Diterbitkan oleh : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH PROVINSI BANTEN
L I T B A N G Sebagai Pilar Pembangunan
EVALUASI PARTISIPASI PEMILIH PADA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014 DI PROVINSI BANTEN Leo Agustino, Gandung Ismanto, dan Silfiana KAJIAN PENGUATAN KOHESI SOSIAL PADA SENTRA AGRIBISNIS KAMPUNG TERNAK DOMBA TERPADU JUHUT PANDEGLANG Agus Sjafari, Listyaningsih dan Oki Oktaviana PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DESA TERTINGGAL MELALUI PEMANFAATAN IPTEK Abdul Malik, Arif Nugroho, Ahmad Sururi dan Guntur Fernanto KAJIAN POTENSI BAHAN BAKU INDUSTRI KIMIA DI WILAYAH BANTEN SELATAN Anton Irawan, Agung Sudrajat, Jayanudin, Imron Rosadi, Oki Oktaviana PENGEMBANGAN POTENSI BIOFARMAKA DI PROVINSI BANTEN Devi Triady Bachruddin ANALISIS RAWAN LONGSOR DI SENTRA AGRIBISNIS PETERNAKAN DOMBA DAN KAMBING DI KELURAHAN JUHUT PANDEGLANG Yana Suharyana KETERSEDIAAN PAKAN TERNAK DI SENTRA AGRIBISNIS TERNAK DOMBA TERPADU JUHUT, KABUPATEN PANDEGLANG Yunia Rahayuningsih
Litbangda Vol. 6 No. 1 Serang
Juni 2015
Alamat Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH
PROVINSI BANTEN Gedung Bappeda Lt. II Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B)
Jl. Syech Nawawi Al-Bantani Palima Serang 42171 Tlp. 0254-267040 Fax. 0254-267039 Email : [email protected]
L I T B A N G Sebagai Pilar Pembangunan
Jurnal LITBANGDA Provinsi Banten merupakan media publikasi hasil penelitian
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Banten yang terbit 2 (dua) kali dalam setahun.
Dengan terbitnya media ini diharapkan, kegiatan penelitian dan pengembangan dapat menjadi
“Pilar Pembangunan Daerah” Provinsi Banten.
Penanggung Jawab : DR. H. Ajak Moeslim, M.Pd
Ketua : Deni Andriani, S.Sos., M.Si
Redaktur : Ach. Furqon, S.Sos., M.Si
Editor : Devi Triady Bachruddin, Sp
Desain Grafis : Moon Marko, A.Md
Fotografer : Guntur Fernanto, S. KM
Sekretariat : Ade Afiati, S.Si
Pembuat Karya Tulis Ilmiah : 1. Muhlisin, S.Pd., M.Si
2. Yunia Rahayuningsih, S.PI
3. Oki Oktaviana, S.PI, M.AP
4. Yusniah Anggraini, S.KM
5. Yana Suharyana, S.Kom
Sirkulasi : Bani Adi Darma, M.Si
MITRA BESTARI
Prof. DR. H. M. A. Tihami, M.A Prof. DR. Soleh Hidayat, M.Pd
DR. H. Ajak Moeslim, M.Pd DR. Encep Supriyatna
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya sehingga jurnal Balitbangda edisi I (periode Januari-Juni 2015) bisa diterbitkan
dan hadir ditengah-tengah pembaca dengan berbagai informasi terkait penelitian-penelitian
yang dilakukan di lingkungan Balitbangda Provinsi Banten.
Pada jurnal edisi I ini kami menghadirkan 7 (tujuh) topik kajian, yaitu : Evaluasi
Partisipasi Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014 di Provinsi Banten; Kajian Penguatan Kohesi
Sosial pada Sentra Agribisnis Kampung Ternak Domba Terpadu Juhut Pandeglang;
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Desa Tertinggal Melalui Pemanfaatan IPTEK; Kajian
Potensi Bahan Baku Industri Kimia di Wilayah Banten Selatan; Pengembangan Potensi
Biofarmaka di Provinsi Banten; Analisis Rawan Longsor di Sentra Agribisnis Peternakan
Domba dan Kambing di Kelurahan Juhut Pandeglang; Ketersediaan Pakan Ternak di Sentra
Agribisnis Ternak Domba Terpadu Juhut Kabupaten Pandeglang.
Kajian-kajian yang dilakukan Balitbangda Provinsi Banten sejatinya untuk merespon
berbagai fenomena dan permasalahan pembangunan dalam berbagai dimensinya. Kami
berharap kajian-kajian yang dilakukan Balitbangda Provinsi Banten dapat dijadikan bahan
masukan dalam kebijakan perencanaan pembangunan daerah.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada Gubernur Banten yang
telah memberikan arahan dalam rangka terwujudnya penelitian yang berkualitas dan
implementatif, berbagai stakeholder dan mitra yang sudah bersinergi dalam penelitian, antara
lain Perguruan Tinggi, BPTP, BPPT, Kemenristek Dikti, dan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kemendagri. Terima kasih pula kepada tim mitra bestari yang sudah
memberikan arahan dan masukan.
Tentu saja khazanah penelitian yang kami lakukan memiliki sisi-sisi keterbatasan dan
kekurangan. Oleh karena itu, kami berbesar hati untuk mendapatkan pemikiran-pemikiran ke
arah perbaikan.
Serang, Juni 2015
Kepala Balitbangda Provinsi Banten
DR. H. Ajak Moeslim, M.Pd
DAFTAR ISI
• Kata Pengantar …………………………………………………….........…..........................................…... i
• Daftar Isi ………………………………..……………………............................................…………........….. ii
hal
1. Evaluasi Partisipasi Pemilih Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014
di Provinsi Banten
Leo Agustino, Gandung Ismanto, dan Silfiana
2. Kajian Penguatan Kohesi Sosial Pada Sentra Agribisnis Kampung
Ternak Domba Terpadu Juhut Pandeglang
Agus Sjafari, Listyaningsih dan O.Oktaviana
3. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Desa Tertinggal Melalui
Pemanfaatan Iptek
Abdul Malik, Arif Nugroho, Ahmad Sururi dan Guntur Fernanto
4. Kajian Potensi Bahan Baku Industri Kimia Di Wilayah Banten
Selatan
Anton Irawan, Agung Sudrajat, Jayanudin, Imron Rosadi, O.Oktaviana
5. Pengembangan Potensi Biofarmaka Di Provinsi Banten
Devi Triady Bachruddin
6. Analisis Rawan Longsor Di Sentra Agribisnis Peternakan Domba
Dan Kambing Di Kelurahan Juhut Pandeglang
Yana Suharyana
7. Ketersediaan Pakan Ternak Di Sentra Agribisnis Ternak Domba
Terpadu Juhut, Kabupaten Pandeglang
Yunia Rahayuningsih
KAJIAN POTENSI BAHAN BAKU INDUSTRI KIMIA
DI WILAYAH BANTEN SELATAN
Anton Irawan*, Agung Sudrajat*, Jayanudin*, Imron Rosadi* dan Oki Oktaviana
*Fakultas Teknik Universitas Sultan Agung Tirtayasa JL. Jenderal Sudirman, Km. 3, Cilegon
**Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Banten
Gedung Bappeda - Lt.2, KP3B, Jl. Syeh Nawawi Al Bantani, Palima, Serang, Banten
Telp. : (0254) 267040 Fax : (0254) 267039
e-Mail : [email protected]
Abstrak
Provinsi Banten dikenal sebagai salah satu pusat industri kimia yang berpusat di kota Cilegon,
Kabupaten Serang dan Tanggerang. Selain itu, provinsi Banten memiliki sumber daya alam
melimpah di wilayah Banten bagian selatan terutama di Kabupaten Lebak. Sumber daya alam
yang berpotensi besar untuk dikembangkan dari Banten bagian selatan adalah Batubara,
Zeolit alam bayah dan Tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Perkembangan teknologi proses
industri petrokimia mengarah kepada pemanfaatan bahan alam seperti biomassa sebagai
bahan baku industri petrokimia akibat cadangan minyak dan gas bumi terus menipis. Tujuan
kajian ini untuk rekomendasi Pemerintah provinsi dalam meningkatkan keberdayaan sumber
daya alam di wilayah Banten bagian selatan yaitu batubara, zeolit alam bayah dan Tandan
kosong kelapa sawit (TKKS). Berdasarkan hasil kajian ini melalui survei ke lapangan dan
analisa laboratorium dari batubara, zeolit alam bayah dan TKKS adalah yang berpotensi
untuk dikembangkan adalah TKKS dan zeolit alam bayah karena jumlah yang melimpah yaitu
sekitar 68 – 81,6 juta ton untuk zeolit dan sekitar 2000 ton/bulan untuk TKKS.
Berdasarkan hasil analisa laboratorium zeolit alam bayah mempunyai kualitas baik sehingga
dapat dijadikan sebagai adsorben dan ion exchange untuk proses utility dan katalis, sedangkan
TKKS dapat dijadikan sebagai bahan baku industri petrokimia melalui proses biomassa
menjadi olefin.
Kata kunci : Batubara, Banten, TKKS, Zeolit, Petrokimia
Abstract
Banten Province was known as one of the centers of chemical industry and located in
Cilegon, Serang and Tangerang. In addition, Banten province has abundant natural
resources especially in the South Banten. Natural resources has great potential to be
developed in South Banten were coal, zeolit and oil palm empty bunches (EFB). The
development of the petrochemical industry process technology leads to use natural materials
such as biomass as raw material for the petrochemical industry due to limitation of oil and
gas reserves. The purpose of this study was to improve the empowerment of natural
resources in the southern region of Banten such as coal, natural zeolite bayah and oil palm
empty bunches (EFB). Based on the results of this study through field surveys and laboratory
analysis of coal, zeolit and EFB that EFB and natural zeolite bayah have more potensial due
the abundant amount of zeolit around 68 to 81.6 million tons and EFB about 2000 tons /
month. Natural zeolite Bayah have good quality and it can be used as adsorbents and ion
exchange process and catalyst utility, while the EFB can serve as raw material for the
petrochemical industry through a process of biomass into olefins.
Keywords : Coal, Banten, EFB, Zeolit, Petrochemical
I. PENDAHULUAN
Provinsi Banten merupakan salah satu
provinsi di Pulau Jawa yang memiliki potensi
sumber daya alam yang cukup potensial.
Sebagian besar potensi tersebut terdapat di
wilayah Banten bagian selatan terutama di
Kabupaten Lebak dan Pandeglang.Kabupaten
Lebak memiliki sejumlah bahan tambang
emas, batubara, zeolit, domomolit, pasir
hitam, pasir kuarsa dan bahan tambang
lainnya.Lebak juga memiliki potensi sektor
perkebunan dengan komiditi kelapa sawit
terluas di Pulau Jawa, Karet, Kakao dan
Komoditi Pertanian.
Industri petrokimia merupakan salah
satu bagian industri kimia yang ada di
Provinsi Banten..Kondisi ketersediaan bahan
baku dari produk migas yang makin terbatas
dan mahal mengakibatkan mulai munculnya
pencarian-pencarian bahanbaku pengganti,
diantaranya gas etana, batubara, gas dari coal
bedmethane, dan limbah refineri (coke)
(Permenperin No. 14/M-IND/PER/1/2010).
Penggunaan bahan baku lokal diharapkan
dapat mengatasi permasalahan kebutuhan
bahan baku impor, seiring dengan kebutuhan
bahan baku yang terus meningkat dengan
harga yang terus naik. Industri-industri
petrokimia terus mengembangkan teknologi
industri petrokimia dengan bahan baku
berbeda misalkan batubara. industri
petrokimia butuh batubara sebagai bahan
baku metanol dan sumber energy.
Pemerintah juga mendukung penggunaan
batubara sebagai bahan bakuindustri
petrokimia dengan mengeluarkan peraturan
pemerintah dalam UU No. 4 Tahun 2009
mengenai larangan mengekspor batubara
mentahatau tanpa diolah. Dengan tersedianya
bahan baku akan meningkat investasi
disektor industri petrokimia sehingga akan
mencapai target sekitar US $ 6,8 milar.
Bahan baku industri kimia seperti batubara,
tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan
bahan penunjang seperti untuk katalis yaitu
zeolit alam cukup melimpah di Provinsi
Banten terutama di Wilayah Banten selatan,
sehingga perlu aadanya kajian untuk sumber
daya alam di Banten selatan sebagai bahan
baku industri petrokimia.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk
mendata atau menginvestarisasi potensi
sumber daya alam di provinsi Banten sebagai
bahan baku industrikimiakhususnya industri
petrokimia., mengidentifikasi permasalahan
dan solusi yang dibutuhkan untuk
mengembangkan potensi sumber daya alam
lokal (Banten Selatan) dan menyusun
kebijakan awal dalam pengembangan sumber
daya alam local sebagai bahan baku
industrikimiakhususnya industri petrokimia.
Tujuan kajian ini adalah memberikan dan
menyusun usulan rekomendasi tentang
kebijakan penggunaan sumber daya alam
local Khususnya Banten bagian Selatan
seperti batubara, zeolit, biomassa (Tandan
kosong kelapa sawit) sebagai bahan baku
industrikimia khusunya industri petrokimia
yang ada di Provinsi Banten.
Fokus penelitian industri kimia dalam
kajian ini diarahkan pada industri petrokimia
yang merupakan salah satu bagian dari
industri kimia yang cukup potensial di
Provinsi Banten. Industri petrokimia adalah
industri berbahan baku produk migas seperti
naphta, kondesat yang merupakan produk
samping gas bumi dan gas alam), batubara,
gas metana batubara, serta biomassa yang
mengandung senyawa-senyawa olefin,
aromatik, n-parrafin, gas sintesa, asetilena dan
menghasilkan beragam senyawa organik yang
dapat diturunkan dari bahan-bahan baku utama
tersebut, untuk menghasilkan produk-produk
yang memiliki nilai tambah lebih tinggi
daripada bahan bakunya.
II. METODOLOGI
Indonesia belum mengembangkan
batubara sebagai bahan baku untuk industri
petrokimia sehingga perlu dilakukan suatu
kajian pemanfaatan sumber daya alam yang
dimiliki Provinsi Banten untuk bahan baku
industri. Berdasarkan kondisi tersebut perlu
disusun suatu langkah-langkah untuk
pemanfaatan sumber daya alam di provinsi
Banten bagi industri petrokimia.
2.1. Obyek dan Lokasi Penelitian
2.1.1 Obyek dan Waktu Penelitian
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa penelitian ini
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi
yang lengkap dan komprehensif tentang
potensi sumber daya alam (SDA) di Banten
bagian selatan yang dapat dikembangkan
sebagai bahan baku untuk industri kimia
khususnya petrokimia. Adapun sumber daya
alam tersebut berupa batubara, zeolit dan
biomassa dari Tandan Kosong Kelapa Sawit
(TKKS). Penelitian dilakukan pada bulan
April sampai dengan Juni 2015.
2.1.2 Lokasi
Kegiatan penelitian dilaksanakan
diwilayah Banten Selatan yaitu Kabupaten
Lebak meliputi kecamatan Malingping,
Bayah, Panggarangan, Cihara dan Cibeber.
2.2 Lingkup Pekerjaan
Ruang lingkup penelitian ini yaitu
1. Mengindentifikasi data-data dan informasi
baik data primer maupun sekunder
tentang potensi Sumber Daya Alam
Batubara, zeolit dan Tandan Kosong
Kelapa Sawit di Provinsi Banten bagian
Selatan.
2. Mengolah dan menganalisa data primer,
sekunder dan data pendukung lain untuk
mendapatkan informasi tentang peluang
pemanfaatan Sumber Daya Alam tersebut
sebagai bahan baku untuk Industri Kimia
Khususnya industri Petrokimia.
3. Menyusun hasil analisa secara sistematis
dan ilmiah tentang pemanafaatan Sumber
Daya Alam (SDA) untuk bahan baku
Industri Kimia Khususnya industri
Petrokimia.
4. Membuat laporan dari hasil analisa
teserbut dalam laporan pendahuluan dan
final.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Potensi Batubara di Lebak Selatan
Berdasarkan data Dinas Pertambangan
dan Energi Provinsi Banten dalam Profil
Statistik Pertambangan dan Energi Provinsi
Banten 2013 bahwa batu bara merupakan
komoditas tambang yang paling banyak
diusahakan di wilayah Provinsi Banten. Data
tahun 2013 menunjukan sebanyak 75 Surat
Ijin Pertambangan Daerah (SIPD) yang telah
dikeluarkan dan keselurahannya berlokasi di
Kabupaten Lebak. Banyaknya usaha
pertambangan di Kabupaten Lebak ternyata
tidak sebanding dengan jumlah produksi
batubara yang dihasilkan di daerah ini. Data
Tahun 2013 jumlah batubara yang dihasilkan
hanya mencapai 10.240 ton, jumlah tersebut
jauh menurun jika dibandingkan dengan data
tahun 2012 yang mencapai 28.314 Ton.
Kondisi ini kemungkinan disebabkan
terjadinya musim penghujan yang relatif
lebih lama dan semakin intensifnya kegiatan
monitoring dari Dinas Pertambangan dan
Energi Kabupaten Lebak serta Perum
Perhutani yang melakukan pengawasan di
areal hutan miliknya. Hampir semua usaha
pertambangan batubara di wilayah ini
dilakukan dengan menggunakan peralatan
tradisional yang sangat tergantung dari
kondisi cuaca setempat. Metode
penambangan dengan cara under ground
mining, dimana metode ini masih
berlangsung secara alami dimana mereka
membuat lubang galian/ terowongan dengan
kedalaman dan kemiringan sampai lebih dari
45o yang terkadang rawan terhadap faktor
keamanan. Faktor resiko yang tinggi serta
kurangnya aspek legalitas usaha
pertambangan yang mereka lakukan
membuat banyak dari mereka yang beralih
profesi. Penambangan batu bara ini semakin
banyak , bahkan cenderung liar, tidak hanya
lahan milik rakyat, bahkan di lahan lahan
hutan milik negara , seperti perum perhutani
juga banyak dilakukan proses penambangan,
sehingga kedepan dapat mengancam
kelestarian lingkungan disekitarnya.
Dinas Pertambangan dan Energi
Provinsi Banten (2009) yang menyebutkan
bahwa hasil pemetaan menunjukan
singkapan batubara formasi Bayah dan
anggota batu pasir Formasi Cijengkol.
Endapan batu bara di daerah Banten
terbagi menjadi dua bagian yaitu batu bara
yang berumur paleogen dan batu bara yang
berumur neogen. Batu bara berumur
paleogen bernilai kalor 6500 – 7500
kkal/kg, tersebar di daerah Bayah, Gunung
Madur, Cisawarna, Cihideung, Cimandiri,
Cisiih, dan Cikadu. Batu bara neogen
bernilai kalor sekitar 4600 – 5000 kkal/kg,
tersebar di daerah Bojongmanik,
Bambakarang, Cipanas, dan sekitarnya.
3.1.1. Hasil Analisa Laboratorium dan
Upaya Optimalisasi Pemanfaatan
Batubara di Banten Bagian
Selatan
Pengujian kualitas batu bara
dilakukan di Laboratorium mineral dan
batubara Tekmira, Bandung. Sample uji
diambil dari batubara diwilayah bagian
selatan tepatnya di wilayah Kecamatan
Cihara.
Gambar 1. Grafik hasil uji proximate untuk jenis Batubara sample 1,2 dan 3
Dari hasil uji laboratorium, dapat
diketahui bahwa kualitas batu bara bayah
sangat baik. Hasil uji proximat menunjukkan
bahwa kadar air rendah yaitu berkisar antara
0,81 1 %. Hal ini sangat menguntungkan
dari sisi penyimpanan dan proses
pemanfaatannya, karena tidak membutuhkan
energi untuk proses pengeringannnya. Kadar
volatile matter berkisar 36,1937,56 %.
Kadar karbon padat (fixed carbon) cukup
tinggi yaitu 52,3555,48%. Volatile matter
berfungsi untuk membantu pada awal
pembakaran sehingga zat karbon padat lebih
mudah terbakar. Nilai karbon padat yang
tinggi dapat menghasilkan pembakaran
dengan nilai kalor dan temperatur yang
tinggi.
Pengujian Ultimate bertujuan untuk
mengetahui komposisi kimia bahan. Untuk
menghasilkan gas methana atau mehanol
(sebagai bahan dasar industri petrokimia )
yang baik dapat dilihat dari potensi bahan
bakar yang diuji memiliki kadar karbon,
hidrogen dan oksigen yang memenuhi syarat
reaksi kimia secara stroikiometri. Hasil uji
batubara menunjukkan kadar karbon berkisar
77,1783,06 %, kadar hidrogen 5,45 5,92
%, kadar oksigen 1,743,71 %. Kadar
sulfur yang rendah , yaitu 1,72 1,97 %
sangat baik untuk kemudahan dalam hal
perawatan alat alat, sahingga umur pakai alat
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Batubara sample 1
Batubara sample 2
Batubara sample 3
Batubara sample 1 Batubara sample 2 Batubara sample 3
Air Lembab 1 0.97 0.81
Abu 6.8 5.99 10.65
Volatile Matter 37.48 37.56 36.19
Karbon Padat 54.7 55.48 52.35
juga lebih panjang. Hasil pengujian ini
menunjukkan bahwa potensi batu bara di
wilayah lebak bagian selatan sangat besar
untuk dapat digunakan sebagai bahan baku
industri kimia.
Gambar 2. Grafik hasil uji ultimate untuk jenis Batubara sample 1,2 dan 3
Keunggulan karakteristik batubara
yang dihasilkan dari wilayah Lebak selatan
memiliki kekurangan dalam aspek
kontinyuitas Produksi. Seperti yang telah
dijelaskan pada pembahasan sebelumnya
informasi dari para pelaku usaha pada saat
wawancara dilapangan dijumpai fakta bahwa
selain minimnya peralatan tambang yang
digunakan serta aspek legalitas yang belum
terpenuhi sepenuhnya membuat usaha
penggalian batubara tidak dapat dilakukan
secara besar. Akibatnya perusahaan tidak
dapat menjamin kontinyuitas jika harus
memenuhi industri dalam skala besar.
Kebutuhan batubara untuk industri besar
selain harus dipenuhi dalam jumlah banyak
juga perlu adanya jaminan ketersediaan
dalam jangka waktu lama.
Gambar 3. Grafik hasil uji nlai kalor untuk jenis Batubara sample 1,2 dan 3
0% 50% 100%
BB sample 1
BB sample 2
BB sample 3
BB sample 1 BB sample 2 BB sample 3
Abu 6.8 5.99 10.65
Karbon 81.78 83.06 77.17
Hidrogen 5.72 5.92 5.45
Nitrogen 1.4 1.33 1.3
Belerang Total 1.97 1.96 1.72
Oksigen 2.31 1.74 3.71
7,982
8,099
7,372
7,000 7,200 7,400 7,600 7,800 8,000 8,200
BB 1
BB 2
BB 3
Nilai KalorNilai Kalor (kkal/kg)
3.2. Potensi Zeolit Lebak Selatan
3.2.1. Kuantitas zeolit alam Bayah
Zeolit diperlukan oleh industri kimia
sebagai katalis yang dapat mempercepat
reaksi kimia yang diinginkan. Selain itu
zeolit banyak dibutuhkan untuk keperluan
instalasi pengolahan limbah mengingat
fungsinya yang dapat menyerap zat-zat
toksik. Kegiatan usaha penambangan zeolit
di wilayah Banten bagian Selatan umumnya
masih dilaksanakan secara perorangan dan
belum terdaftar. Karena itu tidak heran ketika
jumlah produksi zeolit yang tercatat di dinas
Pertambangan Kabupaten Lebak jauh
dibawah kondisi real dilapangan ketika tim
peneliti melakukan pengamatan.
Gambar 4. Produksi Zeolit di
Provinsi Banten
Berdasarkan Gambar 4 bahwa
produksi zeolit di Provinsi Banten pada tahun
2013 hanya mencapai 4298 Ton. Meski
mengalami peningkatan jika dibanding tahun
produksi tahun 2012 yang hanya mencapai
2000 ton, namun jumlah tersebut jauh
dibandingkan dengan kondisi real
dilapangan. Pada saat tim peneliti melakukan
wawancara dengan salah satu pelaku usaha
pertambangan zeolit (skala perorangan)
pihaknya mengaku mampu memproduksi
zeolit 10 M3 dalam satu hari. Jika melihat
laporan Dinas Pertambangan dan Energi
Provinsi Banten (2012) yang menyebutkan
bahwa rata-rata densitas zeolit adalah
1,66699 Ton/M3, maka jumlah produksi satu
usaha tambang milik perorangan sudah
mencapai kurang lebih 16 Ton perhari. Pada
saat tim peneliti melakukan pengamatan
lapangan, setidaknya dijumpai 4 (empat)
usaha pertambangan zeolit yang dilakukan
perorangan yang dilakukan secara
berkelompok (satu kelompok terdiri dari 5-6
orang).
3.2.2. Kualitas zeolit alam Bayah
Berdasarkan potensi zeolit alam Bayah
dan kandungan yang sangat besar maka
zeolit alam Bayah dapat digunakan untuk
berbagai fungsi, sehingga sampel zeolit alam
Bayah yang diambil dianalisa menggunakan
beberapa innsrument analisa diantaranya
adalah Microscope-Energy Dispersive X-Ray
Spectroscopy (SEM-EDX), X-Ray
Diffraction (XRD), Brunauer-Emmett-Teller
(BET) dan X-ray fluorescence (XRF)untuk
menentukan kualitas dari zeolit alam bayah.
Analisa Brunauer-Emmett-Teller (BET)
Analisa BET zeolit alam Bayah di lakukan di
Laboratorium Instrument Teknik Kimia ITB.
Analisa ini untuk mengetahui besarnya luas
area dan pori zeolit alam Bayah, hasil yang
diperoleh adalah :
Surface Area
MultiPoint BET 0,620 e 01
m2/g
DR method micropore area 8,2 e 01
m2/g
DFT cumulative area 4,459 e 01
m2/g
Pore Volume Data
DR method micropore volume 2,914 e-02
cc/g
HK method micropore volume 2,636 e-02
cc/g
SF method micropore volume 2,261 e-02
cc/g
DFT method cumulative pore
volume
2,647 e-02
cc/g
Pore Size Data
20122013
0
5000
Zeolit
2000
4298
Produksi Zeolit di Provinsi Banten
2012 2013
DR method micropore half pore
width
1,059 e 01
Ǻ
DA method pore Radius (Mode) 7,1 e 01
Ǻ
HK method pore Radius (Mode) 1,838 e 01
Ǻ
SF method pore Radius (Mode) 1,754 e 01
Ǻ
DFT pore Radius (Mode) 8,44 e 01
Ǻ
Zeolit alam mempunyai struktur yang
khas yaitu berpori dengan luas permukaan
dan ukuran pori tertentu. Luas permukaan
total zeolit alam adalah jumlah dari luas
permukaan dinding dank anal-kanal
penyusun zeolit. Jumlah pori akan sebanding
dengan luas permukaan total zeolit, Dyer
(1988) menyatakan luas permukaan internal
zeolit dapat mencapai puluhan bahkan
ratusan kali lebih besar dibandingkan dengan
permukaan luarnya. Luas permukaan ini
digunakan sebagai adsorben atau katalis
heterogen.
Untuk meningkatkan luas pori dan luar
permukaan dapat dilakukan dengan proses
aktivasi zeolit alam, proses ini dapat
dilakukan dengan metode fisika dan kimia.
