HIBAH PENULISAN BUKU
NASKAH BUKU AJAR
PELANGGARAN MEREK DI INDONESIA
Penulis:
Dr. Rika Ratna Permata, S.H., M.H.
Dr. Tasya Safiranita Ramli, S.H., M.H.
Biondy Utama, S.H., M.Kn.
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS HUKUM
JULI 2020
i
KATA SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL PENYELENGGARAAN POS DAN INFORMATIKA
KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA RI
PROF. Dr. AHMAD M. RAMLI, SH., MH., FCB.Arb.
Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT dengan diterbitkannya Buku
Ajar dengan judul “ Pelanggaran Merek di Indonesia” yang merupakan hasil dari
Penelitian Dr. Rika Ratna Permata, SH., MH., Dr. Tasya Safiranita Ramli, SH., MH, dan
Biondy Utama, SH., Mkn. Yang merupakan kalangan Akademisi dari Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran.
Merek merupakan suatu ciri khas dan pembeda yang dikenal sebagai suatu tanda
pengenal, sejalan dengan praktik dan konvensi internasional merek merupakan hal yang
sangat penting untuk menjaga persaingan usaha, memberikan kepastian hukum,
khususnya dalam industri perdagangan yang semakin hari berkembang pesat dengan
adanya perkembangan teknologi informasi saat ini yang sangat progresif. Hak Eksklusif
yang melekat pada hak merek merupakan suatu hak yang diberikan oleh negara kepada
pemilik merek terdaftar atau kepada pihak lain yang sudah diberikan izin untuk
menggunakannya. Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran karena
publik sering mengaitkan suatu imej, kualitas atau reputasi barang dan jasa dengan merek
tertentu. Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial.
Di dalam buku ini juga terdapat beberapa hal yang dapat dipelajari diantaranya
tentang pentingnya sebuah merek dalam pemasaran suatu produk barang dan/atau jasa
akan melatarbelakangi perlunya suatu perlindungan terhadap merek. Merek dapat
mempengaruhi konsumen untuk memutuskan membeli suatu produk tersebut. Buku Ajar
ini layak untuk dibaca dan dipelajari baik oleh Kalangan Akademisi, Mahasiswa, bahkan
oleh Praktisi yang bergerak di dalam bidangnya sebagai bahan acuan referensi terkait
Pelanggaran Merek di Indonesia.
ii
Jakarta, 7 Juli 2020
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI
Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, SH., MH.,
FCBArb.
iii
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Sejarah Merek ................................................................................................. 1
B. Pengaturan Merek di Indonesia dan Internasional ............................................ 2
1. Perlindungan Merek Secara Internasional ............................................... 2
2. Perlindungan Merek di Indonesia ............................................................ 9
a. Pengertian Merek .............................................................................. 9
b. Fungsi Merek .................................................................................. 11
c. Tujuan Perlindungan Merek ............................................................ 13
d. Pendaftaran Merek .......................................................................... 15
e. Merek yang Tidak Dapat Didaftar ................................................... 17
f. Alasan Ditolaknya Pendaftaran Merek ............................................. 23
g. Jangka Waktu Perlindungan dan Perpanjangan Merek Terdaftar ..... 24
h. Pengalihan Hak dan Lisensi Merek ................................................. 25
i. Merek Kolektif ................................................................................ 26
j. Permohonan Pendaftaran Merek Internasional ................................. 27
k. Merek Terkenal............................................................................... 31
l. Komisi Banding Merek .................................................................... 38
BAB II TEORI DAN ASAS-ASAS HUKUM TERKAIT PELANGGARAN
MEREK ........................................................................................................... 48
iv
A. Filosofi Perlindungan Kekayaan Intelektual .................................................. 48
B. Teori Hukum yang Terkait dengan Perlindungan Pemilik Merek ................... 49
1. Prinsip-Prinsip Dasar Perlindungan Kekayaan Intelektual .................................... 49
a. Prinsip Keadilan .............................................................................. 49
b. Prinsip Ekonomi ............................................................................. 50
c. Prinsip Kebudayaan ........................................................................ 50
d. Prinsip Sosial .................................................................................. 51
2. Teori-Teori Justifikasi Perlindungan Kekayaan Intelektual ................................... 51
a. Reward Theory ................................................................................ 51
b. Recovery Theory ............................................................................. 51
c. Incentive Theory.............................................................................. 51
d. Risk Theory ..................................................................................... 51
3. Asas Iktikad Baik ................................................................................................ 52
a. Iktikad Baik Secara Umum .............................................................. 52
b. Iktikad Baik dalam Hukum Merek ................................................... 53
BAB III MACAM-MACAM PELANGGARAN MEREK ............................ 55
A. Persamaan Pada Pokoknya dan Persamaan Pada Keseluruhan ....................... 55
1. Persamaan Pada Pokoknya .............................................................................. 55
2. Persamaan Pada Keseluruhan .......................................................................... 57
B. Passing Off.................................................................................................... 58
C. Dilusi Merek ................................................................................................. 61
D. Penghapusan dan Pembatalan Pendaftaran Merek ......................................... 66
1. Penghapusan Merek .............................................................................. 66
2. Pembatalan Merek ................................................................................ 69
v
Gugatan Atas Pelanggaran Merek ................................................................... 70
Tindak Pidana di Bidang Merek ..................................................................... 71
BAB IV KASUS-KASUS PELANGGARAN MEREK .................................. 75
A. Kasus di Indonesia ........................................................................................ 75
1. Kasus Aki GS vs Akis GiSi ............................................................................. 75
2. Kasus IKEA vs IKEMA .................................................................................. 82
3. Kasus HOLIDAY INN vs HOLIDAY RESORT LOMBOK ............................ 84
4. Kasus KOPITIAM vs KOK TONG KOPITIAM .............................................. 84
B. Kasus di Luar Negeri ..................................................................................... 89
1. Kasus Kp Permanent Make-Up, Inc vs Lasting Impression Inc ............. 89
2. Kasus STARBUCKS vs STARBUNG .................................................. 92
BAB V HARMONISASI PERLINDUNGAN MEREK ................................. 95
A. Standar Minimum Perlindungan Merek berdasarkan TRIPs .......................... 95
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 101
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Sejarah Merek
Tujuan instruksional: mahasiswa dapat memahami sejarah merek.
Indikator Capaian Tujuan Pembelajaran : Sejarah Merek dapat dipahami oleh
mahasiswa dengan baik.
Dari sejarahnya, merek digunakan dalam pengertian yang sangat sempit,
yaitu hanya digunakan sebagai “badge of origin”1 dari si penjual barang. Peran
penting merek semakin dirasakan dari waktu ke waktu dalam setiap bidang
kehidupan. Merek mengalami evolusi sehingga menjadi bagian dari budaya
komersial yang pada awalnya belum mengenal perlindungan kekayaan intelektual.
Pada zaman modern dewasa ini, dengan perkembangan industri dan
perdagangan peranan tanda pengenal menjadi sangat penting. Hal ini didahului
oleh peranan para Gilda pada abad pertengahan yang memberikan tanda pengenal
atas hasil kerajinan tangannya dalam rangka pengawasan barang-barang sebagai
hasil pekerjaan anggota Gilda sejawatnya.2 Tanda pengenal tersebut kemudian
dikenal dengan hak merek yang merupakan tanda pembeda dari suatu produk
dengan produk lainnya.
Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran karena
publik sering mengaitkan suatu imej, kualitas atau reputasi barang dan jasa
dengan merek tertentu. Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat
berharga secara komersial. Merek suatu perusahaan seringkali lebih bernilai
1 Menunjukkan hubungan antara barang atau jasa yang diperdagangkan dengan orang
yang menjual. 2 Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Bandung :Citra Aditya Bhakti, 1993, hlm.
hlm. 320.
2
dibandingkan dengan asset riil perusahaan tersebut.3 Merek sebagai sarana
pemasaran dan periklanan (a marketing and advertising device) memberikan
suatu tingkat informasi tertentu kepada konsumen mengenai barang dan/atau jasa
yang dihasilkan pengusaha. Lebih-lebih dengan perkembangan periklanan, baik
nasional maupun internasional dewasa ini dan dalam rangka pendistribusian
barang dan/atau jasa membuat merek semaking tinggi nilainya.4 Merek
merupakan aset bisnis yang berharga dan merupakan bagian dari goodwill sebuah
perusahaan.5
Pentingnya sebuah merek dalam pemasaran suatu produk barang dan/atau
jasa melatarbelakangi perlunya suatu perlindungan terhadap merek. Merek dapat
mempengaruhi konsumen untuk memutuskan membeli suatu produk karena
mereka mengasosiasikan merek tersebut dengan kualitas yang sudah
dikenal.6Alasan-alasan di atas menyebabkan, banyak pihak yang melakukan
tindakan pemalsuan merek, pendomplengan merek dan tindakan curang lainnya
yang berkaitan dengan merek. Oleh karenanya diperlukan suatu pengaturan yang
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemilik merek.
B. Pengaturan Merek Di Indonesia Dan Internasional
Tujuan instruksional: Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Pengaturan
Merek di Indonesia dan luar negeri.
Indikator Capaian Tujuan Pembelajaran : Pengaturan Merek di Indonesia dan
Luar Negeri dapat dipahami oleh mahasiswa dengan baik
3 Tim Lindsey, (ed.), Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: P.T. Alumni, 2013, hlm. 5
4 Rahmi Jened, Hukum merek (Trademark Law) Dalam Era Global dan Integrasi Ekonomi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015, hlm. 4
5 Uche U. Ewelukwa, “Comparative Trademark Law: Fair Use Defense in The United States and Europe-The Changin Landscape of Trademark Law”, Widener Law Review, volume 13, 2006, hlm. 101
6 Julie C. Frymark, "Trademark Dilution: A Proposal to Stop the Infection from Spreading", Valparaiso University Law Review, Volume 38, 2003, hlm. 170
3
1. Perlindungan Merek Secara Internasional
Hukum tentang Kekayaan intelektual khususnya merek yang sejak awal
tidak tumbuh dan berkembang dalam kultur (legal culture) Bangsa Indonesia,
tentu saja harus ditelusuri asal muasal serta keterkaitannya dengan berbagai
instrumen hukum internasional tersebut.7 Penelusuran yang tak kalah pentingnya
adalah dalam kaitannya dengan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization).8 Salah satu agenda WTO yang termuat dalam Annex 1C adalah
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including
Trade in Counterfeit Goods (TRIPs). Indonesia telah dua dasawarsa lamanya
mengesahkan Agreement on Establishing the World Trade Organization melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia).9
TRIPs adalah suatu perjanjian internasional. Kelahirannya telah sempurna
dan didukung oleh mayoritas Negara di dunia ini. Walaupun demikian, hingga
sekarang TRIPs masih terus dalam sorotan termasuk oleh negara-negara
berkembang berkenaan dengan beberapa isu tertentu. Sebagai bagian dari WTO
Agreement, TRIPs merupakan perjanjian internasional yang mempunyai peranan
penting. Artinya, suatu Negara tidak dapat menerapkan system hak kekayaan
intelktual tanpa ada referensi kepentingan khusus bagi perekonomiannya atau
secara umum pembangunan Negara tersebut. Sementara itu, tidak dapat dilupakan
bahwa TRIPs sebagai instrument hukum dalam hukum internasional tidak luput
dari pertentangan antara Negara anggotanya, teramat khusus antara Negara-negara
maju di satu pihak dan Negara-negara berkembang.10
TRIPs mengharuskan agar Negara-negara yang turut dalam kesepakatan
itu untuk menyesuaikan peraturan Kekayaan Intelektual dalam negerinya dengan
7 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2015, hlm. 47 8 H. OK. Saidin, Op Cit, hlm. 47 9 Rahmi Jened, Hukum merek, Op Cit, hlm. v 10 Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: P.T.
Alumni, 2011, hlm 8
4
ketentuan TRIPs Agreement dan berbagai konvensi ikutannya.11 Indonesia tidak
dapat dan tidak diperkenankan membuat peraturan yang extra-territorial yang
menyangkut tentang perlindungan Kekayaan Intelektual, dan Indonesia harus
mengakomodir atau paling tidak harus memenuhi (pengaturan) standar minimum
semua isu yang terdapat dalam kerangka WTO. Dengan demikian Indonesia harus
menyesuaikan kembali semua peraturan yang berkaitan dengan perlindungan
Kekayaan Intelektual dan menambah beberapa peraturan yang belum tercakup
dalam peraturan yang sudah ada.12
Di samping peraturan perundang-undangan nasional tentang merek,
masyarakat juga terikat dengan peraturan merek yang bersifat internasional seperti
pada Konvensi Paris Union yang diadakan pada tanggal 20 Maret 1883. Konvensi
ini khusus diadakan untuk memberikan perlindungan pada hak milik perindustrian
(Paris Convention for the Protection of Industrial Property). Mula-mula konvensi
ini ditandatangani oleh 11 negara peserta. Kemudian anggotanya bertambah
hingga pada tanggal 1 Januari 1976 berjumlah 82 negara, termasuk Indonesia.
Teks yang berlaku untuk RI adalah Revisi dari teks Paris Convention yang
dilakukan di London pada tahun 1934.13
Perjanjian Internasional dapat menjadi hukum Nasional apabila telah
ditransformasikan ke dalam hukum Nasional yaitu dapat dilakukan melalui
beberapa cara. Cara-cara yang dapat dilakukan oleh suatu Negara untuk
mengikatkan dalam perjanjian Internasional adalah:
a. Ratifikasi.
b. Aksesi.
c. Penandatanganan.
Dalam praktiknya, bentuk pengesahan terbagi dalam empat kategori, yaitu
(a). ratifikasi (ratification) apabila negara yang akan mengesahkan suatu
perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian (b). aksesi
(accesion) apabila negara yang mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak
11 Sampai saat ini Indonesia baru hanya meratifikasi dua konvensi yakni Paris
Convention (1967) dan Bern Convention (1971) 12 H. OK. Saidin, Op Cit, hlm. 51 13 H. OK. Saidin, Op Cit, hlm. 449
5
turut menandatangani naskah perjanjian. (c). penerimaan (acceptance) dan
penyetujuan (approval) adalah pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-
negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian-
perjanjian internasional berlaku setelah penandatanganan.
Ratifikasi dilakukan terhadap perjanjian Internasional dalam bidang
merek. Merek akan berkaitan dengan masalah kondisi geographic, sehingga akan
membawa akibat bahwa perdagangan Internasional akan memerlukan
perlindungan secara Internasional dan juga mengenai pendaftaran Internasional.
Salah satu bentuk sebagai jaminan maka dilakukan ratifikasi terhadap perjanjian
Internasional.
Dasar hukum Pengesahan Perjanjian Internasional adalah Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut UU
PI). Pasal 9 UU PI mengatur bahwa pengesahan perjanjian internasioanl
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden, yang selengkapnya
berbunyi sebagai berikut:
(1) Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia
dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut.
(2) Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.
TRIPs telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994
tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
Perjanjian Internasional dalam bidang merek:
a. TRIPs-WTO
6
Pada tahun 1980-an Negara-negara industri mulai menginginkan
dikuatkannya rezim perlindungan HKI dengan membuat kesepakatan yang
berlaku di semua negara.14
Secara umum beberapa alasan lain yang mendorong negara maju berupaya
mengkaitkan perlindungan HKI dengan rezim perdagangan Internasional adalah:15
1) Teknologi telah menjadi salah satu faktor penting dalam produksi barang
dan jasa. Hal ini terlihat dari meningkatnya dan penemuan produk-produk
baru. Karena itu dirasakan perlu adanya perlindungan yang semakin ketat
untuk menghindari pemalsuan sehingga modal yang dikeluarkan untuk
biaya riset dapat kembali dengan cepat.
2) Perusahaan manufaktur dari negara maju yang selama ini memimpin pasar
mulai tersaingi dengan kehadiran produk-produk sejenis dari negara-
negara industri baru di Asia dan Jepang. Produk sejenis yang membanjiri
pasar tampil dengan kualitas berbeda jauh dan dengan harga yang lebih
kompetitif, mencakup misalnya obat-obatan, elektronik, komputer, semi
konduktor dan jasa konstruksi. Menurunnya supremasi perusahaan dari
negara maju terutama AS diyakini terjadi akibat banyaknya pembajakan,
pemalsuan dan pencurian inovasi perusahaan AS. Meningkatnya defisit
perdagangan AS semakin menguatkan perdagangan HKI perlu diperkuat di
tingkat Internasional.
3) Negara-negara maju berkepentingan untuk tetap mengukuhkan posisinya
sebagai pemimpin pasar. Penguatan perlindungan HKI yang dikaitkan
dengan perdagangan akan mempertahankan posisi tersebut dan
memperlambat negara-negara lain untuk mengejar ketinggalannya dalam
bidang teknologi.
4) Monopoli teknologi melalui penguatan perlindungan HKI memberikan
peluang bagi bagi perusahaan multinasional untuk memperluas pasar di
negara-negara berkembang. Karena perlindungan atas teknologi untuk
14 Hira Jhamtani, Lutfiyah Hanim, Globalisasi dan Monopoli Pengetahuan, telaah tentang TRIPs
dan Keragaman Hayati, Jakarta: INFID KONPHALINDO, 2002, hlm. 8. 15 Ibid, hlm. 9-10.
7
memproduksi suatu produk akan menghambat negara importir atau
negara tujuan untuk menjiplak dan memproduksi barang yang sama.
Apabila negara pengimpor mampu memproduksi barang yang sama, maka
kesempatan multinasional untuk mengekspor langsung hasil produksinya
ke negara bersangkutan semakin berkurang.
5) Bagi negara maju, seperti AS HKI sudah menjadi komoditi perdagangan
Internasional. Pemerintah dan perusahaan AS berupaya keras
menginternasionalisasi hukum Nasional di bidang perlindungan HKI
melalui berbagai forum Internasional.
TRIPs merupakan tonggak penting dalam perkembangan standar-standar
Internasional dalam sistem HKI. TRIPs memiliki karakteristik yang berbeda,
antara lain:16
1) Pengertian bahwa perlindungan HKI yang seimbang dan efektif
merupakan suatu masalah perdagangan dan untuk diarahkan kepada
perdagangan multilateral.
2) Lingkup pengaturan hukum yang lebih menyeluruh, mencakup hak
cipta, hak terkait dan kekayaan industri dalam suatu perjanjian
Internasional.
3) Pengaturan-pengaturan yang terperinci mengenai penegakan dan
administrasi HKI dalam hukum nasional.
4) Mekanisme penyelesaian sengketa WTO dan
5) Pembuatan proses-proses transparan secara terstruktur untuk
mendorong pemahaman yang lebih rinci dari hukum HKI Nasional
negara-negara anggota.
6) Dalam TRIPs juga diatur tentang merek terkenal yaitu dalam Pasal
16.2.
b. Paris Convention for the Protection of Industrial Property
16 Tim Lindsey, Op.cit, hlm. 31.
8
Konvensi Paris diadakan pada tanggal 20 Maret 1883, yang khusus untuk
memberikan perlindungan pada hak milik perindustrian. Konvensi ini
ditandatangani oleh 11 negara peserta, kemudian bertambah hingga tanggal 1
Januari 1976 berjumlah 82 negara, termasuk Indonesia. Beberapa catatan penting
mengenai isi dari Paris Union Convention sebagai berikut:17
1) Kriteria pendaftaran.
Pasal 6 menetapkan, bahwa persyaratan pengajuan dan pendaftaran
merek dagang ditentukan oleh Undang-undang setempat masing-
masing negara anggota. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing
negara anggota dapat menggunakan patokan-patokan sendiri
sebagaimana ditetapkan dalam undang-undangnya untuk menetapkan
masa berlaku suatu merek dagang, akan tetapi, permohonan pendaftaran
tidak boleh ditolak oleh sebuah negara anggota hanya semata-mata
karena belum didaftar di negara asal.
2) Hilangnya merek dagang karena tidak digunakan.
Konvensi ini juga menetapkan suatu ketentuan bahwa hak-hak merek
dagang dapat hilang sebagai akibat tidak digunakannya selama jangka
waktu tertentu, jika masalah tidak digunakannya selama jangka waktu
tertentu.
3) Perlindungan khusus bagi merek-merek dagang terkenal.
Merek-merek dagang terkenal dapat didaftar untuk barang-barang yang
sama atau serupa oleh pihak lain selain pihak pemegang merek dagang
asli. Permohonan pendaftaran tersebut harus ditolak atau dibatalkan
oleh anggota, baik ex officio ataupun atas permohonan pemegang
pendaftaran merek dagang asli.
c. Trade Mark Law Treaty.
Trademark law Treaty diadopsi di Geneva pada tanggal 27 Oktober 1927.
Perjanjian ini mempunyai tujuan mempersingkat prosedur pandaftaran trademark
17 O.K.Saidin, Op.cit, hlm. 338.
9
secara nasional dan regional. Penyedarhanaan dilakukan dengan cara harmonisasi
beberapa keistemewaan dari prosedur dengan membuat aplikasi merek dan
pendaftaran administrasi.
d. Madrid Protokol.
Madrid protokol merupakan protokol yang memberikan peluang bagi
perlindungan merek secara Internasional.18 Dengan pendafaran ini maka pemilik
merek dapat melakukan pendaftaran secara simultan dibeberapa negara dengan
hanya satu aplikasi, satu bahasa dan satu nilai mata uang. Indonesia sampai saat
ini belum meratifikasi Madrid Protokol. Perjanjian ini diawali dari Konvensi Paris
yang telah ditanda tangani pada Tahun 1983 yang merupakan tonggak pendaftaran
secara Internasional. Upaya ini dilanjutkan pada Tahun 1981 dengan adanya
Madrid agreement. Setelah Madrid Agreement dilanjutkan oleh WIPO dengan
membentuk Vienna Trademark registration Treaty tahun 1973 dan kemudian
diperluas menjadi Madrid Protokol yang telah mengalami beberapa kali
perubahan sampai pada tahun 2006.
2. Perlindungan Merek di Indonesia
a. Pengertian Merek
Definisi merek Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis adalah
“tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama,
kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi
dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua)
atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang
diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan
barang dan/atau jasa.” 18 Protocol Relating To The Madrid Agreement Conserning the International Registration of
Marks <www.wipo.int/treaties/en/registration/madrid>, (23/03/2012)
10
Sedangkan definisi merek Menurut para ahli, yaitu:
a. H.M.N. Purwo Sutjipto, S.H., memberikan rumusan bahwa:
“Merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu
dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis”.19
b. R. Soekardono memberikan rumusan bahwa:
“Merek adalah sebuah tanda (Jawa: ciri atau tengger) dengan mana
dipribadikan sebuah barang tertentu, di mana perlu juga dipribadikan
asalnya barang atau menjamin kualitetnya barang dalam perbandingan
dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau diperdagangkan oleh
orang-orang atau badan-badan perusahaan lain”.20
c. Rahmi Jened memberikan rumusan bahwa:
“Merek ialah tanda untuk mengindentifikasikan asal barang dan jasa (an
indication of origin) dari suatu perusahaan dengan barang dan/atau jasa
perusahaan lain. merek merupakan ujung tombak perdagangan barang dan
jasa. Melalui merek, pengusaha dapat menjaga dan memberikan jaminan
akan kualitas (a guarantee of quality) barang dan/ atau jasa yang
dihasilkan dan mencegah tindakan persaingan (konkurensi) yang tidak
jujur dari pengusaha lain yang beriktikad buruk yang bermaksud
membonceng reputasinya.”21
d. Thomas Mc Carthy memberikan rumusan bahwa:22
19 H.M.N. Purwo Sutjipto, Pengertian Pokok-pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 1984, hlm. 82 20 R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Cetakan ke-8, Jakarta: Dian Rakyat,
1983, hlm. 149 21 Rahmi Jened, Hukum merek, Op Cit, hlm. 3 22 Thomas Mc Carthy, Trademark and Unfair Competition, dikutip dari Michael B.
