kontrol sosial dernikian
berlangsung melalui interaksi.
2. Aliran kedua : menduga bahwa komunitas pedesaan (petani atau
nelayan) prakapitalis tidak berorientasi untuk melindungi yang miskin.
Aliran ini berpendapat bahwa kelembagaan tradisional desa dan
hubungan bapak-anak buah tidak mempunyai motivasi maupun daya
guna untuk menjamin kebutuhan pokok para anggota komunitas
miskin. Mereka berpendapat, bahwa di dalam komunitas petani
tradisional, motivasi orang-orang dalam komunitas itu lebih banyak
terarah untuk mencapai keuntungan pribadi daripada untuk mencapai
kepentingan kelompok, seperti melindungi masyarakat miskin. Oleh
karena itu, ketika ekonomi pasar berhasil menembus ekonomi
pedesaan pra-kapitalis, maka prinsip-prinsip moral yang dibangun
oleh masyarakat pedesaan cenderung "mengalah" atau "dikalahkan".
Dengan membaurnya ekonomi pasar ini, prinsip moral untuk menjamin
keperluan pokok melaui "jaringan sosial" bagi angota komunitas telah
digantikan oleh pertimbangan ekonomi yang keras untuk mencari
untung sebanyak-banyaknya. Hubungan tolong-menolong antara Bapak-
Anak Buah menjadi lemah.
Dengan meletakkan tekanan pada prinsip moral tradisional dan interaksi
(aksesibilitas) sosial dalam komunitas desa, maka pendekatan pemberdayaan
ini lebih menekankan "pendekatan ekonomi dari sudut moral dalam arti luas".
Pengertian moral sosial dalam arti luas, bahwa untuk mengatasi kemiskinan
dan pemberdayaan masyarakat nelayan di pedesaan pantai tidak cukup
hanya atas dasar "redistribusi pendapatan" melalui kebijakan anggaran
publik, tapi juga penyiapan prasarana dan aksesibilitas sosial-ekonomi
nelayan kecil untuk mendukung kegiatan produktif rumahtangga nelayan.
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
22/70
355
13.3.1. Pendekatan Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Komunitas(PSBK)
Proses pembangunan yang berlangsung di banyak negara berkembang
selama ini diwarnai oleh mata rantai pemithosan paradigma pembangunan
yang mendasarinya. Pertanyaan who gets, of what, how much mulai
menggugat production oriented development yang berorientasi pada
paradigma pertumbuhan (Tjokrowinoto, 1996). Kemudian, pada tahun 1970-an
pemithosan paradigma kearah pendekatan kesejahteraan yang menjanjikan
kesejahteraan rakyat dan keadilan. Menurut Tjokrowinoto (1996) pendekatan
tersebut masih mengandung kelemahan mendasar karena dua hal, yaitu : (a)
sentralistik, dan (b) birokrasi tidak mampu memberikan pelayanan sesuai
kebutuhan rakyat (baca : rakyat miskin).
Pada tahun 1980-an, pendekatan welfare-oriented development atau
equity – oriented development digugat. Kemudian lahir paradigma people –
centred development yang kemudian melandasi wawasan Community – Based
Resource Mangement (CBRM). Tjokrowinoto (1996) menterjemahkan CBRM
menjadi Pengelolaan Sumber Daya Lokal (PSDL). Tim Fakultas Perikanan
Universitas Brawijaya (1999) menterjemahkan CBRM dengan istilah
Pmanfaatan Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas (PSBK).
Ciri managemen PSBK tersebut mengacu pada pendapat Konten
(Tjokrowinoto, 1996) adalah sebagai berikut :
(1) Pembangunan oleh masyarakat;
(2) Managemen oleh komunitas;
(3) Merupakan proses belajar sosial; dan
(4) Menerapkan managemen strategis .
Alasan penerapan PSDL (PSBK) adalah :
(1) Sumberdaya pembangunan dari Pusat tidak akan mencukupi untuk menjangkau seluruh masyarakat dalam
lapisan bawah (miskin);
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
23/70
356
(2) Program dari Pusat sukar menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
lokal;
(3) PSDL (PSBK) lebih tanggap terhadap heterogenitas lokal;
(4) PSDL memungkinkian partisipasi masyarakat secara optimal;
(5) PSDL menempatkan tanggung jawab pembangunan pada masyarakat
(miskin) setempat.
Tindakan rasional secara ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan “milik bersama (common property)” bisa berdampak irrasional. Kata
Hardin (1968) dapat menimbulkan tragedy of the common. Pada tingkat
komunitas, masyarakat dengan kearifan lokal memungkinkan untuk membangun
tindakan rasional secara sosial melalui kelembagaan kerjasama yang berbasis
masyarakat. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat
terjadi suatu proses pemberian wewenang, hak dan tanggung jawab masyarakat
untuk mengelola sumberdaya perikanan oleh, dari dan untuk masyarakat sendiri.
Dalam hal ini, kerjasama merupakan solusi untuk menghindarkan diri
masyarakat dari tragedi yang tidak diinginkan.
Dengan adanya kerjasama, masyarakat dalam konsep PSBK adalah
komunitas atau kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Dari sudut
pandang wilayah, masyarakat disini adalah mereka yang tinggal di suatu
kawasan tertentu. Kawasan yang dimaksud dapat mencakup beberapa
pemukiman, desa, kecamatan, kota, kabupaten, propinsi atau negara. Misalnya,
masyarakat Teluk Jakarta adalah masyarakat yang berasal dari beberapa dusun,
desa, pulau, kecamatan, kabupaten/kota atau propinsi bergantung pada cakupan
wilayah yang kita maksudkan. Selat Bali didiami oleh warga nelayan mencakuppenduduk Propinsi Jawa Timur dan Bali. Kawasan Selat Madura mencakup
kawasan nelayan dari penduduk Kabupaten/Kota yang membatasi Selat Madura,
seperti Sumenep, Pamekasan, Probolinggo, Situbondo dan Banyuwanngi
dengan adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda.
