MANOKWARI
2018
LAPORAN PENELITIAN
MONITORING HABITAT PERAIRAN PADA BLOK RKT DAN
DERMAGA LOGPOND SIMEI, SERTA LOGPOND MANDIRI
DI WILAYAH KERJA PT. WIJAYA SENTOSA
KABUPATEN TELUK WONDAMA
KERJASAMA
Disusun Oleh :
SIMON P. O. LEATEMIA, S.Pi, M.Si EMMANUEL MANANGKALANGI, S.Pi, M.Si
LUKY SEMBEL, S.Ik, M.Si
i
KATA PENGANTAR
Pemantauan habitat perairan bertujuan untuk mengetahui kualitas
lingkungan baik sungai maupun laut akibat perubahan-perubahan lingkungan
sekitar yang mempengaruhi. Beberapa parameter penting yang diamati dan
dianalisis dalam pemantauan kualitas lingkungan perairan terdiri atas parameter
kualitas air, plankton, makrozoobentos dan ikan. Dengan pemantauan yang
dilakukan secara berkala, diharapkan setiap perubahan lingkungan dapat
diketahui dan dilaporkan.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
Pimpinan PT Wijaya Sentosa yang telah mensuport dan menginisiasi kegiatan ini
sehingga dapat terlaksana dengan baik. Kami juga berterima kasih kepada Dekan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Papua yang telah
mempercayakan dan mendukung kami untuk melaksanankan kegiatan ini.
Ungkapan terima kasih kami yang dalam kepada Bapak Ismail Eko Yuswantoro
dan tim pada divisi Lingkungan PT Wijaya Sentosa yang telah mensuport dan
banyak membantu pelaksanaan kegiatan ini, terutama saat pengambilan data di
lapangan hingga selesai. Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada
saudara Weliart Aronggear dan Frengky N. Krey yang telah mensuport dan
membantu pengambilan data lapangan. Terima kasih atas segala bantuan dan
kerjasamanya sehingga kami dapat melaksanakan hingga menyelesaikan
pemantauan habitat perairan ini dengan baik. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat dalam pengelolaan habitat perairan yang ada di wilayah kerja PT
Wijaya Sentosa.
Manokwari, November 2018
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... v
I. PENGAHULUAN …………………………………………………............... 1
II. METODE ……………………………………………………………………. 2
Analisis Data ………………………………………………………. 5
III. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 7
3.1 KUALITAS AIR .......................................................................... 7
3.1.1 Sungai ......................................................................... 7 A. Suhu Air ............................................................... 7 B. Kekeruhan ............................................................ 8 C. Kecepatan Aliran .................................................. 9 D. pH Air .................................................................... 10 E. Gas Oksigen Terlarut ............................................ 10 3.1.2 Perairan Pesisir Sekitar Logpond…….................................... 11
3.2 PLANKTON ............................................................................... 13
3.2.1. Sungai ........................................................................... 13 A. Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton
dan Zooplankton ……………………………………...
13 B. Indeks-indeks ekologi Plankton............................... 16 3.2.2 Perairan Pesisir............................................................ .. 20 A. Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton .
dan Zooplankton ......................................................
20 B. Indeks-indeks Ekologi Plankton .............................. 22
3.3 MAKROZOOBENTOS ..................................................................... 24
3.3.1 Komposisi Jenis …………………………………………………. 24 A. Sungai ....................................................................... 24
B. Perairan Pesisir Sekitar Logpond ............................. 26 3.3.2 Kelimpahan Makrozoobentos.......................................... 27 A. Sungai…………………………………………………… 27 B. Perairan Pesisir Sekitar Logpond.............................. 28 3.3.3 Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragamana (E),
Dominansi (C) ........................................................................
29 A. Indeks Keanekaragaman …………………………….. 29 B. Indeks Keseragaman………………………………….. 30 C. Indeks Dominasi…………………………………………….. 30 3.3.4. Tipe Memakan Makrozoobenthos .......................................... 31
iii
3.4 FAUNA IKAN...................................................................................... 33
3.4.1 Struktur Komunitas Ikan di Sungai …………………………….. 33 A. Komposisi dan Persebaran ………………………….. 33 B. Kelimpahan, Indeks Keseragaman dan Dominasi…. 34 C. Kelompok Makan Ikan ………………………………… 35 3.4.2 Struktur komunitas ikan di perairan pesisir (lamun) …………. 37 A. Komposisi dan persebaran …………………………… 37 B. Kelimpahan, Indeks Keseragaman dan Dominasi … 37
3.5 Karakteristik parameter fisik-kimiawi dan struktur biotik di setiap
lokasi sungai serta implikasi kondisi riparia ………………………
39
3.6 REKOMENDASI ……………………………………………………. 43
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 45
LAMPIRAN ………………………………………………………………………… 54
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar
1. Lokasi pengambilan contoh biota di sungai dan perairan
pesisir…………………………………………………………….
3
2. Sebaran suhu di sungai ...................................................... 7
3. Sebaran kekeruhan di sungai ............................................. 8
4. Sebaran kecepatan aliran sungai ........................................ 9
5. Sebaran pH air di sungai ..................................................... 10
6. Sebaran DO air di sunga ..................................................... 11
7 Sebaran beberapa parameter kualitas air di Logbon (laut) . 12
8. Kelimpahan fitoplankton di sungai ....................................... 15
9. Kelimpahan zooplankton di sungai ...................................... 16
10. Indeks keanekaragaman plankton di 6 sungai .................... 17
11. Indeks Keseragaman Plankton di Sungai…………………… 18
12. Indeks dominasi plankton di sungai ..................................... 19
13. Kelimpahan fitoplankton di Logpond ................................... 21
14. Kelimpahan zooplankton di Logpond .................................. 22
15. Indeks-indeks ekologi di Logpond Laut ............................... 23
16. Indeks keanekaragaman makrozoobentos ......................... 29
17. Indeks keseragaman makrozoobentos ............................... 30
18. Indeks dominasi makrozoobentos ...................................... 31
19. Persentase tipe memakan makrozoobentos di sungai ........ 32
20 Model konseptual yang menggambarkan mekanisme transfer energi dan material oleh vegetasi riparia ke dalam ekosistem sungai yang berdampak pada komunitas ikan (Pusey dan Arthington, 2003)………………………………..
41
21. Fluktuasi harian suhu air di tiga segmen sungai dengan
kondisi hutan yang berbeda di Pennsylvania. (atas) April,
(tengah) Juni, dan (bawah) Oktober (dimodifikasi dari
Lynch et al. 1984)……………………………………………….
42
v
DAFTAR TABEL
Tabel
1. Posisi geografi dan elevasi setiap lokasi…………………… 2
2. Kriteria struktur komunitas................................................... 6
3. Komposisi plankton di sungai-sungai sekitar PT Wijaya Sentosa ...............................................................................
13
4. Komposisi Plankton di logpond sekitar PT Wijaya Sentosa 20
5. Komposisi makrozoobentos pada tiap lokasi di sungai 25
6. Komposisi makrozoobentos pada lokasi logpond ............... 26
7. Kelimpahan makrozoobentos di 6 sungai (ind/m2) .............. 27
8. Kelimpahan makrozoobentos di Logbon (ind/m2) .............. 28
9. Komposisi dan persebaran spesies ikan yang ditemukan di sungai …………………………………………………………...
33
10. Komposisi dan persebaran spesies ikan yang ditemukan pada beberapa sungai di Papua………………………………
34
11. Kepadatan individu setiap spesies ikan yang ditemukan di sungai.......................................................................................
35
12. Indeks keanekaragaman dan dominasi komunitas ikan yang ditemukan pada setiap lokasi di sungai ..................................
35
13. Komposisi makanan ikan yang ditemukan pada lokasi penelitian ………………………………………………………..
36
14. Komposisi spesies dan sebarannya di kedua hamparan lamun ......................................................................................
37
15. Kelimpahan spesies ikan di kedua hamparan lamun ............. 38
16. Jumlah spesies, indeks keanekaragaman dan dominasi ....... 38
17. Karakteristik parameter fisik-kimiawi dan komunitas biotik serta implikasi kondisi vegetasi riparia ………………………
40
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Lokasi pengukuran parameter kualitas air dan pengambilan
contoh plankton, makrozoobentos dan ikan di wilayah
operasional PT Wijaya Sentosa …………………….
55
2. Beberapa contoh kelompok plankton yang ditemukan pada
system sungai dan perairan pesisir di wilayah operasional PT
Wijaya Sentosa..............................................................
59
3 Beberapa contoh makrozoobentos yang ditemukan pada
sistem sungai di wilayah operasional PT Wijaya Sentosa….
60
4 Contoh kelompok ikan yang ditemukan pada sistem sungai di
wilayah operasional PT Wijaya Sentosa……………………….
61
5 Contoh kelompok ikan yang ditemukan pada system perairan
pesisir di wilayah operasional PT Wijaya
Sentosa………………………………………………………………
62
1
PENDAHULUAN
Sistem sungai merupakan suatu ekosistem yang tersusun dari berbagai sistem
biologis yang saling berinteraksi di antara komponen-komponennya dengan lingkungan
sebagai habitatnya. Oleh karena itu, struktur komunitas biologis dalam sistem sungai,
secara alami akan dipengaruhi oleh variasi habitat di sungai (Vannote et al., 1980;
Minshall, 1988; Williams et al., 2003), kondisi daerah tangkapan air setempat (Richards
& Host, 1994; Wang et al., 1997; Meador & Goldstein, 2003), dan juga gangguan yang
terjadi secara alami, terkait dengan perubahan hidrologi (banjir dan kekeringan) dan
geomorfologi (sedimentasi) sungai (Resh et al., 1988; Ward, 1998; Lake, 2000). Namun
demikian, pada kenyataannya banyak perairan sungai yang mengalami perubahan yang
diakibatkan berbagai aktivitas antropogenik, di antaranya praktek pengambilan kayu.
Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan potensial dampak dari aktivitas
penebangan hutan, termasuk penurunan oksigen terlarut (Binkley & Brown, 1993),
peningkatan sedimentasi (Lockaby et al., 1997), perubahan terhadap geomorfologi
sungai atau masukan kayu (Ralph et al., 1994; Poole et al., 1997), meningkatkan tingkat
nutrien dan masukan cahaya matahari sehingga menghasilkan peledakan pertumbuhan
alga secara luas (Ensign & Mallin, 2001), dan perubahan jangka pendek dan jangka
panjang pada struktur komunitas makrozoobentos dan ikan (Silsbee & Larson, 1983;
Campbell & Doeg, 1989; Williams et al., 2002). Kondisi lingkungan sungai yang sudah
terganggu tidak akan mendukung proses siklus hidup (misalnya reproduksi dan
pertumbuhan) komunitas biologinya, termasuk kelompok ikan (Schlosser, 1982; 1985),
sehingga ekosistem tersebut tidak sehat.
Ekosistem yang sehat adalah ekosistem yang berkelanjutan, yaitu memiliki
kemampuan untuk mempertahankan struktur dan fungsinya dari waktu ke waktu dalam
menghadapi tekanan eksternal (Costanza & Mageau 1999). Kemampuan
mempertahankan struktur dan fungsi dari waktu ke waktu dalam menghadapi tekanan
eksternal mengambarkan kestabilan suatu ekosistem. Oleh karena itu, untuk
mengetahui masih stabil atau tidaknya suatu ekosistem sungai, setelah adanya aktivitas
antropogenik dan untuk upaya pemulihannya, maka perlu adanya aktivitas pemantauan
terkait ada atau tidaknya perubahan struktur komponen-komponen penyusunnnya.
Pemantauan di antaranya dilakukan melalui indikator-indikator biotik dan abiotik.
Indikator biotik yang paling umum dan sederhana dari kesehatan ekosistem adalah
keanekaragaman spesies. Secara umum diasumsikan bahwa suatu penurunan dalam
keanekaragaman spesies akan berkaitan dengan penurunan dalam kesehatan
ekosistem dan peningkatan gangguan antropogenik.
2
Oleh karena itu, terkait dengan kegiatan operasional yang dilakukan oleh PT.
Wijaya Sentosa, maka dilakukan kajian kondisi biotik dan abiotik sistem sungai yang
terdapat dalam blok RKT dan perairan pesisir di sekitar logpond untuk mengetahui
kondisi kestabilan ekosistem sungai dan perairan pesisir. Adapun tujuan dilakukan
kajian ini secara khusus, yaitu:
1. Mendeskripsikan parameter fisik dan kimiawi habitat biotik di sistem sungai (blok
RKT) dan perairan pesisir (dermaga logpond Mandiri dan Simei) PT. Wijaya Sentosa.
2. Mendeskripsikan keanekaragaman komunitas plankton, makrozoobentos, dan ikan
yang terdapat pada sistem sungai (blok RKT) dan perairan pesisir (dermaga logpond
Mandiri dan Simei) PT. Wijaya Sentosa.
3. Mendeskripsikan kelimpahan komunitas plankton, makrozoobentos, dan ikan yang
terdapat pada sistem sungai (blok RKT) da perairan pesisir (dermaga logpond Mandiri
dan Simei) PT. Wijaya Sentosa.
METODE
Contoh plankton, makrozoobentos, dan ikan dikumpulkan dari berbagai sistem
sungai (blok RKT) dan perairan pesisir (dermaga logpond Simei dan Mandiri) PT. Wijaya
Sentosa di Kabupaten Teluk Wondama (Gambar 1 dan Lampiran 1) mulai dari 7-12
Agustus 2018. Posisi geografi dan elevasi dari setiap lokasi pengambilan contoh biota
ditunjukkan pada Tabel 1. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Perikanan-FPIK,
Universitas Papua.
Tabel 1. Posisi geografi dan elevasi setiap lokasi.
Lokasi Kode Posisi geografi Elevasi
(m.d.p.l.) Keterangan
Ekosistem Sungai Sungai Wowor L1 0412459, 9710394 139 Sungai Yawarone L2 0412904, 9716592 294 Sungai Karwaroi L3 0412592, 9714660 99 Sungai Waro (bag, ke arah hilir dari jembatan)
L4 0410293, 9708518 5-7 Aktivitas pembuatan jalan logging dan rencana produksi tahun 2019
Sungai Waro (bag, ke arah hulu dari jembatan)
L5 0411290, 9708458 5-7
Sungai Weririr L8 0412916, 9719033 141 Aktivitas logging, pembuatan jalan dan jembatan PU
Perairan Pesisir (Ekosistem lamun) Sekitar Logpond Mandiri L6 0431391, 9697187 0 Sekitar Logpond Simei L7 0430037, 9706460 0
3
Gambar 1. Lokasi pengambilan contoh biota di sungai dan perairan pesisir.
4
Pada setiap lokasi di sistem sungai dilakukan pengukuran parameter kualitas air
pada dua tipe habitat yaitu aliran deras dan aliran lambat. Parameter kualitas air yang
diukur meliputi kecepatan aliran, suhu, oksigen terlarut (OT meter), pH (pH meter), dan
kekeruhan (HI 93703 microprocessor turbidity meter). Selain itu juga dilakukan
pengukuran lebar genangan air pada segmen sungai di setiap lokasi.
Dalam penelitian ini juga dilakukan analisis substrat dasar perairan. Sampel
substrat yang dianalisis, dikeringkan dalam oven listrik dengan suhu 60ºC selama 24
jam, sampai berat substrat menjadi konstan. Sampel substrat yang kering diayak sesuai
dengan skala Wenworth/Udden, dengan bukaan mesh size ayakan > 64 mm (kerikil)
sampai < 38 µm (lempung) (Eleftheriou & McIntyre, 2005). Sampel yang masuk kategori
kerakal sampai butiran, yang berukuran dari > 64 mm, 32 mm, 16 mm, 8 mm, 4 mm
diayak secara manual. Selanjutnya sampel substrat kering dengan kategori pasir,
lempung dan liat diayak menggunakan sieve shaker dengan bukaan mesh size ayakan
2 mm, 1 mm, 500 µm, 250 µm, 125 µm, 63 µm, 38µm, < 38 µm. Hasil ayakan selanjutnya
ditimbang berdasarkan mesh size ayakan menggunakan timbangan digital dengan
tingkat ketelitian 0,001 g.
