GLOBALISASI DAN KEBANGKITAN KHILAFAH ISLAMIYAH
DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN
HIZBUT TAHRIR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Rosi Selly NIM: 103033227826
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FISAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1429 H./ 2008 M.
GLOBALISASI DAN KEBANGKITAN KHILAFAH ISLAMIYAH
DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN
HIZBUT TAHRIR
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: Rosi Selly
NIM: 103033227826
Di Bawah Bimbingan
Ahmad Bakir Ihsan NIP: 150 326 915
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FISAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1429 H./ 2008 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Globalisasi dan Kebangkitan Khilafah
Islamiyah dalam Perspektif Pemikiran Hizbut Tahrir” telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 16 Januari 2008. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial Program
Strata Satu (S1) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 16 Januari 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag. NIP: 150262447 NIP: 150270808 Penguji I, Penguji II, Dra. Haniah Hanafie, M.Si. Idris Thaha, M.Si. NIP: 150299932 NIP: 150317723
Pembimbing
Ahmad Bakir Ihsan, M.Si. NIP: 150326915
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya memberikan potensi keilmuan dan wawasan kepada penulis.
Salawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan, panutan, nabi akhir zaman
Muhammad SAW. Alhamdulillah penulis telah menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Globalisasi dan Kebangkitan Khilafah Islamiyah dalam Perspektif
Pemikiran Hizbut Tahrir”. Skripsi ini disusun untuk untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (SI) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selanjutnya pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu memperlancar proses penyusunan
skripsi ini, antara lain:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. selaku rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Agus Darmadji, M.Fils. dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh,
M.Ag. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Ahmad Bakir Ihsan, M.Si. selaku dosen pembimbing atas
kesabaran, kritik, dan saran-saran yang diberikan kepada penulis selama
menyusun skripsi ini.
5. Seluruh dosen dan staf pengajar pada program studi Pemikiran Politik
Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
atas segala ilmu pengetahuan yang diberikan selama proses belajar.
6. Keluarga tercinta. Papa (Drs. M. Abduh Sandiah) dan Mama (Rosyani)
atas segala motivasi, dukungan moril, materil, serta doa restu yang
diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Bang Ui, Poni,
dan ‘dede’ Fina tersayang yang selalu mengingatkan untuk menyelesaikan
tugas akhir ini.
7. Kawan-kawan prodi Pemikiran Politik Islam, khususnya angkatan 2003,
sahabat-sahabat di Laboratorium Politik Islam (LPI) Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Shahibah Yuliani, Bawono
Kumoro, Ahmad Alfajri, Arya Fernandes, Muamar Lutfi Harun, Subairi,
Hafiz, dan Siti Suraidah. Serta para sahabat yang berjasa dalam
memberikan referensi yang penulis butuhkan: Abdul Rahman, Selly
Elviana (HTI), Bahtera Alam Wijaksono, Endi Ubaedillah, dan Irvan Ali
Fauzi.
8. Muhammad Ismail Yusanto, selaku Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia
atas kesediaannya memberikan informasi serta data yang penulis
butuhkan.
9. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan
Utama Universitas Indonesia, Perpustakaan DKI, dan Perpustakaan CSIS
Jakarta. Terima kasih banyak atas pinjaman bukunya.
Skripsi ini tentu bukanlah sebuah karya yang sempurna dan bebas dari
kesalahan. Karena itu, kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan di masa
mendatang sangat penulis nantikan.
Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja, khususnya bagi
para pegiat kajian pemikiran politik Islam.
Ciputat, 01 Januari 2008
Rosi Selly
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………... i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… iv
PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………………….... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………… 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ……………………………............. 8
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………...... 8
D. Metode Penelitian ………………………………………………….. 9
E. Sistematika Penulisan …………………………………………...... 11
BAB II GAMBARAN UMUM TEORI GLOBALISASI DAN SEPUTAR
TEORI KHILAFAH ISLAMIYAH
A. Gambaran Umum Teori Globalisasi
1. Definisi Globalisasi …………..………………………………. 11
2. Globalisasi Dalam Lintasan Sejarah ..………………………... 16
3. Ciri-Ciri Globalisasi ……..………………………………….... 20
4. Bidang-Bidang Globalisasi ..…………………………………. 22
B. Seputar Teori Khilafah Islamiyah
1. Definisi Khilafah Islamiyah
2. Sejarah Khilafah Islamiyah
BAB III PROFIL HIZBUT TAHRIR
A. Latar Belakang Berdirinya ……………………………………….. 46
B. Konsepsi Politik Hizbut Tahrir …………………………………... 53
C. Gerakan Politik Hizbut Tahrir ……………………………………. 58
BAB IV GLOBALISASI DAN KEBANGKITAN KHILAFAH ISLAMIYAH
DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN HIZBUT TAHRIR
A. Makna Globalisasi bagi Hizbut Tahrir …………………………… 75
1. Bentuk Imperialisme Paling Mutakhir ……………………….. 77
2. Wujud Kapitalisme Modern ………………………………….. 79
3. Hegemoni Politik Tunggal Amerika Serikat …………………. 81
B. Relasi Globalisasi dan Kebangkitan Khilafah Islamiyah ................ 91
1. Globalisasi Sebagai Indikator
Kebangkitan Khilafah Islamiyah……………………………… 91
2. Khilafah Islamiyah sebagai Solusi Alternatif
bagi Kemelut Globalisasi …………………………………… 115
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ..…….……………………………………………… 128
B. Saran ...…………………………………………………………... 140
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 141
LAMPIRAN ………………………………………………………………….. 147
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia kini sedang dihadapkan pada upaya transformasi menuju
globalisasi. Baik individu, kelompok, maupun sebuah kesatuan negara yang
berdaulat, tidak satu pun yang dapat mengelak dari proyek besar bertaraf
internasional ini. Segala macam aspek kehidupan seperti ekonomi, politik,
hukum, dan sosial budaya bahkan peradaban pun terkena dampak yang cukup
nyata dari proyek globalisasi ini. Sebagian masyarakat menganggap sistem
yang berasal dari dunia Barat ini sebagai prospek, dan sebagian masyarakat
lain merasa cemas karenanya, dan mungkin sebagian masyarakat lainnya
bersifat acuh tak acuh terhadap tema besar ini, meskipun pada kenyataannya,
baik secara langsung maupun tak langsung mereka telah merasakan
dampaknya.
Bagaimana pun globalisasi adalah sebuah bentuk orientasi baru yang
lahir atas respon dari teori dan praktik modernisasi. Globalisasi merupakan
sebuah konsep yang berasal dari perkembangan sistem di Barat, maka ide-ide
di luar dunia Barat tidak punya pilihan kecuali menyesuaikan dengan ide
Barat ini. Kemunculannya berbarengan dengan kemunculan paham Neo-
Liberalisme di Amerika Serikat, tepatnya pada pertengahan 1980-an.
Globalisasi yang menekankan pada privatisasi, anti intervensi negara dalam
ekonomi, dan kepercayaan absolut pada mekanisme pasar ini,
diimplementasikan lewat badan-badan dunia seperti World Trade
Organization (WTO), International Monetery Fund ( IMF), dan World Bank
atau Bank Dunia.
Globalisasi yang menandakan bahwa tidak ada kejadian di planet kita
yang terbatas hanya pada situasi lokal satu negara, bahwa semua temuan,
kemenangan, dan bencana mempengaruhi seluruh dunia, mungkin merupakan
sisi positif dari globalisasi. Namun, proyek besar bertaraf internasional ini,
ternyata telah membuat cemas banyak negara. Kecemasan yang paling besar
telah menghinggapi kawasan negara-negara berkembang dan negara-negara
miskin. Banyak negara yang berdaulat kini layaknya macan ompong (baca:
tidak berdaya) menghadapi proyek globalisasi ini. Kebanyakan dari mereka
tidak bisa mengelak darinya kerena globalisasi membawa kekuatan besar
seperti legitimasi internasional, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam bidang informasi, komunikasi, dan transportasi, dan lain sebagainya.
Namun demikian sebagian masyarakat dunia yang merasa cemas terhadap
sistem globalisasi ini, tetap melakukan protes-protes berupa demonstrasi
massal khususnya ketika terdapat event pertemuan tingkat tinggi organisasi
global seperti WTO atau IMF.
Kecemasan mereka bukannya tak beralasan. Paling tidak ada dua hal
dominan yang menjadi kegelisahan utama mereka. Yang pertama yaitu karena
globalisasi menerapkan sistem ekonomi kapitalis, dan yang kedua karena
melihat ideologi neo-liberal yang menopangnya. Kedua hal tersebut menjadi
ancaman bagi eksistensi negara-negara miskin dan berkembang yang
terkelompokkan ke dalam negara Dunia Ketiga.
Yang pertama merujuk pada konsep kapitalisme yang berorientasi
pada bagaimana memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dan
meminimalisir kerugian, serta mengakumulasi modal. Ketika orientasi
tersebut telah tercapai, maka pemilik modal akan dengan sendirinya memiliki
otoritas politik dan kekuasaan. Hal tersebut tentu sangat membuat resah
sebagian besar negara-negara di Dunia Ketiga. Asumsinya adalah ketika
modal yang sudah jelas kepemilikannya didominasi oleh perusahaan-
perusahaan multinasional yang sebagian besar berpusat di wilayah negara-
negara maju, sebut saja Amerika Serikat, tentu melalui mekanisme globalisasi
pendapatan mereka akan semakin meningkat, mereka menjadi semakin kaya,
dan leluasa menghegemoni kehidupan negara lain, guna merealisasikan
kepentingan mereka. Sedangkan negara-negara miskin dan berkembang akan
tetap pada kategori dan berstatus sebagai negara dengan ”tangan di bawah”
dan bergantung pada kebijakan negara-negara Adi Daya. Pada tahun-tahun
awal bergulirnya program globalisasi, negara-negara industri yang jumlah
penduduknya hanya 26 % dari penduduk dunia ternyata menguasai lebih dari
78 % produksi, menguasai 81 % perdagangan dunia, 70 % pupuk, dan 87 %
persenjataan dunia. Sementara 74 % penduduk di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin yang dimasukkan ke dalam Dunia Ketiga, hanya menikmati sisanya,
yakni seperlima produksi dan kekayaan dunia.1
Untuk alasan yang kedua, menyangkut ideologi neo-liberal yang
menopang globalisasi, masyarakat dunia ketiga melihatnya sebagai ancaman
1 Arief Budiman, Pembangunan dalam Krisis: Teori Pembangunan Dunia Ketiga
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 113-120.
lebih luas pada peradaban mereka. Ideologi ini secara umum dipahami
sebagai ide yang membawa nilai hak dan kebebasan individual melalui
mekanisme pasar bebas, menjunjung tinggi rasionalitas, dan mendistorsi peran
agama dalam masyarakat dan politik. Dengan adanya globalisasi, maka
gerbang bagi penyebarluasan paham ini di berbagai penjuru dunia semakin
terbuka lebar. Padahal tiap negara yang berdaulat memiliki batasan nilai dan
landasan moral tersendiri, yang tidak bisa begitu saja menerima nilai-nilai
baru.
Kedua faktor utama tersebutlah yang secara umum mengusik
ketenangan negara-negara Dunia Ketiga. Hizbut Tahrir meneropong proyek
globalisasi ini sebagai salah satu bentuk neo-imperialisme. Hizbut Tahrir
menyebutnya sebagai bentuk penjajahan baru negara-negara Adi Daya
terhadap negara-negara Dunia Ketiga, dan lebih spesifiknya lagi penjajahan
terhadap negara-negara berbasis Islam.
Hizbut Tahrir adalah partai politik Internasional yang berdiri sejak
tahun 1953. Partai politik ini dipelopori dan dibangun berdasarkan paradigma
pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani. Dahulu Hizbut Tahrir tampil sebagai
kekuatan politik revolusioner yang menentang rezim Daulah Utsmaniyah yang
dianggapnya lalim. Kini mereka tampil sebagai kekuatan politik reaksioner
yang dihadapkan pada kemelut globalisasi. Di satu sisi mereka menilai
globalisasi dan segala nilai-nilai yang dibawa oleh Barat telah gagal membawa
kesejahteraan serta perdamaian pada masyarakat dunia. Namun di sisi lain
mereka menilai dan mungkin meramalkan bahwa globalisasi merupakan salah
satu indikator kebangkitan khilafah Islamiyah. Pandangan mereka setidaknya
telah dirumuskan oleh Beck yang menyatakan bahwa globalitas atau
globalisasi berarti denasionalization dan berarti pula bangkitnya organisasi
transnasional dan mungkin negara transnasional.2
Di mata kelompok Hizbut Tahrir, khilafah Islamiyah yang merupakan
bentuk dari negara transnasonal adalah sistem yang khaffah atau sempurna.
Khilafah Islamiyah adalah sistem pemerintahan Islam yang menegakkan
hukum berdasarkan syariat Islam kepada rakyatnya, dan menjalani misi
dakwah (dengan hujjah) dan jihad ke seluruh penduduk dunia.3 Sejarah Islam
klasik mencatat bahwa sistem khilafah Islamiyah pernah tegak berdiri dan
berkuasa selama kurang lebih 13 abad lamanya, yaitu sejak masa kekhilafahan
Abu Bakar As-Shiddiq, yaitu pada 632 M, dan berakhir pada masa
kekhilafahan Utsmani, yaitu pada tahun 1924.
Kini, tema kebangkitan khilafah Islamiyah yang menekankan pada
bagaimana menegakkan serta menerapkan syariat Islam di seluruh penjuru
dunia, menjadi tema sentral perjuangan kelompok Hizbut Tahrir. Dalam
pandangan partai politik internasional yang membentuk kekuatan politik
regional di Indonesia ini, khilafah Islamiyah menjadi sistem yang rasional
untuk di terapkan, ketika melihat dampak globalisasi yang menyebabkan
meningkatnya homogenitas. Mereka mengambil contoh, bagaimana dollar
dijadikan mata uang internasional, atau bahasa Inggris dijadikan bahasa
internasional, atau terbentuknya Uni Eropa yang menunjukkan integritas
negara-negara Eropa. Lantas mengapa sistem khilafah Islamiyah yang
2 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern. Penerjemah
Alimandan (Jakarta: Kencana, 2004), h.593. 3 Saefuddin Zuhri, ed., Menjemput Kembalinya Sang Khalifah (Jakarta: NizhamPress,
2007), h. 15-16.
mempunyai kekuasaan sentral mustahil terwujud? Apa lagi, menurut mereka,
globalisasi juga berdampak pada terciptanya ketidakadilan terhadap Islam
dalam berbagai bentuk, seperti subordinasi, marginalisasi, stereotype atau
pelabelan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh kasus bagaimana Amerika dan
sekutunya telah melabelkan keidentikan gerakan fundamentalisme Islam
dengan terrorisme. Hal tersebut, secara langsung maupun tidak langsung,
semakin menyudutkan posisi Islam di mata internasional.
Mungkin benar jika dikatakan bahwa globalisasi dapat melanggengkan
propaganda Amerika terhadap negara-negara Muslim. Asumsi itu didasarkan
dengan melihat beberapa kasus yang menimpa negara-negara Muslim.
Kebungkaman internasional terhadap serangan Amerika atas Irak tahun 2003
dengan alasan terdapat senjata pemusnah massal, yang ternyata belum terbukti
keberadaannya, adalah salah satu buktinya. Sebelumnya pasca serangan di
menara kembar World Trade Center (WTC), Amerika Serikat, pada 11
September 2001, Afganistan telah menjadi bulan-bulanan invasi negara yang
dikenal dengan sebutan negeri Paman Sam ini, dengan alasan untuk mencari
markas Al-Qaida yang mereka klaim sebagai jaringan terroris internasional.
Kebijakan-kebijakan internasional Amerika terhadap negara-negara berbasis
Islam, cenderung tidak adil, menekan, dan banyak mengintervensi serta
menghegemoni segala aspek kehidupan bernegara. Sebagai contoh terdekat
bagaimana mereka mengawasi secara ketat kurikulum beberapa pesantren di
Indonesia.
Bagi para penentangnya, globalisasi dapat memperparah krisis
nasional di negara-negara Dunia Ketiga. Di Indonesia, asumsi mereka
didasarkan pada fakta bahwa sejak sistem globalisasi resmi masuk pada tahun
1998 melalui LOI (Letter of Intent) yang ditandatangani oleh Presiden
Soeharto, dan Camdessus, mewakili IMF, krisis moneter mulai melanda
Indonesia. Globalisasi telah mengawali krisis nasional yang berkepanjangan,
dari mulai penghapusan subsidi pupuk dan BBM, hingga liberalisasi sektor
migas yang dilakukan melalui Undang-Undang Migas tahun 2001 yang
memuat pasal penghentian peran monopoli Pertamina mulai tahun 2005.
Penghapusan subsidi itu ternyata berujung pada masuknya perusahaan asing di
dalam bisnis migas di Indonesia.
Contoh lain dari dari makin merasuknya paham neo-liberal ke tubuh
ekonomi Indonesia adalah Undang-Undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air (SDA). Undang-Undang itu dalam banyak pasal membuka peluang
terjadinya privatisasi sektor air, sekaligus memungkinkan pengalihan fungsi
air secara fundamental dari fungsi publik yang bersifat sosial menjadi fungsi
komoditas yang bersifat komersial. Juga perlu dicatat kebijakan pemerintah
Indonesia yang tetap memperpanjang kontrak dengan Exxon Mobil di ladang
migas di Blok Cepu yang dikabarkan mempunyai cadangan sebanyak 1,2
miliar barel, yang semestinya kontrak itu berakhir.
Berdasarkan gambaran kemelut nasional yang dirasakan secara
internasional oleh negara-negara Islam tersebut, maka menurut Hizbut Tahrir
solusinya adalah kembali kepada sistem Islam yang benar. Sistem Islam yang
mempu meng-counter segala kepentingan umat, dengan cara menegakkan
syariat Islam di bawah kepemimpinan Khilafah Islamiyah. Dengan adanya
perasaan senasib seperti itu, dan melihat makna homogenitas dari globalisasi,
maka Hizbut Tahrir menganggap tidaklah utopis bila Khilafah Islamiyah
bangkit dan ditegakkan di muka bumi ini.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis bermaksud untuk
melakukan penelitian dengan judul: ”Globalisasi dan Kebangkitan Khilafah
Islamiyah dalam Perspektif Pemikiran Hizbut Tahrir.”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Karena tema globalisasi adalah tema yang umum dan luas terutama
ditekankan pada masalah ekonomi global, maka pada skripsi ini penulis lebih
membatasi permasalahan pada globalisasi dalam perspektif politik. Globalisasi
tampil sebagai sebuah sistem yang mampu menciptakan hegemoni politik
tunggal. Selanjutnya menarik keterkaitan antara globalisasi dengan
kebangkitan khilafah Islamiyah sebagai sebuah sistem pemerintahan
transnasional.
Lebih jelasnya, penulis merumuskan beberapa pertanyaan untuk
membatasi ruang pembahasan skripsi, yaitu antara lain:
1. Bagaimana konsep globalisasi menurut pemikiran Hizbut Tahrir ?
2. Bagaimana hubungan globalisasi dengan kebangkitan khilafah
Islamiyah dalam perspektif pemikiran Hizbut Tahrir ?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk meneliti:
1. Konsep globalisasi menurut pemikiran Hizbut Tahrir .
2. Hubungan globalisasi dengan kebangkitan khilafah Islamiyah dalam
perspektif pemikiran Hizbut Tahrir.
D. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan dan tujuan penelitian,
maka penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Untuk
memperoleh data-data yang mendukung objek penelitian, maka dilakukan
teknik pengumpulan data antara lain dengan: penelitian kepustakaan,
wawancara, dan observasi.
1. Penelitian kepustakaan, dilakukan dengan menelaah buku-buku,
majalah-majalah, artikel-artikel, dan berbagai surat kabar dan data yang
diperoleh dari internet yang penulis anggap relevan dengan pokok
permasalahan.
2. Wawancara, dilakukan dengan mewawancarai narasumber yang
berkompeten dan representatif untuk menjawab permasalahan dan tujuan
dalam penelitian. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan H. M.
Ismail Yusanto. Beliau adalah juru bicara Hizbut Tahrir di Indonesia.
3. Observasi, dilakukan dengan cara mengikuti secara langsung
kegiatan, aktivitas, serta gerakan yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir di
Indonesia, yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
Metode pembahasan dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis yaitu
dengan mendeskripsikan data-data yang telah diperoleh. Kemudian
menganalisisnya secara proporsional sehingga akan nampak jelas rincian
jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya,.
Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan buku
“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”, terbitan
CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, maka penulis menyusunnya
ke dalam lima bab.
Bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan. Pada bab ini dipaparkan secara umum permasalahan
globalisasi serta mengapa penulis mengangkat Hizbut Tahrir dalam tema ini
dan secara singkat terdapat gambaran umum tentang makna kebangkitan
khilafah Islamiyah.
Bab II adalah gambaran umum teori globalisasi dan seputar teori
khilafah Islamiyah. Pada gambaran umum teori globalisasi akan dijelaskan
mengenai definisi, sejarah, ciri-ciri, serta bidang-bidang globalisasi. Pada
pembahasan seputar teori khilafah Islamiyah, akan dijelaskan mengenai
definisi serta lintasan sejarahnya.
Bab III merupakan profil Hizbut Tahrir yang mencakup latar belakang
berdirinya, konsepsi politik Hizbut Tahrir, dan gerakan politik Hizbut Tahrir.
Bab IV terdapat globalisasi dan kebangkitan khilafah Islamiyah dalam
perspektif pemikiran Hizbut Tahrir yang memaparkan makna globalisasi bagi
Hizbut Tahrir, dan relasi globalisasi dan kebangkitan khilafah Islamiyah.
Terdapat tiga makna globalisasi bagi Hizbut Tahrir, yaitu pertama sebagai
bentuk imperialisme paling mutakhir, wujud kapitalisme moderen, dan
hegemoni politik tunggal Amerika Serikat. Sedang yang dimaksud relasi
globalisasi dan kebangkitan khilafah Islamiyah dalam perspektif pemikiran
Hizbut Tahrir adalah globalisasi sebagai indikator kebangkitan khilafah
Islamiyah dan khilafah Islamiyah sebagai solusi alternatif bagi kemelut
globalisasi.
Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Secara
ringkas penulis menyimpulkan pandangan Hizbut Tahrir tentang relasi
globalisasi dan kebangkitan Khilafah Islamiyah. Bahwa globalisasi sebagai
indikator kebangkitan khilafah Islamiyah dan Khilafah Islamiyah sebagai
solusi alternatif bagi kemelut globalisasi. Saran inovatif baik bagi tema
maupun bagi Hizbut Tahrir pun mengiringi bab penutupan ini.
B. Seputar Teori Khilafah Islamiyah
1. Definisi Khilafah Islamiyah
Istilah khilafah Islamiyah memiliki beberapa pengertian yaitu
perwakilan, pergantian, atau jabatan khalifah. Istilah ini sebenarnya berawal
dari kata Arab “khalf” yang berarti wakil, pengganti, dan penguasa, dan ada
yang mengemukakan bahwa kata “kh-l-f خالف( ) dalam berbagai bentuknya
mengandung makna yang menyempit yaitu berselisih, menyalahi janji, yang
kemudian melahirkan kata khilafah dan khalifah.4
Dalam sejarah Islam istilah khilafah pertama kali digunakan ketika
Abu Bakar menjabat sebagai khalifah pertama setelah Nabi Muhammad Saw
meninggal dunia. Dalam pidato pelantikannya Abu Bakar menyebut dirinya
sebagai Khalifah Rasulillah dalam pengertian pengganti Rasulullah dalam
mengurusi bidang kenegaraan.
Dalam perkembangannya, konsep khilafah menjadi ciri dari golongan
Sunni. Rukun utama dalam pengangkatannya adalah ijma’ yaitu konsensus
atau kesepakatan bersama dan bay’ah atau sumpah setia umat kepada khalifah
agar berpegang teguh kepada syariah.
Setidaknya ada tiga teori mengenai dasar-dasar pembentukan khilafah
yaitu: pertama, khilafah wajib hukumnya berdasarkan syariah atau
berdasarkan atas wahyu, pendapat ini didukung leh Abu Hasan al-Asyari.
Kedua, mendirikan khilafah hukumnya fardu kifayah atau wajib kolektif
4 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) Cet. Keempat, h. 361-363. Dalam kamus tersebut makna kata yang berasal dari kata kh-lf ( خالف)sebagai berikut. Berselisih (اإلختلف) Menyalahi janji الخلف( ) dan Penggantian ) الخالفة )
berdasarkan ijma dan konsensus, pendapat ini didukung oleh al-Maududi. Dan
ketiga, mendirikan kekhilafahan kewajibannya harus disandarkan pada
pertimbangan akal sebagaimana yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah.5
Dasar untuk melegitimasi sistem pemerintahan Islam yang disebut
Khilafah Islamiyah, termaktub dalam ayat-ayat al-Quran. Ayat-ayat tersebut
oleh sebagian tokoh agama, alim ulama, atau para fuqaha diinterpretasikan
atau ditafsirkan sebagai ayat yang bersifat politis. Ayat al-Quran yang
dimaksud antara lain:
1. al-Quran surah al-Baqarah/2:30
وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة قالوا أتجعل
فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك
لا تعلمون(٣٠)قال إني أعلم ما Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi “. Mereka berkata: “mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
2. al-Quran Surah al-An’am/6:165
وهو الذي جعلكم خلائف الأرض ورفع بعضكم فوق بعض درجات
(١۶۵)ليبلوآم في اب وإنه لغفور رحيمما ءاتاآم إن ربك سريع العق Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa
5 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis,
(Magelang: Indonesiatera, 2001), h. 30-31.
derajat, untuk menguji mu tentang apa yang diberikan-Nya kepada mu.Sesungguhnya Tuhan mu amat cepat siksanya, dan sesungguhnya Dia maha pengampun lagi maha penyayang”.
3. al-Quran Surah an-Nur/24: 55
وعد الله الذين ءامنوا منكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض
آما استخلف الذين من قبلهم وليمكنن لهم دينهم الذي ارتضى لهم
ا يعبدونني لا يشرآون بي شيئا ومن آفر وليبدلنهم من بعد خوفهم أمن
أولئك هم بعد ذلك ف الفاسقون(۵۵) Artinya: “ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh diantara kamu bahwa Dia akan menganugrahkan kepada mereka khalifah di bumi, sebagaimana dianugrahkan-Nya kepada orang-orang yang sebelum mereka.
4. al-Quran Surah Fathir/35:39
هو الذي جعلكم خلائف في الأرض فمن آفر فعليه آفره ولا يزيد
(٣٩)الكافرين ن آفرهم إلا هم إلا مقتا ولا يزيد الكافريآفرهم عند رب
خسارا Artinya: “ Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi barang siapa yang kafir maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri dan kekafiran orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya…”
Ayat-ayat di atas ditafsirkan sebagai ayat politik yang kemudian
dijadikan dalil mengenai wajibnya kekhilafahan karena di dalamnya
mengandung kata “khalf” (خلف) dalam berbagai bentuknya.
Menurut Dawam Raharjo, khalifah (خليفة) yakni kepala negara dalam
pemerintahan islam, memang merupakan istilah al-Quran. Tetapi dalam al-
Quran kata ini memiliki banyak arti atau interpretasi. Oleh karenanya ayat-
ayat yang mengandung pengertian khalifah tersebut tidak dapat dijadikan
dasar hukum mengenai wajibnya mendirikan suatu khalifah atau kekuasaan
politik. Menurut Dawam, Allah telah mengisyaratkan satu konsep tentang
manusia, yaitu sebagai khalifah. Khalifah adalah sebuah fungsi yang diemban
manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah Swt. Amanat ini
pada intinya adalah tugas mengelola bumi secara bertangung jawab, dengan
menggunakan akal yang telah dianugrahkan Allah kepadanya.6
Sementara itu Quraish Shihab seorang ulama Tafsir Quran Indonesia,
dalam memahami kata khalifah dalam Q.S al-Baqarah /2:30 mengemukakan
unsur-unsur kekhalifahan yang dimaksud adalah:
1. Bumi atau wilayah
2. Khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris)
3. Hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah dan hubungan
dengan pemberi kekuasaan.7
Sementara itu At-Tabarri dalam menafsirkan kata khalifah sebagai
suatu kaum yang anggota-anggotanya mengganti para pendahulunya.
Abu A’-la Al-Mududi yang menggagas teori teodemokrasi dalam
Islam memandang kekhalifahan menuntut adanya ketaatan antara yang diberi
(manusia) dengan yang memberi (Tuhan).
Maududi juga menekankan bahwa kekhalifahan harus berisi
6 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci ,(Jakarta: Paramadina, 1996), h.363-364.
7 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, ( Bandung: Mizan, 1999), h. 424.
kepatuhan, dan kepatuhan itu tidak lain adalah kepada sang pencipta dan
sistem pemerintahan yang memalingkan diri dari Allah Swt menjadi sistem
yang lepas dan bebas memerintah dengan dan untuk dirinya sendiri adalah
pemberontakan atau kudeta melawan sang Pencipta.8
Sementara Muhammad Rasyid Ridha seorang ulama dan politikus
kenamaan mendefinisikan Khilafah, Imamah, dan Imarah sebagai tiga kalimat
yang bermakna satu, yaitu kepemimpinan negara Islam yang meliputi
kemaslahatan dunia dan agama.9
Taqiyuddin an-Nabhani memaknai khalifah sebagai seseorang yang
diserahi tugas untuk memimpin umat lebih lanjut ia menegaskan:
Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan, serta dalam menetapkan hukum-hukum syara, karena Islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasaan tersebut menjadi milik umat khalifah hanyalah orang yang diangkat oleh kaum Muslimin karena itu, faktanya adalah bahwa khalifah merupakan wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menetapkan hukum syara, oleh karena itu tidak ada seorang khalifah pun kecuali setelah bai’at umat.10
2. Khilafah Islamiyah dalam Lintasan Sejarah
Sejarah kekhilafahan dimulai sejak Nabi Muhammad Saw wafat.
Setelah Rasulullah wafat dan lama setelahnya istilah-istilah yang dimunculkan
untuk sebutan kepada pemimpin Umat Islam adalah: Khalifah, Imam, Amirul
8 Abdul A’la al-Maududi, Al-Khilafah wa-al Mulk, (Terj.) Khilafah dan Kerajaan,
(Bandung: Mizan,1996), h. 58. 9 Al-Hasjmy, Dimana Letaknya Negara Islam, (Bina Ilmu, 1984) h.153. 10 Taqiyuddin an-Nabhani, Nidhamul hukumi Fil Islam (Terj.) Sitem Pemerintahan Islam:
Doktrin Sejarah Empirik, (Bangil Jatim: Al-Izzah, 1997) h.65.
mukminin, Hakkimul mukminin (penguasa orang-orang mukmin), Raisul
mukminin (pemimpin kaum muslimin), Sultanul Muslimin (penguasa kaum
muslimin),11 dan ada juga yang menggunakan sebutan Amir, sementara yang
lain menggunakan kata Syah sebagaimana yang terjadi di Iran.
