30
Darmawasita:
suntingan teks dan kajian isi
Monika Fitri Setyowati C0100036
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam mengungkapkan informasi tentang berbagai hal yang pernah
hidup dan berkembang di masa lalu, peninggalan tertulis memiliki peranan yang
penting. Produk tulisan sebagai wadah berita mampu memberikan informasi yang
jelas dan luas. Teksnya mengandung berbagai informasi tentang kehidupan, buah
pikiran, paham dan pandangan hidup yang pernah tumbuh dan berkembang pada
masyarakat masa lampau yang ikut mempengaruhi kehidupan, buah pikiran,
paham, dan pandangan hidup yang pernah tumbuh dan berkembang pada
masyarakat masa kini.
Masa sekarang ini sebenarnya tidak lain adalah kelanjutan atau perpanjangan dari masa lampau, yang dalam berbagai hal masih tampak di tengah-tengah kita. Bermacam-macam keadaan dan persoalan dewasa ini sebenarnya tidak mungkin dimengerti betul-betul kalau tidak diketahui latar belakang historisnya, ialah asal mulanya, perkembangan pada waktu yang lalu. (Sartono Kartodirdjo dalam Siti C. Soeratno, 2003: 6)
Pernyataan di atas mengandung makna bahwa berbagai nilai yang hidup pada
masa kini, demikian juga yang berkembang pada masa yang akan datang, pada
hakikatnya merupakan bentuk kesinambungan dari nilai-nilai yang telah ada pada
31
masa lampau, sehingga apa yang dilahirkan pada masa kini merupakan kelanjutan
masa lampau dan selanjutnya menciptakan wujud masa depan bangsa.
Ketika berita tentang kehidupan yang terkandung dalam suatu produk
tulisan dipandang memiliki relevansi dengan kehidupan masa kini, maka muncul
kebutuhan untuk melakukan kajian terhadapnya. Akan tetapi mengungkapkan
produk tulisan yang ada dalam berbagai variasi dan dalam kurun waktu yang
relatif lama menimbulkan sejumlah problem. Pada saat ini tidak semua karya
produk masa lalu berada dalam kondisi yang mudah dijangkau. Kurun waktu yang
berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun yang lalu menyebabkan ‘kerusakan’
bukan hanya secara fisik, tetapi juga bahasa dan kandungan isinya. Secara garis
besar, kedua hal yang terakhir lebih banyak disebabkan pergeseran konteks, dari
konteks penciptaan ke konteks pembacaan, dari satu generasi masyarakat
pembaca ke generasi masyarakat pembaca berikutnya. Dalam hal ini budaya salin-
menyalin juga ikut mempengaruhi pergeseran tersebut. Ketika proses salin
menyalin terus berulang, tidak jarang ditemukan naskah-naskah turunan yang
banyak menyimpang dari naskah aslinya, baik dari segi metrumnya maupun
susunan kata-katanya yang mengalami korupsi, lakuna, substansi dan sebagainya.
Seringkali salinan dilakukan hanya pada bagian-bagian yang dipandang penting
dan menarik, akibatnya satu naskah bisa ditemukan tersebar dalam berbagai
macam salinan yang berbeda-beda. Di samping itu bahasa yang digunakan
umumnya merupakan rintangan yang cukup besar. Di lain pihak, orang yang
masih mengetahuinya tidak banyak bahkan dari daerah naskah-naskah tersebut
berasal. sehingga muncul sebuah keadaan bahwa pekerjaan meneliti atau
32
mengkaji naskah lama bukan sekedar membaca saja tetapi lebih jauh harus
mempelajari bahasanya agar dapat mengerti isi yang terkandung dalam teks
tersebut. Naskah merupakan benda berharga warisan nenek moyang yang sudah
selayaknya mendapatkan penanganan dan perhatian yang khusus dan serius
karena sebuah naskah akan berharga bila masih dapat dibaca dan dipahami isinya
(Edwar Djamaris 1977: 21).
Usaha penanganan naskah meliputi penyelamatan, pelestarian,
penelitian, pendayagunaan dan penyebarluasan (Darusuprapta dalam Sudarsono
1985: 143). Salah satu bidang ilmu yang erat kaitannya dengan upaya penanganan
naskah ialah filologi. Cara kerja filologi diperlukan sebelum naskah dikaji untuk
dimanfaatkan dan disebarluaskan dalam berbagai kepentingan. Penelitian filologi
yang selengkap-lengkapnya dan sedalam-dalamnya diperlukan untuk mendapat-
kan naskah yang bersih dari kesalahan yang memberi pengertian sebaik-baiknya
dan bisa dipertanggungjawabkan sebagai naskah yang paling dekat dengan aslinya
(Haryati Soebadio, 1975: 3). Isi yang terkandung di dalamnya harus diungkapkan
dan disebarluaskan dalam bentuk yang lebih akrab dengan masyarakat pada
umumnya. Di sinilah letak berharga dan bernilainya sebuah naskah, bukan hanya
berharga dan bernilai sebagai benda warisan yang dipajang atau disimpan dalam
sebuah museum atau tempat-tempat tertentu dan dikeramatkan untuk keperluan
tertentu.
Berkenaan dengan uraian di atas, maka dalam kesempatan ini penulis
mengkaji kembali naskah Darmawasita yang pernah diteliti oleh Rr. Herwangi
Koesrini, NIM: C0180021, Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra, Universitas
33
Sebelas Maret Surakarta, pada tahun 1987 sebagai skripsi, berjudul “Serat
Darmalaksita dalam Tinjauan Filologis dan Pandangan dari Sudut Kepribadian
Wanita dalam Perkawinan”; dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Penelitian yang terdahulu menggunakan buku cetak sebagai naskah yang
paling baik yaitu naskah C 96. Hal ini tidak sesuai dengan sasaran dan objek
kajian filologi yang berupa naskah ‘manuskrip’ (tulisan tangan) dan teks (Siti
Baroroh Baried, 1994: 6)
2. Ditemukan data naskah yang lain baik di Surakarta, Yogyakarta, dan Jakarta.
Inventarisasi naskah dalam penelitian terdahulu berjumlah enam buah (terlampir),
dengan rincian empat manuskrip (248 Ha, 390 Ra, C 104, A8) dan dua buku cetak
(A 115 dan C 96), sedangkan inventarisasi naskah dalam penelitian ini berjumlah
14 buah, dengan rincian 12 manuskrip dan dua buku cetak termasuk yang telah
dikemukakan di atas. Urutan naskah-naskah berikut ini disusun berdasarkan
urutan inventarisasi naskah yang dilakukan oleh penulis.
a. Serat Darmalaksita dalam Serat Wulangipun KGPAA Mangkunegara IV,
nomor katalog 390 Ra, koleksi perpustakaan Sasanapustaka Keraton
Kasunanan Surakarta. Naskah ini mengalami lakuna pada beberapa baitnya
bila dibandingkan dengan naskah lain. Namun tidak ditemukan informasi
yang menyebutkan bahwa naskah ini merupakan naskah salinan.
b. Piwulang Patraping Agesang, nomor katalog 248 Na, koleksi perpustakaan
Sasanapustaka Karaton Kasunanan Surakarta. Naskah ini berdiri sendiri
(bukan bendel) dan menggunakan judul yang berbeda, namun isi teksnya
sama dengan Darmawasita yang lain.
34
c. Serat Darmalaksita, nomor katalog A 8, koleksi perpustakaan Reksapustaka
Mangkunegaran Surakarta.
d. Darmalaksita dalam Serat Piwulang Warni-Warni, nomor katalog A 115,
koleksi perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta.
e. Darmalaksita dalam Serat Piwulang Warni-Warni I, nomor katalog O 174,
koleksi perpustakaan Widyapustaka Pakualaman Yogyakarta. Naskah ini
merupakan salinan yang disalin pada tahun 1907. Hal ini dapat diketahui dari
informasi dalam katalog dan manggala.
f. Darmalaksita dalam Serat Suluk: Kagungan Dalem Kanjeng Putri Gusti
Bendara Raden Ayu Prabuwijaya, nomor katalog A 61, koleksi
perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta. Naskah ini tidak
diketahui keberadaannya karena ketika diadakan observasi beberapa kali
naskah tersebut tidak diketemukan pada tempatnya.
g. Darmawasita dalam Sambetanipun Serat Wedhatama, anggitan K. G. P.
A. A. Mangkunegara IV, nomor katalog A 163, koleksi perpustakaan
Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta.
h. Darmalaksita dalam Anggitan Dalem Mangkunegara IV, nomor katalog
Nancy MN 532. 14, nomor naskah tidak dicantumkan (uncat). Jadi katalog
tersebut hanya menginformasikan tentang keberadaan naskah dan
transliterasinya dalam aksara Latin tegak bersambung. Naskah konkrit tidak
ada, kemungkinan naskah tersebut hilang atau rusak. Ketika diadakan
observasi ke tempat penyimpanan naskah ditemukan transliterasi naskah
35
tersebut dengan nomor katalog C 96. Penemuan transliterasi naskah tersebut
seiring dengan observasi pada naskah 1.
i. Darmalaksita dalam Piwulang Warni-warni, nomor katalog NR 64, koleksi
perpustakaan Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta. Berdasarkan
informasi dalam katalog, naskah ini merupakan naskah salinan, sampulnya
dibuat pada tahun 1917, melihat kertas yang digunakan yakni awal abad 20.
j. Darmalaksita dalam Serat Suluk, nomor katalog NR 149, koleksi
perpustakaan Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta. Berdasarkan
informasi dalam katalog, naskah ini disalin oleh Liweran.
k. Darmalaksita dalam Kempalan Serat Warni-warni, nomor katalog SK 20,
koleksi perpustakaan Sanabudaya Yogyakarta. Naskah ini merupakan naskah
salinan yang disalin oleh Tumenggung Sastradipura pada tahun 1901. Hal ini
didasarkan pada manggala yakni dalam pengantar naskah.
l. Darmalaksita dalam Serat Warni-Warni, nomor katalog 203c, koleksi
Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta. Katalog lokal
menginventarisasi dobel yaitu C 96 dan 203c. Setelah dicek ternyata nomor
yang ditulis pada buku cetak tersebut ialah 203c (jilid 3), sedangkan nomor
C 96 merupakan transliterasi naskah h. Jadi ada kesalahan daftar inventarisasi
dalam katalog lokal. Penelitian ini menggunakan nomor katalog 203c, yang
dalam daftar inventarisasi katalog lokal dan penelitian terdahulu disebut C 96.
m. Darmawasita dalam Serat Warni-Warni, nomor katalog C 82, koleksi
perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta. Daftar inventarisasi
katalog lokal menyebutkan bahwa C 82 sama dengan 104, namun nomor yang
36
tercantum pada naskah ialah C 82, sehingga yang digunakan dalam penelitian
ini nomor katalog C 82.
n. Darmalaksita dalam Kidung Sesingir, nomor katalog SK 172, koleksi
Perpustakaan Sanabudaya Yogyakarta.
Di antara naskah yang ditemukan, tidak ada naskah dengan teks yang
sama persis kecuali naskah d yang merupakan versi cetak dari naskah e, bahkan
jika ada manggala atau informasi yang melengkapi naskah tersebut, tidak ada
yang menyebutkan bahwa naskah yang satu disalin dari naskah yang lain, yang
tercantum hanya tanggal atau tahun penulisan dan nama penyalin naskah. Hal ini
tidak berlaku bagi naskah yang dieliminasi, karena pada dua naskah yang
dieliminasi merupakan buku cetak, dua naskah yang berada di Jakarta hanya
sampai pada tahap inventarisasi dan dua naskah yang lain tidak diketahui
keberadaannya. Jadi naskah-naskah tersebut tidak diteliti lebih lanjut.
3. Adanya kesalahan informasi data dalam penelitian terdahulu.
a. Jumlah bait pada
1) Naskah 390 Ra
a) Pupuh II berjumlah 10 bait seharusnya 9 bait.
b) Pupuh III berjumlah 19 bait seharusnya 18 bait.
2) Buku cetak A 155, disebutkan bahwa pupuh III berjumlah 20 bait
seharusnya 19 bait.
3) Buku cetak 203c (C 96), disebutkan bahwa pupuh III berjumlah 19 bait
seharusnya 20 bait.
b. Keterangan data A 155 dan 203c (C 96)
37
1) A 155 merupakan cetak, diteliti Dr. Th. Pigeaud, diedarkan bertepatan
dengan hari Ultah K. G. P. A. A. Mangkunegara VII, tertulis pada jilid III
(total lima jilid).
Seharusnya
A 155 merupakan buku cetak, disalin oleh Ki Padmosusastra yang
menyebut dirinya tiyang mardika ingkang amarsudi kasusastran Jawi ing
Surakarta, diterbitkan oleh N.V. Albert Rusche and Co. di Surakarta pada
tahun 1922, ditranskripsi Mulyadi Mulyo Hutomo dan Muh. Husodo di
Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta pada tahun 1980 (terlampir).
2) C 96 merupakan cetak, diteliti Ki Padmosusastra yang menyebut dirinya
tiyang mardika ingkang amarsudi kasusastran Jawi ing Surakarta,
diterbitkan oleh N.V. Albert Rusche and Co, tahun 1922 di Surakarta,
ditranskripsi Mulyadi dan Muh. Husodo karyawan Reksapustaka pada
tahun 1980.
Seharusnya
203c merupakan buku cetak, disusun oleh Dr. Th. Pigeaud, diterbitkan
oleh Java Institut Surakarta pada tahun 1859 Jw (1928) dan dicetak oleh
De Bliksem, Surakarta. Buku ini diterbitkan bertepatan dengan hari
peringatan 15 windu (120 tahun) hari kelahiran K. G. P. A. A.
Mangkunegara IV. Penerbitan buku tersebut dilakukan atas perintah
K. G. P. A. A. Mangkunegara VII seperti yang tertulis pada jilid III
(terlampir), semua berjumlah 4 jilid.
38
c. Naskah dengan nomor katalog C 104 yang disebutkan dalam penelitian
terdahulu setelah dicek ternyata adalah Bausastra Jawa-Indonesia.
Kemungkinan yang dimaksud ialah nomor katalog 104, yang dalam katalog lokal
disebutkan bahwa C 82 sama dengan 104. Setelah dicek, naskah dengan nomor
katalog 104 tidak ditemukan pada tempatnya, sehingga nomor tersebut tidak
digunakan. Nomor yang digunakan dalam penelitian ini ialah C 82.
4. Kajian isi dalam penelitian terdahulu hanya sebatas pada hal-hal tertentu dan
kurang terinci dalam menghubungkan kajian isi dengan setiap pupuh atau bait
yang ada dalam Darmawasita (terlampir). Hal ini mungkin disebabkan adanya
pembatasan topik dalam judulnya.
Berangkat dari data dan informasi penelitian di atas, maka peneliti terdorong
untuk melakukan penelitian kembali terhadap naskah Darmawasita.
Penelitian ditekankan pada kajian filologis dan kajian isi tentang
pendidikan watak dari pupuh awal sampai akhir dengan menggunakan delapan
naskah Darmawasita sebagai data primer. Data yang digunakan berjumlah
delapan, dengan pertimbangan bahwa naskah tersebut dianggap paling baik
dengan sedikit kesalahan yaitu naskah a, b, c, e, g, k, m, dan n. Naskah yang lain
dieliminasi atau dijadikan data sekunder dengan alasan sebagai berikut :
1. Naskah d dan l merupakan buku cetak. Hal ini tidak sesuai dengan objek
filologi tradisional yang berupa ‘manuskrip’. Bila dilihat dari susunan kosakata
yang digunakan, naskah d memiliki banyak kesamaan dengan naskah k, begitu
pula naskah l yang memiliki banyak kesamaan dengan naskah m. Selain itu
jumlah bait pada pupuh I Dhandhanggula, pupuh II Kinanthi dan pupuh III Mijil
39
berjumlah sama, terutama pada naskah d dan naskah m yang pupuh III Mijil
berjumlah 20 bait, berbeda dengan naskah yang lain.
2. Naskah f dan h tidak diketahui keberadaannya, namun naskah h memiliki
transliterasi dengan nomor katalog C 96 dan dijadikan sebagai data sekunder.
3. Naskah l dan j berada di Jakarta, karena adanya keterbatasan teknis, finansial,
dan mobilitas, maka dalam penelitian ini hanya sebatas informasi tentang
keberadaan naskah. Hal ini menjadi tantangan bagi peneliti selanjutnya.
Mengingat banyaknya varian naskah Darmawasita yang menandakan adanya
proses salin-menyalin dengan motif dan tujuan yang berbeda-beda, maka
Darmawasita perlu dikaji secara filologi dengan perbandingan naskah untuk
mendapatkan naskah yang paling mendekati asli bahkan jika memungkinkan bisa
ditemukan naskah aslinya.
Darmawasita terdiri atas tiga pupuh yakni I Dhandhanggula, II
Kinanthi, dan III Mijil (terlampir). Nama tembang masing-masing pupuh dapat
diketahui dari sasmita tembang. Pupuh I menggunakan kata sarkara ‘manis’
(pupuh I, bait 1, baris 1) yang identik dengan kata ‘gula’, sehingga disebut
Dhandhanggula. Pupuh II mengambil kata kanthi pada pupuh I, bait 12, baris 10
sehingga disebut Kinanthi. Pupuh III mengambil kata kawijil pada pupuh I, bait
10, baris 6 sehingga disebut Mijil. Darmawasita merupakan naskah piwulang
(berisi ajaran) dari orang tua kepada anak-anaknya, baik anak laki-laki maupun
perempuan, terutama mereka yang telah beranjak dewasa dan atau siap berumah
tangga. Umumnya naskah piwulang disampaikan dengan menggunakan perintah
dan larangan. Darmawasita merupakan karya K. G. P. A. A. Mangkunegara IV
40
yang ditulis pada hari Selasa Wage 13 Mulud, mangsa kasanga (musim hujan, 1
Maret sampai 25 Maret) tahun Dal dengan sengkalan winêling anêngaa sariranta
iku (1807 Jw) yakni bulan Maret 1878. Hal ini dapat diketahui dari katalog dan
pupuh I, Dhandhangggula, bait 1:
1. Mrih sarkara pamardining siwi winursita dènira manitra nujwari Salasa Wagé triwêlas sasi Mulud kasanga Dal sangkalèng warsi
winêling anêngaa sariranta iku
mring iki wasitaningwang marang sira putrèngsun jalu lan èstri muga padha èstokna
Agar menyenangkan dalam men-didik anak. Nasihat tersebut ditulisnya (Mangkunegara IV) pada hari Selasa Wagé (nama hari pasaran ke-4), 13 bulan Mulud, mangsa kasanga (musim ke-9, 1 Mar – 25 Mar, musin hujan ke-tika serangga malam bersuara) tahun Dal (tahun ke-5 dalam windu) dengan sengkalan “winêling (7) anêngaa (0) sariranta (8) iku (1)” (dirimu dipesan untuk memperhatikan itu yakni) (1807 Jawa) nasihatku ini. Kepada kalian anakku laki-laki dan perempuan, semoga kalian melaksanakannya dengan sungguh-sungguh.
Darmawasita memberikan gambaran pendidikan watak menurut alam pikiran
orang Jawa yang selalu mendambakan keselarasan, keharmonisan, dan kerukunan
yaitu sebuah kondisi atau keadaan yang aman dan tenteram. Dalam arti bahwa
tiap-tiap orang harus selalu menguasai perasaan dan keinginan-keinginan serta
nafsu-nafsunya, dengan menomorduakan kepentingan pribadi demi memper-
tahankan keselarasan dalam hubungannya dengan orang lain.
41
B. Pembatasan Masalah
Ketika menghadapi sebuah teks dalam sebuah naskah, tentu akan
berhadapan dengan huruf, ejaan, bahasa, gaya bahasa dan lain-lain. Oleh karena
itu, bila sebuah teks dalam sebuah naskah diidentifikasi secara menyeluruh akan
ada kemungkinan munculnya berbagai masalah yang dapat dikaji oleh beberapa
bidang ilmu, seperti linguistik atau sastra. Namun penelitian ini dibatasi pada dua
kajian, yaitu pertama kajian filologis yang menyajikan suntingan teks
Darmawasita yang mendekati asli dengan cara kerja filologi (yang memberi
pengertian sebaik-baiknya dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya).
Kajian filologis dilakukan karena di samping persamaan-persamaan juga terdapat
perbedaan-perbedaan atau varian-varian dalam Darmawasita. Kedua kajian isi,
mengungkapkan kandungan naskah Darmawasita tentang ajaran moral yang
difokuskan pada pendidikan watak dalam tradisi Jawa
C. Rumusan Masalah
Agar penelitian lebih terarah pada tujuan, maka diperlukan rumusan
masalah. Rumusan masalah dalam penelitian ini berupa kalimat tanya agar mudah
dalam pemahamannya, yang disusun sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk suntingan teks naskah Darmawasita yang bersih dari
kesalahan atau yang mendekati asli sesuai dengan cara kerja filologi?
2. Bagaimanakah pendidikan watak yang terkandung dalam Darmawasita
pupuh awal sampai akhir yakni pupuh I-III?
42
D. Tujuan Penelitian
Secara garis besar tujuan penelitian ini ada dua, yaitu tujuan yang bersifat
umum dan tujuan yang bersifat khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah
mengungkapkan produk masa lalu melalui peninggalan tulisan besarta nilai-
nilainya, terutama dalam kebudayaan Jawa yang merupakan bagian dari
kebudayaan nasional. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini:
1. Menyunting teks Darmawasita yang dipandang asli atau autoritatif.
2. Mengungkapkan pendidikan watak yang terkandung di dalam Darmawasita.
E. Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian tanpa suatu manfaat merupakan kerja yang sia-sia dan
tanpa guna. Oleh karena itu setelah penelitian ini selesai, diharapkan bermanfaat
secara praktis maupun teoritis.
1. Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan
wawasan pembaca, terutama perbendaharaan khasanah sastra Jawa.
b. Meningkatkan minat peneliti lain untuk mengadakan penelitian terutama
tentang kebudayaan Jawa.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan pemahaman isi naskah Darmawasita bagi masyarakat umum,
terutama masyarakat yang tidak menguasai bahasa Jawa.
b. Memperkenalkan budaya bangsa yang berupa pendidikan watak dalam tradisi
Jawa.
43
c. Memberikan suatu masukan dalam rangka usaha membina watak dan
kepribadian bangsa, khususnya dalam sebuah masyarakat Jawa dan nilai-nilai
tradisinya.
d. Isinya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penyesuaian
seperlunya.
e. Menyempurnakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dalam hal ini
Darmawasita.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai laporan
penelitian, berikut ini disajikan sistematika penulisan. Laporan penelitian ini
dibagi menjadi lima bab, yang disusun sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini menguraikan latar belakang, pembatasan masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Kajian Teoretik
Bab ini menguraikan pengertian filologi, objek penelitian filologi, cara
kerja penelitian filologi, kritik teks, aparat kritik, terjemahan dan
pendidikan watak.
Bab III Metode Penelitian
Bab ini menguraikan bentuk dan jenis penelitian, lokasi pencarian sumber
data, sumber data dan data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis
data.
44
Bab IV Analisis Data
Bab ini mengemukakan kajian filologis dan kajian isi naskah tentang
pendidikan watak.
Bab V Penutup
Bab ini mengemukakan simpulan dan saran. Pada bagian terakhir
disertakan daftar pustaka dan lampiran.
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Teori Filologi
1. Pengertian Filologi
Filologi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang
merupakan gabungan kata philos ‘teman’ dan logos ‘pembicaraan’ atau ‘ilmu’.
Dalam bahasa Yunani berarti ‘senang berbicara’, yang kemudian berkembang
menjadi ‘senang belajar’, ‘senang kepada ilmu’, ‘senang kepada tulisan-tulisan’,
dan kemudian ‘senang kepada tulisan-tulisan yang bernilai tinggi’ seperti karya
sastra (Siti Baroroh Baried dkk, 1985: 2). Sebagai istilah, kata filologi mulai
dipakai kira-kira abad 3 SM oleh sekelompok ahli Iskandariah, yaitu untuk
menyebut keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan tulisan yang
berasal dari kurun waktu beratus-ratus tahun sebelumnya (Siti Baroroh Baried
dkk, 1985: 2).
45
Pengertian filologi di Indonesia adalah suatu disiplin ilmu yang
mendasarkan kerjanya pada bahan tertulis dan bertujuan untuk mengungkapkan
makna teks tersebut dalam segi budayanya (Darusuprapta, 1994: 1). Filologi
dalam arti sempit berarti studi tentang naskah untuk mendapatkan keasliannya,
bentuk semula serta makna aslinya. Dalam arti luas berarti ilmu yang mempelajari
segala segi kehidupan masyarakat masa lampau yang ditemukan dalam tulisan
tangan dan di dalamnya tercakup bahasa, sastra, adat istiadat hukum-hukum dan
lain sebagainya (A. Ikram 1980: 1). Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa filologi adalah ilmu yang mempelajari naskah dan seluk
beluknya, dengan tujuan untuk mendapatkan bentuk teks asli atau yang autoritatif
beserta makna dan isi yang terkandung di dalamnya yang mencakup berbagai
bidang dan segi kehidupan.
2. Objek Filologi
Filologi sebagai disiplin ilmu pasti memiliki objek penelitian. Dari
sejarah lahirnya filologi sebagai istilah, jelas bahwa objek filologi adalah naskah
tulisan tangan ‘manuskrip’. Siti Baroroh Baried, dan kawan-kawan mengatakan
bahwa objek penelitian filologi adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai
ungkapan perasaan sebagai hasil budaya masa lampau (1985: 55). Naskah
merupakan benda konkret yang dapat dipegang atau dilihat. Di dalam naskah
tersebut tersurat teks. Teks adalah rangkaian kata yang berupa kalimat yang dapat
dipelajari dalam berbagai pendekatan. Teks merupakan ide atau amanat yang
hendak disampaikan pengarang kepada pembacanya (h. 57). Teks berwujud
46
abstrak dan hanya dapat dibayangkan saja. Perbedaan teks dan naskah akan
nampak jelas bila ditemukan naskah muda yang mengandung teks tua (h. 5).
3. Cara Kerja Penelitian Filologi
Ada beberapa masalah pokok yang perlu diperhatikan dalam penelitian
filologi, antara lain :
a. Penentuan Sasaran Penelitian
Untuk melakukan penelitian filologi, pertama-tama yang dilakukan
adalah berusaha mencari dan memilih naskah yang dijadikan pokok atau objek
penelitian. Hal ini disebabkan karena banyaknya ragam yang harus dipilih, baik
bentuk, tulisan, bahan, maupun isinya. Keanekaragaman tersebut dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan objek penelitian. Berkaitan
dengan pernyataan di atas, maka dalam penelitian ini dipilih naskah Jawa
Darmawasita yang merupakan naskah piwulang, berbentuk tembang macapat
dan dipilih delapan naskah sebagai data primer.
b. Inventarisasi Naskah
Pada tahap kedua ini, peneliti harus mendaftar semua naskah sejenis
yang menjadi objek penelitian yang berasal dari berbagai kolektor naskah, baik
yang berada di perpustakaan maupun koleksi perorangan. Inventarisasi naskah
dilakukan dengan bantuan katalog. Dalam katalog tersebut akan ditemui sebuah
kenyataan bahwa tidak setiap naskah sejenis berasal dari tempat yang sama.
c. Observasi Pendahuluan dan Deskripsi Naskah
Pada tahap ini yang dilakukan ialah mengecek data secara langsung ke
tempat penyimpanan naskah sesuai informasi dalam katalog. Bila perlu membaca
47
katalog lokal yang disediakan di tempat penyimpanan naskah untuk mencocokkan
nomor naskah yang telah didapat dalam langkah awal. Langkah selanjutnya ialah
mendeskripsikan naskah secara lengkap. Deskripsi naskah meliputi: judul naskah,
nomor naskah, tempat penyimpanan naskah, asal naskah, keadaan naskah, ukuran
naskah, tebal naskah, cara penulisan, bahan naskah, bahasa naskah, bentuk teks,
umur naskah, identitas pengarang atau penyalin, asal-usul naskah, fungsi sosial
naskah, dan ikhtisar teks/cerita (Emuch Hermansoemantri, 1986: 2).
d. Penentuan Naskah Dasar
Dalam penelitian ini kebetulan objek penelitian berupa naskah jamak,
sehingga diperlukan proses penentuan naskah dasar. Cara yang dapat ditempuh
untuk memperoleh naskah asli atau yang mendekati asli ialah dengan mengadakan
perbandingan (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Oleh karena itu penentuan
naskah dasar atau naskah yang akan dijadikan landasan dalam penyuntingan
naskah harus melalui tahap perbandingan naskah, yang dilakukan dengan cara
membandingkan tahun penulisan, jumlah dan nama pupuh, jumlah dan urutan bait
serta baris, kata demi kata, dan kalimat demi kalimat. Perbandingan naskah
merupakan tahap yang banyak memerlukan waktu, ketelitian dan ketekunan.
