AN ANALYSIS ON THE POSITION OF GENERAL ELECTION COMMISSION (KPU) AS AN INDEPENDENT INSTITUTION IN
INDONESIA STATE GOVERNANCE SYSTEM.
Thesis
Oleh :
Lylych Indar MerdekawatyE.0005028
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS SEBELAS MARET
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah negara kesatuan yang
berbentuk republik dan menjalankan pemerintahan dalam bentuk demokrasi. Demokrasi berarti
rakyat berhak menentukan nasibnya sendiri. Kehendak politik (political will) untuk
menyelenggarakan negara Indonesia berdasarkan prinsip demokrasi bukanlah hal baru. Sejak awal
berdirinya NKRI, para pendiri bangsa ini (founding fathers) sudah memiliki kehendak politik agar
NKRI harus berdasarkan prinsip demokrasi itu sendiri yang dicantumkan dalam UUD 1945 sebagai
dasar negara Indonesia.
Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen dikatakan dengan jelas bahwa
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar”. Dalam
pasal tersebut dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang artinya rakyatlah yang
memiliki kekuasaan terringgi dalam negara. Kedaulatan rakyat dalam negara dijalankan melalui
sistem perwakilan yaitu demokrasi dengan perwakilan (representatif democracy) ataupun
demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat melalui
wakilnya tersebut adalah melalui mekanisme pemilihan umum. Sehingga dalam hal ini pemilu
merupakan salah satu mekanisme demokrasi yang dijalankan di Indonesia.
Selain itu, dalam Pasal 28 UUD 1945 juga memberikan hak untuk berkumpul dan berserikat
serta kebebasan untuk menyatakan pendapat sebagai perwujudan dari demokrasi. Prinsip demokrasi
juga tersirat dalam sila ke empat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Dengan UUD 1945 dan Pancasila, demokrasi
di Indonesia bersifat normatif, yakni suatu keharusan untuk menjalankannya.
Demokrasi dalam sebuah negara ditandai oleh beberapa hal, yaitu adanya pemilihan umum,
kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat dan pelaksanaan
hukum. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pemilu di Indonesia merupakan salah satu
mekanisme demokratis untuk melakukan pergantian pemimpin. Pemilu di Indonesia diadakan
secara berkala setiap 5 (lima) tahun sekali dengan tujuan untuk menjamin regulasi kepemimpinan
baik dalam cabang eksekutif dan legislatif sehingga tidak terjadi kepemimpinan yang bersifat
absolut (mutlak). Sudah sepuluh kali bangsa Indonesia menyelenggarakan pesta rakyat itu yaitu
diawali pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Pemilu di
Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD
provinsi, DPRD kabupaten/kota dan DPD sampai dengan akan dilakukannya amandemen keempat
UUD 1945. Pada awalnya, pemilu di Indonesia diselenggarakan oleh Pemerintah (Departemen
Dalam Negeri) melalui lembaga yang diberi nama Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Lembaga ini
dikendalikan oleh Depdagri dan ketua ex officio adalah Menteri Dalam Negeri. Lembaga Pemilihan
Umum bertahan hingga penyelenggaraan pemilu terakhir pada masa orde baru yaitu tahun 1997
karena ternyata dalam menyelenggarakan pemilu masih berada di bawah pengaruh pemerintah.
Sekalipun demikian, sejarah perjalanan demokrasi di Indonesia tidaklah mulus. Dekrit
Presiden Soeharto 5 Juli 1959 dan pemberlakuan sistem demokrasi terpimpin merupakan penodaan
terhadap demokrasi. Dekrit dan sistem demokrasi terpimpin itu berarti kekuasaan atau kedaulatan
berada di tangan presiden, dan bukan lagi di tangan rakyat sebagaimana yang diamanatkan UUD
1945. Perjalanan demokrasi menjadi berhenti di era orde baru. Sistem kepartaian tertutup dan
terbatas, kekuasaan Presiden Soeharto yang besar, penyelenggaraan pemilu yang manipulatif adalah
beberapa contoh yang menggambarkan bahwa sama sekali tidak ada demokrasi selama orde baru.
Secara umum, pemilu yang diselenggarakan pada masa orde baru dianggap oleh kebanyakan
masyarakat tidak berlangsung secara demokratis. Berbagai strategi dihalalkan oleh sebuah partai
yang berkuasa pada saat itu untuk terus memenangkan pemilu. Hal ini berlangsung hingga
dikumandangkannya reformasi pada tahun 1998.
Gerakan reformasi yang dimulai pada tahun 1998 tersebut mengakibatkan sistem
ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahanperubahan struktural yang besar dan mendasar
yaitu terjadinya perubahan politik pemerintahan dan perubahan UUD 1945 sebagai dasar negara
Indonesia. Sebelum tahun 1998, secara simbolis ada dua hal yang tidak terbayangkan dilakukannya
perubahan, yaitu (i) dalam jabatan kepresidenan. Berdasarkan Pasal 7 UUD 1945 sebelum
amandemen yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Dalam pasal ini tidak diberikan batasan sampai
berapa kali jabatan Presiden dan Wakil Presiden tersebut dapat dipilih kembali, yang pada saat itu
Presiden Soeharto dengan otoritasnya memegang jabatan sebagai Presiden sehingga terpilih terus
menjadi Presiden sampai kurang lebih 32 tahun. Hal ini memimbulkan pemikiran bahwa tidak akan
ada penggantian jabatan tersebut selama ia masih berkuasa sebagai presiden dengan otoritasnya dan
(ii) perubahan terhadap UUD 1945 yang cenderung dikeramatkan. Hal ini didasarkan pada Pasal
104 TAP MPR No IV/MPR/1983 di mana MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945,
tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakan
secara konsekwen. Oleh karena itu, tumbuh pemikiran bahwa sampai kapan pun tidak akan ada
perubahan terhadap UUD 1945 tersebut. Akan tetapi, reformasi politik pada tahun 1998 tersebut
yang kemudian diikuti dengan reformasi konstitusi (UUD 1945) tahun 1999 sampai dengan tahun
2002, telah menunjukkan adanya peralihan kekuasaan, perubahan konstitusi Indonesia yang
mengubah supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi.
Krisis ekonomi yang juga terjadi di Indonesia tahun 1998 mengakibatkan runtuhnya
kekuasaan Presiden Soeharto dari jabatan Presiden tanggal 21 Mei 1998 yang telah berjalan selama
kurang lebih 32 tahun. Setelah melewati masa transisi yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie
selama kurang lebih 13 bulan, tuntutan kebutuhan akan sistem ketatanegaraan yang lebih baik pun
mulai berusaha diwujudkan oleh para petinggi di negara ini. Tahun 1999 menjadi tonggak yang
menyadarkan bangsa Indonesia bahwa gagasan untuk menyakralkan UUD 1945 oleh Soeharto pada
saat masih berkuasa tidaklah sesuai dalam kehidupan bernegara. Selama kurang lebih empat tahun,
dari 1999 hingga 2002, MPR telah melakukan empat tahap perubahan (amandemen) yang amat
mendasar terhadap UUD 1945.
Adanya penyelenggaraan pemilu yang manipulatif dan terhentinya sistem demokrasi pada
masa orde baru menyebabkan banyak kalangan yang tidak terima sehingga ingin melakukan
perubahan sistem ketatanegaraan menjadi demokratis kembali. Oleh karena itu, dengan adanya
reformasi pada masa orde baru diharapkan dapat menciptakan pemilu yang berkualitas dengan
membentuk suatu penyelenggara pemilu yang mandiri. Selanjutnya pemerintah membentuk suatu
Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu sebagaimana diamanatkan dalam Paal 22E
ayat (5) UUD 1945 pasca amandemen.
Runtuhnya orde baru tersebut, memberikan angin segar di tengah masyarakat yang haus
akan pendidikan politik dan berhasrat untuk belajar berdemokrasi. Pemilu 1999 merupakan pemilu
pertama di Indonesia yang dianggap dunia internasional sebagai pemilu yang demokratis. Dengan
menambahkan asas jujur dan adil (jurdil) dibelakang langsung, umum, bebas dan rahasia (luber),
pemilu 1999 untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh lembaga independen bernama KPU.
Pelaksanaannya pun sangat terbuka di bawah pengawasan dari lembaga pengawas independen baik
lokal maupun asing. Perubahan positif juga terjadi pada susunan dan kedudukan lembaga legislatif
dan eksekutif. Kini, Presiden tidak lagi menjadi mandataris MPR karena Presiden bersama
wakilnya dipilih langsung oleh rakyat, sehingga peran lembaga legislatif hanya sebagai pengawas
terhadap pelaksanaan pemerintahan.
Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden
(pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat
sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam mekanisme pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu
diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan UndangUndang Nomor 22
Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai
bagian dari mekanisme pemilu. Di tengah masyarakat, istilah pemilu lebih sering tertuju kepada
pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan
rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan
Undangundang Dasar 1945. Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum
yang mempunyai integritas, profesionalitas dan akuntabititas. Tujuan dari diselenggarakannya
pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan
yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan
nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi
Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Amanat konstitusi tersebut untuk
memenuhi tuntutan perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat dan perkembangan
demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping itu
wilayah negara Indonesia yang besar dan menyebar di seluruh nusantara serta memiliki
kompleksitas nasional menuntut penyelenggara pemilihan umum yang profesional dan memiliki
kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Hal ini tercantum dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan UU tentang Pemilu.
Pembentukan KPU yang demikian tidak bisa dilepaskan dengan aktivitas KPU pada pemilu 1999.
Pada saat itu KPU beranggotakan para fungsionaris partai peserta Pemilu. Dalam perjalanan KPU
saat itu, publik melihat secara jelas bagaimana sangat kuatnya unsur kepentingan (interest)
mewarnai setiap kegiatan KPU, sehingga sangat sering dalam pembahasan keputusankeputusan
KPU harus menghadapi situasi deadlock (jalan buntu). Kenyataan ini tentu tidaklah
menggembirakan, khususnya dilihat dari sudut pengembangan citra dan perkembangan KPU
sebagai lembaga penyelenggara Pemilu.
Satu tahun setelah penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) tahun 1999, pemerintah
bersama DPR mengeluarkan UU No 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No 3 Tahun 1999
tentang Pemilu. Pokok isi dari UU No. 4 Tahun 2000 adalah adanya perubahan penting, yaitu bahwa
penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2004 dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yang independen dan nonpartisan. Dalam Penjelasan Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2000
disebutkan bahwa KPU yang independen dan nonpartisan berarti KPU yang bebas, mandiri dan
tidak berada di bawah pengaruh serta tidak berpihak kepada seseorang, kelompok tertentu, partai
politik dan/atau Pemerintah.. KPU baru ini terdiri atas para anggota yang dipilih dari orangorang
yang independen dan nonpartisan. Atas dasar pemikiran bahwa KPU sebagai lembaga
penyelenggara Pemilu seharusnya bebas dari tekanan kepentingankepentingan, serta kuatnya
tuntutan dari banyak pihak bahwa lembaga penyelenggara Pemilu harus bersih dari intervensi partai
politik dan pemerintah, maka DPR bersama pemerintah mengeluarkan UU No.4 tahun 2000 yang
secara tegas menyatakan bahwa anggota KPU terdiri dari orangorang independen dan non partisan.
Sifat independen dan nonpartisan KPU saat ini tercermin dari proses seleksi calon anggota KPU.
Dari semua calon anggota KPU yang diajukan presiden kepada DPR untuk mendapat persetujuan,
tidak satu pun yang berasal dari partai politik. Pada umumnya para calon berasal dari kalangan
Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Seluruh anggota KPU dan perangkat
pendukungnya menyadari bahwa rakyat menghendaki Pemilu 2004 lebih berkualitas dari pemilu
pemilu sebelumnya. Oleh karena itu, pada Pemilu 2004, KPU harus mampu meyelenggarakan
pemilu dengan tetap mengedepankan pencapaian asasasas umum penyelenggaraan pemilu, yaitu;
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta beradab. Guna mendukung tercapainya sasaran
tersebut, KPU menyiapkan sejumlah peraturan yang berlaku untuk penyelenggara Pemilu. Misalnya
Peraturan Tata Tertib KPU dan Kode Etik Pemilu (http://kpi.bandaacehkota.go.id/sejarahkpu).
Ditinjau dari segi kelembagaannya, maka menurut ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amandemen keempat (tahun 2002), KPU merupakan
lembaga independen yang mendapatkan kewenangan dari UndangUndang untuk menyelenggarakan
kegiatan pemilihan umum. Namun demikian, dalam ketentuan tersebut nama KPU tidak disebut
secara pasti, tetapi hanya disebutkan fungsinya dan kewenangannya dinyatakan akan diatur dengan
undangundang. Kedudukan KPU dan lembagalembaga baru lain sebelumnya dianggap
sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen
sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan
pengangkatan dan pemberhentian pimpinannya. Independensi KPU dan lembagalembaga baru
tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan
pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk
menyusun skripsi dengan judul : ANALISIS KEDUDUKAN KOMISI PEMILIHAN UMUM
(KPU) SEBAGAI LEMBAGA INDEPENDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
INDONESIA
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam setiap penelitian karena
dibuat untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan siatematis sehingga
penelitian akan lebih terarah pada sasaran yang akan dicapai. Perumusan masalah dibuat untuk
lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditemukan suatu pemecahan masalah
yang tepat dan mencapai tujuan.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini meliputi :
1. Bagaimanakah kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia ?
2. Apakah tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen
dalam penyelenggaraan pemilu ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan suatu target yang ingin dicapai dalam suatu penelitian sebagai
suatu solusi atas masalah yang dihadapi (tujuan obyektif), maupun untuk memenuhi kebutuhan
perorangan (tujuan subyektif). Dalam penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk menganalisis kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga
independen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
b. Untuk mengetahui tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga
independen dalam penyelenggaraan pemilu.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperluas dan memperdalam wawasan, pengetahuan dan kemampuan penulis
mengenai ilmu hukum khususnya di bidang Hukum Tata Negara dan terutama mengenai
kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia serta untuk mengetahui tugas dan wewenang Komisi Pemilihan
Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalam penyelenggaraan pemilu.
b. Memberikan sumbangan dan masukan guna pengembangan ilmu hukum khususnya
Hukum Tata Negara, terutana yang menyangkut mengenai Komisi Pemilihan Umum (KPU).
c. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan hasilnya dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara
praktis.
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini mampu menyumbangkan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum
pada umumnya dan Hukum Tata Negara pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana dan memperkaya referensi dalam
dunia kepustakaan mengenai kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga
independen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia serta untuk mengetahui tugas dan
wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalam
penyelenggaraan pemilu.
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan terhadap penelitianpenelitian sejenis
untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Guna mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk
mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Sebagai bahan masukan bagi pihak yang terkait langsung dengan penelitian ini.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan faktor penting dalam penelitian guna mendapatkan data yang
sesuai dengan tujuan penelitian, juga akan mempermudah pengembangan data, sehingga
penyusunan penulisan hukum ini sesuai dengan metode ilmiah. Metode yang dipakai penulis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah
penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahanbahan tersebut kemudian disusun
secara sistematis, dikaji kemudian dibandingkan dan ditarik suatu kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti. (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001:1314).
2. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian hukum ini penulis tidak menentukan batasan lokasi penelitian. Pada
hakikatnya dalam suatu penelitian normatif, lokasi penelitian adalah sematamata menjadi
sumber diketemukannya datadata, teoriteori, konsepkonsep yang mendukung dan relevan
terhadap penelitian normatif sebagaimana di maksud.
3. Sifat Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang memberikan gambaran secara lengkap dan sistematif terhadap obyek yang
diteliti.
Suatu penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan
data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejalagejala lainnya. Maksudnya
adalah terutama untuk mempertegas hipotesahipotesa, agar dapat membantu di dalam
memperkuat teoriteori lama, atau di dalam kerangka menyusun teoriteori baru. (Soerjono
Soekanto,1986:10).
4. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, yaitu pendekatan undang
undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan histories (historical
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) menurut (Peter Mahmud
Marzuki, 2005:93). Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan
penelitian hukum ini adalah pendekatan undangundang (statute approach). Pendekatan
undangundang yang di maksud adalah menelaah undangundang dan regulasi yang terkait
dengan isu hukum yang diangkat, dalam hal ini yang di maksud lebih mengarah pada Undang
Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelengara Pemilu, untuk selanjutnya penelitian ini
menganalisis kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalan
sistem ketatanegaraan Indonesia.
5. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Pengertian data secara umum, yaitu semua informasi mengenai variabel atau obyek yang
diteliti. Lazimnya dalam penelitian dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari
masyarakat dan dari buku pustaka. Data yang diperoleh langsung dari masyarakat disebut data
primer atau primary data dan data yang diperoleh dari buku pustaka disebut data sekunder atau
secondary data (Soerjono Soekanto,1986:11). Datadata yang diperoleh dalam penelitian ini
adalah data dasar yang berupa data sekunder yang berupa :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum atau bahan pustaka yang
mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, adapun yang penulis gunakan adalah :
1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) UndangUndang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No 3 Tahun 1999
tentang Pemilu
3) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
4) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
5) UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu
6) UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
7) UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum sekunder adalah bahan
bahan berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen
resmi, meliputi bukubuku teks, kamuskamus hukum, jurnaljurnal hukum, dan komentar
komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005:141). Bahan penelitian
yang digunakan adalah bukubuku yang terkait dengan materi/bahasan yang penulis
gunakan yaitu buku yang membahas mengenai kedudukan Komisi Pemilihan Umum sebagai
lembaga independen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan bukubuku yang
membahas tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan pemilu
seperti :
1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan/ terkait dalam penelitian ini.
2) Hasilhasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.
3) Bukubuku penunjang lain.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini ,
penulis menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk mencari istilahistilah guna
menjelaskan halhal yang tercantum dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
diantaranya bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini.
6. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Soerjono dan Abdurrahman, teknik pengolahan data adalah bagaimana caranya
mengolah data yang berhasil dikumpulkan untuk memungkinkan penelitian bersangkutan
melakukan analisa yang sebaikbaiknya (Soerjono dan Abdurrahman, 2003:46). Dalam
penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah dengan studi dokumen
atau bahan pustaka, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan bahanbahan
yang berupa bukubuku dan bahan pustaka lainnya yang ada hubungannya dengan masalah yang
diteliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Metode pengumpulan data ini berguna
untuk mendapatkan landasan teori yang berupa pendapat para ahli mengenai hal yang menjadi
obyek penelitian seperti peraturan perundangan yang berlaku dan berkaitan dengan halhal yang
diteliti.
7. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian. Karena
dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproes dan dimanfaatkan sedemikian rupa
sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Teknik
analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah teknik analisis data dengan
logika deduktif. Menurut Johny Ibrahim yang mengutip pendapatnya Bernard Arief Shiharta,
logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum
menjadi kasus yang bersifat individual (Bernard Arief Shiharta dalam Johny Ibrahim, 2006:
249). Jadi yang dimaksud dengan pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif adalah
menjelaskan sesuatu dari halhal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik kesimpulan dari hal
itu yang sifatnya lebih khusus.
Dalam hal ini penulis berusaha memperoleh data dengan melakukan inventarisasi
sekaligus mengkaji dari penelitian studi kepustakaan, aturan perundangundangan beserta
dokumendokumen yang dapat membantu menafsirkan norma tersebut dalam mengumpulkan
data, kemudian mengungkapkan faktafakta yang telah diolah dan relevan dengan masalah yang
dikaji akan diuraikan, dihubungkan dan dianalisis sedemikian rupa. Tahap terakhir adalah
menarik kesimpulan dari data yang telah diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui
mengenai kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
dan tugas serta wewenangnya sebagai lembaga independen dalam penyelenggaraan pemilu.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan karya
ilmiah yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan
suatu sistematika penulisan hukum. Penulisan hukum ini terbagi menjadi empat bab, yaitu
pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup, ditambah dengan lampiranlampiran dan
daftar pustaka yang apabila disusun dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, jadwal penelitian dan sistematika
penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang teoriteori yang melandasi penelitian
hukum. Pada bab ini akan dibahas mengenai tinjauan tentang negara hukum,
tinjauan tentang kedaulatan rakyat, tinjauan tentang demokrasi, tinjauan tentang
pemilihan umum (pemilu), serta tinjauan tentang lembaga negara, lembaga
negara independen dan lembaga negara bantu (state auxiliary agencies).
2. Kerangka Pemikiran
Berisi alur pemikiran yang hendak ditempuh oleh penulis, yang dituangkan
dalam bentuk skema atau bagan.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan yaitu
tentang kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia serta untuk mengetahui tugas dan wewenang
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen dalam penyelenggaraan
pemilu.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saransaran terkait dengan
pembahasan permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Negara Hukum
a. Pengertian Negara Hukum
Arti negara hukum pada hakikatnya berakar dari konsep kedaulatan hukum yang
pada prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah
hukum, oleh sebab itu seluruh alat perlengkapan negara apapun namanya termasuk warga
negara harus tunduk dan patuh serta menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali (Hestu
C.Handoyo, 2003:12).
Sudargo Gautama sebagaimana dikutip oleh Budiyanto menyebutkan bahwa dalam
suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan
Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenangwenang. Sehingga tindakantindakan
negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum (Sudargo Gautama dalam Budiyanto,
2003:50). Selanjutnya menurut Prof. R. Djokosutono, S.H. sebagaimana dikutip oleh
Budiyanto berpendapat bahwa negara hukum menurut UUD 1945 adalah negara yang
berdasarkan pada kedaulatan hukum. Hukumlah yang berdaulat atas negara tersebut.
Negara merupakan subjek hukum dalam arti Rechtsstaat atau badan hukum publik
(R.Djokosutono dalam Budiyanto, 2003:50). Selain dua pendapat dari pakar tersebut, di
dalam Penjelasan UUD 1945 juga dikatakan “Negara Indonesia berdasar atas hukum
(rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat)”. Ini mengandung arti
bahwa negara dalam menjalankan aktivitasnya (penyelenggaraan pemerintahannya) tidak
boleh berdasarkan atas kekuasaan belaka tetapi harus berdasarkan pada hukum yang
berlaku (Budiyanto, 2003:5051).
Teori mengenai negara hukum secara umum dibagi dalam dua jenis, yaitu :
1). Teori Negara Hukum Formal
Negara hukum formal yaitu negara hukum yang mendapat pengesahan dari rakyat,
segala tindakan penguasa memerlukan bentuk tertentu, harus berdasarkan undang
undang. Negara hukum formal ini disebut pula dengan negara demokratis yang
berlandaskan Negara hukum (Ni`matul Huda, 2005:6). Berdasarkan pengertian
tersebut, F.J. Stahl dengan konsep Negara Hukum Formal menyusun unsurunsur
Negara hukum adalah :
a) Perlindungan terhadap hakhak asasi manusia;b) Pemisahan kekuasaan;c) Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan undangundang
(legalitas pemerintahan);d) Adanya peradilan administratif yang bebas dan tidak memihak.
Unsurunsur tersebut menjadikan negara berperan sebagai pencipta hukum dan
penegak hukum dalam rangka menjaga ketertiban dan keamanan. Hal yang
mengakibatkan negara bersifat pasif, artinya tugas negara hanya mempertahankan
ketertiban dan keamanan negara saja, atau negara hanya sebagai “penjaga malam”,
sedangkan dalam urusan sosial dan ekonomi, negara tidak boleh mencampurinya.
Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant.
2). Teori Negara Hukum Material (welfare state)
Teori ini menyatakan bahwa negara selain bertugas membina ketertiban umum, juga
ikut bertanggung jawab dalam membina dan mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.
Teori ini dikemukakan oleh Kranenburg dan banyak dipraktekkan di negaranegara
berkembang, seperti di Indonesia (Budiyanto, 2003:51). Unsurunsur dari negara
hukum materiil yaitu : (Hestu C.Handoyo, 2003: 15)
a) Jaminan terhadap hakhak asasi manusia;b) Pemisahan/pembagian kekuasaan;c) Legalitas pemerintahan;d) Peradilan administrasi yang bebas dan tidak memihak;e) Terwujudnya kesejahteraan umum warga negara.
b. Ciriciri Negara Hukum
Amanat konstitusi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Kedaulatan adalah di tangan
rakyat dan dilakukan berdasar UUD”, sesungguhnya telah cukup mengisyaratkan
Indonesia adalah negara demokrasi meski tidak ekplisit dinyatakan demikian. Hanya
ditegaskan “Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum (rechtstaat) adalah ciri
negara modern (negara demokrasi).
Menurut Immanuel Kant sebagaimana dikutip oleh Budiyanto, ada empat prinsip
yang menjadi ciri dari negara hukum, yaitu : (Immanuel Kant dalam Budiyanto,2003:51)
1) Pengakuan dan jaminan atas hakhak asasi manusia.2) Pemisahan kekuasaan untuk menjamin hakhak asasi manusia.3) Legalitas pemerintahan (pemerintahan berdasarkan hukum).4) Pengadilan untuk menyelesaikan masalah yang timbul sebagai akibat pelanggaran hak
asasi manusia.
Menurut Sri Soemantri yang terpenting dalam Negara hukum , yaitu :
1) Bahwa pemerintahan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum atau peraturan perundangundangan;
2) Adanya jaminan terhadap hakhak asasi manusia (warganya);3) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;4) Adanya pengawasan dari badanbadan peradilan (rechterlijke controle).
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, Ismail Suny sebagaimana dikutip oleh
Budiyanto menyimpulkan bahwa prinsipprinsip negara hukum adalah sebagai berikut
(Ismail Suny dalam Budiyanto, 2003:53) :
1) Pengakuan dan perlindungan atas hakhak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial dan kebudayaan. Hal ini berdasarkan ketentuan hukum.
2) Peradilan yang bebas, tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan apapun. Artinya, ada kekuasaan yang terlepas dari kekuasaan pemerintah untuk menjamin hakhak asasi sehingga hakim betulbetul memperoleh putusan yang objektif dalam memutuskan perkara.
3) Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Dengan ini suatu tindakan harus sesuai dengan yang dirumuskan dalam peraturan hukum.
Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie ada 12 (dua belas) prinsip negara
hukum modern (rechtsstaat), yaitu: (Jimly Asshiddiqie, 2005:154162)
1) Supremasi hukum (Supremacy of Law);2) Persamaan dalam hukum (Equality before the law);3) Asas Legalitas (Due process of law);4) Pembatasan kekuasaan;5) Organorgan eksekutif independen;6) Peradilan bebas dan tidak memihak;7) Peradilan tata usaha negara;8) Peradilan tata negara;9) Perlindungan HAM;10) Bersifat demokratis (Democratische Rechsstaat);11) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechtsstaat);12) Transparansi dan kontrol sosial.
Berdasarkan ciriciri di atas, dapat diketahui bahwa Indonesia merupakan negara
hukum di mana hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Selain itu telah disebutkan juga Pembukaan dan
Batang Tubuh UUD 1945 menjamin akan terpenuhinya hakhak warga negara. Di
antaranya dalam Pembukaan alenia I menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap
bangsa. Sedangkan dalam Batang Tubuh UUD 1945 terdapat dalam Pasal 27, 28, 29, 30
dan 31. Ciri yang menyangkut peradilan yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi
oleh kekuatan apapun dapat ditemukan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang
menyebutkan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
c. Macammacam Tipe Negara Hukum
Tipe negara hukum antara satu negara dengan negara yang lain adalah
berbeda. Menurut Budiyanto, di dunia ini terdapat dua tipe negara hukum yang berbeda
pula, yaitu Tipe Anglo Saxon dan Tipe Eropa Kontinental (Budiyanto, 2003:52).
d. Tipe Anglo Saxon, tipe ini bertumpu pada the rule of law. Menurut A.V Dicey,
menyatakan the rule of law terbagi ke dalam (3) tiga unsur pokok berikut (A.V. Dicey
dalam Budiyanto, 2003:52).
a) Supremasi of the law, yaitu hukum memiliki kedudukan yang paling tinggi
(kedaulatan hukum), baik penguasa maupun rakyat harus tunduk pada hukum.
Ciri khas supremasi of the law adalah:(1) Hukum berkuasa penuh terhadap negara dan rakyat;(2) Negara tidak dapat disalahkan, yang salah adalah pejabat negara;(3) Hukum tidak dapat diganggu gugat, kecuali oleh Supreme of Court atau
Mahkamah Agung.b) Equality before the law, yaitu semua warga negara memiliki kedudukan yang
sama dihadapan hukum.c) Constitutional based on Human Right, yaitu adanya jaminan hakhak asasi
warga negara di dalam konstitusi.
Selanjutnya menurut A.V Dicey adapun syaratsyarat dasar agar pemerintahan
demokratis di bawah the rule of law terselenggara yaitu sebagai berikut: (A.V. Dicey
dalam Budiyanto, 2003:52).
h. Perlindungan konstitusional, diatur dalam konstitusi sehingga menjadi kewajiban negara negara untuk melaksanakannya.
i. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, yaitu bersifat independen dan imparsial.
j. Pemilihan umum yang bebas, baik dalam pemilihan umum negara maupun daerah.
k. Kebebasan untuk menyatakan pendapat, namun dalam hal ini kebebasan tersebut harus dapa dipertanggungjawabkan baik kepada Tuhan YME, selama manusia, bangsa dan negara.
l. Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroposisi.m. Pendidikan kewarganegaraan, agar setiap warga negara Indonesia mengetahui
dasar ketatanegaraan Republik Indonesia.
e.Tipe Eropa Kontinental, pada tipe ini yang berdaulat adalah hukum sehingga hukum
memandang negara sebagai subjek hukum yang dapat dituntut apabila melanggar
hukum. Menurut tipe ini, untuk dapat disebut negara hukum yang demokratis, negara
itu harus :
f. Membagi atau memisahkan kekuasaan negara:
g. Menjamin dan melindungi HAM;
h. Mendasarkan tindakannya pada undangundang;
i. Diselenggarakannya Administrasi undangundang itu;
j. Diselenggarakan suatu Peradilan.
d. Sistem Pemerintahan
Istilah sistem pemerintahan berasal dari dua kata, yaitu: “sistem” dan
“pemerintahan”. Sistem berarti keseluruhan yang terdiri dari beberapa bagian yang
mempunyai hubungan fungsional baik antara bagianbagian maupun hubungan fungsional
terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan tersebut menimbulkan suatu ketergantungan
antara bagianbagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan
mempengaruhi keseluruhnya itu. Dan pemerintahan dalam arti luas mempunyai pengertian
segala urusan yang dilakukan negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya
dan kepentingan negara itu sendiri. Dari pengertian itu, maka secara harfiah sistem
pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu bentuk hubungan antar lembaga negara dalam
menyelanggarakan kekuasaankekuasaan negara untuk kepentingan negara itu sendiri
dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.
Sedangkan menurut Sri Soemantri, sistem pemerintahan diartikan sebagai segala
sesuatu yang merupakan perbuatan pemerintahan yang dilakukan oleh organorgan atau
lembagalembaga negara seperti eksekutif, legislatif, yudikatif dan sebagainya, di mana
dengan kekuasaannya masingmasing lembaga negara tersebut saling bekerja sama dan
berhubungan secara fungsional dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat (Sri
Soemantri, 1976:58).
Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa dalam sistem pemerintahan
terdapat pembagian dan pemisahan kekuasaan di antara lembagalembaga negara.
Menurut Miriam Budiardjo, pembagian kekuasaan dapat dibedakan atas : (Miriam
Budihardjo, 2001: 138)
1) Pembagian kekuasaan secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan yang
didasarkan pada fungi maupun mengenai lembaga negara yang melaksanakan
fungsi tersebut.
2) Pembagian kekuasaan secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan di antara
beberapa tingkatan pemerintah yang akan melahirkan garis hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antara pemerintah federal dan
pemerintah negara bagian.
Sedangkan untuk teori pemisahan kekuasaan, pertama kali dikemukakan oleh John
Locke yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif. Seiring dengan
perkembangannya teori pemisahan kekuasaan juga dikemukakan oleh Montesquieu yang
dikenal dengan konsep trias politica yaitu dalam fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Ketiga fungsi kekuasaan negara tersebut dilembagakan masingmasing dalam tiga organ
negara, dengan ketentuan satu organ hanya menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling
mencampuri urusan masingmasing dalam arti yang mutlak (Jimly Asshiddiqie, 2006:vii).
Konsep trias politica saat ini sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan sistem
pemerintahan mengingat ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif
dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Di dalam kenyataannya,
hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan dan bahkan
ketiganya saling sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip
checks and balances (Jimly Asshiddiqie, 2006:vii).
b. Tinjauan Tentang Kedaulatan Rakyat
Menurut Jimly Asshiddiqie, kedaulatan atau souvereiniteit (souverignty) merupakan konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Kata “daulat” dan “kedaulatan” berasal dari kata Arab daulah yang berarti rezim politik atau kekuasaan. Makna aslinya seperti yang dipakai dalam Alquran adalah peredaran dalam konteks pengertian kekuasaan. Perkataan ini dipakai dua kali atau dua tempat, yaitu (i) harihari kekuasaan dipergantikan di antara umat manusia (tilka alayyamu nudawiluha bainna alnaas); dan (ii) hendaklah jangan sampai terjadi bahwa kekayaan hanya beredar di antara orangorang kaya saja (daulatan baina alaghniya). Artinya, akar kata daulat dalam Alquran terkait dengan konsep mengenai kekuasaan di bidang politik dan kekuasaan di bidang politik (Jimly Asshiddiqie, 2007:143).
