Akhmad Baihaqi, dkk Evaluasi Pembiayaan Modal Kerja Koperasi dengan Mekanisme Kemitraan Koperasi – Bank (Studi Kasus Koperasi Petani Kakao – Bank Syariah Mandiri)
Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Aceh
Romano dan T. Saiful Bahri Mengelola Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Provinsi Aceh
Muhammad Insa Ansari Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Bentuk Legislasi di Kabupaten Aceh Besar
Zulkifli Strategi Meningkatkan Pendapatan Aceh dari Sumber Zakat: Suatu Bukti Empirik
Suriani dan Yefrizal Analisis Valuasi Ekonomi Wisata Alam Pantai Lampuuk dengan Pendekatan Travel Cost Method
Nur Aidar dan Eri Munandar Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar
VO
LO
ME
: 4 –
NO
MO
R: 2
– IS
SN
: 08
52
– 9
12
4: N
OV
ME
BE
R 2
01
3
PEMERINTAH ACEH BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
2013
EKONOMI DAN PEMBANGUNAN
Jurnal
VOLUME: 4 – NOMOR: 2 – November 2013
ISSN: 0852 - 9124
[Bappeda Aceh]
[ISSN: 0852-9124] [Vol. 4 No.2,Nov 2013]
[0651-29713] | [0651-21440] | [[email protected]]
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Akhmad Baihaqi, dkk Evaluasi Pembiayaan Modal Kerja Koperasi dengan Mekanisme Kemitraan Koperasi – Bank (Studi Kasus Koperasi Petani Kakao – Bank Syariah Mandiri) (Cost Evaluation of Coperation Capital Work Wife Partnership Mechanism of Coperation – Bank (Case Study of Cocoa Farmer Coperation – Syariah Mandiri Bank))
Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Aceh (The Effect of Education Sector Government Expenditure on The Poverty in Aceh)
Romano dan T. Saiful Bahri Mengelola Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Provinsi Aceh (Management of Rice Surplus and Deficit in the Province of Aceh)
Muhammad Insa Ansari Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Bentuk Legislasi di Kabupaten Aceh Besar (Local Government Policy in the Form of Legislation in Aceh Besar District)
Zulkifli Strategi Meningkatkan Pendapatan Aceh dari Sumber Zakat: Suatu Bukti Empirik (Strategy to Increase Aceh’s Revenues from Zakat Sources: an Empirical Evidence)
Suriani dan Yefrizal Analisis Valuasi Ekonomi Wisata Alam Pantai Lampuuk dengan Pendekatan Travel Cost Method (Analysis of Economic Valuation for Pantai Lampuuk Tourism with Travel Cost Method Approach)
Nur Aidar dan Eri Munandar Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar (Factor Saffecting land convertion in paddy Fields at Darul imarah District Aceh Besar)
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) ACEH 2013
i
TIM REDAKSI
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN terbit dua kali setahun pada bulan Juli
dan November yang berisi tulisan hasil penelitian dan kajian analisis kritis di bidang
Ekonomi Pembangunan :
Pembina : Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh
Pengarah : Mahruzal, SE
Penanggung Jawab : Ir. Alamsyah, MM
Dewan Redaksi : Prof. Dr. Drh. Tongku Nizwan Siregar, MP
Prof. Dr. Ir. Hasanuddin, MP
Dr. Ir. Ema Alemina, MP
drh. T. Armansyah,TR, M.Kes
Pimpinan Redaksi : Ramzi, M.Si
Staf Redaksi : Bulman
Rahmad
Cut Soraya Iskandar
Sri Hastuti Supriatna
Zaiyadi
Alamat Redaksi
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh
Bidang Penelitian, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan
Subbidang Penelitian dan Pengembangan
Jl. Tgk. H. M. Daud Beureueh No. 26 Banda Aceh
Telepon: (0651) 21440, 29713
Website: www.bappeda.acehprov.go.id
Email: [email protected]
ii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah Kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Ridha-Nya
sehingga Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Volume 4 Nomor 2 Edisi November Tahun
2013 dapat diterbitkan. Salawat dan Salam kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW yang telah menanamkan risalah kepada ilmuwan masa lalu, sekarang,
dan yang akan datang.
Penerbitan jurnal ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan dan
memajukan ilmu pengetahuan sekaligus memberikan informasi bagi stakeholder yang
berkaitan dengan Ekonomi dan Pembangunan di berbagai sektor.
Terbitan Volume 4 Nomor 2 Tahun 2013 ini tim redaksi telah berupaya
meningkatkan kualitasnya dengan melakukan perbaikan-perbaikan secara signifikan
dalam hal penambahan dewan pakar, format penulisan yang lebih konsisten, judul jurnal
yang lebih mudah dimengerti.
Setiap Volume berisi tujuh artikel, dan pada edisi ini yang dimuat adalah: 1) Evaluasi
Pembiayaan Modal Kerja Koperasi dengan Mekanisme Kemitraan Koperasi – Bank
(Studi Kasus Koperasi Petani Kakao – Bank Syariah Mandiri); 2) Pengaruh Pengeluaran
Pemerintah Sektor Pendidikan terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Aceh; 3) Mengelola
Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Provinsi Aceh; 4) Kebijakan Pemerintah
Daerah dalam Bentuk Legislasi di Kabupaten Aceh Besar; 5) Strategi Meningkatkan
Pendapatan Aceh dari Sumber Zakat: Suatu Bukti Empirik; 6) Analisis Valuasi Ekonomi
Wisata Alam Pantai Lampuuk dengan Pendekatan Travel Cost Method; dan 7) Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Darul Imarah
Kabupaten Aceh Besar.
Akhirnya ucapan terima kasih kepada para penyunting ahli dan reviewer yang telah
bersedia memberikan masukan demi penyempurnaan jurnal ini. Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada para penulis yang telah dimuat tulisannya. Harapan kami
semoga tulisan-tulisan ilmiah yang disajikan akan memberikan tambahan pengetahuan
kepada semua pembaca. Selain itu, kami juga mengundang semua pihak untuk dapat
mengirimkan tulisan ilmiah untuk terbitan selanjutnya. Redaksi juga mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak dalam upaya untuk meningkatkan kualitas jurnal ini.
Redaksi
iii
DAFTAR ISI
Evaluasi Pembiayaan Modal Kerja Koperasi dengan Mekanisme Kemitraan
Koperasi – Bank (Studi Kasus Koperasi Petani Kakao – Bank Syariah Mandiri)
Akhmad Baihaqi, dkk .......................................................................................
72
Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan terhadap Jumlah
Penduduk Miskin di Aceh
Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam .................................................... 79
Mengelola Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Provinsi Aceh
Romano dan T. Saiful Bahri .............................................................................. 100
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Bentuk Legislasi di Kabupaten Aceh
Besar
Muhammad Insa Ansari .................................................................................... 111
Strategi Meningkatkan Pendapatan Aceh dari Sumber Zakat: Suatu Bukti
Empirik
Zulkifli ................................................................................................................ 119
Analisis Valuasi Ekonomi Wisata Alam Pantai Lampuuk dengan Pendekatan
Travel Cost Method
Suriani dan Yefrizal .......................................................................................... 142
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan
Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar
Nur Aidar dan Eri Munandar ........................................................................... 152
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
ISSN: 0852 -9124 Vol. 4, No.2, Nov 2013
72
EVALUASI PEMBIAYAAN MODAL KERJA KOPERASI
DENGAN MEKANISME KEMITRAAN KOPERASI –
BANK (STUDI KASUS KOPERASI PETANI
KAKAO – BANK SYARIAH MANDIRI)
Cost Evaluation of Coperation Capital Work Wife Partnership
Mechanism of Coperation – Bank (Case Study of Cocoa
Farmer Coperation – Syariah Mandiri Bank)
Akhmad Baihaqi1, Ahmad Humam Hamid1, Yusya Abubakar1, dan Ashabul Anhar1 1Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala,
Darussalam, Banda Aceh
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian bertujuan mengidentifikasi kendala yang timbul dalam pelaksanaan pembiayaan dan
memberikan alternatif strategi untuk mengoptimalkan pengelolaan pembiayaan modal kerja koperasi. Penelitian
ini menggunakan metode survei, dengan sampel pengelola koperasi. Analisis data dilakukan secara kuantitatif
yang dipaparkan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan lemahnya transparansi dan akuntabilitas
berdampak terhadap proses pembiayaan. Strategi untuk mengoptimalkan kemampuan Sumber Daya Manusia
(SDM) dilakukan dengan tahapan proses: (1) Forum Group Discussion (FGD) untuk memberikan peta sosial
koperasi dalam hal karakter, pengetahuan dan pola kerja, (2) Pelatihan simulasi operasi bisnis untuk
meningkatkan kompetensi tata laksana usaha, (3) Pelatihan berbasis studi kasus untuk menjawab kendala yang
timbul dari kegiatan usaha.
Kata kunci: koperasi, modal kerja
ABSTRACT
The research aims to identify constraints the implementation of financing and provide alternative strategies
to optimize of working capital financing facilities. The study uses a survey method, sample are cooperative
management. Data analysis using quantitative data and analyzed descriptively.The results showed are weak of
transparency and accountability that impact to financing process. Strategies to optimize the human resources
process conducted by: (1) FGD, to provide of cooperatives social maps in character, knowledge and work
patterns, (2) business operation simulation training to improve the competence of business administration, (3)
case study-based training to respond business activities issues of working capital.
Keywords: cooperative, working capital
PENDAHULUAN
Kakao (Theobroma cacao) merupakan salah satu komoditi perkebunan rakyat yang
dapat diandalkan untuk dikembangkan selain kopi. Upaya pengembangan dan
memperkuat ekonomi sektor pertanian subsektor perkebunan telah dilakukan Pemerintah
Provinsi Aceh melalui program Economic Development Financing Facility (EDFF).
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Ahkmad Baihaqi, dkk
73
Progam yang bertujuan mengembangkan ekonomi petani dari perkebunan kakao ini
masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Petani kakao di wilayah Pidie, Aceh
Utara dan Aceh Timur umumnya masih tergolong miskin karena rendahnya pendapatan
yang mereka peroleh dari tanaman kakao tersebut yaitu rata-rata 5,5 juta rupiah per ha
per tahun (Actionaid Australia-Keumang, 2010 dan Actionaid Australia-Keumang,
2012). Beberapa kendala yang dihadapi dalam meningkatkan ekonomi petani adalah
ketersediaan dan akses permodalan sehingga petani tidak dapat bersaing untuk
mendapatkan nilai tambah harga dengan kuantitas produksi yang dimuliki. Salah satu
upaya untuk memperkuat basis usaha kakao rakyat adalah dengan mengembangkan suatu
pola pembiayaan modal kerja bagi organisasi (koperasi) petani kakao. Dengan dukungan
dana dari Multi Donor Fund (MDF), Action Aid Australia bersama Yayasan Keumang
mengembangkan suatu pola kerjasama antara koperasi primer dan koperasi sekunder
dengan lembaga keuangan di 3 kabupaten, yaitu Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur
untuk meningkatkan rantai nilai kakao bagi petani. Langkah untuk meningkatkan nilai
tambah harga melalui kuantitas produksi, memperkuat kelembagaan koperasi dan modal
kerja, dengan peranan kelembagaan dapat diciptakan daya tawar yang lebih baik dalam
perdagangan komoditi kakao tersebut. Bantuan modal kerja diberikan kepada petani
kakao melalui 9 unit koperasi primer, empat unit di Kabupaten Pidie, tiga unit di
Kabupaten Aceh Utara, dan dua unit di Kabupaten Aceh Timur yang beranggotakan
petani kakao di tiga kabupaten dengan jumlah anggota 4.500 petani. Untuk mendukung
peningkatan rantai nilai pemasaran koperasi-koperasi primer membentuk 1 (satu) unit
wadah bersama yaitu koperasi sekunder.Kucuran dana modal kerja diperuntukkan bagi
unit usaha koperasi dalam tahap I ini untuk mendukung aktivitas jual beli biji kakao yaitu
sebesar 3 milyar rupiah yang dimulai pada 14 Februari 2012-16 Agustus 2012 (6 bulan).
Masing-masing pembagian dana yaitu 200 juta rupiah untuk koperasi primer dan 1,2
milyar bagi koperasi sekunder dan ditempatkan di bank sebagai jaminan usaha
(Colateral). Besarnya dukungan modal kerja koperasi sekunder bertujuan mendukung
likuiditas modal kerja koperasi sekunder. Tantangan yang dihadapi oleh usaha yang baru
mulai berjalan adalah kemampuan sumber daya manusia untuk mengelola keungan dan
bisnis kakao. Daya saing usaha koperasi dengan para pesaing adalah tersedianya modal,
pengetahuan, tanggung jawab, dan karakter sosial masyarakat turut mendukung daya
ungkit koperasi untuk mencapai kesuksesan. Untuk mencapai kemandirian koperasi perlu
pula dilakukan peningkatan keahlian dan monitoring yang berbasiskan kebutuhan
pengelola dan anggota.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei terhadap 9 sembilan unit
koperasi primer dan 1 (Satu) unit koperasi sekunder yang tersebar di Kabupaten Pidie,
Aceh Utara, dan Aceh Timur. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan
kuesioner terhadap kinerja operasional koperasi dalam pengelolaan modal kerja,
sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai pihak yang terlibat di dalam program
pembiayaan dan studi literatur lainnya. Sebaran koperasi dan lokasi penelitian disajikan
pada Tabel 1.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
74
Tabel 1. Lokasi dan sebaran sampel penelitian.
Lokasi Unit Kerja Koperasi
Kabupaten Pidie
Kecamatan Padang Tiji Meuguna
Kecamatan Mila, Keumala dan Sakti Beuratana
Kecamatan Tangse, Mane dan Geumpang TMG
Kecamatan Glumpang Tiga APKO
Kecamatan Glumpang Tiga Pusat Koperasi Kakao Aceh
Kabupaten Aceh Utara
Kecamatan Langkahan Ingin Maju
Kecamatan Pirak Timur, Paya Bakong, dan Grudong Pase Aneuk Ban Keumang
Kecamatan Cot Girek Pertanian CocoA
Kabupaten Aceh Timur
Kecamatan Peunaron Aceh Berkat
Kecamatan Peudawa dan Rantau Pereulak Aceh Mekar
Pengumpulan data primer pada survai ini dilaksanakan melalui kombinasi antara: 1)
pengamatan lapangan (observation), diskusi terfokus (focus group discussion/FGD)
dengan semua stakeholder, dan wawancara dengan responden (petani) dalam bentuk
kuesioner.
Analisis data diperoleh dari hasil wawancara dengan sejumlah responden. Data yang
diperoleh ditabulasi kemudian dilakukan analisis secara kuantitatif yang dipaparkan
secara deskriptif. Pendekatan kuantitatif deskriftif akan diperoleh hasil “pemaknaan dan
penjelasan” terhadap berbagai kondisi dan fakta serta informasi yang diperoleh terkait
petani kakao di lokasi penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Skema Pembiayaan
Upaya untuk meminimalkan ketimpangan bagi petani kakao dilakukan dengan
membentuk lembaga formal petani melalui pembentukan koperasi. ActionAid dan
Yayasan Keumang sebagai pelaksana program membentuk tujuh koperasi primer dan
meningkatkan kapasitas kelembagaan dua koperasi primer, serta satu unit koperasi
sekunder sebagai induk koperasi-koperasi primer. Koperasi ini merupakan salah satu
langkah meningkatkan produktivitas kelembagaan sosial yang menunjang.
Modal kerja yang disediakan oleh Multi Donor Fund (MDF) tersebut berfungsi
sebagai jaminan atas pinjaman yang diambil oleh koperasi untuk membeli kakao dari
petani anggotanya. Program ini MDF dalam pelaksanaannya menyediakan dana modal
kerja, namun modal kerjanya tidak diberikan langsung kepada koperasi. Modal kerja
ditempatkan di dalam rekening investasi terikat pada Bank Syariah Mandiri (BSM) dalam
mekanisme pembiayaan syariah ini sebagai jaminan pinjaman koperasi, selanjutnya
koperasi akan melakukan pinjaman ke BSM yang didukung oleh modal kerja (jaminan).
Mekanisme pembiayaan Modal Kerja tersebut diatur oleh sistem perbankan syariah.
Kerjasama pembiayaan yang dilakukan oleh koperasi-koperasi dengan lembaga
keuangan (Bank Syariah Mandiri) sebesar 3 milyar rupiah (Rp 200.000.00 untuk 9
koperasi primer dan Rp 1.200.000.000,- bagi koperasi sekunder) sebagai jaminan.
Realisasi pembiayaan yang dijalankan kepada koperasi petani kakao pada tahap pertama
adalah sebesar Rp 50.000.000,- untuk sembilan unit koperasi primer atau total Rp
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Ahkmad Baihaqi, dkk
75
450.000.000 dan Rp 600.000.000,- bagi satu unit koperasi sekunder. Alokasi kebutuhan
modal kerja koperasi sekunder lebih besar sebagai upaya untuk menyokong aktivitas
pembelian dari sembilan unit koperasi primer. Aktivitas operasional modal kerja koperasi
tersebut dijelaskan pada Gambar 1.
Pelaksanaan dari kesepakatan pembiayaan antara koperasi dan Bank Syariah Mandiri
dengan jelas mengatur sistem bagi hasil bagi debitur dan kreditur tersebut, yaitu; (a)
modal kerja dipergunakan koperasi untuk membiayai modal usaha jual-beli biji kakao
yang dilaksanakan oleh koperasi primer dan koperasi sekunder; (b) nilai bagi-hasil atas
penyaluran pembiayaan investasi terikat kepada Koperasi sebagai pemilik dana adalah
4% per tahun; (c) nilai bagi-hasil yang diperoleh BSM atas pengelolaan investasi terikat
adalah 2% per-tahun, yakni biaya administrasi ditanggung oleh BSM; (d) Nilai bonus
yang diperoleh Koperasi dari Rekening Giro Syariah Mandiri adalah 0,8% flat p.a.; (e)
Nilai bagi-hasil yang diperoleh Koperasi dari Rekening Tabungan Syariah Mandiri
adalah 3,4% flat p.a. (f) Nilai bagi-hasil yang diperoleh dari deposito Rekening Investasi
Terikat Syariah Mandiri adalah 4% flat p.a., (g) Jangka waktu untuk peminjaman tahap
pertama dibatasi sampai dengan 6 (enam) bulan (Baihaqi et al., 2012).
Implementasi Pembiayaan dan Tantangan Koperasi
Kebersamaan koperasi didukung dengan tersedianya unit kerjasama yang akan
mendorong usaha koperasi. Kerjasama yang dibentuk oleh koperasi-koperasi primer
adalah membentuk “Pusat Koperasi Kakao Aceh” sebagai koperasi sekunder pemersatu
kerjasama. (Meyer, 1994 dalam Krisnamurthi, 1998) menjelaskan “koperasi sekunder
atau organisasi pemusatan bertujuan untuk mengembangkan bisnis koperasi primer, guna
mewujudkan peran sebagai pengimbang dalam ekonomi pasar kapitalistik. Koperasi
sekunder mengutamakan penerapan prinsip-prinsip bisnis sehubungan dengan lingkungan
bisnis yang dihadapi, dan disisi lain tetap dikelola secara demokratis.
Implementasi pembiayaan bagi koperasi-koperasi dilapangan menunjukkan adanya
Petani
Eksportir
Pembelian
Koperasi Primer
Pembelian
Penjualan
Gudang/ Proses
Koperasi Sekunder
Penjualan
Penbelian
Gudang/ Proses
Modal
wareh
ousing
apital
aktivitas
Kakao
Gambar 1. Diagram aktivitas usaha koperasi primer dan koperasi sekunder
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
76
kelemahan yang umum terjadi ketika suatu usaha kecil menengah mulai beraktivitas,
yaitu transparansi dan akuntabilitas keuangan dari sisi internal koperasi dan penyediaan
dana cicilan pengembalian kredit kepada bank disisi eksternal koperasi. Lemahnya
transparansi dan akuntabilitas keuangan ini disebabkan lemahnya kemampuan sumber
daya manusia, akibat yang ditimbulkan adalah kerugian pada kegiatan awal pembelian
terutama oleh koperasi-koperasi primer. Aktualisasi kinerja keuangan koperasi dalam
periode awal pembiayaan dijelaskan melalui keuntungan dan kerugian disajikan pada
Gambar 2.
Gambar 2. Aktualisasi operasional pembelian dan penjualan koperasi primer dalam
pembiayaan modal kerja
Dapat dijelaskan bahwa kegiatan jual beli yang dilakukan oleh sepuluh koperasi
dalam masa pembiayaan yaitu, terdapat dua koperasi yang memperoleh keuntungan lebih
dari 8 juta rupiah yaitu Pusat Koperasi Kakao Aceh dan Meuguna, dua koperasi
memperoleh keuntungan lebih dari 1 juta rupiah yaitu APKO dan Ingin Maju, tiga
koperasi membukukan keuntungan di bawah 1 juta rupiah yaitu TMG, Aceh Mekar dan
Aceh Berkat, sementara itu tiga koperasi mengalami kerugian yaitu Beuratana, Cocoa
dan Aneuk Ban Keumang.
Untuk menanggulangi kelemahan koperasi tersebut langkah perbaikan yang dilakukan
adalah melakukan monitoring dan pendampingan bagi koperasi-koperasi. Kegiatan
monitoring di lapangan membantu koperasi dalam memperbaiki kinerja keuangan
sekaligus manajerial para pengelola koperasi. Secara nyata kondisi yang dialami
pengelola koperasi tersebut dapat dijelaskan bahwa, walaupun telah diberikan pelatihan
dibidang manajemen dan keuangan mereka belum memiliki pengalaman dalam aktivitas
usaha. Melalui pendampingan pengelola koperasi dibekali kembali pengetahuan
keuangan dan manajemen yang sesuai dengan kondisi lapangan yang terjadi. Kondisi
lapangan tersebut antra lain: (1) modal yang dicairkan dipegang tidak hanya oleh
bendahara; (2) tidak taat dan jelas pencatatan pembukuan; (3) modal tunai terlalu lama
dipegang bukan oleh bendahara; (4) pengelola meminjam modal kerja untuk kepentingan
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Ahkmad Baihaqi, dkk
77
pribadi; (5) penaksiran harga beli tidak sesuai dengan acuan harga yang disepakati dan;
(6) fluktuasi harga pasar kakao.
Setelah dilakukan monitoring dan pelatihan pendampingan bagi keporasi, perbaikan
tata kelola manajerial pengelola koperasi mampu meningkatkan kinerja operasional
terutama transparansi dan akuntabilitas keuangan. Capaian kondisi tersebut mampu
mendorong kemandirian koperasi dalam pengelolaan pembiayaan perbankan. Hasil
capaian penggunaan modal kerja walaupun tidak signifikan memberikan keuntungan
maksimal, koperasi-koperasi telah mampu membukukan saldo bersih positif pada tahap
pertama pembiayaan antara koperasi dan Bank Syariah Mandiri. Kinerja keuangan
koperasi dijelaskan berdasarkan jumlah saldo pada akhir tutup buku periode pertama
pembiayaan seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Kinerja operasional keuangan koperasi setelah monitoring dan pendampingan
Model pelatihan yang dilakukan untuk memperbaiki kinerja operasional koperasi
dilakukan dalam tiga tahapan, dan di lapangan berdasarkan spesisik kendala yaitu: (1)
FGD kepada pengelola (pengurus, pengawas dan manager), hasil kegiatan akan
memberikan peta sosial koperasi dalam hal karakter, pengetahuan dan pola kerja. Kondisi
tersebut untuk menyatukan keberagaman, “Keberagaman dan perbedaan terjadi karena
fitrah manusia yang selalu ingin menunjukkan dan mempertahankan eksistensi dirinya
(Sumadi T. dan Japar M., 1998 dalam Supardi, 2009); (2) Pelatihan simulasi operasi
bisnis diberikan kepada manajer selaku pengelola unit usaha, selain untuk menigkatkan
kompetensi tata laksana jual beli serta pengelola mampu menjalankan usaha sesuai
dengan Prosedur Standar Operasional unit bisnis koperasi; (3) Pelatihan berbasis studi
kasus untuk menjawab tantangan yang timbul dari kegiatan usaha, pelaksanaan pelatihan
diberikan kepada pengelola keuangan untuk meningkatkan kompetensi bagi masing-
masing koperasi sehingga dapat menguasai teknik pemecahan masalah yang diperlukan.
Pelatihan berbasis kompetensi difokuskan pada kinerja aktual, dengan pendekatan
kompetensi peserta pelatihan diharapkan tidak sekedar tahu, tetapi juga dapat melakukan
sesuatu yang harus dikerjakan (Magkuprawira, 2009).
Kendala ketepatan waktu dalam penyediaan dana cicilan pengembalian kredit kepada
bank merupakan kelemahan bagi usaha bisnis yang baru berjalan, di samping masih
minimnya pengalaman usaha. Mengacu kepada aspek-aspek tersebut, penerapan sistem
cicilan kredit disesuaikan dengan kepentingan koperasi, kondisi ini didasari bahwa modal
kerja yang terus berputar dalam aktivitas jual beli. Sehingga Model pembayaran cicilan
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
78
dilakukan dengan pola: (1) cicilan bagi hasil dibayarkan setiap bulan selama masa
pembiayaan; (2) cicilan kredit dibayarkan sekaligus pada periode akhir pembiayaan.
Untuk meningkatkan aktiva koperasi, dilakukan penerapan pengendalian biaya
operasional. Pengendalian biaya merupakan masalah penting dalam mempertahankan dan
meningkatkan profitabilitas bagi usaha, unsur tenaga kerja dan operasional merupakan
sumber yang paling dominan dalam biaya. Untuk mengurangi biaya tersebut perlu
dilakukan evaluasi biaya tenaga kerja dan overhead (Horne dan Wachowicz, 2009).
KESIMPULAN
Lemahnya kemampuan sumber daya manusia yang disebabkan beragamnya tingkat
pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para pengurus koperasi, sehingga tidak
terciptanya kesamaan misi organisasi dan lemahnya transparansi pengelolaan keuangan
mengakibatkan tidak tertata dengan baiknya pengelolaan pembukuan. Rendahnya
akuntabilitas berakibat tidak terlaksananya standar prosedur kerja yang telah ditetapkan.
PUSTAKA
ActionAid Australia dan Keumang, 2010. Baseline Survei Sosial Ekonomi Petani Kakao di Kabupaten Pidie,
Aceh Utara dan Aceh Timur. Banda Aceh.
ActionAid Australia dan Keumang, 2012. Enline Survei Sosial Ekonomi Petani Kakao di Kabupaten Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Banda Aceh.
Baihaqi, A., A. Anhar. A., Y., P. Safrizal, dan. Rudy. 2012. Standar Prosedur Operasi Untuk Pembiayaan Bagi
Modal Kerja Koperasi Kakao. ActionAid Australia-Keumang. Banda Aceh.
Horne, J., C., Van and M., J, Jr. 2009. Fundamentals of Fiancial Manajemen, Buku 1 Ed 12. Salemba Empat.
Jakarta.
Supardi, 2009. Filsafat, Ilmu dan Ilmu Sosial. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
ISSN: 0852-9124 Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
79
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH SEKTOR
PENDIDIKAN TERHADAP JUMLAH
PENDUDUK MISKIN DI ACEH
The Effect of Education Sector Government Expenditure on The
Poverty in Aceh
Diana Sapha A.H1 dan Edwin Faris Bassam1 1Staf Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh.
Email: [email protected] dan [email protected]
ABSTRAK
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengeluaran pemerintah sektor pendidikan
terhadap kemiskinan kabupaten/kota di Aceh. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder dari tahun 2008 sampai dengan 2010. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif
dengan menggunakan data panel. Untuk mengestimasi parameter model penelitian ini menggunakan pendekatan
Fixed Effect Metode (FEM). Metode ini secara sederhana menggabungkan (pooled) seluruh data series dan
cross section. Hasil perhitungan untuk melihat hubungan antara pengeluaran pemerintah sektor pendidikan
terhadap kemiskinan jika pemerintah menambah pengeluaran pemerintah, maka tingkat kemiskinan akan
meningkat, jadi pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan belum mampu menurunkan tingkat kemiskinan di
Aceh. Hendaknya pengeluaran pemerintah harus dipastikan efisiensi dan efektivitas penggunaannya sampai
pada sasaran terutama masyarakat yang kurang mampu.
Kata kunci : pengeluaran pemerintah, pendidikan dan kemiskinan
ABSTRACT
The purpose of this research was to determine the effect of the education sector government expenditureon
poverty districts/cities in Aceh. The data was used in this study is a secondary data from 2008 to 2010. This study used quantitative research methods using panel data. To estimate the parameters of our model using Fixed Effect
approach method (FEM). This method simply combines (pooled) the entire data series and cross section.
Calculation results for the relationship between government spending on education sector to the poverty in Aceh if the government increases government spending, poverty levels will increase, so the government spending in the
education sector has not been able to reduce the level of poverty in Aceh. Hopefully government spending must be
ensured the efficiency and effectiveness of its use until the targeted specially the poor.
Keywords : government expenditure, education and poverty
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Pembangunan merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan hidup suatu negara.
Menciptakan pembangunan yang berkesinambungan adalah hal penting yang harus
dilakukan oleh sebuah negara dengan tujuan untuk menciptakan kondisi bagi masyarakat
untuk dapat menikmati lingkungan yang menunjang bagi hidup sehat, umur panjang dan
menjalankan kehidupan yang produktif. Dalam era globalisasi ini peranan pemerintah
untuk
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 4, No. 2, Nov 2013
80
melakukan pembangunan ekonomi merupakan kunci untuk menuju masyarakat yang
lebih makmur, karena itu peranan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan terutama
di negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus benar-benar aktif dan positif.
Suatu kegiatan ekonomi akan optimal jika terdapat aktifitas pemerintah di dalamnya.
Pemerintah dapat menjadi pelaku kegiatan ekonomi yang memacu produksi dan
konsumsi. Pihak swasta biasanya mengalokasikan sumber daya yang dimiliki melalui
mekanisme pasar, jika sistem pasar benar-benar efisien di dalam mengalokasikan sumber
daya, maka peranan pemerintah terbatas, salah satunya ketika terjadi kegagalan dalam
private market (Samuelson dan Nordhaus, 2005).
Pemerintah akan masuk dan menyelesaikan permasalahan kegagalan pasar jika pihak
swasta dan individu-individu tidak bersedia memperbaiki keadaan dan mengeluarkan
biaya. Pemerintah dapat melalukan dua jenis kebijakan yaitu kebijakan moneter dan
kebijakan fiskal. Kebijakan moneter merupakan kebijakan pemerintah dalam
mempengaruhi tingkat suku bunga dan jumlah uang beredar. Kebijakan fiskal adalah
kebijakan pemerintah melalui pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah
mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam meningkatkan laju pertumbuhan
ekonomi. Pemerintah melalui instrumen kebijakan dapat menyelamatkan keadaan ketika
perekonomian mengalami kelesuan akibat adanya resesi ekonomi.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan SDM
(Todaro, 2006). Disejumlah negara sedang berkembang pendidikan telah mengambil
bagian terbesar dari anggaran pemerintahnya. Usaha-usaha untuk menyediakan
kesempatan seluas-luasnya bagi pendidikan sekolah dasar telah menjadi prioritas dasar
dari setiap pembangunan di negara-negara tersebut, namun kendati kerugian-kerugian
yang secara kuantitatif mengesankan untuk tingkat pendaftaran sekolah dasar (SD),
tingkat melek huruf tetap sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara maju.
Tujuan pembangunan dibidang pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Dengan pendidikan maka diharapkan SDM di negara dan di daerah tersebut
meningkat, namun pembangunan sangat dipengaruhi oleh aspek pengelolaan, baik di
tingkat makro maupun mikro. Sistem pengelolaan yang efisien lebih menjamin
terlaksananya program-program dan tercapainya pembangunan pendidikan secara efektif
dan efisien maka sistem ini perlu terus diperbaiki dan disempurnakan.
Faktor lain (Susanti dkk, 1995:111) yang juga tidak kalah pentingnya adalah dana
yang dikeluarkan pemerintah untuk pembangunan pendidikan ini. Seiring dengan adanya
pendapatan perkapita, kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan menjadi
lebih tinggi, sehingga permintaan akan jenjang pendidikan akan meningkat dan waktu
sekolah pun akan menjadi lebih lama. Pendidikan bermanfaat untuk meningkatkan
produktivitas menurut Todaro (2006) tingkat pendidikan secara umum dipengaruhi oleh
permintaan dan penawaran, yang hampir seluruh jasa dan fasilitas pendidikan disediakan
oleh pemerintah yang berarti sisi penawaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
tingkat pendidikan dapat dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah sektor pendidikan.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
81
Sumber: DJPK, Depkeu 2011, Diolah
Gambar 1.1. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Daerah per Kabupaten/Kota
Tahun 2007 – 2010
Berdasarkan Gambar 1.1 selama tahun 2007 hingga 2010 proporsi pengeluaran
pemerintah atas pendidikan berubah-ubah di setiap kabupaten/kota. Pada kabupaten/kota
seperti Bener Meriah, Subusalam, Pidie Jaya, Nagan Raya, Singkil, dan Pidie data untuk
tahun 2007 belum tersedia. Kabupaten/kota yang proporsi pengeluaran pemerintah
terendah tahun 2007 adalah Kabupaten Simeuleu sebesar Rp. 27,9 milliar dan tertinggi
adalah Kabupaten Aceh Utara dengan Rp. 268,1 milliar. Sementara untuk tahun 2008
untuk terendah tetap Kabupaten Simeuleu dengan Rp. 27,9 milliar dan untuk yang
tertinggi masih tetap Kabupaten Aceh Utara dengan Rp. 373,4 milliar Untuk tahun 2009-
2010 proporsi pengeluaran pemerintah terendah yaitu Kota Subussalam dengan Rp. 47,2
milliar pada tahun 2009 dan Rp. 46,1 milliar pada tahun 2010. Dan tahun 2009-2010
yang tertinggi tetap Kabupaten Aceh Utara dengan Rp.344 milliar pada tahun 2009 dan
pada tahun 2010 sebesar Rp. 288,8 milliar dapat dilihat pada gambar 1 pada tahun 2007-
2010 Kabupaten Aceh Utara masih dengan posisi yang tertinggi pada proporsi
pengeluaran pemerintah sektor pendidikan Aceh (DJPK, 2011).
Sumber daya manusia sangatlah penting untuk negara maju maupun negara
berkembang seperti Indonesia umumnya dan Aceh khususnya. Ini di karenakan negara
yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas akan membangun bangsanya dan
daerahnya untuk menjadi suatu negara dan daerah yang maju yang memiliki penduduk
yang cerdas dan cakap dalam membangun daerahnya. Maka sumber daya manusia sangat
perlu di tingkatkan untuk mendapatkan cita-cita daerah itu sendiri.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
82
Selain itu kemiskinan merupakan salah satu masalah penting yang dihadapi
pemerintah yang mempengaruhi pembangunan manusia di Aceh. Tingkat kemiskinan
yang tinggi membuat individu tidak mempunyai alokasi dana dalam rangka memenuhi
kebutuhan dasarnya salah satunya yang berhubungan dengan proses pembangunan
manusia. Masalah kemiskinan merupakan hal penting yang perlu ditangani pemerintah
daerah Aceh.
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
160,00
2008
2009
2010
Sumber: BPS 2011, Diolah
Gambar 1.2. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota 2008-2010 (dalam ribuan jiwa)
Menurut Gambar 1.2 jumlah penduduk miskin Di Aceh yang terbesar adalah di
daerah Kabupaten Aceh Utara sangatlah tinggi apabila dibandingkan dengan daerah di
kabupaten/kota pada tahun 2008 dengan jumlah penduduk 135,7 ribu jiwa dan semakin
menurun dengan jumlah penduduk 124,40 ribu jiwa tahun 2010. Lalu penduduk miskin
terendah terdapat pada Kota Sabang jumlah penduduk miskin 7,14 ribu jiwa dan menurun
pada tahun 2010 sebesar 6,60 ribu jiwa. Dalam kurun waktu antara tahun 2008 sampai
2010 tingkat kemiskinan Aceh cenderung turun pada tahun berikutnya (BPS, 2011).