Kesemuanya itu dalam rangka mencapai tujuan untuk menyajikan teks yang
bersih dari kesalahan.
e. Transliterasi
Naskah yang telah ditetapkan sebagai naskah landasan dalam suntingan
teks kemudian dialih-aksarakan kedalam huruf Latin. Yang dimaksud dengan
48
alih-aksara atau transliterasi ialah penggantian huruf demi huruf dari abjad satu ke
abjad yang lain (Edi S. Ekadjati, 1980: 7). Dalam melakukan transliterasi perlu
mengikuti pedoman yang berhubungan dengan pemenggalan kata dan ejaan,
mengingat bahwa huruf Jawa tidak mengenal pemenggalan kata dalam
penulisannya dan ejaan penulisannya berbeda dengan huruf Latin. Transliterasi ini
penting untuk memperkenalkan teks-teks lama yang ditulis dengan huruf daerah,
yang pada umumnya awam mengalami kesulitan untuk dapat membaca dan
mengerti isinya.
f. Terjemahan
Penerjemahan ialah memproduksi kembali dalam bahasa sasaran, pesan
yang terdapat dalam bahasa sumber yang sepadan dan sewajar mungkin, pertama
dalam hal maknanya dan kedua dalam hal gayanya (Nida dan Taber dalam
Widyamartaya, 1989: 11). Penerjemahan dilakukan agar teks yang berada dalam
bahasa daerah atau klasik dapat diperkenalkan kepada masyarakat luas termasuk
mereka yang tidak memahami bahasa Jawa (Bani Sudardi 2003: 67). Penelitian
naskah Darmawasita ini menggunakan terjemahan bebas. Terjemahan bebas
ialah mengganti bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran secara bebas namun
sepadan dan wajar tanpa mengubah maknanya. Bahasa sasaran yang digunakan
ialah bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional, sehingga
akan lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat luas.
4. Kritik Teks dan Aparat Kritik
Kata kritik teks berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya ‘seorang
hakim’. Kritein berarti menghakimi, kriterion berarti dasar penghakiman. Kritik
49
teks memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks pada
tempatnya yang tepat. Kegiatan kritik teks bertujuan untuk menghasilkan teks
yang sedekat-dekatnya dengan teks aslinya ”constituo textus” (Siti Baroroh Baried
dkk, 1994: 61). Bagian-bagian yang tadinya kurang jelas dijelaskan, sehingga
seluruh teks dapat dipahami sebaik-baiknya (Sulastin Sutrisno, 1983: 49). Usaha
ini disebut rekontruksi teks.
Secara umum, metode kritik teks dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
metode edisi naskah tunggal dan metode edisi naskah jamak. Dalam penelitian
naskah Darmawasita ini, peneliti menggunakan metode edisi naskah jamak yakni
metode landasan atau induk, karena terdapat satu atau segolongan naskah yang
unggul kualitasnya dibandingkan dengan naskah-naskah lain yang diperiksa dari
sudut bahasa, kasastraan, metrum dan lain sebagainya. Setiap varian yang ditemui
digunakan sebagai pelengkap atau penunjang yang dimuat dalam aparat kritik.
Aparat kritik adalah uraian tentang kelainan bacaan, yaitu bagian yang
merupakan pertanggungjawaban ilmiah, berisi segala macam kelainan bacaan
dalam semua naskah (Darusuprapta, 1984: 8). Oleh sebab itu, jika terjadi
perubahan (conjecture), pengurangan (eliminatio), atau penambahan (divinatio)
harus disertai pertanggungjawaban melalui dasar teori maupun rujukan yang tepat.
Kesemuanya itu dicatat dan ditempatkan pada aparat kritik dengan maksud agar
pembaca bisa selalu mengecek bacaan naskah, dan bila perlu membuat penafsiran
sendiri.
B. Pengertian Pendidikan Watak
50
Sehubungan dengan bahan penelitian yang berupa naskah piwulang,
yaitu Darmawasita, maka di bawah ini disajikan pengertian tentang pendidikan
watak dalam tradisi Jawa.
1. Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa di dalam pergaulan dengan
anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah
kedewasaan, dengan syarat ada pengaruh yang sedang dilaksanakan dan ada
maksud. Pengaruh tersebut dilaksanakan oleh orang dewasa dalam berbagai
bentuk, misal : sekolah, nasihat, larangan, perintah dan lain sebagainya kepada
orang yang belum dewasa untuk membentuk dirinya sendiri. Jadi pendidikan
tersebut bertujuan untuk memimpin perkembangan anak bukan membentuk anak
(M. Ngalim Purwanto, 1988: 14).
2. Watak ialah keseluruhan sifat-sifat, ciri-ciri dan dorongan yang terbentuk
karena pembawaan dan lingkungan, yakni keadaan seseorang dan orang-orang
yang disekelilingnya (R. Sugarda Purbakawatja, 1957: 33).
Dengan demikian pendidikan watak berarti segala usaha orang dewasa
dalam pergaulan dengan orang yang belum dewasa untuk memimpin
perkembangan rohaninya ke arah kedewasaan, yang bersasaran pada keseluruhan
sifat, ciri-ciri, dan dorongan yang terbentuk karena pembawaan dan lingkungan,
yakni keadaan seseorang dan orang-orang yang disekelilingnya. Pendidikan watak
sama artinya dengan pendidikan budi pekerti, yang diberikan sesuai dengan
perkembangan akal budi anak, yaitu paduan akal dan perasaan untuk menimbang
baik dan buruk. Pendidikan budi pekerti ini sangat penting sekali untuk
membangun watak anak sampai ia mampu tampil dengan kepribadiannya.
51
Pendidikan budi pekerti ini bukan sekedar pendidikan ketrampilan, ketangkasan
dan kecerdasan, tetapi berkisar pada akal dan perasaan.
Tradisi adalah suatu unsur kebudayaan, maka tradisi Jawa adalah bagian
dari kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa ialah budidaya atau pemikiran orang
Jawa dalam mengupayakan keselamatan, kesejahteraan, baik untuk diri sendiri
maupun kelompok (masyarakat)-nya. Jadi pendidikan watak dalam tradisi Jawa
adalah usaha atau upaya orang dewasa untuk memimpin perkembangan rohani
(sifat-sifat, ciri-ciri dan dorongan yang terbentuk karena pembawaan dan
lingkungan) orang yang belum dewasa dalam rangka membentuk dirinya sendiri
ke arah kedewasaan berdasarkan pemikiran orang Jawa.
Pendidikan watak dalam tradisi Jawa berdasarkan pada etika Jawa.
Dalam arti sebenarnya etika berarti “filsafat mengenai bidang moral”. Jadi etika
merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-
norma dan istilah-istilah moral (Magnis–Suseno, 1988: 6). Namun dalam
penelitian ini kata etika dipergunakan dalam arti yang lebih luas yaitu sebagai
“keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang
bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia menjalankan kehidupan
dengan seharusnya”. Jadi sebuah kondisi dimana mereka harus menemukan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: bagaimana saya harus membawa diri, sikap-
sikap, tindakan-tindakan mana yang harus dikembangkan agar hidup saya sebagai
manusia dapat berhasil ?
BAB III
52
METODE PENELITIAN
A. Bentuk dan Jenis Penelitian
Bentuk penelitian terhadap naskah Darmawasita adalah penelitian
filologi yang bersifat deskriptif kualitatif dengan teknik komparatif. Maksud dari
penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif ialah bahwa semua hal yang berupa
sistem tanda tidak ada yang patut diremehkan, semuanya dianggap penting dan
memiliki pengaruh serta kaitan dengan yang lain (Atar semi, 1993: 24). Teknik
komparatif digunakan karena membandingkan dengan naskah-naskah yang lain.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka (library research),
yaitu mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam
material yang terdapat di ruang perpustakaan, misal buku-buku, artikel, skripsi
dan lain sebagainya (Kartini Kartono, 1976: 33)
B. Lokasi Pencarian Data
Dalam penelitian ini lokasi data dilakukan di wilayah Surakarta dan
Yogyakarta. Berdasarkan informasi dari beberapa katalog naskah mengenai
keberadaan naskah, diperoleh informasi bahwa naskah sasaran tersimpan di
perpustakaan Sasanapustaka Karaton Kasunanan Surakarta, perpustakaan
Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta, perpustakaan Widyapustaka
Pakualaman Yogyakarta dan perpustakaan Sanabudaya Yogyakarta.
Penitikberatan lokasi penelitian bukan berarti ada usaha-usaha mengabaikan
naskah-naskah yang tersimpan di tempat-tempat lain, namun langkah tersebut
53
ditempuh mengingat adanya keterbatasan-keterbatasan baik dari segi teknis,
finansial maupun mobilitas.
C. Sumber Data dan Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah-naskah Jawa yang
memuat Darmawasita baik yang berupa bendel maupun yang berdiri sendiri.
Urutan naskah-naskah berikut ini disusun berdasarkan kualitas masing-masing
naskah.
1. Serat Warni-Warni, nomor katalog C 82, koleksi perpustakaan
Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta.
2. Kempalan Serat Warni-warni, nomor katalog SK 20, koleksi perpustakaan
Sanabudaya Yogyakarta.
3. Serat Wulangipun KGPAA Mangkunegara IV, nomor katalog 390 Ra,
koleksi perpustakaan Sasanapustaka Keraton Kasunanan Surakarta.
4. Kidung Sesingir, nomor katalog SK 172, koleksi Perpustakaan Sanabudaya
Yogyakarta.
5. Piwulang Patraping Agesang, nomor katalog 248 Na, koleksi perpustakaan
Sasanapustaka Karaton Kasunanan Surakarta.
6. Serat Darmalaksita, nomor katalog A 8, koleksi perpustakaan Reksapustaka
Mangkunegaran Surakarta.
7. Sambetanipun Serat Wedhatama, anggitan K. G. P. A. A. Mangkunegara
IV, nomor katalog A 163, koleksi perpustakaan Reksapustaka
Mangkunegaran Surakarta.
54
8. Serat Piwulang Warni-Warni I, nomor katalog O 174, koleksi perpustakaan
Widyapustaka Pakualaman Yogyakarta.
Berdasarkan sumber data tersebut diperoleh naskah Jawa carik yang
menjadi data primer dalam penelitian ini:
1. Darmawasita, nomor katalog C 82, koleksi perpustakaan Reksapustaka
Mangkunegaran Surakarta.
2. Darmalaksita, nomor katalog SK 20 koleksi perpustakaan Sanabudaya
Yogyakarta.
3. Serat Darmalaksita, nomor katalog 390 Ra, koleksi perpustakaan
Sasanapustaka Karaton kasunanan Surakarta.
4. Darmalaksita, nomor katalog SK 172, koleksi perpustakaan Sasanabudaya
Yogyakarta.
5. Serat Darmalaksita, nomor katalog A 8, koleksi perpustakaan Reksapustaka
Mangkunegaran Surakarta.
6. Piwulang Patraping Agesang, nomor katalog 248 Ha, koleksi perpustakaan
Sasanapustaka Karaton Kasunanan Surakarta.
7. Darmawasita, nomor katalog A 163, koleksi perpustakaan Reksapustaka
Mangkunegaran Surakarta.
8. Darmalaksita, nomor katalog O 174, koleksi perpustakaan Widyapustaka
Pakualaman Yogyakarta.
Di samping data primer digunakan pula data sekunder. Data sekunder
dalam penelitian ini adalah semua sumber data yang dapat membantu memberikan
informasi yang berkaitan dengan penelitian naskah Darmawasita, yaitu berupa
55
buku-buku, artikel, skripsi Darmawasita yang disusun Rr Herwangi Koesrini
pada tahun 1987 dan sumber penunjang lainnya.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan cara kerja filologi
yang disebut inventarisasi naskah yakni dengan membaca semua katalog yang
dapat memberikan informasi mengenai tempat-tempat yang memiliki koleksi
naskah Darmawasita dan mendaftar naskah-naskah tersebut. Katalog yang
digunakan adalah katalog Nikolaus Girardet-Soetanto (1983) yang berjudul
Diskriptive Catalogue of The Javanese Manuscripts and Printed Books in The
Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta; katalog Nancy K. Florida volume I
dan II (2000) yang berjudul Javanese Literature in Surakarta Manuskripts,
Manuskripts of The Kasunanan Palace (I) dan Manuskripts of The
Mangkunegaran Palace (II); dan Behrend yang berjudul Katalog Induk Naskah-
Naskah Nusantara Jilid I Museum Sanabudaya Yogyakarta (1990), Seri Katalog
Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3A dan 3B Fakultas Sastra Universitas
Indonesia (1997) serta katalog lokal perpustakaan Sasanapustaka, Widyapustaka,
dan Reksapustaka. Setelah memperoleh informasi dari katalog tentang keberadaan
naskah sasaran, maka langkah selanjutnya adalah datang ke lokasi penyimpanan
data dan mengadakan pengamatan atau observasi pendahuluan.
E. Teknik Analisis Data
Data diolah berdasarkan cara kerja filologi dengan teknik analisis
deskriptif, analisis komparatif, dan analisis interpretasi. Teknik analisis deskriptif
56
digunakan untuk mendeskripsikan kondisi naskah secara lengkap dan menyeluruh
baik fisik, bacaan maupun isi teks Darmawasita serta menjabarkan permasalahan
dengan analisis secara mendalam. Winarno Surachmat (1975: 132) mengatakan
bahwa metode deskriptif adalah menjabarkan yang menjadi masalah,
menganalisis serta menjabarkan dan menafsirkan data yang ada, yaitu data yang
ada dalam naskah Darmawasita. Data perlu dianalisis dan ditafsirkan karena
berupa naskah dengan tulisan Jawa carik yang berbentuk tembang. Umumnya
penyusunan kata-kata dalam tembang masih susah untuk dipahami dan
dimengerti, maka perlu dijabarkan dalam bentuk prosa. Data penelitian berupa
naskah jamak, oleh karena itu teknik analisis komparatif diperlukan untuk
membandingkan naskah yang satu dengan yang lain. Tujuan yang ingin dicapai
ialah memperoleh naskah yang paling mendekati aslinya. Dari proses
perbandingan tersebut didapatkan satu naskah landasan yang disajikan dalam
suntingan teks. Suntingan tersebut diberikan kritik teks sebagai evaluasi terhadap
teks. Metode kritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode landasan
karena ada satu atau segolongan naskah yang unggul kualitasnya dibandingkan
dengan naskah-naskah lain yang diperiksa dari sudut bahasa, kesastraan, sejarah
dan lain sebagainya (Siti Baroroh Baried, 1994: 67). Naskah yang dianggap paling
unggul tersebut dipandang paling baik untuk dijadikan landasan atau induk teks
sebagai edisi. Bila ada pertimbangan kkhusus misal ejaan, metrum, atau kaidah
pada naskah landasan ada kekurangan atau kesalahan, maka naskah-naskah yang
lain dapat digunakan sebagai penunjang bahan pertimbangan dan dapat
57
dimasukkan dalam suntingan teks. Bacaan naskah landasan dicatat dalam aparat
kritik. Hasil suntingan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Suntingan yang disertai terjemahan dijadikan dasar untuk
mengungkapkan kandungan naskah yang didukung dengan data yang ada sangkut
pautnya dengan teks tersebut. Kandungan isi naskah diungkapkan dengan
menggunakan teknik analisis interpretasi berdasarkan hasil yang telah didapat
pada analisis pertama yang berupa suntingan dan terjemahan.
BAB IV
ANALISIS DATA
Analisis data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu analisis
filologi dan analisis isi yang menjabarkan kandungan isi Darmawasita.
A. Kajian Filologi
Kajian filologi dalam penelitian ini meliputi (1) deskripsi naskah (2)
perbandingan naskah (3) hubungan pertalian naskah (4) penentuan naskah dasar
(5) suntingan teks disertai aparat kritik dan terjemahan.
1. Deskripsi naskah
Deskripsi naskah bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai
wujud fisik naskah secara terperinci serta mempermudah pembaca atau peneliti
lain untuk mengenal dan mendalami naskah.
a. Judul naskah : Darmawasita dalam Serat Warni-Warni
58
Nomor naskah : C 82
Tempat peyimpanan : perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran Su-
rakarta
Asal naskah : Surakarta
Keadaan naskah : utuh, jilid rusak, tulisan agak tembus dan masih
terbaca, rapuh.
Ukuran naskah : 24, 9 cm x 18, 5 cm
Ukuran teks : 18, 5 cm x 14, 2 cm
Margin lembar kanan
atas : 4, 1 cm kiri : 3, 2 cm
bawah : 2, 3 cm kanan : 1, 1 cm
Margin lembar kiri
atas : 4, 1 cm kiri : 1, 1 cm
bawah : 2, 3 cm kanan : 3, 2 cm
Tebal naskah : 319 halaman, naskah Darmawasita berada pada
halaman 163-170.
Jumlah baris tiap halaman : 17 baris/ halaman, kecuali halaman 163 (10 baris/
halaman) dan halaman 170 (1 baris/ halaman).
Huruf/ Aksara : menggunakan aksara Jawa, berukuran kecil,
miring (cursive) ke kanan dan agak bulat, tulisan
jelas, mudah dibaca, tebal tipis dan menggantung
pada garis, jarak antarhuruf rapat, menggunakan
tinta hitam kecoklatan.
59
Cara penulisan : ditulis bolak-balik (recto verso), sejajar ke arah
lebar lembar naskah, judul berada di tengah, larik
lembar kanan dan kiri sejajar dengan batas
tertentu, garis tepi dan baris digaris dengan pensil,
penomoran halaman dengan angka Arab.
Bahan naskah : kertas ukuran A4 polos, tebal, berwarna agak
kecoklatan, kover tebal berwarna hijau polos.
Bahasa naskah : Jawa Baru disisipi kata-kata Kawi
Bentuk teks : puisi (macapat)
Pengarang/ Penyalin : anonim
Fungsi sosial naskah : untuk macapatan baik sebagai hiburan maupun
pendidikan.
Ikhtisar teks : nasihat K. G. P. A. A. Mangkunegara IV kepada
putra-putrinya tentang pendidikan watak dalam
membina rumah tangga dan bertingkah laku.
Catatan lain : Naskah ini terdiri atas 28 judul, Darmawasita
berada pada urutan ke-14 terdiri atas tiga pupuh: I
Dhandhanggula (12 bait), II Kinanthi (10 bait), III
Mijil (20 bait). Ada stempel bertuliskan MN IV
warna merah dibagian kiri atas.
b. Judul naskah : Darmalaksita dalam Kempalan Serat Warni-
Warni
Nomor naskah : SK 20
60
Tempat penyimpanan : perpustakaan Sanabudaya, Museum Sanabudaya
Yogyakarta
Asal naskah : Yogyakarta
Keadaan naskah : baik, utuh, jilid kokoh dan baru, menggunakan
kertas cetak motif sulur-suluran sebagai pembatas
teks, bagian atas tengah berbentuk seperti
cungkup. Secara keseluruhan berbentuk seperti
cermin. Pada bagian bawah semua halaman tertulis
nama Raden Tumenggung Sastradipura yang
berhuruf Jawa cetak, 12 halaman kosong di depan
(5 halaman kosong tanpa motif dan 7 halaman
kosong bermotif yang dipisahkan dengan
tambahan kertas bergaris cetak/ folio yang berisi
daftar isi). Pada bagian belakang naskah ada kertas
tanpa motif yang juga digunakan untuk menulis.
Bagian tengah naskah ada pula yang kosong dan
digunakan sebagai pembatas antar-bendel naskah.
Ukuran naskah : 33, 5 cm x 21, 2 cm.
Ukuran teks : 24, 5 cm x 15, 5 cm.
Margin lembar kanan
atas : 4, 9 cm kiri : 2, 6 cm
bawah : 4, 1 cm kanan : 3 cm
Margin lembar kiri
61
atas : 4, 9 cm kiri : 3 cm
bawah : 4, 1 cm kanan : 2, 6 cm
Tebal naskah : 397 halaman, Darmalaksita berada pada halaman
156-166.
Jumlah baris tiap halaman : 18 baris/ halaman, kecuali halaman 156 (5 baris/
halaman) dan halaman 166 (2 baris/ halaman).
Huruf/ Aksara : menggunakan aksara Jawa, berukuran besar, tegak
(perpendicular) dan agak kotak, tulisan jelas,
mudah dibaca, tebal seperti spidol, menggantung
pada baris, jarak antar huruf agak renggang, tinta
hitam pekat.
Cara penulisan : ditulis bolak-balik (recto verso), sejajar ke arah lebar
lembar naskah, judul berada ditengah, larik lembar
kanan dan kiri sejajar dengan batas tertentu, baris digaris
dengan pensil, garis tepi dibatasi dengan ragam hias
sulur-suluran yang dicetak selebar 0,7 cm dan pada
bagian tengah atas yang berbentuk cungkup dicetak
selebar 2 cm (dari ragam hias garis tepi), tanpa nomor
halaman, ada manggala pada bagian awal naskah (dalam
pengantar) dan daftar isi.
Bahan naskah : kertas cetak polos dengan ragam hias pada tepi kertas
yang terlihat seperti cermin, berwarna coklat dan tebal,
62
populer di Yogyakarta antara tahun 1900-1915, kover
tebal berwarna hitam dan dijilid kokoh.
Bahasa naskah : Jawa Baru disisipi kata-kata Kawi
Bentuk teks : puisi (macapat)
Pengarang/ Penyalin : Raden Tumenggung Sasradipura
Fungsi sosial naskah : untuk macapatan baik sebagai hiburan maupun
pendidikan.
Ikhtisar teks : nasihat K. G. P. A. A. Mangkunegara IV kepada
putra-putrinya tentang pendidikan watak dalam
membina rumah tangga dan bertingkah laku.
Catatan lain : naskah ini merupakan kumpulan karya dari pelbagai
sumber dan pengarang antara lain: Mangkunegara IV,
Pakubuwana IX, Yosodipura I, Yosodipura II dan lain
lain, terdiri atas 17 judul. Darmalaksita berada pada
urutan ke-11, memiliki 3 pupuh: I Dhandhanggula (12
bait), II Kinanthi (10 bait), III Mijil (19 bait). Menurut
manggala dalam pengantar, naskah ini disalin oleh
Raden Tumenggung Sasradipura pada tanggal 8
Rabingulakir tahun Dal, wuku Kurantil, mangsa Kasa
1831 Jw (26 Juli 1901).
c. Judul naskah : Serat Darmalaksita
Nomor Naskah : 390 Ra
Tempat penyimpanan : perpustakaan Sasanapustaka, Kasunanan Surakarta
63
Asal naskah : Surakarta
Keadaan naskah : utuh, baik, tulisan jelas, tetapi jilid sudah lepas.
Ukuran naskah : 20, 2 cm x 11, 5 cm
Ukuran teks : 13, 5 cm x 8 cm
Margin lembar kanan
atas : 3,5 cm kiri : 1,3 cm
bawah : 3,2 cm kanan : 2,2 cm
Margin lembar kiri
atas : 3,5 cm kiri : 2,2 cm
bawah : 3,2 cm kanan : 1,3 cm
Tebal naskah : 92 halaman, Serat Darmalaksita berada pada
halaman 43- 54
Jumlah baris tiap halaman : 14 baris/ halaman, tanpa tersisa.
Huruf/ Aksara : menggunakan aksara Jawa, berukuran kecil,
miring (cursive) ke kanan, agak kotak, tulisan
jelas, mudah dibaca, jarak antarhuruf rapat, tidak
tebal tipis, menggantung pada baris,
menggunakan tinta hitam pekat (seperti boxy).
Cara penulisan : ditulis bolak-balik (recto verso), sejajar ke arah lebar
lembar naskah, judul berada di tengah, larik lembar ka-
nan dan kiri sejajar dengan batas tertentu, garis tepi
dan baris digaris dengan pensil, tanpa penomoran
halaman.
64
Bahan naskah : kertas polos berwarna coklat dan tebal, sampul tebal
bergambar abstrak paduan warna hijau, merah dan
kuning, tetapi warna hijau lebih dominan, jilid
berwarna merah
Bahasa naskah : Jawa Baru disisipi kata-kata Kawi
Bentuk naskah : puisi (macapat)
Pengarang/ Penyalin : anonim
Fungsi sosial naskah : untuk macapatan baik sebagai hiburan maupun
pendidikan.
Ikhtisar teks : nasihat K. G. P. A. A. Mangkunegara IV kepada
putra-putrinya tentang pendidikan watak dalam
membina rumah tangga dan bertingkah laku.
Catatan lain : naskah ini terdiri atas 9 serat piwulang karya
Mangkunegara IV. Serat Darmalaksita berada pada
urutan ke-3, terdiri atas tiga pupuh: I Dhandhanggula
(12 bait), II Kinanthi (9 bait), III Mijil (18 bait). Menurut
katalog Nancy jilid I (2000: 235), model tulisan yang
digunakan dari pemerintahan PB X (1893-1939).
d. Judul naskah : Darmalaksita dalam Kidung Sesingir
Nomor naskah : SK 172
Tempat penyimpanan : perpustakaan Sanabudaya, Museum Sanabudaya
Yogyakarta
Asal naskah : Yogyakarta
65
Keadaan naskah : utuh, agak rusak karena dimakan serangga dan
sudah rapuh, bahkan pada teks Darmalaksita ada
yang robek dan berlubang karena goresan tinta
sehingga ada huruf yang hilang, namun bagian
yang hilang tersebut masih tersimpan, tulisan
tembus tetapi masih dapat dibaca, jilid masih baik.
Ukuran naskah : 32, 7 cm x 20 cm
Ukuran teks : 30 cm x 17, 7 cm
Margin lembar kanan
atas : 1, 7 cm kiri : 1, 5 cm
bawah : 1 cm kanan : 1 cm
Margin lembar kiri
atas : 1, 7 cm kiri : 1 cm
bawah : 1 cm kanan : 1, 5 cm
Tebal naskah : 401 halaman, Darmalaksita berada pada halaman
72-74
Jumlah baris tiap halaman : 39 baris/ halaman, kecuali halaman 72 (33 baris)
dan halaman 74 (15 baris)
Huruf/ Aksara : menggunakan aksara Jawa, berukuran kecil se-
kali, miring (cursive) ke kanan, agak bulat, tulisan
jelas, mudah dibaca, tebal tipis, menggantung pada
garis, jarak antarhuruf rapat sekali, menggunakan
tinta hitam kecoklatan dan agak luntur.
66
Cara penulisan : ditulis bolak-balik (recto verso), sejajar ke arah
lebar lembar naskah, judul berada di tengah, larik
lembar kanan dan kiri sejajar dengan batas
tertentu, garis tepi digaris dengan pensil dan
barisnya dicetak, tanpa nomor halaman, manga-
japa berupa ragam hias sulur-suluran dan daun.
Bahan naskah : kertas folio bergaris agak kecoklatan, sampul tebal
berwarna hitam polos
Bahasa naskah : Jawa Baru disisipi kata-kata Kawi
Bentuk teks : puisi (macapat)
Pengarang/ Penyalin : anonim
Fungsi sosial naskah : untuk macapatan baik sebagai hiburan maupun
pendidikan.
