1
PROFIL
GAMBARAN HASIL PENGOBATAN PENDERITA TB PARU
DI POLIKLINIK PARU RS.DR.M.DJAMIL PADANG
PERIODE 1 JANUARI 2007 – 31 DESEMBER 2008
Oleh
dr. NOFRIYANDA
Pembimbing
Prof.dr.H.TAUFIK,SpP(K)
BAGIAN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND / RS.DR.M.DJAMIL
PADANG 2010
2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini Tuberkulosis ( TB ) terutama TB paru masih menjadi masalah kesehatan yang
penting di dunia baik negara berkembang dan juga di sebagian negara maju. Sejak tahun
1993 World Health Organization ( WHO ) telah mencanangkan TB sebagai kedaruratan
dunia ( global emergency ). Hal ini karena situasi TB di dunia yang semakin memburuk
dimana jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan.1
Munculnya pandemi HIV / AIDS didunia menambah permasalahan TB. Ko infeksi
TB dengan HIV akan meningkatkan resiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang
sama, timbulnya kekebalan ganda ( Multi Drug Resisten = MDR ) kuman TB terhadap obat
anti TB semakin menjadi masalah akibat kasus yang sulit disembuhkan dan membutuhkan
biaya yang besar. Selain itu ketidakpatuhan terhadap pengobatan, diagnosis dan pengobatan
yang tidak adekuat juga berpengaruh terhadap peningkatan kasus TB. Keadaan ini pada
akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.1,2
Berdasarkan laporan WHO, secara global terdapat peningkatan kasus TB dari tahun
ke tahun. Pada tahun 2000 didapatkan kasus TB sebanyak 8,3 juta penderita, sedangkan pada
tahun 2007 terjadi peningkatan yang cukup tinggi dimana didapatkan sebanyak 9,27 juta
kasus baru ( 139 per 100.000 penduduk ) dan angka mortalitas sebesar 19,7 per 100.000
penduduk. Kasus TB terbanyak didapatkan di benua Asia ( 55 % ) dan Afrika ( 31 % ).2
Indonesia sebagai negara berkembang menempati peringkat ketiga setelah India dan
China dalam jumlah kasus TB. Jumlah kasus TB sepanjang tahun 2007 diperkirakan sebesar
232.358 orang. Kasus TB paru BTA positif pada tahun 2007 sebesar 160.617 kasus dengan
angka penemuan penderita ( Case Detection Rate / CDR ) sebesar 69,12 %. Pencapaian ini
hampir mendekati global target yaitu 70 %. Sementara itu angka insiden kasus baru BTA (+)
mengalami kecenderungan penurunan kasus selama kurun waktu 2000 – 2006 dari 126 per
100.000 penduduk menjadi 104 per 100.000 penduduk. Penurunan ini tidak terlepas dari
adanya pengendalian penyakit TB.3
3
Untuk menangani masalah TB yang makin meningkat secara global ini maka pada
awal tahuh 1990 an WHO dan IUATLD ( International Union Against Tuberculosis and
Lung Diseases ) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai
strategi DOTS ( Directly Observed Treatment Shortcourse ). Strategi DOTS meliputi
5 komponen dimana didalamnya terdapat tatalaksana penderita TB mulai dari menegakkan
diagnosis, penyediaan obat, pengobatan dengan pengawasan, monitoring pengobatan serta
sistem pencatatan dan pelaporan. Program DOTS telah terbukti sebagai strategi
penanggulangan yang efektif dimana fokus DOTS adalah penemuan dan penyembuhan
penderita TB paru. Strategi DOTS terbukti dapat mengurangi kasus yang gagal pengobatan,
kambuh dan mencegah kasus Multi Drug Resisten ( MDR ).4,5,6
Target utama dalam mengontrol kasus TB meliputi penurunan insiden kasus TB pada
tahun 2015, penurunan angka prevalensi TB dan angka kematian, insiden kasus sediaan (+)
harus terdeteksi dan diobati dengan program DOTS minimal 70 % dan keberhasilan
pengobatan kasus sediaan (+) minimal 85 %.1,2
Berdasarkan Profil Kesehatan yang
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan tahun 2007 disebutkan bahwa angka keberhasilan
pengobatan TB di Indonesia selama periode 2003 – 2006 selalu diatas target 85 %. Pada
tahun 2003 angka keberhasilan pengobatan TB sekitar 87 %, sedangkan pada tahun 2004
sebesar 89 % dan pada tahun 2005 - 2006 sebesar 91 %.3
Sementara itu di Propinsi Sumbar
pada tahun 2005 didapatkan angka kesembuhan yang masih dibawah target yang telah
ditetapkan yaitu sebesar 82,6 %.7
Rumah sakit sebagai salah satu pusat kesehatan masyarakat memberikan kontribusi
besar dalam penanggulangan penyakit TB ditengah masyarakat karena berdasarkan Survey
Kesehatan Rumah Tangga ( SKRT ) tahun 2004 menunjukkan bahwa sekitar 40 % penderita
TB datang berobat ke rumah sakit.dikutip dari 7
Keberhasilan pengobatan TB ini sangat penting
untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutus
rantai penularan dan mencegah timbulnya MDR TB. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi
terhadap keberhasilan pengobatan pada penderita TB terutama pengobatan TB paru
di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang karena rumah sakit ini termasuk dalam jejaring
Unit Pelayanan Kesehatan pelaksana program DOTS.
4
1.2 Tujuan Penelitian
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran hasil pengobatan penderita TB paru yang berobat di Poliklinik
Paru RS.DR.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2008.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik penderita TB paru yang berobat di Poliklinik Paru
RS.DR.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2008 meliputi ;
a. Jumlah penderita
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Pekerjaan
e. Tipe penderita
f. Kategori OAT
g. BTA sputum
h. Penyakit penyerta.
