DIKTAT
MATA KULIAH
HUKUM PERBANKAN
DAN KEUANGAN
OLEH :
YESSY MERYANTIKA SARI, S.H
UNIVERSITAS ISLAM OKI (UNISKI) KAYUAGUNG
FAKULTAS HUKUM
2013
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.
Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan atas keridhoaan Allah SWT
karena telah diselesaikannya diktat Hukum Perbankan dan Keuangan ini.
Penyusunan diktat ini adalah dalam rangka menambah bahan literatur untuk
mata kuliah Hukum Perbankan dan Keuangan bagi mahasiswa/i di Fakultas
Hukum Universitas Islam OKI (UNISKI) Kayuagung.
Kepada mahasiswa/i yang membaca diktat ini, diharapkan juga
membaca buku Hukum Perbankan dan Keuangan lainnya sebagai bahan
rujukan dalam mempelajari ilmu hukum. Harapannya dengan dikeluarkannya
diktat ini dapat membantu mahasiswa/i dalam mempelajari ilmu hukum
dengan lebih mudah.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan diktat ini masih banyak
kekurangan. Segala kritik dan saran demi perbaikan diktat ini sangat
diharapkan dari setiap pembaca dan akan diterima dengan senang hati untuk
kemajuan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum khususnya.
Atas segala bantuan dan perhatian dari segenap pihak yang telah
memberikan sumbangsih dalam penyusunan diktat ini diucapkan terimakasih.
Wassalamualaikum wr. wb.
Kayuagung, Februari 2013
Dosen Pengasuh,
H. Yessy Meryantika Sari, S.H
DAFTAR ISI
Halaman Judul ....................................................................................................... i
Kata Pengantar ..................................................................................................... ii
Halaman Pengesahan ........................................................................................... iii
Daftar Isi................................................................................................................ iv
BAB I Pendahuluan............................................................................................. 1
BAB II Lembaga Bank......................................................................................... 5
A. Pengertian Bank ............................................................................... 5
B. Asas dan Prinsip Perbankan ............................................................. 7
C. Fungsi Bank ..................................................................................... 10
D. Tujuan Bank ..................................................................................... 10
E. Jenis-Jenis Bank ............................................................................... 11
BAB III Bank Sebagai Badan Usaha .................................................................... 18
A. Pendirian Bank ................................................................................ 18
B. Bentuk Hukum Badan Usahha Bank ............................................... 21
C. Rahasia Bank ................................................................................... 27
D. Penggabungan Usaha Bank ............................................................. 42
E. Kesehatan Bank ............................................................................... 45
BAB IV Kegiatan Bank ........................................................................................ 47
A. Kredit ............................................................................................... 48
B. Penghimpunan Dana (Fund Raising) ............................................... 52
BAB V Bank Indonesia ........................................................................................ 55
BAB VI Perbankan Syariah .................................................................................. 57
A. Pengertian ........................................................................................ 57
B. Fungsi dan Peran Bank Syariah ....................................................... 57
C. Tujuan Bank Syariah ....................................................................... 58
D. Ciri-Ciri Bank Syariah ..................................................................... 58
E. Struktur Bank Syariah ..................................................................... 59
F. Produk Bank Syariah ....................................................................... 61
1. Penyaluran Dana ....................................................................... 61
2. Penghimpunan Dana ................................................................. 77
3. Jasa Perbankan .......................................................................... 84
Daftar Pustaka ....................................................................................................... vi
Lampiran 1 : Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan .....................................................................................
Lampiran 2 : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah .........................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Pada prinsipnya kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan sektor
keuangan (financial sector). Sektor keuangan ini dikelola oleh lembaga
keuangan yang digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu Lembaga Keuangan Bank
(LKB) dan Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB).
Lembaga Keuangan Bank adalah lembaga yang bergerak di bidang jasa
keuangan yang melakukan kegiatan usaha bank yaitu menghimpun dan
menyalurkan dana dari masyarakat secara langsung, sedangkan lembaga
keuangan non bank adalah lembaga keuangan yang bergerak di bidang jasa
keuangan yang melakukan kegiatan usaha menghimpun dan menyalurkan dana
secara tidak langsung kepada masyarakat.
Lembaga keuangan bukan bank dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
Lembaga pembiayaan dan Lembaga keuangan lainnya. Menurut Pasal 1 butir b
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 84/2006 jo. Pasal 1 butir 5
Keputusan Presiden Nomor 61/1988, pengertian perusahaan pembiayaan
adalah badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang
khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha
lembaga pembiayaan.
Dalam Pasal 2 PMK Nomor 84/2006 tersebut, dinyatakan bahwa
perusahaan pembiayaan melakukan kegiatan sebagai berikut:
1. Sewa Guna Usaha (Leasing)
yaitu kegitan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik
secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa
guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh
penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara angsuran.
2. Anjak Piutang (Factoring)
yaitu kegiatan pembiyaan dalam bentuk pembelian piutang dagang
jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang
tersebut.
3. Usaha Kartu Kredit (Credit Card)
adalah kegiatan pembelian untuk pembelian barang dan/atau jasa
dengan menggunakan kartu kredit.
4. Pembiyaan Konsumen (Consumer Finance)
adalah kegiatan pembiyaan untuk pengadaan barang berdasarkan
kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.
5. Perusahaan Modal Ventura (Ventura Capital Company)
adalah badan usaha yang melakukan kegiatan usaha pembiyaan dalam
bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima
bantuan pembiayaan untuk waktu tertentu.
Sedangkan lembaga keuangan lainnya adalah lembaga usaha
(perusahaan) yang melakukan kegiatan usaha dibidang keuangan yang turut
melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat secara langsung
selain lembaga bank dan lembaga pembiayaan.
Bentuk-bentuk lembaga keuangan bukan bank lainnya antara lain
sebagai berikut:
1. Perusahaan Asuransi
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 246,
Istilah asuransi disebut dengan pertanggungan (verzekering) yaitu suatu
perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri
kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, atau
kehilangan suatu keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan
dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu terjadi (evenement).
2. Koperasi
Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Koperasi, dinyatakan bahwa koperasi adalah badan usaha yang
beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan
melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi, sekaligus
sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas
kekeluargaan.
3. Reksa Dana
Reksadana adalaha wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana
dari masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan oleh
Manajer Investasi dalam Portofolio Efek. Keuntungan yang diperoleh
berupa kenaikan nilai investasi masyarakat pemodal seiring dengan
berjalannya waktu periode investasi.
4. Pasar Modal
adalah pasar yang terorganisir dimana saham, obligasi dan sejenisnya
diperdagangkan oleh para anggota bursa yang bertindak sebagai agen
(perantara pedagang efek) atau sebagai pedagang (principal).
BAB II
LEMBAGA BANK
A. PENGERTIAN BANK
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya. (Pasal 1 angka (1) UU No.10 Tahun 1998
Tentang Perbankan).
Sedangkan pengertian bank menurut Pasal 1 angka (2) UU No.10 Tahun
1998 adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Bank adalah
suatu Badan Usaha yang berbadan hukum yang bergerak di bidang jasa
keuangan. Bank sebagai badan hukum adalah Subjek hukum yang berarti dapat
mengikatkan diri dengan pihak ketiga.
Sedangkan hukum perbankan adalah serangkaian kaidah-kaidah yang
mengatur tentang badan usaha perbankan. Kaidah-kaidah tersebut adalah
semua hukum positif yang mengatur tentang perbankan maupun hukum positif
secara praktiknya dalam dunia perbankan.
