17
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
III.1. Geomorfologi
Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan
proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen adalah proses – proses yang
bersifat destruktif, antara lain berupa erosi, pelapukan, dan sebagainya. Proses
endogen adalah proses yang bersifat konstruktif, antara lain berupa pengangkatan,
perlipatan, pematahan, dan sebagainya. Dari analisis geomorfologi maka dapat
diketahui bagaimana proses-proses geologi yang terjadi dan membentuk bentang
alam sekarang atau hari ini. Faktor utama yang mempengaruhi bentuk bentang
alam adalah struktur, proses, dan tahapan. Struktur memberikan informasi
mengenai geologi bentang alam tersebut. Proses permukaan yang sedang terjadi
pada bentang alam dan memodifikasi kondisi aslinya, dan tahapan menjelaskan
seberapa jauh proses tersebut telah berlangsung. Proses permukaan yang sedang
terjadi pada bentang alam dan memodifikasi kondisi aslinya, dan tahapan
menjelaskan seberapa jauh proses tersebut telah berlangsung (Tiranda H, 2012).
Pembagian satuan geomorfologi di dasarkan oleh analisis geomorfologi yang
bersifat pragmatik yaitu cenderung menampilkan informasi geomorfologi yang
bersifat khusus dan rinci (detail) karena peta geomorfologi pragmatik merupakan
peta untuk tujuan tertentu dan khusus. Skala peta geomorfologi pragmatik adalah
1:25.000 sampai 1:5.000, sehingga unsur lahan (land element) dari aspek - aspek
geomorfologi yang bersifat rinci, seperti alur erosi, arah arus sungai / pantai, arah
ombak, arah sedimentasi, arah lelehan lava gunungapi, dapat tercermin pada peta
geomorfologi pragmatik. Pada analisis geomorfologi ini diperlukan simbol warna
untuk membedakan jenis bentang alam yang terbentuk. Simbol warna digunakan
untuk aspek geomorfologi yang jelas dan memiliki arti penting di dalam peta
tersebut, seperti aspek morfogenetik di dalam pemetaan geomorfologi, sehingga
aspek tersebut disimbolkan dengan warna.
18
Menurut Verstappen (1968) dan Van Zuidam (1985) bahwa proses endogen dan
eksogen masa lalu dan sekarang merupakan faktor - faktor perkembangan yang
paling menonjol dari suatu bentanglahan, sehingga harus digambarkan dengan
jelas dan digunakan simbol warna. Hal ini dapat dilihat pada (Tabel III.1).
Tabel III.1 Warna rekomendasi untuk simbol satuan geomorfologi berdasarkan aspek genetik Menurut Verstappen (1968) dan Van Zuidam (1985).
KELAS GENETIK SIMBOL WARNA
Bentuk lahan asal struktural Ungu / violet
Bentuk lahan asal gunungapi Merah
Bentuk lahan asal denudasional Coklat
Bentuk lahan asal laut (marine) Hijau
Bentuk lahan asal sungai (fluvial) Biru tua
Bentuk lahan asal glasial (es) Biru muda
Bentuk lahan asal aeolian (angin) Kuning
Bentuk lahan asal karst (gamping) Jingga (Orange)
Selain melihat aspek morfogenetik Pada analisis geomorfologi yang bersifat
pragmatik ini mengaplikasikan aspek morfometri atau klasifikasi Kemiringan
lereng terutama untuk menghitung dan mengetahui tingkat erosi yang berlangsung
serta kemungkinan gerakan tanah yang akan terjadi pada lereng tersebut.
Verstappen (1968) dan Van Zuidam (1985) membagi kemiringan lereng menjadi
6 kelas lereng, yaitu (1) kelas 0o – 2o, (2) kelas 2o – 5o, (3) kelas 5o – 15o, (4)
kelas 15o – 30o, (5) kelas 30o – 55o dan (6) kelas diatas 55o (Tabel III.2)
menunjukkan berbagai kelas lereng, proses yang menjadi ciri lahan, kondisi lahan
dan simbol warna untuk lahan yang disarankan. Kelas lereng yang menunjukkan
kesamaan lahan kritis disertai dengan proses - proses pada lereng tertentu yang
menonjol. Kegiatan konservasi tertentu dapat juga dilakukan terhadap satuan
bentuklahan tertentu yang memiliki proses yang menonjol atau nilai kelas
konservasi.
19
Peta geomorfologi pragmatik biasanya dimanfaatkan untuk kepentingan suatu
kegiatan yang bersifat rinci (detail), seperti kegiatan penelitian teknik, lingkungan,
kebencanaan, hidrologi, dan kesesuaian lahan, sehingga penamaan peta lebih
cenderung mencerminkan maksud dan tujuan pemetaan yang bersifat khusus,
seperti peta morfokonservasi (lingkungan), peta morfohidrologi (hidrologi), peta
morfostruktur (struktur geologi), peta bahaya gunungapi, dan peta kesesuaian
lahan (land suitability map) dengan kesamaan karakteristik bentuk muka bumi
yang diamati dengan menggunakan citra SRTM, peta topografi, dan pengamatan
langsung di lapangan. Penamaan satuan geomorfologi dilakukan berdasarkan pada
bentuk morfologi (morfografi), asal-usul terbentuknya (morfogenetik), dan tingkat
kemiringan lereng (morfometri) yang mengacu pada klasifikasi bentang alam
menurut (Van Zuidam, 1985).
Tabel III.2. Hubungan kelas lereng dengan sifat – sifat proses dan kondisi lahan disertai
simbol warna yang disarankan. (sumber : Van Zuidam, 1985).
Kelas Lereng
Proses Karakteristik dan Kondisi lahan Simbol warna
Keterangan
0o – 2o (0 - 2 %)
Datar atau hampir datar, tidak ada erosi yang besar, dapat diolah dengan mudah dalam kondisi kering.
Hijau tua Datar -
Hampir Datar
2o – 4o (2 - 7 %)
Lahan memiliki kemiringan lereng landai, bila terjadi longsor bergerak dengan kecepatan rendah, pengikisan dan erosi akan meninggalkan bekas yang sangat dalam.
Hijau Muda
Lereng Sangat Landai
4o – 8o (7 - 15 %)
Lahan memiliki kemiringan lereng landai sampai curam, bila terjadi longsor bergerak dengan kecepatan rendah, sangat rawan terhadap erosi.
Kuning Muda
Lereng Landai
8o – 16o (15 - 30 %)
Lahan memiliki kemiringan lereng yang curam, rawan terhadap bahaya longsor, erosi permukaan dan erosi alur.
Kuning Tua
Lereng Agak
Curam
16o – 35o (30 - 70 %)
Lahan memiliki kemiringan lereng yang curam sampai terjal, sering terjadi erosi dan gerakan tanah dengan kecepatan yang perlahan - lahan. Daerah rawan erosi dan longsor
Merah Muda
Lereng Curam
20
Kelas Lereng
Proses Karakteristik dan Kondisi lahan Simbol warna
Keterangan
350 - 550 (70 - 140 %)
Lahan memiliki kemiringan lereng yang terjal, sering ditemukan singkapan batuan, rawan terhadap erosi.
Merah Tua Lereng Sangat
Curam
> 550 ( > 140% )
Lahan memiliki kemiringan lereng yang terjal, singkapan batuan muncul di permukaan, rawan tergadap longsor batuan.
Ungu Tua
Lereng Curam Sekali
III.1.1. Analisis Citra Shuttle Radar Topography Mission (SRTM)
Berdasarkan analisis yang dilakukan menggunakan kombinasi citra Shuttle Radar
Topography Mission (SRTM) dan data Digital Elevation Model (DEM) daerah
penelitan yang diperoleh dari perangkat lunak aplikasi Global Mapper yang
terlihat pada (Gambar III.1) Daerah penelitian berada pada rentang elevasi 0
hingga 345 meter diatas permukaan laut. Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam
(1985) termasuk dataran hingga perbukitan. Bentuk lahan yang berkembang
adalah perbukitan tidak beraturan, beberapa ditemukan tidak menerus, dan ada
pula punggungan dengan kelurusan – kelurusan yang relatif panjang dan menerus.
Dengan metode slope shader untuk melihat rona bayangan yang terbentuk pada
citra raster DEM daerah penelitian pada perangkat lunak aplikasi Global mapper,
dari metode tersebut terlihat bahwa kemiringan lereng dari lembahan-lembahan
yang ada yaitu berbentuk V atau lembahan yang relatif curam dan sempit dan ada
juga yang berbentuk U atau lembahan yang relatif landai dan lebar.
