Download - DHF REVISI

Transcript

Demam Berdarah Dengue

Disusun oleh:Ari Filologus Sugiarto11 - 2013 - 202FK UKRIDA

Dosen pembimbing : dr. Agoes Kooshartoro, SpPD

Ilmu Penyakit DalamRumah Sakit Bhakti Yudha2014Daftar isi

Daftar isi.. 2BAB I Pendahuluan 3BAB II Pembahasan 4Anamnesis ..4Pemeriksaan Fisik ..4Pemeriksaan Penunjang .4Working Diagnosis 6Defferen Diagnosis 7Etiologi . 9Epidemiologi .10Patofisiologi ..12Gejala Klinis 14Penatalaksanaan 15Prognosis 21Pencegahan 21BAB III Kesimpulan22Daftar Pustaka

BAB I

PendahuluanDalam evolusi kehidupan, tubuh telah mengembangkan suatu sistem pertahanan yang cukup ampuh terhadap infeksi dan peninggian suhu badan memberikan suatu peluang kerja yang optimal untuk sistem pertahanan tubuh. Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme atau merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi.Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah penyakit yang di sebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang di sertai leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang di tandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengua (dengua shock syndrome) adalah deman berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah selain untuk pemenuhan tugas, juga untuk memberi penjelasan dan pembahasan lebih lanjut tentang DBD, Dengue Shock Syndrome (DSS), disertai gejala klinis, pemeriksaan, penyebab dan mekanisme penyakit , serta pencegahannya.

BAB IIPEMBAHASAN

AnamnesisAnamnesis adalah wawancara terhadap pasien dalam ilmu Kedokteran. Tehnik anamnesis yang baik disertai dengan empati merupakan seni tersendiri dalam rangkaian pemeriksaan pasien secata keseluruhan dalam usaha untuk membuka saluran komnunikasi antara dokter dengan pasien. Anamnesis dapat langsung di lakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) ataupun terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk di wawancaraai misalnya pada keadaan gawat darurat.Adapun anamnesis yang baik akan terdiri dari : a. Identitas b. Keluhan utamac. Riwayat penyakit sekarangd. Riwayat penyakit dahulue. Riwayat penyakit keluarga, f. Anamnesis pribadi.1Pemeriksaan FisikPemeriksaan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan palpasi pada paru dan hehar. Karena pada kasus DBD, sering sekali di jumpai pembesaran hati. Pada paru di lakukan fremitus taktil dan melakukan perkusi.Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan Laboratorium2.3Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak.

Parameter laboratori yang dapat diperiksa:

Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (> 45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat. Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8 akibat depresi sumsum tulang. Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit 20% dari hematokrit awal. Sering ditemukan mulai hari ke-3. Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah. Imunoserologi dilakukan pemeriksaan anti-dengue IgG, IgM.

IgM : terdetaksi mulai hari ke 3-5, menigkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari.IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2.

Uji HI : dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans. Protein/ albumin dapat terjadi di hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase) dapat meningkat. Ureum dan kreatinin dapat meningkat pada keadaan gagal ginjal akut. Gas darah terdapat gangguan pada konsentrasi gas darah sesuai dengan keadaan pasien. Elektrolit sebagai parameter pemberian cairan. Golongan darah dan cross match dilakukan sebelum tindakan transfusi darah untuk keamanan pasien.

Pemeriksaan RadiologiPemeriksaan foto roentgen dada, bisa didapatkan efusi pleura terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Pemeriksaan USG dapat bula mendeteksi asites dan efusi pleura.Working DiagnosisDiagnosis demam berdarah bisa di tegakkan hal-hal di bawah ini dipenuhi: Demam antara 2-7 hari Terdapat minimal satu dari manifestasi pendarahan berikut : Uji bending positif Perdarahan mukosa atau di tempat lain Trombositopenia (jumlah trombosit 20% dibandingan sesuai dengan umur dan jenis kelamin Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, di bandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura asites atau hipoproteinemiaDiagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium (WHO tahun 1997).

