JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
1
JURNAL PENDIDIKAN September 2009, Volume 1 No. 2
Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw Di SMP Negeri 1 Jiwan Tahun 2008/2009 (Hal. 3) Benny Handoyo Efektivitas Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Dan Explicit Instruction Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Minat Belajar Siswa (Hal. 13) Sardulo Gembong Efektivitas Model Pembelajaran TAI (Team Assisted Individualization) Dan Explicit Instruction Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Aktifitas Belajar Siswa (Hal. 22 ) Sanusi Profil Kemampuan Siswa Memecahkan Masalah Kontekstual Matematika Di SMP Negeri 1 Madiun (Hal. 31) Wasilatul Murtafiah Mengoptimalkan Kegiatan Praktikum Dengan Permainan Kartu Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa (Hal. 54) Alfia Hayati Perwitasari, Ani Sulistyarsi Implementasi Problem Posing Pada Pembelajaran Pengantar Dasar Matematika Di Ikip PGRI Madiun (Hal. 74) Darmadi Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation Topik Limit Fungsi Aljabar Pada Siswa Kelas XI (Hal. 92 ) Ervina Maret
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 2
PENGANTAR REDAKSI
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmad dan karunia-Nya Jurnal Pendidikan MIPA telah terbit untuk edisi yang kedua. Berbagai penelitian yang mengkaji secara mendalam tentang pembelajaran MIPA telah banyak di kaji oleh berbagai peneliti pendidikan. Namun, implementasinya masih terasa belum sampai pada praktisi pendidikan. Untuk menyebarluaskan hasil-hasil penelitian agar dapat digunakan sebagai bahan acuan pembelajaran terutama bagi dunia pendidikan, Jurnal Pendidikan MIPA pada edisi yang kedua ini memuat hasil-hasil penelitian tentang : Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw Di SMP Negeri 1 Jiwan Tahun 2008/2009, Efektivitas Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Dan Explicit Instruction Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Minat Belajar Siswa, Efektivitas Model Pembelajaran TAI (Team Assisted Individualization) Dan Explicit Instruction Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Aktifitas Belajar Siswa, Profil Kemampuan Siswa Memecahkan Masalah Kontekstual Matematika Di SMP Negeri 1 Madiun, Mengoptimalkan Kegiatan Praktikum Dengan Permainan Kartu Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa, Implementasi Problem Posing Pada Pembelajaran Pengantar Dasar Matematika Di IKIP PGRI Madiun, Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation Topik Limit Fungsi Aljabar Pada Siswa Kelas XI
Sumbang saran berbagai pihak sangat diharapkan dalam upaya meningkatkan kualitas Jurnal Pendidikan MIPA IKIP PGRI Madiun, dan akhirnya redaksi berharap semoga tulisan dalam edisi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca sehingga mampu menmbah wawasan di bidang pendidikan
Redaksi
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
3
PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL JIGSAW DI SMP NEGERI 1 JIWAN TAHUN
2008/2009
Oleh: Benny Handoyo
Program Studi Pendidikan Matematika
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw dapat meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Jiwan. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas kolaborasi, dengan subyek penelitian kelas VIII D SMP Negeri 1 Jiwan dengan jumlah siswa 42. siswa. Data yang digunakan adalah data keaktifan siswa, yang diperoleh dari hasil observasi aktivitas siswa dalam pembelajaran. Data prestasi belajar matematika siswa, yang diperoleh dari hasil tes prestasi belajar matematika yang diberikan pada tiap akhir siklus. Penelitian dilaksanakan dalam tiga siklus, dari penelitian yang telah dilaksanakan dapat diketahui adanya peningkatan keaktifan siswa dari siklus I 6,0% meningkat pada siklus II menjadi 6,7%, dan meningkat pada siklus III menjadi 7,7%. Dari rata-rata nilai tes prestasi belajar yang dilaksanakan pada tiap akhir siklus dapat diketahui terdapat peningkatan prestasi belajar matematika siswa yaitu dari rata-rata nilai tes prestasi belajar matematika pada siklus I adalah 6,0% meningkat pada siklus II menjadi 6,7% dan meningkat pada siklus III menjadi 7,7%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan metode pembelajaran kooperatif model Jigsaw dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Jiwan tahun 2008/2009. Kata kunci: Metode Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw, Keaktifan,
Prestasi Belajar Matematika. A. Pendahuluan
Belajar merupakan aktivitas manusia yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, bahkan sejak mereka lahir sampai akhir hayat. Pernyataan tersebut menjadi ungkapan bahwa manusia tidak dapat lepas dari proses belajar itu sendiri sampai kapan pun dan dimana pun manusia itu berada dan belajar juga menjadi
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 4
kebutuhan yang tentu meningkat sesuai dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan karena selalu berkaitan erat dengan perkembangan teknologi yang memberikan wahana yang memungkinkan perkembangan tersebut. Perkembangan yang pesat telah menggugah para pendidik untuk dapat merancang dan melaksanakan pendidikan yang lebih terarah pada penguasaan konsep, yang dapat menunjang, kegiatan sehaii-hari dalam masyarakat.
Pendidikan saat ini dihadapkan pada tuntutan yang semakin meningkat, baik ragam, lebih kualitasnya berdasarkan basil evaluasi dengan kurikulum 1994, diketahui bahwa siswa belum mencapai kemampuan optimalnya. Siswa hanya tabu banyak fakta tetapi kurang mampu memanfaatkannya, oleh sebab itu sistem pendidikan saat ini dan di masa depan harus dikembangkan agar lebih responsif terhadap tuntutan masyarakat dan tantangan yang akan dihadapi. Nilai Ujian Akhir Siswa pada tahun 2007/2008 sampai dengan 2008/2009 menunjukkan bahwa hasil belajar matematika siswa SMP masih rendah jika dibandingkan dengan materi pelajaran yang lain.
Banyak fakta yang menyebabkan rendahnya basil belajar matematika siswa tersebut, salah satu kemungkinan fakta penyebab adalah kurangnya siswa mendapatkan kesempatan untuk latihan mengerjakan soal dengan dipandu oleh guna. Hal ini disebabkan karena materi pelajaran matematika pada kurikulum sangat banyak, sementara waktu yang disediakan sangat sedikit. Sebagai guru lebih banyak menjelaskan teori dari pada memberikan kesempatan latihan pemecahan soal kepada siswa. Faktanya adalah mendukung motivasi belajar, siswa dengan mengukur hubungan Tes yang reliabel di dominasi life skill soalsoal.
Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan sumber daya manusia yang hams dibina dan dikembangkan. Mengajar tidak sekedar mengkomunikasikan pengetahuan agar dapat belajar, tetapi mengajar juga berarti usaha menolong si pelajar agar mampu memahami konsep-konsep dan dapat menerapkan konsep yang dipahami.
Matematika merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat penting. Karena pentingnya, matematika diajarkan mulai dari jenjang SD sampai dengan perguruan tinggi (minimal sebagai mata kuliah
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
5
umum). Sampai saat ini matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang selalu masuk dalam daftar mata pelajaran yang diujikan secara nasional, mulai dari tingkat SD sampai dengan SMA. Bagi siswa selain untuk menunjang dan mengembangkan ilmu-ilmu lainnya, matematika juga diperlukan untuk bekal terjun dan bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Pada dasamya, matematika adalah pemecahan masalah karena itu, matematika sebaik -nya diajarkan melalui berbagai masalah yang ada disekitar siswa dengan memperhatikan usia dan pengalaman yang mungkin dimiliki siswa.
Dalam kenyataan sehari – hari sering kita jumpai sejumlah guru yang rnenggunakan metode tertentu yang kurang atau tidak cocok dengan isi dan tujuan pengajaran. Akibatnya, hasilnya tidak memadai, bahkan mungkin merugikan semua pihak terutama pihak siswa dan keluarganya, walaupun kebanyakan mereka tidak menyadari hal itu. Agar proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan dapat mencapai tujuan pembelajaran, guru sebaiknya menentukan pendekatan dan metode yang akan digunakan.
Pengaruh penerapan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap sikap dan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah untuk menjawab pertanyaan tersebut maka peneliti mencoba untuk menerapkan penelitian mengenai "Prestasi Belajar Siswa terhadap Model Pembelajaran Jigsaw dalam Pemecahan Masalah". Guru menganggap perangkat pembelajaran cukup membantu dan bermanfaat dan KBM yang menerapkan perangkat dan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat menuntaskan belajar siswa, sehingga proses pembelajaran dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dalam pemecahan masalah Matematika.
Herman Hudoyo (1990:4) menyebutkan bahwa Matematika sebagai ilmu mengenai struktur akan mencakup tentang hubungan pola maupun bentuk. Struktur yang telah ditelaah adalah struktur dari sistem-sistem Matematika yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur dan hubungan-hubungan yang diatur secara logis sehingga Matematika itu berkaitan dengan konsep-konsep abstrak. Jadi Matematika dapat disimpulkan sebagai suatu ilmu pengetahuan tentang penalaran, berfikir logis, menginterpretasikan ide dan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 6
kesimpulan yang terorganisasi secara sistematik dalam masalah yang berkaitan dengan bilangan.
B. Pembahasan
Penelitian ini tergolong dalam penelitian tindakan kelas (Class room action research). Menurut Arikunto (2006:3) PTK adalah suatu perencanaan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Menurut Basrowi dan Suwandi (2008:25) “Penelitian tindakan kelas merupakan salah satu upaya guru atau praktisi dalam bentuk berbagai kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki dan untuk meningkatkan mutu pembelajaran di kelas. Penelitian tindakan kelas merupakan kegiatan yang langsung berhubungan dengan tugas guru di lapangan. Secara singkat, PTK merupakan penelitian praktis yang dilakukan di kelas dan bertujuan untuk memperbaiki praktik pembelajaran yang ada”. Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa PTK adalah suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis reflektif terhadap berbagai tindakan yang dilakukan peneliti. Dalam PTK, keempat langkah dapat dilakukan secara berulang-ulang sampai peneliti mencapai hasil sesuai dengan harapan. Agar lebih jelasnya, langkah-langkah dari PTK di atas dapat dilihat pada gambar berikut:
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
7
Pembelajaran pokok bahasan mengenal dan menyebutkan bagian-bagian kubus dan balok. Hasil penelitian yang disajikan dalam bab ini meliputi hasil yang diperoleh dari hasil tes dan angket. Hasil tes pada siklus I, siklus II dan siklus III berupa kemampuan siswa menyelesaikan soal tentang bangun ruang kubus dan balok dengan menggunakan Metode kooperatif model Jigsaw sedangkan untuk hasil angket berasal dari observasi.
Siklus I merupakan tindakan awal penelitian dilakukan dengan pembelajaran menggunakan Metode kooperatif model Jigsaw. Tindakan yang dilakukan merupakan upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran bangun ruang kubus dan balok dengan Metode kooperatif model Jigsaw, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat. Pelaksanaan siklus I pembelajaran bangun ruang kubus dan balok terdiri atas data tes dan tes. Berikut ini dipaparkan secara rinci mengenai hasil kedua data tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh pada siklus I, hasil prestasi siswa dalam menyerap materi pelajaran dari 42 siswa terdapat 13 (31,0 %) yang tuntas belajar yaitu siswa yang mendapat nilai ≥ 6,5, sedangkan siswa yang tidak tuntas belajar terdapat 27 (69,0 %) yaitu siswa yang mendapat nilai < 65, nilai rata-rata kelas dapat mencapai 6,0 dan daya serap 60%. Hasil penelitian angket pada siklus I diperoleh dari hasil tes angket. Dalam tes angket siswa, Selama kegiatan pembelajaran bangun ruang kubus dan balok dengan Metode kooperatif model Jigsaw berlangsung pada siklus 1 terlihat dari minat siswa masih kurang baik. Pada siklus ini pembelajaran bangun ruang balok dan kubus melalui Metode kooperatif model Jigsaw mulai diberlakukan. Dalam pembelajaran ini, guru ataupun peneliti menerapkan metode diskusi secara berkelompok pada siswa, dengan satu kelompok terdiri dari 4 sampai 5 orang. Diskusi dimaksud supaya siswa dapat bertukar pikiran dengan temannya saat mereka mencoba menerapkan atau membangun ide mereka sendiri dalam mempelajari kubus dan balok. Selain diskusi, dalam pembelajaran guru juga memberikan pertanyaan untuk membuat siswa lebih aktif. Meskipun demikian, peneliti melihat masih ada kekurangan pada pelaksanaan siklus I, kekurangan tersebut yaitu pada saat diskusi, siswa kurang aktif, ide mereka terbatas, keberanian anak dalam memaparkan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 8
pengetahuannya kurang. Hal itu terjadi karena pada pembagian kelompok diskusi tidak selektif dari segi kemampuan. Untuk itu pada siklus II bentuk kelompok yang tetap terdiri dari 4 smpai 5 orang tetapi pengelompokannya dibuat acak sehingga satu kelompok terdiri dari siswa yang kemampuannya berbeda, ada yang berkemampuannya tinggi, sedang dan rendah. Kekurangan yang lain adalah siswa masih kurang bisa menggambar balok dan kubus dengan ukuran yang tepat. Oleh karena itu pada siklus II ini kegiatan yang akan dilakukan yaitu bagaimana mengajari siswa menggambar dan menghitung volum kubus dan balok karena sasaran dari kegiatan ini meliputi kemampuan yang kurang dimiliki siswa tersebut. Pada siklus I siswa masih malu untuk bertanya maupun mengungkapkan gagasannya, mereka juga kurang bersemangat saat mengerjakan tes. Untuk mengatasi hal ini, guru membuat suasana yang menyenangkan dalam pembelajaran agar siswa tidak terbebani dan merasa canggung pada guru saat pembelajaran. Karena proses pembelajaran pada siklus I masih kurang optimal, maka diperlukan adanya tindakan siklus II.
Siklus II merupakan tindakan awal penelitian dilakukan dengan pembelajaran menggunakan Metode kooperatif model Jigsaw. Tindakan yang dilakukan merupakan upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran bangun ruang kubus dan balok dengan Metode kooperatif model Jigsaw, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat. Pelaksanaan siklus II pembelajaran bangun ruang kubus dan balok terdiri atas data tes dan angket. Berikut ini dipaparkan secara rinci mengenai hasil kedua data tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh, hasil prestasi siswa dalam menyerap materi pelajaran dari 42 siswa terdapat 27 (64,3 %) yang tuntas belajar yaitu siswa siswa yang tuntas belajar yaitu siswa yang mendapat nilai ≥ 6,5, sedangkan siswa yang tidak tuntas belajar terdapat 15 (35,7 %) yaitu siswa yang mendapat nilai < 65, nilai rata-rata kelas dapat mencapai 6,7 dan daya serap 67%. Hasil penelitian angket pada siklus II diperoleh dari hasil tes angket. Dalam tes angket siswa, Selama kegiatan pembelajaran bangun ruang kubus dan balok dengan Metode kooperatif model Jigsaw berlangsung pada siklus II terlihat dari minat siswa sudah cukup baik. Pada siklus ini pembelajaran jaring-jaring bangun ruang balok dan kubus nelalui
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
9
Metode kooperatif model Jigsaw mulai diberlakukan. Dalam pembelajaran ini, guru ataupun peneliti menerapkan metode diskusi secara berkelompok pada siswa, dengan satu kelompok terdiri dari 4 ampai 5 orang. Diskusi dimaksud supaya siswa dapat bertukar pikiran dengan temannya saat mereka mencoba menerapkan atau membangun ide mereka sendiri dalam mempelajari kubus dan balok. Selain diskusi, dalam pembelajaran guru juga memberikan pertanyaan untuk membuat siswa lebih aktif. Meskipun demikian, peneliti melihat masih ada kekurangan pada pelaksanaan siklus II, kekurangan tersebut yaitu pada saat diskusi, siswa kurang aktif, ide mereka terbatas, keberanian anak dalam memaparkan pengetahuannya kurang. Hal itu terjadi karena pada pembagian kelompok diskusi tidak selektif dari segi kemampuan. Untuk itu pada siklus III bentuk kelompok yang tetap terdiri dari 4 smpai 5 orang tetapi pengelompokannya dibuat acak sehingga satu kelompok terdiri dari siswa yang kemampuannya berbeda, ada yang berkemampuannya tinggi, sedang dan rendah. Kekurangan yang lain adalah siswa masih kurang bisa menggambar balok dan kubus dengan ukuran yang tepat. Oleh karena itu pada siklus III ini kegiatan yang akan dilakukan yaitu bagaimana mengajari siswa menggambar dan menghitung volum kubus dan balok karena sasaran dari kegiatan ini meliputi kemampuan yang kurang dimiliki siswa tersebut. Pada siklus II siswa masih malu untuk bertanya maupun mengungkapkan gagasannya, mereka juga kurang bersemangat saat mengerjakan tes. Untuk mengatasi hal ini, guru membuat suasana yang menyenangkan dalam pembelajaran agar siswa tidak terbebani dan merasa canggung pada guru saat pembelajaran. Karena proses pembelajaran pada siklus II masih kurang optimal, maka diperlukan adanya tindakan siklus III.
Siklus III ini merupakan tindakan lanjut dari siklus II. Tindakan siklus III ini dilaksanakan sebagai upaya untuk memperbaiki dan memecahkan masalah yang muncul pada siklus II. Pelaksanaan pembelajaran volume bangun ruang kubus dan balok melalui metode kooperatife model jigsaw pada siklus III terdiri dari data tes dan angket. Hasil kedua data tersebut diuraikan berikut ini. Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui hasil prestasi dalam menyerap materi pelajaran dari 42 siswa terdapat 42 (100 %) yang tuntas belajar
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 10
yaitu siswa yang mendapat nilai ≥ 65 dan tidak ada siswa yang tidak tuntas belajar yaitu tidak ada siswa yang mendapat nilai < 65, nilai rata-rata kelas dapat mencapai 7,7 dan daya serap 77%. Pada siklus III ini, siswa yang tuntas belajar lebih banyak dari siklus I. Nilai rata-rata pada siklus III mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan nilai rata-rata pada siklus I. Peningkatan tersebut menunjukkan bahwa Metode kooperatif model Jigsaw dalam pembelajaran bangun ruang kubus dan balok dikatakan berhasil. Hasil penelitian angket pada siklus III diperoleh dari hasil tes angket. Dalam tes angket siswa, Selama kegiatan pembelajaran bangun ruang kubus dan balok dengan Metode kooperatif model Jigsaw berlangsung pada siklus III terlihat dari minat siswa sudah mengalami peningkatan yang baik. Pelaksanaan pembelajaran bangun ruang balok dan kubus dengan menggunakan Metode kooperatif model Jigsaw pada siklus III secara keseluruhan sudah baik. Pada siklus III ini siswa lebih memahami materi mengenai bangun ruang balok dan kubus, siswa menjadi lebih aktif. Siswa tidak malu lagi untuk bertanya maupun mengungkapkan penadpatan mereka. Hal ini dikarenakan siswa telah terbiasa dengan metode pembelajran guru. Pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna membuat siswa tidak terbebani saat proses pembelajaran. Siswa juga menjadi lebih bersemangat mengikuti pembelajaran dan bersungguh-sunguh mengerjakan tes formatif volume bangun ruang balok dan kubus yang diberikan guru.
C. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan rumusan masalah, hasil penelitian, dan pembahasan dalam penelitian ini dpat disimpulkan sebagai berikut. a. Hasil belajar siswa kelas VIII-D SMPN 01 Jiwan tahun ajaran
2008/2009 pada pembelajaran dengan Metode kooperatif model Jigsaw mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari hasil tes formatif siklus I sampai siklus III mengalami peningkatan. Hasil rata-rata tes formatif siklus I mencapai 6,0 atau 60 %. Pada siklus II rata-rata tes formatif siswa mencapai 6,7 atau 67%. Pada siklus III rata-rata tes formatif siswa mencapai 7,7 atau 77%. Antara hasil rata-rata tes formatif yang diperoleh mengalami peningkatan hasil dari siklus I ke siklus II yaitu sebayak 33,3 % dan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
11
peningkatan hasil dari siklus II ke siklus III sebesar 35,7% b. Perilaku siswa kelas VIII-D SMPN 01 Jiwan tahun ajaran
2008/2009 setelah mengikuti pelajaran dengan Metode kooperatif model Jigsaw mengalami perubahan. Perubahan perilaku siswa ini ditunjukkan dari data non tes melalui observasi. Berdasarkan data observasi pada siklus I kegiatan pembelajaran kurang bersemangat, siswa masih kurang siap menerima pembelajaran dengan Metode kooperatif model Jigsaw. Sebagian siswa masih pasif dalam pembelajaran, dan masih banyak siswa kearah yang lebih baik. Siswa terlihat lebih aktif an bersemangat mengikuti pembelajaran. Hal ini dikarenakan siswa sudah mulai mulai menyesuaikan dengan pola pembelajaran yang diterapkan guru. Siswa merasa senang dan tertarik dengan pembelajaran tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan Metode kooperatif model Jigsaw dapat meningkatkan perilaku positif siswa dan mengubah perilaku negatif siswa ke arah yang lebih baik.
Berdasarkan simpulan hasil penelitian tersebut, peneliti memberikan bebrapa saran sebagai berikut. a. Para guru matematika dapat menggunakan Metode kooperatif
model Jigsaw sebagai alternative pada pembelajaran volume bangun ruang kubus dan balok karena terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa, dan menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna. Pembelajaran tersebut juga mendorong siswa berfikir dari suatu keadaan yang realistic.
b. Para peneliti dibidang pendidikan dan matematika dapat melakukan penelitian serupa dengan memadukan Metode kooperatif model Jigsaw dengan pendekatan yang lain sehingga lebih menarik dan bermakna bagi siswa dan didapatkan berbagai alternatif pembelajaran volum bangun ruang kubus dan balok yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa menjadi baik lagi.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 12
DAFTAR PUSTAKA
Herman Hudoyo, 1990, Strategi Mengajar Belajar Matematika, IKIP Malang.
Slameto, 2003, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempenga-ruhinya, Rineka Cipta.
Nasution, 2004, Didaktik Asas-asas Mengajar, Bumi Aksara. Oemar Hamalik, 2001, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan
Pendekatan Sistem, Bumi Aksara. Ruseffendi, 1988, Pengantar Kepada Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika, Tarsito. Baharudin dan Es Nur Wahyuni, 2007, Psikologi Pendidikan, Ar Ruzz
Media. Safarudin, 2005, Manajemen Pembelajaran, Kuantum Teaching. Suharsimi Arikunto, 2006, Penelitian Tindakan Kelas, Bumi Aksara. Basrowi dan Suwardi, 2008, Sutrisno, 1987, Metodologi Research, Yayasan Penelitian Fakultas
Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Suharsimi Arikunto, 1992, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik, Rineka Cipta. Suharsimi Arikunto, 1993, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Bumi
Aksara. Sanapiah Faisal, 1982, Metodologi Penelitian Pendidikan, Usaha
Nasional.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
13
EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT DAN EXPLICIT INSTRUCTION TERHADAP PRESTASI
BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI MINAT BELAJAR SISWA
Oleh:
Sardulo Gembong Program Studi Pendidikan Matematika
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) manakah yang lebih baik antara penerapan pembelajaran kooperatif tipe TGT dan dan Explicit Instruction, (2) manakah yang memberikan prestasi belajar matematika lebih baik antara siswa yang memiliki minat tinggi, sedang dan rendah, (3) manakah yang memberikan prestasi belajar lebih baik pada siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TGT dan Explicit Instruction berdasarkan pada kategori minat siswa.
