2014
Di susun oleh:
Tim Kajian Hukum Pembangunan,
Pengoperasian, dan Dekomisioning
Reaktor Daya Non Komersial
Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian, dan Dekomisioning Reaktor Daya Non Komersial
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas izinNya buku dengan
judul “Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning Reaktor Daya Non
Komersial” berhasil disusun sesuai dengan waktu yang direncanakan. Meskipun dengan
waktu yang terbatas, berkat dedikasi dan upaya yang sungguh-sungguh dari seluruh
anggota Tim Penyusun, yang beranggotakan wakil dari berbagai unit kerja di BATAN,
akhirnya buku ini berhasil diselesaikan tepat waktu.
Pada dasarnya aspek peraturan perundang-undangan terkait dengan rencana
pembangunan Reaktor Daya Non Komersial (RDNK) cukup luas, oleh karena itu perlu
memperhatikan berbagai peraturan perundang-undangan, yang tidak hanya meliputi aspek
hukum nuklir, tetapi juga aspek hukum lain seperti lingkungan hidup, konstruksi, termasuk
peraturan daerah. Oleh karena itu, kajian hukum pembangunan, pengoperasian dan
dekomisioning RDNK memerlukan kecermatan khusus dalam menganalisis berbagai aspek
hukum terkait dimaksud. Hal ini penting untuk memberikan dasar argumentasi yang kuat
dalam pengambilan keputusan pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK.
Tim Penyusun sangat dinamis dalam mendiskusikan materi kajian mengingat RDNK
adalah baru pertama kali akan dibangun di Indonesia. Selama ini reaktor nuklir yang
beroperasi di Indonesia adalah reaktor untuk tujuan penelitian, pengujian bahan dan
produksi radioisotop. Diskusi tidak hanya berkembang terkait dengan aspek hukum tetapi
juga aspek yang terkait dengan penerimaan masyarakat.
Tim Penyusun menyampaikan terima kasih atas kepercayaan pimpinan BATAN untuk
kami melaksanakan tugas ini. Hasil kajian hukum ini diharapkan akan menjadi sumbangsih
dalam mendukung program pembangunan RDNK di Indonesia. Tim Penyusun terbuka untuk
saran dan masukan dari berbagai pihak untuk penyempurnaan hasil kajian.
Jakarta, Desember 2014
Ketua Tim,
Estopet MD Sormin
iii
KATA SAMBUTAN
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Buku Kajian Hukum Pembangunan,
Pengoperasian dan Dekomisioning Reaktor Daya Nonkomersial (RDNK) sudah berhasil
diselesaikan oleh Tim Penyusun Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan
Dekomisioning RDNK yang sudah bekerja sejak pertengahan tahun 2014.
Program pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia sudah
dimulai sejak tahun 1972. Pada waktu itu, pemerintah menyadari bahwa bahan bakar fosil
seperti minyak dan batubara yang menjadi andalan utama dalam pembangkitan listrik di
Indonesia dipastikan akan habis. Oleh karena itu, harus diupayakan untuk menggunakan
sumber energi lain sebagai alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan
bakar fosil. Tenaga nuklir bisa dipertimbangkan mengingat di negara lain sumber energi
tersebut sudah sangat efektif digunakan dan terbukti bisa menyediakan tenaga listrik secara
stabil, murah dan ramah lingkungan.
Dalam perkembangannya, program PLTN di Indonesia mengalami kondisi fluktuatif.
Pada tahun 1985 – 1996, program PLTN dilaksanakan secara intensif hingga menghasilkan
dokumen kajian untuk menetapkan tapak PLTN yang layak di Jepara. Dengan
mempertimbangkan krisis listrik yang sudah mulai dirasakan, maka pemerintah menerbitkan
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Perpres tersebut menyatakan bahwa untuk mengurangi ketergantungan pembangkitan listrik
dari bahan bakar fosil perlu digunakan energi baru dan terbarukan, seperti angin, air, surya,
panas bumi, biodiesel dan nuklir. Perpres tersebut kemudian diperkuat dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(UU RPJPN) yang mengamanatkan nuklir dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik
antara tahun 2015 – 2019. Namun demikian, sampai saat ini amanat UU RPJPN dan
Perpres tersebut belum dapat direalisasikan, walaupun dalam perjalanannya Perpres No 5
Tahun 2006 telah digantikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang
Kebijakan Energi Nasional, yang pada dasarnya tetap mendukung pembangunan PLTN.
Oleh karena itu, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sesuai dengan kewenangan yang
ada ingin mewujudkan program nasional tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, BATAN
memiliki kewenangan untuk melaksanakan pembangunan, pengoperasian dan
dekomisioning RDNK. Kita harapkan RDNK dapat menjadi pembelajaran dan meyakinkan
semua pihak bahwa PLTN perlu dibangun di Indonesia.
iv
Saya memberikan apresiasi kepada Tim Penyusun yang telah berhasil menyelesaikan
tugas dalam penyusunan Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning
RDNK, dan berharap kepada semua pihak untuk dapat menggunakan sebaik mungkin hasil
kajian ini, terutama kepada Tim Teknis yang terkait dengan rencana Pembangunan.
Pengoperasian dan Dekomisioning RDNK.
Jakarta, Desember 2014
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional,
Djarot Sulistio Wisnubroto
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………………...
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………
KATA SAMBUTAN …………………………………………………………………………..
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………….…….………………………………...
1.2 Pembangunan Reaktor Daya Non Komersial ………...…………………...
1.3 Identifikasi Masalah ……………………………………………………….…
1.4 Tujuan Kegiatan ………………………………………………………….…..
1.5 Manfaat Kegiatan ……………………………………………….……………
1.6 Metode …………………………………………………………….…………..
1.7 Sistematika Penulisan ………………………………………….……………
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM KETENAGANUKLIRAN
2.1 Hukum Ketenaganukliran Nasional ………..……………………………...
2.1.1 Badan Pelaksana …………………………………………….……...
2.1.2 Badan Pengawas ………………………………………….………...
2.1.3 Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir ………………………….….
2.1.4 Jaminan Perlindungan Nuklir …………………………………….…
2.2 Hukum Ketenaganukliran Internasional …………………………………….
2.2.1 Keselamatan Nuklir (Nuclear Safety) ……………………………….
2.2.2 Keamanan Nuklir (Nuclear Security) …………..………….……….
2.2.3 Pengawasan Nuklir (Nuclear Safeguard) ………………………….
2.2.4 Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir (Nuclear Liability) ………..
BAB III KAJIAN HUKUM DAN PERIZINAN REAKTOR DAYA NON KOMERSIAL
3.1 Kajian Hukum RDNK …………….……………………………...……………
3.1.1 Latar Belakang ………………….…………………………………….
3.1.2 Sumber Hukum Pembangunan, Pengoperasian,
dan Dekomisioning RDNK …………………………………………..
3.2 Perizinan RDNK ...……………………………………………….…..………..
3.2.1 Izin Pembangunan …………………..……………….………………
i
ii
iii
v
1
3
4
5
5
5
5
6
7
10
11
12
16
17
21
22
24
27
27
28
30
33
vi
3.2.2 Izin Pengoperasian ………………………………………….……….
3.2.3 Izin Dekomisioning ……..…………………………….……….…......
3.3 Izin Lingkungan ……………………………………………….…………..….
3.3.1 Umum ………………..……………………………………………….
3.3.2 Penyusunan Dokumen Amdal …………………..…………………
3.3.3 Penilaian Amdal ………..……………………………………………
3.3.4 Permohonan dan Penerbitan Izin Lingkungan ……………………
3.4 Izin Mendirikan Bangunan Fungsi Khusus …………………………..…….
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………
4.2 Saran ………………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
34
35
38
38
40
43
45
46
50
50
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semangat ingin menguasai dan memanfaatkan teknologi nuklir untuk maksud damai
sudah dimulai pada tahun 1958 dengan dibentuknya Lembaga Tenaga Atom (LTA).
Periode selanjutnya mulai dibangun fasilitas nuklir di berbagai kawasan yaitu Kawasan
Pasar Jumat, Bandung, Yogyakarta dan Serpong. Peristiwa paling monumental dalam
program nuklir ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan reaktor riset
Bandung pada tanggal 9 April 1961, oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir.
Soekarno dalam pidato sambutannya menyampaikan bahwa saat sekarang kita pasti
masuk pada “the era of atomic energy”. Dengan demikian founding father kita telah
mempunyai visi yang jauh ke depan mengenai penggunaan energi nuklir untuk
kesejahteraan masyarakat dengan harapan agar Indonesia diakui oleh dunia
internasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada tahun 1965, reaktor atom Bandung selesai dibangun dan dioperasikan. Pada saat
pidato peresmiannya dengan berapi-api, Presdien RI Ir. Soekarno mengumumkan
kepada dunia bahwa Indonesia sudah memasuki era nuklir dan akan menguasainya
untuk maksud damai setara dengan bangsa lain di dunia. Selanjutnya dalam rangka
program pengembangan pemanfaatan energi nuklir, khususnya untuk tujuan
pembangkit energi, Indonesia sudah sejak tahun 1972 telah membentuk Komisi
Persiapan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (KP2PLTN). Tugas Komisi
adalah mencari lokasi yang terbaik dan layak untuk pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir (PLTN). Melalui serangkaian seminar yang melibatkan berbagai
institusi/lembaga dan perguruan tinggi akhirnya ditentukan beberapa lokasi yang
memungkinkan untuk dapat dibangun PLTN, yaitu di sepanjang pantai utara Pulau
Jawa.
Pada tahun 1991-1996 BATAN bekerjasama dengan Newjec. Inc. Jepang melakukan
Studi Tapak dan Studi Kelayakan (STSK) untuk menetapkan lokasi yang memenuhi
persyaratan yang meliputi faktor kegempaan, kegunungapian, meteorologi, demografi,
oceanografi, teknologi, keselamatan, aspek ekonomi, sosial dan budaya. Hasil studi
menyimpulkan bahwa Ujung Lemah Abang, Ujung Grenggengan dan Ujung Watu layak
2
dibangun PLTN pertama di Indonesia. Ketiga lokasi tersebut berada di wilayah
Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Kebutuhan energi nasional terus tumbuh mengimbangi pertumbuhan ekonomi,
sementara cadangan energi semakin menipis. Pada tahun 2001-2002 dilaksanakan
studi Comprehensive Assessment of Different Energy Sources (CADES) yang
melibatkan lembaga dan kementerian terkait yang disupervisi oleh International Atomic
Energy Agency (IAEA). Hasil studi ini disampaikan kepada Presiden RI oleh Direktur
Jenderal IAEA Mohamed ElBaradei. Berdasarkan hasil studi ini, listrik dari nuklir sudah
menjadi bagian dari bauran energi nasional pada tahun 2016. Pada kenyataannya,
sampai dengan saat ini, pembangunan PLTN belum terwujud.
