BAB I
PENDAHULUAN
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan yang bersifat patologis yang
terdapat dalam rongga pleura sebagai akibat dari transudasi atau eksudasi yang
berlebihan dari permukaan pleura yang dapat disebabkan oleh proses patologis yang
terjadi. ( 5)
Efusi pleura merupakan satu tanda dari penyakit dan bukan sebagai suatu
diagnosis yang dapat berdiri sendiri.(5) Efusi pleura dapat ditegakkan hanya dengan
pemeriksaan radiologist, hal ini disebabkan karena tidak spesifiknya gejala yang
ditimbulkan oleh efusi pleura tersebut seperti kita ketahui bahwa efusi pleura
merupakan gejala penyerta atau juga disebut sebagai suatu komplikasi dari sebuah
perjalanan penyakit. (6). Cairan pleura dapat bersifat transudat, eksudat, pus, darah,
cairan getah bening, maupun lemak.
Pada cairan pleura normal berwarna jernih seperti plasma dengan PH 7,60 – 7,64,
terdapat protein kurang dari 2 % (1-2 g/dl), glukosa yang sangat sedikit, laktat
dehidrokinase HDL kurang dari 50% serta Natrium, Kalium, Calsium dengan
konsentrasi yang sama seperti pada plasma. Pada dasarnya fungsi dari cairan pleura
yaitu mencegah terjadinya gesekkan antara pleura parietalis dengan pleura visceralis
oleh karena pergerakan paru pada saat terjadinya inspirasi maupun ekspirasi. (5)
1
BAB II
PEMBAHASAN
I. Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penimbunan atau
pengumpulan cairan dalam rongga pleura secara berlebihan berupa cairan transudat
atau eksudat yang dapat mengganggu fungsi dari paru. (1,2)
II. Anatomi Rongga Pleura
Pleura viseral dan parietal terdiri dari lapisan tunggal sel-sel mesotelial,
disertai pembuluh darah, pembuluh limfe dan jaringan ikat, yang dipisahkan oleh
rongga pleura. Pleura parietal melapisi seluruh permukaan dalam dari rongga
toraks, dinding toraks, diaphragma dan mediastinum dan mengandung saraf- saraf
sensorik. Pleura viseral melapisi seluruh permukaan kedua paru termasuk fisura
interlobaris dan tidak mempunyai saraf untuk rangsang nyeri.(1) Pleura parietal lebih
tebal dari pada pleura visceral dan dapat dipisahkan dari dinding toraks. Kedua
pleura ini dipisahkan oleh lapisan tipis cairan getah bening. Cairan pleura
dihasilkan oleh kedua membrane pleura parietal dan viseral, yang keduanya
mendapat suplai dari kapiler sistemik. Absorbsi terutama dilakukan oleh pembuluh
limfe (± 90 %), yang juga mengabsorbsi partikel partikel, protein besar, dan sel.
Sisa cairan diabsorbsi secara konveksi melalui mesotelium kedalam paru atau
dinding toraks.(3)
Cairan ini berfungsi untuk memberi lubrikasi supaya paru dapat bergerak
bebas dalam rongga pleura pada waktu terjadi perubahan volume paru pada
respirasi. Rongga pleura kiri dan kanan dipisahkan oleh mediastinum dan tidak
berhubungan. Volume normal dari cairan rongga pleura hanya sekitar 0,1 – 0,2 ml/
2
kgbb. Volume cairan pleura yang kecil ini diatur oleh kesimbangan antara proses
pembentukan dan resorbsi. (1)
Pada umumnya dianggap bahwa tekanan hidrostatik kapiler pleura parietal sama
dengan tekanan pada sistem vaskuler sistemik, sedangkan tekanan hidrostatik
kapiler pleura viseral sama dengan tekanan sistem vaskuler pulmonal. Daya
hidrostatik pleura parietal melebihi daya onkotik, menghasilkan pergerakan cairan
kedalam rongga pleura. Sebaliknya daya hidrostatik pleura viseral kurang dari daya
onkotik dan akibatnya terjadi absorbsi cairan dari rongga pleura. Hasil akhirnya,
absobsi cairan melalui pleura viseral melebihi pembentukan cairan melalui pleura
parietal sehingga volume residu cairan pleura sangat kecil. Resorbsi cairan juga
dibantu oleh permukaan pleura viseral yang lebih besar dengan adanya fisura
interlobaris dan oleh mikrovilli pada sel mesotelial pleura viseral.