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
24/70
357
Dari sudut pandang status sosial dan pekerjaan, masyarakat yang tinggal
di kawasan tertentu, orang yang berkepentingan dengan pengelolaan
sumberdaya perikanan dapat terdiri dari para nelayan, pedagang ikan,
pembudidaya ikan/ rumput laut, pengolah ikan, pemilik kapal, tokoh adat ataupun
pimpinan formal. Dengan adanya klasifikasi masyarakat yang berbeda, maka
PSBK dapat dibedakan atas dasar :
(1) Administrasi pemerintahan/ kawasan : PSBK dusun pada tingkat desa,
kecamatan, kabupaten, propinsi atau kawasan Selat/ Teluk tertentu;
(2) Kegiatan ekonomi masyarakat : PSBK gill-net, petani rumput laut dan lain-
lainnya.
13.3.2 Pendekatan Lembaga Keuangan Masyarakat Pesisir(LKMP)
Untuk mengembangkan entrepreneurship rumahtangga nelayan miskin
memerlukan kemampuan enterpreneural skill disamping pengaturan atas
dasar hak, izin atau bebas masuk. Sebagaimana kita ketahui, bahwa
sumberdaya laut merupakan pabrik perairan produsen primer. Ikan mengambilmakanan dari perairan pesisir. Pada budidaya perairan yang berazaskan
IPTEK, petani harus menggunakan kecerdasan otaknya untuk meningkatkan
penguasaan terhadap semua faktor lingkungan yang mempengaruhi .
pertumbuhan biota ikan/ non-ikan atau tanaman laut.
Nelayan yang melakukan usaha menangkap ikan di laut harus memiliki
keterampilan yang lebih luas daripada pekerja pabrik, karena petani atau
nelayan disamping sebagai juru tani juga sebagai pengelola bisnis. Sebagaipengelola bisnis, seorang nelayan harus "menguasai" keterampilan bisnis.
Untuk mengembangkan bisnis perikanan secara berhasil, maka para nelayan
memerlukan kernampuan untuk "menguasai" jalur bisnis perikanan secara
utuh, yaitu :
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
25/70
358
(1) Penyediaan input kegiatan melakukan penangkapan ikan di laut, seperti
perahu dan alat tangkap ikan.
(2) Kegiatan menangkap ikan di laut.
(3) Pengolahan pasca panen.
(4) Pemasaran dan distribusi output ikan atau produk lainnya.
Dalam aktivitas pernberdayaan nelayan skala kecil/ miskin perlu dikaji
secara mendalam mutu SDM dan kemungkinan untuk dikembangkan
keterampilannya, khususnya dalam kegiatan pemberdayaan sosial dan
ekonomi nelayan kecil dalam menguasai bisnis perikanan sebatas
kemampuan enterpreunur nelayan. Untuk kelengkapan pemahaman
masyarakat lokal (nelayan miskin) terhadap keterampilan bisnis yang
diperlukan, maka dilakukan identifikasi keperluan usaha ekonomi untuk
mengurangi kemiskinan nelayan kecil.
Pembangunan usaha penangkapan ikan di laut memiliki kesamaan
dengan proses pembangunan pertanian dalam arti luas. Pakar pembangunan
pertanian AT. Mosher (1973) menyatakan bahwa untuk meningkatkan
produktifitas pertanian dan aksesibilitas petani, ketika usaha petani semakin
berkembang maka semakin bergantung kepada sumber-sumber dari luar
lingkungannya. Khususnya bisnis ikan yang cepat busuk, dimana kebutuhan
pasar merupakan bagian tak terpisahkan bagi nelayan, karena sebagian
besar ikan yang diproduksi dijual di pasar, dan hanya sebagian kecil saja yang
dikonsumsi rumahtangga nelayan atau petani ikan.
Ada lima fasilitas dan jasa (akses) yang harus tersedia bagi para petani,
termasuk pembudidaya ikan maupun nelayan, jika nelayan atau petani ikan
gurern hendak dimajukan. Masing-masing merupakan syarat pokok. Tanpa
salah satu dari padanya, tidak akan ada pembangunan nelayan kecil. Syarat
pokok yang dimaksud adalah :
(1) Pasar untuk hasil tangkapan ikan;
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
26/70
359
(2) Teknologi ramah yang terus berubah agar penangkapan ikan bisa bekerja
lebih efisien;
(3) Tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal;
(4) Perangsang produksi dengan harga ikan yang layak;
(5) Prasarana dan pengangkutan;
Apabila semuanya lengkap, selanjutnya ekonomi rumahtangga nelayan
dan petani ikan akan tumbuh berkembang karena dukungan faktor pelancar.
Sebagai faktor pelancar yang dapat mempercepat proses pertumbuhan
ekonomi nelayan kecil / gurem, yaitu :
(1) Pendidikan dan pelatihan pembangunan (pendampingan);
(2) Kredit produksi atau akses permodalan produktif;
(3) Kegiatan kelompok bersama oleh nelayan;
(4) Perbaikan/konservasi/ perluasan lahan usaha penangkapan ikan;
(5) Pelibatan komunitas nelayan dalam perencanaan pembangunan khususnya dalam skala lokal.