Disisi lain, BATAN sesuai kewenangannya terus melakukan kegiatan kajian kelayakan
PLTN di daerah lain, yaitu Provinsi Banten dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Kegiatan STSK untuk kedua provinsi tersebut dilakukan sebagai alternatif lokasi di luar
tapak Jepara. Dengan adanya dukungan dari Pemerintah Daerah, maka kegiatan kajian
lebih difokuskan ke Provinsi Bangka Belitung. Kajian kelayakan dilakukan selama 3
(tiga) tahun berakhir pada tahun 2013 dengan kesimpulan bahwa dua lokasi, yaitu di
Kabupaten Bangka Barat dan Bangka Selatan layak untuk dibangun 10 (sepuluh) unit
PLTN dengan kapasitas masing-masing 1000 MWe, sehingga total kapasitas di kedua
lokasi tersebut kira-kira 10.000 MWe.
Sejalan dengan perkembangan masalah kebutuhan energi, maka energi nuklir
merupakan sumber energi alternatif yang potensial untuk dimanfaatkan bersama energi
lain dalam bauran energi yang optimum dan dapat meningkatkan ketahanan pasokan
energi nasional. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menyebutkan bahwa dalam kurun
waktu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke-3, yakni tahun
2015 – 2019 energi nuklir dimanfaatkan untuk pembangkitan listrik dengan
mempertimbangkan faktor keselamatan yang ketat. Kemudian dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 dinyatakan bahwa adanya teknologi pengembangan
energi nuklir untuk tujuan damai, pemenuhan kebutuhan energi yang semakin
meningkat, penyediaan energi nasional dalam skala besar, mengurangi emisi karbon,
serta adanya kepentingan nasional yang mendesak maka pada dasarnya energi nuklir
dapat dimanfaatkan.
3
Pemanfaatan energi nuklir didasarkan pada komitmen untuk kepentingan damai,
dengan cara yang aman, selamat, dan efisien. Komitmen ini memerlukan infrastruktur
nasional yang berkelanjutan. Salah satu bukti untuk menjamin pemanfaatan energi
nuklir secara aman dan selamat adalah adanya ketaatan Indonesia mengikuti instrumen
hukum internasional, standar keselamatan nuklir yang diterima dunia internasional,
petunjuk keamanan dan persyaratan safeguard.
Penyediaan infrastruktur yang sesuai untuk mendukung keberhasilan pembangunan
PLTN secara aman, selamat, damai dan efisien merupakan hal yang sangat penting.
Berbeda dengan pembangkit listrik lainnya, penyiapan infrastruktur pembangunannya
lebih memerlukan kajian mendalam dan komprehensif terkait dengan aspek
keselamatan. Menurut IAEA, infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung
implementasi PLTN meliputi cakupan yang luas, baik aspek infrastruktur lunak (soft
infrastructures) maupun aspek infrastruktur keras (hard infrastructure).
Tahun 2009, Indonesia secara komprehensif telah melakukan swa-evaluasi kesiapan
infrastruktur pembangunan PLTN fase 1, yakni fase evaluasi kesiapan infrastruktur
untuk menuju penetapan proyek pembangunan PLTN. Evaluasi ini mengacu pada
panduan IAEA tentang evaluasi status pengembangan infrastruktur PLTN secara
nasional yang terdiri dari 19 aspek. Hasil evaluasi IAEA melalui Integrated Nuclear
Infrastructure Review Mission (INIR Mission) menyebutkan bahwa Indonesia telah
melakukan persiapan yang luas pada sebagian besar aspek infrastruktur yang
memungkinkan untuk lebih mempertimbangkan pemanfaatan energi nuklir, dan dapat
melangkah mempersiapkan untuk fase 2, yakni fase persiapan pelaksanaan konstruksi.
1.2 Pembangunan Reaktor Daya Non Komersial
Mengacu pada berbagai upaya nasional dalam penyediaan energi listrik dengan
memanfaatkan potensi sumber yang ada termasuk Energi Baru dan Terbarukan (EBT)
yang di dalamnya termasuk energi nuklir maka BATAN dengan dukungan Kementerian
PPN/Bappenas pembangunan Reaktor Daya Non Komersial (RDNK) yang diharapkan
dapat menjadi pintu gerbang memasuki era PLTN, dan meyakinkan masyarakat bahwa
energi nuklir siap untuk digunakan dengan aman dan selamat dalam mengatasi
masalah tersebut. Seperti diketahui bahwa sampai saat ini pemerintah belum juga
mencanangkan kapan dimulainya pembangunan PLTN meskipun hasil studi sudah
menghasilkan rekomendasi ke arah tersebut. Waktu yang diperlukan untuk melakukan
4
studi, persiapan tender, menyiapkan dokumen perizinan, mulai dari izin pembangunan
(izin tapak dan izin konstruksi) dan izin pengoperasian (izin komisioning dan izin
operasi) serta izin dekomisioning yang cukup panjang diyakini tidak akan
memungkinkan target waktu sesuai dengan RPJPN.
Untuk dapat memenuhi amanah RPJPN perlu dilakukan terobosan, diantaranya adalah
dengan membangun reaktor nuklir untuk pembangkit listrik dengan kategori
nonkomersial yang masih masuk dalam kewenangan BATAN. Berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997
tentang Ketenaganukliran (selanjutnya disebut UUK), BATAN dapat melakukan
pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning RDNK. Untuk melaksanakan amanat
Undang-Undang tersebut dan dalam rangka peningkatan kapasitas Sumber Daya
Manusia (SDM) dalam bidang energi nuklir, BATAN mempertimbangkan untuk
membangun dan mengoperasikan RDNK. RDNK dalam pengembangannya ke depan,
tidak hanya menghasilkan listrik tetapi juga dapat digunakan untuk produksi hidrogen,
water desalination, coal liquafication, dan lain-lain.
Tahapan awal dari implementasi pembangunan RDNK ini sedang dilaksanakan, yakni
tahap pra-proyek. Pada tahap pra-proyek ini dilakukan analisis dan manfaat dari
pembangunannya, melaksanakan persiapan-persiapan untuk menuju implementasi
proyek seperti penyusunan dokumen yang diperlukan, seperti dokumen pemilihan
teknologi, dokumen kelayakan dan manfaatnya dan dokumen infrastruktur lain yang
diperlukan misalnya dokumen laporan evaluasi tapak dan aspek manajemennya.
Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan
Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir, untuk membangun RDNK diperlukan
beberapa perizinan.
Dengan mendasarkan pada kondisi sebagaimana yang telah diuraikan di atas dan
untuk memperkuat dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan pembangunan
RDNK maka diperlukan adanya kajian hukum yang terkait dengan Pembangunan,
Pengoperasian dan Dekomisioning RDNK.
1.3 Identifikasi Masalah
Terkait dengan Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning
RDNK perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
5
1. Dasar Hukum kewenangan yang dimiliki BATAN sebagai Badan Pelaksana.
2. Perizinan yang harus dipenuhi (keterlibatan stakeholders): Badan Pengawas
Tenaga Nuklir (BAPETEN), Kementerian Lingkungan Hidup (LH), Kementerian
Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
1.4 Tujuan Kegiatan
1. Memberikan masukan kepada pimpinan BATAN.
2. Memberikan pemahaman kepada semua pihak tentang dasar hukum yang
dijadikan acuan dalam pelaksanaan pembangunan RDNK.
1.5 Manfaat Kegiatan
1. Menjamin kepastian hukum terhadap pelaksanaan pembangunan RDNK.
2. Mengantisipasi adanya permasalahan hukum yang mungkin timbul.
1.6 Metode
1. Melakukan kajian referensi yang meliputi kajian peraturan perundang-undangan,
dokumen hasil studi pengembangan nuklir untuk energi, dan sumber lainnya.
2. Menerima masukan dari berbagai nara sumber.
1.7 Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran utuh tentang Kajian Hukum Pembangunan,
Pengoperasian dan Dekomisioning RDNK, hasil kajian disusun dengan Sistematika
dengan struktur sebagai berikut: Pendahuluan, Tinjauan Umum Hukum
Ketenaganukliran, Kajian Hukum dan Perizinan Reaktor Daya Non Komersial, Penutup,
Lampiran-Lampiran, dan Daftar Pustaka.
6
BAB II
TINJAUAN UMUM HUKUM KETENAGANUKLIRAN
2.1 Hukum Ketenaganukliran Nasional
Penelitian, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)
nuklir di berbagai bidang kehidupan merupakan persoalan yang mutlak dilakukan dalam
usaha meningkatkan kemajuan negara dan kesejahteraan masyarakat. Penelitian,
pengembangan dan pemanfaatan tenaga nuklir ditujukan kepada kesehatan,
keselamatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk itu, Iptek nuklir mempunyai arti
yang penting sebagai unsur bagi pembangunan dan kemajuan dalam bidang
pendidikan, penelitian dan pengembangan, pangan, kesehatan, energi, industri, sumber
daya alam dan lingkungan.
Dalam kerangka perlindungan terhadap kegiatan penelitian, pengembangan dan
pemanfaatan Iptek nuklir diperlukan adanya payung hukum nasional ketenaganukliran
yang menjamin pemanfaatan tenaga nuklir di segala bidang kehidupan dan mengawasi
pemanfaatannya secara ketat untuk keselamatan dan kesehatan masyarakat, pekerja
dan lingkungan hidup.
Hukum nasional tentang ketenaganukliran merupakan perwujudan cita-cita negara
dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial menuju masyarakat adil dan makmur. Untuk itu negara perlu
mengatur pemanfaatan tenaga nuklir dalam sistem perundang-undangan.
