KHAZANAH PANTUN LUTUNG KASARUNG
JACOB SUMARDJO
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengantar Ilmu Sastra
Oleh
Firmansyah
NPM: 180210110003
Sastra Sunda
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2011
KATA PENGANTAR
Laporan dengan judul Khazanah Pantun Sunda Jacob Sumardjo sengaja
dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Sastra, banyak kendala yang
penyusun jumpai dalam pembuatan laporan ini, diantaranya minimnya waktu.
Sedangkan untuk buku sumber atau sumber materi sebagai referensi penyusunan
laporan ini tidak ada hambatan yang berarti sehingga penyusunan laporan ini
dapat terlaksana walaupun amat sederhana.
Puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas karunia-
Nya penyusun dapat menyelesaikan laporan ini. Ucapan terimakasih penyusun
ucapkan pada yang tertera di bawah ini
1. Asep Yusup Hudayat, M.A. dosen mata kuliah pengantar ilmu sastra
2. Waway Tiswaya M.Hum. dosen mata kuliah bahasa Indonesia
3. Prof.Dr.Hj. T. Fatimah Djajasudarma dosen wali
Dan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah
memotivasi pembuatan laporan ini.
Sesungguhnya kesempurnaan hanya milik-Nya begitu pula dengan laporan
ini. Sebuah harapan yang mungkin tak berlebihan, semoga laporan ini bermanfaat.
Jatinangor, November 2011
Penyusun,
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................i
DAFTAR ISI ...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Parafrase ................................................................................................1
1.2 Sosok Jacob Sumardjo ..........................................................................2
1.3 Cerita Pantun Lutung Kasarung ...........................................................6
BAB II DESKRIPSI .............................................................................................11
2.1 Pengantar .............................................................................................11
2.2 Rajah ..................................................................................................11
2.3 Makna Pantun Lutung Kasarung.........................................................12
2.4 Kajian Sosio Budaya...........................................................................16
BAB III PENUTUP...............................................................................................20
3.1 Simpulan..............................................................................................20
3.2 Kritik dan Saran...................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................22
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................iii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Parafrase
Cerita rakyat atau legenda adalah cerita pada masa lampau yang menjadi ciri
khas setiap bangsa dengan kultur budaya dan sejarah yang dimiliki masing-
masing bangsa. Cerita rakyat pada umumnya diwariskan secara turun-menurun
dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam masyarakat tertentu. Cerita rakyat
bukanlah sekedar cerita biasa yang hanya ditujukan untuk menghibur, tetapi juga
mengandung nilai-nilai kehidupan, moral, emosional, bahasa, religi, sosial budaya
dan lain-lain. Setiap bangsa memiliki cerita rakyat masing-masing, lewat cerita-
cerita rakyat ini banyak sekali yang dapat diketahui sebuah tradisi adat, serta
kebudayaan yang berkembang diberbagai tempat. Dalam masyarakat Sunda
dikenal cerita pantun dan babad. Cerita pantun adalah cerita-cerita yang terdapat
dalam tradisi lisan masyarakat Sunda.
Semua gambaran yang terdapat dalam cerita didengar secara turun-temurun.
Cerita pantun diceritakan oleh juru pantun hanya pada waktu-waktu tertentu saja
yang dianggap penting dan suci, misalnya pada waktu ngaruat, ngagusar, nadar
dan lain-lain. Sebelum bercerita juru pantun terlebih dahulu ngarajah, atau
mengucap mantra untuk meminta ijin kepada para Hyang atau karuhun (nenek
moyang). Diantara cerita-cerita pantun ada yang dianggap keramat oleh juru
pantun sehingga hanya beberapa juru pantun yang berani menceritakannya. Cerita
pantun Lutung Kasarung, Mundinglaya di Kusumah, Ciung Wanara dan Nyai
Pohaci Sang Hyang Sri adalah beberapa cerita-cerita pantun yang dianggap
keramat. Di antara keempat cerita tersebut, Lutung Kasarung adalah cerita yang
dianggap paling keramat, sehingga jarang sekali ada juru pantun yang berani
menceritakannya. Cerita Lutung Kasarung sendiri dicatat oleh seorang mantri
gudang kopi Kawunglarang bernama Argasasmita di wilayah Majalengka.
1
2
1.2 Sosok Jacob Sumardjo
Jacob Sumardjo Lahir di Jombor, Danguran, Klaten, 26 Agustus 1939, bagi
ayah tiga anak dari perkawinannya dengan Jovita Siti Rochma pada tahun 1969
itu, dunia pantun merupakan dunia “baru”. Setelah belajar di IKIP Sanata
Dharma, Yogyakarta, dan kemudian melanjutkan ke IKIP Bandung, ia mengajar
di SMA St Angela, Bandung, sebagai guru sejarah dan menggambar.
Ia juga mengajar di STSI, selain di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Fakultas
Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas
Pasundan (Unpas) untuk mata kuliah Filsafat Seni, Antropologi Seni, Sejarah
Teater, dan Sosiologi Seni. Tetapi segudang kegiatannya itu tidak mengurangi
minat yang sudah lama digeluti sebagai pengarang cerita pendek, kritikus sastra
dan penulis esai di berbagai media, baik di Bandung maupun Jakarta. Dari
tangannya sudah lahir lebih dari 20 buku.
Sejak “tergila-gila” dengan pantun Sunda, ia berusaha memburu transkrip
naskah-naskah pantun Sunda. Ia sudah menghasilkan dua buku kumpulan
tulisannya: Hermeneutika Sunda, Simbol-simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan
dan Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda, Tafsir-tafsir Pantun Sunda.