Adapun kajian Model Kemitraan Sosial pemberdayaan nelayan skala
kecil yang akan dilakukan mengacu pada teori pemberdayaan oleh Friedman
(1992) dengan pendekatan pusat pertumbuhan perekonomian dengan strategi
penciptaan Struktur Pedesaan Progresif (SPP). Sebagaimana dinyatakan oleh
AT. Mosher bahwa SPP mempunyai berbagai unsur, yaitu :
(1) Pasar input maupun output usaha penangkapan ikan;
(2) Prasarana jalan menuju dan keluar lokasi.
(3) Penguatan adopsi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan secara
lokal.
(4) Aparat penyuluhan perikanan dan pendamping pemberdayaan yang
terampil.
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
27/70
360
(5) Fasilitas kredit dan dukungan modal produktif untuk kegiatan produksi
perikanan.
Dalam pandangan ekonomi moral untuk memberdayakan nelayan skala
kecil di pedesaan memerlukan dukungan kelembagaan permodalan atau
pembiayaan yang sesuai kondisi sosial-ekonomi nelayan, dimana hasil
tangkapan tidak menentu dan rentan terhadap pengaruh musim ikan. Untuk
menyiapkan kelembagaan tersebut perlu disesuaikan dengan daya dukung
SDM dan budaya lokal untuk melaksanakan kegiatan. Menurut hasil kajian
IBRD/ World Bank (2000) kelemahan yang berkaitan dengan penyediaan
pembiayaan untuk pemberdayaan masyarakat miskin adalah karena program
pemberdayaan dibatasi waktu kegiatan (proyek) yang pada umumnya bersifat
sangat jangka pendek (satu tahun). Menurt IBRD/ World Bank (2000) perlu
dicari terobosan pembinaan permodalan non-bank (jaminan permodalan)
untuk pembiayaan usaha masyarakat miskin yang dapat dilakukan sekurang-
kurangnya dalam jangka waktu 20 tahun (jangka panjang), misalnya dikaitkan
dengan penyediaan modal bersumber dari dukungan masyarakat (kaya)
dengan mengefektifkan basis religi melalui pendaya-gunaan zakat, infak dan
shadaqah (ZIS) produktif.
Dengan demikian dalam kajian ini akan dirumuskan penguatan Lembaga
Permodalan Progresif (LP2) yang secara berkelanjutan melakukan pembinaan
untuk melayani perekonomian masyarakat (nelayan kecil/ miskin). Oleh karena
itu, ada empat kegiatan utama dalam kajian pengembangan enerepreneuralship
nelayan kecil dalam kerangka pengembangan Model Kemitraan Sosial, yaitu :
(1) Pengembangan lembaga keuangan mikro;
(2) Pengembangan usaha ekonomi produktif;
(3) Pelatihan dan penguatan kapasitas entrepreneurial skill masyarakat lokal;
dan
(4) Pemberdayaan entrepreneurialship nelayan kecil.
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
28/70
361
Selanjutnya, dengan mempertimbangkan upaya pemberdayaan yang
dilakukan nelayan, secara hipotetis desain pemberdayaan kelembagaan
keuangan mikro masyarakat pesisir akan difokuskan pada pemberdayaan
aksesibilitas (sosial-ekonomi) nelayan kecil yang bertujuan untuk
meningkatkan pemberdayaan sosial ekonomi (entrepreneurial skill) melalui
pengembangan infrastruktur sosial- ekonomi (socio-economical infrastructure)
dan penguatan kapasitas kelembagaan dan keterkaitan (lingkages) baik pada
aspek bio-fisik, spasial dan kelembagaan (spatial and institution) yang
didasarkan atas dasae territory based identities sumberdaya lokal.
13.4 Pendekatan Pemberdayaan Rumahtangga Masyarakat Pesisir
Pendekatan yang dipakai dalam program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Pesisir Wotgalih adalah sebagai berikut :
1. Partisipatif
Pendekatan partisipatif masyarakat dalam pembangunan pada dasarnya
merupakan pencerminan dari konsep bottom up planning serta salah satu
perwujudan dari upaya pemberdayaan masyarakat. Pendekatan partisipatif
dilaksanakan untuk dapat lebih menjamin keberhasilan pelaksanaan program
pembangunan maupun pemanfaatan hasil yang telah tercapai dari program-
program pembangunan tersebut.
Pelaksanaan program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir pada
hakekatnya adalah upaya untuk mengikutsertakan semua pihak terkait,
khususnya dari pihak masyarakat dalam keseluruhan tahapan kegiatan
pelaksanaan program Pemberdayaani Masyarakat Pesisir yang secara garis
besar akan mencakup tahapan perencanaan, implementasi, pemanfaatan, dan
pengendalian (monitoring dan evaluasi). Namun dalam hal ini, perlu dihindari
kecenderungan implementasi yang tidak mengikutsertakam masyarakat dalam
pembangunan (cenderung bersifat parsial). Hal ini misalnya terjadi pada tahap
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
29/70
362
perencanaan, dimana masyarakat hanya dilibatkan pada studi awal dalam
proses identifikasi kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan, sedangkan
pengambilan keputusan terhadap program pembangunan yang akan dijalankan
tetap dilakukan oeh pihak lain (top-down planning ).
Pentingnya pendekatan partisipatif dalam program Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir disebabkan karena tindakan yang akan diambil serta hasil
pelaksanaan program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir pada hakekatnya
adalah ditujukan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.