Rongga pleura terletak antara paru dan dinding toraks yang dalam keadaan
normal berisikan lapisan cairan yang sangat tipis. Dalam keadaan fisiologis, cairan
pleura berjumlah antara 10-20 cc dan cairan ini mempunyai varian jumlah
mengikuti aktivitas fisik. Rongga pleura berfungsi sebagai sistem transmisi antara
paru dan dinding toraks. Pada kapiler di pleura parietalis dibentuk cairan pleura
dengan kecepatan 0,01 ml/kgBB/ jam. (4)
III. Prevalensi
Di USA efusi pleura mengenai 1,3 juta jiwa pada setiap tahunnya. Hampir
semua insiden dari kasus efusi pleura didasarkan pada proses penyakit utama yang
mendasarinya : gagal jantung kongestif, 500 ribu jiwa, pneumonia bakterial, 300
ribu jiwa, keganasan, 200 ribu jiwa, emboli paru,150 ribu jiwa, sirosis dengan asites
50 ribu jiwa, pankreatitis 20 ribu jiwa, penyakit pembuluh darah kolagen 6.000
jiwa, dan tuberkulosis 2.500 jiwa.
Secara internasional kejadian atau insiden relatif yang menimbulkan efusi
pleura diperkirakan menjadi 320 dari 100.000 orang pada negara industri.
Morbiditas dan mortalitas dari efusi pleura secara langsung berhubungan dengan
sebab, derajat, atau tingkatan dari penyakitnya pada saat timbul, dan penemuan
3
biokimia dari cairan pleura. Morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan
pneumonia dan efusi pleura adalah lebih tinggi dari pada pasien pneumonia saja.
Perkembanagan dari keganasan pada efusi pleura dihubungkan dengan
prognosisnya yang buruk. Angka harapan hidup rata-rata pada pasien setelah
didiagnosa efusi pleura karena keganasan adalah 3-6 bulan.
Secara umum insidennya sama antara laki laki dan wanita. Akan tetapi, beberapa
sebab memiliki predileksi pada jenis kelamin tertentu. Sekitar 2/3 dari efusi pleura
pada keganasan terjadi pada wanita. Efusi pleura karena keganasan secara
signifikan berhubungan dengan keganasan pada payudara dan kandungan.
Berdasarkan usia efusi pleura biasanya terjadi pada orang dewasa. (5)
IV. Gejala Klinik
Pasien biasanya tidak mempunyai gejala yang khas sampai ditemukannya
efusi pleura. Gejala simptomatis biasanya tersamarkan oleh proses perjalanan
penyakitnya. Nyeri dada merupakan tanda adanya inflamasi yang mengenai pleura
parietalis. Gejala lainnya seperti batuk yang tidak produktif dan dyspneu. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan penurunan fremitus taktil, redup pada perkusi, suara
napasdasr yang melemah atau dapat juga menghilang.(5,10)
V. Diagnosis
Foro Roentgen
Gambaran foto toraks PA dan lateral merupakan alat penting untuk menegakkan
diagnosis efusi pleura. Cairan pleura biasanya berkumpul pada lobus inferior paru
yang mengalami efusi.(8)
4
VI. Penyakit- penyakit Rongga Pleura
A. Penyakit Infeksi
Tuberkulosis
Etiologi :
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam
tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman
tersebut menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran
darah, sistem saluran limfe, melalui saluran nafas (bronkus) atau penyebaran
langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok
umur, baik di paru maupun di luar paru.( 6 )
Cara Penularan :
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet (percikan
Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu
kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup
kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia
melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh
lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran linfe,saluran napas, atau
penyebaran langsung ke bagian - bagian tubuh lainnya.