Menurut teori kedaulatan rakyat segala kekuasaan dalam suatu negara didasarkan pada
kekuasaan rakyat bersama. Gagasan bahwa rakyat yang berdaulat, dapat disimpulkan dari
kenyataan bahwa yang terbaik dalam suatu masyarakat adalah apa yang dianggap baik oleh
semua orang yang merupakan rakyat (Hassan Suryono, 2005: 59).
Dalam sistem kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dalam
arti kekuasaan tersebut berasal dan dikelola oleh rakyat untuk kepentingan seluruh rakyat
tersebut. Sedangkan dalam sistem participatory democracy kekuasaan pemerintahan itu
berasal dari, untuk, oleh dan bersama rakyat (Jimly Asshiddiqie, 2006: 141).
Kekuasaan tertinggi tersebut dibatasi oleh kesepakatan yang telah ditentukan oleh
rakyat secara bersamasama dalam rumusan konstitusi. Konstitusi ini yang mengatur dan
membatasi bagaimana kedaulatan disalurkan, dijalankan dan diselenggarakan dalam suatu
negara. Dengan kata lain, rakyatlah pemilik tetap kedaulatan dalam suatu negara dengan
segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara, baik di bidang
legislatif, eksekutif dan yudikatif yang manfaatnya tidak lain hanya ditujukan bagi rakyat
(Jimly Asshiddiqie, 2006:142).
Selain dalam bentuk konstitusi prinsip kedaulatan rakyat juga terlihat dalam struktur
dan mekanisme kelembagaan dan pemerintahan. Dari segi kelembagaan, biasanya
diorganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) yang bersifat
horizontal atau pembagian kekuasan (distribution atau division of power) yang bersifat
vertikal ke bawah kepada lembagalembaga negara yang saling sederajad dan saling
mengimbangi (check and balance) (Jimly Asshiddiqie, 2006:165).
Sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan tertinggi di Indonesia dipegang oleh
MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat. Selanjutnya kekuasaan tersebut dibagikan kepada
lembaga tinggi negara (distribution atau division of power). Akan tetapi, setelah
diamandemen kedaulatan tersebut dipisahkan fungsinya (separation of power) antara
lembagalembaga negara yang sederajad dan saling mengimbangi (check and balance).
Selanjutnya kedudukan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, tetapi sebagai
lembaga tinggi negara sederajad dengan lembaga negara lainnya (Jimly Asshiddiqie, 2006:
7273).
c. Tinjauan Tentang Demokrasi
Istilah demokrasi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani “demos” artinya rakyat
dan “kratein” artinya memerintah. Jadi secara harafiah demokrasi dapat diartikan sebagai
rakyat memerintah (Hestu C.Handoyo, 2003:98). Hal ini berarti kekuasaan tertinggi yang
dipegang oleh rakyat. Selanjutnya menurut Abraham Lincoln sebagaimana dikutip oleh
Budiyanto, demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat (Abraham Lincoln dalam Budiyanto, 2003:38).
Untuk implementasi dalam sistem pemerintahan, demokrasi dibedakan dalam 3 (tiga)
tipe dengan ukurannya adalah hubungan antar organ negara, yaitu: (Mahfud MD, 1999: 67)
1). Demokrasi dengan sistem parlementer.
Pada awalnya, tujuan digunakannya sistem parlementer adalah untuk
mempertahankan bentuk kerajaan/monarki di negara Inggris dalam suasana bertambah
kuatnya kekuasaan rakyat. Caranya adalah membuat sistem pemerintahan di mana raja
tidak dapat diganggu gugat dan peran menteri yang bertanggung jawab pada parlemen
dalam melaksanakan pemerintahan. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat
antara lembaga eksekutif dan legislatif dan adanya saling ketergantungan satu sama lain.
2). Demokrasi dengan pemisahan kekuasaan.
Bentuk ini terutama sekali diterapkan di Amerika Serikat di mana badan
eksekutif secara tegas dipisahkan dari badan legislatif dan badan yudikatif. Presiden
dalam hal ini mempunyai kekuasaan yang sama sekali terpisah dan tidak dapat
menpengaruhi sistem kerja dari lembaga legislatif dan yudikatif. Oleh karena itu, dibuat
suatu sistem untuk menciptakan keseimbangan antara ketiga kekuasaan yang ada, yang
disebut sistem check and balance.
3). Demokrasi dengan pengawasan langsung oleh rakyat.
Dalam bentuk ini, badan legislatif tunduk pada pengawasan atau kontrol
dari rakyat. Pengawasan rakyat dapat dilaksanakan dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan
inisiatif dari rakyat dan dengan referendum. Inisiatif rakyat merupakan hak rakyat untuk
mengajukan atau mengusulkan suatu rancangan undangundang pada lembaga legislatif
dan eksekutif. Sedangkan referendum adalah meminta persetujuan atas pendapat rakyat
mengenai suatu kebijakan yang telah, sedang atau akan dilaksanakan oleh badan
legislatif dan eksekutif. Referendum terbagi atas 3 (tiga) macam, yaitu:
4) Referendum obligatoir, yaitu referendum terhadap suatu undangundang yang
materinya menyangkut hakhak rakyat sehingga wajib meminta persetujuan rakyat
sebelum undangundang tersebut diberlakukan.
5) Referendum fakultatif, yaitu referendum terhadap undangundang yang sudah
berlaku dalam waktu tertentu.
6) Referendum konsultatif, yaitu referendum yang berkaitan dengan masalah teknis
suatu negara.
d. TinjauanTentang Pemilihan Umum (Pemilu)
1) Pemilihan Umum (Pemilu)
Pemilihan umum (pemilu) merupakan bagian penting dari lembagalembaga di
dalam demokrasi modern. Seperti diketahui bahwa di dalam negara demokrasi modern
yang umumnya bersifat tidak langsung itu harus ada organ yang disebut parlemen atau
dewan perwakilan rakyat. Keanggotaan perlemen tersebut biasanya diisi melalui pemilu.
Di dalam pemilu itu seluruh rakyat diberi kesempatan untuk memilih wakilwakilnya yang
akan duduk di parlemen dan menggunakan wewenangwewenang untuk kepentingan
rakyat yang akan diwakilinya.
Di samping itu, pemilu juga memiliki kaitan erat dengan prinsip negara hukum di
antaranya yaitu perlindungan terhadap hakhak asasi manusia, persamaan di depan hukum
dan pemerintahan serta adanya pemilu yang bebas. Sehingga, dengan adanya pemilu hak
asasi rakyat yang berkaitan dengan bidang politik dapat disalurkan, di mana hal ini dapat
mewujudkan adanya persamaan di depan hukum dan pemerintahan, serta dengan adanya
pemilu yang bebas maka pemilu sebagai sarana penyaluran hak demokratis dan hak politik
rakyat dapat mencapai tujuannya (Mahfud MD, 1999:221222).
Dalam sistem perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung
(indirect democracy), kedaulatan rakyat dijalankan oleh wakil rakyat yang duduk dalam
parlemen. Para wakil rakyat tersebut ditentukan sendiri oleh rakyat melalui pemilu
(general election) secara berkala agar dapat memperjuangkan aspirasi rakyat. Pentingnya
penyelenggaraan pemilu secara berkala tersebut dikarenakan beberapa sebab. Pertama,
pendapat atau aspirasi rakyat cenderung berubah dari waktu ke waktu. Kedua, kondisi
kehidupan masyarakat yang dapat juga berubah. Ketiga, pertambahan penduduk dan
rakyat dewasa yang dapat menggunakan hak pilihnya. Keempat, guna menjamin regulasi
kepemimpinan baik dalam cabang eksekutif dan legislatif (Jimly Asshidiqqie, 2006:169
171).
Dalam pemilu, yang dipilih tidak saja wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, tetapi juga para pemimpin pemerintahan yang duduk di kursi eksekutif. Di cabang kekuasaan legislatif, para wakil rakyat itu ada yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, ada yang duduk di Dewan Perwakilan Daerah dan ada pula yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik di tingkat provinsi ataupun di tingkat kabupaten dan kota. Sedangkan di cabang kekuasaan pemerintahan eksekutif, para pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Dengan adanya pemilihan umum yang teratur dan berkala, maka pergantian para pejabat dimaksud juga dapat terselenggara secara teratur dan berkala (Jimly Asshiddiqie, 2006:175176).
Tujuan diselenggarakannya pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil
daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan didukung oleh
rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam UUD
1945. Jika dicermati pasal 1 ayat (2) UUD 1945, terlihat bahwa Indonesia menganut
paham demokrasi konstitusional di mana “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undangundang Dasar”. Untuk mewujudkan kedaulatan yang
dimiliki rakyat tersebut, maka sampai saat ini cara yang paling tepat adalah melalui
pemilihan umum secara langsung oleh rakyat.
Pemilihan umum di Indonesia sendiri diatur dalam berbagai peraturan perundang
undangan dan yang terakhir diatur dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu. Dalam Pasal 1 Undangundang tersebut disebutkan bahwa :
“Pemilihan umum, selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Dari pengertian tersebut di atas dapat diketahui bahwa tujuan penyelenggaraan
pemilihan umum ada 4, yaitu :
2. untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib
dan damai.
3. untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan
rakyat di lembaga perwakilan.
4. untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat.
5. untuk melaksanakan prinsip hakhak asasi warga negara.
2). Asasasas Pemilu
Untuk mewujudkan pemilu yang demokratis maka terdapat asasasas dalam
penyelenggaraan pemilu, yaitu diantaranya : (Hestu C.Handoyo, 2003: 217221)
a) Asas Langsung, berarti setiap pemilih secara langsung memberikan suaranya tanpa
perantara dan tingkatan.
b) Asas Umum, berarti pemilihan itu berlaku menyeluruh bagi semua warga negara
Indonesia yang memenuhi persyaratan, tanpa diskriminasi.
c) Asas Bebas, berarti warga negara yang berhak memilih dapat menggunakan haknya,
dan dijamin keamanannya melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa
adanya pengaruh, tekanan, dan paksaan dari siapapin dan dengan cara apapun.
d) Asas Rahasia, berarti setiap pemilih dijamin tidak akan diketahui oleh siapapun dan
dengan jalan apapun siapa yang dipilihnya.
e) Asas Jujur, berarti dalam penyelenggaraan pemilu, penyelenggara/pelaksana,
pemerintah dan partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu,
termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung
harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
f) Asas Adil, berarti setiap pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapat
perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
3). Sistem Pemilu
Pemilihan umum yang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dalam suatu
negara sebagai cara untuk menentukan wakilwakil rakyat yang akan duduk dalam
lembaga perwakilan rakyat, maka pada umumya terdapat beberapa sistem pemilihan
umum yang dilihat dari sudut kepentingan rakyat, apakah rakyat dipandang sebagai
individu yang bebas untuk menentukan pilihannya dan sekaligus mencalonkan diri sebagai
calon wakil rakyat, atau apakah rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang
tidak berhak menentukan calon wakil rakyat dan tidak berhak untuk mencalonkan diri
sebagai wakil rakyat.
Berdasarkan sudut pandang kepentingan rakyat tersebut, sistem pemilu
dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu (Jimly Asshiddiqie, 2006:178181) :
a). Sistem Pemilu Mekanis
Sistem pemilihan ini bersifat mekanis yang melihat rakyat
sebagai massa individuindividu yang sama. Dalam sistem ini lembaga perwakilan
rakyat merupakan lembaga kepentingan rakyat umum rakyat seluruhnya. Dalam
bentuknya sistem pemilu mekanis ini menghasilkan parlemen.
b). Sistem Pemilu Organis
Sistem ini menempatkan rakyat sebagai sejumlah individuindividu
yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup. Persekutuan hidup
inilah yang diutamakan sebagai penyandang dan pengendali hak pilih untuk mengutus
wakilwakilya dalam lembaga perwakilan rakyat. Lembaga perwakilan rakyat inilah
yang mencerminkan perwakilan kepentingankepentingan khusus persekutuan hidup
tersebut. Sistem ini menghasilkan dewan korporasi (korporatif).
Dari kedua sistem pemilu di atas, terdapat sistem yang lebih umum digunakan
yaitu sistem pemilu yang bersifat mekanis. Sistem ini biasa dilaksanakan dengan 3 (tiga)
cara, yaitu (Mahfud MD, 1999: 223226) :
a). Sistem Distrik (Plurality Types)
Sistem distrik ditentukan atas kesatuan geografis di mana dalam setiap
geografis yang disebut distrik hanya memilih seorang wakil. Dalam sistem ini negara
harus membagi wilayahnya ke dalam sejumlah besar distrikdistrik dan jumlah distrik
itu adalah sama dengan jumlah anggota parlemen. Partai yang mendapat suara
terbanyak di dalam setiap distrik berhak mengisi kursi parlemen dari distrik yang
bersangkutan sehingga calon anggota dari partai yang mendapat suara terbanyak itulah
yang menjadi anggota parlemen. Suara yang diperoleh partai lain (yang tidak
terbanyak) menjadi terbuang karena berapa pun jumlah suara itu tidak akan ada
wakilnya di parlemen berhubung kursi yang diperebutkan hanya satu. Negaranegara
yang menganut sistem distrik diantaranya Amerika, Inggris, Kanada dan India.
Kelemahankelemahan dengan menggunakan sistem distrik diantaranya yaitu:
(1). Kurang memperhitungkan jumlah partaipartai kecil dan golongan minoritas,
lebihlebih jika anggota partai kecil dan minoritas itu terpisahpisah ke alam
beberapa distrik. Dalam keadaan demikian partai kecil dan golongan minoritas
sulit mendapatkan wakil yang bisa terpilih.
(2). Kurang representatif dikarenakan calon yang kalah di satu distrik menjadi
kehilangan suarasuara pendukungnya sehingga pendukung tadi tidak
mempunyai wakil di parlemen.
Sedangkan terdapat pula kelebihankelebihan pemilu dengan menggunakan
sisten distrik, yaitu:
(1). Kecilnya batas distrik memungkinkan calon yang akan dipilih dapat dikenal
dengan baik oleh para pemilih.
(2). Sistem karena kursi yang diperebutkan hanya satu untuk setiap distrik sehingga
untuk distrik mendorong ke arah integrasi parpolparpol memperoleh suara
terbanyak beberapa parpol biasanya berkumpul dalam satu wadah.
(3).Berkurangnya parpolparpol lebih mempermudah terbentuknya pemerintahan
yang stabil (integrasi).
(4). Sistem ini sederhana dan mudah dilaksanakan.
b). Sistem Perwakilan Berimbang (Proporsional Representation)
Dalam sistem ini disebutkan bahwa jumlah kursi yang diperoleh satu partai
sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh. Dalam sistem wilayah negara juga dibagi
bagi ke dalam daerahdaerah tetapi batasbatasnya lebih besar daripada daerah dalam
sistem distrik. Setiap daerah memilih sejumlah wakil sesuai dengan jumlah penduduk.
Dengan demikian dalam sistem ini setiap suara dihitung sehingga tidak ada yang
hilang. Kelebihan suara dari jatah satu kursi di suatu daerah bisa dikompensasikan
dengan kelebihan di daerah lain. Sistem proporsional ini juga sering dikombinasikan
dengan sistem daftar (list system) di mana para pemilih memilih daftar calon atau
salah satu partai yang telah membuat daftar calon anggota yang disusun berdasarkan
peringkat.
Kelemahankelemahan pemilu dengan menggunakan sistem proporsional
diantaranya yaitu:
(1). Mempermudah fragmentasi dan timbulnya partaipartai baru. Sistem ini tidak
mempermudah pada upaya integrasi dari berbagai kecenderungan yang ada di
dalam masyarakat.
(2). Wakil yang terpilih lebih merasa terikat kepada partai dan kurang merasa loyal
terhadap daerah yang diwakilinya karena lebih menonjolkan partai daripada
pribadi si wakil.
(3).Banyaknya partai dapat mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil karena
biasanya harus mendasarkan diri pada koalisi dari dua partai atau lebih.
c). Sistem Gabungan
Sistem gabungan merupakan penggabungan dua sistem sebelumnya. Pada sistem
ini, negara dibagi dalam beberapa daerah pemilihan, sisa suara yang mayoritas tidak
hilang begitu saja karena diperhitungkan dengan jumlah kursi yang akan dibagi.
e. TinjauanTentang Lembaga Negara
1). Lembaga Negara
Salah satu konsekuensi dari dilakukannya perubahan terhadap UUD Negara RI
Tahun 1945 adalah munculnya beragam penafsiran mengenai istilah “lembaga negara”
akibat kekurangjelasan UUD Negara RI Tahun 1945 dalam mengatur lembaga negara. Hal
ini dapat terlihat dari tiadanya kriteria untuk menentukan apakah suatu lembaga dapat
diatur atau tidak dalam dalam konstitusi.
Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal
dan seragam. Di dalam literatur Inggris, lembaga negara disebut dengan istilah political
institution, sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah staat organen atau
staatsorgaan untuk mengartikan lembaga negara (Arifin, 2005:29). Sementara di
Indonesia sendiri, secara baku digunakan istilah lembaga negara, badan negara atau organ
negara (Jimly Asshiddiqie, 2006:31). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lembaga
negara diartikan sebagai badanbadan negara di semua lingkungan pemerintahan negara
(khususnya di lingkungan eksekutuf, legislatif dan yudikatif) (Arifin, 2005:30).
Istilah lembaga negara atau organ negara dapat dibedakan dari perkataan lembaga
atau organ swasta, lembaga masyarakat atau yang biasa dikenal dengan sebutan organisasi
nonpemerintah (ornop). Oleh karena itu, lembaga apapun yang dibentuk bukan sebagai
lembaga masyarakat dapat disebut sebagai lembaga negara, baik berada dalam ranah
eksekutif, legislatif, yudikatif ataupun yang bersifat campuran (Jimly Asshiddiqie,
2006:31).
2). Lembaga Independen dan Lembaga Negara Bantu (State Auxiliary Agencies)
Salah satu trend yang berkembang saat ini adalah mendorong pemberian peran
yang lebih besar kepada masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Semua
ini diarahkan untuk mewujudkan checks and balances system dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara, yang diaktualisasikan secara institusional dan disesuaikan dengan
bidangbidang kekuasaan negara. Artinya, pada setiap bidang kekuasaan negara yang
sudah memiliki lembaga yang definitif secara struktural masih diperlukan lembaga lain
yang bersifat independen dan berstatus ekstra struktural.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengetahui kebutuhan lembaga yang
independen dan berstatus ekstra struktural adalah dengan memetakan kembali bidang
kekuasaan negara mana yang membutuhkan peran lembaga di luar lembaga definitif yang
telah ada dan kekuasaan negara mana yang tidak. Kegiatan pemetaan ini dimaksudkan
untuk mengidentifikasi keberadaan “kelembagaan independen yang berstatus ekstra
struktural pemerintah” dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan atau yang dikenal
dengan istilah “lembaga independen”. Beberapa bentuk perwujudan lembaga independen
tersebut berupa komisi independen (state auxiliary agencies), lembaga/badan pengatur
independen (independent regulatory body) atau Quangos (Quasiautonomous non
governmental organizations) yang dapat berbentuk komisi (agency/commision), badan
(body) atau dewan (board).
Pengertian lembaga independen sendiri dapat kita lihat dari peristilahan
(terminologi) yang digunakan sejak awal lembaga ini diperkenalkan pada tahun 1980an
oleh Sir Douglas Hague dari Inggris dengan istilah “quasiautonomous nongovernmental
organization” (QUANGO). Istilah QUANGO ini dipergunakan untuk menggambarkan
lembaga yang terbentuk dari kecenderungan pemerintah yang menyerahkan
kewenangannya untuk menetapkan atau membentuk badan sendiri. Istilah tersebut
kemudian secara umum dipakai di Inggris. Sedangkan menurut versi pemerintah Inggris
yang dimaksud dengan QUANGO adalah suatu badan yang mempunyai peran di dalam
proses pemerintah nasional, tetapi bukan departemen pemerintah atau tidak merupakan
bagian dari departemen pemerintah dan yang beroperasi lebih luas atau lebih kecil dari
menteri (http/://www.docstoc.com/docs/4289159/lembaga independen).
Berbeda dengan peristilahan (terminologi) yang dipakai di atas, di Indonesia istilah
quango dipersamakan dengan istilah lembaga independen (independent body). Lembaga
independen yang dimaksud dalam hal ini adalah lembaga pemerintah dan non pemerintah
yang bebas dari pengendalian oleh pemerintah dan pembuat kebijakan (legislatif), bebas
dari pengendalian oleh pemanfaatan kelompok, dan bebas dari kepentingan tertentu serta
bersifat netral. Dengan demikian lembaga ini menunjuk pada lembaga nonstruktural
pemerintah (komisi negara) atau lembaga pelaksana fungsi negara dan penunjang tugas
pemerintahan (state auxiliaries) dan lembaga regulasi independen (independent
regulatory body) atau independent and self regulatory bodies. Lembaga independen
adalah sifatnya “state auxiliaries” (penunjang/pendukung) yang bidangnya mencakup: (1
Bidang kekuasaan eksekutif: (a) Komisi Pemilihan Umum (KPU), (b) Komite Olahraga
Nasional Indonesia (KONI), (c) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), (d)
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak); (2) Bidang kekuasaan Yudikatif
(Peradilan): (a) Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), (b) Komisi Ombudsman
Nasional (KON), Komisi Kepolisian, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi; (3) Bidang kekuasaan legislatif/regulatif: (a) Badan Pengatur
Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), (b) Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI),
dan (c) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
(http:/www.docstoc.com/docs/4289159/lembagaindependen).
B. Kerangka PemikiranNegara RI Reformasi 1998 :
Perubahan politik
Perubahan konstitusi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah negara hukum sesuai yang telah
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu, negara Indonesia juga merupakan negara
kesatuan yang berbentuk republik dan menjalankan pemerintahan dalam bentuk demokrasi (kedaulatan
rakyat). Hal tersebut sesuai dengan yang telah disebutkan dalam UUD 1945 sebagai konstitusi
Indonesia yaitu dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dikatakan dengan jelas bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar. Demokrasi di Indonesia dijalankan
dengan konsep negara hukum. Dengan kata lain, untuk mewujudkan tujuan sebagai negara demokrasi
maka digunakan hukum sebagai aturan dasar yang mengatur pemerintahan di Indonesia. Demokrasi
dalam sebuah negara ditandai oleh beberapa hal, yaitu adanya pemilihan umum, kebebasan pers,
Kedaulatan Rakyat Ps 1 ayat (2) UUD
1945
Negara HukumPs 1 ayat (3) UUD 1945
Demokrasi
Pemilihan Umum
LN Independen
kedudukan sebagai lembaga independentugas dan wewenang dalam penyelenggaraan pemilukendalakendala yang dihadapi
Lembaga Negara
Komisi Pemilihan Umum (KPU)Pasal 22E ayat (5) UUD 1945
Eksekutif Legislatif Yudikatif
UUD 1945
UUD 1945
kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat dan pelaksanaan hukum. Pemilu di
Indonesia merupakan salah satu mekanisme demokratis untuk melakukan pergantian pemimpin.
Sejarah perjalanan demokrasi di Indonesia tidak berjalan lancar terutama selama orde baru. Secara
umum, pemilu yang diselenggarakan pada masa itu dianggap tidak berlangsung secara demokratis.
Berbagai strategi dihalalkan oleh sebuah partai yang berkuasa pada saat itu untuk memenangkan
pemilu. Pada tahun 1998 terjadi reformasi sistem ketatanegaraan Indonesia yang menyebabkan
runtuhnya rezim orde baru. Akibat hukum dari reformasi tersebut adalah adanya perubahan struktural
yang besarbesaran dan mendasar yaitu terjadinya perubahan UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia
yang telah menunjukkan adanya peralihan kekuasaan dengan mengubah supremasi MPR menjadi
supremasi konstitusi. Selanjutnya untuk melengkapi perubahan struktural dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia maka dibentuklah lembaga negara bantu di samping lembaga negara eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Lembaga negara ini bersifat independen dan memiliki dasar yang berbeda dengan lembaga
negara bantu lainnya. Sebagai salah satu contoh lembaga negara bantu adalah Komisi Pemilihan Umum
(KPU) sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang berfungsi sebagai penyelenggara
pemilihan umum. Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama di Indonesia yang dianggap demokratis.
Dengan menambahkan asas jujur dan adil (jurdil) dibelakang langsung, umum, bebas dan rahasia
(luber), pemilu 1999 untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh lembaga independen bernama KPU
tersebut. PM
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Selayang Pandang tentang Kelembagaan Negara
1. Latar Belakang Terbentuknya Lembaga Negara Bantu yang Bersifat Independen
Definisi dan pengertian tentang lembaga negara adalah sangat beragam dan tidak bisa
lagi pada konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara menjadi 3 (tiga) lembaga yaitu
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Perkembangan konsep trias politica tersebut turut
mempengaruhi perubahan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Konsep mengenai pemisahan
kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yang ada
(eksekutif, legislatif dan yudikatif) tidak mampu menanggung beban negara dalam
menyelenggarakan pemerintahan. Oleh karena itu, untuk menjawab tuntutan tersebut negara
membentuk jenis lembaga baru yang diharapkan dapat membantu mengatasi persoalan
persoalan yang timbul dalam suatu negara. Maka dibentuklah berbagai lembaga negara bantu
dalam bentuk dewan, komisi, komite maupun badan dengan masingmasing tugas dan
wewenangnya.
Dilihat dari sudut desain kelembagaan negara sebagai instrumen demokrasi, kehadiran
lembagalembaga negara bantu dapat dipahami dari dua sudut pandang yang saling berlawanan.
Pertama, dalam kerangka klasikal “majoritarian model” pengembangan kelembagaan melalui
konsentrasi kekuasaan (majoritarian rule) diartikan sebagai syarat dasar bagi bekerjanya fungsi
kontrol demokratik secara efektif karena akan memperjelas siapa yang bertanggung jawab akan
memfasilitasi warga negara untuk menetapkan pilihannya dalam pemilihan umum. Kedua, sudut
pandang “proportional model” yang diartikan sebagai syarat dasar bagi bekerjanya kontrol
demokratik warga negara yaitu dengan pemencaran kekuasaan. Dalam konteks ini, fungsi
perwakilan melalui pemilu digambarkan sebagai agen atau delegasi (authorized representation)
yang tidak memiliki kewenangan direksional tapi diharapkan bekerja bagi kepentingan warga
(Coenelis Lay, 2006:1719).
Di Indonesia pembentukan lembagalembaga negara bantu yang bersifat independen
tersebut dipengaruhi beberapa hal sebagai berkut: (Firmansyah Arifin dalam Ni`matul Huda,
2007:201202)
a. Tiadanya kredibilitas lembagalembaga yang ada akibat asumsi dan bukti mengenai
korupsi yang sistemik dan mengakar dan sulit diberantas;
b. Tidak independennya lembagalembaga negara yang ada karena salah satu atau lain
halnya tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan Negara atau kekuasaan lain;
c. Ketidakmampuan lembagalembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugastugas
yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan
KKN;
d. Pengaruh global, dengan pembentukan yang dinamakan auxiliary state agency atau
watchdog institutions di banyak negara yang berada dalam situasi menuju demokrasi
telah menjadi suatu keharusan sebagai alternatif dari lembagalembaga yang ada yang
mungkin menjadi bagian dari sistem yang harus direformasi;
e. Tekanan lembagalembaga internasional, tidak hanya sebagai prasyarat untuk memasuki
pasar global, tetapi juga untuk membuat demokrasi sebagai satusatunya jalan bagi
negaranegara yang asalnya berada di bawah kekuasaan yang otoriter.
Kehadiran lembaga negara bantu (state auxiliary agencies) tersebut dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia banyak muncul pasca perubahan UUD Negara RI Tahun 1945.
Lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di
antaranya berdiri atas amanat konstitusi, tetapi ada pula yang memperoleh legitimasi
berdasarkan undangundang ataupun keputusan presiden. Di tingkat pusat, kelembagaan negara
dapat dibedakan dalam 4 (empat) tingkatan kelembagaan, yaitu: (Jimly Asshiddiqie, 2006:50)
1) Lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam
atau dengan UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden;
2) Lembaga yang dibentuk berdasarkan undangundang yang diatur atau ditentukan lebih
lanjut dalam atau dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan
Presiden;
3) Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang
ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden;
4) Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri atau keputusan pejabat di bawah Menteri.
Persoalan utama muncul dengan adanya pembentukan lembagalembaga negara bantu
yang bersifat independen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu karena beberapa lembaga
negara bantu tersebut tidak dibentuk berdasarkan desain konstitusional yang dapat menjadi
payung hukum keberadaannya tetapi berdasarkan isuisu parsial, insidental dan sebagai jawaban
atas persoalan yang sedang dihadapi yang akibatnya yaitu:
a.Sangat lemahnya legitimasi yuridis bagi keberadaan komisikomisi tersebut sehingga akan
mudah terkendala dalam menjalankan kewenangannya;
b. Komisikomisi itu berjalan secara sendirisendiri tanpa tersedia sistematisasi kerja sinergis
yang bisa mendukung satu sama lain, sehingga hasil kerja suatu komisi sering tidak
termanfaatkan dengan baik oleh komisi lainnya.
2. LembagaLembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Keberadaan lembagalembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di atur
dalam UUD 1945 sebagai dasar Negara. Lembagalembaga negara yang dimaksud, ada yang
disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada
pula lembaga negara yang disebut baik nama maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur
dengan peraturan yang lebih rendah. (Ni`matul Huda, 2007:89).
Jika dikaitkan dengan hal tersebut di atas, seperti sudah diuraikan sebelumnya, maka
dapat dikemukakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat tidak kurang dari 34 lembaga tersebut
adalah (Jimly Asshiddiqie, 2006: 99103) :
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab III UUD 1945 yang juga diberi
judul “Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Bab III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yang
terdiri atas tiga ayat dan Pasal 3 yang juga terdiri atas tiga ayat;
2. Presiden yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, dimulai dari Pasal 4 ayat
(1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berisis 17 pasal;
3. Wakil Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu pada ayat (2) UUD
1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan, “Dalam melakukan kewajibannya,
Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”.
4. Menteri dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V UUD 1945, yaitu
pada Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3);
5. Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumvirat yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
UUD 1945, yaitu barsamasama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan
sebagai pelaksana tugas kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam waktu yang
bersamaan dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
6. Menteri Dalam Negeri sebagai triumvirat bersamasama dengan Menteri Luar Negeri dan
Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
7. Menteri Pertahanan yang bersamasama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam
Negeri ditentukan sebagai menteri triumvirat menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.
Ketiganya perlu disebut secara sendirisendiri, karena dapat saja terjadi konflik atau
sengketa kewenangan konstitusional di antara sesame mereka, atau antara mereka dengan
menteri lain atau lembaga Negara lainnya;
8. Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang berbunyi, “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan
kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undangundang;
9. Duta seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2);
10. Konsul seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1);
11. Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6)
dan ayat (7) UUD 1945;
12. Gubernur Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD
1945;
13. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3)
UUD 1945;
14. Pemerintahan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal (2), (3), (5), (6) dan
ayat (7) UUD 1945;
15. Bupati Kepala Pemerintahan Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat
(4) UUD 1945;
16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3)
UUD 1945;
17. Pemerintahan Daerah Kota sebagaimana diamaksud dalam pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6),
dan ayat (7) UUD 1945;
18. Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945;
19. Dewan Perwakilan Rakyat Daearh Kota seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUD
1945;
20. Satuan Peerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti yang diatur dalam
Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, diatur dengan undangundang. Karena kedudukannya yang
khusus dan diistimewakan, satuan pemerintahan daerah ysng bersifat khusus atau istimewa
ini diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan Daerah Istimewa
Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam dan
Papua, serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan mengenai
kekhususan dan keistimewaannya itu diatur dengan undangundang. Oleh karena itu,
pemerintahan daerah yang demikian ini perlu disebut secara tersendiri sebagai lembaga
atau organ yang keberadaannya diakui dan dihormati oleh negara;
21. Dewan Perwakilan Daerah (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD 1945 yang berisi Pasal
19 sampai dengan Pasal 22B;
22. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang terdiri atas Pasal 22C
dan 22D;
23. Komisi Penyelenggaraan Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang
menentukan bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan oleh suatu komisi yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri. Nama “Komisi Pemilihan Umum” bukanlah nama
yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh UndangUndang;
24. Bank Sentral yang disebut secara eksplisit oleh Pasal 23D, yaitu “Negara memiliki suatu
bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan
independensinya diatur dengan undangundang”. Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan
Umum, UUD 1945 belum menentukan nama bank sentral yang dimaksud. Memang benar,
nama bank sentral sekarang adalah Bank Indonesia. Tetapi, nama Bank Indonesia bukan
nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh undangundang berdasarkan
kenyataan yang diwarisi dari sejarah di masa lalu;
25. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab VIIIA dengn judul
“Badan Pemeriksa Keuangan”, dan terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 22E (3 ayat), Pasal 23F
(2) ayat), dan Pasal 23G (2 ayat);
26. Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal
24A UUD 1945;
27. Mahkamah Konstutusi (MK) yang diatur juga keberadaannya dalam Bab IX, Pasal 24 dan
Pasal 24C UUD 1945;
28. Komisi Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary
organ terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 dan pasal 24A UUD 1945;
29. Tentara Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab XII
tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945;
30. Angkatan Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
31. Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
32. Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
33. Kepolisian Negara Repiblik Indonesia (POLRI) yang juga diatur dalam Bab XII Pasal 30
UUD 1945;
34. Badanbadan lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman seperti kejaksaan diatur dalam
undangundang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi
“Badanbadan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undangundang”.