Berangkat dari hal tersebut, maka kegiatan dalam program
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Wotgalih harus dirancang sedemikian rupa
sehingga masyarakatlah yang akan lebih banyak menentukan arah dan langkah
pelaksanaan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat . Dalam hal ini,
Tenaga Pendamping Desa (TPD) beserta tokoh kelembagaan lokal terkait akan
bertindak sebagai fasilitator yang akan mendampingi, membimbing, dan
membantu masyarakat dalam mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan,
merumuskan alternatif rencana pemecahan berikut konsekuensinya. Dengan
metode seperti ini diharapkan dapat menimbulkan rasa kepemilikan dan
tanggungjawab dari masyarakat dalam pelaksanaan dan pemeliharaan kegiatan-
kegiatan dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih.
2. Kemandirian
Dalam program Pemberdayaani Masyarakat salah satu strategi
pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kemandirian atau keswadayaan,
dimana dengan dilaksanakannya strategi ini dalam program Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat diharapkan akan timbul kemandirian dari masyarakat
dalam pembangunan masyarakat dan wilayahnya sendiri dengan potensi-potensi
sumberdaya yang dimiliki oleh daerahnya.
Strategi kemandirian atau keswadayaan pada dasarnya adalah
melaksanakan pembangunan yang bertumpu pada kekuatan, kemampuan, dan
modal atau biaya sendiri. Pada pelaksanaan program Pemberdayaan
Masyarakat, maka masyarakat didorong untuk mampu secara mandiri
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
30/70
363
mengatasi permasalahan dalam rangka pembangunan diri dan lingkungannya.
Selama mengikuti program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, dimana
masyarakat tidak hanya terpaku pada proses peningkatan produksi, distribusi,
dan pemasaran tetapi juga belajar untuk mengatasi permasalahan. Dengan
demikian pada akhir program masyarakat telah memiliki modal untuk memelihara
dan mengembangkan hasil-hasil program serta menghadapi tantangan ke depan
secara mandiri dan berkelanjutan.
3. Kemitraan
Pendekatan kemitraan dalam program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Wotgalih digunakan untuk membentuk jaringan kemitraan antara
masyarakat, tokoh lokal, aparat pemerintah dan swasta dalam mengembangkan
kegiatan-kegiatan yang ada dalam program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat.
Upaya untuk menciptakan jaringan kemitraan tersebut difasilitasi dengan
mempertemukan antara semua sektor dan stakeholders yang terkait dalam
pembangunan dan pengembangan ekonomi kawasan pesisir. Sektor-sektor yang
terkait dihimpun dalam jaringan kemitraan sedemikian rupa sehingga diantara
masing-masing sektor terbentuk suatu kesepakatan dalam pembangunan dan
pengembangan ekonomi kawasan pesisir sesuai dengan fungsi, peran dan
kapasitas kewenangannya masing-masing.
13.4.1 Prinsip Pengelolaan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Prinsip pengelolaan program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir oleh PT.
ANTAM Tbk. yang dilaksanakan di Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten
Pasuruan meliputi :
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
31/70
364
1. Acceptability
Metode ini diimplementasikan dalam wujud pelaksanaan pengambilan
keputusan yang didasarkan pada proses musyawarah sehingga memperoleh
legitimasi dan dukungan dari seluruh anggota masyarakat. Hal ini perlu dilakukan
karena pada dasarnya program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih
dipilih, dirumuskan dan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat dalam forum-forum
pertemuan pada masing-masing jenjang daerah pemerintahan (dukuh, Desa,
Kecamatan, Kabupaten). Agar proses musyawarah ini benar-benar dapat
mencerminkan kata mufakat dari semua pihak, maka dengan sendirinya dalam
kegiatan musyawarah ini semua pihak terkait harus dapat terwakili.
2. Transparency
Pengelolaan kegiatan dalam program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Wotgalih dilakukan secara terbuka, diinformasikan dan diketahui
oleh masyarakat sehingga masyarakat dapat ikut memantaunya, dengan adanya
keterbukaan ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui dengan jelas maksud,
tujuan dan alokasi dana untuk program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Wotgalih. Upaya penyebaran informasi ini dilakukan melalui kegiatan sosialisasi.
3. Accountabi l i ty
Prinsip ini berarti bahwa pelaksanaan program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Pesisir (PEMP) harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat. Perlunya pertanggungjawaban kepada masyarakat ini karena pada
dasarnya masyarakatlah yang merasakan dampak dan manfaat dari program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih.
4. Responsiveness
Kegiatan yang dilakukan dalam program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Wotgalih ditujukan sebagai bentuk kepedulian atas beban penduduk
pesisir yang kurang berdaya atau miskin.
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
32/70
365
5. Quick Disbursement
Penyampaian bantuan modal kepada masyarakat sasaran dalam program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih diharapkan dapat dilakukan
secara cepat dan tepat.
6. Democracy
Dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih proses
pemilihan peserta yang nantinya akan mendapatkan bantuan dana ekonomi
produktif dilakukan secara musyawarah.
7. Sustainabi l i ty
Pengelolaan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih
diharapkan dapat memberikan manfaat secara optimal dan berkelanjutan.
8. Equal i ty
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih memberikan
kesempatan yang sama kepada orang atau kelompok lain yang belum
memperoleh kesempatan mendapatkan dana ekonomi produktif, dengan ini
diharapkan agar semua masyarakat dapat merasakan manfaat secara langsung
dari program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih.
.
9. Competi t iveness
Dalam program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Wotgalih setiap
ketentuan dalam pemanfaatan dana ekonomi produktif masyarakat diharapkan
dapat mendorong terciptanya kompetisi yang sehat dan jujur dalam mengajukan
usulan kegiatan yang layak.
