Prosiding Seminar Nasional Manado, 24 Oktober 2018
Meningkatkan Sinergitas Dalam UpayaPelestarian Sumber Daya Alam
Editor:Julianus Kinho, S.Hut., M.Sc.Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut., M.Sc.Lis Nurrani, S.Hut., M.Sc.
Diselenggarakan oleh:Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado&SEAMEO BIOTROP
Bekerjasama dengan:Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi UtaraWallacea NaturePT. Antam Tbk Halmahera TimurPT. Cargill IndonesiaBank Mandiri Area Manado
ISBN 978-602-60715-3-8
i
MENINGKATKAN SINERGITAS
DALAM UPAYA PELESTARIAN SUMBER DAYA ALAM
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Manado, 24 OKTOBER 2018
Diselenggarakan oleh:
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Manado
SEAMEO BIOTROP
Berkerjasama dengan:
Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara
Wallacea Nature
PT. Antam Tbk Halmahera Timur
PT. Cargill Indonesia
Bank Mandiri
ii
ISBN 978-602-60715-3-8
Prosiding Seminar Nasional Tema:
Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam
Steering Committee:
Ir. Dodi Garnadi, M.Si.
Rinto Hidayat, S.Hut.
Lulus Turbianti, S.Hut.
Organizing Committee:
Cahyo Riyadi, S.Hut., M.Ap., M.Agr.Sc.
Esther Randa Bunga, SE.
Alex Novandra, S.Hut., M.S.E.
Isdomo Yuliantoro, S.Sos., M.Si.
Muhammad Farid Fahmi, S.Kom., MT
Hanif Nurul Hidayah, S.Hut.
Tulus Sarah Samosir, A.Md.
Rinna Mamonto
Hendra S. Mokodompit
Editor:
Julianus Kinho, S.Hut, M.Sc.
Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut., M.Sc.
Lis Nurrani, S.Hut., M.Sc.
Reviewer:
Dr. Ir, Mahfudz, M.P.
Dr. Ir. Johny S. Tasirin, M.Sc.F.
Diterbitkan oleh:
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado
Jalan Raya Adipura, Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, Manado
Telp. 0431 7242949
Email: [email protected]; [email protected]
Website: http://manado.litbang.menlhk.go.id
mailto:[email protected]
iii
KATA PENGANTAR
Potensi pemanfaatan hutan merupakan penerapan Nawacita dari sektor
kehutanan, yang ditandai dengan indeks kualitas lingkungan hidup harus
lebih baik yang artinya kualitas air, udara, dan land cover juga harus lebih
baik.
Potensi pemanfaatan hutan dan pasokan bahan baku industri tahun 2045,
dapat menghasilkan devisa US$ 97,51 milyar/tahun, atau setara dengan 8,9
kali devisa tahun 2017. Hal ini dapat terwujud melalui konfigurasi bisnis
baru kehutanan yaitu industri berbasis hasil hutan bukan kayu,
pengembangan agroforestry, ekowisata, jasa lingkungan, dan bio energi
(KLHK, 2018).
Konservasi flora fauna dan rehabilitasi lahan merupakan upaya dalam
rangka mendukung terwujudnya program konfigurasi bisnis baru kehutanan
dengan tidak mengabaikan upaya pelestarian sumber daya alam. Beberapa
penelitian dan pengembangan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Manado pun searah dengan
cita-cita tersebut seperti peningkatan populasi flora dan fauna endemik
Sulawesi Utara, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, pengembangan
potensi obat dari tanaman kehutanan, dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai.
Menilik sejarah organisasi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam
dan Ekosistem ternyata kegiatan konservasi sudah digagas sejak
Pemerintahan Hindia Belanda pada tanggal 22 Juli 1912 dengan
terbentuknya suatu Perkumpulan Perlindungan Alam yang bernama
”Netherlandsh Indische Vereeniging Tot Natuur Bescherming” yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk ”melindungi alam Indonesia dari
kerusakan”. Kini konservasi flora fauna mengacu pada UU Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Rehabilitasi lahan hutan saat ini melibatkan peran serta masyarakat melalui
program hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat,
kemitraan kehutanan, dan hutan adat sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan Nomor
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, hal ini
sejalan dengan program pemerintah mengenai peningkatan kesejahteraan
masyarakat sekitar hutan.
iv
Keberhasilan upaya pelestarian sumber daya alam dapat terwujud dengan
adanya koordinasi antara stakeholder dengan stakeholder lainnya untuk
dapat bahu membahu serta menutup kekurangan serta membantu adanya
solusi atas kendala/hambatan yang dihadapi.
Prosiding ini memuat 16 judul materi yang dibahas, 3 materi Keynote
Speech, dan rumusan seminar berdasarkan hasil diskusi.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada SEAMEO
BIOTROP, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara, Wallacea Nature dan
PT. Antam (Persero) Tbk. UBPN Maluku Utara, PT. Cargill Indonesia, Bank
Mandiri, penyaji materi, panitia penyelenggara, moderator, peserta serta
semua pihak yang telah membantu penyelenggaraan kegiatan seminar
nasional hingga penyusunan prosiding.
Semoga prosiding ini bermanfaat.
Manado, Januari 2020
Kepala BP2LHK Manado
Mohclis, S.Hut.T., M.P.
NIP. 197411091994031001
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .............................................................................. iii
Daftar Isi ...................................................................................... v
Laporan Penyelenggaraan .............................................................. vii
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Inovasi .................................. xii
Rumusan ...................................................................................... xvi
MAKALAH PRESENTASI
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik
di Taman Nasional Gunung Merapi AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, dan Ammy Nurwati .. 1-16
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) Jenis Kayu Lokal Potensial di Sulawesi Utara Julianus Kinho, Jafred Halawane, Arif Irawan,
Hanif Nurul Hidayah, dan Reny Sawitri ....................................... 17-30
El Nino Effect (2015): Hubungan Kelimpahan Pakan, Perilaku Makan dan Luasan Daerah Jelajah Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) di Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi Tangkoko Dwi Yandhi Febriyanti, Andre Pasetha, dan Antje Engelhardt ..... 31-48
Nilai dan Kemanfaatan Anoa Breeding Centre Ditinjau dari Motivasi Pengunjung
Rahma Suryaningsih, Diah Irawati Dwi Arini , Julianus Kinho, Jafred E.Halawane, Ady Suryawan, Anita Mayasari, Margaretta Cristita,
dan Adven T.A.J. Simamora ........................................................... 49-62
Aktivitas Harian dan Pengelolaan Gajah Jinak (Elephas maximus sumatranus) di Sumatera Utara Wanda Kuswanda, Sriyanti Puspita Barus, dan Asep Sukmana ... 63-78
Pengelolaan Jasa Lingkungan Air di Desa Patanyamang,
Kecamatan Camba, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan Nur Hayati ....................................................................................... 79-94
Biomassa dan Cadangan Karbon di Hutan Mangrove: Studi Kasus Teluk Bone, Kota Palopo Hadijah Azis Karim, Andi Rosdayanti, dan Afandi Ahmad ............ 95-106
Potensi Karbon Hutan Mangrove Desa Sarawet Minahasa Utara
untuk Mitigasi Perubahan Iklim Nurlita Indah Wahyuni dan Rahma Suryaningsih ......................... 107-124
vi
Karakteristik dan Kesediaan Membayar Pengunjung Wisata Alam Air Terjun Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara Wahyudi Isnan dan Nurhaedah Muin ............................................ 125-138
Dunia Nyata Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan
Hutan di Provinsi Sulawesi Utara Pernando Sinabutar, Anton Cahyo Nugroho,
dan Lidya Suryati Biringkanae..................................................... 139-156
Membangun Sinergi Para Pihak Hutan Rakyat
di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara Achmad Rizal H Bisjoe, Nurhaedah Muin, dan Evita Hapsari ........ 157-174
Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Uji Coba Skema Kemitraan di KPHP Model Poigar Arif Irawan, Isdomo Yuliantoro, Jafred Elsjoni Halawane, dan Iwanuddin ............................................................................ 175-184
Modal Sosial Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Malleleng Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Evita Hapsari, Nurhaedah Muin, dan Achmad Rizal HB ............. 185-198
Pertumbuhan dan Pemeliharaan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) di Desa Rurukan 1, Kecamatan Tomohon Timur, Kota Tomohon, Sulawesi Utara Andi Wildah, Isdomo Yuliantoro, dan Ramdana Sari ..................... 199-216
Pengaruh Tempat dan Waktu Penyimpanan Terhadap Keberhasilan Daya Kecambah Benih Gaharu
(Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke) Jafred E. Halawane dan Arif Irawan .............................................. 217-226
Kandungan Senyawa Aktif dan Toksisitas Daun Pakoba (Syzygium luzonense (Merr.) Merr)Pada Berbagai Metode Pengeringan Hanif Nurul Hidayah dan Lis Nurrani ............................................. 227-239
PRESENTASI TAMU
Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya Pengelolaan
Sumberdaya Alam
Irdika Mansur .................................................................................... 243-254
Sinergitas Pengelolaan Keanekaragaman Hayati
Puja Utama ........................................................................................ 255-260
Pergeseran Paradigma Pembangunan Hutan: Tindakan Korektif
Yayuk Siswiyanti ............................................................................... 261-267
vii
LAPORAN PENYELENGGARAAN
KEPALA BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN
HIDUP DAN KEHUTANAN (BP2LHK) MANADO
PADA SEMINAR NASIONAL
“MENINGKATKAN SINERGITAS DALAM UPAYA PELESTARIAN
SUMBER DAYA ALAM”
Manado, 24 Oktober 2018
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yang terhormat:
1. Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK, yang diwakili oleh Ibu Dr.
Yayuk Siswiyanti, S.Hut, M.Si (Kabid. Program dan Evaluasi Pusat
Litbang Hutan)
2. Direktur Konservasi Sumber Daya Alam & Konservasi (KSDAE) KLHK,
atau yang mewakili
3. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Utara
4. Direktur SEAMEO BIOTROP, Bapak Irdika Mansur
5. Bapak Simon Pulser dari Wallacea Nature
6. Para Kepala UPT Lingkup KLHK
7. Para Kepala KPHP/KPHL di Sulawesi Utara
8. Para Akademisi
9. Para Pimpinan Perusahaan
10. Para Pejabat Struktural dan Fungsional
11. Para awak media dan Tamu Undangan Peserta Seminar Nasional yang
berbahagia
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua
Syallom,
Pertama-tama marilah kita memanjatkan segala puji dan syukur kehadirat
Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari yang baik ini
kita semua dapat berkumpul ditempat ini dalam rangka mengikuti Seminar
Nasional yang terselenggara atas kerjasama BP2LHK Manado dengan
SEAMEO BIOTROP dan didukung oleh PT. Antam Persero Tbk, Wallacea
Nature, dan Bank Mandiri.
