I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama tiga dekade terakhir isu perubahan iklim (climate change) sudah
menjadi salah isu utama yang dibahas pada setiap pertemuan internasional.
Pembahasan tersebut di tingkat global terakhir kali dilakukan pada Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau Conference of Parties The United
Nations Framework Convention on Climate Change (COP-UNFCCC) ke-15 yang
berlangsung pada tanggal 7-18 Desember 2009 di Copenhagen, Denmark. Namun
demikian, COP ke-15 tersebut tidak menghasilkan kesepakatan yang mengikat
secara hukum negara-negara maju untuk ikut mematuhi kesepakatan internasional
da lam penanggulangan pemanasan global. Oleh karena itu, KTT tersebut
dianggap gagal menciptakan suatu kesepakatan yang mewajibkan kepada seluruh
pihak di dunia untuk mengendalikan perubahan iklim.
Banyak pa ra pihak yang mengkhawatirkan bahwa kegagalan dalam upaya
penanggulangan perubahan iklim akan semakin menyudutkan negara-negara
berkembang yang selama ini dituduh sebagai salah satu sumber terjadinya
pemanasan global. Hal tersebut sangat beralasan apabila melihat laporan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2007 yang memprediksika n
bahwa akan terjadi peningkatan suhu bumi rata-rata 2.80C selama abad 21 dengan
perkiraan peningkatan suhu antara 1.8 sampai dengan 4. 0C yang disebabkan oleh
meningkatnya konsentrasi CO2, sehingga menghasilkan efek gas rumah kaca di
atmospir. Kondisi tersebut diperkirakan akan semakin memburuk karena sampai
saat ini tidak ada kebijakan yang mengontrol terjadinya emisi tersebut. Kondisi
2
seperti itu akan berdampak pada berbagai aspek seperti meningkatnya frekuens i
terjadinya suhu ekstrim, dan peningkatan permukaan air laut. Perubahan-
perubahan tersebut menyebabkan perubahan produktivitas di sektor pertanian,
kehutanan, perikanan dan tenaga kerja yang pada akhirnya membawa konsekuens i
kepada kondisi ekonomi maupun sosial dalam jangka panjang (Zhai Fan et al,
2009).
Khusus di sektor pertanian perubahan cuaca dan iklim yang sangat
mempengaruhi produktivitas antara lain perubahan suhu dan po la curah hujan,
maupun dampak resultan dari ketersediaan air, pestisida, penyakit dan terjadinya
cuaca yang eks trim (Zhai Fan et al, 2009). Hasil studi Zhai Fan et al. yang
dilakukan untuk sektor pertanian di China, mengindikasikan juga bahwa hal
tersebut akan terjadi di seluruh dunia. Hal ini dapat dilihat dalam studi yang
dilakukan oleh Clien (2007) yang menemukan bahwa pemanasan global akan
berdampak negatif terhadap pertanian global secara agregat. Studi tersebut juga
menemukan bahwa dampak perubahan iklim atau pemanasan global akan lebih
besar pada negara-negara berkembang, terutama negara-negara Afrika, Amerika
Latin dan India.
Sektor pertanian di beberapa negara berkembang seperti India, Brazil,
Afrika Selatan, dan Indonesia akan dipengaruhi oleh terjadinya perubahan iklim
tersebut (Cline, 2007). Perubahan iklim juga berdampak terhadap berbagai aspek
kehidupan dan aktivitas manusia. Sektor pertanian sebagai salah satu sektor
penyebab dan memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim, ternyata juga
merupakan sektor yang menjadi korban dan paling rentan (vulnerabel) terhadap
perubahan iklim (Irianto, 2008). Irianto (2008), lebih lanjut menjelaskan bahwa,
3
bagi Indonesia, perubahan iklim diperkirakan akan menurunkan produktvitas dan
produksi produk pertanian di masa depan. Hal ini diperkirakan akan menjadi
masalah karena konsumsi produk pertanian diperkirakan meningkat dimasa
mendatang akibat peningkatan populasi dan meningkatnya pendapatan per kapita.
Hal ini mengingat bahwa sektor pertanian selain berperan penting dalam
pemenuhan ketahanan pangan juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja dan
kontribusinya cukup signifikan terhadap pe rekonomian nasional.
Selama hampir tiga dekade produksi komoditi sektor pertanian Indonesia
sebagian besar terus mengalami peningkatan kecuali ubi jalar (sweet potatoes) dan
kedelai trend produksinya masing-nasing turun sebesar 0.7 persen dan 2.6 persen
(BPS dan Kementan, 2010). Beberapa produk pertanian yang trend produksinya
mengalami peningkatan selama periode 1984-2008 hanya naik rata-rata dibawah
10 persen per tahun. Produk pertanian yang trend produksinya meningkat cukup
signifikan selama periode 1984-2008 antara lain minyak kelapa sawit (10.3
persen), biji sawit (10.2 persen), coklat (4.9 persen). Sedangkan komoditi pangan
lainnya seperti beras, kedelai, dan ubi kayu hanya meningkat rata-rata kurang dari
2 persen per tahun selama periode yang sama seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Tabe l 1. Produksi Beberapa Komoditi Pertanian Indonesia (Ribu Ton)
Komoditi 1984 2004 2005 2006 2007 2008 Trend
(% ) 84-08
Ubi Kayu
14 167.0
19 24.0
19 321.0
19 986.0
19 988.0
20794.0
1.4 Ubi Jalar 2 157.0 1 901.0 1 857.0 1 854.0 1 886.0 1 906.0 -0.7 Kacang tanah 535.0 837.0 836.0 838.0 789.0 771.0 1.6 Kedelai 769.0 723.0 808.0 747.0 592.0 723.0 -2.6
Sumber: Kementerian Pertanian, 2010 dan BPS, 2010
4
Tabe l 1. Produksi Beberapa Komoditi Pertanian Indonesia (Lanjutan)
(Ribu Ton)
Komoditi 1984 2004 2005 2006 2007 2008 Trend
(% ) 84-08
Beras : 38 136.4 54 089.0 54 151.1 54 454.9 57 157.4 60 325.9 1.6
Padi lahan kering 2 119.1 2 879.0 2 833.0 2 807,0 2 958.0 3 149.0 1.4
Padi lahan basah 36 017.3 51210 51 318.0 51 647.0 54 200.0 57 102.0 1.6
Karet 304.8 341.3 415.5 450.4 445.6 452.1 1.3
Minyak Sawit 1 080.5 5 409.1 9 247.4 10 869.4 11 809.9 12 248.9 10.3
Biji Sawit 229.5 1 270.4 2 115.9 2 315.8 2 592.2 2 846.5 10.2
Coklat 20 57.1 57.1 55.6 59.1 56.1 4.9
Kopi 22.8 28.9 28.8 25.1 22.6 22.9 1.3
Teh 99.8 134.4 122.3 114.4 128.5 128.0 1.2
Gula Tebu 1 499.9 2 161.8 2 205.4 2 266.7 2 587.6 2 256.9 0.9
Sumber: Kementerian Pertanian, 2010 dan BPS, 2010
Terjadinya perlambatan laju pertumbuhan produksi pertanian atau bahkan
penurunan akan berdampak pada menurunnya suplai, sehingga akan
menyebabkan kenaikan harga produk pertanian. Selanjutnya, jika permintaan
diasumsikan tetap atau bahkan meningkat, maka untuk mencukupi kelebihan
permintaan biasanya dipenuhi melalui impor produk pertanian dari sumber lain
atau negara lain. Hal ini berarti bahwa penurunan produksi pertanian akan
mempengaruhi perdagangan (ekspor/impor) produk pertanian tersebut. Kinerja
ekspor produk pertanian selama satu dekade nilainya terus mengalami
peningkatan cukup signifikan. Pada tahun 2000 nilai ekspor produk pertanian
hanya tercatat sebesar US$ 2.7 milyar meningkat menjadi US$ 4.3 milyar pada
tahun 2009. Namun demikian, selama periode tersebut kontribusinya terhadap
total ekspor non migas terus menurun dari 5.67 persen pada tahun 2000 menjadi
4.46 persen pada tahun 2009 seperti terlihat pada Tabel 2.