Berdasarkan latar belakang di atas menarik untuk dibahas mengenai pengaruh
pengeluaran pemerintah sektor pendidikan terhadap pengaruh kemiskinan pada periode
tahun 2008-2010.
Perumusan Masalah
Pengeluaran pemerintah memiliki hubungan yang kuat dengan pertumbuhan ekonomi,
terutama jenis pengeluaran pemerintah yang menyangkut pencapaian kesejahteraan
masyarakat. Pengeluaran tersebut adalah pengeluaran atas pendidikan. Sektor tersebut
merupakan sektor yang sangat penting bagi proses pembangunan. Pendidikan merupakan
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
83
upaya dalam mempersiapkan SDM yang berkualitas dalam memberikan kontribusi yang
positif terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga dengan meningkatnya SDM maka akan
mengurangi kemiskinan. Dengan demikian yang menjadi permasalahan adalah bagaimana
pengaruh pengeluaran pemerintah sektor pendidikan terhadap kemiskinan di Aceh.
Tujuan Penelitian
Penulisan ini mempunyai tujuan untuk mengetahui Pengaruh Pengeluaran Pemerintah
Sektor Pendidikan Terhadap Kemiskinan di Aceh. Kegunaan Penelitian: a) Melihat
pengaruh pengeluaran pemerintah atas sektor pendidikan terhadap kemiskinan di Aceh
sehingga bisa menjadi masukan dalam perumusan kebijakan penganggaran; b) Hasil
penelitian ini diharapkan sebagai tambahan informasi bagi pembaca tentang kebijakan
belanja publik oleh pemerintah.
Kerangka Teoritis dan Konsepsi Pengertian Pengeluaran Pemerintah Menurut kamus lengkap ekonomi (Pass dan Lowes, 1994:268-269) pengeluaran
pemerintah (government expenditure) adalah pengeluaran dan investasi (investment) dari
pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan barang-barang sosial (social goods) dan
jasa-jasa (kesehatan, pendidikan, pertahanan/keamanan, jalan raya, dan lain sebagainya),
memasarkan barang dan jasa (batu bara, jasa pos, dan lain sebagainya) dan biaya sosial
untuk pengangguran, pensiunan, dan lain sebagainya (transfer payment) dalam model
arus sirkulasi pendapatan (circular flow of income payment), transfer payment tidak
dimasukkan dalam pengeluaran pemerintah karena pengeluaran ini tidak produktif yang
hanya berupa pemindahan penerimaan pajak dari suatu rumah tangga ke rumah tangga
lainnya.
Dalam rangka mencapai kondisi masyarakat yang sejahtera pemerintah menjalankan
berbagai macam program pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah dalam melakukan
pembangunan membutuhkan dana yang cukup besar, pengeluaran pemerintah
mencerminkan kombinasi produk yang dihasilkan untuk menyediakan barang publik dan
pelayanan kepada masyarakat yang memuat pilihan atas keputusan yang dibuat oleh
pemerintah. Dalam kebijakan fiskal dikenal ada beberapa kebijakan anggaran yaitu
anggaran berimbang, anggaran surplus, dan anggaran defisit. Menurut Mangkoesoebroto
(dalam Abdul Aziz, 2010) anggaran surplus digunakan jika pemerintah ingin mengatasi
masalah inflasi. Sedangkan anggaran defisit digunakan jika pemerintah ingin mengatasi
masalah pengangguran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Jika pemerintah
merencanakan peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi angka
pengangguran maka pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya.
Teori Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan yang telah diambil oleh
pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang
dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan untuk
melaksanakan kebijakan tersebut (Guritno, 1993). Dasar teori pengeluaran pemerintah
adalah identitas keseimbangan pendapatan nasional (Y= C+I+G+(X-M)) dimana Y
mengambarkan pendapatan nasional sekaligus penawaran agregat, permintaan agregat
digambarkan pada persamaan C+I+G+(X-M) dimana G merupakan pengeluran
pemerintah yang merupakan bentuk dari campur tangan pemerintah dalam perekonomian.
Kenaikan atau penurunan pengeluaran pemerintah akan menaikkan atau menurunkan
pendapatan nasional. Pemerintah tidak cukup hanya meraih tujuan akhir dari setiap
kebijaksanaan pengeluarannya, tetapi juga harus memperhitungkan sasaran antara yang
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
84
akan menikmati atau terkena kebijaksanaan tersebut. Pemerintah pun perlu menghindari
agar peningkatan perannya dalam perekonomian tidak justru melemahkan kegiatan
swasta (Dumairy, 1997).
Pemerintah sebagai pemegang peran penting dalam setiap hajat hidup masyarakat
Indonesia perlu melakukan kajian yang mendalam dalam setiap kebijakannya agar setiap
output yang dihasilkan dan diharapkan dapat tepat sasaran dan memberikan pengaruh
nyata terhadap masyarakat. Kebijakan yang tidak tepat sasaran melalui kebijakan alokasi
dana tiap sektor yang menyangkut kebutuhan masyarakat luas seharusnya perlu diberikan
porsi lebih dalam alokasi anggaran pemerintah, kebijakan pemerintah menyangkut sektor
pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial adalah beberapa contoh diantaranya yang
perlu diberikan perhatian lebih, hal ini dikarenakan pada sector-sektor tersebutlah
masyarakat dapat merasakan secara langsung dampak dari kebijakan pemerintah yang
diambil.
Beberapa alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa sector-sektor tersebut dapat
menjadi acuan dan gambaran dari pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang
dimaksud disini bukanlah pertumbuhan ekonomi secara statistik saja, namun
pertumbuhan ekonomi yang juga memberikan kontribusi langsung terhadap masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung di Indonesia selama ini tidak menyentuh
secara langsung ke lapisan masyarakat golongan ekonomi lemah, karena pertumbuhan
ekonomi yang secara statistik diungkapkan oleh pemerintah tidak mencerminkan
gambaran secara langsung kondisi sosial dalam masyarakat. Ditengah pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang selalu dalam angka positif terdapat tingkat pengangguran yang
tidak berkurang secara signifikan demikian pula pada sektor yang menyangkut kebutuhan
publik lainnya seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial yang masih belum
memadai, hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi hanya dipacu oleh pertumbuhan
konsumsi rumah tangga.
Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah
Menurut Suparmoko (1994) pengeluaran pemerintah dapat dinilai dari berbagai segi
sehingga dapat dibedakan menjadi empat klasifikasi sebagai berikut: a) pengeluaran
pemerintah merupakan investasi untuk menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi di
masa yang akan datang; b) pengeluaran pemeritah langsung memberikan kesejahteraan
bagi masyarakat; c) pengeluaran pemerintah merupakan pengeluaran yang akan datang;
d) pengeluaran pemerintah merupakan sarana penyedia kesempatan kerja yang lebih
banyak dan penyebaran daya beli yang lebih luas.
Oleh karena itu pengeluran pemerintah dapat dibedakan menjadi beberapa golongan
yaitu sebagai berikut :a) pengeluaran yang self liquiditing sebagian atau seluruhnya,
artinya pengeluaran pemerintah mendapatkan pembayaran kembali dari masyarakat yang
menerima jasa atau barang yang bersangkutan. Contohnya, pengeluaran untuk jasa negara
pengeluaran untuk jasa-jasa perusahaan pemerintah atau untuk proyek–proyek produktif
barang ekspor; b) pengeluaran yang reproduktif, artinya mewujudkan keuntungan-
keuntungan ekonomis bagi masyarakat, dengan naiknya tingkat penghasilan dan sasaran
pajak yang lain pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan pemerintah. Misalnya,
pemerintah menetapkan pajak progresif sehingga timbul redistribusi pendapatan untuk
pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat; c) pengeluaran yang tidak self liquiditing
maupun yang tidak produktif, yaitu pengeluaran yang langsung menambah kegembiraan
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
85
dan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, untuk bidang rekreasi, objek-objek pariwisata
dan sebagainya. Sehingga hal ini dapat juga menaikkan penghasilan dalam kaitannya
jasa-jasa tadi; d) pengeluaran yang secara langsung tidak produktif dan merupakan
pemborosan, misalnya untuk pembiayaan pertahanan atau perang meskipun pada saat
pengeluaran terjadi penghasilan yang menerimanya akan naik; e) pengeluaran yang
merupakan penghematan di masa yang akan datang. Misalnya pengeluaran untuk anak-
anak yatim piatu. Jika hal ini tidak dijalankan sekarang, kebutuhan-kebutuhan
pemeliharaan bagi mereka di masa yang akan datang pasti akan lebih besar.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pengeluaran pemerintah
Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin pada dasarnya
berunsurkan pos-pos pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan roda pemerintahan
sehari-hari meliputi belanja pegawai, belanja barang: berbagai macam subsidi (subsidi
daerah dan subsidi harga barang); angsuran dan utang pemerintah; serta jumlah
pengeluran lain. Sedangkan pengeluaran pembangunan maksudnya adalah pengeluaran
yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk prasarana fisik, yang dibedakan
atas pembangunan yang dibiayai dengan dana rupiah dan bantuan proyek. Pengeluaran
rutin dan pengeluaran pembangunan mempunyai batasan yang tidak jelas. Sebagai
contoh, berbagai macam upah dan gaji tambahan yang menurut logika awam termasuk
pengeluaran rutin oleh pemerintah digolongkan sebagai pengeluaran pembangunan.
Pengeluaran pemerintah juga dapat dibedakan menurut berbagai macam klasifikasi
sebagai berikut: (1) pembedaan antara Pengeluaran atau Belanja Rutin dan Pengeluaran
atau Belanja Pembangunan: a) belanja rutin adalah belanja untuk pemeliharaan atau
penyelenggaraan pemrintah sehari-hari. Belanja rutin terdiri atas Belanja Pegawai, yaitu
untuk pembayaran gaji atau upah pegawai termasuk gaji pokok dengan segala macam
tunjangan. Belanja barang yaitu untuk pembelian barang-barang yang digunakan untuk
penyelenggaraan pemerintah sehari-hari. Belanja pemeliharaan yaitu pengeluaran untuk
memelihara agar milik atau kekayaan pemerintah tetap terpelihara secara baik. Belanja
perjalanan yaitu untuk perjalanan kepentingan penyelenggaraan pemerintahan; b) belanja
pembangunan adalah pengeluaran untuk pembangunan baik pembangunan fisik maupun
pembangunan non fisik spiritual. (2) pembedaan antara current account atau current
expenditure dengan capital expenditure atau capital account; a) Current expenditure atau
current budget (anggaran rutin), yaitu anggaran untuk penyelenggaraan pemerintah
sehari-hari, termasuk belanja pegawai dan belanja barang serta belanja pemeliharaan; b)
Capital expenditure atau capital budget (belanja pembangunan), yaitu rencana untuk
pembelian capital (tetap). (3) pembedaan Obligatory Expenditure dengan Optional
Expenditure antara Real Expenditure dengan Transfer Expenditure dan antara Liquidated
Expenditure dengan Cash Expenditure; a) Obligatory Expenditure atau pengeluaran
wajib adalah pengeluaran yang bersifat wajib harus dilakukan agar efektifitas
pelaksanaan pemerintah dapat terselenggara sebaik-baiknya; b) Optional Expenditure
atau pengeluaran opsional adalah pengeluaran yang dilakukan pada saat tiba-tiba
dibutuhkan; c) Real Expenditure atau pengeluaran nyata adalah pengeluaran untuk
membeli barang dan jasa; d) Liquidated Expenditure adalah pengeluaran sebagaimana
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
86
yang sudah diajukan dan disetujui oleh DPR. Semula dalam RAPBN setelah mendapat
pengesahan menjadi APBN; e) Transfer Expenditure adalah pengeluaran yang tidak ada
kaitannya dengan mendapatkan barang dan jasa, jadi tidak ada direct quid pro quo; f)
Cash Expenditure adalah pengeluaran yang telah sungguh-sungguh dilaksanakan berupa
pembayaranpembayaran konkrit.
Alokasi Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan
Secara filosofis pelayanan sektor pendidikan merupakan salah satu alasan dan tujuan
dibentuknya negara, dengan demikian negara sebagai pemegang mandat dari rakyat
bertanggungjawab untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan sebagai usaha
pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Dalam hal ini, posisi negara adalah sebagai pelayan
rakyat (public servant) dan pemberi layanan. Sementara rakyat memiliki hak atas
pelayanan sektor pendidikan negara karena sudah memenuhi kewajibannya sebagai
warga negara, seperti membayar pajak (langsung maupun tidak langsung) dan terlibat
dalam pengawasan dan partisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 negara ini menegaskan bahwa salah satu
tujuan didirikan negara Indonesia adalah mencerdaskan seluruh rakyat. Cara yang
digunakan untuk mencapainya dengan memanfaatkan institusi pendidikan seperti sekolah
atau perguruan tinggi. Melalui institusi tersebut negara diberi kewajiban untuk membuka
akses bagi semua anggota masyarakat agar memperoleh layanan pendidikan bermutu.
Sadar akan kewajiban tersebut, negara menaruh perhatian khusus untuk bidang
pendidikan. Hal ini terlihat dalam konstitusi negara RI pasal 31 UUD 1945; UU No 20
tahun 2003 Tentang Sisdiknas (pasal 49 ayat 4) yang menyatakan alokasi anggaran
pendidikan minimal sebesar 20 % dari APBN/APBD. Bahkan, pada pasal 182 ayat 3 UU
No 11 Tentang Pemerintahan Aceh, alokasi dana pendidikan paling sedikit 30 % dari
APBA.
Keterkaitan antara UUPA dengan Kebijakan-kebijakan lain sebagaiman tersebut
tercermin dalam UUPA pasal 215, pendidikan yang diselenggarakan di Aceh merupakan
satu kesatuan dengan sistem pendidikan nasional serta disesuaikan dengan karakteristik,
potensi, dan kebutuhan masyarakat setempat. Pada butir pertama dari Pasal 217
disebutkan pula bahwa penduduk Aceh yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Terkait dengan disahkannya UU-PA,
kemudian memiliki konsekuensi hukum terhadap perubahan dan penyempurnaan qanun
tentang penyelenggaraan pendidikan di Provinsi Aceh yang sebelumnya telah dituangkan
dalam Qanun No 23 Tahun 2002 Pemerintah dan pemerintah daerah diwajibkan memberi
layanan dan kemudahan, serta menjamin pendidikan yang bermutu bagi setiap warga
negara tanpa ada diskriminasi.
Karenanya, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya
dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh
sampai dengan lima belas tahun. Kedua aturan tersebut dengan jelas menerangkan bahwa
mutu dan bebas biaya dalam pelayanan pendidikan menjadi satu bagian. Artinya, selain
harus membiayai seluruh kegiatan operasional pendidikan, pemerintahpun
bertanggungjawab dalam peningkatan mutu guru, ketersediaan buku ajar, serta peralatan
dan perlengkapan belajar mengajar.
Upaya pemerintah dalam membangun dunia pendidikan tergambar pada program
wajib belajar yang harus tuntas tahun 2008, program bantuan operasional sekolah (BOS),
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
87
program perbaikan saran sekolah yang rusak dan lain-lain. Namun usaha tersebut belum
dapat memberi angin segar bagi dunia pendidikan. Ini terlihat dari informasi media
tentang penyimpangan dana pendidikan.
Pengaruh Pengeluaran Pemerintah atas Pendidikan
Teori pertumbuhan ekonomi yang berkembang saat ini didasari kepada kapasitas
produksi tenaga manusia di dalam proses pembangunan atau disebut juga investment in
human capital. Hal ini berarti peningkatan kemampuan masyarakat menjadi suatu
tumpuan yang paling efisien dalam melakukan pembangunan di suatu wilayah. Asumsi
yang digunakan dalam teori human capital adalah bahwa pendidikan formal merupakan
faktor yang dominan untuk menghasilkan masyarakat berproduktivitas tinggi. Teori
human capital dapat diaplikasikan dengan syarat adanya sumber teknologi tinggi secara
efisien dan adanya sumber daya manusia yang dapat memanfaatkan teknologi yang ada.
Teori ini percaya bahwa investasi dalam hal pendidikan sebagai investasi dalam
meningkatkan produktivitas masyarakat.
Investasi dalam hal pendidikan mutlak dibutuhkan maka pemerintah harus dapat
membangun suatu sarana dan sistem pendidikan yang baik. Alokasi anggaran
pengeluaran pemerintah terhadap pendidikan merupakan wujud nyata dari investasi untuk
meningkatkan produktivitas masyarakat. Pengeluaran pembangunan pada sektor
pembangunan dapat dialokasikan untuk penyediaan infrastruktur pendidikan dan
menyelenggarakan pelayanan pendidikan kepada seluruh penduduk Indonesia secara
merata. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen merupakan wujud realisasi pemerintah
untuk meningkatkan pendidikan.
Menurut E.Setiawan (2006) implikasi dari pembangunan dalam pendidikan adalah
kehidupan manusia akan semakin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian
secara umum (nasional) semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin tinggi
tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut. Semakin tinggi kualitas
hidup/investasi sumber daya manusia yang kualitas tinggi akan berimplikasi juga
terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi nasional.
Kemiskinan
Kemiskinan menurut Mudrajad Kuncoro (2000) adalah ketidakmampuan untuk
memenuhi standar hidup minimum. Permasalahan standar hidup yang rendah berkaitan
pula dengan jumlah pendapatan yang sedikit (kemiskinan), perumahan yang kurang
layak, kesehatan dan pelayanan kesehatan yang buruk, tingkat pendidikan masyarakat
yang rendah sehingga berakibat pada rendahnya sumber daya manusia dan banyaknya
pengangguran. Tingkat standar hidup dalam suatu negara bisa diukur dari beberapa
indikator antara lain Gross National Product (GNP) per capita, pertumbuhan relatif
nasional dan pendapatan per kapita, distribusi pendapatan nasional, tingkat kemiskinan,
dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Menurut Todaro (2000), besarnya kemiskinan
dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan (poverty line). Konsep
yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan konsep
yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif.
Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan di bawah, yaitu kebutuhan-kebutuhan
minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ini adalah suatu ukuran tetap (tidak
berubah) di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
88
komponen non makanan yang juga sangat diperlukan untuk survive. Sedangkan
kemiskinan relative adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi
pendapatan, biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari
distribusi yang dimaksud. Mengutip pendapat Nurske, Jhingan (2000) dan Mudrajad
Kuncoro (2003) menyatakan bahwa negara/ daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi,
umumnya terjerat ke dalam apa yang disebut lingkaran kemiskinan (vicious circle).
Nurske menjelaskan bahwa lingkaran kemiskinan mengandung arti deretan melingkar
kekuatan-kekuatan yang satu sama lain berinteraksi sedemikian rupa sehingga
menempatkan suatu negara daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi tetap berada dalam
keadaan terbelakang. Menurut Nurske kemiskinan adalah sebab sekaligus akibat.
Pengentasan kemiskinan yang terkenal di banyak negara berkembang sekarang secara
eksplisit mengintegrasikan insentif untuk pengembangan modal manusia berupa
kesehatan dan pendidikan di antara keluarga-keluarga berpendapatan rendah.
Hubungan antara Pendidikan dan Kemiskinan
Ada dua alasan ekonomi mendasar yang memaksa kita percaya bahwa sistem
pendidikan di banyak negara berkembang pada dasar tidak memperhatikan aspek
pemerataan (equality), dalam arti anak-anak dari keluarga miskin tidak dibantu sedikit
pun untuk meningkatkan kesempatannya yang sangat terbatas itu dalam memperoleh dan
menyelesaikan program pendidikan pada segala tingkatan, apalagi jika kesempatan
mereka itu dibandingkan dengan kesempatan anak dari keluarga-keluarga kaya (Todaro):
(1) biaya-biaya individual untuk menempuh sekolah dasar (terutama bila dipandang dari
biaya oportunitis tenaga kerja seorang anak dari keluarga miskin) secara relatif jauh lebih
tinggi bagi anak-anak orang miskin daripada biaya-biaya yang harus dipikul oleh anak-
anak dari keluarga kaya; (2) manfaat yang diharapkan dari pendidikan sekolah dasar bagi
anak-anak dari keluarga miskin justru lebih rendah. Dengan demikian, adanya biaya yang
lebih tinggi yang dibarengi dengan manfaat yang lebih rendah menunjukkan “tingkat
pengembalian” (rate of returns) investasi pendidikan seorang anak dari keluarga miskin
begitu terbatas, sehingga kemungkinan besar ia akan mengalami putus sekolah pada awal
tahun pendidikannya.
Selanjutnya, mari kita lihat lagi alasan-alasan yang menyebabkan biaya-biaya tersebut
relatif tinggi, sedangkan manfaatnya justru lebih rendah bagi anak-anak dari keluarga
miskin. Tingginya biaya oportunitas tenaga kerja yang harus ditanggung keluarga miskin
jika anaknya bersekolah. Program wajib belajar yang menyediakan bangku secara cuma-
cuma memang tidak membebankan biaya moneter atau pungutan uang. Akan tetapi, bagi
keluarga-keluarga miskin pendidikan tidak pernah cuma-cuma. Anak-anak yang telah
mencapai usia sekolah dasar umumnya diperlukan tenaganya di lahan pertanian keluarga,
atau sekedar membantu menjajakan dagangan. Jika waktu yang sediannya digunakan
untuk bekerja (sehingga menghasilkan sejumlah pemasukan bagi keluarga digunakan
untuk bersekolah, maka pihak keluarga tentu saja menanggung kerugian yang kita kenal
dengan istilah biaya oportunitas (opportunity cost). Kerugian itu muncul karena keluarga
yang bersangkutan harus kehilangan input tenaga kerja berharga yang sangat
diperlukannya; jika fungsi yang sedianya dijalankan sang anak itu penting, maka keluarga
tadi terpaksa mengeluarkan biaya ekstra untuk memperkerjakan orang lain guna
mengantikan si anak. Biaya ini diluar biaya atau pengeluaran yang nyata seperti uang
sekolah, ongkos transport, ongkos pembuatan baju seragam, dan sebagainya. Biaya
oportunitas ini tidak masalah bagi keluarga yang berpendapatan lebih tinggi yang
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
89
kebanyakan tinggal di daerah perkotaan, Karena mereka memang sama sekali tidak
mengharapkan bantuan tenaga si anak.
Sebagai biaya oportunitas yang lebih tinggi, kehadiran dan prestasi sekolah cenderung
lebih rendah bagi anak-anak keluarga miskin bila dibandingkan dengan keluarga yang
berpendapatan lebih tinggi. Dengan demikian, walaupun di banyak negara berkembang
mudah dijumpai adanya pendidikan sekolah dasar yang bebas biaya, namun anak-anak
dari keluarga miskin, terutama anak-anak dari daerah pedesaan, jarang yang melanjutkan
pendidikan mereka hingga tamat. Pada akhirnya, jika pembenahan nasib anak-anak
miskin tersebut tidak segera dilakukan, akan tercipta suatu sistem pendidikan yang
seleksi dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan lebih lanjut hanya didasari pada
tinggi-rendahnya tingkat pendapatan keluarga.
Ketimpangan sistem pendidikan di negara-negara tersebut lebih mencolok pada
pendidikan tingkat universitas, yang sebagian atau seluruh biayanya (termasuk uang saku
para mahasiswa) disubsidi oleh pemerintah. Mengingat sebagian besar mahasiswa
universitas berasal dari golongan berpendapatan tinggi (karena telah diseleksi sewaktu di
tingkat sekolah lanjutan), pendidikan universitas yang biaya-biayanya seringkali
disubsidi dengan menggunakan uang pajak yang bersumber dari masyarakat luas itu pada
akhirnya justru hanya akan dinikmati oleh mereka yang berasal dari keluarga yang relatif
makmur. Dengan demikian, akan tercipta suatu proses yang sangat ironis serta
menyedihkan, yakni “transfer payment” dari golongan miskin kepada golongan kaya
yang berlangsung melalui program pendidikan tinggi yang gratis.
Investasi publik di bidang pendidikan akan memberikan kesempatan pendidikan yang
lebih merata kepada masyarakat sehingga sumber daya manusia (SDM) handal semakin
bertambah. Meningkatnya pendidikan akan mendorong peningkatan kualitas sumber daya
manusia dan peningkatan produktivitas tenaga kerja, yang pada gilirannya akan
meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan demikian diharapkan kondisi ini akan
memajukan perekonomian masyarakat dengan bertambahnya kesempatan kerjaserta
berkurangnya kemiskinan (Widodo dkk, 2011)
Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan
ekonomi baik nasional maupun internasional telah banyak dilakukan, antara lain:
Tabel 1. Penelitian Sebelumnya
Nama dan Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Analisis Pengaruh Sektor
Publik di Kabupaten/Kota
Pada Provinsi Jawa Tengah
Terhadap Pengentasan
Kemiskinan Melalui
Peningkatan Pembangunan
Manusia.
Ari Widodo, 2010
Moderated Regression
Analysis (MRA) dan
analisis Jalur (Path
Analysis) menganalisis
IPM dalam kaitannya
dengan hubungan antar
pengeluaran sektor publik
terhadap kemiskinan pada
pemerintah
Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah.
IPM berperan sebagai variabel pure
moderating dan juga sebagai
variabel intervening dalam
kaitannya dengan hubungan antara
pengeluaran pemerintah sektor
publik tidak berpengaruh langsung
terhadap IPM maupun kemiskinan.
Pengeluaran pemerintah sektor
publik tidak bisa berdiri sendiri
sebagai variabel independen dalam
mempengaruhi kemiskinan.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
90
Nama dan Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Peranan Pengeluaran Pemerintah Dalam Pertumbuhan Ekonomi di Era Orde Baru dan Era Reformasi. Budi Indrawati, 2007
Model Keynes yaitu persamaan identitas atau disebut identitas pos pendapatan nasional (national income accounts identity
Dengan naiknya PDB maka pertumbuhan ekonomi meningkat, mengindikasikan bahwa naiknya kegiatan ekonomi nasional berarti meningkatnya kegiatan program-program pemerintah seperti dibidang tenaga kerja yaitu menambah lapangan pekerjaan, bidang kesehatan, pendidikan SDM dan lainnya.
Dampak Investasi Pendidikan Terhadap Perekonomian Dan Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Dan Kota Di Jawa Tengah. Niken Sulistyowati, 2010
Model sistem persamaan simultan (simultaneous equaction model) dan metode pendugaan model menggunakan Two Stage Least Squares (2SLS).
Peningkatan investasi pendidikan menyebabkan pertumbuhan ekonomi berjalan beriringan dengan penurunan ketimpangan pendapatan (tidak terjadi trade off antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pendapatan). Implikasinya: Strategi pembangunan yang mengedepankan peningkatan kualitas SDM dapat dijadikan sebagai salah satu strategi dalam model pembangunan daerah di Indonesia.
Faktor-Faktor Penentu
Tingkat Kemiskinan Regional Di Indonesia. Samsubar Saleh, 2002
model estimasi
dengan menggunakan data cross section
sedangkan model (2) merupakan model
estimasi dengan menggunakan data panel
Berdasarkan hasil-hasil empirik dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan per propinsi di Indonesia adalah indeks pembangunan manusia (terdiri dari pendapatan perkapita, angka harapan hidup, rata-rata bersekolah), investasi fisik pemerintah daerah, tingkat kesenjangan pendapatan, tingkat partisipasi ekonomi dan politik perempuan, populasi penduduk tanpa akses terhadp fasilitas kesehatan, populasi penduduk tanpa akses terhadap air bersih, dan krisis ekonomi.
Dampak Investasi Sumberdaya Manusia Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Kemiskinan Di Indonesia: Pendekatan Model Computable General Equilibrium. Rasidin K. Sitepu dan Bonar M. Sinaga, 2005
metode ad-hoc, yaitu
solusi dari suatu pendekatan merupakan input bagi pendekatan lainnya, namun secara
keseluruhan pendekatan ini menggunakan model CGE
Investasi sumberdaya manusia untuk pendidikan dapat menurunkan poverty incidence, poverty depth dan poverty severity kecuali untuk rumahtangga bukan pertanian golongan atas di desa, bukan angkatan kerja di kota dan bukan pertanian golongan atas di
kota.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
91
Kerangka Pemikiran
Permasalahan besar yang dihadapi di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Aceh terkait
tingginya angka kemiskinan. Salah satu hal yang biasa dilakukan pemerintah saat ini
dengan melakukan investasi pada sektor publik. Investasi sektor publik tersebut bisa di-
proxy dari pengeluaran pemerintah. Di antara sektor publik yang bermanfaat bagi
pengurangan kemiskinan adalah sektor pendidikan. Pendidikan merupakan elemen
terpenting dalam memberantas kemiskinan. Seseorang yang memperoleh pendidikan
akan memperoleh kesempatan yang lebih baik dan bisa memperbaiki standar hidupnya.
Pengaruh pendidikan tidak hanya mempengaruhi kemampuan individu untuk
mendapatkan tingkat upah maupun pendapatan yang tinggi, tetapi juga terhadap perilaku
dan pengambilan keputusan, yang akan meningkatkan kemungkinan sukses dalam
menjangkau kebutuhan pokok, bahkan pendidikan akan membuat seseorang terhindar
dari kondisi miskin (Zuluaga,1990). Berdasarkan uraian tersebut maka kerangka
pemikiran dalam penelitian ini adalah:
Hipotesis
Berdasarkan latar belakang dan kerangka teoritis serta memperhatikan situasi dan
kondisi pertumbuhan ekonomi yang mulai berkembang di Aceh maka penulis
merumuskan hipotesis yaitu pengeluaran pemerintah sektor pendidikan berpengaruh
negatif terhadap kemiskinan di Provinsi Aceh.
METODE PENELITIAN
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang ekonomi Sumber Daya Manusia di Aceh.
Penelitian ini membahas tentang pengeluaran pemerintah sektor pendidikan terhadap
kemiskinan di Aceh.
Sumber dan Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
buku-buku, literatur, internet, catatan-catatan, serta sumber lain yang berhubungan
dengan masalah penelitian.
Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain:a) data pengeluaran
pemerintah sektor pendidikan tahun 2008- 2010 menurut kabupaten/kota Provinsi Aceh;
dan b) jumlah penduduk miskin tahun 2008-2010 menurut kabupaten/kota Provinsi Aceh.
Data ini merupakan kumpulan informasi mengenai ke dua variabel penelitian di 23
Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh dan dalam kurun waktu tiga tahunan. Jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data panel mengingat ketersediaan data secara series
yang pendek sehingga proses pengolahan data time series tidak dapat dilakukan berkaitan
Pengeluaran Pemerintah Sektor
Pendidikan
Kemiskinan
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
92
dengan persyaratan jumlah data yang minim. Selain itu untuk menghindari bentuk data
dengan jumlah unit cross section yang terbatas pula sehingga sulit untuk dilakukan proses
pengolahan data cross section untuk mendapatkan perilaku yang hendak diteliti maka dapat
diatasi dengan penggunaan data panel (pooled data) agar diperoleh hasil estimasi yang
lebih baik dengan terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi terhadap
peningkatan derajat kebebasan selain itu hal ini juga dapat berpengaruh terhadap
peningkatan jumlah pengamatan. Kurun waktu tahun 2008-2010 serta data kerat lintang
(cross section data) yang meliputi 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
Model Analisis
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan data
panel. Model ekonometrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi
linier sederhana. Analisis ini merupakan suatu metode yang digunakan untuk
menganalisis hubangan antar variabel yang dapat diekspresikan dalam bentuk persamaan
yang menghubungkan variabel bebas dan variabel terikat menurut Gujarati (dalam
Firmansyah, 2009). Dalam model data panel persamaan model dengan menggunakan data
cross-section dapat ditulis sebagai berikut:
Yi = β0 + β1 Xi + εi ; i = 1, 2, ..., N
dimana N adalah banyaknya data cross-section
Sedangkan persamaan model dengan time-series adalah:
Yt = β0 + β1 Xt + εt; t = 1, 2, ..., T
dimana T adalah banyaknya data time-series
Mengingat data panel merupakan gabungan dari time-series dan cross-section,
maka model dapat ditulis dengan :
Yit = β0 + β1 Xit + εit
i = 1, 2, ..., N ; t = 1, 2, ..., T
dimana:
N = banyaknya observasi
T = banyaknya waktu
N × T = banyaknya data panel
Untuk mengestimasi parameter model penelitian ini menggunakan pendekatan Fixed
Effect Metode (FEM). Metode ini secara sederhana menggabungkan (pooled) seluruh
data series dan cross section. Metode ini mengasumsikan bahwa koefisien regresi (slope)
tetap antar perusahaan dan antar waktu, namun intersepnya berbeda antar perusahaan
namun sama antar waktu (time invariant).
Estimasi Model Regresi Dengan Panel Data
Penelitian mengenai pengaruh tingkat kemiskinan, pengeluaran pemerintah di sektor
pendidikan dan kesehatan terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Aceh,
menggunakan data time-series selama 3 (tiga) tahun terakhir yang diwakili data tahunan
dari 2008-2010 dan data cross-section sebanyak 23 data mewakili kabupaten/kota di
Provinsi Aceh. Kombinasi atau pooling menghasilkan 69 observasi dengan fungsi
persamaan data panelnya dapat dituliskan sebagai berikut:
POVit= α0 + α1GOVSPNDit +μit
dimana:
POV = Penduduk miskin kabupaten/kota Provinsi Aceh
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
93
GOV = Pengeluaran pemerintah sektor pendidikan kabupaten/kota Provinsi
Aceh
α0 = intercept
α1 = koefisien regresi variabel bebas
μit = komponen error di waktu t untuk unit cross section i
i = 1,2,3,…..,23 (data cross-section kabupaten/kota di Provinsi Aceh)
t = 1,2,3 (data time-series, tahun 2008-2010)
Definisi Operasional Variabel
Adapun definisi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:(1) pengeluaran pemerintah atas pendidikan merupakan besarnya pengeluaran
pemerintah Provinsi Aceh untuk sektor pendidikan yang mencerminkan pengeluaran
pemerintah dari total anggaran pendapatan dan belanja yang dialokasikan untuk sektor
pendidikan. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah alokasi belanja pemerintah
Provinsi Aceh sektor pendidikan tahun 2008-2010; (2) kemiskinan menurut BPS (2011)
merupakan suatu kondisi ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dalam
penelitian ini, data yang digunakan adalah jumlah penduduk miskin (dalam ribuan jiwa)
tahun 2008-2010.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Provinsi Aceh terletak antara 2’-6’ Lintang Utara dan antara 95’-98’ Bujur Timur
dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Sampai dengan tahun 2009
Provinsi Aceh dibagi menjadi 18 Kabupaten dan 5 Kota, terdiri dari 276 Kecamatan, 755
mukim dan 6.423 gampong atau desa.
Luas Provinsi Aceh 57.948,94 km dengan hutan mempunyai lahan terluas yaitu
mencapai 2.483.080 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 699.401 ha, sedangkan
lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 3.928 ha.
Kondisi Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah yang menyangkut banyak aspek karena berkaitan
dengan pendapatan yang rendah, buta huruf, derajat kesehatan yang rendah dan
ketidaksamaan derajat antar jenis kelamin serta buruknya lingkungan hidup (World Bank,
2004). Selain itu kemiskinan juga merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain tingkat pendapatan, pertumbuhan
ekonomi, tingkat pengangguran, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa,
lokasi, geografis, gender, dan lokasi lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah sangat
berupaya keras untuk mengatasi permasalahan kemiskinan tersebut sehingga
pembangunan dilakukan secara terus-menerus termasuk dalam menentukan batas ukur
untuk mengenali siapa si miskin tersebut.
Tabel 1 menunjukan bahwa jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota Provinsi
Aceh dari tahun 2008-2010 relatif mengalami penurunan jumlah penduduk miskin.
Kabupaten Aceh Utara sangatlah tinggi apabila dibandingkan dengan daerah di
kabupaten/kota pada tahun 2008 dengan jumlah penduduk 1.357.000 ribu jiwa dan
semakin menurun dengan jumlah penduduk 1.244.0000 ribu jiwa tahun 2010. Lalu
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
94
penduduk miskin terendah terdapat pada kabupaten/kota Sabang jumlah penduduk
miskin 714.000 ribu jiwa dan menurun pada tahun 2010 sebesar 660.000 ribu jiwa.