Pengaturan yang sama dalam UUD 1945 tidak menjadikan lembegalembaga negara
tersebut mempunyai kedudukan yang sama satu dengan yang lainnya dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Untuk mengetahui kedudukan lembagalembaga negara tersebut di
atas dapat dipahami dengan membedakannya dari dua segi yaitu dari segi fungsinya dan dari
segi hierarkinya. Menurut Jimly Asshiddiqie, kedudukan lembagalembaga negara tersebut
dibagi berdasarkan (Jimly Asshiddiqie, 2006:106118) :
A. Perbedaan dari segi hierarkinya
Berdasarkan segi hierarkinya ada dua kriteria yang dipakai, yaitu:
a) kriteria hierarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya
b) kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan
negara
Dari segi hierarkinya, lembaga negara dapat dibedakan dalam 3 (tiga) lapis, yaitu:
1) Organ pertama dapat disebut lembaga tinggi negara, yaitu:
(1) Presiden dan Wakil Presiden;
(2) Dewan Perwakilan Daerah (DPR);
(3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
(4) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
(5) Mahkamah Konstitusi (MK);
(6) Mahamah Agung (MA);
(7) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
b) Organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja. Kewenangan lembaga
lembaga negara diberikan dalam UUD 1945 maupun undangundang. Lembagalembaga
negara sebagai organ konstitusi lapis kedua tersebut adalah:
(1) Menteri Negara;
(2) Tentara Nasional Indonesia (TNI);
(3) Kepolisian Negara;
(4) Komisi Yudisial (KY);
(5) Komisi Pemilihan Umum (KPU);
(6) Bank Sentral.
c) Organ lapis ketiga adalah kategori lembaga negara yang sumber kewenangannya
berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undangundang. Misalnya,
Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden. Artinya, keberadaannya secara hukum hanya didasarkan atas
kebijakan Presiden (presidential policy) atau beleid Presiden. Jika Presiden hendak
membubarkannya, maka Presiden berwenang untuk itu.
2) Perbedaan dari segi fungsinya
Lembaga negara dapat dikategorikan sebagai organ utama atau organ primer dan organ
pendukung/penunjang dalam ranah (i) kekuasaan esekutif atau pelaksana; (ii) kekuasaan
legislatifatau fungsi pengawasan; dan (iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.
3. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga negara yang menyelenggarakan pemilihan umum di Indonesia, yakni meliputi Pemilihan Umum Anggota DPR/DPD/DPRD, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah. Komisi Pemilihan Umum tidak dapat disejajarkan kedudukannya dengan lembagalembaga negara yang lain yang kewenangannya ditentukan dan diberikan oleh UUD 1945. Bahkan nama Komisi Pemilihan Umum belum disebut secara pasti atau tidak ditentukan dalam UUD 1945, tetapi kewenangannya sebagai penyelenggara pemilihan umum sudah ditegaskan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yaitu Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Artinya, bahwa Komisi Pemilihan Umum itu adalah penyelenggara pemilu, dan sebagai penyelenggara bersifat nasional, tetap dan mandiri (independen) (Jimly Asshiddiqie, 2006:236239).
Secara institusonal, KPU yang ada sekarang merupakan KPU ketiga yang
dibentuk setelah pemilu demokratis sejak reformasi tahun 1998. KPU pertama (19992001)
dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota
yang berasal dari unsur pemerintah dan partai politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie.
KPU kedua (20002007) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 yang
berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademisi dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11
April 2001. KPU ketiga (20072012) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
101/P/2007 yag berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi,
peneliti dan birokrat yang dilantik pada tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang
urung dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena masalah hukum.
Ketentuan mengenai penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri tersebut, telah ditindaklanjuti dalam Undangundang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum sebagaimana disahkan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 19 April 2007 serta diundangkan melalui Lembaran
Negara Nomor 59. Penyelenggaraan pemilihan umum harus memberikan derajad kompetisi
yang sehat, partisipatif dan mempunyai derajad keterwakilan yang tinggi sebagai amanat dari
reformasi.
Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga independen ditunjukkan dalam Penjelasan
Pasal 3 Undangundang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersifat nasional, tetap dan mandiri. Yang dimaksud bersifat
nasional yaitu mencerminkan bahwa wilayah kerja Komisi Pemilihan Umum sebagai
penyelenggara pemilihan umum mencakup seluruh negara Republik Indonesia. Sifat tetap
menunjukkan Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara
berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Dan sifat mandiri menegaskan
Komisi Pemilihan Umum dalam menyelenggarakan dan melaksanakan pemilihan umum adalah
bebas dari pengaruh pihak manapun.
Tujuan pembentukan KPU yang independen dan nonpartisan tersebut dituangkan dalam
visi dan misi KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum. Dalam artikel pada situs
http://www.kpu.co.id/, dinyatakan bahwa visi dan misi merupakan dua hal yang menentukan
arah bagi setiap lembaga, atau bahkan individu. Visi merupakan segala yang ingin dicapai
secara ideal di masa depan. Sedangkan misi adalah rangkaian aktivitas yang dilakukan untuk
mewujudkan visi yang telah ditetapkan. Selengkapnya Visi dan Misi KPU adalah sebagai
berikut:
a). Visi KPU
Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum
yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi
terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b). Misi KPU
(1) Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki kompetensi,
kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan pemilihan umum;
(2) Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden
dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan beradab;
(3) Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang bersih, efisien dan
efektif;
(4) Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan setara,
serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai dengan
peraturan perundangundangan yang berlaku;
(5) Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan
umum demi terwujudnya citacita masyarakat Indonesia yang demokratis.
KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang independen telah memenuhi ciriciri
model badan penyelenggara pemilu independen yaitu diantaranya: pertama, penyelenggara
pemilu berdiri sendiri, terpisah dari badan eksekutif; kedua, penunjukkan anggota bersifat
imparsial; ketiga, badan ini independen dalam hal anggaran dan kepegawaian; keempat, punya
otoritas besar dalam pembuatan peraturan yang berhubungan dengan pengelolaan
proses/adminstrasi pemilu.
Berkaitan dengan keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) diatur dalam Pasal 6
UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yaitu sebagai
berikut :
e) Jumlah anggota :
a. Komisi Pemilihan Umum sebanyak 7 (tujuh) orang;
b. Komisi Pemilihan Umum Provinsi sebanyak 5 (lima) orang;
c. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota sebanyak 5 (lima) orang.
f) Keanggotaan Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi,
dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota terdiri atas seorang Ketua merangkap
anggota dan anggota.
g) Ketua Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota dipilih dari dan oleh anggota.
h) Setiap anggota Komisi Pemiliahan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi
dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota mempunyai hak suara yang sama.
i) Komposisi keanggotaan Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum
Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota mempertahankan keterwakilan
perempuan sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus).
j) Masa keanggotaan Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum
Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota 5 (lima) tahun terhitung sejak
pengucapan sumpah/janji.
k) Sebelum berakhirnya masa keanggotaan Komisi Pemilihan Umum, Komisi
Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), calon anggota Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan
Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota yang baru harus sudah
diajukan dengan memperhatikan ketentuan dalam Undangundang ini.
Dalam Pasal 6 UU Nomor 22 Tahun 2007 jumlah anggota KPU sebanyak 7 orang
tersebut terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota. Syarat untuk menjadi calon
anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota adalah:
k. Warga Negara Indonesia;
l. Pada saat pendaftaran berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun untuk calon
anggota KPU atau pernah menjadi anggota KPU dan berusia paling rendah 30 (tiga puluh)
tahun untuk calon anggota KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota atau pernah menjadi
anggota KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota;
m. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan citacita Proklamasi 17 Agustus 1945;
n. Mempunyai integritas, pribadi yang kuat, jujur dan adil;
o. Memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang tertentu yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Pemilu atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara pemilu;
p. Berpendidikan paling rendah S1 untuk calon anggota KPU dan KPU Provinsi dan
palingrendah SLTA atau sederajat untuk calon anggota KPU Kabupaten/Kota;
q. Berdomisili di wilayah Republik Indonesia untuk anggota KPU, di wilayah Provinsi
yang bersangkutan untuk anggota KPU Provinsi, atau di wilayah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan untuk anggota KPU Kabupaten/Kota yang dibuktikan dengan kartu tanda
penduduk;
r. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari
rumah sakit;
s. Tidak pernah menjadi anggota partai politik yang dinyatakan dalam surat pernyataan
yang sah atau sekurangkurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tidak lagi menjadi
anggota partai politik yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai
politik yang bersangkutan;
t. Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakuakan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
u. Tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan struktural dan jabatan fungsional
dalam jabatan negeri;
v. Bersedia bekerja paruh waktu; dan
w. Bersedia tidak menduduki jabatan di pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN)/ Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) selama masa keanggotaan.
Struktur keanggotaan Komisi Pemilihan Umum sekarang periode tahun 20072012
terdiri dari :
a. Ketua : Prof. Dr. H. A. Hafiz Anshary AZ, MA
b. Anggota : Sri Nuryanti SIP, MA
c. Anggota : Dra. Endang Sulastri, M.Si
d. Anggota : I Gusti Putu Artha , SP, M.Si
e. Anggota : Prof. Dr. Ir. Syamsul Bahri, M.S
f. Anggota : Dra. Andi Nurpati Baharuddin , M.Pd
g. Anggota : Drs H. Abdul Aziz, MA
KPU mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban untuk mengkoordinasikan,
menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Pemilu
Presiden/Wakil Presiden serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Termasuk
merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal; menyusun dan menetapkan tata
kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN serta
menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiaptiap tahapan berdasarkan
peraturan perundangundangan.
KPU sebagai penyelenggara mencakup pengertian pengawasan dan pelaksanaan. Oleh
karena itu, sebagai penyelenggara cukup menjalankan fungsi sebagai policy maker dan
regulator. Sedangkan untuk pelaksanaan pemilu, KPU membentuk Panitia Pelaksana Pemilu,
dan untuk pengawasan oleh KPU dapat dibentuk Panitia Pengawas Pemilu. Baik Panitia
Pelaksana maupun Panitia Pengawas bersifat ad hoc, serta anggotaanggota dan pimpinannya
diangkat dan diberhentikan oleh KPU (Jimly Asshiddiqie. 2006:238). Guna mendukung
tercapainya sasaran tersebut anggota KPU dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal KPU yang
dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal KPU dan Wakil Sekretaris Jenderal KPU yang secara
teknis operasional bertanggung jawab kepada KPU dan tidak lagi bertanggung jawab kepada
Pemerintah. Inilah salah satu wujud dari independensi KPU di samping yang tercermin juga
dari KPUKPU di tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota. Kalau dulu KPU provinsi dan
Kabupaten/Kota dibentuk atas usul Gubernur dan DPRD, kali ini KPU Pusat yang membentuk
KPU tingkat daerah.
Sedangkan berkaitan dengan pertanggungjawaban KPU sebagai penyelenggara pemilu
disebutkan dalam Pasal 39 UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilu di mana dalam menjalankan tugasnya, KPU (i) dalam hal keuangan bertanggung jawab
sesuai dengan peraturan perundangundangan; (ii) dalam hal seluruh penyelenggaraan tahapan
pemilu dan tugas lainnya memberikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
Hal ini mencerminkan bahwa KPU sebagai lembaga independen tidak bertanggung jawab
kepada Presiden, tetapi hanya memberikan laporan atas penyelenggaraan pemilu.
Syarat utama berkaitan dengan keberadaan dan tugas serta wewenang yang dimiliki
KPU sebagai penyelenggara tunggal pemilihan umum, keberfungsian KPU akan sangat
berpengaruh terhadap kesuksesan penyelenggaraan pemilihan umum. Maksimalisasi fungsi
KPU menjadi salah satu syarat utama untuk mensukseskan penyelenggaraan pemilihan umum.
Tingkat keberfungsian KPU sendiri sangat dipengaruhi oleh kinerja dari pimpinan dan anggota
KPU. Kinerja KPU dinilai sangat penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia karena
sebagai penyelenggara pemilu, KPU yang akan menentukan siapa yang akan menduduki
kekuasaan eksekutif dan legislatif. Maka secara tidak langsung, KPU dituntut untuk bekerja
semaksimal mungkin dalam penyelenggaraan pemilu. Dalam praktik penyelenggaraan pemilu
2004, ternyata keberfungsian KPU sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh kinerja para
anggotanya yang kurang disiplin, kurang berdedikasi dan cenderung mementingkan kelompok
dan pribadinya masing masing. Hal tersebut menjadikan penyelenggaraan pemilu 2004 tidak
berjalan dengan maksimal sehingga banyak terjadi pelanggaran dan kejahatan dalam
pelaksanaannya. Pengalaman dari penyelenggaraan pemilu tahun 2004 tersebut membuat
banyak kalangan yang kecewa dan menuntut agar pelaksanaan pemilu 2009 lebih baik dan
lancar dengan langkah pertama yaitu memperbaiki kinerja Komisi Pemilihan Umum.
Namun, keinginan untuk mewujudkan pemilu 2009 agar lebih baik dari pemilu 2004
ternyata hanya cukup sebagai anganangan saja karena pada praktiknya penyelenggaraan pemilu
2009 oleh KPU dinilai banyak kalangan lebih buruk daripada penyelenggaraan pemilu 2004.
Banyak pihak yang mengkritik dan meragukan kinerja KPU dalam penyelenggaraan pemilu
2009. Hal ini dapat dilihat mulai dari persiapan penyelenggaraan pemilu 2009 di mana di antara
para anggota KPU masih sering berbeda pendapat dalam menghadapi satu persoalan. Misalnya
saja dalam masalah verifikasi partai politik peserta pemilu dan penetapan hari pemungutan
suara. Selain pada persiapan awal penyelenggaraan pemilu juga terdapat banyak terjadi
kekacauan dan pelanggaran dalam pemilu legislatif tanggal 9 April 2009 lalu.
Tahapan penyelenggaraan pemilu 2009 telah diawali dengan permasalahan hukum yaitu
banyaknya warga yang tidak terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) padahal mereka
memiliki hak pilih dalam penyelenggaraan pemilu 2009. Hal ini disebabkan karena adanya
pendataan yang kurang teliti di mana penyerahan data kependudukan atau Data Potensial
Pemilih Pemilu (DP4) oleh Pemerintah kepada KPU yang tidak lengkap dan proses
pembentukan struktur KPU di daerah yang tidak sesuai jadwal, keterlambatan pembuatan
beberapa aturan, kesalahan pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) dan DPT yang belum final.
Permasalahan mengenai DPT sampai saat ini masih menjadi masalah yang belum dapat
diselesaikan dengan baik oleh KPU. Hal ini juga dapat dilihat dari penyelenggaraan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 8 Juli 2009 yang ternyata masih anyak anggota
masyarakat yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena tidak tercatat sebagai DPT. Ini
tentu saja sangat merugikan bagi pelaksanaan pemilu sebagai perwujudan demokrasi di
Indonesia.
Banyaknya pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu legislatif yang diatur dalam
UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, secara garis besar
dikategorikan menjadi :
1) Pelanggaran Administrasi Pemilu
Diatur dalam Pasal 248 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, di mana dijelaskan bahwa pelanggaran administrasi pemilu
adalah pelanggaran terhadap ketentuan undangundang pemilu yang tidak termasuk ke
dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU.
Contoh pelanggaran administrasi pemilu di antaranya yaitu tidak memenuhi syarat
syarat untuk menjadi peserta pemilu; menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah,
tempat pendidikan untuk berkampanye; tidak melaporkan rekening awal dana kampanye;
pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan serta lainlain.
2) Tindak Pidana Pemilu
Pasal 252 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, mengatur tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran yang mengandung unsur
pidana dan diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana pemilu antara lain
adalah sengaja menghilangkan hak plih orang lain; menghalangi orang lain memberikan hak
suara dan merubah hasil suara. Proses penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh
lembaga penegak hukum yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
3) Perselisihan Hasil Pemilu
Menurut Pasal 258 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan antara KPU dan
peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional.
Perselisihan yang dimaksud yaitu hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil
suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu.
