PojokIde
Pada tanggal 12 Februari 2015, Perhimpunan Pelajar Indonesia
(PPI) Utrecht bekerja sama dengan PPI Belanda beserta Kedutaan
Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Kerajaan Belanda
mengadakan kegiatan kunjungan ke Mahkamah Internasional
(International Court of Justice) atau dikenal juga dengan nama the
Peace Palace yang berada di Kota Den Haag, Belanda. Mahkamah
Internasional merupakan salah satu dari enam organ utama (principal
organs) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selain dari Majelis
Umum (General Assembly), Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan
Sosial, Sekretariat, dan Dewan Perwalian PBB. Mahkamah
Internasional juga merupakan satu-satunya organ utama dari PBB
yang berkedudukan di luar New York.
Kegiatan ini tersebut diikuti oleh dua puluh orang peserta, baik
dengan latar belakang pendidikan hukum maupun non-hukum, yang
memiliki ketertarikan terhadap isu-isu mengenai hukum
internasional. Kegiatan diawali Tujuan pelaksanaan kegiatan ini
adalah untuk memperkenalkan peran dari Mahkamah Internasional
kepada para pelajar Indonesia di Belanda serta refleksi dari kasus
'Sipadan-Ligitan' antara Indonesia dan Malaysia, satu-satunya kasus
hukum yang melibatkan Indonesia yang disidangkan dan diputuskan
oleh Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional merupakan
salah satu dari enam organ utama (principal organs) dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) selain dari Majelis Umum (General Assembly),
Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Sekretariat, dan
Dewan Perwalian PBB.
Sipadan dan Ligitan
Indonesia pernah berupaya untuk menyelesaikan kasus
sengketa dengan Malaysia melalui Mahkamah Internasional. Kasus
sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diajukan
kepada Mahkamah Internasional karena kedua negara tidak
menemukan jalan penyelesaian melalui diplomasi secara bilateral.
1 2Oleh Yudistira Pratama Wachyar , M. Novrizal Bahar1* Ketua PPI Utrecht periode 2014 – 2015
2 Mahasiswa Pascasarjana bidang Hukum Konstitusi di Universitas Utrecht
Pembahasan kasus “Sipadan-Ligitan” dibahas secara terpisah di KBRI Den
Haag bersama Bapak Ibnu W. Wahyutomo. Kasus tersebut itu merupakan kasus unik
karena kedua negara yang bersengketa pada awalnya tidak memasukkan kedua
pulau tersebut dalam wilayah kedaulatan kedua negara. Pada tahun 1967, persoalan
mencuat ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara
memasukkan kedua pulau itu tersebut dalam batas wilayahnya. Kedua negara
sepakat untuk menetapkan status quo terhadap kedua pulau tersebut sampai
persengketaan selesai. Akan tetapi, pemahaman terhadap status quo oleh kedua
negara berbeda. Malaysia menganggap bahwa selama status quo, kedua pulau
tersebut masih berada di bawah kedaulatan Malaysia sehingga segala aktivitas
sosial-ekonomi berhak tetap dilaksanakan. Di sisi lainNamun, Indonesia
menganggap bahwa selama status quo, tidak boleh ada kegiatan sosial-ekonomi
yang dilaksanakan di kedua pulau tersebut.
Terdapat beberapa refleksi dari kasus “Sipadan-Ligitan” ini. Pertama, baik
Indonesia dan Malaysia telah mengajukan jalur diplomasi bilateral, tetapi tetap .
Meski demikian, jalur diplomasi bilateral tidak menemui kesepakatan sehingga
kasus ini diajukan ke Mahkamah Internasional. Kedua, kekalahan Indonesia di
Mahkamah Internasional tidak kemudian menjadikan wilayah kedaulatan Indonesia
berkurang, karena P. ulau Sipadan dan P. ulau Ligitan selama sengketa memiliki
status quo sehingga belum bisa dianggap bahwa kedua pulau sudah termasuk ke
dalam wilayah administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketiga,
upaya penyelesaian yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia melalui Mahkamah
Internasional perlu diberikan apresiasi. Ketimbang menyelesaikan persoalan melalui
pendekatan militer, kedua negara lebih memilih untuk menyelesaikan masalah
secara damai melalui diskusi dan negosiasi.
Secara umum, terdapat pelajaran berharga yang diperoleh para pelajar
Indonesia di Belanda melalui kunjungan ke Mahkamah Internasional dan diskusi
mengenai Kasus Sipadan-Ligitan: , bahwa jalan diskusi, mediasi, dan negosiasi
merupakan langkah terbaik dalam menyelesaikan sengketa antar negara. Hal ini itu
dapat menghindari timbulnya kerugian-kerugian secara sosial dan ekonomi bagi
kedua negara dibandingkan dengan penyelesaian masalah secara militer.