2. Mengetahui angka konversi BTA sputum pada penderita TB paru yang berobat
di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2007 –
31 Desember 2008.
3. Mengetahui gambaran hasil pengobatan penderita TB paru yang berobat
di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2007 –
31 Desember 2008.
4. Mengetahui angka kesembuhan (cure rate ) penderita TB paru BTA (+) yang berobat
di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2007 –
31 Desember 2008.
5. Mengetahui angka drop out penderita TB paru BTA (+) yang berobat di Poliklinik
Paru RS.DR.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2008
1.3 Manfaat Penelitian
1. Sebagai salah satu bahan untuk evaluasi keberhasilan pengobatan penderita TB paru
di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang.
2. Sebagai salah satu rujukan untuk penelitian selanjutnya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis tipe humanus dimana proses penularan penyakit ini terjadi
terutama secara droplet.8,9,10
2.2 Patogenesis
Penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas
akan bersarang di jaringan paru dan membentuk sarang primer atau afek primer. Dari sarang
primer terjadi peradangan saluran getah bening menuju hilus ( limfangitis lokal ). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus ( limfadenitis regional ). Afek
primer, limfangitis lokal dan limfadenitis regional dikenal dengan komplek primer.8,9,10,11
Selanjutnya komplek primer akan mengalami salah satu proses :
1. Sembuh tanpa bekas
2. Sembuh dengan bekas seperti garis fibrotik sarang sarang perkapuran.
3. Menyebar ke sekitar atau organ lain dengan cara :
a. Perkontinuitatum dimana terjadi penyebaran ke daerah sekitarnya.
b. Penyebaran secara bronkogen baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen dimana penyebaran dapat
mencapai ke organ tubuh lainnya seperti ginjal, tulang, dan lainnya.
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi
kuman.8,11
Pada tuberkulosis post primer akan muncul bertahun – tahun kemudian setelah
tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15 – 40 tahun. Tuberkulosis post primer
dimulai dengan sarang dini yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun
lobus inferior. Sarang ini akan mengikuti salah satu proses :
1. Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan bekas
2. Sarang menjadi meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan fibrosis dan
timbul perkapuran. Sarang ini dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk
jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
6
3. Sarang meluas dengan membentuk jaringan keju dan akan membentuk kaviti bila
jaringan keju dibatukkan.. Kaviti ini dapat meluas, memadat membentuk tuberkuloma
atau sembuh.8,10,11
2.3 Gejala Klinis
Gejala klinis penderita TB paru sangat bervariasi dari mulai tanpa gejala klinis sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi di paru. Namun secara umum gejala klinis
pada penderita TB paru dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu gejala lokal / respiratorik dan
gejala sistemik.8,11,12
a. Gejala lokal / respiratorik meliputi :
- Batuk – batuk 2 – 3 minggu atau lebih dengan dahak yang mukoid hingga
purulen.
- Batuk darah
- Sesak nafas
- Nyeri dada
b. Gejala sistemik meliputi :
- Demam yang hilang timbul dan tidak tinggi
- Keringat malam
- Penurunan berat badan
- Malaise dan anoreksia.
2.4 Pemeriksaan Fisik
Kelainan yang ditemukan dari pemeriksaan fisik pada penderita TB paru tergantung
pada luas kelainan struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya sulit
menemukan kelainan. Tanda – tanda dini berupa konsolidasi serta didapatkan tanda – tanda
sekret di bronkus kecil. Karena penjalaran proses yang menahun maka biasanya penderita
datang dalam keadaan penyakit yang sudah lanjut. Kelainan fisik dapat berupa radang pada
mukosa dengan penyempitan maupun penimbunan sekret, konsolidasi, fibrosis, atelektasis
dan kavitas. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan antara lain suara nafas bronkial, amforis, suara nafas melemah dan ronki
basah.8,10,12
7
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berguna untuk membantu menegakkan diagnosis TB paru,
yang meliputi 8,11
:
1. Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik meliputi pemeriksaan mikroskopik langsung dan
pemeriksaan tidak langsung ( kultur ).
a. Pemeriksaan mikroskopik langsung adalah pemeriksaan untuk menemukan
Basil Tahan Asam ( BTA ) dalam sediaan apus sputum.
b. Pemeriksaan kultur / biakan yang merupakan gold standard untuk menegakkan
diagnosis tuberkulosis paru.
2. Radiologik
Beberapa gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif, meliputi :
a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan segmen posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
b. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
c. Bayangan bercak milier.
d. Efusi pleura unilateral ( umumnya ) atau bilateral ( jarang ).
3. Pemeriksaan Khusus
a. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap kuman
Mycobacterium tuberculosis seperti ; Enzym Linked Immunosorbent Assay
( ELISA ), Immunochromatographic ( ICT ), Mycodot, Peroksidase Anti
Peroksidase ( PAP ) dan IgG TB.
b. Pemeriksaan BACTEC.
c. Polymerase Chain Reaction ( PCR ).
2.6 Diagnosis TB Paru
Untuk menegakkan diagnosis TB paru dibutuhkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi keluhan berupa batuk – batuk 2 – 3 minggu atau
lebih, batuk darah, sesak nafas dan nyeri dada. Keluhan demam yang bersifat hilang timbul
dan keringat malam.
8
Semua penderita yang dicurigai menderita TB paru harus menjalani pemeriksaan
mikroskopis sputum sekurang – kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali dimana minimal 1 kali
pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari. Pada program penanganan TB paru, penemuan
Basil Tahan Asam ( BTA ) melalui pemeriksaan sputum mikroskopik merupakan diagnostik
utama. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB paru hanya berdasarkan pemeriksaan foto thorak
saja karena dapat menimbulkan misdiagnosis. Bila ada fasilitas maka harus dilakukan
pemeriksaan kultur sebagai gold standar.1,11,13,14
Dibawah ini dijabarkan alur dalam
menegakkan diagnosis TB paru.
Gambar 1. Alur diagnosis TB paru dikutip dari 1
9
2.7 Klasifikasi penderita TB paru
Penderita TB paru diklasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan BTA sputum1,11
:
1. TB paru BTA (+)
- Sekurang – kurangnya 2 dari 3 spesimen sputum SPS ( Sewaktu - Pagi –
Sewaktu ) hasilnya BTA (+) atau
- 1 spesimen sputum SPS hasilnya BTA (+) dan foto thorak dada menunjukkan
gambaran TB atau
- 1 spesimen sputum SPS hasilnya BTA (+) dan biakan kuman TB (+) atau
- 1 atau lebih spesimen sputum hasilnya (+) setelah 3 spesimen sputum SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasil BTA (-) dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotik Non Obat Anti Tuberkulosis ( OAT ).