Dalam kurun waktu antara tahun 2008 sampai 2010 tingkat kemiskinan di nanggroe Aceh
Darussalam cenderung turun pada tahun berikutnya.
Tabel 2. Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota Di Provinsi Aceh Tahun 2008-2010
(ribuan jiwa)
KABUPATEN Tahun
2008 2009 2010
Aceh Barat 43,69 40,39 42,40
Aceh Besar 63,46 58,97 66,20
Aceh Selatan 38,82 35,41 32,40
Aceh Tengah 40,64 38,17 35,30
Aceh Tenggara 30,89 27,87 30,00
Aceh Timur 76,22 68,30 66,50
Aceh Utara 135,70 126,59 124,40
Pidie 101,77 93,80 90,20
Banda Aceh 19,91 17,27 20,80
Sabang 7,14 6,54 6,60
Simeuleu 20,57 19,11 18,90
Bireuen 79,09 72,94 76,10
Singkil 22,24 20,29 19,90
Langsa 23,96 21,34 22,40
Aceh Jaya 17,24 17,13 15,60
Nagan Raya 33,21 30,86 33,40
Lhokseumawe 23,94 22,53 24,00
Gayo Lues 18,89 17,09 19,00
Aceh Barat Daya 17,43 25,00 25,20
Aceh Tamiang 50,82 45,29 45,20
Bener Meriah 31,28 28,58 32,10
Subulussalam 17,73 16,73 16,40
Pidie Jaya 37,70 35,60 34,70
Sumber: BPS 2011, Diolah
Perkembangan Pengeluaran Pemerintah atas Pendidikan
Pemerintah sebagai pelaksana pembangunan membutuhkan manusia yang berkualitas
sebagai modal dasar bagi pembangunan. Manusia dalam peranannya merupakan subjek
dan objek pembangunan yang berarti manusia selain sebagai pelaku dari pembangunan
juga merupakan sasaran pembangunan. Dalam hal ini dibutuhkan berbagai sarana dan
prasarana untuk mendorong peran manusia dalam pembangunan. Oleh karenanya
dibutuhkan investasi untuk dapat menciptakan pembentukan sumber daya manusia yang
produktif.
Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor fundamental bagi sebuah negara.
Pendidikan menjadi faktor penentu kualitas sumberdaya manusia yang kemudian akan
memberikan kontribusi bagi pembangunan negara. Sudah seharusnya pemerintah
memprioritaskan sektor pendidikan. Langkah yang dilakukan pemerintah untuk
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
95
membangun sektor pendidikan dapat terlihat dari pengeluaran pemerintah untuk
pendidikan. Perkembangan pengeluaran pemerintah atas pendidikan dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Kabupaten/Kota Di Provinsi Aceh
Tahun 2008-2010
KABUPATEN Tahun
2008 2009 2010
Aceh Barat 140,006,430,367.00 157,788,929,270.00 166,548,288,571.00
Aceh Besar 208,853,583,688.00 208,839,626,646.00 218,435,980,962.00
Aceh Selatan 135,190,118,260.00 156,362,870,032.00 157,403,111,900.00
Aceh Tengah 124,403,080,895.00 159,057,554,716.00 159,142,195,027.00
Aceh Tenggara 117,088,075,146.00 218,003,271,341.00 132,050,613,069.00
Aceh Timur 126,229,103,303.00 159,832,381,154.00 175,049,945,437.00
Aceh Utara 373,488,040,264.00 344,073,853,347.00 288,830,328,142.00
Pidie 196,341,461,690.00 230,409,815,430.00 239,587,958,084.00
Banda Aceh 175,435,369,175.00 220,440,703,853.00 199,394,001,950.00
Sabang 82,998,459,809.00 57,074,255,734.00 80,770,221,137.00
Simeuleu 27,968,222,103.00 73,229,876,920.00 68,455,832,897.00
Bireuen 220,196,840,910.00 250,668,602,124.00 257,615,389,553.00
Singkil 63,461,355,764.00 80,323,970,890.00 65,687,929,696.00
Langsa 100,363,197,662.00 110,485,695,361.00 111,427,350,343.00
Aceh Jaya 85,725,939,172.00 89,994,981,339.00 78,828,091,714.00
Nagan Raya 108,234,562,741.00 136,630,392,081.00 158,025,753,210.00
Lhokseumawe 128,055,038,689.00 135,825,530,840.00 120,020,385,857.00
Gayo Lues 60,556,377,979.00 74,949,878,741.00 56,411,432,226.00
Aceh Barat Daya 114,986,853,379.00 125,255,882,154.00 114,724,547,588.00
Aceh Tamiang 148,028,066,843.00 145,053,990,827.00 123,825,098,755.00
Bener Meriah 68,804,065,784.00 86,172,676,161.00 111,799,699,784.00
Subulussalam 28,249,475,404.00 47,253,804,247.00 46,179,243,123.00
Pidie Jaya 66,196,433,876.00 71,386,885,845.00 91,331,138,021.00
Sumber: DJPK, Depkeu 2011, Diolah
Berdasarkan Tabel 3 selama tahun 2007 hingga 2010 proporsi pengeluaran
pemerintah atas pendidikan berubah-ubah setiap kabupaten/kota. Pada Kabupaten/Kota
seperti Bener Meriah, Subusallam, Pidie Jaya, Nagan Raya, Singkil dan Pidie data untuk
tahun 2007 belum tersedia. Kabupaten/Kota yang proporsi pengeluaran pemerintah
terendah tahun 2007 adalah Kabupaten Simeuleu dengan Rp. 27,9 milliar dan tertinggi
adalah Kabupaten Aceh Utara dengan Rp. 268,1 milliar Sementara untuk tahun 2008
untuk terendah tetap Kabupaten Simeuleu dengan Rp. 27,9 milliar dan untuk yang
tertinggi masih tetap Kabupaten Aceh Utara dengan Rp. 373,4 milliar Untuk tahun 2009-
2010 proporsi pengeluaran pemerintah terendah yaitu Kota Subussalam dengan Rp. 47,2
milliar pada tahun 2009 dan Rp. 46,1 milliar pada tahun 2010. dan Tahun 2009-2010
yang tertinggi tetap Kabupaten Aceh Utara dengan Rp.344 milliar pada tahun 2009 dan
pada tahun 2010 sebesar Rp 288,8 milliar Dapat dilihat pada Tabel IV.1 pada tahun
2007-2010 Kabupaten Aceh Utara masih dengan posisi yang tertinggi pada proporsi
pengeluaran pemerintah sektor pendidikan Aceh.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
96
Hasil Uji Hipotesis Dan Analisis Penelitian
Analisis pembahasan ini dimaksudkan untuk mengetahui korelasi antara kedua
variabel yakni variabel bebas dan variabel terikat untuk membuktikan kebenaran
hipotesis dibuat. Penulis mengajukan dalam analisis matematika apakah kemiskinan
dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah sektor pendidikan. Seberapa jauh tingkat
pencapaian data yang tersedia dalam pencapaian kebenaran akan dijelaskan pada
perhitungan serta pengujian terhadap masing-masing koefisien regresi yang diperoleh
dengan alat bantu komputer.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian yang digunakan dengan Shazam
10.0 untuk mengukur pengaruh pemerintah sektor pendidikan terhadap kemiskinan
kabupaten/kota di Aceh, maka model regresi OLS dengan metode panel data digunakan,
dengan kontribusi pemikiran dan hasil sebagai berikut:
POVit = β0,i + β1,i GOVSPND + εit
Model panel yang digunakan mengikuti fixed effect yang mengamsumsikan bahwa
setiap kabupaten/kota memiliki intersep yang sama, sehingga output regresi tidak lagi
menunjukkan adanya intersep. Hasil ditunjukkan oleh Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Regresi Model OLS dengan Metode Fixed Effect – Panel Data
Variabel Estimasi Parameter Standard
Error Uji-T P-value
GOVSPND 0,34089E-04 0,2776E-05 12,28 0,000 ***
R-
SQUARE
= 0,6993
LM TEST FOR CROSS-SECTION
HETEROSKEDASTICITY= 0,74478
P-VALUE = 0,68908
BREUSCH-PAGAN LM TEST
FOR DIAGONAL COVARIANCE
MATRIX = 46,775
P-VALUE =0,00000 ***
F-test
= 564,405
P-VALUE
=
0,0000***
JARQUE-BERA NORMALITY
TEST = 6,3367
P-VALUE= 0,042 *
Sumber: Hasil Penelitian, 2012
Note: *** signifikan pada tingkat keyakinan 99 persen, dan * Signifikan pada tingkat keyakinan 90
persen.
Hasil regresi di atas bertolak belakang dengan teorikan tetapi variabel pengeluaran
pemerintah sektor pendidikan signifikan. Hal tersebut tidak sesuai dengan hipotesis yang
digunakan dalam penelitian, yaitu pengeluaran pemerintah sektor pendidikan
berpengaruh terhadap kemiskinan di Aceh. Jadi hasil penelitian tidak menunjukkan
kesesuaian teori yaitu pengeluaran pemerintah atas pendidikan seharusnya berpengaruh
signifikan dan negatif terhadap kemiskinan karena secara teori semakin tinggi
pengeluaran pemerintah akan menyebabkan rendahnya tingkat kemiskinan.
Koefisien estimasi dari variabel GOVSPND adalah 0,000034089, artinya jika
pemerintah menambah pengeluaran pemerintah sebesar 1 juta rupiah tahun ini, maka
tingkat kemiskinan akan meningkat sebesar 34,089 orang atau sekitar 34 orang. Dengan
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
97
asumsi faktor-faktor lain dianggap konstan. Hasil ini signifikan secara statistik, karena
signifikan pada tingkat keyakinan 99%.Jika dibandingkan koefisien estimasi dengan
standar error, maka nilai koefisien estimasi lebih besar dari standar error, artinya data
pengeluaran pemerintah sektor pendidikan heterogen di kabupaten/kota Aceh. Nilai F-test
yang diestimasi adalah sebesar F-test = 564,405 dengan nilai P-value = 0,0000, nilai F-
test dan P-value menunjukan bahwa secara simultan, pengeluaran pemerintah sektor
pendidikan mempengaruhi kemiskinan dan variabel pengeluaran pemerintah sektor
pendidikan secara statistik signifikan dengan tingkat keyakinan 99%.
R2 (koefisien determinasi) adalah 0,6993. Artinya adalah bahwa sebesar 69,93 persen
perubahan-perubahan atau variasi yang terjadi di dalam kemiskinan di Aceh dapat
dijelaskan oleh perubahan-perubahan atau variasi yang terjadi dalam variabel
pengeluaran pemerintah sektor pendidikan di Aceh. Sedangkan sisanya sebesar 30,07
persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model penelitian ini.
Sesuai dengan Teori (Todaro) subsidi dengan menggunakan uang pajak yang
bersumber dari masyarakat luas itu pada akhirnya justru hanya akan dinikmati oleh
mereka yang berasal dari keluarga yang relatif makmur. Dengan demikian, akan tercipta
suatu proses yang sangat ironis serta menyedihkan, yakni “transfer payment” dari
golongan miskin kepada golongan kaya yang berlangsung melalui program pendidikan
tinggi yang gratis. Program wajib belajar yang menyediakan bangku secara cuma-cuma
memang tidak membebankan biaya moneter atau pungutan uang. Akan tetapi, bagi
keluarga-keluarga miskin pendidikan tidak pernah cuma-cuma.
Penelitian USAID mengenai laporan anggaran daerah 2008-2011, cukup banyak
kabupaten/kota yang mengalokasikan biaya langsung pendidikannya untuk program-
program yang tidak berkontribusi langsung terhadap peningkatan akses maupun kualitas
pendidikan. Program-program seperti Administrasi Perkantoran dan Peningkatan Sarana
Aparatur tentunya dibutuhkan untuk memastikan bahwa pengelolaan layanan pendidikan
yang lebih baik. Namun demikian, dengan alokasi dana BL yang reratanya hanya 25%
saja, proporsi biaya langsung yang tinggi untuk program-program ini patut
dipertanyakan. Di beberapa daerah seperti Simeulue, Kota Banda Aceh, dan Kota
Probolinggo, alokasi dana untuk kedua program ini memakan sekitar, masing-masing
73%, 24% dan 18% biaya langsung pendidikannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Widodo dkk. juga menyatakan bahwa pengeluaran
pemerintah sektor pendidikan tidak berpengaruh secara langsung terhadap pengurangan
kemiskinan. Namun pengaruhnya dapat dirasakan jika pengeluaran tersebut berkaitan
dengan peningkatan kualitas pembangunan manusia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila pengeluaran pemerintah sektor
pendidikan tidak ditunjukkan untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia, maka
pengentasan kemiskinan tidak akan terwujud. Jika kebijakan pemerintah yang dijalankan
bukan kebijakan pemerintah yang pro poor, maka selamanya penduduk miskin terjebak
dalam lingkaran setan. Jadi menurut hasil penelitian, pengeluaran pemerintah sektor
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
98
pendidikan tidak bisa berdiri sendiri dalam mempengaruhi kemiskinan tapi ada variable
lain yang mempengaruhi yaitu IPM.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan analisis kuantitatif yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya dapat
dilihat bahwa penelitian ini bermaksud untuk melihat pengaruh pengeluaran pemerintah
sektor pendidikan terhadap kemiskinan kabupaten/kota di Aceh. Dari hasil pengujian
dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu: (1) pemerintah menambah
pengeluaran disektor pendidikan sebesar 1 juta rupiah, maka tingkat kemiskinan akan
meningkat sebesar 34,089 orang atau sekitar 34 orang. Dengan asumsi faktor-faktor lain
dianggap konstan. Hasil ini signifikan secara statistik, karena hanya signifikan pada
tingkat keyakinan 99%; (2) perubahan-perubahan atau variasi yang terjadi di dalam
kemiskinan di Aceh dapat dijelaskan oleh perubahan-perubahan atau variasi yang terjadi
dalam variabel pengeluaran pemerintah sektor pendidikan di Aceh sebesar 69,93 persen.
Sedangkan sisanya sebesar 30,07 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar
model penelitian ini.
Saran
Pemerintah dalam rangka mengurangi kemiskinan hendaknya lebih memprioritaskan
kebijakan pembangunan yang berpihak pada penduduk miskin, yakni dengan
menajamkan alokasi pengeluaran pemerintah sektor pendidikan yang lebih seimbang
dengan pengeluaran pembangunan di sektor lain seperti sektor infrastruktur yang disertai
dengan peningkatan efisiensi dalam pemanfaatanya.
Pemerintah harus bekerjasama dengan pihak swasta dalam hal pendidikan, karena
dengan adanya kerjasama dengan pihak swasta ini otomatis akan membuka lapangan
kerja yang berdampak pula terhadap peningkatan pendapatan penduduk yang
memungkinkan mereka lepas dari kemiskinan dan juga investasi pendidikan lebih
meningkat. Karena modal dari pihak swasta berbeda dengan pemerintah.
Diperlukan konsistensi pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan amanat UU
No. 20 tahun 2003, tentang pendidikan dasar gratis dan anggaran pendidikan 20 persen
dari belanja pemerintah. Setiap pengeluaran pemerintah harus dipastikan efisiensi dan
efektivitas penggunaannya sampai pada sasaran (masyarakat yang kurang mampu).
Untuk penelitian selanjutnya bisa menambah variabel-variabel lainnya seperti angka
huruf melek, pengeluaran pemerintah sektor kesehatan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat serta penelitian ini akan lebih bagus jika
data yang diteliti mencapai 5-10 tahun, agar dapat terlihat efeknya dalam jangka panjang.
Proporsi pengeluaran pemerintah atas pendidikan yang masih rendah menyebabkan
kelambanan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi maka pemerintah perlu
meningkatkan proporsi pengeluaran atas pendidikan dan juga pengawasan lebih ketat lagi.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Diana Sapha A.H dan Edwin Faris Bassam
99
DAFTAR PUSTAKA
Dumairy, 1999. Perekonomian Indonesia, Erlangga, Jakarta
Suparmoko, 1994. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, Edisi keempat BPFE, Yogyakarta.
Susanti, Hera: Moh. Ikhsan dan Wildiyati (1995). Indikator-Indikator Makro Ekonomi. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Todaro, Michael P. 2006. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi 9. Jakarta: Erlanga. Alih Bahasa Drs.
Haris Munandar.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
ISSN: 0852-9124 Vol. 4, No. 2, Nov 2013
100
MENGELOLA DAERAH SURPLUS DAN DAERAH
DEFISIT BERAS DI PROVINSI ACEH
Management of Rice Surplus and Deficit
in the Province of Aceh
Romano1 dan T. Saiful Bahri1
Kata kunci: daerah surplus, daerah defisit, keseimbangan lahan sawah
ABSTRACT
This study aims is to analyze the surplus and deficit areas of rice in the province of Aceh and police setting
in the future. Research has been carried out by the method of survey across the central areas of rice production
and marketing centers in Aceh province and continued with FGD with key informants. The results showed there
were disparities between the east coast production, western and central regions. Major rice production centers
located along the eastern coast of Aceh, the region had a surplus during the year. However, only 3 region of the
west coast regional district that is surplus area, so that the procurement of rice is highly dependent on rice
distribution system to and from this area. Most region in central Aceh is still a deficit of rice, so the rice
consumption in the region is highly dependent on the distribution system of the eastern coast. Border area to
the exit door of grain and rice masuh premium of North Sumatra with a coefficient of inflow and outflow is
significant.
Keywords: surplus area, deficit area, balance of rice area
PENDAHULUAN
Aceh diharapkan sebagai salah satu daerah surplus beras dan menjadi pemasok beras
bagi daerah defisit lainnya di pulau Sumatera. Pada tahun 1990 impor beras masih sekitar
30 ribu ton maka pada 1992 menjadi 634 ribu ton, pada 1994 menjadi 876 ribu ton, dan
bahkan pada tahun 1995 menjadi lebih dari 3 juta ton. Pada 1998 volume impor beras
Indonesia telah mencapai 7,1 juta ton dan 5 juta ton pada 1999, dimana telah mengambil
bagian masing-masing sebesar 26 persen dan 21 persen dari volume beras yang
diperdagangkan di pasar dunia (Hartoyo, 2000; Wibowo, 2000).
1Staf Pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh
Email: [email protected] dan [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menganalisis daerah surplus dan defisit beras di Provinsi Aceh serta menentukan
kebijakan di masa depan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei di daerah-daerah pusat
produksi padi dan pusat pemasaran di provinsi Aceh dan dilanjutkan dengan Forum Group Discussion (FGD) dengan pelaku kunci. Hasil penelitian menunjukkan ada kesenjangan antara produksi pantai timur, wilayah
barat, dan tengah. Sentra utama produksi padi terletak di sepanjang pantai timur Aceh, yang memiliki surplus
sepanjang tahun. Namun, hanya tiga wilayah di daerah pantai barat yang memiliki surplus, sehingga pengadaan beras sangat tergantung pada sistem distribusi beras dari dan ke daerah ini. Sebagian besar wilayah di Aceh
Tengah masih defisit beras, sehingga konsumsi beras di wilayah ini sangat tergantung pada sistem distribusi
dari pantai timur. Daerah perbatasan menjadi pintu keluar gabah dan beras premium masuk dari Sumatera Utara dengan koefisien inflow dan outflow yang signifikan.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Romano dan T. Saiful Bahri
101
Setelah pasar beras di Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar
maka harga beras di Indonesia akan lebih fluktuatif. Bila sebelumnya faktor-faktor yang
menyebabkan fluktuasi harga beras terutama berasal dari faktor-faktor dalam negeri yang
memengaruhi penawaran dan permintaan beras domestik karena pemerintah atau Bulog
mengisolasi harga domestik dari ketidakpastian harga internasional, maka dengan
dihapuskannya monopoli impor beras oleh Bulog mengakibatkan semakin kompleksnya
faktor-faktor yang memengaruhi harga beras domestik. Fluktuasi harga tersebut dapat
bersumber dari fluktuasi produksi dalam negeri, fluktuasi harga pasar internasional, dan
fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap US$. Perubahan kebijakan tersebut juga
memengaruhi kondisi permintaan dan penawaran beras di Indonesia, dimana faktor-
faktor yang memengaruhi permintaan dan penawaran beras pada pasar yang terbuka lebih
beragam dan kompleks.
Kebijakan perberasan nasional ini juga berdampak pada kebijakan beras di Provinsi
Aceh. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pengajian perberasan Aceh yang akan menjadi
material penyusunan kebijakan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu dalam
pengajiannya didasarkan pada rencana Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Badan
Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh pada periode berjalan dengan
mempertimbangkan dan menyesuaikan pada perubahan tugas dan fungsinya sesuai
dengan dinamika pembangunan di Aceh. Sesuai dengan spesifikasi daerah di Aceh juga
terdapat daerah sentra produksi padi, dan daerah defisit beras. Oleh karena itu perlu dikaji
kebijakan pengelolaan perberasan antar daerah surplus dan daerah defisit.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi masalah dan tantangan pengadaan beras
kaitannya dengan Ketahanan Pangan berkelanjutan di Aceh (faktor penentu harga,
konsumsi beras kaitannya dengan daya beli masyarakat di Aceh). Lebih lanjut menyusun
prioritas program, kebijakan perberasan dan langkah strategis kaitannya dengan ketahanan
pangan yang sesuai dengan sasaran dan tujuan pembangunan di Aceh. Dengan demikian
hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi Pemerintah Aceh sebagai informasi yaitu;
Gambaran produksi dan konsumsi antar wilayah di Aceh dan gambaran masalah dan
tantangan yang dihadapi Pemerintah Aceh dalam pengadaan beras berkelanjutan di Aceh.
Secara teori kebijakan perberasan terdiri atas serangkaian program yang berkaitan
dengan pengadaan produksi, sistem distribusi, dan tataniaga beras, pengadaan stock
pengamanan, pengaturan harga tertinggi dan harga terrendah (Sapuan, 2000; Dawe,
2001). Walaupun demikian pengadaan beras domestik tidak terlepas dari prilaku
produsen beras, konsumsi masyarakat, dan kebijakan pemerintah.
Pemerintah sebagai fasilitator pembangunan melakukan kebijakan untuk melindungi
produsen dan konsumen beras. Petani sebagai produsen memiliki prilaku spesifik untuk
meningkatkan penghasilan dan keuntungan usaha. Oleh karena itu petani mengharapkan
harga gabah di pasar setinggi mungkin. Di lain pihak konsumen beras menghendaki
harga beras serendah mungkin agar dapat memenuhi nilai guna yang diharapkan dari
pengeluaran konsumsinya. Pemerintah sebagai pengelola negara harus mampu
melindungi rakyatnya dari kelaparan, dan sekaligus mendorong produksi padi. Dengan
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
102
dasar ini pula lahir kebijakan pengadaan produksi, sistem distribusi, dan tataniaga beras,
pengadaan stock pengamanan, pengaturan harga tertinggi, dan harga terendah (Sapuan,
1999; dan Sawit, 2000).
Dalam analisis kebijakan harus dipahami bahwa penawaran beras pada periode waktu
tertentu merupakan akumulasi dari jumlah produksi dan jumlah impor beras pada periode
waktu tertentu.
St = PRODt + Mt
Dimana:
St = Jumlah penawaran beras domestik;
PRODt = Jumlah produksi beras;
Mt = Jumlah impor beras.
Produksi beras domestik dipengaruhi oleh harga beras, harga kedele (tanaman kedelai
merupakan komoditi substitusi lahan untuk tanaman padi di pantai timur Aceh), luas
areal tanam, dan tingkat teknologi. Perilaku produksi beras di Aceh dapat digambarkan
dalam bentuk fungsi sebagai berikut :
PRODt = f ( PBt, PKt, LAt, TEKNt )
Dimana:
PRODt = Jumlah produksi beras;
PBt = Harga beras;
PKt = Harga kedele;
LAt = Luas areal tanam padi;
TEKNt = Tingkat teknologi.
Persamaan produksi dalam bentuk linier:
PRODt = a0 + a1 PBt + a2 PKt + a3 LAt + a4 TEKNt + Et
dimana : a0 = intersep; a1-4 = parameter; Ei = variabel pengganggu.
Jumlah produksi beras merupakan jumlah produksi yang diharapkan pada tahun
sebelumnya sehingga persamaan produksi beras yang diharapkan (PROD*):
PRODt* = a0 + a1 PBt + a2 PKt + a3 LAt + a4 TEKNt + Et
Untuk mendapatkan model dinamis dari produksi beras, digunakan model penyesuaian
parsial Nerlove (Pindyck et all,1991;Gujarati,1999) dengan formulasi:
PRODt - PRODt-1 = (PROD*t PRODt-1)
PRODt = PROD*t + ( 1- ) PRODt-1.
Dengan = koefisien penyesuaian dengan nilai 0 < < 1.
Dengan mensubstitusikan (4) ke dalam (5) maka akan diperoleh persamaan dinamis
produksi beras :
PRODt= a0 + a1PBt + a2PKt+ a3 LAt + a4 TEKNt + (1- )PRODt-1+ Et
Bila a0 = a0*, a1 = a1*, a2 = a2*, a3 = a3*, a4 = a4*, ( 1- ) = a5, E1 = e1, maka
persamaan di atas menjadi :
PRODt = a0*+a1*PBt+a2*PKt+ a3* LAt + a4*TEKNt+a5
*PRODt-1 + et
Jadi perilaku produksi beras dijelas kan oleh variabel harga beras, harga jagung, luas
areal tanam, tingkat teknologi dan produksi beras tahun sebelumnya. Dalam model
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Romano dan T. Saiful Bahri
103
penyesuaian parsial perubahan gradual dalam periode waktu yang panjang ditunjukkan
oleh nilai koefisien penyesuaian ( ). Apabila = 1, maka produksi yang diharapkan
akan sama dengan jumlah produksi yang terjadi, dan apabila = 0, maka jumlah produksi
yang diharapkan akan sama dengan jumlah produksi tahun sebelumnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di seluruh sentra produksi padi dan sentra konsumsi beras di
Aceh. Metode kajian dengan langkah-langkah berikut: (a) melakukan konsultasi dengan
Kepala Badan, Wakil/Sekretaris, Kabid, dan Stakeholder lain; (b) mengkaji kinerja pada
periode tahun 2008 – 2011 baik dari segi capai program perberasan (c) melakukan Forum
Group Discussion (FGD) dan sekaligus penetapan kebijakan perberasan. Konsultasi
dengan Kasubdin antara lain data dan perencanaan; Kasubdin penyuluhan; Kasubdin Gizi
Masyarakat; dan lembaga terkait. FGD yang diselenggarakan di Badan Ketahanan
Pangan dan Penyuluhan Aceh. Ruang lingkup penelitian difokuskan pada kajian produksi
konsumsi, harga, tingkat teknologi kilang padi, dan pengelolaan daerah surplus serta
daerah defisit beras.
Data dan Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan skunder. Data primer diambil sampel
di 60 Kilang Padi di 18 Kabupaten/kota lokasi penelitian. Data primer juga dikumpulkan
dengan cara konsultasi dengan pihak yang berkompeten di Kabupaten serta melakukan
FGD di Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Provinsi.
Model Analisis
Model analisis yang digunakan adalah analisis regresi dinamis berstruktur dari fungsi
produksi beras: C = P – S + I – E
Dimana:
C = Beras yang tersedia untuk pemakaian di wilayah Provinsi Aceh
P = Produksi padi di wilayah Provinsi Aceh
S = Perubahan stok, selisih antara stok akhir dan stok awal
I = Bahan makanan yang di impor atau masuk ke wilayah bersangkutan
E = Bahan makanan yang di ekspor atau keluar wilayah
Untuk melihat arus suplai produksi padi dapat dirumuskan sebagai berikut:
St = Prodt + (Mt - Et)
Dimana:
St = Jumlah penawaran beras domestik;
PRODt = Jumlah produksi beras;
Mt = Jumlah beras masuk ke wilayah Aceh.
Et = Jumlah beras keluar wilayah Aceh.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
104
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Daerah Surplus dan Daerah Defisit Beras di Aceh
Pengelolaan daerah surplus dan daerah defisit beras menjadi sebuah tantangan bagi
Pemerintahan Aceh saat ini dan masa yang akan datang. Daerah surplus dengan berbagai
permasalahannya membutuhkan penanganan khusus agar petani produsen tetap bergairah
mengelola tanaman padi sesuai dengan tingkat teknologi budidaya yang dibutuhkan.
Untuk itu harus dipahami karakteristik daerah surplus dengan berbagai variabel
penentunya. Berdasarkan teori variabel penentu daerah surplus adalah luas tanam, luas
panen, pemanfaatan sarana produksi, dan produktivitasnya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat beberapa daerah surplus yang sebagian
besar berada di wilayah pantai timur Aceh. Untuk wilayah pantai timur secara umum
merupakan wilayah surplus beras dengan total produksi pada tahun 2011 sebesar 599.619
ton setara beras. Sementara konsumsi untuk wilayah ini mencapai 340.382 ton beras.
Semua kabupaten merupakan sentra produksi beras (mulai dari Kabupaten Aceh Besar,
Pidie, Pidie Jaya, Biruen, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang), sehingga
merupakan daerah surplus. Hanya empat kota yang menjadi daerah defisit beras (Kota
Sabang, Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Kota Langsa), seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Gambaran daerah surplus dan defisit beras di wilayah pantai timur Aceh tahun
2011
Kabupaten Produksi Konsumsi Surplu/Defisit
(ton) (ton) (ton)
Sabang - 3.513 (3.513)
Banda Aceh 243 25.881 (25.639)
Aceh Besar 98.365 40.093 58.271
Pi d i e 94.592 43.319 51.274
Pidie Jaya 30.133 15.245 14.888
Bireuen 90.222 44.947 45.275
Lhokseumawe 3.553 19.721 (16.168)
Aceh Utara 139.179 60.645 78.533
Langsa 3.563 17.103 (13.539)
Aceh Timur 77.260 41.048 36.211
Aceh Tamiang 62.510 28.869 33.642
Jumlah 599.619 340.382 259.237
Secara keseluruhan terdapat kelebihan (surplus) beras di wilayah pantai timur Aceh
sebanyak 259.237 ton setara beras. Produksi sebesar 318.095 ton setara beras di tujuh
kabupaten sentra produksi dan kekurang konsumsi sebesar 58.858 ton setara beras dapat
menutupi di empat kota sentra konsumsi. Dengan demikian aliran gabah dan beras dapat
ditelaah berdasarkan kedekatan letak lokasi sentra produksi dan sentra konsumsi tersebut.
Padi atau beras dari Kabupaten Aceh Besar, Pidie dan Pidie Jaya dapat memenuhi defisit
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Romano dan T. Saiful Bahri
105
di Kota Sabang dan Banda Aceh, bahkan sebagian besar masih mengalir ke Provinsi
Sumatera Utara. Demikian juga padi dan beras dari Kabupaten Biruen dan Aceh Utara
dapat memenuhi defisit di Kota Lhokseumawe dan sebagian mengalir ke Provinsi
Sumatera Utara. Padi dan beras dari Kabupaten aceh Timur dapat memenuhi defisit di
Kota Langsa. Surplus padi di Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur sebagian besar
(62 % dari surplus) mengalir ke Provinsi Sumatera Utara. Dalam sistem tataniaga padi di
wilayah pantai timur Aceh terdapat peran pedagang pengumpul di sentra produksi padi.
Pada sebagian besar transaksi padi, pedagang pengumpul dibekali modal oleh pedagang
besar dari masing-masing sentra pemasaran. Atau dengan kata lain pedagang pengumpul
(kolektor) menjadi komponen jaringan pasok pedagang besar dari Sumatera Utara.
Wilayah pantai barat Aceh juga masih menjadi daerah surplus, terutama di lima
kabupaten sentra produksi (Kabupaten Aceh selatan, Aceh Barat Daya, Nagan raya, Aceh
Barat, dan Aceh Jaya. Pada tahun 2011, surplus padi di daerah ini mencapai 37.616 ton
setara beras, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Surplus padi di enam kabupaten
(Aceh Selatan, Aceh Barat daya, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya dan Kabupaten
Simeulue) sebanyak 51.280 ton setara beras; dapat menutupi defisit di Kabupaten Aceh
Singkil dan Kota Subulussalam sebesar 13.665 ton setara beras.
Tabel 2. Gambaran daerah surplus dan defisit beras di wilayah pantai barat aceh tahun
2011
Kabupaten Produksi Konsumsi Surplu/Defisit
(ton) (ton) (ton)
Subulussalam 3.120 7.776 (4.656)
Simeulue 11.084 9.222 1.862
Aceh Singkil 2.726 11.735 (9.008)
Aceh Selatan 27.193 22.955 4.238
Aceh Barat 25.948 19.884 6.064
Aceh Barat Daya 43.863 14.450 29.413
Nagan Raya 22.361 16.188 6.173
Aceh Jaya 12.474 8.943 3.530
Jumlah 148.769 111.153 37.616
Aliran beras ke Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil, sebagian besar dari
Kabupaten Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan. Sebagian kecil beras untuk Kota
Subulussalam juga dipasok dari Sumatera Utara.
Wilayah tengah juga masih menjadi daerah surplus padi atau beras, terutama
Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues. Daerah defisit Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah, seperti yang ditunjukkan pada tabel 3. Kekurangan beras di Kabupaten
Aceh Tengah dan Bener Meriah sebagian besar dipasok dari Kabupaten Biruen, Aceh
Utara, dan Pidie. Kelebihan padi atau beras di Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues
sebagian besar mengalir ke wilayah Provinsi Sumatera Utara. Kilang penggilingan padi
di dua kabupaten ini mengolah padi hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal, sehingga
yang dijual kepada pedagang di Sumatera Utara sabagian besar dalam bentuk gabah
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
106
kering panen. Daerah-daerah sentra produksi yang menjual Gabah Kering Panen (GKP)
antara lain, Kecamatan Lawe Sigala-gala dan Bambel.
Tabel 3. Gambaran daerah surplus dan defisit beras di wilayah tengah tahun 2011
Kabupaten Produksi Konsumsi Surplu/Defisit
(ton) (ton) (ton)
Aceh Tenggara 49.983 20.447 29.535
Gayo Lues 15.294 9.156 6.138
Aceh Tengah 15.914 20.111 (4.197)
Bener Meriah 6.542 14.155 (7.613)
Jumlah 87.732 63.869 23.863
Neraca Beras di Provinsi Aceh
Neraca beras adalah keseimbanagn arus produksi dan konsumsi beras di suatu
wilayah. Neraca beras ditentukan oleh produksi padi setara beras, konsumsi lokal, arus
masuk (impor) dan arus keluar (ekspor). Neraca beras merupakan kondisi dimana
terdapat keseimbangan antara produksi dan konsumsi beras di suatu daerah. Untuk
menghitung jumlah beras yang tersedia untuk pemakaian di Provinsi Aceh digunakan
rumus: C = P – S + I – E
Dengan formula di atas maka neraca beras Provinsi Aceh dapat digambarkan
berdasarkan berdasarkan wilayah dan periode musim panen. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa terdapat variasi stock beras pada masing-masing wilayah pada tiga
kwartal menurut periode musim tanam, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.
Selama lima tahun terakhir penawaran beras di Aceh lebih didominasi peningkatan
produksi lokal. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa produksi beras di Provinsi Aceh
menunjukkan perkembangan yang linier, sehingga dengan fungsi:
St = Prodt + (Mt - Et)
Kinerja penawaran beras berdasarkan komponen di atas ditunjukkan pada Table 5.