Praktek kekhalifahan selama enam abad pertama Islam dapat di bagi
ke dalam tiga periode utama: (1) Khulafa ar-Rasyidun di Madinah (632-661
M); (2)kekhalifahan Bani Umayyah (661-750M) di Damaskus; dan (3)
kekhalifahan Bani Abbasiyyah (750-1258 M) di Baghdad.12 Sedangkan
sisanya adalah zaman Utsmaniyyah Turki di Istambul (1299-1924M).
Dalam sejarah Islam tercatat yang pertama mengguanakan kata
khalifah secara resmi adalah Abu Bakar as-Shiddiq (632-634 M), tugas yang
diembannya adalah penguasa temporal (dunia) dan penguasa religius (akhirat)
tugas yang sama juga dilakukan kepada Umar bin Khattab (634-644 M),
Usman bin Affan (644-656 M), dan Ali bin Abi Thalib (656-661 M) yang
selanjutnya dikenal sebagai al-Khulafa al-Rasyiddin. Dimana pemilihan
khalifah bisa dikatakan sangat demokratis untuk ukuran saat itu. Sepanjang
sejarah peradaban Islam, masa kekhalifahan adalah masa kemajuan Islam.
Pada masa itu tidak ada sistem politik Islam yang baku. Kekhilafahan di
jalankan sesuai dengan konteks situasi kondisi politik pada zaman
kekhilafahan masing-masing. Hal itu dapat digambarkan dari perjalanan
politik masing-masing khalifah.
Selama 2 tahun kekuasaan yang dijalankan khalifah Abu Bakar,
sebagaimana masa Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif
11 Ibid., h. 106. 12 John L.Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, Alih bahasa: Alwiyyah
Abdurrahman, (Bandung: Mizan, 1996), h.41.
dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Meskipun demikian, Abu Bakar
selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah. Sedangkan Umar
ibn Khathab yang memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (komandan
orang-orang beriman) menjalankan roda pemerintahan dengan memisahkan
lembaga yudikatif dengan lembaga ekselutif. Untuk itu ia membentuk
lembaga peradilan. Selama 10 tahun Umar melakukan ekspansi kekuasaan di
sekitar jazirah Arab, Palestina, Syiria, dan sebagian besar wilayah Persia dan
Mesir. Banyak kebijakan baru yang di jalankan seperti pengaturan
administrasi yang mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama
di Persia. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban , jawatan kepolisian di
bentuk , demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait
al-Mal , menempa mata uang dan menciptakan tahun Hijrah.13
Pada masa Usman yang terkenal lemah lembut, jasanya tampak dalam
membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dengan
mengatur pembagian air kekota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan ,
jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas mesjid Nabi di Madinah.
Namun selama 12 tahun berkuasa, banyak rakyat kecewa terutama pada
kebijakan sang Khalifah yang mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi
dalam pemerintahan.
Pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi politik sedang tidak stabil.
Namun beliau tetap menjalankan roda pemerintahan secara demokratis.
Selama 6 tahun masa pemerintahannya Ali menghadapi banyak pergolakan
poltik. Setelah menduduki jabatan khalifah Ali memecat para gubernur yang
13 Dr. Badri Yatim M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 38.
diangkat oleh Usman. Beliau juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan
Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada
negara dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-
orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Kekhilafahan selanjutnya mengalami pergeseran makna pada masa
dinasti Umayyah (651-750 M). Pergeseran tersebut paling tidak bisa di lihat
dari dua hal; pertama pemilihan khalifah tidak lagi melalui cara yang
”demokratis” dalam arti melibatkan suara rakyat, tetapi melalui wilayatul
ahdi, pengangkatan putra mahkota yang ditentukan sebelumnya oleh khalifah
yang berkuasa. Kedua , khalifah lebih terfokus pada masalah politik,
sementara masalah agama diserahkan kepada ulama yang menguasai masalah-
masalah agama . Berbeda dengan khalifah sebelumnya yang merupakan ahli
agama yang menetapkan hukum keagamanan berdasarkan ijtihad mereka baik
sendiri maupun bersama-sama. Namun demikian khilafah bani Umayyah
mampu melakukan ekspansi besar-besaran baik di Timur maupun Barat,
wilayah kekuasaan Islam meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina,
jazitah Arabia, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang
sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.14
Sistem monarki dalam pemerintahan islam dimulai pada khalifah
Muawiyah yang mengangkat putranya Yazid bin Muawiyah dengan jalan
kekerasan sebagai waliyul’ahdi (putra mahkota).
Pada masa dinasti Abbasiyah, kebijakan-kebijakan yang diterapkan
lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari
14 Ibid., h. 44.
pada perluasan wilayah yang pada masa khilafah Bani Umayyah gencar
dilakukan. Namun dalam memaknai khalifah, Dinasti Abbasiyah tidak jauh
berbeda dengan dinasti sebelumnya , peranan khalifah semakin mengalami
penurunan disamping meneruskan ciri monarki absolut dan diperparah dengan
penambahan kata yang dimaksud untuk ”meninggikan” derajat seorang
khilafah.
Pada masa khalifah al-Mansur (754-775 M) kata ”khalifah” sudah
mengalami perubahan makna yang cukup mendasar, khalifah sudah
berkonotasi Khalifatullah yang berarti pengganti atau wakil Allah di muka
bumi, dan menamakan dirinya sebagai Sultanullah fi al-Ardh (penguasa Tuhan
di muka bumi.). Pada konteks ini kita bisa melihat makna khalifah menjadi
simbol atau legitimasi religius dalam aktivitas perpolitikan. Dengan demikian
karisma khalifah semakin bertambah dimasyarakat, karena dirinya sebagai
wakil atau pengejawantahan Tuhan di bumi yang harus ditaati sepenuhnya
oleh masyarakat dan pejabat-pejabat dibawahnya , dalam hal ini jelas bahwa
dinasti Abbasiyyah di pengaruhi oleh kebudayaan Persia yang menganggap
raja sebagai titisan suci dari Tuhan (Devide right of King). Namun di tengah
kemunduran makna khalifah tersebut, pada masa Al-Mahdi perekonomian
mulai meningkat dengan peningkatan disektor pertanian, dan pertambangan.
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun
al-Rasyid (786-809 M) dan ptranya Al-Ma’mun (813-833 M) yang membawa
umat Islam pada tingkat kemakmuran yang tertinggi.
Peranan khalifah lebih menurun drastis lagi pada masa sultan Buwaihi
(945-1055 M) , Saljuk (1063-1194 M), Khawarizme (1199-1258 M) atas
Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu, peranan khalifah lebih bersifat boneka atau
simbol saja karena kekuatan dan kekuasaan sultan dapat memaksakan segala
kehendaknya kepada khalifah.
Setelah Abbasiyah hancur , muncullah kerajaan Usmani yang
kemudian di kenal dengan Khilafah Usmaniyyah. Pendiri dinasti ini adalah
bangsa Turki dari kabilah Oghuz, ketika kerajaan Usmani sudah mencapai
puncak kemajuannya, kerajaan Syafawi baru berdiri di Persia, yang dalam
perkembagannya sering mengalami bentrok dengan kerajaan Turki Usmani
dan salah satunya dilatarbelakangi oleh kerajaan Syafawi yang menyatakan
Syiah sebagai mazhab negara. Setelah seperempat abad berdirinya kerajaan
Syafawi berdiri pula kerajaan Mughal di India.
Jadi setelah runtuhnya dinasti Abbasiyah, kekhilafahan Islam semakin
”terkoyak” meninggalkan bentuk aslinya sebagaimana dilakukan Nabi dan
pengganti setelahnya yang dikenal dengan sebutan al-Kulafa al-Rasyidun.
Dinasti Usmaniyah yang pernah berkuasa kurang lebih enam abad dan
pernah di segani Eropa akhirnya mendapatkan pukulan yang mematikan dari
Kemal Attaturk dengan mendirikan Republik Turki pada tahun 1923 M dan
menghapus jabatan khalifah pada tanggal 3 Maret 1924 M dengan demikian
gelar kekhalifahan dalam arti politik hilang dari percaturan internasional.
Di samping itu, runtuhnya kekhalifahan di Turki juga disebut-sebut
karena sifat munafik kaum muslimin itu sendiri. kekhalifahan dianggap harus
ditaati oleh semua kaum Muslimin , tetapi pada kenyataannya hanya orang-
orang Turki sajalah yang setia kepadanya, dalam hal ini Mustafa Kemal
mengemukakan beberapa saat sebelum dihapuskan kekhalifahan:
Kita telah menjunjung tinggi khalifah sesuai dengan tradisi yang kita
hormati. Kita menghormati khalifah, kita penuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Saya tambahkan bahwa di seluruh dunia Muslim hanya bangsa Turki-lah satu-
satunya bangsa yang secara efektif menjamin kepenghidupan khalifah, mereka
yang mengemukakan gagasan khalifah universal sebegitu jauh telah menolak
untuk menerima sumbangan apapun , jadi apa sebenarnya yang mereka
inginkan? Apakah mereka menghendaki agar hanya orang Turki yang
memilkul beban lembaga ini.15
Kejengkelan Mustafa Kemal inilah salah satunya yang menjadi
penyebab pada langkah berikutnya yaitu dihapuskannya kekhalifahan.
Demikianlah masa-masa kejayaan Islam di bawah pemerintahan Islam
yang berbentuk Khilafah Islamiyah telah runtuh oleh berbagai faktor baik
internal maupun eksternal. Namun banyak kalangan yang masih mengenang
romantisme kejayaan Islam dimasa lalu itu , dan berusaha untuk mewujudkan
kembali sistem tersebut dengan berbagai cara. Perwujudan keinginan yang
sebatas pada tataran konseptual, kemudian terimplementasikan oleh sebagian
kelompok islam kedalam bentuk berbagai pergerakan-pergerakan baik yang
bersifat politik, sosial, kultur, maupun ekonomi. Namun tak jarang gerakan-
gerakan kebangkitan ini mendapat tantangan, ancaman, bahkan intimidasi dari
kekuasaan politik yang ingin memasung segala gerak langkah politik islam.
Tantangan yang nyata tampak pada diri umat islam sendiri, maupun pihak
Barat yang kini menguasai perpolitikan dunia.
15 Hamid Enayat, Modern Islamic Thought: The Respon of thr Syi’I and Sunni Muslim to
the Twentieth Century (terj.)nAsep Hikmah, (Bandung: Pustaka, 1998), h. 82-83.
BAB III
PROFIL HIZBUT TAHRIR
A. Latar Belakang Berdirinya Hizbut Tahrir
Menurut John L. Esposito pada pertengahan abad ke-20, sejarah Islam
didominasi oleh dua tema: (1) imperialisme Eropa; dan (2) perjuangan untuk
mencari kemerdekaan dari penjajah.16 Merdekanya negeri-negeri muslim dari
dunia Barat pada akhirnya melahirkan kecenderungan-kecenderungan
ideologis yang dapat digolongkan ke dalam empat jenis. Pertama, tradisional
Islami, yang diwakili oleh ulama-ulama konservatif dan pembela status quo.
Kedua, sekuler nasionalis, yang diwakili oleh pegawai-pegawai negeri tingkat
tinggi, tokoh-tokoh militer dan kaum minoritas muslim yang telah mengalami
westernisasi. Ketiga, reformis radikal Islami, yang mencerminkan pandangan
sementara kelas menengah maupun kelas menengah ke bawah yang sedikit-
banyaknya juga mengalami modernisasi. Keempat, komunis, yang didukung
oleh kebanyakan kelas bawah, tetapi pada umumnya kemudian kehilangan
daya tarik di dalam masyarakat muslim.17
Kecenderungan-kecenderungan ideologis tersebut pada intinya
menentang penjajahan yang berlaku atas negara-negara mereka oleh
imperialisme Barat. Kecenderungan ideologis tersebut kemudian melahirkan
16 John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?. Penerjemah Alwiyah
Abdurrahman dan MISSI (Bandung: Mizan,1996), h. 59. 17 M. Amien Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta (Bandung: Mizan,1999), h.
137.
gerakan-gerakan sosial politik yang berjuang menentang penjajahan. Di antara
gerakan sosial-politik Islam lahir di awal abad ke-20 adalah Ikhwanul
Muslimun pada 1928 yang dipelopori Sayyid Hasan al-Bana di Mesir,
kemudian menyusul Jama’at Islami pada 21 Agustus 1941 yang didirikan oleh
Sayyid Abul `Ala al-Maududi. Keduanya lahir dengan motif yang sama yaitu.
menentang segala bentuk penjajahan dan mengembalikan kehidupan bangsa
Arab ke jalan yang Islami.18
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1953, Hizbut Tahrir
didirikan di al-Quds, Jerussalem.19 Pendirinya adalah Syeikh Taqiyuddin an-
Nabhani (1909-1979). Tokoh yang bernama lengkap Syekh Muhammad
Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An-Nabhani ini,
dilahirkan di daerah Ijzim tahun 1909. Ayahnya adalah seorang pengajar ilmu-
ilmu syariah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibunya juga menguasai
beberapa cabang ilmu syariah. Dalam suasana keagamaan yang kental seperti
itu, tentu berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan
hidupnya. Terbukti, Syekh Taqiyyuddin telah hafal Al-quran dalam usia amat
muda, yaitu 13 tahun. Pengaruh dari sang kakek, Syekh Yusuf An-Nabhani,
seorang hakim terkemuka, juga tak kalah besar. Syekh Taqiyyuddin makin
mengerti masalah politik, di mana kakeknya pernah punya hubungan erat
dengan para penguasa Daulah Utsmaniyah saat itu. Dia pun banyak belajar
dari majelis-majelis dan diskusi-diskusi fikih yang diselenggarakan oleh sang
18 Lebih jelas lihat Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam
Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-Islami (Pakistan) (Jakarta:Paramadina,l999), h. 86.
19 Secara etimologis Hizbut Tahrir bermakna partai (حزب ) pembebasan تحرير ( ). Lihat kamus Arab Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) Cet. Keempat, h. 351-353.
kakek. Kecerdasan dan kecerdikan Syekh Taqiyyuddin yang nampak saat
mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya.
Oleh karenanya, kakeknya itu memandang perlu mengirim Syekh
Taqiyyuddin ke Al-Azhar untuk melanjutkan pendidikan ilmu syariah. Hingga
kemudian sebelum menamatkan sekolah menengahnya di Akka, dia berangkat
ke Kairo meneruskan pendidikan di Al-Azhar.
Syekh Taqiyyuddin masuk kelas Tsanawiyah Al-Azhar pada tahun
1928 dan tak lama meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Lalu dia
melanjutkan studi di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang
Al-Azhar. Kuliahnya di Darul Ulum tuntas tahun 1932. Pada tahun yang sama
dia menamatkan kuliahnya di Al-Azhar Asy Syarif, di mana para
mahasiswanya dapat memilih beberapa syaikh Al-Azhar dan menghadiri
halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab, dan ilmu-ilmu syari’ah
seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan sejenisnya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syekh Taqiyyuddin An-
Nabhani kembali ke Palestina dan bekerja di Kementerian Pendidikan
Palestina sebagai guru di sebuah sekolah menengah atas di Haifa. Di samping
itu juga mengajar di Madrasah Islamiyah di Haifa.
Di sinilah lambat laun dia menyaksikan kuatnya pengaruh imperialis
Barat dalam bidang pendidikan, yang ternyata lebih besar dari pada bidang
peradilan, terutama peradilan syariah. Oleh sebab itu dia memutuskan untuk
menjauhi bidang pengajaran dan mulai mencari pekerjaan lain yang pengaruh
peradaban Barat-nya relatif lebih sedikit. Dia lantas mendapat pekerjaan di
Mahkamah Syariah yang dipandangnya merupakan lembaga yang menerapkan
hukum-hukum syara’. Ternyata banyak kawannya yang pernah sama-sama
belajar di Al-Azhar bekerja di sana. Dengan bantuan mereka, Syekh
Taqiyyuddin diangkat sebagai sekretaris di Mahkamah Syariah Beisan, lalu
dipindah ke Thabriya.
Pada 1940, dia diangkat sebagai musyawir (asisten kadi) hingga 1945,
yakni saat dia dipindah ke Ramallah menjadi qadly di Mahkamah Ramallah
sampai tahun 1948. Namun setelah itu, dia keluar dari Ramallah menuju Syam
sebagai akibat jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi. Pada tahun 1948 itu pula,
sahabatnya Al-Ustadz Anwar Al-Khatib mengirim surat yang isinya
memintanya kembali ke Palestina untuk diangkat sebagai kadi di Mahkamah
Syariah Al-Quds. Syekh Taqiyyuddin mengabulkan permintaan itu dan
kemudian diangkatlah dia sebagai kadi di Mahkamah Syariah Al-Quds tahun
1948. Kemudian, oleh Kepala Mahkamah Syariah dan Kepala Mahkamah
Isti’naf saat itu, Al-Ustadz Abdul Hamid As Sa’ih, ia diangkat sebagai
anggota Mahkamah Isti’naf, sampai tahun 1950.
Pada tahun 1951, Syekh Taqiyyuddin mendatangi kota Amman untuk
menyampaikan ceramah-ceramahnya kepada para pelajar Madrasah
Tsanawiyah di Kulliyah Ilmiyah Islamiyah. Hal ini terus berlangsung sampai
awal tahun 1953, ketika dia mulai sibuk dalam Hizbut Tahrir, yang telah
dirintisnya antara tahun 1949 hingga 1953.
Sejak remaja dia memang sudah memulai aktivitas politiknya karena
pengaruh kakeknya, yang pernah terlibat diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh
pembaharuan Islam, seperti Muhammad Abduh serta para pengikut ide
pembaharuan lainnya yang mengusung dan menuntut perubahan terhadap
Daulah Utsmaniyah. Di samping itu, dia juga melakukan berbagai perdebatan
dengan para ulama Al-Azhar mengenai apa yang harus dilakukan dengan
serius untuk membangkitkan umat Islam. Ketika Syekh An-Nabhani
menjalankan tugasnya di Kementerian Pendidikan Palestina, dia sudah
memberikan kesadaran kepada para muridnya dan orang-orang yang ditemui,
mengenai situasi yang ada saat itu. Dia membangkitkan perasaan geram dan
benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa mereka, di samping memperbaharui
semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam. Ketika pindah
pekerjaan ke bidang peradilan, dia pun mengadakan kontak dengan para
ulama yang dia kenal dan ditemui di Mesir. Kepada mereka Syaikh An-
Nabhani mengajukan ide untuk membentuk sebuah partai politik yang
berasaskan Islam untuk membangkitkan kaum muslimin dan mengembalikan
kemuliaan dan kejayaan mereka. Dia lalu menyodorkan kerangka organisasi
partai dan pemikiran-pemikiran yang dapat digunakan sebagai bekal tsaqafah
bagi partai tersebut. Pemikiran-pemikiran ini dapat diterima dan disetujui.
Maka aktivitasnya pun menjadi semakin padat dengan terbentuknya Hizbut
Tahrir.
Pembentukan partai ini secara resmi tahun 1953, pada saat Syekh
Taqiyyuddin An-Nabhani mengajukan permohonan kepada Departemen
Dalam Negeri Yordania sesuai Undang-Undang Organisasi yang diterapkan
saat itu. Dalam surat itu terdapat permohonan izin agar Hizbut Tahrir
dibolehkan melakukan aktivitas politiknya.
Namun pemerintah justru melarang kegiatan organisasi ini. Syekh
Taqiyyuddin An-Nabhani tidak gentar dan tetap melanjutkan misinya
menyebarkan risalah Hizbut Tahrir. Dia sangat menaruh harapan untuk
membangkitkan umat Islam pada Hizbut Tahrir, gerakan yang telah dia
dirikan dan tetapkan falsafahnya dengan karakter tertentu yang digali dari
nash-nash syarak dan sirah Nabi SAW. Syekh Taqiyyuddin menjalankan
aktivitas secara rahasia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (Qiyadah)
yang baru bagi Hizbut Tahrir, di mana dia sendiri yang menjadi pimpinannya.
Dewan Pimpinan ini dikenal dengan sebutan Lajnah Qiyadah. Setelah
berkembang enam tahun di Jerussalem, Hizbut Tahrir kemudian
mengembangkan sayapnya ke wilayah lain dan dimulai dengan mendirikan
cabang di Libanon pada tanggal 19 oktober 1959.20 Syekh Taqiyyuddin terus
memegang kepemimpinan Dewan Pimpinan Hizb ini sampai wafatnya beliau
pada tanggal 25 Rajab 1398 H, bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977 M.
Kemudian kepemimpinan Hizbut Tahrir dipegang oleh Syekh Abdul Qaditn
Zullum. Pada tahun 2003, Syekh Abdul Qadim Zallum meninggal dunia dan
digantikan oleh Syekh A. Abu Rostah.
Pergantian kepemimpinan dalam tubuh organisasi Hizbut Tahrir tidak
membuat landasan serta konsepsi politik mereka berubah. Hizbut Tahrir tetap
menyerukan bahwa mereka didirikan dalam rangka memenuhi seruan Allah
SWT, yaitu:
ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن .
)١٠٤ (المنكر وأولئك هم المفلحون
20 Hussein bin Muhsin bin ali Jabir,Membentuk Jama’atul Muslimin. Penerjemah Abu
Fahmi (Jakarta: Gema lnsani Press, 1991), h. 244.
"(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam), memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS Ali Imran: 104)
Berdasarkan pedoman dalam kutipan ayat al-Quran tersebut Hizbut
Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemelut
multidimensional yang melandanya. Dengan itu, mereka ingin membebaskan
umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum yang
mereka anggap kufur, serta membebaskan masyarakat dari dominasi dan
pengaruh negara-negara Barat yang disebutnya negara kafir. Hizbut Tahrir
bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka
bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah SWT dapat diberlakukan
kembali.
Hizbut Tahrir bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban
dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Dengan pemikiran serta cara yang
mereka yakini kebenarannya, Hizbut Tahrir berusaha mengajak kaum
muslimin kembali hidup secara Islami dalam Darul Islam dan masyarakat
Islam, di mana seluruh kegiatan kehidupannya diatur sesuai dengan hukum-
hukum syara'. Pandangan hidup yang akan menjadi pedoman adalah halal dan
haram, di bawah naungan Daulah Islam, yaitu Daulah Khilafah, yang
dipimpin oleh seorang Khalifah yang diangkat dan dibai'at oleh kaum
muslimin untuk didengar dan ditaati agar menjalankan pemerintahan
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan mengemban risalah Islam
ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.21
Hizbut Tahrir berusaha untuk mengembalikan posisi umat ke masa
kejayaan dan keemasannya seperti dulu, di mana umat akan mengambil alih
kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia ini, dan negara Khilafah
akan kembali menjadi negara nomor satu di dunia—sebagaimana yang terjadi
pada masa silam—serta memimpin dunia sesuai dengan hukum-hukum Islam.
B. Konsepsi Politik Hizbut Tahrir
Sejak awal berdirinya, Hizbut Tahrir menyatakan diri sebagai partai
politik dengan Islam sebagai ideologinya. Dalam maindset pemikiran mereka,
Islam ditafsirkan sebagai ideologi bagi kemaslahatan ummat, yang di dalam
ajarannya terdapat pedoman untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia
baik politik, ekonomi,maupun sosial. Oleh karenanya Islam tidak bisa
dilepaskan dari praktek kegiatan politik yang mereka anggap memiliki hukum
fardu kifayah. Konsepsi partai tentang otoritas dan kepemimpinan diambil dari
tradisi Islam. Referensi yang mereka jadikan panutan adalah dengan
melakukan tinjauan historis kejayaan Islam di masa lalu yang ingin mereka
representasikan ke dalam kehidupan moderen yang mereka nilai telah
terkontaminasi oleh ide-ide serta praktek sistem Barat.
Hizbut Tahrir terkenal bukan hanya karena watak politiknya yang
kentara, tetapi juga karena sistem pemikirannya yang konsisten dan program
21 Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologis (Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, 2002), h. 19.
politiknya yang terpadu. Mereka menafsirkan Islam sebagai ideologi yang
mengungguli sosialisme dan kapitalisme. Sistem yang mengatur segala aspek
kehidupan muslim adalah syariat. Partai ini mendesak kaum muslim untuk
berijtihad dalam mengelaborasi syariat secara terus-menerus. Partai ini
menganggap implementasi syariat sangat penting bagi pemulihan cara hidup
Islami dan negara merupakan syarat penting untuk mencapai tujuan ini.
Hizbut Tahrir meniadakan semua bentuk konsensus (ijma) kecuali konsensus
para sahabat Nabi, sebagai sumber yurisprudensi dan menolak dijadikannya
alasan efektif rasional sebagai dasar dari deduksi analogis.22
Berbagai pengkajian, penelitian, dan studi terhadap permasalahan
masyarakat dunia khususnya berbagai krisis yang menimpa ummat Islam,
kemudian menggugah daya nalar Hizbut Tahrir untuk membandingkannya
dengan kondisi yang ada pada masa Rasulullah SAW, masa Khulafa ar-
Rasyidin, dan masa generasi Tabi’in. Pada konteks tersebut, partai politik
internasional ini menggunakan analisis historis dengan merujuk kembali
kepada sirah Rasulullah SAW, dan tata cara mengemban dakwah yang beliau
lakukan sejak permulaan dakwahnya, hingga beliau berhasil mendirikan
Daulah Islamiyah di Madinah. Dipelajari juga perjalanan hidup beliau di
Madinah. Setelah melakukan kajian secara menyeluruh itu, maka Hizbut
Tahrir pun memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-
hukum yang berkaitan dengan fikrah dan thariqah. Semua ide, pendapat dan
hukum yang dipilih dan ditetapkan Hizbut Tahrir berasal dari ajaran Islam.
22 John L.Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Moderen (Jakarta: Mizan, 2001),
hal.173.
Hizbut Tahrir menolak ide-ide di luar ajaran Islam, dan menyebut ide-ide di
luar Islam sebagai ideologi kufur.
Menurut Hizbut Tahrir, Islam adalah prinsip ideologi yang terdiri dari
aqidah dan syari’at. Aqidah merupakan fungsi untuk memecahkan persoalan
manusia, menjelaskan bagaimana memecahkan persoalan tersebut,
memelihara dan mengembangkan ideologi tersebut. Islam sebagai prinsip
ideologi inilah yang kemudian menjadi pola hidup yang khas yang sangat
berbeda dengan pola hidup lainnya, seperti kapitalisme, sosialisme dan isme-
isme lainnya.23
Nilai kebenaran Islam adalah mutlak sebagai satu-satunya agama yang
benar dan diridhai Allah SWT. Karena Itu, semua agama maupun ideologi
selain Islam adalah kafir, sebab letak perbedaannya sangat mendasar, baik dari
segi Aqidah (konsep dasar) maupun dan segi Nizham (sistem). Perbedaan
yang dimaksud antara lain adalah: (1) Islam mengajarkan konsep spiritual
(aqidah ruhiyah) dan konsep politik (aqidah siyasah) sekaligus; (2) Konsep
tersebut menjadi satu bagian dari ajaran Islam. Sedang agama lain hanya
mengajarkan konsep spiritual. Misalnya agama Yahudi dan Nasrani. Begitu
pula dengan ideologi kapitalisme dan sosialisme, misalnya, yang hanya
mengajarkan konsep politik; dan (3) dalam kedua aqidah tersebut, lslam
mengajarkan sistem, baik yang berkenaan dengan ruhiyah maupun siyasah.24
23 Muhammad Hussain Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam. Penerjemah
Zamroni (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah), h. 43. 24 Hafidz Abdurrahman, Islam: Politik dan Spiritual ( Singapura: Lisan al-Haq, 1998), h.
28-29.
Sebagai ajaran yang memiliki sistem, dalam Islam terdapat metode
untuk menjaga dan memelihara syari'atnya (yang menjamin tegaknya ideologi
tersebut). Metode yang berkenaan dengan penjagaan dan pemeliharaan
syari’at adalah: (1) terwujudnya khilafah Islam, (2) Penerapan sistem
hukuman, dan (3) jaminan revolusi dan kawalan ke atas Khilafah Islam.
Ketiga motode tersebut telah disyari’atkan dalam Islam untuk diterapkan agar
kebutuhan Islam sebagai agama dan ideologi dapat dipertahankan.25
Konsekwensi dari pandangan bahwa Islam agama yang benar, di mana
kaum muslimin memiliki otoritas atau berada dalam posisi jauh lebih atas dari
umat lain, melahirkan dikotomi darul Islam dan darul kufr. Berkenaan dengan
keadaan setiap wilayah yang ada di negeri-negeri Islam sekarang ini, apakah
termasuk darul Islam atau darul kufr, menurut Hizbut Tahrir, seluruhnya
merupakan darul kufr, bukan darul Islam.26
Tuntunan secara kaffah merupakan suatu kemestian keimanan akan
keberadaan Allah SWT, bahwasanya Al-Quran adalah kallamullah, dan
Muhammad adalah Rasulullah SAW, konsekwensinya adalah meyakini dan
menerima apa saja yang diinformasikan oleh Allah SWT kepada manusia
melalui utusan-Nya yakni Nabi Muhammad SAW, baik yang terdapat dalam
Al-Quran maupun As-Sunnah.27 Karena itu, penegakan syari'at Islam dalam
25 Ibid., h. 219. 26 Darul Islam adalah suatu wilayah yang menerapkan hukum-hukum Islam dan
keamanan wilayah tersebut berada di tangan Islam, yaitu di bawah kekuasaan pertahanan kaum muslim, sedang Darul Kufr adalah wilayah yang menerapkan hukum-hukum kufur atau keamanannya tidak berdasarkan pada Islam, yaitu tidak berada di tangan kekuasaan dan pertahanan kaum muslim, sekalipun mayoritas penduduknya adalah orang-orang Islam. Lebih jelas lihat dalam Hizbut Tahrir, Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Penerjemah Nurkhalis (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1997), h. 7.