Weitman, “Fair Use in Trademark in the Post-KP Permanent World: How Incorporating Principles from Copyright Law Will Lead to Less Confusion in Trademark Law”, Brooklyn Law Review, Volume 71, Issue 4, hlm. 1669
11
“A rademark is a designation that identifies and distinguishes a seller’s
goods from those of its competitors. By attaching a trademark to its goods,
a seller alerts the public that goods bearing this trademark come from that
seller and are of a certain quality.”
e. Definisi merek Berdasarkan Undang-Undang merek Amerika Serikat
(Lanham Act) adalah:23
“any word, name, symbol, or device, or any combination thereof—(1) used
by a person, or (2) which a person has a bona fide intention to use in
commerce . . . to identify and distinguish his or her goods, including a
unique product, from those manufactured or sold by others and to indicate
the source of the goods, even if that source is unknown.”
b. Fungsi merek
Pada tahap awal, penggunaan merek dagang adalah pemberian branding
kepada hewan ternak khususnya sapi, branding tersebut dimaksudkan untuk
membedakan kepemilikan satu sapi milik individu yang satu dari sapi yang
lainnya dengan cara memberi tanda pada sapi dengan warna tertentu atau tanda-
tanda atau dengan memotong telinga ternak dalam bentuk tertentu. Praktik ini
digambarkan di Batu awal Gambar gua zaman dan di lukisan dinding dan para
sarjana menyebut tanda tersebut sebagai hak milik atau tanda kepemilikan. Dari
sejarah inilah istilah "branding" berasal.
Pada abad pertengahan penggunaan tanda untuk mengidentifikasi sumber
dan asal mengalami perkembangan, dikarenakan perkembangan perdagangan dan
pengenalan tanda guild. peraturan mengharuskan setiap kelompok serikat untuk
membubuhkan tanda tertentu pada semua contoh tertentu produk. Tujuan praktik
ini adalah untuk mengidentifikasi sumber dan asal barang sehingga
23 Lanham Act 15 U.S.C. §§ 1127
12
memungkinkan untuk mendeteksi dan meminta pertanggung jawaban kepada
produsen yang membubuhkan tanda tersebut.24
Umumnya, produsen akan menggunakan suatu tanda yang unik sehingga
konsumen mengetahui bahwa tanda itu memberikan informasi bahwa produk
tersebut bersumber dan berasal dari produsen tersebut. Sebagai ilustrasi, Produsen
sepatu Moonlight memproduksi sepatu yang ditempelkan tanda berupa bulan
sabit, yang menunjukkan bahwa sepatu tersebut diproduksi olehnya. Masyarakat
ketika melihat produk sepatu dengan tanda bulan sabit berwarna emas akan
berpikir bahwa produk tersebut merupakan produk dari Produsen sepatu
Moonlight. Hal ini akan membingungkan masyarakat ketika ada produsen sepatu
lain yang memakai tanda bulan sabit berwarna emas tetapi ternyata tanda tersebut
bukan berasal dari produsen sepatu Moonlight melainkan produsen sepatu
HALFMOON. Untuk mencegah kebingungan masyarakat maka perlu kepastian
hukum yang menjamin hanya pihak yang berhak atas tanda tertentu tersebut yang
dapat menggunakan dan mencegah pihak lain untuk memakai tanda tertentu
tersebut
Menurut P.D.D.Dermawan sebagaimana dikutip oleh H. OK. Saidin,
fungsi merek itu ada tiga yaitu: 25
a) Fungsi indikator sumber, artinya merek berfungsi untuk menunjukkan bahwa
suatu produk bersumber secara sah pada suatu unit usaha dan karenanya juga
berfungsi untuk memberikan indikasi bahwa produk itu dibuat secara
profesional;
b) Fungsi indikator kualitas, artinya merek berfungsi sebagai jaminan kualitas
khususnya dalam kaitan dengan produk-produk bergengsi;
c) Fungsi sugestif, artinya merek memberikan kesan akan menjadi kolektor
produk tersebut.”
Secara tradisional merek bertujuan untuk memungkinkan konsumen
membedakan satu produsen dari produsen lainnya, memungkinkan konsumen
mampu membuat pilihan pembelian berdasarkan pengalaman sebelumnya. Di
24 Mohammad Amin Naser, "Reexamining The Functions Of Trademark Law, Chicago-Kent Journal Of Intellectual Property, Volume 8, Issue 1, Hlm. 100.
25 H. OK. Saidin, op cit, ,hlm. 359
13
samping itu, merek menyediakan insentif bagi perusahaan untuk memproduksi
barang dan/atau jasa yang berkualitas dan juga untuk melindungi investasi
perusahaan dalam rangka membangun reputasi.26
Seiring berkembangnya zaman, saat ini merek mempunyai fungsi penting
lainnya. Fungsi dari merek berkembang menjadi suatu sarana periklanan. Merek
mempunyai suatu nilai ekonomis dan nilai ekonomis tersebut harus dilindungi
oleh hukum sehingga para pihak tidak dapat menggunakan atau memanfaatkan
merek tersebut tanpa seizin pemiliknya.27 Dasar pemikiran tersebut berasal dari
pendapat Frank I. Schecter yang menyatakan bahwa nilai dari sebuah merek
modern bukanlah terletak pada fungsinya sebagai indikator sumber dari suatu
produk barang dan/ atau jasa tetapi terletak pada selling power merek tersebut.28
c. Tujuan Perlindungan Merek
Perlindungan hukum terhadap merek awalnya hanya melindungi sebuah
merek sebagai tanda untuk mengidentifikasi sumber dan asal suatu produk.
Seiiring berjalannya waktu, perlindungan hukum terhadap merek juga bertujuan
untuk melindungi reputasi perdagangan yang dimiliki oleh pemilik merek yang
telah menciptakan asosiasi dari sebuah produk barang dan/atau jasa dengan
mereknya. Ketika seseorang selain pemilik merek menggunakan mereknya tanpa
seizin pemilik merek yang sah, maka pemilik merek berhak mengajukan gugatan
terhadap pengguna merek tersebut dikarenakan penggunaan merek tersebut dapat
mengakibatkan kebingungan bagi konsumen. Hal ini sejalan dengan tujuan utama
dari perlindungan merek yaitu untuk menciptakan persaingan yang lebih
kompetitif.29
Menurut Suyud Margono, perlindungan hukum terhadap merek pada
dasarnya merupakan bagian dari perlindungan hukum terhadap persaingan curang
yang merupakan perbuatan melanggar hukum di bidang perdagangan. Secara
26 Rahmi Jened, hukum merek, Op Cit, hlm. 312 27 Uche U. Ewelukwa, Op Cit, hlm. 102 28 Frank I. Schecter, “The Rational Basis of Trademark Protection”, Harvard Law
Review, Volume 40, 1927, Hlm. 818-19 29 Stacey Dogan, “Bullying and Opportunism in Trademark and Right of Publicity Law”,
Boston University Law Review, Volume 96, No. 3, 2016, hlm. 21.
14
menyeluruh, kepentingan-kepentingan yang hendak dilindungi oleh hukum merek
adalah:30
1. Kepentingan pemilik merek
Perlindungan hak eksklusif merek akan memberikan manfaat bagi pemilik
merek dengan cara melindungi segala investasi yang telah dikeluarkan oleh
produsen dalam mengembangkan goodwill dari sebuah merek. Melindungi
goodwill dari sebuah merek akan memberikan dorongan bagi pemilik merek untuk
berinvestasi dalam mengasosiasikan sebuah merek dengan reputasi dan identitas
terhadap kehadiran sebuah merek di pasaran. Nilai sebuah merek bergantung
kepada kemampuan pemilik merek dalam menjaga kualitas produk-produk secara
konsisten dan memancarkan sinyal kepercayaan kepada konsumen terhadap
produk-produknya.
Melindungi Goodwill dari sebuah merek juga ikut menunjang terciptanya
kompetisi yang sehat di antara produk-produk yang beredar di pasaran. Seorang
pelaku usaha baru yang mencoba memasuki pasar produk barang dan/atau jasa
harus menciptakan suatu brand yang dikenal oleh masyarakat. Pelaku usaha baru
tersebut dapat menginformasikan kepada konsumen mengenai produknya untuk
bersaing dengan pelaku usaha lama untuk memenuhi permintaan konsumen.
Informasi tersebut dapat disampaikan dan diingat oleh konsumen dengan
menggunakan suatu tanda yang mempunyai daya pembeda yaitu merek. Singkat
kata, ketika sebuah merek mendapat jaminan perlindungan hukum maka goodwill
dan juga kompetisi akan ikut terlindungi.
2. Kepentingan para produsen
Perlindungan hukum terhadap merek menjamin para produsen untuk bebas
memasarkan barang-barangnya dengan memakai tanda-tanda umum yang dapat
dipakai oleh siapa saja, dan yang seharusnya tidak boleh dimonopoli oleh
30 Risa Amrikasari, Hukumnya menggunakan brand ternama dalam produk olahan
sendiri, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt57d16932b9230/hukumnya-menggunakan-brand-ternama-dalam-produk-olahan-sendiri diakses pada tanggal 30-03-2017 pukul 10.00 WIB
15
siapapun sehingga tidak merugikan kebebasan mereka untuk menjual barang-
barangnya dalam persaingan yang jujur dan sah.
3. Kepentingan para konsumen
Perlindungan hukum terhadap merek menjamin para konsumen untuk
dilindungi terhadap praktik-praktik yang cenderung hendak menciptakan kesan-
kesan yang dapat menyesatkan dan menipu atau membingungkan mereka. Hal ini
dilatarbelakangi bahwa konsumen mendasarkan kualitas dan karakteristik dari
suatu produk melalui suatu merek dan oleh karenanya turut menciptakan
persaingan usaha yang sehat.
4. Kepentingan umum
Perlindungan hukum terhadap merek bertujuan untuk memajukan
perdagangan yang jujur di pasar-pasar, serta untuk mencegah timbulnya praktik-
praktik yang tidak jujur dan pula bertentangan dengan norma-norma kepatutan
dalam perdagangan.
d. Pendaftaran merek
Pendaftaran merek di Indonesia menganut sistem konstitutif. Dalam sistem
konstitutif, hak atas merek baru akan timbul ketika merek telah didaftarkan.
Dalam sistem ini pendaftaran adalah suatu keharusan.31 Hal tersebut diatur dalam
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis yaitu: “Hak atas merek diperoleh setelah merek tersebut terdaftar”.
Menurut para ahli sistem konstitutif lebih memberikan kepastian hukum
dibandingkan sistem deklaratif.32 Emmy Pangaribuan dalam hal ini berpendapat
bahwa sistem konstitutif lebih memberi kepastian hukum mengenai hak atas
merek kepada seseorang yang telah mendaftarkan mereknya itu. Sudargo
31 H. OK. Saidin, op cit, ,hlm. 474 32 Sistem ini tidak mewajibkan adanya suatu pendaftaran merek untuk mendapatkan suatu
hak atas merek.
16
Gautama juga sependapat dengan Emmy Pangaribuan bahwa sistem konstitutif
lebih memberikan kepastian hukum.33
Syarat dan Tata Cara Permohonan Pendaftaran Merek diatur di dalam
Pasal 4 UU Merek yaitu:
(1) Permohonan pendaftaran Merek diajukan oleh Pemohon atau
Kuasanya kepada Menteri secara elektronik atau non-elektronik dalam
bahasa Indonesia.
(2) Dalam Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mencantumkan:
a. tanggal, bulan, dan tahun Permohonan;
b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan alarnat Pemohon;
c. nama lengkap dan alamat Kuasa jika Permohonan diajukan melalui
Kuasa;
d. warna jika Merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan
unsur warna;
e. nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali
dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; dan
f. kelas barang darn/ atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/ atau
jenis jasa.
(3) Permohonan ditandatangani Pemohon atau Kuasanya.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pacta ayat (1) dilampiri dengan
label Merek dan bukti pembayaran biaya.
(5) Biaya Permohonan pendaftaran Merek ditentukan per kelas barang
dan/ atau jasa.
(6) Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa bentuk
3 (tiga) dirnensi, label Merek yang dilampirkan dalam bentuk
karakteristik dari Merek tersebut.
(7) Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa suara,
label Merek yang dilampirkan berupa notasi dan rekaman suara.
33 H. OK. Saidin, op cit, ,hlm. 475
17
(8) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri
dengan surat pernyataan kepemilikan Merek yang dimohonkan
pendaftarannya
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Adapun Syarat Permohonan Pendaftaran Merek diatur lebih rinci dalam Pasal 3
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 67
Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek (selanjutnya disebut Permenkumham
Pendaftaran Merek), yaitu:
"(1) Permohonan diajukan dengan mengisi formulir rangkap 2 (dua) dalam bahasa
Indonesia oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. tanggal, bulan, dan tahun Permohonan;
b. nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon;
c. nama lengkap dan alamat Kuasa jika Permohonan diajukan melalui Kuasa;
d. nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal
Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas;
e. label Merek;
f. warna jika Merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur
warna; dan
g. kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau jenis
jasa.
(3) Dalam mengajukan Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
melampirkan dokumen:
a. bukti pembayaran biaya Permohonan;
b. label Merek sebanyak 3 (tiga) lembar, dengan ukuran paling kecil 2 x 2 cm
(dua kali dua sentimeter) dan paling besar 9 x 9 cm (sembilan kali
sembilan sentimeter);
c. surat pernyataan kepemilikan Merek;
18
d. surat kuasa, jika Permohonan diajukan melalui Kuasa;
e. bukti prioritas, jika menggunakan Hak Prioritas dan terjemahannya dalam
bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e berupa bentuk
3 (tiga) dimensi, label Merek yang dilampirkan dalam bentuk karakteristik
dari Merek tersebut yang berupa visual dan deskripsi klaim pelindungan.
(5) Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e berupa suara,
label Merek yang dilampirkan berupa notasi dan rekaman suara.
(6) Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e berupa suara
yang tidak dapat ditampilkan dalam bentuk notasi, label Merek yang
dilampirkan dalam bentuk sonogram.
(7) Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e berupa
hologram, label Merek yang dilampirkan berupa tampilan visual dari berbagai
sisi.
(8) Format formulir Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Direktur Jenderal."
Setelah semua syarat terpenuhi, maka Permohonan merek tersebut akan
diumumkan, mekanisme pengumuman tersebut diatur dalam Pasal 4
Permenkumham Pendaftaran Merek, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
"(1) Permohonan yang telah memenuhi persyaratan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sampai dengan ayat (3) huruf a dan huruf b
diberikan Tanggal Penerimaan.
(2) Menteri mengumumkan Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam Berita Resmi Merek.
(3) Pengumuman Permohonan dalam Berita Resmi Merek sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlangsung selama 2 (dua) bulan."
Terhadap pengumuman merek tersebut, setiap pihak dapat mengajukan keberatan
secara tertulis kepada Menteri atas Permohonan Merek tersebut. Mekanismen
19
pengajuan keberatan tersebut diatur dalam Pasal 5 Permenkumham Pendaftaran
Merek, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Dalam jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3), setiap pihak dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri
atas Permohonan yang bersangkutan.
(2) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai biaya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan
negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia.
(3) Terhadap keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemohon atau
Kuasanya berhak mengajukan sanggahan secara tertulis kepada Menteri.
(4) Sanggahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan dalam waktu paling
lama 2 (dua) bulan terhitung sejak Tanggal Pengiriman salinan keberatan
yang disampaikan oleh Menteri.
Dalam pendaftaran merek, perlu diperhatikan mengenai kelas barang atau
jasa. Setiap permohonan merek memuat kelas barang dan/atau jasa. Permohonan
pendaftaran merek dapat diajukan lebih dari 1 (satu) kelas barang dan/atau jasa
dalam satu Permohonan. Kesalahan dalam pengisian kelas dan jenis barang yang
tidak sesuai dengan klasifikasi barang dan/atau jasa mengakibatkan Menteri dapat
mencoret jenis barang dan/atau jasa dalam formulis yang dimohonkan. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 15 Permenkumham Pendaftaran Merek, yang isi
Pasalnya sebagai berikut:
"(1) Dalam hal pengisian kelas dan jenis barang dan/atau jasa tidak sesuai dengan
klasifikasi barang dan/atau jasa, Menteri dapat mencoret jenis barang
dan/atau jasa dalam formulir yang dimohonkan.
(2) Dalam hal terjadi kesalahan penulisan kelas barang dan/atau jasa, Menteri
melakukan pembetulan penulisan kelas barang dan/atau jasa sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
20
(3) Pencoretan dan pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diberitahukan secara tertulis kepada Pemohon dalam jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak Tanggal Penerimaan.
(4) Terhadap jenis barang dan/atau jasa yang telah dicoret, Pemohon dapat
mengajukan Permohonan baru."
e. Merek Yang Tidak Dapat Didaftar
Sebuah merek agar dapat didaftarkan maka harus memenuhi syarat-syarat
agar merek tersebut dapat didaftarkan. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis mengatur syarat-syarat apa saja yang
menyebabkan merek tidak dapat didaftar yaitu:
a. bertentangan dengan ideologi negara,peraturan perundang-undangan,
moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
b. sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa
yang dimohonkan pendaftarannya;
c. memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas,
jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang
dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
d. memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat
dari barang dan/atau jasa yang diproduksi;
e. tidak memiliki daya pembeda; dan/atau
f. merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum
Penjelasan mengenai syarat-syarat di atas akan dibahas sebagai berikut:
1) Bertentangan dengan ideologi Negara, peraturan perundang-
undangan,moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum
Merek tidak dapat didaftarkan jika bertentangan undang-undang yang
berlaku, contohnya, merek bergambar Daun Canibus atau Ganja karena
menyangkut materi yang dilarang dalam UU No. 5/1997 tentang Psikotropika.
21
Merek yang berupa atribut Komunis atau NAZI karena menyangkut materi yang
dilarang dalam UU No. 25/1966 tentang larangan partai Komunis Indonesia (PKI)
dan Organisasi Massanya.
Merek juga tidak dapat didaftarkan jika bertentangan dengan moralitas
agama, contoh merek yang menyerupai nama Allah atau Rasulnya. Merek juga
tidak dapat didaftarkan jika bertentangan dengan kesusilaan, contohnya adalah
merek yang berisi kata-kata porno atau tidak sopan. Merek yang bertentangan
dengan ketertiban umum, contohnya gambar yang bersifat serangan yang tidak
beralasan (gratuitous offensive) hal-hal yang bersifat rasial (racist).
Alasan tidak dapat didaftarkannya merek tersebut menyangkut public
policy suatu negara yang penerapannya melihat norma dan nilai-nilai moral yang
diterima masyarakat setempat. Namun kesulitannya jika terjadi perbedaan norma
dan nilai moral tersebut, sehingga mungkin saja suatu tanda dapat didaftarkan di
satu Negara, tetapi ditolak pendaftarannya di Negara lain, seperti di Indonesia
pernah terjadi penolakan untuk pendaftaran merek Lasso dari Perancis
berdasarkan keberatan yang diajukan kelompok masyarakat dari Indonesia Timur
karena kata tersebut mengandung pengertian negatif.34
2) Sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa
yang dimohonkan pendaftarannya
Tidak pula dapat didaftarkan sebagai merek, jika merek tersebut Sama
dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya. Adapun penjelasan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menyatakan bahwa merek
tersebut berkaitan atau hanya menyebutkan barang dan/atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya, contohnya merek Kopi atau gambar kopi untuk
produk kopi. Contoh lainnya misalnya “kecap” untuk barang kecap, merek
“sabun” untuk sabun dan sebagainya.35
34 Rahmi Jened, Hukum merek, Op Cit, hlm. 100 35 Sudargo Gautama, Op Cit, hlm. 38
22
3) Memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas,
jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang
dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
Penjelasan Pasal 20 Huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis menjelaskan yang dimaksud dengan
"memuat unsur yang dapat menyesatkan" misalnya merek "Kecap No. 1" tidak
dapat didaftarkan karena menyesatkan masyarakat terkait dengan kualitas barang,
merek "netto 100 gram" tidak dapat didaftarkan karena menyesatkan masyarakat
terkait dengan ukuran barang.
4) memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat
dari barang dan/atau jasa yang diproduksi;
Penjelasan Pasal 20 Huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis menjelaskan Yang dimaksud dengan
"memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari
barang dan/atau jasa yang diproduksi" adalah mencantumkan keterangan yang
tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, khasiat, dan/atau risiko dari produk
dimaksud. Contohnya: obat yang dapat menyembuhkan seribu satu penyakit,
rokok yang aman bagi kesehatan.
5) Merek Tidak Memiliki Daya pembeda
Syarat mutlak suatu merek yang harus dipenuhi oleh setiap orang ataupun
badan hukum yang ingin memakai suatu merek adalah bahwa merek itu harus
mempunyai daya pembeda yang cukup.36 Alasan dipersyaratkan daya pembeda
dalam merek adalah definisi hukum untuk membedakan barang dan/atau jasa dari
perusahaan satu terhadap barang dan/ atau jasa dari perusahaan lainnya. Jadi
tujuan merek adalah untuk membedakan barang dan/atau jasa dari perusahaan satu
terhadap barang dan/atau jasa dari perusahaan lainnya.37 Oleh karenanya setiap
36 H. OK. Saidin, Op Cit, hlm. 460 37 Rahmi Jened, Hukum merek, Op Cit, hlm. 62
23
merek harus mempunyai daya pembeda antara satu merek dengan merek yang
lainnya sehingga konsumen tidak mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi
barang dan atau jasa.38
Tanda dengan daya pembeda untuk dapat dilindungi sebagai merek secara
teoretis dapat dikategorikan:39
a) Inherently distinctives: eligible for immediate protection upon use. (tanda
yang secara inheren memiliki daya pembeda, segera mendapat perlindungan
melalui penggunaan). Tanda yang secara inheren memiliki daya pembeda
(inherently distinctives) sangat bagus didaftarkan sebagai merek, karena
setiap konsumen pada umumnya memiliki pengetahuan yang cukup tentang
tanda tersebut. Konsumen mengerti fungsi merek untuk pembeda, sehingga
ini menyangkut reaksi langsung dari konsumen terhadap tanda tersebut.
b) Capable of becoming distinctive: eligible for protection only after
development of consumer association (secondary meaning). (Tanda yang
memiliki kemampuan untuk menjadi pembeda, dapat dilindungi hanya
setelah pengembangan asosiasi konsumen yang disebut pengertian kedua).
c) Incapable of becoming distinctive: not eligible for trademark protection
regardless of length of use. (tanda yang tidak memiliki kemampuan untuk
membedakan tidak dapat dilindungi sebagai merek meskipun dalam waktu
yang panjang telah digunakan). Artinya harus selamanya ditolak
pendaftarannya sebagai merek dan tidak akan pernah menikmati perlindungan
hukum sebagai merek.
