BAB
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan sidang pengadilan
melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan
alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya,
kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat bukti yang disebut dalam pa
sal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan “Bersalah” kepadanya akan dijatuhkan oleh
karena itu, hakim harus berhati-hati, cermat, dan matang menilai dan
mempertimbangkan nilai pembuktian meneliti sampai dimana batas minimum
“kekuatan pembuktian” atau Bewijs Kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam
pasal 184 KUHAP.22
Pembuktian bersalah tidaknya seseorang terdakwa haruslah melalui
pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dalam hal pembuktian ini, hakim perlu
memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan
masyarakat berarti, bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana
(KUHP) atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang
setimpal yang kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa, berarti bahwa
terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa sehingga tidak ada
seseorang yang tidak bersalah mendapat hukuman, atau kalau memang ia bersalah
22 ? Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahn dan Penerapan Kuhap, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hal 252.
1
jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu berat. tetapi hukuman itu harus
seimbang dengan kesalahannya.23
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang mebuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang
mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang
mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan
hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak
boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa dalam mencari
dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan
alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara “limitatif” sebagaimana
yang disebut dalam pasal 184 KUHAP.24
Begitu pula dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian
yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan
undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan, majelis
hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus dibenarkan. jangan sampai
kebenaranyang diwujudkan dalam putusan berdasar hasil perolehan dan penjabaran
yang keluar dari garis yang dibenarkan system pembuktian .tidak berbau dan
diwarnai oleh perasaan dan pendapat subjektif hakim.
Disamping itu, ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang
ditentukan dalam KUHAP, telah diatur beberapa pedoman dan penggarisan:
23 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta : Djambatan, 1998), Hal 132- 13324 Yahya Harahap. Op.Cit. hal 252-253.
2
a. Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk
mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa.
b. Sebaliknya terdakwa ataupun penasihat hukum mempunyai hak untuk
melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-
cara yang dibenarkan undang-undang, berupa “sangkalan” atau bantahan yang
beralasan, dengan saksi yang meringankan atau saksi a decharge maupun dengan
“alibi”.
c. Pembuktian juga bisa berarti suatu penegasan bahwa ketentuan tindak pidana
lain yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Maksudnya, surat dakwaan penuntut
umum bersifat alternatif, dan dari hasil kenyataan pembuktian yang diperoleh dal
am persidangan pengadilan, kesalahan yang terbukti adalah tidak sesuai dengan
kenyataan pembuktian. Dalam hal seperti ini, arti dan fungsi pembuktian
merupakan penegasan tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa, serta
sekaligus membebaskan dirinya dari dakwaan yang tidak terbukti dan
menghukumnya berdasar dakwaan tindak pidana yang telah terbukti.25
Beberapa ajaran yang berhubungan dengan sistem pembuktian yang diatur
dalam KUHAP, yakni :
a. Conviction – in Time
Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya penilaian
“kenyataan” hakim, keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan
25 Ibid, hal 253.
3
terdakwa, yakni dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak
menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim
dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil
pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan
dari keterangan atau pengakuan terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka
tanpa didukung alat bukti yang cukup.
sebaliknya hakim berkuasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang
dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti
yang lengkap, selama hakim tidak yang yakin atas keselahan terdakwa. Jadi, dalam
sistem pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup
terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim.
Sebaliknya walaupun kesalahan paling yang menentukan terdakwa “tidak terbukti”
berdasarkan alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah semata-mata
atas “dasar keyakinan” hakim.
Keyakinan hakim yang “dominan” atau yang paling menentukan salah atau
tidaknya terdakwa, keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan
kesalahan terdakwa. Seolah-olah system ini menyerahkan sepenuhnya nasib
terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. keyakinan hakimlah yang
menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.
b. Conviction – Raisonee
4
Sistem ini pun dapat dikatakan, “keyakinan hakim” tetap memegang peranan
penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem
pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian
conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem
conviction-rasionee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang
jelas.”
Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang
mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam
sistem conviction- raisonee, harus dilandasi Reasoning atau alasan –alasan
reasoning itu harus “Reasonable, yakni berdasar alasan yang logis dan benar-benar
dapat diterima akal. tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa
uraian alasan yang masuk akal.26
c. Pembuktian menurut Undang-undang secara positif
Pembuktian menurut Undang-undang secara positif merupakan pembuktian
yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau coviction-
in time.
Pembuktian menurut Undang-undang secara positif, “keyakinan hakim tidak
ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa, keyakinan hakim dalam
sistem ini, tidak ikut berperanl menentukan salah atau tidaknya terdakwa.
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang
ditentukan Undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa
semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Asal sudah dipenuhi
syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut Undang-undang, sudah cukup
26 Ibid, hal 256-257.
5
menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim, yakni
apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah.
d. Pembuktian menurut Undang-undang secara negatif (negatief wettelijk
stelsle )
Sistem pembuktian menurut Undang-undang secara negatif (negatief wettelijk
stelsel) merupakan teori antara sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction-in time, sistem pembuktian menurut Undang-undang secara negatif
merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara
ekstern. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif “menggabungkan” kedalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian
menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut Undang-undang secara
positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang, itu
terwujudlah suatu “sistem pembuktian menurut Undang-undang secara negatif”.
Bertitik tolak dari uraian diatas, untuk menentukan salah atau tidaknya
seorang terdakwa menurut sistem pembuktian Undang-undang secara negatif,
terdapat dua (2) komponen., yaitu :
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut Undang-undang.
2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat bukti yang sah menurut Undang-undang.
1.2 Perumusan Masalah
6
Dari uraian latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan atau di
identifikasikan beberapa masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana penjatuhan pidana oleh hakim dalam praktek peradilan
b. Bagaimana proses pembuktian dalam persidangan perkara putusan No.
1616/Pid.B/2005/PN-LP.
1.3 Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi yang dikemukakan tersebut diatas, disini penulis
membatasi pokok permasalahan sebagai berikut :
Bahwa pembuktian harus didasarkan kepada Undang-undang (KUHAP),
yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam pasal 184 KUHAP, disertai dengan
keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana penjatuhan pidana yang diputuskan oleh hakim
dalam praktek peradilan.;
2. Untuk mengetahui bagaimana proses pembuktian dalam persidangan perkara
putusan No. 1616/Pid.B/2005/PN-LP;
1.5 Manfaat Penelitian
Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang dikemukakan diatas,
maka penulisan ini juga bermanfaat untuk :
1. Manfaat secara teoritis
7
Secara teoritis diharapkan dapat memberikan masukkan terhadap
perkembangan ilmu hukum pidana, sekaligus pengetahuan tentang hal-hal yang
berhubungan dengan “bagaimana proses pembuktian dalam persidangan perakara
putusan No. 1616/Pid.B/2005/PN-LP.
2. Manfaat secara praktis
Secara praktis diharakan tulisan ini dapat menjadi referensi pemikiran kepada:
a. Para praktisi hukum;
b. Masyarakat;
c. Pemerintah; dan
d. Aparat penegak hukum.
Disamping itu juga, melalui skripsi ini diharapkan dapat memperoleh
gambaran tentang pelaksanaan pemidanaan khususnya pidana dibidang perkara
pembunuhan dalam rangka penegakkan hukum di Indonesia.
1.6 Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini adalah berdasarkan hasil pemikiran penulisan sendiri.