Kedua kumpulan karya-karyanya itu menempatkannya sebagai “orang Sunda”
yang lebih nyunda karena kemampuannya menafsirkan karya-karya sastra
masyarakat Sunda. Namun, kelebihan ini tidak mengubah dirinya sebagai
budayawan yang rendah hati dan hidup sederhana.
Perkenalan Jakob Sumardjo dengan pantun Sunda sebenarnya belumlah lama.
Itu berawal ketika diminta Saini K.M. untuk mengulas karyanya berupa naskah
drama Pangeran Sunten Jaya yang akan dipentaskan Kelompok Actors Unlimited
di Bandung pada 31 Agustus 2000 di teater terbuka Selasar Sunarjo. Ia bersedia
mengulasnya kalau bisa membaca cerita pantunnya yang asli, yang ternyata karya
Saini K.M. sendiri, Mundinglaya di Kusumah.
3
Perkenalan pertama itu menumbuhkan rasa penasarannya terhadap naskah-
naskah pantun lainnya. Ia menyadari, untuk memahami naskah-naskah itu
dibutuhkan ilmu tentang kebudayaan dan sejarah Sunda, pemahaman religi asli
Sunda, religi Hindu Buddha-Tantra, dan antropologi budaya suku-suku Indonesia.
Hanya karena ketekunannya, satu per satu naskah-naskah pantun tersebut bisa
ditafsirkan. Namun, karena cukup banyaknya naskah-naskah tersebut, ia
mengakui baru sebagian kecil yang sudah berhasil diteliti.
Dari naskah-naskah yang sudah diteliti, ia menyimpulkan, cerita pantun
bukan hanya merupakan karya sastra lisan yang luhur dari masyarakat Sunda.
Naskah-naskah tersebut mengandung bagian-bagian yang menyangkut peristiwa
sejarah Sunda, maka pantun memiliki nilai sejarah. Karena itu, cerita pantun
dianggapnya sebagai artefak budaya masyarakat Sunda sekaligus bentuk
kebudayaan Sunda yang paling besar.
“Jika di Jawa terkenal dengan wayang kulit, maka di Sunda sebenarnya seni
pantun. Bukan wayang golek“, ujar pengamat film yang tergabung dalam Forum
Film Bandung (FFB) itu.
Sebagai bentuk kesenian rakyat, seni pantun tersebar di berbagai daerah di
Jawa Barat dan Banten. Nasibnya tak berbeda dengan kesenian tradisional lainnya
yang terdesak. Bahkan, juru pantun sudah makin langka.
Jacob Sumardjo menggunakan pendekatan hermeneutik dalam mengkaji
pantun Lutung Kasarung. Sementara melepaskan diri dari nilai-nilai kini dan
memasuki dunia pantun dengan tata nilai masyarakat yang menghasilkannya.
Jacob Sumardjo mengaku belum pernah menonton pertunjukan pantun. Beliau
hanya membaca cerita pantun dan transkripsi pantun terutama yang telah
dikerjakan oleh Ajip Rosidi (1970). Diakuinya vokal juru pantun dan petikan
kecapi pengiringnya akan membantu memperoleh makna pantun. Meskipun telaah
hanya pada struktur pantun.
4
Pantun Sunda merupakan seni pertunjukan teater tutur. Teater tutur di
Indonesia tersebar seperti kentrung di Jawa Timur, jemblung di Banyumas,
warahan di Lampung, dingdong di Gayo, sinrili di Sulawasi Selatan, bakaba di
Minangkabau dan lain-lain. Pantun dipertunjukan oleh seorang pencerita dan
diiringi oleh instrumen musik tradisional suku.
Di Jawa Barat dan Banten juru pantun melantunkan sebuah kisah dengan
diiringi instrumen musik kecapi. Umumnya pertunjukan pantun pada malam hari
“di luar waktu” manusia (kegiatan manusia sehari-hari), yaitu “waktu suci”.
Pertunjukan pantun terutama ditujukan untuk ruatan (upacara keselamatan).
Hingga tahun 1950-an pantun masih sering dipertunjukan. Tetapi menjelang tahun
1970-an sudah jarang dipentaskan, sehingga banyak budayawan yang berusaha
merekam dan mentranskripsi pantun-pantun. Juru pantun sudah sangat langka,
karena generasi berikutnya sudah tidak tertarik.
Jacob Sumardjo menarik maksud-maksud dari siloka pantun dengan piawai,
dalam pantun ditemukan pola tetap yang merupakan asas primordial Sunda yaitu
tritangtu. Segala sesuatu terdiri dari dua kutub yang berlawanan dan berpotensi
konflik, tetapi juga komplementer, saling melengkapi dan saling membutuhkan.
Yang ketiga merupakan hasil perkawinan kedua kutub. Contoh “lelaki” dan
“perempuan” perkawinannya menghasilkan “anak”. Perkawinan Dunia Atas
(Buana Nyungcung) dan Dunia Bawah (Buana Larang) menghasilkan Dunia
Tengah (Buana Panca Tengah).
Artefak berupa peninggalan arkeologi secara fisik di Jawa bagian barat sangat
minim sekali. Maka pantun Sunda dapat menjadi artefak budaya Sunda. Melalui
dekonstruksi pantun kita berusaha menggali dan memahami akar budaya. Nilai-
nilai mana yang harus ditinggalkan dan nilai-nilai mana yang patut dipertahankan
kemudian ditransformasikan. Masyarakat di Nusantara mempunyai akar budaya
yang berbeda di wilayahnya masing-masing dan semua ini harus bersatu. Dan
persatuan itu adalah perkawinan nilai-nilai. Sama saja seperti pada Kebudayaan
Barat apabila sudah berbicara falsafah hidup mereka akan meghadirkan kembali
5
pemikiran-pemikiran Aristoteles, Socrates, Plato, dll. yang hidup Sebelum
Masehi. “Kita tidak dapat membangun masa depan tanpa mempertimbangkan
akar. Karena akar itulah kekuatan kita. Hidup tanpa akar akan tumbang”.
