1
Analisis Ekonomi dan Fiskal Provinsi Sulawesi Utara
Triwulan III-2013
1. Kondisi Makro Ekonomi Sulawesi Utara
1.1 Perkembangan Ekonomi Sulawesi Utara
Selama Triwulan III-2013, Sulawesi Utara memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang
cukup baik dimana tumbuh 7,46% dibanding triwulan yang sama tahun 2012 (y.o.y). Angka
pertumbuhan ini sedikit lebih baik dibanding pertumbuhan Triwulan II-2013 namun sedikit lebih
rendah dibandingkan Triwulan I-2013. Peningkatan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara pada
Triwulan III-2013 terutama disebabkan oleh puasa dan lebaran, kegiatan permulaan tahun
anggaran baru, serta mulai ditingkatkannya belanja pemerintah. Secara kumulatif, selama tiga
triwulan pertama tahun 2013, ekonomi Sulawesi Utara tumbuh 7,42% dibanding periode yang
sama tahun 2012.
Secara sektoral, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih mengalami pertumbuhan tertinggi
pada Triwulan III-2013, yaitu 19,21%. Secara kumulatif selama tiga triwulan pertama tahun
2013, sektor ini tumbuh 13,13%. Walaupun sektor ini tumbuh paling tinggi pada Triwulan III-
2013 tetapi secara kumulatif selama tiga triwulan, Sektor Keuangan, Sewa, dan Jasa Perusahaan
tumbuh paling tinggi, yaitu 15,59%. Pertumbuhan sektor ini terutama karena bertambahnya
gerai lembaga keuangan bank dan non bank di Kota Manado, baik ekspansi dari perusahaan
keuangan yang sudah ada sebelumnya maupun perusahaan pendatang baru. Ranking kedua
dalam pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara pada Triwulan III-2013 adalah Sektor Keuangan,
Sewa, dan Jasa Perusahaan yang tumbuh sebesar 14,23% namun secara kumulatif sektor ini
tumbuh tertinggi sebagaimana disebutkan di atas. Selanjutnya, Sektor Perdagangan, Hotel dan
Restoran (PHR) menempati ranking ketiga pada Triwulan III-2013, yaitu 12,04%. Selama tiga
triwulan pertama, sektor ini tumbuh 11,42%.
Berdasarkan kontribusi, perekonomian Sulawesi Utara pada Triwulan I-III tahun 2013
masih didominasi oleh Sektor Jasa-jasa dengan kontribusi sebesar 18,5%. Disusul Sektor
Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) dengan kontribusi 17,7%. Di sisi lain, Sektor
Pertanian menempati urutan keempat (16,2%) dalam kontribusi setelah Sektor Konstruksi
(16,4%). Data PDRB Sektoral pada Triwulan I-III tahun 2013 selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 1.
2
Sektor Pertanian sebelumnya mendominasi perekonomian Sulawesi Utara. Namun
kontribusi sektor ini kemudian menurun pada dua tahun terakhir yang disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, terjadi alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan menjadi kawasan perumahan
dan bisnis. Kedua, terjadi peralihan tenaga kerja Sektor Pertanian ke Sektor Transportasi dan
Sektor PHR terkait berkembang pesat kedua sektor. Ketiga, masih terdapat ketergantungan yang
tinggi para petani terhadap bantuan pemerintah sehingga bila bantuan pemerintah berkurang,
maka hasil produksi pertanian, khususnya tanaman makanan. Keempat, terjadinya illegal fishing
dan penjualan langsung di tengah laut oleh nelayan lokal kepada nelayan asing yang semakin
tidak terkendali.
Tabel 1 PDRB Sektoral Provinsi Sulawesi Utara, Triwulan I-III Tahun 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara, 2013
Dari aspek penggunaan, perekonomian Sulawesi Utara masih ditopang oleh Konsumsi
Rumah Tangga. Pada Triwulan I-III tahun 2013, Konsumsi Rumah Tangga memberi kontribusi
sebesar 45,58% terhadap total PDRB. Juga terjadi tren penurunan kontribusi komponen
pengeluaran dari triwulan ke triwulan selama tiga triwulan pertama tahun 2013. Selanjutnya,
Ekspor (luar negeri dan antar pulau) sesungguhnya menduduki ranking kedua dalam kontribusi,
yaitu 36,9% pada Triwulan I-III tahun 2013. Namun demikian, porsi Impor (luar negeri dan antar
pulau) terhadap PDRB lebih besar dari porsi Ekspor sehingga Ekspor Neto menjadi minus 2,75%
pada tiga triwulan tersebut. Ini menyebabkan penyumbang kedua terbesar bagi PDRB Sulawesi
Utara adalah Investasi yang terdiri dari Konsumsi Pemerintah, yaitu sebesar 27,8% dimana lebih
besar disbanding Perubahan Modal Tetap Bruto (PMTB) ditambah perubahan stok. Data
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
3
Tabel 2 PDRB Berdasarkan Pengeluaran Provinsi Sulawesi Utara, Triwulan I-III Tahun 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara, 2013
Kegiatan investasi di Sulawesi Utara pada beberapa tahun terakhir banyak dilakukan
pada Sektor PHR dan Konstruksi. Namun sayangnya, sebagian besar dilaksanakan di Kota
Manado sedangkan kabupaten/kota lain di Sulawesi Utara terutama di daerah kepulauan masih
minim investasi. Ini memperlebar kesenjangan ekonomi Kota Manado dengan daerah lain di
provinsi ini. Kendala utama investasi di daerah-daerah tersebut adalah minimnya ketersediaan
listrik serta sarana dan prasarana perhubungan, terutama jalan dan pelabuhan.