Skripsi ini belum pernah ada yang membuat.nya
BAB II
8
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pidana dan Pemidanaan
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang ada kalanya disebut dengan
istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah
lazim merupakan terjemahan dari Recht. Sudarto mengemukakan bahwa istilah
“hukuman” kadang-kadang digunakan untuk mengganti perkataan “straf” namun
menurut beliau “pidana” lebih baik dari pada “hukuman”.27
Berdasarkan kepustakaan hukum pidana, menurut alat pemikiran yang
normatif murni, maka pembicaraan tentang pidana akan selalu terbentur pada suatu
titik pertentangan yang paradoksal (seolah-olah bertentangan/berlawanan dengan
pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran), yaitu
bahwa pidana disatu pihak diadakan untuk melindungi kepentingan seseorang, akan
tetapi di pihak lain ternyata memperkosa kepentingan seseorang yang lain dengan
memberikan hukuman berupa penderitaan kepada orang yang disebut terakhir.28
Sedangkan sehubungan dengan kepentingan pidana soedarto mengemukakan
bahwa yang dimaksud dengan pidana ialah penderita yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.29
Roeslan saleh menyatakan pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu
Nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuatan delik itu.30
27 R.Soedarto, Hukuman dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal 71-71.28 Bambang Poernomo, Pelaksanan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,
Yogyakarta : Liberty, 1986), hal 37.29 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
1984), hlm. 2.30 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm .2.
9
9
Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja
dijatuhkan diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat
hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum
pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak
pidana (strafbaar felt), mengenai wujud jenis penderitaan itu dimuat dalam pasal 10
KUHP, berbunyi : “Hukuman-hukuman ialah :
a. Hukuman-hukuman pokok :
1e. hukuman mati
2e. hukuman penjara
3e. hukuman kurungan
4e. hukuman denda
b. Hukuman-hukuman tambahan :
1e. pencabutan beberapa hak yang tertentu
2e. perampasan beberapa barang yang tertentu
3e. pengumuman keputusan hakum
Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana (straafbaar
felt: tindak pidana), di samping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka
membatasi kekuasaan negara juga bertujuan untuk mencegah (preventif) bagi orang
yang berniat untuk melanggara hukum pidana.31
Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan buka tujuan dari
hukum pidana yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau
rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Tujuan utama hukum
31 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005) hal 24.
10
pidana adalah ketertiban, yang secara khusus dapat disebut terhindarnya masyarakat
dari perkosaan-perkosaan terhadap kepentingan hukum yang dilindungi pemidanaan
dalam pandangan (perspektif) Pancasila, dengan demikian harus berorientasi, pada
prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pertama, pengakuan manusia (Indonesia) sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa. Wujud pemidanaan tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama
manapun yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pemidanaan terhadap
sesorangharus diarahkan pada penyadaran iman dari terpidana, melalui mana ia
dapat bertobat dan menjadi manusia yang beriman dan taat. Dengan kata lain,
pemidanaan harus berfungsi pembinaan mental orang yang dipidana dan
mentransformasikan orang tersebut menjadi seorang manusia religius.32
Kedua, pengakuan tentang keluhuran harta dan martabat manusia sebagai
ciptaan Tuhan. Pemidanaan tidak boleh menciderai hak-hak asasnya yang paling
dasar serta tidak boleh merendahkan martabatnya dengan alasan apapun.
Implikasinya adalah, bahwa meskipun terpidana berada dalam lembaga
permasyarakatan, unsur-unsur dan sifat perikemanusiaannya tidak boleh
dikesampingkan demi membebaskan yang bersangkutan dari pikiran, sifat, kebiasaan,
dan tingkah laku jahatnya.33
Ketiga, menumbuhkan solidaritas kebangsaan dengan orang lain, sebagai
sesama warga bangsa, pelaku harus diarahkan pada upaya untuk meningkatkan
toleransi dengan orang lain, menumbuhkan kepekaan terhadap kepentingan bangsa,
32 J.E. Sahatapy, Suatu Studi kasus, mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), hal 284, dan M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam hukum Pidana, Ide Dasar Double, Track System Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafika Persada, 2003) hal 109.