Pengumpulan contoh plankton dilakukan menggunakan plankton net (ukuran
mata jaring 40 μm) dan volume air sungai yang disaring sebanyak 50 liter, dan
makrozoobentos dengan alat surber berukuran 0,25 m2. Contoh dari kedua kelompok
organisme ini selanjutnya diawetkan dengan larutan lugol untuk plankton dan larutan
formalin 4 % yang diberi pewarna Rose Bengal untuk makrozoobentos agar
memudahkan pemilahannya dari partikel sedimen (Hauer & Resh 2007).
Di Laboratorium, contoh plankton diidentifikasi menggunakan mikroskop dengan
mengacu pada (Davis, 1955; Yamaji, 1979). Sedangkan contoh makrozoobentos
diidentifikasi dengan mengamati karakter morfologinya dengan menggunakan mikroskop
mengikuti petunjuk Needham & Needham (1963); McCafferty (1983); Carver et al. (1996);
Colless dan McAlpine (1996); Lawrence dan Britton (1996); Neboiss (1996); Nielsen dan
Common (1996); Peters dan Campbell (1996); Watson dan O’Farrell (1996); Bouchard
(2004); Pescador dan Richard (2004); dan Pescador et al. (2004) sampai tingkatan taksa
terdekat. Berdasarkan referensi tersebut juga selanjutnya dikelompokkan status trofiknya,
ke dalam kategori tipe pemakan yang meliputi pengumpul (collector/gatherer), penyaring
(filterer), pencabik (shredder), pengaruk (scraper/grazer), dan pemangsa (predator).
Pengumpulan contoh ikan pada sistem sungai dilakukan dengan electric shock
pada areal yang telah dibatasi dengan jaring pembatas (Vadas & Orth 1993, Mazzoni et
al. 2000), sedangkan contoh ikan di hamparan lamun mengacu kepada Edgar et al.
5
(2001) menggunakan modifikasi jaring pukat berukuran panjang 100 m dan tinggi 1,8 m.
Jaring diletakkan di bidang hamparan lamun dengan cara ditarik kedua ujungnya
sehingga membentuk lingkaran dengan luas sekitar 795,45 m2. Contoh ikan yang telah
dikumpulkan berdasarkan lokasi selanjutnya diawetkan dengan larutan formalin 4%. Di
laboratorium, contoh ikan selanjutnya dipindahkan ke dalam larutan alkohol 70%. Setiap
contoh ikan diidentifikasi dengan mengamati karakter morfologinya yang mengacu pada
petunjuk Allen (1991, 1995), Kottelat et al. (1993), Allen et al. (2000a), dan Pusey et al.
(2004).
Analisis Data
Kelimpahan
Kelimpahan plankton dihitung dengan Sedgewick-Rafter Cell menggunakan
rumus sebagai berikut (Umaly & Cuvin 1988):
SxWxDxL
CplanktonKelimpahan = ,
dengan C = jumlah plankton yang dihitung, L = panjang strip (50 mm), D = kedalaman strip
(1 mm), W = lebar strip (1 mm), dan S = jumlah strip yang dihitung.
Kelimpahan makrozoobentos dihitung berdasarkan jumlah individu yang terdapat
dalam luasan surber dengan menggunakan rumus:
A
nKelimpahan i=
dengan ni = jumlah individu kelompok makrozoobentos dan A = luas areal pengambilan
contoh makrozoobentos (m2). Demikian juga dengan kelimpahan ikan, dianalisis
berdasarkan jumlah individu yang terdapat dalam areal yang dibatasi oleh jaring.
Indeks Keanekaragaman, Dominasi dan Keseragaman
Indeks keanekaragaman dihitung dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener
(Krebs, 1989) dengan rumus:
=
−=s
1ii2i )plogx(pH'
dengan H’ = indeks keanekaragaman, pi = proporsi individu kelompok ke-i (ni) terhadap
total individu seluruh kelompok (N).
Indeks dominasi dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh
Odum (1993) sebagai berikut:
6
=
=
s
1i
2
N
niC ,
dengan C = indeks dominasi, ni = jumlah individu kelompok ke-i dan N = jumlah total
individu seluruh kelompok. Nilai indeks ini berkisar di antara 0 dan 1. Jika nilainya
semakin kecil menunjukkan bahwa tidak ada spesies yang mendominasi, dan
sebaliknya jika nilainya semakin besar nilai maka terdapat spesies tertentu yang
dominan (Odum, 1993).
Indeks keseragaman berguna untuk mengetahui sebaran jumlah individu setiap
taksa dalam suatu komunitas. Indeks keseragaman dihitung berdasarkan rumus (Krebs,
1989).
𝐽 =𝐻′
𝑙𝑜𝑔2 𝑆
dengan J = indeks keseragaman, H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, dan S
= jumlah famili
Kriteria struktur komunitas melalui nilai indeks keanekaragaman, dominasi, dan
keseragaman dapat dilihat berdasarkan kategori yang dikembangkan oleh
Setyobudiandy et al. (2009) pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria struktur komunitas
Indeks Kisaran Kategori
Keanekaragaman (H’)
H’ 2 rendah
2,0 H’ 3 sedang
H’ 3,0 tinggi
Dominasi (C)
0,00 C 0,50 rendah
0,50 C 0,75 sedang
0,75 C 1,00 tinggi
Keseragaman (E)
0,00 C 0,50 Komunitas dalam kondisi tertekan
0,50 C 0,75 Komunitas dalam kondisi labil
0,75 C 1,00 Komunitas dalam kondisi stabil
7
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kualitas Air
3.1.1 Sungai
A. Suhu Air
Suhu air di antara lokasi penelitian sangat bervariasi berdasarkan waktu
pengukuran. Hasil pengukuran suhu air pada setiap lokasi penelitian berdasarkan waktu
ditampilkan pada Gambar 2. Kondisi pagi hari serta bergerimis saat pengambilan di
sungai Wowor. Suhu air yang berbeda di antara lokasi penelitian diduga berkaitan
dengan perbedaan waktu pengukuran dan kondisi naungan vegetasi riparian (Sembel,
2012). Lokasi di sungai Wowor cenderung lebih tertutup vegetasi ripariannya
dibandingkan lokasi sungai yang lain. Kondisi sungai yang lebih terbuka memungkinkan
cahaya matahari sampai ke permukaan perairan sehingga suhu air menjadi lebih tinggi.
Keberadaan hutan riparian sebagai penyanggah memberikan dampak terhadap suhu air
sungai yang menjadi lebih dingin dan kurang berfluktuasi, baik secara harian maupun
musiman, jika dibandingkan sungai yang berada di sekitar padang rumput (Chen dan
Chen, 1994; Sweeney, 1992).
Gambar 2. Sebaran suhu di sungai
Selain berkaitan dengan proses biokimia dalam air, suhu merupakan suatu faktor
yang mengontrol pertumbuhan pada ikan (Fry, 1947). Menurut Warren dan Davis (1967),
mekanisme pengaruh suhu terhadap pertumbuhan ikan sangat kompleks, terutama
berkaitan dengan tingkat konsumsi makanan dan laju metabolismenya. Hubungan antara
suhu air dan pertumbuhan menunjukkan bahwa tingkat konsumsi makanan serta
25.25±0,071
27.10±027.40±0
26.05±0,07125.75±0,071
26.67±0,513
24.00
24.50
25.00
25.50
26.00
26.50
27.00
27.50
28.00
SungaiWowor
SungaiYawarone
SungaiKarwaro
Sungai WaroBawah
Sungai WaroAtas
SungaiWeririr
suhu ( 0C)
8
pertumbuhan paling tinggi berlangsung pada titik tengah dari kisaran toleransi suhunya
(Warren dan Davis, 1967).
B. Kekeruhan
Padatan terlarut dan tersuspensi dalam kolom air mempengaruh tingkat
kekeruhaan suatu perairan. Kekeruhan dapat mempengaruhi pernafasan ikan, proses
fotosintesis dan produktivitas primer. Kekeruhan lapisan air disebabkan oleh kandungan
bahan terlarut dan partikel tersuspensi seperti, jasad renik, lumpur, bahan organik, tanah
liat, koloid dan benda terapung atau melayang yang tidak segera mengendap.
Kekeruhan sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan debit air yang masuk ke
perairan. Hasil dari Gambar 3 menunjukkan lokasi di Sungai Karwaro, Waro bawah dan
Waro atas memiliki kekeruhan yang lebih tinggi dari lokasi yang lain. Kondisi ini
disebabkan pada saat pengukuran, telah terjadi hujan sebelumnya. Sedangkan pada
lokasi Sungai Weririr, kekeruhan cederung tinggi disebabkan karena adanya kegiatan
pembuatan jembatan di lokasi tersebut. Kekeruhan yang tinggi dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan biota perairan, terutama ikan yang dapat menurunkan
kemampuan melihat mangsa dengan baik (Odum, 1993).
Ket : Baku Mutu PermenKes. 32 Tahun 2017 kekeruhan <25 NTU
Gambar 3. Sebaran kekeruhan di sungai
Standar baku mutu kekeruhan yang didasarkan pada Peraturan Menteri
Kesehatan No 32 Tahun 2017 tentang kesehatan lingkungan dan persyaratan air untuk
1.67±0,452 1.55±0,548
58.33±2,422
78.67±22,011
47.54±8,117
9.28±1,147
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
SungaiWowor
SungaiYawarone
SungaiKarwaro
Sungai WaroBawah
Sungai WaroAtas
SungaiWeririr
Kekeruhan (NTU)
9
keperluan hygiene, kolam renang, solus per aqua dan pemandian umum adalah batas
maksimum 25 NTU. Jika dihubungkan dengan hasil penelitian maka Sungai Wowor,
Yawarone dan Weririr bisa digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhan dasar sehari-
hari, namun secara umum sungai-sungai yang di sekitar perusahaan PT Wijaya Sentosa
masih sangat baik untuk kehidupan biota perairan.
C. Kecepatan Aliran
Kecepatan aliran air di setiap sungai terdapat variasi, khususnya pada lokasi
Sungai Wowor yang relatif lebih lambat dibandingkan lima sungai lainnya (Gambar 4).
Hal ini sangat berkaitan dengan kemiringan lereng sungai yang cenderung rata dan
kurangnya debit air. Kecepatan aliran di kelima sungai relatif sama karena bentuk sungai
dan debit air relatif tidak berbeda. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan aliran di
sungai adalah bentuk sungai, lebar sungai dan kemiringan lereng sungai. Kehidupan
bagi biota perairan terkait kecepatan aliran pada enam sungai yang diukur, masih
tergolong baik bagi kehidupan biota karena memiliki i kemampuan untuk beradaptasi
terhadap kecepatan aliran sungai.
Gambar 4. Sebaran kecepatan aliran sungai
10.20±1,597
3.57±0,546
5.03±1,081
3.20±0,736
4.50±3,313
3.54±0,824
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
SungaiWowor
SungaiYawarone
SungaiKarwaro
Sungai WaroBawah
Sungai WaroAtas
Sungai Weririr
Kecep Arus (m/s)
10
D. pH Air
Nilai pH pada hampir semua lokasi menunjukkan bahwa kondisi sungai-sungai
yang diamati berada dalam kisaran di antara netral dan basa (Gambar 5). Sifat basa
pada lokasi penelitian diduga disebabkan oleh kadar kalsium yang cukup tinggi dari
sedimen berkapur di bagian hulu. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001
tentang pengolahan kualitas air dan pengendalian pencemaran kelas II maka kriteria untuk
pH air adalah 6-9. Jika dihubungkan dengan hasil pengukuran maka tingkat keasaman
air pada setiap sungai menunjukan kondisi yang baik untuk perkembangan dan
pertumbuhan biota perairan.
Organisme akuatik mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap kondisi pH
air. Hawkes (1997) mengemukakan bahwa kelompok makroavertebrata air
(makrozoobentos) memiliki kisaran toleransi terhadap pH air yang berbeda-beda,
misalnya Trichoptera hanya hidup pada pH air yang lebih tinggi, sedangkan kelompok
Coleoptera dan Diptera mampu mentolerir kisaran pH air yang lebih luas (4,8-8,5).
Ket : Baku Mutu PP. 82 Tahun 2001 Kelas II pH 6 - 9
Gambar 5. Sebaran pH air di sungai
E. Gas Oksigen Terlarut
Hasil pengukuran konsentrasi gas oksigen terlarut (dissolved oxygen / DO) pada
setiap lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar 6. Konsentrasi rata-rata gas oksigen
8.25±0,085 8.24±0
7.53±0,41
7.94±0,007
8.09±0,0728.15±0,093
7.00
7.20
7.40
7.60
7.80
8.00
8.20
8.40
Sungai Wowor SungaiYawarone
SungaiKarwaro
Sungai WaroBawah
Sungai WaroAtas
Sungai Weririr
pH air
11
terlarut relatif tidak berbeda secara nyata di tiap lokasi. Variasi konsentrasi gas oksigen
terlarut berdasarkan lokasi terutama berkaitan dengan suhu air. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang pengolahan kualitas air dan pengendalian
pencemaran kelas II maka kriteria kualitas air untuk oksigen terlatut (DO) adalah minimum
4 mg/l, maka kondisi kualitas air di setiap sungai yang berada di sekitar perusahaan PT
Wijaya Sentosa dikategorikan baik. Angelier (2003) menyatakan bahwa kelarutan gas
oksigen merupakan suatu fungsi dari suhu, yaitu kelarutannya akan meningkat karena
menurunnya suhu. Perbedaan konsentrasi oksigen terlarut dari setiap sungai dapat
disebabkan oleh waktu pengambilan dan banyaknya vegetasi riparian di sekitar sungai.
Ket : Baku Mutu PP. 82 Tahun 2001 Kelas II Oksigen Terlarut (DO) > 4 mg/l
Gambar 6. Sebaran DO air di sungai
3.1.2 Perairan pesisir di sekitar logpond
Hasil pengukuran kualitas air pada kedua logpond tidak terlalu berbeda, kecuali
kecerahan. Kecerahan merupakan tingkat transparansi perairan yang dapat diamati
secara visual menggunakan Secchi disc. Perairan yang memiliki kecerahan rendah pada
waktu cuaca normal, mengindikasikan banyaknya partikel-partikel tersuspensi dalam
perairan tersebut. Selain itu kecerahan dipengaruhi pula oleh kedalaman dan kondisi
cuaca saat pengamatan (Gambar 7). Jika dihubungkan dengan baku mutu untuk biota
air laut berdasarkan Kementerian Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004, maka kondisi
kualitas air yang berada di kedua logpond tergolong masih baik. Kondisi seperti ini akan
6.70±0,141
8.22±0,0217.70±0,141
7.40±07.85±0,212 7.78±0,299
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
SungaiWowor
SungaiYawarone
SungaiKarwaro
Sungai WaroBawah
Sungai WaroAtas
Sungai Weririr
DO (mg/l)
12
menjamin keberlangsungan hidup bagi biota-biota laut. Menurut (Hamuna et al, 2018),
kemampuan cahaya matahari menembus sampai dasar perairan sangat ditentukan oleh
tingkat kekeruhan air. Intensitas cahaya yang sampai ke dasar perairan sangat
berpengaruh bagi pertumbuhan biota, terutama dalam proses fotosintesis dan
berpengaruh terhadap menurunnya kandungan oksigen terlarut, sehingga menurunkan
produktivitas perairan.
Gambar 7. Sebaran beberapa parameter kualitas air di logpond (laut)
Perubahan yang terjadi pada lingkungan perairan laut sangat cepat akibat
pengaruh faktor oseanografi, akibatnya perairan mengalami perubahan fungsi dan
status perairan (Sembel dan Manan, 2018). Keberadaan lingkungan perairan laut
berpengaruh terhadap peningkatan biomassa plankton dan kesuburan perairan. Pada
perairan yang dalam kemungkinan terjadi pengadukan sampai dasar perairan sangat
kecil sehingga adanya perbedaan keberadaan unsur hara serta perbedaan suhu yang
mencolok antara lapisan dasar dan lapisan permukaan sehingga diduga adanya
hubungan komponen biotik (struktur komunitas plankton) dan abiotik (ketersediaan
unsur hara) yang berbeda pada setiap stratifikasi kedalaman perairan laut.
13
3.2 Plankton
3.2.1 Sungai
A. Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton
Hasil pengamatan yang dilakukan pada enam sungai di sekitar Perusahaan PT.