27 Muhammad al-Khaththath, Menuju Iman Produktif (Bogor: PSKII,2001), h. 77.
arti yang seluas-luasnya merupakan suatu keniscayaan. Penerimaan atas
segala aturan Islam dapat dilakukan jika berpijak pada tiga asas: (1) rasa
ketaqwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu di masyarakat; (2)
sikap saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta
mengkordinasi tingkah laku penguasa pada masyarakat; dan (3) keberadaan
negara/ pemerintahan sebagai pelaksanaan hukum syara.28 Dengan demikian,
kedudukan negara dalam Islam tidak lain adalah untuk memelihara
masyarakat dan anggota-anggotanya serta bertindak selaku pemimpin yang
mengatur dan mementingkan urusan rakyatnya.
Keberadaan terpenting sebuah negara bagi masyarakat Islam adalah
untuk menerapkan hukum-hukum syara’ dan mengemban dakwah Islam ke
seluruh penjuru dunia.29
Adapun bentuk negara dan pemerintahan yang dikehendaki Partai ini
adalah model pemerintahan yang berbentuk kekhalifahan klasik. Model ini
mereka anggap sebagai satu-satunya bentuk autentik pemerintahan Islam,
yang diupayakannya untuk dihidupkan kembali bersama lembaga-lembaga
tradisional yang menyertainya. Untuk mencapai tujuan ini, partai menyusun
konstitusi yang memerinci sistem politik, ekomomi, dan sosial negara yang
dimaksud. Hizbut Tahrir merinci dan menggambarkan sebuah sistem
kekhilafahan yang sentralistik dalam arti sistem yang memberikan kekuasaan
eksekutif dan legislatife kepada khalifah terpilih, yang pada dirinya sebagian
besar fungsi negara terpusat. Warga negara didorong untuk menggunakan hak
28 Pusat Studi Khazanah Ilmu-ilmu Islam (PSKII), Materi Dasar Islam (Bogor: PSKII, 2001), h. 100-104.
29 Ibid., h.100-104.
mereka meminta tanggung jawab negara melalui oposisi politik yang
didasarkan pada ideologi islam dan diekspresikan melalui sistem multipartai.
Tujuan Hizbut Tahrir mendirikan partai politik tidak lain adalah agar
dunia kembali kepada cara hidup Islam. Mereka menjelma menjadi mediator
bagi program kebangkitan bangsa-bangsa Islam untuk lepas dari sistem
imperialisme dan juga membersihkan umat Islam dari sisa-sisa penjajahan.
Untuk mencapai tujuan dan cita-citanya, maka sebuah pendirian institusi
formal berbentuk negara Islam menjadi target utama dari kelompok ini.
Hizbut Tahrir dibawah kepemimpinan Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani pun
berusaha menggulingkan rezim pemerintahan yang ada. Meskipun tidak
pernah memperoleh dukungan resmi, partai ini cukup berhasil di Yordania dan
Tepi Barat sampai terjadinya penindasan terhadap kelompok oposisi pada
1957. Partai ini melakukan indoktrinasi terhadap anggotanya; menyebarkan
gagasan-gagasannya melalui selebaran, kuliah, dan khutbah, dan aktif
berpartisipasi dalam politik nasional dengan ikut serta dalam pemilihan
parlemen.
C. Gerakan Politik Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir merupakan partai politik kebangkitan Islam. Simbol
partai yang bertuliskan Laa illaha illa Allah Muhammad Rasulullah (tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah) merupakan dasar untuk
mengidentifikasinya sebagai sebuah partai politik yang berideologi Islam.
Hizbut Tahrir menolak gaya berfikir sekularisme yang memisahkan antara
kehidupan beragama dengan aktivitas politik praktis. Sebaliknya ia
menjadikan Islam sebagai jiwa dari politik. Politik merupakan kegiatannya,
dan Islam adalah ideologinya. Strategi politik Hizbut Tahrir bergerak pada
tataran grassroot di tengah-tengah masyarakat, dan mencoba mempengaruhi
dan menggerakkan masyarakat untuk menjadikan Islam sebagai permasalahan
utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem
Khilafah dan menegakkan hukum yang diturunkan Allah dalam realitas
kehidupan. Setelah kesadaran masyarakat tumbuh untuk menegakkan kembali
Khilafah, maka tampuk kekuasaan politik akan dapat diambil alih.
Hizbut Tahrir memperkenalkan diri sebagai organisasi politik, bukan
organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah (seperti
lembaga studi agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan
(akademis), dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial
kemasyarakatan).
Kegiatan Hizbut Tahrir 100 % bersifat politik. Ia menolak jika
dikatakan sebagai sebuah organisasi yang bergerak di bidang pendidikan
seperti madrasah atau hanya sekedar nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk.
Akan tetapi kegiatannya bersifat politik, dengan cara mengemukakan ide-ide
(konsep-konsep) Islam beserta hukum-hukumnya untuk dilaksanakan,
diemban, dan diwujudkan dalam kenyataan hidup dan pemerintahan.
Hizbut Tahrir muncul dan berkembang, kemudian menyebarluaskan
aktivitas dakwahnya di negeri-negeri Arab, sebagian besar negeri-negeri Islam
lainnya maupun hingga ke negeri-negeri Barat dan Eropa. Kegiatan Hizbut
Tahrir adalah mengemban dakwah Islam untuk mengubah situasi masyarakat
yang mereka anggap rusak menjadi masyarakat Islam. Hal ini dilakukan
dengan mengubah ide-ide rusak itu menjadi ide-ide Islam, sehingga ide-ide ini
menjadi opini umum di tengah masyarakat serta menjadi persepsi bagi
mereka. Selanjutnya persepsi ini akan mendorong mereka untuk
merealisasikan dan menerapkannya sesuai dengan tuntutan Islam. Juga
dengan mengubah perasaan yang dimiliki anggota masyarakat menjadi
perasaan Islam—yakni ridla terhadap apa yang diridlai Allah, marah dan benci
terhadap apa yang dimurkai dan dibenci oleh Allah—serta mengubah
hubungan/ interaksi yang ada dalam masyarakat menjadi hubungan/ interaksi
yang Islami, yang berjalan sesuai dengan hukum-hukum Islam dan
pemecahan-pemecahannya.30
Gerakan politik Hizbut Tahrir difokuskan pada bagaimana
membangun kesadaran politik masyarakat untuk menerapkan hukum-hukum
Allah yang berupa syariat Islam. Mereka menganggap syariat Islam sebagai
solusi terbaik untuk mengatasi segala problem hidup masyarakat. Gerakan-
gerakan sosial kemasyarakatan Hizbut Tahrir dianggapnya bersinonim dengan
gerakan politik. Karena politik adalah bidang yang mengatur kehidupan
bermasyarakat.
Gerakan politik Hizbut Tahrir dari mulai tahun awal berdirinya hingga
sekarang berusaha untuk memperjuangkan tegaknya sistem Khilafah
Islamiyah untuk diwujudkan dalam sebuah struktur kenegaraan. Untuk
mewujudkan sistem Khilafah Islamiyah mereka menggunakan perjuangan
30 Hizb Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir, h. 23.
politik kultural. Metode ini mereka anggap cukup efektif untuk merubah
paradigma berfikir masyarakat secara temporal, dan berharap setelah itu
mereka memiliki massa politik yang besar untuk mendukung aktivitas politik
mereka, hingga kemudian kekuasaan politik secara struktural dapat
dicapainya. Kegiatan-kegiatan yang bersifat politik ini tampak jelas dalam
kegiatannya mendidik dan membina umat dengan tsaqafah (kebudayaan)
Islam, meleburnya dengan Islam, berupaya membebaskan masyarakat dari
aqidah-aqidah, pemikiran-pemikiran, serta persepsi-persepsi yang yang
mereka anggap rusak, salah, dan keliru, sekaligus membebaskannya dari
pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan yang mereka anggap kufur.
Mereka dengan lantang menentang ide-ide dan pemikiran yang lahir
dari Barat yang bersifat sekulistik seperti kapitalisme, liberalisme, demokrasi,
Hak Asasi Manusia, pluralisme agama, Feminisme, bahkan dialog antar
agama. Mereka selalu lantang menyuarakan penentangannya terhadap ide-ide
yang mereka anggap merupakan ide-ide, aqidah-aqidah, dan persepsi-persepsi
yang salah dan keliru. Terhadap ide-ide tersebut, Hizbut Tahrir beraksi dengan
cara menjelaskan kerusakannya, menampakkan kekeliruannya, dan
menjelaskan ketentuan hukum Islam dalam masalah tersebut. Segala kajian
yang berhubungan dengan permasalahan ummat serta solusi pemecahannya
berhasil mereka rangkum dalam serangkayan buah karya baik berberntuk
selebaran, booklet, majalah, dan buku. Adapun karya-karya buku yang
mereka publikasikan ke ranah publik antara lain:31
1. Nizhamul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam)
2. Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan dalam Islam)
3. Nizhamul Iqtishadi fil Islam (Sistem Ekonomi dalam Islam)
4. Nizhamul Ijtima’iy fil Islam (Sistem Pergaulan dalam Islam)
5. At-Takattul al-Hizbiy (Pembentukan Partai Politik)
6. Mafahim Hizbut Tahrir (Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir)
7. Daulatul Islamiyah (Negara Islam)
8. Al-Khilafah (Sistem Khilafah)
9. Syakhshiyah Islamiyah – 3 jilid (Membentuk Kepribadian Islam)
10. Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir (Pokok-pokok Pikiran Politik Hizbut
Tahrir)
11. Nadharat Siyasiyah li Hizbit Tahrir (Beberapa Pandangan Politik Hizbut
Tahrir)
12. Kaifa Hudimatil Khilafah (Persekongkolan Meruntuhkan Khilafah)
13. Siyasatu al-Iqtishadiyah al-Mutsla (Politik Ekonomi yang Agung)
14. Al-Amwal fi Daulatil Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah)
15. Nizhamul ‘Uqubat fil Islam (Sistem Sanksi Peradilan dalam Islam)
16. Ahkamul Bayyinat (Hukum-hukum Pembuktian)
17. Muqaddimatu ad-Dustur (Pengantar Undang-undang Dasar Negara Islam)
31 Hizbut Tahrir, “Landasan Pemikiran Hizbut Tahrir,” artikel diakses pada 2 November
2007 dari http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=41&Itemid=2
Dan banyak lagi buku-buku, booklet, maupun selebaran yang
dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, baik yang menyangkut ide maupun politik.
Seluruh kegiatan politik tersebut dilakukan tanpa menggunakan caca-
cara kekerasan (fisik/senjata). Akan tetapi sebatas aktivitas menyampaikan
ide-ide (konsep-konsep) dengan lisan atau tulisan, sesuai jejak dakwah yang
dicontohkan Rasulullah SAW.
Hizbut Tahrir mengemban dakwah Islam agar Islam dapat diterapkan
dalam kehidupan dan agar Aqidah Islamiyah dapat menjadi dasar negara dan
dasar konstitusi serta undang-undang.
Adapun metode yang ditempuh Hizbut Tahrir dalam mengemban
dakwah adalah hukum-hukum syara', yang diambil dari thariqah (metode)
dakwah Rasulullah SAW, sebab bagi mereka thariqah itu wajib diikuti.
Landasan berfikir mereka itu sebagaimana firman Allah SWT:
لقد آان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن آان يرجو الله واليوم
ر وذآر الآخ الله آثيرا(٢١)
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah)." (QS Al Ahzab: 21)
قل إن آنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله ويغفر لكم ذنوبكم والله
رحيم(٣١) غفور
"Katakanlah: 'Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian." (QS Ali Imran: 31)
Menurut Hizbut Tahrir kaum muslimin saat ini hidup di Darul Kufur—
karena diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur yang tidak diturunkan
Allah SWT—maka keadaan negeri mereka serupa dengan Makkah ketika
Rasulullah SAW diutus (menyampaikan risalah Islam). Untuk itu fase Makkah
wajib dijadikan sebagai tempat berpijak dalam mengemban dakwah dan
mensuriteladani Rasulullah SAW.
Berdasarkan sirah Rasulullah SAW, Hizbut Tahrir menetapkan metode
perjalanan dakwahnya dalam 3 (tiga) tahapan.32 Pertama, tahapan pembinaan
dan pengkaderan (Marhalah At-Tatsqif), yang dilaksanakan untuk membentuk
kader-kader yang mempercayai pemikiran dan metode Hizbut Tahrir, dalam
rangka pembentukan kerangka tubuh partai. Kedua, tahapan berinteraksi
dengan umat (Marhalah Tafa'ul Ma'a Al Ummah), yang dilaksanakan agar
umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga umat menjadikan Islam
sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang untuk mewujudkannya
dalam realitas kehidupan. Ketiga, tahapan pengambilalihan kekuasaan
(Marhalah Istilaam Al Hukm), yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam
secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.
Metode dakwah tersebut merupakan strategi politik Hizbut Tahrir
yang baku. Untuk saat ini, kegiatan politik Hizbut Tahrir baru memasuki
tahapan pembinaan dan pengkaderan, serta berinteraksi dengan masyarakat.
32 Ibid., h. 34.
Sedangkan pada tahapan pengambilalihan kekuasaan, Hizbut Tahrir masih
melihatnya sebagai proses yang pada akhirnya akan terwujud.
Pada metode pertama dan kedua dapat dikatakan upaya sebuah partai
untuk melakukan rekruitmen politik. Dalam kegiatan rekruitmen politik,
Hizbut Tahrir menerima keanggotaan setiap orang Islam, baik laki-laki
maupun wanita, tanpa memperhatikan lagi apakah mereka keturunan Arab
atau bukan, berkulit putih ataupun hitam. Hizbut Tahrir menjadi wadah bagi
aspirasi politik kaum muslimin dan menyeru mereka untuk mengemban
dakwah Islam serta mengambil dan menetapkan seluruh aturan-aturan Islam,
tanpa memandang lagi kebangsaan, warna kulit, maupun madzhab mereka.
Hizbut Tahrir melihat semuanya dari pandangan Islam.
Cara mengikat individu-individu di dalam Hizbut Tahrir adalah dengan
memeluk aqidah Islam, matang dalam tsaqafah Hizbut Tahrir, mengambil dan
menetapkan ide-ide serta pendapat-pendapat Hizbut Tahrir. 33 Tiada
pemaksaan bagi individu untuk menjadi anggota Hizbut Tahrir, individu itu
sendiri yang mengajukan dirinya sebagai anggota Hizbut Tahrir, setelah
sebelumnya terlibat dengan Hizbut Tahrir. Hal itu muncul ketika dakwah telah
berinteraksi dengannya dan dia telah mengambil dan menetapkan ide-ide serta
persepsi-persepsi Hizbut Tahrir. Jadi ikatan yang menjalin anggota Hizbut
Tahrir adalah akidah Islam dan tsaqafah Hizbut Tahrir yang lahir dari aqidah
tadi.
33 Ibid., h.21.
Dakwah secara kolektif menjadi cara utama untuk memperbanyak
dukungan dan hal tersebut dikakukan oleh Hizbut Tahrir dengan melakukan
aktivitas-aktivitas sebagai berikut: 34
(1) Tsaqafah Murakkazah, aktivitas ini dilakukan oleh Hizbut Tahrir
melalui halaqah-halaqah yang dilakukan oleh individu (pengikut
Hizbut Tahrir) dalam rangka membangun kerangka Hizbut Tahrir,
memperbanyak pendukung, serta melahirkan kepribadian Islam di
kalangan para pengikut dan anggota Hizbut Tahrir sehingga mereka
mampu mengemban dakwah, mengarungi medan kehidupan dengan
pergolakan pemikiran dan perjuangan politik.
(2) Tsaqafah Jama’iyah, yang disampaikan kepada umat Islam secara
umum, berupa ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah diadopsi
oleh Hizbut Tahrir. Ini dilakukan melalui pengajian-pengajian umum
di mesjid-mesjid atau di balai-balai pertemuan, gedung-gedung dan
tempat umum, juga melalui media massa buku-buku dan selebaran-
selebaran untuk mewujudkan kesadaran umat secara umum sekaligus
berinteraksi dengan umat.
(3) Shira’al fikri (pergolakan pemikiran), untuk menentang kepercayaan/
ideologi, aturan dan pemikiran-pemikiran kufur. Menentang segala
bentuk aqidah yang rusak, pemikiran yang keliru, persepsi yang salah
dan sesat dengan cara mengungkapkan kepalsuan, kekeliruan, dan
pertantangannya dengan Islam, juga membersihkan umat dari segala
bentuk pengaruh dan implikasinya.
34 Ibid., h. 36-38.
(4) Kifah as-Siyasi (perjuangan politik), aktivitas ini bisa berbentuk:
a. Berjuang menghadapi negara-negara kafir imperialis yang
menguasai dan mendominasi Islam. Menghadapi segala bentuk
penjajahan, baik itu berupa penjajahan pemikiran, politik,
ekonomi, maupun militer, mengungkapkan akar dan membongkar
persekongkolan negara-negara kafir sehingga umat bebas dari
segala bentuk dominasi mereka.
b. Menentang para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri
Islam lainnya. Membongkar kejahatan mereka, menyampaikan
nasihat dan kritik dan mencoba merubah tingkah laku mereka
setiap kali mereka melahap hak-hak umat, atau pada saat mereka
tidak melaksanakan kewajibannya terhadap umat, atau ketika
mereka menyalahi hukum-hukum Islam. Dan melakukan aktivitas
untuk menghapuskan kekuasaan mereka, kemudian
menggantikannya dengan kekuasaan yang merujuk pada sistem
hukum Islam.
(5). Mengadopsi kemaslahatan umat dan melayani seluruh urusannya
sesuai dengan hukum-hukum syara’.
Pembinaan kader Hizbut Tahrir dipisahkan antara laki-laki dan
perempuan. Yang memimpin para perempuan adalah para suami, muhrimnya
atau para perempuan. Dengan dilakukannya aktivitas pembinaan dengan
metode dakwah yang mengikuti Rasulullah SAW maka diharapkan terbentuk
individu/kelompok yang Islami dan memahami konteks pentingnya Daulah
Khilafah dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang Islami.
Hubungan internal dibangun dan dilandasi dengan metode dakwah,
sehingga tidak ada perbedaan kebijakan antara Hizbut Tahrir yang berpusat di
Jerussalem dan Hizbut Tahrir-Hizbut Tahrir cabang yang tersebar diberbagai
negara. Inti dari perjuangannya adalah menegakkan Daulah Khilafah,
sehingga segala bentuk masalah yang mendera kaum muslim dikritisi dan
diberikan solusi berupa penegakan Daulah Khilafah.
Dengan metode dakwah yang demikian kuat, tak heran apabila
organisasi Hizbut Tahrir begitu kuat dan memiliki pendukung yang militan
dalam memperjuangkan tujuan organisasinya. Militansi anggota Hizbut Tahrir
bisa dilihat dalam aksi-aksi demonstrasinya. Dalam mengkritik atau
menanggapi berbagai isu, baik itu isu negara tempat Hizbut Tahrir itu berada,
maupun isu internasional.
Untuk mewadahi anggota-anggotanya tersebut sejak awal, partai ini
sudah mendirikan cabang-cabang di Suriah, Lebanon, Kuwait, dan Irak.
Meskipun meningkatnya pengaruh Nasser telah menghalangi upayanya untuk
meraih dukungan massa, pada awal 1960-an rasa percaya diri partai ini
semakin besar dan berpuncak pada dua upaya kudeta di Amman pada 1968
dan 1969. Kedua upaya kudeta ini dibarengi dengan langkah-langkah serentak
di Damaskus dan Baghdad. Kospirasi serupa juga muncul di Baghdad (1972),
Kairo (1974), dan Damaskus (1976).
Pada tahun-tahun terakhir, partai ini menafsirkan kebangkitan Islam
sebagai bukti masyarakat menerima gagasannya. Sejak krisis teluk 1990-1991,
optimismenya terus bertambah karena yakin bahwa ketidaktulusan gerakan
dan rezim politik dikawasan ini telah terungkap dan opini publik kini
menghargai kebenaran pemahaman partai ini mengenai Islam dan pendekatan
militan dan progressif terhadap perubahan.
Kepatuhan kakunya kepada ideologi membuat partai ini tidak mau
bekerja sama dengan kelompok Islam lainnya, dan pendekatan
kontrofersialnya menyebabkan ia dikutuk secara luas. Meskipun pengutukan
itu diisolasi dan dipinggirkan, para anggotanya aktif di Yordania, Suriah,
wilayah pendudukan, Irak, Lebanon, Afrika Utara, (terutama Tunisia), Arab
Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Sudan, Turki, Pakistan, Malaysia, Indonesia,
dan sebagian Eropa, seperti Inggris, Prancis, Jerman, Rumania, serta
Yugoslavia. Di dunia muslim, kelompok ini memperoleh kebebasan yang
lebih besar seperti di Yordania dan Kuwait.
Berbagai aktivitasnya dikoordinasikan dan diprioritaskan di seluruh
wilayah Arab Islam, yang mencerminkan struktur partai yang memiliki sistem
dan kinerja organisasi yang baik, berdisiplin tinggi dan tersentralisasi.
Keanggotaan atau kader merupakan ciri khas dari sebuah partai politik
moderen. Hizbut Tahrir yang giat menjaga homogenitas ideologinya, pun
mengikuti arus politik moderen dengan mengadakan doktrinisasi ideologis,
yang mengikat anggota, para pelajar sekolah menengah, mahasiswa, serta para
sarjana baru.
Kini, setelah melalui perjuangan panjang selama kurang lebih 54 tahun
lamanya, Hizbut Tahrir pada era di mana batas-batas negara semakin pudar,
malah semakin terlihat mengaktualisasikan diri. Dalam era globalisasi yang
ditandai dengan kemajuan teknologi dan pengembangan demokrasi global,
maka profil Hizbut Tahrir ini dapat mudah diakses diberbagai media, baik
internet, media cetak, televisi, maupun radio. Globalisasi dengan segala
bentuk, ragam, serta dampaknya ternyata menjadi gerbang strategis bagi
penyebaran pemikiran dan gagasan partai politik internasional ini.
Dapat dikatakan bahwa eksistensi Hizbut Tahrir dalam kancah
perpolitikan di satu negara sangat tergantung kepada faktor situasi dan kondisi
sistem pemerintahan lokal, kebijakan-kebijakan politik internasional, serta
arus demokrasi. Misalnya saja Hizbut Tahrir sangat sulit berkembang di Arab
Saudi, salah satu sebabnya karena pemerintahan Arab Saudi berada di bawah
dominasi Wahabiyah-nya yang sangat kuat, sehingga dapat memasung segala
gerakan yang kontra dengan pahamnya.. Atau betapa Hizbut Tahrir tak lepas
dari perlakuan diskriminasi dan intimidasi di negara-negara Eropa ketika
mencuatnya isu terrorisme misalnya. Dan terbukti setelah keran reformasi
dibuka tahun 1998 di Indonesia Hizbut Tahrir dapat berkembang pesat
khususnya ketika rezim otoritarian tumbang dan proses demokratisasi
berlangsung. Eksistensi Hizbut Tahrir di Indonesia baru nampak jelas muncul
kepermukaan pada era 1998 tersebut. Ini nampak pada berbagai aktivitas
politik Hizbut Tahrir yang gencar dilakukan pasca reformasi tersebut.35
Adapun kegiatan Hizbut Tahrir terkait dengan wacana globalisasi
dapat terlihat pada beberapa event seperti pada acara diiskusi yang membedah
buku "Wajah Liberal Islam di Indonesia" yang diselenggarakan BEM UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta di Aula Madya UIN, 30 September 2002. Pada
event itu Ismail Yusanto sebagai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia banyak
35 Lebih jelasnya lihat Hizbut Tahrir, Kaleidoskop Aktivitas Politik Dan Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI ), artikel diakses dari http://www.hizbut-tahrir.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=429
mengemukakan gagasan-gagasan Taqiyuddin an-Nabhani tentang khilafah
Islam dan penerapan syariat Islam di Indonesia untuk melindungi kepentingan
umat dalam percaturan global. Dalam forum diskusi itu Ismail menyarakan
penentangannya terhadap imperialisme dan kapitalisme global serta
globalisasi.
Pada 29 April 2005, Hizbut Tahrir bersama dengan berbagai
komponen umat Islam yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI)
mengadakan diskusi publik dan demo besar bertema Menolak Liberalisasi Air
dalam Undang-Undang Sumber Daya Air di Jakarta. Hizbut Tahrir sepakat
bahwa Undang-Undang tersebut harus di tolak dan diganti dengan pengaturan
yang sesuai dengan syariah Islam yang mempu mempertahankan hak dasar
rakyat atas air dan memungkinkan pengelolaan air secara adil.
Kemudian pada awal November 2005 Ismail Yusanto sebagai Juru
Bicara Hizbut Tahrir Indonesia diundang dalam seminar internasional di
Dushisha University Kyoto, Jepang untuk berbicara tentang tantangan
modernisasi dan globalisasi dan kebangkitan agama tepatnya dalam
Konferensi Internasional dengan tema "Modernization and National Identity
in East Asia: Globalization and the Revival of Religion", yang
diselenggarakan oleh Center for Interdisciplinary Study of Monotheistic
Religions (CISMOR).36
Selanjutnya yang paling update dari gerakan Hizbut Tahrir yang
berusaha menunjukkan kekuatan globalnya adalah pada Konferensi Khilafah
Internasional (KKI) yang diselengarakannya di Glora Bung Karno, Jakarta,
36Muhammad Ismail Yusanto: Mengkampanyekan Syari'ah Dan Khilafah Islam Dari Indonesia Sampai Amerika, artikel diakses pada 2 November 2007 dari http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=41&Itemid=2
pada tanggal 12 Agustus 2007. Konferensi yang ternyata mampu
menghadirkan lebih kurang 100 ribu peserta itu, menurut Hizb, dilaksanakan
semata sebagai medium untuk meneguhkan komitmen umat Islam terhadap
perjuangan penegakan syariah dan khilafah.
Dengan berbagai gerakan tersebut, meskipun terdapat berbagai
tantangan dan hambatan global, Hizbut Tahrir kini telah berkembang ke
seluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk di Afrika seperti Mesir,
Libya, Sudan dan Aljazair. Juga ke Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria,
Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya hingga ke Amerika Serikat, Rusia,
Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan
Australia.
Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis
dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-
ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai
aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan.
Sampai dengan tahun 2007 saat ini telah terdapat berbagai links
tentang Hizbut Tahrir dan Khilafah. 37 Terdapat berbagai halaman web di
berbagai belahan dunia yang menggunakan berbagai macam bahasa,
diantaranya, bahasa Arab, Inggris, Rusia, Perancis, Jerman, Poland, Belanda,
Denmark, Turki, Uzbekistan, Urdu, Bengali, Indonesia, dan Malaysia yang
mungkin dapat menjawab persoalan mengenai Hizbut Tahrir yang mencoba
menampilkan opsi alternaif bagi umat sebagai jalan untuk mengembalikan
semula kehidupan Islam serta kesatuan umat di seluruh dunia melalui Sistem
37 Hizbut Tahrir, “Links Hizbut Tahrir,” artikel di akses pada 2 November 2007 dari http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=41&Itemid=2
Khilafah Islamiyah.
BAB IV
GLOBALISASI DAN KEBANGKITAN KHILAFAH ISLAMIYAH
DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN HIZBUT TAHRIR
A. Makna Globalisasi Bagi Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir adalah partai politik internasional yang berupaya
mendakwahkan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Fokus kajian partai ini
mencakup permasalahan internasional. Maka tema globalisasi yang
komprehensif dan multidimensional ini pun tak luput dari perhatian dan
pengkajian Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir dalam berbagai kesempatan berusaha
menyusun pandangannya tentang globalisasi ini. Memang tidak ada buku
khusus terbitan Hizbut Tahrir yang mewakili secara ilmiah tentang globalisasi,
namun pandangan mereka tentang globalisasi tetap ada, mereka hadir,
menatap, merasakan, dan memberikan kritik serta komentar-komentarnya
dalam sebuah seminar maupun berbentuk selebaran-selebaran, dan artikel-
artikel kecil.
Pada umumnya Hizbut Tahrir paham tentang wacana globalisasi.
Menurut juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto, globalisasi
dapat dimaknai sebagai sebuah perspektif perkembangan kehidupan
masyarakat dunia yang berkembang tidak lepas dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.38 Dalam perspektif perkembangan itu, maka
globalisasi adalah keniscayaan dan akan datang seiring dengan kemajuan.
38 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ismail Yusanto, Jakarta, 04 Sepember 2007.
Hizbut Tahrir tidak menentang kemajuan sains dan teknologi. Segala macam
sains seperti kedokteran, teknik, matematika, astronomi, fisika, kimia,
pertanian, industri, transportasi, komunikasi, ilmu kelautan, geografi, dan
sebagainya pada dasarnya adalah boleh, bahkan harus dikuasai bila
kemanfaatannya sangat diperlukan demi kemajuan material umat manusia.
Sains semacam itu bersifat universal dan tidak terkait nilai (value free),
sehingga boleh diambil dan diterapkan oleh umat Islam selama tidak
bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam. 17
Namun Hizbut Tahrir dengan lantang menolak globalisasi ”ala Barat”
yaitu globalisasi sebagai suatu proses perubahan sosial yang berusaha
mengubah masyarakat tradisonal menjadi masyarakat modern dengan
mengambil model masyarakat Barat yang sekular. Labih lanjut Ismail Yusanto
mengatakan globalisasi merupakan upaya uniformitas yang mencakup fear,
fun, food, fashion, and faith.39 Tema global ini merupakan penyeragaman
kekhawatiran atau bisa disebut adanya kekuatan global yang menyebabkan
kekhawatiran dan ketundukan masyarakat dunia terhadapnya. Penyeragaman
kesenangan, makanan, serta mode atau fashion lebih ditujukan kepada upaya
uniformitas budaya. Bahwa misalnya McDonald atau fast food menjadi
menjadi menu makanan global, atau cara berpakaian model Barat seperti
kemeja, dasi, atau celana jeans, kemudian model rambut sheggy menjadi trend
center masyarakat dunia. Yang terakhir, penyeragaman keyakinan baik berupa
agama, maupun ideologi merupakan satu hal yang tidak luput dari perhatian
para pengamat. Ada sebuah upaya besar untuk melakukan ekspansi keyakinan
39 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ismail Yusanto.
hingga diharapkan dunia dapat memiliki satu pemahaman yang sama, atau
hukum yang sama untuk mengatur masyarakat global.