21
Gambar III. 1. Citra DEM daerah penelitian
III.1.2. Analisis Morfografi
Dari hasil analisis morfografi menggunakan perangkat lunak aplikasi Global
mapper yang dilakukan berdasarkan hubungan perbedaan ketinggian dengan
unsur morfografi menurut (van Zuidam, 1985). Daerah penelitian terbagi dalam
beberapa unsur morfografi yaitu: dataran rendah dengan ketinggian absolut kurang
dari 50 meter diatas permukaan laut, dataran rendah pedalaman dengan ketinggian
absolut 50 – 100 meter diatas permukaan laut, perbukitan rendah dengan
ketinggian absolut 100 – 200 meter diatas permukaan laut, dan perbukitan dengan
ketinggian absolut 200 – 500 meter diatas permukaan laut (Gambar III.2).
22
Gambar III. 2. Peta Morfografi daerah penelitian
III.1.3. Analisis Morfometri
Dari hasil analisis morfometri menggunakan perangkat lunak aplikasi ArcGIS
yang dilakukan berdasarkan Hubungan kelas lereng dengan sifat – sifat proses dan
kondisi lahan menurut (van Zuidam, 1985). Daerah penelitian terbagi 6 satuan
kelas lereng yaitu: datar, agak landai, landai, agak curam, curam, dan sangat
curam (Gambar III.3).
III.1.4. Analisis Morfogenetik
Dari hasil morfogenetik daerah penelitian menggunakan data dari hasil analisis
sebelumnya (morfometri dan morfografi) dan klasifikasi van Zuidam dan
(Versptappen, 1983). Bahwa bentuk morfologi daerah penelitian dikontrol oleh
proses eksogen dan endogen. Proses eksogen yang mempengaruhi bentuk
morfologi daerah penelitian yaitu pelapukan, sedimentasi, dan erosi, sedangkan
proses endogen yang mempengaruhi bentuk morfologi daerah penelitian yaitu
Tektonik dan denudasional (pengikisan) (Tabel III.3).
23
Gambar III. 3. Peta Morfometri daerah penelitian.
III.1.5. Pola Aliran Sungai
Pola aliran sungai di suatu daerah sangat dikontrol oleh struktur, litologi, dan
kemiringan lereng pada suatu wilayah. Berdasarkan pengamatan dari
kecenderungan melalui peta topografi, yakni pola aliran sungai dikontrol oleh
topografi dan ada sebagian pola aliran sungai dikontrol oleh struktur sesar dan
kekar (Howard, 1967). Berdasarkan klasifikasi sungai menurut Howard, (1967).
terlihat bahwa pola aliran sungai yang berada di daerah penelitian berupa pola
aliran sungai paralel dan subdendritik (Gambar III.4).
Pola paralel pada daerah ini dicirikan oleh aliran sungai utama dan anak sungai
mengalir pada arah yang relatif sama yang umumnya cenderung kearah barat
sampai baratdaya, kemiringan lereng yang landai sampai agak curam, dan terdapat
pada daerah bentuklahan perbukitan yang memanjang yang berada sebelah barat
daerah penelitian.
24
Pola aliran subdendritik di daerah ini dicirikan dengan letaknnya yang berada di
daerah yang berkontur cenderug miring, dan selain karena kontrol resistensi
batuan pola aliran ini juga dikontrol oleh pengaruh struktur geologi seperti kekar
dan sesar.
Gambar III. 4. Peta pola aliran sungai Pada daerah Penelitian.
25
III.1.7. Satuan Geomorfologi
Dalam klasifikasi ini geomorfologi daerah penelitian terbagi atas 5 satuan
geomorfologi yaitu: Satuan Dataran Fluvial, Satuan Perbukitan Denudasional
Landai, Satuan Perbukitan Struktural Landai, Satuan Perbukitan Struktural Agak
Curam, Dan Satuan Perbukitan Struktural Curam seperti terlihat pada (Gambar
III.5) dan (Tabel III.3).
Gambar III. 5. Peta Geonorfologi daerah penelitian
26
Tabel III.3. Keterangan Geomorfologi Daerah Penelitian.
III.1.7.1. Satuan Dataran Fluvial
Satuan ini menempati 3 km2 atau 6% dari luas daerah penelitian, berada di sebelah
baratdaya daerah penelitian. Satuan ini ditandai dengan simbol berwarna biru pada
peta geomorfologi daerah penelitian, yang memiliki elevasi topografi yaitu 0 -
12,5 mdpl. Dengan morfografi berupa pola aliran sungai paralel, bentuk lembah U
dengan kemiringan lereng yang relatif datar. Proses geomorfik yang berlangsung
pada satuan ini dipengaruhi oleh sedimentasi dan erosi, satuan ini disusun oleh
bongkah kerakal dan kerikil (Gambar III.6).
Gambar III. 6. Kenampakan Dataran Fluvial
27
III.1.7.2. Satuan Perbukitan Denudasional Landai
Satuan ini menempati 10 km2 atau 20% dari luas daerah penelitian, berada di
sebelah utara sampai selatan daerah penelitian. Satuan ini ditandai dengan
simbol berwarna coklat pada peta geomorfologi daerah penelitian, yang
memiliki elevasi topografi yaitu 87,5 - 162,5 mdpl. Morfografi berupa pola
aliran sungai sub – dendritik, bentuk lembah U, dan kemiringan lereng yang
landai. Proses geomorfik yang berlangsung pada satuan ini dipengaruhi oleh
proses endogenik berupa denudasi dan proses eksogenik berupa pelapukan dan
erosi. Satuan ini disusun oleh bongkah, tuf, tonalit, dan sekis. Satuan ini
menunjukkan morfologi dataran dan perbukitan bergelombang akibat dari
proses erosi karena pelapukan batuan – batuan yang menjadi penyusun dari
tubuh perbukitan, yang membuat perbukitan di daerah ini menjadi terkikis dan
mengalami denudasi dan sebagian sudah tertutupi oleh vegetasi (Gambar III.7).
Gambar III. 7. Kenampakan perbukitan terdenudasi landai (a) dan perbukitan terdenudasi (b).
pada Satuan Bentang Alam Asal Perbukitan Denudasional Landai.
III.1.7.3. Satuan Perbukitan Struktural Landai
Satuan ini menempati 14 km2 atau 24% dari luas daerah penelitian, berada di
sebelah barat dan utara daerah penelitian. Satuan ini ditandai dengan simbol
berwarna ungu muda pada peta geomorfologi daerah penelitian, yang memiliki
elevasi topografi yaitu 12,5 - 225 mdpl. Morfografi berupa pola aliran sungai sub
– dendritik dengan bentuk lembah U – V dengan kemiringan lereng yang landai,
proses geomorfik yang berlangsung pada satuan ini dipengaruhi oleh proses
endogenik berupa aktivitas tektonik dan proses eksogenik berupa pelapukan dan
erosi, satuan ini disusun oleh tuf dan sekis. (Gambar III.8).
a. b.
Barat daya Utara
28
Gambar III. 8. Kenampakan Perbukitan Struktural Landai
III.1.7.4. Satuan Perbukitan Struktural Agak Curam
Satuan ini menempati 15 km2 atau 30% dari luas daerah penelitian, berada di
sebelah barat daerah penelitian. Satuan ini ditandai dengan simbol berwarna ungu
pada peta geomorfologi daerah penelitian, yang memiliki elevasi topografi yaitu
125 – 175 mdpl. Morfografi berupa pola aliran sungai sub – dendritik dengan
bentuk lembah V dan kemiringan lereng yang agak curam. Proses geomorfik
yang berlangsung pada satuan ini dipengaruhi oleh proses endogenik berupa
proses tektonik dan proses eksogenik berupa pelapukan dan erosi, satuan ini
disusun oleh tuf, breksi, dan sekis (Gambar III.9).
III.1.7.5. Satuan Perbukitan Struktural Curam
Satuan ini menempati 10 km2 atau 20% dari luas daerah penelitian, berada di
sebelah baratlaut sampai selatan daerah penelitian. Satuan ini ditandai dengan
simbol berwarna ungu tua pada peta geomorfologi daerah penelitian, yang
memiliki elevasi topografi yaitu 6,25 – 325 mdpl. Morfografi berupa pola aliran
sungai Paralel hingga sub - dendritik dengan bentuk lembah V dan kemiringan
lereng yang curam. Proses geomorfik yang berlangsung pada satuan ini
dipengaruhi oleh proses endogenik berupa proses tektonik berupa pelapukan dan
erosi, satuan ini disusun oleh tuf dan sekis (Gambar III.9).
29
Gambar III. 9. Kenampakan Satuan Perbukitan Struktural Agak Curam sampai Curam.
III.1.8. Tahapan Geomorfik
Tahapan atau Proses – proses geomorfik adalah semua perubahan fisik dan kimia
yang terjadi akibat proses-proses perubahan muka bumi. Tahapan geomorfik yang
terjadi di daerah penelitian menunjukan proses – proses geomorfologi yang
berkembang yang menjadi pengontrol bentukan morfologi yang ada pada daerah
penelitian Proses – proses geomorfologi tersebut yaitu tenaga endogen seperti
tektonik atau struktur geologi, tekstur permukaan, dan jenis batuan, sedangkan
proses eksogen yang berlaku yaitu pelapukan, pengikisan, dan pengendapan.