5
Tabe l 2. Kinerja Ekspor Produk Pertanian Indonesia (US$ Juta)
No Uraian 2000 2005 2008 2009 Trend (%)
00-09
Pangsa (%)
2009 Ekspor Non Migas 47 757.4 66 428.4 107 894.1 97 491.7 11.56 100.00
1 Pertanian 2 709.1 2 880.2 4 584.6 4 352.8 7.19 4.46
2 Industri 42 002.9 55 593.6 88 393.5 73 435.8 10.13 75.33
3 Pertambangan 3 045.3 7 954.6 14 916.1 19 703.1 24.52 20.21
Sumber: BPS, 2010
Terkait dengan perdagangan komoditi pertanian tersebut, liberalisasi
perdagangan komoditi pertanian baik dalam kerangka multilateral, regional dan
bilateral juga mempengaruhi pola perdagangan komoditi pertanian di berbagai
kawasan. Berdasarkan hasil penelitian Rahmanto (2005) menunjukkan bahwa
dampak liberalisasi perdagangan selama periode 1995-2002 berkontribusi
terhadap meningkatkan surplus maupun defisit perdagangan pada sebagian besar
kelompok komoditi. Misalnya untuk komoditi sereal, gula, susu, hewan hidup,
dan beberapa produk residu dari industri penggilingan, dampaknya sangat nyata
terhadap meningkatnya defisit neraca perdagangan komoditi tersebut. Sebaliknya
pada kelompok komoditi perikanan, perkebunan, dan industri olahan justru
mampu meningkatkan surplus perdagangan komoditi tersebut.
Lebih lanjut hasil penelitian Rahmanto (2005) menunjukkan bhawa
liberalisasi perdagangan regional yang telah diimplementasikan oleh Indonesia
melalui ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-China FTA (CAFTA) dan
Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) berdampak pada
peningkatan ekspor produk pertanian Indonesia dengan negara-negara mitra FTA
tersebut. Namun demikian, impor Indonesia untuk komoditi pertanian dengan
6
mitra FTA tersebut juga mengalami peningkatan yang jauh lebih tinggi dari
peningkatan ekspornya. Dengan demikian, neraca pe rdagangan komoditi
pertanian Indonesia dengan negara mitra FTA secara umum menngalami defisit.
Sementara itu, bila dilihat peranannya terhadap perekonomina nasional,
sampai saat ini pangsa sektor pertanian terhadap total Produk Domestik Bruto
(PDB) Indonesia terus menurun dari 41 persen pada tahun 1970 menjadi 13.61
persen pada tahun 2009 sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Pada tahun 1999
sektor pertanian Indonesia dengan kontribusi sebesar 19.6 persen masih mampu
menyerap lapangan kerja sebesar 43.2 persen dari seluruh sektor yang ada dan
pada tahun 2009 dengan kontribusi tinggal 13.61 persen mampu menyerap
lapangan kerja sebanyak 41.2 persen dari seluruh sektor ekonomi nasional (BPS,
2010). Menurut Todaro dan Smith (2006), menurunnya pangsa sektor pertanian
tersebut adalah sebagai dampak dari serangkaian kebijakan dan strategi
pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah Indonesia yang lebih berpihak
pada sektor non pertanian yang dilakukan sejak tahun 1990-an.
Tabe l 3. Kontribusi Sektor Pertanian terhadap Produk Domestik Bruto
Sub Sektor Kontribusi terhadap PDB Pertanian (%)
1970 1980 1990 1996 1999 2002 2006 2009
Tanaman Bahan M akanan 61.3 60.7 60.6 52.8 52.34 50.64 49.61 50.17
Tanaman Perkebunan 17.2 18.8 16.7 16.2 16.49 16.65 14.57 15.48
Peternakan 5.8 6.1 10.4 11.2 10.09 11.08 11.93 12.40
Perikanan 9.3 5.4 7.8 9.8 11.00 11.85 16.97 16.28
Kehutanan 6.4 9.0 4.5 10.0 9.68 9.78 6.97 5.67
Sumber: BPS, 2009 dan SAKERNAS, 2009.
7
Tabe l 3. Kontribusi Sektor Pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (Lanjutan)
Sub Sektor Kontribusi terhadap PDB Pertanian (%)
1970 1980 1990 1996 1999 2002 2006 2009
Pangsa Pertanian Thd Total PDB
41.0 30.7 21.5 15.4 19.6 17.5 12.90 13.61
Pangsa Lapangan Kerja Pertanian
66.4 54.8 53.9 44.0 43.2 44.3 43.3 41.2
Sumber: BPS, 2009 dan SAKERNAS, 2009
1.2 Rumusan Masalah
Terjadinya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer
mengakibatkan rata-rata temperatur bumi meningkat. Peningkatan temperatur
permukaan bumi diakibatkan oleh dua faktor yaitu faktor alami dan faktor
antropogenik atau aktifitas manusia (IPCC, 2007). Faktor alami terdiri dari faktor
sirkulasi lautan, gunung meletus dan faktor radiasi matahari yaitu radiasi
gelombang panjang yang terperangkap di gas rumah kaca (Marpaung et al, 2008).
Sedangkan faktor antrofogenik terdiri dari aktifitas manusia dalam konsumsi
energi terutama yang berasal dari bahan bakar fosil dan perubahan tata guna lahan
seperti pembukaan hutan untuk lahan perkebunan, pertanian dan pemukiman yang
menghasilkan gas rumah kaca ke atmos fer (Marpaung et al, 2008).
Meningkatnya suhu rata-rata global (pemanasan global) telah diakui oleh
berbagai ilmuwan sebagai pemicu terjadinya perubahan iklim atau perubahan
iklim dengan dampak yang lebih besar (IPCC, 2007). Berdasarkan data IPCC
(2007) menunjukkan bahwa dari observasi yang telah teramati selama lebih dari
170 tahun (1840-2010) menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan rata-rata
temperatur global yang signifikan sebagaimana terlihat pada Gambar 1.
