KEADILAN DALAM AL-QUR’AN
(Analisis Kata Al-Qisth Pada Berbagai Ayat)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Alfionitazkiyah
NIM: 1110034000005
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H./2014 M.
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbutkti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 30 Oktober 2014
Alfionitazkiyah
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. atas segala karunia dan
rahmat-Nya. Salawat teriring salam serta untaian kata-kata mutiara yang indah
senantiasa selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. sehingga penulis
dapat menyelesaiakan penyusunan skripsi yang berjudul “Keadilan Dalam Al-
Qur’an (Analisis Kata Al-Qisth Pada Berbagai Ayat).”
Skripsi ini tidak akan bisa tuntas tanpa adanya orang-orang berjasa
dibelakang penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, dan
Dekan Fakultas Ushuluddin.
2. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku ketua jurusan Tafsir-Hadis yang
telah mensahkan proposal skripsi. Dan juga kepada sekretaris jurusan
Tafsir-Hadis, Jauhar Azizy, MA., yang telah banyak sekali membantu
penulis agar skripsi ini menjadi baik.
3. Dr. Abdul. Moqsith, M.Ag, selaku pembimbing skripsi yang telah banyak
memberikan masukan dan saran agar skripsi ini menjadi layak untuk
ditampilkan.
4. Seluruh dosen program studi Tafsir-Hadis yang telah banyak memberikan
ilmu selama berkiprah di UIN Syarif Hidayatullah.
5. Kepada kedua orang tua, yang tercinta A. Malik dan Hj. Inayah, yang
selalu memberikan dukungan dan motivasi, dan tiada hentinya berdoa
untuk kesuksesan anaknya.
vi
6. Kepada orang terdekat penulis, Ilmawan Hikmansyah yang telah banyak
sekali membantu dan selalu memberikan motivasi.
7. Seluruh teman-teman Tafsir-Hadits, yang selalu memberikan
dukungannya.
8. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas, yang telah banyak membantu demi selesainya skripsi ini.
Akhirnya, penulis menyadari dengan wawasan keilmuan yang masih
sedikit, kurangnya referensi, dan rujukan lain yang belum terbaca, menjadikan
skripsi ini jauh dari sempurna. Namun, penulis telah berusaha menyelesaikan
skripsi ini sesuai dengan kemampuan penulis. Oleh karena itu, saran dan kritik
dari para pembaca sangat diperlukan sebagai bahan perbaikan penulisan ini.
Semoga skripsi ini memberikan manfaat khususnya bagi diri sendiri, dan
bagi orang lain yang membacanya. Serta memberikan pemahaman tafsir mengenai
Keadilan Dalam Al-Qur’an (Analisis Kata Al-Qisth Pada Berbagai Ayat).
Ciputat, 30 Oktober 2014
Alfionitazkiyah
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin
Huruf Arab Huruf Latin
th : ط a : ا
zh : ظ b : ب
‘ : ع t : ت
gh : غ ts : ث
f : ف j : ج
q : ق h : ح
k : ك kh : خ
l : ل d : د
m : م dz : ذ
n : ن r : ر
w : و z : ز
h : هـ s : س
, : ء sy : ش
y : ي sh : ص
dh : ض
viii
2. Vokal
Vokal Tunggal Vokal Panjang Vokal Rangkap
Fathah : a : ā : ai
Kasrah : i : ī : au
Dhammah : u : ū
3. Kata Sandang
a. Kata sandang yang diikuti alif lam ( ) al-qamariyah ditrnsliterasikan sesuai
dengan bunyinya. Contoh:
: al-Baqarah : al-Māidah
b. Kata sandang yang diikuti dengan alif lam ( ) asy-syamsiyah
ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di deoan dan sesuai
dengan bunyinya. Contoh:
: ar-Rajulu : as-Sayyidah
: asy-Syamsu : ad-Dārimī
c. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah (Tasydīd) dalam system aksara Arab digunakan lambang (),
sedangkan untuk alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
cara menggandakan huruf yang bertanda tasydīd. Aturan ini berlaku secara
umum, baik tasydīd yang berada di tengah kata, di akhir kata ataupun yang
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Contoh:
: Āmannā billāh : Āman as-Sufahā’u
: Inna al-Ladzīna : wa ar-Rukka’i
ix
ABSTRAK
Alfionitazkiyah
Keadilan Dalam Al-Qur’an (Analisis Kata Al-Qisth Pada Berbagai Ayat)
Latar belakang penulisan skripsi ini adalah ketertarikan penulis terhadap
pokok bahasan mengenai Keadilan Dalam Al-Qur’an (Analisis Kata Al-Qisth
Pada Berbagai Ayat), mengingat bahwa al-qisth merupakan bagian dari sifat
manusia yang harus selalu ditegakkan kepada siapapun dan kapanpun. Karena
sifat ini memiliki dampak yang sangat positif bagi orang yang menegakkannya.
Kajian skripsi ini merupakan kajian pustaka dengan metode pembahasan
yang bersifat deskriptik-analitik, yakni menggambarkan dan menguraikan data-
data penafsiran al-Qur’an tentang materi bahasan yang didapat dari berbagai
macam sumber bacaan yang primer dan sekunder.
Sumber-sumber utama dari bahan-bahan kajian ini diambil dari lima kitab
tafsir al-Qur’an, seperti Mafātih Al-Ghaib karya Fakhruddīn Ar-Rāzī, Ruh Al-
Ma’ānī fī Tafsīr Al-Qur’an Al-’Azhīm wa As-Sab’ Al-Matsānī karya Al-Ālūsī, Al-
Kasysyāf karya az-Zamakhsyarī, At-Tahrīr wa At-Tanwīr karya Ibn ’Āsyūr, dan
Al-Mīzān fi Tafsīr Al-Qur’an karya Thabāthabāi’.
Temuan yang didapat dari hasil penelitian mengenai Keadilan Dalam Al-
Qur’an (Analisis Kata Al-Qisth Pada Berbagai Ayat) adalah bahwa setiap kata di
dalam al-Qur’an memiliki makna khusus tersendiri. Ada dua kata yang bermakna
adil di dalam al-Qur’an yaitu al-‘adl dan al-qisth. Kata al-qisth memiliki dua
makna, pertama, bermakna adil dan kedua, bermakna menyimpang. Serta
beberapa objeknya, yaitu al-qisth adalah sifat orang yang berilmu, al-qisth
terhadap anak yatim, al-qisth dalam jual-beli, al-qisth dalam melerai pertikaian,
al-qisth terhadap orang-orang non muslim.
Selanjutnya, penulisan skripsi ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan untuk memperluas wawasan intelektual pembaca dan memperkaya
khazanah ilmu-ilmu keislaman.
x
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................... vii
ABSTRAK ................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................ 6
C. Tujuan Penulisan ............................................................... 7
D. Metodologi Penulisan ........................................................ 7
E. Tinjauan Pustaka ............................................................... 8
F. Sistematika Penulisan ........................................................ 10
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG KEADILAN ....................... 11
A. Definisi Keadilan Secara Bahasa....................................... 11
B. Definisi Keadilan dari Berbagai Disiplin Ilmu .................. 16
C. Term Keadilan dalam Al-Qur’an....................................... 18
D. Urgensi Keadilan ............................................................... 23
BAB III OBJEK AL-QISTH DALAM AL-QUR’AN ............................ 25
A. Term Al-Qisth dalam Al-Qur’an ....................................... 25
B. Objek Al-Qisth dalam Al-Qur’an ...................................... 36
1. Al-Qisth adalah Sifat Orang yang Berilmu ................. 37
2. Al-Qisth terhadap Anak Yatim ................................... 40
3. Al-Qisth dalam Jual-Beli ............................................ 44
xi
4. Al-Qisth dalam Melerai Pertikaian ............................. 48
5. Al-Qisth terhadap Orang-Orang Non Muslim ............ 52
BAB IV PENUTUP ................................................................................ 56
A. Kesimpulan ........................................................................ 56
B. Saran .................................................................................. 57
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu hidup bersama dalam suatu
komunitas masyarakat dengan jangka hidup waktu yang lama. Mereka saling
berinteraksi dan melakukan tindakan yang menghasilkan timbal balik kepada
sesamanya. Sehingga tidak mustahil terjadi konflik sosial1 di antara mereka.
Sehingga dapat memunculkan tindakan-tindakan yang menyimpang dari nilai-
nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dianggap tidak sesuai dengan
akhlak yang terpuji. Dalam menindak lanjuti penyimpangan tersebut masyarakat
tidak harus main hakim sendiri melaikan harus adanya keadilan yang ditegakkan
dalam mengatasi penyimpangan tersebut. Oleh karenanya keadilan dalam suatu
komunitas masyarakat sangatlah penting untuk selalu ditegakkan.2
Sikap adil adalah suatu tindakan/akhlak yang sangat terpuji dan bahkan
harus selalu ditegakkan dalam berbagai aspek kehidupan. Di dalam al-Qur‟an pun
aspek yang banyak dipaparkan adalah aspek akhlak, yaitu aspek yang mengatur
hubungan makhluk kepada Allah seperti firman-Nya dalam Q.S. Ash-Shaffāt
[37]:159-160, Q.S. Asy-Syūra [42]:05 dan Q.S. Al-Muzammil [73]:09, hubungan
sesama mannusia sebagaimana tertulis di dalam Q.S. Al-Baqarah [02]:83 dan Q.S.
An-Nisā [04]:86 dan hubungan kepada lingkungan sebagaimana tertulis di dalam
Q.S. Al-An‟ām [06]:38. Dari tiga aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa
1 Konflik sosial adalah bagian dari interaksi social yang bersifat asosiatif. Konflik atau
pertentangan diartikan sebagai sebuah bentuk interaksi yang ditandai ole keadaan saling
mengancam, menghancurkan, melukai, atau melenyapkan. Hal ini terjadi di dalam dinamika
masyarakat. Lihat Tri Sunarti, Sosiologi, (Sukoharjo: Graha Multi Grafiko, 2007), h. 41 2 Niniek Sri Wahyuni dan Yusniati, Manusia dan Masyarakat, (Jakarta: Ganeca Exact,
2004), h. 23
2
manusia sebagai mkhluk ciptaan-Nya diharuskan untuk selalu bergaul dengan
apapun dan siapapun yang disebut habl minallah dan habl minannās.
Dari dua macam interaksi tersebut manusia lebih banyak menghabiskan
waktu hidupnya berinteraksi dengan sesamanya (habl minannās). Oleh karenanya
al-Qur‟an telah menjelaskan tentang tata cara manusia bersikap kepada manusia
lainnya. Di antaranya adalah dengan berbuat ihsan (baik), jujur, tolong-menolong,
tenggang rasa, saling menghormati, adil dan lain-lain. Dari beberapa sikap/sifat
yang telah tersebut ada salah satu sifat yang sulit dilakukan yaitu sifat adil. Tidak
semua orang dapat berlaku adil kepada sesamanya, meskipun orang tersebut ingin
berlaku adil.
Keadilan adalah sesuatu yang abstrak. Sulit untuk diungkapkan dan
dideskripsikan. Terkadang keadilan dikaitkan dengan hukum. Keadilan dapat
dimaknai memberikan sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan
haknya yang harus diperolehnya tanpa diminta; tidak berat sebelah atau tidak
memihak kepada salah satu pihak; mengetahui hak dan kewajiban, mengerti mana
yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tetap menurut peraturan
yang telah ditetapkan. Keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan asasi dan
menjadi pilar bagi berbagai aspek kehidupan, baik individual, keluarga, dan
masyarakat. Ibn Qudamah mengatakan bahwa keadilan merupakan sesuatu yang
tersembunyi, motivasinya semata-mata karena takut kepada Allah Swt.3
Adil juga termasuk satu kata yang mudah diucapkan, tetapi berat untuk
ditegakkan. Kata ini berbentuk kata benda tetapi maknanya adalah kata kerja.
Sehingga mengindikasikan adanya perintah untuk menegakkan dan berlaku adil
3 Abdul „Azis Dahlan, et. al., (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1996), h. 25
3
kepada setiap orang. Kata adil juga sering dimaknai “menempatkan sesuatu pada
tempatnya”.4
Adapun orang-orang yang adil yang mengurus urusan orang-orang muslim
dan menunaikan hak-haknya, maka mereka kelak akan mendapatkan derajat yang
tinggi dan kegembiraan yang besar. Mereka akan berada di menara-menara
cahaya di sisi kanan Rabb ar-Rahmān. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan
oleh „Abdullah bin „Amr bin al-„Ash ra.5
Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah akan berada di atas
menara-menara cahaya di sebelah kanan Rabb yang Rahmān, dan kedua
tangan-Nya di sebelah kanan orang-orang yang adil di dalam menetapkan
hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam kepemimpinannya. Sedangkan
dalam suatu riwayat ditambahkan; “Nabi Muhammad bersabda: dan
keduanya adalah tangan kanan (kebaikan)”.6
Hadits di atas menerangkan bahwa Nabi menjamin orang-orang yang
berbuat adil akan berada di sisi Allah. Nabi pun menerangkan bahwa orang-orang
yang berbuat adil yang dijamin adalah mereka yang selalu menegakkan keadilan
dengan mengunakan term al-qisth. Dalam Q.S. An-Nisā‟ [04]:03 Allah juga
menggunkan kata al-qisth untuk menerangkan keadilan seorang wali terhadap
anak yatim yang berada dibawah tanggungannya.
4 Maksud dari arti tersebut adalah menempatkan yang hak pada tempatnya yang hak dan
sesuatu yang batil pada tempatnya yang batil. 5 Yusuf Abdullah Daghfaq, Berbuat Adil Jalan Menuju Bahagia, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1992), h. 58 6Abū „Abdurrahmān bin Syu‟aib bin „Alī an-Nasā‟i, Sunan An-Nasāi Al-Musamma Al-
Mujtaba, Kitab Al-Qudhah, Bab fadhl al-hakīm al-„ādil fī hukmih, No. Hadits 5389, (Bairūt:Dārul
Hadīts, 1889), h. 235
4
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.7
Asbāb al-nuzūl ayat ini adalah bahwa ada seorang anak yatim perempuan
yang cantik dan memiliki harta yang banyak. Ia berada di bawah tanggungan
walinya. Wali anak yatim tersebut menyukai akan kecantikan dan hartanya yang
melimpah. Sehingga ia ingin menikahinya tetapi sang wali tidak mau memberikan
mahar baginya. Bahkan tujuan sang wali ingin mengambil/menikmati kekayaan
dari harta yang dimiliki anak yatim tersebut tanpa mengelolahnya. Menurut al-
Thabarī kata adil yang pertama bermakna adil bagi seorang wali anak yatim dalam
bemberikan hak-hak yang harus didapatkan anak yatim tersebut dari harta yang
dimilikinya dengan mengelolahnya sebaik-baiknya.8 Sedangkan makna adil yang
kedua adalah keadilan dalam bemberikan nafkah batin, waktu/giliran dan kasih
sayang yang sama terhadap istri-strinya.9
Dari tafsiran ayat di atas secara eksplisit dapat dikatakan bahwa aspek
yang dibahas dengan menggunakan term al-„adl adalah bersifat batiniyah atau
immateri (abstrak). Sedangkan aspek yang dibahas dengan menggunakan term al-
qisth bersifat indrawi/lahiriyah.