Hukum Ketenaganukliran Nasional dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Tenaga Atom. Setelah
berlaku lebih dari 32 (tiga puluh dua) tahun Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, misalnya wewenang
pelaksanaan dan pengawasan atas penelitian dan pemanfaatan tenaga nuklir yang
diberikan dalam satu badan sehingga fungsi pengawasan tidak optimal. Selain itu,
meskipun bahan nuklir sudah dipasarkan secara bebas dipasaran internasional, maka
agar tidak terjadi penyimpangan terhadap pemanfaatan bahan nuklir perlu dilakukan
pengawasan secara ketat oleh pemerintah, oleh karena itu bahan nuklir harus dimiliki
7
dan dikuasai negara. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pada tanggal 10 April
1997 sebagai ganti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964 telah ditetapkan dan
diundangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (UUK).
UUK ini perupakan payung hukum kegiatan yang terkait dengan pemanfatan tenaga
nuklir dan sekaligus sebagai rujukan peraturan dibawahnya dalam kerangka
pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia.
2.1.1 Badan Pelaksana
Dalam UUK, pemanfaatan tenaga nuklir dilaksanakan oleh Badan Pelaksana. Badan
Pelaksana yang dimaksud UUK adalah lembaga pemerintah yang berada dan
bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Berdasarkan tugas yang diembannya
yaitu melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir, maka BATAN adalah Badan
Pelaksana sebagaimana yang dimaksud dalam UUK. Kedudukan BATAN sebagai
Badan Pelaksana semakin dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun
2013 tentang Badan Tenaga Nuklr Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir.
2.1.1.1 Pemanfaatan dan Pengusahaan Tenaga Nuklir
Salah satu tugas Badan Pelaksana dalam upaya melaksanakan tugas pemanfaatan
tenaga nuklir adalah melakukan penelitian dan pengembangan tenaga nuklir dalam
rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir untuk keselamatan,
keamanan, ketenteraman, dan kesejahteraan rakyat. Penelitian dan
pengembangan tenaga nuklir dilakukan dalam kerangka menjamin keselamatan
masyarakat dan lingkungan dan untuk mengurangi dampak negatif pemanfaatan
tenaga nuklir. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh
Badan Pelaksana dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan instansi dan
badan lain.
Badan Pelaksana selain melakukan penelitian dan pengembangan tenaga nuklir
dalam kerangka pemanfaatan tenaga nuklir juga memiliki tugas pengusahaan.
Pemahaman pengusahaan dalam UUK ini pada umumnya adalah kegiatan usaha
yang bersifat komersial. Di dalam pengusahaan ini selain Badan Usaha Milik
Negara, pihak lain juga diberi kesempatan yaitu koperasi dan pihak swasta.
Namun, untuk Badan Pelaksana pengertian wewenang pengusahaan ini adalah
bersifat nonkomersial atau nonprofit. Pengusahaan yang dilakukan oleh Badan
Pelaksana dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik
8
Negara (BUMN), koperasi dan/atau badan swasta, yaitu kegiatan yang terkait
dengan:
a. Penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi bahan galian nuklir;
b. Produksi dan/atau pengadaan bahan baku untuk pembuatan bahan bakar nuklir;
c. Produksi bahan bakar nuklir non komersial; dan
d. Produksi radioisotop non komersial.
2.1.1.2 Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning Reaktor Nuklir Non Komersial
Selain tugas pemanfaatan tersebut di atas, Badan Pelaksana juga memiliki tugas
melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan, pengoperasian
dan dekomisioning RDNK yang dalam pelaksanaanya dapat bekerja sama dengan
instansi pemerintah lainnya dan perguruan tinggi negeri. Sumber kewenangan
(dasar hukum) bagi badan pelaksana dalam rangka pembangunan, pengoperasian
dan dekomisioning RDNK diatur dalam UUK dan Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir.
Ketentuan kedua peraturan perundang-undangan tersebut tercantum dalam pasal-
pasal sebagai berikut:
a. Ketentuan Pasal 13 ayat (1) UUK, menyatakan sebagai berikut:
Pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir nonkomersial
dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
b. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 Perizinan Instalasi
Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir, sebagai berikut:
- Pasal 1 angka 29, menyatakan sebagai berikut:
Badan Tenaga Nuklir Nasional yang selanjutnya disebut BATAN adalah
badan pelaksana sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
- Pasal 3 ayat (1), menyatakan sebagai berikut:
Reaktor nuklir meliputi:
a. Reaktor Daya: dan
b. Reaktor Nondaya
- Pasal 3 ayat (2), menyatakan sebagai berikut:
Reaktor Daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. Reaktor Daya Komersial; dan
b. Reaktor Daya Non komersial.
9
- Pasal 5 ayat (1), menyatakan sebagai berikut:
Pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor daya
nonkomersial atau reaktor nondaya nonkomersial dilaksanakan oleh
BATAN.
Untuk pengusahaan yang bersifat komersial dalam kegiatan produksi bahan bakar
nuklir, produksi radioisotop, pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning
reaktor nuklir komersial berupa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)
dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta.
Pembangunan PLTN ditetapkan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagalistrikan setelah
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Konsultasi
dilakukan dalam kerangka menyerap dan memperhatikan aspirasi yang
berkembang di masyarakat dalam pemanfaatan tenaga nuklir, khususnya apabila
pembangunan PLTN sebelum pengambilan keputusan.
2.1.1.3 Pengelolaan Limbah Radioaktif
Tugas selanjutnya yang harus dilakukan oleh Badan Pelaksana yang dalam
pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan atau menunjuk Badan Usaha Milik
Negara, koperasi, dan/atau badan swasta adalah pengelolaan limbah radioaktif.
Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan untuk mencegah timbulnya bahaya
radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup. Limbah
radioaktif, seperti limbah-limbah lainnya adalah bahan yang tidak dimanfaatkan lagi.
Mengingat limbah radioaktif tersebut mengandung potensi bahaya radiasi oleh
karenanya perlu diatur dan diawasi secara ketat.
Berdasarkan tingkat bahaya yang ditimbulkan, limbah radioaktif diklasifikasikan
dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah, tingkat sedang dan tingkat tinggi.
Penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang wajib
mengumpulkan, mengelompokkan, atau mengolah dan menyimpan sementara
limbah tersebut sebelum diserahkan kepada Badan Pelaksana untuk diproses
selanjutnya. Terhadap pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi karena limbah
tersebut mempunyai potensi bahaya radiasi yang tinggi, maka penghasil limbah
radioaktif tingkat tinggi wajib menyimpan sementara limbah tersebut dalam waktu
sekurang-kurangnya selama masa operasi reaktor nuklir, sedangkan penyimpanan
lestarinya menjadi tanggung jawab Badan Pelaksana. Untuk itu Badan Pelaksana
10
berkewajiban menyediakan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat
tinggi. Penentuan tempat penyimpanan lestari ditetapkan oleh Pemerintah setelah
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pengangkutan dan penyimpanan limbah radioaktif wajib memperhatikan
keselamatan pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Limbah
Radioaktif, BATAN mempunyai kewenangan/otorisasi atas pengelolaan limbah
nuklir, baik yang dihasilkan oleh BATAN sendiri maupun oleh Penghasil Limbah
Radioaktif lain yang telah menyerahkan pengelolaan limbahnya kepada BATAN.
2.1.2 Badan Pengawas
Pemanfaatan tenaga nuklir harus mendapat pengawasan yang cermat agar selalu
mengikuti segala ketentuan di bidang keselamatan tenaga nuklir sehingga
pemanfaatan tenaga nuklir tersebut tidak menimbulkan bahaya radiasi terhadap
pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup. Adapun pengertian lingkungan hidup
adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, serta keadaan dan makhluk
hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Pengawasan tersebut dilaksanakan dengan cara mengeluarkan peraturan,
menyelenggarakan perizinan, dan melakukan inspeksi. Perizinan itu juga berlaku
untuk petugas yang mengoperasikan reaktor nuklir dan petugas tertentu yang
bekerja di instalasi nuklir lainnya serta di instalasi yang memanfaatkan sumber
radiasi tersebut.
Untuk melaksanakan fungsi pengawasan tersebut, pemerintah membentuk badan
pengawas yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden, yang bertugas melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan
pemanfaatan tenaga nuklir. Untuk melaksanakan tugas pengawasan, Badan
Pengawas menyelenggarakan peraturan, perizinan, dan inspeksi. Badan Pengawas
sebagaimana dimaksud UUK adalah Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN),
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir.
Pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir ditujukan untuk :
a. terjaminnya kesejahteraan, keamanan, dan ketenteraman masyarakat;
b. menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja dan anggota masyarakat serta
11
perlindungan terhadap lingkungan hidup;
c. memelihara tertib hukum dalam pelaksanaan pemanfaatan tenaga nuklir;
d. meningkatkan kesadaran hukum pengguna tenaga nuklir untuk menimbulkan
budaya keselamatan dibidang nuklir;
e. mencegah terjadinya perubahan tujuan pemanfaatan bahan nuklir;
f. menjamin terpeliharanya dan ditingkatkannya disiplin petugas dalam pelaksanaan
pemanfaatan tenaga nuklir.
Kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memperhatikan
keselamatan, keamanan, dan ketenteraman, kesehatan pekerja dan anggota
masyarakat, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup. Setiap petugas yang
mengoperasikan reaktor nuklir dan petugas tertentu di dalam instalasi nuklir lainnya
dan di dalam instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi pengion wajib memiliki
izin. Inspeksi terhadap instalasi nuklir dan instalasi yang memanfaatkan radiasi
pengion dilaksanakan oleh Badan Pengawas dalam rangka pengawasan terhadap
ditaatinya syarat-syarat dalam perizinan dan peraturan perundang-undangan di
bidang keselamatan nuklir. Inspeksi dilaksanakan oleh inspektur yang diangkat dan
diberhentikan oleh Badan Pengawas. Inspeksi dilaksanakan secara berkala dan
sewaktu-waktu. Badan Pengawas melakukan pembinaan berupa bimbingan dan
penyuluhan mengenai pelaksanaan upaya yang menyangkut keselamatan dan
kesehatan pekerja, dan anggota masyararakat serta perlindungan terhadap
lingkungan hidup.
2.1.3 Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 UUK Pemerintah membentuk Majelis
Pertimbangan Tenapa Nuklir (MPTN), dasar pertimbangan dari pembentukan MPTN
dalam UUK adalah mengingat ketenaganukliran menyangkut kehidupan dan
keselamatan orang banyak maka peran masyarakat perlu ditingkatkan dan
diwujudkan dalam bentuk suatu majelis pertimbangan. Untuk melaksanakan amanat
Pasal 5 UUK, Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2014
tentang Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir.