2. TB paru BTA (-)
Meliputi kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA (+), dimana :
- Paling tidak 3 spesimen sputum SPS hasilnya BTA (-)
- Foto thorak abnormal menunjukkan gambaran TB paru aktif
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.
2.8 Tipe penderita TB paru
Pengobatan penderita TB paru ditentukan oleh tipe penderita dimana tipe penderita
TB paru ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan dengan OAT sebelumnya.1,11
1. Kasus Baru
Adalah penderita TB paru yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah minum OAT kurang dari 1 bulan ( 4 minggu ).
2. Kasus Kambuh ( relaps )
Adalah penderita TB paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
dengan OAT dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
didiagnosis kembali sebagai TB paru dengan pemeriksaan BTA (+) baik secara
apusan maupun dengan kultur.
3. Kasus Putus Berobat ( Default )
Adalah penderita TB paru yang telah berobat lebih dari 1 bulan kemudian tidak
minum OAT selama 2 bulan berturut – turut atau lebih. Biasanya penderita datang
dengan hasil pemeriksaan BTA (+).
10
4. Kasus Gagal ( Failure )
Adalah penderita TB paru yang hasil pemeriksaan sputumnya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama masa pengobatan
dengan OAT. Penderita TB paru BTA (-) menjadi BTA (+) setelah menjalani fase
intensif termasuk kategori kasus gagal.
5. Kasus Pindahan
Adalah penderita TB paru yang dipindahkan dari Unit Pelayanan Kesehatan
( UPK ) lain yang memiliki registrasi TB untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus Kronik
Adalah penderita TB paru dengan hasil pemeriksaan BTA masih (+) walaupun
telah selesai mendapat pengobatan ulangan dengan kategori II.
.
2.9 Pengobatan
Tujuan pengobatan pada penderita TB paru adalah untuk menyembuhkan penderita,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT.11
Prinsip pengobatan terhadap penderita TB paru meliputi :1,11
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
b. Pengobatan diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan.
c. Pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat ( PMO ) untuk
menjamin kepatuhan penderita menelan obat.
Paduan Obat Anti TB1,5,11
1. Kategori I ( 2 HRZE / 4H3R3 )
Paduan OAT kategori ini diberikan untuk penderita baru :
a. Penderita baru TB paru dengan BTA positif.
b. Penderita baru TB paru dengan BTA negatif tapi foto thoraks tampak tanda –
tanda aktif.
c. Penderita TB Ekstra paru.
2. Kategori II ( 2 HRZES / HRZE / 5 H3R3E3 )
Paduan OAT ini diberikan untuk penderita TB paru BTA positif yang telah
diobati dengan OAT sebelumnya :
a. Penderita TB paru yang kambuh.
11
b. Penderita TB paru yang gagal dengan pengobatan sebelumnya.
c. Penderita TB paru dengan riwayat putus berobat dan kembali dengan hasil
BTA sputum positif.
Selain kategori pengobatan diatas terdapat kategori khusus yang diberikan pada kasus
kronik dan MDR. Obat OAT yang diberikan pada kategori ini disesuaikan dengan hasil uji
resistensi.
2.10 Hasil Pengobatan
Hasil pengobatan pada penderita TB paru yang mendapat OAT dikelompokkan
menjadi ; sembuh, lengkap, meninggal, pindah, putus berobat atau gagal.1,11,15
1. Sembuh
Adalah penderita TB paru yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang sputum (follow-up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan
pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya.
2. Pengobatan Lengkap
Adalah penderita TB paru yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal, dimana belum ada hasil
pemeriksaan BTA sputum. Penderita TB paru BTA (-) yang pada pemeriksaan sputum
akhir pengobatan tetap negatif dinyatakan sebagai pengobatan lengkap.
3. Meninggal
Adalah penderita TB paru yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.
4. Pindah
Adalah penderita TB paru yang pindah berobat ke Unit Pelayanan Kesehatan ( UPK )
lain dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
5. Putus Berobat ( Default )
Adalah penderita TB paru yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
6. Gagal
Adalah penderita TB paru BTA (+) yang hasil pemeriksaan sputumnya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Penderita TB paru BTA (-) menjadi BTA (+) setelah menjalani fase intensif termasuk
kategori kasus gagal.
12
2.11 Evaluasi Pengobatan
Evaluasi atau penilaian terhadap penderita TB paru yang sedang minum OAT
meliputi evaluasi klinis, bakteriologik, radiologi dan efek samping obat serta keteraturan
berobat.11,15
1. Evaluasi klinis
Penderita TB paru dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
kemudian selanjutnya dilakukan evaluasi setiap 1 bulan. Evaluasi klinis ini meliputi
keluhan, berat badan dan pemeriksaan fisis.
2. Evaluasi bakteriologik
Evaluasi ini bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi BTA sputum.
Pemeriksaan BTA sputum ini dilakukan pada :
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan ( setelah fase intensif )
- Pada akhir pengobatan.
3. Evaluasi radiologi
Evaluasi foto thorak serial dilakukan pada penderita TB paru bertujuan untuk melihat
perbaikan secara radiologis. Evaluasi radiologis ini dilakukan bersamaan dengan
evaluasi bakteriologik.
4. Evaluasi efek samping
Evaluasi ini untuk melihat efek samping yang timbul akibat pemakaian OAT. Evaluasi
ini meliputi ;
- Pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal sebelum pengobatan.
- Bila pada evaluasi klinis terdapat kelainan maka dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk memastikannya.
- Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol ( bila ada
keluhan).
- Pemeriksaan uji keseimbangan dan audiometri bila mendapat streptomisin
( bila ada keluhan ).
5. Evaluasi keteraturan berobat
Keteraturan berobat penderita TB paru sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
pengobatan. Perlunya penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan
berobat karena ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi. Penyuluhan ini diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungannya.