Jumlah peserta sebanyak : ± 130 orang
viii
Peserta terdiri dari : UPT di bawah Badan Litbang dan Inovasi, P3E Sulawesi
dan Maluku, UPT KLHK di Sulawesi dan Maluku Utara, Dinas Kehutanan
Daerah Provinsi Sulawesi Utara/Gorontalo/Maluku Utara, Badan Lingkungan
Hidup Provinsi Sulawesi Utara/Gorontalo/Maluku Utara, Badan Litbang
Daerah Sulawesi Utara, Dinas Lingkungan Hidup Kota Manado dan Kab.
Minahasa Tenggara, KPHP dan KPHL yang ada di Sulawesi Utara, Akademisi
dari (Univ. Samratulangi Manado, IPB, UGM, Univ. Gorontalo, Univ. Dumoga
Kotamobagu, Univ. Negeri Manado, dan Univ. Khairun Ternate), Peneliti
BP2LHK Manado, Perusahaan Swasta Mitra BP2LHK Manado (PT. Antam
Persero Tbk., PT. Cargill Indonesia, PT. J Resources Bolaang Mongondow,
PT. Meares Soputan Mining), LSM/NGO, Tokoh Masyarakat, dan Media
Massa.
Hadirin dan peserta seminar yang saya hormati,
Perkenankanlah saya berterimakasih dan berbangga atas kerjasama yang
baik antara panitia, peserta dan semua pendukung acara sehingga seminar
nasional ini dapat diselenggarakan dengan baik pada hari ini Rabu, 24
Oktober 2018 bertempat Hotel Aston Manado. Tema Seminar Nasional 2018
ini adalah “Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya
Alam“. Pada seminar ini terdapat 4 Narasumber/pembicara utama, 16
pemakalah yang terbagi di 4 divisi yaitu : bidang Konservasi Sumber Daya
Alam, bidang Jasa Lingkungan, bidang Perhutanan Sosial, dan bidang Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK).
Tamu undangan yang berbahagia,
BP2LHK Manado telah melakukan berbagai sinergi dalam upaya pelestarian
sumber daya alam, melalui kerjasama penelitian dan pengembangan yang
diantaranya :
1. Kerjasama dengan MASYARAKAT/KELOMPOK TANI :
a. Pengembangan murbei unggul dan ulat sutera hibrid yang berlokasi di
Tomohon,
b. Pilot Teknologi Inokulasi Gaharu pada Tegakan Gaharu Masyarakat di
Sulawesi Utara dan Gorontalo yang berlokasi di Bolaang Mongondow
Timur dan Minahasa Selatan,
c. Penguatan Kelembagaan Masyarakat Pulau Perbatasan Berbasis
Kehutanan bersama elemen masyarakat dan aparatur pemerintahan di
ix
Pulau-pulau diperbatasan dengan Filipina yaitu Pulau Miangas, Marampit
dan Marore, termasuk dalam gugusan Kepulauan Talaud.
2. Kerjasama dengan PEMDA :
a. Dinas Lingkungan Hidup Kab Minahasa Tenggara tentang
“Pengembangan demplot kebun benih dan konservasi eksitu Eboni
(Diospyros spp)” berlokasi di Kebun Raya Megawati Ratatotok,
b. KPHP Unit IV Poigar tentang “Upaya Penanganan Konflik Tenurial di
KPHP Model Poigar Melalui Pengembangan Kemitraan Kehutanan” di
Poigar Minahasa Selatan [kebetulan kami undang pula perwakilan
kelompok taninya],
c. KPHL Unit VI tentang “Teknologi Pemanfaatan Pakoba Sebagai Tanaman
Hutan Berpotensi Obat” di Hutan Kenangan Minahasa Utara.
3. Kerjasama dengan PERUSAHAAN/SWASTA :
a. PT. Antam Tbk. tentang “Reklamasi Lahan Bekas Tambang Nikel Melalui
Fitoremediasi dan Bioremediasi” di Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara
[sekaligus sponsor seminar ini kami ucapkan banyak terima kasih],
b. PT. Cargill Indonesia di Amurang yang sejak 2015 berperan banyak di
Anoa Breeding Centre (ABC), mulai dengan Pembangunan Kandang
anoa, bantuan tenaga dokter hewan, pembangunan Klinik Hewan serta
Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa Sebagai Media Tumbuh Jamur Tiram
Putih,
c. PT. J Resoures Bolaang Mongondow tentang “Konservasi Anoa Sebagai
Upaya Pelestarian Fauna Asli Sulawesi”,
d. PT. Meares Soputan Mining – PT. Tambang Tondano Nusajaya tentang
“Pemberian Bantuan Peningkatan Fasilitas ABC”.
4. Kerjasama dengan LSM/NGO :
a. Wallacea Nature yang dipimpin oleh Simon Purser yang turut mendukung
berbagai kegiatan BP2LHK Manado, termasuk seminar kali ini. Beliau
hadir dan bersedia menjadi pembicara tamu hari ini,
b. Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) Manado tentang
”Konservasi Keanekaragaman Jenis Flora dan Fauna (KEHATI)” di Taman
Hutan Aqua Lestari Minahasa Utara, dll.
5. Kolaborasi Lingkup KLHK :
a. BKSDA Sulawesi Utara tentang “Konservasi Eksitu Anoa dan Hutan
Penelitian di Batu Angus”
x
b. BBKSDA Sulawesi Selatan tentang “Konservasi Keanekaragaman Jenis
Fauna Indonesia”
c. TN. Bogani Nani Wartabone tentang “Kajian Potensi Sosial dan Budaya
Masyarakat Sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dalam Upaya
Mendukung Pelestarian Anoa (Bubalus spp.) sebagai satwa terancam
punah”
d. BPDASHL Tondano tentang “Persemaian Permanen di Kima Atas”
[dimana salah satu programnya adalah pengadaan bibit gratis untuk
masyarakat].
Peserta seminar yang terhormat,
Pada kesempatan ini saya selaku penanggung jawab acara ini mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Litbang dan
Inovasi LHK yang diwakili oleh Ibu Dr. Yayuk Siswiyanti, S.Hut, M.Si (Kabid.
Program dan Evaluasi Pusat Litbang Hutan) untuk berkenan membuka
seminar ini. Ucapan Terimakasih juga saya sampaikan kepada SEAMEO
BIOTROP yang telah ikut berpartisipasi menyelenggarakan acara seminar
pada hari ini, dimana SEAMEO BIOTROP telah menjadi mitra BP2LHK
Manado sejak 2012 melalui Inseminasi Buatan sejak awal merintis kegiatan
Anoa Breeding Centre. Kami agendakan untuk menggaungkan kembali
kerjasama kami melalui penandatangan Naskah Kesepahaman hari ini
bersama Bapak Direktur Irdika Mansur.
Kami ucapkan terima kasih juga untuk Wallacea Nature, PT. Antam Tbk. dan
Bank Mandiri atas dukungannya sehingga seminar ini dapat terlaksana
dengan lebih baik. Saya juga menyampaikan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada segenap pemakalah dan tamu undangan yang berkenan
menyediakan waktunya untuk berpartisipasi dalam acara seminar ini. Tidak
lupa kepada tim panitia penyelenggara seminar BP2LHK Manado yang telah
menyelenggarakan acara ini dengan baik dari awal persiapan hingga pada
berlangsungnya acara pada hari ini.
Akhir kata, saya berharap semoga hasil seminar ini dapat membuka
wawasan kita untuk membangun sinergitas dalam upaya-upaya pelestarian
sumber daya alam dan memberikan manfaat dan dampak positif yang lebih
besar, serta meningkatkan kelestarian hutan.
xi
Demikian sambutan saya, semoga Allah SWT senantiasa memberikan
bimbingan kepada kita semua.
Torang Samua Basudara
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kepala BP2LHK Manado
Ir. Dodi Garnadi, M.Si
NIP. 19670913 199203 1 001
xii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN INOVASI
SEMINAR NASIONAL
MENINGKATKAN SINERGITAS DALAM UPAYA PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM
MANADO, 24 OKTOBER 2018
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua
Syallom..
Yang terhormat:
1. Direktur Seameo Biotrop, Dr. Irdika Mansur
2. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem atau
yang mewakili
3. Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi
4. Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati
5. Kepala Pusat Penelitian Pengembangan Lingkup Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
6. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara
7. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
8. Para Akademisi
9. Para Pejabat Struktural dan Fungsional
10. Para Tamu Undangan dan Peserta Rapat yang berbahagia
Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan
Yang Maha Kuasa atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita
semua dapat bersama sama hadir dalam acara Seminar Nasional
“Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam”.
Hadirin yang berbahagia,
Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya terlebih dulu mengucapkan
selamat datang di Provinsi Sulawesi Utara, bumi nyiur melambai yang indah
kepada semua peserta, pemakalah, dan semua hadirin yang saya hormati
dan saya banggakan.
xiii
Peserta seminar yang saya hormati,
Saya sangat mengapresiasi kegiatan Seminar Nasional yang bertema
“Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam”.
Mengangkat kata Sinergitas, satu kata namun berat untuk dicapai tetapi
harus terus kita upayakan. Sinergitas berarti adanya hubungan, kerjasama
unsur/bagian/fungsi/instansi/lembaga yang menghasilkan suatu tujuan yang
lebih baik dan lebih besar. Indonesia kaya akan sumberdaya alam dan
diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sehingga
diperlukan usaha bersama dan sinergi baik antara pemerintah, masyarakat,
peneliti, lembaga riset maupun private sector baik dalam pengelolaan
maupun pelestariannya.
Hadirin yang saya hormati,
Peran strategis KLHK mencakup : Pertama: menjaga kualitas lingkungan
hidup dan daya dukung, kualitas air, kualitas udara dan kualitas lahan yang
dapat mendukung kehidupan, pengendalian pencemaran, pengelolaan DAS,
keanekaragaman hayati dan perubahan iklim; Kedua : menjaga jumlah dan
fungsi hutan serta isinya yang meliputi menjaga jumlah hutan (lindung dan
konservasi) yang memadai untuk menopang kehidupan yang mencakup
penyediaan hutan produksi dan APL untuk kegiatan social ekonomi
masyarakat, menjaga jumlah flora, fauna dan endangered species; serta
Ketiga : menjaga keseimbangan ekosistem dan keberadaan SDA untuk
kelangsungan kehidupan yang meliputi menjaga kelangsungan ekosistem
untuk keseimbangan alam dan kehidupan, menjaga DAS dan sumber mata
air untuk ketersediaan air dan menjaga daya dukung fisik ruang dan kualitas
ruang.
