Download - ISLAMISASI ILMU-ILMU KONTEMPORER DAN PERAN …eseminar.dbp.gov.my/dokumen/islamisasi_ilmu_kontemporer.pdf · budaya, dan batas-batas negara, di saat banyak ilmuwan non-muslim dan

Transcript

1

ISLAMISASI ILMU-ILMU KONTEMPORER

DAN PERAN UNIVERSITAS ISLAM

DALAM KONTEKS DEWESTERNISASI

DAN DEKOLONISASI

Oleh

Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud

Dalam kuliah ini saya akan memaparkan arkitektonik dan kepentingan strategis dari

Institusi Pendidikan Tinggi dalam perkembangan yang tepat bagi individu dan masyarakat

muslim di berbagai penjuru dunia. Di saat westernisasi dan kolonisasi dalam berbagai

bentuknya masih berpengaruh dalam konteks globalisasi saat ini, saya juga akan mengajukan

hujjah, bahwa upaya sejumlah ilmuwan Muslim untuk melakukan Islamisasi ilmu

pengetahuan kontemporer, dan keterkaitannya dengan diskursus tentang pendidikan dan

universitas dalam Islam, adalah bukan hanya usaha yang sah untuk mempertahankan identitas

agama dan budaya mereka, tetapi juga menawarkan alternatif yang lebih baik dari

modernitas Barat, yang telah menunjukkan defisit yang serius pada level global. Akan segera

tampak bahwa realisasi dari defisit modernitas Barat itu melintasi batas-batas agama,

budaya, dan batas-batas negara, di saat banyak ilmuwan non-muslim dan pembuat kebijakan

menyampaikan hujjah tentang perlunya melakukan usaha de-westernisasi, dekolonialisasi,

dan pribumisasi dari framework ilmu pengetahuan. De-westernisasi dan Islamisasi ilmu

kontemporer – dalam keterkaitannya dengan konsep universitas Islam dan adab – adalah

salah satu dari usaha-usaha ini. Dibandingkan dengan gerakan sejenis, Islamisasi ilmu

kontemporer, lebih bersifat spiritual, komprehensif, universal dan lebih kuat pengaruhnya. Ini

akan dijelaskan nanti.

Saya akan menegaskan kembali framework epistemologi tradisional, yang telah

dipahami dan dipraktikkan oleh mazhab Sunni. Kerangka filosofis dan metodologis yang

saya gunakan, sebagian besarnya berdasarkan pada apa yang telah dirumuskan oleh Syed

Muhammad Naquib al-Attas, seorang yang dipandang paling otoritatif di dunia muslim

kontemporer, dan juga pendiri sebuah insitusi Perguruan Tinggi yang sangat bermartabat,

yaitu the International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1987-2002.1

1 Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas:

An Exposition on the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998); Wan Mohd Nor Wan Daud and Muhammad Zainiy Uthman, eds. Knowledge, Language, Thought and the Civilization of Islam: Essays in Honour of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Skudai; UTM Press, 2010); Ali A. Allawi, The Crisis of Islamic Civilization (New Haven and London: Yale University Press, 2009), Chap. 4; dan Mohd Zaidi Ismail dan Wan Suhaimi Wan Abdullah, eds. Adab dan Peradaban: Karya Pengi’tirafan untuk Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: MPH, 2012).

2

Arkitektonik dan Kepetingan Strategis Pendidikan Tinggi

Pendidikan – tak diragukan lagi – merupakan wahana terpenting bagi individu dan

masyarakat untuk meraih kesejahteraan dan kemajuan. Tujuan pendidikan, sebagaimana

sebagian besar aktivitas manusia yang fundamental, adalah satu refleksi dari pandangan alam

(worldview) tertentu – apakah bersifat individual atau sosial – yang pada gilirannya akan

dimasukkan ke dalam materi, metodologi, dan evaluasi pendidikan. Suatu worldview pada

umumnya terbentuk oleh agama dan atau orientasi filsafat ditambah dengan lingkungan

sosio-historisnya dalam berbagai derajat interaksi yang sangat kompleks. 2 Dalam beberapa

dekade, komunitas muslim internasional telah dan masih terus menekankan pentingnya

pendidikan dasar dan menengah. Betapa pun, ketika para ilmuwan di Perguruan Tinggi

menekankan pentingnya suatu universitas, mereka sempat dianggap memiliki kepentingan

tertentu oleh sebagian orang. 3

Arkitektonik dan kepentingan strategis dari institusi Pendidikan Tinggi belum lama

dan ekonomi berbasis pengetahuan. 4 Beberapa ilmuwan dengan tepat telah mengakui bahwa

institusi Pendidikan Tinggi telah memainkan sebuah peran – meskipun dalam jumlah yang

masih kecil – dalam perjuangan meraih supremasi internasional. 5 Sejumlah akademisi

terkemuka, seperti Clerk Kerr, lebih dari setengah abad lalu telah menekankan bahwa bangsa-

bangsa yang bermaksud meraih pengaruh intenasional seyogyanya mendirikan pusat-pusat

studi yang unggul (excellent) pada level tertinggi.6 Kepentingan strategis lembaga semacam

ini, adalah sebagaimana pernah dinyatakan oleh Philip Coombs, mantan wakil Menteri Luar

2 Pemaparan lebih komprehensif dan filosofis tentang worldview of Islam lihat Syed Muhammad Naquib al-

Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995); tentang kaitan worldview of Islam dengan pendidikan tinggi, khususnya, lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Educational Philosophy, especially pp. 33-69; juga Alparslan Acikgenc, Scientific Thought and Its Burdens (Istanbul: Fatih University Publications, 2000), Chap. 2. 3 Roger Dale, “Repairing the Deficits of Modernity: The Emergence of Parallel Discourses in Higher Education in

Europe”. In D. Epstein, R. Boden, R. Deem, F Rizvi and S Wright, eds. Geographies of Knowledge, Geometries of Power: Framing the Future of Higher Education. World Yearbook of Education 2008 (New York and London: Taylor and Francis, 2007), p. 15. 4 Lihat, sebagai contoh, Rajani Naidu, “Higher Education: A Powerhouse for Development in a Neo-Liberal

Age?”, dalam Geographies of Knowledge, hal. 248-261; diskusi menarik tentang kerangka ilmu pengetahuan dan hubungannya dengan ekonomi dan geopolitik, lihat Vinay Lal, Empires of Knowledge: Culture and Plurality in the Global Economy. New and Expanded Edition (New Delhi: Vistaar Publications, 2005), khususnya bab 4 dan 5. Lihat juga Phillip G. Altbach, Higher Education in the Third World: Themes and Variations (Singapore: Maruzen Asia/Regional Institute of Higher Education and Development, 1982), bab 4, “Servitude of the Mind? Education, Dependency, and Neocolonialism.” 5 Phillip G. Altbach and Gail P. Kelly, Education and Colonialism (New York and London: Longman, 1978), hal.

31. 6 Lihat, Clerk Kerr, “The Frantic Rush to Remain Contemporary” Deadalus. Journal of the American Academy of

Arts and Sciences. Volume 94, No. 4 Fall 1964, hal. 1051. Lihat juga Wan Mohd Nor, Masyarakat Islam Hadhari: Suatu Tinjauan Epistimologi dan Kependidikan ke Arah Penyatuan Pemikiran Bangsa (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006), hal. 19-23.

3

Negeri AS semasa pemerintahan John F Kennedy, bahwa pendidikan dan budaya adalah

“aspek keempat” dari politik luar negeri, disamping ekonomi, diplomasi dan aspek militer. 7

Babak Perang Dingin telah meningkatkan kepentingan strategis dari Pendidikan Tinggi, saat

dipahami bahwa persenjataan modern sangat bergantung pada ilmu pegetahuan ilmiah

dibandingkan dengan hitungan tradisional jumlah tentara dan banyaknya perlengkapan

militer. 8

Gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang disusun oleh para ilmuwan yang

menekankan pentingnya institusi Pendidikan Tinggi dan Pusat Pemikiran berlanjut pada

pembentukan strategi geopolitik. Thomas Farr, yang bekerja di Kebijakan Luar Negeri AS

lebih dari 16 tahun, mengajukan gagasan tentang desekularisasi diplomasi. Ia mengusulkan

agar kebebasan beragama (religious freedom) harus dijadikan sebagai bagian terpenting dari

kebijakan politik luar negeri AS yang akan menghasilkan banyak aspek manfaat. Diantaranya

adalah penguatan keamanan nasional AS, dengan meruntuhkan terorisme Islam transnasional

dan ekstrimisme, menstabilkan perjuangan demokrasi di seluruh dunia Islam dan bagian

dunia lainnya; serta mendorong terjadinya transisi politik tanpa kekacauan di dalam negeri

sebagaimana terjadi di Cina. Kebijakan semacam itu juga dapat mengurangi persepsi di luar

negeri, bahwa AS adalah imperialis, hedonis, dan penjaja demokrasi bebas nilai. Juga, ini

akan mendorong perluasan bantuan kelompok-kelompok kepentingan AS dan memajukan

kerjasama di antara kelompok-kelompok agama di AS. 9

Kepentingan strategis dari Pendidikan Tinggi semakin tampak di masa kini,

khususnya di dunia Arab, dimana meskipun sebagian besar penduduknya memiliki persepsi

negatif terhadap kebijakan luar negeri AS, tetapi mereka memberikan apresiasi terhadap

pendidikan Tinggi AS. Hal ini telah memuluskan berdirinya berbagai cabang universitas-

universitas AS di dunia Arab. 10

Amerikanisasi institusi Pendidikan Tinggi di dunia Arab

difokuskan pada gagasan-gagasan dan nilai-nilai program ilmu-ilmu humaniora (liberal arts).

Menurut Peter Heath, Ketua American University di Beirut, yang merupakan universitas

Amerika tertua di dunia Arab, bahwa universitas-universitas Amerika di dunia Arab,

seharusnya mendidik manusia secara utuh dengan perhatian pada ilmu-ilmu humaniora.

“Jika mereka mengerjakan hal itu, maka sekalipun mereka tidak begitu bagus dalam

akademisnya, saya menghormati mereka. Sebab, mereka berada pada jalan yang benar."11

Shafeeq Ghabra, Presiden Universitas Amerika di Kuwait, menyatakan bahwa Amerikanisasi

pendidikan tinggi artinya menerapkan Bahasa Inggris, menggunakan strategi dan model

pendidikan, buku-buku bacaan, kehidupan komunal, dan kegiatan ekstrakurikuler yang

7 Philip Coombs, The Fourth Dimension of Foreign Policy: Education and Cultural Affairs (New York: Harper and

Row, 1964). 8 Roger Dale, “Repairing the Deficits of Modernity”, hal. 18. 9 Thomas F. Farr, World of Faith and Freedom: Why International Religious Liberty is Vital to American National

Security (Oxford: OUP, 2008), hal. 26. 10 Shafeeq Ghabra with Margreet Arnold, “Studying the American Way: An Assessment of American-Style

Higher Education in the Arab Countries”. Policy Focus #7 June 2007. Washington DC: The Washington Institute for Near East Policy, 2007). 11

Dikutip dari Gordon Robison, "Education: An American Growth Industry in the Arab World”. Sebuah Proyek

dari Pusat USC tentang Diplomasi Publik, Proyek Media Timur Tengah, Los Angeles, Juli 2005, hal. 7-8.

Robison adalah Senior Fellow di USC Annenberg School of Communication.

4

popular dalam sistem pendidikan Amerika.12

Dalam Arab Knowledge Report tahun 2009, hal

terpenting dari kebebasan, sebagai salah satu persyaratan penting dalam mengembangkan

pengetahuan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat, adalah secara empatik dan konsisten

menekankan: "pengetahuan adalah kebebasan dan perkembangan, dan tidak mungkin ada

pengetahuan ataupun perkembangan tanpa kebebasan." (knowledge is freedom and development

and that there can be neither knowledge nor development without freedom).13

Laporan ini

memperingatkan hal yang mungkin relevan bahkan sampai hari ini, bahwa hubungan ini tidak

mekanis maupun terpisahkan14

. Namun, di tempat lain secara kategoris menegaskan bahwa

"hal ini adalah kebebasan faktual dan pengetahuan yang tidak terpisahkan sebagaimana

pengetahuan dan perkembangan"; dan hal itu tidak seharusnya terbatas pada bidang ekonomi

dan politik, tetapi "dalam segala manifestasinya."15

Pada Arab Knowledge Report Tahun

2010/2011 , telah diakui bahwa revolusi dan protes di dunia Arab sejak akhir 2011 ke depan

dimotivasi secara signifikan oleh generasi muda kelas menengah dan atas. Selanjutnya,

generasi muda di kelas sosial lain bergabung, dibantu oleh teknologi informasi dan

komunikasi. Sebagian besar generasi muda kelas menengah dan atas ini "memiliki kesamaan

akan prinsip, keyakinan dan keprihatinan terhadap masalah-masalah sosial dan politik dalam

realitas kehidupan mereka…. (yang juga dibantu oleh) globalisasi prinsip-prinsip

keikutsertaan, kewarganegaraan dan organisasi kemasyarakatan."16

Dari perspektif Islam, kesadaran yang relatif baru dari kepentingan jangka panjang

dari pendidikan tinggi ini adalah yang paling akurat. Penekanan Islam pada pentingnya

pendidikan masa kanak-kanak berakar dari Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw.

Anak-anak adalah titipan Tuhan, dan adalah orang tuanya yang mengubah mereka menjadi

Yahudi, Kristen dan Zoroaster.17

Dalam dunia Melayu-Indonesia, pesan ini disampaikan

melalui peribahasa yang sangat popular: jika mahu melentur buluh, biarlah diwaktu

rebungnya (bambu paling mudah dibentuk ketika rebungnya masih muda).

Hal yang tidak ditekankan dalam tradisi yang sering diturunkan ini adalah bahwa

orang dewasanya, terutama orang tua dan para guru, adalah yang paling berperan dalam

proses ini. Nabi dikirim di semua tingkatan masyarakat, namun langsung pada pemikiran

orang dewasa yang matang (bulugh) yang bisa bertanggungjawab.18

Yang terbaik dari

generasi pertama kaum Muslim—Sahabat para Nabi—dilahirkan dan dibesarkan dalam masa

12

Ibid., hal. 7. 13

Arab Knowledge Report Tahun 2009: Towards Productive Intercommunication for Knowledge. Diterbitkan

oleh Yayasan Mohammad bin Rashid al Maktoum dan United Nations Development Program/Biro Regional

untuk Negara-negara Arab. Dubai, hal. 220. 14

Ibid., hal. 220. 15

Ibid., hal. 225-226. 16

Arab Knowledge Report Tahun 2010/2011: Preparing Future Generations for the Knowledge Society.

Diterbitkan oleh Yayasan Mohammad bin Rashid al Maktoum dan United Nations Development Program/ Biro

Regional untuk Negara-negara Arab. Dubai, hal. 2. 17

Al-Bukhari, Sahih sv: kitab al-Jana’iz, No. 1319 (1292); also Muslim, Sahi sv: kitab al-Qadar,no. 2138

(2658). 18

Hal ini tampaknya konsisten dengan klasifikasi internasional misalnya dari UNESCO yang menganggap

orang dewasa yang di atas usia 15 tahun. Lihat Arab Knowledge Report Tahun 2010/2011, hal. 4. Namun, perlu

disampaikan bahwa kriteria Islami dari masuknya usia tanggung jawab (taklif), kedewasaan (bulugh), tidak

selalu kronologis, tetapi berdasarkan pengalaman, dan spesifik secara gender: menstruasi pertama untuk wanita,

mimpi basah pertama untuk pria.

5

para-Islam, dan kenyataannya, lingkungan anti-Islami yang kuat, tetapi kemampuan yang

mendalam dari pembentuk manusia dewasa, yakni Nabi Muhammad saw, sukses

mengislamkan pandangan alam, etika dan kemanusiaan mereka. Sebagian besar dari mereka

sudah dewasa ketika mereka menerima Islam, dan kemudian melakukan kontribusi yang

penting dan kekal tidak hanya kepada komunitas Muslim tetapi juga pada yang lain.

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan efektif terjadi di tingkat dewasa, yaitu

institusi Pendidikan Tinggi dalam makna modernnya, dapat mengatasi kelemahan filosofis

dan etis pada tingkat pendidikan yang lebih rendah. Lebih jauh lagi, kesuksesan tingkat dasar

dan menengah tergantung sekali pada kesuksesan terdahulu dan keefektivan dari institusi

Pendidikan Tinggi, di mana pembuat kebijakan, perancang kurikulum, guru-guru,

administrator senior, dan bahkan orang tua sendiri, dididik dan dilatih. Lalu, sejumlah besar

orang-orang di bidang pendidikan non-formal seperti media massa dan elektronik, institusi

keagamaan dan politik adalah produk-produk dari institusi Pendidikan Tinggi. Semua

individu ini, secara langsung maupun tidak, mempengaruhi isi dan metode dari pendidikan

formal dan non-formal pada tingkat yang lebih rendah.

Mengenali kepentingan pendidikan tinggi secara arkitektonik dan strategis, negara-

negara yang memiliki ambisi tinggi, telah membangun tidak hanya jaringan universitas-

universitas terbaik, tetapi juga berbagai institusi untuk pendidikan lanjutan yang secara

serius berusaha memperluas batasan intelektual dan ilmiah di segala bidang ilmu

pengetahuan. Institut dan pusat ilmu semacam ini pertama kali didirikan di Universitas

Princeton, USA pada 1930; lalu dilanjutkan di Bielefeld (1968) dan Berlin (1980) di Jerman.

Lainnya didirikan di Wassenaar, Belanda (1971); Kansas, Jepang (1984); Uppsala, Swedia

(1985); dan Helsinki, Finlandia (2002). Pembangunan ini, nyatanya, disediakan dengan dana

yang cukup dan mempunyai staf akademis dan penelitian yang sangat terpercaya serta

memiliki administrasi yang fleksibel yang menaati budaya akademis dan penelitian yang

sangat kuat.19

Seiring dengan munculnya Cina sebagai salah satu kekuatan ekonomi global dan

militer yang paling dominan, ia juga ingin memiliki pengaruh yang lebih besar dalam hakekat

tatanan dunia baru, yang sampai sekarang hampir seluruhnya dibentuk oleh perspektif sosio-

ekonomi dan budaya Barat. Hal itu menekankan pentingnya pendekatan non-militer (soft

approach), yang berpusat pada ide-ide dan berbagi bentuk kerja sama. Baru-baru ini,

Universitas Fudan (didirikan tahun 1905) membuka institusi baru, Pusat untuk Kajian Budaya

dan Nilai-nilai Cina dalam Konteks Global (Center for the Study of Chinese Culture and

Values in the Global Context (SCCV)) dan mengadakan konferensi internasional dengan tema

"Merevitalisasi Budaya Cina: Nilai-nilai dan Norma-norma pada Satu Era Global", diadakan

26-27 Juni 2011. Di antaranya, konferensi ini mencoba mempelajari bagaimana Cina bisa

merevitalisasi nilai-nilai dan norma-norma budayanya untuk menghadapi tantangan

modernisasi dan globalisasi dan untuk memberikan 'kekuatan non militer' (soft power) untuk

masa depan global. Ia bermaksud untuk berbagi visinya dan menjadi peran utama dalam

19

Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu dan Gagasan 1Malaysia: Membina Negara Maju dan Bahagia

(Kuala Lumpur: CASIS/BTN, 2012), hal. 30-31.

6

membentuk dunia baru serta untuk "berbagi visinya dengan dunia serta menjadi pemimpin

dalam membentuk era global yang baru".20

Dekolonisasi dan Dewesternisasi Pengetahuan dan Pendididkan

Globalisasi Eropa dimulai dengan perjalanan-perjalanan “penemuan” (discovery)

pada akhir abad ke-15. Hal ini diikuti dengan imperialisme, yang dicirikan dengan adanya

penaklukan dan pengendalian politik secara langsung dari kota-kota besar Eropa. Sejak abad

ke-17 dan seterusnya, imperialisme ini berhasil terwujud berkat kolonisasi –dengan

pembentukan komunitas-komunitas imigran di wilayah-wilayah penjajahan, meniru kota-kota

besar, dan didukung dengan adanya perbudakan dan buruh kontrak— menghasilkan

kolonisasi — sebuah kondisi yang mengacu pada penundukan secara sistematis bangsa

terjajah.21

Perkembangan yang saling terkait ini, yang dimungkinkan oleh worldview

Eropasentris yang menggambarkan perspektif epistemik tertentu, telah menimbulkan banyak

penderitaan dan kerugian politik, ekonomi, serta sosial budaya penduduk asli.

Dominasi Barat menjadi lebih intensif – dengan ikut berperannya Amerika Serikat

pada pertengahan abad ke-20 dalam bentuk neokolonialisme – terutama melalui konsep

modernisasi dan pembangunan, dan kemudian, melalui konsep demokrasi, kebebasan, dan

Hak Asasi Manusia.22

Sepanjang abad ini, globalisasi telah menjadi, secara nyata,

fundamental terkait atas tersebarnya, penanaman ‘’pandangan tertentu tentang kebenaran dan

realitas dunia’’ (a particular view of truth and reality of the world); atau dengan kata yang

biasa digunakan para ahli sosiologi, “universalisasi rangkaian asumsi dan narasi”, melalui

saluran pendidikan dan komunikasi yang informal dan formal, ke seluruh bagian dunia.

Globalisasi saat ini, terutama jika dikaitkan pada kerangka pengetahuan, telah

melampaui proses-proses sosio-geografis, budaya, dan ekonomi, dan menjadi "alasan dan

pembenaran untuk kelanjutan beberapa bentuk yang sangat destruktif eksploitatif.”23

Neokolonialisme -- melalui hegemoni proyek modernitasnya -- memperdalam mitos

keunggulan Barat dalam semua dimensi, aturan budaya, ilmiah, dan sosial politik ekonomi.24

Hegemoni ini bahkan memasuki wilayah interpretasi agama masyarakat non-Barat, dimana

sifat atau batas toleransi beragama, moderasi, pluralisme, dan Hak Asasi Manusia ditentukan

secara signifikan dari perspektif Barat dan sekuler; diartikulasikan dan ditanamkan terutama

di lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi.

20

Mohon rujuk pada brosur online konferensi di http://www.crvp.org/conf/2011// fudan.htm, downloaded

18/5/2011; see also, Wan Mohd Nor, Budaya Ilmu, hal.31. 21

Peter Cox, “Globalization of What? Power, Knowledge and Neo-Colonialism”. Paper untuk Implications for Globalisation: Present Imperfect, Future Tense. 17-19 December 2003. Annual Conference. Department of Social and Communication Studies, University College Chester. P. 5. Downloaded 6/14/2005); juga Wan Mohd Nor Wan Daud, “Dewesternisation and Islamisation: The Epistemic Framework and Final Purpose”. In N. Omar, W Che Dan, Jason S. Ganesan and R. Talif, eds. Critical Perspectives on Literature and Culture in the New World Order (Newcastle Upon Tyne: Cambridge Scholars Publishing, 2010) hal. 1-7.

