IMPLEMENTASI PERDA KOTA SERANG NO. 2 TAHUN 2010
TENTANG PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN
PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT (Studi kasus Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh :
HAMDAN NURKHOLIS
6661130290
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2017
ABSTRACT
Hamdan Nurkholis. NIM 6661130290. Skripsi Impelementation of
Perda City Regulalation No. 2 of 2010 concerning prevention, eradication
and overcoming community diseases in thomeless and beggar case
studies. The purpose of this is to gain knowledge about the
implementation of PERDA Kota Serang No. 2 Tahun 2010. 1st Advisor:
Dr. Dirlanudin, M.Si and 2nd Advisor : Riny Handayani, S.Si, M.Si
This type of research is descriptive qualitative. The purpose of this study was to
gain knowlegde about the implementation of Serang city regulation no. 2 of 2010,
the adverse effects of homeless activities and beggars, and the solutions of the city
Serang government in solving this problem. Data collection techniques use field
studies, interviews, photos, and graphic or table documents. Observation began
by visiting several places where homeless and beggarswere located at the red
lights of the city of Serang, Alun-alun,the Maulana Yusuf Stadium and the rau
market city of serang. the backround of this research is the growing and
increasing activity of homeless and beggars in Serang cities that have a vision of
being a civil city. In addition, the researchers saw bthe adverse effects of
homeless activities and beggars in the city of attack began to threaten the value of
the beauty of the orderliness and comfort of the attacking city people. Departing
from this bcakground, the researcher focused this research on how the
implementation of the Regional Regulation of Serang City No. 2 of 2010, which
should be a legal basis for preventing, eradicating and overcoming the activities
of homeless and beggars in Serang City. Furthermore, the researcheers conductes
interviews with several people and groups invoved in homeless activities and
beggars, including two Serang city government agencies that deal with beggar
homelessness issues, namely the Social Services and Satpol PP City of Serang.
from the result of research conducted by researchesers, it can be concluded that
the implementation of regional regulation no 2 of 2010 has not been going well.
Keywords : implementation of Serang city regulation no. 2 of 2010, homeless
activities and beggars, Social Services and Satpol PP City of Serang
ABSTRAK
Hamdan Nurkholis. NIM 6661130290. Skripsi. Implementasi Perda Kota
Serang No 2 Tahun 2010 tentang pencegahan, pemberantasan dan
penanggulangan penyakit masyarakat dalam studi kasus aktivitas
gelandangan dan pengemis di Kota Serang. Pembimbing I: Dr. Dirlanudin.
M.si dan Pembimbing II: Riny Handayani, S.Si, M.Si
Jenis penelitian ini adalah bersifat deskriptif kualitatif. Tujuan penelitian ini untuk
mendapatkan pengetahuan tentang Implementasi Perda Kota Serang No 2 Tahun
2010, dampak buruk dari aktivitas gelandangan dan pengemis, dan solusi
pemerintah Kota Serang dalam menyelesaikan masalah ini. Teknik pengumpulan
data menggunakan studi lapangan, wawancara, foto dan dokumen grafik atau
tabel. Observasi dimulai dengan mendatangi beberapa tempat mangkal
Gelandangan dan pengemis yang ada di Lampu Merah Kota Serang, Alun-alun,
Stadion Maulana Yusuf dan Pasar Rau Kota Serang. Latar belakang penelitian ini
adalah tumbuh dan meningkatnya aktivitas gelandangan dan pengemis di Kota
Serang yang memiliki visi sebagai Kota Madani. Selain itu, peneliti melihat
dampak buruk aktivitas gelandangan dan pengemis di Kota Serang ini mulai
mengancam nilai keindahan Kota Serang serta mengganggu ketertiban dan
kenyamanan masyarakat Kota Serang. Berangkat dari latar belakang tersebut,
peneliti memfokuskan penelitian ini pada Bagaimana implementasi Perda Kota
Serang No 2 Tahun 2010, yang mana seyogyanya perda tersebut menjadi landasan
hukum untuk mencegah, memberantas dan menanggulangi aktivitas gelandangan
dan pengemis di Kota Serang. Selanjutnya peneliti melakukan wawancara dengan
beberapa orang dan kelompok yang terlibat dalam aktivitas gelandangan dan
pengemis, termasuk dua instansi pemerintah Kota Serang yang menangani
masalah gelandangan pengemis, yakni Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang.
Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti, dapat disimpulkan bahwa
implementasi Perda No 2 Tahun 2010 sampai saat ini tidak berjalan dengan baik.
Kata kunci : Implementasi Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010, Aktivitas
Gelandangan dan Pengemis, Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang
iii
MOTTO DAN LEMBAR PERSEMBAHAN
“Banyak Ilmu menambah
pengalaman, banyak teman
menambah saudara”
Persembahan :
“Skripsi ini kupersembahkan untuk
Kedua Orang Tua ku Tercinta
Serta kerabatku yang disayang dan
juga atas Bimbingan, Do‟a,
Motivasi secara moral selama
penyusunan Skripsi ini
berlangsung.”
iv
KATA PENGHANTAR
Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatu,
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat illahi Rabbi
kemudian shalawat serta salam semoga terlimpah dan tercurah kepada Nabi
besar Muhammad S.A.W yang telah mengiringi doa dan harapan penulis
untuk mewujudkan terselesaikanya penelitian skripsi ini yang berjudul
IMPLEMENTASI PERDA KOTA SERANG NO 2 TAHUN 2010
TENTANG PEMBERANTASAN, PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT ( Studi
Kasus Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota
Serang ). Penelitian skripsi ini dibuat sebagai persyaratan untuk
memperoleh Gelar Sarjana Strata satu (S1) Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
pada konsentrasi Kebijakan Publik program studi ilmu Administrasi Negara.
Sekalipun penulis menemukan hambatan dan kesulitan dalam memperoleh
informasi akurasi data sari para narasumber namun disisi lain penulis juga
sangat bersyukur karena banyak mendapat masukan untuk menambah
wawasan dan pengetahuan khususnya pada bidang yabg sedang diteliti oleh
penulis. Untuk terwujudnya penulisan penelitian skripsi ini banyak pihak
yang membantu penulis dalam memberikan motivasi baik waktu, tenga, dan
ilmu pengetahuanya. Maka dengan ketulusan hati, penulis mengucapkan
terima kasih kepada kedua orang tua tercinta atas curahan perhatian dan
v
kasih sayangnya dan juga doa yang tak henti serta motivasi dalam
pengerjaan penelitian skripsi ini.
Pada kesempatan ini juga suatu kebanggan bagi penulis untuk
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak
yang telah membantu dan mendukung, penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Bapak DR. Agus Sjafari., M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Ibu Rahmawati, S.Sos., M.Si., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Bapak Iman Mukhroman, S.Sos., M.Si., Wakil Dekan II
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
5. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S.Sos., M.Si., Wakil Dekan III
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa
6. Ibu Listyaningsih, M.Si., Ketua Jurusan Ilmu Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa.
vi
7. Bapak Riswanda, Ph.D Sekretaris Jurusan Ilmu Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa.
8. Bapak Dr. Dirlanudin, M. Si., sebagai dosen pembimbing I
yang telah senantiasa memberikan arahan dan bimbingan
secara sabar dan juga dukungan selama proses penyusunan
skripsi.
9. Ibu Riny Handayani, S.Si, M.Si., sebagai dosen pembimbing II
yang telah senantiasa memberikan bimbingan, arahan dan
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian
skripsi ini.
10. Kepada seluruh Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa yang membekali penulis dengan ilmu pengetahuan
selama perkuliahan.
11. Para Staf Tata Usaha (TU) Program Studi Ilmu Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa atas segala bantuan informasi selama
perkuliahan.
12. Kepada kedua orang tuaku tercinta yakni Bapak Maman
Amirsyad, SE dan Ibu Hamdiyah yang telah menjadi motivator
terbesar selama perjalanan hidupku. Terima kasih atas segala
doa, bimbingan, kasih sayang, penyemangat, perhatian,
vii
dukungan serta motivasi yang tidak ada henti-hentinya yang
selalu diberikan untuku.
13. Kepada Ika Adhania yang selalu mendampingi, tak pernah
lelah memberikan semangat kepada saya dan yang saya cintai
setelah orang tua saya.
14. Kepada Pihak Dinas Sosial Kota Serang yang telah
memberikan informasi,data, dan ketersediaan waktu dalam
proses pengambilan data untuk penulis
15. Bapak Heli Priatna Selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial di
Dinas Sosial Kota Serang yang telah menjadi informan dan
memberikan informasi, data, dan ketersediaan waktu dalam
proses pengambilan data untuk penulis serta ilmu
pengetahuanya mengenai fokus penelitian pada skripsi ini.
16. Bapak Juanda, Selaku Kepala Seksi Penegakan Hukum Produk
Hukum Daerah di Satuan Polisi Pamong Praja Kota Serang
yang telah menjadi informan dan memberikan banyak
informasi yang saya butuhkan selama penyusunan skripsi;
17. Kepada kakak kandung tercinta saya Nurul Qomariyah yang
memberikan motivasi dan warna dalam hidup.
18. Kepada seluruh saudara-suadataku yang telah mendoakan,
memberi semangat dan motivasi.
viii
19. Teman-teman kelas A Angkatan 2013 Ilmu Administrasi
Negara selama menuntut ilmu. Terimakasih atas semua
kenangan selama empat tahun perkuliahan kalian luar biasa.
20. Kepada para sahabat Raihan Difa Utama, Helmi Yuda, Fathur
Rahman, Ratu Lana Arga, Farhan Latif dan Aji Dewantoro.
Terimakasih untuk persahabatan aktivitas bermain saya, doa
dan motivasi yang telah diberikan dalam penggarapan skripsi.
21. Kawan-kawan Hoby saya dalam bersepeda yang turut
memberikan dukungan dan doanya dalam penyusunan skripsi
22. Kawan-kawan KKM Kamenpora yang juga memberikan
pengalaman hidup serta motivasi dan semangat kepada penulis,
terutama Fathur Rahman yang sudah membantu peneliti.
Dengan ini penelitian skripsi telah selesai disusun. Penulis meminta
maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan dalam pembuatan skripsi ini.
Maka dari itu kritik dan saran saya harapkan guna memperbaiki dan
menyempurnakan skripsi berikutnya. Penulis pun berharap agar skripsi ini
dapat bermanfaat bagi peneliti sendiri dan pembaca.
Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Serang, 28 Februari 2018
Penulis
Hamdan Nurkholis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
Halaman
KATA PENGHANTAR ...................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian ............................................................. 1
1.2 Identifikasi Masalah ...................................................................... 36
1.3 Rumusan Masalah ......................................................................... 37
1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................... 38
1.5 Manfaat Penelitian .........................................................................38
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN
ASUMSI DASAR PENELITIAN
2.1 Konsep Kebijakan Publik ............................................................. 42
2.1.1 Kebijakan Publik .................................................................. 42
2.1.2 Analisis Kebijakan Publik .................................................... 48
2.2 Konsep Implementasi Kebijakan Publik .......................................50
2.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik ........................50
2.2.2 Langkah-langkah Implementasi Kebijakan Publik .............53
2.2.3 Teori Implementasi Kebijakan Publik .................................54
x
2.3 Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit
Masyarakat.......... 65
2.4 Penyakit Masyarakat ................................................................... 70
2.5 Penelitian Terdahulu ..................................................................... 73
2.5 Kerangka Berfikir .......................................................................... 75
2.6 Asumsi Dasar Penelitian ................................................................ 79
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian ........................................................................... 81
3.2 Fokus Penelitian ............................................................................. 82
3.3 Lokasi Penelitian ........................................................................... 82
3.4 Instrumen Penelitian ...................................................................... 83
3.5 Informan Penelitian ........................................................................ 85
3.6 Teknik Pengolahan dan Pengumpulan Data ................................... 89
3.6.1 Teknik Pengumpulan Data .................................................... 89
3.6.2 Teknik Analisis Data ............................................................. 97
3.6.3 Uji Keabsahan Data ............................................................... 100
3.7 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 103
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Obyek Penelitian ............................................................. 105
4.1.1 Profil Kota S erang .................................................................. 105
4.1.2 Gambaran Umum Dinas Sosial Kota Serang .......................... 110
4.1.3 Profil Satpol PP Kota Serang ...................................................120
4.2 Deskripsi Data ................................................................................. 127
xi
4.2.1 Informan Penelitian ................................................................ 131
4.2.2 Deskripsi Penlitian ................................................................. 134
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ......................................................... 140
4.3.1 Komunikasi ............................................................................ 161
4.3.2 Sumber Daya ......................................................................... 192
4.3.3 Disposisi ................................................................................ 207
4.3.4 Struktur Birokrasi .................................................................. 213
4.4 Ringkasan Hasil Pembahasan ....................................................... 222
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 224
5.2 Saran ................................................................................................ 230
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Data Jumlah Gelandangan dan Pengemis Tahun 2017 9
Tabel 1.3 Data Jumlah Gelandangan dan Pengemis Tahun 2018 14
Tabel 3.1 Daftar Informan Penelitian 102
Tabel 3.2 Pedoman Wawancara Penelitian 108
Tabel 3.4 Jadwal dan Waktu Penelitian 120
Tabel 4.1 Luas Wilayah Kecamatan di Kota Serang 123
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kota Serang Tahun 2014-2017 126
Tabel 4.3 Daftar Informan Penelitian 149
Tabel 4.4 Jenis dan Jumlah PMKS Tahun 2018 154
Tabel 4.5 SOP Penjaringan Pekat oleh Dinas Sosial Kota Serang 205
Tabel 4.6 Hasil Ringkasan Pembahasan 211
xiii
DAFTAR GAMBAR
HALAMAN
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir 86
Gambar 3.1 Analisis Data menurut Miles & Huberman 116
Gambar 4.1 Kantor Dinas Sosial Kota Serang 127
Gambar 4.2 Struktur Dinas Sosial Kota Serang 131
Gambar 4.3 Kantor Satpol PP Kota Serang 138
Gambar 4.4 Struktur Organisasi Bidang PPUD Satpol PP Kota Serang 143
Gambar 4.5 Wawancara dengan Ibu Iroh (Pengemis) 157
Gambar 4.6 Wawancara dengan Bapak Mudi (Gelandangan) 159
Gambar 4.7 Rapat Sosialisasi Perda 168
Gambar 4.8 Alur Mekanisme Pelakasanaan Perda 180
Gambar 4.9 Program Pembinaan Gelandangan dan Pengemis 182
Gambar 4.10 Pendataan Gepeng Kota Serang 183
Gambar 4.11 Satuan Petugas (Satgas) Dinas Sosial 188
Gambar 4.12 Unit Kendaraan Satpol PP 194
Gambar 4.13 Tempat Penampungan Sementara/Rumah Singgah 196
Gambar 4.14 Tugas dan Tanggung Jawab Satpol PP Kota Serang 208
Gambar 4.15 Tugas dan Tanggung Jawab Dinas Sosial Kota Serang 209
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan mengenai kesejahteraan sosial memang pekerjaan
rumah yang tak kunjung terselesaikan bagi Pemerintahan periode kapan pun
baik didunia maupun di Indonesia. Sebagai negara yang dikategorikan
sebagai negara berkembang. Indonesia memiliki masyarakat dengan
permasalahan kesejahteraan sosial yang cukup tinggi. Masalah
kesejahteraan sering kali menjadi fokus utama pemerintah dalam
pembangunan dengan membuat berbagai program untuk masyarakat.
Seiring dengan perkembangan demokrasi yang menuntut
demokratisasi dalam praktek dan sosial pascarezim orde baru merupakan
salah satu agenda bersama gerakan reformasi . di sela-sela tuntutan tersebut
terdapat gugatan terhadap tuntutan akan kesejahteraan rakyat sebagai
tindakan yang relevan akan semangat demokrasi tersebut. Karena
diperlukannya paradigma atau cara pandang baru dalam menyikapi setiap
tuntutan masyarakat yang semakin heterogen.
Konsep pemerintahan demokrasi yang menuntut masyarakat untuk
ikut terlibat langsung dalam setiap aktifitas politik, apapun ras dan
kondisinya. Realisasi dari tujuan ini mungkin dilakukan sebagai suatu
2
kesempatan pengambilan kebijakan yang mengarah pada kesejahteraan
masyarakat.
Beberapa teoritik menjustifikasi aturan umum atas dasar keputusan
bersama rakyat. Sementara teoritik yang lain melihatnya sebagai alat untuk
mencegah kekejaman kekuasaan politik. Berbagai faktor penunjang dalam
keberhasilan suatu konsep bernegara seperti konsep demokrasi mengaruskan
masyarakatnya mampu untuk berpikir akan setiap tindakan politik yang dia
rasakan. Jelas bahwa sebagai makhluk yang berkehidupan sosial tidaklah
menguntukan baginya untuk duduk manis sementara semua keputusan
mengenai masyarakat dibuat oleh penguasa yang tidak dia upayakan untuk
mengontrol atau mengarahkanya. Seperti bahwa partisipasi aktif dalam hal-
hal yang memperbaiki suatu eksistensi beradat, masyarakat atau negara
merupakan bagian yang penting dalam perkembangan wataknya.
Zaman dimana masyarakat senantiasa tidaklah stagnan pada kondisi
keseharian yang dimilki, menjadikanya sebuah fenomena pantas untuk
dikaji. Dinamika yang berkembang tersebut seringkali tidak terlepas dari
peranan struktur makro yang mengatur sebuah masyrakat tertentu.
Pemerintah dan aparatur penyokongnya merupakan salah satu faktor
penyokong bergeraknya arus dinamika tersebut. Sejak terbukanya sejarah
mengenai pemerintahan satu persatu teori mengenai fungsi dan peran
pemerintah berjejal, dinamikanya berlangsung dengan mobilitas yang cepat.
Masalah yang mendera juga satu persatu datang pasca kedatangan sistem
3
pemerintahan. Sontak sistem tersebut mendapatkan tekanan sebagai institusi
berwenang menyelesaikan setiap persoalan.
Gejolak kehidupan bernegara dewasa ini masih menyelimuti
gemuruhnya suasana demokrasi untuk menentukan siapa sebagai calon
pemimpin bangsa, dimana masyarakat menengah ke bawah terpengaruh
adanya kenaikan harga bahan pangan yang kian melambung, pengaruh
terhadap masyarakat dikalangan didorong oleh merebaknya isu positif
dikalangan usahawan yang mendorong perekonomian sehingga pergolakan
politik tidak menimbulkan kekerasan sehingga pengaruhnya terhadap
masyarakat dapat memikat investasi lokal maupun asing untuk menanamkan
modalnya.( Agus Dwiyanto, 2005: 97)
Dalam era Globalisasi dan krisis yang melanda Negara Republik
Indonesia mengakibatkan meningkatnya masalah Kesejahteraan Sosial yang
ada di masyarakat sehingga menyebabkan meningkatnya Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Masalah sosial menurut Scharman
dan Mandell (1997: 65) adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh
tingkah laku khusus yang dilakukan oleh perorangan (particular kind of
personal behavior) dan tingkah laku sosial (social behavior). Dengan
demikian menurut Departemen Sosial (2002: 18) bahwa tingkah laku dapat
dikatakan sebagai masalah sosial apabila: (1) tekanan dari masyarakat dan
organisasi, (2) menjadi agenda publik yang menuntut untuk segera
ditangani. Contoh masalah sosial yang ada di Indonesia diantaranya,
kemiskinan, bencana, keterlambatan dan sebagainya.
4
Hal inilah yang memicu kehadiran gelandangan dan pengemis di
Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari melemahnya kekuatan ekonomi
untuk menolong tumbuhnya lapangan kerja baru dan sekaligus menyerap
tenaga kerja. Adapun masalah lain yang memicu meningkatnya kehadiran
gelandangan dan pengemis yaitu masalah pertumbuhan kependudukan yang
merupakan salah satu sumber masalah sosial yang penting, pertumbuhan
penduduk merupakan salah satu dampak negatif pembangunan, khususnya
pembangunan perkotaan seiring dengan perumbuhan jumlah peduduk yang
kian hari kian bertambah sehingga menimbulkan jumlah angka kriminalitas
dan pengangguran juga ikut bertambah. Keberhasilan percepatan
pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan
pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi desa ke kota
yang antara lain mengakibatkan jumlah penduduk yang mengakibatkan
sulitnya pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan saat ini. Akibat
pertambahan penduduk biasanya ditandai oleh kondisi yang serba tidak
merata, terutama mengenai sumber-sumber penghidupan masyarakat yang
semakin terbatas. Pertumbuhan jumlah penduduk tersebut disebabkan oleh
tingkat kelahiran yang tinggi dibandingkan dengan tingkat kematian yang
rendah, dan juga peluang kerja yang sangat kecil sebagai akibat dari
perubahan era globalisasi menuju era pasar bebas yang menuntut setiap
individu untuk memperjuangkan hidupnya.
Gelandanngan dan pengemis (gepeng) merupakan salah satu dampak
negatif pembangunan, khususnya pembangunan di perkotaan. Sebab faktor
5
pendorong dalam hal ini adalah keterlambatan pembangunan di di wilayah
pedesaan yang mengundang arus migrasi dari desa ke kota sehingga
menyebabkan munculnya para gelandangan dan pengemis akibat sulitnya
mendapatkan pekerjaan dan keterampilan serta keahlian di wilayah
pedesaan. Masalah umum gelandangan dan pengemis pada hakikatnya erat
kaitanya dengan masalah ketertiban dan keamanan yang mengganggu
ketertiban dan keamanan di daerah perkotaan. Dengan berkembangnya
gelandangan dan pengemis maka diduga akan memberi peluang munculnya
gangguan keamanan dan ketertiban, yang pada akhirnya akan mengganggu
stabilitas pembangunan. Maka diperlukan usaha-usaha dalam penanganan
gelandangan dan pengemis tersebut. Gelandangan dan pengemis ini menjadi
suatu fenomena sosial, terutama yang berada di daerah perkotaan (kota-kota
besar) kehadiran mereka seringkali dianggap cermin kemiskinan kota atau
suatu kegagalan adaptasi kelompok terhadap kehidupan dinamis kota besar.
Gelandangan dan pengemis ini merupakan sekelompok masyarakat
yang terasingkan, karena mereka ini lebih sering dijumpai dalam keadaan
yang tidak lazim, seperti di depan Mall-mall, di Jembatan Penyebrangan
ataupun di setiap emper-emper di toko, dan dalam hidupnya sendiri mereka
ini terlihat sangat berbeda dengan manusia yang lainya.
Munculnya gelandangan secara struktural dipengaruhi oleh sistem
ekonomi yang menimbulkan dampak berupa terasingnya sebagian
kelompok masyarakat dari sistem kehidupan ekonomi. Kaum
gelandangan membentuk sendiri sistem kehidupan baru yang
kelihatanya berbeda dari sistem kehidupan ekonomi kapitalistis.
Munculnya kaum gelandangan ini diakibatkan oleh pesatnya
6
perkembangan kota yang terjadi secara paralel dengan tingginya laju
urbanisasi.
(Sihombing, M Justin. 2005. Kekeraasan Terhadap Masyarakat
Marginal. Yogyakarta: Narasi. Hlm.79)
Sebagai alat pemicu pertumbuhan ekonomi di Indonesia, kesatuan visi
dan isi suatu dimasa kini dan masa yang akan datang, perlu diciptakan,
untuk itu diperlukan adanya strategi kebijakan dalam pembangunan
perekonomian secara nasional jangka pendek hal ini dapat mempengaruhi
pertumbuhan perekonomian jangka panjang. Disisi lain dalam kehidupan
masyarakat perkotaan terdapat celah kehidupan yang sangat
memprihatinkan dengan kumpulnya kehidupan anak jalanan, gelandangan
dan pengemis yang berkeliaran di persimpangan jalan, keramaian lalu lintas
yang tidak memperhatikan keselamatan dirinya. Perbedaan yang sangat
menonjol pembangunan secara fisik tidak di imbangi dengan pembangunan
moral bangsa akan berakibat rusaknya fundamen tatanan kehidupan dalam
masyarakat itu sendiri. Pendidikan dilintas sektoral perlu di tingkatkan guna
mengangkat citra bangsa di dunia internasional bahwa kebangkitan suatu
bangsa di tandai dengan peduli masyarakat terhadap kehidupan anak
jalanan, pengemis dan gelandangan yang kian hari makin bertambah.
Sejalan dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea
Keempat menegaskan bahwa tujuan dibentuknya pemerintahan negara
republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa indonesia yang
kemudian di turunkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
dalam Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa “ Fakir miskin dan
7
Anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Maka secara tidak langsung
dapat dikatakan bahwa semua orang miskin dan semua anak terlantar pada
prinsipnya dipelihara oleh negara, tetapi pada kenyataanya yang ada di
lapangan bahwa tidak semua orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh
negara. Penanganan masalah masyarakat miskin yang bergantung pada
penghasilan di jalanan merupakan masalah yang harus di hadapi oelh semua
pihak, bukan hanya orang tua atau keluarga saja tetapi juga setiap orang
yang berada dekat anak tersebut harus dapat membantu pertumbuhan anak
dengan baik. Dikarenankan masalah kemiskinan yang menjadi faktor
utamanya.
Kemiskinan di Banten ini sangat berdampak negatif terhadap
kehidupan masyarakat khususnya masyarakat di Kota Serang, yang
disebabkan tidak adanya lapangan pekerjaan bagi mereka. Oleh karena itu,
dilihat dari tingkat angka kemiskinan penduduk Provinsi Banten, salah
satunya adalah mereka yang berprofesi sebagai seorang gelandangan dan
pengemis. Sehingga, dengan tidak adanya kemampuan yang mereka miliki
untuk mencari pekerjaan. Akhirnya gelandangan dan pengemis trurun ke
pusat kota seperti di Pasar, Stasiun, dan Lampu Merah Kota Serang, untuk
mencari uang demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dilihat dari sudut
ekonomi, sebenarnya taraf perekonomian masyarakat Provinsi Banten
dikatakan baik. Karena, bila dilihat dari kekayaan alam yang melimpah di
Provinsi Banten sangat berpotensi di dalam meningkatkan taraf
perekonomian masayarakatnya.
8
Akan tetapi, fakta di lapangan masih banyak warga miskin di Provinsi
Banten, khususnya di Kota Serang semakin bertambah, sehingga sebagian
warga Kota Serang yang tingkat ekonomi rendah, rela menjadi seorang
gelandangan dan pengemis. Sebab, tidak mudah untuk mendapatkan uang,
tanpa diikuti dengan kemampuan yang baik dari diri mereka sendiri
khususnya bagi mereka yang ingin hidup dan tinggal di kota besar, seperti di
Kota Serang.
Sebagai daerah otonom baru berdasarkan Undang-undang No. 32
Tahun 2007 Tentang pembentukan Kota Serang di Provinsi Banten,
Pemerintah Kota Serang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan
urusan pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan. Di dalam Perda
Kota Serang No. 2 Tahun 2010 Pasal 1 alinea (14) menyebutkan penyakit
masyarakat adalah hal-hal atau perbuatan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat yang tidak menyenangkan masyarakat atau meresahkan
masyarakat yang tidak sesuai dengan agama dan adat serta tata krama
kesopanan dalam masyarakat. Dengan semakin berkembangnya bentuk
perbuatan yang merupakan penyakit masyarakat merupakan perbuatan yang
meresahkan masyarakat, ketertiban umum, keamanan, kesehatan dan nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat Kota Serang. Hal ini dapat merusak
kehidupan sosial ekonomi, bahkan telah menurunkan mental dan moral
masyarakat khususnya generasi muda. Rasa aman, nyaman dan tentram
perlu diwujudkan di Kota Serang oleh karena itu perbuatan penyakit
masyarakat yang ada di Kota Serang diperlukanya aturan tentang
9
pembinaan, pengawasan dan pengendalian, pelarangan serta penindakan
terhadap penyakit masyarakat agar terhindar gaangguan/dampak negatif
yang akan timbul didalam masyarakat.
Adapun Rekapitulasi data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
Di Kota Serang Tahun 2017 seperti Gelandangan dan Pengemis, sebagai
berikut:
Tabel 1.2 Data Jumlah Gelandangan
yang Terjaring/Terazia di Kota Serang Tahun 2017
No Nama Umur/Tahun Alamat Status
1 Isro 54 Tahun Kp. Cimuncang Gelandangan
2 Arifin 39 Tahun Kp. Secang Gelandangan
3 Bahri 45 Tahun Kp. Kebon Jahe Kel. Cipare Gelandangan
4 Mudi 52 Tahun Pasar Rau Gelandangan
5 Tuharah 55 Tahun Pasar Rau Gelandangan
6 Manah 54 Tahun Pasar Rau Gelandangan
7 Dulhadi 45 Tahun Pasar Rau Gelandangan
8 Sukirman 45 Tahun Kp. Rau Gelandangan
9 Budi 61 Tahun Kp. Secang Gelandangan
10 Andri 55 Tahun Kp. Secang Gelandangan
11 Agustian 64 Tahun Kp. Kelapa Endep Sempu Gelandangan
12 Mudi 60 Tahun Kp. Angsana Kel. Kasemen Gelandangan
13 Sakranah 50 Tahun Kp. Karundang Kel. Karundang Gelandangan
14 Kamariyah 50 Tahun Karangantu Gelandangan
15 Tini 50 Tahun Karangantu Gelandangan
10
16 Ulpah 34 Tahun Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Gelandangan
17 Juandi 60 Tahun Kp. Secang Gelandangan
18 Sutisna 60 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Gelandangan
19 Sumiati 55 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Gelandangan
20 Rozak 54 Tahun Kp. Karundang , Kel. Karundang Gelandangan
21 Rudi 54 Tahun Kp. Ciloang Kel. Sumur Pecung Gelandangan
22 Arip 50 Tahun Kp. Benggala Kubang Kel. Cipare Gelandangan
23 Sani 35 Tahun Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Gelandangan
24 Jamilah 28 Tahun Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Gelandangan
25 Harun 51 Tahun Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Gelandangan
26 Said 40 Tahun Kp. Kebon Jahe Rt/Rw 01/14 Gelandangan
27 Nasiroh 47 Tahun Kp. Kebon Jahe Rt/Rw 01/14 Gelandangan
28 Abdul 50 Tahun Kp. Kebon Jahe Rt/Rw 01/14 Gelandangan
29 Mugni 45 Tahun Kp. Kelapa Endep, Sempu Gelandangan
30 Damroh 43 Tahun Kp. Endep, Sempu Gelandangan
31 Muniroh 48 Tahun Kp. Kidemang, Kel. Unyur Gelandangan
Sumber : Dinas Sosial Kota Serang, 2017
Tabel 1.2 Data Jumlah Pengemis
yang Terjaring/Terazia di Kota Serang Tahun 2017
No Nama Umur/Tahun Alamat Status
1 Asiyah 35 Tahun Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Pengemis
2 Ismi 23 Tahun Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Pengemis
3 Aminah 80 Tahun Kp. Angsoka, Kel.Kasemen Pengemis
4 Maswiah 70 Tahun Kp. Angsoka, Kel.Kasemen Pengemis
5 Hadlah 70 Tahun Kp. Asem Gede, Kel. Cimuncang Pengemis
11
6 Rasam 61 Tahun Kp. Asem Gede, Kel. Cimuncang Pengemis
7 Mahmud 70 Tahun Kp. Asem Gede, Kel. Cimuncang Pengemis
8 Yudi 71 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis
9 Dewi 80 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis
10 Leha 55 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis
11 Rodiah 60 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis
12 Jon 55 Tahun Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis
13 Marsinah 65 Tahun Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis
14 Supene 75 Tahun Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis
15 Mastiyah 45 Tahun Kp. Angsana Kel. Kasemen Pengemis
16 Safina 35 Tahun Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis
17 Rosyidin 45 Tahun Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis
18 Aminudin 47 Tahun Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis
19 Sanaah 52 Tahun Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis
20 Ajah 59 Tahun Kp. Angsana. Kel. Kasemen Pengemis
21 Safi‟ah 55 Tahun Kp. Angsana. Kel. Kasemen Pengemis
22 Juwina 75 Tahun Kp. Angsana. Kel. Kasemen Pengemis
23 Juriyah 70 Tahun
Kp. Tanggul Rt/Rw 05/12 Kel.
Cimuncang Pengemis
24 Tina 65 Tahun Kp. Sumur Lebu Kel. Cirahab Pengemis
25 Kasbiyah 50 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis
26 Marwati 70 Tahun
Kp. Taman Barang Rt/Rw 10/11 Ds.
Sindang Sari Pengemis
27 Saimah 70 Tahun Kp. Benggala Kubang Rt/Rw 03/13 Pengemis
12
Kel. Cipare
28 Sutiha 44 Tahun Kp. Pengemis
29 Fatonah 60 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis
30 Rosita 37 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis
31 Sunani 40 Tahun Kp. Secang Pengemis
32 Rohimah 55 Tahun Kp. Secang Pengemis
33 Badiah 79 Tahun Kp. Secang Pengemis
34 Nihayatujen 42 Tahun Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis
35 Yono 61 Tahun Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu
Pengemis
36 Parman 46 Tahun Kasemen Pengemis
37 Maemnah 50 Thun Kasemen Pengemis
38 Yahya 70 Tahun Kasemen Pengemis
Sumber : Dinas Sosial Kota Serang, 2017
Terlihat dari data yang dicantumkan oleh Pihak Dinas Sosial Kota
Serang, bahwa masih terdapat adanya Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis, yaitu tercatat pada Tahun 2017
ada 31 gelandangan dan 38 pengemis hasil Penjaringan razia oleh Satpol
PP Kota Serang dan pendataan oleh Dinas Sosial Kota Serang di Kota
Serang yang ada di Kota Serang. Walaupun Perda Kota Serang Nomor 2
Tahun 2010, baru dijalankan beberapa tahun sebelumnya. Kemudian berikut
ini adalah Rekapitulasi gelandangan dan pengemis pada Tahun 2018,
Sebagai berikut:
Tabel 1.4 Data Jumlah Gelandangan
13
Hasil Data Penjaringan Razia oleh Dinas Sosial Kota Seraang Tahun
2018
No Nama Usia Alamat Ket.
1 Iyom 34 Thn Kp. Ciawi RT/Rw 05/11 Kel. Neglasari Gelandangan
2 Usup 20 Thn Kp. Sempu Rt/Rw 05/15 Kel. Cipare Gelandangan
3 Oki 18 Thn Kp. Kebon Jahe Rt/Rw 05/14 Kel. Cipare Gelandangan
4 Dedi 20 Thn Kp. Kebon Jahe Rt/Rw 05/14 Kel. Cipare Gelandangan
5 Roni 25 Thn Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Gelandangan
6 Ismet 25 Thn Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Gelandangan
7 Dedi. S 30 Thn Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Gelandangan
8 Aryo 22 Thn Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Gelandangan
9 Bahrul 50 Thn Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Gelandangan
10 Tandi 18 Thn Kp. Benggala Kubang Rt/Rw 03/13 Kel. Cipare Gelandangan
11 Maulana
Yusuf
22 Thn Kp. Sempu Kelapa Endep Rt/Rw 03/16
Kel.Cipare
Gelandangan
12 Lilis 21 Thn Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Gelandangan
13 Robayah 24 Thn Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Gelandangan
14 Hasanah 25 Thn Kp. Ciloang Kel. Sumur Pecung Gelandangan
15 Sumiyati
(Ati)
23 Thn Kp. Karang Serang Kel. Banten Lama Gelandangan
16 Uminah 50 Thn Kp. Angsana Kel. Kasemen Gelandangan
17 Daman 35 Thn Kp. Karundang RT/06 Kel. Karundang Gelandangan
18 Pendi 16 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Gelandangan
19 Erikl 17 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Gelandangan
20 Rendi 43 Thn Kp. Kelapa Endep Sempu Gelandangan
21 Hapsiah 23 Thn Kp. Karundang RT/06 Kel. Karundang Gelandangan
22 Asep 24 Thn Kp. Rau Gelandangan
23 Nadi 18 Thn Kp. Secang Gelandangan
24 Arman 20 Thn Pasar Rau Gelandangan
25 Agus 23 Thn Pasar Rau Gelandangan
26 Mulyadi 25 Thn Pasar Rau Gelandangan
27 Suryadi 24 Thn Kp. Tanggul Rt/Rw 05/12 Kel. Cimuncang Gelandangan
28 Romlah 50 Thn Karangantu Gelandangan
29 Jariman 45 Thn Karangantu Gelandangan
30 Jamhuri 70 Thn Kasemen Gelandangan
31 Darni 19 Thn Pasar Rau Gelandangan
32 Mahmudi 54 Thn Kp. Tanggul Rt/Rw 05/12 Kel. Cimuncang Gelandangan
33 Furqon 18 Thn Kp. Ciawi RT/Rw 05/11 Kel. Neglasari Gelandangan
14
34 Usup 20 Thn Kp. Sempu Rt/Rw 05/15 Kel. Cipare Gelandangan
35 Oki 18 Thn Kp. Kebon Jahe Rt/Rw 05/14 Kel. Cipare Gelandangan
36 Dedi 20 Thn Kp. Kebon Jahe Rt/Rw 05/14 Kel. Cipare Gelandangan
37 Roni 25 Thn Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Gelandangan
38 Noval 25 Thn Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Gelandangan
39 Dedi. S 30 Thn Kp. Sempu Rt/Rw 05/15 Kel. Cipare Gelandangan
40 Aryo 22 Thn Kp. Sempu Rt/Rw 05/15 Kel. Cipare Gelandangan
41 Bastian 50 Thn Kp. Sempu Rt/Rw 05/15 Kel. Cipare Gelandangan
Sumber : Dinas Sosial Kota Serang, 2018
Tabel 1.4 Data Jumlah Pengemis
Hasil Data Penjaringan Razia oleh Dinas Sosial Kota Seraang Tahun
2018
No Nama Usia Alamat Ket.
1 Pendi 18 Thn Kp. Benggala Kubang Rt/Rw 03/13 Kel. Cipare Pengemis
2 Maskur 22 Thn Kp. Sempu Kelapa Endep Rt/Rw 03/16
Kel.Cipare
Pengemis
3 Hardi 21 Thn Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis
4 Casman 24 Thn Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis
5 Sukinah 25 Thn Kp. Ciloang Kel. Sumur Pecung Pengemis
6 Ati 23 Thn Kp. Karang Serang Kel. Banten Lama Pengemis
7 Sanita 50 Thn Kp. Angsana Kel. Kasemen Pengemis
8 Sakinah 35 Thn Kp. Sumur Lebu. Kel. Cirahab Pengemis
9 Badriyah 16 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis
10 Tini 17 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis
11 Suparma
n
12 Thn Kp. Kelapa Endep Sempu Pengemis
12 Farid 15 Thn Kp. Karundang RT/06 Kel. Karundang Pengemis
13 Asmuni 24 Thn Kp. Rau Pengemis
14 Rukmana 18 Thn Kp. Secang Pengemis
15 Said 20 Thn Pasar Rau Pengemis
16 Aminah 23 Thn Pasar Rau Pengemis
17 Supenah 25 Thn Pasar Rau Pengemis
18 Cahyadi 24 Thn Kp. Tanggul Rt/Rw 05/12 Kel. Cimuncang Pengemis
19 Romlah 50 Thn Karangantu Pengemis
20 Saniman 45 Thn Karangantu Pengemis
21 Marwiya 70 Thn Kasemen Pengemis
15
h
22 Darjo 19 Thn Pasar Rau Pengemis
23 Muslihah 18 Thn Kp. Benggala Kubang Rt/Rw 03/13 Kel. Cipare Pengemis
24 Maulana 22 Thn Kp. Sempu Kelapa Endep Rt/Rw 03/16
Kel.Cipare
Pengemis
25 Fahrudin 21 Thn Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis
26 Hulfi 24 Thn Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis
27 Muktar 25 Thn Kp. Ciloang Kel. Sumur Pecung Pengemis
28 Ita 23 Thn Kp. Karang Serang Kel. Banten Lama Pengemis
29 Nana 50 Thn Kp. Angsana Kel. Kasemen Pengemis
30 Sadi 35 Thn Kp. Sumur Lebu. Kel. Cirahab Pengemis
31 Muklis 16 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis
32 Encep 17 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis
33 Rasman 12 Thn Kp. Kelapa Endep Sempu Pengemis
34 Eka 15 Thn Kp. Karundang RT/06 Kel. Karundang Pengemis
35 Wahyu 24 Thn Kp. Rau Pengemis
36 Manah 18 Thn Kp. Secang Pengemis
37 Suanah 20 Thn Pasar Rau Pengemis
38 Jamil 23 Thn Pasar Rau Pengemis
39 Mursyad 25 Thn Pasar Rau Pengemis
40 Amir 24 Thn Kp. Tanggul Rt/Rw 05/12 Kel. Cimuncang Pengemis
41 Junaedi 50 Thn Karangantu Pengemis
42 Sulaiman 45 Thn Karangantu Pengemis
43 Jamil 70 Thn Kasemen Pengemis
44 Aisyah 19 Thn Pasar Rau Pengemis
45 Widi 18 Thn Kp. Benggala Kubang Rt/Rw 03/13 Kel. Cipare Pengemis
46 Yusuf 22 Thn Kp. Sempu Kelapa Endep Rt/Rw 03/16
Kel.Cipare
Pengemis
47 Diah 21 Thn Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis
48 Anita 24 Thn Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis
49 Sulaeha 25 Thn Kp. Ciloang Kel. Sumur Pecung Pengemis
50 Yati 23 Thn Kp. Karang Serang Kel. Banten Lama Pengemis
51 Rasam 50 Thn KpaR. Angsana Kel. Kasemen Pengemis
52 Darmaji 35 Thn Kp. Sumur Lebu. Kel. Cirahab Pengemis
53 Elah 16 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis
54 Ipah 17 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis
55 Apoh 12 Thn Kp. Kelapa Endep Sempu Pengemis
56 Linda 15 Thn Kp. Karundang RT/06 Kel. Karundang Pengemis
57 Arman 24 Thn Kp. Rau Pengemis
16
58 Kusniah 18 Thn Kp. Secang Pengemis
59 Ika 20 Thn Pasar Rau Pengemis
60 Sofyan 23 Thn Pasar Rau Pengemis
61 Mujnah 25 Thn Pasar Rau Pengemis
62 Rosmana 24 Thn Kp. Tanggul Rt/Rw 05/12 Kel. Cimuncang Pengemis
63 Romlah 50 Thn Karangantu Pengemis
64 Jajuli 45 Thn Karangantu Pengemis
65 Jamil 70 Thn Kasemen Pengemis
66 Mumun 19 Thn Pasar Rau Pengemis
Sumber : Dinas Sosial Kota Serang, 2018
Berdasarkan data sebelumnya pada tahun 2017, maka dapat
diketahui gelandangan dan pengemis berjumlah pada Tahun 2017 ada 31
gelandangan dan 38 pengemis hasil Penjaringan razia oleh Satpol PP Kota
Serang dan pendataan oleh Dinas Sosial Kota Serang di Kota Serang yang
ada di Kota Serang., lalu berdasarkan data di atas pada tahun 2018
mengalami peningkatan menjadi 41 gelandangan dan 66 pengemis hasil
Penjaringan razia oleh Satpol PP Kota Serang dan pendataan oleh Dinas
Sosial Kota Serang di Kota Serang yang ada di Kota Serang. Jumlah
gelandangan dan pengemis ini terdapat dari beberapa kecamatan yang ada di
wilayah Kota Serang. Peningkatan jumlah gelandangan dan pengemis ini
disebabkan karena ada beberapa gelandangan dan pengemis yang berasal
dari luar wilayah Kota Serang saat Dinas Sosial melakukan pendataan.
Gelandangan dan Pengemis yang terdata di Dinas Sosial Kota Serang ini
terdiri dari Ibu/Bapak usia lanjut dari umur 30 tahn keatas, Anak jalanan
dari umur 6-12 tahun keatas dan penyandang cacat fisik. Kegiatan
gelandangan dan pengemis ini merupakan rutinitas sehari-hari mereka dan
17
kegiatan ini juga menjadi salah satu mata pencaharian mereka. Hal ini tentu
saja menjadi tugas dari Pemerintah Kota Serang khususnya Dinas Sosial
Kota Serang untuk segera menangani permasalahan gelandangan dan
pengemis ini. Karena hal ini akan memberikan dampak yang kurang baik
bagi keindahan dan kebersihan Kota Serang.
Meningkatnya populasi Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) tidak
bisa dihindari keberadaanya dalam kehidupan masyarakat, terutama yang
berada di daerah Kota Serang. salah satu faktor yang dominan
mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan. Masalah
kemiskinan di Indonesia memiliki keterkaitan yang erat terhadap
meningkatnya arus urbanisasi dari pedesaan ke kota. Kepadatan penduduk
di perkotaan menimbulkan kekumuhan terutama dideaerah pemukiman
urban. Disisi lain dengan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia serta
pengetahuan dan keterampilan yang rendah, menyebabkan mereka mencari
nafkah untuk .mempertahankan hidupnya terpaksa dengan cara
menggelandang atau mengemis. Akibat lain dari hal itu terjadi
ketidaknyamanan, ketertiban serta mengganggu dkeindahan kota.
Melihat banyaknya Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang,
pemerintah Kota Serang sudah membuat kebijakan yang berkaitan dengan
masalah-masalah sosial seperti adanya fenomena gelandangan dan
pengemis, yaitu berupa Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010
Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit
18
Masyarakat. Sebab isi dari Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010, tertera
pada pasal 9 ayat 1,2,3 yaitu:
1. Setiap orang dilarang menggelandang dan mengemis
2. Setiap orang dilarang menyuruh atau memaksa orang lain menjadi
pengemis
3. Setiap orang dilarang memberikan uang ataupun lainya kepada pengemis
Dari pasal 9 ayat 1, 2, 3 sudah jelas bahwa masyarakat Kota Serang
tidak boleh melakukan penggelandangan dan mengemis serta tidak boleh
memberikan uang santunan kepada para pengemis yang ada di Kota Serang,
sebab bila melanggar aturan yang sudah ditetapkan, maka akan diberikan
sanksi berupa denda 50 juta atau kurungan penjara selama 3 bulan yaitu
tertera pada Peraturan Daerah Serang Nomor 2 Tahun 2010 pasal 21 ayat 1
dan 2. Oleh sebab itu, dengan adanya Peraturan Daerah Kota Serang Nomor
2 Tahun 2010, diharapkan para gelandangan dan pengemis yang ada di
Kota Serang dapat dituntaskan, karena memang masalah sosial yang terjadi
pada masyarakat Kota Serang, sangat meresahkan. Disini peran Pemerintah
khususnya Dinas Sosial Kota Serang harus melakukan penanganan sehingga
para gelandangan dan pengemis di Kota Serang dapat terorganisir dengan
baik dan mendapatkan pembinaan dengan baik agar gelandangan dan
pengemis tidak lagi turun kejalan, sebagaimana telah di amanatkan dalam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 27 Ayat 2 yaitu :
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusian”. Hal ini diartikan bahwa pemerintah harus bisa
19
memberantas pengangguran dan membuka lapangan pekerjaan baru agar
tiada lagi orang yang menggelandang atau mengemis. Ada pula di dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial,
dimana setiap warga negara mendapatkan kondisi kebutuhan material dan
sosial agar berkehidupan layak dan berkesejahteraan Sosial sehingga
menjadi warga negara yang melaksanakan fungsinya sebagai mahluk sosial
pada umumnya.
Dalam menuntaskan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yang
ada di Kota Serang ini seperti gelandangan dan pengemis, dibutuhkan
adanya kerja sama antara masayarakat Kota Serang dan juga Pemerintah
Kota Serang, khususnya Peran aktif dari masyarakat dalam membantu
pemerintah untuk menangani masalah Fenomena adanya Gelandangan dan
Pengemis yang berada Pusat Kota seperti di Pasar, Stasiun dan Lampu
Merah Kota Serang, yaitu tertera pada Peraturan Daerah Kota Serang
Nomor 2 Tahun 2010 Pasal 12 ayat 1 dan 2 yaitu:
1. Setiap orang berhak dan bertanggung jawab untuk berperan serta dalam
mewujudkan kehidupan dalam satu lingkungan yang aman, tertib dan
tentram serta terbebas dari perbuatan, tindakan dan perilaku penyakit
masyarakat.
2. Wujud peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
a. Mencegah segala perbuatan tindakan atau perilaku penyakit
masyarakat yang diketahui atau yang dimungkinkan akan terjadi.