Berkaitan dengan daya pembeda suatu merek, Sudargo Gautama mengemukakan
bahwa:
“Merek ini harus merupakan suatu tanda. Tanda ini dapat dicantumkan pada barang bersangkutan atau bungkusan dari barang itu. Jika suatu barang hasil produksi suatu perusahaan tidak mempunyai kekuatan pembedaan dianggap sebagai tidak cukup mempunyai kekuatan pembedaan dan karenanya bukan merupakan merek. Misalnya: Bentuk, warna atau ciri lain dari barang atau pembungkusnya. Bentuk yang khas atau warna, warna dari sepotong sabun atau suatu doos, tube dan botol.
38 Barton Beebe, “Search And Persuasion In Trademark Law”,Michigan Law Review
Volume 103, hlm. 2028-2029 39 Rahmi Jened, Hukum merek, Op Cit, hlm. 65
24
Semua ini tidak cukup mempunyai daya pembeda untuk dianggap sebagai suatu merek, tetapi dalam praktiknya kita saksikan bahwa warna-warna tertentu yang dipakai dengan suatu kombinasi yang khusus dapat dianggap sebagai suatu merek.”40 Tanda-tanda yang tidak mempunyai daya pembeda atau yang dianggap
kurang kuat dalam pembedaannya tidak dapat dianggap sebagai merek. Sebagai
contoh misalnya dapat diberitahukan disini; lukisan suatu sepeda untuk barang-
barang sepeda atau kata-kata yang menunjukkan suatu sifat barang, seperti
misalnya “istimewa”, “super”, “sempurna”. Semua ini menunjukkan pada kualitas
sesuatu barang. Nama barang itu sendiri juga tidak dapat dipakai sebagai merek,
misalnya “kecap” untuk barang kecap, merek “sabun” untuk sabun dan
sebagainya. Contoh lainnya perkataan “super”, perkataan tersebut menunjukkan
suatu kualitas atau mempropagandakan kualitas barangnya maka tidak
mempunyai cukup daya pembedaan untuk diterima sebagai merek.41
Alasan yang melatarbelakangi bahwa suatu merek harus memiliki daya
pembeda adalah pendaftaran merek berkaitan dengan pemberian hak eksklusif
atas nama atau simbol (atau dalam bentuk lain), para pejabat hukum di seluruh
dunia enggan memberikan hak eksklusif atas suatu merek kepada pelaku usaha.
Keengganan ini disebabkan karena pemberian hak eksklusif tadi akan
menghalangi orang lain untuk menggunakan merek tersebut. Oleh karena itu,
sebuah merek harus mengandung daya pembeda yang dapat membedakan barang
atau jasa dari pelaku usaha tersebut dengan barang atau jasa pelaku usaha lain
yang sejenis.42
Macam-macam merek berdasarkan daya pembedanya, dibagi menjadi:43
1. Generic marks
Kata-kata umum yang berasosiasi dengan suatu produk atau jasa tidak akan
pernah bisa dilindungi sebagai merek, karena hal ini akan menyebabkan
kecurangan bagi para competitor. Sebagai contoh, mengizinkan suatu perusahaan
40 Sudargo Gautama, Op Cit, hlm. 34 41 Sudargo Gautama, Op Cit, hlm. 38 42 Tim Lindsey, (ed.), Op Cit, hlm. 136. 43 Ann Bartow, "Likelihood Of Confusion", San Diego Law Review, Vol. 41: 1, 2004,
Hlm. 18-23.
25
memonopoli kata “ice cream” ketika produk tersebut adalah ice cream akan
menyebabkan monopoli merek ice cream yang mencegah kompetitor lain untuk
menggunakan merek ice cream yang secara harafiah memang berarti ice cream.
2. Descriptive Marks
Merek yang mendeskripsikan suatu produk barang dan/atau jasa.
Membutuhkan secondary meaning
3. Suggestive Marks
Merek yang lebih mensugestikan daripada menjelaskan suatu atribut barang
dan/atau jasa. Tidak membutuhkan secondary meaning.
4. Arbitrary dan Fanciful Marks
Merek Arbitrary selalu didefinisikan sebagai merek yang
mengadaptasikan kata umum kepada barang dan/atau jasa yang tidak ada kaitan
sama sekali dengan kata umum tersebut. Sebagai contoh kata otomobil untuk
produk tissue, atau produk lainnya yang tidak ada kaitannya dengan otomotif.
Sedangkan Fanciful Marks adalah merek yang sama sekali tidak mempunyai arti
lain selain daripada arti sebagai merek. Contohnya adalah merek KODAK yang
merupakan sebuah merek KAMERA, XEROX yang merupakan merek mesin
fotokopi.
6) Merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum
Tanda yang telah menjadi milik umum tidak dapat didaftarkan sebagai
merek. Contoh, merek berupa tanda tengkorak di atas dua tulang yang bersilang,
yang secara umum telah diketahui sebagai tanda bahaya, tanda produk daur ulang,
tanda produk fragile (mudah pecah), tanda lalu lintas (Traffic Light), tanda
farmasi
Tanda-tanda tersebut merupakan tanda milik umum yang terdiri dari tanda
atau indikasi yang menujukkan kelaziman atau kebiasaan terkait dengan Bahasa
yang dikenali secara nasional atau internasional digunakan dalam praktik
26
perdagangan yang jujur. Tanda seperti itu adalah tanda yang bersifat umum dan
telah menjadi milik umum (public domain). Merek yang menggunakan tanda
semacam ini harus tidak dapat diterima pendaftarannya, meskipun telah dicoba
untuk dibangun secondary meaning. Hal ini mengingat tidak adil untuk
memberikan monopoli sesuatu yang menjadi milik umum (public domain) karena
menyangkut hak masyarakat yang lebih luas.44
f. Alasan Ditolaknya Pendafataran merek
Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek
dan Indikasi Geografis memuat ketentuan mengenai penolakan pendafataran
merek yaitu permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan:
a. merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh
pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
b. merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c. merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak
sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau
d. Indikasi Geografis terdaftar
Selain hal-hal tersebut di atas, permohonan juga ditolak jika merek
tersebut melanggar ketentuan Pasal 21 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 yaitu:
a. merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama orang
terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain,
kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
b. merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama,
bendera, lambang atau simbol atau emblem suatu negara, atau
lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan
tertulis dari pihak yang berwenang; atau
44 Rahmi Jened, Hukum merek, Op Cit, hlm. 102-103
27
c. merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi
yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas
persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Permohonan ditolak jika
diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik
g. Jangka Waktu Perlindungan dan Perpanjangan Merek Terdaftar
Merek terdaftar mendapat pelindungan hukum untuk jangka waktu 10
(sepuluh) tahun sejak Tanggal Penerimaan. Jangka waktu pelindungan tersebut
dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Permohonan perpanjangan
tersebut diajukan secara elektronik atau non-elektronik dalam bahasa Indonesia
oleh pemilik Merek atau Kuasanya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum
berakhirnya jangka waktu pelindungan bagi Merek terdaftar tersebut dengan
dikenai biaya. Permohonan perpanjangan tersebut masih dapat diajukan dalam
jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah berakhirnya jangka waktu
pelindungan Merek terdaftar tersebut dengan dikenai biaya dan denda sebesar
biaya perpanjangan.45
Permohonan perpanjangan disetujui jika melampirkan surat pernyataan
tentang: a. Merek yang bersangkutan masih digunakan pada barang atau jasa
sebagaimana dicantumkan dalam sertifikat Merek tersebut; dan b. barang atau jasa
sebagaimana dimaksud dalam huruf a masih diproduksi dan/atau
diperdagangkan.46
Permohonan perpanjangan ditolak jika tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 36. Penolakan permohonan perpanjangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada pemilik
Merek atau Kuasanya dengan menyebutkan alasannya. Keberatan terhadap
penolakan permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diajukan permohonan banding kepada Komisi Banding Merek. Ketentuan
45 Pasal 35 UU Merek 46 Pasal 36 UU Merek
28
mengenai permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 sampai
dengan pasal 30 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penolakan permohonan
perpanjangan.47
h. Pengalihan Hak dan Lisensi Merek
Hak atas Merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena:
a. pewarisan;
b. wasiat;
c. wakaf;
d. hibah;
e. perjanjian; atau
f. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan.
Pengalihan Hak atas Merek terdaftar oleh Pemilik Merek yang memiliki
lebih dari satu Merek terdaftar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis hanya dapat dilakukan
jika semua Merek terdaftar tersebut dialihkan kepada pihak yang sama. Pengalihan
Hak atas Merek terdaftar tersebut dimohonkan pencatatannya kepada Menteri.
Permohonan pengalihan tersebut disertai dengan dokumen pendukungnya.
Pengalihan Hak atas Merek terdaftar yang telah dicatat tersebut diumumkan
dalam Berita Resmi Merek. Perlu diperhatikan bahwa Pengalihan Hak atas Merek
terdaftar yang tidak dicatatkan tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.
Pencatatan pengalihan Hak atas Merek tersebut dikenai biaya. Pengalihan Hak
atas merek tersebut dapat dilakukan pada saat proses Permohonan pendaftaran
merek.48
Pengertian Lisensi berdasarkan Pasal 1 angka 18 UU Merek adalah izin
yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain berdasarkan
perjanjian secara tertulis sesuai peraturan perundang-undangan untuk
menggunakan Merek terdaftar.
47 Pasal 37 UU Merek 48 Pasal 41 UU Merek
29
Pemilik merek terdaftar dapat memberikan Lisensi kepada pihak lain
untuk menggunakan Merek tersebut baik sebagian maupun seluruh jenis barang
dan/atau jasa. Perjanjian Lisensi berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, kecuali bila diperjanjikan lain. Perjanjian Lisensi wajib
dimohonkan pencatatannya kepada Menteri dengan dikenai biaya.Perjanjian
Lisensi tersebut dicatat oleh Menteri dan diumumkan dalam Berita Resmi. Harap
diperhatikan bahwa Pedanjian Lisensi yang tidak dicatatkan tidak berakibat
hukum pada pihak ketiga. Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan baik yang
langsung maupun tidak langsung yang menimbulkan akibat yang merugikan
perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan
bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi.49
Pemilik Merek terdaftar yang telah memberikan Lisensi kepada pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (1) UU Merek tetap dapat
menggunakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk
menggunakan Merek tersebut, kecuali diperjanjikan lain.50
Penggunaan Merek terdaftar di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia oleh penerima Lisensi dianggap sama dengan penggunaan Merek
tersebut di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh pemilik Merek.51
i. Merek Kolektif
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Merek, Merek Kolektif adalah Merek
yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama
mengenai sifat, ciri umum, dan mutu barang atau jasa serta pengawasannya yang
akan diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-
sama untuk
membedakan dengan barang dan/ atau jasa sejenis lainnya.
Pasal 46 mengatur mengenai pendaftaran merek kolektif yaitu (1)
Permohonan pendaftaran Merek sebagai Merek Kolektif hanya dapat diterima jika
dalam Permohonan dengan jelas dinyatakan bahwa Merek tersebut akan
49 Pasal 42 UU Merek 50 Pasal 43 UU Merek 51 Pasal 44 UU Merek
30
digunakan sebagai Merek Kolektif. (2) Selain penegasan mengenai penggunaan
Merek Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Permohonan wajib disertai
dengan salinan ketentuan penggunaan Merek tersebut sebagai Merek Kolektif. (3)
Ketentuan penggunaan Merek Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling sedikit memuat pengaturan mengenai:
a. sifat, ciri umum, atau mutu barang dan/atau jasa yang akan diproduksi dan
diperdagangkan;
b. pengawasan atas penggunaan Merek Kolektif; dan
c. sanksi atas pelanggaran ketentuan penggunaan Merek Kolektif.
Untuk pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Pemerintah dapat
mendaftarkan Merek Kolektif yang diperuntukkan bagi pengembangan usaha
dimaksud dan/atau pelayanan publik.
Terhadap Permohonan pendaftaran Merek Kolektif dilakukan pemeriksaan
kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan
Pasal 7 dan Pasal 46.52 Pemeriksaan substantif terhadap Permohonan Merek
Kolektif dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23 dan Pasal24.53
Pengalihan hak Merek Kolektif terdaftar wajib dimohonkan pencatatannya
kepada Menteri dengan dikenai biaya.54 Pencatatan pengalihan hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dicatat dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.55
j. Permohonan Pendaftaran Merek Internasional
Permohonan pendaftaran merek internasional diatur dalam Pasal 52 UU
Merek yaitu:
(1) Permohonan pendaftaran Merek internasional dapat berupa:
a. Permohonan yang berasal dari Indonesia ditujukan ke biro internasional
melalui Menteri; atau
b. Permohonan yang ditujukan ke Indonesia sebagai salah satu negara tujuan
yang diterima oleh Menteri dari biro internasional
52 Pasal 47 UU Merek 53 Pasal 48 UU Merek 54 Pasal 49 ayat (1) UU Merek 55 Pasal 49 ayat (2) UU Merek
31
(2) Permohonan pendaftaran Merek internasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a hanya dapat dimohonkan oleh:
a. Pemohon yang memiliki kewarganegaraan Indonesia;
b. Pemohon yang memiliki domisili atau tempat kedudukan hukum di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau
c. Pemohon yang memiliki kegiatan usaha industri atau komersial yang nyata
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah mengajukan Permohonan
atau memiliki pendaftaran Merek di Indonesia sebagai dasar Permohonan
pendaftaran Merek internasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran Merek internasional berdasarkan
Protocol Relating to the Madrid Agreement Conceming the International
Registration of Marks diatur dengan Peraturan Pemerintah.
k. Merek Terkenal
Tidak ada definisi merek terkenal dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 tentang merek dan Indikasi Geografis, namun dalam penjelasan Pasal
21 Ayat (1) Huruf b terdapat kriteria merek terkenal yaitu:
“Penolakan Permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya
atau keseluruhan dengan merek terkenal milik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan
umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang
bersangkutan. Di samping itu, diperhatikan pula reputasi merek tersebut
yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi
di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai
bukti pendaftaran merek dimaksud di beberapa negara. Jika hal tersebut
belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga
yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh
kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya merek yang menjadi dasar
penolakan.”
Pasal 6 bis Konvensi Paris mengatur merek Terkenal , yaitu:
32
1) The countries of the Union undertake, ex officio if their legislation so
permits, or at the request of an interested party, to refuse or to cancel
the registration, and to prohibit the use, of a trademark which
constitutes a reproduction, an imitation, or a translation, liable to
create confusion, of a mark considered by the competent authority of
the country of registration or use to be well known in that country as
being already the mark of a person entitled to the benefits of this
Convention and used for identical or similar goods. These provisions
shall also apply when the essential part of the mark constitutes a
reproduction of any such well-known mark or an imitation liable to
create confusion therewith.
2) A period of at least five years from the date of registration shall be
allowed for requesting the cancellation of such a mark. The countries
of the Union may provide for a period within which the prohibition of
use must be requested.
3) No time limit shall be fixed for requesting the cancellation or the
prohibition of the use of marks registered or used in bad faith.
Artikel 6 bis Konvensi Paris menetapkan bahwa Negara anggota Konvensi
Paris harus mengambil tindakan secara ex-officio jika diizinkan oleh peraturan
perundang-undangan atau atas dasar permintaan suatu pihak yang berkepentingan
untuk menolak atau membatalkan pendaftaran dan untuk melarang penggunaan
merek yang mengakibatkan kebingungan. Aturan ini juga berlaku manakala
bagian esensial dari merek menimbulkan suatu reproduksi dari setiap merek yang
dikenal atau suatu tiruan yang menyebabkan kebingungan.56
Dalam periode paling sedikit lima tahun sejak tanggal pendaftarannya
harus dimungkinkan untuk pembatalan merek tersebut di atas Negara anggota
konvensi dapat menyediakan suatu periode di mana larangan penggunaan dapat
dimintakan mengenai merek terkenal diberlakukan terhadap barang atau jasa yang
tidak sama dengan barang yang mereknya didaftar, dengan ketentuan bahwa
penggunaan merek dagang ada kaitannya dengan barang atau jasa sehingga
56 Rahmi Jened, Hukum merek, Op Cit, hlm. 240
33
menunjukkan adanya hubungan antara barang dan jasa tersebut serta merek
dagangnya terdaftar dengan ketentuan bahwa kepentingan pemilik terdaftar
terganggu oleh penggunaan itu. Dalam menetapkan apakah suatu merek well-
known, harus diperhitungkan pengetahuan akan merek terkenal di sekitar publik
tertentu termasuk pengetahuan di Negara anggota sebagai akibat promosi merek
dagang tersebut.57
Merek terkenal mengandung makna “terkenal” menurut pengetahuan
umum masyarakat. Merek terkenal yaitu merek yang dikenal luas oleh sektor-
sektor relevan di dalam masyarakat. Promosi merupakan sarana paling efektif
untuk membangun reputasi (image). Reputasi tidak harus diperoleh melalui
pendaftaran, melainkan dapat diperoleh melalui actual use in placing goods or
service into the market (penggunaan secara aktual dengan cara meletakkan barang
dan jasa di pasar).58
World Intellectual Property Organization (WIPO) saat ini sedang
memprakarsai persetujuan baru di bidang merek yang dirancang bagi
perlindungan merek terkenal yang di dalamnya terdapat norma baru:59
a. Upaya memperjelas pengertian relevant sector of the public dengan
unsur penentu.
b. Hanya sebatas pada konsumen potensial
c. Jaringan distribusi dan lingkungan bisnis yang biasa dengan merek
terkenal pada umumnya.
d. Upaya penentuan elemen merek terkenal meliputi:
1. Jangka waktu, lingkup dan wilayah penggunaan merek.
2. Pasar.
3. Tingkat daya pembeda.
4. Kualtias harus baik (image).
57 Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: Alumni,
hlm. 74. 58 Rahmi Jened, Hukum merek (Trademark Law) Dalam Era Global dan Integrasi
Ekonomi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015, hlm. 242 59 Tetsuo Katsube, “Protection of Wellknown/Famous Trademark”, pada Rahmi Jened,
Hukum merek, Op Cit, hlm. 242-243
34
5. Luas sebaran pendaftaran di dunia, sifat ekslusifitas pendaftaran
yang dimiliki.
6. Luas sebaran penggunaan di dunia.
7. Sifat eksklusifitas penggunaan di dunia.
8. Nilai perdagangan merek tersebut di dunia.
9. Rekor perlindungan yang berhasil diraih.
10. Hasil litigasi dalam penentuan terkenal atau tidaknya merek tersebut.
11. Intensitas pendaftaran merek lain yang mirip dengan merek yang
bersangkutan.
Merek terkenal mengandung makna “terkenal” menurut pengetahuan
umum masyarakat. Merek terkenal yaitu merek yang dikenal luas oleh sektor-
sektor relevan di dalam masyarakat. Promosi merupakan sarana paling efektif
untuk membangun reputasi (image). Reputasi tidak harus diperoleh melalui
pendaftaran, melainkan dapat diperoleh melalui actual use in placing goods or
service into the market (penggunaan secara aktual dengan cara meletakkan barang
dan jasa di pasar).60
merek terkenal yang merupakan merek yang sangat penting bagi
pemasaran yang diedarkan di luar negeri juga oleh orang-orang luar negeri untuk
membeli barang-barang karena mempercayai merek-merek tertentu yang sudah
dikenal. Menurut Sudargo, di dalam pasaran luar negeri, merek-merek seringkali
adalah satu satunya cara untuk menciptakan dan mempertahankan goodwill
dengan konsumen di luar negeri. Merek-merek ini adalah simbol dimana seorang
pedagang memperluas pasarannya di luar negeri dan juga mempertahankan
pasaran ini.61 Merek terkenal merupakan aspek yang penting dalam merek.
Kepentingan ekonomi dari merek-merek terkenal diakui oleh WIPO. Definisi
merek terkenal yang diambil oleh WIPO. Merek terkenal adalah merek yang
sudah dikenal dalam periode yang cukup lama dan dianggap terkenal oleh
pemegang otoritas yang berkompeten dari sebuah negara yang dimintakan
perlindungan untuk merek tersebut.
60 Rahmi Jened, Hukum Merek… Op.Cit, hlm. 242
61 Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Op Cit, hlm. 154.
35
Merek menjadi suatu merek yang terkenal biasanya memerlukan banyak
waktu dan tenaga, serta merek harus mempunyai ciri reputasi untuk menyusun
sebuah daftar. M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa merek terkenal dapat
dibedakan dalam tiga jenis berdasarkan reputasi (reputation) dan kemasyhuran
(reknown) suatu merek yaitu merek biasa (normal marks), merek terkenal
(wellknown mark). Merek terkenal merupakan merek yang mempunyai reputasi
tinggi. Merek ini memiliki kekuatan pancaran yang memakau dan menarik,
sehingga jenis barang yang berada dibawah merek itu langsung menimbulkan
sentuhan keakraban (familiar) dan ikatan mitos (mythical context) kepada segala
lapisan konsumen.62 Sedangkan menurut Nobuyuki Matsubasa, menyebutkan
well-known mark mempunyai karakteristik sebagai merek yang dikenal dalam
masyarakat dalam bidang usaha bersangkutan, sedangkan famous mark,
mempunyai tingkatan reputasi yang lebih tinggi dari well-known mark, tingkatan
perlindungannya lebih luas terhadap barang tidak sejenis.63 Merek terkenal pada
hakikatnya merupakan suatu bentuk goodwill yang berhasil diperoleh suatu
merek karena kemampuan pemilik atau pemegang hak atas merek untuk
meyakinkan konsumen akan jaminan kualitas dari produk yang dilekati oleh
mereknya sehingga konsumen kembali kepada produknya. Untuk dapat menjadi
terkenal diperlukan efforts atau usaha dengan banyak pengorbanan dan usaha
keras.64
Bulan Juni 1987 Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Keputusan
Menteri No. M. 02-IIC.01.01 Tahun 1987 65 yang menyangkut merek terkenal
(well-known trademarks). Berdasarkan keputusan ini, merek terkenal adalah
merek yang telah dikenal dan digunakan dalam periode waktu yang cukup lama
untuk jenis-jenis barang tertentu di wilayah Indonesia. Pendaftaran registrasi
62 M.Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19Tahun 1992, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1996, hlm. 82. dari Yulius Rizaldi: Disertasi: Perlindungan Kemasan Merek terkenal Terhadap Persaingan Curang di Indonesia, 2009, hlm. 4. 63 Dikutip dari Yulius Rizaldi: Op. Cit., hlm. 4. 64 Titon Slamet Kurnia, Perlindungan Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjanjian TRIPs, Bandung : Alumni, 2011, hlm. 153. 65 Cassavera, Kasus Sengketa Merek di Indonesia, Jogjakarta: Graha Ilmu, Cetakan
Pertama, hlm 30.
36
merek yang mirip dengan merek terkenal untuk jenis barang yang sama harus
ditolak oleh Direktorat Paten dan Hak Cipta. Akan tetapi, Surat Keputusan
tersebut belum bisa memuaskan banyak pemilik asing merek-merek terkenal.
Merek menghendaki perlindungan merek terkenal tidak terbatas pada jenis barang
yang sama, namun mencakup pula semua jenis produk.
Kemudian Menteri Kehakiman mengeluarkan kembali Surat Keputusan
No. M.03-HC.02.01 tahun 1991 yang isinya mengenai penolakan permohonan
pendaftaran merek terkenal atau merek yang mirip merek orang lain atau badan
lain. Surat Keputusan ini memperluas perlindungan terhadap merek tekenal juga
mencabut Surat Keputusan yang terdahulu.