22 Ramon Grosfuguel, “Decolonizing Political-Economy and Post Colonial Studies: Transmodernity, Border Thinking, and Global Coloniality”. Dalam Ramon Grosfuguel, Jose David Saldivar and Nelson Maldonado Torres (eds). Unsettling Postcoloniality: Coloniality, Transmodernity and Border Thinking (Durham: Duke University Press, 2007) versi internet, hal. 7-8

23 Cox, “Globalization for What?”, hal. 3.

24 Ibid,hal. 6.

7

Karena adanya dominasi global Barat di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, militer

dan ekonomi selama tiga abad terakhir, dapat dipahami -- walaupun bukan berarti diinginkan

-- jika Barat beranggapan bahwa bagian lain dari dunia ini berada di belakangnya dalam

berbagai kriteria utama kemajuan dan pengembangan manusia sebagaimana diterapkan di

Barat. Juga dianggap bahwa semua manusia non-Barat harus menjalani urutan serupa dalam

perkembangan spiritual, sosial, dan politik sebagaimana Barat dalam rangka untuk mengejar

ketinggalannya dengan, dan menjadi bagian dari umat manusia dalam masyarakat yang

berkembang.25

Konsep linier dan evolusi dari sejarah dan kemajuan manusia dari pusat Barat

ini tidak mentoleransi adanya perbedaan pemikiran atau gagasan dari pihak lain yang

bertentangan dengannya. Gagasan-gagasan yang berbeda ini akan dianggap sebagai

reaksioner, anti-modern, anakronistik, tradisional, tidak wajar, radikal, anti-kemanusiaan;

atau akan dikemas ke dalam idiom dan kategori yang dapat diterima oleh pandangan yang

dominan dan kepentingan pusat (Barat). Pandangan non-Barat tentang Kebenaran dan

Realitas, dan bentuk serta perspektif pengetahuan dan pembangunan mereka tentang manusia,

dianggap sebagai bersifat lokal dan partikular, dan karenanya tidak betsifat universal.26

Maka, kemanusiaan dianggap tidak akan memiliki masa depan kecuali apa yang telah

dipahamai dalam kerangka ilmiah dan worldview demokrasi dan liberal Eropa. Bahkan,

panggilan Protagorian, yang menggaris bawahi kerangka sekular kemanusiaan sejak masa

Helenisme – “Manusia adalah ukuran dari segala hal….”,27

saat ini secara praktis dianggap

sebagai “Manusia Barat adalah ukuran dari segala hal; segala yang memang benar sebagai

mana adanya; segala yang tidak benar, dan tidak seperti adanya…”

Dengan itu, bahasa, masyarakat, kebudayaan, ekonomi, dan teknologi China dan

Timur Jauh, India dan Benua Asia, Negara-negara Melayu dan Pasifik, Amerika Latin, Timur

Tengah, dan Afrika telah berubah secara signifikan, yang bahkan dalam beberapa kasus tidak

dapat dikembalikan lagi. Untuk menjadi modern dan beradab dan agar dapat diterima sejajar

dengan Barat, pada dasarnya suatu negara akan menjadi ke-Barat-baratan, sebuah persyaratan

yang sebenarnya diragukan, namun banyak negara non-Barat dan negara muslim yang

tampaknya menerima pandangan semacam itu. Alexander Solzhenitsyn mungkin benar

ketika ia mengamati, dalam pidatonya di Harvard University pada tahun 1978, bahwa

walaupun Jepang masih mempertahankan ciri-ciri ketimuran, tetapi ia tidak lagi menjadi

Negara Timur Jauh (Far East), tetapi lebih menjadi Barat Jauh (Far West) -- (A World Split

Apart).28

25

Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Petaling Jaya: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1978) ) hal. 25. Setelah ini disingkat ‘IS’. Martin Jacques menulis sekitar 40 tahun terakhir, “Hitherto the world has been characterized by Western hubris—the Western conviction that its values, belief systems, institutions and arrangements are superior to all others. The power and persistence of this mentality should not be underestimated.” Martin Jacques, When China Rules the World (London: Penguin Books, 2009) hal. 167.

26 Ninay Lal, Empires of Knowledge, Introduction dan bab 1; lihat juga Syed Farid Alatas, Alternative Discourses in Asian Social Sciences: Responses to Eurocentrism (New Delhi: Sage Publications, 2006).

27James L Jarrett, Educational Philosophy of the Sophists (New York: Teachers College/Columbia University Press, 1965).

28 Alexander I Solzhenitsyn, A World Split Apart (London: Harper and Row, 1978).

8

Kolonisasi memainkan peran penting dalam konsepsi dan sifat Perguruan Tinggi di

semua negara yang baru merdeka, dalam arti bahwa meskipun banyak diantaranya yang

didirikan sebelum kemerdekaan, namun keberadaan mereka hingga kini -- dan pembentukan

Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi yang baru -– dibuat untuk melayani kepentingan

modernisasi bangsa negara baru dengan dibentuk sesuai dengan pola yang "benar" ala Barat.

Perkembangan ekonomi negara-negara "belum berkembang" ini dipaksa untuk mengikuti

dengan ketat semua tahapan Rostowian yang memungkinkan modernisasi termasuk

penerapan semua lembaga yang memungkinkan pencapaian tersebut di Barat, termasuk

Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi.29

Sejak tahun 1950an, beberapa ilmuwan dari berbagai

bangsa seperti Franz Fannon, pada Black Skin, White Masks (1952), Jalal Ale Ahmad, pada

The Occidentosis: Plague from the West (1952), Aime Cesaire, pada Discourse on

Colonialism (1955), Albert Memmi, pada The Colonizer and the Colonized (1957), mengutip

hanya empat ilmuwan tersebut, telah dapat mendokumentasikan bagaimana munculnya

perspektif Barat yang sekaligus memiskinkan bangsa lain, dan dengan demikian melakukan

tindakan merugikan bagi kemajuan manusia secara keseluruhan dan pembangunan di

berbagai belahan dunia. Aspek terburuk dari efek ini adalah apa yang telah dengan tepat

digambarkan oleh Syed Husin Alattas sebagai "captive mind".30

Sejak tahun 1970-an telah

dilakukan banyak diskusi serius mengenai dilakukannya de-westernisasi, dan pada negara-

negara bekas jajahan Barat – Amerika Latin, India, Afrika, dan Dunia Islam secara

keseluruhan – dilakukan dekolonisasi, sebuah proses yang masih dalam masa pertumbuhan.31

Sejak tahun 1970-an, gerakan Ilmu Pengetahuan Pribumi (Indigenous Knowledge

Movement), terutama di Amerika Utara, yang berusaha untuk menawarkan sebuah sistem

alternatif bagi pendidikan dan ilmu pengetahuan selain yang ditawarkan Eropa, menerima

penghargaan dan pengakuan internasional. Pada tahun 1990-an, gerakan ini telah

menghasilkan wacana dekolonisasi dan memikirkan kembali pendidikan bagi masyarakat

pribumi. Secara konseptual, pengetahuan asli menggarisbawahi orientasi teoritis dan

metodologis dari kerangka Eropasentris dan merekonseptualisasi ketahanan dan kemandirian

masyarakat pribumi, dan menitikberatkan pada orientasi agama, filsafat, dan pendidikan

mereka sendiri. Maka, ia mengisi ruang kosong antara etika dan ilmu pada ilmu dan

penelitian yang bersifat Eropasentris; dan juga menciptakan suatu keseimbangan baru dan

sudut pandang yang segar, untuk dapat menganalisa pendidikan yang bersifat Eropasentris

dan pedagoginya.32

Di antara bangsa-bangsa pertama, masyarakat, setidaknya di Kanada,

29

Roger Dale, “Repairing the Deficits of Modernity”, hal. 18. 30

Syed Husin Alatas, “The Captive Mind and Creative Development”. International Social Science Journal (36) 4: 691-700, 1974. Karya lainnya, The Myth of the Lazy Native (1977), dan Intellectuals in Developing Societies (1977) juga relevan.

31 Untuk konteks Malaysia, dapat dilihat misalnya, Mohamad Daud Mohamad dan Zabidah Yahya, (Compilers), Pascakolonialisme Dalam Pemikiran Melayu (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2005), dan Rahimah A. Hamid, Fiksyen Pascakolonial: Yang Menjajah dan Dijajah (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2010); untuk Indonesia, lihat Nyoman Kutha Ratna, Postkolonialisme Indonesia: Relevensi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).

32 Marie Battiste, “Indigenous Knowledge: Foundations for First Nations”, World Indigenous Higher Education Consortium Journal 2005, hal. 2-3. Http://www.win-hec.org/=node/34.. Lihat juga Evangelia Papoutsaki, “De-Westernizing Research Methodologies: Alternative Approaches to Research for Higher Education Curricula in

9

telah memainkan peranan yang sangat penting dalam kapasitas bersama yang dapat

mengentaskan kemiskinan dan menciptakan pembangunan berkelanjutan.33

Banyak ilmuwan di tahun 1990-an, seperti Subaltern Study Group (SSG) terhadap

Amerika Latin, mengembangkan kritik-kritik intelektual dan segala hal yang terkait

denganya. Tapi, kerangka kerja mereka pada dasarnya masih diambil dari, dan dipengaruhi

oleh analisa post-strukturalis dan post-modern yang merupakan produk intelektual Barat.

Sementara kelompok berpengaruh lainnya, yang terpengaruh oleh karya-karya Ranujit Guha,

berusaha untuk mengkritik perspektif pendidikan Barat dari perspektif non-Barat dan

sebagian besar dalam perspektif India, dengan menyajikan kritik post-kolonial. Yang

dimaksudkan SSG dengan kritik post-modern (post-modern critique), adalah sebuah kritik

Erosentris atas Erosentrisme. Sedangkan kritik post-kolonial (postcolonial critique) mereka

dimaksudkan sebagai kritik Erosentrisme dari perspektif subaltern dan kerangka

pengetahuan yang tidak dikembangkan. Walaupun demikian, masih ada pendapat-pendapat

lain, seperti dari Ramon Grosfuguel, yang menyampaikan “kebutuhan untuk mendekolonisasi

tidak saja ilmu-ilmu Subaltern, tetapi juga ilmu-ilmu post-kolonial”. 34

Yang lain, seperti

Nelson Maldonado-Torres, mengimbau untuk dilakukannya diversalitas radikal dan

dekolonialisasi geopolitik ilmu. Sementara beberapa lainnya, seperti Vinay Lal,

mengusulkan perspektif Gandhi dalam menangani perbedaan pendapat intelektual terhadap

Barat. 35

Afrika dan Cina

Para cendekiawan Afrika telah menganalisis peran Perguruan--perguruan tinggi di

Afrika dalam westernisasi dan kemudian menawarkan beberapa pandangan dalam menangani

tantangan yang meluas. Ali Mazrui, sebagai contoh, telah mengamati bahwa Perguruan

Tinggi di Afrika sejak tahun 1960-an telah berfungsi sebagai suatu korporasi multinasional.

Perkembangan ini menjadi lebih diintensifkan dan meluas.36

Ia berpendapat perlunya

diadakan suatu agenda dekolonisasi dari proses modernisasi, namun tidak dengan

mematikannya.37

Ia mengamati, dengan nada keheranan, bahwa “Sebagian besar analis

pengembangan Afrika telah menekankan ketergantungan ekonomi; sedikit perhatian terhadap

sastra atau dalam forum-forum kebijakan diberikan pada isu-isu cultural dependency

(ketergantungan kultural)”.38

Ia berpendapat bahwa walaupun sarjana perguruan tinggi Afrika

memainkan peran kunci dalam pembebasan politik nasional dari imperialis Barat, mereka,

tanpa menyadari telah melanggengkan ketergantungan budaya dan intelektual, setelah

Developing Countries”. Dipresentasikan pada Global Colloquium of the UNESCO Forum on Higher Education, Research and Knowledge. Paris, 29 Nov-1 Des. 2006.

33 Marie Battiste, “Indigenous Knowledge”,hal.3; Lihat juga McConaghy, Cathryn, Rethinking Indigenous Education: Culturalism, Colonialism and the Politics of Knowing. (Flaxton, Qld: Post Pressed, 2000).

34 Grosfuguel, “Decolonizing Political-Economy”, hal.3.

35 Nelson Maldonado-Torres, “The Topology of Being and the Geopolitics of Knowledge: modernity, Empire, Coloniality” CITY, vol 8, no 1 April 2004; Ninay Lal, Empires of Knowledge.

36 Ali A. Mazrui, “The African University as a Multinational Corporation: Problems of Penetration and Dependency.” In Philip G. Altbach and Gail P. Kelly, eds. Education and Colonialism (New York and London: Longman, 1978).

37 Ibid, hal. 333, and 341.

38 Ibid, hal. 332.

10

kemerdekaan.39

Ia berpendapat bahwa “suatu pemikiran baru dan tegas diperlukan” untuk

menangani berbagai aspek ketergantungan.40

Perguruan tinggi adalah sebuah institusi kultural yang melibatkan keahlian-keahlian

(skills) dan nilai-nilai (values), dan harus secara berkesinambungan menilai ulang dirinya

sendiri atas program-program dan orientasi-orientasinya, apakah tetap relevan secara praktis

dan kultural. Ia mengakui bahwa beberapa perbaikan memang telah dilakukan dalam aspek-

aspek teknis, tetapi tidak dalam ilmu-ilmu sosial (yang telah mengubah beberapa konten

walaupun bukan metodologinya), terutama dalam mengenali elemen-elemen lokal seperti

penggunaan tradisi-tradisi oral.41

Ia memperingatkan: “Jika orang-orang Afrika tidak secara

drastis mengubah metodologi-metodologi asing agar sesuai dengan kondisi masyarakat

Afrika, mereka tidak akan dapat maju lebih jauh pada alur substitusi budaya impor.”42

Mazrui menyarankan agar pemikir-pemikir Afrika mengembangkan “strategi bergigi

tiga” (three-pronged strategy) dalam menangani tantangan-tantangan modernitas Barat dan

untuk memulai Afrikanisasi. Yang pertama adalah domestikasi dari modernitas dalam tiga

wilayah kunci seperti persyaratan masuk perguruan tinggi dan implikasinya terhadap tingkat

pendidikan yang lebih rendah, kriteria -- untuk persyaratan staf akademis -- dan organisasi

perguruan tinggi. Semua ini harus mencerminkan bakat dan kebutuhan non formal yang

memenuhi syarat dari suku asli. Namun demikian, ia mengkritik Gerakan Negritude dari

Leopold Senghor, mantan President Senegal, yang mengagung-agungkan tradisi-tradisi

Afrika yang tidak memiliki maksud yang jelas dan tidak ilmiah, dan keilmuan Marxis Afrika.

Kedua, diversifikasi muatan budaya modernitas yang menyertakan keduanya, muatan lokal

dan muatan asing non-Barat seperti yang berasal dari Timur dan Timur Tengah. Dan ketiga,

kontra penetrasi elemen-elemen dan ide-ide Afrika ke dalam peradaban Barat. Ia menekankan

bahwa domestikasi dan diversifikasi tidak akan dapat berhasil sepenuhnya hingga Afrika

sendiri dapat mempengaruhi Barat. Ia menyarankan bahwa hal ini dapat terjadi dengan

adanya hubungan dengan dunia Arab melalui pengaruh Dunia Arab terhadap Barat karena

minyak, dan melalui ikatan Afrika dengan Afro-Amerika yang merupakan komunitas orang-

orang Afrika terbesar kedua di dunia.43

Mazrui menyimpulkan bahwa pendewasaan penuh dari pendidikan Afrika akan dapat

hadir hanya melalui kapasitas yang independen dan inovatif, yang melibatkan tiga pekerjaan:

menyeimbangkan pengaruh Barat dengan budaya aslinya sendiri; mengijinkan peradaban

non-Barat dihargai oleh elit-elit pendidikan; dan mengubah lingkungan pendidikan dan

intelektual Afrika untuk dapat menghasilkan kreativitas asli. Maka setelah itu modernitas

tidak saja dapat di-dekolonisasi, atau dipartisipasi, tetapi dapat didefinisikan bagi generasi

yang akan datang.44

Ilmuwan-ilmuan dan filsuf-filsuf Afrika terdahulu telah secara aktif

mempelajari subjek-subjek ini selama beberapa waktu, sebagaimana dapat dilihat dari kerja,

39

Ibid, hal. 334, 338-341. 40

Ibid, hal. 341. 41

Ibid, hal. 342, 344. 42

Ibid, hal. 344. 43

Ibid, hal. 346-352. 44

Ibid.

11

misalnya, Okot p’Bitek, Thing’o, Chinwenzu dan Wiredu.45

Wiredu, sejak 1980, sebagai

contoh, telah melaksanakan suatu program yang ia sebut sebagai “ dekolonisasi konseptual

atas filosofi Afrika” (conceptual decolonization of African philosophy) yang melibatkan

“domestikasi bidang-bidang ilmu” (domestication of disciplines).46

Wacana dan perhatian yang serius ini terus berlanjut dengan publikasi berbagai karya,

sebagaimana diindikasikan oleh suatu publikasi khusus “African Philosophy of Education”,

pada edisi terbaru jurnal ini, Educational Philosophy and Theory, dimana semua kontributor

berpendapat adanya kebutuhan untuk, dan relevansi beberapa elemen filosofi tradisional

Afrika dalam pendidikan modern Afrika, maka:

“Usaha Afrika berabad-abad untuk menaklukan eksploitasi kolonial, mulai

dari perbudakan hingga menciptaan struktur sosial ekonomi dimasa kolonial

yang dirancang sepenuhnya hanya untuk memperoleh hasil dan ekspor yang

maksimum atas bahan-bahan baku, mendatangkan kerusakan serius yang tetap

tampak bertahun-tahun setelah kehancuran pemerintahan kolonial. Hal ini

dapat tercapai ... melalui berbagai macam pengaturan, termasuk filsafat

pendidikan, kurikulum dan praktek-praktek yang berhubungan dengan

pemerintahan kolonial yang berkuasa. Untuk mengatasi keadaan ini, sistem

ilmu pengetahuan asli Afrika memiliki tujuan utnuk memperbaiki prinsip-

prinsip humanistis dan etis dengan menancapkannya pada worldview Afrika,

dan lebih khusus pada konsep communality dan ubuntu. Sistem-sistem ini

juga… merupakan upaya untuk mengembangkan baik visi dan praktik

pendidikan yang meletakkan dasar bagi orang-orang Afrika untuk

berpartisipasi dalam menguasai dan mengarahkan jalannya perubahan dan

memenuhi visi belajar untuk tahu, belajar untuk melakukan, belajar untuk

menjadi, dan belajar untuk hidup bersama sebagai sama dengan orang lain.

Wacana semacam ini dalam pendidikan, pengetahuan dan pandangan pikiran

bukan sebagai komoditas, bukan hanya sumber daya manusia untuk

dikembangkan dan dieksploitasi, dan kemudian dibuang, tetapi sebagai harta

yang akan dibudidayakan untuk meningkatkan kualitas hidup dari baik bagi

individu maupun masyarakat.” 47

45

Lihat juga Nwa Thiong’o, Decolonizing the Mind: The Politics of Language in African Literature (Portmouth: Heinemann, 1986), Chinweizu, Decolonizing the African Mind (Lagos: Pero, Press, 1987), N wa Thiong’o, Moving the Centre: the Struggle for Cultural Freedom (London: James Currey, 1993), Wiredu, Cultural Universals and Particulars: An African Perspective (Indianapolis: Indiana University Press, 1996).

46 Kwasi Wiredu, “Toward Decolonizing African Philosophy and Religion”. African Studies Quarterly. The Online Journal for African Studies. Html:file://G:\Decolonizing%20African%20Philosophy%20and%20Religion.mht. diunduh 21 July 2008.

47

Phillip Higgs, "African Philosophy and the Decolonisation of Education in Africa: Some Critical Reflections". In Educational Philosophy and Theory. Special Issue. African Philosophy of Education. Guest editors, Yusef Waghid and Paul Smeyers. vol 44, no S2, Sept 2012, pp 48-49. Saya ingin berterima kasih pada Prof Yusef Waghid yang telah mengirimkan salinan jurnal ini.

12

Seperti halnya Afrika, Cina dan India juga memiliki tradisi ilmiah dan intelektual

yang panjang, meskipun dengan pandangan alam filosofi keagamaan yang berbeda.

Perkembangan pendidikan tinggi mereka sangat mengesankan; tetapi, sebagaimana diamati

oleh ahli Pendidikan Internasional dunia, Philip G. Altbach, “Sebagaimana halnya negara-

negara berkembang pada umumnya, kedua negara (Cina dan India), tidak memanfaatkan

tradisi keilmuan dan budaya asli mereka yang kaya.”48

Dalam teori komunikasi, sebuah

bidang ilmu sosial yang baru, disebutkan bahwa “…Ilmuwan Asia dapat memberikan

kontribusi yang signifikan dalam me-universalkan komunikasi/ ilmu sosial dengan memberi

penjelasan kompleksitas sains dalam kaitannya dengan wawasan yang tertanam dalam

Budisme, Konfusianisme, Taoisme dan Hinduisme, diantara yang lainnya.”49

Cina modern, negara terbesar di dunia dan salah satu negara terkemuka dalam

ekonomi dan politik global, senantiasa sadar akan peran khusus dari insitusi Pendidikan

Tinggi terhadap kepentingan nasional dan globalnya. Dalam Project 211 yang diluncurkan

tahun 1995, yang dikatakan sebagai “kunci terbesar dalam program konstruksi Pendidikan

Tinggi dalam sejarah negara Cina” 50

dan kemudian dalam “The Action Plan for Rejuvenating

Education for the 21st Century” yang diluncurkan tahun 2001, strategi dan pengembangan

akselerasi Pendidikan Tinggi senantiasa dikaitkan dengan pembangunan ekonomi,

perkembangan sosial, dan keamanan nasional. 51

Sementara pendidikan tinggi di Cina terus berupaya mengembangkan kapasitas

teknologi ke tingkatan tertinggi, penekanan pada promosi reset dalam filsafat dan ilmu-ilmu

social juga ditempatkan sebagai “tugas strategis dan mendesak” (urgent strategic task).52

Berbagai rencana dan proposal dalam skala besar dihasilkan untuk membentuk apa yang

disebut sebagai “socialism with Chinese characteristics”.53

Ia menegaskan:

“Proposal-proposal itu memerlukan penguatan pengembangan penelitian, baik yang

tradisional, baru, antar-disiplin, maupun yang basis atau aplikatif… imbauan untuk

proyek –proyek penelitian yang memiliki konsekuensi semua aspek pengembangan

filsafat dan ilmu-ilmu sosial, dan proyek-proyek yang memiliki pengaruh kritis pada

48

Philip G. Altbach, “One-third of the Globe: The Future of Higher Education in India and China”, Prospects (2009) vol. 39, hal. 13.