Khusus dalam bidang ekonomi, Hizbut Tahrir memahami bahwa
globalisasi adalah sebuah aktivitas perekonomian yang menekankan pada
privatisasi, anti intervensi negara dalam ekonomi, dan kepercayaan absolut
pada mekanisme pasar.40 Bagi Hizbut Tahrir adanya optimalisasi kebijakan
pasar bebas secara besar-besaran merupakan strategi globalisasi yang
dipaksakan atas dunia.41 Berbagai perusahaan melakukan merger, menjadi
besar dan menonjol sebagai pemain ekonomi utama yang mendiktekan
kebijakannya terhadap berbagai rejim pemerintahan. WTO, IMF, dan World
Bank dimanfaatkan oleh negara-negara Adi Daya sebagai alat untuk
melakukan campur tangan dan menekan kebijakan ekonomi berbagai negara.
Penolakan Hizbut Tahrir terhadap globalisasi “ala Barat” ini karena partai ini
memahaminya sebagai bentuk imperialisme yang paling mutakhir, sebagai
wujud dari kapitalisme modern, dan sebagai bentuk hegemoni politik tunggal
Amerka Serikat.42
1. Bentuk Imperialisme Paling Mutakhir
Setelah memahami proses globalisasi, maka Hizbut Tahrir merangkum
definisi umum globalisasi sebagai bentuk imperialisme yang paling mutakhir.
Terlepas dari perspektif perkembangan, sesungguhnya globalisasi hanyalah
40 Muhammad Ismail Yusanto, “Kebangkitan Islam Menantang Modernisasi dan
Globalisasi: Perjuangan Hizbut Tahrir di Indonesia,” Makalah presentasi pada: Konferensi Internasional Modenization and National Identity in East Asia: Globalization and The Revival of Religion diselenggarakan oleh Center for Interdiciplinary Study of Monotheistic Religions (CISMOR, Kyoto Jepang, November 2005, h. 2.
41 Taqiyuddin an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir(Edisi Mu’tamadah). Penerjemah M. Shiddiq Al-Jawi (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia Press, 2006), h. 38.
42 Lihat Muhammad Ismail Yusanto, “Kebangkitan Islam Menantang Modernisasi dan Globalisasi: Perjuangan Hizbut Tahrir di Indonesia,” h. 1-12.
istilah yang substansinya adalah imperialisme. Imperialisme adalah
pemaksaan dominasi politik, militer, budaya, dan ekonomi atas suatu negara
untuk dieksploitasi.43 Imperialisme atau penjajahan (isti'mariyah) merupakan
metode baku dari ideologi kapitalisme dalam menyebarkan pengaruhnya.
Kendati merupakan metode baku, tapi manifetasi imperialisme muncul dalam
beragam bentuk, bisa berupa dominasi militer, politik, ekonomi, budaya
maupun bentuk yang lain.
Pada era globalisasi, Hizbut Tahrir memandang adanya perubahan
yang cukup signifikan dalam pola atau pun metode imperialisme. Kalau
dahulu pada abad 19 dan Abad 20, imperialisme begitu terbuka dan mewujud
dalam bentuk dominasi militer oleh negara-negara imperium Barat terhadap
negara-negara yang kaya akan sumber daya alam. Maka pasca Perang Dunia
Kedua tepatnya tahun 1945, imperialisme fisik (militer) berakhir. Dunia
berharap bahwa setelah itu imperialisme tidak akan ada lagi. Tapi dunia harus
kecewa karena ternyata imperialisme terus berlangsung. Ia hanya berubah
wajah. Melalui dominasi politik-ekonomi dengan jargon modernisasi dan
globalisasi, imperialisme terus berlangsung khususnya terhadap negeri-negeri
muslim yang baru merdeka dari penjajahan Barat. Globalisasi pada praktiknya
hanya merupakan usaha negara-negara Barat untuk terus mengukuhkan
dominasinya atas negara-negara bekas jajahan pasca Perang Dunia II itu.
Maka pada era globalisasi pasca Perang Dunia Kedua (PD II) ini,
imperialisme dikenal sebagai “penjajahan gaya baru” atau neo imperialisme.
Namun kemudian seiring dengan perkembangan globalisasi, terdapat fakta
43 Taqiyuddin an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir(Edisi Mu’tamadah).
Penerjemah M. Shiddiq Al-Jawi (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia Press, 2006), h.14-15.
empirik bahwa negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat (AS) telah
kembali kepada metode imperialisme gaya lama. Khususnya pasca 11
September 2001 saat menara kembar World Trade Center (WTC) di New
York dan Gedung Pentagon di Washington runtuh oleh serangan dua pesawat
terbang yang dibajak oleh para teroris. Sejak saat itu negara-negara Barat yang
dipelopori oleh Amerika mengumumkan perang terbuka terhadap terorisme.
Kemudian muncullah isu tentang keidentikkan Islam dengan terorisme.
Amerika Serikat mengklaim bahwa Al-Qaeda adalah organisasi teroris
internasional yang lahir dari paham ekstrimis fundamentalis Islam. Sejak saat
itu pendudukan gencar dilakukan Amerika di negara-negara berbasis Islam
yang diduganya sebagai gerbong jaringan teroris, kemudian Amerika
membangun pangkalan-pangkalan militer di negara-negara seperti Afganistan
dan Irak. Maka globalisasi, juga berarti perang global melawan terorisme (the
global war on terorrism), sesungguhnya semua menuju satu titik yang sama,
yaitu imperialisme negara-negara Barat kapitalis atas negara-negara lain,
terutama negara-negara di Dunia Islam.
Lebih ekstrim, melalui juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia,
Muhammad Ismail Yusanto, Hizbut Tahrir menganggap globalisasi hanyalah
istilah kosong yang tidak memberi kontribusi apa pun bagi dunia, khususnya
dunia Islam, kecuali hanya memberi jalan bagi imperialisme itu sendiri untuk
terus mencengkeram dan mengeksploitasi dunia demi nafsu serakahnya yang
tidak pernah kenyang.44
44 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ismail Yusanto.
2. Wujud Kapitalisme Modern
Hizbut Tahrir menilai dalam proses globalisasi ini, ada keterkaitan
antara penjajahan gaya baru atau neo imperialisme dengan ideologi kapitalis.
Adapun keterkaitan penjajahan dengan kapitalisme berkisar di antara dua
fakta berikut:45 Pertama, kuatnya keterkaitan itu, yaitu bahwa penjajahan
hanya menjadi thariqah (metode) untuk menyebarkan fikrah (konsep)
kapitalisme, yang berarti bahwa fokus perhatian utama adalah penyebaran
kapitalisme. Kedua, lemahnya keterkaitan ini, yakni bahwa fokus perhatian
utama adalah penjajahan itu sendiri. Sedang fokus perhatian kedua adalah
penyebaran kapitalisme. Jadi seakan-akan penjajahan lebih dekat sebagai
tujuan dari pada sebagai thariqah.
Bagaimana pun kuat lemahnya relasi yang terbentuk antara penjajahan
dengan program penyebarluasan ide kapitalisme, menurut Hizbut Tahrir
semuanya tergantung dari situasi dan kondisi negeri-negeri yang hendak
menjadi objek penjajahan atau pendudukan. Bilamana negeri tersebut adalah
negeri yang berbudaya dan memiliki peradaban, maka metode penjajahan
akan lebih condong pada upaya penyebarluasan pengaruh ideologi
kapitalisme. Dengan begitu negara penjajah akan lebih mudah mendominasi
dan leluasa menguasai kekayaan alamnya. Namun jika negeri tersebut tidak
memiliki peradaban tertentu, maka negeri tersebut hanya perlu dijajah,
dirampas kekayaannya, dan didominasi.
Ada pun di dunia Islam, di Timur Tengah dan Afrika Utara, atau di
Asia Tengah dan Asia Tenggara, negara-negara penjajah –di bawah pimpinan
45 an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, h. 16.
Amerika Serikat- disamping memaksakan dominasi politik, militer, ekonomi,
di dunia Islam untuk mengeksploitasi manfaat-manfaat materialnya, juga
berupaya untuk menyebarkan kapitalisme pada banyak bidang. Inilah yang
disebut sebagai globalisasi kapitalisme. Misalnya perhatian negara-negara
penjajah terhadap konferensi-konferensi seperti ”konsferensi emansipasi” dan
”kesetaraan gender”. Demikan pula adanya rencana AS untuk Timur Tengah,
pemaksaan dominasi budaya pada apa yang dikenal dengan ”rekonstruksi
peradaban”, ”dialog antar agama”, ”titik temu peradaban”, dan upaya intensif
mengubah atau mengganti kurikulum pendidikan untuk memutuskan
keterkaitan kaum Muslim dengan peradaban dan budaya mereka.46
Maka globalisasi adalah proses menyeragamkan dunia ke dalam
ideologi tunggal yaitu kapitalisme. Kapitalisme global menerapkan prinsip-
prinsip neo liberalisme oleh badan-badan dunia seperti IMF, WTO dan Bank
Dunia yang sengaja dibentuk untuk melancarkan semua usaha dominasi dan
eksploitasi bangsa-bangsa yang lemah.47 Tujuan dari itu semua adalah agar
seluruh dunia memeluk ideologi ini sebagai satu-satunya ideologi yang
diklaim absah menjadi pemenang sejarah, khususnya setelah kehancuran
Komunisme tahun 1991.
3. Hegemoni Politik Tunggal Amerika Serikat
Hizbut Tahrir mencatat bahwa yang menguasai mekanisme globalisasi
adalah negara industri yang tergabung dalam negara Adi Daya. 48 Menurut
46 Ibid., h. 17. 47 Muhammad Ismail Yusanto, “Kebangkitan Islam Menantang Modernisasi dan
Globalisasi: Perjuangan Hizbut Tahrir di Indonesia,” h. 7. 48 Menurut Hizb negara adi daya adalah negara-negara G-8, yaitu tujuh negara industri
(Amrika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Kanada) di tabah dengan Rusia, telah mendominasi kebijakan ekonomi dan moneter dunia. Kemudian ditambah dengan Cina, yang
juru bicara Hizbut Tahrir Inggris, Dr. Imran Waheed, globalisasi bermakna
universalisasi nilai-nilai Barat ke segala penjuru dunia. Menurutnya proyek
globalisasi didominasi oleh peradaban Barat.49
Kedudukan negara pertama di dunia bukan lah hal yang baru. Itu sudah
ada sejak lama. Dalam sejarah kuno, Mesir, Romawi, Daulah Islamiyah di
masa Khulafa Ar-Rasyidin pernah menjadi negara pertama. Perancis pernah
pula menjadi negara pertama, Daulah Utsmaniyah, sebagai negara Khilfah
Islamiyah pernah menjadi negara pertama hampir tiga abad lamanya. Hingga
pertengahan abad ke-18 M. Sebelum Perang Dunia Kesatu (PD I), Jerman
adalah negara pertama di dunia. Setelah PD I, Inggris merupakan negara
pertama dan menjelang Perang Dunia II, Inggris menjadi negara pertama.
Perang Dunia II meledak dan Amerika Serikat terjun ke dalam perang
tersebut. Perang berakhir, dan menandai terbukanya keran globalisasi,
Amerika menjadi negara pertama dalam merancang politik internasional dan
konstelasi internasional sedemikian sehingga ia menjadi negara yang paling
mampu untuk menjadikan politik internasional berada di pihaknya. Amerika
terus mendominasi posisi internasional hingga tidak mungkin ada atau terjadi
peristiwa-peristiwa politik kecuali atas kehendaknya.
Hizbut Tahrir mengutip pernyataan mantan Mentri Luar Negeri
Prancis, Hober Fiderin, dalam bukunya Taruhan-taruhan Prancis di Era mempunyai kekuatan Ekonomi yang besar, kekuatan nuklir, populasi penduduk yang besar, keanggotaan tetap dalam Dewan Keamanan PBB, maka menurut Hizb negara-negara adidaya di dunia saat ini adalah sembilan negara ini. Lebih jelas lihat dalam Taqiyuddin an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir(Edisi Mu’tamadah). Penerjemah M. Shiddiq Al-Jawi (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia Press, 2006), h. 48.
49 Dr. Imran Waheed, “Tanda-tanda Kehancuran Peradaban Barat,” artikel diakses pada 22 November 2007 dari http://hayatulislam.multiply.com/journal/item/137/Makalah_Pembicara_KKI_2007_2Tanda-Tanda_Kehancuran_Peradaban_Barat
Globalisasi mengatakan, ”sesungguhnya keberadaan satu-satunya kekuatan
ini (Amerika Serikat) yang mendominasi seluruh bidang ekonomi, teknologi,
militer, moneter, bahasa, dan budaya, merupakan kondisi yang belum pernah
ada sebelumnya dalam sejarah.” Fiderin berkata, ”sesungguhnya Amerika
Serikat menduduki peringkat nomer satu di dunia tanpa pesaing. Setelah itu
pada peringkat kedua, adalah tujuh negara yang mempunyai pengaruh dunia,
yaitu Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, Cina, Jepang, dan India, asalkan mereka
mau menetapkan untuk memperluas visinya yang selama ini masih bersifat
regional.”50
Dalam pandangan Fiderin, terdapat banyak tolak ukur untuk menyusun
peringkat negara-negara Adidaya tersebut, diantaranya adalah pendapatan
nasional, taraf kemajuan teknologi, senjata nuklir, lalu tingkat kuantitas dan
kualitas persenjataan, keterikatan dengan organisasi dan lembaga
internasional, seperti Dewan Keamanan PBB, Kelompok G-8, atau Uni Eropa,
lalu penyebaran bahasa dan pengaruh budaya yang diwarisi dari generasi
terdahulu.51
Dalam persyaratan tersebut, Amerika adalah negara yang memenuhi
semua kriteria. Dengan melimpahnya kekayaan, tercukupinya jumlah kaum
terpelajar, dan pemikir, serta adanya suasana kebebasan dan kesungguhan
yang menguasai Amerika, maka kekuatan Amerika adalah kekuatan yang
nyata, bukan kekuatan yang hanya nampak secara lahiriyah.
Saat ini Amerika mempunyai galangan kapal nuklir yang besar,
mengungguli apa yang dimiliki negara-negara nuklir lainnya dengan berlipat
50 an- Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, h. 38-39. 51 Ibid., h. 38-39.
ganda. Jika anggaran militer Amerika dibandingkan dengan negara-negara
Adidaya lainnya, akan nampak keunggulan Amerika atas negara-negara itu.
Pada tahun 2002 anggaran militer negara-negara Adidaya Barat adalah
sebagai berikut:52 Inggris: 35 miliar USD, Perancis: 32 miliar USD, Jerman:
23 miliar USD. Jadi jumlah total anggaran militer ketiga negara adidaya
tersebut berjumlah 90 miliar USD. Adapun anggaran militer Amerika sendiri
besarnya 350 Miliar USD. Apalagi terdapat perbedaan jenis persenjataan dan
juga pendapat sebagian pengamat bahwa Amerika mendahului Eropa puluhan
tahun dari segi kemajuan teknologi.
Amerika juga menguasai PBB dan juga segenap badan-badan dunia
bentukan PBB. Negeri ini juga memiliki dana terbesar di Bank Dunia dan
IMF, dan selanjutnya memiliki pengaruh politik yang luas yang menjadi
bidang pekerjaan Bank Dunia dan IMF. Demikian pula Amerika berusaha
memperkuat perdagangan dunia melalui politik globalisasi yang menjadi
senjata WTO. Ia berusaha menjadikan WTO sebagai salah satu sarananya
untuk mengintervensi pasar-pasar lokal dengan dalih tarif bea masuk bersama.
Dengan demikian Amerika berupaya untuk melakukan liberalisasi
perdagangan. Karena Amerika mempunyai kekuatan ekonomi yang besar,
mempunyai perusahaan multinasional dan transnasional yang paling banyak,
Amerika pun memanfaatkan ’kedok’ peraturan yang dikeluarkan oleh WTO
untuk kepentingan Amerika dalam rangka membuka pasar-pasar yang nyaris
tertutup atau sulit diintegrasikan dalam perekonomian global terbuka seperti
52 Salim Fredericks, Invasi Politik dan Budaya. Penerjemah Abu Faiz ( Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, 2002), h. 38.
yang dikehendakinya.53
Menurut Hizbut Tahrir, globalisasi menjadi upaya bagi penyeragaman
ideologi kapitalisme yang di anut oleh Amerika beserta negara-negara Blok
Kapitalis. Kapitalisme pada ujungnya akan membawa kehidupan manusia
pada pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Dalam agenda
globalisasi yang dilakukan bukan hanya memaksakan sekularisme dalam
kehidupan, Barat juga menjejalkan sekularisme dalam pemikiran. Dengan
ganas, Barat menyebarkan pemikiran-pemikiran sekulistik destruktif ke
tengah-tengah umat Islam seperti paham Pluralisme (Agama), Demokrasi,
Pasar Bebas, Hak Asasi Manusia, Dialog Antar Agama, Feminisme, dan
seterusnya.54 Tujuannya tidak lain adalah bila umat Islam menyerap nilai-nilai
Barat yang sekularistik tadi, maka pada akhirnya mereka akan lebih mudah
untuk ditundukkan dan didominasi.
Selanjutnya menurut Hizbut Tahrir, Amerika, sebagaimana negara-
negara kapitalis, dikuasai oleh para pemilik perusahaan monopoli dan para
pengusaha. Mereka itulah yang memiliki pengaruh terhadap politik Amerika.
Malah pengusaha-pengusaha korporasi tersebut lah yang mengendalikan
percaturan politik Amerika. Semua itu berdasarkan fakta empirik, antara
lain:55
Menurut Laporan Investasi Dunia 1993 yang diterbitkan Perserikatan
bangsa-bangsa (PBB) ada 37.000 perusahaan transnasional, yang memiliki
170.000 anak perusahaan di luar negeri. Sebanyak 90% dari perusahaan-
53 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ismail Yusanto. 54 Muhammad Ismail Yusanto, “Kebangkitan Islam Menantang Modernisasi dan
Globalisasi: Perjuangan Hizbut Tahrir di Indonesia,” h. 4. 55 Coen Husain Pontoh, Akhir Globalisasi: dari Perdebatan Teori Menuju Gerakan
Massa (Jakarta: C-BOOKS, 2003), h. 64-71.
perusahaan transnasional tersebut berkantor pusat di negara-negara maju.
Bagi perusahaan-perusahaan transnasional di sektor manufaktur
dengan kantor pusat mereka yang ada di Amerika Serikat pada tahun 1987,
70% dari penjualan mereka dan 67% dari aset mereka ada di Amerika Serikat
sendiri. Di tahun 1993, 67% dari penjualan dan 73% asset mereka berada di
Amerika. Sebagian besar dari sisa penjualan dan aset mereka pada tahun 1987
dan 1993 ada di Eropa dan Kanada. Bagi perusahaan-perusahaan transnasional
yang berpusat di Amerika Serikat yang bergerak dalam bidang jasa, 93%
penjualan dan 81% aset mereka ada di Amerika Serikat pada tahun 1987.
Pemerintah negara-negara imperialis inilah yang mengontrol IMF,
Bank Dunia dan WTO, sebagaimana mereka juga mengontrol Dewan
Keamanan PBB. Di dalam IMF, misalnya, proporsi suara berdasarkan
besarnya setoran saham mereka atas sumber keuangan. Pada tahun 1990, ke
23 negara-negara imperialis memiliki 62,7% suara sebagai tandingan 35,2%
suara yang dimiliki 123 anggota lainnya. Lima pimpinan Dewan Eksekutif
Permanen IMF dicalonkan oleh lima besar pemilik saham: Amerika Serikat,
Inggris, Perancis, Jerman dan Jepang.
Tiga ratus pemilik perusahaan teratas mengontrol lebih dari sepermpat
dari seluruh aset produktif di dunia. Dalam catatan PBB, jumlah perusahaan
multinasional mencapai lebih dari 45.000, dengan 500 perusahaan terbesar
menguasai 80 perusahaan dari seluruh investasi asing langsung. Dari 45.000
perusahaan multinasional itu, mayoritas terkonsentrasi di Amerika (179), Uni
Eropa (148) dan Jepang (107). Melihat penjelasan sekilas di atas, maka
menjadi wajar bila kita simpulkan bahwa negara-negara kapitalis, terutama
Amerika, merupakan aktor utama dalam menggerakkan roda globalisasi.
Berdasarkan fakta empirik tersebut, Hizbut Tahrir memahami politik
luar negeri Amerika adalah politik orang kaya dan para perusahaan monopoli.
Artinya politik Amerika adalah politik imperialisme murni, yang tidak
mengenal nilai-nilai luhur. Bagi Hizbut Tahrir, para politisi Amerika
menganggap seluruh dunia adalah ladang bercocok tanam milik mereka.
Amerika memandang negara-negara besar lainnya tidak layak untuk
mempunyai pengaruh, dan bahwa sekarang negara-negara besar itu harus
mundur, keluar dan rela terhadap keadaan dunia yang ada, yaitu adanya
ketundukkan terhadap dominasi pihak-pihak yang kuat.
Dengan kemampuan-kemampuan militer, politik dan ekonomi yang
besar, Amerika mengintervensi seluruh negara yang ada di dunia ini. Hal itu
juga membuatnya menjadi bagian politik lokal di setiap negara di dunia. Jadi
Amerika mencoba untuk mengelola politik hegemoni atas politik seluruh
dunia tanpa kecuali. Ini lah yang disebut globalisasi sebagai hegemoni politik
tunggal Amerika Serikat.
Maka dari itu Amerika semakin berpengaruh pada setiap masalah yang
ada di dunia. Menurut Hizbut Tahrir, Amerika lah yang menyulut krisis di
wilayah-wilayah yang berkobar. Negeri Paman Sam ini membuat klasifikasi-
klasifikasi baru untuk berbagai negara, misalnya negara-negara poros
kejahatan (evil axis), negara-negara pendukung terorisme, dan lain-lain.
Bahkan Amerika mewajibkan dunia untuk berpihak kepadanya atau berpihak
kepada teroris. Kalau memilih tidak bersama Amerika dan juga tidak bersama
teroris, tidak dibolehkan. Padahal, menurut Hizbut Tahrir, Amerika-lah yang
menciptakan krisis-krisis, menimbulkan masalah-masalah dan menciptakan
ketegangan-ketegangan. Kemudian setelah itu, Amerika pula yang
mengendalikan krisis-krisis tersebut, mencari solusi-solusinya. Amerika
melakukan hal itu semua sebagai bagian integral dari strateginya untuk
melakukan hegemoni atas dunia.56
Menurut Hizbut Tahrir, pengaruh Amerika tidak terbatas pada aspek
ekonomi dan perdagangan semata, sebagaimana halnya negara-negara
kapitalis tradisional pada umumnya, melainkan meluas sampai seluruh aspek
kehidupan sipil. Dengan demikian pengaruh Amerika nampak di bidang
pendidikan, madia massa, sosial, pemikiran, ideologi, dan keamanan.57
Di bidang pendidikan tampak jelas dalam perubahan kurikulum yang
sedemikian rupa agar sesuai dengan perspektif ideologinya. Hizbut Tahrir
mendeskripsikan bagaimana negara-negara Arab seperti Arab Saudi, Kwait,
Yordania, Mesir dan yang lainnya telah sibuk mengevaluasi kurikulumnya
dengan dalih perkembangan dan penyesuain dengan jaman. Arab Saudi telah
mengubah salah satu dari materi agama terpenting di antara bab buku-buku
sekolahnya, yaitu materi al-wala’ wal bara’. Yordania, Mesir Kwait, dan
negara lainnya juga merubah materi yang berkaitan dengan jihad dan perang
melawan ’kaum kafir agresor’, seperti kaum Yahudi dan Nasrani. Negara-
negara tersebut juga mengubah ide-ide Islam yang tidak diperkenankan
Amerika.
Di bidang media massa, dengan mendirikan radio Voice of America
(VOA) dan stasiun televisi al-Harrah. Itu semua untuk menyebarkan
56 an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, h. 102. 57 Ibid., h. 103.
pengaruhnya kepada seluruh masyarakat di negeri-negeri Arab.
Di bidang sosial, dengan mencuatkan isu perempuan, dan konferensi-
konferensi tentang perempuan, isu perempuan dalam bidang pemerintahan dan
parlemen, dan menyebarkan pemikiran feminisme dalam bentuk-bentuk dan
istilah-istilah baru.
Di bidang pemikiran dibangun berbagai pusat kajian untuk pemikiran,
demokrasi dan pluralisme, mendirikan organisasi-organisasi HAM untuk
menyebarluaskan ide-ide kebebasan. Berbagai organisasi dan pusat-pusat studi
ini juga di bekali dengan film-film Hollywood dan produk sains dan teknologi
mutakhir yang menguasai penyebaran sebagian besar saluran-saluran televisi
Arab dan non-Arab.
Ada pun di bidang keamanan, Amerika berupaya untuk menjalin
hubungan dengan dinas-dinas intelejen di negara-negara Arab dengan dinas
intelejennya, khususnya dengan CIA dan FBI. Akhirnya, kita bisa melihat
mobilitas agen-agen intelijen Amerika di kota-kota di negeri-negeri Islam
dengan bebas dan dilindungi oleh undang-undang, sabagaimana halnya di
Sudan, Yaman, Kenya, Tanzania, Libia, Pakistan dan negara-negara lain.
Hubungan intelejen ini mencakup penyerahan orang-orang yang dicari kepada
Amerika dan adanya toleransi kepada kekuatan-kekuatan Amerika khususnya
untuk melakukan aktivitas militer tertentu untuk melawan orang yang di
sebut-sebutnya sebagai ”terroris”.
Amerika juga melakukan strategi politik internasional dengan
memperluas keanggotaan Uni Eropa, meneruskan keberadaan NATO dan
kemudian memperluas strategi NATO untuk terlibat dalam problem-problem
internal keamanan Eropa; tidak seperti sebelumnya, yaitu terlibat dalam
pertahanan luar negeri sebagaimana tugas dasar NATO sejak kelahirannya.
Rencana-rencana hegemonik Amerika Serikat untuk mencoba
membentuk kawasan Islam terlihat pada rencana Timur Tengah Raya pada
tahun 2003. Hizbut Tahrir mengambarkan bagaimana khittah (strategi) politik
Amerika terhadap Irak adalah dengan menduduki Irak dengan atau tanpa
resolusi internasional, lalu mewujudkan pemerintahan yang melegitimasi
pendudukan melalui pengesahan internasional dari PBB, setelah Amerika
mengabaikan PBB pada awal pendudukannya. Pemerintahan itu juga akan
memberi melegitimasi lain (yang bersifat lokal) melalui pemilu atau semacam
pemilu Irak. Kemudian pemerintahan ini, sebagai wakil rakyat Irak, akan
menandatangani cek persetujuan terhadap keberlangsungan kekuatan
pendudukan, hingga pendudukan itu menjadi sah karena keberadaannya telah
didasarkan pada persetujuan rakyat negeri Irak, tuntutan mereka, dan resolusi
internasional. Hal ini akan menjauhkan negara-negara lain dan Dewan
Keamanan PBB untuk mengintervensi masalah Irak, dan menjadikan Amerika
sebagai satu-satunya pengelola segala urusan Irak. Dengan demikian, hal ini
akan menyempurnakan legalitas pendudukan. Sebab, yang mengakui
keberlangusungan pendudukan dan keberadaan pendudukan adalah
pemerintahan resmi Irak (yang dipilih lewat pemilu). Lalu, akan dibuat
konstitusi baru untuk Irak di bawah penguasaan pendudukan yang akan
melanggengkan perpecahan, memecah belah negara dengan dalih federalisme,
dan mengobarkan sentimen kelompok. Kaum Muslim pun akan sibuk sendiri
bermusuhan satu sama lain, padahal seharusnya mereka sibuk mengusir
pendudukan. Karena itu, Amerika mengontrol segala macam cara dan
sarannya yang dimampuinya untuk menduduki Irak, seperti merancang
strategi politik, kemudian menjadikan pendudukan ini legal dengan
pengesahan formal dari undang-undang internasional dan lokal.58
Pada konteks tersebut, menurut Hizbut Tahrir Amerika terlihat sebagai
negara yang menggunakan kekuatan sewenang-wenang secara
inkonstitusional, bukan negara yang terlihat sebagai penjaga undang-undang
internasional sebagaimana kesan yang nampak terhadap Amerika sebelumnya.
Peristiwa 11 September 2001 dengan meledaknya World Trade Center
(WTC) di New York dan Gedung Pentagon di Washington memberikan satu
dorongan kepada Amerika untuk menjadi kekuatan tunggal. Menurut Hizbut
Tahrir Amerika menjadikan peledakan WTC itu sebagai justifikasi untuk
memerangi apa yang disebutnya ”terrorisme” sehingga Amerika akhirnya
menduduki Afganistan dan Irak dengan dalih itu. Menurut Hizbut Tahrir,
arogansi politik pemerintahan Amerika sangat menonjol sampai-sampai
Amerika menghadopsi kebijakan ”Anda bersama kami atau melawan kami”
(“Either you are with us or you are with terrorists”).
B. Relasi Globalisasi dan Kebangkitan Khilafah Islamiyah
1. Globalisasi Sebagai Indikator Kebangkitan Khilafah Islamiyah
Hizbut Tahrir memahami dan menerima bahwa globalisasi adalah
58 Ibid., h. 19-20.
sebuah keniscayaan dalam hal perkembangan sains dan teknologi. Namun
Hizbut Tahrir menolak dan menentang globalisasi yang diusung oleh Barat
yang menurutnya memiliki motivasi imperialisme dengan cara menyebarkan
paham kapitalisme yang akan membuat sebuah kampung global (global
village) bagi masyarakat dunia dengan fondasi sekularisme.
Dalam pemahaman globalisasi yang terkesan dikotomis itu, yaitu
antara menerima dan menolak globalisasi, maka berdasarkan beberapa
penjelasan Hizbut Tahrir yang sporadis, penulis merangkum bahwa
sebenarnya Hizbut Tahrir melihat globalisasi sebagai indikator kebangkitan
khilafah Islamiyah. Itu juga yang kemudian penulis tanyakan kepada juru
bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto, bahwa ”apakah globalisasi itu
sendiri dapat dikatakan sebagai indikator kebangkitan khilafah islamiyah?”.