5
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,
makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak
terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam
udara dan lamanya menghirup udara tersebut. ( 7 )
Diagnosis Tuberkulosis (TB)
Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya
BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif apabila sedikitnya dua dari tiga SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1
spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen
dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung
TB, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil
rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan lain, misalnya biakan. Apabila
fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya
biakan. Bila tiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas
(misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 ? 2 minggu. Bila tidak ada
perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan
dahak SPS :
Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.
Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemriksaan foto rontgen dada, untuk
mendukung diagnosis TB.
- Bila hasil rontgen mendukung TB, diagnosis sebagai penderita TB BTA negatif
roentgen positif.
- Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB. ( 7 )
B. penyakit non infeksi
1. Lupus Eritematosus
6
Pleuritis adalah salah satu gejala yang timbul pada penyakit lupus eritematosus
sistemik ( SLE ). Dengan terjadinya efusi pleura yang kadang- kadang
mendahului gejala sistemik lainnya, diagnosis SLE ini menjadi llebih jelas.
Hampir 55% SLE disertai pleuritis dan 25% dari padanya juga dengan efusi
pleura. Cairan efusi bersifat eksudat, jarang yang hemoragik, mengandung
bermacam-macam leukosit.
Diagnosis SLE ditegakkan bila ditemukan sel LE atau konsentrasi komplemen
( C3 dan C4 ) yang rendah dalam cairan efusi. Kadang-kadang diperlukan juga
torakosentesis ( malah berulang-ulang ) untuk
penyembuhan disamping terapi dengan kortikosteroid. (4)
2. Arthritis Reumatoid (RA)
Efusi pleura terdapat pada 5% RA selama masa sakit. Cairan efusi bersifat
eksudat serosa yang banyak mengandung limfosit. Factor rheumatoid mungkin
terdapat dalam cairan efusi tetapi tidak patognomonik untuk RA, karena juga
terdapat pada karsinoma, tuberculosis ataupun pneumonia. Kadar glukosa
biasanya sangat rendah ( kurang dari 20%mg%), malah tidak terdeteksi sama
sekali ( demikian juga pada tuberculosis dan karsinoma). Kadar kolesterol dalam
cairan efusi juga sering meningkat. Biopsy pada jaringan pleura bisa mendapatkan
granuloma yang seolah olah seperti nodul reumatik perifer. Umumnya efusi
pleura pada RA sembuh sendiri tanpa diobati , tetapi kadang-kadang diperlukan
juga terapi kortikosteroid.
Pada demam reumatik akut sering juga ditemukan efusi pleura dengan sifat
eksudat. Jumlah cairan efusi biasanya sedikit dan segera menghilang bila demam
reumatiknya berkurang. (4)
3. Skleroderma
Efusi pleura juga didapatkan pada penyakit scleroderma. Jumlah cairan efusinya
tidak banyak, yang menonjol disini adalah penebalan pleura ataau adhesi yang
terdapat pada 75% pasien scleroderma. (4)
7
C. NEOPLASMA
Neoplasma primer ataupun sekunder (metastases) dapat menyerang pleura dan
umumnya menyebabkan efusi pleura. Keluhan yang paling banyak ditemukan
adalah sesak napas dan nyeri dada. Gejala lain adalah adanya cairan yang selalu
berakumulasi kembali dengan cepat walaupun dilakukan torakosentesis berkali-
kali.
Efusi bersifat eksudat, tetapi sebagian kecil (10%) dapat sebagai transudat. Warna
efusi dapat seroxantochrom ataupun haemorragic ( terdapat lebih dari 100.000 sel
eritrosit /cc). didalam cairan ditemukan sel-sel limfosit ( yang dominant ) dan
banyak sel mesotelial. Pemeriksaan sitologi terhadap cairan efusi atau biopsi
pleura parietalis sangat menentukan diagnosis terhadap jenis-jenis neoplasma.
Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi pleura pada neoplasma yakni :
- menumpuknya sel – sel tumor akan meningkatkan permeabilitas pleura
terhadap air dan protein.
- Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya aliran pembuluh darah vena
dan getah bening, sehingga rongga pleura gagal dalam memindahkan cairan dan
protein.
- Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah terjadi dan selanjutnya timbul
hipoproteinemia.