Wijaya Sentosa, ditemukan komposisi plankton terdiri dari 21 jenis fitoplankton dan 6
jenis zooplankton (Tabel 3, Lampiran 2). Jenis yang paling banyak dari fitoplankton pada
tiap sungai adalah Pyrocystis lunula dan Nitzschia sp. Menururt Botes (2001) Nitzschia
sp termasuk dalam ordo Bacillariales (diatom) dan Pyrocystis lunula termasuk dalam
ordo Dinoflagellata. Kemampuan reproduksi dari Bacillariales (diatom) lebih besar
dibandingkan dengan kelompok fitoplankton yang lainnya. Pada saat terjadi peningkatan
konsentrasi zat hara, diatom mampu melakukan pembelahan mitosis sebanyak tiga kali
dalam 24 jam. Dinoflagellata hanya mampu melakukannya satu kali dalam 24 jam pada
kondisi zat hara yang sama (Nurfadillah et al., 2000).
Tabel 3. Komposisi plankton di sungai-sungai sekitar PT Wijaya Sentosa
Fitoplankton Zooplankton
Neidium affine Tintinnopsis sp.
Nitzschia sp. Trichodesmium sp.
Oscillatoria formosa Chironomes
Pinnularia Parafavella sp.
Pyrocystis lunula Calanus helgolandicus
Pyrocystis noctiluca (Chaetoceros) Rhopalodia
Rhizosolenia sp.
Synedra affinis
Synedra ulna
Surirlla sp.
Diploneis sp.
Pyrocystis lunula
Rhizosolenia sp. Spirogyra
Bacillaria paradoxa
Bacillaria sp.
Ceratium fusus
Pleurosigma normanni
Pleurosigma sp.
Coscinosdiscus sp.
Gyrosigma
14
Nitzschia sp. merupakan mikroalga yang mempunyai peran penting dalam
ekosistem perairan sebagai produsen primer. Nitzschia sp. dikonsumsi langsung
oleh berbagai jenis organisme, dari dinoflagellata heterotrofik sampai ikan
pemakan plankton (Thomas, 1997). Hal ini mengindikasikan bahwa ordo
Bacillariales memiliki penyebaran yang luas. Kondisi ini sama dengan yang
dilakukan oleh Ramadani (2012), Gembong (2005) dan Nurfadillah et al. (2012).
Menurut Odum (1993) bahwa menjelaskan spesies yang dominan dalam suatu
komunitas memperlihatkan kekuatan spesies itu dibandingkan spesies lainnya
dengan demikian terdapat jenis plankton yang mengendalikan perairan dan akan
menimbulkan perubahan-perubahan penting tidak hanya pada komunitas
biotiknya sendiri tetapi juga dalam lingkungan fisiknya.
Bedasarkan hasil kelimpahan fitoplankton didapatkan nilai antara
333,333-2.466,677 sel/L. kelimpahan fitoplankton tertinggi ditemukan pada
Sungai Kawaro dan terendah di Sungai Weririr (Gambar 8). Kelimpahan
fitoplankton menunjukkan perbedaan fluktuasi pada setiap waktu pengamatan.
Hal ini sesuai dengan penelitian Anggaraini (2016) yang menyatakan bahwa
fluktuasi kelimpahan fitoplankton sangat berkaitan dengan siklus hidup dari
fitoplankton di perairan, yaitu sekitar 15-21 hari. Menurut Prabandani et al. (1983)
menyatakan bahwa fitoplankton merespon perubahan fisika-kimia lingkungan
secara fluktutif dalam populasi. Perubahan variasi fitoplankton di daerah tropis
dapat terjadi karena adanya pengaruh musim yaitu musim hujan dan musim
kemarau serta waktu pengambilan. Keadaan ini menunjukkan bahwa lingkungan
perairan pada enam sungai tersebut mendukung kehidupan biota perairan yang
hidup di dalamnya.
15
Gambar 8. Kelimpahan fitoplankton di sungai
Komposisi zooplankton yang ditemukan terdiri dari enam jenis, yang
hanya terdapat di sungai Wowor, Waro atas dan Sungai Weririr. Jenis seperti
Rhopalodia, Trichodesmium sp dan Tintinnopsis sp sering dikaitkan dengan
perairan eutrofik atau sungai yang kaya akan nutrien (makanan) dan sangat
produktif (Afif, 2014). Bedasarkan hasil kelimpahan zooplankton didapatkan nilai
yang bervariasi di antara 66,667-133,333 sel/L (Gambar 9). Komposisi
zooplankton tidak selalu merata pada setiap lokasi di dalam suatu ekosistem, di
mana pada suatu ekosistem sering ditemukan beberapa jenis melimpah
sedangkan yang lain tidak. Fluktuasi ini sangat dipengaruhi oleh bentuk sungai,
kecepatan aliran dan waktu pengambilan (Hendrawan et al., 2004).
16
Gambar 9. Kelimpahan zooplankton di sungai
B. Indeks-indeks Ekologi Plankton
Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengetahui kestabilan komunitas
suatu perairan yang memiliki hubungan erat dengan kestabilan kondisi lingkungan.
Indeks keanekaragaman menggambarkan struktur komunitas yang normal dapat
berubah karena adanya perubahan lingkungan dan daya dukung lingkungan serta
tingkat perubahannya dimungkinkan dapat digunakan untuk memperkirakan intensitas
tekanan pada suatu lingkungan (Effendi, 2003).
Nilai indeks keanekaragaman padai enam sungai memiliki nilai yang bervariasi,
dengan kisaran antara 0,429-2,793 (Gambar 10). Nilai tertinggi ditemukan pada Sungai
Wowor, sedangkan nilai terendah ditemukan pada Sungai Yawarone. Perbedaan ini
disebabkan oleh waktu pengambilan, musim, bentuk sungai dan kecepatan aliran
(Odum, 1993) Apabila tingkat kesuburan perairan ditinjau berdasarkan nilai indeks
keanekaragaman, maka dapat dikatakan bahwa enam sungai yang berada di sekitar
perusahaan PT Wijaya Sentosa tergolong sedang (moderat).
66.667 66.667
133.333
0
20
40
60
80
100
120
140
Sungai Wowor Sungai Waro Atas Sungai Weririr
Sel/
L
Kelimpahan zooplankton di sungai
17
Gambar 10. Indeks keanekaragaman plankton di enam sungai
Indeks Keseragaman
Indeks keseragaman mencerminkan sebaran jumlah individu tiap spesies dalam
suatu komunitas. Pirzan et al. (2005) menyatakan bahwa apabila nilai indeks
keseragaman mendekati nol berarti sebaran jumlah individu antar spesies dalam
komunitas tidak merata dan terdapat spesies plankton tertentu yang dominan, dan
sebaliknya nilai indeks keseragaman yang mendekati satu berartijumlah individu antar
spesies dalam komunitas tergolong merata yang berarti bahwa tidak ada spesies
plankton yang dominan. Berdasarkan hasil perhitungan indeks keseragaman, diperoleh
nilai indeks keseragaman di sungai-sungai di sekitar perusahaan PT Wijaya Sentosa
berkisar 0,271-0,877. Dalam Gambar 11, menunjukkan nilai indek keseragaman tiap
sungai mendekati satu, hanya pada Sungai Yawarone memiliki nilai indeks yang rendah
(0,271), yang mengindikasikan terdapat spesies plankton tertentu yang dominan. Pada
sungai yang lain, memiliki nilai indeks keseragaman yang cukup tinggi. Kondisi ini
menunjukkan kestabilan komunitas plankton yang ada di 5 sungai tersebut lebih baik
dibandingkan Sungai Yawarone.
2.793
0.429
1.517
1.885
2.463
1.921
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
SungaiWowor
SungaiYawarone
SungaiKarwaro
Sungai WaroBawah
Sungai WaroAtas
SungaiWeririr
Indeks Keanekaragaman
18
Gambar 11. Indeks Keseragaman Plankton di Sungai
Indeks Dominasi
Indeks dominasi merupakan indeks yang digunakan untuk mengetahui ada atau
tidaknya dominasi diantara spesies yang menyusun suatu komunitas dalam ekosistem.
Menurut Odum (1993), apabila nilai indeks dominasi mendekati 0 (nol) maka tidak
terdapat spesies plankton yang mendominasi, sebaliknya jika nilai indeks dominasi
mendekati 1 (satu) maka terdapat dominasi spesies plankton tertentu dan komunitas
tersebut dalam keadaan tidak stabil atau stress. Indeks dominasi (C) memiliki hubungan
yang erat kaitannya dengan indeks keanekaragaman, jika indeks dominasi tinggi maka
indeks keanekaragaman akan rendah atau sebaliknya (Odum, 1993).
Hasil penentuan nilai indeks dominasi menunjukkan bahwa hanya Sungai
Yawarone yang memiliki indeks dominasi mendekati 1 (0,865), yang mengindikasikan
terdapat spesies plankton tertentu yang dominan. Sedangkan sungai yang lain memiliki
nilai indeks yang mendekati nol (0) (Gambar 12). Dapat dijelaskan bahwa secara umum
sungai-sungai di sekitar perusahan PT Wijaya Sentosa selama penelitian tidak terdapat
dominasi plankton tertentu. Nilai indeks dominasi yang tinggi diduga terjadi ketika
adanya perubahan kualitas lingkungan perairan dalam kurun waktu tertentu. Perubahan
ini bukan diakibatkan oleh adanya bahan pencemar, namun pada gangguan fisik lainnya
seperti suhu perairan yang cukup tinggi akibat tumbuhan riparian yang terbuka sehingga
matahari menerpa langsung ke badan air.
0.807
0.271
0.5870.628
0.8770.827
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
0.700
0.800
0.900
1.000
SungaiWowor
SungaiYawarone
SungaiKarwaro
Sungai WaroBawah
Sungai WaroAtas
Sungai Weririr
Indeks Keseragaman
19
Gambar 12. Indeks dominasi plankton di sungai
Secara umum struktur komunitas Plankton pada enam sungai yang diteliti di
sekitar Perusahaan PT. Wijaya Sentosa menggambarkan kondisi yang relatif stabil
namun dapat berubah sewaktu-waktu dengan adanya perubahan kondisi lingkungan.
Hal ini dindikasikan dengan indeks keanekaragaman plankton yang tergolong sedang,
indeks keseragaman yang relatif merata dan indeks dominasi yang relatif rendah pada
lima sungai. Kondisi berbeda ditemukan di sungai Yawarone. Gambaran ini terlihat dari
komposisi plankton pada waktu pengamatan di setiap sungai. Adanya beberapa jenis
plankton yang keberadaannya selalu hadir di setiap sungai saat pengamatan seperti
jenis Nitzschia sp, Pyrocystis lunula dan Pyrocystis noctiluca. Beberapa faktor dapat
menjadi pertimbangan untuk menjelaskan gambaran komunitas plankton ini, antara lain
faktor lingkungan, seperti gangguan akibat peningkatan kekeruhan air sungai, waktu
sampling yang hanya sekali, dan kondisi debit aliran sungai yang fluktuatif pada tiap
sungai yang diamati.
Rendahnya nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman, serta tingginya nilai
indeks dominasi di Sungai Yawarone bukan disebabkan karena adanya bahan
pencemar, karena di sekitar aliran Sungai Yawarone tidak terdapat sumber-sumber
bahan pencemar yang masuk ke aliran sungai. Fenomena ini lebih disebabkan oleh
adanya gangguan di sekitar aliran sungai, seperti meningkatnya kekeruhan air akibat
pembukaan jalan perusahaan maupun jalan trans Papua yang menuju Wasior.
0.171
0.865
0.4770.415
0.177
0.275
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
0.700
0.800
0.900
1.000
SungaiWowor
SungaiYawarone
SungaiKarwaro
Sungai WaroBawah
Sungai WaroAtas
Sungai Weririr
Indeks Dominasi
20
3.2.2 Perairan pesisir
A. Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton
Komposisi yang ditemukan di logpond 1 dan 2 terdiri dari 15 jenis fitoplankton
dan 9 jenis zooplankton (Tabel 4). Jenis palnkton paling banyak ditemukan padai kedua
logpond adalah Coscinodiscus nitidus, Coscinosdiscus sp., Nitzschia sp. dan Acartia
clausi (Nauplius). Jenis-jenis Coscinodiscus nitidus, Coscinosdiscus sp. dan Nitzschia
sp. termasuk dalam filum Bacillariophyta (Diatom) yang merupakan mikroalga uniseluler
yang tersebar luas di perairan air tawar dan air laut, maupun di tanah yang lembab.
Jumlah diatom sangat banyak, diperkirakan mencapai 16.000 Jenis. Karena jumlahnya
yang banyak, diatom yang merupakan salah satu fitoplankton menjadi komponen
produsen yang penting di perairan laut (Thomas, 1997). Jenis Acartia clausi (Nauplius)
merupakan stadia awal dari Copepoda, dan termasuk dalam sub kelas crustacea.
Copepoda merupakan kelompok terbesar crustacea (Levintin, 2001), sehingga dalam
jumlah dan biomassa mereka melebihi kelompok zooplankton lainnya. Dalam jaringan
makanan di laut copepoda adalah produsen utama dari astaxanthin, pigmen karatenoid
yang merupakan pembentuk warna dan antioksidan penting.
Tabel 4. Komposisi Plankton di logpond sekitar PT Wijaya Sentosa
Fitoplankton Zooplankton
Coscinodiscus nitidus Acartia clausi (nauplius)
Coscinosdiscus sp. Copepoda
Diploneis sp. Nauplius
Nitzschia sp. Tigriopus japonicus
Pleurosigma normanni Trichodesmium sp.
Pyrocystis lunula Calanus helgolandicus
Rhizosolenia sp. Eurytemora pacifica
Amphora sp. Favella campanula
Coscinodiscus centralis Oithona brevicornis
Diploneis sp. Globigerina bulloides Nitzschia seriata Pinnularia Rhizosolenia sp. Stephanopyxis sp.
21
Kisaran nilai kelimpahan fitoplankton di kedua logpond adalah 2.333,333-
10.766,667 sel/L (Gambar 13). Kelimpahan fitoplankton di kedua logpond menunjukkan
filum Bacillariophyta (Diatom) melimpah pada waktu pengamatan. Tingginya kelimpahan
filum Bacillariophyta (Diatom) diduga karena diatom merupakan fitoplankton yang paling
toleran terhadap kondisi perairan seperti suhu dan mampu beradaptasi dengan baik
pada lingkungan perairannya sehingga dapat berkembang biak dengan cepat dan
memanfaat kandungan nutrien dengan baik.
Kemampuan reproduksi diatom lebih besar dibandingkan dengan kelompok
fitoplankton yang lainnya. Pada saat terjadi peningkatan konsentrasi zat hara, diatom
mampu melakukan pembelahan mitosis sebanyak tiga kali dalam 24 jam. Dinoflagellata
hanya mampu melakukannya satu kali dalam 24 jam pada kondisi zat hara yang sama
(Nurfadillah et al., 2012).
Gambar 13. Kelimpahan fitoplankton di logpond
Komposisi zooplankton yang ditemukan terdiri dari 9 jenis pada kedua logpond.
Jenis yang paling banyak diperoleh di kedua logpond adalah Acartia clausi (nauplius).
Jenis ini termasuk dalam sub kelas crustacea yang merupakan golongan zooplankton
yang sangat penting dalam rantai makanan yang menghubungkan karnivora kecil
maupun besar yang ada di atasnya, sehingga sub kelas crustacea mendominasi di
semua perairan laut (Nybakken, 1988). Menurut Arshad et al. (2010), holoplankton yang
paling umum ditemukan di laut adalah copepoda yang merupakan zooplankton paling
banyak di semua laut dan samudra serta merupakan herbivora utama dalam perairan
bahari, dan memiliki kemampuan menentukan kurva populasi fitoplankton.
10,766.667
2,333.333
0.000
2,000.000
4,000.000
6,000.000
8,000.000
10,000.000
12,000.000
Logbon 1 Logbon 2
Sel/
L
Kelimpahan Fitoplankton di Logpond
22
Kelimpahan zooplankton yang diperoleh pada kedua logpond di sekitar
perusahaan PT Wijaya Sentosa berkisar antara 1.000-1.333,333 sel/L (Gambar 14).
Perbedaan kelimpahan dari kedua lokasi dapat disebabkan oleh arus pasang surut,
habitat perairan, aktivitas di sekitar lokasi dan kondisi lingkungan yang merupakan
faktor-faktor utama yang mengendalikan spesies dan distribusi kelimpahan. Kondisi
habitat lamun yang menjadi tempat hidup bagi organisme tersebut, juga mempengaruhi
kelimpahan zooplankton.