Aktivasi fisika dapat dilakukan dengan
pengecilan ukuran, pengayakan dan
pemanasan dengan suhu tinggi sedangkan
aktivasi secara kimia dapat dilakukan dengan
metode pengasaman. Tujuan proses aktivasi
adalah untuk menghilangkan pengotor-
pengotor anorganik, proses pengasaman akan
menyebabkan terjadinya proses pertukaran
kation dengan H+ (Ertan, 2005).
Analisa X-ray fluorescence (XRF)
Analisa X-ray fluorescence (XRF)
dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia
beserta konsentrasi unsure-unsur yang
terkandung dalam zeolit alam Bayah. Analisa
XRF digunakan untuk mengetahui kualitatif
dan kuantitaif zeolit, analisa secara kualitatif
dilakukan untuk menganalisi jenis unsur
yang terkandung dalam bahan dan analisis
kuantitatif dilakukan untuk menentukan
konsentrasi unsur dalam bahan. Zeolit
dengan kerangka tetrahedral tidak stabil
terhadap asam dan panas, sedangkan zeolit
dengan rasio Si/Al = 5 adalah sangat stabil.
Maka diupayakan membuat zeolit dengan
kadar rasio Si/Al antara 1-3. Contoh zeolit
dengan kadar Si sedang adalah modernit,
erionit dan klinoptilotit (Lestari, 2010)
Berdasarkan analisa XRF yang telah
dilakukan dapat ditentukan perbandingan
antara Si/Al zeolit alam Bayah adalah 6,4
sehingga dapat ditentukan zeolit alam Bayah
sangat stabil terhadap asam dan panas. Pada
suatu material akan mempengaruhi sifat dari
material tersebut. Semakin tinggi rasio Si/Al
suatu material maka material tersebut
semakin bersifat hidrofobik. Dealuminasi
adalah metode komersial yang paling penting
untuk mendapatkan jumlah Al yang
diinginkan. Kenaikan rasio Si/Al akan
memberikanpengaruh terhadap sifat-sifat
zeolit seperti berikutini (Lestari, 2010) :
1. Terjadinya perubahan medan
magnetelektrostatik dalam zeolit,
sehinggamempengaruhi interaksi
adsorpsi zeolit. Zeolitbersilika rendah
akan bersifat hidrofiliksementara zeolit
bersilika tinggi bersifathidrofobik (dan
lipofilik).
2. Zeolit bersilika rendah (Zeolit A dan
X) dapatstabil pada temperatur 800-900
K, sedangkanzeolit bersilika tinggi (H-
ZSM-5) stabil hinggatemperatur 1300
K.
3. Zeolit bersilika rendah mudah rusak
pada pH kurang dari 4, sedangkan
zeolit bersilika tinggi lebih stabil dalam
lingkungan asam kuat.
4. Kekuatan asam akan meningkat,
sedangkan sisi Asam Bronsted akan
berkurang dengan naiknya rasio Si/Al.
Kekuatan asam ini disebabkan oleh
posisi aluminium dalam kerangka yang
lebih terisolasi. Menurut Triantafillidis
(2000) dalam Lestari (2010), semakin
banyak kandungan Al dalam
framework zeolit (rasio Si/Al menurun)
akan menyebabkan kekuatan atau total
situs asam zeolit menurun. Sehingga
berdasarkan data tersebut dapat
dinyatakan bahwa dealuminasi akan
menyebabkan peningkatan keasaman
zeolit. Keasaman yang dimaksud
adalah kekuatan asam yang terdapat
pada permukaan zeolit atau banyaknya
situs asam yang terdapat pada
permukaan zeolit.
Analisa X-Ray Diffraction (XRD) Analisa X-ray Diffractometer (XRD)
adalah pengamburan difraksi gelombang sinar
X setelah bertumbukan dengan atom kristal.
Hasil yang diperoleh adalah struktur Kristal.
Analisa XRD ini dapat ditentukan parameter
kisi, ukuran Kristal dan identifikasi fasa
kristalin. Analisa XRD ini dapat menentukan
jenis zeolit alam Bayah. Dari perhitungan
FWHM dan Relativity Integration (%)
diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa
Sample ZB-1M dan ZB-3M memiliki pola
yang sama dengan kandungan kristal
Mordenite (MOR) : Clinoptilolite (HEU) =
23 % : 77 % . Kualitas zeolit alam dapat
dilakukan dengan proses pengaktifan, proses
ini dilakukan supaya zeolit mempunyai
kualifikasi yang ditentukan berdasarkan daya
serap, kapasitas tukar kation maupun daya
katalis. Oleh sebab itu, untuk memperoleh
zeolit dengan kemampuan tinggi diperlukan
beberapa pengolahan antara lain preparasi dan
aktivasi (Suhala dan Arifin 1997).
Tabel 1. Contoh jenis mineral zeolit dan komposisi kimianya
Mineral
zeolit
Komposisi V pori
(cm3/g)
Diameter
pori (Å)
KTK
(meq/100g)
Analsim Na16(Al16Si32O96). 16H2O 0,18 2,6 4,54
Kabasit (Na2Ca)6 (Al12Si24O72). 40H2O 0,47 3,7 – 4,2 3,84
Klinoptilotit (Na3K3)(Al6Si30O72). 24H2O 0,34 3,9 – 5,4 2,16
Erionit (NaCa0,5K) (Al9Si27O72).
27H2O
0,35 3,6 – 5,2 3,12
Ferrierit (Na2Mg2)(Al6Si30O72). 18H2O 0,28 3,4 – 5.5 2,33
Heulandit (Ca4)(Al8Si28O72). 24H2O 0,39 4,0 – 7,2 2,91
Laumontit (Ca4)(Al8Si16O48). 16H2O 0,34 4,6 – 6,3 4,25
Mordenit Na8(Al8Si40O96). 24H2O 0,28 2,9 – 7,0 2,29
Filipsit (NaK)5(Al5Si11O32). 20H2O 0,31 2,8 – 4,8 3,31
Na-A Na12(Al12Si12O48). 27H2O 0,29 3,0 – 5,0 7,00
Na-X Na86(Al86Si106O384). 260H2O 0,36 10,0 6,40 Sumber : Mumpton 1999; Rouquerol et al. 1999; Suhala & Arifin 1997; Robson & Lillerud 2001;
Treacy & Higgins 2007; Khaidir, 2011
Analisa Microscope-Energy Dispersive X-
Ray Spectroscopy (SEM-EDX) Gambar dibawah menunjukkan hasil
analisa zeolit alam Bayah menggunakan
SEM EDX menunjukan unsur-unsur yang
terdapat pada zeolit alam Bayah,
komposisi terbesar adalah unsur Si dan Al
yang merupakan komponen utama dari
zeolit.
Gambar 7. Analisa SEM Zeolit alam
Bayah perbesar 1000x
analisa SEM menunjukan bahwa
kualitas zeolit alam bayah sangat bagus
sehingga dapat digunakan sebagai katalis
dalam proses industri, penukar ion untuk
water treatment dan sebagai adsorpsi.
Tabel 2. Perbandingan Komposisi kimia dalam zeolit Lampung, Tasikmalaya,
Ponorogo dengan zeolit Bayah
No Komposisi Zeolit (a)
Lampung
Zeolit (b)
Tasikmalaya
Zeolit (c)
Ponorogo
Zeolit
Bayah
1 Al 4,57 5,82 Rasio Si/Al =
3,95
11,169
2 Si 67,28 76,29 71,875
3 P 1,86 - - -
4 K 12,16 11,65 1,17 7,026
5 Ca 13,49 14,68 4,99 4,962
6 Ti 2,03 2,53 - 0,443
7 Fe 21,71 23,43 2,06 3,846
8 S - - - 0,293
Sumber : a, b dan c
Ginting, dkk., 2007
Berdasarkan analisa zeolit alam Bayah
yang dihasilkan akan menentukan kualitas
zeolit dari Bayah dan akan dibandingkan
dengan zeolit-zeolit yang berasal dari daerah
lain yang sudah di teliti sebelumnya. Berikut
ini adalah perbandingan zeolit alam Bayah
dengan zeolit alam dari Ponorogo, Lampung,
Tasikmalaya berdasarkan kandungan
mineralnya dan luas pori zeolit. Berdasarkan
hasil analisa zeolit alam bayah dengan zeolit
alam lain menunjukkan tidak terjadi
perbedaaan yang signifikan, hal ini
menandakan bahwa kualitas zeolit alam yang
ada di Indonesia merata. Faktor yang
berpengaruh pada zeolit adalah rasio antara
Si dan Al, jika rasio antara Si dan Al lebih
dari 5 maka zeolit tersebut stabil terhadap
perlakukan asam dan panas
3.3 Potensi Tandan Kosong Kelapa Sawit
(TKKS)
Potensi TKKS di PT. Perkebunan
Nusantara VIII kabupaten lebak cukup besar
yaitu 2000 ton/bulan dari 9000 TBS /bulan
atau sekitar 22%. TKKS ini merupakan sisa
hasil pengolahan tandan kelapa sawit segar.
Berdasarkan informasi yang didapat dari PT.
PKS Kerta Jaya selama ini baru 50% yang
termanfaatkan TKKS sebagai produk sisa
pengolahan tandan kelapa sawit , yaitu
sebagai pupuk (zat unsur hara) yang masih
digunakan untuk keperluan internal
peremajaan pohon kelapa sawit.
Berkaitan dengan bahan baku industri
kimia, Kabupaten Lebak memiliki potensi
perkebunan kelapa sawit yakni PTPN VIII di
daerah Kerta. Sebagaimana diketahui salah
satu sumber biomassa berpotensi besar
sebagai sumber bahan baku industry
petrokimia adalah Tandan Kosong Kelapa
Sawit (TKKS). Tandan kosong kelapa sawit
merupakan limbah utama berligniselulosa
yang belum termanfaatkan secara optimal
dari industri pengolahan kelapa sawit. Basis
satu ton tandan buah segar akan dihasilkan
minyak sawit kasar sebanyak 0,21 ton (21%)
, minyak inti sawit sebanyak 0,05 ton (0,5%)
dan sisanya merupakan limbah dalam bentuk
tandan kosong, serat dan cangkang biji yang
masing – masing sebanyak 0,23 ton (23%),
0,135 ton (13,5%) dan 0,055 ton (5,5%).
3.3.1 Karakteristik Tandan Kosong
Kelapa Sawit (TKKS)
Empty Fruit Bunch (Tandan Kosong
Kelapa Sawit / TKKS ) merupakan salah satu
limbah padat (biomass) dari suatu pabrik
pengolahan kelapa sawit, limbah ini
diperoleh dari hasil proses threshing
(bantingan). Jumlahnya sekitar 22% dari
tandan buah segar yang diolah dan memiliki
nilai kalor yang cukup potensial bila
digunakan sebagai bahan bakar. Hasil uji
proximat menunjukkan bahwa kadar air
rendah yaitu berkisar antara 8,36 10,67 %.
Kadar air ini dalam kondisi ash dry basis
(adb), sedangkan pada kondisi aktual dapat
bervariasi. Kadar volatile matter cukup tinggi
dan lebih tinggi dari kandungan karbon
padatnya yaitu berkisar 63,8166,79 %.
Kadar karbon padat (fixed carbon) cukup
tinggi yaitu 17,7418,67 %. Dari komposisi
hasil pengujian ini, dapat diketahui bahwa
jenis bahan ini mudah terbakar , akan tetapi
dari nilai kalor dan temperatur pembakaran
kurang tinggi. Sehingga jenis bahan ini
kurang menguntungkan untuk proses
pembakaran langsung , apalagi kadar TAR
dari TKKS juga tinggi, sehingga sangat
merepotkan dalam hal perawatan alat alat
proses produksi.
Gambar 8. Grafik hasil uji proximate untuk jenis Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)
sample 1,2 dan 3
Hasil uji TKKS menunjukkan kadar
karbon berkisar 42,7946,08 %. Jika
dibandingkan dengan batubara, maka kadar
karbonnya hanya sekitar 50% nya saja.
Kadar hidrogen 6,626,87%, sedangkan
kadar oksigen sangat tinggi yaitu
37,3642,7%. Hal ini kurang sesuai untuk
proses produksi melalui pembakaran /
gasifikasi. Metode proses yang lebih
menguntungkan adalah dengan cara
fermentasi. Kadar sulfur yang rendah, yaitu
0,15 0,19 % sangat penguntungkan dalam
hal perawatan alat alat proses produksi.
0% 50% 100%
TKKS sample 1
TKKS sample 2
TKKS sample 3
TKKS sample 1 TKKS sample 2 TKKS sample 3
Air Lembab 10.67 8.36 8.67
Abu 6.85 6.62 8.54
Volatile Matter 63.81 66.79 65.05
Karbon Padat 18.67 18.23 17.74
Gambar 9. Grafik hasil uji ultimate untuk jenis Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)
sample 1,2 dan 3
Gambar 10. Grafik hasil uji nilai kalor (kcal/kg) untuk jenis Tandan Kosong Kelapa Sawit
(TKKS) sample 1, 2 dan 3
Bahan baku alternative untuk
industri kimia yang berpotensi besar untuk
dikembangkan adalah tandan kosong kelapa
sawit (TKKS) karena jumlah sangat
melimpah dan belum dimanfaatkan, di pabrik
CPO TKKS hanya sekitar ¼ TKKS yang
dihasilkan digunakan sebagai kompos,
selebihnya dibiarkan tidak dimanfaatkan.
Peranan pemerintah daerah sangat penting
dalam mengembangkan potensi TKKS
menjadi bahan baku alternative industry
kimia dengan membangun atau mencari
investor-investor untuk mengolah TKKS
menjadi beberapa produk kimia. Beberapa
proses yang dapat dikembangkan untuk
mendukung produk bahan industri kimia
adalah proses gasifikasi yang menghasilkan
syngas (gas sintetis) berupa gas CO+H2 dan
likuefaksi / hidrogenasi yang menghasilkan
hidrokarbon berat dan hidrokarbon rendah.
Dengan proses ini diharapkan dapat
menghasilkan produk hilir seperti butadiena,
etilena, metanol. Etanol.
0% 50% 100%
TKKS sample 1
TKKS sample 2
TKKS sample 3
TKKS sample 1 TKKS sample 2 TKKS sample 3
Abu 6.8 5.99 10.65
Karbon 42.79 44.82 46.08
Hidrogen 5.72 5.92 5.45
Nitrogen 1.4 1.33 1.3
Belerang Total 1.97 1.96 1.72
Oksigen 2.31 1.74 3.71
3,600 3,800 4,000 4,200 4,400 4,600
TKKS 1
TKKS 2
TKKS 3
Nilai kalor (kcal/kg)
3.4 Strategi pengembangan
Optimalisasi sumber daya yang
dimiliki daerah dapat ditempuh melalui
penetapan sumber daya tersebut sebagai
produk unggulan daerah (Permendagri nomor
9 tahun 2014). Kajian ini tidak bertujuan
untuk mencari produk unggulan daerah
melainkan bagaimana upaya menjadikan
sumber daya alam batubara, zeolit dan
Tandna Kosong Kelapa Sawit (TKKS) dapat
dioptimalisasi menjadi produk unggulan
daerah. Optimalisasi produk unggulan daerah
tidak lepas dari proses adopsi inovasi untuk
meningkatkan nilai tambah produk yang
bersangkutan. Noviandi (2010) menyebutkan
bahwa kriteria indikator daya saing inovatif
dari suatu produk perlu memperhatikan nilai
margin/keuntungan(rupiah), keberlanjutan
produksi (ton/thn), posisi pasar (market
share(%)).
Penentuan strategi pengembangan
komoditas sumber daya alam dilakukan
melalui analisis SWOT. Analisis SWOT
adalah identifikasi berbagai faktor secara
sistemik untuk merumuskan strategi. Analisis
didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan
peluang (opportunities) yang secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(weakness) dan ancaman (threats) (Rangkuti,
2006). Berikut ini adalah hasil analisa SWOT
untuk strategi pengembangan sumber daya
alam batu bara, zeolit dan TKKS.
Berdasarkan formulasi strategi matriks
SWOT di atas, maka alternatif strategi yang
sesuai dengan keadaan usaha yakni strategi
O-S diantaranya strategi:
1. Berupaya mencukupi kebutuhan
pasar batubara dan produk
turunannya, zeolit dan TKKS
dengan memanfaatkan cadangan
ketersediaan batubara, zeolit dan
TKKS.
2. Optimalisasi keberadaan lembaga
litbang termasuk CoE Petrokimia
untuk peningkatan produksi
batubara, zeolit dan CPO yang
menghasilkan TKKS.
Strategi diatas dapat ditempuh melalui
implementasi kebijakan:
1. Optimalisasi keberadaan litbang
perguruan tinggi termasuk center of
excellence petrokimia (CoE) untuk
pengolahan produk turunan batubara
dan juga menjamin keberadaan
lokasi-lokasi penambangan yang
berwawasan lingkungan melalui
fasilitasi pengurusan perijinan di
provinsi Banten, pengembangan
teknologi pemanfaatan zeolit alam
dan pengembangan teknologi olefin
dari biomass terutama TKKS.
2. Melakukan promosi kepada investor
dalam negeri maupun luar negeri
mengenai potensi batubara di
Provinsi Banten dengan melibatkan
masyarakat sebagai salah satu
pemegang sahamnya
3. Membangun lokasi-lokasi storage di
beberapa titik untuk menjamin
kelancaran system distribusi bahan
baku batu bara dari Provinsi Banten
4. Melakukan penyuluhan dan
pembimbingan terhadap masayarakat
penambang batu zeolite tentang
teknologi penambangan, teknologi
pemanfaatan batu zeolite dan potensi
perekonomian batu zeolite
5. Mendirikan konsosrium
pabrik/koperasi pengolahan batu
zeolite menjadi hal yang bermanfaat
bagi kemajuan kesejahteraan
masayarakat setempat seperti,
pemanfaatan batu zeolite sebagai
bahan baku knalpot kendaraan, batu
zeolite sebagai bahan baku industry
bangunan, dan pemanfaatan batu
zeolite bagi pasir hiasan dan hewan
peliharaan.
6. Menjamin keberlangsungan tanaman
kelapa sawit dengan turut
mengikutsertakan masyarakat dalam
budidaya kelapa sawit.
7. Membangun instalasi pengolahan
tandan kosong kelapa sawit menjadi
bahan baku bagi industry kimia di
Provinsi Banten
8. Mendirikan forum diskusi ilmiah
yang melibatkan institusi Perguruan
tinggi , PEMDA, pelaku bisnis,
masyarakat dan pusat penelitian
untuk menjamin keberlangsungan dan
peningkatan kualitas produk turunan
batubara, zeolit alam Bayah dan
TKKS.
IV. KESIMPULAN
Sumber daya alam yang berada di
Banten bagian selatan dapat lebih di
tingkatkan pemanfaatannya untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku industri kimia yang
masih impor dan harga yang terus meningkat.
Selama ini bahan baku industri petrokimia
masih dari gas dan minyak bumi, sedangkan
cadangannya terus menipis dan harganya
yang relatif terus meningkat, maka
dibutuhkan bahan baku alternatif yang
berasal dari alam yang dapat diperbaharui.
Berdasarkan kajian yang difokuskan pada
tiga sumber daya alam yaitu batubara, zeolit
alam Bayah dan Tandan kosong kelapa sawit
(TKKS) sebagai bahan baku industri kimia
yang ditinjau dari kuantitas dan kualitasnya
melalui pendataan di lapangan dan analisa
kualitasnya di Laboratorium, maka dapat
disimpulkan bahwa TKKS merupakan bahan
yang berpotensi besar untuk dikembangkan
menjadi bahan baku alternatif industri kimia,
hal ini berdasarkan produksi TKKS yang
dihasilkan kontinyu pertahun dengan jumlah
yang besar dan memiliki kulitas yang bagus.
Sedangkan batubara mempunyai kuantitas
sedikit dan tidak mampu menyediakan secara
kontinyu dalam jumlah besar. Bahan
pendukung industri kimia adalah zeolit,
secara kuantitas sangat besar dan secara
kualitaspun sangat bagus sehingga zeolit
alam bayah inipun berpotensi besar untuk
dikembangkan.
Banyaknya lembaga penelitian serta
adanya Center of Excelence (CoE) serta
keberadaan Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa hendaknya dapat dioptimalkan
dengan membentuk konsorsium. Konsorsium
ini diarahkan untuk mempersiapkan agar
komoditas yang dihasilkan memiliki
karakteristik yang dapat diterima pasar
industri sehingga tercipta konektivitas antara
daerah penghasil dengan industri yang ada di
wilayah Banten Utara. Revitalisasi
kelembagaan tidak diarahkan pada
pembentukan lembaga baru melainkan pada
upaya peningkatan peran masing-masing
stake holder dalam penyiapan teknologi atau
pun rancangan kebijakan yang dibutuhkan.
Koordinasi yang baik dan pembagian tugas
yang tepat akan menghasilkan manfaat yang
besar bagi kemakmuran masyarakat Banten.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM), 2013. Overview/Outlook
Industri. Kalster Industri Kimia.
Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2014.
Banten Dalam Angka 2014
Buku 1.Peta Panduan Pengembangan klaster
Industri Prioritas basis Industri
Manufaktur Tahun 2010-2014.
Deaprtemen Perindustrian
Cejka, J., Bekkum, H. v. & Corma,
A. 2007.Introduction to Zeolite
Science and Practice, Oxford, Elsevier
Darnoko. 1992.Potensi Pemanfaatan Limbah
Lignoselulosa Kelapa Sawit Melalui
Biokonversi. Medan: Berita Penelitian
Perkebunan
Dinas Pertambangan dan Energi Pemerintah
Provinsi Banten. 2012. Pemetaan
Potensi Bahan Galian Zeolit di
Kabupaten Lebak Procinsi Banten.
Distamben Jawa Barat, 2002. Sebaran Zeolit
Di Jawa Barat, Data Statistik
Dyer, A., 1988, An Introduction to Zeolite
Molecular Sieves, John Wiley and Sons
Ltd., Chichester, England
Ginting A, Anggraini, D, Indaryati, S, dan
Kriswarini, R., 2007. Karakterisasi
Komposisi Kimia, Luas Permukaan
Pori dan Sifat Termal Dari Zeolit
Bayah, Tasikmalaya dan Lampung. J.
Tek. Bhn. Nukl. Vol. 3 No. 2: 1-48
Hermiati, Euis., MangunwidJaja, D., Candra
Sunarti, T., Suparno, O., dan Praseta,8,.
2010. Pemanfaatan Biomassa
Lignoselulosa Ampas Tebu untuk
Produksi Bioetanol. Jurnal Litbang
Pertanian, 24(4). 12I-130
Lestari, D.Y., 2010. Kajian modifikasi dan
karakterisasi zeolit alam dari berbagai
Negara.prosiding seminar nasional
Kimia dan Pendidikan Kimia 2010.
Universitas negeri Yogyakarta.
Mosier N., C. Wyman, B. Dale, and R.
Elander,Y.Y. Lee, M. Holtzapple, M.
Ladisch. (2005). Features of
promising technologies for
pretreatmentof lignocellulosic
biomass. Bioresource Technology.96 :
673–686.
Noviandi, N. 2010. Pemodelan Kebijakan
Pengembangan Umkm Inovatif. Pusat
Pengkajian Kebijakan Peningkatan
Daya Saing Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi.
Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT: Teknik
Membedah Kasus Bisnis. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Sherrington, D. C., and A. P. Kybett, 2001,
Supported Catalysts and Their
Application, Royal Society of
Chemistry. London, 61-65
Setyawan P.H.D., 2002, Pengaruh Perlakuan
Asam, Hidrotermal dan Impregnasi
Logam Kromium Pada Zeolit Alam
dalam Preparasi Katalis, Jurnal Ilmu
Dasar, Vol. 3 No.2, Juli 2002.
Suhala, S., Arifin, M., 1997, Bahan Galian
Industri, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Mineral,
Bandung.
Zeng.M., S., N. Mosier, C.P. Huang, D. M.
Sherman, and M. R. Ladisch.(2007).
Microscopic Examination of Changes
of Plant Cell Structure in Corn Stover
Due to Hot Water Pretreatment and
Enzymatic Hydrolysis. Biotechnology
and Bioengineering.97 (2) : 265-278.
PENGEMBANGAN POTENSI BIOFARMAKA DI PROVINSI BANTEN
Devi Triady Bachruddin
Balitbangda Provinsi Banten
Gedung Bappeda Lt.2 Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten
ABSTRACT
In Indonesia, a medicinal plant used as a carrying medicinal, herbal remedies,
immune system boosters food, cosmetics, spa ingredients, raw materials of food and
beverage industries. The development of processing industry sourced from medicinal
plants in the last 5 years showed significant growth. In Banten province there is a
potential supply and demand for medicinal plants and traditional medicinal products.
By using descriptive qualitative research method has been studied to determine the
potential of medicinal plants and industry in the province of Banten. Potential sources
of feedstock cultivation of medicinal plants in the largest province of Banten is
galangal, kencur, ginger, turmeric, and noni. Cultivation and production of medicinal
plants more widely spread in the district of Lebak, Pandeglang and Serang. There are
19 units of Traditional Medicine Industry (IOT) and 65 units of Small Industries of
Traditional Medicine (IKOT) in Banten Province. The industries spread in the district
of Tangerang, Tangerang and South Tangerang city.
Keywords : medicinal plant, traditional medicine industry, Banten
ABSTRAK
Di Indonesia, tanaman obat dimanfaatkan sebagai bahan jamu gendong, obat
herbal, makanan penguat daya tahan tubuh, kosmetik, bahan spa, dan bahan baku
industri makanan dan minuman. Perkembangan industri berbahan baku tanaman
obat dalam 5 tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Di Provinsi
Banten terdapat potensi pasokan dan permintaan tanaman obat dan produk obat
tradisional. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif telah
dilakukan penelitian untuk mengetahui potensi tanaman obat dan industrinya di
Provinsi Banten. Potensi sumber bahan baku tanaman obat budidaya di Provinsi
Banten yang terbanyak yaitu lengkuas, kencur, jahe, kunyit, mengkudu. Penanaman
dan produksi tanaman obat lebih banyak tersebar di wilayah Kabupaten Lebak,
Pandeglang dan Serang. Terdapat 19 unit Industri Obat Tradisional (IOT) dan 65
unit Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) di Provinsi Banten. Sebaran industri
tersebut berada di wilayah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota
Tangerang Selatan.
Kata kunci: tanaman obat, industri obat tradisional, Banten
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang kaya akan
sumber daya alam baik hayati maupun non
hayati. Salah satu kekayaan hayati Indonesia
adalah biofarmaka atau tanaman obat. Tanaman
obat digunakan sebagai pengobatan dan bahan
aktifnya dapat digunakan sebagai bahan obat
sintetik. Di Indonesia, tanaman obat
dimanfaatkan sebagai bahan jamu gendong,
obat herbal, makanan penguat daya tahan tubuh,
kosmetik, bahan spa, dan bahan baku industri
makanan dan minuman. Perkembangan industri
berbahan baku tanaman obat dalam 5 tahun
terakhir menunjukkan pertumbuhan yang
signifikan dan omzet produksinya selama kurun
waktu tersebut meningkat sebesar 2,5-
30%/tahun. Pada tahun 2000 nilai perdagangan
tanaman obat di Indonesia mencapai Rp.1,5
trilyun rupiah setara dengan US $ 150 juta,
masih jauh dibawah nilai perdagangan herbal
dunia yang mencapai US $ 20 milyar; US $ 8
milyar dikuasai oleh produk herbal dari China
(Promosiana dkk, 2007)
Peningkatan penggunaan obat herbal
mempunyai dua dimensi korelatif, yaitu aspek
medik terkait dengan penggunaannya yang
sangat luas di seluruh dunia, dan aspek ekonomi
yang terkait dengan nilai tambah dan
peningkatan perekonomian masyarakat (Otih
Rostiana dkk, 2007). Potensi global yang
terbuka luas ini merupakan peluang yang dapat
dikembangkan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah terutama untuk pengembangan ekonomi
lokal.