Landasan yuridis (dasar pengaturan) dari hukum perbankan di Indonesia
antara lain sebagai berikut :
a. UU No. 10 Tahun 1998, LN No.182 Tahun 1998 Tentang Perbankan,
atau selanjutnya dikenal dengan UUP;
b. UU No. 7 Tahun 1992, LN No.21 Tahun 1992 Tentang Perbankan;
c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/33/Kep/Dir, Tentang
Bank Umum, Tanggal 12 Mei 1999;
d. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/Kep/Dir, Tentang
Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Tanggal 12 Mei 1999
e. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/35/Kep/Dir, Tentang
Bank Perkreditan Rakyat, Tanggal 12 Mei 1999;
f. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/Kep/Dir, Tentang
Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah, Tanggal 12
Mei 1999;
g. Peraturan Pemerintah RI No. 17 Tahun 1999 Tentang Badan
Penyehatan Perbankan Nasional;
h. Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Merger,
Konsolidasi dan Likuidasi Bank;
i. UU No. 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun
1999 Tentang Bank Indonesia.
B. ASAS DAN PRINSIP PERBANKAN
Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi (Pasal 2 UUP), Artinya bahwa dalam setiap menjalankan
kegiatan keuangan perbankan harus berdasarkan pada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945. Hal ini berarti semua kegiatan perbankan harus bertujuan
untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Menurut Prof. Dr. Joni Emirzon dalam Hukum Bisnis Indonesia, Asas
Demokrasi ekonomi merupakan dasar aktivitas kegiatan perekonomian yang
mempunyai arti bahwa masyarakat harus memegang peranan aktif dalam
kegiatan perbankan, begitu juga pemerintah berkewajiban untuk memberi
pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan ekonomi, serta menciptakan
iklim yang sehat bagi perkembangan dunia usaha. (Joni emirzon, 2000: 253)
Lebih lanjut menurut Prof. Dr. Joni Emirzon, Demokrasi yang menjadi
dasar pelaksanaan pembangunan harus memiliki ciri-ciri positif sebagaimana
ditentukan dalam GBHN Indonesia bahwa:
1. Perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan dan oleh karena itu di dalam Demokrasi Ekonomi tidak
dikenal sistem pertentangan kelas.
2. Sumber-sumber kekayaan dan sumber alam serta keuangan negara harus
digunakan dengan permufakatan perwakilan rakyat, serta pengawasan
terhadap kebijaksanaan yang bertalian dengan itu harus ada pada
perwakilan rakyat.
3. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
4. Warganegara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang
dikehendaki serta kepentingan hak akan pekerjaan, dan penghidupan
yang layak.
5. Hak milik perorangan diakui, dan pemanfaatannya tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan masyarakat (fungsi Sosial).
6. Potensi aktif dan daya kreasi setiap warga negara dikembangkan
sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan
umum.
7. Fakir miskin dan anak terlantar berhak memperoleh jaminan sosial.
Sebaliknya Demokrasi ekonomi harus menghindarkan ciri-ciri yang
bersifat negatif, seperti:
1. Sistem Free Fight Liberalism yang menumbuhkan eksploitasi terhadap
manusia dan bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah
menimbulkan dan menyebabkan kelemahan struktural posisi Indonesia
dalam ekonomi dunia.
2. Sistem Etatisme, dimana negara dan aparaturnya bersifat dominan dan
serta mendesak dan mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit di luar
sektor negara.
3. Monopoli yang merugikan negara.
Sedangkan Prinsip perbankan Indonesia menurut Pasal 2 UUP adalah
berdasarkan Prinsip Kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian merupakan suatu hal
yang sangat penting dan wajib dilakukan oleh setiap pengelola bank, apabila
pengelolaan bank tidak dilakukan dengan hati-hati tidak hanya akan merugikan
pemilik bank tetapi juga akan merugikan nasabah yang menyimpan dananya di
bank tersebut.
Hal ini berkaitan dengan asas kepercayaan. Oleh karenanya lembaga
bank adalah lembaga usaha yang sangat tergantung pada kepercayaan
masyarakat, makin besar kepercayaan masyarakat terhadap bank, maka bank
yang bersangkutan akan semakin baik dalam artian bahwa bank tersebut dalam
kondisi sehat. (Joni emirzon, 2000: 256)
C. FUNGSI BANK
Lembaga Perbankan merupakan inti sari dari sistem keuangan suatu
negara, karena bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi
perusahaan, lemgaba pemerintah, swasta maupun perorangan menyimpan
dananya, melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan. Bank
melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem
pembayaran bagi semua sektor perekonomian (Sentosa Sembiring, 2008:7).
Menurut Pasal 3 UUP, Fungsi utama bank adalah sebagai penghimpun
dana dan penyalur dana masyarakat. Hal ini berarti kehadiran bank sebagai
suatu badan usaha tidak semata-mata bertujuan bisnis, namun ada misi lain
yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
D. TUJUAN BANK
Perbankan Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasl 4 UUP, memiliki
tujuan sebagai berikut :
a. Menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan;
b. Pertumbuhan ekonomi;
c. Stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
E. JENIS-JENIS BANK
1. Dilihat Dari Bidang Usahanya
Dalam Pasal 5 ayat (1) UUP disebutkan, bank menurut Jenis usahanya
digolongkan menjadi 2 (dua) yakni :
a. Bank Umum
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran (Pasal
1 angaka 3 UUP).
Kegiatan usaha secara konvensional artinya usaha perbankan memberi
kredit kepada nasabah baik perorangan maupun perusahaan, sedangkan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dijabarkan dalam Pasal 1
angka 13 UUP, Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan
hukum Islam antara bank dengan pihak lain
untuk menyimpan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembayaran
berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual-beli
barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiyaan
barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah),
atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang
disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Selain pemberian kredit, menurut pasal 6 UUP usaha bank umum
meliputi :
1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, adan/atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ;
2) Memberikan kredit;
3) Memberikan surat pengakuan hutang
4) Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya ;
a) Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank
yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam
perdagangan surat-surat dimaksud;
b) Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa
berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan
surat;
c) Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
d) Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
e) Obligasi;
f) Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
g) Instrumen surat berharga lainnya yang berjangka waktu sampai
dengan 1 (satu) tahun;
5) Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah;
6) Memindahkan dana pada, menjamin dana dari, atau meminjamkan
dana bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana
telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau
saranalainnya;
7) Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan
malakukan perhitungan dengan atau antara pihak ketiga;
8) Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
9) Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak;
10) Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya
dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat dalam bursa efek;
11) Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan
wali amanat;
12) Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain
berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia;
13) Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang
tidak bertentangan dengan UU dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Bank Perkreditan Rakyat
Bank perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
(Pasal 1 angka 4 UUP).
Jadi perbedaan yang mendasar pada bank umum dan BPR, yaitu BPR
tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sedangkan usaha Bank Perkreditan Rakyat dijabarkan dalam Pasal 13
UUP, yakni meliputi :
1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentk lainnya yang
dipersamakan dengan itu;
2) Memberikan kredit;
3) Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip
syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia;
4) Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia
(SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan
pada bank lain.
Selanjutnya pada Pasal 14 UUP dikemukakan Bank Perkreditan rakyat
dilarang :
1) Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas
pembayaran;
2) Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
3) Melakukan penyertaan modal;
4) Melakukan usaha perasuransian;
5) Malakukan usaha lain diluar kegiatan usaha sebagaimana yang
dimaksud pasal 13.
2. Dilihat Dari Kepemilikannya
Dilihat dari kepemilikannya bank dapat di bagi kedalam 2 (dua)
golongan yakni :
a. Bank Milik Pemerintah (Bank Negara)
Yaitu bank yang modal yang bersangkutan berasal dari pemerintah
(negara).