8
Sumber: Intergovernmental Panel on Climate Change, 2007 Gambar 1. Perkembangan Rata-Rata Temperatur Permukaan Global
Disamping itu, berdasarkan hasil estimasi yang juga dilakukan oleh IPCC
hingga tahun 2100 menunjukkan bahwa perkiraan naiknya suhu global dengan
beberapa skenario estimasi akan meningkat cukup signifikan seperti yang terlihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Perkiraan Rata-Rata Suhu Udara berdasarkan Estimasi Intergovernmental Panel on Climate Change
(0
Tahun C)
A1B A1T A1F1 A2 B1 B2
1750-1990 0.33 0.33 0.33 0,33 0.33 0.33
1990 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
2000 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16
2010 0.30 0.40 0.32 0.35 0.34 0.39
2020 0.52 0.71 0.55 0.50 0.55 0.66
2030 0.85 1.03 0.85 0.73 0.77 0.93
Sumber: Intergovernmental Panel on Climate Change, 2001
9
Tabel 4. Perkiraan Rata-Rata Suhu Udara berdasarkan Estimasi Intergovernmental Panel on Climate Change (Lanjutan)
(0
Tahun C)
A1B A1T A1F1 A2 B1 B2
2040 0.26 1.41 1.27 1.06 0.98 1.18
2050 0.59 1.75 1.86 1.42 1.21 1.44
2060 1.97 2.04 2.50 1.85 1.44 1.69
2070 2.30 2.25 3.10 2.33 1.63 1.94
2080 2.56 2.41 3.64 2.81 1.79 2.20
2090 2.77 2.49 4.09 3.29 1.91 2.44
2100 2.95 2.54 4.49 3.79 1.98 2.69
Sumber: Intergovernmental Panel on Climate Change, 2001
Keterangan :
A1B = Skenario yang menggambarkan arah perubahan teknologi alternatif dalam sistem Energi yang seimbang terhadap seluruh sumber daya energi A1T = Skenario yang menggambarkan arah perubahan yang bersumber dari energi non-fossil A1F1 = Skenario yang menggambarkan arah perubahan teknologi alternatif dalam sistem
energ i yang bersumber dari intensif fossil A2 = Skenaro yang menggambarkan dunia sangat heterogen. B1 = Skenario yang menggambarkan dunia bersifat convergen dengan populasi global yang
sama yang mencapai puncaknya pada abad pertengahan dan selanjutnya menurun B2 = Skenario yang menggambarkan suatu dunia dimana yang ditekankan adalah solusi lokal dalam aspek ekonomi, sosial, dan kelestarian lingkungan.
Menurut Marpaung et al (2008), perubahan unsur iklim yang pasti adalah
peningkatan suhu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa peningkatan tersebut sangat
logis karena jumlah penduduk yang bertambah dengan pesat dan aktifitas manusia
yang menghasilkan gas rumah kaca ke atmosfer juga semakin meningkat.
Sedangkan perubahan iklim yang tidak pasti ada lah perubahan curah hujan serta
pengaruh El Nino 1
1)Fenomena El Nino adalah naiknya suhu di Samudra Pasifik hingga menjadi 310C, sehingga akan menyebabkan kekeringan yang luar biasa di Indonesia.
) pada iklim di Indonesia (Marpaung, et.al, 2008).
Meningkatnya suhu akan menyebabkan menigkatnya penguapan, tetapi karena
pengaruh dari sirkulasi udara global dan sangat kompleks, peningkatan curah
hujan tidak selalu terjadi pada lokasi yang sama dengan kejadian penguapan
(Marpaung et al. 2008).
10
Untuk pendugaan iklim yang akan datang khususnya perubahan suhu global
menunjukkan bahwa pada periode 100 tahun ke depan akan terjadi perubahan
suhu global yang signifikan hampir disemua negara (Cline, 2007). Berdasarkan
studi yang dilakukannya, Cline (2007) menunjukkan bahwa pemanasan global
akan berdampak pada kenaikan suhu di berbegai negara sebagaimana disajikan
pada Tabel 5.
Berdasarkan tabel tersebut, rata-rata suhu saat ini (basis 1961-1990) akan
mengalami peningkatan pada masa datang (basis 2070-2099) di hampir semua
negara termasuk Indonesia. Rata-rata suhu di Indonesia yang saat ini sebesar
25.76 0C akan meningkat menjadi rata-rata 28.58 0C pada masa datang. Artinya
dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun ke depan suhu rata-rata di Indonesia
akan meningkat sebesar 2.82 0
Perubahan iklim tersebut diperkirakan berdampak cukup besar bagi seluruh
negara yang ada di be lahan bumi tidak terkecuali Indonesia. Berbagai peristiwa
telah terjadi di berbagai belahan dunia akibat perubahan iklim dan pemanasan
global seperti perubahan pola dan distribusi curah hujan di negara tropis,
meningkatnya kekeringan, banjir dan tanah longsor, menurunnya produksi
pertanian/gagal panen, meningkatnya kejadian kebakaran hutan, meningkatnya
suhu di daerah perkotaan, naiknya permukaan laut (Marpaung et al. 2008).
C. Perubahan suhu yang diprediks ikan oleh Cline
(2007) juga terjadi di beberapa negara Asia lainnya seperti India, China, dan
negara lainnya.
11
Tabe l 5. Rata-Rata Suhu Saat Ini dan yang Akan Datang di Beberapa Negara (0
C)
Negara Suhu
Saat ini, Masa Datang 1961–1990 2070–2099
Australia Southeast 16.68 20.27 Southwest 18.35 21.75 Central East 22.02 26.10 Central West 23.49 27.63 North 26.38 30.04
Bangladesh 24.46 28.13 Brazil
Amazon 26.04 30.38 Northeast 25.58 29.46 South 22.04 25.90
Canada Arctic –15.09 –7.28 Central –0.47 5.41 Northwest Territories –8.88 –2.42 Pacific Coast 0.79 5.40 Southeast –0.93 5.42
China Beijing Northeast 2.73 8.89 Central 9.49 14.48 Hong Kong Southeast 18.78 22.67 Northwest 6.06 12.08 South Central 17.50 21.27
India Northeast 20.54 24.54 Northwest 23.55 27.52 Southeast 26.76 30.06 Southwest 26.23 29.32
Indonesia 25.76 28.58 Pakistan 19.91 24.76 Russia
Caspian Black Sea 7.85 13.52 Far Eastern –10.56 –2.69 North European 2.05 8.60 North Urals Siberia –7.02 1.00 Northeast Siberia –13.97 –5.84 South Urals Siberia –0.25 6.79 Southeast Siberia –5.58 1.48
Turkey 11.42 16.14 United States
Alaska –5.10 1.12 Lakes and Northeast 8.26 14.17 Pacific Northwest 7.57 12.11 Rockies, Plains 6.68 12.36 Southeast 16.69 21.44 South Pacific Coast 12.11 16.56 Southwest and Plains 15.05 20.20
Vietnam 24.09 27.44 Sumber: Cline, 2007
12
Dampak perubahan iklim atau pemanasan global khususnya terhadap sektor
pertanian diprediksi akan menurunkan produktivitas dan produksi pertanian di
seluruh negara (Cline, 2007). Sebagai gambaran berdasarkan data FAO 2010
terlihat bahwa selama periode 1984-2005, tingkat produktivitas gandum, beras,
dan jagung dunia mengalami penurunan dibandingkan 1961-1983 di saat suhu
global mengalami peningka tan seperti yang terlihat pada Tabel 6. Selama periode
tersebut, produktivitas gandum di negara produsen utama dunia hampir
seluruhnya mengalami penurunan kecuali Australia. Demikian pula produktivitas
Beras di negara produsen utama dunia juga mengalami penurunan kecuali di
Amerika Serikat dan Vietnam, sedangkan produktivitas jagung mengalami
penurunan di Amerika Serikat, Meksiko, Argentina dan China.