S = 92.292 + 2,426 Prod t + 0,298 (M-E) + ε1
Tabel 4. ANOVA untuk penawaran beras Aceh dari tahun 2007 s/d 2008
Model Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 92,292 56,550 -1.632 .244
ArusKelua
r
2.426 .135 1.093 17.93
7
.003
ArusMasu
k
0.298 .15,6 .116 19.10 .019
a. Dependent Variable: Produksi
Ini berarti bahwa kebijakan suplai beras di Aceh masih bertumpu pada pengadaan
domestik. Dengan kata lain penawaran beras di daerah ini tidak boleh mengandalkan
beras dari luar wilayah. Hal ini dapat dimaklumi karena Provinsi Sumatera Utara masih
mengandalkan pasokan dari Aceh untuk memenuhi konsumsi masyarakat dan untuk
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Romano dan T. Saiful Bahri
107
kebutuhan industri yang berbahan baku beras. Dari data tersebut maka koefisien
produksi dan komponen arus masuk keluar ditunjukkan pada Tabel 3.5 berikut ini:
Tabel 5. Penawaran beras Aceh selama lima tahun terakhir (2007 s/d 2011)
Tahun Produksi
(ton)
Arus Keluar
(ton)
Arus Masuk
(ton)
Konsumsi
(ton)
2007 797.352 362.212 44.181 479.321 2008 729.190 328.135 86.219 487.273
2009 809.567 364.305 49.905 495.167 2010 822.843 370.279 57.462 510.026
2011 836.120 376.254 55.539 515.405
Dapat juga dipahami bahwa Provinsi Aceh sebagai wilayah yang paling barat pulau
Sumatera harus mampu mandiri dalam pengadaan berasnya. Kalau tidak maka wilayah
ini akan menjadi daerah transit import beras ke provinsi lain di Sumatera. Hasil analisis
menunjukkan bahwa produksi beras domestik dipengaruhi oleh luas areal tanam, harga
beras, harga kedele (tanaman kedele merupakan komoditi substitusi lahan untuk tanaman
padi di pantai timur Aceh). Dengan demikian perilaku produksi beras di Aceh yang telah
digambarkan dalam bentuk fungsi pada Tabel 6.
Tabel 6. Koefisien Kinerja Penawaran Padi Aceh
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 22946.977 17511.937 1.310 .207
HargaBeras 116.730 97.793 2.198 1.194 .248
HargaKedele -289.987 249.349 -2.133 -1.163 .260
LuasTanam 4,089 146 986 28.027 .000
Tingkat Teknologi 0.108 0.037 0.108 2.939 .009
a. Dependent Variable: ProduksiBeras
Secara matematis, model produksi beras ditunjukkan pada persamaan berikut ini:
PRODt = 22.947 + 116,7 PBt - 290 PKt + 4.089 LAt + 0,108 TEKNt
Dari persamaan di atas dapat dipahami bahwa jumlah produksi beras di Provinsi Aceh
faktor yang paling dominan adalah luas areal tanam dan teknologi budidaya yang
digunakan. Harga beras terlihat tidak signifikan menentukan produksi beras di daerah ini.
Petani padi di Provinsi Aceh tidak terlalu respon terhadap perubahan harga. Demikian
juga dengan harga kedelai yang dianggap sebagai komoditi yang mendesak areal
pertanaman padi di daerah ini. Ternyata harga kedele tidak direspon oleh penanaman padi
dan produksi padi. Biasanya tanaman kedelai ditanam pada MT2 dan MT3 pada lahan
yang sesuai dengan keadaan lahan dan kondisi curah hujan.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
108
Bibit unggul, pupuk dan sarana produksi lainnya. Petani di Provinsi Aceh masih
sangat tergantung pada bantuan sebagai ekses dari bantuan pasca tsunami tahun 2004.
Petani di daerah ini masih sangat mengharapkan bantuan langsung tunai untuk mengelola
usaha tani padi secara intensif dan meningkatkan produktivitas areal persawahan. Lebih
jauh lagi teknologi pengairan yang sangat berpengaruh terhadap teknologi budidaya,
seperti SRI (System Rice Intensification) memerlukan pengelolaan air irigasi yang lebih
intensif. Oleh karena itu untuk meningkatkan produksi padi di Provinsi Aceh dua faktor
di atas (luas tanam dan teknologi budidaya) harus menjadi landasan kebijakan perberasan
pada masa yang akan datang.
Kebijakan Penciptaan Nilai Produksi dan Revitalisis Kilang Padi
Sejak tahun 2007 Gabah Kering Panen yang dibawa ke luar Aceh untuk diolah
menjadi beras yang lebih berkualitas sebanyak 696.561 ton dan meningkat pada tahun
2011 telah mencapai 797.833. Selama lima tahun terakhir, terdapat perkembangan arus
gabah yang mengalir ke luar Aceh rata-rata 3 persen per tahun. Selanjutnya arus masuk
beras dari luar Aceh juga bertambah dalam bentuk beras kualitas premium, seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Arus keluar gabah kering panen dan arus masuk beras premium dari tahun 2007
s/d 2011
Tahun Produksi GKP
(ton)
Produksi Stara
Beras (ton)
Arus Masuk
(ton)
Arus Keluar
GKP (ton)
2007 1.533.369 797.352 44.181 696.561
2008 1.402.288 729.190 86.219 631.029
2009 1.556.858 809.567 49.905 700.586
2010 1.582.394 822.843 57.462 712.077
2011 1.772.962 836.120 55.539 797.833
Perkembangan (% per tahun) 0,05 0,03
Terdapat permasalahan yang sangat krusial pada neraca beras di Aceh yang antara
lain: (1) Produksi Gabah Kering Panen Melimpah sehingga mengalami surplus; (2)
Terdapat aliran beras yang jumlahnya meningkat setiap tahun rata-rata 5 persen per
tahun; (3) Kilang padi yang beroperasi di Aceh tidak mampu berproduksi dengan
kapasistas terpasang; (4) Sebagian besar kilang penggilingan padi di Aceh sudah tua
dengan rendemen produksi yang sangat rendah.
KESIMPULAN
Kesimpulan
Provinsi Aceh yang sangat potensial sebagai lumbung beras sering menghadapi
permasalahan dalam ketersediaan beras, terutama wilayah terpencil dan daerah defisit
beras. Provinsi Aceh sebagai wilayah yang paling barat pulau Sumatera harus mampu
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Romano dan T. Saiful Bahri
109
mandiri dalam pengadaan berasnya. Kalau tidak maka wilayah ini akan menjadi daerah
transit import beras ke Provinsi lain di Pulau Sumatera.
Faktor yang paling dominan adalah luas areal tanam dan teknologi budidaya yang
digunakan. Harga beras menjadi faktor yang tidak dominan yang menentukan produksi
beras di daerah ini. Petani padi di Provinsi Aceh tidak terlalu respon terhadap perubahan
harga. Dengan demikian peningkatan program penyuluhan di wilayah sentra beras masih
harus ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya. Penambahan tenaga penyuluh dan
peningkatan kualitas penyuluh sangat dibutuhkan untuk mendorong suplai beras di
daerah ini.
Petani di daerah ini masih sangat mengharapkan bantuan langsung tunai untuk
mengelola usahatani padi secara intensif dan meningkatkan produktivitas areal
persawahan. Lebih jauh lagi teknologi pengairan yang sangat berpengaruh terhadap
teknologi budidaya, seperti SRI (System Rice Intensification) memerlukan pengelolaan
air irigasi yang lebih intensif. Oleh karena itu untuk meningkatkan produksi padi di
Provinsi Aceh dua faktor diatas (luas tanam dan teknologi budidaya) harus menjadi
landasan kebijakan perberasan pada masa yang akan datang.
Kebijakan Pemerintahan Aceh untuk menciptakan nilai tambah atas produksi gabah
dapat dilakukan dengan peremajaan sebagian besar kilang padi dan revitalisasi usaha
penggilingan dan pembinaan kemitraan pada dunia industry. Hal ini juga berkaitan
dengan upaya mengatasi kerawanan beras di wilayah kerja penggilingan padi.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas maka perlu direkomendasikan beberapa hal yang
berkaitan dengan: (a) Kebijakan perberasan Aceh. (b) Peranan BKP-Luh Aceh; (c)
Inovasi perberas pada masa yang akan datang. Kebijakan perberasan aceh untuk masa
yang akan datang disamping mendorong produksi padi, juga dibutuhkan pembenahan
sistem distribusi beras.
Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh yang telah melakukan TUPOKSI
dapat menyempurnakan beberapa program yang sedang berlangsung dan mencari inovasi
lain untuk pengelolaan ketersediaan beras di Provinsi Aceh. Inovasi yang paling
dibutuhkan pada subsistem off farm dengan menyertakan masyarakat dalam sistem jaring
pasok, penciptaan nilai tambah pada industry gabah dan sistem distribusi beras di
masing-masing sentra produksi.
Kebijakan yang mungkin ditempuh pemerintah Aceh adalah dengan melakukan
revitalisasi usaha kilang padi, menetapkan “RESI GUDANG” untuk cadangan beras
pemerintah dan cadangan beras masyarakat. Resi gudang yang dimaksud dapat ditempuh
dengan cara mengalokasikan anggaran kepada UPTD Pangan di masing-masing
kabupaten yang mengharuskan membeli padi langsung dari petani (atau melalui
GAPOKTAN).
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
110
DAFTAR PUSTAKA
Sapuan. 1999. Perkembangan Manajemen Pengendalian Harga Beras. http://www.Bulog.go.id/ papers/
k_002_beras.html.
Sapuan. 2000. Arah Kebijakan Kelembagaan Produksi dan Distribusi Beras: Aspek Kelembagaan dan
Distribusi. Dalam Pertanian dan Pangan: Bunga Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan (Eds. R.
Wibowo). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Sawit, M.H. 2000 Arah Kebijaksanaan Distribusi/perdagangan Beras dalam Mendukung Ketahanan pangan:
Perdagangan Dalam Negeri. Dalam Pertanian dan Pangan: Bunga Ram-pai Pemikiran Menuju Ketahanan
Pangan (Eds. R. Wibowo). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Sudaryanto, T., B. Rachman dan S. Bachri. 2000. Arah kebijakan distribusi/Perdagangan Beras dalam
Mendukung Ketahanan Pangan: Perdagangan Luar Negeri. Dalam Pertanian dan dan Pangan: Bunga
Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan (Eds. R. Wibowo). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
ISSN: 0852-9124 Muhammad Insa Ansari
111
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
BENTUK LEGISLASI DI KABUPATEN
ACEH BESAR
Local Government Policy in the Form of Legislation
in Aceh Besar District
Muhammad Insa Ansari Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa materi muatan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah
kabupaten/kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan
serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011
tentang Tata Cara Pembentukan Qanun. Bertolak dari kedua ketentuan tersebut, tulisan ini mengkaji kebijakan
Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam bentuk legislasi yang dihasilkan dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian
hukum kepustakaan. Dimana dalam penelitian ini hanya mempergunakan data sekunder saja. Berdasarkan
kajian bahwa materi muatan qanun kabupaten tersebut dalam kurun waktu 5 (lima) tahun tersebut diantaranya berkaitan dengan pengesahan, perubahan dan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Kabupaten, perizinan dan retribusi, organisasi dan tata kerja, perhubungan, kesehatan, sanitasi, dan pendidikan.
Dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 jumlah Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan mencapai 53 (lima puluh tiga), dimana qanun yang dihasilkan pada tahun 2010 sangat variatif jenisnya, meliputi anggaran
pendapatan dan belanja kabupaten, pengelolaan barang milik daerah, pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan, susunan organisasi dan tata kerja lembaga keistimewaan, retribusi, perizinan, serta susunan
organisasi dan tata kerja dinas dan lembaga teknis. Sementara itu qanun yang dihasilkan pada tahun 2011 hanya
berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten.
Kata Kunci: kebijakan pemerintah daerah, materi muatan, legislasi
ABSTRACT
Under the provisions of Article 14 of Law No. 12 Year 2011 on the Establishment Regulation Legislation
states that the substance of provincial regulations and local regulations regency / city contains material content
in the context of regional autonomy enforcement and assistance as well as accommodate special local conditions and / or translation for further legislation and higher law. Similar provisions are also contained in
Article 4 paragraph (2) Aceh Qanun No. 5 of 2011 on Procedures for the Establishment of Qanun. Starting
from these two provisions, this paper examines government policy in Aceh Besar the form of legislation produced from 2007 to 2011. Research used in this study is the normative legal research or literature legal
research. Which uses secondary data only. Based on the assessment that the district qanun substance within five
(5) years of which related to approval, change and accountability of District Budget, permits and fees, organization and administration, transportation, health, sanitation, and education. From 2007 to 2011 the
number of Qanun Aceh Besar generated at 53 (fifty three), in which the qanun produced in 2010 varied,
covering county government budgets, asset management area, management and delivery of education, organizational structure and working procedures of the institution privileges, fees, permits, as well as
organizational structure and working procedures of agencies and technical institutions. Meanwhile qanun produced in 2011 only deals with the District Budget.
Keywords: local government policy, the substance, legislation
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 4, No. 2, Nov 2013
112
PENDAHULUAN
Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah atau administrasi negara
melakukan berbagai tindakan hukum dengan menggunakan berbagai instrumen yuridis
dalam menjalankan kegiatan mengatur dan menjalankan urusan pemerintahan dan
kemasyarakatan, seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan, peraturan
kebijaksanaan, perizinan, instrumen hukum keperdataan, dan sebagainya (Ridwan HR,
2006: 129). Instrumen-instrumen yuridis tersebut dikeluarkan baik oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Konsideran huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa untuk mewujudkan Indonesia
sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum
nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem
hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Hal yang sangat prinsipil berdasarkan konsideran tersebut, bahwa Undang-Undang
Dasar 1945 merupakan sumber hukum yang sangat tinggi dan prinsip pembangunan
hukum nasional harus sesuai dengan konstitusi. Hal ini tentunya menarik kalau
dikaitkan dengan pendapat Hans Kelsen dalam buku General Theory of Law and State
yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, dimana disebutkan bahwa tata
urutan atau susunan hierakhis dari tata hukum suatu negara dapat dikemukakan bahwa
dengan mempostulasi norma dasar, konstitusi adalah urutan tertinggi di dalam hukum
nasional (Somardi, 1995:126).
Adapun jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 ayat
(1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, adalah sebagai berikut: a). Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; b). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c). Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d). Peraturan Pemerintah; e).
Peraturan Presiden; f). Peraturan Daerah Provinsi; dan g). Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Hierarki dari peraturan-peraturan tersebut di atas sangatlah penting,
mengingat peraturan hukum menjadi dasarnya dari pada peraturan hukum yang lebih
rendah tingkatannya, dan yang terakhir ini menjadi dasar pula dari pada peraturan hukum
yang lebih rendah lagi tingkatannya (Soehino, 1986:140).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa materi muatan peraturan
perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan
sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-undangan. Berdasarkan
ketentuan ini materi muatan dari setiap peraturan perundang-undangan sangat ditentukan
oleh hirakhi peraturan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menyebutkan bahwa materi muatan peraturan daerah provinsi dan
peraturan daerah kabupaten/kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini
menjadi salah satu dasar penting tentunya dalam meninjau kebijakan daerah dalam
bentuk legislasi.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Muhammad Insa Ansari
113
Namun demikian, khusus untuk Pemerintahan Aceh dan pemerintah kabupaten/kota
yang ada dibawahnya, berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan
ada pengaturan secara khusus dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, yaitu Bab XXXV Qanun, Peraturan Gubernur, dan Peraturan
Bupati/Walikota. Ketentuan tersebut merupakan ketentuan kekhususan yang berlaku
bagi pemerintah Aceh berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini
sendiri harus dijadikan rujukan terutama oleh pihak legislatif dan pihak eksekutif dalam
membentuk peraturan perundang-undangan, serta ketentuan tersebut menjadi referensi
penting dalam pembuatan peraturan gubernur dan peraturan bupati/peraturan walikota.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, ada
beberapa hal yang dianggap penting berkaitan dengan kebijakan pemerintah daerah
dalam bentuk legislasi pemerintah kabupaten adalah sebagai berikut:
Pertama, berkaitan dengan pengesahan qanun kabupaten/kota. Dimana berdasarkan Pasal
232 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dimana
disebutkan bahwa qanun kabupaten/kota disahkan oleh bupati/walikota setelah mendapat
persetujuan bersama dengan DPRK.
Kedua, berkaitan dengan alasan pembentukan qanun kabupaten/kota. Dimana
ketentuan Pasal 233 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, menyebutkan bahwa qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan
Pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas
perbantuan.
Ketiga, berkaitan dengan berlakunya qanun kabupaten/kota. Berdasarkan ketentuan
Pasal 233 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
bahwa qanun kabupaten/kota berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah
kabupaten/kota.
Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh maka dibentuklah Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Tahun 2007 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Aceh Nomor 03). Namun pada
tanggal 30 Desember 2011 Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pembentukan Qanun dicabut dengan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata
Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Aceh Tahun 2011 Nomor 10, Tambahan Lembaran
Aceh Nomor 38).
Pasal 4 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan
Qanun menyebutkan bahwa qanun kabupaten/kota dibentuk dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota, pengaturan hal yang berkaitan dengan
kondisi khusus kabupaten/kota, penyelenggaraan tugas pembantuan dan penjabaran lebih
lanjut peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tulisan singkat ini akan mendeskripsikan
dan menjelaskan kebijakan pemerintahan daerah dalam bentuk legislasi di Kabupaten
Aceh Besar selama tahun 2007 sampai dengan 2011.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
114
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Dimana dalam penelitian ini hanya mempergunakan data sekunder saja (Soekanto dan Mahmudji, 2001:14). Data sekunder dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, terdiri dari norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat (Soekanto dan Mahmudji, 2001:13). Ataupun juga bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Marzuki, 2008:12). Bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Marzuki, 2008:12). Dimana bahan hukum sekunder tersebut memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum (Soekanto dan Mahmudji, 2001:13). Sementara yang dimaksud dengan bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, indek komulatif, dan sebagainya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil legislasi Kabupaten Aceh Besar selama tahun 2007 hingga tahun 2011 dapat
dirincikan produk Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan setiap tahunnya adalah
sebagai berikut:
Qanun Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007
Adapun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang disahkan pada tahun 2007 adalah sebagai
berikut: a) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan
Pertama atas Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Besar Nomor 38 Tahun 2001 tentang
Pembentukan Susunan Organisasi dan tata Kerja Kecamatan Montasik; b) Qanun
Kabupaten Aceh Besar Nomor 2 Tahun 2007 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan
Daerah Kabupaten Aceh Besar Nomor 40 Tahun 2001 tentang Pembentukan Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan Ingin Jaya; c) Qanun Kabupaten Aceh Besar
Nomor 3 Tahun 2007 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Kabupaten
Aceh Besar Nomor 43 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kecamatan Kuta Baro; d) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 4 Tahun 2007
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2007; e)
Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 5 Tahun 2007 tentang Perhitungan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Tahun Anggaran 2007; dan f)
Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 6 Tahun 2007 tentang Perubahan APBD Tahun
Anggaran 2007.
Produk legislasi yang dihasilkan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar pada tahun
2007 lebih memfokuskan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan susunan
organisasi dan tata kerja kecamatan. Dimana pada tahun tersebut ada 3 (tiga) qanun yang
materi muatannya berkaitan dengan APBD. Disamping itu terdapat juga 3 (tiga) qanun
yang materi muatannya mengatur susunan organisasi dan tata kerja kecamatan.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Muhammad Insa Ansari
115
Qanun Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008
Adapun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang disahkan pada tahun 2008 adalah sebagai
berikut: a) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2008 tentang APBD
Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008; b) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 2 Tahun
2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat
DPRK Aceh Besar; c) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas dan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Aceh
Besar; c) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 4 Tahun 2008 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kecamatan Dalam Kabupaten Aceh Besar; d)
Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pertanggungjawaban APBD
Tahun 2007; e) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Kelurahan dan Pembentukan Gampong dalam Kabupaten Aceh Besar; f)
Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pendelegesian Kewenangan
Pemerintah Kabupaten Aceh Besar kepada Dewan Kawasan Sabang; g) Qanun
Kabupaten Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pemberian Izin Kepemilikan dan
Pengguna Gergaji Rantai; h) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 9 Tahun 2008 tentang
Retribusi Izin Tempat Usaha; i) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 10 Tahun 2008
tentang Retribusi Izin Sanitasi, Farmasi dan Pelayanan Kesehatan dalam Kabupaten Aceh
Besar; j) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Kebersihan dan Retribusi Pelayanan Kebersihan/Persampahan; k) Qanun Kabupaten
Aceh Besar Nomor 12 Tahun 2008 tentang Retribusi Tanda Daftar Perusahaan; l) Qanun
Kabupaten Aceh Besar Nomor 13 Tahun 2008 tentang Retribusi Izin Usaha, Izin
Perluasan dan Tanda Daftar Industri; m) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 14 Tahun
2008 tentang Retribusi Izin Usaha Perdagangan; n) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor
15 Tahun 2008 tentang Retribusi Izin Usaha Jasa Konstruksi; o) Qanun Kabupaten Aceh
Besar Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kesehatan; p) Qanun Kabupaten Aceh Besar
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir dan Anak Balita; q)
Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 18 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan
Orang; r) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 18 Tahun 2008 tentang Retribusi
Pengujian Kendaraan Bermotor.
Dari 18 Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2008, dimana
terdiri dari: 1) muatannya berkaitan dengan anggaran, yaitu APBD Kabupaten Aceh
Besar Tahun 2008, dan pertanggung jawaban APBD Tahun 2007; 2) muatannya
berkaitan dengan susunan organisasi dan tata kerja serta pelimpahan kewenangan,
diantaranya susunan organisasi dan tata kerja sekretariat daerah dan sekretariat DPRK,
dan susunan organisasi dan tata kerja dinas dan lembaga teknis daerah, dan susunan
organisasi dan tata kerja pemerintah kecamatan, dan penghapusan kelurahan dan
pembentukan gampong, serta pendelegesian kewenangan pemerintah Kabupaten Aceh
Besar kepada Dewan Kawasan Sabang; 3) materinya berkaitan dengan perizinan dan
retribusi, diantaranya adalah pemberian izin kepemilikan dan pengguna gergaji rantai,
retribusi izin tempat usaha, retribusi izin sanitasi, farmasi dan pelayanan kesehatan dalam
Kabupaten Aceh Besar, pengelolaan kebersihan dan retribusi pelayanan
kebersihan/persampahan, retribusi tanda daftar perusahaan, retribusi izin usaha, izin
perluasan dan tanda daftar industri, retribusi izin usaha perdagangan, retribusi izin usaha
jasa konstruksi, retribusi pengujian kendaraan bermotor; 3) materinya berkaitan dengan
pelayanan kesehatan, yaitu kesehatan dan kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak balita;
dan 4) materinya berkaitan dengan perhubungan, yaitu penyelenggaraan angkutan orang.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
116
Qanun Kabupaten Aceh Besar Tahun 2009
Adapun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang disahkan pada tahun 2009 adalah sebagai
berikut: a) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2009 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Tahun Anggaran 2009; b) Qanun
Kabupaten Aceh Besar Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pertanggungjawaban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Tahun 2008; c) Qanun
Kabupaten Aceh Besar Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pembentukan Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Besar; d)
Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Anggaran 2009; e) Qanun
Kabupaten Aceh Besar Nomor 5 Tahun 2009 tentang Perubahan Pertama Qanun
Kabupaten Aceh Besar Nomor 7 Tahun 2003 Tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan
Olahraga; f) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja MAA Kabupaten Aceh Besar; g) Qanun Kabupaten Aceh
Besar Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi Tata Kerja
Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Panglima Polem; h) Qanun Kabupaten Aceh
Besar Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pemerintah Mukim; i) Qanun Kabupaten Aceh
Besar Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Perubahan Pertama Qanun Kabupaten Aceh Besar
Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Retribusi Parkir di tepi Jalan Umum; j) Qanun Kabupaten
Aceh Besar Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Perubahan Pertama atas Qanun Kab. Aceh
Besar Nomor 11 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Terminal dan Pangkalan; dan k)
Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Gampong.
Dari 11 Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2009, dimana
terdiri dari: 1) materi muatannya berkaitan dengan anggaran, diantaranya adalah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh Besar Tahun Anggaran 2009,
dan Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Aceh
Besar Tahun 2008, serta Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Aceh Besar Anggaran 2009; 2) materi muatannya berkaitan dengan susunan
organisasi dan tata kerja, diantaranya adalah pembentukan susunan organisasi dan tata
kerja Badan Penangulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Besar, dan susunan
organisasi dan tata kerja MAA Kabupaten Aceh Besar, serta susunan organisasi tata kerja
Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Panglima Polem; 3) materi muatannya berkaitan
dengan perizinan dan retribusi, diantaranya retribusi tempat rekreasi dan olahraga, dan
retribusi parkir di tepi jalan umum; 4) materinya berkaitan dengan pemerintahan,
diantaranya pemerintah mukim dan pemerintahan gampong; dan 5) materinya berkaitan
dengan perhubungan, yaitu pengelolaan terminal dan pangkalan.
Qanun Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010
Adapun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang disahkan pada tahun 2010 adalah sebagai
berikut: a) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2010 Tentang APBK
Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010; b) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 2 Tahun
2010 Tentang Pertanggung Jawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Kabupaten Aceh Besar Tahun 2009; c) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 3 Tahun
2010 Tentang Penjabaran Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh
Besar Tahun 2010; d) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 4 Tahun 2010 Tentang
Qanun BPHTB; e) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Qanun
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Muhammad Insa Ansari
117
tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah (BPM) Kabupaten Aceh Besar; f) Qanun
Kabupaten Aceh Besar Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan Kabupaten Aceh Besar; g) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 7 Tahun
2010 Tentang Qanun tentang susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Keistimewaan
Kabupaten Aceh Besar, MPU, MAA,MPD; h) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 8
Tahun 2010 Tentang Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Barbasis
Masyarakat; i) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Retribusi
Pelayanan Pasar; k) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 10 Tahun 2010 tentang
Retribusi Pelayanan Tata/Tera Ulang; l) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 11 Tahun
2010 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; m) Qanun Kabupaten
Aceh Besar Nomor 12 Tahun 2010 tentang Retribusi Penyediaan/Penyedotan Kakus; n)
Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 13 Tahun 2010 tentang Izin Gangguan; o) Qanun
Kabupaten Aceh Besar Nomor 14 Tahun 2010 tentang Izin Mendirikan Bangunan; dan p)
Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 15 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Qanun
Nomor 3 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas dan Lembaga
Teknis Daerah Kabupaten Aceh Besar.
Dari 15 Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2010, dimana
terdiri dari: 1) materi muatannya berkaitan dengan anggaran, diantaranya APBK
Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010, dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar Tahun 2009, serta Penjabaran Perubahan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010; 2) materi
muatannya berkaitan dengan susunan organisasi dan tata kerja, diantaranya susunan
organisasi dan tata kerja lembaga keistimewaan Kabupaten Aceh Besar, MPU, MAA,
MPD, dan susunan organisasi dan tata kerja dinas dan lembaga teknis daerah Kabupaten
Aceh Besar; 3) materinya muatannya berkaitan dengan perizinan dan retribusi,
diantaranya adalah BPHTB, retribusi pelayanan pasar, retribusi pelayanan tata/tera
ulang, retribusi pengendalian menara telekomunikasi, retribusi penyediaan/penyedotan
kakus, izin gangguan dan izin mendirikan bangunan; 4) materinya berkaitan dengan aset
daerah, yaitu pengelolaan barang milik daerah (BPM) Kabupaten Aceh Besar; 5)
materinya berkaitan dengan pendidikan, yaitu pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan Kabupaten Aceh Besar; dan 6) materinya berkaitan dengan sanitasi, yaitu
pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan barbasis masyarakat.
Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2010 sangat variatif
pengaturannya, meliputi anggaran pendapatan dan belanja kabupaten, pengelolaan barang
milik daerah, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, susunan organisasi dan tata
kerja lembaga keistimewaan, retribusi, perizinan, serta susunan organisasi dan tata kerja
dinas dan lembaga teknis.
Qanun Kabupaten Aceh Besar Tahun 2011
Adapun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang disahkan pada tahun 2011 adalah sebagai
berikut: a) Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Besar; b) Qanun Kabupaten
Aceh Besar Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pertanggung Jawaban Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar Tahun Anggaran 2010; dan c) Qanun
Kabupaten Aceh Besar Nomor 3 Tahun 2011 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Kabupaten Aceh Besar Tahun 2011.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
118
Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada tahun 2011 hanyalah qanun yang
berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, maka ada sejumlah kesimpulan yang
dapat diambil dari kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk legislasi di kabupaten
Aceh Besar adalah: Pertama, Kebijakan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam
bentuk legislasi yang dihasilkan dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 berdasarkan
jumlahnya mencapai 53 (lima puluh tiga) Qanun Kabupaten Aceh Besar dengan materi
muatan diantaranya berkaitan dengan pengesahan, perubahan dan pertanggungjawaban
anggaran, perizinan dan retribusi, organisasi dan tata kerja, perhubungan, kesehatan,
sanitasi dan pendidikan. Kedua, Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan pada
tahun 2010 sangat variatif jenisnya, meliputi anggaran pendapatan dan belanja kabupaten,
pengelolaan barang milik daerah, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, susunan
organisasi dan tata kerja lembaga keistimewaan, retribusi, perizinan, serta susunan
organisasi dan tata kerja dinas dan lembaga teknis. Ketiga, Qanun Kabupaten Aceh Besar
yang dihasilkan pada tahun 2011 hanya berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Kabupaten.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kabupaten Aceh Besar dan BAPPEDA Kabupaten Aceh Besar, 2012, Aceh Besar Dalam Angka 2012, BPS Kabupaten Aceh Besar dan BAPPEDA Kabupaten Aceh Besar, Kota Jantho.
Hans Kelsen, 1995. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Emprik-
Deskriptif. [General Theory of Law and State], Diterjemahkan oleh Somadi, Rimdi Press, Jakarta
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soehino, 1986, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta
Soerjono Soekanto., dan Sri Mahmudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Radja
Grafindo Persada, Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4633).
Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Aceh Tahun 2011
Nomor 10, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 38).
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
ISSN: 0852-9124 Zulkifli
119
STRATEGI MENINGKATKAN PENDAPATAN ACEH
DARI SUMBER ZAKAT: SUATU BUKTI EMPIRIK
Strategy to Increase Aceh’s Revenues from Zakat Sources:
an Empirical Evidence
Zulkifli
Kepala Bidang P2EP Bappeda Aceh
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Provinsi Aceh telah diberikan otonomi oleh Pemerintah Indonesia dalam berbagai aspek administrasi sejak
tahun 1999. Dalam hal ini, pada tahun 2004 pemerintah Aceh mengesahkan diberlakukannya pembayaran zakat
atas penghasilan melalui lembaga formal yang dikenal sebagai Baitulmal. Namun, pembuat kebijakan mempertimbangkan bahwa tingkat kepatuhan rendah. Untuk daerah yang dikenal sepanjang sejarah karena
ketaatan kepada ajaran Islam, situasi seperti ini agak mengejutkan. Mengapa hal ini terjadi? Dan jika
pemerintah bermaksud untuk menambah pendapatan dari zakat, maka strategi apa yang perlu diambil? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pembayaran zakat melalui Baitulmal dan pendapatannya?
Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengusulkan dan memperkirakan model kepatuhan
zakat. Hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa jenis kelamin, usia, pendidikan, biaya bulanan, komitmen terhadap agama/iman, pelaksanaan hukum, akses mekanisme pembayaran, pemahaman/pengetahuan zakat,
persepsi pajak, dan faktor-faktor lingkungan yang ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat kepatuhan pembayaran zakat. Temuan penelitian menyimpulkan bahwa dalam rangka meningkatkan
tingkat kepatuhan zakat pembayaran melalui Baitulmal, pemerintah perlu memperkuat penegakan hukum;
meningkatkan kesadaran tentang kewajiban membayar zakat atas penghasilan, membangun kepercayaan dalam memastikan Baitulmal sebagai suatu institusi yang mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara jujur dan
efisien, meningkatkan jumlah counter (kantor) zakat dan memperkenalkan sistem pembayaran online, reformasi
undang-undang pajak yang ada seperti pengembalian zakat akan diberikan sebagai insentif bagi mereka yang
membayar zakat melalui Baitul Mal.
Kata kunci: model kepatatuhan zakat, prilaku kepatuhan, strategi
ABSTRACT
The Aceh province has been given the autonomy by the central government of Indonesia in various aspects
of administration since 1999. In this regards, in 2004 the government of Aceh has legislated an enactment
requiring the payment of zakat on income through a formal institution known as the Baitulmal. However, policy
makers are concerned that the compliance rate is found to be low. For a region that is known throughout history for its adherence to the Islamic teachings, such a situation is rather surprising. Why is this happening?
And if the government intends to increase zakat collection, what are then the strategies that need to be taken?
What are the likely factors affecting the compliance level of zakat payment via Baitulmal and its collection? Thus, the objective of this study is to propose and estimate a zakat compliance model. The results of the study
documented that gender, age, education, monthly expenses, commitment to the religion/faith, implementation of laws, accessible payment mechanism, zakat understanding/knowledge, tax perception, and environmental
factors are found to have significant relationships with the compliance level of zakat payment. The findings of
the study imply that in order to increase the compliance level of zakat payment via Baitulmal, the government needs to strengthen the law enforcement; increase awareness on the obligation to pay zakat on income; build
the trust in ensuring the Baitulmal as an able institution to execute her tasks honestly and efficiently; increase
the number of zakat counters and to introduce online payment system; reform the existing tax law such that zakat rebates should be granted as an incentive to those who pay zakat through Baitulmal.
Keywords: zakat compliance model, compliance behavior, strategy
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 4, No. 2, Nov 2013
120
PENDAHULUAN
Zakat merupakan pembayaran yang diwajibkan oleh Islam kepada semua
penganutnya yang mempunyai harta dalam berbagai bentuk sekiranya cukup syarat haul
atau tempoh dan nisab atau satu jumlah minimum yang mencukupi untuk memenuhi
keperluan asas selama tempoh yang dikenakan (Alhabshi, 2003). Kewajiban ini lahir
karena zakat merupakan salah satu rukun Islam yang diwajibkan kepada individu muslim
oleh Allah SWT dengan maksud untuk pembersihan dan penyucian harta bagi orang yang
membayarnya (QS:At-Taubah, ayat 103) dan juga untuk menolong kaum dhu’afa atau
orang yang memerlukan (QS:At-Taubah, ayat 60).
Oleh itu, kedudukan zakat adalah sangat penting yaitu sama sebagaimana kedudukan
shalat bagi setiap orang Mukmin. Ajaran Islam memberikan peringatan dan ancaman
keras terhadap orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Perintah pemaksaan
kepada wajib zakat untuk membayarnya adalah jelas kepada jenis harta yang telah
disepakati (‘iktifaq) seperti zakat ke atas hasil tanaman seperti gandum, kurma, zakat
peternakan (unta, lembu dan kambing) serta zakat galian emas dan perak. Perintah zakat
kepada harta yang belum disepakati (‘ikhtilaf) walaubagaimanapun terdapat sedikit
perbedaan karena terdapat sebagian ulama yang mewajibkannya dan sebagian yang lain
tidak sehingga kepatuhan untuk membayar zakat dari harta jenis ini masih berbeda di
kalangan individu tergantung pada situasi, kefahaman individu dan lingkungannya
termasuk adanya qanun dan fatwa (Hairunnizam, et al., 2007). Diantara harta dari
kategori ini adalah harta yang diperoleh dari pendapatan gaji, upah, sewa, dan
penghasilan profesi (jasa). Berdasarkan fatwa Majelis Ulama Aceh tahun 1983,
penghasilan jasa diartikan sebagai hasil atau bayaran yang diperoleh seseorang sebagai
imbalan dari guna/manfaat sesuatu seperti gaji, upah, sewa, hasil profesi, tunjangan,
bonus dari apa saja pekerjaan dan jasa profesional dan bukan profesional. Mengenai
kewajiban zakat ini, Majelis Ulama Aceh telah mengeluarkan fatwa tentang kewajiban
pembayarannya sejak tahun 1983. Namun sampai saat ini hasil pungutan zakat melalui
institusi formal pungutan zakat masih rendah dibandingkan dengan potensi yang ada.
Salah satu penyebab rendahnya pungutan zakat adalah kurangnya kesadaran/kepatuhan
individu pembayar zakat untuk menunaikan kewajibannya melalui institusi formal
pungutan zakat (Baitulmal).