20
b. Mengawasi semua tindakan atau perbuatan yang berhubungan dengan
penyakit masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya
c. Melaporkan kepada pejabat atau pihak yang berwenang apabila
mengetahui atau menemukan tindakan, perbuatan dan perilaku
masyarakat.
Untuk itu peneliti ingin mengetahui sejauh mana Implementasi
Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,
Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat tersebut dapat
dijalankan dengan optimal. Perlu diketahui bahwasanya sejauh ini pembuat
dan pelaksana dari kebijakan, berupa Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun
2010 belum berjalan dengan optimal. Karena, fakta dilapangan masih
adanya Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan dan
Pengemis yang berada di pusat Kota Serang, seperti di pasar, stasiun dan
lampu merah di Kota Serang yang masih melakukan kegiatan sehari-harinya
seperti mengemis, mengamen, dan menggelandang sebagai bentuk upaya
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu, Pemerintah Kota Serang,
harus dapat meningkatkan kinerja dalam menangani Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial, seperti adanya Fenomena Gelandangan dan Pengemis
seperti ini. Dalam pembuat dan Pelaksana Kebijakan, mekanisme
terbentuknya Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 adalah
DPRD Kota Serang sebagai pembuat kebijakan, kemudian yang menjadi
pelaksana kebijakan adalah Dinas Sosial dan Satpol PP.
21
Dari hasil observasi awal yang dilakukan oleh peneliti maka
ditemukan latar belakang masalah sebagai berikut.
Permasalahan yang pertama, Belum optimalnya Pemerintah Kota
Serang dalam menerapkan kebijakan perda Kota Serang No. 2 Tahun 2010
tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit
masyarakat oleh Pembuat Kebijakan dan Pelaksana Kebijakan perda itu
sendiri.
Untuk pembuat kebijakan perda itu sendiri yaitu DPRD Kota Serang,
Dalam implementasinya dari pertama berlakunya perda nomor 2 tahun 2010
tersebut hingga kini belum berjalan secara optimal hal ini dikarenakan
adanya permasalahan seperti yang diungkapkan oleh Komisi II DPRD di
Kantor DPRD Kota Serang yaitu Kegagalan Program Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis yang kurang tepat sasaran dan tidak terealisasi
dengan baik, program penanggulangan tersebut seperti program bantuan
untuk kemiskinan dan program pemberian keterampilan bagi para
Penyandang Masyarakat Kesejahteraan Sosial (PMKS) termasuk
gelandangan dan pengemis di Kota Serang, hal ini pun dikatakan oleh Wakil
Komisi II DPR yang mengatakan menjamurnya gelandangan dan pengemis
disebabkan akibat faktor kemiskinan , pada dasarnya terdapat faktor penting
yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan Gelandangan
Pengemis dimana selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran
bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk
rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang
22
miskin. upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan
bagi para gelandangan dan pengemis, yang ada karena sifat bantuan
melainkan bukan untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan
ketergantungan. Program-program bantuaan yang berorientasi pada
kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku
masyarakat miskin sehingga mereka memiliki sifat pemalas yang dapat
mendorong untuk melakukan kegiatan menggelandang serta mengemis.
Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih di fokuskan untuk
menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan
ketergantungan penduduk yang bersifat pemanen. Dilain pihak, program-
program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam
penyaluranya, sehingga para gelandangan dan pengemis tidak diberikan
bantuan berupa keterampilan serta pelatihan yang membuat mereka semakin
terus menerus melakukan kegiatan menggelandang dan mengemisnya di
pusat Kota Serang. (Sumber: wawancara dengan wakil komisi II DPR
bapak Ramlan Iskandar, kamis 21 Desember 2017 pukul 13:00 di Kantor
DPRD Kota Serang )
Adapun untuk pelaksana kebijakan itu sendiri yaitu Dinas Sosial dan
Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) terkait hal kurang optimalnya
Implementasi kebijakan Perda Kota Serang, bahwasanya kurang berjalan
perda tersebut secara optimal dikarenakan terdapat permasalahan antara
kedua belah pihak pelaksana kebijakan tersebut, koordinasi yang
dilakuhhkan oleh Dinas Sosial dengan Satpol PP pada prakteknya sebatas
23
hanya melakukan reazia terhadap keberadaan gepeng dan anjalseperti hal
yang diungkapkan oleh kepala seksie pelayanan rehabilitasi sosial di Dinas
Sosial Kota Serang yang mengatakan bahwa tidak berjalanya implementasi
kebijakan Perda No 2 tahun 2010 disebabkan kurangnya koordinasi antara
Dinas Sosial dengan SATPOL PP selaku pihak pengeksekutor atau perazia
pengemis di jalan atau tempat umumnya, seperti halnya pelayanan terhadap
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yaitu gelandangan dan
pengemis dalam hal penanganan/penanggulangan gelandangan dan
pengemis yang memiliki masalah kesejahteraan terindikasi tidak terlaksana
dengan baik, contohnya seperti adanya penundaan pelayanan/ penguluran
waktu dan terjadinya lempar tanggung jawab antara kedua instansi yang
berkaitan satu sama lain yaitu antara pihak Dinas Kesejahteraan Sosial
dengan pihak Satuan polisi pamong praja dalam menangani para
gelandangan dan pengemis yang mengalami tingkat taraf kesejahteraan yang
rendah, hal ini membuktikan bahwa kurangnya koordinasi antara kedua
belah pihak yang seharusnya berkerjasama dengan baik, agar dapat
mencapai tujuan yang diinginkan bersama secara maksimal, yaitu pelayanan
yang cepat, tepat, efektif dan efisien terhadap Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS), karenanya koordinasi merupakan hal yang
sangat penting dalam melakukan suatu kerja sama antar SKPD hal ini
dikarenakan agar kerjasama berjalan dengan baik. (sumber: wawancara
dengan kepala seksi pelayanan rehabilitasi tuna sosial bapak Heli Priatna,
Selasa 19 Desember 2017 pukul 11:00 di Dinas Sosial Kota Serang)
24
Permasalahan yang kedua, Belum adanya sosialisasi secara
menyeluruh kepada masyarakat dan para Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang
Terkait adanya Peraturan Daerah Kota Serang No. 2 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat.
Adapun terkait masalah Sosialisasi Perda Kota Serang No 2 Tahun
2010 yang kurang berjalan secara menyeluruh kepada masyarakat dan Para
Penyandang Masalah Kesejahteraan seperti Gelandangan dan Pengemis.
Dinas Sosial Kota Serang sampa saat ini hanya melakukan sosialisasi
terhadap daerah tertentu dibeberapa tingkat kecamatan tertentu yang dimana
para Gepeng melakukan aktifitasnya di daerah tersebut ,hanya saja
sosialisasi ini baru berjalan di empat (4) kecamatan di Kota Serang seperti
kecamatan Serang, kecamatan Taktakan, kecamatan Kasemen dan
kecamatan Cipocok, sedangkan kecamatan yang belum tersosialisasi seperti
kecamatan walantaka dan curug karena memang di kecamatan ini jumlah
gelandangan dan pengemis hanya berjumlah sedikit dan banyak yang
berasal dari luar daerah serta masyarakatnya yang belum memiliki cara
pandang untuk mengikuti arus terhadap peraturan pemerintah Kota Serang,
karenanya daerah lain yang berada di Kota Serang belum tersosialisasi
secara menyeluruh yang menyebabkan sosialisasi perda tidak berjalan
secara menyeluruh/tersebar luas, hal ini pun diakibatkan kurangnya kerja
sama antara Pelaksana Kebijakan Perda dengan perangkat daerah lainya
seperti kurangnya koordinasi/kerjasama dengan kantor kecamatan tertentu,
25
maka dari itu perlu tindakan tegas serta kerja sama Pelaksana Kebijakan
dengan Perangkat daerah lainya serta masyarakat sekitar Kota Serang.
Heli Priyatna selaku Kasie Rehabilitasi Kantor Dinas Sosial Kota
Serang menyatakan bahwa :
“Proses sosialisasi peraturan daerah di Kota Serang
selama ini telah berjalan dengan cara melakukan sosialisasi setiap
produk hukum di tingkat kecamatan, meskipun begitu sosialisasi
tersebut masih butuh tindak lanjut agar menyeluruh kepada
masyarakat”
Hal serupa juga dinyatakan oleh Bapak H. Ibrahim, S. Sos, M.Si
selaku kepala camat kecamatan Serang, beliau menyatakan bahwa :
“sosialisasi peraturan daerah Kota Serang No 2 Tahun
2010 tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan
penyakit masyarakat dirasakan belum menyeluruh kepada seluruh
masyarakat, hal ini dapat dilihat dari masih adanya masyarakat
yang melanggar peraturan daerah tersebut”
Fakta lain yang juga didapatkan oleh peneliti adalah melalui website
resmi pemerintah Kota Serang. Dalam website tersebut sebenarnya terdapat
ruang yang menyediakan informasi seputar produk hukum yang telah di
hasilkan oleh pemerintah Kota Serang. Akan tetapi ruang tersebut tidak lagi
diperbarui sejak tahun 2015, ini dapat dilihat dari produk hukum terkahir
yang termuat pada website tersebut. Padahal di era modern ini
penyebarluasan informasi sudah sangat maju dengan adanya internet,
dimana masyarakat akan sangat mudah mengetahui informasi yang ada
didunia maya. Hal ini seharusnya dapat dilihat oleh pemerintah di Kota
Serang sebagai salah satu media yang efektif untuk menyebarluaskan
26
informasi termasuk penyebarluasan peraturan daerah itu sendiri kepada
masyarakat.
Karena sampai saat ini juga, Dalam kegiatan yang dilakukan oleh
pelaksana kebijakan seperti Dinas Sosial Kota Serang, dalam penanganan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, Selain melalui media elektronik
seperti internet Dinas Sosial Kota Serang juga sudah memberikan informasi
serta sosialisasi terhadap masyarakat yang ada di Kota Serang melalui media
Cetak seperti berupa lembaran brosur dan spanduk tentang adanya Peraturan
Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,
Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat di Kota Serang
berisikan tentang adanya Peraturan Daerah Kota Serang yang terpasang di
pusat Kota Serang yang berupa larangan untuk menggelandang dan
mengemis serta masyarakat diminta untuk tidak memberikan uang santunan
kepada pengemis. Akan tetapi, dalam melakukan cara seperti itu hanya akan
membuat masyarakat dan para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
seperti gelandangan dan pengemis serta masyarakat itu pun tidak respek,
bahkan tidak menghiraukan tulisan yang berada dispanduk tersebut yang
sudah dipasang oleh pihak Dinas Sosial. Karenannya sosialisasi tentang
Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 ini belum berjalan secara
menyeluruh karena terdapat penyebab tertentu seperti halnya dari segi
masyarakatnya yang belum bisa berpartisipasi aktif dalam penyampaian
tentang perda tersebut, oleh karenanya sampain saat ini masyarakat Kota
Serang yang belum tahu tentang isi perda tersebut hanya dan hanya tau
27
perdanya saja tapi mereka tidak tahu isi perda tersebut. (sumber:
wawancara dengan kepala seksi pelayanan rehabilitasi tuna sosial bapak
Heli Priatna, Selasa 19 Desember 2017 pukul 13:30 di Dinas Sosial Kota
Serang)
Permasalahan yang ketiga, masih Terdapat masyarakat yang masih
memberikan uang santunan di Pusat Kota tepatnya di Pasar, Stasiun dan
Lampu Merah Kota Serang terhadap Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis
Sebab, fakta di lapangan masih ada masyarakat Kota Serang yang
tetap memberikan uang santunan ditempat umum atau ditempat yang
dilarang oleh dari isi Peraturan Daerah Kota Serang tersebut, kepada para
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Seperti Pengemis ataupun
Gelandangan yang berada di Lampu Merah dan Sepanjang Jalan Protokol
Kota Serang. Karena dalam isi Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010
pasal 21 ayat 1 dan 2 menjelaskan adanya ketentuan sanksi pidana terhadap
masyarakat ataupun para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti
pengemis yang melanggar dari aturan tersebut, sebab bila melanggar aturan
yang sudah ditetapkan, maka akan diberikan sanksi berupa denda 50 juta
atau kurungan penjara selama 3 bulan. Akan tetapi sebagian masyarakat
Kota Serang sampai saat ini tidak menghiraukan keberadaan aturan sanksi
perda tersebut karena mereka beranggapan bahwa memberi lebih baik dari
pada meminta dan orang-orang yang memiliki pengertian seperti ini lebih
cenderung kasian ketika melihat pengemis di jalanan meminta-minta,
28
mereka masyarakat Kota Serang berfikir bahwa dengan memberikan uang
santunan kepada pengemis, maka mereka akan mendapatkan pahala, namun
mereka yaitu masyarakat Kota Serang dapat mendorong para pengemis
ataupun gelandang menjadi semakin malas untuk berkerja, karena para
pengemis berfikir bahwa mereka senang karena banyak orang yang
memberi uang pada mereka dan merasa kasian kepada masyarakat Kota
Serang, sehingga mereka akan bertambah kaya. Oleh sebab itu pemerintah
melakukan tindakan yang sangat tegas yaitu dengan cara membuat undang-
undang tentang pengemis, agar tidak ada orang yang memberikan uang
kepada pengemis. (sumber: wawancara dengan kepala bidang pelayanan
dan rehabilitasi sosial bapak Dul Barid, Selasa 19 Desember 2017, Pukul
13:30 di Dinas Sosial Kota Serang)
Akan tetapi sampai saat ini juga belum adanya sanksi yang tegas dari
Pemerintah Kota Serang, dalam memberikan hukuman berupa Denda dan
Kurungan Penjara terhadap masyarakat dan para Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang,
karena Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 belum berjalan dengan efektif,
selanjutnya dinilai juga dari kinerja penegak kebijakan sebagai pihak
berwenang ini seperti aparatur penegak hukum Satuan Polisi Pamong Praja
(SATPOL PP) sebagai pihak eksekutor Kota Serang yang kurang aktif dan
bertanggung jawab dalam penegakan aturan sesuai tupoksinya, serta
penyebab hal lain diantaranya kurang aktif melakukan koordinasi Satpol PP
terhadap Dinas Sosial Kota Serang sehingga sampai saat ini masyarakat
29
masih terbiasa memberikan uang santunan kepada gelandangan dan
pengemis di Kota Serang, begitupun para gelandangan dan pengemisnya
masih berani melakukan kegiatan mengemisnya tanpa pengawasan Satpol
PP walaupun sudah diberikan peringatan. Pemerintah itu sendiri masih ada
pembiaran tentang hukum sanksi pidana tersebut, sehingga sanksi tidak
berjalan secara tidak tegas dan menyeluruh, pemerintah pun sampai saat ini
hanya mampu berani memberikan berupa sosialisasi tentang sanksi dalam
perda tersebut kepada sebagian masyarakat serta sebagian para gelandangan
dan pengemis di Kota Serang, akan tetapi sampai saat ini sanksi berupa
denda dan kurungan penjara belum berjalan sekali pun, sehingga pemerintah
dapat dikatakan tidak mempunyai nyali, padahal aturan tegas tentang
Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat di
Kota Serang yaitu Perda No 2 Tahun 2010 sudah sangat gamblang mengatur
hal ini. Ketidaktegasan ini semakin menunjukan bahwa pemerintah hanya
mampu membuat aturan tanpa bisa melakukan pengawasan. (Sumber:
wawancara dengan kepala seksi pelayanan rehabilitasi tuna sosial bapak
Heli Priatna, Selasa 19 Desember 2017 pukul 13:40 di Dinas Sosial Kota
Serang)
Permasalahan yang Keempat, Belum tersedianya tempat rehabilitasi
ataupun karantina untuk para penyandang masalah sosial seperti
Gelandangan dan Pengemis, di dalam memberikan penyuluhan, pembinaan
serta pelatihan-pelatihan keterampilan khusus.
30
Dinas Sosial dalam peraturan daerah nomor 2 tahun 2010 merupakan
Dinas yang menangani Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial salah
satunya pengemis dan gelandangan, dengan merehabilitasi pengemis dan
gelandangan yang sebelumnya terkena razia oleh Satuan Polisi Pamong
Praja (SATPOL PP) yang kemudian di bawa ke Dinas Sosial untuk didata
dan direhabilitasi agar mereka tidak mengemis dan menggelandang kembali,
namun fakta di lapangan berbicara lain dimana mereka para pengemis dan
gelandangan hanya didata dan diberi surat perjanjian bahwa akan datang
kembali dengan tanggal yang telah ditentukan oleh pihak Dinas Sosial dan
setelah sudah dipanggil kembali mereka para gelandangan dan pengemis di
bawa ke tempat sebuah rumah singgah tepatnya di Jl. Bandes Pakupatan
Kota Serang, akan tetapi mereka hanya diberikan sebuah sosialisasi saja dan
setelah itu sebagian dari para gelandangan dan pengemis tersebut dibawa ke
Panti Bina Karya tepatnya di Bekasi untuk di Rehabilitasi dan diberikan
sebuah pelatihan khursus, hal ini menunjukan bahwasanya pihak Dinas
Sosial Kota Serang sampai saat ini belum mempunyai tempat
penampungan/karantina, tempat penyuluhan dan tempat
pembinaan/rehabilitasi yang menjadi pusat pembinaan serta rehabilitasi bagi
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di dalam memberikan pelatihan,
seperti adanya pembinaan dan pelatihan khursus menjahit, montir dan lain
sebagainya. Hal ini yang mendasari tidak tersedianya tempat rehabilitasi
dikarenakan tidak tersedianya anggaran yang mencukupi untuk
pembangunan tempat rehabilitasi tersebut, dari pihak Dinas Sosial sendiri
31
beralasan terkait minimnya anggaran tersebut mengatakan bahwasanya
anggaran untuk tahun ini yang dipergunakan untuk penanggulangan PMKS
dipangkas ke Dinas pendidikan dan Dinas kesehatan di Kota Serang,
anggaran itu sendiri diberikan oleh Kementrian Sosial, jika anggaran yang
di Kota diberikan oleh APBD Kota yang diberikan langsung kepada Dinas
Sosial Kota Serang berjumlah sekitar RP. 50.000.000,- pada tahun 2016 dan
RP. 75.000.000,-pada tahun 2017 akan tetapi jumlah anggaran yang
diberikan tersebut tidak mencukupi dalam penanganan dan merehabilitasi
jumlah PMKS di Kota Serang, sedangkan untuk program PMKS saja
khususnya dalam penanganan masalah Ketunaan Sosial dan Penyimpangan
memiliki 8 program : Gelandangan, Pengemis, Pemulung, Bekas warga
Binaan Lembaga Permasyarakatan, Korban Penyalahgunaan Napza, Tuna
Susila, Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), dan Kelompok Minoritas. Di
dalam Perda Kota Serang No. 2 Tahun 2010 Pasal 19 yaitu menjelaskan
bahwa Pemerintah daerah menyediakan anggaran untuk kegiatan
pencegahan, pemberantasan, penanggulangan penyakit masyarakat yang
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Sumber
lain yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, akan tetapi
fakta dilapangan sampai saat ini anggaran tersebut belum juga terealisasi
dan tersedia untuk proses pembangunan rehabilitasi bagi Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Serang. (sumber:
wawancara dengan kepala seksi pelayanan rehabilitasi tuna sosial bapak
32
Heli Priatna, Selasa 19 Desember 2017 pukul 15:00 di Dinas Sosial Kota
Serang)
Rehabilitasi merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi
permasalahan sosial Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti
gelandangan dan pengemis di Kota Serang, karena dengan merehabilitasi
para gelandangan dan pengemis maka bukan tidak mungkin gelandangan
dan pengemis di Kota Serang akan berkurang dengan proses rehabilitasi
sosial tersebut berjalan tanpa adanya hambatan. Rehabilitasi sosial
merupakan upaya yang ditujukan untuk mengintegrasikan kembali
seseorang kedalam kehidupan masyarakat dengan cara membantunya
menyesuaikan diri dengan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan. Seseorang
dapat berintegrasi dengan masyarakat apabila memiliki kemampuan fisik,
mental, dan sosial serta diberikan kesempatan untuk berpartisipasi. Dalam
hal ini permasalahan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti
gelandangan dan pengemis sangat perlu direhabilitasi agar pola pikir mereka
berubah sehingga mereka tidak lagi mau menggelandang dan mengemis.
Permasalahan yang kelima, Kurangnya SDM dalam Penanganan
Masalah ini dimana kepala seksie satu-satunya yang menangani rehabilitasi
sosial hal ini membuat kinerja Dinas Sosial kurang efektif sehingga
menghambat program kerja yang sudah dibuat. Sumber Daya Manusia yang
dimaksud adalah sumber daya manusia dalam membina pengemis untuk
direhabilitasi, kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) di Dinas Sosial
dalam penanganan rehabilitasi gelandangan dan pengemis untuk sampai saat
33
ini dimana kepala seksie rehabilitasi tuna sosial satu-satunya yang
menangani rehabilitasi sosial yaitu Bapak Heli Priyatna itu sendiri akibat
kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang menjadi faktor utamanya,
hal ini pun membuat kinerja Dinas Sosial kurang efektif sehingga dapat
menghambat program kerja yang sudah dibuat. (sumber: wawancara
dengan kepala seksi pelayanan rehabilitasi tuna sosial bapak Heli Priatna.
Kamis, 19 Desember 2017 pukul 13:55 di Dinas Sosial Kota Serang).
Adapun dalam hal ini, kurangnya sebuah SDM merupakan salah satu
yang menghambat dalam menuntaskan permasalahan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) khususnya Gelandangan dan Pengemis,
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor yang sangat penting yang
tidak bisa dipisahkan dari sebuah oraganisasi. Sumber daya manusia adalah
rancangan sistem-sistem dalam sebuah organisasi untuk memastikan
penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan
organisasi (Effendi, 1993: 45). Organisasi disini khususnya bagi Dinas
Sosial Kota Serang menyadari bahwa sumber daya manusia merupakan
modal dasar untuk menjalankan kinerja dalam Dinas Sosial Kota Serang
dalam penanggulangan Gelandangan dan pengemis di Kota Serang,
kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) bagi pelaksana kebijakan seperti
Dinas Sosial Kota Serang merupakan hal yang dapat menghambat dalam
penanggulangan penyakit masyarakat seperti gelandangan dan pengemis di
Kota Serang, kurangnya SDM tersebut seperti tidak adanya tenaga
profesional, lalu Staff kepegawaian dalam penanggulangan PMKS ini
34
kurang tersedia, serta kurangnya kerja sama pada bidang lain ataupun
kurangnya anggota dari bidang lain sehingga penanggulangan PMKS ini
seperti gelandangan pengemis semakin merajalela dan tidak bisa terkendali.
Hanya saja untuk sampai saat ini Dinas Sosial Kota Serang sudah
membentuk Satuan Petugas (SATGAS) dari tenaga pembantu penyidik dari
dinas sosial yang berjumlah 10 orang untuk ditempatkan dipusat Kota
Serang guna menjangkau serta mengawasi kegiatan gelandangan dan
pengemis yang berkeliaran untuk menggelandang dan mengemis, akan
tetapi pengawasan ini kurang efisien dan efektik karena anggota yang
berkerja tidak sepenuhnya datang di tempat dan waktu yang dikerjakan tidak
selama 24 jam , karena target yang ingin dicapai adalah waktu penjangkauan
serta pengawasanya selama kurang lebih 24 jam, hal ini memang
disebabkan karena kurang tersedianya tenaga SDM, sehingga
penanggulangan gelandangan dan pengemis oleh Dinas Sosial Kota Serang
tidak berjalan secara optimal. (sumber: wawancara dengan kepala seksi
pelayanan rehabilitasi tuna sosial bapak Heli Priatna. Kamis, 19 Desember
2017 pukul 14:00 di Dinas Sosial Kota Serang).
Terkait masalah latar belakang diatas tentang Pencegahan,
Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat khususnya
Gelandangan dan pengemis di Kota Serang, hal ini menjadi acuan untuk
Para pelaksana kebijakan, dalam memperbaiki kondisi atau situasi sosial
yang terjadi di masyarakat Kota Serang, yaitu membersihkan para
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti adanya Gelandangan dan
35
Pengemis yang berada dipusat Kota Serang. Untuk itu pemerintah Kota
Serang, bisa melihat terhadap Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial,
terutama mengenai para gelandangan dan pengemis yang seharusnya
diperhatikan. Sebab, pada dasarnya mereka ini tidak ingin melakukan
pekerjaan seperti ini, untuk menjadi seorang gelandangan dan pengemis.
Hanya saja karena faktor kebutuhan hidup yang harus dipenuhi setiap
harinya, begitupun pengakuan dari salah seorang pengemis di lampu merah
Pisang Mas Kota Serang yang jbernama Ibu Sanita yang berasal dari daerah
Keragilan Kabupaten Serang mengatakan bahwa sudah 2 tahun melakukan
kegiatan mengemis untuk memenuhi kebutuhan pokok dan biaya sekolah
anaknya, karena ibu sanita sendiri menganggap pekerjaan mengemis ini
halal dari pada harus mencuri, walaupun pengemis yang satu ini beranggap
memang pekerjaan menjadi seorang gelandangan dan pengemis, sangat
rendah drajat di mata masyarakat. (Sumber: Wawancara dengan Ibu Sanita
seorang pengemis Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang. selasa, 19
desember 2017 14:26)
Berdasarkan latar belakang semua masalah yang telah peneliti
paparkan diatas, maka peneliti ingin meneliti lebih mendalam tentang
Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 yang
menjelaskan Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan
Penyakit Masyarakat dalam Studi Kasus Penanggulangan Gelandangan dan
Pengemis di Kota Serang.
1.2 Identifikasi Masalah
36
Berdasarkan uraian pada latar belakang diperlukan adanya
identifikasi masalah yang meyangkut permaslahan-permasalahan didalam
penelitian tersebut. Berikut Identifikasi masalah dalam penelitian ini yaitu :
1. Kurang optimalnya Pemerintah dalam menerapkan kebijakan Perda
Kota Serang No. 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan,
Pemberantasan dan Penanggulangan penyakit masyarakat di Kota
Serang
2. Belum adanya sosialisasi secara menyeluruh kepada masyarakat
dan para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti
Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang Terkait adanya
Peraturan Daerah Kota Serang No. 2 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit
Masyarakat.
3. Terdapat masyarkat yang masih memberikan uang santunan di
Pusat Kota tepatnya di Pasar, Stasiun dan Lampu Merah Kota
Serang terhadap Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti
Gelandangan dan Pengemis.
4. Belum adanya tempat rehabilitasi ataupun karantina untuk para
penyandang masalah sosial seperti Gelandangan dan Pengemis, di
dalam memberikan penyuluhan serta pelatihan-pelatihan
keterampilan khusus.
5. Kurangnya SDM dalam Penanganan Masalah ini dimana kepala
seksie satu-satunya yang menangani rehabilitasi sosial hal ini
37
membuat kinerja Dinas Sosial kurang efektif sehingga menghambat
program kerja yang sudah dibuat.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang jadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Serang
no. 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan
Penanggulangan Penyakit Masyarakat (studi kasus gelandangan
dan pengemis di kota Serang) ?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan disiplin ilmu peneliti maka penelitian yang
dilaksanakan berdasarkan atas bidang ilmu pemerintahan dan untuk
membahas mengenai implementasi kebijakan peraturan daerah no 2 tahun
2010 di kota Serang adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui implementasi kebijakan perturan daerah kota
Serang no 2 tahun 2010 Tentang Pencengahan, Pemberantasan dan
Penanggulangan Penyakit Masyarakat.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dan hasil yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan menjadi bahan studi dan
menjadi salah satu sumbangsih pemikiran ilmiah dalam melengkapi
kajian-kajian yang mengarah pada pengembangan ilmu pemerintah,
38
khususnya pada bidang sosiologi pemerintahan, dan budaya
pemerintahan.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan bagi semua pihak terkait khususnya pemerintah kota
Serang sebagai dasar untuk program pemberdayaan masyarakat
miskin kota berdasarkan fenomena yang dihadapi.
3. Kegunaan metodologis, hasil penelitian ini di harapkan menjadi
bahan acuan bagi penelitian berikutnya.
1.5 Sistematika Penulisan
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang yang mengemukakan hal-hal yang
menjadi alasan ketertarikan peneliti terhadap topic atau judul penelitian dan
pentingnya dilakukan penelitian terhadap objek tersebut. Kemudian
selanjutnya Identifikasi Masalah dalam hal ini identifikasi masalah ialah
mendeteksi aspek permasalahanyang muncul dan berkaitan dengan
tema/topic/judul penelitian atau dengan masalah atau variabel yang akan
diteliti. Selanjutnya Batasan Masalah yaittu dari sejumlah masalah hasil
penelitian tersebut diatas ditetapkan masalah yang paling urgen yng
berkaitan dengan judul penelitian. Ada juga Perumusan Masalah adalah
mendeteksi masalah dari batasan masalah yang dikemukakan dalam bentuk
pertanyaan dan dirumuskan secara tajam mencapai jawaban sebagai hasil
penelitian. Maksud dari Tujuan Penelitian ini menjelaskan tentang sasaran
39
yang ingin dicapai oleh terhadap pelaksanaan penelitian dan masalah yang
telah dirumuskan. Ada pun Manfaat Penelitian ini menjelaskan tentang
manfaat teoritis dan praktis dari hasil penelitian. Dan yang terakhir
Sistematika Penulisan ialah menjelaskan secara keseluruhan isi dari bab per
bab.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Menguraikan tentang konsep kebijakan publik, evaluasi kebijakan,
pengertian evaluasi, tujuan evaluasi, proses evaluasi, kerangka berfikir yang
menggambarkan alur pikiran penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini terdiri dari Metode Penelitian yang mejelaskan tentang metode yang
dipergunakan dalam penelitian. Dan Instrumen Penelitian menjelaskan
tentang proses penyusunan dan jenis alat pengumpulan data yang
digunakan. Selanjutnya Populasi dan Sampel Penelitian menjelaskan
wilayah generalisasi serta penetapan besar sampel dan teknik pengambilan
sampel serta rasionalnya. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data
menguraikan teknik pengelolaan hasil penelitian dan menganalisis data yang
telah diolah dengan menggunakan teknik analisis adat sesuai dengan sifat
data yang diperoleh. Dan yang terakhir Tempat dan Waktu Penelitian
menjelaskan tentang tempat dan waktu penelitian tersebut dilaksanakan.
BAB IV HASIL PENELITIAN
40
Terdiri atas Deskripsi Obyek Penelitian yan menjelaskan tentang obyek
penelitian yang meliputi lokasi penelitian secara jelas. Kemudian Deskripsi
Data menjelaskan penelitian yang telah diolah dari data mentah dengan
mempergunakan teknik analisis data yang relevan. Kemudian melakukan
pembahasan lebih lanjut terhadap persoalan dan pada akhir pembahasan
peneliti dapat mengemukakan berbagai keterbatasan yang mungkin terdapat
dalam pelaksanaan penelitian.
BAB V PENUTUPAN
Di dalam penutupan ini menjelaskan tentang Kesimpulan yang memberikan
kesimpulan terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan dan diungkapkan
secara singkat, jelas dan mudah dipahami. Saran berisikan tindak lanjut dari
sumbangan penelitian terhadap bidang yang diteliti yakni secara teoritis
maupun praktis.
42
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Kebijakan Publik
Lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup
berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum,
dan sebagainya. Disamping itu dilihat dari hirarkinya kebijakan publik dapat
bersifat nasional, regional maupun lokal seperti undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan
pemerintah/provinsi, keputusan gubernur, peraturan daerah kabupaten/kota,
dan keputusan bupati/walikota.
Oleh karenanya dalam pembahasan ini peneliti menyajikan teori-teori
kebijakan publik, pendekatan dalam studi kebijakan publik hingga proses
kebijakan publik. Karena pada hakikatnya perda kota Serang no 2 tahun
2010 tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit
masyarakat merupakan salah satu bentuk dari kebijakan publik.
a. Pengertian Kebijakan Publik
Secara umum istilah kebijakan dan kebijaksanaan seringkali
dipergunakan secara bergantian. Kedua istilah ini terdapat banyak kesamaan
dan sedikit perbedaan, sehingga tak ada masalah yang berarti bola kedua
istilah itu dipergunakan secara bergantian. Pengertian istilah kebijakan dan
kebijaksanaan juga terdapat dalam kamus besar bahasa Indonesia.
43
a) Kebijakan : kepandaian ; kemahiran; kemahiran Kebijakan berarti :
1) Hal bijaksanan; kepandaian menggunakan akal budaya (pengalaman
dan pengetahuan)
2) Pimpinan dan cara bertindak (mengenai pemerintah, perkumpulan dan
sebagainya
3) Kecakapan bertindak bila mengahadapi orang lain (dalam kesulutan
dan sebagainya). (Poerwadarmita, 1994:115)
b) Istilah kebijaksanaan biasanya digunakan untuk perbuatan yang baik,
menguntungkan atau positif. Kebijaksanaan berarti :
1) Pandai :mahir; selalu menggunakan akal budinya
2) Patah lidah; pandai bercakap-cakap
Sedangkan policy berasal dari bahasa Latin politea yang berarti
kewarganegaraan. Karena policy dikaitkan dengan pemerintah, maka lebih
tepat jika diterjemahkan sebagai kebijaksanaan dan bukan kebijakan.
Menurut Charles O. Jones, istilah kebijakan tidak hanya digunakan
dalam praktik sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan
atau keputusan yang sangat berbeda.
Berkaitan dengan pengertian kebijakan tersebut, Carl Friedrich dalam
budi Winarmo memberikan pengertian sebagai berikut; Bahwa kebijakan
sebagai suatu arah tindakan yang disesuaikan oleh seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-
hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan
44
untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan,
atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu. Istilah kebijakan ini
lebih tertuju pada kebijakan (policy) yaitu kebijakan Negara, kebijakan yang
dibuat oleh Negara. Kebijakan publik dapat juga berarti serangkaian
tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh
pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu demi kepentingan seluruh
masyarakat. Bentuk kebijakan publik itu bisa berupa undang-undang atau
peraturaan daerah (perda) dan yang lain.
Ada berbagai definisi tentang kebijakan publik yang dikemukakan oleh
beberapa ahli. Misalnya yang dikemukakan oleh Heinz Eulau dan Kenneth
Prewitt, yang dikutip oleh Agustino (2006:6) mndifiniskan kebijakan
publik sebagai : “keputusan tetap yang dicirikan dengan konsisten dan
pengulangan (repitisi) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari
mereka yang meatuhi keputusan tersebut. Dye yang dikutip Agustino
mengatakan bahwa, “ kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh
pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan”. Melalui definisi ini kita
dpat memahami bahwa terdapat perbedaan antara apa yang akan dikerjakan
pemerintahan dan apa yang sesungguhnya harus dikerjakan oleh
pemerintah.
Menurut Leo Agustino dalam bukunya Dasar-dasar Kebijakan Publik
(2008:8) membuat suatu kesimpulan dari beberapa karakteristik utama dari
suatu definisi Kebijakan Publik. Pertama, Kebijakan Publik perhatianya
ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu dari
45
pada perilaku yang berubah atau acak. Kedua, kebijakan publik, pada
dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah dari pada keputusan yang terpisah-pisah. Ketiga,
Kebijakan Publik, merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh
pemerintah dalam mengatur ataupun mengontrol kebijakan tersebut.
Meskipun terdapat berbagai definisi kebijakan negara (Publik policy),
seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwasanya dalam setiap
kebijakan pasti membutuhkan orang-orang sebagai perencanaan atau
pelaksanaan kebijakan maupun objek dari kebijakan itu sendiri. Kebijakan
publik dibaca dalam lingkar otoritas Negara, persoalan yng muncul selama
ini disebabkan oelh kompetensi aparat nyang tidak memadai atau juga
pilihan agenda setting yang kurang tepat.
Proses kebijakan dapat tercipta dalam sebuah mekanisme Interaksi antar
individu. Proses pertukaran dan peraturan antar individu dapat menciptakan
sebuah mekanisme sendiri, yaitu yang merupakan sebuah proses panjang
dari tranformasi di dunia politik.
Sebuah proses kebijakan merupakan sebuah proses yang multilinear dan
kompleks. Atau dengan kata lain, kompleksitas sosok arena kebijakan turut
mewarnai proses kebijakan yang ada. Hal tersebut sangatlah memungkinkan
terjadi karena sebuah proses kebijakan selalu lahir dan besar pada ruang dan
waktu yang tak kosong.
Dari pengertian kebijakan publik ysng diuraikan diatas dapat
disimpulkan bahwa:
46
(1) Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-
tindakan pemerintah.
(2) Kebijakan publik ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
(3) Kebijakan publik baik untuk melakukan atau tidak melakukan
jsesuatu itu mempunyai tujuan
b. Tujuan Kebijakan
Fungsi utama dari Negara adalah mewujudkan, menjalankan dan
melaksanakan kebijaksanaan bagi seluruh masyarakat. Hal ini berkaitan
dengan tujuan-tujuan penting kebijakan pemerintah pada umumnya, yaitu.
1) Memelihara ketertiban umum (Negara sebagai stabilisator)
2) Memajukan perkembangan dari masyarakat dalam berbagai hal (negara
sebagai stimulator)
3) Memadukan berbagai aktivitas (Negara sebagai coordinator)
4) Menunjuk dan membagi benda material dan non material (Negara
sebagai distibutor)
c. Jenis Kebijakan Publik
James E. Anderson, kebijakan publik dapat dikelompokan sebagai
berikut:
1) Subtantive Polices and Procedural Policies.
Subtant ive Polices adalah kebijakan yan dilihat dari substansi masalah
yang di hadapai oelh pemerintah. Misalnya: kebijakan politik luar
negeri, kebijakan di bidang pendidikan, kebijakan ekonomi, dan
47
sebagainya. Dengan demikian yang menjadi tekanan dari substansi
policies adanya pokok masalahnya (subject matter) kebijakan.
Procedural Policies adalah suatu kebijakan yang dilihat dari pihak-
pihak mana saja yan terlibat dalam perumusan kebijakan publik, serta
cara bagaimana suatu kebijakan publik diimplementasikan.
2) Distributive, Redistributive, and self Regulatory Policies.
Distributive policies adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang
pemberian pelayanan atau keuntungan bagi individu-individu,
kelompok-kelompok, perusahaan-perusahaan atau masyarakat tertentu.
Redistributive Policies adalah kebijakan yang mengatur tentang
pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan
Dari beberapa difinisi-definisi tersebut diatas maka dapat disimpulkan
beberapa karakteristik utama dari suatu deifinisi kebijakan publik. Pertama
pada umumnya kebijakan publik perhatianya ditunjukan pada tindakan yang
mempunyai maksud dan tujuan tertentu dari pada perilaku yang berubah
atau acak. Kedua, kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau
pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dari pada keputusan
yang terpisah-terpisah. Ketiga, kebijakan publik merupakanapa yang
sesungguhnnya dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan,
mengontrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat, bukan maksud apa
yang dikerjakan atau yang akan kerjakan. Keempat, kebijakan publik dapat
berbentuk positif maupun negative. Secara positif, kebijakan melibatkan
48
beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu
permasalahan. Secara negative, kebijakan publik dapat melibatkan suatu
keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan atau
tidak mengerjakan apapun padahal dalam konteks tersebut keterlibatan
pemrintah amat diperlukan. Kelima, kebijakan publik, paling tidak secara
positif, didasarkan pada hokum dan merupakan tindakan yang bersifat
memerintah.
2.1.2 Analisis Kebijakan Publik
Dalam lingkar tradisi akademis pemikiran studi-studi kebijakan,
terutama yang berkaitan dengan analisis kebijakan publik, sudah lama
dikenal adanya berbagai pendekatan (approach) yang dikembangkan oleh
para pakar/teoritisi kebijakan publik. Pendekatan-pendekatan itu, masing-
masing tentu dengan segala kelebihan dan kekurangnya, dimaksudkan untuk
dapat memotret dan memahami fenomena kebijakan atau problema
kebijakan tertentu.
Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai analisis
kebijakan diantaranya sebagai berikut:
Menurut Ericson dalam Wahab (2012:40) merumuskan bahwa analisis
kebijakan publik sebagai berikut:
“...public policy analysis is a future-oriented inquiry into the optimum
means of achieaving a given set of social objectives” (penyelidikan
yang berorientasi ke depan dengn menggunakan sarana yang optimal
untuk mencapai serangkaian tujuan sosial yang diinginkan).
49
Kemudian, Dror dalam Wahab (2012:40) mendefinisikan analisis
kebijakan sebagai berikut :
“an Approach and menthodology for design and identification of
prefeble alternatives in respect to complex policy issues” (suatu
pendekatan dan methodology untuk mendesain dan menemukan
alternatif-alternatif yang dikehendaki berkenaan dengan sejumlah isu
yang kompleks).
Sedangkan, William Dunn (2012:96) mendefinisikan analisis
kebijakan publik adalah sebagai berikut:
“disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode
pengkajian multipel dalam konteks argumentasi dan debat politik untuk
menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan
pengetahuan yang relevan dengan kebijakan.
Menurut Dr. Joko Widodo, M.S. (2008:87) Analisis kebijakan Publik
adalah proses penciptaan pengetahuan dari dan dalam proses penciptaan
kebijakan. Maka dari itu analisis kebijakan publik menurunkan beberapa ciri
yaitu :
Pertama, Analisis Kebijakan publik merupakan kegiatan kognitif, yang
terkait dengan proses pembelajaran dan pemikiran. Kedua, Analisis
Kebijakan Publik merupakan hasil kegiatan kolektif, karena keberadaan
sebuah kebijakan pasti melibatkan banyak pihak, dan didasarkan pada
pengetahuan kolektif dan terorganisir mengenai masalah-masalah yang ada.
Ketiga, Analisis Kebijakan Publik merupakan disiplin intelektual terapan
yang bersifat reflektif, kreatif, imajinatif dan eksploratori. Keempat, Analisis
Kebijakan Publik berkaitan dengan masalah-masalah publik, bukan masalah
pribadi walaupun masalah tersebut melibatkan banyak orang.
50
Selanjutnya menurut AG. Subarsono (2005: 18-19) Analisis Kebijakan
Publik adalah proses kajian yang mencangkup lima kompone, dan setiap
komponen dapat berubah menjadi komponen lain melalui prosedur tertentu,
seperti perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan dan
evaluasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa analisis kebijakan publik adalah
suatu pendektan kegiatan yang dilakukan dengan berbagai alternatif disiplin
ilmu pengetahuan terapan yang relevan dapat digunakan dalam mendesain
dan menilai pada isu kebijkan publik.
2.2 Konsep Implementasi Kebijakan Publik
2.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
Kajian Implementasi merupakan suatu proses merubah gagasan
atau program mengenai tindakan dan bagaimana kemungkinan cara
menjalankan perubahan tersebut. Implementasi Kebijakan juga merupakan
suatu proses dalam kebijakan publik yang mengarah pada pelaksanaan dari
kebijakan yang telah dibuat. Dalam praktiknya, Implementasi Kebijakan
merupakan suatu proses yang begitu komplek, bahkan tidak jarang
bermuatan politis karena adanya intervensi dari berbagai kepentingan.
Menurut Bardach dan Agustino (2008:54) mengemukakan bahwa
Implementasi Kebijakan:
“adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijaksanaan
umum yang kelihatanya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi
merumuskanya dengan kata-kata dan slogan-slogan yang
51
kedengaranya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para
pemilih yang mendengarkanya. Dan lebih sulit bagi untuk
melaksanakanya dalam bentuk yang memuaskan semua orang”.
Hakekat dari implementasi merupakan rangkaian kegiatan yang terencana
dan bertahap yang dilakukan oleh instansi pelaksana dengan didasarkan
pada kebijakan yang ditetapkan oleh otoritas berwenang. Hal seperti yang di
ungkapkan oleh Mazmaniah dalam bukunya ”Implementation and Public
Policy” yang diterbitkan pada tahun 1983, mendefinisikan Implementasi
Kebijakan sebagai:
“pelaksana keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk
undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan
peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasian masalah yang
akan diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin
dicapai, dan berbagai cara untuk mengistruksikan atau mengatur proses
Implementasinya”.
Selanjutnya menurut Van Metter dan Van Horn dalam Agustino
(2008:139) mengemukakan Implementasi Kebijakan adalah tindakan-
tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat
atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada
tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.
Kemudian, menurut Bambang Sunggono (1994:137).bahwa Implementasi
Kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu
52
dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu. Adapun
Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan yang diterangkan Dimock
dalam Tachjan (2006:28) sebagai berikut:
“Pelaksana kebijakan merupakan pihak-pihak yang menjalankan
kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran
organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi
organisasi, pengorganisasian, penggerakan manusia, pelaksanaan
operasional, pengawasan serta penilaian”.
Selanjutnya menurut Tachjan (2006:35) ada beberapa Program dalam
konteks Implementasi Kebijakan Publik terdiri dari beberapa tahap yaitu:
Pertama, Merancang bangun (design) program beserta perincian tugas dan
perumusan tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi yang jelas serta
biaya dan waktu. Kedua, Melaksanakan (aplication) program dengan
mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana serta sumber-
sumber lainya, prosedur dan metode yang tepat. Ketiga, Membangun sistem
penjadwalan, monitoring dan sarana-sarana pengawasan yang tepat guna
serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan. Kemudian menurut Lester dan
Stewart dalam Agustino (2008:139) menyatakan bahwa Implementasi
Kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil
akhir (output) yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.
Berdasarkan beberapa Definisi mengenai Implementasi Kebijakan
diatas maka dapat diketahui bahwa Implementasi kebijakan membicarakan
minimal 4 hal, yaitu:
53
a. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan yang akan dicapai dengan adanya
penerapan kebijakan tersebut
b. Adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan yang dijawantahkan
dalam proses implementasi
c. Adanya hasil kegiatan, idealnya adalah tercapainya tujuan dari kebijakan
tersebut
d. Adanya analisis kembali setelah kebijakan tersebut dilaksanakan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan, bahwa Implementasi
Kebijakan ini menyangkut adanya tujuan atau sasaran kebijakan, adanya
aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan serta adanya hasil kegiatan.
2.2.2 Langkah-langkah Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan proses kedua di dalam
perumusan kebijakan setelah melalui tahapan formulasi kebijakan. Dan
didalam pelaksanaanya terdapat langkah-langkah yang harus diperhatikan.
Nugroho (2014: 243) merumuskannya menjadi tiga langkah dengan tujuan
agar implementasi akan berhasil sebelum mulai mengimplementasikanya.
Adapun langkah-langkah tersebut yaitu:
1. Penerimaan kebijakan.
Pemahaman public bahwa kebijakan adalah “aturan
permainan” untuk mengelola masa depan. Khusus
pengimplementasi kebijakan, seperti birokrat memahami
bahwa kebijakan sebaiknya dilaksanakan dengan baik dan
bukan sebagai keistimewaan.
54
2. Adopsi kebijakan.
Publik setuju dan mendukung kebijakan sebagai “aturan
permainan” untuk mengelola masa depan. Khusus
pengimplementasi kebijakan, seperti birokrat memahami
bahwa kebijakan sebaiknya dilaksanakan dengan baik dan
bukan sebagai keistimewaan.
3. Kesiapan Strategis
Publik siap untuk berpartisipasi dalam implementasi
kebijakan dan birokrat siap untuk menjadi pengimplementasi
utama; seperti yang anda ketahui tanggung jawabnya untuk
menjalankan keleluasaan kebijakan.
2.2.3 Teori Implementasi Kebijakan Publik
Impelmentasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah
rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci. Implementasi
biasanya dilakukan setelah perencanaaan sudah dianggap fix. Berikut disini
ada sedikit info tentang pengertian implentasi menurut para ahli. Secara
sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan.Majone
dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan
implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan
Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan
aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai
aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin
55
(dalam Nurdin dan Usman, 2004). Perlu disadari bahwa dalam
melaksanakan implementasi suatu kebijakan tidak selalu berjalan dengan
mulus. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu
implementasi kebijakan. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau
faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan
publik serta guna penyederhanaan pemahama, maka akan digunakan model-
model teori Implementasi kebijakan.