Demikian tutur Jacob Sumardjo dalam bukunya Simbol-simbol Artefak Budaya
Sunda.
Jacob Sumardjo mencoba menggali kembali akar budaya Sunda melalui
struktur pantun dan memberitahukan kepada generasi masa kini nilai-nilai apa
yang terkandung di dalamnya.
Apa yang dilakukan oleh Jakob Surnardjo adalah bukan saja wajar tetapi
terpuji. Pengkajian yang bersemangat terhadap seni pantun Sunda
rnernbuktikannya sebagai ilrnuwan sejati, yang bekerja tanpa pamrih eksternal,
rnelainkan sernata-rnata keinginan tahu ilmiah terhadap sasaran yang dikaji.
Disarnping itu, pengkajian yang dilakukannya rnernperkuat pula sifat universal
dari ilmu pengetahuan, dalarn arti bahwa apapun yang ditemukan dari suatu
bidang dari kebudayaan apa pun, akan punya hubungan dengan hasil penelitian di
bidang yang sama dari kebudayaan lain. bahwa apa yang ditemukannya dalam
seni pantun Sunda akan ikut menjelaskan berbagai segi di bidang yang sarna di
dalarn kebudayaan-kebudayaan suku lain, bahkan bangsa lain. (Saini K.M.)
Penafsiran pantun selama ini dilakukan secara signifikan. Pemaknaan
berdasarkan pengetahuan manusia zaman sekarang dan untuk kepentingan
manusia sekarang. Kadang pemaknaan demikian itu berdasarkan pengetahuan
filsafat Barat.
Uniknya, Jakob tidak fasih berbahasa Sunda. Untuk menolong
kekurangannya, ia harus membolak-balik Kamus Bahasa Sunda karangan
Satjadibrata. Tetapi tidak semua kata-kata yang dicari padanannya dalam bahasa
Indonesia bisa ditemukan dalam kamus tersebut. Pantun banyak menggunakan
lambang-lambang sehingga tidak mudah dimengerti, apalagi jika sebelumnya
tidak mendalami kebudayaan masyarakat Sunda.
6
“Untuk mengetahui arti kata-kata tersebut, saya bertanya ke sana-ke mari“,
tuturnya.
Di kalangan masyarakat Sunda, seni pantun merupakan jenis pertunjukan
teater tutur yang memperlihatkan kemampuan bercerita dari “sang juru pantun”
dengan diiringi kacapi pantun. Pagelarannya diselenggarakan sejak pukul 20.00
sampai menjelang subuh sekitar pukul 04.30. Ceritanya pada umumnya berkisar
tentang lakon makhluk-makhluk suci atau keramat atau mempunyai hubungan
dengan Raja dan putra-putra Raja Kerajaan Pajajaran. Beberapa cerita pantun,
seperti Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Mundinglaya, dan Nyi Sumur Bandung,
dianggap sebagai keramat.
Untuk memainkannya, banyak persyaratan yang harus dipenuhi, baik pada
saat akan dimulai maupun menjelang akhir pagelaran dengan menyampaikan
rajah. Rajah artinya sama dengan jampi-jampi atau permohonan pagelaran
berlangsung lancar, baik pada saat diselenggarakan maupun sesudahnya.
Guru Besar STSI Bandung itu mengemukakan, gejala pantun sudah ada
sebelum tahun 1518, sebagaimana ditunjukkan oleh naskah lama, Siksa Kandang
Karesian. Boleh jadi masyarakat Sunda sudah mengenalnya sekitar tahun 1400-an,
pada saat berkembangnya budaya Hindu-Buddha di Jawa Barat, sehingga cara
berpikir agama-agama tersebut telah masuk ke dalam pantun. Cara berpikir
tersebut kemudian berkembang dan menyesuaikan diri dengan masuknya Islam di
Tatar Sunda. Selain itu, pantun juga mengandung unsur-unsur budaya lokal.
1.3 Cerita Pantun Lutung Kasarung
Pantun Lutung Kasarung menceritakan perkawinan Guru Minda putra Sunan
Ambu, keturunan Guru Hyang Tunggal, dengan seorang putri bungsu di negara
Pasir Batang. Perkawinan makhluk-makhluk dunia atas dengan dunia tengah ini
menyebabkan bersatunya dunia atas dengan dunia manusia. Yang transenden
menyatu dengan dunia imanen, sehingga keselamatan, kesuburan, kemakmuran,
kesejahteraan, dan kedamaian akan dialami manusia, di dunia ini.
7
Cerita bermula saat Raja negara Pasir Batang (anu girang), Prabu Tapa
Ageung dan isterinya, Niti Suari, menyerahkan pemerintahan kepada putri
sulungnya, Purba Rarang, karena mengundurkan diri ingin bertapa. Prabu Tapa
Ageung mempunyai tujuh orang putri, tak punya anak lelaki, yang berturut-turut
bernama Purba Rarang, Purba Endah, Purba Dewata, Purba Kancana, Purba
Manik, Purba Leuwih, dan Purba Sari.
Karena Purba Rarang merasa Purba Sari bakal ngalandih ka saing, maka
ia memerintahkan agar adik bungsunya ini diborehan. Maka Purba Sari dilumuri
warna hitam dan dibuang ke Gunung Cupu Mandala Ayu di bagian hulu dayeuh.