Tahapan geomorfik pada daerah penelitian terjadi akibat adanya pengaruh dari
tenaga endogen dan tenaga eksogen serta pengaruh dari struktur geologi yang ada
pada daerah penelitian. Tenaga endogen yang dominan bekerja yaitu denudasional
dan tektonisme, daerah dengan elevasi tinggian atau perbukitan yang memiliki
kelurusan dengan arah tertentu mengindikasikan adanya kontrol tektonik atau
struktur yang membentuk morfologi perbukitan pada daerah tersebut, sedangkan
tenaga eksogen yang dominan bekerja yaitu pelapukan dan erosi. Pelapukan dan
erosi pada daerah penelitian juga menghasilkan ekspresi yang berbeda pada setiap
litologinya. Pada umumnya litologi yang lunak memberikan morfologi berupa
rendahan karena sifatnya yang kurang resisten. Sedangkan litologi yang lebih
keras umumnya memberikan dampak morfologi yang lebih tegas seperti
perbukitan karena sifatnya yang resisten terhadap pelapukan dan erosi.
30
Tahapan geomorfologi yang teramati di daerah penelitian yaitu tahapan muda-tua.
Tahap geomorfik muda dicirikan oleh beberapa morfografi perbukitan dengan
lembah yang berbentuk V dan lereng yang curam yang disusun oleh litologi tuf
kristal dan breksi yang umumnya berada di sebelah barat daerah penelitian
tepatnya berada di kelurahan Ketapang Kuala (Gambar III.10). Tahapan
geomorfik tua teramati sebelah timur daerah penelitian yang dicirikan oleh
morfografi perbukitan dengan kemiringan lereng yang relatif landai sampai agak
curam dan terdapatnya lembah berbentuk U yang disusun oleh litologi tuf dan
bongkah yang terdapat di daerah Kaliasin dan Lematang (Gambar III.10).
Gambar III. 10. Kenampakan Tahapan Geomorfik Muda dengan lembah yang berbemtuk V (a) dan
Tahapan Geomorfik Tua dengan lembah yang berbentuk U (b) pada daerah penelitian.
III.2. Stratigrafi
Dalam peta geologi regional Lampung Mangga dkk., (1993) daerah penelitian
termasuk ke dalam Lembar Tanjungkarang dan termasuk ke dalam beberapa
formasi yang berumur Paleozoikum sampai Kuarter diendapkan secara tidak
selaras dari tua ke muda diantaranya yaitu, Sekis Waygalih (Pzgs) Kuarsit
Sidodadi (Pzgk), Granodiorit Sulan (Kgdsn) Formasi Tarahan (Tpot), dan
Formasi Lampung (QTl). Berdasarkan jenis batuan, keseragaman, dan ciri-ciri
fisik batuan yang dapat diamati di lapangan dan laboratorium, stratigrafi daerah
penelitian dapat dikelompokkan menjadi 6 satuan tidak resmi dari tua ke muda,
yang terpetakan pada peta geologi daerah penelitian skala 1 : 25.000 yaitu Satuan
Sekis Klorit dan Sekis Muskovit, Satuan Tonalit, Satuan Tuf Kristal, Satuan Tuf
Gelas, dan Endapan aluvial (Gambar III.11).
Utara Selatan Selatan Utara
a. b.
31
Geologi daerah penelitian memiliki hubungan stratigrafi ketidakselarasan
nonconformity antara satu satuan dengan satuan lainnya, ketidakselarasan tersebut
disebabkan karena adanya jeda pengendapan dan erosi dalam jangka panjang oleh
Satuan Sekis Klorit, Satuan Sekis Muskovit dan Satuan Tonalit sebelum
pengendapan Satuan Tuf Kristal dan Satuan Tuf Gelas pengelompokkan batuan
menurut litostratigrafi menggunakan tata nama satuan tidak resmi (Sandi
Stratigrafi Indonesia, 1996) (Gambar III.12).
Gambar III. 11. Peta Geologi Daerah Penelitian.
32
Gambar III. 12. Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian.
III.2.1. Satuan Sekis Muskovit
III.2.1.1. Penyebaran dan ketebalan
Satuan ini menempati ± 8% dari luas keseluruhan daerah penelitian dan
menempati bagian utara daerah penelitian. Pada peta geologi (Lampiran A-2),
satuan ini diberi warna ungu, dengan foliasi berarah baratlaut – tenggara.
Ketebalan dari satuan ini berdasarkan pengukuran ketebalan dengan penampang
geologi daerah penelitian dan disebandingkan dengan penampang geologi Lembar
Tanjung Karang oleh Mangga dkk., (1993) adalah lebih dari 800 meter.
33
III.2.1.2. Ciri Litologi
Secara megaskopis satuan ini bercirikan warna segar abu – abu kehitaman dan
warna lapuk abu – abu kecoklatan dengan struktur foliasi (schistose), tekstur
lepidoblastik, ukuran mineral berkisar antara 0,5 – 0,25 mm, kondisi singkapan
lapuk hingga sangat lapuk.
Secara mikroskopis pengamatan sayatan pada batuan tersebut dilakukan pada
perbesaran okuler 10 kali dan perbesaran objektif 5 kali dan pada pengamatan
mikroskopis dicirikan dengan struktur foliasi (schistose), tekstur lepidoblastik
yaitu tekstur yang menunjukkan mineral penyusun yang berbentuk pipih seperti
muskovit dan serisit pada batuan metamorf yang terbentuk oleh kontrol tekanan
dan temperatur, ukuran mineral berkisar antara 0,5 – 0,25 mm, yang terdiri dari
mineral kuarsa yang bercirikan warna putih pada pengamatan PPL (// Nikol), XPL
(X Nikol) berwarna putih sampai abu – abu kehitaman, relief rendah tanpa
belahan, pleokroisme rendah, bentuk kristal anhedral, mineral ini hadir menyebar
dalam sayatan dengan Kelimpahan 60%. Mineral muskovit pada pengamatan
PPL bercirikan warna abu – abu kecoklatan, pada pengamatan XPL berwarna
kuning kecoklatan, relief sedang sampai tinggi, pleokroisme sedang, belahan 1
arah, subhedral, hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan 30%. Mineral
serisit dalam keadaan PPL berwarna abu – abu kecoklatan, pada XPL warna
kuning kecoklatan, relief dan pleokroisme rendah, bentuk kristal dan belahan
tidak nampak, mineral ini hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan
sebesar 10%. Berdasarkan hasil pengamatan ciri – ciri yang dilakukan dan
klasifikasi menurut Gillen, (1982) litologi pada satuan ini merupakan tergolong
dalam batuan sekis (Gambar III.13).
34
Gambar III. 13. Kenampakan singkapan MT-10 pada satuan sekis muskovit (atas) dan kenampakannya secara petrografi serta mineral penyusunnya (bawah).
III.2.1.3. Hubungan Stratigrafi dan Lingkungan Pembentukan
Berdasarkan stratigrafi regional Tanjungkarang oleh Mangga dkk., (1994) satuan
ini dapat disetarakan dengan Kuarsit Sidodadi (Pzgk) yang termasuk dalam
kompleks batuan malih Gunungkasih yang berumur Paleozoikum. Lingkungan
pembentukan satuan ini berdasarkan analisis petrografi dan didukung oleh
interprestasi dari penelitian sebelumnya serta diwakili data pada lokasi
pengamatan MT-10 adalah batuan pada satuan ini terbentuk pada tekanan dan
temperatur menengah.
35
Berdasarkan dari kenampakan mineral yang menjadi penyusun utama dari batuan
tersebut berupa mineral muskovit yang tergolong dalam kelompok mineral yang
hadir pada batuan asal pelitik (sedimen) dan termasuk ke dalam fasies
metamorfosa Sekis Hijau berderajat rendah sampai menengah, dimana pada
umumnya kelompok fasies ini terjadi pada daerah yang penyebarannya sangat
luas seperti zona subduksi dan sabuk pegunungan orogenik yang merupakan hasil
dari tumbukan 2 kerak bumi (Tabel III.4) fasies tersebut dikontrol pada
kedalaman antara 14 – 10 kilometer dibawah permukaan bumi dengan tekanan
sebesar 4 – 5 kilobar dan temperatur sebesar 300 – 450°C (Bucher & Grapes,
2011) (Gambar III.14).
Tabel III.4. Fasies Metamorfosa Pada Sampel MT-10.
36
Gambar III. 14. Hubungan antara Derajat Metamorfosa dengan Tekanan, Temperatur dan Kedalaman (Skinner, 1992; dalam Noor, 2012) pada Sampel
MT-10.