Efusi pleura karena neoplasma biasanya unilateral, tetapi bisa juga bilateral
karena obstruksi saluran getah bening. Adanya metastases dapat mengakibatkan
pengaliran cairan dari rongga peritoneal kerongga pleura lewat diaphragma.
Keadaan efusi pleura dapat bersifat maligna. Keadaan ini ditemukan 10 – 20 %
karsinoma bronkus, 8% dari Limfoma Maligna dan leukemia.
Jenis- jenis neoplasma yang menyebabkan efusi pleura :
a. Mesotelioma
Merupakan tumor primer yang berasal dari pleura. Bila tumor terlokalisir tidak
menyebabkan efusi pleura. Jika tumor bersifat difus digolongkan sebagai tumor
ganas karena dapat menimbulkan pleura yang maligna.
b. Karsinoma bronkus
8
c. Neoplasma metastatikd. Limfoma maligna (4)
9
BAB III
EFUSI PLEURA e.c TB
(PLEURAL TUBERCULOSIS)
Tuberkulosis pleura adalah sebab utama yang paling sering menimbulkan efusi
pleura eksudativa. Mekanisme terjadinya efusi dapat dipengaruhi 3 cara yang
berbeda :
1. Efusi yang berkembang dalam beberapa bulan setelah infeksi primer pada anak-
anak atau dewasa muda.
2. Efusi yang berkembang sebagai akibat dari penyakit paru pada dewasa. Sangat
jarang berlanjut menjadi efusi yang purulen ( empiema ).
3. Ruptur dari kavitas tuberkulosa dan lolosnya udara ke rongga pleura, dengan
diikuti pneumotorak.
TB Pleural Primer
Secara umum, TB pleural telah disadari sebagai sebuah manifestasi dari TB primer
yang berkembang dari anak-anak. Seiring dengan bertambahnya tahun, rata-rata dari
umur pada pasien ini secara bertingkat mulai naik. Peningkatan prevalensi dari TB
paru dewasa muda diperkirakan berhubungan dengan kehidupan lingkungan pada
masing-masing individu atau tempat kerja atau keadaan sosial ekonomi yang rendah.
TB primer pada orang-orang tua, mungkin dihubungkan dengan kondisi kemiskinan,
dengan peningkatan sebab oleh penyakit kronis dan hasil dari penggunaan
imunosupresan.
Hipotesa terakhir untuk patogenesis efusi pleura pada TB primer adalah fokus
kaseosa sub pleural pada paru-paru yang pecah kerongga pleura dalam waktu 6-12
minggu setelah infeksi primer.
Antigen mycobakterial masuk ke rongga pleura dan berinteraksi dengan sel T yang
sebelumnya telah tersentisasi oleh Mycobacteria, menghasilkan sebuah reaksi
10
hipersensitivitas yang lambat dan akumulasi dari cairan. Cairan yang dihasilkan
secara umum berupa cairan eksudat tetapi dapat juga bersifat serosanguinis dan
biasanya terdiri dari beberapa tuberkel basil.
Beberapa kriteria yang menunjukkan TB pleural primer:
1. Gambaran dari tes PPD positif yang terbaru.
2. Roentgen dada dalam satu tahun terakhir menunjukkan tidak ada keterlibatan
TBC pada parenkim paru.
3. Adenopathy hillus dengan atau tanpa penyakit parenkimal.
TB pleural Post Primer ( Reaktivasi )
TB pleural bisa terjadi dari reaktivasi pada setiap waktu setelah infeksi. Reaktivasi
dapat terjadi pada pasien-pasien dengan imunitas yang rendah. Pada tahun-tahun
terakhir, beberapa penelitian melaporkan bahwa rata-rata pasien dengan TB pleural
telah meningkat secara bertahap. Pada suatu penelitian, rata-rata usia pada pasien
dengan TB reaktivasi adalah 44,6 tahun. Penyertaan dari penyakit yang mendasari
seperti keganasan pada pleura dimana bisa memproduksi efusi pleura bisa
mengacaukan penegakkan diagnosis yang tepat. Pada kasus seperti ini foto roentgen
dada menunjukkan efusi pleura yang kecil sampai moderat, unilateral, walaupun
efusi yang masif telah ditemukan.