MPTN adalah lembaga nonstruktural yang independen dan keanggotaannya terdiri
atas para ahli dan tokoh masyarakat. MPTN bertugas memberikan saran dan
pertimbangan kepada Presiden mengenai pemanfaatan tenaga nuklir. Dalam
menjalankan tugasnya MPTN menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
12
a. pengkajian kebijakan pemanfaatan tenaga nuklir;
b. pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan
pemanfaatan tenaga nuklir; dan
c. penyusunan rekomendasi kebijakan pemanfaatan tenaga nuklir.
MPTN mempunyai peran yang sangat besar terkait dengan rencana pembangunan,
pengoperasian dan dekomisioning RDNK, karena MPTN merupakan wadah bagi
masyarakat, sangat memungkinkan terjadi pro kontra terhadap rencana tersebut.
Saat ini Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi tengah mengajukan calon
anggota MPTN kepada Presiden.
2.1.4 Jaminan Perlindungan Nuklir
2.1.4.1 Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir
Mengingat selain manfaat yang begitu besar, pemanfaatan energi nuklir juga dapat
menimbulkan dampak yang besar bagi makluk hidup dan lingkungan, maka
diperlukan adanya pertanggungjawaban (liability) dari operator apabila terjadi
kecelakaan pada reaktor jenis apapun termasuk RDNK yang mengakibatkan
timbulnya kerugian bagi masyarakat maupun lingkungan. Berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam hubungannya dengan
pertanggungjawaban dalam penyelesaian ganti kerugian akibat perbuatan melawan
hukum adalah ketentuan sebagaimana tertera dalam Pasal 1365 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), pada umumnya pertanggungjawaban
didasarkan pada asas kesalahan (liability based on fault). Maknanya adalah pihak
yang bertanggung jawab baru mempunyai kewajiban untuk membayar ganti rugi
setelah terbukti bahwa kerugian yang terjadi disebabkan oleh kesalahannya.
Apabila hal itu diterapkan pada kecelakaan nuklir, pihak yang dirugikan akan
mengalami kesulitan dalam membuktikan adanya kesalahan itu sehingga hal
tersebut akan menyulitkan pihak ketiga sebagai penderita kerugian. Oleh karena
itu, bagi pihak ketiga tersebut perlu diberikan jaminan perlindungan yang lebih pasti
dengan satu sistem tanggung jawab mutlak (strict liability). Asas pembuktian yang
dipakai dalam pertangungjawaban kerugian nuklir dalam UUK menganut “asas
pembuktian terbalik”. Asas tanggung jawab mutlak dan asas pembuktian terbalik
ini telah sejalan dengan ketentuan hukum lingkungan sebagaiman diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
13
Pengusaha instalasi nuklir sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung
bertanggung jawab atas kerugian yang timbul, tanpa adanya pembuktian oleh pihak
ketiga tentang ada atau tidaknya kesalahan pada pengusaha instalasi nuklir.
Pengecualian dari asas tanggung jawab mutlak ini adalah apabila kerugian yang
diakibatkan oleh kecelakaan nuklir itu terjadi akibat langsung dari pertikaian atau
konflik bersenjata internasional atau noninternasional dan bencana alam dengan
tingkat yang luar biasa yang melampaui batas rancangan persyaratan keselamatan
yang telah ditetapkan (force majeur).
Di lain pihak, dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan industri nuklir,
jaminan perlindungan perlu juga diberikan kepada pengusaha instalasi nuklir
sebagai pihak yang bertanggung jawab, yaitu dalam bentuk batas
pertanggungjawaban, baik batas jumlah pembayaran ganti rugi maupun jangka
waktu penuntutan.
Dengan mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga dan pengusaha instalasi
nuklir, maka dipandang perlu menggunakan satu sistem tersendiri bagi
pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang
ditetapkan dalam UUK. Sistem tersebut memberikan perlindungan yang lebih pasti
bagi pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir, tetapi juga tidak menghambat
perkembangan industri nuklir itu sendiri sebagaimana yang telah dikembangkan,
baik di negara maju maupun di negara berkembang.
Prinsip yang dianut dalam sistem tersebut adalah:
a. tanggung jawab mutlak (strict liability);
b. pengusaha instalasi nuklir bertanggung jawab dengan mengecualikan orang lain;
c. batas pertanggungjawaban dalam jumlah ganti rugi dan waktu penuntutan;
d. pengusaha instalasi nuklir diwajibkan mempertanggungkan tanggung jawabnya
dalam bentuk asuransi atau bentuk jaminan keuangan lainnya.
Ruang lingkup ketentuan pertanggungjawaban kerugian nuklir yang disebabkan
oleh kecelakaan nuklir dalam UUK dibatasi hanya pada kerugian yang diderita oleh
pihak ketiga akibat kecelakaan nuklir yang terjadi di instalasi nuklir tertentu atau
selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas, yang
disebabkan oleh kekritisan bahan bakar nuklir tersebut. Kecelakaan nuklir yang
terjadi selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas
14
pada dasarnya menjadi tanggung jawab pengusaha instalasi nuklir pengirim,
kecuali sebelumnya telah diperjanjikan secara tertulis.
Yang dimaksud dengan kerugian nuklir adalah kerugian yang ditimbulkan oleh
radiasi atau gabungan radiasi dengan sifat racun, sifat mudah meledak, atau sifat
bahaya lainnya sebagai akibat kecelakaan nuklir yang timbul dari kekritisan bahan
bakar nuklir. Pihak ketiga adalah orang atau badan yang menderita kerugian nuklir,
tidak termasuk pengusaha instalasi nuklir, dan pekerja instalasi nuklir yang menurut
struktur organisasi berada di bawah pengusaha instalasi nuklir.
Penggantian kerugian nuklir terhadap pihak ketiga dalam UUK adalah penggantian
kerugian yang dialami manusia, seperti kematian, cacat, cedera atau sakit, dan
penggantian kerugian atas biaya yang diperlukan sebagai akibat tindakan preventif,
misalnya tindakan evakuasi yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang di daerah
lokasi instalasi nuklir yang mengalami kecelakaan nuklir. Penggantian kerugian
terhadap kerusakan harta benda harus sesuai dengan nilai kerusakan yang diderita
ditambah dengan biaya rehabilitasinya. Demikian juga, penggantian kerugian
terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan harus sesuai dengan nilai
kerugian kerusakan ditambah dengan besarnya biaya untuk melakukan tindakan
rehabilitasi lingkungan. Kerugian yang bukan disebabkan oleh kekritisan bahan
bakar nuklir tidak termasuk kategori kerugian nuklir.
Pekerja pada instalasi nuklir yang bersangkutan atau yang bekerja pada instalasi
lain yang memanfaatkan radiasi berhak mendapatkan penggantian kerugian sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau
jaminan asuransi kecelakaan kerja lainnya.
Apabila pertanggungjawaban kerugian nuklir melibatkan lebih dari satu pengusaha
instalasi nuklir dan tidak mungkin menentukan secara pasti bagian kerugian nuklir
yang disebabkan oleh tiap-tiap pengusaha instalasi nuklir tersebut, pengusaha
tersebut bertanggung jawab secara bersama-sama (tanggung renteng).
Pertanggungjawaban tiap-tiap pengusaha instalasi nuklir tidak melebihi batas
jumlah pertanggungjawabannya. Apabila dalam suatu lokasi terdapat beberapa
instalasi nuklir yang dikelola oleh satu pengusaha instalasi nuklir, pengusaha
tersebut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian nuklir yang disebabkan oleh
setiap instalasi nuklir.
15
Apabila pengusaha instalasi nuklir setelah melaksanakan tanggung jawabnya dapat
membuktikan bahwa pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir disebabkan oleh
kesengajaan penderita sendiri, pengusaha tersebut dapat dibebaskan dari
tanggung jawabnya untuk membayar seluruh atau sebagian kerugian yang diderita.
Pengusaha instalasi nuklir berhak untuk menuntut kembali ganti rugi yang telah
dibayarkan kepada pihak ketiga yang melakukan kesengajaan.
Batas pertanggungjawaban nuklir diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2009 dan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2012 dengan
pertanggungjawaban paling banyak Rp. 4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah)
untuk setiap kecelakaan nuklir, baik untuk setiap instalasi nuklir maupun untuk
setiap pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas.
Terkait dengan pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning RDNK hal terjadi
kecelakaan nuklir, mengingat RDNK tersebut dimiliki oleh instansi pemerintah
dalam hal ini BATAN, maka terhadap ganti kerugian yang di derita pihak ketiga
ditanggung oleh Pemerintah. Dan untuk pembayaran ganti ruginya dialokasikan
oleh Pemerintah dalam bentuk dana kontinjensi.
2.1.4.2 Asuransi dan Jaminan Keuangan
Pengusaha instalasi nuklir wajib mempertanggungkan pertanggungjawabannya
melalui asuransi atau jaminan keuangan lain. Kewajiban tersebut berlaku juga bagi
pengusaha instalasi nuklir penerima atau pengusaha pengangkutan.
Apabila dalam suatu lokasi terdapat beberapa instalasi nuklir yang dikelola oleh
satu pengusaha instalasi nuklir, pengusaha tersebut wajib mempertanggungkan
pertanggungjawabannya untuk setiap instalasi yang dikelolanya.
Apabila jumlah pertanggungan berkurang karena telah digunakan untuk membayar
kerugian nuklir, pengusaha instalasi nuklir wajib menjaga agar jumlah
pertanggungan tetap sesuai dengan jumlah pertanggungan awal. Apabila perjanjian
pertanggungan telah berakhir atau batal karena suatu sebab lain, pengusaha
instalasi nuklir tersebut wajib segera memperbaharui perjanjian pertanggungannya.
Apabila pengusaha instalasi nuklir belum memperbaharui perjanjian
pertanggungan, maka apabila terjadi kecelakaan nuklir, pengusaha tersebut tetap
bertanggung jawab atas kerugian akibat kecelakaan nuklir.
