21
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Pembangunan Ekonomi
Dalam kebanyakan literatur mengenai pembangunan ekonomi sebelum
tahun 1970-an, pada umumnya pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai:
Suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu negara
meningkat berketerusan dalam jangka panjang.11
Dengan meningkatnya
pertumbuhan tersebut diyakini akan menciptakan lapangan pekerjaan dan
berbagai peluang ekonomi lain sehingga distribusi dari hasil-hasil pertumbuhan
ekonomi akan menjadi lebih merata dan kesejahteraan masyarakat akan tercapai.
Itulah yang secara luas secara luas dikenal sebagai prinsip “efek menetes ke
bawah”.12
Dengan kata lain, tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan unsur yang
lebih diutamakan dibanding dengan masalah kemiskinan, pengangguran, dan
ketimpangan distribusi pendapatan.
Namun, selama dekade 1970-an keberhasilan untuk mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara berkembang gagal untuk
memperbaiki taraf hidup sebagian besar penduduknya. Hal tersebut menunjukkan
ada yang salah dengan mendefinisikan pembangunan itu sendiri. Para ekonom dan
perumus kebijakan mulai beranggapan bahwa tingkat pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB) yang tinggi bukanlah suatu indikator tunggal atas
terciptanya kemakmuran dan kriteria kinerja pembangunan. Sejak itu mulai
11
Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan: Proses, masalah, dan Dasar Kebijakan (Jakarta: Kencana,2007), h. 11. 12
Efek “menetes ke bawah” merupakan salah satu topik penting dalam literatur mengenai pembangunan ekonomi pada tahun 1950-an sampai 1960-an. Dikembangkan pertama kali oleh Arthur Lewis (1954), dan diperluas oleh Ranis dan Fei (1968) dan lainya. Lihat Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia: Beberapa masalah penting, Jakarta:Ghalia Indonesia,2001, h.82.
22
mempertimbangkan untuk mengubah strategi guna mengatasi berbagai masalah
mendesak seperti tingkat kemiskinan yang semakin parah, ketimpangan distribusi
yang semakin tinggi, dan tingkat pengangguran yang semakin besar.
Secara sederhana Sukirno mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai:
pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan13
. Artinya, suatu
pembangunan ekonomi dalam suatu negara tidak saja dilihat dari pertumbuhan
PDB, tetapi juga perlu diukur dari perubahan lain yang berlaku dalam beberapa
aspek kegiatan ekonomi seperti perkembangan pendidikan, perkembangan
teknologi, peningkatan dalam kesehatan, peningkatan dalam infrastruktur yang
tersedia, penurunan ketimpangan, peningkatan dalam pendapatan dan
kemakmuran masyarakat.
Sedangkan Todaro dalam mendefinisikan pembangunan menjelaskan
sebagai berikut:
Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional
yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-
sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar
akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan,
serta pengentasan kemiskinan.14
Dengan demikian, pembangunan harus mencakup perubahan secara keseluruhan,
tanpa mengabaikan kebutuhan masyarakat yang beragam, untuk bergerak maju
untuk mecapai kondisi kehidupan yang lebih baik, secara material maupun
spiritual.
Mengacu pada definisi pembangunan diatas, maka para ekonom
memutuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan, Dudleey Seer dalam
Todaro merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan bukan lagi
13
Sadono Sukirno, op cit, h. 11. 14
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, op. cit., h. 18-25.
23
menciptakan tingkat pertumbuhan PDB setinggi-tingginya, melainkan dalam
pembangunan harus ada penanggulangan ketimpangan pendapatan atau ada
pemerataan dalam distribusi pendapatan, penghapusan atau setidaknya terdapat
penurunan tingkat kemiskinan disuatu negara, dan yang terahir harus ada
penurunan tingkat pengangguran dalam konteks perekonomian yang terus
berkembang.15
Walaupun memahami kekurangan-kekurangan dari data PDB maupun data
pendapatan per kapita (pendapatan rata-rata penduduk) sebagai alat untuk
mengukur tingkat kelajuan pembangunan ekonomi dan taraf kemakmuran
masyarakat, hingga saat ini data pendapatan per kapita selalu digunakan untuk
memberikan gambaran mengenai pembangunan ekonomi.
Salah satu teori pembangunan ekonomi yang populer adalah teori yang
dikemukakan oleh Walt Withman Rostow. Menurut Rostow, pembangunan
ekonomi atau proses transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi
masyarakat moderen merupakan suatu proses yang multidimensional.
Pembangunan ekonomi juga bukan hanya berarti perubahan struktur ekonomi
suatu negara yang ditunjukkan oleh menurunnya peran sektor pertanian dan
meningkatnya sektor industri saja. Dalam pembangunan ekonomi Rostow ada
lima tahapan masyarakat dalam pembangunan ekonomi.16
Pertama, masyarakat tradisional (traditional society) yaitu masyarakat yang
memiliki tingkat produksi per kapita dan produktivitas per pekerja masih sangat
terbatas. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar sumber daya masyarakat
digunakan untuk kegiatan dalam sektor pertanian. Terkadang dalam tahap
15
Ibid., Hal 19 16
Didin S. Damanhuri. Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang (Bogor: IPB Press,2010), h. 31.
24
masyarakat tradisional terdapat sentralisasi dalam pemerintahan dan kekuasaan
politik masih di daerah yaitu oleh tuan-tuan tanah. Kedua, prasyarat tinggal landas
(preconditions for take-off) atau biasa disebut masa transisi dimana masyarakat
mempersiapkan dirinya untuk mencapai pertumbuhan dari kemampuannya
sendiri. Rostow mengartikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang
menyebabkan perubahan ciri-ciri penting dalam suatu masyarakat; yaitu
perubahan dalam sistem politiknya, struktur sosialnya, nilai-nilai masyarakatnya,
dan struktur kegiatan ekonominya. Proses pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan
berlaku, jika perubahan-perubahan tersebut muncul. Suatu masyarakat yang telah
mencapai taraf pertumbuhan ekonomi yang sering terjadi, sudah dapat dikatakan
berada dalam tahap prasyarat tinggal landas.17
Ketiga, tahapan tinggal landas (the take-off), dalam tahap ini ditandai oleh
terjadinya perubahan yang besar dalam masyarakat seperti revolusi politik, adanya
inovasi-inovasi yang besar dalam terciptanya kemajuan, dan pasar semakin luas.