Populasi yang diambil pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 4 Madiun. Sampel yang diambil menggunakan teknik simple random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode tes untuk memperoleh data prestasi belajar matematika dan metode angket untuk memperoleh data minat belajar siswa.
Hasil penelitian ini adalah: (1) tidak ada perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diberi model pembelajaran kooperatif TGT dan Explicit Instruction, (2) ada perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang mempunyai minat belajar tinggi, sedang maupun rendah, (3) tidak ada interaksi antara model pembelajaran kooperatif TGT dan Explicit Instruction dengan siswa yang mempunyai minat belajar tinggi, sedang maupun rendah terhadap prestasi belajar matematika.
Kata kunci : Pembelajaran Kooperatif tipe TGT dan Explicit Instruction,
Prestasi Belajar Matematika dan Minat Belajar Siswa
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 14
A. Pendahuluan Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu
pesat mengharuskan para pendidik untuk dapat merancang dan melaksanakan pendidikan yang lebih terarah guna mencapai tujuan pendidikan. Untuk dapat mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Dan jalur yang tepat untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah jalur pendidikan formal. Sehubungan dengan hal itu, maka semua bidang studi yang diajarkan di sekolah diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan SDM, termasuk mata pelajaran matematika.
Matematika merupakan mata pelajaran yang dipelajari oleh semua siswa dari SD sampai SLTA dan bahkan sampai perguruan tinggi. Ini membuktikan bahwa matematika itu sangat penting, karena matematika merupakan sarana berpikir logis dan sangat berguna untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pengajarannya di sekolah, matematika sering dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dan dianggap sebagai hal yang menakutkan. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh pada prestasi belajar matematika siswa. Kesulitan siswa terhadap matematika bukan karena materinya saja, tetapi juga bisa disebabkan oleh metode pembelajaran yang kurang tepat yang dilakukan oleh guru sebagai pengajar.
Kebanyakan guru dalam pengajaran masih menggunakan metode ceramah, yang pusat pembelajarannya adalah guru bukan siswa. Guru cenderung mentransfer pengetahuan matematika mereka ke dalam pikiran siswa, sedangkan siswa diharapkan dapat menyerap begitu saja pengetahuan yang diberikan guru siswa dalam pembelajaran di kelas sangat pasif. Cara mengajar guru yang seperti ini, tentu saja menambah kesulitan siswa dalam mempelajari matematika.
Seharusnya siswa harus diberdayakan agar mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya. Selain itu siswa juga harus ditanamkan rasa kepercayaan dirinya dan juga diberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan temannya. Dengan pelibatan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
15
siswa dalam pembelajaran tentu akan memungkinkan minat belajar matematika siswa menjadi lebih baik.
Belajar merupakan suatu proses yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada diri seseorang. Perubahan-perubahan ini banyak macamnya, misalnya: perubahan tingkah laku dari yang tidak mengerti menjadi mengerti, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa mengerjakan soal menjadi bisa mengerjakan soal. Sebagian besar dari proses perkembangan berlangsung melalui kegiatan belajar.
Banyak pendapat tentang matematika. Soejadi dalam (Sanusi dan Sardulo Gembong, 2007:197) mengemukakan ada beberapa pengertian matematika berdasarkan sudut pandang pembuatnya, yaitu sebagai berikut: a. Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan
terorganisir secara sistematik. b. Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi. c. Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan
berhubungan. d. Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif
dan masalah tentang ruang dan bentuk.. e. Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang
logik. f. Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang dicapai siswa setelah kegiatan pembelajaran. Prestasi belajar yang penulis maksud ini adalah prestasi belajar siswa pada mata pelajaran matematika, setelah mengikuti pembelajaran kooperatif TGT dan Explicit Instruction.
Pembelajaran kooperatif adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar (Nurhadi, 2004:112). TGT pada mulanya dikembangkan oleh David De Vries dan Keith Edwards, ini merupakan metode pembelajaran pertama dari Johns Hopkins. Pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah suatu model pembelajaran kelompok yang dapat melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 16
siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement.
Explicit instruction (pembelajaran langsung) merupakan model pengajaran yang didesain berorientasi pada guru, sehingga dalam praktiknya sangat bergantung pada kemampuan guru mengelola pembelajaran. Explicit instruction khusus dirancang untuk mengembangkan belajar siswa tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang dapat diajarkan dengan pola selangkah demi selangkah. (http://anwarholil.blogspot.com/2009/01/model pengajaran langsung.html)
Slameto (2003:180) menyatakan “minat adalah rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh”. Jadi minat adalah perasaan yang timbul dari dalam diri individu karena adanya rasa suka dan keinginan untuk meraih apa yang akan merubah dan membentuk perilaku individu tersebut.
B. Pembahasan
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen. Menurut Hadari Nawawi (2005:82), metode eksperimen adalah prosedur penelitian yang akan dilakukan untuk mengungkap hubungan sebab akibat dua variabel atau lebih, dengan mengendalikan pengaruh variabel yang lain.
Sugiyono (2007:80) menyatakan “populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 4 Madiun Tahun Ajaran 2008/2009. Sampel yang diambil menggunakan teknik simple random sampling.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes dan angket. Dengan metode tes akan diperoleh data yang berupa prestasi belajar siswa, sedangkan dengan metode angket digunakan untuk memperoleh data minat belajar siswa. Data yang diperoleh adalah data kuantitatif yaitu data-data yang dapat dihitung atau diukur.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
17
Setelah dilakukan pembelajaran dan siswa diberikan angket minat belajar serta tes prestasi belajar matematika, diperoleh rata-rata untuk kelas eksperimen sebesar 9,57 dan kelas kontrol sebesar 8,87. Untuk masing-masing kategori minat belajar siswa diperoleh rata-rata sebagai berikut:
Rata-rata prestasi belajar Minat belajar Eksperimen Kontrol Tinggi 11,0909 10,1429 Sedang 8,667 9,2667 Rendah 8,1 7,4
Dari data yang diperoleh, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas. Setelah dipenuhi, kemudian dilakukan uji anava dengan hasil sebagai berikut:
Sumber JK dk RK obsF F Kesimpulan
Metode (A) 5,44 1 5,44 1,82 4,00 0H Diterima
Minat (B) 88,14 2 44,07 14,77 3,15 0H Ditolak
Interaksi (AB) 1,31 2 0,66 0,22 3,15 0H Diterima
Galat 176,10 59 2,98 - - Total 270,98 64 - - -
Berdasarkan hasil rangkuman analisis varians tersebut diperoleh kesimpulan bahwa:
a. Tidak ada perbedaan efek antar baris terhadap variabel terikat. b. Terdapat perbedaan efek antar kolom terhadap variabel terikat. c. Tidak ada interaksi baris dan kolom terhadap variabel terikat
Berdasarkan hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa AH0 diterima,
BH0 ditolak dan ABH0 diterima. Ini berarti untuk BH0 perlu dilakukan uji lanjut pasca anava untuk melihat perbedaan yang terjadi untuk setiap kategori faktor B. Akan tetapi ABH0 diterima sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjut pasca anava. Untuk melihat perbedaan yang terjadi untuk setiap kategori cukup dengan melihat rataan marginal pada setiap sel. Uji lanjut yang digunakan adalah uji Shceffe dengan tingkat signifikans 0,05.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 18
Hasil yang diperoleh dari uji lanjut pada rangkuman hasil uji lanjut pada BH0 yang diperoleh adalah sebagai berikut:
Faktor Komparasi 0H obsF DK Kesimpulan
21 6,99 6,3 0H Ditolak
31 27,99 6,3 0H Ditolak Minat Belajar (B)
32 9,61 6,3 0H Ditolak Dengan demikian, minat belajar tinggi lebih baik dari minat belajar sedang dan rendah, minat belajar sedang lebih baik daripada minat belajar rendah.
Dari hasil deskripsi data diketahui bahwa rata-rata prestasi belajar matematika sub pokok bahasan persegi dan persegi panjang dengan pembelajaran Kooperatif tipe TGT adalah 9,97. ini berarti siswa yang diberi pembelajaran kooperatif tipe TGT mampu menyelesaikan soal dengan benar 73,62% dari 13 soal tes yang diberikan, sedangkan pada siswa yang diberi pembelajaran dengan Explicit Intruction mempunyai rata-rata prestasi belajar 8,87. ini berarti siswa yang diberi pembelajaran Explicit Instruction mampu menyelesaikan soal dengan benar 68,23% dari 13 soal tes yang diberikan. Dengan demikian peluang siswa untuk menyelesaikan soal pada kelas yang diberi pembelajaran kooperatif TGT lebih baik dari pada kelas yang diberikan pembelajaran Explicit Instruction.
Dari hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa 8212,1obsF DK sehingga OAH diterima. Ini berarti tidak ada perbedaan prestasi belajar Matematika antara siswa yang diberikan pembelajaran Kooperatif tipe TGT dan Explicit Instruction. Dari hasil deskripsi data diketahui rata-rata hasil tes prestasi belajar siswa yang mempunyai minat belajar tinggi adalah 10,72 atau 82,46%, siswa yang mempunyai minat belajar sedang adalah 9,33% atau 71,77% dan siswa yang mempunyai minat belajar rendah adalah 7,75 atau 59,62%. Ini berarti bahwa siswa yang mempunyai minat belajar tinggi mampu menyelesaikan soal dengan benar 82,46%, minat belajar sedang 71,77% dan minat belajar rendah 59,62% dari 13 soal tes yang diberikan. Berdasarkan uraian tersebut, menunjukkan bahwa peluang siswa yang mempunyai minat belajar
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
19
tinggi untuk menyelesaikan soal dengan benar lebih baik daripada siswa yang mempunyai minat belajar sedang, dan peluang siswa mempunyai minat belajar sedang untuk menyelesaikan soal dengan benar lebih baik daripada siswa yang mempunyai minat belajar rendah.
Dari hasil uji hipotesis DKFobs 7648,14 sehingga oBH ditolak. Ini berarti terdapat perbedaan prestasi belajar matematika yang diperoleh antara siswa yang mempunyai minat belajar tinggi, sedang dan rendah. Berdasarkan uji lanjut pasca anava menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata prestasi belajar matematika pada hipotesis
oBH untuk siswa yang mempunyai minat belajar tinggi, sedang dan rendah ada perbedaan secara signifikan. Dengan melihat rata-rata prestasi belajar matematika pada siswa yang mempunyai minat belajar tinggi lebih baik dibandingkan siswa yang mempunyai minat belajar sedang maupun rendah. Begitu juga dengan siswa yang mempunyai minat belajar sedang memiliki rata-rata prestasi belajar yang lebih baik daripada siswa yang mempunyai minat belajar rendah. Ini berarti prestasi belajar matematika antara siswa yang mempunyai minat belajar tinggi lebih baik daripada siswa yang mempunyai minat belajar sedang dan siswa yang mempunyai minat belajar sedang lebih baik daripada siswa yang mempunyai minat belajar rendah.
Dari hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa DKFobs 2199,0 sehingga oABH diterima. Ini berarti tidak
terdapat interaksi antara model pembelajaran yang digunakan dengan kategori minat belajar siswa, sehingga untuk melihat perbedaan antara model pembelajaran dengn kooperatif tipe TGT dan Explicit Instruction untuk setiap kategori minat belajar siswa cukup dengan memperhatikan rataan pada masing-masing sel. Dari data pada uji hipotesis terlihat bahwa siswa yang mempunyai minat belajar tinggi dan rendah pada kelas TGT memiliki rata-rata prestasi belajar yang lebih baik daripada siswa yang mempunyai minat belajar tinggi dan rendah di kelas Explicit Instruction. Sedangkan siswa yang mempunyai minat belajar sedang pada kelas Explicit Instruction mempunyai rata-rata prestasi belajar yang lebih baik daripada di kelas TGT. Hal ini menunjukkan bahwa prestasi belajar matematika yang diberikan pembelajaran kooperatif TGT lebih baik daripada siswa
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 20
yang diberikan pembelajaran Explicit Instruction hanya pada siswa yang mempunyai minat belajar tinggi dan rendah. Sedangkan yang mempunyai minat belajar sedang pada pembelajaran Explicit Instruction mempunyai rata-rata prestasi belajar yang lebih baik daripada yang diberikan pembelajaran kooperatif TGT.
C. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar matematika pada siswa yang mempunyai minat belajar tinggi lebih baik dari pada siswa yang mempunyai minat belajar sedang maupun rendah. Prestasi belajar matematika pada siswa yang mempunyai minat belajar sedang lebih baik dari pada siswa yang mempunyai minat belajar rendah. Apabila ditinjau dari model pembelajaran prestasi belajar matematika tidak memberikan perbedaan yang berarti, baik pada minat belajar tinggi, sedang maupun rendah.
Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, peneliti memberikan saran sebagai berikut :
1. Bagi guru, dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif TGT untuk meningkatkan prestasi belajar matematika.
2. Bagi penelitian lanjutan, perlu dilakukan penelitian yang serupa dengan populasi dan sampel yang sama apakah dapat menghasilkan kesimpulan yang sama.
3. Penelitian ini perlu diujicobakan lagi pada siswa SD, SMP atau SMA yang lain dengan populasi yang lebih besar, apakah dapat menghasilkan kesimpulan yang sama atau tidak.
4. Kendala yang terdapat dalam penelitian ini adalah kesulitan dalam mengontrol variabel lain yang mungkin mempengaruhi prestasi belajar siswa. Untuk mengatasi kendala tersebut, maka dalam penelitian lanjutan perlu dikontrol variabel-variabel lain yang mungkin dapat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
21
DAFTAR PUSTAKA
Hadari Nawawi. 2005. Metode Penelitian Sosial. Jakarta : PT. Bumi Aksara. (http://anwarholil.blogspot.com/ 2009/01/model pengajaran langsung. html), diakses 15 Januari 2009
Nurhadi. 2005. Kurikulum2004 (Pertanyaan Dan Jawaban). Jakarta : PT. Grasindo Slameto. 2003. Belajar Dan Faktor- Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Sanusi dan Sardulo Gembong. 2004. “Kesulitan-kesulitan Yang Dihadapi Guru Dan Siswa Sekolah SD Dalam Pembelajaran Matematika Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dimuat dalam Jurnal Pendidikan. Terakreditasi Dikti IKIP PGRI Madiun, Vol.13, Nomor 2, Desember 2007. Hal 193. Nadiun : IKIP PGRI Madiun.
Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alpa Beta
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 22
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN TAI (TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION) DAN EXPLICIT INSTRUCTION TERHADAP PRESTASI BELAJAR
MATEMATIKA DITINJAU DARI AKTIFITAS BELAJAR SISWA
Oleh: Sanusi
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui : (1) perbedaan hasil
belajar siswa di SMP Negeri 1 Nglames Kelas VII yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization) dan model pembelajaran Explicit Instruction, (2) manakah yang memberikan prestasi belajar lebih baik antara siswa yang mempunyai keaktifan belajar tinggi, sedang maupun rendah, (3) manakah yang memberikan prestasi belajar lebih baik pada model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization) dan Explicit Instruction pada siswa yang mempunyai keaktifan belajar tinggi, sedang maupun rendah. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode tes untuk memperoleh data prestasi belajar matematika dan metode angket untuk memperoleh data keaktifan belajar siswa. Analisis data yang digunakan adalah anava dua jalan dengan sel tak sama.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah model pembelajaran TAI lebih baik daripada model pembelajaran Explicit Instruction, tetapi jika dilihat dari tingkat keaktifan belajar Model Pembelajaran TAI dan Model Pembelajaran Explicit Instruction tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Kata Kunci : Model Pembelajaran Tai dan Explicit Instruction, Keaktifan
Belajar Siswa dan Prestasi Belajar Matematika. A. Pendahuluan
Dewasa ini terdapat kecenderungan prestasi belajar matematika yang dicapai oleh siswa tidak lagi tinggi. Padahal upaya-upaya perbaikan pembelajaran matematika telah dilaksanakan. Upaya-upaya tersebut antara lain meliputi : perbaikan kurikulum matematika, pengadaan buku pelajaran, perbaikan evaluasi belajar, pengadaan alat
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
23
peraga serta peningkatan mutu guru melalui penataran-penataran baik ditingkat nasional maupun daerah. Didalam proses belajar mengajar guru harus memiliki strategi belajar agar siswa dapat bekerja secara aktif, efisien dan efektif serta mengena pada tujuan yang diharapkan. Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua guru memahami dan menyadari hal itu. Praktik-praktik pengajaran masih banyak yang didominan oleh guru, serta guru lebih banyak menjadikan siswa sebagai obyek daripada subyek. Sehingga akan berkesan bahwa pembelajaran adalah sekedar pemindahan pengetahuan, pemberian pengetahuan dan penyerapan pengetahuan. Proses pembelajaran seperti ini mengakibatkan keaktifan dan kreatifitas siswa dalam kegiatan pembelajaran kurang, karena siswa hanya melihat, mendengar, dan mencatat materi yang disampaikan guru.
Untuk memperbaiki hasil dari proses pembelajaran perlu dilakukan perubahan dalam hal model pembelajaran. Tapi model pembelajaran yang sampai saat ini masih sering ditemui adalah pembelajaran dimana siswa hanya sebagai penerima dan penyerap pengetahuan. Dalam hal ini siswa bersikap pasif.
Salah satu keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar adalah keberanian siswa dalam menyampaikan pendapat, banyak mengeluarkan ide-ide, menjawab pertanyaan-pertanyaan, dapat mendorong temannya yang selalu pasif untuk menjadi aktif dalam menyelesaikan tugas bersama-sama baik secara individu maupun kelompok selama proses belajar mengajar berlangsung. Kecenderungan yang sering muncul di kelas adalah anak-anak merasa jenuh dengan pembelajaran secara klasikal yang tidak memberikan kebebasan gerak anak. Anak yang tidak aktif akan selalu pasif. Kondisi seperti ini tidak didukung oleh inovasi dan kreativitas guru dalam membangkitkan keaktifan beajar siswa, maka proses belajar mengajar menjadi kaku dan menjemukan. Dalam hal ini disebabkan oleh kecenderungan guru yang lebih senang menggunakan strategi belajar yang cepat dan praktis untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, sementara siswa sudah bosan dengan strategi yang diberikan oleh guru. Kondisi ini jelas berakibat kepada prestasi belajar dan keaktifan belajar siswa.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 24
Belajar memiliki arti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Menurur Hilgard (dalam Baharrudin dan Esa Nur, 2007 : 13), belajar adalah memperoleh pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai pengalaman dan mendapatkan informasi atau menemukan.
Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar adalah proses, sedangkan prestasi merupakan hasil dari proses belajar. Prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar. Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar yang menyangkut isi pelajaran dan perilaku siswa. Jadi prestasi belajar matematika adalah hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar matematika.
Ada banyak cara dalam pembelajaran kooperatif untuk digunakan didalam kelas. Fakta dasar dari pembelajaran adalah memahami konsep, pemecahan masalah dan penerapan yang memungkinkan tindakan terbaik dalam kelompok pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif menunjukkan bahwa sasaran pembelajaran sangat penting, tugas belajar bersifat rumit dan konseptual, pemecahan masalah diperlukan, berfikir divergen atau kreatif diperlukan, kualitas kinerja sangat diharapkan, strategi berfikir tingkat tinggi dan berfikir kritis sangat dibutuhkan, pengembangan social dari pelajar adalah satu sasaran utama pembelajaran.
Pembelajaran Kooperatif tipe TAI dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Ciri khas tipe TAI adalah setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar secara individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan dan saling dibahas anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama.
Model pembelajaran Explicit Instruction (pembelajaran langsung khusus dirancang untuk mengembangkan belajar siswa tentang pengetahuan procedural dan pengetahuan deklaratif yang diajarkan dengan pola selangkah demi selangkah.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
25
Menurut Sriyono (dalam Syafarrudin – Irwan Nasution, 2005 : 213) bahwa keaktifan siswa dalam proses mengajar adalah pada waktu guru mengajar, guru harus mengusahakan agar murid-muridnya aktif jasmani maupun rohani. B. Metode Penelitian
Untuk memperoleh hasil yang baik, maka peneliti dapat menentukan metode penelitian yang paling tepat.Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen dengan analisis data anava dua jalan.
Menurut S.Margono (2004:118) populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang ditentukan.Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Nglames tahun ajaran 2008/2009.Sampel yang diambil menggunakan teknik random sambling yang terpilih yaitu kelas VII C dan VII D dengan jumlah 75 siswa.
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah meyode tes dan metode angket. Dengan metode ini akan diperoleh data yang berupa prestasi atau hasil siswa dan keaktifan belajar berupa angka dan data kuantitas. Metode angket digunakan untuk mengetahui keaktifan belajar siswa. Untuk mengetahui kelayakan instrument angket yang digunakan dalam penelitian ini, maka instrument ditinjau dengan beberapa aspek kelayakan antara lain : validitas isi, konsistensi internal dan uji reliabilitas. Metode tes digunakan untuk memperoleh data prestasi belajar matematika. Tes prestasi digunakan untuk mengukur penguasaan materi. Tes prestasi ini berupa tes obyektif sebanyak 15 soal. Sebelum instrument digunakan terlebih dahulu diuji cobakan.Uji coba dilaksanakan di kelas VII A SMP Negeri 1 Nglames pada 36 responden.
C. Hasil Penelitian 1. Instrumen Tes Prestasi Belajar Matematika
Untuk menilai apakah instrument tes matematika yang digunakan mempunyai validitas isi, penulis mengkonsultasikan pada validator. Dalam penelitian ini validator yang ditujuk adalah Ibu Heni guru SMP Negeri 1 Nglames. Sedangkan untuk mengetahui indeks
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 26
kriterium dari masing-masing butir soal dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi dari setiap soal. Koefisien korelasi dihitung dengan menggunakan korelasi product moment. Soal dikatakan valid jika memiliki koefisien korelasi rxy > 0,30. Hasil uji coba terhadap 36 responden di SMP Negeri 1 Nglames diperoleh bahwa semua butir soal nomor 1 sampai 15 memiliki indeks korelasi > 0,30. Oleh karena itu soal tersebut dapat digunakan dalam mengambil data prestasi belajar matematika siswa.
Untuk mengetahui apakah instrumen tes matematika yang digunakan reliable, ajeg dan konsisten digunakan rumus KR – 20, koefisien korelasi yang digunakan adalah jika r11 > 0,70. Hasil uji coba instrumen terhadap 36 responden diperoleh r11 = 0,818. Ini berarti instrumen tes matematika reliable dan dapat digunakan untuk mengambil data prestasi belajar siswa.
2. Instrumen Angket Kesiapan Belajar Agar instrumen angket yang digunakan mempunyai validitas
isi, maka penulis mengkonsultasikan pada validator. Dalam hal ini validator yang ditunjuk adalah Bapak Sardulo Gembong dosen IKIP PGRI Madiun selaku dosen pembimbing sedangkan untuk mengetahui konsistensi internal penulis menggunakan rumus korelasi Karl Person. Butir soal yang dipakai jika korelasi rxy masing-masing butir angket tersebut rxy > 0,3. Hasil uji coba 24 butir soal terhadap 30 responden diperoleh hasil bahwa semua butir angket nomor 1 sampai 24 indeks konsistensi internalnya lebih dari 0,3. Ini berarti butir soal angket tersebut dapat digunakan untuk mengambil data keaktifan belajar siswa.