16
Ketentuan tentang pertanggungan tidak berlaku bagi instansi pemerintah yang
bukan Badan Usaha Milik Negara. Perusahaan asuransi yang menanggung ganti
rugi nuklir yang disebabkan kecelakaan nuklir wajib melakukan pembayaran ganti
rugi paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan pernyataan adanya kecelakaan
nuklir oleh Badan Pengawas. Pernyataan Badan Pengawas wajib diterbitkan
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak terjadinya kecelakaan nuklir.
2.1.4.3 Jangka Waktu Penuntutan
Hak menuntut ganti rugi akibat kecelakaan nuklir kadaluwarsa apabila tidak
diajukan dalam waktu 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak diterbitkan pernyataan
Badan Pengawas. Apabila kerugian nuklir akibat kecelakaan nuklir melibatkan
bahan nuklir yang dicuri, hilang, atau ditelantarkan, maka jangka waktu untuk
menuntut ganti rugi dihitung dari saat terjadinya kecelakaan nuklir dengan
ketentuan jangka waktu itu tidak boleh melebihi 40 (empat puluh) tahun terhitung
sejak bahan nuklir dicuri, hilang, atau ditelantarkan. Hak untuk menuntut ganti rugi
harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun setelah penderita mengetahui
atau patut mengetahui kerugian nuklir yang diderita dan pengusaha instalasi nuklir
yang bertanggung jawab dengan ketentuan jangka waktu tersebut tidak boleh
melebihi jangka waktu yang ditetapkan yaitu 30 (tiga puluh) tahun untuk kecelakaan
nuklir dan 40 (empat puluh) tahun untuk bahan nuklir yang dicuri, hilang atau
ditelantarkan.
2.1.4.4 Yurisdiksi Pengadilan
Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa dan mengadili tuntutan ganti rugi
adalah sebagai berikut :
a. Pengadilan Negeri tempat kecelakaan nuklir terjadi;
b. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam hal terjadi kecelakaan nuklir selama
pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas di luar wilayah
negara Republik Indonesia.
2.2 Hukum Ketenaganukliran Internasional
Hukum Ketenaganukliran adalah norma hukum khusus yang diciptakan untuk mengatur
perilaku orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan
bahan fisi dan radiasi pengion. Hukum ketenaganukliran bertujuan untuk memberikan
kerangka hukum bagi setiap kegiatan yang berkaitan dengan energi nuklir dan radiasi
17
pengion dengan cara yang cukup untuk melindungi masyarakat, harta benda dan
lingkungan.
Salah satu ciri hukum ketenaganukliran adalah dalam proses perumusannya wajib
memperhitungkan segala bentuk kewajiban, rekomendasi, standar dan ketentuan
internasional lainnya. Para penyusun peraturan perundang-undangan harus selalu
memperhatikan berbagai bentuk perjanjian nuklir internasional dan berbagai bentuk
kewajiban internasional di bidang nuklir. Prinsip kerja sama internasional diidentifikasi
sebagai salah satu konsep dasar hukum ketenaganukliran.
Kerangka hukum ketenaganukliran yang efektif bergantung kepada persyaratan yang
ketat dan langkah-langkah penegakan hukum yang tepat untuk memastikan setiap
persyaratan telah dipenuhi dengan benar, pada saat yang bersamaan kerangka hukum
tersebut harus fleksibel dalam mengikuti perkembangan masyarakat dan kemajuan
teknologi. Di sisi lain karena penggunaan energi nuklir yang mungkin tidak terbatas
pada wilayah nasional dan dapat berakibat kepada lintas batas negara membuat
kerangka hukum tersebut harus bersifat internasional. Hal ini yang kemudian
menjadikan sifat dari hukum ketenaganukliran menjadi luas.
Berbicara mengenai hukum ketenaganukliran internasional, secara garis besar tidak
terlepas dari aspek-aspek sebagai berikut:
a. Keselamatan Nuklir (Nuclear Safety);
b. Keamanan Nuklir (Nuclear Security);
c. Pengawasan Nuklir (Nuclear Safeguards);
d. Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir (Nuclear Liablity).
2.2.1 Keselamatan Nuklir (Nuclear Safety)
Dalam pengertian sempit keselamatan nuklir merujuk pada penanganan yang
berkaitan dengan daur bahan bakar nuklir, sedangkan keselamatan radiasi berkaitan
dengan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan radiasi pengion, termasuk
penggunaan radioisotop dan radiasi dalam kedokteran, industri dan berbagai bidang
lainnya. Selanjutnya, keselamatan manajemen limbah berkaitan dengan risiko yang
mungkin timbul dari limbah radioaktif termasuk penyimpanan dan pembuangannya.
Namun dalam konteks ini ’keselamatan nuklir’ digunakan sebagai payung yang
mencakup semua aktivitas tersebut.
18
Pada level internasional, IAEA dalam program Nuclear Safety Standard (NUSS) yang
diluncurkan pada 1974, memberikan definisi keselamatan nuklir sebagai berikut:
”Tercapainya syarat-syarat pengoperasian yang benar, pencegahan kecelakaan atau
mitigasi akibat-akibat kecelakaan, yang mengharuskan perlindungan personel tapak,
masyarakat umum dan lingkungan dari bahaya radiasi yang tidak diinginkan”.
Secara umum Keselamatan Nuklir (Nuclear Safety) bertujuan untuk melindungi
individu, masyarakat dan lingkungan dari dampak radiasi. Terdapat 6 (enam)
ketentuan hukum internasional berkaitan dengan Keselamatan Nuklir (Nuclear
Safety) diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Konvensi Keselamatan Nuklir (Convention on Nuclear Safety)
Ruang lingkup dari konvensi ini adalah berkaitan dengan keselamatan instalasi
nuklir. Setiap pembangkit listrik tenaga nuklir termasuk penyimpanan dan
penanganan fasilitas yang ada di lokasi yang sama dan langsung berhubungan
dengan pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir.
Konvensi Keselamatan Nuklir (Convention on Nuclear Safety) bertujuan untuk
memberikan kerangka hukum yang jelas bagi negara-negara peserta konvensi
yang mengoperasikan PLTN untuk menjaga keselamatan tingkat tinggi dengan
menetapkan standar-standar internasional yang harus dipatuhi. Kewajiban
negara peserta konvensi didasarkan pada sejumlah prinsip yang terkandung
dalam dokumen Pokok-pokok Keselamatan IAEA “The Safety of Nuclear
Installations”. Kewajiban itu mencakup misalnya tapak, desain, konstruksi,
operasi, ketersediaan finansial dan sumber daya manusia, pengkajian dan
verifikasi keselamatan, jaminan mutu dan kesiapsiagaan kedaruratan. Konvensi
ini merupakan suatu instrumen pendorong, yang tidak dirancang untuk menjamin
pemenuhan kewajiban negara peserta konvensi melalui kontrol dan sanksi,
namun didasarkan pada kepentingan bersama untuk mencapai tingkat
keselamatan yang lebih tinggi yang akan dikembangkan dan dibahas melalui
pertemuan berkala negara-negara peserta konvensi dan mendapat penilaian
dari kelompok ahli (peer review) dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh
IAEA. Konvensi Keselamatan Nuklir telah diratifikasi oleh Indonesia sesuai
dengan Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 2001.
19
2. Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and on the Safety of
Radioactive Waste Management
Konvensi ini mengatur masalah keselamatan manajemen dan penyimpanan
limbah radioaktif di negara pihak baik yang mempunyai program nuklir maupun
tidak.
Ruang lingkup dari Joint Convention tersebut adalah:
a. Keselamatan manajemen bahan bakar bekas;
b. Keselamatan manajemen radioaktif (semua kegiatan termasuk kegiatan
pengelolaan limbah radioaktif dan dekomisioning);
c. Keselamatan manajemen bahan bakar bekas atau limbah radioaktif yang
berasal dari program militer atau pertahanan.
Indonesia telah meratifikasi konvensi Joint Convention on the Safety of Spent
Fuel Management and on the Safety of Radioactive Waste Management melalui
Peraturan Presiden Nomor 84 Tahun 2010.
3. Convention on Early Notification of a Nuclear Accident and Convention on
Assistance in the Case of a Nuclear Accident or Radiological Emergency
Ruang lingkup dari 2 (dua) konvensi tersebut adalah:
a. Konvensi yang pertama memberikan kewajiban untuk memberitahukan
kecelakaan nuklir yang telah mengakibatkan atau dapat mengakibatkan
pelepasan zat radioaktif yang dapat berakibat bagi keamanan negara lain;
b. Konvensi yang kedua memberikan kerangka kerja yang jelas bagi negara
peserta konvensi dan IAEA untuk memberikan bantuan dan dukungan
segera dalam peristiwa kecelakaan nuklir atau kedaruratan nuklir.
Selain konvensi tersebut, berkaitan dengan peringatan dini dalam hal terjadi
kecelakaan/kedaruratan nuklir, perlu juga dilengkapi dengan perjanjian bilateral
antara negara tetangga atau negara yang berbatasan. Indonesia telah
meratifikasi Convention on Early Notification of a Nuclear Accident melalui
Keputusan Presiden Nomor 81 Tahun 1993 dan Convention on Assistance in the
Case of a Nuclear Accident or Radiological Emergency melalui Keputusan
Presiden Nomor 82 Tahun 1993.
4. IAEA Regulations for the Safe Transport of Radioactive Material
Ruang lingkup dari regulasi IAEA tersebut adalah:
a. Mengatur pengangkutan zat radioaktif di seluruh dunia dengan
menggunakan moda transportasi darat, laut dan udara;
20
b. Semua bahan radioaktif mulai dari bahan aktivitas yang sangat rendah
sampai dengan bahan aktivitas yang sangat tinggi seperti limbah radioaktif
tingkat tinggi dan bahan bakar nuklir bekas.
5. Code of Conduct on The Safety and Security of Radioactive Sources
Ruang lingkup dari Code of Conduct tersebut adalah berkaitan dengan sumber
radioaktif dengan resiko tinggi.
Dilengkapi dengan dokumen pedoman eksport/import untuk memfasilitasi
pendekatan yang harmonis di antara negara-negara pengekspor sumber
radioaktif.
6. Code of Conduct of The Safety of Research Reactors
Ruang lingkup dari Code of Conduct tersebut adalah berkaitan dengan
keselamatan reaktor riset. Code of Conduct ini untuk melengkapi Convention on
Nuclear Safety yang belum mengatur mengenai reaktor riset. Reaktor riset
adalah reaktor nuklir yang digunakan terutama untuk pemanfaatan aliran neutron
dan radiasi pengion untuk tujuan penelitian atau yang berkaitan dengan
penelitian. Reaktor riset termasuk kategori RDNk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan
Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir.
Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan keselamatan nuklir adalah antara
lain sebagai berikut:
a. Keselamatan nuklir pasca terjadinya kecelakaan nuklir Chernobyl pada tahun
1986;
b. Rangkaian lengkap perangkat hukum baik yang mengikat dan yang tidak
mengikat;
c. Kelengkapan standar keselamatan;
d. Pengawasan yang ketat terutama berkaitan dengan teknis (persyaratan desain,
independensi badan pengawas dan analisis informasi).
Di samping itu, terkait dengan keselamatan nuklir, terdapat berbagai peraturan yang
telah mengatur secara lebih teknis berbagai aspek dari keselamatan nuklir seperti
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion
dan Keamanan Sumber Radioaktif, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2012 tentang Keselamatan dan Keamanan Instalasi Nuklir serta berbagai peraturan
yang diterbitkan oleh Kepala BAPETEN terkait keselamatan nuklir yang akan
dijadikan pedoman dalam rencana pembangunan RDNK.
21
2.2.2 Keamanan Nuklir (Nuclear Security)
Tujuan dari Nuclear Security adalah untuk melindungi bahan dan fasilitas
radioaktif/nuklir serta fasilitas pendukungnya dari tindakan berbahaya yang dilakukan
oleh orang/kelompok/organisasi. Keamanan nuklir harus diperkuat dengan
pengembangan dan penerapan langkah-langkah yang memadai dalam proteksi fisik
terhadap pencurian atau penyimpangan bahan nuklir dan terhadap sabotase fasilitas
nuklir.
Konvensi mewajibkan negara peserta konvensi wajib melindungi bahan nuklir di
dalam wilayah teritorialnya atau di atas kapal mereka atau pesawat udara mereka
selama pengangkutan bahan nuklir.
Konvensi ini memberikan suatu kerangka kerja yang sangat sesuai dalam
memberikan perlindungan (proteksi), pemulihan dan pengembalian bahan nuklir
yang hilang/tercuri dan dalam penerapan sanksi pidana terhadap orang atau pihak
yang melakukan tindakan kriminal yang melibatkan bahan nuklir.
Isu terbaru di bidang keamanan nuklir adalah keprihatinan tentang kemungkinan
penggunaan bahan radioaktif atau nuklir untuk tujuan terorisme. Potensi untuk
menggunakan bahan peledak konvensional untuk menyebarkan bahan radioaktif,
menekankan pentingnya kontrol nasional dan internasional terhadap bahan-bahan
tersebut. IAEA telah bekerja untuk membangun kerangka kerja internasional untuk
meningkatkan keamanan sumber radioaktif.
Payung internasional untuk penanggulangan ancaman terorisme nuklir berhasil
dicapai melalui penetapan Konvensi Penanggulangan Tindakan Terorisme Nuklir
(the International Convention on the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism) oleh
MU PBB di New York pada 13 April 2005.
Selain hal tersebut di atas masih ada 7 (tujuh) ketentuan internasional berkaitan
dengan keamanan nuklir yaitu:
1. The Convention on the Physical Protection of Nuclear Material
(INFCIRC/274/Rev.1);
2. Amendment to The Convention on the Physical Protection of Nuclear Material;
3. The Physical Protection of Nuclear Material and Nuclear Facilities
(INFCIRC/225/Rev.5);
4. Physical Protection Objectives and Fundamental Principles (GC (45)/INF/14);
5. United Nations Security Council Resolution 1373;
22
6. United Nations Security Council Resolution 1540;
7. International Convention for the Suppression of Acts of Nuclear Terorism.
Berkaitan dengan keamanan nuklir, Indonesia telah meratifikasi Amendment to The
Convention on The Physical Protection of Nuclear Material (Perubahan Konvensi
Proteksi Fisik Bahan Nuklir) melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2009
tentang Pengesahan Amendment to The Convention on The Physical Protection of
Nuclear Material (Perubahan Konvensi Proteksi Fisik Bahan Nuklir). Peraturan
Pemerintah tersebut selanjutnya dijabarkan oleh BAPETEN, yang diwujudkan dalam
bentuk peraturan Kepala BAPETEN. Sebagai catatan, BAPETEN sedang
memproses penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan Nuklir
berkaitan dengan tindak Keamanan Nuklir nasional.
2.2.3 Pengawasan Nuklir (Nuclear Safeguard)
Sejak 1960-an, sistem safeguard (pengawasan) internasional IAEA merupakan
komponen sentral dalam mengontrol penyebaran senjata nuklir. Di bawah ketentuan
dari persetujuan yang dicapai IAEA dengan negara-negara peserta konvensi, para
inspektur (pengawas) IAEA secara teratur mengunjungi fasilitas-fasilitas nuklir untuk
melakukan verifikasi terhadap rekaman yang dibuat oleh negara bersangkutan
tempat di mana bahan nuklir berada, mengecek peralatan dan perlengkapan
safeguard yang dipasang IAEA, dan mengkonfirmasi penyimpanan fisik bahan-bahan
nuklir. Mereka kemudian membuat laporan rinci kepada negara yang ditinjau dan
laporan kepada IAEA.
Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear
Weapons-NPT) merupakan traktat internasional yang bertujuan untuk mencegah
penyebaran senjata nuklir dan teknologi senjata nuklir, mendorong perkembangan
penggunaan energi nuklir untuk maksud damai, dan memajukan tujuan mencapai
perlucutan senjata secara umum dan menyeluruh. Traktat menetapkan suatu sistem
safeguard (safeguards system) di bawah tanggung jawab IAEA.
Safeguard IAEA merupakan sarana kunci untuk mendeteksi dan menghalangi
pengalihan bahan nuklir oleh suatu negara. Semua negara tidak bersenjata nuklir
yang menjadi pihak NPT harus menyetujui penerapan safeguard IAEA ke semua
bahan nuklir mereka. Perjanjian safeguard yang komprehensif atau lingkup penuh
dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa negara tidak bersenjata nuklir
23
senantiasa bertindak sesuai dengan komitmennya untuk tidak memproduksi senjata
nuklir. Pada tahun 1997, sebuah protokol tambahan pada safeguard (Additional
Protocol to Safeguard-AP), yang meliputi cara-cara untuk meningkatkan kemampuan
untuk mendeteksi aktivitas nuklir yang mungkin tidak dilaporkan, telah disetujui.
Inti dari safeguard adalah deklarasi negara tentang bahan, fasilitas dan kegiatan
nuklir digabungkan dengan akses pemeriksaan IAEA untuk memverifikasi informasi
nuklir. Pemeriksaan biasanya dilakukan secara acak, namun ada pemberitahuan
awal setidaknya setiap tahun. Dalam fasilitas yang paling sensitif bahkan
pemeriksaan fisik dapat dilakukan terus-menerus.
Ada 9 (sembilan) ketentuan internasional berkaitan dengan nuclear safeguards and
non–proliferation:
1. Treaty on The Non-Proliferation of Nuclear Weapons (INFCIRC/140);
2. Treaty for The Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America (Tlatelolco
Treaty);
3. South Pacific Nuclear Free Zone Treaty (Rarotonga Treaty) (INFCIRC/331);
4. Treaty on The Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (Treaty of Bangkok)
(INFCIRC/548);
5. Treaty on an African Nuclear-Weapon Free Zone (Pelindaba Treaty);
6. The Structure and Content of Agreements between the Agency and States
required in connection with the Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear
Weapons (INFCIRC/153);
7. The Standard Text of Safeguards Agreements in Connection with the Treaty on
The Non-Proliferation of Nuclear Weapons (GOV/INF/276/Mod.1),
(GOV/INF/276/Mod.1/Corr.1);
8. Model Protocol Additional to The Agreements between States and The
International Atomic Energy Agency for the Application of Safeguards
(INFCIRC/540); dan
9. Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty.
Berkaitan dengan Nuclear Non-Proliferation, Indonesia telah meratifikasi Treaty on
The Non-Proliferation of Nuclear Weapons melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1978 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Pencegahan Penyebaran Senjata-
Senjata Nuklir dan menandatangani Agreement between the Republic of Indonesia
and the International Atomic Energy Agency for the Application of Safeguards in
24
Connection with The Treaty on Non Proliferation of Nuclear Weapons pada tanggal
14 Juli 1980 serta menandatangani Protocol Additional to The Agrrement between
the Republic of Indonesia and the International Atomic Energy Agency for the
Application of Safeguards in Connection with The Treaty on Non Proliferation of
Nuclear Weapons pada tanggal 29 September 1999. Dalam sistem hukum nasional
penggunaan serta pemanfaatan tenaga nuklir untuk tujuan damai juga telah
dinyatakan secara tegas dalam UUK.
Berkaitan dengan safeguards, berbagai pedoman dan panduan pelaksanaan
safeguards selanjutnya telah dijabarkan oleh BAPETEN, sebagai badan regulator,
yang diwujudkan dalam bentuk peraturan Kepala BAPETEN.
2.2.4 Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir (Nuclear Liability)
Kerangka hukum dalam hal pertanggungjawaban kerugian nuklir internasional diatur
dalam 2 (dua) Konvensi internasional yaitu Vienna Convention on Civil Liability for
Nuclear Damage 1963 (Konvensi Wina tentang Pertanggungjawaban Kerugian
Nuklir) dan Paris Convention 1960 yang dilengkapi dengan Brussel Suplementary
Convention 1963.
Pada tahun 1988, sebagai hasil usaha bersama dari IAEA dan Organisation for
Economic Co-operation and Development/Nuclear Energy Agency (OECD/NEA),
sebuah protokol gabungan yang menghubungkan antara Konvensi Wina dan
Konvensi Paris (The Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna
Convention and Paris Convention) berhasil diadopsi. Protokol tersebut menetapkan
suatu hubungan antara kedua konvensi tersebut ke dalam satu rezim
pertanggungjawaban yang diperluas. Negara Pihak dalam protokol gabungan
tersebut diperlakukan seakan-akan mereka adalah pihak ke dalam dua konvensi
tersebut dan pilihan hukum disediakan untuk menentukan konvensi mana yang akan
digunakan dengan mengesampingkan konvensi yang lain dalam hal kecelakaan
yang sejenis. Di samping itu, untuk terus meningkatkan rezim pertanggungjawaban
kerugian nuklir internasional secara berkelanjutan dilakukan perumusan dan
penetapan Revision Protocol to the Vienna Convention dan Convention on
Supplementary Compensation di tahun 1989 dan tahun 1997, serta perumusan dan
penetapan Revision Protocols to the Paris Convention dan Brussels Supplementary
Convention di tahun 1998 dan tahun 2004.