III.2.2. Satuan Sekis Klorit
III.2.2.1. Penyebaran dan ketebalan
Satuan ini menempati ± 17% dari luas keseluruhan daerah penelitian dan
menempati bagian selatan daerah penelitian. Pada peta geologi (Lampiran A-1),
satuan ini diberi warna ungu muda. Satuan ini tersingkap baik di daerah Baruranji
(stasiu pengamatan MT-68) dengan foliasi berarah baratlaut – tenggara. Satuan ini
memiliki kedudukan kontak dengan satuan tuf kristal berarah timur laut – barat
daya dengan kemiringan berkisar antara 30o – 45o. Ketebalan dari satuan ini
berdasarkan pengukuran ketebalan dengan penampang geologi daerah penelitian
dan disebandingkan dengan penampang geologi lembar Tanjung Karang Mangga
dkk, (1993) adalah lebih dari 800 meter.
III.2.2.2. Ciri Litologi
Pada sekis klorit berdasarkan analisis secara megaskopis bercirikan warna segar
abu – abu kehijauan sedangkan warna lapuknya abu – abu kehitaman, ukuran
mineral (0,5 - 0,25 mm) dengan struktur foliasi (schistose), tekstur lepidoblastik,
dan kondisi singkapan segar sampai dengan sangat lapuk.
37
Secara mikroskopis pengamatan sayatan pada batuan tersebut dilakukan pada
perbesaran okuler 10 kali dan perbesaran objektif 5 kali dan pada pengamatan
terdapat struktur foliasi (schistose), dengan tekstur lepidoblastik ukuran mineral
(0,5 - 0,25 mm), yang terdiri dari mineral kuarsa yang bercirikan warna putih pada
pengamatan PPL (// Nikol), XPL (X Nikol) berwarna abu – abu kehitaman, relief
rendah tanpa belahan, pleokroisme rendah, bentuk kristal anhedral, mineral ini
hadir menyebar dalam sayatan dengan Kelimpahan 50%. Mineral klorit bercirikan
warna putih keabuan pada pengamatan PPL (// Nikol), XPL (X Nikol) berwarna
hijau kebiruan, belahan 2 arah, pleokroisme lemah, bentuk kristal subhedral,
mineral ini hadir menyebar dalam sayatan dengan Kelimpahan 35%. Mineral
epidot bercirikan warna abu – abu kehitaman PPL (// Nikol), XPL (X Nikol)
berwarna coklat kehijauan, relief rendah, bentuk kristal subhedral, pleokroisme
dan belahan tidak nampak, mineral ini hadir menyebar dalam sayatan dengan
kelimpahan 10%. Berdasarkan pengamatan ciri – ciri yang dilakukan dan
klasifikasi menurut Gillen, (1982) litologi pada satuan ini merupakan tergolong
dalam batuan sekis karena ditunjukan adanya struktur foliasi (Gambar III.15).
38
Gambar III. 15. Kenampakan singkapan MT-68 pada satuan sekis klorit (a) dan kenampakannya
secara petrografi serta mineral penyusunnya (b).
III.2.2.3. Hubungan Stratigrafi dan Lingkungan Pembentukan
Berdasarkan stratigrafi regional Tanjungkarang oleh Mangga dkk, (1994) satuan
ini dapat disetarakan dengan Sekis Waygalih (Pzgs) yang masih termasuk dalam
kompleks batuan malih Gunungkasih yang berumur Paleozoikum. Lingkungan
pembentukan satuan ini berdasarkan analisis petrografi dan didukung oleh
interprestasi dari penelitian sebelumnya serta diwakili data pada lokasi
pengamatan MT-68 adalah batuan pada satuan ini terbentuk pada tekanan dan
temperatur menengah berdasarkan dari kenampakan mineral yang menjadi
penyusun utama dari batuan tersebut berupa mineral klorit dan epidot.
39
Kelompok mineral terebut tergolong dalam kelompok fasies metamorfosa sekis
hijau berderajat rendah sampai menengah yang termasuk ke dalam jenis batuan
asal (protolith) metabasalt (Tabel III.5). Pada umumnya kelompok fasies ini
terjadi pada daerah yang penyebarannya sangat luas seperti zona subduksi dan
sabuk pegunungan orogenik yang merupakan hasil dari tumbukan 2 kerak bumi.
Berdasarkan kehadiran mineral pada sampel batuan ini umumnya fasies ini
dikontrol pada kedalaman antara 14 - 10 kilometer dibawah permukaan bumi
dengan tekanan sebesar 4 – 5 kilobar dan temperatur sebesar 300 – 450°C
(Gambar III.16).
Tabel III.5. Fasies Metamorfosa Pada Sampel MT-68.
40
Gambar III. 16. Hubungan antara Derajat Metamorfosa dengan Tekanan, Temperatur dan Kedalaman (Skinner, 1992; dalam Noor, 2012) pada Sampel
MT-68.
Kompleks batuan malih Gunungkasih sendiri ditafsirkan sebagai bagian dari
batuan gunungapi malih dan termasuk bagian dari lempeng mikro dan terpisah
dari bagian lain di sumatera yang tersingkap setempat di daerah Lampung. Satuan
ini juga dapat disetarakan dengan Formasi Alas di Sumatera Bagian Utara
menurut Cameron dkk., (1982; dalam Mangga dkk., 1994), dengan litologi yang
mempunyai ciri khas yang sama dengan batuan gunungapi malih kompleks
Gunungkasih (Mangga dkk., 1994).
III.2.3. Satuan Tonalit
III.2.3.1. Penyebaran dan ketebalan
Satuan ini menempati ± 3% dari luas keseluruhan daerah penelitian dan
menempati bagian timur daerah penelitian. Pada peta geologi daerah penelitian
(Lampiran A-1), satuan ini diberi warna merah. Satuan ini tersingkap baik di
daerah Kaliasin (BK-35) dan di daerah Lematang (BK-18). Elevasi dari satuan ini
berkisar antara 100 sampai dengan 150 meter diatas permukaaan laut dan
ketebalan dari satuan ini berdasarkan pengukuran ketebalan menggunakan
penampang geologi daerah penelitian dan disebandingkan dengan penampang
geologi lembar Tanjung Karang oleh Mangga dkk., (1993) adalah lebih dari 1000
meter.
41
III.2.3.2. Ciri Litologi
Satuan ini tersusun dari litologi tonalit. Pada batuan tonalit Penyebarannya
tersingkap baik pada stasiun pengamatan BK-35 yang secara megaskopis
bercirikan warna putih berbintik hitam dengan tekstur holokristalin, granularitas
fanerik, bentuk kristal euhedral, struktur masif atau pejal dengan komposisi
mineral kuarsa, plagioklas, dan mineral sekunder berupa klorit.
Secara mikroskopis pengamatan sayatan pada batuan tersebut dilakukan pada
perbesaran okuler 5 kali dan perbesaran objektif 10 kali yang bercirikan struktur
masif, tekstur fanerik ukuran mineral kasar – halus, dengan komponen mineral
penyusun antara lain kuarsa yang bercirikan warna putih pada pengamatan PPL (//
Nikol), pada pengamatan XPL (X Nikol) berwarna putih abu – abu kehitaman,
dengan relief rendah tanpa belahan, pleokroisme rendah, bentuk kristal anhedral,
hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan 43% yang telah dipersentase
berdasarkan klasifikasi batuan beku IUGS (1973). Kemudian mineral plagioklas
bercirikan warna putih kecoklatan pada pengamatan PPL (// Nikol), pada
pengamatan XPL (X Nikol) berwarna coklat terang, bentuk kristal subedral
sampai euhedal, belahan 1 arah, hadir menyebar dalam sayatan dengan
kelimpahan 57% yang dipersentase berdasarkan klasifikasi IUGS (1973). Hadir
juga mineral tambahan biotit bercirikan warna coklat kehijauan pada pengamatan
PPL (// Nikol), pada pengamatan XPL (X Nikol) mempunyai warna hitam dengan
struktur mata burung, belahan 1 arah, relief rendah, pleokroisme rendah, bentuk
kristal subhedral, mineral ini hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan
7%. Lalu hadir mineral sekunder berupa klorit bercirikan warna hijau pada
pengamatan PPL (// Nikol), XPL (X Nikol) berwarna hitam kecoklatan, belahan
satu arah, relief sedang, pleokroisme sedang, bentuk kristal subhedral – euhedral,
mineral ini hadir menyebar dalam sayatan dengan Kelimpahan 30%. Ada juga
mineral opak yang nampak gelap baik XPL maupun PPL, yang hadir menyebar
dalam sayatan dengan kelimpahan sebesar 3% (Gambar III.17). Dilihat dari
persentase kandungan mineral primer berupa kuarsa (43%) dan plagioklas (57%),
satuan ini termasuk dalam batuan tonalit berdasarkan diagram QAP klasifikasi
batuan beku plutonik IUGS (1973) (Gambar III.18).