13
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif yaitu memberikan
gambaran hasil pengobatan penderita TB paru di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang
periode 1 Januari 2007 sampai 31 Desember 2008 berdasarkan data rekam medik penderita.
3.2 Subjek dan Tempat Penelitian
3.2.1 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah penderita yang didiagnosis TB paru dan mendapat terapi
OAT di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2007 sampai
31 Desember 2008.
3.2.2 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil dan Bagian Rekam Medis
RS.DR.M.Djamil Padang bulan Juni 2009 – Agustus 2009
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh penderita yang didiagnosis TB paru dan mendapat
terapi OAT dari Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2007 sampai
31 Desember 2008. Seluruh populasi yang memiliki data lengkap dimasukkan sebagai sampel
penelitian.
3.4 Pengumpulan Data
Data diambil dari arsip rekam medik penderita TB paru yang mendapat OAT di
Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2007 sampai 31 Desember 2008.
Data yang dikumpulkan meliputi ; jumlah penderita, umur, jenis kelamin, kategori OAT,
BTA sputum awal pengobatan, 2 bulan pengobatan dan akhir pengobatan, hasil pengobatan
dan penyakit penyerta.
3.5 Pengolahan dan Analisa data
Semua data yang diperoleh diolah secara manual dan disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekwensi.
14
3.6 Definisi Operasional
3.6.1 Penderita TB paru adalah penderita yang didiagnosis dan diterapi sebagai TB paru
berdasarkan klinis, bakteriologis dan radiologis.
3.6.2 Umur adalah usia penderita saat mendapat pengobatan OAT di Poliklinik Paru
RS.DR.M.Djamil Padang sesuai dengan catatan rekam medik. Penderita
dikelompokkan dalam interval usia 10 tahun dengan usia < 20 tahun, 20 -29 tahun,
30 – 39 tahun, 40 – 49 tahun, 50 – 59 tahun, 60 – 69 tahun dan ≥ 70 tahun.
3.6.3 Pekerjaan digolongkan menjadi PNS, Non PNS dan belum bekerja.
3.6.4 Hasil BTA sputum adalah pemeriksaan mikroskopik kuman BTA pada sediaan
langsung dengan pewarnaan Ziehl Nielsen. Hasil pemeriksaan BTA sputum
dikelompokkan pada awal pengobatan, bulan ke 2 dan akhir pengobatan.
3.6.5 Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
a. Kasus Baru adalah penderita TB paru yang belum pernah diobati dengan OAT
atau sudah pernah minum OAT kurang dari 1 bulan ( 4 minggu ).
b. Kasus Kambuh ( relaps ) adalah penderita TB paru yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian didiagnosis kembali dengan BTA (+) (apusan atau kultur).
c. Kasus Putus berobat ( Default atau drop out ) adalah penderita yang telah
minum OAT minimal 1 bulan kemudian tidak datang berobat 2 bulan berturut
– turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus Gagal ( Failure ) adalah penderita TB paru BTA (+) yang hasil
pemeriksaan sputumnya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan. Penderita TB paru BTA (-) yang
pemeriksaan sputum setelah fase intensif menjadi BTA (+), dinyatakan
sebagai kasus gagal.
e. Kasus Pindah adalah penderita yang dipindahkan dari UPK yang memiliki
registrasi TB ke Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang untuk melanjutkan
pengobatannya.
f. Kasus Kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan BTA sputum
masih (+) setelah selesai menjalani pengobatan ulangan dengan kategori II.
3.6.6 Kategori OAT adalah jenis pengobatan yang diberikan pada penderita TB paru yang
dibedakan atas kategori I, kategori II dan kategori khusus.
3.6.7 Penyakit penyerta adalah penyakit tambahan yang diderita oleh penderita TB paru
15
3.6.8 Hasil pengobatan adalah hasil akhir pengobatan. Hasil pengobatan ini dikelompokkan
atas sembuh, lengkap, pindah, gagal dan putus berobat.
a. Sembuh adalah penderita TB paru yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap dan pemeriksaan ulang sputum (follow-up) hasilnya negatif pada akhir
pengobatan dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya.
b. Pengobatan lengkap adalah penderita TB paru yang telah menyelesaikan
pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau
gagal dimana belum adanya hasil pemeriksaan BTA. Penderita TB paru BTA (-)
yang pemeriksaan sputum pada akhir pengobatan tetap negatif, dinyatakan sebagai
pengobatan lengkap.
c. Pindah adalah penderita TB paru yang pindah berobat ke UPK lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.
d. Putus berobat adalah penderita TB paru yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
e. Gagal pengobatan adalah penderita TB paru BTA(+) yang hasil pemeriksaan
sputumnya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan. Penderita TB paru BTA (-) dimana pemeriksaan BTA menjadi
(+) setelah fase intensif selesai dikategorikan sebagai gagal pengobatan.
3.6.9 Konversi adalah perobahan BTA sputum (+) menjadi BTA (-) setelah selesai
menjalani fase intensif.
3.6.10 Angka kesembuhan ( cure rate ) adalah angka yang menunjukkan persentase penderita
TB paru BTA (+) yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara penderita
TB paru BTA (+) yang tercatat. Penderita yang pindah tidak diperhitungkan.
3.6.11 Angka konversi adalah persentase penderita TB paru BTA (+) yang mengalami
konversi menjadi BTA (-) setelah menjalani fase intensif.
Angka drop out adalah persentase penderita TB paru yang drop out diantara penderita
TB paru yang tercatat.
16
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Selama periode 1 Januari 2007 sampai 31 Desember 2008 didapatkan 400 penderita
TB paru yang berobat ke Poliklinik Paru RS.Dr. M.Djamil. Dari total 400 penderita terdapat
sebanyak 29 penderita yang tidak memiliki data rekam medis yang lengkap. Jumlah
penderita tahun 2007 sebanyak 176 orang dan pada tahun 2008 sebanyak 195 orang.