25
Berdasarkan Konvensi Wina, Pertanggungjawaban akibat kerugian nuklir diberikan
apabila terjadi kecelakaan nuklir di Instalasi Nuklir yang terletak di wilayah suatu
negara dan/atau dalam perjalanan transportasi bahan nuklir ke atau dari instalasi
tersebut. Konvensi Wina juga memberikan definisi terhadap Instalasi Nuklir yang
mencakup:
- Reaktor Nuklir;
- Pabrik untuk pembuatan atau pengolahan bahan nuklir;
- Fasilitas untuk penyimpanan bahan nuklir;
Kemudian berdasarkan Protocol to Ammend the Vienna Convention 1997 diberikan
tambahan pengertian mengenai instalasi nuklir termasuk jenis instalasi tambahan jika
diputuskan oleh badan yang kompeten secara internasional (misalnya fasilitas
pembuangan limbah, Instalasi yang dinonaktifkan). Konvensi Wina juga memberikan
definisi kerugian dari kecelakaan nuklir yang meliputi kematian, cedera dan
kehilangan atau kerusakan harta benda. Hal ini kemudian disempurnakan
berdasarkan Revision Protocol to the Vienna Convention dan Convention on
Supplementary Compensation juga mencakup biaya tindakan pemulihan kerusakan
lingkungan, biaya tindakan pencegahan dan bentuk lain dari kerugian ekonomi
sejauh ditentukan oleh hukum dari pengadilan yang berwenang.
Prinsip pertanggungjawaban akibat kerugian yang disebabkan kecelakaan nuklir
secara umum, meliputi:
a. PrinsipTanggung Jawab Mutlak / Liability without fault (Strict Liability)
Prinsip ini mewajibkan pelaku langsung bertanggungjawab atas kerugian yang
timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Oleh karena itu prinsip strick
liability disebut juga dengan liability without fault.
Bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip
pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan
kepada kesalahan.
b. Tanggung Jawab Eksklusif Melekat kepada Penyelenggara/Operator Instalasi
Nuklir (Exclusive Liability of the Operator)
"Chanelling" kewajiban untuk operator, yaitu tidak ada kewajiban diluar rezim
dan tidak ada kewajiban untuk orang lain untuk mempertanggungjawabkan
selain daripada operator.
Apabila terjadi kecelakaan di instalasi nuklir, maka pertanggungjawaban
dibebankan kepada operator instalasi nuklir.
26
Apabila terjadi kecelakaan selama pengiriman bahan nuklir, maka
pertanggungjawaban dibebankan kepada operator pengirim.
c. Jumlah Minimum Pertanggungjawaban (Minimum Amount of Liability)
Batas minimum pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir terhadap
kerugian nuklir untuk setiap kecelakaan, namun Negara Instalasi bebas untuk
menetapkan jumlah yang lebih tinggi atau bahkan kewajiban yang tidak terbatas.
d. Mandatory Financial Coverage
Pengusaha instalasi nuklir wajib mempertanggungkan pertanggungjawabannya
melalui asuransi atau jaminan keuangan lain. Kewajiban mempertanggungkan
pertanggungjawaban berlaku juga bagi pengusaha instalasi nuklir penerima atau
pengusaha pengangkutan.
e. Jangka Waktu Penuntutan (Limitation of Liability in Time)
Hak menuntut ganti rugi akibat kecelakaan nuklir kadaluwarsa apabila tidak
diajukan dalam waktu 10 (sepuluh puluh) tahun terhitung sejak diterbitkan
pernyataan dari Badan yang kompeten (Konvensi Wina). Setelah dilakukan
revisi terhadap PC/VC menjadi 30 tahun untuk kematian dan personal injury.
f. Non Diskriminasi/Perlakuan yang Sama (Non Discrimination)
Jaminan untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap korban kecelakaan
nuklir, tanpa membeda-bedakan antara satu dan lainnya.
g. Yurisdiksi Pengadilan yang Berwenang (Exclusive Jurisdiction Competence)
Apabila kecelakaan nuklir terjadi di instalasi nuklir, maka pengadilan yang
berwenang adalah pengadilan di negara dimana instalasi tersebut berada.
Apabila kecelakaan nuklir terjadi selama pengangkutan, maka pengadilan yang
berwenang adalah pengadilan di negara dimana kecelakaan itu terjadi (jika
kecelakaan terjadi di luar wilayah pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian
pengiriman).
Berkaitan dengan pertanggungjawaban kerugian nuklir, Indonesia bukan termasuk
salah satu pihak dalam Konvensi Wina, tetapi di dalam UUK Bab VII telah diatur
mengenai pertanggungjawaban kerugian nuklir yang kemudian dijabarkan dan diatur
secara lebih rinci di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2009 dan
Peraturan Presiden Nomor 74 tahun 2012 tentang Pertanggungjawaban Kerugian
Nuklir. Peraturan terkait pertanggungjawaban kerugian nuklir tersebut nantinya akan
dijadikan pedoman dalam rencana pembangunan RDNK.
27
BAB III
KAJIAN HUKUM DAN PERIZINAN REAKTOR DAYA NON KOMERSIAL
3.1 Kajian Hukum RDNK
3.1.1 Latar Belakang
Pemanfaatan tenaga nuklir diatur dalam UUK termasuk pengawasan pemanfaatan
tenaga nuklir itu sendiri agar tertib secara hukum dan tidak terjadi perubahan tujuan
dalam pemanfaatannya. Dalam rangka pemanfaatan tenaga nuklir di bidang energi,
Pemerintah telah melakukan persiapan pra proyek, seperti studi kelayakan tapak dan
melakukan sosialisasi manfaat pembangunan PLTN. Hingga saat ini secara kontinyu
masih dilakukan pemantauan tapak dan lingkungan yang diperlukan dalam rangka
pembangunan PLTN. Sekiranya Pemerintah memutuskan pembangunan PLTN,
maka Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah dapat menjadi salah satu pilihan
lokasi yang layak.
Berhubung hingga saat ini Pemerintah, tidak juga mengambil sikap perlunya PLTN
sebagai salah satu pilihan yang memberikan kontribusi dalam pemenuhan
kekurangan energi listrik di Indonesia, maka pembangunan PLTN tersebut dapat
dikatakan masih sebatas cita-cita saja. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya
kewenangan BATAN sesuai dengan UUK dimana BATAN hanya diberi kewenangan
melakukan pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning RDNK.
Energi nuklir menjadi salah satu opsi yang bisa dipilih untuk mengatasi persoalan
krisis energi di tanah air. Di tengah semakin menipisnya sumber energi dari fosil
seperti minyak bumi dan batu bara, energi nuklir menjadi alternatif sumber energi
terbaik untuk memenuhi kebutuhan hampir 260 juta penduduk Indonesia. Untuk
mewujudkan opsi terbaik ini tentu membutuhkan dukungan seluruh stakeholders.
Dengan demikian rencana pembangunan PLTN adalah keniscayaan yang tidak bisa
dihindari, namun sejalan dengan belum diterimanya secara utuh nilai positif dari
rencana pemerintah terhadap pembangunan PLTN oleh sebagian masyarakat,
sehingga BATAN mewacanakan gagasan pembangunan RDNK sebagai pilot project
agar masyarakat mengetahui bahwa Indonesia telah mampu mengoperasikan
reaktor nuklir sebagai pembangkit energi listrik.
28
RDNK diharapkan mampu menjadi role model bagi pembangunan PLTN dalam skala
kecil sehingga masyarakat nantinya dapat melihat secara objektif, bahwa
sesungguhnya PLTN itu adalah teknologi yang aman dan ramah lingkungan.
Mengingat betapa sulitnya meyakinkan masyarakat betapa perlunya PLTN dinegeri
ini, maka gagasan pembangunan RDNK merupakan terobosan yang harus medapat
dukungan dari berbagai pihak, hal mana juga telah diamanatkan dalam amanat
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJMN dan Peraturan Pemerintah
Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
3.1.2 Sumber Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning RDNK
Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari pelaksanaan
pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK, sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025.
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir
dan Pemanfaatan Bahan Nuklir.
8. Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013 tentang Badan Tenaga Nuklir
Nasional.
Sumber hukum kewenangan BATAN dalam melakukan pembangunan,
pengoperasian dan dekomisioning RDNK diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UUK yang
menyatakan: “pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning reaktor nuklir non
komersial dilaksanakan oleh Badan Pelaksana”, yang tidak lain adalah Badan
Tenaga Nuklir Nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 29 Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan
Pemanfaatan Bahan Nuklir juncto Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 46
Tahun 2013 tentang Badan Tenaga Nuklir Nasional. Pasal 1 angka 29 PP Nomor 2
Tahun 2014 menyatakan, “Badan Tenaga Nuklir Nasional yang selanjutnya disebut
BATAN adalah Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam UUK, sedangkan
29
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013, menyatakan, “Badan
Tenaga Nuklir Nasional merupakan Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran”. Terkait
kewenangan BATAN dalam melakukan pembangunan, pengoperasian dan
dekomisioning RDNK juga dinyatakan lebih tegas lagi yang diatur dalam Pasal 5 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 yang menyatakan : “Pembangunan,
pengoperasian dan dekomisioning reaktor daya nonkomersial atau reaktor nondaya
nonkomersial dilaksanakan oleh BATAN”.
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, BATAN bukan hanya sebagai lembaga
yang bertanggung jawab melaksanakan tugas pemanfaatan tenaga nuklir, akan
tetapi juga dapat melaksanakan pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning
RDNK dan reaktor nondaya nonkomersial. Kewenangan pembangunan,
pengoperasian dan dekomisioning RDNK dan reaktor nondaya nonkomersial
seyogyanya diadopsi dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013 tentang
BATAN dan dalam Peraturan Kepala BATAN Nomor 14 Tahun 2013 tentang
Organisasi dan Tata Kerja BATAN, sehingga kedua peraturan pelaksanaan tersebut
sejalan dengan tanggung jawab dan tugas yang diamanatkan dalam UUK.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud di atas,
BATAN sebagai lembaga pemerintah mempunyai kewenangan membangun,
mengoperasikan, dan mendekomisioning RDNK untuk kepentingan sendiri
(penggunaan utama, cadangan, darurat, sementara) dan tidak untuk diperjualbelikan
(komersial).