Oleh karena itu ciri utama pada tahapan ini adalah adanya pertumbuhan ekonomi
yang selalu terjadi. Keempat, tahapan menuju kedewasaaan (drive to maturity)
ditandai adanya penggunaan teknologi moderen dalam pengelolaan sumber daya
sehingga terjadi efektifitas yang tinggi. Kelima, tahap konsumsi massa yang
tinggi (high mass-consumption) merupakan tahap terahir dalam teori
pembangunan ekonomi menurut Rostow, pada tahap ini perhatian utama bukan
lagi kepada produksi, melainkan pada masalah konsumsi dan kesejahteraan
masyarakat.18
17
Ibid, h.32-34. 18
Ibid, h.34-37.
25
Dalam membedakan proses pembangunan ekonomi menjadi kelima tahap
seperti yang dijelaskan diatas, Rostow membuat penggolongannya berdasarkan
kepada ciri-ciri perubahan keadaan ekonomi, politik, dan sosial yang terjadi.
Menurut Rostow pembangunan ekonomi atau transformasi suatu masyarakat
tradisional menjadi suatu masyarakat moderen merupakan suatu proses yang
memiliki banyak dimensi. Pembangunan ekonomi bukan saja berarti perubahan
dalam struktur ekonomi suatu negara yang menyebabkan peranan sektor pertanian
menurun dan peranan kegiatan industri meningkat. Akan tetapi pembangunan
ekonomi antara lain adalah proses yang menyebabkan:
1. Perubahan orientasi organisasi ekonomi, politik, dan sosial yang pada mulanya
mengarah ke dalam menjadi berorientasi ke luar.
2. Perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga, yaitu
dari menginginkan banyak anak menjadi membatasi jumlah keluarga.
3. Perubahan dalam kegiatan penanaman modal masyarakat dari melakukan
penanaman modal yang tidak produktif menjadi penanam modal yang
produktif.
4. Perubahan sikap masyarakat dalam menentukan kedudukan seseorang dalam
masyarakat dari ditentukan oleh kedudukan keluarga atau suku bangsanya
menjadi ditentukan oleh kesanggupan melaksanakan pekerjaan.
5. Perubahan dalam pandangan masyarakat yang pada mulanya berkeyakinan
bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh keadaan alam sekitaranya dan
selanjutnya berpandangan bahwa manusia harus memanipulasi keadaan alam
sekitarnya untuk menciptakan kemajuan.19
19
Sadono Sukirno, op cit., h. 168.
26
Menurut Rostow perubahan-perubahan ini, dan banyak lagi perubahan yang
bercorak sosial, politik, dan kebudayaan, merupakan perubahan yang selalu
mengikuti tingkat perkembangan kegiatan ekonomi suatu masyarakat. Dengan
melihat perkembangan ekonomi dan perubahan-perubahan dalam struktur
ekonomi yang terjadi di Indonesia, muncul pertanyaan pada tahapan manakah
Indonesia saat ini? Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut haruslah
ada pengkajian yang lebih dalam sehingga dapat diterima oleh berbagai kalangan.
Teori selanjutnya adalah teori perubahan struktural. Teori ini fokus terhadap
mekanisme yang membuat negara-negara berkembang dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dengan cara mentransformasikan struktur
perekonomiannya dari yang semula sektor pertanian yang bersifat tradisional
menjadi dominan ke sektor industri manufaktur yang lebih moderen dan sektor
jasa-jasa. Teori ini dirumuskan oleh W. Arthur Lewis. Menurut Lewis, proses
pembangunan di negara berkembang mengalami kelebihan penawaran tenaga
kerja yang dikenal dengan model dua-sektor Lewis (Lewis two-sector model).
Model pembangunan ini menjelaskan bahwa perekonomian yang terbelakang
terdiri dari dua sektor. Pertama yaitu sektor tradisional, yaitu sektor perdesaan
subsistem yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal
tenaga kerja sama dengan 0. Kondisi ini yang melatarbelakangi Lewis untuk
mendefinisikan suplus tenaga kerja (surplus labor).20
Kedua, sektor industri perkotaan dengan tingkat produktivitas tinggi
sehingga dapat menampung tenaga kerja dari sektor subsistem. Perhatian utama
model ini terletak pada proses pengalihan tenaga kerja, pertumbuhan output, dan
20
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, op. cit., h. 133-134.
27
peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor moderen. Sedangkan percepatan
terjadinya pertumbuhan output ditentukan oleh tingkat investasi di industri dan
akumulasi modal di sektor moderen. Dalam teori ini, Lewis menyimpulkan bahwa
trasformasi struktural perekonomian dengan sendirinya akan terjadi dan suatu
perekonomian pada akhirnya akan beralih dari perekonomiaan pertanian
tradisional yang berpusat di daerah pedesaan menjadi sebuah perekonomian
industri moderen yang beroriantasi pada pola kehidupan perkotaan. 21
Selanjutnya Lewis menunjukkan pula pentingnya pembangunan seimbang
di sektor produksi yang menghasilkan barang-barang kebutuhan dalam negeri dan
barang-barang untuk diekspor. Peranan sektor ekspor dalam pembangunan dapat
ditunjukkan dengan merujuk pada implikasi dari timbulnya perkembangan yang
tidak seimbang antara sektor dalam negeri dan sektor luar negeri. Untuk
menjelaskan hal tersebut perekonomian perlu dibedakan menjadi tiga sektor, yaitu
sektor pertanian, sektor industri, dan sektor ekspor. Apabila sektor industri
berkembang, permintaan di sektor pertaniaan akan meningkat. Apabila kenaikan
produksi sektor industri merupakan penggantian terhadap barang-barang impor,
maka devisa yang dihemat dapat digunakan untuk mengimpor barang sektor
pertanaian.