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
33/70
366
13.4.2 Model Kemitraan Sosial Pemberdayaan MasyarakatPesisir
Atas dasar konsep pemberdayaan, pentahapan dan kelembagaan
masyarakat untuk mendukung rencana pemberdayaan pemberdayaan
berkelanjutan, maka model pemberdayaan selanjutnya kita kembangkan Model
Kemitraan Sosial, dengan pertimbangan :
(a) Ada pelapisan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan.
(b) Aset dan akses sosial masyarakat masih mendominasi kegiatan untuk
mendukung keberlanjutan penghidupan masyarakat di pedesaan pesisir.
Pemberdayaan dengan Model Kemitraan Sosial dilakukan sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 2.2. Prinsip penerapannya adalah sebagai berikut :
(1) Multi tingkat, dimulai dengan pemberdayaan sikap produktif rumahtangga,
modal usaha produktif untuk kelompok dan kemandirian kelembagaan
kelompok.
(2) Multi dimensi, mencakup dimensi sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan
kebijakan.penganggaran PEMDA.
(3) Multi tahun, dalam hal ini minimal 8 tahun.
(4) Pendampingan secara berkelanjutan dan professional oleh Pendamping
Desa.
(5) Kesetaraan peran (equal roles) sebagai prinsip kemitraan sosial dalam
bentuk “bantuan sosial” oleh Penyandang Dana (donor) kepada kelembagaan
lokal : Lembaga Ekonomi Pemberdayaan Desa, Mitra Desa dan Kelompok
Produktif (KUB).
(6) Multi sumberdana (donor, mencakup sumber CSR , dukungan PEMDA dan
dana Zakat, Infak Shodaqih (ZIS) dari masyarakat.
(7) Human Centered development (Pemberdayaan berpusat pada peran sertamanusia)
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
34/70
367
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
35/70
368
Gambar 13.1 Model Kemitraan Sosial Untuk Pemberdayaan
DONOR
PROG. APBD
CSR
KORPORASI
SHADAQAH
(2)
KELOMPOK USAHABERSAMA
KOMUNITAS
(3)
(4)
DULATAN/
/REVOLVING/
SHADAQAH
PEMBERDAYAANRUMAHTANGGA
(a) Budaya Produktif
PELAYANAN AMANAH
PEMBERDAYAAN KELOMPOK
PEMBERDAYAAN KELOMPOK
(b) MOTIVASI BISNIS
PEMBERDAYAANKELEMBAGAAN
(c) MANDIRI
TAHAP
PERTAMA
TAHAP
KEDUA
TAHAP
KETIGA
LEPD
MDKP
PENGUATAN MODAL
PENGUATAN USAHA PRODUKTIF
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
36/70
369
13.5 Pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUB)
Pertanyaan yang muncul dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat
miskin adalah urgensi kerjasama kelompok dan apa media praktis yang dapat
kita gunakan untuk membuat mereka berfikir inovatif. Ada 6 instrumen dalam
upaya pengembangan swadaya masyarakat, (Verhagen, 1996), yaitu :
(1) Identifikasi penduduk dan kelompok sasaran;
(2) Konsultasi managemen;
(3) Pengembangan jaringan dengan pihak ketiga;
(4) Perluasan proses dan pengembangan gerakan;
(5) Pemanfaatan dan evaluasi diri terus menerus;
(6) Penguatan kelompok berbasis komunitas.
Dalam penguatan kelompok ada 7 komponen kapasitas di tingkat
komunitas (UNICEF, 1999) yang harus dikembangkan untuk dapat mendorong
aktifitas ekonomi anggota kelompok melalui usaha ekonomi produktif, yaitu :
(1) Comunity leader : siapa saja orang-orang berpengaruh untuk mendorong
penguatan kelompok ekonomi produktif;
(2) Comunity technology : teknologi apa yang digunakan masyarakat untuk
memproduksi sesuatu;
(3) Comunity fund : apakah ada mekanisme penghimpunan dana dari
masyarakat;
(4) Comunity material : sarana apa saja yang dapat digunakan masyarakat yang
berguna untuk pengembangan kelompok, apakah ada modal usaha keluarga
/ kelompok;
(5) Comunity knowledge : apa persepsi masyarakat berkaitan dengan usaha
meraka, apa harapan terhadap pelayanan ekonomi produktif, selanjutnya
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
37/70
370
sejauh mana kepercayaan masyarakat terhadap pelaku pelayanan usaha
peroduktif;
(6) Comunity decision marking : apakah masyarakat terlibat dalam program
secara keseluruhan;
(7) Comunity organization : usaha ekonomi mana yang dapat dikembangkan
menjadi organisasi usaha ekonomi produktif.
13.5.1 Penguatan KUB
Penguatan kelompok merapkan alternatif pemberdayaan kelompok
masyarakat. Sistematika penguatan kelompok usaha didasarkan pada
pertimbangan sebagai berikut :
1. Nilai Strategis KUB
Keberadaan Kelompok Usaha Bersama (KUB) bagi fakir miskin di
tengah-tengah masyarakat wahana untuk (1) meningkatkan usaha
ekonomi produktif (khususnya dalam peningkatan pendapatan), (2)
menyediakan sebagian kebutuhan yang diperlukan bagi keluarga fakir
miskin, (3) menciptakan keharmonisan hubungan sosial antar warga, (4)
menyelesaikan masalah sosial yang dirasakan keluarga fakir miskin, (5)
pengembangan diri dan sebagai wadah berbagi pengalaman antar
anggota.
Kehadiran KUB Fakir Miskin merupakan media untuk (1)
meningkatkan motivasi warga miskin untuk lebih maju secara ekonomi
dan sosial, (2) meningkatkan interaksi dan kerjasama dalam kelompok, (3)
mendayagunakan potensi dan sumber sosial ekonomi lokal, (4)
memperkuat budaya kewirausahaan, (5) mengembangkan akses pasar
dan (6) menjalin kemitraan sosial ekonomi dengan berbagai pihak yang
terkait.