49 Shelton A. Gunaratne, “De-Westernizing Communication/Social Science Research: Opportunities and Limitations”. Media, Culture & Society. Vol 32, no 3, 2010, hal. 474-475. Downloaded from MCS Sagepub.com at University of Colorado on August 25, 2011. Lihat juga S. A. Gunaratne, “Buddhist Goals of Journalism and the News Paradigm”. Javnost-The Public, vol 16, no 2, hal. 61-75; C.Y. Cheng, “Chinese Philosophy and Contemporary Human Communication Theory”, dalam D.L. Kincaid, (ed) Communication Theory: Eastern and Western Perspectives. (San Diego: Academic Press, 1987) hal. 23-43; dan Y. Ito, “Mass Communication Theories from a Japanese Perspective”, Media, Culture and Society vol 12, 1990, hal. 423-264.

50 Zhou Ji, Higher Education in China (Singapore: Thomson, 2006), p. 37. Mr Zhuo Ji adalah Menteri Pendidikan

Tinggi China. 51 Ibid, hal. 44-45. 52 Ibid, hal. 128. 53 Ibid, hal. 132.

13

inovasi-inovasi berbagai disiplin ilmu, pada pengembangan spirit dan budaya

nasional, pada pengembangan sosial-ekonomi, dan pada keamanan nasional.” 54

Cina berkeinginan menjadi masyarakat yang sejahtera di semua bidang pada 2020 dan

“adalah tugas pendidikan tinggi untuk mencapai tujuan ini dengan cara mempercepat

pengembangan manusia dan masyarakat yang komprehensif dan mengalihkan beban

penduduk yang besar menjadi sumber daya manusia yang menguntungkan.55

Pada tahap awal

abad ke-21, universitas-universitas di Cina telah mengembangkan “model-model Cina yang

unik dalam mengkombinasikan pendidikan, penelitian, dan industri” 56

sebagaimana

melakukan kerjasama dengan “perusahaan-perusahaan local untuk memberikan kontribusi

pada pembangunan local,” merancang organisasi-organisasi perkembangan sains dan

teknologi untuk mengelola proyek-proyek kerjasama dengan berbagai perusahaan;

mengenalkan modal ventura untuk menginkubasikan dan mengembangkan hasil-hasil

penelitian universitas lebih jauh; mempromosikan dan menyebarkan hasil-hasil penelitian

melalui berbagai pusat penelitian; mengembangkan perusahaan-perusahaan high-tech di

universitas untuk memaksimalkan hasil-hasil penelitian, dan membangun jaringan

universitas sains dan teknologi untuk mendorong kerjasama antara universitas dan

perusahaan.57

Indikasi tentang gambaran unik pendidikan di Universitas Cina lainnya adalah bahwa

perkembangan kesehatan moral dan mental mahasiswa dipantau secara cermat, sekurang-

kurangnya di tingkat pendidikan S1. Setiap kelas mempunyai seorang pembimbing dan

asisten untuk memonitor dan membimbing studi dan kehidupan mahasiswa, cara berfikir,

kecenderungan psikologis dan kesehatan mereka.58 Zhuo Ji menyatakan bahwa universitas-

universitas di Cina telah menjadi penyebar budaya Cina, baik di dalam maupun di luar

negeri.59 Lebih dari 292 lembaga-lembaga Konfusius yang disponsori Pemerintah telah

dibentuk. Lembaga-lembaga ini menyediakan pengajaran bahasa Cina dan program budaya

untuk mahasiswa asing, telah dibentuk. Pada tahun 2007, ada lebih dari 200.000 mahasiswa

asing di Cina, dan lembaga-lembaga Konfusius ini direncanakan akan meningkat menjadi

1000 pada tahun 2025.60

Meningkatnya pengaruh Cina di dunia, terutama di Afrika, telah menyebabkan

keprihatinan di Barat- terutama di Amerika Serikat. Hillary Clinton, mantan Menteri Luar

Negeri AS, belum lama ini memperingatkan terhadap "penjajahan baru" di Afrika ketika ia

berbicara di Lusaka Zambia selama kunjungan kenegaraannya. Dia memperingatkan Afrika

tentang kepentingan ekonomi baru dan aktivitas Cina di Benua (Afrika).61

54 Ibid, hal. 132. 55 Ibid, hal. 276. 56 Ibid, hal. 140. 57

Ibid, hal. 140. 58

Ibid, hal. 166. 59

Ibid, hal. 133. 60

Philip G. Altbach, “The Future of higher Education in China and India”, hal. 18—19. 61

Reuters. Saturday, June 11th, 2011. Clinton warns against “new colonialism” in Africa.

14

Merupakan pendapat yang benar bahwa penting bagi warga demokrasi liberal Eropa

untuk memahami suara-suara alternatif dan bahkan tidak setuju dengan yang lain, yang

tidak hanya akan memperlambat roda neo-kolonialisme, tetapi yang lebih penting, akan

membuat orang Barat memahami bagaimana mitos superioritas mereka telah merusak diri

mereka sendiri sehingga mereka berusaha untuk membuat dunia yang lebih baik. Mereka

mungkin bisa mulai menangani ekses mereka sendiri; mempertanyakan lembaga dan gaya

hidup mereka sendiri; sebelum memutuskan suatu tindakan yang benar bagi

bangsa/masyarakat lain.”62 Kesadaran akan fakta bahwa penafsiran Barat tentang realitas

mungkin bukan satu-satunya yang sah, tercermin dalam dokumen penting dalam wacana

publik Amerika modern, Piagam Williamsburg, yang ditandatangani pada bulan Juni 1988.

Piagam itu mengakui "Kesadaran filosofis dan budaya yang berkembang, bahwa semua

orang hidup dengan komitmen dan cita-cita, bahwa netralitas nilai adalah sesuatu yang

mustahil dalam mengatur masyarakat; dan bahwa kita berada di tepi momen yang

menjanjikan untuk menilai kembali tentang pluralisme dan kebebasan."63

Bahwa, setiap aktivitas manusia yang penting didasarkan pada satu perangkat

tertentu dari orientasi keagamaan, filsafat dan budaya telah menjadi lebih diterima. Yang

sama pentingnya, jika tidak lebih, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai wacana

dewesternisasi dan dekolonisasi di atas dan di tempat lain, adalah kenyataan bahwa konsep

Barat tentang modernitas dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya telah sengit

diperdebatkan. Kini, sebuah tantangan yang lebih besar terhadap Barat setelah Perang

Dingin, bukanlah “terorisme Islam”, tetapi suatu era yang disebut Martin Jacques sebagai

"Era modernitas yang Diperdebatkan" yang menghasilkan dunia dalam beberapa

modernitas.64 Di antara banyak isu-isu kunci, menurut Jacques, ide-ide yang berkaitan

dengan makna kemajuan, pengembangan, dan peradaban tidak akan lagi identik dengan

Barat.65

Seorang pakar Cina kontemporer terkemuka, Huang Ping, dengan percaya diri

menekankan perbedaan mendasar antara peradaban Cina dan Barat dan seseorang akan

berpendapat bahwa, "Praktek Cina sendiri mampu menghasilkan alternatif konsep, teori,

dan framework yang lebih meyakinkan.”66

Ulrich Beck, seorang sosiolog di University of Munich dan London School of

Economics, dalam sebuah wawancara baru-baru ini, berbicara tentang bagaimana

kesuksesan besar Modernitas Eropa pertama dari abad ke-18 hingga tahun 1960-an dan

1970-an, kini telah menghasilkan konsekuensi dan dampak yang tak terjawab, seperti

perubahan iklim dan krisis keuangan. Dia menambahkan dengan sindiran, "Krisis keuangan

adalah contoh kemenangan interpretasi spesifik dari modernitas: modernitas neo-liberal

62

Peter Cox, “Globalization of What?”, hal. 6. 63

The Williamsburg Charter: A Celebration and Reaffirmation of the First Amendment. In Os Guinness, The Case for Civility and Why our Future Depends on It. HarperCollins e-books, 2008, hal. 178.

64 Jacques, When China Rules the World, hal. 166-167.

65Ibid, hal. 167.

66 Dikutip dari Ibid, hal. 129.

15

setelah keruntuhan sistem komunis, yang menyatakan bahwa pasar adalah solusi dan

semakin kita meningkatkan peran pasar, semakin baik. Tapi sekarang kita melihat bahwa

model ini telah jatuh dan kita tidak memiliki jawaban." Menurutnya, " ... modernitas Eropa

adalah proyek bunuh diri ... Menciptakan modernitas kembali bisa menjadi tujuan khusus

untuk Eropa.”67

Dunia Arab

Seperti yang telah saya bahas sebelumnya, dunia Arab secara agresif memulai

modernisasi lembaga pendidikan tinggi dengan mengadopsi model pendidikan Barat,

terutama Anglo-Amerika. Erat terkait dengan hal ini adalah proyek Arab yang berusaha

untuk mengurangi kesenjangan defisit pengetahuan antara belahan dunia tersebut dan

daerah yang lebih maju dengan menciptakan dan memelihara lingkungan (dan lembaga)

yang mendukung, serta pribumisasi pengetahuan.

The Arab Knowledge Report 2009 mengakui, meskipun tampaknya tanpa rasa

bangga: "Seperti halnya dengan bangsa-bangsa lain di dunia, orang-orang Arab selama

sejarah mereka telah membangun sebuah saham besar pengetahuan yang mengekspresikan

cara hidup dan keterampilan mereka dalam pekerjaan dan produksi."68 Tapi ini tidak

membantu mereka untuk mendapatkan keuntungan dari kemajuan teknologi, atau

mempribumikan media baru dan mekanisme yang akan memungkinkan mereka untuk

mengakses bentuk-bentuk baru pengetahuan.69

Laporan ini menunjukkan bahwa orang-orang Arab mentransfer dan

mempribumikan semua produk modern dari masyarakat ilmu pengetahuan dengan

"pengembangan bahasa Arab, revitalisasi pemikiran Arab serta adopsi dari prasyarat sejarah

dan perbandingan pemikiran modern.”70 Pribumisasi "adalah operasi gabungan yang

menggabungkan pengalihan, terjemahan, pendidikan, pelatihan dan semua aktivitas yang

mengubah apa yang ditransfer ... menjadi tindakan berakar yang baik.... (yang

membutuhkan) pembinaan mentalitas baru yang mampu beradaptasi dengan mekanisme

baru dari pekerjaan dan produksi.”71

Ini melibatkan penyalinan dari karakter substantif lokal, spesifik, dan Arab, menuju apa yang ditransfer, baik selama proses maupun setelahnya, sehingga informasi yang ditransfer menjadi terpadu secara organis dengan struktur masyarakat yang menerima.72 Hal ini memerlukan sikap mental keterbukaan dan inter-komunikasi. Dan ini mengandaikan sebuah reformasi budaya dan pendidikan. Hal tersebut mengkIaim bahwa pra-persyaratan konseptual dari revolusi pengetahuan tentang sifat manusia dan alam masih kurang di dunia

67

Ulrich Beck, “Germany Has Created An Accidental Empire”, Social Europe Journal, 25/3/2013, diakses pada 30/3/2013. 68

Arab Knowledge Report 2009, hal. 223-224. 69

Ibid, hal. 224. 70

Ibid, hal. 228. 71

Ibid, hal. 229. 72

Ibid, hal. 232.

16

Arab.73 Di seluruh teks The Arab Knowledge Report 2009, tidak dijelaskan bagaimana budaya

Arab dan warisan epistemologis, yang dipengaruhi oleh agama Islam, bisa membantu proses pribumisasi dan pengembangan pengetahuan masyarakat. Menarik untuk membandingkan dengan para sarjana dan pemikir Afrika seperti yang dikutip di atas -- meskipun keragaman yang lebih besar di antara para sarjana dan pemikir Afrika -- Arab terlihat tidak peduli dengan memanfaatkan elemen epistemologis dan pendidikan tradisional Arab-Islam dalam pembangunan manusia mereka. Sebaliknya, di akhir Laporan 2010/2011, sangat jelas disarankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan masyarakat melalui pengembangan pendidikan, "Apa yang dibutuhkan adalah untuk membuat lompatan kuantum dari 'pedagogi tradisional' yang berlaku dalam sistem pendidikan di kawasan Arab dan yang didasarkan pada hafalan dan dikte menjadi 'pedagogi konstruktif'".74 Pedagogi alternatif ini memiliki empat komponen yang bisa diidentifikasi, yaitu pusat pembelajaran siswa (student centered learning), evaluasi siswa yang komprehensif (comprehensive student evaluation), kerja informasi dan teknologi komunikasi dalam proses belajar mengajar, dan pendekatan yang fleksibel dalam proses belajar mengajar sesuai dengan pendidikan kontemporer dan bidang ilmiah, kehidupan siswa, dan lingkungan sosial mereka.75

Laporan 2010/2011 mengakui pentingnya peran agama dalam membentuk kehidupan pribadi dan sosial, serta membagi kepekaan agama pada dua perspektif kontras, ekstrimis dan yang tercerahkan secara etik. Perspektif ekstrimis yaitu "menolak ilmu pengetahuan, mengabaikan toleransi, menolak relativitas, [yang mengarah ke] ...penolakan metode ilmiah dan merusak ilmu pengetahuan, yang membatasi kebebasan berpikir, kreativitas, prioritas dialog, dan pengalaman sebagai pembangkit ilmu pengetahuan.”76

Di sisi lain, perspektif yang tercerahkan secara etik menekankan pada pembangunan etika ilmu pengetahuan, mengembangkan dan mereformasi wacana agama, dan menanamkan nilai-nilai penelitian, integritas ilmiah, obyektifitas evaluasi, dan kerja keras.

Mendukung 'keraguan metodis' dalam meneliti dan mengevaluasi pengetahuan berdasarkan kreativitas dan berpikir kritis.Sebuah sistem pendidikan keagamaan baru yang diperlukan pada semua tahap, di mana kegiatan-kegiatan teoritis, ilmiah dan penelitian memenuhi tuntutan zaman.

Laporan (2010/2011), tanpa kualifikasi peringatan, mendesak keluarga dan semua media massa modern "untuk mengadopsi pola-pola pengembangan tertentu yang didasarkan pada penghormatan terhadap intelektual dan pluralisme agama, serta pernghormatan terhadap kepercayaan dan etika masyarakat berilmu pengetahuan: kebebasan, ko-eksistensi, keadilan, keselamatan, kepercayaan, etika lingkungan, informasi, internet, teknologi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan.”77 Situasi ini kontras dengan perkembangan di Turki dalam dekade ini, dan di Malaysia sejak lima dekade terakhir, yang telah sangat berhasil dalam memproyeksikan modernitas dengan pengaruh agama yang moderat. Fethullah Gulen, salah satu pemikir kontemporer Turki yang paling berpengaruh, yang mencetuskan gagasan pembangunan ratusan proyek pendidikan dan kemanusiaan, termasuk lebih dari 20 universitas di berbagai belahan dunia,

73

Ibid, hal. 253. 74

Arab Knowledge Report 2010/2011, hal. 43. 75

Ibid, pp 43-44. 76

Ibid, hal. 55. 77

Ibid, hal. 56.

17

merefleksikan kepercayaan pendidikan ini ketika ia mengatakan: “Asal usulnya [yakni sistem pemikiran kami] adalah pasti dan dikenal, bercahaya serta berdasarkan dan berhubungan dengan kebenaran yang diciptakan. Jika sebuah penafsiran seperti yang dipahami dalam ruh dan esensinya, maka akan mungkin bahkan hingga pada saat ini untuk mengedepankan dan mewujudkan sistem pemikiran kita sendiri, yang hasilnya akan membawa pembaharuan yang serius di seluruh dunia, membuka lebih banyak jalan dan rute untuk semua orang.”78

Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Beberapa pemikir Muslim yang serius, terutama yang dipimpin oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang telah memahami dasar-dasar perbedaan ontologis, epistemologis, etika dan budaya antara Islam dan Barat sekuler yang dominan—telah meluncurkan wacana serius dewesternisasi dan dekolonisasi melalui proyek intelektual Islamisasi pengetahuan kontemporer, yang berpusat di universitas.79 Konsepsi intelektual tentang Islamisasi pengetahuan masa kini, memang merupakan salah satu kontribusi paling revolusioner dan orisinal dalam pemikiran Muslim modern. Hal ini karena pemikiran Muslim modern telah terperangkap dalam rawa-rawa dan tawanan intelektual dalam dilema yang melemahkan antara tampilan indah dari hasil ilmu dan teknologi modern sekular yang tersebar, dan antara kekakuan mutlak dan kebangkrutan pemikiran tradisional itu sendiri, seperti yang telah dikonsep dan disajikan oleh para ahli hukum dan teolog. Meskipun konsepsi Islamisasi pengetahuan kontemporer sebagai ide intelektual dan metode epistemologis merupakan prestasi kontemporer, praktek Islamisasi pengetahuan yang aktual dimulai dengan wahyu pertama dalam ajaran Islam dan berlanjut sepanjang abad, meskipun dengan derajat keberhasilan yang berbeda.80

Konseptualisasi intelektual formal dalam proses Islamisasi, dimana umat Islam dapat melakukan kritik secara tepat dan memperoleh manfaat dari budaya dan peradaban lain, belum pernah dilakukan sampai abad ini. Tampaknya, kesadaran bahwa sains Barat modern adalah ateis secara alami dan oleh karena itu perlu diislamkan, pertama kali terdengar di awal tahun 1930-an, melalui Dr. Sir Muhammad Iqbal yang tidak menjelaskan atau mendefinisikan gagasannya.81 Syed Hosen Nasr, pada tahun 1960 secara implisit menunjuk metode Islamisasi sains modern dengan menyarankan bahwa yang terakhir harus ditafsirkan

78

M. Fethullah Gulen, The Statue of Our Souls: Revival in Islamic Thought and Revivalism (New Jersey: Tughra, 2009) , hal. 139.

79 Syed Muhammad Naquib al-Attas, IS,chap v: De-Westernization of knowledge. Buku yang berpengaruh ini dibaca luas dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, seperti Arab, Turki, Persia, Benggali, Malayalam, Serbia-Kroatia, Kosovo, dan Indonesia. Bab ini dimuat dalam Jeniffer M. Webb, Powerful Ideas: Perspective on Good Society. 2 vols (Victoria: The Cranlana Programme, 2002) 1: 229-240. Untuk pembahasan lebih detail tentang tema Islamisasi pengetahuan masa kini seperti yang diuraikan oleh al-Attas and Ismail R. al-Faruqi, Seyyed Hossein Nasr dan lain-lainnya, silahkan melihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, bab 6 dan 7.

80 Untuk penjelasan yang baik tentang proses pengembangan berbagai ilmu agama dan non-agama dalam Islam dari kerangka konseptual Islam dari zaman awal, silahkan melihat Alparslan Acikgenc, Scientific Thought and Its Burdens, esp. chaps 4 and 5; and idem, Islamic Scientific Tradition in History (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Understanding Malaysia, 2012); lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, Educational Philosophy, hal. 316-369.

81 Dikutip dari K.G. Saiyidain, Iqbal’s Educational philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1942) hal. 99

18

dan diterapkan dalam "konsepsi Islam tentang kosmos".82 Ismail R. al-Faruqi -- yang diuntungkan dari tulisan al-Attas -- dan International Institute of Islamic Thought (IIIT) kemudian mempopulerkan agenda Islamisasi ke banyak bagian dunia Muslim.83 Namun, Islamisasi pertama kali dan paling meyakinkan didefinisikan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai berikut:

“…membebaskan manusia pertama-tamanya dari tradisi magis, mitos, animistik, kultur nasional, lalu membebaskan dari jeratan sekular yang membelenggu akal dan bahasanya. Orang Islam adalah orang yang akal dan bahasanya tidak lagi dikontrol oleh magis, mitos, animisme dan tradisi nasionalisme dan kulturalnya. Inilah perbedaan antara Islam dan sekularisme … Ia juga membebaskan dari ketundukpatuhan terhadap tuntutan fisik yang condong kepada sekularisme dan ketidakadilan (dan mengabaikan) kebenaran jiwanya, manusia secara fisik condong pada kelupaan terhadap alam sejatinya, mengabaikan tujuan hakikinya dan berlaku tidak adil padanya. Islamisasi adalah proses yang tidak membutuhkan banyak evolusi seperti perpindahan menuju alam aslinya… Jadi, dalam tataran individu, keberadaan islamisasi secara personal mengacu pada apa yang dijelaskan di atas, di mana Nabi saw merupakan contoh tertinggi dan paling sempurna; sedangkan dalam tataran kolektif, keberadaan islamisasi secara sosial dan historis merujuk kepada Komunitas yang berjuang menuju realisasi kualitas moral dan etika kesempurnaan sosial yang dicapai selama zaman Nabi Muhammad saw.”84 Dari definisi di atas, harus dipahami bahwa meskipun Islamisasi pengetahuan

kontemporer yang diperlukan melibatkan proses dewesternisasi yang selektif, namun pada dasarnya merupakan sebuah proses kembali kepada pandangan alam yang metafisik, kerangka epistemik, dan prinsip-prinsip etika dan hukum Islam. Sayangnya, Islamisasi sering direduksi untuk melegalkan atau menegakkan sebagian entitas sosial-politik, dan ilmu pengetahuan secara serampangan disamakan sebatas fakta, keterampilan dan teknologi. Pengetahuan, sebagai unit makna yang saling berkaitan dengan hal-hal yang masuk akal dan dimengerti yang hadir dalam jiwa manusia, atau ketika jiwa hadir padanya, pastilah tidak netral, karena makna tersebut secara organik berkaitan dengan kualitas dan kapasitas jiwa manusia dan dengan pandangan hidupnya.85 Namun, esensi hakiki dari hal-hal atau fakta yang sebenarnya yang merupakan unit makna tersebut bukanlah semata-mata dari imajinasinya, tetapi fakta tersebut adalah realitas objektif dan universal yang ada secara independen dari pikirannya.86

Maka inilah sebabnya bahwa "fakta", keterampilan dan teknologi secara zatnya, berpotensi menjadi baik atau buruk, benar atau salah, dan dengan demikian bisa

82

S.H. Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, Revised edition (London: Thames and Hudson, 1978) hal. xxi-xxii.

83 Ismail R al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan (Washington DC: IIIT, 1982). Untuk pembahasan masa kini yang lebih lanjut tentang konsepsi al-Faruqi tentang agama dan pengetahuan, silahkan melihat Imtiaz A. Yusuf, Al-Faruqi’s Concept of Religion in Islamic Thought (London: I.B.Taurus, 2012).

84 Al-Attas, IS, hal. 41-42.

85 Al-Attas, IS, hal. 154, also idem, The Concept of Education in Islam (Petaling Jaya: Muslim Youth Movement

of Malaysia, 1980), hal. 17. Hereafter, it will be cited as CEII. 86

Al-Attas, Islam and the Philosophy of Science (Kuala Lumpur: ISTAC, 1989) hal. 18-25; setelah ini ditulis ‘IPS’.

