Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN Peneliti di Matatimoer Institute
Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UNEJ
e-mail: [email protected]
Pengantar
Hibriditas budaya dan budaya hibrid saat ini menjadi istilah-istilah yang banyak
diperbincangkan dalam ranah kajian sosio-humaniora seperti sosiologi, antropologi,
religi, sastra, dan media, meskipun pada awalnya banyak digunakan dalam wacana
saintifik. Tidak bisa disangkal lagi, populerisasi istilah-istilah tersebut terkait erat
dengan perkembangan wacana poskolonial dan globalisasi yang dari hari ke hari
semakin berkembang dalam perdebatan akademis, baik dalam jurnal, buku, maupun
mimbar seminar dan konferensi. Dalam konteks kedua wacana tersebut, hibridisasi
merujuk pada sebuah proses yang mempertemukan dua atau lebih budaya dalam satu
ruang kultural yang kemudian menghasilkan strategi-strategi untuk melakukan
percampuran, namun dengan tujuan-tujuan politis untuk menegosiasikan kepentingan
lokalitas dalam menghadapi “yang dari luar”, sebagai akibat dari kolonialisasi,
neokolonialisasi, dan globalisasi yang memang selalu menghadirkan praktik dan bentuk
kultural dari luar ruang lokal.
Dalam perkembangannya, istilah budaya hibrid seringkali hanya dipahami
semata-mata sebagai bentuk dan praktik percampuran dua atau lebih budaya dengan
hasil sebuah format baru yang berwarna campuraduk tanpa menghilangkan
karakteristik budaya-budaya sebelumnya. Terma-terma yang biasa muncul dari konteks
tersebut antara lain musik hibrid, film hibrid, ritual hibrid, pakaian hibrid, gaya hidup
hibrid, dan masih banyak lagi. Pemahaman tersebut tentu sah-sah saja dalam konteks
akademis. Namun demikian, pemahaman tersebut cenderung meletakkan kajian
semata-mata pada hasil atau produk percampuran dari hibridisasi untuk kemudian
mengkebiri “potensi politis dan strategis” di balik hibridisasi kultural yang berlangsung.
Gilroy, sebagaimana dikutip Hutnyk (2005: 82-83) secara kritis mengingatkan
„kesalahkaprahan‟ tersebut:
Siapa juga yang menginginkan kemurnian?...ide hibriditas, antarpercampuran,
mengasumsikan dua kemurnian yang saling berhadapan…Saya pikir tidak ada kemurnian,
tidak ada kemurnian yang frontal…oleh karena itu saya berusaha untuk tidak
menggunakan kata hibrid…produksi kultural tidaklah seperti koktail yang terdiri dari
campuran bahan-bahan…
Dalam tulisan lain, Gilroy (dikutip Hutnyk, 2005: 82) juga menekankan:
…kurangnya piranti untuk mendeskripsikan secara tepat, marilah kita
menteoretisasikannya sendiri, percampuran-antara, fusi, dan sinkretisme tanpa megarah
pada eksistensi kemurnian „tak terkontaminsasi‟ yang saling frontal. Kalaupun proses
percampuran digambarkan sebagai sesutau yang bersifat fatal, kita harus siap untuk
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
menyerah pada ilusi bahwa kemurnian etnik dan kultural memang sudah ada sejak lama,
marilah memberikannya fondasi sendiri bagi masyarakat sipil. Ketidakhadiran bahasa
yang kritis dan konseptual memang dilemahkan dan direpotkan oleh pelebihan absurd
yang berusaha untuk mengunakan konsep hibriditas yang secara menyeluruh diperlambat
oleh sisa-sisa aktif dari artikulasi terma-terma di dalam kosa-kata teknis dari pengetahuan
rasial abad ke-19.
Kritik Gilroy memang mengajak untuk tidak serta-merta menggunakan kata hibrid,
hibriditas, maupun hibridisasi kalau itu semua hanya mengekor pada penggunaan kata-
kata tersebut dalam bidang pengetahuan lain, seperti pengetahuan rasial, biologi,
maupun pertanian, yang memang sekedar menunjukkan fakta laboratoris usaha-usaha
untuk melakukan percampuran. Baginya, percampuran kultural di antara dua atau
lebih budaya merupakan proses yang tidak sesederhana dengan proses yang terjadi
dalam pengetahuan-pengetahuan tersebut. Percampuran yang terjadi dipenuhi dengan
negosiasi dan artikulasi yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politis di
dalamnya. Artinya, hibridisasi dan produk hibrid yang dihasilkan, merupakan “situs
pertarungan” yang di dalamnya terdapat pertarungan kepentingan kultural yang ingin
dinegosiasikan, diartikulasikan, dan diperjuangkan oleh masing-masing pihak yang
terlibat di dalam ruang dan proses budaya yang semakin membaur satu sama lain.
Agar pemahaman terhadap hibridisasi budaya, hibriditas budaya, dan budaya
hibrid tidak semata-mata terjebak ke dalam persoalan hasil, maka pembahasan dalam
bab ini akan lebih difokuskan pada usaha untuk memaparkan bermacam pendapat para
pemikir dalam persoalan hibriditas. Persoalan dan hibridisasi kultural dalam konteks
kolonial, pascakolonial, dan globalisasi akan mendapatkan penekanan lebih, karena
kebanyakan pemikir memang mengaitkan persoalan budaya hibrid dengan ketiga
proses tersebut. Yang tidak kalah penting untuk dipaparkan adalah landasan perspektif
diskursif tentang kritik dan kajian terhadap budaya hibrid beserta proses-proses yang
mengikutinya, utamanya dalam perspektif hegemoni Gramscian, wacana Foucauldian,
dan dekonstruksi Derridean. Paparan-paparan yang ada diharapkan mampu
memberikan pemahaman lebih tentang hibridisasi budaya, hibriditas budaya, dan
budaya hibrid beserta keluasan implikasi teoretis-kritis yang menyertainya.
Menelusuri makna sang hibrid
Salah satu dalil penting yang dilontarkan Edward Said dalam kajian-kajiannya,
baik dalam Orientalism (1978) maupun Power and Culture (1993) adalah superioritas
kuasa Barat yang salah satunya disebarkan melalui hegemoni dan konstruksi diskursif
tentang Timur—berlandaskan pada dalil hegemoni Gramscian dan wacana
Foucauldian—yang selalu ditundukkan melalui stereotipisasi pencitraan dan
penundukan wacana sebagai entitas yang “tidak beradab”, “tidak berpendidikan”, dan
“perlu dicerahkan” melalui „proyek pemberadaban‟ bagi bangsa-bangsa Timur, yakni
imperialisme. Akibatnya, secara diskursif dan praksis bangsa-bangsa Timur tidak bisa
melepaskan dirinya dari imajinasi superioritas Barat yang sedemikian kuatnya
berlangsung dalam praktik kolonialisasi dan imperialisasi. Dalil itu pula yang
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
kemudian menjadi titik-berangkat kajian poskolonial dalam ilmu-ilmu sosial dan
humaniora.1
Dalam Orientalism, Said secara kritis menekankan pentingnya perhatian pada
pengaruh politis dan material dari pengetahuan dan institusi pendidikan Barat serta
afiliasi mereka terhadap dunia luar. Secara tegas dia menolak pemahaman liberal
tradisional yang mengatakan bahwa pengetahuan humaniora terorganisir demi
pemenuhan pengetahuan „murni‟ atau „nir-kepentingan‟. Lebih dari itu, dalam
pengetahuan sebenarnya terdapat operasi dan teknologi kuasa, karena para ilmuwan
maupun seniman adalah subjek yang dipengaruhi oleh afiliasi historis, kultural, dan
institusional partikular, yang digerakkan oleh ideologi atau pengetahuan dominan dan
kepentingan politik dalam masyarakatnya.2 Sangat wajar kiranya, kalau representasi-
representasi3 yang dihasilkan oleh para ilmuwan maupun para seniman Barat pada
masa imperialisme sangat stereotip. Manusia dan peradaban Timur direpresentasikan
sebagai Liyan yang kurang beradab, tidak berpendidikan, bermartabat rendah,
takhayul, dan perlu dicerahkan. Sementara manusia dan peradaban Barat
direpresentasikan sebagai kekuatan superior yang unggul dalam segala aspek
kehidupan karena mereka lebih rasional, logis, berpendidikan, dan beradab.
Sementara dalam Culture and Imperialism, Said berusaha membongkar
beroperasinya kuasa dalam memposisikan manusia dan kebudayaan di luar mainstream
Eropa melalui kerja-kerja kultural—termasuk di dalamnya karya-karya sastra—dalam
konteks imperialisme. Di samping membedah karya-karya metropolitan yang dihasilkan
oleh sastrawan-sastrawan besar Eropa, Said juga mulai melihat karya-karya non-Eropa
sebagai bahan kajiannya, seperti novel Afrika maupun Karibia, sehingga pemikiran-
pemikirannya lebih beragam bila dibandingkan dengan buku sebelumnya.4 Dalam buku
ini, Said juga membuat penekanan terhadap resistensi—lagi-lagi merujuk pada
Foucault—yang bisa dimunculkan oleh para pengarang eks-kolonial atau poskolonial.
Sehingga, baginya apa yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah moda kritik kultural
yang merefleksikan, atau bahkan mengadopsi, hibriditas yang berasal sejarah-sejarah
yang saling terkait dari dunia modern dan yang menghindari konsepsi identitas
berdasarkan kategori ontologis kaku, baik dalam ras, etnisitas, ataupun identitas
nasional.5 Pergeseran pemikiran tersebut mengimplikasikan beberapa hal. Pertama,
bahwa memang benar proses hegemoni melalui representasi-representasi kultural yang
menekankan superioritas Barat ketimbang Timur, mampu mempengaruhi pola dan
praktik kultural bagi bangsa-bangsa terjajah. Kedua, dalam proses hegemoni tersebut
selalu muncul ketidakstabilan hegemoni, di mana bangsa terjajah bisa menyerang balik
atau meresistensi melalui penguatan budaya nasional mereka. Keempat, bahwa dalam
konstruksi budaya nasional bangsa Timur sangat mungkin terjadi hibridisasi kultural
dan hibriditas budaya yang mewarnai kehidupan mereka di masa kolonial maupun
poskolonial.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah (the colonized)—dan
pascakolonial untuk melawan ataupun meniru sebagian teks dan praktik kultural
penjajah (the colonizer) dan bekas penjajah menjadi perhatian utama dari Hommi K.
Bhabha dalam bukunya The Location of Culture (1994). Dengan mengadopsi pemikiran-
pemikiran pos-strukturalis, Bhabha mencoba untuk memberikan penekanan berbeda
tentang masyarakat kolonial dan pascakolonial. Samahalnya dengan Said, dalil-dalil
yang dilontarkan oleh Bhabha juga ikut mewarnai keragaman teoretis, perspektik, dan
analisis dalam kajian poskolonial berikutnya. Beberapa pemikiran yang memperkuat
posisi akademisnya dalam kajian poskolonial antara lain: ruang antara” atau “ruang
ketiga”, “peniruan”, “pengejekan” dan “hibriditas”. Dalam ruang antara—di antara
kuasa dan budaya kolonial dan tradisi-lokal—subjek kolonial dan poskolonial bisa
melakukan praktik-praktik mimikri, pengejekan, dan hibriditas yang menjadi strategis
politik dan kedirian mereka di tengah-tengah budaya asing.
…peniruan/mimikri kolonial merupakan sebuah hasrat bagi Liyan yang tereformasi, dapat
diakui, sebagai subjek perbedaan yang hampir sama, tapi tidak sepenuhnya sama. Dalam
artian, bahwa wacana mimikri dikonstruksi di seputar ambivalensi; agar bisa efektif,
mimikri harus secara kontinyu menghasilkan keselipan, kelebihan, dan perbedaannya.
Otoritas dari moda wacana kolonial yang saya sebut mimikri, dengan demikian, dicapai
melalui indeterminasi: mimikri muncul sebagai representasi dari perbedaan yang
menjadikannya proses pengingkaran. Mimikri, dengan demikian, merupakan tanda
artikulasi ganda; sebuah strategi kompleks perbaikan, regulasi, dan disiplin, yang
„menyesuaikan‟ Liyan karena strategi tersebut menampakkan kuasa. Mimikri juga
merupakan tanda ketidaksesuaian, di sisi lain, sebuah perbedaan atau perlawanan yang
menyatu dengan fungsi strategis dominan dari kuasa kolonial dalam mengintensifkan
pengawasan, sehingga menciptakan gangguan imanen, baik bagi pengetahuan yang
dinormalkan maupun kuasa disiplin. Pengaruh mimikri terhadap kekuasaan wacana
kolonial bersifat dalam dan cukup mengganggu…Dari area antara mimikri dan ejekan
(mockery), misi perbaikan dan pemberadaban diganggu dengan menggantikan pandangan
dari penggandaan kedisiplinan…Apa yang ada sebenarnya adalah proses diskursif di mana
kelebihan atau keselipan yang dihasilkan dari ambivalensi (hampir sama, tetapi tidak
sepenuhnya sama) tidak semata-mata „memecah‟ wacana yang ada, tetapi
mentransformasikannya ke dalam ketidakmenentuan yang mengatur subjek kolonial
sebagai kehadiran yang „parsial‟. Yang dimaksud parsial adalah baik yang bersifat „tidak
lengkap‟ dan „mendekati‟. (Bhabha, 1994: 86).
Dengan pemikiran tersebut, subjek kolonial dan poskolonial sebenarnya juga mampu
melakukan strategi resistensi, seperti yang dikatakan Foucault,6 dengan tetap berada
dalam lingkaran kuasa, melalui peniruan-peniruan terhadap praktik dan pengetahuan
dari penjajah atau yang pernah menjajah untuk mendapatkan pengakuan dalam
lingkaran kuasa sekaligus mengejek praktik kuasa yang terjadi. Proses itulah yang
disebut sebagai strategis kedirian dan kultural di ruang ketiga atau ruang antara yang
kemudian melahirkan “hibriditas”.
Hibriditas bukanlah sekedar percampuran dua budaya yang menghasilkan sebuah
bentuk budaya baru, baik dalam masa kolonial maupun poskolonial, tetapi sebuah
„proyek politik‟ yang bagi penjajah atau yang pernah menjajah bisa digunakan untuk
menegaskan kuasanya, dan sebaliknya bagi yang terjajah atau pernah terjajah
digunakan untuk mengejek dan sekaligus melawan kuasa tersebut.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Hibriditas merupakan tanda produktivitas kuasa kolonial, pergeserannya memaksa dan
menentukan; ia adalah sebutan bagi pembalikan strategis dari proses dominasi melalui
pengingkaran (yakni, produksi identitas diskriminatoris yang mengamankan identitas
„murni‟ dan orisinil dari kekuasaan). Hibriditas merupakan pemaknaan kembali dari
asumsi identitas kolonial melalui repetisi dari efek identitas diskriminatoris. Ia
menampakkan deformasi dan penggantian yang penting dari semua situs diskriminasi dan
dominasi. Ia tidaklah mengakhiri kebutuhan mimetik atau narsistik dari kuasa kolonial
tetapi me-reimplikasi-kan identifikasinya dalam strategi subversi yang merubah
pandangan dari „yang terdiskriminasi‟ kembali kepada mata kuasa. Karena hibrid kolonial
merupakan artikulasi dari ruang ambivalen di mana ritus kuasa dijalankan pada situs
hasrat, sehingga menjadikan objeknya disipliner sekaligus menyebar—transparansi yang
negatif…Jika efek kuasa kolonial dilihat sebagai produksi hibridisasi ketimbang perintah
langsung dari kekuasaan kolonial atau represi secara diam-diam terhadap tradisi
penduduk asli, maka perubahan penting terjadi. Ambivalensi pada sumber dari wacana
tradisional tentang kekuasaan memudahkan bentuk subversi, yang dibentuk pada
ketidakmampuan memutuskan yang mengubah kondisi diskursif dominasi ke dalam
tataran intervensi…Hibriditas memang tidak mempunyai kedalaman atau kebenaran yang
bisa diberikan: ia bukanlah terma ketiga yang menyelesaikan tegangan antara dua
budaya…dalam permainan dialektis „pengakuan‟. Penggantian simbol menjadi tanda
menciptakan krisis bagi semua konsep kekuasaan yang berdasarkan sistem pengakuan:
spekularitas kolonial, penulisan ganda, tidak memproduksi cermin yang mana diri
melekatkan dirinya; ia selalu berupa layar yang pecah dari diri dan kegandaannya, sang
hibrid…Objek hibrid menjaga kemunculan simbol kekuasaan tapi memaknainya kembali
dengan melawannya sebagai penanda Enstellung—sesudah intervensi terhadap perbedaan.