Gambar 14. Kelimpahan zooplankton di logpond
B. Indeks-indeks Ekologi Plankton
Rata-rata indeks keanekaragaman plankton di kedua logpond berkisar antara
1,191-2,623 (Gambar 15). Berdasarkan kriteria nilai indeks keanekaragaman dari Odum
(1993) menunjukkan bahwa keanekaragaman dan kestabilan komunitas plankton di
perairan logpond tergolong sedang (moderat). Indeks keanekaragaman yang sedang
(moderat) dapat berubah apabila terjadi perubahan dan daya dukung lingkungan sekitar.
Tingkat perubahan komunitas plankton dapat digunakan untuk memperkirakan
seberapa besar tekanan pada suatu lingkungan (Achir et al, 2017).
Indeks keseragaman secara keseluruhan di setiap lokasi pengamatan dan
kedalaman berkisar antara 0,332-0,656 (Gambar 15). Basmi (2000) menjelaskan bahwa
nilai indeks keseragaman jenis berkisar antara 0-1. Berdasarkan nilai indeks tersebut
terlihat bahwa perairan logpond laut memiliki kemerataan plankton yang sedang.
1,333.333
1,000
0.000
200.000
400.000
600.000
800.000
1,000.000
1,200.000
1,400.000
Logbon 1 Logbon 2
Sel/
L
Kelimpahan zooplankton di Logpond
23
Kisaran indeks dominasi pada kedua logpond adalah 0,258-0,679 (Gambar 15).
Berdasarkan nilai tersebut terlihat bahwa indeks dominasi di perairan logpond tergolong
sedang. Hal ini menunjukkan bahwa relatif ada beberapa jenis plankton yang
mendominasi perairan tersebut seperti Coscinodiscus nitidus, Coscinosdiscus sp.,
Nitzschia sp. dan Acartia clausi (nauplius). Menurut Basmi (2000), bila indeks dominasi
mendekati 0, berarti di dalam struktur komunitas biota yang diamati tidak terdapat jenis
yang secara mencolok mendominasi jenis lainnya.
Secara umum struktur komunitas plankton di perairan logpond di sekitar PT.
Wijaya Sentosa menggambarkan kondisi yang relatif stabil namun dapat berubah
sewaktu-waktu dengan adanya perubahan kondisi lingkungan. Hal ini dindikasikan
dengan indeks keanekaragaman plankton yang tergolong sedang, indeks keseragaman
yang relatif merata dan indeks dominasi yang relatif sedang. Hal ini juga terlihat dari
komposisi plankton pada setiap waktu pengamatan di setiap perairan logpond. Adanya
beberapa jenis plankton yang keberadaannya selalu hadir di kedua logpond pada saat
pengamatan seperti jenis Coscinodiscus nitidus, Coscinosdiscus sp., Nitzschia sp. dan
Acartia clausi (nauplius). Beberapa faktor dapat menjadi pertimbangan untuk
menjelaskan fenomena perkembangan komunitas plankton ini, antara lain faktor
lingkungan, waktu sampling, dan keberadaan arus pasang surut yang relatif berbeda.
Gambar 15. Indeks-indeks ekologi di logpond Laut
1.191
2.623
0.332
0.6560.679
0.258
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
Logbon 1 Logbon 2
Indeks-Indeks Ekologi
Keanekragaman (H) Keseragaman (E) Dominansi (D)
24
3.3 Makrozoobentos
3.3.1 Komposisi jenis
A. Sungai
Komposisi makrozoobentos yang diperoleh dari enam aliran sungai, terdiri atas
8 ordo insekta air yang tergolong dalam filum Arthropoda, 2 genus cacing Oligochaeta,
dan 2 famili gastropoda (Tabel 5, Lampiran 3). Kelompok insekta air merupakan
makrozoobentos yang dominan menempati aliran sungai dan berperan penting dalam
rantai makanan dalam perairan sungai, yakni sebagai makanan alami berbagai jenis
ikan, termasuk ikan pelangi (Melanotaenia sp.). Selain itu makrozoobentos juga
berperan penting dalam merombak serasah tumbuhan dalam bentuk CPOM (Coarse
Particulate Organic Matter) menjadi bahan partikel bahan organik yang lebih kecil atau
FPOM (Fine Particulate Organic Matter).
Menurut Bouchard (2004), beberapa kelompok insekta air menghabiskan
sebagian daur hidupnya di dalam air selama stadia larva, dan akan keluar dari air
sebagai serangga darat saat dewasa, misalnya anggota kelas Ephemeroptera dan
Diptera pada stadia larva hidup dalam air dan stadia dewasa hidup di darat (terrestrial).
Namun ada pula insekta air yang seluruh daur hidupnya berada dalam air, baik pada
stadia larva maupun stadia dewasa, misalnya anggota kelas Trichoptera seluruh daur
hidupnya berada dalam air (truly aquatic). Kelompok insekta yang ditemukan pada 6
sungai yang diamati terdiri atas 18 famili, dengan jumlah individu tiap famili paling
banyak adalah Chironomidae sebanyak 78 individu, kemudian diikuti oleh famili
Ceratopogonidae 38 individu. Kedua famili ini termasuk dalam kelas Diptera, yang
merupakan takson yang sangat beragam dan melimpah di perairan sungai. Anggota
kelas Diptera hidup pada kisaran kualitas perairan yang lebar, mulai dari perairan yang
masih alami sampai perairan yang tercemar berat (Bouchard, 2004).
Nilai toleransi yang ditampilkan dalam Tabel 5 tergolong rendah sampai sedang,
yang mengindikasikan bahwa kualitas perairan berdasarkan famili makrozoobentos
berada dalam kategori baik. Nilai toleransi makrozoobentos dapat memberikan informasi
mengenai toleransi masing-masing famili makrozoobentos terhadap kualitas perairan
sungai pada enam lokasi pengamatan. Nilai toleransi berkisar antara 1-10 (Hilsenhoff,
1998), dengan kategori 1-3 toleransi rendah, 4-7 toleransi sedang, dan 8-10 toleransi
tinggi. Makrozoobentos yang memiliki toleransi rendah, sangat peka terhadap masukan
bahan pencemar organik (penuruan kualitas air), sedangkan makrozoobentos yang
memiliki toleransi tinggi akan tahan dan tetap ada terhadap masukan bahan pencemar
organik.
25
Tabel 5. Komposisi makrozoobentos pada tiap lokasi di sungai
Taksa (Kelas/Ordo)
Famili N T Lokasi
1 2 3 4 5 8
Insekta
Trichoptera Philipotamidae 3 4 8 3
Rhyacophilidae 0 1 12 7
Leptoceridae 4 1
Ephemeroptera Tricorythidae 4 1 4
Leptoplebidae 2 1 1 3 6 5
Caenidae 7 2 2
Baetidae 4 3 2 14 4
Diptera Chironomidae (pucat) 6 4 29 14 5 11 9
Tipulidae 3 9 3 5 3 2 1
Cheratopogonidae 6 5 10 9 6 2
Coleoptera Elmidae 5 4 2 1 1 2
Hydrophilidae 5 8 6 3 2
Lepidoptera Phyralidae 5 10 7
Plecoptera Heptagenidae 5 2 2 2
Perlidae 1 5 4 1
Odonata Corduliidae 5 1 1
Heminoptera Formicidae 5 2
Neuloridae 1
Oligochaeta Naididae (Nais sp.) 6 13
Naididae (Dero sp.) 6 6
Gastropoda Thiaridae 1
Fosil tak teridentifikasi 1
Total Individu 32 55 37 77 65 33
Keterangan: NT = Nilai Toleransi (Bouchard, 2004), Lokasi 1: Sungai Wowor, Lokasi 2: Sungai Yawarone, Lokasi 3: Sungai Karwaroi, Lokasi 4: Sungai Waro bawah, Lokasi 5: Sungai Waro atas, Lokasi 8: Sungai Weririr
Kelimpahan makrozoobentos pada enam aliran sungai cukup beragam.
Makrozoobentos dari kelompok larva inskta air memiliki kelimpahan yang lebih tinggi di
sungai (Tabel 5). Cairns & Dickson (1981), menjelaskan bahwa makrozoobentos dalam
fase larva insekta banyak ditemukan di air yang jernih dengan kadar oksigen yang cukup
tinggi. Keberadaan larva insekta yang melimpah sangat dipengaruhi oleh kualitas air
sungai dan juga perbedaan variasi musim (hujan dan kemarau) (Sudarso dan Wardiatno,
2015). Kualitas air sungai pada enam lokasi sampling berdasarkan hasil pengukuran
tergolong baik dan tidak terdapat sumber bahan pencemar yang masuk ke dalam
perairan sungai. Waktu pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan pada bulan
Agustus dimana kondisi curah hujan di Kabupaten Teluk Wondama cenderung rendah,
26
sehingga data kelimpahan makrozoobentos yang diperoleh dianggap mewakili musim
kemarau. Walaupun saat sampling di lokasi 3, 4 dan 5 dilakukan setelah turun hujan.
Makrozoobentos dari kelompok larva insekta yang banyak dijumpai pada tiap
sungai yaitu famili Chironomidae dan Tipulidae yang merupakan anggota kelas Diptera
(Tabel 6). Kedua famili ini ditemukan pada aliran lambat maupun aliran deras pada 6
lokasi pengamatan di sungai. Famili Cironomidae dan Tipulidae biasanya terdapat pada
aliran sungai yang ada di pinggir dan tengah aliran sungai karena terhanyut oleh aliran
sungai (Bouchard, 2004). Anggota kedua famili ini memiliki bentuk tubuh yang ramping
dan mempunyai pengait yang berada di bagian posterior tubuhnya (Lampiran 3),
sehingga memungkinkan anggota kedua famili ini hidup dalam aliran air yang deras di
sungai.
B. Perairan pesisir sekitar logpond
Komposisi makrozoobentos yang ditemukan di dua lokasi logpond sangat
berbeda dengan yang ditemukan di sungai (Tabel 6). Komposisi makrozoobentos yang
ditemukan di lokasi logpond terdiri atas 3 kelas yakni kelas Polychaeta (2 jenis), kelas
Gastropoda (1 famili), dan kelas Bivalvia (1 famili). Makrozoobentos yang dominan
ditemukan pada substrat lunak di daerah intertidal umumnya didominasi oleh
Polychaeta, Moluska dan Krustace (Putro, 2011). Cacing Polychaeta merupakan
kelompok makrozoobentos yang paling dominan ditemukan di ekosistem pantai berpasir
(Hadiyanto, 2013). Selain itu Polychaeta juga dikenal sebagai bioindikator pencemaran
laut yang baik karena sifatnya yang responsif terhadap pengkayaan bahan organik
dalam perairan (Mucha et al, 2003). Keberadaan 2 spesies Polychaeta yang lebih
dominan mengindikasikan kondisi perairan yang masih alami pada kedua lokasi
logpond.
Tabel 6. Komposisi makrozoobentos pada lokasi logpond
Taksa (Kelas) Famili / Spesies Lokasi
Logpond Mandiri Logpond Simei
Polychaeta Netophilom spedes 3 8
Naides cantrainii 12 5
Gastropoda Olividae 1
Bivalvia Psamobiidae 2
Total Individu 15 16
27
3.3.2 Kelimpahan Makrozoobentos
A. Sungai
Nilai kelimpahan makrozoobentos yang paling tinggi ditemukan pada lokasi 4
yaitu di Sungai Waro bagian bawah, yakni 16,60 ind/m2 (Tabel 7). Kelimpahan
makrozoobentos yang tinggi di sungai Waro bagian bawah disebabkan karena jumlah
individu tiap famili yang ditemukan jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan di
lokasi lainnya. Jumlah individu makrozoobentos paling banyak ditemukan di sungai
Waro bagian bawah adalah cacing Oligochaeta dari famili Naididae (2,802 ind/m2).
Kelimpahan cacing Oligochaeta yang cukup tinggi ini disebabkan oleh adanya sedimen
dasar perairan yang lebih halus sebagai habitat dari cacing ini. Sedimen yang ada
berasal dari luar sungai, dimana permukaan tanah yang terkikis air hujan akan terbawa
oleh aliran air dan masuk ke sungai, yang menyebabkan tingkat kekeruhan yang relatif
lebih tinggi dibandingkan sungai lainnya dari hasil pengukuran yang dilakukan (Gambar
3). Selain itu, substrat dasar perairan yang berpasir di sungai ini merupakan habitat yang
baik bagi cacing Oligochaeta.
Variasi nilai kelimpahan mutlak makrozoobentos di enam sungai yang ada dalam
wilayah kerja PT Wijaya Sentosa sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik sungai, seperti
kecepatan aliran, tingkat kekeruhan air, dan musim yang berpengaruh pada debit air.
Kondisi yang relatif sama ditemukan pada penelitian yang dilakukan di Sungai Aimasi,
Kabupaten Manokwari, dimana penurunan komposisi dan kepadatan makrozoobentos
sangat dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi riaprian yang semakin terbuka, debit air
yang semakin berkurang dan dangkal, aliran sungai yang semakin lebar, suhu air
semakin meningkat dan adanya aktivitas manusia (Leatemia et al., 2016).
Tabel 7. Kelimpahan makrozoobentos di enam sungai (ind/m2)
Taksa (Kelas/Ordo)
Famili Lokasi
1 2 3 4 5 8
Insekta
Trichoptera Philipotamidae 0,86 1,72 0,65
Rhyacophilidae 0,22 2,59 1,51
Leptoceridae 0,22
Ephemeroptera Tricorythidae 0,22 0,86
Leptoplebidae 0,22 0,22 0,65 1,29 1,08
Caenidae 0,43 0,43
Baetidae 0,65 0,43 3,02 0,86
Diptera Chironomidae (pucat) 0,86 6,25 3,02 1,08 2,37 1,94
Tipulidae 1,94 0,65 1,08 0,65 0,43 0,22
Cheratopogonidae 1,08 2,16 1,94 1,29 0,43
28
Lanjutan Tabel 7.
Taksa (Kelas/Ordo)
Famili Lokasi
1 2 3 4 5 8
Insekta
Coleoptera Elmidae 0,86 0,43 0,22 0,22 0,43
Hydrophilidae 1,72 1,29 0,65 0,43
Lepidoptera Phyralidae 2,16 1,51
Plecoptera Heptagenidae 0,43 0,43 0,43
Perlidae 1,08 0,86 0,22
Odonata Corduliidae 0,22 0,22
Heminoptera Formicidae 0,43
Neuloridae 0,22
Oligochaeta
Naididae (Nais sp) 2,80
Naididae (Dero sp) 1,29
Gastropoda
Thiaridae 0,22
Tidak teridentifikasi 0,22
Total Individu 6,90 11,85 7,97 16,59 14,01 7,11
Keterangan: Lokasi 1: Sungai Wowor, Lokasi 2: Sungai Yawarone, Lokasi 3: Sungai Karwaroi,
Lokasi 4: Sungai Waro bawah, Lokasi 5: Sungai Waro atas, Lokasi 8: Sungai
Weririr
B. Perairan pesisir sekitar logpond
Kelimpahan makrozoobentos pada lokasi logpond lebih sedikit dibandingkan
makrozoobentos yang ditemukan di sungai (Tabel 8). Rendahnya kelimpahan
makrozoobentos sangat dipengaruhi oleh tipe subatrat berpasir (Sahidin et al., 2014).
Kedua lokasi logpond didominasi oleh substrat berpasir kasar (Tabel 8), yang miskin
bahan organik bagi komunitas makrozoobentos (Sundaravarman et al., 2012). Menurut
Frojan et al. (2006), kelimpahan dan kekayaan spesies makrozoobentos polychaeta
berbanding terbalik dengan persentase substrat berpasir, dan akan menurunkan
kelimpahan komunitas makrozoobentos di suatu perairan.