Terdapat banyak model implementasi menurut para ahli,
diantaranya model implementasi kebijakan publik menurut Van Metter dan
Van Horn (1975), George Edward III (1980), Grindle (1980) dan
Masmanian dan Sabatier (1987). Dalam penelitian ini saya akan
menggunakan Teori Model George Edward III dalam Widodo (2010:96)
yang dimana terdapat 4 faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan implementasi kebijakan antara lain yaitu faktor (1) komunikasi,
(2) sumberdaya, (3) disposisi dan (4) struktur birokrasi.
Komunikasi
Sumber Daya
Disposisi Implementasi
Struktur
Birokrasi
56
Gambar 2. Faktor Penentu Keberhasilan Implementasi menurut Edward III
a. Komunikasi
Menurut Edward III dalam Widodo (2010 : 97), komunikasi diartikan
sebagai “proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan”.
Informasi mengenai kebijakan publik menurut Edward III dalam Widodo
(2010:97) perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar para pelaku
kebijakan dapat mengetahui apa yang harus mereka persiapkan dan lakukan
untuk menjalankan kebijakan tersebut sehingga tujuan dan sasaran
kebijakan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut Edward III dalam Widodo (2010:97), komunikasi
kebijakan memiliki beberapa dimensi, antara lain dimensi transmisi
(trasmission), kejelasan (clarity) dan konsistensi (consistency).
1) Dimensi transmisi (trasmission) menghendaki agar kebijakan
publik disampaikan tidak hanya disampaikan kepada pelaksana
(implementors) kebijakan tetapi juga disampaikan kepada
kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang
berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung.
2) Dimensi kejelasan (clarity) menghendaki agar kebijakan yang
ditrasmisikan kepada pelaksana, target grup dan pihak lain
yang berkepentingan secara jelas sehingga diantara mereka
mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, sasaran, serta
substansi dari kebijakan publik tersebut sehingga masing-
masing akan mengetahui apa yang harus dipersiapkan serta
dilaksanakan untuk mensukseskan kebijakan tersebut secara
efektif dan efisien.
3) Dimensi konsistensi (consistency) diperlukan agar kebijakan
yang diambil tidak simpang siur sehingga membingungkan
pelaksana kebijakan, target grup dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
57
b. Sumberdaya
Edward III dalam Widodo (2010:98) mengemukakan bahwa faktor
sumberdaya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan.
Menurut Edward III dalam Widodo (2010:98) bahwa sumber daya tersebut
meliputi sumberdaya manusia, sumberdaya anggaran, dan sumberdaya
peralatan dan sumberdaya kewenangan.
1) Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia merupakan salah satu variabel yang
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Edward III
dalam Widodo (2010:98) menyatakan bahwa “probably the most
essential resources in implementing policy is staff”. Edward III
dalam Widodo (2010:98) menambahkan “no matter how clear and
consistent implementation order are and no matter accurately they
are transmitted, if personel responsible for carrying out policies
lack the resource to do an effective job, implementing will not
effective”
2) Sumberdaya Anggaran
Edward III dalam Widodo (2010:100) menyatakan dalam
kesimpulan studinya “budgetary limitation, and citizen opposition
limit the acquisition of adequate facilities. This is turn limit the
quality of services that implementor can be provide to public”.
Menurut Edward III, terbatasnya anggaran yang tersedia
58
menyebabkan kualitas pelayanan yang seharusnya diberikan kepada
masyarakat juga terbatas.
Edward III dalam Widodo (2010:100) menyatakan bahwa
“new towns studies suggest that the limited supply of federal
incentives was a major contributor to the failur of the program”.
Menurut Edward III, terbatasnya insentif yang diberikan kepada
implementor merupakan penyebab utama gagalnya pelaksanaan
program.
Edward III dalam Widodo (2010:101) menyimpulkan bahwa
terbatasnya sumber daya anggaran akan mempengaruhi
keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Disamping program tidak bisa
dilaksanakan dengan optimal, keterbatasan anggaran menyebabkan
disposisi para pelaku kebijakan rendah.
3) Sumberdaya Peralatan
Edward III dalam Widodo (2010:102) menyatakan bahwa
sumberdaya peralatan merupakan sarana yang digunakan untuk
operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi
gedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan dalam
memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan. Edward II
dalam Widodo (2010:102) menyatakan :
Physical facilities may also be critical resource in
implementation. An implementor may have sufficient staff,
may understand what he supposed to do, may have authority to
59
exercise his task, but without the necessary building,
equipment, supplies and even green, space implementation
will not succed
4) Sumberdaya Kewenangan
Sumber lain yang cukup penting dalam menentukan
keberhasilan suatu implementasi kebijakan adalah kewenangan.
Menurut Edward III dalam Widodo (2010:103) menyatakan
bahwa :
Kewenangan (outhority) yang cukup untuk membuat
keputusan sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan
mempengaruhi lembaga itu dalam melaksanakan suatu
kebijakan. Kewenangan ini menjadi penting ketika mereka
dihadapkan suatu masalah dan mengharuskan untuk segera
diselesaikan dengan suatu keputusan.
Oleh karena itu, Edward III dalam Widodo (2010:103),
menyatakan bahwa pelaku utama kebijakan harus diberi wewenang
yang cukup untuk membuat keputusan sendiri untuk melaksanakan
kebijakan yang menjadi kewenanganya.
c. Disposisi
Pengertian disposisi menurut Edward III dalam Widodo (2010:104)
dikatakan sebagai “kemauan, keinginan dan kecenderungan para pelaku
kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tadi secara sungguh – sungguh
sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan”. Edward
III dalam Widodo (2010:104- 105) mengatakan bahwa :
jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan efisien,
para pelaksana (implementors) tidak hanya mengetahui apa yang
60
harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untuk melakukan
kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kemauan
untuk melaksanakan kebijakan tersebut
Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III dalam Agustinus
(2006: 159-160) mengenai disposisi dalam implementasi kebijakan terdiri
dari:
1) Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akan
menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap
implementasi kebijakan bila personel yang ada tidak
melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat
yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihan
personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang
memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih
khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.
2) Insentif merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk
mengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan
memanipulasi insentif. Pada dasarnya orang bergerak
berdasarkan kepentingan dirinya sendiri, maka memanipulasi
insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan
para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan
atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong
yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan
baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan
pribadi atau organisasi
d. Struktur Birokrasi
Ripley dan Franklin dalam Winarno (2005:149-160) mengidentifikasi
enam karakteristik birokrasi sebagai hasil pengamatan terhadap birokrasi di
Amerika Serikat, yaitu:
1) Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani
keperluan-keperluan publik (public affair)
61
2) Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam
implementasi kebijakan publik yang mempunyai kepentingan
yang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya.
3) Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda
4) Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan
luas.
5) Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan
begitu jarang ditemukan birokrasi yang mati.
6) Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali
penuh dari pihak luar.
Meskipun sumber-seumber untuk mengimplementasikan suatu
kebijakan cukup dan para pelaksana (implementors) mengetahui apa dan
bagaimana cara melakukanya, serta mempunyai keinginan untuk
melakukanya, namun Edward III dalam Widodo (2010:106) menyatakan
bahwa “implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif karena
ketidakefiesienan struktur birokrasi, pembagian kewenangan, hubungan
antara unit-unit organisasi dan sebagainya.
Menurut Edward III dalam Winarno (2005:150) terdapat dua
karakteristik utama dari birokrasi yakni: “Standard Operational Procedure
(SOP) dan fragmentasi”. Menurut Winarno (2005:150), “Standard
Operational Procedure”(SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan
internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman
dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas”. Edward III dalam
Widodo (2010:107) menyatakan bahwa :
Demikian pula dengan jelas tidaknya standar operasi, baik
menyangkut mekanisme, system dan prosedur pelaksanaan kebijakan,
pembagian tugas pokok, fungsi dan kewenangan, dan tanggung jawab
diantara pelaku, dan tidak harmonisnya hubungan diatara organisasi
62
pelaksana satu dengan yang lainya ikut pula menentukan keberhasilan
implementasi kebijakan.
Namun, berdasarkan hasil penelitian Edward III dalam Winarno
(2005:152) menjelaskan bahwa:
SOP sangat mungkin daoat menjadi kendala bagi implementasi
kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe
personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan
begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-
cara yang lazim dalam suatu organisasi, semakin besar pula
probabilitas SOP menghambat implementasi
Edward III dalam Winarno (2005:155) mejelaskan bahwa
“fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan
kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi”
Edward III dalam Widodo (2010:106), mengatakan bahwa:
struktur birokrasi yang terfragmentasi (terpecah-pecah atau
tersebared) dapat meningkatkan gagalnya komunikasi, karena
kesempatan untuk instruksinya terdistorsi sangat besar. Semakin
terdistorsi dalam pelaksanaan kebijakan, semakin membutuhkan
koordinasi yang intensif”.
Berdasarkan pemahaman diatas konklusi dari implementasi jelas
mengarah kepada pelaksanan dari suatu keputusan yang dibuat oleh
eksekutif. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi
sehingga tercipta rangkaian yang terstruktur dalam upaya penyelesaian
masalah tersebut. Dalam konsep implementasi terdapat kata “rangkaian
terstruktur” yang memiliki makna bahwa dalam prosesnya implmentasi
pasti melibatkan berbagai komponen dan instrument. Pemerintah dalam hal
ini adalah yang membuat dan melaksanakan peraturan daerah merupakan
63
poin penting dalam penyelengaraan pemerintahan. pelayanan dan
pengaturan berkenaan dengan nilai dasar yang dijelaskan pada konsep
tetang masarakat yaitu mengenai hak dan kewajiban masyarakat. Yang
pertama mengenai tugas pengaturan, jika yang bertugas mengatur adalah
pemerintah maka yang diatur adalah yang-diperintah dalam hal ini
masyarakat. Berarti pemerintah memiliki hak untuk mengatur dan
masyarakat memiliki kewajiban untuk diatur. hal ini terkait dengan konsep
implementasi kebijakan. Dalam aturan peraturan daerah no 2 tahun 2010
tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit
masyarakat , Pemerintah Daerah yang dimaksud penulis dalam
melaksanakan peraturan daerah tersebut adalah aparatur yang
bertanggungjawab dalam pelaksanaan perda. Pemerintah daerah yang
berwewenang dalam hal ini yaitu DPRD Kota Serang Komisi D bagian
Kesejahteraan Masyarakat, dan Dinas Sosial Kota Serang. Penjelasan
mengenai peraturan daerah no 2 tahun 2010 di kota Serang mengenai
konsep penanggulangan adalah segala upaya atau kegiatan yang dilakukan
oleh Pemerintah dan/atau masyarakat untuk mengatasi masalah anak
jalanan, gelandangan pengemis, pengamen dan keluarganya supaya dapat
hidup dan mencari nafkah dengan tetap mengutamakan hak-hak dasarbagi
kemanusiaan; Tujuan utama penyelengaraan pemerintah daerah adalah
menciptakan kesejahteraan masyarakat, maka dari itu pemerintah Kota
Serang melalui Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 tentang
tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit
64
masyarakat menegaskan ada beberapa pembinaan dalam mengurangi
pertumbuhan jumlah rakyat miskin kota yang di kelompokan sebagai anak
jalanan, gelandangan, pengemis, dan pengamen yang berada di Kota Serang.
Sekarang yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Serang, yaitu:
1) Program penanggulangan. Program penanggulangan yang dimakasud ada
bebarapa di dalamnya yaitu pencegahan, penanggulangan lanjutan, serta
rehabilitasi sosial.
2) Pengurangan terhadap prilaku eksploitasi dimana Pemerintah Kota
Serang sebagai barometer dari pelaksanaan suatu kebijakan harus
menindak tegas pihak-pihak yang sengaja mengeksploitasi kegiatan dari
anak jalanan.
3) Melakukan pemberdayaan yaitu proses penguatan keluarga yang
dilakuan secara terencana dan terarah sesuai dengan keterampilan yang
dimiliki tiap individu yang dibina.
4) Bimbingan lanjut yaitu salah satu cara pembinaan yang dilakukan
melalui kegiatan monitoring evaluasi dari program pemberdayaan
sebelumnya.
5) Partisipasi Masyarakat disini yang dimaksud adalah tingkah laku
masyarakat yang tidak memberikan kebiasaan kepada anak jalanan untuk
senangtiasa memintaminta.
65
2.3 Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit
Masyarakat
Adapun Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010
merupakan salah satu kebijakan yang ditetapkan pemerintah Kota Serang
dengan tujuan mencegah, memberantas, menanggulangi penyakit
masyarakat yang berada di Kota Serang. Dengan menimbang beberapa hal,
antara lain : (Draft PERDA Kota Serang No 2 Tahun 2010)
a. Bahwa Kota Serang adalah daerah landasan kehidupan
masyarakat yang berbudaya dan beragama, sejalan dengan
visi dan misi Kota Serang.
b. Bahwa berbagai bentuk perbuatan yang merupakan
penyakit masyarakat merupakan perbuatan yang
meresahkan masyarakat, ketertiban umum, keamanan,
kesehatan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Kota
Serang.
c. Bahwa rasa aman, nyaman, dan tentram perlu diwujudkan
di Kota Serang oleh karena itu perbuatan penyakit
masyarakat yang ada di Kota Serang diperlukan aturan
tentang pembinaan, pengawasan dan pengendalian,
pelarangnan serta penindakan terhadap penyakit masyarakat
agar terhindar dari gangguan/ dampak negatif yang akan
timbul di dalam masyarakat.
66
Disebutkan juga pada pasal 1 ayat 14 dalam perda no 2 tahun 2010
bahwa penyakit masyarakat adalah hal-hal atau perbuatan yang terjadi
ditengah-tengah masyarakat yang tidak menyenangkan masyarakat atau
meresahkan masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan agama dan adat
serta tata krama kesopanan dalam masyarakat. Klasifikasi penyakit
masyarakat disebutkan pada pasal 3 ayat 1,2,3 sebagai berikut:
(1) Klasifikasi Penyakit masyarakat yang diatur dalam Peraturan Daerah ini
mencakup segala bentuk perbuatan, tindakan atau perilaku yang tidak
menyenangkan dan meresahkan masyarakat dan/ atau melanggar nilai-
nilai ajaran agama dan norma susila;
(2) Penyakit masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perbuatan dan tindakan perilaku sebagai berikut :
a. Wanita Tuna Sosial (WTS)
b. Waria yang menjajakan diri
c. Penyalahgunaan Minuman beralkohol
d. Gelandangan dan Pengemis
e. Anak jalanan
(3) Semua tindakan dan / atau perbuatan yang berhubungan dengan
penyakit masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
tindakan dan / atau perbuatan yang melanggar ketertiban sebagaimana
diatur dalam Peraturan Perundagan – undangan berlaku.
Dari klarifikasi Penyakit Masyarakat Menurut Perda Kota Serang
Nomor 2 Tahun 2010 ini, yang akan saya teliti adalah masalah
Gelandangan dan Pengemis yang berada di Kota Serang. Sebab, isi dari
Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 pasal 9 ayat 1,2,3 tentang adanya
larangan seseorang memberikan uang santunan kepada pengemis di tempat
umum, belum dapat berjalan dengan baik, walaupun memang ada sanksi
yang akan diberikan oleh pemerintah Kota Serang terhadap seseorang
67
yang melanggar aturan tersebut, selanjutnya masih banyaknya
gelandangan dan pengemis yang masih berkeliaran untuk melakukan
kegiatanya seperti meminta-minta ataupun menggelandang demi
kebutuhan sehari-hari..
Sebagaimana juga dijelaskan pada Bab IV Tentang Larangan
disebutkan pada bagian kelima perihal Gelandangan dan pengemis
dijelaskan pada pasal 9 yakni Pasal 1,2,3 yang menyebutkan, bahwa:
(1) Setiap orang dilarang menjadi gelandangan dan pengemis
(2) Setiap orang dilarang menyuruh atau memaksa orang lain menjadi
pengemis
(3) Setiap orang dilarang memberikan uang ataupun lainya kepada
pengemis
Pemerintah Kota Serang secara tegas memberikan tindakan nyata
untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
kepastian hukum, dengan melarang setiap kegiatan yang termasuk dalam
kategori penyakit masyarakat.
Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 merupakan respon dari
pemerintah Kota Serang untuk memberikan borders kepada masyarakat
agar keamanan, ketertiban umum, kesehatan, dan nilai-nilai luhur yang ada
di Kota Serang dapat terpelihara. Tetapi pada kenyataanya, dalam
menjalankan atau mengimplementasikan kebijakan tersebut tidak semulus
seperti yang direncanakan, justru tujuan-tujuan tersebut berujung pada
sebuah kegagalan.
Hal inilah yang akan coba diteliti oleh peneliti, yakni praktek
pelaksanaan Perda Pekat untuk tujuan yang telah dirumuskan oleh
68
pemerintah daerah Kota Serang sejak 7 tahun Perda ini terbentuk. Ada
beberapa kondisi dimana suatu kebijakan dapat dianggap gagal karena
pelaksanaanya yang menemui masalah, diantaranya adalah : (Nugroho:
2011.610)
pertama kegagalan manajemen yang berarti, suatu kebijakan memang
berhasil ditetapkan, namun tidak dapat dilaksanakan; yang kedua ialah
kegagalan administrasi, dimana suatu kebijakan sebenarnya telah berhasil
ditetapkan dan dilaksanakan, namun pelaksanaanya memerlukan biaya
yang besar, yang ketiga disebut kegagalan desain; yang terakhir ialah
kegagalan teori yakni kebijakan berhasil dilaksanakan sesuai dengan
desain, tetapi tidak memberikan hasil yang diharapkan.
Adapun usaha Dinas Sosial untuk menangani masalah sosial
gelandangan dan pengemis yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi
penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan,
pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada
hubunganya dengan pergelandangan dan pengemisan. Usaha preventif
ini bertujuan untuk mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis
di masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan maupun
kelompok yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan
dan pengemis. Usaha preventif ini dilakukan dengan cara:
1. Penyuluhan dan bimbingan sosial
2. Pembinaan sosial
69
3. Perluasan kesempatan kerja
4. Pemukiman lokal
5. Peningkatan drajat kesehatan
2. Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui
lembaga maupun bukan lembaga dengan maksud untuk menghilangan
pergelandangan dan pengemisan serta mencegah meluasnya
dimasyarakat. Usaha represif ini bertujuan untuk mengurangi dan
/atau menindakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik
kepada seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan
pergelandangan dan pengemisan. Usaha represif ini dilakukan dengan
cara:
1) Razia
2) Penampungan sementara, setelah gepeng tersebut dirazia dan
diseleksi, maka tindakan selanjutnya adalah:
a. Dilepaskan dengan syarat
b. Dimasukan dalam panti sosial
c. Dikembalikan kepada keluarganya
d. Diserahkan ke pengadilan
e. Diberikan pelayanan kesehatan
3) Pelimpahan
3. Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi
usaha-usaha penyatunan, pemberian latihan dan pendidikan,
pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali ke daerah pemukiman
70
baru melalui transmigrasi maupun ketengah masyarakat, pengawasan
serta bimbingan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan
dan pengemis kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara
layak. Usaha rehabilitatif ini bertujuan agar fungsi mereka dapat
berperan kembali sebagai masyarakat. Usaha rehabilitatif ini
dilakukan dengan usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan,
dan tindak lanjut, yang kesemuanya itu dilaksanakan melalui Panti
Sosial.
2.4 Penyakit Masyarakat
1. Pengertian Penyakit
Dalam upaya mengetahui makna penyakit masyarakat yang
dijadikan fokus penelitian, peneliti akan mengurai kedua makna dari
susunan kata tersebut. Penyakit masyarajat terdiri dari 2 susunan kata yaitu
penyakit dan masyarakat. Penyakit adlah keadaan tidak normal yang dialami
oleh seseorang baik pada fisik maupun psikologisnya yang menyebabkan
lemahnya fungsi organ tubuh pada seseorang. Kadang kala istilah ini
dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan seseorang, kadang kala istilah
ini dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan seseorang yang cacat,
stress, hingga buruk tingkah lakunya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2003:981), penyakit
merupakan sesuatu yang menyebabkan terjadinya gangguan pada makhluk
hidup. Lebih lanjut, penyakit juga diartikan sebagai kebiasaan yang buruk
dan sesuatu yang bisa mendatangkan keburukan. Penyakit jika di tinjau dari
71
segi biologis, merupakan kelainan yang terjadi dalam organ tubuh,
sementara didalam lingkungan sosial masyarakat, penyakit diartikan sebagai
perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku pada lingkup
masyarakat itu.
Paling tidak ada beberapa faktor yang menyebabkan seseoarang dicap
oleh masyarakat telah terjerumus dalam lingkaran penyakit masyarakat.
Diantaranya adalah kelianan emosi, pengaruh ekonomi dan pendidikan yang
rendah akan pengatahuan tentang berkehidupan di lingkungan sosial
masyarakat.
2. Pengertian Masyarakat
Dalam KBBI, masyarakat diartikan sebagai sejumlah manusia
dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka
anggap sama. (KBBI, 2003:721). Menurut Selo Soemardjan, masyarakat
ialah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
Sementara menurut Kerl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang
menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya
pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suatu kenyataan objektif
pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya. Sedangkan menurut Paul B
Horton & C. Hunt, masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif
mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal
disuatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan
72
sebagian besar kegiatan di dalam kelompok atau kumpulan manusia
tersebut.
3. Pengertian Penyakit Masyarakat
Penyakit Masyarakat adalah hal-hal atau perbuatan yang terjadi
ditengah-tengah masyarakat yang tidak menyenangkan masyarakat atau
meresahkan masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan agama dan adat
serta tata krama kesopanan dalam masyarakat. (Draft Perda No 2 Tahun
2010). Dalam hal ini, segala sesuatu yang tidak sesuai dan yang tidak
sejalan dengan aturan sosial dan agama yang tumbuh dalam masyarakat
Kota Serang telah diklarifikasikan. Klarifikasi penyakit masyarakat ini telah
diatur dalam Perda No 2 Tahun 2010 ini, yang pertama ialah pelacuran dan
penyimpangan seksual; kedua, waria yang menjajakan dir; ketiga, minuman
beralkohol; keempat, kegiatan yang dilarang pada bulan ramadhan. Tetapi
dalam penelitian kali ini peneliti berfokus pada Gelandangan dan Pengemis.
Tentunya penyakit masyarakat bersifat merusak dan menghambat nilai
kehidupan bermasyarakat Kota Serang yang bervisi kemadanian. seperti
yang telah dijelaskan oleh peneliti, bahwa penyakit masyarakat akan
memberikan dampak buruk bagi masyarakat Kota Serang secara langsung.
Penyakit masyarakat merupakan bukti suatu degradasi kehidupan
masyarakat disuatu wilayah, karena masyarakat akan menganggap biasa dan
wajar terhadap hal-hal seperti Gelandangan dan Pengemis.
73
2.9 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak lain dapat
digunakan sebagai bahan pengkajian dalam penelitian Implementasi Perda
Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan
Penanggulangan Penyakit Masyarakat yang berfokus pada Studi Kasus
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang.
Peneleliti terdahulu yang dijadikan bahan kajian pertama, dalam
penelitian ini dilakukan oleh Hendra Ramadhan, (Mahasiswa Program Studi
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa) dalam penelitian skripsi dengan judul “ Analisis
Implementasi Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencengahan
Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masayrakat” tahun 2012.
Penelitian ini memfokuskan pada tujuan dan untuk mengetahui dan
menjelaskan bagaimanakah Implementasi Kebijakan Perda Kota Serang No
2 Tahun 2010 dalam menangani Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) khsususnya Para Gelandangan dan Pengemis di daerah Kota
Serang dan Faktor-faktor penghambat dalam proses pencegahan,
pemberantasan dan penanggulangan gelandangan pengemis tersebut.
Penelitian ini dilakukan di Pmerintahan Kota Serang tepatnya du Dinas
Sosial Kota Serang. Selain itu, peneliti ini juga dilakukan di Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kantor Dinas Satpol PP Kota
Serang. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi,
74
wawancara, dan penelitian kepustakaan. Data dianalisis secara kualitatif,
kemudian disajikan secara deskripitif.
Hasil penelitian dalam skripsi ini menunjukan bahwa dalam
pelaksanaan kebijakan Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 masih
terdapat kendala sehingga tidak terlaksana dan berjalan secara optimal. Hal
ini dikarenakan tidak adanya tempat penampungan atau Karantina dalam
memberikan penyuluhan, bimbingan untuk penyandang masalah sosial
seperti gelandangan dan pengemis di dalam memberika pelatihan kursus dan
lain sebagainya serta belum adanya kesadaran dari Masyarakat Kota Serang
tentang adanya Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat.
Adapun faktor-faktor yang menghambat dalam proses penanganan
penyakit masyarakat seperti gelandangan dan pengemis tersebut adalah
kelemahan dari segi anggaran yang diberikan pemerintah tidak memadai
untuk pembangunan tempat rehabilitasi yang guna menangani gelandangan
pengemis selain itu juga kurangnya sosialisai tentang perda no 2 tahun 2010
terhadap masyarakat dan para penyandang PMKS serta lemahnya sanksi
yang kurang tegas bagi para masyarakat yang memberikan uang santunan
oleh masyarakat kepada para gelandangan dan pengemis di daerah Kota
Serang tersebut.
Penelitian terdahulu dijadikan sebagai bahan tinjaun pustaka, karena
pada penelitian terdahulu dengan penelitian penulis saling yaitu membahas
kasus pengemis berdasarkan Analisis Implementasi Peraturan Daerah Kota
75
Serang sehingga terdapat beberapa hal yang dikutip dari penelitian
terdahulu. Perbedaan kedua penelitian tersebut dengan penelitian penulis
adalah bahwa penulis lebih berfokus terhadap hal-hal terkait pada
bagaimana proses Implementasi Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010
Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit
Masyarakat Khususnya Penanggulangan Gelandangan Pengemis di Kota
Serang.
2.10 Kerangka Berfikir
Kerangka berfikir menggambarkan alur pikiran peneliti sebagai
kelanjutan dari kajian teori untuk memberikan penjelasan kepada pembaca
maka dibuatlah kerangka berfikir. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus
penelitian adalah Implementasi Perda Kota Serang No 2 tahun 2010 tentang
pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat
(study kasus tentang penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota
Serang). Memang didalam pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Serang ini,
masih terdapat kendala, dengan kata lain kinerja dari para pelaksana
kebijakan yaitu Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang harus lebih
ditingkatkan, agar pelaksanaan Perda ini optimal. Sebab bila melihat fakta di
lapangan, justru para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial semakin
bertambah dan menjamur. Oleh karena itu, masalah-masalah yang terjadi di
dalam internal para pelaksana kebijakan harus segera diselesaikan, seperti
tidak adanya karantina atau tempat untuk pembinaan terhadap para
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Padahal, untuk fenomena sosial
76
yang ada di Kota Serang ini, sangat banyak seperti para gelandangan dan
pengemis yang berada di Pusat Kota, yaitu di Pusat Perbelanjaan
Tradisional, Stasiun, serta Lampu Merah Kota Serang.
Untuk membersihkan para Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial seperti pengemis dan gelaandangan di Kota Serang sangat sulit
sekali, butuh waktu yang lama di dalam menangani masalah tersebut.
Dikarenakan kegiatan ini, sudah menjadi pekerjaan bagi mereka
(gelandangan dan pengemis), sebab dengan melakukan pekerjaan ini,
pengemis dan gelandangan tersebut dengan mudah mendapatkan uang dari
orang lain, sehingga gelandangan dan pengemis ini tidak bersusah lagi
untuk mendapatkan uang secara praktis. Hal ini menjadi akar permasalahan,
mengapa para penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti
gelandangan dan pengemis susah dibersihkan dari setiap pusat yaitu
tepatnya ditempat umum Kota Serang.
Walaupun para Penyandang masalah sosial seperti pengemis dan
gelandangan sudah dibersihkan, tetap saja para pengemis tersebut akan
datang kembali. Dalam hal ini, terdapat masalah-masalah sosial yng belum
dituntaskan dan belum dapat diselesaikan oleh Pemerintah Kota Serang.
Oleh sebab itu untuk memecahkan masalah ini, saya menggunakan teori
George C. Edward dalam pandangan Edward III dimana pendekatan yang
digunakan mengetahui sejauh mana implementasi kebijakan tentang
penanggulangan gelandangan dan pengemis ini, dimana Implementasi dapat
dimulai dari kondisi abstrak dan sebuah pertanyaan tentang apakah syarat
77
agar Implementasi kebijakan dapat berhasil, menurut Goerge C. Edwards III
ada empat variabel dalam kebijakan publik yaitu Komunikasi
(communictions), Sumber Daya (Resource), Sikap (Dispositions atau
Attitudes) dan Struktur Birokrasi (bureucratic structure).
Keempat faktor di atas harus dilaksanakan secaran simultan karena
antara satu dengan yang lainya memiliki hubungan yang erat. Hal lain yang
dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan
dan respon dari pelaksana, maka yang hendak dijelaskan pada poin ini
adalah sejauhmana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi
suatu kebijakan perda no 2 tahun 2010.
Adapun Kerangka Berpikir peneliti dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
78
odnyaris
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan,
dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat
Identifikasi masalah
1. Belum optimalnya Implementasi Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010
Yang dilakukan oleh para pelaksana kebijakan
2. Belum di Sosialisasikan secara menyeluruh Pada masyarakat Kota Serang
dan para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan dan
Pengemis tentang adanya Perda Kota Serang nomor 2 tahun 2010
3. Terdapat masyarkat yang masih memberikan uang santunan di Pusat Kota
tepatnya di Pasar, Stasiun dan Lampu Merah Kota Serang terhadap
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan dan
Pengemis.
4. Belum adanya tempat pembinaan/rehabilitasi oleh pemerintah bagi para
Gepeng
5. Kurangnya SDM dalam penanganan masalah Gepeng yang dilakukan oleh
para pelaksana kebijakan.
Teori Implementasi oleh George C. Edward
dalam pandangan Edward III (1980:98)
a. Komunikasi
b. Sumber Daya
c. Dosposisi (kemauan)
d. Struktur Birokrasi
Hasil Penelitian :
Berjalanya Implementasi Kebijakan Perda Kota Serang
No 2 Tahun 2010 dan bekurangnya Jumlah Anak Jalanan
dan Gepeng serta Terwujudnya Keamanan, Ketertiban,
dan Keindahan Kota Serang secara optimal
79
Berdasarkan gambar tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa di dalam
permasalahan ini, tentang Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang
Nomor 2 Tahun 2010 masih belum bisa di jalankan dengan baik,
dikarenakan kinerja dari pelaksana kebijakan belum optimal dan masih
terdapat adanya kendala, serta masalah fenomena sosial yang belum bisa
dituntaskan oleh para pelaksana kebijakan. Sebab, Peraturan Daerah Kota
Serang Nomor 2 Tahun 2010 ini, belum ada titik temu yang dapat
membantu satu sama lain antara Pemerintah dan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial seperti gelandangan dan pengemis di dalam
menyelesaikan masalah tersebut.
Oleh karena itu, untuk memecahkan masalah yang terjadi di Kota
Serang di dalam membersihkan para Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis, yang akhir ini sangatlah banyak
dan menjamur di Pusat Kota, yaitu tepatnya di Lampu Merah, Pasar, dan
Alun-alun Kota Serang. Dalam hal untuk memecahkan masalah tersebut,
peneliti menggunakan Teori George C. Edward dalam pandangan Edward
III (1980:98) yaitu Komunikasi, Sumber Daya, Disposisi dan Struktur
Birokrasi.
2.11 ASUMSI DASAR
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dibuat asumsi
dasar dalam penelitian ini, yang merupakan anggapan peneliti terhadap
permasalahan penelitian. Berdasarkan perumusan masalah, maka peneliti
80
mengasumsikan bahwa di dalam Implementasi Peraturan Daerah Kota
Serang Nomor 2 Tahun 2010, banyak sekali permasalahan-permasalahan
sosial, khususnya dalam menuntaskan pengemis yang ada di Kota Serang.
Sebab, kebijakan dari perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 ini,
belum bisa dikatakan berjalan dengan baik. Bila melihat kondisi sekarang
yang ada di Kota Serang ini, justru para Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis serta masyarakat yang dikenakan
sanksi berupa denda materi ataupun kurungan penjara sesuai dengan
ketentuan dari Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 pasal 21
ayat 1 dan 2 Tentang Ketentuan Pidana.
81
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif. Metode kualitatif digunakan untuk memahami interaksi
sosial, interaksi sosial yang kompleks hanya dapat diuraikan jika peneliti
melakukan penelitian dengan metode kualitatif dengan cara ikut berperan
serta, wawancara mendalam terhadap interaksi sosial tersebut. Dengan
demikian dapat ditemukan suatu pola-pola yang jelas. Oleh karena itu
peneliti menggunakan metode kualitatif untuk mengetahui sejauh mana
implementasi perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang pencegahan,
pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat khususnya
mengenai kegiatan Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang.
Menurut Sugiyono (2013:9), mengemukakan bahwa metode kualitatif
adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti
adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara
tringulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif dan hasil
peneliti kualitatif lebih menekann makna dari pada generalisasi.
Dalam penelittian kualitatif pengumpulan data tidak dipandu dengan
teori tetapi dipandu melalui fakta-fakta yang ditemukan pada saat penelitian
dilapangan. Oleh karena itu analisis data yang dilakukan bersifat induktif
82
berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan kemudian dapat dikontruksikan
menjadi hipotesis atau teori. Dan penelitian kualitatif data yang dihasilkan
berupa kata dan kalimat, untuk mengeksplorasi bagaimana kenyataan sosial
yang terjadi dengan mendeskripsikan variabel yang sesuai dengan masalah
bab unit yang diteliti, dalam hal ini peneliti mengetahui sejauh mana
implementasi perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang pencegahan,
pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat khususnya
mengenai penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang.
3.2 Fokus Penelitian
Penelitian ini berjudul Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang
Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan, Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Agar penelitian lebih terstruktur dan
sistematis, maka ruang lingkup penelitian difokuskan pada fokus
permasalahan Kasus Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota
Serang.
3.3 Lokasi Penelitian
Pemilihan Lokasi Penelitian sangat penting dalam rangka
mempertanggungjawabkan data yang diambil. Dalam penelitian ini lokasi
yang diambil adalah di Kota Serang, khususnya di Kantor DPRD Kota
Serang, Dinas Sosial Kota Serang, Dinas Satpol PP Kota Serang, dan
Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang.
83
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam peneliti ini adalah peneliti sendiri.
Menurut Irawan (2006;17) satu-satunya instrumen terpenting dalam
penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Peneliti mungkin
menggunakan alat-alat bantu untuk mengumpulkan data seperti rekamn dan
kamera. Tetapi alat-alat tersebut benar-benar tergantung kepada peneliti
yang menggunakanya.
Peneliti dalam melakukan penelitian tentang Implementasi Peratuan
Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 yng mengambil studi kasus
pengemis dan gelandangan yang ada dipusat kota Serang, tepatnya di
pinggiran jalan, lampu merah serta pusat perbelanjaan tradisional, ysng
menjadi instrumen pertama adalah peneliti sendiri. Karena dengan menjadi
instrumen secara langsung dalam penelitian ini, peneliti dituntut untuk
memahami metode penelitian kulaitatif dan masalah secara mendalam dan
peneliti harus melakukan validasi data sendiri.
Sedangkan menurut Moleong, pencari tahu alamiah (peneliti) dalam
pengumpulan data lebih banyak bergantung pada dirinya sebagai alat
pengumpul data. Lain halnya dengan pendapat Bogdan & Taylor, dalam
buku Studi Tokoh Metode Penelitian mengenai Tokoh Furchan, Arif &
Agus Maimun (2005:33) menjelaskan:
“sebagai peneliti kualitatif, tugas anda adalah menembus pengertian
akal sehat (commonsense understanding) tentang kebenaran dan
kenyataan. Apa yang kelihatanya keliru atau tidak konsisten menurut
perspektif dan logika anda, mungkin menurut subyek anda tidak
demikian. Dan, kendati anda tidak harus sependapat dengan
pandangan subyek terhadap dunia ini, anda harus dapat mengetahui,
84
menerima dan menyajikan pandangan mereka itu sebagaimana
mestinya”.
Menurut Nasution dalam Sugiyono (2009: 224) peneliti sebagai
instrumen penelitian serasi untuk penelitian serupa karena memilki ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala
stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakanya bermakna
atau tidak bagi penelitian.
2. Penelti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek
keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus.
3. Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen
berupa tes atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi,
kecuali manusia.
4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat
dipahami dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita
perlu sering merasakanya, menyelaminya berdasarkan
pengetahuan kita.
5. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang
diperoleh. Ia dapat menafsirkanya, melahirkan hipotesis dengan
segera untuk menentukan arah pengamatan, untuk mengetes hasil
hipotesis yang timbul seketika.
6. Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan
berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan
85
menggunakan segera sebagai balikan untuk memperoleh
penegasan, perubahan, atau perbaikan.
7. Dalam penelitian dengan menggunakan test atau angket yang
bersifat kuantitatif yang diutamakan adalah respon yang dapat
dikuantifikasi agar dapat diolah secara statistik, sedangkan yang
menyimpang dari itu tidak dihiraukan. Dengan manusia sebagai
instrument, respon yang aneh, yang menyimpang justru diberi
perhatian. Respon yang lain daripada yang lain, bahkan yng
bertentangan dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan
tingkat pemahaman dengan aspek yang diteliti.
Penelitian ini data yang diteliti adalah data lisan atau
tulisan, oleh sebab itu untuk mendapatkan data dibutuhkan alat
bantu berupa daftar pertanyaan untuk mewawancarai informan
dan tape recorder. Tape recorder digunakan untuk merekam hasil
wawancara informan agar apa yang dituturkan oleh informan
ditulis dalam penelitian ini secara akurat. Data tulisan juga berasal
dari Dinas Sosial dan Dinas Satpol PP Kota Serang.
3.5 Informan Penelitian
Informan sebagai sumber data kualitatif yang utama disamping data-
data lain yang diperoleh dari hasil studi pustaka, sehingga informan
merupakan salah satu sumber data yang penting dalam penelitian ini.
Kemudian pendekatan teknik pengambilan sampel data yang digunakan
86
yaitu purposive sampling. Maksud teknik pengambilan sampel ini adalah
dengan peneliti mengambil sumber data dari beberapa orang yang dianggap
mempunyai infomasi yang relevan dan focus penelitian. Informan penelitian
merupakan sumber data yang digunakan pada penelitian ini. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan teknik purposive yaitu informan-
informan yang peneliti tentukan dimana informan ini merupakan orang-
orang yang menurut peneliti memiliki informasi yang dibutuhkan oleh
peneliti ini, karena mereka (informan) dalam keseharianya senantiasa
berurusan dengan permasalahan yang sedang peneliti teliti.
Tabel 3.1
Daftar Informan Penelitian
No Informan Kode Informan Keterangan
1 Anggota DPRD Komisi II Kota
Serang
I1
Key
Informan
2 Dinas Sosial Kota Serang
a. Kepala Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial,
Dinas Sosial Kota
Serang
b. Staf Ketunaan Sosial
dan Penyimpangan di
Dinas Sosial Kota
I2
I2.2
Key
Informan
87
Serang. I2.3
3 Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Serang
a. Kepala Seksi Penegakan
Produk Hukum Daerah,
Satuan Polisi Pamong
Praja Kota Serang
b. Petugas Pelakasana
Satpol PP Kota Serang
I3
I3.1
I3.2
Secondary
Informan
4 Pengemis di Kota Serang
a. Pengemis 1
b. Pengemis 2
c. Pengemis 3
I4
I4.1
I4.2
I4.3
Secondary
Informan
5 Gelandangan di Kota Serang I.5 Secondary
88
a. Gelandangan 1
b. Gelandangan 2
c. Gelandangan 3
I5.1
I5.2
I5.3
Informan
6 Masyarakat Kota Serang
a. Masyarakat 1
b. Masyarakat 2
c. Masyarakat 3
I6
I6.1
I6.2
I6.3
Secondary
Informan
(Sumber: Peneliti, 2018)
Pada penelitian ini, mengenai Implementasi Peraturan Daerah Kota
Serang Nomor 2 Tahun 2010 yang dilakukan oleh DPRD Kota Serang
sebagai pembuat kebijakan tentang perda tersebut, yaitu dilakukan pada
(Studi Kasus Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang),
yang akan menjadi informan adalah para pengemis dan gelandangan yang
berada dipinggiran jalan serta yang berada di Lampu Merah Kota Serang,
agar informasi yang didapat benar-benar sesuai dengan kenyataan
dilapangan, yang menjadi informan selanjutnya adalah masyarakat Kota
Serang, dimana tujuanya adalah memberikan tanggapan tentang adanya
fenomena gelandangan dan pengemis di Kota Serang dan menanggapi
tentang adanya Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat.
89
Kemudian untuk melengkapi data yang diperlukan oleh peneliti, maka
diambil beberap informan yang merupakan para pembuat kebijakandari
Peraturan Daerah Kota Serang, yaitu Anggota DPRD Kota Serang,
kemudian Pelaksana Peraturan Daerah Kota Serang adalah Dinas Sosial
Kota Serang dan Satpol PP Kota Serang sebagai tim eksekusi di dalam
menangani para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti
pengemis yang berada di Lampu Merah Kota Serang.
3. 6 Teknik Pengolahan dan Pengumpulan Data
3.6.1 Teknik Pengumpulan Data
Peneliti juga menggunakan instrumen penelitian yang lain dalam
mengumpulkan data informasi guna mendukung penelitian ini diantaranya adalah:
a. Observasi
Obeservasi atau yang lebih umum dikenal dengan pengamatan.
Menurut Moleong (2005:126) adalah kegiatan untuk mengoptimalkan
kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tidak
sadar, kebiasaan dan sebagainya. Lewat observasi ini, peneliti akan melihat
sendiri pemahaman oyang tidak terucapkan (tacit understanding),
bagaimana teori digunakan langsung (theory-in use), dan sudut pandang
responden yang mungkin tidak tercungkil lewat wawnncara atau survey
menurut Alwasilah (2006:155). Di dalam penelitian ini, teknik observasi
atau pengamatan yang digunakan adalah observasi berperan serta
(observation participant). Ada beberapa alasan mengapa didalam penelitian
90
ini memanfaatkan teknik observasi/pengamatan, seperti yang dikemukakan
oleh Guba & Lincoln dalam Moleong (2005:126) diantaranya:
Pertama, teknik ini didasarkan pada pengalaman secara langsung.
Kedua, memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian
mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada
keadaan sebenarnya. Ketiga, memungkinkan peneliti mencatat
peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan
proporsional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari
data. Keempat, sering terjadi ada keraguan pada peneliti, jangan-
jangan pada data yng didapatnya ada yang bias. Kelima,
memungkinkan peneliti mampu memahami situasi-situasi yang
rumit, karena harus memperhatikan beberapa tingkah lakuyang
kompleks sekaligus. Keenam, dalam kasus-kasus tertentu dimana
teknik komunikasi lainya tidak dimungkinkan, pengamatan dapat
menjadi alat yang sangat bermanfaat.
Pada pengamatan ini tahapan yang dilakukan meliputi, pengamatan
secara umum mengenai hal-hal yang sekiranya ada kaitanya dengan
masalah yang diteliti, setelah itu dimulai dengan mengidentifikasi aspek-
aspek yang menjadi pusat perhatian, kemudian dilakukan pembatasan
objek pengamatan dan dilakukan pencatatan.
Kaitanya dengan penelitian ini adalah, peneliti yang dilakukan
pada objek yaitu para penyandang masalah sosial seperti gelandangan dan
pengemis yang berada di Kota Serang ini merupakan penelitian yang
rumit, karena dalam prosesnya banyak sekali kendala baik dari informasi
yang diberikan oleh para pengemis tersebut.
b. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan proses interaksi komunikasi antara pewawancara dan
terwawancara dengan maksud menghimpun informasi dan interview.
91
Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan
informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau
tanya jawab. Wawancara dalam penelitian kualitatif sifatnya mendalam
karena ingin mengeksplorasi informasi secara holistic dan jelas dari
informan. (Suharsimi, 2002: 67)
Peneliti menggunakan teknik wawanncara terstruktur dan tidak
terstruktur untuk memperoleh data dalam penelitian ini. Wawancara yang
dilakukan yaitu indept interview atau wawancara secara mendalam
dengan sumber data atau informan yang menguasai dan memahami data
yang akan dicari oleh peneliti. Wawancara mendalam dimaksudkan agar
peneliti dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan dapat dilakukan
secara bebas dan leluasa tanpa terikat oleh seuatu susunan pertanyaan
yang telah dipersiapkan. Metode wawancara mendalam menggunakan
panduan wawancara yan berisi butir-butir pertanyaan (wawancara
terstruktur) untuk diajukan kepada informan. Ini hanya untuk
memudahkan dalam melakukan wawancara, penggalian data dan
informasi, dan selanjutnya tergantung improvisasi dilapangan.
Pedoman wawancara yang dibuat oleh peneliti disusun berdasarkan
teori dari George C. Edward dalam pandangan Edward III (1980:98)
yaitu meliputi komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.
Adapun indikator - indikator yang akan ditanyakan kepada informan
merupakan pengembangan dari teori tersebut, tujuanya tentu saja untuk
memperoleh data yang dibutuhkan di dalam penelitian. Hal ini bertujuan
92
agar proses wawancara dapat berjalan secara mendalam antar peneliti
dengan informan sehingga wawancara bisa bergulir dan data yang di
dapat sesuai dengan yang dibutuhkan. Berikut tabel pedoman wawancara
dalam penelitian ini:
Tabel 3.2
Pedoman Wawancara
No Dimensi Sub Dimensi Kisi-Kisi Pertanyaan Informan
1 Komunikasi Penyaluran (Transmisi)
Kejelasan dalam
pelaksnaan
Kebijakan
Konsistensi
dalam
pelaksanaan
kebijakan
a. Apakah sudah memiliki ketepatan
penunjukan pihak-pihak
penanggungjawab dalam kebijakan
Gepeng.
b. Bagaimana agar kebijakan publik
disampaikan tidak hanya kepada
pelaksana saja tetapi juga kepada
kelompok sasaran kebijakan dari
pihak lain yang berkepentingan, baik
secara langsung maupun tidak
langsung?
c. Mengapa Tidak adanya informasi
yang jelas tentang Peraturan Daerah
Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010
oleh pihak pemerintah Kota Serang
kepada masyarakat yang berada di
Kota Serang Tentang Sosialisasi
Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun
2010
d. Apakah sosialisasi tentang perda
Kota Serang No 2 Tahun 2010 sudah
dimediakan/publikasikan lewat media
Wakil
Komisi II
DPR Kota
Serang
Kepala
Seksi
Pelayanan
Rehabilitasi
Tuna Sosial
93
cetak ataupun audio visual ?
e. Apa alasan ketidakpatuhan para
masyarakat Kota Serang dalam
Pengetahuan tentang dari isi
kebijakan yang dibuat oleh DPRD
Kota Serang yang berkaitan adanya
larangan memberikan santunan
kepada pengemis yang ada dikota
Serang?
a. Bagaimana koordinasi antara antara
Dinas Sosial dan Satpol PP dalam
pelaksanaan razia gepeng?
b. Hambatan apa saja yang didapat
dalam merazia gepeng?
c. Bagaimana tanggapan masyarakat
terhadap keberadaan gepeng di Kota
Serang ?
d. Apakah ada sosialisasi yang
diberikan Dinas Sosial dalam hal
larangan memberi uang kepada
gepeng?
e. Sejauh ini adakah komplain dari
masyarakat tentang jumlah gepeng
yang semakin meningkat dan
mengganggu kenyamanan
dijalananan Kota Serang?
Kasi
Tantrib
Satpol PP
Kota Serang
Dan
Petugas
Satpol PP
Kota Serang
Masyarakat
Kota Serang
dan Tokoh
Masyarakat
2 Sumber
Daya
Dukungan
Aparatur
berupa
sumber daya
manusia
Dukungan Anggaran
yang
diberikan
pemerintah
Dukungan
a. Apakah dukungan aparatur
pelaksana kebijakan sudah sesuai
dengan kebutuhan dalam
menjalankan kebijakan ?
b. Apakah anggaran yang sudah
diberikan pemerintah sudah
mencukupi untuk melaksanakan
kebijakan dalam menangani gepeng
di Kota Serang?
c. Selain itu kendala apa saja yang
dirasakan oleh Dinas Sosial dalam
penanganan gepeng?
d. Upaya-upaya apa saja yang
Kepala
Seksi
Pelayanan
94
Fasilitas
Kebijakan
Dukungan Kewenangan
dari pembuat
dan
pelaksana
kebijakan.
dilakukan untuk meminimalisir
kendala-kendala tersebut?
e. Pelayanan apa saja yang pernah
Dinas Sosial lakukan untuk
memberdayakan para Gepeng?
f. Apakah ada bantuan yang diberikan
oleh Dinas Sosial selain anggaran ?