Tabe l 6. Perkembangan Produktivitas Jagung, Gandum, Kedelai dan Beras Dunia Tahun 1961-1983 dan Tahun 1984-2005
(%) Komoditi/Negara 1961-1983 1984-2005
Gandum 1.19 1.56 Argentina 1.19 1.56 Australia 0.21 1.02 Kanada 2.09 1.53 Cina 5.88 1.82 Perancis 3.1 0.98 India 3.7 1.94 Amerika Serikat 1.73 0.83 Rata-rata tertimbang 3.46 1.49
Beras Bangladesh 1.1 2.71 Cina 2.96 0.95 India 1.59 1.5 Indonesia 3.76 0.61 Amerika Serikat 0.87 1.13 Vietnam 0.86 2.95 Rata-rata tertimbang 2.28 1.38
Jagung Argentina 3.12 2.72 Brazil 1.43 3.47 Cina 4.63 1.47 Meksiko 2.6 2.33 Amerika Serikat 2.12 1.58 Rata-rata tertimbang 2.77 1.83
Sumber: FAO, 2010
13
Tabel 6. Perkembangan Produktivitas Jagung, Gandum, Kedelai dan Beras Dunia Tahun 1961-1983 dan Tahun 1984-2005 (Lanjutan)
(%)
Komoditi/Negara 1961-1983 1984-2005
Kedelai Argentina 3.68 1.16 Brazil 2.64 2.45 India 3.46 1.27 Amerika Serikat 0.98 1.34 Rata-rata tertimbang 2.08 1.62
Sumber: FAO, 2010
Selajutnya Cline (2007) memprediksikan dampak perubahan iklim
(kenaikan suhu global) terhadap penurunan tingkat produktivitas pertanian di
beberapa negara dengan tingkat penurunan yang berbeda-beda di beberapa negara
maju dan negara-negara berkembang pada tahun 2050 dengan mengacu pada
perkiraan kenaikan rata-rata suhu global. Berdasarkan Tabel 7 tingkat
produktivitas pertanian di negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Kanada
dan Amerika Serikat masing-masing diprediksikan turun sebesar 17 persen, 4
persen, 1 persen dan 4 persen. Sebaliknya produktivitas pertanian Selandia Baru
justru diperkirakan mengalami peingkatan sebesar 1 persen. Penurunan
produktivitas pertanian juga terjadi di negara-negara berkembang yaitu China,
ASEAN, India, Argentina, dan Brazil dengan tingkat penurunan masing-masing
sebesar 4 persen, 12 persen, 25 persen, 7 persen dan 10 persen.
Tabe l 7. P royeks i Perubahan Produktivitas Pertanian Tahun 2050 Akibat Perubahan Iklim
(%) No. Negara Perubahan Produktivitas
Pertanian *) 1 Australia -17 2 China -4 3 Jepang -4 4 Selandia Baru + 1 5 ASEAN -12
Sumber: Cline, 2007
14
Tabel 7. Proyeksi Perubahan Produktivitas Pertanian Tahun 2050 Akibat Perubahan Iklim (Lanjutan)
(%) No. Negara Perubahan Produktivitas
Pertanian 6 India -25 7 Kanada -1 8 Amerika Serikat -4 9 Eropa lainnya -4 10 Argentina -7 11 Brazil -10 12 Negara kurang berkembang -18 13 Uni Eropa -4 14 Negara lainnya -13
Sumber: Cline, 2007 Keterangan : *) relat if terhadap referensi dasar tahun 1990.
Perkiraan penurunan produktivitas pertanian tersebut akan berdampak pada
penyedian dan pemenuhan kebutuhan pangan dan perdagangan komoditi
pertanian di dunia. Berdasarkan data FAO selama periode 1984-2007
menunjukkan bahwa hanya beberapa jenis produk pertanian yang pertumbuhan
produksinya meningkat rata-rata diatas 2 peren per tahun. Komoditi pertanian
tersebut antara lain kedelai meningkat rata-rata 4.23 per sen per tahun, susu sapi
(3.99 persen), sayuran segar (3.63 persen), tomat (3.54 persen), jagung (2.34
persen). Sedangkan beberapa komoditi pertanian lainnya hanya tumbuh antara
0.41- 0.81 persen per tahun seperti anggur 0.41 persen, kentang (0.81 persen),
gandum (0.80 persen) dan beras (1.47 persen) seperti yang terlihat pada Tabe l 8.
Tabel 8. Perkembangan Produksi Produk Pertanian Dunia (Juta Metrik Ton)
No. Komoditi
Tahun Trend(%)
1984 1990 2000 2005 2006 2007 84-07
1 Gula tebu 929.8 1 053.0 1 254.1 1 319.1 1 418.7 1 627.5 2.09 2 Jagung 450.4 483.3 592.5 713.9 706.3 788.1 2.34 3 Beras(Pad i) 465.3 518.6 599.4 634.5 641.1 657.4 1.47
Sumber: FAO, 2011
15
Tabel 8. Perkembangan Produksi Produk Pertanian Dunia (Lanjutan)
(Juta Metrik Ton)
No. Komoditi Tahun Trend(%)
1984 1990 2000 2005 2006 2007 84-07
4 Susu segar 452.0 479.0 490.0 543.3 558.8 571.4 0.80 5 Kentang 290.9 266.6 327.3 325.1 305.6 323.5 0.81
6 Sayuran Segar 112.4 140.5 216.4 235.0 242.7 244.7 3.63
7 Kedelai 90.8 108.5 161.3 214.3 218.4 219.5 4.23 8 Tomat 64.1 76.3 108.9 126.9 130.1 133.3 3.54 9 Susu Sapi 35.0 44.1 66.5 78.9 81.1 83.6 3.99
10 Apel 39.8 41.0 59.1 62.5 64.3 66.1 - 11 Anggur 64.5 59.7 64.8 67.2 67.3 66.0 0.41
Sumber: FAO, 2011
Di tingkat nasional produktivitas beberapa komoditi pertanian masih
mengalami peningkatan selama periode 1995-2008 seperti yang terlihat pada
Tabel 9 (BPS, 2010). Namun demikian, tingkat produktivitas beberapa komoditi
pertanian tersebut relatif rendah yaitu berkisar antara 0.77 persen sampai dengan
5.12 persen per tahun selama periode tersebut. Produk pertanian yang
produktivitasnya relatif tinggi antara lain adalah Coklat mencapai 5.21 persen per
tahun, diikuti Karet (5.12 persen), Jagung (4.02 persen), Ubi kayu (3.4 persen),
dan Minyak Sawit dan Biji Sawit (2.97 persen). Sedangkan produk pertanian yang
tingkat produktivitasnya relatif rendah yaitu dibawah satu persen per tahun antara
lain Kedelai sebesar 0.97 persen per tahun, Padi (0.8 persen) , Teh (0.77 persen),
dan Kopi (0.48 persen).