Sekilas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Indonesia 2015
Oleh Hada Fahmiasari
Korupsi Sejak Dini
Oleh Yel Narulita
Sumber gambar: http://cdn.kaskus.com/images/2014/02/02/5810778_20140202031502.jpg
Pada hari Sabtu, 29 Maret 2015, PPI Belanda kembali mengadakan Lingkar Inspirasi yang bertemakan Enterpreneurship: Belajar berbisnis di Belanda yang berlokasi di VU University Amsterdam melalui kerjasama dengan PPI Amsterdam. Pada kesempatan kali ini, PPI mengundang Bapak Fajar Rahmadany selaku founder dari IT service company Bataviasoft. Selain itu kami juga mengundang Adiska Fardani, seorang mahasiswa MSc Management of Technology di TU Delft dan juga seorang founder dari IT start-up company NoLimit yang berbasis di Bandung. Yang terakhir, PPI Amsterdam dan Belanda juga mengundang Ibu Desi Irawati-Rutten, peraih PhD selaku Business Representative of Bank BNI di Belanda sebagai pembicara.
Acara ini dibuka oleh Bapak Fajar Rahmadhany yang telah mengumpulkan banyak pengalaman berbisnis di Belanda. Beliau memfokuskan diskusinya pada tujuan, motivasi, dan strategi untuk memulai bisnis. Selain itu, beliau juga menerangkan tentang regulasi bisnis di Belanda karena dewasa ini, regulasi dalam memulai bisnis menjadi semakin ketat. Sebagai seorang founder, beliau juga memberikan tips bahwa menjaga relasi dengan para manager di sebuah perusahaan adalah hal yang sangat krusial.
Pesan utama dari presentasi kepada para peserta adalah harus dapat selalu mengerti kondisi dari market dengan melakukan market research secara detil, termasuk terhadap regulasi di tempat dimana kita berkeinginan untuk memulai sebuah bisnis.
Seminar kemudian dilanjutkan oleh Adiska Fardani, yang juga telah mempunyai pengalaman berbisnis di Indonesia. Tema yang menjadi fokus diskusi beliau adalah peran youth entrepreneurship di Indonesia. Diska, panggilan akrabnya, menujukkan melalui data statistik bahwa jumlah entrepreneurs di Indonesia masih di bawah angka 2%. Untungnya, bisnis-bisnis ini didominasi oleh banyak bisnis muda yang memberikan harapan cerah untuk prospek perkembangan enterpreneurs di masa yang akan mendatang. Oleh karena itu, Diska meminta pemerintah untuk memberikan dukungan serius bagi para calon entrepreneurs maupun bisnis rumah tangga kecil menengah (UKM), seperti dengan memberikan bantuan kredit melalui Microfinance. Pesan mendasar dari Adiska bagi para entrepreneur adalah untuk mengenali kelebihan mereka dan membangun network yang kuat sebelum memulai bisnis.
Setelah presentasi yang menarik oleh Diska, acara ditutup dengan diskusi oleh Ibu Desi Irawati, PhD. Setelah tiga belas tahun berkutat di bidang akademis, beliau memutuskan untuk membanting setir ke bidang business strategy untuk bank BNI. Berbeda dengan para pembicara sebelumnya yang menekankan pada motto 'just do it', beliau menekankan pada pentingnya 'intrapreneurship' sebelum entrepreneurship. Beliau mendefinisikan intrapreneurship sebagai periode pembangunan pengalaman sebelum memulai bisnis. Tujuan utama dari akumulasi pengalaman ini adalah untuk meningkatkan kemantapan dan daya kreativitas sebelum memasuki dunia bisnis dengan mengkombinasikan formal dan informal education sebelum memasuki dunia entrepreneur yang penuh resiko.
Seperti Pak Fajar katakan, pesan terpenting beliau dalam periode start-up dalam sebuah bisnis adalah untuk memahami betul kondisi market. Selainitu, beliau juga menekankan bahwa hal yang sangat penting untuk mengenali produk yang akan kita ciptakan; apakah produk itu sesuai dengan permintaan market dan consumer?
Secara keseluruhan, diskusi berlangsung dengan lancar dan kondusif. Interaksi antara pembicara dan peserta dapat terlihat secara jelas dengan banyaknya pertanyaan yang ditujukan kepada para pembicara. Diskusi ini ditujukan untuk meyakinkan dan memberikan informasi penting kepada para peserta yang bertujuan untuk memulai bisnis di masa yang akan mendatang.
Belajar Berbisnis di BelandaOleh Gilbert Sanjaya