19

bermanfaat secara langsung, jika ditafsirkan dan diterapkan secara tepat sesuai dengan kerangka Islam, sehingga dapat membuatnya lebih berarti, adil, dan bijaksana.87

Namun, sayangnya sebagian besar pengetahuan sekarang ini pada dasarnya diyakinkan dan diinterpretasikan oleh Barat dan oleh karena itu sangat kuat dipengaruhi Barat dalam pandangan orang Timur. Karakteristik dominan dari pandangan hidup dan spirit Barat pada dasarnya didasarkan pada empat pilar utama, yaitu sekularisme, dualisme, humanisme, dan tragedi, yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan pemikiran Barat, dan melalui mereka, sebagian besar dari dunia yang sudah terdidik.88 Jadi dewesternisasi dan Islamisasi pengetahuan masa kini mengacu pada proses ganda dengan mengisolasi dan menghapus hal-hal yang tidak Islami ini, hampir sebagian unsur-unsur dan konsep Barat, dan sekaligus menanamkan unsur-unsur dan konsep-konsep Islam ke dalam unsur-unsur dan konsep-konsep baru atau asing. Sebagian unsur-unsur dan konsep-konsep Islam ada yang berkaitan dengan agama (din), manusia (insan), pengetahuan (‘ilm dan ma’rifah), kebijaksanaan (hikmah), keadilan (‘adl), dan tindakan yang tepat (‘amal sebagai adab), di mana pada gilirannya didasarkan pada, dan berhubungan erat dengan konsep Tuhan, Dzat dan sifat-Nya (tauhid), makna dan pesan Al-Qur'an, Sunnah, serta Syariah.89

Meskipun kebanyakan yang telah dibahas di sini secara garis besarnya berhubungan dengan humaniora, tetapi ia juga menyentuh ilmu alam, fisika dan sains terapan, utamanya dalam penafsiran fakta dan perumusan teori.90 Dengan kata lain, dewesternisasi dan Islamisasi pengetahuan masa kini adalah proses ganda dalam memilih, mengevaluasi, dan menafsirkan, di samping juga menilai ide-ide dan fakta, menciptakan dan memproduksi makna yang relevan -baik individu maupun sosial-, sesuai dengan metafisika Islam, epistemologinya, serta prinsip-prinsip etika-hukum. Tetapi, proses itu tidak hanya dilakukan dengan mencangkok atau memindahkan hal-hal ini pada tubuh pengetahuan atau sains masa kini yang merupakan produk dari pandangan alam (worldview) dan kerangka epistemologi sekuler.91

Pembangunan manusia dalam Islam, dalam arti yang fundamental, bergantung pada penanaman pandangan alam, kerangka epistemik, dan prinsip-prinsip etika-hukum. Islam memandang pengetahuan sebagai dasar dalam konsepsi manusia. Kepada Adam, manusia dan Nabi pertama, telah diajarkan "nama-nama benda" oleh Allah sendiri, hingga membuatnya lebih hebat dibanding para malaikat. Hal ini secara epistemologi merupakan sifat positif bagi manusia dalam Islam, yakni refleksi langsung dari tujuannya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi, yang mengharuskan manusia memiliki kemungkinan untuk mencapai pengetahuan yang cukup tentang dirinya sendiri, tentang Tuhan, dan alam semesta. Oleh karena itu, dalam akidah kaum muslimin, yang bersumber dari Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad saw, telah tertanam kemungkinan mencapai suatu pengetahuan dipandang berlawanan dengan sekedar pendapat (ra'y), keraguan (shakk), dan dugaan (zann). Akidah Islam juga jelas-jelas menyatakan adanya beragam sarana diperolehnya pengetahuan yang mencerminkan pandangan kesatuan, yaitu persepsi indrawi, akal sehat, 87

Berkenaan dengan hubungan antara “fakta” (fact) dan “kebenaran” (truth), silahkan melihat al-Attas, IPS, hal. 23-24; tentang beragam definisi atau karakterisasi pengetahuan yang dibuat oleh sarjana Muslim, silahkan melihat Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: E.J. Brill, 1972) hal. 46-69.

88 Al-Attas, IS, bab 1 dan 2; idem, CEII, hal. 45-46

89 Al-Attas, IS, bab 3,4 dan 5; idem, CEII, hal. 39-46

90 Al-Attas, IS, hal. 155 ; idem, CEII, hal. 20-25

91 Lihat juga Al-Attas, IS, hal. 156; Nasr, An Introduction, hal. xxii

20

dan berita yang benar (khabar sadiq/wahyu). Kepastian (yaqin) dapat dicapai oleh akal (ilmul yaqin), dengan penglihatan ('ainul yaqin) dan pengalaman (haqqul yaqin).92

Pengetahuan manusia secara alami dimiliki oleh orang tertentu yang berjenis kelamin, berada dalam sosio-historis tertentu, dan dengan tingkat kekuatan spiritual atau kelemahannya. Kenyataan ini, bagaimanapun, tidak selalu berarti relatifnya pengetahuan menurut gender tertentu, kondisi sosio-historis, dan spiritualitas, sehingga menolak kemungkinan universalitas yang menembus batas-batas gender, sosio-historis dan spiritual. Hal ini sangat mendasar dan harus diapresiasi secara memadai, karena dalam Islam, pengetahuan manusia ('ulum), tidak sepenuhnya produk manusia: pengetahuan itu adalah anugerah, cahaya dari Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana termaktub dalam ayat-ayat suci Al Quran: (Allah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya; Allah mengajarkan Adam nama-nama segala sesuatu; dan ketika Nabi ditanya tentang doa: Tambahkanlah aku ilmu).93 Oleh karena itu merupakan posisi yang diterima secara universal di kalangan semua sarjana Muslim -- sebelum adanya dampak pemikiran Barat tertentu, terutama postmodernisme dan post-strukturalisme -- untuk menolak relativisme epistemologis. Dari awal, epistemologi Islam yang mengakui bahwa pengetahuan adalah setara dengan kepastian dan kebenaran -- terlepas dari pendapat-pendapat, keragu-raguan, dan dugaan-dugaan, serta pengaruh negatif dari berbagai kepentingan manusia, yang secara umum diistilahkan sebagai hawa' -- tentu permanen dan universal.94 Stabilisme Dinamis (Dynamic stabilism)

Maksud baik pembaruan yang dilembagakan oleh kaum modernis dalam semua

masyarakat tradisional, termasuk dunia Islam, yang mencoba untuk mengintegrasikan pemikiran kontemporer, terutama pemikiran Barat dengan ide-ide agama pribumi atau ide-ide tradisional mereka sendiri, sering menghasilkan gangguan pada banyak tradisi dan praktek lama yang terbentuk. Ini menyebabkan kebingungan lebih lanjut dan melemahnya identitas dan lembaga masyarakat mereka. Aktivitas-aktivitas ini bersifat dinamis tetapi mengganggu. Keberhasilan perekonomian Asia Timur yang cepat dan mengagumkan juga melibatkan perubahan terus-menerus, seperti diakui oleh salah satu pengusaha cyber paling sukses Taiwan, Hung Tze Jan: "Kita harus mengubah begitu banyak sekali sistem nilai kita dalam waktu sedemikian singkat."95 Dalam kasus pengalaman Asia Timur, perubahan ini mungkin tampak tidak terlalu mengganggu. Mungkin karena fakta bahwa pandangan alam dan konsepsi kebenaran serta realitas mereka tidak didasarkan pada Kitab Ilahi, yang berisi sejumlah prinsip absolut, seperti dalam Islam. Selain itu, dapat dibantah bahwa agama-agama dan filsafat moral Asia Timur, menjadi agak kabur mengenai bentuk akhirat, yang kehidupan spiritualnya condong sekuler dalam arti bahwa ajaran-ajaran spiritual mereka sebagian besar ditujukan untuk kesuksesan dan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi. Hal

92

Untuk pembahasan lebih lanjut dan beberapa rujukan dari al-Quran dan sumber-sumber lainnya, silahkan melihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam: Its Implications for Education in a Developing Country (London and New York: Mansell, 1989), khususnya bab 2, 3 dan 4; idem, Educational Philosophy, bab. 2.

93 Al-‘Alaq (96): 1-5; al-Baqarah (2): 31; Tha Ha (20): 114.

94 Tentang penolakan terhadap relativisme, lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, pp

84-96; dan tentang hawa sebagai sebuah lawan kata dari ilmu dalam Islam, lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam, bab. 4. 95

Martin Jacques, When China Rules the World, bab. 126.

21

ini dapat dilihat dari ajaran terkenal Konfusius yang tercatat pernah mengatakan, dalam kaitannya dengan pentingnya dasar laki-laki dan wanita yang benar-benar baik (chun-tzu), bahwa kebenaran internal dari pikiran akan menyebabkan keindahan dalam karakter yang mengarah pada keharmonisan dalam rumah dan ketertiban di negara ini, yang akan berujung pada sebuah dunia yang damai.96

Namun, konservatisme agama, khususnya di dunia Arab, anak benua Indo-Pakistan, dan sebagian Afrika, juga harus bersungguh-sungguh dan berusaha untuk melindungi rakyat mereka dari dirusak oleh beberapa ide-ide modern, sehingga dengan demikian mempertahankan dengan ketat ide-ide tradisional dan bentuk eksistensi sosial.97 Konservatisme mereka, tidak diragukan membawa kestabilan, tapi menghalangi rakyat mereka mendapatkan hak atas banyak manfaat dari perkembangan ilmiah, intelektual, dan budaya yang ditawarkan oleh dunia kontemporer.

Dalam porsi lebih besar dari sejarah Islam, pengaruh sebenarnya dari intelektual, agama, dan transformasi budaya dan ilmiah mencerminkan sebuah proses yang saya sebut stabilisme dinamis (dynamic stabilism),98 yang terus menerus menggabungkan, mengadopsi, dan menyesuaikan berbagai ide eksternal, konsep, dan praktek sesuai pandangan alam keagamaan yang terbangun dengan baik, etika, dan hukum Islam. Proses asimilasi dan inkulturasi ini juga berlaku untuk semua pemikir non-Muslim vis a vis agama dan tradisi mereka sendiri. Sampai lingkup yang signifikan, sisi modernitas Asia Timur di Jepang, Korea Selatan, dan Cina mencerminkan stabilisme dinamis ini juga. Meskipun demikian merenungkan, observasi Soltzhenitsyn tentang pembaratan Jepang (dan masyarakat Timur lainnya), aspek yang paling fundamental dari masyarakat Jepang seperti hubungan sosial dan keluarga, operasi kelembagaan, dan budaya politik, tetap tidak terbaratkan.99 Situasi serupa juga ditemukan di Cina, dan masyarakat Asia Timur lainnya.100

Karya-karya dari semua pemikir kreatif Muslim tradisional dan reformis adalah dinamis dalam arti mencerminkan kegiatan mental dan fisik secara terus menerus, yang berusaha untuk memecahkan beberapa problem sejarah, konseptual, dan praktis. Solusi-solusi mereka sebagian besar atau seluruhnya baru. Namun ini tidak secara fundamental mengubah tetapi memperinci, memperbaiki, dan memperkuat metafisika, etika, kerangka hukum, dan social, serta prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu mereka melakukan stabilisasi.

96

Confucius, The Great Learning: A Source Book in Chinese Philosophy. Translated by W.T. Chan (Princeton: Princeton University Press, ), bab. 1, hal. 86; untuk uraian lebih jauh, lihat Tran Van Doan, Ideological Education and Moral Education. Ineds.Trans Van Doan, Vincent Shen and George F. McLean, Chinese Foundations for Moral education and Character Development (Washington, DC: The Council for Research in Values and Philosophy, 1991), hal. 113-153.

97 Di dunia Arab,lihatsebagai contoh, AKR 2010/2011, pp. 54-56; secara umum, dan dari sebagian besar

perspektif Amerika Serikat, lihat juga Christopher M. Blanchard, CRS (Congressional Research Service, Library of Congress)Islamic Religious Schools, Madrasas: Background. Order Code RS21654 Updated January 23, 2007. Laporan ini aslinya ditulis oleh Febe Armanios. Laporannya telah diupdate oleh Christopher Blanchard untuk memasukkan informasi yang relevandengan sessi pertamadari ‘the 110th Congress.’ Christopher M. Blanchard in an analyst in Middle Eastern Affairs Foreign Affairs, Defense, and Trade Division. 98

Saya telah mendefinisikan konsep ini dalam kata pengantar buku Language, Thought, Education and the Civilization of Islam: Essays in Honour of Syed Muhammad Naquib al-Attas, oleh Wan Mohd Nor Wan Daud and M Zainiy Uthman eds. (Skudai: UTM Press, 2010) hal, 50-51. Sebagai perbandingan, lihat juga karya yang sangat baik tentang Gulen oleh Mehmet Enes Ergene, Tradition Witnessing the Modern Age: An Analysis of the Gulen Movement (New Jersey: Tughra, 2009) terutama hal. 106-113. 99

Martin Jacques, When China Rules the World, hal. 130. 100

Ibid, 119-162.

22

Islamisasi adalah proses transformasi tersebut. Dalam konteks de-westernisasi dan dekolonisasi Pendidikan Tinggi dalam masyarakat Muslim di era modern, terutama sejak awal 1970-an, sebagian besar wacana tentang produk akhir Islamisasi pendidikan adalah penulisan buku-buku teks, pembaruan disiplin akademis, dan menciptakan atau mereformasi lembaga-lembaga sosial-budaya dan ekonomi. Apa yang tampak dilupakan atau diambil tanpa dipikirkan terlebih dahulu adalah kenyataan bahwa tujuan akhir dari de-westernisasi, dekolonisasi, dan Islamisasi pengetahuan dan pendidikan kontemporer harus benar-benar fokus pada penciptaan manusia yang baik (good man) yang akan melakukan berbagai peran dalam masyarakat. Proyek dekolonisasi, de-westernisasi, dan Islamisasi bukan sekedar reaksi untuk kondisi eksternal yang tidak Islami belaka, tetapi yang lebih penting, dan mendasar, kembali kepada tujuan dan sifat asli manusia yang membawa manusia ke tujuan penerimaan dan penyebaran pengetahuan dan makna dan tujuan pendidikan. Pengembangan sumber daya manusia dalam Islam terpusat dan berakar pada pendidikan, yang tujuannya, sebagaimana akan diuraikan kemudian dalam kuliah ini, bukan hanya untuk menghasilkan seorang warga negara yang baik (good citizen) bagi negara-bangsa maupun pekerja yang baik bagi suatu perusahaan, tetapi lebih mendasar, yaitu sebagai seorang manusia yang baik, sebagai seorang yang beradab.101 Seorang warga negara yang baik atau pekerja di sebuah negara sekuler atau organisasi belum tentu menjadi orang yang baik, tetapi seorang manusia yang baik, bagaimana pun, pasti akan menjadi pekerja dan warga negara yang baik.102

Hal ini jelas bahwa jika majikan atau negara yang baik sebagaimana didefinisikan dari kerangka holistik Islam, maka menjadi pekerja yang baik dan warga mungkin identik dengan menjadi orang yang baik. Tetapi sebuah negara Islam mengisyaratkan keberadaan dan keterlibatan aktif dari masyarakat, laki-laki dan perempuan yang berfikir Islami. Menekankan pada aspek individu, mengimplikasikan diraihnya pengetahuan tentang kecerdasan, kebajikan, dan roh, dan tentang tujuan dan kedudukan tertinggi seseorang. Hal ini juga karena kecerdasan, kebajikan, dan roh adalah unsur yang melekat dalam individu. Sebaliknya menekankan pada aspek masyarakat dan negara membuka pintu untuk legalisme dan politik. Fokus utama pada individu sangat mendasar karena tujuan akhir dan puncak dari etika dalam Islam adalah bersifat individu.103 Hal ini karena gagasan tanggung jawab individu dan akuntabilitas sebagai agen moral dalam Islam adalah individu yang harus diberi ganjaran atau hukuman pada hari kiamat.

Karena lembaga-lembaga pendidikan tinggi, khususnya universitas, merupakan lembaga yang paling arkitektonik dan strategis untuk mendidik dan melatih individu dan

101

S.M.N al-Attas, IS, hal. 141. 102

S.M.N. al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin. Sebuah diktat panjang tulisan tangan untuk sekretarisnya dalam bulan Maret 1973. para 14, hal. 51-52. Karya ini kemudian dipublikasikan dengan judul yang sama oleh ISTAC pada tahun 2001; idem, Islam: The Meaning of Religion and the Foundation of Ethics and Morality (Petaling Jaya: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1976), hal. 33-34; idem, editor. Aims and Objectives of Islamic Education (London: Hodder & Stoughton/King A. Aziz University, 1979) hal. 32-33, juga idem, CEII, hal. 25. Saya telah megnuraikan ide Al-Attas ini dalam artikel saya, “Insan Baik Teras Kewarganegaraan” (The Good Man as the Core of the Good Citizen), Pemikir, Januari-Maret 1996, hal. 1-24. 103

IS, hal. 70; merujuk pula pada hadits Nabi dalam Muslim, Sahih: kitab ‘amr bil ma’ruf wa nahy ‘anil mungkar, (70) 49 :"Barangsiapa melihat suatu tindakan jahat (munkar), ia harus mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu, dengan lidahnya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan yang terakhir itu adalah selemah-lemah iman."

23

reformasi masyarakat yang sangat penting -- dimana proses Islamisasi seharusnya diartikulasikan dan dibahas dengan cara terbaik – maka konsepsi yang tepat dari universitas dalam Islam adalah yang pertama kali harus dipahami. Konsep Universitas dalam Islam

Visi untuk universitas Islam modern yang mampu menjawab tantangan-tantangan epistemologis Barat modern, ide-ide budaya, sosial-politik dan ekonomi serta pengaruh-pengaruhnya, adalah hal yang telah dipahami dengan baik oleh beberapa pemikir Muslim yang berwawasan luas. Bahwa, inti sebenarnya dari masalah yang timbul di negeri-negeri Muslim adalah masalah pengetahuan (the problem of knowledge). Oleh karenanya diusulkan, bahwa Universitas Islam didirikan dengan struktur dan konsepsi tentang apa yang membentuk ilmu pengetahuan, tujuan dan sasaran pendidikan, berbeda dengan Universitas sekuler modern. Tujuan Pendidikan Tinggi bukan untuk menghasilkan warga negara yang lengkap (complete citizen), melainkan untuk menghasilkan manusia seutuhnya (complete man), atau manusia universal. Seorang sarjana Muslim adalah orang yang bukan spesialis dalam salah satu cabang pengetahuan tetapi bersifat universal dalam pandangannya dan berwibawa dalam beberapa cabang ilmu pengetahuan terkait.104

Konsep sebuah universitas, sama seperti konsep kunci (key concept) lainnya dalam Islam, harus mencerminkan semangat stabilisme dinamis. Dalam arti bahwa meskipun memiliki ciri-ciri dasar permanen tertentu, tetapi ia juga berisi prinsip-prinsip dan metode-metode yang memungkinkan untuk melakukan transformasi, dan adaptasi dengan situasi baru.105 Dasar-dasar konseptual dan intelektual, yang dikembangkan oleh para sarjana yang otoritatif, adalah salah satu aspek yang paling penting dari lembaga Pendidikan Tinggi, yang didukung oleh banyak penyokong dari kalangan orang kaya dan penguasa di masa lalu. Lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi Islam yang besar, apakah mereka menjadi Jamiah, madrasah, khaniqah-zawiyyah, atau tekkes, atau di dunia Melayu, pesantren atau pondok, membangun visi dan program mereka di sekitar tokoh, ulama karismatik.106 Dengan ini dapat ditegaskan bahwa pendidikan Islam di puncaknya, berpusat di sekitar ulama, yang

104

Syed Muhammad Naquib al-Attas, Letter to the Islamic Secretariat, dated 15th

May 1973, pp. 1-2. Untuk sebuah diskusi mendetail tentang ide dan relaitas dari Universitas Islam, lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Educational Philosophy, bab 4. 105

Bandingkan ini dengan “educationism”, konsep yang tetap dan tidak berubah dari Universitas dan sektornya, dalam Roger Dale, “Repairing the Deficits of Modernity”, hal. 15. 106

Untuk tradisi pembelajaran tinggi Muslim, lihat Ahmad Shalaby, History of Muslim Education (Beirut: Dar al-Kashshaf, 1954); Bayard Dodge, Al-Azhar; A Millenium of Muslim Learning (Washington, D.C. The Middle East Institute, 1961); idem, Muslim Education in Medieval Times (Washington D.C; The Middle East Institute, 1962); Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350 (Boulder: University of Colorado Press, 1964); Munir ud-Din Ahmed, Muslim Education and the Scholar’s Social Status Up to the 5

th.

Century Muslim Era (11th

Century Christian Era) in the Light of Tarikh Baghdad (Zurich: Verlag der Islam 1968); Gorge Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981); Barbara Daly Metcalf, Islam Revival in British India: Deoband, 1860-1900 (Princeton: Princeton University Press, 1982); A.Chris Eccel, Egypt, Islam and Social Changer: Al-Azhar in Conflict and Accomodation (Berlin: Klaus Schwarz Verlag, 1984); Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Mutiara, 1966), Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement 1900-1942 (Singapore: OUP, 1973); Mehmet Ipsirli, “Scholarship and Intellectual Life in the Reign of Suleyman the Magnificient”, in Ministry of Culture and Tourism of the Turkish Republic, The Ottoman Empire in the Reign of Suleyman the Magnificient.2 parts in 1 (Ankara: Ministry of Culture and Tourism, 1988) 2:15-58.

24

menjadi lembaga. Calon siswa sangat disarankan untuk memilih guru-guru mereka dengan hati-hati berdasarkan pembelajaran, karakter, dan pengalaman mereka.107 Tren serupa juga bisa dilihat di zaman kuno di dunia Barat dan dalam periode awal pertumbuhan beberapa universitas Barat abad pertengahan di Spanyol, Italia, Perancis dan Inggris.108 Meskipun praktek ini berlanjut ke zaman modern, di mana para ilmuwan terkemuka, secara individu dicari oleh universitas dan mahasiswa, sifat bawaan kelembagaan dari lembaga akademis telah digantikan otoritas individu ulama.