7 Lihat Al-Qur‟an Al-Hadi
8Abū Ja‟far Muhammad bin Jarīr At-Thabarī, Jāmi‟ Al-Bayān fī Ta‟wīl Al-Qur‟an. Jilid 3,
(Mesir: Al-Maktabah At-Taufiqiyyah. 2004), h. 242 9 At-Thabarī, Jāmi‟ Al-Bayān fī Ta‟wīl Al-Qur‟a, Jilid 3, h. 531
5
Di dalam Q.S. Al-Anbiyā‟[21]:47 Allah juga menggunakan term al-qisth
untuk menjelaskan hukuman-Nya kepada mkahluk-Nya sesuai dengan amalan
yang pernah diperbuatnya.
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka
Tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu)
hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. dan
cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.10
Pada ayat ini Allah berfirman dengan menggunakan term al-qisth. Al-
Baidhawī berpendapat bahwa keadilan yang maksud dari ayat ini adalah Allah
akan memberikan hukuman atau balasan sesuai dengan lembaran amalan-amalan
yang pernah dilakukan oleh seorang hamba. Allah akan menimbang semua
amalan yang pernah diperbuatnya maupun yang baik atau yang buruk dengan adil
pada hari kiamat. Yakni setiap amalan yang ditimbang tidak akan dikurangi atau
dilebihkan. Sehingga tidak ada seorang pun yang akan dizalimi. Setiap jiwa akan
menerima hukumannya masing-masing sesuai amal perbuatannya semasa
hidupnya.11
Dari ayat-ayat al-Qur‟an dan hadīts di atas, diketahui bahwa keadilan
disebut dengan menggunakan term al-qisth dan seluruh ungkapannya bermakna
adil. Dan di dalam al-Qur‟an juga telah jelas sekali bahwa Allah sangat mencintai
orang-orang yang berbua adil dengan sebutan muqsithīn dan bukan dengan lafaz
‟ādilīn. Ini mengindikasikan bahwa derajat lafaz qisth lebih tinggi dari pada lafaz ‟adl.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini penting untuk dikaji lebih lanjut
10
Lihat Al-Qur‟an Al-Hadi 11
Nāshiruddīn Abī Sa‟īd ‟Abdullah bin ‟Umar bin Muhammad as-Syairāzī al-Baidhawī,
Anwar At-Tanzīl wa Asrār At-Ta‟wīl, (Mesir: Al-Maktabah At-Taufiqiyah, t.t), h. 89
6
dengan judul skripsi KEADILAN DALAM AL-QUR’AN (Analisis Kata Al-
Qisth pada Berbagai Ayat).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembahasan tentang kata adil (al-qisth) sangat banyak dan luas aspek-
aspek yang terkait dengannya. Seperti berlaku adil ketika menjadi seorang
pemimpin, menegakkan hukum, melerai dua orang yang bertikai sehingga tidak
memihak pada salah satu dari keduanya, memelihara harta orang lain dan harta
anak yatim, adil kepada non muslim, berdagang/jual-beli dalam menentukan
timbangan, berlaku adil terhadap anak adopsi, menjadi saksi, dan sifat adil juga
menjadi identitas orang yang berilmu.
Berdasarkan identifikasi masalah di atas pembatasan masalah yang akan
dibahas hanya menyangkut beberapa aspek yaitu sifat adil yang menunjukkan
identitas orang yang berilmu, berlaku adil terhadap anak yatim, adil dalam
berdagang/jual-beli, melerai orang yang bertikai, dan adil kepada non muslim.
Pembatasan ini betujuan agar pembahasan tentang al-qisth (adil) lebih
fokus dan tidak keluar dari tema yang dibahas dari aspek-aspek yang telah
diidentifikasi dengan mengkaitkannya kepada ayat-ayat al-Qur‟an dan hadits yang
berkaitan dengannya, namun tidak terlepas dari penafsiran dan penjelasan al-
Qur‟an dan hadits.
Sedangkan rumusan masalah dalam penulisan ini menggunakan model
pertanyaan yang berguna untuk menjawab pokok permasalahan dan menunjukkan
arah pemahaman yang benar.
1) Bagaimana pemahaman term al-qisth dalam al-Qur‟an?
7
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan pokok permasalahn yang telah disebutkan di atas, maka
tujuan penulisan ini yaitu:
1. Mengetahui penjelasan tentang definisi al-qisth dalam al-Qur‟an,
bentuk-bentuk kalimat al-qisth yang digunakan al-Qur‟an pada ayat-
ayatnya, serta macam-macamnya.
2. Mengetahui dan memahami term al-qisth dalam al-Qur‟an dengan
menggunakan penafsiran dari para mufassir tentang ayat-ayat yang
terkait, dan untuk mendapatkan penjelasan tentang objek-objek yang
dikaji dalam al-Qur‟an dengan menggunakan kata al-qisth.
3. Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk memberikan konstribusi
ilmiah dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya dalam bidang Al-
Qur‟an. Penulisan ini juga menjadi salah satu bacaan bagi pembaca
yang ingin mendalami wawasan al-Qur‟an, khususnya mengenai
masalah al-qisth. Selain itu bertujuan untuk melengkapi tugas akhir
kuliah sebagai persyaratan dalam rangka meraih gelar Sarjana Agama
(S.Ag).
D. Metodologi Penulisan
Kajian penelitian yang digunakan yaitu dengan menggunakan pendekatan
kualitatif dengan menggunakan teknik library research (kepustakaan), yaitu
dengan mengumpulkan data-data melalui bacaan dan literatur-literatur yang ada
kaitannya dengan pembahasan penulis. Sebagai data primer penulis merujuk pada
kitab-kitab tafsir karya beberapa mufassir diantaranya kitab Mafātīh Al-Ghaib
karya Fakhruddīn Ar-Rāzī, Rūh Al-Ma‟ānī fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-‟Azhīm wa As-
8
Sab‟ Al-Matsānī karya Al-Ālūsī, Al-Kasysyāf karya az-Zamakhsyarī, At-Tahrīr wa
At-Tanwīr karya Ibn ‟Āsyūr, dan Al-Mīzān fi Tafsīr Al-Qur‟an karya
Thabāthabāi‟. Sedangkan data sekunder adalah data-data yang dicari dari sumber-
sumber kepustakan berupa kitab-kitab tafsir, buku-buku, majalah, artikel, dan
lain-lain. Sebagai pedoman penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku
Pedoman Akademik Strata 1 yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press tahun 2010,
dan pedoman transliterasi mengikuti Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan
Disertasi Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta (Edisi Revisi), Cetakan kedua, Mei
tahun 2011.
Adapun metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analitik. Metode deskriptif adalah suatu metode yang bermaksud untuk
menggambarkan data-data dalam menguji dan menjelaskan sebuah hipotesis
untuk menjawab pertanyan dari suatu permasalahan. Sedangkan analitik yaitu
sebuah tahapan untuk menguraikan data-data yang telah terkumpul dan tersusun
secara sistematis. Jadi, metode deskriptif analitik adalah sebuah metode
pembahasan untuk menerapkan data-data yang telah tersusun dengan melakukan
kajian terhadap data-data tersebut.
E. Tinjauan Pustaka
Pembahasan tentang adil dalam berbagai literatur cukup banyak. Namun
dari berbagai literatur tersebut belum ditemukan pembahasan kata al-qisth secara
detail atau secara tematik. Bahkan, terkadang kata al-qisth masuk dalam
pembahasan al-„adl atau keadilan. Kata keadilan kadang pula berkaitan dengan
hukum, baik hukum Islam atau pun hukum Negara yang disebut Undang-Undang
9
Dasar (UUD). Sejauh yang bisa diketahui belum ditemukan bahasan kata al-qisth
secara mendalam.
Beberapa pembahasan yang terkait dengan adil adalah:
1. Berbuat Adil Jalan Menuju Bahagia karangan Yusuf Abdullah Daghfaq yang
diterbitkan oleh Gema Insani Press tahun 1992. Buku ini membahas tentang
sifat adil yang harus dilakukan oleh seorang ulil amri (pemimpin) dan balasan
dari Allah bagi orang yang berlaku adil, serta balasan bagi orang yang berbuat
zalim.
2. Konsep Adil Dalam Poligami (Analisis Perspektif Hukum Islam dan Undang-
Undang No.1 tahun 1974) ditulis oleh Abdul Khoir Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010. Skripsi ini membahas
sikap adil yang harus dilakukan oleh seorang suami ketika ia melakukan
poligami yang bertumpu pada hukum Islam dan hukum Negara. Sifat adil
yang dituntut pada pembahasan ini adalah adil kepada anak dan istri dalam
pembagian waktu berkumpul bersama keluarga.
3. Analisis Konsep Adil Berpoligami Perspektif Hukum Islam ditulis oleh Nuri
Faat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2007. Skripsi ini hampir sama dengan skripsi di atas hanya saja sifat adil yang
dibahas pada skripsi ini adalah keadilan yang harus dilakukan oleh seorang
suami ketika dia berpoligami yang bertumpu pada hukum Islam.
Dari beberapa penelitian yang telah disebutkan di atas belum ada yang
mengkaji keadilan dalam al-Qur‟an; analisis kata al-qisth pada berbagai ayat. Hal
ini yang penting untuk dikaji. Posisi penulisan ini mencoba untuk membuat
wacana baru yang belum dikaji dari beberapa penelitian sebelumnya.
10
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun menggunakan sistematika bab per bab. Kemudian
pembahasan dijelaskan dalam sub-sub bab. Bab pertama berisi pendahuluan, yang
terdiri dari sub-sub bab yang menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, tinjauan pustaka, dan
sistematika penulisan.
Pada bab kedua penulis paparkan tentang kajian teoritis tentang keadilan,
yang terdiri dari beberapa sub bab yang menjelaskan tentang definisi keadilan
secara bahasa, definisi keadilan dari berbagai disiplin ilmu, term keadilan dalam
al-Qur‟an dan urgensi keadilan.
Pada bab ketiga penulis memaparkan tentang inti dari pembahasan yang
ingin penulis bahas yaitu objek al-qisth dalam al-Qur‟an, yang terdiri dari dua sub
bab yang menerangkan term al-qisth dalam al-Qur‟an dan al-qisth dalam al-
Qur‟an terdiri dari lima sub-sub bab yaitu al-qisth terhadap orang-orang non
muslim, al-qisth terhadap anak yatim, al-qisth dalam melerai pertikaian, al-qisth
adalah sifat orang yang berilmu, dan al-qisth dalam jual-beli.
Pada bab keempat ini berupa penutup. Pada bab ini penulis menarik
kesimpulan dari pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya dan
juga menulis saran-saran. Pada akhir penulisan ini adalah Daftar Pustaka, yaitu
paparan buku-buku yang dipakai untuk menjadi rujukan penulisan dalam
penulisan skripsi ini.
11
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG KEADILAN
A. Definisi Keadilan Secara Bahasa
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia keadilan diartikan sama berat;
tidak berat sebelah; dan tidak memihak.12
Artinya tidak melebihi atau mengurangi
dari pada yang sewajarnya. Berpihak dan berpegang pada kebenaran.13
Seperti
halnya seorang pemimpin yang menegakkan hukum kepada rakyatnya. Seorang
pemimpin yang adil adalah yang menghukum rakyatnya yang berbuat salah dan
membebaskan rakyatnya yang tidak bersalah. Dalam kasus ini pemimpin tersebut
telah berlaku adil karena menempatkan kebenaran dan keburukan sesuai
tempatnya. Di dalam al-Qur‟an Allah ta‟ala pun telah berfirman bahwa jika
seseorang yang hendak menetapkan hukum maka tetapkanlah dengan adil.
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong,
banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang
kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari
mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun.
dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara
itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang adil.14
12
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
pustaka, 2005), h. 4 13
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Modern Englidh Press, 2002), h. 12 14
Q.S Al-Māidah [05]:42 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi
12
Khitab ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Jika orang-orang
tersebut (kaum Yahudi) datang kepada Nabi dan memintanya untuk menegakkan
hukum di dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka, maka tetapkanlah
hukum atau tinggalkanlah (tidak perduli). Ini adalah pilihan bagi Nabi dalam
menghadapi perselisihan kaum Yahudi. Jika Nabi mengabaikannya-tidak
menuruti kamauan mereka-maka hal itu tidak akan memudaratkan Nabi walaupun
mereka melakukannya, karena Allah akan selalu menjaganya. Namun jika Nabi
tidak mengabaikannya, maka Allah menyuruhnya untuk menegakkan hukum
dengan adil-dengan tidak menerima suap-karena Allah menyukai orang-orang
yang berbuat adil dan Allah akan selalu menjaga diri mereka dari hal-hal yang
bersifat haram.15
Keadilan bukan hanya ditegakkan dalam hal kepemimpinan saja. Namun
banyak aspek yang berkaitan dengannya. Salah satunya adalah menjadi seorang
saksi. Seperti dalam kasus persaksian bagi wanita/istri yang berbuat zina. Jika ada
seseorang yang berkata bahwa wania/istri tersebut berzina, maka harus dihadirkan
saksi baginya untuk membenarkan atau menyalahkan persaksiannya.
Sebagaimana firman Allah Swt.
15
Dalam kitab Ma‟ālim At-Tanzīl diterangkan bahwa ayat ini menjelaskan tentang hukum
yang ditegakkan oleh kaum Yahudi yaitu oleh Ka‟ab bin Asyrāf dan koalisinya, mereka selalu
menerima suap dan menetapkan hukum untuk orang yang telah menyuapnya. Artinya mereka
memenangkan orang yang telah menyuap mereka. Dalam hal ini mereka adalah orang-orang suka
mendengarkan perkataan dusta dan memakan sesuatu yang haram yaitu suap. Pandangan mereka
pura-pura buta terhadap kebenaran sehingga mereka meninggalkan perselisihan yang sebenarnya
terjadi. Lihat Ahmad Mushthafâ Al-Maraghī, Tafsīr Al-Marāghī, (Kairo: Maktabah Mushthafâ,
1946), h. 120
13
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji16
hendaklah
ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian
apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau
sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.17
Bagi orang yang dihadirkan sebagai saksi harus berlaku adil dengan
memberikan persaksian yang benar dan tidak berdusta. Sehingga persaksiannya
tidak memberatkan salah satu pihak. Sebagaiman firman Allah Swt.
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.18
Arti “hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil” mengindikasikan bahwa
ada dua perkara yang tersirat. Pertama, mengagungkan Allah atas perintah-
16
Perbuatan keji: menurut jumhur mufassirin yang dimaksud perbuatan keji ialah
perbuatan zina, sedang menurut Pendapat yang lain ialah segala perbuatan mesum seperti : zina,
homo sek dan yang sejenisnya. menurut Pendapat Muslim dan Mujahid yang dimaksud dengan
perbuatan keji ialah musahaqah (homosek antara wanita dengan wanita). 17
Q.S. An-Nisā [04]:15 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi 18
Q.S. Al-Māidah [05]:08 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi
14
perintah-Nya dan kedua, saling mengasihi terhadap sesama makhluk ciptaan
Allah. Dan lafaz (menjadi saksi dengan adil) adalah lafaz yang
menjelaskan perkara yang kedua. Yaitu saling mengasihi terhadap sesama
makhluk. Ar-Rāzī menjelaskan bahwa tidak boleh saling mengasihi dalam hal
persaksian dikarenakan karabat atau keluarganya, dan tidak boleh menghalang-
halangi pengajuan kesaksian yang dilakukan oleh musuh-musuh dan lawan-
lawannya.19
Firdaus al-Hisyam dan Drs. Rudy Hariyono berpendapat bahwa kata adil
diartikan just, fair, impartial, rightful, lawful, honest (secara pantas, adil, tidak
berat sebelah, berdasarkan keadilan, hukum yang sah, lurus hati).20
Dalam kamus
Cambridge kata fair berarti treating everyone in the same way, so that no one has
an advantage (perbuatan seseorang dengan cara yang sama, sehinnga tidak ada
seorang pun mendapatkan keuntungan).21
Maksud dari definisi tersebut adalah
bahwa tidak ada salah satu yang merasa diuntungkan dan yang lain dirugikan,
melainkan keduanya mendapatkan kepuasaan dan kerelaan dari sebuah keputusan
dan keputusannya pun tidak berat sebelah.