Surat Keputusan ini akhirnya mencakup terhadap barang yang tidak
sejenis dan memberikan perlindungan merek terkenal yang digunakan di
Indonesia atau di luar negeri. Undang-Undang merek No 1Tahun 1992 telah
memberikan perlindungan khusus bagi merek terkenal (khususnya untuk kelas
produk yang sama) merek terkenal dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman
No 02.01 tahun 1992, Pasal 1 adalah merek dagang secara umum telah dikenal
dan dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan, baik di
wilayah Indonesia maupun di luar negeri. Salah satu ciri utama dari merek
terkenal adalah bahwa reputasi tidak harus terbatas pada produk tertentu atau jenis
produk. Misal: Marlboro adalah merek yang diasosiasikan dengan merek
tembakau, tetapi merek tersebut juga dipakai pada pakaian, maka pada tanggal 27
Oktober 1993 membatalkan Surat keputusan No.M.03-HC.02.01 tahun 1991.
Kemudian Undang-Undang tahun 1992 tentang Merek diamandemen kembali
dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek yang memberikan
perlindungan bagi semua kelas produk. Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1997 tentang Merek memberikan perlindungan khusus terhadap merek
terkenal dan ini dapat dilihat dalam penjelasannya:
1) Memperlihatkan pengetahuan umum masyarakat.
2) Penentuannya juga didasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan dan
diperoleh karena promosi yang dilakukan oleh pemiliknya.
3) Disertai dengan bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa Negara
37
Menurut Mieke Komar, pengertian terkenal dalam arti luas termasuk
dikenal di radio, televisi atau publikasi lain, sekalipun belum digunakan dalam
Negara yang bersangkutan dan ini dapat dilihat dalam putusan-putusan
pengadilan.66
Kriteria Merek terkenal diatur dalam Pasal 18 Permenkumham
Pendaftaran Merek yaitu:
(1) Kriteria penentuan Merek terkenal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (2) huruf b dan huruf c dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan
umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang
bersangkutan.
(2) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan masyarakat
konsumen atau masyarakat pada umumnya yang memiliki hubungan baik
pada tingkat produksi, promosi, distribusi, maupun penjualan terhadap barang
dan/atau jasa yang dilindungi oleh Merek terkenal dimaksud.
(3) Dalam menentukan kriteria Merek sebagai Merek terkenal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. tingkat pengetahuan atau pengakuan masyarakat terhadap Merek tersebut
di bidang usaha yang bersangkutan sebagai Merek terkenal;
b. volume penjualan barang dan/atau jasa dan keuntungan yang diperoleh
dari penggunaan merek tersebut oleh pemiliknya;
c. pangsa pasar yang dikuasai oleh Merek tersebut dalam hubungannya
dengan peredaran barang dan/atau jasa di masyarakat;
d. jangkauan daerah penggunaan Merek;
e. jangka waktu penggunaan Merek;
f. intensitas dan promosi Merek, termasuk nilai investasi yang
dipergunakan untuk promosi tersebut;
g. pendaftaran Merek atau permohonan pendaftaran Merek di negara
lain;
66 Mieke Komar, “Bedah Kasus Sengketa Merek Terkenal dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI” dalam buku, Refleksi Dinamika Hukum, Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir”, Jakarta: Perum Percetakan Negara, 2008, hlm. 454.
38
h. tingkat keberhasilan penegakan hukum di bidang Merek, khususnya
mengenai pengakuan Merek tersebut sebagai Merek terkenal oleh
lembaga yang berwenang; atau
i. nilai yang melekat pada Merek yang diperoleh karena reputasi dan
jaminan kualitas barang dan/atau jasa yang dilindungi oleh Merek
tersebut.
l. Komisi Banding Merek
Berdasarkan Pasal 1 Angka 23 UU Merek, komisi banding merek adalah
badan khusus independen yang berada di lingkungan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Komisi Banding mempunyai tugas menerima, memeriksa, dan memutus
permohonan banding terhadap penolakan permintaan pendaftaran Merek
berdasarkan alasan yang bersifat substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
dan atau Pasal 21 UU Merek. Komisi Banding Merek diharapkan untuk dapat
memberikan kemudahan kepada pemohon dan masyarakat dalam mengajukan
keberatan yang terkait dengan hal teknis merek, dan dapat melaksanakan tugas
dan kewajibannnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
merek.
Dalam Pasal 28 UU Merek diatur bahwa (1) Permohonan banding dapat
diajukan terhadap penolakan Permohonan berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud alam Pasal 20 dan atau Pasal 21. (2) Permohonan banding diajukan
secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Komisi Banding Merek
dengan tembusan yang disampaikan kepada Menteri dengan dikenai biaya. (3)
Permohonan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan
serta alasan terhadap penolakan Permohonan. (4) Alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) bukan merupakan perbaikan atau penyempurnaan atas Permohonan
yang ditolak.
Pasal 29 UU Merek mengatur mengenai jangka waktu permohonan
banding yaitu: (1) Permohonan banding terhadap penolakan Permohonan diajukan
39
dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) Hari terhitung sejak Tanggal
Pengiriman surat pemberitahuan penolakan Permohonan. (2) Dalam hal
permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diajukan,
penolakan Permohonan dianggap diterima oleh Pemohon.
Pasal 30 UU Merek mengatur mengenai jangka waktu keputusan Komisi
Banding Merek diberikan, Pengabulan permohonan banding oleh Komisi Banding
Merek, Banding terhadap putusan penolakan permohonan banding. (1) Keputusan
Komisi Banding Merek diberikan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan
terhitung sejak tanggal penerimaan perrnohonan banding. (2) Dalam hal Komisi
Banding Merek mengabulkan permohonan banding, Menteri menerbitkan dan
memberikan sertifikat Merek kepada Pemohon atau Kuasanya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 UU Merek. (3) Dalam hal Komisi Banding Merek
menolak permohonan banding, Pemohon atau Kuasanya dapat mengajukan
gugatan atas putusan penolakan permohonan banding kepada Pengadilan Niaga
dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya
keputusan penolakan tersebut. (4) Terhadap putusan Pengadilan Niaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kasasi.
Pasal 31 UU Merek mengatur bahwa dalam hal Merek terdaftar melanggar
ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan,
dan ketertiban umum, Komisi Banding Merek memberikan rekomendasi kepada
Menteri untuk melakukan penghapusan. Hal ini tidak diatur sebelumnya dalam
UU merek lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek.
Struktur Komisi Banding Merek diatur dalam Pasal 33 UU Merek yaitu:
(1) Komisi Banding Merek terdiri atas:
a. seorang ketua merangkap anggota;
b. seorang wakil ketua merangkap anggota;
c. ahli di bidang Merek sebagai anggota; dan
d. Pemeriksa senior sebagai anggota.
(2) Anggota Komisi Banding Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berjumlah paling banyak 30 (tiga puluh) orang terdiri atas 15 (lima belas)
40
orang Pemeriksa senior dan 15 (lima belas) orang ahli di bidang Merek yang
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
(3) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh anggota Komisi Banding Merek.
(4) Untuk memeriksa permohonan banding, Komisi Banding Merek membentuk
majelis yang berjumlah ganjil paling sedikit 3 (tiga) orang, satu di antaranya
adalah seorang Pemeriksa senior yang tidak melakukan pemeriksaan
substantif terhadap Permohonan.
Pengaturan lebih lanjut mengenai Komisi Banding Merek diatur dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2019 Tentang Tata
Cara Permohonan, Pemeriksaan, Dan Penyelesaian Banding Pada Komisi
Banding Merek (selanjutnya disebut PP Komisi Banding Merek). Peraturan ini
diundangkan pada tanggal 31 Desember 2019. Pada saat Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2005 tentang Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Komisi Banding Merek (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4481ll dan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2OO5
tentang Tata Cara Permohonan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Banding Merek,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini.67
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2005 tentang Susunan Organisasi,
Tugas, dan Fungsi Komisi Banding Merek;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2OO7 tentang Indikasi-Geografis
terkait ketentuan mengenai Permohonan Banding Indikasi Geografis; dan
c. Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2OO5 tentang Tata Cara Permohonan,
Pemeriksaan, dan Penyelesaian Banding Merek, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku,
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.68
67 Pasal 37 PP Komisi Banding Merek. 68 Pasal 38 PP Komisi Banding Merek.
41
Fungsi Komisi Banding Merek diatur lebih jelas dalam PP Komisi Banding
Merek dibandingkan dalam UU Merek. Adapun fungsi Komisi Banding Merek
dalam dijabarkan dalam Pasal 9 PP Komisi Banding Merek, yaitu:
a. menerima, memeriksa, dan menyelesaikan Permohonan Banding terhadap
penolakan permohonan pendaftaran Merek berdasarkan alasan yang bersifat
substantif;
b. menerima, memeriksa, dan menyelesaikan Permohonan Banding terhadap
keberatan atas penolakan permohonan perpanjangan Merek;
c. memberikan rekomendasi terhadap penghapusan Merek terdaftar atas
prakarsa Menteri; dan
d. menerima, memeriksa, dan menyelesaikan Permohonan Banding terhadap
penolakan permohonan pendaftaran Indikasi Geografis.
Pasal 14 PP Komisi Banding Merek mengatur mengenai pengajuan Permohonan
Banding, yaitu:
(1) Dalam pengajuan Permohonan Banding, Pemohon Banding harus mengisi
(2) formulir Permohonan Banding. Formulir Permohonan Banding sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan Banding;
b. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon;
c. nama dan alamat lengkap Kuasa, jika Permohonan Banding diajukan
melalui Kuasa;
d. Merek atau Indikasi Geografis yang dimohonkan Banding;
e. nomor dan tanggal keputusan penolakan permohonan pendaftaran Merek,
permohonan pendaftaran Indikasi Geografis, atau permohonan
perpanjangan Merek;
f. alamat surat elektronik Pemohon;
g. alamat surat elektronik Kuasa, jika Permohonan Banding diajukan melalui
Kuasa; dan
h. alasan perrgajuan Permohonan Banding yang memuat uraian secara
lengkap mengenai keberatan terhadap keputusan penolakan permohonan
42
pendaftaran Merek, permohonan pendaftaran Indikasi Geografis, atau
permohonan perpanjangan Merek.
(3) Terhadap Permohonan Banding atas penolakan permohonan pendaftaran
Merek atau permohonan pendaftaran Indikasi Geografis, alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf h tidak merupakan perbaikan, penyempurnaan,
atau pemenuhan kekurangan persyaratan permohonan pendaftaran Merek atau
permohonan pendaftaran Indikasi Geografis yang ditolak.
(4) Selain mengisi formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemohon
Banding harus melampirkan:
a. salinan surat pemberitahuan penolakan:
1. permohonan pendaftaran Merek;
2. permohonan pendaftaran Indikasi Geografis; atau
3. permohonan perpanjangan Merek;
b. bukti pembayaran Permohonan Banding; dan
c. surat kuasa, jika Permohonan Banding diajukan oleh Kuasa.
Dalam permohonan Banding wajib dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan
tersebut meliputi:69
a. pemeriksaan administratif; dan
b. pemeriksaan substantif
Pemeriksaan administratif dilakukan terhadap dokumen persyaratan.
Pemeriksaan administratif tersebut dilakukan oleh sekretaris Komisi Banding dan
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak
Permohonan Banding diterima dari Pemohon Banding.70
Pasal 17 PP Komisi Banding Merek mengatur mengenai kekurangan
kelengkapan dokumen persyaratan dalam pengajuan banding, selengkapnya
sebagai berikut:
1) Dalam hal terdapat kekuranglengkapan dokumen persyaratan administratif,
sekretaris Komisi Banding memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon
Banding untuk melengkapi dokumen persyaratan.
69 Pasal 15 PP Komisi Banding Merek 70 Pasal 16 PP Komisi Banding Merek
43
2) Kelengkapan dokumen persyaratan administratif tersebut harus dipenuhi
paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat
pemberitahuan.
3) Apabila batas waktu 2 (dua) bulan tersebut terlampaui dan dokumen
persyaratan tidak terpenuhi, Permohonan Banding tidak dapat diterima.
4) Dalam hal Permohonan Banding tidak dapat diterima, sekretaris Komisi
Banding memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon Banding bahwa
Permohonan Banding tidak dapat diterima.
5) Permohonan Banding yang tidak dapat diterima tersebut tidak dapat diajukan
kembali.
6) Dalam hal Permohonan Banding tidak dapat diterima, biaya yang telah
dibayarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) tidak dapat ditarik
kembali.
Pasal 18 PP Komisi Banding Merek mengatur mengenai penerimaan
permohonan banding, yaitu:
(1) Dalam hal Permohonan Banding telah memenuhi kelengkapan dokumen
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), Permohonan
Banding dicatat dalam buku khusus Permohonan Banding dan diberikan
tanggal penerimaan.
(2) Permohonan Banding yang telah dicatat dan diberikan tanggal penerimaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada
Pemohon Banding.
(3) Berkas Permohonan Banding yang telah dicatat dan diberikan tanggal
penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh sekretaris
Komisi Banding kepada ketua Komisi Banding.
Pasal 19 PP Komisi Banding Merek mengatur mengenai penarikan
kembali permohonan banding, yaitu:
(1) Pemohon Banding dapat menarik kembali Permohonan Banding.
(2) Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap
Permohonan Banding yang belum mendapat keputusan Komisi Banding.
44
(3) Dalam hal penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Kuasanya harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus.
(4) Permohonan Banding yang telah ditarik kembali sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak dapat diajukan kembali.
(5) Dalam hal Permohonan Banding telah ditarik kembali, biaya yang telah
dibayarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) tidak dapat ditarik
kembali.
Pasal 20 PP Komisi Banding Merek mengatur mengenai mekanisme
pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh Komisi Banding Merek, sebagai
berikut:
(1) Ketua Komisi Banding mengatur persidangan pemeriksaan banding sesuai
dengan nomor urut Permohonan Banding yang telah dicatat dalam buku
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
(2) Persidangan pemeriksaan banding dilakukan terhadap berkas Permohonan
Banding yang disampaikan oleh sekretaris Komisi Banding sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3).
(3) Persidangan pemeriksaan substantif Permohonan Banding dilakukan secara
terbuka untuk umum.
Pasal 21 PP Komisi Banding merek mengatur mengenai pembentukan
Majelis dalam melakukan pemeriksaan Permohonan Banding, yaitu:
(1) Dalam melakukan pemeriksaan Permohonan Banding, ketua Komisi Banding
membentuk Majelis yang berjumlah ganjil paling sedikit 3 (tiga) orang, 1
(satu) di antaranya adalah seorang Pemeriksa Senior yang tidak melakukan
pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
(2) Keanggotaan Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan
mempertimbangkan keterwakilan masingmasing unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(3) Dalam melakukan pemeriksaan Permohonan Banding sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ketua dan anggota Majelis ditunjuk oleh ketua Komisi
Banding.
45
Pasal 22 PP Komisi Banding Merek mengatur mengenai mekanisme
pemeriksaan banding, yaitu:
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan banding, Majelis dapat memanggil dan
mendengar keterangan dari:
a. Pemohon Banding; dan/atau
b. tenaga ahli yang dianggap perlu
(2) Dalam hal Permohonan Banding diajukan terhadap penolakan permohonan
pendaftaran Merek, selain dapat memanggil pihak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Majelis dapat memanggil dan mendengar keterangan
Pemeriksa yang melakukan pemeriksaan substantif terhadap permohonan
pendaftaran Merek.
(3) Dalam hal Permohonan Banding diajukan terhadap penolakan permohonan
pendaftaran Indikasi Geografis, selain memanggil pihak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Majelis dapat memanggil dan mendengar keterangan
tim ahli Indikasi Geografis yang melakukan pemeriksaan substantif terhadap
permohonan pendaftaran Indikasi Geografis.
(4) Dalam hal dianggap perlu, Majelis dapat melakukan penelitian lapangan.
(5) Pemohon Banding dapat mengajukan permintaan untuk menyampaikan
pendapatnya di hadapan Majelis melalui ketua Komisi Banding.
Pasal 23 PP Komisi Banding Merek mengatur bahwa Keputusan Komisi
Banding diberikan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
penerimaan Permohonan Banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 24 PP Komisi Banding Merek mengatur mengenai keputusan
Komisi Banding Merek, yaitu:
(1) Keputusan Komisi Banding dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh
ketua dan anggota Majelis yang memeriksa dan memutus Permohonan
Banding.
(2) Dalam hal salah satu dari anggota Majelis tidak dapat menandatangani
keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua Komisi Banding
memberi catatan yang menjelaskan alasan anggota Majelis tersebut tidak
dapat menandatangani keputusan tersebut.
46
(3) Keputusan Komisi Banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. hari, tanggal, bulan, dan tahun keputusan;
b. nama dan tanda tangan ketua dan anggota Majelis yang memeriksa dan
memutus Permohonan Banding;
c. nama dan alamat lengkap Pemohon Banding;
d. Merek atau Indikasi Geografis yang dimintakan banding;
e. pokok alasan dalam pengajuan Permohonan Banding;
f. dasar hukum yang menjadi dasar keputusan; dan
g. amar keputusan.
(4) Amar keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf g dapat:
a. mengabulkan seluruh Permohonan Banding;
b. mengabulkan sebagian Permohonan Banding; atau
c. menolak Permohonan Banding.
(5) Keputusan Komisi Banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
pertimbangan masing-masing anggota Majelis.
Pasal 26 PP Komisi Banding Merek mengatur mengenai pengabulan
Permohonan Banding oleh Komisi Banding Merek, yaitu:
Dalam hal Komisi Banding mengabulkan Permohonan Banding terhadap
penolakan permohonan pendaftaran Merek, Menteri menerbitkan dan memberikan
sertifikat Merek kepada Pemohon atau Kuasanya sesuai dengan ketentuan
UndangUndang.
Pasal 27 PP Komisi Banding Merek mengatur mengenai pengabulan
permohonan Banding terhadap keberatan atas penolakan permohonan
perpanjangan merek, yaitu:
Dalam hal Komisi Banding mengabulkan Permohonan Banding terhadap
keberatan atas penolakan permohonan perpanjangan Merek, Menteri menerbitkan
dan memberikan surat pencatatan perpanjangan Merek kepada Pemohon atau
Kuasanya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
Pasal 28 PP Komisi Banding Merek mengatur mengenai pengabulan
47
permohonan Banding terhadap penolakan permohonan pendaftaran Indikasi
Geografis, yaitu:
Dalam hal Komisi Banding mengabulkan Permohonan Banding terhadap
penolakan permohonan pendaftaran Indikasi Geografis, Menteri menerbitkan dan
memberikan sertifikat Indikasi Geografis kepada Pemohon atau Kuasanya sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang.
Pasal 29 PP Komisi Banding Merek mengatur mengenai penolakan
permohonan Banding oleh Komisi Banding Merek, yaitu:
(1) Dalam hal Komisi Banding menolak Permohonan Banding, Pemohon atau
Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas keputusan penolakan Permohonan
Banding kepada Pengadilan Niaga paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak
tanggal diterimanya keputusan penolakan Permohonan Banding.
(2) Dalam hal keputusan Komisi Banding digugat ke Pengadilan Niaga, anggota
Komisi Banding yang memeriksa Permohonan Banding mewakili Komisi
Banding untuk menghadiri sidang.
Pasal 30 PP Komisi Banding Merek mengatur mengenai putusan
Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutuskan gugatan terhadap Komisi
Banding Merek, yaitu:
(1) Pengadilan Niaga memeriksa dan memutuskan gugatan sebagaimana
dimaksud dalarn Pasal 29 ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat diajukan kasasi.
48
48
BAB II
TEORI DAN ASAS -ASAS HUKUM TERKAIT PELANGGARAN MEREK
A. Filosofi Perlindungan Kekayaan Intelektual
Tujuan instruksional: mahasiswa dapat Filosofi Perlindungan Kekayaan
Intelektual.
Indikator Capaian Tujuan Pembelajaran : Filosofi Perlindungan Kekayaan
Intelektual dapat dipahami oleh mahasiswa dengan baik.
John Locke sebagai filsuf hukum alam menyatakan bahwa Tuhan
memerintahkan orang untuk bekerja agar mereka mendapat kesenangan hidup dan
hak milik merupakan imbalan yang adil untuk orang yang rajin bekerja dan
imbalan ini diberikan Tuhan kepada mereka (reward). Pendapat dari John Locke
ini dapat disimpulkan bahwa:71
1. Tuhan telah memberikan dunia untuk manusia pada umumnya melalui
bekerja;
2. Setiap orang memiliki kepemilikan pada setiap benda;
3. Seseorang tidak dapat mengambil di luar haknya.
Pengertian John Locke dihubungkan dengan HKI sebagai private
property adalah sesuai, sebagai pemilik suatu benda maka ia diharuskan untuk
mempertahankan haknya juga mempunyai sekumpulan hak yaitu hak untuk
melakukan sesuatu, hak untuk mempergunakan, hak untuk mengontrol juga
mempunyai hak untuk menyerahkan pada pihak lain dengan pemberian perjanjian
dengan harapan bahwa pemilik benda tersebut akan memperoleh keuntungan
berupa royalti.
Hak-hak yang dimiliki oleh pemilik tersebut sesuai dengan hak–hak dasar
yang diatur dalam Deklarasi HAM, yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak
71 Peter Dharos, A Philosophy Intellectual Property, Sydney:Dartmouth Publishing Company
Limited, 1996, hlm. 43.
49
untuk mendapatkan perlindungan terhadap hak miliknya dan mendapatkan
penghargaan atas apa yang dia lakukan . Hal ini dapat diaplikasikan dalam HKI
yang merupakan sesuatu, berkaitan dengan hasil kreativitas manusia serta
kemampuannya dapat menciptakan ciptaan atau penemuan sehingga memperoleh
perlindungan hukum dan dapat mempertahankan haknya dari penggunaan pihak
ketiga tanpa izin dari pemilik, biasanya pihak ketiga melakukan sesuatu dengan
maksud memperoleh keuntungan melalui jalan pintas.
B. Teori Hukum Yang Terkait Dengan Perlindungan Pemilik Merek
Tujuan instruksional: mahasiswa dapat memahami teori hukum yang terkait
dengan perlindungan pemilik merek.
Indikator Capaian Tujuan Pembelajaran : teori hukum yang terkait dengan
perlindungan pemilik merek dapat dipahami oleh mahasiswa dengan baik.
1. Prinsip-Prinsip Dasar Perlindungan Kekayaan Intelektual
Perlindungan terhadap kekayaan intelektual pada dasarnya memberikan
pengakuan terhadap kekayaan intelektual tersebut dan hak untuk jangka waktu
tertentu menikmati atau mengeksploitasi sendiri kekayaan tadi. Selama kurun
waktu tertentu orang lain tidak dapat menikmati ataupun menggunakan, atau
mengeksploitasi hak tersebut tanpa ijinnya.
Perlindungan terhadap kekayaan intelektual terkandung hak individu dan
hak masyarakat. Hak individu tercermin sebagai hak milik eksklusif sang
pemegang kekayaan intelektual dan hak masyarakat untuk memperoleh dan
mengakses kekayaan intelektual itu. Disinilah diperlukan suatu prinsip yang
bertujuan menyeimbangkan antara kepentingan sang individu pemilik hak dan
kepentingan masyarakat. Sebagaimana untuk menyeimbangkan kepentingan
individu pemilik kekayaan intelektual dengan kepentingan masyarakat maka
50
sistem perlindungan kekayaan intelektual berdasarkan prinsip-prinsip, sebagai
berikut :72
a. Prinsip Keadilan
Pencipta sebuah karya, atau orang lain yang membuahkan hasil dari
kemampuan intelektualnya, wajar memperoleh imbalan. Imbalan tersebut berupa
materi maupun bukan materi seperti adanya rasa aman karena dilindungi, dan
diakui hasil karyanya. Hukum memberikan perlindungan tersebut demi
kepentingan pencipta berupa sesuatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka
kepentingan tersebut yang kita sebut sebagai hak.
Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa
tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak pada pemiliknya, maka peristiwa
yang menjadi melekatnya hak tersebut adalah penciptaan yang didasarkan atas
kemampuan intelektualnya. Perlindungan inipun tidak terbatas di dalam negeri si
penemu itu sendiri, melainkan juga meliputi perlindungan di luar batas negaranya.
Hal ini karena hak yang ada pada seseorang tersebut mewajibkan pada pihak lain
untuk melakukan sesuatu (commission), atau tidak melakukan sesuatu (omission)
sesuatu perbuatan.
b. Prinsip Ekonomi
Hak kekayaan intelektual merupakan hak yang berasal dari kegiatan
kreatif, suatu kemampuan daya piker manusia yang diekspresikan kepada
khalayak umum dengan berbagai bentuknya, yang memilik manfaat dan berguna
dalam menunjang kehidupan manusia, maksudnya ialah bahwa pemilikan itu
wajar karena sifat ekonomi manusia yang menjadikan hal itu satu keharusan untuk
menunjang kehidupan di dalam masyarakat. Dengan demikian hak milik
intelektual merupakan satu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dari pemilikan
tersebut seseorang mendapatkan keuntungan, misalnya dalam pembayaran
royalty, dan technical fee.
72 Sunaryati Hartono, Hukum ekonomi pembangunan Indonesia, Bandung: Bina Cipta,
1982, hlm. 24
51
c. Prinsip Kebudayaan
Bahwa karya manusia itu pada hakekatnya bertujuan untuk
memungkinkannya hidup, dari karya itu akan timbul gerak hidup yang
menghasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan demikian maka pertumbuhan dan
perkembangan ilmu pengetahuan, seni sastra sangat besar artinya bagi
peningkatan taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia. Selain itu juga
akan memberi kemaslahatan bagi masyarakat bangsa dan Negara. Pengakuan atas
karya, karsa, cipta manusia adalah suatu usaha yang tidak dapat dilepaskan
sebagai perwujudan suasana yang mampu membangkitkan semangat dan minat
untuk mendorong ciptaan atau penemuan baru.
d. Prinsip Sosial (The Social Argument)
Hak apapun yang diakui oleh hukum, yang diberikan kepada
perseorangan, persekutuan atau kesatuan tidak boleh semata-mata untuk
kepentingan mereka saja tetapi untuk kepentingan seluruh masyarakat. Jadi
manusia dalam hubungan dengan manusia lain yang sama-sama terikat satu ikatan
kemasyarakatan. Dengan demikian hak apapun yang diberikan oleh hukum, yang
diberikan kepada perseorangan atau persekutuan atau kesatuan lainnya juga untuk
kepentingan seluruh masyarakat terpenuhi.
2. Teori-teori Justifikasi Perlindungan Kekayaan Intelektual
Terdapat teori-teori yang mencoba memberikan penjelasan mengapa perlu
diberikan perlindungan terhadap kekayaan intelektual yaitu:73
a. Reward Theory memiliki makna mendalam berupa pengakuan terhadap
karya intelektual yang telah dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada
penemu / pencipta atau pendesain harus diberikan penghargaan sebagai
imbangan atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan / menciptakan
karya-karya intelektual tersebut
73 Robert M. Sherwood sebagaimana dikutip oleh Ranti Fauza Mayana, Perlindungan
Desain Industri Di Indonesia, Dalam Era Perdagangan Bebas, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004, hlm. 44-46.
52
b. Recovery Theory menyatakan bahwa penemu / pencipta / pendesain yang
telah mengeluarkan waktu, biaya, serta tenaga dalam menghasilkan karya
intelektualnya harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya
tersebut.
c. Incentive Theory mengakaitkan pengembangan kreativitas dengan
memberikan insentif pada penemu / pencipta / pendesain tersebut
d. Risk Theory mengakui bahwa HKI merupakan suatu hasil karya yang
mengandung resiko yang dapat memungkinkan orang lain yang terlebih
dahulu menemukan cara tersebut atau memperbaikinya sehingga dengan
demikian adalah wajar untuk memberikan suatu perlindungan hukum
terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung risiko tersebut.
e. Economic Growth Stimulus Theory yang mengakui bahwa perlindungan atas
HKI merupakan suatu alat dari pembangunan ekonomi.
3. Asas Iktikad Baik
Prinsip perlindungan merek di Indonesia adalah memberikan perlindungan
atas merek terdaftar dengan iktikad baik (good faith). Prinsip iktikad baik tidak
saja muncul pada saat permohonan pendaftaran merek sebagai sebagai salah satu
alasan absolut (absolut grounds), namun iktikad baik juga muncul sebagai dasar
gugatan pembatalan merek menyangkut keabsahan merek terdaftar. Akan
diuraikan terlebih dahulu iktikad baik secara umum kemudian dilanjutkan uraian
mengenai iktikad baik dalam hukum merek.
a. Iktikad Baik Secara Umum
Dalam hukum perdata, tidak ada definisi yang jelas mengenai iktikad baik.
Iktikad baik secara umum dikenal dalam Pasal 1338 ayat (3) Burgerlijk Wetboek
(selanjutnya disebut BW), yaitu “Para pihak wajib saling berbuat layak dan patut.
Menurut Nieuwenhuis bahwa iktikad baik dapat dibedakan menjadi 2, yaitu
iktikad baik subjektif (Pasal 1977 BW) dan iktikad baik yang objektif (Pasal 1338
BW). Namun, dalam penerapan Pasal 1977 BW dikenal dengan adanya syarat
dimaafkan, apabila cacat tersebut tidak diketahuinya.
53
Black’ Law Dictionary menyebutkan bahwa definisi good faith74 adalah:
“a state of mind consisting in (1) honesty in belief or purpose, (2) faithfulness to
one’s duty or obligation (3) observance of reasonable commercial standards of
fair dealing In a given trade or business, or (4) absence of intent to defraud or to
seek unconscionable advantage”. (suatu kondisi pemikiran yang mengandung
hal-hal seperti (1) kejujuran pada kewajiban atau tugas, (2) kesetiaan dalam
melakukan tugas atau kewajiban, (3) memperhatikan standar komersial yang adil
dalam perdagangan atau bisnis, atau (4) tidak berniat menipu atau mencari
keuntungan pribadi)”
b. Iktikad Baik dalam Hukum Merek
Merek dilindungi dengan tujuan untuk mengindentifikasi dan
membedakan produk barang dan/atau jasa satu produsen dari produsen lain.
Merek yang digunakan harus dengan iktikad baik dan bukan sekedar mengadopsi
merek tanpa penggunaan yang dapat dipercaya dan hanya sekedar upaya untuk
menahan pasar.75
Dalam Undang-Undang merek yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 Tentang merek, iktikad baik dikenal sebagai syarat substantif dalam hukum.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang merek menyatakan
bahwa: “merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh
pemohon yang beriktikad tidak baik.”
Unsur pemohon beriktikad baik menurut Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 Tentang merek adalah pemohon yang mendaftarkan
mereknya:
“1) Secara layak dan jujur
2) Tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran
merek pihak lain
3) Demi kepentingan usahanya
4) Yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi
74 Henry Campbell Black, hlm.762 dikutip dari Rahmi Jened, Alasan Absolut dan Alasan Relatif Pendaftaran merek, Media HKI, Vol. XII/No,4/Juli 2015 hlm. 12
75 Rahmi Jened, Hukum merek, Op Cit, hlm. 95
54
persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen”
Menurut penjelasan Pasal 21 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 Tentang merek dan Indikasi Geografis, pemohon yang beriktikad tidak baik
adalah:
“Pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan mereknya memiliki niat untuk
meniru, menjiplak, atau mengikuti merek pihak lain demi kepentingan usahanya
menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan
konsumen.
Contohnya Permohonan merek berupa bentuk tulisan, lukisan, logo, atau susunan
warna yang sama dengan merek milik pihak lain atau merek yang sudah dikenal
masyarakat secara umum sejak bertahun-tahun, ditiru sedemikian rupa sehingga
memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang
sudah dikenal tersebut. Dari contoh tersebut sudah terjadi iktikad tidak baik dari
Pemohon karena setidak-tidaknya patut diketahui adanya unsur kesengajaan
dalam meniru merek yang sudah dikenal tersebut.”
Dalam praktik kasus pendaftaran dengan iktikad tidak baik muncul pada
pendaftaran merek yang memiliki “persamaan pada pokoknya”, sebagai contoh
adalah kasus merek Envitex yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan
merek Avitex. Dalam kasus ini pendaftar merek Envitex telah beriktikad buruk
karena dari 24 (dua puluh empat) huruf latin yang bisa dikombinasikan menjadi
paling tidak 576 kombinasi huruf hidup (vocal) dan huruf mati (konsonan), namun
pendaftar dengan iktikad buruk mendaftarkan merek yang hanya berbeda dalam 1
(satu) silabus, yakni “en” dan “a”. 76
76 Ibid, hlm. 98
55
55
BAB III
MACAM-MACAM PELANGGARAN MEREK
A. Persamaan Pada Pokoknya Dan Persamaan Pada Keseluruhan
Tujuan instruksional: mahasiswa dapat memahami Persamaan pada pokoknya dan
persamaan pada keseluruhan.
Indikator Capaian Tujuan Pembelajaran: Mahasiswa dapat mengidentifikasi
unsur-unsur dalam persamaan pada pokoknya dan persamaan pada keseluruhan.
1. Persamaan Pada Pokoknya
Menurut teori hukum merek persamaan pada pokoknya adalah merek yang
memiliki persamaan pada pokoknya dengan risiko membingungkan (a likelihood
of confusion). Jadi ada satu persamaan yang membingungkan (a likelihood of
confusion).77 Terminologi “persamaan pada pokoknya” dapat dilihat pada
penjelasan Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang
Merek dan Indikasi Geografis sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan "persamaan pada pokoknya" adalah kemiripan
yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara merek yang satu
dengan merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan,
baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi
antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan, yang terdapat dalam
merek tersebut.”
Terminologi “persamaan pada pokoknya” adalah kemiripan yang
disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan
merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik
77 Rahmi Jened, Hukum merek, Op Cit, hlm. 181
56
mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-
unsur ataupun persamaan bunyi ucapan atau persamaan arti yang terdapat dalam
merek tersebut. Suatu merek dianggap mempunyai “persamaan pada pokoknya”
dengan merek lain ditentukan dengan patokan yang lebih luwes dibanding doktrin
entires. Dalam arti “persamaan pada pokoknya” (similar), dianggap terwujud
apabila merek hampir mirip (nearly resembles) dengan merek orang lain yang
didasarkan pada:
1) Persamaan Bunyi
2) Persamaan Arti
3) Persamaan Tampilan
Pengertian persamaan pada pokoknya yang diuraikan dalam penjelasan
Pasal 21 Ayat (1) tersebut di atas sesuai dengan doktrin “nearly resembles”, faktor
yang paling pokok dalam doktrin ini adalah bahwa pemakaian merek yang
mempunyai persamaan pada pokoknya ini dapat menimbulkan kebingungan yang
nyata (actual confusion) atau menyesatkan (deceive) masyarakat konsumen.
Seolah-olah merek tersebut berasal dari sumber atau produsen yang sama,
sehingga didalamnya terlihat unsur iktikad tidak baik untuk membonceng
ketenaran milik orang lain.78
Sudargo Gautama memberikan sebuah pegangan untuk menentukan
persamaan pada pokoknya di antara merek-merek yaitu: 79
“Apabila sesuatu merek bersangkutan akan menimbulkan kekeliruan pada
khalayak ramai, jika dipakai bagi barang-barang yang sejenis, maka
dianggap ada persamaan pada pokoknya. Apakah yang menentukan ada
atau tidaknya persamaan pada pokoknya ini? Yang menentukan hal
tersebut adalah kesan dari merek-merek bersangkutan kepada khalayak
ramai .”
Hakim akan menentukan apakah ada persamaan pokok atau tidak. Hakim
dalam menunaikan tugasnya ini umumnya meperhatikan kesan sifat umum dari
pada merek bersangkutan kepadanya dan juga kesan yang diberikan oleh merek
78 Marni Emmy Mustafa, Aneka Penegakan Hukum Hak Cipta, Paten, merek dan Indikasi Geografis, Bandung: P.T. Alumni, 2017, hlm. 46
79 Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Op Cit, hlm. 92
57
yang bersangkutan kepada publik atau khalayak ramai secara sepintas. Tetapi
dalam melakukan hal ini, hakim harus memperhatikan bahwa para pembeli dari
barang-barang bersangkutan tidak mempunyai kesempatan yang sama seperti sang
Hakim untuk menjejerkan kedua merek bersangkutan ini dihadapannya.
Sudargo Gautama berpendapat bahwa dalam menentukan apakah terdapat
persamaan pada pokok atau tidak, maka merek-merek yang bersangkutan harus
dipandang pada keseluruhannya. Dengan kata lain tidak dapat dilakukan
pemecahan terhadap bagian-bagian merek merek yang bersangkutan, kemudian
berdasarkan adanya perbedaan dalam bagian-bagian ini, ditarik kesimpulan bahwa
terdapat cukup pembedaan untuk keseluruhannya. Juga berdasarkan persamaan
dari sebagian, tidak dapat lantas dianggap secara keseluruhan sudah ada
persamaan ini.
Disamping teori tersebut di atas dalam menentukan ada tidaknya
persamaan antara merek yang satu dengan merek yang lain dikenal 2 (dua) teori:80
1) Teori holistic approach
Menurut teori ini untuk menentukan ada tidaknya persamaan
merek harus dilihat secara keseluruhan baik dari bunyinya, artinya,
ejaannya, atau pun appearance (tampilannya)
2) Teori dominancy
Untuk menentukan adanya persamaan antara merek yang satu
dengan merek yang lain, cukup diambil unsur yang dianggap paling
dominan dari merek tersebut.
2. Persamaan Pada Keseluruhan
Menurut teori hukum merek pelanggaran merek tipe ini adalah merek
identik atau memiliki persamaan secara keseluruhan dari produk identik (sejenis)
(double identity).81 Yahya Harahap menyatakan bahwa: “persamaan pada
keseluruhan adalah persamaan seluruh elemen. Persamaan yang demikian sesuai
80 Amalia Rooseno, Aspek Hukum Tentang merek, dalam ibid hlm. 46 81 Rahmi Jened, Hukum merek, Op Cit, hlm. 175
58
dengan dengan doktrin entires similar atau sama keseluruhan elemen.”82 merek
dapat disebut copy atau reproduksi merek orang lain, jika mengandung persamaan
secara keseluruhan paling tidak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:83
1) Terdapat persamaan elemen secara keseluruhan termasuk elemen
hurufnya
2) Persamaan jenis atau produksi kelas barang dan jasa
3) Persamaan wilayah dan segmen pasar
4) Persamaan pelaku pemakaian
5) Persamaan cara pemeliharaan
Terminologi persamaan keseluruhan (identical) menurut Ruth Annand dan
Helen Norman:84 “even the smallest difference in the mark will lead to their being
considered not identical.” Jadi, meski hanya ada sedikit perbedaan dalam merek
yang membuat merek tersebut bukan identik atau tidak memliki persamaan secara
keseluruhan. Bahkan Alexandre von Muhlendahl menyatakan:85 “Identity must be
understood in a literal sense. Word marks are identical only if they are written in
the same way… Word mark are never identical to figurative marks, even if there
is complete identity of word elements.” Identitas harus dipahami dalam arti secara
harfiah. Merek berupa kata adalah sama secara keseluruhan (identic) hanya jika
kata-kata tersebut ditulis dalam cara yang sama.
B. Passing off
Tujuan instruksional: mahasiswa dapat memahami Passing Off.
Indikator Capaian Tujuan Pembelajaran: Mahasiswa dapat mengidentifikasi
unsur-unsur dalam Passing Off.
82 M. Yahya Harahap, Tinjauan merek Secara Umum Dan Hukum merek Di Indonesia Berdasarkan UU No. 19/1992, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, Hlm. 41-47
83 Ibid 84 Robert Braunie, “US Trademark Law” pada Rahmi Jened, Op Cit, hlm. 176 85 Verena Boomhard, European Trademark Law pada Rahmi Jened, Hukum merek, Op
Cit hlm. 176
59
Poin Utama dari Passing Off adalah terdapat suatu nama baik atau reputasi
(goodwill) yang dimiliki oleh suatu pelaku usaha kemudian ada pelaku usaha lain
yang mencoba untuk mengambil keuntungan nama baik atau reputasi tersebut.
Terdapat dua alasan utama mengapa seorang pelaku usaha melakukan
pendomplengan terhadap goodwill pelaku usaha lain yang terkenal. Alasan
pertama adalah karena dengan melakukan pendomplengan tersebut, pangsa pasar
dari pelaku usaha yang sudah terkenal dapat direbut karena para pembeli
kebingungan dalam bertransaksi karena mereka tidak tahu dengan siapa
sebenarnya mereka bertransaksi. Alasan kedua adalah penjualan dapat
ditingkatkan dengan mendompleng kualitas yang dijanjikan oleh pelaku usaha
yang sudah terkenal. Dalam kedua kasus di atas, pelaku usaha yang menjadi
korban menderita kerugian karena jumlah penjualannya menjadi berkurang, tetapi
pada kasus yang kedua pelaku usaha dapat menderita kerugian yang lebih besar
yaitu para konsumen akan mengasosiasikan produknya dengan produk kualitas
rendah sehingga menyebabkan ia kehilangan nama baik dan reputasinya di mata
masyarakat86.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Passing Off berkaitan
dengan goodwill. Goodwill adalah sesuatu yang sangat mudah dideskripsikan
namun sangat sulit untuk didefinisikan. Goodwill adalah keuntungan dan
keunggulan dari sebuah nama baik, reputasi, dan koneksi dengan bisnis. Goodwill
adalah suatu kekuatan atraktif. Goodwill adalah suatu hal yang membedakan
bisnis yang sudah lama dibangun dengan bisnis yang baru saja dibangun87.
Unsur-unsur dari Passing Off yang harus ada antara lain88:
1. Goodwill dari pemegang merek
2. Misrepresentasi (salah pengertian) yang disebabkan oleh pendompleng
86 David I Bainbridge, Intellectual Property Fourth Edition, Financial Times Management,
Great Britain, 1999, hlm. 599. 87 Ibid., hlm. 598. 88 Ibid., hlm. 602.
60
3. Adanya kerugian
Seseorang yang dituduh melakukan Passing Off dapat membela diri,
pembelaan tersebut terdiri dari89:
1. “Kegiatan tergugat (Seseorang atau badan usaha yang dituduh
melakukan Passing Off ) tidak mencederai dan tidak mungkin untuk
mencederai goodwill dari penggugat (Seseorang atau badan usaha yang
mengajukan tuduhan Passing Off) yang berhubungan dengan nama, merek.
Ini mungkin saja terjadi dikarenakan tidak terdapat kesamaan dalam
bidang kegiatan perdagangan atau dikarenakan tidak ada bahaya dari
kebingungan/ kekeliruan terhadap sumber atau kualitas suatu barang atau
jasa;
2.Pendomplengan tidak berada dalam suatu jalur perdagangan, tergugat
tidak menggunakan nama tersebut dalam kegiatan perdagangan;
3.Penggugat tidak mempunyai suatu reputasi atau goodwill yang
mendorong tergugat untuk melakukan pendomplengan, dikarenakan
penggugat tidak menggunakan nama atau merek dalam kegiatan
perdagangan;
4.Penggugat belum membangun keberadaan dari suatu goodwill yang
berhubungan dengan nama atau merek yang dipermasalahkan;
5.Tergugat secara jujur menggunakan namanya sendiri atau nama
perusahaannya. Walaupun begitu, penggunaan secara nyata harus
dilakukan secara hati-hati agar tidak menjadi seperti Passing Off;
6.Penggugat telah mengetahui namun membiarkan saja penggunaan nama
atau mereknya oleh tergugat, atau telah memberikan izin secara eksplisit
atau implisit kepada tergugat untuk menggunakan nama atau merek,
contohnya dalam suatu kontrak penjualan bisnis yang menyertakan
goodwill;
89 Ibid., hlm. 633.
61
7.Penggugat tidak dapat lagi memaksakan haknya di bawah Passing Off
karena ia telah mendorong tindakan Tergugat.”
Didalam pasal 10 bis Paris Convention dapat ditemukan ketentuan
dimana negara-negara peserta Union terikat untuk memberikan suatu
perlindungan yang efektif terhadap apa yang dinamakan “unfair competition”
(persaingan tidak sewajarnya). Dalam ayat ke-2 dari pasal 10 bis ini ditentukan
bahwa tiap perbuatan yang bertentangan dengan “ honest practices industrial and
commercial matters” dianggap sebagai perbuatan persaingan tidak sewajarnya.
Didalam ayat 3 selanjutnya ditentukan bahwa khususnya akan dilarang: “Semua
perbuatan yang dapat menciptakan kekacauan (kekeliruan) dengan cara apapun
berkenaan dengan asal-usul dari pada barang bersangkutan atau berkenaan dengan
usaha-usaha industrial dan komersial dari seorang usahawan yang bersaingan”.
Juga harus dilarang setiap bentuk yang palsu berkenaan dengan sifat dari pada
barang bersangkutan yang dimaksudkan untuk mendiskreditir barang-barang dan
usaha dari seorang usahawan yang bersaing. Juga ditentang semua perbuatan-
perbuatan dan indikasi-indikasi yang dapat mengacaukan publik berkenaan
dengan sifat dan asal-usul dari pada barang bersangkutan90.
C. Dilusi Merek
Tujuan instruksional: mahasiswa dapat memahami dilusi merek.
Indikator Capaian Tujuan Pembelajaran: Mahasiswa dapat mengidentifikasi
unsur-unsur dalam Dilusi Merek.
Seiring berkembangnya perdagangan barang dan/atau jasa, maka
pelanggaran terhadap merek pun mengalami perkembangan. Perkembangan
tersebut berupa pelanggaran yang merupakan suatu persaingan usaha curang,
dimana suatu pihak menikmati jerih payah orang lain sehingga mendapatkan
keuntungan secara instan. Pelanggaran tersebut bukan hanya berdasarkan pada
90 Ibid., hlm. 20.
62
persamaan pada keseluruhan dan/atau persamaan pada pokoknya namun
berdasarkan pada hilangnya keunikan sebuah merek.
Keunikan sebuah merek dapat hilang apabila digunakan oleh pihak lain
tanpa seizin pemilik merek. Schecter berpendapat bahwa untuk menjaga keunikan
sebuah merek, maka segala penggunaan merek yang sama dengan merek tersebut
haruslah dilarang walaupun penggunaan merek tersebut digunakan pada barang
dan/atau jasa yang tidak saling berkompetisi. Hal ini dikarenakan sebagian merek
khususnya merek terkenal, mempunyai nilai jual (selling power) yang dapat
mempengaruhi konsumen untuk membeli suatu produk. Perlindungan terhadap
keunikan sebuah merek seharusnya menjadi rasio dasar perlindungan merek.91
Pemikiran Schecter akhirnya berbuah pada sebuah teori perlindungan yang
berfokus pada perlindungan merek sebagai properti bukan perlindungan merek
sebagai perlindungan konsumen (mencegah kebingungan konsumen).