Meskipun diperlakukan demikian, Purba Sari menerima dengan baik kemauan
teteh ini.
Purba Sari dan Purba Rarang memang pasangan oposisi antagonistik.
Purba Rarang Sulung, Purba Sari bungsu, Purba Rarang aktif Purba Sari nrimo,
Purba Rarang kelaki-lakian, Purba Sari keperempuanan, Purba Rarang pilihan
ayah-dunia, Purba Sari pilihan Sunan Ambu, Purba Rarang licik, Purba Sari lugu
dan tulus, Purba Rarang di istana, Purba Sari di hutan, Purba Rarang banyak
pengikutnya, Purba Sari sendirian di leuweung, Purba Rarang di lebak, Purba Sari
di hulu. Permainan antagonistik ini akan terus dimainkan sepanjang pantun. Jadi,
pantun dimulai dengan munculnya oposisi biner. Dan pasangan oposisi ini kelak
akan kita lihat menggambarkan oposisi antara kemauan manusia (Purba Rarang)
dan kemauan dewa-dewa (Purba Sari). Moral pantun adalah, ikutilah Purba Sari
kalau mau selamat di dunia ini.
Cerita langsung berpindah ke Sawarga Loka. Sunan Ambu dihadap oleh
putranya Guru Minda yang malamnya bermimpi mengawini putri yang amat mirip
ibundanya itu. Inilah sebabnya dalam pertemuan anak dan ibu itu, Guru Minda
ngalingling ngadeuleu (melirik=lirik mencuri pandang) pada ibundanya. Kata
Sunan Ambu:
Ulah goreng tingkah ka pangasuh
8
Pamali batan maling
Haram batan jinah
Geura boro pijodoeun
Aya nu sarupa jeung ambu
Di buana panca tengah
Lalu Guru Minda diberi pakaian lutung yang dibuat dari mega mendung.
Dinamakanlah Kandegan Lutung Kasarung, yang dibuang dari keluarga.
Dalam pantun ini seorang dewa tidak menjelma menjadi manusia, tetapi
tetap seorang dewa yang berpakaian lutung. Tidak dikenal faham dewa-raja di
Sunda. Guru Minda tetap Guru Minda, hanya berpakain lutung.
Lutung Kasarung diturunkan ke dunia, di hutan dekat Pasir Batang.
Lutung ini ditangkap Aki Panyumpit, yang kemudian dibawa kepada Ua Lengser,
dan menyerahkannya kepada Purba Rarang yang memesan lutung kepadanya.
Karena lutung ini bisa berbicara seperti manusia, maka Lutung Kasarung
dipelihara oleh adik-adknya yang lima. Ternyata Lutung Kasarung bukan menjadi
teman bermain para putri, tetapi justru kerap kali mengibrak-abrik barang-barang
milik mereka. Lutung Kasarung akhirnya dibawa ke Purba Sari untuk menjadi
temannya di hutan. “ bawalah ke tepi gunung, karena hitamnya sama dengan
Purba Sari, jeleknya sama dengan Purba Sari, kalau menjadi air sama satu leuwi,
kalau menjadi tanah sama selebak,” kata Purba Rarang.
Lutung Kasarung kecewa melihat Purba Sari yang hitam legam. Pada saat
Purba Sari tidur, Lutung Kasarung membuka pakaiannya dan sekejap tiba di
Sawarga Loka Manggung menghadap Sunan Ambu. Dikatakan oleh pantun:
Awak sarua nu lembut
Saraga jeung dewana
9
Guru Minda mengeluh kepada ibundanya bahwa hidupnya penuh sengsara. Sunan
Ambu menghibur putranya, bahwa semua itu hanya sementara. Kecantikan Purba
Sari sama dengan dirinya, kejelekannya hanya pulasan. Lalu diperintahkannya
putranya itu kembali ke dunia semampang Purba Sari masih tidur malam hari itu.
Sunan Ambu segera memerintahkan Bujangga Seda dan Bujangga Sakti,
yakni dua dari empat Batara di kahiyangan, agar turun ke dunia membereskan
persoalan Lutung Kasarung. Maka diciptakanlah istana lengkap ditempat
pembuangan Purba Sari. Ketika Purba Sari bangun keesokan harinya, ia terkejut
melihat perubahan itu. Ia bertanya kepada Lutung Kasarung:
Utun, pamisalin ti mana
Sok sieun dipamalingkeun
Jawab Lutung Kasarung:
Suhunan pamajikan
Tadi peuting beunang ngimpi buruh naek
Kemudian mandilah Purba Sari di jamban imah. Dan bergantilah rupanya
menjadi aslinya, seorang putri yang cantik, semampu juru pantun menggambarkan
kecantikan gadis Sunda.
Sejak bagian cerita ini, pantun menggambarkan persaingan Purba Rarang
terhadap Purba Sari. Purba Rarang digambarkan oleh pantun demikian:
Nu goreng budi ti leutik
Goreng tuah ti bubudak
Pangaruh jalma nu bedang
Taya batan purba rarang
Pantun Lutung Kasarung selanjutnya menceritakan persaingan itu dalam bentuk
tantangan perlombaan yang setiap kali diajukan Purba Rarang. Inilah bagian
10
terkenal pantun ini. Purba Rarang yang bersifat amarah semakin dengki kepada
Purba Sari yang tiba-tiba berubah segalanya menjadi saingannya. Namun sikap
Purba Sari tetap aluamah, tunduk dan menjalankan tantangan apa yang diajukan
oleh kakanya itu.