Tabel 8. Kelimpahan makrozoobentos di logpond (ind./m2)
Taksa (Kelas/Ordo)
Famili / Spesies Lokasi
Logpond Mandiri Logpond Simei
Polychaeta Netophilom spedes 0,647 1,724
Naides cantrainii 2,586 1,078
Gastropoda Olividae 0,216
Bivalvia Psamobiidae 0,431
Total Individu 3,233 3,448
29
3.3.3 Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragamana (E), Dominasi (C)
A. Indeks keanekaragaman
Nilai indeks keanekaragamana makrozoobentos pada 8 lokasi pengamatan
menununjukkan nilai yang bervariasi (Gambar 16). Terdapat 3 sungai yang memiliki nilai
indeks keanekaragaman lebih tinggi, yaitu Sungai Waro atas (3,65), Sungai Weriri
(3,16), dan Sungai Waro bawah (3,00). Indeks keanekaragaman yang tinggi pada 3
sungai tersebut memberikan gambaran bahwa sebaran jumlah individu tiap spesies
makrozoobentos yang ditemukan relatif seragam. Menurut Resosoedarmo et al (1989),
suatu komunitas memiliki keanekaragaman yang tinggi jika disusun oleh banyak spesies
dengan kelimpahan yang sama atau hampir sama. Nilai indeks yang tinggi juga
mengindikasikan komunitas makrozoobentos pada ketiga lokasi berada dalam kondisi
yang stabil.
Pada 3 lokasi sungai lainnya yaitu Sungai Karwaroi (2,8), Sungai Wowor (2,50),
dan sungai Yawarone (2,07), memiliki nilai indeks keanekaragaman yang tergolong
sedang. Nilai indeks keseragaman paling rendah ditemukan pada lokasi Logpond Simei
dan Logpond Mandiri. Nilai indeks yang rendah diindikasikan oleh sebaran jumlah
individu tiap spesies yang tidak merata. Menurut Purnama et al. (2011) bahwa ekositem
perairan yang belum mengalami perubahan kondisi lingkungan akan menunjukkan
jumlah individu yang merata pada hampir semua spesies yang ada. Sebaliknya
ekosistem perairan yang telah mengalami perubahan kondisi lingkungan, penyebaran
jumlah individu tidak merata karena ada jenis yang mendominasi. Rendahnya nilai
indeks keanekaragaman pada kedua lokasi logpond sangat terkait dengan tipe substrat
pasir yang tergolong miskin bahan organik bagi makrozoobentos, terutama yang infauna
(yang hidup dalam substrat dasar perairan).
Gambar 16. Indeks keanekaragaman makrozoobentos
2.52.07
2.8 3
3.653.16
0.72
1.51
00.5
11.5
22.5
33.5
4
Indeks Keanekaragaman
30
B. Indeks Keseragaman
Hasil perhitungan indeks keseragaman pada 8 lokasi pengamatan menunjukkan
nilai yang relatif sama antar lokasi (Gambar 17). Nilai indeks pada 8 lokasi tergolong
cukup tinggi, berkisar antara 0,72-0,89 (mendekati angka 1), yang berarti bahwa sebaran
jumlah individu tiap spesies makrozoobentos relatif sama pada masing-masing lokasi
pengamatan. Menurut Purnama et al. (2011), kondisi lingkungan ekosistem perairan
yang belum mengalami perubahan akan menunjukkan jumlah yang merata pada hampir
semua spesies makrozoobentos yang ada.
Gambar 17. Indeks keseragaman makrozoobentos
C. Indeks Dominasi
Nilai indeks dominasi berkisar antara 0-1, dimana semakin kecil nilai indeks
dominasi menunjukkan bahwa tidak ada spesies yang mendominasi, dan sebaliknya
semakin besar nilai indeks dominasi maka terdapat spesies tertentu yang dominan
(Odum, 1993). Hasil perhitungan nilai indeks dominasi menunjukkan nilai yang rendah
(0,1 sampai 0,33) pada 7 lokasi pengamatan, dan hanya 1 lokasi yakni logpond Mandiri
yang memiliki nilai indeks yang cukup tinggi (0,68) (Gambar 18). Nilai indeks dominasi
yang cukup tinggi di logpond Mandiri dipengaruhi oleh tingginya kelimpahan Polychaeta
Naides cantrainii yang dapat dilihat dalam Tabel 7. Hal ini masih tergolong kondisi yang
normal, karena Naides cantrainii tidak termasuk sebagai Polychaeta jenis bioindikator,
namun kelimpahan yang tinggi dari N. cantrainii disebabkan karena substrat pasir yang
merupakan habitat yang cocok, karena terdapat bahan organik yang berasal dari luruhan
daun lamun yang ada di lokasi Logpond Mandiri. Menurut Kastoro et al. (1991), dasar
perairan yang bersubstrat pasir dan lumpur merupakan habitat yang disukai oleh
0.89
0.740.87 0.87 0.89 0.88
0.72 0.76
00.10.20.30.40.50.60.70.80.9
1
Indeks Keseragaman
31
polychaeta untuk berkembang dan bereproduksi, karena bahan organik sebagai
makanan utama polychaeta yang pemakan deposit (deposit feeder) mudah mengendap
dan sangat terikat dengan substrat pasir dan lumpur. Berdasarkan nilai indeks dominasi
pada kesluruhan lokasi pengamatan, menunjukkan bahwa komunitas makrozoobentos
berada dalam keadaan stabil.
Gambar 18. Indeks dominasi makrozoobentos
3.3.4 Tipe Memakan Kelompok Makrozoobenthos
Tipe memakan organisme makrozoobentos dapat dijadikan patokan untuk
menilai kestabilan suatu ekosistem sungai. Keseimbangan tipe memakan
makrozoobentos di sungai mencerminkan keseimbangan rantai makanan yang ada
dalam aliran sungai. Makrozoobentos berperan penting dalam menjaga keseimbangan
rantai makanan, dimana makrozoobentos berperan dalam merombak bahan organik
menjadi energi yang dapat dimanfaatkan oleh organisme pada tingkatan yang lebih
tinggi dalam rantai makanan di sungai. Tipe memakan makrozoobentos sangat beragam
pada keenam lokasi sampling di sungai (Gambar 19). Beragamnya tipe memakan
makrozoobentos menggambarkan rantai makanan dalam perairan sungai di enam lokasi
masih tergolong baik (seimbang).
0.2
0.33
0.20.15
0.10.16
0.68
0.18
00.10.20.30.40.50.60.70.8
Indeks Dominansi
32
Gambar 19. Persentase tipe memakan makrozoobentos di sungai
Keterangan: Collector/gatherer = pengumpul (FPOM), Shredder= pencabik (CPOM), Filterer =
penyaring, Scrapper/grazzer=penggaruk, Predator=pemangsa, Unknown = tidak diketahui tipe
memakannya
Makrozoobentos sangat bergantung dari keberadaan tumbuhan riparian yang
ada di tepi sungai, baik sebagai sumber makanan maupun sebagai penahan cahaya
matahari yang langsung menerpa permukaan air sungai (Leatemia et al., 2016; 2017).
Tumbuhan berperan penting sebagai sumber makanan bagi makrozoobentos. Serasah
tumbuhan dalam bentuk daun, ranting, bunga, maupun luruhan kayu yang membusuk
yang masuk ke dalam kolom air, merupakan CPOM (coarse particulate organic matter)
(Allen & Castilo, 2007). Daun paling cepat mengalami dekomposisi dibandingkan bagian
tumbuhan lannya dalam aliran sungai di daerah tropis (Dobson et al. 2003), sehingga
keberadaan pohon di tepi aliran sungai sangat penting sebagai sumber makanan
makrozoobentos. CPOM merupakan makanan tipe memakan shredder, yang kemudian
Collector/Gathere
r54%Collector
/Filterer7%
Shredders
5%
Predators
30%
Scrapers4%
Collector/Gathere
r16%
Shredders
28%Predators41%
Scrapers12%
unknown3%
Collector/Gathere
r57%
Shredders
14%
Predators
29%Collector/Gathere
r47%
Collector/Filterer
14%
Shredders
7%
Predators32%
L5 L8
L 2 L 1
L 4 L 3
Collector/Gatherer
46%
Collector/Filterer
4%
Shredders
15%
Predators29%
Scrapers3%
Scrapper/grazzer
3%
Collector/Gathere
r76%
Shredders
3%
Predators
6%
Scrapers6%
Scrapper/grazzer
6%
unknown3%
L 5
L 8
33
diubah bentuknya menjadi FPOM (Fine particulate organic matter) sebagai makanan
kelompok collector/gatherer (pengumpul) dan filterer (penyaring). Kedua kelompok
tersebut merupakan makanan bagi kelompok makrozoobentos yang predator
(pemangsa) maupun fauna lainnya seperti ikan pelangi.
3.4 Fauna ikan
3.4.1 Struktur komunitas ikan di sungai
A. Komposisi dan persebaran
Komposisi spesies ikan yang ditemukan di sistem sungai ditunjukkan pada Tabel
9 dan Lampiran 4. Ada sebelas spesies yang ditemukan pada enam lokasi sungai yang
termasuk dalam kelompok ikan asli (10 spesies) dan ikan asing (1 spesies) yang
diintroduksi dari luar perairan Papua. Di antara spesies ikan asli, Melanotaenia sp. (ikan
pelangi) diduga endemik seperti pada kebanyakan spesies ikan pelangi lainnya yang
ada di perairan tawar Papua. Walaupun, beberapa taksa lainnya hanya bisa dipastikan
sampai tingkat genus, namun demikian ada kemungkinan juga termasuk kelompok
endemik (misalnya, Lagusia sp., Zenarchopterus sp., Glossamia sp., dan Hephaestus
lineatus). Di antara spesies yang ditemukan, terdapat satu spesies ikan asing yaitu Puntius
javus yang ditemukan pada satu lokasi. Keberadaan spesies ini diduga masuk secara tidak
segaja dari kolam pemeliharaan masyarakat ke dalam sistem sungai.
Tabel 9. Komposisi dan persebaran spesies ikan yang ditemukan di sungai.
No. Nama Famili Nama Ilmiah Lokasi
L1 L2 L3 L4 L5 L8
1. Melanotaeniidae Melanotaenia sp*. 12 6 8 2 1 8 2.
Terapontidae Hephaestus lineatus* 2 2 1 4 5 2
3. Lagusia sp. - - - - - 8 4. Hemiramphidae Zenarchopterus sp. 1 - 1 3 1 - 5.
Eleotridae Oxyeleotris sp1. - 1 - - - -
6. Oxyeleotris sp2. - - - 3 - - 7. Gobiidae Gobiidae1 - - - - 1 - 8. Apogonidae Glossamia sp. - - 1 - - - 9. Ariidae Arius sp. - - - 2 1 - 10. Plotosidae Neosilurus ater - 7 - - - - 11. Cyprinidae Puntius javus** - - - 1 - -
Jumlah individu 15 16 11 15 9 18 Keterangan: *endemik, **ikan asing.
34
Berdasarkan lokasi, Sungai Waro (L4 dan L5) menunjukkan tingkat
keanekaragaman spesies ikan yang lebih tinggi (5-6 spesies) dibandingkan lokasi
sungai lainnya. Hal ini diduga berkaitan dengan posisi kedua lokasi dalam sistem sungai
yang berada pada ordo yang lebih tinggi (lebih ke arah bagian hilir). Beberapa hasil
penelitian menunjukkan hubungan yang erat di antara ordo sungai dan kekayaan
spesies ikan (Paller 1994; Fairchild et al. 1998). Osborne & Wiley (1992) menemukan
bahwa sungai yang merupakan gabungan dari beberapa anak sungai (ordo yang lebih
besar) menyediakan lebih beranekaragam mikrohabitat dibandingkan anak sungai di
bagian atasnya (ordo lebih kecil), sehingga keanakeragaman ikan lebih tinggi. Selain itu,
menurut Allen & Renyaan (2000), keanekaragaman ikan di perairan sungai dipengaruhi oleh
jarak dari muara sungai dan ketinggian. Hal ini terkait dengan kemampuan beberapa
spesies ikan laut yang mampu beradaptasi dan memasuki perairan tawar sampai batas
tertentu. Jumlah spesies yang ditemukan di lokasi ini relatif tidak berbeda dengan beberapa
penelitian sebelumnya pada perairan sungai di Papua (Tabel 10).
Tabel 10. Komposisi dan persebaran spesies ikan yang ditemukan pada beberapa sungai di Papua.
No. Lokasi Jumlah spesies setiap lokasi*
Sumber
1. Beberapa sungai di wilayah operasional PT. Wijaya Sentosa (Teluk Wondama)
3-5 Penelitian ini
2. Beberapa sungai di Wapoga 1-16 Allen & Renyaan (2000)
3. Beberapa sungai di sekitar Yongsu 2-15 Allen et al. (2002)
4. Beberapa sungai dan anak sungai di Dabra dan Tiri (bagian hulu Mamberamo)
4-10 Allen et al. (2002)
5. Beberapa sungai dan anak sungai di Aifat Timur
2-5 Manangkalangi (2011)
6. Sungai Nimbai, sistem Sungai Prafi 2-8 Manangkalangi et al. (2014)
* hanya spesies endemik dan asli.
B. Kelimpahan, indeks keanekaragaman dan dominasi
Di antara spesies ikan yang ditemukan, Melanotaenia sp. (ikan pelangi) dan
Hephaestus lineatus, ditemukan pada semua lokasi pengambilan contoh (Tabel 9).
Selain itu, kelimpahan kedua spesies ini juga relatif tinggi (Tabel 11). Hal ini
mengindikasikan bahwa semua lokasi masih relatif sesuai bagai kedua spesies ini.
35
Tabel 11. Kepadatan individu setiap spesies ikan yang ditemukan di sungai
No. Nama Ilmiah Lokasi
L1 L2 L3 L4 L5 L8
1. Melanotaenia sp. 0,101 0,069 0,058 0,003 0,002 0,070 2. Hephaestus lineatus 0,017 0,023 0,007 0,005 0,011 0,017 3. Lagusia sp. - 0,070 4. Zenarchopterus sp. 0,008 0,007 0,004 0,002 5. Oxyeleotris sp1. - 0,011 6. Oxyeleotris sp2. - 0,003 7. Gobiidae1 - 0,002 8. Glossamia sp. - 0,007 9. Arius sp. - 0,004 0,002 10. Neosilurus ater - 0,080 11. Puntius javus - 0,001
Total 0,127 0,183 0,080 0,019 0,020 0,157
Nilai indeks keanekaragaman dan dominasi komunitas ikan pada setiap lokasi
ditampilkan pada Tabel 12. Pada sistem sungai nilai kedua indeks ini secara berturut-turut
berkisar di antara 0,906-2,271 dan 0,214-0,662. Nilai indeks keanekaragaman di semua
lokasi sungai berada dalam kategori rendah sampai sedang. Demikian juga nilai indeks
dominasinya berada dalam kategori rendah sampai sedang. Secara khusus, untuk lokasi
di bagian hulu, dengan jumlah spesies yang relatif sedikit (lihat Tabel 9), maka nilai indeks
keanekaragaman untuk komunitas ikannya juga relatif lebih rendah dan sebaliknya untuk
indeks dominasi.
Tabel 12. Indeks keanekaragaman dan dominasi komunitas ikan yang ditemukan pada setiap lokasi di sungai
No. Nama Lokasi Kode Lokasi H’ D
1. Sungai Wowor L1 0,906 0,662 2. Sungai Yawarone L2 1,677 0,352 3. Sungai Karwaroi L3 1,278 0,554 4. Sungai Waro bagian hilir L4 2,271* 0,214* 5. Sungai Waro bagian hulu L5 1,880 0,358 6. Sungai Waririr L8 1,392 0,407 7. Logpond Mandiri L7 2,846 0,160 8. Logpond Simei L8 2,128 0,265
*dihitung tanpa menggunakan data ikan asing
C. Kelompok makan ikan
Sebagian besar spesies ikan yang ditemukan termasuk dalam kategori karnivora
(Tabel 13). Dominasi kelompok ini merupakan ciri khas pada sistem sungai tropis (Allen
et al., 2002). Umumnya makanan ikan pada ekosistem sungai di bagian hulu terdiri dari
insekta air dan insekta terestrial, serta avertebrata bentik lainnya. Keberadaan kelompok
36
makanan ini sangat terkait erat dengan kondisi vegetasi riparian yang relatif masih baik
di bagian tepi sungai maupun anak sungai sebagai sumber makanannya. Salah satu
contoh adalah Melanotaenia sp. (ikan pelangi) yang termasuk insektivora (pemakan
insekta), khususnya dari kelompok Coleoptera, Ephemeroptera, Trichoptera, dan
Diptera (Manangkalangi et al. 2010). Selain itu juga, beberapa spesies ikan (misalnya,
Hephaestus lineatus, Oxyeleotris sp., dan Gloassamia sp) juga termasuk karnivora yang
memakan kelompok ikan lainnya, termasuk ikan pelangi (Tabel 13). Keberadaan
pemangsa ini menunjukkan bahwa jaring makanan di sistem sungai relatif masih belum
terganggu. Hilangnya kelompok ikan dengan karakteristik dan fungsi utama dari suatu
ekosistem bisa mengakibatkan hilangnya ketahanan (resiliensi) dan kondisi
keseimbangan ekosistem akan berubah (Holling, 1986; Sheffer, 1990; Chapin et al.,
1997; Tilman et al., 1997).