42
Gambar III. 17. Kenampakan singkapan tonalit BK-35 pada satuan tonalit (a) dan
kenampakannya secara petrografi serta mineral penyusunnya (b).
Gambar III. 18. Persentase kandungan mineral pada sampel BK-35 berdasarkan diagram QAP klasifikasi batuan beku plutonik IUGS
(1973).
43
III.2.3.3. Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan stratigrafi regional Tanjungkarang oleh Mangga dkk., (1994) satuan
ini dapat disebandingkan dengan Granodiorit Sulan yang berumur Kapur.
Lingkungan pembentukan satuan ini berdasarkan analisis petrografi yang diwakili
data satuan pada lokasi pengamatan BK-35 dan didukung oleh interprestasi dari
penelitian sebelumnya adalah bahwa batuan pada satuan ini ditafsirkan sebagai
bagian dari aktivitas plutonik berumur petengahan kapur yang menerobos satuan
sekis yang berumur Paleozoikum.
Terobosan kapur ini merupakan bagian batolit yang terluas sebarannya meluas
sampai Lembar Kotaagung yang berkaitan dengan penunjaman lempeng yang
menghasilkan granitoid busur gunungapi atau tepi benua, satuan ini menerobos
langsung satuan sekis yang merupakan formasi dari batuan kompleks
Gunungkasih. Berdasarkan bukti-bukti isotop yang ada satuan ini berumur sekitar
115-89 juta tahun yang lalu. Dengan pembuktian dari hasil penyelidikan geokimia
dan geokronologi oleh McCourth & Cobbing (1993; dalam Mangga dkk., 1994)
bahwa adanya tepi benua yang ada hubungannya dengan penunjaman lajur
granitoid berumur kapur tengah di seluruh Sumatera bagian selatan. Busur
plutonik ini terpusat di sepanjang sesar Sumatera utama (Mangga dkk., 1994).
III.2.4. Satuan Tuf Kristal
III.2.4.1. Penyebaran dan ketebalan
Satuan ini menempati ± 50% dari luas keseluruhan daerah penelitian. Menempati
bagian utara, barat, dan timur pada daerah penelitian. Pada peta geologi daerah
penelitian satuan ini diberi warna krim. Satuan ini tersingkap baik di daerah
Batusuluh Panjang (TF-78) dan di daerah Campang Raya (TF-22). Elevasi dari
satuan ini berkisar antara 12,5 sampai dengan 325 meter diatas permukaaan laut.
Ketebalan dari satuan ini berdasarkan pengukuran ketebalan dengan penampang
geologi daerah penelitian dan disebandingkan dengan penampang geologi lembar
Tanjung Karang Mangga dkk., (1993) adalah adalah lebih dari 500 meter.
44
III.2.4.2. Ciri Litologi
Satuan ini tersusun dari litologi tuf kristal halus dan tuf kristal kasar. Pada litologi
tuf kristal halus tersingkap baik pada stasiun pengamatan TF-78 yang secara
megaskopis bercirikan warna segar putih warna lapuk kuning kecoklatan, besar
butir ½ - 1/16 mm, derajat pemilahan (sortasi) terpilah baik – sedang, derajat
kebundaran membundar tanggung, kemas tertutup, struktur masif, komponen
penyusun kuarsa dan gelas vulkanik.
Secara mikroskopis pengamatan sayatan pada batuan tersebut dilakukan pada
perbesaran okuler 10 kali dan perbesaran objektif 10 kali yang bercirikan struktur
massif, ukuran butir 1/16 - 1/2 mm, sortasi sedang, derajat kebundaran
membundar tanggung, dengan komponen penyusun gelas vulkanik yang
bercirikan warna gelap baik pada pada pengamatan PPL (// Nikol) maupun pada
pengamatan XPL (X Nikol), relief dan belahan tidak nampak, pleokroisme tidak
nampak, bentuk kristal anhedral, hadir menyebar dalam sayatan dengan
kelimpahan 20%. Kuarsa yang bercirikan warna putih pada pengamatan PPL (//
Nikol), pada pengamatan XPL (X Nikol) berwarna putih abu – abu kehijauan,
dengan relief rendah tanpa belahan, pleokroisme tak nampak, bentuk kristal
anhedral, hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan 45% (Gambar
III.19).
Pada persentase kelimpahan yang tekandung pada batuan tersebut maka penamaan
batuan berdasarkan klasifikasi ukuran butir menurut Fisher, (1966) termasuk
kedalam tuf atau abu. Berdasarkan komponen penyusunnya menurut Schmid,
(1981) termasuk kedalam tuf kristal (Gambar III. 20).
45
Gambar III. 19. Kenampakan singkapan tuf kristal Halus pada satuan tuf kristal (atas) dan kenampakannya secara petrografi serta mineral penyusunnya (bawah).
Gambar III. 20. Diagram persentase untuk penamaan batuan tuf pada sampel TF-78 termasuk
kedalam jenis tuf kristal halus.
46
Pada tuf kristal kasar tersingkap baik pada stasiun pengamatan TF-22 pemerian
dilakukan secara megaskopis yang bercirikan berwarna segar putih keabuan dan
warna lapuk kuning kecoklatan, ukuran butir 1 – 4 mm, derajat pemilahan (sortasi)
terpilah buruk derajat kebundaran membundar tanggung, dengan komponen
kuarsa, gelas vulkanik, dan fragmen tuf.
Secara mikroskopis pengamatan sayatan pada batuan tersebut dilakukan pada
perbesaran okuler 10 kali dan perbesaran objektif 5 kali yang bercirikan struktur
massif, ukuran butir 1/2 – 4 mm, sortasi sedang, derajat kebundaran membundar
tanggung, dengan komponen penyusun kuarsa yang bercirikan warna putih pada
pengamatan PPL (// Nikol), pada pengamatan XPL (X Nikol) berwarna putih abu
– abu, dengan relief rendah tanpa belahan, pleokroisme tak nampak, bentuk kristal
anhedral sampai subhedral, hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan
55%. Gelas vulkanik yang bercirikan warna gelap baik pada pada pengamatan
PPL (// Nikol) maupun pada pengamatan XPL (X Nikol), dengan relief tidak ada
tanpa belahan, pleokroisme tidak nampak, bentuk kristal anhedral, hadir menyebar
dalam sayatan dengan kelimpahan 25%. Fragmen tuf yang bercirikan warna abu –
abu kehitaman pada pengamatan PPL (// Nikol), pada pengamatan XPL (X Nikol)
berwarna abu – abu kehitaman, ukuran 0,5 mm dengan relief rendah tanpa
belahan, pleokroisme tak nampak, komponen penyusun ini hadir menyebar dalam
sayatan dengan kelimpahan 20% (Gambar III.21). Pada persentase kelimpahan
yang tekandung pada batuan tersebut maka penamaan batuan berdasarkan
klasifikasi ukuran butir menurut Fisher (1966) termasuk kedalam lapili.
Berdasarkan komponen penyusunnya menurut Schmid (1981) sampel sayatan
tersebut termasuk kedalam tuf kristal (Gambar III.22).
47
Gambar III. 21. Kenampakan singkapan tuf kristal kasar pada satuan tuf kristal dan
kenampakannya secara petrografi serta mineral penyusunnya.
Gambar III. 22. Persentase untuk penamaan batuan tuf pada sampel TF-22
yang termasuk ke dalam jenis tuf kristal.
48
Dari hasil analisis secara megaskopis menunjukkan bahwa batuan pada satuan ini
terbentuk oleh letusan eksplosif dan ciri – ciri litologi yang dianalisis pada satuan
ini termasuk kedalam jenis fasies proksimal – medial berdasarkan Bogie &
Mackenzie (1998) yang terendapkan oleh mekanisme surge (seruakan)
berdasarkan Cas & Wright (1987) dimana pada endapan jenis ini terbentuk karena
mekanisme semburan, hembusan, seruakan secara lateral dicirikan oleh material
berukuran abu – lapili, umumnya mengandung gelas vulkanik dan kristal mineral
yang disebabkan oleh letusan freatomagmatik yaitu suatu letusan gunung api
akibat dari interaksi magma dan air (Moore, 1967) (Gambar III.23).
Gambar III. 23. Tipe Fasies Gunungapi menurut Bogie & Mackenzie (1998) dan Endapan
Piroklastik menurut Cas & Wright (1987) pada Satuan Tuf Kristal ditunjukan pada kotak merah.
III.2.4.3. Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan stratigrafi regional Tanjungkarang oleh Mangga dkk., (1994) satuan
ini dapat disetarakan dengan Formasi Tarahan yang berumur Tersier. Lingkungan
pengendapan satuan ini berdasarkan analisis yang dilakukan dan didukung oleh
interprestasi dari penelitian sebelumnya serta diwakili data sampel pada lokasi
pengamatan TF-78 dan TF-22 adalah bahwa batuan pada satuan ini ditafsirkan
sebagai bagian dari aktivitas vulkanik yang diendapkan di lingkungan benua atau
busur gunungapi berumur Paleosen hingga Oligosen (?).