Ismail menjawab: ”Ya. Paling tidak hal itu dapat dilihat dari dua hal. Pertama,
kegagalan globalisasi itu sendiri sebagai sebuah sistem yang malah
menyebabkan kemiskinan global. Kedua, pudarnya pesona nation state di era
globaliasi yang kemudian malah membangkitkan organisasi-organisasi
transnasional, dan bahkan negara transnasional”. 59
a. Kegagalan Globalisasi Barat
Kegagalan globalisasi dapat dilihat dan ditinjau secara komprehensif,
namun yang paling umum adalah dengan melihatnya dari perspektif budaya,
ekonomi, politik. Menurut Hizbut Tahrir, globalisasi kultural telah
menimbulkan problem identitas yang parah pada komunitas manusia di
berbagai negara. Bagi Hizbut Tahrir, problem identitas terbesar akibat
59 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ismail Yusanto.
globalisasi adalah terjadinya sekularisasi. Kendati globalisasi merupakan
bentuk imperialisme yang berupa dominasi politik, militer, dan ekonomi,
namun yang paling nampak kemudian adalah adanya pemaksaan sekularisme
yang membuat umat Islam harus terjauhkan dari nilai-nilai Islam dan
syariatnya. Umat Islam yang tersekulerkan terpaksa harus hidup dalam tatanan
ekonomi yang kapitalistik, politik oportunistik, pendidikan yang materialistik,
budaya yang hedonistik dan westernistik yang berintikan amoralisme serta
sikap beragama yang sinkretistik. 60 Semua itu menggenapkan ketundukan
umat Islam secara ideologis kepada Barat.
Maka, krisis terbesar yang diderita oleh umat Islam akibat globalisasi
tidak lain adalah krisis identitas umat Islam sebagai sebuah umat dimana
mereka semestinya hidup di bawah naungan nilai-nilai Islam tapi
kenyataannya tidak. Sekularisme yang dibawa serta oleh imperialisme itu
telah memisahkan Islam dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara di mana
umat Islam hidup di dalamnya. Umat Islam tidak lagi bisa melihat identitas
terpenting mereka, yakni aqidah Islam, terwujud dalam kehidupan secara
nyata. Aqidah Islam hanya bersemanyam dalam dada dan hanya sekali-kali
saja muncul di permukaan kehidupan, misalnya saat kelahiran, kematian,
pernikahan, atau saat melaksanakan ibadah shalat, haji, zakat atau saat
peringatan hari besar Islam seperti Isra' Mir'aj, Maulid Nabi dan sebagainya.
Semakin proses sekularisasi itu berhasil, umat Islam semakin kehilangan
identitasnya sebagai umat Islam, dan selanjutnya akan berganti identitas
60 Lebih jelas lihat analisis dan kritik mendalam Hizbut Tahrir terhadap pemikiran
sekularisme Barat tersebut dalam Persepsi-Persepsi Berbahaya Untuk Menghantam Islam dan Mengokohkan Peradaban Barat (Mafahim Khathirah li Dharb Al-Islam wa Tarkiz Al-Hadharah Al-Gharbiyah). Perjemahan oleh M. Shiddiq Al-Jawi (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1998).
menjadi umat sekularis atau kapitalis. Seiring dengan itu, kemuliaan umat
Islam sebagaimana disebut dalam al Qur'an pun hilang tak terwujud secara
nyata.61
Menurut Dr Imran Waheed, percampuran antara materialisme dan
kebebasan individu tanpa batas, telah menyebabkan kekerasan yang mewabah,
pengunaan obat bius, dan alkohol, mengabaikan orang lanjut usia, kemiskinan,
kerusakan pada keluarga, kekosongan spiritual, rasisme, dan lain-lain.
Pernyataan tersebut dapat didukung oleh sejumlah fakta yang diterbitkan
UNDP terkait dengan laporan tentang globalisasi dan dampak-dampaknya.
Misalnya, data tahun 2000 menunjukkan antara 85 juta dan 115 juta anak
perempuan dan dewasa mengalami beberapa bentuk kerusakan pada alat
kelaminnya (hlm.36), atau diperkirakan satu dari tiga perempuan menjadi
korban kekerasan dalam hubungan intim mereka (hlm.4).62
Kemudian dalam bidang ekonomi, menurut Hizbut Tahrir, globalisasi
juga menunjukkan kegagalannya. Dunia melihat, pada tahun 1980-an, hampir
setengah abad berlalu semenjak kemerdekaan dan proses globalisasi dilakukan
yang diharap bisa menjadi pintu kemajuan bagi negara Dunia Ketiga, terbukti
upaya itu tidak membuahkan hasil. Yang ada adalah kenyataan bahwa Dunia
Ketiga tetaplah menjadi negara miskin, terbelakang dan terpinggirkan serta
sekaligus tetap menjadi obyek eksploitasi negara maju. Hizbut Tahrir
mengutip beberapa data bahwa pada tahun itu, negara-negara industri yang
jumlah penduduknya hanya 26 % dari penduduk dunia ternyata menguasai
lebih dari 78 % produksi, menguasai 81 % perdagangan dunia, 70 % pupuk,
61 Wawancara Pribadi dengan Muhamad Ismail Yusanto. 62 Pontoh, Akhir Globalisasi, h. 10-12.
dan 87 % persenjataan dunia. Sementara 74 % penduduk di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin yang dimasukkan ke dalam Dunia Ketiga, hanya menikmati
sisanya, yakni seperlima produksi dan kekayaan dunia.63
Menurut Ismail Yusanto, globalisasi memang menciptakan
kemakmuran, namun hanya untuk negara-negara Barat. Mereka memang
menikmati kemakmuran yang luar biasa. Tapi, masyarakat di negara-negara
Dunia Ketiga tetap hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Kemudian
Ismail mengutip laporan UNDP tahun 1999, seperlima orang terkaya dari
penduduk dunia mengkonsumsi 86 % barang dan jasa dunia. Sebaliknya
seperlima penduduk termiskin hanya mendapatkan 1 persen lebih sedikit
barang dan jasa dunia.64
Menurut Ismail, di Indonesia, globalisasi dan liberalisasi makin jauh
masuk utamanya melalui LOI (Letter of Intent) tahun 1998 yang
ditandatangani bersama oleh Soeharto, presiden Indonesia ketika itu, dan
Camdessus, mewakili IMF menyusul krisis moneter yang melanda Indonesia.
Di antara butir LOI adalah penghapusan subsidi, privatisasi dan liberalisasi.
Beberapa butir penting itu kini sudah dilaksanakan. Subsidi pupuk dihapus,
begitu juga BBM yang membuat kedua komoditas strategis itu melambung
terus harganya. Tentu saja rakyat sangat menderita karenanya. Bersama
dengan liberalisasi sektor migas yang dilakukan melalui Undang-Undang
63 Kegagalan Pembangunan Dunia Ketiga secara dramatis ditunjukkan oleh Rudolf H.
Strahmn. Penerjemah Rudy Bagindo, dkk., Kemiskinan Dunia Ketiga: Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1999). Lihat juga Arief Budiman, Pembangunan Dalam Krisis, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 113-120. Lihat juga kritik terhadap pembangunan dan globalisasi dalam Mansour Fakih, Sesat Pikit Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta : INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2001).
64 Muhammad Ismail Yusanto, “Kebangkitan Islam Menantang Modernisasi dan Globalisasi: Perjuangan Hizbut Tahrir di Indonesia,” h. 3.
Migas tahun 2001 yang memuat pasal penghentian peran monopoli Pertamina
mulai tahun 2005 ini, penghapusan subsidi itu ternyata berujung pada
masuknya perusahaan asing di dalam bisnis migas di Indonesia. Artinya,
melalui tangan IMF dan para kompradornya di dalam negeri Indonesia,
kapitalis global bisa masuk dengan legal dan leluasa untuk menghisap
kekayaan Indonesia.
Contoh lain dari dari makin merasuknya paham neo liberal ke tubuh
ekonomi Indonesia adalah Undang-Undang No.7 Tentang Sumber Daya Air
(SDA) tahun 2004. Undang-Undang itu dalam banyak pasal membuka
peluang terjadinya privatisasi sektor air, sekaligus memungkinkan pengalihan
fungsi air secara fundamental dari fungsi publik yang bersifat sosial menjadi
fungsi komoditas yang bersifat komersial.
Menurut Ismail, perhatian Hizbut Tahrir Indonesia terhadap liberalisasi
sektor sumber daya alam, yang menjadi sasaran empuk tindak eksploitasi
kapitalis global, tidak pernah berhenti. Liberalisasi itu diantaranya terjadi pada
kasus migas di blok Cepu. Menurut Hizbut Tahrir, kebijakan pemerintah
Indonesia untuk tetap memperpanjang kontrak dengan Exxon Mobil di ladang
migas di Blok Cepu yang dikabarkan mempunyai cadangan sebanyak 1,2
miliar barel, tidaklah masuk akal, karena semestinya kontrak itu berakhir pada
2010. Bukan hanya itu, Exxon Mobil bahkan mendapatkan persentase saham
dan bagi hasil. Manurut Hizbut Tahrir tidak ada satu pun alasan baik secara
historis, teknis maupun ekonomis yang membuat Indonesia harus melanjutkan
kontrak dengan Exxon Mobil. Satu-satunya penjelasan yang rasional adalah
bahwa kebijakan pemerintah itu lahir akibat tekanan politik pemerintahan
Bush serta kepentingan bisnis para kompradornya di Indonesia. Inilah
globalisasi yang tidak lain berwujud imperialisasi ekonomi demi kepentingan
eksploitasi sumberdaya ekonomi.
Selanjutnya Khilafah magazine, edisi Januari 2002, pernah
menurunkan laporan mengenai sejumlah fakta yang terjadi di dunia sebagai
akibat dari globalisasi. Laporan tersebut dikutip dari beberapa laporan dari
sejumlah lembaga dunia. Berikut adalah data dan fakta dari laporan tersebut:65
• Hampir setengah dari 6 milyar penduduk dunia hidup dengan 2$ per hari,
sedangkan 1,2 miliar orang hidup kurang dari kurang dari 1$ per hari.
• Kesenjangan antara orang kaya 20% dari penduduk dunia dan orang
miskin 20% dari penduduk dunia telah berlipat denda selama 40 tahun
terakhir ini.
• Aset tiga milyarder terkaya dunia melampaui GNP dari 48 negara kurang
berkembang dan 600 juta penduduknya.
• Mayoritas investasi asing berada di tangan negara-negara kaya.
• Dari $865 miliyar investasi asing dunia pada tahun 1999, $636 (76%)
dikuasai negara-negara industri maju.
• Setelah putaran Uruguay dalam perundingan GATT tahun 1994, para
ekonom memperediksi bahwa perluasan perdagangan akan meningkatkan
perdagangan dunia antara $200 miliar dan $500 miliar pada 2001. Akan
tetapi pada saat itu juga PBB memperingatkan bahwa sebagian besar
kekayaan dunia itu berada di tangan negara-negara kaya, sementara
65 Paul Masson, “Globalization Fact and Figures,” Khilafah Magazine, 10 Januari 2002,
h. 27.
negara-negara miskin tidak memperoleh apa-apa. Menurut kalkulasi PBB,
sub-Sahara Afrika akan kehilangan $1,2 miliar pertahun akibat aturan baru
perdagangan.
• Meskipun Amerika Serikat dan Inggris sama-sama menganggap dirinya
sebagai negera yang layak diteladani, dalam peringkat kemiskinan tahunan
PBB Amerika Serikat justru berada di peringkat bawah di antara negara-
negara industri, dengan 15,8 % penduduk berada di bawah garis
kemiskinan. Inggris tidak jauh beda 14,6%.
• Meskipun mengakui dampak buruk terhadap masyarakat yang diakibatkan
privatisasi di Dunia Ketiga, Bank Dunia dan IMF tetap memaksakannya
sebagai sebuah model ekonomi. Privatisasi air adalah salah satu
contohnya. Bank Dunia mencatat bahwa harga air di ibu kota Haiti, Port-
au-Prince, meningakat 10 kali lipat sejak diprivatisasi, sementara keluarga
miskin di Mauritania harus membelanjakan seperlima dari pendapatan
rumah tangga mereka untuk air saja.
• Negara-negara seperti India, Brazil, dan Thailand telah membangun
industri farmasi mereka selama bertahun-tahun lamanya, memproduksi
obat-obatan generik sebagai alternatif dari obat-obatan produksi
perusahaan-perusahaan multinasional yang tinggi harganya. Obat
flukanazole, yang digunakan untuk mengobati meningitis terkait HIV,
harganya sekitar $50 per 100 tablet di India, sementara obat yang sama
dengan merek terkenal dijual di Indonesia dengan harga $700 dan di
Filipina $800. Harga yang berbeda jauh di luar jangkauan kebanyakan
rakyat kedua negara itu. Namun demikian WTO tetap tidak memberikan
hak kepada negara-negara berkembang untuk memproduksi sendiri obat
yang lebih murah bagi rakyatnya sendiri. WTO malah memaksa negara-
negara untuk menerima kepemilikan swasta atas obat-obatan bermerek
terkenal melalui paten berjangka panjang. Pada 1998 WTO menetapkan
bahwa pemerintah India harus mengamandemen undang-undang
negaranya agar sesuai dengan isi perjanjian TRIPs guna memberikan hak
yang lebih besar kepada paten perusahaan-perusahaan farmasi.
• Sejak 1983 hampir tidak ada pertumbuhan ekonomi bagi rata-rata keluarga
di AS, kecuali peningkatan pendapatan dan kekayaan yang menumpuk
pada 205 penduduk terkaya (Edward Wolf dan Jerome Levy, Economics
Institute, Bard Collage, 2000).
• Tren kemiskinan semakin memburuk. Jumlah orang miskin yang hidup
dengan kurang dari 1 dollar sehari meningkat dari 1,197 milyar jiwa pada
tahun 1987 menjadi 1,214 milyar jiwa pada tahun 1997 (20% dari
penduduk dunia). Sementara 1,6 milyar jiwa (25%) penduduk dunia
lainnya hidup antara 1-2 dollar perhari (The United Nations Human
Development Report, 1999).
• Kesenjangan pendapatan antara 1/5 penduduk dunia di negara-negara kaya
dengan 1/5 penduduk di negara-negara termiskin meningkat 2 kali lipat
pada tahun 1960-1990 dari 30:1 menjadi 60:1. Pada 1998 meningkat
menjadi 78:1. (The United Nation Human Developmen Report, 1999).
• Perubahan teknologi dan liberalisasi keuangan mengakibatkan
peningkatan jumlah rumah tangga tidak proporsional pada tingkatan yang
teramat kaya, tanpa ditribusi bagi yang miskin. Pada rentang 1988-1993,
pendapatan 10% penduduk termiskin dunia merosot lebih dari ¼-nya,
sedangkan pendapatan 10% penduduk terkaya dunia meningkat 8%
(Robert Wade, The London School of Economics, The Economist, 2001).
• Dua puluh tahun lalu perbandingan rata-rata pendapatan rata-rata di 49
negara terbelakang dengan pendapatan rata-rata negara-negara terkaya
adalah 1:87, tapi sekarang menjadi 1:98 (Kevin Watkins, International
Herald Tribune, 2001).
• Total kekayaan orang-orang yang mempunyai aset minimal satu juta dolar
meningkat hampir 4 kali lipat pada kurun 1986-2000 dari 7,2 trilyun dollar
menjadi 27 trilyun dollar. Meskipun terjadi kemerosotan keuangan global
dan bisnis dotcom saat ini, Merril Lynch memprediksikan bahwa kekeyaan
mereka meningkat 8 % setiap tahunnya dan diperkirakan tahun 2005
mencapai 40 trilyun dollar (Merril Lynch-Cap Gemini, 2001).
• Sejak 1994 hingga 1998, nilai kekayaan bersih 200 orang terkaya di dunia
bertambah dari 40 milyar dolar menjadi lebih dari 1 trilyun dollar. Aset 3
orang terkaya lebih besar dari gabungan GNP 48 negara terbelakang.
Jumlah milyuner meningkat 25% dua tahun terakhir menjadi 475 orang
dengan nilai kekayaan lebih besar dari 50% penduduk termiskin dunia
(Human develop report, 1999).
• 1/5 orang terkaya di dunia mengonsumsi 86% semua barang dan jasa,
sementara 1/5 orang termiskin di dunia hanya mengonsumsi kurang dari
1% saja (Human develop report, 1999).
• Di seluruh dinia kira-kira 50 ribu orang meninggal setiap hari akibat
kurangnya kebutuhan tempat tinggal, air yang tercemar, dan sanitasi yang
tidak memadai (Shukor Rahman, Straits of Malaysia, 2001).
• Peningkatan produksi pangan dalam 35 tahun terakhir telah melampaui
laju pertumbuhan penduduk dunia sebesar 16 %. Peningkatan tersebut
belum pernah terjadi (United Nationons Food and Agricultiure
Organization, 1994).
• Pada tahun 1997, 78 % anak anak di bawah usia 5 tahun yang kekurangan
gizi di negara-negara sedang berkembang sebenarnya hidup di negara-
negara yang mengalami surplus pangan (United Nationons Food and
Agricultiure Organization, 1998).
• Sementara 200 juta orang India kelaparan, pada tahun 1995 India
mengekspor gandum dan tepung terigu dengan nilai 625 juta dolar, beras 5
juta ton dengan nilai 1,3 milyar dollar (Institute for Food and Development
Policy, Background , Spring 1998).
• Dewasa ini 826 juta manusia menderita kekurangan pangan yang sangat
kronios dan serius, kendati dunia sebenarnya mampu memberi makan 12
milyar manusia (2 kali lipat dari penduduk dunia) tanpa masalah sedikit
pun (Shukor Rahman, New Straits of Malaysia Times, 2001).
• Pada tahun 1997 hampir 10 juta orang AS yang terdiri atas 6,1 juta orang
dewasa dan 3,3 juta anak-anak benar-benar di lilit kelaparan. Sementara
itu pada tahun 1998, 10,5 juta rumah tangga di AS atau 31 juta orang tidak
bisa memperoleh makanan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan mereka. (US Depeartement of Agriculture, Food Insecurity
Report, 1999).
• Jumlah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan gizinya
diperkirakan bertambah besar hingga 3%, dari 1,1 milyar pada tahun 1998
menjadi 1,3 milyar orang pada tahun 2008, 2/3 penduduk Afrika Sub-
Sahara dan 40% penduduk Asia akan mengalami kekurangan pangan Pada
tahun 2008 (US Departemen of Agriculture, Food Security Asessment,
1999).
• Setiap hari 11 ribu anak mati kelaparan di seluruh dunia, sedangkan 200
juta anak menderita kekurangan gizi dan protein serta kalori. Lebih dari
800 juta menderita kelaparan di seluruh dunia dan 70 % di antara mereka
adalah wanita dan anak-anak (Shukor Rahman, World Food Program, new
Straits of Malaysia Times, 2001).
• 41 negara miskin yang paling banyak berhutang, hutang luar negerinya
meningkat dari 55 milyar dollar pada tahun 1980 menjadi 215 milyar
dollar pada tahun 1995 Saat ini pemerintahan negara-negara Afrika
menanggung utang sebesar 350 milyar dollar sehingga mereka memotong
2/5 penghasilan mereka untuk bayar utang. Akibatnya pemerintah
mengurangi pembiayaan atau jasa/pelayanan negara terhadap rakyatnya.
Atas dasar itulah Jubille 2000 mengatakan bahwa di 40 negara paling
miskin setiap 1 menit 13 anak mati (The Ecologist Report, Globalizing
Poverty, 2000).
• Di Zimbabwe, ketika SAPs mulai dilaksanakan, pembiayaan pelayanan
kesehatan per orang merosasot 1/3 nya sejak 1990. Sejak itulah kualitas
pelayan kesehatan merosot 30%. Sementara jumlah perempuan yang
hampir saja meninggal di rumah sakit Harare meningkat 2 kali lipat
dibandingkan pada tahun 1990. Sedangkan jumlah orang yang berobat
yang di klinik dan rumah sakit semakin berkurang karena mereka tidak
mampu menanggung biaya pengobatan. (The Ecologist Report,
Globalizing Poverty, 2000).
• Di Kenya, munculnya peraturan baru mengenai biaya yang harus
ditanggung para pasien di Klinik pengobatan khusus penyakit menular
seksual di Nairobi, berakibat pada penurunan jumlah orang yang datang
berobat hanya dalam jangka waktu 9 bulan (The Ecologist Report,
Globalizing Poverty, 2000).
• Privatisasi air merupakan kegemaran Bank Dunia dan IMF. Sebuah
pemeriksaan acak atas dana-dana IMF di 40 negara selama tahun 2000,
menemukan fakta bahwa ada 12 negara peminjam yang persyaratan
peminjamannya memuat klausal kebijakan kenaikan harga jasa air dan
privatisasi air (Globalization Chalengge Initiative, Ewater Privatization
Fact Sheet, 2001).
• Dampak kebijakan IMF dan Bank Dunia memprivatisasi air dapat dilihat
pada KwaZulu –Natal, Afrika Selatan, di mana orang-orang miskin tidak
mampu membayar air bersih terpaksa menggunakan air sungai yang
tercemar sehingga menyebabkan wabah kolera (Globalization Chalengge
Initiative, Ewater Privatization Fact Sheet, 2001).
• Ketika kota terbesar ke-3 di Bolivia dipaksa melakukan privatisasi air oleh
IMF dan Bank Dunia, tingkat kenaikan harga air bagi pelanggan paling
miskin mencapai 3 kali lipat. Negara dengan upah minimum kurang dari
60 dollar perbulan tersebut, banyak pemakai air dengan biaya rekening
perbulannya mencapai 20 dollar. Warga di kota tersebut yang telah
membangun sumur-sumur keluarga dan sistem irigasi selama berpuluh
puluh tahun lalu, tiba-tiba harus membayar hak atas penggunaan air
tersebut (International Forum on Globalization, IF Bulletin, 2001).
• Sebuah jejak pendapat yang dilakukan Wall Street Journal terhadap 500
eksekutif perusahaan AS mengungkapkan bahwa kemungkinan besar
mereka akan menggunakan NAFTA untuk menekan gaji dan upah
karyawan/ buruh (Economic Policy Institute, NAFTA at Seven, 2001).
• Pada akhir 1998, kira-kira 1 milyar pekerja (1/3 dari tenaga kerja dunia)
menjadi pengangguran atau setengah pengangguran. Angka tersebut
merupakan yang terburuk sejak depresi Barat pada tahun 1930-an (World
Emploment Report 1998-1999, International Labour Organization).
• Perluasan perdagangan tidak selalu berarti lebih banyak pekerjaan dan gaji
yang lebh baik. Di negara-negara paling kaya, penciptaan lapangan kerja
jauh tertinggal ke belakang, baik dari sisi pertumbuhan GDP maupun
perluasan perdagangan dan investasi. Meski GDP tumbuh 2-3% tetapi
tingkat pengangguran tidak turun tetap berkutat diangka 75 (The United
Nations Human Development Report, 1999).
• Sebanyak 200 perusahaan terbesar dunia menguasai 30 % perekonomian
dunia kendati mereka hanya mempekerjakan 1% angkatan kerja dunia.
Sementara keuntungan mereka membengkak 362,4% antara tahun 1983-
1999, mereka hanya menambah tenaga kerja sebesar 14,4% (Institute for
Policy Studies, Top 200, The Rise of Corporate Global Power, 2000).
• Para pengusaha mengunakan fleksibilitas ekstra dalam undang-undang
ketenagakerjaan (yang diwajibkan IMF dan World Bank) untuk lebih
banyak mengurangi dan merampingkan pekerjaan ketimbang
memperbesar kemampuan produktif maupun menciptakan lapangan kerja
(United Nations Trade and Development Report 1995, The Ecologist
Report, Globalizing Poverty, 2000).
Data yang dipublikasikan Khilafah Magazine mungkin dapat dijadikan
indikator bahwa globalisasi belum dapat menciptakan stabilitas ekonomi bagi
seluruh negara yang ada di dunia. Berdasarkan data tersebut kita dapat melihat
adanya ketimpangan pendapatan antara negara maju dan negara berkembang
atau negara miskin. Selama arus globalisasi berlangsung, negara maju lah
yang paling banyak mendapatkan profit dalam hal materi. Sedangkan negara-
negara Dunia Ketiga semakin terpuruk dalam kemiskinannya. Hal tersebut
kemudian berdampak pada instabilitas politik bagi negara-negara yang tidak
dapat bertahan dalam persaingan global yang semakin represif.
Menurut Hizbut Tahrir, globalisasi yang dicanangkan guna mewudkan
perdamaian dunia, mencegah Perang Dunia Ketiga di bawah prinsip serta
nilai-nilai kebebasan dan demokrasi ternyata hanyalah ’kedok’ dari bentuk
imperialisme Barat -khususnya Amerika Serikat- terhadap negara-negara
Dunia Ketiga -khususnya dunia Islam-. Alih-alih menciptakan dan menjaga
perdamaian dunia, globalisasi malah menciptakan instabilitas politik di mana-
mana. Menurut Hizbut Tahrir, sistem demokrasi tidak lah menjamin
kesejahteraan rakyat. Asumsi itu didasarkan pada kenyataan misalnya di
Indonesia. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dibandingkan dengan
masa Orde Lama maupun Orde Baru, sejauh ini dianggap paling demokratis.
Jumlah partai politiknya lebih banyak dari pada masa Orde Baru. Presidennya
di pilih langsung oleh rakyat. Tingkat kebebasan pers nya pun tinggi. Namun
sebaliknya, kehidupan ekonomi rakyat tetap terpuruk. Jumlah kemiskinan dan
pengangguran tetap tinggi. Penyakit sosial bertambah parah mulai dari
tingginya kriminalitas, kekerasan, dalam rumah tangga, aborsi, hingga bunuh
diri. Di Indonesia, alih-alih membawa kesejahteraan, demokrasi melahirkan
banyak kebijakan liberal yang justru menambah beban masyarakat. Menurut
Hizb, contohnya adalah kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM yang
memberatkan rakyat dan menguntungkan investor asing, kebijakan privatisasi
BUMN, yang juga mengorbankan rakyat dan menguntungkan asing. Ini lah
kemudian yang disebut Hizb bahwa penguasa lebih memilih untuk
memuaskan kepentingan pengusaha/ korporasi, bahkan pengusaha/ korporasi
asing, dari pada rakyat. Menurut Hizb, dalam sebuah partisipasi demokrasi
pasti membutuhkan dana besar. Dalam konteks inilah politisi kemudian
membutuhkan dana segar dari kelompok bisnis. Penguasa dan pengusaha pun
kemudian menjadi pilar penting dalam sistem demokrasi. Bantuan para
pengusaha tentu punya maksud tertentu. Paling tidak untuk menjamin
keberlangsungan bisnisnya, bisa juga demi mendapatkan proyek dari
pemerintah. Akibatnya, penguasa didikte oleh pengusaha. Walhasil, sistem
demokrasi kemudian melahirkan negara korporasi, yang ciri utamanya adalah
lebih melayani kepentingan pengusaha (bisnis) dari pada rakyat. Dominasi
korporasi terhadap negara semakin menggurita setelah korporasi multinasional
turut bermain. Korporasi multinasional sangat menentukan siapa yang menjadi
pemimpin sebuah negara dan apa kebijakan negara tersebut. Korporasi
multinasional, lewat berbagai institusi, baik negara kapitalis maupun organ-
organ internasional seperti PBB, IMF, dan Bank Dunia, mendikte dan sangat
mempengaruhi kebijakan sebuah negara. Hizb mengutip The New York Times,
pada 9 September 2003 yang memperlihatkan data bahwa Chiquita, TNC
Amerika yang memproduksi dan menontrol 50 % perdagangan pisang dunia,
pada tahun 1997 ’menyogok’ lebih dari US$ 500.000 untuk kampanye partai
Republik atau pun partai Demokrat di Amerika Serikat. Karena kuatnya lobi,
koalisi TNC bisa menaikkan sumbangan politisnya ke partai Republik yang
berkuasa, dari US$ 37 juta (1992) menjadi US$ 53 juta (2002). Kini 72 persen
pundi partai ini dipasok TNC, terutama TNC agrobisnis. Sebagai imbalannya,
presiden Bush pada 2002, antara lain menekan Farm Bill senilai US$ 180
miliar untuk 10 tahun ke depan. Contoh lain mengenai betapa berpengaruhnya
peran TNC/MNC dalam mengintervensi kebijakan politik lokal, Hizb
mengutip Kompas, pada 23 Februari 2006 bahwa dalam kasus Exxon Mobil,
seperti di tulis Kwik Kian Gie, pemerintah Amerika ikut campur tangan
demikian jauh. Tujuannya agar perusahaan minyak asal negeri Paman Sam itu
di tunjuk oleh pemerintah Indonesia sebagai pengelola Blok Cepu. Tidak
tanggung-tanggung, campur tangan dilakukan oleh pemimpin tertinggi Exxon
Mobil, Duta Besar Ralph Boyce, dan Presiden George W. Bush. Kedatangan
Mentri Luar Negeri AS Condoleezza Rice, yang bersamaan dengan panasnya
penentuan operator Blok Cepu, juga bukan sebuah kebetulan, meskipun
Menko Perekonomian Boediono membantah ada intervensi atau tekanan.
Sama halnya dengan invasi Amerika ke Irak, tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan perusahaan-perusahaan besar AS. Serangan ini merupakan upaya
Amerika untuk menguasai minyak Irak yang kaya-raya itu.66
Dalam pandangan Dr. Imran Waheed, secara global, peradaban Barat
telah menciptkan tata dunia yang tidak adil yang dicirikan oleh imperialisme
lewat mekanisme hutang, perdagangan yang tidak adil, dukungan bagi para
diktator dan tiran, dan pendudukan yang illegal. Sementara pada saat yang
sama mengurangi kebebasan sipil di negara mereka sendiri dengan cara
menteror rakyatnya sendiri. Mereka berbicara soal penentuan nasib sendiri dan
demokrasi, tapi mendukung diktator di seluruh dunia Islam seperti Mubarak
dan Karimov dan mencegah keinginan masyarakat kepada Islam, syariah dan
khilafah. Mereka berbicara soal supremasi hukum dan perdamaian di Timur
Tengah, namun kenyataanya mereka menjajah dan menjarah; menduduki
negeri orang lain. Seperti yang terjadi di Irak di mana mereka membunuh
lebih dari 650,000 ribu jiwa.67
Pernyataan Juru bicara Hizbut Tahrir Inggris itu mungkin dapat
dipertimbangkan, mengingat pada tahun 2000, UNDP menerbitkan laporan
data yang sama sekali tidak menunjukkan adanya kemajuan dalam distribusi
kemakmuran, penciptaan tatanan dunia yang lebih adil dan damai. Seperti
Perang dan konflik internal selama tahun 2000 telah memaksa 50 juta rakyat
tercampak dari rumah mereka, sekitar 500 juta senjata kecil beredar di seluruh
66 Farid Wadjdi, “Demokrasi dan Negara Korporasi,” al-Wa’ie VII, No. 83. (Juli 2007): h. 3-4.
67 Waheed, “Tanda-tanda Kehancuran Peradaban Barat.”
dunia, kemudian pada dekade terakhir, perang saudara telah membunuh lima
juta rakyat di seluruh dunia (hlm. 36). Selanjutnya, di seluruh dunia
perempuan yang duduk di parlemen hanya 14 persen (hlm. 39).68
Peran PBB dalam menjaga perdamaian dunia pasca Perang Dunia II
pun dipertanyakan. Karena pada kenyataannya sempat terjadi beberapa krisis
yang melibatkan dua superpower yang hampir melahirkan perang dunia baru.