33 Ibid.
11
dan mengarahkan untuk tidak mengulangi melakukan kejahatan. Dengan kata lain,
bahwa pemidanaan perlu diarahkan untuk menanamkan rasa kecintaan terhadap
bangsa.34
Keempat, menumbuhkan kedewasaan sebagai warga negara yang
berkhidmad, mampu mengendalikan diri, berdisiplin, dan menghormati serta menaati
hukum sebagai wujud keputusan rakyat.35ege
Kelima, menumbuhkan kesadaran akan keewajiban setiap individu sebagai
makhluk sosial, yang menjujung keadilan bersama dengan orang lain sebagai sesama
warga masyarakat. Dalam kaitan ini, perlu diingat bahwa pemerintah dan rakyat
harus ikut bertanggung jawab untuk membebaskan orang yang dipidana dari kemelut
dan kekejaman kenyataan sosial yang melilitnya menjadi penjahat.36
2.2 Pengertian Pembunuhan
Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven het leven) adalah berupa penyerangan
terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan
obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven) manusia.37 Menurut Leden Marpaung,
menghilangkan nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada manusia yang secara
umum disebut “Permbunuhan”.38 Tindak pidana ini termasuk delik materiil
(materiale delict), artinya untuk kesempurnaan tindak pidana ini tidak cukup dengan
dilakukannya perbuatan, akan tetapi menjadi syarat juga adanya akibat dari perbuatan
34 Ibid 35 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum pIdana, Ide Dasar Double Track Sistem
Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafika Persada, 2003), hal 110.36 Ibid 37 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), hal 55. 38 ? Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh : Pemberantasan dan Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal 4.
12
itu. Timbulnya akibat yang berupa hilangnya nyawa orang atau matinya orang dalam
tindak pidana pembunuhan merupakan syarat mutlak.39
Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau
dikelompokkan atas 3 (dua) dasar, yaitu :
1) Atas dasar unsur kesalahannya
2) Atas dasar obyeknya (nyawa)
Atas dasar unsur kesalahannya ada 2 (dua) kelompok kejahatan terhadap
nyawa, ialah :
a. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven),
adalah kejahatan yang dimuat dalam Bab XIX KUHP, pasal 338 sampai dengan
350 KUHP.
b. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpose
misdrijven), dimuat dalam Bab XXI (khusus pasal 359).
Sedangkan atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka
kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja diobedakan dalam 3 (tiga) macam, yakni :
a. Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam pasal 338,
339, 340, 344,345.
b. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan,
dimuat dalam pasal 341, 342 dan 343.
c. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dal am kandungan ibu (janin)
dimuat dalam pasal 347, 348 dan 349.40
39 Tongat, Hukum Pidana Materiil Tinjauan Atas Tindak Pidana Terhadap Subyek Hukum Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal 3.
40 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Op.Cit., hal 55-56.
13
2.3 Jenis-Jenis Pembunuhan
1. Pembunuhan (Murder)
Hal ini diatur oleh pasal 338 KUHAP yang bunyinya sebagai berikut:
“Barang siapa sedang sengaja menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah
melakukan pembunuhan dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.
Unsur-unsur pembunuhan adalah:
a. Barang siapa: ada orang tertentu yang melakukannya
b. Dengan sengaja: dalam ilmu hukum pidana, dikenal 3 (tiga) jenis bentuk sengaja
(dolus) yakni:41
- Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk )).42
- kesengajaan sebagai kepastian ( opzet bij mogelijkheids bewustzijn )Hal ini diatur pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
- kesengajaan sebagai kemungkinan ( opzet bij mogelijkheids bewustzijn atau
Dolus eventualis )Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahuui oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, atau jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatinya dengan me lawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup, atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”.43
Rumusan pasal 339 KUHPdiatas aabila diurai unsur-unsurnya adalah seperti
di bawah ini :
a. Unsur pembunuhan dalam pasal 338 KUHP baik unsur yang subyektif
(dengan sengaja) maupun obyektif (menghilangkan nyawa orang lain)
b. Unsur diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain
41 Leden Marpaung, Op.Cit., hal 22.42 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Op.Cit., hal 69.43 Leden Marpaung , op.cit., hlm .29 – 30 .