Akan tetapi jika sektor pertanian tidak berkembang, maka akan harga pada
sektor pertanian akan naik dan impor akan naik, sehingga meninbulkan defisit
neraca pembayaran. Tetapi jika sektor ekspor berkembang, defisit neraca
pembayaran dapat diatasi. Dengan demikian perkembangan sektor industri tanpa
diikuti oleh sektor pertanian dapat terus berlangsung hanya apabila sektor ekspor
21
Ibid.
28
juga mengalami perkembangan. Dengan pendekatan yang sama dapat ditunjukkan
bahwa perkembangan sektor pertanian tanpa diikuti perkembangan sektor
industri, akan terus berlangsung hanya jika sektor ekspor berkembang. Dari uraian
ini dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan Lewis salah satu fungsi penting
dari sektor ekspor adalah untuk menjamin kelangsungan pembangunan apabila
tidak terdapat pembangunan yang seimbang di antara sektor-sektor dalam negeri,
yaitu sektor industri dan sektor pertanian.22
2.2. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf
hidup suatu bangsa yang sering diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan riil
per kapita. Tujuan pembangunan ekonomi disamping untuk menaikan pendapatan
nasional riil juga untuk meningkatkan produktivitas. Jadi dalam ekonomi
pembangunan tidak hanya menggambarkan jalannya pengembangan ekonomi
saja, tetapi juga menganalisis hubungan sebab akibat dari faktor-faktor
perkembangan tersebut. Kenaikan output per kapita dalam jangka panjang juga
dapat diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi. Jadi persentase pertambahan
output itu haruslah lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk dan
ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut.
23
Schumpeter (1934), dalam Boediono menjelaskan makna pertumbuhan
ekonomi sebagai berikut:
22
Sadono Sukirno, Op cit, h. 280. 23
Ibid., h. 100.
29
Pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan output masyarakat yang
disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang
digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan
“teknologi” dalam produksi itu sendiri. Sebagai contoh adalah kenaikan
Growth Domestic Product (GDP) yang disebabkan oleh pertumbuhan
penduduk atau oleh pertumbuhan stok kapital (dengan teknologi lama).24
Pertumbuhan digunakan sebagai ungkapan umum yang menggambarkan
tingkat perkembangan suatu negara yang diukur melalui persentase pertambahan
pendapatan nasional riil. Pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi
yang diikuti oleh perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi. Para ahli
ekonomi mempunyai keterkaitan terhadap masalah perkembangan pendapatan
nasional riil, juga kepada moderenisasi kegiatan ekonomi, misal: usaha merombak
sektor pertaniaan yang tradisional, masalah percepatan pertumbuhan ekonomi dan
masalah pemerataan pendapatan per kapita secara terus-menerus. Sedangkan
pertumbuhan ekonomi belum tentu diikuti kenaikan pendapatan per kapita.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi terjadi ketika terdapat lebih
banyak output dan dapat meliputi penggunaan input lebih banyak dan lebih
efisien. Pembangunan ekonomi terjadi saat lebih banyak output juga perubahan-
perubahan dalam kelembagaan dan pengetahuan teknik dalam menghasilkan
output yang lebih banyak. Pembangunan ekonomi menunjukkan perubahan-
perubahan dalam struktur output dan alokasi input pada berbagai sektor
perekonomian di samping kenaikan output. Pada umumnya pembangunan selalu
disertai dengan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan
pembangunan.25
24
Boediono.1982. Teori Pertumbuhan Ekonomi: Seri Sinopsis pengantar Ilmu Ekonomi No.4 (Yogyakarta: Balaksumur,1982), h. 55. 25
Sadono Sukirno. Pengantar Teori Makroekonomi (Jakarta: FE-UI, 2004), h. 414.
30
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi adalah istilah yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi lebih mengacu pada
proses peningkatan produksi barang dan jasa. Sedangkan pembangunan ekonomi
memiliki arti yang lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi
masyarakat secara keseluruhan.26
Menurut Todaro ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan
ekonomi dari setiap bangsa. Ketiga faktor tersebut adalah :
1. Akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang
ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia.
Akumulasi modal terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan
diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan di
kemudian hari.
2. Pertumbuhan penduduk yang pada akhirnya akan memperbanyak jumlah
angkatan kerja. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja
(yang terjadi beberapa tahun setelah pertumbuhan penduduk) secara
tradisional dianggap sebagai salah satu faktor yang memacu pertumbuhan
ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah
jumlah tenaga produktif, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar
berarti meningkatkan ukuran pasar domestik.
3. Kemajuan teknologi yang terjadi karena ditemukannya cara baru atau
perbaikan atas cara-cara lama dalam menangani pekerjaan-pekerjaan
tradisional. Dalam hal ini dikenal ada tiga klasifikasi kemajuan teknologi,
yaitu :
26
Didin S. Damanhuri, op.cit., h. 31-37.
31
Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi apabila teknologi tersebut
memungkinkan kita mencapai tingkat produksi yang lebih tinggi dengan
menggunakan jumlah dan kombinasi faktor input yang sama. Inovasi yang
sederhana, seperti pembagian tenaga kerja yang lebih spesifik yang dapat
meningkatkan output, adalah contohnya.
Kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja, terjadi apabila kemajuan
teknologi dapat menghemat pemakaian modal atau tenaga kerja. Dengan
kata lain penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita memperoleh
output yang lebih tinggi dari jumlah input tenaga kerja atau modal yang
sama.
Terakhir adalah kemajuan teknologi yang hemat modal, merupakan
fenomena yang cukup langka di negara yang relatif maju. Hal tersebut
dikarenakan dalam penelitian di dunia pengetahuan dan teknologi di
negara-negara maju yang merupakan tujuan utama adalah menghemat
pekerja, bukan menghemat modal. Tetapi di negara berkembang kemajuan
teknologi yang hemat modal sangat diperlukan. Kemajuan yang ini akan
menghasilkan metode produksi padat karya yang lebih efisien.27
Salah satu teori yang memberikan perhatian khusus pada peranan kapital
yang dapat diprensentasikan dengan kegiatan investasi yang ditanamkan pada
suatu daerah untuk menarik kapital ke dalam daerahnya adalah teori pertumbuhan
Harrod-Domar. Hal ini jelas akan berpengaruh pada kemampuan daerah untuk
tumbuh sekaligus menciptakan perbedaan dalam kemampuan menghasilkan
pendapatan. Investasi akan lebih menguntungkan apabila dialokasikan pada
27
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, op. cit., h. 92-98.
32
daerah-daerah yang dinilai mampu menghasilkan return (pengembalian) yang
besar dalam jangka waktu yang relatif cepat. Mekanisme pasar justru akan
menyebabkan ketidakmerataan dimana daerah-daerah yang relatif maju akan
tumbuh semakin cepat sementara daerah yang kurang maju tingkat
pertumbuhannya relatif lambat. Jadi, dalam model ini tingkat pertumbuhan daerah
berbeda-beda, maka ketidakmerataan ini akan cenderung semakin melebar jika
tidak ada faktor yang menyeimbangkan, misalnya pembangunan infrastruktur dan
mobilitas tenaga kerja. Sehingga dalam teori ini, pertumbuhan ekonomi
memerlukan investasi baru ditambah stok kapital yang telah ada dengan asumsi
perekonomian dalam keadaan full employment.28
Untuk memperjelas pendapat Harrod-Domar bahwa dalam penanaman
modal akan mempercepat proses pertumbuhan ekonomi dapat diterangkan dengan
menggunakan pertolongan gambar. Dalam Gambar 2.1, fungsi S adalah fungsi
tabungan. Karena teori ini memisalkan tingkat tabungan masyarakat adalah
proposional dengan pendapatan nasional, maka fungsi tersebut dimulai dari titik
O. Kemudian dimisalkan pula bahwa pada permulaannya perekonomian telah
mencapai tingkat pengunaan sepenuhnya barang-barang modal yang tersedia.
Tingkat tersebut adalah pada titik Ys₀=Y₀, dimana Ys₀ adalah jumlah keseluruhan
kapasitas barang-barang modal pada tahun permulaan dan Y₀ adalah pendapatan
pada waktu tersebut. Karena pemisahan ini, maka pada tahun tersebut penanaman
modal haruslah mencapai sebesar tabungan pada tingkat kapasitas penuh dari
barang-barang modal. Maka haruslah I = S₀.29
28
Ibid., h. 129. 29
Sadono Sukirno, op cit., h. 261
33
Penanaman modal tersebut akan menaikkan kapasitas barang-barang modal
pada masa berikutnya. Menurut teori Harrod-Domar penanaman modal sebesar I
menyebabkan pada masa berikutnya kapasitas barang-barang modal sebesar
ΔYs₀=ΔI. Pada gambar kenaikan tersebut berarti kenaikan kapasitas barang-
barang modal dari Ys₀ menjadi Ys₁. Agar kapasitas barang-barang modal yang
telah menjadi Ys₁ tersebut sepenuhnya digunakan, penanaman modal dalam tahun
tersebut haruslah mencapai I + ΔI. 30
S,I
S
I+ ΔI
ΔI
I
S₀
Y
Ys₀= Y₀ Ys₁
Sumber: Sukirno, Sadono. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar
Kebijakan. 2006. Hal 261.
Gambar 2.1 Teori Harrod-Domar dalam Grafik
Dalam analisis teori-teori pertumbuhan mengenai proses pembangunan
menekankan kepada peramalan akhir dari proses pembangunan ekonomi. Teori-
teori pertumbuhan sebelum Neo-Klasik memberikan pandangan yang sangat
pesimis mengenai keadaan proses pembangunan dalam jangka panjang. Menurut
pandangan ahli-ahli ekonomi Klasik, kelebihan penduduk akan menyebabkan
masyarakat mengalami kemunduran kembali dalam pembangunannya. Sedangkan
30
Sadono Sukirno, op cit., h. 161.
34
menurut pandangan Schumpeter, pada tingkat pembangunan yang sangat tinggi
akan menyebabkan masalah stagnasi atau ketiadaan perkembangan ekonomi.
Sedangkan teori Harrod-Domar berpendapat babwa kekurangan dalam penanaman
modal akan menimbulkan proses pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan
masalah resesi yang lebih serius dari sebelum-sebelumnya.31
2.3.Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit
usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa
akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Untuk menghitung angka PDRB
ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:
1. Pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam
jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).
2. Pendekatan pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan akhir
seperti: (a) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba, (b)
konsumsi pemerintah, (c) pembentukan modal tetap domestik bruto, (d)
perubahan stok, dan (e) ekspor neto, dalam jangka waktu tertentu
(biasanya satu tahun).
3. Pendekatan pendapatan, PDRB meupakan jumlah balas jasa yang diterima
oleh faktor-faktor produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.
PDRB Atas Dasar Harga berlaku (ADHB) digunakan untuk melihat
pergeseran dan struktur ekonomi. PDRB ADHB menunjukkan pendapatan yang
31
Sukirna, Sadono. Op cit. Hal 269
35
yang memungkinkan dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah serta
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga
pada setiap tahun.
PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) digunakan untuk mengetahui
pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun, untuk menunjukkan laju pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan/setiap sektor dari tahun ke tahun. Data PDRB ADHK
lebih menggambarkan perkembangan produksi riil barang dan jasa yang
dihasilkan oleh kegiatan ekonomi daerah tersebut.
PDRB ADHB menurut sektor menunjukkan peranan sektor ekonomi dalam
suatu daerah, sektor-sektor yang mempunyai peranan besar menunjukkan basis
perekonomian suatu daerah. Dengan demikian PDRB secara agregatif
menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan/balas
jasa terhadap faktor produksi yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi di
daerah tesebut.
Sedangkan PDRB per kapita adalah besaran kasar yang menunjukkan
tingkat kesejahteraan penduduk di suatu wilayah pada suatu waktu tertentu.
PDRB per kapita didapat dengan membagi PDRB dengan jumlah penduduk
pertengahan tahun di wilayah tersebut.32
Fungsi lain PDRB per kapita dalam
analisis pembangunan ekonomi adalah menggambarkan tingkat kesejahteraan di
antara wilayah. Semakin tinggi nilai pendapatan tersebut, semakin tinggi daya beli
penduduk, dan daya beli yang bertambah ini meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
32
BPS, Pendapatan Regional DKI Jakarta:Regional income of DKI Jakarta 2005-2009 (Jakarta: BPS, 2009), h.18.
36
Walaupun memahami kekurangan-kekurangan dari data pendapatan
perkapita (PDRB per kapita) sebagai alat untuk mengukur tingkat kelajuan
pembangunan ekonomi dan taraf kesejahteraan masyarakat, hingga saat ini data
pendapatan per kapita selalu digunakan untuk digunakan untuk memberikan
gambaran mengenai pembangunan ekonomi.33
2.4.Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam
distribusi pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya
dengan tingkat rata-rata dari distribusi pendapatan tersebut. Para ekonom pada
umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya
digunakan untuk berbagai keperluan kajian kuantitatif dan kualitatif. Kedua
ukuran tersebut adalah distribusi ukuran dan distribusi fungsional. Distribusi
ukuran (size distribution) mengukur besar atau kecilnya bagian pendapatan yang
diterima masing-masing orang, sementara distribusi fungsional menekankan pada
kepemilikan faktor-faktor produksi.
Salah satu cara untuk mengukur ketimpangan menurut perspektif distribusi
ukuran antara lain mengunakan Kurva Lorenz. Metode ini lazim digunakan para
ekonom untuk menganalisis statistik pendapatan perorangan yang
memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerimaan
pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar diterima dalam
kurun waktu tertentu. Dalam kurva ini dapat dilihat tingkat ketimpangan atau
tidak merata distribusi pendapatan dari seberapa jauh jarak Kurva Lorenz dari
33
Sadono Sukirno. op cit., h. 10-11.
37
garis diagonal. Semakin jauh jarak Kurva Lorenz dengan garis diagonal yang
merupakan garis pemerataan sempurna maka semakin tinggi tingkat
ketimpangannya.34
D
Persentase
Pendapatan
B C
Persentase Populasi
Sumber: Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi di Dunia
Ketiga. 2003. Hal 226.
Gambar 2.2 Kurva Lorenz untuk Memperkirakan Koefisien Gini
Koefisien Gini digunakan untuk mengukur ketimpangan agregat yang
angkanya berkisar antara nol hingga satu, dimana semakin mendekati nol semakin
rendah tingkat ketimpangannya dan semakin mendekati satu semakin tinggi
tingkat ketimpangannya. Koefisien gini dapat dihitung dengan cara membagi
bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dengan luas setengah
segi empat pada kurva Lorenz tersebut.
Sedangkan contoh indikator distribusi fungsional misalnya bagian
pendapatan nasional yang diterima oleh pemilik faktor produksi tenaga kerja.
34
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, op. cit., h. 223.
Koefisien gini =
Garis pendapatan
A
Kurva Lorenz
38
Ukuran distribusi fungsional ini pada dasarnya membahas persentase penghasilan
tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai faktor produksi yang terpisah dan
membandingkanya dengan persentase pendapatan total dalam bentuk sewa,bunga,
dan laba. Dengan semakin berkembangnya konsep distribusi fungsional, konsep
ini mampu menjelaskan besar atau kecilnya pendapatan dari suatu faktor produksi
dengan memperhitungkan kontribusi faktor tersebut dalam seluruh kegiatan
produksi. Kurva permintaan dan penawaran diasumsikan sebagai faktor yang
dapat menentukan harga per unit dari masing-masing faktor produksi. Jika harga
per unit produksi dikalikan dengan jumlah faktor produksi yang digunakan secara
efisien, maka dapat dihitung total pendapatan yang diterima oleh setiap faktor
produksi tersebut.35
Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap
tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan
pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap
formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah
daerah. Kebijakan pembangunan wilayah haruslah dapat mengatasi masalah
ketimpangan. Karena jika ketimpangan pendapatan tinggi akan menyebabkan
berbagai masalah dalam proses pembangunan wilayah seperti berikut:
1. Ketimpangan pendapatan yang tinggi akan menyebabkan inefisiensi
ekonomi dan mempersulit masyarakat yang berpendapatan rendah untuk
menyediakan pendidikan maupun dalam pengembangan bisnis mereka.
2. Dengan tingkat ketimpangan yang tinggi dapat melemahkan stabilitas
dan solidaritas. Lebih lagi, ketimpangan yang tinggi dapat memperkuat
35
Ibid., h. 228.
39
kekuatan politis golongan kaya yang digunakan untuk mengarahkan
berbagai hasil pembangunan untuk kepentingan mereka sendiri.