1.2 Tingkat Inflasi,
Pada September 2013, Sulut mengalami sebesar sebesar 2,10%. Deflasi pada September
2013, telah menurnkan laju inflasi tahun kalender menjadi sebesar 5,99% dan inflasi year on
year 7,73% setelah sebelumnya meningkat tinggi karena kebijakan pemerintah menaikan harga
BBM subsidi. Deflasi September 2013 terjadi karena adanya penurunan indeks yang sangat
besar pada kelompok Bahan Makanan sebesar 6,49% serta Transpor, Komunikasi,dan Jasa
keuangan sebesar 1,10%. Penurunan indeks harga ini telah menyerap kenaikan indeks harga dari
kelompok yang lain, yaitu kelompok Sandang yang naik sebesar 1,55%; Perumahan, Air, Listrik,
Gas, dan Bahan Bakar sebesar 0,11%; Kesehatan sebesar 0,23%; Makanan Jadi, Minuman,
Rokok, dan Tembakau sebesar 0,08%.
Deflasi yang terjadi di Sulut pada September 2013 merupakan koreksi terhadap inflasi
selama tiga bulan sebelumnya yang meningkat tinggi karena kenaikan harga BBM subsidi dan
tarif dasar listrik, serta kegiatan saat puasa dan lebaran.
4
1.3 Pengangguran dan Kemiskinan
Sulawesi Utara mengalami penurunan jumlah angkatan kerja sebesar 2,27% pada
Agustus 2013 jika dibandingkan dengan posisi Agustus 2012 menjadi 1,014 juta orang.
Penurunan juga terjadi pada tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) yang menjadi 59,76%
dibanding 61,93% pada Agustus 2012.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sulawesi Utara terus mengalami tren menurun
hingga mencapai 6,68% pada Agustus 2013 dimana sebelumnya sebesar 7,79% pada Agustus
2012. Dari aspek wilayah, pengangguran terbesar masih pada daerah perkotaan. TPT perkotaan
satu setengah kali lebih besar dari pedesaan, yaitu 8,17% dibanding 5,40%.
Data kemiskinan yang dirilis BPS terakhir menunjukan jumlah penduduk miskin pada
Maret 2013 sebanyak 184,40 ribu jiwa atau 7,88% dari total penduduk Sulawesi Utara dimana
lebih tinggi dari September 2012 yang sebesar 7,64%. Kenaikan kemiskinan pada 2013 terutama
disebabkan migrasi penduduk dari daerah lain yang membawa tanggungan keluarga yang belum
masuk angkatan kerja. Ini mengakibatkan pendapatan yang diperoleh penanggung kurang
mencukupi kehidupan layak bagi keluarganya.
Tingkat kemiskinan di pedesaan masih lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan.
Tingkat kemiskinan pedesaan sebesar 9,40% atau 120,59 ribu jiwa sedangkan perkotaan sebesar
6,04% atau 63,81 ribu jiwa. Pada periode September 2012-Maret 2013, tingkat kemiskinan di
pedesaan mengalami peningkatan (0,71%), sebaliknya perkotaan mengalami penurunan sebesar
0,32%.
2. Perkembangan Fiskal Sulawesi Utara
2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Pada Semester I-2013, realisasi pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sebesar
Rp 974,59 miliar atau 50,87% dari target pendapatan pada APBD Murninya. Dari jumlah yang
pendapatan yang terealisasi, sebesar 63,70% berasal dari Dana Transfer1, dan 36,3% berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bila dibandingkan dengan pendapatan pada APBD Murni,
selama Semester I-2013, Dana Transfer telah terealisasi sebesar 49,07 %, sementara PAD yang
terealisasi sebesar 54,42 %. Capaian di atas 50% pada satu semester, baik total pendapatan
1 Dana transfer mencakup Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Bagi Hasil, dan Dana Penyesuaian
5
maupun PAD, mengindikasikan kinerja pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sedikit
di atas rata-rata. Data pendapatan diperlihatkan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Pada tingkatan kabupaten/kota, dari data kabupaten/kota di Sulawesi Utara, Kabupaten
Bolaang Mongondow Timur menduduki ranking pertama dalam persentase capaian target
pendapatan pada Semester I-2013. Realisasi total pendapatan kabupaten tersebut sebesar
58,89% dari target 2013 dimana Dana Transfer telah mencapai 59,64% dan PAD telah mencapai
30,85 %. Di sisi lain, capaian target terendah terjadi di Kabupaten Minahasa Tenggara dimana
realisasi total pendapatan masih sebesar 31,24% dengan rincian realisasi Dana Transfer sebesar
32,11% dan PAD sebesar 40,34 %. Selanjutnya, capaian pendapatan Kota Manado yang
merupakan ibukota provinsi sedikit di atas rata-rata, yaitu realisasi total pendapatan sebesar
52,67% dimana realisasi Dana Transfer sebesar 50,34% dan realisasi PAD sebesar 59,21%.
Peningkatan realisasi PAD lebih disebabkan perluasan tax base karena perkembangan bisnis
yang tinggi di kota tersebut.
Tabel 3 Total Pendapatan dan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
di Sulawesi Utara, Semester I-2013
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan-Kementerian Keuangan, 2013
Bila mempertimbangkan tingkat kemandirian, porsi PAD terhadap total pendapatan
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara masih belum terlalu tinggi. Pada Semester I-2013 realisasi
PAD sebesar 36,30% dari total pendapatan. Pada tingkatan pemerintah kabupaten/kota, Kota
Manado memiliki porsi PAD tertinggi, yaitu 18,01%. Angka ini relatif masih rendah untuk
ukuran ibukota provinsi. Di luar Kota Manado, porsi PAD hanya berada pada rentang 1,49-
6,41%. Kondisi PAD yang ada membuat pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Utara sulit
6
untuk mandiri. Dengan demikian kebijakan pemerintah daerah menjadi sangat tergantung pada
kebijakan nasional.