Pengertian di atas sejalan dengan pengertian yang telah dirumuskan dalam
hukum Islam bahwa adil adalah “mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik
dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat
19
Ar-Rāzī, Tafsīr Al-Fakhr Ar-Rāzī: Al-Musytahir bi At-Tafsīr Al-Kabīr wa Mafātīh Al-
Ghaib, Jilid 6, h. 184 20
Firdaus al-Hisyam dan Rudy Hariyono, Kamus Lengkap 3 Bahasa: Arab Indonesia
Inggris, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), h. 523 21
Cambridge University, Cambridge School Dictionary, (New York: Cambridge
University Press, 2008), h. 273
15
sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti “berpihak atau
berpegang kepada kebenaran.”22
Berlaku adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki
seseorang, termasuk hak asasi wajib diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban
terkait pula dengan amanah, sedangkan amanah wajib diberikan kepada yang
berhak menerimanya/ditunaikan. Oleh karena itu hukum yang didasarkan sifat
amanah harus ditetapkan secara adil tanpa diiringi rasa benci dan sifat negatif
lainnya yang dapat merugikan salah satu dari dua pihak.23
Sebagaimana firman
Allah Swt. dalam Q.S. Al-Maidah [05]:08.
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.24
Ayat ini menceritakan kaum Yahudi pada perang Khaibar. Ketika itu
Rasulullah mendatangi mereka untuk membantu meringankan pajak yang harus
mereka keluarkan. Akan tetapi mereka bertekad untuk membunuh Nabi. Sehingga
turunlah ayat ini sebagai nasihat kepada Nabi agar tetap berlaku adil kepada suatu
kaum dan larangan untuk berbuat curang (tidak berbuat adil) yang disebabkan rasa
benci yang terdetik di hati karena perbuatan mereka ke Nabi.25
Oleh karena itu
Allah melarang hamba-hambanya untuk berbuat curang (tidak adil) kepada orang
lain yang disebabkan oleh kebencian.
22
Dahlan, et. al., (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, h. 25 23
Dahlan, et. al., (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, h. 25 24
Q.S. Al-Maidah [05]:08 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi 25
„Abdurrahmān Jaluddīn as-Suyūthī, Al-Dur Al-Mantsūr fī Tafīr Al-Ma‟tsūr, (Bairūt:
Dārul Fikr, 2009), h. 35
16
B. Definisi Keadilan dari Berbagai Disiplin Ilmu
Keadilan adalah tindakan yang selalu diinginkan oleh setiap elemem
masyarakat di setiap Negara. Tanpa keadilan kehidupan akan goyah. Karena
seseorang akan bersikap sewenang-wenang dan semenah-menah terhadap
terhadap yang lainnya. Terkadang keadilan tidak hanya berkutik dalam ranah
hukum saja. Jika dilihat dari berbagai disiplin ilmu pengertian keadilanpun akan
berbeda-beda.
Dalam ilmu sosial keadilan didefinisikan dengan adanya keseimbangan
dan pembagian yang proporsional atas hak dan kewajiban setiap warga Negara
yang mencakup seluruh aspek kehidupan: ekonomi, politik, pengetahuan, dan
kesempatan. Definisi lain dari keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan
pemusatan salah satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh kelompok atau
golongan tertentu.26
Dalam ilmu tasawuf keadilan didefinisikan dengan seseorang harus
mendapatkan haknya dan memberikan kewajibannya. Dalam hal ini, yaitu
mendamaikan perselisihan antara orang yang menzalimi dengan orang yang
terzalimi.27
Karena kewajiban setiap muslim adalah menegakkan amr ma‟ruf nahi
munkar. Sehingga ketika ia melihat kemunkaran/kezaliman, ia wajib melerainya.
Berbeda halnya dalam ilmu hadīts keadilan diartikan sebagai sifat yang
tertancap dalam jiwa seseorang untuk senantiyasa bertakwa dan memelihara harga
diri. Menjauhi dosa besar seperti syirik, sihir, membunuh, memakan riba,
26
Komaruddin Hidayat dan Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education), 6 cet, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 187 27
Muhammad Yusūf Mūsa, Falsafah Al-Akhlāqiyah fī Al-Islām, (Mesir: Muassasah Al-
Khānajī, 1963), h. 162
17
memakan harta anak yatim, melarikan diri sewaktu perang berkecamuk, menuduh
zina wanita-wanita baik-baik, menyakiti kedua orang tua dan mengaharapkan
kehalalan di al-Bait al-Haram dan menjauhi dosa kecil seperti mengurangi
timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkara-perkara
mubah yang dinilai mengurangi harga diri.28
Sedangkan dalam ilmu filsafat menurut Aristoteles (dikutip dari Ibn
Maskawaih) keadilan terbagi menjadi tiga macam yaitu:
1. Keadilan yang dilakukan seorang hamba keada tuhannya. Dalam hal
ini seseorang mengerjakan secara terus-menerus perkara yang telah
diperintahkan/diwajibkan tuhan kepada hamba-Nya.
2. Keadilan yang bersifat komutatif. Yaitu keadilan yang mengatur
hubungan antara satu orang dengan yang lainnya dalam menegakkan
hak-hak tiap individu. Seperti dalam menghormati kepala
negara/pemimpin, menunaikan amanat dan menunaikan janji dalam
bermu‟amalah. Keadilan ini lebih menuntut agar semua orang
menepati apa yang telah dijanjikannya.
3. Kedilan yang ditegakkan setiap orang dalam hal hutang-piutang dan
wasiat. Keadilan yang harus mereka tegakkan adalah dengan
membayarkan hutangnya dan menjalankan wasiatnya.29
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keadilan adalah
suatu tindakan seseorang untuk menunaikkan hak dan kewajiban terhadap orang
28
Muhammad „Ajaj Al-Khatib, Ushūl Al-Hadīts. Penerjemah H.M Nur Ahmad Musyafiq,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 203. 29
Kāmil Muhammad Muhammad „Araidhah, Ibn Maskawaih Mazāhib Akhlāqiyah,
(Bairūt: Dārul Kutub Al-‟Ilmiyah, t.t.), h, 287.
18
lain. Jika hal ini dapat tercapai maka kehidupan pun akan berjalan damai dan
sejahtera.
C. Term Keadilan dalam Al-Qur’an
Al-Qur‟an adalah firman Allah Swt. yang terdiri dari susunan berbagai
macam kosakata. Banyaknya kosakata tersebut disesuaikan dengan teks dan
konteksnya. Oleh karena itu cukup banyak pula beberapa kosakata yang memiliki
arti yang sama. Hal inilah yang menjadi perdebatan para mufassir, karena ada
anggapan bahwa kosakata yang terdapat di dalam al-Qur‟an memiliki sinonim.
Ada pula mufassir yang berpendapat bahwa tidak ada sinonimitas di dalam al-
Qur‟an.
‟Aisyah binti Syāthī menolak adanya sinonimitas kata di dalam al-Qur‟an.
Menurutnya setiap kata memiliki arti dan makna tersendiri. Sehingga antara satu
kata dengan kata lainnya tidak memiliki kesamaan makna. Di dalam kitab Al-
Burhān fī ‟Ulūm Al-Qur‟an dijelaskan bahwa ada beberapa kata yang dianggap
mutaradif (sinonim).30
Seperti kata adil. Di dalam al-Qur‟an banyak kata yang
semakna dengannya namun berbeda lafaznya yaitu kata ‟adl dan qisth.
30
Adapun beberapa kata yang dianggap memiliki sinonim kata seperti kata al-khauf, di
dalam al-Qur‟an kata ini disebutkan sebanyak 125 kali dengan berbagai derivasinya. Kata al-khauf
berarti takut dan lafaz lain yang satu arti dengannya kurang lebih ada 8 kata, yaitu kata al-
khasyyah, ar-ru‟bah, ar-ruhbah, wajala, asy-syafaqah, hadzara, ar-rau‟u. Kata-kata tersebut
memiliki makna yang sama dengan kata al-khauf. Lihat Mannā‟ al-Qaththān, Mabāhits fī ‟Ulūm
Al-Qur‟an, (Riyadh: Dārul Rasyīd, t.t), h. 204
Kata lain yang dianggap memiliki sinonim adalah kata al-bukhl yang berarti pelit, kikir,
atau bakhil. Di dalam al-Qur‟an kata al-bukhl disebutkan sebanyak 12 kali pengulangan dengan
berbgai macam derivasinya. Kata-kata yang memiliki arti sama dengannya seperti qatara, al-syuh,
dan dhanīn. Lihat „Abdul Bāqī, Al-Mu‟jam Al-Mufahrās li Alfādz Al-Qur‟an Al-Karīm, h. 115 dan
246
19
Kata al-‟adl bermakna al-istiwā‟ ( ) “suatu keadaan yang
sama/lurus.”31
Makna ini berarti menetapkan hukum dengan benar. Jadi orang
yang adil adalah seseorang yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan
ukuran yang sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kata al-‟adl memiliki
makna ”persamaan”, dan inilah makna asal kata al-‟adl yang menjadikan
pelakunya tidak berpihak kepada salah satu.32
Sehingga ia hanya menegakkan
keadilan terhadap orang yang bersalah sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan
di dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah. Menurut pendapat al-Raghib al-Ashfahani
dalam kitabnya Al-Mufradāt fī Gharīb Al-Qur‟an mngatakan bahwa pengertian term
„adl adalah انعدانح وانعدنح : نفظ قرض يع انساواج.33
Kata al-‟adl disebutkan di dalam al-Qur‟an sebanyak 28 kali pengulangan
dengan berbagai derivasinya. Salah satunya terdapat pada Q.S. al-Nisā [04]:129.
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.34
Kata ‟adl pada ayat ini diartikan ‟sama‟ . Menurut al-Baidhawī35
kata ‟adl
pada ayat ini adalah tidak condong sedikitpun kepada salah satu istri sebagaimana
31
Abū al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, Mu‟jam Maqāyis Al-Lughah, (T.tp:Dārul
Fikr, t.t), h. 246 32
Dahlan, et. al., (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, h. 5 33 Abu al-Qāsim al-Husain bin Muhammad (ar-Rāgib al-Ashfahānī), Al-Mufradāt fī
Gharīb Al-Qur‟an, (T.tp, Maktabah Nazār Mushthafâ al-Bāz, t.t), h. 422 34
Lihat Al-Qur‟an Al-Hadi 35
Al-Baidhawī, Anwār At-Tanzīl wa Asrār At-Ta‟wīl, h. 309
20
yang dilakukan oleh rasulullah dengan menbagikan bagiannya/haknya terhadap
para istrinya ”Ya Allah, inilah pembagianku yang aku mampu, maka janganlah
Engkau cela aku pada sesuatu yang Engkau mampu dan tidak aku mampu." (Abu
Daud berkata; yaitu hati).36
Hal ini mengindikasikan bahwa rasul membagi hak dan kewajiban kepada
para istrinya dengan adil dalam hal kasih sayang. Begitupun yang dimaksud ayat
ini bahwa jika seorang suami memiliki dua istri maka hendaklah ia berlaku adil
dengan semampunya, tidak condong berbuat baik kepada salah satunya dan
membenci yang lainnya. Rasulullah bersabda ”Barangsiapa yang memiliki dua
orang istri kemudian ia cenderung kepada salah seorang diantara keduanya,
maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan sebelah badannya
miring."37
Dapat disimpulkan bahwa makna kata ‟adl berkaitan dengan sesuatu
yang bersifat immateri yaitu bersifat abstrak dan keadilan dengan menggunakan
term al-‟adl sangat sulit untuk dilakukan. 38
Sedangkan kata al-qisth ( ) yang terdiri dari tiga huruf yaitu qāf, sīn
dan tha‟ adalah kosa kata bahasa arab yang berbentuk masdar yang memiliki dua
makna yang berbeda.39
Berdasarkan derivasinya, kata al-qisth memiliki dua
36
Diriwayatkan oleh „Āisyah Dalam kitab Sunan Abu Daud
Lihat
Abū Dāud bin al-Asy‟ats as-Sijistānī al-Adzdī, Sunan Abī Dāud, Jilid I, Kitab Al-Nikāh, bab fī
Al-Qism baina An-Nisā‟, No. Hadits 2134 (Indonesia: Maktabah Risunkur, t.t ), h. 24237
Diriwayatkan Abu Hurairah dalam kitab Sunan Abu Daud
Lihat Abū Dāud, Sunan
Abī Dāud, Jilid I, Kitab Al-Nikāh, bab fī Al-Qism baina An-Nisā‟, No. Hadits 2133, h. 24238
Dahlan, et. al., (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, h. 6 39
Al-Husain, Mu‟jam Maqāyīs Al-Lughah, h. 86
21
makna pokok yang bertentangan yaitu (adil dan menyimpang).40
Menurut as-Sya‟rāwī kata al-qisth yang bermakna adil berasal dari kata
sedangkan yang bermakna menyimpang berasal dari kata
41
Asal makna al-qisth adalah al-nashīb yaitu bagian. Makna pertama adalah
keadilan dan makna kedua adalah mengambil bagian orang lain. Menurut al-
Raghib al-Ashfahanī maksud dari makna al-qisth yang kedua adalah kecurangan.