Dalam penelitian ini uji reliabilitas yang digunakan oleh peneliti adalah rumus Alpha. Intrumen dikatakan Reliabel jika r11 > 0,70. Hasil uji coba instrumen terhadap 30 responden diperoleh indeks reliabilitasnya r11 = 0,851. Ini berarti instrumen soal angket reliable dan dapat digunakan untuk mengambil data kesiapan belajar siswa.
3. Data Prestasi Belajar Matematika Siswa Rata-rata hasil tes prestasi belajar matematika pokok bahasan sudut dan garis dari 15 soal terhadap 34 siswa untuk kelompok eksperimen adalah 71,38. Ini berarti kelompok eksperimen dapat
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
27
menyelesaikan dengan benar-benar 71,38% dari seluruh soal tes yang diberikan sedangkan pada kelompok kontrol dari 32 siswa rata-rata hasil tes prestasinya adalah 70,97. Ini menunjukkan bahwa kelompok kontrol mampu menyelesaikan soal dengan benar sebesar 70,97%.
4. Data Keaktifan Belajar Siswa Data prestasi belajar pada setiap kategori keaktifan siswa disaji pada tabel sebagai berikut :
Data Prestasi Belajar pada Setiap Kategori Keaktifan Belajar
Siswa Jumlah Responden Rata-rata Prestasi
Belajar Keaktifan Belajar Kelompok
Experimen Kelompok
Kontrol Kelompok Experimen
Kelompok Kontrol
Tinggi 10 12 75,3 76,5 Sedang 17 8 75 69,125 Rendah 7 12 57 66,67
Pada kelas eksperimen diperoleh jumlah siswa dengan
kategori keaktifan belajar tinggi berjumlah 10 siswa atau 29,41%, sedang berjumlah 17 siswa atau 50%, dan rendah berjumlah 7 siswa atau 20,59%. Rata-rata prestasi belajar siswa pada kelompok eksperimen dengan kategori tinggi 75,3, kategori sedang 75 siswa dan kategori rendah 57 sedangkan untuk kelompok kontrol yang mempunyai keaktifan belajar tinggi berjumlah 12 siswa atau 37,5%, sedang berjumlah 8 siswa atau 25% dan rendah berjumlah 12 siswa atau 37,5%.
Berdasarkan deskripsi data tersebut menunjukkan bahwa siswa yang mempunyai keaktifan belajar tinggi mempunyai prestasi yang lebih baik daripada siswa yang mempuyai keaktifan belajar sedang, siswa yang mempunyai keaktifan belajar sedang berprestasi lebih baik daripada siswa yang mempunyai keaktifan belajar rendah.
Berdasarkan analisis uji prasyarat menunjukkan bahwa sample random data amatan berasal dari populasi yang berdistribusi normal masing-masing kategori variable data amatan homogen. Dengan demikian analisis uji hipotesis pada analisis varian dua jalan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 28
dengan sel tak sama dapat dilakukan dengan tingkat signifikan = 5% dan diperoleh hasil sebagai berikut :
Rangkuman Analisis Varian Sumber JK dk RK Fobs F2 Kesimpulan Metode Pembe-lajaran (A)
42,050 1 42,05 0,22 4,00 Ho diterima
Keaktifan belajar (B)
2138,06 2 1069,03 5,67 3,15 Ho ditolak
Interaksi (AB)
613,35 2 308,17 1,63 3,15 Ho diterima
Galat 11310,64 60 188,51 - - - Total 14104,09 66 - - - -
D. Pembahasan
Dari hasil deskripsi data diketahui bahwa rata-rata tes prestasi belajar matematika. Pokok bahasan garis dan sudut dengan pembelajaran kooperatif tipe TAI adalah 71,38. Ini berarti siswa yang diberi pembelaajran dengan model kooperatif tipe TAI mampu menyelesaikan soal dengan benar 71,38% dari 15 soal tes yang telah diberikan sedangkan untuk siswa yang diberi pembelajaran dengan model, pembelajaran explicit Instruction rata-rata hasil tes prestasinya 70,97. Ini berarti siswa yang diberi pembelajaran dengan model Explicit Instruction mampu menyelesaikan soal dengan benar 70,97% dari 15 soal tes yang telah diberikan. Dilihat dari rata-ratanya, siswa yang diberi pembelajaran model kooperatif tipe TAI berprestasi lebih baik daripada siswa yang diberi pembelajaran model Explicit Instruction.
Berdasarkan hasil analisis uji hipotesis menunjukkan bahwa Ho (A) diterima. Ini berarti tidak ada perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diberi pembelajaran model kooperatif tipe TAI dan model pembelajaran Explicit Instruction.
Hasil analisis uji hipotesis menunjukkan bahwa Ho (B) ditolak. Ini berarti terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa yang mempunyai keaktifan belajar tinggi, keaktifan belajar sedang, dan keaktifan belajar rendah. Melihat rata-rata prestasi belajar untuk keaktifan belajar tinggi lebih besar daripada keaktifan belajar sedang
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
29
dan rendah, berarti keaktifan belajar siswa dengan keaktifan belajar tinggi lebih baik daripada siswa dengan keaktifan belajar rendah. Berdasarkan hasil analisis uji lanjut menunjukkan bahwa untuk kategori b1 dan b2 diterima, b1 dan b3 ditolak, b2 dan b3 diterima. Ini berarti prestasi belajar siswa yang mempunyai keaktifan belajar tinggi tidak berbeda signifikan dengan prestasi siswa yang mempunyai keaktifan belajar sedang. Prestasi belajar siswa yang mempunyai keaktifan belajar tinggi berbeda secara signifikan dengan siswa yang mempunyai keaktifan belajar rendah. Sedangkan prestasi belajar siswa yang mempunyai keaktifan belajar sedang tidak berbeda signifikan dengan prestasi belajar siswa yang mempunyai keaktifan belajar rendah.
Hasil analisis uji hipotesis menunjukkan bahwa Ho (AB) diterima. Ini berarti tidak terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dan faktor keaktifan belajar. Hal ini menunjukkan bahwa prestasi belajar matematika pada siswa dengan model pembelajaran TAI (Team Assisted Individualization) dan model pembelajaran Explicit Instruction tidak terdapat perbedaan prestasinya, baik pada siswa dengan keaktifan belajar tinggi, sedang maupun rendah. E. Kesimpulan
Berdasarkan data yang diperoleh dan analisis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa : “Model pembelajaran TAI lebih baik dari pada model pembelajaran explicit instruction, tetapi jika dilihat dari tingkat keaktifan belajar model pembelajaran TAI dan model pembelajaran Explicit Instruction tidak menunjukkan perbedaan yang berarti”.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 30
DAFTAR PUSTAKA
Hadari Nawawi. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Margono.2004. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : PT.
Rineka Cipta Irwan Nasution. 2005. Manajemen Pembelajaran. Ciputat : Quantum Teaching.
Reni Akbar Hawardi. 2004. Akselerasi. Jakarta : PT. Gramedia
Widia Sarana Indonesia.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
31
PROFIL KEMAMPUAN SISWA MEMECAHKAN MASALAH KONTEKSTUAL MATEMATIKA
DI SMP NEGERI 1 MADIUN
Wasilatul Murtafiah Program Studi Pendidikan Matematika
Email: [email protected]
ABSTRAK
Memecahkan suatu masalah merupakan suatu aktivitas dasar bagi manusia. Seseorang dalam kehidupan sehari-hari selalu dihadapkan pada masalah-masalah yang perlu dicari pemecahannya. Kegiatan penelitian ini mempunyai tujuan mendeskripsikan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah kontekstual meliputi kemampuan memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan dan mengecek kembali penyelesaian yang diperoleh dari masalah kontekstual yang diberikan. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII D SMP Negeri 1 Madiun yang berjumlah 32 siswa. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah kontekstual ditelusuri melalui pemberian soal terbuka (open ended). Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa kelas VIIIA SMP Negeri I Madiun dalam memecahkan masalah kontekstual cenderung rendah dan sedang masing-masing sebesar 43,75% siswa. Kata kunci: Pecahan Masalah, Masalah Kontekstual. A. RASIONAL
Memecahkan suatu masalah merupakan suatu aktivitas dasar bagi manusia. Seseorang dalam kehidupan sehari-hari selalu dihadapkan pada masalah-masalah yang perlu dicari pemecahannya. Pemecahan masalah tersebut kadangkala tidak dapat diperoleh dengan segera. Oleh karena itu cara memecahkan masalah perlu diajarkan kepada siswa melalui pendidikan salah satunya melalui mata pelajaran matematika.
Dengan pemecahan masalah, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang telah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Siswa dapat berlatih dan mengintegrasikan konsep-konsep dan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 32
keterampilan yang telah dipelajari. Siswa akan mampu mengambil keputusan sebab siswa mempunyai keterampilan tentang bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis informasi, dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah diperolehnya.
Berdasarkan pengalaman penulis selama mengajar, hasil evaluasi belajar siswa masih rendah karena ketika ujian siswa tidak memeriksa kembali jawaban dan cenderung tidak memikirkan bahwa jawaban yang diberikan sudah masuk akal (reasonable) dan sesuai dengan permintaan soal. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Spangler tentang konsepsi siswa terhadap masalah matematika (Hoosain, 2004:4):
... one of the common beliefs among students was that a mathematical problem has only one correct answer. Students were not prepared to accept that a problem could have different answers, all being correct. They indicated that they preffered one method to multiple methods for solving problem because they did not have to remember much. Students admitted that they could obtain the correct answer to a problem without understanding what they were doing. Students rarely checked to see if their answer made sense in the context of the given problem. They verified their answers with the teacher or by checking the text and they are not inclined to look for multiple solutions or to generalize their results.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa siswa yakin masalah matematika hanya mempunyai satu jawaban yang benar. Masalah matematika adalah masalah tidak rutin yang tidak mencakup aplikasi atau prosedur matematika yang mirip atau sama dengan apa yang telah (baru) dipelajari. Siswa menunjukkan bahwa lebih suka satu cara daripada banyak cara dalam menyelesaikan masalah. Siswa juga mengakui bahwa jawaban yang benar dapat diperoleh tanpa harus mengerti apa yang dilakukan. Siswa jarang memeriksa bahwa jawaban mereka sesuai dengan isi pada masalah yang diberikan, cenderung tidak mencari solusi lain dan tidak menggeneralisasi hasilnya. Oleh karena itu, pemecahan masalah perlu diajarkan.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
33
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memfokuskan pemecahan masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal dan masalah dengan banyak cara penyelesaian. Tujuan diberikannya matematika adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut (Depdiknas, 2006:1). 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Hal ini merupakan tuntutan yang cukup tinggi yang tidak
mungkin bisa dicapai hanya melalui hafalan, latihan soal yang bersifat rutin serta pembelajaran yang biasa. Padahal, Davis (dalam Siswono, 2007) menyatakan bahwa guru di sekolah lebih mengajarkan matematika secara hafalan dengan menggunakan masalah rutin sehingga kemampuan pemecahan masalah tidak dapat dikembangkan.
Program pemecahan masalah harus dikembangkan untuk situasi yang lebih bersifat alamiah serta pendekatan yang cenderung informal. Untuk tema permasalahannya sebaiknya diambil dari kejadian sehari-hari yang lebih dekat dengan kehidupan anak atau yang diperkirakan dapat menarik perhatian anak. Davis (dalam Siswono, 2007) menyatakan bahwa “kehidupan nyata sehari-hari memerlukan matematika dan masalah sehari-hari bukan hal rutin yang memerlukan kreativitas dalam menyelesaikannya”. Hal ini sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bahwa penyajian contextual problem (masalah kontekstual) diusahakan di awal setiap pembelajaran. Masalah kontekstual adalah masalah yang sesuai dengan situasi yang dialami siswa, sesuai dengan kehidupan nyata dan dekat dengan siswa. Ketika siswa bekerja menyelesaikan masalah, siswa akan menghubungkannya dengan pengalaman mereka karena masalah memerlukan prasyarat pengetahuan keterampilan dan pemahaman. Salah satu contoh materi yang diajarkan dalam matematika sekolah dan relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 34
adalah berhubungan dengan konsep keliling maupun luas segiempat, sehingga masalah kontekstual dapat diterapkan pada materi tersebut. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui kemampuan siswa dalam memecahkan masalah kontekstual yang berkaitan dengan materi tersebut meliputi kemampuan memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan penyelesaian dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh.
Kegiatan penelitian ini mempunyai tujuan mendeskripsikan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah kontekstual matematika di kelas VIII D SMP Negeri 1 Madiun. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu: (1) Sebagai masukan baik bagi guru maupun calon guru tentang penting tidaknya pengetahuan kemampuan memecahkan masalah kontekstual dalam pembelajaran matematika. (2) Menjadi bahan pertimbangan bagi penelitian-penelitian berikutnya yang sejenis dengan penelitian ini. B. KAJIAN PUSTAKA 1. Masalah Matematika
Lester (dalam Hossain, 2004:2) mengatakan bahwa ”masalah adalah situasi ketika seseorang atau sekelompok orang diminta untuk mengerjakan sebuah tugas yang tidak mudah mendapatkan penyelesaian dengan prosedur yang rutin”. Sedangkan Kantowski (dalam Hossain, 2004:2), menyatakan bahwa ”seseorang berhadapan dengan suatu masalah ketika ia menghadapi suatu pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya atau suatu situasi yang tidak mampu ia pecahkan dengan pengetahuan yang seketika ada untuknya”.
Krulik dan Rudnick (1995:4) menjelaskan bahwa ”masalah adalah suatu situasi atau sejenisnya yang dihadapi oleh seseorang atau kelompok yang menghendaki keputusan dan seseorang itu mencari jalan untuk memperoleh pemecahan”.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah adalah suatu situasi atau kondisi yang dihadapi oleh seseorang atau kelompok yang memerlukan penyelesaian tetapi tidak menggunakan cara yang rutin atau tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
35
Suatu masalah akan relatif untuk setiap individu artinya suatu masalah bagi seseorang, mungkin bukan menjadi masalah bagi orang lain, contohnya: 2+3 mungkin menjadi masalah bagi anak TK dan bukan menjadi masalah bagi anak SD. Suatu pertanyaan merupakan suatu masalah bagi seorang siswa pada suatu saat, tetapi tidak pada saat yang lain apabila siswa itu sudah mengetahui cara atau proses mendapatkan penyelesaian masalah tersebut.
Hudojo (2005:124) menyebutkan bahwa pertanyaan akan menjadi masalah bagi siswa apabila memenuhi syarat:
Pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang siswa haruslah dapat dimengerti oleh siswa tersebut, namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya.
Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa. Karena itu, faktor waktu untuk menyelesaikan masalah janganlah dipandang sebagai hal yang esensial.
Masalah berbeda dengan latihan. Latihan bersifat berlatih agar terampil atau sebagai aplikasi dari pengertian yang baru diperolehnya, atau untuk menyelesaikannya sudah ada prosedur yang langsung bisa diterapkan. Sedangkan masalah menghendaki siswa untuk menggunakan sintesis dan analisis. Untuk menyelesaikan masalah, siswa tersebut harus menguasai hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya yaitu mengenai pengetahuan, keterampilan dan pemahaman, tetapi dalam hal ini ia menggunakannya pada situasi baru.
Suatu masalah dapat berupa soal atau pertanyaan matematika. Buchanan (dalam Hoosain, 2004:2) menyatakan bahwa ”masalah matematika adalah masalah tidak rutin yang memerlukan lebih dari satu prosedur atau algoritma dalam proses penyelesaiannya”.
Hossain (2004:3) menyatakan, masalah matematika mempunyai empat elemen yaitu: 1. Situasi yang melibatkan pernyataan yang diketahui (awal) dan
pernyataan yang diharapkan (tujuan). 2. Situasi yang melibatkan matematika. 3. Seseorang harus menginginkan penyelesaiannya.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 36
4. Terdapat rintangan antara pernyataan yang diberikan dan yang diharapkan.
Sehingga dapat disimpulkan, masalah matematika adalah suatu soal atau pertanyaan matematika yang tidak mempunyai prosedur rutin dalam pengerjaannya. 2. Masalah Kontekstual
Soedjadi (2007:42) menyatakan bahwa masalah kontekstual merupakan masalah nyata atau konkrit yang dekat dengan kehidupan anak didik. Pendapat lain dinyatakan oleh Sabandar (2001:1), bahwa masalah kontekstual adalah masalah yang menghadirkan lingkungan yang real bagi murid.
Jadi masalah kontekstual adalah masalah yang dikenal siswa dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Sedangkan masalah kontekstual matematika adalah masalah matematika yang menggunakan berbagai konteks sehingga menghadirkan situasi yang pernah dialami secara nyata bagi siswa. Dalam penelitian ini, masalah kontekstual yang diberikan pada siswa adalah masalah yang berkaitan dengan luas dan keliling bangun segiempat, karena dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai permasalahan yang menggunakan materi tersebut. 3. Pemecahan Masalah
Polya (dalam Booker, 1992:317) mengatakan bahwa ”pemecahan masalah adalah proses penerimaan tantangan (masalah) yang tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin dan memerlukan usaha keras untuk menyelesaikannya”.
Krulik dan Rudnick (1995:4) mendefinisikan pemecahan masalah adalah suatu cara yang dilakukan seseorang dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman untuk memenuhi tuntutan dari situasi yang tidak rutin.
Jadi pemecahan masalah adalah usaha seseorang untuk menyelesaikan suatu permasalahan menggunakan pengetahuan, keterampilan, serta pemahaman yang dimilikinya.
Polya (1973:6) menjelaskan bahwa dalam pemecahan suatu masalah terdapat empat langkah yang harus dilakukan, yaitu:
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
37
1. Memahami masalah Meminta siswa untuk mengulangi pertanyaan dan siswa sebaiknya
harus mampu menyatakan pertanyaan dengan fasih, menjelaskan bagian terpenting dari pertanyaan tersebut meliputi: apa yang ditanyakan, apa sajakah data yang diketahui, dan bagaimana syaratnya (hubungan antara yang ditanya dan yang diketahui dan apakah syarat tersebut sudah cukup untuk menentukan apa yang ditanyakan).
2. Merencanakan pemecahan. Untuk menjawab masalah yang ditanyakan, siswa harus membuat
rencana untuk menyelesaikan masalah, mengumpulkan informasi-informasi atau data-data yang ada dan menghubungkan dengan beberapa fakta yang berhubungan dan sudah pernah dipelajari sebelumnya. Guru memotivasi siswa dengan meminta memperhatikan masalah yang ditanyakan, dan mencoba untuk memikirkan masalah yang dikenal siswa yang hampir sama atau mirip dengan yang ditanyakan, pernahkah mereka mengerjakan hal yang serupa dengan yang ditanyakan dan lain-lain.
3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana pada langkah kedua Siswa menyelesaikan masalah sesuai dengan rencana, siswa harus
yakin bahwa setiap langkah sudah benar. Guru perlu menegaskan perbedaan antara melihat dan membuktikan dengan menanyakan “ dapatkah kamu melihat bahwa setiap langkah sudah benar dan dapatkah sekaligus kamu buktikan bahwa langkah tersebut sudah benar?”
4. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh. Dengan memeriksa kembali hasil yang diperoleh dapat menguatkan
pengetahuan mereka dan mengembangkan kemampuan mereka memecahkan masalah, siswa harus mempunyai alasan yang tepat dan yakin bahwa jawabannya benar, dan kesalahan akan sangat mungkin terjadi sehingga pemeriksaan kembali perlu dilakukan. Guru dapat menanyakan pada siswa apakah dapat mengecek hasil dan argumennya, serta dapatkah memperoleh hasil atau cara yang berbeda dalam penyelesaiannya.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 38
4. Pemecahan Masalah Kontekstual Matematika Dalam NCTM (National Council of Teachers of Mathematics)
standard dinyatakan bahwa terdapat delapan poin yang mengharapkan siswa dapat berinteraksi di kelas. Sedangkan poin yang berhubungan dengan pemecahan masalah kontekstual ada dua, yaitu: (Illingworth, 2000) …2. REAL-WORLD CONNECTION: Students should become familiar with the ways in which mathematics plays in role in their society. “ a primary goal for the study of mathematics is to give children experiences that promote the ability to solve problems and that build mathematics from situation generated within the context of everyday experiences”. 3. REAL PROBLEMS: “Real world problems are not ready-made exercises with easily processed procedures and numbers. Situation that allow students to experience problems with “messy” numbers or too much or not enough information or that have multiple solutions, each with different consequences, will better prepare them to solve the problems they are likely to encounter in their daily lives… Arti pernyataan tersebut adalah dalam hubungannya dengan dunia nyata siswa diharapkan mengenali cara atau aturan matematika yang terdapat dalam lingkungan mereka. Tujuan utama belajar matematika adalah memberikan siswa pengalaman dalam mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan membangun matematika dari generalisasi situasi dalam konteks pengalaman sehari-hari. Sedangkan masalah dunia nyata bukanlah latihan yang sudah siap dengan bilangan dan prosedur yang mudah. Situasi ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami masalah yang tidak rutin dengan terlalu banyak atau kurang informasi atau mempunyai banyak penyelesaian dengan masing-masing konsekuensi yang berbeda, yang akan lebih mempersiapkan mereka dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi dapat disimpulkan bahwa masalah kontekstual yang diberikan kepada siswa merupakan masalah yang tidak rutin yang akan mampu mengembangkan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Hal tersebut juga sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Kurikulum Tingkat Satuan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
39
Pendidikan (KTSP) bahwa pendekatan pembelajaran difokuskan pada pendekatan pemecahan masalah dengan mengusahakan penyajian masalah kontekstual di awal pembelajaran.
Dalam penelitian ini, siswa akan diberikan masalah yang berhubungan dengan masalah yang dikenal dan sering siswa jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Masalah kontekstual yang diberikan meliputi masalah kontekstual yang berupa soal terbuka (open ended), yaitu :
Masalah Luas sebidang kebun yang berbentuk persegipanjang adalah 400 m2. Sekeliling kebun itu ditanami ketela pohon dengan jarak satu pohon ke pohon lainnya adalah 25 cm, dan pohon pertama tepat ditanam pada pojok kebun.
a. Tentukan bentuk kebun yang berbeda beserta ukuran-ukurannya yang mempunyai luas sama dengan kebun di atas (lebih dari 1), kemudian tentukan banyak pohon yang harus ditanam di kebun.
b. Perhatikan salah satu jawaban pada poin a, tunjukkan cara yang berbeda untuk menentukan banyak pohon yang harus ditanam di kebun. Masalah kontekstual yang sudah diselesaikan siswa diharapkan
dapat menggambarkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah meliputi kemampuan dalam memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan penyelesaian dan memeriksa kembali penyelesaian yang diperoleh dari masalah kontekstual yang diberikan.
Pemecahan masalah kontekstual dimungkinkan dapat membantu siswa mengaplikasikan kemampuan mereka menggunakan situasi yang luas, siswa belajar bagaimana matematika digunakan untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan nyata. Menempatkan konsep matematika dalam situasi juga membantu siswa memperdalam penguasaan mereka dari apa yang telah dipelajari. Siswa diharapkan dapat menggunakan pengetahuan sebelumnya untuk menyelesaikan masalah karena masalah yang dihadapi sesuai dengan yang dialami mereka, dapat mengkonstruk konsep dan pemahaman mereka sendiri karena didasarkan pada situasi yang real dan dekat dengan siswa.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 40
Dengan mengaitkan pengetahuan lama yang terkait untuk memecahkan masalah, maka belajar akan lebih bermakna dan siswa tidak hanya menghafal saja.