49
Secara regional satuan pada Formasi Tarahan ini dapat dikorelasikan dengan
Formasi Kikim suatu runtunan yang terdiri dari tuf, breksi, dan sedimen
vulkanoklastik yang tersingkap di Pegunungan Gumai pada Lembar Bengkulu
(Mangga dkk., 1994). Batuan gunungapi Tersier Awal ini yang tersingkap di
sepanjang baratdaya sistem sesar Sumatera paling timur, ditafsirkan sebagai bukti
sisa sisa busur gunungapi Paleogen yang tersingkap. Aktivitas gunungapi ini
disebutkan sebagai bukti penunjaman yang terus berlangsung pada pertengahan
Kapur Akhir sampai awal Oligosen Tengah di sepanjang parit sunda yang berada
dari sebelah barat Sumatera (Mangga dkk., 1994).
III.2.5. Satuan Tuf Gelas
III.2.5.1. Penyebaran dan Ketebalan
Satuan ini menempati ± 9% dari luas keseluruhan daerah penelitian, yang
menempati bagian utara daerah penelitian. Pada peta geologi daerah (Lampiran A-
1) satuan ini diberi warna merah muda. Satuan ini tersingkap baik di daerah
Batusuluh Panjang (TF-1). Elevasi dari satuan ini berkisar antara 87,5 sampai
dengan 125 meter diatas permukaaan laut dan ketebalan dari satuan ini
berdasarkan pengukuran menggunakan penampang geologi adalah lebih dari 100
meter.
III.2.5.2. Ciri Litologi
Satuan ini tersusun dari litologi tuf gelas. Pada satuan ini tersingkap baik pada
stasiun pengamatan TF-1 yang secara megaskopis bercirikan warna segar putih
warna lapuk kuning kecoklatan, besar butir > 2 mm, derajat pemilahan baik,
derajat kebundaran membundar tanggung, kemas tertutup, struktur masif, dan
kedudukan perlapisan N12oE/5oSE.
50
Secara mikroskopis pengamatan sayatan pada batuan tersebut dilakukan pada
perbesaran okuler 5 kali dan perbesaran objektif 5 kali yang bercirikan struktur
masif, ukuran butir 2 – > 2 mm, sortasi baik, derajat kebundaran membundar,
dengan komponen penyusun gelas vulkanik yang bercirikan warna gelap pada
pada pengamatan PPL (// Nikol, pada pengamatan XPL (X Nikol) gelap, dengan
relief tidak ada tanpa belahan, pleokroisme tidak nampak, bentuk kristal anhedral,
hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan 90%. Kuarsa yang bercirikan
warna putih pada pengamatan PPL (// Nikol), pada pengamatan XPL (X Nikol)
berwarna putih, dengan relief rendah tanpa belahan, pleokroisme tak nampak,
bentuk kristal anhedral, komponen penyusun ini hadir menyebar dalam sayatan
dengan kelimpahan 8%. Opak yang nampak gelap baik XPL maupun PPL, yang
hadir menyebar dalam sayatan dengan kelimpahan sebesar 2% (Gambar III.24).
Pada persentase kelimpahan yang tekandung pada batuan tersebut maka penamaan
batuan berdasarkan klasifikasi ukuran butir menurut Fisher (1966) termasuk
kedalam tuf berdasarkan komponen penyusunnya menurut Schmid (1981)
termasuk kedalam tuf gelas (Gambar III.25).
51
Gambar III. 24. Kenampakan singkapan tuf gelas dan kenampakannya secara petrografi serta
mineral penyusunnya.
Gambar III. 25. Persentase untuk penamaan batuan Tuf pada sampel TF-1
yang termasuk ke dalam jenis Tuf Gelas.
52
Dari hasil analisis secara megaskopis menunjukkan bahwa batuan pada satuan ini
terbentuk oleh letusan eksplosif dan dari ciri – ciri litologi yang dianalisis pada
satuan ini termasuk ke dalam jenis fasies medial – distal berdasarkan fasies
gunungapi oleh Bogie & Mackenzie (1998) yang terendapkan oleh mekanisme
jatuhan berdasarkan klasifikasi tipe endapan gunungapi oleh Cas & Wright, (1987)
dimana pada endapan jenis ini terbentuk karena material piroklastik dilontarkan
secara ledakan ke udara yang selanjutnya jatuh ke sekitar gunungapi dan
terakumulasi membentuk endapan piroklastik jatuhan oleh media angin. Endapan
ini umumnya akan berlapis baik, menutup morfologi, mempunyai keseragaman
butir (sortasi) yang baik, ukuran butir dan ketebalan bergradasi secara lateral, dan
Semakin jauh dari pusat erupsi ukuran butir semakin halus (Gambar III.26).
Gambar III. 26. Tipe Fasies Gunungapi menurut Bogie & Mackenzie (1998) dan Endapan Piroklastik menurut Cas & Wright (1987) pada Satuan Tuf Gelas ditunjukan pada kotak merah.
53
III.2.5.3. Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan stratigrafi regional Tanjungkarang oleh Mangga dkk., (1994) satuan
ini dapat disetarakan dengan Formasi Lampung (Qtl) yang berumur Plio –
Plistosen. Lingkungan pengendapan satuan ini berdasarkan analisis petrografi dan
didukung oleh interprestasi dari penelitian sebelumnya serta diwakili oleh sampel
batuan pada lokasi pengamatan TF-01 adalah bahwa batuan pada satuan ini
ditafsirkan sebagai bagian dari aktivitas vulkanik berumur Pliosen hingga
Plistosen yang terendapkan di lingkungan teresterial (Mangga dkk., 1994), oleh
mekanisme pengendapan jatuhan berdasarkan Cas & Wright, (1987).
III.2.6. Endapan Aluvial
III.2.6.2. Penyebaran dan Kedalaman
Satuan ini menempati ± 7% dari luas keseluruhan daerah penelitian, yang
menempati bagian baratdaya daerah penelitian. Pada peta geologi daerah
(Lampiran A-1) satuan ini diberi warna abu – abu. Satuan ini terendap baik di
Panjang (Al-109) (Gambar III.27). Elevasi dari satuan ini berkisar antara 0
sampai dengan 50 meter diatas permukaaan laut dan ketebalan dari satuan ini
berdasarkan pengukuran menggunakan penampang geologi adalah kurang dari
100 meter.
54
Gambar III. 27. Kenampakan Endapan Aluvial Pada stasiun pengamatan Al-109
III.2.6.2. Ciri Litologi
Satuan ini tersusun oleh material lepas berukuran pasir sampai kerakal yang terdiri
dari fragmen breksi, kuarsit, sekis, tonalit, dan tuf.
III.2.6.3. Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan stratigrafi regional Tanjungkarang oleh Mangga dkk., (1994) satuan
ini dapat disetarakan dengan Endapan Aluvium (Qa) yang berumur holosen.
Lingkungan pengendapan satuan ini berdasarkan pengamatan di lapangan
terendapkan di lingkungan fluviatil. Dari ciri – ciri endapan yang diamati pada
satuan ini berupa fragmen breksi, kuarsit, sekis, tonalit, dan tuf merupakan hasil
dari pelapukan dan erosi dari litologi tersebut kemudian terendapkan di bagian
hilir sebelah baratdaya daerah penelitian.
55
III.3. Struktur Geologi Daerah Penelitian
Identifikasi struktur geologi daerah penelitan dilakukan dengan cara pengamatan
pola kelurusan dari gabungan antara citra Shuttle Radar Topography Mission
(SRTM) dan data Digital Elevation Model (DEM) daerah penelitian menggunakan
perangkat lunak Global Mapper. Kelurusan yang terdapat di daerah penelitian
dapat diartikan sebagai elemen linear geomorfologi yang merepresentasikan
struktur geologi atau kontak litologi. Kenampakan kelurusan di permukaan bumi
dicerminkan dengan adanya kelurusan morfologi yang disebabkan oleh relief,
seperti kelurusan lembah, punggungan, dan sungai. Selain itu juga kelurusan rona
yang disebabkan perbedaan kontras objek di permukaan bumi, seperti kelurusan
vegetasi, perbedaan kelembaban dan warna tanah (Sidarto, 2010). Berdasarkan
penarikan kelurusan punggungan pada peta topografi 1 : 25.000 dan SRTM di
daerah penelitian Pola kelurusan punggungan dan lembahan di daerah penelitian
mempunyai arah kelurusan yang dominan berarah baratlaut-tenggara dan
timurlaut-baratdaya (Gambar III.28).
Gambar III. 28. Pola kelurusan punggungan dan lembahan di daerah
penelitian berarah baratlaut - tenggara dan timurlaut-baratdaua berdasarkan citra SRTM dan data DEM.