1.2 Perumusan Masalah
Laju permintaan produk berbasis tanaman
obat terkait erat dengan tingkat penggunaan
oleh masyarakat. Perkembangan terakhir
menunjukkan, peningkatan permintaan akan
produk tanaman obat tidak hanya sebatas
peningkatan kuantitas tanaman yang telah biasa
digunakan, akan tetapi juga berkembang ke arah
horizontal, yaitu bertambah jenis tanaman yang
digunakan dan secara vertikal, berupa
bertambahnya ragam produk yang dihasilkan.
Akan tetapi, kurangnya informasi baik dari sisi
kuantitas, jenis dan kualitas produk yang
diperlukan, serta panjangnya rantai tataniaga
dan kelembagaan pengguna yang tidak jelas,
menyebabkan kesulitan untuk menduga
permintaan tanaman obat, baik di Indonesia
maupun manca negara.
Secara geografis, Provinsi Banten memiliki
struktur lahan yang dapat dikembangkan untuk
budidaya tanaman obat. Selain itu, dekatnya
jarak dengan ibukota negara mempunyai potensi
sebagai tujuan pemasaran untuk produk-produk
tanaman obat sehingga industri pengolahan
tanaman obat pun berpotensi untuk
dikembangkan. Penelitian dan pengembangan
tanaman obat juga merupakan salah satu
prioritas nasional yang diamanatkan dalam
Agenda Riset Nasional.
Hingga saat ini belum banyak diketahui
potensi tanaman obat serta industri
pengolahannya di Provinsi Banten padahal
potensi yang tersimpan cukup besar. Oleh
karena itu Balitbangda Provinsi Banten telah
melaksanakan Kajian Pengembangan Potensi
Tanaman Obat di Provinsi Banten pada tahun
anggaran 2012.
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menggali
informasi mengenai jenis dan lokasi tanaman
obat dan industri obat tradisional serta
merumuskan strategi pengembangan tanaman
obat dan industri obat tradisional di Provinsi
Banten.
1.4 Teori
Definisi Tanaman Obat dan Obat Tradisional
Tanaman obat atau biofarmaka merupakan
tanaman yang bermanfaat untuk obat-obatan,
kosmetik, dan kesehatan yang dikonsumsi atau
digunakan dari bagian-bagian tanaman seperti
daun, batang, buah, umbi (rimpang), ataupun
akar. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan
yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun
temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan
dapat diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat (Permenkes, 2012).
Jenis-Jenis Tanaman Obat
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
No. 511/Kpts/PD.310/9/2006. komoditas
tanaman biofarmaka yang ditangani oleh
Kementerian Pertanian, c.q. Direktorat
Budidaya dan Pascapanen Tanaman Sayuran,
Buah-buahan dan Biofarmaka, Ditjen
Hortikultura, berjumlah 66 jenis, yang
dikelompokkan sebagai tanaman rimpang-
rimpangan dan non rimpang. Diantaranya
adalah jahe, lengkuas, kencur, kunyit,
lempuyang, temulawak, temuireng, temukunci,
dlingo/dringo, kapulaga, mengkudu, mahkota
dewa, kejibeling, sambiloto dan lidah buaya
(Otih Rostiana dkk, 2007).
Kondisi Umum Tanaman Obat di Indonesia
Arah pengembangan tanaman obat terkait
erat dengan neraca pasokan dan
permintaannya, serta teknologi yang tersedia.
Terdapat 31 tanaman obat yang volume
penggunaannya cukup besar bagi keperluan
industri obat tradisional, industri non jamu,
bumbu dapur dan ekspor, dan 18 tanaman
tersebut telah dibudidayakan dan 13 tanaman
masih diperoleh dari hasil penambangan di
hutan maupun tanaman yang liar tumbuh di
pekarangan atau kebun (E R Pribadi, 2009).
Secara nasional, tercatat hanya 15 dari 283
tanaman obat rekomendasi Badan POM telah
terdata budidayanya, yaitu jahe, lengkuas,
kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temu
ireng, keji beling, dringo, kapolaga, temukunci,
mengkudu, sambiloto, mahkota dewa dan lidah
buaya. Sentra penanaman tanaman obat
tersebar di 15 provinsi di Indonesia,yaitu
Sumatera Utara, Riau, Jambi, DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Jawa Timur, Banten, Bali, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan, dan Gorontalo. Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur merupakan 3 provinsi
terbesar penghasil tanaman obat hasil
budidaya, dengan produksi mencapai 70 - 90%
dari total produksi nasional (E R Pribadi,
2009).
II. METODOLOGI
2.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Provinsi Banten
pada tahun 2012 di sentra-sentra produksi
tanaman obat dan industri obat tradisional.
Pemilihan lokasi penelitian ditetapkan secara
terarah (purposive sampling) berdasarkan data
sebaran perkembangan sentra produksi dan
industri.
2.2 Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode
deskriptif dan normatif. Pendekatan deskriptif
digunakan untuk menduga pasokan dan
penggunaan tanaman obat serta menganalisa
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Sedangkan pendekatan normatif adalah
menjelaskan hasil analisis untuk memberi
rekomendasi alternatif untuk mencapai tujuan
penelitian.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pasokan dan Perminaan Tanaman Obat
di Provinsi Banten
Pengembangan agribisnis tanaman obat di
Indonesia dikembangkan di beberapa provinsi
termasuk di Provinsi Banten. Pengembangan
dimulai dari sektor hulu yaitu budidaya. Data
mengenai pasokan tanaman obat budidaya di
Provinsi Banten disajikan pada Gambar 1 (BPS
Banten, 2012).
Gambar 1. Produksi Tahunan Tanaman Biofarmaka di Provinsi Banten 2009-2011.
Hasil analisis sebaran bahan baku tanaman obat
(biofarmaka) dan jumlah Industri Obat
Tradisional (IOT) maupun Industri Kecil Obat
Tradisional (IKOT) memperlihatkan bahwa
penanaman dan produksi tanaman obat
(biofarmaka) lebih banyak tersebar di wilayah
Kabupaten Lebak, Pandeglang dan Serang,
sedangkan Industri Obat Tradisional (IOT)
maupun Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT)
banyak terdapat di wilayah Kabupaten
Tangerang, Kota Tangerang dan Kota
Tangerang Selatan walaupun ada beberapa di
wilayah Kota Serang dan Kota Cilegon dalam
jumlah yang sedikit. Neraca pasokan dan
permintaan tanaman obat budidaya di Provinsi
Banten disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Neraca Pasokan dan Permintaan Tanaman Obat Budidaya di Provinsi Banten
Nama
Dagang Nama Latin
Prakiraan
penggunaan terna
basah oleh IOT
tahun 2011 (kg)*
Pasokan terna
basah tahun
2011 (kg)**
1 Jahe Zingiber officinale Roxb - 1,108,693
2 Lengkuas Langngua galangal (L) Struntz - 3,355,400
3 Kencur Kaempferia galangal L - 1,185,462
4 Kunyit Curcuma domestica Val 110 814,230
5 Lempuyang Zingeiber aromaticum Vahl - 97,843
6 Temulawak Curcuma xanthorrhiza Roxb 528 75,952
7 Temu Ireng Curcuma aeruginosa Roxb - 23,928
8 Temu Kunci Boesenbergia pandurata Roxb - 50,691
9 Dringo Acorus calamus L. - 20,019
10 Kapolaga Amomum cardamomum Auct - 8,208
11 Mengkudu Morindae citrifolia 225.5 209,021
12 Mahkota
Dewa Phaleria macrocarpa (Scheff) - 517,582
13 Kejibeling Sericocalyx crispus (L) Bremek - 428,439
14 Sambiloto Andrographis paniculata B Ness 66 15,165
15 Lidah Buaya Aloe vera Linn - 38,602
* IOT = Industri Obat Tradisional, ** BPS 2012.
Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat diketahui
bahwa permintaan bahan baku tanaman obat
dari IOT yaitu temulawak, mengkudu, kunyit,
dan sambiloto. Sementara komoditi tanaman
obat yang lainnya kemungkinan tidak diserap
oleh IOT lokal Banten tetapi diserap oleh
pengguna yang lainnya.
Sebagian besar IOT di Provinsi Banten
selain memperoleh bahan baku tanaman obat
dari dalam daerah juga memperoleh bahan baku
dari luar Banten bahkan impor dari luar negeri.
Potensi permintaan tanaman obat non budidaya
di provinsi banten (Industri Obat Tradisional)
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Potensi Permintaan Tanaman Obat Non Budidaya di Provinsi Banten (IOT)
NO JENIS TANAMAN BOBOT KERING (Kg)
1 Glycyrrhijae Radix (akar manis) 310
2 Cyperi Rhizoma 150
3 Foeniculi Fructus (buah adas) 35
4 Dioscoreae Rhizoma 411
5 Impperatae Rhizoma (Rimpang Alang-alang) 60
6 Thuja Orientalis (Cemara Kipas) 300
7 Ekstrak daun katuk 200
8 Ekstrak cocopandan 180
9 Eksrak lemon 30
10 Ekstrak madu 85
11 Ekstrak buah 125
12 Jatrophae Folium (Binari Majakani) 400
13 Linaria Gambirae Catechu 200
14 Quercus Lusitanica Infectoria 200
15 Biji Pinang 100
16 Daun Jarak 50
17 Daun Jati Belanda 50
18 Daun Asam Jawa 50
19 Daun Putri Malu 50
20 Habbatussauda (Jinten Hitam) 100 Liter
21 Minyak Zaitun 750 Liter
22 Daun Pegagan (Centella Asibtica) 50
23 Tai Kotok (Tagetes Erecta) 100
24 Rumput Laut (Gracialaria) 100
25 Lintah Kebo (Hirudo Manilensis) 30
27 Lithospermi Radix 150
28 Sangusorbae Radix 150
29 Notoginseng Radix 150
30 Lonicerae Flos 80
31 Sophorae Fructus 100
32 Sophorae Flos 80
33 Saccinium 50
34 Olibanomgammi 80
35 Myrrha 50
36 Rhizoma Chuanxiong 200
37 Fructus Piperis Longi 150
38 Radix Angelica Dahuricae 200
39 Herba Taraxaci 40
40 Cortex Phellodendri 40
41 Senecio Scandens 50
42 Andrographidis Herba 60
43 Artemisiae Capollaris Herba 60
Selain komoditi tanaman obat budidaya
yang ditampilkan pada Tabel 1, komoditi
tanaman obat non budidaya juga memiliki
permintaan yang tinggi serta banyak jenisnya
sebagaimana yang disajikan pada Tabel 2.
Peluang permintaan tanaman obat non budidaya
ini belum banyak dikembangkan oleh para
petani maupun pemerintah daerah.
Berdasarkan data dari BPOM maupun BPS
Provinsi Banten menunjukkan bahwa
sebenarnya produksi tanaman obat (biofarmaka)
di Provinsi Banten itu ada dalam jumlah yang
lumayan besar, akan tetapi hasil panen tanaman
obat tersebut sangat sedikit sekali yang
digunakan sebagai bahan baku oleh Industri
Obat Tradisional (IOT) maupun Industri Kecil
Obat Tradisional (IKOT). Hal ini dikarenakan
kualitas dan kontinyuitas dari tanaman obat
tersebut tidak masuk kriteria yang
dipersyaratkan oleh IOT maupun IKOT,
sehingga kebanyakan dari tanaman obat ini
hanya digunakan untuk bumbu dapur dan
keperluan rumah tangga lainnya. Permintaan
bahan baku tanaman obat pada pedagang
tanaman obat di pasar tradisional tidak
memungkinan untuk diketahui secara pasti
jumlahnya mengingat para pedagang tersebut
tidak melakukan pembukuan ataupun
pencatatan jumlah dagangannya.
3.2 Rantai Tata Niaga Tanaman Obat Secara
Umum di Provinsi Banten
Gambaran umum rantai tata niaga tanaman
obat di Provinsi Banten diilustrasikan pada
Gambar 2. Petani produsen lokal memasok
tanaman obat ke pedagang pengumpul untuk
selanjutnya dijual ke pedagang besar yang ada
di pasar-pasar tradisional. Pedagang besar
menjual tanaman obat ke perusahaan/industri,
pedagang kecil pasar serta konsumen rumah
tangga. Tanaman obat yang dijual ke pedagang
kecil di pasar juga diserap lagi oleh konsumen
rumah tangga. Selain mendapat pasokan dari
pedagang pengumpul lokal, para pedagang
besar juga seringkali memperoleh pasokan dari
pemasok luar Banten. Sedangkan
perusahaan/industri memasok tanaman obat
yang dibutuhkan seringkali melalui jalur impor.
Gambar 2. Rantai Tata Niaga Tanaman Obat Secara Umum di Provinsi Banten
3.3 Alternatif Kebijakan dan Strategi
Pengembangan Tanaman Obat Di
Provinsi Banten
Keunggulan komparatif tanaman obat yang
dimiliki Provinsi Banten perlu dikembangkan
menjadi keunggulan kompetitif. Strategi
pengembangan juga perlu ditinjau baik dari
sektor hulu maupun sektor hilir. Untuk
merumuskan alternatif kebijakan pengembangan
tanaman obat dan obat tradisional di Provinsi
Banten maka kondisi kelemahaan yang ada saat
ini perlu diidentifikasi.
Hasil identifikasi kondisi, kelemahan
pengembangan tanaman obat dan obat
tradisional di Provinsi Banten sebagai berikut.
1) Produk pada umumnya dijual secara
gelondongan (bulky)
Belum banyak peningkatan nilai tambah
dari produk yang dijual oleh petani produsen
hingga pedagang besar. Semuanya rata-rata
masih gelondongan (belum diolah).
Petani
Produsen
Lokal
Pedagang
Pengumpul Pedagang
Besar Pasar
Konsumen
Perusahaan/
Industri
Konsumen
Rumah Tangga Pedagang
Kecil Pasar
Impor
Pemasok
Luar
Daerah
Daerah
2) Belum adanya dukungan yang optimal dari
pemerintah
Kebijakan pemerintah dan pemerintah
daerah belum terpadu dalam menangani
pengembangan tanaman obat. Kerjasama lintas
sektor di pemerintah dan pemerintah daerah
juga belum banyak implementasinya (mulai dari
sektor hulu/pertanian, sektor perdagangan,
sektor iptek dan sektor industri). Belum ada
komitmen yang kuat baik dari pemerintah
maupun pemerintah daerah mengenai
pengembangan agroindustri tanaman obat di
Provinsi Banten yang memiliki daya saing.
3) Penerapan budidaya dan pascapanen belum
optimal
Petani produsen pada umumnya menanam
tanaman obat sesuai dengan keinginan mereka.
Tidak banyak intervensi yang dilakukan oleh
dinas terkait karena lebih banyak
mempriotaskan komoditas tanaman pangan.
Begitupula dalam hal pascapanen dan
pengolahan belum banyak yang sudah
menerapakan GHP (Good Handling Practice)
dan GMP (Good Manufacturing Practice).
4) Database masih sangat terbatas
Database mengenai permintaan dan
pasokan tanaman obat masih sangat terbatas.
Padahal database ini merupakan salah satu input
penting bagi pengembangan bisnis agroindustri
tanaman obat. Lembaga atau dinas terkait yang
mengelola data tanaman obat belum optimal
dalam mengintegrasikan lintas data tanaman
obat antara lembaga/dinas dari level
kabupaten/kota hingga provinsi.
5) Kemitraan antara petani produsen dengan
industri belum berkembang
Pola-pola kemitraan antara pemasok (petani
produsen tanaman obat) dengan pengguna
(industri) diketahui belum berkembang.
Mediator ataupun fasilitator yang diperankan
oleh pemerintah/pemerintah daerah belum
berperan optimal.
Untuk membangun agribisnis dan
agroindustri tanaman obat dan obat tradisional
di Provinsi Banten diperlukan kebijakan dari
kepala daerah baik Gubernur maupun
Bupati/Walikota. Kebijakan tersebut perlu
didukung oleh DPRD dan masyarakat.
Kebijakan tersebut diwujudkan dengan
menyusun program daerah pengembangan
tanaman obat dan obat tradisional yang diikuti
pula oleh semua pemangku kepentingan di
bidang tanaman obat dan obat tradisional,
seperti BPOM, Dinas Kesehatan, Dinas
Pertanian, Dinas Kehutanan, Dinas
Perindustrian dan Perdagangan, Dinas
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Badan
Litbang Daerah dan Perguruan Tinggi. Perlu
ditetapkan target yang akan dicapai untuk
menentukan posisi Banten dalam sekian tahun
ke depan di bidang tanaman obat dan obat
tradisional.
Strategi Pengembangan Tanaman Obat di
Provinsi Banten sebagai berikut:
1) Pembentukan klaster industri tanaman
obat/obat tradisonal
Membangun industri-industri pengolahan
baru di sentra produksi bahan baku tanaman
obat sehingga dapat mereduksi biaya
transportasi dalam proses peningkatan nilai
tambah bahan baku menjadi produk setengah
jadi atau produk jadi. Selain itu diharapkan
dengan membangun industri baru maka akan
memacu pertumbuhan ekonomi rakyat dan
perdesaan. Dukungan industri penunjang juga
diarahkan pada rencana klaster tersebut.
2) Penerapan teknologi budidaya, panen, dan
pascapanen
Untuk meningkatkan produktivitas produksi
dan mutu maka perlu penerapan teknologi
budaya (GAP), teknologi panen yang sesuai dan
teknologi pascapanen dan pengolahan yang baik
(GMP).
3) Pemberian insentif
Pemberian insentif ini ditujukan kepada
petani dan pelaku industri kecil tanaman obat
dan obat tradisional. Para petani tanaman obat
ini diharapkan dapat mendapatkan insentif
dalam bentuk pemberian bibit unggul tanaman
obat dan sarana prasarana produksi agar
produksi dan mutu yang dihasilkan dapat
optimal. Pemberian insentif bagi pelaku industri
kecil bisa diberikan dalam bentuk penambahan
permodalan dan kemudahan dalam proses
perijinan.
4) Pengembangan infrastruktur dan
kelembagaan
Melalui pembangunan sarana dan prasarana
transportasi dan telekomunikasi serta dengan
mengembangkan kemitraan antara petani,
pemerintah, perguruan tinggi/lembaga litbang
dan industri pengolahan. Pelatihan sumber daya
manusia juga perlu dilakukan pada sentra-sentra
yang potensial.
5) Perluasan promosi dan pasar
Mengikutsertakan produk tanaman
obat/obat tradiosinal Banten dalam
event/pameran-pameran dan menghubungkan
jalur pasar antara produsen dan konsumen.
6) Penyusunan sistem informasi tanaman obat
dan obat tradisional
Otoritas pemerintah daerah dan lembaga
terkait perlu menyusun suatu sistem informasi
tanaman obat dan obat tradisional yang dapat
dimutakhirkan setiap saat (up to date) dan
memudahkan publik dalam mengakses data
maupun informasi yang diperlukan.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1) Prospek pembudidayaan tanaman obat
menunjukkan trend yang positif. Hal
tersebut ditandai oleh tingginya permintaan
tanaman obat dan tumbuhnya industri
pengolahan obat tradisional.
2) Potensi sumber bahan baku tanaman obat
budidaya di Provinsi Banten yang
terbanyak yaitu lengkuas, kencur, jahe,
kunyit, mengkudu. Penanaman dan
produksi tanaman obat lebih banyak
tersebar di wilayah Kabupaten Lebak,
Pandeglang dan Serang.
3) Tanaman obat non budidaya memiliki
peluang yang besar mengingat permintaan
pasar di segmen ini cukup banyak.
4) Terdapat 19 unit Industri Obat Tradisional
(IOT) dan 65 unit Industri Kecil Obat
Tradisional (IKOT) di Provinsi Banten.
Sebaran industri tersebut berada di wilayah
Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan
Kota Tangerang Selatan. Belum ada
perekaman data dan informasi yang rinci,
sistematis dan berkala dari industri-industri
tersebut kepada otoritas pemerintah (BPOM
dan Dinas Kesehatan).
5) Konsep pengembangan industri berbasis
tanaman obat belum ada indikasi untuk
dikembangkan dengan konsep klaster.
Elemen-elemen yang diperlukan untuk
membentuk klaster tanaman obat dan obat
tradisional masih terfragmentasi.
4.2 Rekomendasi
Rekomendasi yang diusulkan untuk
pengembangan tanaman obat di Provinsi Banten
antara lain :
1) Perlu adanya kebijakan dan program
mengenai pengembangan agribisnis dan
agroindustri tanaman obat dan obat
tradisional di Provinsi Banten dari kepala
daerah baik Gubernur Banten maupun
Bupati/Walikota yang ditindaklanjuti oleh
jajaran birokrasi dibawahnya.
2) Pembentukan klaster industri tanaman
obat/obat tradisonal.
3) Penerapan teknologi budidaya, panen, dan
pascapanen.
4) Pengembangan infrastruktur dan
kelembagaan.
5) Perluasan promosi dan pasar dan sistem
informasi tanaman obat dan obat
tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Promosiana, A., N. Indartiyah, M. Tahir, L.
Watini, B. Hartono, D. Martha, P.L.
Tobing, A. Hermami, dan J. Waludin. 2007.
Peta Potensi Bioregional Tanaman
Biofarmaka. Dalam M. Rachmat (Edt.)
Direktorat Budidaya Tanaman sayuran dan
Biofarmaka. Direktorat Jenderal
Hortikultura. 133 hlm.
Rostiana, O., D.S. Effendi, dan N. Bermawie.
2007a. Booklet Teknologi Unggulan
Tanaman Perkebunan. Dalam M. Januwati
(Penyunting). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Perkebunan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 006 Tahun 2012 Tentang
Industri Dan Usaha Obat Tradisional.
Pribadi, E.R. 2009. Pasokan dan Permintaan
Tanaman Obat Indonesia Serta Arah
Penelitian dan Pengembangannya.
Perspektif Vol. 8 No. 1 / Juni 2009. Hlm 52
– 64.
BPS. 2012. Banten Dalam Angka. BPS. Banten.
ANALISIS RAWAN LONGSOR DI SENTRA AGRIBISNIS PETERNAKAN DOMBA
DAN KAMBING DI KELURAHAN JUHUT PANDEGLANG
Yana Suharyana
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Banten
Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten, Jl. Raya Palima – Pakupatan, Curug Serang-Banten
E-Mail : [email protected]
ABSTRACT
This is now the rainy season has arrived, the rainy season many things that must be anticipated
related to the disaster caused by heavy rainfall, especially the danger of landslides. Handling
landslides should involve the government's role and require public participation. Research
handling prone to landslides has actually been done but in this study is more focused efforts on
preventive handling of hazard prone to landslides by identifying potential landslide prone in the
Village juhut Pandeglang, this is done because the village juhut the center area of agribusiness
and sheep farm seed in the region Banten province. The results showed that the village juhut
seen from factors causing landslides for example, the slope of the land, soil and some laboratory
results from soil samples in the juhut village showed a tendency to potential landslide prone.
Keywords: rainfall, vulnerable to landslides, landslides, agribusiness centers, breeding sheep.
ABSTRAK
Sekarang ini musim penghujan sudah tiba, Pada musim hujan banyak hal yang harus diantisipasi
terkait bencana yang diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi terutama bahaya tanah longsor.
Penanganan bencana tanah longsor harus melibatkan peran pemerintah serta membutuhkan
partisipasi masyarakat. Penelitian penanganan rawan longsor sebenarnya sudah banyak
dilakukan tetapi pada penelitian ini lebih menitikberatkan pada upaya prepentif penanganan
bahaya rawan longsor dengan mengidentifikasi potensi rawan longsor di Kelurahan Juhut
Kabupaten Pandeglang, hal ini dilakukan karena kelurahan Juhut merupakan kawasan sentra
agribisnis dan peternakan domba unggulan yang ada di wilayah provinsi Banten. Hasil penelitian
menunjukan bahwa kelurahan Juhut dilihat dari factor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor
misalnya kemiringan tanah, jenis tanah dan beberapa hasil laboratorium dari sampel tanah yang
ada di Kelurahan Juhut tersebut menunjukan kecenderungan adanya potensi rawan longsor.
Kata Kunci: curah hujan, rawan longsor, tanah longsor, sentra agribisnis, peternakan domba.
I. PENDAHULUAN
Provinsi Banten memiliki potensi
sumberdaya alam terbarukan (renewable) dan
tak terbarukan (non renewable) yang sangat
melimpah. Sumber daya lahan merupakan
media yang diperlukan dalam usaha pertanian
meski termasuk sumber daya alam yang
dapat diperbaharui namun tetap harus
mendapat perhatian agar keberadaannya tidak
terus menyusut baik dari segi kualitas
maupun kuantitas.
Secara garis besar upaya pemanfaatan
sumber daya alam termasuk pengelolaan
sumber daya pertanian dibagi dalam dua
bagian yaitu: 1) Ekstensifikasi; merupakan
kegiatan peningkatan produksi pertanian
melalui perluasan lahan; dan 2) Intensifikasi;
merupakan upaya peningkatan produksi
pertanian melalui perbaikan unit produksi
dan pengolahan pasca panen untuk
meningkatkan nilai tambah yang diperoleh
oleh para petani. Salah satu media
intensifikasi dibidang pertanian adalah
pemanfaatan teknologi baik pada tahap
proses, pengolahan pasca panen sampai
dengan pemasaran.
Kementerian Riset dan Teknologi
bersama dengan kementerian dalam negeri
telah mengeluarkan peraturan bersama nomor
3 tahun 2012 dan nomor 36 tahun 2012
tentang Penguatan Sistem Inovasi Daerah
(SIDa). Dalam peraturan bersama ini
disebutkan pentingnya Sistem Inovasi Daerah
sebagai salah satu media untuk percepatan
pelaksanaan pembangunan di daerah melalui
peningkatan kapasitas pemerintahan daerah,
daya saing daerah, dan pelaksanaan
Masterplan Percepatan Dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-
2025. Dengan dikeluarkannya peraturan
bersama ini memperlihatkan bahwa
implementasi SIDa telah mendapatkan
perhatian dari instansi pusat, tinggal
bagaimana daerah menyikapinya.
Sebagai turunan dari peraturan
bersama ini, pemerintah provinsi Banten
telah mengeluarkan surat Keputusan
Gubernur Banten Nomor 075.05/Kep.221-
Huk/2013 tentang tim koordinasi SIDa
provinsi Banten. Salah satu Tugas pokok tim
ini adalah untuk menyusun Roadmap SIDa
provinsi Banten. Dalam dokumen Road Map
SIDa provinsi Banten disebutkan bahwa
Perintisan dan Pengembangan Klaster
Industri/PI-UMKM salah satunya diarahkan
pada Peternakan Domba dan Etawa di
Kabupaten Pandeglang. Hal ini sejalan
dengan kebijakan Pemerintah Daerah
Kabupaten Pandeglang bahwa Kawasan
Kampung Ternak Domba Terpadu di
kampung Cinyurup keluruhan Juhut masuk
dalam dokumen pembangunan daerah.