Hadirin yang berbahagia,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengemas kebijakan
pengelolaan hutan untuk mewujudkan sinergitas dalam upaya pelestarian
sumberdaya alam melalui Undang-Undang dan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan yang mendukung pelestarian
sumber daya alam adalah UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan kebijakan yang
mendukung rehabilitasi lahan adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang
Perhutanan Sosial. Rehabilitasi lahan hutan saat ini melibatkan peran serta
masyarakat melalui program hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan
xiv
tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat. Sedangkan pada
kegiatan konservasi, tantangan perlindungan dan pengelolaan hutan di
Indonesia seringkali datang dari masyarakat lokal di sekitar hutan. Padahal
kelestarian pengelolaan hutan sangat tergantung kepada partisipasi
masyarakat lokal dalam pengelolaannya.
Hadirin sekalian yang berbahagia,
Potensi pemanfaatan hutan merupakan penerapan Nawacita dari sektor
kehutanan, yang ditandai dengan indeks kualitas lingkungan hidup harus
lebih baik yang artinya kualitas air, udara, dan land cover juga harus lebih
baik.
Potensi pemanfaatan hutan dan pasokan bahan baku industri tahun 2045,
dapat menghasilkan devisa US$ 97,51 milyar/tahun, atau setara dengan 8,9
kali devisa tahun 2017. Hal ini dapat terwujud melalui konfigurasi bisnis baru
kehutanan yaitu industri berbasis hasil hutan bukan kayu, pengembangan
agroforestry, ekowisata, jasa lingkungan, dan bio energi (KLHK, 2018).
Realisasi hutan sosial per 4 Oktober 2018 seluas 2.010.156,81 juta ha yang
dialokasikan bagi sekitar 477.135 KK. Selama periode 2007-2014 telah
dikeluarkan izin seluas 449.104 ha, sedangkan pada periode 4 tahun Kabinet
Kerja telah dikeluarkan izin seluas 1.561.053 Ha atau sekitar 4 kali lipat
sebelum kabinet kerja (KLHK, 2018).
Peserta seminar yang saya hormati,
Salah satu agenda kerja presiden adalah untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi dengan keberpihakan kepada masyarakat banyak (smallholders)
sejak tahun pertama hingga tahun keempat ini dan memasuki tahun kelima
mengarah kepada peningkatan SDM yang satu sama lain agenda besar ini
saling terkait untuk pemerataan pertumbuhan ekonomi. Aktualisasi
kebijakan presiden dalam lingkup KLHK yaitu dengan keberpihakan
pemerintah kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan pada kurang
lebih 25 ribu Desa dan penduduknya yang relatif miskin (Harian Media
Indonesia, 19 Okt 2018). Aktualisasi kebijakan pemerataan ekonomi itu
didekati dari berbagai aspek seperti akses lahan untuk bekerja, berusaha
dan berpenghasilan melalui agenda perhutanan sosial untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan, berkelanjutan, ramah
lingkungan serta membangun kemandirian ekonomi.
xv
Hadirin yang berbahagia,
Pertemuan ini merupakan salah satu upaya mendukung pencapaian
nawacita dari sektor kehutanan melalui penyampaian hasil penelitian bidang
Perhutanan Sosial, Konservasi Sumber Daya Alam, Hasil Hutan Bukan Kayu,
dan Jasa Lingkungan. Diharapkan hasil-hasil penelitian yang disampaikan
dapat memperkaya kebijakan dalam pengelolaan hutan di daerah masing-
masing untuk mencapai pengelolaan hutan yang terpadu dan lestari
sehingga masyarakat dapat menikmati keberadaan hutan.
Peserta seminar yang berbahagia,
Ucapan selamat saya sampaikan kepada seluruh panitia pelaksana dari Balai
Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado,
yang telah mempersiapkan acara ini dari awal hingga terselenggara dengan
baik pada hari ini. Semoga acara ini dapat mendukung terciptanya sinergitas
dan keterpaduan pengelolaan hutan Indonesia, secara khusus di bumi nyiur
melambai Sulawesi Utara.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pakatuan Wo Pakalawiren...
Kepala Badan Litbang dan Inovasi
Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc
xvi
RUMUSAN
Dengan memperhatikan arahan Kepala Badan Litbang Kehutanan,
penyampaian materi dari “Keynote speech”, presentasi dan diskusi yang
berkembang dalam persidangan serta saran-saran dari peserta, maka
Seminar yang bertema “Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam” yang diselenggarakan pada 24 Oktober
2018 di Manado, merumuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Letak geografis Indonesia yang sangat strategis diantara dua benua dan
dua samudera serta dikelilinggi oleh jajaran gunung berapi menjadikan
Indonesia sebagai negara yang subur dan kaya akan sumberdaya alam.
Posisi geografi, sejarah geomorfologi dan luasan Indonesia menyebabkan
terbentuknya habitat-habitat yang sangat beragam dan dapat dihuni oleh
beragam jenis makhluk hidup. Tidak hanya di daratan, keragaman hayati
juga terbentuk di lautan.
2. Daratan Indonesia terbagi menjadi Nusantara bagian barat (Sunda) yang
jenis-jenis hidupannya serupa dengan jenis-jenis di daratan Asia,
Nusantara bagian timur (Sahul) yang hidupannya serupa dengan jenis-
jenis di daratan Australia, serta daerah peralihan (ecoton) Wallacea yang
hidupannya mirip di daratan Asia maupun daratan Australia dengan
keunikan dan endemismenya yang tinggi. Ketiga Kawasan tersebut
dikenal memiliki jenis hidupan yang berbeda. Disamping itu lautan
Indonesia dikenal sebagai bagian utama dari segitiga koral dunia (Coral
Triangel) dimana jenis-jenis hidupannya yang sangat beragam tumbuh
maupun hidup didalamnya.
3. Hidupan yang sangat beragam tersebut memberikan jasa ekosistem yang
sangat beragam pula. Sejumlah bahan pangan, bahan obat dan bahan
baku industry telah dihasilkan atau diproduksi dari hidupan tersebut.
Sejumlah besar potensi telah diketahui dan kini menunggu untuk
diproduksi secara massal, sementara itu sejumlah potensi lainnya masih
tersimpan di alam menunggu untuk ditemukan. Sayangnya degradasi
alam lingkungan di Indonesia adalah salah satu yang tercepat di dunia,
sehingga jumlah besar potensi tersebut diatas dikhawatirkan tidak
pernah terungkap hingga kepunahannya.
4. Di daratan; penebangan hutan secara liar yang kini dilanjutkan dengan
konversi baik hutan yang masih alamiah atau lahan-lahan berakibat
penebangan menjadi perkebunan merupakan ancaman utama kelestarian
xvii
keanekaragaman hayati. Sementara itu, di lautan penangkapan biota
laut secara illegal, tidak dilaporkan dan tidak dicatat merupakan ancaman
terbesar keanekaragaman hayati. Hal ini merupakan tantangan utama
pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.
5. Dalam seminar nasional ini diungkapkan berbagai potensi alam
Indonesia, baik untuk konservasi keanekaragaman hayati (KKH),
jasa lingkungan (cadangan carbon, mitigasi perubahan iklim, jasa
lingkungan untuk sumberdaya air, ekowisata dan untuk keperluan lain,
serta upaya pelestariannya), perhutanan sosial dan hasil hutan
bukan kayu (HHBK).
6. Dari hasil seminar nasional ini secara ringkas dapat dirumuskan bahwa
kekayaan SDA dan kekayaan biodiversitas Indonesia adalah sangat luar
biasa dan sangat berpotensi untuk menjamin kedaulatan bangsa dalam
hal bahan pangan, bahan obat dan bahan baku industry.
7. Sinergitas dapat dilakukan melalui kerjasama/kemitraan/ kolaborasi
sehingga perlu meningkatkan mutual trust dan mutual benefit antara
para pihak sehingga pada tataran pelaksanaan, sinergitas para pihak
dapat berjalan sebagimana yang diharapkan, untuk menjaga terjaminnya
kelestarian SDA dan keanekaragaman hayati. Ke depan, diperlukan
adanya peta prioritas pengelolaan sumberdaya alam yang “small dan
impact full” namun sinergis antara pemerintah pusat, pemerintah
daerah, akademisi, masyarakat, private sector dan lembaga-lembaga
lainnya.
Dirumuskan di : Manado
Pada Tanggal : 24 Oktober 2018
Tim Perumus :
1. Julianus Kinho, S.Hut., M.Sc.
2. Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut., M.Sc.
3. Arif Irawan, S.Si.
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
1
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional Gunung Merapi1
Ecosystem Restoration Based On Genetic Approach
in Gunung Merapi National Park
AYPBC Widyatmoko2, Bangun Baramantya3, dan Ammy Nurwati3
ABSTRACT
The forest area around Mount Merapi has been designated as Gunung Merapi
National Park (GMNP) through a Decree of the Minister of Forestry No: SK. 3627
/ Menhut-VII / KUH / 2014 dated May 6, 2014 with an area of 6,607.52 ha.The
existence of Mount Merapi which can erupt at any time causes the ecosystem in
GMNP to have a high level of fragility. The eruption of Mount Merapi in 2010 had
a major impact on ecosystem damage so that the restoration of ecosystem
activities after the Merapi eruption in 2010 has become one of the priority
programs of the GMNP. Until now, various ecosystem restoration activities have
been carried out in the GMNP area based on the types of land cover in the GMNP
area, but the origin of the seedlings were from outside the GMNP area. Based on
Government Regulation No. 7 of 1999 concerning Preservation of Plant and Animal
Types, several important things for preservation of plants are maintaining genetic
purity, maintaining genetic diversity and location of planting as part of the original
distribution of this species. Therefore, ecosystem restoration activities in
conservation areas, such as in the GMNP area, should pay attention to these three
things. The material for ecosystem restoration in the GMNP area must come from
within the GMNP area. Information about genetic diversity and genetic distribution
patterns of a species in the GMNP area is important for the selection of genetic
sources in the context of restoration activities. This restoration plan is called
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas Dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018
2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582, Telp/Fax. 0274-896080
3 Balai Taman Nasional Gunung Merapi, Jl. Kaliurang Km. 22,6, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582, Telp. 0274-4478664, Fax. 0274-4478665; E-mail: [email protected]
2
Ecosystem Restoration Based on Genetic Approach. The main activities of
Ecosystem Restoration Based on Genetic Approach that need to be done are
survey of location and collection of genetic material of potential flora species of
Mount Merapi, selection of reference population and establishment of permanent
measure plot, analysis of genetic diversity with DNA markers, multiplication of
genetic material by involving communities around the area, design, and
development of ecosystem restoration plots.