Walaupun realisasi total pendapatan pemerintah Provinsi Sulawesi Utara pada Semester
I-2013 telah mencapai 50,87% dari target pendapatan tahun 2013, namun realisasi belanja jauh
lebih rendah, yaitu baru mencapai 34,46%. Untuk Belanja Modal yang dianggap memiliki
multiplier effect yang tinggi, baru terealisasi 26,63%. Ini menyebabkan fungsi belanja
pemerintah untuk mengakselerasi pembangunan di daerah belum berjalan secara optimal.
Tabel 4 Dana Transfer Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
di Sulawesi Utara
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, 2013
Penyebab rendahnya Belanja Modal diantaranya keterlambatan dalam tender, termin
pembayaran yang belum jatuh tempo, maupun kesengajaan pemerintah daerah menahan dana
untuk dibungakan. Bilamana penyebabnya adalah termin pembayaran yang belum jatuh tempo,
maka kondisi tersebut lumrah, namun bila penyebabnya adalah keterlambatan tender dan
kesengajaan menahan dana, maka kondisi ini tidak mendukung tujuan desentralisasi fiskal untuk
percepatan pencapaian perluasan kesejahteraan masyarakat. Kondisi belanja pemerintah daerah
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Pada tingkatan pemerintah provinsi, selama Semester I-2013, sebanyak 33,45% dari
belanja yang telah direalisasikan digunakan untuk Belanja Pegawai serta 21,80% dialokasi
7
untuk Belanja Barang dan Jasa. Di sisi lain, untuk Belanja Modal hanya mendapat alokasi
14,18%. Komposisi belanja ini belum memadai untuk mendukung peran pemerintah sebagai
agen pembangunan di daerah.
Alokasi yang lebih buruk terjadi pada pemerintah kabupaten/kota dimana porsi Belanja
Pegawai berkisar 46-86%. Porsi Belanja Pegawai terendah pada Semester I-2013 terjadi pada
pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara yaitu sebesar 46,09% dan tertinggi terjadi pada
pemerintah Kota Manado yaitu sebesar 85,87%. Untuk Belanja Modal, porsi terendah pada
semester yang sama terjadi pada Kota Manado yang sebesar 1,28%. Sebaliknya porsi Belanja
Modal terbesar dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Timur yang sebesar
25,55%. Sayangnya, walaupun Kabuapten Bolaang Mongondow Timur mengalokasikan banyak
belanja modal, namun kebanyakan untuk fasilitas kepemerintahan sehubungan kabupaten
tersebut termasuk kabupaten pemekaran baru.
Tabel 5 Beberapa Kelompok Belanja Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
di Sulawesi Utara
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, 2013
Persoalan Belanja Modal tidak semata pada alokasi yang rendah. Persoalan yang lebih
mendasar yaitu kebanyakan Belanja Modal digunakan untuk pengeluaran yang tidak menyentuh
secara langsung kepentingan masyarakat dan kegiatan perekonomian, seperti pembelian mobil
dinas dan perbaikan kantor pemerintah. Ini mengakibatkan banyak jalan rusak yang tidak
diperbaiki serta minimnya pelebaran jalan yang dibiayai dengan APBD.
8
Rendahnya PAD dan Belanja Modal membawa persoalan bagi otonomi daerah.
Rendahnya PAD mengindikasikan rendahnya kemandirian daerah sehingga tidak sejalan dengan
hakikat otonomi daerah yang menekankan pada pengurangan ketergantungan pemerintah daerah
terhadap pemerintah pusat. Di sisi Belanja Modal, rendahnya jenis belanja tersebut
memperlambat pembangunan ekonomi di daerah terutama berkaitan dengan ketersediaan
infrastruktur secara memadai.
2.2 Realisasi Dana Dekonsentrasi di Sulawesi Utara
Dana Dekonsentrasi Sulawesi Utara tahun 2013 yang telah direalisasikan hingga 30
September 2013 sebesar Rp 122,81 miliar untuk 29 kegiatan dengan jangkauan 15
kabupaten/kota sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 6. Angka realisasi ini setara dengan
60,16% nilai pagu kegiatan-kegiatan tersebut yang sebesar Rp 204,16 miliar. Bila dikaitkan
dengan bulan berjalan yang telah mencapai 9 bulan, maka persentase realisasi tersebut yang
sebesar 60,16% relatif masih agak rendah. Sebaiknya telah mencapai di atas 67%. Oleh sebab
itu, upaya percepatan penyerapan Dana Dekonsentrasi perlu menjadi perhatian.
Tabel 6 Pagu dan Realisasi Dana Dekonsentrasi di Sulawesi Utara
Periode Januari-September 2013
Sumber: Kanwil Anggaran Kementerian Keuangan di Sulawesi Utara, 2013
9
Sebagian besar Dana Dekonsentrasi berasal dari Kementerian Dalam Negeri yang
berjumlah 22 kegiatan, dan sisanya sebanyak 7 kegiatan berasal dari Kementerian Pekerjaan
Umum. Selanjutnya, bila ditinjau dari jenis belanja, sebanyak 18 kegiatan berupa Belanja
Bantuan Sosial sedangkan 11 kegiatan berupa Belanja Barang. Dengan demikian, tidak ada
satupun kegiatan yang berhubungan langsung dengan Belanja Modal. Oleh sebab itu, alokasi
Dana Dekonsentrasi ini belum selaras dengan kebutuhan mendesak Sulawesi Utara untuk
mengakselerasi pembangunan. Selama ini, kondisi infrastruktur perhubungan dan energi masih
menjadi ganjalan dalam meningkatkan investasi di Sulawesi Utara. Oleh karenanya, alokasi
Dana Dekonsentrasi seharusnya lebih dititikberatkan pada pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur tersebut.