Sunan Ambu yang ada di Sawarga Loka Manggung tidak berdiam diri.
juru pantun selalu menyebutkan Sunan Ambu sebagai berikut:
Sunan Ambu terus panon batan kaca
Katingal salawasna
Sunan Ambu selalu memanggil para Batara untuk menolong Purba Sari
yang sedang disangsara ku nagara. Bahkan kadang Sunan Ambu sendiri “turun”
ke dunia ini untuk menolong Purba Sari yakni dalam bentuk “mimpi”. Inilah
sebabnya pantun ini dinilai amat sakral oleh masyarakat Sunda zaman itu. (Jacob
Sumardjo, 2009)
BAB II
DESKRIPSI
2.1 Pengantar
Pemupu Data : Firmansyah
NPM : 180210110003
Tanggal Pupuan : 17 s.d 29 November 2011
Jenis data : Cerita Pantun
Bentuk Pupuan : Penyalinan
2.2 Rajah
Pantun Lutung Kasarung dibuka dengan sebuah rajah yang hanya terdiri
dari dua halaman saja, mirip dengan pantun Sunda bagian barat. Dalam pantun
Priangan biasanya rajah tidak panjang, namun terdapat sebuah frase yang akan
diulang-ulang diseluruh pantun. Frase rajah itu berbunyi demikian:
Bul kukus mendung kamanggung
kamanggung neda papayung
ka dewata neda maaf
ka pohaci neda suci
kuring rek diajar ngidung
nya ngidung carita pantun
ngahudang carita wayang
nyilokakeun nyukcruk laku
nyukcruk laku nu bahayu
mapay langkah nu baheula.
11
12
Lutung tujuh nu ngabandung
kadalapan keur di sorang
bisina terus narutus
bisini narajang alas
palias terus narutus
palias narajang alas
da puguh ngaluring catur
ngembat papatah carita
ti mendi papasinieun?
Ti mana picaritaeun?
Tetep mah ti kahiyangan
Ditandean cupu manik
Cupu manik astagina
Diwadahan sarattangan
Dituruban ku mandepun
Diteundeun dijalan gede
Dibuka kunu ngaliwat
Ku nu weruh disemuna
Ku nu terang dijaksana
Ku nu rancage di hate
Dibuka patinghaleuang
Nu menta dilalakonkeun
2.3 Makna Pantun Lutung Kasarung
Cerita pantung Lutung Kasarung terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian
awal, tengah dan akhir. Bagian awal menceritakan Purba Sari yang dibuang ke
hutan setelah wajahnya dirusak oleh kakaknya yaitu Purba Rarang, yang ingin
merebut mahkota. Bagian tengah menggambarkan pengembaraan Purba Sari
selama menjalani kehidupan di hutan. Pada bagian akhir berisi kisah perkawinan
13
Purba Sari dengan seekor lutung (kera), yang sebenarnya merupakan penjelmaan
pangeran Guruminda putra Sunan Ambu.
Pembagian awal, tengah dan akhir dari pantun Lutung Kasarung
mengandung makna sebagai dadasar (mendasar), yaitu sebagai yang awal dan
yang akhir. Kedalaman makna tersebut juga terungkap dalam tata urutan upacara
tanam dan panen padi, yaitu tatanen, ngalaksa dan rasulan. Kedudukan cerita
dalam pantun Lutung Kasarung dalam tata urutan upacara tanam dan panen padi,
merupakan pencerminan hakikat hidup masyarakat Sunda yang telah disampaikan
oleh leluhur mereka.
Dalam pantun Lutung Kasarung tergambar perihal orang Sunda yang
sangat memuliakan perempuan. Buktinya, antara lain, dapat kita baca melalui
pantun Lutung Kasarung, sebagaimana dikutip Jakob Sumardjo: "Leut dewata
opat puluh, pohaci opat puluh, bujangga nu opat purah pulang anting." Dalam
Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-tafsir Pantun Sunda (2003: 239-
243), guru besar dari STSI Bandung ini membahas tentang pohaci. Apa pohaci
itu? Dalam Kamus Bahasa Sunda Kuno-Indonesia susunan Elis Suryani NS dan
Undang Ahmad Darsa (2003: 95), arti pohaci atau pwahaci adalah sebutan untuk
para dewi; makhluk halus yang berwujud wanita dalam alam gaib, kahiyangan
dan bertalian erat dengan pertanian serta kegiatan wanita pada umumnya.
Adapun dari segi etimologinya, kata pohaci atau puhaci merupakan
gabungan dua kata bahasa Sunda kuno: pwah dan aci. Pwah berarti sebutan untuk
wanita dewasa, sedangkan aci merujuk pada arti inti. Pwahaci berarti esensi
perempuan, atau barangkali perempuan inti.
Menurut Jakob Sumardjo sendiri, pohaci adalah pelaksana perintah Sunan
Ambu untuk menolong kebutuhan hidup manusia di bumi (Pancatengah),
terutama yang menyangkut kebutuhan primer, yakni makanan (padi), pakaian, dan
tempat tinggal.
14
Jadi, setiap sisi yang berhubungan dengan hajat tersebut ada pohaci yang
khusus menjaganya. Misalnya, setiap perkembangan dari tumbuhan padi,
penumbukan padi, proses menanak nasi, menenun kain, semuanya memiliki
pohaci masing-masing. Contohnya, pohaci yang menjaga lisung adalah Sorowong
Jati. Pohaci yang menjaga kapas adalah Ulesan Jati. Namun, yang menjadi
pemimpin para pohaci adalah Girang Candoli.