3. Selanjutnya tingkat ketimpangan yang tinggi dipandang tidak sesuai
dengan prinsip keadilan.36
Dalam perencanaan pembangunan, diabaikanya dimensi spasial membuat
kegiatan pembangunan daerah lebih ditentukan oleh mekanisme pasar. Akibatnya
modal dan orang cenderung memilih daerah yang menawarkan pengembalian
yang tinggi, sehingga daerah yang maju semakin maju dan daerah yang tertinggal
semakin tertinggal. Hal tersebut yang mendasari analisis disparitas regional, yaitu
indikator yang menggambarkan bagaimana pendapatan suatu wilayah
terdistribusikan ke sub-sub wilayah tersebut. Hal ini konsisten dengan pemikiran
Kuznets yang dituangkan dalam bentuk kurva U terbalik, yaitu sewaktu
pendapatan perkapita naik, ketidakmerataan mulai muncul dan mencapai
maksimum pada saat pendapatan pada tingkat menengah dan kemudian menurun
sewaktu telah dicapai tingkat pendapatan yang sama dengan karakteristik negara
industri. Peningkatan pertumbuhan dimungkinkan dengan berkembangnya sektor
pemimpin (leading sector). Kondisi ini akan memunculkan efek merembes ke
bawah bagi golongan miskin dengan meningkatnya upah buruh melalui sektor
lain.37
36
Ibid., h. 235. 37
Ibid., Hal 240
40
2.5 Indeks Williamson
Ukuran ketimpangan pembangunan yang mula-mula ditemukan adalah
Indeks Williamson. Secara Ilmu Statistik, indeks ini sebenarnya adalah coefficient
of variatition yang lazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan. Istilah
Indeks Williamson muncul sebagai penghargaan kepada Jeffrey G. Williamson
yang mula-mula mengunakan teknik ini untuk mengukur ketimpangan
pembangunan antar wilayah dalam studinya pada tahun 1966.
Jaffrey G. Williamson dalam studinya ingin menguji kebenaran hipotesis
Neo-klasik yang berpendapat bahwa pada permulaan pembangunan suatu negara,
ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan
terjadi sampai ketimpangan mencapai titik puncak. Setelah itu, jika proses
pembangunan berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan akan
menurun. Dengan kata lain, Williamson ingin menguji kurva ketimpangan
pembangunan antar wilayah di negara berkembang adalah berbentuk U-terbalik.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hipotesis Neo-klasik yang
diformulasika secara teoritis ternyata terbukti benar secara empirik. Hal ini
menunjukkan bahwa proses pembangunan suatu negara tidak secara otomatis
dapat menurunkan ketimpangan pembangunan antar wilayah, tetapi pada tahap
permulaan justru terjadi hal yang sebaliknya.38
Berbeda dengan koefisien gini yang lazim digunakan dalam mengukur
distribusi pendapatan, Indeks Williamson mengunakan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) per kapita sebagai data dasar. Alasanya karena yang
dibandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat
38
Sjafrizal, op cit., h.104-108.
41
kemakmuran antar kelompok. Walaupun indeks ini mempunyai beberapa
kelemahan, yaitu antara lain sensitif terhadap definisi wilayah yang digunakan
dalam perhitungan, namun demikian indeks ini cukup lazim digunakan dalam
mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.39
2.6 Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf
(h) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah). Daerah otonom,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah).
Pengertian otonom secara bahasa adalah berdiri sendiri atau dengan
pemerintahan sendiri, sedangkan daerah adalah suatu wilayah atau lingkungan
pemerintah. Menurut istilah otonomi daerah adalah wewenang/kekuasaan pada
suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan
wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan
perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan idiologi yang
sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
39
Ibid.
42
Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu seperti politik luar
negri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-
bidang tersebut menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah
berdasarkan pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.
Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab (akan fungsi-fungsi publik) dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah disebut desentralisasi. Semakin besar
suatu negara (dilihat dari penduduk dan luas wilayah) maka semakin kompleks
dan “heterogen” pemerintahannya, hal ini bisa dilihat dari tingakatan pemerintah
daerah. Desentralisasi dan sentralisasi adalah cara untuk melakukan penyesuaian
tata kelola pemerintahan dengan pendistribusian fungsi pengambilan keputusan
dan kontrol.
Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya
pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan dilain pihak terbukanya
peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal
untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Oleh
karena itu, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai kebijakan
pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses
perijinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang
perekonomian daerah. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa
masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
Akan tetapi dengan adanya otonomi daerah, setiap wilayah memiliki
kewenangan sendiri untuk mengatur daerahnya masing-masing. Daerah yang
memiliki potensi yang besar dan kelembagaan yang solid dan bebas korupsi yang
akan lebih cepat berkembang dibanding daerah lainnya. Masing-masing daerah
43
akan bersaing untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
sosial. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah ketimpangan antar daerah
meningkat. Hal ini karena perbedaan sumber daya daerah dan kesiapan dari
masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Diharapkan pada
tahun-tahun selanjutnya, setiap daerah mulai dapat mengembangkan daerah
masing-masing dalam rangka mendorong proses pembangunan ekonomi di era
otonomi daerah. Selanjutnya tingkat ketimpangan pada tahun-tahun berikutnya
setelah awal pemberlakuan otonomi daerah berangsur-angsur turun.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tentu tidak lepas dari
berbagai masalah maupun kendala. Karena otonomi daerah dilandaskan atas nilai-
nilai kebebasan, kemungkinan terjadi dampak positif dan dampak negatif
mempunyai peluang yang sama besar. Kebebasan yang tidak mampu dikendalikan
oleh pihak yang menjalankan kebebasan itu sendiri dan lemahnya law
enforcement akan lebih besar kemungkinannya untuk menghasilkan dampak
negatif dibanding dampak positif.40
Perkembangan seperti ini telah menimbulkan banyak polemik di dalam
masyarakat mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Karena otonomi daerah cukup
kondusif bagi terjadinya konflik. Kebebasan yang menyertai otonomi seringkali
ditafsirkan sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri dengan mengelola
sumber daya manusia menurut kepentingan sendiri yang merupakan sumber
konflik yang amat potensial dimasa-masa saat ini. Otonomi daerah hanyalah dapat
berjalan dengan baik bila ada pemahaman yang baik terhadap kebebasan dan
40
Maswadi Rauf. Desentralisasi Fiskal dan Otonomi Dearah: Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Syamsuddin Haris, editor.(LIPI Press,2005), h. 162.