Keywords: genetic purity, conservation, DNA markers, Mount Merapi
I. PENDAHULUAN
Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi aktif yang terletak
di bagian tengah Pulau Jawa, yang secara administratif berada di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. Kawasan sekitar
Gunung Merapi ditunjuk menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)
dengan luas 6.410 Ha, melalui Keputusan Menteri Kehutanan SK Nomor
134/Menhut-II/2004 tanggal 04 Mei 2004, dan kemudian ditetapkan melalui
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: SK. 3627/Menhut-VII/KUH/2014
tanggal 6 Mei 2014 dengan luas 6.607,52 ha.
Wilayah TNGM berada pada ketinggian antara 600-2.968 mdpl, yang
tersebar di 4 (empat kabupaten), yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten
Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten. Wilayah TNGM yang
terdapat di 4 kabupaten tersebut juga terbagi menjadi 7 resort, yaitu Resort
Pakem-Turi, Resort Cangkringan, Resort Srumbung, Resort Dukun, Resort
Selo, Resort Musuk Cepogo, dan Resort Kemalang. Berdasarkan zonasinya,
kawasan TNGM juga terbagi menjadi 7 zona, yaitu Zona Inti, Zona Rimba,
Zona Pemanfaatan, Zona Rehabilitasi, Zona Khusus Mitigasi dan Rekonstruksi,
Zona Tradisional dan Zona Religi, Budaya dan Sejarah. Peta Resort dan zonasi
Taman Nasional Gunung Merapi dapat dilihat pada Gambar 1.
Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) memiliki beberapa
keunikan. Selain menyangga gunung api paling aktif di Indonesia, ekosistem
hutan di TNGM berfungsi sebagai daerah tangkapan air kawasan Provinsi
Jawa Tengah dan DIY, habitat berbagai flora dan fauna yang dilindungi,
kantong berbagai plasma nutfah yang potensial, serta fungsi sosial, dan
religius (Dove, 2008). Marhaento dan Farida (2015) menyebutkan bahwa
keberadaan Gunung Merapi yang dapat meletus sewaktu-waktu dapat
menyebabkan ekosistem di TNGM memiliki tingkat kerapuhan yang tinggi.
Karakteristik Gunung Api Merapi yang secara periodik selalu meletus
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
3
menyebabkan perubahan pula terhadap ekosistemnya. Soewandita dan
Sudiana (2014) menyampaikan bagaimana melakukan analisis penggunaan
dan kesesuaian lahan berdasarkan potensi bahaya letusan Gunung Merapi,
sedangkan Pujiasmanto (2011) menyampaikan strategi pemulihan lahan
pasca erupsi gunung api.
Gambar 1. Peta Resort dan Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi
Salah satu peristiwa erupsi Gunung Merapi yang berdampak pada
kerusakan ekosistem dalam skala besar adalah erupsi tahun 2010. Hasil
klasifikasi kelas kerusakan kawasan dari citra LANDSAT dan survey lapangan
menunjukkan bahwa akibat erupsi Gunung Merapi Tahun 2010, kawasan
TNGM mengalami 3 kelas tingkat kerusakan. Kerusakan berat terjadi pada
kawasan seluas ±1.242 ha (19,37%), kerusakan sedang seluas ±1.208 ha
(18,84%) dan kerusakan ringan seluas 2.544 ha (39,68%). Sisa kawasan
TNGM lainnya adalah medan lava dan lahar seluas 1.416 ha (22,11%) yang
sudah ada sejak sebelum erupsi 2010. Tidak dijumpai kelas tidak terdampak
4
erupsi karena seluruh kawasan TNGM menunjukkan adanya jejak abu vulkanik
sehingga kelas terdampak paling rendah adalah kerusakan ringan.
Saat ini, kegiatan pemulihan ekosistem paska erupsi Merapi 2010 telah
menjadi salah satu program prioritas Balai TNGM. Di dalam mendukung
kegiatan tersebut, melalui kerjasama dengan Balai TNGM, berbagai pihak
telah terlibat. Tercatat beberapa pihak, baik akademisi (Fakultas Kehutanan
UGM), LSM (JICA, Sumitomo), kelompok masyarakat maupun mitra lainnya
telah melakukan pemulihan ekosistem di kawasan TNGM. Meski demikian,
praktek pemulihan ekosistem kawasan TNGM hingga saat ini belum
menggunakan informasi keragaman genetik dari jenis-jenis tumbuhan di
kawasan TNGM sebagai salah satu pertimbangan teknis yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pemulihan ekosistem. Hal inilah yang
mendorong perlunya dilakukan kegiatan bersama antara Balai TNGM dan Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman
Hutan (B2P2BPTH) Yogyakarta dalam bentuk “Kegiatan Bersama Penguatan
Fungsi Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan Lokal melalui Pembuatan Demplot
Restorasi di Kawasan TNGM”.
II. RESTORASI EKOSISTEM BERBASIS GENETIK
Definisi restorasi ekosistem, menurut P.48/Menhut-II/2014 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem pada Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam, adalah suatu tindakan pemulihan terhadap
ekosistem yang mengalami kerusakan fungsi berupa berkurangnya penutupan
lahan, kerusakan badan air atau bentang alam laut serta terganggunya status
satwa liar, biota air, atau biota laut melalui tindakan penanaman, rehabilitasi
badan air atau rehabilitasi bentang alam laut, pembinaan habitat dan populasi
untuk tujuan tercapainya keseimbangan sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya mendekati kondisi aslinya. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan menyebutkan bahwa restorasi
ekosistem dilakukan dengan mempertahankan fungsi hutan melalui berbagai
kegiatan sehingga dapat tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya, serta
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, kegiatan
restorasi ekosistem bertujuan untuk memulihkan ekosistem yang telah
terdegradasi, rusak atau musnah ke kondisi awal atau menyerupai kondisi
awal (SER Primer, 2004). Pulihnya suatu ekosistem apabila ekosistem tersebut
telah memiliki cukup sumberdaya biotik dan abiotik untuk terus berkembang
tanpa bantuan atau campur tangan manusia serta dapat melestarikan fungsi
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
5
dan strukturnya sendiri dan memiliki resiliensi terhadap tekanan dan
gangguan lingkungan (SER Primer, 2004). Hingga saat ini belum banyak
dilaporkan mengenai pengaruh dari restorasi genetik untuk flora.
Thongkumkoon et al. (2019) melaporkan keragaman genetik 3 jenis Fagaceae
pada percobaan restorasi hutan. Untuk fauna, telah dilaporkan pengaruh
restorasi genetik untuk jenis panther (Johnson et al., 2010; Hostetler et al.,
2013) dan prairie-chickens (Bateson et al., 2014). Dalam kegiatan restorasi,
perlu dilakukan analisis mengenai kriteria penetapan prioritas tipe restorasi
untuk menentukan lokasi mana yang perlu dilakukan kegiatan pemulihan
fungsi habitat, hidrologi, dan lain-lain (Gunawan dan Subiandono, 2014).
Dalam melakukan kegiatan restorasi ekosistem, diperlukan strategi untuk
berbagai tujuan, temasuk diantaranya untuk meningkatkan keuntungan
secara ekologi maupun ekonomi (Franklin dan Johnson, 2012).
Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa, merupakan salah satu dari Peraturan Pemerintah yang
dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan kegiatan restorasi ekosistem
kawasan yang dilindungi, seperti Taman Nasional Gunung Merapi. Beberapa
hal penting yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah tersebut yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa (Pasal 2b)
2. Memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada, agar
dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan
(Pasal 2c)
3. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan
pengelolaan di dalam habitatnya (in-situ) (Pasal 8a)
4. Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (eks-situ) untuk
menambah dan memulihkan populasi (Pasal 8b)
5. Pengembangbiakan jenis di luar habitatnya wajib memenuhi syarat yaitu
menjaga kemurnian genetik, menjaga keanekaragaman genetik dan
melakukan penandaan (Pasal 16).
Variasi genetik suatu jenis tanaman sangat diperlukan oleh tanaman
tersebut untuk dapat beradaptasi pada kondisi lingkungan yang berubah
untuk mempertahankan eksistensinya, baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Perubahan lingkungan merupakan proses yang secara nyata
berlangsung secara kontinyu. Oleh karenanya, suatu jenis tanaman harus
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0006320714001165#!
6
mampu untuk mempertahankan keragaman genetiknya agar tidak menjadi
semakin menurun populasinya atau bahkan bisa menjadi punah.
Berkurangnya keragaman genetik suatu jenis tanaman, menyebabkan
berkurangnya kemampuan adaptabilitas untuk mempertahankan hidupnya
dan kemampuan reproduksinya. Thomas et al. (2014) dan Reynolds et al.
(2012) menegaskan pentingnya menggunakan jenis tanaman asli untuk
mempertahankan genetik dalam kegiatan restorasi ekosistem. Ruiz-Jaen dan
Mitchell (2005) serta Reusch dan Hughes (2006) mengatakan bahwa dengan
memberikan perhatian kepada keragaman materi genetik yang digunakan,
baik keragaman antar jenis maupun di dalam jenis, akan berpengaruh positif
terhadap keberhasilan kegiatan restorasi ekosistem
Informasi mengenai keragaman genetik sangat diperlukan untuk
mengetahui kondisi yang ada saat ini dalam rangka konservasi jenis-jenis
tumbuhan lokal di TNGM. Data pola sebaran genetik dari suatu jenis tanaman
yang ada di kawasan TNGM menjadi penting untuk pemilihan sumber genetik
dalam rangka kegiatan restorasi. Rencana restorasi ekosistem yang
menggunakan informasi keragaman genetik dan pola persebarannya inilah
yang disebut dengan restorasi ekosistem berbasis genetik. Baramantya et al.
(2016) melaporkan keragaman genetik puspa yang ditanam di kawasan
Gunung Merapi.