Bank Negara meliputi :
1) Bank yang Merupakan Badan Usaha Milik Negara (Bank
BUMN)
Ex : BI, BRI, BNI, dll
2) Bank yang merupakan Badan Usaha Milik daerah (Bank BUMD)
Ex : Bank Sumsel-Babel, Bank Jabar, Bank DKI, dll
b. Bank Milik Swasta
Yaitu bank yang modal sepenuhnya berasal dari swasta, tanpa ada
campur tangan dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
Bank Milik Swasta di bagi menjadi 3 (tiga) yaitu :
1) Bank Swasta Nasional (BSN), artinya modal bank dimiliki
sepenuhnya oleh orang dan/atau Badan hukum Indonesia, ex :
Bank Mega, Bank Mandiri, dll
2) Bank Swasta Asing (BSA), artinya modal bank tersebut dimiliki
oleh Warga Negara asing dan/atau Badan Hukum Asing. Dalam
hal ini ada kemungkinan Bank ini merupakan kantor cabang dari
negara asal yang bersangkutan. Ex : Hongkong Bank, Singapore
Bank, dll
3) Bank campuran, artinya bank umum yang didirikan bersama oleh
satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan
didirikan oleh Warga Negara Indonesia dan/atau badan Hukum
Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh Warga Negara
Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di
luar Negeri. Ex : Bank BCA, dll
3. Dilihat Dari Segi Operasional
Dilihat dari ruang lingkup operasional bidang usahanya, maka bank
dapat dibedakan dalam 2 (dua) golongan, yaitu:
a. Bank Devisa, yaitu bank yang memperoleh surat penunjukan dari
Bank Indonesia untuk melakukan usaha perbankan dalam valuta
asing. Ex :
b. Bank Nondevisa, yaitu bank yang tidak dapat melakukan usaha di
bidang transaksi valuta asing.
BAB III
BANK SEBAGAI BADAN USAHA
A. PENDIRIAN BANK
Kententuan Umum Syarat pendirian bank, antara lain sebagai berikut:
a. Setia Bank Umum dan BPR memperoleh izin usaha dari pimpinan BI,
kecuali kegiatan penghimpunan dana diatur dengan UU lain. (Pasal 16)
b. Syarat pengajuan meliputi :
1) Susunan Organisasi dan kepengurusan
2) Permodalan
3) Kepemilikan
4) Keahlian di bidang Perbankan
5) Kelayakan rencana kerja
6) Persyaratan dan tata cara perizinan bank ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Dari ketentuan diatas maka langkah pertama yang harus dilakukan
dalam pendirian Bank adalah menentukan jenis bank yang akan didirikan
(Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat).
Berikut ini tatacara dalam pendirian suatu bank baik Bank Umum
maupun Bank Perkreditan Rakyat:
1. Pendirian Bank Umum
Pengaturannya terdapat dalam SK Direksi BI No: 32/33/Kep/Dir, tentang
Bank Umum tanggal 12 mei 1999.
Syarat Umum :
a. Didirikan oleh WNI dan/atau Badan Hukum Indonesia atau ;
b. Didirikan oleh WNI dan/atau Badan Hukum Indonesia atau badan
hukum Asing secara kemitraan.
c. Modal yang disetor ;
1) Minimal 3 Triliun
2) Untuk Badan hukum koperasi adalah simpanan pokok, simpanan
waib dan hibah diatur dalam UU tentang perkoperasian.
3) Modal dari WNA dan/atau Badan hukum asing setingginya 99% dari
modal disetor bank.
2. Pendirian Bank Perkreditan Rakyat
Pengaturan tentang pendirian Bank Perkreditan Rakyat diatur dalam SK
Direksi BI No: 32/35/Kep/Dir, tentang Bank Umum tanggal 12 mei 1999.
Syarat Umum :
a. BPR hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin
direksi BI.
b. BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh:
1) Warga Negara Indonesia
2) Badan Hukum Indonesia yang seluruh kepemilikannya oleh WNI
3) Pemerintah daerah
4) Dua pihak atau lebih sebagaimana diatas.
c. Modal BPR yang disetor:
1) Sekurangnya 2 (dua) Miliar (Jabodetabek)
2) 1 (Satu) Miliar untuk Bank yang didirikan di wilayah ibukota
provinsi selain diatas;
3) 500 juta untuk selain diatas.
4) Untuk Badan hukum koperasi adalah simpanan pokok, simpanan
waib dan hibah diatur dalam UU tentang perkoperasian.
5) Modal dari WNA dan/atau Badan hukum asing setingginya 50%
dari modal disetor bank.
B. BENTUK HUKUM BADAN USAHA BANK
Menurut UU No.7 Tahun 1992 Pasal 21, bentuk usaha bank umum
meliputi :
a. Perusahaan Perseroan (Persero)
b. Perusahaan Daerah\
c. Koperasi
d. Perseroan Terbatas
Dan menurut UU no.10 tahun 1998 Pasal 21, bentuk Usaha bank umum
adalah :
a. Perseroan Terbatas (PT)
b. Koperasi (KOP)
c. Perusahaan Daerah (PD)
Sedangkan bentuk hukum suatu Bank Perkreditan rakyat dapat berupa
salah satu dari:
a. Perusahaan daerah
b. Koperasi
c. Perseroan Terbatas (PT) dan
d. Bentuk lain yang ditetapkan dg PP
Penjelasan dan Ketentuan Umum Tentang Bentuk Badan Usaha Bank,
antara lain sebagai beikut:
a. Perusahaan Daerah
Pengaturannya juga dapat dilihat dalam UU No.5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Perusahaan daerah
adalah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan UU ini yang modalnya
seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan,
kecuali ditentukan lain dalam UU ini.
Pendirian suatu perusahaan daerah menurut Pasal 3 UU No.5 tahun
1962, antara lain sebagai berikut:
1. Perusahaan Daerah didirikan dengan PERDA atas kuasa UU ini.
2. Perusahaan Daerah yang dimaksud diatas adalah badan hukum yang
berkedudukan sebagai badan hukum yang diperoleh dengan berlakunya
peraturan daerah tersebut.
Modal perusahaan daerah terdiri untuk seluruhnya atau untuk sebagaian
dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Modal yang untuk sebagian kekayaan
yang dipisahkan terdiri atas saham-saham (Pasal 7 ayat 1&3).
Khusus untuk pendirian Bank jo. Permen Dagri No.1 Tahun 1998
tentang Bentuk Hukum Bank Pembangunan Daerah, dalam Pasal 2 disebutkan
bahwa bentuk hukum Bank Pembangunan daerah dapat berupa salah satu dari:
1. Perusahaan daerah
2. Perseroan Terbatas
Selanjutnya dalam Pasal 3 disebutkan bahwa:
1. Bank Pembangunan daerah yang bentuk hukumnya berupa Perusahaan
daerah, tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
mengatur tentang perusahaan daerah.
2. Bank Pembangunan daerah yang bentuk hukumnya adalah Perseroan
terbatasa, tunduk pada UU No.1 Tahun 1995 jo. UU No.40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
b. Koperasi
Untuk badan usaha bank yang berbebruk koperasi, pengaturannya juga
merujuk pada UU No.25 Tahun 1992 tantang Perkoperasian. Dalam Pasal 1
butir 1 UU tersebut disebutkan bahwa koperasi adalah badan usaha yang
beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan pada koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi
rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Dalam pasal 41 ayat (1) disebutkan bahwa modal koperasi terdiri dari
modal sendiri dan modal pinjaman. Modal sendiri bersumber dari simpanan
pokok, simpaanan wajib, dana cadangan, dan hibah (Pasal 42 ayat (2).
Yang dimaksud dengan modal sendiri adalah modal yang menanggung
risiko atau disebut modak ekuititi. Simpanan pokok adalah sejumlah uang yang
sama banyaknya yang wajib dibayar oleh anggota koperasi pada saat masuk
menjadi anggota. Simpanan pokok tidak dapat diambil selama yang
bersangkutan masih menjadi anggota. Simpanan wajib adalah jumlah simpanan
tertentu yang tidak harus sama yang wajib dibayar oleh anggota kepada
koperasi dalam waktu dan kesempatan tertentu. Simpanan wajib tidak dapat
diambil kembali selama yang bersangkutan masih menjadi anggota.
Dalam Pasal 9 UU Koperasi dikatakan bahwa, koperasi memperoleh
status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah.
Anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi (Pasal 17
UU Koperasi).
c. Perseroan terbatas
Pengaturan Perseroan Terbatas terdapat dalam UU No.1 Tahu 1995 jo.
UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Perseroan terbatas adalah
badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan
usaha dengan modal dasar seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
syarat yang ditetapkan dalam UU ini serta peraturan pelaksananya.