Perlindungan ini dikenal dengan istilah dilusi merek.92
Dilusi merek belum mendapatkan pengaturan secara eksplisit di dalam UU
Merek, namun di dalam masyarakat terjadi beberapa kasus unik yang memerlukan
suatu pendekatan baru yang tidak hanya mendasarkan suatu pelanggaran merek
berdasarkan persamaan pada keseluruhan dan/atau persamaan pada pokoknya.
Dilusi merek secara sederhana dapat dikatakan terjadi ketika suatu merek
mempunyai persamaan namun tidak saling berkompetisi satu dengan yang lain
sehingga tidak menimbulkan kebingungan terhadap konsumen.
Dilusi merek pada awalnya berasal dari konsep yang dicetuskan oleh
Franc I Schecter melalui artikel yang dimuat dalam jurnal Harvard Law Review.93
Dalam artikelnya yang berjudul The Rational Basis of Trademark Protection ia
berkesimpulan bahwa menjaga keunikan sebuah merek seharusnya menjadi satu-
satunya rasio dasar perlindungan merek. Ia menarik kesimpulan tersebut dari
91 Teks aslinya berbunyi the preservation of the uniqueness of a trademark should
constitute the only rational basis for its protection dalam Frank I. Schecter, Op Cit, hlm. 831 92 Paul Edward Kim, "Preventing Dilution of The Federal Trademark Dilution Act: Why
The FTDA Requires Actual Economic Harm", University of Pennyslvania Law Review, Volume 150, No. 2, 2011, hlm. 722-725
93 Dalam Robert G Bone, “Schecter’s Ideas In Historical Context and Dilution Rocky Road”, Santa Clara High Technology Law Journal Volume 24, Issue 3, 2008, hlm. 470
63
kasus sengketa merek yang terjadi di Jerman yaitu kasus merek terkenal “Odol”.94
Dalam kasus tersebut merek Odol yang merupakan merek pasta gigi digunakan
dan didaftarkan oleh pihak lain sebagai merek besi. Pengadilan Jerman
memutuskan bahwa penggunaan merek Odol walaupun pada barang atau jasa
yang tidak saling berkompetisi merupakan “gegen die guten sitten” yang berarti
berlawanan dengan moral yang baik.95
Schecter berpendapat bahwa untuk menjaga keunikan sebuah merek, maka
segala penggunaan merek yang sama dengan merek tersebut haruslah dilarang
walaupun penggunaan merek tersebut digunakan pada barang dan atau jasa yang
tidak saling berkompetisi. Hal ini dikarenakan bagi sebagian merek khususnya
merek terkenal, mempunyai nilai jual (selling power) yang dapat mempengaruhi
konsumen untuk membeli suatu produk. Nilai jual dapat mengalami kemerosotan
bahkan hilang sama sekali apabila terdapat banyak pihak yang menggunakan
merek yang sama dengan merek yang mempunyai nilai jual (selling power)
walaupun penggunaan demikian tidak menyebabkan kebingungan pada konsumen
karena kedua merek pada barang dan atau jasa tidak saling berkompetisi. Schecter
memberikan contoh merek Odol yang apabila digunakan oleh banyak pihak pada
barang dan atau jasa yang tidak sejenis walaupun tidak menyebabkan
kebingungan pada konsumen, akan menyebabkan keunikan pada merek Odol
menjadi hilang, Odol yang tadinya dikenal hanya sebagai merek pasta gigi,
berubah menjadi merek yang digunakan pada banyak barang dan atau jasa,
sehingga merek Odol tidak lagi ekslusif lagi sebagai merek pasta gigi.96
Dalam revisi Undang-Undang Anti Dilusi Amerika Serikat Tahun 2006
(Trademark Dilution Revision Act of 2006 selanjutnya disebut TDRA) tindakan
dilusi merek dibagi menjadi dua bentuk yaitu blurring (pengaburan) dan
tarnishment (pencemaran).
94 Dalam Walter J. Derenberg, “The Problem of Trademark Dilution and the Antidilution
Statutes”, California Law Review Volume 44, Issue 3,1956, hlm. 448 95 Barton Beebe, “The Suppressed Misappropriation Origins of Trademark Antidilution
Law: the Landgericht Elberfeld’s Odol Opinion and Frank Schecter’s The Rational Basis of Trademark Protection”, NYU School of Law, Public Law Research Paper No. 13-36, 2013, hlm. 2.
96 Barton Beebe, “Search and Persuasion in Trademark Law”, Michigan Law Review, Volume 103, Issue 8, 2005, hlm. 2044-2046.
64
Berkaitan dengan konsep dilusi dan juga pelanggaran merek, konsep
persaingan curang juga perlu dibahas. Berdasarkan Black’s Law Dictionary,
persaingan curang adalah:97
“Persaingan yang tidak wajar atau persaingan yang curang dalam
perdagangan dan komersial, terutama praktik-praktik yang mencoba untuk
menjual dengan menipu barang-barang atau jasa-jasa miliknya dengan
mengimitasi atau memalsukan nama, merek, atau karakteristik pembeda milik
kompetitor lain; suatu wadah hukum untuk melindungi pemakai pertama terhadap
kompetitor yang mengimitasi atau memalsukan.”
Dilusi merek berkaitan dengan persaingan usaha curang yang dibahas di
dalam Pasal 6 bis konvensi Paris:
“Negara-negara anggota Persatuan setuju secara ex officio dan sepanjang tidak
bertentangan dengan perundang-undangan negaranya, atau berdasarkan
permohonan dari seorang pihak yang berkepentingan, untuk menolak atau
membatalkan suatu pendaftaran merek dan melarang penggunaan dari suatu
merek dagang yang merupakan hasil penggandaan, pemalsuan, atau terjemahan
hingga menimbulkan kebingungan atas suatu merek yang dianggap oleh pihak
yang berwenang dari negara pendaftar, atau menolak untuk menggunakan merek
yang cukup terkenal di negara itu dari seorang yang berhak atas manfaat patennya
berdasarkan Konvensi ini dan menggunakannya terhadap barang dagangan yang
identik atau yang hampir sama dengannya. Ketentuan-ketentuan ini juga berlaku
apabila bagian penting (utama) dari merek tersebut merupakan hasil gandaan dari
merek terkenal atau hasil pemalsuan yang dapat menimbulkan kebingungan.”
Tidak ada kewajiban yang diatur dalam Konvensi Paris untuk melindungi
merek dari dilusi. Walaupun perlindungan yang diberikan terhadap merek terkenal
sudah diatur dalam Article 6 bis Konvensi Paris, pengaturan tersebut masih
berbasiskan kebingungan yang merupakan konsep tradisional pelanggaran merek.
97 Unfair competition is dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce, especially
the practice of trying to palm off one’s own goods or services for those of another by imitating or counterfeiting a competitor’s name, brand, or, distinctive characteristic; the body of law protecting the first user against an imitating or counterfeiting competitor. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary Centennial Sixth Edition, St. Paul, Minn: west Publishing co., 1990.
65
Lebih jauh lagi, penggunaan merek hanya dibatasi sepanjang mengandung
persamaan pada keseluruhan atau pada pokoknya yang bertolak secara kontras
dengan konsep teoritis dari dilusi yaitu penggunaan merek pada barang yang tidak
sejenis.98 Sehingga Konvensi Paris hanya memberikan perlindungan terhadap
merek terkenal dari perbuatan hasil penggandaan, pemalsuan, atau terjemahan
hingga menimbulkan kebingungan atas suatu merek yang dianggap oleh pihak
yang berwenang dari negara pendaftar.
Dalam perumusan Pasal 10bis ayat (2) Konvensi Paris, persaingan curang
adalah setiap perbuatan mengenai persaingan yang bertentangan dengan praktik-
praktik wajar (honest practices) dalam industri dan perdagangan.99
Berdasarkan ketentuan Konvensi Paris, yang termasuk ke dalam ruang
lingkup persaingan curang:100
1. Semua perbuatan, yang dengan cara apapun, dapat menciptakan kekeliruan
berkenaan dengan asal-usul suatu barang atau berkenaan dengan usaha-
usaha industri atau perdagangan dari pihak pengusaha yang sedang
bersaing;
2. Pemberitahuan yang palsu sehingga dapat mendiskreditkan perusahaan,
barang atau aktivitas industri dan dagang dari pihak pengusaha yang
bersaing;
3. Semua indikasi dan perbuatan yang dapat mengacaukan publik berkenaan
dengan sifat barang, proses pembuatannya, ciri-ciri serta cara
penggunaannya maupun tujuan atau kuantitas dari barang bersangkutan.
98 Sathita Wimonkunarak, “The Introduction of Trademark Dilution: The Review of
Dilution Concept in ASEAN”, Thailand Law Journal 2014 Spring Issue 1, Volume 17, 2014, hlm. 1.
99 Any act of competition contrary to honest practices in industrial or commercial matters constitutes an act of unfair competition.
100 The following in particular shall be prohibited: 1. all acts of such a nature as to create confusion by any means whatever with the establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor; 2. false allegations in the course of trade of such a nature as to discredit the establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor; 3. indications or allegations the use of which in the course of trade is liable to mislead the public as to the nature, the manufacturing process, the characteristics, the suitability for their purpose, or the quantity, of the goods. Terjemahan diambil dari Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, 38.
66
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa dilusi berbeda dengan persaingan
curang. Apabila melihat titik tolaknya, dilusi bertitik tolak pada fungsi merek
sebagai sarana pemasaran, sedangkan persaingan curang bertitik tolak pada fungsi
merek sebagai sarana informasi mengenai asal-usul produsen suatu produk. Selain
itu, pada dilusi tidak dibutuhkan pembuktian mengenai kebingungan pada
konsumen, sedangkan pada konsep persaingan curang, pembuktian mengenai
kebingungan pada konsumen merupakan hal yang mutlak.
Indonesia hanya mendasarkan perlindungan pada persamaan pada
keseluruhan dan/atau persamaan pada pokoknya. Ketiadaan persamaan pada
keseluruhan maupun persamaan pada pokoknya akan mengakibatkan pemilik
suatu merek terkenal di Indonesia tidak dapat membatalkan atau mengajukan
suatu gugatan terhadap pihak yang memanfaatkan dan/atau menggunakan seluruh
maupun sebagian unsur dari mereknya.101
Sebagai perbandingan bahwa Amerika Serikat telah mengatur secara
khusus dan tegas mengenai Dilusi Merek. Sedangkan di Eropa, tidak dikenal
istilah dilusi, namun terdapat istilah yang seperti yaitu “causing detriment to the
distinctive character” yang diatur dalam ketentuan pada Pasal 4 ayat (4) huruf (a)
Trademark Directive. Pengaturan mengenai Dilusi di Eropa juga digabung dengan
pengaturan mengenai persaingan curang. Syarat suatu merek mendapat
perlindungan dari dilusi adalah bahwa merek tersebut adalah merek terkenal.
D. Penghapusan Dan Pembatalan Pendaftaran Merek
Tujuan instruksional: mahasiswa dapat memahami Penghapusan dan Pembatalan
Pendaftaran Merek.
Indikator Capaian Tujuan Pembelajaran: Mahasiswa dapat mengidentifikasi
unsur-unsur dalam Penghapusan dan Pembatalan Pendaftaran Merek.
101 Rika Ratna Permata, Tasya Safiranita Ramli, Biondy Utama, Tinjauan Kasus Tentang
Dilusi Merek di Indonesia dan Thailand, Jurnal Hukum Ius Quia Lustum, Universitas Islam Indonesia, 2019, Hlm. 19.
67
1. Penghapusan Merek
Penghapusan Merek terdaftar dapat diajukan oleh pemilik Merek yang
bersangkutan kepada Menteri.102 Penghapusan ini harus diajukan oleh pemilik
merek yang bersangkutan atau melalui kuasanya, baik untuk sebagian maupun
seluruh jenis barang dan/atau jasa.103 Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) masih terikat perjanjian Lisensi, penghapusan hanya dapat dilakukan
jika hal tersebut disetujui secara tertulis oleh penerima Lisensi.104 Pengecualian
atas persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dimungkinkan jika
dalam perjanjian Lisensi, penerima Lisensi dengan tegas menyetujui untuk
mengesampingkan adanya persetujuan tersebut.105 Penghapusan pendaftaran
Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan diumumkan dalam Berita
Resmi Merek.106
Penghapusan merek terdaftar dapat dilakukan atas prakarsa menteri.107
Penghapusan Merek terdaftar atas prakarsa Menteri dapat dilakukan jika:108
a. memiliki persamaan pada pokoknya dan/atau keseluruhannya dengan
Indikasi Geografis;
b. bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan,
moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum; atau
c. memiliki kesamaan pada keseluruhannya dengan ekspresi budaya
tradisional, warisan budaya takbenda, atau nama atau logo yang sudah
merupakan tradisi turun temurun.
Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) dapat
dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari Komisi Banding Merek.109
102 Pasal 72 Ayat (1) UU Merek 103 Pasal 72 Ayat (2) UU Merek 104 Pasal 72 Ayat (3) UU Merek 105 Pasal 72 Ayat (4) UU Merek 106 Pasal 72 Ayat (5) UU Merek 107 Pasal 72 Ayat (6) UU Merek 108 Pasal 72 Ayat (7) UU Merek 109 Pasal 72 Ayat (8) UU Merek
68
Komisi Banding Merek memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (8) berdasarkan permintaan Menteri.110
Tata cara pemberian rekomendasi penghapusan merek oleh Komisi
Banding Merek, diatur dalam Pasal 31 PP Komisi Banding Merek, yaitu:
(1) Komisi Banding memberikan rekomendasi terhadap penghapusan Merek
terdaftar atas prakarsa Menteri berdasarkan permintaan Menteri.
(2) Dalam memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Komisi Banding melakukan pemeriksaan.
Pasal 32 PP Komisi Banding Merek mengatur mengenai jangka waktu
Komisi Banding Merek melakukan kajian terhadap Merek terdaftar, yaitu:
(1) Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31,
Komisi Banding melakukan kajian terhadap Merek terdaftar.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak permintaan Menteri diterima.
Pasal 33 PP Komisi Banding Merek mengatur mengenai pemberian
rekomendasi oleh Komisi Banding Merek kepada Menteri untuk dilakukan
penghapusan Merek terdaftar, yaitu:
(1) Komisi Banding memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk dilakukan
penghapusan Merek terdaftar dalam hal hasil pemeriksaan menunjukkan
Merek:
a. memiliki persamaan pada pokoknya dan/atau keseluruhannya dengan
Indikasi Geografis;
b. bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan,
moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum; atau
c. memiliki kesamaan pada keseluruhannya dengan ekspresi budaya
tradisional, warisan budaya takbenda, atau nama atau logo yang sudah
merupakan tradisi turun temurun.
(2) Dalam hal hasil perneriksaan Merek tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Komisi Banding memberikan rekomendasi kepada
Menteri untuk tidak dilakukan penghapusan Merek terdaftar.
110 Pasal 72 Ayat (9) UU Merek
69
Pemilik Merek yang keberatan terhadap keputusan penghapusan Merek
terdaftar atas prakarsa Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (6)
dan ayat (7) dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung.
Penghapusan Merek terdaftar dapat pula diajukan oleh pihak ketiga yang
berkepentingan dalam bentuk gugatan ke Pengadilan Niaga dengan alasan Merek
tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan
barang dan/ atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir.111
Alasan Merek tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal adanya:112
a. larangan impor;
b. larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang
menggunakan Merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang
berwenang yang bersifat sernentara; atau
c. larangan serupa lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Penghapusan Merek terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat
dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.113 Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 74 berlaku secara mutatis mutandis terhadap
penghapusan Merek Kolektif terdaftar.114
2. Pembatalan Merek
Gugatan pembatalan merek diatur dalam Pasal 76 UU Merek, yaitu:
(1) Gugatan pernbatalan Merek terdaftar dapat diajukan oleh pihak yang
berkepentingan berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
dan/ atau Pasal 21.
111 Pasal 74 Ayat (1) UU Merek 112 Pasal 74 Ayat (2) UU Merek 113 Pasal 74 Ayat (3) UU Merek 114 Pasal 75 UU Merek
70
(2) Pemilik Merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setelah mengajukan Permohonan kepada Menteri.
(3) Gugatan pembatalan diajukan kepada Pengadilan Niaga terhadap pemilik
Merek terdaftar.
Penjelasan mengenai "pihak yang berkepentingan" terdapat dalam
penjelasan Pasal 76 Ayat (1) UU Merek yaitu Yang dimaksud dengan "pihak
yang berkepentingan" antara lain pemilik Merek terdaftar, jaksa,
yayasarr/Iembaga di bidang konsumen, dan majelis lembaga keagamaan.
Kemudian penjelasan mengenai "pemilik merek yang tidak terdaftar" terdapat
dalam penjelasan Pasal 76 Ayat (2) UU Merek yaitu Yang dimaksud dengan
antara lain pemilik Merek yang iktikad baik tetapi tidak terdaftar atau pemilik
Merek terkenal tetapi Mereknya tidak terdaftar.
Gugatan pembatalan pendaftaran Merek hanya dapat diajukan daJam
jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pendaftaran Merek. Hal ini
perlu dicermati karena bila lewat jangka waktu tersebut maka gugatan pembatalan
merek tidak dapat diajukan.115 Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas
waktu jika terdapat unsur iktikad tidak baik dan, atau Merek yang bersangkutan
bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas,
agama, kesusilaan, dan ketertiban umum.116 Terhadap putusan tersebut di atas
dapat diajukan kasasi, hal tersebut diatur dalam Pasal 78 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang
menyatakan bahwa “Terhadap putusan Pengadilan Niaga atas gugatan pembatalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) dapat diajukan kasasi”.
E. GUGATAN ATAS PELANGGARAN MEREK
Pasal 83 UU Merek mengatur mengenai gugatan atas pelanggaran merek
yaitu:
(1) Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerirna Lisensi Merek terdaftar dapat
mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan
115 Pasal 77 Ayat (1) UU Merek 116 Pasal 77 Ayat (2) UU Merek
71
Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa:
a. gugatan ganti rugi; dan/ atau
b. penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek
tersebut.
(2) Gugatan sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) dapat pula diajukan oleh
pernilik Merek terkenal berdasarkan putusan pengadilan.
(3) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan
Niaga.
Pasal 84 UU Merek mengatur mengenai permohonan penggugat kepada
hakim untuk menghentikan kegiatan produksi, peredaran, dari/ atau perdagangan
barang dan/ atau jasa yang menggunakan Merek tersebut secara tanpa hak,
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Selama masih dalam pemeriksaan dan untuk mencegah kerugian yang lebih
besar, pemilik Merek darr/atau penerima Lisensi selaku penggugat dapat
mengajukan permohonan kepada hakim untuk menghentikan kegiatan
produksi, peredaran, dari/ atau perdagangan barang dan/ atau jasa yang
menggunakan Merek tersebut secara tanpa hak.
(2) Dalam hal tergugat dituntut menyerahkan barang yang menggunakan Merek
secara tanpa hak, hakim dapat memerintahkan penyerahan barang atau nilai
barang tersebut dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum tetap.
F. TINDAK PIDANA DI BIDANG MEREK
Tujuan instruksional: mahasiswa dapat memahami Tindak Pidana di Bidang
Merek.
Indikator Capaian Tujuan Pembelajaran: Mahasiswa dapat mengidentifikasi
unsur-unsur dalam Tindak Pidana Merek.
72
Pasal 99 UU Merek mengatur mengenai penyidikan tindak pidana merek,
yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat
penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang yang
mengatur mengenai hukum acara pidana untuk melakukan penyidikan tindak
pidana Merek.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang rnelakukan:
a. pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang Merek;
b. pemeriksaan terhadap Orang yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang Merek;
c. perrnintaan keterangan dan barang bukti dari Orang sehubungan dengan
tindak pidana di bidang Merek;
d. pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang Merek'
e. penggeledahan dan pemeriksaan di tempat yang diduga terdapat barang
bukti, pernbukuan, pencatatan, dan dokumen lain yang berkenaan dengan
tindak pidana di bidang Merek;
f. penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Merek;
g. permintaan keterangan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang Merek;
h. permintaan bantuan kepada instansi terkait untuk melakukan penangkapan,
penahanan, penetapan daftar pencarian orang, dan pencegahan terhadap
pelaku tindak pidana di bidang Merek; dan
i. penghentian penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti adanya tindak
pidana di bidang Merek.
73
(3) Dalam melakukan penyidikan, pejabat penyidik pegawai negeri sipil dapat
meminta bantuan pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
untuk kelancaran penyidikan.
(4) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya
penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada pejabat penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(5) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh pejabat penyidik pegawai negeri
sipil disampaikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 100 UU Merek mengatur mengenai ketentuan pidana di bidang
merek, yaitu:
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada
keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan
atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak rnenggunakan Merek yang mempunyai
persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk
barang dan/ atau jasa sejenis yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan,
gangguan lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5 .000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 101 UU Merek mengatur mengenai ketentuan pidana di bidang
Indikasi Geografis, yaitu:
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai
persamaan pada keseluruhan dengan Indikasi Geografis milik pihak lain
untuk barang dan/ atau produk yang sarna atau sejenis dengan barang dan/
74
atau produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun danjatau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai
persamaan pada pokoknya dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk
barang dan/ atau produk yang sarna atau sejenis dengan barang dan/ atau
produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun danjatau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 102 UU Merek mengatur mengenai ketentuan pidana bagi penjual
yang memperdagangkan Barang dan/atau jasa dan/atau produk yang diketahui
atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, ketentuan tersebut berbunyi
sebagai berikut:
"Setiap Orang yang memperdagangkan barang danjatau jasa dan/ atau produk
yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/ atau jasa danj
atau produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah)."
Pasal 103 UU Merek mengatur bahwa Tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 102 merupakan delik aduan. Drs.
P.A.F. Lamintang, memberi pengertian delik aduan dan delik biasa, sbb :
“Delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada
pengaduan dari orang yang dirugikan. Sedangkan delik biasa adalah tindak
pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan.”
Hal ini berimplikasi bahwa apabila tidak ada pengaduan atau persetujuan dari
pihak yang berhak untuk mengajukan tuntutan, maka tindak pidana yang diatur
dalam Pasal 100 sampai Pasal 102 UU Merek tidak dapat diproses.
75
BAB IV
KASUS-KASUS PELANGGARAN MEREK
A. Kasus di Indonesia
1. Kasus Aki GS vs Aki GiSi (PUTUSAN Mahkamah Agung Nomor 130
PK/Pdt.Sus-HKI/2014)
a. Para pihak
1) Pihak Pertama (Pemilik Merek GS)
GS. YUASA CORPORATION sebagai pemilik merek terdaftar Merek
GS, untuk melindungi jenis jenis barang yang termasuk dalam kelas 9, khususnya
jenis barang accu. Didaftarkan dengan Daftar Nomor 63999 tanggal 21 Juli 1958
dan telah diperpanjang sampai dengan dengan tanggal 24 Oktober 2014
merek milik Penggugat telah terdaftar di negara asalnya dan di berbagai
negara di dunia, yaitu: Jepang, Republik Rakyat Cina, Perancis, Kanada, Amerika
Serikat, Taiwan
Merek GS juga telah diperdagangkan secara luas di Indonesia dan di
berbagai negara di dunia. Untuk mendukung kegiatan perdagangan produk accu
dengan merek GS khususnya di Indonesia, pihak pertama telah melakukan
promosi secara gencar, seperti menerbitkan iklan di berbagai media massa dan
yellow pages, pemasangan billboard, pembuatan pamflet, spanduk dan souvenir;
2) Pihak Kedua (Pemilik Merek GISI)
PT. GRAMITRAMA BATTERY INDONESIA pemilik merek terdaftar
Merek GISI untuk melindungi jenis barang yang termasuk dalam kelas 9, yaitu
76
segala macam accu, baterai, baterai kering, baterai basah dan sel-sel accu.