Karakteristik penderita TB paru yang berobat di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang
periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2008 dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik penderita TB paru yang berobat di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang
periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2008
Karakteristik Jumlah %
Jumlah penderita
- 2007 176 47,44 - 2008 195 52,56
Jenis kelamin
- Laki – laki 203 54,72
- Perempuan 168 45,28
Umur ( thn )
- < 20 38 10,24
- 20 – 29 84 22,64
- 30 – 39 58 15,63
- 40 – 49 74 19,95
- 50 – 59 68 18,33
- 60 – 69 28 7,55
- ≥ 70 21 5,66
Pekerjaan
Laki – laki
- PNS 58 28,57 - Non PNS 103 50,74
- Belum bekerja 42 20,69
Perempuan
- PNS 20 11,90 - Non PNS 114 67,86
- Belum bekerja 34 20,24
BTA sputum - Positif 205 55,26
- Negatif 166 44,74
Tipe penderita
- Baru 348 93,80 - Kambuh 19 5,12
- Putus berobat 3 0,81
- Kronik 1 0,27 - Gagal - -
- Pindah - -
17
Kategori OAT
- I 348 93,80 - II 22 5,93
- Khusus 1 0,27
Penyakit penyerta
- DM 28 7,55 - Hipertensi 15 4,04
- Osteoarthritis 4 1,08
- CHF 3 0,81 - PPOK 2 0,54
- Asma 1 0,27
- Sinusitis 1 0,27
- Tidak ada penyakit 317 85,44
Hasil pengobatan
Selesai pengobatan
- Sembuh 137 49,82
- Pengobatan lengkap 133 48,36 - Gagal 5 1,82
Tidak selesai pengobatan
- Drop out 41 42,71
- Pindah 55 57,29
Selama periode tahun 2007 – 2008, penderita TB paru laki – laki yang berobat di
Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang sebanyak 203 penderita (54,72 %) dan perempuan
168 penderita (45,28 %). Perbandingan antara laki – laki dengan perempuan adalah 1,2 : 1.
Berdasarkan kelompok umur didapatkan bahwa penderita TB paru yang berobat di
Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang selama tahun 2007 – 2008 terbanyak pada
kelompok umur 20 – 29 tahun yaitu sebanyak 84 penderita (22,64 %), sedangkan kelompok
umur terendah adalah 60 – 69 tahun sebanyak 28 orang (7,55 %). Secara umum penderita TB
paru yang berobat di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang adalah kelompok umur
produktif.
Jenis pekerjaan non PNS terbanyak pada penderita TB paru yang berobat di Poliklinik
Paru RS.DR.M.Djamil Padang baik pada laki – laki maupun perempuan. Pada penderita laki
– laki non PNS terdapat 103 penderita (50,74 %) dan PNS 58 penderita (28,57 %). Pada
penderita perempuan non PNS terdapat 114 penderita (67,86 %) dan PNS 20 penderita
(11,90 %).
Berdasarkan pemeriksaan BTA sputum pada penderita TB paru yang berobat di
Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang didapatkan bahwa penderita dengan BTA positif
sebanyak 205 penderita (55,26 %) dan BTA negatif sebanyak 166 penderita (44,74 %).
18
Berdasarkan tipe penderita TB paru yang berobat di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil
Padang terbanyak penderita kasus baru sebanyak 348 penderita (93,80 %), kasus kambuh 19
penderita (5,12 %), putus berobat 3 penderita (0,81 %) dan kasus kronik sebanyak 1 penderita
(0,27 %).
Obat Anti Tuberkulosis ( OAT ) kategori I merupakan yang terbanyak diberikan yaitu
sebanyak 348 orang (93,80 %) karena kebanyakan penderita merupakan kasus baru,
sedangkan untuk kategori II terdapat sebanyak 22 penderita ( 5,93 %) dan kategori khusus
yaitu kasus kronik 1 penderita ( 0,27 %).
Diantara 371 penderita TB paru yang berobat di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil
Padang didapatkan sebanyak 54 penderita memiliki penyakit tambahan selain TB paru.
Penyakit penyerta terbanyak adalah Diabetes Melitus sebanyak 28 penderita (7,55 %), dan
hipertensi 15 penderita (4,04 %).
Dari total 371 penderita TB paru yang berobat di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil
Padang terdapat 275 penderita (74,12 %) menyesaikan pengobatannya sampai tuntas dan 96
penderita (25,88 %) tidak menyelesaikan pengobatan. Diantara yang menyelesaikan
pengobatan, sebanyak 137 penderita sembuh (49,82 %), pengobatan lengkap 133 penderita
(48,36 %) dan gagal pengobatan 5 penderita (1,82 %). Sementara itu diantara yang tidak
menyelesaikan pengobatan terdapat sebanyak 41 penderita drop out (42,71 %) dan pindah
melanjutkan pengobatan ke puskesmas sebanyak 55 penderita (57,29 %).
Dari 205 penderita TB paru dengan BTA sputum positif, terdapat 156 penderita yang
diperiksa BTA sputum ulang setelah fase intensif 2 bulan sedangkan 49 penderita tidak
diperiksa karena drop out atau pindah melanjutkan pengobatan ke puskesmas. Perobahan
dari BTA sputum positif menjadi negatif setelah fase intensif 2 bulan sebanyak 138 penderita
(88,46 %), sedangkan yang tidak mengalami konversi sebanyak 18 penderita (11,54 %). Hasil
ini tampak pada tabel 2.
Tabel 2. Distribusi penderita TB paru yang berobat ke Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang
periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2008 berdasarkan konversi BTA sputum
KONVERSI Jumlah %
Konversi 138 88,46
Tidak Konversi 18 11,54
TOTAL 156 100
19
Gambaran hasil pengobatan penderita TB paru yang menyelesaikan pengobatannya di
Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang dapat dilihat pada tabel 3. Terlihat penderita TB
paru BTA (+) yang sembuh sebanyak 137 orang (93,20 %), pengobatan lengkap 6 orang
(4,08 %) dan gagal pengobatan 4 orang (2,72 %). Penderita TB paru BTA (-) dengan
pengobatan lengkap sebanyak 127 orang (99,22 %) dan gagal 1 orang (0,78 %).