III. KEGIATAN RESTORASI EKOSISTEM BERBASIS GENETIK
Restorasi ekosistem yang merupakan proses pemulihan suatu ekosistem
tentunya memerlukan berbagai kegiatan agar ekosistem yang telah
terdegradasi, rusak atau musnah dapat kembali pada kondisi awal atau
menyerupai kondisi awal. Seperti yang tercantum pada P.48/Menhut-II/2014,
kegiatan restorasi ekosistem di kawasan konservasi antara lain berupa
penanaman serta pembinaan habitat dan populasi. Kegiatan kerjasama antara
TNGM dan B2P2BPTH secara garis besar tidak berbeda jauh dari kegiatan
restorasi ekosistem yang selama ini sudah dilakukan.Kegiatan pada restorasi
ekosistem berbasis genetik di TNGM adalah sebagai berikut:
1. Survei populasi dan potensi jenis-jenis potensial Gunung Merapi, antara
lain: sarangan/saninten (Castanopsis argentea), tesek (Dodonaea
viscosa), puspa (Schima wallichii), pasang (Lithocarpus sp.), sowo
(Engelhardia spicata), dadap duri (Erythrina lithosperma) dan beberapa
jenis dari family Orchidaceae;
2. Pemilihan populasi referensi dan pembuatan Petak Ukur Permanen (PUP);
3. Pengumpulan materi genetik;
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
7
4. Analisa keragaman genetik menggunakan penanda DNA;
5. Perbanyakan secara vegetatif dan generatif;
6. Pengayaan menggunakan jenis-jenis asli TNGM;
7. Pembuatan desain dan pembangunan demplot restorasi;
8. Pelibatan masyarakat.
A. Survei populasi dan potensi jenis-jenis potensial
Kegiatan inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis pohon asli dilakukan
bersamaan dengan kegiatan analisis vegetasi. Inventarisasi jenis pohon asli
dilakukan dengan cara membuat daftar jenis pohon dan mencocokkan dengan
deskripsi sebaran alaminya yang ada di referensi terpercaya seperti Buku
Tumbuhan Berguna Indonesia (Heyne, 1987) dan Buku Flora Pegunungan
Jawa (van Steenis, 2006), atau buku-buku yang relevan dari serial PROSEA
(Plant Resources of South-East Asia). Identifikasi jenis pohon asli meliputi
pengenalan jenis secara morfologi, fenologi, ekologi (tempat tumbuh dan
sebarannya) serta kegunaannya.
Perlunya tindakan penanaman kembali areal terdegradasi membawa
konsekuensi kebutuhan bibit. Salah satu syarat bibit untuk tanaman restorasi
adalah harus merupakan jenis asli setempat. Untuk itu perlu dilakukan
inventarisasi dan identifikasi jenis-jenis pohon asli Gunung Merapi. Informasi
yang diperlukan dari jenis-jenis pohon asli tersebut adalah: status keaslian
(endemisitas), distribusi geografis, sebaran menurut elevasi di Gunung Merapi,
fungsi atau peranan dalam ekosistem, kegunaan bagi masyarakat, teknik
perbanyakan atau regenerasi, kesesuaian tumbuh dengan tapak khusus, dan
sifat-sifat khusus seperti jenis toleran, intoleran, pionir atau klimaks. Gunawan
et al. (2012) telah mengidentifikasi 50 jenis pohon asli Gunung Merapi yang
dapat digunakan sebagai tanaman restorasi Gunung Merapi.
Kegiatan survei potensi dan populasi jenis-jenis yang terdapat di TNGM
difokuskan pada beberapa spesies, yaitu sarangan/saninten (Castanopsis
argentea), tesek (Dodonaea viscosa), puspa (Schima wallichii), pasang
(Lithocarpus sp.), sowo (Engelhardia spicata), dadap duri (Erythrina
lithosperma) dan beberapa jenis dari family Orchidaceae. Jenis-jenis ini dipilih
karena selain merupakan jenis asli Gunung Merapi, potensi dan sebaran
populasinya masih cukup tersedia sehingga akan sangat membantu di dalam
pemetaan struktur genetik jenis-jenis yang berada di kawasan TNGM.
B. Pemilihan populasi referensi dan pembuatan PUP
Kegiatan restorasi ekosistem memerlukan populasi referensi untuk
menjadi dasar untuk mengembalikan kondisi hutan yang telah terdegradasi
8
atau rusak. Kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik yang dilakukan di
TNGM juga membutuhkan populasi referensi agar seluruh kegiatan yang
mengarah pada kondisi populasi referensi tersebut. Untuk itu, salah satu
kegiatan yang dilakukan adalah memilih beberapa populasi yang berada di
kawasan TNGM yang sama sekali tidak mengalami gangguan baik oleh erupsi
maupun gangguan lainnya, atau mungkin hanya sedikit sekali gangguan yang
ada. Selanjutnya, Petak Ukur Permanen (PUP) dibangun pada populasi
referensi tersebut sebagai lokasi permanen untuk pengukuran dan
pengumpulan data yang dilakukan secara berkala. PUP dibangun berbentuk
persegi panjang dengan ukuran 50 meter X 20 meter untuk pengukuran
pohon dan tiang. Di dalam petak tersebut dibangun 3 buah sub-petak,
masing-masing berukuran 5 meter X 5 meter untuk pengukuran tumbuhan
bawah, semai dan sapihan. Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil
pengukuran dan pengamatan yang berkala pada populasi referensi tersebut
antara lain:
- Jenis-jenis tanaman yang ada, mulai dari tingkat perdu sampai tingkat
pohon;
- Perbandingan jumlah individu antar jenis-jenis yang ada;
- Perbandingan penutupan tajuk dari masing-masing jenis;
- Tinggi dan diameter tingkat pancang sampai dengan pohon untuk masing
jenis-jenis pohon;
- Perbandingan antara jumlah pohon, tiang, pancang dan semai untuk
luasan tertentu.
C. Pengumpulan materi genetik
Kegiatan pengumpulan materi genetik, baik untuk analisis keragaman
genetik maupun untuk kegiatan penanaman menjadi sangat penting untuk
keberhasilan dari keseluruhan kegiatan. Materi genetik yang cukup untuk
masing-masing populasi dan tersebar di kawasan TNGM akan memberikan
informasi yang lengkap untuk keragaman genetik dan dapat mewakili sebaran
genetik dari kawasan TNGM. Di dalam kegiatan pengumpulan materi genetik
ini, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan pohon induk
Pohon induk yang dipilih sebagai indukan untuk pengumpulan materi
genetik adalah yang secara fenotipik lebih baik daripada pohon lainnya.
Selain faktor fenotipik, sebaran dari pohon induk juga harus diperhatikan
untuk mengurangi hubungan kekerabatan yang dekat antar pohon induk
dan dapat mewakili keberadaan pohon-pohon di dalam suatu populasi.
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
9
2. Pengumpulan biji
Biji yang dikumpulkan sebisa mungkin dipisahkan per pohon induk, dengan
tujuan agar keterwakilan masing-masing pohon induk nantinya akan lebih
proporsional di dalam pembangunan plot penanaman maupun pengayaan.
Biji yang telah masak diunduh dari atas pohon dan dimasukkan dalam
kantong plastik yang berbeda dengan pohon induk lainnya. Apabila biji
yang dikumpulkan berada di bawah pohon, perlu dipastikan bahwa biji
tersebut berasal dari pohon yang telah diketahui atau tidak bercampur
dengan pohon lainnya.
3. Pelabelan
Apabila biji telah terkumpul, maka masing-masing diberi label dengan
penomoran yang mudah dimengerti oleh semua pihak dan bisa
membedakan dengan biji dari pohon lainnya, baik yang berasal dari
populasi yang sama atau populasi yang berbeda.
D. Analisis keragaman genetik menggunakan penanda DNA
Kegiatan analisis keragaman genetik menggunakan penanda DNA
merupakan kegiatan penting karena informasi yang diperoleh akan digunakan
untuk mengetahui sebaran genetik dari jenis-jenis yang terdapat di TNGM,
untuk menentukan sumber benih dan untuk menyusun strategi penanaman
dalam rangka restorasi ekosistem. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam
kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan sampel untuk analisis
Sampel yang digunakan untuk kegiatan analisis keragaman genetik dapat
berupa daun atau kambium dari sampel pohon yang mewakili populasi.
Sampel ini bisa berasal dari pohon-pohon induk yang telah dipilih, tetapi
bisa juga berasal dari pohon-pohon lain yang bukan pohon induk karena
tujuannya adalah ingin mengetahui keragaman genetik dari suatu
populasi. Yang terpenting di dalam kegiatan ini adalah sampel yang
digunakan harus bisa mewakili sebaran dari keseluruhan pohon yang
terdapat di dalam suatu populasi.
2. Analisis keragaman genetik menggunakan penanda DNA
Penanda yang digunakan di dalam analisis keragaman genetik adalah
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Pemilihan penanda DNA ini
didasarkan pada beberapa hal, yaitu biaya, peralatan yang dibutuhkan,
dan ketersediaan informasi mengenai penanda DNA yang akan digunakan.
Walaupun memiliki kekurangan, penanda RAPD lebih mudah dan murah
dibandingkan dengan penanda DNA lainnya serta tidak membutuhkan
10
primer khusus. Selain itu, penanda RAPD merupakan penanda yang cukup
banyak digunakan untuk analisis keragaman genetik karena tingkat
polimorfismenya yang cukup tinggi.
3. Pengelompokan populasi berdasarkan jarak genetik antar populasi
Hasil analisis menggunakan penanda DNA yang diharapkan adalah
keragaman genetik masing-masing jenis di wilayah TNGM dan jarak
genetik antar populasi. Berdasarkan informasi yang dihasilkan tersebut,
akan dilakukan pengelompokan populasi di wilayah TNGM.
Pengelompokan ini akan bermanfaat di dalam menentukan sumber benih
maupun asal-usul bibit yang akan ditanam pada suatu lokasi.
E. Perbanyakan secara vegetatif dan generatif
Kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik ini sangat berkaitan
dengan ketersediaan bibit dan asal-usul bibit yang akan digunakan di dalam
kegiatan penanaman. Untuk itu, harus dipastikan bahwa bibit yang ditanam
di suatu lokasi di TNGM haruslah berasal dari populasi yang disepakati dengan
jumlah yang cukup. Untuk mencukupi kebutuhan bibit dalam kegiatan
penanaman, berbagai upaya perbanyakan perlu dilakukan, baik perbanyakan
secara generatif maupun vegetatif.
Seperti disampaikan di atas, untuk tetap menjaga asal-usul biji maka
mulai dari pengumpulan di lapangan perlu dilakukan pelabelan yang jelas
dengan memisahkan biji yang berasal dari pohon yang berbeda. Pemisahan
bibit juga perlu dilakukan di persemaian agar tidak tercampur antara bibit
yang berasal dari pohon dan populasi yang berbeda (Gambar 2). Untuk
perbanyakan secara vegetatif, tidak jauh berbeda dengan biji. Sejak dari
pengambilan materi vegetatif di lapangan, harus dipisahkan antara pohon
yang berbeda dan diberi label yang jelas. Perbanyakan vegetatif di
persemaian (melalui stek) perlu dipisahkan antara hasil stek dari pohon dan
populasi yang berbeda.
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
11
Gambar 2. Pembibitan tesek berdasarkan masing-masing pohon induk
F. Pengayaan menggunakan jenis-jenis asli TNGM
Erupsi di kawasan TNGM menyebabkan beberapa lokasi mempunyai
tutupan lahan yang sedikit dan atau jumlah jenis maupun individu yang
sedikit. Oleh karena itu, kegiatan pengayaan perlu dilakukan di lokasi tersebut
dengan penanaman jenis-jenis yang sebelumnya ada di situ atau jenis yang
masih ada tetapi jumlah individunya sedikit. Mengingat tujuan dari kegiatan
ini tidak sekedar menambah jumlah pohon yang ada tetapi juga
memperhatikan asal-usul dari bibit yang ditanam, maka kegiatan pengayaan
ini harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Jenis yang ditanam untuk kegiatan pengayaan sama dengan yang ada di
lokasi tersebut.