Pertama adalah Perang Korea (1950-1953) yang melibatkan Amerika Serikat
berhadapan dengan Uni Soviet dan Cina. Krisis kedua adalah pemasangan
rudal nuklir Soviet di Kuba tahun 1962, yang akhirnya dicabut setelah
diancam Amerika. Krisis ketiga adalah Perang Vietnam (1964-1975) yang
berakhir dengan penarikan diri Amerika dan jatuhnya Vietnam Selatan ke
tangan komunias tahun 1975. Intervensi juga dilakukan Amerika seperti di
Granada oleh presiden Reagen (1984) dan Panama oleh Presiden Bush Senior
(1990). Setelah berakhirnya perang dingin tahun 1991 AS juga melakukan
intervensi yang dikenalkan sebagai ”humanitarian intervention” (intervensi
kemanusiaan) seperti menolong kaum Muslim Bosnia pada tahun 1995 dan
kaum muslim Kosovo di tahun 1999 dari kekerasan pemerintahan Serbia oleh
presiden Clionton69 Sehubungan dengan perdamaian Internasional ini,
program PBB juga mengijinkan kekuatan penggunaan kekuatan militer untuk
self defense (bela diri) seperti disebutkan dalam pasal 51. Pasal ini
memberikan justivikasi bagi lahirnya konsep pre-emtive strike (serangan
mendahului) dari AS di bawah presiden Bush Junior, yang secara khusus
dicantumkan dalam Strategic Defense Review (SDR), Pentagon tahun 2002.
68 Pontoh, Akhir Globalisasi, h. 10-11. 69 Dr. Burhan D Magenda, “Globalisasi dan Tata Dunia Baru di Bidang Politik, Ideologi,
Hankam, Ekonomi, dan Sosial Budaya,” Jurnal PASKAL, vol.1. no.6 (April, 2003): h. 5.
Konsep ini sekarang dilaksanakan dengan serangan terhadap rezim Saddam
Hussein di Irak dengan tuduhan memiliki senjata pemusnah massal sehingga
mengancam perdamaian dunia. Seperti halnya intervensi di Bosnia dan
Kosovo, serangan militer di Irak juga tanpa dukungan resolusi PBB, walaupun
kemudian PBB diberikan peran pokok untuk masa pasca intervensi.70
Tetapi menurut Hizbut Tahrir lambat laun hegemoni ini menunjukkan
kegagalannya juga, melihat kebijakan anti teroris ini menyulut reaksi
kemarahan dikalangan Eropa dan pihak lainnya. Menurut Hizbut Tahrir,
Prancis mempunyai strategi politik untuk memperkuat Uni Eropa dan
menjadikannya ‘payung’ yang sepadan untuk menghadapi ‘payung’ Amerika.
Prancis juga berupaya membentuk kekuatan militer Eropa yang lepas dari
NATO. Prancis belakangan ini berasama dengan Inggris dan Jerman telah
berhasil meletakkan dasar-dasar kekuatan militer Eropa.71 Demikian pula
Asia, dan Afrika telah menderita akibat prilaku Amerika yang melampaui
batas, seperti perampokan atas kekayaan alam mereka, kezaliman yang terus
menerus atas negara dan rakyat mereka, dan upaya mewujudkan hegemoni
tunggal bagi AS di seluruh kawasan dunia.
Kemudian yang menarik dan perlu dicermati dalam hal ini, Hizbut
Tahrir, sepertinya juga menggantungkan harapannya kepada negara-negara
Adidaya lain untuk mengalahkan Amerika Serikat:72
“Bagaimana pun juga keadaannya, pemerintahan Bush Junior tidak
mampu menjatuhkan negara-negara Adidaya seperti Inggris, Rusia,
70 Ibid., h. 5-6. 71 an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, h. 105. 72 Ibid., h. 42.
Prancis, dan Jerman, dari permainan peran dalam panggung politik internasional. Sebaliknya strategi yang dijalankan oleh pemerintahan Bush Junior justru menguatkan posisi negara-negara tersebut dan tidak malah melemahkannya. Sebab strategi Amerika itu mendorong negara-negara Adidaya tersebut untuk mernyatukan barisanya guna membela diri dihadapan serangan Amerika yang keras atas mereka. Terbentuklah poros Prancis, Jerman, dan Rusia. Poros ini bersama Inggris saling bantu membantu secara rahasia. Negara-negara ini akhirnya mampu –dengan melakukan perlawanan dan langkah persuasif- memantapkan posisinya sebagai negara adidaya yang efektif sampai batas tertentu dalam politik internasional.”
Hizbut Tahrir berpandangan, strategi negara-negara Adidaya tersebut
akan berhasil. Akan tetapi andaikata negara-negara Adidaya tersebut tidak
memeluk kapitalisme yang menjadikan ”manfaat individu” sebagai prioritas
nilai setiap negara, niscaya mereka akan dapat mewujudkan sebuah Uni Eropa
yang kuat dihadapan Amerika. Meski demikian, keberhasilan Prancis dalam
mengajukan khithah politiknya kepada dua negara kuat Eropa (Jerman dan
Inggris) dapat dianggap tindakan berpengaruh di hadapan Amerika, yang tidak
dapat diabaikan begitu saja.
Menurut Hizbut Tahrir, globalisasi ‘ala Barat’ itu banyak di tentang
oleh masyarakat luas. Pernyataan Hizbut Tahrir itu dapat dipertimbangkan,
sesuai dengan data yang dilaporkan Coen Husain Pontoh pada tahun 2003,
tentang daftar aksi menentang globalisasi. Menurutnya sejak tahun 1999-2002
terdapat 83 gerakan aksi menentang globalisasi yang dilakukan oleh banyak
masyarakat baik dari negara-negara maju maupun negara-negara Dunia
Ketiga.73
73 Dalam data tersebut dipaparkan secara periodik dari tahun ke tahun terdapat aksi
menentang globalisasi di dalam setiap pertemuan event global (seperti pertemuan IMF), reaksi yang paling besar ditunjukkan oleh aksi 7,2 juta demonstran di negara Argentina yang menentang
Belum lagi baru-baru ini terdapat isu global warming. Pada tanggal 3
Desember sampai dengan tanggal 14 Desember 2007 diselenggarakan
Konvensi perubahan Iklim (UN Framework Convention on Climate Change,
UNFCCC) di Bali. Global Warming disebabkan karena peningkatan gas
rumah kaca—seperti karbon dioksida—dalam skala masif di atmosfir sebagai
akibat dari pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi. Akibatnya,
temperatur global naik 0,6ºC dan permukaan air laut naik 20 cm. Kalau
dibiarkan saja, tahun 2100 nanti temperatur global naik antara 1,4ºC hingga
5,8ºC dan permukaan laut bisa bertambah sampai 80 cm. Dalam hal ini, para
ahli maupun aktivis lingkungan hidup sepakat bahwa tersangka global
warming adalah industrialisasi yang dilakukan negara-negara maju, terutama
Amerika Utara dan Eropa. Mereka menyumbang sekitar 22 milyar ton karbon
per tahun—terutama dari konsumsi BBM, industri, dan penebangan hutan. Di
antara negara maju, penyumbang emisi terbesar adalah Amerika (36,1%)
disusul Rusia (17,4%), Jepang, dan negara Eropa lainnya dalam persentase
kurang dari 10%. Bandingkan dengan negara-negara berkembang seperti Asia,
Amerika Selatan, dan Afrika yang “cuma” menyumbang sekitar 4 milyar
karbon per tahun— itu pun bukan dari industri, melainkan perubahan
penggunaan lahan.74
b. Pudarnya pesona Nation State di Era Globalisasi
Hizbut Tahrir memahami konsep nation state di era globalisasi telah
usang. Dalam hal ini Hizbut Tahrir sebenarnya sepaham dengan kaum neo
SAP. Lebih jelas lihat Coen Husain Pontoh, Akhir Globalisasi:dari Perdebatan Teori Menuju Gerakan Masa (Jakarta: C-BOOKS, 2003), h.6-8.
74 Wikipedia, “Global Warming”, artikel diakses pada 16 Desember 2007 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Global_warming
liberal atau para hiperglobalis. Kenichi Ohmae seorang guru manajemen
terkemuka dari Jepang menyatakan bahwa:
” Kita sekarang hidup di dalam dunia yang tanpa batas, di mana
sebuah negara bangsa menjadi sebuah ’rekaan’ dan para politikus telah kehilangan semua kekuatan efektif mereka.”
Kemudian, Ismail Yusanto memandang logis pernyataan Beck yang
menyatakan globalisasi berarti denasionalisasi dan berarti pula bangkitnya
organisasi-organisasi transnasional dan mungkin negara transnasional.
Menurut Ismail hal tersebut tentunya didasarkan pada fakta empirik bahwa
negara bangsa tidak dapat menjawab tantangan global di mana kehidupan
sekarang ini sudah mengarah pada uniformitas.75
Namun Hizbut Tahrir tetap melihat adanya peran negara bangsa
superpower seperti Amerika dalam globalisasi. Akan tetapi, bagi Hizbut
Tahrir visi politik negara bangsa tersebut tetaplah untuk kepentingan regional
atau demi national interest (kepentingan nasional) semata. Negara-negara
tersebut telah memperaktikkan kaidah ”tujuan menghalalkan segala cara”.76
Bagi Hizbut Tahrir sangatlah jelas bahwa problem identitas umat Islam
yang ditimbulkan akibat globalisasi adalah problem identitas sebagai sebuah
umat. Bukan problem identitas sebagai etnis atau bangsa (nation). Karena
umat Islam dari segi indentitas dalam perspektif ini harus dipandang sebagai
suatu umat, bukan sebagai bangsa.13 Dalam perspektif normatif maupun
historis, umat Islam sesungguhnya adalah umat yang satu, yang diikat oleh
nilai-nilai Islam (aqidah dan syariah Islam). Umat Islam seluruh dunia
75 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ismail Yusanto. 76 an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, h. 12.
semestinya hidup dalam satu kepemimpinan universal di bawah naungan
khilafah Islamiyah. Umat Islam tak boleh dipisahkan oleh identitas-identitas
sempit dan lokal seperti kesukuan, kebangsaan dan etnisitas. Umat Islam
karenanya tidak layak hidup tercerai-berai dalam lebih dari lima puluh negara
berdasar konsep nation state dengan semangat nasionalisme dan patriotisme
seperti yang saat ini terjadi. Hizbut Tahrir dengan tegas menolak nasionalisme
dan patriotisme baik karena alasan normatif maupun alasan empiris.14
Menurut Ismail, penyebab utama perpecahan umat Islam adalah
nasionalisme. Maksudnya, 1,4 miliar umat Islam saat ini hidup terpecah di 57
negara bangsa yang berdiri atas dasar paham nasionalisme. Kondisi ini
membuat umat menjadi sangat lemah. Selain tidak mampu menjaga ’izza al-
Islam wa al-Muslimin, mereka juga gagal membendung setiap pengaruh buruk
yang datang dari luar, diantaranya:77 Pertama, makin kokohnya penjajahan
dalam berbagai bentuknya, baik di lapangan ekonomi (melalui pemberian
utang-utang luar negeri dan lain sebagainya), di bidang politik melalui paham
sekularisme, demokrasi, HAM, dan lain sebagainya, maupun di bidang budaya
melalui budaya Barat yang permisif dan sebagainya. Kedua, terjadinya
pertikaian antar negeri muslim akibat perbedaan kepentingan dan politik
devide et impera. Misalnya antara Iran-Irak, Indonesia-Malaysia, atau antara
Irak-dan Kuait. Ketiga, lemahnya kekuatan umat Islam dalam menghadapi
musuh. Nasionalisme membuat negeri-negeri Muslim sulit bersatu sehingga
tidak mampu menghadapi musuh. Penyerbuan Amerika atas Irak berlangsung
begitu saja tanpa sedikit pun bisa dicegah oleh negeri-negeri muslim.
77 M. Ismail Yusanto, “Nasionalisme: Penyebab Utama Kehancuran Khilafah,” al-Wa’ie VII, No. 84 (Agustus 2007 ): h. 41.
Ismail Yusanto mengutip pernayataan Prof. Hassan Nakata yang
diharapkan dapat memberikan penilaian objektif terhadap Hizbut Tahrir
karena ia seorang pemikir dan bukan anggota Hizbut Tahrir. Prof. Hassan Ko
Nakata menyatakan sistem pemerintahan Islam yang hakiki tidak mungkin
tegak kecuali dengan khilafah yang satu untuk seluruh umat manusia. “Sistem
nation state justru membelenggu dan menghalangi umat Islam untuk
berpindah dan berkomunikasi. Nation state telah memenjara umat Islam,’’
tegas Presiden Asosiasi Muslim Jepang ini dalam Diskusi Kupas Tuntas
Pemikiran Politik Syaikh Taqiyuddin An Nabhani di Jakarta, Jumat 17 Maret
2006. Ia menjelaskan: “tidak mungkin menegakkan Islam dalam lingkup
nation state. Karena pada hakikatnya substansi sistem pemerintahan Islam
adalah tauhid, yakni penyatuan (tauhid) bumi dan penyatuan umat manusia di
atas landasan tauhid rububiyah. Tauhid itu hanya mungkin ada jika umat Islam
menghapuskan sekat-sekat yang selama ini membelenggunya. Ide khilafah
sangat realistis pada era globalisasi ini.”
2. Khilafah Islamiyah Sebagai Solusi Alternatif Bagi Kemelut Globalisasi
Menurut Ismail Yusanto, secara ringkas dapat dikatakan bahwa
globalisasi adalah agenda negara kapitalis yang telah terbukti tidak membawa
kebaikan kepada dunia. Kegagalan ini wajar, karena semua agenda itu
memang bukan bertujuan untuk memberikan kebaikan bagi dunia, melainkan
bertujuan untuk menindas sesama manusia demi kepentingan bisnis pemilik
modal. Maka, kapitalisme sesungguhnya telah gagal. Tapi, meski sisa-sisa
kekuatannya mulai ’keropos’, ia masih cukup kuat untuk menindas dan
menekan Dunia Islam, seperti nampak dalam tindakan Amerika Serikat pada
apa yang mereka sebut perang melawan terorisme. Tapi dari hari ke hari dunia
tidak semakin cinta kepada semua penindasan itu, sebaliknya semakin
membenci dan muak.78 Sementara itu, lanjut Ismail, sosialisme yang sudah
sejak tahun 1990-an masuk museum sejarah, meski sisa-sisanya masih ada di
sebagian negara, seperti Kuba dan Korea Utara, tapi semuanya sebenarnya
telah bermetamorfosis menuju pada kapitalisme baik secara terang-terangan
maupun tidak. Maka sesungguhnya harapan umat manusia hanya tinggal satu,
yakni Islam. Bagi Hizb, penderitaan dan kesengasaraan dunia yang dihasilkan
dari negara-negara kapitalis, khususnya Amerika tidak akan lenyap kecuali
dengan tegaknya negara khilafah yang akan menerapkan ideologi yang hak,
yaitu Islam yang agung yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamin. Lebih lanjut menurut juru
bicara Hizbut Tahrir Indonesia, hanya melalui kekuatan global, penjajahan
global bisa dihadapi secara spadan.79 Justru globalisasi dengan perspektif
perkembangan sains dan teknologinya, serta sifatnya yang universal dan
transnasional harus dilihat sebagai sarana untuk membangkitkan kembali
sistem Khilafah Islamiyah. Setali tiga uang, Hizb justru telah memanfaatkan
globalisasi sebagai sarana untuk memperluas jaringannya kesegala penjuru
dunia. Dalam hal ini dapat dikatakan ada hubungan simbiosis mutualisme
antara globalisasi dengan gerakan dakwah atau politik Hizbut Tahrir untuk
menyebarkan konsep pemikiran tentang khilafah Islamiyah. Sebab politik luar
negeri khilafah adalah mengemban Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan
jihad. Karena itu menurut al-Khaththath, gerak dakwah Islam dan politik
78 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ismail Yusanto. 79 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ismail Yusanto.
khilafah Islamiyah pasti bersifat transnasional.80 Hal ini bagi Hizbut Tahrir
sangatlah relevan dengan sifat globalisasi yang transnasional. Sistem ideologi
kapitalisme yang dibawa oleh globalisasi pun memiliki sifat dan watak
transnasional, hanya saja menurut Hizbut Tahrir ideologi ini cenderung
menyengsarakan umat. Menurut partai politik internasional ini, berbeda
dengan sistem globalisasi ’ala’ Barat yang telah banyak menimbulkan krisis
global, dalam sejarahnya yang sangat panjang, khilafah sesuangguhnya tidak
pernah terbukti menyengsarakan manusia.
Menurut Hizbut Tahrir, khilafah Islamiyah adalah kepemimpinan
umum bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum
syariat Islam dan mengemban dakwah dan jihad ke segenap penjuru dunia.
Kata lain dari khilafah adalah imamah. Khilafah adalah kepemimpinan yang
sempurna dan mencakup umum, yang berkait dengan perkara khusus maupun
umum yang ada hubungannya dengan agama maupun dunia, didalamnya
tercakup penjagaan negeri-negeri muslim, memelihara urusan masyarakat,
menegakkan dakwah melalui hujjah dan pedang. Mengatasi kezhaliman dan
kesewenang-wenangan sekaligus mengganjar pelakunya yang zhalim, serta
memberikan hak-hak kepada orang-orang yang terhalang hak-haknya.81
Sementara Khalifah atau dengan sebutan lainnya yaitu Sultan A’zham
adalah kepala negara dalam sistem khilafah, seperti Khalifah Abu Bakar
Shiddiq, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Utsman bin Affan, Khalifah
Ali bin Abi Thalib dan lain sebagainya. Hanya saja, Umar bin Khattab lebih
80 KH. M. al-Khaththath, “Khilafah dan Gerakan Transnasional,” al-Wa’ie VII, No. 84
(Agustus 2007): h. 12. 81 Saefuddin Zuhri, ed., Menjemput Kembalinya Sang Khalifah (Jakarta: Nizham Press,
2007), h. 15.
suka dipanggil Amirul Mukminin , dan Ali bin Abi Thalib lebih suka disebut
Imam. Semuanya, Amirul Mukminin dan Imam memiliki makna yang sama
dengan Khalifah. Sistem pemerintahan Rasul yang kemudian diikuti oleh para
Khalifah yang empat yang pertama kemudian dilanjutkan dengan para
khalifah selanjutnya, jelas memiliki metode yang jelas dalam hal suksesi,
yakni Bai’ah. Sedangkan caranya dapat dipilih apakah pemilihan langsung
ataukan lewat perwakilan atau melalui ahlul halli wal aqdi.82 Khilafah
didasarkan pada hukum yang berasal dari al-Quran dan Hadits dan suksesinya
berdasarkan pada Bai’at dari rakyat kepada pemimpin yang dipilihnya.
Selanjutnya Hizb menggunakan kajian historis berupa romantisme
kejayaan Islam di masa lalu, mengenangnya dan mengharapkannya kembali
tegak berdiri. Sejarah kekhilafahan dimulai sejak Nabi Muhammad Saw
wafat. Setelah Rasulullah wafat dan lama setelahnya istilah-istilah yang
dimunculkan untuk sebutan kepada pemimpin Umat Islam adalah: Khalifah,
Imam, Amirul mukminin, Hakkimul mukminin (penguasa orang-orang
mukmin), Raisul mukminin (pemimpin kaum muslimin), Sultanul Muslimin
(penguasa kaum muslimin), dan ada juga yang menggunakan sebutan Amir,
sementara yang lain menggunakan kata Syah sebagaimana yang terjadi di
Iran.83
Praktek kekhalifahan selama enam abad pertama Islam dapat di bagi
ke dalam tiga periode utama: (1) Khulafa ar-Rasyidun di Madinah (632-661
M); (2)kekhalifahan Bani Umayyah (661-750M) di Damaskus; dan (3)
82 Ibid., h. 26. 83 an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, h. 106.
kekhalifahan Bani Abbasiyyah (750-1258 M) di Baghdad.84 Sedangkan
sisanya adalah zaman Utsmaniyyah Turki di Istambul (1299-1924M).
Dalam sejarah Islam tercatat yang pertama mengguanakan kata
khalifah secara resmi adalah Abu Bakar as-Shiddiq (632-634 M), tugas yang
diembannya adalah penguasa temporal (dunia) dan penguasa religius (akhirat)
tugas yang sama juga dilakukan kepada Umar bin Khattab (634-644 M),
Usman bin Affan (644-656 M), dan Ali bin Abi Thalib (656-661 M) yang
selanjutnya dikenal sebagai al-Khulafa al-Rasyiddin. Dimana pemilihan
khalifah bisa dikatakan sangat demokratis untuk ukuran saat itu. Sepanjang
sejarah peradaban Islam, masa kekhalifahan adalah masa kemajuan Islam.
Pada masa itu tidak ada sistem politik Islam yang baku. Kekhilafahan di
jalankan sesuai dengan konteks situasi kondisi politik pada zaman
kekhilafahan masing-masing. Hal itu dapat digambarkan dari perjalanan
politik masing-masing khalifah.
Selama 2 tahun kekuasaan yang dijalankan khalifah Abu Bakar,
sebagaimana masa Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif
dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Meskipun demikian, Abu Bakar
selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah. Sedangkan Umar
Ibn Khathab yang memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (komandan
orang-orang beriman) menjalankan roda pemerintahan dengan memisahkan
lembaga yudikatif dengan lembaga ekselutif. Untuk itu ia membentuk
lembaga peradilan. Selama 10 tahun Umar melakukan ekspansi kekuasaan di
sekitar jazirah Arab, Palestina, Syiria, dan sebagian besar wilayah Persia dan
84 John L.Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?. Penerjemah Alwiyyah
Abdurrahman (Bandung: Mizan, 1996), h. 41.
Mesir. Banyak kebijakan baru yang di jalankan seperti pengaturan
administrasi yang mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama
di Persia. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian di
bentuk, demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait
al-Mal, menempa mata uang dan menciptakan tahun Hijrah.85
Pada masa Usman yang terkenal lemah lembut, jasanya tampak dalam
membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dengan
mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan,
jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas mesjid Nabi di Madinah.
Namun selama 12 tahun berkuasa, banyak rakyat kecewa terutama pada
kebijakan sang Khalifah yang mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi
dalam pemerintahan.
Pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi politik sedang tidak stabil.
Namun beliau tetap menjalankan roda pemerintahan secara demokratis.
Selama 6 tahun masa pemerintahannya Ali menghadapi banyak pergolakan
poltik. Setelah menduduki jabatan khalifah Ali memecat para gubernur yang
diangkat oleh Usman. Beliau juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan
Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada
negara dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-
orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Kekhilafahan selanjutnya mengalami pergeseran makna pada masa
dinasti Umayyah (651-750 M). Pergeseran tersebut paling tidak bisa dilihat
dari dua hal. Pertama pemilihan khalifah tidak lagi melalui cara yang
85 Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h.
38.
”demokratis” dalam arti melibatkan suara rakyat, tetapi melalui wilayatul
ahdi, pengangkatan putra mahkota yang ditentukan sebelumnya oleh khalifah
yang berkuasa. Kedua, khalifah lebih terfokus pada masalah politik, sementara
masalah agama diserahkan kepada ulama yang menguasai masalah-masalah
agama. Berbeda dengan khalifah sebelumnya yang merupakan ahli agama
yang menetapkan hukum keagamanan berdasarkan ijtihad mereka baik sendiri
maupun bersama-sama. Namun demikian khilafah bani Umayyah mampu
melakukan ekspansi besar-besaran baik di Timur maupun Barat, wilayah
kekuasaan Islam meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazitah
Arabia, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang
disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.86
Sistem monarki dalam pemerintahan Islam dimulai pada khalifah
Muawiyah yang mengangkat putranya Yazid bin Muawiyah dengan jalan
kekerasan sebagai waliyul’ahdi (putra mahkota).
Pada masa dinasti Abbasiyah, kebijakan-kebijakan yang diterapkan
lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari
pada perluasan wilayah yang pada masa khilafah Bani Umayyah gencar
dilakukan. Namun dalam memaknai khalifah, Dinasti Abbasiyah tidak jauh
berbeda dengan dinasti sebelumnya, peranan khalifah semakin mengalami
penurunan disamping meneruskan ciri monarki absolut dan diperparah dengan
penambahan kata yang dimaksud untuk ”meninggikan” derajat seorang
khilafah.
Pada masa khalifah al-Mansur (754-775 M) kata ”khalifah” sudah
86 Ibid., h. 44.
mengalami perubahan makna yang cukup mendasar, khalifah sudah
berkonotasi Khalifatullah yang berarti pengganti atau wakil Allah di muka
bumi, dan menamakan dirinya sebagai Sultanullah fi al-Ardh (penguasa Tuhan
di muka bumi.). Pada konteks ini kita bisa melihat makna khalifah menjadi
simbol atau legitimasi religius dalam aktivitas perpolitikan. Dengan demikian
karisma khalifah semakin bertambah dimasyarakat, karena dirinya sebagai
wakil atau pengejawantahan Tuhan di bumi yang harus ditaati sepenuhnya
oleh masyarakat dan pejabat-pejabat dibawahnya, dalam hal ini jelas bahwa
dinasti Abbasiyyah di pengaruhi oleh kebudayaan Persia yang menganggap
raja sebagai titisan suci dari Tuhan (Devide right of King). Namun di tengah
kemunduran makna khalifah tersebut, pada masa Al-Mahdi perekonomian
mulai meningkat dengan peningkatan disektor pertanian, dan pertambangan.
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun
al-Rasyid (786-809 M) dan ptranya Al-Ma’mun (813-833 M) yang membawa
umat Islam pada tingkat kemakmuran yang tertinggi.
Peranan khalifah lebih menurun drastis lagi pada masa sultan Buwaihi
(945-1055 M), Saljuk (1063-1194 M), Khawarizme (1199-1258 M) atas
Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu, peranan khalifah lebih bersifat boneka atau
simbol saja karena kekuatan dan kekuasaan sultan dapat memaksakan segala
kehendaknya kepada khalifah.
Setelah Abbasiyah hancur, muncullah kerajaan Usmani yang kemudian
di kenal dengan Khilafah Usmaniyyah. Pendiri dinasti ini adalah bangsa Turki
dari kabilah Oghuz, ketika kerajaan Usmani sudah mencapai puncak
kemajuannya, kerajaan Syafawi baru berdiri di Persia, yang dalam
perkembagannya sering mengalami bentrok dengan kerajaan Turki Usmani
dan salah satunya dilatarbelakangi oleh kerajaan Syafawi yang menyatakan
Syiah sebagai mazhab negara. Setelah seperempat abad berdirinya kerajaan
Syafawi berdiri pula kerajaan Mughal di India.
Jadi setelah runtuhnya dinasti Abbasiyah, kekhilafahan Islam semakin
”terkoyak” meninggalkan bentuk aslinya sebagaimana dilakukan Nabi dan
pengganti setelahnya yang dikenal dengan sebutan al-Kulafa al-Rasyidun.
Dinasti Usmaniyah yang pernah berkuasa kurang lebih enam abad dan
pernah di segani Eropa akhirnya mendapatkan pukulan yang mematikan dari
Kemal Attaturk dengan mendirikan Republik Turki pada tahun 1923 M dan
menghapus jabatan khalifah pada tanggal 3 Maret 1924 M dengan demikian
gelar kekhalifahan dalam arti politik hilang dari percaturan internasional.
Demikianlah masa-masa kejayaan Islam di bawah pemerintahan Islam
yang berbentuk Khilafah Islamiyah telah runtuh oleh berbagai faktor baik
internal maupun eksternal. Namun Hizbut Tharir tetap mengenang
romantisme kejayaan Islam di masa lalu itu, dan berusaha untuk
mewujudkannya kembali dengan berbagai cara. Perwujudan keinginan yang
sebatas pada tataran konseptual, kemudian terimplementasikan oleh Hizbut
Tahrir dalam bentuk berbagai pergerakan-pergerakan yang bersifat politik.
Selanjutnya dalam konteks kegagalan globalisasi untuk memakmurkan
masyarakat dunia, maka Hizbut Tahrir memiliki solusi dan pandangannya
sendiri. Menurut Hizbut Tahrir Islam berbeda dengan kapitalisme, Islam tidak
mengetahui keberadaan sektor non real berbasis bunga, karena Islam telah
mengharamkan ria, termasuk bunga, hal itu jelas termaktub dalam Quran Surat
Al-Baqarah ayat 275. Dengan kata lain dalam Islam uang bukanlah komoditi
yang karenanya mempunyai harga. Harga uang ini lah yang dalam teori-teori
kapitalisme di sebut bunga. Uang dalam Islam hanyalah sebagai alat tukar
saja, bukan sebagai komoditi sebagaimana dalam kapitalisme. Dengan kata
lain, ekonomi Islam adalah real based economy (ekonomi berbasis sektor
real) Ini merupakan kebalikan total dari ekonomi kapitalisme yang dibangun
dengan monetery based economy. Keuntungan hanya diperoleh melalui jerih
payah nyata rael dalam produksi barang atau jasa.87 Mata uang Islam (dinar
dan dirham) berbeda dengan mata uang dalam kapitalisme Dinar dan dirham
terbukti dalam sejarah sangat kecil sekali inflasinya. Pada masa Rasululah saw
dengan uang 1 dinar (4,25 gram emas) orang dapat membeli seekor kambing,
dan dengan uang 1 dirham (2.975 gram perak) dapat dibeli seekor ayam. Pada
masa sekarang ini, tahun 2007, dengan uang senilai 1 dinar orang masih dapat
membeli seekor kambing dan dengan uang 1 dirham dapat dibeli seekor
ayam. Berbeda dengan uang kertas, pada dinar dan dirham nilai intristik dan
nominalnya menyatu tidak bakal ada perbedaan. Sebab nilai nominal dinar
dan dirham ditentukan semata oleh berat logamnya itu sendiri yang sekaligus
menjadi nilai intristiknya, bukan ditentukan oleh dekrit atau pengumuman
Bank Sentral. Keunggulan dinar dan dirham itu tidak dimiliki oleh dollar AS
yang dominan sekarang. Jika dinar dirham memperkokoh ekonomi karena
tahan inflasi, dollar AS justru akan merapuhkan ekonomi lantaran rentan
inflasi.