Untuk pencapaian tujuan
pembangunan kawasan ternak Domba
Terpadu di Juhut Pandeglang, diperlukan
identifikasi daya dukung Lingkungan agar
kegiatan dapat berlangsung lestari.
Berkembangnya usaha peternakan domba
serta kegiatan penyediaan pakan sebagai
usaha pendukung kegiatan budidaya domba
akan mencapai titik maksimal daya
lingkungan yang ada. Daya dukung
lingkungan juga akan dipengaruhi oleh
aktifitas lainnya diluar kegiatan budidaya
domba namun masih dalam kawasan yang
sama.
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam
upaya mempertahankan perkembangan
peternakan domba di Kelurahan Juhut yaitu
dengan mengidentifikasi faktor-faktor
penghambat yang disebabkan oleh alam
misalnya banjir atau tanah longsor. Hal ini
perlu diperhatikan mengingat dalam profil
Kelurahan juhut memenuhi aspek-aspek
kerawanan tersebut
II. METODOLOGI
Data yang dikumpulkan terdiri dari
data primer dan data sekunder. Data pimer
diperoleh melalui rangkaian kegiatan survey
serta wawancara terhadap instansi-instansi
terkait. Kegiatan survey dilakukan kepada
masyarakat di wilayah Kelurahan Juhut
sedangkan Wawancara terhadap instansi
terkait bertujuan untuk memperoleh
gambaran mengenai kondisi wilayah
kelurahan Juhut. Data yang diperoleh dari
wawancara meliputi data kependudukan, data
luas wilayah, serta data sosial ekonomi
lainnya. Penelitian ini dilakukan pada bulan
September sampai dengan bulan Desember
2015
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Keadaan Umum Kelurahan Juhut
Kelurahan Juhut terletak di wilayah
pusat Pemerintahan Kabupaten Pandeglang,
Kelurahan Juhut termasuk dalam Kecamatan
Karangtanjung, Kelurahan Juhut terletak 23
Km dari Ibukota Propinsi dan 3 Km dari
Ibukota Kabupaten Pandeglang, dengan luas
wilayah 402.86 Ha. Batas Administrasi
Kelurahan Juhut adalah sebelah utara
berbatasan dengan kelurahan Cigadung
Kecamatan Karangtanjung, sebelah selatan
berbatasan dengan Kelurahan Pandeglang
Kecamatan Pendeglang, sebelah timur
berbatasan dengan tanah kehutanan, sebelah
barat berbatasan dengan Kelurahan
Pandeglang Kecamatan Pandeglang.
Luas wilayah Kelurahan Juhut menurut
penggunaannya adalah 402.86 Ha/m2 dengan
rincian luas pemukiman 55.95 Ha, luas
persawahan 60 Ha, luas perkebunan 112.85
Ha, luas kuburan 5 Ha, luas pekarangan 76
Ha, luas tanah wakaf 1.5 Ha, luas tanah
bengkok 4 Ha/m2, perkantoran 15 Ha/m2,
luas prasarana umum lainnya 72.56 Ha.
Kelurahan Juhut terdiri dari 6 (enam) Rukun
Warga (RW) yaitu: RW. 01 Kp. Juhut, Rw.
02 Kadu salak, Rw. 03 Mauk, Rw. 04
Canggoang, Rw. 05 Cinyurup, Rw. 06
Sanim, dan terdiri dari 29 RT. Jumlah
Penduduk Kelurahan Juhut berdasar data
bulan Desember 2014 sebanyak 7.324 Jiwa,
terdiri dari 3.737 Jiwa Laki-laki dan 3.587
Jiwa Perempuan, dan jumlah kepala keluarga
sebanyak 1.451.
3.2 Keadaan Alam
Suhu udara di Kabupaten Pandeglang
berkisar antara 22,5 0C – 27,9 0C. Pada
daerah pantai, suhu udara bisa mencapai 22
0C – 32 0C, sedangkan di daerah
pegunungan berkisar antara 18 0C – 29 0C.
Kabupaten Pandeglang memiliki curah hujan
antara 2.000 – 4.000 mm per tahun dengan
rata-rata curah hujan 3.814 mm dan
mempunyai 177 hari hujan rata-rata per tahun
serta memiliki tekanan udara rata-rata 1.010
milibar. Iklim di wilayah Kabupaten
Pandeglang dipengaruhi oleh Angin Monson
(Monson Trade) dan Gelombang La Nina
atau El Nino (Banten Dalam Angka, 2004).
Saat musim penghujan (Nopember-Maret)
cuaca didominasi oleh Angin Barat (dari
Samudra Hindia sebelah Selatan India) yang
bergabung dengan angin dari Asia yang
melewati Laut Cina Selatan. Pada musim
kemarau (Juni-Agustus), cuaca didominasi
oleh Angin Timur yang menyebabkan
Kabupaten Pandeglang mengalami
kekeringan, terutama di wilayah bagian
Utara, terlebih lagi bila berlangsung El Nino.
Kabupaten Pandeglang dialiri oleh 18
aliran sungai dengan panjang total 835 km.
Sungai-sungai tersebut dikelompokan ke
dalam 3 (tiga) Satuan Wilayah Sungai (SWS)
yang mencakup seluruh wilayah kabupaten
ini, yaitu :
1. Bagian utara berada di dalam SWS hulu
Sungai Ciujung, CIbanten dan Cidanau
2. Bagian tengah berada di dalam SWS
Ciliman - Cibungur
3. Bagian selatan berada di dalam SWS
Ciliman Cibungur
Secara geologi, wilayah Kabupaten
Pandeglang termasuk kedalam zona Bogor
yang merupakan jalur perbukitan. Sedangkan
jika dilihat dari topografi daerah Kabupaten
Pandeglang memiliki variasi ketinggian
antara 0 - 1.778 m di atas permukaan laut
(dpl). Sebagian besar topografi daerah
Kabupaten Pandeglang adalah dataran rendah
yang berada di daerah Tengah dan Selatan
yang memiliki luas 85,07% dari luas
keseluruhan Kabupaten Pandeglang
Ditinjau dari segi geologinya,
Kabupaten Pandeglang memiliki beberapa
jenis bebatuan, diantaranya :
1) Alluvium, terdapat di daerah gunung dan
pinggiran pantai;
2) Undiefierentiated (bahan erupsi gunung
berapi), terdapat di daerah bagian utara
tepatnya di daerah Kecamatan Labuan,
Jiput, Mandalawangi, Cimanuk, Menes,
Banjar, Pandeglang dan Cadasari;
3) Diocena, terdapat di daerah bagian Barat,
tepatnya di kecamatan Cimanggu dan
Cigeulis;
4) Piocena Sedimen, di bagian Selatan di
daerah kecamatan Bojong, Munjul,
Cikeusik, Cigeulis, Cibaliung dan
Cimanggu;
5) Miocene Limestone, disekitar Kecamatan
Cimanggu bagian utara; Mineral Deposit,
yang terbagi atas beberapa mineral, yaitu:
Belerang dan sumber air panas di
Kecamatan Banjar; Kapur/karang darat
dan laut di Kecamatan Labuan, Cigeulis,
Cimanggu, Cibaliung, Cikeusik dan
Cadasari; Serat batu gift, terdapat di
Kecamatan Cigeulis.
Jenis tanah yang ada di Kabupaten
Pandeglang dapat dikelompokan dalam
beberapa jenis dengan tingkat kesuburan dari
rendah sampai dengan sedang. Diantara
jenis tanah tersebut adalah :
1) Alluvial, terdapat di Kecamatan
Panimbang, Sumur, Cikeusik, Pagelaran,
Picung, Labuan dan Munjul;
2) Grumosol, yang tersebar di Kecamatan
Sumur dan Cimanggu;
3) Regosol, terdapat di Kecamatan Sumur,
Labuan, Pagelaran, Cikeusik dan
Cimanggu;
4) Latosol, terdapat di sekitar Gunung
Karang, Kecamatan Pandeglang, Saketi,
Cadasari, Banjar, Cimanuk,
Mandalawangi, Bojong, Menes, Jiput,
Labuan dan Sumur;
5) Podsolik, terdapat di Kecamatan Labuan,
Menes, Saketi, Bojong, Munjul, Cikeusik,
Cibaliung, Cimanggu, Cigeulis, Sumur,
Panimbang dan Angsana.
Dataran di Kabupaten Pandeglang
sebagian besar merupakan dataran rendah
yakni di daerah bagian tengah dan selatan,
dengan variasi ketinggian antara 0 – 1.778
meter di atas permukaan laut (dpl) dengan
luas sekitar 85,07% dari luas wilayah
Kabupaten. Secara umum perbedaan
ketinggian di Kabupaten Pandeglang cukup
tajam, dengan titik tertinggi 1.778 m diatas
permukaan laut (dpl) yang terdapat di Puncak
Gunung Karang pada daerah bagian utara dan
titik terendah terletak didaerah pantai dengan
ketinggian 0 m dpl.
Daerah pegunungan pada umumnya
mempunyai ketinggian ± 400 m dpl, dataran
rendah bukan pantai pada umumnya
memiliki ketinggian rata-rata 30 m dpl dan
daerah dataran rendah pantai pada umumnya
mempunyai ketinggian rata-rata 3 m dpl.
Kemiringan tanah di Kabupaten Pandeglang
bervariasi antara 0 – 45 %; dengan alokasi
0- 15 % areal pedataran sekitar Pantai
Selatan dan pantai Selat Sunda; alokasi 15 –
25 % areal berbukit lokasi tersebar; dan
alokasi 25 – 45 % areal bergunung pada
bagian Tengah dan Utara.
Kabupaten Pandeglang ditinjau dari
segi geologi memiliki beberapa jenis batuan
yang meliputi Alluvium, Undieferentiated
(bahan erupsi gunung berapi), Diocena,
Piocena Sedimen, Miocena Lemistone dan
Mineral Deposit. Sedangkan beberapa jenis
tanah yang ada di Kabupaten Pandeglang
yaitu Aluvial, Grumosol, Mediteran, dan
Latosol. Di juhut sendiri jenis tanahnya di
dominasi jenis latosol.
Keadaan geomorfologi, topografi dan
bentuk wilayah secara bersama-sama akan
membentuk pola-pola aliran sungi yang ada.
Pola aliran sungai di Wilayah Kabupaten
Pandeglang pada umumnya berbentuk
dendritik. Arah aliran sungai-sungai di
Wilayah ini dibedakan menjadi dua, sehingga
membentuk dua daerah aliran sungai yaitu
daerah aliran dari arah Timur yang bermuara
di Selat Sunda dan daerah aliran dari arah
Utara yang bermuara di Samudera Indonesia.
Topografi atau kelerengan wilayah di
Kabupaten Pandeglang bervariasi dari datar
hingga bergunung. Sementara itu di wilayah
Juhut kelerengan bergelombang hingga
berbukit.
Tekstur tanah menunjukkan
komposisi partikel penyusun tanah (separat)
yang dinyatakan sebagai perbandingan
proporsi (%) relatif antara fraksi pasir, fraksi
debu dan fraksi liat (Hanafiah, 2008).
Tekstur merupakan sifat kasar-halusnya
tanah dalam percobaan yang ditentukan oleh
perbandingan banyaknya zarah-zarah tunggal
tanah dari berbagai kelompok ukuran,
terutama perbandingan antara fraksi-fraksi
lempung, debu, dan pasir berukuran 2 mm ke
bawah.
3.3 Persepsi Masyarakat terhadap Potensi
dan Bencana Longsor
Secara umum, masyarakat
beranggapan bahwa Kelurahan Juhut bukan
merupakan wilayah rawan longsor, karena
pada kasus terjadinya bencana longsor hanya
beberapa kali saja.
No. Jawaban
Ya Tidak
n % n %
1. Kejadian Longsor 13 9 131 91
2 Gejala Longsor 3 2 141 98
3 Penanganan Gejala Longsor 8 6 136 94
4 Lokasi Rawan Longsor 13 9 131 91
5 Pencegahan Longsor 23 16 121 84
6 Sosialisasi Longsor 19 13 125 87
Tabel 1. Potensi Longsor
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa
sebagian besar masyarakat (91%) tidak
pernah melihat, mendengar, mengetahui, atau
mengalami kejadian longsor di wialayah
Kelurahan Juhut. Tetapi 9% sisanya pernah
mengetahui kejadian longsor di Canggoang
dan di Cinyurup.
Hal yang sama juga mengani gejala
longsor. Hampir seluruh masyarakat tidak
mengetahui atau mengalami gejala longsor di
wilayah Kelurahan Juhut. Tetapi, beberapa
orang melaporkan pernah melihat tanah/ batu
mulai berjatuhan dan muncul retakan yang
semakin membesar di lereng bagian atas.
Karena ciri-ciri gejala longsor tidak banyak
ditemui maka masyarakatpun tidak
melakukan penanganan gejala longsor.
Masyarakat beranggapan (91%)
bahwa tempat tinggalnya bukan merupakan
wilayah rawan lonsor. Oleh karenanya
mereka tidak melalukan pencegahan terhadap
kejadian longsor. Tetapi, sebagian kecil
masyarakat sudah melakukan kegiatan-
kegaiatan yang dapat mencegah terjadinya
longsor seperti: tidak membuat kolam ikan,
lahan sawah di bagian atas lereng; membuat
terasering pada lereng untuk pemukiman;
tidak bermukim di bagian kaki atau pinggir
leren; tidak menebang pepohonan di lereng;
dan tidak melakukan penggalian di bagian
bawah lereng.
Tanggapan masyarakat yang kurang
terhadap potensi longsor bisa disebabkan
karena pengetahuan masyarakat yang kurang
mengenai masalah longsor. Oleh karenanya
perlu dilakukan sosialisasi oleh pemerintah.
Menurut sebagian besar masyarakat (87%),
sosialisasi menegenai bahaya longsor belum
pernah dilakukan di Kelurahan Juhut. Tetapi
beberapa masyarakat menyatakan pernah
mendapat soialisasi yang dilakukan oleh
BPBD Kabupaten Pandeglan dan Provinsi
Banten.
Persepsi masyarakat terhadap bencana
longsor di Kelurahan Juhut secara umum
berada pada katagori sedang, seperti yang
tampak pada grafik berikut.
Persepsi masyarakat terhadap bencana
longsor di Kelurahan Juhut sebagian besar
(71%) berada pada katagori sedang
(moderat). Hal ini berarti masyarakat
menanggapi apa yang ada di lingkungannya
yang berkaitan dengan bencana longsor
masih bersifat netral, biasa-biasa saja. Tidak
memberikan respon yang positif maupun
negatif.
Persepsi masyarakat yang netral
tersebut dimungkinkan karena masyarakat
belum mengalami kejadian longsor yang
berarti di lingkungannya, Sehingga
masyarakat masih merasakan nyaman dan
belum merasakan ancaman bahaya longsor.
Bila persepsi masyarakat yang netral ini
dibiarkan pada akhirnya akan merugikan
masyarakat itu sendiri. Karena bila bencana
longsor benar-benar terjadi, masyarakat akan
bingung dalam bersikap dan bertindak untuk
mengatasinya. Oleh karena itu persepsi
masyarakat terhadap bahaya longsor perlu
ditingkatkan.
Gambar 1. Grafik Persepsi Masyarakat
terhadap Bencana Longsor di
Kelurahan Juhut
Rincian persepsi masyarakat meliputi
persepsi terhadap gejala longsor, penegahan,
penanganan, sosialisasi, dampak bencana dan
kebijakan penangan longsor. Katagori dari
rincian tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut.
Aspek Persepsi PERSEPSI (%) Jumlah
(%) RENDAH SEDANG TINGGI
Gejala 12 68 20 100
Pencegahan 5 62 33 100
Penanganan 7 64 29 100
Sosialisasi 35 46 19 100
Dampak Bencana 8 44 48 100
Kebijakan 2 76 22 100
Keseluruhan 10 71 19 100
Tabel 2. Persepsi Masyarakat terhadap
Bencana Longsor di Kelurahan Juhut
Berdasarkan tabel 2 tersebut dapat
diketahui bahwa secara umum persepsi dari
semua aspek sebagian besar berada pada
katagori sedang, kecuali untuk katagori
persepsi terhadap dampak bencana sedikit
lebih besar berada pada katagori tinggi
daripada sedang. Hal ini juga menunjukkan
bahwa pandangan, respon, dan tindakan
mesyarakat terhadap aspek-aspek longsor
masih netral (moderat) sehingga perlu
ditingkatkan agar masyarakat memiliki
persepsi yang lebih tinggi.
PENDIDIKAN TERAKHIR
PERSEPSI
RENDAH SEDANG TINGGI
TIDAK TAMAT SD 14,28 57,14 28,57
SD 10,96 72,60 16,44
SMP 9,09 68,18 22,73
SMA 4,00 80,00 16,00
PERGURUAN TINGGI 0,00 100.00 0,00
Tabel 3. Persepsi Masyarakat berdasarkan
Tingkat Pendidikan
Pada Tabel 3. Bisa disimpulkan bahwa
persepsi masyarakat dihubungkan dengan
tingkat pendidikan, ternyata secara umum
tidak berbeda sgnifikan seluruhnya berada
pada katagori sedang. Akan tetapi bila dilihat
dari katagori persepsi tinggi, masyarakat
yang tidak tamat SD ternyata yang memiliki
persentase yang tertinggi dan yang tamat
perguruan tinggi tidak ada yang berkatagori
tinggi karena seluruhnya berkatagori sedang.
JENIS
KELAMIN
PERSEPSI
RENDAH SEDANG TINGGI
LAKI-LAKI 9,77 73,68 16,54
PEREMPUAN 9,09 45,45 45,45
Tabel 4. Persepsi Masyarakat berdasarkan
Jenis Kelamin
Berdasarkan data pada table 4.
Disimpulkan bahwa Persepsi masyarakat
berdasarkan jenis kelamin menunjukkan
bahwa jenis kelamin perempuan memiliki
persentase persepsi tinggi yang lebih besar
RENDAH
10%
SEDANG
71%
TINGGI 19%
dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki
cenderung memiliki persepsi yang netral
terhadap bencana longsor di kelurahan Juhut.
KETINGGIAN PERSEPSI
RENDAH SEDANG TINGGI
200 – 300 m dpl. 7,35 79,41 13,24
400 – 700 m dpl. 11,84 64,47 23,68
Tabel 5. Persepsi Masyarakat Ketinggian
Tempat Tinggal
Berdasarkan table 5. Bahwa
ketinggian tempat tinggal, persentase
persepsi tinggi pada ketinggian 400 – 700 m
dpl lebih besar daripada di tempat rendah.
Berdasarkan Peta Kawasan Rawan Bencana
Kabupaten Pandeglang, wilayah kabupaten
Pandeglang mempunyai berbagai potensi
rawan bencana seperti bencana gerakan
tanah/longsor, bencana banjir, bencana
tsunami dan bencana letusan gunung api.
Khusus wilayah Juhut Kecamatan Karang
Tanjung termasuk rawan bencana alam tanah
gerakan tanah dan longsor. Tentunya potensi
rawan bencana longsor ini memperhitungan
biofisik lahan seperti secara umum Juhut
mempunyai kelerengan lebih dari 15%,
kondisi tata guna lahan serta kondisi geologi
dan tanahnya. Meskipun hingga saat ini
wilayah Juhut belum pernah terjadi longsor
besar, namun dengan kondisi lereng lebih
dari 15 % serta tanah latosol yang
mempunyai solum yang dalam, tekstur
tanahnya lempung berdebu dan mudah sekali
meresepkan air, maka potensi rawan bencana
longsor juga cukup tinggi. Sifat tanah
Latosol yang pada saat musim kemarau
mudah sekali mengembang dan
menimbulkan rekahan rekahan, apabila
musim hujan tiba, maka rekahan tersebut
yang berada pada lahan berlereng mudah
sekali sebagai pintu masuk aliran air yang
akhirnya pada tanah yang berlereng curam
akan rawan bencana longsor.
Analisis potensi longsor tidak terlepas
dari kondisi kelerengan wilayah. Dari hasil
analisis citra google eart dan
bentuk/morfologi wilayah Juhut apabila
ditarik garis maya lurus dari bawah hingga
lokasi titik tengah tertinggi, ketinggian
wilayah Juhut mencapai ketinggian 977 m,
sedangkan terendah pada ketinggian 350 m.
Nampak dengan ilustrasi kemiringan lahan
atau kelerengan wilayah Juhut dengan jarak
kurang lebih 3.69 km, gradient wilayah
berkisar 17 %. Namun apabila dilihat secara
kelerengan mikro, sebagaian wilayah Juhut
ada yang kelerengannya lebih dari 25%.
Analisis kelerengan wilayah Juhut,
dibangun dari peta topografi yang
dibangkitkan dari data SRTM 30 m (Gambar
4.26). Nampak bahwa kontur rapat terdapat
pada wilayah tengah Juhut dan wilayah itu
menunjukkan daerah yang berlereng curam .
Lebih lanjut dari analisis peta kontur akan
didapat peta kelerengan wilayah Juhut.
Gambar 2. Kontur wilayah Juhut dari SRTM
30
Pada gambar 2 nampak bahwa dengan
pengkelasan lereng tersebut pada daerah yang
berkontur rapat akan mempunyai kelas
kelerengan yang tinggi seperti ditunjukkan
warna merah. Wilayah berlereng 40 %
terdapat pada bgaian tengah hingga wilayah
bagian atas. Dengan kelerengan seperti ini
tentunya potensi longsor akan tinggi.
Sebagaimana diketahui faktor geologi
dan tanah juga berpengaruh besar terhadap
kerentanan terhadap potensi bahaya longsor.
Tanah tanah dengan solum dalam atau tebal
dan dengan sifat struktur dan tekstur
mengandung pasiran atau debu tentunya
tanah ini akan memudahkan persepan air
kedalam tanah. Sementara sifat tanah yang
mudah merekah pada saat kemarau, juga
menjadi pintu masuk air kedalam tanah pada
saat musim hujan. Solum tanah yang tebal,
tekstur tanah yang mudah meresapkan air
dann terletak pada kondisi lereng yang
terjal/miring maka tanah ini juha mudah
tergelincir. Jenis tanah yang ada di Juhut
secara umum merupakan jenis Tanah
Latosol, akan tetapi dari pendekatan peta land
system, tanah di Juhut mempunyai land
system TGM dan TLU. Land system TGM
mempunyai dan berada pada dataran upper
slope (mid slope-valley side). sedangkan land
system TLU berada diwilayah bawahnya
valley side
Gambar 3. Sistem Lahan di wilayah Juhut
Hasil analisis tumpang susun berbagai
peta tematik peta tanah/land system, peta
kelerengan, dan peta tata guna lahan
diperoleh kondisi daerah rawan longsor
dengan berbagai kelas tingkatan seperti
disajikan pada Gambar 4. Wilayah yang
mempunyai potensi longsor tinggi berada
pada kawasan tengah dan barat laut (wilayah
atas).
Potensi Longsor Luasan (Ha)
Tinggi 245,3
Sedang 707,1
Rendah 126,1
Gambar 4. Potensi Longsor di wilayah Juhut
Luas potensi longsor tinggi seluas 245
Ha, potensi longsor sedang seluas 707.1 Ha
sedangkan potensi rendah seluas 126.1 Ha.
Secara umum terlihat bahwa wilayah Juhut
mempunyai potensi longsor sedang dengan
prersentasi luasan mencapau hampir 70 %
dari luas wilayah yang dikaji.
Untuk memprediksi arah aliran
longsor, dilakukan analisis system sel melalui
pendekatan sel aliran cachment area dengan
WMS Modelling. Hasil pemodelan dengan
system sel WMS Modelling diperoleh sel sel
aliran sebagaimana disajikan pada Gambar 5.
Pola Aliran Sel LongsorPrediksi ArahAliran Longsor
Potensi Longsor Luasan (Ha) Tinggi 245,3
Sedang 707,1Rendah 126,1
Gambar 5. Model Sel Longsor dan prediksi
arah aliran longsor
Analisis kerentanan terhadap bahaya
longsor di wilayah Kelurahan juhut ditinjau
dari aspek social masyarakat yaitu
keberadaan kampung kampung yang
mempunyai poteni ancaman bahaya longsor.
Analisis berdasarkan system sel dan lokasi
atau letak kampung yang berada pada arah
ancaman diilustrasikan pada Gambar 6. untuk
Kampung Cinyurup, Gambar 7 untuk
Kampung Kadulimus dan Gambar 8 untuk
Kampung Canggoang.
Gambar 6. Kerentanan Kampung Cinyurup
dari arah Aliran Longsor
Gambar 7. Kerentanan Kampung Kadulimus
dari arah Aliran Longsor
Gambar 8. Kerentanan Kampung Canggoang
dari arah Aliran Longsor
Nampak bahwa ketiga kampong
tersebut juga mempunyai ancaman yang
cukup serius berdasarkan pendekatan system
sel dan arah aliran longsor. Bagaimanapun
kewaspadaan kepada masyarakat tetap harus
dibangun, meskipun tingkat bahaya dan
kejadian longsor merupakan resultante dari
berbagai aspek seperti curah hujan, sifat sifat
tanah, kondisi tutupan lahan dan kondisi
kelerengan.
IV. KESIMPULAN
1. Wilayah Juhut merupakan wilayah
yang mempunyai morfologi lahan
dari lereng bergelombang hingga
berbukit, sedangkan kondisi tutupan
lahan atau penggunaan lahannya
dominan kebun campuran dan
ladang/tegalan.
2. Hasil zonasi wilayah rawan longsor
di Juhut menunjukkan sebagian
besar mempunyai zona sedang
dengan detil perincian zonasi : Zona
Longsor tinggi seluas 245.3 Ha,
Zona longsor sedang seluas 707.1
Ha dan Zona longsor rendah seluas
126.1 Ha. Zona longsor tinggi
terutama berada pada wilayah
tengah dan wilayah barat laut yang
merupakan bagian lereng Gunung
Karang.
3. Wilayah zona longsor tinggi berada
pada kawasan hutan, akan tetapi
juga ada dibeberapa tempat yang
berada pada penggunaan lahan
kebun campuran, ladang/tegalan.
4. Upaya pengelolaan lahan zona
longsor tinggi pada kawasan
budidaya belum menerapkan pola
tanam yang sesuai dengan kaidah
konservasi lahan.
5. Pola pengelolaan lahan belum
sepenuhnya menerapkan konsep
konservasi tanah dengan berbasis
pada ancaman bahaya longssor.
6. Perlu perhatian yang lebih ekstra
waspada yaitu melakukan upaya
budidaya tanaman semusim pada
lahan berlereng curam
7. Masyarakat belum mengupayakan
pola agroforestry pada lahan
berlereng yang sudah terlanjur
diusahakan
8. Persepsi masyarakat terhadap
longsor dari aspek bagaimana
mengenali gejala, melakukan
pencegahan dan penanganan, adanya
sosialisasi dikatakan bahwa 19 %
(baik), 71 % (cukup) dan 10 %
(kurang)
SARAN
1. Pada area sentra agribisnis
peternakan domba dan kambing
(komplek peternakan) sebaiknya
daerah yang sangat terbuka
dilakukan upaya penanaman
tanaman keras
2. Peningkatan kapasitas masyarakat
dengan memberi pelatihan
pengetahuan tentang longsor, tanda-
tanda indikasi gejala longsor
Penerapan LEWS (Land Slide Early
Warning System) pada zona resiko
tinggi.