Tabel 13. Komposisi makanan ikan yang ditemukan pada lokasi penelitian
Taksa Komposisi Makanan
IKAN ASLI
1. Melanotaenia sp. (ikan pelangi)
Karnivora, seperti ikan pelangi lainnya, bahwa makanannya terdiri atas insekta air dan darat (Allen, 1991; Manangkalangi et al., 2010).
2. Hephaestus lineatus Karnivora, makanannya terutama terdiri atas insekta darat dan akuatik, krustasea, moluska, ikan dan katak (Allen, 1991; Allen & Renyaan., 2000, Allen et al., 2002).
3. Lagusia sp. Omnivora
4. Zenarchopterus sp. Omnivora, makanan terdiri atas insekta air, insekta terestrial, ikan kecil dan algae (Allen, 1991)
5. Oxyeleotris sp1. Karnivora, makanan terdiri atas berbagai avertebrata kecil meliputi krustasea, insekta dan gastropoda, serta ikan kecil (Allen, 1991; Allen et al., 2000)
6. Oxyeleotris sp2. Karnivora, makanan terdiri atas berbagai avertebrata kecil meliputi krustasea, insekta dan gastropoda, serta ikan kecil (Allen, 1991; Allen et al., 2000)
7. Gobiidae1 Karnivora, makanan terdiri atas krustasea, insekta, cacing, moluska, dan ikan kecil) (Allen, 1991; Allen et al., 2000).
8. Glossamia sp.
Karnivora, makanan terdiri atas insekta air, makrokrustasea, dan ikan, termasuk ikan pelangi (Hortle & Pearson, 1990; Allen, 1991; Allen et al., 2000; Hattori & Warburton 2003, Pusey et al. 2004).
9. Arius sp. Omnivora, makanan terdiri atas insekta, udang, ikan, cacing, dan tumbuhan (Allen et al., 2002).
10. Neosilurus ater
Omnivora, makanan terdiri atas detritus, alga, insekta air, insekta terestrial, krustasea, moluska, cacing, dan ikan, termasuk ikan pelangi (Hortle & Pearson, 1990; Allen et al., 2002).
IKAN INTRODUKSI 11. Puntius javus (tawes)
Omnivora, makanan terdiri atas alga, detritus, insekta, krustasea, cacing (Allen et al., 2002)
37
3.4.2 Struktur komunitas ikan di perairan pesisir (lamun)
A. Komposisi dan persebaran
Spesies ikan yang ditemukan di perairan pesisir (hamparan lamun) pada kedua
lokasi, yaitu 5 dan 8 spesies (Lampiran 5). Jumlah spesies ini relatif sedikit jika
dibandingkan beberapa penelitian sebelumnya yang juga dilakukan di hamparan lamun
(Tabel 14). Kondisi ini diduga terkait dengan upaya tangkap yang banyak dan periode
pengumpulan yang lebih lama. Selain itu, keanekaragaman spesies ikan juga bervariasi
secara spasial (terkait dengan kondisi hamparan lamun dan kompleksitas ekosistem di
sekitarnya (misalnya terumbu karang dan mangrove) dan secara temporal (berkaitan
dengan waktu). Menurut Hemminga dan Duarte (2000), spesies ikan yang hidup dalam
padang lamun dapat dibedakan berdasarkan status tempat tinggalnya: (1) penghuni
tetap (permanent residents) adalah spesies yang menghabiskan seluruh hidupnya di
padang lamun, (2) penghuni sementara (temporary residents) adalah spesies yang hadir
secara musiman atau selama sebagian dari waktu hidupnya di habitat ini, (3) pengunjung
tetap adalah spesies ikan yang sering kali mengunjungi padang lamun, misalnya melalui
migrasi harian dari terumbu karang yang berdekatan, (4) pengunjung kadang-kadang
(occasional visitors) adalah spesies yang berpindah ke padang lamun secara sporadis.
Ada sekitar 360 spesies ikan yang berasosiasi dengan ekosistem ini (Tomascik et al.,
1997).
Tabel 14. Komposisi spesies dan sebarannya di kedua hamparan lamun.
No. Nama Famili Nama Ilmiah Lokasi
L6 L7
1. Siganidae Siganus fuscescens 1 1 2. Carangidae Selar sp. 1 - 3. Scaridae Scarus sp. 1 - 4. Lethrinidae Lethrinus amboinensis 1 - 5. Mullidae Parupeneus barberinus 3 - 6. Nemipteridae Scolopsis margaritifer 1 - 7. Nemipteridae Scolopsis sp. 1 - 8. Syngnathidae Syngnathoides sp. 1 3 9. Sphyraenidae Sphyraena obtusata - 1
10. Terapontidae Pelates sp. - 1 11. Monacanthidae Monacanthidae 1 - 1
Jumlah individu 10 7
B. Kelimpahan, Indeks keanekaragaman dan dominasi ikan
Kelimpahan spesies ikan di kedua hamparan lamun berkisar di antara 0,001-0,004
individu.m-2. Sedangkan kelimpahan total berkisar di antara 0,009-0,013 individu.m-2.
Kelimpahan pada kedua lokasi ditampilkan pada Tabel 15.
38
Nilai indeks keanekaragaman dan dominasi komunitas ikan pada kedua lokasi
ditampilkan pada Tabel 16. Di hamparan lamun, nilai kedua indeks ini secara berturut-
turut berkisar di antara 2,128-2,846 dan 0,160-0,265. Nilai indeks keanekaragaman di
kedua lokasi ini termasuk dalam kategori sedang dan indeks dominasi termasuk dalam
kategori rendah. Nilai kedua indeks ini relatif tidak berbeda dengan hasil penelitian
sebelumnya di beberapa lokasi lainnya (Tabel 16).
Tabel 15. Kelimpahan spesies ikan di kedua hamparan lamun.
No. Nama Ilmiah Lokasi
L6 L7
1. Siganus fuscescens 0,001 0,001 2. Selar sp. 0,001 - 3. Scarus sp. 0,001 - 4. Lethrinus amboinensis 0,001 - 5. Parupeneus barberinus 0,004 - 6. Scolopsis margaritifer 0,001 - 7. Scolopsis sp. 0,001 - 8. Syngnathoides sp. 0,001 0,004 9. Sphyraena obtusata - 0,001 10. Pelates sp. - 0,001 11. Monacanthidae 1 - 0,001
Total 0,013 0,009
Tabel 16. Jumlah spesies, indeks keanekaragaman dan dominasi
Lokasi
Jumlah spesies setiap stasiun
dan/atau waktu pengambilan
Keanekaragaman H’
Dominasi (D) Sumber
Logpond Mandiri dan Simei, Teluk Wondama
5-8 2,128-2,846 0,160-0,265 Penelitian ini
Perairan Mola, Wakatobi 18a 3,001-3,289* 0,10-0,12 Nanto et al. (2016) Teluk Ekas Lombok Timur 20-21 1,212-2,236* 0,37-0,71 Karnan et al. (2015) Teluk Youtefa, Jayapura, Papua
79a 2,09-4,29 0,08-0,26 Tebaiy et al. (2014)
Pantai Wael, Teluk Kotania, Seram Bagian Barat
25-29 1,529-3,174* 0,17-0,43 Latuconsina et al. (2014)
Perairan Pulau Kei Besar, Maluku Tenggara
9-28 1,694-2,504 0,13-0,23 Triandiza (2013)
Tanjung Tiram, Teluk Ambon Dalam
26-37 0,736-3,895* 0,10-0,83 Latuconsina et al. (2012)
Pantai Lateri, Teluk Ambon Dalam
31 3,737* 0,11 Latuconsina (2011)
Perairan pesisir Manokwari, Papua Barat
4-13 0,38-2,65 0,20-0,89 Kopalit (2010)
Keterangan: * dikonversi dari nilai yang mengacu dari persamaan keanekaragaman yang menggunakan ln dan mengalikannya dengan ~1,4427, ajumlah keseluruhan spesies
39
3.5 Karakteristik parameter fisik-kimiawi dan struktur biotik di setiap lokasi sungai serta implikasi kondisi riparia
Karakteristik kualitas air dan struktur biotik ditampilkan pada Tabel 17. Hasil ini
merupakan ringkasan seluruh hasil sebelumnya. Berbagai informasi terkait karakteristik
setiap lokasi di sistem sungai, misalnya kondisi suhu air, kelarutan gas oksigen dalam
air, tingkat kekeruhan, kompleksitas rantai makanan, dan tipe pemakan menjadi
indikator kesehatan ekosistem sungai. Kondisi ekosistem ini merupakan implikasi
kondisi vegetasi riparia di bagian tepi sungai.
Vegetasi riparia memunyai fungsi penting dalam mendukung kehidupan biota
yang ada di perairan sungai, termasuk komunitas ikan (Gambar 20). Pada kondisi hutan
riparia dengan kekayaan dan kerapatan tingkat pertumbuhan pohon yang lebih tinggi
memiliki konstribusi terhadap penutupan tajuk yang lebih besar terhadap lingkungan di
bagian bawahnya, termasuk kolom air sungai. Penutupan tajuk ini berperan penting
sebagai penyangga suhu air, agar lebih dingin dan kurang berfluktuasi (Gambar 21)
(Lynch et al., 1984). Hasil penelitian Lemenih et al. (2004) menunjukkan bahwa
penutupan tajuk, kerapatan dan ukuran jenis tumbuhan berkayu memberikan implikasi
terhadap suhu lingkungan di bagian bawahnya. Berkurangnya tutupan tajuk secara
signifikan akan meningkatkan suhu dan variabilitas suhu udara harian di lingkungan
bagian bawah vegetasi hutan (Rambo dan North, 2009), termasuk suhu air sungai. Suhu
air sangat memengaruhi kelarutan gas oksigen dalam air. Pada kondisi suhu yang lebih
tinggi, maka kelarutan oksigen akan lebih rendah dan sebaliknya pada kondisi suhu air
yang rendah.
Kekayaan jenis dan kerapatan tumbuhan berkayu yang lebih tinggi di tipe hutan
primer juga akan memberikan konstribusi yang besar terhadap sumbangan serasah
yang masuk ke dalam sistem sungai sebagai sumber energi utama pada jaring makanan
(Vannote et al., 1980; Schlosser, 1995). Beberapa penelitian (Dantas dan Phillipson,
1989; Barlow et al., 2007) menunjukkan perbedaan produksi serasah di antara tipe
hutan, dan lebih tinggi pada tipe hutan primer daripada hutan sekunder. Konstribusi
serasah yang masuk sangat terkait dengan keberadaan makaroavertebrata air
(Cummins dan Klug, 1979; Cummins et al., 1989; Graça, 2001) sebagai makanan ikan
pelangi arfak (Manangkalangi et al., 2010). Hasil penelitian Leatemia et al. (2016)
menunjukkan ada hubungan di antara kerapatan tegakan vegetasi riparia dengan
kelimpahan dan keanekaragaman makroavertbrata air di Sungai Aimasi, dan kondisi ini
diduga terkait dengan sumbangan serasah yang masuk sebagai sumber makanan dan
ketersediaan habitat bagi makrozoobentos air.
40
Tabel 17. Karakteristik parameter fisik-kimiawi dan komunitas biotik serta implikasi kondisi vegetasi riparia
Karakter Karakteristik Keterangan Implikasi Kondisi Riparia
Parameter fisik-kimia Suhu < 27,5ºC
Relatif sesuai bagi ikan pelangi
Terkait dengan kondisi vegetasi riparia yang relatif masih baik (tutupan tajuk yang masih rapat), walaupun ada pada beberapa lokasi ada gangguan akibat pemukaan jalan dan pembuatan jembatan
Kelarutan oksigen DO >6 mg/L
Kekeruhan Umumnya < 50 NTU, kecuali dua lokasi yang lebih tinggi (58-79 NTU)
Masih relatif sesuai bagi aktivitas ikan pelangi mencari makan
Komunitas biotik
Kepadatan fitoplankton
Rendah (333,333-2466,677sel/L)
Karaktersitik sistem sungai di bagian hulu dengan tutupan tajuk yang masih rapat, sehingga cahaya matahari sedikit yang sampai ke kolom air sungai untuk pertumbuhan fitoplankto
Makrozoobentos
Kondisi stabil (H’ = sedang-tinggi, E = tinggi, dan C = rendah)
Sumber makanan utama dalam jaring makanan di sistem sungai di bagian hulu adalah serasah dan selanjutnya dimanfaatkan oleh kelompok makrozoobentos, khususnya insekta air
Tipe memakan beragam Sumber daya makanan masih tersedia Kelompok pemakan shredder (pencabik)
Sumbangan serasah masih tersedia
Kelompok yang peka terhadap lingkungan yang terganggu yang ditemukan (nilai toleransi rendah 0-3)
Kondisi lingkungan masih sesuai bagi kelompok makroazoobentos
Keberadaan kelompok Oligochaeta dan Thiaridae
Ada gangguan terkait masukan sedimen halus
Ikan
Ikan asli (walaupun ada satu ikan asing)
Kondisi lingkungan masih sesuai bagi kelompok ikan, khususnya ikan asli. Sumber daya makanan masih tersedia.
Tipe memakan, terutama didominasi kelompok pemakan insekta air dan insekta terestrial Kelompok karnivora pemakan ikan (Hephaestus lineatus, Oxyeleotris sp., dan Gloassamia sp.)
41
Gambar 20. Model konseptual yang menggambarkan mekanisme transfer energi dan
material oleh vegetasi riparia ke dalam ekosistem sungai yang berdampak pada komunitas ikan (Pusey dan Arthington, 2003).
42
Gambar 21. Fluktuasi harian suhu air di tiga segmen sungai dengan kondisi hutan yang berbeda di Pennsylvania. (atas) April, (tengah) Juni, dan (bawah) Oktober (dimodifikasi dari Lynch et al. 1984).
43
Perubahan kondisi perairan sungai dalam kaitannya dengan aktivitas pembukaan
areal hutan, termasuk konversi hutan riparia di bagian tepi sungai telah banyak dilaporkan
(misalnya, dos Santos et al., 2015; Lorion dan Kennedy, 2009; Lobón-Cerviá et al., 2016).
Perubahan persentase tutupan lahan yang diwakili melalui tingkat kerapatan tumbuhan
memiliki implikasi terhadap erosi dan masukan partikel tersuspensi yang masuk ke sistem
sungai melalui aliran permukaan. Salah satu dampak yang terjadi, yaitu masukan partikel
tersuspensi yang berlebihan ke dalam sistem sungai akan menyebabkan meningkatnya
kekeruhan air (Growns dan Davis, 1994; Sutherland et al., 2002; dos Santos et al., 2015).
Pada hutan yang telah dikonversi (misalnya menjadi hutan sekunder dan lahan terbuka),
cenderung berpotensi meningkatkan kekeruhan air sungai di sekitarnya. Kondisi ini akan
sangat mempengaruhi kehidupan ikan pelangi arfak. Jenis ikan ini umumnya ditemukan
pada perairan sungai yang jernih (<58,1 NTU) (Tapilatu dan Renyaan, 2005;
Manangkalangi, 2009; Kadarusman et al., 2010). Keberadaan ikan ini pada kondisi perairan
yang jernih diduga berkaitan dengan efektivitasnya dalam mencari makan. Hasil penelitian
Manangkalangi et al. (2017) menunjukkan bahwa tingkat kekeruhan air yang lebih tinggi
(100,12 NTU) sudah mulai memberikan dampak terhadap penurunan efektivitas mencari
makan pada ikan pelangi arfak.