Pemecahan masalah kontekstual berhubungan dengan kemampuan kognitif siswa, karena dalam masalah kontekstual disajikan masalah yang nyata dan siswa perlu melakukan analisis dan sintesis pada informasi yang diberikan.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata lisan atau tulisan dari orang atau subjek yang diamati (Moleong, 2000:3). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam memecahkan masalah meliputi kemampuan memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan dan mengecek kembali penyelesaian yang diperoleh dari masalah kontekstual yang diberikan. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah kontekstual ditelusuri melalui pemberian soal tes.
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII D SMP Negeri 1 Madiun yang berjumlah 32 siswa. Alasan memilih siswa kelas VIII adalah karena siswa cukup mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam materi-materi yang menjadi prasyarat dalam pemecahan masalah yang diberikan karena telah melalui kelas VII dan jenjang pendidikan dasar.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal tes pada lampiran 1.1. Soal tes ini merupakan soal terbuka (open ended) dan hanya terdiri dari satu butir soal. D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Analisis Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Kontekstual Matematika
Data hasil tes pemecahan masalah kontekstual matematika siswa dianalisis dengan menggunakan rubrik penskoran yang telah dikembangkan peneliti berdasarkan 4 kemampuan pemecahan masalah menurut Polya. Selanjutnya dari hasil tes pemecahan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
41
masalah, siswa dikelompokkan seperti yang disajikan pada Tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1
Hasil Analisis Tes Pemecahan Masalah Kontekstual Matematika Kode Siswa A B C D Skor Kelompok
01 4 2 3 0 56.25 Rendah 02 4 2 3 0 56.25 Rendah 03 4 2 3 0 56.25 Rendah 04 4 3 3 2 75 Sedang 05 4 1 2 0 43.75 Rendah 06 4 3 3 0 62.5 Sedang 07 4 3 2 0 56.25 Rendah 08 4 2 3 0 56.25 Rendah 09 4 4 4 0 75 Sedang 10 4 4 4 3 93.75 Tinggi 11 4 4 4 0 75 Sedang 12 4 4 4 2 87.5 Tinggi 13 4 3 3 0 62.5 Sedang 14 4 4 4 2 87.5 Tinggi 15 4 3 2 2 68.75 Sedang 16 4 3 3 0 62.5 Sedang 17 4 3 3 2 75 Sedang 18 4 3 2 0 56.25 Rendah 19 4 2 2 0 50 Rendah 20 4 3 3 0 62.5 Sedang 21 4 3 4 2 81.25 Tinggi 22 4 2 1 0 43.75 Rendah 23 4 2 2 2 62.5 Sedang 24 4 2 2 0 50 Rendah 25 4 3 3 2 75 Sedang 26 4 1 2 0 43.75 Rendah 27 4 2 2 2 62.5 Sedang 28 4 1 2 0 43.75 Rendah 29 4 2 2 2 62.5 Sedang 30 4 2 2 2 62.5 Sedang 31 4 2 1 1 50 Rendah
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 42
32 4 2 1 1 50 Rendah Rata-rata 4 2.56 2.62 0.84 62.69 Sedang
Keterangan:
A : kemampuan memahami masalah B : kemampuan merencanakan penyelesaian C : kemampuan melaksanakan penyelesaian D : kemampuan memeriksa kembali hasil yang diperoleh
Dari Tabel 4.1 terlihat bahwa siswa secara keseluruhan mencapai level 4 pada kemampuan dalam memahami masalah. Hal ini menunjukkan bahwa siswa mampu memahami masalah kontekstual dengan baik. Pada langkah kedua dan ketiga yaitu merencanakan dan melaksanakan penyelesaian, kemampuan siswa beragam dari level 1 hingga level 4. Dari rata-rata juga terlihat bahwa siswa kurang mampu dalam merencanakan dan melaksanakan penyelesaian. Pada kemampuan memeriksa kembali hasil yang diperoleh, tak satupun siswa berada pada level 4 dan sebagian besar siswa berada pada level 0. Kemampuan siswa pada langkah ke-4 ini sangat rendah jika dibandingkan dengan langkah-langkah pemecahan masalah lainnya.
Selain itu, dari tabel 4.1 juga terlihat bahwa terdapat 14 siswa (43,75%) berada pada kategori kemampuan pemecahan masalah kontekstual rendah, sebanyak 14 siswa (43,75%) mempunyai kemampuan pemecahan masalah kontekstual sedang, dan terdapat 4 siswa (12,5%) mempunyai kemampuan pemecahan masalah kontekstual tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah kontekstual matematika siswa kelas VIII D SMP Negeri I Madiun cenderung sedang dan rendah.
Dari masing-masing kelompok kemampuan pemecahan masalah kontekstual siswa, akan dideskripsikan kemampuannya berdasarkan jawaban siswa, yaitu:
kelompok tinggi, siswa dengan kode 10 kelompok sedang, siswa dengan kode 17 kelompok rendah, siswa dengan kode 28
Siswa yang terpilih di atas sudah mewakili dalam mendeskripsikan setiap kemampuan pemecahan masalah kontekstual siswa.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
43
Berikut akan dideskripsikan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah kontekstual matematika:
Kode siswa 10 (kelompok tinggi) 1. Memahami Masalah
Dari pekerjaan siswa, terlihat bahwa siswa sudah mampu memahami masalah dengan baik. Siswa mengetahui dengan tepat informasi yang ada dalam soal dan apa yang ditanyakan dalam soal.
2. Merencanakan Penyelesaian Siswa terlihat sudah mampu menentukan cara yang tepat dan yang perlu dilakukan. Siswa mampu memutuskan strategi yang cocok untuk diterapkan dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan yang diketahui dan yang ditanyakan pada soal. Dengan diberikannya masalah kontekstual dapat membantu memudahkan siswa memahami dan merencanakan penyelesaiannya, meskipun siswa di sini tidak memberikan ilustrasi gambar sama sekali. Strategi yang digunakan juga mengarah pada dua jawaban benar.
3. Melaksanakan Rencana Penyelesaian Siswa terlihat sudah mampu menyelesaikan masalah sesuai dengan strategi penyelesaian dengan menggunakan prosedur yang benar. Proses penghitungan yang dilakukan siswa tiap langkah pada dua jawaban yang diberikan sudah benar.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 44
4. Memeriksa Kembali Hasil yang Diperoleh Siswa terlihat sudah mampu mengembalikan jawaban sesuai dengan permintaan soal namun belum mampu memberikan cara yang berbeda. Cara lain yang digunakan siswa hanya pada operasi penghitungannya saja, bukan pada strategi yang digunakan seperti yang dimaksudkan soal. Sehingga cara lain yang diberikan tetap menggunakan konsep keliling yang sama dengan cara pertama, tetapi dengan proses operasi perhitungan yang berbeda.
Kode siswa 17 (kelompok sedang)
1. Memahami Masalah
Siswa terlihat mampu memahami masalah dengan baik. Siswa mengetahui informasi yang ada dalam soal dan yang ditanyakan soal. Siswa mampu mengidentifikasi data yang diberikan soal dengan baik.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
45
2. Merencanakan Penyelesaian Siswa terlihat mampu menentukan cara yang perlu dilakukan, mampu memutuskan strategi yang cocok untuk diterapkan dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan yang diketahui dan yang ditanyakan. Strategi yang digunakan mengarah pada tiga jawaban. Akan tetapi, hanya satu jawaban yang benar, sedangkan dua lainnya salah dalam prosedur penyelesaiannya. Dengan demikian strategi yang digunakan siswa kurang tepat.
3. Melaksanakan Rencana Penyelesaian Pada jawaban pertama, siswa terlihat sudah mampu menyelesaikan masalah sesuai dengan strategi penyelesaiannya dengan menggunakan prosedur dan proses penghitungan dengan benar. Akan tetapi pada jawaban yang kedua dan ketiga, siswa terlihat kurang mampu dalam menyelesaikan masalah. Ada beberapa langkah siswa yang salah, yaitu dalam mencari keliling trapesium dan segitiga. Sehingga hal ini menyebabkan hasil akhir yang salah.
4. Memeriksa Kembali Hasil yang Diperoleh Siswa terlihat memeriksa kembali jawaban yang diperoleh. Akan tetapi, siswa tidak mampu memberikan cara yang berbeda. Siswa memberikan cara yang berbeda tetapi cara itu membuat sendiri (mengarang rumus sendiri) hanya untuk mendapatkan jawaban yang sama dengan jawaban semula (jawaban ketiga yang salah).
Kode siswa 28 (kelompok rendah)
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 46
1. Memahami Masalah Siswa dapat memahami masalah dengan baik, siswa mengetahui informasi yang ada dalam soal dan yang ditanyakan. Siswa mampu mengidentifikasi data dari soal.
2. Merencanakan Penyelesaian Siswa terlihat tidak dapat menentukan strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Meskipun pada awalnya siswa bisa menentukan bentuk dan ukuran kebun sebanyak 4 kemungkinan namun siswa tidak dapat melanjutkah langkah selanjutnya dengan benar. Strategi siswa hanya mengarah pada satu jawaban tetapi salah dalam penghitungan. Hal ini bisa dilihat pada jawaban siswa berikut.
3. Melaksanakan Rencana Penyelesaian Siswa tidak dapat menyelesaikan masalah dengan baik. Siswa tidak mempunyai strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah meskipun untuk menentukan ukuran kebunnya bisa. Dari jawaban siswa terlihat bahwa siswa hanya mengarah paada satu jawaban tetapi salah dalam mengubah satuan sehingga menyebabkan hasil akhirnya juga salah. Sedangkan 3 kemungkinan lainnya, siswa hanya menentukan ukurannya saja tanpa proses selanjutnya.
4. Memeriksa Kembali Hasil yang Diperoleh. Siswa tidak dapat memberikan cara berbeda yang benar dalam menyelesaikan masalah. Siswa memberikan cara yang berbeda pada urutan pengoperasiannya dengan jawaban yang sama
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
47
persis dengan jawaban sebelumnya (jawaban salah). Siswa juga tidak memeriksa kembali jawaban yang diperolehnya.
Kemampuan pemecahan masalah untuk masing-masing kelompok secara umum dapat diringkas dalam Tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2 Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Kontekstual Matematika
Siswa Kelas VIII D SMP Negeri I Madiun Kelompok Kemampuan Tinggi Sedang Rendah
Memahami masalah
Siswa mampu memahami masalah dengan baik. Siswa mengetahui dengan tepat informasi yang ada dalam soal dan yang ditanyakan dan mampu mengidentifikasi bahwa data yang diberikan cukup untuk menyelesaikan soal. (siswa secara keseluruhan berada pada level 4)
Siswa mampu memahami masalah dengan baik. Siswa mengetahui informasi yang ada dalam soal dan yang ditanyakan dan mampu mengidentifikasi bahwa data yang diberikan cukup untuk menyelesaikan soal (siswa secara keseluruhan berada pada level 4)
Siswa mampu memahami masalah dengan baik. Siswa mengetahui informasi yang ada dalam soal dan yang ditanyakan dan mampu mengidentifikasi bahwa data yang diberikan cukup untuk menyelesaikan soal (siswa secara keseluruhan berada pada level 4)
Merencanakan
penyelesaian
Siswa mampu menentukan strategi yang cocok untuk diterapkan dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan yang diketahui dan yang ditanyakan karena dengan diberikannya
Siswa mampu menentukan strategi yang cocok untuk diterapkan dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan yang diketahui dan yang ditanyakan namun masih terdapat kesalahan dalam
Siswa tidak dapat menentukan strategi yang cocok untuk menyelesaikan masalah, sehingga pada langkah selanjutnya siswa tidak dapat menyelesaiakan masalah dengan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 48
masalah kontekstual dapat membantu memudahkan siswa merencanakan penyelesaiannya.
Strategi yang digunakan mengarah pada dua jawaban benar. (1 siswa berada pada level 3 sedangkan lainnya pada level 4)
perhitungan dan pengubahan satuan.
Strategi yang digunakan mengarah pada dua jawaban benar, tetapi masih terdapat kesalahan penghitungan dan pengubahan satuan (kemampuan siswa beragam pada level 4, 3, dan 2)
benar. Siswa mampu
merencanakan strategi penyelesaian yang mengarah pada beberapa jawabn tetapi salah konsep dalam prosesnya(kemampuan siswa beragam pada level 3, 2, dan 1)
Melaksanakan
rencana penyelesai
an
Siswa mampu menyelesaikan masalah sesuai dengan strategi penyelesaiannya dengan menggunakan prosedur dan proses penghitungan tiap langkah dengan benar pada dua jawaban yang diberikan (semua siswa berada pada level 4)
Siswa mampu menyelesaikan masalah sesuai dengan strategi penyelesaian pada jawaban pertama dengan menggunakan prosedur dan proses penghitungan dengan benar, sedangkan pada jawaban kedua siswa masih melakukan kesalahan karena salah ukuran kebun, salah mengubah satuan maupun dalam menghitung (kemampuan siswa beragam pada level 4, 3, dan 2)
Siswa kurang mampu menyelesaikan masalah sesuai dengan strategi penyelesaian yang benar pada jawaban pertama, sedangkan pada jawaban yang lain (jawaban kedua dan cara berbeda) siswa salah total karena strategi yang dipakai salah (kemampuan siswa beragam pada level 3, 2, dan 1)
Memeriksa kembali
Siswa sudah mampu
Siswa belum menggeneralisasi
Siswa belum menggeneralisasi
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
49
hasil yang diperoleh.
mengembalikan jawaban sesuai dengan permintaan soal (menggeneralisasi hasil)
Siswa belum mampu memberikan cara yang berbeda (cara yang diberikan tetap menggunakan konsep keliling yang sama dengan cara yang pertama). (1 siswa berada pada level 3 sedangkan lainnya pada level 2)
hasil. Siswa tidak dapat
memberikan cara berbeda yang benar dalam menyelesaikan masalah. Siswa bisa memberikan cara yang berbeda namun salah yaitu dengan mengarang rumus dan melupakan konsep awal yang penting sesuai dan sama dengan jawaban yang siswa berikan. (kemampuan siswa berada pada level 2 dan 0)
hasil. Siswa tidak dapat
memberikan cara yang berbeda untuk menemukan jawaban yang tepat karena strategi yang digunakan tidak tepat. (kemampuan siswa berada pada level 1 dan 0)
B. Diskusi Penelitian
Dari hasil analisis data yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat diketahui kemampuan pemecahan masalah kontekstual matematika siswa tiap kelompok pada langkah tertentu tidak konvergen pada 1 level saja. Akan tetapi pada tiap kelompok, kemampuan siswa pada langkah pemecahan masalah tertentu beragam pada level yang berbeda. Hal ini disebabkan, setiap siswa memiliki kemampuan berbeda-beda pada setiap langkah pemecahan masalah. Sehingga siswa pada kelompok rendah bisa berada pada level yang lebih tinggi dari siswa kelompok sedang pada langkah pemecahan masalah tertentu. Begitu juga siswa pada kelompok sedang bisa berada pada level yang lebih tinggi dari siswa kelompok tinggi pada langkah pemecahan masalah tertentu.
Kemampuan siswa kelas VII D SMP Negeri 1 Madiun masih tergolong rendah dan sedang. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 50
1. Siswa kurang terbiasa dihadapkan pada masalah non rutin dan open-ended (banyak cara dan banyak jawaban) yang salah satu bentuknya berupa masalah kontekstual. Hal ini sejalan dengan pernyataan Davis (dalam Siswono, 2007) bahwa guru di sekolah mengajarkan matematika secara hafalan dengan menggunakan masalah rutin.
2. Adanya pandangan siswa bahwa mencari jawaban benar adalah satu-satunya tujuan yang ingin dicapai tanpa harus mengerti apa yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan hasil tes tulis melakukan cara apapun untuk mendapatkan jawaban yang benar meskipun salah konsep.
Siswa tidak memeriksa kembali hasil yang diperoleh dan tidak mengembalikan jawaban pada permasalahan (sesuai permintaan soal). E. SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data pada bab VI baik dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa kelas VIIIA SMP Negeri I Madiun dalam memecahkan masalah kontekstual cenderung rendah dan sedang masing-masing sebesar 43,75% siswa. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah kontekstual pada masing-masing kelompok adalah sebagai berikut.
a. Memahami Masalah Pada langkah ini siswa pada kelompok tinggi, sedang maupun rendah berada pada level 4. Ini menunjukkan bahwa siswa sudah dapat memahami masalah dengan baik, mengetahui dengan tepat informasi yang ada dalam soal dan yang ditanyakan.
b. Merencanakan Penyelesaian Pada kelompok tinggi siswa berada pada level 4 dan 1 siswa pada level 3. Secara umum siswa mampu menentukan strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Strategi yang digunakan mengarah pada dua jawaban benar. Pada kelompok sedang, kemampuan siswa beragam pada level 4, 3 dan 2. Pada kelompok ini siswa secara umum mampu memutuskan strategi yang tepat sekaligus
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
51
strategi yang kurang tepat (dalam pemberian cara berbeda) untuk menyelesaikan masalah. Strategi yang digunakan mengarah pada satu jawaban benar dan jawaban lain yang salah hitung. Pada kelompok rendah, siswa beragam pada level 3, 2, dan 1. Secara umum siswa pada kelompok ini tidak dapat menentukan strategi yang tepat dalam menyelesaikan masalah. Strategi yang digunakan mengarah pada beberapa kemungkianan jawaban akan tetapi salah konsep dalam prosesnya (langkah-langkah pengerjaannya).
c. Melaksanakan Rencana Penyelesaian Pada kelompok tinggi, semua siswa berada pada level 4. Secara umum siswa mampu menyelesaikan masalah sesuai dengan strategi penyelesaian dengan menggunakan prosedur dan proses penghitungan tiap langkah dengan benar pada dua jawaban yang diberikan. Pada kelompok sedang, siswa berada pada level 4, 3, dan beberapa pada level 2. Secara umum siswa mampu menyelesaikan masalah sesuai dengan strategi penyelesaian pada jawaban pertama dengan menggunakan prosedur dan proses penghitungan dengan benar, sedangkan pada jawaban kedua (kemungkinan jawaban yang lain) siswa masih melakukan kesalahan karena salah ukuran kebun, salah mengubah satuan maupun salah dalam menghitung. Pada kelompok rendah kemampuan siswa beragam pada level 3, 2, dan 1. Secara umum siswa tidak mampu menyelesaikan masalah sesuai dengan strategi penyelesaian yang benar pada jawaban pertama. Begitu juga pada jawaban yang lain (jawaban kedua dan cara berbeda) siswa salah total karena strategi yang dipakai salah.
d. Memeriksa Kembali Hasil yang Diperoleh Siswa pada kelompok tinggi, sedang maupun rendah belum mampu memberikan cara penyelesaian yang berbeda sehingga tak satupun siswa berada pada level 4. Pada kelompok tinggi hanya 1 siswa yang berada pada level 3 sedangkan yang lainnya pada level 2. Pada kelompok ini siswa mampu menggeneralisasi hasil. Pada kelompok sedang kemampuan siswa berada pada level 2 dan 0. Pada kelompok ini sebagian siswa sudah mampu menggeneralisasi hasil yang diperoleh untuk satu jawaban saja. Sedangkan pada kelompok rendah, hanya 2 siswa yang berada pada level 1
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 52
sedangkan lainnya berada pada level 0. Pada kelompok ini, siswa belum mampu menggeneralisasi hasil yang diperoleh.
2. Saran
Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan, disarankan: 1. Perlu persamaan persepsi tentang pembelajaran terpadu,
pembelajaran tematik, IPA terpadu, IPS terpadu dan sebagainya. 2. Bimbingan pengawas satuan pendidikan/pakar bidang studi yang
sesuai, sehingga bermanfaat dan bermakna bagi guru serta dilakukan secara rutin sesuai dengan kebutuhannya.
3. Pemahaman konsep perlu ditingkatkan, diperlukan pula beberapa model pembelajaran inovatif dan pendekatan sesuai dengan situasi/lingkungan serta kondisi setempat.
DAFTAR PUSTAKA Budi R, Endah. 2005. Penilaian Berbasis Kelas dalam Pembelajaran
Matematika (Modul 8). Depdiknas: Universitas Terbuka. Booker, Goerge dkk. 1992. Problem-Solving. Melbourne: The
University of Melbourne Faculty of Education, Department of Science and Mathematics Education.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Hossain, Emam. 2004. What Are Mathematical Problem. Agugusta
State University. Hudojo, Herman. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran
Matematika. Malang: Malang University Press. Illingworth, Mark. 2000. Real Life Math Problem Solving. New York:
Professional Books.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
53
Johnson dan Johnson. 2002. Meaningfull Assesment a manageable
and cooperative process. Allyn & Bacon: Boston. Krulik, Stephen dan Jesse A Rudnick. 1995. A New Sourcebook for
Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Massachussets: A Simon & Schuster Company.
Moleong, Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. Polya, G. 1973. How to Solve It, A New Aspect of Mathematical
Method. New Jersey: Princeton University Press. Siswono, Tatag Yuli Eko. 2007. Penjenjangan Kemampuan Berpikir
Kreatif dan Identifikasi Tahap Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika. Disertasi tidak dipublikasikan. Surabaya: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Surabaya
Soedjadi, R. 2007. Masalah Kontekstual Sebagai Batu Sendi
Matematika Sekolah Edisi Ketiga. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah UNESA.