Menurut Hizbut Tahrir, Islam dengan tegas mengharamkan utang luar
87 KH. M. Shiddiq al-Jawi, “Pangkal Kerapuhan Kapitalisme,”al Wa’ie VII, No.83 (Juli
2007): h. 14.
negeri dengan dua alasan utama. Pertama: karena utang itu pasti disertai syarat
bunga padahal Islam mengharamkan bunga. Kedua karena utang itu telah
menghancurkan kedaulatan negeri penerima utang dan hanya menjadi jalan
hegemoni penjajah. Padahal hegemoni kafir atas umat Islam juga diharamkan.
Islam memberikan ketentuan syariah yang jelas mengenai investasi asing.
Dalam investasi asing untuk Sumber Daya Alam (SDA) misalnya Islam telah
menetapkan bahwa SDA seperti emas, minyak, dan gas adalah milik umum,
bukan milik individu atau milik negara. Jadi tambang tidak boleh diserahkan
kepada investor untuk dieksplorasi dengan sistem bagi hasil. Yang benar,
100% hasil tambang adalah milik umum yang dikelola negara. Jika ada pihak
swasta yang dilibatkan, itu sebatas kontrak tenaga kerja atau kontrak sewa
peralatan yang dibayar sesuai dengan jasa mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan primer masyarakat, Hizbut Tahrir
menyarankan diberlakukannya kebijakan wajib zakat oleh pemerintah kepada
masyarakat. Islam mewajibkan orang kaya membayar zakat. Harta itu
kemudian disalurkan kepada 8 golongan yang sebagian besarnya adalah
orang-orang miskin dan membutuhkan pertolongan. Sebagai sebuah
kewajiban, pembayaran zakat tidak harus menanti kesadaran orang per orang.
Negara juga harus proaktif mengambilnya dari kaum muslim ini sesuai
dengan Quran Surat At-Taubah 9: 103, sebagaimana yang dilakukan khalifah
Abu Bakar. Orang yang menolak membayar zakat, akan diperagi. Kemudian
ada infak dan sedekah yang juga dapat menjamin kebutuhan primer setiap
warga masyarakat.88
88 al-Jawi, “Pangkal Kerapuhan Kapitalisme,” h. 15.
Demikian solusi mekanisme ekonomi yang ditawarkan Hizbut Tahrir.
Menurutnya, sistem ekonomi tersebut merupakan bagian integral dalam
sebuah sistem pemerintahan khilafah Islamiyah. Menurut Hizbut Tahrir,
tegaknya kembali Khilafah Islamiyah bukanlah mimpi. Tegaknya kembali
khilafah dan hadirnya kembali khalifah adalah keniscayaan. Pasca runtuhnya
ideologi Sosialisme-komunisme dan kini mulai berkuasa ideologi kapitalisme-
sekulerisme, sebenarnya tidak ada alternatif lain bagi umat manusia kecuali
ideologi Islam. Menurut Hizbut Tahrir, bangkitnya khilafah Islamiyah adalah
ramalan yang nyata. Pada Desember 2004, mereka mengutip laporan dari NIC
(National Intellegence Council’s) yang berjudul Mapping the Global Future,
semacam ramalan sekenario Dunia Tahun 2020. Dalam laporan itu diprediksi
4 skenario dunia tahun 2020.89 Pertama, Devod World; di gambarkan bahwa
15 tahun ke depan Cina dan India akan menjadi pemain penting ekonomi dan
politik dunia. Kedua, Pax Americana; dunia masih dipimpin oleh
AmerikaSerikat dengan Pax-Amerikanya. Ketiga A New Chaliphate,
berdirinya kembali khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang
mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global Barat.
Keempat Cycle of Fear (munculnya lingkaran ketakutan), disekenario ini,
respon agresif pada ancaman terorisme mengarah kepada pelanggaran atas
aturan dan sistem keamanan yang berlaku. Akibatnya, akan lahir dunia
”Orwellian” dimana pada masa depan manusia menjadi budak bagi satu dari
tiga negara otoriter.
Menurut Hizbut Tahrir, terlepas dari maksud dan tujuan diturunkannya
89 Zuhri, Menjemput Kembalinya Sang Khalifah, h. 31.
laporan tersebut, namun paling tidak kemungkinan munculnya kembali
Khilafah Islamiyah dikalangan analis dan intelegen Barat merupakan suatu hal
yang diperhitungkan. Khilafah adalah tuntutan aqidah dan syariat Islam.
Kaum muslimin wajib menerapkan semua aturan Allah SWT, sebagai
konsekwensi dari keIslaman mereka. Keniscayaan datangnya Sang Khilafah
selain dapat dipahami oleh analisis di atas, analisis historis dan analisis
kekinian- juga diyakini karena didukung oleh nash-nash yang jelas. Diantara
nash-nash itu atara lain Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (yang
artinya):90
”Masa kenabian akan berlangsung ditengah-tengah kalian sesuai dengan kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya jika menghendakinya. Lalu datang masa Kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian selama masa yang dikehendaki Allah. Kemudian Allah mengangkatnya jika menghendakinya. Lalu datang masa kekuasaan yang zhalim selama masa yang dikehendaki Allah. Kemudain Allah akan mengangkatnya jika menghendakinya. Lalu datang masa kekuasaan diktator bengis selama masa yang dikehendaki Allah. Kemuadian Allah mengangkatnya jika menghendakinya. Setelah itu akan datang kembali masa kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian. Kemudian Rasulullah terdiam.” (HR. Ahmad)
Demikianlah, bagi Hizbut Tahrir Hadits Riwayat Ahmad tersebut,
layaknya sebuah mantra yang dapat membangkitkan semangat pergerakan
politik mereka untuk kembali menegakkan khilafah Islamiyah di muka bumi.
90 Ibid., h. 33-34.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab
sebelumnya, maka pada bab ini penulis memberikan kesimpulan menyangkut
pembahasan seputar globalisasi dan kebangkitan khilafah Islamiyah dalam
perspektif pemikiran Hizbut Tahrir.
1. Hizbut Tahrir (HT) memahami globalisasi secara dikotomis. Artinya di
satu sisi HT menerima globalisasi sebagai sebuah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang akan datang seiring dengan kemajuan,
maka dari itu globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang natural. Namun
disisi lain HT menolak secara ekstrim terhadap ide globalisasi yang
berasal dari Barat, atau bisa disebut “globalisasi ala Barat”. Globalisasi
”ala Barat” adalah globalisasi sebagai suatu proses perubahan sosial yang
berusaha mengubah masyarakat tradisonal menjadi masyarakat modern
dengan mengambil model masyarakat Barat yang sekular. Padahal
menurut Douglas Kellner globalisasi tidak terbatas pada satu penekanan
saja, meskipun ekonomi kapitalis penting untuk memahami globalisasi,
namun tekno-sains lah yang memberikan infrastrukturnya. Namun
pemahaman HT tentang globalisasi itu terkesan terpisah dan tidak dalam
satu kerangka definisi globalisasi yang homogen. Jika globalisasi ditinjau
sebagai sebuah perspektif perkembangan, dan kemajuan sains dan
teknologi, maka HT mengaku pro terhadapnya. Segala macam sains
seperti kedokteran, teknik, matematika, astronomi, fisika, kimia, pertanian,
industri, transportasi, komunikasi, ilmu kelautan, geografi, dan sebagainya
pada dasarnya adalah boleh, bahkan harus dikuasai bila kemanfaatannya
sangat diperlukan demi kemajuan material umat manusia. Sains semacam
itu bersifat universal dan tidak terkait nilai (value free), sehingga boleh
diambil dan diterapkan oleh umat Islam selama tidak bertentangan dengan
aqidah dan syariah Islam. Labih lanjut Hizbut Tahrir memahami
globalisasi merupakan upaya uniformitas yang mencakup fear, fun, food,
fashion, and faith. Oleh karena itu globalisasi akan membuat dunia
seragam baik dalam sistem budaya, ekonomi maupun politik, dan
membentuk sebuah kampung global (global vilage). Namun jika
globalisasi dinilai sebagai sebuah nilai dan sistem yang berasal dari Barat,
maka Hizbut Tahrir dengan lantang menolak globalisasi tersebut.
Penolakan Hizbut Tahrir terhadap globalisasi ala Barat ini karena partai ini
memahaminya sebagai bentuk imperialisme yang paling mutakhir, sebagai
wujud dari kapitalisme modern, dan sebagai bentuk hegemoni politik
tunggal Amerka Serikat. Globalisasi pada prakteknya hanya merupakan
usaha negara-negara Barat untuk terus mengukuhkan dominasinya atas
negara-negara bekas jajahan pasca Perang Dunia II. Bahkan lebih ekstrim
Hizbut Tahrir menganggap globalisasi hanyalah istilah kosong yang tidak
memberi kontribusi apa pun bagi dunia, khususnya dunia Islam, kecuali
hanya memberi jalan bagi imperialisme itu sendiri untuk terus
mencengkeram dan mengeksploitasi dunia demi nafsu serakahnya yang
tidak pernah kenyang. Globalisasi juga proses penyeragaman dunia ke
dalam ideologi tunggal yaitu kapitalisme. Kapitalisme global menerapkan
prinsip-prinsip neo liberalisme oleh badan-badan dunia seperti IMF, WTO
dan Bank Dunia yang sengaja dibentuk untuk melancarkan semua usaha
dominasi dan eksploitasi bangsa-bangsa yang lemah. Tujuan dari itu
semua adalah agar seluruh dunia memeluk ideologi ini sebagai satu-
satunya ideologi yang diklaim absah menjadi pemenang sejarah,
khususnya setelah kehancuran Komunisme tahun 1991. Hizbut Tahrir pun
percaya bahwa motor penggerak utama globalisasi adalah Amerika
Serikat. Amerika lah yang mengendalikan organisasi-organisasi keuangan
internasional tersebut, malihat perusahaan-perusahaan multinasional dan
transnasional sebagian besar berkantor pusat di negeri Paman Sam
tersebut.
2. Relasi globalisasi dan kebangkitan khilafah Islamiyah dalam perspektif
pemikiran Hizbut Tahrir, dapat dipetakan menjadi dua asumsi. Pertama,
globalisasi sebagai indikator kebangkitan khilafah Islamiyah. Kedua,
khilafah Islamiyah sebagai solusi alternatif bagi kemelut globalisasi.
Khusus pada asumsi yang pertama, paling tidak hal itu dapat dilihat dari
dua hal. Pertama, kegagalan globalisasi itu sendiri sebagai sebuah sistem
yang malah menyebabkan kemiskinan global. Kedua, pudarnya pesona
nation state di era globaliasi yang kemudian malah membangkitkan
organisasi-organisasi transnasional, dan bahkan negara transnasional.
Sebenarnya tujuan awal proyek globalisasi ini idealis dan positif.
Sebenarnya pasca PD II terdapat sebuah kesepakatan sosial, yang
menyepakati penerapan sistem globalisasi atas dunia dengan persyaratan
bahwa globalisasi akan tetap menjamin penyediaan jaminan sosial, seperti
kompensasi, pengangguran, pesangon, dan bantuan hidup bagi warga
dunia, serta menjamin jaring pengaman nasional bagi terciptanya
perdamainan dunia. Selain itu para ekonom dan pembuat kebijakan di
Barat selalu mempromosikan globalisasi sebagai sebuah sistem yang
mampu membawa masyarakat dunia menuju satu kemakmuran. Para
globalis seperti Thomas L Friedman selalu berusaha meyakinkan bahwa
semakin negara membiarkan kekuatan pasar berkuasa dan semakin negara
membuka perekonomiannya bagi perdagangan bebas dan kompetisi, maka
perekonomian suatu negara akan semakin efisien dan berkembang pesat.
Kemudain IMF dan World Bank sama-sama di bentuk pada 1944 di
Breton Woods Conference, IMF bertanggung jawab memelihara stabilitas
sistem keuangan global, sementara Bank Dunia bertanggung jawab
membangun kembali perekonomian dunia yang hancur karena perang.
Libelarisasi perdagangan yang dituju oleh IMF dan WB ini dilakukan
dengan melakukan Program Penyesuaian Struktural. Program tersebut
terdiri dari dua paket kebijakan. Pertama, paket kebijakan Struktural
Adjustment Program (Program penyesuaian struktural), terdiri dari
komponen-komponen: a. Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang
yang bebas; c. Devaluasi; d. Kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk:
pembatasan kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi,
peningkatan pajak, kenaikan harga public utilities, dan penekanan untuk
tidak menaikkan upah gaji. Kedua: paket kebijakan deregulasi, yaitu: a.
intervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimumkan karena
dianggap telah mendistorsi pasar, b. privatisasi yang seluas-luasnya dalam
bidang ekonomi sehigga mencakup bidang-bidang yang selama ini
dikuasai negara; c. liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk
penghapusan segala jenis proteksi; d. memperbesar dan memperlancar
arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan
longgar. Dengan dua paket kebijakan tersebut, serta asumsi-asumsi para
globalis dan pembuat kebijakan ekonomi yang meyakinkan, maka dari
200-an negara yang ada di dunia ini, hanya sedikit sekali negara yang
tidak ikut dalam proses globalisasi. UNDP pun mengeluarkan laporan
tertulis bahwa globalisasi menimbulkan dampak terhadap demokratisasi
di negara-negara dunia. Bahwa sejak tahun 1981, 81 negara telah
meningkatkan kualitas demokrasi, dengan total 33 rezim militer telah
tergantikan oleh rezim pemerintahan sipil. Namun dalam
perkembangannya data yang dipublikasikan Khilafah Magazine mungkin
dapat dijadikan indikator bahwa globalisasi belum dapat menciptakan
stabilitas ekonomi bagi seluruh negara yang ada di dunia. Data tersebut
menggambarkan tentang adanya ketimpangan pendapatan antara negara
maju dan negara berkembang atau negara miskin. Selama arus globalisasi
berlangsung, negara maju lah yang paling banyak mendapatkan profit
dalam hal materi. Sedangkan negara-negara Dunia Ketiga semakin
terpuruk dalam kemiskinannya. Hal tersebut kemudian berdampak pada
instabilitas politik bagi negara-negara yang tidak dapat bertahan dalam
persaingan global yang semakin represif. Pada perkembangannya
globalisasi juga menibulkan efek superioritas, di mana terjadi hegemoni
politik tunggal yang dalam hal ini di lakukan oleh Amerika Serikat. Maka
esensi demokrasi pun dipertanyakan, khususnya ketika negara-negara
Dunia Ketiga menjadi amat bergantung dengan kebijakan negara-negara
industri maju khususnya Amerika Serikat.
3. Hizbut Tahrir memahami konsep nation state di era globalisasi telah
usang. Dalam hal ini HT sebenarnya sepaham dengan kaum neo liberal
atau para hiperglobalis seperti Kenichi Ohmae yang menyatakan bahwa
manusia kini hidup di dalam dunia yang tanpa batas, di mana sebuah
negara bangsa menjadi sebuah ’rekaan’ dan para politikus telah kehilangan
semua kekuatan efektif mereka. Meski pun di satu sisi ia percaya bahwa
masih ada kekuatan negara bangsa seperti Amerika Serikat yang justru
mengendalikan proses globalisasi ini. Tetapi data yang ada menunjukkan
Amerika semakin melemah dan menunjukkan kegagalan karena ternyata
Amerika hanya melakukan hegemoni politik atas dunia dan
memprioritaskan national interest. Justru yang logis untuk konteks
sekarang adalah bahwa globalisasi memang dapat diartikan sebagai
denasionalisasi dan berarti pula bangkitnya organisasi-organisasi
transnasional dan mungkin negara transnasional. Menurut Hizbut Tahrir
hal tersebut tentunya didasarkan pada fakta empirik bahwa negara bangsa
tidak dapat menjawab tantangan global di mana kehidupan sekarang ini
sudah mengarah pada uniformitas. Menurut HT, penyebab utama
perpecahan umat Islam adalah nasionalisme. Maksudnya, 1,4 miliar umat
Islam saat ini hidup terpecah di 57 negara bangsa yang berdiri atas dasar
paham nasionalisme.
4. Hizbut Tahrir memandang sistem pemerintahan khilafah Islamiyah
sebagai solusi alternatif bagi kemelut globalisasi. HT percaya bahwa
hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa dihadapi secara
spadan. Justru globalisasi dengan perspektif perkembangan sains dan
teknologinya, serta sifatnya yang universal dan transnasional harus dilihat
sebagai sarana untuk membangkitkan kembali sistem Khilafah Islamiyah.
Setali tiga uang, HT justru telah memanfaatkan globalisasi sebagai sarana
untuk memperluas jaringannya kesegala penjuru dunia. Dalam hal ini
dapat dikatakan ada hubungan simbiosis mutualisme antara globalisasi
dengan gerakan dakwah atau politik Hizbut Tahrir untuk menyebarkan
konsep pemikiran tentang khilafah Islamiyah. Setidaknya ada dua
pendekatan yang dapat dijadikan alasan mengapa HT menganggap sifat
transnasional globalisasi relevan dengan ide khilafah Islamiyah. Pertama,
berdasarkan makna dan doktrin agama; Kedua berdasarkan tinjauan dan
kajian sejarah. Khilafah Islamiyah adalah kepemimpinan umum bagi
seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat
Islam dan mengemban dakwah dan jihad ke segenap penjuru dunia. Kata
lain dari khilafah adalah imamah. Khilafah adalah kepemimpinan yang
sempurna dan mencakup umum, yang berkait dengan perkara khusus
maupun umum yang ada hubungannya dengan agama maupun dunia,
didalamnya tercakup penjagaan negeri-negeri muslim, memelihara urusan
masyarakat, menegakkan dakwah melalui hujjah dan pedang. Mengatasi
kezhaliman dan kesewenang-wenangan sekaligus mengganjar pelakunya
yang zhalim, serta memberikan hak-hak kepada orang-orang yang
terhalang hak-haknya. Selanjutnya Hizbut Tahrir menggunakan kajian
historis berupa romantisme kejayaan Islam di masa lalu, mengenangnya
dan mengharapkannya kembali tegak berdiri. Bahwa selama 13 abad
lamanya, yaitu sejak masa kekhilafahan Abu Bakar As Shiddiq, yaitu pada
632 M, dan berakhir pada masa kekhilafahan Utsmani, yaitu pada tahun
1924, sistem khilafah Islamiyah sudah melakukan ekspansi kekuasaan dari
mulai di sekitar Jazirah Arab, Timur Tengah, Afrika, Eropa, hingga Asia.
Menurut partai politik internasional ini, berbeda dengan sistem globalisasi
’ala Barat’ yang telah banyak menimbulkan krisis global, dalam
sejarahnya yang sangat panjang, sistem khilafah Islamiyah sesungguhnya
tidak pernah terbukti menyengsarakan manusia. Hizbut Tahrir pun
menawarkan solusi ekonomi Islam yang terdapat dalam sistem khilafah
Islamiyah, antara lain: 1. ekonomi berbasis sektor real, 2. penerapan mata
uang dinar dan dirham, 3. dalam ekonomi Islam tidak di perkenankan
praktek ribawi dan mengharamkan utang, 4. Islam mengharamkan praktek
privatisasi Sumber Daya Alam milik masyarakat luas, 5. adanya kewajiban
negara untuk mengeluarkan kebijakan wajib zakat kepada masyarakat
yang dianggap mampu untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat
kurang mampu (8 golongan). Solusi untuk kembali kepada sistem
pemerintahan khilafah Islamiyah tersebut sebenarnya dapat dikatakan
sebagai upaya Hizbut Tahrir untuk melakukan globalisasi dalam
bentuknya yang lain yaitu globalisasi Islam.
5. Melihat berbagai ketimpangan dari globalisasi yang dalam banyak hal
telah mendeskreditkan negara-negara dunia ketiga, dan melihat sifat
homogenitas dari globalisasi, maka dapat diramalkan bahwa bukan sesuatu
yang utopia bila khilafah Islamiyah bangkit dan ditegakan di muka bumi
ini. Namun kemudian gaung alternatif solisi yang berupa kebangkitan
khilafah Islamiyah tersebut pun dihadapkan pada sebuah kondisi
kontemporer yang memiliki permasalahan yang kompleks. Mungkin
dalam ranah wacana, konsep khilafah Islamiyah ini dapat diterima sebagai
solusi yang ideal untuk menjawab permasalahan globalisasi. Namun solusi
untuk kembali kepada bangkitnya khilafah kemudian dipertanyakan.
Bagaimanakah khilafah akan kembali tegak berdiri di tengah kekuasaan
negara Adi Daya yang semakin luas dan besar, atau mungkin yang akan
tegak berdiri terlebih dahulu adalah negara transnasional versi Barat.
Dalam pemikiran Hizb pun didapati bahwa ia mengakui negara-negara
Adidaya seperti Prancis, Inggris dan Jerman semakin menguatkan
posisinya di Uni Eropa melawan hegemoni politik tunggal Amerika
Serikat. Mereka mengakui ketiga poros kekuatan Uni Eropa ini adalah
kekuatan yang dapat di perhitungkan. Meskipun terdapat pengecualian
bahwa strategi negara-negara Adidaya tersebut akan berhasil, apabila
negara-negara mereka tidak memeluk kapitalisme yang menjadikan
”manfaat individu” sebagai prioritas nilai, Hizbut Tahrir percaya niscaya
mereka akan dapat mewujudkan sebuah Uni Eropa yang kuat dihadapan
Amerika. Mungkin negara transnasional berupa khilafah Islamiyah tinggal
harus menunggu fase sejarah berikutnya. Ramalan kebangkitan khilafah
Islamiyah akan semakin rumit lagi jika kemudian dikaitkan pada
permasalahan perpecahan internal umat Islam sendiri. Konflik saudara
antara Sunni Syiah di negara-negara muslim di Timur Tengah, perbedaan
berbagai Mahzab dan pandangan keagamaan atau perdebatan panjang
seputar Islam dan politik, mungkin juga dapat dijadikan indikator ramalan
bahwa kebangkitan khilafah Islamiyah membutuhkan waktu yang sedikit
panjang, meski bukanlah suatu yang utopis sistem ini akan tegak berdiri.
B. Saran
1. Gambaran berbagai kemelut nasional negara-negara muslim yang terkena
imbas proyek globalisasi memang pelik. Globalisasi juga berdampak pada
terciptanya ketidakadilan terhadap Islam dalam berbagai bentuk, seperti
subordinasi, marginalisasi, stereotype atau pelabelan, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh kasus bagaimana Amerika dan sekutunya telah melabelkan
keidentikan gerakan fundamentalisme Islam dengan terorisme. Hal
tersebut, secara langsung maupun tidak langsung, semakin menyudutkan
posisi Islam di mata internasional. Namun demikian globalisasi tetaplah
suatu keniscayaan. Globalisasi harus dihadapi secara bijak oleh umat
Islam. Umat Islam memang telah banyak dirugikan, namun harus ada
strategi yang cerdas untuk menghadapi tantangan ini. Mungkin bukanlah
sesuatu hal yang salah jika segala keuntungan globalisasi ini Adidaya
gunakan oleh umat Islam, semisal kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan itu umat Islam dapat membangun potensi dan kualitas
diri dan menyebarkan syiar dan dakwah Islam melalui jalur teknologi
informasi yang cepat. Globalisasi yang mebuka lebar-lebar pintu imigrasi,
juga dapat dijadikan ajang untuk mendakwahkan Islam kesegala penjuru
dunia. Selain itu strategi yang lebih penting adalah membangun persatuan
dan kesatuan antar sesama muslim. Data OKI menyebutkan bahwa negara-
negara Islam sebenarnya menguasai hampir sekitar 70% Sumber Daya
Alam dunia. Lantas mengapa Negara-negara Islam tidak bisa menjadi
kekuatan ekonomi dan menandingi globalisasi? Mungkin jawabannya
akan beragam, yang jelas jika dilihat dari kebijakan-kebijakan
pemerintahan negara-negara Islam, tidak ada maindset yang seragam
untuk menggabungkan kekuatan ekonomi maupun politik.
2. Mengutip pernyataan Bahtiar Effendi, hubungan antara Islam dengan
nasionalisme tidak mesti bersifat diametral. Menjadi seorang muslim yang
baik, tidak berarti menjadi seorang yang anti-nasionalisme. Dari segi
ajaran, Islam itu memang tidak mengenal batas-batas geografis. Jadi kalau
dikatakan transnasional, transbangsa, transsuku, transdaerah, doktrin Islam
memang demikian. Dari segi wilayah kekuasaan, Islam memang luas
mencakup wilayah transnasional. Ketika diletakkan dalam konteks ajaran
dan doktrin agama, sebenarnya tidak ada masalah karena memang ajaran
Islam bersifat transnasional. Secara doktrin, orang Islam memang tidak
mengenal batas-batas kewilayahan, kebangsaan, negara, bendera, dan
macam-macam simbol lainnya. Kalau batasan-batasan khilafah itu
diletakkan dalam konteks doktrin agama saja, tentu tidak ada persoalan.
Tapi kalau batasan-batasan khilafah itu diletakkan dalam kerangka nation-
state yang lain, yang lebih besar, maka nation-nya akan menjadi nation
Islam. State-nya adalah wilayah mana saja yang bisa dikuasai umat Islam.
Jadi semacam macro nation-state. Maka pandangan seperti itu bukan
persoalan agama lagi, tapi sudah persoalan politik. Kalau soalnya politik,
maka siapa saja bisa berbeda, dan tidak ada aturan yang baku. Terlepas
dari perbedaan itu, penulis yakin bahwa semuanya didasarkan pada rasa
cinta terhadap Islam. Hanya saja ada pihak yang ingin ajaran Islam
diformalkan, yang lain ingin lebih diletakkan dalam konteks kekinian.
3. Agar Hizbut Tahrir tetap memperjuangkan Islam secara konsisten dengan
tidak menggunakan cara-cara kekerasan. Namun kiranya HT dapat
mengendalikan sikap Xenophobisme yang amat menonjol. Mungkin HT
perlu berkaca juga bahwa data-data yang mereka peroleh sebagian besar
diperoleh dari hasil penelitian lembaga di Barat seperti UNDP, UNESCO,
dan lain-lain. Hizbut Tahrir tidak dapat independent meneliti secara ilmah.
Hizbut Tahrir dalam hal ini masih bergantung pada sarana-sarana
penelitian Barat, angka-angka kuantitatif yang dikeluarkan Barat, dan juga
ketergantungan terhadap asumsi-asumsi Barat itu sendiri terhadap
globalisasi. Mungkin kedepan diharapkan HT pun secara mandiri berperan
dalam hal penelitian mengenai globalisasi. Karena jika suaranya lantang
sekali menentang Barat, maka seharusnya sudah ada fondasi yang kuat
berupa penguasaan teknologi, dan sumber daya manusia yang setidaknya
maju kedepan mengungguli Barat.
4. Agar umat Islam dan negara-negara Muslim mampu mengantisipasi aspek-
aspek negatif dari globalisasi serta memanfaatkan berbagai peluang positif
yang terdapat di dalamnya, maka umat Islam dan negara-negara Muslim
harus bersatu dan membentuk satu front mengahadapi globalisasi, seraya
memperkenalkan Islam sebagai opsi spiritual yang berketuhanan, yang
mampu mengembangkan kehidupan manusia yang berimbang antara
kepentingan materi dan rohani, kepentingan dunia dan ukhrawi.
Daftar Pustaka
Abdurrahman,Hafidz. Islam: Politik dan Spiritual. Singapura: Lisan al-Haq, 1998.
Adi, M. Ramdhan. Globalisasi: Sekenario Mutakhir Kapitalisme. Bogor: Al-
Azhar Press, 2005.
Ahmed, Akbar S. Islam Sebagai Tertuduh: “Kambing Hitam” di Tengah
Kekerasan Global. Penerjemah Agung Prihantono. Bandung: Arasy PT
Mizan Pustaka, 2004.
Ali Jabir,Hussein bin Muhsin bin. Membentuk Jama’atul Muslimin. Penerjemah
Abu Fahmi. Jakarta: Gema lnsani Press, 1991
al-Khaththath, Muhammad. “Khilafah dan Gerakan Transnasional.” al-Wa’ie VII,
No. 84 (Agustus 2007): h. 9-12.
al-Khaththath, Muhammad. Menuju Iman Produktif. Bogor: PSKII,2001
an-Nabhani, Taqiyuddin. Konsepsi Politik Hizbut Tahrir(Edisi Mu’tamadah).
Penerjemah M. Shiddiq Al-Jawi. Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia Press,
2006, h. 38.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam. Jakarta: Paramadina, 1996.
Basyaib, Hamid, ed. Membela Kebebasan: Percakapan Tentang Demokrasi
Liberal. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006.
Budiman, Arief. Pembangunan dalam Krisis: Teori Pembangunan Dunia Ketiga.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Cahyono, Edi. “Menentang Globalisasi-Imperialisme: Pengantar Ekonomi-Politik
Perburuhan.” Jurnal ALNI Indonesia, vol. I. no. 2 (September 2003): h.
57-66.
Dahlan, Muhidin M, ed. Postkolonialisme: Sikap Kita Terhadap Imperialisme.
Yogyakarta: Jendela, 2001.
Esposito, John L. Ancaman Islam: Mitos atau Realitas ?. Penerjemah Alwiyah
Abdurrahman dan MISSI. Bandung: Mizan,1996.
Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Moderen. Jakarta: Mizan,
2001.
Fakih, Dr. Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Yogyakarta: Insist Press, 2002.
Fredericks, Salim. Invasi Politik dan Budaya. Penerjemah Abu Faiz. Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, 2002.
Gunawan, Jamil. dkk, ed. Desentralisasi, Globalisasi, dan Demokrasi Lokal.
Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005.
Halliday, Fred. The World at 2000. New York: PALGRAVE, 2001.
Herman, Chris. Anti Kapitalisme. Penerjemah Julian dan Setiabudi. Jakarta:
Teplok Press, 2000.
Hizbut Tahrir. Mengenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologis. Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, 2002.
Hunter, Shireen T. Politik Kebangkitan Islam: Keragaman dan Kesatuan.
Penerjemah Ajat Sudrajat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Hussain Abdullah, Muhammad. Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam. Penerjemah
Zamroni. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Jam’iah Al-Islah Al-Ijtima’I. Globalisasi dalam Timbangan Islam. Penerjemah
Wahid Ahmadi. Solo: Era Intermedia, 2002.
LP3ES. Anak Bangsa Menggugat: Nasionalisme, Kemandirian, dan
Kewirausahaan. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003.
Magenda, Dr. Burhan D. “Globalisasi dan Tata Dunia Baru di Bidang Politik,
Ideologi, Hankam, Ekonomi, dan Sosial Budaya.” Jurnal PASKAL, vol. I.
no. 6 (April 2003): h. 1-10.