Syarat pendirian perseroan terbatas dalam pasal 7 dikemukakan sebagai
berikut:
1. Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris
yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
2. Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat
Perseroan didirikan.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam
rangka Peleburan.
4. Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya
keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.
5. Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham
menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6
(enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang
bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain
atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
6. Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah
dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang
saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan
kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan,
pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut.
7. Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau
lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5),
serta ayat (6) tidak berlaku bagi:
a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau
b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan
penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan
lembaga lain sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang
Pasar Modal.
Selanjutnya dalam Pasal 31 dikatakan bahwa:
1. Modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup
kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal
mengatur modal Perseroan terdiri atas saham tanpa nilai nominal.
Pasal 32
1. Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
2. Undang-undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan
jumlah minimum modal Perseroan yang lebih besar daripada ketentuan
modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Perubahan besarnya modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pasal 33
Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh.
C. RAHASIA BANK
1. PENGERTIAN
Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya (Pasal 1 angka 28 UU No.10
Tahun 1998 tentang Perbankan).
Yang dimaksud dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya meliputi segala
keterangan tentang orang dan badan yang memperoleh pemberian layanan dan
jasa dalam lalu lintas uang, baik dalam maupun luar negeri, meliputi :
1. Jumlah kredit;
2. Jumlah dan jenis rekening nasabah (Simpanan Giro, Deposito, Tabanas,
Sertifikat, dan surat berharga lainnya);
3. Pemindahan (transfer) uang;
4. Pemberian garansi bank;
5. Pendiskontoan surat-surat berharga; dan
6. Pemberian kredit.
Rahasia bank diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998. Menurut ketentuan pasal tersebut :
Ayat (1)
Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41,
Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.
Ayat (2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak
terafiliasi.
Berdasarkan ketentuan diatas, jelas bahwa yang wajib dirahasiakan oleh
pihak Bank/Pihak terafiliasi hanya keterangan mengenai nasabah Penyimpan
dan simpanannya. Apabila Nasabah Bank adalah Nasabah Penyimpan yang
sekaligus juga sebagai Nasabah debitur, bank tetap wajib merahasiakan
keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan.
Artinya jika nasabah itu hanya berkedudukan sebagai nasabah debitur maka
keterangan tentang nasabah debitur dan hutangnya tidak wajid dirahasiakan
oleh bank/pihak terafiliasi. Dengan demikian, lingkup rahasia bank hanya
meliputi keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya,
keterangan selain itu bukan rahasia bank.
Yang dimaksud Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan
dananya di Bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian Bank dengan
nasabah yang bersangkutan (Pasal 1 angka (17) UU No.10 Tahun 1998).
Sedangkan yang dimaksud dengan Simpanan adalah dana yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada Bank berdasarkan perjanjian
penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito,
Tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (Pasal 1
angka (5) UU No.10 Tahun 1998).
SIFAT RAHASIA BANK
Mengenai sifat Rahasia Bank, ada dua teori yang dapat dikemukakan,
yaitu:
1. Teori Mutlak (Absolute Theory)
Menurut teori ini, Rahasia Bank bersifat mutlak. Semua keterangan
mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat di bank wajib
dirahasiakan tanpa pengecualian dan pembatasan. Dengan alasan apapun
dan oleh siapapun kerahasiaan mengenai nasabah dan keuangannya tidak
boleh dibuka (diungkapkan). Apabila terjadi pelanggaran terhadap
kerahasiaan tersebut, Bank yang bersangkutan harus bertanggung jawab
atas segala akibat yang ditimbulkannya.
Keberatan terhadap teori mutlak ini adalah terlalu individualis, artinya
hanya mementingkan hak individu (perseorangan). Disamping itu, teori ini
juga bertentangan dengan kepentingan umum, artinya kepentingan Negara
atau masyarakat banyak dikesampingkan oleh kepentingan individu yang
merugikan Negara atau masyarakat banyak. Dengan kata lain menurut
teori ini,sifat mutlak rahasia bank sangat sukar untuk ditterobos dengan
alasan apapun dan oleh hukum dan undang-undang sekalipun. Teori
mutlak ini banyak dianut oleh bank-bank yang ada di Negara Swiss.
2. Teori Relatif (Relative Theory)
Menurut teori ini, Rahasia Bank bersifat relative (terbatas). Semua
keterangan mengenai nasabahdan keuangannya yang tercatat di bank wajib
dirahasiakan. Namun bila ada alasan yang dapat dibenarkan oleh undang-
undang, Rahasia Bank mengenai keuangan nasabah yang bersangkutan
boleh dibuka (diungkapkan) kepada pejabat yang berwenang.
Keberatan terhadap teori ini adalah rahasia bank masih dapat dijadikan
perlindungan bagi pemilik dana yang tidak halal, yang kebetulan tidak
terjangkau oleh aparat penegak hukum karena tidak terkena penyidikan.
Dengan demikian dananya tetap aman.
Namun teori relative ini sesuai dengan rasa keadilan (sense of justice),
artinya kepentingan Negara atau kepentingan masyarakat banyak tidak
dikesampingkan begitu saja. Apabila ada alasan yang sesuai dengan
prosedur hukum maka rahasia keuangan nasabah boleh dibuka
(diungkapkan). Dengan demikian teori relative ini melindungi kepentingan
semua pihak, baik individu, masyarakat maupun Negara. Teori ini di anut
oleh bank-bank yang ada di Negara Amerika Serikat, Belanda, Malaysia,
Singapura dan Indonesia. Di Indonesia teori relative ini diatur dalam Pasal
40 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan.
PENGECUALIAN RAHASIA BANK
Dalam Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan ditentukan bahwa :
“Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41,
Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A”.
Kata “kecuali” diartikan sebagai pembatasan terhadap berlakunya Rahasia
Bank. Mengenai keterangan yang disebut dalam pasal-pasal tadi Bank tidak
boleh merahasiakannya (boleh mengungkapkannya) dalam hal sebagai berikut:
1. Untuk Kepentingan Perpajakan
Dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan ditentukan :
“Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas
permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis
kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-
bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah
Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak”.
Untuk pembukaan (pengungkapan Rahasia Bank, Pasal 41 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menetapkan
unsur-unsur yang wajib dipenuhi sebagai berikut :
a. Pembukaan Rahasia Bank itu untuk kepentingan perpajakan.
b. Pembukaan Rahasia Bank itu atas permintaan tertulis Menteri keuangan.
c. Pembukaan Rahasia Bank itu atas perintah tertulis Pimpinan Bank
Indonesia.
d. Pembukaan Rahasia Bank ittu dilakukan oleh Bank dengan memberikan
keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat
mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan yang namanya
disebutkan dalam permintaan Menteri Keuangan.
e. Keterangan dengan bukti-bukti tertulis mengenai keadaan keuangan
Nasabah Penyimpan tersebut diberikan kepada pejabat pajak yang
namanya disebutkan dalam perintah tertulis Pimpinaan Bank Indonesia.
2. Untuk Kepentingan Penyelesaian Piutang Bank
Penyelesaian piutang Bank diatur dalam Dalam Pasal 41A Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut
ditentukan sebagai berikut:
a. Untuk penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan
Urusan Piutang Negara dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang
Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat
Badan Urusan Piutang Negara dan Lelang Negara/Panitia Urusan
Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai
simpanan Nasabah Debitur.
b. Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas
permintaan tertulis dari Badan Urusan Piutang Negara dan Lelang
Negara/Panitia Urusan Piutang Negara.
c. Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan
nama dan jabatan Badan Urusan Piutang Negara dan Lelang
Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, nama Nasabah Debitur yang
bersangkutan dan alasan diperlukannya keterangan.
3. Untuk kepentingan Peradilan Pidana
Kepentingan peradilan Dalam Pasal 41A Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai
berikut:
a. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan bank
Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk
memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan tersangka atau
terdakwa pada Bank.
b. Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas
permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa
Agung, atau Ketua Mahkamah agung.
c. Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan
nama dan jabatan polisi, jaksan atau hakim, nama tersangka atau
terdakwa, alasan diperlukannya keterangan dan hubungan perkara
pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.