Oleh karena itu, muncul pertanyaan apakah individu yang tidak membayar zakat
kepada Baitulmal tersebut bermakna mereka tidak mengeluarkan zakat atau mereka
menyalurkan zakat secara langsung kepada asnaf yang ada dilingkungan tempat
tinggalnya yang dapat diartikan bahwa tingkat kepatuhan mereka untuk membayar zakat
melalui institusi formal seperti yang diamanatkan dalam Qanun masih rendah. Tentunya,
ketidakpatuhan ini dapat dikatakan sebagai bocoran bagi penerimaan pendapatan daerah
Aceh. Sehubungan dengan hal tersebut, maka faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
seseorang untuk bersedia membayar zakat melalui institusi formal. Permasalahan-
permasalahan inilah yang akan dikaji dalam penelitian ini, sehingga dengan demikian
akan dapat ditentukan strategi apa yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Aceh untuk
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli
121
meningkatkan pendapatan asli Aceh dari sumber zakat melalui Baitulmal dalam rangka
mempercepat pemberantasan kemiskinan di Aceh.
PERKEMBANGAN DAN PERANAN INSTITUSI PUNGUTAN ZAKAT
Zakat merupakan ibadah yang diwajibkan secara individu dalam kehidupan
bermasyarakat, namun demikian zakat juga sebenarnya sebagian dari ruang lingkup
tanggung jawab pemerintahan negara. Oleh karena itu dalam penulisan-penulisan Islam,
walaupun zakat sering dibahas di dalam bab ibadah di samping shalat, puasa dan haji,
zakat juga dibahas dalam topik-topik mengenai kenegaraan dan pemerintahan. Ini berarti
bahwa zakat sebenarnya bukanlah urusan pribadi yang hanya bisa diuruskan sendiri
secara individu oleh ummat Islam. Sebaliknya zakat merupakan sebagian dari sistem
sosial yang perlu diuruskan oleh pemerintah. Berdasarkan hal tersebut maka pengurusan
zakat adalah menjadi kewajiban pemerintah terutama dengan membentuk institusi yang
teratur untuk melaksanakan tugas pemungutan dan pendistribusian zakat-zakat ini.
Bila menilik berdasarkan dalil-dalil tentang kewajiban berzakat, dapatlah dimengerti
bahwa sebetulnya masalah zakat ini diurus oleh satu institusi yang legal dan mempunyai
wewenang untuk itu. Dan pada dasarnya yang berhak mengurusnya adalah pemerintah
melalui institusi formal yang dibentuk. Hal ini dapat dilihat dari dalil dalam Al Qur’an di
antaranya dengan menggunakan perkataan “Ambillah...” (At Taubah : 103) dan hadist
nabi : “ Beritahu mereka bahwa Allah SWT telah mewajibkan ke atas mereka zakat dari
harta-harta mereka, yang akan dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada
orang-orang fakir “. Perkataan “ ambillah” dan “dipungut” bermakna bahwa ada pihak
tertentu yang melaksanakan kerja-kerja tersebut.
Sebagai sebuah wilayah yang mempunyai penduduk muslim mayoritas, Provinsi
Aceh tentunya mempunyai potensi sumber dana zakat yang sangat besar dan strategis.
Pelaksanaan zakat di Aceh telahpun dimulai sejak kedatangan Islam di nusantara ini.
Zakat merupakan salah satu sumber dana untuk pengembangan ajaran Islam dan
perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah. Sebagai contoh, Belanda terlibat dalam
perang besar yang berkepanjangan melawan orang-orang Aceh yang fanatik, mereka kuat
dalam melawan penjajah karena mereka memiliki sumber dana berupa hasil zakat
(Yoesoef, 1985; Daud, 1991).
Namun, pengelolaan zakat pada masa itu belum mempunyai mekanisme tertentu,
kaum muslimin biasanya menyalurkan zakat itu secara langsung kepada mustahik, guru,
teungku/kiayi, dan masjid-masjid. Hal ini disebabkan karena kaum muslimin
melaksanakan zakat hanya atas keyakinan bahwa zakat merupakan kewajiban ke atas
harta yang dimiliki. Kemudian setelah munculnya organisasi-organisasi Islam pada awal
abad ke 20, zakat mulai diurus oleh organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadyah,
Nahdatul Ulama dan lain-lain. Hal ini disebabkan pada masa itu belum didapatkan suatu
badan resmi yang dibentuk oleh pemerintah (Somad, 1996).
Selanjutnya pada pertengahan abad ke 20, mulai adanya upaya membentuk suatu
badan yang berskala nasional untuk menguruskan zakat yaitu dengan dikeluarkannya
Peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 tahun 1968 mengenai pembentukan
Badan Amil Zakat dan Baitul Mal. Dan dilanjutkan dengan Perintah Presiden Republik
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
122
Indonesia dengan suratnya Nomor 07/PRIN/10/1968 mengenai penunjukan komite
pelaksanaan seruan Presiden tentang pelaksanaan zakat. Berdasarkan peraturan inilah
akhirnya didirikan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah (Andy, 1997). Pembentukan
Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah (BAZIS) ini tidak mengurangi atau
menghancurkan aktivitas badan zakat yang telah ada di organisasi-organisasi Islam
sebelumnya. Mereka masih tetap melaksanakan urusan zakat itu sebagaimana biasa
karena tiada peraturan resmi yang melarangnya.
Sebelum organisasi BAZIS dibentuk, di Aceh sebenarnya pernah didirikan Badan
Penertiban Harta Agama (BPHA) pada tahun 1973. BPHA memiliki tugas untuk
memelihara harta-harta agama, seperti zakat, wakaf, harta Baitulmal dan harta-harta
agama lainnya. Pada tahun 1976, institusi ini kemudian diubah dengan nama Badan Harta
Agama (BHA) yang mempunyai cabang hingga ke tingkat pedesaan. Namun pada tahun
1993, peranan BHA ini akhirnya diganti Badan Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah (BAZIS).
Pada saat ini, keberadaan BAZIS secara nasional dikuatkan lagi dengan dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan diikuti dengan
Keputusan Menteri Agama Nomor 581 tahun 1999 tentang pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 38 tersebut. Berdasarkan Undang-Undang ini dan Undang-Undang Nomor 18
tahun 1999 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh, maka pada tahun 2000
Pemerintahan Aceh telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Qanun) Nomor 5 tentang
Pelaksanaan Syari’at Islam. Pada pasal 14 ayat (3) peraturan ini diamanatkan bahwa
pengelolaan harta-harta agama dikembalikan kepada prinsip Baitulmal dan Pemerintah
Aceh berkewajiban untuk menertibkan, mengumpulkan, mengelola, mengawal, dan
menggunakan kekayaan Baitulmal tersebut.
Perubahan dan penyesuaian kembali BAZIS menjadi Baitulmal seperti yang
dimaksud dalam Qanun tersebut mempunyai tujuan supaya institusi zakat dapat
melakukan pengelolaan zakat sesuai dengan perkembangan prinsip-prinsip zakat modern.
Oleh karena itu, diharapkan nantinya Baitulmal dapat menjadi institusi keuangan negara
yang diselenggarakan oleh pemerintah dan dipergunakan untuk membiayai seluruh
kepentingan umat Islam. Gagasan ini pada dasarnya berkeinginan untuk mengambil
prinsip-prinsip dengan fungsi-fungsi yang pernah dijalankan institusi Baitulmal pada
masa Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin. Secara undang-undang, gagasan ini
dikuatkan lagi dengan dikeluarkan Qanun Pemerintah Aceh Nomor 7 tahun 2004
mengenai pengelolaan zakat yang telah direvisi termasuk dengan Qanun Nomor 10
Tahun 2010. Qanun ini mengatur tentang zakat secara lebih komperehensif termasuk
menentukan jenis-jenis harta yang dikenakan zakat diantaranya kewajiban membayar
zakat pendapatan.
Dari perkembangan institusi zakat seperti yang disebutkan di atas, maka dapat
dikatakan bahwa pengelolaan harta agama di Indonesia telah mengalami kemajuan yang
berarti yaitu dengan telah dimilikinya berbagai undang-undang dan peraturan tentang
pengelolaan zakat. Dalam konteks Provinsi Aceh pula secara khusus telah memiliki
beberapa undang-undang dan peraturan tersendiri berkenaan masalah zakat ini. Walaupun
institusi zakat di Aceh telah memiliki sejumlah landasan yuridis legal tentang
pengelolaan zakat tersebut, namun realitasnya bahwa institusi zakat belum mampu secara
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli
123
optimal menggugah kesadaran masyarakat untuk berzakat. Dengan perkataan lain
pemberlakuan undang-undang, qanun dan peraturan lainnya itu belum mampu
memberdayakan (empowerment) potensi zakat yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab
itu, sejauh ini zakat yang dikumpulkan belum mampu menunjukkan peranan yang
signifikan dalam memberantas kemiskinan ummat. Realitasnya sebagian besar
masyarakat Aceh masih dibelenggu kemiskinan, sampai Maret 2013 tingkat kemiskinan
di Aceh masih sangat tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan secara nasional
yaitu sebanyak 17,60% dibanding nasional yang hanya 11,37%.
Seharusnya dengan adanya undang-undang, qanun dan peraturan mengenai zakat
tersebut telah dapat memacu institusi zakat untuk berperan lebih optimal dalam
memberikan dampak yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat penerima zakat. Namun
sehingga kini pengelolaan dan perberdayaan zakat di Aceh masih saja didapati masalah,
hambatan, dan tantangan yang mempengaruhi kinerja institusi zakat.
POTENSI DAN PERMASALAHAN
Pembangunan yang dilaksanakan melalui rencana pembangunan jangka pendek,
menengah, dan jangka panjang pada prinsipnya bertujuan untuk mencapai tujuan hidup
berbangsa dan bernegara yaitu tercapainya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Demikian juga halnya di Aceh, saat ini pembangunan diarahkan dalam rangka
pencapaian visi dan misi Pemerintah Aceh periode 2012-2017 di bawah kepemimpinan
dr. Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf (ZIKIR) yaitu untuk mewujudkan Aceh yang
bermartabat, sejahtera, berkeadilan, dan mandiri berlandaskan Undang-Undang
Pemerintahan Aceh sebagai wujud MoU Helsinki.
Untuk mencapai tujuan baik secara nasional maupun daerah tersebut, berbagai
program pembangunan baik yang bersifat fisik maupun yang berkaitan dengan peraturan
perundangan telah dilaksanakan seperti terus menyempurnakan berbagai perundangan
yang telah ada.
Disisi lain, keberhasilan pembangunan sangatlah tergantung kepada berbagai faktor
antaranya kemampuan keuangan daerah terlebih lagi pada era pelaksanaan otonomi
daerah saat ini. Pemerintah daerah perlu melakukan berbagai terobosan untuk mencari
sumber keuangannya sendiri sesuai dengan peraturan-peraturan dan undang-undang yang
ada supaya dapat memastikan bahwa pembangunan yang direncanakan dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Dalam hal ini, Provinsi Aceh sebagai salah satu provinsi di Indonesia pada saat ini
telah diberikan wewenang oleh Pemerintah Pusat untuk menjalankan roda pemerintahan
secara khusus yang disebabkan oleh berbagai pertimbangan politik, ekonomi, dan sejarah
melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Pelaksanaan
Syariat Islam, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kesemua Undang-
undang tersebut telah memberikan wewenang yang lebih luas kepada Pemerintah Aceh
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya termasuk memperluas komponen
sumber pendapatan daerah yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan perbelanjaan
pemerintahan dan pembangunan. Diantara sumber baru sebagai komponen pendapatan
daerah yang diperkenankan oleh undang-undang tersebut adalah hasil pungutan zakat.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
124
Provinsi Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
merupakan wilayah dengan penduduk Islam yang hampir 100 persen telah menjadikan
zakat sebagai salah satu komponen penerimaan daerah disamping hasil pungutan pajak.
Sehingga upaya peningkatan pungutan zakat melalui efektifitas dan efesiensi pungutan
serta perluasan sumber zakat baru telah menjadi tumpuan dalam melaksanakan
pembangunan daerah akhir-akhir ini. Melihat kondisi daerah pada masa ini, sumber zakat
yang sangat potensial dijadikan sebagai salah satu primadona untuk meningkatkan
pungutan zakat oleh institusi formal pungutan zakat adalah bersumber dari zakat
pendapatan. Hal ini disebabkan karena struktur perekonomian Aceh pada saat ini telah
mulai menunjukkan peralihan dari sektor pertanian kepada sektor industri dan jasa.
Peningkatan persentase kontribusi sektor industri dan jasa terhadap Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) Aceh dalam kurun waktu sepuluh tahun kebelakangan ini lebih
besar bila dibandingkan dengan kontribusi sektor pertanian. Secara persentase, kontribusi
sektor industri dan jasa dari tahun 2003 sampai 2012 meningkat secara rata-rata lebih dari
16 persen pertahun, sedangkan kontribusi sektor pertanian dalam kurun waktu tersebut
hanya meningkat sebesar lebih kurang 8-9 persen pertahun, walaupun secara keseluruhan
jumlah sumbangan sektor pertanian masih dominan bila dibandingkan dengan
sumbangan sektor lainnya terhadap PDRB Aceh. Peningkatan ini adalah sangat beralasan
karena jumlah penduduk Aceh yang bekerja di sektor industri dan jasa telah naik secara
signifikan dalam sepuluh tahun terakhir ini.
Potensi yang besar tersebut ternyata masih sangat berbanding terbalik dengan jumlah
pungutan yang dapat dikumpulkan oleh Baitulmal sebagai institusi formal pungutan
zakat. Walaupun jumlah zakat yang dapat dikumpulkan secara keseluruhan terus
menunjukkan peningkatan setiap tahunnya seperti yang dipublikasi dalam laporan
penerimaan dan distribusi dana zakat, infaq, dan shadaqah yaitu jumlah zakat yang dapat
dikumpulkan sebanyak Rp. 1,3 milyar pada tahun 2004, turun menjadi Rp. 1 milyar pada
tahun 2005, dan meningkat kembali pada tahun-tahun berikutnya menjadi sebesar Rp. 1,7
milyar pada tahun 2006, Rp. 2,8 milyar pada tahun 2007, Rp. 3,7 milyar pada tahun 2008,
Rp. 7 milyar pada tahun 2009 dan sebesar Rp. 9 milyar pada tahun 2010 dan terus
meningkat pada tahun 2011 dan 2012. Namun kalau dilihat jumlah pungutan zakat yang
disampaikan dalam laporan penerimaan dan distribusi dana zakat, infaq, dan shadaqah,
ternyata pembayaran zakat pendapatan sejauh ini hanya dominan diperoleh dari pegawai
negeri sipil. Itupun tidak seluruh pegawai negeri yang dikategorikan wajib zakat
pendapatan membayar melalui Baitulmal dengan berbagai alasan. Sedangkan zakat jasa
dari hasil pendapatan lain seperti pegawai swasta, jasa pengangkutan, penghasilan profesi
dan lain sebagainya masih sangat sedikit yang dapat dikumpulkan.
Beberapa kategori penghasilan masyarakat yang termasuk ke dalam usaha-usaha di
sektor jasa yang diwajibkan untuk membayar zakat pendapatan di Provinsi Aceh adalah
antara lain: 1) penghasilan dari usaha profesi. Sektor profesi ini diartikan sebagai
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dengan kepakaran/keahlian dan menerima
imbalan dari jasa yang diberikan; 2) penghasilan dari usaha yang berkaitan dengan
institusi keuangan, baik perbankan maupun non perbankan. Sektor usaha ini akan
menghasilkan pendapatan berupa penghasilan jasa dalam menjalankan fungsinya sebagai
institusi penyaluran pinjaman; 3) penghasilan dari usaha jasa pengangkutan. Sektor ini
dimaksudkan sebagai usaha pemindahan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat
lainnya. Imbalan yang diterima dari aktivitas ini baik berupa upah atau ongkos
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli
125
dimasukkan ke dalam kategori penghasilan jasa; 4) penghasilan dari usaha jasa kontruksi
dan pengadaan barang. Sektor ini akan menghasilkan keuntungan dari proyek yang
dibina/dibangun atau barang yang disediakan kepada pemerintah, perusahaan atau orang
perseorangan lainnya; 5) penghasilan dari usaha jasa sewa menyewa. Seseorang yang
menjalankan aktivitasnya dengan menyewakan sesuatu dan mendapatkan penghasilan
dari usaha tersebut; 6) penghasilan dari pendapatan gaji dan upah, baik pegawai negeri,
pegawai perusahaan/swasta maupun buruh.
Sebenarnya potensi zakat yang sangat besar tersebut bukan saja dalam konteks Aceh,
namun secara nasional potensi zakat sebetulnya amatlah besar. Sebagai sebuah negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan dari segi kuantitaspun merupakan
jumlah umat Muslim terbanyak di dunia, maka Indonesia tentunya mempunyai potensi
dana zakat yang sangat besar dan strategis. Apabila dilihat secara kumulatif dari
perolehan dana zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) di seluruh Indonesia pada awal tahun
1990-an, dana ZIS yang terkumpul hanya sebesar Rp. 11 milyar, namun pada tahun 2000
meningkat kepada lebih dari Rp. 250 milyar. Sebuah jumlah yang cukup signifikan untuk
melaksanakan pembangunan dan pengentasan kemiskinan.
Walaupun potensi zakat demikian besar, dalam realitas yang ada sekarang perolehan
zakat dari sumber zakat pendapatan masih sangat sedikit yang dapat dikumpulkan.
Padahal kewajiban terhadap zakat pendapatan telah diputuskan wajib melalui fatwa
Majlis Ulama Indonesia (MUI) Aceh sejak tahun 1983. Hal ini disebabkan oleh berbagai
faktor yang antaranya berhubungan dengan kesediaan dan kepatuhan masyarakat
pembayar zakat untuk membayar zakat melalui institusi formal pungutan zakat
(Baitulmal). Bagi Provinsi Aceh, ketidakpatuhan para muzakki untuk membayar zakat
melalui Baitulmal merupakan bocoran dari penerimaan daerah karena sumber tersebut
merupakan komponen dari pendapatan asli Aceh.
Secara institusi pula, Baitulmal Aceh merupakan suatu institusi resmi yang didirikan
oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 18 tahun 2003 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Baitulmal Provinsi Aceh dan selanjutnya
dalam Qanun No. 7 tahun 2004 disebutkan dalam pasal 15 bahwa Baitulmal mempunyai
tugas antaranya melakukan pendataan muzakki, pengumpulan zakat, pendataan mustahik,
dan pengagihan zakat. Selanjutnya Qanun ini direvisi dengan Qanun No. 10 tahun 2007
tentang Baitulmal.
Institusi-institusi pengelola harta agama di Provinsi Aceh memang telah berjalan
selama beberapa dekade, dengan nama yang telah berganti-ganti pula, namun
eksistensinya belum dapat diandalkan secara maksimal dalam mengelola harta agama
(Damanhur, 2006). Oleh karena itu, Rusjdi (2003) mengatakan bahwa untuk mencapai
institusi zakat yang ideal, perlu adanya penyelesaian terhadap berbagai kendala struktur,
teknologi, dan psikologis supaya dapat terwujudnya tujuan yang diharapkan. Selanjutnya,
menurut Marzi (2004) terdapat beberapa kendala yang telah diidentifikasi dalam
menjadikan zakat sebagai sumber pendapatan asli Aceh antaranya prestasi lembaga
pengelola zakat yang rendah, pemahaman masyarakat yang sempit tentang zakat dan
penegakan undang-undang zakat.
Secara umum, beberapa kendala, hambatan, dan tantangan yang dihadapi dalam
meningkatkan perolehan zakat termasuklah kurangnya kesadaran wajib zakat untuk
menunaikan kewajibannya dan masih sempitnya pandangan masyarakat terhadap
konsepsi fiqh zakat. Konsepsi fiqh zakat sangat perlu dikaji ulang karena konsepsi fiqh
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
126
zakat yang ada belum merangkumi segala aspek yang terjadi pada zaman modern ini
seperti memperhitungkan tentang dana yang berdaya maju (seperti sektor industri dan
pelayanan jasa). Pemanfaatan sistem zakat yang berdaya maju atau al Mal al Mustafad
termasuk di dalamnya zakat pendapatan yang berhasil akan berkisar pada tiga persoalan,
yaitu; (1) kefahaman dan keyakinan terhadap konsep zakat al Mal al Mustafad ; (2)
fatwa/peraturan zakat dan (3) pemerintah/baitulmal/institusi zakat (Mujaini, 2000). Bagi
institusi zakat di Indonesia paling tidak ada dua permasalahan yang sampai kini masih
dihadapi, yaitu krisis kepercayaan dan profesionalisme (Nirwan, 1999).
Disamping itu, secara khusus dalam pengelolaan zakat di Aceh juga terdapat beberapa
permasalahan lain yang dihadapi antaranya bahwa pemahaman masyarakat tentang zakat
dapat dikatakan masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan pemahaman mereka
tentang shalat, puasa, dan kewajiban syariat lainnya, konsep fikih zakat yang dipahami
dan dipelajari masyarakat pada saat ini dirasakan masih agak sempit sehingga perlu
diperluas supaya sesuai dengan kondisi sosiokultural dan dinamika perkembangan
perekonomian serta masih adanya kelemahan dalam aspek sumber daya manusia
pengelola zakat. Permasalahan-permasalahan ini tentu pada akhirnya akan mempengaruhi
kinerja institusi zakat dalam upayanya untuk memaksimumkan hasil pungutan zakat
berdasarkan potensi yang ada. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai langkah strategis
dalam rangka meminimumkan permasalahan yang ada dan disisi lain akan mampu
meningkatkan pungutan zakat sebagai penerimaan daerah yang nantinya akan dapat
dipergunakan untuk percepatan pemberantasan kemiskinan di Aceh.
BUKTI EMPIRIK
Fenomena hasil pungutan zakat yang rendah bila dibandingkan dengan potensi yang
ada diantaranya disebabkan karena rendahnya tahap kesediaan masyarakat untuk
melakukan pembayaran melalui institusi formal pungutan zakat. Masyarakat cenderung
melakukan pembayaran zakat secara langsung kepada asnaf penerima seperti kebiasaan
yang telah mereka lakukan pada masa sebelum adanya peraturan atau qanun yang
mewajibkan masyarakat untuk membayar zakat melalui Baitulmal. Sesuai dengan Qanun
Aceh, apabila masyarakat tidak membayar atau mengelak membayar zakat melalui
Baitulmal maka hal ini dapat dikatakan sebagai bocoran penerimaan pendapatan daerah
karena hasil pungutan zakat telah dijadikan sebagai salah satu komponen penerimaan
pendapatan daerah. Oleh karena itu, seandainya pemerintah ingin meningkatkan jumlah
perolehan pendapatan daerah melalui pungutan zakat, maka perlu dijalankan berbagai
strategi yang efektif di masa yang akan datang. Agar dapat menentukan strategi apa yang
sesuai untuk diimplementasikan maka perlu diteliti terlebih dahulu berkenaan dengan
faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi tingkat kesediaan atau perilaku kepatuhan
masyarakat untuk membayar zakat melalui Baitulmal.
Pembahasan mengenai perilaku kesediaan atau kepatuhan masyarakat sebetulnya
merupakan hal yang sangat kompleks, karena ianya menyangkut berbagai dimensi seperti
dimensi ilmu ekonomi, sosiologi, dan psikologi. Oleh karena itu, adalah sesuatu yang
penting dan logik apabila diandaikan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dalam
ilmu-ilmu tersebut mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung kepada perilaku
kepatuhan masyarakat untuk membayar zakat melalui Baitulmal.
Sehubungan dengan itu, maka sebelum menentukan mengenai strategi pungutan zakat
terlebih dahulu dalam tulisan ini akan dibahas tentang model perilaku kepatuhan
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli
127
masyarakat. Model perilaku kepatuhan ini didasarkan pada teori-teori perilaku yang telah
dipergunakan dalam mengkaji dan menentukan langkah-langkah pengelolaan perpajakan.
Teori-teori ini tentunya perlu disesuaikan dengan prinsip dan kaedah-kaedah Islam,
sehingga pengadopsian teori-teori tersebut tidak bertentangan atau akan selaras dengan
filosofi mengapa zakat itu wajib. Hal ini penting, karena walaupun zakat dan pajak
mempunyai persamaan karena berhubungan dengan kewajiban di bidang harta, namun
keduanya mempunyai perbedaan yang sangat besar. Berdasarkan falsafah, keduanya
sebenarnya terdapat perbedaan yang signifikan antara kepatuhan zakat dan pajak.
Kepatuhan pajak berkaitan dengan kepuasan jasmani (keduniawian) masyarakat semata-
mata, sedangkan kepatuhan zakat pula tidak saja berkaitan dengan kepuasan jasmani
tetapi juga berkaitan dengan ibadah atau kerohanian. Oleh karena itu, model perilaku
kepatuhan zakat perlu disesuaikan dengan memasukkan falsafah zakat yaitu sebagai suatu
kewajiban yang ditetapkan dalam ajaran Islam.
Pembentukan Model Perilaku Kepatuhan Zakat
Dalam membentuk model perilaku kepatuhan zakat, akan dikembangkan suatu model
berdasarkan kepada model kepatuhan yang telah ada dalam literatur pajak. Langkah
pertama adalah melakukan pengembangan secara teoritis ke atas model perilaku
kepatuhan pajak yaitu dengan memperhitungkan berbagai aspek dimensi ilmu yang
berkaitan dengan perilaku. Hal ini adalah penting karena pembahasan mengenai perilaku
kepatuhan masyarakat sebetulnya merupakan hal yang sangat komplek, ianya
menyangkut berbagai dimensi seperti dimensi ilmu ekonomi, sosiologi, dan psikologi.
Selanjutnya model yang telah dikembangkan tersebut disesuaikan dengan memasukkan
prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam yang akhirnya akan diperoleh suatu model kepatuhan
masyarakat dalam membayar zakat melalui institusi formal pungutan zakat. Kerangka
kerja pembentukan model kepatuhan zakat adalah seperti berikut:
Gambar 1. Kerangka kerja pembentukan model perilaku kepatuhan zakat.
Model kepatuhan dan ketidakpatuhan (pengelakan) pajak didasari kepada teori
ekonomi yang dikenal dengan teori masyarakat rasional (Hite, 1987). Model ini pertama
sekali diperkenalkan oleh Allingham dan Sandmo (1972), kemudian dikembangkan oleh
Srinavasan (1973), Yitzhaki (1974), Watanabe (1987), Borck (2004), Hindriks dan Myles
(2006), Chorvat (2007), Galbiati dan Zanella (2008) dan Tuzova, Y (2009). Berdasarkan
teori masyarakat rasional, bahwa masyarakat pembayar pajak akan memaksimumkan
kepuasannya dengan kendala kepada biaya yang perlu dikeluarkan dalam pembuatan
sesuatu keputusan apakah dia patuh atau mengelak dalam membayar pajak. Biaya yang
terlibat ditimbulkan oleh faktor denda dan kemungkinan ditangkap oleh pihak berwajib.
Pembayar pajak akan melihat tindakan pengelakan pajak yang mereka lakukan dari sudut
keuntungan atau kerugian yang bakal mereka peroleh yang bermakna bahwa keputusan
yang diambil turut melibatkan resiko berupa hukuman atau denda (Allingham & Sandmo,
1972; Srinivasan, 1973).
Model Perilaku
Kepatuhan Pajak
(tax compliance
model)
Prinsip dan
Nilai-nilai
Islam
(Islamic value)
Model Perilaku
Kepatuhan Zakat
(zakat compliance
model)
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
128
Untuk memaksimumkan kepuasannya, pembayar pajak akan melaporkan pendapatan
mereka dalam jumlah serendah mungkin ataupun tidak melaporkan sama sekali, tindakan
itu berhadapan dengan resiko kemungkinan dapat diketahui dan dihukum/didenda oleh
pihak berwajib. Apabila tindakan pengelakan pajak yang dilakukan tidak diketahui dan
ditangkap oleh pihak berkuasa maka pembayar pajak akan terus melakukan pengelakan
pajak. Sebaliknya, apabila kelakuannya dapat dideteksi dan ditangkap maka pembayar
pajak akan mengalami kerugian karena penalti atau denda yang terpaksa dibayar kepada
pemerintah.
Berdasarkan model yang dibentuk oleh Allingham dan Sandmo (1972), pembayar
pajak akan memilih apakah membayar atau mengelak membayar pajak dengan prediksi
kepuasan yang maksimumnya sebagai berikut:
E(U) = ( 1 – p ( w – x )) U( Ync ) + p ( w – x ) U( Yc )
Di mana, U (Ync) adalah kepuasan yang diperoleh dari pendapatan Y dengan asumsi
bahwa pengelakan pajak tidak dapat dideteksi atau ditangkap dan U (Yc) adalah kepuasan
pembayar pajak apabila ianya dapat didekteksi dan ditangkap/dikenakan denda, dan p (w
– x) adalah kemungkinan dapat diketahui oleh pihak berwajib. Apabila w adalah
pendapatan aktual (actual income), x adalah pendapatan yang dinyatakan (declared
income), t adalah kadar pajak yang dikenakan dan F adalah penalty/hukuman yang
dikenakan, maka kendala untuk pemaksimuman kepuasan atau maksimum utiliti
pembayar pajak akan dapat ditulis persamaan sebagai berikut:
Ync = w – t(x)
Yc = ( 1 – t ) w – F t ( w – x )
Dengan memasukkan persamaan (2) dan (3) sebagai kendala (constraint) ke dalam
persamaan (1), maka diperoleh persamaan berikut :
Max E(U) = [( 1–p(w–x) ) U ( w–t(x) )] + [p(w–x) U ( w-t(w) – F ( t(w)-t(x) )]
Max E(U) = [ (U (w–t(x) ) – p(w–x) U (w–t(x) ) ]
+ [ p(w–x) U (w-t(w) – F ( t(w)-t(x) )]
Di mana, F ( t(w)-t(x) ) adalah merupakan total penalti/denda yang akan dikenakan
apabila perbuatan mengelak pajak dapat diketahui. Dengan demikian, dari persamaan (4)
atau (5), diperoleh First Order Condition (FOC) sebagai berikut:
(X)
E(U)
= [- (1-p) U’ [w-t(x)] t’(x)] + [p U’ [(1-t)w-Ft(w-x)] (F) t’(x)] = 0
atau dapat ditulis;
)('1
)(Y' c
ncYpU
pU
= (F)
Dari persamaan (7) dapat didefinisikan bahwa kemungkinan masyarakat mengelak
membayar pajak kepada pemerintah ()('1
)(Y' c
ncYpU
pU
) adalah tergantung kepada beban
hukuman/penalti (F) yang akan dikenakan apabila perbuatan mengelak pajak yang
dilakukan dapat diketahui dan diambil tindakan oleh pemerintah. Selanjutnya, Watanabe
(1987) telah mengembangkan persamaan (7) ini dengan menambah beberapa variabel
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli
129
yang relevan seperti memasukkan variabel biaya yang dikeluarkan dalam melakukan
pengelakan pajak (r). Dengan demikian, persamaan (7) dapat ditulis menjadi:
)('1
)(Y' c
ncYpU
pU
= (F + r)
Untuk memenuhi persyaratan fungsi yang maksimum, maka Second Order
Conditions dari persamaan (6) dapat ditulis sebagai berikut :
2
2
(X)
E(U)
= ( 1 – p ) { U”[Ync] ( t’(x) )2 - U’[Ync] t”(x) } +
p { U”[Yc] ( (1-F) t’(x) )2 - U’[Yc] (F-1) t”(x) } < 0
Dari persamaan (6) hingga (8), diperoleh bahwa kepuasan maksimum bagi
masyarakat yang melakukan pengelakan pajak dengan menyatakan pendapatan (declared
income = x) yang lebih rendah daripada pendapatan aktual (actual income = w) atau [Ync
= w – t(x)] adalah tergantung kepada seberapa besar total beban hukuman/penalti yang
dikenakan {F(t(w)-t(x))} jika perbuatannya diketahui dan juga seberapa besar biaya yang
harus dikeluarkan bagi melakukan pengelakan pajak tersebut. Masyarakat dikatakan akan
patuh membayar pajak apabila ia merasa beban penalti yang diterima adalah lebih berat
sehingga menurunkan tingkat kepuasannya, demikian juga sebaliknya apabila total beban
hukuman/penalti yang diterima lebih ringan maka masyarakat cenderung akan mengelak
membayar pajak.
Apabila hal ini dikaitkan dengan permasalahan kepatuhan dan ketidakpatuhan
(pengelakan) zakat (baca = kepada institusi formal/baitulmal), maka sebetulnya
pematuhan dan pengelakan zakat tidak hanya tergantung kepada beban fisik atau materi
seperti beban hukuman/penalti dalam model pengelakan pajak semata-mata, tetapi lebih
menyeluruh/komperehensif yang mencakup materi atau fisik dan juga mental atau
kerohanian. Hal ini disebabkan karena zakat merupakan perintah agama yang secara
konseptual merupakan satu entitas yang berbeda dengan pajak. Oleh karena itu, adalah
logik apabila kita menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pematuhan dan
pengelakan zakat perlu dibahas secara luas yang mencakup serta memperhitungkan faktor
fisik/materi, mental, spiritual atau prinsip-prinsip agama sekaligus. Justru itu, kita perlu
mengembangkan pemikiran teoritis untuk membentuk suatu model konseptual kepatuhan
zakat berlandaskan teori-teori perilaku baik dari aspek ekonomi, sosiologi maupun
psikologi yang telah ada dengan menyesuaikan dan memasukkan prinsip-prinsip Islam
yang lebih luas.
Landasan Teori Model Perilaku Kepatuhan Zakat
Model pengelakan pajak yang telah dibahas diatas berlandaskan kepada teori rasional
dalam ilmu ekonomi. Berdasarkan teori tersebut, bahwa prinsip rasional hanya diasaskan
kepada kepuasan fisik/materi (keduniawian) saja. Rasionalisme didefinisikan sebagai
suatu proses memaksimumkan sesuatu kehendak berdasarkan kepada satu set kendala
(constraint). Definisi seperti ini menurut Kahf (1983) perlu ditafsirkan kembali jika
istilah yang sama ingin dipergunakan dalam ilmu ekonomi Islam karena istilah tersebut
masih agak kabur sebab sebarang masalah bisa dirasionalkan dengan merujuk kepada
satu set aksiom atau prinsip tertentu. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip Islam maka
asas kepada rasional sememangnya bukan saja kepuasan fisik tetapi juga kepuasan
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
130
rohani. Terlebih lagi yang berkaitan dengan zakat yang merupakan ibadah atau perintah
agama. Untuk memahami konsep rasionalisme bagi masyarakat Muslim, maka ruang
lingkup kehidupannya untuk menikmati kepuasan perlu diperluas kepada dua dimensi,
yaitu kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat. Apapun tindakannya akan memberi
pengaruh kepada kesejahteraan atau kebajikannya dalam kedua-dua alam kehidupan
tersebut. Maka perilakunya dalam memilih suatu bentuk keputusan yang bisa mencapai
satu tingkat tertinggi nilai kini kepuasan (present values of his satisfaction) melalui
kebajikan kehidupan dunia dan akhirat (Kahf, 1995). Dengan demikian, masyarakat
Muslim masih bertindak secara rasional apabila ia melepaskan sebagian penggunaan
pribadi atau penggunaan ekonominya demi membelanjakan hartanya untuk kepentingan
masyarakat dan agama Islam. Ia rela berbuat demikian untuk meningkatkan kepuasannya
yang lebih menyeluruh yaitu kepuasan yang merangkumi kepuasan fisik (materi) dan
kepuasan rohani.
Bukti orang-orang Islam mencari jalan untuk memaksimumkan kepuasan fisik/materi
dan juga kepuasan kerohanian telah difirmankan oleh Allah S.W.T di dalam Al-Quran
Surah Al-Baqarah ayat 201, yang bermaksud; “Dan di antara mereka pula ada yang
(berdoa dengan) berkata : Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari azab Neraka”. Dengan demikian, dalam
memaksimumkan kepuasannya, selain faktor eksternal seperti pemberlakuan undang-
undang (qanun) dengan mencantumkan denda dan penalti yang jelas dan tegas, seorang
Muslim juga tidak terlepas dengan pengaruh faktor internal seperti keimanan dan moral
(akhlak). Hal ini juga selaras dengan teori kognitif dalam ilmu psikologi dan perspektif
normatif dalam ilmu sosiologi, kedua teori ini menyatakan bahwa faktor penentu
kepatuhan adalah tergantung kepada keadilan dan moral pribadi seseorang.