Ikhtisar teks : nasihat K. G. P. A. A. Mangkunegara IV kepada
putra-putrinya tentang pendidikan watak dalam
membina rumah tangga dan bertingkah laku.
Catatan lain : Naskah ini terdiri atas 77 judul, Darmalaksita
berada pada urutan ke-30, terdiri atas tiga pupuh: I
Dhandhanggula (12 bait), II Kinanthi (10 bait), III
Mijil (19 bait). Pada bagian belakang naskah
terdapat lampiran lepas berisi lakon “Duta
Cengkar” yang dipentaskan ketika Ultah ke-12 G.
67
B. R. A. Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusuma
Wardani pada tanggal 9-10 Mei 1933.
e. Judul naskah : Serat Darmalaksita
Nomor naskah : A 8
Tempat penyimpanan : perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran Su-
rakarta
Asal naskah : Surakarta
Keadaan naskah : rusak, jilid lepas, bagian pinggirnya sobek dan
sudah tidak rata, tetapi masih dapat dibaca, pada
halaman pertama terdapat stempel Mangkunega-
ran warna merah, halaman masih lengkap/ utuh.
Ukuran naskah : 21, 6 cm x 17, 6 cm
Ukuran teks : 14, 4 cm x 13, 1 cm
Margin lembar kanan
atas : 3, 7 cm kiri : 1, 8 cm
bawah : 3, 5 cm kanan : 2, 7 cm
Margin lembar kiri
atas : 3, 7 cm kiri : 2, 7 cm
bawah : 3, 5 cm kanan : 1, 8 cm
Tebal naskah : 13 halaman
Jumlah baris tiap halaman : 12 baris/ halaman, kecuali pada halaman 13 (7 ba-
ris/ halaman )
Huruf/ Aksara : menggunakan aksara Jawa, berukuran kecil,
miring (cursive) ke kanan, bulat, tulisan jelas,
68
mudah dibaca, tebal tipis, menggantung pada garis,
jarak antarhuruf agak renggang, menggunakan
tinta coklat.
Cara penulisan : ditulis bolak-balik (recto verso), sejajar ke arah
lebar lembar naskah, judul berada di tengah, larik
lembar kanan dan kiri sejajar dengan batas
tertentu, garis tepi dan baris digaris dengan pen-sil
warna (biru), tanpa penomoran halaman.
Bahan naskah : jilid menggunakan potongan kertas tebal ber-
warna biru dan bersampul samak payung dilipat
rapi seperti sampul buku tulis, teks ditulis pada
kertas coklat yang tipis
Bahasa naskah : Jawa Baru disisipi kata-kata Kawi
Bentuk teks : puisi (macapat)
Pengarang/ Penyalin : anonim
Fungsi sosial naskah : untuk macapatan baik sebagai hiburan maupun
pendidikan.
Ikhtisar teks : nasihat K. G. P. A. A. Mangkunegara IV kepada
putra-putrinya tentang pendidikan watak dalam
membina rumah tangga dan bertingkah laku.
Catatan lain : satu judul, terdiri atas 3 pupuh: I Dhandhanggula
(12 bait), II Kinanthi (10 bait), III Mijil (19 bait).
Ejaan mati “k” ditulis dengan “g”, seperti
69
Darmalaksita “Darmalagsita”, watak “watag” dan
lain sebagainya.
f. Judul naskah : Piwulang Patraping Agesang
Nomor naskah : 248 Na
Tempat penyimpanan : perpustakaan Sasanapustaka, Kasunanan Sura-
karta
Asal naskah : Surakarta
Keadaan naskah : baik, utuh, tulisan jelas, ada lembar yang sobek di
pinggir pada bagian tengah buku, halaman depan
buku dilekatkan pada sampul depan, pada bagian
tengah tiap lembarnya diselotip agar tidak mudah
sobek atau lepas.
Ukuran naskah : 21 cm x 16, 5 cm
Ukuran teks : 16, 5 cm x 12, 6 cm
Margin lembar kanan
atas : 3, 0 cm kiri : 2, 3 cm
bawah : 1, 5 cm kanan : 1, 6 cm
Margin lembar kiri
atas : 3, 5 cm kiri : 1, 6 cm
bawah : 3, 2 cm kanan : 2, 3 cm
Tebal naskah : 12 halaman
Jumlah baris tiap halaman : 16 baris/ halaman, kecuali halaman 12 (11 baris/
halaman)
70
Huruf/ Aksara : menggunakan aksara Jawa, berukuran besar, mi-
ring (cursive) ke kanan, bulat, tulisan jelas, mu-dah
dibaca, tebal tipis, menggantung pada garis,
menggunakan tinta coklat.
Cara penulisan : ditulis bolak-balik (recto verso), sejajar ke arah
lebar lembar naskah, judul berada pada kover
depan, larik lembar kanan dan kiri sejajar dengan
batas tertentu, garis tepi dan baris digaris dengan
pensil, tanpa penomoran halaman, purwapada
berupa ragam hias.
Bahan naskah : kertas polos berwarna coklat dan tipis, sampul tipis
bergambar abstrak paduan warna hitam dan hijau,
tanpa jilid
Bahasa naskah : Jawa Baru disisipi kata-kata Kawi
Bentuk teks : puisi (macapat)
Pengarang/ Penyalin : anonim
Ikhtisar teks : nasihat K. G. P. A. A. Mangkunegara IV kepada
putra-putrinya tentang pendidikan watak dalam
membina rumah tangga dan bertingkah laku.
Fungsi sosial naskah : untuk macapatan baik sebagai hiburan maupun
pendidikan.
Catatan lain : sekalipun secara tersurat judulnya sangat berbeda,
tetapi isinya sama dengan tujuh Darmawasita
71
yang lain. Satu judul, terdiri atas tiga pupuh: I
Dhandhanggula (12 bait), II Kinanthi (10 bait),
III Mijil (19 bait)
g. Judul naskah : Darmawasita dalam Sambetanipun Serat
Wedhatama, Anggitan K. G. P. A. A.
Mangkunegara IV
Nomor naskah : A 163
Tempat penyimpanan : perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran Su-
rakarta
Asal naskah : Surakarta
Keadaan naskah : baik, utuh, tulisan jelas, kurang teratur dalam
penulisannya.
Ukuran naskah : 20, 8 cm x 15, 7 cm
Ukuran teks : 16, 8 cm x 11, 5 cm
Margin lembar kanan
atas : 2, 3 cm kiri : 2, 1 cm
bawah : 1, 7 cm kanan : 2, 1 cm
Margin lembar kiri
atas : 2, 3 cm kiri : 2, 1 cm
bawah : 1, 7 cm kanan : 2, 1 cm
72
Tebal naskah : 86 halaman, Darmawasita berada pada halaman
50-56.
Jumlah baris tiap halaman : 25 baris/ halaman, kecuali halaman 56 (21 baris/
halaman)
Huruf/ Aksara : aksara Jawa, berukuran kecil, miring (cursive) ke
kanan, agak bulat, tulisan jelas, mudah dibaca,
tebal tipis, menggantung pada baris, menggunakan
tinta ballpoint berwarna biru.
Cara penulisan : ditulis bolak-balik (recto verso), sejajar ke arah
lebar lembar naskah, judul berada di tengah, larik
lembar kanan dan kiri kadang tidak sejajar, ada
kalanya melebihi batas baris terbawah, garis tepi
digaris dengan pensil dan barisnya dicetak,
penomoran halaman menggunakan angka Jawa,
tiap pupuh dituliskan nama tembangnya, tiap
berganti bait dinomori dengan angka Arab dan
berganti baris.
Bahan naskah : buku tulis bergaris, tebal dengan jilid berwarna
hitam, sampul tebal, bergambar abstrak paduan
warna hijau dan putih.
Bahasa naskah : Jawa Baru disisipi kata-kata Kawi
Bentuk teks : puisi (macapat)
Penulis/ penyalin : B. R. Ay. Retnaningrum (ibu MN VIII)
73
Fungsi sosial naskah : untuk macapatan baik sebagai hiburan maupun
pendidikan.
Ikhtisar teks : nasihat K. G. P. A. A. Mangkunegara IV kepada
putra-putrinya tentang pendidikan watak dalam
membina rumah tangga dan bertingkah laku.
Catatan lain : naskah ini terdiri atas 12 serat yang berhubung-an
dengan Wedhatama karya Mangkunegara IV,
disalin oleh B. R. Ay. Retnaningrum (ibu MN
VIII). Tetapi dalam penelitian ini hanya diambil
satu serat, yang berjudul Darmawasita, terdiri atas
3 pupuh: I Dhandhanggula (12 bait), II Kinanthi
(10 bait), III Mijil (19 bait).
h. Judul naskah : Darmalaksita dalam Serat Piwulang Warni-
Warni I
Nomor naskah : O 174
Tempat peyimpanan : perpustakaan Widyapustaka Pakualaman Yogya-
karta
Asal naskah : Yogyakarta
Keadaan naskah : baik hanya halaman depan saja yang rusak, utuh,
tulisan jelas, jilid cover lepas, namun halaman
masih menyatu dengan kuat
Ukuran naskah : 20 cm x 16 cm
Ukuran teks : 18, 4 cm x 13, 7 cm
74
Margin lembar kanan
atas : 0, 5 cm kiri : 1, 3 cm
bawah : 1, 1 cm kanan : 1 cm
Margin lembar kiri
atas : 0, 5 cm kiri : 1, 3 cm
bawah : 1, 1 cm kanan : 1 cm
Tebal naskah : 150 halaman, Darmalaksita berada pada halaman
51-59
Jumlah baris/ halaman : 22 baris/ halaman, kecuali halaman 51 dan halaman
59 (15 baris)
Huruf/ Aksara : menggunakan aksara Jawa, berukuran sedang,
miring (cursive) ke kanan, agak bulat, tulisan jelas,
mudah dibaca, tebal tipis, menggantung pada garis,
jarak antarhuruf agak renggang, menggunakan tinta
biru keunguan.
Cara penulisan : ditulis bolak-balik (recto verso), sejajar ke arah
lebar lembar naskah, judul berada di tengah, larik
lembar kanan dan kiri sejajar dengan batas tertentu,
garis tepi dan baris digaris dengan pensil, peno-
moran halaman dengan angka Arab, ada manggala
pada awal penulisan sebelum pengantar. Pengantar
sulit dibaca karena tembus dan rusak, hurufnya
75
sangat kecil dan sudah berlubang, tintanya berbeda
dengan tinta yang digunakan untuk menulis teks.
Bahan naskah : kertas cetak bergaris biru, agak kecoklatan, sampul
tebal dan bergambar abstrak paduan warna hitam
dan putih, namun warna hitam lebih dominan,
dijilid dengan kain berwarna hitam.
Bahasa naskah : Jawa Baru disisipi kata-kata Kawi
Bentuk teks : puisi (macapat)
Pengarang/ Penyalin : anonim
Fungsi sosial naskah : untuk macapatan baik sebagai hiburan maupun
pendidikan.
Iktisar teks : nasihat K. G. P. A. A. Mangkunegara IV kepada
putra-putrinya tentang pendidikan watak dalam
membina rumah tangga dan bertingkah laku.
Catatan lain : Naskah ini terdiri atas 14 judul, Darmalaksita
berada pada urutan ke-5, terdiri atas 3 pupuh: I
Dhandhanggula (12 bait), II Kinanthi (10 bait), III
Mijil (19 bait). Menurut manggala pada halaman
terdepan sebelum pengantar, naskah tersebut disalin
pada bulan September 1907.
2. Perbandingan naskah
Berkaitan dengan jumlah naskah yang lebih dari satu, maka diadakan
perbandingan naskah untuk menentukan teks yang paling unggul kualitasnya,
sehingga dapat dipertanggungjawabkan sebagai dasar suntingan teks. Aspek
76
naskah yang akan diperbandingkan yakni judul, tahun penulisan, pupuh, bait,
metrum dan bacaan. Bila dalam deskripsi naskah, masing-masing naskah diwakili
dengan huruf abjad kecil sebagai sub-subbab, maka dalam perbandingan ini
masing-masing naskah diwakili dengan huruf kapital agar tampak lebih jelas.
a. Perbandingan Judul
Judul naskah Darmawasita menunjukkan varian yang perlu
diperbandingkan. Kemungkinan varian ini muncul karena penyalin memiliki
maksud dan tujuan yang berbeda-beda. Namun secara garis besar, isi atau pokok
ajaran yang terdapat dalam kedelapan naskah Darmawasita sama.
Tabel 1
Perbandingan Judul
Naskah A B C D E F G H
Judul Darma-
wasita
Dar-
ma-
laksita
Serat
Dar-
ma-
laksita
Dar-
ma-
laksita
Serat
Dar-
ma-
laksita
Piwu-
lang
Patrap-
ing A-
gesang
Dar-
ma-
wasita
Dar-
ma-
laksita
Berdasar perbandingan judul, naskah Darmawasita dapat dikelompokkan
menjadi empat.
1) Naskah A dan G dengan judul Darmawasita
2) Naskah B, D dan H dengan judul Darmalaksita
3) Naskah C dan E dengan judul Serat Darmalaksita
77
4) Naskah F dengan judul Piwulang Patraping Agesang
Pengelompokan di atas dapat dibuat tabel sebagai berikut
AG BDH CE F
Berikut ini disajikan arti kata dari tiap judul sebagai perbandingan
penafsiran maksud dan tujuan penyalin menggunakan judul tersebut.
1) Darmawasita berasal dari kata darma: bapa, ayah dan wasita: nasihat,
pengajaran. Jadi Darmawasita berarti pengajaran atau nasihat dari seorang
ayah/ bapa, yang menurut isinya ditujukan kepada para putra dan putrinya.
2) Darmalaksita berasal dari kata darma: kewajiban dan laksita: laku, kelakuan.
Jadi Darmalaksita berarti kewajiban bertingkah laku.
3) Serat Darmalaksita berasal dari kata serat: kitab dan darma serta laksita yang
memiliki arti sama seperti yang telah dibahas pada poin dua. Jadi Serat
Darmalaksita berarti kitab yang berisi tentang kewajiban dalam bertingkah
laku.
4) Piwulang Patraping Agesang berasal dari kata piwulang: ajaran, pengajaran,
pelajaran, patrap: laku, tingkah laku, kelakuan dan gesang: hidup. Jadi
Piwulang Patraping Agesang berarti ajaran bertingkah laku dalam kehidupan.
Penelitian ini menggunakan judul Darmawasita karena mengingat
perbandingan arti tiap judul yang telah dilakukan di atas. Menurut perbandingan
bacaan, naskah dengan judul Darmalaksita memiliki populasi terbanyak. Namun
bila diperhatikan arti dari masing-masing judul, maka Darmawasita adalah judul
yang paling tepat. Apalagi bila mengingat bahwa pada pupuh I, bait 1, baris 8
muncul kata wasitaningwang yang dapat dijadikan kunci atau pedoman pemilihan
judul. Biasanya pada naskah-naskah tanpa judul, judul naskah diambil dari dalam
78
teks naskah tersebut, baik secara tersurat maupun tersirat. sehingga judul tersebut
diangkat sebagai judul penelitian ini.
b. Perbandingan Tahun Penulisan
Perbandingan ini dilakukan untuk menentukan naskah yang lebih tua
umurnya dan naskah yang lebih dulu disalin atau ditulis. Keterangan atau
informasi mengenai umur naskah dapat diketahui melalui manggala, kolofon,
katalog, fisik naskah, tulisan dan lain-lain.
Di antara ke-8 naskah Darmawasita, naskah yang memiliki manggala
berjumlah 2 naskah yaitu naskah B, koleksi perpustakaan Sanabudaya dan naskah
H, koleksi perpustakaan Widyabudaya.
1) Pada awal penulisan naskah B, yaitu pupuh 1, Dhandhanggula, bait 1.
Memanisé duk pinurwèng tulis ari Sukra Pon tanggal ping astha Rabingulakir wukuné taun Dal kang lumaku amarêngi wuku Kurantil kasa ing mangsanira dé sangkalanipun janma tri mangèsthi tunggal wulan Wlêndi tanggal ping nêmlikur Juli janma nis déwa tunggal
Menyenangkan ketika mulai menulis pada hari Jumat Pon (nama hari pasaran ke-5) tanggal 8 Rabingulakir (nama bulan ke-4) dalam tahun Dal (tahun ke-5 dalam windu) bertepatan dengan wuku Kurantil (nama wuku ke-4) mangsa kasa (musim pertama, 22 Juli-1Agustus, musim kemarau ketika daun-daun berguguran) dengan sengkalan janma (1) tri (3) mangèsthi (8) tunggal (1) “tiga manusia satu tujuan” (1831Jw) dalam penanggalan Masehi tanggal 26 Juli 1901, dengan sengkalan janma (1) nis (0) déwa (9) tunggal (1) “tanpa manusia dewa sendirian”
2) Pada awal penulisan naskah H, tersurat bahwa teks naskah tersebut ditulis
pada bulan September 1907.
79
Untuk ketujuh naskah Darmawasita yang tidak mencantumkan manggala, umur
naskah ditentukan dengan keterangan dari dalam (interne evidentie) dan
keterangan dari luar (externe evidentie) yaitu berdasarkan identifikasi yang
dilakukan Girardet (1990) dan Nancy (2000). Naskah A, E, dan F disalin pada
akhir abad ke-19, naskah C disalin pada pertengahan abad ke-19, naskah G disalin
pada pertengah-an abad ke-20. Sedangkan naskah D tidak memiliki informasi
yang menyebutkan tahun penulisan, namun bila dilihat dari lampiran pada bagian
belakang naskah tentang lakon “Duta Cengkar” yang dipentaskan pada Ultah ke-
12 G. B. R. A. Siti Kamaril Ngarasati Kusuma Wardani pada tanggal 9-10 Mei
1933, maka disimpulkan bahwa naskah D ditulis ± abad ke-20.
Tabel 2
Perbandingan Tahun Penulisan
Naskah A B C D E F G H
Tahun
Penulisan
Akhir
abad
19
1901 Perte-
ngahan
abad
19
± Awal
abad
20
Akhir
abad 19
Akhir
abad 19
Perte-
ngahan
abad
20
1907
Berdasarkan perbandingan tahun penulisan pada tabel di atas, dapat disimpulkan
bahwa naskah Darmalaksita yang tertua adalah naskah C dengan nomor katalog
390 Ra, sedang naskah yang termuda adalah naskah G dengan nomor katalog
A 163.
c. Perbandingan Jumlah dan Urutan Bait
Kedelapan naskah Darmalaksita memiliki jumlah pupuh dan tembang
yang sama, yakni pupuh I: Dhandhanggula, pupuh II: Kinanthi, pupuh III: Mijil.
80
Sekalipun demikian, dalam setiap pupuhnya memiliki bait yang tidak semua
sama. Hal ini dapat diamati pada tabel berikut.
Tabel 3
Perbandingan Jumlah dan Urutan Bait
Naskah Pupuh Bait
A B C D E F G H
Kete-rangan
I 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Jumlah 12 12 12 12 12 12 12 12 ABCDEFGH
81
II 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+1,2
+3-6
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Jumlah 10 10 9 10 10 10 10 10 ABDEFGH-C
III 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+1,2
+3-6
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
82
16
17
18
19
20
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
-
+
+
+
+
-
+
+
+
+
-
+
+
+
+
-
+
+
+
-
+
+
+
+
+
-
Jumlah 20 19 18 19 19 19 19 19 A-BDEFGH-C
Keterangan tabel
- pada kolom naskah : tidak ada
+ : ada
+…. : ada tetapi hanya pada baris yang tercantum dalam tanda
tersebut.
- pada kolom keterangan: tanda pemisah antar kelompok naskah
Perbandingan bait pada pupuh I memiliki urutan dan jumlah yang sama.
Sedangkan pupuh II memiliki urutan dan jumlah yang berbeda, yakni pada awal
bait ke-4 naskah C hilang. Hal ini terjadi karena penyalinan dilakukan secara tidak
urut, diawali dengan bait ke-3 baris 1 dan 2 dilanjutkan bait ke-4 baris 3-6 dan
seterusnya, akibatnya terjadi pergeseran bait. Bait ke-3 naskah C merupakan
gabungan dari bait ke-3 baris 1 dan 2 serta bait ke-4 baris 3-6, sehingga bait ke-4
naskah C merupakan bait ke-5 pada ketujuh naskah yang lain, begitu seterusnya.
Oleh sebab itu naskah C memiliki jumlah bait yang lebih sedikit dari ketujuh
naskah yang lain. Pupuh III naskah C mengalami hal yang sama, yakni pada awal
bait ke-14. Penyalinan dimulai dari bait ke-13 baris 1 dan 2 dilanjutkan bait ke-14
baris 3-6 dan seterusnya, sehingga bait ke-14 naskah C merupakan bait ke-15
pada ketujuh naskah yang lain. Kedua penghilangan yang telah diuraikan di atas
disebut lakuna karena ada bagian yang terlampaui baik suku kata, kata kelompok
kata maupun kalimat (Baried, 1997). Namun karena mata penyalin melompat
83
maju dari perkataan ke perkataan yang sama, maka secara spesifik disebut saut du
meme au meme (Reynolds dan Wilson dalam Hendrosaputra, 1998: 134).
Akibatnya beberapa baris atau bait terlewati.
Pupuh II, Kinanthi
3. Lawan malih sulangipun Margané wong kanggêp nglaki ………………………………. l ………………………………. a ………………………………. k saut du meme Bait ke-3 ………………………………. u au meme 4. ………………………………. n ………………………… nglaki a Miturut margané welas Mituhu margané asih Mantêp marganira trêsna Yèn têmên dènandêl nglaki Pupuh III, Mijil 13. Iku lagi tampanana nuli Kang nastiti batos ………………………………….. l ………………………………….. a ………………………………….. k saut du meme Bait ke-13 ………………………………….. u au meme 14. ………………………………….. n ……………….waspaos a Aturêna layang pratélané Mring priyanta paran ingkang kapti Ngêntènana malih Mring pangatagipun
Pupuh III naskah A memiliki jumlah bait terbanyak yakni 20 bait. Bait-bait
tersebut mewakili ketujuh naskah yang lain. Naskah B, D, E, F, G dan H me-
miliki jumlah bait yang sama, namun memiliki urutan bait yang berbeda. Bait ke-
19 naskah G merupakan bait ke-20 naskah A. Sedangkan bait ke-19 naskah B, D,
84
E, F dan H yang merupakan bait ke-18 naskah C, tidak ada pada naskah G. Bila
didasarkan pada bacaan terbanyak maka disimpulkan bahwa jumlah bait pupuh I:
12 bait, pupuh II: 10 bait dan pupuh III: 19 bait. Namun saksi terbanyak tidak
menjamin bahwa saksi tersebut benar, sehingga perlu pertimbangan yang matang.
Ada kemungkinan naskah G disalin dari naskah A, apalagi keduanya
disimpan pada tempat yang sama dan usia naskah G lebih muda dari naskah A.
Namun untuk naskah C yang usianya lebih tua dari naskah A, hal tersebut perlu
penelitian lebih lanjut, misalnya dengan perbandingan metrum dan bacaan. Begitu
pula dengan naskah E dan F yang berada pada kurun waktu yang sama.
Sedangkan naskah B, D, dan H ada kemungkinan disalin dari naskah A, namun
tidak tertutup kemungkinan ketiga naskah tersebut disalin dari naskah yang tidak
diketahui keberadaannya.
Berdasar perbandingan urutan bait secara keseluruhan, maka kedelapan
naskah Darmawasita dapat dikelompokkan menjadi empat:
1) Naskah A dengan jumlah bait pada pupuh I: 12 bait, pupuh II: 10 bait, pupuh
III: 20 bait
2) Naskah B, D, E, F dan H dengan jumlah bait pada pupuh I: 12 bait, pupuh II:
10 bait, pupuh III: 19 bait.
3) Naskah C dengan jumlah bait pada pupuh I: 12 bait, pupuh II: 9 bait, pupuh
III: 18 bait
4) Naskah G dengan jumlah bait pada pupuh I: 12 bait, pupuh II: 10 bait, pupuh
III: 19 bait, namun dengan urutan yang berbeda dari kelompok III.
Untuk lebih jelasnya dapat diamati pada pengelompokan berikut.
85
A BDEFH C G
d. Perbandingan Metrum
Di bawah ini akan disajikan kesalahan metrum yang terjadi akibat proses
salin-menyalin pada kedelapan naskah yang diperbandingkan.
Tabel 4
Perbandingan Kesalahan Metrum
Naskah
No. A B C D E F G H
1.
2.
3.
4.
5.
6.
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
I.12.6. 8a (7a)
√
√
√
√ I.8.9. 11i (12i)
√
√
√
√
√
√
√
I.1.9. 11i (12i) I.2.1. 9I (10i)
√
√
√
√
√
√
I.2.3.9e (8e) I.2.5.8i
(9i) √
√
86
7.
8.
9.
10.
11.
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
II.2.4.
6i (8i)
√
√
√
√
√
√
II.7.5.
9a (8a)
II.7.6.
9i (8i)
√
√
II.5.1.
7u (8u)
II.7.5.
9a (8a)
√
√
√
√
√
√
II.9.2.
8e (8i)
√
√
√
√
√
√
√
II.7.5. 9a
(8a)
√
√
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18
19.
20.
21.
22.
23.
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
III.18.1
9i (10i)
√
III.2.5.
7i (6i)
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
III.3.5.
5i (6i)
√
√
√
√
√
√
√
√
√
III.2.5.
7i (6i)
√
√
III.4.4.
9i (10i)
III.5.5.
7i (6i)
√
III.8.3.
9I
(10e)
√
III.12.1
10a
(10e)
√
√
√
III.2.5.
7i (6i)
√
√
√
√
√
√
III.10.3
9e
(10e)
√
√
√
III.2.3.
8e (10e)
√
III.3.3.
9e (10e)
√
√
√
III.7.2.
7o (6o)
III.8.3.
10a
(10e)
√
√
√
√
87
Jml ke-
salahan
0 1 2 3 4 6 4 7
Keterangan tabel:
1) Tanda √ menunjukkan bahwa tidak terjadi kesalahan metrum
2) Angka Romawi menunjukkan pupuh.
3) Angka Arab pertama dan berikutnya menunjukkan bait dan baris.
4) Angka Arab disertai abjad Latin menunjukkan metrum naskah dan metrum
yang benar sesuai konvensi tembang macapat.
Naskah A tidak mengalami kesalahan metrum sedangkan naskah H memiliki
jumlah kesalahan metrum terbanyak yakni 7 kesalahan. Pada perbandingan di atas
juga ditemukan kesalahan pada tempat yang sama yakni naskah D, E dan H.
Kesalahan tersebut terletak pada pupuh II bait ke-7 baris ke-5 yang berjumlah 9a
seharusnya 8a. Selain itu juga ditemukan pada naskah C, F dan G yang terletak
pada pupuh III bait ke-2 baris ke-5 yang berjumlah 7i seharusnya 6i. Sekalipun
demikian tidak ada naskah yang memiliki kesalahan metrum yang sama persis,
jadi hanya pada beberapa tempat atau bagian saja. Berdasar perbandingan di atas
maka dibuat pengelompokan naskah sebagai berikut.
Kelompok I terdiri atas naskah A
Kelompok II terdiri atas naskah B
Kelompok III terdiri atas naskah CFG
Kelompok IV terdiri atas naskah DEH
A B CFG DEH
88
e. Perbandingan Bacaan
Variasi bacaan pada kedelapan naskah Darmawasita cukup banyak.
Varian tersebut dapat diamati pada tabel berikut.
Tabel 5
Perbandingan Bacaan
Naskah Pu.
Ba.