4. Untuk kepentingan peradilan Perdata
Menurut ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 :
“Dalam perkara perdata antara Bank dengan nasabahnya, direksi Bank
bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang
keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memnerikan
keterangan lainnya yang relevan dengan perkara tersebut”.
Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa informasi mengenai
keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dapat diberikan oleh Bank
kepada pengadilan tanpa izin Menteri. Karena pasal ini tidak diubah oleh
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, maka penjelasannya perlu
disesuiakan, yang memberi izin adalah Pimpinan Bank Indonesia.
5. Untuk keperluan Tukar-Menukar Informasi antar Bank
Tukar-menukar informasi antar Bank diatur Dalam Pasal 44 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut
ditentukan sebagai berikut:
Ayat (1)
“Dalam rangka tukar-menukar informasi antar Bank, direksi Bank dapat
memberitahkan keadaan keuangan nasabahnya kepada Bank lain”.
Dalam Penjelasannya dinyatakan :
“Tukar-menukar informasi antarbank dimaksudkan untuk memperlancar
dan mengamankan kegiatan usaha Bank antara lain guna mencegah kredit
rangkap serta mengetahui keadaan dan status dari bank yang lain. Dengan
demikian, Bank dapat menilai tingkat risiko yang dihadapi sebelum
melakukan suatu transaksi dengan nasabah atau dengan Bank lain”.
Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi antarbank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia ayat (2).
Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa dalam ketentuan yang akan
ditetapkan lebih lanjut oleh Bank Indonesia antara lain diatur mengenai
tata cara penyampaian dan permintaan infprmasi serta bentuk dan jenis
informasi tertentu yang dapat dipertukarkan, seperti indicator secara garis
besar dari kredit yang diterima nasabah, agunan dan masuk tidaknya
debitur yang bersangkutan dalam daftar kredit macet.
6. Pemberian keterangan atas persetujuan nasabah,
Pemberian keterangan atas persetujuan nasabah penyimpan diatur dalam
Pasal 44A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
a. Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang
dibuat secara tertulis, Bank wajib memberikan keterangan mengenai
simpanan nasabah Penyimpan pada Bank yang bersangkutan kepada
pihak yang tunjuk oleh Nasabah Penyimpan tersebut.
b. Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang
sah dari nasabah penyimpan yag bersangkutan yang berhak
memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan
tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 44A ayat (1), Bank wajib memberikan
keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan kepada pihak yang
ditunjuknya, asal ada permintaan, atau persetujuan atau kuasa tertulis dari
nasabah penyimpan yang bersangkutan, misalnya kepada penasehat hukum
yang menangani perkara nasabah penyimpan. Sedangkan dalam ayat (2)
ahli waris yang sah berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan
nasabah penyimpan bila nasabah penyimpan yang bersangkutan telah
meninggal dunia. Untuk memperoleh keterangan, ahli waris harus
membuktikan sebagai ahli waris yang sah.
PELANGGARAN RAHASIA BANK
Pelanggaran Rahasia Bank adalah perbuatan memberikan keterangan
mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, secara melawan hukum
(bertentangan dengan Undang-Undang Perbankan) atau tanpa persetujuan
Nasabah Penyimpan yang bersangkutan. Pelanggaran Rahasia Bank dapat
dilakukan karena paksaan pihak ketiga atau karena kesengajaan anggota
Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank, atau Pihak terafiliasi lainnya.
1. Paksaan Pihak Ketiga
Paksaan Pihak ketiga diatur dalam Pasal 44A Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai
berikut:
“Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan
Pasal 42, dengan sengaja memaksa Bank atau Pihak Terafiliasi untuk
memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama
4 (empat) tahun serta dendan sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua
ratus miliar rupiah)’.
Ancaman hukuman tersebut mulai dari yang paling rendah sampai kepada
yang paling tinggi. Dengan demikian, apabila terbukti bahwa pihak ketiga
itu secara melawan hukum telah melakukan pemaksaan agar nasabah
penyimpan dan simpanannya, dia tidak akan luput dari hukuman, setidak-
tidaknya hukuman pidana dan denda minimum, yang lama dan jumlahnya
sudah ditetapkan oleh undang-undang.
2. Kesengajaan Pihak Bank atau Pihak Terafiliasi
Kesengajaan pihak Bank dilakukan oleh Anggota Dewan Komisaris,
direksi, Pegawai Bank, atau Pihak Terafiliasi diatur dalam Pasal 47 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam Pasal tersebut
ditentukan bahwa :
“Anggota Dewan Komisaris, direksi, Pegawai Bank, atau Pihak Terafiliasi
lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib
dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.
Dalam penjelasan pasal diatas dinyatakan bahwa yangh dimkasud dengan
Pegawai Bank adalah semua pejabat dan karyawan Bank. Pihak Terafiliasi
sebagaimana disebutkan dalam pasal diatas, diatas, menurut Pasal 1 angka
(22) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 adalah:
a. Anggota Dewan Komisaris, pengawas pengelola atau kuasanya, pejabat
atau karyawan Bank;
b. Anggota pengurus, pengawas pengelola atau kuasanya, pejabat atau
karyawan Bank. Khusus bagi Bank berbentuk hukum Koperasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain akunta public,
penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya;
d. Pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi
pengelolaan Bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya,
keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, dan keluarga
pengurus.
KELEMAHAN RAHASIA BANK
Simpanan Nasabah Penyimpan adalah sumber dana bagi Bank. Oleh
karena itu, wajar jika undang-undang mengatur agar Bank melindungi
nasabahnya, tetapi disis lain tentu ada juga Nasabah Penyimpan yang
berstatus debitur beritikad jahat (bad faith), dengan berlindung di balik
Rahasia Bank melakukan perbuatan tercela terhadap mitra bisnisnya,
misalnya membayar dengan cek atau bilyet giro kosong. Mitra bisnis yang
menerima cek atau bilyet giro kosong tersebut sudah tentu tidak mungkin
mengetahui saldo simpanan Nasabah Penyimpan yang berstatus debitur itu
karena dilindungi oleh Rahasia Bank. Hal semacam ini tentu akan
mempengaruhi citra kepercayaan masyarakat terhadap Bank. Oleh karena
itu menghadapi Nasabah Penyimpan yang beritikad jahad, Bank tidak
perlu ragu melakukan tindakan black list dan kepada Bank Indonesia
selaku pengawas dan Pembina perbankan. Penegakan hukum yang tegas
justru meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Bank. (Abdulkadir
Muhammad, “Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan”,
Penerbit : PT. citra adtya bakti, Bandung, 2004, halaman 75-85).
D. PENGGABUNGAN USAHA BANK
Dalam melakukan Merger, konsolidasai dan akuisisi wajib dihindari
timbulnya pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk
monopoli yang merugikan masyarakat. Oleh karenanya Menurut Pasal 28 UU
Perbankan dikatakan bahwa Merger, konsolidasi, dan akuisisi wajib terlebih
dahulu mendapat izin Pimpinan Bank Indonesia."
Dalam Pasal 1 UU Perbankan di ketentuan umum dinyatakan bahwa :
1. Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap
mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank
lainnya dengan atau tanpa melikuidasi terlebih dahulu;
2. Konsolidasi adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara
mendirikan bank baru dan membubarkan bank-bank tersebut dengan atau
tanpa melikuidasi terlebih dahulu;
3. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap bank;
Akibat hukum yang muncul dengan adanya Merger dan Konsolidasi
dijabarkan dalam PP Nomor 1999 Tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi
Bank, Pasal 2 yang mengemukakan bahwa:
1. Pemegang saham bank yang melakukan merger atau konsolidasi menjadi
pemegang saham bank hasil merger atau bank hasil konsolidasi;
2. Aktiva dan Pasiva bank yang melakukan merger dan konsolidasi beralih
karena hukum kepada bank hasil merger atau bank hasil konsolidasi.