Selanjutnya dari aspek sosiologi, antara faktor yang bisa mempengaruhi perilaku
masyarakat dikatakan karena pengaruh lingkungan. Teori ilmu sosiologi yang berkaitan
dengan aspek perilaku dikenal dengan Reference Group Theory. Menurut Cartwright dan
Zander (1968), Reference Group Theory didefinisikan sebagai suatu kelompok (group)
yang dijadikan referensi atau rujukan oleh para anggotanya dalam berkelakuan terhadap
sesuatu hal. Menurut teori ini, masyarakat yang menjadi anggota kelompok akan
berusaha untuk mempertahankan keanggotaannya dengan mengikuti perilaku kelompok
yang dijadikan rujukannya.
Selanjutnya, Spicer dan Lundstedt (1976) menyatakan bahwa adalah logik untuk
menganggap hubungan seseorang dengan masyarakat di lingkungannya atau masyarakat
lain seperti sahabat, saudara, rekan sekerja, dan kenalan sebagai bagian dari kelompok
rujukan pembayar pajak. Dalam konteks ini, pematuhan atau pengelakan pajak oleh
seseorang akan terjadi apabila kelompok yang dijadikan referensi oleh masyarakat
tersebut membenarkan berlakunya pematuhan atau pengelakan pajak (Vogel, 1974;
Wallschutzky, 1984; Weigel, et al,. 1987).
Bagi masyarakat Muslim, standar dalam kelompok rujukan perlu diperhitungkan
kesesuaian dengan prinsip-prinsip Islam. Apabila standar dalam kelompok rujukan
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam atau syariah maka sepatutnya standar tersebut
tidak akan dijadikan rujukan oleh anggota kelompok tersebut. Justru itu, faktor
kefahaman, kepercayaan dan keimanan akan menentukan perilaku kepatuhan seseorang
apakah mengikuti kelompok maupun tidak.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli
131
Dari sisi ilmu psikologi pula, teori yang sering dipergunakan dalam menentukan
perilaku pematuhan dan pengelakan pajak adalah Teori Pertukaran (Exchange Theory).
Teori pertukaran berdasarkan kepada pertimbangan psikologi manusia yang terpengaruh
oleh prediksi kompensasi yang akan diperoleh dari keputusan yang dibuat. Dikatakan
perilaku pembayar pajak mempunyai hubungan yang erat dengan prediksi kompensasi
yang akan diterima dari pemerintah sebagai bentuk pengorbanan atas sebagian dari
pendapatan mereka untuk menjalankan tanggungjawab membayar pajak. Kompensasi ini
berupa penyediaan fasilitas umum oleh pemerintah dari hasil pajak yang dipungut. Dalam
hal ini, masyarakat pembayar pajak menginginkan pemerintah bertingkahlaku efektif,
efesien, transparan, dan bijak dalam membelanjakan uang mereka, sedangkan pemerintah
pula perlu menjaga tingkat kepuasan pembayar pajak sehingga mereka terus patuh
kepada undang-undang perpajakan. Jika harapan pembayar pajak tidak terwujud, maka
pembayar pajak tidak akan meneruskan hubungan pertukaran sehingga mereka akan
mengelak dari membayar pajak.
Apabila teori ini diperluas dengan memasukkan prinsip-prinsip agama sememangnya
kompensasi atau ganjaran yang diharapkan sebagai balasan dari kesediaan masyarakat
mengorbankan sebagian hartanya seperti untuk membayar zakat bukan saja berupa
ganjaran fisik (material) keduniawian tetapi juga berupa ganjaran kerohanian (pahala)
yaitu untuk mencapai al-falah. Hal semacam ini juga diakui oleh pemikir-pemikir
konvensional yang menyatakan bahwa ciri utama kelakuan bermoral didorong oleh faktor
internal yang tidak menghiraukan balasan material pada diri sendiri. Antara ciri kelakuan
bermoral juga berupa pengorbanan dan kesanggupan mengetepikan kesenangan (denial
of pleasure) demi mempertahankan prinsip moral berkenaan (Kamil, 2002). Dalam Islam,
pengekangan kesenangan dan pengorbanan harta benda dan jiwa raga semata-mata hanya
untuk mendapatkan ganjaran yang dijanjikan oleh Allah SWT. Firman Allah dalam surah
Ash-Shaff, ayat 11-12 yang bermaksud “(iaitu) kamu beriman kepada Allah dan
RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik
bagimu, jika Mengetahui (11). Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan
memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan
(memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah
keberuntungan yang besar (12)”.
Dalam teori psikologi yang lain, perilaku pematuhan dan pengelakan pajak juga
dikatakan dipengaruhi oleh kefahaman dan pengetahuan masyarakat terhadap bidang
berkenaan. Apabila masyarakat telah memahami dan mempunyai pengetahuan tentang
pajak baik mengenai fungsi maupun kegunaan pajak yang dibayarkan, maka akan
mempengaruhi psikologi masyarakat dalam meningkatkan kepatuhannya untuk
membayar pajak. Hal seperti ini dikenal sebagai Teori Penyumbang (Attribution Theory).
Menurut Hite (1987), asumsi yang digunakan dalam teori penyumbang adalah bahwa
masyarakat biasanya akan menginterpretasi dan menganalisa sesuatu kejadian secara
rasional untuk memahami struktur penyebab kejadian tersebut. Penyebab berlakunya
sesuatu kejadian memainkan peranan penting dalam menentukan reaksi dan perilaku
masyarakat terhadap sesuatu kejadian (Arrington dan Reckers, 1985). Dengan arti kata
lain, sikap yang terbentuk dari pengetahuan dan pemahaman kepada faktor-faktor
dilingkungannya akan mempengaruhi seseorang untuk bertindak apakah mematuhi atau
mengelak melakukan sesuatu.
Berdasarkan beberapa teori perilaku seperti yang telah disebutkan di atas, maka
apabila kita membahas mengenai perilaku kepatuhan niscaya kita tidak bisa hanya
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
132
mengedepankan satu aspek ilmu pengetahuan saja. Perilaku kepatuhan berkaitan erat
antara beberapa disiplin ilmu seperti ekonomi, sosiologi, dan juga psikologi. Oleh yang
demikian, maka perilaku kepatuhan zakat diyakini dipengaruhi oleh berbagai variabel
yang kompleks. Justru itu, perlu dibentuk suatu model konseptual berpandukan
permasalahan dan teori-teori perilaku dalam literatur di atas.
Dari uraian mengenai teori perilaku yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan
bahwa perilaku pematuhan dan pengelakan zakat tidak hanya tergantung kepada
hukuman jika adanya pemberlakuan undang-undang (qanun) dengan adanya ancaman
hukuman, tetapi juga tergantung kepada berbagai faktor lain seperti komitmen kepada
agama/keimanan (Iman), kefahaman/pengetahuan tentang zakat, kemudahan mekanisme
pembayaran yang disediakan oleh institusi formal pungutan zakat, kepercayaan kepada
institusi formal pungutan zakat, persepsi sistem pajak (sistem pajak yang masih
memberatkan pembayar zakat karena beban ganda), dan pengaruh lingkungan. Faktor-
faktor tersebut diprediksi akan mempengaruhi perilaku masyarakat apakah membayar
zakat melalui institusi formal pungutan zakat (Baitulmal), membayar zakat secara
langsung kepada asnaf penerima ataupun tidak membayar kepada pihak manapun.
Dengan demikian, apabila model pengelakan pajak dalam persamaan (1) dimodifikasi
dengan menambah serta memasukkan beberapa variabel yang telah diidentifikasi
tersebut, maka dapat dibentuk suatu model persamaan pematuhan dan pengelakan zakat
kepada institusi formal pungutan zakat sebagai berikut:
E(U) = [ 1 – ρ (α - z(α)) U(Ztb ) ] + [ ρ (α - z(α)) U(Zb) ]
Dimana, U(Ztb) adalah kepuasan yang diperoleh apabila tidak membayar zakat
melalui institusi formal pungutan zakat dan U(Zb) adalah kepuasan pembayar zakat
apabila melakukan pembayaran melalui institusi formal pungutan zakat (Baitulmal), ρ(α-
z(α)) adalah kemungkinan membayar zakat melalui Baitulmal, α adalah jumlah
pendapatan wajib zakat, z adalah kadar zakat dan z(α) adalah jumlah zakat yang
dikeluarkan kepada Baitulmal. Dengan demikian, apabila ρ(α-z(α))=0 berarti bahwa
masyarakat tidak membayar zakat melalui Baitulmal tapi ada kemungkinan membayar
zakat melalui saluran lainnya atau tidak membayar zakat sama sekali.
Selanjutnya apabila faktor yang telah diidentifikasikan dalam model konseptual di
atas yaitu faktor pemberlakuan undang-undang/qanun (β1); komitmen kepada
agama/keimanan (β2); kefahaman/pengetahuan zakat (β3); kemudahan mekanisme
pembayaran (β4); kepercayaan kepada institusi formal pungutan zakat (β5); persepsi
sistem pajak (β6); dan pengaruh lingkungan (β7); dimasukkan ke dalam model, maka
kendala dalam pemaksimuman kepuasan masyarakat pembayar zakat melalui institusi
formal adalah seperti persamaan berikut:
Zb = α – z (α)
Ztb = ( 1 – z ) α – ((β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7)( α – z (α)))
Atau persamaan (10) dapat ditulis;
Max E(U) = [1–ρ(α-z(α)) U [(α–z(α)) - ((β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7)(α – z (α))) ] +
[ ρ (α - z(α)) U(( 1 – z ) α ]
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli
133
Di mana, β1 ; β2 ; β3 ; β4 ; β5 dan β6 merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
individu untuk patuh atau mengelak membayar zakat melalui Baitalmal. Dengan
demikian, dari persamaan (13), diperoleh First Order Condition (FOC) sebagai berikut :
)(
E(U)
= {[ -( 1 – ρ ) U ’ ( α – z(α) ) – [ [((β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7)(α – z
(α)))].
(β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7)]z’(α)} + {ρ U’(1-z)α – z’(α)} = 0
atau,
{ ρ U’ [Zb] z’(α) } = {( 1 – ρ ) U’ [Ztb] (β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7) z’(α) }
Dengan bentuk lain, persamaan (15) dapat ditulis sebagai berikut :
)('1
)(Z' b
tbZU
U
= (β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6+ β7)
Di mana, )
b
('1
)(Z'tbZU
U
adalah kemungkinan masyarakat membayar zakat melalui
institusi formal pungutan zakat (Baitulmal) dalam rangka memaksimumkan kepuasannya.
Bentuk kemungkinan seperti ini, yaitu apakah seseorang membayar zakat melalui
institusi formal atau Baitulmal (Zb) maupun tidak membayar melalui Baitulmal (Ztb) atau
membayar melalui saluran lain seperti membayar secara langsung kepada asnaf
penerima, melalui ulama ataupun melalui institusi non formal seperti melalui pengurus
mesjid-mesjid, maka dapat dianalisis dengan menggunakan metode regresi logistik
multinomial. Model logit dengan variabel bebas yang banyak seperti diatas telah pernah
dipergunakan oleh Gaiha (1985) dalam penelitiannya mengenai kemiskinan di India.
Model dalam persamaan 16 juga dikembangkan dengan memasukkan beberapa variabel
demografi yang dianggap mempengaruhi variabel terikat seperti jenis kelamin, umur, dan
tingkat pendidikan responden.
Analisis Model Empiris
Sebelum dilakukan analisis terhadap model kepatuhan dan pengelakan zakat, terlebih
dulu dilakukan pilot test untuk menguji apakah konstruk yang dibuat telah reliabel dan
valid. Hasil Uji reliability dan validity terhadap setiap konstruk yang dibuat dalam
penelitian ini menunjukkan nilai Crombach Alpha berkisar antara 0,616 hingga 0,870.
Nilai Crombach Alpha ini merupakan petunjuk bagi kaedah internal consistency yaitu
nilai derajat interkorelasi antara satu item dengan item lain dalam mengukur variabel
yang sama. Semakin tinggi nilai Crombach Alpha semakin tinggi tingkat korelasi antara
satu item dengan item lainnya dalam suatu konstruk variabel berkenaan. Dengan
demikian, hasil pilot test mengenai reliability tersebut yang diuji dapat disimpulkan pada
tahap yang bisa diterima (≥ 0,60) hingga sangat baik (≥ 0,80).
Selanjutnya, mengenai uji validity terhadap setiap variable dalam konstruk diperoleh
nilai KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) antara 0,554 hingga 0,818 dan semua konstruk
melewati ujian Bartlett’s test of sphericity yang berarti bahwa matrik korelasi adalah
bukan matrik identitas. Hal ini dapat dilihat pada nilai Chi-square yang tinggi antara
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
134
41,079 dan 1426,163 dengan tahap yang signifikan (sig=0,000). Nilai KMO yang
demikian menandakan bahwa ukuran kecukupan persampelan berada pada kisaran bisa
diterima/biasa (≥ 0,50) hingga membanggakan (≥ 0,80). Namun secara umum, nilai
KMO berada pada tingkat lebih dari biasa (sekitar 0,70). Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa penggunaan analisis faktor untuk menguji validitas konstruk adalah
sesuai dan ukuran kecukupan sampel adalah mencukupi. Dengan demikian, selanjutnya
dilakukan analisis faktor dengan menggunakan prosedur Principal Component Analysis
(PCA) dan varimax rotation. Dari analisis faktor diperoleh bahwa semua konstruk
mempunyai dimensi/faktor komponen lebih dari satu, yaitu antara dua hingga tiga
dimensi, kecuali variabel β2. Namun berdasarkan uji lanjut dengan menggunakan kaedah
analisis korelasi pair-wise diperoleh bahwa konstruk-konstruk tersebut mempunyai
korelasi yang signifikan di antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. Dengan
demikian, walaupun semua variabel mempunyai lebih dari satu dimensi/komponen,
namun konstruk tersebut masih berada dalam konsep dasar. Oleh karena itu, maka model
yang dibuat (persamaan 16) dapat diuji dengan menggunakan regresi logistik
multinomial.
Sebelum uji penuh dengan analisis regresi logistic multinomial dilakukan terhadap
model yang dibuat, maka terlebih dulu dilakukan uji klasifikasi untuk variabel terikat
yang telah ditentukan dalam model tersebut. Hal ini penting untuk memastikan apakah
pengklasifikasian tersebut telah sesuai ataupun tidak sehingga analisis regresi logistic
multinomial dapat dilakukan terhadap model. Pengklasifikasian pembayaran zakat
ditentukan berdasarkan kepada lima item yang biasa digunakan sebagai saluran
pembayaran zakat oleh masyarakat Aceh dalam rangka menunaikan kewajiban zakatnya,
yaitu angka 1 diberikan untuk masyarakat yang tidak membayar zakat, angka 2 diberikan
untuk masyarakat yang membayar secara langsung kepada asnaf penerima, angka 3
diberikan kepada masyarakat yang membayar melalui ulama atau pemuka agama
setempat, angka 4 diberikan kepada masyarakat yang membayar melalui pengurus mesjid
atau organisasi non formal, angka 5 diberikan kepada masyarakat yang membayar
melalui Baitulmal.
Hasil uji pengklasifikasian secara keseluruhan (overall classification result) terhadap
konstruk variabel terikat menunjukkan pengklasifikasian item variabel terikat tersebut
tidak sesuai. Dengan kata lain, hasil penelitian menunjukkan analisis regresi logistik
multinomial tidak sesuai digunakan untuk menguji model yang telah dibuat. Persentase
benar (percent correct) dari klasifikasi item pembayaran zakat di Aceh yang mempunyai
persentase tertinggi hanyalah pada item pembayaran zakat secara langsung kepada asnaf
(83,7%) dan item pembayaran melalui Baitulmal (32,1%). Sedangkan item tidak
membayar zakat, bayar melalui ulama atau pemuka agama dan bayar melalui institusi
non formal mempunyai nilai percent correct yang kecil, yaitu masing-masing 5,7% dan
0,0%. Dengan demikian, maka perlu dilakukan pengklasifikasian ulang terhadap item
konstruk tersebut yaitu 3 item yang persentase betulnya kecil akan diklasifikasikan
kembali dengan memasukkan ke dalam satu kategori jawaban yaitu tidak membayar
melalui Baitulmal sehingga variabel terikat hanya terdapat 2 item jawaban yaitu 1 bagi
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli
135
yang membayar melalui Baitalmal dan 0 bagi yang tidak membayar melalui Baitulmal.
Oleh karena itu, regresi logistik yang sesuai digunakan untuk menganalisis model
kepatuhan dan pengelakan zakat adalah regresi logistik binomial.
Analisis Regresi Logistik Binomial
Untuk menganilisis regresi logistik binomial digunakan data sebanyak 452 responden
yaitu individu yang telah wajib zakat pendapatan berdasarkan qanun Aceh. Hasil uji
terhadap model prilaku kepatuhan zakat dengan menggunakan skor tunggal untuk
masing-masing variabel diperoleh bahwa model yang diuji mempunyai kebagusan
padanan dengan data. Secara keseluruhan hubungan antara variabel terikat dan variabel
bebas diperoleh pada tingkat yang agak rendah, yaitu dengan nilai cox and snell (R2 =
0,202) dan nagelkerke (R2 = 0,278). Selanjutnya, nilai chi-square pada uji Hosmer and
Lemeshow diperoleh sebesar 4,731 (df=8) yaitu dengan nilai signifikan (sig. 0,786).
Adapun hipotesis yang dibentuk terhadap uji Hosmer and Lemeshow adalah; hipotesis
null; bahwa tidak terdapatnya perbedaan di antara data empiris dengan model penelitian
dan hipotesis alternatifnya adalah bahwa terdapatnya perbedaan di antara data empiris
dengan model penelitian. Di samping itu, model yang diuji juga dapat menprediksi
ramalan hasil pada tingkat yang agak tinggi yaitu lebih daripada 70 persen. Ini dapat
dilihat pada tabel klasifikasi yang menunjukkan tingkat ramalan betul secara keseluruhan
(Overall Percentage) mengenai kepatuhan adalah 73,90 persen. Setelah diuji model
berkaitan dengan kebagusan padanan dan keterkaitan antara variabel terikat, selanjutnya
dilakukan analisis regresi logistik terhadap model. Hasil analisis regresi logistik dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel. 1. Hasil analisis regresi logistik model perilaku kepatuhan zakat
β S.E. Wald df Sig. Exp(β)
Jenis Kelamin -.491**) .236 4.320 1 .038 .612
DU1 1.215***) .277 19.210 1 .000 3.371
DU2 .497*) .284 3.061 1 .080 1.644
DU3 .268 .335 .641 1 .423 1.307
DU4 -.754 .664 1.292 1 .256 .470
Pendidikan -.193*) .116 2.777 1 .096 .824
DP1 -.786**) .392 4.025 1 .045 .456
DP2 -.481 .426 1.276 1 .259 .618
DP3 -.307 .511 .361 1 .548 .735
DP4 -.849 .617 1.895 1 .169 .428
β1 .410**) .205 4.019 1 .045 1.508
β2 .232*) .135 2.959 1 .085 1.261
β3 -.903***) .250 13.025 1 .000 .405
β4 .312*) .177 3.111 1 .078 1.366
β5 .057 .195 .086 1 .769 1.059
β6 -.904***) .227 15.859 1 .000 .405
β7 .599***) .186 10.371 1 .001 1.821
Constant 1.295 1.397 .859 1 .354 3.650
*) signifikan pada α<10%; **) signifikan pada α<5% dan ***) signifikan pada α <1%.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
136
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik terhadap model yang telah dibentuk
diperoleh bahwa variabel demografi (jenis kelamin, dummy umur (DU), tingkat
pendidikan dan tingkat pengeluaran/dummy perbelanjaan/DP responden), variabel
keimanan, kemudahan fasilitas, persepsi sistem pajak, pengetahuan dan pengaruh
lingkungan mempengaruhi perilaku pematuhan zakat dengan tingkat signifikansi antara α
<1% hingga α <10%.
Jenis kelamin responden memberi pengaruh yang berbeda kepada kepatuhan zakat.
Tingkat kepatuhan perempuan adalah lebih tinggi dibandingkan laki-laki dan signifikan
pada aras 5%, yaitu dengan nilai koefisien jenis kelamin menunjukkan tanda negatif (-
0,491). Yang bermakna bahwa peningkatan nilai ke arah 1 (laki-laki) menyebabkan
berkurangnya log nisbah “odds” kemungkinan kepatuhan zakat. Berkaitan dengan umur
responden, hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang lebih muda mempunyai
tahap kesediaan dan kepatuhan yang agak baik untuk membayar zakat melalui Baitulmal.
Sepatutnya, peningkatan umur responden akan dapat meningkatkan kefahaman dan
kesediaan membayar zakat. Namun, kenyataannya di Aceh, mereka yang lebih berumur
lebih tinggi kecenderungannya membayar zakat secara langsung kepada asnaf. Kebiasaan
ini telah dilakukan sejak sebelum pemberlakuan qanun zakat. Sehingga pemahaman
mereka cenderung menurut kelaziman atau kebiasaan yang telah mereka lakukan selama
ini. Pemahaman ini perlu diperbetulkan dengan memberikan pendidikan secara kontinu
terutama mengenai kelebihan-kelebihan apabila zakat dibayarkan dan diuruskan oleh
institusi formal pungutan zakat. Demikian juga mengenai tingkat pendidikan, lazimnya
semakin meningkatnya tahap pendidikan seseorang maka akan semakin meningkat pula
pengetahuan atau kefahaman seseorang terhadap sesuatu. Dengan demikian akan
berpengaruh kepada masyarakat untuk melakukan sesuatu tindakan dan mengambil
keputusan. Terlebih lagi tindakannya dalam mematuhi undang-undang. Namun,
berdasarkan hasil penelitian ini, hubungan antara tahap pendidikan responden dengan
kepatuhan zakat pendapatan adalah negatif. Ini bermakna bahwa masyarakat yang
berpendidikan lebih cenderung membayar zakat secara langsung kepada asnaf penerima
ataupun melalui saluran lain dibandingkan dengan membayar melalui Baitulmal. Hal ini
berkaitan dengan tingkat kepercayaan dan juga disebabkan kebiasaan masyarakat Aceh
yang membayar zakat secara langsung kepada asnaf.
Variabel indeks nilai agama/keimanan dalam penelitian ini diukur berdasarkan
formula yang dibentuk oleh Naziruddin dan Shabri (2002) kemudian dimodifikasi dengan
mengklasifikasikan dalam bentuk skala likert. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
makin tinggi tingkat keimanan seseorang semakin cenderung seseorang membayar zakat
baik melalui institusi formal maupun secara langsung kepada asnaf penerima zakat.
Dengan keimanan yang tinggi, masyarakat sememangnya patuh untuk membayar zakat
dan ianya dapat meningkatkan kesediaannya untuk membayar melalui Baitulmal.
Hasil penelitian tentang variabel undang-undang (qanun) menunjukkan bahwa faktor
qanun zakat berhubungan secara positif dan signifikan pada α<5% terhadap perilaku
kepatuhan zakat. Dengan demikian, pemberlakuan undang-undang (qanun) zakat tersebut
sangat perlu dalam menentukan kepatuhan membayar zakat, dengan adanya
pemberlakuan qanun maka masyarakat akan menyadari bahwa zakat merupakan suatu
kewajiban serta tanggungjawab terhadap agama dan sosial yang harus ditunaikan oleh
warganegara dan ianya mesti dibayarkan melalui institusi formal pungutan zakat. Oleh
karena itu, untuk meningkatkan lagi pungutan zakat di Aceh perlu menjalankan qanun
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli
137
zakat secara penuh, lebih tegas dan jelas serta konsisten karena qanun ini merupakan
salah satu faktor penentu kepatuhan zakat di Aceh.
Pengaruh faktor kefahaman atau pengetahuan zakat terhadap kepatuhan zakat adalah
signifikan dan bertanda negatif. Kedudukan koefisien yang negatif ini disebabkan oleh
beberapa faktor antaranya bahwa sebagian besar responden yang memahami dan
berpengetahuan tentang zakat baik dari segi konsep, pensyariatan, dan peranannya dan
pada waktu yang sama juga menunaikan kewajiban pembayarannya melalui saluran
lainnya seperti membayar secara langsung kepada asnaf penerima yang telah lazim
dilakukan sebelum pemberlakuan qanun zakat. Hal ini juga disebabkan bahwa
masyarakat wajib zakat di Aceh masih bebas memilih apakah membayar zakat melalui
institusi formal ataupun membayar secara langsung kepada asnaf. Walaupun ini
bertentangan dengan qanun, namun disebabkan tiadanya penegakan yang tegas dan jelas
terhadap qanun zakat maka masyarakat muslim masih bebas untuk memilih saluran
pembayaran zakat. Disamping itu, pembayaran zakat yang mereka lakukan pada masa ini
lebih bergantung kepada faktor tanggungjawab mereka terhadap ajaran agama. Umumnya
masyarakat Aceh memahami bahwa zakat adalah antara rukun Islam yang wajib
ditunaikan tidak mesti melalui institusi formal tetapi juga bisa secara langsung kepada
asnaf penerima. Terlebih lagi penegakan qanun zakat dengan adanya ancaman denda di
Aceh masih banyak masyarakat yang tidak mengetahuinya.
Selanjutnya, dari analisis regresi logistik diperoleh hasil penelitian mengenai
pengaruh faktor kepercayaan kepada Baitulmal terhadap kepatuhan masyarakat untuk
membayar zakat melalui institusi tersebut adalah positif, namun tidak signifikan. Hal ini
terjadi karena masyarakat masih menganggap bahwa Baitulmal adalah sama seperti
institusi non-formal lainnya yang telah dibentuk sebelumnya. Sehingga mereka umumnya
tidak begitu melihat mengenai kepengurusan Baitulmal, sebaliknya mereka tetap
melakukan pembayaran zakat seperti kebiasaan sebelum dibentuknya Baitulmal sebagai
institusi formal pungutan zakat, yaitu kecenderungannya untuk membayar secara
langsung kepada asnaf. Dengan demikian, tidak timbulnya persoalan kepercayaan kepada
institusi formal yang mempengaruhi masyarakat untuk membayar zakat melalui institusi
formal tersebut secara signifikan. Namun faktor kepercayaan ini tetap mempengaruhi
secara positif. Oleh karena itu, pengurus Baitulmal diharapkan untuk selalu meyakinkan
masyarakat bahwa pengelolaan zakat oleh institusi tersebut dapat berdaya guna dan
berhasil guna melalui berbagai kebijakan yang transparan, jujur, adil, seksama, dan
mematuhi rambu-rambu syariat Islam.
Faktor kemudahan mekanisme pembayaran zakat yang disediakan oleh institusi
formal pungutan zakat terhadap kepatuhan zakat adalah positif dan signifikan pada
α<10%. Ini berarti bahwa faktor kemudahan pembayaran zakat merupakan faktor penting
bagi masyarakat dalam melakukan pembayaran zakat melalui Baitulmal. Kemudahan
yang disediakan oleh Baitulmal seperti skim pemotongan gaji bagi pegawai negeri telah
meningkatkan kesediaan mereka untuk membayar zakat melalui Baitulmal. Rendahnya
pungutan zakat melalui Baitulmal pada waktu ini antaranya disebabkan kemudahan
pembayaran zakat seperti penggunaan sistem pembayaran zakat secara online yang belum
tersedia dan juga konter-konter pungutan zakat yang masih sangat terbatas Dengan
demikian, maka untuk meningkatkan pungutan zakat hal ini perlulah menjadi perhatian
yang serius dan diharapkan pengurus Baitulmal dapat lebih proaktif lagi di masa
mendatang.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
138
Faktor selanjutnya adalah persepsi terhadap sistem pajak. Hubungan faktor persepsi
sistem pajak dengan kepatuhan zakat adalah bersifat negatif dan signifikan. Sistem pajak
yang sekarang berlaku di Indonesia dikatakan masih membebankan para pembayar zakat,
karena dapat menjadi beban ganda (double duty) ataupun bayaran ganda (double
payment) bagi pembayar zakat. Apabila sistem rebate terhadap pajak bagi zakat yang
telah dikeluarkan dapat dioptimalkan maka akan merubah persepsi beban ganda (double
duty) ataupun bayaran ganda (double payment) sehingga akan lebih meningkatkan lagi
kepatuhan pembayaran zakat melalui Baitulmal.
Demikian juga pengaruh faktor lingkungan ternyata berhubungan secara positif dan
signifikan terhadap kepatuhan pembayaran zakat pendapatan. Secara spesifik, faktor
lingkungan belum pernah diteliti secara mendetail dalam penelitian-penelitian terdahulu
berkaitan dengan kepatuhan zakat. Pembentukan variabel ini berdasarkan Reference
Group Theory dalam bidang ilmu sosiologi. Ternyata, secara empiris di Aceh bahwa
dalam membayar zakat melalui Baitulmal, pandangan kelompok referensi/rujukan seperti
sahabat, saudara, rekan sekerja dan kenalan mengenai persepsi mereka terhadap
pembayaran zakat melalui institusi formal pungutan zakat dapat mempengaruhi
masyarakat wajib zakat untuk melaksanakan pembayaran melalui institusi berkenaan.
Apabila pengaruh lingkungannya postif, maka kecenderungan kepatuhan masyarakat
untuk membayar zakat melalui institusi formal pungutan zakat adalah meningkat,
demikian juga sebaliknya.
STRATEGI MENINGKATKAN PUNGUTAN ZAKAT
Berdasarkan hasil penelitian seperti yang telah diuraikan di atas, maka setidaknya ada
beberapa langkah penting dan strategis yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan
pendapatan daerah melalui pungutan zakat oleh institusi formal (Baitulmal) yang dapat
dipergunakan untuk mempercepat pemberantasan kemiskinan di Aceh, yaitu antara lain:
1) berkenaan dengan faktor demografi, maka perlu dilaksanakannya konsep-konsep
tarbiyah dengan pendekatan yang lebih intensif untuk memberi pemahaman yang benar
tentang kewajiban zakat. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang
kelebihan-kelebihan termasuk efektifitas apabila zakat yang mereka salurkan diurus oleh
institusi formal pungutan zakat (Baitulmal). Dengan demikian akan mengakibatkan
masyarakat akan bersedia dan patuh untuk membayar zakat melalui institusi formal
pungutan zakat; 2) berkenaan dengan faktor keimanan, maka perlu dilakukan berbagai
langkah yang dapat meningkatkan pemahaman dan keimanan individu wajib zakat.
Peningkatan keimanan seseorang dapat dilakukan melalui pendidikan agama. Oleh yang
demikian, maka sudah sewajarnya setiap individu terus memperdalam pengetahuan
agamanya untuk memudahkan dalam menjalankan perintah Allah SWT termasuk dalam
hal pembayaran zakat. Dalam hal peningkatan religiosity masyarakat, peran pemerintah
juga tidak bisa diabaikan terutama dalam menciptakan kondisi dan situasi yang nyaman
bagi masyarakat dalam menjalankan ibadahnya.
Pemerintah perlu memastikan dan mendukung secara kontinyu mengenai pendidikan
agama baik yang dilakukan secara formal di lembaga pendidikan maupun pada lembaga-
lembaga non formal seperti pondok-pondok pesantren. Peningkatan keimanan juga dapat
dilakukan melalui ceramah-ceramah, diskusi-diskusi agama, dan pengajian-pengajian
yang semestinya pemerintah juga turut terlibat dengan menyediakan fasilitas-fasilitas
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli
139
yang diperlukan; 3) diharapkan pihak terlibat dalam urusan zakat dapat menjalankan
qanun zakat secara konsisten, tegas, dan kontinyu kepada individu wajib zakat yang
enggan membayar melalui Baitulmal. Namun, sebelum hal ini dilakukan sebaiknya pihak
berkompeten perlu melakukan sosialisasi yang intensif, memberi pengertian dan
pendekatan yang jitu untuk memastikan bahwa individu wajib zakat bersedia membayar
melalui institusi formal pungutan zakat; 4) faktor kemudahan mekanisme pembayaraan
zakat yang merupakan salah satu faktor penting dalam rangka meningkatkan pungutan
zakat melalui institusi formal pungutan zakat, maka penyediaan kemudahan mekanisme
pungutan zakat seperti membayar zakat secara online, skim pemotongan gaji dan
memperbanyak konter-konter zakat adalah sangat diperlukan; 5) selanjutnya, masyarakat
perlu memahami bahwa kewajiban zakat mesti ditunaikan dan ianya akan lebih efektif
dan efesien apabila diurus oleh institusi pemerintah yang amanah. Hal ini juga selaras
dengan perintah agama seperti yang dinyatakan dalam Al Qur’an yaitu zakat hendaklah
“dipungut” yang bermakna bahwa harus ada suatu pengurusan dari penguasa. Dengan
demikian, maka amatlah perlu diberi perhatian yang serius oleh berbagai pihak
terutamanya pihak terkait bagi meningkatkan lagi tahap pemahaman masyarakat terhadap
kewajiban zakat. Pemahaman masyarakat perlu ditingkatkan dan diluruskan secara terus
menerus serta diberi penerangan yang cukup dan efektif secara kontinyu supaya individu
wajib zakat memahami secara menyeluruh mengenai konsep, pensyariatan dan peranan
zakat dalam memajukan ekonomi ummah. Terlebih lagi apabila zakat dikelola oleh
pemerintah melalui institusi formal. Di samping itu, individu wajib zakat juga perlu
memahami peranan pemerintah dalam memberdayakan dana zakat untuk kemaslahatan
ummah. Dengan demikian, menjadi tugas dan tanggungjawab semua pihak bagi memberi
penjelasan yang memadai melalui berbagai sarana seperti ceramah, khutbah,
pendidikan/tarbiyah yang pada saat ini porsinya masih dianggap sangat sedikit yang
membicarakan mengenai zakat kecuali hanya di bulan ramadhan; 6) dalam hal
hubungannya dengan pajak, mengingat persepsi masyarakat terhadap sistem pajak yang
dianggap masih membebankan individu pembayar zakat sehingga memberi pengaruh
kepada kepatuhan zakat, maka pihak berkuasa perlu mengambil langkah-langkah yang
sesuai, efektif, dan jitu untuk menangani masalah ini. Oleh yang demikian, maka
pemberlakuan zakat sebagai rebate kepada pajak perlu dijalankan segera secara efektif
dan efesien karena hal ini merupakan suatu insentif bagi pembayar zakat untuk
membayar melalui institusi formal pungutan zakat. Dengan demikian diharapkan
pungutan zakat melalui institusi formal pungutan zakat dapat ditingkatkan. Walaupun
secara ekonomi ianya tidak menambahkan pendapatan asli daerah secara riil, namun
peningkatan kepatuhan zakat dapat menjadikan penerimaan zakat juga bertambah yang
akhirnya akan dapat juga meningkatkan pendapatan daerah yang lebih besar seperti
konsep dan analisis yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun. Di samping itu, ini juga
merupakan suatu tugas dan tanggungjawab pemerintah yang menjalankan syariat Islam
secara kaffah untuk menjamin masyarakatnya melaksanakan dan menunaikan kewajiban
agama dengan aman dan nyaman; 7) mengenai pengaruh faktor lingkungan yang didapati
bahwa pengaruh rekan sekerja, saudara dan kenalan memainkan peranan penting dalam
meningkatkan kepatuhan zakat. Maka, suatu langkah pendidikan, penerangan dan
penjelasan yang cukup perlu diadakan oleh institusi formal pungutan zakat untuk
mendidik, menjelaskan dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang peranan dan
kebaikan apabila zakat dibayarkan melalui institusi formal pungutan zakat.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
140
Dengan demikian, pola pikir (mindset) masyarakat akan berubah dengan lebih
menyadari keutamaan pembayaran zakat melalui institusi formal. Sehingga akan
membentuk faktor lingkungan yang memahami arti penting zakat apabila dikelola oleh
pemerintah. Di samping itu, institusi zakat sendiri perlu memperbaiki diri secara
berterusan/kontinyu demi meningkatkan pelayanan, efektifitas pengurusan, dan
transparansi terutama dalam hal distribusi dana zakat supaya dapat meningkatkan image
mereka di mata masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Alhabshi, S.O. 2003. Peranan Zakat dalam Membantu Pembangunan Ekonomi Negara Kuala Lumpur.