Dengan kondisi tingkat produktivitas beberapa produk pertanian
sebagaimana disajikan pada Tabel 9 tersebut, maka pada masa yang akan datang
dikhawatirkan berdampak pada penurunan tingkat produksi pertanian itu sendiri.
Disamping itu, jika dampak perubahan iklim global sebagaimana dijelaskan pada
16
bagian sebelumnya juga tidak diantisipasi secara baik oleh petani maupun
pemerintah, maka tingkat produktivitas produk pertanian juga diperkirakan akan
mengalami penurunan yang selanjutnya akan berdampak pada penurunan
produksi produk pertanian yang semakin besar.
Tabel 9. Perkembangan Produktivitas Beberapa Komoditi Pertanian Nasional
(Ku/Ha)
Komoditi Tahun Trend (%)
(1995-2008) 1995 2000 2005 2006 2007 2008
Padi 43.52 44.01 45.74 46.20 47.05 48.94 0.80
Jagung 22.64 27.65 34.54 34.70 36.60 40.78 4.02
Ubi Kayu 117.72 125.00 159.00 163.00 166.36 180.57 3.40
Ubi Jalar 96.09 94.00 104.13 105.05 106.64 107.80 1.60
Kacang Tanah 10.28 10.77 11.61 11.86 11.95 12.15 1.19
Kedelai 11.37 12.34 13.01 12.88 12.91 13.13 0.97
Karet 7.23 6.85 8.44 10.81 11.25 11.66 5.12
Minyak Sawit 24.95 17.03 28.16 29.24 27.89 28.23 2.97
Biji Sawit 6.10 3.41 5.95 6.30 6.32 6.43 2.97
Coklat 3.70 3.66 6.42 6.64 6.44 6.55 5.21
Kopi 4.22 4.47 4.69 5.39 4.59 4.88 0.48
Teh 13.71 13.68 15.69 14.72 15.01 15.27 0.77
Gula Tebu 42.36 45.82 58.72 58.20 61.33 63.34 2.28
Sumber: BPS, 2010
Kekhawatiran terjadinya penurunan produksi yang semakin tinggi di masa
depan sebagai dampak terjadinya perubahan iklim global cukup beralasan, apabila
melihat kinerja produksi produk pertanian selama periode 1995-2008 seperti yang
terlihat pada Tabel 10. Selama periode 1995-2008, terdapat beberapa produk
pertanian yang produksinya terus mengalami penurunan cukup signifikan seperti
Kedelai turun rata-rata 7.15 persen per tahun, Teh dan Ubi jalar masing-masing
turun 0.35 persen per tahun. Sementara produk pertanian yang produksinya
mengalami peningkatan cukup siginfikan selama periode tersebut adalah Minyak
17
Sawit yakni rata-rata tumbuh 12.74 persen per tahun. Sedangkan beberapa produk
pertanian yang produksinya masih tumbuh diatas dua persen per tahun adalah Ubi
kayu 2.68 persen per tahun, dan Karet 4.93 persen per tahun. Beberapa produk
pertanian lainnya pertumbuhan produksinya meningkat antara satu hingga dua
persen per tahun seperti Coklat naik 1.93 persen per tahun, Gula tebu (1.87
persen), Kacang Tanah (1.24 pe rsen) dan Padi (1.25 persen).
Tabel 10. Perkembangan Produksi Beberapa Produk Pertanian Indonesia
(Ribu ton)
Komoditi Tahun
Trend (%)
(95-08) 1995 2000 2005 2006 2007 2008
Padi 49 697.44 51 898.85 54 151.10 54 454.94 57 157.44 60 325.93 1.25
Jagung 8 142.86 9 676.90 12 523.89 11 609.46 13 287.53 16 317.25 4.17
Ubi Kayu 15 365.84 16 089.02 19 321.18 19 986.64 19 988.06 21 756.99 2.68
Ubi Jalar 2 152.78 1 827.69 1 856.97 1 854.24 1 886.85 1 881.76 (0.35)
Kacang Tanah 756.34 736.52 836.30 838.10 789.09 770.05 1.24
Kedelai 1 679.09 1 017.63 808.35 747.61 592.53 775.71 (7.15)
Karet 341.00 375.82 432.22 554.63 578.49 613.49 4.93
Minyak Sawit 2 476.40 5 094.86 10 119.06 10 961.76 11 437.99 11 623.82 12.73
Biji Sawit 605.30 1 018.97 2 139.65 2 363.15 2 593.20 2 646.58 12.74
Coklat 46.40 57.73 55.13 67.20 68.60 71.30 1.93
Kopi 20.80 28.27 24.81 28.90 24.10 25.60 0.12
Teh 111.08 123.12 128.15 115.44 116.50 114.86 (0.35)
Gula Tebu 2 104.70 1 780.13 2 241.74 2 307.00 2 623.80 2 800.90 1.87
Sumber : BPS, 2010
Penurunan produksi produk pertanian selanjutnya akan berdampak pada
pola perdagangan baik ekspor maupun impor produk pertanian tersebut. Di
tingkat global selama periode 1961-2008, defisit neraca perdagangan produk
pertanian dunia terus meningkat, terutama gandum dan jagung seperti yang
18
terlihat pada Gambar 2 dan 3. Selama periode tersebut, neraca perdagangan
produk pertanian dunia mengalami defisit yang cukup besar pada tahun 2008
sebagai dampak dari krisis pangan dunia akibat cuaca buruk yang menyebabkan
terjadinya penurunan produksi di beberapa negara produsen pangan dunia (FAO,
2011).