Infiltrasi mungkin ditemukan pada bagian atas segmen superior dari lobus bawah.
Jaringan parut pada parenkim bisa muncul pada lobus atas. Ini adalah tanda dari TB
reaktivasi.
Gejala Klinik
Penampakan klinik dari TB pleural bisa perlahan atau timbul seketika dan akut. Pada
suatu penelitian, penyakit ini timbul perlahan pada 63% pada pasien sebagai penyakit
akut dengan demam dan nyeri dada pleuritik, kadang menyerupai pneumonia akut.
Gejala klinik yang sering timbul adalah batuk (71-94%), demam (71-100%), nyeri
11
dada (78-82%), dan dispneu. Batuk biasanya tidak produktif. Keringat malam,
dispneu, kelemahan dan penurunan berat badan sering dikeluhkan.
Demam dan nyeri dada mungkin timbul terutama pada pasien yang lebih muda, dan
batuk yang produktif serta dispneu pada pasien-pasien yang lebih tua. Pasien-pasien
dengan efusi pleural TB dan HIV menjadi simptomatik untuk periode yang lama dan
memiliki gejala tambahan seperti takipneu, keringat malam, lesu, diare, hepato
megali, splenomegali dan limfadenopati.
Pemeriksaan fisik menunjukkan penemuan yang berhubungan dengan keterlibatan
pleura meliputi nyeri dan penurunan suara. Pernapasan dan penurunan perkusi dari
daerah yang terdapat efusi.(6,7)
Diagnosis
Efusi pleural TB tidak selalu mudah untuk didiagnosa, karena ciri dari penampakkan
yang timbul seperti efusi pleura eksudativa yang kaya akan limfosit yang
dihubungkan dengan granuloma nekrotic kaseosa pada biopsi pleura, pewarnaan
Ziehl Neelsen yang positif atau kultur pada Lowenstein dari cairan efusi atau contoh
jaringan dan sensitifitas kutaneus pada PPD tidaklah selalu timbul.
Diagnosis pada TB pleural secara umum ditegakkan dengan analisis dari cairan
pleura dan biopsi pleura.
a. torakosintesa
torakosintesis sebagai diagnosis awal selalu diindikasikan cairannya adalah
eksudat. Perhitungan sel biasanya antara 100 – 5000 /ml dengan 90% limfosit
pada 2/3 kasus. Efusinya memiliki tingkat protein yang lebih tinggi ( >5 g/dl ),
glukosa biasanya lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai serum. PH selalu
7,3 atau lebih rendah. LDH lebih dari 200 u/dl.
Pemeriksaan langsung dari cairan pleura dengan pewarna ziehl neelsen
membutuhkan konsentrasi hasil lebih dari 10.000 /ml untuk menjadi positif.
b. Pulasan sputum dan kultur
Pulasan sputum jarang positif pada kasus primer dan kultur dapat positif pada
kasus primer hanya 25 – 33 % dari pasien.
12
c. Biopsi Pleura
Penemuan Basil Tahan Asam (BTA) dengan pewarnaan dari spesimen biopsi
telah dilaporkan berguna, tetapi positif palsu telah ditemukan, jadi ini tidaklah
reliable.
d. Asam Tuberkulostearat
Asam tuberkulostearat (TBSA) adalah komponen struktural dari M.tuberculosis
dan kelompok organisme actynomicetal. Akan tetapi deteksi dengan TBSA pada
aspirasi pleura tidaklah sangat membantu diagnosa.
e. ADA
Tingkat ADA total pleura adalah enzim yang secara khas ditemukan pada
konsentrasi yang tinggi pada TB pleural. Nilai dari ADA1 / ADAp <0,42 adalah
indicator yang baik dari pleural TB, dengan akurasi 99%, sensitifitas 100% dan
spesifisitas 98,6%.
f. PCR
PCR, dimana didasarkan pada amplifikasi dari genom spesifik M.tuberculosis,
yang secara teori sangatlah spesifik.
Terapi efusi pleura
A. Invasive
Efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa intubasi
melalui sela iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar atau bila
empiemanya multilokuler, perlu tindakan operatif. Mungkin sebelumnya dapat
dibantu dengan irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptic (betadine).