14
c. Unsur dengan maksud.
1. untuk mempersiapkan tindak pidana lain
2. untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain,
atau
3. dalam hal tertangkap tangan, ditujukan untuk :
a. menghindarkan diri atau peserta lain dari
pidana, atau
b. memastikan penguasaan benda yang
diperolehnya secara melawan hukum.44
2. Pembunuhan dengan Pemberatan
Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“ pembunuhan yang diikuti, disertai , atau didahului oleh kejahatan dan
Yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, atau
Jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya
Daripada hukuman , atau supaya barang yang didapatnya dengan
Melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukum
an penjara seumur hidup atau penjara sementara selama – lamanya
dua puluh tahun 45
3. Pembunuhan Berencana
Hal ini diatur oleh pasal 340 KUHP yang beunyinya, sebagai berikut :
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain dihukum karena salahnya
44 Tongat , op. cit ., hlm .10 ..45
15
pembunuhan berencana, dengan hukuman mati atau hukuman seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”.46
Rumusan pada pasal 340 KUHP, diuraikan unsur-unsurnya akan nampak
pada unsur-unsur sebagai berikut :
1) Unsur obyektif : menghilangkan atau merampas nyawa pada orang lain:
2) Unsur obyektif
a. Unsur dengan sengaja
b. Unsur dengan rencana terlebih dahulu
Unsur kesengajaan dalam pasal 340 KUHP merupakan kesengajaan dalam
arti luas, yang meliputi :
a. Kesengajaan sebagai tujuan (opzetalsoogmerk)
b. Kesengajaan dengan tujuan yang pasti atau yang merupakan keharusan (opzet bij
zaker heid bewustzinj)
c. Kesengajaan dengan kesadaran akan kemungkinan atau sering disebut (opzet bij
mogelijkheids bewustzijn) atau dolus eventualis atau disebut juga woor wardelijk
opzet.
3. Pembunuhan Bayi oleh Bayinya
Hal ini diatur oleh pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: “Seorang
ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau
tidak berapa lama sesudah dilahirkan karena takut ketahuan bahwa ia sudah
46 Leden Marpaung, Op.Cit., hal 29-30
16
melahirkan anak dihukum karena pembuhnan anak dengan hukuman penjara selama-
lamanya tujuh tahun”.47
4. Pembunuhan Bayi oleh Ibunya secara Berencana (Kinder Moord)
Hal ini diatur oleh pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Seorang ibu yang dengan sengaja akan menjalankan keputusan yang diambil sebab takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak, menghilangkan jiwa anaknya itu pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian dari pada itu dihukum karena membunuh bayi secara berencana dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.48
5. Pembunuhan atas Permintaan Sendiri
Hal ini diatur pada pasal 3445 KUHP yang bunyinya sebagai berikut : Barang
siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang lain itu sendiri,yang
disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya
dua belas tahun.49
Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah
Euthanasia atau mercykilling.
Unsur-unsur pasal 334 KUHP terdiri dari :
a. Unsur menghilangkan atau merampas nya orang lain.
b. Atas permintaan orang itu sendiri
c. Yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati.50
6. Penganjuran Agar Bunuh Diri
Hal ini diatur pada pasal 345 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
47 Ibid, hal 4348 Leden Marpaung, Op.Cit., hal 44.49 Leden Marpaung. Op.Cit., hal 45.50 Tongat , Op.cit . hlm . 45 .
17
“Barang siapa dengan sengaja membujuk orang supaya membunuh diri, atau menolognya dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar kepadanya, untuk itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun, kalau jadi orangnya bunuh diri”.51
7. Pengguguran Kandungan
Kata “pengguguran kandungan” adalah terjemahan dari kata “abortus
provocatur” yang dalam kamus kedokteran diterjemahkan dengan: “membuat
keguguguran”. Pengguguran kandungan diatur dalam KUHP oleh pasal 346, 347,
348, dan 349.
