Satu Tahun
Ini adalah kisah nyata. Kisah ini kualami saat aku baru duduk di bangku kelas satu Sekolah Menengah
Pertama.
Setiap aku mengingat kisah ini, selalu kurasakan pedihnya luka yang masih menempel dalam diriku.
Membuka secercah kenangan masa lalu yang sangat indah. Membuat aku ingin kembali ke masa lalu andai
aku bisa. Aku tahu, dengan terus mengingat kisah ini, aku akan terus sedih, bahkan semakin sedih. Tapi aku
tetap senang. Aku bahagia bisa mengingat kisah ini. Kisah satu tahun yang penuh kebagiaan dan terpancar
dari diriku. Satu tahun yang begitu penuh makna dan berarti. Tapi bagaimanapun juga, kenangan tetap lah
kenangan. Dan cerita itu tak akan pernah terulang. Kini kenangan itu hanya akan menjadi memorie dan
angan-angan yang terus terpancar dari dalam diri. Dan aku tak akan membiarkan kenangan itu menguap
begitu saja dengan berjalannya waktu. Aku ingin terus mengingat meski aku sadar sepenuh hati bahwa itu
hanya akan menambah luka perih dalam jiwa. Tapi hanya dengan itu, aku bisa mengenang masa satu tahun
tersebut. Membuat aku terus merasa bahwa semua sama. Tak akan ada yang berubah. Semua tetap ada
disini. Didalam hati ini.
Semuanya berawal dari tanggal 3 Juli, dimana saatnya semua calon murid sekolah baruku sedang
melaksanakan daftar ulang. Disanalah aku bertemu dengan seorang anak laki-laki yang kebetulan nantinya
akan sekelas denganku. Namanya Ridwan. Ridwan dan aku tak sengaja berkenalan saat teman Sekolah
Dasarku mengenalkannya. Kami mulai bercerita-cerita. Hanya dalam berberapa belas menit, aku sudah
mulai akrab dengannya. Aku menilainya lucu, pintar bergaul, dan juga sangat berbeda. Caranya berbicara
dengan orang lain begitu mengesankan dan lugu. Ia bahkan tak malu-malu menyebutkan nama perempuan
yang sudah disukainya sejak sekolah dasar, waktu tak sengaja kami bercerita tentang Sekolah Dasar kami
masing-masing. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku mendengar tentang keluguan Ridwan. Teman
sekomplekku yang ternyata adalah teman sebangku Ridwan saat Sekolah Dasar dulu suka sekali bercerita
tentang Ridwan. Sejak saat itu sudah tertarik pada anak laki-laki yang bernama Ridwan itu, dan sekarang,
tak disangka-sangka aku bertemu dan berkenalan dengannya dengan cara yang begitu kebetulan.
Seminggu kemudian, kegiatan belajar-mengajar mulai berjalan. Aku semakin suka melihat tingkah Ridwan
yang begitu konyol dalam kelas. Tak pernah kurasakan ketenangan dalam kelas jika ada Ridwan. Selalu ada-
ada saja kelakuannya. Tapi akhirnya aku sudah mulai terbiasa.
Dengan seiringnya waktu yang terus berjalan, hubungan kami semakin dekat. Kami mulai SMS-an. Dan
hingga tak ada hari yang kami lewatkan tanpa SMS-an. Hingga suatu saat, aku tersadar, bahwa aku sangat
menyayanginya. Aku menyayanginya layaknya saudara. Ia selalu ada untukku, dikala suka maupun duka.
Bahkan saat ia sedang marah padaku, ia tetap ada untukku. Ia selalu membuatku senang dan tertawa.
Meskipun kadang caranya memperlihatkan kasih sayangnya padaku begitu berbeda dengan orang lain, tapi
dengan itu aku semakin yakin dan menganggapnya istimewa.
Selama dekat dengan Ridwan, aku semakin mengerti arti persahabatan dan kehidupan luar yang tak pernah
kuketahui. Ia seakan membuka pintu yang tak pernah kubuka, dan menunjukkan padaku bahwa ada sebuah
kehidupan diluar sana yang lebih menyenangkan dan bermakna selain kehidupanku. Ia membuatku tahu
semua hal yang tak pernah kuketahui. Mengajarkan hal-hal baru. Membuat aku bisa merasakan sesuatu yang
tak pernah kurasakan. Membuat aku merasa nyaman didekatnya. Membuat aku menjadi diri sendiri.