BOKS
Kondisi Pariwisata di Sulawesi Utara
Beberapa provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) mencoba mengangkat industri
pariwisata sebagai sumber pembangunan daerah. Dari aspek sustainability and green economy,
industri ini sangat cocok bagi daerah-daerah di KTI sebab: (1) dampak negatif bagi lingkungan
dan pemanfaatan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, relatif kecil, terutama
dibandingkan dengan industri tambang; (2) kondisi alam yang kebanyakan masih alami
memberikan nilai tambah bagi pengembangan pariwisata; dan (3) dapat mendorong masuknya
devisa. Dengan kata lain, apabila industri pariwisata di KTI dikembangkan secara profesional,
maka tidak mustahil industri tersebut menjadi lokomotif pembangunan daerah di masa depan.
Namun demikian perlu juga dicermati dan diantisipasi dampak negatif dari kegiatan tersebut
berupa infiltrasi budaya asing tertentu yang bersifat merusak terhadap perilaku generasi muda
dan budaya lokal. Itu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah dan para pemuka
agama.
Setelah dilaksanakan kegiatan World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle
Initiavtive (CTI) pada Mei 2009, kegiatan pariwisata meningkat sangat pesat. Hampir setiap
bulan terdapat kegiatan Meeting, Incentive, Conference, and Exhibition (MICE) yang berskala
nasional dan beberapa berskala internasional. Hal tersebut disebabkan telah tersedianya
infrastruktur penudukung pariwisata terutama hotel berbintang dan non bintang secara memadai
yang dikembangkan oleh sektor swasta.
10
Namun demikian, pengembangan pariwisata di daerah tidak sekedar MICE melainkan
terintegrasi dengan wisata alam dan budaya secara baik. Faktor integrasi ini yang menjadi
masalah sebab objek wisata yang ditonjolkan hanya Bunaken, Bukit Kasih, dan Danau Tondano,
padahal Sulawesi Utara memiliki banyak objek wisata alam yang bagus namun tidak dikelola
dengan serius oleh pemerintah yang dapat diintegrasikan dalam suatu paket wisata yang menarik.
Selain, itu wisata budaya Sulawesi Utara justru mengalami penurunan sebab generasi muda
kebanyakan tidak menguasai tarian daerah, alat musik daerah seperti Kolintang dan Bambu
Seng, serta berbagai kegiatan budaya lain.
Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah di daerah untuk mengembangkan
pariwisata secara serius. Pada tataran kebijakan, pemerintah daerah perlu mengangkat kembali
budaya daerah dan mengembangkan sinergitas antar kabupaten/kota dan juga dengan provinsi
sehingga manfaat pariwisata tidak hanya dirasakan oleh Manado, Bitung, Tomohon, Minahasa,
dan Minahasa Utara, namun juga dinikmati oleh kabupaten/kota lain.
3. Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan kondisi ekonomi dan fiscal yang ada di Sulawesi Utara, maka dikemukakan
beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut.
1. Penurunan hasil pertanian salah satunya disebabkan oleh alih fungsi lahan. Oleh
sebab itu, perlu penegakan aturan terhadap pelanggaran Rencana Tata Ruang dan
Wilayah (RTRW) yang ada.
2. Secara umum industri pengolahan di Sulawesi Utara tumbuh melambat, terutama
yang berbahan baku lokal seperti perkebunan dan perikanan. Oleh sebab itu,
pemerintah perlu mendorong peremajaan tanaman perkebunan terutama kelapa. Di
samping itu, meningkatkan upaya pengawasan perairan Sulawesi Utara terhadap
aktivitas illegal fishing. Bagi oknum aparat yang terlibat dalam kegiatan tersebut
perlu diteliti dan ditindak tegas.
3. Kemampuan pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Utara dalam meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah sangat terbatas. Hal ini disebabkan: (1) kemampuan ekonomi
daerah yang terbatas karena pemekaran daerah yang tidak memperhatikan fakta
ekonomi; dan (2) tax base pajak kabupaten/kota umumnya sangat rendah bagi
kabupaten/kota yang bukan ibukota provinsi.misalnya pajak hotel, pajak restoran, dan
11
pajak parkir. Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan moratorium kembali
pemekaran daerah yang saat ini lebih mengedepankan unsur SARA serta mengatur
kembali pajak dan retribusi sehingga tidak menimbulkan ketimpangan yang mendasar
antar kabupaten/kota.
4. Sebagian besar belanja pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Utara dialokasikan
untuk belanja pegawai. Di satu sisi belanja modal terabaikan, bahkan lebih buruknya
lagi belanja modal kebanyakan digunakan untuk fasilitas yang tidak terkait langsung
dengan kepentingan umum, seperti pembelian mobil dinas. Oleh sebab itu,
pemerintah daerah perlu melakukan analisis beban kerja yang baik untuk menentukan
jumlah pegawai yang wajar. Setelah perlu dilakukan kebijakan pertumbuhan
negatif hingga komposisi yang wajar tercapai.
5. Pemerintah daerah perlu mendorong pengembangan budaya daerah terutama pada
generasi muda. Salah satu caranya adalah melakukan lomba secara berkala untuk
tarian dan alat musik daerah mulai bangku SD sampai perguruan tinggi dalam rangka
mengembangkan minat generasi muda dan memperkuat strategi Sulawesi Utara
menjadi destinasi wisata unggulan.
1
Analisis Ekonomi dan Fiskal Provinsi Sulawesi Utara
Triwulan II-2013
1. Kondisi Makro Ekonomi Sulawesi Utara
1.1 Perkembangan Ekonomi Sulawesi Utara
Selama Triwulan II-2013, Sulawesi Utara memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang
cukup baik dimana tumbuh 7,21% dibanding triwulan yang sama tahun 2012 (y.o.y). Namun
demikian angka pertumbuhan ini sedikit lebih rendah dibanding pertumbuhan Triwulan I-2013.