Br
A B C D E F G H
Keterangan
I.1.1 pa-
mêr-
di-
ning
pa-
mar-
di-
ning
pa-
mrê-
di-
ning
pa-
mar-
di-
ning
pa-
mêr-
di-
ning
pa-
mêr-
di-
ning
pa-
mar-
di-
ning
pa-
mar-
di-
ning
AEF-BDGH-C
I.1.2 wi-
nursi-
ta
wi-
nursi-
ta
pinur-
waka
pinur-
waka
pinur-
waka
pinur-
waka
wi-
nursi-
ta
pinur-
waka
ABG-CDEFH
I.1.4 Mulut Mu-
lud
Mulut Mu-
lud
Mulut Mulut Mu-
lud
Mu-
lud
ACEF-BDGH
I.1.5 kasa-
nga
kasa-
nga
kasa-
nga
kaso-
nga
kaso-
nga
kaso-
nga
kasa-
nga
kasa-
nga
ABCGH-DEF
I.1.6 anê-
ngaa
anê-
ngaa
anê-
ngaa
anê-
ngoa
anê-
ngoa
anê-
ngoa
anê-
ngaa
anê-
ngaa
ABCGH-DEF
I.1.7 sari-
ranta
sari-
ranta
sari-
ranta
sari-
ranta
sari-
ranta
sali-
ranta
sari-
ranta
sari-
ranta
ABCDEGH-F
I.1.9 ma-
rang
dha-
wuh
ma-
rang
ma-
rang
ma-
rang
ma-
rang
ma-
rang
dha-
wuh
ACDEF-BH-G
89
sira
pu-
trèng-
sun
jalu
lan
èstri
ma-
rang
pu-
trèng-
sun
jalu
lan
èstri
sira
pu-
trèng-
sun
jalu
lan
èstri
sira
pu-
trèng-
sun
jalu
lan
èstri
sira
pu-
trèng-
sun
jalu
lan
èstri
sira
pu-
trèng-
sun
jalu
lan
èstri
sira
pu-
trèng-
sun
jalu
èstri
ma-
rang
pu-
trèng-
sun
jalu
lan
èstri
I.1.
10
muga
padha
èstok-
na
padha
a-
ngès-
toke-
na
muga
padha
èstok-
na
muga
padha
èstok-
na
muga
padha
èstok-
na
muga
padha
èstok-
na
muga
padha
ngès-
tokna
padha
ma-
ngès-
toké-
na
ACDEF-B-G-H
I.2.1 rèhné rèhné rèhné rèh-
ning
rèh-
ning
rèh-
ning
rèhné rèhné ACDEF-BH-G
I.2.2 la-
kon-
ing
laku-
ning
laku-
ning
laku-
ning
laku-
ning
laku-
ning
la-
kon-
ing
laku-
ning
AG-BCDEFH
I.2.3 sun
tuturi
ka-
mula-
né
ing-
sun
tutur
ka-
mula-
né
sun
tutur
ing
ka-
mula-
né
sun
tutur
ing
ka-
mula-
né
sun
tuturi
ka-
mula-
né
sun
tutur
ing
ka-
mula-
né
sun
tuturi
ka-
mula-
né
ing-
sun
tuturi
ka-
mula-
né
AEG-B-CDF H
I.25 pe-
pan-
taran
pe-
pan-
taran
pe-
pan-
taran
pe-
pan-
taran
pe-
pan-
taran
pe-
pan-
taran
pe-
pan-
taran
pan-
taran
ABCDEFG-H
90
I.2.6 dunya dunya dunya
dunya dunya dunya donya dunya ABCDEFH-G
I.2.9 da-
wak-
kên
da-
wak-
kên
da-
wak-
kên
da-
wak-
kên
da-
wak-
kên
da-
wak-
kên
da-
wêk-
kên
da-
wak-
kên
ABCDEFG-H
I.3.1 sra-
na-
ning
sra-
na-
ning
sra-
na-
ning
sra-
na-
ning
sra-
na-
ning
pra-
na-
ning
sra-
na-
ning
sra-
na-
ning
ABCDEGH-F
I.3.2 tu-
man-
duk-
ing
ma-
rang
tu-
man-
duké
ma-
rang
tu-
man-
duké
ma-
rang
tu-
man-
duké
ma-
rang
tu-
man-
duk-
ing
ma-
rang
tu-
man-
dukén
ma-
rang
tu-
man-
duké
ma-
rang
tu-
man-
duké
ma-
ring
AE-BCDG-F-H
I.3.4 si-
nem-
badan
saka-
yun
si-
nem-
badan
saka-
yun
si-
nem-
badan
saka-
yun
si-
nem-
badan
ing
kayun
si-
nem-
badan
saka-
yun
si-
nem-
badan
saka-
yun
si-
nem-
badan
saka-
yun
si-
nem-
badan
saka-
yun
ABCEFGH-D
I.3.5 mring mring nèng
mring mring mring mring mring ABDEFGH-C
I.3.6 inga-
ran
inga-
ran
inga-
ran
inga-
ran
kang
aran
inga-
ran
inga-
ran
inga-
ran
ABCDFGH-E
I.3.8 wo-
lung
pèdah
wolu
pèdah
wo-
lung
pèdah
wo-
lung
pèdah
wo-
lung
pèn-
dah
wo-
lung
pèdah
wo-
lung
pèdah
wo-
lung
pèdah
ACDFGH-B-E
91
I.3.9 ma-
rang
janma
mar-
gané
mrih
san-
dhang
bukti
ma-
rang
janma
mar-
gané
mrih
san-
dhang
bukti
ma-
rang
janma
mar-
gané
mrih
san-
dhang
bukti
ma-
rang
janma
mar-
gané
mrih
san-
dhang
bukti
ma-
rang
jalma
mar-
gané
mrih
san-
dhang
bukti
ma-
rang
janma
mar-
gané
mrih
san-
dhang
bukti
ma-
rang
janma
mar-
gané
mrih
san-
dhang
bukti
ma-
rang
janma
mar-
gané
mrih
pa-
dhang
bukti
ABCDFG-E-H
I.3.
10
dhi-
ngin
dhi-
hin
dhi-
ngin
dhi-
hin
dhi-
ngin
dhi-
ngin
dhi-
ngin
dhi-
hin
ACEFG-BDH
I.4.2 cong-
gahi-
ra
cong-
gahi-
ra
cong-
gahi-
ra
cung-
gahi-
ra
cong-
gahi-
ra
cong-
gahi-
ra
cong-
gahi-
ra
cong-
gahi-
ra
ABCEFGH-D
I.4.6 katri
gêmi
ga-
rap-
nya
katri
gêmi
ga-
rap-
nya
katri
gêmi
ga-
rap-
nya
ping
tri gê-
mi
ga-
rap-
nya
katri
gêmi
ga-
rap-
nya
katri
gêmi
ga-
rap-
nya
katri
gêmi
ga-
rap-
nya
katri
gêmi
ga-
rap-
nya
ABCEFGH-D
I.4.7 mrih mrih mrih mring mrih mrih mrih mrih ABCEFGH-D
I.4.8 ping
pat
nastiti
pa-
mrik-
sa
ping
pat
nastiti
pa-
mrik-
sa
ping
pat
nastiti
pa-
prik-
sa
ping
pat
nastiti
pa-
mrik-
sa
ping
pat
nastiti
pa-
mrik-
sa
ping
pat
nastiti
pa-
mrik-
sa
papat
nastiti
pa-
mrik-
sa
ping
pat
nastiti
parik-
sa
ABDEF-C-G-H
92
I.4.9 iku
dadi
mar-
ga-
ning
wêruh
pa-
wès-
thi
iku
dadi
mar-
gané
wêruh
ing
pasthi
iku
dadi
mar-
gané
wêruh
pa-
wèstri
iku
dadi
mar-
gané
wêruh
pa-
wès-
thi
iku
dadi
mar-
gane
wêruh
pa-
wès-
thi
iku
dadi
mar-
gane
wêruh
pa-
wèsti
iku
dadi
mar-
gane
wêruh
ing
pasthi
iku
dadi
mar-
gane
wêruh
ing
pêsthi
A-BG-C-DE-F-
H
I.4.
10
lima
wruh
ngè-
tung
ika
lima
wruh-
ing
pè-
tung-
an
lima
wruh
étung
ira
lima
wruh
étung
ira
lima
wruh
ngè-
tung
ika
lima
wruh
ngè-
tung
ika
lima
wruh
ngè-
tung
ika
lima
wruh-
ing
pè-
tung-
an
AEFG-BH-CD
I.5.1 watêk watêk watak watêk watêk watêk watêk watêk
ABDEFGH-C
I.5.3 ngun-
dak-
kên
ngun-
dak-
kên
ngun-
dak-
kên
ngun-
dak-
kên
ngun-
dak-
kên
ngun-
dak-
kên
ngun-
dak-
kên
mun-
dak-
kên
ABCDEFG-H
I.5.4 ping
pitu
nyê-
gah
kayun
ping
pitu
nyê-
gah
kayun
ping
pitu
cêgah
kayun
ping
pitu
nyê-
gah
kayun
ping
pitu
nyê-
gah
kayun
pipitu
nyê-
gah
kayun
ping
pitu
nyê-
gah
kayun
ping
pitu
nyê-
gah
kayun
ABDEGH-C-F
I.5.6 ma-
rang
ma-
rang
ma-
ring
ma-
rang
ma-
rang
ma-
rang
ma-
rang
ma-
ring
ABDEFG-CH
93
I.5.8 sêja sêja sêja sêda sêja sêja sêja Sêja
ABCEFGH-D
I.6.1 durta-
ning
kang
ati
durta-
ning
kang
ati
Ing
durta-
ning
ati
durta-
né
kang
ati
durta-
ning
kang
ati
durta-
ning
kang
ati
durta-
ning
kang
ati
dur-
ha-
ning
kang
ati
ABEFG-C-D-H
I.6.2 anyê-
dak-
kên
raha-
yu-
ning
badan
anyê-
dakki
raha-
yu-
ning
raga
anyê-
dak-
kên
raha-
yu-
ning
raga
anyê-
dakki
raha-
yu-
ning
raga
anyê-
dak-
kên
raha-
yu-
ning
raga
anyê-
dak-
kên
raha-
yu-
ning
ngang
ga
anyê-
dak-
kên
raha-
yu-
ning
badan
anyê-
dakki
raha-
yu-
ning
raga
AG-BDH-CE-F
I.6.3
mring mring mring ing mring mring mring mring ABCEFGH-D
I.6.5 utang
lan
silih
utang
lan
silih
utang
anyi-
lih
utang
lan
silih
utang
lan
silih
utang
lan
silih
utang
lan
nyilih
utang
lan
silih
ABDEFH-C-G
I.6.6 dêra-
jat
dêra-
jad
dara-
jat
dara-
jat
dara-
jat
wara-
jat
dara-
jat
dara-
jat
A-B-CDEGH-F
I.6.9 sira sira sira sira sira sira sira sara ABCDEFG-H
I.6.
10
nya-
tané
a-
ngra-
tan-
dhané
a-
ngrê-
nya-
tané
a-
ngrê-
nya-
tané
a-
ngrê-
nya-
tané
a-
ngrê-
nya-
tané
a-
ngra-
nya-
tané
a-
ngrê-
Tan-
dhané
a-
ngra-
AF-B-CDEG-H
94
rêpa rêpa rêpa rêpa rêpa rêpa rêpa rêpa
I.7.1 lara-
lara-
ning
lara-
lara-
né
lara-
lara-
né
lara-
lara-
né
lara-
lara-
né
lara-
lara-
né
lara-
lara-
ning
Lara-
lara-
né
AG-BCDEFH
I.7.7
tuduh tuduh tuduh tuduh tutur tuduh tuduh tuduh ABCDFGH-E
I.7.8 ing-
kang
aran
angi-
lang-
kên
ing-
kang
aran
ing-
kang
aran
ing-
kang
aran
ing-
kang
aran
ing-
kang
aran
angi-
lang-
kên
ACDEFG-BH
I.7.9
asor kasor asor asor asor asor asor asor ACDEFGH-B
I.7.
10
tan
amor
tan
amor
tan
amor
tan
amor
tan
amor
tanpa
mor
tan
amor
tan
amor
ABCDEGH-F
I.8. suduk suduk suduk suduk suduk susuk suduk suduk ABCDEGH-F
I.8.3 kalu-
put-
ané
kalu-
lutané
kalu-
put-
ané
kalu-
put-
ané
kalu-
put-
ané
kalu-
put-
ané
kalu-
put-
ané
kalu-
put-
ané
ACDEFGH-B
I.8.6 dupèh du-
mèh
du-
mèh
du-
mèh
du-
mèh
du-
mèh
dupèh du-
mèh
AG-BCDEFH
I.8.8 gaota gaota gaota gaota gaota gaota gaota gauta ABCDEFG-H
I.8.
10
ma-
nulak
mring
sang-
sara
panu-
lak
mring
sang-
sara
panu-
lak
mring
sang-
sara
panu-
lak
mring
sang-
sara
panu-
lak
mring
sang-
sara
panu-
lak
mring
sang-
sara
ma-
nulak
mring
sang-
saya
panu-
lak
mring
sang-
sara
A-BCDEFH-G
I.9.2 kawi-
kana
wi-
kana-
kawi-
kana
ngwi-
kana
kawi-
kana
kawi-
kana
kawi-
kana
wi-
kana-
ACEFG-BH-D
95
na na
I.9.4 ma-
nising
nêtya
luruh
ma-
nising
nêtra
ruruh
ma-
nisé
nêtra
luruh
ma-
nising
nêtya
luruh
ma-
nising
nêtya
luruh
ma-
nising
nêtya
ruruh
ma-
nising
nêtya
luruh
ma-
nising
nêtra
ruruh
ADEG-BH-C-F
I.9.6 kang
trêp-
silèng
tata
kang
trêp-
silèng
tata
ka-
trêp-
silèng
tata
kang
trêp-
silèng
tata
kang
trêp-
silèng
tata
kang
trêp-
silèng
tata
kang
trap-
silèng
tata
kang
trêp-
silèng
tata
ABDEFH-C-G
I.9.8 mar-
dawa
mar-
dawa
mar-
dawa
mar-
dawa
mar-
dawa
mar-
dawa
mar-
daya
mar-
dawa
ABCDEFH-G
I.10.
1
ré-
wang
é
ré-
wang
é
ré-
wang
é
ro-
wang
é
ro-
wang
é
ro-
wang
é
ré-
wang
é
ro-
wang
é
ABCG-DEFH
I.10.
8
pra-
saja
pasa-
ja
pra-
saja
pra-
saja
pra-
saja
pra-
saja
pra-
saja
pra-
saja
ACDEFGH-B
I.11.
1
angê-
doh-
kên
angê-
doh-
kên
anga-
doh-
kên
angê-
doh-
kên
angê-
doh-
kên
angê-
doh-
kên
angê-
doh-
kên
angê-
doh-
kên
ABDEFGH-C
I.11.
3
ma-
rang
ma-
rang
ma-
rang
ma-
ring
ma-
rang
ma-
rang
ma-
rang
ma-
rang
ABCEFGH-D
I.11.
4
su-
langi-
pun
su-
langi-
pun
wu-
langi-
pun
su-
langi-
pun
su-
langi-
pun
su-
langi-
pun
wu-
langi-
pun
su-
langi-
pun
ABDEFH-CG
I.11.
6
pa-
ngu-
lahira
pa-
ngu-
lahira
pa-
ngo-
lahira
pa-
ngu-
lahira
pa-
ngu-
lahira
pa-
ngo-
lahira
pa-
ngu-
lahira
pa-
ngu-
lahira
ABDEGH-CF
96
I.11.
8
gêr-
ba-
ning
basa
gêr-
ba-
ning
basa
grê-
ba-
ning
désa
gêr-
ba-
ning
basa
grê-
ba-
ning
bang-
sa
grê-
ba-
ning
basa
gêr-
ba-
ning
basa
gêr-
ba-
ning
basa
ABDGH-C-E F
I.11.
9
yèka
aran
kala-
kuan
ing-
kang
bêcik
yèka
aran
kala-
kuan
ing-
kang
bêcik
yèka
aran
kala-
kuan
ing-
kang
bêcik
iku a-
ran
kala-
kuan
ing-
kang
bêcik
yèka
aran
kala-
kuan
ing-
kang
bêcik
yèka
aran
kala-
kuan
ing-
kang
bêcik
yèka
aran
kala-
kuan
ing-
kang
bêcik
yèka
aran
kala-
kuan
ing-
kang
bêcak
ABCEFG-D-H
I.11.
10
mar-
gané
mring
mar-
gané
mring
mar-
gané
mrih
mar-
gané
mrih
mar-
ga-
ning
mring
mar-
gané
mring
mar-
gané
mring
mar-
gané
mring
ABFGH-CD-E
I.12.
1
pê-
pun-
toné
goni-
ra
pê-
pun-
toné
goni-
ra
pa-
pun-
toné
goni-
ra
pa-
mun-
thoné
goni-
ra
pa-
mun-
toné
goni-
ra
pa-
pun-
toné
goni-
ra
pê-
pun-
tonè
goni-
ra
pe-
pun-
toné
goniri
ABG-CF-D-E-
H
I.12.
2
upaya upaya upaya upaya pra-
kara
upaya upaya upaya ABCDFGH-E
I.12.
3
pa-
mus-
pa-
ngês-
pa-
ngês-
pa-
ngês-
pa-
ngês-
pa-
ngês-
pa-
mus-
pa-
ngês-
AG-BCDEFH
97
thiné thiné
thiné thiné thiné thiné thiné thiné
I.12.
6
ka-
pin-
dho
ka-
pin-
dho
ka-
pin-
dho
ka-
pin-
dhoné
ka-
pin-
dho
ka-
pin-
dho
ka-
pin-
bo
ka-
pin-
dho
ABCEFH-D-G
I.12.
9
milia milih-
a
milia milia milia milia milih-
a
milih-
a
ACDEF-BGH
I.12.
12
dadi
kanthi
nèng
donya
dadi
kanthi
nèng
dunya
dadi
kanthi
nèng
donya
dadi
kanthi
nèng
dunya
dadi
kanthi
nèng
dunya
dadi
kan-
thi-
ning
dunya
dadi
kanthi
nèng
donya
dadi
kanthi
nèng
dunya
ACG-BDEH-F
II.1.
3
srê-
gêp
srê-
gêp
srê-
gêp
sêr-
gêp
srê-
gêp
srê-
gêp
srê-
gêp
srê-
gêp
ABCEFGH-D
II.2.
2
akar-
ya lê-
ga
kang
nu-
ding
akar-
ya lê-
ga-
ning
Gusti
akar-
ya lê-
ga
kang
nu-
ding
akar-
ya lê-
ga
kang
nu-
ding
akar-
ya lê-
ga
kang
nu-
ding
akar-
ya lê-
ga
kang
nu-
ding
akar-
ya lê-
ga
kang
nu-
ding
akar-
ya lê-
ga-
ning
Gusti
ACDEFG-BH
II.2.
3
mar-
ga-
ning
mar-
gané
mar-
gané
mar-
gané
mar-
ga-
ning
mar-
ga-
ning
mar-
ga-
ning
mar-
ga-
ning
AEFGH-BCD
II.2.
4
déné
ta pa-
ngati-
ati
déné
kang
pa-
ngati-
déné
ta pa-
ngati-
ati
déné
ta pa-
ngati-
ati
déné
ta pa-
ngati-
ati
déné
ta pa-
ngati-
ati
déné
ta pa-
ngati-
ati
déné
kang
pa-
ngati-
ACDEFG-BH
98
ati ati
II.3.
6
mar-
ga-
ning
mar-
gané
mar-
gané
mar-
gané
mar-
gané
mar-
ga-
ning
mar-
gané
mar-
gané
AF-BCDEGH
II.3.
1
wu-
langi-
pun
wu-
lang
ing-
sun
wu-
lang
ing-
sun
wu-
langi-
pun
wu-
langi-
pun
wu-
langi-
pun
wu-
langi-
pun
wu-
langi-
pun
ADEFGH-BC
II.3.
2
nglaki nglaki laki nglaki nglaki nglaki nglaki nglaki ABDEFGH-C
II.3.
4
dhu-
yung
dhu-
yung
- dhu-
yung
dhu-
yung
wu-
yung
dhu-
yung
dhu-
yung
ABDEH-C-F-G
II.3.
6
wi-
nahya
wi-
nahya
- wi-
nahya
wi-
nahya
wi-
nahya
wi-
nahya
wina-
tya
ABDEFG-C-H
II.4.
3
mitu-
rut
mar-
ga-
ning
wêlas
pitu-
rut
mar-
gané
wêlas
mitu-
rut
mar-
gané
wêlas
mitu-
rut
mar-
gané
wêlas
mitu-
rut
mar-
ga-
ning
wêlas
pitu-
rut
mar-
ga-
ning
wêkas
mitu-
rut
mar-
ga-
ning
wêlas
patu-
tur
mar-
gané
wêlas
AEG-B-CD-F-
H
II.4.
4
mitu-
hu
mar-
ga-
ning
mitu-
hu
mar-
gané
mitu-
hu
mar-
ga-
ning
mitu-
hu
mar-
ga-
ning
mitu-
hu
mar-
ga-
ning
mitu-
hu
mar-
ga-
ning
mitu-
hu
mar-
ga-
ning
mêtu-
hu
mar-
ga-
ning
AEFG-BCD-H
II.4.
5
mar-
gani-
mar-
gani-
mar-
gani-
mar-
gani-
mar-
gani-
mar-
gani-
mar-
ga-
mar-
gani-
ABCEFH-D-G
99
rèng rèng rèng ra rèng rèng ning-
rèng
rèng
II.4.
6
andêl andêl andêl andêl andêl andil andêl adil ABCDEG-F-H
II.5.
1
turun turun turun turun run turun turun turun ABCDFGH-E
II.5.
2
dudu
brana
lawan
warni
dudu
brana
dudu
warni
dudu
brana
lawan
warni
dudu
brana
lawan
warni
dudu
brana
dudu
warni
dudu
brana
dudu
warni
dudu
brana
lawan
warni
dudu
brana
dudu
warni
ACDG-BEFH
II.5.
6
ru-
mêk-
sa ka-
layan
wadi
ru-
mêk-
sa ka-
lawan
wadi
ru-
mêk-
sa ka-
layan
wani
ru-
mêk-
sa ka-
layan
wadi
ru-
mêk-
sa ka-
ya lan
wadi
ru-
mêk-
sa ka-
layan
wêdi
ru-
mêk-
sa ka-
layan
wadi
ru-
mêk-
sa ka-
lawan
wadi
ADG-BH-C-E-
F
II.6.
1
basa basa basa basa bang-
sa
basa basa basa ABCDFGH-E
II.6.
2
nglaki laki nglaki nglaki laki nglaki laki nglaki ACDFH-BEG
II.6.
3
linêk-
sanan
linak-
sanan
linak-
sanan
linak-
sanan
linak-
sanan
linak-
sanan
linê-
kasan
linak-
sanan
A-BCDEFH-G
II.6.
4
tan
suwa-
la lan
bari-
bin
tan
suwa-
la tan
bari-
bin
tan
suwa-
la lan
bari-
bin
tan
suwa-
la lan
bari-
bin
tan
suwa-
la lan
bari-
bin
tan
suwa-
la lan
bari-
bin
tan
suwa-
la lan
bari-
bin
Tan
suwa-
la ta
bari-
bin
ACDEFG-B-H
II.6. lêjar- lêjar- lêjaré lêjar- lêjar- lêjar- lêjar- Lêjar- ABDEFGH-C
100
5 ing ing ing ing ing ing ing
II.6.
6
pin-
dho
min-
dho
min-
dho
min-
dho
min-
dho
min-
dho
pin-
dho
min-
dho
AG-BCDEFH
II.7.
2
kar-
sa-
ning
nglaki
kar-
sa-
ning
nglaki
kar-
sa-
ning
nglaki
kar-
sa-
ning
laki
pa-
kon-
ing
nglaki
karsi-
ning
nglaki
kar-
sa-
ning
laki
kar-
sa-
ning
laki
ABC-DGH-E-F
II.7.
3
sanis-
kara
sanis-
kara
sanis-
ko-
rèng
sanis-
kara
sanis-
kara
sanis-
kara
sanis-
kara
sanis-
kara
ABDEFGH-C
II.7.
5
apa
kang
lagi
rinê-
nan
apa
kang
lagi
rinê-
nan
apa
kang
lagi
rinê-
nan
apa
kang
lagi
rinê-
nanan
apa
kang
lagi
rinê-
mên-
an
apa
kang
lagi
rinê-
nan
ana
kang
lagi
rinê-
nan
apa
ka
lagi
rinê-
nan-
an
ABCF-D-E-G-
H
II.7.
6
kang
gu-
mati
kang
gu-
mati
kang
gu-
mati
kanthi
gu-
mati
kang
gu-
mati
kang
gu-
mati
kang
gu-
mati
kang
gu-
mati
ABCEFGH-D
II.8.
2
nglaki nglaki laki laki laki nglaki lagi laki AEF-BCDH-G
II.8.
4
kang
wajib
kang
wajib
kang
wajib
kang
wajib
kang
wajip
kang
wajib
kang
wajib
ka
wajib
ABCDFG-E-H
II.8.
5
ujut
wujud ujud wujud wujut ujut wujud wujud AF-BDGH-C-E
II.8.
6
èstri èstri thês-
tri
èstri èstri èstri èstri èstri ABDEFGH-C
101
II.9.
2
nastiti nastiti nastiti nastiti nastiti nasti-
té
nastiti nastiti ABCDEGH-F
II.9.