Secara konseptual, pembentukan lembaga Pendidikan Tinggi Muslim sebagai mikrokosmos sebuah universitas Islam yang ideal tergantung pada pengalaman yang luas dan kemampuan multi-disiplin pemimpin tertinggi organisasi dan akademik. Filosofi dari sebuah lembaga pendidikan Islam yang lebih tinggi berkaitan dengan pendidikan dan riset adalah: "... didasarkan pada konsep ilmiah bahwa pengetahuan bersifat universal (kulliy), yaitu pengetahuan memiliki karakteristik universal yang mencakup semua aspek kehidupan dan penciptaan. Pengetahuan harus mencerminkan universalitas, dan penelitian di bidang khusus ... harus dilakukan tidak hanya untuk memahami secara spesifik, tetapi juga untuk memahami hubungan mereka vis-à-vis dengan keseluruhan ".109 Secara organisasi, universitas seharusnya tidak dibagi menjadi departemen terpisah dan saling eksklusif seperti yang biasa dilakukan di Fakultas akademik dari universitas yang paling modern.110

Ada beberapa perbedaan struktural, epistemologis, dan teleologis mendasar antara "universitas Islam” dan sebuah universitas sekuler Barat. Hal ini tidak cukup beralasan menyamakan lembaga Pendidikan Tinggi muslim pada periode awal, seperti madrasah, dengan istilah "universitas", dilihat secara umum dalam konsepsi Barat, dan khususnya sekuler.111 Namun telah dibuktikan bahwa universitas Barat pada periode-priode awal, secara konseptual dan historis sama sekali berbeda dari lembaga Pendidikan Tinggi Islam (madrasah atau Jami'ah), dan dengan demikian membuktikan tidak adanya pengaruh dari universitad di Barat pada lembaga pendidika Islam pada periode awal. Memang benar bahwa istilah Barat "universitas" -- dari Bahasa Latin universitas -- dalam beberapa hal, sangat berbeda dari Jami'ah Islam atau madrasah. Secara konseptual, dan seperti yang dipahami dalam pengertian Barat aslinya, "universitas" berarti suatu kumpulan, pluralitas, dan suatu kelompok orang-orang. Dalam konteks pendidikan, istilah "universitas" berarti serikat atau lembaga para master, seperti di Paris, atau mahasiswa, seperti di Bologna, yang keduanya berkembang pada akhir abad ke-12 Masehi. Ada dua universitas yang dianggap sebagai arketipe universitas-universitas Barat. Menurut Rashdall, pada Zaman Pertengahan

107

Burhan al-Din al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim: Tariq al-Ta’allum (Instruction of the Student: The Method of Learning). Terjemah dan pengantar oleh G.E. Von Grunebaum dan T.A. Abel (New York : King’s Crown Press, 1947) hal. 28-29. 108

Untuk munculnya pendidikan tinggi di jaman kuno dan jaman pertengahan di Barat, lihat H.I. Marrou, A History of Education in Antiquity.Trans. George Lamb (Madison: The University of Wisconsin Press, 1982); Hastings Rashdall, The Universities of Europe in the Middle Ages. Edited by F.M. Powicke and A.B. Emden.3 vols. New edition of 1936. (Oxford: Clarendon Press, 1987); Charles Homer Haskins, The Rise of Universities. Reprint of 1923 ed. (Ithaca and London: Cornell Univesity Press, 1957). 109

Lihat “Dasar dan Matlamat”, dalamRencana Pengajian Lanjutan Serta Luasan Penyelidikan dan Dasar Ilmiah Institut Bahasa.Kesusasteraan dan Kebudayaan Melayu, Univeristi Kebangasan Malaysia. N.d,p. 3. 110

LihatBuku Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusasteraan Melayu,Universiti Kebangsaan Malaysia, 1972, p. 37. Katalog ini berisi 32 halaman pendahuluan tentang penjelasan dari program akademik dan visi dari institut, ditulis oleh Prof. al-Attas. 111

George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: EUP, 1981) Appendix A, hal. 292-293.

25

(the Middle Ages) di Barat kata universitas tidak pernah berarti sebuah sekolah di mana semua fakultas atau cabang pengetahuan diwakili. Pada kenyataannya, istilah, yang sesuai paling dekat dengan ketidakjelasan dan ketidaktetapan pengertian bahasa Inggris dari sebuah universitas, adalah bukan universitas, tetapi studium generale, yang tidak menunjuk arti suatu tempat di mana semua mata kuliah dipelajari, tapi untuk menunjuk tempat di mana siswa dari semua bagian diterima. Kedua istilah dan konsep yang berbeda kemudian menjadi tak terpisahkan dan identik.112 George Makdisi, dengan menganalisis kesamaan dalam aspek organisasi dan keuangan, menyamakan madrasah Muslim dengan perguruan tinggi Barat, yang didanai oleh pribadi atau yayasan amal berbasis keluarga (tunggal: waqf, jamak: awqaf) dan yang relatif independen dari kontrol negara.113

Meskipun seperti ini, dan banyak perbedaan mendasar lainnya, terutama setelah penyebaran ideologi sekuler di universitas-universitas Barat, masih ada banyak persamaan penting antara lembaga Pendidikan Tinggi Islam dan Barat Zaman Pertengahan -- bentuk-bentuk yang masih terlihat saat ini. Bentuk-bentuk ini selayaknya dianggap indikasi pengaruh dari pendahulunya (Islam).

Dikatakan bahwa istilah universitatem jelas mencerminkan istilah orisinal Islam ‘kulliyyah’, yang mengacu pada konsep menyampaikan gagasan universal. Istilah Kulliyyah juga menunjuk pada sistem ketertiban dan disiplin yang berkaitan dengan organisasi, penanaman, dan penyebaran pengetahuan.114 Ini tidak berarti, bagaimanapun, bahwa semua ilmu diajarkan di satu tempat. Corak penting dari universitas Barat lainnya, yang paling mungkin dipengaruhi oleh Islam, adalah konsep fakultas, yang merupakan terjemahan Latin dari bahasa Arab quwwah. Konsep Islam tentang ‘quwwah’, mengacu pada daya yang melekat pada jiwa manusia dan organ tubuhnya, telah mengilhami konsep Barat tentang fakultas karena pengaruh yang awal dan besar dari kedokteran Islam di Barat. Hubungan ini juga mendemontrasikan bahwa "sejak konsep 'fakultas' mengacu pada manusia dalam siapa 'pengetahuan' hidup, dan bahwa pengetahuan ini adalah prinsip yang mengatur menentukan pikiran dan tindakannya, universitas harus telah disusun dalam menyamai struktur umum, dalam bentuk, fungsi dan tujuan, dari manusia. Ini yang dimaksudkan untuk menjadi representasi mikrokosmik dari manusia - tentu, dari ‘Manusia Universal’ (al-insan al-kulliyy).115

Aspek pokok lain di mana pengaruh Islam menunjukkan dampak permanen pada universitas Barat adalah praktek pemberian izin keahlian, atau lisensi untuk mengajar, yang dikenal sebagai 'ijazah; yang tidak pernah menjadi bagian dari pendidikan tinggi di Yunani kuno atau Roma atau dalam tradisi Bizantium Kristen Timur.116 Pengaruh lain yang signifikan adalah dalam metode pendidikan, khususnya pembacaan (qira'at), tulisan catatan, atau laporan studi oleh mahasiswa (ta'liqat), dan perdebatan (Thariqat an-Nazar), dan juga dalam metode skolastik, yang meliputi dialektika (jadal), wacana (munazara), dan pembacaan (qira'at).117 Institusionalisasi “posisi/otoritas” akademik saat ini yang umum dilakukan di universitas-universitas Barat terkemuka, adalah terjemahan langsung dari

112

Hastings Rashdall, The Universities, 1: 4-20; juga James B. Mullinger, “Universities”, dalam The Encyclopaedia Brittanica, 32 vols. 13

th ed. 1926. Vol 27-28, hal. 748-779; juga Haskins, The Rise of Universities, hal. 1-25.

113Makdisi, The Rise of Colleges, hal. 225 dan banyak tempat lainnya.

114S.M.N. al-Attas, IS, hal. 146-147.

115 Ibid.

116Makdisi, The Rise of Colleges, hal. 272.

117Ibid., hal.241-245; lihat juga Munir ud-Din Ahmad, Muslim Education, hal. 55-84, akhir 93-99.

26

sebuah institusi Islam, yang, dalam bahasa Arab, disebut al-Kursi. Perbedaan konseptual dan organisasional yang jelas dikutip oleh Rashdall dan Makdisi dan lain-lain antara madrasah Islam dan universitas Zaman Pertengahan yang diindikasikan tersebut tidak selalu menunjukkan bahwa keduanya sama sekali berbeda. Karena dalam beberapa hal, kedua lembaga adalah sama: keduanya umumnya secara efektif bersifat independen dari kontrol politik, dan di dalam keduanya penerimaan pengajar dan mahasiswa dari semua bagian adalah siapa yang bersedia untuk mematuhi standar yang berlaku. Dengan cara yang sama, tapi untuk alasan yang berbeda, tidak semua pengetahuan diajarkan di madrasah bahkan dalam periode yang paling gemilang. Namun, dengan hirarki skema pengetahuan dan desentralisasi kegiatan pendidikan dan profesional, orang memperoleh Pendidikan Tinggi dan pelatihan di berbagai lembaga formal dan informal, seperti masjid (jami'), maktab dan madrasah, bayt al-hikmah dan dar al-ulum; pertemuan-pertemuan kaum terpelajar dan mahasiswa (majalis), Zawiyah dari persaudaraan Sufi, demikian juga rumah sakit, observatorium, dan pusat-pusat seni dan kerajinan milik swasta.

Jadi ketika kita menggunakan istilah "universitas Islam" untuk merujuk kepada konsep kita tentang universitas, kita tentu tidak mengartikan sebagai replika belaka dari konsep universitas Barat sekuler. Meskipun demikian, bukan berarti sifat bawaan universitas Barat sekuler tidak begitu saja dapat dikatakan ditolak untuk kerangka Pendidikan Tinggi Islam. Jadi, misalnya, sebuah universitas Islam modern dapat mengeluarkan ‘gelar’ ('ijazah) berdasarkan standar kelembagaan yang telah disepakati oleh otoritas kolektif para pakar, dan boleh jadi secara organisasional disokong oleh dana dari sumber lain selain awqaf atau badan amal, seperti yang umum dilakukan universitas di Barat.

Salah satu kritik Islam paling efektif dan kokoh tentang universitas sekuler modern dilakukan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang mengatakan bahwa universitas modern tidak lagi mencerminkan manusia sejati (the true man), tapi mencerminkan suatu negara, atau dalam ungkapan terbaik, mencerminkan manusia sekuler. Universitas modern tidak memiliki pusat pengikat pokok dan tidak punya prinsip penekanan yang permanen, yang mendasari tujuan akhirnya. Universitas modern tidak mengenal dan mengakui keberadaan roh atau jiwa. Universitas modern hanya peduli utamanya terhadap fungsi administratif pemeliharaan sosial, pengembangan keuangan dan fisik, dan mengemban prinsip relativistik yang mendorong pada gencarnya penelitian tanpa pandangan akhir yang mutlak, sehingga menghasilkan perubahan terus-menerus, dan bahkan mengembangkan skeptisisme.118 Kurangnya sebuah pusat pokok (vital center) dan prinsip permanen, yang tampaknya meliputi semua aspek pendidikan modern sekuler di Amerika Serikat, boleh jadi secara umum juga terjadi di tempat-tempat lain:

"... Lembaga pendidikan kita tidak memiliki gagasan yang jelas tentang arah dan tujuannya, ia tidak memiliki konsepsi pemersatu dan pesan sendiri atau tujuannya. Bagian-bagian komponen dari sistemnya masing-masing terpisah. Sekolah Menegah langsung diarahkan kepada sebuah konsepsi masa egaliter dari demokrasi terpelajar, perguruan tinggi liberal terbelah antara pendidikan umum dan spesialisasi awal, sekolah pasca sarjana dan profesional bergerak

118

Lihat juga Al-Attas, IS, hal. 147-148.

27

terus ke arah spesialisasi lengkap dan berfaham kejuruan (vokasionalisme). Ada sedikit kerja sama di antara bagian itu saat ini ... "119

Konsepsi yang lebih tradisional dari universitas Barat modern mengandung

penekanan positif terhadap pengembangan intelek sebagaimana pelayanan kepada masyarakat dapat dilihat dari kutipan yang sering diungkapkan oleh Sir Eric Ashby :

“…kata universitas bermakna sesuatu yang unik dan berharga dalam masyarakat Eropa: suatu sikap santai dan terhormat bagi ilmuwan, pembebasan dari kewajiban untuk menggunakan ilmu untuk keperluan praktis, suatu sensasi perspektif yang menyertai horizon yang luas dan pandangan yang jauh, sebuah peluang untuk memberi loyalitas penuh bagi dunia pikiran (kingdom of mind). (Pada saat yang sama)…universitas adalah lembaga yang memiliki kewajiban penting dan esensial bagi masyarakat modern; suatu tempat bagi masyarakat mempercayakan pemudanya yang paling cerdas dan diharapkan menjadi tempat penampungan warga negara yang paling terlatih: suatu tempat yang dipandang masyarakat sebagai pemacu perkembangan penelitian saintifik dan teknologi.”120

Manajemen Publik Baru Universitas

Filsafat dan praktik universitas modern di mana pun sejak permulaan abad ke-20 telah mengacu pada model Barat, yang telah berevolusi dari orientasi idealis yang bersifat religius-filosofis kepada pembangunan negara, dan sekarang, kepada lembaga pragmatis dari sudut ekonomi. Pengembangan seperti itu telah menyebar di sekolah umum AS tahun 1900-an saat tujuan pendidikan yang lebih besar dikorbankan demi memenuhi tuntutan industri bisnis.121 Pengamatan Clark Kerr’s, dibuat 40 tahun lalu, cukup tepat bahwa universitas modern tidak lagi mencerminkan asal mula penamaannya sebagaimana dipahami Kardinal John Henry Newman, dan karena itu seharusnya disebut multiversitas; sebab mereka mencerminkan pelbagai perspektif yang hanya disatukan oleh sebuah birokrasi dan prosedur keuangan tertentu. Ia mengamati bahwa universitas modern bukan lagi organisme melainkan mekanisme.122 Tahun 1998, Bill Reading berbicara mengenai perang budaya dalam universitas yang meruntuhkan cita-cita universitas dan membingungkan masyarakat selama beberapa dekade. Universitas kini adalah “sebuah perusahaan birokratis mandiri” (an autonomous bureaucratic corporation) dan lebih tanggap terhadap gagasan bahwa masalah sesungguhnya hari ini adalah “managemen ekonomi” daripada mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan konflik sosial dan budaya.123 Filosofi dan tata kelola yang berlaku pada universitas modern dan sektor pendidikan tinggi sejak 1990 secara keseluruhan, telah menjadi semakin pragmatis secara finansial. Hal

119

William C. Devanne, “The College of Liberal Arts”. Deadalus, vol 94, 1964, hal. 1035; lihat juga artikel yang bagus oleh W. Allen Wallis, “Centripetal and Centrifugal Forces in University Organization” dalam isu yang sama tentang Deadalus, hal. 1071-1082. 120

E. Ashby, Technology and the Academics (London: MacMillan & Co, 1958) pp. 69-70, dikutip dari W. Allen Wallis, “Forces in University Organization” Deadalus. Vol. 94, no. 4. Fall, 1964, hal. 1073-1074. 121

Lihat Raymond E. Callahan, Education and the Cult of Efficiency: A Study of the Social Forces that Have Shaped the Administration of Public Schools (Chicago/London: University of Chicago Press, 1962) 122

Lihat Craig Howard, Theories of General Education (Basingstoke/London: Macmillan, 1991), hlm.64-74. 123

Bill Readings, The University in Ruins (Cambridge: Harvard University Press, 1998).

28

ini adalah akibat dari “fase lain pemberlakuan kembali managemen dari defisit kemoderenan sebagaimana yang diberikan oleh lembaga berbasis kapitalisme neoliberal.”124 Universitas dianggap tidak efektif dan tidak efisien sehingga tidak sesuai untuk melayani tujuan politik neoliberal; dan konsepsi neoliberal tentang globalisasi, khususnya dalam bentuk ekonomi berbasis pengetahuan (Knowledge economy) memandang mandat dan kemampuan universitas tidak memadai bagi tuntutan baru ini. Oleh karena itu dana pemerintah dipotong dan universitas diminta untuk mencari alternatif pendanaan dari pemangku kepentingan (stakeholders) baru sementara pada saat yang sama pengetatan pengawasan pemerintah terhadap sumber-sumber dana dilembagakan melalui proses yang dikenal sebagai Managemen Publik Baru, yang kemudian berhasil dalam bentuk Managerialisme Baru yang sebagian besar berasal dari keberhasilan sektor swasta berbasis laba (profit-based private sector successes).125 Pendidikan tinggi dan produksi pengetahuan merupakan industri yang menguntungkan, meski sebagian besar manfaat ekonomi dan sosialnya lebih dirasakan bagi orang Amerika, Inggris, dan negara-negara berbahasa Inggris. Sekitar satu dekade yang lalu, mobilitas mahasiswa internasional memberikan pemasukan ekonomi yang besar bagi banyak negara, meliputi 3,9% dari pasar jasa global, dan menghasilkan laba lebih dari US$ 30 milyar tahun 1998. Pada 2003-2004, ‘ekspor pendidikan’ menjadi ekspor terbesar keempat Australia, menghasilkan US$5,9 milyar bagi ekonominya.126 Bahkan dalam negara ini, terdapat selisih kotor (gross differentiation) antara universitas yang nampaknya dimonopoli oleh lembaga akademik dan komersial yang sudah ternama. Di area terpenting penerbitan, penyusupan keuangan ke dalam komunikasi kesarjanaan merusak transmisi pengetahuan nir-laba atau berbiaya rendah oleh universitas, yang mungkin sangat berpengaruh terhadap barang-barang keperluan masyarakat. Sekitar satu dekade silam, tujuh perusahaan multinasional memperoleh 45% dari US$ 11 milyar pasar jasa di bidang sains, teknologi, dan jurnal kesehatan. Jumlah itu meningkat 600% antara 1985-2002. Dilaporkan pula bahwa beberapa gelintir perusahaan ini kemungkinan bergabung menjadi perusahaan penerbitan global terbesar. Keuntungan perusahaan-perusahaan ini dipastikan akan meningkat secara eksponensial karena pertumbuhan pasarnya berkait erat dengan apa yang dengan tepat dikatakan sebagai ideologi keunggulan professional akademis dan peringkat universitas mereka.127

Penguatan industri penelitian dan publikasi suatu negara terkait erat dengan keberhasilannya dalam kompetisi ilmu dan informasi global.128 Persaingan global saat ini dan masa mendatang kemungkinan besar akan sangat ditentukan oleh kendali informasi

124

Roger Dale, “Repairing the Deficits of Modernity”,hal. 20. 125

Ibid,hal. 20-21. 126

Britez and Peters, “Internationalisation and the Cosmopolitical University.” In D. Epstein, R. Boden, R. Deem, F Rizvi and S Wright, eds. Geographies of Knowledge, Geometries of Power: Framing the Future of Higher Education. World Yearbook of Education 2008 (New York and London: Taylor and Francis, 2007), hal. 362. 127

Penny Ciancanelli, “(Re)producing universities: Knowledge dissemination, market power and the global knowledge commons,” In D. Epstein, R. Boden, R. Deem, F Rizvi and S Wright, eds. Geographies of Knowledge, Geometries of Power: Framing the Future of Higher Education. World Yearbook of Education 2008 (New York and London: Taylor and Francis, 2007), hal. 68-73. 128

Philip G. Altbach, Higher Education in the Third World, babr 5: “The Distribution of Knowledge in the Third World”.

29

dan kepakaran sebagaimana prediksi ilmuwan Perancis berpengaruh, Francois Lyotard hampir empat dekade silam.129

Neo-liberalisme dalam konteks Pendidikan Tinggi dan menagerialisme baru yang terkait dengannya, memandang mahasiswa, khususnya mahasiswa internasional, sebagai konsumen; dan lembaga universitas menyerukan wacana dan harapan akan pola pikir global, yang menyamakan pengalaman kosmopolitan dengan konsumsi. Hal ini tanpa disengaja boleh jadi telah menggiring kepada berbagai bentuk pengecualian dan marginalisasi sebagian besar populasi dunia, pada satu sisi, dan pada sisi lain, menumbuhkan rasa kurang peduli atau tanggung jawab terhadap yang lain.130

Harry Lewis berpendapat bahwa Harvard dan perguruan tinggi lainnya telah kehilangan tujuan dan seharusnya mengajar mahasiswanya bagaimana menjadi manusia yang lebih baik di dunia yang semakin religius. Profesor semakin terspesialisasi secara sempit, dan hanya tertarik pada penelitiannya sendiri, dan mahasiswa mempelajari apa yang mereka sukai tanpa arah. Ini bukanlah soal nilai, atau bahkan soal berpikir secara benar. Ini hanyalah sebuah pasar produksi, perdagangan, dan konsumsi informasi yang berguna bagi mereka yang menyediakan hibah dan dana seperti perusahaan, pemerintah, dan pekerja masa kini dan calon pekerja.131

Kritik sebenarnya terhadap instrumentalisasi ilmu di universitas masa kini tidak menafikan pentingnya nilai komersial atau dimensi ekonomi universitas modern, tapi mereka menyoroti hilangnya keseimbangan antara aspek humanistik dan instrumental. Mereka lebih menyoroti soal menurunnya semangat kemanusiaan. Tantangan utama universitas modern adalah untuk mengisi apa yang disebut Roger Dale sebagai dua peran yang berbeda, yaitu ilmu-ekonomi global dan inovasi, dan kohesi sosial; khususnya di tingkat negara.132 Mengomentasi trend serupa, dan menyadari dehumanisasi universitas masa kini, Jon Nixon mengamati:

“Universitas telah menjadi semakin didominasi oleh sebuah bahasa yang tidak mampu mengenali pembelajaran yang kaya dengan pelbagai kemungkinan: sebuah bahasa yang efisien-biaya, bernilai demi uang, produktifitas, keefektifan, pengiriman hasil, target setting, dan auditing. Bahasa input dan output, klien dan produk, pengiriman dan pengukuran, penyedia layanan dan pengguna, bukanlah sekedar sebutan berbeda tentang hal yang sama. Hal itu mengubah secara radikal tentang apa yang kita bicarakan. Itu merupakan cara berpikir yang baru tentang pengajaran dan pembelajaran. Secara mendasar hal itu telah mempengaruhi cara kita mengajar dan belajar. Ia punya rencana atas kita dan atas apa yang kita pahami dengan praktik

129

Lyotard menulis: “It is conceivable that nation states will one day fight for control of information, just as they battled in the past for control over territory, and afterwards for control of access to and exploitation of raw materials and cheap labour. A new field is open for industrial and commercial strategies on the one hand, and political and military strategies on the other.”

Francois Lyotard, The Post Modern Condition: A Report on Knowledge. Diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh G. Bennington dan B. Massumi. Kata Pengantar oleh F. Jameson (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984) hal. 5; lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, “Reflections.” Dalam National Institute of Public Administration, Malaysian Development Experience: Changes and Challenges (Kuala Lumpur: National Institute of Public Administration, 1994), hal. 868-869. 130

Britez and Peters,“Internationalisation and the Cosmopolitical University,” hal. 366-367. 131

Harry Lewis, Excellence Without a Soul:Does Liberal Education Have a Future? (Philadelphia: Public Affairs, 2007). 132

Dale, “Repairing the Deficits onf Modernity” hal. 26.