Jika ada berupa apa?
g. Rutin tidak bantuan yang diberikan
oleh Dinas Sosial?
h. Apakah bantuan yang diberikan
Dinas Sosial sudah dapat membantu
dalam perekonomian kalian
(gepeng)?
i. Mengapa sampai saat ini belum
dibangun panti rehabilitasi dan kapan
rencanan akan dibuat panti
rehabilitasi dan apa rencanan
selanjutnya setelah panti dibangun?
j. Karena belum tersedianya panti
rehabilitasi di Kota Serang, lantas
tindakan apa yang dapat dilakukan
Dinsos untuk sementara ini dalam
menangani gepeng?
Rehabilitasi
Tuna Sosial
Kasi
Rehabilitasi
Sosial dan
Staf
Rehabilitasi
Sosial
3 Disposisi
(Sikap)
Disiplin
Aparatur
Kejujuran Aparatur
Budaya Kerja
Aparatur
Sifat
Demokratis
Aparatur
a. Apakah tingkat disiplin aparatur
pelaksana kebijakan seperti Dinsos
dan Satpol PP sudah sesuai dengan
peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan dalam melaksanakan
kebijakan tersebut?
b. Sejauh mana kemauan, keinginan dan
kecenderungan para pelaku kebijakan
untuk melaksanakan kebijakan secara
sungguh-sungguh sehingga apa yang
menjadi tujuan kebijakan dapat
diwujudkan?
c. Apa faktor pendorong yang membuat
para pelaksana kebijakan agar
menjalankan perintah kebijakan
dengan baik ?
Kepala
Seksi
Pelayanan
Rehabilitasi
Tuna Sosial
95
d. Apakah bentuk kejujuran aparatur
dalam melaksanakan kebijakan sudah
bersifat transparan dan sesuai
peraturan yang ditetapkan ?
e. Apakah aparatur itu sendiri sudah
bersifat adil dan bertanggung jawab
terhadap tugas yang diberikan dalam
melaksanakan kebijakan sehingga
agar mendahulukan kepentingan
bersama diatas kepentingan pribadi?
96
4 Struktur
Birokrasi
Kejelasan
Garis
Komando
dan garis
koordinasi
Standar Operasi
Prosedur
(SOP)
Pembagian Tanggung
Jawab dan
Komitmen
Aparatur
(division of
work)
Cakupan
kedali atas
kebijakan
a. Apakah struktur birokrasi yang
dijalankan sekarang oleh para
pelaksana kebijakan masih
terfragmentasi (terpecah-pecah atau
tersebared) sehingga dapat
meningkatkan gagalnya koordinasi
atau komunikasi?
b. Bagaiamana tindak pertanggung
jawaban dari Dinas Sosial sebagai
Dinas yang menangani permasalahan
sosial, khususnya menanggulangi
jumlah gepeng yang banyak di Kota
Serang?
c. Apakah pembagian tanggung jawab
tugas diantara pihak atasan dan
bawahan pelaksana kebijakan sudah
sesuai rencana kerja
d. Apakah penanganan gepeng yang
terazi sudah dilakukan sesuai dengan
kebijakan/prinsip administrasi?
e. Tindakan lebih lanjut seperti apa yang
lebih berguna selain hanya mendata
para gepeng yang terjaring razia ?
f. Apakah program-program yang dibuat
khususnya dalam penanganan gepeng
ini sudah sesuai dengan SOP (Standar
Operasi Prosedur) yang ditetapkan ?
g. Apakah program yang dibuat sudah
cukup efektif dan efisien?
h. Seperti apa bentuk komitmen para
pelaksana kebijakan dalam
melaksanakan kebijakan tersebut?
Kepala
Seksi
Pelayanan
Rehabilitasi
Tuna Sosial
Kepala
Seksi
Pelayanan
Rehabilitasi
Tuna Sosial
(Sumber: Peneliti 2018)
Pedoman wawancara ini disusun dengan fokus penelitian peneliti
berdasarkan apa yang nantinya akan peneliti kaji dan temukan saat
97
dilapangan yang kemudian akan diolah dan dikembangkan sesuai data yang
diperoleh menjadi satu rangkaian informasi yang dijabarkan dalam bentuk
deskriptif sehingga menjadi suatu hasil penelitian yang paten dan dapat
dipertanggungjawabkan kredibilitas datanya.
c. Studi Dokumentasi
Dokumen merupakan salah satu sumber data sekunder yang
diperlukan dalam sebuah penelitan. Menurut Guba & Lincoln dalam
Maleong (2005:126) dokumen adalah setiap bahan .tertulis ataupun film,
gambar dan foto-foto yang dipersiapkan karena adanya permintaan seorang
penyidik. Selanjutnya studi dokumentasi dapat diartikan sebagai teknik
pengumpulan data melalui bahan-bahan yang tertulis yang diterbitkan oleh
lembaga-lembaga yang menjadi objek penelitian, baik berupa prosedur,
peraturan-peraturan, gambar, laporan hasil pekerjaan serta berupa foto
ataupun dokumen elektronik (rekaman). Studi dokumentasi didapat dari
dokumen resmi pemerintah. Dimana peneliti akan menggunakan teknik
dokumentasi atau Library Research. Prinsip teknik pengumpulan data ini
dilakukan dengan cara menggali dan dokumenter yang telah tersedia dalam
perpustakaan. Dokumen tidak hanya catatan peristiwa saat ini dan yang
akan datang, namun juga catatan dimasa lalu. Data-data yang didapat
peneliti dapat berupa diagram, gambar ataupun tabel data dari kantor Dinas
Sosial Kota Serang serta objek foto-foto penelitian.
98
3.6.2 Teknik Analisis Data
Analisis data adalah suatu fase penelitian Kualitatif yang sangat
penting karenan melalui analisis data inilah peneliti dapat memperoleh
wujud dari penelitian yang dilakukanya. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan teknik analisis data di lapangan sesuai pada model analisis
data Spradley yang mengungkapkan dalam penelitian Kualitatif dilakukan
pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan
data dalam periode tertentu. Peneliti dalam mengumpulkan data pada
penelitian ini akan melakukan proses secara terus menerus selama penelitian
berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul.
Dalam penelitian Kualitatif, kegiatan analisis data dimulai sejak
peneliti melakukan kegiatan pra-lapangan sampai dengan selesainya
penelitian. Analisis data dilakukan secara terus menerus terhenti sampai
data tersebut bersifat jenuh. Menurut Bogdan & Biklen analisis data
kualitatif dalam Maleong bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian
Kualitatif (2005:248) adalah :
“Upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensintesikanya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.”
Data yang terkumpul harus diolah sedemikian rupa sehingga menjadi
informasi yang dapat digunakan dalam menjawab perumusan masalah yang
diteliti. Aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif
dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya
99
sudah jenuh. Model interaktif dalam analisis data kualitatif dipakai untuk
mengnalisis data selama dilapangan.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-
bahan lainya sehingga dapat dengan mudah dipahami dan tentunya dapat
diinformasikan kepada yang lain.
Analisis data dalam penelitan kualitatif bersifat induktif dimana data
yang diperoleh akan di Analisis dan dikembangkan menjadi sebuah
hipotesis atau asumsi dasar. Kemudian data-data lain terus dikumpulkan dan
ditarik kesimpulan. Kesimpulan tersebut akan dapat memberikan suatu hasil
akhir apakah hipotesis penelitian yang telah dibuat sesuai dengan data yang
ada atau tidak.
Adapun Analisis Data menurut Model Spradley dimana membagi
analisis data dalam penelitian berdasarkan tahapan dalam penelitian
kualitatif yang sebagai berikut :
1) Analisis Domain
Pada umumnya dilakukan untuk memperoleh gambaran yang
umum dan menyeluruh tentang situasi sosial yang diteliti atau
objek penelitian. Data diperoleh dari grand tour dan minitour
question. Hasilnya berupa gambaran umum tentang objek yang
diteliti, yang sebelumnya pernah diketahui. Dalam analisis ini
informasi yang diperoleh belum mendalam, masih dipermukaan,
100
namun sudah menentukan domain-domain atau kategori dari
situasi sosial yang diteliti.
2) Analisis Taksonomi
Domain yang dipilih tersebut selanjutnya dijabarkan menjadi
lebih rinci, untuk mengetahui struktur internalnya dilakukan
dengan observasi terfokus
3) Analisis Komponensial
Mecari ciri spesifik pada setiap struktur internal dengan cara
mengkontraskan antar elemen. Dilakukan melalui observasi dan
wawancara terseleksi dengan pertanyaan yang mengkontraskan.
4) Analisis Tema Budaya
Mencari hubungan diantara domain, dan bagaimana hubungan
dengan keseluruhan dan selanjutnya dinyatakan ke dalam
tema/judul penelitian.
101
Gambar 3.1 Analisis Data menurut Miles & Huberman
3.6.3 Uji Keabsahan Data
Dalam penelitian Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang No 2 Tahun
2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit
Masyarakat pada Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis peneliti
menggunakan uji keabsahan data sebagai berikut :
1. Perpanjangan pengamatan
Dengan melakukan perpanjangan pengamatan dilapangan/lokasi
penelitian ini, berarti hubungan peneliti dengan partispan/narasumber
semakin akrab, terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi
yang disembunyikan lagi. Lamanya pengamatan ini dilakukan sangat
tergantung pada kedalaman, keluasan dan kepastian data. Dan dalam
perpanjangan pengamatan yang dilakukan untuk menguji kredibilitas data
Pengamataan
Deskriptif
Analisis Tema
budaya
Analisis
Komponen
Analisis
Domain
Pengamataan
Deskriptif
Analisis
Taksonomi Pengamatan
Terpilih
102
penelitian maka memfokuskan diri pada data yang telah diperoleh, apakah
data yang diperoleh itu benar atau tidak dan mengalami perubahan atau
tidak.
2. Peningkatan ketekunan dalam penelitian
Peneliti meningkatkan ketekunan dalam penelitian ini guna
melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Karena
dengan cara melakukan peningkatan ketekunan maka kepastian data atau
urutan peristiwa dapat direkam secara pasti dan sistematis. Pengecekan
kembali aapakah data yang telah ditemukan salah atau benar. Peneliti juga
dapat memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis.
3. Tringulasi
Teknik keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
tringulasi. Menurut Maleong (2012: 330), tringulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar
data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data
itu. Denzin dalam Lexy J. Maleong (2013:330) membedakan empat macam
tringulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan
sumber, metode, peneliti dan teori. Dala penelitian ini menggunakan teknik
peeriksaan keabsahan data triangulasi dengan teknik triangulasi sumber dan
teknik triangulasi peneliti, yaitu :
a. Triangulasi Sumber, dapat dilakukan dengan mengecek data yang
sudah diperoleh dari para sumber. Data dari para sumber tersebut
kemudian dipilih dan disajikan dalam bentuk table matriks. Data
103
dari sumber yang berbeda dideskripsikan, dikategorisasikan mana
pandangan yang sama, yang berbeda dan mana yang lebih spesifik.
b. Teknik tringulasi peneliti, dengan memanfaatkan penelitian atau
pengamat lainya untuk pengecekan kembali derajat kepercayaan
data. Cara lain adalah membandingkan hasil pekerjaan seorang
analisis dengan yang lainya, dan pemanfaatan teknik untuk
mengurangi pelencengan dalam pengumpulan suatu data hasil
penelitian.
Kedua teknik triangulasi di atas, peneliti anggap cukup untuk
membantu dalam menguji keabsahan data atau informasi yang peneliti
dapatkan dari kedua teknik dari triangulasi tersebut. Pertama, penetliti
dapatkan dari teknik triangulasi sumber dengan menggunakan catatan harian
wawancara dengan informan baik berupa catatan maupun dengan alat
instrumen yang peneliti gunakan. Kedua, teknik triangulasi peneliti yang
peneliti dapatkan dari uji keabsahan data dengan memanfaatkan peneliti lain
yang melakukan penelitian suatu hal yang sama teteapi berbeda disiplin
ilmu yang digunakan dalam peneliitian ini. Peneliti lain yang dimaksudkan
dalam hal ini adalah peneliti yang penelitianya dijadikan sebagai bahan
kajian peneliti terdahulu dalam penelitian ini yaitu peneliti Hendra
Ramadhan yang melakukan penelitian mengeni Evaluasi Perda Kota Serang
No 2 Tahun 2010 dengan menggunakan teori Evaluasi kebijakan dari Siti
Zuchainah dan Indri Apriliani. Sehingga pengecekan kembali derajat
kepercayaan data dari hasil penelitian terdahulu tersebut, dapat
104
dibandingkan dengan peneliti dalam melakukan penelitian ini yang
menggunakan Teori Implementasi Kebijakan dari George C. Edward
dalam pandangan Edward III dengan tujuan mengurangi pelencengan
dalam pengumpulan suatu data penelitian.
4. Member Check
Member Check adalah, proses pengecekan data yang diperoleh peneliti
kepada pemberi data. Tujuan Member Check adalah untuk mengetahui
seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh
pemberi data. Member Check bertujuan untuk menghindari salah tafsir
terhadap perilaku informan saat observasi, dan mengkonfirmasi perspektif
teknik informan terhadap suatu proses yang sedang berlangsung.
3.7 Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Empat lokasi. Lokasi Pertama peneltian
ini yaitu daerah Pisang Mas Kota Serang termasuk Lampu Merah Pisang
Mas Kota Serang. Kemudian lokasi Kedua dalam penelitian ini yaitu Kantor
DPRD Kota Serang yang berada di daerah Lontar, Kemudian Lokasi Ketiga
yaitu Kantor Dinas Sosial Kota Serang yang berada di Ciawi dekat lampu
merah kebon jahe, dan lokasi Keempat di Kantor Satpol PP Kot Serang
yang bertempat di rumahan Kota Serang tepatnya di jalan Ahmad Yani
Cipare Kota Serang.
105
2. Waktu Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, waktu yang menjadi hal yang tidak dapat
diprediksikan. Hal ini karena data yang diperoleh dilapangan bisa
berkembang dan melebihi waktu oyang telah ditentukan. Dari bulan
September 2017 sampai dengan Juli 2018.
Tabel 3.4
Jadwal dan Waktu Penelitian
No JADWAL
2017 2018
Okt Nov Des Jan Feb Mar-Apr
Mei-
Jun
Jul-
Agst
Sep Okt Nov
1 Pengajuan Judul
2 Observasi Awal
3 Penyusunan
Proposal
Penelitian
4 Bimbingan dan
Perbaikan
Proposal
5 Seminar
Proposal
6 Revisi Proposal
7 Observasi dan
Wawancara
8 Penyelesaian
Penelitian
9 Sidang Skripsi
10 Revisi Skripsi
106
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada Umumnya dalam suatu penelitian perlu melakukan adanya
serangkaian atau tahapan-tahapan agar penelitian dapat berjalan dengan lancar dan
optimal. Hal ini dikarenakan proses penelitian bertujuan untuk memperoleh data
yang falid, dan selain itu juga dimaksudkan agar peneliti dapat menemukan hasil
yang diharapkan berdasarkan dengan kenyataan yang ada dilapangan.
4.1 Deskripsi Obyek Penelitian
4.1.1 Profil Kota Serang
Kota Serang adalah kota di Provinsi Banten, Indonesia. Serang
merupakan ibu kota Provinsi Banten dengan pusat pemerintahan berada
di Kecamatan Kota Serang. Serang tepat berada di sebelah utara
Provinsi Banten, serta dikelilingi oleh Kabupaten Serang di wilayah
sebelah barat dan timur dan laut jawa di sebelah utara.
Kota serang merupakan wilayah baru hasil pemekaran Kab. Serang
Provinsi Banten. Sebagai Ibu Kota Provinsi, kehadiranya adalah sebuah
konsekuensi logis dari keberadaan Provinsi Banten. Kota Serang
diresmikan pada tanggal 2 November 2007 berdasarkan Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Serang,
setelah sebelumnya melalui rancangan Undang-undang Kota Serang
yang disahkan pada 17 Juli 2007 kemudian dimasukan dalam lembaran
107
Negara Nomor 98 Tahun 2007 dan tambahan lembaran Negara Nomor
4748 tertanggal 10 Agustus 2007. Dalam UU tentang Pembentukan
Provinsi Banten itu, tertuang amanat pembentukan Kota Serang. Kota
Serang mempunyai kedudukan sebagai pusat pemerintahan Provinsi
Banten, juga sebagai daerah alternatif dan penyangga (hinterland) ibu
kota Negara, karena dari kota Jakarta hanya berjarak sekitar 70 km.
1. Pembagian Wilayah Administratif
Secara administratif Kota Serang yang merupakan Ibu Kota
provinsi Banten memiliki total luas wilayah sekitar 266,74Km2. Luas
wilayah tersebut terbagi atas 66 Kelurahan/Desa yang termasuk dalam
6(enam) Kecamatan, yakni Kecamatan Serang, Kecamatan Curug,
Kecamatan Cipocok Jaya, Kecamatan Walantaka, Kecamatan Taktakan,
dan Kecamatan Kasemen. Data luas wilayah Kota Serang per
Kecamatan ialah sebagai berikut.
Tabel 4.1
108
Luas wilayah Kecamatan di Kota Serang
NO. Kecamatan
Luas Presentase
(KM) (%)
1 Curug 49,60 18,59
2 Walantaka 48,48 18,18
3 Cipocok Jaya 31,54 11,82
4 Serang 25,88 9,70
5 Taktakan 47,88 17,95
6 Kasemen 63,36 23,75
Jumlah Total 266.74 100.00
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Serang
2. Geografis Kota Serang
Wilayah Kota Serang secara geografis terletak pada bagian ujung
barat laut pulau jawa atau antara 105 71 - 106 41 BT dan 5 21 -
60 21 LS dengan luas wilayah 266,74 Km. Kota Serang terletak pada
posisi yng strategis, yaitu pada jalur utama Pulau Jawa dan pada jalur
jalan tol Jakarta-Merak. Sesuai pasal 5 Undang-undang Nomor . 32
Tahun 2007 Kota Serang memiliki batas-batas wilayah sebagai
berikut:
109
Sebalah Utara : Berbatasan dengan Laut Jawa (Teluk
Banten).
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Cikeusal,
Kecamatan Petir, dan Kecamatan Baros.
Sebelah Barat : berbatasan dengan Kramatwatu dan
Gunung Sari
Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Ciruas,
Kecamatan Pontang dan Kecamatan Kragilan.
3. Visi dan Misi Kota Serang
a. Visi Kota Serang
“Terwujudnya Kota Serang Madani sebagai Kota Pendidikan yang
Bertumpu pada Potensi Perdagangan, Jasa, Pertanian dan Budaya.”
b. Misi Kota Serang
1. Pembangunan dan Peningkatan Infrastruktur;
2. Pembangunan dan Peningkatan Kualitas Pendidikan;
3. Pembangunan dan Peningkatan Kualitas Kesehatan;
4. Peningkatan Ekonomi Kerakyatan serta Optimalisasi Potensi
Pertanian dan Kelautan;
Peningkatan Tata Kelola Pemerintahan, Hukum, dan Peningkatan
Penghayatan terhadap Nilai Agama.
110
4. Keadaan Penduduk Kota Serang
Dalam konteks demografi, menurut data Dinas Kependudukan dan
Pncatatan Sipil tahun 2015 Kota Serang memiliki jumlah penduduk 671,541
jiwa dengan komposisi penduduk laki-laki berjumlah 451.221 jiwa dan
perempuan 221.320 jiwa. Kepadatan penduduk di Kota Serang terbilang
cukup tinggi, yang rata-rata mencapai 2.561 jiwa per km2 pada tahun 2014.
Bila dilihat dari struktur usianya, penduduk Kota Serang didominasi
oleh penduduk usia produktif yakni usia 15-64 tahun sebanyak 550.450 jiwa
atau sekitar 81,15%, usia non produktif yakni usia 0-14 tahun dan usia
diatas 65 tahun masing-masing sebesar 121.800 jiwa (20,66%) dan 17,172
(2,91%). Gambaran tentang hal ini dapat dilihat dari tabel komposisi jumlah
penduduk berdasarkan kelompok umur sepanjang tahun 2014-2017 sebagai
berikut:
111
Tabel 4.2
Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Kecamatan Kota Serang
Tahun 2014-2017
No
Kecamatan
Jumlah Penduduk (Jiwa)
2013 2014 2015 2016 2017
1 Curug 56058 59376 62891 63784 64111
2 Walantaka 103866 115426 128267 134457 146788
3 Cipocok Jaya 119856 136657 155813 165834 169760
4 Serang 246614 261409 277092 286011 291160
5 Taktakan 107186 118971 132052 142254 149880
6 Kasemen 106362 113386 120874 135677 147890
Jumlah 739.942 805.225 876.993 928.017 969.589
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Serang, 2018
4.1.2 Gambaran Umum Dinas Sosial Kota Serang
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, setiap daerah harus
mampu merespon perangkat perundang-undangan dengan menempatkan
aparatur di daerah untuk lebih mampu menata pemerintahanya. Sebagai
upaya mengatasi dan memberikan pelayanan terhadap pembangunan bidang
112
kesejahteraan sosial, Pemerintah Kota Serang melalui Peraturan Daerah
Kota Serang Nomor 9 Tahun 2008, Tentang Pembentukan dan Susunan
Organisasi Dinas Daerah Kota Serang dan Peraturan Daerah Kota Serang
Nomor 14 Tahun 2010 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Serang
Nomor 9 Tahun 2008, Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas
Daerah Kota Serang. Dinas Sosial Kota Serang, mempunyai tugas
melaksanakan urusan Pemerintah Daerah berdasarkan azas otonomi daerah
dan tugas pembantuan dibidang sosial.
Gambar 4.1 Kantor Dinas Sosial Kota Serang
Sumber : Dinas Sosial Kota Serang,2018
3. Kedudukan
a. Dinas Sosial adalah unsur penunjang penyelenggaraan pemerintah
daerah di Bidang Sosial.
b. Dinas Sosial dipimpin oleh Kepala Dinas yng berada di bawah
dan bertanggungjawab kepada Walikota melalui Sekretaris
Daerah.
113
1. Tugas Pokok
Dinas Sosial mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian
Pemerintah Daerah di Bidang Sosial berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan.
2. Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi Dinas Sosial Kota Serang
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 9 Tahun 2008,
Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas Daerah Kota
Serang dan Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 14 Tahun 2010
Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 9 Tahun 2008,
Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas Daerah Kota
Serang. Dinas Sosial Kota Serang, mempunyai tugas melaksanakan
urusan Pemerintah Daerah, berdasarkan azas otonomi daerah dan
tugas pembantuan dibidang sosial. Secara organisasi/struktural Dinas
Sosial Kota Serang terdiri dari :
1. Kepala Dinas
2. Sekretariat
3. Kepala Bidang Potensi dan Kesejahteraan Sosial
4. Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial
5. Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
6. Kepala Bidang Bantuan dan Jaminan Sosial
7. Kepala Bidang Pemakaman
114
3. Struktur Organisasi
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut, Dinas Sosial Kota
Serang didukung personil sebagai berikut :
1. Sekretariat terdiri atas :
a. Sub bagian Umum dan Kepegawaian
b. Sub bagian Keuangan
c. Sub Bagian Program, Evaluasi dan Pelaporan
2. Bidang Pengembangan Potensi Kesejahteraan Sosial
a. Seksi Penyuluhan dan Kesejahteraan Sosial
b. Seksi Pengembangan Nilai-nilai Kepahlawanan
c. Seksi Pengembangan Kelembagaan
3. Bidang Pemberdayaan Sosial
a. Seksi Pemberdayaan Fakir Miskin
b. Seksi Pemberdayaan Sumber Daya Manusia dan Lingkungan
Sosial
c. Seksi Pemberdayaan Keluarga
4. Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
a. Seksi Pelayanan dan Perlindungan Sosial
b. Seksi Pelayanan Rehabilitasi Sosial dan Penyandang Cacat
c. Seksu Rehabilitasi Tuna Sosial dan Eks Korban
Penyalahgunaan Napza
5. Bidang Bantuan Jaminan Sosial
115
a. Seksi Bantuan Sosial Korban Bencanan
b. Seksi Bantuan Sosial Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran
c. Seksi Pengelolaan Sumber Dana Sosial
6. Bidang pemakaman
a. Seksi Registrasi, Penyiapan Lahan dan Perlengkapan
b. Seksi Pemeliharaan dan Pemanfaatan Pemakaman
c. Seksi Pengawasan dan Pengendalian Pemakaman
7. Unit Pelakasana Teknis
Visi, Misi, Strategi, Kebijakan, Program dan Kegiatan Dinas
Sosial Kota Serang
Visi
Visi Dinas Sosial Kota Serang yang berkeinginan untuk dapat
mewujudkan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat
Kota Serang sesuai dengan visi dan misi Pemerintah Kota Serang hal
tersebut tidak terlepas dari keberadaan Dinas Sosial Kota Serang yang
merupakan unsur atau komponen yang mendukung pencapaian bidang
kesejahteraan sosial masyarakat sesuai visi dan misi Kota Serang seperti
yang tercermin dalam RPJMD Kota Serang Tahun 2008-2013. Berdasarkan
latar belakang tersebut maka visi Dinas Sosial Kota Serang yaitu:
“TERWUJUDNYA KEMANDIRIAN BAGI PENYANDANG
MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL”
116
Visi tersebut mengandung pengertian yang mendalam dan
mewujudkan tekad kuat dari Dinas Sosial Kota Serang untuk dapat
memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat penyandang masalah
kesejahteraan sosial demi mewujudkan kehidupan masyarakat yang
sejahtera.
Misi
Misi nerupakan rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan
dilaksanakan untuk mewujudkan visi atau sesuatu yang harus diemban dan
dilaksanakan oleh instansi pemerintah sesuai visi yan ditetapkan agar tujuan
organisasi dapat terlaksana dan berhasil dengan baik.
Berikut merupakan misi Dinas Sosial Kota Serang sebagai sarana
untuk mewujudkan visi:
1. Meningkatkan kualitas sumber daya aparatur dan infrastruktur dalam
penataan kelembagaan,
2. Meningkatkan akses pelayanan sosial dalam aspek rehabilitas sosial
jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial buat
penyandang masalah kesejahteraan sosial.
3. Memperkuat kelembagaan dan potensi sumber kesejahteraan sosial
untuk mendorong inisiatif dan partisipasi aktif masyarakat, organisasi
sosial, karang taruna, TKSM, dan lembaga sosial keagamaan agar
terjalin hubungan kemitraan yang baik dalam pembangunan
kesejahteraan sosial.
4. Meningkatkan sistem informasi pelaporan.
117
4. Strategi dan Arah Kebijakan
Untuk merealisasikan visi, misi dan tujuan tersebut, maka ditetapkan
Strategi dan Arah Kebijakan sebagai berikut :
Sasaran Strategis Pertama “ Peningkatan Kesejahteraan Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) ”, dengan kebijakan :
a. Jumlah RTSM yang mendapatkan bantuan beras miskin
b. Jumlah keluarga miskin yang telah mendapatkan keterampilan berusaha
c. Jumlah keluarga miskin yang telah mendapatkan fasilitas manajemen
usaha
d. Jumlah Lansia dan PMKS lainnya yang telah mendapatkan bantuan
sosial dan pelatihan keterampilan serta upaya peningkatan kesehatan, dan
prasarana komda Lansia
e. Jumlah keluarga fakir miskin yang telah mendapatkan bantuan
pembangunan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH)
f. Jumlah wanita korban tindak kekerasan dan eksploitasi yang
mendapatkan perlindungan soisal dan hukum dan bantuan sosial serta
mendapatkan bimbingan dan pelatihan keterampilan
g. Jumlah masyarakat / PMKS yang menjadi peserta dan mengikuti KIE
konseling dan kampanye sosial dalam rangka peningkatan pemahaman
mengenal PMKS
h. Jumlah anak terlantar, anak jalanan, anak cacat dan anak nakal yang
mendapatkan pelatihan keterampilan dan praktek kerja
i. Jumlah tenaga pelatih dan pendidik yang terbina dan mendapatkan
pelatihan keterampilan
j. Jumlah masyarakat dan dinas instansi yang telah menjadi peserta
sosialisasi Program Keluarga Harapan (PKH) dan terbentuknya TPKH
118
Tingkat Kota Serang dan terlaksananya validasi dan verifikasi data PBI
(JKN)
k. Jumlah anak terlantar, yatim piatu yang dapat terpantau dan mendapatkan
pembinaan dan pengembangan bakat dan keterampilan serta
mendapatkan bantuan sosial
l. Jumlah penyandang cacat dan eks trauma yang telah mendapatkan
pendidikan dan pelatihan keterampilan
m. Jumlah lembaga / anggota Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yang
telah mendapatkan pembinaan
n. Jumlah eks penyandang penyakit sosial (eks napi, eks napza) yang
terbina dan mendapatkan pelatihan keterampilan
o. Tersedianya tempat persediaan bufferstock, bahan bufferstock dan
sekretariat tagana, meningkatnya keterampilan kesiapsiagaan bencana
bagi anggota tagana dan masyarakat serta terbentuknya Kampung Siaga
Bencana (KSB)
Sasaran Stragtegi Kedua “ Meningkatkan partisipasi sosial masyarakat
dalam pelaksanaan penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga
dan terorganisir ”, dengan kebijakn :
a. Jumlah kelompok masyarakat, dunia usaha dan PSM yang telah
mendapatkan peningkatan pengetahuan tentang UGB, PUB dan PMKS
b. Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam melestarikan nilai-nilai
kepahlawanan dan terpelihara sarana dan prasarana kepahlawanan
c. Jumlah WKBSM yang telah mendapatkan pembinaan
d. Jumlah anggota karang taruna yang telah mendapatkan pelatihan
manajemen
5. Program / Kegiatan Prioritas OPD
Arah Kebijakan Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial Dinas Sosial
Kota Serang, yaitu :
119
a. Meningkatkan kualitas pelayanan dan bantuan dasar kesejahteraan sosial
bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
b. Meningkatkan Pemberdayaan Fakir Miskin, Penyandang Cacat dan
kelompok rentan lainnya
c. Meningkatkan kualitas hidup bagi PMKS terhadap pelayanan sosial dasar,
fasilitas pelayanan publik, dan jaminan kesejahteraan sosial
d. Mengembangkan dan menyerasikan kebijakan untuk penanganan masalah
– masalah strategis yang menyangkut masalah kesejahteraan sosial
e. Memperkuat ketahanan sosial masyarakat berlandaskan prinsip kemitraan
dan nilai – nilai sosial budaya bangsa
f. Meningkatkan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan sosial dalam
mendayagunakan sumber – sumber kesejahteraan sosial
g. Meningkatkan pelayanan bagi korban bencana alam dan sosial
h. Meningkatkan prakarsa dan peran aktif masyarakat termasuk masyarakat
mampu, dunia usaha, perguruan tinggi, dan Orsos/LSM dalam
penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial secara terpadu dan
berkelanjutan
Program – Program yang mendukung sebagai berikut :
1. Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat
Terpencil (KAT) dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) lainnya.
a. Peningkatan kemampuan (Capacity Building) petugas dan
pendamping sosial pemberdayaan fakir miskin, KAT dan PMKS
lainnya
b. Pelatihan Keterampilan berusaha bagi keluarga miskin
c. Fasilitasi manajemen usaha bagi keluarga miskin
d. Pelatihan keterampilan bagi penyandang masalah kesejahteraan
sosial
e. Fasilitasi dan Stimulasi Pembangunan Perumahan Masyarakat
Kurang mampu
120
2. Program Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial
a. Pelayanan dan perlindungan sosial, hukum bagi korban eksploitasi,
perdagangan perempuan dan anak
b. Pelaksanaan KIE konseling dan kampanye sosial bagi Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
c. Pelatihan keterampilan dan praktek belajar kerja bagi anak terlantar
termasuk anak jalanan, anak cacat dan anak nakal
d. Koordinasi perumusan kebijakan dan sinkronisasi pelaksanaan upaya
– upaya penanggulangan kemiskinan dan penurunan kesenjangan
e. Penanganan masalah – masalah strategis yang menyangkut tanggap
cepat darurat dan kejadian luar biasa
3. Program Pembinaan anak terlantar
a. Pengembangan bakat dan keterampilan anak terlantar
4. Program Pembinaan para penyandang cacat dan trauma
a. Pendidikan dan pelatihan bagi penyandang cacat dan eks trauma
5. Program Pembinaan panti asuhan / panti jompo
a. Peningkatan keterampilan tenaga pelatih dan pendidik
6. Program Pembinaan Eks Penyandang penyakit sosial ( eks
narapidana, PSK, narkoba dan penyakit sosial lainnya )
a. Pendidikan dan pelatihan keterampilan berusaha bagi eks
penyandang penyakit sosial
7. Program Pemberdayaan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial
a. Peningkatan peran aktif masyarakat dan dunia usaha
b. Peningkatan jenjang kerjasama pelaku – pelaku usaha
kesejahteraan sosial masyarakat
c. Peningkatan kualitas SDM Kesejahteraan sosial masyarakat
d. Peningkatan sarana dan prasarana kepahlawanan dan keperintisan
4.1.3 Profil Satpol PP Kota Serang
121
Profil Polisi Pamong Praja adalah perangkat Pemerintah Daerah
dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakan
peraturan daerah organisasi dan tata kerja satuan Polisi Pamong Praja
ditetapkan dengan Peraturan Daerah, Satuan Pamong Praja dapat
berkedudukan di Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Di
Daerah Propinsi Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh kepala yang
berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui
Sekretaris Daerah.
Sesuai dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
pemerintah Daerah, Polisi Pamong Praja mempunyai peran yang strategis
dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah, yaitu menyelenggarakan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, menegakan Peraturan
Daerah dan Kebijakan-kebijakan Kepala Daerah. Untuk itu dalam rangka
pelaksanaan tugas dan fungsinya diperlukan tenaga-tenaga Polisi Pamong
Praja yang berstatus pegawai negeri sipil dengan jumlah yang cukup.
Gambar 4.3 Kantor Satpol PP Kota Serang
Sumber : Satpol PP Kota Serang,2018
122
1. Maksud dan Tujuan
Untuk memberikan gambaran kepada semua pihak tentang
keberadaan, tugas dan fungsi Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Serang, seiring dengan terbitnya Undang-undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja
diatur dalam bagian tersendiri dimana pasal 148 disebutkan bahwa:
a. Untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakan Peraturan
Daerah, Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.
b. Pembentukan dan Susunan Organisasi Satuan Polisi Pamong
Praja berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Tujuan dibentuknya Satuan Polisi Pamong Praja disamping
seperti maksud diatas juga sebagai:
a. Meningkatkan partisipasi dalam pelayanan penyelenggaraan
hukum Daerah
b. Meningkatkan kerja aparatur dalam penyelenggaraan penegakan
hukum Daerah
c. Meningkatkan mutu pelayanan aparatur pemerintah dalam
penyelenggaraan penegakan hukum daerah
2. Visi dan Misi
Visi dan Misi Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Serang,
secara umum Visi merupakan cara pandang jauh kedepan, kemana suatu
organisasi harus dibawa agar dapat eksis. Visi organisasi harus
merupakan gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan yang
123
di inginkan oleh suatu organisasi tahun yang akan datang, sesuai dengan
sifat perencanaan strategi perencanaan manajemen Satuan Polisi Pamong
Praja yang merupakan perencanaan pembangunan jangka panjang, selain
itu peran Satuan Polisi Pamong Praja agar diarahkan untuk mendukung
pencapaian Visi dan Misi Kota Serang. Seiriing dengan upaya terebut,
maka Visi Satuan Pamong Praja Kota Serang adalah sebagai berikut:
”Terwujudnya Aparatur Daerah Kota Serang Yang Berkualitas
Dalam Penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Daerah”
Misi adalah merupakan penjabaran dari Visi yang harus
dilaksanakan agar tujuan organisasi dapat terlaksana dengan baik dan
berhasil sesuai dengan tujuan Visi dimaksud. Adapun Misi kantor Satuan
Polisis Pamong Praja Kota Serang adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap aturan norma
hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma sosial lainya
yang hidup dan berkembang dimasyarakat.
b. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menyelesaikan
perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu
ketentraman dan ketertiban umum.
c. Meningkatkan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban Daerah.
d. Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam mematuhi dan mentaati
peraturan Daerah dan keputusan Daerah.
3. Tugas Pokok dan Fungsi
124
1. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja
Memimpin, mengatur, mengkoordinasikan dan mengendalikan
seluruh kegiatan penyelenggaraan tugas dan fungsi Satuan Polisi
Pamong Praja sesuai dengan visi dan misi Walikota yang terjabarkan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah di bidang
penyelenggaraan dan pemeliharaan ketentraman ketertiban umum
serta perlindungan masyarakat serta sub bidang lainya.
Untuk melaksanakan tugas pokok, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja
mempunyai fungsi :
a. Perumusan kebijakan Strategis Satuan Polisi Pamong Praja
berdasarkan visi dan misi Walikota yang terjabarkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah di bidang penyelenggaraan
dan pemeliharaan ketentraman ketertiban umum serta perlindungan
masyarakat serta sub bidang lainya;
b. Menyelenggarakan kebijakan pemeliharaan ketentraman ketertiban
umum serta perlindungan masyarakat serta sub bidang kebakaran;
c. Menyelenggarakan pembinaan kegiatan pemeliharaan ketentraman
ketertiban umum serta perlindungan masyarakat serta sub bidang
kebakaran;
d. Menyelenggarakan pengawasan kegiatan pemeliharaan ketentraman
ketertiban umum serta perlindungan masyarakat serta sub bidang
kebakaran
2. Sekretariat Satuan Polisi Pamong Praja
125
Dipimpin oleh seorang Sekretaris yang mempunyai tugas pokok
membantu Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dalam
pengkoordinasian pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan tugas dan
fungsi Satuan Polisi Pamong Praja serta menyelenggarakan kegiatan
di bidang administrasi umum, keuangan, kepegawaian, program,
evaluasi dan pelaporan.
Untuk menjalankan tugas pokok, Sekretaris mempunyai fungsi :
1. Menyelenggarakan penatausahaan urusan umum;
2. Menyelenggarakan penatausahaan urusan kepegawaian;
3. Menyelenggarakan penatausahaan urusan keuangan;
4. Menyelenggarakan fasilitasi kebutuhan kedinasan kepala Satuan;
5. Menyelenggarakan pengoordinasian dalam penyusunan
perencanaan Dinas;
6. Bidang Penegakan Peraturan-Peraturan Daerah (PPUD)
Bidang Penegakan Peraturan Perundangan-Undangan Daerah
(PPUD) dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang mempunyai tugas
penyelenggaraan sebagai tugas Satuan Polisi Pamong Praja dalam
pelakasanaan penegakan produk hukum daerah.
Terdapat 3 seksi dalam bidang Penegakan Produk Hukum Daerah
(PPHD), yaitu Seksi Pembinaan, Penyuluhan, dan Pengawasan Ekologis
(Binluhwas Ekologis); Seksi Pembinaan Penyuluhan, pengawasan, Sosial
Masyarakat (Binlahwassosmasyz); Seksi Bina Penyidik Pegawai Negeri
126
Sipil (PPNS) dan Kajian. Ketiga seksi ini dipimpin oleh kepala seksi yang
bertanggung jawab langsung kepada kepala bindang.
GAMBAR. 4.4 Struktur Organisasi Bidang PPUD Satuan Polisi Pamong Praja
Kota Serang
Untuk menjalankan tugas pokok, Kepala Bidang PPUD mempunyai
tugas fungsi :
1. Menyelenggarakan pengkajian program kerja bidang ;
2. Menyelenggarakan pengkajian bahan fasilitasi penyusunan dan
pedoman supervisi;
3. Menyelenggarakan pengkajian bahan fasilitasi penindakan
pelanggaran
4. Peraturan daerah dan Keputusan Kepala Daerah;
5. Menyelelnggarakan pembinaan, pengawasan dan penyuluhan
penegakan PPUD;
6. Menyelenggarakan fasilitasi dan penegakan perda;
7. Menyyelenggarakan koordinasi penyelenggaraan PPUD;
KASAT POL PP
js
KEPALA BIDANG PPUD
KASI BINLUHWAS
EKOLOGIS
PELAKSANA PELAKSANA
KASI PPNS dan KAJIAN
PELAKSANA
KASI
BINLUHWASSOSMASY
STAF PELAKSANA STAF PELAKSANA STAF PELAKSANA
127
8. Menyelenggarakan koordinasi dan fasilitasi PPNS;
9. Menyelenggaraakan telaahan staf sebagai bahan pertimbangan
pengambilan kebijakan;
10. Menyelenggarakan pelaporan dan evaluasi kegiatan bidang
PPUD
11. Menyelenggarakan koordinasi dengan Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) Provinsi;
12. Menyelenggarakan koordinasi dengan unit kerja terkait;
13. Menyusun laporan sesuai dengan tugas dan fungsinya.
4.3 Deskripsi Data
Data yang disajikan dibawah ini merupakan data yang melalui proses
reduksi. Deskripsi data menjelaskan hasil penelitian yang telah diolah dari
data mentah menggunakan teknis analisis data yang relevan. Dalam penelitian
ini peneliti menggunakan teori George C. Edward III dalam Widodo
(2010:96). Dalam teori tersebut menjelaskan keberhasilan atau kegagalan
suatu implementasi kebijakan publik dapat ditentukan oleh 4 dimensi atau
faktor, yang terdiri dari faktor Komunikasi, Sumber Daya, Disposisi dan
Struktur Birokrasi.
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi partisipatif
tidak aktif. Dimana peneliti tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan Perda
Penyakit Masyarakat (Pekat) Kota Serang No 2 Tahun 2010 di Kota Serang
terkait pencegahan, pemberantasan, dan penanggulangan aktivitas
Gelandangan dan Pengemis (Gepeng). Selain observasi, peneliti juga
melakukan pengumpulan data dengan melakukan wawancara. Waawncara
128
yang dilakukan peneliti menggunakan teknik wawancara terstruktur, dimana
peneliti menggunakan pedoman wawancara yang lengkap dan sistematis.
Mengingat bahwa jenis dan analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kualitatif, maka data oyang diperoleh bersifat deskriptif
berbentuk kata dan kalimat dari hasil wawancara, hasil observasi lapangan,
serta data atau hasil dokumentasi lainya. Berdasarkan teknik analisis data
kualitatif mengikuti konsep yang diberikan oleh Spradley dalam Moleong
2010: 302), data tersebut dianalisis selama proses penelitian berlangsung.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan melalui wawancara
dan dokumentasi, maupun observasi lapangan dilakukan reduksi untuk
mencari tema dan polanya dan diberikan kode-kode pada aspek tertentu
berdasarkan jawaban-jawaban yang sama dan berkaitan dengan pemnahasan
masalah penelitian serta dilakukan kategorisasi. Kode-kode tersebut antara
lain.
1. Kode Q123 dan seterusnya menandakan daftar urutan pertanyaan
2. Kode I123 dan seterusnya menandakan daftar urutan informan
Pengkategorisasian dilakukan berdasarkan jawaban-jawaban yang
ditemukan dari penelitian lapangan. Mengingat penelitian ini adalah
penelitian kualitatif dengan tidak menggeneralisasikan jawaban penelitian,
maka semua jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh informan dipaparkan
dalam pembahasan penelitian yang disesuikan dengan teori penelitian,
berdasarkan hasil penelitian lapangan, yaitu:
129
1. Komunikasi (Communication)
Pada dimensi ini, suatu kebijakan akan berhasil suatu kebijakan dapat
dikomunikasikan dengan tepat, akurat, dan konsisten. Bahwasanya
suatu informasi kebijakan perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan
agar pelaku kebijakan dapat memahami apa yang menjadi isi, tujuan,
arah, kelompok sasaran (target group) kebijakan, sehingga pelaku
kebijakan dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan
dengan pelakasanaan kebijakan, agar proses implementasi kebijakan
bisa berjalan dengan efektif serta sesuai dengan tujuan kebijakan itu
sendiri.
2. Sumber Daya (Resource)
Suatu kebijakan dapat dikatakan berhasil jika dimensi satu ini
terlakasana dan tersedia dengan baik agar berjalanya kebijakan suatu
efektif dan efisien, karena bagaiamanapun jelas dan konsistensinya
ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya
penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para
pelaksana kebijakan yang bertanggung untuk melaksanakan kebijakan
kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melaksanakan
kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut tidak
akan efektif.
3. Disposisi (Disposition)
Pada dimensi ini, kecenderungan perilaku atau karakteristik dari
pelaksana kebijakan berperan penting untuk mewujudkan
130
implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan dan sasaran.
Karakter penting yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya
kejujuran dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan
implementor untuk tetap berada dalam asa program yang telah
digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakan
akan membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas,
wewenang, fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang
telah ditetapkan. Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat
berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Apabila implementor
memiliki sikap yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan
dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan,
sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka implementasi
tidak akan terlaksana dengan baik.
4. Struktur Birokrasi (Bureucratic Structure)
Dalam aspek ini, Struktur organisasi memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi
ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan stuktur birokrasi itu
sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi
kebijakan biasanya sudah dibuat standart operating procedur (SOP).
SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak agar
dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran
kebijakan. Aspek kedua adalah struktur birokrasi. Struktur birokrasi
yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung melemahkan
131
pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan
kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi
menjadi tidak fleksibel.
Berdasarkan kategori diatas, maka peneliti membuat matrik agar
data-data yang ada dari hasil kategorisasi dapat dibaca dan dipahami
secara keseluruhan. Kemudia dilakukan analisis kembali untuk mencari
kesimpulan yang signifikan selama sisa waktu penelitian dengan
mencari kembali data dan informasi dari berbagai sumber. Setelah data
dan informasi, maka kesimpulan tersebut dapat diambil untuk dijadikan
jawaban dalam membahas masalah penelitian.
4.3.1 Informan Penelitian
Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwa
dalam penelelitian ini informan penelitian ditentukan dengan
menggunakan teknik purposive, yakni suatu teknik pengambilan
informan dengan penetapan informan berdasarkan kriteria-kriteria
tertentu, disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan dalam
penelitian. Adapun informan-informan yang peneliti tentukan,
merupakan orang-orang yang menurut peneliti memiliki informasi
yang dibutuhkan dalam penelitian ini karena mereka (informan) dalam
keseharianya senantiasa berurusan dengan permasalahan yang sedang
diteliti.
Dalam pelaksanaan penelitian dilapangan nanti, tidak menutup
kemungkinan peneliti juga akan menggunakan teknik snowball, yaitu
132
jumlah informan akan bertambah sesuai dengan kebutuhan dalam
penelitian. Pertama dipilih satu atau dua orang, tetapi karena dengan
dua orang ini belum dapat memenuhi kelengkapan data dan informasi
peneliti maka peneliti mencari sumber lain yang dipandang lebih
memahami permasalahan dan dapat melengkapi data yang diberikan
oleh sumber sebelumnya. Adapun informan yang bersedia untuk
diwawancarai dalam penelitian ini berjumlah 15 orang, seperti yang
tertera dalam tabel 4.5 sebagai berikut :
Tabel 4.3
Daftar Informan Penelitian
Kode
Informan Informan Keterangan
I1 Wakil Komisi II DPRD Kota Serang Key Informan
I2 Kepala Dinas Sosial Provinsi Banten. Key Informan
I3 Kasie Rehabilitasi Tuna Sosial dan
Korban eks Napza Dinas Sosial Kota
Serang.
Key Informan
I4 Kabid PPUD Satpol PP Kota Serang Key Informan
I5 Staff Pelaksana Binluhwassosmasy
Bidang PPUD Satpol PP Kota
Serang.
Key Informan
I7- I9 Masyarakat Kota Serang Secondary Informan
I10- I12 Pengemis Kota Serang Secondary Informan
133
I13- I15 Gelandangan Kota Serang Secondary Informan
Sumber : Peneliti 2018
Selanjutnya perlu diketahui, adapun informasi yang dipergunakan dalam
penelitian ini berjumlah 15 orang, diantaranya adalah :
1. Bapak M. Ali Surohman, ST. Beliau adalah selaku Wakil Komisi
II DPRD Kota Serang.