Sedangkan kata al-qisth yang bermakna adil berasal dari bentuk tsulatsī mazīd
dari kata bermakna “memberikan bagian orang lain” yang berarti
bertindak secara proporsional. Seperti kalimat bermakna“seorang laki-
laki telah berlaku curang” dan bermakna “seorang laki-laki telah
berlaku adil.”42
Kata al-qisth yang bermakna menyimpang terdapat dalam Q.S Al-Jin
[72]:14-15 wa minnā al-qasithūn ( = dan ada (pula) di antara kami
yang menyimpang dari kebenaran) dan wa ammā al-qasithūn ( =
dan adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran). Kata al-qisth pada
dua ayat tersebut berbentuk isim fā‟il dari tsulatsī mujarrad. Asal katanya adalah
. Kata ini sangat
bertentangan dengan kata al-qisth yang bermakna adil yang berasal dari kata
40
Ahmad bin Muhammad bin „Alī al-Muqrī al-Fayyūmī, Al-Mishbah Al-Munīr, (Bairūt:
Dārul Kutub al-„Ilmiyah, 1994), h. 503 41
.Muhammad Mutawallī Asy-Sya‟rāwī, Tafsīr Asy-Sya‟rāwī, Jilid 4, (T.tp.: Dar at-
Tafiqiyyah li at-Turats, t.t.), h. 30 42
Nasaruddin Umar, et. al, (eds), Ensiklopedia Al-Qur‟an Kajian Kosakata, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), h. 775
22
walaupun makna keduanya berbeda namun berasal dari satu suku kata.43
Di dalam kitab tafsir Mafātih Al-Ghaib diterangkan bahwa kata al-qisth bermakna
adil digunakan untuk menerangkan sifat orang-orang mukmin dan orang-orang
yang berilmu, dan juga dalam hal mu‟amalah. Sedangkan kata al-qisth bermakna
menyimpang menerangkan tentang sifat orang-orang kafir karena mereka selalu
menyimpang dari kebenaran, sifat orang-orang musyrik yang berbuat zalim, dan
termasuk sifat para jin.44
Dalam kamus Al-Munawwir kata al-qisth memiliki banyak arti. Secara
etimologi kata al-qisth ( ) an-nashīb artinya bagian dan ada
beberapa makna yang semakna dengannya. Seperti al-qisth dapat bermakna
( ) al-miqdār artinya kadar, jumlah, ( ) al-mīzān artinya neraca,
timbangan, ( ) ar-rizq artinya rezeki, ( ) an-najm artinya angsuran,
cicilan.45
Elias A. Elias dan Edwar E. Elias mengartikan kata al-qisth adalah fair
and square46
(dengan jujur).47
Di dalam kitab Tāj Al-‟Ārūs diterangkan bahwa kata al-qisth digunakan
untuk menerangkan keadilan yang terkait tentang pembagian saja
ا (bila memutuskan perkara mereka memutuskannya
dengan adil, bila mereka membagi mereka membaginya dengan merata) artinya
43
Abu al-Fadhl Jamāluddīn Muhammad bin Mukrim, Lisānul „Arab, (Bairut: Dār Shādar,
t.t.), h. 377 44
Muhammad ar-Rāzī Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-Rāzī: At-Tafsīr Al-Kabīr wa
Mafātīh Al-Ghaib, (Bairūt: Dārul Fikr, 1985), h. 160 45
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Qāmūs „Arabī-Indūnisī, (Yogyakarta:
Pustaka Progresif, 1984), h. 1202 46
Elias A. Elias dan Edwar E. Elias, Qāmūs Al-Ilyās Al-„Ashrī Injilīzī-„Arabī, (Bairūt:
Dārul Jīl, 1974), h. 256 47
Peter Salim, M.A., Adavced English-Indonesia Dictionary, (Jakarta: Modern English
Press, 1991), h. 822
23
apabila mereka membagi (sesuatu) mereka membaginya dengan adil.48
Sedangkan
kata al-‟adl digunakan untuk menegakkan keadilan secara lurus, sesuai dengan
hukum syar‟i, seperti hukum qishās, jinayāt, dan sebagainnya. Adanya persamaan
dalam memberikan balasan/ganjaran. Jika hal itu baik, maka katakan baik dan jika
hal itu buruk, maka katakan buruk.49
D. Urgensi Keadilan
Keadilan adalah ambisi orang-orang yang berakal, tujuan orang-orang
bijak dan sasaran yang ingin dicapai oleh semua orang yang normal. Tanpa
keadilan kehidupan akan menjadi goncang, timbangan akan terbalik dan ukuran
akan meleceng. Jika keadilan tidak ditegakkan, maka akan banyak orang-orang
yang kuat berlaku sewenang-wenang terhadap orang yang lemah, dan orang yang
zalim akan berlaku semenah-menah terhadap orang yang merdeka.50
Oleh sebab
48
Hadits ini diriwayatkan oleh Abū Mūsa dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far Telah menceritakan kepada kami
'Auf dan Hammad bin Usamah telah menceritakan kepadaku 'Auf dari Ziyad bin Mikhraq dari Abu
Kinanah dari Abu Musa ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri diatas pintu
ka'bah dan disana ada orang-orang dari bangsa Quraisy. Kemudian beliau bersabda seraya seraya
memegang dua sisi pintu: "Adakah orang lain dika'bah ini selain orang quraisy?" maka
dikatakanlah, "Ya, wahai Rasulullah, yaitu si Fulan anak saudara perempuan kami." Maka beliau
bersabda: "Anak dari saudara perempuan suatu kaum adalah termasuk dari kaum itu." kemudian
melanjutkan bersabda: "Sesungguhnya urusan ini akan senantiasa di tangan orang-orang Quraisy
selama sikap mereka, bila dimintai belas kasihan, mereka mengasihi, bila memutuskan perkara
mereka memutuskannya dengan adil, bila mereka membagi mereka membaginya dengan merata.
Barangsiapa yang tidak melakukan itu diantara mereka, maka baginya laknat Allah, para malaikat
dan manusia seluruhnya. Dan tidak akan diterima darinya baik amalan wajib maupun amalan
sunnahnya." 49
Muhammad Murtadha bin Muhammad al-Husainī al-Zabidī, Tāj Al-„Ārūs min Jawir Al-
Qāmūs, (Bairūt: Dārul Kutub al-„Ilmiyah, 2007), h. 257 50
Yusuf, Berbuat Adil Jalan Menuju Bahagia, h.57
24
itu sangat penting rasa keadilan untuk selalu ditegakkan. Banyak manfaat dari
ditegakkannya keadilan yaitu;
1. Masyarakat akan hidup damai, sejahtera, dan tentram.
2. Tidak adanya kecemburuan antar individu.
3. Tidak adanya pertentangan antara orang yang mengadili dengan orang
yang diadili dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan hukum.
4. Tidak adanya kesenjangan social dan disintegrasi dalam masyarakat.
5. Tidak adanya perpecahan antar masyarakat disebabkan perbedaan suku,
ras, dan budaya.
6. Segala tindakan masyarakat akan berjalan berdasarkan norma-norma dan
nilai-nilai yang berlaku.
Keadilan sangatlah penting serta dibutuhkan baik di suatu komunitas
ataupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab jika tanpa adanya
keadilan maka tidak akan terwujud pemerintahan yang baik, serta tidak akan
terwjud persatuan dan kesatuan bangsa.51
51
Medhy Putra, “Keterbukaan dan Keadilan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Sebagai Upaya Menghadapi Konflik Di Berbagai Wilayah NKRI.” Artikel diakses pada 27
November 2014 dari http://Medhyputra.wordpress.com/2011/06/16/Keterbukaan-dan-Keadilan-
dalam-Kehidupan-Berbangsa-dan-Bernegara-Sebagai-Upaya-Menghadapi-Konflik-Di-Berbagai-
Wilayah-nkri/
25
BAB III
OBJEK AL-QISTH DALAM AL-QUR’AN
Firman-firman Allah yang terdapat di dalam al-Qur‟an terdiri dari berbagai
macam pola-pola kalimat dan kosakata. Terkadang dalam satu pembahasan Allah
menjelaskan kata yang sama namun menggunakan berbagai macam kosa kata.
Seperti kata pelit. Di dalam al-Qur‟an kata pelit tidak diartika dengan satu kosa
kata tetapi dengan berbagai macam kata seperti qatara, bukhl, al-syuh, dan
dhanīn. Perbedaan kosakata yang digunakan menjadi salah satu sebab terjadinya
perbedaan objek-objek yang dibahas pada setiap ayatnnya. Begitu pula yang
terjadi pada kata adil. Allah tidak hanya menggunakan satu kosakata untuk
mengartikan kata adil. Ada beberapa kosakata yang dapat memaknainya dalam
bahasa arab, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya salah satunya
adalah al-qisth.
Term al-qisth tidak hanya membahas satu objek kajian. Term ini juga
terkait dengan beberapa objek keadilan lainnya. Di antara beberapa objek
pembahasannya adalah adil adalah sifat orang yang berilmu, adil dalam
memelihara harta anak yatim, adil dalam transaksi jual-beli, adil dalam melerai
pertikaian, dan adil terhadap orang-orang non muslim.
A. Term Al-Qisth dalam Al-Qur’an
Di dalam al-Qur‟an ada beberapa kosa kata arab yang bermakna adil.
Seperti kata al-„adl dan al-qisth. Menurut pendapat al-Raghib al-Ashfahani dalam
kitabnya Al-Mufradāt fī Gharīb Al-Qur‟an mengatakan bahwa keadilan dengan
menggunakan term qisth diartikan: انصة تانعدل (bagian atau yang dibagikan
26
secara adil).52
Menurut Imam al-Ghazali (dalam bukunya Al-Maqshad fī Syarh
Asma' Allah Al-Husnâ), kata al-muqsith berarti memenangkan/membela orang
yang teraniaya/terzalimi dari orang yang menganiaya/menzalimi. Maksud dari
pengertian tersebut adalah dengan menggabungkan/menyatukan keridhaan dari
orang yang terzalimi dengan keridhaan orang yang menzalimi. Sehingga
keduanya merasa rela, sama-sama puas dan senang dengan hasil yang diperoleh.53
Jika dipahami dari definisi ini maka dapat dikatakkan bahwa keadilan yang
dimaksud adalah keadilan yang dapat menyenangkan kedua belah pihak dan tidak
ada yang merasa teraniaya.
Kata al-qisth di dalam al-Qur‟an, dengan berbagai derivasinya disebut
sebanyak 25 kali di dalam 22 ayat dan 15 surat. Dalam bentuk mashdar
disebutkan sebanyak 15 kali, dalam bentuk isim tafdhīl disebut 2 kali, dalam
bentuk fi‟il mudhāri‟ disebut 2 kali, dalam bentuk fi‟il amr disebut 1 kali, dalam
bentuk isim fā‟il disebut sebanyak 5 kali, 2 dalam bentuk tsulatsī dan 3 kali dalam
bentuk mazīd. Berbagai derivasinya terdapat di beberapa surat sebagaimana
tercantum pada tabel.54
No. Kosa kata Jumlah Surat No.
Sur Ayat Mk Md
1 2 3 4 6 7 8
1 2 An-Nisā 4 3 Md
Al-Mumtahanah 60 8 Md
52
Abu al-Qāsim, Al-Mufradāt fī Gharīb Al-Qur‟an, h. 521 53
Abū Hāmid al-Ghazalī, Al-Maqshad fī Syarh Asma' Allah Al-Husna, (Bairūt: Dār al-
Kutub al-„Ilmiyah, t.t), 112 54
Muhammad Fuād „Abdul Bāqī, Al-Mu‟jam Al-Mufahrās li Alfadz Al-Qur‟an Al-Karīm,
(Mesir: Dārul Hadīts, 1364), h. 544-545
27
2 1 Al-Hujurāt 49 9 Md
3 2 Al-Jinn 72 14 Mk
Al-Jinn 72 15 Mk
4 2 Al-Baqarah 2 282 Md
Al-Ahzāb 33 5 Md
5 3
Al-Māidah 5 42 Md
Al-Hujurāt 49 9 Md
Al-Mumtahanah 60 8 Md
6 11
„Ālī „Imrān 3 18 Md
„Ālī „Imrān 3 21 Md
An-Nisā 4 127 Md
An-Nisā 4 135 Md
Al-Māidah 5 8 Md
Al-Māidah 5 42 Md
Al-An‟ām 6 152 Md
Al-A‟rāf 7 29 Mk
Yūnus 10 4 Mk
Yūnus 10 47 Mk
Yūnus 10 54 Mk
28
Hūd 11 85 Mk
Al-Anbiyā‟ 21 47 Mk
Ar-Rahmān 55 9 Md
Al-Hadīd 57 25 Md
Kata al-qisth dalam bentuk mashdar disebutkan sebanyak 15 kali dengan
kata Seperti yang terdapat pada Q.S. Yunus [10]:04.
Hanya kepadaNyalah kamu semuanya akan kembali; sebagai janji yang
benar daripada Allah, Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk pada
permulaannya kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali
(sesudah berbangkit), agar Dia memberi pembalasan kepada orang-orang
yang beriman dan yang mengerjakan amal saleh dengan adil. dan untuk
orang-orang kafir disediakan minuman air yang panas dan azab yang pedih
disebabkan kekafiran mereka.55
Pada ayat ini, huruf “ba” pada lafaz kembali kepada lafaz
yang menerangkan bahwasanya Allah akan memberikan balasan bagi orang yang
telah berbuat adil dan berbuat zalim/kufur dengan adil. Orang yang semasa
hidupnya berlaku adil tidak berbuat zalim dan suka mengerjakan amal-amal
sholeh, maka Allah balas mereka pada hari pembalasan dengan pahala yang besar.
Berlaku adil yang dimaksud adalah berbuat adil dalam segala perkara karena
keadilan yang kuat bagaikan kemusyrikan yaitu sebuah kezaliman yang besar, dan
55
Lihat Al-Qur‟an Al-Hadi
29
adil adalah sikap untuk mengalahkan kezaliman. Sedangkan bagi orang yang
berlaku kufur kepada Allah, maka akan dibalas dengan sebuah siksaan yang besar
pula yaitu diberikannya minuman berupa air yang sangat panas serta azab yang
pedih. Oleh karena itu sangat beruntunglah bagi orang-orang yang berlaku adil
dan selalu menegakkannya selama hidupnya.56
Balasan yang Allah berikan kepada makhluknya adalah sesuai dengan
amalan mereka masing-masing. Allah tidak akan memberatkan/menzalimi
makhluknya, karena Allah adalah yang Maha Adil dan pasti akan menempatkan
timbangannya dengan seadil-adilnya pada hari kiamat. Sebagaiman firman Allah
pada Q.S. Al-Anbiyā‟[21]:47
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka
Tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu)
hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. dan
cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.57
Pada ayat ini Allah berfirman dengan menggunakan term al-qisth. Al-
Baidhawī berpendapat bahwa keadilan yang maksud dari ayat ini adalah Allah
akan memberikan hukuman atau balasan sesuai dengan lembaran amalan-amalan
yang pernah dilakukan oleh seorang hamba. Allah akan menimbang semua
amalan yang pernah diperbuatnya maupun yang baik atau yang buruk dengan adil
pada hari kiamat. Yakni setiap amalan yang ditimbang tidak akan dikurangi atau
dilebihkan. Sehingga tidak ada seorang pun yang akan dizalimi. Setiap jiwa akan
56
Al-Baidhawī, Anwār At-Tanzīl wa Asrār At-Ta‟wīl, h. 546 57
Lihat Al-Qur‟an Al-Hadi
30
menerima hukumannya masing-masing sesuai amal perbuatannya semasa
hidupnya.58
Kemudian kata al-qisth dalam bentuk fi‟il mudhāri‟ mazīd yaitu tuqsithū
( ) terdapat pada dua surat yaitu Q.S. Al-Nisā [04]:03 dan Q.S. Al-
Mumtahanah [60]:08.
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang Berlaku adil.59
Ayat ini menjelaskan tentang sikap orang-orang mukmin kepada orang-
orang kafir. Asbab an-nuzul ayat ini menceritakan tentang Asmā‟ binti Abī Bakr.
Kejadian ini terjadi pada masa Jahiliyah. Ketika itu ibunya yang bernama Qatīlah
Ibnah ‟Abdul ‟Uzzá ia adalah seorang wanita musrik datang dan membawa hadiah
untuk Asmā‟ sebuah keju dan minyak samin. Namun Asmā‟ menolaknya sambil
berkata : ” Aku tidak mau menerima hadiah dari mu, dan janganlah kamu
memasuki rumahku sampai rasulullah mengizinkannya”. Kemudian ‟Āisyah
melaporkan kejadian tersebut kepada Nabi Saw. hingga turunlah ayat ini.60
Allah
58
Al-Baidhawī, Anwar At-Tanzīl wa Asrār At-Ta‟wīl, h. 89 59
Q.S. Al-Mumtahanah [60]:08 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi 60
Dari riwayat Az-Zubair
، قال: ثا يصعة ، قال: ثا هازو ت يعسوف، قال: ثا تشس ت انسس حدث يحد ت إتساهى األاط
ت ثاتد، ع عه عايس ت عثد اهلل ت انزتس، ع أته، قال: زند ف أساء تد أت تكس، وكاد نها أو ف
هح اتح عثد انجاههح قال نها قر ، فقاند: ال اقثم نك هدح، وال ذدخه عه انعزي، فأذرها تهداا وصاب وأقط وس
ه وسهى، فأزل اهلل) ال ه وسهى فركسخ ذنك عائشح نسسىل اهلل صه اهلل عه هاكى حر أذ زسىل اهلل صه اهلل عه
نى قاذهىك انر (انهه ع قسط ( ... إن قىنه:) ان ى ف اند lihat At-Thabarī, Jāmi‟ Al-Bayān fī Ta‟wīl
Al-Qur‟an, Jilid 15, h. 68
31
memerintahkan untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada orang-orang diluar
agama Islam yang tidak memerangi orang-orang mukmin dalam hal agama dan
juga tidak mengusirnya dari kampung-kampungnya.