The assesment addenda task force. 2000. Mathemathics Cases and
Discussion Question. Reston: The Concuil National of Teachers of Mathematics.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 54
MENGOPTIMALKAN KEGIATAN PRAKTIKUM DENGAN PERMAINAN KARTU UNTUK MENINGKATKAN HASIL
BELAJAR SISWA
Oleh: ALFIA HAYATI PERWITASARI
ANI SULISTYARSI Program Studi Pendidikan Biologi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar Biologi siswa dengan mengoptimalkan kegiatan praktikum melalui permainan kartu. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII A SMP Negeri 4 Kota Madiun Tahun Pelajaran 2009/2010.Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan data prestasi siswa sebelum dilakukan penelitian adalah 27,3% siswa tuntas belajar, setelah diadakan penelitian prestasi belajar siswa meningkat menjadi 48,48% pada siklus I dan 93,9% pada siklus II. Prosentase aspek psikomotor siswa sebelum dilakukan penelitian sebesar 27,3%, setelah dilakukan penelitian meningkat menjadi 69,70% pada siklus I dan mencapai 96,2% pada siklus II. Aspek afektif siswa pada siklus I sebesar 63,6% dan pada siklus II mencapai 94%. Aktivitas guru mengajar pada siklus I sebesar 82,14% dan mengalami peningkatan pada siklus II mencapai 92,86%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mengoptimalkan kegiatan praktikum dengan permainan kartu di kelas VIII A SMP Negeri 4 Kota Madiun dapat meningkatkan (a) prestasi belajar, (b) aspek psikomotor siswa, (c) aspek afektif siswa dan (d) aktivitas mengajar guru. Kata Kunci :Kegiatan Praktikum, Permainan Kartu, Hasil Belajar PENDAHULUAN
Hasil pengamatan yang dilakukan pada kegiatan belajar mengajar yang ada di kelas VIII A SMP Negeri 4 Kota Madiun untuk mata pelajaran Biologi sudah menggunakan metode praktikum untuk meningkatkan keaktifan siswa. Kegiatan praktikum dilaksanakan secara berkelompok, tiap kelompok beranggotakan 5-6 orang. Kegiatan praktikum yang dilakukan secara berkelompok sangat
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
55
bermanfaat baik bagi guru maupun siswa, tetapi kegiatan praktikum secara berkelompok juga mempunyai kelemahan yaitu hanya sebanyak 27,3% siswa yang pada saat kegiatan praktikum berlangsung benar-benar melakukan pengamatan terhadap hal yang dipraktikumkan, artinya hanya ada 9 anak dari 33 siswa yang bekerja secara aktif pada saat kegiatan praktikum sehingga tujuan pembelajaran kurang tercapai. Sedangkan ketika diadakan ulangan harian nilai rata-rata kelas yang dicapai hanya 52,5 di bawah standar ketuntasan belajar mengajar (SKBM) yang ditetapkan oleh sekolah yaitu nilai 70. Supaya kegiatan praktikum dapat berlangsung secara optimal dapat ditambahkan metode lain setelah kegiatan praktikum agar siswa tidak bosan sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Salah satu metode yang dapat digunakan setelah kegiatan praktikum adalah permainan mencari pasangan menggunakan kartu. Melalui permainan mencari pasangan menggunakan kartu siswa akan lebih bersemangat. Peningkatan semangat belajar siswa karena penggunaan permainan dalam kegiatan belajar diharapkan akan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa juga TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII A SMP Negeri 4 Kota Madiun dengan mengoptimalkan kegiatan praktikum melalui permainan kartu. TINJAUAN PUSTAKA 1. Praktikum dalam Pembelajaran
Salah satu metode pembelajaran yang sering digunakan utamanya pada mata pelajaran SAINS adalah metode praktikum (eksperimen). Metode praktikum (eksperimen) terbukti mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap suatu materi pelajaran, selain itu praktikum juga dapat meningkatkan aktivitas dan ketrampilan siswa. Peningkatan ketrampilan siswa dapat dilihat dari perubahan tingkah laku siswa dalam menggunakan alat dan bahan yang digunakan untuk praktikum. Kegiatan praktikum biasanya dilakukan setelah ada penjelasan dari guru. Hal ini seperti diungkapkan oleh Martinis Yamin (2007) yang menyatakan bahwa
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 56
metode praktikum dapat dilakukan siswa setelah guru memberi arahan, aba-aba petunjuk untuk melaksanakan. Kegiatan ini berbentuk praktik dengan mempergunakan alat-alat tertentu, dalam hal ini guru melatih ketrampilan siswa dalam penggunaan alat-alat yang telah diberikan kepadanya serta hasil yang dicapai mereka.
Belajar praktik merupakan belajar ketrampilan yang memerlukan gerak motorik, yang pelaksanaan pembelajaran dilakukan di bengkel praktik (dalam hal ini laboratorium biologi) dengan kerja observasi. (Hamzah B.Uno, 2007). Praktikum merupakan suatu cara pembelajaran siswa melakukan percobaan tentang sesuatu, mengamati proses, menuliskan hasil percobaan dan kemudian mempresentasikan hasilnya di depan kelas. Setiap kegiatan pembelajaran pastilah mempunyai kelebihan dan kekurangan demikian juga praktikum. Mulyati Arifin, dkk. (2005) menyatakan bahwa kegiatan praktikum mempunyai kelebihan yaitu : a. Dapat memberikan gambaran yang konkret tentang suatu
peristiwa b. Siswa dapat mengamati proses dan memperoleh pengetahuan
episode c. Siswa dapat mengembangkan ketrampilan inkuiri d. Siswa dapat mengembangkan sikap ilmiah e. Membantu guru untuk mencapai tujuan pembelajaran lebih
efektif dan efisien. Sedangkan menurut Winarno Surakhmad (2003) kegiatan praktikum mempunyai kelemahan, yaitu : a. Tidak cukupnya alat-alat mengakibatkan tidak setiap anak
didik mendapat kesempatan untuk mengadakan praktikum. b. Jika eksperimen memerlukan jangka waktu yang lama, siswa
harus menanti untuk dapat melanjutkan pelajaran. c. Kurangnya persiapan dan pengalaman anak didik akan
menimbulkan kesulitan di dalam melakukan praktikum. 2. Permainan dalam Pembelajaran
a. Bermain Permainan, bermain, games (Bahasa Inggris) berasal
dari kata dasar main yang mengandung makna melakukan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
57
perbuatan untuk tujuan bersenang-senang (dengan alat tertentu atau tidak); berbuat sesuatu dengan sesuka hati, berbuat asal saja. Pada dunia psikologi kegiatan bermain dipandang sebagai suatu kegiatan (atau lebih luasnya aktivitas) yang mengandung keasyikan (fun) dan dilakukan atas kehendak diri sendiri, bebas tanpa paksaan dengan tujuan memperoleh kesenangan pada waktu mengadakan kegiatan tersebut (Dani Wardani, 2005). Baik anak-anak maupun orang dewasa sangat menyukai permainan. Suatu permainan dapat menghilangkan kejenuhan dan tekanan akibat rutinitas sehari-hari. Pada prinsipnya suatu permainan dilakukan oleh setiap orang terutama kalangan anak-anak karena merupakan hasil dari dorongan alamiah (spontanitas) belaka (Dani Wardani, 2009).
Pada anak permainan mempunyai fungsi pendidikan dan perkembangan karena memampukan anak untuk menerima keterbatasan di dunia nyata serta melanjutkan perkembangan ego dan pemahaman atas realitas (Neville Bennett, dkk., 2005). Menurut Catherine Garvey (dalam Mansur, 2005) terdapat beberapa kriteria yang digunakan oleh pengamat dalam mendefinisikan permainan, yaitu : 1) Permainan merupakan sesuatu yang menggembirakan dan
menyenangkan 2) Permainan tidak mempunyai tujuan ekstrinsik, motivasi
anak subyektif dan tidak mempunyai tujuan praktis. 3) Permainan merupakan hal yang spontan dan sukarela,
dipilih secara bebas oleh pemain. 4) Permainan mencakup keterlibatan aktif dari pemain.
Bermain mempunyai banyak manfaat bagi anak-anak antara lain: 1) Bermain dapat membantu perkembangan kecerdasan 2) Bermain dapat membantu anak dalam menyesuaikan diri
dalam kelompok 3) Bermain merupakan cara atau jalan bagi anak untuk
mengungkapkan hasil pemikiran, perasaan serta cara mereka menjelajahi dunia lingkungan.
4) Bermain membantu anak dalam menjalin hubungan sosial.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 58
Pada kegiatan pembelajaran metode bermain digunakan untuk mencapai tujuan belajar dengan efektif dan efisien karena siswa menjadi termotivasi dan bersemangat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. 3. Implementasi Permainan Pada Pembelajaran
Selama ini orang tua menganggap bahwa bermain merupakan sesuatu yang percuma, hanya mensia-siakan waktu saja. Para orang tua lebih suka menyuruh anak-anak mereka untuk mengerjakan PR atau mengikuti les tambahan guna meningkatkan kemampuan anak mereka. Padahal menurut penelitian dari beberapa ahli permainan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan anak tidak hanya pada segi kognitif, tetapi juga kemampuan motorik dan sosial anak dapat dilatih lewat bermain. Seperti diungkapkan oleh Neville Bennet (2005) bahwa permainan mempunyai fungsi pendidikan dan perkembangan karena memampukan anak untuk mengendalikan perilaku mereka dan menerima keterbatasan di dunia nyata, serta melanjutkan perkembangan ego dan pemahaman atas realitas. Saat ini banyak sekolah yang telah memasukkan metode permainan di dalam kurikulum mereka, walaupun tidak semua mata pelajaran disampaikan melalui permainan. Keunggulan menggunakan metode bermain dalam suatu pelajaran di sekolah, selain bisa mencairkan kesan yang masih melingkari institusi pendidikan sebagai wahana belajar yang paling tidak diinginkan anak-anak, tetapi juga dapat membantu secara lancar dan mudah memahami pelajaran yang susah sekalipun (Dani Wardani, 2009). Permainan (games) digunakan untuk menyampaikan informasi kepada para peserta didik dengan menggunakan simbol-simbol atau alat-alat komunikasi lainnya. Informasi itu disampaikan dengan singkatan kata-kata (H.D Sudjana, 2001). Suatu permainan yang disajikan dengan baik akan menarik perhatian siswa, sehingga kegiatan pembelajaran akan sangat menyenangkan bagi siswa.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
59
Memang suatu pembelajaran tidak selalu membutuhkan permainan dan permainan sendiri tidak selalu mempercepat suatu pembelajaran, tetapi permainan yang dimanfaatkan dengan bijaksana dapat menambah variasi, semangat dan minat pada sebagian program belajar. (Sarno, 2008) Berikut ini adalah keunggulan dan kelemahan dari teknik permainan yang diterapkan pada proses pembelajaran
Tabel 1 Keunggulan dan Kelemahan Teknik Permainan dalam
Pembelajaran Keunggulan Kelemahan Permainan menumbuhkan kegembiraan dan tidak melelahkan dalam belajar
Permainan belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat karena cara dan peraturan dianggap mirip dengan judi
Kompetisi dan ingin menang dirasakan oleh para peserta
Kemungkinan timbul perasaan untuk mengalahkan yang lain dan bukan untuk bekerja sama
Dapat menggunakan alat-alat yang mudah didapat di daerah setempat, murah dan gampang digunakan
Membutuhkan ketrampilan dalam mencari dan mengembangkan alat-alat yang sesuai dengan kondisi daerah
Ganjaran bagi pemenang dirasakan secara langsung
Dorongan dirasakan hanya untuk dapat ganjaran bukan untuk belajar
Penilaian bersama oleh pengamat dan pemain
Kadang-kadang melebihi waktu yang telah ditentukan
(Sumber : H.D. Sudjana, 2001) 4. Metode Permainan Kartu untuk Mengoptimalkan Kegiatan
Praktikum Metode permainan dengan menggunakan kartu merupakan salah
satu metode pembelajaran kooperatif yang dapat mengasah kognitif anak. Permainan kartu dapat menjadi alternatif guru dalam menyampaikan materi pembelajaran dan mengajak anak untuk
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 60
lebih bersosialisasi dengan teman-temannya dibandingkan dengan permainan yang menggunakan alat-alat elektronika. Beberapa hal yang dapat dipelajari anak melalui permainan kartu menurut Sarno (2008) antara lain : a. Mengenal konsep b. Mengasah kemampuan bersosialisasi c. Belajar untuk mengikuti aturan main yang telah ditetapkan d. Melatih anak untuk bersikap sportif e. Dapat mengasah kemampuan kognitif siswa.
Cara memanfaatkan permainan kartu dalam pembelajaran : a. Guru mengocok kartu yang berisi pertanyaan dan jawaban
kemudian membagikannya kepada seluruh siswa. b. Masing-masing siswa menerima satu kartu yang berisi soal
atau jawaban c. Setelah menerima kartu siswa kemudian mencari temannya
yang membawa kartu yang berisi jawaban atau pertanyaan yang sesuai dengan kartu yang dibawanya.
d. Siswa yang menemukan kartu pasangannya terlebih dulu akan mendapatkan poin.
Suatu permainan yang dilakukan saat kegiatan belajar mengajar berlangsung dapat menghilangkan kejenuhan siswa dan dapat mengembalikan semangat belajar siswa yang menurun karena jenuh. Selain itu, metode permainan dapat digunakan untuk meningkatkan daya serap siswa terhadap materi pelajaran karena siswa belajar tanpa menyadarinya. Belajar dilakukan sambil bermain sehingga siswa tidak merasa tertekan.
SUBJEK PENELITIAN Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII A SMP Negeri 4 Kota Madiun tahun pelajaran 2009/2010 yang berjumlah 33 siswa.
SUMBER DATA Sumber data dalam penelitian ini adalah semua siswa, yaitu :
1. Data kognitif, berupa data prestasi yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dengan menggunkan tes.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
61
2. Data psikomotor, berupa data ketrampilan siswa yang digunakan untuk mengukur aktivitas praktikum siswa dengan menggunakan lembar observasi.
3. Data afektif, berupa data keaktifan siswa untuk mengukur sikap siswa dalam pembelajaran dengan cara observasi dengan menggunakan cheklish.
4. Data aktivitas guru, berupa data kegiatan guru yang digunakan untuk mengukur ketrampilan guru dalam mengajar
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Prestasi Belajar
Berdasarkan hasil observasi prestasi belajar siswa kelas VIII A sangat rendah. Hal ini terbukti bahwa hanya 9 siswa (27,3%) yang mampu menjawab soal tes dengan tepat. Setelah dilakukan tindakan kelas dengan menggunakan permainan mencari pasangan menggunakan kartu untuk mengoptimalkan kegiatan praktikum terjadi peningkatan yaitu pada siklus I menjadi 48,48% dan meningkat lagi secara signifikan pada siklus II yaitu sebesar 93,9%. Prestasi belajar siswa antara siklus I dan siklus II mengalami kenaikan yang sangat signifikan yaitu sebesar 45,42%. Peningkatan prestasi belajar siswa dapat dilihat pada tabel 2 :
Tabel 2. Data prestasi belajar siswa siklus I dan siklus II
Hasil Siklus I Siklus II
Data yang diperoleh
Frek. % Frek. %
Peningkatan
Jumlah siswa yang tuntas belajar (≥70)
16 48,48% 31 93,9% 45,42%
Indikator ketercapaian ketuntasan belajar klasikal 80%
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 62
Berdasarkan tabel 2 di atas dapat dibuat histogram prestasi belajar siswa seperti pada gambar 1 di bawah ini :
48,48 93,9
020406080
100
I II
Perse
ntase
(
%)
Siklus Ke-
Siklus ISiklus II
Gambar 1. Histogram prestasi belajar siswa
Berdasarkan histogram di atas prestasi belajar siswa mengalami kenaikan yang signifikan. Kenaikan prestasi belajar siswa dikarenakan siswa belajar secara langsung tentang materi pembelajaran yaitu dengan cara melakukan praktikum. Kegiatan praktikum mempunyai banyak kelebihan diantaranya adalah siswa akan lebih mengerti tentang suatu peristiwa secara nyata, siswa dapat mengamati langsung proses-proses yang terjadi di alam. Kelebihan kegiatan praktikum diungkapkan oleh Mulyati Arifn, dkk. (2005) yaitu : a. Dapat memberikan gambaran yang konkret tentang suatu
peristiwa b. Siswa dapat mengamati proses dan memperoleh pengetahuan
episode c. Siswa dapat mengembangkan ketrampilan inkuiri d. Siswa dapat mengembangkan sikap ilmiah e. Membantu guru untuk mencapai tujuan pembelajaran lebih
efektif dan efisien. Selain itu sebelum kegiatan praktikum, diadakan permainan
mencari pasangan yang menyangkut materi pelajaran yang akan disampaikan dan dipraktikumkan sehingga mengharuskan siswa untuk belajar terlebih dahulu. Pada permainan mencari pasangan yang dilakukan siswa dituntut untuk saling berkomunikasi dengan temannya dan berusaha mencari jawaban dari kartu yang dipegangnya. Siswa diharuskan untuk dapat mencari dan menyerahkan kartu pasangannya untuk dicocokkan dengan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
63
jawaban guru barulah dia mendapatkan kelompok dan dapat mengikuti praktikum.
Kegiatan permainan mencari pasangan menggunakan kartu membuat siswa lebih aktif untuk mencari dan mempersiapkan segala sesuatu tentang kegiatan praktikum yang akan dilaksanakan. Selain itu, kegiatan permainan ini menghilangkan kejenuhan yang terjadi selama kegiatan belajar berlangsung. Hal ini seperti diungkapkan oleh Dani Wardani (2009) bahwa suatu permainan dapat menghilangkan kejenuhan dan tekanan akibat rutinitas sehari-hari.
Melalui permainan kartu suasana belajar akan terasa lebih menyenangkan dan menggembirakan seperti diungkapkan oleh Catherine Garvey (dalam Mansur, 2005) yang mendefinisikan permainan sebagai berikut : a. Permainan merupakan sesuatu yang menggembirakan dan
menyenangkan b. Permainan tidak mempunyai tujuan ekstrinsik, motivasi anak
subyektif dan tidak mempunyai tujuan praktis. c. Permainan merupakan hal yang spontan dan sukarela, dipilih
secara bebas oleh pemain. d. Permainan mencakup keterlibatan aktif dari pemain. Selain itu, permainan kartu yang dilaksanakan sebelum kegiatan praktikum berlangsung juga dapat meningkatkan prestasi siswa karena siswa akan berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai tambahan apabila berhasil menemukan pasangan kartunya terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Neville Bennet, dkk.(2005) yang menyatakan bahwa pada anak permainan mempunyai fungsi pendidikan dan perkembangan karena memampukan anak untuk menerima keterbatasan di dunia nyata serta melanjutkan perkembangan ego dan pemahaman atas realitas. .
2. Psikomotor Siswa Psikomotor siswa sebelum dilakukan tindakan kelas masih
rendah, setelah dilakukan tindakan kelas terjadi peningktan pada aspek psikomotor siswa yaitu pada siklus I sebesar 69,70% dan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 64
pada siklus II mengalami peningkatan sebesar 27,2% menjadi 96,9%. Peningkatan aspek psikomotor siswa dapat dilihat pada tabel 3 Tabel 3. Data psikomotor siswa siklus I dan siklus II
Hasil Siklus I Siklus II
Data yang diperoleh
Frek. % Frek. %
Peningkatan
Siswa kategori aktif dan sangat aktif
23 69,70 32 96,9 27,2%
Indikator ketercapaian aspek psikomotor siswa secara klasikal jika 75% siswa dari jumlah keseluruhan siswa berpredikat aktif dan sangat aktif
Berdasarkan tabel 3 di atas dapat dibuat histogram seperti gambar 4 di bawah ini :
69,7
96,9
020406080
100120
I II
Pers
enta
se (%
)
Siklus Ke-
Siklus I
Gambar 2. Histogram aspek psikomotor siswa
Berdasarkan histogram di atas dapat diketahui bahwa aspek psikomotor siswa mengalami peningkatan yang signifikan. Peningkatan psikomotor siswa dikarenakan siswa melakukan kegiatan praktikum secara langsung dalam upaya untuk memahami materi yang sedang dipelajari. melalui kegiatan praktikum siswa dituntut untuk mengetahui cara melakukan sesuatu secara urut dan benar. Selain itu, kegiatan praktikum juga membuat siswa lebih bersemangat karena berhasil menemukan sesuatu yang baru dengan kemampuan mereka sendiri. Suasana yang berbeda di dalam laboratorium membantu untuk
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
65
meningkatkan semangat siswa dalam belajar karena di dalam laboratorium siswa tidak hanya duduk dan mengerjakan soal tetapi juga harus melakukan kegiatan praktikum untuk membuktikan teori yang diterimanya. ` Kegiatan praktikum mempunyai banyak kelebihan diantaranya adalah siswa akan lebih mengerti tentang suatu peristiwa secara nyata, siswa dapat mengamati langsung proses-proses yang terjadi di alam. Kelebihan kegiatan praktikum diungkapkan oleh Mulyati Arifn, dkk. (2005) yaitu : a. Dapat memberikan gambaran yang konkret tentang suatu
peristiwa b. Siswa dapat mengamati proses dan memperoleh pengetahuan
episode c. Siswa dapat mengembangkan ketrampilan inkuiri d. Siswa dapat mengembangkan sikap ilmiah e. Membantu guru untuk mencapai tujuan pembelajaran lebih
efektif dan efisien.
3. Afektif Siswa Aspek afektif siswa terhadap mata pelajaran biologi sebelum
dilaksanakan tindakan kelas masih rendah terutama pada saat kegiatan praktikum dan diskusi kelompok berlangsung. Rendahnya aspek afektif siswa kelas VIII A dapat dilihat dari 33 siswa hanya 9 siswa (27,3%) yang bersungguh-sungguh melakukan kegiatan praktikum dan mau bekerja sama berdiskusi dengan teman satu kelompoknya sedangkan sisanya hanya mengobrol sendiri. Setelah dilaksanakan tindakan kelas untuk mengoptimalkan kegiatan praktikum menggunakan permainan kartu aspek afektif siswa kelas VIII A mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada siklus I dimana aspek afektif siswa kelas VIII A mencapai 63,6% dan meningkat pada siklus II menjadi 94%. Peningkatan aspek afektif sebesar 30,4%.
Peningkatan aktiitas siswa dapat dilihat pada tabel 4 :
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 66
Tabel 4. Data aktivitas siswa siklus I dan siklus II Hasil Siklus I Siklus II
Data yang diperoleh
Frek. % Frek. %
Pening katan
Siswa kategori baik dan sangat baik
23 63,6 29 94 30,4%
Indikator ketercapaian akt siswa secara klasikal jika 75% dari jumlah keseluruhan siswa berpredikat baik dan sangat baik
Berdasarkan tabel 4 di atas, maka dapat dibuat histogram
afektif siswa pada siklus I dan siklus II seperti pada gambar 3 berikut ini :
63,6
94
0
20
40
60
80
100
I II
Pers
enta
se (%
)
Siklus Ke-
Siklus ISiklus II
Gambar 3. Histogram aspek afektif siswa
Berdasarkan histogram gambar 3 di atas dapat diketahui terjadi peningkatan pada aspek afektif siswa yang sangat signifikan pada siklus II. Peningkatan aspek afektif siswa dikarenakan adanya suatu pengelompokan siswa secara acak. Pada model pembelajaran cooperative learning siswa dikelompokkan secara acak sehingga kelompok yang terbentuk sangat heterogen. Kegiatan praktikum yang dilakukan secara berkelompok membantu siswa yang kurang pandai untuk lebih memahami materi yang disampaikan sedangkan siswa yang lebih pandai dituntut untuk mengajari temannya yang kurang pandai karena tiap kelompok yang telah dibentuk diharuskan untuk mencapai ketuntasan belajar yang telah
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
67
disepakati bersama untuk tiap-tiap anggotanya. Siswa diharuskan untuk bekerja sama dengan anggota kelompoknya untuk melakukan kegiatan praktikum maupun pada saat diskusi menuliskan laporan hasil praktikum. Pembelajaran kooperatif mempunyai banyak pengaruh positif terhadap siswa. Pengaruh positif ini diungkapkan oleh Richard I. Arends (2007) yang menyatakan bahwa efek yang dicapai pelajar melalui model pembelajaran cooperative learning ada 3 yaitu : a. Efek pada perilaku, siswa lebih mampu bekerja sama dengan
teman-temannya yang berbeda. b. Efek pada toleransi terhadap keanekaragaman, yaitu siswa dapat
lebih bertoleransi dan menerima teman yang mempunyai kebutuhan khusus dan mendukung terciptanya hubungan yang lebih baik di antara siswa dengan ras dan etnis yang beraneka ragam.
c. Efek pada prestasi, prestasi siswa lebih meningkat karena siswa yang kurang mampu belajar dapat bekerja berdampingan dengan siswa yang mempunyai kemampuan lebih yang berperan sebagai tutor untuk teman yang kurang mampu belajar.
Kegiatan praktikum yang dilakukan secara berkelompok membantu siswa yang mempunyai prestasi belajar yang lebih rendah untuk dapat meningkatkan prestasinya karena berada dalam kelompok yang membantunya belajar sehingga terjadi keberhasilan kelompok dalam melaksanakan praktikum. Hal ini seperti diungkapkan oleh Slavin (dalam Mohammad Nur, 2008) bahwa dalam pembelajaran kooperatif dapat memotivasi seluruh siswa memanfaatkan seluruh energi sosial siswa, saling mengambil tanggung jawab.