Membuat aku ingin terus maju, dan tak terpaku pada semua yang telah kumiliki. Membuat aku ingin terus
berkarya, agar aku bisa memperlihatkannya bahwa aku bukan hanya seorang gadis yang puas dengan segala
yang telah ada. Dan bagian yang terbaik adalah ia membuat aku bahagia.
Seperti yang sudah bisa ditebak. Hubungan kami berjalan layak manisnya madu, hingga suatu saat, ia
menyatakan cinta padaku. Aku ragu dan bimbang. Aku juga bingung. Akhirnya, aku mendiamkannya saja,
tapi bukan Ridwan namanya jika ia berhenti sampai detik itu. Ia terus mendesakku secara halus agar aku
bisa menjawabnya. Saat itu aku sangat bingung, akhirnya aku hanya bisa menolaknya secara halus. Aku
beralasan bahwa aku belum mau pacaran sebelum kelas dua SMP, seperti yang memang pernah kujanjikan
pada diriku sendiri. Padahal, jauh dalam dilubuk hatiku, aku sadar sepenuh hati, dan aku yakin aku juga
menyanginya. Bukan hanya sekedar sebagai sahabat. Tapi sebagai seseorang yang kucintai dengan tulus dan
penuh keyakinan.
Sungguh, aku merasa sangat tidak enak padanya setelah itu. Aku meminta maaf padanya, dan ia bilang tidak
apa-apa. Meskipun aku bisa melihat kekecewaannya yang dalam dari bola matanya. Sebelum itu, aku
sempat memohon pada Ridwan, agar perasaanya dan persahabatan kami tak berakhir sampai saat itu saja,
karena aku tak ingin kehilangan salah satu orang terpenting dalam hidupku saat ini. Ridwan
menyanggupinya. Aku senang sekali karena persahabatan kami tetap berjalan seperti biasanya. Tapi aku
tetap bimbang. Akhirnya karena takut Ridwan terus menaruh harapannya padaku, aku mengatakan
kepadanya bahwa aku mencintai orang lain. Ia menerima itu, tapi aku tak tahu itu memang karena ia tulus
atau tidak. Setelah dua bulan, hubungan kami semakin berjarak. Dan dengar-dengar dari teman-temanku,
bahwa ia sedang dekat dengan seorang perempuan lain. Yaitu Ratieh, teman sekelasku juga. Sebenarnya
dulu, ia sering bercerita tentang kekagumannya pada Ratieh, tapi aku hanya menanggapinya biasa saja,
karena kupikir hubungan mereka hanya sekedar teman biasa. Seperti ia dengan temannya yang lain. Tanpa
ada sebuah hubungan yang perlu kuketahui.
Hari dan hari mulai berganti, hubunganku dan Ridwan seolah telah hancur lebur. Aku tak menyangka
hubungan kami yang sangat dekat itu hanya bisa bertahan selama satu semester, enam bulan yang kami lalui,
begitu bermakna. Begitu istimewa. Enam bulan yang kami lalui dengan suka dan duka, dan berakhir hanya
dalam dua bulan saja.
Memang hubungan kami tak lebur sepenuhnya, ia masih suka menelpon atau bertanya padaku. Tapi tak
sesering dulu, saat kami masih dekat. Paling-paling hanya berberapa kali dalam sebulan. Dan itupun hanya
untuk bertanya tentang masalah sekolah.
Setelah semua itu, hubungan kami berjalan seperti dulu sebelum aku kenal dekat dengannya. Ridwan
sekarang sudah berbeda. Jauh berbeda. Aku bahkan tak bisa mengenalinya lagi. Kini ia selalu cuek padaku,
dan juga tak banyak komentar. Dan aku juga merasakan bagaimana ia menjauhiku. Tapi mungkin ini
memang semua salahku. Salahku karena menolak cintanya, meskipun aku tahu aku juga mencintainya
dilubuk hatiku yang terdalam. Ya... semua salahku. Semuanya berawal karena kesalahanku, dan sekarang ia
menjauhiku karena ia yakin akan terus tenggelam dalam kekecewaan. Jadi, menurutku, aku pantas saja
mendapatkan semua ini. Aku pantas merasakan sakit, seperti ia dulu juga tersakiti. Dan seharusnya aku
harus sadar, bahwa aku tak pantas lagi mengharapkan Ridwan kembali setelah semua yang telah kulakukan.