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk merger, konsolidasi
dan akuisisi yang diatur dalam Pasal 3 yaitu atas:
1. Inisiatif bank yang bersangkutan;
2. Permintaan Bank Indonesia; atau
3. Inisiatif badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan
perbankan.
Dalam pasal 8 disebutkan bahwa untuk memeperoleh izin merger atau
konsolidasi, wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Telah memperoleh persetujuan dari RUPS bagi bank yang berbentuk PT
atau rapat sejenis bagi bank yang berbentuk hukum lainnya;
2. Pada saat terjadi merger atau konsolidasi, jumlah aktiva bank hasil merger
atau konsolidasi tidak melebihi 20% dari jumlah aktiva keseluruhan bank
di Indonesia;
3. Calon anggota direksi dan dewan komisaris yang ditunjuk tidak tercantum
dalam daftar orang yang melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan.
Selanjutnya dalam Pasal 10, dinyatakan bahwa untuki memperoleh izin
akuisisi wajib dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Telah memperoleh persetujuan dari RUPS dari bank yang akan diakuisisi
atau rapat sejenis bagi bank yang bukan berbentuk hukum perseroan
terbatas;
2. Pihak yang melakukan akuisisi tidak tercantum dalam daftar orang yang
melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan.
3. Dalam hal akuisisi dilakukan oleh Bank, maka Bank wajib memenuhi
ketentuan mengenai penyertaan modal oleh Bank Indonesia.
E. KESEHATAN BANK
Untuk menilai apakah bank sehat atau tidak, ada tiga faktor yang harus
dinilai, yaitu:
1. Keadaan keuangan bank, yang meliputi likuiditas, rentabilitas dan
solvabilitas;
2. Kualitas aktiva produktif yaitu kekayaan bank berupa penanaman dalam
berbbagai aktiva yang diharapkan dapat memberi penghasilan pada bank;
3. Tata kerja kepatuhan bank terhadap peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan bidang perbankan.
Pembinaan dan pengawasan Bank dilakukan oleh Bank Indonesia (Pasal
29 ayat 1 UUP). Dalam ayat 2 dikatakan bahwa bank wajib memelihara tingkat
kesehatan bank sesuai dengan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas
manajemen, rentabilitas, likuiditas, solvabilitas, dan aspek lain yang
berhubungan dengan usaha bank dan wajib melaksanakan kegiatan usaha
sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
Ada beberapa faktor yang dinilai oleh bank Indonesia selaku Bank
sentral dalam menentukan sehat tidaknya suatu bank, yaitu:
1. Aspek permodalan
2. Kualitas asset
3. Kulitas manajemen
4. Rentabilitas
5. Likuiditas
6. Solvabilitas
Dalam pasal 5 ayat (2) dikemukakan bahwa tingkat kesehatan bank
dalam empat predikat yaitu:
1. Sehat
2. Cukup sehat
3. Kurang sehat
4. Tidak sehat.
BAB IV
KEGIATAN BANK
Jenis kegiatan usaha Bank ditentukan dalam Pasal 1 angka (2) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dri masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak.”
•Pengertian
•Bentuk-BentukSimpanan
• Strategi
MenghimpunDana
•Pengertian
• SyaratPemberian Kredit
PemberianPinjaman/Kredit • Jasa Lalu Lintas
PembayaranGiral
• Jenis-Jenis jasa
Bentuk Lainnya
A. KREDIT
Kredit adalah Pemberian atau penyediaan uang atau tagihan dengan
persetujuan/kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
disertai kewajiban pelunasan uatang dalam jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.
Dengan kata lain, terdapat unsure-unsur yang harus dipenuhi dalam
pemberian kredit, yaitu:
1. Kepercayaan
2. Kesepakatan
3. Jangka Waktu
4. Jaminan
5. Risiko
6. Balas Jasa
Sedangkan tujuan dari pemberian kredit adalah yaitu untuk mencari
keuntungan, membantu usaha nasabah dan membantu pemerintah dalam
program pembangunan ekonomi.
Dan disisi lain, Fungsi dari Pemberian kredit adalah sbb:
a. Meningkatkan Daya guna uang & barang
b. Meningkatkan peredaran uang & barang
c. Stabilitas Ekonomi
d. Meningkatkan semangat berusaha
e. Pemerataan pendapatan
f. Meningkatkan hubungan Internasional
Dasar Hukum Perjanjian Kredit
Dalam UUP tidak dapat kita temukan apa yang menjadi dasar hukum
diberlakukannya perjanjian kredit. Tetapi dari perngertian kredit………….
(Sentosa Sembiring,2008: 67) maka dapat diklasifikasikan jenis-jenis kredit,
yaitu sebagai berikut:
Pertimbangan Pemberian Kredit
Untuk menganalisis suatu permohonan kredit pada umumnya digunakan
kriteria 5C atau The Five C’s (Sentosa Sembiring,2008: 68) yakni:
1. Character (Sifat)
Dalam hal ini, para analis pada umumnya mencoba melihat dari data
pemohon kredit yang telah disediakan oleh bank. Bila dirasakan perlu
diadakan wawancara, untuk mengetahui lebih rinci, bagaimana karakter
yang sesungguhnya dari calon debitur tersebut.
2. Capacity (Kemampuan)
Bank mencoba menganalisis apakah permohonan dana yang diajukan
rasional atau tidak dengan kemampuan yang ada pada debitur sendiri.
Bank melihat sumber pendapatan dari pemohon dikaitkan dengan
kebutuhan hidup sehari-hari.
3. Capital (Modal)
Hal ini cukup penting bagi bank, khususnya untuk kredit yang cukup besra
apakah dengan modal yang ada, mungkin pengembalian kredit yang
diberikan. Untuk itu perlu dikaji ulang potensi dari modal yang ada.
4. Collateral (Jaminan)
Apakah jaminan yang diberikan oleh debitor sebanding dengan kredit yang
diminta. Hal ini penting agar bila debitor tidak mampu melunasi kreditnya,
jaminan dapat dijual.
5. Condotion (Keadaan)
Situasi dan kondisi ekonomi apakah memungkinkan untuk pemberian
kredit.
Konsep 7P
1. Personality (Kepribadian)
2. Party (Klasifikasi)
3. Perpose (Tujuan Kredit)
4. Prosfect (Penilaian)
5. Payment (ukuran pengembalian)
6. Profitability (keuntungan)
7. Protection (Perlindungan)
Aspek Penilaian Kredit
1. Yuridis
2. Pasar
3. Keuangan
4. Teknis
5. Managemen
6. Sosial Ekonomi
7. Amdal
Jaminan Dalam Kredit
1. Jaminan Kebendaan
a. Benda Berwujud
b. Benda Tidak Berwujud
2. Jaminan Perorangan
B. PENGHIMPUNAN DANA (FUND RAISING)
Menghimpun Dana (Fund Raising) adalah kegiatan usaha mencari dan
mengumpulakan dana dari masyarakat luas dengan menggunakan strategi
tertentu, sehingga masyarakat mau menanamkan dana di bank dalam bentuk
simpanan.
Menurut pasal 1 angka (5) UU No.10 tahun 1998, Simpanan adalah
dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada Bank berdasarkan perjanjian
penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan,
dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
Untuk meyakinkan masyarakat agar mau menyimpankan dananya di
bank, berbagai strategi dapat digunakan, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Memberikan bunga
b. Kemudahan dalam pengambilan kembali dana
c. Menerbitkan sekuritas sekunder
d. Jaminan keamanan atas dana nasabah
e. Pelayanan yang cepat, fleksibel dan memuaskan.
Bentuk-Bentuk Penghimpunan Dana
Menurut UU Perbankan, bentuk penghimpunan dana yang dilakukan
oleh Bank Umum antara lain sebagai berikut:
a. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank
berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito,
Sertifikat Deposito, Tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu;
b. Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat
dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran
lainnya, atau dengan pemindahbukuan;
c. Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada
waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank;
d. Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat
bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan;
e. Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati tetapi tidak dapat ditarik dengan
cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu;
f. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham obligasi,
sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu
kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam
pasar modal dan pasar uang;
BAB V
BANK INDONESIA
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia. Bank
Indonesia adalah lembaga Negara yang independent dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945.
Pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk mengoptimalkan
fungsi perbankan Indonesia sebagai : lembaga kepercayaan masyarakat,
pelaksana kebijakan moneter dan lembaga yang ikut berperan dalam
membantu pertumbuhan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pendekatan yang dilakukan dengan
menerapkan :
1. kebijakan memberikan keleluasaan berusaha
2. kebijakan prinsip kehati-hatian bank
3. pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secarr
konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory banking) dlm
melaksanakan kegiatan operasionalnya
BANK INDONESIA sebagaimana diatur dalam UU No.23/1999 jo UU
No.3/2004 tentang BANK INDONESIA menyatakan bahwa:
Bank Indonesia sbg bank sentral mempunyai bidang tugas :
1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
3. Mengatur dan mengawasi bank
Tugas mengatur dan mengawasi Bank Indonesia, antara lain sebagai
berikut:
1. Pasal 29 ayat (1) UU Perbankan :
Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia
2. Pasal 24 UU BI :
Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin
atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dr Bank, melaksanakan
pengawasan bank dan mengenakan sanksi thd bank sesuai dgn ketentuan
perundang-undangan. Ketentuan ttg pengaturan dan pengawasan bank
mengacu jg pd UU Perbankan
BAB V
PERBANKAN SYARIAH
A. Pengertian
Perbankan Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit atau pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-
prinsip syariah.
Prinsip syariah = berlandaskan kepada hukum Islam yang bersumber
pada Al-quran dan Hadits.
B. Fungsi dan Peran Bank Syariah
1. Sebagai Manajer Investasi
Bank syariah dapat mengelola investasi dana nasabah
2. Sebagai Investor
Bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun
dana nasabah yang dipercayakan kepadanya
3. Sebagai Penyedia Jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran
Bank syariah dapat melakukan kegiatan-kegiatan jasa-jasa perbankan
sebagaimana lazimnya.
4. Sebagai Pelaksana kegiatan sosial
Bank syariah mempuyai kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola
(menghimpun, mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat serta dana
sosial lainnya.
C. Tujuan Bank Syariah
Tujuan bank syariah adalah sebagai berikut:
1. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalat secara islam
2. Untuk menciptakan keadilan dibidang ekonomi dengan jalan meratakan
pendapatan melalui investasi
3. Meningkatkan kualitas hidup umat dengagn jalan membuka peluang
berusaha yang lebih besar
4. Menanggulangi masalah kemiskinan
5. Menjaga stabilitas ekonomi dan moneter
6. Menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank non-syariah
D. Ciri-Ciri Bank Syariah
Adapun cirri-ciri dari bank syariah adalah sebagai berikut:
1. Beban biaya disepakati bersama pada waktu akad perjanjian
2. Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan
pembayaran selalu dihindari
3. Dalam hal pembiayaan proyek, penetapan perhitungan pembagian laba
dan rugi tidak ditetapkan diawal.
4. Pengerahan dana dalam bentuk tabungan dianggap sebagai titipan
yangoleh bank akan dikelola ke dalam penyertaan dana pada proyek
yang halal
5. Adanya DPS (dewan pengawas syariah)
6. Selain mempunyai fungsi investasi, bank syariah juga mempunyai
fungsi amanah.
Perbankan syariah tidak menerapkan SISTEM RIBA (BUNGA) tetapi
berdasarkan pada prinsip PROFIT AND LOSS SHARING (BAGI HASIL)
berdasarkan nisbah (persentase bagi hasil) yang disepakati. Perbankan syariah
lebih mengarahkan kepada bentuk penyertaan dana dalam bidang produktif
(inveestasi)
E. Struktur Bank Syariah
Bentuk struktur dari bank syariah berbeda dengan bank pada umumnya,
yaitu:
Bank Syariah
Bank Umum Syariah(BUS)
Adalah bank umum yang murni menjalankan prinsip syariah.
Ex : Bank Muamalat
Unit Usaha Syariah (UUS)
Adalah bank umum yang Membuka divisi syariah.
Ex : BNI Syraiah
Struktur Bank Umum Syariah
Struktur Unit Usaha Syariah
RUPS/Rapat Anggota
Dewan Komisaris DPS (Dewan Pengawas
Syaiah)
Dewan Audit Direksi
Divisi Divisi Divisi
Kantor Cabang Kantor cabang Kantor cabang
RUPS/Rapat Anggota
Dewan Komisaris DPS
Dewan Audit Direksi
Divisi Divisi Divisi Usaha
Syariah
Kantor Cabang Kantor cabang Kantor Cabang
Syariah Kantor Cabang
Syariah
F. PRODUK PERBANKAN SYARIAH
Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I)
Produk Penyaluran Dana, (II) Produk Penghimpunan Dana, dan (III) Produk
yang berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya.
1. Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk
pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan
tujuan penggunaannya yaitu:
a. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan
dengan prinsip jual beli.
b. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan
dengan prinsip sewa.
c. Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna
mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan
di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk
yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip
jual-beli seperti murabahah, salam, dan istishna serta produk yang
menggunakan prinsip sewa yaitu ijarah. Sedangkan pada kategori ketiga,
tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai
dengan prinsip bagi-hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh
nisbah bagi hasil yang disepakati di muka. Produk perbankan yang termasuk
ke dalam kelompok ini adalah musyarakah dan mudharabah.
a. Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan
kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan
bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu
penyerahan barang seperti:
1). Pembiayaan Murabahah
Murabahah bi tsaman ajil atau lebih dikenal sebagai murabahah.
Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan) adalah transaksi jual-beli di
mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual,
sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari
pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan
jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual-beli dan
jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam
perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan
(bi tsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad
sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.
2). Salam
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan
belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan
pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara
nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam
transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus
ditentukan secara pasti.
Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank,
maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasa¬bah atau kepada nasabah itu
sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah
harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank
menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging
financing).
Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak
harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual
dicantumkan dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah
selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan
barang yang belum ada seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk
kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.
Ketentuan umum Salam:
1. Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti
jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100 kg
mangga harum manis kualitas “A” dengan harga Rp5000 / kg, akan
diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
2. Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad
maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain
mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang
sesuai dengan pesanan.
3. Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya
sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk
melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog,
pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme seperti ini disebut dengan
paralel salam.
3). Istishna
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna
pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin)
pembayaran. Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada
pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Ketentuan umum:
Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu
dan jumlah. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad
istishna dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi
perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad
ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.
b. Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahaan manfaat. Jadi pada
dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, namun
perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek
transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya
kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijarah
muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan).
Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.
c. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah:
1). Musyarakah
Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyarakah (syirkah atau
syarikah atau serikat atau kongsi). Transaksi musyarakah dilandasi adanya
keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai asset yang
mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyarakah
adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dima¬na
mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik
yang berwujud maupun tidak berwujud.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat
berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan
(entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan
(equipment) , atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill),
kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat
dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk
kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan
produk ini sangat fleksibel.
Ketentuan umum:
Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan
dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam
menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik
modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh
melakukan tindakan seperti:
Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi.
Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa ijin pemilik
modal lainnya.
Memberi pinjaman kepada pihak lain.
Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh
pihak lain.
Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila: Menarik
diri dari perserikatan, Meninggal dunia, Menjadi tidak cakap hukum
Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek
harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan
sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.
Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah
proyek selesai nasabah mengembalikan dana terse¬but bersama bagi hasil
yang telah disepakati untuk bank.
2). Mudharabah
Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang popular dalam produk
perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk kerjasama
antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu
perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan
kontribusi 100% modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib.
Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul maal
dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus
bertindak hati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi
akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk
mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak
pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu
diantara itu. Dalam mudharabah modal hanya berasal dari satu pihak,
sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih.
musyarakah dan mudharabah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian
kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi
dan menjunjung keadilan.
Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk
kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk
melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul
akan merusak ajaran Islam.