V. DAFTAR PUSTAKA
______, 2006. Inventarisasi dan Penelitian
Pengelolaan Tanah. Balai
Penelitian Tanah. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian.
Anwar, H.Z. 2003. Pengantar Bencana
Gerakan Tanah. Bandung : Pusat
Penelitian Geoteknologi, LIPI.
Ariyani, A. D., 2009. Aplikasi Sistem
Informasi Geospasial dalam
Penyusunan Peta Rawan Longsor.
Semarang: Teknik Geodesi
Universitas Diponegoro.
Badan Meteorologi dan Geofisika. 2006.
Aplikasi Sistem Informasi
Untuk Peta Bencana Alam
Indonesia. Jakarta
Brunsden, 1984, Classification of Processes
that cause landslide dalam
landslide Landslide Recognition;
Identification, Movement, and ,
Causes, 1997, ed. By R. Dikau
and D. Brunsden John Wiley and
Sons Ltd.
Crudden, D. M., 1991, A Simple definition of
landslide, Bulletin Int. Assoc. for
Engineering Geology, 43, 27-29.
Darmawijaya, M.I. 1990. Klasifikasi Tanah.
Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial. 2007. Sistem
dan Standar Operasional
Prosedur Pengendalian Banjir
dan Tanah Longsor. Jakarta:
Departemen Kehutanan.
Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah.
Akademika Presindo. Jakarta
Karnawati, Dwikorita. 1996a, Mechanism of
rain-induced landsliding ini Java,
Media Teknik No. 3 Th XVIII
November 1996.
Karnawati, Dwikorita. 2005, Bencana Alam
Gerakan Massa Tanah di
Indonesia dan Upaya
Penanggulangannya. Jogjakarta:
Teknik Geologi Univesitas
Gadjah Mada.
Kusratmoko, dkk. 2002. Aplikasi Sistem
Informasi Geografis untuk
Penentuan Wilayah Prioritas
Penanganan Bahaya Erosi Studi
Kasus DAS Citarum. Jakarta:
Jurusan Geografi dan Pusat
Penelitian Geografi Terapan
Fakultas MIPA Universitas
Indonesia.
Munir, M. 1996. Tanah-Tanah Utama
Indonesia, Karakteristik, Klasifikasi
dan Pemanfaatannya.
Najoan, Th.F., Soeroso, D. dan Rukhijat, S.
1996. Peta Zona Gempa Dan Cara
Penggunaannya
R.T. Pack, Terratech Consulting Ltd. A
Stability Index Approach to
Terrain Stability Hazard Mapping,
SINMAP User’s Manual. Utah
State University
Sadisun. A, Imam. 2007. Peta Rawan
Bencana: Suatu Informasi
Fundamental Dalam Program
Pengurangan Resiko Bencana.
Pusat Migitasi Bencana, ITB.
Sadisun. A, Imam. 2005. Usaha Pemahaman
Terhadap Stabilitas Lereng dan
Longsoran Sebagai Langkah Awal
Dalam Mitigasi Bencana
Longsoran. Workshop
Penanganan Bencana Gerakan
Tanah. Bandung
Saripin, Ipin. 1999. Identifikasi Penggunaan
Lahan dengan Menggunakan
Citra Landsat Thematic Mapper.
Bogor: Buletin Teknik Pertanian
Institut Pertanian Bogor Vol. 8.
No. 2, 2013.
Selby M.J. 1993. Hillslope Material and
Processes. Second edition, Oxford
: Oxford University Press.
Soil Survey Staff. 1990. Soil Taxonomy.
United States Department of
Agricultur Soil Management Soil
Management Support Services.
Virginia Polytechnic institute and
States University.
Subowo, E. 2003. Pengenalan Gerakan
Tanah. Bandung : Pusat
Volkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral.
Departemen Pertambangan dan
Energi, Bandung.
Sutikno, 2001, Mengenal Tanah Longsor,
Direktorat Geologi Tata
Lingkungan
Varnes, D. J., 1978, Slope Movement Type
and Processes, Special Report 176;
Lindslide; Analisis and Control,
Eds: R. L. Schuster dan R. J.
Krizek, Transport Research Board,
National Research Countil,
Washington, D. C., 11-33.
EVALUASI PARTISIPASI PEMILIH PADA PEMILU LEGISLATIF
TAHUN 2014 DI PROVINSI BANTEN
Leo Agustino*, Gandung Ismanto*, dan Silfiana**
*Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
**Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Banten
Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten
JL.Raya Palima Pakupatan Serang-Banten
Abstrak
Meski telah berlangsung dengan baik dan lancar, Pemilu 2014 masih menyisakan
persoalan besar dalam kualitasnya. Terutama pada aspek kualitas partisipasi
pemilih yang masih bercorak mobilitatif ketimbang partisipasi yang muncul
karena kesadaran politiknya. Beragam fakta politik uang dan praktik-praktik
pragmatisme politik di kalangan pemilih dan calon anggota legislatif diduga
menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih, di samping tentu
ragam faktor kompleks lainnya. Guna menjawab faktor-faktor apa saja yang
membentuk perilaku pemilih tersebut, survei ini berusaha mendalaminya dengan
mengembangkan instrumen penelitian berupa kuesioner yang memadukan
pendekatan sosiologi, pendekatan psikologikal, pendekatan pilihan rasional dan
kesadaran politik. Populasi penelitian ini berjumlah 8.069.247 jiwa berdasarkan
data Daftar Pemilih Tetap Pemilu Legislatif Tahun 2014.Ukuran sampel
ditentukan sebesar 384 yang ditentukan berdasarkan kaidah Slovin dengan tingkat
kepercayaan 95%. Mengingat populasi yang tersebar di wilayah yang juga sangat
luas, penelitian ini mengadopsi tiga teknik sampling, yaitu: (i) pusposive sampling
(ii) area sampling; (iii) quota sampling guna mencapai tingkat keterwakilan yang
memadai. Sedangkan analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik
deskriptif. Hasil analisis membuktikan bahwa secara sosiologis faktor kesamaan
agama, dan pengaruh orang-orang terdekat berpengaruh besar terhadap perilaku
pemilih. Sedangkan secara psikologis, identifikasi kepartaian mengalami
pelemahan, meski di level kabupaten/kota terdapat variasi yang cenderung
berbeda. Demikian pula dalam konteks pilihan rasional, faktor kedekatan dengan
calon serta pendekatan yang dilakukannya terbukti menjadi faktor yang
berpengaruh kuat terhadap perilaku pemilih, termasuk didalamnya adalah ragam
praktik politik yang cukup banyak dilakukan calon. Namun demikian, patut
disyukuri bahwa kesadaran politik sebenarnya telah tumbuh cukup massif dan
nyata, meski eksistensinya dipengaruhi oleh kuat lemahnya penetrasi ragam faktor
eksternal yang menerpa pemilih. Pendidikan politik dan pemilih perlu dilakukan
secara sistematis dengan memanfaatkan hasil kajian yang dilakukan secara
berkala, guna menemukan cara-cara paling relevan dan efektif dalam
meningkatkan kuantitas dan kualitas partisipasi pemilih dari waktu ke waktu.
Kata Kunci: Pemilu, Partisipasi Pemilih
Abstract
Although it had been successfully carried out without any significant obstacle, 2014
election left great nuisance regarding its quality. Especially having closer look to the
quality of voters’participation who mostly casted their vote for mobility excuses rather
than self-political awareness. Various facts exposing money and pragmatism politics,
practiced among voters and legislative candidates, suspected to take role in
determining voters’ behaviour, together with many other elements with no less
complexity. To answer the question of what are the influential factors of voters’
behaviour, this survey ran to the depth of the problem by developing research
instruments such as questionnaire compiling sociology, psychological, and rational
choices and political awareness approaches. The population for this research counted
as 8.069.247 inhabitants based on List of Fixed Voters for 2014 Legislative Election
(DaftarPemilihTetapPemiluLegislatif 2014). The amount of the sample determined as
384 based on Slovin’s principle with trust rate of 95%. Considering a dispersed
population over as wide range of area, this research adopts three sampling techniques;
(i) purposive sampling, (ii) area sampling, (iii) quota sampling, in order to achieve
sufficient number of representation rate. Whereas, descriptive statistic methode is
applied in data analysis. The outcome of the analysis showing that sociologically,
religion sameness and leverage from closest relations take great role in voters’
behaviour. Meanwhile psychologically, it is found that party system identification is
degrading,though it is inclined to vary on the level of regency/town (kabupaten/kota).
As well as in rational choices context, close relationship between the candidateand the
voter, together with candidate’s effort to approach them in direct contact effectively
influence the voters’ behaviour, including various manners of political practices the
candidates had performed. Nevertheless, it is something to appreciate that public’s
political awareness has massively grown concrete, though the existence is still
influenced by how strong the external factors penetrate. Political education has to be
done systematically by taking benefits from comprehensive and periodical study in
order to figure out most relevant and effective manners in enhancing both quantity and
quality of voters’ participation from time to time.
Keywords: election, voters’ participation
I.PENDAHULUAN
Pemilu 2014 secara prosedural
telah berlangsung sukses, meski secara
substansial masih menyisakan banyak
kritik. Kritik itu terutama disamping
diarahkan pada penyelenggaraan pemilu
yang masih saja terkendala oleh sejumlah
masalah klasik, seperti Daftar Pemilih
Tetap (DPT), pelanggaran kampanye,
dana kampanye, dan lain-lain; juga
diarahkan pada karakter partisipasi
pemilih yang dinilai belum banyak
berubah dari Pemilu ke Pemilu.
Angka partisipasi pemilih di Provinsi
Banten pada Pemilu Legislatif tahun
2014 secara kuantitatif terbilang
tinggi (70,85%), namun secara
kualitatif dikritik soal kualitasnya,
terutama kecenderungan partisipasi
yang bersifat mobilitatif sebagai
manifestasi dari kecenderungan sikap
pragmatisme pemilih yang disebut
makin meluas, ketimbang partisipasi
yang muncul karena otonomi
kesadaran pemilih. Di sisi lain, meski
tingkat partisipasi pemilih tidak
berkaitan erat dengan soal keabsahan
sebuah pemilihan, namun legitimasi
yang rendah karena rendahnya
partisipasi pemilih akan menjadi
persoalan politik yang serius dalam
sebuah negara demokrasi. Karenanya,
kajian tentang partisipasi pemilih,
faktor yang mempengaruhinya, serta
upaya untuk meningkatkannya akan
menjadi bagian dinamik yang penting
untuk terus dipelajari mengingat
karakteristik daerah dan
masyarakatnya yang berbeda-beda.
Dengan demikian upaya
pendidikan politik, dan pendidikan
pemilih dapat dilakukan dengan
pendekatan yang lebih kontekstual
karena memperhatikan karakteristik
dan kekhasan daerah dan
masyarakatnya. Kontekstualitas inilah
yang pada akhirnya akan menentukan
efektivitas pendidikan pemilih dalam
setiap Pemilu. Kontekstualitas
pendekatan dan cara juga penting
untuk dilakukan mengingat bahwa
tidak ada satu pun obat mujarab yang
dapat diterapkan secara sama bagi
seluruh daerah di Indonesia, sehingga
kajian yang dilakukan guna
mengevaluasi dinamika perilaku
pemilih dari kacamata daerah itu
sendiri menjadi bagian penting guna
menemukan treatment yang lebih
efektif dalam meningkatkan
partisipasi pemilih di setiap daerah.
Dengan memperhatikan kondisi
yang terjadi di lapangan maka tulisan
ini akan menjawab apa faktor-faktor
utama yang menyebabkan tinggi atau
rendahnya partisipasi pemilih di
Provinsi Banten pada pemilihan
umum calon anggota legislatif pada
tahun 2014. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui faktor-faktor
utama yang menyebabkan tinggi atau
rendahnya partisipasi pemilih di
Provinsi Banten padapemilihan umum
calon anggota legislatif pada tahun
2014.
1.1.KERANGKA TEORI
1.1.1.Perspektif Sosiologis
Faktor sosiologis memainkan
peran yang penting dalam
mempengaruhi perilaku
pemilih.Kajian yang dilakukan oleh
aliran Columbia yaitu Berelson,
Lazarsfeld, dan scholars melihat
perilaku pemilih dari factor
sosiologis. Menandaskan bahwa
perilaku mayoritas pemilih
dipengaruhi oleh ikatan dan pengaruh
sosial seperti status sosio ekonomi,
agama, dan tempat di mana mereka
tinggal. Sebaliknya keputusan
tersebut banyak dipengaruhi oleh
kelompok sosial (Lazarsfeld et al.
1968:69). Maknanya, pemilih akan
memilih partai atau pemimpin bukan
karena isu yang diketengahkan dalam
kampanye pemilihan umum, tetapi
disebabkan oleh pengaruh ataupun
tekanan lingkungan. Menurut
Lazarsfeld et al. (1968:148):
―People vote not only with their
social group, but also for it.‖
1.1.2.Perspektif Psikologis
Campbell et al. (1960:122)
menggambarkan partisanship
sebagai: ―A perceptual filter through
which the voters appreciate that
which is unfavorable to the
orientation of his party and ignore or
devalue that which is unfavorable.‖
Ini berarti pemilih
mengidentifikasikan diri mereka
dengan partai politik tertentu dan hal
ini mempengaruhi sikap dan perilaku
mereka. . Konsep ini adalah sebuah
metafora yang digunakan untuk
mengaitkan faktor-faktor internal
(sosio ekonomi, nilai, tingkah laku,
dan psikologikal), eksternal (isu,
calon, kampanye pemilihan umum,
situasi politik dan ekonomi, serta
pengaruh masyarakat) dengan
partisanship itu sendiri.
1.1.3.Perspektif Pilihan Rasional
Budge & Farlie (1977:103)
menerangkan dua aktor penting dalam
pendekatan pilihan rasional: pertama,
partai politik yang menguasai
pemerintahan melalui kemenangan
dalam pemilihan umum. Kedua,
pemilih yang ingin memenuhi
kepentingan politik dan ekonomi
mereka. Proses pemilihan dilihat
sebagai “lembaga pertukaran” antara
pemilih dan partai politik untuk saling
mencapai keuntungan masing-masing.
Di satu sisi, pemilih menggunakan
suaranya untuk memaksimumkan
manfaat yang ingin diperolehnya,
sedangkan di sisi partai politik, mereka
akan memformulasi kebijakan dan
program propemilih agar meraih suara
dalam pemilihan umum. Argumen
utama yang mendasari teori pilihan
rasional adalah konsep (pertukaran
yang) rasional (rasionalitas).
1.1.4. Perspektif Kesadaran Politik
Pendekatan yang dilihat oleh Blais
(2000:139) mengkritik pendekatan teori
pilihan rasional karena tidak berhasil
menjelaskan perilaku pemilih secara
utuh dan real. Ini karena kebanyakan
pemilih memilih dalam pemilihan
umum bukan karena faktor biaya atau
keuntungan semata, tetapi atas dasar
kesadaran terhadap tanggungjawab
moral sebagai bagian dari masyarakat.
II. METODELOGI PENELITIAN
Penelitian ini dirancang dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif
dan mengikut Teori Slovin dengan
tingkat kepercayaan 95%.Dan untuk
menentukan responden yang akan
menjadi sampel dalam penelitian ini,
Tim Peneliti menggunakan tiga teknik
yakni (i) Pusposive sampling; (ii) area
sampling; dan (iii) quota sampling.
Purposive sampling digunakan untuk
menentukan kabupaten/kota hingga
kelurahan/desa yang memiliki
karakteristik tertentu, yaitu: (a) area
yang merepresentasi tingkat partisipasi
politik yang paling tinggi dan paling
rendah; (b) wilayah berciri perdesaan
dan perkotaan; serta (c) wilayah yang
merepresentasi daerah pemilihan
(dapil), yaitu Dapil I yang terdiri dari
Kabupaten Lebak dan Kabupaten
Pandeglang; Dapil II yaitu Kabupaten
Serang, Kota Cilegon,
dan Kota Serang; serta Dapil III yaitu
Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang,
dan Kota Tangerang Selatan.
Penelitian ini kemudian memutuskan
sampel yang dipilih yaitu:
a.Kabupaten Lebak dengan karakter
rural, partisipasi tinggi sebanyak 147
sampel.
b.Kota Cilegon dengan karakter semi
urban, partisipasi tinggi sebanyak 46
sampel.
c.Kota Tanggerang dengan katakter
urban, partisipasi rendah sebanyak 207
sampel.
Proses pengolahan dan analisis data
untuk mendapatkan hasil akhir
penelitian dalam penelitian ini dengan
menggunakan Statistic Program for
Socialscience (SPSS) versi 17.0,
melalui uji validitas terlebih dulu kemudian uji reliabilitas.
III.HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.Partisipasi Pemilih Berdasar
Kedekatan Sosiologis
Memahami perilaku pemilih di
Provinsi Banten dari kedekatan
sosiologis pada tiga locus kajian di
Kota Tangerang, Kota Cilegon, dan
Kabupaten Lebak terdapat beberapa
hal menarik.Bisa kita lihat dari
diagram dibawah yang menjelaskan 8
faktor yang berpengaruh untuk
menentukan pilihan responden
terhadap memilih caleg, hanya faktor
keluarga yang cenderung memiliki
kesimpulan yang sama dengan
kesimpulan pada level Provinsi,
khususnya di Kota Cilegon. Secara
khusus, temuan survei di Cilegon
menunjukkan gejala pengaruh yang
cenderung rendah (di bawah rerata
Provinsi) pada ketujuh faktor lainnya
Diagram Faktor Paling Berpengaruh Dalam Menentukan Pilihan
Sosialisasi
2.00
Med. Cetak 1.75
Radio 1.25
2.25
TV 1.88
Aparat 2.25
Tokoh/Kyai 2.13
Teman
2.88
Keluarga
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00
Sumber: Data Penelitian (2015)
Keterangan: (1) Sangat Tdk Berpengaruh; (2) Tdk Berpengaruh; (3) Berpengaruh; (4) Sangat Berpengaruh
Pertanyaan lainnya dalam memahami
perilaku pemilih dalam berpartisipasi
politik dengan menggunakan
pendekatan sosiologis adalah: kalangan
manakah calon yang Anda pilih? Atau
dalam istilah lain, latar belakang seperti
apakah calon yang responden pilih pada
Pemilu 2014 lalu? Mayoritas responden
menjawab politisi (44% atau setara
dengan 179 responden), disusul dengan
pengusaha (16%, 64 responden),
pendidik (10%, 41 responden).Dari hal
ini masyarakat tetap masih
menginginkan caleg berasal dari politisi
bukan dari kalangan lainnya.
3.2.Partisipasi Pemilih Berdasarkan
Kedekatan Psikologis
Pergeseran pemilih dalam era reformasi
ini menjadikan antara orang tua dan anak
cenderung memiliki pilihan yang berbeda.
Ini disebabkan terjadinya pergeseran dari
nuansa non-demokrasi di era Orde Baru
ke arah demokrasi di masa Reformasi
sekarang ini. Mengapa demikian? Pada
era Orde Baru, setiap PNS dan keluarga
besar TNI/Polri diwajibkan untuk
mendukung Golongan Karya (Golkar).
Jika mereka menentang, maka hukuman
sudah tersedia di depan muka.„ Oleh
sebab itu, banyak orangtua yang meminta
bahkan memaksa anaknya untuk memilih
Golkar aibatnya pilihan orangtua
berimbas sama dengan pilihan anak-
anaknya.
Tetapi pada era Reformasi sekarang
ini pihan keluarga dekat ternyata kurang
berpengaruh terhadap pilihan anak untuk
memilig caleg. Hal ini di sebabkan
kondisi saat ini berbeda dengan masa
Orde Baru. Tidak lagi wujud paksaan
sehingga tidak ada perasaan wajib bagi
orangtua mengarahkan (melalui
sosialisasi) ataupun menyuruh (dengan
paksaan) anak-anaknya untuk memlih
pilihan yang sama dengan dirinya. Karena
itulah, sebagian besar respondenasil
penelitian menunjukan para anak
memiliki pilihan yang berbeda dengan
keluarga/orangtuanya.
Kondisi ini juga menunjukkan
bahwa sosialisasi orangtua atau
keluarga dapat dikatakan kurang
berjalan. Kalaupun proses sosialisasi itu
ada, tetapi kurang efektif. Logika
sederhananya adalah orangtua akan
mensosialisasikan partai atau calon
yang akan dipilihnya secara positif,
maka melalui sosialisasi yang terus-
menerus diharapkan pilihan anak akan
mengarah pada pilihan yang sama
dengan dirinya. Namun temuan
lapangan menunjukkan 60% pemilih
memilih pilihan yang berbeda dengan
orangtuanya. Situasi ini menunjukkan
dua hal. Pertama, keluarga kurang
berhasil mensosialisasikan partai atau
calon yang kurang bisa mendekati
subjek keluarga sebagai basis
kampanye.
3.3. Partisipasi Pemilih Berdasar Pilihan Rasional
100 6
90 75 78 61 173
80 101 70
60 309 335 332
348 404 196 50
40
30 20
10
0
kedekatan dgn pengaruh masy tkh masy/tkh ormas intimidasi pndekatan calon
calon agama
diatas menunjukkan gambaran yang
positif dalam memahami pendekatan
rasional. Dalam arti kata lain, tokoh
agama atau tokoh masyarakat tidak
mengintervensi pilihan pemilih. Dan
yang sangat menggembirakan, bahwa
keanggotaan responden pada organisasi
tertentu tidak membuatnya ‗memilih
secara buta„ partai yang dekat dengan
organisasinya (lihat D diwawancara,
348 orang di antaranya atau sekitar
85% menyatakan bahwa pilihan
responden pada Pemilu 2014 tidak
dipengaruhi oleh keikutsertaan
mereka dalam organisasi tertentu
seperti Muhammadiyah, NU, Karang
Taruna, dan lainnya. Sisanya, 61
orang atau setara dengan 15%
menyatakan ya.
Penting dikemukakan di sini
bahwa pilihan rasional juga terkait
dengan pengetahuan responden
terhadap calon yang dipilihnya.
Pengetahuan tersebut bisa terbangun
ketika ada komunikasi antara calon
dan pemilih. Salah satu wujud
keinginan calon untuk berinteraksi
dengan pemilihnya adalah dengan
cara mengunjungi daerah, kompleks
atau kawasan pemilih. Berhubungkait
dengan hal tersebut, maka pertanyaan
nomor 37 yang berusaha mengetahui
seberapa sering atau kerap calon
mengnjungi daerah, kompleks, atau
kawan tempat reponden tinggal.
Secara umum, calon pernah ke
daerah, kompleks, kawasan tempat
tinggal responden. Total persentase
pernahnya„ calon ke daerah,
kompleks, kawasan tempat tinggal
responden adalah 52% (Diagram
4.25). Secara khusus, 48% responden
atau sekitar 196 responden
mengatakan calon Kadang-kadang„
hingga sama sekali tidak pernah ke
daerah,
kompleks, kawasan tempat tinggal
responden.
Pada tingkat individual,
pernahnya calon baik dalam kadar
“kadang-kadang,„ Sering,„ atau
bahkan Sangat Intens„ ke daerah,
kompleks, kawasan tempat tinggal
responden sebetulnya tidak
memberikan makna apa-apa dalam
pendekatan rasional. Ia akan
bermakna rasional apabila ketika
calon mengunjungi daerah,
kompleks, kawasan tempat tinggal
pemilih mereka menyampaikan visi,
misi, dan program yang akan
dilaksanakan oleh calon tersebut
ketika menjabat
Pilihan responden terhadap
perilaku politik uang masih tinggi.
Dari 410 responden, terdapat 314
responden (setara dengan 55%)
yang memilih calon karena
pemberian mereka dalam beragam
bentuk mulai dari memberi dalam
bentuk bantuan sosial (39%),
3.4.Partisipasi Pemilih Berdasarkan
Kesadaran Politik
Pendalaman akan kesadaran
politik masyarakat Banten juga
menarik untuk dikaji. Apa alasan
responden memilih partai politik pada
pemilihan 2014 lalu sejalan dengan
jawaban mereka terdahulu, bahwa
atas kesadaran sendirilah mereka
memilih partai politik. Kesadaran
sendiri pemilih tersebut mencapai
angka 42%, yang kemudian disusul
oleh ajakan orang-orang terdekatnya
yaitu: teman (14%), dan ajakan
keluarga (13%). Sedangkan ajakan
atau pengaruh aparat hanya sekitar
3%, dan ajakan tokoh masyarakat
serta ajakan tokoh agama yang
mencapai 1% masing-masingnya.
Jawaban responden pada bagian ini,
sekali lagi mempertegas, wujud
konsistensi jawaban antara satu
jawaban yang dijawab oleh responden
dengan jawaban lainnya.
kekonsistenan ini menunjukkan
tingkat kepercayaan dan validitas
jawaban responden yang tinggi, yang
dapat digunakan untuk menjustifikasi
fakta secara meyakinkan.
Jika disimpulkan, maka kesadaran
politik pemilih pada pemilihan umum
2014 menjelaskan beberapa petunjuk.
Pertama, efektivitas sosialisasi yang
dilakukan oleh KPU, partai politik,
dan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dalam rangka menyukseskan
pemilihan umum merupakan faktor
pertama yang membangkitkan
kesadaran politik pemilih. Angkanya
mencapai 55,42%. Pada urutan kedua,
terpaan informasi dari media massa
dan aktivitas sosialisasi yang
mencapai 48,87% (lihat Diagram 4.42
di bawah). Kedua, masyarakat sudah
mulai tertarik kampanye dalam
bentuk kampanye dialogis karena
melalui dialog para pemilih dapat
mengetahui calon yang akan dipilih
dan mengetahui secara mendalam
visi, misi, dan program yang
ditawarkan baik oleh partai maupun
calon yang akan dipilihnya pada
pemilihan umum.
IV.KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI
4.1.Kesimpulan
Berdasarkan paparan dan
pembahasan pada bab sebelumnya,
terdapat beberapa kesimpulan yang
dapat dirumuskan berdasarkan data /
temuan survey tersebut, yaitu:
1. Kesimpulan yang dapat diambil dari
pendekatan sosiologis ada empat,
yaitu:
a. Partisipasi pemilih pada
pemilihan umum pada tahun
2014 sangat dipengaruhi oleh
kesamaan agama dengan calon
yang akan dipilihnya;
b. Orang–orang terdekat (keluarga,
teman, dan tetangga) merupakan
sumber informasi yang paling
banyak diakses oleh pemilih dan
berpengaruh terhadap
pilihannya;
c. Keluarga, kyai/tokoh, televisi,
dan teman adalah empat faktor
paling berpengaruh dalam
menentukan pilihan; dan
d. Politisi adalah latar belakang
calon yang banyak dipilih oleh
responden.
2. Kesimpulan dalam Identifikasi
kepartaian di Provinsi Banten
pada Pemilu Legislatif 2014
menunjukkan pengaruh yang tidak
begitu kuat. Hal ini disebabkan
oleh semakin terbukanya sistem
politik di Indonesia yang juga
berpengaruh terhadap demokrasi
dan sistem politik di Provinsi
Banten.