Jadi, tidak mengherankan, orang Kanekes sangat menghormati pohaci. Hal
itu tecermin dalam sebuah ungkapan orang Kanekes: "Hirup turun ti Nu Rahayu,
hurip lalaran Pohaci" (Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan
Masyarakat Kanekes, 1986: 75-83). Oleh karena itu, berbakti kepada pohaci,
khususnya Nyi Pohaci Sang Hyang Asri, menjadi salah satu kewajiban
masyarakat Kanekes. Untuk itu, ada pemujaan masyarakat Kanekes yang
diperuntukkan bagi pohaci, yakni upacara kawalu.
Menurut Jakob Sumardjo, sebagaimana yang ia temukan dalam pantun
Lutung Kasarung, ada 40 pohaci dalam kosmologi Sunda lama. Jumlah itu
sebanyak jumlah para dewata. Temuan yang dimaksud adalah kutipan di awal
tulisan: "Leut dewata opat puluh, pohaci opat puluh, bujangga nu opat purah
pulang anting."
Namun, selain dari pantun Sunda, kita juga dapat menelusuri pohaci dari
naskah Sunda kuno. Bagaimana dan siapa saja pohaci dalam naskah Sunda kuno
itu?
Menurut Naskah Sunda kuno, kebanyakan pohaci yang terdapat dalam
naskah Sunda kuno berhubungan dengan kalepasan atau moksa. Mereka biasanya
bersemayam di surga atau kahiyangan. Di antara naskah Sunda kuno pun ada juga
yang menyebutkan posisi pohaci di bumi, terutama yang berkaitan dengan
reinkarnasi.
Dalam naskah Sewaka Darma yang ditransliterasi, direkonstruksi,
disunting, dan diterjemahkan oleh Saleh Danasasmita dan kawan-kawan (1987),
15
disebutkan bahwa di atas kahiangan dewa Hindu (Isora, Brahma, Mahadewa,
Wisnu, Siwa) ada kahiangan Sari Dewata yang berpenghuni Ni Dang Larang
Nuwati, Wirumananggay, Pwah Langkawang Tidar, Pwah Sekar Dewata.
Setingkat di atasnya, ada kahiyangan Bungawari. Di sinilah bersemayam Pwah
Sanghiyang Sri, Pwah Naga Nagini.
Adapun dalam Carita Ratu Pakuan (suntingan dan terjemahan Undang A
Darsa, 2007), khususnya di bagian awal naskah baris 1-135, disebutkan, gunung-
gunung merupakan tempat bertapanya para pohaci yang bereinkarnasi kepada para
calon istri Ratu Pakuan. Dalam naskah ini disebutkan paling tidak lima pohaci:
Mambang Siyang, Niwarti, Manireka, Hinten Mananggay, dan Raga Pwah
Herang Manik. Kawih Paningkes atau Kawih Panikis, yang ditransliterasi dan
diterjemahkan Ayatrohaedi dan Munawar Holil (1995), menyebut beberapa nama
pohaci, yaitu Pwah Sang Hyang Sri, Batari Sri Kala, Pwah Wirumananggay, dan
Dayang Tresnawati.
Dalam Gambaran Kosmologis Sunda (transliterasi, rekonstruksi,
suntingan, dan terjemahan Edi S Ekadjati dkk, 2004), ada Pwah Batari Sri sebagai
penguasa tertinggi di kayangan; Pwah Lekawati; Pwah Wiru Mananggay dan
Danghyang Trusnawati, pemelihara Bungawari di Pasekulan bukit Tri Jantra si
Jatri Palasari di Gunung Jati.
Naskah Darmajati (Undang A Darsa, dkk, 2004) paling tidak
menampilkan dua nama pohaci yang menghuni kahiyangan. Keduanya adalah
Nagawati yang bertanggung jawab atas seluruh apsari (Nagawati nu nangkes
aksari kalih) dan Nyi Tulaat yang diciptakan lebih awal oleh Sanghyang Maha
(hal 85 dan 100).
Kemudian dalam naskah Sri Ajnyana (J Noorduyn dan A Teeuw, 2006),
diceritakan bahwa dalam perjalanannya ke surga, Sri Ajyana, yang dibuang ke
bumi bersama adiknya pohaci Pwah Aci Kembang, menemui beberapa pohaci,
yaitu Puah Aci Kuning, Sanghiang Sri, Wirumananggay, dan Puah Lakawati.
16
Namun, naskah Jatiraga atau Jatiniskala (transliterasi, rekonstruksi,
suntingan, dan terjemahan Edi S Ekadjati, dkk, 2004) kiranya banyak memberi
informasi seputar pohaci. Dalam naskah itu disebutkan ada tujuh pohaci: Pwah Sri
Tunjungherang, Pwah Sri Tunjunglenggang, Pwah Sri Tunjunghung, Pwah Sri
Tunjungmanik, Pwah Sri Tunjungputih, Pwah Sri Tunjungbumi, dan Pwah Sri
Tunjungbuwana. Selain itu, tentu saja ada juga pohaci Pwah Wirumananggay.
Ketujuh pohaci itu masing-masing mempunyai apsari, yakni apsari
Tunjungmaba, Tunjungmabra, Tunjungsiang, Tunjungkuning, Nagawali, dan
Naganagini. Ada juga Pwah Sri Sari Banawati, Pwah Aksari Manikmaya,
Mayalara, Atastista, Madongkap, Aksari Nilasi, Mayati, Wadingin, Kumbakeling,
Maya Yuwana, Jana Loka, Manon Hireng, Madwada, Kunti, Titisari, Kindya
Manik, Madipwak, Maya, Jabung, Galetwar, Werawati, Rumawangi, Kinasihan,
Kamwawati, Kemang, Kujati dan Pwah Bintang Kukus, Jatilawang,
Ratnakusumah, Hening Hinisjati, Nongton Manik, Gendang, Kalasan, Kamadipi,
Endah Patala, Sedajati, Imitjati, Jlag Sabumi, Pada Ni Wangi, Keling, Goda
Bancana, dan Saresehkane.