Khusus perselisihan hasil perolehan suara, penyelesaiannya dilakukan dengan
mekanisme peradilan di Mahkamah Konstitusi. Hal ini berdasarkan amanat konstitusi yaitu
UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagai contoh
perselisihan hasil pemilu di Nias Selatan yang telah diajukan di mana Mahkamah Konstitusi
memutuskan untuk diadakan pemungutan suara ulang di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera
Utara tersebut.
Ketentuan yang sama untuk pelanggaran dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden diatur dalam UndangUndang nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden. Pelanggaran administratif diatur dalam Pasal 191, pelanggaran
pidana diatur dalam Pasal 195 dan untuk penyelesaian perselisihan hasil pemilu diatur dalam
Pasal 201 UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden.
Selama masa kampanye terbuka pemilu 2009 dari 33 provinsi di Indonesia pelanggaran
yang telah dilaporkan sebanyak 197 pelanggaran yang terdiri dari 159 pelanggaran pidana
pemilu, 16 pelanggaran administrasi pemilu dan 22 pelanggaran lainlain. Hal tersebut
menunjukkan tingginya tingkat pelanggaran yang terjadi selama masa kampanye terbuka dan
belum ditambah kekacauan yang ditimbulkan oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu yaitu
diantaranya KPU tidak dapat menyediakan DPT yang resmi dan valid sebulan menjelang
pelaksanaan pemilu, KPU tidak sanggup mempersiapkan logistik pemilu 2009 dengan baik
seperti kertas suara yang rusak, kesalahan pengiriman dan keterlambatan pengiriman, serta
KPU tidak independen terhadap tekanan partai politik dan kekuatan politik tertentu.
Hal serupa juga masih terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden tanggal 8 Juli 2009 lalu. Ini menunjukkan bahwa KPU belum bisa memperbaiki
kinerjanya dengan baik untuk menyelenggarakan pemilu. Di sini tampak sekali bahwa
penyelenggaraan pemilu 2009 oleh KPU masih jauh dari harapan, tapi meskipun demikian
kinerja para anggota KPU dalam penyelenggaraan pemilu tersebut harus dihargai karena
memang pemilu bukanlah persoalan yang mudah saja untuk dilakukan dengan baik.
4. Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Beberapa Negara
1) Komisi Pemilihan Umum Filipina (The Commission on Elections of Philippines)
Filipina merupakan sebuah republik, di mana Presiden berfungsi sebagai kepala
negara, kepala pemerintahan, dan Panglima Tertinggi angkatan bersenjata. Presiden dipilih
dalam pemilu untuk masa jabatan 6 tahun, dan memilih dan mengepalai kabinet. Dewan
Legislatif Filipina mempunyai dua kamar: Kongres terdiri dari Senat dan Dewan
Perwakilan, di mana anggotanya dipilih melalui pemilu.
Filipina memiliki pengaruh dalam sistem pemilu di Indonesia karena pengalaman
Filipina dalam membentuk Komisi Pemilihan Umum yang independen menjadi rujukan
penting dalam pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia. Sifat
independen tersebut berarti bahwa KPU bebas dari pengaruh pemerintah. KPU Filipina juga
dikenal dengan nama COMELET yang didirikan pertama kali setelah adanya amandemen
konstitusi pada tahun 1940. COMELET merupakan badan yang dibentuk oleh kerajaan
untuk menyelenggarakan pemilu di Filipina. Latar belakang pembentukan KPU yang
independen tersebut diawali ketika penyelenggaraan pilkada tahun 1935 yang dilaksanakan
dan diawasi oleh Sekretaris Interior (Menteri Dalam Negeri) yang kewenangannya
diberikan undangundang dinilai terjadi kecurangan. Adanya hubungan resmi antara
Presiden dan Sekretaris Interior dianggap berbahaya karena kemungkinan terdapat partisan
di mana Sekretaris Interior dapat memanfaatkan kekuasaan dan pengaruh Presiden untuk
memastikan kemenangan bagi pihak yang didukung (http://wapedia.mobi/en/ politicsof
Philippines&prev=search?).
KPU Filipina memiliki fungsi menegakkan dan mengatur seluruh hukum dan
peraturan untuk melaksanakan pemilu, plebisit, inisiatif, referendum, dan recall. KPU
Filipina juga merupakan lembaga hukum yang dapat mendengarkan dan memutuskan
permasalahan yang berkaitan dengan pemilu.
2) Komisi Pemilihan Umum Thailand (The Electoral on Commission of Thai)
Pada mulanya Thailand merupakan negara berbentuk monarki absolut dengan
dipimpin oleh seorang Raja. Raja adalah kepala angkatan bersenjata dan penegak semua
agama. Selain itu Raja juga bertindak sebagai Kepala Negara yang melaksanakan kekuasaan
legislatifnya melalui parlemen; kekuasaan eksekutifnya melalui kabinet; kekuasaan yudisial
melalui pengadilan. Sedangkan Kepala Pemerintahan dipegang oleh seorang Perdana
Menteri yang dipilih melalui pemilu.
Dalam artikel di situs http://wapedia.mobi/en/politicsof Thailand&prev=search?
disebutkan bahwa sistem politik di Thailand mengalami perubahan penting pertama pada
Juni 1932, ketika sekelompok perwira muda angkatan darat, laut dan perwira sipil (terutama
berpendidikan Barat), yang menyebut diri sebagai Partai Rakyat, melancarkan kudeta.
Tuntutan mereka ialah perubahan dari monarkhi absolut menjadi monarkhi konstitusional.
Karena ingin menghindarkan pertumpahan darah, maka Raja Prajadhipok setuju
menghapuskan monarkhi absolut dan mengalihkan kekuasaan kepada pemerintahan yang
berdasarkan konstitusi. Pada 10 Desember 1932, Raja Prajadhipok menandatangani
konstitusi Thailand pertama, dengan demikian mengakhiri 800 tahun kekuasaan monarkhi
absolut. Sejak masa itu, hingga terbitnya konstitusi 1997, Thailand mempunyai 15 konstitusi
dan menyelenggarakan 19 kali Pemilihan Umum (Pemilu) untuk parlemen (DPR). Pemilu
pertama diselenggarakan 1933, atau hanya satu tahun setelah revolusi, dan Pemilu terakhir
yang diselenggarakan di bawah sistem lama ialah pemilu 1996.
Dari 19 kali pemilu, hanya pemilu 1946, 1975, 1976, September 1992, 1995, dan
1996 yang diselenggarakan di bawah ling¬kungan yang demokratik, dengan harapan akan
diikuti oleh perubahan politik. Sisa pemilu lainnya diselenggarakan di bawah pemerintahan
militer atau sistem semidemokratik dan merupakan pertunjukan untuk memberikan
legitimasi semu bagi militer atau pemerintahan yang didominasi oleh militer. Pemilu
berfungsi membuat para pemimpin militer bisa menempatkan orangorangnya di DPR
terpilih, sehingga menjamin kelangsungan dukungan bagi mereka untuk tetap berkuasa.
Departemen Dalam Negeri sebagai penyelenggara pemilu pada saat itu dianggap tidak
menjalankan tugasnya denganbaik karena terdapat kecurangan dalam pemilu.
Satu perubahan penting lain setelah adanya konstitusi baru di Thailand yaitu dalam
sistem Pemilu ini dengan dibentuknya organisasi independen, yaitu Komisi Pemilu Thailand
(KPT) untuk menggantikan Departemen Dalam Negeri menyelenggarakan Pemilu.
Konstitusi 1997 menempatkan KPT pada posisi yang kuat, yang tidak dimiliki oleh
penyelenggara Pemilu sebelumnya. KPT diberi kekuasaan menyelidiki laporan pelanggaran
dan kecurangan Pemilu, memecat calon yang sudah terpilih, mencabut hak pilih seseorang
berdasar alasan pelanggaran Pemilu, serta memerintahkan pemilihan ulang di salah satu
atau di seluruh TPS. Keputusan KPT bersifat final. Kekuasaan KPT yang besar ini
dimaksudkan sebagai tindakan preventif dan kuratif dalam mengatasi masalah pelanggaran
Pemilu. Independesi Komisi Pemilu Thailand juga ditunjukkan melalui keanggotaannya
yang meski tidak disebutkan dalam konstitusi, namun ditegaskan bahwa mereka merupakan
orangorang yang independen terhadap pemerintah maupun berbagai kekuatan politik lain
serta non partisan
Anggota KPT hanya lima orang termasuk ketuanya. Mereka dipilih berdasarkan
seleksi yang dilakukan oleh Komite Seleksi yang terdiri dari wakil seluruh parpol yang
memiliki anggota di Majelis Rendah, serta 10 orang yang terdiri dari Ketua Pengadilan
Konstitusi, Ketua Pengadilan Administrasi Tinggi, dan para rektor perguruan tinggi yang
menguasai bidang hukum. Komite ini bertugas menjaring delapan nama calon untuk
diajukan ke Senat guna memperoleh persetujuan. Jika Senat sudah menyetujui, Mahkamah
Agung akan mempertimbangkan dan memilih lima orang, untuk menjadi anggota KPT.
c. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Afrika Selatan
Afrika Selatan merupakan negara demokrasi konstitusional dengan sistem tiga
tingkat dan institusi kehakiman yang bebas. Terdapat tiga peringkat yaitu nasional, wilayah
dan pemerintahan lokal yang mempunyai badan legislatif serta eksekutif dengan daerah
kekuasaan masingmasing. Presiden Afrika Selatan memegang dua jabatan yaitu sebagai
Kepala Negara dan juga Kepala Pemerintahan. Ia dipilih sewaktu Sidang Nasional (National
Assembly) dan Majelis Provinsiprovinsi Nasional (National Council of Provinces)
bergabung. Lazimnya, Presiden adalah pemimpin partai mayoritas di Parlemen.
Afrika Selatan mengatur keberadaan komisikomisi negara yang bersifat independen
dalam konstitusinya yang meliputi kewenangan, tugas, keanggotaan, hubungan kerjanya
dengan lembaga lain dan sebagainya secara tegas di dalam system ketatanegaraannya.
Keberadaan komisikomisi negara yang bersifat independen di Afrika Selatan diatur dalam
Bab 9 tentang Lembagalembaga Negara Penunjang Demokrasi Konstitusional (State
Institutions Supporting Constitutional Democracy). Pasal 181 ayat (1) tentang Pembentukan
dan Asasasas Pemerintahan menyatakan bahwa lembagalembaga negara yang diidealkan
dapat memperkuat demokrasi konstitusional adalah (Cornelis Lay, 2006:2829) :
a) Pelindung Masyarakat (The Public Protector) yang memiliki kewenangan melakukan
investigasi, pelaporan, dan pemulihan terhadap tindakan administrasi public yang
menyimpang;
b) Komisi Hak Asasi Manusia (The Human Rights Commission) yang memiliki
kewenangan melakukan investigasi dan pelaporan terhadap pemantauan HAM;
c) Komisi untuk Pemajuan dan Perlindungan Hakhak Budaya, Komunitas Agama dan
Bahasa (The Commission for the Promition and Protection of thr Right of
Cultural,Religious and Linguistic Communities) yang memiliki kewenangan untuk
memonitor, melakukan investigasi, riset, pendidikan, mempengaruhi, memberi saran,
dan melaporkan persoalanpersoalan yang berkaitan dengan hakhak budaya,
komunitas agama dan budaya;
d) Komisi untuk Kesetaraan Gender (The Commission for Gender Equality) yang
memiliki kewenangan untuk memonitor, melakukan investigasi, riset, pendidikan,
mempengaruhi, memberi saran, dan melaporkan persoalanpersoalan yang berkaitan
dengan persamaan gender;
e) Auditor Umum (Auditor General) yang memiliki untuk melakukan audit dan
melaporkan rekening da pengelolaan keuangan dari administrasi dan departemen
baik dalam skala nasional, provinsi maupun kota, dan lembaga lain yang dibentuk
berdasarkan peraturan baik di tingkat nasional maupun provinsi; dan
f) Komisi Pemilihan Umum (THE Electoral Commissio) yang memiliki kewenangan
untuk menyelenggarakan pemilihan umum nasional, provinsi maupun kota dan
menjamin terselenggaranya pemilihan umum secara bebas dan jujur, serta
mengumumkan hasil pemilihan umum.
Dari keenam Lembaga Negara tersebut di atas dapat diketahui bahwa Komisi
Pemilihan Umum di Afrika Selatan memiliki kedudukan yang penting sebagai Lembaga
Negara Penunjang Demokrasi Konstitusional. Selanjutnya, Pasal 181 ayat (2) menyatakan
bahwa keenam Lembagalembaga Negara Penunjang Demokrasi Konstitusional itu
merupakan lembaga yang bersifat independen, hanya tunduk pada ketentuan konstitusi dan
undangundang, harus bersikap tidak memihak, dan menjalankan kekuasaan dan fungsinya
tanpa ada ketakutan, diskriminasi, dan prasangka buruk. Lembagalembaga negara lainnya
diharuskan oleh konstitusi untuk membantu dan melindungi Lembagalembaga Negara
Penunjang Demokrasi Konstitusional ini agar mendapatka jaminan kemerdekaan,
ketidakberpihakan, martabat, dan efektivitasnya. Masingmasing lembaga bertanggung
jawab kepada Majelis Nasional (National Assembly) dan harus melaporkan aktivitas
kerjanya setidaknya dalam waktu satu tahun.
B. Kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Pembahasan mengenai kedudukan lembagalembaga negara dalam sistem ketatanegaraan
menjadi sangat penting ketika lembagalembaga tersebut akan melaksanakan fungsi, tugas dan
kewenangannya sebagai lembaga bantu negara yang disekelilingnya telah berdiri lembagalembaga
negara dengan kedudukan yang jelas satu sama lain. Kedudukan sebuah komisi akan sangat
menentukan eksistensi dari komisi tersebut apabila dibandingkan dengan lembagalembaga yang
lainnya.
Untuk dapat mengetahui kedudukan lembaga negara bantu yang bersifat independen dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, perlu mengkaji aturan hukum yang menjadi dasar pembentukan
lembaga negara bantu tersebut. Di dalam aturanaturan itulah biasanya kedudukan sebuah lembaga
negara dirumuskan.
Salah satu dari lembagalembaga negara tersebut yang akan dibahas di sini adalah Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Secara kelembagaan lembaga penyelenggara pemilihan umum disebutkan
secara tegas dalam Pasal 22E UUD 1945 sebagai berikut:
1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah , Presiden dn Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Daerah.
3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undangundang.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, komisi pemilihan umum sebagai penyelenggara
pemilu dengan jelas disebutkan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Akan tetapi, nama komisi
pemilihan umum sebenarnya bukanlah nama yang diberikan oleh UUD 1945 karena dalam pasal
tersebut nama komisi pemilihan umum tidak dituliskan dengan huruf kapital. Nama komisi
pemilihan umum merupakan nama yang diberikan oleh UU yaitu dalam hal ini adalah UU No 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
Menurut Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan
lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Berdasarkan hal tersebut
KPU merupakan lembaga negara independen yang dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Artinya KPU adalah sebuah lembaga negara yang mempuyai kewenangan sebagaimana diatur
dalam UUD 1945 dan ditegaskan lagi dalam UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum di samping lembagalembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh
UUD.
Untuk dapat mengetahui kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia dapat didasarkan pada 2 (dua) kriteria yang telah disebutkan Jimly
Asshiddiqie di atas yaitu kriteria hierarki bentuk sumber normatif yang menentukan
kewenangannya dan kriteria kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem
kekuasaan negara seperti yang akan penulis uraikan di bawah ini:
1. Komisi Pemilihan Umum (KPU) ditinjau Menurut Fungsi Kelembagaan
Menurut teori kelembagaan apabila ditinjau dari fungsinya, lembagalembaga negara
dapat dikategorikan sebagai organ utama atau organ primer (primary constitutional organs) dan
organ pendukung/penunjang (auxiliary state organs). Perbedaan dari kedua organ tersebut dapat
dipahami dengan membedakan lembagalembaga negara dalam tiga ranah (domain) : (i)
kekuasaan eksekutif atau pelaksana (administrator, bestuurzorg); (ii) kekuasaan legislatif atau
fungsi pengawasan; (iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial (Jimly Asshiddiqie,
2006:113).
a. Kekuasaan Eksekutif
Apabila ditinjau dari kriteria kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang
dalam cabang kekuasaan negara, Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu
termasuk dalam kategori menjalankan kekuasaan eksekutif, yaitu untuk membantu presiden
dalam menyelenggarakan pemilu di Indonesia dengan tujuan terpilihnya wakil rakyat dan
wakil daerah yang representatif dan terbentuknya pemerintahan yang demokratis, kuat dan
didukung oleh rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang
diamanatkan dalam UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena
itu, secara fungsional KPU termasuk organ penunjang (auxiliary organs) atas tugas organ
utama yaitu presiden. Namun dalam hal ini, KPU tidak berada di bawah kekuasaan eksekutif
karena KPU merupakan lembaga yang independen atau bebas dari pengaruh pihak mana
pun tetapi hanya sebagai lembaga penunjang.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dibentuk pertama kali melalui UndangUndang
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Dalam Pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa
penanggung jawab pemilu adalah Presiden dan Pasal 8 ayat (4) dinyatakan bahwa
pembentukan KPU diresmikan dengan Keputusan Presiden. Berdasarkan pada ketentuan
dua pasal tersebut, kedudukan KPU seperti berada dalam lingkungan eksekutif (di bawah
Presiden) karena peresmian pembentukan KPU dilakukan dengan dikeluarkannya
Keputusan Presiden. Hal ini menjadikan banyak kalangan yang berfikir bahwa KPU masih
dibayangbayangi oleh pemerintah sehingga dianggap belum sepenuhnya independen.