2. Jenis yang ditanam diutamakan dari 6 jenis yang diprioritaskan (seperti
disebut sebelumnya), selanjutnya bisa dipilih jenis-jenis lainnya.
3. Asal-usul bibit yang ditanam haruslah berasal dari lokasi yang sama atau
lokasi yang sangat berdekatan, atau dari populasi yang secara genetik
mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan lokasi
tersebut berdasarkan hasil dari analisis menggunakan penanda DNA.
4. Bibit yang digunakan semaksimal mungkin berasal dari jumlah individu
pohon yang cukup untuk menghindari keragaman genetik bibit yang
rendah. Posisi penanaman dari juga diperhatikan agar bibit yang berasal
dari pohon induk yang sama tidak saling berdekatan untuk mengurangi
perkawinan kerabat di masa mendatang.
12
G. Pembuatan Desain dan Pembangunan Demplot Restorasi
Kegiatan lain selain pengayaan yang perlu dilakukan adalah membangun
demplot restorasi. Berbeda dengan kegiatan pengayaan, pembangunan
demplot ini bertujuan untuk mengumpulkan materi genetik dari 6 jenis
prioritas yang disebutkan di atas dan ditanam di lokasi yang tidak ada
tanaman dari keenam jenis tersebut. Dengan demikian, demplot ini akan
berfungsi juga sebagai konservasi eks-situ dari keenam jenis yang ditanam di
luar populasinya, walaupun lokasi penanaman masih di dalam kawasan TNGM.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan demplot ini adalah
sebagai berikut:
1. Materi genetik dari keenam jenis prioritas tersebut dikoleksi dari sebanyak
mungkin populasi yang berada di kawasan TNGM. Materi genetik bisa
berupa biji yang disemaikan atau berupa cabutan. Bibit dari masing-
masing populasi harus dipisahkan.
2. Bibit yang berasal dari pohon-pohon pada populasi yang sama, selanjutnya
dicampur dengan jumlah antar pohon yang seimbang mungkin
(tergantung dari ketersediaan bibit dari masing-masing pohon).
3. Luas dan desain penanaman demplot disusun berdasarkan ketersediaan
bibit dan jumlah populasinya. Bibit dari populasi yang berbeda ditanam
pada blok yang berbeda agar tidak tercampur.
4. Pemeliharaan, pengamatan dan evaluasi secara rutin dilakukan agar bibit
yang ditanam bisa tumbuh dengan baik. Apabila bibit tersedia, dapat
dilakukan penyulaman untuk tanaman yang mati. Bibit yang digunakan
untuk menyulam haruslah berasal dari populasi yang sama.
H. Pelibatan Masyarakat
Kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik ini perlu melibatkan
masyarakat, khususnya masyarakat sekitar kawasan TNGM, untuk berbagai
kegiatan yang dilakukan. Masyarakat sekitar kawasan TNGM sudah terbiasa
keluar masuk kawasan TNGM untuk mencari rumput atau untuk keperluan
lainnya, sehingga mereka sedikit banyak mengetahui kondisi tanaman yang
berada di dalam kawasan. Dengan melibatkan masyarakat, selain
mempermudah pelaksanaan kegiatan, juga dapat menambah pendapatan
dengan ikut dilibatkan. Supartono dan Yudayana (2019) menekankan
pentingnya partisipasi masyarakat di berbagai kegiatan di taman nasional,
terlebih di dalam menentukan jenis lokal potensial. Sadono (2013)
menyarankan untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan pelestarian
taman nasional, khususnya untuk menjaga fungsi ekologis. Hampir semua
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
13
kegiatan restorasi ekosistem berbasis genetik yang sudah disebutkan di atas
dapat melibatkan masyarakat, yaitu:
- Survei pohon induk.
- Pengambilan materi genetik, baik biji, cabutan maupun bahan stek.
- Membibitkan biji yang dikoleksi dan atau memelihara hasil cabutan.
- Penanaman, baik untuk kegiatan pengayaan maupun pembangunan
demplot, dan pemeliharaan.
IV. PENUTUP
Restorasi ekosistem berbasis genetik secara garis besar tidak berbeda
jauh dengan kegiatan restorasi ekosistem yang selama ini sudah dilakukan.
Yang membedakan terutama adalah jenis dan asal usul bibit yang digunakan
dalam kegiatan restorasi. Jenis yang digunakan haruslah jenis yang tumbuh
secara alami di kawasan TNGM, dan bibit yang digunakan juga harus berasal
dari populasi yag berada di kawasan TNGM. Analisis keragaman genetik
menggunakan penanda DNA sangat diperlukan untuk mengetahui keragaman
genetik dari masing-masing populasi dan hubungan kekerabatan antar
populasi. Untuk populasi yang mempunyai hubungan kekerabatan yang
sangat dekat, bibitnya dapat digunakan untuk keduanya. Untuk itu, kegiatan
pembuatan bibit mulai dari pengumpulan di lapangan sampai di persemaian
harus diberi label dan dipisahkan antar populasi. Dengan adanya kegiatan
restorasi berbasis genetik ini, kemurnian jenis maupun genetik dari tanaman
yang berada di kawasan TNGM dapat terjaga dengan baik sesuai dengan
ketentuan yang tercantum dalam PP No 7 tahun 1999. Kegiatan restorasi
berbasis genetik ini juga harus memperhatikan populasi referensi, yang
merupakan contoh populasi di TNGM yang tidak atau sedikit
sekaliterpengaruh dengan erupsi merapi atau gangguan manusia. Diharapkan
kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan bisa menyerupai populasi
referensi tersebut. Komitmen dan partisipasi dari berbagai pihak diperlukan
agar kegiatan ini bisa terlaksana dengan baik. Keterlibatan masyarakat,
khususnya masyarakat di sekitar kawasan TNGM, sangat diperlukan untuk
menjamin keberhasilan kegiatan ini dan keberlangsungannya di masa
mendatang. Dengan kegiatan ini, ke depan diharapkan masyarakat dapat
merasakan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung.
14
V. DAFTAR PUSTAKA
Baramantya, B., Indrioko, S., Faida,L. R. W. & Hadiyan, Y. (2016). Keragaman
genetik dan permudaan alam puspa (Schima Wallichii (Dc.) Korth.) di
Taman Nasional Gunung Merapi pasca erupsi tahun 2010. Jurnal
PemuliaanTanaman Hutan, 10(2), 111-121.
Bateson, Z. W., Dunna, P. O., Hull, S. D., Henschen, A. E. Johnson, J. A. &
Whittinghama, L. A. (2014). Genetic restoration of a threatened
population of greater prairie-chickens. Biological Conservation, 174, 12-
19. https://doi.org/10.1016/j.biocon. 2014.03.008. Diakses tanggal 12
Februari 2019.
Dove, M. R. (2008). Perception of volcanic eruption as agent of change on
Merapi volcano, Central Java. Journal of Volcanology and Geothermal
Research, 172(3), 329-337.
Franklin, J. F. & Johnson, K. N. (2012). A restoration framework for Federal
Forests in the Pacific Northwest. J. For., 110(8), 429–439.
http://dx.doi.org/10.5849/jof.10-006. Diakses tanggal 12 Februari 2019
Gunawan, H. & Subiandono, E. (2014). Disain ruang restorasi ekosistem
terdegradasi di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Indonesian
Forest Rehabilitation Journal, (1), 67-78.
Gunawan, H., Mas'ud, A. F., Subiandono, E., Krisnawati, H. & Heriyanto, N. M.
(2012). Manajemen Habitat dan Populasi Satwaliar Langka Pasca
Bencana Alam Erupsi Di Taman Nasional Gunung Merapi. Laporan
Insentif Riset Terapan. Dalam Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca
Erupsi. Editor Partomiharjo, T, (2014). Pusat Penelitian dan Konservasi
Rehabilitasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia Volume II. Yayasan Sarana
Wana Jaya: Diedarkan oleh Koperasi Karyawan, Badan Litbang
Kehutanan, Jakarta.
Hostetler, J. A., Onorato, D. P., Jansen, D., & Oli, M. K. (2013). A cat’s tale:
the impact of genetic restoration on Florida panther population dynamics
and persistence. Journal of Animal Ecology, 82, 608-620.
Johnson, W. E., Onorato, D. P., Roelke, M. E., Land, E. D., Cunningham, M.,
Belden, R. C., McBride, R., Jansen, D., Lotz, M., Shindle, D., Howard, J.,
Wildt, D. E., Penfold, L. M., Hostetler, J. A., Oli, M. K., & O’Brien, S. J.
(2010). Genetic restoration of the florida panther. Science, 329, 1641-
1645. DOI: 10.1126/science.1192891. Diakses tanggal 12 Februari 2019
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0006320714001165#!https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0006320714001165#!https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0006320714001165#!https://www.sciencedirect.com/science/journal/00063207https://doi.org/10.1016/j.biocon.%202014.03.008http://dx.doi.org/10.5849/jof.10-006
Restorasi Ekosistem Berbasis Genetik di Taman Nasional…….. AYPBC Widyatmoko, Bangun Baramantya, & Ammy Nurwati
15
Marhaento, H. & Faida, L. R. W. (2015). Analisis risiko kepunahan
keanekaragaman hayati di Taman Nasional Gunung Merapi. Jurnal Ilmu
Kehutanan, 9(2), 75-84.
Pujiasmanto, B. (2011). Strategi pemulihan lahan pasca erupsi gunung api
(segi agroekosistem, domestikasi tumbuhan herba untuk obat; dan
action research). Journal of Rural and Development, 2(2), 85-96.
Reusch, T. B. H. & Hughes, A. R. (2006). The emerging role of genetic
diversity for ecosystem functioning: Estuarine macrophytes as models.
Estuaries and Coasts, 29(1), 159-164.
Reynolds, L. K., McGlathery, K. J., & Waycot, M. (2012). Genetic diversity
enhances restoration success by augmenting ecosystem services. PLoS
ONE, 7(6),e38397. doi:10.1371/journal.pone.0038397. Diakses tanggal
10 Februari 2019
Ruiz-Jaen, M. C. & Mitchell, A. T. (2005). Restoration success: How is it being
measured?. Restoration Ecology, 13(3), 569-577.
Sadono, Y. (2013). Peran serta masyarakat dalam pengelolaan Taman
Nasional Gunung Merbabu di Desa Jeruk Kecamatan Selo, Kabupaten
Boyolali. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, 9(1), 53‐64.
SER Primer. The SER International Primer on Ecological Restoration. (2004).