2. Ibu Dra. Nurhana, M.Si. Beliau adalah Kepala Dinas Sosial
Provinsi Banten.
3. Bapak Heli Priyatna. Beliau adalah Kasie Rehabilitasi Tuna Sosial
dan Korban eks Napza Dinas Sosial Kota Serang.
4. Bapak Juanda. Beliau adalah Kabid Penindakan Peraturan
Undang-undang Daerah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
Kota Serang.
5. Bapak Saiful Bahri. Beliau adalah Staff Pelaksana
Binluhwassosmasy Bidang PPUD Satpol PP Kota Serang.
6. Ika (26). Beliau adalah Masyarakat yang kerja di Toko Emperan
Pisang Mas Kota Serang
7. Rosyid (41). Beliau adalah Masyarakat sebagai wiarausaha yang
berada disekitaran daerah Pisang Mas Kota Serang.
8. Iwan (31). Beliau adalah Masyarakat sebagai juru parkir yang
berada di Lampu Merah Pisang Kota Serang.
9. Rina (32). Beliau adalah Masyarakat yang dijumpai berada di
134
Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang.
10. Sanita (56). Beliau adalah Pengemis Pembawa Bayi yang berada
diwilayah Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang.
11. Said (45).Beliau adalah Pengemis Cacat Mental yang berada di
Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang.
12. Febi (13). Beliau adalah Pengemis dibawah usia yang berada di
wilayah Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang.
13. Arifin (41). Beliau adalah Gelandangan yang berada di wilayah
Emperan Toko Pisang Mas Kota Serang.
14. Hendri. Beliau adalah Gelandangan sebagai Anak jalanan (Punk)
yang berada di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang
15. Endar. Beliau adalah Gelandangan yang berprofesi sebagai
pedagang asongan di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang.
4.3.2 Deskripsi Penelitian
Dalam sebuah Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 tentang
pencengahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat
merupakan bentuk kongkrit pemerintah Kota Serang untuk mewujudkan
daerah dengan landasan kehidupan masyarakat yang berbudaya dan
beragama yang sejalan dengan visi dan misi Kota Serang itu sendiri.
Sehingga pada akhirnya masyarakat Kota Serang terhindar dari segala
bentuk perbuatan yang dapat meresahkan masyarakat, ketertiban umum,
keamanan, kesehatan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Kota
135
Serang. Berawal dari hal yang telah disebutkan diatas, bahwa rasa aman,
nyaman, dan tenteram perlu diwujudkan di Kota Serang, oleh karena itu
perbuatan penyakit masyarakat di Kota Serang wajib diberikan aturan-
aturan tentang pembinaan, pengawasan, pengendalian, pelarangan, serta
penindakan terhadap penyakit masyarakat agar terhindar dari gangguan/
dampak negatif yang akan timbul di dalam masyarakat.
Dalam penelitian saat ini, peneliti berusaha memunculkan salah
satu kategori penyakit masyarakat dari beberapa klasifikasi penyakit
masyarakat yang terdapat dalam Perda No 2 Tahun 2010, yakini
Gelandangan dan Pengemis. Dalam Perda No 2 Tahun 2010 disebutkan,
bahwa setiap orang dilarang menggelandang dan mengemis, setiap
orang dilarang menyuruh atau memaksa orang lain menjadi pengemis
dan setiap orang dilarang memberikan uang ataupun lainya kepada
pengemis. Tiga poin diatas telah jelas memberikan gambaran kepada
masyarakat Kota Serang, bahwa segala aktivitas yang berkenaan dengan
mengemis dan menggelandang merupakan perbuatan yang terlarang
yang semestinya harus dihindari oleh seluruh warga Kota Serang, tanpa
terkecuali dan bagi mereka yang tidak mengindahkan larangan tersebut
akan mendapatkan sanksi-sanksi yang akan peneliti bahas pada uraian
selanjutnya.
Segala bentuk kegiatan ataupun aktivitas gelandangan dan
pengemis (gepeng) sudah mulai ada sebelum Kota Serang ditetapkan
daerah otonomi tingkat kota pada tahun 2007, akan tetapi dengan alasan
136
belum stabilnya pemerintahan saat itu, menjadikan peraturan-peraturan
dan larangan-larangan yang berkenaan dengan gelandangan dan
pengemis baru ditetapkan pada tahun 2010 dalam Peraturan Daerah
Kota Serang No 2 Tahun 2010 tentang pencegahan, pemberantasan dan
penanggulangan penyakit masyarakat.
Gelandangan dan Pengemis adalah orang-orang miskin yang
hidup di kota-kota yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu yang
sah menurut hukum. Orang-orang ini menjadi beban pemerintah kota
karena mereka ikut menyedot dan memanfaatkan fasilitas perkotaan,
tetapi tidak membayar kembali fasilitas yang mereka nikmati itu, seperti
halnya tidak membayar pajak. Gelandangan dan Pengemis ini
mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta dipinggiran jalan atau
ditempat keramaian yang banyak orang berlalu lalang agar mendapat
belas kasih dari orang-orang yang melihatnya. Dari pandangan diatas
dapat diketahui bahwa gelandangan dan pengemis merupakan hal yang
menyimpang dari pedoman moral, etika serta agama sekalipun. Adapun
dalam hal ini Bapak Ali Surahman selaku Wakil Komisi II DPR Kota
Serang yang mengatakan bahwa :
“....Banyaknya gelandangan dan pengemis yang dijalan dirasa
sangat mengganggu ketertiban untuk itu dibuat suatu kebijakan
untuk mengaturnya, dalam isi perda tersebut sudah diatur
mengenai pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan
itu sangat penting dilakukan agar mereka tidak lagi menjadi
gelandangan dan pengemis” (Wawancara: Tanggal 25
September 2018, Pukul 01.00 Wib)
137
Adapun Penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan
gambaran tentang potensi, kendala dan peluang dalam pencegahan,
pemberantasan dan penanggulangan gepeng sehingga selanjutnya dapat
pula menggambarkan peranan gepeng dalam mengganggu stabilitas
ketertiban dan keamanan. Sebagai gambar berikut :
Gambar 4.3 . Model Perumusan Masalah Gepeng
Mengutip dari penggalan paragraf dan model perumusan masalah
diatas maka dari itu rancangnya Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2
Pembangunan
Perkotaan
Kesenjangan Pembangunan
Pedesaan
Kesulitan
Pemukiman
Urbanisasi Kesulitan
Pekerjaan
Gangguan
Ketertiban
GEPENG
Gangguan
Keamanan
Stabilitas
Keamanan
Stabilitas Nasional
Cita –cita
Nasional
138
Tahun 2010, diharapkan para penyandang masalah kesejahteraan sosial,
terutama para gelandangan dan pengemis yang ada di Kota Serang
untuk bisa diselesaikan. Akan tetapi, fakta dilapangan yang peneliti
dapati bahwa gelandangan dan pengemis di Kota Serang masih banyak
yang beraktivitas turun ke jalan di Kota Serang. Dari penelitian awal
peneliti laksanakan, didapat data bahwa di beberapa tempat di Kota
Serang khususnya di Lampu Merah Kota Serang, Pusat Perbelanjaan
dan Tempat Umum lainya di Kota Serang terdapat aktivitasi para
gelandangan dan pengemis, dimana tempat-tempat tersebut dijadikan
untuk melakukan kegiatan meminta-minta dan menggelandang, tempat
tersebut seperti di Lampu Merah Lontar, Palima, Ciceri, Pisang Mas,
lalu di Stadion Maulana Yusuf, di Pasar Lama dan Alun-alun Kota
Serang. Berikut ini adalah tabel yang di dapat dari Dinsos Kota Serang,
yang berupa data PMKS Tahun 2018, diantaranya adalah :
Tabel 4.4 Jenis dan Jumlah PMKS Kota Serang
Tahun 2018
N
O
JENIS PMKS JUMLA
H
1 Anak Balita terlantar 56
2 Anak terlantar 756
3 Anak berhadapan dengan hukum -
4 Anak jalanan 341
5 Anak dengan kedisabilitasan ( ADK ) 115
139
Sumber : Dinas Sosial Kota Serang, 2018
Maka dari itu, dengan adaya tabel yang berupa data dari Jumlah
PMKS (Peyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) di Kota Serang,
6 Anak yang menjadi KTK atau diperlakukan
salah
-
7 Anak yang memerlukan perlindungan
khusus
-
8 Perempuan rawan sosial ekonomi -
9 Pekerja migran bermasalah sosial ( PMBS ) -
10 Lanjut usia terlantar 1455
11 Penyandang Disabilitas 1112
12 Korban Traficking -
13 Korban tindak kekerasan ( KTK ) 33
14 Tuna Susila 98
15 Pengemis 135
16 Gelandangan 80
17 Pemulung 55
18 Bekas warga binaan lembaga
pemasyarakatan ( BWBLP )
40
19 Kelompok minoritas -
20 Korban penyaahgunaan narkotika,
Psikotropika dan zat adiktif lainnya/NAPZA
60
21 Fakir miskin 17.121
22 Keluarga bermasalah sosial psikologis -
23 Komunitas Adat terpencil -
24 Korban bencana alam 394
25 Korban bencana sosial -
26 Orang dengan HIV/AIDS ( ODHA ) 65
140
terutama para penyandang masalah sosial seperti gelandangan dan
pengemis, terlihat pada tahun 2018 data yang didapat serta terdata oleh
Dinas Sosial Kota Serang seperti gelandangan berjumlah 80 orang dan
pengemis berjumlah 135. Ini menunjukan adanya pelaksanaan
Peraturan Daerah Kota Serang No 2 Tahun 2010 yang kurang optimal
dan efektif serta tepat sasaran oleh para pelaksana kebijakan seperti
Dinas Sosial dan Satpoll PP Kota Serang terhadap aktivitas gelandangan
dan pengemis di kota Serang. Seharusnya dengan adanya jumlah
gelandangan dan pengemis yang bertambah dan menjamur, Pemerintah
Kota Serang harus bersikap lebih tegas untuk menyelesaikan
permasalahan sosial ini, terutama dalam menegakan Peraturan Daerah
Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan
dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Oleh karena itu, perlu
adanya peningkatan ketegasan serta optimalisasi dari pemerintah Kota
Serang dalam menjalankan aturan dari Perda Kota Serang Nomor 2
Tahun 2010 tentang penyakit masyarakat ini.
Berdasarkan apa yang sudah peneliti paparkan pada paragraf
sebelumnya, bahwa tujuan dari diberlakukanya aturan-aturan tersebut,
tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk memberikan rasa aman,
nyaman dan tenteram kepada masyarakat Kota Serang dan lebih dari itu
perwujudan dari Kota Serang sebagai kota/daerah yang berladaskan
nilai agama dan budaya pun harus nyata terlihat. Oleh karena itu Perda
Kota Serang No 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan
141
Penanggulangan Penyakit Masyarakat inilah yang dijadikan pegangan
Pemerintah Kota Serang untuk menjawab persoalan tersebut.
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini, yang akan dibahas dalam masalah sosial
adalah masalah Penyakit Masyarakat yang ada di kota Serang Provinsi
Banten. Disebutkan juga pada pasal 1 ayat 14 di Perda Kota Serang No 2
Tahun 2010 bahwa penyakit masyarakat adalah hal-hal atau perbuatan
yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yang tidak menyenangkan
masyarakat atau meresahkan masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan
agama dan adat serta tata krama kesopanan dalam masyarakat. Hal ini
terjadi akibat dari adanya kesenjangan sosial diantara masyarakat
sehingga menimbulkan masalah sosial. Dalam penelitian ini dikhususkan
pada studi tentang Gelandangan dan Pengemis. Untuk meneliti tentang
Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 yang mengatur
tentang Pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit
masyarakat khususnya gelandangan dan pengemis.
Dari pasal 9 ayat 1, 2, 3 sudah jelas bahwa masyarakat Kota Serang
tidak boleh melakukan penggelandangan dan mengemis serta tidak boleh
memberikan uang santunan kepada para pengemis yang ada di Kota
Serang, sebab bila melanggar aturan yang sudah ditetapkan, maka akan
diberikan sanksi berupa denda 50 juta atau kurungan penjara selama 3
bulan yaitu tertera pada Peraturan Daerah Serang Nomor 2 Tahun 2010
142
pasal 21 ayat 1 dan 2. Oleh sebab itu, dengan adanya Peraturan Daerah
Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010, diharapkan para gelandangan dan
pengemis yang ada di Kota Serang dapat dituntaskan, karena memang
masalah sosial yang terjadi pada masyarakat Kota Serang, sangat
meresahkan.
Oleh sebab itu, ketika berbicara mengenai para penyandang
masalah kesejahteraan sosial seperti gelandangan dan pengemis, pasti
yang menjadi alasan ataupun utujuan mereka adalah masalah
perekonomian, kemiskinan pengangguran serta tidak mempunyai tempat
tinggal yang sering disampaikan oleh gelandangan dan pengemis.
Gelandangan dan pengemis adalah orang-orang miskin yang hidup
di kota-kota-kota yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu yang
sah menurut hukum. Orang-orang ini menjadi beban pemerintah kota
karena mereka ikut menyedot dan memanfaatkan fasilitas perkotaan,
tetapi tidak membayar kembali fasilitas yang mereka nikmati itu, tidak
membayar pajak misalnya (Sarlito W. Sarwono, 2005 : 49).
Pengertian Gelandangan itu sendiri adalah orang yang tidak tentu
tempat tinggalnya, pekerjaanya dan arah tujuan kegiatanya. Semakin
banyaknya gelandangan merupakan contoh yang ada saat ini bahwa
kemiskinan adalah faktor utama yang paling berpengaruh dan mendasari
kenapa masalah sosial ini terjadi, apalagi fenomena sosial ini banyak
ditemukan di perkotaan khususnya Kota Serang. dalam keterbatasan
ruang lingkup sebagai gelandangan tersebut, seperti menjadi pemulung,
143
pengemis, pengamen dan pengasong, perjuangan hidup sehari-hari
mereka mengandung resiko yang cukup berat, tidak hanya tekanan
ekonomi, tetapi juga tekanan sosial-budaya dari masyarakat, kerasnya
kehidupan jalanan, dan tekanan dari aparat ataupun petugas ketertiban
kota.
Adapun Jenis-jenis Gelandangan di daerah Pisang Mas Kota
Serang yang peneliti temukan dilapangan, sebagai berikut :
1. Pemulung
Pemulung di daerah Pisang Mas Kota Serang merupakan salah
satu jenis gelandangan yang berprofesi sebagai pencari barang-barang
bekas yang nantinya akan dijual kembali, memang hidup
bergelandangan tidak memungkinkan orang hidup berkeluarga, tidak
memiliki kesabaran pribadi, tidak memberi perlindungan terhadap hawa
panas ataupun hujan dan hawa dingin, hidup bergelandangan akan
dianggap hidup yang paling hina diperkotaan khsususnya di Kota
Serang . Hal ini seperti apa yang dirasakan oleh Arifin (41 Tahun)
sebagai pemulung berasal dari Cilegon dengan satu orang anak (Riski)
yang masih berusia 5 tahun yang tinggal berada di emperan toko daerah
Pisang Mas Kota Serang sebagai gelandangan, Beliau mengatakan :
“..Bapak asalnya dari Cilegon, saya mah ya dek tidur di emperen
sperti ini udah biasa walaupun bikin kumuh ini emperan toko, ya
mau gimana lagi bapak udah ga punya tempat tinggal, bapak
menggelandang seperti ini karena masalah rumah tangga (cerai)
dek,yah kurang lebih 2 tahun lah bapak menggelandang, akhirnya
bapak mengurusi anak sendirian sambil memulung setiap hari
144
bareng anak juga dengan gerobak, kadang seharian dapat kurang
lebih 45 ribu, lumayan buat cari makan sehari-hari, bapak sih
mau niat cari kerja tapi yah anak sendiri ga ada yang ngrusin,
kalo soal razia ? Bapak alhamdulillah ga pernah kena
razia,apalagi soal Perda yang ngatur Gelandangan bapak belum
tau sama sekali, karena belum ada yang ngasih info nya juga,
jadi, untuk sampai saat ini pemerintah belum ada yang peduli
sama sekali, yah makanya saya butuh kepedulian pemerintah dek.
(Wawancara : Tanggal 14 September 2018, Pukul : 20:00 WIB
malam hari di Emperan Toko Pisang Mas Kota Serang)
Gambar 4.8 Wawancara dengan Gelandangan (Pemulung)
daerah Pisang Mas Kota Serang
Sumber : Peneliti,2018
2. Anak Jalanan (Punk)
Menurut hasil peneltian yang didapat oleh peneliti dilapangan,
Anak Jalanan (Punk) di daerah Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang
ini merupakan salah satu jenis Gelandangan di Kota Serang karena
mereka (Punk) ini hidup berkeliaran yang tidak tentu tempat tinggalnya,
pekerjaanya dan arah tujuan kegiatanya dan biasanya mereka
beraktivitas di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang seperti meminta-
145
minta dan mengamen sebagai pemenuhan kebutuhannya, selain itu
penampilan anak punk ini kumuh dan bergaya roker, telinga ditindik,
serta rambut di cat, anak punk ini biasa beraktivitas di siang dan malam
hari di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang. Akan tetapi dibalik
aktivitas Anak Jalanan (Punk) di Lampu Merah Pisang Mas Kota
Serang ini berdampak buruk bagi Kota Serang seperti mengganggu
keindahan Kota Serang, mengganggu ketertiban lalu lintas di Lampu
Merah Pisang Mas Kota Serang, meresahkan warga Kota Serang yang
biasa berhenti di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang. Sehingga
dalam hal ini permasalahan Gelandangan yang satu ini harus di
tuntaskan oleh Pemerintah Kota Serang yang berwenang. Adapun
wawancara peneliti bersama Anak Jalanan (Punk) di Lampu Merah
Pisang Mas Kota Serang dengan Hendri (29 Tahun), sebagai berikut:
“..Kita kalo cari uang yah biasanya dengan ngamen atau
minta” begini, kadang diangkot, di Lampu Merah sih intinya
pas lagi lampu merah nyala, kan lumayan tuh nyala 1 menit
lebih, kalo penghasilan kita sehari bisa 40 ribu, yah dari dari
pagi sampe siang, nanti dari siang sampe sore paling sekitar
30 rb, kalau malem kita biasanya dapet lebih banyak sekitar
70 ribu kadang lebih, jadi seharian kita kurang lebih 100 rb,
yah mau gimana lagi selama ini kita udah jarang lagi
terjaring razia, soal aturan pemerintah tentang perda no 2
tahun 2010 pernah tau pas di penampungan oleh Dinsos
Serang saat dikasih arahan pas kita kena razia, tapi yah kita
tetap lanjut saja jadi ga takut, buat tidur aja kita kadang”
pindah-pindah tempat, yah jadi ga ada kerjaan lagi selain
kita ngamen dan minta-minta yang penting kita ga nyopet dan
anarkis..” (Wawancara: Tanggal 29 November 2018, Pukul
12.50 Wib, di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang)
Gambar 4.8 Wawancara dengan Gelandangan (Anak Punk)
146
daerah Pisang Mas Kota Serang
Sumber : Peneliti,2018
3. Pedagang Asongan
Adapun pedagang asongan di Lampu Merah Pisang Mas Kota
Serang merupakan salah satu gelandangan yang hidup berkeliaran dan
tidak mempunyai tujuan hidup serta mengganggu ketertiban lalu lintas
di Lampu Merah Pisang Mas ini, pasalnya mereka ini berjualan di
tempat yang terlarang karena mengganggu aktivitas pengendara yang
berhenti di Lampu Merah, oleh karenanya jelas pemerintah Kota Serang
tidak ada ketegasan dalam hal dalam menertibkan pedagang asongan
untuk tidak berjualan di sekitar Lampu Merah Pisang Mas ini, sehingga
para asongan masih tetap turun kejalan untuk beraktivitas. Gelandangan
yang satu ini biasanya membawa dagangan untuk ditawarkan kepada
pengguna jalan akan tetapi tidak memikirkan keselamatan diri dan
keresahan warga sekitar lampu merah. Seperti hal yang diungkapkan
oleh Bapak Endar (35 Tahun) yang seorang Gelandangan yang
berprofesi sebagai pedagang asongan, beliau mengatakan :
“...kalo berjualan di Lampu Merah Pisang Mas ini sya
biasanya menunggu lampu merah dulu, lumayan lampu merah
nya agak lama sekitar 1 menit lebih, yah saya sih ga takut kalo
147
soal razia atau dimarahi warga karena mengganggu lalu
lintas, masalah aturan pemerintah tentang larangan
gelandangan/pedagang asongan saya belum sama sekali tau.
yang penting saya bisa berjualan, disini udah 5 tahun, yah
saya setiap hari berjualan seperti ini, kadang penghasilan
kurang lebih 50 rb lah sehar itu juga dari hasil keuntungan
dagang, yang penting buat makan sehari aja dan ngasih buat
keluarga dirumah , biasa berjualan dari pagi sampe sore aja,
kadang kalo malam biasanya malem sabtu sampai malam
senin, kan lumayan tuh rame, jadi bisa nambah” hasil ..“
(Wawancara :Tanggal 29 November 2018, Pukul 13.00 Wib, di
Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang)
Gambar 4.5 Wawancara dengan Endar (Pedagang
Asongan)
Sumber : Peneliti,2018
Dari hasil wawancara yang didapat oleh peneliti terhadap para
Gelandangan di Kota Serang, diketahui bahwa para Gelandangan disini
belum sama sekali mengetahui peraturan pemerintah no 2 tahun 2010
mengenai penyakit masyarakat, sehingga hal ini membuat para
gelandangan akan terus menerus melakukan kegiatanya, selain itu para
gelandangan ini juga belum tersentuh sama sekali dengan penjaringan
razia sehingga membuat dirinya tidak merasa segan dengan kegiatanya,
selanjutnya di ketahui juga faktor yang melatarbelakangi para pihak
sasaran kebijakan tersebut menjadi gelandangan yakni faktor kebutuhan
148
ekonomi, masalah rumah tangga, tidak mempunyai tempat tinggal serta
memenuhi kebutuhan anak ditambah faktor Traffic Light yang lama dan
jumlah pengendara yang berhenti begitu banyak menjadi pendorong
bagi gelandangan ini untuk mengambil kesempatan untuk mencari
nafkah dengan cara berjualan, mengamen serta meminta-minta. Dan
diketahui juga sampai saat ini pun mereka belum sama sekali
mendapatkan bantuan sosial atau pembinaan dari pemerintah. Hal ini
membuktikan bahwa Pemerintah Kota Serang belum optimal dalam
menjalankan kebijakan perda no 2 tahun 2010 sehingga belum
terciptanya kenyamanan, ketertiban dan keindahan Kota Serang.
Dalam membicarakan kenyamanan dan ketertiban umum, setiap
masyarakat juga sangat mengharapkan hal itu. Akan tetapi kita juga
harus melihat keadaan di sekitar kita, banyak permasalahan-
permasalahan sosial yang belum di selesaikan oleh pemerintah Kota
Serang, dikarenakan masih adanya gelandangan-gelandangan yang
berada di Pusat Kota Serang, seperti di Emperan Toko dan Lampu
Merah Pisang Mas Kota Serang. Berikut ini adalah pernyataan yang
disampaikan langsung oleh warga Kota Serang, yaitu ibu Ika (26
Tahun) sebagai pegawai toko di daerah Pisang Mas Kota Serang. Beliau
mengatakan :
”setau saya biasanya di depan toko tempat saya berkerja itu
setiap malem ada gelandangan yang biasa tidur dan makan,
mengganggu juga jadinya dengan adanya gelandangan, tapi
kadang kasian kalo diusir, yah biasanya kalo ada uang saya
149
kasih buat makan, walaupun kadang merasa melihatnya jijik
ya, yah selama ini juga belum ada tuh yang mengurusnya
apalagi dari pemerintah Kota Serang itu sendiri, saya
mengharapkan ada peraturan yang mengatur hal ini biar
masyarakatnya juga tertib dan nyaman, sehingga kota Serang
aman dan bersih” (Wawancara : Tanggal 13 September 2018.
Pukul 19.00 Wib malam hari, di Toko Meizora Pisang Mas
Kota Serang)
Sama seperti halnya yang diungkapkan oleh Bapak Rosyid (41
Tahun) pekerjaanya wirausaha dan sekaligus warga Pisang Mas Kota
Serang. Beliau mengatakan :
“saya kadang melihat gelandangan bapak” di toko emperan
sebrang tuh, mereka setiap hari tinggal disitu sama anaknya
yang masih kecil, terus ngeliat juga anak-anak punk yang ga
jelas tujuan hidupnya yang biasa minta-minta dan ngamen
dijalan kalo lagi lampu merah, kadang ngerasa kasian ingin
membantu, tapi ya saya sepenuhnya mengharapkan ulur
tangan kepedulian pemerintah, walaupun terlihat kumuh dan
merusak keindahan kota, kalo soal razia gitu setau saya
belum pernah mereka terjaring razia, hanya saja diperingatin
doang oleh Satpol PP, jadi seharusnya ada peraturan
pemerintah dalam penanganan ini agar tidak menggangu
keindahan kota dan kenyamanan masyarakat ” (Wawancara :
Tanggal 14 September 2018, Pukul 14.00 WIB di Kawasan
Pisang Mas Kota Serang)
Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti diketahui bahwa
keinginan masyarakat Kota Serang terhadap adanya Peraturan Kota
Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan
Penanggulangan Penyakit Masyarakat adalah adanya suatu perubahan
yang ada di Kota Serang, khususnya dalam membersihkan serta
150
menuntaskan masalah Penyakit Masyarakat, terutama dengan hadirnya
para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan
yang ada di pusat Kota Serang, yaitu tepatnya di daerah Pisang Mas
Kota Serang.
Adapun hasil pengamatan langsung dilapangan oleh peneliti
tepatnya di Daerah Pisang Mas Kota Serang, bahwa para Gelandangan
di Pisang Mas Kota Serang memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Usia 18 Tahun keatas, lebih dominan para laki-laki, lalu
tinggal di sembarang tempat seperti di emperan toko dan
fasilitas publik daerah Pisang Mas Kota Serang serta
mereka pun hidup mengembara atau menggelandang
ditempat umum dan Lampu Merah Pisang Mas Kota
Serang
b. Tidak mempunyai tanda pengenal (KTP) atau identitas diri,
berperilaku kehidupan bebas / liar seperti anak
jalanan(Punk), Pemulung dan asongan di Pisang Mas Kota
Serang, sehingga terlepas dari norma kehidupan
masyarakat pada umumnya.
c. Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau
mengambil sisa makanan atau barang bekas, dan lain-lain.
Hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Heli Priatna
selaku Kasie Rehabilitasi dan Tuna Sosial Dinas Sosial Kota Serang
yang mengatakan dalam hal ini sebagai berikut :
“...Hasil penjaringan Gelandangan oleh Satpol PP khususnya
di Pisang Mas Kota Serang ini kita menemukan beberapa
karakteristik gelandangan yah seperti gelandangan itu tidak
punya KTP, rata-rata laki-laki diatas umur 18 tahun lalu
berasal dari Kota Serang itu sendiri dan biasanya mereka ini
mengamen, minta-minta, tidur di emperan, nyari barang bekas,
dan ada juga tuh yang jadi pedagang asongan, yah kami sih
151
sudah memberi peringatan tapi tetap saja mereka nakal..”
(Wawancara : Tanggal 17 September 2018, Pukul 10.45 Wib,
Di Kantor Dinas Sosial Kota Serang)
Dari hasil wawancara tersebut peneliti menganalisis terhadap
pernyataan yang disampaikan oleh Bapak Heli Priatna, bahwa
Gelandangan yang berada di Kota Serang khususnya di daerah Pisang
Mas Kota Serang memiliki karakteristik yaitu :
a. Tidak memiliki tempat tinggal
Kebanyakan dari gelandangan di Pisang Mas Kota Serang
mereka tidak memiliki tempat hunian atau tempat tinggal
mereka ini biasa mengembara di tempat umum seperti di
Emperan toko pisang mas kota Serang.
b. Hidup dibawah garis kemiskinan
Para gelandangan tidak memiliki penghasilan tetap yang bisa
menjamin untuk kehidupan mereka kedepan bahkan untuk
sehari saja mereka harus mengemis atau memulung untuk
membeli makanan untuk kehidupanya.
c. Hidup dengan penuh ketidakpastian
Para gelandangan di Pisang Mas Kota Serang mereka hidup
menggelandang, memulung, berdagang dijalanan, serta
mengemis disetiap harinya mereka ini sangat
memperihatinkan karena jika mereka sakit, mereka tidak bisa
mendapat jaminan sosial seperti yang dimiliki oleh pegawai
negeri yaitu BPJS untuk berobat dan lain-lain.
d. Memakai baju yang compang camping
Gelandangan di Pisang Mas Kota Serang biasanya tidak
pernah menggunakan baju yang rapi atau berdasi melainkan
baju yang kumal, roker seperti anak punk dan lain sebagainya.
152
Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin
dicapai. Adapun yang ingin dijelaskan, bahwa seberapa besar perubahan
yang hendak ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan, karena
setiap perubahan pasti akan menginginkan kaerah yang lebih baik,
begitu pula harapan pemerintah dan masyarakat. Mengharapkan
perubahan yang lebih baik. Akan tetapi di dalam tujuan pelaksanaan
Perda belum dapat dijalankan dengan maksimal, karena terdapat
kendala-kendala yang harus segera diperbaiki oleh aparat Pemerintah
Kota Serang, sehingga perubahan yang terjadi setelah perda ini di
implementasikan adalah terciptanya keamanan dan ketertiban di Kota
Serang.
Oleh karena itu pada pembahasan ini juga peneliti juga
mengambil kasus Pengemis di daerah Pisang Mas Kota Serang,
khususnya di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang, pada dasarnya
Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan
meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk
mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Diketahui bahwa pengemis
di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang dari survei lapangan oleh
peneliti didapati bahwa jumlah nya semakin bertambah mulai dari orang
dewasa hingga anak kecil dibawah umur, hal ini menjadi sorotan
pemerintah yang seharusnya lebih tegas lagi dalam mencegah,
memberantas dan menanggulangi penyakit masyarakat seperti Pengemis
ini yang sesuai dengan tujuan kebijakan Perda No 2 Tahun 2010. Dalam
153
hasil penelitian wawancara dilapangan tepatnya di Daerah Pisang Mas
Kota Serang berdasarkan kesaksian warga yang bernama Bapak Rosyid
(45) mengatakan :
“ Pertama kali ada (pengemis) di Lampu Merah Pisang Mas itu
ketika tahun 2000, awalnya ada orang luar (Kampung) yang
mengajak, ternyata penghasilanya lumayan buat makan sehari-
hari-hari. Waktu itu Cuma satu sampai dua orang. Tapi yang
lebih banyak pas tahun 2010 kesini dan samapai tahun 2018 ini
pun malah makin bertambah ditambah sama anak jalananya juga,
mulai dari yang pengemis cacat mental, yang biasa bawa bayi
sampai ada juga anak kecil kalo malam hari tuh biasa ngemis
dilampu merah itu, yah berarti peraturan daerah no 2 tahun 2010
itu belum berjalan baik , yah saya harap pemerintah lebih
memperhatikan dan menertibkan dalam hal penanganan pengemis
ini” (Wawancara: Tanggal 3 Desember 2018, Pukul 16.00 Wib)
Hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa jumlah pengemis
di Kota Serang khsususnya di Daerah Pisang Mas Kota Serang semakin
meningkat hal ini dikarena kan kurang optimalnya kinerja pemerintah
kota Serang dalam menerapkan kebijakan perda no 2 tahun 2010, hal ini
juga yang apa yang didapati oleh peneliti dilapangan bahwa pengemis di
Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang tergiur dengan pundi rupiah
yang didapatinya lumayan sehingga membuat warga lain pun tertarik
untuk menjadi pengemis, hingga kini tercatat sekitar 15 orang tercatat
sudah menjadi pengemis di daerah Pisang Mas Kota Serang, kebanyakan
sudah menjadi pekerjaan tetap. Adapun kriterianya seperti perempuan
dan laki-laki paruh baya, cacat mental, ada yang janda, sebagian lagi
bersuami tukang ojek, buruh bangunan, tani, dan lain sebagainya.
154
Karena tak memiliki penghasilan memadai maka mereka pun rela
keliling berjalan kaki mengais belas kasih orang lain.
Menyambung dari penggalan diatas peneliti pun mendapati fakta
dilapangan berdasarkan wawancara bersama salah satu warga pisang
mas yang bernama Iwan (31) sebagai wiraswasta di pinggir Lampu
Merah Pisang Mas Kota Serang, beliau mengatakan :
“...setau saya mereka yang mengemis di Lampu Merah itu
kebanyakan berasal dari luar daerah Kota Serang, berangkat
biasa pagi dari rumahnya, ada yang diantar sama suaminya atau
jalan kaki, kalau bagi saya, menganggu juga jadinya dengan
adanya pengemis, tapi kalau dia dilarang kasihan juga, kalau dia
bener-bener orang gak mampu, gimana? Saya tetap ngasih uang
ke pengemis. Tapi saya liat dulu, kalau yang yang cacat dan udah
tua. Baru saya kasih yah paling kecil 2 ribu itu juga..yah saya
harap sih pemerintah lebih peduli dan dibuat aturan tentang
larangan mengemis, soalnya setau saya juga belum pernah
denger peraturan nya”(Wawancara, 25 September 2018, Pukul
13.00 Wib, di Pisang Mas Kota Serang)
Sama seperti halnya yang diungkapkan oleh Ibu Rina (32 Tahun)
pekerjaanya adalah Ibu Rumah Tangga dan sekaligus masyarakat Pisang
Mas Kota Serang. Beliau mengatakan :
“..ibu belum pernah dengar perda kota Serang no 2 tahun 2010,
yah, yah kalo ibu tau, ibu sih berharap bisa lebih ditingkatkan
lagi pelaksanaanya, karena makin banyak yang ngemis-ngemis di
lampu merah pisang mas, ibu sendiri sih ga tega, walaupun
orangnya keliatanya sehat, ibu tetap kasih, yah semoga aja
pemerintah kota Serang lebih peduli lagi sama rakyat kecil ini.
(Wawancara: Tanggal 25 September 2018, Pukul 13.50, di Daerah
Pisang Mas Kota Serang)
155
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, diketahui
bahwa keinginan masyarakat Kota Serang terhadap adanya Peraturan
Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang adanya Peraturan
Derah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,
Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat adalah adanya
suatu perubahan yang ada di Kota Serang, khususnya dalam
membersihkan serta menuntaskan masalah Penyakit Masyarakat,
terutama dengan hadirnya para penyandang masalah sosial seperti
pengemis-pengemis yang ada di pusat Kota Serang, yaitu di Lampu
Merah Pisang Mas Kota Serang. Dikarenakan, sampai sekarang ini
belum optimalnya kinerja dari pemerintah kota Serang. Untuk itulah
perlu adanya kerjasama antara Pemerintah dan Masyarakat dalam
menangani masalah ini.
Oleh sebab itu, ketika berbicara mengenai para penyandang
masalah sosial seperti pengemis, pasti yang menjadi alasan ataupun
tujuan mereka adalah faktor ekonomi.
Adapun Jenis-jenis Pengemis di daerah Pisang Mas Kota Serang
yang peneliti temukan dilapangan, sebagai berikut :
1. Pengemis Pembawa Bayi
Seperti hal nya yang diungkapkan oleh Ibu Sanita (42 Tahun)
sebagai Pengemis pembawa bayi yang berada di Lampu Merah Pisang
Mas Kota Serang, Beliau mengatakan :
156
“...ibu udah biasa dek ngemis disini kurang lebih 5 tahun lah
disini, biasanya ngemis dari pagi sampe sore (maghrib) itu juga
kalo engga hujan, yah lumayan lah sehari dapat kurang lebih
100 ribu, kalo lagi sepi paling 75 rb, jadi ibu ngemis pas lagi
lampu merah menyala, yah sasaranya paling yang bisa bawa
mobil, kadang biasa dikasih paling besar 5 ribu, yah lumayan
kalo dikumpulin buat makan sehari-hari, maklum suami ibu
tukang ojek jadi ibu terpaksa mengemis bareng sama anak..”
(Wawancara: Tanggal 15 Agustus 2018, Pukul 10.00 WIB, di
Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang)
Gambar 4.5 Wawancara dengan ibu Sanita (Pengemis)
Sumber : Peneliti,2018
Berdasarkan hasil wawancara diatas bersama Sanita selaku
pengemis di Pisang Mas kota Serang, diketahui bahwa dia sudah lama
menjadi seorang pengemis dan menjadikan pengemis sebagai pekerjaan
tetap baginya, karena dengan penghasilan kurang lebih 100 ribu rupiah
perhari menambah ketertarikannya untuk tetap menjadi pengemis,
selanjutnya diketahui bahwa Trafic Light di Pisang Mas Kota Serang
berdurasi 1 menit lebih, hal ini menjadikan kesempatan bagi sanita
untuk mengemis dengan target sasaran kendaraan bermobil agar
mendapatkan belas kasihan. Dan biasanya setiap hari menurut
157
pengakuan beliau ada saja yang memberi paling besar 5 ribu rupiah,
padahal sudah jelas dalam perda kota Serang no 2 tahun 2010 terdapat
larangan memberikan uang santunan kepada pengemis, ditambah juga
belum adanya sanksi yang tegas dari Pemerintah Kota Serang, ini
menggambarkan para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti
pengemis ibu Sanita ini yang berada di Lampu Merah Pisang Mas Kota
Serang. Karena sosialisasi yang masih dianggap belum maksimal
dilakukan oleh Aparat Pemerintah Kota Serang.
2. Pengemis Cacat Mental
Hal ini juga serupa dengan apa yang diungkapkan oleh Bapak
Said (37 Tahun) yang merupakan pengemis cacat mental yang berada
di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang, beliau mengatakan :
“...saya butuh makan jadi terpaksa mengemis begini, ditambah
juga saya cacat jadi males buat kerja, ngemis dilampu merah ini
ada kali sekitar 2 tahun, yah biasanya sih setiap sabtu dan
minggu dari pagi sampai malam jam 9 kan lumayan biasanya
rame, apalagi pas lampu merah nyalanya lama jadi lumayan buat
minta-minta ke orang-orang yang berhenti, sehari dapet 120 rb
kalo lagi rame, yah mau gmna lagi dek bapak udah ga punya
keluarga, pemerintah kota Serang pun ga peduli, pernah kena
razia tapi dilepas lagi cuma dikasih peringatan, kalo soal
peraturan no 2 tahun 2010 tentang larangan mengemis sih belum
tau, lagian dari pemerintah sendiri tidak ada ketegasan, jadi
bapak aman aja untuk ngemis nya..” (Wawancara : Tanggal 30
November 2018, Pukul 13.50 Wib, di Lampu Merah Pisang Mas
Kota Serang)
Gambar 4.6 Wawancara dengan Said (Pengemis Cacat
Mental)
158
Sumber : Peneliti,2018
3. Pengemis Anak Kecil
Adapun pernyataan lainya yang diungkapkan oleh pengemis
berasal dari kasemen, yang merupakan pengemis dibawah umur, yang
bernama Febi (13 Tahun) yang mengatakan dalam hal ini :
“...bang saya mah udah lama ngemis disini ada kali 3 tahun,
biasanya sore kalo engga malem, kesini dianterin sama bapak,
disuru bapak juga sih ngemis, kadang sehari dapet 50 rb, yah
kadang juga sambil ngamen, lumayan buat makan terus jajan,
sekolah udah engga, dirumah juga engga ngapa-nagapain
,yaudah lah mending maen sambil minta-minta aja dilampu
merah, soalnya disini lumayan rame yang ngasi, terus jarang
kena razia juga..” (Wawancara: Tanggal 30 November 2018,
Pukul: 16:30 Wib, di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang.
Hal diatas merupakan fakta yang terjadi dilapangan, didapati
bahwa dari beberapa kriteria pengemis diatas tidak pernah sama sekali
mengetahui tentang Perda No 2 Tahun 2010 sehingga tidak optimalnya
penerapan kebijakan perda tentang penyakit masyarakat ini jelas belum
berjalan secara efektif dan menyeluruh, bukti yang lain juga para
159
pengemis diatas belum pernah sama sekali tersentuh dengan bantuan
sosial atau perhatian dari pemerintah Kota Serang khsususnya oleh
Dinas Sosial Kota Serang, hal ini jelas menjadi dasar pertimbangan
bahwasanya kinerja Dinas Sosial belum berjalan secara efektif, dan
fakta terakhir seperti apa yang pengemis ungkapkan diatas bahwasanya
kegiatan penjaringan razia untuk para pengemis diatas jarang sekali
secara tepat sasaran kepada para pengemis, dikarenakan tidak
optimalnya kegiatan razia yang dilakukan oleh Satpol PP tersebut,
terbilang kegiatan razia dilakukan sebulan hanya 3 kali.
Adapun hasil pengamatan langsung dilapangan oleh peneliti
tepatnya di Daerah Pisang Mas Kota Serang, bahwa para Pengemis di
Pisang Mas Kota Serang memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Anak sampai usia dewasa
b. Meminta-minta dirumah-rumah penduduk, Lampu
Merah Pisang Mas dan tempat umum lainya.
c. Bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan
berpura-pura sakit, merintih, dan kadang-kadang
medoakan dengan bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan
untuk organisasi tertentu.
d. Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap,
membaur dengan penduduk pada umumnya.
Adapun beberapa faktor penyebab dari munculnya gepeng
(Geladangan dan Pengemis) yang peneliti dapatkan dari hasil
wawancara beberapa gelandangan dan pengemis di daerah Pisang Mas
Kota Serang tersebut, sebagai berikut :
160
a. Merantau dengan modal nekad
Dari gelandangan dan pengemis yang berkeliiaran
dalam kehidupan masyarakat khususnya di Pisang Mas
Kota Serang, banyak dari mereka yang merupakan orang
desa yang ingin sukses di kota tanpa memiliki kemampuan
ataupun modal yang kuat. Sesampainya di kota, mereka
berusaha dan mencoba meskipun hanya dengan kenekatan
untuk bertahan menghadapi kerasnya hidup di kota. Belum
terlatihnya mental ataupun kemampuan yang terbatas,
modal nekad, dan tidak adanya jaminan tempat tinggal
membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa di kota
sehingga memilih menjadi gelandangan dan pengemis.
b. Malas Berusaha
Perilaku dan kebiasaan meminta-minta agar
mendapatkan uang tanpa usaha yang dilakukan oleh
gelandangan dan pengemis di Pisang Mas Kota Serang,
payah cenderung membuat sebagian masyarakat menjadi
malas dan ingin enaknya saja tanpa berusaha terlebih
dahulu.
c. Cacat fisik
Adanya keterbatasan kemampuan fisik dapat juga
mendorong seseorang menjadi gelandangan dan pengemis
dibidang kerja. Sulitnya lapangan kerja dan kesempatan
bagi penyandang cacat fisik untuk mendapatkan pekerjaan
yang layak membuat mereka pasrah dan bertahan hidup
dengan cara menjadi gelandangan dan pengemis.
d. Tidak adanya lapangan pekerjaan
Akibat sulit mencari kerja, apalagi yang tidak sekolah
atau memiliki keterbatasan kemampuan akademis akhirnya
membuat langkah mereka seringkali salah yaitu
menjadikan minta-minta sebagai satu-satunya pekerjaan
yang bisa dilakukan.
161
e. Tradisi yang turun temurun
Menggelandang dan mengemis merupakan sebuah
tradisi yang sudah ada dari zaman kerajaan dahulu bahkan
berlangsung turun temurun kepada anak cucu.
f. Mengemis dari pada menganggur
Akibat kondisi kehidupan yang serba sulit dan didukung
oleh keadaan yang sulit untuk mendapatkan pekerjaan
membuat beberapa orang mempunyai mental dan
pemikiran dari pada menganggur muka lebih baik
mengemis dan menggelandang.
g. Harga kebutuhan pokok yang mahal
Bagi sebagian orang, dalam menghadapi tingginya
harga kebutuhan pokok dab memenuhi kebutuhanya adalah
dengan giat berkerja tanpa mengesampingkan harga diri,
namun ada sebagian yang lainya lebih memutuskan untuk
mengemis karena berfikir tidak ada cara lagi untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
h. Kemiskinan dan terlilit masalah yang kuat
Kebanyakan gelandangan dan pengemis adalah orang
tidak mampu yang tidak berdaya dalam menghadapi
masalah ekonomi yang berkelanjutan. Permasalahan
ekonomi yang sudah akut mengakibatkan orang-orang
hidup dalam krisis ekonomi hidupnya sehingga menjadi
gelandangan dan pengemis adalah sebagai jalan bagi
mereka untuk bertahan hidup
i. Ikut-ikutan saja
Kehadiran pendatang baru bagi gelandangan dan
pengemis sangat sulit dihindari, apalagi didukung oleh
adanya pemberitaan tentang gelandangan dan pengemis
yang begitu mudahnya mendapat uang di kota yang
162
akhirnya membuat mereka yang melihat fenomena tersebut
,ikut-ikutan dan mengikuti jejak teman-temanya yang
sudah lebih dahulu menjadi gelandangan dan pengemis.
j. Disuruh orang tua
Biasanya alasan seperti ini ditemukan pada pengemis
yang masih anak-anak mereka berkerja karena
diperintahkan oleh orang tua nya dan dalam kasus seperti
inilah terjadi eksploitasi anak.
Dari Pembahasan diatas sudah jelas bahwa penyakit masyarakat
seperti Gelandaangan dan Pengemis memang sudah sepatutnnya untuk
Pemerintah Kota Serang seperti Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang
seagai pihak pelaksana kebijakan perda no 2 tahun 2010 ini untuk
mencegah, memberantas dan menanggulangi gelandangan dan pengemis
di Kota Serang ini khususnya di daerah Pisang Mas Kota Serang, maka
dari itu, pentingnya penelitian kali ini memang dirasakan oleh peneliti.
Secara sadar peneliti melihat banyaknya kekurang dan hambatan dalam
penerapan Perda No 2 Tahun 2010. Hal yang peneliti bahas diatas baru
sebagian fakta yang terjadi di lapangan dan baru memunculkan satu
instansi pemerintah, yakni Dinas Sosial Kota Serang.
Sebagai langkah dalam penyajian data, maka peneliti pada tahap
ini akan menguraikan hasil penelitian yang diperoleh dilapangan pada
saat penelitian berlangsung, selanjutnya hasil temuan dilapangan akan
disesuaikan dengan rumusan masalah dan fokus penelitian. Pada
penelitian ini, peneliti akan memfokuskan pada Implementasi Perda
163
Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan
Penanggulangan Penyakit Masyarakat khsususnya kasus gelandangan
dan pengemis.
Untuk mengetahui bagaimana Implementasi Peraturan daerah
Kota Serang No 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan
Penanggulangan Penyakit Masyarakat di Kota Serang, seperti apa yang
dipaparkan pada bab sebelumnya, maka implementasi kebijakan dalam
penelitian ini menggunakan Model Implementasi Edward III yang
mengukur keberhasilan implementasi kebijakan dengan 4 faktor yaitu
komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.
4.4.1 Komunikasi
Komunikasi memiliki peran atau fungsi penting untuk
menentukan keberhasilan kebijakan publik dalam impelementasinya.
Salah satu kelemahan dalam proses kebijakan publik ini, khususnya
yang terjadi di Indonesia, adalah masalah implementasinya. Salah satu
faktornya adalah komunikasi yang lemah, kelemahan komunikasi ini
sebenarnya tidak hanya terjadi pada saat implementasinya, tetapi juga
terjadi pada saat formulasi. Dari unsur ini akan terlihat apakah dari sisi
komunikasi apakah implementasi kebijakan pemberantasan, pencegahan
dan penanggulangan penyakit masyarakat khususnya gelandangan dan
pengemis telah efektif. Kebijakan tersebut pada umumnya dibuat oleh
pemerintah, yaitu walikota Serang dan disetujui DPRD Kota Serang.
164
Pelaksana kebijakan pemberantasan, pencegahan dan penanggulangan
penyakit masyarakat adalah Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang.