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
38/70
371
Melalui kelompok, setiap keluarga miskin dapat (1) saling berbagi
pengalaman, (2) saling berkomunikasi, (3) saling mengenal, (4) dapat
menyelesaikan berbagai masalah dan kebutuhan yang dirasakan. Dengan
sistem KUB, kegiatan usaha yang tadinya dilakukan secara sendiri-sendiri
kemudian dikembangkan dalam kelompok, sehingga setiap anggota dapat
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam kegiatan usaha
ekonomi produktif, usaha kesejahteraan social serta kemampuan
berorganisasi.
Kegiatan yang berkaitan dengan usaha kesejahteraan sosial dapat
berupa : (1) pengeIoaan santunan hidup, (2) Iuran Kesetiakawanan Sosial
(IKS), (3) arisan, (4) pengajian, (5) perkumpulan kematian, (6) usaha
simpan pinjam, (7) pelayanan koperasi, usaha tolong menolong atau
gotong royong, (8) usaha pelayanan sosial untuk membantu orang tidak
mampu, (9) usaha-usaha untuk mencegah timbulnya permasalahan sosial
di lingkungannya, dan (10) usaha-usaha UKS lainnya. Kegiatan yang
berkaitan dengan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dapat berupa (1) usaha
dagang, (2) jasa, (3) pertanian, dan lain-lain, sedangkan kegiatan yang
bersifat penataan kelembagaan, seperti: (1) pengelolaan keuangan, (2)
pencatatan dan pelaporan kegiatan bersama.
Melalui KUB diharapkan dapat (1) meningkatkan pengetahuan dan
wawasan berfikir para anggota karena mereka dituntut suatu kemampuan
manajerial untuk mengelola usaha yang sedang dijalankan, dan (2)
berupaya menggali dan memanfaatkan sumber-sumber rizki yang tersedia
di lingkungan untuk keberhasilan kelompoknya. Selain itu, diharapkan
dapat (3) menumbuh kembangkan sikap-sikap berorganisasi dan (4)
pengendalian emosi yang semakin baik serta dapat menumbuhkan rasa
kebersamaan, kekeluargaan, kegotongroyongan, rasa kepedulian dan
kesetiakawanan sosial, baik di antara keluarga binaan sosial maupun
kepada masyarakat secara luas.
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
39/70
372
KUB dibentuk dilandasi oleh nilai filosofis “dari”, “oleh” dan “untuk”
masyarakat. Artinya bahwa keberadaan suatu kelompok KUB di manapun
(desa atau kota) adalah berasal dari dan berada di tengah-tengah
masyarakat. Pembentukannya oleh masyarakat setempat dan
peruntukannya juga adalah untuk anggota dan masyarakat setempat.
Karena konsep yang demikian, maka pembentukan dan pengembangan
KUB harus bercirikan nilai dan norma budaya setempat, harus sesuai
dengan keberadaan sumber-sumber dan potensi yang tersedia di
lingkungan setempat, juga harus sesuai dengan kemampuan SDM
(anggota KUB) yang ada.
KUB harus diwujudkan dalam bentuk kerjasama yang berlangsung
secara terus menerus, bukan hanya untuk jangka pendek tetapi jangka
panjang. Kerjasama yang tulus biasanya hanya dapat diwujudkan bila
dilandasi oleh dengan semangat kekeluargaan, kegotongroyongan, dan
kesetiakawanan sosial. Dalam kelompok terjadi interaksi atau hubungan
yang saling ketergantungan, dan saling membutuhkan antara satu dengan
yang lainnya yang pada akhirnya menimbulkan semangat kekeluargaan,
kegotongroyongan dan kesetiakawanan sosial di antara mereka, bahkan
dengan lingkungan eksternal kelompok.
KUB dimaksudkan untuk mewujudkan keberfungsian sosial para
anggota KUB dan keluarganya, yang meliputi meningkatnya kemampuan
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari dan berubahnya
sikap dan tingkah laku dalam mengatasi permasalahan-permasalahan
yang dihadapi serta meningkatnya kemampuan dalam menjalankan
peranan-peranan sosialnya dalam masyarakat. Keberadaan usaha-usaha
ekonomis produktif yang bersifat ekonomis dalam kelompok KUB hanya
sebagai sarana bukan sebagai tujuan. Banyak orang beranggapan bahwa
aspek usaha ekonomi produktif atau UEP dalam KUB sebagai tujuan dan
sering dijadikan sebagai ukuran keberhasilan KUB. ini adalah suatu hal
yang keliru. Berkelompok dalam KUB adalah berarti berkeinginan untuk
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
40/70
373
merubah keadaan yang lebih baik dari sebelumnya, yaitu perubahan
secara ekonomi, sosial, dan spiritual atau lebih dikenal dengan Dzkir,
pikir, dan ikhtiar.
2. Tiga Tujuan Kegiatan KUB
Kegiatan Pengembangan Kelompok Usaha Bersama bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kemampuan anggota kelompok KUB di dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari, ditandai dengan: (1)
meningkatnya pendapatan keluarga; (2) meningkatnya kualitas
pangan, sandang, papan, kesehatan, tingkat pendidikan; (3) dapat
melaksanakan kegiatan keagamaan; dan (4) meningkatnya
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya.