Terkait dengan pengoperasian RDNK, terhadap daya listrik yang dihasilkan,
terutama terkait dengan pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik perlu
berpedoman pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan. Adapun dalam hal pemanfaatan listrik yang dihasilkan dari RDNK
perlu dilakukan kajian lebih mendalam. Peraturan perundang-undangan lain yang
perlu diperhatikan terkait dengan RDNK adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2007 tentang Energi. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007
tentang Energi, disebutkan bahwa “Sumber energi baru adalah sumber energi yang
dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan
maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batu
bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara
30
tergaskan (gasified coal)”. Pasal ini secara jelas telah mengakomodasi nuklir sebagai
bagian dari sumber energi baru yang harus memperoleh perhatian yang sama
dengan sumber energi baru lainnya seperti gas metana batu bara (coal bed
methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified
coal).
3.2 Perizinan RDNK
Dalam rangka pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK, BATAN
sebagai Badan Pelaksana harus memiliki izin. Hal ini diatur dalam Pasal 17 ayat (2) jo
Pasal 4 ayat (1) UUK yang menyatakan: “Pembangunan dan pengoperasian reaktor
nuklir dan instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor nuklir wajib memiliki izin”.
Selanjutnya, Pasal 17 ayat (3) UUK, menyatakan, “Syarat-syarat dan tata cara perizinan
diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sebagai tindak lanjut UUK, Pemerintah telah
mengundangkan peraturan pelaksanaan yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir,
yang merupakan pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2006.
Pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK, dilaksanakan dalam 5 (lima)
tahap yaitu: tahap penentuan tapak, konstruksi, komisioning, operasi dan
dekomisioning. Pasal 17 UUK mewajibkan setiap kegiatan atas pembangunan dan
pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi nuklir lainnya, serta dekomisioning reaktor
wajib memiliki izin. Perizinan yang diperlukan dalam rangka pembangunan,
pengoperasian dan dekomisioning RDNK, meliputi:
1. Izin Pembangunan meliputi Izin Tapak dan Izin Konstruksi;
2. Izin Pengoperasian meliputi Izin Komisioning dan Izin Operasi;
3. Izin Dekomisioning;
4. Izin Lingkungan;
5. Izin Mendirikan Bangunan yang memiliki fungsi khusus; dan
6. Izin lainnya.
Ketentuan perizinan pembangunan (Izin Tapak dan Izin Kontruksi), Pengoperasian dan
Dekomisioning diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir. Untuk izin lingkungan diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan,
sedangkan Izin Mendirikan Bangunan fungsi khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah
31
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung. Izin lainnya meliputi pemanfaatan bahan nuklir dan izin
yang dipersyaratkan oleh Pemerintah Daerah setempat. Untuk memperoleh izin
pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK perlu memenuhi beberapa
persyaratan, yaitu persyaratan administratif, persyaratan teknis dan persyaratan
finansial. Khusus untuk persyaratan finansial berlaku untuk badan usaha milik negara,
koperasi, dan/atau badan usaha yang berbentuk badan hukum yang mengajukan
permohonan izin konstruksi dan komisioning reaktor daya komersial atau reaktor
nondaya komersial. Persyaratan Izin RDNK yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk
setiap tahap perizinan meliputi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
Persyaratan administratif, meliputi:
1. Bukti pendirian badan hukum, untuk BATAN didasarkan Peraturan Presiden Nomor
46 Tahun 2013 tentang Badan Tenaga Nuklir Nasional.
2. Persyaratan lain sesuai peraturan perundang-undangan
a) Bukti hak atas tanah;
b) IMB fungsi khusus (Kementerian Pekerjaan Umum);
c) Sertifikat penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(SMK3);
d) Izin usaha jasa konstruksi (untuk pihak pelaksana konstruksi);
e) Izin terkait Penanaman Modal Asing (untuk pihak pelaksana);
f) Sertifikat laik fungsi bangunan dari kepala daerah; dan
g) Izin usaha penyediaan tenaga listrik.
3. Kesesuaian dengan penataan ruang (Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW).
4. Bukti pembayaran biaya permohonan izin pembangunan dan pengoperasian reaktor
nuklir serta dekomisioning.
Persyaratan teknis perizinan RDNK meliputi Izin Tapak, Izin Konstruksi, Izin
Komisioning, Izin Operasi, dan Izin Dekomisioning.
Persyaratan Teknis Izin Tapak meliputi:
1. Laporan pelaksanaan evaluasi tapak;
2. Laporan pelaksanaan sistem manajemen evaluasi tapak;
3. Daftar Informasi Desain (DID); dan
4. Dokumen yang memuat daftar utama reaktor nuklir
32
Persyaratan Teknis Izin Konstruksi meliputi :
1. Laporan Analisis Keselamatan (LAK);
2. Dokumen batasan dan kondisi operasi;
3. Dokumen sistem manajemen;
4. DID;
5. Program proteksi dan keselamatan radiasi;
6. Dokumen sistem safeguards;
7. Dokumen rencana proteksi fisik;
8. Program manajemen penuaan;
9. Program dekomisioning;
10. Program kesiapsiagaan Nuklir;
11. Program konstruksi; dan
12. Izin lingkungan
PersyaratanTeknis Izin Komisioning meliputi :
1) LAK;
2) Dokumen batasan dan kondisi operasi;
3) Program komisioning;
4) Program perawatan;
5) Program proteksi dan keselamatan radiasi;
6) Dokumen sistem safeguards;
7) Dokumen rencana proteksi fisik;
8) Dokumen sistem manajemen;
9) Program manajemen penuaan;
10) Program dekomisioning;
11) Program kesiapsiagaan Nuklir;
12) Laporan pelaksanaan izin lingkungan;
13) Laporan pelaksanaan hasil kegiatan konstruksi; dan
14) Gambar teknis reaktor nuklir terbangun.
Persyaratan Teknis Izin Operasi meliputi :
1) LAK;
2) Dokumen batasan dan kondisi operasi;
3) Program proteksi dan keselamatan radiasi;
4) Program perawatan;
5) Dokumen sistem safeguards;
33
6) Dokumen rencana proteksi fisik;
7) Dokumen sistem manajemen;
8) Program dekomisioning;
9) Program kesiapsiagaan nuklir; dan
10) Laporan pelaksanaan izin lingkungan.
Persyaratan Teknis Izin Dekomisioning meliputi :
1) Program dekomisioning;
2) Program proteksi dan keselamatan radiasi;
3) Program kesiapsiagaan nuklir; dan
4) Dokumen sistem manajemen.
3.2.1 Izin Pembangunan
3.2.1.1 Izin Tapak
BATAN (selaku pemohon) akan melakukan evaluasi tapak terpilih dan akan
mengajukan aplikasi izin tapak ke BAPETEN sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan. Sebelum melakukan kegiatan evaluasi tapak, BATAN akan mengajukan
dokumen Program Evaluasi Tapak (PET) dan Sistem Manajemen Evaluasi Tapak
(SMET) untuk mendapatkan persetujuan BAPETEN. Setelah persetujuan diperoleh
maka kegiatan evaluasi tapak dapat dilakukan. Setelah evaluasi tapak selesai
dilakukan, maka BATAN menyiapkan dokumen Laporan Evaluasi Tapak (LET),
Data Utama Reaktor (DUR), preliminary Design Information Questionaire (DIQ)
atau DID (Daftar Informasi Desain), dan dokumen pelaksanaan SMET dalam
rangka untuk pengajuan permohonan Izin Tapak. Izin Tapak dikeluarkan setelah
mendapat Izin Lingkungan.
3.2.1.2 Izin Konstruksi
Pemegang Izin Tapak harus memperoleh persetujuan desain dari Kepala
BAPETEN sebelum mengajukan permohonan izin Konstruksi. Pemegang Izin
Tapak untuk memperoleh persetujuan desain harus mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Kepala BAPETEN dan melampirkan dokumen:
a. Desain Rinci Reaktor Nuklir; dan
b. LAK.
Setelah mendapatkan persetujuan desain maka tahap selanjutnya adalah
mengajukan permohonan Izin Konstruksi. Untuk melaksanakan permohonan izin
34
konstruksi atau tahap pembangunan RDNK, BATAN menyiapkan dokumen terkait
proses Izin Konstruksi, antara lain LAK, desain rinci reaktor, program konstruksi,
DID, Preliminary Protection System, Sistem Manajemen, dan Izin Lingkungan
berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
3.2.2 Izin Pengoperasian
3.2.2.1 Izin Komisioning
Pemegang Izin Konstruksi dapat mengajukan permohonan izin Komisioning kepada
Kepala BAPETEN:
a. pada saat memulai pelaksanaan uji fungsi struktur, sistem, dan komponen
reaktor nuklir tanpa bahan nuklir;
b. setelah memiliki izin pemanfaatan bahan nuklir; dan
c. setelah memiliki surat izin bekerja bagi petugas instalasi nuklir dan bahan
nuklir.
Pemegang Izin Konstruksi untuk memperoleh izin Komisioning harus mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Kepala BAPETEN dan melampirkan dokumen:
a. persyaratan administrative; dan
b. persyaratan teknis.
Dokumen yang diajukan untuk aplikasi Izin Komisioning meliputi program
komisioning, laporan kegiatan konstruksi, dokumen gambar teknis (as built drawing)
RDNK, sistem safeguard dan proteksi nuklir, program kesiapsiagaan darurat nuklir,
sistem manajemen komisioning, laporan pelaksanaan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan (implementasi Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup/RKL-RPL) selama konstruksi,
jaminan keuangan untuk ganti kerugian akibat kecelakaan nuklir, dan jaminan
keuangan untuk dekomisioning.
3.2.2.2 Izin Operasi
Pemegang Izin Komisioning dapat mengajukan permohonan izin operasi secara
tertulis kepada Kepala BAPETEN pada saat pelaksanaan Komisioning dengan
melampirkan dokumen:
a. persyar
Top Related