30

akademik…Universitas perlu mengembalikan sebuah bahasa publik pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kemampuan menguatkan dan membangun warga negara terdidik.133 Dehumanisasi fungsi universitas telah mengubah universitas menjadi pabrik diploma

dan supermarket akademik tinggi-akhir yang menjadi tempat bagi siapa pun dengan kualitas dan kemampuan finansial minimal dapat memilih bidang yang mereka inginkan, ditentukan oleh kepentingan sosial ekonomi dan negara jangka pendek.134 Telah dianjurkan bahwa universitas, khususnya di negara berkembang, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau negara dan keperluan pembangunan ekonomi jangka pendek, mungkin sebenarnya telah menutupi kualitas akademik mereka.135 Meningkatnya komersialisasi universitas Inggris masa kini telah mendorong sebuah kelompok beranggotakan 65 intelektual, pemikir, dan astronomi Inggris ternama untuk meluncurkan sebuah kampanye yang disebut The Council for Defense of British Universities (CDBU), yang secara resmi didirikan tanggal 13 November 2012 di British Academy, London. Organisasi ini berusaha mempertahankan nilai-nilai dan lembaga-lembaga akademik dari intervensi pemerintah dan politisi, dan dari komersialisasi berlebihan.136

Baru-baru ini, Jon Nixon mendesak dengan kuat untuk membentuk suatu Universitas Kebajikan (Virtuous university) dengan mencoba membuat asas-asas moral bagi profesionalisme akademik dalam empat bidang kunci: pengajaran, penelitian, dan keilmuan, serta hubungan kolegial. Kegiatan-kegiatan ini "bukan saja memungkinkan, tapi diperlukan, karena ia terdiri dari suatu kesatuan moral berdasarkan pada kebajikan-kebajikan mereka bersama."137 Empat kebajikan yang ia anjurkan agar dapat dipertimbangkan dan dipraktikkan pada empat kegiatan berikut, Kesejatian: Kecermatan dan Ketulusan; Rasa Hormat: Perhatian dan Kejujuran; Keaslian: Keberanian dan Kasih Sayang: dan Keluhuran: Kemandirian dan Kepedulian, yang ditafsirkan dari para filsuf Yunani, terutama Aristoteles, dalam suatu bentukan demokratik modern.138 Memahami kecenderungan semakin internasional dan globalnya universitas-universitas saat ini, dan keperluan untuk memanusiakan mereka, Britez dan Peters telah memberikan "suatu visi dari suatu rencana kosmopolitikal universitas."139 Bertentangan dengan yang hanya sekedar abstrak, etis, atau normatif di satu sisi, dan ekonomis di sisi lain, proyek ini bertujuan menerapkan praktek keanekaragaman. Ini menawarkan "peluang untuk pengembangan intelektual, sosial, dan keterampilan hidup dalam lulusan mereka, dari praktek dan pengalaman dari menjadi warga

133

Jon Nixon, Towards The Virtuous University: The Moral bases of Academic professionalism (New York and London, Routledge, 2008), hal. 11. 134

Lihat Eli M. Oboler, Ideas and the University Library: Essays of an Unorthodox Academic Librarian (Westport, Conn, and London: Greenwood Press, 1977) p. 14; dan juga Ronald Dore, The Diploma Disease: Education, Qualification and Development (London: George Allen & Unwin, 1976). 135

Lihat sebagai contoh, Jon Lauglo, “The ‘Utilitarian University’, the ‘Centre of Academic Learning’ and Developing Countries”, and Asbjorn Lovbraek, “Experience and Future Prospects for North-South University Co-operation, “both in Atle Hetland (ed.) Universities and National Development. A Report of the Nordic Association for the Study of Education in Developing Countries (Stockholm: Almqvist & Wiksel International, 1984) hal. 74-84 and pp. 164-165, masing-masing. 136

The Guardian (London). Thursday 8th

November 2012. Lihat juga laman Council for the Defense of British Universities. www.cdbu.org.uk. 137

Jon Nixon, Towards The Virtuous University, hal. 2. 138

Ibid. 139

Britez and Peters, “Internationalisation and the Cosmopolitical University,” hal. 356.

31

kosmopolitan dan sesuatu yang lebih dari pelatihan terakreditasi atau ala kadarnya saja untuk masuk pada pasar tenaga kerja antar-bangsa dan pada suatu bentuk 'kewarganegaraan dunia'".140

Manusia Sempurna dan Universitas Islam

Seperti yang saya nyatakan sebelumnya, sistem pendidikan Islam, khususnya

universitas, harus mencerminkan seorang manusia yang baik, dan bukan perusahaan negara

atau perusahaan dagang seperti yang digambarkan oleh filsafat sekuler.141 Manusia, dalam

Islam, berhakikat ganda --- dimana tubuh dan ruhnya menyatu seutuhnya --- dan yang

mewakili suatu mikrokosmos dari seluruh alam semesta.142 Tentang hal tersebut, otoritas

spiritual Muslim awal menyatakan:

"Dalam suatu susunan seorang manusia menyatu semua makna (ma'ani) dari

maujud-maujud (existents), baik tunggal maupun senyawa ... karena manusia adalah

senyawa dari tubuh kasar dan jiwa ruhaniah yang tunggal. Karena itu, para hukama

menamakan manusia sebagai mikrokosmos (alam kecil) dan alam semesta sebagai

manusia besar. Ketika manusia benar-benar tahu dirinya dalam hal keajaiban

komposisi tubuhnya, kehalusan strukturnya, dan sikap perbuatan dari kekuatan jiwa

di dalamnya, dan perwujudan dari tindakan jiwa melalui hal itu, katakanlah sebuah

karya yang kokoh dan ciptaan yang sempurna, maka dia siap untuk menilai (qiyas)

semua makna (ma'ani) dari yang inderawi (sensible) melalui analogi dengannya, dan

menyimpulkan darinya semua makna dari yang aqli (intelligible) dari dua dunia

seluruhnya bersama-sama."143

Hubungan antara konsep Manusia sebagai representasi mikrokosmos ('alam saghir) dari

alam semesta (al-'alam al-kabir), berbagai cabang pengetahuan dan organisasi, instruksi,

penanaman, dan penyebaran pengetahuan di universitas telah dikemukakan secara

meyakinkan oleh al-Attas.144

Manusia yang tercermin dalam semua aspek universitas, seperti yang disebutkan di

atas bukan sembarang manusia, tetapi seorang manusia yang baik, yang terbaik diantaranya

adalah Manusia Universal atau Sempurna (al-insan al-kulliy atau al-kamil). Gagasan Manusia

Universal atau Manusia Sempurna memiliki sejarah panjang dalam tradisi intelektual Islam,

khususnya difahami, dipraktekkan dan disebarkan oleh para sufi tinggi seperti Ikhwan al-

Safa ', Abu Hamid al-Ghazali, Muhyi al-Din Ibn 'Arabi, Sadr al-Din al-Qunyawi,' Abd al-Razzaq

140

Ibid, hal. 358. 141

Al-Attas, IS,. 144; jugaCEII, hal. 39. 142

Al-Attas, IS, hal. 135-136; idem, CEII, p. 40; dan al-Attas, A Commentary on Hujjat al-Siddiq, pp. 367-372. Pembahasan lebih lengkap mengenai hal ini, lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Educational Philosophy, hal. 174-224. 143

Ikhwan al-Safa, Rasa’il 3:188 dikutip dari Masataka Takeshita, Ibn ‘Arabi’s Theory of the Perfect Man and Its Place in the History of Islamic Thought (Tokyo: Institute For the Study of Language and Cultures of Asia and Africa, 1987) hal. 90-91. 144

Al-Attas, IS, hal. 144,. jugaCEII, hal. 39.

32

al-Qashani, 'Abd al-Rahman al-Jami,' Abd al-Karim al-Jili, Sadr al-Din al-Syirazi (Mulla Sadra),

Nuruddin al-Raniri, dan lain-lain.145 Manusia Universal telah dikenali melalui Nabi Adam, dan

memuncak dalam perwujudannya yang sempurna melalui Nabi Muhammad (Semoga

berkah Allah atas mereka), keduanya adalah perwakilan Allah di bumi. Manusia lain, seperti

para nabi, para wali, dan mereka yang telah mengakar dalam pengetahuan dan ketajaman

spiritualnya juga memenuhi syarat untuk menjadi wakil Allah.146 Oleh karena itu sebuah

universitas Islam harus mencerminkan Nabi yang Mulia dalam pengetahuan dan

perbuatannya, dalam tugasnya untuk menghasilkan sebanyak mungkin Muslim dan

Muslimah yang mencerminkan kualitas dari Nabi yang Mulia sesuai dengan potensi dan

kemampuan masing-masing.147 Posisi normatif ini didasarkan pada pernyataan Al-Qur’an

bahwa Nabi yang Mulia adalah model terbaik bagi umat Islam (uswah hasanah)148 dan,

berdasarkan pengetahuan dan teladan perbuatannya, yang paling taqwa kepada Allah, dan

karena itu paling terhormat.149

Beberapa pemikir dalam pendidikan Kristen seperti Kardinal John Henry Newman

dan Jean Jacques Maritain juga bisa mengikuti gagasan bahwa sebuah universitas yang ideal

harus menjadi tempat di mana pengetahuan universal diajarkan, dan bahwa tujuannya

adalah untuk mendidik pada kedewasaan pria dan wanita,150 tetapi mereka -- dan pada

kenyataannya tradisi lain juga -- tidak memiliki atau menekankan seorang teladan manusia

universal yang darinya pengetahuan tersebut tercermin.151 Mungkin, karena faktor

tersebut, konsepsi pengetahuan universal mereka terbatas pada penekanan pendidikan

humanistik dan liberal yang berakar pada iman yang bertentangan dengan spesialisasi

sempit. Rodrigo Britez dan Michael A Peters, dalam pernyataan mereka melawan pelatihan

kejuruan (vokasi) dan spesialisasi sempit di universitas yang tengah mendunia, mengusulkan

"pembudayaan jenis tertentu dari diri yang kosmopolitan" yang memusatkan pada proyek-

proyek organisasi perbedaan yang mengembangkan sebuah perspektif yang secara serius

terlibat dalam pengembangan nilai-nilai perbedaan. 152

145

Al-Attas, A Commentary on Hujjat al-Siddiqof Nur al-Din al-Raniri (Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986) hal. 44. 146

Lihat R.A. Nicholson, The Idea of Personality in Sufism (Lahore: Sh,. Muhammad Ashraf, 1970) Reprint of 1964: hal 70-85; idem, Shorter Encyclopaedia of Islam 1974 edition s.v. “al-Insan al-Kamil”; Masataka Takeshita, Ibn ‘Arabi’s Theory, bab. 2 and 3; dan Ibn ‘Arabi, The Bezels of Wisdom. Terjemah dan pengantar oleh R.W.J. Austin. The Classics of Western Spirituality (New York, Ramsey, Toronto: Paulist Press, 1980) Introduction, hlm. dss32-38. 147

Al-Attas, CEII, hal. 39-40 148

Al-Ahzab (33):21 149

Al-Hujurat (49):13 150

Jacques Maritain, Education at The Crossroads. (New Haven and London: Yale University Press, 1943) hal 75-84. Juga Jean-Louis Allard, Education For Freedom: The Philosophy of Education of Jacques Maritain. Terjemah oleh R.C. Nelson, (Notre Dame and Ottawa: University of Notre Dame Press and Univ. of Ottawa Press, 1982) hal. 96-102. 151

Al-Attas, IS, hal. 1 147-148 152

Rodrigo Britez and Michael A Peters, “Internationalisation and the Cosmopolitical University.” DalamGeographies of Knowledge, hal. 368.

33

Suatu budaya pada suatu lembaga, tidak hanya meningkatkan hasil-hasil akademis

tetapi yang lebih penting, memberi contoh keragaman sebagai kelengkapan-inti dari budaya

universitas. Aspek etika tersebut juga penting terkait dengan peran sosial dan politik

universitas, yang masih belum dijawab secara memadai.153 Muatan kurikulum mengesankan

adanya budi-daya diri-kosmopolitan pada universitas, yang saat ini didominasi oleh

rancangan modernitas masa Pencerahan, yang harus berasaskan ilmu-ilmu sosial (liberal

arts) dan kemanusiaan yang tidak terikat pada suatu rujukan kerangka-kerja tradisional dan

lokal tertentu, dan diperluas agar mencakup tuntutan otonomi daerah yang dihasilkan oleh

berbagai adat, etnis, bahasa, dan sosial minoritas. Pandangan humanistik akan

kosmopolitanisme ini, pada tingkat politis, seperti yang disarankan oleh Derrida, akan

menggabungkan konsep kuno tentang persahabatan, etika keramahan, permaafan, karunia

dan ajakan kepada rasa saling tanggung-jawab.154

Gagasan bahwa lembaga Pendidikan Tinggi Islam harus mencerminkan seorang

manusia yang universal juga berarti sangat akademis, sosial dan, jika mungkin, bahkan

struktur fisik lembaga itu sendiri harus berbeda dari apa yang umumnya dikenal dalam

praktek. Prioritas, kekuatan, fungsi dan pengerahan fakultas dan jurusan di dalamnya-jika

institusi memiliki struktur tersebut-serta administrasi, juga tidak akan sama dengan apa

yang dipraktekan saat ini.155 Dampak dari gagasan tersebut-bahwa institusi pendidikan

tinggi harus mencerminkan manusia-universal-akan memerlukan hal-hal berikut:

Pertama, harus dipimpin oleh seorang pemimpin akademik yang memiliki

pengetahuan yang disyaratkan dari, dan berkomitmen untuk, pendidikan berdimensi

religius-filosofis dan sosial-budaya -selain memiliki pelatihan khusus di bidang-bidang lain-

serta memiliki integritas etika dan pengalaman kepemimpinan. Dia harus diberi kepercayaan

untuk menunjuk stafnya dan untuk mengembangkan lembaga sesuai dengan pengetahuan

dan kebijaksanaan dalam konsultasi dengan koleganya. Keberhasilan kepemimpinannya

harus ditentukan oleh kualitas etos lembaga, pengajaran, dan penelitian serta publikasinya

dalam ilmu-ilmu fardu ain dan fardhu kifayah, yang memberikan sumbangan pada

pengembangan holistik siswa, bangsa mereka, dan masyarakat dunia. Bagian administrasi

dan keuangan dari lembaga yang mencerminkan konsepsi manusia harus sepenuhnya

didukung oleh kegiatan intelektual dan moralnya. Mereka harus kreatif dan inovatif dan

tidak dirintangi dengan munculnya kegiatan birokrasi kaku dan dokumentasi yang tak perlu

atas nama transparansi.

Kedua, program akademik harus dibuat berdasarkan skema hirarki namun pada saat yang sama juga menekankan kesatuan ilmu (knowledge). Pemilihan subjek (pelajaran) bagi siswa harus ditentukan oleh siswa sendiri (orang tua atau sponsor mereka) beserta guru berdasarkan hirarki ilmu dalam Islam, kepentingan, kapasitas intelektual dan pembawaan moral (moral equipment) dari setiap siswa, serta kebutuhan masyarakat dan bangsa. Konsep lembaga pendidikan tinggi Islam, yang mencerminkan manusia universal (universal

153

Ibid, hal. 368. 154

Ibid hal. 367-369. 155

Al-Attas, CEII, hal. 45

34

man), berarti bahwa ruang lingkup pendidikan haruslah komprehensif, multi-disiplin dan tidak terbatas oleh spesialisasi yang sempit. Pendidikan Islam juga tidak mengakui gagasan dualistik kontemporer yang membedakan penelitian dengan pengajaran, seolah penelitian dipandang lebih berharga dan lebih bergengsi daripada pengajaran. Pendekatan intelektual dalam pendidikan Islam harus mengintegrasikan keharmonian antara tradisionalitas atau tekstualitas (naqli), rasionalitas (aqli), dan empirisitas (tajribi); sesuai dengan kebutuhan objek pengkajian. Hal tersebut dijelaskan oleh al-Attas sebagai metode Tauhid. 156

Tujuan dari penelitian dan penulisan adalah untuk membuat kontribusi yang

orisinal, menyelesaikan karya-karya ulama sebelumnya yang belum selesai, memperbaiki

apa-apa yang dianggap salah, membuat komentar, meringkas karya-karya yang cukup

panjang tanpa meninggalkan bagian-bagian yang penting, mengumpulkan informasi dari

berbagai sumber, membuat sintesa dan mengatur berbagai informasi menjadi suatu

kesatuan yang utuh da koheren, serta menerjemahkan karya-karya penting dan bermakna

dari bahasa lain ke dalam bahasa nasional dan sebaliknya.157

Manusia universal haruslah seseorang yang otoritatif di beberapa bidang. Oleh

karena itu, lembaga pendidikan tinggi Islam harus menawarkan program-program

pendidikan yang berbasis luas (broad-basis), tidak sempit, namun juga menawarkan

program spesialisasi. Spesialisasi berbasis luas (Broad-based Specilization) ini merupakan

hal yang penting disebabkan oleh alasan-alasan manusiawi dan spiritual yang mendalam.

Pertama, spesialisasi merupakan perluasan dan pengakuan atas aspek realitas yang unik dan

berbeda. Hanya dalam kondisi demikian, makna (meaning) dan selanjutnya ilmu tentang

sesuatu, menjadi mungkin untuk diketahui.158 Kedua, hanya melalui spesialisasi , kerjasama

dan penghormatan antar peran manusia yang beragam menjadi sesuatu yang alamiah dan

diperlukan. Ketiga, spesialisasi memungkinkan terciptanya keadilan ontologis atau alamiah,

yaitu suatu kondisi di mana setiap hal ditempatkan pada tempat yang tepat dan benar. 159Keempat, seperti yang ditunjukkan secara implisit oleh Ibnu Khaldun, spesialisasi yang

sempit, baik dalam hal akademik maupun keterampilan/ kerajinan (craft), akan

mengembangkan kebiasaan yang mengakar bagi kualitas di dalam jiwa. Dengan beberapa

pengecualian yang sangat jarang terjadi hal tersebut akan mencegah seseorang untuk

menguasai ilmu -ilmu atau keterampilan lainnya dengan tingkat penguasaan yang sama. 160Munculnya bentuk baru barbarisme di Eropa dan Barat, menurut Ortega Y. Gasset,

adalah karena berlimpahnya spesialisasi yang sempit dalam pendidikan tinggi. Pemikir

Kristen seperti Maritain tampaknya setuju dengan hal ini ketika mengkategorikan

156

Al-Attas, Prolegomena, p. 113; Wan Mohd Nor, Educational Philosophy, hlm. 265, 268-271. 157 Lihat, Ibn Hazm, al-Akhlaq wal Siyar. In Pursuit of Virtues: The Moral Reasoning and Psychology of Ibn

Hazm. Translation by Muhammad Abu Laylah (London: Ta Ha, 1998), hlm. 21. 158

Al-Attas, CEII, hlm. 15-16. 159 Al-Attas, IPS, p. 34, and other earlier writings. 160 ‘Abd-al-Rahman Ibn Khaldun, The Muqaddimah. Trans, Franz Rosenthal. 3 Vols. (New York: Pantheon /

Bollingen, 1958), 2: 354-355.

35

pendidikan spesialisasi modern (modern specialized education) sebagai sebuah

kebinatangan.161

Dengan alasan-alasan tersebut di atas maka program studi yang ditawarkan dalam

lembaga pendidikan Islam tidak boleh diatur dalam struktur departemen yang ketat dan

(mutually) eksklusif karena hal tersebut tidak hanya merupakan sebuah pemborosan dan

duplikasi sumber daya namun juga berbahaya bagi pertumbuhan holistik dari

perkembangan intelektual siswa. Sebaliknya, setiap siswa hendaknya diarahkan untuk

mengambil mata pelajaran yang sesuai dengan moral dan keterhubungan atar kategori

fardhu 'ain dan fardhu kifayah, memberikan penghormatan atas kapasitas dan ketertarikan

siswa yang unik, menciptakan keadilan bagi setiap individu serta mempertimbakan

(proyeksi) kebutuhan dari masyarakat. Ilmu Fardhu 'ain merupakan kewajiban agama

yang harus dipelajari dan dikuasai oleh semua muslim yang telah dewasa dan merdeka.

Sedangkan Ilmu fardhu kifayah merupakan ilmu yang wajib dipelajari namun tidak untuk

semua individu. Ia hanya wajib dipelajari oleh sejumlah muslim dalam sebuah masyarakat

atau komunitas. Ulama besar seperti Ibnu Sina, telah lama mengetahui bahwa upaya yang

terburu-buru dalam membuat jenjang (tingkatan) terhadap semua siswa- guna mengejar

kesetaraan yang utopis dan imajiner -telah menghasilkan ketidakadilan yang besar dan

membahayakan.162

Bertentangan dengan beberapa pendapat yang ada, Ilmu fardhu 'ain sebenarnya

tidak terbatas pada ilmu dasar Islam yang hanya dipelajari di tingkat sekolah dasar dan

menengah, tetapi ia dinamis dan terus berkembang dalam praktiknya (in field) bergantung

pada kematangan dan kapasitas seseorang. Permasalahan tersebut telah dijelaskan secara

cemerlang oleh al-Ghazali lebih dari 900 tahun yang lalu, diikuti oleh Burhan al-Din al-Zarnuji

dan disajikan kembali di masa ini oleh al-Attas. 163 Dalam Universitas Islam yang

sebenarnya, ilmu fardhu 'ain yang merupakan kebutuhan intelektual dan spiritual permanen

dari jiwa manusia, harus membentuk kurikulum inti dan wajib dipelajari oleh semua siswa.

Ilmu fardhu kifayah yang mencerminkan kebutuhan masyarakat serta tren global, tidak

wajib dipelajari oleh semua siswa namun harus dikuasai oleh sejumlah individu muslim

guna memastikan pengembangan masyarakat yang sesuai dan menjaga kedudukannya

yang tepat (proper place) dalam urusan dunia. Ilmu fardhu 'ain meliputi ilmu-ilmu Islam

tradisional seperti bahasa Arab, metafisika, Alquran dan Hadis, etika, ilmu-ilmu syari'at, dan

sejarah Islam. Ilmu-ilmu fardhu 'ain ini tidaklah statis melainkan dinamis, sehingga harus

161 Jose Ortega Y. Gasset, Mission of the University. Translated and edited by Howard L. Nostrand (New York:

W. W. Norton, 1944), hal. 38-39; Jacques Maritain, Education at the Crossroad (New Haven and London: Yale University Press, 1943). 162 M.N. Zanjani, Ibn Sina wa tadbir-I manzil, cited from S. H. Nasr, Traditional Islam in the Modern World

(London and New York: KPI, 1987), note 13, hal. 161. 163 Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ‘ulum al-Din. Trans, Nabih Amin Faris. The Book of Knowledge, Reprint of 1962

edition (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1974), hal. 30-36; al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, hal. 21-22; al-Attas, CEII, hal. 41.