2. Meningkatnya kemampuan anggota kelompok KUB dalam mengatasi
masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam keluarganya maupun
dengan lingkungan sosialnya, ditandai dengan adanya kebersamaan
dan kesepakatan dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga,
dalam lingkungan sosial; adanya penerimaan terhadap perbedaan
pendapat yang mungkin timbul di antara keluarga dan lingkungan;
semakin minimnya perselisihan yang mungkin timbul antara suami dan
istri atau antara orang tua dan anak, dan lain-lain.
3. Meningkatnya kemampuan anggota kelompok KUB dalam
menampilkan peranan-peranan sosialnya, baik dalam keluarga
maupun lingkungan sosialnya, ditandai dengan semakin meningkatnya
keperdulian dan rasa tanggung jawab dan keikutsertaan anggota
dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial di lingkungannya; semakinterbukanya pilihan bagi para anggota kelompok dalam pengembangan
usaha yang lebih menguntungkan; terbukanya kesempatan dalam
memanfaatkan sumber dan potensi kesejahteraan sosial yang tersedia
dalam lingkungannya.
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
41/70
374
3. Lima Alasan Mengapa Harus Bergabung Dalam KUB
Ada beberapa alasan mengapa perlu dikembangkan organisasi
Fakir Miskin yang disebut dengan KUB yaitu :
1. Yang menjadi sasaran kelompok KUB adalah mereka yang memiliki
keterbatasan dalam berbagai hal, seperti: keterbataan dalam
pendapatan, perumahan, kesehatan, pendidikan, kemampuan,
keterampilan, kepemilikan, modal, komunikasi, teknologi, dan lain-lain.
2. Dengan sistem KUB, kegiatan usaha yang tadinya dilakukan secara
sendiri-sendiri kemudian dikembangkan dalam kelompok, sehingga akan
memudahkan dalam pembinaan dan monitoring dan pembinaannya
akan lebih efektif dan efisien baik dan segi pembiayaan, tenaga dan
waktu yang digunakan. Di samping itu, para anggota kelompok ini dapat
saling kerja sama secara lebih mudah dibandingkan bila mereka saling
berpencar.
3. Dengan pembinaan melalui kelompok KUB, maka diharapkan kelompok
ini akan saling membantu satu sama lain antara yang lemah dengan
yang lebih mampu, baik dalam kemampun, keterampilan, modal dan
lain-lain yang terkait dengan kegiatan-kegiatan KUB.
4. Melalui KUB diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan
wawasan berfikir para anggota karena mereka dituntut suatu
kemampuan manajerial untuk mengelola usaha yang sedang dijalankan,
dan berupaya menggali dan memanfaatkan sumbr-sumber yang
tersedia di lingkungan untuk keberhasilan kelompoknya.
5. Diharapkan dengan KUB, dapat menumbuhkan rasa kebersamaan,
kekeluargaan, kegotongroyongan, rasa kepedulian dan kesetiakawanan
sosial, baik di antara keluarga binaan sosial maupun kepada masyarakat
secara luas karena mereka hidup dalam kelompok.
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
42/70
375
4. Tujuh Prinsip Pengembangan KUB
Pengembangan Kelompok Usaha Bersama dilakukan dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
(1). Penentuan nasib sendiri
Anggota KUB sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat,
mempunyai hak untuk menentukan dirinya sendiri. Dalam nilai seperti ini
para supervisor atau pendamping sosial yang terlibat dalam kegiatan KUB
berperan sebagai fasilitator dalam pengembangan KUB tersebut.
(2). Kekeluargaan
Prinsip ini menekankan bahwa pengembangan KUB perlu dibangun atas
semangat kekeluargaan di antara sesama anggota KUB dan
lingkungannya. Nilai seperti ini akan menumbuhkan semangat dan sikap
dalam mewujudkan keberhasilan KUB.
(3). Kegotong-royongan
Kegotongroyongan berarti menuntut perlu adanya kebersamaan dan
semangat kebersamaan di antara sesama para anggota KUB. Dalam
prinsip tidak menonjolkan adanya perbedaan antara pengurus dan anggota,
tetapi lebih mengedepankan kebersamaan di antara sesama KBS.
(4). Menumbuhkan Potensi anggota
Bahwa pengelolaan dan pengembangan KUB harus didasarkan pada
kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh para anggota KUB. Sebagai
contoh apabila para anggota KUB memiliki keterampilan dalam bidang
ternak ikan maka hendaknya jenis usaha yang dikembangkan adalah
bidang ternak ikan, bukan usaha lain.
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
43/70
376
(5). Sumber-sumber Rizki Setempat
Prinsip ini menekankan bahwa pengembangan usaha yang dilakukan harus
didasarkan pada ketersediaan sumber-sumber yang ada di daerah tersebut.
Adalah menjadi suatu kendala bilamana suatu jenis usaha yang
dikembangkan namun sumber-sumber yang menjadi bahan baku di daerah
tersebut tidak tersedia.
(6). Keberlanjutan
Prinsip ini menekankan bahwa pengelolaan KUB, kegiatan-kegiatannya,
bidang usaha yang dikembangkan harus diwujudkan dalam program-
program yang berkelanjutan, bukan hanya untuk sementara waktu.
(7). Usaha yang berorientasi pasar
Prinsip ini menekankan bahwa pengembangan KUB melalui jenis usaha
yang dilakukan harus diarahkan pada jenis usaha yang memiliki prospek
yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pasar.
5. Lima Tahapan Pembentukan dan Penguatan KUB
Pembentukan dan pengembangan suatu KUB dilaksanakan dalam 5 tahap,
yaitu:
(1). Tahap Persiapan:
Kegiatan pada tahap persiapan terdiri dari orientasi dan observasi,
regristasi dan identifikasi, perencanaan program pelaksanaan,
penyuluhan sosial umum, bimbingan pengenalan masalah, bimbingan
motivasi, dan evaluasi persiapan (oleh: aparat desa, petugas
pendamping, pembina fungsional).