Tabel 3. Distribusi penderita TB paru yang berobat ke Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang
periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2008 berdasarkan hasil pengobatan
HASIL
PENGOBATAN
BTA Negatif
Jumlah %
BTA Positif
Jumlah %
Sembuh - - 137 93,20
Lengkap 127 99,22 6 4,08
Gagal 1 0,78 4 2,72
TOTAL 128 100 147 100
Diantara penderita TB paru yang berobat di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang
periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2008 didapatkan sebanyak 41 penderita (12,97 %)
drop out dari pengobatan. Hasil ini tergambar pada tabel 4.
Tabel 4. Angka drop out penderita TB paru yang berobat ke Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil
Padang periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2008
HASIL PENGOBATAN Jumlah %
Drop Out 41 12,97
Selesai pengobatan 275 87,03
Total 316 100
20
BAB V
DISKUSI
Telah dilakukan penelitian retrospektif dengan mengambil data dari catatan rekam
medik penderita TB paru yang berobat di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang dari
tanggal 1 Januari 2007 – 31 Desember 2008. Berdasarkan data ini didapatkan sebanyak 400
penderita TB paru dimana sebanyak 29 penderita tidak mempunyai catatan medik yang
lengkap sehingga tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Sebanyak 176 penderita tercatat
berobat selama tahun 2007, sedangkan selama tahun 2008 didapatkan 195 penderita TB paru
yang tercatat berobat di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang.
Dari 371 penderita TB paru yang berobat di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang
selama 2007 – 2008 didapatkan penderita laki – laki sebanyak 203 penderita (54,72 %) dan
penderita perempuan sebanyak 168 orang (45,28 %). Dari penelitian ini didapatkan
perbandingan antara laki – laki dan perempuan adalah 1,2 : 1. Hasil penelitian ini sama
dengan penelitian Taufik16
di Padang tahun 2003 dimana penderita laki – laki lebih banyak
dibanding perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Penelitian oleh Borgdroff17
di 14 negara
juga menemukan hal yang sama dimana prevalensi penderita TB lebih banyak pada laki –
laki dibandingkan perempuan. Penelitian oleh Karim dkk18
di Bangladesh juga mendapatkan
bahwa kasus TB paru lebih banyak pada pria dengan rasio perbandingan wanita dengan pria
sekitar 0,81. Laporan yang dirilis oleh WHO seperti dikutip Linda M
19 juga memberikan
hasil yang sama bahwa secara umum penderita TB lebih banyak pada laki – laki
dibandingkan perempuan dengan angka perbandingan berkisar 1,5 – 2,1 : 1. Hal ini karena
laki – laki lebih mudah dalam mengakses pelayanan kesehatan dibanding perempuan. Kaum
perempuan sering terkendala oleh beberapa faktor seperti ; tidak ada waktu karena mengurus
keluarga, masalah biaya dan transportasi, perlunya teman pria yang mendampingi, aib dan
rasa malu, tingkat pendidikan yang masih rendah dan faktor sosiobudaya.5
Pada penelitian ini didapatkan bahwa golongan umur penderita TB paru yang berobat
ke Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang mayoritas usia produktif yaitu 20 – 59 tahun
sebanyak 284 penderita (76,55 %). Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian yang
dilakukan Taufik16
di Padang dimana didapatkan kasus TB paru sebagian besar pada usia
produktif 20 – 59 tahun sebesar 78 %. Penelitian lain yang dilakukan oleh Hilaludin20
pada
penderita TB paru yang berobat ke Poliklinik Paru RS.Pirngadi Medan mendapatkan
21
kelompok umur yang lebih muda 25 – 49 tahun sebagai kelompok umur terbanyak yang
menderita TB paru sekitar 55,70 %.
Berdasarkan jenis pekerjaan didapatkan bahwa jenis pekerjaan Non PNS sebagai
pekerjaan terbanyak baik pada penderita laki – laki maupun perempuan. Pada laki – laki non
PNS sebanyak 50,74 % dan pada perempuan sebanyak 67,86 %. Hasil penelitian ini hampir
sama dengan hasil penelitian oleh Reviono tahun 2001 seperti dikutip oleh Arsunan21
tentang
profil penderita TB paru rawat jalan di Poliklinik Paru RS.Persahabatan dimana jenis
pekerjaan terbanyak adalah tidak bekerja, buruh tani dan wiraswasta dengan total 81,34 %,
sedangkan PNS 14,35 %. Jenis pekerjaan ini berhubungan dengan tingkat ekonomi dimana
penderita non PNS pada umumnya memiliki tingkat ekonomi yang rendah. Tingkat ekonomi
rendah yang rendah ini berhubungan dengan status gizi dan daya tahan tubuh yang juga
rendah sehingga mempermudah terjadinya reaktivasi kuman tuberkulosis.
Penderita TB paru yang datang berobat ke Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang
periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2008 kebanyakan merupakan kasus baru 348 orang
(93,80 %), sedangkan kasus kambuh sebanyak 19 orang (5,12 %). Hasil penelitian ini serupa
dengan yang ditemukan oleh Taufik16
di Padang tahun 2003 dimana penderita TB paru yang
berobat ke tempat praktek swasta kebanyakan juga kasus baru sebesar 84 %. Tingginya
jumlah penderita TB paru kasus baru yang ditemukan menunjukkan bahwa Poliklinik Paru
RS.DR.M.Djamil Padang cukup berhasil dalam melakukan penjaringan kasus baru.
Penjaringan kasus oleh rumah sakit berbeda dengan penjaringan yang dilakukan oleh
puskesmas dimana penjaringan oleh puskesmas secara aktif sedangkan penjaringan oleh
rumah sakit secara pasif. Oleh karena kasus tertinggi pada penelitian ini adalah kasus baru
maka kategori terapi yang sesuai diberikan adalah OAT kategori I.