Persatuan Ekonomi dan Pengurusan Islam Malaysia.
Allingham, M.G dan A. Sandmo. 1972. Income tax evasion; a theoritical analysis. Jurnal of Public Economics
1:323-328.
Andy, L.T. 1997. Beberapa pemikiran tentang mekanisme badan amil zakat. Dalam Wiwoho, B., et.al: Zakat
dan Pajak. Jakarta. Penerbit Gema Insani Press.
Arrington, C.E. dan P.M.J Reckers. 1985. A social-psykological investigation into perceptions of tax evasion.
Accounting and Business Research: 163-176.
Borck, R. 2004. Income tax evasion and the penalty structure. European Public Choice Society. Berlin.
Cartwright, D. Dan A. Zander. 1968. Group Dynamics: Research and Theory. Ed. Ke-3. New York: Penerbit
Harper and Row Publishers.
Chorvat, T. 2007. Tax compliance and the Neuroeconomics of Intertemporal substitution, National Tax Journal.
George Mason University.
Damanhur. 2006. Kesan pelaksanaan cukai pendapatan dan penguatkuasaan zakat terhadap gelagat kepatuhan
membayar zakat pendapatan di Aceh. Thesis sarjana pada Jabatan Syariah dan Ekonomi Bahagian
Pengajian Syariah Akademi Pengajian Islam. Universiti Malaya.
Daud, M. 1991. Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf. Jakarta. Penerbit UI Press.
Gaiha, R. 1985. Poverty, technologi and infrastructure in rural india. Cambridge Journal of Economics. Vol. 9.
Galbiati, R. dan G. Zanella. 2008. The Tax Evasion Social Multiplier: Evidence from Italy. Bocconi University,
Italy. Econpubblica.
Wahid H., S. Ahmad, dan M. Ali. 2007. Kesedaran Membayar Zakat Pendapatan di Malaysia. Islamiyyat 29 :
53-70.
Hindriks, J., and G. D Myles. 2006. Tax Compliance and Evasion. International Public Economics, The MIT
Press.
Hite, P.A. 1987. An aplication of attribution theory ini taxpayer non compliance research. Public Finance 42(1):
105-117.
Kamil, M.I. 2002. Kesan persepsi undang-undang dan penguatkuasaan zakat terhadap gelagat kepatuhan zakat
pendapatan gaji. Kertas kerja yang dibentangkan pada Muzakarah Pakar Zakat. Universiti Kebangsaan
Malaysia.
Marzi, A. 2004. Zakat dan pajak daerah sebagai pendapatan asli daerah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam:
suatu analisis terhadap pengelolaan zakat dan pajak di kota Banda Aceh. Thesis sarjana pada Program Studi
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kahf .M. 1983. Taxation policy in an Islamic economy. Dalam Ziauddin Ahmad, et.el. Fiscal Policy and
Resource Allocation in Islam. Jeddah; International Centre for Research in Islamic Economics. King Abdul
Aziz University.
Kahf .M. 1995. Ekonomi Islam, Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam. Terjemahan dari The
Islamic Economy: Analytical of the Functioning of the Islamic Economic System. Yogyakarta. Indonesia.
Penerbit Pustaka Pelajar
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Zulkifli
141
Mujaini Tarimin. 2000. Pelaksanaan zakat pendapatan dan permasalahannya. Dalam Zakat Menuju Pengurusan
Profesional. Kuala Lumpur. Penerbit Utusan Publications & Distributors SDN BHD.
Naziruddin, dan A.M Shabri. 2002. The influence of religiosity, income and consumption on saving behavior:
the case of international Islamic university Malaysia. Dalam Proceedings Simposium Nasional I Sistem
Ekopnomi Islami. 13-14 Mac 2002. Yogyakarta. Indonesia.
Nirwan, N. 1999. Institusi zakat dan aplikasinya di Indonesia. Disertasi Sarjana Fakulti Pengajian Islam.
Universiti Kebangsaan Malaysia.
Rusjdi, A.M. 2003. Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi (Menuju
Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam). Banda Aceh. Logos-IAIN Ar-Raniry.
Somad, A. 1996. Pelaksanaan Zakat di Indonesia: Pengelolaan, Problema dan Penyelesaiannya. Jakarta.
Penerbit ICMI.
Spicer, M.W. dan S.B Lunstedt. 1976. Understanding tax evasion. Public Finance 1: 295- 305.
Srinavasan, T.N. (1973). Tax evasion: a model. Journal of Public Economics 2: 339-346.
Tuzova,. 2009. A Model of Tax Evasion with Heterogeneous Firms. University of Minnesota.
Vogel, J. 1974. Taxation and public opinion in Sweden. National Tax Journal 27: 499-513.
Wallschutzky, I.G. 1984. Possible causes of tax evasion. Journal of Economics Psychology 5: 371-384.
Watanabe, S., 1987. Income tax Evasion: A theoretical analysis. Public Choice Studies. No. 8.
Weigel, R.H., D.J Hessing dan Elffers, H. 1987. Tax evasion research: a critical appraisal and theoritical model.
Journal of Economics Psychology 8: 215-235.
Yitzhaki, S. 1974. A Note on Income Tax Evasion: A Theoretical Analysis. Journal of Public Economics, 3(2),
201-202.
Yoesoef, M.D. 1985. Zakat dan sistem perpajakan di Indonesia, ditinjau menurut hukum Islam. Tesis pada
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
ISSN: 0852-9124 Vol 4, No. 2, Nov 2013
142
ANALISIS VALUASI EKONOMI WISATA ALAM
PANTAI LAMPUUK DENGAN PENDEKATAN
TRAVEL COST METHOD
Analysis of Economic Valuation for Pantai Lampuuk Tourism
with Travel Cost Method Approach
Suriani1 dan Yefrizal2
E-mail: [email protected] dan [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan memformulasikan strategi pengembangan yang tepat untuk diterapkan di objek wisata Pantai Lampuuk melalui pendekatan Travel Cost Method (TCM). Model analisis yang digunakan adalah
regresi berganda dengan OLS (Ordinary Least Square). Hasil estimasi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi perkembangan objek wisata alam Pantai Lampuuk yaitu biaya perjalanan menuju lokasi Pantai Lampuuk berpengaruh negatif terhadap jumlah kunjungan, Biaya perjalanan ke lokasi wisata lain berpengaruh
positif terhadap jumlah kunjungan, biaya opportunity berpengaruh positif terhadap jumlah kunjungan wisata, dan biaya tiket masuk berpengaruh negatif terhadap jumlah kunjungan. Posisi wisata alam Pantai Lampuuk
menunjukkan bahwa objek wisata ini dapat menonjolkan kekuatan atau potensi yang dimiliki dan dapat
menutupi atau meminimalkan kelemahan yang ada dengan keindahan alam yang dimilikinya sehingga pembangunan di bidang pariwisata di Aceh perlu ditingkatkan.
Kata kunci: valuasi ekonomi, travel cost method (TCM)
ABSTRACT
This study aims to formulate appropriate development strategy to be applied in Lampuuk Beach attractions approach Travel Cost Method (TCM). The analysis model used is multiple regression with OLS (Ordinary Least
Square). The estimation results indicate that the factors that influence the development of the natural
attractions that Lampuuk Beach travel costs to the location Lampuuk Beach negatively affect the number of visits, cost of travel to other tourist locations positive effect on the number of visits, the opportunity cost positive
effect on the number of tourist visits and the cost of admission negatively affect the number of visits. Position
Lampuuk beach nature suggests that this attraction can highlight strengths or potential and can cover up or minimize the weaknesses that exist with its natural beauty so that development in the field of tourism in Aceh
needs to be improved.
Keywords: economic valuation, travel cost method (TCM), tourism demand (number of visits)
PENDAHULUAN
Pengembangan kegiatan pariwisata alam mempunyai dampak positif dan negatif, baik
dari segi ekonomi, sosial, lingkungan dan masyarakat sekitar. Dampak positif dalam
pengembangan dapat berupa peningkatan pendapatan masyarakat, menambah pendapatan
dan devisa negara, membuka kesempatan kerja dan usaha bagi masyarakat sekitar serta
meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti penting konservasi sumberdaya alam.
Dampak negatif yang sering muncul dalam pengembangan kegiatan kepariwisataan ini
berupa tindakan perusakan (vandalisme) terhadap obyek wisata tersebut, baik bangunan
maupun obyek alamnya. Manfaat ekonomi taman wisata alam selama ini belum banyak
diketahui secara pasti karena sifatnya yang intangible (tidak terukur). Penilaian terhadap
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Suriani dan Yefrizal
143
taman wisata alam sangat penting untuk diketahui sebagai bahan pertimbangan dalam
pengembangan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Tempat rekreasi tidak memiliki nilai
pasar yang pasti, maka penilaian tempat rekreasi dilakukan dengan pendekatan biaya
perjalanan. Metode biaya perjalanan ini dilakukan dengan menggunakan informasi
tentang jumlah uang yang dikeluarkan dan waktu yang digunakan untuk mencapai tempat
rekreasi untuk mengestimasi besarnya nilai benefit dari upaya perubahan kualitas
lingkungan dari tempat rekreasi yang dikunjungi (Yakkin,1997 dalam Sahlan, 2008).
Secara prinsip metode biaya perjalanan ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap
individu untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi. Misalnya, untuk menyalurkan hobi
memancing di pantai, seorang konsumen akan mengorbankan biaya untuk mendatangi
tempat tersebut. Dengan mengetahui pola pengeluaran dari konsumen ini, dapat dikaji
berapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada sumber daya alam dan lingkungan.
Asumsi mendasar yang digunakan pada pendekatan Travel Cost Method adalah bahwa
utilitas dari setiap konsumen terhadap aktivitas, misalnya rekreasi, bersifat dapat
dipisahkan (separable). Oleh karena itu, fungsi permintaan kegiatan rekreasi tersebut
tidak dipengaruhi oleh permintaan kegiatan lainnya seperti menonton, berbelanja, dan
lain-lain. Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method) ini dilakukan dengan
menggunakan informasi tentang jumlah uang yang dikeluarkan untuk mencapai tempat
rekreasi untuk mengestimasi besarnya nilai benefit dari upaya perubahan kualitas
lingkungan dari tempat rekreasi yang dikunjungi.
Aceh merupakan salah satu provinsi di ujung Indonesia paling barat. Aceh memiliki
18 kabupaten dan 5 kota. Kabupaten Aceh Besar merupakan kabupaten terpanjang di
.Aceh memiliki berbagai destinasi wisata baik alam maupun budaya. Namun, pariwisata
Aceh sempat mengalami keterpurukan akibat Tsunami yang menghantam beberapa
tempat di Provinsi Aceh pada 26 Desember 2004. Seiring dengan pembenahan-
pembenahan pada beberapa wilayah di Aceh. Aceh kembali bangkit dan menawarkan
wisata tsunami, alam serta budaya yang mampu menarik kunjungan wisatawan.
Kabupaten Aceh Besar adalah kabupaten yang memiliki 23 kecamatan. Salah satunya
Kecamatan Lhoknga yang memiliki keindahan alam pantai yang sangat menarik untuk di
kunjungi misalnya Pantai Lampuuk yang menjadi salah satu tempat liburan yang sangat
dekat dengan Kota Banda Aceh dan menjadi salah satu lokasi favorit bagi masyarakat Kota
Banda Aceh dan Aceh besar untuk berlibur bersama keluarga. Mengacu dengan
diadakannya pogram pemerintah Aceh untuk mempromosikan pariwisata Aceh melalui
Visit Banda Aceh Years 2013. Pembenahan dibidang sektor pariwisata terus dikembangkan
untuk meningkatkan pelayanan yang prima kepada wisatawan yang ingin beliburan ke
Aceh, guna untuk menambah pendapatan masyarakat dan kesejahtraan masyarakat. Oleh
karena itu penelitian ini ingin mengetahui bagaimana nilai ekonomi pantai lampuuk dengan
cara menganalisis Valuasi Ekonomi Wisata Alam Pantai Lampuuk (Pendekatan TCM)
dengan merumuskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan wisata alam
pantai Lampuuk.
Untuk membahas permasalahan dalam penelitian diperlukan beberapa landasan teori
yang berkaitan dengan permintaan pariwisata dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
antara lain Menurut McEarchen (2000) permintaan pasar suatu sumber daya adalah
penjumlahan seluruh permintaan atas berbagai penggunaan sumber daya tersebut.
Sedangkan menurut Nophirin (dalam Salma dan Indah, 2004) permintaan adalah berbagai
kombinasi harga dan jumlah suatu barang yang ingin dan dapat dibeli oleh konsumen
pada berbagai tingkat harga untuk suatu periode tertentu.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
144
Menurut Undang-Undang Nomor 90 Tahun 1990, wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Sedangkan Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.
Penilaian (valuation) sumberdaya alam adalah alat ekonomi yang digunakan untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh sumberdaya alam melalui teknik penilaian tertentu. Barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan seperti nilai rekreasi, nilai keindahan, dan sebagainya yang tidak dapat diperdagangkan dan sulit mendapatkan data mengenai harga dan kuantitas dari barang dan jasa tersebut. Nilai yang dihasilkan dari sumberdaya alam dapat dikategorikan dalam nilai guna ordinal, karena manfaat atau kenikmatan yang diperoleh dari mengkonsumsi barang-barang tidak dapat dikuantifikasikan (Sukirno, 2004). Pendekatan yang digunakan untuk menilai (valuation) terhadap sumberdaya alam dan lingkungan dengan teknik pengukuran tidak langsung (indirect) menggunakan metode biaya perjalanan (TCM). Pendekatan biaya perjalanan merupakan metode valuasi dengan cara mengestimasi kurva permintaan barang-barang rekreasi terutama rekreasi luar (outdoorrecreation).
Pada mulanya pendekatan biaya perjalanan digunakan untuk menilai manfaat yang diterima masyarakat dari penggunaan barang dan jasa lingkungan. Pendekatan ini juga mencerminkan kesediaan masyarakat untuk membayar barang dan jasa yang diberikan lingkungan dibanding dengan jasa lingkungan dimana mereka berada pada saat tersebut. Banyak contoh sumber daya lingkungan yang dinilai dengan pendekatan ini berkaitan dengan jasa-jasa lingkungan untuk rekreasi di luar rumah yang seringkali tidak diberikan nilai yang pasti. Untuk tempat wisata, pada umumnya hanya dipungut harga karcis yang tidak cukup untuk mencerminkan nilai jasa lingkungan dan juga tidak mencerminkan.kesediaan membayar oleh para wisatawan yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Untuk lebih sempurnanya perlu diperhitungkan pula nilai kepuasan yang diperoleh para wisatawan yang bersangkutan (Suparmoko, 2000).
Dalam memperkirakan nilai tempat wisata tersebut akan menyangkut waktu dan biaya yang dikorbankan oleh para wisatawan dalam menuju dan meninggalkan tempat wisata tersebut. Semakin jauh jarak wisatawan ke tempat wisata tersebut, akan semakin rendah permintaannya terhadap tempat wisata tersebut. Permintaan yang dimaksud adalah permintaan efektifnya yang disertai dengan kemampuan untuk membeli. Para wisatawan yang lebih dekat dengan lokasi wisata tentu akan lebih sering berkunjung ke tempat wisata tersebut dengan adanya biaya yang lebih murah yang tercermin pada biaya perjalanan yang dikeluarkannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa wisatawan mendapatkan surplus konsumen. Surplus konsumen merupakan kelebihan kesediaan membayar atas harga yang telah ditentukan. Oleh karena itu surplus konsumen yang dimiliki oleh wisatawan yang jauh tempat tinggalnya dari tempat wisata akan lebih rendah dari pada mereka yang lebih dekat tempat tinggalnya dari tempat wisata tersebut (Suparmoko, 2000).
Untuk menilai ekonomi dengan pendekatan biaya perjalanan ada dua teknik yang dapat digunakan yaitu: 1) Pendekatan sederhana melalui zonasi; dan 2) Pendekatan individual. Melalui metode biaya perjalanan dengan pendekatan zonasi, pengunjung dibagi dalam beberapa zona kunjungan berdasarkan tempat tinggal atau asal pengunjung, dan jumlah kunjungan tiap minggu dalam penduduk di setiap zona dibagi dengan jumlah pengunjung pertahun untuk memperoleh data jumlah kunjungan per seribu penduduk dan penelitiannya dengan menggunakan data sekunder. Sedangkan metode biaya perjalanan dengan pendekatan individual, metode biaya perjalanan dengan menggunakan data
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Suriani dan Yefrizal
145
primer yang diperoleh melalui surve. Fungsi permintaan dari suatu kegiatan rekreasi dengan metode biaya perjalanan melalui pendekatan individual dapat diformulasikan sebagai berikut (Fauzi, 2004). Vij = f (Cij, Tij, Qij, Sij, Fij, Mi) Dimana:
Vij : jumlah kunjungan oleh individu I ke tempat j Cij : biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh individu I untuk mengunjungi
lokasi j Tij : biaya waktu yang dikeluarkan oleh individu I untuk mengunjungi lokasi j Qij : persepsi responden terhadap kualitas lingkungan dari tempat yang
dikunjungi Sij : karakteristik substitusi yang mungkin ada di daerah lain Fij : faktor fasilitas-fasilitas di daerah j Mi : pendapatan dari individu I
Penelitian ini menggunakan metode biaya perjalanan individu (Individual Travel Cost) untuk menghitung atau mengestimasi nilai ekonomi wisata Pantai Lampuuk. Pada dasarnya semua metode dapat digunakan untuk menghitung nilai ekonomi suatu kawasan. Seseorang yang melakukan kegiatan wisata atau rekreasi pasti melakukan mobilitas atau perjalanan dari rumah menuju obyek wisata, dan dalam melaksanakan kegiatan tersebut pelaku memerlukan biaya-biaya untuk mencapai tujuan rekreasi, sehingga biaya perjalanan dapat memberikan korelasi positif dalam menghitung nilai ekonomi suatu kawasan wisata yang sudah berjalan dan berkembang.
Penelitian mengenai valuasi ekonomi wisata alam telah banyak dilakukan seperti Bambang et al., (2007) dalam penelitiannya berjudul “Valuasi Ekonomi Taman Wisata Alam Punti Kayu Palembang” bertujuan memperoleh informasi tentang: (1) karakteristik pengunjung Taman Wisata Alam Punti Kayu; (2) faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kunjungan rekreasi; (3) persamaan permintaan manfaat rekreasi dari Taman Wisata Alam Punti Kayu; (4) valuasi ekonomi Taman Wisata Alam. Dari hasil penelitian diketahui, karakteristik pengunjung yang terdiri atas umur, jenis kelamin, penghasilan, jenis pekerjaan, biaya yang dikeluarkan selama kegiatan rekreasi, motivasi, dan jenis kendaraan yang digunakan sangat bervariasi. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan model analisis regresi berganda. Faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan ke Taman Wisata Alam Punti Kayu meliputi biaya perjalanan, jumlah penduduk per kecamatan, dan jumlah waktu kerja per hari.
Penelitian yang dilakukan oleh Djijono (2002) dengan judul Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan di Taman Wan Abdul Rachman Propinsi Lampung bertujuan menghitung nilai ekonomi yang diperoleh pengunjung dalam mengunjungi Taman Wan Abdul Rachman. Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap permintaan produk dari jasa lingkungan wisata alam hutan raya menggunakan regresi linier berganda, sedangkan nilai ekonomi rekreasi diduga dengan menggunakan metode biaya perjalanan wisata (travel cost method). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah kunjungan per 1000 penduduk (orang), sedangkan variabel bebas meliputi biaya perjalanan (transportasi, konsumsi, karcis, dan lain-lain), biaya transportasi (Rp), pendapatan/uang saku per bulan (Rp), jumlah penduduk kecamatan asal pengunjung (orang), pendidikan (tahun), waktu kerja per minggu (jam) dan waktu luang per minggu (jam). Dari hasil regresi diketahui bahwa yang berpengaruh pada jumlah kunjungan secara signifikan adalah biaya perjalanan, jumlah penduduk, pendidikan dan waktu kerja.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
146
Penelitian yang dilakukan oleh Sahlan (2008) dengan judul Valuasi Ekonomi Wisata
Alam Otak Kokok Gading dengan Pendekatan Travel cost bertujuan untuk melakukan
valuasi ekonomi guna menilai manfaat yang dihasilkan oleh kawasan Wisata alam Otak
Kokok Gading. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis regresi linier
berganda dengan tujuh variabel utamanya yaitu variabel jumlah kunjungan (Y), biaya
perjalanan (X1), biaya waktu (X2), persepsi responden (X3), karakteristik substitusi (X4),
fasilitas-fasilitas (X5) dan pendapatan individu (X6). Hasil pengujian secara parsial
menunjukkan bahwa dari enam variabel yang digunakan hanya dua variabel yang
berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat yaitu variabel karakteristik substitusi dan
pendapatan individu. Sedangkan hasil pengujian secara simultan menunjukkan bahwa
semua variabel bebas mempunyai pengaruh yang nyata terhadap variabel terikat (jumlah
kunjungan).
METODE PENELITIAN
Ruang lingkup yang diteliti hanya terbatas pada jumlah kunjungan wisatawan ke
lokasi pantai Lampuuk dan menghitung biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk
menuju ke lokasi objek wisata dengan pendekatan biaya perjalanan untuk mengetahui
bagaimana permintaan terhadap wisata alam pantai lampuuk dan nilai ekonomis wisata
alam pantai lampuuk.
Populasi dalam penelitian ini adalah pengunjung objek wisata Pantai Lampuuk yang
melakukan wisata di tempat tersebut dengan jumlah yang tidak diketahui secara pasti.
Dari populasi tersebut diambil sampel sebanyak 100 orang. Metode sampling yang
digunakan adalah purposive sampling. Teknik ini dikenakan pada individu yang secara
kebetulan dijumpai atau yang dapat dijumpai yang diteliti.
Berdasarkan sumber data, maka data yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dikelompokkan menjadi: data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara
langsung dengan responden yang dijadikan sampel dengan menggunakan daftar
pertanyaan (kuisoner) yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Data sekunder yaitu data
yang diperoleh dari hasil pengolahan pihak kedua atau data yang diperoleh dari hasil
publikasi pihak lain. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari
dinas ataupun instansi terkait, Pengelola Pantai Lampuuk, serta berbagai literatur baik
buku maupun jurnal-jurnal yang relevan.
Model Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda
dengan pendekatan OLS (Ordinary Least Squares), (Gujarati, 2007). dan kemudian
diformulasikan ke dalam penelitian ini sebagai berikut:
Jk = β0 + β
1 Bpl+β
2Bpwl+ β
3 Bo+ β
4 BTm+ e
di mana : Jk : Jumlah Kunjungan
β0 : Konstanta
β 1,
β2, β
3, β
4, β
5, β
6, : Koefisien regresi Bpl : Biaya Perjalanan menuju Pantai Lampuuk Bpwl : Biaya Perjalanan Ke Tempat Wisata Lain Bo : Biaya opertunity BTm : Biaya Tiket Masuk e : Error term
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Suriani dan Yefrizal
147
Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan bahwa variabel yang diukur
memang benar-benar variabel yang hendak diteliti oleh peneliti (Cooper dan Schindler,
dalam Zulganef, 2006). Sedangkan uji reliabilitas adalah ukuran yang menunjukkan
bahwa alat ukur yang digunakan dalam penelitian keperilakuan mempunyai keandalan
sebagai alat ukur, diantaranya di ukur melalui konsistensi hasil pengukuran dari waktu ke
waktu jika fenomena yang diukur tidak berubah (Harrison, dalam Zulganef, 2006).
Penelitian memerlukan data yang valid dan reliabel. Dalam rangka urgensi ini, maka
kuesioner sebelum digunakan sebagai data penelitian primer, terlebih dahulu di uji coba
kan ke sampel uji coba penelitian. Uji coba ini dilakukan untuk memperoleh bukti sejauh
mana ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.
Definisi Operasional Variabel
Variabel penelitian ini terdiri dari: 1) Jumlah Kunjungan ke Wisata Pantai Lampuuk
diukur melalui jumlah kunjungan yang dilakukan oleh individu selama satu bulan
terakhir, variabel ini diukur secara kontinyu dalam satuan kekerapan (kali); 2) Biaya
Perjalanan ke wisata Pantai Lampuuk merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan
oleh pengunjung untuk mengunjungi wisata Pantai Lampuuk. Biaya perjalanan ini
menyangkut biaya-biaya yang dikeluarkan pengunjung termasuk biaya transportasi
pulang pergi, biaya parkir, biaya penginapan, biaya konsumsi, biaya dokumentasi, serta
biaya-biaya lain yang relevan. Variabel ini diukur menggunakan skala kontinyu dengan
satuan rupiah (Rp/kunjungan); 3) Biaya Perjalanan ke wisata lain, Biaya perjalanan
yang dikeluarkan oleh pengunjung menuju objek wisata lain. Biaya perjalanan ini
menyangkut biaya-biaya yang dikeluarkan pengujung termasuk biaya transportasi
pulang pergi, biaya parkir, biaya penginapan, biaya konsumsi, biaya dokumentasi.
Variabel ini diukur menggunakan skala kontinyu dengan satuan rupiah
(Rp/kunjungan); 4) Biaya Opertunity respondenyaitu biaya yang harus dikorbankan
karena tidak bekerja selama berekreasi ke wisata alam Pantai Lampuuk. Variabel ini
diukur menggunakan skala kontinyu dengan satuan (rupiah/jam); 5) Biaya tiket masuk
menuju wisata alam Pantai Lampuuk merupakan biaya yang wajib dibayar oleh
responden untuk menikmati alam Pantai Lampuuk biaya tiket masuk variabel ini
dihitung dengan skala kontinyu dengan satuan (rupiah).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji Validitas Dan Reliabilitas
Pengujian validitas data dalam penelitian ini dilakukan secara statistik, yaitu dengan
menggunakan uji person product-momentcoefficient of correlation dengan bantuan SPSS
version 20. Berdasarkan output komputer seluruh pertanyaan dinyatakan valid karena
memiliki tingkat signifikansi di bawah 5 persen.
Selanjutnya untuk mengukur kehandalan kuisoner, digunakan uji reliabilitas dengan
melihat Cronbachalpha uji ini dimaksudkan untuk mengukur bahwa instrumen yang
digunakan benar-benar bebas dari kesalahan sehingga dapat dipakai dengan baik pada
kondisi yang berbeda-beda.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
148
Tabel 2. Hasil uji validitas
No Biaya
Wisata
Lokasi
Lain
Biaya
Wisata Lain
Kondisi
Lingkungan
Harga
Tiket
Penda
patan
Biaya
Wisata
Pearson Correlation 1 .090 .352** -.107 .368** .494**
Sig. (2-tailed) .376 .000 .290 .000 .000
N 100 100 100 100 100 100
LokasiLain Pearson Correlation .090 1 .311** .225* .546** .345**
Sig. (2-tailed) .376 .002 .024 .000 .000
N 100 100 100 100 100 100 Biaya
Wisata
Lain
Pearson Correlation .352** .311** 1 .002 .326** .369**
Sig. (2-tailed) .000 .002 .983 .001 .000
N 100 100 100 100 100 100
Kondisi Lingkungan
Pearson Correlation -.107 .225* .002 1 -.067 .070
Sig. (2-tailed) .290 .024 .983 .510 .486
N 100 100 100 100 100 100
Harga
Tiket
Masuk
Pearson Correlation .368** .546** .326** -.067 1 .352**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .001 .510 .000
N 100 100 100 100 100 100
Pendapatan
Pearson Correlation .494** .345** .369** .070 .352** 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .486 .000
N 100 100 100 100 100 100
Sumber: Hasil Penelitian, 2013 (diolah)
Ukuran reliabilitas dianggap handal apabila nila cronbachAlpha lebih besar atau sama
dengan 0.60. Dari hasil uji realibilitas yang dilakukan dengan bantuan SPSS diperoleh
hasil sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil uji reliabilitas
ReliabilityStatistics
Cronbach'sAlpha Cronbach'sAlphaBased on
StandardizedItems
N of Items
671 661 6
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2013.
Dari hasil pengujian SPSS pada output validitas dengan tingkat signifikan sebesar
0.01 atau 99 persen. Ini dapat dilihat dari Tabel 2, hasil pengujian menunjukkan tiap-tiap
variabel mempunyai bintang dua. Selanjutnya dalam pengujian realibilitas pada Tabel 3
dapat dilihat bahwa cronbachalpha secara keseluruhan mempunyai nilai sebesar 0,671.
Jadi kesimpulan untuk pengujian validitas dan realibilitas telah memenuhi syarat untuk
dilanjutkan penelitian yang lebih mendalam.
Hasil Estimasi Regresi Linier Berganda
Tabel 4. Hasil estimasi regresi linier berganda variabel Travel Cost Method Variabel Koefisien (B) Std. Error thitung Sig.
Constant 2,806 .205 13,692 .000
Biaya Perjalanan Lampuuk -1.318E-005 000 -2,598 .006
Biaya Perjalanan Ketempat Lain 8.757E-006 000 1,800 .075
Biaya Opportunity
Biaya Opportunity2
7.287E-007
-5.635E-13
000
000
2,598
-0,202
.001
.841
Tiket masuk -1.465E005 000 -0,556 .580
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2013.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Suriani dan Yefrizal
149
Dari hasil estimasi pada Tabel 4, digunakan sebagai interpretasi dasar bagi penelitian
ini yaitu: 1) Rata-rata berkunjung sebanyak dua kali dalam satu bulan, hal ini sangat
rasional mengingat posisi lokasi wisata ini tidak dekat dengan Kota Banda Aceh; 2)
Biaya perjalanan ke Pantai Lampuuk sebesar -0,00001318 yang bermakna bahwa jika
terjadi kenaikan biaya perjalanan sedangkan variabel lain tetap maka terjadi penurunan
kunjungan ke Pantai Lampuuk. Sebagai ilustrasi, jika terjadi kenaikan biaya perjalanan
sebesar Rp100.000 maka kunjungan ke Pantai Lampuuk berkurang sebesar 1,3kali
dengan asumsi variabel lain dianggap tetap; 3) Biaya perjalanan ketempat wisata lain
mempunyai tanda positif, ini bermakna adanya substitusi antara objek wisata lain dengan
Pantai Lampuuk; 4) Biaya yang timbul akibat melakukan perjalanan ke Pantai Lampuuk
(opportunitycost) berbentuk kematrik menggambarkan bahwa kondisi kesejahteraan
masyarakat masih relatif rendah sehingga biaya yang hilang akibat berkunjung masih
sangat rendah, jika biaya ini terus meningkat akan terjadi penurunan kunjungan karena
terlalu besar biaya yang dikeluarkan oleh konsumen; 5) Biaya tiket masuk mempunyai
tanda negatif, ini bermakna bahwa jika terjadi kenaikan harga tiket masuk,
caterisparibus, maka jumlah kunjungan akan berkurang. Keadaan ini sangat rasional jika
terjadi kenaikan sebesar Rp100.000 maka jumlah kunjungan berkurang sebanyak 1,4 kali.
Hasil Pengujian Secara Parsial (Uji-t)
Uji-t dilakukan untuk melihat apakah variabel-variabel independen dapat
mempengaruhi variabel dependen diperlukan pengujian statistik secara parsial. Dengan
dilakukannya uji-t ini maka akan diketahui apakah variabel biaya Lampuuk, biaya wisata
lain, waktu kerja dan biaya tiket masuk. Dari hasil pengujian yang dapat di lihat pada
Tabel 4-18 maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ttabel = 1,66105 pada tingkat signifikansi 5 persen (0,05)
Variabel biaya ke wisata lampuuk
Hasil penelitian terhadap variabel biaya ke wisata Lampuuk diperoleh thitung sebesar -
2.815 (nilai absolut) sedangkan untuk nilai ttabel 1,66105. Hasil perhitungan ini
menunjukkan bahwa thitung>ttabel. Berdasarkan hasil perhitungan statistik tersebut, maka
secara parsial variabel biaya ke wisata Lampuuk berpengaruh secara signifikan terhadap
jumlah kunjungan.
Variabel biaya wisata lain.
Hasil penelitian terhadap variabel Biaya wisata lain diperoleh thitung sebesar 1,800
sedangkan untuk nilai ttabel 1,66105. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa
thitung>ttabel. Berdasarkan hasil perhitungan statistik tersebut, maka secara parsial biaya
wisata lain berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kunjungan.
Variabel biaya opportunity
Hasil penelitian terhadap variabel waktu kerja diperoleh thitung sebesar 2.598 sedangkan
untuk nilai ttabel 1,66105. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa thitung>ttabel. Berdasarkan
hasil perhitungan statistik tersebut, maka secara parsial variabel biaya opportunity
berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kunjungan. Dan apabila biaya opportunity
dikuadratkan (untuk melihat tingkat signifikansi) maka hasil dari regresi adalah -0,202
(nilai absolut) sedangkan thitung sebesar 1,166105 hasil perhitungan menunjukkan thiung<ttabel.
Berdasarkan hasil perhitungan regresi tersebut maka secara parsial variabel biaya
opportunitytidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kunjungan.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
150
Variabel Biaya tiket masuk
Hasil penelitian terhadap variabel biaya tiket masuk diperoleh thitung sebesar -0,556
(nilai absolut) sedangkan untuk nilai ttabel 1,66105. Hasil perhitungan ini menunjukkan
bahwa thitung<ttabel. Berdasarkan hasil perhitungan statistik tersebut, maka secara parsial
variabel biaya tiket masuk tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah
kunjungan.
Uji F
Uji F digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara
simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Derajat kepercayaan yang
digunakan adalah 0,5. Apabila nilai F hasil perhitungan lebih besar dari pada nilai F
menurut tabel maka hipotesis alternatif, yang menyatakan bahwa semua variabel
independen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.
Tabel 5. ANOVA Untuk Travel CostMethod
Model Sum of
Squares Df
Mean
Square F Sig
1 7.570 4 1.893 4.164 0.004b
43.180 95 0.455
50.750 99
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2013.
Dari Tabel di atas diperoleh nilai Fhitung sebesar 4.164 dengan nilai probabilitas
Sig=0,004. Nilai Fhitung4.164 >Ftabel2,00 (dapat dilihat pada lampiran tabel f), dan nilai Sig
lebih kecil dari nilai probabilitas 0,5 atau nilai 0,004 < 0,5, maka variabel independen
secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan untuk analisis valuasi ekonomi wisata Alam
Pantai Lampuuk dengan menggunakan metode travel cost method, maka dapat
disimpulkan bahwa: 1) Biaya perjalanan menuju Pantai Lampuuk berpengaruh terhadap
jumlah kunjungan secara signifikan sebesar -1,31 atau satu kali kunjungan, artinya
semakin tinggi biaya perjalanan maka dapat mengurangi satu kali jumlah kunjungan; 2)
Biaya perjalanan ke tempat lain berpengaruh signifikan terhadap jumlah kunjungan
sebesar 8,75 atau dapat mengurangi jumlah kunjungan ke wisata alam Pantai Lampuuk
sebesar 9 kali kunjungan, semakin murah biaya perjalanan ketempat wisata lain semakin
berkurang minat wisatawan untuk berkunjung ke Pantai Lampuuk; 3) Biaya opportunity
berpengaruh signifikan terhadap jumlah kunjungan sebesar 7,28 atau 7 kali kunjungan,
semakin tinggi biaya opportunity semakin berkurang minat wisatawan untuk berlibur; 4)
Tiket masuk tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kunjungan artinya
berapapun harga tiket masuk tidak mempengaruhi pengunjung untuk datang ke lokasi
wisata Alam Pantai Lampuuk.