Peningkatan aktivitas siswa dikarenakan adanya suatu kegiatan yang menantang siswa yaitu kegiatan praktikum. Selain kegiatan praktikum, kegiatan permainan yang dilaksanakan sebelum praktikum juga meningkatkan aktivitas siswa secara spontan. Kegiatan permainan mencari pasangan menggunakan kartu membuat siswa lebih aktif untuk mencari dan mempersiapkan segala sesuatu tentang kegiatan praktikum yang akan dilaksanakan. Kegiatan permainan ini menghilangkan kejenuhan yang terjadi
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 68
selama kegiatan belajar berlangsung. Hal ini seperti diungkapkan oleh Dani Wardani (2009) bahwa suatu permainan dapat menghilangkan kejenuhan dan tekanan akibat rutinitas sehari-hari.
Melalui permainan kartu suasana belajar akan terasa lebih menyenangkan dan menggembirakan seperti diungkapkan oleh Catherine Garvey (dalam Mansur, 2005) yang mendefinisikan permainan sebagai berikut : a. Permainan merupakan sesuatu yang menggembirakan dan
menyenangkan b. Permainan tidak mempunyai tujuan ekstrinsik, motivasi anak
subyektif dan tidak mempunyai tujuan praktis. c. Permainan merupakan hal yang spontan dan sukarela, dipilih
secara bebas oleh pemain. d. Permainan mencakup keterlibatan aktif dari pemain. Selain itu, permainan kartu yang dilaksanakan sebelum kegiatan praktikum berlangsung juga dapat meningkatkan prestasi siswa karena siswa akan berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai tambahan apabila berhasil menemukan pasangan kartunya terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Neville Bennet, dkk.(2005) yang menyatakan bahwa pada anak permainan mempunyai fungsi pendidikan dan perkembangan karena memampukan anak untuk menerima keterbatasan di dunia nyata serta melanjutkan perkembangan ego dan pemahaman atas realitas.
4. Aktivitas Guru Aktivitas guru juga lebih padat sebagai motivator dan fasilitator saat tindakan kelas dilakukan. Guru lebih berperan aktif untuk merangsang siswa agar lebih bersemangat dalam membimbing siswa pada saat kegiatan praktikum dan juga pada saat kegiatan mencari pasangan menggunakan kartu dengan memberikan petunjuk kepada siswa sehingga siswa dapat menemukan kartu pasangannya. Aktivitas guru dalam proses pembelajaran mengalami peningkatan pada tiap pertemuan karena guru mulai memahami metode yang digunakan. Peningkatan aktivitas guru pada tiap siklus dapat dilihat pada tabel 5 :
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
69
Tabel 5. Data aktivitas guru dalam mengajar siklus I dan siklus II Data yang diperoleh Siklus I Siklus II Peningkatan Jumlah skor yang diperoleh 23 26 3 Jumlah skor maksimal 28 28 Prosentase nilai (%) 82,14% 92,86% 10,72% Indikator ketercapaian aktivitas mengajar guru yang ditentukan, jika aktivitas guru mencapai 81% atau sangat baik
Berdasarkan tabel 5 di atas dapat dibuat hisogram aktivitas
mengajar guru pada siklus I dan siklus II sebagai berikut :
82,4
92,86
75
80
85
90
95
I II
Pros
enta
se (%
)
Siklus Ke-
Siklus ISiklus II
Gambar 4. Histogram aktivitas guru
Pada siklus I dan siklus II histogram di atas dapat diketahui
bahwa terjadi peningkatan aktivitas guru dalam proses pembelajaran. Pada siklus I aktivitas guru masih rendah. Hal ini dikarenakan guru belum memahami benar langkah-langkah dalam menggunakan metode yang dilakukan. Pada siklus berikutnya terjadi peningkatan aktivitas guru karena guru telah memahami metode yang digunakan dalam menyampaikan materi sehingga lebih mudah menerapkannya kepada siswa. Guru merupakan fasilitator dan motivator dalam kegiatan belajar mengajar sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Penerapan metode yang telah berjalan lancar juga memudahkan siswa untuk mengikuti semua arahan dari guru sehingga terjadi peningkatan aktivitas guru dalam mengarahkan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 70
siswa serta peningkatan aktivitas siswa dalam melakukan arahan guru.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas ini, dapat disimpulkan bahwa penerapan permainan kartu dapat mengoptimalkan kegiatan praktikum sehingga dapat meningkatkan hsil belajar, aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran. Saran Saran yang perlu disampaikan terkait dengan penerapan permainan kartu untuk mengoptimalkan kegiatan praktikum adalah : 1. Guru diharapkan dapat memotivasi siswa dengan permainan kartu
sehingga siswa lebih tertarik untuk melaksanakan kegiatan praktikum.
2. Pelaksanaan kegiatan praktikum lebih optimal jika dilakukan secara berkelompok dengan jumlah anggota yang tidak terlalu besar.
3. Pembelajaran secara berkelompok sebaiknya terus dikembangkan karena siswa dapat saling bekerja sama untuk meningkatkan hasil belajarnya.
DAFTAR PUSTAKA Arends, Richard I. 2008. Belajar Untuk Mengajar. Terjemahan Drs.
Helly Prajitno & Dra. Sri Mulyani Soetjipto. Learning To Teach Edisi Ke-7. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Baharudin, Drs.H.Esa Nur Wahyuni,M.Pd. 2007. Teori Belajar dan
Pembelajaran. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Bennet, Neville, Liz Wood dan Sue Rogers. 2005. Mengajar Lewat
Permainan. Terjemahan. Frans Kowa. Teaching Through Play
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
71
Teacher’s Thingking And Classroom Practice. Jakarta : Grasindo.
Dani Wardani. 2009. Bermain Sambil Belajar Menggali Keunggulan
Rahasia Terbesar Dari Suatu Permainan. Bandung : Edukasia.
Etin Solihatin,Drs.,Hj.,M.Pd. Raharjo S.Pd. 2007. Cooperative
Learning Analisis Model Pembelajaran IPS. Jakarta : Bumi Aksara.
Hamzah,B.Uno, Prof.Dr.,H.,M.Pd. 2007. Model Pembelajaran
Menciptakan Proses Belajar Mengajar Yang Kreatif dan Efektif. Jakarta : Bumi Aksara.
Lie, Anita. 2003. Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative
Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta : Grasindo. Mansur,M.A.,Dr. 2005. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Martinis, Yamin, Drs.,H.,M.Pd. 2007. Desain pembelajaran Berbasis
Tngkat Satuan Pendidikan. Jakarta : Gaung Persada Press. Mulyati, Arifin,dkk.. 2005. Strategi Belajar Mengajar Kimia. Malang
: Universitas Negeri Malang. Nurhadi, Dr. 2005. Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban.
Jakarta : Gramedia. Sarno,S.Pd. 2008. Meningkatkan Pretasi Belajar Ilmu Pengetahuan
Sosial Dengan Menggunakan Metode Bermain Kartu Soal Siswa Kelas V SDN 04 Madiun Lor Kecamatan Manguharjo. Madiun : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Madiun.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 72
Slavin, Robert E. 2008. Pembelajaran Kooperatif. Disadur oleh Prof. Dr. Muhamad Nur. A Practical Guide To Cooperative Learninf. Surabaya : Pusat Sains dan Matematika UNESA.
Sofchah, sulistyowati,B.A. 2001. Cara Belajar Yang Efektif dan
Efisien. Pekalongan : Cinta Ilmu. Sudjana,Prof.,D.D.,S.Pd.,M.Ed.,Ph.D. 2001. Metode dan Teknik
Pembelajaran Partisipatif. Bandung : Falah Production. Suharsimi, Arikunto Prof., Prof. Suhardjono, Prof.Supardi. 2006.
Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Bumi Aksara. . 2005. Manajemen Penelitian edisi Revisi. Jakarta :
Rineka Cipta. Susenti & M. Andhy Rudhito. 2009. Pendekatan Pembelajaran
Kooperatif. (Online) http://warungpendidikan.blogspot.com/2009/01/pendekatan-pembelajaran-kooperatif.html. Tanggal Akses 10 Maret 2010.
Syaiful, Bachri Djamaroh, Drs. 2002. Mendesain Model
Pembelajaran Inovatif Progresif. Jakarta : PT. Kencana Prenada Media.
Winarno, Surakhmad, Prof.,DR.,M.Sc.,Ed. 2003. Pengantar Inetraksi
Mengajar Belajar. Bandung : Tarsito.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
73
IMPLEMENTASI PROBLEM POSING PADA PEMBELAJARAN PENGANTAR DASAR
MATEMATIKA DI IKIP PGRI MADIUN
Oleh: Darmadi
FP MIPA IKIP PGRI Madiun Subyek penelitian adalah seluruh mahasiswa yang mengambil
matakuliah pengantar dasar matematika pada program studi pendidikan matematika FP MIPA IKIP PGRI Madiun tahun akademik 2009/2010. Penelitian ini dilakukan selama setengah semester atau delapan kali pertemuan sesuai jadwal yang ada. Metode problem posing dipilih dalam pembelajaran karena dapat merangsang kreatifitas mahasiswa.
Kendala-kendala yang ditemui selama implementasi problem posing pada pembelajaran pengantar dasar matematika di IKIP PGRI Madiun selain masalah waktu dan motivasi mahasiswa dalam belajar adalah: 1) kesulitan membentuk pertanyaan yang meliputi kesulitan membuat dan menuliskan pertanyaan; 2) kesulitan menjawab pertanyaan karena pertanyaan yang kurang jelas atau materi pertanyaan belum pernah dibahas; 3) kesulitan menjawab yaitu menuliskan jawaban dan keraguan terhadap jawaban tersebut.
Dengan penelitian tindakan kelas dimana tiap siklus dilakukan tiap pertemuan, kendala-kendala tersebut sedikit demi sedikit bisa dikurangi. Mulai dari mahasiswa membuat soal secara individu untuk dibahas, pembentukan kelompok, pemberian hukuman, pemberian reward bagi yang bisa menjawab, sampai terbentuk permainan problem posing baru.
Sintak permainan problem posing baru yang muncul adalah sebagai berikut: 1) kelas membentuk kelompok dengan anggota tiga atau empat mahasiswa per kelompok, 2) masing – masing kelompok wajib membuat satu soal, 3) kemudian soal dibagikan pada kelompok lain secara acak dan masing–masing kelompok dipastikan mendapat soal dari kelompok lain, 4) kelompok yang tidak bisa menjawab soal atau kelompok yang soalnya bisa dijawab mendapat hukuman bernyanyi, 5) kelompok yang telah bernyanyi berhak menentukan kelompok mana yang harus maju membahas soal.
Kumpulan soal pada masing–masing kelompok dan pada kelas–kelas yang berbeda menghasilkan buku kumpulan soal dan pembahasan. Buku ini ditulis oleh peneliti / dosen untuk menanggulangi keraguan mahasiswa terhadap pembahasan temannya dan untuk menambah pengetahuan. Katakunci: Problem Posing.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 74
A. PENDAHULUAN
Penelitian ini muncul dilatarbelakangi oleh karena adanya sisa
waktu dalam pembelajaran pengantar dasar matematika yaitu delapan
kali pertemuan atau setengah semester terakhir. Pembelajaran
setengah semester sebelumnya ditujukan untuk mengetahui garis besar
materi pengantar dasar matematika. Pembelajaran selanjutnya adalah
pendalaman materi. Sedangkan pembelajaran problem posing sengaja
dipilih untuk meningkatkan kreatifitas mahasiswa mengingat semakin
menurunnya jumlah mahasiswa program studi pendidikan matematika
FP MIPA IKIP PGRI Madiun yang lolos PKM.
Motivasi belajar mahasiswa menunjukkan fluktuasi kadang baik
dan kadang kurang baik. Mungkin hal ini karena banyak hal yang
mempengaruhi motivasi belajar seperti kualitas input yang kurang.
Selain itu, hal tersebut dimungkin juga karena jumlah mahasiswa
dalam satu kelas yang terlalu besar sehingga proses pembelajaran
dalam perkuliahan kurang optimal.
Pengantar dasar matematika merupakan matakuliah wajib bagi
mahasiswa semester III dengan bobot 3 SKS. Pada matakuliah ini
dibahas tentang nilai-nilai kebenaran, proposisi, variasi proposisi,
konversi, inversi, kontraposisi, konjungsi, disjungsi, negasi, implikasi,
biimplikasi, tabel kebenaran, ekuivalensi, aljabar proposisi,
argumentasi, modus ponens, tolens, silogisme, pembuktian langsung,
pembuktian tidak langsung (menggunakan kontraposisi atau
kontradiksi), induksi matematika, caunter example, pembuktian
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
75
dengan diagram venn, himpunan, macam-macam himpunan, relasi
antar himpunan, macam-macam relasi, fungsi, macam-macam fungsi,
fungsi komposisi, dan sebagainya yang merupakan dasar-dasar untuk
belajar matematika tingkat yang lebih lanjut seperti kombinatorika,
analisis real, topologi, dan struktur aljabar.
Matakuliah pengantar dasar matematika sangat penting sebagai
dasar belajar matematika pada tingkat yang lebih lanjut. Permasalahan
yang muncul adalah bahwa ternyata hasil ujian tengah semester
mahasiswa masih kurang memuaskan. Oleh karena itu, sisa waktu
yang ada akan digunakan untuk pendalaman materi dengan
pembelajaran problem posing diharapkan dapat lebih optimal.
B. PEMBAHASAN
Menurut Suharta (dalam Virgania Sari, 2007) problem posing
adalah perumusan masalah yang berkaitan dengan syarat-syarat soal
yang telah dipecahkan atau alternatif soal yang masih relevan. Model
pembelajaran problem posing adalah model pembelajaran yang
mewajibkan mahasiswa untuk mengajukan soal sendiri. Intinya
problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan
ulang masalah yang ada dengan perubahan agar lebih sederhana dan
dapat dikuasai.
Dalam pembelajaran pengantar dasar matematika, peneliti
selaku dosen pengampu menggunakan model pembelajaran problem
posing (yang diharapkan dapat) sesuai dengan karakteristik
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 76
mahasiswa program studi pendidikan matematika FP MIPA IKIP
PGRI Madiun. Melalui metode pembelajaran yang sesuai karakteristik
mahasiswa diharapkan dalam belajar mahasiswa benar-benar bisa
menikmati belajar. Dosen pun diharapkan bisa senang dengan
pembelajaran dan hasil belajar mahasiswa yang memuaskan. Oleh
karena itu, pengembangan model pembelajaran problem posing disini
dilakukan secara bebas dengan pengamatan secara hati-hati dan
berulang pada delapan kelas yang ada.
Pada pertemuan pertama (siklus 1) pembelajaran problem
posing digunakan dengan prinsip supaya mahasiswa mau dan bisa
mempertanyakan permasalahan yang mereka hadapi selama belajar
pengantar dasar matematika. Pembelajaran problem posing pada
siklus pertama adalah sebagai berikut.
1) Dosen menjelaskan metode yang akan digunakan dalam
pembelajaran yaitu problem posing (mahasiswa
diharapkan/diharuskan/diwajibkan membuat satu pertanyaan).
2) Setiap mahasiswa diberi waktu lima menit untuk membuat
pertanyaan. Pertanyaan boleh dari buku atau dari permasalahan
mahasiswa selama belajar pengantar dasar matematika.
Pertanyaan dituliskan dalam satu lembar kertas dan diberi
identitas.
3) Pertanyaan mahasiswa dibahas bersama di kelas bagi
pertanyaan yang dilontarkan mahasiswa atau diambil secara
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
77
acak jika tidak ada mahasiswa yang berani menanyakan
pembahasan soalnya.
4) Mahasiswa berkewajiban menuliskan jawaban yang benar
karena pertanyaan dan jawaban tersebut akan dibukukan kelas.
5) Untuk soal-soal yang telah dibahas maupun tidak sempat
dibahas, tetap wajib dikumpulkan dan bisa dibahas di luar jam
perkuliahan.
6) Pada akhir perkuliahan, mahasiswa diharapkan mengisikan
kritik dan saran atau responnya dalam pembelajaran hari itu
sebagai evaluasi.
Kendala-kendala yang ditemui dari pembelajaran problem posing
siklus pertama ini adalah 1) mahasiswa kesulitan membuat soal karena
belum belajar atau karena tidak punya buku atau mahasiswa kesulitan
mengungkapkan permasalahannya sendiri sehingga waktu membuat
soal molor, 2) mahasiswa takut mengajukan pertanyaan berikutnya
karena ada temannya yang mengajukan soal, teman-teman tidak mau
membahas bersama sehingga dosen terpaksa meminta mahasiswa
tersebut menjelaskan maksud soalnya (mungkin mahasiswa merasa
takut mempersepsikan bahwa soalnya dilempar kembali kepadanya
padahal maksud dosen adalah supaya mahasiswa mau bersama-sama
membahasnya), dan 3) pembahasan masih oleh dosen dan yang
memperhatikan hanya yang mempunyai soal sedang lebih banyak
mahasiswa yang tidak memperhatikan serta hanya beberapa
permasalahan yang bisa dibahas.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 78
Supaya pembelajaran lebih efektif maka soal dapat dibuat di
rumah. Supaya pembahasan melibatkan mahasiswa maka soal
diberikan pada mahasiswa lain untuk dibahas terlebih dahulu secara
acak. Supaya pada pembahasan melibatkan semua mahasiswa atau
supaya mahasiswa ikut berpikir dan bertanggung jawab maka
pembahas soal wajib mencantumkan identitasnya pada lembar
jawaban. Sehingga pada pertemuan kedua (siklus 2) pembelajaran
problem posing siklus ke dua adalah sebagai berikut.
1) Dosen menjelaskan perubahan metode yang akan digunakan
dalam pembelajaran yaitu bahwa soal akan dikumpulkan
terlebih dahulu baru dibahas.
2) Setiap mahasiswa diberi waktu membuat dua pertanyaan
dengan batas waktu lima menit. Pertanyaan boleh dari buku
atau dari permasalahan mahasiswa selama belajar pengantar
dasar matematika. Pertanyaan dituliskan dalam satu lembar
kertas dan diberi identitas.
3) Soal dikumpulkan kemudian diberikan kembali pada masing-
masing mahasiswa secara acak. Pengumpul dan pembagian
soal dilakukan oleh dosen pengampu atau mahasiswa yang
ditunjuk supaya tertib dan efisiensi waktu.
4) Pertanyaan mahasiswa dibahas bersama di kelas dengan
pengambilan soal secara acak atau soal yang diajukan
mahasiswa.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
79
5) Mahasiswa berkewajiban menuliskan jawaban yang benar
pada lembar soal karena pertanyaan dan jawaban tersebut akan
dibukukan kelas.
6) Untuk soal-soal yang tidak sempat dibahas, tetap wajib
dikumpulkan dan menjadi tanggung jawab mahasiswa
pembahas jika ada pertanyaan tentang soal tersebut
dikemudian hari.
7) Pada akhir perkuliahan, mahasiswa diharapkan mengisikan
kritik dan saran atau responnya dalam pembelajaran hari itu
sebagai evaluasi.
Kendala-kendala yang ditemui dari pembelajaran problem posing
siklus kedua ini adalah 1) mahasiswa ada kesulitan membuat soal
karena belum punya belajar atau karena tidak punya buku atau
mahasiswa kesulitan mengungkapkan permasalahannya sehingga
waktu membuat soal molor, 2) mahasiswa takut mengajukan
pertanyaan karena ada temannya yang mengajukan soal, teman-teman
tidak mau membahas bersama sehingga dosen terpaksa meminta
mahasiswa tersebut menjelaskan maksud soalnya, dan 3) pembahasan
masih oleh dosen dan hanya beberapa permasalahan yang bisa
dibahas.
Supaya pembelajaran efektif maka pembuatan soal dikerjakan
di rumah sebagai pekerjaan rumah. Selain itu pemberian tugas ini
diharapkan juga supaya mahasiwa benar-benar mau belajar di rumah.
Sementara supaya mahasiswa tidak mengalami kesulitan dalam
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 80
pembuatan soal dan pembahasan maka dibentuk kelompok. Jumlah
anggota pada masing-masing kelompok terdiri dari tiga sampai lima
mahasiswa. Memperhatikan permasalahan-permasalahan pada siklus
kedua dan hasil evaluasi pembelajaran dari mahasiswa, maka dibentuk
pembelajaran problem posing siklus ke tiga sebagai berikut.
1) Dosen menjelaskan metode pembelajaran yang baru yaitu
pembentukan kelompok untuk pembuatan soal dan soal akan
diberikan pada kelompok lain supaya dibahas.
2) Kelompok dibentuk dengan anggota tiga sampai lima
mahasiswa dimana kelompok itu mahasiswa bisa pilih
kelompok sendiri atau dosen yang mengelompokkan
tergantung kesepakan kelas.
3) Masing-masing kelompok membuat soal. Jumlah soal untuk
tiap individu berhak mengajukan tiga soal. Soal-soal satu
kelompok dituliskan dalam satu lembar kertas untuk proses
berikutnya.
4) Soal dikumpulkan kemudian diberikan kembali pada masing-
masing mahasiswa secara acak. Pengumpul dan pembagian
soal dilakukan oleh dosen pengampu atau mahasiswa yang
ditunjuk supaya tertib dan efisiensi waktu.
5) Soal dibahas oleh kelompok yang mendapatkan soal tersebut.
Disini perlu Kelompok pembahas wajib mencantumkan nama-
nama kelompoknya. Kelompok pembahas bertanggungjawab
atas kebenaran jawabannya. Pembahasan diberikan pada
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
81
lembar soal yang sama dan jika perlu boleh
ditambah.dpastikan bahwa semua kelompok mendapatkan soal
yang bukan miliknya sendiri.
6) Setelah soal dibahas pada kelompok, hasil pembahasan soal
dikembalikan pada kelompok yang membuat soal.
7) Soal dibahas oleh kelompok dengan pemilihan secara random
dalam kelas atau jika ada pertanyaan dari kelompok yang
membuat soal.
8) Untuk soal-soal yang tidak sempat dibahas, tetap wajib
dikumpulkan dan menjadi tanggung jawab kelompok
pembahas jika ada pertanyaan tentang soal tersebut
dikemudian hari.
9) Hasil pembahasan soal dikumpulkan kepada sekretaris kelas
atau ketua kelas sesuai kesepakan kelas untuk dibukukan. Pada
akhir perkuliahan mahasiswa mengevaluasi hasil
pembelajaran.
Kendala yang muncul pada siklus ke tiga ini adalah: 1) ada kelompok
yang lama dalam membuat soal ataupun menjawab soal, 2) yang
memperhatikan hanya kelompok yang mengajukan soal sementara
kelompok lain ramai sendiri. Tidak semua soal dapat diselesaikan.
Selain itu, ada beberapa mahasiswa yang datang terlambat.
Supaya semua mahasiswa memperhatikan bisa saling
membantu maka diberikan reward point bagi mahasiswa yang bisa
menyelesaikan soal dengan bobot point disesuaikan dengan bobot
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 82
soal. Memperhatikan permalahan yang ada pada siklus ketiga maka
dibentuk model pembelajaran baru untuk siklus ke empat sebagai
berikut.