Kriteria Klinis: Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus- menerus selama 2-7 hari, biasanya bifasik. Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan / melena. Hepatomegali. Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas menggunakan manset pada tekanan sistolik ditambah diastolik dibagi dua selama 5 menit. Hasil uji positif bila ditemukan 10 atau lebih petekie per 2.5 cm2 (1 inci). 2,4

Kriteria Laboratorium:

Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ml). Peningkatan hematokrit > 20% di bandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin. Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan, di bandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Berdasarkan keterangan diagnosis sebelumnya, terlihat bahwa perbedaan utama antara Demam Dengue dan DBD adalah di temukannya kebocoran plasma pada DBD.

DD/DBDDerajatGejalaLaboratorium

DDDemam disertai 2 atau lebih tanda; sakit kepala,nyeri retro-orbital,mialgia, artralgia Leucopenia, Trombositopenia tidak di temukan bukti kebocoran plasma Serologi dengue positif

DBDIGejala di atas di tambah uji bending positif Trombositopenia ( 20% (Gambar 5)Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10ml/kgBB/ jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikan menjadi 15 ml /kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa (Gambar 6)1Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemo-stasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa (Gambar 7)2Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tampa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuatPada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-lml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid menjadi pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dap diulang sesuai kebutuhan.Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-1,5 u/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH20. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.

PrognosisKematian telah terjadi pada 40-50% penderita dengan syok, tetapi dengan perawatan intensif yang cukup, kematian akan kurang dari 25. Ketahanan hidup secara langsung terkait dengan manajemen awal dan intensifKematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, syok yang tidak teratasi, efusi pleura dan asites yang berat dan kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh sepsis karena tindakan lingkungan bangsal rumah sakit yang kurang bersih. Kematian dapat juga disebabkan oleh sepsis karena tindakan dan lingkuan bangsal yang kurang bersih. Kematian terjadi pada kasus berat yaitu pada waktu muncul komplikasi pada sistem syaraf, kardiovaskular, pernapasan, darah dan organ lain.7

Pencegahan7Kemungkinan ada bahwa vaksinasi dengue dapat mensensitisasi resipien sehingga terjadi infeksi dengue yang dapat menyebabkan demam berdarah. Pencegahan /pemberantasan DBD dengan membasmi nyamuk dan sarangnya dengan melakukan tindakan 3M, yaitu: Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur seminggu sekali atau menaburkan bubuk larvasida (abate). Menutup rapat-rapat tempat penampungan air. Mengubur/menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air. Singkirkan pakaian-pakaian yang tergantung di gantungan pakaian di balik pintu dalam kamar karena nyamuk Aedes aegypti senang berada di tempat agak gelap seperti kamar tidur dan istirahat di pakaian yang tergantung atau pada korden yang berwarna agak gelap. Hindari tidur siang, terutama di pagi hari jam 9-10 atau sore hari sekitar jam 3-5, karena nyamuk Aedes mempunyai kebiasaan emngigit pada jam-jam tersebut. Gunakan obat racun nyamuk, boleh obat nyamuk bakar, gosok maupun semprot, atau tidur menggunakan kelambu yang sudah di bubuhi racun nyamuk. Atau gunakan kipas angin di kamar tidur karena nyamuk umumnya tidak senang dengan lingkungan yang berangin.

BAB IIIKesimpulan

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus genus Flavivirus famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3 dan den-4 melalui perantara gigitan nyamuk Aedes aegypti, dimana den-3 merupakan serotipe yang dominan dan mengakibatkan gejala yang berat. Penyakit ini menyerang semua usia tetapi pada anak-anak dapat menyebabkan kematian. DBD memiliki empat derajat, dimana derajat ke-4 merupakan yang paling berbahaya karena disertai oleh syok atau bisa disebut dengur syok syndrom (DSS). Oleh karena itu, timbulnya gejala DBD atau DSS harus cepat ditangani dengan melakukan pemeriksaan hematokrit dan trombosit secara teratur.

Daftar Pustaka

1. Sehundro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Demam berdarah dengue. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009:hal 25-72. Sehundro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Demam berdarah dengue. Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009:hal 2773-889.3. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer. Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam indonesia. Jakarta: PB PAPDI; 2008.4. Zein U. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Leptospirosis. Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009:hal 2807-11.5. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008.h.265-7.6. Nawangsih EN. Diagnosis demam berdarah dengue. Medika Kartika (Majalah Ilmiah Kedokteran) vol 3 no 2, hal 101-10, 2005.

20