Dunia
Indonesia
-50,0
-40,0
-30,0
-20,0
-10,0
0,0
10,0
20,0
30,0
1961
1962
1963
1964
1965
1966
1967
1968
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Mili
ar U
S$
Neraca Perdagangan Produk-produk Pertanian Dunia dan Indonesia
Sumber: FAO, 2011
Gambar 2. Neraca Perdagangan Produk-Produk Pertanian Dunia dan Indonesia Periode 1961-2008
-6.000.000
-5.000.000
-4.000.000
-3.000.000
-2.000.000
-1.000.000
0
1.000.000
1961 1966 1971 1976 1981 1986 1991 1996 2001 2006
Ribu
US$
Neraca Perdagangan Gandum, Beras dan Jagung Dunia dan Indonesia
Neraca Gandum Dunia Neraca Beras DuniaNeraca Jagung Dunia Neraca Gandum IndonesiaNeraca Beras Indonesia Neraca Jagung Indonesia
Sumber: FAO, 2011
Gambar 3. Neraca Perdagangan Beras, Gandum, dan Jagung Dunia dan Indonesia Periode 1961-2008
Di tingkat nasional selama periode 2004-2009 ekspor beberapa produk
pertanian mengalami penurunan baik nilai maupun volumenya seperti terlihat
19
pada Tabel 11. Produk kehutanan nilai ekspornya mengalami penuruan rata-rata
5.25 persen per tahun dan volume ekspornya turun lebih dari dua kali lipat yaitu
mencapai 12,50 persen per tahun selama periode 2004-2009.
Tabel 11. Perkembangan Ekspor dan Impor Produk-Produk Pertanian Indonesia
No Uraian 2004 2007 2008 2009 Perub
(%) Trend
(%) 09/08 04-09
EKSPOR NILAI EKSPOR (US$ Juta)
1 Tanaman Pangan dan Hortikultura 173.12 191.89 233.57 207.20 -11.29 6.18
2 Perkebunan 7 719.20 16 574.79 23 610.40 18 500.48 -21.64 24.09
3 Perikanan dan Peternakan 1 572.08 1 872.56 2 166.75 1 871.72 -13.62 5.09
4 Kehutanan 3 529.41 3 483.46 3 152.84 2 543.20 -19.34 -5.25
5 Aneka Hasil Pertanian dan Produk Olahannya 474.89 2 207.52 2 902.96 2 888.10 -0.51 15.54
VOLUME EKSPOR (Ribu Ton)
1 Tanaman Pangan dan Hortikultura 761.06 697.14 660.13 640.48 -2.98 -2.62
2 Perkebunan 12 520.11 16 887.18 19 349.21 22 036.69 13.89 10.94
3 Perikanan dan Peternakan 831.33 741.23 786.49 743.71 -5.44 -1.73
4 Kehutanan 5 465.79 4 035.13 3 126.87 2 940.80 -5.95 -12.50
5 Aneka Hasil Pertanian dan Produk Olahannya 1 311.00 1 632.00 2 374.28 1 884.19 -20.64 9.10
IMPOR
NILAI IMPOR (US$ Juta)
1 Tanaman Pangan dan Hortikultura 1 992.48 3 270.01 4 189.96 3 572.51 -14.74 18.12
2 Perkebunan 300.88 601.06 849.98 766.53 -9.82 23.14
3 Perikanan dan Peternakan 309.03 464.66 890.21 960.71 7.92 32.35
4 Kehutanan 135.18 243.30 330.51 225.79 -31.69 14.44
5 Aneka Hasil Pertanian dan Produk Olahannya 867.90 1 974.80 1 784.38 1 825.01 2.28 16.19
VOLUME IMPOR (Ribu Ton)
1 Tanaman Pangan dan Hortikultura 8 308.65 10 090.88 8 495.92 8 944.62 5.28 2.22
2 Perkebunan 142.98 221.28 237.36 216.23 -8.90 10.02
3 Perikanan dan Peternakan 188.67 302.67 462.10 557.64 20.67 27.38
4 Kehutanan 265.89 481.40 505.84 350.92 -30.63 7.37
5 Aneka Hasil Pertanian dan Produk Olahannya 1 577.41 3 566.97 1 719.22 2 123.26 23.50 2.76
Sumber: BPS, 2010
20
Sementara itu, produk tanaman pangan dan hortikultura nilai ekspornya
masih meningka t rata-rata 6.18 persen per tahun, tetapi volume ekspornya turun
rata-rata 2.62 persen per tahun. Kondisi yang sama terjdi pada produk perikanan
dan peternakan, yaitu nilai ekspornya naik rata-rata 5.09 persen per tahun, tetapi
volume ekspornya turun rata-rata 1.73 persen per tahun. Peningkatan nilai ekspor
Produk Tanaman Pangan dan Hortikultura, dan produk Perikanan dan Peternakan
didukung oleh terjadinya peningkatan harga kedua produk tersebut di pasar
internasional.
Kinerja perdagangan komoditi pertanian baik dalam skala nasional maupun
global juga dipengaruhi oleh adanya kesepakatan di sektor pertanian baik dalam
kerangka multilateral, regional maupun bilateral yang sudah dilakukan oleh
berbagai negara. Dalam kerangka multilateral, sebagai anggota WTO, Indonesia
mendukung kebijakan perdagangan global yang bebas dan adil, dimana tujuan
jangka panjang dari WTO adalah meliberalkan perdagangan dunia melalui 3
pilarnya, yaitu perluasan akses pasar (market access), pengurangan dukungan
domestik (domestic support) yang dapat mendistorsi pasar, dan pengurangan
subsidi ekspor (export subsidy) (Suryana, 2004). Tujuan tersebut seyogyanya
memberikan manfaat bagi seluruh negara di dunia. Namun, dalam kenyataanya,
perdagangan internasional dan hasil perundingan bidang pertanian di WTO lebih
banyak merugikan negara-negara sedang berkembang (Suryana, 2004).
Terdapat beberapa faktor yang diperkirakan menjadi penyebab tidak
tercapainya tujuan dalam menciptakan sistem perdagangan sektor pertanian yang
adil dan berorientasi pasar ya itu:
21
1. Negara-negara maju masih tetap mempertahankan, bahkan meningkatkan
dukungan domestik melalui subsidi kepada petaninya, terutama produsen
pangan dan peternakan (Suryana, 2004). Berdasarkan data OECD (2002), nilai
dukungan domestik dari kelompok negara OECD meningkat menjadi US$ 248
milyar pada masa implementasi kesepakatan WTO (1999-2001) dibandingkan
periode pra WTO (1986-1988) yang tercatat sebesar US$ 236 milyar per
tahun. Menurut catatan OECD tersebut, Amerika Serikat dan Uni Eropa
meningkatkan dukungan domestiknya masing-masing sebesar 21 persen dan 5
persen pada periode yang sama, sehingga mengakibatkan persaingan tidak adil
di pasar dunia.
2. Faktor penyebab lainnya adalah dalam bentuk subsidi ekspor yang besar untuk
produk-produk pertanian di negara-nega maju. Kelompok negara Uni Eropa
merupakan pemberi subsidi tertinggi, yaitu mencapai US$ 23,2 milyar atau 90
persen dari total nilai subsidi seluruh anggota WTO pada kurun waktu 1995-
1998 (Dixix, Josling and Blandford, 2001). Menurut Simatupang (2004), subsidi
ekspor itu menyebabkan disparitas harga antara pasar dunia dan pasar
domestik negara-negara maju, sehingga dapat dipandang sebagai instrumen
untuk fasilitasi praktik dumping yang dilarang WTO.