3. Dalam konteks pendekatan
pilihan rasional, beberapa
kesimpulan tampaknya relevan
untuk diajukan, yaitu:
a. Kedekatan dengan calon
merupakan faktor utama yang
menggerakan pemilih memilih
calon yang mereka pilih. Hal ini
mungkin berkaitan dengan
kepercayaan dan hubungan
personal yang telah terbangun
antara calon dengan
konstituennya.
b. Pendekatan calon juga
merupakan faktor kedua yang
mempengaruhi pilihan pemilih.
Artinya semakin baik, intens, dan
tepat pendekatan yang dilakukan
maka semakin tinggi peluang
keberterimaan pemilih terhadap
calon tersebut;
c. Meskipun politik uang
tidak dapat dihindarkan karena
masih maraknya penawaran dan
permintaan dalam pemilihan
umum 2014 yang lalu, tetapi
modal sosial untuk membangun
pemilihan umum yang lebih
bersih (tanpa politik uang)
tampaknya bisa menjadi
kenyataan apabila peran rejim
Pemilu diperkuat dan kesadaran
politik pemilih atau publik pada
umumnya diberdayakan.
4. Kesimpulan dalam konteks
kesadaran politik sebenarnya telah
tumbuh cukup massif dan nyata,
meski eksistensinya dipengaruhi
oleh kuat lemahnya penetrasi
ragam faktor eksternal yang
menerpa pemilih.
4.2. Rekomendasi
Dengan memahami karakteristik
perilaku pemilih di atas,
pendekatan keluarga perlu
dikembangkan dalam melakukan
pendidikan politik dan pendidikan
pemilih. Hal ini dilatarbelakangi oleh
kenyataan bahwa keluarga dan
lingkungan terdekat merupakan
jendela informasi pertama yang
diakses oleh pemilih, sehingga
memiliki pengaruh yang masih cukup
nyata, khususnya dalam konteks
Provinsi Banten. Adapun pendekatan
lainnya, seperti media massa dan
tokoh-tokoh agama/masyarakat dapat
dilakukan sejauh mempertimbangkan
konverjensi dengan pendidikan politik
yang dilakukan dengan pendekatan
keluarga.Diperlukan kaderisasi yang
sistematis dan efektif bagi anggota
dan pengurus parpol agar memiliki
kapasitas memadai dalam melakukan
pendekatan politik yang edukatif dan
efektif, guna membangun iklim dan
praktik politik yang lebih sehat dan
bermartabat. Sejalan dengan itu,
penting pula dilakukan pendidikan
politik yang juga sistemik dan efektif
guna mendayagunakan modal sosial
yang masih dimiliki oleh
masyarakat.Gejala perbedaan
kecenderungan antar tiap
kabupaten/kota dapat digunakan
untuk mendalami potensi kekhasan
pada tiap wilayah tersebut, sehingga
guna mendalami diperlukan riset
lanjutan yang lebih spesifik guna
menemukan faktor-faktor mikro yang
bersifat spesifik tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Afan Gaffar. 1998. Merangsang Partisipasi
Politik Rakyat. Dalam Indria
Samego. Demitologisasi Politik
Indonesia: Mengusung Elitisme
dalam Orde Baru. Jakarta: CIDES.
Almond, G. & Verba, S. 1963. The civic
culture: political attitudes and
democracy in five nations.
Princeton, NJ: Princeton
University Press.
Barnes, S.H. & Kaase, M. 1979. Political
action: mass participation in five
Western democracies. Beverly
Hilss, CA; Sage.
Blains, A. 2000. To vote or not to vote: the
merits and limits of rational choice
theory. Pittsburg: Univeristy of
Pittburg.
Bolgherini, Silvia. 2010. Participation.
Dalam Calise, Mauro, & Lowi,
Theodore J. Hyperpolitics: An
Interactive Dictionary of Political
Science Concept. Chicago: The
University of Chicago.
Budge, I. & Farlie, D. 1977. Voting and
party competition. New York:
Wiley.
Butler, D. & Stokes, D. 1969. Political
change in Great Britain. New
York: St. Martin„s.
Campbell, A., Converse, P., Miller, W. &
Stokes, D. 1960. The American
voters. Chicago: University of
Chicago.
Downs, A. 1957. An economic theory of
democracy. New York: Harper
& Row.
Glasgow, G. & Alvarez, R.M. 2005.
Voting behavior and the
electoral context of
government formation.
Electoral Studies 24: 245-
264.
Goldberg, A. 1969. Social determinants
and rationality as bases of party
identification. American
Political Science Review 63(1):
5-25.
Green, D.P. & Shapiro, I. 1994.
Pathologies of rational choice
theory. New Haven: Yale
University Press.
Huntington, Samuel P. & Nelson, Joan.
1990. Partisipasi Politik di
Negara Berkembang. Terj.
Jakarta: Rineka Cipta.
Lazarsfeld, P.F., Berelson, B. &
Gaudet, H. 1968. The people’s
choice: how the voter makes up
his mind in a presidential
campaign. New York: Columbia
University Press.
Lipset, S.M. 1960. Political man: the
social bases of politics. New
York: Doubleday & Co.
Ramlan Surbakti. 1992. Memahami
Ilmu Politik. Jakarta:
ElexMedia.
Rokkan, S. & Lipset, S.M. 1967.
Cleavage structures, party
systems, and voters alignments:
cross national prespectives.
New York: Free Press.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian
Administrasi. Bandung:
Alfabeta.
Uhlaner, C.J. 1989. Rational turnout:
the neglected role of groups.
American Journal of Political
Science 33: 390-414.
Verba, S., Scholzman, K.L. & Brady,
H.E. 1995. Beyond SES: a
resources model of political
participation. American Political
Science Review 89(2): 271-294.
Wright, J.G. 1977. Contextual models
of electoral behavior: the
Southern Wallace vote.
American Political Science
Review 71(3): 497-508.
KETERSEDIAAN PAKAN TERNAK DI SENTRA AGRIBISNIS
TERNAK DOMBA TERPADU JUHUT, KABUPATEN PANDEGLANG
ANIMAL FEED AVAILABILITY IN CENTER OF INTEGRATED AGRIBUSINESS
CATTLE SHEEP JUHUT, DISTRICT PANDEGLANG
Yunia Rahayuningsih
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Banten
Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten, Jl. Raya Palima – Pakupatan, Curug
Serang-Banten
Email: [email protected]
ABSTRAK
Pengembangan usaha peternakan tidak dapat lepas dari masalah ketersediaan makanan
ternak mengingat hambatan utama peternak untuk meningkatkan produksi ternak adalah
keterbatasan pakan. Peningkatan produksi dan produktivitas ternak sangat bergantung
pada ketersediaan pakan ternak. Oleh karena itu, potensi wilayah dalam menyediakan
hijauan pakan ternak dan kebutuhan untuk mencukupi pakan ternak perlu diketahui agar
dapat diusahakan pemanfaatan sumber daya hijauan secara optimal dengan
memperhatikan kesinambungan penyediaan sepanjang tahun. Metode yang digunakan
yaitu deskriptif kualitatif, melalui pendekatan agroekosistem, wilayah, dan kelembagaan.
Penelitian dilakukan selama 3 bulan (Juni s/d Agustus 2015) di sentra agribisnis ternak
domba terpadu Kelurahan Juhut Kabupaten Pandeglang. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara kuantitas, hijauan pakan ternak di Kelurahan Juhut surplus, dimana
produksi pada musim hujan maupun kemarau masih sangat banyak. Jenis pakan yang
dibudidayakan (tanaman pakan ternak) seluas ±7 Ha meliputi rumput gajah taiwan dan
rumput gajah odot. Kemudian, pengembangan usaha ternak domba di Kelurahan Juhut
masih cukup besar dilihat dari ketersediaan lahan dan produksi hijauan pakan ternak.
Potensi lahan hijauan pakan ternak di Kelurahan Juhut seluas 113,7 Ha. Populasi ternak
domba di Kelurahan Juhut sebanyak 409 ekor (dewasa 262 ekor, dara 59 ekor, anak 88
ekor). Dengan potensi hijauan pakan ternak 1.883,4 ton/bulan maka dapat menampung
ternak domba 28.807 ekor.
Kata Kunci : Ketersediaan, Pakan Ternak, Domba, Juhut
ABSTRACT
Farm business development can not be separated from the issue of availability of fodder
as the main obstacle to increasing the production of livestock farmers is the lack of feed.
Increased production and productivity of livestock is highly dependent on the availability
of fodder. Therefore, the potential of the region in providing forage and the need for
adequate fodder needs to be known to be cultivated forage utilization of resources
optimally by taking into account the sustainability of supply throughout the year. The
method used is descriptive qualitative, through agro-ecosystem approach, regions and
institutions. The study was conducted for 3 months (June to August 2015) in the center of
integrated agribusiness sheep of the Juhut village, Pandeglang. The results showed that
in quantity, forage in the juhut village that is surplus, where production in dry or wet
season is still very much. Cultivated type of feed (fodder) of ± 7 Ha include elephant grass
and bulrush odot. Then, the business development in the village sheep juhut still pretty
great views of land availability and forage production. Potential forage land in the
village juhut an area of 113.7 hectares. Sheep population in Juhut as many as 409
individuals (adults : 262, mature : 59, child : 88). With a potential forage 1883.4 tons /
month, it can accommodate 28.807 head of sheep.
Keywords: Availability, Feed, Sheep, Juhut
I. PENDAHULUAN Kelurahan Juhut merupakan salah satu
wilayah di Kecamatan Karang Tanjung,
Kabupaten Pandeglang yang dikenal
sebagai “Kampung Ternak Domba
Terpadu Kabupaten Pandeglang”. Posisi
geografis Kabupaten Pandeglang yang
cukup strategis merupakan salah satu
keunggulan dan peluang yang perlu
dimanfaatkan. Menurut Mathius (2000),
pengembangan ternak domba dapat
dilakukan dengan cara peningkatan
populasi melalui perbaikan mutu genetik
dan peningkatan produktivitas yang
disertai dengan perbaikan penyediaan dan
pola pemberian pakan yang
berkesinambungan sepanjang tahun.
Dalam pengembangan ternak domba
dan kambing, salah satu faktor penentu
keberhasilan adalah ketersediaan pakan.
Pakan digunakan untuk hidup, produksi
(agar dapat menjadi besar dan gemuk serta
menghasilkan susu), dan berproduksi
(kawin, bunting, beranak dan menyusui).
Kebutuhan makanan sangat bervariasi dan
tergantung pada status fisiologis ternak
(dewasa, bunting, menyusui, anak lepas
sapih), namun secara umum sekitar 10 %
dari bobot badan (Rukmana, 2005).
Pakan dapat digolongkan ke dalam
sumber energi, protein, dan serat kasar.
Hijauan Pakan Ternak (HPT) merupakan
sumber serat kasar yang utama. Sebagian
besar HPT yang diberikan kepada ternak
domba dan kambing adalah rumput alam
yang berasal dari padang pengembalaan,
pematang sawah, pinggir jalan, pinggir
hutan, saluran irigasi dan lahan
perkebunan. Hijauan pakan ternak lainnya
adalah leguminosa, selain pakan ternak
juga cocok digunakan sebagai tanaman
konservasi tanah, tanaman penguat teras di
lahan-lahan miring, dan tanaman reklamasi
tanah untuk lahan-lahan yang telah rusak
(Prawiradiputra et all, 2006).
Pada usaha peternakan
domba/kambing, kepadatan populasi
berpengaruh terhadap keberlanjutan
pasokan hijauan pakan atau luas lahan
pertanian juga berpengaruh terhadap
sistem produksi hijauan pakan. Secara
umum besarnya penghitungan kebutuhan
hijauan pakan didasarkan pada bobot segar
atau bahan kering, kemudian dibandingkan
dengan potensi hijauan yang tersedia
selama satu tahun, sehingga diketahui
suatu daerah tersebut surplus atau defisit
hijauan.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
perlu dilakukan penelitian yang bertujuan
untuk: (1) Mengidentifikasi ketersediaan
hijauan pakan ternak (HPT) berupa rumput
alam dan leguminosa di Kelurahan Juhut,
Kecamatan Karang Tanjung, Kabupaten
Pandeglang dalam mendukung
pengembangan usaha ternak
domba/kambing, (2) Mengidenfikasi
tanaman pakan ternak (TPT) yang
diusahakan petani/peternak di Kelurahan
Juhut, Kecamatan Karang Tanjung dalam
penyediaan pakan domba/kambing, (3)
Mengkaji potensi produksi hijauan pakan
ternak (HPT) serta kaitannya dengan daya
tampung populasi ternak domba/kambing
di Kelurahan Juhut, (4) Menyusun
rekomendasi kebijakan terkait
pengembangan usaha ternak
domba/kambing secara berkelanjutan
berdasarkan potensi lahan dan
ketersediaan hijauan pakan ternak di
Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang
Tanjung.
1.1. Pakan Ternak
Hijauan pakan ternak atau HPT adalah
semua pakan sumber serat kasar yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan khususnya
bagian yang berwarna hijau
(Prawiradiputra et all, 2006). Hasil
inventarisasi hijauan makanan ternak yang
dilakukan Bambang Kushartono dan Nani
Iriani (2004), jenis hijauan makanan dapat
dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu
jenis rumput, jenis leguminosa, jenis
hijauan lain, dan jenis limbah pertanian.
1.1.1. Jenis Rumput Rumput merupakan makanan utama
bagi ternak ruminansia. Jenis rumput yang
biasa diberikan berupa rumput lapangan
terdiri dari rumput pahitan, rumput
kawatan, rumput lamuran, babadotan dan
jajahean. Kandungan protein rumput
lapangan sangat rendah 6-8%. Guna
menghasilkan pencapaian bobot badan
ternak yang optimal dianjurkan untuk
memberikan hijauan makanan ternak
berasal dari jenis rumput unggul. Beberapa
jenis rumput unggul dapat menjadi
alternatif pilihan yaitu rumput potongan
dan rumput gembala. Rumput potongan
terdiri dari rumput raja (Pennisetum
purporepoides), rumput gajah (Pennisetum
purpureum), rumput Australia (Paspalum
dilatatum), rumput hamil (Panicum
maximum) dan rumput setaria (Setaria
splendida).
1.1.2. Jenis Leguminosa Daun-daun tanaman leguminosa dapat
dimanfaatkan sebagai alternatif pilihan
hijauan makanan ternak. Beberapa jenis
leguminosa yang dapat dimanfaatkan
sebagai hijauan makanan ternak di
antaranya gamal (Gliricidia sepium),
lamtoro (Leucena leucephala) kaliandra
(Calliandra calothysus) dan turi (Sesbania
glandiflora). Leguminosa merupakan jenis
hijauan makanan ternak yang mengandung
kadar protein paling tinggi mencapai 22%.
1.1.3. Hijauan lain yang dapat
dimanfaatkan sebagai pakan
ternak Makin berkurangnya lahan pertanian
dan sulitnya mendapatkan hijauan pakan
ternak khususnya rumput dan leguminosa
pada musim kemarau perlu dilakukan
antisipasi dengan mengajak petani untuk
mau melakukan diversifikasi hijauan
pakan ternak pada ternak ruminansia. Di
sekitar lingkungan kehidupan petani ternak
di perdesaan banyak ditemukan tanaman
yang dapat dimanfaatkan sebagai hijauan
makanan ternak pengganti rumput dan
leguminosa. Beberapa jenis tanaman yang
dapat dimanfaatkan sebagai hijauan
makanan ternak di antaranya daun nangka
(Artocarpus integra), daun dan limbah
pisang (Musa sapientum), daun bambu
(Bambusa vulgaris), daun umbi ketela
pohon (Manihot utilisima), daun waru
(Hibiscus tiliaccus), daun umbi ubi jalar
(Ipomea batatas poir), daun bunga sepatu
(Hibiscus rosa sinensis), daun
mangga (Mangifera indica), daun jambu
air (Eugenia aquea), daun pepaya (Carica
papaya) dan daun asem (Tamarindus
indica). Nilai gizi hijauan makanan ternak
sangat bervariasi antara 3% - 6%.
1.1.4. Limbah Pertanian Ketersediaan hijauan makanan ternak
di musim kemarau seringkali mengalami
kendala kesulitan untuk mendapatkan
rumput dan leguminosa sebagai makanan
utama ternak ruminansia. Di sekitar
kehidupan petani ternak di perdesaan
banyak ditemukan limbah pertanian yang
dapat dimanfaatkan sebagai pengganti
rumput dan leguminosa. Limbah pertanian
merupakan hasil ikutan dari pertanian yang
telah dipanen. Di beberapa daerah limbah
pertanian sudah umum dimanfaatkan
petani ternak sebagai hijauan makanan
ternak yang berguna untuk kelangsungan
kehidupan ternak. Beragam jenis limbah
pertanian dapat dimanfaatkan untuk
hijauan makanan ternak yaitu jerami
padi (Oryza sativa), jerami jagung (Zea
mays), jerami kacang tanah (Arachis
hypogae), jerami kedelai (Glycine max)
dan pucuk tebu (Saccharum officanarum).
1.2. Pengelolaan Pakan Ternak
Dalam usaha budidaya ternak secara
intensif, pakan merupakan faktor penting
dan menghabiskan biaya produksi paling
tinggi yaitu sekitar 70%. Ketersediaan
bahan pakan hijauan untuk ternak
ruminansia di daerah tropis seperti
Indonesia sangat fluktuatif tergantung
pada musim. Pada musim hujan, hijauan
pakan sangat melimpah dan pada musim
kemarau sangat terbatas dan bahkan
hampir tidak tersedia akibat panjangnya
musim kemarau (Prawiradiputra, 2003).
Ketersediaan hijauan pakan di suatu
wilayah dapat diketahui dengan cara
membuat neraca hijauan pakan yang
membandingkan antara produksi dengan
kebutuhan hijauan selama satu tahun
(Manurung, 1996).
Secara umum, pakan ternak
ruminansia meliputi hijauan rumput-
rumputan (antara lain : rumput gajah,
rumput benggala, rumput setaria, dan lain-
lain) sebagai sumber energi, hijauan
leguminose (antara lain : gamal, kaliandra,
turi, lablab) sebagai sumber protein dan
konsentrat sebagai tambahan. Ada
beberapa keuntungan dari pengunaan
hijauan leguminose pohon sebagai sumber
protein yaitu selain menyediakan protein
yang cukup tinggi, murah, mudah didapat
dan tersedia sepanjang tahun dan juga
mampu beradaptasi dengan baik pada
berbagai jenis lahan (Bahar et all, 1999).
Selain rumput dan leguminosa, ada bagian
lain dari tanaman yang bisa diberikan
kepada ternak, misalnya daun nangka,
daun pisang, pucuk tebu, dan lain-lain.
Selanjutnya, sisa atau limbah tanaman
pangan yang juga sering dimanfaatkan
sebagai pakan adalah daun dan batang
jagung, daun ubi jalar, serta jerami padi,
kedelai dan kacang tanah (Mathius et all,
2006).
Pakan ternak dapat diberikan dalam
petak keadaan segar dan dalam bentuk
olahan. Hijauan pakan ternak dapat diolah
untuk diawetkan dalam bentuk silase, hay
dan standing hay (Prawiradiputra et all,
2006). Jumlah kebutuhan bahan makanan
bervariasi, tergantung pada status
fisiologis ternak. Perhitungan kebutuhan
hijauan biasanya berdasarkan pada bobot
segar atau bahan kering. Kebutuhan pakan
harian ternak ruminansia berdasarkan
bahan segar berkisar 10-20 % dari berat
badan (Munier et all, 2004).
II. METODOLOGI
Penelitian ketersediaan hijauan pakan
ternak domba/kambing dilakukan di
Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang
Tanjung – Kabupaten Pandeglang, selama
3 bulan (Juni s/d Agustus 2015). Penelitian
dilakukan melalui pendekatan
agroekosistem, wilayah, dan kelembagaan.
Adapun bahan dan peralatan yang
digunakan untuk penelitian meliputi : peta
wilayah, gps, kompas, meteran,
timbangan, karung plastik, tali, dan alat
tulis kantor. Pelaksanaan penelitian pada
tahap awal yaitu dilakukan pengumpulan
data mengenai monografi wilayah/lokasi.
Selanjutnya dilakukan identifikasi usaha
tani eksisting melalui pengamatan
lapangan. Khusus eksisting ternak
domba/kambing, pendataan dilakukan
pada setiap peternak/kelompok.
Kegiatan selanjutnya yang dilakukan
adalah survei potensi ketersediaan hijauan
pakan ternak (HPT) yang meliputi jenis
dan potensi rumput alam, jenis dan potensi
leguminosa, serta luas dan produksi
tanaman pakan ternak. Potensi hijauan
pakan ternak berupa rumput alam
dilakukan dengan cara transek kuadratik
berukuran 2,5 m x 2,5 m pada beberapa
lokasi, lalu diarit/potong dan ditimbang.
Potensi hijauan pakan ternak berupa
leguminosa pohon juga dilakukan dengan
cara transek kuadratik berukuran 10 m x
10 m pada beberapa lokasi, lalu dipotong
dan ditimbang. Disamping mengkaji
ketersediaan hijauan pakan ternak, juga
dilakukan pengamatan terhadap jenis-jenis
hijauan pakan yang diberikan
petani/peternak kepada domba/kambing
peliharaan. Data-data yang dikumpulkan
melalui studi literatur, serta pengamatan
dan survey lapangan akan ditabulasi dalam
bentuk tabel, dan selanjutnya dianalisis
secara deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Gambaran Umum Lokasi
Kelurahan Juhut merupakan salah satu
wilayah di Kecamatan Karang Tanjung,
Kabupaten Pandeglang dengan luas
wilayah 387,86 ha. Berada pada ketinggian
250-700 m dpl, suhu udara berkisar 25-
35oC dan curah hujan 2.000 mm/tahun.
Balai Penelitian Ternak (1989)
membedakan Kelurahan Juhut berdasarkan
ketinggian menjadi tiga bagian, yaitu :
wilayah bawah dengan ketinggian (250-
300 m dpl) mencakup Kampung Juhut,
Mauk, Kadulimus, Kadusalak, dan
Dalmaki; Bagian Tengah (300-400 m dpl)
hanya Kp. Canggoang; dan Bagian Atas
(400-700 m dpl) meliputi Kp. Cinyurup,
Sanin, Ciodeng, Balangendong, &
Kadukupa. Wilayah bagian atas berbatasan
langsung dengan kawasan hutan lindung
Gunung Karang.
Berdasarkan potensi sumberdaya
lahan dan ketersediaan hijauan pakan serta
prospek pengembangan ternak domba
yang cukup besar dalam peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan petani dan
masyarakat sekitarnya, maka Kampung
Cinyurup – Kelurahan Karang Tanjung
ditetapkan sebagai lokasi pengembangan
domba di Kabupaten Pandeglang (SK
Bupati Pandeglang No. 524.2/Kep.23-
Huk/2010, tanggal 22 Januari 2010), yang
dikenal sebagai “Kampung Ternak Domba
Terpadu Kabupaten Pandeglang”.
Berdasarkan penggunaannya, lahan di
Kelurahan Juhut terbagi menjadi beberapa
bagian seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Penggunaan Lahan di Kelurahan Juhut
No. Jenis Penggunaan Lahan Luas Lahan (ha) Persentase (%)
1.
2.
3.
4.
Ladang/ huma
Sawah
Pemukiman
Lainnya
294,41
30,00
55,95
7,00
76,00
7,74
14,44
1,81
Jumlah 387,36 100,00
3.2. Pendataan Populasi Ternak Domba
Hasil survey populasi terhadap ternak
domba yang terdapat di Kelurahan Juhut,
diketahui diketahui bahwa populasi ternak
domba/kambing di Kelurahan Juhut
sampai periode Juli 2015 yaitu sebanyak
409 ekor dengan jumlah betina sebanyak
275 ekor dan jumlah jantan sebanyak 134
ekor, dengan rincian pada Tabel 2.
Berdasarkan hasil wawancara, apabila
dibandingkan dengan jumlah populasi
pada tahun 2010 sebanyak 807 ekor, maka
telah terjadi penurunan populasi domba
sebanyak 49,32%. Hal ini dapat terjadi
yang salah satu faktor penyebabnya yaitu
permintaan domba/daging domba yang
lebih tinggi dibandingkan dengan
kemampuan supply nya sehingga terjadi
pengurasan populasi domba. Namun
demikian, pada tahun 2015 telah terjadi
penambahan populasi domba sebanyak
13,93% dari 359 ekor menjadi 409 ekor.
Sebagai langkah antisipatif terhadap
permasalahan tersebut, maka perlu
dilakukan pendataan populasi secara rutin
setiap 6 bulan untuk memantau jumlah riil
populasi untuk menentukan kebijakan
lokal pengeluaran ternak domba dari
wilayah tersebut. Selain itu diperlukan
pemahaman dan kerjasama yang baik
dengan peternak, pelaku pasar dan
pemerintah terhadap pentingnya
pengembangan ternak domba di
wilayahnya sesuai dengan potensinya
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
akan produk ternak tersebut.
Tabel 2. Keragaan Populasi Ternak Domba Setiap Poktan di Juhut Tahun 2015
Periode Poktan Peternak
(orang)
Induk
(ekor)
Dara
(ekor)
Anak
(ekor) Jumlah
(ekor) ♀ ♂ ♀ ♂ ♀ ♂
Januari
2015 Taruna Mandiri 3 9 3 4 3 1 3 23
Cinyurup Mandiri 16 88 31 1 15 27 25 187
Karya Mandiri I 14 29 5 3 0 6 1 44
Karya Mandiri II 20 55 25 4 3 11 7 105
Total 53 181 64 12 21 45 36 359
Juli
2015 Taruna Mandiri 7 10 5 4 4 4 0 27
Cinyurup Mandiri 18 99 29 3 21 26 27 205
Karya Mandiri I 20 73 21 7 9 12 9 131
Karya Mandiri II 21 22 3 6 5 9 1 46
Total 66 204 58 20 39 51 37 409
3.3. Ketersediaan Hijauan Pakan
Ternak (HPT)
Secara umum, hasil identifikasi
hijauan pakan ternak di Kelurahan Juhut,
terdapat 5 (lima) jenis hijauan pakan yang
diberikan pada ternak domba yaitu dari
kelompok rumput (jampang beureum/hejo,
aawian, sawuheun, krosak, rumput gajah,
setaria), leguminose (jengjeng/sengon,
gamal/cebreng, dan kaliandra), pangan
(nangka, alpukat, ubi jalar, jagung, dan ubi
kayu), pangan/legum (buncis dan kacang
tanah), dan kayu (sobsi/mani’i, nangsi,
mindi, mindi gede, beunying, gedebang,
camun, kacapi tuheur, kacapi monyet,
kondang, dadap, ki tongo, hareunga,
kareumbi, amis mata, leles, areuy bulu,
saruni, dan ceuhil anjing).
Pemberian jenis hijauan pakan ternak
yang dilakukan oleh masing-masing
peternak di Kelurahan Juhut hampir
beragam. Untuk mengetahui jenis hijauan
yang diberikan, maka dilakukan
pengambilan sampel pakan di kandang
secara merata dan memilah jenis hijauan
yang diberikan. Pada tabel 3 dapat dilihat
jenis-jenis hijauan yang biasa diberikan
pada ternak di kandang, terlihat bahwa
komposisi pemberian hijauan pakan ternak
sudah baik dimana pemberian pakan
sangat beragam. Namun demikian, jenis
hijauan yang paling banyak diberikan yaitu
jenis rumput sebanyak 72,6% yang berasal
dari padang pengembalaan, pematang
sawah, pinggir jalan, pinggir hutan,
saluran irigasi, lahan pembudidayaan, dan
lahan perkebunan. Hal ini memperlihatkan
bahwa pemberian pakan ternak masih
belum ideal atau belum sesuai dengan
kebutuhan gizi berdasarkan kebutuhan
fisiologis pertumbuhan ternak domba.