Di dalam agama Islam adanya kebebasan untuk memeluk agama lain dan
tidak memaksa penganut lain untuk memeluk agama Islam. Islam juga
menganjurkan untuk saling tenggang rasa dan saling menghormati kepada
penganut lainnya. Selama penganut lain tidak melakukan kezaliman pada umat
muslim, maka tidak diizinkan bagi umat muslim untuk berbuat zalim kepada
mereka. Bahkan Allah menganjurkan untuk saling berbuat baik dan adil.
Kata al-qisth dalam bentuk fi‟il al-amr mazīd yaitu aqsithū ( Kata
ini hanya disebut satu kali, yaitu pada Q.S. Al-Hujurāt [49]:09.
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu
melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang Berlaku adil.61
Pada ayat ini, Allah menyuruh kepada kaum mukmin untuk berlaku adil
dalam menyelesaikan dan mendamaikan dua orang beriman yang sedang
61
Lihat Al-Qur‟an Al-Hadi
32
berperang. Adil yang dimaksud dalam ayat ini adalah dalam menegakkan hukum
kepada dua kaum dengan tidak condong kepada salah satu dari keduanya.62
Kata al-qisth dalam bentuk isim fā‟il tsulatsī mujarrad yaitu al-qāsithūn
( ) terdapat pada dua ayat dalam Q.S al-Jin [72]:14-15 yang bermakna
menyimpang (bengkok =اعىجاج).
Dan Sesungguhnya di antara Kami ada orang-orang yang taat dan ada
(pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang
yang taat, Maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.
Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, Maka
mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam.63
Menurut imam as-Syaukanī kata al-muslimūn bermakna orang-orang yang
beriman kepada Nabi Muhammad Saw. Sedangkan kata al-qasithūn bermakna
orang-orang yang menyimpang lagi berbuat zalim yang menjauhkan dirinya dari
jalan kebenaran dan lebih condong mendekati jalan kebatilan. Bagi orang-orang
yang beriman maka mereka telah memilih jalan yang benar artinya mereka telah
menyengaja dirinya untuk selalu mendapatkan petunjuk. Sedangkan bagi orang-
orang yang telah menyimpang dari kebenaran maka mereka menjadi bahan bakar
bagi api neraka.64
Kata al-qisth dalam bentuk isim tafdhīl disebutkan sebanyak 2 kali dengan
kata aqsathu ( ). Seperti dalam Q.S. Al-Ahzab [33]:05.
62
Abū Ja‟far Muhammad bin Jarīr At-Thabarī, Jāmi‟ Al-Bayān fī Ta‟wīl Al-Qur‟an,
(Bairūr: Dārul Fikr, 1978), h. 82 63
Lihat Al-Qur‟an Al-Hadi 64
Muhammad bin „Alī bin Muhammad as-Syaukanī, Fathul Qadīr Al-Jāmi‟ baina
Fannai Ar-Riwāyah wa Ad-Dirāyah min ‟Ilm Al-Tafsīr, (Bairūt: Dārul Ma‟rifah, 1997), h. 377
33
Panggilah mereka dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-
bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa
yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja
oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.65
Ayat ini menerangkan tentang penisbatan nama wali dari seorang anak
angkat.66
Dalam kitab Al-Muntakhab dijelaskan bahwa dengan menisbatkan nama
seorang anak angkat kepada nama ayah kandungnya menunjukkan sikap adil.
Bahkan lebih adil dari pada menisbatkannya kepada nama ayah angkatnya. Dapat
dikatakan bahwa adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Penisbatan
ini dapat menunjukkan bahwa panggilan anak anggkat sesuai dengan nama
ayahnya dan bukan kepada yang lainnya. Jika ayah kandungnya tidak diketahui
65
Lihat Al-Qur‟an Al-Hadi 66
Asbāb an-nuzūl ayat ini menceritakan tentang Zaid bin Hāritsah. Suatu hari pamannya
bertemu dengannya di kota Mekkah dalam keadaan sibuk. Kemudian ia bertanya tentang namanya,
ayahnya, ibunya. Kemudian Zaid menjawab pertanyaan tersebut bahwa nama ayahnya adalah
Haritsah bin Syarahil al-Kalbi dan ibunya bernama sa‟adi dari bani thayyi. Lalu pamannya
merangkulnya dan mengantarnya ke saudara laki-lakinya serta kaumnya. Kemudian mereka
mengajak Zaid dan bertanya: “milik siapakah engkau?,” Zaid menjawab: “milik Muhammad bin
„Abdullah,” kemudian kaum tersebut mendatangi Rasulullah, dan berkata: “Zaid adalah anak
kami, maka kembalikanlah ia kepada kami”, nabi menjawab: “serahkan kepada Zaid, jika ia
memilih kalian maka bawalah”. Lalu nabi berjalan menuju Zaid dan bertanya: “apakah kamu
mengenal mereka ?,” Zaid menjawab: “ya, ini adalah ayahku, saudaraku, dan pamanku.” Lalu nabi
bertanya: “milik siapakah engkau selama ini?” Zaid menjawab sambil menangis: “mengapa
engkau bertanya seperti itu kepada ku?”, nabi menjawab: “karena lebih baik bagimu jika engkau
mencintai mereka maka kembalilah kepada mereka, namun jika engkau ingin tetap bersama ku,
maka engkau tahu bagaimana diriku.” Zaid menjawab: “Aku tidak dapat memilih siapapun
diantara kalian”, kemudian pamannya menariknya sambil berkata: “Zaid pilihlah ayah dan
pamanmu berdasarkan kepatuhan”, Zaid menjawab: “Wallahi jika berdasarkan kepatuhan, maka
aku lebih mencintai nabi Muhammad dibandingkan aku bersama kalian”. Maka mulai saat itu Zaid
tetap dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. Lihat Syamsuddīn al-Qurthūbī, Al-Jāmi‟ li
Ahkām Al-Qur‟an, (Riyādh: Dār ‟Ālim al-Kutub, 2003), h. 295-296
34
maka boleh penisbatan itu kepada orang tua angkatnya dan tidak ada dosa
baginya. Apabila telah diketahui, namun orang tua angkat menyengaja tetap
menisbatkan namanya kepada anak angkatnya maka ia berdosa. Dengan
melakukan hal tersebut sungguh ia telah berbuat zalim (tidak adil).67
Kata al-qisth dalam bentuk isim fā‟il mazid disebutkan sebanyak 3 kali
yaitu terdapat di dalam Q.S. Al-Māidah [05]:42, Q.S. Al-Hujurāt [49]:09, dan
Q.S. Al-Mumtahanah [60]:08 dengan kata al-muqsithīn ( ).
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong,
banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang
kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka, jika kamu berpaling dari
mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun.
dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara
itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang adil.68
Ayat ini menerangkan tentang sikap Nabi Muhammad Saw. dalam
menegakkan hukum kepada kaum Yahudi. Menurut al-Ālūsī makna dari kata
sammā‟ūna lilkadzib adalah orang-orang yang suka mengajak kepada sesuatu
yang batil dan suka mengada-adakan berita. Sehingga dapat dikatakan bahwa
mereka adalah orang-orang suka berbohong. Kata akkālūna lissuht adalah orang-
orang yang suka memakan sesuatu yang haram yaitu mereka memperoleh harta
67
Muhammad Ahmadī Abū an-Nūr, Al-Muntakhab fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-Karīm, (Mesir:
Lajnah Al-Qur‟an wa Al-Sunnah, 1986), h. 623 68
Q.S. Al-Māidah [05]:42 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi
35
mereka dengan cara yang haram. Pada ayat ini makna haram menggunakan kata
suht karena yang dimaksud ayat ini adalah suap.69
Khitab ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Jika orang-orang
tersebut (kaum Yahudi) datang kepada Nabi dan memintanya untuk menegakkan
hukum di dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka, maka tetapkanlah
hukum atau tinggalkanlah (tidak perduli). Ini adalah pilihan bagi Nabi dalam
menghadapi perselisihan kaum Yahudi. Jika Nabi mengabaikannya-tidak
menuruti kamauan mereka-maka hal itu tidak akan memudaratkan Nabi walaupun
mereka melakukannya, karena Allah akan selalu menjaganya. Namun jika Nabi
tidak mengabaikannya, maka Allah menyuruhnya untuk menegakkan hukum
dengan adil-dengan tidak menerima suap-karena Allah menyukai orang-orang
yang berbuat adil dan Allah akan selalu menjaga diri mereka dari hal-hal yang
bersifat haram.70
69
Dalam kitab Sunan Al-Kubra lī Al-Baihaqī
70 Dalam kitab Ma‟ālim At-Tanzīl diterangkan bahwa ayat ini menjelaskan tentang hukum
yang ditegakkan oleh kaum Yahudi yaitu oleh Ka‟ab bin Asyrāf dan koalisinya, mereka selalu
menerima suap dan menetapkan hukum untuk orang yang telah menyuapnya. Artinya mereka
memenangkan orang yang telah menyuap mereka. Dalam hal ini mereka adalah orang-orang suka
mendengarkan perkataan dusta dan memakan sesuatu yang haram yaitu suap. Pandangan mereka
pura-pura buta terhadap kebenaran sehingga mereka meninggalkan perselisihan yang sebenarnya
terjadi. Lihat Al-Maraghī, Tafsīr Al-Marāghī, h. 120
36
B. Objek Al-Qisth dalam Al-Qur’an
Pada bab pertama telah dijelaskan beberapa objek yang menggunakan term
al-qisth di dalam al-Qur‟an. Di bawah ini adalah kolom objek-objek yang dibahas
al-Qur‟an dengan menggunakan term al-qisth.
No. Objek Surat dan Ayat
1. Adil terhadap anak yatim Q.S. an-Nisā [04]:03 dan
127
2. Adil terhadap orang-orang non muslim
Q.S. al-Mumtahanah
[60]:08 dan Q.S. al-
Māidah [05]:42
3. Adil dalam mendamaikan perselisihan Q.S. al-Hujurat [49]:09
4. Adil sebagai penulis dan memberikan
persaksian Q.S. al-Baqarah [02]:82
5. Adil terhadap anak adopsi Q.S. al-Ahzāb [33]:05
6. Adil sebagai identitas orang yang berilmu Q.S. „Ālī ‟Imrān [03]:18
7. Adil dalam menegakkan amr ma‟ruf Q.S. „Ālī ‟Imrān [03]:21
8. Adil dalam menyempurnakan takaran dan
timbangan
Q.S. al-An‟ām [06]:152,
Q.S. Hūd [11]:85 dan
Q.S. ar-Rahmān [55]:9
9. Adil dalam memberikan keputusan
Q.S. Yūnus [10]:47 dan
54
10. Keadilan Allah
Q.S. Yūnus [10]:04
Q.S. al-Anbiya [21]:47
11. Perintah menegakkan keadilan
Q.S. an-Nisā [04]:135,
Q.S al-Māidah [05]:08,
Q.S. al-A‟rāf [07]:29 dan
Q.S. al-Hadīd [57]:25
12. Menyimpang dari agama Q.S. al-Jinn [72]:14-15
37
1. Al-Qisth adalah Sifat Orang yang Berilmu
Al-qisth (adil) adalah sifat yang sangat terpuji, dan sifat orang-orang yang
berilmu serta menjadi identitas orang Islam. Keadilan juga termasuk ambisi
orang-orang yang berakal, tujuan orang-orang bijak dan sasaran yang ingin
dicapai oleh semua orang yang normal. Tanpa keadilan kehidupan akan menjadi
goncang, timbangan akan terbalik dan ukuran akan meleceng. Jika keadilan tidak
ditegakkan, maka akan banyak orang-orang yang kuat berlaku sewenang-wenang
terhadap orang yang lemah, dan orang yang zalim akan berlaku semenah-menah
terhadap orang yang merdeka.71
Orang-orang yang berilmu adalah orang-orang
yang terbukti mampu untuk berserah diri kepada Allah Swt. dan keadilan yang
ditegakkan oleh mereka adalah dalam hal beragama dan mengerjakan syari‟at
agama Islam.72
Sebagaimana firman Allah Swt.
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang
berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-
orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.73
Ayat di atas menerangkan tentang persaksian (syahādah) atas keesaan
Allah Swt.74
Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang Maha Perkasa
71
Yusuf, Berbuat Adil Jalan Menuju Bahagia, h.57 72
Al-Maraghī, Tafsīr Al-Maraghī, Jilid I, h. 117 73
Q.S. „Alī „Imrān [03]:18 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi 74
Asbāb an-nuzūl ayat ini menceritakan dua orang alim penduduk Syam bertanya tentang
syahadat (persaksian) paling tinggi. Ketika Nabi berada di kota Madinah datanglah dua orang alim
tersebut. Ketika keduanya melihat kota Madinah, salah satu dari mereka berkata bahwa kota
Madinah sangat mirip sekali dengan kotanya Nabi Muhammad Saw. yang akan datang pada akhir
zaman. Kemudian keduanya masuk menemui Nabi Muhammad dan mereka telah mengenal sifat
dan karakter beliau, Lalu keduanya menanyakan namanya sebanyak dua kali. Sedangkan Nabi
hanya menjawab dengan kata “ya”. Kemudian keduanya meminta Nabi untuk memberitahukan
38
dalam memimpin kerajaan langit dan bumi serta menciptakan segala yang ada
pada keduanya, lagi Maha Bijaksana dalam firman-Nya, perbuatan-Nya dengan
memberikan balasan kepada setiap makhluk-Nya sesuai dengan amal perbuatan
mereka masing-masing, menetapkan peraturan-Nya dan tidak ada siapapun yang
dapat menandinginya. Syahadat pada hakikatnya adalah kabar yang harus
disahkan/dibenarkan oleh orang yang menerima kabar (persaksian) tersebut.
Namun terkadang kabar juga dapat bersifat dusta/bohong seperti firman Allah
dalam Q.S. al-Baqarah [02]:282.