Setelah menyakiti Ridwan.
Bulan silih berganti, tak terasa satu tahun telah berlalu. Dan suatu ketika, tepat pada tanggal 10 Juli, Ridwan
tumben-tumbenan menelpon. Waktu itu aku sedang nonton televisi, jadi tak mendengar ada sebuah
panggilan masuk. Setelah tahu, kupikir Ridwan akan bertanya soal daftar ulang kelas delapan yang
dilaksanakan besok, jadi ku cuekkan saja.
Esoknya, hari Sabtu, tanggal 11 Juli, semua anak disekolahku sedang mendaftar ulang kembali. Dan
disanalah aku bertemu dengannya. Ia tampak cekikikan melihatku. Wajahnya seolah menampakkan
kegembiraan saat melihatku. Memang sebenarnya tak urung aku mengakui, bahwa aku sangat
merindukannya. Aku merindukan senyumnya, tawanya, matanya. Dan sekarang ia berdiri disebelahku,
mengantri untuk daftar ulang. Kami sempat bercanda sebentar, hanya sekedar candaan biasa saja. Tapi
meskipun begitu, aku tetap senang. Aku senang karena bisa kembali merasakan hangatnya persahabatan
meski hanya untuk sesaat.
Minggu, tanggal 12 Juli, saat itu sudah malam, dan aku berjalan melewati Ibuku yang sedang bercakap-
cakap ditelpon. Karena Ibuku melihatku lewat, Ibuku berhenti memberi kode agar aku mendengarkan. Aku
berhenti dengan wajah bingung ingin lekas tahu.
“Ridwan kecelakaan.” Ucap Ibuku setengah berbisik
Jujur, aku kaget bukan main. Tapi masalahnya aku didepan Ibuku, sehingga aku memaksakan senyum sinis
dibibir mungilku. Lalu pergi begitu saja. Kupikir hanya kecelakaan biasa yang paling-paling cuman
mengakibatkan keseleo, jadi kubiarkan saja. Meskipun perkataan Ibuku tadi terus mengiang-ngiangi
pikiranku.
Keesokan harinya, sekolah sudah dimulai. Dan sekarang aku resmi menjadi murid kelas delapan. Disekolah,
aku banyak bertanya pada sahabat Ridwan tentang proses kecelakaan Ridwan. Dan betapa menggelegar
hatiku bahwa kecelakaan yang dialami Ridwan ternyata bukan hanya kecelakaan biasa. Ridwan mengalami
kecelakaan yang benar-benar fatal. Dari informasi yang kudapat, kini aku tahu bahwa karena kecelakaan itu,
tulang rusuknya patah, hatinya bolong, paru-parunya hancur, hampir seluruh bagian tubuhnya patah. Dan
yang terlebih menyakitkan lagi saat mengetahui semua itu terjadi karena Ridwan dilindas mobil. Katanya ia
sedang melaju dengan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi, dan tiba-tiba ada sebuah mobil yang juga
melaju dari arah berlawanan. Sebenarnya Ridwan mencoba mengerem, tapi sudah terlambat. Ia terjatuh dari
sepeda motornya dan terpental ke aspal, dan saat itulah sebagian tubuhnya terlindas. Aku tak paham semua
ini. Ini sungguh begitu mengejutkan. Terjadi begitu cepat, begitu saja. Dan begitu menyakitkan untukku.
Dan yang paling aku sadari, tak semua orang yang sudah dilindas mobil bisa selamat.
Setelah kejadian itu, sebenarnya aku ingin sekali menjenguk Ridwan dirumah sakit, tapi pasti ada-ada saja
alasan yang membuat aku terus menundanya.
Kamis, 16 Juli, ini hari keempat sejak Ridwan dirawat dirumah sakit, siang harinya aku sempat bermain
gitar. Entah mengapa, aku ada perasaan tak nyaman pada diriku, sehingga aku bermain gitar. Aku selalu
bermain gitar jika ada sesuatu. Setelah itu aku beristirahat untuk berberapa saat. Aku terlelap begitu
nyenyak, sehingga tak mendengar ponselku yang berdering berkali-kali setelah setengah jam sejak aku
tertidur.
