1. GLOMERULONEFRITIS
1.1. Definisi
Glomerulonefritis (GN) merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam praktik klinik
sehari hari.Manifestasi klinik GN sangat bervariasi mulai dari kelainan urin seperti proteinuria
atau hematuri saja sampai dengan GN progresif cepat (Sudoyo, A dkk, 2006).Glomerulonefritis
(GN) sendiri merupakan suatu inflamasi pada glomerulus yang dapat terjadi secara primer
maupun sekunder. Berbagai kemungkinan penyebab GN antara lain masuknya zat yang berasal
dari luar yang bertindak sebagai antigen, rangsangan autoimun atau aktifasi komplemen
lokal/pelepasan sitokin. Keterlibatan sel inflamasi, komplemen dan mediator inflamasi akan
menentukan perubahan struktur dan fungsi glomerulus ( Haerani R, Wahyuni S, 2009).
GN kronik sendiri merupakan inflamasi berkepanjangan sel-sel glomerular (Corwin,
2008).Glomerulonefritis kronik merupakan tahap lanjut gangguan ginjal, mengakibatkan
inflamasi dan destruksi perlahan struktur ginjal interna yaitu glomerulus (A.D.A.M., 2008).GN
kronik biasanya terjadi bertahun-tahun setelah cidera dan inflamasi subklinis, terkait dengan
hematuri dan proteinuri yang sedikit (Kumar V, Ramzi S, Stanley L, 2003).
Hampir semua bentuk glomerulonefritis akut memiliki kecenderungan untuk maju ke
glomerulonefritis kronik. Glomerulonefritis kronik merupakan tahap lanjut gangguan ginjal,
mengakibatkan inflamasi dan destruksi perlahan struktur ginjal interna yaitu glomerulus
(A.D.A.M., 2008).glomerulonefritis kronis juga dikatakan sebagai tahap akhir dari seluruh jenis
glomerulonefritis yang pada kebanyakan kasus terkait dengan hipertensi sistemik. Kondisi ini
ditandai oleh fibrosis tubulointerstisial dan glomerular yang ireversibel dan progresif, yang pada
akhirnya menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan retensi racun uremik. Jika
perkembangan penyakit tidak dihentikan dengan terapi, akan mengakibatkan penyakit ginjal
kronis (CKD), stadium akhir penyakit ginjal (ESRD), dan penyakit kardiovaskular (Corwin,
2008).
Penyakit Glomerular Primer Membawa pada Glomerulonefritis (GN) Kronik.
Penyebab tersering GN kronik termasuk diantaranya diabetes mellitus dan hipertensi
lama.Kedua penyakit ini terkait dengan cidera glomerular yang signifikan dan berulang.Hasilnya
berupa terbentuknya jaringan parut difus dan deteriorasi glomerular.Atropi tubular seringkali
menemani kerusakan glomerular.Individu dengan diabetes atau hipertensi ringan disertai
glomerulonefritis kronik, memiliki prognosis fungsi ginjal yang buruk.GN kronik dapat
menemani Lupus Eritematosus Sistemik lama (Kumar V, Ramzi S, Stanley L, 2003).
Glomerulonefritis kronik merupakan akhir dari penyakit ginjal tahap akhir diakibatkan
oleh sejumlah tipe glomerulonefritis.Glomerulonefritis post-streptokokal (1% - 2%) jarang
menyebabkan glomerulonefritis kronik, kecuali timbul saat dewasa.Pasien dengan Rapidly
Progresif GN (RPGN) (90%), apabila selamat dari serangan akut sering berkembang menjadi
glomerulonefritis kronik. Glomerulonefritis membranosa (30% - 50%), Membranoproliferative
GN (50%), IgA nefropati (30% - 50%) dan glomerulosklerosis fokal segmental (50% - 80%)
semuanya dapat berkembang menjadi gagal ginjal kronik (Kumar V, Ramzi S, Stanley L, 2003)
(Gambar 1).
1.2. PATOFISIOLOGI
Walaupun tidak banyak diketahui agen etiologi atau proses pemicu, telah jelas bahwa
mekanisme imunologik yang mendasari sebagian besar kasus GN primer dan banyak penyakit
glomerular sekunder. Terdapat dua bentuk cidera terkait antibodi yaitu (1) cidera akibat reaksi
antibodi in situ di dalam glomerulus, dan (2) cidera akibat deposit kompleks antigen-antibodi di
glomerulus (Kumar V, Ramzi S, Stanley L, 2003).
a. Deposit Komplek Imun In Situ
Antibodi dalam cidera bentuk ini bereaksi secara langsung dengan antigen yang sudah
terfiksasi atau tertanam di glomerulus. Terdapat dua model eksperimental untuk cidera
glomerular dimediasi anti bodi anti jaringan, yang merupakan bagian penyakit pada manusia:
nefritis diindusi-antibodi antiglomerular basement membrane (anti-GBM) dan nefritis Heymann.