Selain rumput alam, hijauan pakan ternak
lainnya adalah leguminosa.
Tabel 3. Komposisi Pemberian Hijauan Pakan Ternak di Kandang
No Jenis HPT Komposisi Pemberian (%)
Juni Juli Agustus Rataan
1
2
3
4
5
6
7
Rumput lokal/alam
Rumput gajah Taiwan
Rumput gajah odot
Leguminose
Tanaman herba
Daun-daunan
Limbah pertanian
56,6
3,6
7,8
6,5
7,5
15,5
2,5
55,7
2,8
8,5
3,2
8,0
18,2
3,6
51,6
2,5
10,6
2,5
9,5
20,5
2,8
54,6
9,0
9,0
4,1
8,3
18,1
2,9
Hijauan pakan yang diberikan pada
ternak didapatkan peternak dengan cara
“potong angkut”. Metoda ”potong-angkut‟
sangat umum dilakukan didaerah dengan
ketersediaan lahan pengembalaan yang
terbatas ataupun pada pola usaha yang
intensif. Ternak domba/kambing di
Kelurahan Juhut dipelihara didalam
kandang sepanjang hidupnya, sehingga
pakan sepenuhnya tergantung kepada jenis
dan jumlah hijauan yang diberikan. Pada
sistem ini ternak kambing hanya dapat
nutrisi dan melakukan seleksi terhadap
pakan secara terbatas tergantung kepada
hijauan yang diberikan.
Ketersediaan hijauan pakan biasanya
dipengaruhi oleh curah hujan di suatu
daerah. Hal ini sangat menentukan
terhadap pola tanam komoditas pertanian
yang diusahakan di Juhut. Berdasarkan
curah hujan tahunan yang terjadi, ternyata
hampir semua jenis tanaman sayuran dapat
diusahakan di daerah Juhut. Namun
demikian, untuk tanaman jagung, ubi jalar
dan kacang tanah ditanam musim kering.
Dengan demikian terlihat bahwa
ketersediaan hijauan pakan dari sisa hasil
tanaman pangan dapat tersedia sepanjang
tahun. Namun, ketersediaan hijauan
leguminosa dari tanaman pangan (kacang
tanah) masih sedikit dan ditanami pada
areal yang tidak luas sehingga pemenuhan
protein secara kualitatif harus
diperhatikan.
Salah satu aspek yang dapat dijadikan
ukuran untuk menghitung potensi suatu
wilayah bagi pengembangan ternak adalah
ketersediaan sumber pakan ternak. Secara
kuantitas, sumber hijauan pakan ternak di
Kelurahan Juhut sangat berlimpah, dimana
produksi pada musim hujan maupun
kemarau masih sangat banyak. Untuk
mengetahui seberapa besar ketersediaan
hijauan pakan ternak, penghitungan dapat
dilakukan berdasarkan luasan lahan yang
memiliki potensi sebagai penyedia sumber
pakan. Berdasarkan pengamatan, sumber
pakan ternak domba di Kampung
Cinyurup dan sekitarnya sebagian besar
berasal dari hijauan yang ada di sekitar
hutan, ladang dan sawah. Ketersediaan
hijauan bagi pengembangan ternak domba
di Juhut tersaji pada Tabel 4. Sedangkan
kebutuhan hijauan pakan ternak domba
yang dibutuhkan secara periodik
berdasarkan populasi yang ada tersaji pada
Tabel 5.
Tabel 4. Ketersediaan HPT Rumput dan Estimasi Produksinya di Juhut
Kondisi
Iklim Zonasi Lahan HPT
Waktu
Panen
Luas Lahan (Ha) Estimasi Produksi
(ton/bulan) Tersedia Potensi
Bulan
Basah
Ladang/Huma 7 bulan 154,0 30,8 478,6
Sawah 7 bulan 30,0 30,0 -
Budidaya 7 bulan 7,0 7,0 175,9
Perhutani 7 bulan 153,0 45,9 713,3
Bulan
Kering
Ladang/Huma 7 bulan 154,0 30,8 159,6
Sawah 4 bulan 30,0 30,0 90,0
Budidaya 7 bulan 7,0 7,0 28,3
Perhutani 7 bulan 153,0 45,9 237,7
Jumlah 12 bulan 344,0 113,7 1.883,4
Tabel 5. Kebutuhan Pakan Ternak Domba
Status
Fisiologis
Jenis
Kelamin
Populasi
(ekor)
Kebutuhan Pakan (Kg)
(kg/ekor) Harian Bulanan Tahunan
Induk Betina 204 25 510 15.300 183.600
Jantan 58 30 174 5.220 62.640
Dara Betina 20 18 36 1.080 12.960
Jantan 39 24 94 2.808 33.696
Anak Betina 51 8 41 1.224 14.688
Jantan 37 10 37 1.110 13.320
Jumlah 891,4 26.742 320.904
Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa
untuk pakan ternak sejumlah 409 ekor
tersebut dibutuhkan sebanyak 891,4
kg/hari, atau setara 26.742 kg/bulan, dan
untuk periode 1 (satu) tahun dibutuhkan
sebanyak 320.904 kg. Selanjutnya, hasil
transek kuadratik (2,5 m x 2,5 m) terhadap
potensi produksi hijauan pakan ternak
berupa rumput alam didapatkan rata-rata
produksi rumput alam pada musim
kemarau (periode Juni s/d September
2015) yaitu 5,184 ton/ha. Dari data rata-
rata produksi rumput alam dan luas lahan
berdasarkan zonasi hijauan pakan ternak
dapat diketahui potensi produksi hijauan
pakan ternak yang ada di wilayah
Kelurahan Juhut.
Berdasarkan perhitungan estimasi
produksi hijauan pakan ternak (Tabel 4)
diketahui potensi wilayah Kelurahan Juhut
dalam menyediakan hijauan pakan ternak
yaitu sebesar 1.883,4 ton/bulan.
Sedangkan kebutuhan hijauan pakan
ternak saat ini yaitu 26,74 ton/bulan maka
dapat dikatakan stok hijauan pakan
ternaknya surplus, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pengembangan usaha
ternak domba di Kelurahan Juhut tidak
bermasalah dengan ketersediaan pakan
ternak, dan sebagai upaya pengelolaan
surplus pakan dapat diterapkan teknologi
pengawetan pakan ternak yaitu dengan
pembuatan silase, hay, atau standing hay.
Pengawetan pakan merupakan suatu
kegiatan yang dapat dilakukan untuk
mengantisipasi kekurangan pakan hijauan
terutama pada musim kering/kemarau.
Pengolahan hijauan pakan biasanya
dilakukan pada saat musim hujan dimana
ketersediaan hijauan pakan melimpah.
Adapun jenis pengawetan yang dapat
dikerjakan oleh peternak yaitu dengan
membuat pakan silase, hay dan atau
standing hay.
3.4. Tanaman Pakan Ternak (TPT)
yang diusahakan peternak/petani
Selama ini sebagian besar penyediaan
hijauan pakan ternak yang diberikan
kepada ternak domba di Kelurahan Juhut
secara mandiri sudah dilakukan, baik di
lahan sendiri maupun menumpang di lahan
kehutanan negara dan perkebunan, ini
terutama setelah rumput gajah sudah
cukup memasyarakat dan menjadi salah
satu andalan pasokan pakan hijauan
ternak. Namun, sekarang ada terobosan
baru dalam penyediaan sumber hijauan
pakan bagi ternak di Kelurahan Juhut,
yaitu mulai dikembangkan hijauan pakan
ternak dari rumput odot. Jenis rumput ini
dinilai lebih mampu di cerna dan efisien
bagi berbagai hewan ruminansia. Dari
bentuk fisik, rumput odot memiliki batang
yang pendek dan lunak sehingga
memudahkan penanganan, pemeliharaan
dan pemanenan. Tinggi rumput ini sekitar
40-75 cm, sehingga tak terlalu tinggi
dibandingkan dengan rumput gajah.
Rumput odot nama aslinya rumput mott
atau dikenal juga rumput gajah kerdil atau
gajah kate
Penggunaan rumput odot sudah
digunakan oleh salah satu kelompok
peternak di Kelurahan Juhut yaitu
kelompok Juhut Mandiri untuk usaha
peternakan domba dan kambing. Cara ini
sudah diikuti pula oleh sejumlah kecil
kelompok peternak lainnya, sehingga
sedikit demi sedikit mulai meninggalkan
penggunaan rumput gajah. Berdasarkan
hasil wawancara dengan salah satu ketua
kelompok peternak, diperoleh keterangan
bahwa dengan penggunaan dan
pembudidayaan rumput odot, para
peternak akan memperoleh banyak
efisiensi. Efisiensi yang dimaksud adalah
peternak tidak perlu lagi menggunakan
mesin pencacah (Chopper) seperti yang
selama ini digunakan untuk mengolah
rumput gajah. Begitu pula saat dicerna
hewan, rumput odot gampang habis karena
tak memiliki batang yang keras. Selain itu,
bila sebelumnya aktivitas peternak dalam
mencari rumput alam seringnya memanen
hijauan berupa hijauan yang dibawa
„Carangka‟, Karung ataupun „Sundung‟ di
wilayah bawah dari Kelurahan Juhut, kini
dengan membudidayakan rumput odot
memudahkan peternak dalam memanen
karena rumput odot ukurannya pendek dan
dapat ditanam di lahan-lahan terbatas
sebagai tanaman penyelang.
Dari segi pemanenan, antara rumput
odot dengan rumput gajah tak berbeda
jauh, sekitar 40 hari, namun untuk
pembibitan dilakukan dengan panen
sekitar tiga bulan. Rumput odot
produksinya banyak karena banyaknya
anakan yang dihasilkan. Berbeda dengan
rumput gajah asal Taiwan, lebih sedikit
lebih karena besar dan beratnya batang.
Pada sisi lain, peternakan di Kelurahan
Juhut kebanyakan peternakan domba.
Rumput odot sangat disukai hewan ini.
Lain halnya dengan rumput gajah, karena
ukurannya lebih besar dianggap sulit
diberikan kepada ternak domba. Begitu
pula dengan kondisi lahan peternak di
Kelurahan Juhut yang rata-rata tak begitu
luas dan berlereng-lereng. Rumput odot
dapat ditumpangsarikan dan dapat tumbuh
bersama tanaman lain, sehingga terjadi
optimalisasi penggunaan lahan dan dapat
meningkatkan per satuan luas lahan.
3.5. Potensi Produksi Hijauan Pakan
Ternak (HPT) dan Daya Tampung
Populasi Ternak di Kelurahan
Juhut
Berdasarkan data-data hasil penelitian
dapat diketahui potensi pengembangan
ternak atau daya tampung populasi ternak
terkait dengan potensi produksi hijauan
pakan ternak (HPT) di Kelurahan Juhut
yaitu sebagaimana perhitungan di bawah
ini :
Kebutuhan HPT per ekor ternak (/bulan)
= kebutuhan pakan per bulan
Jumlah ternak
= 26,74 / 409 = 65,38 ton/ekor/bulan
Daya tampung populasi ternak
= potensi produksi HPT
kebutuhan HPT/ekor
= 1.883,4 ton/bulan
65,38 ton/ekor/bulan
= 28.807 ekor
Dari perhitungan diatas diketahui
bahwa dengan potensi produksi hijauan
pakan ternak di Kelurahan Juhut sebanyak
1.883,4 ton, dapat menampung populasi
ternak sebanyak 28.807 ekor. Dengan
demikian, secara umum ternak domba di
Kelurahan Juhut memiliki peluang yang
besar untuk dikembangkan di masyarakat
sesuai dengan kondisi lingkungan yang
ada.
3.6. Status dan Peran Kelembagaan
Wujud lembaga yang dibentuk bagi
petani atau peternak merupakan suatu
wadah yang digunakan untuk
memfasilitasi kegiatan yang dibutuhkan
oleh petani atau peternak. Bentuk lembaga
yang didirikan yaitu berupa kelompok-
kelompok tani/ternak. Peran kelembagaan
akan terlihat dari aktifitas kegiatan yang
dilakukan oleh peserta atau anggotanya
seperti rutinitas pertemuan, kegiatan teknis
dan kegiatan pendukung lainnya. Aktifitas
pertemuan yang dilakukan dapat dijadikan
sebagai indikator keberhasilan atau baik
buruknya suatu lembaga tersebut berjalan.
Berdasarkan dinamika yang ada,
aktifitas kelembagaan/ kelompok ternak di
Kelurahan Juhut mengalami stagnasi
dalam hal pengembangan kelembagaan
dan populasi ternak. Hal ini terlihat dari
penurunan jumlah populasi ternak domba
yang ada dan aktifitas/kegiatan yang
dilakukan oleh kelompok mengalami
penurunan. Oleh karena itu diperlukan
suatu kegiatan revitalisasi atau perbaikan
kelembagaan seperti penataan kembali
kelompok ternak baik secara struktur
organisasi maupun aktifitas kegiatannya,
meningkatkan kegiatan pendampingan dari
petugas pelaksana di lapangan, melakukan
perencanaan dan pemantapan pelaksanaan
kegiatan pengembangan ternak domba
yang lebih terarah.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan dan data
hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Secara kuantitas, HPT di Kelurahan
Juhut surplus, dimana produksi pada
musim hujan maupun kemarau masih
sangat banyak.
2. Jenis pakan yang dibudidayakan (TPT)
seluas ±7 Ha meliputi rumput gajah
taiwan dan rumput gajah odot.
3. Pengembangan usaha ternak domba di
Kelurahan Juhut masih cukup besar
dilihat dari ketersediaan lahan dan
produksi HPT. Potensi lahan HPT di
Kelurahan Juhut seluas 113,7 Ha.
Populasi ternak domba di Kelurahan
Juhut sebanyak 409 ekor (dewasa 262
ekor, dara 59 ekor, anak 88 ekor).
Dengan potensi HPT 1.883,4 ton/bulan
maka dapat menampung ternak domba
28.807 ekor.
4. Rekomendasi kebijakan terkait
pengembangan usaha ternak domba di
Kelurahan Juhut yaitu :
a. Berdasarkan dinamika yang ada,
aktifitas kelembagaan/kelompok
ternak di Kelurahan Juhut
mengalami stagnasi dalam hal
pengembangan kelembagaan dan
populasi ternak. Hal ini terlihat dari
penurunan jumlah populasi ternak
domba yang ada dan
aktifitas/kegiatan yang dilakukan
oleh kelompok mengalami
penurunan. Oleh karena itu
diperlukan suatu kegiatan revitalisasi
kelembagaan seperti penataan
kembali kelompok ternak baik secara
struktur organisasi maupun aktifitas
kegiatannya, meningkatkan kegiatan
pendampingan dari petugas
pelaksana di lapangan, melakukan
perencanaan dan pemantapan
pelaksanaan kegiatan pengembangan
ternak domba yang lebih terarah.
b. Terkait ketersediaan pakan, surplus
HPT pada saat musim hujan bisa
diolah atau diawetkan untuk
kebutuhan di musim kemarau
dengan menggunakan teknologi
silase, hay dan standing hay.
4.2. Saran
Berdasarkan penemuan hasil
penelitian, saran yang diberikan yaitu
mengenai sinergi antar instansi pemerintah
harus lebih ditingkatkan dan mereduksi
ego sektoral mengingat banyak instansi
yang terlibat dalam pengembangan usaha
ternak domba. Pengembangan usaha
domba harus pro poor dan pro job artinya
pengembangan usaha harus menyasar pada
kelompok masyarakat marjinal diantaranya
kaum miskin dan pengangguran.
Efektifitas pengembangan usaha harus
dapat diukur dengan melihat
perkembangan tingkat kesejahteraan
masyarakat dan menciptakan lapangan
kerja baru.
DAFTAR PUSTAKA
Bahar, S, S. Hardjosoewignjo, I. Kismono
dan O. Haridjaja. 1999. Perbaikan
padang rumput alam dengan
introduksi leguminosa dan beberapa
cara pengolahan tanah. Jurnal Ilmu
Ternak Vet. 4 (3): 185-190
Bambang Kusdihartono dan Nani Iriani.
2004. Inventarisasi Keanekaragaman
pakan hijauan guna mendukung
sumber pakan ruminansia. Balai
Penelitian Ternak. Bogor
Budiman, H dan S. Djamal. 1994. Hijauan
Pakan Ternak. Pusat Perpustakaan
Pertanian dan Komunikasi
Penelitian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor
Manurung T. 1996. Penggunaan hijauan
leguminosa pohon sebagai sumber
protein ransum sapi potong. Jurnal
Ilmu Ternak Vet. 1 (3 ): 143-148
Mathius, I.W. 2000. Strategi Usaha
Pengembangan Domba-Kambing :
Ditinjau Dari Aspek Ketersediaan
dan Pengadaan Pakan. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 19 (3): 98-105
Mathius, I.W., D. Yulistiani dan A.
Wilson. 2006. Manajemen
pemberian pakan. Buku Sukses
Beternak kambing dan Domba. Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Jakarta
Munier, F.F., D. Bulo, Saidah, Syafrudin,
R. Boy, Femi N.F dan S. Husain.
2004. Pertambahan Robot Badan
Domba Ekor Gemuk (DEG) yang
Dipelihara Secara Intensif. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Hal: 341-
347
Prawiradiputra, B.R. 2003. Sistem
Produksi Hijauan Pakan di Lahan
Kering DAS Jrantunseluna. Jurnal
Ilmu Ternak Vet. 8 (3): 189-195
Prawiradiputra, B.R., Sajimin, N. D.
Purwantari, dan I. Herdiawan. 2006.
Hijauan Pakan Ternak di Indonesia.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian.
Jakarta
Rukmana, Rahmat. 2005. Budidaya
Rumput Unggul : Hijauan Makanan
Ternak. Kanisius. Yogyakarta
Utomo, R. 2004. Review hasil-hasil
penelitian pakan sapi potong.
Wartazoa 14 (3): 116-124
KAJIAN PENGUATAN KOHESI SOSIAL PADA SENTRA AGRIBISNIS
KAMPUNG TERNAK DOMBA TERPADU JUHUT PANDEGLANG
Agus Sjafari*, Listyaningsih* dan Oki Oktaviana**
*Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
**Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Banten
Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten
Jl. Raya Palima Pakupatan Serang-Banten
[email protected] [email protected] [email protected]
ABSTRAK
Dokumen Road Map Sistem Inovasi Daerah (SIDa) Provinsi Banten telah
menempatkan Kampung Ternak Domba Terpadu Juhut sebagai salah satu Pusat
Inovasi UMKM berbasis pedesaan. Meski telah banyak aktor yang berperan serta
regulasi yang dikeluarkan, namun aspek penguatan sumber daya manusia maupun
kelembagaan lokal yang tertuang dalam konsep kohesi sosial perlu
ditingkatkan.Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang komprehensif untuk
memetakan kondisi kohesi sosial serta upaya memberikan penguatan kohesi
sosial yang ada. Penelitian dilaksanakan bulan Maret sampai Mei 2015dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan
melaluiwawancara mendalam (indepth interview), Focus Group Discussion, serta
observasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara umum tingkat kohesisosial
di Kampung Ternak Domba Terpadu Juhut Pandeglangtermasuk dalam kategori
sedang. Terdapat dua indikator kohesi sosial yang termasuk dalam kategori baik
yaitu indikator pemenuhan kebutuhan psikologis dan tingkat penerimaan.Indikator
lainnya seperti pemenuhan kebutuhan spiritual, legitimasi, partisipasi,
pengikutsertaan, dan indikator kebersamaan termasuk dalam kategori
sedang.Belum terdapat sinergitas yang kuat antara kelompok tani atau pun
kelompok tani dengan masyarakat sekitar.Karena itu, perlu peningkatan peran
gapoktan melalui pengutan “Saba Juhut” yang menjalankan fungsi
kesekertariatanserta revitalisasi Tim Teknis Pengembangan Kampung Ternak
Domba Terpadu sebagai wadah komunikasi dan koordinasi bagi setiap instansi
yang akan memberikan program bantuan ke Kampung Ternak Domba Juhut.
Kata Kunci: Kohesi Sosial, Juhut, Domba
Abstract Document Roadmap of Regional Innovation System (SIDA) at Banten
Province has put the Sheep Village Integrated at juhut as one of the rural-based
UMKM Innovation Centre. Although it has been many actors who participate
regulations issued, but strengthening human resources aspects of local
institutions contained in the concept of social cohesion needs to be improved. It is
necessary for a comprehensive study to maping the social cohesion and efforts to
provide reinforcement of existing social cohesion. The research was conducted
from March to May 2015 using quantitative and qualitative methods. Data
collected through in-depth interviews (in-depth interviews), focus group
discussions, and observation. The results showed that social cohesion in the
Sheep Village Integrated at Juhut Pandeglang included in the medium category.
There are two indicators of social cohesion which is a good categories, there are
indicators of psychological needs and the level of acceptance. Other indicators
such as spiritual needs, legitimacy, participation, inclusion and togetherness
indicators included in the medium category. There is not have a strong synergy
between the member the farmer group or sinergy of the farmer group with the
community. Therefore, need to be improved by strengthening the grouping farmer
role "Saba juhut" which perform the secretariat function and revitalization the
Sheep Village Integrated Technical Team Development as a forum for
communication and coordination for each agency will provide the Sheep Village
assistance programs.
Key Words: Social cohesion, Juhut, Sheep
I. PENDAHULUAN
Pelaksanaan otonomi daerah
memberikan banyak peluang untuk
memperbaiki fungsi pemerintah daerah
dalam melaksanakan pembangunan di
daerah. Hal ini dikarenakan dengan
otonomi daerah terdapat kesempatan
untuk memperluas kewenangan daerah
dalam melahirkan kebijakan dan
program-program pembangunan yang
sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat. Guna mewujudkan hal
tersebut, perlu adanya kesiapan dan
komitmen yang kuat dari pemerintah
daerah yang didukung tingkat
partisipasi masyarakat.
Faktor kesiapan masyarakat
dalam hal partisipasi di bidang
pembangunan salah satunya tercermin
dalam tingginya kohesi sosial sebagai
bagian dari social capital yang ada di
masyarakat.Konsep modal sosial
(Social Capital) menjadi salah satu
komponen penting untuk menunjang
keberhasilan pembangunan daerah
yang berpusat kepada pembangunan
manusianya, karena dalam konsep
tersebut manusia ditempatkan sebagai
subyek penting yang menentukan
keberhasilan dan keberlanjutan
penyelenggaraan pembangunan di
daerah. Adanya partisipasi dan
kemampuan dalam mengorganisasikan
diri menjadi hal penting yang sangat
strategis agar masyarakat dapat
memberikan andil dalam mewujudkan
pembangunan manusia di daerahnya
masing-masing.
Kohesi sosial terbangun
dengan baik manakala para anggota
kelompok memiliki komitmen bersama
serta kepercayaan yang tinggi untuk
membangun kemitraan yang kuat
dengan pihak lain. Adanya kelompok
usaha yang kuat menjadi dasar bagi
pihak luar khususnya pemerintah di
dalam memberikan bantuan usaha baik
dalam bentuk bantuan modal,
pendampingan, serta pengawasan
terhadap kelompok- kelompok usaha
tersebut. Dalam dokumen Road Map
Sistem Inovasi Daerah (SIDa),
pemerintah Provinsi Banten telah
menempatkan Kampung Ternak
Domba terpadu Juhut sebagai salah
satu Pusat Inovasi UMKM berbasis
pedesaan. Perkembangan Kampung
Ternak Domba Juhut tidak lepas dari
peranan kelompok kerja (Pokja) yang
dibentuk pada akhir tahun 2008. Pokja
ini dipimpin oleh Kepala Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kabupaten Pandeglang dengan
anggota: Balai Penelitian Ternak
Kementerian Pertanian, BPTP Provinsi
Banten, BP3KH, Dinas Pertanian dan
Perkebunan, Dinas Kehutanan,
Perhutani dan LSM Kopling. Salah satu
peran dari Pokja ini adalah sebagai
lembaga pengkoordinir semua bantuan
dan investasi ternak yang masuk ke
wilayah ini (Bappeda Pandeglang,
2012). Bedasarkan latar belakang
tersebut maka perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui
bagaimana kondisi kohesi sosial yang
terjadi pada masyarakat Sentra
Agribisnis Kampung Ternak Domba
Terpadu Juhut Kabupaten Padeglang
serta bagaimana alternatif model
penguatan kohesi sosial pada
masyarakat Sentra Agribisnis
Kampung Ternak Domba Terpadu
Juhut Kabupaten Padeglang.
II. METODOLOGI
Penelitian ini difokuskan
untuk memetakan kondisi kohesi sosial
yang ada serta upaya memberikan
penguatan kohesi sosial pada sentra
agribisnis domba dan kambing di
kelurahan Juhut Kecamatan Karang
Tanjung Kabupaten Pandeglang. Untuk
itu, penelitian ini dirancang dengan
menggunakan 2 pendekatan (mix
method) yaitu dengan pendekatan
kuantitatif dan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kuantitatif sebagai metode
utama dan pendekatan kualitatif
sebagai metode penunjang.Langkah
pertama dalam penelitian ini adalah
menjaring data awal melalui
penyebaran kuesioner kepada
masyarakat yang menjadi responden
dalam penelitian ini. Penyebaran
kuesioner dimaksudkan untuk
menjaring informasi mengenai
beberapa dimensi kohesi sosial
sebagaimana diungkapkan dalam
Berger-Schmitt (2000 : 14). Pada
langkah kedua, hasil analisis yang
diperoleh melalui kuesioner kemudian
ditindak lanjuti dengan pendekatan
kualitatif. Data akan dikumpulkan
melalui wawancara ( interview)
denganperwakilan kelompok tani yang
adaserta masyarakat di sekitar
kampung ternak domba terpadu Juhut.
Secara singkat langkah – langkah yang
akan dilakukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Langkah – langkah Penelitian
Dalam penelitian ini, metode
atau teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah sebagai berikut:
a. Kuesioner, merupakan alat
penelitian yang digunakan sebagai
instrumen utama dalam penelitian
ini. Kuesioner disusun sedemikian
Langkah I Persiapan
• Pengumpulan data
awal (sekunder) • Penetuan kerangka
penelitian • Penetuan Target,
lokasi dan responden • Pembuatan Kuesioner • Persiapan Administrasi
Langkah II Survey Lapangan
• Pengumpulan data
primer dan sekunder
di lapangan, melalui
kuesioner, wawancara,
FGD, dokumentasi dan
observasi.
Langkah III Pemrosesan Data
• Validitas Data • Proses analisis dan
penulisan laporan
Langkah IV Pelaporan
• Penyusunan
laporan akhir
rupa secara terstruktur untuk
mendapat data mengenai
permasalahan yang berkaitan
dengan penguatan kohesi sosial.
b. Wawancara, merupakan teknik
pengumpulan data yang digunakan
untuk melengkapi informasi secara
lebih mendalam melalui
pertanyaan langsung dengan nara
sumber. Wawancara ini dilakukan
kepada orang-orang yang termasuk
kategori “tokoh” yang mengerti
benar dengan fokus penelitian ini.