Bila membaca banyaknya nama dan peranan pohaci di kahiyangan dan
pertapaan dari naskah-naskah Sunda kuno di atas, diyakini bahwa orang Sunda
sangat memuliakan perempuan. Apalagi, dalam Jatiraga tertulis, "Aci pwah ma
Sang Hyiang Sri Wisesa" (Hakikat kewanitaan itu ialah kekuasaan Sang Hyiang
Sri).
2.4 Kajian Sosio Budaya
Tentang mithos bermacam pendapat telah disajikan para pakar. Pada
intisarinya Mithos atau Kepercayaan Tradisional adalah “Ekspresi relasional
antara manusia dengan alamnya di mana dia tinggal”. Relasi Urang Sunda dengan
alam fauna di lingkungan hidupnya, terekam dalam kandungan folkloriknya, bisa
ditelusuri dari Cerita Pantun, Babad, Upacara Adat, Ornamen Kriya, Toponimi,
penamaan diri. Untuk bisa menelusuri makna yang terkandung dalam aspek
folklorik tersebut, para seniman atau budayawan Sunda akan menggunakan “Ilmu
17
Panca Curiga (lima senjata)” yaitu kemampuan untuk mengartikan atau memaknai
secara SILIB (allude), SINDIR (allusion), SIMBUL (symbol, icon), SILOKA
(aphorism) dan SASMITA (depth aphorism), dalam kajian sastra modern disebut
dengan Heurmanuetica dan Semiotica, seperti dalam Cerita Pantun Lutung
Kasarung yang dianggap sakral dan bersifat Kosmogini, dimaknai sebagai
penjelmaan manusia di alam dunia. Gambaran perjuangan manusia yang terus
menerus, gambaran kesetiaan dan kesadaran religius.
Sebagai kajian Sosio Budaya Jawa Barat ada tiga nama fauna yang
diajukan oleh BPLHD untuk dijadikan Ikon Jawa Barat, yaitu:
SURILI (Latin: Presbytis comata), bisa dimaknai sebagai “Suara atau
Pendapat Rakyat”. Hal ini tergambar dalam cerita pantun Lutung Kasarung ketika
Guru Minda dari Kahiyangan diturunkan di tengah hutan wilayah negara Pasir
Batang anu Girang, maka kehadirannya disambut oleh:
“Surili anu sareuri, tingguntayang bararungah,
mapag putra Sunan Ambu, nu lungsur ka marcapada,
Pasir Batang Anu Girang, sagirangeun birit leuwi,
birit leuwi peupeuntasan, peupeuntasan Pajajaran.”
Tetapi ketika Aki Panyumpit mencari binatang buruan, surili-surili itu
menyembunyikan diri dan tidak memperdengarkan suaranya karena ketakutan.
Maka dalam semiotica Sunda gambaran kedua situasi para surili ini bisa dimaknai
bahwa bila rakyat kecil bersuara, hal itu menandakan masyarakat yang sehat dan
bahagia. Sebaliknya bila rakyat kecil tidak terdengar suaranya, menandakan ada
rasa takut yang menghimpit batiniahnya.
Menurut informasi dari ahli satwa (Dalam Seminar BPLH, 22 September
2003 di Bandung), bahwa kebiasaan “surili” bila di hutan selalu ramai bersahut-
sahutan, tetapi bila ada sesuatu yang mencurigakan, mereka akan berdiam
sehingga di hutan pun sunyi senyap.
18
OWA (Latin: Hylobates moloch), dimaknai sebagai kewaspadaan
kelompok atau keluarga serta mampu mengamati situasi. Tergambarkan dalam
lantunan juru pantun bahwa:
“Di leuweung Sumenem Jati,
owa-owa ngaraririung,
sakumbuhan-sakumbuhan,
ngawaskeun nu karek datang.”
Di hutan Sumenem Jati, owa-owa berkelomp memperhatikan dengan
cermat kepada yang baru datang. Menurut informasi dari ahli satwa (Dalam
Seminar BPLH, 22 September 2003 di Bandung), bahwa kebiasaan “owa” adalah
“monogami” membentuk keluarga khusus.
HEULANG atau ELANG (Latin: Spizaetus bartelsi), dimaknai sebagai
pembawa berita dari alam Kahiyangan, pembawa berita dari alam transcendental
hal ini terkisahkan ketika Guru Minda dari Kahiyangan turun ke marcapada
diiringi para “Guriang” yang menampakkan diri menjadi tujuh ekor elang.
Diartikan pula sebagai gambaran kemampuan untuk mengatualisasikan
diri secara optimal. Dimaknai pula sebagai kemampuan untuk menjaga atau
mengawasi wilayah kekuasaannya (searti dengan kesadaran geo-politis atau geo-
strategi pada masa sekarang). Sering dimaknai pula sebagai gambaran manusia
yang EGALITER dan EQUALITER (salah satu karakter bawaan masyarakat
Sunda - yang berkonsep peladang - berfaham bahwa semua manusia adalah
sederajat dan sama dimata hukum hal ini tersiratkan dalam proses bermasyarakat
Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh. Karakter “ke-egaliter-an” urang Sunda
terkadang cenderung “soliter”, mungkin karena didasari “kepercayaan diri” yang
terlampau tinggi, walau dalam batiniahnya terasa kesendirian yang memilukan.