Sedangkan obyek yang diatur adalah Gelandangan dan Pengemis (atau
PMKS Pada umumnya) dan lingkungan di wilayah Kota Serang.
Di lingkungan Kota Serang dalam implementasi Peraturan Daerah
tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan gelandang dan
pengemis yang berkaitan dengan komunikasi seperti yang dikemukakan
di atas, diawali dari pembuatan peraturan atau kebijakan dari lembaga
terkait. Dalam hal ini Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun
2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan penanggulangan Penyakit
Masyarakat. Peraturan disebut dibuat oleh DPRD Kota Serang yang
berwenang untuk membuat peraturan daerah.
Kemudian sebagai wujud dari penerapan perda tersebut, dibuatlah
Peraturan Wali Kota (Perwal) Serang Nomor 41 Tahun 2017 tentang
Peraturan Pelaksanaan Peraturan Dearah Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat.
Secara khusus peraturan wali kota tersebut merupakan landasan dari
pedoman Perda No 2 Tahun 2010 sebagai bentuk kebijakan yang
memfokuskan kepada Kota Serang saja khususnya tentang masalah
penyakit masyarakat seperti PMKS yaitu Gelandangan dan Pengemis,
sesuai dengan salah satu isi Perwal tersebut dimana di sebutkan bahwa
penyakit masyarakat merupakan perbuatan yang tidak menyenangkan
atau meresahkan masyarakat dan dapat merugikan masyarakat yang
165
berakibat menimbulkan gejolak sosial, sehingga pada akhirnya dapat
mengancam ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, serta
perlindungan masyarakat.
Berangkat dari penjelasan diatas adapun Kabid PPUD Satpol PP
Kota Serang memberikan penjelasan tentang dikeluarkanya Peraturan
Walikota (Perwal) Kota Serang yang menjadi landasan Perda No 2
Tahun 2010, sebagai berikut :
“semenjak dikeluarkanya Peraturan Walikota tahun 2017, Perwal
No 41 Tahun 2017 ini sudah menjadi landasan kami dalam
melakukan tugas pembinaan dan pemberdayaan kepada
Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang dalam pedoman
pelaksanaan perda no 2 tahun 2010 tentang pencegahan,
pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat”
(Wawancara : 17 September 2018, Pukul 13.50 Wib di Kantor
Satpol PP Kota Serang)
Komunikasi yang terjalin dalam pelaksanaan kebijakan ini,
setidaknya terdapat tiga arus komunikasi, yakni
a. Komunikasi yang terjadi antara pembuat kebijakan antara lain
Walikota dan DPRD Kota Serang dengan pelaksana kebijakan
Dinas Sosial dan Satpol PP
b. Komunikasi yang terjadi antara pelaksana kebijakan dengan
gelandangan dan pengemis
c. Pada saat yang bersamaan terjadi komunikasi antara pembuat
kebijakan dan gepeng sebagai obyek kajian
166
Ketiga pihak tersebut saling berhubungan secara sirkular dalam
menciptakan kebijakan publik. Pertama, kebijakan publik diawali dari
penyerapan aspirasi masyarakat oleh pejabat dab administrator. Kedua,
pejabat dan administrator meneruskan (dengan pedalaman) aspirasi
masyarakat kepada elit penguasa. Ketiga, elit membuat suatu kebijakan
yang pro masyarakat. Keempat, kebijakan elit diturunkan kepada
pejabat dan administrator agar dilaksanakan. Kelima, pejabat dan
administrator melaksanakan kebijakan tersebut. Dan yang terakhir,
masyarakat meraskan dampak pelaksanaan kebijakan.
Sebagian besar hasil dari kebijakan pemberantasan, pencegahan
dan penanggulangan penyakit masyarakat khususnya gelandangan dan
pengemis di Kota Serang adalah sebatas menekan laju pertambahan
jumlah gelandangan dan pengemis di jalanan, namun tidak berhasil
menghapus penyebab utama kegelandangan tersebut yaitu kemiskinan.
Hal ini didukung pernyataan dari Dinas Sosial bahwa terdapat
gelandangan yang kembali turun ke jalanan beberapa hari/minggu/bulan
setelah direhabilitasi.
Kemudian, untuk komunikasi yang kedua antara pelaksana
kebijakan dengan kelompok sasaran (gelandangan, pengemis, dan
PMKS pada umumnya), juga memiliki potensi kegagalan yang besar.
Pihak aparat pelaksana seperti Satpol PP Kota Serang yang memiliki
kewenangan untuk melakukan razia bahkan tak jarang terlihat seperti
167
kekerasan atas nama ketertiban masyarakat akan menjadikan pandangan
tidak baik bagi kelompok sasaran. Sehingga bagi mereka razia
merupakan upaya penertiban paksa disertai kekerasan verbal nonverbal
yang membuat mereka marah dan memiliki sentimen negatif terhadap
pemerintah Kota Serang.
Dengan situasi yang seperti itu, menjadikan pesan yang ingin
disampaikan dalam kebijakan kebijakan pemberantasan, pencegahan
dan penanggulangan penyakit masyarakat khususnya gelandangan dan
pengemis hanya sebatas yakni gelandangan dan pengemis jangan berada
di ruang/tempat publik, gelandangan dan pengemis yang ada mencari
mata pencaharian lain, jika tidak maka gelandangan dan pengemis harus
bersedia dibina di panti rehabilitasi sosial untuk kelak dikembalikan
kepada masyarakat sebagai warga “normal”, atau dikenal dengan istilah
memanusiakan manusia.
Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan
tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang
bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan
ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan
secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari
ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga pelaksana
mengetahui seara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu.
Komunikasi dala organisasi merupakan suatu proses yang amat
kompleks dan rumit. Di samping itu sumber informasi yang berbeda
168
juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula.
Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab
melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereke dapat
melakukanya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima
oleh semua pelaksana dan harus mengerti secara jelas dan akurat
mengenai maksud dan tujuan kebijakan. Jika para implementor
kebijakan bingung dengan apa yang akan mereke lakukan dan jika
dipaksakan maka tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak
cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius
mempengaruhi implementasi kebijakan. Pada pembahasan mengenai
hasil dalam faktor komunikasi yang terjadi pada Implementasi
kebijakan Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,
Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat khsususnya
pada Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang.
Pada subpoint ini peneliti akan membahas hasil penelitian
mengenai Implementasi kebijakan Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010
Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit
Masyarakat khsususnya pada Gelandangan dan Pengemis di Kota
Serang yang terdapat pada subpoint sebelumnya, dengan
menyesuaikanya dengan teori-teori yang berada di dalam literatur model
implementasi George C. Edward III. Peneliti juga akan menjabarkannya
ke dalam 3 (tiga) indikator yang terdapat pada faktor komunikasi
sebagai berikut :
169
a. Transmisi
Transmisi merupakan faktor utama dalam hal komunikasi
pelaksana kebijakan. Transmisi itu sendiri menghendaki agar
kebijakan publik disampaikan tidak hanya disampaikan kepada
pelaksana kebijakan (implementor), tetapi juga disampaikan kepada
kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang berkepentingan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Seringkali terjadi masalah
dalam penyaluran yaitu adanya salah pengertian (miskomunikasi),
sehingga apa yang terdistorsi ditengah jalan. Transmisi pada kebijakan
perda kota Serang no 2 tahun 2010 tentang penyakit masyarakat
khususnya masalah Gelandangan Pengemis (Gepeng) dilakukan oleh
pihak DPRD Kota Serang khususnya yang menangani Wakil Komisi II
DPR yang berkerjasama dengan Dinas Sosial Kota Serang dan Dinas
Satpol PP Kota Serang serta berkerjasama dengan Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Tugas tersebut berupa pelaksanaan
kebijakan pemberantasan, pencehgahan dan penanggulangan penyakit
masyarakat khususnya dalam upaya penanganan masalah gelandangan
dan pengemis (gepeng) di Kota Serang agar terciptanya tingkat
ketertiban, kenyamanan dan kemanan di masyarakat kota Serang.
Transmisi dalam Implementasi kebijakan tentang penyakit
masyarakat (pekat) di Kota Serang berupa penyampaian atau
pengiriman informasi dari Pemerintah kepada instansi pelaksana
kebijakan kemudian diteruskan kepada masyarakat. Komunikasi dalam
170
implementasi perda no 2 tahun 2010 tentang penyakit masyarakat
(pekat) dilakukan pada saat rapat, workshop, diskusi, dan dialog yang
di fasilitasi oleh Pemerintah Pusat maupun Kota. Hal ini di ungkapkan
oleh Bapak M. Ali Surohman, ST selaku Wakil Komisi II DPR Kota
Serang yang mengatakan :
“... sebenarnya kalau bentuk komunikasi yang berkaitan
dengan kebijakan perda tentang penyakit masyarakat (pekat)
?.. yaitu dengan cara mengikutsertakan pihak dari Dinsos Kota
Serang, lalu pihak dari bagian bidang di Satpol PP khsususnya
bagian bidang penegakan hukum perda, lalu adapun Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dalam rapat sosialisas
kebijakan Perda No 2 Tahun 2010, workshop dan dialog yang
di fasilitasi Dinas Sosial Provinsi, kalau penyaluran sosialisasi
tentang Perda No 2 Tahun 2010 itu sudah terlaksana dengan
baik, seperti yang dibilang tadi kami hanya mengikutsertakan
dari para pihak pelaksana kebijakan saja seperti Dinas Sosial
Provinsi, Dinas Sosial Kota dan Satpol PP Kota Serang, untuk
selanjutnya kami mengharapkan kepahaman dan ketegasan
dari para pelaksana kebijakan sosialisasi dapat disalurkan
kepada objek sasaran seperti masyarakat dan para
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di Kota Serang
(PMKS). “ (Wawancara : tanggal 25 September 2018, Pukul
10.00 Wib di Kantor DPRD Kota Serang)
Menurutnya, hal ini dilakukan agar para pelaksana kebijakan
benar-benar siap dan paham tentang sosialisasi perda No 2 Tahun 2010
tentang Penyakit Masyarakat, dengan demikian diharapkan dalam
pelaksanaanya dapat berjalan sesuai tujuan dan sasaran agar kebijakan
publik tidak hanya disampaikan kepada pelaksana (implementors)
kebijakan tetapi juga disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan
dan pihak lain yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak
171
langsung.
Hasil wawancara diatas menjelaskan bahwa sosialisasi yang
dilakukan oleh Wakil Komisi II DPR sudah dikatakan dengan baik
terhadap para pelaksana kebijakan (Implementor), hanya saja
diharapkan agar kepahaman tentang kebijakan perda no 2 tahun 2010
dari para pelaksana kebijakan sosialisasi dapat disalurkan kepada objek
sasaran seperti masyarakat dan para Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial di Kota Serang (PMKS).
Adapun dalam hal Komunikasi eksternal terjadi di antara pejabat
Dinas Sosial dan pejabat Satpol PP Kota Serang serta dengan
Gelandangan dan Pengemis. Dalam komunikasi ini bertujuan agar
mereka mengetahui keadaan lapangan yang sesungguhnya, apa yang
harus dipersiapkan dan dilaksanakan guna tujuan kebijakan pencegahan,
pemberantasan dan penanggulangan gelandangan pengemis (Gepeng)
agar dapat tercapai dan terwujud. Arus komunikasi yang terjadi dalam
implementasi kebijakan tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
- Kabid pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Dinas
Sosial Kota Serang
- Kasie Rehabilitasi Tuna
Sosial dan korban
exnapza Dinas Sosial
Kota Serang
- Kabid Penindakan
Peraturan Undag-undang
Daerah Satpol PP Kota
Serang
- Staff Pelaksana
Binluhwassosmay Bidang
PPUD Sarpol PP Kota
Serang
Gelandangan dan
Pengemis Kota Serang
172
Gambar 4.7. Arus Komunikasi (Transmisi)
Arus komunikasi diatas sama dengan proses transmisi atau
penyaluran komunikasi. Transmisi yang terjadi cukup baik, dilihat dari
pendeknya jalur birokrasi, hanya saja perlu adanya sosialisasi yang
secara menyeluruh serta tepat sasaran terhadap masyarakat dan para
gelandangan dan pengemis tentang kebijakan Perda no 2 Tahun 2010.
Sosialisasi adalah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau
nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainya dalam sebuah
kelompok sasaran atau masyarakat. Tetapi sosialisasi tentang Perda
Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 ini belum berjalan secara
menyeluruh karena terdapat penyebab tertentu seperti halnya dari segi
masyarakatnya yang belum bisa berpartisipasi aktif dalam penyampaian
tentang perda tersebut, karenanya masyarakat Kota Serang saat ini
hanya bisa mengetahui, melihat informasinya serta hanya sebagian
masyarakat yang bisa berpartisipasi aktif akan tetapi kurang dalam
pengawasanya, selain itu Dinas Sosial Kota Serang pun hanya
melakukan sosialisasi terhadap daerah tertentu dan tempat tertentu
dimana para Gepeng melakukan aktifitasnya di Pusat Kota ,hanya saja
sosialisasi ini baru berjalan di empat (4) kecamatan di Kota Serang
seperti kecamatan Serang, kecamatan Taktakan, kecamatan Kasemen
173
dan kecamatan Cipocok, sedangkan kecamatan yang belum
tersosialisasi seperti kecamatan walantaka dan curug karena memang di
kecamatan ini jumlah gelandangan dan pengemis hanya berjumlah
sedikit dan banyak yang berasal dari luar daerah serta masyarakatnya
yang belum memiliki cara pandang untuk mengikuti arus terhadap
peraturan pemerintah Kota Serang, karenanya daerah lain yang berada
di Kota Serang belum tersosialisasi secara menyeluruh yang
menyebabkan sosialisasi tidak berjalan secara optimal, akibat kurangnya
kerja sama antara Pelaksana Kebijakan Perda dengan perangkat daerah
lainya seperti kantor kecamatan tertentu. Oleh karenanya sosialisasi ini
belum bisa dikatakan berjalan secara optimal dan menyeluruh, maka
dari itu perlu tindakan tegas serta kerja sama Pelaksana Kebijakan
dengan Perangkat daerah lainya serta masyarakat sekitar Kota Serang.
Dinas Sosial Kota Serang juga, memberikan informasi serta
sosialisasinya kepada Gelandangan Pengemis akan tetapi masih belum
berjalan optimal, menjamurnya Gelandangan Pengemis di Kota Serang
menuai kritikan dari masyarakat Kota Serang karena keberadaan mereka
dinilai meresahkan warga, bahwasanya Gelandangan Pengemis
(Gepeng) selain berusia dewasa, adapun banyak pula yang masih
berusia anak-anak, yang semestinya mereka sekolah, hal ini dapat
meresahkan warga karena warga Kota Serang yang sering melintas di
lampu merah merasa terganggu sekaligus iba terhadap anak-anak yang
menjadi pengemis ataupun pengamen.
174
(sumber: wawancara dengan kepala seksi pelayanan rehabilitasi tuna
sosial bapak Heli Priatna, Selasa 19 Desember 2017 pukul 13:30 di
Dinas Sosial Kota Serang)
Oleh sebab itu, ketika berbicara mengenai para penyandang
masalah kesejahteraan sosial seperti gelandangan dan pengemis, pasti
yang menjadi alasan ataupun utujuan mereka adalah masalah
perekonomian, kemiskinan pengangguran serta tidak mempunyai tempat
tinggal yang sering disampaikan oleh gelandangan dan pengemis. Hal ini
seperti apa yang dirasakan oleh Sanita (64 Tahun) sebagai Pengemis
pembawa bayi orang yang berada di Lampu Merah Pisang Kota Serang,
Beliau mengatakan :
“ibu berasal dari keragilan, dek ibu sebenernya udah tau tentang
adanya peraturan pemerintah tentang larangan gelandangan dan
pengemis karena udah 15 tahun ibu seperti ini, tapi yah ibu tetap
menghiraukan, yah karena selama ini kepedulian pemerintah
Kota Serang nya kurang, kepeduliannya terhitung paling setahun
3 kali, itu juga hanya bantuan sembako, pembiayaan sekolah
untuk anak, dan sandang pangan, jadi ya terpaksa karena miskin
ibu mengemis begini untuk kebutuhan sehari-hari, kalo ga ngemis
ibu engga dapet uang, apalagi makan (Wawancara: Tanggal , 15
Agustus 2018. Pukul 10.00 WIB, di Lampu Merah Pisang Mas
Kota Serang)
Berdasarkan hasil wawancara diatas bersama Sanita selaku
pengemis di Kota Serang, diketahui bahwa dia sudah mengetahui
kebijakan Perda No 2 Tahun 2010, akan tetapi tetap saja aktivitas turun
ke jalan untuk meminta-minta, karena beralasan pemerintah yang kurang
peduli sehingga menghiraukan/membiarkan peraturan kebijakan pekat,
hal yang melatarbekangi karena masalah faktor ekonomi dan kebutuhan
175
sehari-hari.
Namun perlu diketahui, sosialisasi perda tentang penyakit
masyarakat (pekat) tersebut sampai saat ini tidak mampu membuat jera
dan sadar bagi para pelaku Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) khususnya gelandangan dan pengemis, walaupun sebenarnya
mereka para geladangan dan pengemis di kota Serang hampir
keseluruhan sudah mengetahui tentang sosialisasi perda tersebut.
Sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Bapak Heli Priatna selaku
Kasie Rehabilitasi Tuna Sosial sebagai berikut :
“....Sebenarnya para gepeng itu udah mengetahui kurang lebih
75% tentang perda pekat itu tersebut. Hanya saja ? kendalanya
karena faktor keisengan, yang dimana walaupun dia sudah
mengetahui yah tapi masih tetap aja turun kejalan, selain itu
faktor yang lain yah tidak adanya ketegasam dan kejangkauan
razia oleh pelaksana kebijakan seperti satpol pp, bahkan
kadang” sebulan hanya beberapa kali saja, akan tetapi jika
umpamanya kesiapan petugas untuk memantau kegiatan
gepeng ,pasti para gepeng tersebut akan berfikir. Karena itu
kemungkinan faktor SDM yang bukanlah tenaga ASN yang
menjadi penyebabnya karena selama ini yang menjangkau
razia lebih dominan tenaga honorer yang bergantung pada
bayaran sehingga tidak rutin dalam kegiatannya.”
(Wawancara : tangagal 24 September 2018, pukul 11.00-12.00
WIB di Kantor Dinas Sosial Kota Serang)
Adapun dalam hal ini sosialisasi sudah dilakukan oleh Dinas
Sosial Provinsi Banten terkait kebijakan perda no 2 tahun 2010 tentang
pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat,
sosialisai dilaksanakan di Ruang Rapat Dinas Sosial Provinsi Banten di
176
KP3B Provinsi Banten. Dalam isi forum rapatnya, Kepala Dinas Sosial
Provinsi Banten menegaskan tentang pelaksanaan kebijakan perda no 2
tahun 2010 ini agar dapat diterapkan dengan baik dan tepat sasaran
terhadap terget kebijakan. Hal ini diungkapkan oleh Dra. Nurhana,
M.Si selaku Kepala Dinas Sosial Provinsi Banten, beliau mengatakan :
“ ..Sosialisasi kebijakan Perda No 2 Tahun 2010, kami sudah
melaksnakan sosialisasi kepada para pelaksana kebijakan,
sosialisasi ini bertujuan demi terciptanya kepahaman dan
kejelasan isi dari kebijakan perda no tahun 2010 ini, sehingga
para implementor kebijakan dapat mentransmisikanya kepada
masyarakat serta target kebijakan, hal ini memang butuh kerja
keras dan kesabaran dalam pelaksanaanya, oleh karena itu
dibutuhkan ketegaasan dan keinginan para implementor serta
sumber daya yang memadai agar terlaksananya kebijakan ini
dengan baik dan berjalan secara berkelanjutan” (Wawancara :
Tanggal 16 September 2018, Pukul 13.00 Wib di Kantor Dinas
Sosial Provinsi Banten KP3B )
Penggalan wawancara diatas jelas menandakan bahwa keinginan
dari agen pelaksana kebijakan ini mengharapkan kebijakan perda no 2
tahun 2010 dapat ditransmisikan dengan baik terhadap implementor dan
target kebijakan agar terlaksananya kebijakan perda no 2 tahun 2010
berjalan sesuai apa yang diharapkan oleh Pemerintah Kota Serang.
Gambar 4.7 Rapat Sosialisasi Perda Kota Serang Tentang
177
Penyakit Masyarakat yang di selenggarakan oleh Dinas Sosial
Provinsi Banten
Sumber : Dinas Sosial Provinsi Banten, 2018
Kota Serang sudah membuat kebijakan yang berkaitan dengan
masalah-masalah sosial seperti adanya fenomena gelandangan dan
pengemis, yaitu berupa Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun
2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan
Penyakit Masyarakat. Sebab isi dari Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun
2010, tertera pada pasal 9 ayat 1,2,3 yaitu:
4. Setiap orang dilarang menggelandang dan mengemis
5. Setiap orang dilarang menyuruh atau memaksa orang lain
menjadi pengemis
6. Setiap orang dilarang memberikan uang ataupun lainya kepada
pengemis
Dari pasal 9 ayat 1, 2, 3 sudah jelas bahwa masyarakat Kota
Serang tidak boleh melakukan penggelandangan dan mengemis serta
tidak boleh memberikan uang santunan kepada para pengemis yang ada
di Kota Serang, sebab bila melanggar aturan yang sudah ditetapkan,
178
maka akan diberikan sanksi berupa denda 50 juta atau kurungan penjara
selama 3 bulan yaitu tertera pada Peraturan Daerah Serang Nomor 2
Tahun 2010 pasal 21 ayat 1 dan 2. Oleh sebab itu, dengan adanya
Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010, diharapkan para
gelandangan dan pengemis yang ada di Kota Serang dapat dituntaskan,
karena memang masalah sosial yang terjadi pada masyarakat Kota
Serang, sangat meresahkan.
Adapun hasil wawancara bersama Yanti (54 Tahun) salah seorang
warga Kota Serang yang biasa memberikan uang santunan kepada
Pengemis di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang Kota , beliau
mengatakan:
“...yah karena kasian saya biasa kasih aja uang ke pengemis
itu, biasanya sih saya kasih ke orang yang cacat , biasa kasih
5ribu kalo kebetulan lewat sini yah anggap aja beramal.,
lagian juga selama ini saya belum pernah denger kalo adanya
peraturan sanksi bagi warga yang ngasih uang ke pengemis,
karena perdanya pun belum tau sama sekali, mungkin
sosialisasi dari pemerintah nya yang kurang”(Wawancara :
Tanggal 14 September 2018, Pukul :14.50 Wib di Lampu
Merah Pisang Mas Kota Serang).
Akibatnya belum adanya sosialisasi menyeluruh mengenai
penegakan sanksi yang tegas dari Pemerintah Kota Serang, dalam
memberikan hukuman berupa Denda dan Kurungan Penjara terhadap
masyarakat dan para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti
Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang, karena Perda Kota Serang
No 2 Tahun 2010 belum berjalan dengan efektif, selanjutnya dinilai juga
179
dari kinerja penegak kebijakan sebagai pihak berwenang ini seperti
aparatur penegak hukum Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP)
Kota Serang kurang aktif dan bertanggung jawab dalam penegakan
aturan sesuai tupoksinya serta penyebab hal lain diantaranya kurang
aktif melakukan koordinasi Dinas Sosial Kota Serang sehingga sampai
saat ini masyarakat masih terbiasa memberikan uang santunan kepada
gelandangan dan pengemis di Kota Serang, begitupun para gelandangan
dan pengemisnya masih berani melakukan kegiatan mengemisnya tanpa
pengawasan Satpol PP walaupun sudah diberikan peringatan. Seperti hal
nya yang di ungkapkan oleh bapak juanda selaku kabid produk hukum
daerah yang mengatakan :
“ padahal udah jelas tuh dalam perda itu dijelaskan ada denda
sebesar Rp50 juta dan ada juga ancaman tiga bulan penjara,
tapi yah mau gimana lagi masyarakat masih aja keseringan
ngasih uang santunan di pinggir jalan ataupun di sudut lampu
merah ke setiap gelandangan dan pengemis” (Wawancara :
Tanggal 17 September 2018, Pukul 12.00-13.00 di Kantor
Satpol PP Kota Serang)
Menurut dia, bagi warga yang memberi uang kepada gelandangan
dan pengemis maka ada sanksi dalam Perda tersebut. Namun sanksi
tersebut diabaikan oleh warga kota Serang, bahwasanya ada
kemungkinan mereka tidak mengetahui dengan jelas isi dari perda
tentang pekat tersebut, pihaknya pun mengharapkan agar kembali
disosialisasikan dengan Dinas Sosial Kota Serang setempat diantaranya
dengan memasang spanduk pada sudut kota dan sosialisasi juga
dilakukan melalui iklan layanan publik pada surat kabar dan radio
180
daerah serta media elektronik lainya. Adapun bapak Syaiful Bahri
selaku Kasie penegakan produk hukum pun mengatakan :
“ ..bila mendekati bulan Ramadhan maka jumlah gelandangan
dan pengemis terus bertambah tuh dan pihak Pemkot Serang
sendiri kwalahan untuk mengatasinya, yah mau gimanalagi?
Meski udah diberikan penyuluhan dan dipulangkan ke
kampung halamanya, tapi para gelandangan dan pengemis itu
kembali lagi ke Kota Serang untuk melakukan kegiatan seperti
semula’(Wawancara : Tanggal 17 September, pukul 12.30-
13.00 WIB di Kantor Satpol PP Kota Serang)
Menurutnya jika sosialisasi tentang perda itu maksimal, maka
warga tidak akan berkeinginan untuk memberikan uang santunan
kepada gelandangan dan pengemis sehingg dapat mengurangi jumlah
gelandangan dan pengemis untuk setiap tahunya. Karena keberadaan
gelandangan dan pengemis tersebut dapat memberikan keluhan kepada
masyarakat Kota Serang karena mereka para gelandangan dan pengemis
meminta-meminta di perempatan lampu merah yang kadang dapat
membahayakan keselamatan dirinya dan pihak lain sehingga dapat juga
mengganggu ketertiban dan keamanan Kota Serang.
Hal ini juga dirasakan oleh bapak Iwan (39 Tahun) wirausaha,
selaku warga Pisang Mas, Kota Serang, beliau mengatakan:
“...saya sendiri yang biasa buka warung di samping lampu
merah Pisang Mas, biasanya kalo siang hari banyak tuh
pengemis minta-minta dilampu merah, kadang anak sampai
anak kecil juga ada, terus kalo gelandangan sih biasanya
malam hari itu keluar yah kadang tidur di trotoar kalo engga
di taman jalan, yah menurut saya sosialisasi dari pemerintah
kota nya kurang sih, jadinya masih banyak berkeliaran itu
gelandangan pengemis, pemerintah nya juga kurang peduli
181
terhadap rakyat kecil dan jelata seperti itu, yah akhirnya
banyak yang miskin, pengangguran dan sampe-sampe
mengemis dijalanan yang dapat menagganggu ketertiban
warga" (Wawancara : Tanggal 19 September 2018. Pukul
15.30 WIB di Pisang Mas Kota Serang)
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, diketahui
bahwa Transmisi perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 belum berjalan
secara optimal dan menyeluruh serta tepat sasaran sehingga masih
banyak masyarakat yang belum mengetahui isi dari perda tentang
pekat tersebut, selanjutnya penegakan perda itupun sendiri dapat
dikatakan belum tegas, baik dari sanksi pidana penjara kurungan
selama 3 bulan maupun denda uang sebesar 50 juta rupiah yang
berlaku sesuai dengan isi perda, hal ini dilihat dari masih banyaknya
masayarakat Kota Serang yang masih berkelanjutan memberikan uang
santunan kepada gelandangan dan pengemis, ketidaktegasannya sanksi
dan denda tersebut dikarenakan pihak eksekutor atau Satpol PP tidak
memiliki ketegasan dan tanggung jawab yang optimal terhadap pelaku
pelanggar perda tersebut, oleh karena itu sampai saat ini masih belum
berlakunya satu pun pelaku yang dikenakan sanksi pidana ataupun
denda tersebut, oleh karena itu dapat diketahui bahwa masyarakat
lebih berharap dengan adanya sosialisasi tentang Peraturan Daerah
Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan
dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat ini dapat memberikan
perubahan yang maksimal terhadap kenyamanan, keamanan dan
ketertiban Kota Serang dari hadirnya kegiatan Penyandang Masalah
182
Kesejahteraan Sosial (PMKS) termasuk Gelandangan Pengemis yang
dapat meresahkan warga, oleh karena nya perlu ketegasan dan
koordinasi ataupun kerjasama antara pembuat kebijakan dan pelaksana
kebijakan untuk lebih tegas dan memaksimalkan dalam menuntaskan
dan menetralisir Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
tersebut di Pusat Kota Serang.
b. Kejelasan
Kejelasan tujuan dan cara yang akan digunakan dalam sebuah
kebijakan merupakan hal yang mutlak agar dapat diimplementasikan
sebagaimana yang telah diputuskan. Dimensi kejelasan (clarity)
menghendaki agar kebijakan yang ditransmisikan kepada pelaksana,
target grup dan pihak lain yang berkepentingan secara jelas sehingga
diantara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan,
sasaran, serta substansi dari kebijakan publik tersebut sehingga
masing-masing akan mengetahui apa yang harus dipersiapkan serta
dilaksanakan untuk mensukseskan kebijakan tersebut secara efektif
dan efisien. Pada pelaksanaan kebijakan tentang penyakit masyarakat ,
agar penyampaian informasi dapat diterima dengan jelas dan dapat
mengerti maka dalam tata cara teknis menerangkan terdapat dua
metode penyampaian informasi yaitu secara langsung dan tidak
langsung yaitu media cetak atau elektronik. Sosialisasi langsung
diselenggarakan mulai dari sosialisasi tingkat provinsi, dan tingkat
183
Kota kepada para pelaksana kebijakan seperti pihak Dinas Sosial dan
Dinas Satpol PP Kota Serang lalu mereka meneruskan informasi
kepada masyarakat dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) secara lisan maupun media cetak seperti hal nya spanduk
yang terpasang.
Dalam aspek kejelasan, Telah peneliti sebutkan latar belakang
lahirnya Perda no 2 Tahun 2010 yang memiliki tujuan untuk membawa
masyarakat Kota Serang dalam lingkungan yang berbudaya dan
beragama dengan kenyamanan dan ketentraman yang terjaga . Peraturan
Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 merupakan salah satu
kebijakan yang ditetapkan pemerintah Kota Serang dengan tujuan
mencegah, memberantas, menanggulangi penyakit masyarakat yang
berada di Kota Serang. Dengan menimbang beberapa hal, antara lain :
(Draft PERDA Kota Serang No 2 Tahun 2010)
d. Bahwa Kota Serang adalah daerah landasan kehidupan
masyarakat yang berbudaya dan beragama, sejalan
dengan visi dan misi Kota Serang.
e. Bahwa berbagai bentuk perbuatan yang merupakan
penyakit masyarakat merupakan perbuatan yang
meresahkan masyarakat, ketertiban umum, keamanan,
kesehatan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
Kota Serang.
f. Bahwa rasa aman, nyaman, dan tentram perlu
diwujudkan di Kota Serang oleh karena itu perbuatan
penyakit masyarakat yang ada di Kota Serang
diperlukan aturan tentang pembinaan, pengawasan dan
184
pengendalian, pelarangnan serta penindakan terhadap
penyakit masyarakat agar terhindar dari gangguan/
dampak negatif yang akan timbul di dalam masyarakat.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa secara formal , Perda
No 2 Tahun 2010 telah jelas. Dalam aspek kejelasan perda, Perda No 2
Tahun 2010 sudah terbukti memiliki tujuan yang memiliki daya guna
dan akan membawa masyarakat kota Serang pada keadaan yang nyaman
dan tenteram, itu mengartikan, bahwa Perda ini merupakan jawaban atas
segla aktivitas yang dapat mengganggu lingkungan Kota Serang yang
sangat menjunjung nilai-nilai agama dan budaya. Hal ini menjadi wujud
nyata dari pemerintah Kota Serang untuk melindungi dan menjaga
masyarakatnya.
Pada pelaksanaan kebijakan perda tentang penyakit masyarakat
(pekat), agar penyampaian informasi pelaksanaan tersebut dapat
diterima dengan jelas dan dapat dimengerti maka penyampaian
„informasi ini dilakukan secara langsung. Penyampaian secara
langsung ini dinilai cara yang sudah benar dengan melaksanakan rapat,
workshop dan dialog yang selama ini sudah dilakukan. Seperti yang
disampaikan oleh Bapak Ali Surahman selaku Wakil Komisi II DPRD
Kota Serang mengatakan:
“...sebenarnya kalau hal kejelasan penyampaian
kebijakan perda no 2 tahun 2010 tentang penyakit
masyarakat (pekat) ini udah jelas, hanya saja yah
sosialisasi yang efektif itu harus dilakukan langsung
185
terhadap target atau objek sasaran, sehingga masih banyak
PMKS dan masyarakat yang belum tau jelas dari kebijakan
pekat itu.” (Wawancara: Tanggal 15 September 2018, Pukul
10.00 di Kantor DPRD Kota Serang)
Hal ini dimaksudkan agar mempermudah pelaksana kebijakan
,masyarakat serta Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
memahami isi dari perda kota Serang no 2 tahun 2010, dikarenakan
dengan adanya pemberitahuan secara langsung dalam bentuk rapat,
workshop, diskusi dan dialog yang sebelumnya sudah di selenggarakan
oleh Dinas Provinsi Banten serta Dinas Sosial Kota Serang dengan
mengikutsertakan Masyarakat, Gelandangan dan Pengemis dapat secara
langsung bertanya apa yang masih belum mereka pahami tentang
kebijakan perda kota Serang no 2 tahun 2010 agar dapat memahami isi
perda tersebut dengan jelas dan paham. Seperti halnya yang
diungkapkan oleh ibu Ani (26 Tahun) selaku masyarakat yang dijumpai
saat di Rumah Makan daerah Pisang Mas Kota Serang yang mengatakan
”...setau saya soal perda tentang pekat itu ? ya saya sendiri
sih baru tau nya dari koran dan spanduk yang pernah
dipasang tuh di pinggiran jalan protokol di depan kantor
KP3B kota Serang, tapi saya belum tau jelasnya itu seperti
apa isi dan sanksi-sanksinya, jadi harus ada kejelasan dari
pemerintahnya juga dengan cara sosialisasi lagsung kepada
masyarakat agar masyarakat juga tau apa maksud dan tujuan
peraturan itu, yah jadi saya akan tau apa yang harus
dipersiapkan dan dilaksanakan biar ikut mensukseskan
kebijakan tersebut secara baik dan benar gitu loh”
(Wawancara; Tanggal 10 Oktober 2018, Pukul 01.00 Di
Pisang Mas Kota Serang)
186
Dari uraian diatas, peneliti mendapati bahwa masyarakat belum
sepenuhnya mendapatkan kejelasan dari isi, maksud dan tujuan dari
diberlakukanya Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 ini, oleh karenanya
sudah jelas pemerintah kota Serang dalam hal ini belum optimal dalam
penyampaian informasi perda kota Serang no 2 tahun 2010 secara jelas
kepada masyarakat. Hal ini seharusnya menjadi acuan bagi pemerintah
Kota Serang untuk lebih meningkatkan lagi sosialisasi yang mendalam
bagi para objek kebijakan seperti masyarakat.
Adapun kejelasan Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010, dalam hal
komunikasi kejalasan kebijakan yang ditransmisikan ini mempengaruhi
para pelaksana kebijakan seperti Satpol PP Kota Serang dan Dinas
Sosial Kota Serang dalam hal apa yang harus dipersiapkan serta
dilaksanakan untuk mensukseskan kebijakan tersebut secara efektif dan
efisien. Seperti hal nya Satpol PP yang tentunya tidak berkerja sendiri,
ada instansi lain yang ikut melaksanakan tugasnya sebagai implementor
Perda No 2 Tahun 2010, hal ini ditegaskan oleh kepala bidang PPHD
Satpol PP Kota Serang, yang mengatakan :
“sekiranya perlu diketahui ya Tugas Satpol pp hanya memberi
peringatan, menindak dan menangkap Gepeng tersebut saat
operasi razia, selebihnya yakni tugas pembinaan dan rehabilitasi
itu merupakan tugas instansi terkait, seperti Dinas Sosial Kota
Serang, oleh karenanya kami sudah ada kejelasan dalam hal apa
yang harus kami persiapkan dalam mensukseskan kebijakan pekat
ini” (Wawancara : Tanggal 17 September 2018, Pukul : 13.50
Wib di Kantor Satpol PP Kota Serang)
187
Berdasarkan wawancara diatas, peneliti mendapatkan kejelasan
informasi, bahwa selain Satpol PP, Dinas Sosial Kota Serang pun
memiliki tugas pokok dan fungsi untuk menjalankan perda tersebut. Hal
ini jelas bahwa Perda No 2 Tahun 2010 tentang pencegahan,
pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat merupakan
kejelasan sebagai landasan Dinas Sosial Kota Serang dalam
menjalankan tupoksinya untuk mendata, membina dan merehabilitasi
pihak masyarakat ataupun seseorang yang diduga oleh satpol PP sebagai
Gelandangan dan Pengemis.
Hal ini tertuang dalam perda tersebut, yakni pasal 17 tentang
pebinaan, dimana tertulis, pemerintah daerah dan masyarakat wajib
melakukan pembinanan terhadap orang atau sekelompok orang yang
terbukti melakukan perbuatan penyakit masyarakat.
Pemerintah daerah yang dimaksud dalam perda tersebut adalah
Dinas Sosial Kota Serang. Hal tersebut pun ditindaklanjuti oleh Dinas
Sosial Kota Serang yang memiliki bidang pelayanan dan rehabilitasi
pada struktur organisasinya, dimana dalam bidang tersebut terdapat
seksi rehabilitasi tuna sosial (Gepeng) dan eks penyalahgunaan napza.
Sehingga menjadi jelas jika Satpol PP Kota Serang memiliki kejelasan
wewenang untuk mengeksekusi maka Dinas Sosial Kota Serang
memiliki wewenang dalam bidang pembinaan dalam bentuk rehabilitasi
dan pemberdayaan. Adapun hal yang harus dipersiapkan dalam
188
pelaksanaan rehabilitasi yang tertuang pada perda no 2 tahun 2010 pasal
18, ditulis bahwa rehabilitasi sosial dilaksanakan melalui kegiatan:
a. Bimbingan, pendidikan, pelatihan dan keterampilan teknis
b. Bimbingan, penyuluhan rohaniah dan jasmaniah
c. Penyediaan lapangan kerja atau penyaluran tenaga baru
Berangakat dari apa yang tertuang dalam Perda diatas tersebut,
nampaknya telah jelas perda ini untuk membenahi permasalahan
Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang tetapi konteks peneliti
lakukan ialah implementasi, dimana fokus penelitian ada pada
pelaksanaan perda tersebut. Maka dari itu peneliti meminta keterangan
kejelasan pada Kabid Pelayanan dan rehabilitasi sosial yang
mengatakan:
“kami sudah mengetahui kejelasan perdanya, jadi dinas sosial
Kota Serang punya tugas pokok yang sudah jelas, bahwa tugas
kami ialah melakukan pelayanan berupa pembinaan serta
rehabilitasi kepada Gelandangan pengemis (Gepeng), tetapi
sebelum itu kami meminta pendataan terlebih dahulu lewat kartu
identitas yang dimiliki karena satpol PP sudah mendata yang
diduga, lalu kami menyaringnya dan kita tampung di rumah
singgah di Bandesh Pakupatan lalu selanjutnya kita serahkan ke
Jati Luhur Bekasi untuk di rehabilitasi karna memang kita tidak
punya tempat rehabilitasi di Kota Serangnya.” (Wawancara :
Tanggal 18 September 2018. Pukul 13.00 WIB Di Kantor Dinas
Sosial Kota Serang)
Dari penggalan wawancara diatas, telah jelas bahwa Dinas Sosial
menjalankan tugas pebinaan terhadap orang-orang yang terbukti
melakukan perbuatan penyakit masyarakat, yakni Gelandangan
Pengemis (Gepeng). Tetapi hal tersebut belum dapat mencukupi
189
informasi, bahwa proses implementasi perda telah dijalankan dengan
baik. Tetapi dalam konteks kejelasan tugas, dinas sosial telah
menjalankan dengan kata lain mengimplementasikan perda dengan
nyata.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti,
bahwa kebijakan yang ditransmisikan kepada pelaksana kebijakan
seperti Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang sudah jelas, sehingga
diantara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, sasaran
kebijakan Perda No 2 Tahun 2010, maka dari itu para pelaksana sudah
mempersiapkan serta melaksanakan untuk mensukseskan kebijakan
tersebut secara efektif dan efisien seperti hal nya sudah memiliki tugas
pokok masing-masing para pelaksana kebijakan untuk menerapkan
perda no 2 tahun 2010 dengan tujuan serta memiliki daya guna dan akan
membawa masyarakat kota Serang pada keadaan yang nyaman dan
tenteram, adapun masing-masing tugas pokoknya yaitu Satpol PP
sebagai eksekutor pelaksana/penindakan razia gelandangan
pengemis(gepeng) sedangkan Dinas Sosial itu sendiri sebagai pihak
yang melakukan pembinaan dan rehabilitasi. Akan tetapi dibalik itu
semua adapun masyarakat kota Serang kali ini tidak mendapatkan
kejelasan transmisi Perda no 2 tahun 2010 dikarenakan kurangnya
sosialisasi yang intens oleh pemerintah tentang isi dari perda no 2 tahun
2010 sehingga tidak bisa ikut mensukseskan kebijakan perda no 2 tahun
2010 tentang kebijakan pekat ini.
190
c. Konsistensi
Hal ini diperlukan agar kebijakan yang diambil tidak simpang siur
sehingga membingungkan pelaksana kebijakan, target group dan pihak-
pihak yang berkepentingan. Jika perintah yang diberikan sering
berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di
lapangan. Oleh karena itu konsistensi juga harus mendapat perhatian
dalam sebuah komunikasi.
Konsistensi dalam implementasi kebijakan tentang penyakit
masyarakat (pekat) di kota Serang berdasarkan pelaksanaan SOP yang
sudah ditetapkan oleh masing-masing para pelaksana kebijakan yakni
Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang sebagai pelaksana kebijakanya.
Konsistensi dalam hal ini adalah apa yang harus dilaksanakan dalam
pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat
kota Serang mesti dilaksanakan secara menyeluruh dan terus-menerus
tanpa terputus. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Ali Surahman selaku
Wakil Komisi II DPR Kota Serang mengatakan :
“..bahwa subtansi kebijakan perda tentang pekat ini
sebenarnya sudah bagus namun dibutuhkan kesabaran dan
konsistensi dalam penerapannya agar hasilnya maksimal dan
dapat meminimalisir gelandangan dan pengemis, yah perda ini
intinya? adalah untuk mengatasi masalah gelandangan dan
pengemis yang ada di Kota Serang, banyaknya keluhan dari
masyarakat serta mengganggu ketertiban, maka dibentuklah
perda ini, tujuanya adalah untuk menciptakan ketertiban
sosial.” (Wawancara : Tanggal 15 September 2018, Pukul
13.00 WIB di Kantor DPRD Kota Serang )
191
Adapun alur tabel konsistensi pelaksanaan Implementasi Perda
Kota Serang No 2 Tahun 2010 tentang Penyakit Masyarakat ( pekat) ini
sebagai berikut :
Gambar 4.8
Alur Mekanisme Pelaksanaan Perda
DPRD KOTA
SERANG
SATPOL PP
KOTA SERANG
PERDA KOTA SERANG NO 2 TAHUN 2010 TENTANG
PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN
\PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT
DINAS SOSIAL
KOTA SERANG
192
Sumber : Peneliti,2018
Dalam pelaksanaan Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010
Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit
Masyarakat, ada dua instansi yang menjadi pelaksana kebijakan, yaitu
Pihak Dinas Sosial Kota Serang dan Satpol PP Kta Serang. Dimana,
dalam pembuat kebijakan dari Perda adalah DPRD Kota Serang. Untuk
Mekanisme dalam pelaksanaan Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun
2010, DPRD Kota Serang memberikan tugas kepada dua instansi
pemerintah, yaitu Dinas Sosial Kota Serang dan Satpol PP Kota Serang.
Dalam pelaksanaan Perda Kota Serang, adanya kerjasama antara
Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang, dalam menanggulangi
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, seperti Gelandangan dan
Pengemis yang berada di Lampu Merah, Pasar dan Terminal Kota
Serang. Karena, tugas Dinas Sosial Kota Serang adalah membina,
memberikan penyuluhan dan memberikan pelatihan bagi penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial yang mempunyai potensi, seperti
memberikan pelatihan montir, wirausaha, khursus menjahit, khursus
Salon dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan, agar para Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis, tidak
datang kembali ke Lampu Merah, Pasar dan Terminal untuk
menggelandang dan mengemis. Seperti hal yang diungkapkan oleh
Bapak Heli Priatna selaku Kasie Rehabilitasi dan Tuna Sosial Dinas
Sosial Kota Serang mengatakan :
193
”....jadi begini dalam konsistensi pelaksanaan Perda
khususnya Dinas Sosial, yah kita sudah dibuat tim satgas,
perintahnya dari Walikota melalui SKnya langsung dan
dperintahkan untuk menerima hasil dari penjaringan PMKS
oleh Satpol PP, untuk selanjutnya di data serta dibina dan
diarahkan agar tidak lagi turun kejalan untuk menggelandang
dan mengemis..”(Wawancara: Tanggal 24 September 2018,
Pukul 01.15 WIB di Kantor Dinas Sosial Kota Serang)
Oleh karena itu dibutuhkannya konsistensi dari Dinas Sosial Kota
Serang dalam pelaksanaan Implementasi Kebijakan Pekat ini agar dapat
meminimalisir kegiatan para Gelandangan dan Pengemis Kota Serang.
Kemudian, tugas dari Satpol PP Kota Serang adalah sebagai
eksekutor. Artinya, Peran dari Satpol PP Kota Serang adalah melakukan
penjaringan razia terhadap para Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis. Selain itu, Tugas Satpol PP
Kota Serang adalah menegakan Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun
2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan
Penyakit Masyarakat. Dengan ditegakanya Perda Kota Serang Nomor 2
Tahun 2010, diharapkan tidak ada lagi Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial seperti gelandangan dan pengemis yang berada di
Lampu Merah, Pasar dan Terminal Kota Serang. Sehingga, Pelaksanaan
Peraturan Daerah Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,
Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat dapat
berjalan dengan optimal dan efektif. Seperti hal yang diungkapkan oleh
Bapak Juanda selaku Kasie Penegakan Produk Hukum Daerah. Beliau
194
mengatakan :
“....soal konsistensi ? jadi perlu diketahui ya, dalam
pelaksanaan Perda khususnya Satpol PP Kota Serang, kita
tentunya sudah di buat tim penjaring razia, yang Sknya
langsung turun dari Walikota Serang itu sendiri, dan
tentunya kita diperintah untuk wajib melaksankan
pengeksekusian masalah penyakit masyarakat (pekat) ini,
lalu kita serahkan hasil dari proses eksekusi kita tersebut,
untuk diserahkan kepada Dinsos Kota Serang sebagai
arahan dan pembinaanya, karena kita juga berkerjasama
dengan Dinsos Kota Serang..” (Wawancara: Tanggal 15
September 2018,Pukul 11.45 WIB di Kantor Satpol PP
Kota Serang)
Gambar 4.10
Proses Pendataan Penjaringan GEPENG dan Anak Jalanan oleh
Satpol PP di Kota Serang
Sumber : Peneliti di Kantor Satpol PP Kota Serang, 2018
195
Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan, dapat
diketahui bahwa konsistensi komunikasi kebijakan perda pekat ini
sudah dikatakan baik oleh para pelaksana kebijakan seperti Dinsos Kota
Serang dan Satpol PP Kota Serang dengan berdasarkan tugas dan
perintahnya masing-masing namun dalam penerapan dan pelaksanaanya
dibutuhkan kesabaran dan konsistensi agar hasilnya maksimal dan dapat
meminimalisir gelandangan dan pengemis di Kota Serang.