1) Dosen menjelaskan metode pembelajaran yang baru yaitu
pemberian reward berupa point bagi siapa saja yang bisa
menyelesaikan permasalahan temannya jika kelompok
pembahas tidak bisa menjawab. Tiga point dapat bebas ujian
akhir.
2) Kelompok dibentuk dengan anggota tiga sampai lima
mahasiswa dimana kelompok masih menggunakan kelompok
pertemuan kemarin atau dengan penyesuaian.
3) Masing-masing kelompok diwajibkan membuat soal dengan
jumlah soal bebas. Pertanyaan dituliskan dalam selembar
kertas dengan identitas kelompok mana yang membuat soal.
4) Soal dikumpulkan kemudian diberikan kembali pada masing-
masing kelompok secara acak. Pengumpul dan pembagian soal
dilakukan oleh dosen pengampu atau mahasiswa yang ditunjuk
supaya tertib dan efisiensi waktu.
5) Soal dibahas dalam kelas oleh kelompok lain. Pembahasan
tetap pada kertas jawaban dan boleh ditambah jika perlu.
6) Pembahasan ditunjuk oleh dosen kelompok mana yang harus
dibahas.
7) Bagi kelompok yang bisa menjawab dapat point reward sesuai
dengan bobot soal.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
83
8) Hasil pembahasan soal dikumpulkan kepada sekretaris kelas
atau ketua kelas sesuai kesepakan kelas. Mahasiswa masih
perlu diingatkan bahwa kumpulan soal tersebut akan
dibukukan.
9) Untuk soal-soal yang tidak sempat dibahas, tetap wajib
dikumpulkan dan menjadi tanggung jawab kelompok
pembahas jika ada pertanyaan tentang soal tersebut
dikemudian hari.
10) Pada akhir perkuliahan mahasiswa mengevaluasi hasil
pembelajaran.
Kendala yang dihadapi pada pembelajaran ini adalah: 1) terdapat
beberapa mahasiswa yang terlambat. 2) tidak semua soal bisa
diselesaikan bahkan kadang cuma soal yang dibahas dan itu pun tidak
selesai karena tingkat kesukarannya tinggi.
Supaya semua soal dapat dibahas maka satu kelompok dibatasi
maksimal membuat dua soal. Supaya pembelajaran lebih optimal bagi
kelompok yang tidak bisa menjawab dikenai hukuman. Demikian juga
bagi mahasiswa yang datang terlambat juga mendapat hukuman.
Hukuman boleh menyanyi, puisi, pantun, pus-up, berdoa atau yang
lain. Jenis hukuman yang diutamakan adalah bernyanyi dengan
harapan supaya bisa membuat pembelajaran lebih rileks meskipun
mahasiswa boleh memilih hukuman apa untuk dirinya sendiri.
Memperhatikan permalasahan yang ada pada siklus 4 maka dibentuk
model pembelajaran baru untuk siklus kelima sebagai berikut.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 84
1) Dosen menjelaskan metode pembelajaran yang baru yaitu
jumlah soal dibatasi masing-masing kelmpok hanya satu soal.
Bagi kelompok yang membuat pembelajaran tidak efektif atau
pada mahasiswa yang terlambat diberi hukuman bernyanyi
atau yang lain.
2) Kelas membentuk kelompok dengan anggota tiga atau lima
mahasiswa per kelompok seperti pertemuan sebelumnya.
3) Masing – masing kelompok wajib membuat dua pertanyaan.
Pertanyaan dituliskan dalam satu lembar kertas untuk
dibukukan.
4) Kemudian soal dibagikan pada kelompok lain secara acak dan
masing–masing kelompok dipastikan mendapat soal dari
kelompok lain.
5) Kelompok yang tidak bisa menjawab soal atau kelompok yang
soalnya terjawab mendapat hukuman bernyanyi.
6) Untuk soal-soal yang tidak sempat dibahas, tetap wajib
dikumpulkan dan menjadi tanggung jawab kelompok
pembahas jika ada pertanyaan tentang soal tersebut
dikemudian hari.
7) Pada akhir perkuliahan mahasiswa mengevaluasi hasil
pembelajaran.
Kendala yang muncul pada pembelajaran ini adalah 1) terdapat
pertanyaan yang tidak bisa dibahas karena waktu, 2) kebanyakan
kelompok tidak berani untuk menjawab. 3) terdapat kelompok yang
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
85
belum memahami bahwa pembelajaran ini masih menekankan pada
proses dan belum hasilnya sehingga yang terpenting adalah supaya
mahasiswa mau mengungkapkan pendapatnya dan mau adu
argumentasi dengan mahasiswa lain.
Supaya semua soal bisa dibahas maka dibatasi pembuatan soal
tiap kelompok hanya satu soal. Supaya pembelajaran lebih menarik
lagi untuk kelompok yang soalnya terjawab juga menerima hukuman
yaitu bernyanyi. Memperhatikan permasalahan yang ada pada siklus
kelima maka dibentuk model pembelajaran baru pada siklus keenam
sebagai berikut.
1) Dosen menjelaskan peraturan metode pembelajaran yang baru
yaitu selain hukuman diberikan pada kelompok yang tidak bisa
menjawab, hukuman juga diberikan pada kelompok yang
soalnya bisa dijawab.
2) Kelas membentuk kelompok dengan anggota tiga, empat, atau
lima mahasiswa per kelompok seperti biasa.
3) Masing – masing kelompok wajib membuat satu soal.
4) Kemudian soal dibagikan pada kelompok lain secara acak dan
masing–masing kelompok dipastikan mendapat soal dari
kelompok lain.
5) Soal dikerjakan pada diskusi kelompok.
6) Soal dibahas bersama dalam satu kelas.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 86
7) Kelompok yang tidak bisa menjawab soal mendapat hukuman
bernyanyi, kelompok yang soalnya terjawab juga mendapat
hukuman bernyanyi.
8) Pada akhir perkuliahan mahasiswa mengevaluasi hasil
pembelajaran.
Kendala yang diperoleh pada pembelajaran ini adalah 1) karena
terbatasnya waktu ada kelompok yang tidak maju sehingga
memunculkan kecemburuan. 2) ada kelompok yang tidak mau atau
sengaja mengulur-ulur waktu dengan harapan tidak mendapat
hukuman.
Supaya hukuman tetap menarik, maka yang menentukan lagu
apa yang harus dinyayikan tergantung pada kelompok yang membuat
soal atau yang telah berhasil menjawab soal. Kelompok yang telah
bernyanyi berhak menentukan kelompok mana yang harus maju
membahas soal. Boleh kelompok mereka sendiri atau kelompok lain.
Memperhatikan permasalahan yang ada pada siklus 6 dan hasil
evaluasi mahasiswa terhadap proses pembelajaran maka dibentuk
model pembelajaran baru untuk siklus ketujuh sebagai berikut.
1) Dosen menjelaskan metode pembelajaran yang baru yaitu
pembentukan kelompok untuk pembuatan soal dan soal akan
diberikan pada kelompok lain supaya dibahas. Dengan catatan
bahwa bagi kelompok membuat pembelajaran tidak efektif
atau pada mahasiswa yang terlambat diberi hukuman
bernyanyi atau yang lain.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
87
2) Kelas membentuk kelompok dengan anggota tiga atau empat
mahasiswa per kelompok. Anggota kelompok tetap seperti
pada siklus sebelumnya. Untuk kelompok yang anggotanya
tidak masuk bisa digabung dengan kelompok lain dengan
persetujuan dosen.
3) Masing – masing kelompok wajib membuat satu pertanyaan.
Pertanyaan dituliskan dalam selembar kertas untuk dibukukan.
Meskipun pertanyaan harus dicari atau dipersipkan dirumah
tetapi tetap diberikan waktu untuk menuliskan atau membuat
soal.
4) Kemudian soal dibagikan pada kelompok lain secara acak dan
masing–masing kelompok dipastikan mendapat soal dari
kelompok lain. Pembagi berasal dari perwakilan mahasiswa.
5) Pembahasan didiskusi terlebih dahulu pada kelompok sebelum
dipresentasi di depan kelas. Kelompok yang tidak bisa
menjawab pertanyaan atau kelompok yang pertanyaannya bisa
dijawab mendapat hukuman. Hukuman dapat berupa nyanyian,
puisi, doa, atau yang lain.
6) Kelompok yang telah bernyanyi berhak menentukan kelompok
mana yang harus maju membahas soal. Boleh kelompok
mereka sendiri atau kelompok lain.
7) Pada akhir perkuliahan mahasiswa mengevaluasi hasil
pembelajaran.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 88
Kejadian yang muncul pada pembelajaran ini adalah bahwa
mahasiswa sudah mulai memahami maksud pembelajaran. Mahasiswa
sudah mulai berani mengungkapkan pendapatnya. Bagi kelompok
membuat pembelajaran tidak efektif atau pada mahasiswa yang
terlambat diberi hukuman bernyanyi atau yang lain. Kejadian yang
menarik dari pembelajaran terakhir ini adalah bahwa mahasiswa sudah
mulai bisa menjalankan sendiri pembelajaran mereka. Dosen tinggal
mengawasi dan jika diperlukan membantu cara membaca atau
membantu mana yang benar atau mendekati benar ketika kedua
kelompok sama-sama bingung.
Memperhatikan kemajuan dan keberhasilan ada pada siklus
ketujuh maka ada masukan dalam pembelajaran Model permainan
problem posing untuk siklus kedelapan sebagai berikut.
1) Dosen menjelaskan peraturan metode pembelajaran yang baru
yaitu pemberian hukuman seperti misal menyanyi maka judul
lagu ditentukan oleh kelompok yang memenangkan
permainan.
2) Seperti biasa, kelas membentuk kelompok dengan anggota tiga
atau empat mahasiswa per kelompok. Bagi kelompok yang
anggotanya datang terlambat atau tidak masuk bisa bergabung
kelompok lain dengan rokemendasi dosen. Masing–masing
kelompok wajib membuat satu soal.
3) Dosen menujuk mahasiswa atau jika ada mahasiswa yang
bersedia secara sukarela untuk mengumpulkan dan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
89
membagikan soal. Soal dibagikan pada kelompok lain secara
acak dan masing–masing kelompok dipastikan mendapat soal
dari kelompok lain
4) Kelompok yang tidak bisa menjawab soal atau kelompok yang
soalnya bisa dijawab mendapat hukuman. Hukuman dapat
bernyanyi, berpuisi, pus up, berdoa atau yang lain.
5) Kelompok yang telah bernyanyi berhak menentukan kelompok
mana yang harus maju membahas soal. Bisa kelompoknya
sendiri untuk membahas soal yang dipeganggnya atau bisa
juga menunjuk kelompok lain.
6) Pada akhir perkuliahan mahasiswa mengevaluasi hasil
pembelajaran.
Bagi kelompok membuat pembelajaran tidak efektif atau pada
mahasiswa yang terlambat diberi hukuman bernyanyi atau yang lain.
Kejadian yang menarik dari pembelajaran terakhir ini adalah bahwa
mahasiswa sudah mulai bisa menjalankan sendiri pembelajaran
mereka. Dosen tinggal mengawasi dan jika diperlukan membantu cara
membaca atau membantu mana yang benar atau mendekati benar
ketika kedua kelompok sama-sama bingung. Dengan peneliti yakin
bahwa pembelelajaran dengan permainan problem posing baru ini
akan berjalan lebih lancar.
Implementasi metode pembelajaran problem posing pada
pembelajaran pengantar dasar matematika di IKIP PGRI Madiun
dengan menerapakan penelitian tindakan kelas akhirnya menciptakan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 90
seperti permainan yang kita sebut permaina problem posing.
Berdasarkan proses – proses pembelajaran tersebut, sintak sederhana
permainan problem posing baru yang muncul adalah: 1) kelas
membentuk kelompok dengan anggota tiga atau empat mahasiswa per
kelompok, 2) masing – masing kelompok wajib membuat satu soal, 3)
kemudian soal dibagikan pada kelompok lain secara acak dan masing–
masing kelompok dipastikan mendapat soal dari kelompok lain, 4)
kelompok yang tidak bisa menjawab soal atau kelompok yang soalnya
bisa dijawab mendapat hukuman bernyanyi, 5) kelompok yang telah
bernyanyi berhak menentukan kelompok mana yang harus maju
membahas soal.
Tampak bahwa kendala-kendala yang ada sedikit demi sedikit
bisa dikurangi. Kumpulan soal pada masing–masing kelompok dan
pada kelas–kelas yang berbeda menghasilkan buku kumpulan soal dan
pembahasan. Buku ini ditulis oleh peneliti selaku dosen pengampu
untuk menanggulangi keraguan mahasiswa terhadap pembahasan
temannya dan menambah pengetahuan.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa metode pembelajaran problem posing untuk matakuliah
pengantar dasar matematika yang sesuai dengan karakteristik
mahasiswa matematika program studi pendidikan matematika FP
MIPA IKIP PGRI Madiun adalah permainan problem posing. Dimana
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
91
sintak permainan problem posing baru yang diperoleh adalah sebagai
berikut: 1) kelas membentuk kelompok dengan anggota tiga atau
empat mahasiswa per kelompok, 2) masing – masing kelompok wajib
membuat satu soal, 3) kemudian soal dibagikan pada kelompok lain
secara acak dan masing–masing kelompok dipastikan mendapat soal
dari kelompok lain, 4) kelompok yang tidak bisa menjawab soal atau
kelompok yang soalnya bisa dijawab mendapat hukuman bernyanyi,
5) kelompok yang telah bernyanyi berhak menentukan kelompok
mana yang harus maju membahas soal.
DAFTAR PUSTAKA
Virgania Sari. 2007. Keefektifan Model Pembelajaran Problem Posing dibanding Kooperatif tipe CIRC (Cooperative Integrated Reading and Compotition) pada Kemampuan Siswa Kelas VII Semester 2 SMP Negeri 16 Semarang dalam Menyelesaikan Soal Cerita Materi Pokok Himpunan Tahun Pelajaran 2006/2007. Skripsi Jurusan Matematika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. UNNES
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 92
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION TOPIK LIMIT
FUNGSI ALJABAR PADA SISWA KELAS XI
Ervina Maret Abstrak :
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses dan hasil pengembangan perangkat pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation pada Topik Limit Fungsi Siswa Kelas XI SMAN 1 Jenangan, Kabupaten Ponorogo. Pelaksanaan penelitian dimulai dengan observasi lapangan untuk mengetahui seberapa besar peranan perangkat pembelajaran yang telah digunakan di sekolah. Kemudian dilakukan pengembangan perangkat pembelajaran dengan menggunakan validasi dari dosen matematika, dan dua guru mata pelajaran matematika.
Perangkat pembelajaran yang dikembangkan sesuai dengan kriteria pengembangan yang dikemukakan Richey dan Nelson yaitu valid, praktis dan efektif. Kriteria kevalidan diukur melalui proses validasi oleh validator, kriteria kepraktisan diukur melalui pengamatan terhadap kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan kriteria keefektifan diukur melalui pengamatan terhadap aktivitas siswa dan guru selama KBM serta tes hasil belajar.
Dari hasil penelitian ini diperoleh beberapa temuan yaitu guru dalam mengelola pembelajaran cukup baik, aktivitas siswa dan guru selama KBM cukup aktif, serta pencapaian ketuntasan belajar siswa secara klasikal. Dengan demikian perangkat pembelajaran yang dikembangkan memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif.
Kata Kunci : Kooperatif Tipe Group Investigation, Pengembangan Perangkat
A. Pendahuluan
Pembangunan di bidang pendidikan adalah suatu proses yang
berjalan sepanjang masa, bersifat berkelanjutan dan perlu ditingkatkan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
93
untuk mewujudkan generasi yang berkualitas. Guru sebagai pendidik
mempunyai tanggung jawab yang besar dalam bidang pendidikan.
Rendahnya minat belajar siswa di sekolah dipegaruhi oleh
banyak faktor. Salah satunya adalah faktor kemampuan guru dalam
menerapkan metode dan strategi pembelajaran yang kurang tepat,
misalnya proses pembelajaran yang cenderung berpusat pada guru,
sementara siswa cenderung lebih pasif. Akibatnya siswa tidak dapat
mengembangkan kemampuan berpikir matematikanya. Guru sering
dihantui oleh selesai atau tidaknya topik yang harus diajarkan dengan
waktu yang tersedia. Akibatnya guru lebih suka mengajar dengan cara
tradisional dan meninggalkan cara investigasi maupun pemecahan
masalah.
Pembelajaran di masa sekarang dilakukan melalui proses
transfer of knowledge bukan melalui pemrosesan informasi. Suroso
(2008:43) berpendapat bahwa ”Untuk mengatasi pembelajaran yang
hanya text book oriented dan melalui ceramah maka perlu dibuat
pembelajaran matematika yang mengacu pada meaning full atau
bermakna”. Pembelajaran ini memandang bahwa pengetahuan akan
bermakna manakala diperoleh dari pengalaman. Salah satu
pembelajaran yang dapat dikembangkan adalah pembelajaran
kooperatif dan untuk mendukung model pembelajaran kooperatif
diperlukan perangkat pembelajaran yang sesuai dengan model
pembelajaran tersebut.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 94
Pada pembelajaran kooperatif, siswa diharapkan melakukan
kegiatan selama pengajaran itu, mereka bekerja menyelesaikan tugas-
tugas belajar dan berdiskusi dengan siswa lain. Selain itu,
pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang berbeda
latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling tergantung satu sama
lain atas tugas bersama.
Slavin (dalam Etin Solihatin, 2007:4) menyatakan bahwa
“Cooperative Learning adalah suatu pembelajaran dimana siswa
belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara
kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang, dengan
struktur kelompoknya yang bersifat heterogen”.
Menurut Abdurrahman dan Bintoro (dalam Senduk A.G,
2004:61), unsur-unsur dalam pembelajaran kooperatif sebagai berikut:
(1) Saling Ketergantungan Positif, (2) Interaksi tatap muka, (3)
Akuntabilitas individual, (4) Keterampilan untuk menjalin hubungan
antar pribadi. Mekanisme pembelajaran kooperatif menurut David
Hornsby, (dalam Etin Solihatin dan Raharjo, 2007:12) dapat
digambarkan sebagai berikut.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
95
Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari
materi saja, tetapi siswa juga harus mempelajari keterampilan yang
disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan ini berfungsi untuk
melancarkan hubungan kerja dalam kelompok. Karuru (dalam
Marheny, 2007:24) membagi keterampilan kooperatif menjadi tiga,
yaitu:
a. Keterampilan tingkat awal
1) Menghargai kontribusi
2) Mengambil giliran dan berbagi tugas
3) Berada dalam kelompok
4) Berada dalam tugas
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 96
5) Mendorong partisipasi
6) Mengundang orang lain
7) Menyelesaikan tugas pada waktunya
8) Menghormati perbedaan individu
b. Keterampilan tingkat menengah
Keterampilan tingkat ini meliputi menunjukkan
penghargaan dan simpati, mengungkapkan ketidaksesuaian
pendapat dengan cara yang dapat diterima, mendengarkan
dengan aktif, bertanya, membuat rangkuman, menafsirkan,
mengorganisir, serta mengurangi ketegangan.
c. Keterampilan tingkat mahir
Keterampilan ini meliputi mengolaborasi, memeriksa
dengan cermat, menanyakan kebenaran tujuan dan kompromi.
Group investigation sering dipandang sebagai metode yang
paling kompleks dan paling sulit untuk dilaksanakan dalam
pembelajaran kooperatif. Metode ini melibatkan siswa sejak
perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk
mempelajarinya melalui investigasi (dalam Nurhadi, 2004:65).
Metode ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang
baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses
kelompok (group process skills).
Deskripsi mengenai langkah-langkah pembelajaran
kooperatif tipe group investigation dapat dikemukakan sebagai
berikut (Anonymous. 2008. Metode Pembelajaran Investigasi
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
97
Kelompok. (Online). (http://Chadut’s Blog.Htm . Diakses pada 9
Januari 2009) :
1. Seleksi topik
Para siswa diorganisasikan menjadi kelompok-
kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups)
yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok
heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan
akademik.
2. Merencanakan kerjasama
Para siswa beserta guru merencanakan berbagai
prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang
konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah
dipilih dari langkah (1) di atas.
3. Implementasi
Para siswa melaksanakan rencana yang telah
dirumuskan pada langkah (2). Pembelajaran harus melibatkan
berbagai aktivitas dan keterampilan dengan variasi yang luas
dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai
sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah.
Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok
dan memberikan bantuan jika diperlukan.
4. Analisis dan sintesis
Para siswa menganalisis dan mensintesis berbagai
informasi yang diperoleh pada langkah (3) dan merencanakan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 98
agar dapat diringkas dalam suatu penyajian yang menarik di
depan kelas.
5. Penyajian hasil akhir
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang
menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua
siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif
yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok
dikoordinir oleh guru.
6. Evaluasi
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai
kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai
suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara
individu atau kelompok, atau keduanya.
Pengembangan perangkat pembelajaran adalah serangkaian
proses atau kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan suatu
perangkat pembelajaran berdasarkan teori pengembangan yang
telah ada. Berikut ini pendapat para ahli mengenai penelitian
pengembangan (Andi Rusdi. 2008. Model Pengembangan
Perangkat Pembelajaran. (Online). http://perangkat.Html .
Diakses pada 11 Maret 2009):
a. Van den Akker dan Plomp mendeskripsikan penelitian
pengembangan berdasarkan dua tujuan yaitu:
1) Pengembangan untuk mendapatkan prototipe produk,
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
99
2) Perumusan saran-saran metodologis untuk
pendesainan dan evaluasi prototipe tersebut.
b. Richey and Nelson mendefinisikan penelitian
pengembangan sebagai suatu pengkajian sistematis
terhadap pendesainan, pengembangan dan evaluasi
program, proses dan produk pembelajaran yang harus
memenuhi kriteria validitas, praktikalitas dan efektivitas.
Jadi dapat disimpulkan bahwa penelitian pengembangan
adalah suatu proses untuk mengembangkan suatu produk baru atau
menyempurnakan produk yang telah ada dengan
mempertimbangkan kevalidan, kepraktisan, dan keefektifannya.
Dalam penelitian ini, peneliti menganut kriteria
pengembangan menurut Richey dan Nelson dengan berasumsi
bahwa kepraktisan perangkat dan keefektifan perangkat
pembelajaran hanya didasarkan pada hasil analisis data yang
diperoleh dari lapangan (yaitu hasil penerapan perangkat
pembelajaran dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas).
a. Validitas (validity) perangkat pembelajaran
Aspek validitas menurut Richey dan Nelson dikaitkan dengan
dua hal, yaitu :
1) Suatu produk atau program dikatakan valid apabila produk
baru itu merefleksikan jiwa pengetahuan ( validitas isi ).
2) Komponen-komponen produk (perangkat pembelajaran)
tersebut harus konsisten satu sama lain (validitas konstruk).
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 100
b. Kepraktisan (practicallity) perangkat pembelajaran
Menurut Richey dan Nelson suatu produk dikatakan
praktikal apabila produk tersebut menganggap bahwa ia dapat
digunakan (usable). Kepraktisan suatu perangkat pembelajaran
ditinjau dari hasil penilaian pengamat berdasarkan
pengamatannya menyatakan bahwa tingkat pengelolaan
pembelajaran di kelas termasuk pada kategori yang baik.
c. Keefektifan (effectiveness) Perangkat Pembelajaran
Menurut Djamarah (2002:147) “Keefektifan suatu
perangkat pembelajaran diukur dari keoptimalan anak didik
dalam menyerap informasi pengajaran dan seberapa besar
pengaruhnya dalam tingkah laku anak”.