51 Leden Marpaung, Op.Cit., hal 46.
18
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Spesifikasi Penelitian dan Metode Pendekatan
Sifat penulisan ini adalah deskriptif analistis, yaitu untuk mendapatkan
deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti. Penulis ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif penelitian hukum normatif (legal
research) terdiri dari inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar
falsafah hukum positif, serta penemuan hukum in concreto.52 Penelitian hukum
normatif yang dipakai dalam penulisan ini adalah hukum in concreto. Dalam
penelitian ini, norma-norma hukum ini abstracto di perlukan mutlak untuk berfungsi
sebagai premisa mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (legal
facts) dipakai sebagai premisa minor melalui proses silogisme akan diperolehlah
sebuah konklusi, yaitu hukum ini concreto yang dimaksud.53
3.2 Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan teknik penelitian kepustakaan
(library research) serta penelitian kasus terhadap putusan perkara pidana pembunuhan
No. 1616/Pid.B/PN-LP. (field research), alat yang digunakan untuk mengumpulkan
data adalah studi dokumen.
52 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal 13.53 Bambang Sunggono, Metodeologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006), hal 91-92
19
19
3.3 Analisis Data
Setelah data terkumpul, dianalisis dengan menggunakan analisis isi. Bernld
Barelson merumuskan “content analysis is a research technique for the objective,
systematic, and quantitative description of the manifest contenct of communication”
(kajian isi sebagai teknik penelitian untuk mendiskripsikan secara objektif, sistematis
dan kuantitatif tentang manifestasi komunikasi). Sedangkan menurut Holsti kajian isi
adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha
menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis .54
Secara keseluruhan analisis diatas dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif
untuk mengungkap secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang
diperlukan.
54 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung Remaja Karya, 1989), hal 179. Dalam Soejono dan Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta 2003) hal 13.
20
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Permasalahan Masalah ............................................................ 6
1.3 Pembatasan Masalah ............................................................... 7
1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................... 7
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................... 7
1.6 Keaslian Penulis ...................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 9
2.1 Pengertian Pidana dan Pemidanaan .......................................... 9
2.2 Pengertian Pembunuhan .......................................................... 12
2.3 Jenis-Jenis Pembunuhan .......................................................... 14
1. Pembunuhan (Murder) ......................................................... 14
2. Pembunuhan dengan Pemberatan ......................................... 14
3. pembunuhan Berencana ....................................................... 15
4. Pembunuhan Bayi oleh Bayinya ........................................... 16
5. Pembunuhan Bayi oleh Ibunya secara Berencana
(Kinder Moord) ................................................................. 17
6. Pembunuhan atas Permintaan Sendiri ................................... 17
21
ii
7. Penganjuran Agar Bunuh Diri .............................................. 17
8. Pengguguran Kandungan ..................................................... 18
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 19
3.1 Spesifikasi Penelitian dan Metode Pendekatan ......................... 19
3.2 Teknik dan Alat Pengumpulan Data ......................................... 19
3.3 Analisis Data ........................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..
22
iii
PROSES PEMBUKTIAN DALAM PERSIDANGAN PERKARA PEMBUNUHAN BERENCANA (STUDI KASUS
PUTUSAN NO. 1616//PID.B/2005/PN-LP)
PROPOSAL TUGAS AKHIR
OLEH :
JUWITA ELISA SIMATUPANG N I M . 2 5 0 . 2 0 0 . 8 0
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS PEMBINAAN MASYARAKAT INDONESIA
MEDAN2009
23
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN PEMOTONGAN ANGGOTA TUBUH KORBAN
PROPOSAL TUGAS AKHIR
OLEH :
RAMASTIKA SIBORO N I M . 2 5 0 . 2 0 0 . 4 6
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS PEMBINAAN MASYARAKAT INDONESIA
MEDAN2009
24
25