Kondisi ini agak berbeda dengan kelaziman yang terjadi pada perekonomian Sulawesi Utara
dimana pertumbuhan Triwulan II selalu tumbuh lebih tinggi dibanding Triwulan I. Penyebab
utama perlambatan ini adalah menurunnya kinerja ekonomi nasional yang memberi dampak ke
daerah serta menurunnya nilai ekspor Provinsi Sulawesi Utara pada Semester I-2013 akibat krisis
ekonomi berkepanjangan di Uni Eropa yang menjadi salah satu tujuan ekspor utama provinsi ini
dan penurunan harga komoditas ekspor terutama kopra dan minyak kelapa kasar (crude coconut
oil-CCO).
Secara sektoral, Sektor Keuangan, Sewa, dan Jasa Perusahaan mencetak pertumbuhan
tertinggi pada Semester I-2013, yaitu 15,68%. Sementara perbandingan antar triwulan, pada
Triwulan II-2013 sektor tersebut tumbuh 15,05% di mana relatif lebih rendah dibanding
Triwulan I-2013, yaitu 16,38%. Pertumbuhan sektor ini terutama karena bertambahnya gerai
lembaga keuangan bank dan non bank di Kota Manado, baik ekspansi dari perusahaan keuangan
yang sudah ada sebelumnya maupun perusahaan pendatang baru. Ranking kedua dalam
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara pada Semester I-2013 adalah Sektor Perdagangan, Hotel,
dan Restoran (PHR) yang tumbuh sebesar 11,07%. Sektor ini mengalami pertumbuhan pada
Triwulan II sebesar 11,4% dimana lebih tinggi dari Triwulan I (10,7%). Selanjutnya, Sektor
Listrik, Air, dan Gas menempati ranking ketiga, yaitu 8,82%. Pada Triwulan I-2013 sektor ini
hanya tumbuh sebesar 4,26% dan meningkat jauh pada Triwulan II-2013, yaitu 13,56%.
Berdasarkan kontribusi, perekonomian Sulawesi Utara pada Semester I-2013 masih
didominasi oleh Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) dengan kontribusi di atas
17,6%. Di sisi lain, Sektor Pertanian menempati urutan ketiga (16,3%) dalam kontribusi setelah
Sektor Konstruksi (16,6%). Data PDRB Sektoral pada Semester I-2013 selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 1.
2
Sektor Pertanian sebelumnya mendominasi perekonomian Sulawesi Utara. Namun
kontribusi sektor ini kemudian menurun pada dua tahun terakhir yang disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, terjadi alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan menjadi kawasan perumahan
dan bisnis. Kedua, terjadi peralihan tenaga kerja Sektor Pertanian ke Sektor Transportasi dan
Sektor PHR terkait berkembang pesat kedua sektor. Ketiga, masih terdapat ketergantungan yang
tinggi para petani terhadap bantuan pemerintah sehingga bila bantuan pemerintah berkurang,
maka hasil produksi pertanian, khususnya tanaman makanan. Keempat, terjadinya illegal fishing
dan penjualan langsung di tengah laut oleh nelayan lokal kepada nelayan asing yang semakin
tidak terkendali.
Tabel 1 PDRB Sektoral Semester I-2013, Provinsi Sulawesi Utara
Sumber: Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara, 2013
Dari aspek penggunaan, perekonomian Sulawesi Utara masih ditopang oleh Konsumsi
Rumah Tangga. Pada Semester I-2013, Konsumsi Rumah Tangga memberi kontribusi sebesar
46,7% terhadap total PDRB dengan rincian untuk Triwulan I-2013 sebesar 48,9% dan Triwulan
II-2013 sebesar 44,8%. Selanjutnya, Ekspor (luar negeri dan antar pulau) sesungguhnya
menduduki ranking kedua dalam kontribusi, yaitu 36,7% pada Semester I-2103. Namun
demikian, porsi Impor (luar negeri dan antar pulau) terhadap PDRB lebih besar dari porsi Ekspor
sehingga Ekspor Neto menjadi minus 4,6% pada semester tersebut. Ini menyebabkan
penyumbang kedua terbesar bagi PDRB Sulawesi Utara adalah Investasi yang terdiri dari
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dan Perubahan Stok, yaitu sebesar 26,7% untuk
Semester I-2013. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
3
Tabel 2 PDRB Berdasarkan Pengeluaran Semester I-2013, Provinsi Sulawesi Utara
Sumber: Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara, 2013
Kegiatan investasi di Sulawesi Utara pada beberapa tahun terakhir banyak dilakukan
pada Sektor PHR dan Konstruksi. Namun sayangnya, sebagian besar dilaksanakan di Kota
Manado sedangkan kabupaten/kota lain di Sulawesi Utara terutama di daerah kepulauan masih
minim investasi. Ini memperlebar kesenjangan ekonomi Kota Manado dengan daerah lain di
provinsi ini. Kendala utama investasi di daerah-daerah tersebut adalah minimnya ketersediaan
listrik serta sarana dan prasarana perhubungan, terutama jalan dan pelabuhan.
1.2 Tingkat Inflasi,
Pada Juni 2013, Sulut mengalami inflasi sebesar 0,21%. Laju inflasi tahun kalender
sebesar 1,82 persen dan inflasi year on year 4,95%. Inflasi terjadi karena adanya kenaikan
indeks pada kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan (7,16%); kelompok kesehatan
(0,71%); perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar (0,16%); dan kelompok makanan jadi,
minuman, rokok dan tembakau (0,01%). Sebaliknya, dua kelompok mengalami penurunan
indeks yang mengurangi laju inflasi, yaitu bahan makanan sebesar (-2,36%) dan kelompok
sandang (-0,71%). Kelompok pendidikan tidak mengalami perubahan indeks.