Adalah kuasa dari metonimi kehadiran untuk benar-benar mengganggu konstruksi
sistematik (dan sistemik) dari pengetahuan diskriminatoris di mana budaya sebagai
medium kekuasaan tidak bisa secara virtual dikenali…Penampakan hibriditas—„replikasi‟
ganjilnya—menteror kekuasaan dengan tipu daya pengakuan, meniru sekaligus mengejek.
(Bhabha, 1994: 112-115)
Dengan pemikiran tersebut, Bhabha ingin menunjukkan bahwa subjek kolonial
dan poskolonial sebenarnya mempunyai kemampuan strategis dalam menghadapi
hegemoni budaya Barat/penjajah yang menyebar dalam formasi diskursif di ruang
kolonial maupun pascakolonial, sehingga mereka mampu memainkan politik untuk
tidak sepenuhnya mengikuti budaya tersebut, tetapi juga tidak menolak sepenuhnya.
Semua dilakukan untuk kepentingan mereka. Jadi, subjek kolonial maupun
pascakolonial tidak bisa terus dibayangkan sebagai mereka yang tidak bisa keluar dari
jejaring dan pengaruh diskursif kolonialisme.7 Dengan bermain-main di ruang antara
kebudayaan, mereka bisa melanjutkan tradisi-lokal, sekaligus mengambil dari yang
Barat, tetapi tidak sepenuhnya. Ini adalah bentuk politik kesadaran untuk tidak
menolak yang Barat tetapi tidak juga melupakan yang lokal. Dengan kesadaran hibrid
inilah kedirian dan budaya masyarakat lokal akan terus berlanjut dalam konteks
zaman yang selalu bertransformasi, sekaligus untuk melakukan resistensi terhadap
pengaruh-pengaruh budaya luar.
Bhabha, lebih jauh lagi, mengelaborasi pemikirannya tentang hibridisasi kultural
dan fungsinya sebagai strategi dan alat perjuangan kultural, baik bagi bangsa terjajah
maupun pascakolonial—terutama untuk melawan pengaruh-pengaruh politis yang
dihasilkan melalui formasi diskursif budaya asing—sebagai berikut:
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Anda tidak bisa memahami hubungan antara penjajah dan terjajah, yang hidup dalam
sebuah kedekatan selama ratusan tahun, yang harus melakukan dialog dalam
ketidaksaamaa, tanpa memahami bahwa si terjajah haruslah bersikap ambivalen dalam
berhubungan dengan penjajah. Dan para penjajah merasa penting melalui keseluruhan
proses kolonialisasi untuk juga bersikap ambivalen. Keseluruhan sejarah kolonialisasi
adalah tentang antagonisme dan ambivalensi. Mudah kiranya untuk mendukung beberapa
jenis moralisme politik yang reduktif, beberapa jenis dalil simplisistik tentang
kemerdekaan dan emansipasi. Kemerdekaan merupakan sesuatu yang amat sulit. Dan, ia
hanya ketika berada dalam kondisi tertekan Anda akan memahami cara untuk bertahan,
dan cara Anda untuk bertahan adalah berfungsi di dalam dan melalui ambivalensi atau
melalui hibridisasi budayamu. Orang-orang yang menjajah rakyat, di mana kepada mereka
beragam budaya dipaksakan, yang kemudian menjadi bagian dari repertoar budaya
mereka, tidak secara pasti memberi pilihan: Apakah kamu ingin budayamu
terhibridasikan? Tidak setiap budaya itu sendiri tidak terhibridasi. Mereka adalah
serangkaian hibridisasi lateral, jika tidak, vertikal maupun hirarkial. Namun, di sisi lain,
terdapat penguatan kembali otentisitas kultural. Anda tahu, inilah budayaku, dan ini telah
diambil dari saya dan saya ingin ia kembali, sebuah gerakan yang cukup bagus. Namun,
Anda tidak bisa memahami mengapa permintaan untuk essensialisme atau otentisitas
kultural, yang Anda bisa memahaminya dalam beberapa konteks, mengapa hal itu terjadi
jika Anda tidak memahami ambivalensi dan pertarungan di seputar kekuatan budaya.
Hibridisasi bukan hanya tentang percampuran budaya-budaya. Hibridisasi merupakan
perjuangan untuk memperkuat budaya atau memperlemahnya.8
Tentu saja kedekatan dengan budaya lain dalam pemikiran Bhabha tidak hanya
berlaku pada masa kolonial, tetapi juga poskolonial yang diwarnai dengan globalisasi.
Budaya global yang banyak dipenuhi oleh struktur budaya Barat menjadi sebuah rezim
kebenaran baru yang setiap saat dinikmati oleh masyarakat pascakolonial. Meskipun
tidak sama dengan pola kolonialisasi, namun pengaruh budaya Barat bisa disejajarkan
dengan imperialisme kultural yang sedikit demi sedikit menggeser popularitas budaya
lokal. Dalam kondisi itulah, subjek poskolonial „bertingkah‟ dengan melakukan
pembacaan dan peniruan di ruang poskolonial untuk kemudian menciptakan produk
budaya hibrid.
Bagi beberapa pemikir lain yang ikut mengelaborasi dalil hibriditas Bhabha,
hibriditas menandakan adanya keberlangsungan kreativitas dalam dinamika aspek
kebudayaan. Clothier (2006: 19-21) menjelaskan hibriditas kultural sebagai produk
kultural di ruang ketiga yang unik dan kas dan bukan sekedar percampuran antara dua
budaya atau lebih, tetapi bisa menjadi: (1) kritik terhadap dalil otentisitas budaya; (2)
tanda dinamika budaya, di mana batas-batas kultural melebur dan saling melampaui
dalam ruang ketiga; (3) bentuk kreativitas kultural yang selalu berkembang melampaui
batas-batas yang ada di antara budaya-budaya yang ada; dan (4) bentuk otentisitas
baru dari sebuah budaya masyarakat.
Apa yang harus diperhatikan adalah bahwa hibridisasi kultural merupakan proses
panjang dari sejarah kemanusian dan kebudayaan yang tidak hanya terjadi sekarang.
Hibridisasi kultural, pada kenyataannya, merupakan proses kultural yang berusia
sangat tua dan terus berkembang hingga saat ini. Pieterse (2001: 222) menjelaskan:
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Hibridisasi sebagai sebuah proses memang setua sejarah itu sendiri, tetapi percepatan
percampuran semakin pesat dan bidangnya meluas dalam kebangkitan perubahan-
perubahan struktural, seperti teknologi-teknologi baru yang memudahkan fase baru dari
kontak interkultural. Globalisasi kontemporer yang semakin cepat merupakan contoh dari
fase tersebut. Ranah baru utama dari percampuran-percampuran baru yang muncul
adalah kelas-kelas menengah dengan praktik sosio-kultural yang muncul dalam konteks
migrasi dan diaspora serta modernitas baru dari „pasar yang muncul‟. Selama hampir dua
dekade rata-rata pertumbuhan ekonomi Macan Asia dan pasar-pasar lain yang muncul
berlipat ganda setinggi negara-negara Barat. Hal itu bergantung pada aplikasi besar-
besaran dari teknologi baru dan munculnya moral sosial dan pola konsumsi baru. Itu
semua, secara tipikal, merupakan budaya penggabungan yang menggabungkan teknologi
baru dengan praktik sosial dan nilai-nilai kultural yang eksis.
Hibridisasi memang sebuah keniscayaan yang terjadi dalam masyarakat dan mampu
melintasi ruang dan waktu. Pieterse (2001: 223), lebih jauh lagi, secara historis
menjelaskan ranah-ranah yang menyuburkan perkembangan wacana hibridisasi.
Pertama, terma hibriditas berawal dalam pastoralisme, pertanian, dan hortikultura.
Hibridisasi merujuk pada pengembangan kombinasi baru dengan menyilangkan satu
tanaman atau buah dengan yang lain. Kedua, hibridisasi dalam hal genetika. Ketika
keyakinan dalam „ras‟ memainkan bagian dominan, percampuran genetis dan
„percampuran ras‟ menjadi dalil yang begitu terkenal. Ketiga, hibriditas merujuk pada
kombinasi dari binatang-binatang yang berbeda, dan juga merujuk pada cyborg
(cybernetics organism/organisme sibernetik), kombinasi dari manusia atau binatang
dengan teknologi (hewan piaraan diberi chip untuk identifikasi, sebuah rekayasa
biogenetik). Keempat, hibriditas kemudian memasuki ranah pengetahuan sosial via
antropologi religi, melalui tema sinkretisme. Kelima, bahasa-bahasa kreol dan kreolisasi
dalam linguistik merupakan bidang lanjutan yang menjadikan titik perhatian
pengetahuan sosial. Keenam, yang berkembang sekarang adalah hibridisasi kultural.
Ketujuh, perkembangan yang lain juga terkait dengan hibridisasi institusional,
termasuk pemerintahan. Kedelapan, hibridisasi organisasional dan pengaruh-pengaruh
kultural yang beragam dalam hal teknik manajemen. Kesembilan, interdisiplineritas
dalam ilmu pengetahuan menjadi bentuk hibrid baru semisal ekonomi ekologi.
Kesepuluh, menu menjadi semacam monumen bagi hibriditas kultural. Kesepuluh, yang
paling umum dalam hibriditas adalah identitas, perilaku konsumen, gaya hidup, dan
lain-lain. Membicarakan hibridisasi dengan segala potensi kritis, strategis, maupun
politis yang menyertainya tentu tidak bisa dilepaskan dari jejak-jejak historis yang
menyertainya, meskipun titik-tekannya tetap pada kondisi dan praktik yang terjadi
pada masa kini.
Dengan pemahaman-pemahaman tersebut, hibridisasi kultural bisa didefinisikan
sebagai sebuah proses kultural yang ditandai dengan usaha-usaha untuk memadukan
dua budaya atau lebih ke dalam sebuah bentuk budaya yang tetap bersandar pada
budaya lokal tetapi tidak sepenuhnya, mengambil yang asing tetapi juga tidak
sepenuhnya. Sedangkan hibriditas kultural merupakan sebuah realitas dari produksi
budaya yang mengambil beberapa unsur dari dua atau lebih budaya yang bisa
menciptakan bentuk baru atau memperbarui budaya yang sudah ada. Akibatnya,
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
budaya hibrid yang dihasilkan bisa jadi kehilangan sebagian unsur keasliannya dan
ditambah unsur baru. Namun, apa yang lebih penting adalah bahwa menjadi sang
hibrid adalah bukan sekedar percampuran, tetapi sebuah perjuangan untuk terus
menegosiasikan gagasan dan praktik kultural dengan mengartikulasikan lokalitas dan
globalitas dalam ruang ketiga demi kepentingan politis budaya lokal. Dengan
memahami hibridisasi kultural dengan produk-produk hibrid yang dihasilkannya,
realitas dan pertarungan kultural dalam masyarakat kontemporer lebih bisa dimaknai
kembali, dikaji ulang, dan diceritakan ulang, sehingga kajian sosial dan humaniora
tidak terus terjebak pada pemikiran esesnsialisme budaya.
Sang hibrid yang melawan esensialisme (identitas) kultural
Pemahaman terhadap hibriditas budaya yang menghasilkan campuraduk kultural
dengan kepentingan dan potensi strategis yang menyertainya, menghadirkan kritik
tajam terhadap pemikiran esensialisme kultural. Secara sederhana, esensialisme
kultural merupakan pandangan yang memposisikan teks, praktik, dan identitas
kultural sebuah komunitas atau masyarakat selalu bersifat stabil, inherent, dan tidak
akan banyak berubah. Dougan (2003: 33) mengungkapkan beberapa karakteristik dari
esensialisme kultural, yakni: (1) menganggap adanya sebuah inti dari unsur-unsur
sebuah budaya yang penting bagi eksistensi bdaya tersebut; (2) bersifat ahistoris dan
tak berkesudahan; (3) berusaha menstabilkan identitas kultural yang sebenarnya tidak
stabil dan menyederhanakan asal-usul yang menyatu dari pengalaman hidup; dan (4)
menyediakan batasan-batasan yang permanen, jelas, dan mendalam bagi pembedaan-
pembedaan sosial, di mana batasan-batasan itu akan menjadi alat untuk menghormati
dan menyalahkan, distribusi nilai harga dan keuntungan, regulasi masyarakat, dan
mobilisasi pelaku bagi aksi kolektif. Akibatnya, esensialisme dan batasan-batasan
mendalam mampu menjadi instrumen bagi dua gerakan besar dalam kolonialisme,
yakni penaklukan dan perjuangan melawan penaklukan. Artinya, penjajah
menggunakan esensialisme kultural dari calon terjajah, seperti bodoh, tidak beradab,
tidak berpendidikan, mitis, takhayul, dan lain-lain untuk memberikan kuasa legal bagi
praktik kolonialime yang akan dijalankan atas nama pencerahan. Sementara kaum
terjajah menggunakan esensialisme kultural yang melekat pada masyarakatnya untuk
bisa membangkitkan semangat perjuangan melawan penjajah.
Esensialisme kultural juga seringkali digunakan kelompok etnis, agama, ataupun
ras tertentu untuk melakukan politik identitas (identity politics) yang terkadang tidak
digunakan untuk melakukan pembelaan terhadap budaya yang ada, tetapi lebih sering
digunakan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi maupun politik tertentu. Gimenez
(2006: 431-432) menegaskan:
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Politik identitas, sebagai ideologi dan praktik, mengaburkan persoalan lokasi kelas sebagai
sumber pengalaman dan permasalahan bersama, membuka dan menutup kesempatan-
kesempatan edukasional, sosial, dan ekonomi. Komonalitas tersebut mentransendenkan
perbedaan rasial, etnik, dan kultural serta bisa menjadi basis bagi mobilisasi dan
pengorganisasian kolektif dalam setting yang beragam, seperti ketetenggaan, sekolah,
komuniti, dan tempat kerja. Memang, politik identitas menjadikan orang dari dengan
perbedaan historis, keturunan, dan budaya mengalami komonalitas berbasis kelas dari
perspektif yang berbeda, namun kondisi material dan kebutuhannya tidak pernah serupa.