Menurut Ibn „Āsyūr ayat di atas menerangkan tiga syahadat. Pertama,
syahadatullah adalah Allah bersaksi bahwa Dia Esa, dan keesaannya dibuktikan
dengan dalil-dalil yang telah Allah tetapkan (dalīl qath‟i). Kedua, Syahadat
malaikat adalah persaksian di antara mereka dengan menyampaikan wahyu
kepada para rasul,75
dan ketiga, syahadat orang-orang berilmu adalah kesaksian
mereka atas keesaan Allah dengan hujah-hujah dan dalil-dalil (al-Qur‟an, sunnah,
dan ayat-ayat kauniyah) untuk melawan kekafiran.76
Persaksian ini ditujukan
untuk membantah perkataan-perkatan orang-orang kafir yang memperolok-olok
Islam.77
tentang syahadat paling tinggi dengan berjanji bahwa setelah mereka diberitahu, mereka akan
memeluk agama Islam. Kemudian turunlah ayat ini dan keduanya segera masuk Islam. Lihat Al-
Ālūsī, Rūh Al-Ma‟ānī fi Tafsīr Al-Qur‟an Al-‟Azhīm wa As-Sab‟ Al-Matsānī, h. 102 75
Syahadat malaikat adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, karena Allah
telah mengabarkan kepadanya--tentang ayat yang turun di Mekkah sebelum ayat ini bahwa mereka
adalah hamba-hamba Allah yang mulia yang tidak akan berbuat maksiat kepada-Nya dan mereka
mengarjakan segala perintah-Nya dan selalu bertasbih kepada-Nya. Q.S. Al-Anbiyā‟ [21]:27 dan
Q.S. Asy-Syūra [42]:05. Lihat Muhammad Husain at-Thabāthabāī, Al-Mīzān fī Tafsīr Al-Qur‟an,
(Bairut: Muassasah Al-A‟la, 1983), h. 114-1115 76
Muhammad at-Thahir Ibn „Āsyūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, (t.tp: Al-Dār at-
Taunisiyyah, t.t), h. 186 77
Ibn „Āsyūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, h. 187
39
Menurut ar-Rāzī keadilan yang dimaksud adalah kondisi tiap-tiap orang
mukmin yang berilmu dalam menegakkan keadilan dengan bersaksi bahwa Allah
Swt adalah Esa. 78
Pendapatnya juga sejalan dengan az-Zamakhsyarī,79 al-Ālūsī,80
dan Thabāthabāi‟.81
Menurut al-Ālūsī orang-orang yang berilmu adalah para Nabi
as, atau muhājirin dan anshār, atau para ulama‟ yang mengimani kitab, atau para
ulama‟ mukmin yang mengetahui keesaan Allah Swt. dengan dalil qati‟ dan
hujjah-hujjah yang nyata. 82
Ar-Rāzī menjelaskan bahwa kesaksian yang dilakukan oleh orang-orang
yang berilmu adalah terhadap keadilan yang Allah lakukan. Keadilan tersebut
terbagi dua yaitu keadilan yang berkaitan dengan dunia dan keadilan yang
berkaitan dengan agama. Adapun yang berkaitan dengan dunia adalah proses
penciptaan anggota tubuh manusia, perbedaan kondisi individu ada yang baik dan
ada yang buruk, kaya dan miskin, sehat dan sakit, panjang pendeknya umur
seseorang, adanya kenikmatan dan penderitaan, dan penciptaan elemen-elemen
bumi. Keadilan hal ini berkaitan dengan keadilan Allah dengan menggunakan
term „adl. Sedangkan keadilan yang berkaitan tentang perkara agama adalah
perbedaan dalam penciptaan makhluk ada yang berilmu dan ada yang tidak
berilmu, ada yang cerdas dan ada yang bodoh, dan ada yang mendapatkan hidayah
dan ada yang mendapatkan kesesatan. Keadilan ini berkaitan dengan keadilan
Allah dengan menggunakan term „adl dan qisth.83
Hal-hal tersebut adalah bukti
78
Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-Rāzī: Al-Tafsīr Al-Kabīr wa Mafātīh Al-Ghaib, h. 222 79
Mahmūd bin „ūmar bin Muhammad az-Zamakhsyarī, Tafsīr Al-Kasysyāf ‟an Haqāiq
Ghawāmidh At-Ta‟wīl wa ‟Uyūn Al-Aqāwīl fī Wujūh At-Ta‟wīl, h. 338 80
Al-Ālūsī, Rūh Al-Ma‟ānī fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-„Azhīm wa As-Sab‟ Al-Matsānī, h. 102 81
At-Thabāthaba‟ī, Al-Mīzān fī Tafsīr Al-Qur‟an, h. 114 82
Al-Ālūsī, Rūh Al-Ma‟ānī fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-„Azhīm wa As-Sab‟ Al-Matsānī, h. 101 83
Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-Rāzī: At-Tafsīr Al-Kabīr wa Mafātih Al-Ghaib, h. 222-
223
40
bahwa Allah Esa. Maha Sempurna dalam perbuatan-Nya dan zat-Nya.84
Tidak ada
seorangpun yang mampu selain dari pada-Nya. 85
Orang-orang yang berilmu akan selalu taat dan patuh kepada Allah Swt.
mereka dapat membedakan mana baik dan buruk. Sehingga mereka mengetahui
perkara-perkara yang diperintahkan oleh Allah untuk dikerjakan dan perkara-
perkara yang harus dijauhi. Ini salah satu bukti mereka mengagungkan keesaan
Allah. Mereka akan menempatkan segala perintah-Nya sesuai dengan kadar dan
takarannya/porsinya. Tidak ada yang dilebihkan dan dikurangkan seperti dalam
hal ibadah ke pada-Nya. Mereka akan selalu mensyukuri apapun yang Allah
berikan.
2. Al-Qisth terhadap Anak Yatim
Al-qisth terhadap anak yatim adalah salah satu perbuatan yang harus
dilakukan oleh setiap manusia khususnya umat Islam. Mereka wajib diberikan
perhatian dan kasih sayang. Anak yatim adalah sebutan bagi anak yang telah
ditinggal mati oleh ayahnya. Menurut kebiasaan yang beredar di masyarakat
bahwa seseorang yang disebut anak yatim adalah mereka yang ditinggal mati
ayahnya yang belum baligh atau belum cukup umurnya seperti orang dewasa.86
k
84
Al-Ālūsī, Rūh Al-Ma‟ānī fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-„Azhīm wa As-Sab‟ Al-Matsānī, h. 102 85
Az-Zamakhsyarī, Tafsīr Al-Kasysyāf „an Haqāiq Ghawāmidh At-Ta‟wīl wa ‟Uyūn Al-
Aqāwīl fī Wujūh At-Ta‟wīl, (Bairūt: Dārul Kutub Al-‟Ilmiyah, 2009), h. 338 86
Ahmad Mushthafâ al-Maraghī, Tafsīr Al-Maraghī, (Mesir: t.pn, 1969), h. 178
41
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.87
Ayat ini menerangkan keadilan seorang wali anak yatim terhadap anak
yatim yang berada dibawah tanggungannya. Menurut Ibn „Āsyūr keadilan yang
dimaksud adalah keadilan yang dituntut kepada seorang wali atas anak yatim yang
berada dalam tanggungannya dalam mengelolah hartanya88
dan tidak dianjurkan
untuk menikahinya dengan alasan banyak harta dan kecantikannya. Wali tetap
harus menjaga harta anak yatim tanggungannya walaupun sedikit hartanya dan
kurang cantik.89
Jika seorang wali tidak mampu berbuat adil terhadap anak yatim
tangguhannya dalam menjaga hartanya, maka hendaklah ia menikahi wanita lain
yang baik menurutnya. Hal ini juga berkaitan tentang kehawatiran seorang wali.
Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat ar-Rāzī,90
az-Zamakhsyarī,91
al-Ālūsī,92
dan Thabāthabāi‟.93
Thabāthabāi‟ menjelaskan bahwa ketidakadilan sang wali adalah setelah
mengambil harta anak yatim tersebut. Sehingga ia jatuh miskin dan tidak memiliki
harta untuk menafkahi dirinya sendiri dan tidak ada yang menyukainya. Pada saat
87
Q.S. An-Nisā [04]:03 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi. Ayat yang semisal dengannya yaitu
perintah berbuat adil terhadap anak yatim terdapat pada Q.S. An-Nisā [04]:127 88
Dalam kitab Al-Shahih Al-Bukhari diterangkan asbāb an-nuzūl ayat ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh „Āisyah. „Urwah bertanya kepada „Āisyah tentang ayat ini,
kemudian ia menjawabnya: “Wahai anak saudara perempuanku, ini adalah anak yatim perempuan
yang berada dibawah tanggungan walinya, dan ia hendak menyatukan haratnya dengan harta anak
yatim itu serta ia kagum akan kecantikan sang anak. Lalu ia berkeinginan untuk menikahinya
dengan tidak berlaku adil yaitu dengan tidak memberinya mahar hingga Ia memberinya seperti ia
memberi sesuatu kepada yang lainnya. Hal inilah yang dilarang untuk menikahi seorang anak
yatim perempuan kecuali ia dapat berlaku adil dengan memberikan mahar kepadanya. Oleh karena
itu mereka diperintahkan untuk menikahi wanita lain yang baik bagi mereka selain dari anak yatim
perempuan. Lihat Ibn „Āsyūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, h. 222 89
Ibn „Āsyūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, h. 222 90
Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-Rāzī: At-Tafsīr Al-Kabīr wa Mafātih Al-Ghaib, h. 177 91
Az-Zamakhsyarī, Tafsīr Al-Kasysyāf „an Haqāiq Ghawāmidh At-Ta‟wīl wa ‟Uyūn Al-
Aqāwīl fī Wujūh At-Ta‟wīl, h. 457 92
Al-Ālūsī, Rūh Al-Ma‟ānī fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-„Azhīm wa As-Sab‟ Al-Matsānī, h. 400 93
At-Thabāthabāī, Al-Mīzān fī Tafsīr Al-Qur‟an, h. 166
42
itulah wali datang kepadanya dan menikahinya.94
Hal tersebut mengindikasikan
bahwa sang wali telah memakan dengan zalim harta anak yatim dan mencampur
hartanya dengan harta sang anak. Allah telah berfirman dalam Q.S. an-Nisā
[04]:02 dan ayat 10 bahwa tidak boleh bagi seorang wali anak yatim memakan
dan mencampur hartanya dengan harta anak yatim.
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka,
jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.95
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).96
Pada ayat sebelumnya Q.S. An-Nisā [04]:03 diterangkan dua perkara
keadilan, pertama, keadilan dengan menggunakan term al-qisth dan kedua,
keadilan dengan menggunakan term al-„adl. Kata „adl pada ayat ini menerangkan
keadilan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istri. Hal ini sering terjadi
pada bangsa Arab bahwa seorang laki-laki dari bangsa Arab telah menikahi 10
atau lebih orang perempuan. Namun ia tidak mampu berbuat adil terhadap para
94
At-Thabāthabāī, Al-Mīzān fī Tafsīr Al-Qur‟an, h. 166 95
Q.S. An-Nisā [04]:02 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi 96
Q.S. An-Nisā [04]:10 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi
43
istrinya. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada para suami untuk menikahi
seorang perempua saja.
Menurut Ibn „Āsyūr jika seorang suami hawatir tidak dapat berlaku adil
maka hendaknya ia menikahi satu orang perempuan saja atau seorang budak.
Kehawatiran yang dimaksud adalah tidak dapat berbuat adil terhadap beberapa
istri yang telah dinikahinya, yaitu dengan tidak adanya persamaan perlakuan
suami terhadap mereka. Seperti dalam hal memberi nafkah, pakaian, kegembiraan,
dan hubngan seksualitas. Allah telah mensyariatkan bahwa boleh menikahi
perempuan lebih dari satu hanya bagi orang-orang yang mampu berbuat adil. Hal
ini bertujuan untuk kemaslahatan bersama, diantaranya untuk memperbanyak
populasi umat dengan bertambahnya jumlah kelahiran, menjamin kehidupan para
wanita pada tiap-tiap generasi karena jumlah kelahiran wanita lebih banyak dari
pada laki-laki, masa hidup wanita lebih lama dari pada laki-laki menurut
kebiasaan, dan mengurangi perzinahan.97
Menurut al-Ālūsī kehawatiran akan berbuat tidak adil terhadap beberapa
istri sama seperti kehawatiran akan berbuat tidak adil terhadap hak-hak anak
yatim.98
Al-Razī berpendapat jika kamu takut akan tidak berbuat adil dalam
menjaga hak-hak anak yatim maka jadilah kamu orang-orang yang takut untuk
berbuat zina dan nikahilah wanita-wanita yang baik menurutmu, tetapi bukan
wanita-wanita yang muhrim (yang diharamkan untuk dinikahi).99
97
Ibn „Āsyūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, h. 226 98
Al-Ālūsī, Rūh Al-Ma‟ānī fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-„Azhīm wa As-Sab‟ Al-Matsānī, h. 406 99
Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-Rāzī: Al-Tafsīr Al-Kabīr wa Mafātīh Al-Ghaib, h 178
44
3. Al-Qisth dalam Jual-Beli
Jual-beli adalah salah satu contoh mu‟amalah yang sering dilakukan oleh
masyarakat. Jual-beli adalah transaksi yang dilakukan minimal oleh seorang
penjual dan pembeli. Menurut bahasa jual-beli adalah bertemunya suatu barang
dagangan dengan brang dagangan lainnya disertai akad.100
Dalam transaksi jual-beli seorang penjual selayaknya berlaku jujur dan
tidak berbuat curang. Seperti tidak boleh menjual barang-barang yang tidak layak
untuk dijual atau kadaluarsa dan tidak boleh mengurangi takaran dan timbangan
suatu barang. Sehingga dapat dikatakan bahwa selain seorang penjual dituntut
untuk berbuat jujur, ia juga harus berbuat adil yaitu dengan menyempurnakan
takaran dan timbangan suatu barang tanpa menguraginya sedikitpun. Sebagaimana
firman Allah.
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran
dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada
sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata,
Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu),
dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat.101
Pada ayat ini ada beberapa objek yang diterangkan oleh Allah Swt. Namun
pembahasan yang diangkat adalah keadilan dalam menyempurnakan takaran dan
100
„Abdurrahmān al-Jazirī, Al-Fiqh „ala Al-Madzāhib Al-Arba‟ah, (Mesir: Dārul Hadīts,
2004), h. 118 101
Q.S. Al-An‟ām [06]:152 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi
45
timbangan dalam transaksi jual-beli. Ayat ini juga menerangkan keadilan dengan
dua term yang berbeda. Term pertama keadilan dengan menggunakan kata al-
qisth dan term kedua menggunakan kata al-„adl.
Sesungguhnya segala sesuatu dapat mencapai kesempurnaannya, karena
telah mencapai batas ukuran yang cukup dan sempurna. Seperti satu dirham satu
kesempurnaan/ukuran, dan satu ukuran satu kesempurnaan. Hak-haknya akan
terpenuhi jika takaran dan timbangannya telah disempurnakan dan tidak dikurangi
sedikitpun.102
Menurut Ibn „Āsyūr, al-Ālūsī,103
ar-Rāzī,104
az-Zamakhsyarī,105
dan
Thabāthabāi‟106
keadilan (dengan menggunakan term al-qisth) yang dimaksud
adalah keadilan dalam menyempurnakan takaran dan timbangan dalam transaksi
jual-beli. Seperti halnya para pedagang yang telah menentukan takaran buah
kurma dan kismis, dan timbangan emas dan perak. Namun, terkadang pedagang
itu mengurangi takaran dan timbangannya dengan maksud mendapatkan
keuntungan. Hal ini terjadi karena ketamakannya akan harta. Sehingga ia tidak
berlaku adil dalam transaksi jual-beli dan mengurangi takaran serta
timbangannya.107
Di dalam Q.S. Hūd [11]:84 Allah Swt. berfirman bahwa tidak
boleh mengurangi takaran dan timbangan dan Allah akan memerikan balasan azab
bagi mereka yang berbuat curang.