Didaftarkan sejak tahun 1992 dan sudah diperpanjang dan berlaku hingga tahun
2014.
b. Pokok Perkara
1) Menurut Pihak Pertama
Pemilik Merek GS merasa berkeberatan dengan adanya merek GISI yang
terdaftar dalam jenis barang yang sama dengan merek GS. Pemilik Merek GS
merasa bahwa pendaftaran Merek GISI didasari oleh itikad tidak baik dengan
tujuan untuk memperoleh keuntungan besar tanpa harus mempromosikan
mereknya sendiri. Pemilik Merek GS merasa bahwa keberadaan produk-produk
accu dengan menggunakan merek GISI akan membingungkan konsumen serta
merugikan pemilik merek GS pada khususnya, karena konsumen akan mengira
produk accu dengan menggunakan merek GISI milik Tergugat berasal dari
Penggugat atau mempunyai hubungan erat dengan Penggugat. Hal ini tentunya
merugikan Pemilik Merek GS yang telah mengeluarkan biaya investasi dan
promosi yang tidak sedikit untuk memproduksi dan memasarkan produk-
produknya;
Persamaan antara merek GS dengan merek GISI dapat dilihat dalam gambar 1 dan
tabel 1
77
Gambar 1
Merek Penggugat Merek Tergugat
Terdiri dari kata GS Terdiri dari kata GS yang merupakan
pokok merek, sedangkan huruf I setelah
G dan S hampir tidak terlihat sehingga
tidak dapat dibedakan antara merek GS
milik Penggugat dengan merek GS
milik Tergugat, disamping itu secara
umum jelas terlihat persamaan yang
mencolok pada huruf G dan S. Dengan
demikian tampilan kata GS pada merek
Tergugat sangat dominan
Tabel 1
Atas alasan tersebut Pemilik Merek GS hendak melakukan suatu upaya hukum
untuk menghilangkan merek GISI dari pasaran.
2) Menurut Pihak Kedua
78
Pemilik Merek GISI merasa bahwa pendaftaran mereknya telah didasari
dengan itikad baik dan mereknya juga tidak mempunyai persamaan pada
pokoknya dengan merek GS. Ia mendalilkan bahwa Merek GISI adalah suatu
penamaan, dimana tidak adanya persamaan antara merek GS dengan merek GISI
mengingat telah ada 2 huruf i yang membedakan logo merek milik Penggugat
dengan Tergugat. Ia juga mendalilkan bahwa gugatan pembatalan merek tidak
dapat dilakukan karena sudah melalui jangka waktu sebagaimana diatur dalam
pasal 69 ayat 1.
c. Putusan Pengadilan
1) Putusan Pengadilan Tingkat Pertama
Pada Tingkat Pengadilan Negeri Gugatan Penggugat dikabulkan dengan amar
sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI:
• Menolak eksepsi Tergugat I dan Tergugat II; DALAM POKOK PERKARA:
1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2 Menyatakan bahwa Penggugat adalah pemilik dan pemakai pertama
merek GS;
3 Menyatakan merek GS milik Penggugat sebagai merek terkenal;
4 Menyatakan merek GISI + Logo Daftar Nomor IDM000342727
Kelas 09 atas nama Tergugat I
5 (semula Nomor 300236 Kelas 09 dengan perpanjangan Nomor
529899 atas nama Jusuf Susanto), mempunyai persamaan pada
pokoknya dengan merek GS milik Penggugat;
6 Menyatakan batal menurut hukum, pendaftaran merek GISI + Logo
Daftar Nomor IDM000342727 Kelas 09 atas nama Tergugat I
(semula Nomor 300236 kelas 09 dengan perpanjangan Nomor
529899 atas nama Jusuf Susanto) dengan segala akibat hukumnya;
79
7 Memerintahkan Tergugat II untuk melaksanakan pembatalan
pendaftaran merek GISI Daftar Nomor IDM000342727 Kelas 09
atas nama Tergugat I (semula Nomor 300236 Kelas 09 dengan
perpanjangan Nomor 529899 atas nama Jusuf Susanto) dengan
mencoret merek GISI + Logo Daftar Nomor IDM000342727 Kelas
09 atas nama Tergugat I (semula Nomor 300236 Kelas 09 dengan
perpanjangan Nomor 529899 atas nama Jusuf Susanto) beserta
perpanjangannya, dari Daftar Umum Merek, dengan segala akibat
hukumnya;
8. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar biaya
perkara yang hingga kini berjumlah Rp1.316.000,- (satu juta tiga
ratus enam belas ribu rupiah);
Pengadilan tingkat Pertama memutuskan bahwa terdapat persamaan pada
pokoknya antara merek GS dengan merek GISI. Pertimbangannya adalah sebagai
berikut:
Menimbang, bahwa bila melihat pendaftaran merek milik Tergugat I tidak
terlihat sama, tetapi bila melihat produk tampilannya sebagaimana dalam bukti
P-47 dan bukti T-4 sampai dengan T-25, maka terlihat jelas bahwa empat huruf
merek GISI tertulis dengan tidak seimbang, dimana huruf G dan S tertulis lebih
besar sedangkan huruf "i" tertulis sangat kecil lebih kepada tampilan aksesoris
belaka, dan bila tidak teliti akan sama persis dengan merek Penggugat, dari
analisa tersebut jelas huruf G dan S milik Tergugat adalah sangat dominan
dibanding dengan huruf "i''nya;
Menimbang, bahwa selain dari cara penulisan huruf dan dari segi kombinasi
gambar variasipun tidak berbeda termasuk koma dimana mirip sekali antara
merek milik Tergugat I merek GS milik Penggugat (Iihat dan bandingkan salah
satu contoh bukti P-53 dengan bukti T-10 dan T-11 yaitu warna biru dan putih)
bisa juga dilihat dari sampel bungkus produk merek keduanya;
80
Menimbang, bahwa dengan pertimbangan tersebut di atas yang didasari oleh
bukti-bukti yang ada, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa ternyata terdapat
persamaan pada pokoknya antara merek GS milik Penggugat dengan merek
milik Tergugat baik didalam hal bentuk huruf, cara penempatan, cara penulisan
ataupun kombinasi warna”;
maka dapat dianalisa bahwa merek Penggugat terdiri dari 2 huruf dominan yaitu
G dan S, sedangkan merek milik Tergugat I yaitu merek GISI terdiri dari 4 huruf,
huruf GS diselingi dengan huruf "I";
2) Putusan Pengadilan Tingkat Kasasi
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT.
GRAMITRAMA BATTERY INDONESIA tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor 83/Merek/2012/PN.NiagaJkt.Pst., tanggal 3 April 2013;
Mengadili Sendiri:
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi Tergugat I dan Tergugat II;
- Menghukum Termohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam
semua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi sebesar Rp5.000.000,00 (lima
juta rupiah);
Di Peradilan Tingkat pertama merek Gisi dibatalkan namun di Tingkat Kasasi
Merek Gisi dikabulkan dan dianggap tidak mempunyai persamaan pada pokoknya
dengan merek GS
Peradilan tingkat kasasi menganggap bahwa antara merek GS milik
Penggugat/Termohon Kasasi dan merek GISI + Logo milik Tergugat I/Permohon
Kasasi keduanya terdapat perbedaan yang prinsipil, sehingga tidak terdapat cukup
alasan untuk membatalkan merek milik Tergugat/Pemohon Kasasi" yang
81
merupakan pertimbangan yang keliru dan bertentangan dengan ketentuan
Undang-Undang Merek;
3) Putusan Peninjauan Kembali
M E N G A D I L I:
Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali: GS. YUASA CORPORATION tersebut;
Membatalkan putusan Mahkamah Agung Nomor 309 K/Pdt.Sus-HaKI/ 2013
tanggal 30 Juli 2013;
MENGADILI KEMBALI
DALAM EKSEPSI:
• Menolak eksepsi Tergugat I dan Tergugat II;
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan bahwa Penggugat adalah pemilik dan pemakai pertama merek
GS;
3. Menyatakan merek GS milik Penggugat sebagai merek terkenal;
4. Menyatakan merek GISI + Logo Daftar Nomor IDM000342727 Kelas 09
atas nama Tergugat I (semula Nomor 300236 Kelas 09 dengan
perpanjangan Nomor 529899 atas nama Jusuf Susanto), mempunyai
persamaan pada pokoknya dengan merek GS milik Penggugat;
5. Menyatakan batal menurut hukum, pendaftaran merek GISI + Logo Daftar
Nomor IDM000342727 Kelas 09 atas nama Tergugat I (semula Nomor
300236 Kelas 09 hukumnya;
6. Memerintahkan Tergugat II untuk melaksanakan pembatalan pendaftaran
merek GISI Daftar Nomor IDM000342727 Kelas 09 atas nama Tergugat I
(semula Nomor 300236 Kelas 09 dengan perpanjangan Nomor 529899
82
atas nama Jusuf Susanto) dengan mencoret merek GISI + Logo Daftar
Nomor IDM000342727 Kelas 09 atas nama Tergugat I (semula Nomor
300236 Kelas 09 dengan perpanjangan Nomor 529899 atas nama Jusuf
Susanto) beserta perpanjangannya, dari Daftar Umum Merek, dengan
segala akibat hukumnya;
Pertanyaan untuk mahasiswa:
1. Perhatikan logo GS dan GISI, Apakah terdapat persamaan pada pokoknya
antara merek GS dan GISI? Jawablah dengan memakai teori persamaan
pada pokoknya?
2. Apakah pemilik merek GISI telah beriktikad buruk dalam mendaftarkan
merek GISI?
3. Apakah menurut saudara putusan pembatalan merek GISI sudah tepat?
2. KASUS IKEA VS IKEMA
Pada tahun 2011, IKEA melalui Inter IKEA Systems BV menggugat PT.
Angsa Daya (Tergugat I) dan Departemen Hukum dan HAM RI (Tergugat II), di
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, perkara No. 39/Merek/2011/ PN.Niaga.Jkt.Pst,
tanggal 8 April 2011. Dalam perkara ini, merek IKEA yang diaku sebagai coined
mark atau merek karena bukan berasal dari nama/kata-kata umum, mendalilkan
sebagai merek terkenal di dunia sejak tahun 1943, yang di Indonesia terdaftar
dalam barang kelas 21, kelas 24, kelas 11, kelas 35 dan kelas 42, sedangkan
Angsa Daya sebagai pemilik merek IKEMA dengan produk barang kelas 19
digugat karena telah meniru, menjiplak dan membonceng keterkenalan merek
IKEA. Sebabnya, merek IKEMA memiliki persamaan pada keseluruhan atau pada
sebagian dengan IKEA, sehingga dapat menyesatkan atau mengecoh konsumen.
IKEA juga mendalilkan kelas barang merek IKEMA memiliki persamaan jenis
atau kelas barang dengan merek IKEA, atas dasar persamaan asal (herkost), cara
pembuatan, sifat (aard) dan tujuan dari pemakaian barang.
83
Sebaliknya, Angsa Daya menganggap produk IKEMA yang terdaftar
dalam kelas 19 (tegel, keramik lantai dan dinding), berbeda dengan produk IKEA
yang termasuk kelas 21, kelas 24, kelas 11, kelas 35 dan kelas 42, sehingga tidak
melanggar Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek. Selain itu, dijelaskan pula bahwa nama IKEMA tidak memiliki kemiripan
bunyi, tulisan dan lafal dengan IKEA. Argumentasi Angsa Daya lain adalah
padanan diantara beberapa merek, bahkan untuk kelas barang yang sama, tetap
dinyatakan tidak melanggar hukum seperti NIKE dengan UNIKER, IKEAS,
CIKEAS dan ILEKEA, demikian juga antara COLA COLA milik the Coca Cola
Company (kelas 30) dengan KOLA KOLA milik PT. Forisa Nusapersada (kelas
30)
Pada putusan tingkat pertama117, merek IKEA dinyatakan sebagai merek
terkenal,118 terhadap tuntutan “persamaan merek”, majelis hakim juga
menyimpulkan kesamaan merek antara IKEA dengan IKEMA, sehingga
pembatalan merek IKEMA dikabulkan. Putusan ini kemudian pada tingkat kasasi
dikuatkan.119 Namun, pada tingkan peninjauan kembali120 (perkara No. 165
PK/Pdt.Sus/2012), majelis PK menyatakan:
a. merek IKEA tidak memiliki persamaan pada pokoknya dengan IKEMA
sebagaimana argumentasi Angsa Daya mengenai asal-usul dan lafal IKEMA
yang berasal dari bahasa Tiongkok;
b. merek IKEMA yang terdaftar dalam kelas 19 bukan merupakan barang sejenis
atau sekelas dengan merek IKEA yang terdaftar dalam kelas 11, 21, 24, 35, 42;
c. penerapan pasal 6 ayat (2) mengenai “merek terkenal” terkait dengan Peraturan
Pemerintah yang memerlukan persyaratan, dan hingga saat ini belum ada. 121
117 Putusan Nomor 39/Merek/2011/PN. Niaga.Jkt.Pst. tentang sengketa merek IKEA v IKEMA.
118 Halaman 67 Putusan Nomor 39/Merek/2011/PN. Niaga.Jkt.Pst. perihal sengketa merek IKEA v IKEMA.
119 Putusan Nomor 697 K/Pdt.Sus/2011 tentang sengketa merek IKEA v IKEMA. 120 Putusan Nomor 165 PK/Pdt.Sus/2012 tentang sengketa merek IKEA v IKEMA. 121 “HaKI: Membaca Aneka Sengketa merek IKEA”, http://wyndra-
associate.com/new/2016/10/12/haki-aneka-sengketa-merek-ikea/, diakses tanggal 10 Februari 2018.
84
Pertanyaan untuk mahasiswa:
1. Bagaimanakah pengaturan mengenai kriteria merek terkenal di Indonesia?
2. Apakah menurut saudara Merek IKEA termasuk ke dalam kriteria merek
terkenal?
3. Apakah menurut saudara putusan penolakan pembatalan merek IKEMA
sudah tepat?
3. KASUS HOLIDAY INN VS HOLIDAY RESORT LOMBOK
Kasus berawal dari gugatan pembatalan merek pihak Sis Continents
Hotels, Inc, pemilik merek HOLIDAY INN dan HOLIDAY INN RESORT yang
keduanya didaftarkan sebagai merek di kelas 16 yang melindungi jasa hotel.
Gugatan tersebut diajukan kepada pemilik merek HOLIDAY RESORT
LOMBOK yaitu Pt Lombok Seaside Cottage yang didaftarkan pada kelas yang
sama dengan merek HOLIDAY INN dan HOLIDAY INN Resort.
Dalam kasus ini penggugat mempermasalahkan kata Holiday yang
terdapat dalam merek HOLIDAY RESORT LOMBOK , menurut pemilik merek
HOLIDAY INN kata Holiday merupakan bagian esensial dari merek dagang
pemilik merek HOLIDAY INN pemilik merek HOLIDAY INN mendalilkan bahwa
bahwa pemakaian merek-merek dagang tersebut oleh Tergugat, yang mengandung
85
kata Holiday yang dalam ucapan kata maupun suara sama dengan Holiday, yang
merupakan bagian esensial dari merek-merek dagang HOLIDAY INN, dapat
menimbulkan kesan pada khalayak ramai seakan-akan merek serta hasil-hasil oleh
Tergugat berasal dari Pengugat, atau mempunyai hubungan erat dengan
Penggugat.
Penggugat menduga bahwa tujuan Tergugat mendaftarkan merek-merek
tersebut, tidak lain adalah untuk membonceng ketenaran merek-merek dagang
Penggugat yang telah dipupuk selama bertahun-tahun dengan biaya yang tidak
sedikit. Penggugat juga mendalilkan bahwa memperhatikan ketenaran merek-
merek dagang Penggugat, harus dikhawatirkan, bahwa khalayak ramai akan
mengasosiasikan/menghubungkan Tergugat dengan Penggugat, hal mana tidak
akan menguntungkan Penggugat. Bahwa dapat dipastikan, bahwa tanpa diilhami
merek-merek dagang termashur Penggugat, Tergugat tidak akan memikirkan
untuk mendaftarkan merek-merek HOLIDAY RESORT LOMBOK .
Kasus ini akhirnya diputuskan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
dengan menolak gugatan Penggugat yaitu pemilik merek HOLIDAY INN dengan
pertimbangan bahwa
“Holiday adalah suatu kata yang bersifat umum, bukan milik perseorangan
dan setiap orang dapat menggunakannya setelah dikaitkan dengan kata
lainnya seperti Pemohon menggunakan “HOLIDAY INN RESORTS”,
Termohon menggunakan HOLIDAY RESORTS LOMBOK”.“Holiday” dari
Bahasa asing tidak dapat dimonopoli dan dijadikan merek; Memang benar
semua kata umum dapat dijadikan merek, namun kata yang telah menjadi
milik umum yang memiliki arti khusus/arti tertentu tidak dapat dijadikan
merek dan tidak bisa dimonopoli”
Pihak HOLIDAY INN tidak puas dengan putusan tersebut sehingga
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun Mahkamah Agung menolak
kasasi tersebut dengan pertimbangan bahwa:
“Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan,
karena Judex Facti (Pengadilan Negeri) tidak salah dalam menerapkan
hukum karena pertimbangan dan putusan perkara No.
86
41/merek/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst telah dilaksanakan sesuai aturan
perundang-undangan yang berlaku karena kata HOLIDAY adalah suatu
kata yang sifatnya umum, bukan milik perseorangan dan setiap orang
dapat menggunakannya setelah dikaitkan dengan kata lainnya seperti
Pemohon menggunakan “HOLIDAY INN RESORTS”, Termohon
menggunakan “HOLIDAY RESORTS LOMBOK.”
Pertanyaan untuk mahasiswa:
1. Menurut pendapat saudara apakah persamaan berupa kata Holiday dalam
merek Holiday Inn dan Holiday Resort Lombok termasuk kedalam
persamaan pada pokoknya?
2. Menurut pendapat saudara apakah pemilik merek Holiday Resort Lombok
telah beritikad buruk dalam mendaftarkan merek tersebut?
3. Apakah menurut saudara putusan Hakim yang menolak gugatan
pembatalan merek Holiday Resort lombok sudah tepat?
4. Kasus KOPITIAM vs. KOK TONG KOPITIAM122
122 Putusan Nomor: 179 PK/PDT.SUS/2012
87
Abdul Alex Soelystio mendaftarkan merek KOPITIAM pada 18 Oktober
1996. Ia mengantongi nomor merek dari Kemenkum HAM dengan nomor
IDM00030899. merek KOPITIAM bercirikan penggunaan huruf besar dengan
warna orange. Lantas Abdul Alex memperpanjang hak merek itu pada 14 Maret
2005. Tergugat adalah Paimin Halim yang mendaftarkan kedai kopinya pada 4
Desember 2006 dengan nama merek KOK TONG KOPITIAM. Kafe milik
Paimin menonjolkan merek KOK TONG, dan kata 'kopitiam' merupakan identitas
bahwa kafe itu adalah kedai kopi.
Abdul Alex Soelystio sebagai pemilik merek Kopitiam tidak terima
dengan adanya pendaftaran merek KOK TONG KOPITIAM yang didaftarkan
oleh Paimin Halim. Abdul Alex Soelistyo kemudian mengajukan gugatan
pembatalan merek terhadap merek KOK TONG KOPITIAM dengan dasar bahwa
terdapat persamaan pada pokoknya antara merek KOPITIAM dengan merek KOK
TONG KOPITIAM.
Sengketa antara KOPITIAM dengan KOK TONG KOPITIAM berlanjut
hingga tingkat Peninjauan Kembali (PK). Putusan PK tersebut akhirnya
memenangkan pihak pemilik merek KOPITIAM dengan pertimbangan sebagai
berikut:
“Bahwa dalam memori peninjauan kembali secara panjang lebar dibahas
pengertian “KOPITIAM” yang menurut Pemohon Peninjauan Kembali
berarti “Warung Kopi” atau “Kedai Kopi” yang merupakan hak rakyat
yang wajib dilindungi dan tidak bisa dipatenkan…
Bahwa “KOPITIAM” bukan kata umum, tidak umum digunakan dalam
percakapan sehari-hari, jadi “KOPITIAM” bukan milik umum (Pasal 5
huruf c jo. Pasal 5 huruf D Undang-Undang No. 15 Tahun 2001);
Bahwa hal tersebut sesuai dengan keterangan ahli Drs. Ahmat Hasan, SH.,
yang menjelaskan bahwa kata umum adalah semua kata yang umum
dipakai dalam percakapan sehari-hari;
Bahwa merek KOK TONG KOPITIAM milik Pemohon Peninjauan
Kembali mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek
KOPITIAM milik Termohon Peninjauan Kembali;
88
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mendaftarkan merek KOK
TONG KOPITIAM dengan iktikad tidak baik, karena ingin membonceng
keberhasilan merek KOPITIAM milik Termohon Peninjauan Kembali;”
Dalam perkara ini terdapat perbedaan pendapat dari Hakim Anggota I
yaitu: Syamsul Ma’arifdan Hakim Anggota II yaitu: Nurul Elmiyah dengan
pendapat sebagai berikut:
Pendapat Syamsul Ma’arif:
“Bahwa alasan peninjauan kembali dapat dibenarkan karena setelah
meneliti secara saksama memori peninjauan kembali dan kontra memori
peninjauan kembali dihubungkan dengan pertimbangan Judex Juris
ternyata benar terdapat kekeliruan nyata dalam putusan Judex Juris
dengan pertimbangan bahwa kata KOPITIAM adalah kata yang secara
umum digunakan oleh masyarakat Melayu untuk sebuah kedai yang
menjual kopi sehingga semua kedai yang menjual kopi pada dasarnya
berhak menggunakan kata tersebut untuk melengkapi merek dagangnya
sehingga dalam perkara a quo unsur dominan dalam menentukan ada
tidak adanya persamaan pada pokoknya pada merek KOK TONG
KOPITIAM milik Pemohon Peninjauan Kembali/Tergugat adalah bukan
pada kata KOPITIAM tetapi pada kata KOK TONG, dan oleh karenanya
merek milik Pemohon Peninjauan Kembali/Tergugat I tidak memiliki
persamaan pada pokoknya dengan merek KOPITIAM milik Termohon
Peninjauan Kembali/Penggugat;”
Pendapat Nurul Elmiyah,:
“Bahwa kata “KOPITIAM” merupakan istilah yang telah umum
digunakan di daerah Pemohon Peninjauan Kembali/Tergugat I tinggal,
yang merupakan gabungan dari kata “KOPI” dalam Bahasa Melayu dan
POJ: Tiam dari Bahasa Hokkian yang berarti Kedai; • Bahwa hal ini
membuktikan bahwa kata “KOPITIAM” adalah sebuah kata yang
bersifat generik/sudah umum digunakan; • Bahwa seharusnya merek
generik “KOPITIAM” tidak dapat didaftar berdasarkan Undang-Undang
89
merek 2001 (Pasal 5 huruf c UndangUndang No. 15 Tahun 2001 tentang
merek
Pertanyaan untuk mahasiswa:
1. Menurut pendapat saudara apakah persamaan berupa kata kopitiam dalam
merek KOPITIAM dan KOK TONG KOPITIAM termasuk kedalam
persamaan pada pokoknya?