Menurut Richey dan Nelson suatu produk dikatakan
efektif apabila ia memberikan hasil sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan oleh pengembang. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa suatu produk dikatakan efektif apabila
produk tersebut dapat mencapai keberhasilan kuantitas dan
keberhasilan kualitas.
Dalam penelitian ini, keefektifan perangkat
pembelajaran dilihat dari keefektifan penerapan perangkat di
lapangan (pelaksanaan pembelajaran di kelas) menggunakan
perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Perangkat
pembelajaran dikatakan efektif jika memenuhi indicator
berikut :
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
101
a. Pencapaian persentase waktu ideal aktivitas siswa dan guru
b. Pencapaian ketuntasan belajar siswa secara klasikal.
Penelitian ini menggunakan model pengembangan 4-D.
Tahap pelaksanaan model pengembangan digambarkan pada
skema berikut ini:
Sudah
Ujicoba dan Analisis Hasil Uji Coba ….
Pengembangan Produk yang Diharapkan
Valid, Praktis, Efektif
Belum
Validasi oleh para ahlli
Revisi
Proses Pengembangan Produk
Pendefinisian (Penelitian dan Pengumpulan Data)
Perencanaan
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 102
Perangkat pembelajaran kooperatif tipe group investigation
yang akan dikembangkan meliputi:
1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Menurut Mulyasa (2008:154) “RPP merupakan
perencanaan jangka pendek untuk memperkirakan dan
memproyeksikan tentang apa yang akan dilakukan guru dalam
pembelajaran dan pembentukan kompetensi peserta didik”.
Dengan demikian, RPP merupakan upaya untuk
memperkirakan tindakan yang akan dilakukan dalam kegiatan
pembelajaran.
Menurut Mulyasa (2008:156), terdapat dua fungsi RPP
dalam implementasi KTSP, yaitu:
a. Fungsi perencanaan
RPP hendaknya mendorong guru lebih siap melakukan
kegiatan pembelajaran dengan perencanaan yang matang.
b. Fungsi pelaksanaan pembelajaran
RPP harus disusun secara sistemik dan sistematis, utuh
dan menyeluruh, dengan beberapa kemungkinan
penyesuaian dalam situasi pembelajaran yang aktual.
Dengan demikian, RPP berfungsi untuk mengefektifkan
proses pembelajaran sesuai dengan apa yang direncanakan.
Pada penelitian ini RPP disusun sesuai dengan sintaks
pembelajaran kooperatif tipe group investigation. RPP ini
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
103
digunakan sebagai pegangan guru dalam pelaksanaan
pembelajaran di kelas untuk setiap pertemuan yang telah
direncanakan sebelum pembelajaran berlangsung. Komponen
RPP yang disusun adalah: Kompotensi Dasar (KD), Indikator
Pencapaian KD, Materi Pembelajaran, kegiatan pembelajaran
yang mencakup aktivitas siswa dan guru selama proses
pembelajaran.
2. Buku Petunjuk Guru
Menurut Abdul Majid (2006:176) “Buku guru adalah
bahan tertulis yang disampaikan oleh seorang guru untuk
memperkaya pengetahuan peserta didik dengan materi yang
diajarkan”. Pada penelitian ini BPG digunakan guru sebagai
pedoman menyampaikan materi sesuai dengan sintaks
pembelajaran kooperatif tipe group investigation. Komponen
utama BPG yang disusun adalah : deskripsi singkat model
pembelajaran kooperatif tipe group investigation, Kompetensi
Dasar (KD), Indikator Pencapaian KD, kunci jawaban soal-
soal yang ada pada Buku Siswa (BS) dan Lembar Kerja Siswa
(LKS).
3. Buku Siswa (BS)
Abdul Majid (2006:176) menyebutkan bahwa “Buku
siswa adalah sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar
peserta didik dapat belajar secara mandiri dengan atau tanpa
bimbingan guru yang berisi tentang kompetensi dasar tentang
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 104
bahan ajar”. Buku Siswa (BS) digunakan sebagai pegangan
siswa dalam mempelajari materi pelajaran di kelas. Komponen
utama BS yang disusun adalah Standar Kompetensi (SK),
Kompetensi Dasar (KD), Indikator Pencapaian hasil belajar,
tugas kelompok untuk menyelidiki tentang definisi limit fungsi
secara intuitif, cara menentukan nilai limit fungsi aljabar
sederhana, memahami pengertian limit di tak hingga dan
menggunakan teorema limit.
4. Lembar Kerja Siswa (LKS)
Menurut Harnoko (1997:24) “LKS adalah salah satu
bentuk program yang berlandaskan atas tugas yang harus
diselesaikan dan berfungsi sebagai alat untuk mengalihkan
pengetahuan dan keterampilan”.
a. Tujuan dan Manfaat LKS
Tujuan dan manfaat LKS menurut Rianto (1997:25)
adalah:
1) Mengaktifkan siswa dalam proses belajar mengajar.
2) Membantu siswa dalam mengembangkan konsep.
3) Melatih siswa untuk menemukan dan mengembangkan
keterampilan proses.
4) Membantu guru dalam menyusun rencana
pembelajaran.
b. Prinsip-prinsip dalam penyusunan buku kerja (LKS)
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
105
Prinsip-prinsip terpenting dalam penyusunan LKS
adalah:
1) Penulis harus membuat setiap latihan sesuai dengan
program instruksional keseluruhan yang perlu dan
berguna bagi setiap kelas/tingkatan.
2) Penulis sebaiknya menyediakan tipe-tipe latihan yang
beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan dan minat
siswa kemudian melengkapi bahan inti dengan bahan
buatan guru untuk mengurangi kebosanan.
3) Kegiatan dalam LKS merupakan sarana untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penulis harus
berusaha sedapat mungkin agar siswa pemakai buku
kerja (LKS) harus mudah memahami serta menguasai
apa, bagaimana dan mengapa mereka harus melakukan
setiap hal yang mereka kerjakan.
Lembar Kerja Siswa (LKS) ini digunakan siswa untuk
mengerjakan latihan soal berdasarkan pengetahuan yang telah
dibangun siswa pada Buku Siswa (BS). Komponen utama LKS
meliputi topik soal, petunjuk mengerjakan soal dan soal-soal
latihan.
5. Tes Hasil belajar (THB)
Tes Hasil Belajar (THB) merupakan serentetan
pertanyaan yang digunakan untuk mengukur kemampuan
siswa dalam menguasai pelajaran. Wina Sanjaya (2006:188)
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 106
berpendapat bahwa “Sebagai alat ukur dalam proses evaluasi,
tes harus memenuhi kriteria validitas yaitu tes harus dapat
mengukur apa yang hendak diukur, dan reliabilitas yaitu tes
harus dapat menghasilkan informasi yang konsisten”.
Komponen utama Tes Hasil Belajar (THB) yaitu alokasi
waktu, petunjuk mengerjakan soal, serta soal-soal uraian
sesuai dengan kisi-kisi THB.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dan
tergolong dalam penelitian kualitatif. Disebut penelitian
pengembangan karena penelitian ini mengembangkan perangkat
pembelajaran matematika kelas XI SMA pokok bahasan Limit
Fungsi, Sub Pokok Bahasan Limit Fungsi Ajabar yang bercirikan
model pembelajaran kooperatif tipe group investigation. Perangkat
pembelajaran yang dikembangkan meliputi Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), Buku Petunjuk Guru (BPG), Buku Siswa
(BS), dan Lembar Kerja Siswa (LKS).
Penelitian ini tergolong dalam penelitian kualitatif karena
prosedur penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan penelitian
kualitatif yaitu pada pengembangan perangkat pembelajaran yang
dibuat sampai penyebaran kepada siswa.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
107
Pengembangan perangkat pembelajaran kooperatif tipe
group investigation dilakukan mengikuti langkah pengembangan
4-D dengan memperhatikan 3 aspek kualitas produk dari Richey
dan Nelson. Berikut ini secara berturut-turut dijabarkan kegiatan
yang dilakukan pada tiap-tiap tahap pengembangan.
Tahap I : Pendefinisian
Pada tahap ini peneliti melakukan
penelitian dan pengumpulan data di lapangan.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah:
a. Mengidentifikasi masalah-masalah atau
kelemahan yang
dihadapi oleh sekolah dan kemudian
menetapkan produk yang akan dikembangkan
untuk mengatasi masalah yang ada.
b. Dalam penetapan produk yang akan
dikembangkan, peneliti mengkaji penelitian-
penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
penerapan pembelajaran kooperatif tipe group
investigation.
c. Peneliti mengkaji konsep-konsep, ruang
lingkup, keluasan penggunaan, keunggulan dan
keterbatasan perangkat pembelajaran kooperatif
tipe group investigation.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 108
d. Peneliti melakukan tinjauan langsung ke
sekolah untuk melihat keterampilan mengajar
guru di kelas dan melihat faktor pendukung dan
penghambat pelaksanaan pembelajaran.
Tahap II : Perencanaan (Design)
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan
peneliti adalah sebagai berikut:
a. Menyusun rencana pengembangan produk yang
meliputi tujuan penggunaan produk,
menetapkan pengguna produk, menetapkan
jenis produk yang akan dikembangkan,
instrumen apa yang diperlukan serta teknik
anlisis yang akan dipakai.
b. Peneliti membuat perangkat pembelajaran
kooperatif tipe group investigation yang
meliputi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran,
Buku Guru, Buku Siswa, dan Lembar Kerja
Siswa.
c. Peneliti menyusun lembar validasi untuk
mengukur kevalidan perangkat pembelajaran.
Lembar validasi yang dibuat peneliti terdiri dari
lembar validasi RPP, lembar validasi BPG,
lembar validasi BS, lembar validasi LKS,
lembar validasi pengelolaan pembelajaran,
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
109
lembar validasi aktivitas siswa dan guru, dan
lembar validasi THB.
d. Peneliti menyusun lembar observasi
pengelolaan pembelajaran untuk mengukur
kepraktisan.
e. Peneliti menyusun lembar observasi aktivitas
siswa dan guru selama KBM dan tes hasil
belajar di akhir pertemuan untuk mengukur
keefektifan.
Tahap III : Proses Pengembangan Produk
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini
adalah sebagai berikut:
a. Rancangan perangkat pembelajaran (draf I)
divalidasi oleh validator dengan menggunakan
lembar validasi.
b. Peneliti melakukan revisi berdasarkan saran
dari penelaah dan menghasilkan draf II.
c. Draf II diuji cobakan di kelas. Selama uji coba
berlangsung diadakan pengamatan terhadap
kemampuan guru mengelola pelajaran,
pengamatan terhadap aktivitas siswa dan guru.
d. Peneliti menganalisa semua data yang telah
diperoleh untuk mengetahui apakah perangkat
pembelajaran yang dikembangkan sudah
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 110
memenuhi kriteria praktis dan efektif ataukah
belum. Jika analisis menunjukkan perangkat
pembelajaran yang dikembangkan belum
memenuhi kriteria praktis dan efektif maka
perlu diadakan revisi untuk
menyempurnakannya. Proses ini akan terus
berlanjut dan baru akan berhenti jika perangkat
pembelajaran telah memenuhi kriteria valid,
praktis, dan efektif.
Tahap IV : Pengembangan Produk Yang Diharapkan
Pada tahap ini perangkat pembelajaran
yang dikembangkan telah memenuhi kriteria
pengembangan yakni, valid, praktis, dan efektif.
C. Pembahasan
Sebelum perangkat dan instrumen yang dikembangkan
digunakan dalam pembelajaran nyata yaitu uji coba lapangan,
maka perangkat dan instrumen penelitian harus melalui proses
validasi terlebih dahulu. Validasi perangkat dan instrumen ini,
melibatkan 3 validator yaitu 1 dosen Prodi Matematika IKIP PGRI
Madiun dan 2 guru mata pelajaran Matematika SMAN 1
Jenangan, Ponorogo. Daftar nama validator dapat dilihat pada bab
IV. Hasil validasi dari 3 orang validator menunjukkan hasil
pengembangan perangkat dan instrumen cukup valid, namun ada
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
111
beberapa masukan yang diberikan oleh validator sehingga perlu
diadakan revisi kecil. Catatan tersebut terangkum sebagai berikut.
1. Catatan yang diperoleh dari validator mengenai Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran yang dikembangkan, yaitu :
Perbaiki penulisan yang salah terutama pada penulisan satuan
waktu.
2. Catatan yang diperoleh dari validator mengenai Buku Siswa
yang dikembangkan, yaitu :
a) Harus ditambah gambar dan warna yang lebih variatif
b) Perlu penyempurnaan tulisan dan bahasa agar mudah
dipahami
3. Catatan yang diperoleh dari validator mengenai Lembar Kerja
Siswa yang dikembangkan, yaitu : perbaiki petunjuk
penggunaan LKS.
1. Pembahasan Hasil Kepraktisan
Hasil observasi menunjukkan kemampuan guru
dalam mengelola pembelajaran pada uji coba 1 termasuk
dalam kategori cukup baik. Ini artinya, guru mampu
menyesuaikan diri untuk mengikuti pengelolaan kegiatan
belajar mengajar yang berorientasi pada model pembelajaran
kooperatif tipe GI yang telah dimodelkan oleh peneliti.
Berdasarkan hasil observasi menunjukkan, keseluruhan tahap
dalam pengelolaan pembelajaran kooperatif tipe group
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 112
investigation, dapat terlaksana dengan cukup baik. Hal ini
didukung oleh ketersediaan perangkat pembelajaran yang
dikembangkan.
Hasil analisis pada tabel 4.14 dan table 4.15,
menunjukkan bahwa pada umumnya kemampuan guru dalam
mengelola pembelajaran semakin meningkat pada RPP1, RPP2,
RPP3, dan RPP4. Kemampuan guru tersebut semakin baik
karena pada setiap kali selesai menyampaikan masing-masing
RPP, diadakan diskusi antara pengamat dan guru untuk
memberikan masukan sebagai perbaikan pada pertemuan
berikutnya.
2. Pembahasan Hasil Keefektifan
Aktivitas Siswa
Berdasarkan hasil analisis data pengamatan terhadap
aktivitas siswa, diperoleh data sebagai berikut.
a) Persentase siswa yang paling dominan adalah kategori
mencatat, mengerjakan tugas, mengerjakan LKS, presentasi
hasil kerja dan merangkum, yaitu sebesar 26,93%. Hal ini
berarti selama KBM siswa lebih banyak menulis yang
relevan dengan KBM dan persentasi hasil kerja.
b) Persentase aktivitas siswa membaca buku siswa/LKS sebesar
13,94%
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
113
c) Persentase aktivitas siswa berdiskusi, bertanya antar siswa
dengan siswa sebesar 18,27% lebih tinggi dibandingkan
persentase aktivitas siswa berdiskusi, bertanya antar siswa
dan guru, sebesar 16,35%. Hal ini mengindikasikan dalam
menyelesaikan masalah siswa selalu mengutamakan untuk
berdiskusi dengan temannya sebelum menanyakan kepada
guru.
d) Secara keseluruhan akivitas siswa berdiskusi, baik berdiskusi
dengan teman maupun guru sebesar 34,62%. Persentase
aktivitas siswa ini lebih tinggi dibandingkan persentase
mendengarkan dan memperhatikan penjelasan guru/teman
sebesar 23,8%. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk
memahami materi, siswa lebih banyak berdiskusi daripada
menunggu informasi dari guru.
e) Persentase aktivitas siswa yang tidak relevan dengan
pembelajaran sebesar 0,72%. Hal ini berarti selama
pembelajaran berlangsung ada siswa yang melakukan
tindakan di luar proses pembelajaran yaitu bermain-main atau
mengganggu temannya.
Secara keseluruhan, persentase waktu aktivitas siswa jika
dirujuk pada kriteria pencapaian persentase waktu ideal pada
BAB III, telah memenuhi toleransi waktu ideal yang ditetapkan.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 114
Aktivitas Guru
Selama pembelajaran dengan menerapkan perangkat
pembelajaran kooperatif tipe GI, data yang diperoleh pengamat
mengenai aktivitas guru adalah sebagai berikut.
a) Aktivitas guru yang dominan adalah merespon terhadap
pertanyaan siswa, memotivasi dan membimbing kegiatan
siswa sebesar 42,31%. Tingginya persentase aktivitas tersebut
karena selama KBM guru memberikan respon terhadap
pertanyaan siswa, memotivasi serta membimbing terhadap
kegiatan siswa. Namun bimbingan yang diberikan guru hanya
sebatas memberikan arahan bagi siswa untuk menemukan
konsep, jadi bukan memberikan hasil jawaban akhir.
b) Persentase aktivitas guru mengamati kegiatan individu
maupun kelompok sebesar 32,69%. Aktivitas mengamati
dilakukan setelah guru merasa cukup memberikan bantuan
yang diperlukan siswa. Selain itu aktivitas mengamati ini
lebih tertuju pada mengontrol jalannya diskusi agar berjalan
dengan baik.
c) Persentase aktivitas guru memberi gambaran/informasi
tentang materi pelajaran, sebesar 25%. Persentase aktivitas
lebih rendah dibandingkan persentase aktivitas guru yang
lain, karena selama KBM guru hanya memberikan gambaran
tentang materi ajar sebagai kerangka awal bagi siswa untuk
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
115
berpikir atau belajar lebih lanjut secara kelompok. Dengan
demikian, siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri.
Secara keseluruhan persentase waktu aktivitas guru, jika
dirujuk pada kriteria pencapaian persentase waktu ideal yang
ditetapkan pada BAB III, dapat disimpulkan persentase waktu
aktivitas guru berada pada interval toleransi waktu yang
ditetapkan.
Tes Hasil Belajar
Tes hasil belajar yang dikerjakan siswa berjumlah 10
soal, semuanya berbentuk soal uraian, yang diikuti oleh 38
siswa. Dari hasil THB terdapat 5 orang siswa yang tidak tuntas
belajar yaitu siswa dengan no urut 5, 13, 15, 26 dan 31 (tabel
4.22). Walaupun terdapat 5 siswa yang tidak tuntas belajar,
namun secara keseluruhan siswa telah tuntas belajar secara
klasikal, karena 86,84% dari siswa yang telah mengikuti KBM
telah tuntas belajarnya. Ini berarti dapat disimpulkan
pembelajaran dengan menerapkan perangkat pembelajaran
dengan model pembelajaran kooperatif tipe GI pada pokok
bahasan limit fungsi yang dikembangkan memenuhi kriteria
keefektifan.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 116
D. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Dari hasil pengembangan perangkat pembelajaran
dengan model pembelajaran kooperatif tipe group
investigation pada kelas XI SMA N 1 Jenangan, Ponorogo,
dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Proses pengembangan perangkat pembelajaran kooperatif
tipe GI ini menggunakan langkah-langkah model
pengembangan 4D yang dipadukan dengan kulitas produk
dari Richey dan Nelson yang mencakup aspek valid,
praktis, dan efektif. Aspek valid diukur dengan lembar
validasi, praktis diukur dengan lembar observasi
kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan efektif
diukur dengan lembar observasi aktivitas siswa dan guru
serta tes hasil belajar
b. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan memenuhi
kriteria valid, praktis, dan efektif.
c. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan mendukung
hasil KBM Pokok Bahasan Limit Fungsi
d. Guru mata pelajaran matematika menganggap perangkat
pembelajaran yang telah dikembangkan peneliti, cukup
membantu dan bermanfaat dalam KBM.
e. Perangkat pembelajaran yang dihasilkan dapat membentuk
pola belajar mandiri siswa.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
117
2. Saran
Beberapa saran dari hasil penelitian yang telah
dilakukan ini adalah:
a. Untuk mencapai kualitas hasil belajar yang baik dalam
pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe
GI diperlukan persiapan perangkat pembelajaran yang
cukup memadai, misalnya Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), Buku Petunjuk Guru (BPG), Buku
Siswa (BS) dan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang harus
dimiliki oleh setiap siswa dan instrumen penilaian hasil
belajar.
b. Bagi guru yang ingin menerapkan perangkat pembelajaran
yang telah dikembangkan oleh peneliti ini, harus
menganalisa alokasi waktu, fasilitas pendukung termasuk
media pembelajaran, dan karakteristik siswa yang ada pada
sekolah tempat perangkat ini akan diterapkan.
c. Dalam mengembangkan Buku Siswa (BS) dan Lembar
Kerja Siswa (LKS) hendaknya menggunakan bahasa atau
istilah yang mudah dimengerti oleh siswa dan menyajikan
contoh-contoh yang berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari agar siswa memiliki ketertarikan sehingga
menumbuhkan antusiasme belajar.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 118
DAFTAR PUSTAKA
Andi Rusdi. 2008. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran. http://perangkat.Html. Diakses pada 11 Maret 2009.
Cicilia Novi Primiani, Marheny Lukitasari, Endang Sumarsih dan Tri
Suharti. 2007. Pengembangan LKS untuk Meningkatkan Keefektifan Siswa dalam Pembelajaran Kooperatif pada Pembahasan sel Makhluk Hidup. Madiun: Jurnal Pendidikan Vol 13 IKIP PGRI Madiun.
Etin Solihatin dan Raharjo. 2007. Cooperative Learning Analisis
Model Pembelajaran IPS. Jakarta: Bumi Aksara. Hadari Nawawi. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Hamzah B. Uno. 2007. Model Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Milan Rianto dan Wignyo Harnoko. 1997. Perangkat Pembelajaran.
Malang: Pusat Pengembangan Penataran Guru IPS dan PMP Malang.
Muhibbin Syah. 1999. Psikologi Belajar .Jakarta: Logos Wacana
Ilmu. Mulyasa. 2008. Implementasi KTSP Kemandirian Guru dan Kepala
Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara. Nana Syaodih. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosdakarya. Nasution. 2004. Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara.
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009
119
Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nurhadi Yasin dan Agus Gerrad Senduk. 2004. Pembelajaran
Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Malang.
Rachman Abror. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: PT Tiara Wicana Yogya.
Sanjaya, Wina. 2006. Pembelajaran dalam Implementasi KBK.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya.
Jakarta: PT Rineka Cipta. Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktis. Jakarta: Rineka Cipta. Suroso dan Sardulo Gembong. 2008. Penerapan Strategi
Pembelajaran Matematika Melalui Sistem Konstruksi Verbal dan Non Verbal di SMA. Madiun: Jurnal Pendidikan Vol 14 IKIP PGRI Madiun.
Susan Widiasari. 2008. Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Berbasis Cooperatif Learning Tipe Numbered Head Together (NHT) Pada Topik Persegi Panjang Kelas VII MTsN Takeran, Magetan Tahun 2007/2008. Skripsi tidak dipublikasikan. Madiun: IKIP PGRI Madiun.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar
Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Yuni Setyaningrum. 2008. Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Kooperatif tipe STAD pada Pokok Bahasan Bangun Datar
JURNAL PENDIDIKAN MIPA, Vol. 1 No. 2 September 2009 120
Kelas VII SMP. Skripsi tidak dipublikasikan. Madiun: Universitas Widya Mandala Madiun.
W. Gulo. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo. Anonymous. 2004. Interaksi Belajar Mengajar dan PTK. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional. Anonymous. 2008. Metode Pembelajaran Investigasi Kelompok.
http:chadut Blog htm. Diakses 9 Januari 2009.
Top Related