102
Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-Rāzī: Al-Tafsīr Al-Kabīr wa Mafātīh Al-Ghaib, h. 247.
Ayat lain yang semisal dengan ini yaitu Q.S. Hūd [11]:85 dan Q.S. ar-Rahmān [55]:09. 103
Al-Ālūsī, Rūh Al-Ma‟ānī fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-„Azhīm wa As-Sab‟ Al-Matsānī, h. 298 104
Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-Rāzī: Al-Tafsīr Al-Kabīr wa Mafātīh Al-Ghaib, h. 247 105
Az-Zamakhsyarī, Tafsīr Al-Kasysyāf „an Haqāiq Ghawāmidh At-Ta‟wīl wa ‟Uyūn Al-
Aqāwīl fī Wujūh At-Ta‟wīl, h. 76 106
At-Thabāthabāī, Al-Mīzān fī Tafsīr Al-Qur‟an, h. 376 107
Ibn „Āsyūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, h. 165
46
Dan kepada (penduduk) Mad-yan (kami utus) saudara mereka, Syu'aib. ia
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu
selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan,
Sesungguhnya aku melihat kamu dalam Keadaan yang baik (mampu) dan
Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang
membinasakan (kiamat)."108
Ini mengisyaratkan bahwa adanya perintah untuk menegakkan hak-hak
keadilan dalam menyempurnakan takaran dan timbangan. Tidak mengurangi
takaran dan timbangan berarti ia telah telah berbuat adil dengan
menyempurnakannya. Turunnya ayat ini agar menjadi perhatian bagi tiap individu
untuk selalu condong berbuat adil dalam transaksi jual beli dengan
menyempurnakan takaran dan timbangan dan tidak menguranginya. Hal ini juga
menunjukkan kedermawanan seorang pedagang.109
Tidak semua barang dapat ditimbang dengan ukuran yang pas, seperti biji-
bijian. Oleh karena itu Allah tidaklah membebankan kepada hambanya untuk
menyempurnakan timbangannya (dalam hal biji-bijian dan segala benda yang
berukuran kecil). Namun harus tetap waspada atau hati-hati dalam menentukan
takaran dan timbangannya. Kehati-hatian dalam hal ini terjadi karena kehawatiran
para penjual akan berbuat salah, dan juga mengindikasikan agar setiap orang tetap
berlaku adil dalam hal sekecil apapun. Perintah ini juga bertujuan untuk menjaga
108
Lihat Al-Qur‟an Al-Hadi 109
Ibn „Āsyūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, h. 165
47
harta seorang pembeli dari praduga yang negatif, seperti pemborosan dan sia-sia
dalam mengeluarkan uangnya.110
Keadilan kedua menggunakan term „al-„adl. Menurut Ibn „Āsyūr, ar-
Rāzī,111
az-Zamakhsyarī,112
dan al-Ālūsī113
adalah keadilan dalam menegakkan
hukum yang dilakukan oleh seseorang terhadap kerabatnya dengan berkata yang
benar. Artinya walaupun seseorang yang diadili adalah kerabatnya, maka ia tetap
menegakkan keadilan berdasarkan kebenaran. Keadilan tidak mengenal siapaun
atau apapun. Oleh karena itu keadilan tetap harus dijalankan walaupun terhadap
kerabat, dan tidak bermaksud untuk melindunginya dari hal yang mudharat atau
kemaslahatannya. Hendaknya ia mengatakan yang benar adalah benar dan yang
salah adalah salah. Ini juga terjadi dalam hal persaksian di dalam hukum.
Sebagaimana firman Allah Swt. Q.S an-Nisā [04]:135.114
Menurut Thabāthabāi‟ keadilan dengan term „adl bermakna keadilan
dalam bentuk perkataan. Perkataan yang dapat memberikan keuntungan atau
kemudharatan bagi orang lain. Seperti dalam persaksian, fatwa, nasihat, hukum,
perkara pengadilan, perintah untuk kebaikan dan larangan untuk keburukan.
Dalam hal ini keadilan tidak boleh berpihak kepada siapapun dan apapun, baik
keluarga atau kerabat dekat atau jauh. Jika mereka menjadi saksi maka tetap harus
menyampaikan persaksiannya dengan adil. Sedangkan bagi penegak keadilan
110
Ibn „Āsyūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, h. 165-166 111
Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-Rāzī: At-Tafsīr Al-Kabīr wa Mafātih Al-Ghaib, h. 248 112
Az-Zamakhsyarī, Tafsīr Al-Kasysyāf „an Haqāiq Ghawāmidh At-Ta‟wīl wa ‟Uyūn Al-
Aqāwīl fī Wujūh At-Ta‟wīl, h. 76-77 113
Al-Ālūsī, Rūh Al-Ma‟ānī fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-„Azhīm wa As-Sab‟ Al-Matsānī, h. 299 114
Ibn „Āsyūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, h. 168
48
harus tetap menegakkan keadilan terhadap mereka ketika mereka terbukti bersalah
dan tidak boleh melindungi diri serta hartanya.115
Mafhūm mukhalafah dari dua term ini adalah bahwa keadilan yang
pertama menunjukkan sesuatu yang bersifat materi yaitu berupa takaran dan
timbangan, sedangkan yang kedua menunjukkan sesuatu yang bersifat immateri
yaitu sifat kasih sayang terhadap kerabat dalam menetapkan hukum untuknya.
4. Al-Qisth dalam Melerai Pertikaian
Al-qisth adalah tindakan yang dilakukan seseorang secara proporsional
yaitu sesuai dengan kadar/porsinya. Seperti meandamaikan dua orang yang
sedang berselisih/bertikai. Dalam mendamaikan keduanya seseorang yang
ditunjuk sebagai hakim harus menghukum keduanya sessuai dengan
tindakan/kesalahannya masing-masing. Sebagaimana firman Allah.
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu
melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang Berlaku adil.116
Ayat ini menerangkan perdamaian antara dua kelompok yang
berselisih/bertikai. Asbāb an-nuzūl ayat ini menceritakan suku Aus dan Khazrāj
115
At-Thabāthabāī, Al-Mīzān fī Tafsīr Al-Qur‟an, h. 376 116
Q.S. Al-Hujurāt [49]:09 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi
49
yang sedang bertikai dengan menggunakan tangan, sandal dan perabot rumah
tangga. Maka turunlah ayat ini.117
Pada ayat ini term keadilan yang digunakan ada dua term, yaitu al-‟adl dan
al-qisth. Menurut ar-Rāzī pada ayat ini menggunakan kata in ( ) yang
mengisyaratkan bahwa jarang sekali terjadi peperangan antara dua kelompok
muslim. Term yang digunakan adalah thāifah bukan firqah karena kata thaifah
bermakna satu sekte/kelompok, sedangkan kata firqah adalah kumpulan besar dari
sekte-sekte/kelompok-kelompok.118
Menurutnya keadilan yang menggunakan term „adl bermakna
mendamaikan perselisihan dua kelompok untuk menghentikan peperangannya
dengan memberikan nasihat untuk tidak mengulanginya. Sedangkan keadilan
dengan term al-qisth bermakna keadilan yang dilakukan untuk membela
kebenaran. Hal ini bermakna bahwa kebenaran yang dituju adalah hukum yang
ditegakkan dalam segala perkara untuk mencari derajat yang paling mulia dan
kedudukan yang tinggi di hadapan Allah Swt yaitu mahabbatullah (cintanya
Allah). Keadilan yang menggunakan term ini biasanya salah satu dari pihak yang
terkait masih belum merasa ridha/rela di dalam hatinya.119
Menurut Ibn „Āsyūr pada ayat ini terdapat dua kali perintah untuk
mendamaikan dua kelompok yang bertengkar. Perintah pertama, mendamaikan
dua kelompok yang sedang bertengkar, dan kedua perintah mendamaikan dua
117
„Imāduddīn Abī al-Fidā‟ Ismā‟īl bin Katsīr al-Qurasyī Al-Damasyqī, Tafsīr Al-Qur‟an
Al-„Azhīm, (Bairut: Al-Maktabah Al-„Ashriyyah, 2000), h. 189 118
Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-Rāzī: Al-Tafsīr Al-Kabīr wa Mafātīh Al-Ghaib, h. 127 119
Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-Rāzī: Al-Tafsīr Al-Kabīr wa Mafātīh Al-Ghaib, h.
128-129
50
kelompok yang salah satunya memberontak setelah adanya perdamaian pertama.
Keadilan ini dilakukan oleh Nabi Saw kepada dua suku yaitu Aus dan Khazraj.120
Dalam masalah hukum Nabi tetap menegakkannya dengan adil. Menurut
ibn „Āsyūr keadilan menggunakan term „adl menunjukkan perdamaian yang
pertama. Sehingga dalam mendamaikan keduanya Nabi tidak berat sebelah dan
mencari solusi untuk saling ridha dan rela. Sedangkan keadilan dengan term qisth
(pendapat ini sama dengan az-Zamakhsyarī) menunjukkan perdamaian yang
kedua. Yaitu keadilan yang ditegakkan Nabi untuk kelompok yang memberontak.
Sehingga hukuman yang dijatuhkan disesuaikan dengan tindakan pemberontakan
yang dilakukan salah satu kelompok dengan menjamin keduanya selamat dan
tidak berperang kembali.121
Adapun pendapat az-Zamakhsyarī122
dan al-Ālūsī123
keadilan dengan
menggunakan term „adl berimplikasi dalam mendamaikan dua kelompok dan
memberikan hukuman sesuai perintah Allah yang tertulis di dalam al-Qur‟an.
Yaitu dengan hikmah dan nasihat. Namun hukuman ini masih memungkinkan
keduanya bertikai kembali. Karena hanya berupa nasihat saja.124
Menurut Thabāthbāi‟ Keadilan yang dimaksud (dengan term „adl) adalah
mendamaikan dua kelompok yang salah satunya memberontak hingga ia kembali
ke jalan Allah. Perdamaian diantara keduanya bukan hanya mengambil senjata
120
Ibn „Āsyūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, h. 239 121
Ibn „Āsyūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, h. 242 122
Az-Zamakhsyarī, Tafsīr Al-Kasysyāf „an Haqāiq Ghawāmidh At-Ta‟wīl wa ‟Uyūn Al-
Aqāwīl fī Wujūh At-Ta‟wīl, h. 356 123
Al-Ālūsī, Rūh Al-Ma‟ānī fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-„Azhīm wa As-Sab‟ Al-Matsānī, h. 301 124
Az-Zamakhsyarī, Tafsīr Al-Kasysyā „an Haqāiq Ghawāmidh At-Ta‟wīl wa ‟Uyūn Al-
Aqāwīl fī Wujūh At-Ta‟wīl, h. 354
51
dan menyuruh mereka menghentikan berperang saja, akan tetapi juga memberikan
balasan atau hkuman terhadap orang yang memberontak semisal dengan apa yang
dihilangkannya. Seperti darah, harta benda, harta, atau apapun yang telah
dihilangkan atau dihancurkannya. Sedangkan kata al-qisth menjadi penguat dari
kata al-„adl yang bermakna “berbuat adillah kalian selalu dan dalam segala hal
karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.”125
Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh para mufassir, saya
berpendapat bahwa pendapat yang dikemukakan oleh Ibn „Āsyūr lebih relevan
dengan isi yang dimaksud ayat tersebut. Berdasarkan kronologis turunnya ayat
Q.S.al-Hujurāt [49]:09 di atas. Penggunaan term „adl adalah perdamaian yang
ditegakkan oleh Nabi di antara suku Aus dan Khazrāj ketika keduanya bertikai
berdasarkan al-Qur‟an dan Sunnah. Namun setelah perdamaian tersebut salah
satu dari mereka tidak menerima keputusan itu. Sehingga suku tersebut
melakukan pemberontakan terhadap suku yang lainnya. Kemudian Nabi
mendamaikan untuk kedua kalinya dengan memberikan hukuman kepadanya
sesuai dengan pemberontakannya dan menjamin akan keselamatan dari dua
kelompok tersebut bahwa keduanya tidak akan bertikai kembali.
Penulis berkesimpulan, dalam ayat ini bahwa keadilan dengan term al-
qisth lebih berat dilakukan dibandingkan keadilan dengan term al-„adl. Karena
dalam menegakkan keadilan (term al-qisth) Nabi sampai menjamin keduanya
akan selamat dan tidak akan ada pertikaian kembali.
125
At-Thabāthabāī, Al-Mīzān fī Tafsīr Al-Qur‟an, h. 315
52
5. Al-Qisth terhadap Orang-Orang Non Muslim
Setiap orang memiliki kehidupan dan tempat tinggal di suatu tempat atau
suatu negara. Sehingga tidak boleh bagi orang lain untuk berbuat kasar atau
meresahkan orang lain. Seperti mengusirnya atau memeranginya tanpa alasan
yang jelas. Dalam suatu negara terdiri dari berbagai ras, suku, dan agama. Ada
warga muslim dan ada pula warga non muslim. Walaupun dalam suatu Negara
berbeda-beda agama yang dianut, warga lainnya tetap harus saling menghormati
dengan penganut lainnya. Jika mereka tidak mengusir dan memerangi penganut
lainnya maka penganut yang lain tidak boleh mengusir dan memeranginya pula.
Bahkan Allah menganjurkan kepada setiap penganut atas penganut lainnya harus
berbuat baik dan adil. Sebagaimana firman Allah.
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang Berlaku adil.126
Ayat ini menerangkan tentang menyambung silaturrahim kepada kaum
kafir yang tidak lagi memerangi kaum mukminin. Menurut ar-Rāzī mereka yang
tidak lagi memerangi kaum mukminin adalah kaum yang telah berjanji kepada
Rasulullah untuk meninggalkan peperangn dan permusuhan kepada kaum
muslimin. Mereka adalah kaum Khuzā‟ah. Mereka berjanji kepada Rasulullah
tidak akan memerangi dan mengusir kaum muslimin. Kemudian rasul menyuruh
126
Q.S. Al-Mumtahanah [60]:08 lihat Al-Qur‟an Al-Hadi
53
kaum muslimin untuk berbuat baik kepada mereka selama mereka tetap berbuat
baik dan memenuhi janjinya.127
Menurut az-Zamakhsyarī lafaz bermakna “agar kamu berbuat
baik kepada mereka” yaitu dengan tidak menzalimi mereka (orang-orang
musyrik) dan menyambung silaturrahim. Salah satunya dengan bermu‟amalah.