Cidera Glomerular Dimediasi Antibodi dapat Akibat Deposit Kompleks Imun (A), atau Formasi
Kompleks Imun Insitu, Baik Anti-GBM (B) atau Nefritis Heymann (C).
Nefritis diinduksi antibodi anti-GBM.Pada cidera ini, antibodi menyerang antigen
intrinsik tetap yang merupakan komponen normal dari GBM.Seringkali antibodi anti-GBM
bereaksi silang dengan membran basal lain, terutama di alveoli, mengakibatkan lesi simultan di
paru dan ginjal.Antigen GBM yang bertanggung jawab untuk nefritis diinduksi antibodi anti-
GBM dan sindrom Goodpasture merupakan komponen domain nonkolagen (NC1) dari rantai
alfa-3 kolagen tipe IV, yang penting dapam mempertahankan struktur GBM (Kumar V, Ramzi S,
Stanley L, 2003).
Nefritis Heymann. Sudah jelas bahwa penyakit ini disebabkan reaksi antibodi dengan
kompleks antigen yang berada pada basal permukaan viseral sel epitelial dan bereakasi silang
dengan antigen brush border yang dipergunakan selama eksperimen. Antibodi yang berikatan
pada membran sel epitelial glomerular diikuti oleh aktivasi komplemen dan penggumpalan
agregat imun dari permukaan sel untuk membentuk deposit subepitelial (Kumar V, Ramzi S,
Stanley L, 2003).
b. Nefritis Kompleks Imun dalam Darah
Tipe nefritis ini, cidera glomerular disebabkan terjebaknya komplek antigen-antibodi di
dalam glumeruli.Antibodi tidak memiliki spesifisitas untuk konstituen glomerular, dan kompleks
antigen antibodi terletak di glomeruli karena properti fisiokimianya dan faktor hemodinamik
yang aneh di glomerulus.Setelah mengendap di ginjal, kompleks imun mungkin akhirnya terurai,
terutama oleh monosit dan sel mesangium fagositik, dan peradangan kemudian mereda.Namun,
jika siraman antigen berlangsung terus menerus, dapat terjadi siklus pembentukan kompleks
imun, pengendapan, dan cidera secara berulang-ulang sehingga terjadi GN kronis (Kumar V,
Ramzi S, Stanley L, 2003).
Patofisiologi Sederhana Timbulnya Gejala dan Progresifitas ke Arah Penyakit Ginjal Lebih
Lanjut.
1.3. MANIFESTASI KLINIS
Setiap jenis glomerulonefritis terkait dengan berkurangnya jumlah urin, darah di dalam
urin (urin berwarna kecoklatan) baik terlihat dengan mata telanjang atau dengan bantuan
mikroskopis, dan retensi cairan (Corwin, 2008).
1.4. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Urinalisis
Adanya sel darah merah dismorfik (sel darah merah), atau sisa SDM menunjukkan
glomerulonefritis. Waxy atau sisa yang banyak ditemukan pada glomerulonefritis kronik
(Corwin, 2008).
b. Protein Urin
Ekskresi protein urin dapat diperkirakan dengan menghitung rasio protein-kreatinin pada
sampel urin pagi. Rasio konsentrasi protein urin (mg/dL) terhadap kreatinin urin (mg/dL)
mencerminkan ekskresi protein 24 jam dalam gram. Misalnya, jika nilai protein urin sewaktu
adalah 300 mg/dL dan nilai kreatinin adalah 150 mg/dL, rasio protein-kreatinin adalah 2. Dengan
demikian, dalam contoh ini, ekskresi protein urin 24 jam adalah 2g.Pada GN kronik, ditemukan
proteinuria sebanyak 3-5 gram per hari.Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) yang diukur
melalui nilai kreatinnin (Corwin, 2008).