Sebagai contoh, minoritas etnik dan rasial kelas pekerja, khususnya dari strata miskin,
membutuhkan pelatihan kerja, pekerjaan layak, rumah terjangkau, perawatan kesehatan,
dan lain-lain. Karena politik identitas tidak pernah berdasarkan pada kondisi-kondisi
struktural yang menghasilkan kepentingan objektif, seperti kelas, ia bisa menjadi senjata
ideologis bagi semua kepentingan politik: menggiring orang dengan kesamaan kepentingan
untuk melawan yang lain, mengaburkan kondisi-kondisi bagi kerjasama dan penerimaan
potensial bagi kekuatan politik. Dan, bisa digunakan kelas dominan dan identitas dominan
untuk mengklaim opresi dan eksklusi dengan kebijakan-kebijakan dini yang ditujukan
untuk menata kembali pengaruh dari ketidaksamaan, melalui klaim “diskriminasi
berbalik” dan “pembenaran politik”.
Esensialisme identitas kultural, dengan demikian, bisa menjadi senjata untuk
kepentingan-kepentingan politis partikular dengan mengatasnamakan kepentingan
bersama. Penggunaan atribut-atribut kultural yang diasumsikan sebagai ciri khas
komunitas tertentu, bisa menjadi senjata politis efektif karena anggota komunitas
tersebut juga memiliki kedekatan satu sama lain melalui kesamaan identitas kultural.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kesamaan identitas kultural, tetapi ketika
kesamaan tersebut lebih dimaknai dalam kepentingan politis, esensialisme kultural
hanya menjadi topeng pihak-pihak tertentu untuk berkuasa dan tetap menjadi dominan
dalam masyarakat.
Esensialisme kultural yang selalu membayangkan adanya kemurnian, pada
kenyataannya, memang sangat sulit untuk diwujudkan meskipun beberapa pihak politis
berusaha untuk mempolitisirnya. Perkembangan masyarakat yang banyak dipengaruhi
proses-proses sosial, seperti kolonialisasi, migrasi, dan globalisasi, telah menjadikan
bertemunya banyak identitas kultural dan menghasilkan perdebatan teoretis. Di dalam
proses interaksi dan komunikasi tentu memunculkan wacana-wacana dan tanda-tanda
kultural baru yang kemudian bisa menjadi medan diskursif bagi pembentukan kedirian
kultural masing-masing mereka yang terlibat. Pertanyaan tentang identitas kultural,
kemudian, tidak bisa semata-mata dibicarakan dari identitas kultural awal yang
diposisikan sebagai esensi dari subjek. Hall secara kritis menjelaskan bahwa identitas
haruslah dikonseptualisasikan sebagai hubungan di antara subjek-subjek dan praktik-
praktik diskursif yang lebih luas (dikutip Durham, 2004: 141).
Senada dengan Hall, Clifford (dikutip dalam Kompridis, 2005: 321) dengan
panjang lebar memaparkan betapa sulitnya menemukan kemurnian kultural seperti
yang dibayangkan oleh esensialisme kultural.
Seorang sejarahwan intelektual dari tahun 2010, jikalau saja seseorang bisa berimajinasi,
bisa melihat kembali 2/3 pertama dari abad kita (semisal abad ke-20) dan mengamati
bahwa abad ini merupakan masa ketika kaum intelektual Barat terobsesi dengan dasar-
dasar makna dan identitas yang mereka sebut „budaya‟ dan „bahasa‟ (kebanyakan cara kita
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
saat ini melihat abad ke-19 dan mempersepsikan adanya titik tekan problematik terhadap
„sejarah‟ dan „kemajuan‟ evolusioner). Saya pikir kita sedang melihat tanda-tanda bahwa
keutamaan-keutamaan yang diberikan bahasa natural dan juga budaya natural mulai
memudar. Objek-objek dan dasar-dasar epistemologis tersebut sekarang muncul sebagai
konstruk-konstruk, menjelma fiksi-fiksi, yang memuat dan mendomestikasi heteroglosia.
Dalam sebuah jagat di mana terlalu banyak suara yang berbicara secara bersamaan,
sebuah jagat di mana sinkretisme penemuan parodik menjadi aturan, tidak terkecuali,
sebuah jagat urban, multinasional dari transpengetahuan institusional—di mana pakaian
Amerika yang dibuat di Korea dipakai oleh anak muda Rusia, di mana akar setiap orang
pada setiap tingkatan terpotong. Dalam jagat yang seperti itu, sangatlah sulit untuk
melekatkan makna dan identitas manusia pada „budaya‟ dan „bahasa‟ yang koheren.
Masih dalam pemikiran senada, Waldron (dikutip dalam Kompridis, 2005: 321)
menjabarkan:
Kita hidup dalam jagat yang dibentuk oleh teknologi dan perdagangan; oleh imperilaisme
agama, ekonomi, dan politis serta turunan-turunannya; oleh migrasi massa dan penyebaran
pengaruh kultural. Dalam konteks tersebut, mengikatkan seseorang dalam praktik-praktik
tradisional…bisa menjadi eksperimen antropologis yang menyenangkan, namun hal itu
melibatkan pengalihan artifisial dari apa-apa yang sebenarnya terjadi di jagat ini. Bahwa
itu semua bersifat artifisial dibuktikan oleh fakta bahwa keterikatan seringkali
mensyaratkan subsidisasi khusus dan kondisi ekstraordiner bagi mereka yang hidup dalam
jagat dimana budaya dan praktik tidak bergerak dari satu sama lain…Dari sudut pandang
kosmopolitan, keterikatan pada tradisi komunitas partikular dalam jagat modern
sepertihalnya hidup di Disneyland dan berpikir bahwa lingkungan sekitar seseorang
mewujudkan apa-apa yang dibutuhkan budaya untuk eksis. Masih lebih buruk lagi, hal itu
sepertihalnya membutuhkan dana untuk hidup di Disneyland, sementara masih mengatur
untuk meyakinkan diri seseorang bahwa apa yang terjadi di dalam Disneyland adalah
segalanya yang ada hanyalah untuk hidup yang mandiri.
Dua pemikiran di atas bertemu dalam benang merah yang mengganggap saat ini sangat
sulit untuk menemukan akar, identitas, dan makna kultural yang bersifat esensial
dalam masyarakat atau komunitas tertentu. Kekuatan akar kultural yang dulunya
melekat pada jatidiri komunitas tertentu dan diaplikasikan melalui ritual dan tradisi,
dari hari ke hari semakin banyak yang pudar atau bertransformasi ke dalam hibriditas
yang tidak bisa dielakkan.
Esensialisme budaya, kemudian, mendapat kritik tajam dari kalangan
konstruktivisme (constructivism) yang memaknai budaya sebagai (1) narasi wacana; (2)
proses; dan (3) identitas.9 Sementara para pemikir realisme kritis (critical realism)
memberikan pemikiran-pemikiran yang sekaligus mengkritisi essensialisme dan
konstruktivisme dengan menekankan bahwa (1) semua konsep dan teori adalah
konstruksi sosial, termasuk pengetahuan saintifik, dan secara historis dan sosial
mewujud, tetapi tetap memandang adanya struktur; (2) struktur—baik secara natural
maupun sosial—bisa berubah karena proses interaksi dan relasi antarmanusia,
termasuk budaya yang juga mempunyai struktur; (3) struktur tidak perlu digambarkan
sebagai esensi dan budaya tidaklah eksis a priori, sehingga masyarakat tidak perlu
didefinisikan secara ontologis sebelum mereka dideskripsikan ketika mengerjakan
sesuatu, untuk kemudian menganalisis bagaimana budaya menstrukturasikan praktik;
dan (4) penolakan terhadap kapasitas kausal budaya (atau bahasa) untuk
menstrukturkan praktik kultural (atau tindak tutur) merupakan reaksi berlebihan
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
terhadap determinisme kultural atau linguistik, sehingga kita tetap butuh struktur dan
kompetensi bagi aktivitas transformasional.10
Baik pemikiran konstruktivisme dan realisme kritis sebenarnya menekankan
adanya sebuah proses kultural yang tidak bisa lagi diterjemahkan sebagai sebuah
kekakuan, tetapi sebuah proses yang sangat cair. Identitas kultural adalah sebuah situs
pertarungan di mana representasi-representasi yang dipengaruhi oleh bermacam
wacana dominan dalam masyarakat dimunculkan oleh subjek-subjek sosial, sesuai
dengan tempat, ruang, dan waktu partikular. Memang identitas kultural bawaan sangat
mungkin tetap eksis dalam praktik sehari-hari masyarakat, meskipun tidak
sepenuhnya. Namun, negosiasi citra, praktik, nilai, dan bentuk budaya lain bisa
merekonstruksi kedirian dan identitas kultural subjek-subjek dalam masyarakat
melalui artikulasi11 yang mereka lakukan. Inilah yang menjadikan formasi diskursif
tentang hibriditas budaya berkembang pesat dalam masyarakat kontemporer karena
terma tersebut mampu menjangkau dan menggambarkan serta lebih menjanjikan
dalam membicarakan realitas identitas kultural dan budaya terkini.12
Hibriditas lanjut: Poskolonialisasi dan globalisasi
Sebagaimana dijelaskan oleh Bhabha, bahwa pada masa kolonial yang seringkali
dipenuhi dengan praktik dan formasi diskursif dengan penekanan superioritas penjajah,
subjek terjajah, nyatanya, mampu melakukan pembacaan dan taktik strategis untuk
mengatasi problem kedirian dengan melakukan mimikri, pengejekan, dan hibriditas di
ruang ketiga. Kondisi tersebut, sampai dengan masa pascakolonial juga tetap
berlangsung, baik pada awal-awal pascakemerdekaan maupun pada masa
perkembangan lanjut dari sebuah bangsa dan negara. Pada masa poskolonial, ketika
kuasa administratif dan definitif dari penjajah sudah tidak berlangsung lagi di tanah
bekas jajajan mereka, bermacam situs pertarungan kultural, ideologis, yuridis, ekonomi,
sosial, maupun politik masih saja berlangsung dan seringkali bisa dilihat adanya
pengaruh diskursif dari bangsa asing/bekas penjajah. Pengaruh diskursif tersebut bisa
saja disepakati sebagai proses yang natural dengan mengimpikan teks dan praktik
kultural bangsa bekas penjajah sebagai sebuah kebenaran yang selayaknya diikuti oleh
bangsa eks-terjajah ataupun dilawan dengan beragam strategis, siasat, dan taktik, baik
dalam ranah budaya, ekonomi, hukum, religi, ekonomi, sosial, maupun politik.
Keluasan ragam teks dan praktik bangsa pascakolonial itulah yang menjadi ranah
kajian poskolonial dewasa ini. Aschroft, dkk (1995: 2):
Terma poskolonial berkembang luas dengan disertai ambiguitas dan kompleksitas dari
banyak pengalaman pengalaman budaya berbeda yang ia implikasikan…ia diarahkan pada
semua aspek dari proses kolonial dari awal kontak kolonial. Kritik dan teori poskolonial
harus menimbang implikasi menyeluruh dari pembatasan makna „setelah-kolonialisme‟
atau setelah-kemerdekaan. Semua masyarakat poskolonial masihlah menjadi subjek dalam
satu cara atau cara lain bagi bentuk yang tak kentara atau menipu dari dominasi neo-
kolonial, sehingga kemerdekaan tidak bisa serta-merta menyelesaikan masalah tersebut.
Perkembangan elit-elit baru di dalam masyarakat merdeka, seringkali didukung oleh
institusi-institusi neo-kolonial; perkembangan pembagian internal berdasarkan
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
diskriminasi rasial, linguistik, atau religius; keberlanjutan perlakuan yang tidak sama
terhadap masyarakat pribumi dalam masyarakat masyarakat pendatang atau
penginvasi—semua persoalan tersebut membuktikan fakta bahwa poskolonialisme
merupakan proses berlanjut dari resistensi dan rekonstruksi. Hal tersebut tidak
mengimplikasikan bahwa praktik-praktik poskolonial bersifat mandeg dan homogen, tetapi
mengindikasikan ketidakmungkinan untuk semata-mata memahami berbagai bagian dari
proses kolonial tanpa menimbang para pendahulu (apa-apa yang terjadi pada masa
kolonial, pen) dan konsekuensinya.
Pemikiran di atas, paling tidak menghadirkan beberapa pemahaman tentang kajian
poskolonial. Pertama, istilah poskolonial bukan semata-mata dipahami sebagai proses
keterjajahan sebuah bangsa selama masa kolonial, tetapi bisa jadi berlanjut hingga
masa setelah kemerdekaan: terjajah dan pernah terjajah. Kedua, untuk memahami
kondisi masyarakat poskolonial, seorang peneliti juga harus mempunyai pengetahuan
tentang proses kolonialisasi yang terjadi pada masa kolonial sebuah bangsa atau
masyarakat. Artinya terdapat “proses kontinyu” dari wacana dan praktik yang ada pada
masa kolonial hingga saat ini yang diwarnai dengan rekonstruksi dan resistensi.
Rekonstruksi dimaksudkan sebagai proses kolonial yang masih berlangsung setelah
kemerdekaan yang berasal dri kuasa diskursif wacana, pengetahuan, dan praktik yang
pernah terjadi dalam masa kolonial dan berlanjut hingga saat ini serta mempengaruhi
proses dan praktik sosio-kultural yang ada. Sementara resistensi berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan perlawanan terhadap kuasa diskursif tersebut. Hal itulah
yang menjadikan kajian poskolonial tidak terjebak dalam satu fokus, tetapi sangat
beragam, dari migrasi, perbudakan, pemaksaan, resistensi, representasi, perbedaan,
ras, gender, lokasi, serta respons terhadap wacana tuan dari imperial Eropa seperti
sejarah, filsafat, dan linguistik.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, Faruk (2007: 14-15) mengelaborasi beberapa
perspektif teoretis yang bisa digunakan untuk membaca masyarakat pascakolonial.
Pertama, teori poskolonial merupakan sekumpulan strategi teoretis dan kritis yang
digunakan untuk meneliti kebudayaan (kesusastraan, politik, sejarah, dan lain-lain)
dari koloni-koloni negera-negara Eropa dan hubungan negara-negara itu dengan
belahan dunia sisannya, dengan asumsi: (1) mempertanyakan efek negatif dari apa yang
justru dianggap bermanfaat oleh kekuasaan imperial, semisal pernyataan mengenai
hadiah peradaban, warisa sastra Inggris, dan sebagainya; (2) mengangkat isu-isu
seperti rasisme dan eksploitasi; dan, (3) mempersoalkan posisi subjek kolonial dan
pascakolonial. Kedua, teori poskolonial berusaha untuk melihat efek penjajahan yang
masih berlangsung hingga saat ini serta kemungkinan transformasinya ke dalam
bentuk-bentuk neokolonialisme (internal maupun global) dan juga respons resistensi
atau wacana tandingan dari masyarakat terjajah terhadap kuasa penjajahan dengan
tetap memperhatikan adanya ambivalensi atau ambiguitas. Pemahaman teoretis
tersebut mengisyaratkan adanya kata kunci dari penjajahan dan segala tindakannya,
mengikuti pemikiran Foucauldian, yakni efek kuasa diskursif dari wacana dan
pengetahuan penjajah ke dalam kebudayaan—dalam artian wacana, pikiran, nilai,
orientasi, dan tindakan—bangsa terjajah atau pernah terjajah: di masa lalu dan masa
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
kini. Bagi bangsa yang terjajah dan pernah terjajah, kondisi itu memunculkan
kecenderungan untuk menjadi subjek pascakolonial yang melakoni bentuk, wacana, dan
pengetahuan terkait dengan kebudayaan penjajah atau memungkinkan juga mereka
bersifat resisten dalam bentuk ambivalensi peniruan.
Hibridisasi kultural jelas-jelas terjadi dalam konteks masyarakat pascakolonial.