Berdasarkan kepada hasil pemeriksaan BTA sputum, penderita dengan BTA (+) lebih
banyak dibanding BTA sputum (-) dimana BTA (+) 205 orang (55,26 %) sedangkan BTA (-)
sebanyak 166 orang ( 44,74 %). Hasil ini lebih rendah dibandingkan pemeriksaan BTA
sputum pada penderita TB paru yang berobat di Balai Pengobatan Penyakit Paru – Paru
( BP4 ) Lubuk Alung dimana tahun 2007 BTA (+) sebesar 85,6 % dan tahun 2008 sebesar
87,2 %.22
Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan TB tahun 2006 diharapkan
persentase BTA (+) tidak kurang dari 65 % karena bila lebih rendah dari 65 % berarti mutu
diagnosis rendah dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan penderita yang
menular.1
Namun hal ini juga dapat sebagai bukti keberhasilan Poliklinik Paru
RS.DR.M.Djamil Padang dalam menemukan kasus TB paru lebih dini. Hal ini karena pada
22
penderita TB paru BTA (-) umumnya memiliki derajat penyakit yang masih ringan. Dengan
penemuan dan pengobatan kasus TB paru yang lebih dini maka kemungkinan angka
keberhasilan pengobatan lebih tinggi.
Pada penelitian ini didapatkan penderita TB paru yang memiliki penyakit penyerta
ada pada 54 penderita (14,56 %). Dari keseluruhan penderita TB paru didapatkan bahwa
penyakit penyerta terbanyak adalah Diabetes Melitus sebesar 7,55 %. Penelitian yang
dilakukan oleh Taufik di RS Persahabatan seperti yang dikutip oleh Linda M19
juga
mendapatkan penyakit penyerta terbanyak pada penderita TB paru adalah Diabetes Melitus
( DM ) sebanyak 19 orang (27,4 %) dari populasi 70 orang. Banyaknya kasus TB paru
dengan penyakit penyerta DM karena DM mempermudah reaktivitas infeksi TB paru.
Aktivitas kuman TB meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan.23
Hal ini akan
menyebabkan pengobatan pada penderita TB paru dengan DM membutuhkan waktu yang
lebih lama.
Angka konversi ( Convertion rate ) yang didapatkan pada penelitian ini tahun 2007
sebesar 88,73 % dan pada tahun 2008 sebesar 89,29 %. Hasil ini melebihi target nasional
minimal sebesar 80 %. Hasil ini lebih baik dibandingkan angka konversi penderita TB paru
yang berobat di BP4 Lubuk Alung dimana pada tahun 2007 sebesar 63,10 % dan tahun 2008
sebesar 80 %.22
Konversi BTA sputum dari BTA (+) menjadi BTA (-) biasanya dinilai pada
akhir pengobatan fase intensif. Konversi ini menunjukkan bahwa terapi OAT yang diberikan
memberikan respon yang baik terhadap penyakit TB paru penderita. Konversi juga
membuktikan kepatuhan penderita TB paru untuk minum obat. Hasil ini sesuai dengan hasil
penelitian Ridwan A24
dimana faktor – faktor yang mempengaruhi keberhasilan konversi
BTA sputum pada penderita TB paru diantaranya adalah kepatuhan penderita untuk berobat.
Konversi ini sangat penting dalam mencegah penularan penyakit TB paru karena akan
menyebabkan penderita yang sebelumnya berpotensi untuk menular menjadi tidak menular.
Selain itu tingginya angka konversi juga akan dapat memprediksi tingginya angka
keberhasilan pengobatan penderita TB paru.
Secara umum hasil pengobatan penderita TB paru yang berobat di Poliklinik Paru
RS.DR.M.Djamil Padang adalah sembuh dan pengobatan lengkap. Secara total didapatkan
bahwa penderita TB paru yang sembuh dan pengobatan lengkap sebesar 98,18 %. Namun
untuk penilaian angka kesembuhan ( Cure Rate ) ditetapkan dari jumlah penderita TB paru
BTA (+) yang sembuh diantara seluruh penderita TB paru BTA (+) yang tercatat dimana
pada penelitian ini kita dapatkan cure rate sebesar 93,20 %. Hasil ini sangat memuaskan
23
dimana cure rate yang dicapai melebihi angka target global yang ditetapkan dimana minimal
cure rate sebesar 85 %. Hasil ini lebih baik dibandingkan dari hasil pengobatan penderita TB
paru yang berobat di BP4 Lubuk Alung dimana pada tahun 2007 cure rate nya 80,5 %.22
Selain itu angka gagal pengobatan cukup rendah yaitu sebanyak 5 penderita (1,82 %). Hasil
ini membuktikan keberhasilan Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang dalam
penatalaksanaan penderita TB paru.
Angka drop out didapatkan sebesar 12,97 % dimana angka ini masih diatas dari
angka yang diharapkan dimana angka putus berobat diharapkan tidak lebih dari 10 %.1 Hasil
ini serupa dengan yang dialami oleh BP4 Lubuk Alung dimana angka putus berobat tahun
2007 sebesar 11,10 % kemudian pada tahun 2008 naik menjadi 17,0 %.22
Namun bila
dibandingkan dari tahun – tahun sebelumnya hasil ini sudah ada perbaikan. Dari penelitian
Dini Noviarti25
didapatkan bahwa angka putus berobat pada penderita TB paru yang diobati
di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang tahun 1998 cukup tinggi sebesar 61,9 %.
Kemudian hasil ini tidak jauh berbeda pada tahun berikutnya melalui penelitian pada tempat
yang sama dilakukan oleh Arlina Azra26
selama tahun 1998 – 1999 didapatkan angka putus
berobat sebesar 68,41 %. Penyebab drop out biasanya karena masalah biaya, kebosanan
berobat dan penderita sudah merasa sehat setelah mendapat terapi OAT beberapa bulan
sehingga penderita enggan untuk melanjutkan pengobatan. Berdasarkan penelitian Dini
Noviarti26
didapatkan bahwa alasan terjadinya putus berobat karena bermacam alasan yaitu ;
tidak sanggup beli obat, penyakit tidak mengganggu kegiatan, pelayanan di rumah sakit
kurang baik, bosan minum obat, adanya efek samping dan tidak adanya penjelasan oleh
tenaga kesehatan tentang penyakit yang dideritanya. Untuk kasus drop out ini pihak
RS.DR.M.Djamil Padang membuat laporan kepada Wasor yang akan melakukan pelacakan
terhadap penderita TB paru yang drop out.