Keberhasilan suatu konsistensi kebijakan mensyaratkan agar
implementor mengetahui apa yang menjadi tujuan dan sasaran
kebijakan (target group) sehingga akan mengurangi distorsi
implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas
atau bahkan berubah-ubah, maka kemungkinan tidak dapat berjalan
dengan efektif bila proses pelaksanaan tidak dilakukan dengan penuh
kesiapan, pembinaan serta komunikasi yang baik akan mendorong
aparatur untuk dapat lebih meningkatkan pelayananya yang baik pula
terhadap target sasaran.
4.4.2 Sumber Daya
Edward III (1980:1) dalam Widodo (2010:98) mengemukakan
bahwa faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam
implementasi kebijakan, sumber daya tersebut dapat diukur dari aspek
196
kecukupan yang didalam nya tersirat kesesuaian dan kejelasan. George
Edwards III menjelaskan mengenai sumber daya yang dimaksud ialah
berhubungan dengan staf (staff), informasi (information), kewenangan
(authority), fasilitas (facilities). Keempat hal tersebut disebut Edwards
III sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan.
Tanpa sumber daya yang memadai, tujuan kebijakan yang telah di
rencanakan tidak akan sama dengan apa yang akhirnya diterapkan.
Sumber daya yang diperlukan dalam implementasi Perda Kota
Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan
Penanggulangan Penyakit Masyarakat khususnya Gelandangan dan
Pengemis menuurut Edwards III dalam Widodo (2010:98), yaitu sebagai
berikut.
a. Sumberdaya manusia ( staff)
Sumberdaya manusia merupakan salah satu variabel yang
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Seperti hal nya
staf yang jumlah dan kemampuanya sesuai dengan yang dibutuhkan.
Kegagalan yang sering terjadi dalam Implementasi kebijakan salah
satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai,
mencukupi ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan
jumlah staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan persoalan
implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf
dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan
capable) dalam mengimplementasikan kebijakan. Sumber daya
197
manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi,
sebab tanpa sumber daya manusia yang handal, implementasi
kebijakan akan berjalan lambat. Oleh karena itu, implementasi
kebijakan Perda tentang Penyakit Masyarakat di Kota Serang
membutuhkan sumber daya yang cukup dan mampu untuk menguasai
dibidangnya dalam melaksanakan kebijakan tersebut.
Data yang diperoleh oleh peneliti saat observasi dilapangan,
bahwa jumlah keseluruhan staff pegawai Dinas Sosial Kota Serang
berjumlah 48 orang. Yang terdiri dari Pegawai kantor 18 orang, dengan
komposisi 10 pegawai negeri dan 8 honorer. Serta 30 pegawai lapangan,
dengan komposisi : petugas administrasi 4 orang, petugas perawatan
non medis 3 orang, juru masak 4 orang, dan petugas keamanan (Satgas)
9 orang.
Akan tetapi, dengan jumlah staff dan pegawai tersebut Dinas
Sosial memiliki Struktur Organisasi yang jelas sehingga dapat
mengetahui kejelasan dari jabatan serta tugas dan tanggung jawab dari
masing-masing para pegawai.
Menurut pengamatan peneliti ketika menjalani penelitian
lapangan di Dinas Sosial September lalu, tugas yang ditangani bidang
tersebut cukup padat, artinya untuk menangani gelandangan dan
pengemis di Kota Serang harus lebih membutuhkan jumlah pegawai
yang sesui dan memadai. Namun fakta dilapangan yang saya dapat di
Dinas Sosial Kota Serang bahwasanya jumlah personil pegawai untuk
198
menangani gelandangan pengemis terbilang kurang, baik dari tenaga
ASN, PSM-nya seperti Satgas yg baru berjulah 10 orang yng
ditempatkan di setiap sudut lampu merah dan tenaga sukarelawan.
Seperti hal nya bapak Heli Priatna yang menjabat sebagai Kepala seksi
pelayanan rehabilitasi mengatakan :
“ ...kalau masalah staf ya ? untuk di Dinas Sosial ,saya
sendiri belum mempunyai staf untuk membantu
menangani gepeng tersebut, apalagi Satgas disini cukup
kurang untuk menjangkau si gepeng tersebut, oleh
karna nya bapak sih sangat berharap untuk
penambahan staf sebanyak 5 orang honorer dan satgas
sebanyak 30 orang waktu penjangkauan dibagi 3 shift,
dimana pembagian waktunya mulai dari shift 1 pukul
07.0 pagi s/d 12.00 siang, shift 2 pukul 12.00 siang s/d
16.00 sore, dan shif 3 pukul 16.00 sore s/d 23.00
malam, kalau seperti itu kegiatan tersebut kan bisa
terpantau di setiap lampu merah di Kota Serang , yah
tapinya kan hambatan nya yah masalah anggaran untuk
membayar pegawai satgas nya kurang memadai, bpak
sih Cuma ingin dimana jumlah dan pembagian waktu
tersebut sangat diharapkan agar proses penjangkauan
berjalan dengan baik dengan memberikan hasil yang
maksimal demi netralisasi dari kegiatan PMKS.
( Wawancara, Tanggal 24 September 2018, Pukul
11.30- 12.00 di Kantor Dinas Sosial Kota Serang)
Gambar 4.11. Satgas (Satuan Petugas) yang di tugaskan oleh
Dinas Sosial Kota Serang
199
Sumber : Dinas Sosial Kota Serang,2018
Berdasarkan hasil wawancara diatas, diketahui bahwa Dinas
Sosial memiliki jumlah SDM (Staf) yang kurang memadai sehingga
dapat menghambat berjalanya proses penerapan kebijakan perda no 2
tahun 2010 dalam penanganan gelandangan dan pengemis di Kota
Serang.
Dalam melaksanakan penertiban, biasanya pihak dinas sosial juga
berkoordinasi dengan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja), menurut
pengamatan peneliti ketika di Kantor Dinas Satpol PP Kota Serang,
bahwa tugas yang ditangani oleh Satpol PP tidak terlalu padat, artinya
untuk menangani gelandangan dan pengemis di Kota Serang tidak
masalah dengan jumlah staff pegawai ASN nya 9 orang dan ditambah
pegawai honorer nya sebanyak 25 anggota Satpol PP yang khusus
diterjunkan langsung ke lapangan untuk menjangkau dan merazia
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) khususnya
gelandangan dan Pengemis, namun dalam hal ini menurut pengamatan
yang saya dapat dari hasil wawancara bahwasanya pegawai tersbut
terbentur dengan masalah anggaran bagi pegawai honorer sehingga
dapat menghambat dan memperlambat proses penertiban dan
penanganan gelandangan dan pengemis. Seperti hal yang diungkapkan
oleh Bapak Juanda selaku Kasie Penegak Produk Hukum Daerah yang
mengatakan bahwa :
”...kalo saya sendiri sih merasa udah cukup dengan
jumlah staf dan personil anggota yang sudah ada
200
seperti anggota untuk melaksanakan razia berjumlah
25 orang, staf administrasi 2 orang dan skretaris saya
2 orang ,mereka rata-rata masih honorer, tapi di sisi
lain proses dan kegiatan penertiban nya saja yang
terbilang kurang, yah mau gimana lagi? Pegawai
honorer kami kasian tidak ada gaji apa lagi
tunjangan, yah mereka paling dapat anggaran cuma”
sebatas insentif bulanan , sehingga kerjanya pun ala
kadarnya dan terbilang jarang kalo urusan kegiatan
razia gelandangan dan pengemis itu, yah kalo di
itung” sebulan sebanyak 3 kali saja”( Wawancara:
Tanggal 17 September 2018, Pukul 12.00 WIB di
Kantor Satpol PP Kota Serang)
Berdasarkan wawancara diatas bersama Kabid PPUD Satpol PP
Kota Saerang diketahui bahwa sumber daya manusia (staf) yang
dimiliki sudah memadai hanya saja kinerja para pegawainya yang
kurang optimal dan tegas dalam menjalankan kebijakan perda no 2
tahun 2010, sehingga dalam penanganan gepengnya pun terhambat dan
berjalan lambat, hal ini perlu jadikan pelajaran bagi para pelaksana
kebijakan agar lebih optimal dan konsisten lagi dalam menjalankan
kebijakan pekat ini .
b. Sumberdaya Anggaran (budgetary)
Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan
kecukupan modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan
untuk menjamin terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan
anggaran yang memadai, kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif
dalam mencapai tujuan dan sasaran.
Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) di Kota Serang, hingga kini belum maksimal. Bahkan tahun
201
2017 ini, hanya terkucur dana oleh Kementrian Sosial sebesar 50 juta.
Karena dengan kondisi seperti ini, Wakil Komisi II DPRD Kota Serang
M. Ali Surohman, ST meminta, agar Dinas Sosial (Dinsos) Kota
Serang membuat terobosan. Satu diantaranya berkoordinasi dengan
Dinsos Pemprov Banten, agar bisa membantu masalah PMKS ini.
Sebab, Kota Serang ini merupakan ibukota Provinsi Banten. Seperti
halnya yang diungkapkan oleh Bapak M. Ali Surohman, ST selaku
Wakil Komisi II DPRD Kota Serang yang mengatakan :
“...ini kan masalah kita bersama, tentunya
penangananya pun harus bersama-sama serta kita
dukung bersama-sama. Kita memang saat ini dalam
penanganan PMKS terhambat dengan masalah
anggaran yang kurang memadai, termasuk dalam hal
penanganan gelandangan dan pengemis serta
pembangunan tempat Rehabilitasi di Kota Serang,
Namun Dinsos dan Satpol PP selaku satuan kerja yang
menangani masalah ini, yah harus pro-aktif. Apalagi
belakangan masalah PMKS seperti gepeng, anak
terlantar, penyandang cacat, termasuk anak-anak punk
marak lagi dibeberapa simpang lampu merah di Kota ,
oleh karenanya meski tidak adanya anggaran yang
memadai jangan sampai menyurutkan kinerja Dinsos
dan Satpol PP Kota Serang dalam penanganan
gelandangan dan pengemis di Kota Serang ini.”
(Wawancara: Tanggal 20 September 2018, waktu 10.00
di Kantor DPRD Kota Serang)
Menurut pengamatan peneliti saat studi kasus dilapangan, bahwa
perihal anggaran sudah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sesuai surat
Menteri Keuangan Nomor S-863/MK,02/2017, Kementrian Sosial
mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp.41,3 triliun. Setelah itu
202
disalurkan kepada Pemerintah Kota Serang (Pemkot) dan selanjutya di
alokasikan ke Dinas Sosial untuk untuk Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS). Namun untuk saat ini jumlah anggaran
yang dialokasikan khsusus untuk menangani Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Serang terbilang kurang sehingga
tidak dapat mengoptimalkan penanganan PMKS khususnya
gelandangan dan pengemis serta membangun tempat rehabilitasi, akan
tetapi untuk kedepanya pemerintah akan ada perencanaan untuk
mengalokasikan dana yang berbeda dari tahun sebelumnya. Seperti hal
yang diungkapkan oleh Bapak Heli Priatna selaku Kasie Rehabilitasi
Tuna Sosial yang mengatakan :
“....Anggaran yang direalisasikan PMKS untuk tahun 2017 dan
2018 terbilang jauh sekali untuk memadai dalam pelaksanaan
program seperti pembinaan dan pelatihan termasuk juga
tempat rehabilitasi. Akan tetapi rencana untuk tahun
berikutnya pada tahun 2019 kedepan anggaran yang
dikucurkan oleh Kementrian Sosial akan melonjak tinggi yang
dapat melebihi anggaran tahun sebelumnya (melebihi 100%),
yang dimana jumlah anggaran tahun sebelumnya yakni tahun
2017 dan tahun 2018 masing-masing hanya 70 juta akan tetapi
untuk saat tahun depan akan melonjak tinggi hingga sampai
500 juta yang akan diangkat tahun 2019 mendatang, mengapa
demikian karena dianggapnya mungkin artinya masalah PMKS
itu termasuk diwajibkan dalam program pemerintahan
khususnya di Dinas Sosial Kota Serang. hanya saja selain
permasalahan Anggaran, seharusnya pemerintah daerah pun
segera menertibkan masalah Kantor Dinas dan tempat
rehabilitasinya. Walaupun mendapatkan anggaran yang besar,
akan tetapi tetap saja tidak memiliki tempat rehabilitasi yang
mampu menampung dan memberikan binaan serta pelatihan,
terkecuali anggaran itu bisa digunakan untuk pendidikan dan
pelatihan dirumah singgah, pembelian modal alat pelatihan
203
dan pendidikan PMKS, sandang pangan bagi para PMKS serta
petugas yang menjangkau Gepeng tsb, yang dimana Satgas
(Satuan Petugas) itu berjumlah 10 orang dan 10 petugas
itupun honornya itu hanya sebanyak 10 kali penjaringan, dan
jika dihitung” sebulan hanya sekali penjaringan, maka dari itu
banyak gelandangan pengemis yang masih turun kejalan dan
berkeliaran untuk melakukan kegiatanya. (Wawancara
:Tanggal 24 September 2018, Pukul 11.45 WIB di Kantor
Dinas Sosial Kota Serang)
Berdasarkan hasil wawancara diatas diketahui bahwa jumlah
permasalahan anggaran yang dirasakan oleh Dinas Sosial Kota Serang,
dinilai belum memadai dan terbilang minim, hal ini dapat menghambat
proses penanganan gelandangan dan pengemis di Kota Serang
dikarnakan dengan anggaran yang minim, maka Pemerintah Kota
Serang yakni Dinas Sosial Kota Serang tidak bisa membangun tempat
Rehabilitasi guna menanggulangi penyakit masyarakat seperti
gelandangan dan pengemis yang berada di daerah Pisang Mas Kota
Serang ini, hal ini menjadi perhatian pemerintah khususnya peneliti
sendiri agar lebih berharap lagi kepada pemerintah pusat untuk lebih
memberikan perhatian terhadap anggaran pembangunan rehabilitasi,
agar dapat meminamilisir gelandangan dan pengemis di Kota Serang.
c. Sumber Daya Kewenangan (authority)
Kewenangan ini diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk
bertindak, kekuasaan untuk membuat keputusan, memerintah dan
melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Dinas Sosial diberi
kewenangan untuk melakukan penertiban serta penjemputan
gelandangan dan pengemis dari jalanan yang berkoordinasi dengan
Satpol PP, yang selanjutnya untuk dilakukan pembinaan dan di
rehabilitasi sosial. Setelah dilakukan pendataan dan lain sebagainya.
204
Seperti hal nya yang diungkapkan oleh Bapak Heli Priatna selaku kasie
rehabilitasi tuna sosial yang mengatakan :
“...kewenangan bapak sendiri sih ? yaitu melakukan
penertiban hasil dari penjaringan atau hasil razia
gelandangan dan pengemis oleh Satpol PP yaitu untuk di
data, seteelah didata dihubungi pihak keluarganya dan
diantarkan kekeluarganya, setelah itu dipanggilkan lagi
untuk dibina secara keseluruhan satmbil di tawarkan
program-program Dinas Sosial seperti hal nya diberikan
pendidikan dan pelatihan, baik itu melalui Dinas Sosial
Provinsi, Balai Pemulihan Sosial di Pasir Ona, Setelah itu
juga dikirim ke Bekasi yaitu yang mempunyai kementrian
sosial, panti sosial bina karya” (Wawancara : Tanggal
24 September 2018, Pukul 11.15 WIB di Kantor Dinas
Sosial Kota Serang)
Berdasarkan hasil wawancara, bahwa Dinas Sosial sudah memiliki
kewenangan dalam menertibkan PMKS seperti Gelandangan dan
Pengemis hasil dari penjaringan atau hasil razia oleh Satpol PP serta
memiliki kewenangan juga dalam mendata gelandangan pengemis dan
memberikan/menawarkan program-program seperti hal pelatihan untuk
selanjutnya diserahkan ke Balai Pemulihan Sosial di Pasir Ona.
Dinas Sosial juga memiliki kewenangan untuk memonitoring
kegiatan purnabina, gelandangan dan pengemis yang telah di rehabilitasi
sosial akan dikembalikan ke masyarakat, dan diberikan stimulan modal
untuk usaha mandiri, dimana Dinas Sosial akan melakukan
penagawasan secara berkala.
Adapun pelaksana kebijakan yang lain seperti Satuan Polisi
205
Pamong Praja (Satpol PP) Kota Serang memiliki sebuah kewenangan
terhadap implementasi kebijakan Perda tentang penyakit masyarakat di
Kota Serang Khususnya Implementasi Peraturan Daerah (Perda)
khususnya Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,
Pemberantan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat khususnya
Gelandangan dan Pengemis.
Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2010 Tentang
Satuan Polisi Pamong Praja disebutkan kewenangan yang dimiliki
Satuan Polisi Pamong Praja antara lain :
d. Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan
pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.
e. Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang
mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
Adapun bentuk kewenangan dari Satpol PP sebagai pihak
eksekutor ini digambarkan dalam tahapan Proses Pembinaan Prefentif
Non Yustisial, hal ini sebagai bentuk peringatan dan penindakan dalam
kegiatan razia dari pihak eksekutor dalam menangani Gelandangan dan
pengemis selama berjalanya penjaringan razia. Sebagai gambar berikut :
206
Sumber : Satpol PP Kota Serang, 2018
Seperti apa yang disampaikan oleh Bapak Saiful Bahri selaku
Staff Pelaksana Binluhwassosmasy Bidang PPUD Satpol PP Kota
Serang. Beliau mengatakan :
“ Dalam penindakan kegiatan razia dan pembinaan para
PMKS kami selaku pelaksana Binluhwassosmay
berkewenangan terhadap tahapan proses pembinaan yang
sudah dibuat sebelumnya, tahapan tindakan tersebut sudah
sesuai berdasarkan peraturan yang dibuat oleh Bidang
Penegakan Hukum Satpol PP Kota Serang, ini merupakan
pedoman kami dalam melakukan pembinaan dan penindakan
terhadap PMKS termasuk Gelandangan dan Pengemis di Kota
Seran” (Wawancara : Tanggal 15 September .Pukul :14.00
WIB di Kantor Satpol PP Kota Serang)
Berdasarkan kutipan wawancara diatas bersama Staff Pelaksana
Binluhwassosmasy Bidang PPUD Satpol PP Kota Serang bahwasanya
Satpol PP memiliki kewenangan dalam menjalankan tahapan pembinaan
prefentif non yustisial yang bertujuan menangani gelandangan pengemis
agar merasa jera untuk tidak melakukan aktivitasnya lagi. Hal ini
merupakan kewenangan Satpol PP yang bertujuan menegakan Perda No
2 Tahun 2010 dalam pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan
penyakit masyarakat.
207
Peran Satpol PP makin strategis sebagai bagian dari perangkat
daerah yang bertugas untuk ikut membantu dan menjamin proses
penegakan Peraturan Daerah (Perda) khususnya Perda Kota Serang No
2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantan dan Penanggulangan
Penyakit Masyarakat, serta pemeliharaan ketertiban dan keamanan
masyarakat. Dimana dalam hal ini Satpol PP Kota Serang memiliki
kewenangan dalam penegakan berupa sanksi-sanksi yang berlaku dalam
Perda tersebut, seperti hal dalam penegakan larangan untuk memberikan
uang santunan kepada gelandangan dan pengemis, karena barang siapa
yang melakukan perihal tersebut maka Satpol PP berkewenangan untuk
melayangkan sanksi pidana kurungan penjara dan denda uang sebesar
50 juta. Hal ini dilakukan agar masyarakat kota Serang sadar diri dan
tidak lagi untuk memberikan uang santunan kepada gelandangan dan
pengemis tersebut, serta mencegah dan meminimalisir munculnya
gelandangan dan pengemis yang turun ke jalan.
d. Sumberdaya Peralatan (facility)
Berdasarkan pengamatan peneliti, fasilitas untuk menangani
gelandangan dan pengemis di Kota Serang kurang memadai. Kota
Serang memang sebagai wilayah yang cukup luas untuk dijangkau, akan
tetapi fasilitas yang sudah tersedia oleh Dinas Sosial dan Sapol PP Kota
Serang seperti mobil dinas yang memadai dengan jumlah mobil Dinas
Sosial berjumlah 5 unit dan mobil Dinas Satpol PP seperti truk untuk
Patroli rutin dan mengangkut para Penyandang Masalah Kesejahteraan
208
Sosial (PMKS) berjumlah 3 unit serta mobil dinas sejumlah 3 unit, serta
daat terbilang cukup memadai, sedangkan fasilitas yang lain seperti
Rumah Singgah guna menampung PMKS yang sudah terazia untuk
dibina ini masih terbilang kurang luas untuk menampung banyak nya
PMKS sehingga tidak berjalan efektif, selain itu ditambah pula dengan
tidak tersedianya fasilitas Rehabilitasi yang digunakan sebagai tempat
pelatihan dan keterampilan bagi para Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis di Kota
Serang. Hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Heli Priatna
selaku Kasie Rehabilitasi dan Tunas Sosial yang mengatakan dalam hal
ini sebagai berikut :
“...untuk peralatan dan kelengakapan kami dalam menangani
gelandangan pengemis kurang memadai, kita hanya punya
fasilitas kendaraan roda 2 dan roda 4 dan Rumah Singgah itu
juga buat bawa para gepeng ,yah rumah singgah yang kami
gunakan untuk menampung sementara para gelandangan dan
pengemis(gepeng) bersifat tidak tetap masih suka berpindah
tempat, paling sesuai kenyamanan dan daya tampung, fasilitas
yang lain yah paling berupa peralatan komunikasi (HT), serta
tempat kantor yang yang masih ngontrak, sedangkan fasilitas
yang belum memadai itu seperti tempat rehabilitasi karna itu
sangat diperlukan sekali dalam mengatasi gepeng, kalo untuk
kelengkapan kami itu sendiri dalam melaksanakan pendataan dan
pembinaan gelandangan pengemis, yah seperti surat tugas, kartu
tanda anggota resmi, memakai dinas lapangan, perlengakapan
pendukung (HT, Laptop, Buku Daftar, dan Kamera). (Wawancara
: Tanggal 17 September 2018, Pukul 12.30 Wib di Kantor Dinas
Sosial Kota Serang)
Untuk pelaksana kebijakan lain seperti Satpol PP Kota Serang
209
dalam menjalankan tugasnya sebagai implementor Perda No 2 Tahun
2010 membutuhkan sumber daya perlatan (Fasilitas), dimana sumber
daya ini akan menunjukan apakah implementasi berjalan dengan baik.
Sebagai contoh, jika Satpol PP dalam hal ini melaksanakan razia
Gelendangan dan Pengemis (Gepeng) sebagai upaya perwujudan
implementasi Perda No 2 Tahun 2010 tetapi di lapangan fakta yang
didapat di lapangan Satpol PP harus iuran antar individu untuk
menutupi biaya operasional razia Gelandangan dan Pengemis tersebut.
Hal ini yang peneliti maksudkan sebagai sumber daya yang erat
kaitanya dengan abik atau tidaknya perda tersebut diimplemntasikan.
Hal diatas merupakan contoh semata, Satpol PP dalam
melaksanakan Perda Pekat No 2 Tahun 2010, dalam hal ini sebagai
eksekutor atau penindak orang diduuga sebagai Gelandangan dan
Pengemis memiliki peralatan dan perlengkapan yang sudah sesuai
dengan yang ada pada Standar Operasional Prosedur(SOP). Hal ini
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Bapak Juanda selaku Kabid
PPHD, yang mengatakan sebagai berikut:
“ dari segi peralatan dan perlengkapan kami sudah memadai dan
hal ini pun telah sesuai dengan SOP yang telah disahkan, kami
sendiri sebagai eksekutor, saat kami melaksanakan tugas razia
Gepeng, kami melengkapi diri dengan peralatan atau fasilitas
seperti kendaraan roda empat dan HT buat komunikasi,
sedangkan untuk perlengapanya itu sendiri seperti, surat perintah
tugas, kartu tanda anggota resmi, memakai dinas lapangan dan
ditambah perlengkapan pendukungnya seperti (borgol, masker,
topi, sarung tangan). (Wawancara: Tanggal 15 September 2018,
Pukul : 13.45)
210
Gambar 4.12 Unit Kendaraan Satpol PP Kota Serang
Sumber : Peneliti, 2018
Berangkat dari penggalan wawancara diatas, peneliti melihat
sumber daya berupa peralatan dan perlengkapan Satpol PP yang
digunakan untuk menjalankan tugasnya untuk menjaring sesorang yang
diduga berkaitan dengan perbuatan gelandagan dan pengemis.
Perlengkapan baik berupa dokumen admnsitratif maupun perlengkapan
dan peralatan fisik menjadi hal yang diiperhatikan oleh Satpol PP dalam
melaksanakan tugasnya.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, maka
dapat dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini peneliti
menemukan bahwa dalam implementasi Perda Kota Serang No 2 Tahun
2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit
Masyarakat khususnya gelandangan dan pengemis di Kota Serang telah
memiliki Sumber Daya yang kurang memadai. Seperti yang telah
disebutkan diatas seperti hal nya Anggaran yang dimiliki guna
menunjang keberhasilan implementasi kebijakan ini diantaranya tahun
211
ini hanya terealisasi 50 juta yang dapat diakatakan kurang memadai,
selanjutnya dalam bentuk anggota dan staf pelaksana kebijakan yang
jumlahnya kurang memadai sehingga tidak dapat menunjang
keberhasilan suatu implementasi, akan tetapi adapun sumber daya yang
memadai untuk sampai saat ini adalah fasilitas yang berupa alat
trasportasi yang disediakan dalam pelaksanaan patroli rutin terhadap
gelandangan dan pengemis di jalan-jalan kota Serang dengan berkerja
sama dengan Satuan Polisi Pamong Praja(Satpol PP) dan tempat
penampungan sementara untuk memudahkan melakukan pembinaan dan
pelatihan.
4.5.3.3 Disposisi
Pada faktor ini kecenderungan perilaku atau karakteristik dari
pelaksana kebijakan berperan penting untuk mewujudkan implementasi
kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Kecenderungan
perilaku atau karakteristik ini berkaitan dengan respon para pelakasana
kebijakan di dalam pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan
gelandangan dan pengemis ini apakah mereka mendukung atau menolak
kebijakan penyakit masyarakat khsususnya gelandangan dan pengemis
di Kota Serang.
Didalam penelitian ini didapati bahwa para pelaksana kebijakan
seperti pihak Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang memiliki respon
yang cukup positif untuk bisa melaksanakan kebijakan pencegahan,
212
pemberantasan dan penanggulangan gelandangan pengemis (gepeng) di
kota Serang. Respon yang baik tersebut muncul karena adanya
dukungan pemerintah baik pemerintah Provinsi maupun pemerintah
Kota Serang dan juga adanya dukungan dari komunitas-komunitas,
yayasan maupun lembaga yang ikut serta dalam pengentasan
gelandangan dan pengemis di kota Serang.
Dengan respon yang baik tersebut pula maka para agen pelaksana
kebijakan ini mendukung kebijakan untuk diimplementasikan dengan
mengoptimalkan segala cara yang telah ditetapkan di dalam peraturan
kebijakan gelandangan dan pengemis yaitu Peraturan Daerah Kota
Serang No 2 Tahun 2010.
Seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Heli Priatna Selaku
Kasie rehabilitasi dan tuna sosial yang mengatakan :
“...dalam melaksanakan kebijakan penyakit masyarakat kami
senantiasa optimis dan beerkelanjutan, tapi kami kadang malas
juga sih menangani gepeng itu yah susah diatur dan ga ada jera
nya, pasti balik lagi tuh ke jalan untuk minta-minta, jadinya saya
berserta pegawai ataupun petugas dilapangan yang lain kadang
merasa jengkel dan malas untuk turun kejalan lagi, apalagi
ditambah ga ada insentif untuk petugas lapanganya jadinya
penanganan gepeng nya pun terhambat, terus petugas kami pun
jarang turun kejalan lagi, yah alhasil banyak dibiarkan tuh
gepeng” (Wawancara : Tanggal 17 September 2018, Pukukl 14.05
Wib di Kantor Dinas Sosial Kota Serang)
Hasil Wawancara diatas menadakan bahwa sikap yang dimiliki
oleh pelaksana kebijakan seperti Dinas Sosial Kota Serang kurang
mendukung dan tidak memiliki ketegasan, hal ini terlihat dari sikap
213
malas yang dimiliki oleh pegawai dan tim lapangan dalam penanganan
gepeng dijalanan Kota Serang.
Dengan mendukung kebijakan pencegahan, pemberantasan dan
penanggulangan gelandangan pengemis ini maka para agen pelaksana
yakni Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang juga melakukan upaya-
upaya maksimal dengan cara menetapkan program kerja baru dan juga
mengoptimalkan fasilitas yang ada guna kelancaran dalam implementasi
pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan gelandangan
pengemis. Upaya-upaya yang lain yang dilakukan yaitu melakukan
koordinasi dengan instansi terkait dan juga melakukan sosialisasi
kebijakan tersebut kepada pemerintah Pusat, Daerah maupun SKPD kota
Serang.
Sikap optimis juga dimiliki pada agen pelaksana dalam
mengimplementasikan kebijakan ini. Para agen pelaksana tersebut
beranggapan bahwa mengimplementasikan kebijakan yang telah
dicanangkan pemerintah ini merupakan suatu kewajiban dan juga
didalamnya terdapat peraturan-peraturan dalam melaksanakanya. Jika
kebijakan tersebut tidak dilaksanakan oleh para agen pelaksana, maka
masyarakat mempunyai hak untuk mengajukan pengaduan terhadap
salah satu lembaga pengawas pemerintah yaitu ombudsman, sehingga
apa yang dijelaskan di dalam peraturan kebijakan tersebut dapat
dilaksanakan semaksimal mungkin oleh para agen pelaksana. Jadi faktor
214
ini merupakan faktor pendukung dalam implementasi kebijakan
pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan gelandangan pengemi
di Kota Serang.
Maka sebagai tindakan yang langsung menindak kepada
pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan yaitu oleh pihak
Satpol PP. Dalam menegakan peraturan daerah tentang gelandangan dan
pengemis tersebut, eksekutor dalam hal ini Satpol PP Kota Serang
sebagai pelaksana perda yang terjun langsung kelapangan dalam
mencegah, memberantas dan menanggulangi gelandangan dan
pengemis. Satpol PP bertindak berdasarkan surat perintah yang
dikeluarkan oleh pimpinan atau Kepala yang didasari oleh laporan dari
masyarakat dan keadaan sekitar yang memungkinkan adanya tindakan.
Seperti hal yang diungkapkan oleh Bapak Juanda selaku Kasie
Penegak Produk Hukum Daerah yang mengatakan bahwa :
”...saya dan anggota saya sesuai perintah dan istruksi yang di
keluar kan oleh pemerintah pusat lewat surat edaran walikota,
untuk menindaklanjuti dan bertanggungjawab dalam
pelaksanaan kebijakan pekat ini, dan kami pun optimis dalam
pelaksanaanya agar dapat mencegah, membrantas dan
menanggulangi penyakit masyarakat seperti gelandanagan dan
pengemis” ( Wawancara : Tanggal 15 September 2018, Pukul
13.30 WIB Di Kantor Satpol PP Kota Serang)
Adapun faktor-fakotr penting yang mempengaruhi variabel
disposisi adalah :
a. Rekrutmen Pengurus/Pengangkatan birokrasi
Yang Dalam hal ini disposisi atau sikap pelaksana akan
215
menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap
implementasi kebijakan bila personel yang ada tidak melaksanakan
kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat yang lebih atas.
Karena itu, pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana
kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan
warga masyarakat.
Pengangkatan dan pemilihan personil untuk jabatan di Dinas
Sosial Kota Serang merupakan wewenang Badan Kepegawaian
Daerah (BKD). Pengangkatan birokrat dilakukan secara terbuka
dengan menggunakan tes seleksi secara tertulis. Pengangkatan dan
pemilihan personil struktural di Dinsos dilakukan oleh pemerintah
dengan mekanisme penerimaan PNS sesuai Undang-undang.
Sedangkan rekrutmen pengurus di I-PSM merupakan kepeduliah
masyarakat sendiri, dimana masyarakat yang aktif di organisasi
Kelurahan, akan diajukan ke I-PSM Keamatan/Kota dan Ketua I-
PSM dipilih secara kesepakatan bersama dimana masing-masing
Kecamatan/Kota mengajukan bakal calon ketua. Untuk Rumah
Singgah Pasir Ona rekrutmen pengurus merupakan wewenang
yayasan rumah singgah itu sendiri.
b. Insentif
Pendapat Geoge C. Edward III, insentif merupakan salah satu
teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para
pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif. Pada dasarnya
216
orang bergerak berdasarkan dirinya sendiri, maka memanipulasi
insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para
pelaksana kebijakan dengan cara menambah keuntungan atau biaya
tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat
para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan
sebagai upaya untuk memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.
Pemberian Insentif pada pegawai Dinas Sosial Kota Serang
terdapat dua, yaitu Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) dan
Tunjangan kepada Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).
Dimana pemberian tunjangan PPTK dilaksanakan satu tahun sekali
dan satu orang satu kegiatan tidak boleh double. Hal ini sesuai
wawancara dengan Bapak Heli Priatna selaku Kepala Seksi
Rehabilitasi Tuna Sosial yang mengatakan :
“...kalau disini pemberian insentif ya yang buat semua
PNS itu mas, TPP (Tunjangan Perbaikan Penghasilan).
Terus sama PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan)
ini khusus untuk jabatan struktural, ya pemberianya satu
tahun sekali, satu orang satu kegiatan, pastinya tidak
boleh lebih atau double. Kalau insentif khusus untuk
pelaksana kebijakan kegiatan perlindungan gelandangan
dan pengemis untuk saat ini tidak ada mas sehingga dalam
kegiatanya tidak berjalan dengan efektif. (Wawancara:
Tanggal 24 September 2018, Pukul 13.00 WIB)
Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan, diketsahui
bahwa sikap (Disposisi) pelaksanaan dalam implementasi kebijakan
perda tentang penyakit masyarakat (pekat) khsususnya gelandangan dan
pengemis di Kota Serang ditanggapi cukup baik. Dalam hal ini
217
pelaksana kebijakan pekat tersebut menjalankan tugas dan
tanggungjawab seperti yang diharapkan sesuai dengan instruksi dari
pusat. Karena ketika pelaksana memiliki sifat atau perspektif yang
berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi
kebijakan juga menjadi tidak efektif ,akan tetapi adapun faktor yang
mempengaruhi kurang efektifnya kinerja pelaksana kebijakan yakni
dipengaruhi oleh ketidaktersedianya insentif sehingga menghambat
proses kerja secara rutin dan efektif.
4.5.3.4 Struktur Birokrasi
Variabel keempat menurut George C. Edward III, yang
mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik
adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber untuk
melaksanakan suatu kebijakan tersedia atau para pelaksana kebijakan
mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan mempunyai keinginan
untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut
tidak dapat terlaksana atau terealisasikan karena terdapatnya
kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks
menurut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi
tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan
menyebagiankan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan
menghambat jalanya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah
kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan
secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.
218
Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi
birokrasi yang menjadi penyelenggaraan implementasi kebijakan
publik. Tantanganya adalah bagaimana agar tidak terjadi beureaucratic
fragmentation karena struktur ini menjadikan proses implementasi
menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas
implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerjasama
diantara lembaga-lembaga negara dan pemerintah. Pada implementasi
kebijakan perda tentang pekat di Kota Serang, peneliti membagi
penjelasan hasil mengenai struktur birokrasi menjadi 2 (dua). Kedua
hal tersebut adalah Dua karakteristik menurut Edward III yang dapat
mendongkrak kinerja struktur birokrasi / organisasi ke arah yang lebih
baik adalah : melakukan Standar Operating Prosedurs (SOP) dan
melaksanakan Fragmentasi. SOP adalah suatu kegiatan rutin yang
memungkinkan para pegawai (atau pelaksana
kebijakan/administratur/birokrat) untuk melakasanakan kegaitan-
kegiatanya pada tiap harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan
(atau standar minimum yang dibutuhkan warga). Sedangkan
pelaksanaan fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggung jawab
kegiatan-kegiatan atau aktifitas-aktifitas pegawai beberapa unit kerja.
Peneliti pun memamparkan karakteristik struktur birokrasi pada
pelaksanaan implementasi kebijakan pekat kota Serang ini pun sebagai
berikut :
a. Standar Operating Procedure (SOP)
219
Pemerintah Kota Serang yang berkewenangan dalam
permasalahan yang sedang peneliti teliti ialah, Satuan Polisi Pamong
Praja Kota Serang dan Dinas Sosial Kota Serang. Kedua instansi ini
seyogyanya memiliki prosedur kerja yang digunakan sebagai panduan
untuk menjalankan Perda No 2 Tahun 2010. Prosedur kerja yang
peneliti maksud, yakni turunan dari Perda No 2 Tahun 2010 dimana
turunan ini menjadi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis untuk
mengaplikasikan perda ini.
Fakta dilapangan menunjukan, bahwa Perda ini sudah memiliki
Peraturan Walikota (perwal), yakni Peraturan Wali Kota (Perwal)
Serang Nomor 41 Tahun 2017 tentang Peraturan Pelaksanaan
Peraturan Dearah Nomor 2 Tahun 2010 yakni tentang Pencegahan,
Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Dimana
perwal ini akan menjadi petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis bagi
pelaksana kebijakan, dalam hal ini adalah Satpol PP dan Dinas Sosial
Kota Serang. Hal ini menjadi menarik karena akan menjadi
pertanyaan, atas dasar apa setiap instansi yang menjalankan Perda ini
dalam menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) dari masing-
masing instansi terkait
Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi
adalah dengan menggunakan Standar Operating Procedure (SOP).
Karena dengan adanya kejelasan tugas dan beban kerja dari setiap
instansi akan memberikan kemudahan bagi instansi lainya dalam
220
mengerjakan tugasnya. Menurut Bapak Heli Priatna selaku Kasie
Rehabilitasi dan Tuna Sosial mengatakan :
“..pada pelaksanaan kebijakan perda tentang penyakit
masyarakat (pekat) di Kota Serang khsususnya dalam
penjaringan pekat, instansi bapak sendiri sudah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan standar prosedur
yang berupa teknis atau juknis pelaksanaan kebijakan
pekat, kegiatan pelaksanaan kebijakan pekat secara garis
besar dengan melalui persiapan, pelaksanaan monitoring
ataupun penjangakauan/penjaringan dan evaluasi”
(Wawancara : Tanggal 24 September 2018, Pukul 11.45 di
Kantor Dinas Sosial Kota Serang)
Hal ini juga dibuktikan dengan adanya temuan peneliti mengenai
adanya SOP yang merupakan pedoman pelaksanaan penjaringan pekat
pada kebijakan perda no 2 tahun 2010. Sebagai berikut :
Tabel 4.5
Standar Operasional Prosedur (SOP) Penjaringan Pekat Oleh Dinas
Sosial Kota Serang.
No
Mutu buku
Uraian Kegiatan
Kelengakapan
Waktu
Output
221
1
Pendataan Instrumen data 15 Hari Hasil data
PMKS
2
Penerima Data
PMKS Pekat
Data gepeng,RPST,WTS,
exs napza
3 Hari Data
gepeng,RPST,
WTS,eks
napza
3
Penyeleksian Calon
PMKS yang akan
dikirim
Pemeriksaan data KTP
dan KK
2 Hari Dokumen,
KTP,KK, Pas
photo
4
Arahan
(pembinaan) PMKS
yang akan dikirim
Kilen PMKS yang akan
dikirim, dokumen peserta
1 Hari Data PMKS
Dokumentasi
5
Surat Tugas dan
Surat Pengantar
Pengiriman
Surat Tugas, Surat
pengantar
1 Jam Surat Tugas,
Surat
Pengantar,
Dokumentasi
6
Pengiriman PMKS
pekat kebalai
Prov/Balai
Kamensos
Kendaraan roda 4, Surat
tugas, Surat pengantar
1 Hari Diterimanya
Pengiriman
7
Tindak lanjut hasil
pengiriman
Dokumen hasil
pengiriman
pelatihan,sertifikat,
1 Hari Berkurangny
a PMKS
222
peralatan,cop dinas sosial pekat
Sumber : Hasil Observasi Peneliti di Dinas Sosial Kota Serang, 2018
Tabel diatas menunjukan adanya SOP Dinas Sosial Kota Serang,
dalam SOP tersebut dijelaskan, bahwa standar operasional prosedur
(SOP) operasi penjaringan Penyakit Masyarakat (Pekat), dengan
nomor SOP 071/456-org, tanggal pembuatan 2 Januari 2017. Dalam
SOP ini memuat pencatatan/pendataan dalam uraian kegiatan, staf
yang bertanggung jawab, kelengkapan peralatan, waktu penjangkauan
dan output yang dihasilkan.
Jika prosedurnya sudah tersedia, maka apakah prosedur tersebut
jelas dan mudah dipahami, hal ini peneliti tanyakan kepada pelaksana
Kepala Seksie rehabilitasi dan tuna sosial Dinas Sosial Kota Serang,
yakni Bapak Heli Priatna beliau mengatakan :
”....pedoman kami saat bertugas dilapangan hanya SOP, bagi
kami SOP yang sudah dibuat itu jelas dan dapat dimengerti
,hanya saja sebelum kita bertugas, kita engga sembarangan
mengambil keputusan secara sepihak, oleh karenanya harus
dikeluarkan dulu surat perintah penjaringan dari Kabid”
(Wawancara pada tanggal 24 September 2018, Pukul 11.35 WIB
di Dinas Sosial Kota Serang)
Berdasarkan Hasil Wawancara diatas, bahwa SOP yang dijadikan
landasan oleh Dinas Sosial dalam mengadakan pendataan, pembinaan
dan penjaringan gelandangan dan pengemis sudah jelas dan dapat
dipahami. Hal ini menandakan Struktur Birokrasi yang digunakan oleh
223
Dinas Sosial Kota Serang sudah terbukti sehingga tugas dan fungsi
Dinas Sosial dalam hal ini untuk melaksanakan penjaringan dan
penjangkauan dapat berjalan dengan baik.
Selain itu untuk pelaksana kebijakan seperti Satpol PP itu sendiri
fakta dilapangan menunjukan, bahwa perda ini sudah memilki
Peraturan Walikota (perwal) yakni Perwan No 41 Tahun 2017, dimana
perwal ini nantinya akan menjadi petunjuk pelaksana dan petunjuk
teknis bagi pelaksana kebijakan. Hal ini menjadi acuan bagi Satpol PP
karena dengan dikeluarkanya Perwal tersebut menjadi dasar
pembentukan Standar Operasional Prosedur (SOP).
Oleh karena itu peneliti melakukan komunikasi dengan instansi
terkait, yakni Satpol PP Kota Serang. Setelah peneliti melakukan
wawancara, Kabid PPUD Satpol PP Kota Serang menyatakan :
´“...dalam operasi penjaringan gelandangan
pengemis(gepeng) kami sudah mengikuti SOP yang
telah diterbitkan dan disahkan oleh Kepala Satuan
berdasarkan petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis
yang berlandasrkan dari Perwal no 41 tahun 2017,
sehingga pemecahan persoalan masalah gelandangan
dan pengemis dapat segera diselesaikan”
(Wawancara : Tanggal 15 September 2017, Pukul
13.45 di Kantor Satpol PP Kota Serang)
Berdasarkan hasil wawancara diatas telah jelas bahwa Satpol PP
sudah berkerja sesuai dengan SOP dengan berdasarkan petunjuk
pelaksana dan petunjuk teknis yang berlandasrkan dari Perwal no 41
224
tahun 2017 sehingga dalam pencegahan, pemberantasan dan
penanggulangan penyakit masyarakat seperti gelandangan dan pengemis
dapat segera di tangani agar terciptanya ketertiban dan keamanan Kota
Serang.
b. Fragmentasi
Fragmentasi menurut Edward III dalam Winarno adalah
pembagian tanggung jawab sebuah bidang kebijakan diantara unit-unit
organisasi. Tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan sering
tersebar diantara beberapa organisasi, tanggung jawab ini berupa
tanggung jawab memberikan penyuluhan, pelatihan dan pelayanan.
Konsenkuensi paling buruk dalam fragmentasi birokrasi adalah usaha
untuk menghambat koordinasi para birokrat karena alasan-alasan
prioritas dari badan-badan yang berbeda mendorong birokrat untuk
menghindari koordinasi dengan badan-badan lain. Dalam
implementasi perda no 2 tahun 2010 tentang pekat di Kota Serang
dapat dilihat dari pembagian tugas pada saat melakukan sosialisasi,
penjaringan serta pembinaan.
Berdasarkan penjelasan Bapak Heli Priatna selaku kasie
rehabilitasi dan tuna sosial Dinas Sosial Kota Serang, mengatakan:
“koordinasi antar pelaksana Kebijakan Pekat di Kota Serang
yaitu melalui kerjasama antara Dinas Sosial dan Satpol PP
kota Serang. Melalui kerjasama atau koordinasi yang baik
dalam pelakasanaan masing-masing tugas, Dinas Sosial
sebagai perpanjang tangan dari pemerintah pusat yang
bertanggung jawab untuk mempersiapkan para Staf dan
Anggota Tim lainya dalam memahami dan melaksanakan
225
kebijakan tentang pekat kepada instansi terkait dan
menyebarluaskan informasi pelakasanaan kebijakan pekat
kepada instansi terkait serta melaksanakan pembinaan atau
pelatihan dirumah singgah maupun bina karya. (Wawancara :
Tanggal 17 September 2018, di Dinas Sosial Kota Serang)
Gambar 4.15 Tugas dan Tanggung Jawab Pelaksanaan kegiatan
kebijakan Pekat 2018 pada Dinas Sosial Kota Serang
Sumber : Dinas Sosial Kota Serang, 2018
Adapun apa yang diungkapkan oleh bapak Juanda Selaku Kabid
PPUD Satpol PP Kota Serang, yang mengatakan :
“kami sudah bertugas sesuai dengan peraturan dan perintah yang
sudah dibuat dalam lembar tugas bidang PPUD yang sudah dibuat
dan diterbitkan Kepala Satuan, sudah sangat jelas tugas kami harus
sesuai dengan Perda no 2 tahun 2010 dalam menyelesaikan masalah
gelandangan pengemis, yang terpenting koordinasi dengan pihak
terkait seperti Dinas Sosial Kota Serang jangan sampai
miskomunikasi, karena ini tanggung jawab kami bersama dalam
menegakan perda no 2 tahun 2010..”(Wawancara : Tanggal : 15
September 2018, Pukul : 13.15 Wib di Kantor Satpol PP Kota Serang)
Gambar 4.14 Tugas dan Tanggung Jawab Satpol PP Kota Serang bagian
bidang PPUD sebagai Pelaksanaan Kebijakan Pekat 2018
226
Sumber: Hasil Observasi Peneliti di Kantor Satpol PP Kota Serang,2018
Gambar diatas menunjukan masing-masing tugas dan tanggungjawab
pelaksanaan kebijakan pekat 2018 bagi implementor dalam pembagian
peran untuk mempermudah pelaksanaan kebijakan ini. Dilihat dari
penjelasan diatas dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan kebijakan
pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat di
kota Serang telah sesuai dalam peran dan tugas serta koordinasi antar
instansi pelaksana kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat
yakini Dinas Sosial Kota Serang dan Satpol PP Kota Serang. Pembagian
peran dimaksudkan untuk mempermudah pelaksanaan kebijakan ini,
walaupun masing-masing aparat pelaksana kebijakan mempunyai tugas dan
tanggungjawab yang berbeda-beda, tetap diperlukan koordinasi antara
aparat pelaksana kebijakan.
4.5 Ringkasan Hasil Pembahasan
Dari apa yang tertera diatas, semua berdasarkan corat-coret semata,
memang itu fakta yang peneliti dapat dari wawancara yang dilakukan
dengan pihak Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang tetapi tidak ada
aturan yang baku untuk mengatur semua hal yang peneliti bahas diatas.