Rendahnya angka inflasi Sulut pada Juni 2013 mengindikasikan bahwa kenaikan harga
BBM subsidi pada akhir Juni belum memberikan efek berlebihan terhadap harga barang dan jasa
pada bulan tersebut. Kenaikan harga banyak terjadi pada komoditas yang berharga rigid, seperti
transportasi, perumahan dan sebagainya yang besaran biaya sangat mempengaruhi harga jual.
Sebaliknya, komoditas dengan harga luwes seperti bahan makanan dan sejenisnya tidak terlalu
4
terpengaruh oleh biaya melainkan oleh ketersediaan pasokannya sehingga menjaga
ketersediaannya sangat penting untuk menjaga kestabilan harga.
1.3 Pengangguran, dan Kemiskinan
Sulawesi Utara mengalami peningkatan jumlah angkatan kerja sebesar 4,91% pada
Pebruari 2013 jika dibandingkan dengan posisi Agustus 2012 menjadi 1,089 juta orang.
Peningkatan juga terjadi pada tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) yang menjadi 64,63%
dibanding 61,93% pada Agustus 2012.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sulawesi Utara terus mengalami tren menurun
hingga mencapai 7,19% pada Pebruari 2013 dimana sebelumnya sebesar 7,79% pada Agustus
2012. Dari aspek wilayah, pengangguran terbesar masih pada daerah perkotaan. TPT perkotaan
dua kali lebih besar dari pedesaan, yaitu 9,87% dibanding 4,83%.
Walaupun TPT Sulawesi Utara menurun pada Pebruari 2013, namun jumlah penduduk
miskin provinsi ini justru mengalami peningkatan pada Maret 2013 dibanding September 2012.
Jumlah penduduk miskin pada Maret 2013 sebanyak 184,40 ribu jiwa atau 7,88% dari total
penduduk Sulawesi Utara dimana lebih tinggi dari September 2012 yang sebesar 7,64%.
Kenaikan kemiskinan pada 2013 terutama disebabkan migrasi penduduk dari daerah lain yang
membawa tanggungan keluarga yang belum masuk angkatan kerja. Ini mengakibatkan
pendapatan yang diperoleh penanggung kurang mencukupi kehidupan layak bagi keluarganya.
Tingkat kemiskinan di pedesaan masih lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan.
Tingkat kemiskinan pedesaan sebesar 9,40% atau 120,59 ribu jiwa sedangkan perkotaan sebesar
6,04% atau 63,81 ribu jiwa. Pada periode September 2012-Maret 2013, tingkat kemiskinan di
pedesaan mengalami peningkatan (0,71%), sebaliknya perkotaan mengalami penurunan sebesar
0,32%.
2. Perkembangan Fiskal Sulawesi Utara
2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Pada Triwulan I-2013, realisasi pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sebesar
Rp 527,18 miliar atau 27,52% dari target pendapatan pada APBD Murninya. Dari jumlah yang
pendapatan yang terealisasi, sebesar 67,54% berasal dari Dana Transfer1, dan 32,46% berasal
1 Dana transfer mencakup Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Bagi Hasil, dan Dana Penyesuaian
5
dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bila dibandingkan dengan pendapatan pada APBD Murni,
selama triwulan tersebut, Dana Transfer telah terealisasi sebesar 28,14%, sementara PAD yang
terealisasi sebesar 26,31%. Capaian di atas 25% pada satu triwulan, baik total pendapatan
maupun PAD, mengindikasikan kinerja pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sedikit
di atas rata-rata. Data pendapatan diperlihatkan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Pada tingkatan kabupaten/kota, dari data kabupaten/kota di Sulawesi Utara yang tersedia,
Kota Kotamobagu menduduki ranking pertama dalam capaian target pendapatan pada Triwulan
I-2013. Realisasi total pendapatan kota tersebut sebesar 34,46% dari target 2013 dimana Dana
Transfer telah mencapai 34,46% dan PAD telah mencapai 29,23%. Di sisi lain, capaian target
terendah terjadi di Kabupaten Kepulauan Sitaro dimana realisasi total pendapatan masih sebesar
19,09% dengan rincian realisasi Dana Transfer sebesar 19,41% dan PAD sebesar 11,27%.
Selanjutnya, capaian pendapatan Kota Manado yang merupakan ibukota provinsi sedikit di atas
rata-rata, yaitu realisasi total pendapatan sebesar 31,79% dimana realisasi Dana Transfer sebesar
33,17% dan realisasi PAD sebesar 26,32%.
Tabel 3 Total Pendapatan dan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Provinsi dan Beberapa
Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan-Kementerian Keuangan, 2013
Bila mempertimbangkan tingkat kemandirian, porsi PAD terhadap total pendapatan
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara masih belum terlalu tinggi. Pada Triwulan I-2013 realisasi
PAD sebesar 32,45% dari total pendapatan. Pada tingkatan pemerintah kabupaten/kota, Kota
Manado memiliki porsi PAD tertinggi, yaitu 15,04%. Angka ini relatif masih rendah untuk
ukuran ibukota provinsi. Di luar Kota Manado, porsi PAD hanya berada pada kisaran 2,5%.
6
Kondisi PAD yang ada membuat pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Utara sulit untuk
mandiri. Dengan demikian kebijakan pemerintah daerah menjadi sangat tergantung pada
kebijakan nasional.