Pengobatan secara sistemik hendaknya segera diberikan,tetapi ini akan tidak
berarti bila tidak diiringi pengeluaran cairan yang adekuat.
1. Torakosintesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) berguna sebagai sarana diagnosis
maupun terapeutik. Penatalaksanaan torakosintesis sebaiknya dilakukan pada
13
pasien dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela
iga garis aksilaris posterior dengan memakai jarum abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap
kali aspirasi. Lebih baik mengerjakan aspirasi berulang-ulang darib pada satu
kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleural shock ( hipotensi )
atau edema paru. Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang
terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum diketahui betul, tetapi diperkirakan
karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi dapat menyebabkan
peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal.
Komplikasi lain torakosintesis adalah pneumotoraks ( ini yang paling sering,
udara masuk melalui jarum ), hemotoraks ( karena trauma pada pembuluh
darah pada pembuluh darah intercostalis ) dan emboli udara, ini agak jarang
terjadi.
Dapat juga terjadi laserasi pleura visceralis, tetapi ini biasanya akan sembuh
sendiri dengan cepat. Bila laserasinya cukup dalam, dapat menyebabkan udara
dari alveoli masuk ke vena pulmonalis sehingga terjadi emboli udara. Untuk
mencegah terjadinya emboli udara ini berkembang menjadi emboli pulmonal
atau emboli sistemik, pasien dibaringkan dengan posisi kiri dibagian bawah,
posisi kepala lebih rendah dari pada leher, sehingga udara tersebut dapat
terperangkap di atrium kanan.(4)
2. Pleurodesis
Untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi ( pada efusi pleura
maligna ), dapat dilakukan pleurodesis yakni melengketkan pleura visceralis
dan pleura parietalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetrasiklin (terbanyak
dipakai), Bleomycin, Corynebacterium parvum, Thio-tepa, 5 Fluorouracil, dll.
* Prosedur pleurodesis
Pipa selang dimasukkan pada ruang antar iga dan cairan efusi dialirkan keluar
secara perlahan-lahan. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar, masukkan 500
mg tetrasiklin (biasanya oksitetrasiklin) yang dilarutkan dalam 20 cc garam
fisiologis kedalam rongga pleura, selanjutnya diikuti dengan 20 cc garam
fisiologis. Selamg dikunci selama 6jam dan selama itu pasien diubah-ubah
14
posisinya, sehingga tetarsiklin dapat didistribusikan kesaluran rongga pleura.
Selang antar iga kemudian dibuka dan cairan dalam rongga pleura kembali
dialirkan keluar sampai tidak ada lagi yang tersisa. Selang kemudian dicabut.
Jika menggunakan zat corynebacterium parvum, masukan 7 mg yang dilarutkan
dalam 20 cc garam fisiologis dengan cara seperti pada penggunaan tetrasiklin.
Komplikasi tindakan pleurodesis ini sedikit sekali, biasanya berupa nyeri
pleuritik atau demam. (4)
B.Terapi konservatif dan pemberian OAT
Penanganan dari efusi pleural TB terdiri dari terapi standar obat anti TB.
Pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni : kurang dari 33 kg, 33-
50 kg dan lebih dari 50 kg.. pengobatan dibagi atas empat kategori yakni :
A. Kategori I
Ditujukan terhadap :
Kasus baru dengan sputum positif.
Kasus baru dengan bentuk tuberkulosa berat seperti meningitis,
tuberculosis diseminata, perikarditits, peritonitis, pleuritis, spondilitis
dengan gangguan neurologis, kelainan paru yang luas dengan BTA
negative, tuberculosis usus, tuberculosis genitourinarius.
Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan 2 RHZE. Bila setelah
2 bulan BTA menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan.
Bila setelah 2 bulan masih tetap positif maka tahap intensif dilanjutkan
lagi sampai 2-4 minggu dengan 4 macam obat. Pada populasi dengan
resistensi primer terhadap INH rendah tahap intensif cukup diberikan 3
macam obat saja yakni RHZ.
Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 4RH atau 4R3H3.
pasien dengan tuberculosis berat R dan H harus diberikan setiap hari
selama 6-7 bulan.