Mahendra,Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-Islami
(Pakistan). Jakarta: Paramadina, l999.
Masson, Paul. “Globalization Fact and Figures.” Khilafah Magazine, 10 Januari
2002.
Muhammad, Farouk. “Pengaruh Globalisasi Terhadap Keamanan Nasional.”
Jurnal PASKAL, vol.I no. 6 (April 2003): h. 52-70.
Pontoh, Coen Husain. Globalisasi: Dari Perdebatan Teori Menuju Gerakan
Massa. Jakarta: C-Books, 2003.
Pusat Studi Khazanah Ilmu-ilmu Islam (PSKII). Materi Dasar Islam. Bogor:
PSKII, 2001.
Rais,M. Amien. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan,1999.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern. Penerjemah
Alimandan. Jakarta: Kencana, 2003.
Seda, Drs. Frans. “Globalisasi dan Nasionalisme dari Perspektif Politik:
Dampaknya Bagi Politik dan Kesatuan Bangsa dan Negara Indonesia.”
Dalam Hinca IP Pandjaitan, S.H., M.H., ed. Globalisasi dan Nasionalisme
Perspektif Hukum, Politik, Ekonomi, dan Budaya: Proseding Diskusi
Panel. Jakarta: Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya, 1998: h. 11-25.
Shiddiq al-Jawi, Muhammad. “Pangkal Kerapuhan Kapitalisme.” al Wa’ie VII,
No.83 (Juli 2007): h. 13-17.
Strahmn, Rudolf H. Kemiskinan Dunia Ketiga: Menelaah Kegagalan
Pembangunan di Negara Berkembang. Penerjemah Rudy Bagindo, dkk.
Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1999.
Taher,Tarmizi. Radikalisme Agama. Jakarta: PPIM, 1998.
Ubaedillah, A. dan Rozak Abdul, ed. Pendidikan Kewargaan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta:
Indonesian Centre for Civic Education (ICCE) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2006.
Wadjdi,Farid. “Demokrasi dan Negara Korporasi.” al-Wa’ie VII, No. 83. (Juli
2007): h.3-4
Winarno, Budi. Globalisasi: Wujud Imperialisme Baru Peran Negara dalam
Pembangunan. Yogyakarta: Tajidu Press, 2004.
Yatim, M.A., Dr. Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2004.
Yusanto, M. Ismail. “Kebangkitan Islam Menantang Modernisasi dan Globalisasi:
Perjuangan Hizbut Tahrir di Indonesia,” Makalah presentasi pada:
Konferensi Internasional Modenization and National Identity in East Asia:
Globalization and The Revival of Religion diselenggarakan oleh Center
for Interdiciplinary Study of Monotheistic Religions (CISMOR, Kyoto
Jepang, November 2005.
Yusanto,M. Ismail. “Nasionalisme: Penyebab Utama Kehancuran Khilafah.” al-
Wa’ie VII, No. 84 (Agustus 2007 ): h.41-44.
Zuhri, Saefuddin, ed. Menjemput Kembalinya Sang Khalifah. Jakarta:
NizhamPress, 2007.
Dokumen dari Internet
Baharun, Mohammad. “Format Pemikiran Islam Pasca Perang Irak.” Artikel
diakses pada 28 Oktober 2007 dari
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=134499
&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=291
Hizbut Tahrir. “Kaleidoskop Aktivitas Politik dan Dakwah Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI).” Artikel diakses dari http://www.hizbut-
tahrir.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=429
Hizbut Tahrir. “Landasan Pemikiran Hizbut Tahrir.” Artikel diakses pada 2
November 2007 dari
http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view
&id=41&Itemid=2
Hizbut Tahrir. “Links Hizbut Tahrir.” Artikel di akses pada 2 November 2007 dari
http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view
&id=41&Itemid=2
Romli, Mohamad Guntur. “Gamal Al-Banna dan Revivalisme Islam.” Artikel
diakses pada 15 November 2007 dari
http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=77
Waheed, Dr. Imran. “Tanda-tanda Kehancuran Peradaban Barat.” Artikel diakses
pada 22 November 2007 dari
http://hayatulislam.multiply.com/journal/item/137/Makalah_Pembicara_K
KI_2007_2Tanda-Tanda_Kehancuran_Peradaban_Barat
Wikipedia. “Global Warming”. Artikel diakses pada 16 Desember 2007 dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Global_warming
Yusanto, Muhammad Ismail. “Mengkampanyekan Syari'ah dan Khilafah Islam
dari Indonesia Sampai Amerika.” Artikel diakses pada 2 November 2007
dari
http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view
&id=41&Itemid=2
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 01 Januari 2008
Rosi Selly
B. Seputar Teori Khilafah Islamiyah
1. Definisi Khilafah Islamiyah
Istilah khilafah Islamiyah memiliki beberapa pengertian yaitu
perwakilan, pergantian, atau jabatan khalifah. Istilah ini sebenarnya berawal
dari kata Arab “khalf” yang berarti wakil, pengganti, dan penguasa, dan ada
yang mengemukakan bahwa kata “kh-l-f خالف( ) dalam berbagai bentuknya
mengandung makna yang menyempit yaitu berselisih, menyalahi janji, yang
kemudian melahirkan kata khilafah dan khalifah.91
Dalam sejarah Islam istilah khilafah pertama kali digunakan ketika
Abu Bakar menjabat sebagai khalifah pertama setelah Nabi Muhammad Saw
meninggal dunia. Dalam pidato pelantikannya Abu Bakar menyebut dirinya
sebagai Khalifah Rasulillah dalam pengertian pengganti Rasulullah dalam
mengurusi bidang kenegaraan.
Dalam perkembangannya, konsep khilafah menjadi ciri dari golongan
Sunni. Rukun utama dalam pengangkatannya adalah ijma’ yaitu konsensus
atau kesepakatan bersama dan bay’ah atau sumpah setia umat kepada khalifah
agar berpegang teguh kepada syariah.
Setidaknya ada tiga teori mengenai dasar-dasar pembentukan khilafah
yaitu: pertama, khilafah wajib hukumnya berdasarkan syariah atau
berdasarkan atas wahyu, pendapat ini didukung leh Abu Hasan al-Asyari.
Kedua, mendirikan khilafah hukumnya fardu kifayah atau wajib kolektif
91 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997) Cet. Keempat, h. 361-363. Dalam kamus tersebut makna kata yang berasal dari kata kh-lf ( خالف)sebagai berikut. Berselisih (اإلختلف) Menyalahi janji الخلف( ) dan Penggantian ) الخالفة )
berdasarkan ijma dan konsensus, pendapat ini didukung oleh al-Maududi. Dan
ketiga, mendirikan kekhilafahan kewajibannya harus disandarkan pada
pertimbangan akal sebagaimana yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah.92
Dasar untuk melegitimasi sistem pemerintahan Islam yang disebut
Khilafah Islamiyah, termaktub dalam ayat-ayat al-Quran. Ayat-ayat tersebut
oleh sebagian tokoh agama, alim ulama, atau para fuqaha diinterpretasikan
atau ditafsirkan sebagai ayat yang bersifat politis. Ayat al-Quran yang
dimaksud antara lain:
1. al-Quran surah al-Baqarah/2:30
وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة قالوا أتجعل
فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك
لا تعلمون(٣٠)قال إني أعلم ما Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi “. Mereka berkata: “mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
2. al-Quran Surah al-An’am/6:165
وهو الذي جعلكم خلائف الأرض ورفع بعضكم فوق بعض درجات
(١۶۵)ليبلوآم في اب وإنه لغفور رحيمما ءاتاآم إن ربك سريع العق Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa
92 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis,
(Magelang: Indonesiatera, 2001), h. 30-31.
derajat, untuk menguji mu tentang apa yang diberikan-Nya kepada mu.Sesungguhnya Tuhan mu amat cepat siksanya, dan sesungguhnya Dia maha pengampun lagi maha penyayang”.
3. al-Quran Surah an-Nur/24: 55
وعد الله الذين ءامنوا منكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض
آما استخلف الذين من قبلهم وليمكنن لهم دينهم الذي ارتضى لهم
ا يعبدونني لا يشرآون بي شيئا ومن آفر وليبدلنهم من بعد خوفهم أمن
أولئك هم بعد ذلك ف الفاسقون(۵۵) Artinya: “ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh diantara kamu bahwa Dia akan menganugrahkan kepada mereka khalifah di bumi, sebagaimana dianugrahkan-Nya kepada orang-orang yang sebelum mereka.
4. al-Quran Surah Fathir/35:39
هو الذي جعلكم خلائف في الأرض فمن آفر فعليه آفره ولا يزيد
(٣٩)الكافرين ن آفرهم إلا هم إلا مقتا ولا يزيد الكافريآفرهم عند رب
خسارا Artinya: “ Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi barang siapa yang kafir maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri dan kekafiran orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya…”
Ayat-ayat di atas ditafsirkan sebagai ayat politik yang kemudian
dijadikan dalil mengenai wajibnya kekhilafahan karena di dalamnya
mengandung kata “khalf” (خلف) dalam berbagai bentuknya.
Menurut Dawam Raharjo, khalifah (خليفة) yakni kepala negara dalam
pemerintahan islam, memang merupakan istilah al-Quran. Tetapi dalam al-
Quran kata ini memiliki banyak arti atau interpretasi. Oleh karenanya ayat-
ayat yang mengandung pengertian khalifah tersebut tidak dapat dijadikan
dasar hukum mengenai wajibnya mendirikan suatu khalifah atau kekuasaan
politik. Menurut Dawam, Allah telah mengisyaratkan satu konsep tentang
manusia, yaitu sebagai khalifah. Khalifah adalah sebuah fungsi yang diemban
manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah Swt. Amanat ini
pada intinya adalah tugas mengelola bumi secara bertangung jawab, dengan
menggunakan akal yang telah dianugrahkan Allah kepadanya.93
Sementara itu Quraish Shihab seorang ulama Tafsir Quran Indonesia,
dalam memahami kata khalifah dalam Q.S al-Baqarah /2:30 mengemukakan
unsur-unsur kekhalifahan yang dimaksud adalah:
4. Bumi atau wilayah
5. Khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris)
6. Hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah dan hubungan
dengan pemberi kekuasaan.94
Sementara itu At-Tabarri dalam menafsirkan kata khalifah sebagai
suatu kaum yang anggota-anggotanya mengganti para pendahulunya.
Abu A’-la Al-Mududi yang menggagas teori teodemokrasi dalam
Islam memandang kekhalifahan menuntut adanya ketaatan antara yang diberi
(manusia) dengan yang memberi (Tuhan).
Maududi juga menekankan bahwa kekhalifahan harus berisi
93 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci ,(Jakarta: Paramadina, 1996), h.363-364.
94 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, ( Bandung: Mizan, 1999), h. 424.
kepatuhan, dan kepatuhan itu tidak lain adalah kepada sang pencipta dan
sistem pemerintahan yang memalingkan diri dari Allah Swt menjadi sistem
yang lepas dan bebas memerintah dengan dan untuk dirinya sendiri adalah
pemberontakan atau kudeta melawan sang Pencipta.95
Sementara Muhammad Rasyid Ridha seorang ulama dan politikus
kenamaan mendefinisikan Khilafah, Imamah, dan Imarah sebagai tiga kalimat
yang bermakna satu, yaitu kepemimpinan negara Islam yang meliputi
kemaslahatan dunia dan agama.96
Taqiyuddin an-Nabhani memaknai khalifah sebagai seseorang yang
diserahi tugas untuk memimpin umat lebih lanjut ia menegaskan:
Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan, serta dalam menetapkan hukum-hukum syara, karena Islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasaan tersebut menjadi milik umat khalifah hanyalah orang yang diangkat oleh kaum Muslimin karena itu, faktanya adalah bahwa khalifah merupakan wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menetapkan hukum syara, oleh karena itu tidak ada seorang khalifah pun kecuali setelah bai’at umat.97
2. Khilafah Islamiyah dalam Lintasan Sejarah
Sejarah kekhilafahan dimulai sejak Nabi Muhammad Saw wafat.
Setelah Rasulullah wafat dan lama setelahnya istilah-istilah yang dimunculkan
untuk sebutan kepada pemimpin Umat Islam adalah: Khalifah, Imam, Amirul
95 Abdul A’la al-Maududi, Al-Khilafah wa-al Mulk, (Terj.) Khilafah dan Kerajaan,
(Bandung: Mizan,1996), h. 58. 96 Al-Hasjmy, Dimana Letaknya Negara Islam, (Bina Ilmu, 1984) h.153. 97 Taqiyuddin an-Nabhani, Nidhamul hukumi Fil Islam (Terj.) Sitem Pemerintahan Islam:
Doktrin Sejarah Empirik, (Bangil Jatim: Al-Izzah, 1997) h.65.
mukminin, Hakkimul mukminin (penguasa orang-orang mukmin), Raisul
mukminin (pemimpin kaum muslimin), Sultanul Muslimin (penguasa kaum
muslimin),98 dan ada juga yang menggunakan sebutan Amir, sementara yang
lain menggunakan kata Syah sebagaimana yang terjadi di Iran.
Praktek kekhalifahan selama enam abad pertama Islam dapat di bagi
ke dalam tiga periode utama: (1) Khulafa ar-Rasyidun di Madinah (632-661
M); (2)kekhalifahan Bani Umayyah (661-750M) di Damaskus; dan (3)
kekhalifahan Bani Abbasiyyah (750-1258 M) di Baghdad.99 Sedangkan
sisanya adalah zaman Utsmaniyyah Turki di Istambul (1299-1924M).
Dalam sejarah Islam tercatat yang pertama mengguanakan kata
khalifah secara resmi adalah Abu Bakar as-Shiddiq (632-634 M), tugas yang
diembannya adalah penguasa temporal (dunia) dan penguasa religius (akhirat)
tugas yang sama juga dilakukan kepada Umar bin Khattab (634-644 M),
Usman bin Affan (644-656 M), dan Ali bin Abi Thalib (656-661 M) yang
selanjutnya dikenal sebagai al-Khulafa al-Rasyiddin. Dimana pemilihan
khalifah bisa dikatakan sangat demokratis untuk ukuran saat itu. Sepanjang
sejarah peradaban Islam, masa kekhalifahan adalah masa kemajuan Islam.
Pada masa itu tidak ada sistem politik Islam yang baku. Kekhilafahan di
jalankan sesuai dengan konteks situasi kondisi politik pada zaman
kekhilafahan masing-masing. Hal itu dapat digambarkan dari perjalanan
politik masing-masing khalifah.
Selama 2 tahun kekuasaan yang dijalankan khalifah Abu Bakar,
sebagaimana masa Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif
98 Ibid., h. 106. 99 John L.Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, Alih bahasa: Alwiyyah
Abdurrahman, (Bandung: Mizan, 1996), h.41.
dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Meskipun demikian, Abu Bakar
selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah. Sedangkan Umar
ibn Khathab yang memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (komandan
orang-orang beriman) menjalankan roda pemerintahan dengan memisahkan
lembaga yudikatif dengan lembaga ekselutif. Untuk itu ia membentuk
lembaga peradilan. Selama 10 tahun Umar melakukan ekspansi kekuasaan di
sekitar jazirah Arab, Palestina, Syiria, dan sebagian besar wilayah Persia dan
Mesir. Banyak kebijakan baru yang di jalankan seperti pengaturan
administrasi yang mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama
di Persia. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban , jawatan kepolisian di
bentuk , demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait
al-Mal , menempa mata uang dan menciptakan tahun Hijrah.100
Pada masa Usman yang terkenal lemah lembut, jasanya tampak dalam
membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dengan
mengatur pembagian air kekota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan ,
jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas mesjid Nabi di Madinah.
Namun selama 12 tahun berkuasa, banyak rakyat kecewa terutama pada
kebijakan sang Khalifah yang mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi
dalam pemerintahan.
Pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi politik sedang tidak stabil.
Namun beliau tetap menjalankan roda pemerintahan secara demokratis.
Selama 6 tahun masa pemerintahannya Ali menghadapi banyak pergolakan
poltik. Setelah menduduki jabatan khalifah Ali memecat para gubernur yang
100 Dr. Badri Yatim M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h.
38.
diangkat oleh Usman. Beliau juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan
Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada
negara dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-
orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Kekhilafahan selanjutnya mengalami pergeseran makna pada masa
dinasti Umayyah (651-750 M). Pergeseran tersebut paling tidak bisa di lihat
dari dua hal; pertama pemilihan khalifah tidak lagi melalui cara yang
”demokratis” dalam arti melibatkan suara rakyat, tetapi melalui wilayatul
ahdi, pengangkatan putra mahkota yang ditentukan sebelumnya oleh khalifah
yang berkuasa. Kedua , khalifah lebih terfokus pada masalah politik,
sementara masalah agama diserahkan kepada ulama yang menguasai masalah-
masalah agama . Berbeda dengan khalifah sebelumnya yang merupakan ahli
agama yang menetapkan hukum keagamanan berdasarkan ijtihad mereka baik
sendiri maupun bersama-sama. Namun demikian khilafah bani Umayyah
mampu melakukan ekspansi besar-besaran baik di Timur maupun Barat,
wilayah kekuasaan Islam meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina,
jazitah Arabia, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang
sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.101
Sistem monarki dalam pemerintahan islam dimulai pada khalifah
Muawiyah yang mengangkat putranya Yazid bin Muawiyah dengan jalan
kekerasan sebagai waliyul’ahdi (putra mahkota).
Pada masa dinasti Abbasiyah, kebijakan-kebijakan yang diterapkan
lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari
101 Ibid., h. 44.
pada perluasan wilayah yang pada masa khilafah Bani Umayyah gencar
dilakukan. Namun dalam memaknai khalifah, Dinasti Abbasiyah tidak jauh
berbeda dengan dinasti sebelumnya , peranan khalifah semakin mengalami
penurunan disamping meneruskan ciri monarki absolut dan diperparah dengan
penambahan kata yang dimaksud untuk ”meninggikan” derajat seorang
khilafah.
Pada masa khalifah al-Mansur (754-775 M) kata ”khalifah” sudah
mengalami perubahan makna yang cukup mendasar, khalifah sudah
berkonotasi Khalifatullah yang berarti pengganti atau wakil Allah di muka
bumi, dan menamakan dirinya sebagai Sultanullah fi al-Ardh (penguasa Tuhan
di muka bumi.). Pada konteks ini kita bisa melihat makna khalifah menjadi
simbol atau legitimasi religius dalam aktivitas perpolitikan. Dengan demikian
karisma khalifah semakin bertambah dimasyarakat, karena dirinya sebagai
wakil atau pengejawantahan Tuhan di bumi yang harus ditaati sepenuhnya
oleh masyarakat dan pejabat-pejabat dibawahnya , dalam hal ini jelas bahwa
dinasti Abbasiyyah di pengaruhi oleh kebudayaan Persia yang menganggap
raja sebagai titisan suci dari Tuhan (Devide right of King). Namun di tengah
kemunduran makna khalifah tersebut, pada masa Al-Mahdi perekonomian
mulai meningkat dengan peningkatan disektor pertanian, dan pertambangan.
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun
al-Rasyid (786-809 M) dan ptranya Al-Ma’mun (813-833 M) yang membawa
umat Islam pada tingkat kemakmuran yang tertinggi.
Peranan khalifah lebih menurun drastis lagi pada masa sultan Buwaihi
(945-1055 M) , Saljuk (1063-1194 M), Khawarizme (1199-1258 M) atas
Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu, peranan khalifah lebih bersifat boneka atau
simbol saja karena kekuatan dan kekuasaan sultan dapat memaksakan segala
kehendaknya kepada khalifah.
Setelah Abbasiyah hancur , muncullah kerajaan Usmani yang
kemudian di kenal dengan Khilafah Usmaniyyah. Pendiri dinasti ini adalah
bangsa Turki dari kabilah Oghuz, ketika kerajaan Usmani sudah mencapai
puncak kemajuannya, kerajaan Syafawi baru berdiri di Persia, yang dalam
perkembagannya sering mengalami bentrok dengan kerajaan Turki Usmani
dan salah satunya dilatarbelakangi oleh kerajaan Syafawi yang menyatakan
Syiah sebagai mazhab negara. Setelah seperempat abad berdirinya kerajaan
Syafawi berdiri pula kerajaan Mughal di India.
Jadi setelah runtuhnya dinasti Abbasiyah, kekhilafahan Islam semakin
”terkoyak” meninggalkan bentuk aslinya sebagaimana dilakukan Nabi dan
pengganti setelahnya yang dikenal dengan sebutan al-Kulafa al-Rasyidun.
Dinasti Usmaniyah yang pernah berkuasa kurang lebih enam abad dan
pernah di segani Eropa akhirnya mendapatkan pukulan yang mematikan dari
Kemal Attaturk dengan mendirikan Republik Turki pada tahun 1923 M dan
menghapus jabatan khalifah pada tanggal 3 Maret 1924 M dengan demikian
gelar kekhalifahan dalam arti politik hilang dari percaturan internasional.
Di samping itu, runtuhnya kekhalifahan di Turki juga disebut-sebut
karena sifat munafik kaum muslimin itu sendiri. kekhalifahan dianggap harus
ditaati oleh semua kaum Muslimin , tetapi pada kenyataannya hanya orang-
orang Turki sajalah yang setia kepadanya, dalam hal ini Mustafa Kemal
mengemukakan beberapa saat sebelum dihapuskan kekhalifahan:
Kita telah menjunjung tinggi khalifah sesuai dengan tradisi yang kita
hormati. Kita menghormati khalifah, kita penuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Saya tambahkan bahwa di seluruh dunia Muslim hanya bangsa Turki-lah satu-
satunya bangsa yang secara efektif menjamin kepenghidupan khalifah, mereka
yang mengemukakan gagasan khalifah universal sebegitu jauh telah menolak
untuk menerima sumbangan apapun , jadi apa sebenarnya yang mereka
inginkan? Apakah mereka menghendaki agar hanya orang Turki yang
memilkul beban lembaga ini.102
Kejengkelan Mustafa Kemal inilah salah satunya yang menjadi
penyebab pada langkah berikutnya yaitu dihapuskannya kekhalifahan.
Demikianlah masa-masa kejayaan Islam di bawah pemerintahan Islam
yang berbentuk Khilafah Islamiyah telah runtuh oleh berbagai faktor baik
internal maupun eksternal. Namun banyak kalangan yang masih mengenang
romantisme kejayaan Islam dimasa lalu itu , dan berusaha untuk mewujudkan
kembali sistem tersebut dengan berbagai cara. Perwujudan keinginan yang
sebatas pada tataran konseptual, kemudian terimplementasikan oleh sebagian
kelompok islam kedalam bentuk berbagai pergerakan-pergerakan baik yang
bersifat politik, sosial, kultur, maupun ekonomi. Namun tak jarang gerakan-
gerakan kebangkitan ini mendapat tantangan, ancaman, bahkan intimidasi dari
kekuasaan politik yang ingin memasung segala gerak langkah politik islam.
Tantangan yang nyata tampak pada diri umat islam sendiri, maupun pihak
Barat yang kini menguasai perpolitikan dunia.
102 Hamid Enayat, Modern Islamic Thought: The Respon of thr Syi’I and Sunni Muslim to
the Twentieth Century (terj.)nAsep Hikmah, (Bandung: Pustaka, 1998), h. 82-83.
Lampiran 1
TRANSKRIP WAWANCARA
1. Apa makna globalisasi bagi Hizbut Tahrir?
Globalisasi dapat dimaknai sebagai sebuah perspektif perkembangan
kehidupan masyarakat dunia yang berkembang tidak lepas dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam perspektif perkembangan itu, maka
globalisasi adalah keniscayaan dan akan datang seiring dengan kemajuan.
2. Apakah Hizbut Tahrir adaptif dengan tema globalisasi ini?
Ya, Jika globalisasi dimaknai dalam perspektif perkembangan tadi.
Sebenarnya Islam tidak pernah menutup diri dari kemajuan sains dan
teknologi. Segala macam sains seperti kedokteran, teknik, matematika,
astronomi, fisika, kimia, pertanian, industri, transportasi, komunikasi, ilmu
kelautan, geografi, dan sebagainya pada dasarnya adalah boleh, bahkan harus
dikuasai bila kemanfaatannya sangat diperlukan demi kemajuan material umat
manusia. Sains semacam itu bersifat universal dan tidak terkait nilai (value
free), sehingga boleh diambil dan diterapkan oleh umat Islam selama tidak
bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
3. Jadi selain dimaknai sebagai sebuah perspektif perkembangan sains dan
teknologi itu, adakah pemahaman yang lain?
Ya. Globalisasi merupakan upaya uniformitas yang mencakup fear, fun, food,
fashion, and faith. Ada upaya penyeragaman di segala bidang kehidupan
manusia. Dan hal itu sekarang yang sedang di lakoni negara-negara Adidaya-
khususnya Amerika Serikat- terhadap negara-negara miskin di dunia,
khususnya negara-negara Islam. Dalam konteks tersebut Hizbut Tahrir
menganggap globalisasi hanyalah istilah kosong yang tidak memberi
kontribusi apa pun bagi dunia, khususnya dunia Islam, kecuali hanya memberi
jalan bagi imperialisme itu sendiri untuk terus mencengkeram dan
mengeksploitasi dunia demi nafsu serakahnya yang tidak pernah kenyang.
4. Apakah Hizbut Tahrir menentang globalisasi dalam konteks imperialisme
tadi?
Ya jelas kami menolak dengan keras dan tegas.
5. Bagaimana wujud Imperialisme itu dalam globalisasi?
Sebenarnya globalisasi itu sendiri adalah alat untuk memperlancar
imperialisme Barat terhadap Islam. Dalam agenda globalisasi yang dilakukan
bukan hanya memaksakan sekularisme dalam kehidupan, Barat juga
menjejalkan sekularisme dalam pemikiran. Dengan ganas, Barat menyebarkan
pemikiran-pemikiran sekulistik destruktif ke tengah-tengah umat Islam seperti
paham Pluralisme (Agama), Demokrasi, Pasar Bebas, Hak Asasi Manusia,
Dialog Antar Agama, Feminisme, dan seterusnya. Kemudian karena Amerika
mempunyai kekuatan ekonomi yang besar, mempunyai perusahaan
multinasional dan transnasional yang paling banyak, Amerika pun
memanfaatkan ’kedok’ peraturan yang dikeluarkan oleh WTO untuk
kepentingan Amerika dalam rangka membuka pasar-pasar yang nyaris tertutup
atau sulit diintegrasikan dalam perekonomian global terbuka seperti yang
dikehendakinya. Penjajahan oleh IMF misalnya penjajahan dalam bentuk
hutang.
6. Dalam pandangan Ulrich Beck, seorang sosiolog, globalisasi dapat berarti
denasionalization, yang berarti bangkitnya organisasi-organisasi
transnasional atau mungkin negara transnasional. Apakah globalisasi itu
sendiri dapat dikatakan sebagai indikator kebangkitan khilafah
islamiyah?
Pandangan Beck itu logis. Berkaca dari pengalaman empirik bahwa negara
bangsa tidak dapat menjawab tantangan global. Ini lagi-lagi melihat fakta
perkembangan itu. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa
dihadapi secara spadan. Itu lah realitas globalisasi. Selain itu pada
perkembangannya globalisasi yang di usung Barat telah menunjukkan
kegagalannya. Globalisasi malah menyebabkan kemiskinan global.
7. Apa dampak globalisasi ”Barat” itu bagi Umat Islam?
Krisis terbesar yang diderita oleh umat Islam akibat globalisasi tidak lain
adalah krisis identitas umat Islam sebagai sebuah umat dimana mereka
semestinya hidup di bawah naungan nilai-nilai Islam tapi kenyataannya tidak.
Sekularisme yang dibawa serta oleh imperialisme itu telah memisahkan Islam
dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara di mana umat Islam hidup di
dalamnya. Umat Islam tidak lagi bisa melihat identitas terpenting mereka,
yakni aqidah Islam, terwujud dalam kehidupan secara nyata. Aqidah Islam
hanya bersemanyam dalam dada dan hanya sekali-kali saja muncul di
permukaan kehidupan, misalnya saat kelahiran, kematian, pernikahan, atau
saat melaksanakan ibadah shalat, haji, zakat atau saat peringatan hari besar
Islam seperti Isra' Mir'aj, Maulid Nabi dan sebagainya. Semakin proses
sekularisasi itu berhasil, umat Islam semakin kehilangan identitasnya sebagai
umat Islam, dan selanjutnya akan berganti identitas menjadi umat sekularis
atau kapitalis. Seiring dengan itu, kemuliaan umat Islam sebagaimana disebut
dalam al Qur'an pun hilang tak terwujud secara nyata.
8. Seperti apa gambaran kegagalan globalisasi itu?
Pemaparannya begini, globalisasi adalah agenda negara kapitalis yang telah
terbukti tidak membawa kebaikan kepada dunia. Kegagalan ini wajar, karena
semua agenda itu memang bukan bertujuan untuk memberikan kebaikan bagi
dunia, melainkan bertujuan untuk menindas sesama manusia demi
kepentingan bisnis pemilik modal. Maka, kapitalisme sesungguhnya telah
gagal. Tapi, meski sisa-sisa kekuatannya mulai ’keropos’, ia masih cukup kuat
untuk menindas dan menekan Dunia Islam, seperti nampak dalam tindakan
Amerika Serikat pada apa yang mereka sebut perang melawan terorisme. Tapi
dari hari ke hari dunia tidak semakin cinta kepada semua penindasan itu,
sebaliknya semakin membenci dan muak.103
9. Jika demikian, bagaimana solusi yang ditawarkan Hizb untuk mengatasi
kemelut globalisasi?
Seperti yang saya katakan, hanya melalui kekuatan global maka penjajahan
global dapat diatasi secara spadan. Maka Khilafah Islamiyah adalah adalah
satu-satunya solusi bagi kemelut globalisasi. Khilafah Islamiyah adalah sistem
pemerintahan Islam yang paling sempurna, dan hukumnya memang wajib
untuk diterapkan.
103 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ismail Yusanto.
10. Khilafah Islamiyah adalah sistem pemerintahan Islam transnasional,
apakah sama dengan organisasi-organisasi transnasional yang lain?
Tentu berbeda. Khilafah Islamiyah dasarnya adalah tauhid, tujuannya adalah
demi kemaslahatan umat, dan menyebarkan dakwah Islam keseluruh dunia
serta mengusung perdamaian umat vmanusia. Sedangkan organisasi-
organisasi transnasional seperti transnasional corporation dasarnya adalah
ideologi sekular. Kapitalisme, juga neo liberal, maka tujuannya adalah untuk
mengeksploitasi, menyebarkan kerusakan dan perang.
Top Related