Walaupun realisasi total pendapatan pemerintah Provinsi Sulawesi Utara pada Triwulan
I-2013 telah mencapai 27,52% dari target pendapatan tahun 2013, namun realisasi belanja jauh
lebih rendah, yaitu baru mencapai 10,42%. Untuk Belanja Modal yang dianggap memiliki
multiplier effect yang tinggi, baru terealisasi 1,77%. Ini menyebabkan fungsi belanja pemerintah
untuk mengakselerasi pembangunan di daerah tidak berjalan secara optimal.
Tabel 4 Dana Transfer Pemerintah Provinsi dan Beberapa Kabupaten/Kota
di Sulawesi Utara
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, 2013
Penyebab rendahnya Belanja Modal diantaranya keterlambatan dalam tender, termin
pembayaran yang belum jatuh tempo, maupun kesengajaan pemerintah daerah menahan dana
untuk dibungakan. Bilamana penyebabnya adalah termin pembayaran yang belum jatuh tempo,
maka kondisi tersebut lumrah, namun bila penyebabnya adalah keterlambatan tender dan
kesengajaan menahan dana, maka kondisi ini tidak mendukung tujuan desentralisasi fiskal untuk
percepatan pencapaian perluasan kesejahteraan masyarakat. Kondisi belanja pemerintah daerah
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Pada tingkatan pemerintah provinsi, selama Triwulan I-2013, sebanyak 47,32% dari
belanja yang telah direalisasikan digunakan untuk Belanja Pegawai serta 18,82% dialokasi untuk
Belanja Barang dan Jasa. Di sisi lain, untuk Belanja Modal mendapat alokasi 3,12%. Komposisi
7
belanja ini belum memadai untuk mendukung peran pemerintah sebagai agen pembangunan di
daerah.
Alokasi yang lebih buruk terjadi pada pemerintah kabupaten/kota dimana porsi Belanja
Pegawai di atas 63%. Porsi Belanja Pegawai terendah pada Triwulan I-2013 terjadi pada
pemerintah Kabupaten Sitaro yaitu sebesar 63,25% dan tertinggi terjadi pada pemerintah
Kabupaten Minahasa Selatan yaitu sebesar 92,94%. Untuk Belanja Modal, porsi terendah pada
triwulan yang sama terjadi pada Kabupaten Minahasa Selatan yang sebesar 0,32%. Sebaliknya
porsi Belanja Modal terbesar dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sitaro yang sebesar 17,05%.
Tabel 5 Beberapa Kelompok Belanja Pemerintah Provinsi dan Beberapa Kabupaten/Kota
di Sulawesi Utara
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, 2013
Persoalan Belanja Modal tidak semata pada alokasi yang rendah. Persoalan yang lebih
mendasar yaitu kebanyakan Belanja Modal digunakan untuk pengeluaran yang tidak menyentuh
secara langsung kepentingan masyarakat dan kegiatan perekonomian, seperti pembelian mobil
dinas dan perbaikan kantor pemerintah. Ini mengakibatkan banyak jalan rusak yang tidak
diperbaiki serta minimnya pelebaran jalan yang dibiayai dengan APBD.
Rendahnya PAD dan Belanja Modal membawa persoalan bagi otonomi daerah.
Rendahnya PAD mengindikasikan rendahnya kemandirian daerah sehingga tidak sejalan dengan
hakikat otonomi daerah yang menekankan pada pengurangan ketergantungan pemerintah daerah
terhadap pemerintah pusat. Di sisi Belanja Modal, rendahnya jenis belanja tersebut
memperlambat pembangunan ekonomi di daerah terutama berkaitan dengan ketersediaan
infrastruktur secara memadai.
8
2.2 Realisasi Dana Dekonsentrasi di Sulawesi Utara
Dana Dekonsentrasi Sulawesi Utara tahun 2013 yang telah direalisasikan hingga 28
Agustus 2013 sebesar Rp 94,01 miliar untuk 29 kegiatan dengan jangkauan 15 kabupaten/kota
sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 6. Angka realisasi ini setara dengan 46,05% nilai pagu
kegiatan-kegiatan tersebut. Bila dikaitkan dengan bulan berjalan yang telah mencapai hampir 8
bulan, maka persentase realisasi tersebut yang sebesar 46,05% relatif masih rendah. Oleh sebab
itu, upaya percepatan penyerapan Dana Dekonsentrasi perlu menjadi perhatian.
Tabel 6 Pagu dan Realisasi Dana Dekonsentrasi di Sulawesi Utara
Periode Januari hingga 28 Agustus 2013
Sumber: Kanwil Anggaran Kementerian Keuangan di Sulawesi Utara, 2013
Sebagian besar Dana Dekonsentrasi berasal dari Kementerian Dalam Negeri yang
berjumlah 22 kegiatan, dan sisanya sebanyak 7 kegiatan berasal dari Kementerian Pekerjaan
Umum. Selanjutnya, bila ditinjau dari jenis belanja, sebanyak 18 kegiatan berupa Belanja
Bantuan Sosial sedangkan 11 kegiatan berupa Belanja Barang. Dengan demikian, tidak ada
satupun kegiatan yang berhubungan langsung dengan Belanja Modal. Oleh sebab itu, alokasi
9
Dana Dekonsentrasi ini belum selaras dengan kebutuhan mendesak Sulawesi Utara untuk
mengakselerasi pembangunan. Selama ini, kondisi infrastruktur perhubungan dan energi masih
menjadi ganjalan dalam meningkatkan investasi di Sulawesi Utara. Oleh karenanya, alokasi
Dana Dekonsentrasi seharusnya lebih dititikberatkan pada pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur tersebut.
BOKS
Persiapan Pelabuhan Bitung Menjadi International Hub Port (IHP) dan Kawasan
Ekonomi Khusus
Konektivitas domestik merupakan masalah mendasar yang dihadapi Indonesia hingga
saat ini. Kondisi ini telah mengakibatkan mahalnya biaya transportasi yang berujung pada
tingginya biaya hidup masyarakat serta rendahnya daya saing produk Indonesia di luar negeri.