Selain itu juga, keberadaan vegetasi riparia di bagian tepi sungai, khususnya bagian
yang terendam dalam air, menyediakan habitat pemijahan dan peletakkan telur, serta
pembesaran bagi larva ikan pelangi arfak (Manangkalangi et al., 2009a). Pada tipe habitat
di bagian tepi ini, keberadaan struktur vegetasi yang terendam dalam air memperlambat
aliran sehingga sesuai dengan kemampuan pergerakan larva yang terbatas (Heggenes,
1988) dan sebagai tempat perlindungan terhadap predasi (Rozas dan Odum, 1988;
Grenouillet et al., 2002). Habitat ini juga memiliki suhu air yang lebih hangat sehingga
menunjang proses metabolisme dan kelimpahan makanan (makrozoobentos) yang lebih
tinggi (Manangkalangi et al., 2009a;c) sehingga memungkinkan pertumbuhan tahap awal
ini menjadi lebih cepat.
3.6 Rekomendasi
Walaupun berdasarkan hasil penelitian ini masih menunjukkan bahwa kualitas
ekosistem sungai maupun perairan pesisir masih relatif baik, namun demikian ada
beberapa hal yang perlu direkomendasikan agar kondisi ekosistem ini tetap baik. Beberapa
rekomendari untuk upaya mempertahankan kondisi ekosistem sungai dan perairan pesisir
agar tetap sesuai bagi kehidupan organismenya, yaitu:
44
1. tetap mengimplementasikan pengelolaan hutan yang baik, khususnya di daerah
tangkapan air untuk mempertahankan pola hidrologi dan kondisi debit air serta kualitas
fisik dan kimia sistem sungai secara alami,
2. tetap mengimplementasikan perlindungan zona-zona riparia yang masih ada sebagai
sumber energi bagi ekosistem sungai dan sebagai daerah penyanggah terhadap suhu
dan bahan masukan dari darat (partikel sedimen),
3. merehabilitasi zona riparia yang rusak pasca operasional perusahaan atau pasca
pembuatan jalan dan jembatan.
4. memperbanyak perangkap sedimen untuk mengurangi masukan partikel tersuspensi.
5. Perlu dilakukan pemantauan indikator-indikator biotik dan abiotik secara berkala untuk
mengetahui kondisi kesehatan ekosistem sungai.
45
Daftar Pustaka
Achir, GDP, Sudarsono, Tien Aminatun. 2017. Kelimpahan dan keanekaragaman zooplankton di padang lamun pesisir Pantai Pancuran Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal Prodi Biologi FMIPA UNY. 6 (6)..
Abdunnur. 2002. Analisis model broken stick terhadap distribusi kelimpahan spesies dan ekotipologi komunitas makrozoobenthos di perairan Pesisir Tanjung Sembilan Kalimantan Timur. Jurnal Ilmiah Mahakam 1 (2):
Afif A, Widianingsih, Hartati R. 2014. Komposisi dan kelimpahan plankton di perairan Pulau Gusung Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan. Journal of Marine Research 3 (3): 324-331.
Allan DJ & Castilo MM, 2007. Stream ecology: Structure and function of running water (second Eds). Springer.
Allen GR. 1991. Field guide to the freshwater fishes of New Guinea. Christensen Research Institute, Madang, Papua New Guinea. 268 p.
Allen GR, Hortle KG, Renyaan SJ. 2000. Freshwater fishes of the Timika Region New Guinea. PT. Freeport Indonesia, Timika, Indonesia. 175 p.
Allen GR, Renyaan S. 2000. Fishes of the Wapoga River System, northwestern Irian Jaya, Indonesia. Dalam: Mack AL, Alonso LE (eds.). A Biological assessment of the Wapoga River Area of Northwestern Irian Jaya, Indonesia. RAP Bulletin of Biological Assessment No. 14.
Allen GR, Ohee H, Boli P, Bawole R, Warpur M. 2002. Fishes of the Yongsu and Dabra areas, Papua, Indonesia. Dalam: Richards J. & S. Suryadi (eds.). A Biodiversity Assessment of Yongsu – Cyclops Mountains and the southern Mamberamo Basin, Papua, Indonesia. RAP Bulletin of Biological Assessment No. 25. Conservation International, Washington DC. p. 67-72.
Angelier E. 2003. Ecology of streams and rivers. Enfield, New Hampshire: Science Publisher, Inc.
Anggaraini A, Sudarsono, Sukiya. 2016. Kelimpahan dan tingkat kesuburan plankton di perairan sungai Bedog. Jurnal Biologi 5 (6): 1-10.
Arshad A, Amin SMN, dan Osman N, Che Cob Z,Saad CR. 2010. Population parameters of planktonic shrimp, Lucifer intermedius (Decapoda: Sergestidae) from Sungai Pulai Seagrass Area Johor, Peninsular Malaysia. Sains Malaysiana 39(6):877-882.
Barlow, J., Gardner, T.A., Ferreira, L.V., Peres, C.A. 2007. Litter fall and decomposition in primary, secondary and plantation forests in the Brazilian Amazon. Forest Ecology and Management. 247(1-3): 91-97.
Basmi JH. 2000. Planktonologi: Plankton sebagai bioindikator kualitas perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. 59 hal.
Binkley C, Brown TC. 1993. Forest practices as nonpoint sources of pollution in North America. Water Resources Bulletin, 29: 729-740.
Botes L. 2001. Phytoplankton identification Catalogue. GloBallast Monograph Series No. 7. Saldanha Bay, South Africa.
46
Bouchard RW. 2004. Guide to aquatic invertebrates of the Upper Midwest: identification manual for students, citizen monitors, and aquatic resource professionals. University of Minnesota.
Cairns, JR dan Dickson KI. 1981, Biological Methods for Assesment of Water Quality, American Society Testing and Material (ASTM). America.
Campbell IC, Doeg TJ. 1989. Impact of timber harvesting and production on streams: a review. Australian Journal of Marine and Freshwater Research, 40: 519-539.
Carver M, Gross GF, Woodward TE. 1996. Hemiptera (Bugs, leafhoppers, cicadas, aphids, scale insects etc.). Di dalam: Naumann ID, Carne PB, Lawrence JF, Nielsen ES, Spradbery JP, Taylor RW, Whitten MJ, Littlejohn MJ (eds). The insects of Australia: A textbook for students and research workers. Volume I. Melbourne University Press. p. 429-509.
Chapin III, F.S., Walker, B.H., Hobbs, R.J., Hooper, D.U., Lawton, J.H., Sala, O.E., Tilman, D., 1997. Biotic control over the functioning of ecosystems. Science 277, 500-504.
Chen DY, Chen H. 1994. Determining stream temperature changes caused by harvest of
riparian vegetation: an overview. Dalam: Riparian ecosystems in the humid U.S.:
functions, values and management. Washington, D.C: National Association of
Conservation Districts. pp 313-323.
Colless DH, McAlpine DK. 1996. Diptera (Flies). Di dalam: Naumann ID, Carne PB, Lawrence JF, Nielsen ES, Spradbery JP, Taylor RW, Whitten MJ, Littlejohn MJ (eds). The insects of Australia: A textbook for students and research workers. Volume II. Melbourne University Press. p. 717-786.
Costanza R, Mageau M. 1999. What is a healthy ecosystems? Aquatic Ecology, 33: 105-115.
Cummins KW dan Klug MJ. 1979. Feeding ecology of stream invertebrates. Annual Review of Ecology and Systematics. 10: 147-172.
Cummins KW, Wilzbach MA, Gates DM, Perry JB, Taliaferro WB. 1989. Shredders and
riparian vegetation. BioScience. 39 (1): 24-30.
Dantas M and Phillipson J. 1989. Littered and liter nutrient conten in primary and secondary Amazonian “terra firma” rain forest. Journal of Tropical Ecology 5: 27-36.
Davis CC. 1955. The marine and freshwater plankton. Michigan State University.
Day JH. 1967. A monograph on the polychaeta of Southern Africa (series 1 and 2). British Museum (National History). Departemen of Zoology. London.
Dobson M, Mathooko JM, Ndegwa FK, M’Erimba C. 2003. Leaf litter processing rates in a Kenyan highland stream, the Njoro River. Hydrobiologia 519: 207–210.
dos Santos FB, Ferreira FC, Esteves KE. 2015. Assessing the importance of the riparian zone for stream fish communities in a sugarcane dominated landscape (Piracicaba River Basin, Southeast Brazil). Environmental Biology of Fishes. 98(8): 1895-1912.
Edgar GJ, Mukai H, Orth RJ. 2001. Fish, crabs, shrimps and other large mobile epibenthos: measurement methods for their biomass and abundance in seagrass. In: Short FT, Coles RG. (eds.). Global seagrass research methods. Elsevier Science B.V.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius: Yogyakarta
47
Eleftheriou A dan McIntyre A. 2005. Methods for the study of marine benthos. 3rd eds. Blackwell Science. Victoria, Australia.
Ensign SH, Mallin MA. 2001. Stream water quality changes following timber harvest in a coastal plain swamp forest. Water Research, 35: 3381-3390.
Fairchild GW, Horwitz RJ, Nieman DA, Boyer MR, Knorr DF. 1998. Spatial variation and historical change in fish assemblages of the Schuylkill River drainage, southeast Pennsylvania. American Midland Naturalist, 139: 282-295.
Frojan CRSB, Kendall MA, Peterson GLJ, Hawkins LE, Nimsantijaroen S, Aryuthaka C. 2006. Pattern of polychaete diversity in selected tropical intertidal habitats. Scientia Marina 70 (S3): 239-248.
Fry FE. 1947. Effect of environment on anial activity. Ontario Fisheries Research Laboratory Publication. Biol. Ser. 55 (68): 1-62.
Gembong T. 2005. Morfologi tumbuhan. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.
Graça MAS. 2001. The role of invertebrates on leaf litter decomposition in streams – a review. International Review of Hydrobiology. 86(4-5): 383-393.
Grenouillet G, Pont D, Seip KL. 2002. Abundance and species richness as a function of food resources and vegetation structure: juvenile fish assemblages in rivers. Ecography. 25(6): 641-650.
Growns IO, Davis JA. 1994. Effects of forestry activity (clearfelling) on stream macroinvertebrate fauna in south-western Australia. Australian Journal of Marine and Freshwater Research. 45(6): 963-975.
Hadiyanto. 2013. Nilai ekonomis cacing laut (Annelida: Polychaeta). Oseana XXXVII (3): 23-31.
Hamuna B, Tanjung RHR, Suwito, Maury HK, Alianto. 2018. Kajian kualitas air laut dan indeks pencemaran berdasarkan parameter fisika-kimia di perairan Distrik Depapre, Jayapura. Jurnal ilmu Lingkungan 16 (1): 35-43.
Hattori A, Warburton K (2003) Microhabitat use by the rainbowfish Melanotaenia duboulayi in a subtropical Australian stream. Journal of Ethology, 21(1): 15-22.
Hauer FR, Resh VH. 2007. Benthic macroinvertebrates. In: Hauer FR & Lamberti GA (eds).
Methods in stream ecology. Academic Press. p. 339-369.
Hawkes H. 1997. Origin and development of the biological monitoring working party score
system. Water Research, 32: 964-968.
Hemminga MA dan Duarte CM. 2000. Seagrass ecology. Cambridge University.298 hal.
Hendrawaan D, Melati MF, Bestari B. 2004. Kajian Kualitas Perairan Sungai Ciliwung. Jurnal Penelitian Karya Ilmiah Lemlit Usakti 3: 54-66.
Heggenes J. 1988. Effects of short-term flow fluctuations on displacement of, and habitat use by, brown trout in a small stream. Transactions of the American Fisheries Society. 117(4): 336-344.
Hilsenhoff WL. 1988. Rapid field assessment of organic pollution with a Family - Level Biotic Index. Freshwater science 7 (1): 65-68.
48
Holling CS. 1986. The resilience of terrestrial ecosystems: local surprise and global change. In: Clark, W.C., Munn, R.E. (Eds.), Sustainable Development of the Biosphere. Cambridge University Press, Cambridge, pp. 292-317.
Hortle KG, Pearson RG. 1990. Fauna of the Annan River system, far north Queensland, with reference to the impact of tin mining. I. Fishes. Australian Journal of Marine and Freshwater Research, 41: 677-694.
Kadarusman, Sudarto, Paradis, E., Pouyaud, L. 2010. Description of Melanotaenia fasinensis, a new species of rainbowfish (Melanotaeniidae) from West Papua, Indonesia with comments on the rediscovery of M. ajamaruensis and the endagered status of M. parva. Cybium. 34(2): 207-215.
Karnan, Japa L, Raksun A. 2015. Struktur komunitas sumberdaya ikan padang lamun di Teluk Ekas Lombok Timur. Jurnal Biologi Tropis, 15(1): 5-14.
Kastoro WW, Sudibjo ES, Aziz A, Aswandy I, Hakim IA.. 1991. The macrobenthic
community of Seribu Islands, Jakarta, Indonesia. Proceeding of the regional
symposium of living resources in coastal area. Jakarta.
KEPMENLH [Kementerian Negara Lingkungan Hidup]. 2004. No.51 Tahun 2004, Tentang baku mutu air laut. Kementrian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta,
Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoatmodjo S. 1993. Freshwater fishes of Western
Indonesia and Sulawesi. Hong Kong: Periplus Editions. 221 p.
Krebs CJ. 1989. Ecological methodology. New York: Harper Collins Publishers.
Lake PS. 2000. Disturbance, patchiness, and diversity in streams. J. N. Am. Benthol. Soc., 19(4): 573-592.
Kopalit H. 2010. Kajian komunitas padang lamun sebagai fungsi habitat ikan di perairan pantai Manokwari Papua Barat. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 74 hal.
Latuconsina H. 2011. Komposisi jenis dan struktur komunitas ikan padang lamun di perairan Pantai Lateri Teluk Ambon Dalam. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan, 4(1): 30-36.
Latuconsina H, Nessa MN, Ambo-Rappe R. 2012. Komposisi spesies dan struktur komunitas ikan padang lamun di perairan Tanjung Tiram-Teluk Ambon Dalam. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 4(1): 35-46.
Latuconsina H, Sangadji M, Sarfan L. 2014. Struktur komunitas ikan padang lamun di perairan Pantai Wael Teluk Kotania Kabupaten Seram Bagian Barat. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan, 6(3): 24-32.
Lemenih, M., Gidyelew, T., Teketay, D. 2004. Effects of canopy cover and understory environment of tree plantations on richness, density and size of colonizing woody species in southern Ethiopia. Forest Ecology and Management. 194(1-3): 1-10.
Lynch, J.A., Rishel, G.B., Corbett, E.S. 1984. Thermal alteration of streams draining clearcut watersheds: quantification and biological implications. Hydrobiologia. 111(3): 161-169.
Lawrence JF, Britton EB. 1996. Coleoptera (Beetles). Di dalam: Naumann ID, Carne PB, Lawrence JF, Nielsen ES, Spradbery JP, Taylor RW, Whitten MJ, Littlejohn MJ (eds).
49
The insects of Australia: A textbook for students and research workers. Volume II. Melbourne University Press. p. 543-683.
Leatemia, SPO, Wanggai EC, Talakua S. 2016. Kelimpahan dan keanekaragaman makroavetebrata air pada kerapatan vegetasi riparian yang berbeda di Sungai Aimasi Kabupaten Manokwari. The Journal of Fisheries Development. 3(1): 25-38.
Leatemia SPO, Manangkalangi E, Lefaan TH, Peday HFZ, Sembel L. 2017.
Makroavertebrata Bentos sebagai Bioindikator Kualitas Air Sungai Nimbai
Manokwari, Papua Barat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI) 22 (1): 25-33.
Levin S., 1992. The problem of pattern and scale in ecology. Ecology 73, 1943-1967.
Lobón-Cerviá J., Mazzoni R., Rezende C.F. 2016. Effects of riparian forest removal on the trophic dynamics of a Neotropical stream fish assemblage. Journal of Fish Biology. 89(1): 50-64.
Lockaby BG, Stanturf JA, Messina MG. 1997. Effects of silvicultural activity on ecological processes in the floodplain forests of the southern United States: a review of existing reports. Forest Ecology and Management, 90: 93-100.
Lorion CM, Kennedy BP. 2009. Riparian forest buffers mitigate the effects of deforestation on fish assemblages in tropical headwater streams. Ecological Applications. 19(2): 468-479.