Seperti inilah rasa kesendirian, ibarat burung elang melayang di angkasa,
tiada berteman, hidup sebatangkara, hati terasa pedih perih, menyesakkan dada.
19
Berdasarkan wacana mithos di atas, maka tak heran bila ada orang yang
mengidentikkan “karakter manusia” dengan pemaknaan fauna-fauna di atas.
Sesuatu yang biasa terjadi, walaupun sebenarnya MANUSIA-lah makhluk Allah
SWT yang paling mulia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Lutung Kasarung adalah cerita pantun yang dianggap paling sakral
diantara pantun Sunda yang lain, sehingga jarang sekali ada juru pantun yang
berani menceritakannya.
Cerita pantun Lutung Kasarung bukan hanya merupakan karya sastra lisan
yang luhur dari masyarakat Sunda. Pantun tersebut mengandung bagian-bagian
yang menyangkut peristiwa sejarah Sunda, maka pantun Lutung Kasarung
memiliki nilai sejarah. Karena itu, cerita pantun Lutung Kasarung dianggap
sebagai artefak budaya masyarakat Sunda sekaligus bentuk kebudayaan Sunda
yang paling besar.
Lutung Kasarung (artinya Lutung yang Tersesat) adalah cerita pantun yang
mengisahkan legenda masyarakat Sunda tentang perjalanan Sanghyang
Guruminda dari Kahyangan yang diturunkan ke Buana Panca Tengah (Bumi)
dalam wujud seekor lutung (sejenis monyet). Dalam perjalanannya di Bumi, sang
lutung bertemu dengan putri Purba Sari Ayuwangi yang diusir oleh saudaranya
yang pendengki, Purba Rarang. Lutung Kasarung adalah seekor mahkluk yang
buruk rupa. Pada akhirnya ia berubah menjadi pangeran dan mengawini Purba
Sari, dan mereka memerintah Kerajaan Pasir Batang dan Kerajaan Cupu Mandala
Ayu bersama-sama.
3.2 Kritik dan Saran
Cerita rakyat pantun Lutung Kasarung ini mengandung banyak nilai
positif yang diharapkan dapat diserap oleh masyarakat Sunda, khususnya bagi
generasi mudanya untuk memupuk mental dan moral mereka sebagai generasi
penerus bangsa. Sifat-sifat Purba Sari yang selalu sabar dan ikhlas namun selalu
20
21
berjuang dalam menghadapi cobaan yang terus menerus datang padanya patut
ditiru.
Pada tahun 1926 Lutung Kasarung menjadi film pertama di Indonesia
yang dibuat di Bandung oleh Heuveldrop orang Belanda dan Kruger orang Jerman
dengan judul ”Loetoeng Kasaroeng”. Lutung Kasarung juga pernah ditampilkan
dalam bentuk drama oleh R.T.A. Sunarya seorang bupati Ciamis pada tahun 1947.
Saat ini kurangnya media yang mengangkat cerita Lutung Kasarung menyebabkan
cerita Lutung Kasarung kurang dikenal oleh masyarakat. Hanya peserta didik saja
yang lebih mengenal cerita Lutung Kasarung itupun hanya melalui buku pelajaran
sekolah dengan cerita yang sangat singkat, sehingga inti dari cerita Lutung
Kasarung yang sarat dengan nilai positif ini terlewatkan dan terlupakan begitu saja
oleh masyarakat. Oleh karena itu diperlukan sebuah media kreatif yang mendidik
namun menarik agar masyarakat tidak hanya mengenal cerita Lutung Kasarung
tapi juga memahami nilai yang terkandung dalam cerita ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sumardjo, Jacob. 2009. Simbo-Simbol Artefak Budaya Sunda.Tafsir-Tafsir Pantun
Sunda. Bandung:Kelir
Ekajati, S.Edi. 2009. Kabudayaan Sunda Zaman Pajajaran. Jakarta: Pustaka jaya
Rosidi, Ajip. 2000. Ensiklopedi Sunda Alam, Manusia, dan Budaya. Termasuk
Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya
Abdulwahid, idat, dkk. 2003. Pranata Sosial Dalam Masyarakat Sunda. Jakarta :
Pusat Bahasa departemen Pendidikan Nasional
Hudayat, Asep Yusup. 2007. Metode Penelitian Sastra (Modul). Bandung:
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Darsa, Undang A. & Edi S. Ekadjati. 1995. Fragmen Carita Parahyangan dan
Carita Parahyangan (Kropak 406): Pengantar dan Transliterasi. Seni
penerbitan Naskah Sunda Nomor 1. Jakarta: Yayasan Kebudayaan
Nusantara.
1983 Naskah sunda. Inventarisasi dan pencatatan. Bandung: Kerjasama Lembaga
Kebudayaan Universitas Padjadjaran dengan The Toyota Foundation
(Laporan Penilitian)
Suryani N.S., Elis. 2007.Mengenal Aksara, Naskah, dan Prasasti Sunda.
Tasikmalaya: Dinas Pendidikan Tasik Malaya
1998 Khazanah Penaskahan Sunda. Bandung: Fakultas Sastra Unpad
Rizal, Syamsul. 2007. Antropologi. Jakarta: Widya Utama.
Luxemburg dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
1995. Kebudayaan Sunda. (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya
Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Lubis, Nina H. 2003. Sejarah Tatar Sunda Jilid I & II. Bandung: Satya Historika
Rosidi, Ajip.1966. Kesusastraan Sunda Dewasa Ini. Bandung: Binacipta.
22
LAMPIRAN
iii
Top Related