Ketentuan umum:
Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal;
harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan
nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap,
harus jelas tahapannya dan disepakati bersama.
Hasil dan pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat
diperhitungkan dengan dua cara:
1. Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
2. Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap
bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal
menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan
pihak nasabah, seperti penyeleweng-an, kecurangan dan penyalahgunaan
dana.
Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak
berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera
janji dengan sengaja misalnya tidak mau membayar kewajiban atau
menunda pembayaran kewa¬jiban, dapat dikenakan sanksi administrasi.
3). Mudharabah Muqayyadah
Karakteristik mudharabah muqayadah pada dasarnya sama dengan
persyaratan di atas. Perbedaannya adalah terletak pada adanya pembatasan
penggunaan modal sesuai dengan permintaan pemilik modal.
4). Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan
juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari
keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan.
Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap
ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi
biaya yang benar-benar timbul.
a). Hiwalah (Alih Utang-Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktek
perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier
mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank
mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi
resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas
kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang
memindahkan piutang dengan yang berutang. Katakanlah seorang supplier
bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar
dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia
meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima
pembayaran dari pemilik proyek.
b). Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran
kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria :
Milik nasabah sendiri.
Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. Atas izin bank,
nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak
mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang
yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang
yang digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual
barang tersebut dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan melebihi
kewajibannya, maka ke-lebihan tersebut menjadi milik nasabah. Dalam hasil
penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, nasabah menutupi
keku¬rangannya.
c). Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya
dalam empat hal, yaitu :
1. Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan
pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran. Biaya perjalanan
haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji.
2. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah,
dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank
melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang
ditentukan.
3. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan
bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan
skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
4. Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan
fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank.
Pengurus bank akan mengembalikannya secara cicilan melalui
pemotongan gajinya.
d). Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan
kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu,
seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.
Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa
harus cakap hukum. Khusus untuk pembukaan L/C, apabila dana nasabah
ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan
dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau
musyakarah.
Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank,
kecuali kegagalan karena force majeure menjadi tanggung jawab nasabah.
Apabila bank yang ditunjuk lebih dari satu, maka masing-masing bank tidak
boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa musyawarah dengan bank yang lain,
kecuali dengan seizin nasabah.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak
nasabah bank. Setiap tugas yang dilakukan ha¬rus mengatasnamakan nasabah
dan harus dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank
mendapat pengganti biaya berdasarkan kesepakatan bersama.
Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama
antara nasabah dengan bank.
e. Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin
pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan
nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn.
Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Bank
mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
2. Produk Penghimpunan Dana
Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan
deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan
dana masyarakat adalah prinsip wadi’ah dan mudharabah.
a. Prinsip Wadiah
Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang
diterapkan pada produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah berbeda dengan
wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak
boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi.
Sedangkan dalam hal wadi’ah dhamanah, pihak yang dititipi (bank)
bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan
harta titipan tersebut.
Karena wadi’ah yang diterapkan dalam produk giro perbankan ini juga
disifati dengan yad dhamanah, maka implikasi hukumnya sama dengan qardh,
dimana nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan uang, dan bank
bertindak sebagai yang dipinjami. Jadi mirip seperti yang dilakukan Zubair
bin Awwam ketika menerima titipan uang di jaman Rasulullah SAW’.
Ketentuan umum dari produk ini adalah:
Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau
ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak
menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada
pemilik dana sebagai sua¬tu insentif untuk menarik dana masyarakat
namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup
izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati
selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik
rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit
card.
Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti
biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.
Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan
tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
b. Prinsip Mudharabah
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan
bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib
(pengelola). Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan
murabahah atau ijarah seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula
dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah.
Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati.
Dalam hal bank menggunakannya untuk melakukan pembiayaan mudharabah,
maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi2. Rukun
mudharabah terpenuhi sempurna (ada mudharib - ada pemilik dana, ada usaha
yang akan dibagi hasilkan, ada nisbah, ada ijab kabul). Prinsip mudharabah ini
diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana, prinsip
mudharabah terbagi tiga yaitu:
a. Mudharabah mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito
sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah
dan deposito mudharabah. Berda¬sarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi
bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
Ketentuan umum dalam produk ini adalah:
Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan
tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan
secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila
telah tercapai kesepakatan; maka hal tersebut harus dicantumkan dalam
akad.
Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan
sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan
lainnya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib
memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada
deposan.
Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai
dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak diperkenankan mengalami
saldo negatif.
Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu
yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo
akan diperlakukan sama seperti de¬posito baru, tetapi bila pada akad sudah
dicantumkan perpan¬jangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad baru.
Ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan
deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
b. Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted
investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang
harus dipatuhi oleh bank. Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis
tertentu, atau disyaratkan digu¬nakan dengan akad tertentu, atau disyaratkan
digunakan untuk nasabah tertentu.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
Pemilik dana wajib menetapkan syarat tertentu yang harus diikuti oleh
bank wajib membuat akad yang mengatur persyaratan penyaluran dana
simpanan khusus.
Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan
tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan
secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila
telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam
akad.
Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus.
Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya.
Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda
penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
c. Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah
langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank ber¬tindak sebagai
perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan
pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang
harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan
pelaksana usahanya.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus.
Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya. Simpanan khusus
dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administrative.
Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang
diamanatkan oleh pemilik dana.
Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan
antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil.
d. Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana, biasanya
diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan
pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad
pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini
sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
e. Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan
kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu,
seperti inkaso dan transfer uang.
3. Jasa Perbankan
Bank syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan
kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa
perbankan tersebut antara lain berupa :
a. Sharf (Jual Beli Valuta Asing)
Pada prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual
beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukan pada
waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta
asing ini.
b. ljarah (Sewa)
Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe
deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank
dapat imbalan sewa dari jasa tersebut.
DAFTAR LITERATUR
NO JUDUL BUKU PENGARANG PENERBIT KET
1
Segi Hukum Lembaga Keuangan dan
Pembiayaan
AbdulKadir
Muhammad &
Rilda M
PT Citra
Aditya Bakti
2 Pokok-pokok Hukum Perbankan di Indonesia
Zainal Asikin
PT Raja
Grafindo
Persada
3
Pengantar
Hukum
Perbankan
Bambang
Sunggono, S.H.
M.S
CV. Mandar
Maju
4
Bank dan
Lembaga
Keuangan
Lain
Martono Ekonisia
5
Lembaga
Keuangan
Frianto Pandia,
S.E, dkk
PT Rineka
Cipta
6 Pemberantasan & Pencegahan Tindak Pidana Dr. Leden Djambatan
terhadap Perbankan Marpuang, S.H
7 Hukum & Ketentuan Perbankan Di Indonesia Widjanarto Grafiti
8
Bank dan
Lembaga
Keuangan
Lain
Kasmir SE
PT Raja
Grafindo
9 Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank
Ir. Ade Arthesa&
Edia Handiman
PT INDEKS
Gramedia
10 Hukum Perbankan Di Indonesia
Muhamad
Djumhana
PT Citra
Aditya Bakti
11 Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Edisi 2
Totok Budisantoso
& Sigit T
Salemba
Empat
12 Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Edisi ke-2 Subagyo, dkk STIE YKPN
13 Kelembagaan Perbankan, Dilengkapi dengan
UU RNo.10 /1998 tentang Perubahan UU No.
/1992 tentang Perbankan dan UU No.23/1999
tentang Bank Indonesia, Edisi Ketiga,
Dr. Thomas
Suyatno, MM., dkk
PT Gramedia
Pustaka Utama
14
Pengantar Perbankan dan Lembaga Lembaga
Keuangan Bukan Bank
Ketut Rindjin
PT Gramedia
Pustaka Utama
15 Dasar-dasar Perbankan
Drs. H. Malayu
S.P. Hasibuan Bumi Aksara
16 Hukum Perbankan
Dr. Sentosa
Sembiring
Mandar Maju
17 Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah Heri Sudarsono Ekonisia
Top Related