Mereka yang baru saja bangkit untuk mengisi kemerdekaan tentu memerlukan model-
model ideal dalam membangun kebangsaan yang akan menopang keberlanjutan
kehidupan bernegara. Maka, model-model ideal dalam hal pemerintah, hukum,
ekonomi, sosial, dan budaya yang pernah dipraktikkan bangsa penjajah di tanah
jajahan ataupun praktik-praktik lanjut di negara mereka. Memang, slogan-slogan
bombastis seperti “budaya nasional” bisa menjadi usaha untuk menjelaskan,
menjustifikasi, dan memunculkan kesadaran bagi masyarakat pascakolonial untuk
mengembangkan eksistensinya. Bagi Fanon (1995: 153-157) budaya nasional memang
bisa memancing dan memperkuat munculnya kesadaran nasional, tetapi juga bisa
menghadirkan kembali proses retrogresi, kembalinya konservatisme tradisional, ketika
kekuatan-kekuatan politik yang ada di negara pascakolonial kembali pada konsep
kesukuan dalam membangun kesadaran politik dan budaya bangsanya. Kondisi ini
merupakan ketidakmampuan kelas elit nasional dalam merasionalisasikan tindakan
populer, atau ketidakmampun untuk memberikan alasan bagi tindakan tersebut.
Kelemahan tradisional bukan hanya sebagai akibat dari mutilasi pihak terjajah oleh
rezim kolonial. Lebih dari itu, hal itu merupakan akibat kemalasan kelas elit nasional,
terutama dalam hal kemiskinan spiritual dan kecenderungan kosmopolitan sehingga
tidak bisa menciptakan strategi nasional yang mampu memperkuat kesadaran nasional
melalui penyadaran kultural. Karena sulitnya sosialisasi diskursif budaya nasional,
maka sangat wajar ketika hibridisasi menciptakan hibriditas kultural dan budaya
hibrid yang berlangsung dari level elit negara hingga masyarakat bawah.
Kenyataannya, masyarakat pascakolonial memang masih berusaha menjalankan
budaya tradisi sebagai situs negosiasi identitas kultural sekaligus untuk menumbuhkan
patriotisme dan nasionalisme, namun mereka juga dengan rajin pula mengenakan
pakaian-pakaian yang mengikuti mode-mode Eropa maupun Amerika maupun
memainkan atau mendengarkan musik Barat. Hibriditas kultural tersebut menandakan
sebuah proses antara: menjejakkan kaki di negerinya, memimpikan sesuatu yang ideal
dari Barat sebagai penanda bentuk kemajuan peradaban. Dengan menjadi sang hibrid,
mereka membayangkan diri mereka sebagai bagian dari praktik budaya yang
berlangsung di negara-negara Barat. Inilah wacana dan praktik kosmopolitanisme13
yang menghinggapi masyarakat pascakolonial.
Masyarakat pascakolonial yang masih saja melakukan pembayangan-
pembayangan ideal terhadap negara Barat, semakin dimanjakan oleh representasi
kultural dan pemikiran dari media, film, televisi, dan produk-produk industri budaya
lainnya yang semakin deras masuk di tengah-tengah era globalisasi. Memang beberapa
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
tesis tentang globalisasi lebih memfokuskan pada proses homogenisasi kultural bagi
masyarakat negara-negara di Dunia Ketiga atau masyarakat pascakolonial karena
logika kekuatan modal dan kekuatan produksi industri budaya yang digerakkan dari
negara-negara maju dengan Amerika Serikat sebagai pusatnya, sehingga imperalisme
atau neokolonialisasi kultural kembali berlangsung di negara-negara pascakolonial
(Kien, 2004; Gills, 2002; Banerjee, 2002; dan, Sparks, 2007). Sementara, beberapa tesis
lain menyatakan bahwa globalisasi merupakan proses dinamis dimana masyarakat
lokal mampu menegosiasikan keragaman kultural sembari mengartikulasikan budaya
Barat/global dalam konteks lokalitas masing-masing yang kemudian menghadirkan
glokalisasi dan lokalisasi dengan produk budaya glokalnya (Appandurai, 2001;
Schuerkens, 2003; Giulianotti and Robertson, 2007; Edwars, 2002; dan, Holton, 2002).
Dalam konteks globalisasi, sebagaimana dijelaskan Giulianotti dan Robertson
(2007), masyarakat lokal di negara-negara poskolonial sebenarnya mempunyai
kemampuan kreatif untuk melakukan negosiasi dan artikulasi terhadap masuknya
budaya global bernuansa Barat untuk kepentingan lokalitas masing-masing. Proses
inilah yang kemudian dinamakan glokalisasi. Menurut mereka, terdapat empat proyek
dalam glokalisasi. Pertama, “relativisasi” yang menandakan kemampuan masyarakat
lokal dalam mempertahankan institusi, praktik, dan makna kultural di dalam sebuah
lingkungan baru, sehingga menunjukkan komitmen untuk berbeda dengan budaya
induk, dalam hal ini budaya Barat. Kedua, “akomodasi” di mana masyarakat lokal
secara pragmatis menyerap praktik, institusi, dan makna kultural dari masyarakat
lain, demi tetap melestarikan elemen-elemen kunci dari budaya lokal yang ada. Ketiga,
“hibridisasi” yang menunjukkan kemampuan masyarakat lokal untuk mensitesakan
budaya lokal dan budaya lain untuk menghasilkan praktik, institusi, dan makna
kultural hibrid yang berbeda. Keempat, “transformasi” yang menggambarkan keputusan
masyarakat lokal untuk lebih memilih untuk menjalani praktik, institusi, dan makna
kultural yang berasal dari budaya lain, sehingga menghasilkan budaya yang sama
sekali baru yang sekaligus sebagai bentuk penolakan terhadap budaya lokal.
Memang, keempat proyek glokalisasi tersebut bisa saja terjadi pada masyarakat
lokal dengan kecenderungannya masing-masing. Namun demikian, hibridisasi
kulturallah yang paling banyak mengisi ruang lokalitas masyarakat. Masyarakat lokal
sebenarnya ingin tetap menjalankan dan melangsungkan praktik budaya lokal yang
mereka warisi dari leluhur, namun mereka juga tidak bisa menolak sepenuhnya
kehadiran budaya global yang dari hari ke hari semakin beragam, menarik, dan
dinamis. Realitas hibriditas kultural tersebut bisa dilihat dalam bermacam ranah
budaya, dari industri budaya/kreatif, pakaian, hingga kesenian tradisi-lokal. Musik
industrial di negara-negara poskolonial, misalnya, beraroma sangat hibrid dan berusaha
meniru atau memasukkan unsur-unsur musik Barat ke dalam produk musik nasional
mereka. Kaum muda semakin mengidolakan penyanyi maupun grup band dari Amerika.
Program-program televisi lebih banyak meniru program dari Barat, dari sinetron, kuis,
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
hingga reality show. Pakaian yang dikenakan sehari-hari sangat Western-minded,
meskipun diproduksi di dalam negeri. Kesenian tradisi-lokal seperti wayang kulit,
jaranan, maupun campursari, mulai memasukkan unsur-unsur musik (modern) ke
dalam pertunjukan mereka. Dalam ranah budaya akademis kondisi serupa juga terjadi.
Banyak dosen ataupun mahasiswa yang berhasrat untuk menempuh kuliah di luar
negeri, baik untuk gelar S1, S2, maupun S3, dengan alasan memperoleh pendidikan
yang lebih baik dan untuk bisa merasakan atmosfer akademis di negara-negara dengan
tingkat pendidikan yang lebih maju. Sekali lagi, ini adalah hasil dari proses globalisasi,
terutama yang dibawa oleh media dan industri kreatif lainnya—dari televisi hingga
internet—yang menawarkan banyak „nilai-nilai pencerahan‟ bagi masyarakat lokal.
Politik sang hibrid
Sebagai sebuah realitas kultural, masyarakat pascakolonial di era globalisasi
memang tidak mungkin kembali ke dalam kehidupan purba, ketika teknologi aksara
dan mesin belum muncul, ketika teknologi lisan masih menjadi raja bagi kehidupan
budaya. Mereka adalah masyarakat yang setiap hari mendapatkan dan menikmati
produk-produk budaya global dalam aktivitas sosio-kultural, di samping keinginan
untuk tetap menjalankan budaya lokal mereka. Ketika mereka menjalani kehidupan
sebagai sang hibrid, sangat mungkin muncul operasi kuasa dan potensi politik, baik
yang sadari atau tidak. Operasi kuasa di balik sang hibrid bisa jadi digunakan pihak
Barat untuk terus menanamkan pengaruh diskursif kultural mereka ke dalam
kehidupan kultural masyarakat lokal, melalui hegemoni yang tidak kentara sebagai
kuasa karena ada kesepakatan-kesepakatan dari pihak lokal untuk menganggap dan
memposisikannya sebagai rezim kebenaran. Meskipun masyarakat lokal masih mampu
menegosiasikan gagasan dan praktik kultural mereka, namun sebagian praktik tersebut
sudah dipengaruhi oleh produk-produk budaya global yang sangat Barat. Di sisi lain,
dengan menjadi sang hibrid, masyarakat lokal sangat mungkin bisa melakukan politik
untuk terus menegosiasikan gagasan, praktik, dan makna kultural mereka di tengah-
tengah budaya global, meskipun akan kehilangan sebagian dari budaya yang ada.
Dengan demikian mereka akan terus bisa berkontestasi di ruang antara sebagai strategi
survival, di mana budaya global tidak bisa sepenuhnya menaklukkan mereka karena
keliatan strategi hibrid yang dijalankan.
Hibriditas budaya dan operasi kuasa menuju hegemoni
Salah satu kekhawatiran besar akibat membanjirnya produk-produk Barat melalui
mesin ekonomi dan perdagangan yang dibawa globalisasi adalah semakin kuatnya
pengaruh diskursif budaya Barat ke dalam kehidupan masyarakat lokal. Budaya lokal
dibayangkan akan semakin tergerus akibat masyarakat lebih memilih dan menyukai
budaya Barat dan turunan-turunannya dalam konteks nasional yang bersifat lebih
dinamis dan modern. Hal itu diperparah dengan ketidakberpihakan aparat birokrat
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
dalam membela kepentingan dan eksistensi budaya lokal. Setali dua uang, birokrat
dengan alasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, membuka pintu
selebar-lebarnya bagi investasi asing, termasuk produk-produk industri budaya ke
ruang lokal. Akibatnya, masyarakat lokal, dari hari ke hari, semakin terbiasa dengan
produk-produk budaya beraroma asing. Ada anggapan bahwa kondisi itulah yang
menyebabkan mundurnya atau semakin tersisihnya keragaman budaya lokal dari ruang
kultural masyarakat. Di samping itu, produk-produk industri budaya seperti musik,
film, dan program televisi yang digerakkan kekuatan modal di ibu kota semakin dekat
dengan budaya global bernuansa Barat.
Memang produk industri budaya di negara pascakolonial tetap mengusung
semangat lokalitas (negara dibayangkan sebagai lokal), terutama ditandai dengan
penggunaan bahasa nasional dalam produksi teksnya. Namun demikian, genre, style,
maupun aliran yang dibawakan oleh entertainer-entertainer ibu kota jelas meniru apa-
apa yang disuguhkan industri budaya di Hollywood maupun Eropa. Hibriditas kultural
di level nasional ini menjadi penanda bagi lahirnya budaya kontemporer yang dengan
bermacam usaha estetik, pencitraan, distribusi, dan pemasaran dianggap mampu
menjadi “tuan rumah di negeri sendiri”. Aroma percampuran gaya Barat dalam produk
industri budaya nasional jelas merupakan realitas kultural yang tidak bisa dielakkan
lagi. Meskipun realitas tiruan seringkali diwacanakan sebagai hasil kreativitas anak
negeri, secara eksplisit adaptasi dan kontekstualisasi unsur-unsur budaya Barat sangat
kentara dan mewarnai produk-produk budaya yang dihasilkan perusahaan-perusahaan
di level nasional. Inilah yang kemudian bisa dibaca sebagai pola hegemoni kultural
Barat melalui lahirnya budaya-budaya global yang cenderung diikuti oleh teks dan
praktik kebudayaan di negara-negara pascakolonial.
Model kuasa hegemonik memang selalu memberikan ruang bagi negosiasi dan
artikulasi kepentingan-kepentingan strategis masing-masing kelas yang terlibat
sehingga akan membentuk “kelas pemimpin” sebagai “blok historis” yang dicapai
melalui konsensus—bukan semata-mata tindakan koersif—dan untuk selanjutnya akan
diwarnai oleh kepemimpinan kultural, intelektual, dan moral (Gramsci, 1981: 191-192;
Laclau & Mouffe, 1981: 226; Boggs, 1984: 16; Bennet, 1986: xv; Slack, 1997: 115). Dalam
perspektif hegemoni kultural, para kreator di negara-negara Dunia Ketiga, memang
mempunyai kebebasan untuk berkarya sesuai dengan konteks lokalitasnya masing-
masing. Namun, apa yang harus diingat adalah bahwa kreator yang lahir dalam level
nasional rata-rata berasal dari generasi yang lebih sering menikmati produk-produk
budaya Barat. Wacana dalam teks-teks budaya Barat seperti sudah menjadi santapan
sehari-hari, sehingga membentuk formasi diskursif yang menjadikan subjek-subjek
pascakolonial tidak bisa terlepas dari jejaringnya sehingga menjadikan dan merujuk
teks-teks tersebut sebagai rezim kebenaran yang membentuk pengetahuan bagi mereka.
Akibatnya, hasil kreativitas mereka pada akhirnya cenderung meniru dan memosisikan
yang Barat sebagai kemutlakan yang sekaligus menandakan eksistensi mereka dalam
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
jejaring “kewarganegaraan kosmopolitan”14 yang diyakini bisa memberikan pencerahan
dengan beragam keyakinan bahwa yang lokal bisa memberikan warna bagi yang global,
meskipun yang lokal kemudian menjadi sangat terikat dengan yang global.
Produk-produk budaya yang dihasilkan dalam level industri kreatif nasional
memang selalu diposisikan sebagai kreasi anak negeri yang bersifat hibrid. Namun,
apabila diperhatikan lagi sifat hibrid itu hanyalah terwakili oleh elemen kebahasaan
yang dianggap menandakan identitas bangsa, sementara genre dan style tetaplah
menjadi Barat. Hibridisasi kultural yang terjadi kemudian lebih mengarah pada
transformasi kultural yang dalam banyak kasus telah memotong akar tradisi dan
kultural yang ada sebelumnya. Steven Flusty (2004: 109) menjabarkan:
…hibriditas kultural merupakan wujud identitas personal dan kolektif baru dari
kombinasi-kombinasi baru yang berasal dari atribut, praktik, dan pengaruh kultural yang
berbeda…muncul dari kondisi-kondisi yang terlepas dari akar dan tertinggal tanpa tempat
asal. Ketidaksinambungan yang diimplikasikan hibridisasi membuahkan hasil-hasil yang
beragam, bahkan kontradiktif. Dalam terma positif, hibridisasi bisa jadi menghasilkan,
semisal, tawaran-tawaran kultural yang lebih luas dan sebuah tantangan terhadap sifat-
sifat yang sudah mapan tentang ras; negatifnya, hal itu bisa berasosiasi dengan
perpindahan, hilangnya tradisi, dan permasalahan sosial.