Society for ecological Restoration International Science & Policy Working
Group (Version 2, October, 2004) (1),
http://www.ser.org/content/ecological_restoration_primer.asp. Diakses
tanggal 6 Februari 2019.
Soewandita, H. & Sudiana, N. (2014). Analisis penggunaan dan kesesuaian
lahan berdasarkan potensi bahaya letusan Gunung Merapi. Jurnal Sains
dan Teknologi Indonesia, 16(3), 8-19.
Steenis, V. (2006). Flora Pegunungan Jawa. Cetakan Kelima. Jakarta: PT.
Pradya Paramita. Dalam Restorasi Ekosistem Gunung Merapi Pasca
Erupsi. Editor Partomiharjo, T, (2014). Pusat Penelitian dan Konservasi
Rehabilitasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Supartono, T. & Yudayana, B. (2019). Partisipasi masyarakat dalam
peningkatan pertumbuhan permudaan alami di Bumi Perkemahan Pasir
Batang Taman Nasional Gunung Ciremai Desa Karangsari, Kecamatan
Darma, Kuningan, Jawa Barat. Jurnal Pengabdian Masyarakat, 02(01),
38-45.
Thomas, E., Jalonen, R., Loo, J., Boshier, D., Gallo, L., Cavers, S., Bordács,
S., Smith, P. & Bozzano, M. (2014). Genetic considerations in ecosystem
http://www.ser.org/content/ecological_restoration_primer.asphttps://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378112714004356#!
16
restoration using native tree species. Forest Ecology and Management,
333, 66-75.
Thongkumkoon, P., Chomdej, S., Kampuansai, J., Pradit, W., Waikham, P.,
Elliott, S., Chairuangsri, S., Shannon, D. P., Wangpakapattanawong, P.,
& Liu, A. 2019. Genetic assessment of three Fagaceae species in forest
restoration trials. PeerJ 7:e6958 https://doi.org/10.7717/peerj.6958.
Diakses tanggal 8 Februari 2019.
https://www.sciencedirect.com/science/journal/03781127https://doi.org/10.7717/peerj.6958
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.
17
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) Jenis Kayu Lokal Potensial
di Sulawesi Utara1
The Important Conservation Genetic Resources of Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) as Potential Trees Species
in North Sulawesi
Julianus Kinho2, Jafred Halawane2, Arif Irawan2, Hanif Nurul
Hidayah2 dan Reny Sawitri3
ABSTRACT
Conservation of genetic resources are protection and maintenance of genetic
variation of a species in order to preserve the potential of genetic resources for
conservation and breeding purposes in the future. Forest plant genetic resource
conservation programs in North Sulawesi, especially for potential local wood
species and have good economic prospects, should be prioritized and urgent to
work on in context of protection on genetic resources of forest plants. Nantu
(Palaquium obtusifolium) are one of local potential species in North Sulawesi who
have economic prospects. This species have wide distribution from coastal forests
to mountain forests in North Sulawesi. Todays nature stands of Nantu in North
Sulawesi are mostly in protected forest and conservation forest, while its demand
were continues to increase every year that is the reason why this species needs
attention in genetic resource conservation programs for conservation purpose and
tree improvement in the future.
Keywords: Conservation, nantu, tree improvement, genetic resources
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Meningkatkan Sinergitas dalam Upaya
Pelestarian Sumber Daya Alam, diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado dan SEAMEO BIOTROP, Manado 24 Oktober 2018.
2 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kima Atas Mapanget, Manado 95259, Indonesia; e-mail: [email protected]
3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan; Jl. Gunung Batu No. 5, Po.Box. 165, Bogor 16610; Telp. (0251)-8633234, 520067, Fax. (0251) 8638111; e-mail: [email protected]
18
I. PENDAHULUAN
Konservasi sumberdaya genetik merupakan perlindungan dan
pemeliharaan variasi genetik dari suatu species dalam rangka menjaga
potensi sumberdaya genetik untuk tujuan konservasi dan pemuliaan dimasa
depan. Program konservasi dapat dilakukan bagi sebagian kecil jenis-jenis
yang ada di hutan tropis yang memiliki kekayaan jenis yang sangat tinggi
(Finkeldey, 2005). Strategi konservasi sumberdaya genetik terdiri dari
konservasi in situ dan ex situ, dimana keduanya saling melengkapi satu sama
lainnya. Konservasi ex situ merupakan back up dari kegiatan konservasi in
situ, terutama jika materi genetik atau jenis target di populasi alaminya sangat
terbatas atau terancam punah. Materi genetik yang berasal dari areal
konservasi in situ dapat berfungsi sebagai materi untuk pembangunan
konservasi ex situ dan sekaligus berfungsi sebagai materi untuk tujuan
pemuliaan.
Konservasi ex situ sangat penting bagi program pemuliaan, karena
konservasi tersebut dirancang untuk mampu mendukung program breeding
dan bioteknologi di masa yang akan datang. Menurut Neel et al., (2001),
sasaran dari program konservasi sumberdaya genetik adalah untuk
mempertahankan diversitas genetik dan meminimalkan proses yang dapat
mengurangi diversitas tersebut. Kehilangan diversitas genetik dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan suatu spesies untuk tetap bertahan
hidup dengan baik pada kondisi lingkungan yang dinamis dan cenderung
berubah.
Kayu nantu atau nyatoh (Palaquium obtusifolium Burck.) dikenal sebagai
kayu yang memiliki penampilan dekoratif dan tegolong mudah dikerjakan
dengan harga yang cukup murah. Nantu merupakan salah satu jenis asli
(native species) di Sulawesi Utara yang memiliki banyak manfaat seperti
bahan bangunan, bahan baku industri bahan baku peralatan rumah tangga.
Berbagai manfaat dan keunggulan kayu nantu menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan antara produksi dan permintaan kayu, karena sebagian
besar pemenuhan kebutuhan kayu masih bersumber dari hutan alam
sehingga berdampak pada ketersediaan kayu nantu yang makin sulit dijumpai
di habitat alaminya.
Saat ini hutan tanaman rakyat untuk jenis kayu nantu di Sulawesi Utara
telah dan sedang dikembangkan oleh masyarakat dalam skala kecil maupun
skala menengah. Menurut Irawan et al. (2019) pengembangan jenis cempaka
wasian (Magnolia tsiampaca), nantu (P. obtusifolium) dan mahoni (Swietenia
macrophylla) sudah lama dilakukan oleh masyarakat di Sulawesi Utara karena
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.
19
memiliki prospek yang sangat baik. Hal ini tidak lepas dari kesadaran
masyarakat bahwa potensi nantu dari alam semakin terbatas sementara
permintaan pasar terhadap jenis kayu ini masih cukup tinggi, sehingga jenis
ini masih sangat prospektif untuk dikembangkan. Untuk mendukung
pembangunan hutan tanaman rakyat nantu yang produktif dan berkelanjutan
perlu dibarengi dengan upaya konservasi sumberdaya genetik baik in situ
maupun ex situ. Tujuan penulisan makalah ini untuk memberikan gambaran
pentingnya konservasi sumberdaya genetik nantu (P. obtusifolium) sebagai
jenis kayu lokal potensial di Sulawesi Utara.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kayu Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.)
1. Taksonomi
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Ericales
Famili : Sapotaceae
Genus : Palaquium
Spesies : Palaquium obtusifolium Burck.
Kayu nantu (P. obtusifolium) merupakan salah satu dari anggota famili
Sapotaceae. Famili ini terdiri dari lima suku, 54 genera dan 1.250 spesies yang
tersebar di daerah sub tropis dan tropis (Pennington, 1991; Govaerts et al.,
2001). Distribusi famili Sapotaceae di region Malesia diperikarakan sebanyak
15 genera, 300 species dan di Indonesia sebanyak 158 species (Hutabarat
dan Wilkie, 2018).
20
Ket : (A). Pohon nantu, (B) Daun dan buah, (C) Permukaan kayu nantu
Gambar 1. Nantu (P. obtusifolium)
B. Sebaran dan Sifat Kayu
Nantu atau nyatoh merupakan jenis kayu yang penyebaran alaminya
meliputi seluruh Indonesia. Jenis ini tumbuh pada tanah berawa dan tanah
kering pada ketinggian 20-500 mdpl (Martawijaya et al., 2005), namun
kadang masih dijumpai pada daerah ketinggian sampai 1.700 mdpl
(Ratnaningrum dan Wibisono, 2002; Wilkie, 2011; Pitopang dan Ihsan, 2014).
Jenis ini dilaporkan berasosiasi kuat dengan mentibus (Dactylocladus
stenostachys), ubah (Eugenia sp.), tekam (Hopea dasyphyla), jelutung (Dyera
costulata), kayu malam (Diospyros macrophylla), melaban (Aporrosa
sphaeridophera) dan rengas (Gluta renghas) (Florensius et al., 2018). Tinggi
pohon bisa mencapai 30-35 m. Tinggi bebas cabang 15-30 m. Diameter
batang 50-100 cm. Bentuk batang lurus dan silindris, kadang-kadang memiliki
banir 1-2 m. Permukaan kulit luar berwarna coklat atau kelabu coklat. Berat
jenis 0,56. Kelas kuat III – V, kelas awet IV - V (Martawijaya et al., 2005;
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.
21
Muslich dan Sumarni, 2005). Ciri anatomi kayu meliputi lingkar tumbuh
memiliki batas samar-samar, pembuluh baur, jari-jari heteroselular, serat
dengan noktah sederhana dan dinding agak tipis, inklusi mineral kristal
prismatik ada, berderet vertikal dalam utas parenkim bersekat (Mandang dan
Suhaendra, 2003).
(Sumber : Mandang dan Suhaendra, 2003) Ket : A. Penampang lintang skala 200 mikron B. Penampang radial skala 200 mikron
C. Penampang tangensial skala 200 mikron
Gambar 2. Ciri anatomi kayu nantu (P. obtusifolium)
C. Kegunaan
Nantu (P. obtusifolium) dilaporkan termasuk salah satu dari 10 jenis
dominan pada tingkat pancang dan tiang di bekas Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) Wanasaklar Nunuka, Bolaang Mongondow Utara (Wahyuni dan Kafiar,
2017), sedangkan pada tingkat pohon tidak ditemukan hal ini
mengindikasikan bahwa jenis ini termasuk salah satu jenis yang banyak
dipanen pada saat HPH tersebut masih karena memiliki berbagai manfaat dan
kegunaan. Kayu nantu umumnya baik digunakan beroperasi untuk
perkapalan, bahan konstruksi rumah seperti papan perumahan, balok, tiang,
rusuk, papan lantai, dinding pemisah, bahan baku mebelir dan alat musik.