Aku terbangun saat mendengar pintu kamarku dibanting keras, kulihat kakakku berdiri disana dengan wajah
serius. Lalu bergumam dengan sedikit lantang.
“Ridwan meninggal.”
Lalu pintu kembali ditutup. Aku syok berat. Dua kata yang diucapkan kakakku tadi membuat hatiku terasa
tertusuk dan pilu. Kepedihan kurasakan menusuk-nusuk jiwa yang bimbang. Aku terdiam ditempat tidur
selama berberapa saat, hingga akhirnya air mata mulai berjatuhan dari pelupuk mataku.
Ini tak mungkin terjadi, batinku. Ini terlalu cepat. Aku mengambil ponselku, dan menemukan lebih dari lima
missed call. Semuanya dari teman-temanku. Aku masih tak percaya. Lalu kubuka kotak pesan hingga aku
menyadari semuanya berisi kenyataan bahwa Ridwan sudah meninggal. Ridwan sahabatku, dan cinta
pertamaku sekarang sudah meninggal.
Mataku terpejam, aku tak mempunyai kekuatan lagi untuk sekedar menyeka air mata yang membasahi
pipiku. Rasanya seperti diriku telah hancur berkeping-keping ditelan ganasnya kenyataan. Tak lama
kemudian, ponselku berdering lagi. Kali ini kuangkat. Terdengar suara serak basah dengan kata-kata yang
tak jelas disela-sela isak tangis. Tak ada kata yang bisa kudengar kecuali saat suara itu berkata “Ridwan
sudah meninggal..”
Telpon langsung kututup. Tak kuasa aku menerima kenyataan pahit seperti ini. Aku sudah pernah
kehilangan satu orang yang sangat kusayang, dan sekarang seorang sahabat yang sangat kusayangi dan
kucintai yang harus pergi selamanya dari kehidupanku.
Sorenya, aku pergi melayat. Aku sudah mencoba segenap jiwaku untuk tidak menangis, tapi apa daya diri
ini. Manusia hanyan bisa berkehendak. Air mataku langsung bejatuhan begitu melihat Ridwan yang sedang
terlelap didepanku, yang sudah dibalut dengan kain kafan, dan ditutupi dengan kain, bukanlah Ridwan
sahabatku yang sangat kukenal. Wajahnya kini pucat pasi, membuat kulitnya yang memang putih menjadi
semakin putih dan pucat. Bibirnya yang biasanya terkesan merah, menjadi biru keunguan, menandakan
bahwa bibirnya juga dingin. Tak ada sedikitpun senyum, bahkan mendekati senyum yang mencoba
tertampang diwajah dinginnya. Meskipun kini ia terlihat sangat amat dingin, tapi aku yakin jiwa dan hatinya
tak akan pernah berubah dari dulu hingga saat ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Tak terasa, air mata mulai kembali bercucuran. Temanku yang sedang duduk disampingku memelukku, dan
membisikkan kata-kata yang sedikit bisa membantuku dalam kenyataan ini. Sungguh sebuah kenyataan
pahit harus kehilangan orang yang sangat kusayangi. Diseberangku ada berberapa anak laki-laki yang sudah
kukenal. Mereka teman-temanku disekolah, satu orang yang kelihatan sangat berduka, Julian. Julian adalah
sahabat terbaik Ridwan, dan sekarang ia harus menghadapi kenyataan bahwa sahabatnya itu meninggal
dihari dimana ia sedang berulang tahun. Dimana biasanya Ridwanlah yang selalu membuat ulangtahunnya
terasa begitu bermakna, kini semua itu hanya tinggal kenangan. Tak akan ada lagi Ridwan yang selalu
mengerjai orang-orang yang sedang berulang tahun. Tak akan ada lagi Ridwan yang membuat kelas tak
pernah sepi. Dan tak akan ada lagi tawa Ridwan disela-sela kegembiraan kami bersama. Semua kini hanya
tinggal kenangan.
Keesokan harinya, 17 Juli. Hari ini ulangtahun Alya. Salah seorang sahabat yang juga dekat dengan Ridwan.