36

terus dipelajari, dianalisis, dan diterapkan dalam kaitannya dengan ilmu fardhu kifayah,

seperti dalam bidang spesialisasi mereka. Oleh karena itu, dasar-dasar metafisika dan

filosofis serta asal-usul sosio-historis dari berbagai ilmu fardu kifayah dan teknologi

beserta implikasinya dalam agama-moral, sosial-ekonomi, dan ekologi, harus dipelajari

sebagai bagian dari kesatuan ilmu fardhu 'ain-fardhu kifayah.164 Sedangkan bagi mereka

yang memilih bagian tertentu dari ilmu fardhu kifayah sebagai spesialisasi, maka menjadi

sesuatu yang fardhu 'ain baginya untuk unggul dalam bidang tersebut dan memastikan

bahwa teori dan prakteknya telah sesuai dengan ajaran Islam, atau setidaknya tidak

bertentangan dengannya. Hanya pada tingkat pencapaian seperti inilah raison d'etre dari

kehambaan ('ubudiyyah) dan kekhalifahan manusia saling terhubung (organically) dan

terealisasikan.

Ketiga, hubungan manusia dalam lembaga harus didasarkan pada kondisi saling

mencintai dan menghormati berdasarkan kecintaan dan kontribusinya kepada ilmu dan

moral. Saat ini, hubungan manusia di lembaga pendidikan pada umumnya sangat

membingungkan dan sebagian besar didasari oleh posisi birokrasi yang sempit dan motif

pragmatis. Sebagaimana telah dikemukakan, banyak dosen dan profesor- sebagai hasil

substansial dari dehumanisasi tujuan pendidikan –bertindak lebih sebagai birokrat,

pengusaha dan politisi dari pada bertindak sebagai ulama dan guru yang memiliki

keseriusan. 165 Hubungan tradisional guru dengan murid, sebagaimana dianggap oleh

sejarawan sebagai "salah satu fitur terbaik dari pendidikan Islam", haruslah disadari

kembali.166 Saran ini mungkin mengherankan bagi sebagian orang yang berpandangan

bahwa ada rencana untuk menghidupkan kembali peran otokrasi guru di masa lalu. Namun,

pada hakikatnya, yang kami coba sarankan adalah agar guru atau dosen dapat menjadi

pemandu, mentor dan menjadi orang tua bagi siswa. Guru juga harus mampu berinteraksi

dengan siswanya secara baik, bijaksana dan adil, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh

guru-guru besar dan para ulama.167

Akhirnya, implikasi keempat tercermin dalam landscape fisik, struktur dan dekorasi

dari bangunan universitas Islam. Seorang manusia yang Islami akan peka terhadap makna

simbolik atas berbagai hal dan peristiwa sehingga dirinya akan memilih tanggal dan waktu-

waktu yang memiliki makna spiritual, misalnya, dalam membangun rumahnya, memilih

waktu pernikahan, atau ketika ia memulai sebuah perjalanan panjang.

Manusia Beradab (Man of Adab)

164 Al-Attas, IS, p. 150-152; Idem, CEII, hal. 41-42. 165 W. Allen Wallis, “Forces in University Organization”, hal. 1076. 166 Dodge, Muslim Education in Medieval Times, hal. 10. 167 Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, pp. 145-153 al-Zarnuji, Ta’alim al Muta’alim, hal. 36; Ibn Khaldun, The

Muqaddimah, 3: 300 dan 305-307.

37

Seorang manusia yang berpendidikan merupakan seseorang yang baik/shaleh (a

good man). Kata 'baik' di sini menunjukkan bahwa pria tersebut memiliki adab dalam

pengertian sepenuhnya inklusif (in its full inclusive sense). Seorang pria yang beradab (insan

adabi) adalah "orang yang secara ikhlas menyadari bahwa ia memiliki tanggung jawab

terhadap Allah, yang memahami dan memenuhi kewajiban untuk dirinya dan orang lain di

dalam masyarakat melalui keadilan, serta terus berusaha memperbaiki setiap aspek dari

dirinya agar mencapai kesempurnaan sebagai seseorang yang beradab [insan adabi]".168

Pendidikan adalah ta'dib : yang menanamkan (instilling and inculcation) adab dalam diri

manusia.169

Konsep ta'dib, jika dipahami dengan benar dan dianalisis secara menyeluruh maka ia

merupakan konsep yang paling sesuai untuk menunjuk pendidikan dalam Islam, dan bukan

ta'lim atau tarbiyah sebagaimana banyak digunakan oleh umat Islam di seluruh dunia saat

ini. Hal tersebut karena ta'dib dalam struktur konseptualnya telah mencakup unsur ilmu

('ilm), instruksi (ta'lim), dan perkembangan (tarbiyah).170 Meskipun Al Qur’an tidak

menggunakan kata adab atau salah satu dari kata turunannya, namun ia telah disebutkan

dalam hadits Nabi Muhammad saw serta para sahabat melalui puisi dan karya-karya ulama

setelahnya, di mana saat itu adab memiliki makna yang lebih luas dan lebih mendalam.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, makna adab kemudian dibatasi dan direduksi

dari makna sebenarnya yang luas menjadi semata-mata belles-letteres , etiket profesional

dan sosial.171

Menurut ulama generasi awal, isi (maudhu') dari ta'dib adalah akhlak (etika dan

moralitas). 172 Sejak jaman Islam awal, adab secara konseptual telah menyatu dengan ilmu

yang benar ('ilm) dan tindakan yang tepat serta tulus ('amal) serta secara signifikan terlibat

168 Risalah, para. 15, hal. 54. 169 Aims and Objectives, hal. 37; lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, “Al-Attas’ Concept of Ta’dib as the True

and Comprehensive Education in Islam”, dalam Marietta Stepanyants, ed. Comparative Ethics in a Global Age (Washington, DC: Institute of Philosophy, Russian Academy of Sciences/ The Council for Research in Values and Philosophy, 2007), hal. 243-258. 170 CEII, hal. 34 171 Ada sekurangnya 18 entries tentang ta’dib, addaba, and adab, banyak diantaranya ada dalam lebih dari

satu Hadith collection. See A. J. Wensinck and J. P. Mensing, Concordance et Indices de la Tradition Musulmane. 7 Vols. (Leiden: E. J. Brill, 1943), 1: 26; Nasrat Abdel Rahman, “The Semantics of Adab in Arabic”, Al-Shajarah, Vol. 2, No. 2, 1997, hal. 189-207. Dalam paper ini Prof. Abdel Rahman dengan penuh keseriusan menganalisis berbagai makna dari istilah ‘adab’ dan berbagai variasi turunannya, khususnya ‘ta’dib’, dari sekitar 50 ilmuwan Arab yang otoritatif, dan secara umum sejalan dengan interpretasi al-Attas. F. Gabrieli, dalam paparannya yang padat dan singkat tentang ‘adab’, menjelaskan bahwa pada abad pertama Hijriah, ‘adab’ mengandung makna intellektual, etik, dan sosial. Belakangan, adab memiliki makna sejumlah pengetahuan yang menjadikan seseorang terhormat dan ‘urban’, dan di era al-Hariri pada abad ke-10 M, makna adab menjadi terbatas pada suatu disiplin ilmu, yaitu adabiyat atau sastra. Lihat Encyclopaedia of Islam. New Edition (Leiden: E. J. Brill, 1986) s.v. “adab”. 172 Mahmud Qambar, Dirasat turathiyyah fi ‘l-tarbiyah al-islamiyyah. 2 Vols. (Dhoha, Qatar: Dar al-Thaqafah,

1985), 1: 406.

38

dalam peniruan intelektual (intellegent emulation) dalam Sunnah Rasulullah saw.173 Adab

kemudian dapat didefinisikan sebagai berikut:

Pengenalan (recognition) dan pengakuan (acknowlegement) terhadap realitas di mana

ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hierarki yang sesuai dengan kategori-

kategori dan tingkatan-tingkatannya dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya

masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik , intelektual dan

spiritualnya 174

Pengenalan dapat dipahami sebagai mengetahui kembali (to-cognize) Perjanjian

Pertama (primodial covenant) seseorang dengan Tuhan dan segala sesuatu yang mengikuti

dari padanya. 175 Hal ini juga berarti bahwa segala sesuatu telah berada pada tempatnya

secara tepat dan berurutan dalam tata urutan being dan eksistensi. Namun manusia, karena

ketidaktahuan atau kesombongannya, "telah membuat perubahan dan membuat

kebingungan terhadap tempat yang tepat bagi sesuatu, sehingga hal tersebut menyebabkan

timbulnya ketidakadilan."176 Pengakuan merupakan tindakan yang diperlukan dalam rangka

menyesuaikan dengan apa yang telah dikenali. Hal ini merupakan sebuah 'afirmasi' dan

'konfirmasi' atau 'realisasi' dan 'aktualisasi' dalam diri seseorang dari apa yang telah

dikenali. Tanpa adanya pengakuan, pendidikan hanyalah merupakan sebuah pembelajaran

semata (ta'allum).177 Pentingnya makna adab yang berkaitan dengan pendidikan bagi

manusia baik/shaleh (a good man) harus ditekankan ketika disadari bahwa pengenalan

(yang melibatkan ilmu) dan pengakuan (yang meliputi tindakan) terhadap tempat yang

tepat, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ternyata terkait erat dengan istilah kunci

(key terms) lainnya dalam pandangan alam Islam (Islamic worldview), seperti kebijaksanaan

(hikmah) dan keadilan ('adl), realitas serta kebenaran (haqq). Realitas dan kebenaran

(haqq) tersebut kemudian didefinisikan, baik secara korespondensi dan koherensi, sebagai

tempat yang tepat dan benar bagi segala sesuatu. 178

Berikut adalah beberapa contoh bagaimana gagasan adab diwujudkan dalam

berbagai tingkatan eksistensi manusia. Menempatkan Allah di tempat yang tepat adalah

dengan memahami sifat-Nya, Nama, dan perbuatan-Nya dengan baik, tanpa harus

mengetahui esensi terdalam-Nya; menjalankan agama-Nya dengan cara yang benar, seperti

173 CEII, p. 35; cf. Nasrat Abdel Rahman, “The Semantics of Adab”, pp. 2-18. 174 CEII, p. 27. Based on this definition of adab, al-Attas ingeniously elaborates on the statement of the Holy

Prophet quoted above (God has educated me) in this manner: “My Lord made me recognize and acknowledge, by what [i.e., adab] He progressively instilled into me, the proper places of things in the order of creation, such that it led to my recognition and acknowledgement of His proper place in the order of being and existence; and by virtue of this He made my education most excellent.” Ibid., pp. 27-28. 175 The Primordial Covenant which is cited by all Sufis is derived from the Qur’an 7:172: “When thy Lord drew

forth from the Children of Adam---from their loins---their decendents, and made them testify concerning themselves (saying): “Am I not your Lord?”---they all said: “Yea! We do testify!” 176 CEII, hal. 21. 177

Ibid. 178 Risalah, para. 55, hal. 186-188; idem, IPS), hal. 22.

39

yang dicontohkan oleh Nabi-Nya; meninggalkan larangan-Nya dan terus meningkatkan diri

serta meminta pengampunan-Nya. Adab terhadap diri seseorang dimulai ketika seseorang

mengakui sifat dasar manusia yang ganda, yaitu rasional dan hewani. Ketika yang pertama

(rasional) menundukkan yang kedua (hewani) dan menjadikannya berada dalam kendalinya,

maka yang pertama telah menempatkan keduanya di tempat yang tepat, sehingga

menempatkan diri seseorang di tempat yang tepat.179 Keadaan tersebut yang dinamakan

keadilan pada diri seseorang dan kebalikannya adalah ketidakadilan (zulm al-nafs). Ketika

adab mengacu kepada hubungan manusia, hal tersebut berarti bahwa norma-norma etika

yang diterapkan untuk perilaku sosial akan mengikuti persyaratan tertentu berdasarkan

kedudukan seseorang dalam keluarga dan masyarakat.

Kedudukan seseorang “tidak ditentukan oleh kriteria manusia pada kekuasaan,

kekayaan, dan keturunan, tetapi menggunakan kriteria Al-Qur’an pada ilmu, kecerdasan

dan kebajikan." 180 Menempatkan Nabi Muhammad (saw) di tempat yang tepat adalah

dengan memahami apa yang paling luhur darinya (his most elevated stature), untuk

mengikuti teladannya tanpa menyembahnya, serta untuk melindungi hak-hak para sahabat

dan keturunannya. Menempatkan pemimpin di tempat yang tepat adalah dengan berpikir

penuh rasa hormat terhadap mereka dan keluarganya, mendukung kebijakan mereka dan

menasihati mereka, dan tidak menurunkan mereka dari kekuasaan karena kesalahan atau

kekhilafan mereka yang dapat mempengaruhi kepentingan umum dan stabilitas nasional.

Namun, kita tidak akan pernah mematuhi atau membantu mereka dalam ketidakadadilan

dan perbuatan dosa. Jika seseorang menampilkan kerendahan hati yang tulus, cinta,

hormat, perhatian, dermawan, dll, untuk orang tuanya, manula, anak, tetangga, dan tokoh

masyarakat, hal itu menunjukkan bahwa orang tersebut mengetahui tempat yang tepat

bagi seseorang dalam kaitannya dengan hubungan mereka.

Mengacu pada domain ilmu, adab berarti disiplin intelektual (ketertiban budi) yang

mengenali dan mengakui hirarki ilmu berdasarkan kriteria keluhuran dan keutamaan,

sehingga sesuatu yang didasarkan pada wahyu harus dikenali dan diakui sebagai sesuatu

yang lebih sempurna dan ditempatkan pada prioritas yang lebih tinggi daripada hal-hal yang

didasarkan pada intelek. Segala sesuatu yang fardhu 'ain harus selalu ditempatkan di atas

hal-hal yang fardhu kifayah. Apa-apa yang dapat memberikan bimbingan (hidayah) dalam

kehidupan adalah lebih unggul daripada hal-hal yang memiliki kegunaan amali. Adab

terhadap ilmu akan menghasilkan cara-cara yang tepat dan benar dalam belajar dan dalam

menerapkan sains yang berbeda, di mana pandangan dunia metafisik, prinsip-prinsip etika-

hukum dan kepedulian, membentuk dan membimbing penelitian dan pengembangan

dalam humaniora, sains alam dan sosial serta sains terapan.

179 Al-Attas, “Address of Acceptance of Appointment to the al-Ghazzali Chair of Islamic Thought”, in

Commemorative Volume on the Conferment of the al-Ghazzali Chair (Kuala Lumpur: ISTAC, 1994), hal. 31. 180 Ibid., hal. 30.

40

Adab terhadap ilmu akan menghasilkan cara yang tepat dan benar dalam belajar dan

dalam mengaplikasikan sains yang berbeda-beda, di mana pandangan alam metafisik,

prinsip-prinsip dan perhatian pada etika-hukum akan membentuk dan membimbing

pelajaran dan pengembangan dari humaniora, ilmu-ilmu sosial, natural dan sains terapan.

Dalam hubungannya dengan hal tersebut, penghormatan yang tepat kepada para ulama,

peneliti dan guru dalam berbagai bidang yang berbeda adalah merupakan salah satu bentuk

manifestasi adab terhadap ilmu. Menjadi tanda yang jelas dari kebingungan (confusion) dan

hilangnya adab terhadap ilmu secara umum dan terhadap studi agama dan humaniora

secara khusus, apabila metode dalam mengevaluasi kepakaran (professional excellence)

dalam bidang sains natural dan bidang-bidang yang terkait dengan teknologi digunakan

untuk menjustifikasi (menilai) studi agama dan humaniora. Juga merupakan salah satu

indikasi hilangnya adab adalah apabila studi agama, dalam hal ini studi Islam, yang

berdasarkan sumber-sumber wahyu, harus dikategorikan atau ditempatkan di bawah ilmu-

ilmu kemanusian atau sains sosial.

Dalam kaitannya dengan dunia alamiah (natural world), adab berarti kedisiplinan

dari intelek praktis (akal amali) ketika berhubungan dengan program hirarkis yang

mengkategorikan dunia alamiah (world of nature). Manusia seperti itu mampu membuat

penilaian yang tepat terkait dengan nilai sebenarnya dari segala sesuatu (true value of

things) sebagaimana tanda-tanda Allah, sebagai sumber ilmu dan juga sebagai sesuatu

yang berguna bagi perkembangan spiritual dan fisik manusia. Sebagai tambahan, adab

terhadap alam dan lingkungan alamiah (natural alamiah) juga berarti bahwa seseorang

harus menempatkan pepohonan, bebatuan, pegunungan, sungai, lembah dan danau,

binatang dan habitatnya di tempat yang tepat. Adab terhadap bahasa berarti pengenalan

dan pengakuan terhadap tempat yang tepat dan benar dari setiap kata yang ditulis atau

kalimat yang diutarakan sehingga tidak menghasilkan ketidakselarasan (dissonance) dalam

makna, suara dan konsep. Sastra disebut sebagai adabiyat dalam Islam jsutru karena ia

dilihat sebagai penjaga dari peradaban dan kolektor dari pengajaran dan pernyataan yang

mengedukasi diri serta masyarakat dengan adab sehingga diangkat ke dalam peringkat

manusia dan masyarakat yang berbudaya (insan adabi).

Dalam dunia spiritual, adab berarti pengenalan dan pengakuan terhadap derajat

keluhuran (degree of perfection) yang mengkategorikan dunia ruh (spirit); pengenalan dan

pengakuan terhadap berbagai maqam spiritual (ruhani) berdasarkan tindakan pengabdian

dan penyembahan; disiplin spiritual yang menghantarkan jiwa fisik atau jiwa kebinatangan

menjadi jiwa yang spiritual atau rasional.181 Maka, tidaklah mengherankan apabila adab

merupakan ‘penampakan’ dari keadilan (‘adl) sebagaimana direfleksikan oleh hikmah.182

Oleh karena itu, hanya dengan mensintesakan makna ilmu (knowledge), “makna”

181 Risalah, para. 47, hal. 155–157. Cf. Acceptance Speech, hal. 31. 182 CEII, hal. 23.

41

(meaning), dan adab, maka definisi yang lengkap dari pendidikan Islam dapat dipahami

sebagai proses menanamkan adab yang benar yang mencakup tujuan utama, isi dan metode

pendidikan. 183

Oleh karena itu jelaslah bahwa pendidikan sebagai ta’dib adalah berbeda dari hanya

sekedar instruksi atau pelatihan profesional yang mendominasi keseluruhan sistem

pendidikan tinggi kita. Perbedaan antara pendidikan dan pelatihan juga telah dibuat oleh

banyak pendidik yang serius di Barat. Mereka sepertinya khawatir apabila pendidikan

modern lebih memperhatikan pelatihan siswa untuk berbagai jenis profesi namun tidak

berkaitan dengan pendidikan mereka. Pelatihan dapat diterapkan pada manusia dan juga

binatang, namun pendidikan, hanya dapat diberlakukan pada manusia. 184

Keunggulan intelektual dan profesional yang dihasilkan oleh institusi pendidikan

tinggi yang terkenal di dunia sebagai hasil dari jenis pelatihan semacam ini, dianggap

sebagai pendidikan “tanpa jiwa” (soulless).185 Banyak pihak telah mengabaikan perbedaan

mendasar antara pendidikan dan pelatihan karena secara langsung atau tidak langsung

mereka telah menghapus batas ontologis antara manusia dan binatang, suatu kondisi yang

memiliki tujuan-tujuan yang berseberangan (at cross purposes) dengan pandangan alam

Islam (Islamic worldview). Sangatlah membesarkan hati apabila suatu universitas seperti

UTM atau universitas yang lain, meskipun memiliki sifat keteknologian yang tinggi, juga

telah menunjukkan penghargaannya terhadap kebutuhan untuk menyediakan landasan

filosofis bagi pendidikan sains dan teknik serta pelatihan, yang merefleksikan pandangan

alam (worldview) dan sejarah intelektual kita. Keseriusan dan komitmen kepada tugas yang

luar bisa ini, pada bulan Februari 2011, UTM mendirikan Pusat Studi Lanjutan tentang Islam,

Sains dan Peradaban, The Center for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization

(CASIS). 186

Reintroduksi kreatif konsep ta'dib sebagai konsep pendidikan Islam yang

komprehensif melalui cara yang terintegrasi dan sistematis adalah hal yang penting. Bukan

hanya karena hal tersebut muncul untuk pertama kalinya di dunia Muslim kontemporer,

namun lebih signifikan, ia menyediakan konsep yang otentik, terpadu, dan menyeluruh serta

menyediakan kerangka berfikir (framework) yang kuat bagi pemikiran dan praktik

pendidikan, terutama di tingkat universitas. Di antara para pemikir muslim, di samping al-

183 Ibid., hal. 27. 184 Marjorie Reeves, The Crisis in Higher Education: Competence, Delight and the Common Good (Milton

Keyes, U.K: The Society for Research into Higher Education & Open University Press, 1988), hal. 2-3 185 Harry R. Lewis, Excellence Without a Soul: How a Great University Forgot Education (New York: Public

Affairs, 2006). Prof. Lewis adalah dekan pada Harvard College. 186 Zaini Ujang, New Academia: UTM as a Global Brand (Johor Bahru: UTM Press, 2012); idem, Revitalizing the

Soul of Higher Learning (Johor Bahru: UTM Press, 2013). Pada dua volume itu, Prof Zaini Ujang yang ketika itu merupakan rektor UTM, bicara tentang usaha UTM untuk menanamkan budaya ilmu yang agung dan komprehensif, dan melakukan evaluasi prestasi akademik dan kontribusinya baik faktor yang terindra maupun yang tidak terindra.