6
jiwa-
ni-
rèng
ji-
wanta
ji-
wanta
ji-
wanta
ji-
wanta
ji-
wanta
jiwa-
ni-
rèng
ji-
wanta
AG-BCDEFH
II.10
1
basa
wadi
basa
wadi
kang
sawa-
di
basa
wadi
basa
wadi
basa
wadi
basa
wadi
basa
wadi
ABDEFGH-C
II.10
2
pini-
ngit
pini-
ngit
wini-
ngit
pini-
ngit
pini-
ngit
pini-
ngit
pini-
ngit
pini-
ngit
ABDEFGH-C
II.10
3
dadya dadi dadya dadya dadi dadya dadya dadi ACDFG-BEH
II.10
4
a-
nglin
sêmi
a-
nglin
sêmi
ngla-
hing-
sêmi
ngli-
hing-
sêmi
ngla-
hing-
sêmi
nglak
ing-
sêmi
a-
nglin
sêmi
a-
nglin
sêmi
ABGH-C-DE F
II.10
5
mar-
ma
sira
dèn
abisa
mar-
mané
dèn
bisa
sira
mar-
ma
sira
dèn
abisa
mar-
ma
sira
dèn
abisa
mar-
ma
sira
dèn
abisa
mar-
ma
dira
abisa
mar-
ma
sira
dèn
abisa
mar-
mané
dèn
bisa
sira
ACDEG-BH-F
II.10
6
nyim-
pên
wadi
wwa
kawi-
jil
nim-
pên
wadi
ywa
kawi-
jil
nyim-
pên
wadi
ywa
kawi-
jil
nyim-
pên
wadi
ywa
kawi-
jil
nyim-
pên
wadi
ywa
kawi-
jil
nyim-
pên
wadi
ywa
kawi-
jil
nyim-
pên
wadi
ywa
kawi-
jil
nim-
pên
wadi
ywa
kawi-
jil
A-BH-CDEFG
III.1 a- mo- mo- mo- mo- mo- a- mo- AG-BDEFH-C
102
4 mong
putra
maru
sênta-
nabdi
mong
putra
maru
santa-
nabdi
mong
putra
santa-
na
lan
abdi
mong
putra
maru
santa-
nabdi
mong
putra
maru
santa-
nabdi
mong
putra
maru
santa-
nabdi
mong
putra
maru
sênta-
nabdi
mong
putra
maru
santa-
nabdi
III.2
1
was-
padak
na
dhi-
ngin
was-
padak
na
dhi-
ngin
wus-
padak
na
dhi-
ngin
was-
padak
na
dhi-
ngin
was-
padak
na
dhi-
ngin
wus-
padak
na
dhi-
ngin
was-
padak
na
dhi-
ngin
was-
padak
na
dhi-
ngin
ABDEGH-CF
III.2
3
wi-
nêng-
ku
dhè-
wèké
wi-
nêng-
kwèn
dhè-
wèké
wi-
nêng-
ku
dhè-
wèké
wi-
nêng-
ku
dhè-
wèké
wi-
nêng-
ku
dhè-
wèké
wi-
nêng-
ku
dhè-
wèké
wi-
nêng-
ku
dhè-
wèké
wi-
nêng-
kwèn
dhèké
ACDEFG-B-H
III.2
4
mi-
wah
watak
pam-
bêg-
kané
sami
mi-
wah
watak
pam-
bêg-
kané
sami
mi-
wah
watêk
pam-
bêka-
né sa-
mi
mi-
wah
watak
pam-
bêg-
kané
sami
mi-
wah
watak
pam-
bêg-
kané
sami
mi-
wah
watak
pam-
bêg-
kané
sami
mi-
wah
watak
pam-
bêka-
né sa-
mi
mi-
wah
watak
pam-
bêg-
kané
sami
ABDEFH-C-G
III.2
5
si-
nuks-
ma
si-
nuks-
ma
sinuk-
sama
si-
nuks-
ma
si-
nuk-
ma
sinuk-
sama
sinuk-
sama
si-
nuks-
ma
ABDH-CFG-E
III.3 ta- ta- ta- ta- ta- ta- ta- ta- AF-BDEH-C-G
103
1 kona
pa-
datan
-ing
kang
wis
kona
pa-
datan
é
kang
wis
kona
pa-
datan
é
kang
wis
kona
pa-
datan
é
kang
wis
kona
pa-
datan
é
kang
wis
kona
pa-
datan
-ing
kang
wis
kona
pa-
datan
ing-
kang
wis
kona
pa-
datan
é
kang
wis
III.3
2
cara-
ning
lêla-
kon
cara-
ning
lêla-
kon
cara-
ning
lêla-
kon
cara-
ning
lêla-
kon
cara-
ning
lêla-
kon
cara-
ning
lêla-
kon
cara-
né lê-
lakon
sari-
ning
lêla-
kon
ABCDEF-G-H
III.3
3
sêsi-
kuné
sêsi-
kuné
sêsi-
kuné
sêsi-
kuné
sêsi-
kuné
sêsi-
kuné
sêsi-
kuné
siku-
né
ABCDEFG-H
III.3
4
sêsi-
rikan
kang
tan
dére-
meni
sêsi-
rikan
kang
tan
dèn-
rê-
mêni
sasi-
rikan
é
kang
dèn-
rê-
mêni
sasê-
rikan
kang
tan
dèn-
rê-
mêni
sêsi-
rikan
kang
tan
dèn-
rê-
mêni
sêsi-
rikan-
ing
tan
dèn
rê-
mêni
sêsi-
rikan
kang
tan
dèn-
rê-
mêni
sêsi-
rikan
ki tan
dèn
rê-
mêni
A-BEG-C-D-F-
H
III.4
3
mring mring mri mring mring mring mring mring ABDEFGH-C
III.4
4
yèn
panu-
ju
ana
ing a-
sêpi
yèn
pinu-
ju
ana
ing a-
sêpi
yèn
pinu-
ju
ana
ing a-
sêpi
yèn
pinu-
ju
ana
ing a-
sêpi
yèn
pinu-
ju
ana
ing a-
sêpi
yèn
panu-
ju a-
ning
asêpi
yèn
panu-
ju
ana
ing a-
sêpi
yèn
panu-
ju
ana
ing
asêpi
AG-BCDEH-F
104
III.4
5
ywa ywa ywa ywa ywa yya ywa ywa ABCDEGH-F
III.5
3
ingu-
lap
ingu-
lab
ingu-
lap
ingu-
lap
ingu-
lap
ingu-
lap
ingu-
lap
ingu-
lap
ACDEFGH-B
III.5
4
datan datan datan datan datan datan ditan datan ABCDEFH-G
III.5
5
ban-
jurna
déra
ng-
ling
ban-
jurna
déra
ng-
ling
ban-
jurna
déra
ng-
ling
ban-
jurna
déra
ng-
ling
ban-
jurna
déra
ng-
ling
ban-
jurna
déra
nglaki
ban-
jurna
déra
ng-
ling
ban-
jura
déra
ng-
ling
ABCDEG-F-H
III.6
3
kang
dèn
wê-
nang-
aké
kang
winê-
nang-
aké
kang
winê-
nang-
aké
kang
winê-
nang-
aké
kang
winê-
nang-
aké
kang
winê-
ning-
aké
Kang
den
wê-
nang-
aké
kang
winê-
nang-
aké
AG-BCDEH-F
III.6
4
ma-
rang
sira
wa-
jibing
pa-
wèstri
ma-
rang
sira
wa-
jibing
pa-
wèstri
ma-
rang
para
wa-
jibing
pa-
wèstri
ma-
rang
sira
wa-
jibing
pa-
wèstri
ma-
rang
sira
wa-
jibing
pa-
wèstri
ma-
rang
sira
wa-
jibing
pa-
wèstri
ma-
rang
sira
wa-
jibing
pa-
wèstri
ma-
rang
sira
wa-
jibing
pa-
wèstri
ABDEFGH-C
III.6
5
ang-
gonên
ang-
gonên
ang-
gonên
kang-
gonên
ang-
gonên
ang-
gonên
ang-
gonên
ang-
gonên
ABCEFGH-D
III.7
2
kêla-
mun
kala-
mun
kala-
mun
kala-
mun
kala-
mun
kala-
mun
kala-
mun
kala-
mun
A-BCDEFG-H
105
wong
wa-
don
wong
wa-
don
wong
wa-
don
wong
wa-
don
wong
wa-
don
wong
wa-
don
wong
wa-
don
wong
wong
wa-
don
III.7
3
ora ora nora ora ora ora ora ora ABDEFGH-C
III.7
4
dènli-
lani
dènli-
lani
dènila
ni
dènli-
lani
dènli-
lani
dènli-
lani
dènli-
lani
dènli-
lani
ABDEFGH-C
III.8
3
lamun
du-
rung
ana
pali-
lahé
lamun
du-
rung
ana
pali-
lahé
lamun
du-
rung
ana
pali-
lahé
lamun
du-
rung
ana
pali-
lahé
lamun
du-
rung
ana
pali-
lahé
lamun
wu-
rung
lan
pali-
lahé
lamun
du-
rung
ana
pali-
lahé
lamu
du-
rung
ana
pali-
lahé
ABCDEG-F-H
III.8
4
sajro-
ning
sajro-
nèng
sajro-
ning
sajro-
né
san-
jro-
ning
sajro-
ning
san-
ro-
ning
sajro-
né
ACF-B-DH-E-
G
III.9
1
an-
dar-
bèni
an-
dar-
bèni
an-
dar-
bèni
an-
dar-
bèni
an-
dar-
bèni
an-
dar-
bèni
an-
dar-
bèni
an-
dèr-
beni
ABCDEFG-H
III.9
3
sang-
kané
sang-
ka sa-
karo-
né
sang-
kané
saka
saka-
roné
sang-
kané
saka
saka-
roné
sang-
kané
saka
saka-
roné
sang-
kané
sang-
ka sa-
karo-
né
sang-
kané
sang-
ka sa-
karo-
né
sang-
kané
sang-
ka sa-
karo-
né
sang-
kané
saka
saka-
roné
AEFG-BCDH
III.9 nging ring nging nging nging nging nging ming ACDF-B-E-G-
106
4 wa-
wê-
nang
isih
ana
nglaki
wê-
wê-
nang
isih
a-
nèng
laki
wa-
wê-
nang
isih
ana
nglaki
wa-
wê-
nang
isih
ana
nglaki
wa-
wê-
nang
mak-
sih a-
na
nglaki
wa-
wê-
nang
isih
ana
nglaki
wê-
wê-
nang
isih
anèng
laki
wê-
wê-
nang
misih
anèng
laki
H
III.9
5
ywa
gê-
gam-
pil
ywa
gê-
gam-
pil
yya
gê-
gam-
pil
ywa
gê-
gam-
pil
ywa
gê-
gam-
pil
yya
gê-
gêm-
pil
ywa
gê-
gam-
pil
ywa
gê-
gam-
pil
ABDEGH-C-F
III.
10.1
èkral
kang
dar-
bèni
èkrar
kang
dar-
bèni
èkral
kang
dar-
bèni
èkral
kang
dar-
bèni
èkral
kang
dar-
bèni
èkral
kang
dar-
bèni
èkral
kang
jagèni
èkrar
kang
dar-
bèni
ACDEF-BH-G
III.
10.3
wong
la-
nang
kang
darbé
wong
la-
nang
kang
darbé
wong
la-
nang
kang
darbé
wong
la-
nang
kang
darbé
wong
la-
nang
kang
darbé
wong
la-
nang
kang
darbé
wong
la-
nang
darbé
wong
la-
nang
kang
darbé
ABCDEFH-G
III.
10.5
bapa
kang
ngwè-
nèhi
bapa
kang
ngwè-
nèhi
bapa
kang
ngwè-
nèhi
bapa
kang
ngwè-
nèhi
bapa
kang
wè-
nèhi
bapa
kang
ngwè-
nèhi
bala
kang
ngwè-
nèhi
bapa
kang
ngwè-
nèhi
ABCDFH-E-G
III.
10.6
pa-
ngan-
ipun
pa-
ngan-
ipun
pa-
ngan-
ipun
pa-
ngan-
ipun
pa-
ngan
wau
pa-
ngan-
ipun
pa-
ngan-
ipun
pa-
ngan-
ipun
ABCDFGH-E
107
III.
11.2
goni-
ra jê-
jo-
dhon
goni-
ra jê-
jo-
dhon
gèni-
ra jê-
jo-
dhon
goni-
ra ja-
jo-
dhon
goni-
ra jê-
jo-
dhon
goni-
ra jê-
jo-
dhon
goni-
ra jê-
jo-
dhon
goni
jêjo-
dhon
ABEFG-C-D-H
III.
12.1
winê-
ling
winê-
ling
winê-
ling
winê-
ling
winê-
ling
winê-
ling
winê-
ling
wini-
ling
ABCDEG-F-H
III.
12.5
lawan lawan lawan lawan lawan lawan lawan mi-
wah
ABCDEFG-H
III.
12.6
mi-
wah
mi-
wah
mi-
wah
mi-
wah
mi-
wah
mi-
wah
mi-
wah
lawan ABCDEGF-H
III.
13.2
nasti-
ti
nasti-
tèng
nasti-
ti
nasti-
ti
nasti-
ti
nasti-
ti
nasti-
ti
nasti-
tèng
ACDEFG-BH
III.
13.4
santa-
nabdi
santa-
nabdi
santa-
nabdi
santa-
nabdi
santa-
nabdi
santa-
nabdi
pan-
tan-
abdi
santa-
nabdi
ABCDEFH-G
III.
13.6
ka-
gung-
aning
ka-
gung-
aning
- ka-
gung-
ané
lawan
kaya-
nipun
Ka-
gung-
aning
ka-
gung-
aning
ka-
gung-
aning
ABFGH-C-D-E
III.
14.2
wis
wês-
paos
wis
was-
paos
- wis
was-
paos
wus
was-
paos
wis
was-
pados
wis
was-
paos
wis
was-
paos
A-BDGH-C-E-
F
III.
14.6
mring ing mring ing mring mring mring ing ACEFG-BDH
III.
15.3
wa-
don
sumê-
guh
wa-
don
sumê-
guh
wa-
don
suma-
guh
wa-
don
su-
mêng
wa-
don
su-
mêng
wa-
don
su-
mêng
wa-
dos
suma-
goh
wa-
don
su-
mêng
AB-C-DEFH-G
108
guh guh guh guh
III.
15.4
bêcik
apa
bêcik
apa
bêcik
apa
bêcik
apa
bêcik
apa
bêcik
apa
bêcik
ana
bêcik
apa
ABCDEFH-G
III.
15.5
nglaki laki nglaki laki laki laki laki lagi AC-BDEFG-H
III.
16.1
laki-
nira
laki-
nira
laki-
nira
laki-
nira
lakên-
ira
laki-
nira
laki-
nira
laki-
nira
ABCDFGH-E
III.
16.3
mrina
liyané
mring
nali-
yané
mrina
liyané
mrina
liyané
mrina
liyané
mrina
liyané
mrina
liyané
mrina
liyané
ACDEFGH-B
III.
16.4
nung-
gil
nung-
gal
nung-
gil
nung-
gil
nung-
gil
nung-
gil
nung-
gil
nung-
gil
ACDEFGH-B
III.
16.5
ana
ala
bêcik
ala
ana
bécik
ana
ala
bêcik
ana
ala
bêcik
ana
ala
bêcik
ana
ala
bêcik
ana
ala
bêcik
ala
lan
bécik
ACDEFG-B-H
III.
16.6
panê-
moni-
pun
panê-
muni-
pun
panê-
muni-
pun
panê-
muni-
pun
panê-
moni-
pun
panê-
muni-
pun
panê-
muni-
pun
panê-
muni-
pun
AE-BCDFGH
III.
17.2
ywa
agé
ru-
mêng
kuh
ywa
agé
ru-
mêng
kuh
ywa
agé
ru-
mêng
kuh
ywa
agé
su-
mêng
guh
ywa
agé
ru-
mêng
kuh
yya
agé
ru-
mêng
kuh
ywa
agé
ru-
mêng
kuh
ywa
agé
ru-
mêng
kuh
ABCEGH-D-F
III.
17.3
lulus-
êna
lir
mau-
lulus-
êna
lir
mau-
pu-
pusê-
na
lan
lulus-
êna
lir
mau-
lulus-
êna
lir
mau-
lulus-
ana
lir
mau-
lulus-
êna
lir
mau-
lulus-
êna
lir
mau-
ABDEGH-C-F
109
mau-
né
mau-
né
mau-
mau-
né
mau-
né
mau-
né
mau-
né
mau-
né
mau-
né
III.
17.6
nga-
jarna
nga-
jarna
nga-
jarna
ajar-
na
nga-
jarna
nga-
jarna
nga-
jarna
nga-
jarna
ABCEFGH-D
III.
18.1
êndi
ing-
kang
pini-
tayan
nguni
êndi
kang
pini-
tayan
nguni
êndi
ing-
kang
pini-
taya
nguni
êndi
ing-
kang
pini-
tayan
nguni
êndi
ing-
kang
pini-
tayan
nguni
êndi
ing-
kang
pini-
tayan
nguni
êndi
ing-
kang
pini-
tayan
nguni
êndi
ing-
kang
pini-
tayan
nguni
ADEFGH-B-C
III.
18.3
ywa ywa yya ywa ywa yya ywa ywa ABDEGH-CF
III.
18.4
ing
sih
ing
sih
êsih ing
sih
ing
sih
ing
sih
ing
sih
ing
sih
ABDEFGH-C
III.
18.5
trima-
ning
trima-
ning
trima-
ning
trima-
ning
trima-
ning
trima-
ning
trima-
ning
trima-
nên
ABCDEFG-H
III.
18.6
sira
tan-
tun
sira
tan-
tun
sira
tan-
tun
sira
tan-
tun
sira
tan-
tun
sira
tun-
tun
sira
tan-
tun
sara
tan-
tun
ABCDEG-F-H
III.
19.1
aca-
kup
pikir-
ing
kacu-
kup
pikir-
ing
kaca-
kup
pikir-
ing
kacu-
kup
ping
pikir
kacu-
kup
ping
pikir
kaca-
kup
pikir-
ing
- kacu-
kup
pikir-
ing
A-BH-CF-DE-
G
III.
19.2
sajro-
ning
sajro-
ning
sajro-
ning
sajro-
ning
san-
jro-
sajro-
ning
- sajro-
ning
ABCDFH-E-G
110
ning
III.
19.4
ma-
rang
ma-
rang
lawan ma-
rang
ma-
rang
Ma-
rang
- ma-
rang
ABCDEFH-G
III.
19.6
ngê-
trap
ngê-
trip
ngê-
trip
ngê-
trap
ngê-
trip
Ngê-
trap
- ngê-
trap
ADFH-BCE-G
III.
20.2
kê-
pra-
bon
- - - - - ka-
pra-
bon
- A-BCDEFH-G
III.
20.3
sa-
pang-
kat-
pang-
katé
- - - - - sapa-
kat
pang-
katé
- A-BCDEFH-G
III.
20.4
iku
sa-
king
- - - - - iku
saling
- A-BCDEFH-G
Keterangan tabel:
Pu : pupuh, ditulis dengan angka Romawi, misal: I, II, III.
Ba : bait, ditulis dengan angka Latin pertama setelah pupuh,
misal: I.2….
Br : baris, ditulis dengan angka Latin kedua setelah bait,
misal: I.2.5
- pada kolom naskah : tidak ada
111
- pada kolom keterangan: tanda pemisah tiap kelompok naskah.
Bacaan naskah H mengalami banyak kesalahan penulisan, misal kurang
sandangan vokal pada kata bêcik ditulis bêcak, sira ditulis sara dan lain
sebagainya. Begitu pula dengan naskah G, misal laki ditulis lagi, bapa ditulis bala
dan sebagainya. Penyalin menyalin secara otomatis tanpa memperhatikan isi
kalimat. Kalimat yang disalin hanya huruf-huruf, akibatnya seringkali terjadi
salah baca kemudian salah tulis sehingga tidak dapat dimengerti maknanya. Hal
ini juga terjadi pada naskah C yang mengalami lakuna pada beberapa barisnya,
yang disebut saut du meme au meme. Naskah C juga menggunakan gaya bahasa
yang agak berbeda dengan ketujuh naskah yang lain. Hal ini terbukti dengan
banyaknya frekuensi kemunculan ABDEFGH C dalam perbandingan bacaan di
atas.
Bacaan naskah E, F, G memiliki banyak kesamaan dengan naskah A
dibandingkan dengan keempat naskah yang lain, sehingga disimpulkan bahwa
naskah E, F, G disalin dari naskah A yang memiliki bacaan benar lebih banyak
dari naskah E, F, G. Sedangkan naskah H memiliki banyak kesamaan dengan
naskah B dibandingkan dengan keenam naskah yang lain, sehingga disimpulkan
bahwa naskah H disalin dari naskah B yang memiliki bacaan benar lebih banyak
dari naskah H. Naskah D memiliki banyak kesamaan dengan naskah B dan naskah
C, jadi naskah D berasal dari induk yang sama dengan naskah B dan naskah C
yang tidak diketahui asal usulnya. Namun karena naskah C mengalami lakuna
maka D tidak mungkin disalin dari naskah C.
112
Berdasarkan perbandingan tahun penulisan, jumlah dan urutan pupuh,
bait, metrum dan perbandingan bacaan maka ditarik kesimpulan bahwa naskah
Darmawasita dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok:
Kelompok I terdiri atas naskah AEFG
Kelompok II terdiri atas naskah BH
Kelompok III terdiri atas naskah C
Kelompok IV terdiri atas naskah D
AEFG BH C D
3. Hubungan Pertalian Naskah
Berdasarkan perbandingan dan pengelompokan naskah maka hubungan
pertalian Darmawasita dapat digambarkan sebagai berikut:
Otografi
Arketip
x y
w q C B z
A G E F D H
Keterangan:
Naskah ACEFG dan BDH berasal dari sumber hiparketif yang berbeda karena
adanya perbedaan gaya bahasa misal BD menggunakan kata dhihin dan ACEFG
menggunakan kata dhingin. Hal ini kemungkinan dipengaruhi perbedaan asal
naskah. ACEFG berada pada hiparketif x karena frekuensi kemunculan bacaan
113
sama lebih banyak dibandingkan naskah BDH yakni 1: 0,9. Selain itu juga
dipengaruhi kesalahan metrum pada tempat yang sama pada naskah CFG yakni
pada pupuh III, bait 2, baris ke-5 mengalami kelebihan metrum. Naskah C sebagai
naskah tertua dari kelompok ACEFG berada pada urutan pertama dan sejajar
dengan naskah wq yang menurunkan naskah AGEF. AG diturunkan dari naskah w
karena adanya kesamaan judul, jumlah bait dan frekuensi kemunculan bacaan
yang sama lebih banyak dari naskah-naskah yang lain. EF diturunkan dari naskah
q karena jumlah bait yang sama. C menjadi berbeda dengan AGEF karena naskah
C mengalami lakuna pada beberapa barisnya. AG menjadi berbeda dengan EF
karena perbedaan jumlah bait. BDH berasal dari y karena frekuensi kemunculan
bacaan yang sama lebih banyak dari naskah yang lainnya yakni 0,9: 0,8. Naskah B
menempati urutan pertama sebagai naskah tertua yang diturunkan dari y dan
sejajar dengan z yang menurunkan DH. Naskah DH diturunkan dari z karena
adanya kesalahan metrum pada tempat yang sama yakni pada pupuh II, bait 7,
baris ke-5 mengalami kelebihan metrum.
4. Penentuan Naskah Dasar
Naskah dasar ialah naskah asli atau mendekati asli yang dijadikan dasar
suntingan teks. Cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh naskah asli atau
mendekati asli ialah dengan mengadakan perbandingan kata demi kata, kalimat
demi kalimat dan isi cerita yang terdapat dalam naskah yang menjadi objek
penelitian (Masyarakat Pernaskahan Nusantara).
Berdasarkan perbandingan yang telah dilakukan, maka naskah A dipilih
sebagai naskah dasar dalam suntingan. Sekalipun naskah A masih memerlukan
114
tambahan atau bantuan dari ketujuh naskah lainnya dan bukan naskah yang paling
tua, namun naskah A memiliki kesalahan bacaan yang paling sedikit dibanding-
kan ketujuh naskah lainnya. Kesalahan bacaan yang dialami naskah A kebanyakan
berupa substitusi, sehingga makana tidak berubah. Selain itu naskah A mengan-
dung isi yang paling lengkap dan tidak menyimpang dari ketujuh naskah yang
lain. Kelengkapan tersebut ditunjukkan dengan adanya jumlah bait yang lebih
lengkap yakni pada bait ke-20 yang merupakan penutup atau kesimpulan naskah.
Naskah A juga tidak mengalami korup dalam penulisannya, sehingga isinya tidak
menyimpang dari ketujuh naskah yang lain. Tujuh naskah lainnya dijadikan
sebagai naskah pembanding dan pemberi masukan untuk memperbaiki atau
memberi koreksi atas bacaan dalam teks dasar dari segala macam kesalahan dan
kekurangan baik yang disengaja atau tidak.
5. Suntingan Teks Disertai Aparat Kritik dan Terjemahan
Naskah Darmawasita adalah naskah Jawa yang ditulis dalam aksara
Jawa. Oleh karena itu, dalam rangka penyuntingan teks perlu ditransliterasikan ke
dalam huruf Latin agar teks tersebut dapat dibaca oleh semua kalangan, bukan
hanya oleh orang–orang tertentu yang mengerti aksara, bahasa dan sastra Jawa.
Transliterasi adalah penggantian huruf demi huruf dari abjad satu ke abjad yang
lain (Edi S. Ekadjati 1980: 7). Namun karena sistem ejaan penulisan aksara Jawa
berbeda dengan sistem ejaan aksara Latin, maka dalam transliterasi ini digunakan
Pedoman Umum Bahasa Jawa Yang Disempurnakan (dalam Sudaryanto 1991).
Transliterasi dari huruf Jawa ke huruf Latin yang tidak sesuai dengan kaidah
115
bahasa disesuaikan dengan ejaan penulisan yang benar sesuai pedoman yang
digunakan. Jadi pengalihan aksara ini menggunakan beberapa ketentuan yang
tidak terdapat atau tidak dimiliki dalam tata tulis aksara Latin sesuai dengan ejaan
penulisan bahasa Indonesia yang disempurnakan.
Bahasa Jawa bersifat silabis yaitu satu huruf menunjukkan atau me-
lambangkan satu suku kata. Penulisan aksara Jawa ditulis menjadi satu dengan
kata berikutnya. Kata-kata dalam bahasa Jawa dikenal adanya vokal “e” yang ber-
variasi. Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan ialah
a. Vokal “e” pepet memakai tanda diakretik (…^…), misal pada kata triwêlas
`tiga belas`, winêling `dipesan/dinasihati`, dan lain sebagainya.
b. Vokal “e” taling memakai tanda diakretik (…´…), misal pada kata wétan
`timur`, térong `terong (nama sayur)` dan lain sebagainya.
c. Vokal “e” taling memakai tanda diakretik (…`…), misal pada kata èstri
`perempuan `, nèng `di` dan lain sebagainya.
Kritik teks yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode landasan
atau induk karena ada satu atau segolongan naskah yang unggul kualitasnya
dibandingkan naskah-naskah lain yang diperiksa dari sudut bahasa, kesastraan,
metrum dan lain sebagainya. Bacaan yang digunakan pertama adalah bacaan teks
dasar. Jika ada bacaan atau metrum yang salah dalam naskah dasar, maka diganti
berdasarkan bacaan dalam naskah pembanding. Penggantian tersebut disesuaikan
dengan tata bahasa, makna dan kelengkapan teks. Bacaan yang diganti dengan
menambah atau mengurangi tersebut dicatat dalam aparat kritik sebagai
pertanggungjawaban terhadap perbaikan dan perubahan yang dilakukan dalam
116
teks dasar. Beberapa tanda yang digunakan dalam transliterasi terhadap naskah
Darmawasita yakni
a. Angka Romawi menunjukkan urutan pupuh misal I. Dhandhanggula, II.
Kinanthi, dan lain sebagainya.
b. Angka Arab di sebelah kiri pada permulaan bait menunjukkan urutan bait misal
1, 2, 3 dan seterusnya.
c. Urutan baris atau larik disusun ke bawah untuk memberikan kemudahan
pemahaman isi teks. Bila terjadi ketidakajegan spasi pada lajur kiri bermaksud
menyesuaikan terjemahan yang berada pada lajur kanan. Selain itu juga dibatasi
margin kanan selebar 3 cm.
d. Angka Arab kecil yang berada di atas menunjukkan nomor kritik teks misal
pamardining1, 4ing pesthi4, 13momong putra maru santanabdi13 dan lain
sebagainya.
e. Angka yang berada dalam tanda kurung […] menunjukkan pergantian halaman
naskah misal [164], [165] dan seterusnya.
Berikut ini disajikan suntingan teks Darmawasita beserta terjemahannya
dalam bahasa Indonesia.
Suntingan Teks
Darmawasita
I. Dhandhanggula
1. Mrih sarkara pamardining1 siwi
winursita dènira manitra
Agar menyenangkan da-
lam mendidik anak.
Nasihat tersebut ditulisnya
117
nujwari Salasa Wagé
triwêlas sasi Mulud2
kasanga Dal sangkalèng warsi
winêling anêngaa
sariranta iku
mring iki wasitaningwang
marang sira putrèngsun jalu lan èstri
muga padha èstokna
(Mangkunegara IV)
pada hari Selasa Wagé
(nama hari pasaran ke-4),
13 bulan Mulud,
mangsa kasanga (musim
ke-9, 1 Mar – 25 Mar,
musim hujan ketika se-
rangga malam bersuara)
tahun Dal (tahun ke-5
dalam windu) dengan
sengkalan
“winêling (7) anêngaa (0)
sariranta (8) iku (1)”
(dirimu dipesan untuk
memperhatikan itu yakni)
(1807 Jawa)
nasihatku ini.
Kepada kalian anakku
laki-laki dan perempuan,
semoga kalian melaksana-
kannya dengan sungguh-
sungguh.
118
2. rèhné sira wus diwasa sami
sumurupa lakuning3 agêsang
sun tuturi kamulané
manungsa èstri jalu
pêpantaran dènya dumadi
nèng dunya nut agama
jalu èstri dhaup
mangka kanthining agêsang
lawan kinèn marsudi dawakkên wiji
ginawan budidaya
Oleh karena kalian sudah
dewasa,
ketahuilah cara menjalani
kehidupan.