44
kewenangan daerah, disamping adanya kemampuan mengendalikan diri dalam
menjalankan kebebasan.41
2.7. Penelitian Terdahulu
Sejak tahun 1970-an hingga saat ini sudah banyak penelitian dan pengkajian
mengenai pembangunan ekonomi regional di Indonesia yang memfokuskan pada
ketimpangan antar pulau, ketimpangan antar provinsi, maupun ketimpangan antar
kabupaten di provinsi tertentu. Penelitian terdahulu yang digunakan sebagai
referensi dalam penelitian ini dapat dikategorikan berdasarkan persamaan topik
maupun metode yang digunakan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian
terdahulu adalah dalam menganalisis ketimpangan antar wilayah di Indonesia
dengan metode indeks Williamson.
Tadjoeddin melakukan penelitian untuk menganalisis ketimpangan regional
dengan memakai data kabupaten/kota tahun 1996. Dalam penelitian ini
menemukan bahwa dari jumlah kabupaten/kota yang ada pada tahun itu, ada
sejumlah kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi yang
menjadikan daerah-daerah tersebut menjadi daerah kantong (enclave regions).
Daerah-daerah ini adalah daerah yang memiliki kekhususan dalam hal
karakteristik perekonomiannya, dimana daerah tersebut berkembang dengan pesat
karena merupakan pusat perekonomian, perdagangan, industri maupun karena
penghasil tambang maupun SDA lainnya. Hasil perhitungan Tadjoeddin
41
Ibid, h. 168.
45
menunjukkan jika daerah kantong tersebut tidak dimasukkan ke dalam analisis,
ketimpangan PDRB per kapita antarprovinsi menjadi sangat rendah.42
Tabel 2.1. Beberapa Indeks Ketimpangan Regional Dalam PDRB Per Kapita
Menurut Kabupaten/Kota (Atas Harga Konstan 1993)
1993 1994 1995 1996 1997 1998
Gini
Tanpa Migas 0,363 0,366 0,371 0,378 0,381 0,363
Tanpa Migas dan Daerah
Kantong
0,248 0,251 0,256 0,267 0,271 0,257
Theil
Tanpa Migas 0,263 0,268 0,275 0,282 0,288 0,266
Tanpa Migas dan Daerah
Kantong
0,102 0,104 0,108 0,119 0,122 0,109
L – Indeks
Tanpa Migas 0,213 0,217 0,222 0,230 0,234 0,212
Tanpa Migas dan Daerah
Kantong
0,096 0,098 0,102 0,110 0,114 0,103
CV Williamson
Tanpa Migas 0,923 0,938 0,962 0,966 0,982 0,965
Tanpa Migas dan Daerah
Kantong
0,483 0,489 0,511 0,526 0,534 0,501
Keterangan: Daerah kantong adalah 13 daerah kaya yang merupakan pusat pembangunan
industri, perdagangan dan jasa ( Kota Batam, Jakarta Pusat, Jakarta Utara,
Jakarta Timut, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Kudus, Kota Surabaya, Kota
Kediri, Badung, Kutai, Benau, Kota Samarinda).
Sumber: Tdjoeddin. 2001. Disparitas Regional dan Konflik Vertikal di Indonesia.
UNSFIR. Hal 24
Seperti yang terlihat pada Tabel 2.1, tahun 1993-1999 nilai koefisien gini
sekitar 0,36-0,38 dan tambah tinggi lagi menjadi 0,41 jika migas juga di
masukkan, tetapi jika tidak memasukkan daerah kantong dan tanpa migas, nilai
Gini dari distribusi PDB nasional per kapita turun hingga berkisar antara 0,24 dan
0,27. Selain itu, penelitian ini juga melakukan analisis dekomposisis ketimpangan
pendapatan regional ke dalam dua komponen, yakni ketimpangan pendapatan
42
Tadjoeddin et al, op cit., h. 23.
46
antar individu di dalam provinsi dan ketimpangan pendapatan pendapatan antar
provinsi, dengan mengunakan indeks Theil dan indeks L. Hasilnya juga
menunjukkan kecenderungan yang sama, adanya migas dan daerah kantong
memperparah ketimpangan regional di Indonesia.43
Tabel 2.2. Indeks Ketimpangan Williamson Antar Provinsi Di Indonesia
1995-2003
Tahun Indonesia
(Termasuk DKI Jakarta)
Indonesia
(Tanpa DKI Jakarta)
1993 0,560 0,440
1994 0,590 0,460
1995 0,630 0,480
1996 0,670 0,490
1997 0,690 0,510
1998 0,660 0,520
1999 0,670 0,530
2000 0,660 0,520
2001 0,650 0,510
2002 0,650 0,510
2003 0,640 0,500
Sumber : Sjafrizal. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. 2003, h. 114
Sjafrizal menganalisis ketimpangan pembangunan antar wilayah di
Indonesia periode 1993-2003. Disamping mengukur tingkat ketimpangan dan
tendensinya, studi ini juga mencoba melihat pengaruh DKI Jakarta terhadap
ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan antar wilayah di Indonesia
cukup besar karena struktur ekonominya yang cukup berbeda dengan provinsi-
provinsi lain. namun demikian, hasil perhitungan dengan mengeluarkan DKI
43
Ibid.