56
Analisis struktur geologi daerah penelitian dilakukan dengan pengukuran struktur
geologi yang teramati di lapangan seperti kedudukan lapisan dan rekahan, serta
berdasarkan interpretasi kelurusan pada peta topografi dan SRTM. Berdasarkan
hasil pengukuran dan analisis, Pada daerah penelitian terdapat dua jenis struktur
geologi, yaitu struktur primer dan struktur sekunder. Struktur primer adalah
struktur yang terbentuk bersamaan dengan terbentuknya batuan. Struktur primer
yang terdapat di daerah penelitian yaitu bedding atau perlapisan pada batuan.
Sedangkan Struktur sekunder adalah struktur yang terbentuk tidak bersamaan
dengan proses pembentukan batuan.
Pada daerah penelitian bukti struktur sekunder yang ditemukan adalah kekar gerus.
Hasil analisis dari kekar gerus kemudian dipadukan dengan analisis kelurusan
yang didapatkan pada citra SRTM yang menunjukkan adanya tegasan-tegasan
dengan arah gaya tertentu pada daerah penelitian. Bukti-bukti adanya struktur
geologi yang terbentuk di daerah penelitian adalah sebagai berikut:
III.2.1. Perlapisan (Bedding)
Struktur ini terletak di stasiun pengamatan TF-1 dan stasiun pengamatan TF-23
keduanya terletak di Bagian utara daerah penelitian. Kenampakan struktur
perlapisan di stasiun pengamatan TF-1 tersingkap di dinding sungai pada satuan tuf
gelas dengan kedudukan N12°E/5°SE dan kenampakan struktur perlapisan di
stasiun pengamatan TF-23 tersingkap di tebing pada singkapan berlitologi tuf
kristal dengan kedudukan N264°E/43°SE. struktur perlapisan pada tuf ini
diakibatkan karena material vulkanik yang jatuh ke darat melalui medium udara
selama letusan gunung berapi dengan erupsi eksplosif secara berangsur angsur
(Fisher, R.V., Schmincke, H.-U., 1984) (Gambar III.29).
57
Gambar III. 29. Kenampakan struktur perlapisan di stasiun pengamatan 1 (kiri) dan 23 (kanan).
III.3.2. Kekar Gerus (Shear Fracture)
Kenampakan struktur ini terlihat berupa rekahan-rekahan pada singkapan batuan
yang nampak segar sampai lapuk. Struktur ini pada umumya bersifat tertutup dan
membentuk pola saling berpotongan membentuk sudut lancip searah gaya utama.
Kekar ini terjadi akibat stress yang cenderung mengelincir bidang satu sama
lainnya yang berdekatan (Hoobs dkk., 1976). Struktur ini terletak di beberapa
stasiun pengamatan di daerah penelitian yaitu pada stasiun 15, 23, 35, 46, 53, 75,
87, 88, 91 dan 114. Berdasarkan data hasil pengukuran di lapangan, diperoleh
beberapa nilai strike dan dip pada daerah yang terdapat kekar.
Data ini yang kemudian dimasukkan ke dalam perangkat lunak Dips 7.0 untuk
menghasilkan diagram Roset untuk mengetahui pola tegasan dari data kekar yang
didapatkan kemudian dianalisis menggunakan Principal Stress Anderson, (1951)
(Gambar III.30).
58
Gambar III. 30. Klasifikasi sesar menurut Anderson, (1951).
III.3.2.1. Kekar TF-15
Pada kekar ini memiliki arah dominan baratlaut – tenggara yang berada di
sebelah utara daarah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun
pengamatan ini terdapat pada litologi Tuf Kristal dan merupakan jenis kekar gerus
karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup.
Berdasarkan hasil analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini
memiliki orientasi σ1 27°, 154°E, σ2 62°, 341°E, dan σ3 3°, 254°E
Berdasarkan Principal Stress menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan
manifestasi dari sesar mendatar karena besaran sudut plunge dominan pada σ2
(Gambar III.24).
Gambar III. 31. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan TF-15 memiliki arah
dominan baratlaut – tenggara.
59
III.3.2.2. Kekar TF-23
Pada kekar ini memiliki arah dominan baratlaut – tenggara yang berada di sebelah
baratlaut daarah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun pengamatan ini
terdapat pada litologi tuf kristal dan merupakan jenis kekar gerus karena
memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup. Berdasarkan hasil
analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini memiliki orientasi σ1
03°, N223°E, σ2 29°, N126°E, dan σ3 49°, N314°E. Berdasarkan Principal Stress
menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan manifestasi dari sesar naik karena
besaran sudut plunge dominan pada σ3 (Gambar III.31).
Gambar III. 32. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan TF-23 memiliki arah
dominan baratlaut-tenggara.
III.3.2.3. Kekar BK-35
Pada kekar ini memiliki arah dominan baratlaut – tenggara yang berada di
sebelah timurlaut daarah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun
pengamatan ini terdapat pada litologi tonalit dan merupakan jenis kekar gerus
karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup. Berdasarkan
hasil analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini memiliki
orientasi σ1 52°, N357°E, σ2 36°, N175°E, dan σ3 03°, N267°E. Berdasarkan
Principal Stress menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan manifestasi dari
sesar normal karena besaran sudut plunge dominan pada σ1 (Gambar III.32).
60
Gambar III. 33. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan BK-35 memiliki arah
dominan baratlaut-tenggara.
III.3.2.4. Kekar BRV-46
Pada kekar ini memiliki arah dominan baratlaut – tenggara yang berada di
sebelah timurlaut daerah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun
pengamatan ini terdapat pada litologi breksi vulkanik dan merupakan jenis kekar
gerus karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup. Berdasarkan
hasil analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini memiliki orientasi
σ1 74°, N161°E, σ2 15°, N334°E, dan σ3 02°, N65°E. Berdasarkan Principal
Stress menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan manifestasi dari sesar
normal karena besaran sudut plunge dominan pada σ1 (Gambar III.33).
Gambar III. 34. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan BRV-46 memiliki arah
dominan baratlaut-tenggara.
61
III.3.2.5. Kekar TF-53
Pada kekar ini memiliki arah dominan baratdaya – timurlaut yang berada di
sebelah barat daerah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun
pengamatan ini terdapat pada litologi tuf kristal dan merupakan jenis kekar gerus
karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup. Berdasarkan hasil
analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini memiliki orientasi σ1
03°, N261°E, σ2 69°, N164°E, dan σ3 20°, N352°E. berdasarkan Principal Stress
menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan manifestasi dari sesar mendatar
karena besaran sudut plunge dominan pada σ2 (Gambar III.34).
Gambar III. 35. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan TF-53 memiliki arah
dominan baratdaya-timurlaut
III.3.2.6. Kekar MT-75
Pada kekar ini memiliki arah dominan baratdaya – timurlaut yang berada di
sebelah timurlaut daerah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun
pengamatan ini terdapat pada litologi sekis klorit dan merupakan jenis kekar
gerus karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup. Berdasarkan
hasil analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini memiliki
orientasi σ1 35°, N29°E, σ2 60°, N204°E, dan σ3 03°, N303°E. Berdasarkan
Principal Stress menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan manifestasi dari
sesar mendatar karena besaran sudut plunge dominan pada σ2 (Gambar
III..35).
62
Gambar III. 36. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan MT-75 memiliki arah
dominan baratdaya-timurlaut
III.3.2.7. Kekar MT-87
Pada kekar ini memiliki arah dominan baratdaya – timurlaut yang berada di
sebelah timurlaut daerah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun
pengamatan ini terdapat pada litologi sekis klorit dan merupakan jenis kekar
gerus karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup.
Berdasarkan hasil analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini
memiliki orientasi σ1 48°, N14°E, σ2 41°, N191°E, dan σ3 01°, N282°E.
Berdasarkan Principal Stress menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan
manifestasi dari sesar normal karena besaran sudut plunge dominan pada σ1
(Gambar III.36).
Gambar III. 37. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan MT-87 memiliki arah
dominan baratdaya-timurlaut.
63
III.3.2.8. Kekar MT-88
Pada kekar ini memiliki arah dominan baratlaut – tenggara yang berada di
sebelah timurlaut daerah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun
pengamatan ini terdapat pada litologi sekis klorit dan merupakan jenis kekar
gerus karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup. Berdasarkan
hasil analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini memiliki orientasi
σ1 55°, N273°E, σ2 32°, N71°E, dan σ3 09°, N167°E. berdasarkan principal
stress menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan manifestasi dari sesar
normal karena besaran sudut plunge dominan pada σ1 (Gambar III.37).
Gambar III. 38. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan MT-88 memiliki arah
dominan baratlaut-tenggara.