(2). Tahap Pelaksanaan:
Kegiatan pada tahap pelaksanaan meliputi: seleksi calon Keluarga Binaan
Sosial (KBS), pembentukan pra-kelompok dan kelompok, pemilihan atau
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
44/70
377
penentuan jenis usaha, pelatihan pendamping, pelatihan keterampilan
anggota KUB, pemberian bantuan berupa makanan, santunan atau
jaminan hidup, bantuan pembiayaan stimulan permodalan, pendampingan
dan evaluasi (oleh: aparat desa, petugas pendamping, pembina, dan
instansi terkait).
(3). Tahap Pengembangan Usaha:
Kegiatan pada tahap pengembangan usaha meliputi: bimbingan
pengembangan usaha, pemberian bantuan pengembangan usaha,
pendampingan dan evaluasi (oleh: petugas pendamping, petugas
pembina fungsional).
(4). Tahap Kemitraan Usaha:
Kegiatan pada tahap ini meliputi: inventarisasi sumber-sumber yang ada
(sumber daya alam, sumber daya ekonomi, sumber daya sosial, dan
sumber daya manusia), membuat kesepakatan-kesepakatan,
pelaksanaan kemitraan usaha, bimbingan kemitraan usaha, perluasan
jaringan kemitraan usaha, dan evaluasi (oleh: pendamping dan pembina
fungsional).
(5). Tahap Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan pada tahap ini meliputi: pengendalian dan monitoring proses
pelaksanaan yang sedang berjalan serta evaluasi terhadap keberhasilan
yang sudah dicapai (oleh petugas pendamping, dan pembina fungsional).
6. Komponen Kelembagaan KUB
Kelembagaan KUB terdiri atas komponen :
(1). Jumlah Anggota KUB
Jumlah keanggotaan KUB dapat bervariasi, tergantung kebutuhan nyata
di lapangan/situasi dan kondisi lokal dan kesepakatan kelompok itu
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
45/70
378
sendiri. Suatu kelompok KUB permanen diawali oleh pembentukan
kelompok-kelompok yang terdiri dan 5-10 KK. Karena sifat dan suatu
kegiatan dan kepentingan tertentu, KUB dapat terdiri dan Kelompok Besar
terdiri gabungan beberapa KUB atau yang disebut dengar RUMPUN
rembug Himpunan (gabungan dan 2-3 KUB). Satu kelompok KUB yang
anggota dikategorikan fakir miskin dapat memilih anggotanya yang bukan
termasuk kategori fakir miskin (poorest), namun masih termasuk kategori
miskin (poor) atau hampir miskin (near poor) dan mempunyai kemampuan
dan potensi serta semangat kewirausahaan atau kemampuan untuk
pembukuan, namun jumlahnya maksimal hanya 1/5 dan jumlah anggota
yang ada.
(2). Ikatan Pemersatu
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan kelompok atau ikatan
pemersatu antara lain: (1) kedekatan tempat tinggal atau letak geografis;
(2) jenis usaha atau keterampilan anggota; (3) ketersediaan sumber rizki;
(4) latar belakang kehidupan budaya; (5) memiliki motivasi yang sama; (6)
keberadaan kelompok-kelompok masyarakat yang sudah tumbuh
berkembang lama.
(3). Struktur dan Kepengurusan KUB
Struktur organisasi merupakan suatu bentuk tanggung jawab yang harus
dijalankan. Dengan struktur dapat diketahui “siapa mengerjakan apa”,
“siapa berkewajiban dan bertanggung jawab apa”.
Struktur KUB sangat tergantung pada kegiatan atau jenis Usaha
yang dijalankan oleh KUB tersebut. Tidak ada suatu struktur yang bakutentang struktur KUB, strukturnya diserahkan sepenuhnya pada kelompok
KUB. Namun demikian, di bawah ini ditawarkan struktur organisasi KUB
yang relatif sederhana yang dapat dijadikan acuan dalam perumusan
struktur organisasi KUB, yang terdiri dari: Ketua, Sekretaris, Bendahara.
Jika diperlukan dapat dibentuk urusan/seksi.
8/16/2019 Kebijakan 013 Prof Sahris Book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir
46/70
379
Kepengurusan dipilih berdasarkan hasil musyawarah atau
kesepakatan anggota kelompok. Sebagai suatu organisasi, KUB juga
memiliki anggota dengan kewajiban antara lain : mengikuti dan mentaati
semua ketentuan-ketentuan yang ada yang sudah disepakati;
mewujudkan tujuan yang ingin dicapai bersama; membangun kerjasama
dengan berbagai pihak; memanfaatkan dana stimulan ataupun bantuan
modal usaha dengan penuh tanggung jawab; membayar iuran dana
kesetiakawanan sosial (IKS) setiap bulan sesuai kesepakatan bersama
yang sudah ditentukan; menghimpun dana untuk memperkuat modal
usaha melalui Lembaga Keuangan Mikro; memanfaatkan penghasilan
untuk meningkatkan kesejahteraan anggota keluarganya.
Disamping kewajiban, anggota juga mempunyai hak-hak sebagai
berikut : mengajukan usul atau saran-saran yang dapat memperbaiki
kinerja KUB; memperoleh pinjaman bantuan modal usaha yang diterima
KUB dan pihak lain dan mendapatkan keuntungan yang diperoleh dan
pembagian hasil KUB.
13.5.2 . Pengelolaan, Strategi Pengembangan dan Langkah PenguatanKUB
(1). Pengelolaan Kelompok
a. Untuk efektivitas dan ef