Memang hibridisasi kultural yang sedikit demi sedikit menciptakan keterpisahan
dengan budaya lokal dari sebuah bangsa lebih banyak terjadi di pusat-pusat kota yang
lebih dekat dengan lalu-lintas budaya global. Impian-impian kultural yang teurs-
menerus membayangkan kosmopolitanisme benar-benar menciptakan percampuran-
percampuran yang seolah-olah menciptakan ketiadaan batas etnisitas, namun di balik
itu, orang-orang menjadi tercerabut dari ikatan-ikatan sosio-kultural dengan kearifan
maupun bentuk-bentuk budaya dari generasi-generasi sebelumnya. Maka, budaya
global yang diyakini beragam, nyatanya tetap diwarnai oleh hegemoni budaya Barat
dengan porosnya Hollywood dan Eropa.
Ironisnya, realitas peniruan terhadap budaya Barat pada beberapa bidang
kehidupan nyatanya tidak bisa menghasilkan hibriditas budaya bagi bangsa
poskolonial. Memang pada masa-masa awal kemerdekaan, masyarakat poskolonial
dianggap mampu melakukan pembacaan ulang dengan budaya masa lampau (kolonial)
untuk kepentingan nasional pascakemerdekaan. Mereka berusaha untuk menemukan
identitas baru yang tidak sepenuhnya menyalahkan masa lampau kolonial, namun juga
melakukan „penyelamatan‟ terhadapa budaya-budaya lokal dan kolonial untuk
memproduksi bentuk-bentuk yang sesuai sehingga bisa merepresentasikan realitas
poskolonial. Dengan demikian identitas poskolonial bersifat ironis, kontradiktif, dan
ragu-ragu, diwarnai oleh „ketidakaslian‟ yang dibentuk oleh identifikasi secara relatif
terhadap budaya penjajah dan penolakan terhadapnya (Kusno, 2000).
Ambivalensi hibriditas tersebut menunjukkan ketidakmampuan masyarakat
pascakolonial untuk keluar dari jejaring diskursif pengaruh asing apalagi di era
globalisasi saat ini. Kondisi itu tampak sekali misalnya pada tatanan budaya kota-kota
pascakolonial. Yeoh (2001: 8), merefleksikan pendapat Dick dan Hammer, memaparkan:
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
…(dalam konteks Asia Tenggara) untuk konvergensi dengan bentuk-bentuk metropolitan
urban sebagai akibat logika globalisasi, terjadi peningkatan polarisasi sosial dengan
adanya ekspansi kelas menengah, penurunan derajat keamanan personal, sebagaimana
halnya ketergantungan tinggi terhadap pakar-pakar asing dalam hal desain dan
perencanaan tata kota…kota poskolonial sebagai tipe yang berbeda merupakan
„pengalaman yang tidak biasa dan transitori‟ dan akan segera hilang oleh kecenderungan
kota yang mengglobal.
Perkembangan terkini mall, plaza, apartemen mewah, resort, lapangan golf, dan lain-
lain hanya meniru secara mentah-mentah dari model Barat dan sekedar
memindahkannya ke ruang geografis poskolonial. Masyarakat yang sudah bisa
memasuki atau mendiami ruang-ruang baru tersebut akan mendapatkan pengalaman-
pengalaman kultural yang semakin mendekatkan mereka kepada kecenderungan
menjadi Barat. Akibatnya, masyarakat semakin biasa meniru, tanpa bisa memberikan
penekanan dan evaluasi kritis dari apa-apa yang mereka tiru. Dalam kondisi tersebut
hegemoni kultural terhadap masyarakat poskolonial yang sudah masuk jejaring
globalisasi dan budaya global semakin kentara dan terasa dalam aspek, konsep, impian,
bentuk, dan praktik kultural.
Penguatan lokalitas di balik hibriditas budaya
Para pemikir yang memandang „agak positif‟ terhadap globalisasi seringkali
berargumen bahwa kuatnya pengaruh globalisasi telah menghasilkan proses, praktik,
dan teks kultural baru yang ditandai dengan kemunculan neolokalisme atau lokalisasi.
Pandangan ini membayangkan adanya kebangkitan budaya lokal melalui pembaruan-
pembaruan bernuansa hibrid sebagai respons kreatif terhadap maraknya budaya global
di tengah-tengah masyarakat lokal. Schuerkens (2003) menjelaskan:
Masuknya elemen-elemen budaya global ke dalam masyarakat lokal ditransformasikan
selama proses integrasi dan mewujud dalam lingkungan lokal baru. Budaya global
diinterpretasikan dalam hubungannya dengan budaya lokal dan pengalaman khusus
penduduk lokal. Budaya global disesuaikan oleh prasyarat lokal dan dipenuhi dengan
muatan dan fungsi yang saling berkaitan. Masyarakat lokal mengambil dan membentuk
kembali budaya metropolitan untuk keperluan mereka sendiri. Namun, proses penyesuaian
dan transformasi dari elemen-elemen kultural yang ada mengarah pada munculnya—
selama proses percampuran elemen budaya lokal dan impor—sesuatu yang baru dan unik.
Perbenturan lokal dengan elemen-elemen kultural yang berbeda menandakan kreasi
bentuk-bentuk budaya, gaya hidup, dan representasi baru. Dalam konteks budaya global,
hal itu menandakan keragaman budaya global: namun keragaman yang dihasilkan dari
jejaring kultural global terkini, dari penyesuaian kultural dari elemen-elemen eksternal
oleh penduduk lokal dan dari percampuran kreatif elemen-elemen global dengan makna
dan bentuk budaya lokal.
Ketika masyarakat lokal semakin terbiasa dengan budaya global yang dinikmati dalam
kehidupan sehari-hari, pada saat bersamaan mereka juga masih mempunyai kerinduan-
kerinduan akan nuansa kedirian lokal yang mengendap dan berusaha untuk
dimunculkan. Namun demikian, untuk memunculkan yang sepenuhnya lokal adalah
kemustahilan dan mungkin hanya dapat dilakukan oleh segelintir masyarakat lokal.
Akibatnya, interpretasi terhadap budaya global dalam konteks lokalitas menjadi pilihan
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
strategis untuk mempertahankan budaya lokal yang masih bisa dinegosiasikan dalam
konteks sosio-kultural kontemporer.
Proses percampuran kultural memang tidak bisa dihindari lagi. Masyarakat lokal
dengan cara pembacaan dan interpretasinya masing-masing berusaha secara kontinyu
untuk membuka ruang dialektika dengan elemen-elemen baru yang berasal dari dunia
luar. Usaha tersebut merupakan strategi untuk terus-menerus menegaskan identitas
lokal sehingga mampu bergerak dan berkembang mengikuti arus transformasi yang
tidak bisa dibendung lagi. Produk-produk budaya hibrid memang tercipta sebagai
bentuk kreasi kultural yang mampu mempertemukan aspirasi lokalitas dan
kecenderungan global. Masyarakat lokal, dengan demikian, tidak lagi memposisikan
budaya Barat maupun budaya global sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan dan
keberlanjutan budaya lokal mereka masing-masing. Mereka memposisikan budaya
global sebagai tantangan yang harus dimaknai, dirombak, direkonstruksi, diramu, dan
di-lokal-kan, bukan untuk kepentingan hegemoni budaya global, tetapi untuk
kepentingan budaya lokal yang mesti terus diusahakan eksistensinya.
Masyarakat lokal, dengan demikian, berhasil melakukan pembacaan dan
interpretasi dekonstruksi terhadap kemapanan struktur, bentuk, dan formasi diskursif
dari budaya global yang sampai ke mereka. Budaya global memang kuat dan sudah
menjadi rezim kebenaran baru yang diakui di seluruh dunia. Mereka memang masuk ke
dalam sendi-sendi kehidupan warga lokal. Mereka memang ditopang oleh kekuatan
modal yang masuk melalui investasi modal maupun perusahaan transnasional di
negara-negara berkembang. Mengikuti logika Derridean,15 sebagai sebuah struktur
bentuk dan makna, teks budaya global tidaklah utuh sepenuhnya. Artinya, masih
terdapat celah-celah di dalam struktur teks di mana masyarakat lokal bisa menunda
dan memecah-mecah keutuhan struktural dan makna dari budaya global untuk
kemudian memasukkan atau mencampurkan elemen-elemen budaya lokal sehingga
membentuk budaya baru yang bersifat dialogis dan campur-aduk. Hal serupa juga
mereka lakukan terhadap budaya lokal sehingga terdapat proses resiprokal antara yang
lokal dan yang global untuk menciptakan sang hibrid.
Seringkali, bagi para kreator di tingkat lokal, kekayaan budaya lokal merupakan
sumber inspirasi kreatif dalam perkembangan industri kreatif yang bernuansa hibrid.
Dengan penyerapan dan adaptasi dari elemen-elemen lokalitas dan percampuran
dengan elemen-elemen budaya Barat, maka akan muncul produk-produk hibrid yang
terus-menerus mampu menciptakan jenis budaya baru bagi selera estetik masyarakat.
Negara-negara pascakolonial/berkembang, baik Asia maupun Afrika, sebenarnya
mempunyai potensi yang cukup besar untuk mengarah pada perkembangan industri
kreatif karena memiliki keragaman budaya lokal yang menunggu untuk diberikan
sentuhan-sentuhan baru.16 Dengan melahirkan produk-produk baru bernuansa hibrid
tersebut, masyarakat lokal juga bisa berkontestasi untuk perjuangan eksistensial di
tengah-tengah budaya global dan sekaligus menunda atau bahkan meresistensi
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
popularitas budaya global yang banyak bernuansa Barat. Dengan mensintesakan
budaya lokal dan budaya global bernuansa Barat dalam „ruang pertemuan kreatif‟,
masyarakat lokal bisa mengambil keuntungan politis dari budaya hibrid, yakni
negosiasi terus-menerus potensi dan praktik kultural mereka di tengah-tengah
transformasi sosio-kultural.
Namun demikian, untuk bisa mencapai level budaya hibrid yang memberdayakan
kepentingan budaya lokal, maka dibutuhkan kreativitas dan kesadaran serta keyakinan
ideologis dari masyarakat terhadap keutamaan dan kedinamisan budaya yang mereka
miliki. Keyakinan ideologis bisa muncul ketika teks dan praktik budaya tidak sekedar
menjadi dogma-dogma yang dikuasai oleh segelintir elit lokal, tetapi mampu menjadi
representasi-representasi riil yang tersebar melalui beragam mekanisme, medium, dan
institusi sehingga mampu menjadi kesadaran dan membentuk kognisi sosial
masyarakat untuk selalu merujukkan tindakan dan perilaku sosio-kulturalnya kepada
konstruksi wacana yang ada dalam budaya lokal.17 Ketika budaya lokal sudah menjadi
keyakinan ideologis, dan bukan sekedar selebrasi-selebrasi untuk memenuhi formalitas,
maka mereka akan bisa dimaknai secara dinamis oleh para pendukungnya dalam
konteks perkembangan zaman yang semakin transformatif. Bentuk-bentuk kreativitas
baru yang bernuansa hibrid akan bisa diterima dan diposisikan tidak sedang
menggusur budaya lokal, karena mereka menyadari tindakan tersebut sebagai bentuk
negosiasi kultural untuk memperkuat nilai tawar budaya lokal dan untuk tidak sekedar
tunduk dan menyerah pada tawaran budaya global beraroma Barat.
Melawan konservatisme budaya lokal
Aspek kebaruan dari budaya hibrid yang memadukan nilai dan elemen budaya
lokal dengan nilai dan elemen budaya global seringkali diposisikan „mengganggu‟
kemurnian budaya awal. Slogan-slogan bombastis yang mengatasnamakan kemurnian
“budaya lokal”, “budaya nasional”, “budaya adiluhung”, dan “awas budaya asing” banyak
diwacanakan oleh mereka yang selalu bermimpi tentang identitas yang esensial. Sekali
lagi, tidak ada yang salah dengan mimpi-mimpi besar kebudayaan di tengah-tengah
gelombang globalisasi. Asumsi-asumsi tentang virus budaya global yang sangat Barat
menjadi formasi diskursif bagi mereka yang ingin melakukan pemurnian, baik yang
semata-mata terkait budaya maupun agama. Masalahnya adalah bahwa kontak
kultural dengan budaya asing, tidak mungkin lagi dihindari. Di samping itu, tidak
banyak negara-negara Dunia Ketiga yang siap dengan strategi kebudayaan untuk lebih
memantapkan eksistensi beragam budaya lokal yang menandai budaya nasional
mereka.
Apa yang harus dipahami secara kritis adalah sebuah proses politis di balik
keadiluhungan budaya yang dimiliki sebuah bangsa. Budaya, apakah itu berupa nilai,
ritual, pandangan hidup, maupun produk-produk material, tentu tidak bisa dilepaskan
dari proses sosio-kultural yang membentuknya. Proses tersebut sangat dipengaruhi oleh
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
struktur kelas sosial yang berperan dominan dalam sebuah komunitas atau
masyarakat. Untuk menjalankan fungsi sosialnya, kelas dominan akan menciptakan
bermacam praktik kebiasaan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun ritual tradisi,
yang bersifat mengikat para subjek dari kelas sosial lainnya sebagai sebuah aturan
kolektif. Aturan kolektif tersebut lambat-laun menjadi kebiasaan kultural yang
mewujud sebagai keyakinan dan kesepakatan bersama untuk terus menjalankannya.
Akibatnya, kebiasaan tersebut mengalami proses naturalisasi terus-menerus sehingga
membentuk habitus.
Bordieu (dalam Dirk, dkk, 1994), memposisikan habitus yang menjelma dalam
kehidupan tradisi dan sehari-hari sebagai konsensus objektif yang akan membentuk
pengetahuan kolektif sebagai basis untuk menjalankan kekuasaan simbolik tanpa harus
menunjukkan perintah kuasa, tetapi melalui pengesanan arbitrer yang seolah-olah
mengilangkan makna kuasanya. Proses itulah yang kemudian menemukan basis
materialnya dalam praktik-praktik objektif dalam kehidupan masyarakat sehingga—
hampir sama dengan Foucault—mereka tidak lagi memposisikan kekuasaan sebagai
sesuatu yang menakutkan, tetapi sebagai sebuah kebenaran karena bertujuan untuk
mengatur kehidupan kolektif warga. Dalam konteks tersebut, moda dominasi—
hegemoni dalam bahasa Gramsci—berjalan tidak melalui mekanisme dan medium
penyebar kuasa, tetapi melalui modal sosial dan kultural yang dimiliki kelas-kelas
dominan yang sudah dianggap sebagai kebenaran objektif oleh kelas-kelas sosial
lainnya. Namun, moda dominasi yang dibangun oleh kuasa simbolik melalui habitus
dalam kehidupan sosio-kultural tersebut bukan berarti tidak bisa diganggu. Menurut
Bordieu, ketika habitus sudah menjadi doksa yang mengikat dalam bingkai ortodoksi,
maka kehadiran doksa-doksa baru yang dihasilkan dari “kontak-kontak kultural”
dengan masyarakat lain bisa digunakan untuk mengganggu ortodoksi, sehingga akan
menghasilkan heterodoksi.