3. Perbedaan tingkat pembangunan ekonomi, teknologi, ketrampilan SDM, dan
infrastruktur antara negara maju dan negara berkembang juga menyebabkan
ketidakmampuan negara berkembang menciptakan equal playing field (Sawit,
2003). Lebih lanjut Sawit (2003) menjelaskan bahwa di negara-negara
berkembang pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya, karakteristik
usaha pertanian umumnya masih bersifat subsisten, dan belum berorientasi
22
komersial secara penuh, karena pertanian masih menjadi sumber kehidupan dan
kebudayaan masyarakatnya. Kondisi yang demikian kurang selaras dengan
aturan da lam Agreement of Agriculture (AoA) dan mekanisme pasar yang
hanya sesuai bagi industri pertanian modern yang berorientasi pasar di negara-
negara maju (Sawit, 2003).
4. Ketidakadilan dalam membuka akses pasar, dimana di satu sisi negara maju
memaksa negara berkembang membuka akses pasar seluas- luasnya, sementara
di sisi lain berusaha membatasi akses pasar bagi produk-produk negara
berkembang melalui berbagai instrumen, seperti tarif eskalasi, perlindungan
sanitary dan phyto-sanitary, dan non-trade barrier lainnya (Sawit, 2003).
Perbedaan kepentingan dan ketidakseimbangan itulah yang menimbulkan
kondisi perdagangan multilateral sektor pertanian yang tidak seimbang dan
mengarah tidak fair. Manfaat reformasi perdagangan global jauh lebih banyak
dinikmati oleh negara-negara maju dibandingkan dengan negara berkembang
(Sawit, 2003; Khor, 2000; dan Ellwood, 2002). Sawit (2001) mengemukakan
bahwa perdagangan global membuat defisit perdagangan negara berkembang
semakin lebar karena impor meningkat dengan pesat, sementara ekspor melambat
karena tidak mampu bersaing dengan industri negara maju yang support-nya
masih tinggi, baik subsidi ekspor, bantuan domestik, maupun berbagai hambatan
perdagangan lainnya.
Lebih lanjut kombinasi dari dampak perubahan iklim dan liberalisasi
perdagangan sektor pertanian akan berdampak terhadap kondisi makro dan juga
sektor ekonomi di berbagai negara termasuk Indonesia. Selama periode 1980-
2010 perkembangan indikator makro ekonomi dunia seperti pertumbuhan
23
ekonomi, investasi, tingkat inflasi dan total perdagangan dunia diduga ada
kaitannya dengan perubahan iklim dan berkembangnya liberalisasi perdagangan
di sektor pertanian seperti yang terlihat pada Gambar 4.
-20,0
-10,0
0,0
10,0
20,0
30,0
40,0
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
*
Pers
en
Pertumbuhan PDB, Investasi, Volume Perdagangan dan Perkembangan Inflasi Dunia
PDB Investasi Inflasi Volume perdagangan total
Sumber: IPCC, 2007, FAO dan IFS, 2011 (d iolah)
Gambar 4. Pertumbuhan PDB, Investasi, Volume Perdagangan dan Perkembangan Tingkat Inflasi Dunia Periode 1980-2010
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa perubahan iklim secara faktual
sudah terjadi di tingkat lokal, regional maupun global. Perubahan iklim juga
sudah berdampak pada berbagai aspek kehidupan dan sektor pembangunan di
seluruh negara termasuk di Indonesia, salah satunya adalah produktivitas komoditi
pertanian yang selanjutnya akan berdampak pada ketersediaan pangan. Di sisi lain
liberalisasi perdagangan sektor pertanian baik melalui kesepakatan multilateral,
regional dan bilateral juga akan berdampak pada perdagangan komoditi pertanian.
Lebih lanjut kombinasi dari dampak perubahan iklim dan liberalisasi perdagangan
sektor pertanian akan berdampak terhadap kondisi makro dan juga sektor ekonomi
di berbagai negara termasuk Indonesia.
24
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
penelitian adalah:
1. Liberalisasi perdagangan di sektor pertanian lebih banyak dinikmati oleh
negara-negara maju dibandingkan dengan negara berkembang dan membuat
defisit perdagangan negara berkembang semakin lebar.
2. Perubahan iklim telah dirasakan sampai saat ini dan berbagai bukti adanya
perubahan iklim telah dirasakan oleh masyarakat dunia mulai dari kenaikan
muka laut, mencairnya es di kutub, terjadinya el nino di beberapa bagian
negara tropis dan perubahan cuaca yang ekstrim di berbagai belahan bumi
termasuk Indonesia.
3. Dampak perubahan iklim telah diprediksi terhadap berbagai aspek seperti
kesehatan manusia, kelangsungan ekosistem air, darat dan udara, serta
dampaknya terhadap produktivitas pertanian baik di negara maju maupun di
negara berkembang termasuk Indonesia.
4. Kombinasi dampak liberalisasi perdagangan dan dampak perubahan iklim
diperkirakan akan berdampak lebih lanjut pada kondisi makro dan sektoral
ekonomi di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia.
Berdasarkan rumusan permasalahan, maka pertanyaan penelitian yang
diajukan adalah:
1. Bagaimana dampak perubahan iklim terhadap produktivitas komoditi pangan
di berbagai negara termasuk Indonesia ?
2. Bagaimana dampak liberalisasi perdagangan sektor pertanian terhadap kondisi
makro ekonomi negara-negara produsen maupun impor tir komoditi pangan
25
dan secara khusus bagaimana dampaknya terhadap kondisi makro dan sektoral
ekonomi Indonesia ?
3. Bagaimana dampak kombinasi liberalisasi perdagangan sektor pertanian dan
perubahan iklim pada komoditi pangan terhadap kondisi makro ekonomi
negara produsen maupun impor tir komoditi pangan dan secara khusus
bagaimana dampaknya terhadap kondisi makro dan sektoral ekonomi
Indonesia ?
1.3 Tujuan Penelitian
Dari penjelasan pada bagian latar belakang dan perumusan masalah yang
telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini:
1. Mengkaji dampak perubahan iklim terhadap produktivitas komoditi pangan
di berbagai negara termasuk Indonesia.
2.a. Menganalisis dampak liberalisasi perdagangan sektor pertanian terhadap
kondisi makro ekonomi di negara-negara produsen maupun importir
komoditi pangan.
2.b. Menganalisis dampak liberalisasi perdagangan sektor pertanian terhadap
kondisi makro dan sektoral ekonomi Indonesia.
3.a. Menganalisis dampak kombinasi liberalisasi perdagangan sektor pertanian
dan perubahan iklim pada komoditi pangan terhadap kondisi makro ekonomi
di beberapa negara prod usen maupun impor tir komoditi pangan.
3.b. Menganalisis dampak kombinasi liberalisasi perdagangan sektor pertanian
dan perubahan iklim pada komoditi pangan terhadap kondisi makro dan
sektoral ekonomi Indonesia.