Kuberitahu bahwa pada
mulanya
manusia laki-laki dan pe-
rempuan
sebagai perantaraan kehi-
dupannya
didunia, menurut agama
laki-laki dan perempuan
menikah
sebagai kewajiban dalam
kehidupan
dan supaya berusaha me-
neruskan keturunan,
diberi daya upaya.
3. yèka mangka srananing dumadi
tumanduking marang saniskara
manungsa apa kajaté
Hal tersebut sebagai
sarana untuk hidup
yang diterapkan dalam
segala hal.
Apapun keinginannya/ci-
119
sinêmbadan sakayun
yèn dumu[163]nung mring wolung warni
ingaran asthagina
iku têgêsipun
wolung pédah tumrapira
marang janma margané mrih sandhang bukti
kang dhingin winicara
ta-cita manusia
akan tercapai
jika mengamalkan/menja-
lankan delapan hal
yang disebut Asthagina.
Itu artinya
delapan manfaat bagimu,
bagi manusia sebagai jalan
untuk mendapatkan san-
dang pangan.
Yang pertama dibicara-
kan.
4. panggaotan gêlaring pambudi
warna-warna sakaconggahira
nut ing jaman kalakoné
rigên ping kalihipun
dadi pamrih marang pakolih
mata pencaharian, sebagai
perwujudan usaha
yang bermacam-macam
sesuai dengan kemampu-
annya
menyesuaikan kondisi
jaman.
Yang ke-2 cekatan,
sebagai tujuan untuk men-
dapatkan hasil yang mak-
simal.
120
katri gêmi garapnya
margané mrih cukup
ping pat nastiti pamriksa
iku dadi marganing 4wêruh ing pêsthi4
lima wruh étung ika
Yang ke-3 bersikap hemat,
agar supaya cukup.
Yang ke-4 mengamati
dengan teliti,
itu sebagai jalan untuk
mengetahui yang semes-
tinya.
Lima bisa memperhitung-
kan/memperkirakannya,
5. watêk adoh mring butuh sahari
kaping nênêm tabêri têtanya
ngundhakkên marang kawruhé
ping pitu nyêgah kayun
pêpènginan kang tanpa kardi
tan boros marang arta
sugih watêkipun
ping wolu nêmêning sêja
artinya tak hanya untuk
kebutuhan sehari.
Yang ke-6 tidak malu
bertanya
untuk meningkatkan pe-
ngetahuan.
Yang ke-7 mencegah ke-
inginan,
keinginan yang tidak ber-
guna,
tidak boros uang (hemat)
pangkal kaya,
Yang ke-8 sungguh-
121
watêkira sarwa glis ingkang kinapti
yèn bisa kang mangkana
sungguh berniat dalam
mencapai cita-cita.
wataknya serba cepat pada
apa yang dikehendaki.
Jika bisa yang demikian,
6. angêdohkên durtaning kang ati
anyêdhakkên rahayuning raga5
dènandêl mring sêsamané
lan malih wêkasingsun
aja tuman utang lan silih
anyudakkên dêrajat
camah wêkasipun
kasoran prabawanira
mring kang potang lawan kang sira silihi
6nyatané angrêrêpa6
menjauhkan hati yang
jahat,
mendekatkan keselamatan
diri,
dipercaya orang lain.
Dan pesanku lagi,
jangan terbiasa berhutang
dan meminjam,
menurunkan derajat/harga
diri.
Akhirnya tidak dihormati
lagi,
perbawanya kalah.
kepada yang meminjam-
kan dan yang kamu pin-
jami,
kenyataannya meminta be-
las kasihan/mengiba-iba.
122
7. luwih lara-laraning kang ati
ora kaya wong tininggal arta
kang wus ilang piandêlé
lipuré mung yèn turu
lamun tangi sungkawa malih
yaiku ukumira
wong nglirwakkên tuduh
ingkang aran budidaya
têmah papa asor dènira dumadi
tan amor lan sê[164]sama
Lebih sakit dari sakitnya
hati,
tidak seperti orang yang
ditinggalkan harta/uang,
yang telah kehilangan
kepercayaan dirinya.
Terhibur hanya saat tidur,
ketika bangun bersedih
lagi.
Itulah hukumannya.
Orang yang melupakan
ajaran
yang disebut budidaya
(usaha),
pada akhirnya menemui
celaka dan hina dina
hidupnya,
dikucilkan masyarakat.
8. kaduwungé saya angranuhi
sanalika kadi suduk jiwa
èngêt mring kaluputané
Penyesalannya semakin
bertambah,
tiba-tiba seperti ingin
bunuh diri,
sadar akan kesalahannya.
123
yèn kêna putraningsun
aja kadi kang wus winuni
dupèh wus darbé sira
panci pancèn cukup
bêcik linawan gaota
kang supaya kayumanan ing dumadi
7panulak mring sangsara7
Jika bisa anakku,
jangan seperti yang sudah
kukatakan tadi.
Mentang-mentang sudah
memiliki
bagian tanah yang men-
janjikan dan mencukupi,
akan lebih baik jika di-
sertai bekerja/usaha
agar selalu selamat dan se-
jahtera dalam kehidupan,
sebagai penolak terhadap
kesengsaraan.
9. rambah malih wasitaning siwi
kawikana patraping agêsang
kang kanggo ing salawasé
manising nêtya luruh
angêdohkên mring salah tampi
Sekali lagi nasihatku un-
tuk ananda,
ketahuilah cara menjalani
kehidupan
yang berguna untuk sela-
manya
Roman muka yang tenang/
lembut
menjauhkan salah paham.
124
wong kang trêpsilèng tata
tan agawé rêngu
wicara lus kang mardawa
iku datan kasêndhu marang sêsami
wong kang rumakêt ika
Orang yang sopan santun
dan bertata krama
tidak membuat marah.
Berbicara halus dengan
lemah lembut
itu tidak ditegur/dicela
orang lain
orang yang ramah/bersa-
habat itu
10. karya rêsêp mring réwangé linggih
wong kang manut mring caraning bangsa
watêk jêmbar pasabané
wong andhap asor iku
yêkti oleh panganggêp bêcik
wong mênêng iku nyata
nèng jaban pakéwuh
membuat senang orang
lain.
Orang yang mengikuti tata
cara dimana ia tinggal,
pergaulannya luas (memi-
liki banyak teman/relasi).
Orang yang rendah hati itu
pasti mendapat penilaian
yang baik.
Orang yang tidak banyak
bicara itu sesungguhnya
terlihat memiliki rasa
sungkan.
125
wong prasaja solahira
iku ora gawé éwa kang ningali
wong nganggo têpanira
Orang yang bersahaja
dalam tingkah lakunya
itu tidak membuat iri yang
melihat.
Orang yang menggunakan
diri sendiri sebagai ukuran
11. angêdohkên mring dosa sayêkti
wong kang èngêt iku watêkira
adoh marang bilahiné
mangkana wulangipun8
wong kang amrih arjaning dhiri
yèku pangulahira
batin ugêripun
ing lair gêrbaning basa
yèka aran kalakuan ingkang bêcik
margané mring utama
sesungguhnya
menjauhkan dosa.
Orang yang ingat/sadar
diri (eling) itu
pangkal jauh dari celaka.
Demikian pengajaran/na-
sihatnya
Orang yang menginginkan
keselamatannya dirinya
itu yang dilakukannya
berdasarkan kata hati.
Secara lahir sebagai
rangkaian bahasa.
Itu disebut tingkah laku
yang baik,
sebagai sarana menuju ke-
utamaan.
126
12. pêpuntoné gonira dumadi
ngugêmana mring catur upaya
mrih tan bingung pamusthiné
kang dhingin wêkasingsun
anirua marang kang[165] bêcik
kapindho anuruta
mring kang bênêr iku
katri gugua kang nyata
kaping paté miliha9 ingkang pakolih
dadi kanthi nèng donya
Kesimpulannya kehidup-
anmu
berpeganglah pada catur
upaya (4 usaha),
supaya tidak bingung arah
hidupnya.
Nasihatku yang pertama,
tirulah hal yang baik,
ke-2 taatilah
yang benar itu,
ke-3 ikutilah yang nyata
yang ke-4 pilihlah yang
bermanfaat
sebagai pedoman/bekal
hidup di dunia.
II. Kinanthi
1. déné wulang kang dumunung
pasuwitan jalu èstri
lamun srêgêp watêkira
tan karya gêla kang nuding
Sedangkan pengajaran bagi
pengabdian lelaki maupun pe-
rempuan/pasangan suami istri
(ialah)
jika kalian berwatak rajin,
tidak mengecewakan yang
127
pêthêl iku datan dadya
jalaran duka sayêkti
memerintah.
Rajin bekerja itu tidak
menjadi penyebab kemarahan.
2. têgên iku watêkipun
akarya lêga kang nuding
wêkêl marganing pitaya
déné ta pangati-ati
angêdohkên kaluputan
iku marganing lêstari
Teliti itu sifatnya
membuat lega yang memerin-
tah.
Tekun membuat dipercaya
sedangkan berhati-hati
menjauhkan kesalahan.
Itu yang membuat kekal.
3. lawan malih wulangingsun10
margané wong kanggêp nglaki
dudu guna japa mantra
pèlèt dhuyung sarat dhêsthi
dumunung nèng patrapira
kadi kang winahya iki
Dan lagi nasihatku
penyebab seorang istri disa-
yangi suami
bukan karena guna-guna,
mantera,
pelet cinta, jimat dan cara-cara
yang jahat,
tetapi terletak pada tingkah
lakunya,
seperti yang akan kujelaskan
ini.
4. wong wadon kalamun manut
yêkti rinêmênan nglaki
Seorang wanita yang penurut
jelas disukai suami.
128
miturut marganing wêlas
mituhu margané asih
mantêp marganirèng trêsna
yèn têmên dènandêl nglaki
Taat membuat disayangi,
setia membuat dikasihi,
mantap membuatnya berada
dalam cinta,
jika rajin akan diandalkan sua-
mi.
5. dudu pangkat dudu turun
dudu brana lawan warni
ugêré wong palakrama
wruhanta dhuh anak mami
mung nurut nyondhongi karsa
rumêksa kalayan wadi
Bukan pangkat bukan ketu-
runan
bukan harta dan wajah/rupa
yang menjadi dasar seseorang
untuk menikah.
Ketahuilah wahai anakku,
hanya taat dan menyetujui ke-
mauan,
menjaga dan rahasia.
6. basa nurut karêpipun
apa sapakoné nglaki
ingkang wajib linaksanan11
tan suwala lan baribin
lêjaring nêtya saranta
tur rampung tan 12mindho kardi12
Kata taat maksudnya
apapun perintah suami
wajib dilaksanakan
tanpa melawan dan beralasan,
disertai roman muka yang
sabar.
Selain itu juga bisa menyele-
129
saikan tugas tanpa dua kali
kerja.
7. déné condhong têgêsipun
ngrujuki karsaning laki
saniskara solah bawa
tan nyatur[166] nyampah maoni
apa kang lagi rinênan
opènana kang gumati
Sedangkan setuju artinya
menyepakati kemauan suami,
semua tingkah laku
tidak membicarakan keburuk-
annya, mencela dan memban-
tah.
Apa yang sedang disenangi
peliharalah dengan baik.
8. wong rumêksa dunungipun
sabarang darbèking nglaki
miwah sariraning priya
kang wajib sira kawruhi
wujud13 warna cacahira
êndi bubuhaning èstri
Orang yang menjaga tempat
tinggalnya atau rumah tangga-
nya.
apapun milik suami
dan diri atau segala hal ten-
tang pria
yang wajib engkau ketahui
berwujud macam-macam jum-
lahnya.
Mana harta bawaan istri,
130
9. wruha sangkan paranipun
pangrumaté dènnastiti
apadéné guna kaya
tumanjané dènpatitis
karana bangsaning arta
iku jiwanirèng lair
ketahuilah asal harta tersebut,
perawatannya harus hati-hati
sekali,
terutama soal nafkah.
Kegunaannya harus tepat atau
jelas
karena berwujud uang.
Itu nyawa lahiriah.
10. basa wadi wantahipun
solah bawa kang piningit
yèn kalair dadya ala
saru tuwin anglingsêmi
marma sira dèn abisa
nyimpên wadi ywa14 kawijil
Rahasia sesungguhnya
tingkah laku yang ditutupi,
jika terungkap maka menjadi
buruk,
tidak pantas dan memalukan.
Sebaiknya engkau bisa me-
nyimpan rahasia,
jangan sampai diketahui orang
lain.
III. Mijil
1. wulang èstri kang wus palakrami
lamun pinitados
amêngkoni mring balé wismané
Pengajaran bagi wanita yang
sudah berumah tangga.
Jika dipercaya
mengatur rumah tangganya,
131
15momong putra maru santanabdi15
dèn angati-ati
ing sadurungipun
mengasuh anak, madu, sa-
nak saudara dan hamba,
Lakukanlah dengan hati-
hati.
Sebelum
2. tinampanan waspadakna dhingin
solah bawaning wong
ingkang bakal winêngku dhèwèké
miwah watak pambêkané16 sami
sinuksma ing batin
sarta dipunwanuh
diterima, perhatikan terlebih
dahulu
tingkah laku orang
yang akan kalian atur atau
kuasai
dan semua watak atau budi
pekerti mereka.
Pahami benar dalam hati
serta kenalilah.
3. lan takona padataning kang wis
caraning lêlakon
miwah saru sêsikuné
sêsirikan kang tan dènrêmêni
rungokêna dhingin
dadi tanpa kéwuh
Dan tanyakanlah kebiasaan
yang sudah ada,
cara bertingkah laku
dan apa yang tidak pantas
beserta konsekuensinya,
Hal-hal yang tidak disukai
dengarkan dahulu,
jadi tidak ada kesulitan.
132
4. tumraping rèh pamanduming panci
tatané ing kono
umatura dhingin mring priyané
yèn panuju ana ing asêpi
ywa kongsi baribin
saru yèn rinungu
Dalam hal pembagian tanah
sebagai bekal masa depan
sesuai tata cara disitu,
bertanyalah dahulu kepada
suami
jika kebetulan sedang tidak
ada orang.
Jangan sampai bertengkar
tidak pantas jika didengar-
kan.
5. bokmanawa lingsêm têmah runtik
dadi tanpantuk don [167]
déné lamun ingulap nêtyané
datan rêngu ririh ing panggalih
banjurna dèra ngling
lawan têmbung alus
Barangkali malu dan sakit
hati,
sehingga tidak mendapat
tempat.
Sedangkan ketika raut mu-
kanya agak khawatir atau
takut,
tidak marah dan sudah ber-
kurang/ reda sakit hatinya,
lanjutkanlah bicaramu
dengan kata-kata yang lem-
but.
133
6. anyuwuna wulang wêwalêring
gonira lêlados
lawan êndi kang dènwênangaké
marang sira wajibing pawèstri
anggonên salami
dimèn aja padu
Mintalah nasihat dan pera-
turan
dalam kamu melayani
serta hal mana yang diper-
bolehkan
untukmu sebagai kewajiban
seorang istri.
Terapkanlah selamanya
supaya tidak bertengkar.
7. awit wruha kukumé jêng nabi
kalamun17 wong wadon
ora wênang andhaku darbèké
priya lamun durung dènlilani
mangkono wong laki
tan wênang andhaku
Karena itu ketahuilah hu-
kum sang nabi
bahwa seorang istri
tidak berwenang untuk me-
nguasai harta benda
suaminya jika belum direla-
kan (diserahkan sepenuh-
nya)
Demikian pula seorang
suami tidak berwenang me-
nguasai
8. mring gawané wong wadon kang asli
harta benda istri yang
dimiliki sejak ia belum
134
tan kêna dènêmor
lamun durung ana palilahé
yèn sajroning salaki sarabi
wimbuh rajatadi
iku jênêngipun
menikah.
Harta tersebut tidak boleh
engkau campur,
jika belum ada ijin darinya.
Ketika berumah tangga
harta benda bertambah,
harta itu disebut
9. gana-gini padha andarbèni
lanang lawan wadon
wit sangkané sangka sakaroné
nging wawênang isih ana nglaki
marma ywa gêgampil
rajatadi mau
gana-gini yang merupakan
milik bersama
(baik) suami maupun istri
sebab berasal dari keduanya,
tetapi wewenang masih ber-
ada di pihak suami.
Sebaiknya jangan mengang-
gap mudah /menyepelekan
soal harta tersebut.
10. gana-gini ékral kang darbèni
saduman wong wadon
kang rong duman wong lanang kang darbé
lamun duwé anak jalu èstri
Keputusan yang berlaku atas
gana-gini yaitu
satu bagian untuk pihak wa-
nita,
yang dua bagian menjadi
milik pria.
Jika mempunyai anak laki-
135
bapa kang ngwènèhi
sandhang panganipun
laki atau perempuan,
bapak yang bertanggung-
jawab untuk memenuhi
sandang pangannya.
11. pama pêgat mati tuwin urip
gonira jêjodhon
iku ora sun tutur kukumé
wawênangé ana ing surambi
ing mêngko balèni
tutur ingsun mau
Seumpama cerai mati atau-
pun hidup
dalam kalian membina ru-
mah tangga,
hal tersebut tidak aku nasi-
hati hukumnya,
wewenangnya ada di Kan-
tor Urusan Agama.
Selanjutnya kembali pada
nasihatku tadi.
12. yèn wus sira winulang winêling
wêwalêré condhong
lan priyanta ing bab pamêngkuné
balé wisma putra maru abdi
lawan rajatadi
Jika kamu sudah dinasihati
dan dipesan
larangan serta keinginannya,
dan suamimu dalam hal me-
ngatur
rumah tangga, anak, madu,
hamba
dan harta
136
miwah kayanipun serta kekayaannya,
13. iku lagi tampa[168]nana nuli
kang nastiti batos
tinulisan apa saanané
tadhah putra sêlir santanabdi
miwah rajatadi
kagunganing kakung
semuanya itu terimalah se-
gera
dengan hati yang waspada,
ditulis apa adanya
kebutuhan pangan anak, ma-
du, kerabat, hamba
harta dan
milik suami.
14. yèn wus slêsih gonira nampani
sarta 18wus waspaos18
aturêna layang pratélané
mring priyanta paran ingkang kapti
ngêntênana malih
mring pangatakipun
Jika sudah kamu terima de-
ngan seksama
dan sudah jelas,
berikanlah surat pemberita-
huannya
kepada suamimu dan bagai-
mana keinginannya.
Nantikanlah lagi
perintahnya
15. kang supaya aja dènarani
wong wadon sumaguh
bokmanawa gêla ing batiné
bêcik apa ginrayangan mèlik
supaya tidak disebut
perempuan sombong.
Barangkali hatinya kecewa.
Apa baiknya dianggap pu-
137
mring kayaning nglaki
tan yogya satuhu
nya pamrih
terhadap kekayaan/harta su-
ami,
sungguh tidak pantas.
16. ing sanadyan lakinira bêcik
momong mring wong wadon
wêkanana kang mrina liyané
jêr manungsa datan nunggil kapti
ana ala bêcik
ing panêmunipun19
Sekalipun suamimu baik,
pengertian dan sabar kepada
istri,
berhati-hatilah terhadap
yang lain
karena manusia tidak selalu
berkehendak sama,
ada yang baik dan buruk
dalam pendapatnya.
17. lamun kinèn banjur ambawani
ywa age rumêngkuh
lulusêna lir mau-mauné
aja nyuda aja amuwuhi
tampanan batin
ngajarna awakmu
Jika disuruh kemudian me-
nguasai,
jangan cepat-cepat memper-
lakukan dengan baik.
Teruskanlah seperti yang
sudah-sudah.
Jangan mengurangi jangan
menambahi,
terimalah di dalam hati.
Ajarlah dirimu,
138
18. êndi ingkang pinitayan nguni
amêngku ing kono
lêstarèkna ywa lirip atiné
slondohana lêlipurên ing sih
mrih trimaning ati
kêna sira tantun
mana yang lebih dahulu di-
percaya
untuk berkuasa disitu.
Dukunglah jangan sampai
lemah hatinya (patah se-
mangat),
dekatilah dan hiburlah de-
ngan kasih.
Ambillah hatinya supaya
menerima
dan dapat kamu tanyai mau
atau tidak
19. yen wus cakêp kacakup20 pikiring
wong sajroning kono
lawan uwis mêtu piandêlé
marang sira ora walang ati
iku sira lagi
ngêtrip21 pranatanmu
Jika sudah cakap dan
mengerti cara berfikir
orang di dalamnya
serta sudah muncul keperca-
yaanya,
tidak khawatir lagi dengan-
mu,
barulah kamu
melaksanakan peraturanmu.
20. wêwatoné nyangga sandhang bukti
Prinsipnya dalam pemenuh-
an sandang pangan (ialah)
139
nganakakên kêprabon
jalu èstri sapangkat pangkaté
iku saking pamêtu sêsasi
utawa sawarsi
pira gunggungipun[169]
menyediakan kebutuhan ru-
mah tangga.
Lelaki dan perempuan apa-
pun kedudukannya,
itu didasarkan dari pengha-
silan sebulan
atau setahun,
berapapun jumlahnya.
1
Tabel 6
Tabel Aparat Kritik
No P B.b Naskah Edisi
1 I 1.1 A: pamêrdining
B: pamardining
C: pamrêdining
D=G=H=B
E=F=A
pamardining #
2 I 1.4 A: Mulut
B: Mulud
C=E=F=A
D=G=H=B
Mulud #
3 I 2.2 A: lakoning
B: lakuning
C=D=E=F=H=B
G=A
lakuning#
4…4 I 4.10 A: wêruh pawèsthi
B: wêruh ing pasthi
C: wêruh pawèstri
D=E=A
F: wêruh pawèsti
G=B
H: wêruh ing pêsthi
Wêruh ing pêsthi #
2
5 I 6.2 A: badan
B: raga
C=D=E=H=A
F: ngangga
G=A
raga #
6…6 I 6.10 A: nyatané angrarêpa
B: tandhané angrêrêpa
C: nyatané angrêrêpa
D=E=G=C
F=A
nyatane angrêrêpa #
7…7 I 8.10 A: manulak mring
sangsara
B: panulak mring sangsara
C=D=E=F=H=B
G: manulak mring
sangsaya
panulak mring sangsara @
8 I 11.4 A: sulangipun
B=D=E=F=H=A
C=wulangipun
G=C
wulangipun #
9 II 12.9 A: milia
B: miliha
miliha #
3
C=D=E=F=A
G=H=B
10 II 3.1 A: wulangipun
B: wulangingsun
C=B
D=E=F=G=H=A
wulangingsun @
11 II 6.3 A: linêksanan
B: linaksanan
C=D=E=F=H=B
G: linêkasan
linaksanan #
12 II 6.6 A: pindho
B: mindho
C=D=E=F=H=B
G=A
mindho @
13 II 8.5 A: ujut
B: wujud
C: ujud
D=G=H=B
F=A
E: wujut
wujud #
14 II 10.6 A: wwa
B: ywa
C=D=E=F=G=H=B
ywa #
4
15…15 III 1.4 A: among putra maru
sêntanabdi
B: momong putra maru
santanabdi
C: momong putra maru
santana lan abdi
D=E=F=H=B
E=A
momong putra maru
santanabdi #
16 III 2.4 A: pambêgkané
B=D=E=F=H=A
C: pambêkané
pambekane #
17 III 7.2 A: kêlamun
B: kalamun
C=D=E=F=G=H=B
kalamun #
18…18 III 14.2 A: wis wêspaos
B: wis waspaos
C: -
D=G=H=B
E: wus waspaos
F=B
wus waspaos #
19 III 16.6 A: panêmonipun
B: panêmunipun
panêmunipun #
5
C=D=F=G=H=B
E=A
20 III 19.1 A: acakup
B: kacukup
C: kacakup
D=E=H=B
F=C
G: -
kacakup #
21 III 19.6 A: ngêtrap
B: ngêtrip
C=E=B
D=F=H
G: -
ngêtrip #
Keterangan tabel:
No. : nomor kritik teks, misal: 1, 18….18, dan seterusnya.
P : pupuh, misal: I, II dan seterusnya.
B. b : bait, baris; misal: 3.1, 7.2 dan seterusnya.
# : perbaikan secara linguistik, misal: kalamun # dan lain sebagainya. @ : perbaikan karena ketatabahasaan, misal: mindho@. - : tidak ada
6
B. Kajian Isi
Kandungan isi naskah Darmawasita diungkapkan dengan teknik analisis
interpretasi berdasarkan hasil yang telah didapat dalam analisis pertama yang
berupa suntingan dan terjemahan. Darmawasita memberikan suatu gambaran
pendidikan watak atau budi pekerti dalam membina rumahtangga dan pergaulan
sehari-hari dengan orang lain. Pendidikan tersebut diberikan oleh seorang ayah
kepada anak-anaknya menurut alam pikiran orang Jawa yang berada dalam
sebuah lingkungan priyayi. Hal ini dinyatakan karena teks Darmawasita ditulis
oleh K.G.P.A.A Mangkunegara IV kepada putra-putrinya. Namun tak tertutup
kemungkinan untuk diterapkan masyarakat pada umumnya dengan penyesuaian
seperlunya.
1. Pendidikan Watak dalam Membina Rumah Tangga
Menurut agama apapun, seorang manusia tidak baik bila sendirian di
dunia, maka diciptakanNya manusia laki-laki dan perempuan untuk dapat saling
melengkapi dan menjadi teman hidup. Sejak awal mereka diciptakan untuk
berpasangan, kecuali jika ada panggilan spiritual yang mengharuskan mereka
untuk tidak memiliki pasangan, seperti rama, bruder, suster atau biksu. Dua
manusia yang memutuskan untuk berpasangan harus diikat dengan pernikahan
dan meneruskan keturunan. Demikianlah perintah Sang Pencipta, seperti yang
dinyatakan dalam pupuh I, Dhandhanggula, bait 2-3, baris 1 dan 2 berikut.
7
2. rèhné sira wus diwasa sami
sumurupa lakuning agêsang sun tuturi kamulané manungsa èstri jalu pêpantaran dènya dumadi nèng dunya nut agama jalu èstri dhaup mangka kanthining agêsang lawan kinèn marsudi dawakkên wiji ginawan budidaya
3. yèka mangka srananing dumadi
tumanduké marang saniskara …
Oleh karena kalian sudah de-wasa, ketahuilah cara menjalani ke-hidupan. Kuberitahu bahwa pada mula-nya manusia laki-laki dan perem-puan sebagai perantaraan kehidupan didunia, menurut agama laki-laki dan perempuan menikah sebagai kewajiban dalam kehidupan dan supaya berusaha me-neruskan keturunan, diberi daya upaya. Hal tersebut sebagai sarana untuk hidup yang diterapkan dalam segala hal. …
Pernikahan yang diikuti perkawinan membentuk sebuah rumah tangga. Namun
rumah tangga terbentuk bukan hanya bermodal kedewasaan jasmani tetapi juga
kedewasaan rohani. Faktor yang ikut mempengaruhi kadar kedewasaan rohani
ialah pendidikan watak yang diperoleh dalam keluarga terutama dari orang tua
dan usaha/upaya untuk melaksanakannya. Oleh karena itu manusia diberi daya
upaya (akal budi) dengan tujuan memberikan bimbingan dalam melaksanakan
berbagai macam usahanya dalam kehidupan. Salah satu diantaranya berkaitan
dengan hidup rumah tangga. Darmawasita memberikan beberapa bentuk
pendidikan watak dalam hidup berumah tangga antara lain: a) kemandirian dalam
memenuhi kebutuhan sandang pangan keluarga, b) kesadaran akan tugas dan
peran suami istri dalam rumah tangga.
8
a. Kemandirian dalam memenuhi kebutuhan sandang pangan keluarga.
Dalam Darmawasita, K.G.P.A.A Mangkunegara IV memberikan
sebuah rumus dalam memenuhi kebutuhan sandang pangan yang disebut
Asthagina, yakni pada pupuh I, Dhandhanggula, bait 3, baris 3-9 berikut.