Namun, seiring perjalanannya eksistensi KPU mulai diterima sebagai lembaga
penyelenggara pemilu yang benarbenar independen yaitu bebas dari pengaruh pihak mana
pun termasuk pemerintah. KPU bukanlah bagian dari institusi kepresidenan (eksekutif) dan
KPU juga tidak menjalankan fungsinya sebagai pelaksana/eksekutif administrasi.,
meskipun, sampai pembentukan KPU ketiga sekarang periode 20072012 masih dilakukan
degan Keputusan Presiden. KPU hanya berperan dan menjalankan fungsi sebagai penunjang
tugastugas lembaga kekuasaan eksekutif dalam menyelenggarakan pemilu.
b. Kekuasaan Legislatif
Kekuasaan legislatif atau fungsi pengawasan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
dijalankan oleh tiga lembaga negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jika dikaitkan dengan
fungsi legislatif tersebut. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu
tidak menjalankan fungsi legislasi. Menurut Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun
1945 disebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilu dan
diatur lebih lanjut dengan undangundang. Berdasarkan pasal tersebut dapat dipahami jika
terdapat tiga lembaga negara yang menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia.
Apabila memperhatikan kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada saat
pertama kali dibentuk berdasarkan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum ternyata KPU diberikan kewenangan legislasi mengenai tata cara pemilihan umum.
Semua ketentuan yang bersifat mengatur atau membatasi hak dan kebebasan warga negara
(termasuk persyaratan dan larangan), ketentuan yang mengenakan beban (termasuk sanksi)
yang harus ditanggung warga negara, dan ketentuan yang mendistribusikan atau
mengalokasikan sumber daya (termasuk tata cara penentuan calon terpilih), haruslah
dirumuskan dalam undangundang.
Berbagai tata cara pemilihan umum yang diperlukan bagi pelaksanaan pemilu
mengandung satu atau lebih dari ketiga jenis ketentuan tersebut. Karena itu, tata cara seperti
ini lebih tepat diputuskan oleh DPR dan presiden sebagai pembuat undangundang. Bila
kewenangan legislasi diberikan kepada KPU, sedangkan ketentuan tentang tata cara itu pasti
akan menguntungkan sebagian pesaing dan merugikan pesaing lainnya, KPU tentu akan
dihujat oleh pihak yang merasa dirugikan dan dituduh memihak pihak yang diuntungkan.
Oleh sebab itu, KPU hendaknya hanya dapat membuat petunjuk teknis pelaksanaan
perundangundangan yang memang sudah dirumuskan secara terperinci. Sejak saat itulah,
peraturan mengenai tata cara pemilihan umum dirumuskan oleh DPR untuk lebih menjamin
kualitas penyelenggaraan pemilihan umum dengan disusunnya UndangUndang Nomor 4
Tahun 2000 sebagai perubahan atas UndangUndang Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pemilihan Umum yang menyebutkan bahwa KPU bertugas menyelenggarakan pemilu
dengan aturan yang sudah digariskan oleh Undangundang. KPU sudah tidak lagi
berwenang untuk merumuskan tata cara pemilihan umum.
Akan tetapi, KPU masih mempunyai kewajiban untuk merumuskan secara terperinci
Kode Etik Pelaksanaan Pemilu berdasarkan prinsipprinsip yang ditetapkan dalam Undang
undang Pemilu. KPU dalam menyelenggarakan pemilu harus berpedoman pada peraturan
perundangundangan dan Kode Etik Pelaksana Pemilu tersebut. Hal ini seperti yang
disebutkan dalam Pasal 21 UndangUndang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah di mana untuk menjaga kemandirian, integritas dan kredibilitas, KPU
menyusun kode etik yang bersifat mengikat serta wajib dipatuhi oleh KPU. Pasal tersebut
menunjukkan ternyata KPU memiliki kewenangan legislasi untuk menyusun kode etik
pelaksana pemilu, hanya saja kode etik tersebut hanya mengikat dalam internal KPU saja
sehingga tidak merupakan kewenangan legislasi seperti yang dimiliki lembagalembaga
negara pemegang fungsi legislatif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
c. Kekuasaan Yudikatif
Komisi Pemilihan Umum tidak memiliki kewenangan dalam bidang kekuasaan
yudikatif yaitu kekuasaan kehakiman, lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan
kehakiman. Bidang kekuasaan yudikatif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dipegang
oleh dua lembaga negara, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kedua
lembaga negara tersebut merupakan puncak dari sistem penegakan hukum di Indonesia yang
memiliki kekuatan putusan yang final dan mengikat.
Komisi Pemilihan Umum merupakan satusatunya lembaga penyelenggara pemilihan
umum di Indonesia. Banyak sekali dalam penyelenggaraan pemilu terdapat pelanggaran
pelanggaran mengenai tata cara maupun ketentuanketentuan penyelenggaraan pemilu
seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Berkaitan dengan fungsi yudikatif terdapat salah
satu kewenangan konstitusional yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal
24C ayat (1) UUD 1945 di mana Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus tentang perselisihan
hasil pemilu.
Berdasarkan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
berkaitan dengan perselisihan hasil pemilu, KPU dapat diajukan sebagai pihak termohon
dalam sengketa. KPU sebagai penyelenggara pemilu merupakan pihak yang berwenang
berkaitan dengan pemilu termasuk dalam hal penetapan hasil perolehan suara pemilu.
Sedangkan pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi
disebutkan dalam Pasal 74 ayat (1) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yaitu di antaranya :
a) Perseorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah peserta pemilu;
b) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilu Presiden dan
Wakil Presiden;
c) Partai politik peserta pemilu.
Pasal 74 ayat (2) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menjelaskan bahwa permohonan tersebut hanya dapat diajukan terhadap
penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan
Umum yang mempengaruhi :
1) Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;
2) Penentuan pasangan calon yang masuk masuk pada putaran kedua pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden;
3) Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.
Dari pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa KPU dapat menjadi pihak yang
bersengketa dalam perselisihan hasil pemilihan umum. KPU sebagai pihak harus
mematuhi setiap prosedur penyelesaian perselisihan di Mahkamah Konstitusi sampai
pada Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan hasil pemilu tersebut.
Mengenai tindak lanjut Putusan MK mengenai perselisihan hasil pemilu tersebut, dalam
Pasal 259 ayat (3) UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dan Pasal 201 ayat (4) UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden telah memuat ketentuan bahwa KPU
beserta jajarannya wajib menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tentang
perselisihan hasil pemilihan umum tersebut.
Sedangkan untuk memeriksa pengaduan adanya pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh anggota KPU, dibentuk Dewan Kehormatan KPU yang bersifat ad hoc.
Keanggotaan Dewan kehormatan KPU sebanyak tiga orang yang terdiri atas seorang
ketua dan anggotaanggotanya yang dipilih dari dan oleh anggota KPU. Dewan
Kehormatan KPU melaporkan hasil pemeriksaannya kepada KPU berdasarkan
mekanisme kerja yang sebelumnya ditetapkan oleh KPU. Dari sini dapat diketahui
bahwa KPU juga melakukan fungsi yudisial tetapi terbatas pada lingkungan internal
KPU. Selebihnya berkenaan dengan fungsi yudisial, KPU tidak memiliki wewenang
yudisial untuk mengadili atau sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam system
ketatanegaraan Indonesia.
2. Komisi Pemilihan Umum (KPU) ditinjau dari Kriteria Hierarki
Lembaga negara ditinjau dari segi hierarkinya dapat dibedakan ke dalam tiga lapis.
Organ lapis pertama disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai
lembaga negara saja sedangkan organ lapis ketiga adalah lembaga daerah. Khusus organ lapis
kedua ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan asal kewenangannya, yaitu berdasar
UndangUndang Dasar, undangundang dan peraturan di bawah undangundang. Lembaga
Negara yang mendapatkan kewenangan dari UUD, misalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Komisi Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara sedangkan lembaga yang
sumber kewenangannya berasal dari undangundang, misalnya Komnas HAM, Komisi
Penyiaran Indonesia dan sebagainya. Kedudukan kedua jenis lembaga tersebut dapat
disebandingkan satu sama lain tetapi kedudukan lembaga yang kewenangannya berasal dari
UUD jauh lebih kuat daripada lembaga yang kewenangannya berasal dari undangundang.
Ditinjau dari kriteria hierarki bentuk sumber normatif yang memberikan kewenangan
Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap
dan mandiri yaitu berdasarkan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 termasuk dalam kategori organ
lapis kedua. Meskipun dalam UUD 1945 sendiri nama Komisi Pemilihan Umum sebagai
penyelenggara pemilu tidak secara tegas disebutkan karena tidak ditulis dengan huruf kapital.
Akan tetapi, dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum dapat dilihat bahwa pembentukan Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara
pemilu merupakan amanat dari UUD 1945 yang mendapat kedudukan dan jaminan yang penting
di dalamnya.
Kedudukan Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga negara tidak dapat disejajarkan
dengan lembagalembaga (tinggi) lainnya yang kewenangannya ditentukan dan diberikan oleh
UndangUndang Dasar 1945, misalnya MPR, DPR, Presiden dll tetapi dapat dianggap sejajar
dengan lembaga negara yang dibentuk oleh atau dengan UndangUndang yaitu Menteri Negara,
TNI, Kepolisian Negara, Komisi Yudisial dan Bank Sentral. Sedangkan untuk mengetahui
kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lembagalembaga negara lainnya dalam sistem
ketatanegaran Indonesia dapat dilihat pada bagan di bawah ini:
LEMBAGALEMBAGA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
Menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
PUSAT
Badanbadan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
Lingkungan Peradilan TUN
Lingkungan Peradilan Militer
Lingkungan Peradilan Agama
TNI / Polri
Dewan Pertimbangan
Kementerian negara
UUD 1945
kpu
BPK
bank sentral
Presiden DPR MPR DPD MA MK
KY
Perwakilan BPK Provinsi
Pemerintah Daerah
Gubernur DPRD
Pemerintah Daerah Kabupaten / KotaBupati/
WalikotaDPRD
Lingkungan Peradilan Umum
3. Independensi Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Pasal 22E ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan secara
tegas bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri. Selain itu, independensi KPU sebagai lembaga
penyelenggara pemilu juga disebutkan dalam Pasal 1 UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dimana dikatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum
selanjutnya disebut KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap
dan mandiri. Penyebutan istilah “mandiri” tersebut merupakan pencerminan bahwa KPU
merupakan salah satu lembaga negara yang independen dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.
Penjelasan Pasal 3 UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 tantang Penyelenggara
Pemilu menyatakan bahwa sifat mandiri tersebut menegaskan bahwa KPU dalam menjalankan
dan melaksanakan pemilihan umum adalah bebas dari pengaruh pihak manapun. KPU yang
mandiri adalah KPU yang tidak berada dan/atau di bawah pengaruh seseorang, kelompok,
golongan, partai, ataupun pemerintah. Artinya, dalam menyelenggarakan tugas dan
kewenangannya, KPU berpedoman hanya pada peraturan perundangundangan, dan membuat
keputusan serta mengambil tindakan tanpa adanya campur tangan ataupun intervensi dari
mana pun. Independensi KPU dapat juga dilihat dari :
a. persyaratan dan mekanisme penentuan keanggotaan;
b. susunan organisasi dan tata kerjanya;
c. persyaratan dan mekanisme penentuan anggota, dan
d. perumusan dan pengajuan anggaran.
KPU dinyatakan mandiri apabila keanggotaannya bersifat nonpartisan dan dipilih
secara terbuka serta kompetitif, dan KPU sendirilah yang menentukan susunan organisasi dan
anggotanya, serta menyusun dan mengajukan anggaran kepada pemerintah dan DPR. Status
independen juga diperlukan agar keputusan dan tindakan KPU bersifat imparsial atau tidak
memihak, melainkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang telah dirumuskan
secara perinci.
Karakteristik independen menyangkut hubungan KPU dengan pihak di luar KPU
disebutkan dalam penjelasan pasal tentang kemandirian KPU yang disimpulkan bahwa KPU
tidak boleh berada dan/atau di bawah pengaruh seseorang, kelompok, golongan, partai politik,
dan pemerintah. Artinya, dalam membuat keputusan dan melakukan tindakan KPU harus
independen dari intervensi seseorang, kelompok, golongan, partai politik, ataupun
pemerintah.
Pengaruh kelima pihak ini terhadap KPU harus dicegah untuk menjamin independensi
KPU. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai penyelenggara pemilu, KPU
harus berpedoman pada peraturan perundangundangan dan Kode Etik Pelaksana Pemilu,
bukan pada pandangan dan kepentingan seseorang, golongan, partai politik, ataupun
pemerintah. KPU tidak boleh berada dan/atau di bawah pengaruh partai politik karena partai
politik merupakan peserta pemilihan anggota DPR, DPRD, presiden/wakil presiden. KPU
tidak boleh berada dan/atau di bawah pengaruh seseorang, kelompok ataupun golongan karena
perseorangan (dengan atau tanpa dukungan kelompok atau golongan masyarakat tertentu)
merupakan peserta pemilihan anggota DPD. KPU juga tidak boleh berada dan/atau di bawah
pengaruh pemerintah karena presiden/wakil presiden beserta anggota kabinet (pemerintah
pusat) dan kepala daerah/wakil kepala daerah beserta perangkat daerah (pemerintah daerah)
adalah peserta pemilihan presiden/wakil presiden pada tingkat nasional dan menjadi peserta
pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah pada tingkat lokal.
Untuk menjamin independensi KPU perlu dijamin empat hal berikut ini. Pertama,
keanggotaan KPU diseleksi dan dipilih berdasarkan kriteria nonpartisan, komitmen, dan
kemampuan yang ditetapkan dalam UndangUndang Pemilu. Kedua, dalam UU Pemilu telah
dirumuskan ketentuan yang berbunyi: (a) KPU terdiri atas anggota KPU dan sekretariat
jenderal KPU, (b) sekretariat jenderal KPU dibentuk dan bertanggung jawab kepada Rapat
Pleno KPU, (c) sekretaris jenderal dan wakil sekretaris jenderal diangkat oleh KPU, (d)
struktur organisasi KPU ditetapkan oleh KPU, (e) tata kerja dan pengembangan anggota
ditentukan oleh KPU, dan (f) anggaran KPU diusulkan oleh KPU kepada pemerintah dan
DPR.
Ketiga, KPU diwajibkan merumuskan secara perinci Kode Etik Pelaksana Pemilu
berdasarkan prinsipprinsip yang ditetapkan dalam UndangUndang Pemilu sehingga dalam
menyelenggarakan pemilu KPU akan berpedoman pada peraturan perundangundangan dan
Kode Etik Pelaksana Pemilu tersebut. Keempat, KPU hendaknya tak lagi diberi kewenangan
legislasi mengenai tata cara pemilihan umum. Semua ketentuan yang bersifat mengatur atau
membatasi hak dan kebebasan warga negara (termasuk persyaratan dan larangan), ketentuan
yang mengenakan beban (termasuk sanksi) yang harus ditanggung warga negara, dan
ketentuan yang mendistribusikan atau mengalokasikan sumber daya (termasuk tata cara
penentuan calon terpilih), haruslah dirumuskan dalam UndangUndang.
C. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Komisi Pemilihan Umum Sebagai Lembaga Independen
dalam Penyelenggaraan Pemilu
Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga independen dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban sebagai penyelenggara pemilu yang
disebutkan dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Adapun
tugas, wewenang dan kewajiban Komisi Pemilihan Umum diatur dalam Pasal 8 UU Nomor 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yaitu:
1) Tugas dan Wewenang Komisi Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD), meliputi :
a. Merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal;
b. Menyusun dan menetapkan tata kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan
Umum Provinsi, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan
KPPSLN;
c. Menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiaptiap tahapan
berdasarkan peraturan perundangundangan;
d. Mengkoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahapan;
e. Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya
sebagai daftar pemilih;
f. Menerima daftar pemilih dari Komisi Pemilihan Umum Provinsi;
g. Menetapkan peserta Pemilu;
h. Menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara tingkat
nasional berdasarkan rekapitulasi penghitungan suara di Komisi Pemilihan Umum Provinsi
untuk Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPR) dan hasil rekapitulasi
penghitungan suara di tiaptiap Komisi Pemilihan Umum Provinsi untuk Pemilu Anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan membuat berita acara penghitungan suara dan
sertifikat hasil penghitungan suara;
i. Membut berita acara penghitungan suara serta membuat sertifikat penghitungan suara
dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu dan Bawaslu;
j. Menerbitkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum untuk mengesahkan hasil Pemilu
dan mengumumkannya;
k. Menetapkan dan mengumumkan perolehan jumlah kursi anggota Dewan Perwakilan
Derah (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi), dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota) untuk setiap partai
politik peserta pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah;
l. Mengumumkan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah terpilih dan membuat berita acaranya;
m. Menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan;
n. Memeriksa pengaduan dan/atau laporan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan
oleh anggota Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, PPLN dan
KPPSLN;
o. Menindaklanjuti dengan segeta temuan dan laporan yang yang disampaikan oleh
Bawaslu;
p. Menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administrative kepada anggota
Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, PPLN dan KPPSLN,
Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum dan Pegawai Sekretaris Jenderal Komisi
Pemilihan Umum yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya
tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi
Bawaslu dan ketentuan peraturan perundangundangan;
q. Melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan
tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum kepada masyarakat;
r. Menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan
mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye;
s. Melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu;
t. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh undangundang.
2. Tugas dan Wewenang Komisi Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden meliputi :
1) Merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal;
2) Menyusun dan menetapkan tata kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan
Umum Provinsi, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN dan
KPPSLN;
3) Menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiaptiap tahapan
berdasarkan peraturan perundangundangan;
4) Mengkoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahapan;
5) Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya
sebagai daftar pemilih;
6) Menerima daftar pemilih dari Komisi Pemilihan Umum Provinsi;
7) Menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang telah memenuhi
persyaratan;
8) Menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara berdasarkan hasil
rekapitulasi penghitungan suara di Komisi Pemilihan Umum Provinsi dengan membuat
berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;
9) Membuat berita acara penghitungan suara serta membuat sertifikat penghitungan suara
dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu dan Bawaslu;
10) Menerbitkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum untuk mengesahkan hasil Pemilu dan
mengumumkannya;
11) Mengumumkan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih dan membuat berita
acaranya;
12) Menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan;
13) Memeriksa pengaduan dan/atau laporan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan
oleh anggota Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, PPLN dan
KPPSLN;
14) Menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Bawaslu;
15) Menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif kepada anggota
Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, PPLN, KPPSLN, Sekretaris
Jenderal Komisi Pemilihan Umum dan pegawai Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan
Umum yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan
penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung bedasarkan rekomendasi Bawaslu dan
ketentuan peraturan perundangundangan;
16) Melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas
dan wewenang Komisi Pemilihan Umum kepada masyarakat;
17) Menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan
mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye;
18) Melaksanakan evaluasi dan membuat laporan setip tahapan penyelenggaraan Pemilu;
19) Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh undangundang.
3. Tugas dan Wewenang Komisi Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah meliputi :
1) Menyusun dan menetapkan pedoman tata cara penyelenggaraan sesuai dengan
tahapan yang diatur dalam peraturan perundangundangan;
2) Mengkoordinasikan dan memantau tahapan;
3) Melakukan evaluasi Tahunan Penyelenggaraan Pemilu;
4) Menerima laporan hasil Pemilu dari Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten/Kota;
5) Menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif kepada
anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yang
mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung
berdasarkan rekomendasi Bawaslu dan ketentuan peraturan perundangundangan;
6) Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh undangundang.
Komisi Pemilihan Umum dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berkewajiban :
1.Melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu secara tepat waktu;
2. Memperlakukan peserta Pemilu dan pasagan calon secara adil dan setara;
3. Menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilu kepada masyarakat;
4. Melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran sesuai dengan peraturan perundang
undangan;
5. Memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris Komisi Pemilihan
Umum berdasarkan peraturan perundangundangan;
6. Menyampaikan laporan periodik mengenai tahapan penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat serta menyampaikan tembusannya kepada Bawaslu;
7.Membuat berita acara pada setiap rapat pleno Komisi Pemilihan Umum dan ditandatangani oleh
ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum;
8. Menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat serta menyampaikan tembusannya kepada Bawaslu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
setelah pengucapan sumpah/janji pejabat; dan
9. Melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh undangundang.
Selain kewajiban yang telah diatur dalam ketentuan perundangan di atas, KPU juga
mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a) Melaksanakan dan mentaati hukum dan peraturan negara;
b) Melaksanakan tugas secara jujur dan adil;
c) Menghormati asas keterbukaan dan pentingnya memberikan informasi yang tepat, jujur dan
dapat memberikan akuntabilitas kepada masyarakat;
d) Melaksanakan tugas yang ditetapkan sesuai UndangUndang;
e) Mengusahakan agar setiap peserta pemilihan umum yang meliputi partai politik, calon
anggota legislative dan pemilih mendapat perlakuan yang adil dan setara;
f) Melaksanakan tugas secara terkoordinasi antar anggota atau dengan instansi terkait;
g) Menunjang pemantauan pemilihan umum agar berjalan secara efektif dan efisien.
Di dalam Pasal 39 UU No 22 Tahun 2007 disebutkan bahwa dalam menjalankan tugasnya,
KPU bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundangundangan serta dalam hal
penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. Pengaturan penyelenggara pemilihan umum
dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menjamin proses
demokrasi di daerah berlangsung langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini antara lain
karena dalam undangundang tersebut tugas, fungsi, wewenang, dan tanggung jawab KPU, KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota sampai pada Panitia Pemilihan dan Badan Pengawas Pemilu diatur
secara detail dan terperinci.
Dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya sebagai penyelenggara pemilihan
umum di Indonesia terdapat kendalakendala yang dihadapi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu
diantaranya: (Ibramsyah Amirudin, 2008: 8796)
1. Kendala Yuridis
Kendala yuridis yang dialami KPU dalam penyelenggaraan pemilu yaitu berkaitan
dengan kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah terjadinya amandemen
UUD 1945. Dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 setelah amandemen disebutkan bahwa
“Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap dan mandiri”. Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa komisi
pemilian umum yang diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pemilu di Indonesia. Akan
tetapi, nama Komisi Pemilihan Umum sendiri tidak disebutkan secara pasti dalam pasal
tersebut karena hanya ditulis dengan huruf kecil saja. Nama Komisi Pemilihan Umum sebagai
penyelenggara pemilu baru secara tegas disebutkan dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun
2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Hal inilah yang menimbulkan kesulitan dan
kendala dalam menempatkan kedudukan Komisi Pemilihan Umum dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yaitu meliputi:
a) Penempatan posisi protokoler keanggotaan Komisi Pemilihan Umum dalam acara resmi
kenegaraan;
b) Masalah eselonisasi yaitu apakah anggota KPU termasuk pejabat negara dan/atau pejabat
public berikut tunjangan jabatannya;
c) Kedudukan Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten/Kota yang merupakan bagian dari KPU di antara lembaga negara di tingkat
daerah, yaitu antara Pemerintah Provinsi, Gubernur, DPRD Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota yang menimbulkan kendala
karena tidak mendapat kejelasan dari UU No 22 Tahun 2007.
2. Kendala Non Yuridis
a. Kapasitas dan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang lemah di mana
anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota serta petugas penyelenggara pemilihan
umum di lapangan yang kebanyakan kurang memahami tugas dan wewenangnya.
b. Luasnya geografi wilayah Indonesia menyebabkan kurang lancarnya berbagai
distribusi dari KPU ke KPU Provinsi dan ke KPU Kabupten/Kota yaitu meliputi anggaran,
logistik, sosialisasi/desiminasi peraturan, Keputusan komisi Pemilihan Umum dan
sebagainya yang kadang menyebabkan tidak tepat waktu sehingga mengganggu jadwal
pelaksanaan rangkaian kegiatan pemilihan umum di daerah.
c. Pengadaan tinta, kertas, surat suara dan kotak suara oleh ketua dan anggota
Komisi Pemilihan Umum terkadang menimbulkan dugaan korupsi.
d. Tidak adanya sinkronisasi pemutakhiran data penduduk dan/atau data pemilih
oleh BPS dan atau Kantor Catatan Sipil Kabupaten/Kota, yang diserahkan kepada KPU
Kabupaten/Kota menyebabkan KPU kesulitan untuk menetapkan jumlah pemilih.
e. Banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tidak tetap,
menyebabkan KPU kesulitan dalam melakukan pendataan bagi penduduk yang
mempunyai hak pilih sehingga kadang terjadi pendataan ganda bagi seorang penduduk
atau pun kadang terjadi penduduk yang tidak mendapatkan pendataan sehingga dia tidak
dapat menggunakan hak pilihnya.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
1. Kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sebagai Lembaga
Independen dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga
independen didasari karena Komisi Pemilihan Umum sebagai
penyelenggara pemilu tidak boleh berada dan/atau di bawah pengaruh
seseorang, kelompok, golongan, partai pilitik dan Pemerintah. Keberadaan
Komisi Pemilihan Umum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut
konsep pembagian kekuasaan pada prinsipnya berperan sebagai lembaga
negara penunjang (auxiliary state organ) dari kekuasaan eksekutif yaitu
untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemilu. Sedangkan
jika dikaikan dengan fungsi legislatif, pada saat pertama kali dibentuk
ternyata Komisi Pemilihan Umum diberikan kewenangan legislatif
mengenai tata cara pemilihan umum. Akan tetapi, karena kekhawatiran
terjadinya kecurangan akhirnya kewenangan tersebut diambil alih oleh
DPR. Namun, hingga saat ini Komisi Pemilihan Umum masih mempunyai
kewajiban untuk merumuskan Kode Etik Pelaksanaan Pemilu yang
mengikat dalam internal KPU saja. Komisi Pemilihan Umum tidak
memiliki kewenangan di bidang yudikatif tapi dapat menjadi pihak
termohon dalam perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah
Konstitusi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) ditinjau menurut hierarki
kelembagaan, dibentuk berdasarkan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Namun
demikian, kedudukan KPU tidak dapat disejajarkan dengan lembaga
lembaga negara lain yang kewenangannya ditentukan dan diberikan oleh UUD 1945. Hal ini
disebabkan karena dalam Pasal 22E UUD 1945 tersebut nama Komisi Pemilihan Umum tidak
disebutkan secara eksplisit dan tidak ditulis dengan huruf kapital. Nama Komisi Pemilihan
Umum baru disebutkan secara pasti dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, sehingga secara hierarki Komisi Pemilihan Umum termasuk
dalam kategori organ negara lapis kedua yang kedudukannya sejajar dengan Menteri Negara,
Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara, Komisi Yudisial, Komisi Ombudsman
Indonesia, Bank Sentral. Kedudukan Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri menjadi sangat penting karena
keberadaannya dijamin dan dilindungi secara konstitusional dalam UUD 1945.
2. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Komisi Pemilihan Umum Sebagai Lembaga Independen
dalam Penyelenggaraan Pemilu
Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilihan umum dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yeng telah ditentukan
dalam Pasal 8 UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum,
meliputi tugas, wewenang dan kewajiban Komisi Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan
pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; Presiden dan Wakil Presiden; serta Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah.
Pasal 39 Undangundang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Pemilihan Umum bertanggung jawab
sesuai dengan peraturan perundangundangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan
pemilihan umum dan tugas lainnya. Komisi Pemilihan Umum memberikan laporan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
Banyak sekali kendala yang dihadapi Komisi Pemilihan Umum dalam menjalankan tugas,
wewenang dan kewajibannya sebagai penyelenggara pemilihan umum di Indonesia. Kendala
kendala tersebut meliputi kendala yuridis dan kendala non yuridis. Kendala yuridis yang
dialami Komisi Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan pemilihan umum yaitu berkaitan
dengan kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berkaitan dengan dasar hukum
pembentukannya yaitu Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang tidak menyebutkan nama Komisi
Pemilihan Umum secara pasti. Hal ini menimbulkan kesulitan dan kendala dalam menempatkan
kedudukan Komisi Pemilihan Umum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Sedangkan kendala non yuridis yang dihadapi Komisi Pemilihan Umum yaitu berkaitan
dengan sumber daya manusia yang lemah, kurang lancarnya pendistribusian logistik dari pusat
ke daerah, pengadaan perlengkapan pemilihan umum, kurangnya pemutakhiran pendataan
penduduk, dan sebagainya.
B. SARAN
1. Dasar pembentukan suatu lembaga negara menjadi bagian yang paling penting untuk
menentukan kedudukan lembaga negara tersebut dalam sistem ketanegaraan Indonesia. Tidak
terkecuali dengan Komisi Pemilihan Umum yang dibentuk berdasarkan Pasal 22E ayat (5) UUD
1945 tapi dasar pembentukannya tersebut menimbulkan kendala yuridis berkaitan dengan
kedudukan Komisi Pemilihan Umum yang tidak ditulis dengan huruf kapital. Saran dari Penulis,
agar apabila dilakukan lagi amandemen terhadap UUD 1945, nama Komisi Pemilihan Umum
yang disebutkan dalam Pasal 22E ayat (5) ditulis dengan huruf kapital sehingga memperjelas
kedudukan Komisi Pemilihan Umum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
2. Dilakukannya perekruitan anggota Komisi Pemilihan Umum secara selektif dan ketat sehinnga
akan didapatkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk dapat melaksanakan tugas,
wewenang dan kewajibannya sebagai penyelenggara pemilihan umum dengan baik.
3. Peningkatan profesionalitas dan kinerja Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu
yang selama ini dinilai masih banyak kekurangan dengan persiapan dalam penyelenggaraan
pemilu yang benarbenar sudah terorganisir dengan baik.
4. Penerapan sanksi yang tegas bagi pihakpihak yang terbukti bersalah telah melakukan
pelanggaran maupun tindak pidana dalam penyelenggaraan pemilu sehingga diharapkan akan
dapat mewujudkan pemilu yang baik sesuai dengan citacita bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin Firmansyah dkk. 2005. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KHRN).
Antonius Sujata. 2000. Reformasi dalam Penegakan Hukum. Jakarta: Djambatan.
B. Hestu Cipto Handoyo. 2003. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia). Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Budiyanto. 2003. Dasardasar Ilmu Tata Negara untuk SMU Kelas 3. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
Denny Indrayana. 2008. Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Djatmiko Anom Husodo. 2008. Jurnal Konstitusi: Kedudukan Lembaga Negara Sampiran dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI.
Hassan Suryono. 2005. Ilmu Negara Suatu Pengantar ke Dalam Politik Hukum Kenegaraan. Surakarta: UNS Press.
Ibramsyah Amirudin. 2008. Kedudukan KPU dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Yogyakarta. Laksbang Mediatama.
Ismail Suny. 1978. Pembagian Kekuasaan Negara. Jakarta: Penerbit Aksara Baru.
Jimly Asshiddiqie. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Konstitusi Press.
. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Konstitusi Press.
. 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Konstitusi Press.
. 2006. Hukum Tata Negara dan Pilarpilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.
. 2007. Pokokpokok Hukum Tata Negara dan Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: PT.Bhuana Ilmu Populer.
Johny Ibrahim. 2006. Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia Publishing. Cet. Ke2.
M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Miriam Budiarjo. 2001. Dasardasar Ilmu Politik, cet. ke22. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Moh. Mahfud MD. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
. 1999. Hukum dan PilarPilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media.
. 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: PT.Rineka Cipta.
Ni`matul Huda. 2005. Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review. Yogyakarta: UII Press.
. 2007. Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta: UII Press.
Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Soerjono dan Abdurraman. 2003. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2004. Penelitian Hukum Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja grafindo Persada.
Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Sri Soemantri. 1976. Sistem Pemerintahan Negara ASEAN. Bandung: Penerbit Transito.
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UndangUndang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No 3 Tahun 1999 tentang Pemilu
UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu
UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Denny Indrayana. Merevitalisasi Komisi di “Negeri Kampung Maling”. <http://www.kompas.com/artikel. html> (30 April 2005).
Istyadi Insani. Lembaga Independen Wacana dan Realita dalam Penyelenggaraan Negara. <http://www.docstoc.com/docs/4289159/lembagaindependen> (16 Februari 2009 pukul 19.20).
http://kpi.bandaacehkota.go.id/sejarahkpu. Sejarah KPU Melayani Rakyat Menggunakan Hak Pilihnya (25 Januari 2009 pukul 15.30).
http://www.kpu.co.id/visimisikpu. Visi dan Misi Komisi Pemilihan Umum Indonesia (25 Januari 2009 pukul 15.40).
Top Related