24
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1Kesimpulan
1. Jumlah penderita TB paru yang berobat ke Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang
periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2009 sebanyak 371 orang.
2. Penderita pria lebih banyak dibanding wanita.
3. Golongan umur terbanyak adalah usia produktif 20 - 59 tahun.
4. Berdasarkan jenis pekerjaan, didapatkan Non PNS yang terbanyak.
5. Penderita dengan kasus baru paling banyak didapat pada penelitian ini.
6. Kategori yang terbanyak digunakan adalah kategori I.
7. Penderita BTA sputum (+) lebih banyak dibanding BTA (-).
8. Penyakit penyerta terbanyak adalah diabetes melitus
9. Angka konversi BTA sputum melebihi angka target nasional
10. Secara umum hasil pengobatan penderita TB paru adalah sembuh dan pengobatan
lengkap
11. Angka kesembuhan ( Cure rate ) sudah diatas angka target nasional
12. Angka drop out masih diatas angka yang diharapkan
6.2 Saran
1.. Perlunya penelitian lanjutan tentang faktor penyebab masih tingginya angka putus
berobat pada penderita TB paru di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil Padang
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis edisi 2.Jakarta,
Depkes. 2006
2. WHO. WHO report 2009 - Global TB Control 2009; Epidemiology, Strategy, Financing.
Geneva : WHO, 2009 p 1 - 33
3. Departemen Kesehatan. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta, Depkes. 2008. p 31-33
4. Frieden TR, Munsif SS. The DOTS Strategy for Controlling the Global Tuberculosis
Epidemic. Clin Chest Med 26. 2005.p 197-205
5. Tjandra YA. Tuberkulosis; Diagnosis, Terapi dan Masalahnya edisi V. Jakarta: Yayasan
Penerbit IDI;2005
6. Amira P. Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi DOTS.. e-USU Repository 2005.
diakses dari: http://library.usu.ac.id/download/fk/paru-amira.pdf
7. Rosnini S. Program Penanggulangan Tuberkulosis Melalui Strategi DOTS dan Situasi
Sampai Saat ini di Sumatera Barat.Dalam: Seminar Sehari dalam rangka TB Day 2006.
Padang; 2006 p.1-8
8. Hood A, Abdul M. Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University
Pres; 1995. p 73 – 109
9. Pusat Informasi Penyakit Infeksi. Tuberkulosis. diakses dari: file:///J:/tb%20paru.html
10. Muhammad A, Hood A, Taib S. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Pres; 19..p 13 – 35
11. PDPI, Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaandi Indonesia, Jakarta, 2006
12. Kreider ME, Rossman MD. Clinical Presentation and Treatment of Tuberculosis.
In.Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Michael AG, Grippi MA, Senior RM, Pack AI.
Fishman’s Pulmonary Disease dan Disorders Fourth ed. New York: McGraw-Hill 2008, p
2467 - 85
13. Tuberculosis Coalition for Technical Asistance. International Standards for Tuberculosis
Care (ISTC). The Haque,2006
14. Brodie D, Schluger NW. The Diagnosis of Tuberculosis. Clin Chest Med 26. 2005. p
247- 71
15. Hood A. What’s New In Tuberculosis Treatment. Dalam: Kabat, Winariani, Helmia H,
Laksmi W, editor. Naskah Lengkap Simposium Nasional Rasionalisasi Peningkatan
Tuberkulosis. Surabay; 2004. p 1 – 16
16. Taufik. Peranan Praktek Dokter Swasta Dalam Pemberantasan TB Paru.diakses dari:
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/09/dokter-swata-dalam-tb-paru_files-of-
drsmed.pdf
17. Borgdorf MW, Nagelkerke N, Dye C, Nunn P. Gender and Tuberculosis: a Comparison
of Prevalence Surveys with Notification data to Explore Sex Differences in Case
Detection. Int J Tuberc Lung Dis 2000; 4(2):123 - 32
26
18. Karim F, Ahmed F, Begum I, Johanssen E, Diwan VK. Female – Male Differences at
Various Clinical Steps of Tuberculosis Management in Rural Bangladesh. Int J Tuberc
Lung Dis. 2008; 12(11): 1336 – 39
19. Linda M, Priyanti ZS, Tjandra YA. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kesembuhan
Penderita TB Paru.diakses dari: file:///J:/faktor%20kesembuhan%20tb.html
20. Hilaluddin S. Hubungan Pemeriksaan Dahak dengan Kelainan Radiologis pada Penderita
TBC Paru Dewasa. e-usu Repository 2005 diakses dari:
http//library.usu.Ac.id/download/fk/paru-hilaludin.pdf
21. Arsunan AA, Azriful, Aisyah. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi – Kassi. diakses dari: http//med.unhas.ac.id
22. BP4 Lubuk Alung. Pelaksanaan Program P2TBC Strategi DOTS di BP4 Lubuk Alung
SUMBAR..Dalam: Monev Implementasi strategi DOTS di BBKPM/ BKPM/ BP4/ KP4.
Bandung 2008
23. Harsinen S. Diabetes Melitus dan Tuberkulosis Paru. diakses dari: http://med.unhas.ac.id
24. Ridwan A, Rasmaniar, Sinta LP. Faktor Keberhasilan Konversi pada PenderitaTB Paru di
Puskesmas Jongaya tahun 2006. diakses dari:
http://ridwanamiruddin.blogspd.com/2007/04/faktor-keberhasilan-konversi-pada.htm/
25. Dini N. Faktor Penyebab Pasien DO pada Pengobatan TB Paru di Poliklinik Paru
RS.DR.M.Djamil Padang tahun 1998.[skripsi]. Padang: Universitas Andalas; 2000
26. Arlina A. Gambaran Hasil Pengobatan TB Paru di Poliklinik Paru RS.DR.M.Djamil
Padang tahun 1998 – 1999 [skripsi]. Padang: Universitas Andalas; 2001
Top Related