3. ... manungsa apa kajaté sinêmbadan sakayun yèn dumunung mring wolung warni ingaran asthagina iku têgêsipun wolung pédah tumrapira marang janma margané mrih sandhang bukti
…
… Apapun keinginannya/ci-ta-cita manusia akan tercapai jika mengamalkan/menja-lankan delapan hal yang disebut Asthagina. Itu artinya delapan manfaat bagimu, bagi manusia sebagai ja-lan untuk mendapatkan sandang pangan. …
Asthagina menguraikannya menjadi delapan hal, berasal dari kata astha: delapan
dan gina: manfaat, yakni delapan manfaat bagi manusia sebagai jalan untuk
mendapatkan sandang pangan. Delapan manfaat itu ialah panggaotan, rigên,
gêmi, nastiti pamriksa, wruh étung, tabêri têtanya, nyêgah kayun, dan nêmêning
sêja.
1) Panggaotan ‘mata pencaharian’
Hal pertama yang harus dilakukan dalam memenuhi kebutuhan hidup
sandang pangan ialah bekerja. Orang yang mau bekerja akan mandapatkan
penghasilan. Penghasilan digunakan sebagai sarana untuk mencukupi
kebutuhan. Pada umumnya dalam sebuah lingkup rumah tangga, tugas ini
diemban oleh seorang kepala keluarga. Namun jika ada seorang istri yang
bekerja juga, maka tidak menjadi masalah asalkan istri tersebut tetap dapat
9
menjalankan peranannya dalam rumah tangga dengan baik pula. Perihal
tentang pekerjaan atau mata pencaharian ini disebutkan dalam pupuh I,
Dhandhanggula, bait 3 baris 10-bait 4, baris 1-3 berikut.
3. … kang dhingin winicara
4. panggaotan gêlaring pambudi warna-warna sakaconggahira nut ing jaman kalakoné
…
… Yang pertama dibicarakan mata pencaharian sebagai per-wujudan usaha yang bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya menyesuaikan kondisi jaman. …
Seiring dengan perkembangan jaman semakin beragam pula pekerjaan yang
dilakukan dan diciptakan manusia. Hal tersebut membuktikan bahwa
kemampuan manusia juga terus berkembang karena mereka memiliki akal
budi. Jadi manusia bekerja dengan kemampuan yang juga dipengaruhi kondisi
jaman. Akibatnya ada pekerjaan yang terus dikembangkan dan ada pula
pekerjaan yang ditinggalkan karena tidak dapat dijadikan sumber
penghidupan.
2) Rigên ‘cekatan’
Keberhasilan dalam melakukan usaha atau pekerjaan juga
dipengaruhi oleh watak si pekerja, salah satunya watak cekatan. Cekatan
dalam segala hal baik dalam berpikir dan bertindak yang disertai rasa
tanggungjawab, artinya watak cekatan dikembangkan tanpa merugikan pihak
lain, diri sendiri dan usaha atau pekerjaan yang ditekuni. Watak cekatan ini
disebutkan dalam pupuh I, Dhandhanggula, bait 4, baris 4 dan 5 berikut.
10
4. … rigên ping kalihipun dadi pamrih marang pakolih
…
… Yang ke-2 cekatan, sebagai tujuan untuk mendapat-kan hasil yang maksimal. …
Kesuksesan yang disebutkan sebagai hasil yang maksimal dalam kutipan di
atas menjadi dambaan setiap orang. Apalagi bila mengingat bahwa kebutuhan
seorang pribadi akan terus bertambah dan berkembang seiring dengan
berjalannya waktu. Sebuah kesuksesan selalu ingin diraih karena memberikan
harapan atau bahkan jaminan terpenuhinya kebutuhan hidup, walaupun
mungkin tidak secara mutlak.
3) Gêmi ‘hemat’
Hemat merupakan salah satu di antara sekian banyak cara yang dapat
ditempuh agar dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Berapapun penghasil-
an yang dimiliki entah besar atau kecil tidak dihabiskan hanya untuk
memenuhi keinginan-keinginan yang seharusnya dapat ditunda atau
ditiadakan. Jika ada sisa antara pendapatan dan pengeluaran, maka sebaiknya
ditabung atau disimpan untuk kebutuhan-kebutuhan yang tidak terduga. Hal
ini dinyatakan dalam pupuh I, Dhandhanggula, bait 4, baris 6 dan 7 berikut.
4. … katri gêmi garapnya margané mrih cukup
…
… Yang ke-3 bersikap hemat, agar supaya cukup. …
Hemat bukan berarti pelit atau hanya semata-mata menumpuk kekayaan dunia
tetapi hidup ini terus berputar, kadang di bawah kadang di atas, tidak ada
salahnya “sedia payung sebelum hujan”. Jadi hemat berarti bersikap bijaksana
11
dalam mengatur pemasukan dan pengeluaran, sehingga tidak gêgêdhèn cagak
tinimbang êmpyak ‘lebih besar pasak daripada tiang’.
4) Nastiti pamriksa ‘mengamati dengan teliti’
Orang yang telah dapat bersikap hemat tentu telah dapat melakukan
hal yang keempat ini. Orang tersebut tahu apa yang harus diperbuat dengan
pendapatan dan pengeluarannya agar kebutuhan hidup sandang pangan
tercukupi. Maksudnya orang tersebut membuat semacam daftar kebutuhan
jangka panjang dan jangka pendek. Hal keempat ini berada pada pupuh I,
Dhandhanggula, bait 4, baris 8 dan 9 berikut ini.
4. … ping pat nastiti pamriksa iku dadi marganing wêruh ing pêsthi
…
… Yang ke-4 mengamati dengan teliti, itu sebagai jalan untuk me-ngetahui yang semestinya. …
Dengan membuat daftar kebutuhan tersebut diharapkan ada semacam
gambaran kebutuhan yang harus didahulukan maupun yang harus ditunda atau
ditiadakan. Begitu pula dengan kebutuhan yang akan datang, sehingga ada
pemerataan kebutuhan dan tercukupi kebutuhan hidupnya.
5) Wruh étung ‘bisa menghitung atau memperkirakan’
Hal yang kelima ini masih berhubungan dengan sikap hemat dan
teliti. Setelah mengamati dengan teliti agar semua kebutuhan tercukupi, maka
orang tersebut juga harus memperhitungkan dana yang dibutuhkan atau
membuat semacam anggaran belanja. Jadi penghasilan hari ini tidak habis
untuk kebutuhan hari ini tetapi juga untuk kebutuhan yang akan datang,
12
seperti yang diungkapkan dalam pupuh I, Dhandhanggula, bait 4, baris 10-
bait 5, baris 1 berikut ini.
4. … lima wruh étung ika
5. watêk adoh mring butuh sahari
…
… Lima bisa menghitung/memper-kirakannya artinya tak hanya untuk kebutuhan sehari. …
Dengan menjalankan sikap ini maka secara otomatis orang tersebut akan
bersikap hemat karena memperhitungkan kebutuhan yang akan datang. Ia tahu
berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk kebutuhan hari ini dan hari esok.
Bahkan jika perlu, menabung juga dimasukkan dalam anggaran belanja untuk
kebutuhan hari esok atau kebutuhan yang tidak terduga.
6) Tabêri têtanya ‘tidak malu bertanya’
Kebutuhan sandang pangan dipenuhi dengan bekerja, sebuah
pekerjaan tidak dilakukan hanya dengan mengandalkan otot namun juga harus
disertai pengetahuan agar mendapatkan hasil yang memuaskan. Pengetahuan
tidak diperoleh dengan tiba-tiba tanpa melakukan usaha namun melalui suatu
proses yang disebut belajar. Sebuah pembelajaran selalu diisi dengan
pertanyaan dan jawaban, jadi hendaknya tidak perlu malu bertanya jika ingin
bertambah wawasan demi mencukupi kebutuhan hidup, seperti yang
dinyatakan dalam pupuh I, Dhandhanggula, bait 5, baris 2 dan 3.
13
5. … kaping nênêm tabêri têtanya ngundhakkên marang kawruhé …
… Yang ke-6 tidak malu bertanya untuk meningkatkan pengeta-huan. …
Seperti yang telah dibahas dalam poin pertama bahwa antara jaman,
pekerjaan, kebutuhan dan kemampuan selalu berhubungan, jika salah satunya
berubah maka yang lain mengikuti. Begitu pula dengan kemampuan, jika
ingin berkembang ke arah lebih baik maka harus mencari pengetahuan baik
formal maupun non formal agar dapat bertahan mengikuti perubahan
kebutuhan hidup sandang pangan yang juga dipengaruhi oleh kondisi jaman.
7) Nyêgah kayun ‘mencegah keinginan’
Sebagai makhluk mikrokosmos yang memiliki ciri lahiriah dan
batiniah, manusia juga akan bertindak dengan mengikuti keinginan lahiriah
dan batiniah. Sejak berada dalam kandungan, keinginan atau nafsu telah
menjadi bagian dalam diri manusia. Nafsu itu terdiri dari dari dua kutub yang
berbeda, ada yang positif dan ada yang negatif. Manusia bertanggungjawab
untuk mengendalikan keduanya. Apabila hawa nafsu angkara murka yang
berada pada kutub negatif dibiarkan merajalela dalam sanubari, maka
kesucian hati yang berada dalam diri manusia akan kalah bahkan dapat
dibinasakan. Oleh karena itu kiranya perlu dipahami bahwa jika hawa nafsu
angkara murka itu dituruti, pasti tiada akan ada habisnya. Padahal
keangkaramurkaan itu merupakan keinginan yang tidak bermanfaat baik bagi
diri sendiri maupun orang lain karena pada akhirnya hal tersebut hanyalah
rangsangan belaka yang menyebabkan orang yang bersangkutan tidak akan
14
dapat bersikap mawas diri (Suwidji, 1995: 8). Oleh karena itu segala
keinginan yang tidak bermanfaat yang disebut keangkaramurkaan hendaknya
dimatikan atau dikendalikan sedemikian rupa agar tidak merugikan semua
pihak seperti yang dinyatakan dalam pupuh I, Dhandhanggula, bait 5, baris 4
dan 5 berikut.
5. … ping pitu nyêgah kayun pêpènginan kang tanpa kardi tan boros marang arta sugih watêkipun …
… Yang ke-7 mencegah keingin-an, keinginan yang tidak berguna, tidak boros uang (hemat) pangkal kaya, …
Dalam kutipan di atas salah satu di antara sekian banyak keangkaramurkaan
dalam pemenuhan kebutuhan sandang pangan ialah sikap boros yang dapat
diatasi dengan sikap hemat sehingga akan terbentuk watak kaya. Watak kaya
diartikan sebagai sebuah keadaan yang dapat mencukupi atau tercukupi
kebutuhan hidupnya. Ia tidak merasa kekurangan sekalipun hidup dalam
keterbatasan karena orang tersebut dapat bersikap nrima, ikhlas, dan sabar.
8) Nêmêning sêja ‘sungguh-sungguh berniat’
Ketika seseorang menginginkan sesuatu atau bercita-cita maka orang
tersebut harus mau berusaha. Maksudnya tidak hanya sebatas berniat untuk
mewujudkan atau mencapai keinginan tersebut, tetapi juga harus berusaha
dengan giat dan sekuat tenaga, tidak setengah-setengah agar apa yang
diinginkan bisa tercapai seperti yang dikehendaki. Hal ini terangkum dalam
pupuh I, Dhandhanggula, bait 5, baris 8 dan 9 sebagai berikut.
15
5. … ping wolu nêmêning sêja watêkira sarwa glis ingkang kinapti
…
… Yang ke-8 sungguh-sungguh berniat dalam mencapai cita-cita, wataknya serba cepat pada apa yang dikehendaki.. …
Kesempatan tidak selalu datang untuk kedua kalinya, oleh karena itu setiap
kali kesempatan datang, tidak ragu-ragu untuk mengambilnya. Sekalipun
harus memulai dari nol dan banyak rintangan namun tidak berputus asa.
Sekalipun jatuh berulang kali dan terasa sakit akan tetap bangun dan berjalan
kembali.
Menurut K.G.P.A.A Mangkunegara IV dalam Darmawasita, jika telah
mengamalkan Asthagina maka keinginan untuk melakukan hal yang menyimpang
dalam memenuhi kebutuhan sandang pangan akan teratasi, kesejahteraan diri dan
keluarga akan lebih terkontrol serta dipercaya orang lain, seperti yang dinyatakan
dalam pupuh I, Dhandhanggula, bait 5, baris 10-bait 6, baris 1-3 berikut ini.
5. … yèn bisa kang mangkana
6. angêdohkên durtaning kang ati anyêdhakkên rahayuning raga dènandêl mring sêsamané …
… Jika bisa yang demikian, menjauhkan hati yang jahat,
mendekatkan keselamatan diri,
dipercaya orang lain.
… Darmawasita juga mengingatkan agar dalam memenuhi kebutuhan, orang tidak
terbiasa untuk berhutang atau meminjam uang kepada orang lain karena akan
mendatangkan kesengsaraan lahir batin, seperti yang diungkapkan dalam pupuh I,
Dhandhanggula, bait 6, baris 4-10 berikut ini.
16
6. … lan malih wêkasingsun aja tuman utang lan silih anyudakkên darajat camah wêkasipun kasoran prabawanira mring kang potang lawan kang sira silihi nyatané angrêrêpa
… Dan pesanku lagi, jangan terbiasa berhutang dan meminjam, menurunkan derajat/harga diri. Akhirnya tidak dihormati lagi, perbawanya kalah. kepada yang meminjam-kan dan yang kamu pin-jami, kenyataannya meminta be-las kasihan/mengiba-iba.
Kesengsaraan lahir batin itu antara lain menurunkan derajat atau harga diri
sehingga dipandang sebelah mata, tidak dihormati dan kehilangan kewibawaan.
Begitu pula dengan orang yang meminjami, pada kenyataannya minta dikasihani.
Oleh karena itu hendaknya yang merasa kekurangan atau merasa hidup dalam
keterbatasan dapat mencukupkan diri dengan mensyukuri rezeki yang telah
diberikan dan yang merasa berlebih memberikan bantuan dengan kerelaan hati
bukan dengan meminjamkan uang.
Berbagai macam cara ditempuh untuk mencukupi kebutuhan sandang
pangan, ada yang lurus dan ada yang menyimpang. Apapun macamnya
merupakan suatu bentuk usaha yang disertai daya upaya dan berkaitan dengan
kesejahteraan hidup. Tak seorangpun mau hidup dalam kesengsaraan, terutama
dalam hidup berumahtangga yang menyangkut hidup banyak orang. Intinya
sebuah usaha selalu diperlukan dan menjadi bagian hidup manusia. Tujuan yang
ingin diicapai ialah agar segala sesuatu berada dalam sebuah kondisi seperti yang
diinginkan, yakni sebuah kondisi yang baik dan berkecukupan dalam segala
17
sesuatunya baik lahir maupun batin. Hal ini dinyatakan dalam pupuh I,
Dhandhanggula, bait 7-8 yakni sebagai berikut.
7. luwih lara-laraning kang ati ora kaya wong tininggal arta kang wus ilang pilandêlé lipuré mung yèn turu lamun tangi sungkawa malih yaiku ukumira wong nglirwakkên tuduh ingkang aran budidaya témah papa asor dènira dumadi
tan amor lan sêsama
Lebih sakit dari sakitnya hati, tidak seperti orang yang di-tinggalkan harta/uang, yang telah kehilangan keper-cayaan dirinya. Terhibur hanya saat tidur, ketika bangun bersedih lagi. Itulah hukumannya. Orang yang melupakan ajaran yang disebut budidaya (usaha), pada akhirnya menemui celaka dan hina dina hidupnya, dikucilkan masyarakat.
8. kaduwungé saya angranuhi
sanalika kadi suduk jiwa èngêt mring kaluputané yèn kêna putraningsun aja kadi kang wus winuni dupèh wus darbé sira panci pancèn cukup
bécik linawan gaota kang supaya kayumanan ing dumadi panulak mring sangsara
Penyesalannya semakin ber-tambah, tiba-tiba seperti ingin bunuh diri, sadar akan kesalahannya. Jika bisa anakku, jangan seperti yang sudah kukatakan tadi. Mentang-mentang sudah me-miliki bagian tanah yang menjanji-kan dan mencukupi, akan lebih baik jika disertai bekerja/usaha agar selalu selamat dan se-jahtera dalam kehidupan, sebagai penolak terhadap ke-sengsaraan.
Seseorang menjadi lebih tegar dalam menghadapi segala kemungkinan dengan
berusaha, misalnya ketika berada pada titik terendah ia tidak putus asa dan berfikir
untuk mengakhiri hidupnya dengan caranya sendiri, atau ketika kebutuhan
hidupnya sangat terjamin, ia tidak berhenti berusaha untuk menjaga kondisinya
agar tetap mapan.
18
b. Kesadaran akan tugas dan peran suami istri dalam rumahtangga.
Pendidikan watak dalam membina rumahtangga selanjutnya ialah
kesadaran akan tugas masing-masing baik suami maupun istri. Seorang istri harus
sadar dengan perannya begitu pula seorang suami. Darmawasita memberikan
gambaran peran seorang istri dalam kaca mata seorang priyayi yang hidup dalam
sebuah lingkungan masyarakat Jawa dan masih kental dengan tradisi yang ada.
Hal tersebut diuraikan dalam pupuh II, Kinanthi, bait 1 dan 2 yakni sebagai
berikut.
1. déné wulang kang dumunung pasuwitan jalu èstri lamun srêgêp watêkira tan karya gêla kang nuding
pêthêl iku datan dadya jalaran duka sayêkti
2. têgên iku watêkipun akarya lêga kang nuding
wêkêl marganing pitaya déné ta pangati-ati angêdohkên kaluputan iku marganing lêstari
Sedangkan pengajaran bagi pengabdian lelaki maupun pe-rempuan/pasangan suami istri (ialah) jika kalian berwatak rajin, tidak mengecewakan yang me-merintah. Rajin bekerja itu tidak menjadi penyebab kemarahan. Teliti itu sifatnya membuat lega yang memerin-tah. Tekun membuat dipercaya sedangkan berhati-hati menjauhkan kesalahan. Itu yang membuat kekal.
Seorang istri digambarkan sebagai wanita yang berwatak rajin, teliti, tekun dan
berhati-hati sehingga menyenangkan suami dan dapat dipercaya. Dengan bersikap
demikian maka kelestarian dalam rumah tangga akan terjaga.
Dalam masyarakat tradisional dan patriarkhal seperti masyarakat Jawa,
kedudukan serta peran pria terlihat lebih dominan dibandingkan wanita (Sartono
Kartodirdjo 1987: 191). Fungsi-fungsi sosial para pria mencakup kegiatan yang
19
dinamis dengan mobilitas tinggi dan umumnya menuntut kekuatan fisik yang
lebih besar. Sedangkan kaum wanita lebih terbatas lingkungan geraknya, banyak
terikat aturan, tugas rumah tangga dan lain sebagainya. Sehubungan dengan itu
wajah kewanitaan lebih ditentukan sebagai model kehalusan, kelemahlembutan,
kesederhanaan, kerendahhatian, berperasaan halus dan peka ditambah perangai
halus serta wajah yang cantik (Sartono Kartodirdjo 1987: 195), seperti yang
diuraikan dalam pupuh II, Kinanthi, bait 3 dan 4 berikut ini.
3. lawan malih wulangingsun margané wong kanggêp nglaki
dudu guna japa mantra pèlèt dhuyung sarat dhêsthi dumunung nèng patrapira kadi kang winahya iki
Dan lagi nasihatku penyebab seorang istri disayangi suami bukan karena guna-guna, man-tera, pelet cinta, jimat dan cara-cara yang jahat, tetapi terletak pada tingkah lakunya, seperti yang akan kujelaskan ini.
4. wong wadon kalamun manut
yêkti rinêmênan nglaki miturut marganing wêlas mituhu margané asih mantêp marganirèng trêsna yèn têmên dènandêl nglaki
Seorang wanita yang penurut jelas disukai suami. Taat membuat disayangi, setia membuat dikasihi, mantap membuatnya berada dalam cinta, jika rajin akan diandalkan sua-mi.
Seorang wanita yang ingin disukai lelaki tidak perlu memanfaatkan hal-hal gaib
yang sifatnya sementara, namun ia harus memiliki watak penurut karena wanita
penurut pasti disukai suami, apalagi jika setia dan mantap dalam mengarungi
bahtera rumah tangga bersama pasangan hidupnya. Satu hal yang tidak boleh
ditinggalkan yakni kerajinan, karena kerajinan membuat istri dapat diandalkan
suami dalam mengurus dan mengatur rumah tangga.
20
Semuanya didasarkan pada pernyataan bahwa rumah tangga terbentuk
bukan dari bobot, bibit dan bebet tetapi terletak pada watak yang dimiliki orang
tersebut. Jadi syarat utama dalam membangun sebuah rumah tangga ialah watak
atau kepribadian yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan dalam hidup
berumah tangga seperti yang dibicarakan dalam pupuh II, Kinanthi, bait 5 berikut
ini.
5. dudu pangkat dudu turun dudu brana lawan warni ugêré wong palakrama wruhanta dhuh anak mami mung nurut nyondhongi karsa rumêksa kalayan wadi
Bukan pangkat bukan ketu-runan bukan harta dan wajah/rupa yang menjadi dasar seseorang untuk menikah. Ketahuilah wahai anakku, hanya taat dan menyetujui ke-mauan, menjaga dan rahasia.
Hal yang menarik di sini ialah bahwa pangkat, keturunan, harta dan wajah tidak
menjadi tempat yang utama. Apalagi bila mengingat bahwa Darmawasita ini
adalah hasil karya sastra seorang priyayi yang biasanya masih konservatif dan
menganut paham tradisional feodal. Umumnya ketiga hal tersebut menjadi syarat
pokok bagi masyarakat Jawa terutama golongan priyayi dalam mencari jodoh bagi
anak-anak mereka. Walaupun sebenarnya bila tidak diartikan secara harafiah hal
tersebut masih dapat dimanfaatkan. Bobot (pangkat/keturunan) diartikan sebagai
status yakni kejelasan asal usulnya, tidak asal memilih misal apakah statusnya
berkeluarga atau tidak. Bibit (wajah) diartikan bukan sekedar wajah luar tetapi
juga wajah dalam yakni tidak sekedar cantik dan rupawan tetapi juga cantik
hatinya Bebet (harta) diartikan apakah orang tersebut telah pantas memiliki rumah
21
tangga, yakni dapat menghasilkan sesuatu untuk mencukupi kebutuhan rumah
tangga (mau bekerja dan berusaha).
Selain hal-hal yang telah dibahas di atas, dalam berumah tangga seorang
wanita juga harus bersikap :
1) Nurut ‘taat’ yakni apapun yang diperintahkan suami wajib dilaksanakan tanpa
melawan dan beralasan, penuh kesabaran dan selesai tanpa dua kali kerja
seperti yang dinyatakan dalam pupuh II, Kinanthi, bait 6 berikut ini.
6. basa nurut karêpipun apa sapakoné nglaki ingkang wajib linaksanan tan suwala lan baribin lêjaring nêtya saranta tur rampung tan mindho kardi
Kata taat maksudnya apapun perintah suami wajib dilaksanakan tanpa melawan dan beralasan, disertai roman muka yang sabar. Selain itu juga bisa menyele-saikan tugas tanpa dua kali kerja.
2) Condhong ‘sepakat’ artinya setuju dengan kemauan suami, tidak
membicarakan sisi buruk, mencela atau bahkan membantahnya, tetapi ikut
memelihara apa yang disukai suami dengan ikhlas dan tulus seperti yang
dinyatakan dalam pupuh II, Kinanthi, bait 7 berikut ini.
7. déné condhong têgêsipun ngrujuki karsaning laki saniskara solah bawa tan nyatur nyampah maoni apa kang lagi rinênan opènana kang gumati
Sedangkan setuju artinya menyepakati kemauan suami, semua tingkah laku tidak membicarakan keburuk-annya, mencela dan membantah. Apa yang sedang disenangi peliharalah dengan baik.
3) Rumeksa ‘menjaga’, yakni segala milik, kepribadian dan kebiasaan suami
wajib diketahui/dipahami istri dan istri tahu bagian mana yang menjadi
wewenangnya dalam rumah tangga, bahkan ia harus menjaga dan merawatnya
dengan hati-hati, terutama soal nafkah yang harus digunakan dengan tepat dan
22
jelas agar semua kebutuhan rumah tangga tercukupi seperti yang dinyatakan
dalam pupuh II, Kinanthi, bait 8 dan 9 berikut ini.
8. wong rumêksa dunungipun
sabarang darbèking nglaki miwah sariraning priya kang wajib sira kawruhi wujud warna cacahira êndi bubuhaning èstri
Orang yang menjaga tempat ting-galnya atau rumah tangganya. apapun milik suami dan diri atau segala hal tentang pria yang wajib engkau ketahui berwujud macam-macam jum-lahnya. Mana harta bawaan istri,
9. wruha sangkan paranipun
pangrumaté dènnastiti apadéné guna kaya tumanjané dènpatitis
karana bangsaning arta iku jiwanirèng lair
ketahuilah asal harta tersebut, perawatannya harus hati-hati se-kali, terutama soal nafkah. Kegunaannya harus tepat atau jelas karena berwujud uang. Itu nyawa lahiriah.
4) Wadi ‘rahasia’ yakni seorang istri harus dapat menyimpan rahasia rumah
tangganya, artinya apa yang tidak perlu diketahui umum dijaga supaya hal
tersebut tidak sampai keluar rumah karena jika sampai keluar rumah maka
tidak pantas, berakibat buruk dan memalukan seperti yang dinyatakan dalam
pupuh II, Kinanthi, bait 10 berikut ini.
10. basa wadi wantahipun solah bawa kang piningit yèn kalair dadya ala saru tuwin anglingsêmi marma sira dèn abisa nyimpên wadi ywa kawijil
Rahasia sesungguhnya tingkah laku yang ditutupi, jika terungkap maka menjadi buruk, tidak pantas dan memalukan. Sebaiknya engkau bisa menyim-pan rahasia, jangan sampai diketahui orang lain.
23
Ketika seorang wanita telah dipercaya menjadi seorang ibu rumah tangga,
ia harus belajar mengatur dan meyesuaikan diri dengan tempat tinggal serta
posisinya yang baru. Ia harus mengenal lingkungan dan orang-orang di
sekelilingnya. Ia juga harus membiasakan diri dengan tata cara yang ada. Seorang
istri harus bertanya kepada suaminya tentang segala sesuatu yang belum
diketahuinya di tempat tinggalnya yang baru, cara melayani suami, kebiasaan dan
harta. Ketika bertanya harus mencari waktu yang tepat (angon mangsa) untuk
membicarakan segala sesuatunya agar tidak terjadi pertengkaran atau
kesalahpahaman. Hal tersebut diuraikan pada pupuh III, Mijil, bait 1-4 berikut ini.
1. wulang èstri kang wus palakrami
lamun pinitados amêngkoni mring balé wismané momong putra maru santanabdi
dèn angati-ati ing sadurungipun
2. tinampanan wuspadakna dhingin
solah bawaning wong ingkang bakal winêngku dhèwèké miwah watak pambêkané sami sinuksma ing batin sarta dipunwanuh
Pengajaran bagi wanita yang sudah berumah tangga. Jika dipercaya mengatur rumah tangganya, mengasuh anak, madu, sa-nak saudara dan hamba, Lakukanlah dengan hati-hati. Sebelum diterima, perhatikan terlebih dahulu tingkah laku orang yang akan kalian atur atau kuasai dan semua watak atau budi pekerti mereka. Pahami benar dalam hati serta kenalilah.