III.3.2.9. Kekar MT-91
Pada kekar ini memiliki arah dominan baratdaya – timurlaut yang berada di
sebelah timurlaut daerah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun
pengamatan ini terdapat pada litologi sekis dan merupakan jenis kekar gerus
karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup. Berdasarkan hasil
analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini memiliki orientasi σ1
46°, N161°E, σ2 41°, N328°E, dan σ3 07°, N65°E. Berdasarkan Principal Stress
menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan manifestasi dari sesar normal
karena besaran sudut plunge dominan pada σ1 (Gambar III.38).
64
Gambar III. 39. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan MT-91 memiliki arah
dominan baratlaut-tenggara.
III.3.2.10. Kekar TF-114
Pada kekar ini memiliki arah dominan baratdaya – timurlaut yang berada di
sebelah timurlaut daerah penelitian. Jenis kekar yang terdapat pada stasiun
pengamatan ini terdapat pada litologi tuf kristal dan merupakan jenis kekar
gerus karena memiliki arah yang berpasangan dan bersifat tertutup.
Berdasarkan hasil analisis kinematik, arah tegasan maksimum dari kekar ini
memiliki orientasi σ1 59°, N230°E, σ2 28°, N41°E, dan σ3 04°, N133°E.
berdasarkan Principal Stress menurut Anderson (1951) kekar ini merupakan
manifestasi dari sesar normal karena besaran sudut plunge dominan pada σ1
(Gambar III.39).
Gambar III. 40. Analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan TF-114 memiliki arah
dominan baratdaya - timurlaut.
65
Pola arah umum kekar yang didapatkan dari setiap stasiun pengamatan tersebut
digunakan untuk penarikan kelurusan yang mengindikasikan adanya tegasan
akibat sesar. Dari hasil penarikan kelurusan, menunjukkan bahwa pola kelurusan
didominasi oleh oreantasi baratlaut – tenggara yang mungkin saja merupakan
manifestasi dari tegasan utama sesar mendatar Sinistral Panjang dan arah umum
timurlaut - baratdaya yang merupakan tegasan utama dari sesar mendatar Sinistral
Pidada.
III.3.3. Indikasi Sesar Mendatar Sinistral Pidada
Indikasi struktur ini terletak di daerah panjang tepatnya di Kelurahan Pidada yang
berbatasan dengan desa Merbau Mataram Kabupaten Lampung Selatan.
Kenampakan struktur ini terindikasi dari kelurusan punggungan dan lembahan
pada citra SRTM daerah penelitian yang memiliki pola kelurusan kontur yang
berarah baratdaya – timurlaut dan ditunjukan adanya Offset kelurusan lembahan
yang memanjang relatif berarah utara – selatan terpotong oleh jurus baratdaya -
timurlaut ofset dari pergerakan tersebut memperlihatkan Pergerakan Sinistral
(mengiri). didukung dengan adanya kenampakan kekar gerus pada satuan
pengamatan MT-75 pada batuan sekis klorit di daerah ini dengan melakukan
pengukuran dan pengolahan data kekar yang ada menggunakan perangkat lunak
Dips 7.0, dan arah foliasi pada batuan sekis yang terletak di stasiun pengamatan
MT-75 yang berarah baratdaya – timurlaut.
Dari hasil analisis kinematik data kekar pada stasiun pengamatan MT-75,
didapatkan arah tegasan maksimum yang memiliki orientasi σ1 35°, 29°E, σ2
60°, 204°E, dan σ3 03°, 303°E Berdasarkan principal stress menurut
(Anderson, 1951) kekar ini merupakan manifestasi dari sesar mendatar karena
besaran sudut plunge dominan pada σ2 (Gambar III.40).
66
Gambar III. 41. Indikasi sesar pada citra SRTM dan kenampakan kekar pada singkapan dan
Analisis stereografi dari data kekar yang didapatkan pada stasiun pengamatan MT-75.
III.3.4. Indikasi Sesar Mendatar Dekstral Campang
Indikasi struktur ini terletak di sebelah utara tepatnya di Kelurahan Campangraya.
Kenampakan struktur ini terindikasi dari kelurusan punggungan dan lembahan
dari Bukit Balu pada citra SRTM daerah penelitian yang memiliki pola kelurusan
kontur yang berarah baratdaya – timurlaut dan didukung dengan adanya
kenampakan cermin sesar pada satuan pengamatan TF-27 pada batuan tuf kristal
di daerah ini dengan melakukan pengukuran dan pengolahan data cermin sesar
menggunakan perangkat lunak Dips 7.0 (Gambar III.41). Dari hasil analisis yang
dilakukan dengan kedudukan bidang sesar N39oE/68oSE, sesar tersebut termasuk
ke dalam jenis sesar mendatar dekstral menurut klasifikasi Rikard (1972) karena
mempunyai arah (trend) N37oE dan sudut penunjaman sebesar 7o bidang sesar,
besar sudut dari Rake sebesar 7o, dari besaran rake tersebut digolongkan kedalam
sesar mendatar menganan (Right Slip Fault) (Gambar III.42).
67
Gambar III. 42. Kenampakan indikasi sesar pada citra SRTM dan kekar pada singkapan stasiun pengamatan TF- 27 dan kenampakan struktur gores gaaris dengan arah baratdaya pada singkapan
tuf pada stasium pengamatan TF 27.
Gambar III. 43. Analisis data gores – garis pada stasiun TF-27 menurut Klasifikasi Rikard (1972) yang menunjukkan jenis sesar dari sesar campangraya merupakan jenis sesar mendatar menganan.
68
III.3.5. Indikasi Sesar Mendatar Sinistral Panjang
Indikasi struktur ini terletak di sepanjang baratdaya daerah penelitian, yang
merujuk pada penelitian terdahulu pada peta geologi lembar tanjung karang
menurut Mangga dkk., (1993) yang menafsirkan adanya sesar mendatar yang
berarah baratlaut – tenggara dengan pergerakan sinistral (cenderung mengiri) di
daerah ini. Didukung dengan penafsiran pada topografi citra DEM daerah
penelitian yang menunjukkan adanya pola kelurusan punggungan berarah
baratlaut – tenggara (Gambar III.43).
Gambar III. 44. Penafsiran pada topografi Citra DEM yang menunjukkan sesar dibagian
baratdaya daerah penelitian yang didukung dari data penelitian terdahulu oleh Mangga dkk., (1993) dan adanya pola kelurusan punggungan berarah baratlaut – tenggara.
III.3.5. Analisis Tegasan Utama dengan Pendekatan Pure Shear model
Moody & Hill (1956)
Mengacu pada penelitian terdahulu oleh Mangga dkk., (1994) bahwa struktur
struktur yang berada di Lembar Tanjungkarang umumnya mempunyai arah
baratlaut – tenggara dan timurlaut – baratdaya, arah – arah tersebut berpasangan
sehingga membentuk pola tegasan utama yang umumnya berarah utara – selatan.
69
Pada sesar mendatar dekstral Campangraya dan sesar mendatar sinistral Panjang
dengan pendekatan Pure Shear oleh Moddy & Hill (1956) adalah satu sistem sesar
dengan pola tegasan barat – timur yang dimana menurut Mangga dkk., (1994)
pola tegasan tersebut berumur Plio – Plistosen (Gambar III.45). Pola tegasan
tersebut diperkirakan karena pengaruh aktivitas konvergensi di tepi barat Paparan
Sunda yang menyebabkan teraktifkannya struktur – struktur tersebut khususnya
sistem sesar Sumatera, dimana sesar – sesar dengan pola tegasan barat – timur
yang ada di daerah penelitian termasuk dalam bagian dari sistem sesar ini yang
berlangsung selama periode tersebut.
Pada sesar mendatar sinistral Pidada penulis mengaitkan sesar ini dengan sesar
yang ada di luar daerah penelitian, namun masih termasuk dalam peta geologi
regional Lembar Tanjungkarang oleh Mangga dkk., (1994). Dengan konsep
pemodelan sesar oleh Moddy & Hill (1956) antara sesar medatar sinistral Pidada
dengan sesar regional tersebut membentuk pola berpasangan dimana pada sesar
mendatar sinistra Pidada berarah timurlaut – baratdaya dan sesar regional pada
lembar tanjungkarang tersebut memiliki arah tenggara – baratlaut. Dari
pemodelan ini diketahui bahwa kedua sesar tersebut mempunyai pola tegasan
utara – selatan, dimana pola tegasan tersebut teraktifkan pada periode Oligo –
Miosen (Mangga dkk., 1994) (Gambar III.45). Pola tegasan tersebut terjadi
akibat dari aktivitas tektonik Oligosen Akhir sampai Miosen Awal berupa gerak
tensional pada cekungan Sumatera Selatan berarah utara – selatan yang
menyebabkan pengangkatan pada tepi – tepi cekungan tersebut (Pulonggono dkk.,
1992).
70
Gambar III. 45. Pemodelan arah tegasan utama dengan pendekatan pure shear Moddy & Hill
(1956) pada daerah penelitian.
Top Related