Rezim kebenaran tentang budaya adiluhung, dengan demikian, bisa diganggu dan
dilawan dengan menghadirkan nilai, praktik, dan teks kultural baru yang berasal dari
luar. Dengan menghadirkan doksa kultural baru, maka kemapanan praktik kuasa
simbolik akan mendapatkan tantangan-tantangan yang secara kontinyu akan
memberikan pemahaman-pemahaman alternatif bagi subjek-subjek sosial. Namun
demikian, untuk merubah sepenuhnya kebenaran kultural yang sudah mapan, sangat
tidak mungkin. Pilihan untuk menjadi sang hibrid menjadi lebih masuk akal, karena
perlahan-lahan kemapanan ortodoksi bisa diganggu dan dilawan dari dalam (resistance
from within). Mereka tidak sepenuhnya bersikap dan berperilaku resisten terhadap
ortodoksi kultural yang dipenuhi kepentingan kuasa, tetapi tidak juga sepenuhnya
menerima aturan, nilai, norma, atapun praktik kutlural yang hanya memapankan relasi
dan kepentingan kuasa.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Hibridisasi Kultural dan diaspora
Salah satu isu yang sangat populer dalam wacana dan praktik kolonialisasi,
globalisasi, dan poskolonialisasi adalah diaspora. Migrasi penduduk etnis atau ras
tertentu dari negara jajahan atau negara berkembang ke negara induk atau negara
maju telah melahirkan komunitas-komunitas kultural yang bernuansa diasporik.
Meskipun pada awalnya kelahiran diaspora digunakan untuk menandai migrasi global
kaum Yahudi ke belahan-belahan dunia yang lebih maju dan bisa menjamin
kemerdekaan religius mereka setelah penaklukan terhadap tanah Palestina oleh
Babilonia dan Romawi, tetapi saat ini istilah tersebut telah meluas dan tidak lagi
sebatas persoalan religi. Hall (dikutip oleh Sinclair & Cunningham, 2000: 23)
menjelaskan relasi strategis antara diaspora dan hibriditas budaya sebagai berikut:
Diaspora-diaspora baru yang terbentuk di seluruh dunia… dipaksa untuk menghuni paling
tidak dua identitas, berbicara minimal dua bahasa kultural, serta menegosiasikan dan
„menterjemahkan‟ di antara keduanya. Dengan cara ini, meskipun mereka terus berjuang
dalam batas-batas modernitas, mereka tengah berada dalam garis batas paling depan
sebagai perwakilan dari pengalaman „modern-akhir‟. Mereka adalah produk dari hibriditas
kultural. Dalil hibriditas di sini sangatlah berbeda dari narasi besar kaum internasionalis,
juga berbeda dari superfisialitas pluralisme gaya lama ketika tidak ada batas yang
dilintasi, dan berbeda dari perjalanan nomadik trendi posmodernisme atau versi simplistik
versi homogenisasi global—satu mengutuk sesuatu setelah yang lain atau perbedaan yang
tidak membuat perbedaan. Sang hibrid terikat jejaring yang kuat pada dan identifikasi
dengan tradisi dan tempat asal mereka. Namun, mereka tidak mempunyai ilusi untuk
kembali secara nyata kepada kemasalampuaan. Mereka tidak akan pernah kembali, dalam
makna literal apapun, karena tempat mereka akan kembali juga sudah bertransformasi
dari semua pemaknaan awal sebagai akibat proses yang begitu kuat dari transformasi
modernisme. Dalam pemaknaan tersebut, tidak ada pembicaraan untuk “pulang ke rumah”
lagi. Mereka membawa jejak-jejak partikular dari budaya, tradisi, bahasa, sistem
keyakinan, teks, dan sejarah yang membentuk mereka. Namun, mereka juga terpaksa
untuk masuk ke terma-terma dengan dan membuat sesuatu yang baru dari budaya-budaya
yang mereka jalani, tanpa harus secara mudah berasimilasi ke mereka. Mereka tidak dan
tidak akan pernah dipersatukan secara kultural dalam makna lama, karena mereka secara
pasti merupakan produk dari banyak budaya dan sejarah yang saling terkait, secara
bersamaan memiliki banyak „rumah‟—sehingga tidak ada satu rumah khusus…Mereka
adalah produk dari kesadaran diasporik. Mereka harus masuk ke terma-terma dengan
fakta bahwa dalam jagat modern…identitas selalu menjadi permainan terbuka, kompleks,
dan tidak pernah selesai—selalu berada dalam konstruksi.
Senada dengan paparan Hall, Rinderle (2005: 296) menjelaskan diaspora sebagai:
Sebuah kelompok yang bisa diidentifikasi bertempat tinggal di sebuah wilayah geografis
lain yang mengalami bukan hanya kepindahan secara fisik, tetapi juga hibriditas kultural;
merindukan tanah kelahiran; alienasi dari tanah induk; relasi struktural yang kompleks
antara tanah kelahiran, negara induk, dan diaspora; serta identitas kolektif yang secara
luas didefinisikan oleh relasi antara tanah kelahiran dan negara induk.
Dari pemikiran-pemikiran tersebut diaspora bisa dibaca sebagai sebuah praktik
kultural dari kelompok masyarakat tertentu yang berusaha untuk melakukan
pembacaan dan interprertasi terhadap kondisi-kondisi kultural baru yang mereka lihat,
alami, dan rasakan di negara atau wilayah baru. Perasaan teralienasi dari praktik
kultural yang terjadi di negara baru dan memori kolektif akan praktik kultural di tanah
kelahiran tersebut menjadikan mereka selalu merindukan “keberasalan”. Tetapi mereka
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
juga tidak mungkin lepas dari jejaring „budaya baru‟ yang mereka hadapi di negara
baru. Artinya, mereka perlu menegosiasikan tradisi kultural di tempat asal sembari
berusaha mengartikulasikan tradisi kultural baru sehingga mereka melakukan
hibridisasi yang menghasilkan hibriditas kultural dan budaya hibrid. Hibriditas
kultural yang terjadi pada komunitas diasporik, kemudian, mengimplikasikan
ambiguitas yang mengkontestasi ide strukturalis tentang stabilitas makna dan
identitas, menantang konsep negara bangsa yang terpisah, dan mendukung dalil
poskolonial tentang transformasi mutual antara penjajah dan terjajah dalam situasi
poskolonial. Ambiguitas, transformasi, dan kekaburan batas merupakan bagian integral
dari pengalaman diasporik (Rinderle, 2005: 297).
Lahirnya budaya hibrid dalam komunitas diasporik, dalam perkembanganya, lebih
banyak berlangsung pada keturunan dari generasi diasporik pertama. Mereka
memproduksi representasi-representasi dalam produk dan praktik kultural yang
menunjukkan percampuran kultural sebagai strategi untuk mengingat sebagian budaya
asal dan mengambil sebagian budaya induk. Hall (1990: 235) menjelaskan:
,..diaspora tidaklah merujuk pada suku-suku yang tersebar yang identitasnya hanya bisa
diamankan dalam relasi dengan tanah kelahiran yang disucikan pada mana mereka semua
harus kembali dengan resiko apapun, meskipun harus merugikan mengorbankan suku
lain. Hal itu merupakan bentuk yang sangatlah kuno, menjajah, menghegemoni dari
„etnisitas‟…Pengalaman diaspora sebagaimana yang saya maksudkan di sini dimaknai
bukan oleh pemaknaan akan kemurnia, tapi oleh pengakuan bagi pentingnya heterogenitas
dan keberagaman, oleh sebuah konsepsi identitas yang hidup dengan dan melalui, bukan
tidak menghargai, perbedaan; oleh hibriditas.
Hibridisasi kultural bagi komunitas diasporik, kemudian, menjadi sebuah keniscayaan
yang harus terus dinegosiasikan dan dijalani, meskipun dalam kasus-kasus tertentu
seringkali menimbulkan konflik antara generasi pertama diasporik dengan generasi
berikutnya. Budaya hibrid bisa dilihat, misalnya, dari produk-produk dan praktik
kultural yang dihasilkan seperti film, karya sastra, dan percampuran bahasa asal dan
induk yang menciptakan kreolisasi, tradisi pernikahan, dan lain-lain.
Memang, komunitas diasporik pada awalnya lahir dengan bermacam alasan, baik
religi, ekonomi, politik, dan lain-lain. Migrasi atas nama religi, misalnya, dilakukan oleh
komunitas Yahudi ketika kemerdekaan mereka dalam beribadah terganggu oleh
ekspansi kerajaan Babilonia dan Romawi, meskipun mereka juga punya motivasi
ekonomi. Para buruh migran juga menjadi mempunyai motivasi ekonomi untuk
memperbaiki nasib karena di tanah kelahiran mereka mengalami penderitaan ekonomi.
Para pencari suaka politik dari negara-negara yang sedang berkonflik berusaha tinggal
di negara-negara maju yang kehidupan demokrasinya dianggap mampu menjami
kebebasan politik mereka. Ketika mereka sudah settle di negara-negara tujuan, mereka
tidak mungkin bisa lepas dari jejaring kultural yang mereka alami setiap hari.
Hibridisasi kultural, dengan demikian, tidak terhindarkan lagi karena mereka adalah
“manusia-manusia di antara” yang selalu bermimpi akan kesejahteraan dan jaminan
masa depan serta keindahan kemasalampuan.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Komunitas diasporik, dengan demikian, telah melakukan politik kultural untuk
melanjutkan eksistensi mereka di tengah-tengah masyarakat baru. Dengan meniru
praktik dan gaya budaya masyarakat baru, mereka mengidentifikasi diri sebagai bagian
dari masyarakat tersebut sehingga akan mendapatkan pengakuan dari anggota
masyarakat yang lain. Pengakuan sosial merupakan faktor yang sangat penting bagi
para pendatang diasporik karena meskipun masyarakat baru tersebut bersifat
multikultural, tetapi pasti terdapat nilai-nilai dan praktik kultural yang dianggap
berlaku bagi anggota masyarakatnya, sehingga anggota masyarakat baru tetap harus
beradaptasi dan menerapkan nilai dan praktik tersebut. Dengan menjadi bagian dari
masyarakat dan budaya baru, tanpa meninggalkan semua yang asal, menciptakan
komunitas diasporik yang memainkan strategi sosial, ekonomi, dan politik untuk
kepentingan survival dan kontestasi, baik di negara atau wilayah baru dan negara atau
wilayah asal.
Vertovec (1999) menjelaskan pemaknaan diaspora dalam peran sosial, ekonomi,
dan politik melalui kontekstualitasnya masing-masing. Strategi sosial komunitas
diasporik lahir ketika subjek-subjek diasporik masih mempunyai kerinduan terhadap
identitas kultural dan kolektivitas sosial asal karena tidak sepenuhnya bisa beradaptasi
dengan masyarakat baru sehingga memunculkan jejaring dan solidaritas etnis di
wilayah atau negara baru. Kekuatan solidaritas sosio-kultural kemudian menjadi modal
utama untuk membangun kekuatan ekonomi baru di tanah rantau. Pemahaman akan
kolektivisme menjadikan mereka melakukan aktivitas ekonomi berbasis kesamaan etnis
dengan skala global sehingga perputaran uang dan usaha berimplikasi pada kekuatan
keluarga, kekerabatan yang meluas, maupun jejaring etnis. Perpaduan kekuatan sosio-
kultural dan kekuatan ekonomi-modal menjadikan komunitas diasporik mempunyai
peran politik yang seringkali dibingkai sebagai setrategi politik yang berpengaruh pada
negara induk maupun negara asal. Komunitas Yahudi di Amerika dan Eropa, misalnya,
bisa menjadi kelompok penekan dan kelompok lobi yang ikut mewarnai dinamika
politik, baik di Amerika Serikat dan Eropa maupun di Israel dan Palestina. Bahkan,
kelompok diasporik juga sangat berperan dalam konflik-konflik politik yang terjadi di
negara asal.18
Perbincangan tentang komunitas diasporik dan hibridisasi kultural di atas
memang lebih mengarah pada konteks migrasi dan globalisasi. Apa yang harus
diperhatikan adalah komunitas-komunitas diasporik tidak hanya muncul dalam arus
besar globalisasi, tetapi bisa juga muncul dalam berkembang dalam konteks migrasi
lokal yang terjadi dalam satu negara, apakah karena alasan ekonomi, politik, maupun
sosio-kultural. Migrasi etnik-etnik tertentu ke wilayah etnik lain yang mayoritas,
banyak juga menciptakan komunitas-komunitas diasporik-lokal yang secara pasti
memunculkan praktik-praktik kultural diasporik sehingga semakin menambah
keragaman budaya yang ada. Harapan akan kemakmuran ekonomi dan pengakuan
sosial seringkali memunculkan strategi kultural untuk meniru perilaku kultural dari
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
etnis mayoritas yang dipandang lebih superior karena kemapanannya selama ini.
Proses peniruan tersebut, tentu saja, tidak pernah berlangsung sempurna karena
mereka masih memegang beberapa prinsip dan elemen dasar budaya asal, seperti
bahasa, ritual, maupun seni tradisi-lokal.
Namun demikian, hibridisasi kultural dalam komunitas diasporik-lokal, terkadang
tidak berlangsung secara menyeluruh dalam kehidupan sehari-hari. Ada kalanya
hibridisasi tersebut berlangsung dalam konteks-konteks partikular, semisal ketika
komunitas diasporik tersebut bertemu dengan anggota dari etnis mayoritas. Hal itu
menjadi bentuk negosiasi dan strategi untuk mendapatkan simpati dan pengakuan dari
etnis mayoritas bahwa mereka adalah bagian yang sah dari masyarakat yang dihuni
etnis tersebut. Etnis mayoritas sendiri, pada dasarnya, juga masih menyisakan
„ketidakrelaan‟ terhadap perilaku hibrid tersebut karena mereka masih saja
membayangkan diri dan budaya mereka sebagai „yang lebih unggul‟. Komplikasi dari
permasalahan tersebut, menyebabkan komunitas diasporik tidak sepenuhnya
menjalankan hibridisasi kulturalnya, sehingga dalam ruang domestik—rumah maupun
lingkungan tempat tinggal—mereka akan kembali mempraktikkan tradisi kultural asal,
meskipun juga sudah tidak sepenuhnya sama.
Hibridisasi kultural berlapis
Perbincangan tentang hibridisasi kultural yang cenderung memposisikan „yang
Barat‟ dan „yang Timur‟ seringkali menyisakan persoalan diskursif yang belum
menyentuh permasalahan sebenarnya di ruang lokal. Mengapa? Karena persoalan
hibridisasi kultural di ruang lokal tidak semata-mata tentang percampuran kultural
antara yang Barat dan yang Timur, tetapi juga melibatkan pengaruh-pengaruh
diskursif dari agama dan religi tertentu yang berasal dari luar masyarakat. Meskipun
banyak pakar memisahkan persoalan agama dari budaya, tetapi kenyataannya, teks
dan praktik agama mampu mempengaruhi konstalasi sosio-kultural yang berkembang
dalam masyararakat lokal. Beberapa agama yang „diimpor‟ dari luar dan sudah menjadi
mayoritas, sangat menentukan arah perkembangan sosio-kultural yang terus
bertransformasi. Barat, melalui globalisasi media dan budayanya, memang menjadi
faktor yang tidak bisa ditolak, tetapi nilai-nilai agama juga tidak bisa dianggap sepele
dalam merekonfigurasi format sosio-kultural karena subjek-subjek yang ada
memposisikan nilai-nilai tersebut sebagai kebenaran yang wajar untuk diikuti dalam
praktik keseharian mereka. Selain itu, terdapat kecenderungan di tingkat lokal yang
menunjukkan adanya penyerapan sebagian kultur yang dimiliki etnis tertentu oleh
etnis lain.