Tapi kali ini, ulangtahunnya bertepatan dengan hari pemakaman Ridwan. Begitu sulit bagiku
membayangkan bagaimana perasaan kedua sahabatnya yang harus menerima apa yang terjadi pada hari
ulangtahun mereka.
Tak iba aku melihat orang-orang yang menangisi Ridwan saat jenazah Ridwan dimasukkan ketempat
peristirahatannya yang terakhir. Aku sendiri pun tak bisa menghalangi air mataku yang berjatuhan dengan
sendirinya. Aku tak sanggup.
Setelah itu aku sadar, kini hanya tertinggal aku harus mulai belajar untuk mencoba merelakannya, dan
mengikhlaskannya. Karena aku juga yakin, ia pun tak akan pernah bahagia jika melihatku yang terus
bersedih jika mengenangnya. Dan jelas aku tak mau itu terjadi. Aku tak ingin ia tak bahagia disana, di alam
yang lain.
Hari dan hari terus berjalan, semua tak berjalan seperti apa yang kuinginkan. Tak pernah sedetik pun aku
melupakannya. Tak pernah sekalipun bayangan dirinya hilang dari mimpiku. Dan tak ada sedikitpun
kenangan yang kucoba untuk dilupakan. Semua masih tersimpan dalam memorie hati. Semua masih
tersimpan dan akan kubuka jika aku merindukannya. Aku sadar bahwa masa depanku masih panjang. Aku
masih mempunyai impian. Dan aku masih memiliki harapan. Aku tidak ingin lagi melihat orangtuaku terus
bersedih saat melihatku menitikkan air mata. Sekarang aku masih mempunyai beribu-ribu orang yang
menyayangiku. Dan aku yakin beribu-ribu orang itu tak mau aku tenggelam dalam kelamnya kehidupan.
Kehilangan seseorang yang sangat kusayangi tak boleh membuatku jatuh. Meski aku sempat terjatuh, tapi
kini aku kembali untuk berdiri tegak dan tegar dalam melewati rintangan terjal ini. Aku harus bisa
melangkah maju kedepan, melewati jembatan tanpa sekalipun menoleh ke belakang, ke masa lalu yang
berakhir gelap. Kini semua yang ada dibelakangku, hanyalah kenangan, dan kenangan tak selamanya
berakhir bahagia. Dan kali ini, aku akan berusaha sekuat tenaga agar aku mampu melewati semua yang telah
terjadi, dan membuat akhiran yang bahagia pada cerita ini.
Cerita satu tahun yang kulewati dengan Ridwan, membuat hidupku terasa lebih berarti. Ternyata kehidupan
tak hanyalah sebuah kehidupan tanpa makna. Kehidupan itu sungguh berarti bagi orang-orang yang
membuatnya berarti. Dan aku ingin menjadi salah satu dari orang-orang itu. Aku tak ingin menyia-nyiakan
hidupku. Pengalamanku tentang Ridwan membuatku berpikir banyaknya orang-orang diluar sana yang juga
menginginkan kehidupan sepertiku. Kini tinggal aku yang merubahnya. Aku ingin terus berkobar dan
meraih cita-cita. Membuat orang-orang mengakui akan adanya diriku. Bukan hanya diriku yang biasa
mereka temui dalam kehidupan sehari-hari, tapi juga diriku yang sesungguhnya berdiam didalam diriku.
Aku ingin orang-orang memandangku tak hanya sebagai diriku, tapi juga cara diriku membuat orang lain
bisa merasakan senang layaknya diriku sendiri. Untuk itu, aku ingin terus maju, aku ingin terus melangkah,
aku ingin terus berkarya.
Semua itu membuatku sadar, meskipun satu tahun yang kulewati ini tak selalu berjalan semanisnya madu,
tapi semua itu penuh makna. Membuatku sadar artinya kehidupan. Sadar artinya persahabatan sejati. Sadar
artinya perjuangan. Sadar akan apa yang masih ada didepanku. Dan membuatku sadar semua adalah
kepunyaan-Nya dan pasti akan kembali kepada diri-Nya
Dan suatu hari nanti, jika sudah saatnya aku bertemu dengan Ridwan. Aku akan menunjukkan diriku dimasa
yang kelak, membuatnya tersenyum, dan membuatku bisa kembali merasakan saat-saat satu tahun
bersamanya.
Top Related