3. lan takona padataning kang wis
caraning lêlakon miwah apa saru sêsikuné
sêsirikan kang tan dènrêmêni rungokêna dhingin dadi tanpa kéwuh
Dan tanyakanlah kebiasaan yang sudah ada, cara bertingkah laku dan apa yang tidak pantas be-serta konsekuensinya, Hal-hal yang tidak disukai dengarkan dahulu, jadi tidak ada kesulitan.
24
4. tumraping rèh pamanduming panci
tatané ing kono umatura dhingin mring priyané yèn panuju ana ing asêpi ywa kongsi baribin saru yèn rinungu
Dalam hal pembagian tanah sebagai bekal masa depan sesuai tata cara disitu, bertanyalah dahulu kepada sua-mi jika kebetulan sedang tidak ada orang. Jangan sampai bertengkar tidak pantas jika didengarkan.
Jika terjadi perselisihan atau kesalahpahaman hendaknya dibicarakan
baik-baik, ketika suasana dan hati dalam keadaan tenang. Tujuannya agar segala
sesuatunya dapat diselesaikan dengan akal sehat bukan dengan emosi sesaat
(Sugeng W.A 1990: 38). Selain itu juga harus ada yang mau mengalah karena jika
gelas bertemu dengan gelas maka dapat menghancurkan keduanya, tetapi jika
gelas bertemu dengan benda lunak maka yang terjadi ialah gelas itu akan tetap
utuh. Hal ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan misalnya
perceraian seperti juga yang diuraikan pada pupuh III, Mijil, bait 5 dan 6 berikut.
5. bok manawa lingsêm têmah runtik dadi tanpantuk don
déné lamun ingulap nêtyané datan rêngu ririh ing panggalih banjurna dèra ngling lawan têmbung alus
6. anyuwuna wulang wêwalêring gonira lêlados lawan êndi kang dènwênangaké
marang sira wajibing pawèstri anggonên salami dimèn aja padu
Barangkali malu dan sakit hati, sehingga tidak mendapat tem-pat. Sedangkan ketika raut mu-kanya agak khawatir atau takut, tidak marah dan sudah ber-kurang sakit hatinya, lanjutkanlah bicaramu dengan kata-kata yang lembut. Mintalah nasihat dan peraturan dalam kamu melayani serta hal mana yang diperbo-lehkan untukmu sebagai kewajiban se-orang istri. Terapkanlah selamanya supaya tidak bertengkar.
25
Hal yang harus diperhatikan jika terjadi perceraian ialah harta benda.
Ketika perceraian terjadi, tuntutan diadakannya pembagian harta antara suami dan
istri kadangkala menuai konflik yang berkepanjangan sekalipun telah diatur
hukumnya. Oleh karena itu Darmawasita mengingatkan bahwa aturan tersebut
hendaknya dihiraukan atau diperhatikan seperti yang diuraikan dalam pupuh III,
Mijil, bait 7-11, baris 1-4 berikut ini.
7. awit wruha kukumé jêng nabi
kalamun wong wadon ora wênang andhaku darbèké
priya lamun durung dènlilani
mangkono wong laki tan wênang andhaku
8. mring gawané wadon kang asli tan kêna dènêmor lamun durung ana palilahé yèn sajroning salaki sarabi wimbuh rajatadi
iku jênêngipun
9. gana-gini padha andarbèni
lanang lawan wadon wit sangkané sangka sakaroné nging wawênang isih ana nglaki
marma ywa gêgampil
rajatadi mau
Karena itu ketahuilah hu-kum sang nabi bahwa seorang istri tidak berwenang untuk me-nguasai harta benda suaminya jika belum direla-kan (diserahkan sepenuh-nya). Demikian pula seorang sua-mi tidak berwenang menguasai
harta benda istri yang dimi-liki sejak ia belum meni-kah. Harta tersebut tidak boleh engkau campur, jika belum ada ijin darinya. Ketika berumah tangga harta benda bertambah, harta itu disebut
gana-gini yang merupakan milik bersama (baik) suami maupun istri sebab berasal dari kedua-nya, tetapi wewenang masih berada di pihak suami. Sebaiknya jangan me-nganggap mudah /menye-pelekan soal harta tersebut.
26
10. gana-gini ékral kang darbèni
saduman wong wadon kang rong duman wong lanang kang darbé lamun duwé anak jalu èstri bapa kang ngwènèhi sandhang panganipun
11. pama pêgat mati tuwin urip
gonira jêjodhon iku ora sun tutur kukumé
wawênangé ana ing surambi
…
Keputusan yang berlaku atas gana-gini yaitu satu bagian untuk pihak wanita, yang dua bagian menjadi milik pria. Jika mempunyai anak laki-laki atau perempuan, bapak yang bertanggung-jawab untuk memenuhi sandang pangannya. Seumpama cerai mati atau-pun hidup dalam kalian membina ru-mah tangga, hal tersebut tidak aku nasi-hati hukumnya, wewenangnya ada di Kan-tor Urusan Agama. …
Menurut kutipan di atas, istri tidak berwenang atas harta suami yang dimiliki
sejak ia belum menikah, kecuali jika ada izin dari empunya, begitu pula
sebaiknya. Namun harta yang didapat ketika mereka telah menikah menjadi milik
berdua, harta itu disebut gana-gini yakni satu bagian untuk pihak wanita dan dua
bagian untuk pihak pria, jika memiliki anak maka menjadi tanggungjawab pihak
pria. Segala hal yang menyangkut perceraian tersebut diselesaikan dalam sebuah
lembaga yang disebut Kantor Urusan Agama.
Kembali pada nasihat sebelumnya tentang istri yang harus paham
kewajiban dan perannya dalam dalam rumah tangga seperti yang diuraikan dalam
pada pupuh III, Mijil, bait 5 dan 6 yang dilanjutkan dalam pupuh III, Mijil, bait
12-19 sebagai berikut.
27
11. … ing mêngko balèni tutur ingsun mau
12. yèn wus sira winulang winêling
wêwalêré condhong lan priyanta ing bab pamêngkuné balé wisma putra maru abdi lawan rajatadi miwah kayanipun
13. iku lagi tampanana nuli
kang nastiti batos tinulisan apa saanané tadhah putra sêlir santanabdi miwah rajatadi kagunganing kakung
14. yèn wus slêsih gonira nampani
sarta wus waspaos aturêna layang pratélané mring priyanta lawan ingkang kapti ngêntênana malih mring pangatakipun
15. kang supaya aja dèn arani
wong wadon sumaguh bok manawa gêla ing batiné bêcik apa ginrayangan mèlik mring kayaning nglaki tan yogya satuhu
… Selanjutnya kembali pada nasihatku tadi. Jika kamu sudah dinasihati dan dipesan larangan serta keinginannya, dan suamimu dalam hal me-ngatur rumah tangga, anak, madu, hamba dan harta serta kekayaannya. semuanya itu terimalah segera dengan hati yang waspada, ditulis apa adanya kebutuhan pangan anak, madu, kerabat, hamba harta dan milik suami.
Jika sudah kamu terima dengan seksama dan sudah jelas, berikanlah surat pemberita-huannya kepada suamimu dan bagai-mana keinginannya. Nantikanlah lagi Perintahnya
supaya tidak disebut perempuan sombong. Barangkali hatinya kecewa. Apa baiknya dianggap punya pamrih terhadap kekayaan/harta suami, sungguh tidak pantas.
28
16. ing sanadyan lakinira bêcik momong mring wong wadon wêkanana kang mrina liyané jêr manungsa datan nunggil kapti ana ala bêcik ing panêmunipun
17. lamun kinèn banjur ambawani
ywa age rumêngkuh lulusêna lir mau-mauné aja nyuda aja amuwuhi tampanana batin ngajarna awakmu
18. êndi ingkang pinitayan nguni
amêngku ing kono lêstarèkna ywa lirip atiné
slondohana lêlipurên ing sih mrih trimaning ati kêna sira tantun
19. yen wus cakêp kacakup pikiring
wong sajroning kono lawan uwis mêtu piandêlé lawan sira ora walang ati iku sira lagi ngêtrip pranatanmu
Sekalipun suamimu baik, pengertian dan sabar kepada istri, berhati-hatilah terhadap yang lain karena manusia tidak selalu berkehendak sama, ada yang baik dan buruk dalam pendapatnya. Jika disuruh kemudian mengu-asai, jangan cepat-cepat memperla-kukan dengan baik. Teruskanlah seperti yang su-dah-sudah. Jangan mengurangi jangan me-nambahi, terimalah di dalam hati. Ajarlah dirimu,
mana yang lebih dahulu diper-caya untuk berkuasa disitu. Dukunglah jangan sampai le-mah hatinya (patah semangat), dekatilah dan hiburlah dengan kasih. Ambillah hatinya supaya mene-rima dan dapat kamu tanyai mau atau tidak Jika sudah cakap dan mengerti cara berfikir orang di dalamnya serta sudah muncul kepercaya-annya, tidak khawatir lagi denganmu, barulah kamu melaksanakan peraturanmu.
29
Segala sesuatu yang telah diberikan suami kepada istri, baik yang berupa nasihat,
wewenang dan harta harus dijaga dan dipergunakan sedemikian rupa, tidak terlena
tetapi harus diterima dengan hati yang waspada, bahkan bila suaminya adalah
sosok pria yang sangat pengertian dan mempercayai istri sepenuhnya. Hal tersebut
untuk mengantisipasi hal-hal yang memunculkan kesalahpahaman atau kesalahan
dalam mengatur dan menguasai segala sesuatu yang menjadi wewenangnya.
Dalam melangkah, menggunakan dan memutuskan sesuatu harus dengan
persetujuan suami agar suami tidak merasa dilangkahi tetapi tetap dihormati
sebagai kepala keluarga.
Berdasarkan beberapa uraian di atas tampak bahwa seorang wanita
dituntut untuk memiliki kedewasaan berpikir, bersikap dan bertindak, seolah-olah
hidup dan mati rumah tangga tersebut berada di tangannya. Wanita terlihat
memiliki beban mental yang lebih berat dibandingkan kaum pria. Kaum pria
memiliki kebebasan untuk menikmati hidup yang secara langsung maupun tidak
langsung didukung oleh keberadaan istri yang berada di sampingnya dengan
aturan yang lebih longgar untuknya (Maria A. Sardjono 1996). Sekalipun telah
menjadi kodrat masing-masing namun hendaknya dalam praktek sehari-hari tidak
berat sebelah, karena keduanya adalah manusia yang memiliki kelebihan dan
kekurangan. Selain itu keduanya membutuhkan perhatian, dukungan dan kasih
sayang dari orang-orang yang berada di sekitarnya.
Oleh karena itu segala sesuatu yang menjadi kewajiban yang harus
diadakan atau menjadi kebutuhan dalam rumah tangga baik lahir maupun batin
harus dikerjakan dan dipenuhi bersama-sama, sehingga segala sesuatunya dapat
30
berjalan dengan seimbang, misalnya mengenai kebutuhan sandang pangan seperti
yang diungkapkan dalam pupuh III, Mijil, bait 20 berikut ini.
11. wêwatoné nyangga sandhang bukti
nganakakên kêprabon jalu èstri sapangkat pangkaté iku saking pamêtu sêsasi utawa sawarsi pira gunggungipun
Prinsipnya dalam pemenuhan sandang pangan (ialah), menyediakan kebutuhan rumah tangga. Suami istri apapun kedu-dukannya, itu didasarkan pada penghasilan satu bulan atau satu tahun, berapapun jumlahnya.
Pada prinsipnya pemenuhan kebutuhan rumah tangga yang berupa sandang
pangan harus dipenuhi dan diatur bersama-sama serta diketahui keduanya apapun
kedudukan/ pekerjaannya. Semua kebutuhan tersebut disesuaikan dengan kondisi
ekonomi keluarga yakni penghasilan sebulan atau setahun. Berapapun jumlahnya
harus diatur sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga dan
berkecukupan baik lahir maupun batin.
2. Pendidikan Watak dalam Pergaulan dan Hidup Sehari-Hari.
Jika di atas telah dibicarakan pendidikan watak dalam hidup berumah-
tangga disertai daya upaya/akal budi, maka di sini akal budi digunakan untuk
membimbing watak pada tingkah laku yang baik/utama dalam pergaulan dan
hidup sehari-hari dengan sesama. Beberapa contoh tingkah laku utama dalam
Darmawasita antara lain sopan santun, keramahan, ketaatan, kerendahhatian,
kesadaran dan lain sebagainya, seperti uraian dalam pupuh I, Dhandhanggula,
bait 9-11 berikut ini.
31
9. rambah malih wasitaning siwi kawikana patraping agêsang kang kanggo ing salawasé manising nêtya luruh angêdohkên mring salah tampi wong kang trêpsilèng tata tan agawé rêngu wicara lus kang mardawa iku datan kasêndhu marang sêsami wong kang rumakêt ika
Sekali lagi nasihatku untuk ananda, ketahuilah cara menjalani kehidupan yang berguna untuk sela-manya Roman muka yang tenang/ lembut menjauhkan salah paham. Orang yang sopan santun dan bertata krama tidak membuat marah. Berbicara halus dengan le-mah lembut itu tidak ditegur/dicela o-rang lain orang yang ramah/bersa-habat itu
10. karya rêsêp mring réwangé linggih
wong kang manut mring caraning bangsa watêk jêmbar pasabané wong andhap asor iku yêkti oleh panganggêp bêcik
wong mênêng iku nyata nèng jaban pakéwuh wong prasaja solahira
iku ora gawé éwa kang ningali wong nganggo têpanira
membuat senang orang lain. Orang yang mengikuti tata cara dimana ia tinggal, pergaulannya luas (memi-liki banyak teman/relasi). Orang yang rendah hati itu pasti mendapat penilaian yang baik. Orang yang tidak banyak bicara itu sesungguhnya terlihat memiliki rasa sung-kan. Orang yang bersahaja da-lam tingkah lakunya itu tidak membuat iri yang melihat. Orang yang menggunakan diri sendiri sebagai ukuran
11. angêdohkén mring dosa sayêkti wong kang èngêt iku watêkira adoh marang bilahiné mangkana wulangipun
sesungguhnya menjauhkan dosa. Orang yang ingat/sadar diri (eling) pangkal jauh dari celaka. Demikian pengajaran/nasi-hatnya.
32
wong kang amrih arjaning dhiri yèku pangolahira batin ugêripun ing lair gêrbaning basa yêka aran kalakuan ingkang bécik
margané mring utama
Orang yang menginginkan keselamatan dirinya itu yang dilakukannya berdasarkan kata hati. Secara lahir sebagai rang-kaian bahasa. Itu disebut tingkah laku yang baik, sebagai sarana menuju keu-tamaan.
Namun apapun wujud atau bentuk keutamaan yang dilakukan manusia,
pada dasarnya terangkum dalam catur upaya. Catur upaya berasal dari kata catur:
empat dan upaya: usaha, jadi catur upaya berarti empat usaha yang dilakukan
manusia agar kehidupannya dapat lebih terarah baik lahir maupun batin. Hal ini
diuraikan dalam pupuh I, Dhandhanggula, bait 12 sebagai berikut.
12. pêpuntoné gonira dumadi ugêmana mring catur upaya mrih tan bingung pamusthiné kang dhingin wêkas ingsun anirua marang kang bêcik kapindho anuruta mring kang bênêr iku katri gugua kang nyata kaping paté miliha ingkang pakolih dadi kanthi nèng donya
Kesimpulannya kehidupan-mu berpeganglah pada catur upaya (4 usaha), supaya tidak bingung arah hidupnya. Nasihatku yang pertama, tirulah hal yang baik, ke-2 taatilah yang benar itu, ke-3 ikutilah yang nyata/ terbukti yang ke-4 pilihlah yang bermanfaat sebagai pedoman/bekal hi-dup di dunia.
Catur upaya yang pertama yakni tirulah hal yang baik, kedua taatilah yang benar
itu, ketiga ikutilah yang nyata/terbukti, dan keempat pilihlah yang efektif. Tirulah
hal yang baik dalam arti bahwa segala kebaikan hendaknya dilaksanakan dan
dikerjakan sebagaimana adanya, dengan ketulusan dan motivasi yang benar. Oleh
33
karena itu dalam melaksanakan kebaikan harus disertai dengan pengetahuan
tentang yang benar karena semua yang baik belum tentu benar. Sumber dari
kebenaran tersebut adalah Tuhan. Oleh karena itu ketaatan kepada Tuhan Yang
Maha Esa harus dikembangkan agar dalam menjalankan kebaikan tersebut
mendapatkan tuntunan dan tidak sia-sia. Seringkali orang melakukan kebaikan
hanya untuk mendapatkan pujian dan gengsi dimata sesamanya. Hal ini
menguraikan catur upaya yang kedua yakni taatilah yang benar itu. Kebaikan
yang disertai dengan kebenaran kadangkala tidak selalu berbuah manis tetapi
menjadi pil pahit yang harus ditelan. Sekalipun demikian kenyataan tersebut harus
diikuti atau diterima dengan keikhlasan hati, sehingga tetap dapat bereaksi secara
wajar dan dapat membawa diri dalam situasi tersebut. Hal ini menjelaskan catur
upaya yang ketiga yakni ikutilah yang nyata/terbukti. Hal yang keempat pilihlah
yang efektif, diartikan bahwa segala kebaikan yang disebut kebenaran dan
kenyataan dengan respon yang wajar hendaknya dipertimbangkan sebab akibatnya
sebelum bertindak. Tujuannya agar dituai hasil akhir yang tidak merugikan pihak
manapun dan tepat sasaran atau efektif. Jadi daya upaya/akal budi tidak hanya
bermanfaat untuk membimbing manusia dalam melaksanakan pendidikan watak
dalam membina rumah tangga tetapi juga dalam pergaulan dan hidup sehari-hari.
Demikianlah beberapa contoh pendidikan watak yang terdapat dalam
naskah Darmawasita. Kesimpulannya teks dalam naskah Darmawasita ini tidak
hanya berisi tentang hal-hal yang bersifat tradisional tertutup yang konservatif
dan feodal tetapi juga memberikan warna atau wawasan yang sesuai dengan
keadaan jaman sekarang. Seperti yang telah dijelaskan pada permulaan subbab ini
34
bahwa tidak tertutup kemungkinan nilai-nilai yang terkandung dalam teks
Darmawasita dapat digunakan dan dimanfaatkan masyarakat umumnya,
termasuk di jaman yang serba modern ini. Dengan demikian pendidikan watak
menurut tradisi Jawa yang dapat membimbing pada kehalusan batiniah dan
menjunjung keselarasan dalam masyarakat yang terkandung dalam teks
Darmawasita ini menepis pandangan bahwa nilai-nilai hidup tradisional tidak
cocok lagi pada masa sekarang dan masa yang akan datang karena pada
kenyataannya masih banyak nilai-nilai tradisional yang masih relevan. Kalaupun
tidak, maka hanya perlu disesuaikan dengan beberapa cara sesuai situasi tanpa
perlu menghilangkannya. Tujuannya agar identitas bangsa dapat terus
dipertahankan keasliannya, terutama para generasi muda yang tidak boleh
kehilangan pengetahuan dan penghargaannya pada cara atau nilai tradisional yang
sudah ada dan harus menyesuaikan diri dengan dunia masa depan.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan terhadap naskah
Darmawasita, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Naskah A dipilih sebagai naskah dasar dengan pertimbangan bahwa naskah A
adalah naskah yang paling lengkap dibandingkan ketujuh naskah yang lain,
tanpa kesalahan metrum dengan bacaan terbaik, sekalipun naskah A bukanlah
naskah yang paling tua. Kelengkapan naskah A ditunjukkan dengan tidak
35
adanya bagian teks yang korup/ hilang. Bait ke-19 naskah BDEFH dan bait
ke-18 naskah C tidak terdapat pada naskah G, begitu pula sebaliknya. Naskah
A dengan jumlah bait yang lebih banyak memuat keduanya. Bacaan naskah A
kebanyakan mengalami substitusi sehingga makna kata tidak berubah, misal
kata linêksanan dan linaksanan. Isi yang terkandung didalamnya tidak
menyimpang dari kebanyakan naskah yang lain.
2. Darmawasita berisi tentang pendidikan watak dalam membina rumah tangga
dan pendidikan watak dalam pergaulan hidup sehari-hari. Pendidikan watak
dalam rumahtangga mencakup pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan peran
suami istri dalam rumahtangga. Pemenuhan kebutuhan rumah tangga dicukupi
dengan menjalankan asthagina ‘delapan manfaat’ yaitu panggaotan ‘mata
pencaharian’, rigên ‘cekatan’, gêmi ‘hemat’, nastiti pamriksa ‘memeriksa
dengan teliti’, wruh ètungira ‘tahu menghitungnya’, tabêri têtanya ‘tidak
malu bertanya’, nyêgah kayun ‘mencegah keinginan’, dan nêmêning sêja
‘sungguh-sungguh berniat’. Peran suami istri dalam rumah tangga mencakup
peran istri yang harus dapat menyenangkan suami baik dalam sikap lahir
maupun batin dan perihal harta gana-gini. Pendidikan watak dalam pergaulan
hidup sehari-hari menjelaskan tentang tingkah laku utama dalam membina
hubungan dengan orang lain, sehingga tercipta sebuah keselarasan dalam
hidup bermasyarakat, yang dalam hal ini adalah sebuah masyarakat Jawa.
Beberapa tingkah laku utama yang harus dikembangkan dalam hidup
bermasyarakat tersebut terangkum dalam empat hal yang disebut catur upaya
‘empat usaha’ yakni 1) anirua marang kang bêcik ‘tirulah yang baik’, 2)
36
anuruta marang kang bênêr iku ‘taatilah yang benar itu’, 3) gugua kang nyata
‘ikutilah yang terbukti’, 4) miliha ingkang pakolih ‘pilihlah yang efektif’.
B. Saran
Setelah penelitian terhadap naskah Darmalaksita dilakukan maka
penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Objek kajian dalam penelitian ini hanyalah naskah yang disimpan di
perpustakaan Sasanapustaka, Reksapustaka, Sanabudaya dan Widyapustaka
yang berada di wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Untuk itu penelitian di luar
wilayah atau lokasi penelitian ini diharapkan juga untuk dijangkau dan
ditindaklanjuti agar hasilnya dapat lebih maksimal.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dan dikembangkan peneliti
lain dalam bidang kajian yang lain, misalnya bidang linguistik atau
kebudayaan. Selain itu diharapkan agar dapat bermanfaat bagi masyarakat
yang berminat pada kebudayaan Jawa, terutama para generasi muda.
3. Penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan minat peneliti lain untuk
melakukan penelitian sejenis.
37
DAFTAR PUSTAKA
Atar Semi. 1993. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung: Alumni Bani Sudardi. 2003. Penggarapan Naskah. Surakarta: Badan Penerbit Sastra
Indionesia Fakultas Sastra Iniversitas Sebelas Maret Behrend, T. E. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid I. Museum
Sanabudaya Yogyakarta.Jakarta: Djambatan Behrend, T.E dan Titik Pudjiastuti. 1997. Seri Katalog Induk Naskah-naskah
Nusantara Jilid 3A. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia _____. 1997. Seri Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3B. Jakarta:
Fakultas Sastra Universitas Indonesia Darusuprapta. 1984. Naskah-naskah Nusantara: Beberapa Gagasan
Penanganannya. Yogyakarta: Proyek Javanologi _____. 1994. “Studi Filologi Indonesia dalam Menghadapi Tuntutan Zaman”.
Tinjauan Sepintas Lintas. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta
Edi S. Ekadjati. 1980. “Cara Kerja Filologi”. Bahan Penataran di Universitas
Negeri Jember Edward Djamaris. 1977. “Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi” dalam
Bahasa dan Sastra Tahun III Nomor 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Emuch Hermansoemantri. 1986. “Identifikasi Naskah”. Draff book. Fakultas
Sastra Universitas Padjajaran Bandung Florida, Nancy K. 2000. Javanese Literature in Surakarta Manuskript Volume I.
Manuskript of Mangkunegaran Palace. Ithaca, New York: Cornell University
_____. 2000. Javanese Literature in Surakarta Manuskript Volume II. Manuskript
of Kasunananan Palace. Ithaca, New York: Cornell University Franz Magnis-Suseno. 1988. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup. Jakarta: Gramedia
38
Girardet, Nikolaus-Sutanto. 1993. Descriptive Catalogue of The Javanese Manuskript and Printed Books in The Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta. Weisbaden: Franz Steiner Verslag GMBH
Haryati Soebadio. 1975. “Penelitian Naskah Lama Indonesia” dalam Buletin
Yaperna Nomor 7 Tahun II Juni. Jakarta: Yaperna Herwangi Koesrini. 1989. “Serat Darmalaksita dalam Tinjauan Filologi dan
Pandangan dari Sudut Kepribadian Wanita dalam Perkawinan”. Skripsi Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta
Ikram, A. 1980. “Beberapa Metode Kritik dan Edisi Naskah”. Makalah Penataran
Tenaga Ahli Kesusastraan Jawa dan Nusantara di Yogyakarta Karkono Kamajaya, H. “Pendidikan Watak dalam Tradisi Jawa dan Prospek Masa
Depan” dalam Kedaulatan Rakyat. 8 Oktober 1993 Kartini-Kartono. 1976. Pengantar Metodologi Reseach. Bandung: Alumni “Langkah Kerja Penelitian Filologi”. (tt). Masyarakat Pernaskahan Nusantara dan
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Lembaga Alkitab Indonesia. 1991. Alkitab. Bogor: Lembaga Alkitab Indonesia Mardiwarsita, L. 1986. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Flores: Nusa Indah Maria A. Sardjono. 1996. Paham Jawa: Menguak Falsafah Hidup Manusia Jawa.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Ngalim Purwanto, M. 1988. Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis. Bandung:
Remaja Karya Padmasusastra. (tt). Piwulang. Surakarta: N. V. Albert Rusche and Co Pigeaud, Dr. Th. 1928. Serat Anggitan Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Arya Mangkunegara IV Jilid 3. Surakarta: Java Institut, De Bliksem Prawiroatmaja, S. 1993a. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid I ( Abjad A-Ng ).
Jakarta: CV. Masagung _____. 1993b. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid II ( Abjad Ny-Z ). Jakarta: CV.
Masagung Sartono Kartodirdjo, et al. 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press
39
Sarwanta Wiryosaputra, R. M. 2001. “K. G. P. .A. A. Mangkunegara IV”. Artikel di Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta
Siti Baroroh Baried, et al. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan
Penelitian dan Publikasi Seksi Filologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada
Siti Chamamah Soeratno, Prof. Dr. 2003. “Filologi Sebagai Pengungkap
Orisinalitas dan Transformasi Produk Budaya”. Makalah Kuliah Perdana di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Soedarsono. 1985. Keadaan dan Perkembangan Bahasa Sastra, Etika, Tata
Krama dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali dan Sunda. Yogyakarta: Javanologi
Sudaryanto, et al. 1992. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press Sugarda Purbakawatja, et al. 1957. Pendidikan Budi Pekerti. Jakarta: Ganaco N.V Sugeng W. A. “Psikologi Populer: Perlu Kadewasaning Rohani” dalam Mekar
Sari. 28 Februari 1990. Halaman 38 Suwidji. 1995. “Etika Jawa dalam Tantangan: Tinjauan dari Sudut Hukum Adat”.
Draff book. Surakarta Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus Bahasa Jawa (Bausastra
Jawa). Yogyakarta: Kanisius Tim Penyusun. 2005. “Pedoman Penulisan dan Pembimbingan Skripsi/Tugas
Akhir Fakultas Sastra dan Seni Rupa”. Buku Pedoman di Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta
Waridi Hendrosaputra dan Sisyono Eko Widodo. 1998. “Pengantar Filologi”.
Buku Pegangan Kuliah Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta
Wediodiningrat, R. T. 1924. “Pangeran Mangkunegara IV Sebagai Pujangga-
Pemikir” (edisi terjemahan oleh R. T. Muh. Husodo Pringgokusuma). Artikel di Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta
Widyamartaya, A. 1989. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius Winarno Surahmat. 1975. Dasar-dasar Teknik Reseach. Bandung: Alumni
40
Top Related