Dalam konteks tersebut, telah terjadi hibridisasi kultural berlapis. Hibridisasi
kultural berlapis merupakan proses hibridisasi kultural yang melibatkan percampuran
bermacam bentuk dan praktik kultural yang berasal dari budaya global, budaya yang
berasal dari ajaran agama, budaya dari etnis-etnis lain, dan budaya yang berlangsung
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
di ruang lokal dari etnis partikular yang masih berusaha terus menegosiasikan
budayanya. Kehadiran budaya global dalam ruang kultural domestik—dalam artian
keluarga—adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Televisi setiap hari
menampilkan program-program bearoma global, baik yang diimpor langsung maupun
yang sudah dihibridisasikan oleh productioan house dalam bentuk „ibu kota‟, dari pagi
hingga menjelang pagi lagi. Dalam ruang edukasi, pola pikir rasionalisme dan
positivisme ala Barat menjadi acuan utama bagi lembaga-lembaga pendidikan umum,
dari level desa hingga metropolitan. Sementara, lembaga-lembaga pendidikan formal
yang bernuansa agama, berusaha menggabungkan pola pendidikan Barat dengan pola
pendidikan yang diturunkan dari ajaran-ajaran agama yang diyakini. Penguatan basis
keagamaan juga berlangsung secara kontinyu di tengah-tengah masuknya beragam
praktik dan teks kultural global beraroma Barat. Penguatan tersebut dikelolah oleh
lembaga-lembaga keagamaan, baik yang bersikap akomodatif terhadap budaya lokal
maupun yang menginginkan syariatisasi seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Dominasi budaya dari etnis dominan dalam masyarakat juga menciptakan efek
diskursif kepada etnis tertentu yang mencoba menterjemahkannya dalam budaya
mereka, bersama-sama dengan beragam pengaruh budaya lain. Hibridisasi kultural
yang dialami etnis tertentu, pada dasarnya, juga melibatkan proses, hegemoni elemen-
elemen budaya dominan, resistensi terhadap budaya asal, ataupun strategis politis
terus menegosiasikan budaya mereka dalam ruang transformatif masyarakat. Realitas
tersebut menjadikan kehidupan sosio-kultural dalam ruang lokal semakin beragam dan
tidak bisa lagi semata-mata „dibedah‟ dari sudut pandang identitas budaya asal.
Simpulan: Menentukan sikap kultural dalam hibridisasi
Kompleksitas „campuraduk‟ kultural yang menjadi warna kontemporer budaya
masyarakat lokal memang harus dipahami sebagai proses dan praktik diskursif yang
harus dikaji secara terus-menerus secara mendalam. Dengan kajian-kajian itulah,
akademisi maupun peneliti tidak akan lagi terjebak pada generalisasi yang terlalu
memudahkan persoalan. Komunitas A, misalnya, tidak bisa lagi dikatakan sepenuhnya
berbudaya A, tanpa melalui proses penjelasan deskriptif-kritis dari apa-apa yang
mereka representasikan dan praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan-jangan
komunitas A mempraktikkan budaya A hanya dalam rangka ritual-ritual tertentu.
Sementara, dalam kehidupan sehari-hari, mereka sudah melakukan praktik kultural
hibrid yang lebih banyak aroma budaya-budaya lain, sedangkan budaya mereka sendiri
hanya sekedar tempelan pemanis. Atau, jangan-jangan komunitas A berapi-api
mengatakan atau menunjukkan berbudaya A ketika terdapat kepentingan-kepentingan
politis yang hendak diperjuangkan secara kolektif.
Yang tidak kalah penting untuk mendapatkan kritisi adalah perspektif
masyarakat lokal terhadap proses hibridisasi kultural. Pertama, dengan menjadi sang
hibrid, apakah mereka mampu melakukan strategi kedirian untuk terus menciptakan
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
kreativitas-kreativitas kultural berbasis budaya lokal sehingga eksistensi budaya lokal
akan terus bertransformasi. Kedua, ketika hibridisasi kultural tidak diimbangi dengan
keyakinan ideologis dari masyarakat lokal, maka yang terjadi hanyalah hegemoni
kultural oleh budaya global bernuansa Barat serta menunjukkan ketidakmampuan
masyarakat lokal untuk meneruskan budaya nenek-moyangnya. Ketiga, ketika
hibridisasi kultural mampu menjadi kesadaran ideologis untuk selalu menemukan
produk-produk kreatif, maka budaya lokal pada dasarnya bisa terterima dan
bertransformasi sebagai kekuatan bagi masyarakat untuk tidak mudah ditaklukkan
oleh kekuatan kultural asing. Keempat, budaya hibrid bisa saja menjadi kekuatan
alternatif untuk melawan konservatisme budaya lokal yang menguntungkan segelintis
elit yang memperoleh keuntungan dari esensialisme kultural yang disosialisasikan
secara terus-menerus. Pembacaan kritis terhadap kemungkinan-kemungkinan di atas
akan mengarahkan pada penjelasan-penjelasan akademis yang mampu membongkar
realitas kultural kekinian dari sebuah masyarakat atau etnis tertentu.
Memang, hibridisasi kultural telah terjadi pada sebagian masyarakat lokal di
Indonesia saat ini. Tidak harus disesali ataupun disalahkan karena alasan-alasan
pemertahanan budaya lokal yang selalu diimpikan sebagai kekuatan adiluhung.
Masyarakat tidak mungkin kembali kepada zaman purba di mana interaksi hanya
terbatas dengan anggota kelompok. Masyarakat kontemporer adalah masyarakat yang
dihasilkan dari saling-silang pengaruh kultural, baik yang berasal dari budaya global
bernuansa Barat, nilai-nilai agama tertentu, atau superioritas etnis-etnis dominan. Dari
desa hingga kota metropolitan, hibridisasi kultural dan budaya hibrid sudah menjadi
kecenderungan umum yang tidak bisa disangkal lagi. Yang dibutuhkan kemudian
adalah sikap kultural dari masyarakat lokal untuk menempatkan budaya mereka dalam
ruang antara yang selalu menghadirkan kemungkinan-kemungkinan di atas. Kejelasan
sikap kultural itulah yang akan menentukan arah dan gerak kultural di masa
mendatang. Artinya, konseskuensi apapun yang terjadi dari hibridisasi kultural,
masyarakat mampu memahami dan meyakininya sebagai pilihan strategis bagi
kehidupan mereka. Tanpa itu semua, hibridisasi kultural hanya menjadi „lagu lain‟ dari
ketidakberdayaan masyarakat dan budaya lokal dalam ruang sosio-kultural
transformatif.
Catatan akhir
1 Moore-Gilbert (1997: 34-35) menjelaskan nilai penting kajian Said terhadap kajian poskolonial. Pertama,
Said adalah pemikir yang mengkombinasikan pemikiran Perancis dengan dunia akademik Anglo-Amerika.
Kedua, mampu menerapkan kombinasi kajian tersebut untuk membuka hubungan Barat dan Timur yang
dipenuhi kepentingan politik melalui representasi-reprensentasi kultural dan pengetahuan yang
diciptakan. Ketiga, Said mampu melakukan transformasi dari pendekatan-pendekatan teoretis yang
bersifat metropolis bagi kajian sastra kerajaan dan sastra baru yang mulai muncul sejalan dengan
dekolonisasi, menuju sebuah kajian yang sekarang disebut kajian poskolonial. Lebih jauh lagi, Orientalism
juga berhasil memancing kajian-kajian lanjut yang dilakukan oleh para pemikir lain. Joseph Bristow dalam
bukunya Empire Boy jelas-jelas menekankan pentingnya kajian Said. Hal serupa juga ditekankan oleh
Gayatri Spivak dan Hommi K. Bhabha, dua figur penting dalam kajian poskolonial.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
2 Dengan pemikiran ini, Said sebenarnya merujuk pada pemahaman wacana dan pengetahuan/kuasa
Foucauldian. Menurut Foucault (a) sekumpulan pernyatan, (b) berkaitan dengan topik tertentu, (c) ada
momen dan kondisi historis tertentu, dan (d) mensyaratkan adanya formasi dan praktik diskursif dalam
praktik sosio-kultural. Sebagai contoh adalah wacana tentang dominasi laki-laki. Wacana itu tidaklah bisa
berdiri sendiri untuk menjadi terma yang begitu kuat dalam masyarakat tanpa adanya pernyataan-
pernyataan lain yang dibentuk dalam konsep serupa. Wacana dalam formasi diskursifnya, kemudian, akan
menyebar dalam masyarakat dalam waktu historis tertentu serta mempengaruhi kesadaran mereka.
Karena berada dalam ruang historis partikular, maka wacana dipraktikkan dalam kaidah-kaidah, strategi-
strategi, dan regulasi-regulasi yang menggiring penerimaan bersama. Inilah yang disebut “praktik
diskursif” (discurssive practice). Untuk menjadi sebuah formasi dan praktik diskursif maka dibutuhkan: (a)
person-person yang dianggap mumpuni untuk membicarakan wacana-wacana tersebut dan (b) kehadiran
institusi-institusi yang akan menjadi medan penyemaian wacana-wacana tersebut. Keberadaan person dan
institusi tersebutlah yang akan mempertegas hubungan yang ada di antara wacana-wacana tersebut
sehingga memungkinkan untuk membicarakan objek-objek, memecahkan persoalan yang muncul, menamai
mereka, melakukan analisis terhadap mereka, mengklasifikasi mereka, dan lain-lain. Proses itulah yang
kemudian melahirkan “pengetahuan” (knowledge). Pengetahuan yang terus disebarkan dalam praktik-
praktik diskursif ini kemudian menentukan subjek-subjek diskursif. Proses inilah yang kemudian
menghadirkan kuasa yang akan terus menyebar ke segala penjuru, bukan dipaksakan, tetapi melampaui
batas-batas kelas karena pengetahuhan menjadi praktik normalisasi yang benar-benar dianggap wajar oleh
para subjek. Lebih jauh lagi lihat Foucault, 2002: 52, 58, 72-83, 177, 190; 1980: 194-196; 1998: 94-95, 131;
1992: 88.
3 Dalam pandangan Hall (1997a: 15-17), mengadopsi pemikiran Barthes dan Foucault, representasi
merupakan: (1) penggunaan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang penuh makna tentang, atau untuk
merepresentasikan, dunia dengan penuh makna, kepada orang lain; (2) bagian penting dari sebuah proses
yang dengannya makna diproduksi dan dipertukarkan di antara para anggota sebuah kebudayaan; dan, (3)
produksi makna dari konsep yang ada dalam pikiran kita melalui bahasa. Representasi bukan sekedar
kehadiran sesuatu dalam medium terntentu. Lebih dari itu, representasi merupakan sebuah „kehadiran
makna‟ melalui bahasa—dalam bermacam bentuknya—yang darinya seseorang bisa memberikan makna
tentang sesuatu kepada orang lain yang berada dalam satu kebudayaan. Dengan representasi seseorang
juga bisa mengekspresikan pemikiran kompleks tentang objek, peristiwa, dan jagat manusia, kepada orang-
orang lain, atau mengkomunikasikan mereka melalui bahasa dalam cara-cara tertentu sehingga orang lain
bisa mengerti.
4 Moore, 1997: 61-62.
5 Ibid.hlm.65.
6 Foucault (1998: 95-96) menjelaskan resistensi beberapa poin terkait resistensi terhadap kuasa yang
beroperasi dalam masyarakat. Pertama, bahwa resistensi pada dasarnya selalu muncul ketika berlangsung
sebuah kuasa. Kedua, samahalnya dengan beroperasinya kuasa yang menggunakan beragam poin,
resistensi juga bisa berasal dari beragam poin. Ketiga, resistensi bersifat plural. Pluaritas ini bisa menjadi
keunggulan karena bisa mewujudkan resistensi tidak dalam ketunggalan yang mudah dideteksi, tetapi juga
bisa merugikan ketika tidak bisa diorganisir dan diolah kembali. Ketiga, resistensi hanya bisa berjalan
efektif atau menghasilkan perubahan ketika ia berlangsung dalam medan strategis relasi kuasa. Artinya,
untuk melawan kuasa, subjek-subjek yang sadar dan kritis tidak harus sepenuhnya membuat poin maupun
terma baru yang bertentangan dengan relasi kuasa, tetapi dengan memaknai kembali relasi yang ada dan
kemudian digunakan untuk memetakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa digunakan menyerang
balik. Keempat, dalam resistensi dibutuhkan poin resistensi yang bersifat mobile dan cepat berubah
sehingga bisa memecah relasi yang sudah mapan dalam masyarakat untuk kemudian dilakukan
reorganisasi dan re-grouping terhadap mereka-mereka yang punya kesadaran kritis sehingga mampu
memunculkan wacana dan pengetahuan baru yang bisa memberikan penyadaran dan melampaui
stratifikasi sosial yang ada. Kelima, perlu dilakukan kodifikasi atau semacam pengaturan yang bersifat
strategis terhadap poin-poin resistensi yang bersifat plural sehingga revolusi menjadi mungkin terjadi.
Memang pikiran Foucault mengenai resistensi bersifat sangat ideal, dan mungkin akan sulit diwujudkan
dalam masyarakat yang sudah semakin kompleks dewasa ini. Namun, pikiran-pikiran ideal itu bukan tidak
mungkin diwujudkan ketika kesadaran kritis dan resisteni bisa disebarkan terus-menerus, baik dalam pola
maupun strategi yang beragam dan terorganisir.
7 Nandata Duta (dikutip dalam Drichel, 2008: 588) menyatakan bahwa tendensi dari teori poskolonial
adalah mengkritisi konstruksi-konstruksi kolonialis tentang keliyanan, tapi, karena kebanyakan kajiannya
bersandar pada “moda historiografi balas dendam” (the mode of revenge historiography), maka
penelanjangan sang liyan sebagaimana dikonstruksi oleh kolonialisme, telah menjadi ranah tersibuk dari
kajiannya. Sang liyan sebagai objek kajian bagi kolonialisme telah ditransformasikan semata-mata sebagai
„sang liyan yang dikonstruksikan oleh kolonialisme‟ sebagai objek kajian dari poskolonialisme.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
8 Lihat Bhabha, “The Rigth to Narrate”, interwiew oleh Kerry Chance, diakses dari
http://hrp.bard.edu/resource_pdfs/chance.hbhabha.pdf, 1 Juni 2009.
9 Bader (2001: 256-261) memaparkan ketiga persoalan itu sebagai berikut. Budaya merupakan konsep
multidimensional yang salah satu dari dimensinya berkaitan erat dengan hubungan antara budaya,
habitus/sikap, dan praktik…praktik—apa-apa yang dilakukan orang secara nyata—dipengaruhi oleh
habitusnya (budaya yang terinkorporasi) dan oleh cara-cara quasi-teorbjektivikasi dalam memandang dan
melakukannya (makna predominan dari budaya). Wacana-wicara yang lazim, sama-sama menolak habitus
dan budaya yang „termaterialisasikan‟ serta mengarah pada konsep luas yang tidak terdeskriminasikan
dari wacana. Konsep terakhir dari wacana, tidak hanya berupa bahasa, kerangka kognitif dan normatif
atau „aturan‟, citra, mitos dan simbol dunia, masyarakat dan diri (budaya simbolis); tetapi juga berupa
kebiasaan, ritual, cara tradisional untuk bertindak, institusi dan nilai-nilai kebaikan (budaya material).
Sebagai sebuah proses, budaya dimaknai sebagai “membuat budaya”, “kreasi”, “perubahan”, “pertunjukan”,
dan “sebuah proses tanpa akhir”. Sementara sebagai identitas, perlu dipahami bahwa (1) praktik kultural
bisa jadi secara relatif sangat stabil, sementara definisi identitas individual dan kolektif mungkin berubah
secara cepat, atau sebaliknya, (2) definisi identitas kolektif etnis dan religius secara realtif bisa jadi stabil,
sedangkan praktik kultural dan religius mungkin berubah secara cepat, serta (3) praktik kultural bisa
menjadi salah satu basis bagi definisi identitas.