Perkiraan tingkat kreatinin digunakan untuk menilai dan memantau laju filtrasi glomerulus
(GFR). Dua formula yang tersedia untuk perhitungan GFR adalah rumus Cockcroft-Gault, yang
memperkirakan bersihan kreatinin, dan rumus Modification of Diet in Renal Disease (MDRD),
yang digunakan untuk menghitung GFR secara langsung
Rumus Cockcroft-Gault sederhana untuk digunakan, tetapi overestimate GFR sebesar 10-
15% karena kreatinin disaring dan disekresikan. Rumus MDRD jauh lebih kompleks, namun
dapat ditentukan dengan aplikasi smartphone dan tablet yang tersedia dari National Kidney
Foundation atau dapat dihitung secara online melalui situs WebHipertensi, Dialisis, dan
Nephrology klinis.
c. Antistreptolysin-O dan Antistreptokinase
Apabila kondisi glomerulonefritis ini disebabkan oleh GN akut post-streptokokus, enzim
antistreptokokal seperti antistreptolysin-O dan antistreptokinase dapat ditemukan (Corwin,
2008).
1.5. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Glomerulonefritis meliputi manajemen hipertensi, mengurangi
proteinuria dan mengontrol edema yang mana dapat menyebabkan morbiditas dan bahkan
mortalitas pada pasien.Penanganan hipertensi disini memiliki tujuan yaitu untuk mencegah
resiko penyakit kardiovaskular dan mencegah progresivitas dari penurunan GFR.
Destruksi glomeruli autoimun dapat diobati dengan kortikosteroid untuk menekan
imunitas. Antikoagulan untuk mengurangi deposit fibrin dan jaringan parut dapat digunakan
pada RPGN. Fibrosis progresif adalah ciri khas glomerulonefritis kronik, beberapa peneliti telah
fokus dalam menemukan inhibitor fibrosis untuk memperlambat progresifitas.Dari sekian banyak
senyawa yang telah dipertimbangkan, pirfenidone, penghambat faktor pertumbuhan transformasi
beta dan sintesis kolagen, muncul sebagai kandidat terbaik.
Kontrol glukosa ketat pada pasien diabetes menunjukkan perlambatan atau membalikkan
progresi GN. Penelitian menunjukkan bahwa ACE-inhibitor dapat mengurangi kerusakan
glomerular pada pasien diabetes walaupun tidak ditemukan hipertensi. ACE-i sendiri dapat
mengurangi kerusakan glomerular pada individu dengan hipertensi kronik (Corwin,
2008).Angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE-I) yang umum digunakan dan biasanya
pilihan pertama untuk pengobatan hipertensi pada pasien dengan gagal ginjal kronis (CRF).
ACE-I adalah agen renoprotective yang memiliki manfaat tambahan selain menurunkan tekanan.
Secara efektif mengurangi proteinuria, mengurangi tonus pembuluh darah arteriol eferen,
sehingga mengurangi hipertensi intraglomerular.Dalam perkembangan pengobatan penyakit
ginjal, penggunaan ARB menjadi salah satu terapi pilihan, penggunaan losartan ditemukan
menurunkan proteinuria pada pasien CKD dan hipertensi. Terapi Imunoglobulin G intravaskular
(IVIG) dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak memberikan respon terhadap terapi
agresif.
A.D.A.M. 2008.Chronic Glomerulonephritis. Tersedia di
http://health.nytimes.com/health/guides/disease/chronic-glomerulonephritis/
Arora, Pradeep. 2008. Chronic Renal Failure. Coauthor(s): Mauro Verrelli, MD, FRCP(C),
FACP
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R, Sidartawam S,
Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006
Bommer, Jurgen. 2002. Prevalence and socio-economic aspects of chronic kidney disease.
Nephrol Dial Transplant (2002) 17 [Suppl 11]: 8–12. European Renal Association–
European Dialysis and Transplant Association
Corwin, Elizabeth J. 2008. Handbook of Pathophysiology, 3rd Edition. United States of
America: Lippincott Williams & Wilkins
Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine. medscape.com/article/238798-overview, 05 Februari 2014
Editorial. Glomerulonefritis. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/777272-overview, 22 Februari 2014
Harrison, Tinsley R. 2008. Harrison’s Principle of Internal Medicine. Edisi ke-17. Electronic-
book. Editor: Dennis L Kasper, et.al. Mc Graw-Hill)
Kumar, Vinay, Ramzi S. Cotran, Stanley L. Robbins. 2003. Robbins and Cotran’s Pathologic
Basis of Disease 7th Edition. New York: W.B. Saunders Company
Porth, Carol & Patricia Bowne. 2008. Essentials of Pathophysiology. Electronic book. Lippincott
Williams & Wilkins.
Rasyid Haerani, Siti Wahyuni. 2009. Immunomechanism of glomerulonephritis. The Indonesian
Journal of Medical Science. Volume 1 No.5 July p. 289-297
Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellinus Simandribata K, Siti Setiati.
2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid I, Edisi ke-IV. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta Pusat
Suwitra, Ketut. 2006. Penyakit Ginjal Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit dalam FKUI.
Top Related