26
1.4 Ruang Lingkup Penelitian.
Penelitian ini mengkaji mengenai dampak liberalisasi perdagangan dan
perubahan iklim pada komoditi pangan di berbagai negara terhadap makro dan
sektoral ekonomi Indonesia. Istilah perubahan iklim dalam penelitian ini hanya
mencakup perubahan suhu global yaitu adanya pemanasan global sebagai dampak
dari meningkatnya emisi karbon (CO2
Kombinasi da ri dampak liberalisasi perdagangan dan perubahan iklim pada
komoditi pangan terhadap kondisi makro ekonomi difokuskan pada ke 14 negara
tersebut, sedangkan untuk kasus Indonesia juga dibahas mengenai dampaknya
terhadap kondisi makro dan sektoral ekonomi Indonesia. Fokus penelitian pada
aspek makro ekonomi meliputi dampak pada variabel equivalent variation
(kesejahteraan), GDP riil, GDP deflator, trade balance, terms of trade, investasi,
konsumsi rumah tangga, dan pengeluaran pemerintah. Sedangkan secara sektoral
) yang membentuk efek Gas Rumah Kaca
(GRK). Sedangkan liberalisasi perdagangan yang dimaksudkan dalam penelitian
ini adalah skema penurunan tarif yang diterapkan pada sektor pertanian dalam
kerangka multilateral-WTO. Formula penurunan tarif akan mengacu pada formula
penurunan tarif yang sampai saat ini dirundingkan dalam negosiasi isu Pertanian
WTO. Komoditi pangan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah mencakup
3 (tiga) jenis yaitu beras (paddyrice), gandum (wheat) dan jagung (maize).
Sedangkan Negara yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah mencakup
negara produsen utama komoditi beras, gandum dan jagung ya itu Amerika
Serikat, China, Brazil, India, Rusia, EU , Indonesia, Vietnam, Thailand, Australia,
Pakistan, Bangladesh, Filipina dan The Rest of the World.
27
yang akan dianalisis adalah output, harga, ekspor, impor dan kesempatan kerja di
Indonesia.
Dalam studi ini, analisis menggunakan Computable General Equilibrium
(CGE) mod el Global Trade Analysis Project (GTAP) yang dikembangkan oleh
Purdue University di Amerika Serikat, Departemen Ekonomi Pertanian sejak
tahun 1993 yang dipimpin dan diprakarsai oleh Prof. Thomas Hertel. Model
GTAP yang digunakan adalah GTAP versi 7 yang dikeluarkan pada tahun 2008
dengan data dasar tahun 2004 yang terdiri dari 57 klasifikasi komoditi (sector)
dan 113 negara (region).
Analisis kuantitatif dalam menentukan besaran elastisitas atau parameter
dampak perubahan suhu global terhadap tingkat produktivitas komoditi pangan
menggunakan model ekonometrik yaitu hubungan perubahan suhu global dengan
tingkat produktivitas pertanian yang bersumber dari berbagai hasil penelitian di
tingkat internasional seperti IPCC, lembaga penelitian di beberapa negara dan
hasil penelitian di da lam negeri yang dilakukan oleh beberapa lembaga penelitian
yang terkait dengan perubahan suhu dan produksi pertanian nasional. Penggunan
data tersebut mempertimbangkan ketersediaan data terutama yang terkait dengan
data perubahan suhu dan tingkat produktivitas pertanian. Keterbatasan penelitian
juga terkait dengan penggunaan model GTAP sebagai alat analisis CGE yang
lebih banyak disebabkan oleh kelemahan struktur model CGE itu sendiri. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini model yang digunakan bukan Recursive Dynamic
CGE yang memprediksi dampak tahun 2070, tetapi Mode l Comparative Static
dengan keseimbangan jangka panjang, sehingga analisis yang dilakukan adalah
28
with and without policy. Lebih lanjut konsep analisis tersebut selengkapnya
dijelaskan pada bab 3.
Menurut Oktaviani (2008) beberapa keterbatasan model CGE:
1. Dalam mode l CGE, asumsi utama untuk struktur pasar ada lah Pasar
Persaingan Sempurna (PPS) dengan kondisi Constant Return to Scale (CRS),
sehingga untuk komoditi dengan pasar non PPS asumsi ini menjadi
keterbatasan model. Namun demikian, berdasarkan hasil penelitian Silva dan
Horridge (1996), model CGE dapat juga diterapkan pada struktur pasar
monopoli dengan kondisi Increasing Return to Scale (IRS).
2. Model keseimbangan tergantung pada pada parameter-parameter benchmark
yang dikalibrasi. Hal ini disebabkan parameter-parameter yang digunakan
dalam model CGE diambil dari hasil-hasil model, baik dilakukan sendiri
maupun hasil-hasil penelitian terdahulu. Permasalahan yang biasanya terjadi
adalah data tersebut di negara-negara berkembang tidak tersedia.
3. Dalam mod el CGE terlalu kompleks dan terlalu banyak asumsi yang
digunakan yang dapat memunculkan permasalahan black box, sehingga
apabila hasil estimasi yang didapat tidak sesuai dengan teori ekonomi atau
prediksi yang diharapkan, akan sangat sulit untuk menerangkanya.
4. Dalam model CGE tidak ada validitas terhadap hasil pengolahan, sehingga
akan sangat riskan menggunakan model CGE bagi orang-orang yang
mengutamakan ke-validan dalam model. Validitas model dan data base
ditunjukkan dengan pemenuhan asumsi keseimbangan umum dan signifikan
dari parameter yang digunakan yang berasal dari penelitian sebelumnya.
29
5. Model CGE tidak menangkap perubahan perekonomian yang sangat besar
(tidak dapat menganalisis perubahan persentase lebih dari 100 persen).
Semakin kecil perubahan kebijakan yang akan dianalisis, semakin tepat model
dalam mengestimasi perubahan non linear.
1.5. Manfaat Penelitian.
Hasil dari penelitian mengenai dampak liberalisasi perdagangan dan
perubahan iklim pada komoditi pangan di berbagai negara terhadap makro dan
sektoral ekonomi Indonesia ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. Pemerintah dalam merumuskan posisi Indonesia dalam forum kerjasama
multilateral WTO khususnya perundingan liberalisasi sektor pertanian.
2. Pemerintah dalam merumuskan posisi Indonesia dalam keikutsertaannya
sebagai party dari kesepakatan yang terka it dengan isu perubahan iklim ba ik
melalui Protokol Kyoto, COP-UNFCCC maupun kesepakatan internasional
lainnya di bidang lingkungan.
3. Pemerintah dalam merumuskan kebijakan produksi pertanian yang terkait
dengan kebijakan ke tahanan pangan nasional sebagai antisipasi terhadap
dampak perubahan iklim.
4. Pelaku usaha terutama eksportir dan eksportir produsen, importir produk
pertanian serta petani dalam menghadapi peluang dan tantangan dimasa depan
untuk mengantisipasi dampak liberalisasi perdagangan dan perubahan iklim.
5. Masyarakat umum dalam memahami dampak liberalisasi perdagangan dan
perubahan iklim pada komoditi pangan dan menggunakan hasil analisis ini
sebagai referensi pembanding untuk penelitian berikutnya.
Top Related