Maka dari itu, pentingnya penelitian kali ini memang dirasakan oleh
peneliti. Secara sadar peneliti melihat banyaknya kekurangan di beberapa
titik dalam penerapan (application) Perda No 2 Tahun 2010. Hal yang
peneliti bahas diatas baru sebagian fakta yang terjadi di lapangan dengan
memunculkan beberapa instansi di Kota Serang seperti Dinas Sosial Kota
227
Serang dan Satpol PP Kota Serang. Oleh karenanya hasil pembahasan yang
peneliti dapat merupakan fakta sesuai hasil permasalahan yang digali,
adapun peneliti memaparkan ringkasan hasil pembahasan mengenai
Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat
khususnya gelandangan dan pengemis melalui Tabel Hasil Ringkasan
Pembahasan yang di buat berdasarkan hasil kesimpulan wawancara dan
fakta dilapangan dengan berdasarkan penggunaan Teori Edward C George
III (1980:98) sebagai berikut :
Tabel 4.4
Ringkasan Hasil Pembahasan
No Dimensi Sub Dimensi
Hasil Pembahasan
1 Komunikasi - Transmisi
- Kejelasan
- Penyampaian Informasi kebijakan sudah optimal
dan, akan tetapi tidak menyeluruh di tingkat
kecamatan, hanya beberapa tingkat kecamatan di
Kota Serang, sehingga kurang menyeluruh dan tidak
tepat sasaran.
- Informasi kebijakan sudah jelas, tetapi dinilai
kurang tepat sasaran terhadap PMKS dan
masyarakat kota Serang sehingga masih banyak
masyarakat yang belum mengetahui jelas isi dari
228
- Konsistensi
kebijakan perda tersebut
- konsistensi komunikasi kebijakan perda pekat ini
sudah dikatakan baik oleh para pelaksana kebijakan
seperti Dinsos Kota Serang dan Satpol PP Kota
Serang dengan berdasarkan tugas dan perintahnya
masing-masing namun dalam penerapan dan
pelaksanaanya dibutuhkan kesabaran dan
konsistensi agar hasilnya maksimal dan dapat
meminimalisir gelandangan dan pengemis di Kota
Serang
2 Sumber Daya - SDM
- Fasilitas /
Peralatam
- Anggaran
- staf bagi pelaksana kebijakanya kurang memadai
sehingga pelaksanaan tidak berjalan efektif
- Fasilitas seperti kendaraan razia sudah memadai
akan tetapi tidak mempunyai tempat rehabilitasi
sehingga menghambat pelaksanaan kebijakan
tersebut
- Anggaran untuk pelaksanaan kebijakan perda
Penyakit Masyarakat Kota Serang kurang
memadai sehingga tidak sanggup guna
membangun tempat rehabilitasi dan pelaksanaan
program.
3 Disposisi - Koginisi
- Arahan dan
Tanggapan
Pelaksana
- Intensitas
Respon
- Para pelaksana kebijakan sudah sepenuhnya
paham dengan kebijakan perda no 2 tahun 2010
tentang penyakit masyarakat
- Untuk arahan dan tanggapan para pelaksana
kebijakan seperti dinsos dan satpol pp kota
Serang sudah menerima dan positif terhadap
pelaksanaan kebijakan serta keberpihakan
kepada sasaran kebijakan
- Para pelaksana kebijakan sudah responsif hanya
saja tidak adanya pemenuhaan kebutuhan seperti
insentif pegawai sehingga mempengaruhi kinerja
pegawai
4 Struktur
Birokrasi
- SOP
- Fragmentasi
- Dinas Sosial sudah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan standar prosedur yang berupa
teknis atau juknis pelaksanaan kebijakan pekat
dengan melalui persiapan, pelaksanaan
monitoring ataupun penjangakauan/penjaringan
dan evaluasi.
- pelaksanaan kebijakan pencegahan,
229
pemberantasan dan penanggulangan penyakit
masyarakat di kota Serang telah sesuai dalam
peran dan tugas serta koordinasi antar instansi
pelaksana kebijakan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah pusat yakini Dinas Sosial Kota
Serang dan Satpol PP Kota Serang.
Sumber : Peneliti, 2018
230
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Bahwa Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun
2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit
Masyarakat khususnya para gelandangan dan pengemis di Kota Serang ini
khususya di daerah Pisang Mas ini belum terlaksana dengan baik serta tidak
berjalan secara optimal, adapun buktinya sebagai berikut :
a. Komunikasi
1) Implementasi Perda No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,
Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat dalam
kasus gelandangan dan pengemis di daerah Pisang Mas Kota
Serang belum berjalan secara optimal karena fakta di lapangan
komuniksi yang dilakukan secara intern sudah cukup baik,
sedangkan komunikasi yang dilakukan secara ekstern masih
kurang intens hal ini dibuktikan bahwa sosialisasi Perda No 2
Tahun 2010 ini belum di Transmisikan secara menyeluruh serta
tepat sasaran kepada kelompok sasaran seperti Masyarakat serta
Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) di Kota Serang yang berada
di daerah Pisang Mas Kota Serang, hal ini dibuktikan berdasarkan
231
fakta yang dikatakan oleh Bapak Heli Priatna selaku Kasie
Rehabilitasi dan Tuna Sosial yang mengatakan bahwa Sosialisasi
Perda No 2 Tahun 2010 belum berjalan optimal karena sosialisasi
ini hanya tersebar di 4 Kecamatan saja dari 6 Kecamatan yang
berada di Kota Serang, selain itu sosialisasi tidak dilakukan secara
langsung kepada masyarakat dan gelandangan pengemis (Gepeng)
yang berada di daerah Pisang Mas Kota Serang Karena fakta
dilapangan masyarakat dan gelandangan pengemis (Gepeng) tidak
dilibatkan dalam acara rapat sosialisasi Perda No 2 Tahun 2010
yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial Provinsi itu, jadi
masyarakat hanya mengetahui lewat koran dan internet tanpa
mengetahui secara jelas isi dan tujuan kebijakan perda pekat
tersebut, hal ini menjadikan dasar bahwa Implementasi kebijakan
Perda No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan
Penanggulangan belum berjalan optimal.
2) Adapun Implementasi Perda No 2 Tahun 2010 juga belum
terlaksana dengan baik karena sebagian Gelandangan dan
Pengemis di daerah Pisang Mas Kota Serang belum mengetahui
secara jelas tentang Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010
sehingga fakta dilapangan berdasarkan kesaksian warga dan
penelusuran peneliti langsung ke lapangan bahwa masih adanya
aktivitas budaya menggelandang, mengamen oleh gelandangan
dan pengemis yang meminta-minta untuk turun ke jalan yang
232
berada di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang dengan berbagai
kriteria seperti cacat mental, anak kecil dibawah umur, dan lanjut
usia (lansia), selain itu pengemis di Lampu Merah Pisang Mas
Kota Serang menjadikan pekerjaan meminta-minta sebagai
pekerjaan tetap untuk menyambung hidup, yang waktu kerjanya
dari pagi sampai sore, dengan penghasilan sehari rata-rata 100
ribu, begitu pun gelandangan seperti pedagang asongan yang
berjualan serta Anak jalanan (Punk) yang berkeliaran dan
menyambung hidup dengan meminta atau mengamen di Lampu
Merah Pisang Mas Kota Serang, karena hal ini juga didukung
dengan Trafic Light yang berdurasi lama sehingga mengambil
kesempatan para pengemis dan gelandangan untuk memulai
aktifitas penyambung hidupnya kepada pengguna kendaraan yang
berhenti di Trafic Light Pisang Mas Kota Serang.
b. Sumberdaya
1) Belum berjalan optimalnya Implementasi Perda No 2 Tahun
2010 juga dibuktikan bahwa Bapak Heli Priatna selaku Kasie
Rehabilitasi dan Tuna Sosial Dinas Sosial Kota Serang
mengatakan sampai saat ini belum dilaksanakanya proses
Rehabilitasi dan Pelatihan keterampilan oleh Dinas Sosial Kota
Serang terhadap gelandangan dan pengemis yang ada di daerah
Pisang Mas Kota Serang melainkan hanya dilakukan pengarahan
dan pendataan saja oleh Dinas Sosial Kota Serang, angaran yang
233
tidak memadai menjadi penyebabnya bahwa tempat rehabilitasi
belum di bangun sampai sekarang, hal ini sebagai bentuk bukti
bahwa belum terlaksananya Implementasi Perda No 2 Tahun
2010 dalam pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan
penyakit masyarakat seperti gelandangan dan pengemis yang
berada di daerah Pisang Mas Kota Serang tersebut
c. Disposisi (Kemauan)
1) Bukti yang lain didapati oleh peneliti bahwa masih terdapat
masyarakat Kota Serang yang masih memberikan uang santunan
kepada Gelandangan dan Pengemis yang sedang beraktivitas di
Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang. Hal ini disebabkan dari
hasil pembuktian bahwa fakta di lapangan yang seperti apa yang
dikatakan oleh Bapak Juanda selaku Kabid PPUD Satpol PP Kota
Serang mengatakan belum dilaksanakanya penerapan sanksi
pidana kurungan penjara selama 3 bulan dan denda sebesar 50
juta kepada masyarakat yang masih memberikan uang santunan
kepada gelandagan dan pengemis yang berada didaerah Pisang
Mas Kota Serang.
2) Adapun bukti selanjutnya berdasarkan kesaksian para
Gelandangan dan Pengemis di Pisang Mas Kota Serang, bahwa
Satpol PP Kota Serang selaku pihak eksekutor jarang melakukan
tindakan razia jadi para pengemis dan gelandangan mengatakan
jarang terkena dan adapun yang belum sama sekali terkena razia
234
oleh Satpol PP, hal ini bukti kemauan pihak Satpol PP dalam
kegiatan merazia yang minim, lalu ketidaktepat sasaran serta tidak
menyeluruhnya kegiatan penjangkauan razia terhadap
gelandangan dan pengemis di Pisang Mas Kota Serang sehingga
peran dan ketertiban Satpol PP dalam menertibkan gelandangan
dan pengemis sangat minim dan terbatas sehingga sulit
menciptakan kondisi yang tertib dan tentram sebagaimana yang
Masyarakat Kota Serang dan Peneliti harapkan.
d. Struktur Birokrasi
1. Bukti terakhir yang peneliti dapat terkait belum terlaksananya
dengan baik Implementasi Perda No 2 Tahun 2010 yaitu dimana
Dinas Sosial Kota Serang sudah mempunyai struktur birokrasi dan
SOP yang jelas, hanya saja mereka terhambat dengan sistem
hierarki yang kaku. Wewenang implementor dalam implementasi
kebijakan pekat di kota Serang ini hanya sebatas apa yang
diperintahkan oleh pimpinan saja, sehingga dalam situasi-situasi
tertentu tidak dapat mengambil keputusan secara cepat, maka dari
itu kegiatan Dinas Sosial dalam mencegah, memberantas dan
menanggulangi penyakit masyarakat seperti gelandangan dan
pengemis di Pisang Mas Kota Serang ini tidak berjalan efektif dan
efesien sehingga belum terciptanya ketertiban, keamanan dan
keindahan Kota Serang yang bersih dari Gelandangan dan
Pengemis di Kota Serang ini.
235
Adapun dalam pelaksanaan kebijakan Perda Kota Serang Nomor 2
Tahun 2010 masih terdapat kendala. Hal ini disebabkan, yaitu :
1. Masih minimnya kesadaran dari Masyarakat Kota Serang tentang
adanya Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit
Masyarakat.
2. Tidak adanya ketegasan dari pelaksana kebijakan seperti Satpol
PP Kota Serang dalam menerapkan sanksi pidana berupa denda
dan kurungan penjara terhadap masyarakat Kota Serang dan para
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan
dan Pengemis yang melanggar aturan dari Perda Kota Serang
Nomor 2 Tahun 2010.
3. Dengan minimnya Anggaran yang didapat oleh Pemerintah Dinas
Sosial Kota Serang pertahunya membuat pemerintah Kota Serang
kurang maksimal dalam menjalankan tugas ataupun kewajibanya
untuk melaksanakan pembinaan dan pelatihan, karena dengan
minimnya anggaran tersebut Pemerintah Kota Serang sampai saat
ini belum mempunyai tempat Rehabilitasi dalam memberikan
pelatihan serta pendidikan untuk para penyandang masalah sosial
yang terjaring seperti gelandangan dan pengemis di dalam
memberikan pelatihan kursus montir, menjahit serta lainya.
4. Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Pelaksanaan
Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 oleh para pelaksana
236
kebijakan yakni Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang bahwa
tidak memiliki staf yang memadai sehingga para staf yang dimiliki
oleh Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang belum menjalankan
pelaksanaan Perda Kota Serang tentang Penyakit Masyarakat itu
secara efektif dan baik.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai Implementasi
Peraturan Daerah Kota Serang No 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan,
Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat terutama
berkaitan dengan para penyandang masalah sosial seperti gelandangan dan
pengemis yang berada di pusat kota Serang. Di dalam aturan terhadap Perda
ini, peneliti perlu memberikan rekomendasi beberapa saran sebagai bahan
masukan untuk para pelaksana kebijakan yang terkait yaitu Dinas Sosial dan
Satpol PP Kota Serang sebagai berikut :
e. Komunikasi
1) Penyampaian informasi kebijakan melalui jalur birokrasi harus
dilakukan secara menyeluruh pada tingkat kecamatan,
kelurahan, serta lingkungan Kota Serang, oleh karenanya perlu
adanya sosialisasi langsung ke masyarakat termasuk
Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang agar informasi
kebijakan dapat disampaikan kepada masyarakat terhadap
Peraturan Daerah No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,
Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat itu,
237
karena pentingnya sosialisasi agar masyarakat dan Gelandangan
Pengemis (Gepeng) itu mengetahui tentang kejelasan dan isi
dari Perda tersebut.
2) Selain itu, pemerintah perlu melampirkan Pamflet tentang Perda
No 2 Tahun 2010 agar informasi kebijakan tidak terdistorsi oleh
panjangnya rantai birokrasi dan penyampaian informasi
kebijakan perda no 2 tahun 2010 dapat efektif menjangkau
seluruh lapisan masyarakat.
3) Sumberdaya
1) Sumberdaya Manusia/Staf bagi pelaksana kebijakan seperti
Dinas Sosial Kota Serang perlu ditingkatkan lagi jumlah
personil staf, serta kualitas mapun semangatnya.
2) Anggaran dana untuk program Kebijakan Perda No 2 Tahun
2010 perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan
operasional, pembangunan tempat rehabilitasi dan mencukupi
kebutuhan permodalan pelatihan/kursus keterampilan bagi para
gelandangan dan pengemis.
3) Perlu adanya penyediaan tempat Rehabilitasi dan Pembinaan
untuk Para Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang itu
supaya mereka mendapatkan pembinaan dan bekal latihan
keterampilan,dari pembinaan itu sendiri berupa pembinaan
sosial dan mental agar pola pikir dan perilakunya berubah
kearah yang lebih positif, selanjutnya bekal pelatihan
238
keterampilan yang disarankan bagi Dinas Sosial guna
penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang,
sebaiknya berupa pelatihan kursus montir, wirausaha, menjahit,
komputer dan percetakan. Hal ini disarankan agar para
gelandangan dan pengemis itu tidak melakukan penyimpangan
untuk tidak turun kejalan lagi sehingga dapat ikut mensukseskan
Kebijakan Perda No 2 Tahun 2010 ini.
4) Disposisi (Kemauan)
1) Menciptakan dan meningkatkan kepedulian masyarakat oleh
pelaksana kebijakan seperti Dinas Sosial dan Satpol PP Kota
Serang untuk ikut serta membantu pemerintah dalam
melaksanakan mensukseskan kebijakan pencegahan,
pemberantasan dan penanggulangan gelandangan dan pengemis
di daerah Pisang Mas Kota Serang ini agar terciptanya
ketertiban, keamanan serta kenyamanan Kota Serang.
2) Perlunya perhatian yang lebih terhadap para personel Dinas
Sosial dan Satpol PP Kota Serang yang memiliki dedikasi tingi
dan kemauan terhadap pemerintah daerah dalam penerapan
kebijakan perdan no 2 tahun 2010 dan yang sudah melakukan
kinerjanya dengan baik, dengan cara pemberian insentif.
Meskipun hal ini sulit untuk dilakukan karena birokrasi
pemerintahan yang panjang, tetapi hal ini dapat mendorong staf
239
untuk melaksanakan penerapan perda no 2 tahun 2010 dengan
baik.
5) Struktur Birokrasi
1) Perlu adanya peningkatan koordinasi antar instansi seperti Dinas
Sosial dan Satpol PP Kota Serang yang harmonis dan
berkelanjutan agar dapat melahirkan suatu keputusan yang baik
pula sehingga peneliti menyarankan agar koordinasi tetap harus
dijaga dan dijalankan dengan beberapa instansi terkait.
2) Mengoptimalkan penerapan kurungan penjara dan sanksi yang
tegas sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2
Tahun 2010 pasal 21 ayat 1 dan 2 kepada masyarakat Kota
Serang yang masih memberikan uang santunan kepada
Gelandangan dan Pengemis yang berada di Daerah Pisang Mas
Kota Serang.
ccxl
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Agustino, Leo, 2006. Dasar-dasar Kebijakan Publik.. Bandung: CV.
Alfabeta
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Pers
Abdul Wahab, Solichin. (2008). Implementasi Kebijakan Negara. Edisi
Kedua. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Alwasilah, A. Chaedar. 2006. Pengumpulan Data Pokok Kualitatif. Jakarta:
PT. Dunia Pustaka Jaya
Dunn, William N. 2000. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press
Dwiyanto, Agus. 2005, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.
Yogyakarta: UGM
Effendi, Tadjudin Noer. 1993. Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan
Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana
Handayaningrat, Suwarno. 1990. Pengantar Studi Ilmu Administrasi
Negara. Jakarta: Gunung Agung
Irawan, Prasetya. 2006. Metodologi Penelitian Administrasi. Jakarta:
Universitas Terbuka
Jones, O Charles. 1994. Pengahantar Kebijakan Publik (Publik Policy).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persadi
J Maleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
ccxli
Kuswarno, Engkus. 2009. Kategori-kategori Pengemis. Jakarta: Rineka
Cipta
Meleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosa
Miles, Matthew B. Dan A. Michael Huberman, 2009. Analisis Data
Kualitatif. Jakarta: UI Press
Mazmaniah. 1983. Implementation and Public Policy. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persadi
Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-negara Berkembang.
Jakarta: Gramedia
Poerwadarminta. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Prastowo, Andi. 2011. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif
Rancangan Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Suharto, Edi. 2010. Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV. Alfabeta
2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alafabeta
2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Bumi Aksara
Subarsono, AG. 2005. Implementasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka
belajar
Supriyatna, Tjahya. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Jakarta:
Rineka Cipta
Suryochondro, Sukanti. 2005. Pengahantar Sosiologi Kota yaitu Kota
Didunia Ketiga. Jakarta: Erlangga
ccxlii
Thoha, Miftah. 2003. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara.
Jakarta: PT. Raja Grafindo
Widyati, Ari Purwantiasning. 2005. Urbanisasi Sebagai Salah Satu Proses
Pengkotaan. Jakarta: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas
Muhammadiyah
Widodo, Djoko. 2007. Analisis Kebijakan Publik. Jawa Timur: Bayu Media
Publishing
Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Jakarta: PT.
Buku Kita
DOKUMEN :
UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2 yaitu : “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian”
UUD 1945 Pasal 34 ayat 1, 2, 3 Tentang kewajiban pemerintah dalam
memelihara fakir miskin
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,
Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat di Kota
Serang
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 BAB VIII Pasal 21 Ayat 1 dan 2
Tentang Ketentuan Pidana
SUMBER LAIN :
(Sumber: Website\today\10Mar\Give Syahmin Maret 11\Other
files\Deifinisi dan Kriteria PMKS DINASSOSIAL.doc)
Hendra Ramadhan, 2012. Skripsi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa FISIP.
Analisis Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun
2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan
Penyakit Masyarakat(Studi Kasus Pengemis di Kota Serang)
Nitha Chitrasari, 2012. Skripsi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa FISIP.
Kinerja Dinas Sosial Kota Cilegon Dalam Penanganan Gelandangan
dan Pengemis di Kota Cilegon.
LAMPIRAN
“ Hasil Penjaringan Razia Gepeng di Kota Serang” “ Pendataan Gepeng oleh
Satpol PP Kota
Serang”
“ Wawancara bersama Ika (26) Pelayan “ Wawancara bersama Rosyid
(41)
Toko di Pisang Mas Kota Serang Masyarakat Pisang Mas Kota
Serang
“ Wawancara bersama Iwan (31) “Trafic Light Pisang Mas Kota
Serang”
sebagai masyarakat Kota Serang”
(“ Wawancara bersama Kepala
Dinas Provinsi Banten”)
(” Rapat bersama Wakil Komisi II DPRD Kota Serang”)
“ Wawancara bersama Kasie Rehabilitasi “ Wawancara Kabid PPUD
Satpol PP Kota Serang dan tunas sosial Dinas Sosial Kota Serang”
“Tempat Penampungan
Sementara (Rumah Singgah di
Bandesh Pakupatan
“Sosialisasi Perda No 2 Tahun 2010 oleh
Dinas Sosial Provinsi Banten”
“Gelandangan Di Pisang Mas Kota Serang”
“Endar (35 th) sebagai Pedagang Asongan
di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang”
“Hendri(29 th), Ijal (19th), dan Aris(31) sebagai Gelandangan yang bernampilan
Anak Punk di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang”
“Arifin (41 th) sebagai Gelandangan yang memulung
barang-barang bekas di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang”
“ Pengemis di Pisang Mas Kota Serang”
“Wawancara bersama Sanita (45 th) sebagai Pengemis
di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang”
“Wawancara bersama Said (37 th) sebagai Pengemis Cacat Mental
di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang”
“Wawancara bersama Febi (8 th) sebagai Pengemis
di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang”
Matriks Wawancara Lapangan Setelah Di Reduksi
I
Q
Kesimpulan
Komunikasi :
a. Transmisi
Q1 : Bagaimana penyaluran sosialisasi
tentang kebijakan Perda No 2
Tahun 2010 sudah tepat sasaran
terhadap Dinas Sosial dan Satpol
PP Kota Serang serta Msayarakat
dan Gelandangan Pengemis
(GEPENG) ?
I1 : “kalau penyaluran sosialisasi
tentang Perda No 2 Tahun 2010 itu
sudah terlaksana dengan baik, seperti
yang dibilang tadi kami hanya
mengikutsertakan dari para pihak
pelaksana kebijakan saja seperti Dinas
Sosial Provinsi, Dinas Sosial Kota dan
Satpol PP Kota Serang, untuk
selanjutnya kami mengharapkan
kepahaman dan ketegasan dari para
pelaksana kebijakan sosialisasi dapat
disalurkan kepada objek sasaran seperti
masyarakat dan para Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial di Kota
Serang (PMKS).
I2 : Sosialisasi kebijakan Perda No 2
Tahun 2010, sudah kami sosialisasikan
Dalam hal ini komunikasi yang terjadi
pada kebijakan perda no 2 tahun 2010
sudah dilaksanakan oleh pembuat
kebijakan seperti DPRD Kota Serang
dan pelaksana kebijakan seperti Dinas
Sosial dan Satpol PP dalam
mensosialisasikan perda no 2 tahun
2010, akan tetapi sosialisasi ini belum
berjalan secara optimal dan menyeluruh
serta tepat sasaran kepada masyarakat
dan gelandagan pengemis (Gepeng)
sehingga Implementasi Perda No 2
Tahun 2010 ini belum berjalan secara
optimal dalam mencegah, memberantas
dan menangulangi sebab masyarakat
belum banyak yang tau jelas isi perda
tersebut, untuk selanjutnya kami
mengharapkan kepahaman dan
ketegasan dari para pelaksana kebijakan
sosialisasi dapat disalurkan kepada
objek sasaran seperti masyarakat dan
para Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial di Kota Serang
(PMKS).
kepada para pelaksana kebijakan,
sosialisasi ini bertujuan demi
terciptanya kepahaman dan kejelasan
isi dari kebijakan perda no tahun 2010
ini, sehingga para implementor
kebijakan dapat mentransmisikanya
kepada masyarakat serta target
kebijakan, hal ini memang butuh kerja
keras dan kesabaran dalam
pelaksanaanya, oleh karena itu
dibutuhkan ketegaasan dan keinginan
para implementor serta sumber daya
yang memadai agar terlaksananya
kebijakan ini dengan baik dan berjalan
secara berkelanjutan.
Q2 : Apakah sosialisasi Perda No 2
Tahun 2010 sudah tepat sasaran
terhadap objek kebijakan seperti
masyarakat dan gelandangan pengemis
(Gepeng) ?
I1 : Sebenarnya para gepeng itu udah
mengetahui kurang lebih 75% tentang
perda pekat itu tersebut. Hanya saja ?
kendalanya karena faktor keisengan,
yang dimana walaupun dia sudah
mengetahui yah tapi masih tetap aja
turun kejalan, selain itu faktor yang lain
yah tidak adanya ketegasam dan
kejangkauan razia oleh pelaksana
kebijakan seperti satpol pp, bahkan
kadang” sebulan hanya beberapa kali
saja, akan tetapi jika umpamanya
kesiapan petugas untuk memantau
kegiatan gepeng ,pasti para gepeng
tersebut akan berfikir. Karena itu
kemungkinan faktor SDM yang
bukanlah tenaga ASN yang menjadi
penyebabnya karena selama ini yang
menjangkau razia lebih dominan tenaga
honorer yang bergantung pada bayaran
sehingga tidak rutin dalam
kegiatannya.”
I2 : ibu berasal dari keragilan, dek ibu
sebenernya udah tau tentang adanya
peraturan pemerintah tentang larangan
gelandangan dan pengemis karena udah
15 tahun ibu seperti ini, tapi yah ibu
tetap menghiraukan, yah karena selama
ini kepedulian pemerintah Kota Serang
nya kurang, kepeduliannya terhitung
paling setahun 3 kali, itu juga hanya
bantuan sembako, pembiayaan sekolah
untuk anak, dan sandang pangan, jadi
ya terpaksa karena miskin ibu
mengemis begini untuk kebutuhan
sehari-hari, kalo ga ngemis ibu engga
dapet uang, apalagi makan.
Q3 : Bagaimana pendapat anda
(masyarakat) tentang sosialisasi perda
no 2 tahun 2010 ini?
I1: sosialisasi dari pemerintah kota nya
kurang sih, jadinya masih banyak
berkeliaran itu gelandangan pengemis,
pemerintah nya juga kurang peduli
terhadap rakyat kecil dan jelata seperti
itu, yah akhirnya banyak yang miskin,
pengangguran dan sampe-sampe
mengemis dijalanan yang dapat
menagganggu ketertiban warga
I2 : saya sendiri yang biasa buka
warung di samping lampu merah
palima, biasanya kalo siang hari banyak
tuh pengemis minta-minta dilampu
merah, kadang anak sampai anak kecil
juga ada, terus kalo gelandangan sih
biasanya malam hari itu keluar yah
kadang tidur di trotoar kalo engga di
taman jalan, yah menurut saya
sosialisasi dari pemerintah kota nya
kurang sih, jadinya masih banyak
berkeliaran itu gelandangan pengemis,
pemerintah nya juga kurang peduli
terhadap rakyat kecil dan jelata seperti
itu, yah akhirnya banyak yang miskin,
pengangguran dan sampe-sampe
mengemis dijalanan yang dapat
menagganggu ketertiban warga
b. Kejelasan
Q4 : Apakah para pelaksana kebijakan
sudah mengetahui kejelasan dari
kebijakan Perda no 2 tahun 2010 yang
sudah ditransmisikan ?
I1 : sebenarnya kalau hal kejelasan
penyampaian kebijakan tentang
penyakit masyarakat (pekat) ini udah
jelas, hanya saja yah sosialisasi yang
efektif itu harus dilakukan langsung
terhadap target atau objek sasaran,
sehingga masih banyak PMKS dan
masyarakat yang belum tau jelas dari
kebijakan pekat itu.”
I2 : sekiranya perlu diketahui ya Tugas
Satpol pp hanya memberi peringatan,
menindak dan menangkap Gepeng
tersebut saat operasi razia, selebihnya
yakni tugas pembinaan dan rehabilitasi
itu merupakan tugas instansi terkait,
seperti Dinas Sosial Kota Serang, oleh
karenanya kami sudah ada kejelasan
dalam hal apa yang harus kami
persiapkan dalam mensukseskan
kebijakan pekat ini
I3 : kami sudah mengetahui kejelasan
perdanya, jadi dinas sosial Kota Serang
punya tugas pokok yang sudah jelas,
bahwa tugas kami ialah melakukan
pelayanan berupa pembinaan serta
rehabilitasi kepada Gelandangan
pengemis (Gepeng), tetapi sebelum itu
kami meminta pendataan terlebih
dahulu lewat kartu identitas yang
dimiliki karena satpol PP sudah
mendata yang diduga, lalu kami
menyaringnya dan kita tampung di
rumah singgah di Bandesh Pakupatan
lalu selanjutnya kita serahkan ke Jati
Luhur Bekasi untuk di rehabilitasi
karna memang kita tidak punya tempat
rehabilitasi di Kota Serangnya.
Q5 : Bagaimana pendapat Ibu tentang
kejelasan perda no 2 tahun 2010
tentang penyakit masyarakat ini ?
I4 : setau saya soal perda tentang pekat
itu ? ya saya sendiri sih baru tau nya
dari koran dan spanduk yang pernah
dipasang tuh di pinggiran jalan protokol
di depan kantor KP3B kota Serang, tapi
saya belum tau jelasnya itu seperti apa
isi dan sanksi-sanksinya, jadi harus ada
kejelasan dari pemerintahnya juga
dengan cara sosialisasi lagsung kepada
masyarakat agar masyarakat juga tau
apa maksud dan tujuan peraturan itu,
yah jadi saya akan tau apa yang harus
dipersiapkan dan dilaksanakan biar ikut
mensukseskan kebijakan tersebut secara
baik dan benar gitu loh”
c. Konsistensi
Q6 : Bagaimana konsistensi para
pelaksana kebijakan dalam
mengimplementasikan kebijakan Perda
No 2 Tahun 2010 dan apa bentuk
konsistensinya :
I1 : bahwa subtansi kebijakan perda
tentang pekat ini sebenarnya sudah
bagus namun dibutuhkan kesabaran dan
konsistensi dalam penerapannya agar
hasilnya maksimal dan dapat
meminimalisir gelandangan dan
pengemis, yah perda ini intinya? adalah
untuk mengatasi masalah gelandangan
dan pengemis yang ada di Kota Serang,
banyaknya keluhan dari masyarakat
serta mengganggu ketertiban, maka
dibentuklah perda ini, tujuanya adalah
untuk menciptakan ketertiban sosial.
I2 : jadi begini dalam konsistensi
pelaksanaan Perda khususnya Dinas
Sosial, yah kita sudah dibuat tim satgas,
perintahnya dari Walikota melalui
SKnya langsung dan dperintahkan
untuk menerima hasil dari penjaringan
PMKS oleh Satpol PP, untuk
selanjutnya di data serta dibina dan
diarahkan agar tidak lagi turun kejalan
untuk menggelandang dan mengemis.
I3 : soal konsistensi ? jadi perlu
diketahui ya, dalam pelaksanaan Perda
khususnya Satpol PP Kota Serang, kita
tentunya sudah di buat tim penjaring
razia, yang Sknya langsung turun dari
Walikota Serang itu sendiri, dan
tentunya kita diperintah untuk wajib
melaksankan pengeksekusian masalah
penyakit masyarakat (pekat) ini, lalu
kita serahkan hasil dari proses eksekusi
kita tersebut, untuk diserahkan kepada
Dinsos Kota Serang sebagai arahan dan
pembinaanya, karena kita juga
berkerjasama dengan Dinsos Kota
Serang
Sumber Daya
a. Sumber Daya Manusia (Staf)
Q7 : Apakah SDM (Staf) yang dimiliki
para pelaksana kebijakan sudah
memadai seperti Dinas Sosial Kota
Serang ini ?
I1 : kalau masalah staf ya ? untuk di
Dinas Sosial ,saya sendiri belum
mempunyai staf untuk membantu
menangani gepeng tersebut, apalagi
Satgas disini cukup kurang untuk
menjangkau si gepeng tersebut, oleh
karna nya bapak sih sangat berharap
untuk penambahan staf sebanyak 5
orang honorer dan satgas sebanyak 30
orang waktu penjangkauan dibagi 3
shift, dimana pembagian waktunya
mulai dari shift 1 pukul 07.0 pagi s/d
12.00 siang, shift 2 pukul 12.00 siang
s/d 16.00 sore, dan shif 3 pukul 16.00
sore s/d 23.00 malam, kalau seperti itu
kegiatan tersebut kan bisa terpantau di
setiap lampu merah di Kota Serang ,
yah tapinya kan hambatan nya yah
masalah anggaran untuk membayar
pegawai satgas nya kurang memadai,
bpak sih Cuma ingin dimana jumlah
dan pembagian waktu tersebut sangat
Dapat ditarik kesimpulan bahwa
pelaksana kebijakan seperti Dinas
Sosial memiliki Sumber Daya yang
kurang memadai. Seperti yang telah
disebutkan seperti hal tidak memiliki
Anggaran yang dimiliki guna
menunjang keberhasilan
implementasi kebijakan ini
diantaranya tahun ini hanya terealisasi
50 juta yang dapat diakatakan kurang
memadai, selanjutnya dalam bentuk
anggota dan staf pelaksana kebijakan
yang jumlahnya kurang memadai
sehingga tidak dapat menunjang
keberhasilan suatu implementasi,
akan tetapi adapun sumber daya yang
memadai untuk sampai saat ini adalah
fasilitas yang berupa alat trasportasi
yang disediakan dalam pelaksanaan
patroli rutin terhadap gelandangan
dan pengemis di jalan-jalan kota
Serang dengan berkerja sama dengan
Satuan Polisi Pamong Praja(Satpol
PP) dan tempat penampungan
sementara untuk memudahkan
melakukan pembinaan dan pelatihan.
Namun dibalik itu para pelaksana
kebijakan memiliki pegawai yang
cukup dalam melaksanakan tugasnya
serta memiliki kewenangan yang jelas
diharapkan agar proses penjangkauan
berjalan dengan baik dengan
memberikan hasil yang maksimal demi
netralisasi dari kegiatan PMKS.
Q8 : Bagaimana pak kalau masalah staf
di Satpol PP sini dalam penanganan
Gepeng nya ?
I1 : kalo saya sendiri sih merasa udah
cukup dengan jumlah staf dan personil
anggota yang sudah ada seperti anggota
untuk melaksanakan razia berjumlah 25
orang, staf administrasi 2 orang dan
skretaris saya 2 orang ,mereka rata-rata
masih honorer, tapi di sisi lain proses
dan kegiatan penertiban nya saja yang
terbilang kurang, yah mau gimana lagi?
Pegawai honorer kami kasian tidak ada
gaji apa lagi tunjangan, yah mereka
paling dapat anggaran cuma” sebatas
insentif bulanan , sehingga kerjanya
pun ala kadarnya dan terbilang jarang
kalo urusan kegiatan razia gelandangan
dan pengemis itu, yah kalo di itung”
sebulan sebanyak 3 kali saja
dalam pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab dalam menegakan
Perda No 2 Tahun 2010
b. Sumber Daya Anggaran (Budgeting)
Q9 : Bagaimana persoalan masalah
anggaran yang didapat dalam
penanganan masalah gelandangan dan
pengemis ini ?
I1 : ini kan masalah kita bersama,
tentunya penangananya pun harus
bersama-sama serta kita dukung
bersama-sama. Kita memang saat ini
dalam penanganan PMKS terhambat
dengan masalah anggaran yang kurang
memadai, termasuk dalam hal
penanganan gelandangan dan pengemis
serta pembangunan tempat Rehabilitasi
di Kota Serang, Namun Dinsos dan
Satpol PP selaku satuan kerja yang
menangani masalah ini, yah harus pro-
aktif. Apalagi belakangan masalah
PMKS seperti gepeng, anak terlantar,
penyandang cacat, termasuk anak-anak
punk marak lagi dibeberapa simpang
lampu merah di Kota , oleh karenanya
meski tidak adanya anggaran yang
memadai jangan sampai menyurutkan
kinerja Dinsos dan Satpol PP Kota
Serang dalam penanganan gelandangan
dan pengemis di Kota Serang ini.
I2: Anggaran yang direalisasikan
PMKS untuk tahun 2017 dan 2018
terbilang jauh sekali untuk memadai
dalam pelaksanaan program seperti
pembinaan dan pelatihan termasuk juga
tempat rehabilitasi. Akan tetapi rencana
untuk tahun berikutnya pada tahun
2019 kedepan anggaran yang
dikucurkan oleh Kementrian Sosial
akan melonjak tinggi yang dapat
melebihi anggaran tahun sebelumnya
(melebihi 100%), yang dimana jumlah
anggaran tahun sebelumnya yakni
tahun 2017 dan tahun 2018 masing-
masing hanya 70 juta akan tetapi untuk
saat tahun depan akan melonjak tinggi
hingga sampai 500 juta yang akan
diangkat tahun 2019 mendatang,
mengapa demikian karena dianggapnya
mungkin artinya masalah PMKS itu
termasuk diwajibkan dalam program
pemerintahan khususnya di Dinas
Sosial Kota Serang. hanya saja selain
permasalahan Anggaran, seharusnya
pemerintah daerah pun segera
menertibkan masalah Kantor Dinas dan
tempat rehabilitasinya. Walaupun
mendapatkan anggaran yang besar,
akan tetapi tetap saja tidak memiliki
tempat rehabilitasi yang mampu
menampung dan memberikan binaan
serta pelatihan, terkecuali anggaran itu
bisa digunakan untuk pendidikan dan
pelatihan dirumah singgah, pembelian
modal alat pelatihan dan pendidikan
PMKS, sandang pangan bagi para
PMKS serta petugas yang menjangkau
Gepeng tsb, yang dimana Satgas
(Satuan Petugas) itu berjumlah 10
orang dan 10 petugas itupun honornya
itu hanya sebanyak 10 kali penjaringan,
dan jika dihitung” sebulan hanya sekali
penjaringan, maka dari itu banyak
gelandangan pengemis yang masih
turun kejalan dan berkeliaran untuk
melakukan kegiatanya
c. Sumber Daya Kewenangan
Q10 : Bagaimana Sumber Daya
Kewenangan yang dimiliki oleh Dinas
Sosial Kota Serang ?
I1 : kewenangan bapak sendiri sih ?
yaitu melakukan penertiban hasil dari
penjaringan atau hasil razia
gelandangan dan pengemis oleh Satpol
PP yaitu untuk di data, seteelah didata
dihubungi pihak keluarganya dan
diantarkan kekeluarganya, setelah itu
dipanggilkan lagi untuk dibina secara
keseluruhan satmbil di tawarkan
program-program Dinas Sosial seperti
hal nya diberikan pendidikan dan
pelatihan, baik itu melalui Dinas Sosial
Provinsi, Balai Pemulihan Sosial di
Pasir Ona, Setelah itu juga dikirim ke
Bekasi yaitu yang mempunyai
kementrian sosial, panti sosial bina
karya”
Q11 : Apa Sumber Daya Kewenangan
yang dimiliki oleh Satpol PP Kota
Serang dalam menangani gepeng ?
I1 : Dalam penindakan kegiatan razia
dan pembinaan para PMKS kami selaku
pelaksana Binluhwassosmay
berkewenangan terhadap tahapan
proses pembinaan yang sudah dibuat
sebelumnya, tahapan tindakan tersebut
sudah sesuai berdasarkan peraturan
yang dibuat oleh Bidang Penegakan
Hukum Satpol PP Kota Serang, ini
merupakan pedoman kami dalam
melakukan pembinaan dan penindakan
terhadap PMKS termasuk Gelandangan
dan Pengemis di Kota Serang.
d. Sumber Daya Peralatan
Q12 : Sumber daya peralatan apa yang
dimiliki Dinas Sosial dalam
mensukseskan kebijakan pekat ini ?
I1 : untuk peralatan dan kelengakapan
kami dalam menangani gelandangan
pengemis kurang memadai, kita hanya
punya fasilitas kendaraan roda 2 dan
roda 4 dan Rumah Singgah itu juga
buat bawa para gepeng ,yah rumah
singgah yang kami gunakan untuk
menampung sementara para
gelandangan dan pengemis(gepeng)
bersifat tidak tetap masih suka
berpindah tempat, paling sesuai
kenyamanan dan daya tampung,
fasilitas yang lain yah paling berupa
peralatan komunikasi (HT), serta
tempat kantor yang yang masih
ngontrak, sedangkan fasilitas yang
belum memadai itu seperti tempat
rehabilitasi karna itu sangat diperlukan
sekali dalam mengatasi gepeng, kalo
untuk kelengkapan kami itu sendiri
dalam melaksanakan pendataan dan
pembinaan gelandangan pengemis, yah
seperti surat tugas, kartu tanda anggota
resmi, memakai dinas lapangan,
perlengakapan pendukung (HT, Laptop,
Buku Daftar, dan Kamera).
Q13 : Untuk sumber daya peralatan
yang dimiliki Satpol PP itu dalam
penanganan gepeng itu apa saja yang
sudah dipersiapkan ?
I1 : Dalam penindakan kegiatan razia
dan pembinaan para PMKS kami selaku
pelaksana Binluhwassosmay
berkewenangan terhadap tahapan
proses pembinaan yang sudah dibuat
sebelumnya, tahapan tindakan tersebut
sudah sesuai berdasarkan peraturan
yang dibuat oleh Bidang Penegakan
Hukum Satpol PP Kota Serang, ini
merupakan pedoman kami dalam
melakukan pembinaan dan penindakan
terhadap PMKS termasuk Gelandangan
dan Pengemis di Kota Serang.
Disposisi (Sikap)
Q14 : Bagaimana Sikap yang dimiliki
para pelaksana kebijakan untuk sampai
saat ini dalam mensukseskan kebijakan
perda no 2 tahun 2010 ?
I1 : dalam melaksanakan kebijakan
penyakit masyarakat kami senantiasa
optimis dan beerkelanjutan, tapi kami
kadang malas juga sih menangani
gepeng itu yah susah diatur dan ga ada
bahwa sikap (Disposisi)
pelaksanaan dalam implementasi
kebijakan perda tentang penyakit
masyarakat (pekat) khsususnya
gelandangan dan pengemis di
Kota Serang ditanggapi cukup
baik. Dalam hal ini pelaksana
kebijakan pekat tersebut
menjalankan tugas dan
tanggungjawab seperti yang
diharapkan sesuai dengan
instruksi dari pusat. Karena
jera nya, pasti balik lagi tuh ke jalan
untuk minta-minta, jadinya saya
berserta pegawai ataupun petugas
dilapangan yang lain kadang merasa
jengkel dan malas untuk turun kejalan
lagi, apalagi ditambah ga ada insentif
untuk petugas lapanganya jadinya
penanganan gepeng nya pun terhambat,
terus petugas kami pun jarang turun
kejalan lagi, yah alhasil banyak
dibiarkan tuh gepeng
I2 : saya dan anggota saya sesuai
perintah dan istruksi yang di keluar kan
oleh pemerintah pusat lewat surat
edaran walikota, untuk menindaklanjuti
dan bertanggungjawab dalam
pelaksanaan kebijakan pekat ini, dan
kami pun optimis dalam pelaksanaanya
agar dapat mencegah, membrantas dan
menanggulangi penyakit masyarakat
seperti gelandanagan dan pengemis.
ketika pelaksana memiliki sifat
atau perspektif yang berbeda
dengan pembuat kebijakan, maka
proses implementasi kebijakan
juga menjadi tidak efektif ,akan
tetapi adapun faktor yang
mempengaruhi kurang efektifnya
kinerja pelaksana kebijakan
yakni dipengaruhi oleh
ketidaktersedianya insentif
sehingga menghambat proses
kerja secara rutin dan efektif.
Struktur Birokrasi
a. a. Standar Operasional Prosedur
b. Q15 : Apakah Dinas Sosial sudah
berkerja sesuai SOP yang dibentuk
dalam pencegahan, pemberantasan dan
penanggulangan Gelandangan dan
pengemis ?
c. I1 : pada pelaksanaan kebijakan perda
tentang penyakit masyarakat (pekat) di
Kota Serang khsususnya dalam
penjaringan pekat, instansi bapak
sendiri sudah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan standar prosedur yang
berupa teknis atau juknis pelaksanaan
kebijakan pekat, kegiatan pelaksanaan
kebijakan pekat secara garis besar
dengan melalui persiapan, pelaksanaan
monitoring ataupun
penjangakauan/penjaringan dan
evaluasi
d. I2 : pedoman kami saat bertugas
dilapangan hanya SOP, bagi kami SOP
yang sudah dibuat itu jelas dan dapat
Dapat disimpulkan fakta yang didapat
bahwa para pelaksana kebijakan
seperti Dinas Sosial dan Satpol PP
Kota Serang sudah memiliki Struktur
Birokrasi yang terstruktur dan jelas
dimana bahwa dalam pelaksanaan
kebijakan pencegahan,
pemberantasan dan penanggulangan
penyakit masyarakat di kota Serang
telah sesuai dalam peran dan tugas
serta koordinasi antar instansi
pelaksana kebijakan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah pusat
yakini Dinas Sosial Kota Serang dan
Satpol PP Kota Serang. Pembagian
peran dimaksudkan untuk
mempermudah pelaksanaan
kebijakan ini, walaupun masing-
masing aparat pelaksana kebijakan
mempunyai tugas dan tanggungjawab
yang berbeda-beda, tetap diperlukan
koordinasi antara aparat pelaksana
kebijakan.
e. dimengerti ,hanya saja sebelum kita
bertugas, kita engga sembarangan
mengambil keputusan secara sepihak,
oleh karenanya harus dikeluarkan dulu
surat perintah penjaringan dari Kabid
f. Q16 : Apakah untuk Satpol PP itu
sendiri sudah melaksanakan tugas dan
tanggung jawab dalam menangani
gelandangan dan pengemis sudah
sesuai SOP yang dibentuk ?
g. I1 : dalam operasi penjaringan
gelandangan pengemis(gepeng) kami
sudah mengikuti SOP yang telah
diterbitkan dan disahkan oleh Kepala
Satuan berdasarkan petunjuk pelaksana
dan petunjuk teknis yang berlandasrkan
dari Perwal no 41 tahun 2017, sehingga
pemecahan persoalan masalah
gelandangan dan pengemis dapat
segera diselesaikan.
h. b. Fragmentasi
Q17 : bagaimana bentuk fragmentasi
oleh masing-masing para pelaksana
kebijakan seperti Dinas Sosial dan
Satpol PP Kota Serang?
I1: koordinasi antar pelaksana
Kebijakan Pekat di Kota Serang yaitu
melalui kerjasama antara Dinas Sosial
dan Satpol PP kota Serang. Melalui
kerjasama atau koordinasi yang baik
dalam pelakasanaan masing-masing
tugas, Dinas Sosial sebagai perpanjang
tangan dari pemerintah pusat yang
bertanggung jawab untuk
mempersiapkan para Staf dan Anggota
Tim lainya dalam memahami dan
melaksanakan kebijakan tentang pekat
kepada instansi terkait dan
menyebarluaskan informasi
pelakasanaan kebijakan pekat kepada
instansi terkait serta melaksanakan
pembinaan atau pelatihan dirumah
singgah maupun bina karya
I2 : kami sudah bertugas sesuai dengan
peraturan dan perintah yang sudah
dibuat dalam lembar tugas bidang
PPUD yang sudah dibuat dan
diterbitkan Kepala Satuan, sudah sangat
jelas tugas kami harus sesuai dengan
Perda no 2 tahun 2010 dalam
menyelesaikan masalah gelandangan
pengemis, yang terpenting koordinasi
dengan pihak terkait seperti Dinas
Sosial Kota Serang jangan sampai
miskomunikasi, karena ini tanggung
jawab kami bersama dalam menegakan
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama : Hamdan Nurkholis
Tempat, Tanggal Lahir : Serang, 20 November 1994
Jenis Kelamin : Laki Laki
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Ahmad Yani No 16, Kel. Cimuncang, Rt/Rw
01/09 Link. Asem Gede , Kecamatan Serang, Kota
Serang
Telepone : 081911211576
Latar Belakang Pendidikan
Formal
1999 – 2001 TK PGRI Kota Serang
2001 – 2007 SD Negeri Bhayangkari Kota Serang
2007 – 2010 SMP Negeri 15 Kota Serang
2010 – 2013 SMA Negeri 2 Kota Serang
Pengalaman Kerja
2013 Staf di Kantor KORPRI Kota Serang
2016 Staf di UPT Pendidikan Taktakan Kota Serang
Top Related