47
Jakarta ternyata indeks ketimpangan masih cukup tinggi yaitu sekitar 0,50 pada
tahun 2003.44
Tabel 2.3. Indeks Ketimpangan Williamson Antar Pulau di Indonesia tahun
1996-2006
No. Tahun CVw
1. 1996 0,225
2. 1997 0,224
3. 1998 0,250
4. 1999 0,247
5. 2000 0,261
6. 2001 0,240
7. 2002 0,234
8. 2003 0,233
9. 2004 0,229
10. 2005 0,216
11. 2006 0,210
Sumber : Refa,2009.Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau di Indonesia
[Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Bogor. Hal 45.
Refa melakukan penelitian untuk menganalisis tingkat ketimpangan
pendapatan antar pulau di Indonesia dengan mengunakan formulasi Williamson.
Dalam penelitian ini menganalisis pengaruh pertumbuhan PDRB terhadap
ketimpangan pendapatan antar pulau di Indonesia. Kesimpulannya, ketimpangan
pendapatan antar pulau yang terjadi di Indonesia terbagi dalam enam pulau
tergolong rendah. Selain itu, Refa menyimpulkan bahwa hubungan pertumbuhan
PDRB dengan indeks ketimpangan pendapatan lemah dan besarnya kontribusi
pertumbuhan PDRB terhadap perubahan ketimpangan pendapatan kecil.
Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian
sebelumnya, yaitu:
44
Sjafrizal, Op cit, h.113-114.
48
1. Dalam penelitian ini lebih menitikberatkan kepada pembangunan di DKI
Jakarta, serta menganalisis pola pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta dan
luar DKI Jakarta, pada saat pemerintah melaksanakan kebijakan
pembangunan yang lebih mengarah ke sentralistik yaitu sebelum
otonomi daerah dan setelah otonomi daerah diberlakukan.
2. Dalam penelitian ini akan menganalisis trend ketimpangan pendapatan
DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta. Baik sebelum maupun setelah
otonomi daerah dengan mengunakan metode analisi diskriptif, Klassen
Typology, Indeks Williamson, dan Analisis Trend Ketimpangan. Data
yang akan digunakan mulai dari tahun 1993-2011.
3. Selanjutnya yang membedakan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya, pada penelitian ini akan menganalisis hubungan antara
peningkatan PDRB per kapita DKI Jakarta dengan Ketimpangan DKI
Jakarta dan luar DKI Jakarta dalam periode tahun 1993-2011.
2.8. Kerangka Pemikiran
Pembangunan ekonomi di Indonesia masih meninggalkan masalah yang
sama dihadapi oleh beberapa negara berkembang lainnya. Masalah yang timbul
adalah ketimpangan antar daerah. Hal ini disebabkan karena perbedaan
kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan. Terjadinya
ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan
masyarakat antar wilayah. Karena itu aspek ketimpangan pembangunan antar
wilayah ini juga mempunyai implikasi terhadap kebijakan pembangunan wilayah
yang dilakukan Pemerintah Pusat.
49
Analisis yang pertama dilakukan adalah analisis diskriptif. Analisis
diskriptif ini memberikan gambaran umum kondisi pembangunan wilayah DKI
Jakarta dan Luar DKI Jakarta. Analisis selanjutnya adalah dengan
mengklasifikasikan sektor-sektor ekonomi per wilayah, laju pertumbuhan
ekonomi, dan PDRB per kapita di wilayah DKI Jakarta maupun luar DKI Jakarta.
Kemudian dibagi berdasarkan empat kategori berdasarkan analisis Klassen
Typology sektoral. Langkah berikutnya adalah analisis ketimpangan/disparitas
ekonomi di wilayah DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta yang dapat dilihat dari
berfariasinya nilai PDRB per kapita dan jumlah penduduk di setiap wilayah
tersebut.
Selanjutnya akan dianalisis dan dihitung tingkat keparahan ketimpangan di
setiap wilayah amatan dengan mengunakan rumus ketimpangan antar wilayah,
yaitu formulasi Williamson, kemudian didapatkan indeks ketimpangan
Williamson dan dilihat trend ketimpangan sebelum dan setelah diberlakukannya
kebijakan otonomi daerah dengan menggunakan grafik.
Hasil akhir dari penelitian ini adalah implikasi kebijakan bagi pemerintahan
pusat maupun daerah untuk mengatasi masalah ketimpangan di DKI Jakarta dan
luar DKI Jakarta, yaitu dengan memperhatikan sektor yang ditengarai menjadi
penyebab ketimpangan karena hanya terpusat di daerah tertentu namun memiliki
share yang lebih tinggi bagi PDRB di wilayah Jakarta dan luar DKI Jakarta.
Ketimpangan juga dihubungkan dengan sektor-sektor unggulan di masing-masing
wilayah dan dilihat posisi relatif masing-masing wilayah. Dengan melihat potensi
dari masing-masing wilayah, dapat dilihat dari besarnya kontribusi masing-
masing sektor bagi nilai PDRB wilayahnya. Dengan demikian, dapat pula sektor-
50
sektor yang ditenggarai menjadi penyebab naik atau turunya indeks ketimpangan
di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta.
Berikut adalalah gambar kerangka pemikiran dalam Gambar 2.4:
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran
Kebijakan Pembangunan
Nasional
Pertumbuhan Ekonomi di DKI Jakarta
Sebelum Otonomi Daerah
1990-1999
Setelah Otonomi Daerah
2000-2010
Ketimpangan Wilayah Ketimpangan Wilayah
Klasifikasi Wilayah
( Klassen Typology)
Ketimpangan Antar Wilayah
(Indeks Williamson)
Pola kesenjangan Wilayah
Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah
Seiring Pertumbuhan Ekonomi Jakarta
Top Related