Kondisi ini tidak sejalan dengan keunggulan komparatif Indonesia dalam sumber daya alam
dibanding kebanyakan negara di dunia yang semestinya memberikan daya saing produk yang
tinggi. Selain itu, Indonesia yang belum memiliki International Hub Port (IHP) seperti negara
tetangga, Singapura dan Malaysia. Selama ini kebanyakan kegiatan ekspor-impor Indonesia
memanfaatkan IHP Singapura sehingga menyebabkan Indonesia selalu mengalami defisit
perdagangan jasa yang sangat besar terutama pada Neraca Jasa.
Untuk konektivitas Indonesia dengan dunia luar, setidaknya Indonesia membutuhkan dua
IHP yang berada di bagian utara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan bagian utara Kawasan
Timur Indonesia (KTI). Dalam konteks ini, salah satu kandidat IHP di KTI adalah Pelabuhan
Bitung-Sulawsi Utara. Ini sesuai dengan posisi strategis Sulawesi Utara yang berada di tengah
antara Indonesia dan Australia di bagian selatan dengan negara-negara Asia Pasifik di bagian
utara.
Salah satu upaya awal pembangunan IHP di Pelabuhan Bitung, pemerintah lewat Pelindo
telah melakukan pelebaran dermaga peti kemas. Panjang dermaga yang telah diperlebar sudah
mencapai 358 meter dengan anggaran Rp 318 miliar untuk tahun 2013 dari total anggaran
keseluruhan sebesar Rp 2 triliun. Direncanakan pada 2014 dan beberapa tahun ke depan panjang
dermaga peti kemas yang akan diperlebar sepanjang 1000 meter. Dengan pelebaran ini
diharapkan dapat menampung kontainer 2,5 juta unit per tahun dimana saat ini baru dapat
10
menampung 200 ribu unit per tahun. Khususnya untuk tahun 2014, PT. Pelindo menargetkan
pelebaran dermaga untuk dapat merapatnya dua kapal kontainer sekaligus yang melakukan
kegiatan bongkar muat.
Keberadaan IHP dapat mendorong perkembangan pesat kawasan ekonomi yang berada di
sekitar IHP. Dalam perencanaan pembangunan nasional, di Bitung juga akan dibangun Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Merah. Saat ini, Pemerintah Kota Bitung telah menyediakan
lahan untuk KEK seluas 536 ha. Penambahan selanjutnya lewat reklamasi pantai dan
penimbunan rawa sehingga luas lahan KEK dapat mencapai 1.050 ha dan dapat diperluas lagi
menjadi 2.000 ha. Keberadaan IHP Bitung dan KEK Tanjung Merah dapat menimbulkan
sinergitas yang besar bagi perkembangan ekonomi Sulawesi Utara dan provinsi sekitar. Dengan
demikian diharapkan dapat mempercepat pemerataan pembangunan antar kawasan di Indonesia
dan memperbaiki sistem logistik Indonesia saat ini yang berbiaya tinggi***
3. Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan kondisi ekonomi dan fiskal yang ada di Sulawesi Utara, maka dikemukakan
beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut.
1. Penurunan hasil pertanian salah satunya disebabkan oleh alih fungsi lahan. Oleh
sebab itu, perlu penegakan aturan terhadap pelanggaran Rencana Tata Ruang dan
Wilayah (RTRW) yang ada.
2. Secara umum industri pengolahan di Sulawesi Utara tumbuh melambat, terutama
yang berbahan baku lokal seperti perkebunan dan perikanan. Oleh sebab itu,
pemerintah perlu mendorong peremajaan tanaman perkebunan terutama kelapa. Di
samping itu, meningkatkan upaya pengawasan perairan Sulawesi Utara terhadap
aktivitas illegal fishing. Bagi oknum aparat yang terlibat dalam kegiatan tersebut
perlu diteliti dan ditindak tegas.
3. Kemampuan pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Utara dalam meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah sangat terbatas. Hal ini disebabkan: (1) kemampuan ekonomi
daerah yang terbatas karena pemekaran daerah yang tidak memperhatikan fakta
ekonomi; dan (2) tax base pajak kabupaten/kota umumnya sangat rendah bagi
kabupaten/kota yang bukan ibukota provinsi.misalnya pajak hotel, pajak restoran, dan
pajak parkir. Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan moratorium kembali
11
pemekaran daerah yang saat ini lebih mengedepankan unsur SARA serta mengatur
kembali pajak dan retribusi sehingga tidak menimbulkan ketimpangan yang mendasar
antar kabupaten/kota.
4. Sebagian besar belanja pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Utara dialokasikan
untuk belanja pegawai. Di satu sisi belanja modal terabaikan, bahkan lebih buruknya
lagi belanja modal kebanyakan digunakan untuk fasilitas yang tidak terkait langsung
dengan kepentingan umum, seperti pembelian mobil dinas. Oleh sebab itu,
pemerintah daerah perlu melakukan analisis beban kerja yang baik untuk menentukan
jumlah pegawai yang wajar. Setelah perlu dilakukan kebijakan pertumbuhan
negatif hingga komposisi yang wajar tercapai.
5. Pemerintah pusat perlu bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk mempercepat
realisasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan International Hub Port (IHP) di
Sulawesi Utara agar mempercepat pertumbuhan ekonomi kawasan dan memperbaiki
sistem logistik nasional yang selama ini berbiaya tinggi.
Analisis Ekonomi dan Fiskal Provinsi Sulawesi Utara Tw III-2013.pdfRevisi Analisis Ekonomi dan Fiskal Provinsi Sulawesi Utara Tw II-2013
Top Related