Saran
Pemerintah daerah hendaknya bekerja sama dengan masyarakat sekitar dalam
mengelola wisata alam Pantai Lampuuk guna untuk mendapatkan pelayanan yang baik
dan dapat memuaskan pengunjung yang berlibur ke lokasi wisata dan juga dapat
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Suriani dan Yefrizal
151
menambah pendapatan masyarakat sekitar dalam mengelola wisata alam tersebut.
Dengan adanya pelayanan yang baik maka pengunjung merasa puas dan akan sering
mengunjungi lokasi wisata dan akan memajukan lokasi dalam jangka panjang lokasi
tersebut menjadi tempat favorit bagi masyarakat untuk berlibur dan dapat menambah
pendapatan masyarakat setempat serta pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor
pariwisata. Penelitian ini dapat juga menggunakan beberapa variabel lain seperti harga
barang yang diperjualbelikan di lokasi wisata dan variabel lainnya yang dapat mengukur
nilai pasar Wisata Alam Pantai Lampuuk dan dapat digunakan dalam penelitian
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Djijono. 2002. Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan di Taman Wisata Wan AbdulRahman, Propinsi Lampung. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702).
http://rudict.tripod.com/sem 023/ adnan_wantasem.htm.
Gujarati, 2003. Ekonometrika Dasar. Erlangga: Jakarta. Terjemahan. Sumarno Zain.
Mc.Eachern, 2001. Ekonomi Mikro. Salemba Empat. Jakarta. Terjemahan. Sigit Triandaru.
Suparmoko dan M. R. Suparmoko. 2000. Ekonomika Lingkungan. Edisi Pertama. BPFE-Yogyakarta.
Salma, I. A. dan S. Indah. 2004. AnalisisPermintaan Objek Wisata Alam Curug Sewu, Kabupaten Kendal dengan Pendekatan Travel Cost. Jurnal Dinamika Pembangunan, Vol 1 No. 2/Des 2004.
Tnunay, Tontje. 1996. Potensi Wisata Jawa Tengah Berwawasan Lingkungan. Klaten: Sahabat.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
ISSN: 0852-9124 Vol 4, No. 2, Nov 2013
152
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH
FUNGSI LAHAN SAWAH DI KECAMATAN DARUL
IMARAH KABUPATEN ACEH BESAR
Factor Saffecting land convertion in paddy Fields at Darul imarah District Aceh Besar
Nur Aidar1 dan Eri Munandar2
1Staf pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala 2Alumni pada Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh harga lahan sawah, kebutuhan ekonomi dan produktivitas
tanah terhadap keputusan menjual lahan sawah oleh petani di kecamatan Darul Imarah kabupaten Aceh Besar.
Penelitian ini menggunakan data primeryang diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara terhadap pemilik lahan sawah di Kecamatan Darul Imarah.Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan
instansi yang terkait dengan penelitian. Model regresi yang digunakan adalah metode regresi logistik
menggunakan data primer dari 92 responden. Hasil penelitian menunjukkan harga penawaran lahan sawah memengaruhi petani untuk menjual lahan sawahnya. Penetapan harga lahan yang lebih tinggi akan menambah
peluang petani menjual lahan pertanian sebesar 3,324 kali.Sementara itu kebutuhan ekonomi dan produktivitas
lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap upaya penjualan lahan sawah.
Kata kunci: harga, kebutuhan ekonomi, produktivitas, keputusan menjual
ABSTRACT
This studyaimed to determine the effect ofwet landprices, economic needsand land productivity to
decisionto sell paddy field by farmersin the districtof Aceh Besarsub district Darul Imarah. This study uses
primary data collected through direct observation an dinterviews withowners ofpaddy fields in sub distric Darul Imarah. Secondary data obtained from the Central Statistics Agency (BPS) and thein stitutions
associated with there search. Regression model use dislogistic regression method using primary data from 92
respondents. Results showed prices affect farmers'paddy field soffers to sell his farm. Determination of higher land prices will increase the opportunities for farmers to sell agricultural land 3,324 times. While the needs of
the economy and productivity of the land does not significantly influence the paddy field sales efforts.
Keywords: price, economic needs, productivity, decisionto sell
PENDAHULUAN
Fenomena konversi lahan sawah terus terjadi sampai tingkat mencemaskan dan mengganggu. Secara umum, faktor eksternal dan internal mendorong konversi lahan sawah. Faktor eksternal merupakan dampak transformasi struktur ekonomi dan demografis. Lahan tidak berubah, tetapi permintaan meningkat akibat pertumbuhan penduduk. Akibatnya, penggunaan lahan bergeser pada aktivitas non-sawah yang lebih menguntungkan. Faktor internal yang menyebabkan konversi lahan adalah kemiskinan. Buruknya kondisi sosial ekonomi memicu petani menjual lahan sawahnya.
Di sisi internal sektor pertanian, berbagai karakteristik dari usaha tani sendiri belum sepenuhnya mendukung ke arah pelaksanaan pelastarian lahan pertanian yang ada. Sempitnya rata-rata luas lahan yang diusahakan petani karena proses fragmentasi. Sempitnya lahan berakibat pada tidak tercukupinya hasil kegiatan usaha pertanian
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Nur Aidar dan Eri Munandar
153
teknologi baru untuk peningkatan produktivitas, yang terjadi kemudian bukan moderenisasi tapi penjualan lahan sawah untuk penggunaan lainnya (konversi lahan sawah). Sektor lain, pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan industri dan perumahan (real estate). Dengan kondisi demikian, diduga permintaan lahan untuk penggunaan berbagai sektor itu semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan banyak lahan sawah, terutama yang berada di sekitar perkotaan, mengalami konversi ke penggunaan lain. Di samping itu, dalam sektor pertanian itu sendiri, kurangnya insentif pada usaha tani lahan sawah diduga akan menyebabkan terjadi konversi lahan ke tanaman pertanian lainnya. Permasalahan di atas diperkirakan akan mengancam kesinambungan produksi beras nasional. Karena beras merupakan bahan pangan utama, maka isu konversi lahan perlu mendapat perhatian. Jika tidak ketergantungan pada impor akan semakin meningkat.
Bagi pemilik lahan, mengkonversi lahan sawah untuk kepentingan non-sawah saat ini memang lebih menguntungkan. Secara ekonomis, terutama lahan sawah, harga jualnya tinggi karena biasanya berada di lokasi yang berkembang. Namun, bagi petani penggarap dan buruh tani, konversi lahan menjadi bencana karena mereka tidak bisa beralih pekerjaan. Pertumbuhan penduduk yang cepat diikuti dengan kebutuhan perumahan (real estate) menjadikan lahan-lahan pertanian berkurang di berbagai daerah. Lahan petani yang semakin sempit semakin terfragmentasi akibat kebutuhan perumahan (real estate) dan lahan industri. Petani lebih memilih bekerja di sektor informal daripada bertahan di sektor pertanian. Daya tarik sektor pertanian yang terus menurun juga menjadikan petani cenderung melepas kepemilikan lahannya. Pelepasan kepemilikan lahan cenderung diikuti dengan konversi lahan (Gunanto, 2007).
Kabupaten Aceh Besar adalah salah satu kabupaten yang terus menghadapi masalah konversi lahan, khususnya lahan sawah. Konversi ini mengakibatkan luas lahan sawah di Aceh Besar terus menurun. Lahan yang paling banyak mengalami konversi adalah jenis lahan sawah yang beralih fungsi menjadi lahan nonpertanian, seperti digunakan untuk bangunan, industri, perumahan, dan sebagainya.
Berdasarkan data di Dinas Pertanian Aceh Besar tahun 2011, luas area persawahan mencapai 30.421 Ha dan tersebar di 23 kecamatan. Total penyusutan lahan pertanian sebesar 673. Adapun rincian penyusutan lahan pertanian di Aceh Besar disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Penyusutan lahan sawah pertanian di Aceh besar tahun 2007-2010
Kecamatan PenyusutanLahan Sawah
(Ha)
Lhong 25
Lhoknga 15
Leupung 10
Indrapuri 17
Kuta Cot Glie 5
Seulimum 5
Kota Jantho -
Lembah Seulawah 20
Mesjid Raya -
Darussalam 7
Baitussalam 210
Kuta Baro 38
Montasik 25
Ingin Jaya 50
Krueng Barona Jaya 110
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
154
Kecamatan PenyusutanLahan Sawah
(Ha)
Sukamakmur 5
Kuta Malaka 2
Simpang Tiga 9
Darul Imarah 30
Darul Kamal 10
Peukan Bada 50
Pulo Aceh -
Blang Bintang 25
Total 673
Sumber: Dinas Pertanian Aceh Besar 2011
Alih fungsi lahan pertanian secara besar-besaran dapat merugikan pertumbuhan sektor pertanian. Alih fungsi lahan pertanian dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga kerja yang selanjutnya berdampak pada penurunan produksi pangan dan pendapatan per kapita keluarga tani. Dalam upaya meningkatkan produksi padi, mulai tahun 2012 Pemerintah Kabupaten Aceh Besar mulai mencetak 500 hektare sawah baru di beberapa wilayah. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatan luas sawah yang akan ditanami oleh petani. Perkembangan luas sawah yang ditanam dapat diperhatikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan luas sawah yang ditanam di Aceh Besar (dalam Ha) Tahun
2007-2010.
Kecamatan 2007 2008 2009 2010
Lhong 565 1.115 1.250 1.345
Lhoknga 340 287 435 849
Leupung - 37 112 285
Indrapuri 4.267 4.322 3.787 4.643
Kuta Cot Glie 2.663 1.538 2.498 2.856
Seulimum 4.724 4.173 1.943 5.139
Kota Jantho 182 365 171 777
Lembah Seulawah 1.033 284 421 656
Mesjid Raya 25 5 50 25
Darussalam 4.077 1.627 2.678 4.766
Baitussalam - 103 55 45
KutaBaro 4.416 2.641 1.642 3.871
Montasik 7.187 2.556 3.166 7.357
Ingin Jaya 5.150 2.435 3.827 3.475
Krueng Barona Jaya 414 695 105 1.083
Sukamakmur 3.613 3.670 3.448 2.900
Kuta Malaka 1.159 1.284 1.102 1.219
SimpangTiga 2.010 1.905 1.796 1.441
DarulImarah 726 482 763 706
Darul Kamal 715 130 1.080 715
Peukan Bada 227 115 222 245
Pulo Aceh - 35 35 182
Blang Bintang Na 1.880 3.551 3.371
Total 43.214 31.685 34.137 47.926
Sumber: Aceh Besar Dalam Angka, 2011
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Nur Aidar dan Eri Munandar
155
Sampai saat ini studi mengenai jual beli lahan pertanian masih sangat langka padahal pemahaman yang lengkap tentang persoalan ini dapat berkontribusi dalam perumusan strategi kebijakan di bidang pertanahan, terutama dalam hubungannya dengan upaya meminimalkan laju konversi lahan pertanian maupun dalam rangka mengurangi laju fragmentasi lahan pertanian. Penelitian ini mencoba mengetahui pengaruh harga lahan sawah, kebutuhan ekonomi, dan produktivitas tanah terhadap keputusan petani untuk menjual lahan sawah di Kecamatan Darul Imarah kabupaten Aceh Besar.
Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian atau dari lahan nonpertanian ke lahan pertanian. Ada 2 (dua) faktor utama yang memengaruhi konversi lahan yaitu 1) faktor pada arus makro yang meliputi perubahan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, dan kemiskinan ekonomi, 2) faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga), dan strategi bertahan hidup rumah tangga.
Dolan dan Simon (2001) menyatakan harga sebagai sejumlah uang atau jasa atau barang yang ditukar pembeli untuk beraneka produk atau jasa yang disediakan penjual. Harga merupakan pengorbanan ekonomis yang dilakukan pelanggan untuk memperoleh produk atau jasa. Selain itu, harga adalah salah satu faktor penting bagi konsumen dalam mengambil keputusan untuk melakukan transaksi atau tidak.
Purwowidodo (1992:2) mengatakan produktivitas tanah (kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan suatu tanaman yang diusahakan dengan sistem pengelolaan tertentu) dan kesuburan tanah sebagai kemampuan tanah untuk menyediakan unsur hara merupakan penunjang dalam pertumbuhan tanaman.
Menurut Schiffman dan Kanuk (2000), kebutuhan individu bersifat innate dan yang lainnya dirasakan karena acquired. Innate needs atau kebutuhan utama adalah kebutuhan secara fisiologis seperti sandang, pangan, papan, air, perlindungan dan sebagainya. Kebutuhan ini harus dipenuhi karena menyangkut kelangsungan hidup dari individu.
Beberapa penelitian tentang alih fungsi lahan telah dilakukan seperti Sumaryanto (2010) menyimpulkan bahwa sebagian besar dari faktor-faktor sosial ekonomi yang memengaruhi keputusan petani menjual lahan terkait dengan tingkat pendidikan dan peranan pertanian dalam kehidupan rumah tangga petani. Terdapat kecenderungan yang nyata bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan anggota rumah tangga maka semakin besar peluang rumah tangga petani yang bersangkutan untuk menjual lahan. Di sisi lain, peluangnya menjadi semakin kecil jika pertanian dapat diandalkan sebagai sumber lapangan kerja dan sumber pendapatan rumah tangganya.
Irawan dan Supena (2010) menyebutkan bahwa kegiatan konversi lahan sawah cenderung menimbulkan penurunan produksi persatuan lahan yang semakin besar dari tahun ke tahun, sebaliknya pencetakan sawah cenderung memberikan dampak peningkatan produksi per satuan lahan yang semakin kecil. Kecenderungan demikian terjadi karena konversi lahan sawah semakin bergeser ke daerah dengan teknologi usahatani yang cukup tinggi, sedangkan pencetakan lahan sawah semakin bergeser ke daerah dengan teknologi usahatani yang semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan sumberdaya alam (lahan dan air) yang potensial bagi pencetakan sawah semakin terbatas.
Metode Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ekonomi Sumber Daya Alam khususnya
mengenai Faktor-faktor yang memengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini mencoba mencari hubungan variabel harga tanah, kebutuhan ekonomi, dan produktifitas tanah terhadap keputusan menjual
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
156
tanah oleh petani. Variabel-variabel yang akan diuji pengaruhnya terhadap keputusan menjual lahan oleh petani di Aceh Besar adalah harga lahan (X1), kebutuhan ekonomi (X2), dan produktivitas tanah (X3).
Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari beberapa instansi yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Pertanian Aceh Besar. Data primer diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara terhadap petani pemilik lahan sawah di kecamatan Darul Imarah Aceh Besar.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani di kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar dari 1189 orang petani yang memiliki lahan sawah sendiri diambil sampel dengan kriteria memiliki lahan pertanian sawah yang aktif berproduksi, baik yang berada di Kecamatan Darul Imarah maupun di kecamatan lain dan memiliki lahan dengan tujuan penggarapan bukan untuk investasi. Penetapan jumlah sampel dihitung dengan rumus Slovin dengan tingkat keyakinan 90 persen (α=0,10) (Riduwan, 2004:65), sebagai berikut:
2.1
N
eNn
n = Sampel
N = Jumlah populasi
e2 = Nilai kritis
Berdasarkan data yang bersumber dari Kantor Camat Darul Imarah, jumlah petani
pemilik lahan sawah sebanyak 1189 jiwa sehingga jumlah sampel yang dibutuhkan dapat
dihitung sebagai berikut:
2)1,0(11891
1189
n
89,12
1189n
24,92n
Total sampel digenapkan menjadi 92 sampel. Untuk memperoleh sampel yang baik
maka dilakukan distribusi jumlah sampel berdasarkan distrubusi populasi per
mukim.Adapun rincian perhitungan jumlah sampel per mukim disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Distribusi sampel penelitian per mukim
Mukim Jumlah Petani
Pemilik Lahan Sampel
Pembulatan
Sampel
Daroy/Jempet 551 42,63 43
Lam Ara 362 28,01 28
Lamreung 260 20,12 20
Ulee Susu 16 1,24 1
Total 1189 92 92 Sumber: Kantor Camat Darul Imarah (2012)
Penggunaan Regresi Linear Logistik untuk menguji jika jawaban variabel Y
berbetuk Ya atau Tidak, dengan syarat jika Ya nilainya 1 dan jika Tidak nilainya 0.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Nur Aidar dan Eri Munandar
157
Dengan cara ini, model logistis dapat diperluas untuk kasus ketika pilihannya adalah
antara lebih dari dua alternatif (Gujarati dan Dawn, 2009).
Dimana:
Y = Keputusan menjual lahan
X1 = Harga tanah
X2 = Kebutuhan ekonomi
X3 = Produktifitas lahan
b0 = Konstanta
b1, b2, b3 = Koefisien regresi
ei = errorterm
Definisi Operasional Variabel
Adapun definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1)
keputusan menjual lahan (Y) adalah keputusan petani untuk mau menjual lahan
pertaniannya. Jawaban berbentuk ya bernilai 1 atau Tidak bernilai 0; 2) harga lahan (X1)
adalah harga lahan yang ditawarkan oleh calon pembeli kepada petani. Perhitungan
menggunakan Skala Likert; 3) kebutuhan ekonomi (X2) adalah kebutuhan yang harus
dipenuhi petani baik rutin maupun kebutuhan mendesak. Perhitungan menggunakan
Skala Likert; dan 4) produktivitas lahan (X3) adalah kemampuan lahan berproduksi yang
dilihat dari hasil produksi. Perhitungan menggunakan Skala Likert.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Karakteristik wilayah penelitian
Darul Imarah merupakan salah satu kecamatan di Aceh Besar yang berlokasi dekat
dengan kota Banda Aceh. Darul Imarah beribu kota Lampeunerut. Jumlah penduduk laki-
laki sebanyak 25.625 jiwa dan perempuan sebanyak 26.301 jiwa. Darul Imarah terdiri dari 4
mukim dan 32 desa. Adapun nama-nama permukim dapat diperhatikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Nama pemukiman dan desa di Kecamatan Darul Imarah
Mukim Desa
Mukim Daroy/Jeumpet Garot
Gue Gajah
Geundreng
Jeumpet Ajun
Lampasi Engking
LeuUe / Mata Ie
Pashie Beutong
Punie
Ulee Leung
UleeTuy
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
158
Mukim Desa
Mukim Lam Ara Daroy Kameu
Kandang
Lam Bheu
Tingkeum
MukimLamreung Bayu
Lagang
Lam Cot
Lam Kawee
Lamblang Manyang
Lamblang Trieng
Lampeuneurut Gampong
Lampeuneurut Ujong Blang
Lamreung
Lamsiteh
Lheu Blang
Mukim Ulee Susu Denong
Kuta Karang
Lampeuneu-eun
Lamsidaya
Lamtheun
Leugeu
Paya Roeh
Sumber: Kantor Camat Darul Imarah (2012)
Karakteristik Responden
Responden penelitian ini terdiri dari pria maupun wanita. Responden yang dipilih
merupakan respoden yang memiliki lahan pertanian sawah di kecamatan Darul Imarah.
Adapun distribusi responden dapat diperhatikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Karakteristik Responden
Uraian Responden (orang) Persentase (%)
Umur
31– 40 25 27.17
41– 50 38 41.30
51– 60 28 30.43
61> 1 1.08
Jenis Kelamin
Laki-laki 72 78,3
Perempuan 20 21.74 Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).
Berdasarkan Tabel 5 responden terbanyak berumur antara 41-50 tahun yang yaitu 38
respoden atau sebesar 41.30 persen. Sementara itu, responden yang berumur diatas 61-70
tahun adalah jumlah respoden paling sedikit yaitu hanya 1 respoden atau sebesar 1,1
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Nur Aidar dan Eri Munandar
159
persen. Dari tabel 5 dapat diketahui bahwa di pada lokasi penelitian, umur 41 sampai 50
tahun merupakan umur yang paling banyak memiliki lahan sawah di kecamatan Darul
Imarah dan masih dalam kategori usia produktif sehingga masih mampu menggarap
lahan sawah untuk ditanami padi.
Sementara itu petani di kecamatan Darul Imarah memiliki luas lahan sawah yang
berbeda-beda. Luas lahan minimum yang dimiliki respoden yaitu 250 m2, sedangkan luas
lahan terluas yang dimiliki berukuran 850 m2. Rata-rata luas lahan yang dimiliki hanya
500 m2. Untuk mengetahui luas lahan yang dimiliki oleh respoden dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6. Respoden berdasarkan luas lahan
LuasLahan
(m2) Respoden Persentase
250 17 18.5
300 7 7.6
350 1 1.1
400 8 8.7
450 1 1.1
500 35 38.0
550 1 1.1
600 5 5.4
700 2 2.2
750 9 9.8
800 3 3.3
830 1 1.1
850 2 2.2
Total 92 100.0
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa luas lahan terbanyak yang dimiliki petani yaitu
500 m2 yaitu sebanyak 35 respoden. Luas lahan kedua yang terbanyak dimiliki petani
adalah 250 m2 yaitu sebanyak 17 petani. Terdapat juga petani yang memiliki lahan sawah
seluas 850 m2 yaitu sebanyak 2 orang. Kepemilikan lahan oleh respoden tidak hanya
diperoleh dari proses jual beli melainkan juga dari proses warisan. Adapun sumber-
sumber perolehan kepemilikan lahan respoden disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Sumber kepemilikan lahan
Sumber Respoden Persentase
Warisan 66 71.7
Beli 15 16.3
Lain-lain 11 12.0
Total 92 100.0
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
160
Dari tabel di atas diketahui bahwa 66 respoden memiliki lahan pertanian dari hasil
warisan keluarga, sedangkan 15 respoden dari membeli, sedangkan selebihnya dari upaya
lainnya seperti hibah atau pemberian saudara atau kerabat. Sebanyak 71,7 persen
memiliki lahan dari warisan keluarga karena rata-rata orang tua respoden merupakan
petani dan pemilik lahan di Aceh Besar.
Letak lahan yang dimiliki respoden ada yang terpisah dan ada yang terkumpul pada
satu lokasi. Adapun jenis letak lahan responden disajikan dalam Tabel 8 di bawah ini:
Tabel 8. Lokasi lahan
Letak Respoden Persentase
Satulokasi 49 53.3
Terpisah 43 46.7
Total 92 100.0
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).
Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa 49 respoden memiliki lahan yang berada pada
satu lokasi/satu desa atau sebanyak 53,3 persen respoden memiliki lahan pertanian yang
berada pada satu lokasi, sedangkan 43 respoden lainnya memiliki lahan yang terpisah-
pisah /berlainan desa.
Hasil penelitian terhadap 92 responden menunjukkan bahwa tidak seluruh respoden
pernah menjual lahan sawah miliknya. Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa sebesar 84,8
persen atau sebanyak 78 respoden menyatakan bahwa tidak pernah menjual lahan sawah
ke pada pihak lain, sedangkan 14 respoden menyatakan pernah menjual lahan sawah ke
pihak lain.
Tabel 9. Respoden berdasarkan kesediaan menjual lahan
Menjual Respoden Persentase
Tidak 78 84.8
Ya 14 15.2
Total 92 100.0
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).
Ada beberapa faktor yang memengaruhi keputusan respoden dalam menjual lahan
salah satunya adalah harga lahan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 65
responden (70,7 persen) menyatakan tidak setuju bahwa bahwa faktor harga
memengaruhi keputusan dalam menjual lahan. Selain menjawab tidak setuju, terdapat
juga 13 responden yang menjawab sangat tidak setuju. Adapun rincian jawaban
responden mengenai faktor harga disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Tanggapan konsumen terhadap harga
Jawaban Respoden Persentase
Sangat tidak setuju 13 14.1
Tidak setuju 65 70.7
Setuju 14 15.2
Total 92 100.0
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Nur Aidar dan Eri Munandar
161
Selain faktor harga, keputusan respoden juga dipengaruhi oleh faktor kebutuhan. Kebutuhan yang mendesak bisa saja menjadi penentu respoden menjual lahan jika sumber penghasilan lain tidik ada. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 84,8 persen atau sebanyak 78 responden menyatakan tidak setuju bahwa kebutuhan memengaruhi responden untuk menjual lahan sebanyak 12 responden menjawab setuju bahwa produktivitas akan memengaruhi responden dalam menjual lahan. Adapun rincian jawaban responden mengenai kebutuhan disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Tanggapan Konsumen Terhadap Kebutuhan Ekonomi
Jawaban Respoden Persentase
Sangat tidak setuju 2 2,2
Tidak setuju 78 84,8
Setuju 12 13,0
Total 92 100,0
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).
Selain faktor harga dan kebutuhan ekonomi, keputusan respoden juga dipengaruhi oleh faktor produktivitas. Sebanyak 74 responden menyatakan tidak setuju bahwa produktivitas lahan memengaruhi keputusan penjualan lahan. Bahkan terdapat 17 respoden yang menyatakan sangat tidak setuju jika faktor produktivitas menyebabkan penjualan lahan. Hanya satu 1 respoden yang setuju jika faktor produktivitas dinyatakan berpengaruh terhadap penjualan lahan. Adapun rincian jawaban responden mengenai produktivitas disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Tanggapan konsumen terhadap produktivitas
Jawaban Respoden Persentase
Sangat tidak setuju 17 18,5
Tidak setuju 74 80,4
Setuju 1 1,1
Total 92 100.0
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (diolah).
Untuk mengetahui pengaruh harga, kebutuhan ekonomi dan produktivitas terhadap keputusan penualan lahan pertanian di Aceh Besar maka dilakukan uji regresi logistik biner terhadap data-data yang diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner. Pengolahan data menggunakan aplikasi SPSS. Hasil regresi disajikan pada Tabel 13 di bawah ini.
Tabel 13. Hasil regresi
Model Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) -0,253 0,271 -0,936 0,352
Harga 0,148 0,071 0,223 2,077 0,041
Kebutuhan 0,096 0,092 0,109 1,045 0,299
Produktifitas -0,032 0,104 -0,033 -0,308 0,759
a. Dependent Variable: Menjual Lahan
ttabel = 1,290 Fhitung = 1,814 Ftabel = 2,700 R2= 0,058
Sumber: HasilPenelitian, 2012 (diolah)
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nov 2013
162
Hasil estimasi Tabel 13 harus ditransformasikan agar dapat diinterpretasikan. Hasil
transformasi disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Hasil estimasi parameter model logistik
Variabel Koefisien Anti Ln (-1x100)
harga 0,148 1,1590 15,90
kebutuhan 0,096 1,10075 10,07
produktivitas -0,032 0,9685 -3,14
Sumber: HasilPenelitian, 2012 (diolah)
Hasil uji di atas diintepretasikan sebagai berikut: 1) hasil p-value pada tingkat
keyakinan 10 persen menunjukkan bahwa dari ketiga variabel yang diuji pengaruhnya
terhadap keputusan menjual lahan hanya satu variabel yang menunjukkan pengaruh
positif yaitu harga ketika nilai p-value sama dengan 0,041. Sedangkan variabel kebutuhan
ekonomi dan produktivitas tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap
keputusan menjual lahan sawah di kecamatan Darul Imarah; 2) koefisien Harga (β1)
sebesar 0,148 memiliki arti bahwa jika harga jual tanah ditetapkan lebih tinggi sebesar 1
persen maka akan menambah kecenderungan petani menjual lahan pertaniannya
bertambah sebesar 15,90 dengan asumsi variabel lain dianggap tetap. Artinya jika harga
lahan pertanian yang lebih mahal maka akan meningkatkan peluang penjualan lahan
tersebut; dan 3) untuk koefisien kebutuhan ekonomi (β2) dan produktivitas (β3) tidak
dapat diinterpretasikan karena hasil uji menunjukkan tidak terdapat pengaruh perubahan
kebutuhan dan produktivitas terhadap peluang penjualan lahan pertanian oleh petani di
kecamatan Darul Imarah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa peluang penjualan lahan
akibat adanya peningkatan atau penurunan kebutuhan ekonomi adalah sama, begitu juga
dengan peluang akibat adanya peningkatan dan penurunan produktivitas Hipotesis lahan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Harga lahan sawah memengaruhi petani untuk menjual lahan sawahnya. Peningkatan
harga tanah mampu meningkatkan peluang petani yang memiliki lahan sawah untuk
menjual lahannya. Oleh sebab itu, harga lahan sawah berpengaruh terhadap kegiatan alih
fungsi lahan di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar.
Kebutuhan ekonomi dan produktivitas lahan tidak berpengaruh signifikan terhadap
upaya penjualan lahan sawah. Oleh sebab itu, kebutuhan ekonomi dan produktivitas tidak
berpengaruh terhadap kegiatan alih fungsi lahan di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten
Aceh Besar.
Saran/Rekomendasi
Pemilik lahan diharapkan dapat menjaga ketersedian lahan pertanian sawah di Aceh
Besar tanpa harus tergiur oleh penawaran harga yang diberikan oleh pembeli. Pemerintah
Aceh Besar harus lebih peduli dalam upaya menjaga ketersedian lahan sawah di Aceh
Besar dalam upaya menjamin ketersedian produksi pertanian.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Nur Aidar dan Eri Munandar
163
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2008. Aceh Besar Dalam Angka 2007. BPS Aceh.
------------------------. 2009. Aceh Besar Dalam Angka 2008. BPS Aceh.
------------------------. 2010. Aceh Besar Dalam Angka 2009. BPS Aceh.
------------------------. 2011. Aceh Besar Dalam Angka 2010. BPS Aceh.
Dolan, R.J and H. Simon. 2001. Power Pricing: How Managing Price Transform the Bottom Line. The Free
Press.
Gujarati, N. D and P.C. Dawton. 2009. Basic Econometrics 5th ed. Singapore : Mc. Graw Hill.
Gunanto, E.S., 2007. Konversi Lahan Pertanian Mengkhawatirkan. http://www.tempointeraktif.com
Irawan, Bambang dan Supena Friyatno.---- Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa terhadap Produksi Beras
dan Kebijakan Pengendaliannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Purwowidodo. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa, Bandung
Riduwan (2004). Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Alfabeta, Bandung
Schiffman, L.G. and L.L. Kanuk. 2000. Consumer Behavior. 7th ed. Prentice Hall. New Jersey: Upper Saddle
River
Sihaloho M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria di Kelurahan Mulyoharjo
Kecamatan Bogor Selatan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
KETENTUAN PENULISAN ARTIKEL
JURNAL EKONOMI DAN PEMBANGUNAN
Artikel merupakan hasil penelitian atau review kajian analisis kritis bidang ekonomi
dan pembangunan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dan belum
pernah dipublikasikan atau tidak sedang dikirimkan untuk publikasi lainnya.
1. Artikel adalah hasil karya asli penulis atau tim penulis, bukan hasil plagiasi dalam
bentuk apapun baik sebagian atau seluruhnya. Editor dan BAPPEDA Aceh tidak
dapat dituntut secara hukum karena alasan plagiasi yang ditemukan dalam artikel
yang dimuat.
2. Struktur artikel yang berupa hasil penelitian terdiri atas: Abstrak (100-150 kata)
memuat tentang masalah penelitian, tujuan, metode, hasil penelitian, dan kesimpulan.
Abstrak ini ditulis dalam dua bahasa yaitu: Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Kata kunci atau key words terdiri atas tiga sampai lima kata. PENDAHULUAN
(artikel kajian analisis kritis tanpa sub judul) berisikan tentang alasan penelitian,
perumusan masalah, tujuan dan kegunaan, serta didukung oleh studi kepustakaan dan
penelitian sebelumnya. METODE PENELITIAN memuat tentang metode
penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis. HASIL DAN
PEMBAHASAN berisi tentang hasil penelitian berdasarkan metode dan analisis yang
digunakan dalam penelitian. KESIMPULAN memuat (1) kesimpulan dan (2)
saran/rekomendasi. DAFTAR PUSTAKA memuat semua kutipan yang digunakan
dalam artikel tersebut.
3. Struktur artikel yang berupa hasil review terdiri atas: Abstrak (100-150 kata) memuat
tentang masalah, tujuan, pembahasan, dan kesimpulan. Abstrak ini ditulis dalam dua
bahasa yaitu: Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Kata kunci atau key words terdiri
atas tiga sampai lima kata. PENDAHULUAN (artikel kajian analisis kritis tanpa sub
judul) berisikan tentang alasan penulisan, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan,
serta didukung oleh studi kepustakaan. PEMBAHASAN berisi tentang uraian
penyelesaian permasalahan. KESIMPULAN memuat (1) kesimpulan dan (2)
saran/rekomendasi. DAFTAR PUSTAKA memuat semua kutipan yang digunakan
dalam artikel tersebut.
4. Identitas Penulis (nama, alamat, email, asal lembaga penulis). Identitas penulis adalah
nama resmi penulis dan lembaga penulis, bukan nama samaran atau nama tidak resmi
lainnya.
5. Artikel diketik dengan MS word, dua spasi, huruf times New Roman, ukuran 12 pt
(karakter/inchi) dengan kertas ukuran kuarto. Panjang artikel minimal 15 halaman dan
maksimal 20 halaman, dan margin kiri dan atas 4 cm, margin bawah dan kanan 3 cm.
Semua halaman harus diberi nomor, termasuk lampiran.
6. Apabila terdapat kata/kalimat selain Bahasa Indonesia (bahasa asing) agar
penulisannya di cetak miring (italic).
7. Pengutipan bahan rujukan mengikuti aturan catatan badan (body notes) seperti:
a. Penulis tanggal (Green, 1997)
b. Dua penulis: (Dornbusch dan Fischer, 1994)
c. Penulis lebih dari dua orang: (Hoy et.al., 2001)
d. Dua sumber kutipan dengan dua penulis yang berbeda: (Chiang, 1984; Dowling,
1995)
e. Dua kutipan dengan penulis yang sama tapi tahunnya berbeda: (Friesman, 1972,
1978)
f. Dua kutipan dari seorang penulis tapi tahunnya sama: (Greene, 1995a, 1995b)
g. Kutipan dari instansi sebaiknya dalam singkatan lembaga tersebut: (BPS, 2001)
8. Daftar pustaka disusun berdasarkan abjad dari nama akhir penulis pertama dan bukan
nomor urut. Daftar pustaka dengan nama penulis (kelompok penulis) yang sama
diurutkan secara kronologis.
Beberapa contoh penulisan daftar pustaka:
Jurnal:
Salim, S. 2004. Reinventing jatidiri koperasi. Jurnal Ekonomi Kewirausahaan. III
(2):1-8.
Buku:
Todaro, M.P. and S.C. Smith, 2003. Pembangunan Ekonomi di Negara Ketiga. 8th
Edition. Pearson Education Limeted, United Kingdom.
Skripsi/Tesis/Disertasi/Laporan penelitian:
Sugiyanto, 2007, Pengaruh Kompetensi dan Komitmen Manajemen Terhadap
Kinerja Keuangan, Promosi Ekonomi Anggota dan Struktur Modal. Disertasi.
PPS Universitas Padjadjaran. Bandung.
Prosiding:
Hamdan, T. Armansyah, M. Hambal, dan Cut Nila Thasmi. 2008. Profil steroid
kambing kacang lokal yang mengalami induksi superovulasi dengan anti-
ingibin hasil isolasi dari sel granulose. Prosiding Seminar Nasional Hasil
Penelitian Antar Universitas “Sains dan Teknologi”. Banda Aceh: 527-533
Website:
BPS, 2010 Luas Areal Perikanan Darat dan Perikanan Umum Menurut
Kabupaten/Kota. Aceh. www.bps.go.id
Artikel dikirim ke alamat redaksi:
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Bidang Penelitian, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan
Sub. Bidang Penelitian dan Pengembangan
Jln. Tgk. H. M. Daud Beureueh No. 26 Banda Aceh
Telp. (0651) 21440 – 29713 dan Facsimilie (0651) 33654
Email: [email protected]
Artikel yang sudah diterima dikategorikan menjadi (a) Diterima tanpa perbaikan, (b)
Diterima dengan perbaikan editor, (c) Diterima dengan perbaikan penulis, dan (d) Ditolak
karena kurang sesuai dengan persyaratan jurnal ini. Artikel yang sudah dimuat hak
ciptanya adalah hak cipta bersama penulis dan BAPPEDA Aceh.
Top Related