Tidak menzalimi penganut lainnya berarti telah berbuat baik kepada mereka.128
Menurut az-Zamakhsyarī, al-Ālūsī,129
Ibn „Āsyūr,130
dan Thabāthabāi‟131
keadilan yang dimaksud adalah menetapkan keadilan kepada orang non muslim
dan tidak berbuat zalim kepadanya. Berbuat baik dan tetap menyambung
silaturrahim di antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin, dengan syarat
mereka tidak memerangi kaum muslimin dan tidak pula mengusirnya dari
kampung halaman mereka.132
Selain kaum musyrikin ada pula umat lain yang
tetap diberikan keadilan yaitu kepada ahlul kitab sebagaimana firman Allah dalam
Q.S. Al-Māidah [05]:42. 133
127
Fakhruddīn, Tafsīr Al-Fakhr Ar-Rāzī: Al-Tafsīr Al-Kabīr wa Mafātīh Al-Ghaib, h. 305 128
Az-Zamakhsyarī, Tafsīr Al-Kasysyā „an Haqāiq Ghawāmidh At-Ta‟wīl wa ‟Uyūn Al-
Aqāwīl fī Wujūh At-Ta‟wīl, h. 503 129
Al-Ālūsī, Rūh Al-Ma‟ānī fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-„Azhīm wa As-Sab‟ Al-Matsānī, h. 268 130
Ibn „Āsyūr, Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr, h. 153 131
At-Thabāthabāī, Al-Mīzān fī Tafsīr Al-Qur‟an, h. 234 132
Asbāb an-nuzūl ayat ini menceritakan Asmā‟ bint Ābi Bakr. Ketika itu ibunya yang
bernama Qatīlah Ibnah ‟Abdul ‟Uzzá ia adalah seorang wanita musrik datang dan membawa
hadiah untuknya. Namun ia tidak mau menerimanya dan tidak mengizinkannya masuk. Kemudian
turun ayat ini dan rasulullah menyuruh Asmā‟ untuk berlaku adil kepadanya dengan memberikan
izin masuk, tetap memuliakannya, serta berbuat baik kepadanya. Lihat Az-Zamakhsyarī, Tafsīr Al-
Kasysyā „an Haqāiq Ghawāmidh At-Ta‟wīl wa ‟Uyūn Al-Aqāwīl fī Wujūh At-Ta‟wīl, h. 503 133
Q.S. Al-Māidah [05]:42
54
Pada ayat Q.S. Al-Māidah [05]:42. Nabi diminta oleh kaum Yahudi
menjadi seorang hakim untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara
mereka. Kemudian Nabi dihadapkan pada dua pilihan oleh Allah. Menetapkan
hukum atau meninggalkannya (tidak perduli). Jika Nabi mengabaikannya maka
hal itu tidak akan memudaratkan Nabi walaupun mereka melakukannya, karena
Allah akan selalu menjaganya. Namun jika Nabi tidak mengabaikannya, maka
Allah menyuruhnya untuk menegakkan hukum dengan adil-dengan tidak
menerima suap-karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil dan Allah
akan selalu menjaga diri mereka dari hal-hal yang bersifat haram.134
Dari penjelasan di atas sangat jelas sekali bahwa umat Islam diwajibkan
berbuat baik dan adil kepada umat lainnya tanpa membeda-bedakan agama.
Selama orang-orang non muslim tidak melakukan kezaliman kepada umat Islam,
maka mereka tidak boleh diperangi, disakiti, atau diusir dari tempat tinggalnya.
Dan sifat saling menghormati antar umat beragama tetap harus dijaga.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Quran
menggambarkan sifat keadilan dengan menggunakan term al-qisth untuk
mnyatakan suatu tindakan yang bersifat indrawi dalam bersosialisasi sesama
manusia dan menjamin setiap individu akan merasa senang dan rela hati. Keadilan
dengan menggunakan term al-qisth menjelaskan bahwa keadilan yang harus
ditegakkan sangatlah berat karena keadilan ini lebih menjamin kedua orang yang
diadili merasa puas. Bias dikatakan bahwa orang yang menegakkannya berjanji
kepada dua belah pihak. Sedangkan janji adalah hutang yaitu kewajiban seseorang
134
Al-Maraghī, Tafsīr Al-Marāghī, h. 120
55
untuk menunaikan. Oleh karena itu Allah sangat mencintai al-muqsithīn (orang-
orang yang menegakkan keadilan) dan derajat mereka lebih tinggi berada di
sebelah kanan Rabb ar-Rahmān.
56
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan telaah dan analisis yang telah dipaparkan, maka dapat
disimpulkan bahwa setiap kata di dalam al-Qur‟an memiliki makna khusus
tersendiri. Meskipun secara lahir kata tersebut memiliki kesamaan arti dengan
kata yang lain. Seperti kata keadilan di dalam al-Qur‟an disebutkan dalam dua
bentuk yaitu term al-„adl dan term al-qisth. Term „adl adalah keadilan yang
ditegakkan berdasarkan hukum yang telah termaktub di dalam al-Qur‟an.
Sehingga terkadang ada salah satu pihak yang tidak puas dari keputusan orang
yang mengadili. Sedangkan term al-qisth adalah keadilan yang memiliki tanggung
jawab lebih berat dari pada keadilan yang diteggakkan dengan menggunakan term
„adl. Karena keadilan dengan term ini lebih mengutamakan kepuasan antara
keduabelah pihak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keadilan ini seperti suatu
amanah yang harus dijalankan. Yaitu dengan memberikan kepuasaan pada
keduabelah pihak. Oleh karena itu Allah sangat mencintai al-muqsithīn (orang-
orang yang berbuat adil).
Di dalam al-Qur‟an kata al-qisth terungkap sebanyak 25 kali di dalam 22
ayat dan 15 surat. Al-qisth di dalam al-Qur‟an terungkap di berbagai ayat yang
umumnya berisi penjelasan agar setiap individu menegakkan keadilan dalam
setiap kondisi dan kepada siapapun tanpa membeda-bedakan status stratanya.
Secara eskplisit diterangkan di dalam al-Qur‟an bahwa sifat al-qisth merupakan
sifat yang baik dan paling Allah sukai jika dimiliki oleh seorang manusia. Para
57
ulama tafsir seperti Ibn. Āsyūr, ar-Rāzī, az-Zamakhsyarī, al-Ālūsī, dan
Thabāthabāi‟ di dalam kitab mereka juga mengungkapkan bahwa sifat al-qisth
merupakan sifat yang sangat baik dan harus ditegakkan. Banyak hal dapat
ditemukan yang berkaitan dengan kajian mengenai penafsiran al-qisth di dalam
al-Qur‟an seperti objek-objek al-qisth yaitu al-qisth adalah sifat orang yang
berilmu, al-qisth terhadap anak yatim, al-qisth dalam jual-beli, al-qisth dalam
melerai pertikaian, al-qisth terhadap orang-orang non muslim.
B. Saran
1. Penelitian yang menggali nilai-nilai dalam al-Qur‟an dan pembahasan
yang berisi pelajaran-pelajaran mengenai akhlak dan sifat-sifat manusia,
seperti al-qisth harus selalu digalakkan agar setiap individu semakin
mengerti dan memahami tentang arti kebaikan yang bersumber dari al-
Qur‟an.
2. Sifat al-qisth (adil) selalu bersifat positif. Oleh karena itu setiap individu
diharapkan benar-benar memahami sifat al-qisth dan selalu
menegakkannya dimanapun dan kepada siapapun. Sehingga tidak ada
ketimpangan dalam menegakkan keadilan dan berat sebelah.
3. Kepada instansi pemerintah dan lembaga-lembaga baik swasta dan negeri
yang terkait, sebisa mungkin memberikan peluang sebanyak-banyaknya
secara terbuka dan dukungan seluas-luasnya berupa beasiswa kepada para
mahasiswa atau setiap individu yang serius dan konsen terhadap ilmu-ilmu
keislaman agar dapat melaksanakan penelitian yang serupa atau yang
lainnya.
58
DAFTAR PUSTAKA
Al-Adzdī, Abū Dāud bin al-Asy‟ats as-Sijistānī. Sunan Abī Dāud. Jilid I.
Indonesia: Maktabah Risunkur. t.t.
Al-Ālūsī, Abūl Fadhl Syihābuddīn Mahmūd. Rūh Al-Ma‟ānī fī Tafsīr Al-Qur‟an
Al-„Azhīm wa As-Sab‟ Al-Matsānī. Bairūt: Dārul Kutub Al-„Ilmiyah.
1994.
„Araidhah, Kāmil Muhammad Muhammad. Ibn Maskawaih Mazāhib Akhlāqiyah.
Bairūt: Dārul Kutub Al-‟Ilmiyah. t.t.
„Āsyūr, Muhammad at-Thahir Ibn. Tafsīr At-Tahrīr wa At-Tanwīr. t.tp: Al-
Dāruttaunisiyyah. t.t.
Al-Baidhawī, Nāshiruddīn bin Sa‟īd „Abdullah bin „Umar bin Muhammad asy-
Syairāzī. Anwār At-Tanzīl wa Asrār At-Ta‟wīl. Mesir: al-Maktabah at-
Taufiqiyyah. t.t.
Al-Bāqī, Muhammad Fuād „Abd. Al-Mu‟jam Al-Mufahrās li Alfadz Al-Qur‟an Al-
Karīm. Mesir: Dārul Hadīts. 1364.
Cambridge University. Cambridge School Dictionary. New York: Cambridge
University Press. 2008.
Dahlan, Abdul „Azis et. al., (eds). Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid I. Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996.
Daghfaq, Yusuf Abdullah. Berbuat Adil Jalan Menuju Bahagia. Jakarta: Gema
Insani Press. 1992.
Ad-Damasyqī, „Imāduddīn Abī al-Fidā‟ Ismā‟īl bin Katsīr al-Qurasyī. Tafsīr Al-
Qur‟an Al-„Azhīm. Bairut: Al-Maktabah Al-„Ashriyyah. 2000.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
pustaka. 2005.
Elias, Elias A. dan Edwar E. Elias. Qāmūs Al-Ilyās Al-„Ashrī Injilīzī-„Arabī.
Bairūt: Dārul Jīl. 1974.
Fakhruddīn, Muhammad ar-Rāzī. Tafsīr Al-Fakhr Ar-Rāzī: At-Tafsīr Al-Kabīr wa
Mafātih Al-Ghaib. Bairut: Dārul Fikr. 1985.
--------------. Tafsīr Al-Fakhr Ar-Rāzī: Al-Musytahir bi At-Tafsīr Al-Kabīr wa
Mafātīh Al-Ghaib. Bairūt: Dārul Fikr. 1981.
Al-Fayyūmī, Ahmad bin Muhammad bin „Alī al-Muqrī. Al-Mishbah Al-Munīr.
Bairūt: Dārul Kutub al-„Ilmiyah. 1994.
59
Al-Ghazalī, Abū Hāmid. Al-Maqshād fī Syarh Asma' Allah Al-Husna. Bairūt: Dār
al-Kutub al-„Ilmiyah. t.t
Hidayat, Komaruddin dan Azyumardi Azra. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education). 6 cet. Jakarta: Kencana. 2008.
Al-Hisyam, Firdaus dan Rudy Hariyono. Kamus Lengkap 3 Bahasa: Arab
Indonesia Inggris. Surabaya: Gitamedia Press. 2006.
Al-Jazirī, „Abdurrahmān. Al-Fiqh „ala Al-Madzāhib Al-Arba‟ah. Mesir: Dārul
Hadīts. 2004.
Al-Khatib, Muhammad „Ajaj. Ushūl Al-Hadīts. Penerjemah H.M Nur Ahmad
Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007.
Al-Maraghī, Ahmad Mushthafâ. Tafsīr Al-Marāghī. Kairo: Maktabah Mushthafâ.
1946.
--------------. Tafsīr Al-Maraghī. Mesir: t.pn. 1969.
Muhammad, Abu al-Qāsim al-Husain bin (ar-Rāgib al-Ashfahānī). Al-Mufradāt fī
Gharīb Al-Qur‟an. Maktabah Nazār Mushthafâ al-Bāz. t.pn. t.t.
Mukrim, Abu al-Fadhl Jamāluddīn Muhammad. Lisānul „Arab. Bairut: Dār
Shādar. t.t.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Qāmūs „Arabī-Indūnisī. Yogyakarta:
Pustaka Progresif. 1984.
Mūsa, Muhammad Yusūf. Falsafah Al-Akhlāqiyah fī Al-Islām. Mesir: Muassasah
Al-Khānajī. 1963.
An-Nasā‟ī, Abū „Abdurrahmān bin Syu‟aib bin „Alī. Sunan An-Nasā‟ī Al-
Musamma Al-Mujtaba. Bairūt: Dārul Hadīts. 1889.
An-Nūr, Muhammad Ahmadī Abū. Al-Muntakhab fī Tafsīr Al-Qur‟an Al-Karīm.
Mesir: Lajnah Al-Qur‟an wa Al-Sunnah. 1986.
Putra, Medhy. “Keterbukaan dan Keadilan dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara Sebagai Upaya Menghadapi Konflik Di Berbagai Wilayah
NKRI.” Artikel diakses pada 27 November 2014 dari
http://Medhyputra.wordpress.com/2011/06/16/Keterbukaan-dan-
Keadilan-dalam-Kehidupan-Berbangsa-dan-Bernegara-Sebagai-Upaya-
Menghadapi-Konflik-Di-Berbagai-Wilayah-nkri/
Al-Qaththān, Mannā‟. Mabāhits fī ‟Ulūm Al-Qur‟an. Riyādh: Dārurrasyīd. t.t
Al-Qurthūbī, Syamsuddin. Al-Jāmi‟ li Ahkām Al-Qur‟an. Riyādh: Dār ‟Ālim al-
Kutub. 2003.
Salim, Peter, M.A. Adavced English-Indonesia Dictionar. Jakarta: Modern
English Press. 1991.
60
Salim, Peter dan Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta:
Modern Englidh Press. 2002.
Sunarti, Tri. Sosiologi. Sukoharjo: Graha Multi Grafiko. 2007.
As-Suyūthī, „Abdurrahmān Jaluddīn. Ad-Dur Al-Mantsūr fī Tafsīr Al-Ma‟tsūr.
Bairūt: Dārul Fikr. 2009.
Asy-Sya‟rāwī, Muhammad Mutawallī. Tafsīr Asy-Sya‟rāwī. Jilid 4. T.tp.: Dar at-
Tafiqiyyah li at-Turats. t.t.
As-Syaukanī, Muhammad bin „Alī bin Muhammad. Fathul Qadīr Al-Jāmi‟ baina
Fannai Ar-Riwāyah wa Ad-Dirāyah min ‟Ilm At-Tafsīr. Bairūt: Dārul
Ma‟rifah. 1997.
Tim Forum Karya Ilmiah RADEN. Al-Qur‟an Kita Studi Ilmu Sejarah dan Tafsir
Kalamullah. Kediri: Lirboyo Press. 2011.
At-Thabarī, Abū Ja‟far Muhammad bin Jarīr. Jāmi‟ Al-Bayān fī Ta‟wīl Al-
Qur‟an. Jilid 3. Mesir: Al-Maktabah Al-Taufiqiyyah. 2004.
--------------. Jāmi‟ Al-Bayān fī Ta‟wīl Al-Qur‟an. Bairūr: Dārul Fikr. 1978.
At-Thabāthabāī‟, Muhammad Husain. Al-Mīzān fī Tafsīr Al-Qur‟an. Bairut:
Muassasah Al-A‟la. 1983.
Umar, Nasaruddin, et. al, (eds). Ensiklopedia Al-Qur‟an Kajian Kosakata.
Jakarta: Lentera Hati. 2007.
Wahyuni, Niniek Sri dan Yusniati. Manusia dan Masyarakat. Jakarta: Ganeca
Exact. 2004
Az-Zabidī, Muhammad Murtadha bin Muhammad al-Husainī. Tāj Al-„Ārūs min
Jawir Al- Qāmūs. Bairūt: Dārul Kutub al-„Ilmiyah. 2007.
Zakariyā, Abū al-Husain Ahmad bin Fāris bin. Mu‟jam Maqāyis Al-Lughah. T.tp:
Dārul Fikr. t.t.
Az-Zamakhsyarī, Mahmūd bin ‟Umar bin Muhammad. Tafsīr Al-Kasysyā „an
Haqāiq Ghawāmidh At-Ta‟wīl wa ‟Uyūn Al-Aqāwīl fī Wujūh At-Ta‟wīl.
Bairūt: Dārul Kutub Al-‟Ilmiyah. 2009.
Top Related