2. Menurut pendapat saudara apakah kata kopitiam merupakan kata umum
sehingga seharusnya tidak dapat didaftarkan sebagai merek? Jelaskan
dengan memakai teori secondary meaning
3. Apakah menurut saudara merek KOK TONG KOPITIAM sudah beritikad
buruk dalam pendaftaran mereknya?
B. Kasus di Luar Negeri
1. Kasus Kp Permanent Make-Up, Inc. vs. Lasting Impression Inc123
KP permanent, Inc (“KP”) dalam kasus ini adalah penggugat, sementara
Lasting Impression I, Inc “Lasting”) dalam kasus ini adalah tergugat. Keduanya
123 Nikki Pope, “Still A Ball of Confusion: KP Permanent Make-Up, Inc. v. Lasting Imperssion I, Inc.”, Chicago-Kent Journal of International and Comparative Law, Volume 4, 2005, hlm. 292
90
memproduksi dan menjual “permanent make-up”; suatu kombinasi dari pigmen
dan cairan yang dinjeksikan kedalam kulit menyerupai sebuah tato. Kedua belah
pihak sama-sama menggunakan istilah “Micro Color” untuk memasarkan dan
menjual produk permanent make-up.
Lasting mendaftarkan merek untuk “MICRO COLORS” pada tahun 1993,
yang pada tahun 1999 menjadi incontestable. Sementara KP mulai menggunakan
istilah “micro colors” pada tahun 1990. Pada tahun 1999, KP mencetak brosur
setebal 10 halaman yang mengiklankan warna permanent make-up mereka dengan
menggunakan istilah “Microcolor” yang tertera dengan ukuran besar dan menarik
perhatian masyarakat. Lasting kemudian mensomasi KP bahwa KP telah
melanggar merek Lasting dan mengajukan gugatan pelanggaran merek terhadap
KP. Dalam hal ini KP membantah telah melakukan pelanggaran merek karena
penggunaan istilah “Micro Color” tidak melanggar merek “MICRO COLOR”
milik Lasting.
District Court mengabulkan permohonan KP bahwa KP berhak
mendapatkan fair use defense sesuai dengan 15 U.S.C. § 1115(b)(4). Lasting
kemudian mengajukan Appeal (banding) dan Ninth Circuit memutuskan bahwa
District Court telah keliru dengan tidak mempertimbangkan kemungkinan
kebingungan (likelihood of confusion) dalam membuat putusan. KP kemudian
mengajukan kasasi kepada Supreme Court dan Supreme Court
mempertimbangkan apakah terduga pelanggar merek mempunyai beban untuk
membuktikan ketiadaan kebingungan (absence oif confusion) ketika mengajukan
fair use defense.
Pertimbangan district court sebagai berikut bahwa istilah “micro color”
adalah generic. Kedua belah pihak menunujukkan bukti dari pencarian internet
yang mengindikasikan bahwa “microcolors” sudah digunakan di berbagai
industry, tetapi tidak digunakan dalam industri make-up permanen. District Court
menerima penjelasan pihak KP yaitu menimbang bahwa istilah pigment dan
colors digunakan silih berganti dalam industry, maka begitu juga dengan istilah
“micropigments” dan “microcolors”. Karena pihak Lasting tidak dapat
91
mengajukan bukti bahwa istilah “micro-colors” tidak digunakan secara umum
maka district court memutuskan bahwa istilah “micro color” adalah generic.
District Court memutuskan bahwa sekalipun istilah “micro color” bukan
istilah generic, istilah tersebut adalah deskriptif tanpa secondary meaning. Pihak
lasting mendalilkan bahwa “micro color” dan “microcolors” adalah merek
deskriptif dan pihak KP tidak dapat membuktikan bahwa istilah tersebut .telah
memperoleh secondary meaning.
Pertanyaan untuk mahasiswa:
1. Menurut pendapat saudara apakah ada kemungkinan kebingungan
(likelihood of confusion) ketika melihat kedua merek tersebut diatas?
2. Apakah kemungkinan kebingungan (likelihood of confusion) sama dengan
persamaan pada pokoknya?
2. Kasus STARBUCKS VS STARBUNG
92
Pada pertengahan Oktober 2012, Damrong Maslae, pemilik kedai kopi
bermerek STARBUNG mendapatkan surat somasi mengenai merek STARBUNG
yang dimilikinya tersebut. Surat tersebut berbunyi sebagai berikut: 124
Dear Mr. Damrong
I am Serbsiri Tavipon, Attorney-at-Law on behalf of Starbucks Coffee
(Thailand) Co., Ltd, which is the owner of "Starbucks Coffee and the two
overlapping rings in green". Thus, these identifications are not only recognized as
my client's business trademark and an official trade name, but also my client has
an entirety right in intellectual property right that relates to your and others'
products domestically and internationally.
Recently, my client has (been) informed that you are the owner of the Thai
coffee street vendor entitled Starbung Coffee, which serves coffee and other
beverages in Bangkok.
The trademark design of your Starbung Coffee and the two overlapping
rings (are) obviously similar to the renowned trademark of my client. Especially,
the word "Star" and "Coffee" that are designed, positioned, colored – including
text design – in the same (manner) as my client's trademark. Moreover, the
overview of your trademark presenting the two overlapping green circles is very
much like my client's trademark. I am pleased to inform you that aforementioned
detail of your business practice is considered to be violting my client's trademark.
My Client Trademark (Left) and Your Logo (Right)
124 Wichian Lattipongun, Starbucks Coffee vs. Starbung Coffee: A Win/Win Possibility
on the Trademark Infringement Issue, NIDA Case Research Journal, Vol. 8 No. 2 (July-December 2016), hlm. 27.
93
Anyhow, even though we have the right to take you to the court according
to the law,… my client chooses to compromise with you in order to find dispute
resolution. In this regard, we would ask for your cooperation to respond in (this)
matter in writing back to us within 7 consecutive days (from) the date you have
received this letter to insist (sic) your cooperation in following as below:
1) On hold and stop violating my client's trademark. Don't use the similar
name and trademark that relate to my client's trademark in your business
again.
2) Remove and destroy your existing products, signs, and online and office
line advertising and promotional materials immediately, such as store
decorations, stickers, leaflets, handouts, etc. that contain the word
"Starbung Coffee associating with the two overlapping green circles
within 7 consecutive days (of) the date you have received this letter.
3) Once you have taken the action as the above requests, please forward
pictures to Tilleke and Gibbins International Ltd. Immediately to clarify
your action.
4) Agree to not launch an application to register your trademarks or business
names that are similar to my client's trademark.
5) Sign your name on page 3 and forward this letter to Tilleke and Gibbins
International Ltd. Within 7 consecutive days of the date you have received
this letter, and agree to not violating intellectual property of my client in
the future.
Pertanyaan untuk mahasiswa:
1. Bila saudara adalah pemilik merek STARBUNG, apakah akan menerima
somasi yang diajukan oleh pemilik merek STARBUCKS, atau saudara
akan membela hak saudara sebagai pemilik merek STARBUNG?
94
2. Apakah kasus diatas merupakan kasus dilusi merek? Jelaskan dengan teori
dilusi merek khususnya mengenai selling power dan reputasi merek
terkenal?
3. Apabila kasus serupa terjadi di Indonesia apakah merek STARBUNG
akan dibatalkan karena memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek
STARBUCKS?
95
BAB V
HARMONISASI PERLINDUNGAN MEREK
A. Standar Minimum Perlindungan Merek Berdasarkan TRIPs
Tujuan instruksional: mahasiswa dapat standar minimum perlindungan merek
berdasarkan TRIPs.
Indikator Capaian Tujuan Pembelajaran: Standar minimum perlindungan merek
berdasarkan TRIPs dapat dipahami oleh mahasiswa dengan baik.
Article 1 TRIPs mengatur bahwa Indonesia harus mengakomodir atau
paling tidak harus memenuhi (pengaturan) standar minimum semua isu yang
terdapat dalam kerangka WTO, Article 1 TRIPs selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
"Members shall give effect to the provisions of this Agreement. Members may, but
shall not be obliged to, implement in their law more extensive protection than is
required by this Agreement, provided that such protection does not contravene the
provisions of this Agreement. Members shall be free to determine the appropriate
method of implementing the provisions of this Agreement within their own legal
system and practice."
Article 15 sampai dengan Article 21 TRIPs mengatur mengenai Standar
minimum perlindungan merek. Article 15 TRIPs mengatur mengenai definisi dan
pendaftaran merek. Article 15 TRIPs selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1. Any sign, or any combination of signs, capable of distinguishing the goods
or services of one undertaking from those of other undertakings, shall be
capable of constituting a trademark. Such signs, in particular words
including personal names, letters, numerals, figurative elements and
96
combinations of colours as well as any combination of such signs, shall be
eligible for registration as trademarks. Where signs are not inherently
capable of distinguishing the relevant goods or services, Members may
make registrability depend on distinctiveness acquired through use.
Members may require, as a condition of registration, that signs be visually
perceptible.
2. Paragraph 1 shall not be understood to prevent a Member from denying
registration of a trademark on other grounds, provided that they do not
derogate from the provisions of the Paris Convention (1967).
3. Members may make registrability depend on use. However, actual use of
a trademark shall not be a condition for filing an application for
registration. An application shall not be refused solely on the ground that
intended use has not taken place before the expiry of a period of three
years from the date of application.
4. The nature of the goods or services to which a trademark is to be applied
shall in no case form an obstacle to registration of the trademark.
5. Members shall publish each trademark either before it is registered or
promptly after it is registered and shall afford a reasonable opportunity
for petitions to cancel the registration. In addition, Members may afford
an opportunity for the registration of a trademark to be opposed.
Article 16 TRIPs mengatur mengenai pelanggaran merek, yang
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1. The owner of a registered trademark shall have the exclusive right to
prevent all third parties not having the owner’s consent from using in the
course of trade identical or similar signs for goods or services which are
identical or similar to those in respect of which the trademark is registered
where such use would result in a likelihood of confusion. In case of the
use of an identical sign for identical goods or services, a likelihood of
confusion shall be presumed. The rights described above shall not
prejudice any existing prior rights, nor shall they affect the possibility of
Members making rights available on the basis of use.
97
2. Article 6bis of the Paris Convention (1967) shall apply, mutatis mutandis,
to services. In determining whether a trademark is well-known, Members
shall take account of the knowledge of the trademark in the relevant sector
of the public, including knowledge in the Member concerned which has
been obtained as a result of the promotion of the trademark.
3. Article 6bis of the Paris Convention (1967) shall apply, mutatis mutandis,
to goods or services which are not similar to those in respect of which a
trademark is registered, provided that use of that trademark in relation to
those goods or services would indicate a connection between those goods
or services and the owner of the registered trademark and provided that
the interests of the owner of the registered trademark are likely to be
damaged by such use.
Article 16 Ayat (1) tersebut mengatur mengenai persamaan pada keseluruhan dan
persamaan pada pokoknya. Dalam article tersebut terdapat satu unsur yang
diabaikan dalam Hukum Merek di Indonesia yaitu Likelihood of Confusion.
Praktik yudisial dalam pembatalan merek di Indonesia cenderung tidak fair karena
mengabaikan elemen substantif bahwa bukan hanya "persamaan pada pokoknya"
yang menjadi isu, tetapi juga "adanya kemungkinan kebingungan" (likelihood of
confusion) sebagai akibat, yang ditimbulkan oleh adanya persamaan atau
kemiripan tersbut juga hendaknya dipertimbangkan oleh pengadilan.125
Penyelesaian sengketa merek di Indonesia hanya berfokus dalam mencari
persamaan dan perbedaan antara kedua merek yang bersengketa. Selain
pengabaian terhadap unsur likelihood of confusion, pengaturan mengenai
persamaan pada pokoknya juga tidak memberikan panduan yang jelas mengenai
menentukan ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya. Ketiadaan panduan
yang jelas dapat mengakibatkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi para pihak
125 Indirani Wauran, Titon Slamet Kurnia, Confusion dan Pembatalan Merek oleh
Pengadilan, Mimbar Hukum Volume 27, Nomor 2, Juli 2015, Hlm. 272
98
karena penyelesaian sengketa merek sangat bergantung pada subyektivitas
Hakim.126
Article 17 TRIPs mengatur mengenai Pengecualian perlindungan terhadap
merek,seperti Fair Use, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Members may provide limited exceptions to the rights conferred by a trademark,
such as fair use of descriptive terms, provided that such exceptions take account
of the legitimate interests of the owner of the trademark and of third parties.
Berdasarkan Article 17 TRIPs tersebut pengaturan asas fair use bukan
merupakan suatu kewajiban bagi suatu Negara anggota WTO yang meratifikasi
TRIPs. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis tidak diatur mengenai asas fair use. Asas Fair Use dapat
ditemukan dalam berbagai yurisprudensi yang memutus mengenai sengketa merek
yang melibatkan kata umum. Beberapa yurisprudensi diantaranya adalah:
Putusan MA Nomor 04 K/N/HaKI/2001 yang pada pokoknya menyatakan:
“Bahwa benar merek Penggugat asal dan Tergugat asal sama-sama menggunakan
kata “Berger” yang merupakan kata umum, namun keduanya mempunyai daya
pembeda dengan adanya penambahan kata setelah “Berger” yaitu “Master” untuk
merek Penggugat asal (Berger-Mater) dan “Seidl” untuk merek Tergugat asal
(Berger-Seidle), sehingga baik segi kata-kata maupun bunyi tidak ada
persamaan”;
Pertimbangan Hukum pada putusan Mahkamah Agung RI No. 023
K/N/HaKI/2005 yang menyatakan:
“Bahwa merek “Espresso” (kata tunggal) yang telah terdaftar dengan Nomor
Daftar 328456 sebagai merek dagang jenis kopi, tetapi dengan pendaftarannya itu
tidak berarti penggunaan kata “Espresso” menjadi monopoli milik pihak yang
telah mendaftarkan tersebut, karena kata Espresso bermakna sari kopi atau kopi
126 Rika Ratna Permata, Tasya Safiranita Ramli, Biondy Utama, Similarity In Indonesia
Trademark Law, NTUT Journal of Intellectual Property Law and Management, Volume 8, Issue 1, 2019, Hlm. 63.
99
yang pekat, sehingga penggunaan kata Espresso tersebut dapat dipergunakan
semua orang asalkan tidak bersifat kata tunggal”;
Pertimbangan Hukum Putusan No. 958 K/Pdt.Sus/2010 yang menyatakan:
“Holiday adalah suatu kata yang bersifat umum, bukan milik perseorangan dan
setiap orang dapat menggunakannya setelah dikaitkan dengan kata lainnya seperti
Pemohon menggunakan “HOLIDAY INN Resorts”, Termohon menggunakan
Holiday Resorts Lombok”.“Holiday” dari Bahasa asing tidak dapat dimonopoli
dan dijadikan merek; Memang benar semua kata umum dapat dijadikan merek,
namun kata yang telah menjadi milik umum yang memiliki arti khusus/arti
tertentu tidak dapat dijadikan merek dan tidak bisa dimonopoli.”
Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Agung No. 03 PK/N/HaKI/2004
“Bahwa Power Glue sendiri hanya merupakan keterangan atau berkaitan dengan
barang sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 5 d Undang undang No. 15 Tahun
2001, sehingga tidak ada kemiripan antara merek milik Penggugat dengan merek
milik Tergugat I;”
Pertimbangan Hukum Putusan No. 41/MEREK/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan ahli Dr. Cita Citrawinda Noerhadi,
SH., MIP bahwa jika suatu merek mengandung unsur kata yang berasal dari
Kamus (dictionary), maka kata-kata tersebut merupakan milik umum dan
karenanya tidak boleh dimonopoli oleh seseorang sebagai mereknya sendiri.”
Article 18 TRIPs mengatur mengenai jangka waktu perlindungan merek,
TRIPs mengatur bahwa jangka waktu perlindungan tidak boleh kurang dari 7
tahun. Article tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Initial registration, and each renewal of registration, of a trademark shall be for a
term of no less than seven years. The registration of a trademark shall be
renewable indefinitely.
100
Article 19 TRIPs mengatur mengenai kewajiban penggunaan merek,
Article 19 tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1. If use is required to maintain a registration, the registration may be cancelled
only after an uninterrupted period of at least three years of non-use, unless
valid reasons based on the existence of obstacles to such use are shown by
the trademark owner. Circumstances arising independently of the will of the
owner of the trademark which constitute an obstacle to the use of the
trademark, such as import restrictions on or other government requirements
for goods or services protected by the trademark, shall be recognized as valid
reasons for non-use.
2. When subject to the control of its owner, use of a trademark by another
person shall be recognized as use of the trademark for the purpose of
maintaining the registration.
101
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal
Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: P.T.
Alumni, 2011,
Ann Bartow, "Likelihood Of Confusion", San Diego Law Review, Vol. 41: 1,
2004
Barton Beebe, “Search and Persuasion in Trademark Law”, Michigan Law
Review, Volume 103, Issue 8, 2005
Barton Beebe, “Search And Persuasion In Trademark Law”,Michigan Law
Review Volume 103
Barton Beebe, “The Suppressed Misappropriation Origins of Trademark
Antidilution Law: the Landgericht Elberfeld’s Odol Opinion and Frank
Schecter’s The Rational Basis of Trademark Protection”, NYU School of
Law, Public Law Research Paper No. 13-36, 2013
Cassavera, Kasus Sengketa Merek di Indonesia, Jogjakarta: Graha Ilmu, Cetakan
Pertama, 2009
David I Bainbridge, Intellectual Property Fourth Edition, Financial Times
Management, Great Britain, 1999,
Frank I. Schecter, “The Rational Basis of Trademark Protection”, Harvard Law
Review, Volume 40, 1927
H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2015
H.M.N. Purwo Sutjipto, Pengertian Pokok-pokok Hukum Dagang Indonesia,
Jakarta: Djambatan, 1984
Hira Jhamtani, Lutfiyah Hanim, Globalisasi dan Monopoli Pengetahuan, telaah
tentang TRIPs dan Keragaman Hayati, Jakarta: INFID KONPHALINDO,
2002
Indirani Wauran, Titon Slamet Kurnia, Confusion dan Pembatalan Merek oleh
Pengadilan, Mimbar Hukum Volume 27, Nomor 2, Juli 2015
102
Julie C. Frymark, "Trademark Dilution: A Proposal to Stop the Infection from
Spreading", Valparaiso University Law Review, Volume 38, 2003
M.Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di
Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19Tahun 1992, Bandung :
Citra Aditya Bhakti, 1996
Marni Emmy Mustafa, Aneka Penegakan Hukum Hak Cipta, Paten, merek dan
Indikasi Geografis, Bandung: P.T. Alumni, 2017, hlm. 46
Mieke Komar, “Bedah Kasus Sengketa Merek Terkenal dan Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI” dalam buku, Refleksi Dinamika Hukum, Rangkaian
Pemikiran dalam Dekade Terakhir”, Jakarta: Perum Percetakan Negara,
2008
Mohammad Amin Naser, "Reexamining The Functions Of Trademark Law,
Chicago-Kent Journal Of Intellectual Property, Volume 8, Issue 1
Nikki Pope, “Still A Ball of Confusion: KP Permanent Make-Up, Inc. v. Lasting
Imperssion I, Inc.”, Chicago-Kent Journal of International and
Comparative Law, Volume 4, 2005
Paul Edward Kim, "Preventing Dilution of The Federal Trademark Dilution Act:
Why The FTDA Requires Actual Economic Harm", University of
Pennyslvania Law Review, Volume 150, No. 2, 2011
Peter Dharos, A Philosophy Intellectual Property, Sydney:Dartmouth Publishing
Company Limited, 1996
R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Cetakan ke-8, Jakarta: Dian
Rakyat, 1983
Rahmi Jened, Alasan Absolut dan Alasan Relatif Pendaftaran merek, Media HKI,
Vol. XII/No,4/Juli 2015
Rahmi Jened, Hukum merek (Trademark Law) Dalam Era Global dan Integrasi
Ekonomi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015
Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia, Dalam Era
Perdagangan Bebas, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004
103
Rika Ratna Permata, Tasya Safiranita Ramli, Biondy Utama, Similarity In
Indonesia Trademark Law, NTUT Journal of Intellectual Property Law and
Management, Volume 8, Issue 1, 2019
Rika Ratna Permata, Tasya Safiranita Ramli, Biondy Utama, Tinjauan Kasus
Tentang Dilusi Merek di Indonesia dan Thailand, Jurnal Hukum Ius Quia
Lustum, Universitas Islam Indonesia, 2019
Robert G Bone, “Schecter’s Ideas In Historical Context and Dilution Rocky
Road”, Santa Clara High Technology Law Journal Volume 24, Issue 3,
2008
Sathita Wimonkunarak, “The Introduction of Trademark Dilution: The Review of
Dilution Concept in ASEAN”, Thailand Law Journal 2014 Spring Issue 1,
Volume 17, 2014
Stacey Dogan, “Bullying and Opportunism in Trademark and Right of Publicity
Law”, Boston University Law Review, Volume 96, No. 3, 2016
Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Bandung :Citra Aditya Bhakti, 1993
Sunaryati Hartono, Hukum ekonomi pembangunan Indonesia, Bandung: Bina
Cipta, 1982
Thomas Mc Carthy, Trademark and Unfair Competition, dikutip dari Michael B.
Weitman, “Fair Use in Trademark in the Post-KP Permanent World: How
Incorporating Principles from Copyright Law Will Lead to Less Confusion
in Trademark Law”, Brooklyn Law Review, Volume 71, Issue 4
Tim Lindsey, (ed.), Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: P.T.
Alumni, 2013
Titon Slamet Kurnia, Perlindungan Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca
Perjanjian TRIPs, Bandung : Alumni, 2011
Uche U. Ewelukwa, “Comparative Trademark Law: Fair Use Defense in The
United States and Europe-The Changin Landscape of Trademark Law”,
Widener Law Review, volume 13, 2006
Walter J. Derenberg, “The Problem of Trademark Dilution and the Antidilution
Statutes”, California Law Review Volume 44, Issue 3,1956
104
Wichian Lattipongun, Starbucks Coffee vs. Starbung Coffee: A Win/Win
Possibility on the Trademark Infringement Issue, NIDA Case Research
Journal, Vol. 8 No. 2 (July-December 2016)
Yulius Rizaldi: Disertasi: Perlindungan Kemasan Merek terkenal Terhadap
Persaingan Curang di Indonesia, 2009
Peraturan Perundang-Undangan
Lanham Act 15 U.S.C. §§ 1127
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 67
Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek, Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 2134
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2019 tentang Tata
Cara Permohonan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Banding pada Komisi
Banding Merek, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor
259
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 57
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 252
Website
Risa Amrikasari, Hukumnya menggunakan brand ternama dalam produk olahan
sendiri,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt57d16932b9230/hukumnya-
menggunakan-brand-ternama-dalam-produk-olahan-sendiri diakses pada
tanggal 30-03-2017 pukul 10.00 WIB
105
Protocol Relating To The Madrid Agreement Conserning the International
Registration of Marks <www.wipo.int/treaties/en/registration/madrid>,
(23/03/2012)
“HaKI: Membaca Aneka Sengketa merek IKEA”, http://wyndra-
associate.com/new/2016/10/12/haki-aneka-sengketa-merek-ikea/, diakses
tanggal 10 Februari 2018.
Top Related