B. Kategori II
Ditujukan terhadap:
15
Kasus sembuh
Kasus gagal dengan sputum BTA positif.
Pengobatan tahap intensif selama 3 bulan dengan 2 RHZES/ 1RHZE.
Bila setelah tahap intensif BTA menjadi negatif maka diteruskan
dengan tahap lanjutan. Bila setelah 3 bulan BTA tetap positif , maka
diperpanjang sampai 1 bulan lagi dengan RHZE. Bila setelah 4 bulan
BTA masih juga positif, pengobatan dihentikan selama 2-3 hari, lalu
diperiksa biakan dan resistensi terhadap BTA dan pengobatan
diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila sputum BTA masih tetap positif
setelah pengobatan tahap lanjutan, maka pasien tidak perlu di obati
lagi.
C. Kategori III
Ditujukan terhadap :
Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.
Kasus tuberculosis ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori
I : pengobatan tahap intensif dengan panduan 2 RHZ atau 2R3H3Z3.
bila kelainan paru lebih luas dari 10 cm2 atau pada tuberculosis ekstra
paru dengan remisi belum sempurna, maka tahap lanjutan
diperpanjang lagi dengan H saja selama 4 bulan lagi.
D. Kategori IV
Ditujukan terhadap kasus tuberculosis kronik.
Prioritas pengobatan rendah. Terdapat resistensi obat-obat antituberkulosis
(sedikitnya R dan H), sehingga masalhnya jadi rumit. Pasien mungkin perlu
dirawat beberapa bulan dan diberikan obat-obat antituberkulosis tingkat dua
yang kurang begitu efektif, lebih mahal dan lebih toksis. Di Negara maju
dapat diberikan obat-obat antituberculosis eksperimental sesuai dengan
sensitivitasnya, sedangkan Negara yang kurang mampu cukup dengan
pemberian H seumur hidup dengan harapan dapat mengurangi infeksi dan
penularan. (1,4)
16
Table dosis obat
Nama Obat Dosis harian
BB < 50 kg BB > 50 kg
Dosis berkala
3 x seminggu
Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
Etionamid
PAS
300 mg 400 mg
450 mg 600 mg
1.500 mg 2000 mg
750 mg 1000 mg
750 mg 1000 mg
500 mg 750 mg
9 g 10 g
600 mg
600 mg
2-3 g
1000 mg
1-1,5 g
-
-
17
BAB IV
PENUTUP
Efusi pleura merupakan suatu komplikasi yang dapat disebabkan oleh berbagai macam
penyakit. Mycobacterium tuberculosa merupakan salah satu penyebab tersering dari
timbulnya suatu efusi pleura walaupun efusi juga dapat disebabkan oleh penyakit yang
lainnya. Efusi pleura dapat didiagnosa dengan tepat melalui pemeriksaan radiologis
berupa foto torak yang memberikan gambaran radio opaq pada bagian paru yang terkena
efusi. Penanganan yang tepat untuk efusi pleura adalah menemukan penyebabnya dan
mengobati penyebabnya selain mengeluarkan cairan efusi tersebut.
Upaya peningkatan hygiene lingkungan yang baik dapat mengurangi faktor resiko
infeksi. Selain itu, pola hidup sehat dapat menjadi tindakan preventif terhadap gejala
efusi pleura.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Price, A.Sylvia, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses
Penyakit, edisi 6 vol. 2. Jakarta : EGC 2006, hal 799-800.
2. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran . Edisi 3 jilid 1, Jakarta : Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI 2001.
3. Braunwald E, Fanci AS,dkk. Harrison’s Manual of Medicine 15th edition. USA :
Mc Graw Hill 2002.
4. Suyono, slamet. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 3 jilid II. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI 2001.
5. http://www.emedicine.com/emerg/topic462htm
6. http://www.dinkes.go.id/penyakit/html
7. http://www.infeksi.com/hiv/articles
8. http://www.clevelandclinicmeded.com/diseasesmanagement/pleuraldiseases .
9. http://www.medicastore.com/efusi/article
10. http://www.pulmonologychannel.com/common/ad_disclaimer.html
19