42

Attas, M. Fethullah Gulen secara teratur dan (unapologetically) menekankan sentralitas

adab (centrality of adab) dan perkembangan kepribadian manusia secara keseluruhan

sebagai tujuan utama dari pendidikan tinggi. Dia menekankan kepada perkembangan

kepribadian muslim yang merupakan pemikiran dan tindakan kepahlawanan,

mentransformasikan diri sendiri serta komunitasnya serta berusaha membantu umat

manusia secara global. Dengan kata lain, tujuan sesungguhnya dari reformasi spiritual yang

ditawarkan Gulen adalah untuk menciptakan “manusia universal”. Mereka adalah apa yang

ia sebut sebagai, "khalifah di bumi" (warithun al-ardh)187 yang berasal dari Al-Qur'an. 188

Perlu ditekankan bahwa Fethullah Gulen menyamakan adab dengan tasawuf yang benar

(true sufism). 189Adab merupakan konsep spiritual, epistemologis dan etis yang sangat

komprehensif. Konsep adab berakar pada; pertama, adab terhadap Allah dan kemudian

menyebar menjadi adab terhadap diri sendiri dan adab terhadap orang lain. Saya menduga

bahwa adab merupakan salah satu yang dapat menciptakan dan meliputi seluruh atribut

dari “warithun al-ardh” (khalifah di bumi).190

Para sarjana Barat modern yang mencoba untuk memahami ide-ide besar

pendidikan dari beberapa peradaban, setuju bahwa gagasan Yunani “paideia “ atau budaya

pendidikan dan pemahaman mereka tentang manusia berpendidikan (educated man) tetap

merupakan gagasan yang paling komprehensif dan mendalam yang pernah dikembangkan

oleh umat manusia. Namun sesungguhnya makna yang terkandung dalam konsep ‘paideia’

jelas tidak memiliki unsur spiritual yang sangat dibutuhkan. Sebagaimana telah diamati

bahwa filsafat pendidikan Kristen memang memiliki akar spiritual yang jelas, tetapi telah

dibuktikan dalam bagian yang lebih besar dari sejarah intelektualnya, ia tidak menunjukkan

kecenderungan untuk meluas dan konsisten terhadap ilmu-ilmu non-agama. Sarjana

modern telah menemukan bahwa integrasi yang lebih baik antara ilmu-ilmu agama dengan

ilmu atau sains sekuler terdapat dalam konsepsi Muslim dan praktek adabnya. Beberapa

dari mereka bahkan telah menyatakan, banyaknya keuntungan dari adab sebagai

pendidikan par excellence, dapat membantu memecahkan beberapa krisis dalam

pendidikan modern. 191

187

Judul dari bab ke-2 dari bukunya, Statue, hal. 5-10. 188 surah al-Anbiya (21): 105— janji Allah kepada Nabi Musa a.s. dan kepada semua Nabi (wa laqad

katabnafi’l-z-Zabur min ba’di-zikri annal al-ardha yarithuha ‘ibadiya al-salihun (Itulah yang sungguh telah tertulis dalam Zabur, bahwa hamba-hamba-Ku, orang-orang soleh, akan mewarisi bumi.” 189

M. Fethullah Gulen, Key Concepts in the Practice of Sufism: Emerald Hills of the Heart. 4 Vols. Revised edition. (New Jersey: Fountain, 2004), 2: 14. 190

Gulen, Sufism, 2: 13-17. 191 Peter Brown, “Late Antiquity and Islam: Parallels and Contrast,” in Barbara Daly Metcalf, ed., Moral

Conduct and Authority: The Place of Adab in South Asian Islam (Berkeley: University of California Press, 1977), hal. 23-27. For a comprehensive and profound exposition of the Greek idea, see Werner Jaeger’s classic work Paideia: The Ideals of Greek Culture. English translation by Gilbert Highet, 3 Vols., 2nd Edition (New York and Oxford: Oxford University Press, 1945).

43

Sedangkan yang lain menyarankan adanya penanaman kesadaran192 dan kesopanan. 193 Para pendukung gagasan (yang semakin populer) dari kewarganegaraan global (global

citizenship), sebagai lawan dari nasional, mengakui adanya dilema antara mengabadikan

sejarah panjang imperialisme budaya Barat, apabila nilai-nilai liberal-demokratis Barat

tersebut dibuat untuk mendominasi dalam menentukan kosmopolitanisme global daripada

non Barat, atau kehilangan sekumpulan nilai-nilai khas Barat jika berbagai pluralisme

budaya tersebut diterima.194 Kebijaksanaan kuno Konfusius mengenai landasan pentingnya

pria dan wanita (chun-tzu) yang benar-benar baik dalam penciptaan dunia yang damai

mungkin masih relevan bahkan sampai hari ini. 195Pemikir Afrika telah berdebat untuk

penanaman “Ubuntu”, yaitu sebuah konsep yang sangat mendasar dalam filsafat Afrika dan

pandangan alamnya (worldview), yang dianggap sebagai "semacam keterkaitan manusia

dan martabat seseorang terhadap orang lain, pertama dalam kelompok budayanya, dan

kedua bagi seluruh umat manusia.” 196

Perkembangan Sosial

Filosofi pendidikan Islam, terutama pada pendidikan tinggi, sangat menekankan

perkembangan individu secara komprehensif tanpa melupakan aspek sosial. Kesatuan

antara unsur individu, sosial, dan kemanusiaan tidak sekedar disebabkan adanya kontrak

sosial ataupun undang-undang, namun bersumber pada sesuatu yang lebih fundamental,

yaitu berasal dari perintah Al Qur’an Surat al-A’raf (7) ayat 172 serta dari makna din (agama

Islam) itu sendiri. Penggunaan orang pertama jamak (dalam “Kami bersaksi” dalam QS. al-

A’raf 172) menunjukkan kesadaran individu dalam hubungannya dengan manusia lain dan

dengan Tuhan.197 Tujuan pendidikan Islam untuk melahirkan manusia baik/shaleh tidak

berarti menafikan kebutuhan untuk mencetak masyarakat yang baik. Masyarakat terdiri dari

192 Jeffery Sachs, The Price of Civilization: Reawakening Virtue and Prosperity After the Economic Fall (London:

Vintage, 2012), hal. 161-184. 193 Os Guinness, The Case for Civility and Why our Future Depends on It. Harper Collins e-books, 2008. Jeffery Sachs, The Price of Civilization: Reawakening Virtue and Prosperity After the Economic Fall (London:

Vintage, 2012), hal. 161-184. 193 See Os Guinness, The Case for Civility and Why our Future Depends on It. Harper Collins e-books, 2008. 194 Rodrigo Britez and Michael A. Peters, “Internationalisation and the Cosmopolitical University”, hal. 365. 195 Confucius, The Great Learning: A Source Book in Chinese Philosophy. Translated by W. T. Chan (Princeton:

Princeton University Press, ), bab. 1, hal. 86; lebih detail, lihat Tran Van Doan, Ideological Education and Moral Education, dalam Trans Van Doan, Vincent Shen and George F. McLean, eds. Chinese Foundations for Moral Education and Character Development (Washington, DC: The Council for Research in Values and Philosophy, 1991), hal. 113-153. 196 Y. Waghid and Paul Smeyers, “Reconsidering Ubuntu: On the Educational potential of a Particular Ethic of

Care”, in Educational Philosophy and Theory. Special Issue. African Philosophy of Education. Guest editors, Yusef Waghid and Paul Smeyers. Vol. 44, No. S2, Sept. 2012, hal. 11; see also in the same journal, the article by Peter A. D. Beets, “Strengthening Morality and Ethics in Educational Assessment through Ubuntu in South Africa”, hal. 79-81; and by Lesley Le Grange, “Ubuntu, Ukama and the Healing of Nature, Self and Society”, hal. 56-67. 197

Risalah, para. 13, hal. 40, dan para. 29, hal. 195-106; IS, hal. 69-70.

44

individu-individu. Individu-individu yang baik menyusun terbentuknya masyarakat yang baik.

Individu yang baik merupakan struktur utama masyarakat yang baik.198

Sesosok individu baru memiliki makna ketika ia menyadari keunikannya sekaligus

kesamaannya dengan individu lain di sekitarnya. Sesosok individu menjadi kehilangan

makna saat hidup dalam isolasi, sebab ia tidak lagi menjadi individu, ia menjadi segalanya.

Sebagaimana tertuang dalam penjelasan tentang makna adab, manusia beradab (insan

adabi) adalah individu yang memiliki kesadaran penuh tentang dirinya dan hubungan dirinya

dengan Sang Pencipta, masyarakat, serta segala makhluk ciptaan Allah baik yang kasat mata

maupun yang tidak. Oleh karena itu, menurut Islam, individu yang baik atau manusia yang

baik haruslah juga merupakan hamba Allah yang baik, ayah yang baik, suami yang baik, anak

yang baik, tetangga yang baik, serta menjadi warga negara yang baik. Dalam bahasa Melayu,

civilization memiliki dua arti, yaitu tamadun dan peradaban. Kata peradaban menunjuk

pada kontribusi komprehensif dan lintas-generasi dari manusia-manusia beradab, baik laki-

laki maupun perempuan.

Walaupun masyarakat terdiri dari individu-individu, pendidikan masyarakat tidak

dapat terjadi kecuali ada individu terpelajar dengan jumlah yang cukup. Masyarakat sebagai

sebuah kesatuan memiliki makna yang lebih besar dari sekedar kumpulan individu.199 Oleh

karena inilah, seorang Muslim yang memahami worldview al-Qur’an—walaupun hanya

secara umum—tidak akan mengabaikan tugas sosialnya. Ia tahu bahwa pengadilan Allah di

akhirat terhadap dirinya sebagai individu200 tidak akan terlepas dari kehidupannya di dunia

sebagai bagian dari masyarakat. Penilaian ini tidak akan berpengaruh kecuali sebagai ujian

bagi laki-laki dan wanita yang baik/shaleh. Terkadang, mereka harus menanggung

konsekuensi akibat mengabaikan tugasnya di dunia sebagaimana dituntut oleh agama.201

Tidak diragukan lagi, integrasi dari kualitas spiritual dan etika merupakan makna tertinggi

dari kewarganegaraan dan profesi.202Lebih lanjut, pemahaman dan pelaksanaan tentang

kategori fardlu ‘ain dan fardlu kifayah memastikan kesadaran akan adanya kebutuhan

individu dan kebutuhan sosial. Fardlu kifayah secara jelas menunjukkan hubungan dengan

198

CEII, hal. 25. 199

Al-Attas, Comments on the Reexamination of al-Raniri’s Hujjat al-Siddiq: A Refutation (Kuala Lumpur: Museum Department, 1975) hal. 104-106.

200 Dalam al-An‘am (6): 164, Allah memerintahkan kepada para Nabi untuk menyampaikan : “Dan tidaklah

seorang membuat dosa, melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” 201

Hud (11): 116. Lihat juga penjelasan Fazlur Rahman tentang konsep al-Qur’an atas peradilan akhirat, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis and Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), hal. 52-56.

202J. Douglas Brown, dalam paragraf kesimpulan di bukunya, menulis untuk menekankan kesatuan sosial dalam

pendidikan tentang bagaimana mencetak manusia utuh: “...pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang reaksi manusia, kekuatan analisa, penilaian, dan komunikasi, pengetahuan sejarah, dan integritas moral dan intelektual merupakan profesi tertinggi.” The Liberal University: An Institutional Analysis (New York: McGraw Hill, 1969), hal. 237. Hal senada diakui Tonsor: “pendidikan kewarganegaraan terbaik adalah pendidikan yang mampu mencetak manusia yang bermanfaat bagi masyarakat”. S.Tonsor, Tradition and Reform in Education (Virginia: Open Court, 1974) hal. 105

45

kehidupan sosial, sedangkan fardlu ‘ain biasanya dianggap tidak memiliki hubungan

langsung. Padahal, kemampuan untuk melaksanakan fardlu ‘ain sangat mempengaruhi

kesuksesan pelaksanaan fardlu kifayah. Hal ini disebabkan fardlu ‘ain membentuk cara pikir

dan prinsip-prinsip motivasi bagi pelaksanaan fardlu kifayah. Fardlu ‘ain tidak dibatasi pada

segelintir ibadah ritual, melainkan mencakup kewajiban-kewajiban yang lebih luas.

Pemilihan aktivitas dalam kategori fardlu kifayah seharusnya tidak menjadi pilihan individu

melainkan memerlukan pemikiran yang adil terkait kebutuhan sosial dan kebutuhan

negara.203 Bahkan, menurut Tibawi, pencapaian individu dalam tradisi pendidikan Islam,

yakni kebahagiaan dunia dan akhirat, dapat dirasakan secara lebih konkret dan lebih

bermanfaat bagi tiap-tiap individu warga negara daripada tujuan sosial yang dihasilkan oleh

konsep negara modern.204

Diskusi ini mengindikasikan tujuan akhir dari Islamisasi sebagai bagian tak

terpisahkan dari perkembangan manusia yang berpusat pada pembinaan adab; mencetak

manusia beradab yang sesungguhnya, sebagai lawan kata dari manusia ‘biadab’. Dari sudut

pandang Islam, munculnya kebiadaban pada kaum muslimin disebabkan faktor eksternal

dan internal. Faktor eksternal disebabkan oleh agama-budaya dan sosial-politik dari

kebudayaan dan peradaban Barat,205 sedangkan faktor internal disebabkan tiga fenomena,

yaitu kebingungan ilmu, keruntuhan adab, dan keberadaan pemimpin-pemimpin yang tidak

berkualitas di segala bidang.206 Namun, keruntuhan adab lah yang harus segera diluruskan

jika kaum Muslimin ingin menyelesaikan persoalan kebingungan ilmu dan kepemimpinan.

Kelurusan adab merupakan syarat untuk mempelajari ilmu. Pelajar wajib memiliki sikap dan

adab yang benar terhadap ilmu dan para ulama.207

Adab merupakan bagian tak terpisahkan dari kebijaksanaan dan keadilan. Oleh karena itu, hilangnya adab akan menyebabkan datangnya kebodohan (humq), ektremis agama maupun sekular, ketidakadilan, kegilaan (junun), dan bahkan terorisme.208 Saat ini dunia seakan sebuah kampung global. Pendidikan yang mencetak manusia baik, yakni laki- 203

al-Attas, Aims and Objectives, p. 45. Untuk melengkapi diskusi ini, baca buku saya, Educational Philosophy, bab v.

204A. L. Tibawi, Islamic Education: Its Tradition and Modernization into the Arab National Systems (London:

Luzac & Co., 1972), hal. 207. 205

Risalah, paras. 7-9, hal. 12-27. 206

Ibid., para. 153, hal. 178-180. 207

Ibid., para. 53, hal. 180-183; al-Attas, Aims and Objectives, hal. 3. 208

Op. cit., para. 55, hal. 186-187. Lihat juga Syed Muhammad Naquib al-Attas, "Address of Acceptance of Appointment to the al-Ghazzali Chair of Islamic Thought", in Commemorative Volume on the Conferment of the al-Ghazzali Chair (Kuala Lumpur: ISTAC, 1994) hal. 31. Menurut al-Ghazzali, kebodohan (humq), adalah penggunaan metode yang salah dalam mencapai tujuan yang baik, sedangkan kegilaan (junun) adalah perjuangan untuk mencapai tujuan yang salah. Dikutip oleh Muhammad Umaruddin, The Ethical Philosophy of Al-Ghazzali. Edisi cetak ulang tahun 1962 (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1970) hal. 166. Sungguh benar suatu kegilaan jika tujuan mencari ilmu bukanlah untuk mendapatkan kebahagiaan sejati atau cinta Tuhan (mahabbah) di dunia ini, sebagaimana dinyatakan oleh agama yang benar, serta untuk mencapai pandanganNya (ru’yatullah) di akhirat; lihat Al-Attas, The Meaning and Experience of Happiness in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993) hal. 1; lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, “Containing Muslim Extremism and Radicalism”. Sari: International Journal of the Malay World and Civilization. 28 (1) 2010: 241-252.

46

laki dan perempuan beradab dijamin lebih memberikan manfaat daripada pendidikan yang sekedar mencetak warga negara yang bermanfaat. Hal ini dikarenakan proyek-proyek penting, baik ekonomi, pendidikan, maupun politik, semakin mendunia sifatnya. Agenda nasional justru akan merusak kesuksesan proyek-proyek multinasional. Kemudahan perjalanan internasional dapat membantu warga dari negara ataupun organisasi yang rusak untuk mencari tempat hidup yang lebih baik. Perkembangan teknologi IT (internet) telah menghapus batas-batas nasionalisme, menyebarkan informasi secara tak terbatas—baik yang baik maupun yang buruk. Banjir informasi ini telah menyebabkan kebingungan yang luar biasa, serta membawa isi yang membahayakan secara etika, budaya, dan sosial. Kondisi semacam ini sangat memerlukan individu-individu manusia yang beradab, baik laki-laki maupun perempuan. Ekonomi global dapat menghancurkan kehidupan jutaan manusia apabila manusia-manusia dari negara super power mencari keuntungan jangka pendek bagi dirinya maupun negaranya saja.209 Kesimpulan

Gemuruh dan kemilau janji-janji positif peradaban Barat modern dan globalisasi,

tidak sepatutnya memalingkan kita dari sikap kritis-evaluatif berbagai efek sebaliknya –

bukan hanya terhadap masyarakat non-Barat, tetapi juga terhadap Barat itu sendiri. Di saat

begitu banyak pemikir dan Negara non-Barat yang terus mencurahkan tenaga besar untuk

membangun kerangka kerja (framework) yang lebih baik dan argumentative – jika bukan

untuk masyarakat dunia, setidaknya untuk masyarakat mereka sendiri – umat dan negeri-

negeri Muslim harusnya lebih terdorong untuk menawarkan kontribusi yang otentik dalam

dekolonisasi dan de-westernisasi melalui proses Islamisasi; yang mewujudkan semangat

“dynamic stabilism”. Para pemikir Muslim, pengambil kebijakan, dan kaum professional

dalam seluruh bidang, tidak patut bersikap apologetik atau defensif dalam mengemas

kembali warisan agama dan peradaban mereka. Ini sangat diperlukan untuk memimbing

umat dalam berinteraksi dengan berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh modernitas

Barat , tanpa mengabaikan berbagai keunggulan yang bermanfaat, bukan hanya yang

datang , tetapi juga dari bagian dunia lainnya.

Islamisasi, tanpa diragukan lagi, adalah suatu bagian, dan bukan totalitas dari proses

dekolonisasi, de-westernisasi, dan indigenisasi; sebab tidak semua aspek dari agama colonial

dan Barat, budaya, dan elemen-elemen peradaban bersesuaian dengan Islam. Sama hanya;

ini juga bukan suatu indigenisasi yang total; sebab tidak semua aspek budaya tradisional dan

penerapanya, bersesuaian sepenuhnya dengan Islam.

209

Untuk penjelasan lebih lanjut baca artikel saya, “Insan Baik Teras Kewarganegaraan”, hal. 1-24; Untuk diskusi yang mendalam tentang peran agama dalam pendidikan multikultural dari ilmuwan ternama Rusia, lihat Marietta Stepanyants, “Challenges for Education in the Age of Globalization.” Dalam Wan Mohd Nor Wan Daud and Muhammad Zainiy Uthman, eds. Knowledge, Language, Thought and the Civilization of Islam; hal. 221-235.

47

Lebih penting, Islamisasi, sebagaimana dijelaskan al-Attas dengan tepat, adalah

proses ganda dari individu manusia dan pembebasan masyarakat dari paham nasionalistik

yang sempit, tradisi mistis dan mitologis; dan kembalinya pada hakikat dan tujuan dirinya

yang asli, menjadi hamba Allah yang sadar dan ridha. Pada tataran individu, Islamisasi

adalah transformasi diri seseorang melalui proses ta’dib secara intelektual-spiritual-etika,

yang mencakup tazkiyyatun nafs, muhasabah, dan mujahadah. Insan adabi yang dihasilkan

dari proses ta’dib ini adalah seseorang yang secara harmonis dapat berinteraksi dengan

social-ekonomi dan keragaman budaya di dunia yang telah mengglobal. Insan adabi yakin

dengan nilai-nilai dan identitasnya, dan juga memahami hak-hak eksistensial dan budaya

dari umat lain sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran dan dijabarkan dalam sunnah Nabi

saw serta para pemimpin yang mendapatkan petunjuk Allah dalam semua bidang. Insan

adabi dapat berinteraksi dengan baik dengan dunia yang plural tanpa kehilangan

identitasnya sendiri; atau menindas hak yang lain meskipun berbeda dalam pandangan alam

dan kerangka epistemic. Berinteraksi dengan berbagai level realitas dengan cara yang tepat

dan benar akan memungkinksannya untuk meraih kebahagiaan spiritual dan permanen, baik

di dunia maupun di akhirat.

Pendidikan Tinggi adalah tempat yang paling arkitektonik dan paling strategis untuk

melakukan Islamisasi, yang mengharuskan bahwa perencanaan, muatan, dan metode

pendidikan di Pendidikan Tinggi haruslah merefleksikan kekuatan dan kekonsistenan yang

menekankan adab yang benar terhadap berbagai tingkatan wujud. Jika sebagian besar

insitusi Pendidikan Tinggi kita dalam mengembangkan dalam diri kita adab yang benar dan

memberikannya – serta keterampilan yang diperlukan – kepada seluruh mahasiswa kita juga

yang lain, maka kita berarti telah melaksanakan tugas kita dan pengembangan kembali

peradaban kita dengan baik. Jika universitas kita, insstitusi pelatihan-pelatihan professional

kita, think tanks kita, serta pusat-pusat penelitian unggulan kita, gagal untuk mengemban

tugas ini, maka mereka telah memberikan kontribusi terjadinya “the loss of adab” dalam

bentuknya yang komprehensif; dan memberikan kontribusi munculnya para ahli dan

pemimpin yang secara teknis sangat berkualitas tetapi cacat dalam nilai kemanusiaannya.

Dalam perspektif ini, insitusi-insitusi tersebut telah melakukan kesalahan berupa

pengkhianatan terbesar, bukan hanya kepada kepercayaan umat, tetapi juga kepada dunia

secara keseluruhan, tatkala kerangkakerja yang dominan adalah “menggoda” dan menuju

bunuh diri. Barangkali, ini terkait dengan tingkatan dan karena itu penyalahtempatan

berbagai gagasan, sains, dan masyarakat, dari tempat mereka yang tepat, telah membuat al-

Attas mengajukan pendapatnya bahwa universitas sekuler modern di mana pun adalah

miniature manusia dalam kondisi zalim, yang dipelihara dengan dorongan, elevasi, dan

legitimasi keraguan dan “minimfakta” (conjecture) sebagai perangkat epistemology dalam

penelitian ilmiah. 210

Sistem pendidikan kita, termasuk institusi Pendidikan Tinggi, telah meraih berbagai

tingkat kesuksesan, yang sepatutnya membuat kita berbangga. Tapi, betapa pun, ini tidak

210

Al-Attas, IS, hal. 148

48

sepatutnya menghentikan kita untuk membuat perubahan yang berarti. Wacana dan

implementasi gagasan Islamisasi pada level Pendidikan Tinggi tidak seharusnya terbatas

pada ISTAC-IIUM, atau insitusi lain dengan nama Islam, tetapi juga diterpkan terhadap

seluruh institusi pendidikan tinggi kita lainnya, termasuk insitusi pendidikan di bawah

perusahaan Negara; dengan catatan, ini harus dilaksanakan secara etis dan bertanggung

jawab, dan secara moderat. Sejarah budaya kita, warisan peradaban kita, dan konsitusi kita

yang menenpatkan Islam sebagai agama resmi Persekutuan, merupakan landasan yang

cukup untuk mejalankan proyek ini. Kita tidak sepatutnya membuang lebih banyak waktu

dan sumber daya. (***)