10 Ibid.hlm.254-256.
11 Hall (dikutip Slack, 1997: 115) menjelaskan artikulasi sebagai bentuk koneksi yang bisa menciptakan
satu kesatuan dari dua elemen yang berbeda, dengan syarat-syarat tertentu. Artikulasi adalah jejaring
yang tidak harus ditentukan, absolut, dan esensial sepanjang waktu. Apa yang dikenal dengan „kesatuan‟
dari sebuah wacana benar-benar merupakan artikulasi dari perbedaan, elemen-elemen yang berbeda yang
mana bisa dire-artikulasikan dalam cara-cara berbeda karena mereka tidak mempunyai kepemilikan yang
tidak perlu. „Kesatuan‟ yang substansinya adalah jaringan antara wacana yang diartikulasikan dan
kekuatan sosial yang mana dengannya ia bisa, dalam kondisi historis tertentu, tapi tidak begitu perlu, bisa
dihubungkan. Kesatuan yang dibentuk oleh kombinasi atau artikulasi, selalu merupakan, perlu, „struktur
kompleks‟: sebuah struktur yang merelasikan berbagai hal, seperti banyak melalui perbedaan-perbedaan
mereka sebanyak pula melalui persamaan-persamaan mereka. Hal itu membutuhkan mekanisme-
mekanisme yang menghubungkan bentuk-bentuk yang tidak serupa harus ditunjukkan—karena tidak
perlu korespondensi atau homologi ekspresif. Hal itu juga berarti—karena kombinasi merupakan sebuah
struktur (kombinasi yang diartikulasikan) dan bukan keterhubungan yang acak—bahwa ada relasi yang
distrukturkan di antara bagian-bagiannya, semisal relasi dari dominasi dan subordinasi.
12 Menurut Cougan (2004: 34) terdapat tiga gerakan utama dalam wacana hibridisasi, yakni pergeseran (1)
dari penekanan kepada kemurnian menuju pada percampuran, (2) dari penekanan terhadap stabilitas
menuju konsepsi proses terbuka, (3) dari penekanan terhadap pembedaan diri/liyan menuju kesamaan
manusia.
13 Kosmopolitanisme sebenarnya bisa dilacak secara historis sejak perkembangan filsafat modern Eropa.
Cheah (2006), mengikuti pemikiran beberapa filosof seperti D‟Alembert, Rousseau, maupun Kant,
menjelaskan bahwa pada awal abad modern, kosmopolitanisme dimaknai sebagai hilangnya batas-batas
negara yang mengekang warga sehingga setiap orang bisa mengembangkan kemanusiaan melalui
bermacam praktik dalam bingkai kewarganegaraan universal. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa praktik
kosmopolitanisme saat ini menyatu dalam globalisasi yang ditandai oleh lalu lintas produk-produk budaya
(yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan transnasional) dengan representasi-representasinya dan juga
oleh maraknya praktik migrasi dari Dunia Ketiga ke Eropa maupun Amerika. Artinya, bayangan-bayangan
akan kesejahteraan “negara-negara induk” (the host countries), memang masih menarik banyak orang di
Asia maupun Afrika, sebagai bangsa eks-terjajah. Sementara Nava (2002) berargumen bahwa
kosmopolitanisme dalam konteks masyarakat Dunia Ketiga melekat pada modernitas yang menyatu dalam
aktivitas komersial masyarakat urban (seperti mall atau plaza) dan produksi industri budaya bernuansa
Barat. Akibatnya, kosmopolitanisme sekaligus menjadi sebuah formasi dialogis yang cenderung melawan
konservatisme dan identifikasi nasional yang sempit dari budaya warisan generasi terdahulu.
14 Smith (2007: 38-39) menjelaskan bahwa warga negara kosmopolitan bisa diinterpretasikan sebagai
keanggotaan dalam komunitas politik kosmopolitan baik secara hipotetis maupun riil serta sebagai
identitas yang mengadopsi serangkaian disposisi dan keterikatan kosmopolitan. Kosmopolitanisme dalam
konteks tersebut mempunyai proyek politik transformatif yang selalu mengatasnamakan hak asasi
manusia, demokrasi, dan keragaman kultural dalam era globalisasi.
15 Dekonstruksi Derridean berusaha memberikan kritik terhadap keutuhan makna dalam struktur
sebagaimana diyakini oleh para pemikir strukturalis. Dalam struktur terdapat permainan bebas yang
memunculkan penundaan dan perbedaan sehingga ketunggalan makna diganggu dan disubversi di dalam
strukturnya sendiri, bukan oleh kekuatan di luar struktur, tetapi oleh kontradiksi yang ada di dalamnya.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Lihat, Derrida, 1989: 231-247; Borradori, 2000: 1-22; Leledakis, 2000: 175-193; Saul, 2001: 1-120; Cilliers,
2005: 255-267.
16 Kozul-Wright (2001) menjelaskan bahwa dalam konteks industri kreatif, semisal musik, negara-negara
berkembang sebenarnya bisa lebih siap dan mampu karena mempunyai bahan mentah (raw materials)
seperti keahlian untuk menciptakan suara/bebunyian baru yang berasal dari khasanah musik lokal yang
jenisnya sangat beragam.
17 Pemahaman budaya lokal sebagai keyakinan ideologis dikembangkan dari pemaknaan ideologi bukanlah
semata-mata sebagai nilai dan ide yang bersifat utopis-deterministik, tetapi lebih sebagai kerangka bagi
kognisi sosial, menyebar dan dijalani oleh anggota kelompok sosial, dibentuk oleh seleksi-seleksi relevan
dari nilai sosio-kultural, dan diorganisir dengan skema ideologis yang merepresentasikan definisi-diri dari
kelompok tersebut. Di samping fungsi sosialnya untuk menjalankan kepentingan-kepentingan kelompok,
ideologi juga mempunyai fungsi kognisi untuk mengorganisir representasi sosial (sikap, pengetahuan) dari
kelompok, sehingga secara tidak langsung mengawasi praktik-praktik sosial yang berkaitan dengan
kelompok, dan juga teks serta pembicaraan dari masing-masing anggotanya (Althusser, 1971: 162-177; Hall,
1982: 71, 1997b: 26; van Dijk: 1995: 284).
18 Untuk kasus konflik politik di negara asal, bisa dilihat, misalnya, peran komunitas Yahudi Amerika
terhadap konflik berdarah antara Israel dan Palestina, komunitas Kroasia Jerman terhadap konflik politik
yang menyebabkan hancurnya Yugoslavia dari peta dunia, kelompok Harimau Tamil di London dan
perannya dalam konflik berdarah di Sri Lanka, komunitas Kurdistan di Belanda, dan masih banyak lagi.
Lihat Demmers, 2002: 85-96.
Daftar bacaan
Althusser, Louis.1971. Lenin and Philosophy. New York: Monthly Review Press.
Appadurai, Arjun.2001. “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy”.
Dalam Steven Siedman and Jeffrey C. Alexander. The New Social Theory Reader:
Contemporary Debates. London: Routledge.
Aschroft, Bill, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin, “General Introduction”, dalam Bill
Aschroft, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin.1995. The post-colonial studies reader.
London: Routledge.
Bader, Veit. “Culture and Identity, Contesting constructivism”, dalam Jurnal
Ethnicities, Vol. 1, No. 2, 2001.
Banerjee, Indrajit, “The Local Strikes Back?: Media Globalization and Localization in
the New Asian Television Landscape”, dalam Gazette: The International Journal
for Communication Studies, Vol. 64, No. 6, 2002.
Bhabha, Hommi K.1994. The Location of Culture. London: Routledge.
Bhabha, “The Rigth to Narrate”, interwiew oleh Kerry Chance, diakses dari
http://hrp.bard.edu/resource_pdfs/chance.hbhabha.pdf, 1 Juni 2009.
Bennet, Tony.1986. “Introduction: the turn to Gramsci” in Tony Bennet, Colin Mercer,
and Janet Woollacott (Eds). Popular Culture and Social Relation. Philadelphia:
The Open University Press.
Boggs, Carl.1984. The Two Revolutions: Gramsci and the Dilemmas of Western Marxism.
Boston: South End Press.
Borradori, Giovanna. “Two versions of continental holism: Derrida and structuralism”,
dalam Journal Philosophy and Social Criticism, Vol. 26, No. 4, 2000.
Bourdieu, Pierre. “Structur, Habitus, Power: Basis for a Theory of Symbolic Power
dalam Nicholas B.Dirk, Geoff Eley, & Sherry B. Ortner.1994.
Culture/Power/History: A Reader in Contemporary Social Theory. London:
Routledge.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Cheah, Pheng. “Cosmopolitanism”, dalam Theory, Culture, and Society, Vol. 23, No. (2-
3), 2006.
Cilliers, Paul, “Complexity, Deconstruction, and Relativism”, dalam Journal Theory,
Culture, and Society, Vol. 22, No. 5, 2005.
Demmers, Joe. “Diaspora and Conflict: Locality, Long-Distance Nationalism, and De-
localization of Conflict Dynamics” dalam Jurnal The Public, Vol. 9 (1), 2002.
Derrida, Jacques.1989. “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human
Science”, dalam Davis Robert Con & Ronald Schleifer. Contemporary Literary
Criticism: Literary and Cultural Studies. New York: Longman.
Dougan, Henry. “Hybridization: Its Promise and Lack of Promise”, dalam CODESRIA
Bulletin, Nos 1 & 2, 2005.
Drichel, Simone. “The time of hybridity”, dalam Philosophy & Social Criticism, Vol. 34,
No. 6, 2008.
Durham, Meenakshi Gigi, “Constructing the “New Ethnicities”: Media, Sexuality, and
Diaspora Identity in the Lives of South Asian Immigrant Girls”, dalam Critical
Studies in Media Communication, Vol. 21, No. 2, June, 2004.
Edwards, Sebastian, “Capital Mobility, Capital Controls, and Globalization in the
Twenty-first Century”, in The ANNALS of the American Academy of Political and
Social Science, January 2002.
Fanon.1995. “National Culture”, dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin
(eds). The post-colonial studies reader. London: Routledge.
Faruk. 2007. Belenggu Pascakolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Flusty, Steven.2004. “Miscege-Nation”, dalam De-Coca-Colonisation: Making the Globe
from the Inside Out. New York, Routledge.
Foucault, Michel.2002. Arkeologi Pengetahuan. (terj. oleh H.M. Mochtar Zoerni).
Yogyakarta: Qalam.
Foucault, Michel.1980. Power/Knowledge. Brighton: Harvester.
Foucault, Michel.1992. “Discipline and Punish” dalam Anthony Easthope & Kate
McGowan.1992. A Critical and Cultural Theory Reader. Buckingham: Open
University Press.
Foucault, Michel.1998. The Will to Knowledge, The History of Sexualities Volume 1
(English trans. Robert Hurley). London: Penguin Books.
Gills, Barry K. “Democratizing Globalization and Globalizing Democracy”, dalam
ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, May 2002.
Gimenez, Martha E. “With a little class: A critique of identity politics”, dalam
Ethnicities, Vol. 6 (3), 2006.
Giulianotti, Richard & Roland Robertson, “Forms of Glocalization: Globalization and the
Migration Strategies of Scottish Football Fans in North America”, in Journal
Sociology, Vol. 41, No. 1, 2007.
Gramsci, Antonio.1981. “Class, Culture, and Hegemony”, dalam Tony Bennett, Graham
Martin, Collin Mercer, and Janet Woolacott (eds). Culture, Ideology, and Social
Process. Batsford: The Open University Press.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Hall, Stuart.1990. “Cultural Identity and Diaspora”, dalam Jonathan Rutherford.
Identity: Community, Culture, Difference. London: Lawrence & Wishart.
Hall, Stuart.1997a. “The Work of Representation”, dalam Stuart Hall (ed).
Representation, Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage
Publication in association with The Open University.
Hall, Stuart.1997b. “The problem of ideology, Marxism without guarantees”, dalam
David Morley and Kuan-Hsing Chen (ed). Stuart Hall, Critical Dialogue in
Cultural Studies. London: Routledge.
Holton, Robert, “Globalization‟s Cultural Consequences”, dalam The ANNALS of the
American Academy of Political and Social Science, July 2002.
Hutnyk, John. “Hybridity”, dalam Jurnal Ethnic and Racial Studies, Vol. 28, No. 1,
Januari, 2005.
Kien, Grant, “Culture, State, Globalization: The Articulation of Global Capitalism”,
dalam Cultural Studies <-> Critical Methodologies, Vol. 4, No. 4, 2004.
Kompridis, Nikolas. “Normativizing Hibridity/Neutralizing Culture”, dalam Political
Theory, Vol. 33, No. 3. Juni 2005.
Kozul-Wright, Zeljka. 2001. “From Minor to Major: Opportunities and Challenges for
Developing Countries in the Music Industries”, dalam Roche, François, Boris
Marcq, and Delfin Colome (eds). The Music Industry in the new economy. Lyon:
Institut d‟Etudes politiques de Lyon (DRECI).
Kusno, Abidin.2000. Behind the postcolonial: architecture and political cultures in
Indonesia. New York: Routledge.
Laclau, Ernesto & Chantal Mouffe.1981. “Hegemony and Ideology in Gramsci”, dalam
Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, and Janet Woolacott (eds). Culture,
Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.
Leledakis, Kanakis, “Derrida, deconstruction, and social theory”, dalam European
Journal of Social Theory, Vol. 3, No. 2, 2000.
Moore-Gilbert, Bart.1997. Postcolonial Theory: Context, Practices, and Politics. London:
Verso.
Nava, Mica. “Cosmopolitan Modernity: Everyday Imaginaries and the Register of
Difference”, dalam Jurnal Theory, Culture, and Society, Vol. 19, No. 1-2, 2002.
Pieterse, Jan Neverdeen. “Hybridity, So What? The Anti-hybridity Backlash and The
Riddles of Recognition”, dalam Jurnal Theory, Culture, and Society, Vol 18 (2-3),
2001.
Rinderle, Susan, “The Mexican Diaspora: A Critical Examination of Signifiers” dalam
Journal of Communication Inquiry, Vol. 29 (4), October 2005.
Said, Edward. 1978. Orientalism. New York: Pantheon Books.
Said, Edward. 1993. Imperialism and Culture. New York: Vintage.
Saul, Newman, “Derrida‟s deconstruction of authority”, in Journal Philosophy and
Social Criticism, Vol. 27, No. 3, 2001.
Schuerkens, Ulrike, “The Sociological and Anthropological Study of Globalization and
Localization”, dalam Journal Current Sociology, Vol. 5, No. 3/4, 2003.
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif
IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016
Slack, Jennifer Daryl.1997. “The theory and method of articulation in cultural studies”,
dalam David Morley & Kuan-Hsing Chen.1997. Stuart Hall, Critical Dialogue in
Cultural Studies. London: Routledge.
Smith, William. “Cosmopolitan Citizenship: Virtue, Irony and Worldliness”, dalam
European Journal of Social Theory, 10 (1), 2007.
Sinclair, John & Stuart Cunningham. “Go with the Flow Diasporas and the Media”,
dalam Jurnal Television and New Media, Vol. 1 (1), Februari, 2000.
Sparks, Collin, “What‟s wrong with globalization?”, dalam Global Media and
Communication, Vol. 3, No. 2, 2007.
van Dijk, Teun A., “Discourses semantics and ideology”, dalam Jurnal Discourse and
Society, Vol. 6, No. 2, 1995.
Vertovec, Steven. “Three meanings of „diaspora‟, exemplified among South Asian
religions”, dalam Jurnal Diaspora 7 (2), 1999.
Yeoh, Brenda S.A. “Postcolonial cities”, dalam Progress in Human Geography Vol. 25,
No. 3, 2001.