Manangkalangi E, Rahardjo MF, Hadiaty RK, Hariyadi S. 2017. Efektivitas ikan pelangi arfak, Melanotaenia arfakensis, Allen 1990 dalam mencari makan pada tingkat kekeruhan air yang berbeda: suatu pendekatan laboratorium. Jurnal Iktiologi Indonesia. 17(3): 299-310.
Manangkalangi E, Leatemia SPO, Lefaan PTh, Peday HFZ, Sembel L. 2014. Kondisi habitat ikan pelangi arfak, Melanotaenia arfakensis, 1990 di Sungai Nimbai, Prafi Manokwari. Jurnal Iktiologi Indonesia, 14(1): 21-36.
Manangkalangi E. 2011. Keanekaragamanian air tawar pada beberapa sungai di Aifat Timur. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Papua. 17 hal. (tidak dipublikasi).
Manangkalangi E, Rahardjo MF, Sjafii DS, Sulistiono. 2010. Preferensi makanan ikan pelangi arfak (Melanotaenia arfakensis Allen, 1990) di Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokwari. Jurnal Iktiologi Indonesia, 10(2): 123-135.
Manangkalangi E, Rahardjo MF, Sjafii DS.. 2009a. Habitat ontogeni ikan pelangi arfak (Melanotaenia arfakensis) di Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokwari. Jurnal Natural. 8(1): 4-11.
Manangkalangi. E, Rahardjo MF, Sjafii DS, Sulistiono. 2009c. Pengaruh kondisi hidrologi terhadap komunitas makroavertebrata di Sungai Aimasi dan Sungai Nimbai, Manokwari. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 5(2): 99-110.
Mazzoni R, Fenerich-Verani N, Caramaschi EP. 2000. Electrofishing as a sampling technique for coastal stream fish poulations and communities in the southeast of Brazil. Rev. Brasil. Biol., 60(2): 205-216.
McCafferty WP. 1983. Aquatic Entomology. The Fishermen’s and Ecologist’s Illustrated
Guide to Insects and Their Relatives. London: Jones and Bartlett Publishers
International.
50
Meador MR, Goldstein RM. 2003. Assessing water quality at large geographic scales: relations among land use, water physicochemistry, riparian condition, and fish community structure. Environmental Management, 31: 504-517.
Minshall GW. 1988. Stream ecosystem theory: a global perspective. Journal of the North American Benthological Society, 7: 263-288.
Mucha AT, Vasconcelos, Bordello A. 2003. Macrobenthic community in the Douro estuary: Relations with trace metal and natural sediment characteristics. Environ. Poll. 121: 169-18.
Nanto, Mustafa A, Arami H. 2016. Studi komunitas ikan pada ekosistem padang lamun yang tereksploitasi di perairan Mola Taman Nasional Laut Wakatobi. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan, 1(4): 415-426.
Neboiss A. 1996. Trichoptera (Caddis-flies, caddises). Di dalam: Naumann ID, Carne PB, Lawrence JF, Nielsen ES, Spradbery JP, Taylor RW, Whitten MJ, Littlejohn MJ (eds). The insects of Australia: A textbook for students and research workers. Volume II. Melbourne University Press. p. 787-816.
Needham JG, Needham PR. 1963. A guide to the study of fresh-water biology. Fifth edition.
San Francisco: Holden-Day, Inc.
Nielsen ES, Common IFB. 1996. Lepidoptera (Moths and butterflies). Di dalam: Naumann ID, Carne PB, Lawrence JF, Nielsen ES, Spradbery JP, Taylor RW, Whitten MJ, Littlejohn MJ (eds). The insects of Australia: A textbook for students and research workers. Volume II. Melbourne University Press. p. 717-915.
Nurfadillah, A. Dmar, EM. Adiwilaga. 2012. Komunitas fitoplankton di perairan Danau Laut Tawar Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Jurnal Depik, 1(2): 93-98.
Nybakken JW. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta: PT. Gramedia
Odum EP. 1993. Dasar-dasar ekologi. Edisi ke-3. Samingan T, Srigandono B (Penerjemah). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Fundamental of Ecology. Third Edition.
Osborne LL, Wiley MJ. 1992. Influence of tributary spatial position on the structure of
warmwater fish assemblages. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences,
49: 671-681.
Paller MH. 1994. Relationships between fish assemblage structure and stream order in South Carolina coastal plain streams. Transactions of the American Fisheries Society, 123: 150-161.
PERMENKES [Peraturan Menteri Kesehatan]. 2017. No 32 Tahun 2017, tentang standar baku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan air untuk keperluan hygiene sanitasi kolam renang Solus Per Aqua dan pemandian umum. Kementrian kesehatan RI. Jakarta.
PERMEN [Peraturan Pemerintah]. 2001. No. 82 Tahun 2001, tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Jakarta.
Pescador ML, Richard BA. 2004. Guide to the mayflies (Ephemeroptera) nymphs of Florida. State of Florida, Department of Environmental Protection.
51
Pescador ML, Rasmussen AK, Harris SC. 2004. Identification manual for the caddisfly (Tricoptera) larvae of Florida. Revised Edition. State of Florida, Department of Environmental Protection.
Peters WL, Campbell IC. 1996. Ephemeroptera (Mayflies). Di dalam: Naumann ID, Carne PB, Lawrence JF, Nielsen ES, Spradbery JP, Taylor RW, Whitten MJ, Littlejohn MJ (eds). The insects of Australia: A textbook for students and research workers. Volume I. Melbourne University Press. p. 279-293.
Pirzan AM, Utojo, Atmomarso M, Tjaronge M, Tangko AM, Hasnawi. 2005. Potensi lahan budidaya tambak dan laut di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 11 (5): 43-50.
Poole GC, Frissell CA, Ralph SC. 1997. In-stream habitat unit classification: inadequacies for monitoring and some consequences for management. Journal of the American Water Resources Association, 33: 879-896.
Prabandani D, Diah BS. Setiani, A. Sabar. 2007. Komposisi plankton di perairan Waduk Saguling, Jawa Barat. Lingkungan tropis edisi khusus Agustus 2007. IATPI. Bandung. Indonesia
Purnama PR, Nastiti NW, Agustin ME, dan Affandi M. 2011. Diversitas gastropoda di Sungai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Berkal. Penel. Hayati 16:143-147.
Pussey B and Arthington A. 2003. Importance of the Riparian Zone to the Conservation and Management of Freshwater Fish: A Review. Marine and Freshwater Research 54: 1-16.
Pusey B, Kennard M, Arthington A. 2004. Freshwater fishes of north-eastern Australia. Collingwood, Australia: CSIRO. 684 pp.
Putro SP. 2011. Pengembangan teknik pengambilan sampel makrobentos: Seleksi alat dan
preparasi. Jurnal Sains dan Matematkia 19 (3): 82-90.
Ralph SC, Poole GC, Conquest LL, Naiman RJ. 1994. Stream channel morphology and woody debris in logged and unlogged basins of Western Washington. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 51: 37-51.
Ramadani AH, Wijayanti A, Hadisusanto S. 2012. Komposisi dan kelimpahan fitoplankton di Laguna Glagah Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal MIPA.:1-8.
Rambo, T.R., North, M.P. 2009. Canopy microclimate response to pattern and density of thinning in a Sierra Nevada forest. Forest Ecology and Management. 257(2): 435-442.
Resh VH, Brown AV, Covich AP, Gurtz ME, Li HW, Minshall GW, Reice SR, Sheldon AL, Wallace JB, Wissmar R. 1988. The role of disturbance in stream ecology. Journal of the North American Benthological Society, 7(4): 433-455.
Resosoedarmo, S., K. Kartawinata dan A. Soegiarto. 1989. Pengantar Ekologi. Penerbit
Ramadja Karya. Bandung.
Richards C, Host G. 1994. Examining land use influences on stream habitats and macroinvertebrates: a GIS approach. Water Resources Bulletin, 30: 729-738.
52
Rozas, L.P., Odum, W.E. 1988. Occupation of submerged aquatic vegetation by fishes: testing the roles of food and refuge. Oecologia. 77(1): 101-106.
Sahidin A, Setyobudiandi I, Wardiatno Y. 2014. Struktur komunitas makrozoobentos di Perairan Pesisir Tangerang, Banten. Depik 3 (3): 226-233.
Schlosser IJ. 1982. Trophic structure, reproductive success, and growth rate of fishes in a natural and modified headwater stream. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 39: 968-978.
Schlosser IJ. 1995. Critical landscape attributes that influence fish population dynamics in headwater streams. Hydrobiologia, 303: 71-81.
Sembel L. 2012. Analisis beban pencemar dan kapasitas asimilasi di estuari Sungai Belau Teluk Lampung. Maspari Journal 4 (2): 178-183
Sembel L, Manan J. 2018. Kajian Kualitas Perairan pada Kondisi Pasang Surut di Teluk Sawaibu Kabupaten Manokwari. Jurnal Sumberdaya Akuatik Indopasifik 2 (I ): 1-14
Setyobudiandy I, Sulistiono, Yulianda F, Kusmana C, Hariyadi S, Damar A, Sembiring A, Bahtiar. 2009. Sampling dan analisis data perikanan dan kelautan: terapan metode pengambilan contoh di wilayah pesisir dan laut. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor. 312 hal.
Silsbee DG, Larson GL. 1983. A comparison of streams in logged and unlogged areas of Great Smoky Mountains National Park. Hydrobiologia, 102: 99-111.
Sudarso Y dan Wardiatno Y. 2015. Penelitian Status Mutu Sungai Dengan Indikator Makrokrozoobentos. Pena Nusantara. Bogor.
Sundaravarman, Varadharajan KD, Babu A, Saravanakumar A, Vijayalakshmi S, Balasubramania T. 2012. A Study of marine benthic fauna with spacial reference to the environmental parameters, South East Coastal of India. International Journal of Pharmaccutical & Biological Archives, 3 (5): 1157-1169.
Sutherland, A.B., Meyer, J.L., Gardiner, E.P. 2002. Effects of land cover on sediment regime and fish assemblage structure in four southern Appalachian streams. Freshwater Biology. 47(9): 1791-1805.
Sheffer, M., 1990. Multiplicity of stable states in freshwater systems. Hydrobiologia 200:201, 475-486.
Sweeney BW. 1992. Stream side forests and the physical, chemical, and trophic characteristics of Piedmont streams in Eastern North America. Water Science and Technology. 26: 2653-2673.
Tapilatu, R.F., Renyaan, A.W.A. 2005. Kajian aspek morfologis rainbowfish arfak (Melanotaenia arfakensis) pada habitat aslinya di beberapa daerah aliran sungai dalam kawasan lindung Pegunungan Arfak Manokwari. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 1(2): 79-86.
Tebaiy S, Yulianda F, Fahrudin A, Muchsin I. 2014. Struktur komunitas ikan pada habitat lamun di Teluk Youtefa Jayapura Papua. Jurnal Iktiologi Indonesia, 14(1): 49-65.
Thomas CR. 1997. Identifying marine phytoplankton. California (US): Academic Press.
53
Triandiza T. 2013. Diversitas ikan pada komunitas padang lamun di pesisir perairan Pulau Kei Besar, Maluku Tenggara. Seminar Nasional Sains & Teknologi V, 19-20 November 2013, Lembaga Penelitian Universitas Lampung. 12 hal.
Tilman, D., Knops, J., Wedin, D., Reich, P., Ritchie, M., Siemann, E., 1997. The influence of functional diversity and composition on ecosystem processes. Science 277, 1300-1302.
Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, dan M.K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Part II. Periplus Edition.
Umaly RC, Cuvin MALA. 1988. Limnology. Laboratory and field guide physico-chemical factors biological factors. Manila: National Book Store.
Vannote RL, Minshall GW, Cummins KW, Sedell JR, Cushing CE. 1980. The river continuum concepts. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 37: 130-137.
Vadas RL Jr., Orth DJ. 1993. A new technique for estimating the abundance and habitat use of stream fishes. Journal of Freshwater Ecology, 8: 305-317.
Wang L, Lyons J, Kanehl P, Gatti R. 1997. Influences of watershed land use on habitat quality and biotic integrity in Wisconsin streams. Fisheries, 22: 6-12.
Ward JV. 1998. Riverine landscapes: biodiversity patterns, disturbance regimes, and aquatic conservation. Biological Conservation, 83(3): 269-278.
Warren dan Davis, 1967
Watson JAL, O’Farrell AF. 1996. Odonata (Dragonflies and damselfies). Di dalam: Naumann ID, Carne PB, Lawrence JF, Nielsen ES, Spradbery JP, Taylor RW, Whitten MJ, Littlejohn MJ (eds). The insects of Australia: A textbook for students and research workers. Volume I. Melbourne University Press. p. 294-310.
Williams LR, Taylor CM, Warren ML Jr., Clingenpeel JA. 2002. Large-scale effects of timber harvesting on stream systems in the Ouachita Mountains, Arkansas, USA. Environmental Management, 29: 76-87.
Williams LR, Taylor CM, Warren ML Jr., Clingenpeel JA. 2003. Environmental variability, historical contingency, and the structure of regional fish and macroinvertebrate faunas in Ouachita Mountain stream systems. Environmental Biology of Fishes, 132: 120-130.
Yamaji I. 1979. Illustrations of the marine plankton of Japan. Enlarged & Revised Edition. Hoikusha Publishing Co. Ltd., Japan. 537 p.
54
LAMPIRAN-LAMPIRAN
55
Lampiran 1. Lokasi pengukuran parameter kualitas air dan pengambilan contoh plankton, makrozoobentos, dan ikan di wilayah operasional PT. Wijaya Sentosa.
A. Lokasi 1 (L1), Sungai Wowor
B. Lokasi 2 (L2), Sungai Yawarone
56
C. Lokasi 3 (L3), Sungai Karwaro
D. Lokasi 4 (L4), Sungai Waro bagian ke arah hilir dari rencana jembatan
57
E. Lokasi 5 (L5), Sungai Waro (bagian ke arah hulu dari jembatan)
F. Lokasi 8 (L8), Sungai Weririr
58
G. Lokasi 6 (L6), Sekitar logpond Mandiri
H. Lokasi 7 (L7), sekitar logpond Simei
59
Lampiran 2. Beberapa contoh kelompok plankton yang ditemukan pada sistem sungai dan perairan pesisir di wilayah operasional PT. Wijaya Sentosa
A. Nitzschia sp. Kelompok : Fitoplankton Lokasi : Sungai dan laut
B. Coscinodiscus nitidus Kelompok : Fitoplankton Lokasi : Laut
C. Coscinosdiscus sp. Kelompok : Fitoplankton Lokasi : Laut
D. Pyrocystis lunula Kelompok : Fitoplankton Lokasi : Sungai
E. Pyrocystis noctiluca (chaetoceros) Kelompok : Fitoplankton Lokasi : Sungai
F. Rhizosolenia sp. Kelompok : Fitoplankton Lokasi : Sungai
G. Acartia clausi (nauplius) Kelompok : Zooplankton Lokasi : Laut
60
Lampiran 3. Beberapa contoh kelompok makrozoobentos yang ditemukan pada sistem sungai di wilayah operasional PT. Wijaya Sentosa
A. Ceratopogonidae (Diptera)
B. Chironomidae (Diptera)
C. Elmidae (Coleoptera)
D. Trichoptera
E. Baetidae (Ephemeroptera)
F. Leptophlebiidae (Ephemeroptera)
G. Caenidae (Ephemeroptera)
H. Tricorythidae (Ephemeroptera)
I. Phyralidae (Lepidoptera)
J. Cordulide (Odonata)
61
Lampiran 4. Contoh kelompok ikan yang ditemukan pada sistem sungai di wilayah operasional PT. Wijaya Sentosa
A. Melanotaenia sp.
B. Hephaestus lineatus
C. Lagusia sp.
D. Zenarchopterus sp.
E. Oxyeleotris sp1.
F. Oxyeleotris sp2.
G. Glossamia sp.
H. Arius sp.
I. Gobiidae 1
J. Puntius javus
K. Neosilurus ater
62
Lampiran 5. Contoh kelompok ikan yang ditemukan pada sistem perairan pesisir di wilayah operasional PT. Wijaya Sentosa
A. Selar sp.
B. Scarus sp.
C. Siganus fuscescens
D. Pelates sp.
E. Lethrinus amboinensis
F. Parupeneus barberinus
G. Scolopsis margaritifer
H. Scolopsis sp.
I. Syngnathoides sp.
J. Sphyraena obtusata
K. Monacanthidae 1.
Top Related