Banir kayu nantu dapat digunakan sebagai dayung, gagang cangkul dan roda
22
gerobak sapi. Kayu nantu/nyatoh (Sapotaceae) banyak dimanfaatkan untuk
bahan perkapalan, bahan konstruksi rumah, bahan meubel dan furniture
(Samingan, 1982; Hutabarat dan Wilkie, 2018).
III. PEMBAHASAN
A. Urgensi Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu
(P. obtusifolium) di Sulawesi Utara
Keragaman genetik sangat diperlukan bagi suatu spesies untuk
mempertahankan eksistensinya, baik untuk mempertahankan kemampuan
hidup dan reproduksinya dalam jangka pendek maupun untuk menjaga
potensi evolusi adaptif dalam jangka panjang. Suatu spesies yang memiliki
keragaman genetik yang rendah cenderung memiliki kemampuan reproduksi
yang rendah dan diikuti oleh potensi adaptif dan evolusi yang rendah sehingga
lebih rentan terhadap kepunahan (Indrioko, 2012).
Keragaman genetik nantu perlu diketahui dengan baik untuk
menentukan langkah-langkah pengelolaannya kedepan. Upaya konservasi
sumberdaya genetik nantu sebagai jenis kayu unggulan lokal di Sulawesi
Utara telah dilakukan sejak tahun 2002 seluas 100 ha di areal HPH PT.
INHUTANI I Camp Pangi, KM. 17 Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara
(Ratnaningrum dan Wibisono, 2002), namun kelanjutan dari program tersebut
tidak dilaporkan. Upaya konservasi sumberdaya genetik nantu oleh Balai
Penelitian Kehutanan Manado pada tahun 2011 dengan mengoleksi materi
genetik nantu sebanyak 45 famili dari 6 provenans (Irawan et al., 2011).
Materi genetik tersebut selanjutnya dimapankan atau ditanam dalam bentuk
pertanaman uji keturunan (progeny test) di Hutan Penelitian Batuangus,
Bitung pada tahun 2012. Pada tanggal 30 September 2014 terjadi kebakaran
di Hutan Penelitian Batuangus dan menghabiskan materi genetik tanaman uji
keturunan nantu (Halawane et al., 2014). Pada tahun 2017 dilakukan
eksplorasi untuk mengumpulkan materi genetik nantu dari beberapa lokasi di
Sulawesi Utara. Sebanyak 79 famili berhasil dikumpulkan dari eksplorasi ini
yang berasal dari enam Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara yang meliputi Kota
Bitung, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa, Kabupaten
Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara dan Kabupaten Bolaang
Mongondow Timur (Kinho et al., 2017).
Sulawesi Utara merupakan wilayah yang potensial untuk pengembangan
hutan tanaman rakyat. Hutan tanaman rakyat sebagai salah satu penyedia
bahan baku kayu bagi industri kehutanan di Sulawesi Utara perlu dikelola
dengan baik agar dapat menghasilkan tegakan-tegakan yang berkualitas
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.
23
dengan produksi kayu yang lestari. Rachman et al. (2005) menyebutkan
bahwa pembangunan hutan tanaman rakyat sekarang diharapkan dapat
berperan penting sebagai pemasok kayu baik untuk kebutuhan industri dalam
negeri mapun ekspor. Sistem pengelolaan hutan tanaman rakyat di Sulawesi
Utara selama ini umumnya masih konvensional dengan menggunakan bibit
yang mudah tersedia dan murah untuk membangun hutan tanaman rakyat,
sehingga hasil yang diperoleh belum maksimal. Perkembangan pembangunan
hutan tanaman rakyat di Sulawesi Utara semakin pesat setelah perhatian
masyarakat berorientasi pada pasar. Adanya jaminan pasar kayu yang
semakin baik dan kemudahan dari sisi regulasi terkait dengan semakin
mudahnya pengurusan ijin untuk penjualan kayu rakyat sehingga
meningkatkan animo masyarakat untuk menanam berbagai jenis kayu
pertukangan termasuk kayu nantu sebagai salah satu jenis yang paling
diminati untuk ditanam oleh masyarakat.
Pengembangan hutan tanaman rakyat untuk jenis nantu di Sulawesi
Utara perlu didukung dengan penyediaan benih unggul berkualitas yang
dihasilkan dari program pemuliaan. Saat ini benih unggul nantu yang
dihasilkan dari program pemuliaan belum tersedia, sehingga kegiatan
pemuliaan pohon sangat dibutuhkan dan mendesak untuk dikerjakan.
Konservasi keragaman genetik nantu perlu dilakukan untuk mendukung
program pemuliaan nantu. Menurut Zobel dan Talbert (1984), pemuliaan
tanaman hutan memerlukan keragaman genetik yang luas untuk
mendapatkan kemajuan genetik yang tinggi. Keragaman genetik dapat
diartikan sebagai variasi gen dan genotype antar dan dalam spesies (Melchias,
2001). Keragaman genetik dalam spesies memberikan kemampuan untuk
beradaptasi atau melawan perubahan lingkungan, iklim atau hama dan
penyakit baru. Kemampuan tanaman untuk beradaptasi dengan perubahan
lingkungan tempat tumbuh, gangguan hama dan penyakit ditentukan oleh
potensi keragaman genetik yang dimilikinya, sehingga keragaman genetik
merupakan modal dasar bagi suatu jenis tanaman untuk tumbuh,
berkembang dan bertahan hidup dari generasi ke generasi. Semakin tinggi
keragaman genetiknya semakin besar peluang tanaman untuk beradaptasi
terhadap lingkungan tempat tumbuhnya.
Kemajuan program pemuliaan pohon akan sangat ditentukan oleh materi
genetik yang tersedia. Semakin luas basis genetik yang dilibatkan dalam
program pemuliaan suatu jenis, semakin besar peluang untuk mendapatkan
peningkatan perolehan genetik (genetic gain) dari sifat yang diinginkan.
Keberadaan sumberdaya genetik suatu jenis dengan basis yang luas menjadi
24
suatu keharusan dan memiliki arti yang sangat penting agar program
pemuliaan dari generasi ke generasi berikutnya tetap terjamin. Menurut
Suryawan et al. (2011) bahwa nyatoh atau nantu tergolong jenis dominan di
Cagar Alam (CA) Tangkoko, Bitung dan Taman Nasional (TN) Bogani Nani
Wartabone. Jenis ini tersebar cukup merata dari semenanjung utara Pulau
Sulawesi sampai Daerah Gorontalo. Berdasarkan perhitungan indeks nilai
penting, kerapatan dan frekuensi kehadiran, nantu di CA. Tangkoko lebih
dominan dibanding TN. Bogani Nani Wartabone. Populasi nantu pada tingkat
semai sangat melimpah dibawah tegakan induk (Suryawan et al., 2011). Jenis
ini dilaporkan sebagai salah satu dari 10 spesies pohon dominan pada
ketinggian 300 – 400 mdpl di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah (Risma et al.,
2019). Nantu (P. obtusifolium) biasanya memiliki permudaan yang melimpah
dibawah tegakan induknya. Pengambilan materi genetik dalam bentuk buah
atau biji apabila tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, maka dapat
dilakukan dalam bentuk cabutan.
Berkaitan dengan uraian di atas maka kegiatan konservasi genetik dan
pemuliaan pohon khususnya untuk jenis unggulan lokal seperti nantu (P.
obtusifolium) sangat mendesak untuk dilakukan dalam rangka peningkatan
kualitas tegakan nantu dari hutan tanaman rakyat di Sulawesi Utara.
B. Strategi Pembangunan Plot Konservasi Ex Situ Sumberdaya
Genetik Nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) di Sulawesi Utara
1. Strategi Sampling Dalam Rangka Koleksi Materi Genetik
a. Jumlah Populasi
Penentuan jumlah populasi yang akan disampling sebagai materi genetik
dalam pembangunan konservasi ex situ untuk jenis yang jarang dan terancam
punah harus mempertimbangkan derajat diferensiasi genetik antar populasi,
sehingga mewakili keragaman genetik pada tingkat populasi. Spesies dengan
sebaran yang luas, 3 sampai 5 populasi dianggap cukup mewakili keragaman
genetik dari spesies target (Centre for Plant Conservation, 1991). Menurut
Jaramilo dan Baena (2002), populasi dengan potensi aliran gen (gene flow)
yang rendah perlu dilakukan sampling dengan lebih dari 5 populasi. Sampling
sebaiknya dilakukan mulai dari populasi yang melimpah atau yang memiliki
keragaman genetik yang tinggi.
b. Jumlah Pohon Induk Per Populasi
Jumlah individu dari pohon induk yang dikoleksi dari setiap populasi
harus bisa mewakili sebanyak mungkin keragaman genetik yang pada
kebanyakan spesies berada pada setiap individu (Centre for Plant
Pentingnya Konservasi Sumberdaya Genetik Nantu…….. Julianus Kinho et al.
25
Conservation, 1991). Menurut Jaramillo dan Baena (2002), sebanyak 50
individu yang harus diambil sebagai sampel untuk satu populasi. Jumlah
sampel perlu ditingkatkan apabila terdapat variasi ecogeografi atau iklim.
Brown dan Brown (1991) menyebutkan bahwa untuk menangkap keragaman
alel secara efisien, 10 individu untuk satu populasi sudah dianggap cukup
mewakili, sehingga jumlah sampel yang banyak dari satu populasi tidak
diperlukan. Menurut Centre for Plant Conservation (1991) dengan
mempertimbangkan karakteristik tumbuh, sejarah populasi dan faktor-faktor
lain yang mempengaruhi sebaran keragaman, sehingga direkomendasikan
sebanyak 10 - 50 individu per populasi untuk disampel pada saat koleksi
materi genetik untuk konservasi ex situ. Dengan mempertimbangkan berbagai
rujukan diatas dan pertimbangan teknis maka koleksi materi genetik nantu
(P. obtusifolium) untuk pembangunan plot konservasi ex situ dapat diwakili
oleh minimal 20 individu pohon induk per populasi.
c. Jumlah Biji Atau Anakan Alam Per Pohon Induk
Jumlah biji atau anakan alam per pohon induk yang diambil pada
prinsipnya harus memperhatikan angka viabilitas dan persistensi populasi dan
tidak sampai menyebabkan penurunan populasi. Frankhman et al. (2002)
menyebutkan bahwa jumlah antara 1 - 20 individu per pohon induk sudah
dianggap cukup.
Materi genetik yang berasal dari semai cabutan dapat digunakan sebagai
materi genetik untuk pembangunan plot konservasi ex situ dengan
pertimbangan bahwa :
1. Anakan melimpah dibawah tegakan induk, sehingga lebih mudah dalam
teknis pengambilan materi di lapangan.
2. Buah nantu yang sudah matang secara fisiologis sangat mudah
berkecambah di bawah tegakan induk.
3. Anakan nantu relatif memiliki daya survival yang tinggi.
Top Related