Informan yang dimaksudkan
adalah kepala Kelurahan atau yang
mewakili, penyuluh pertanian,
ketua kelompok dan ketua
gapoktan dan lain sebagainya.
c. Observasi, merupakan teknik
pengumpulan data dengan cara
pengamatan secara langsung
dengan obyek penelitian. Peneliti
datang langsung ke lokasi
penelitian dan mengobservasi
obyek penelitian. Obyek yang
menjadi sasaran observasi antara
lain kegiatan kelompok meliputi
peternakan, penanaman talas
beneng dan juga kegiatan
berwirausahanya.
Pada penelitian ini, populasi
yang menjadi obyek penelitian adalah
seluruh kelompok usaha tani dan
peternakan yang tergabung dalam
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)
yang berada di wilayah Kelurahan
Juhut Kecamatan Karang Tanjung
Kabupaten Pandeglang.Kemudian, dari
jumlah populasi tersebut penarikan
jumlah sampel yang dibutuhkan untuk
mewakili populasi diambil secaraquota
sampling sebanyak 10 responden untuk
setiap kelompok. Berdasarkan data
yang terhimpun, di lokasi penelitian
terdapat 14 kelompok tani dan usaha,
sehingga sampel dalam penelitian ini
berjumlah 140 responden. Untuk
mendapatkan gambaran terkait persepsi
masyarakat terkait perkembangan
kampung ternak domba terpadu,
wawancara dilakukan kepada
masyarakat di sekitar lokasi yang tidak
tergabung dalam kelompok tani.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Deskripsi Obyek Penelitian
Keberadaan kampung ternak
domba di Kampung Cinyurup,
Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang
Tanjung kabupaten Pandeglang
provinsi Banten tidak lepas dari peran
Gabungan KelompokTani (Gapoktan)
Juhut Mandiri yang merupakan
gabungan sebelas (pada awal
pendiriannya) kelompok tani yang ada
disekitar kelurahan juhut. Meski usaha
intinya bergerak dalam bidang
budidaya Domba namun anggota
Gapoktan ini cukup menguasai usaha
budidaya pertanian lainnya seperti
becocok tanam labu siam, wortel dan
cesim. Di wilayah ini pun kita bisa
menemukan jenis talas berukuran besar
dan berwarna kuning yang oleh
masyarakat sekitar disebut talas
beneng.
Kegigihan Gapoktan Juhut
mandiri mendapat perhatian
Pemerintah Daerah baik Provinsi
Banten maupun Kabupaten
Pandeglang.Mulai tahun 2009 wilayah
ini dikembangkan bersama-sama oleh
Satuan kerja perangkat daerah tingkat
Provinsi dan Kabupaten serta instansi
vertikal dibawah kementerian pertanian
menjadikannya sebagai satu Kawasan
yang disebut Kampung Ternak
Dombamelalui Surat Keputusan Bupati
Pandeglang Nomor : 524.2/Kep. 23-
Huk/2010, tanggal 22 Januari 2010. Untuk
memperkuat operasional dilapangan
pemerintah Kabupaten Pandeglang kemudian
mengeluarkan SK Bupati PandeglangNomor
: 524/Kep.60-Huk/2010, tanggal 08 Maret
2010 tentang Pembentukan Tim Teknis .
Perkembangan usaha ternak domba
di Juhut telah menarik lembaga pusat melalui
kementerian Pertanian, yang diwujudkan
dengan penetapan wilayah ini sebagai
Laboratorium Lapang Badan Litbang
Kementerian Pertanian dengan SK Nomor :
221/Kpts/OT.160/I/8/2011, yang mencakup
seluruh komoditas Pertanian meliputi seluruh
wilayah kelurahan Juhut tidak hanya terbatas
di lokasi Kampung Ternak saja. Selain
instansi pemerintah, lembaga keuangan pun
dalam hal ini Bank Indonesia turut
berkontribusi terhadap perkembangan
kampung ternak domba Juhut. Melaui Nota
Kesepahaman (Memorandum of
Understanding) antara Pemimpin Bank
Indonesia Serang dengan Bupati Pandeglang,
Nomor : 13/10/DKBU/TBTPLKM/Sr dan
520/852–MoU/Pert./2011 tanggal 19 Juli
2011, tentang Pengembangan Klaster
Agribisnis Terpadu Kabupaten Pandeglang.
Adanya komitment berbagai pihak
dalam membangun Kampung Ternak
Domba Terpadu di Juhut telah menunjukan
keberhasilan yang cukup menggembirakan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kabupaten Pandeglang serta Penyuluh
Lapangan yang bertugas di kelurahan Juhut
setidaknya ada beberapa parameter yang
dipakai dalam menilai keberhasilan tersebut,
yakni:
Tabel Parameter Penilaian Keberhasilan Program parameter Sebelum Sesudah
Kandang Kondisi kandang masih sederhana di
belakang dapur
Penataan kandang sudah relative lebih
baik, terlokalisir di beberapa lahan
milik kelompok
Pakan Pakan masih seadanya Berbagai jenis HMT telah
diintroduksikan, kini terdapat
sedikitnya 7 Ha kebun Rumput Gajah
dan Rumput Odod
Jumlah
populasi
Populasi sebelum program 275 ekor Populasi sekarang mencapai lebih dari
2.000 ekor
Kepemilikan Skala kepemilikan rata-rata 1-3
ekor/KK
Skalakepemilikan rata-rata mencapai
5-6 ekor/KK
Poktan Jumlah Kelompok Tanihanya 1
Kelompok
Jumlah Kelompok Tani telah mencapai
13kelompok
Survival rate Kematian bibit domba tinggi Sudah swasembada bibit domba
Kualitas bibit Sumber bibit domba kurang, domba
lokal relative kecil dan tumbuh
lambat
Kualitas bibit lebih baik dengan
adanya introduksi domba komposit
Kemampuan
Peternak
Keterampilan peternak masih kurang Keterampilan peternak sudah lebih
baik
Berdasarkan data hasil penelitian
diperoleh informasi bahwa nilai rerata
kohesi sosial pada sentra agribisnis
ternak domba dan kambing di Juhut
adalah 2,89, dengan rincian indikator
pemenuhan kebutuhan spiritual (skor
2,73), reratapemenuhan kebutuhan
spiritual (3,02), indikator legitimasi
(skor 2,74), rerata indikator tingkat
penerimaan (skor 3,10), indikator
partisipasi (skor 2,86), rerata
pengikutsertaan (skor 2,82), indikator
kebersamaan (skor 2,98). Untuk lebih
jelasnya digambarkan pada grafik
berikut ini:
Gambar 2. Grafik Rerata Kohesi Sosial
Sumber: Data Hasil penelitian
Dari grafik di atas
menunjukkan bahwa secara umum
tingkat kohesi sosial pada sentra
agribisnis kambing dan domba yang
ada di Kelurahan Juhut termasuk dalam
kategori sedang. Terdapat 2 (dua)
indikator yang termasuk dalam kategori
baik yaitu indikator pemenuhan
kebutuhan psikologis dan tingkat
penerimaan. Sedangkan beberapa
indikator lainnya yaitu indikator
pemenuhan kebutuhan spiritual,
indikator legitimasi, indikator
partisipasi, indikator pengikutsertaan,
dan indikator kebersamaan termasuk
dalam kategori sedang.
Kohesi dapat didefinisikan
sebagai kekuatan yang mendorong
anggota kelompok untuk tetap tinggal
di dalam kelompok dan mencegahnya
meninggalkan kelompok. Selanjutnya
kohesi kelompok juga dapat
didefinisikan sebagai tingkat yang
menggambarkan suatu kelompok yang
anggotanya mempunyai pertalian
dengan anggota lainnya dan keinginan
untuk tetap menjadi bagian dari
kelompok tersebut, (Kidwell,
Mossholder, dan Bennet dalam Kim
dan Taylor, 2001).
Melihat beberapa indikator
kohesi sosial yang ada pada sentra
agribisnis kambing dan domba di
Kelurahan Juhut menunjukkan perlu
ada penguatan kelompok atau
gabungan kelompok tani (Gapoktan)
dengan meningkatkan beberapa
indikator yang masih tergolong sedang
bahkan yang rendah.Ketujuh indikator
kohesi sosial merupakan indikator
penting yang sangat menentukan
tingginya tingkat kohesi sosial dalam
masyarakat baik yang termasuk sebagai
anggota kelompok maupun yang tidak
termasuk dalam anggota kelompok.
Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa eksistensi
kelompok usaha yang ada di Kelurahan
Juhut belum memiliki kekuatan yang
besar yang mendorong anggota
kelompok untuk tetap berada dalam
kelompok dan berperan besar untuk
mengembangkan kelompok usaha
tersebut. Hal lain yang perlu mendapat
perhatian adalah kelompok usaha yang
ada di Kelurahan Juhut belum memiliki
pertalian yang kuat antara anggota
kelompok yang satu dengan yang
lainnyaatau pun antar kelompok yang
satu dengan kelompok yang lain, atau
diantara anggota Gapoktan.
Berdasarkan temuan penelitian
terkait kondisi kohesi sosial yang ada
pada kelompok tani di Sentra
Agribisnis Domba Juhut langkah
penguatan kohesi social yang dapat
2.50 2.60 2.70 2.80 2.90 3.00 3.10 3.20
Kebersamaan
Partisipasi
Legitimasi
Spiritual
2.98
2.82
2.86
3.10
2.74
3.02
2.73
2.89
ditempuh melalui intervensi
pemberdayaan khususnya pada
kelompok usaha. Proses intervensi
pemberdayaan kelompok tersebut
terdapat 2(dua) kegiatan utama yaitu :
1) Pengembangan sumber daya
kelompok , dan 2) Pemberdayaan
kelompok itu sendiri.
Pengembangan sumber daya
kalompok berhubungan dengan
kegiatan pengembangan semua potensi
sumber daya potensial yang ada pada
masing – masing kelompok usaha
penyelenggara Program Sentra
Agribisnis kambing dan domba di
Kelurahan Juhut. Dalam beberapa
referensi dan teori manajemen
kelompok dinyatakan bahwa sumber
daya kelompok tersebut termasuk
dalam kategori hardware antara lain:
SDM (man), material (material), dana
(money), perlengkapan (mechine),
metode (method) dan pasar (market).
Pada aspek SDM ini, dimana
aspek ini merupakan aspek terpenting
dalam pengembangan sumber daya
kelompok yaitu bagaimana
meningkatkan dan merubah 3 (tiga) hal
penting dalam diri manusia yaitu
pengetahuan, sikap mental, dan
keterampilan (psikomotor). Terkait
dengan pengelolaan program sentra
agribisnis kambing dan domba di
Kelurahan Juhut, maka setiap anggota
kelompok perlu diberikan
pendampingan yang intensif mengenai
tehnik dan cara mengelola bisnis
pengembangbiakan kambing dan
domba, mengembangkan bisnis talas
beneng yang baik, pengelolaan
makanan dan minuman tradisional dan
beberapa potensi lainnya yang ada ada
di Kelurahan Juhut.
Pada pemenuhan aspek
material dan sekaligus perlengkapan,
perlu ada identifikasi yang rinci terkait
dengan jenis alat dan perlengkapan
yang dibutuhkan oleh anggota
kelompok dalam mengembangkan
bisnis dalam program pengembangan
sentra agribisnis kambing dan domba
di Kelurahan Juhut.Selama ini alat dan
perlengkapan yang digunakan dalam
mengelola bisnis kelompoknya masih
sangat tradisional.Hal yang terpenting
juga adalah bagaimana anggota
kelompok dapat menguasai dan
mengopperasionalkan alat dan
perlengkapan untuk meningkatkan nilai
tambah pada usaha kelompoknya
tersebut.
Pada aspek dana, dalam hal ini
dapat dilakukan dengan dua sumber,
yaitu: 1) Bersumber dari iuran anggota,
dan 2) terdapat dana stimulus dan
bergulir yang diprogramkan oleh
pemerintah ataupun pihak yang
lainnya. Kalau bersumber dari dana
iuran anggota memang jumlahnya
sangat terbatas mengingat tingkat
kemampuan ekonomi para anggota
kelompok yang tergolong rendah.
Meskipun demikian iuran anggota tetap
saja digalakkan dengan tujuan untuk
menopang kegiatan – kegiatan
operasional rutin, seperti halnya
pertemuan – pertemuan dengan
anggota kelompok atau kegiatan
lainnya. Dana yang menjadi andalan
untuk mengembangkan usaha
kelompok tidak lain dari dana stimulus
khususnya dari instansi pemerintah
yang terkait dan beberapa lembaga
swasta melalui dana CSR – nya.
Problem utama yang dihadapi beberapa
kelompok usaha, baik yang ada di
wilayah bagian atas atau bagian bawah
adalah seringkali muncul diskriminasi
dalam pemberian bantuan dana
stimulus, dimana kelompok yang
sering mendapatkan bantuan adalah
kelompok yang dekat dengan pejabat
atau mantan pejabat yang memiliki
akses terhadap anggaran pemerintah.
Pola seperti itu sebaiknya dihilangkan
dengan maksud semua kelompok
memiliki akses yang sama di dalam
menerima dana bantuan tersebut.
Problematika selanjutnya
adalah rendahnya kemampuan
kelompok di dalam membuat
perencanaan anggaran serta rendahnya
dalam mengelola anggaran
kelompok.Untuk itu, diperlukan adanya
pendampingan intensif di dalam
perencanaan, pengelolaan, serta
pertanggungjawaban anggaran
kelompok, sehingga anggara tersebut
dapat digunakan sebesar – besar untuk
pengembangan usaha kelompok yang
efektif dan efisien.
Dalam hal pengembangan
sumber daya kelompok perlu adanya
sistem dan aturan main yang jelas di
dalam mengatur beberapa hal antara
lain: hak dan kewajiban anggota serta
pengurus, sistem pertemuan kelompok,
reward dan punishment terhadap
anggota atau pengurus yang melanggar
aturan kelompok, serta beberapa aturan
lainnya yang disepakati oleh anggota
kelompoknya.
Selanjutnya terkait dengan
pengembangan pasar atau market
adalah bagaimana anggota kelompok
dapat dirangsang untukmau
mempelajari pasar serta beberapa
peluang bisnis. Hal tersebut
berhubungan dangan sejauhmana
produk hasil bisnisnya tersebut dapat
terserap secara baik oleh pasar,
minimal di lingkungan wilayah
Pandeglang.Beberapa masalah yang
perlu mendapatkan perhatian yang
serius adalah lemahnya jaringan pasar
bisnis serta belum ahlinya anggota
kelompok di dalam mengemas produk
hasil bisnis semenarik mungkin
sehingga dapat terserap oleh
pasar.Dengan demikian perlu ada
intervensi khususnya dari lembaga
pemerintah untuk membuka pasar bagi
produk bisnisnya serta memberikan
pendampingan untuk peningkatan
keterampilan bagi anggota kelompok.
Faktor lain yang dirasa perlu
untuk dilakukan adalah revitalisasi
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan).
Gapoktan Juhut Mandiri yang
merupakan gabungan kelompok Tani
seolah hanya terbentuk melengkapi
syarat administratif. Menurut informasi
yang didapat dari pengurus Gapoktan,
ada kalanya program dan kegiatan yang
dilakukan oleh kelompok tidak
diketahui oleh pengurus Gapoktan. Hal
ini dikarenakan program dan kegiatan
tersebut langsung diarahkan kepada
kelompok tertentu tanpa terlebih
dahulu dilakukan pembahasan pada
tingkat Gapoktan. Diperlukan
kesepakatan bersama diantara masing-
masing kelompok yang ada bahwa
seluruh program dan kegiatan yang
akan, sedang, dan sudah dilaksanakan
harus sepengatahuan Gabungan
Kelompok Tani.
Peran Tim Teknis
Pengembangan Kampung Ternak
Domba Terpadu (SK Bupati
Pandeglang No. 524/Kep. 60-
Huk/2010, tgl . 08 Maret 2010) sebagai
wadah komunikasi dan koordinasi bagi
setiap instansi yang akan memberikan
program bantuan ke Kampung Ternak
Domba Juhut seolah tidak berfungsi.
Pemerintah Kabupaten Pandeglang
perlu menunjuk kembali institusi yang
menjadi koordinator bagi rencana
pengembangan kampung ternak domba
Juhut dimasa yang akan datang.
Institusi inilah yang nantinya menjadi
mitra sekaligus mentor bagi bagi
penguatan peran Gapoktan Juhut
Mandiri.
Berdasarkan hasil observasi
dan informasi yang didapat pada saat
penelitian, nampaknya peran dan
kesekertariatan Gapoktan Juhut
Mandiri dominan melekat pada “saba
Juhut” yang merupakan kesekertariatan
SIDa (Sistem Inovasi Daerah).
Bappeda Kabupaten Pandeglang selaku
instansi yang melaksanakan tugas
pokok dan fungsinya sebagai perencana
pembangunan di daerah telah
menetapkan saba juhut sebagai pintu
masuk sekaligus media komunikasi
keluar terkait program dan kegiatan
yang dilaksanakan di kampung ternak
Domba Juhut. Bahkan sesuai dengan
visi dan misi Kabupaten Pandeglang
program dan kegiatan di Kampung
ternak ini diarahkan sebagai salah satu
destinasi berbasis pedesaan.
Penetapan Saba Juhut untuk
menjalankan fungsi kesekertariatan
Gapoktan Juhut Mandiri perlu
mendapat dukungan legalitas dari
seluruh elemen kelompok tani yang
ada. Karena itu perlu kesepakatan
seluruh kelompok yang ada agar
melahirkan komitmen bersama yang
ditandai dengan kembali maraknya
kegiatan yang dilakukan oleh masing-
masing kelompok tani atau pun
rutinitas pertemuan gapoktan yang
dihadiri seluruh pengurus Poktan untuk
membahas rencana atau pun sekedar
berbagi informasi tentang kegiatan
yang telah atau pun sedang dilakukan.
Dukungan legalitas dari seluruh
kelompok tani juga menggambarkan
peran aktif masyarakat dengan
seminimal mungkin peran serta pihak
eksternal dalam hal ini pemerintah
daerah dalam perencanaan
pengembangan kampung ternak Juhut.
Hal ini sesuai dengan pendapat Payne
dalam Hikmat (2001), bahwa
pemberdayaan memerlukan partisipasi
aktif dalam langkah-langkah,
identifikasi kebutuhan, identifikasi
pilihan atau strategis, keputusan atau
pilihan tindakan, mobilisasi sumber
daya, serta tindakan itu sendiri, secara
menyeluruh dengan intervensi minimal
pihak luar komunitas.Pihak pemerintah
daerah selaku pihak eksternal berperan
sebagai pendamping dari komunitas
untuk mencapai cita-cita yang di
rencanakannya.
Gambar 3: Pola hubungan Kelembagaan Kelompok Tanidi Kampung
Ternak Domba Juhut
Dari gambar di atas terlihat
peran sentral Saba Juhut selain
menjalankan fungsi kesekretariatan
Gapoktan Juhut Mandiri juga
menjalankan fungsi koordinatif antar
kelompok Tani. Untuk itu, hendaknya
dilakukan reorganisasi kepengurusan
yang mengakomodir seluruh
perwakilan dari Kelompok Tani yang
ada. Hal lain yang perlu dilakukan
adalah sosialisasi yang lebih masif
terkait rencana pengembangan
kampung ternak domba ke depan
dengan dilandasi prinsip taranparansi
serta akuntabilitas. Hasil wawancara
dan diskusi dengan salah satu pengurus
pokdarwis (kelompok sadar wisata)
menunjukan bahwa pihak pokdarwis
belum mengetahui secara menyeluruh
terkait rencana pengembangan
kampung ternak domba Juhut sebagai
salah satu destinasi wisata berbasis
pedesaan.
IV. KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan deskripsi hasil
survei dan analisis pada bab
sebelumnya, dapat dirumuskan
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara umum tingkat kohesi sosial
pada sentra agribisnis kambing dan
domba di Desa Kampung Ternak
Domba Terpadu Kelurahan Juhut
Kabupaten Pandeglangtermasuk
dalam kategori yang sedang.
Terdapat 2 (dua) indikator kohesi
sosial yang termasuk dalam kategori
baik yaitu indikator pemenuhan
kebutuhan psikologis dan tingkat
penerimaan. Sedangkan beberapa
indikator lainnya seperti indikator
pemenuhan kebutuhan spiritual,
indikator legitimasi, indikator
partisipasi, indikator
pengikutsertaan, dan indikator
kebersamaan termasuk dalam
kategori sedang.
2. Belum terdapat sinergi yang kuat
antara kelembagaan masyarakat
dengan kelompok usaha yang ada
pada sentrabisnis kambing dan
domba di Kampung Ternak Domba
Terpadu Kelurahan Juhut Kabupaten
Pandeglang. Program dan kegiatan
yang dilaksanakan yang hanya
mengikutsertakan sebagian
kelompok saja cenderung
menimbulkan perasaan cemburu
pada kelompok lainnya yang tidak
dilibatkan dalam program dan
kegiatan tersebut. Perlu peningkatan
peran gapoktan melalui pengutan
saba juhut yang menjalankan fungsi
kesekertariatan.
4.2. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di
atas, dapat direkomendasikan beberapa
hal sebagai berikut:
1. Pemerintah perlu untuk melakukan
evaluasi secara mendasar terkait
dengan keberlanjutan
pengembangan sentra agribisnis
kambing dan domba di Kampung
Ternak Domba Terpadu Juhut
Kabupaten Pandeglang.
2. Melakukan revitalisasi Tim Teknis
Pengembangan Kampung Ternak
Domba Terpadu (SK Bupati
Pandeglang No. 524/Kep. 60-
Huk/2010) sebagai wadah
komunikasi dan koordinasi bagi
setiap instansi yang akan
memberikan program bantuan ke
Kampung Ternak Domba Juhut
DAFTAR PUSTAKA
Bachri, Alim. 2006. Teori
Pembangunan Dunia Ketiga.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama
Blackburn, Donald J. (ed). 1989.
Foundations and Changing
Practises in Extension. Ontaio :
University of Guelph.
Berger-Schmitt.2000. Social Cohesion
as an Aspect of the Quality of
Scienties : Concept and
Measurement. EuReporting
Working Paper No.14.
Cartwright, Dorwin & Alvin Zender.
1968. Group Dynamics,
Reseach and Theory, New
York, Evanston, and London.
Harper & Row, Publishers
Colleta, Nat J. et.al. 2001. Social
Cohesion and conflict
Prevention in Asia. The World
Bank. Washington DC.
Dharmawan, A. Hadi, 2002.
Pengembangan Komunitas dan
Pedesaan Berkelanjutan,
Jurusan Ilmu-ilmu Sosial
Ekonomi Fakultas Ilmu
Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
Galtung, Johan. 1996. Peace by
Peaceful Means : Peace and
Conflict, Development and
Civilization. London. Sage
Haiman, Franklin .1951. Group
Leadership and Gemocratic
Action.Boston : Houghton Mifflin
Company
Hikmat, Neti. 200. Manajemen Sumber
Daya Keluarga. (Makalah)
Disampaikan pada Kegiatan
Pelatihan Keperawatan
Komunitas Dinas Kesehatan
Kota Bandung di Hotel Royal
Corner tanggal 27-29 Mei 2008
Lau, James B., dan A.B. Shani
.1992.Behavior in Organizations:
An Axperiental Approach.
Boston: Irwin.
Mardikanto, Totok.1993. Penyuluhan
Pembangunan Pertanian.
Surakarta: Sebelas Maret
University Press.
Ruben, Brent D. 1988. Communication
and Human Behavior. New York:
Macmillan Publishing Company
Schemerhorn, J.R., Hunt J.G., Osborn
R.N. 1997. Managing
Organizational
Behavior.Canada : John Willey
& Sons, Inc.
Sjafari, Agus. 2014. Kemiskinan dan
Pemberdayaan Kelompok.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Ritzen et.al. 2000. “Good” Politicians
and “Bad” Policies : Social
Cohesion, Institutions and
Growth.World Bank.
Soemodiningrat, G. 1999.
Pemberdayaan Masyarakat &
JPS.PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta
Tonny, Fredian. 2002. Pengembangan
Masyarakat.Jurusan Ilmu-ilmu
Sosial. Ekonomi Pertanian.
Fakultas Ilmu Pertanian Institut
Pertanian Bogor.
Whitaker, Dorothy Stock. 1989. Using
Groups to Help People.
London and New York:
Routledge.
Sumber Lain :
European Committee for Social
Cohesion. 2004. Revised
Strategy for Social Cohesion
Undang – Undang Lingkungan Hidup
Nomor 23 Tahun 1997.
Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin
(P2FM) Melalui Bantuan
Langsung Pemberdayaan Sosial
(BLPS) Jakarta. 1997
PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DESA TERTINGGAL
MELALUI PEMANFAATAN IPTEK
Abdul Malik*, Arif Nugroho*, Ahmad Sururi* dan Guntur Fernanto** Universitas Serang Raya
Jalan Raya Cilegon Drangong Serang – Banten
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Banten
Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten, Jl. Raya Palima – Pakupatan, Curug Serang-
Banten
E-Mail : [email protected]
ABSTRACT
This study was designed to map the potential and problems of local resources in
improving the rural economy, an understanding of the technology needs for rural
economic development and rural economic development strategy through
technological approach to poverty alleviation.This research was carried out in August
until October 2015 held in Banten Province namely in pandeglang and lebak
Regency.The method used in this study is a Location Quotient (LQ) to determine
whether there is an area of specialization for certain sectors. By LQ analysis intended
to look at sectors which are the basis of sectors and sectors not base, then continued
into the analysis of SWOT analysis. Results showed that the average index of location
quetion most rural areas each having economic potential seed and if it refers to the
results of the calculation of average Location quetion (LQ) subsector of agriculture at
the top then there are many villages that have criteria for the achievement of the
average calculation LQ is greater than one (1) or LQ> 1. Later in this study have
also been generated operationally recommendation against the use of science and
technology of leading sectors that have been mapped.
Key Words : Economic Empowerment, Rural lagging, Science and Technology
ABSTRAKSI
Penelitian ini didesain untuk dapat memetakan potensi dan permasalahan sumber
daya lokal dalam peningkatan ekonomi desa, pemahaman tentang kebutuhan
teknologi untuk peningkatan perekonomian desa dan menyusun strategi
pengembangan ekonomi desa melalui pendekatan teknologi untuk pengentasan
kemiskinan. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Agustus sampai dengan Bulan
Oktober Tahun 2015 yang dilaksanakan di Provinsi Banten yaitu di kabupaten lebak
dan kabupaten pandeglang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis Location Quotient (LQ) untuk mengetahui ada tidaknya spesialisasi suatu
wilayah untuk sektor-sektor tertentu. Dengan analisis LQ dimaksudkan untuk melihat
sektor yang menjadi sektor basis dan sektor bukan basis, kemudian dilanjutkan analisa
kedalam analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara average indeks
location quetion sebagian wilayah desa masing-masing mempunyai potensi ekonomi
unggulan dan jika mengacu pada hasil perhitungan rata-rata Location Quetion (LQ)
subsektor pertanian di atas maka terdapat sebagian besar desa yang mempunyai
kriteria pencapaian rata-rata perhitungan LQ nya lebih dari 1 (satu) atau LQ > 1.
Kemudian dalam penelitian ini juga telah dihasilkan rekomendasi secara operasional
terhadap pemanfaatan IPTEK dari sektor unggulan yang telah dipetakan.
Kata Kunci : Pemberdayaan Ekonomi, Desa tertinggal, IPTEK
Pendahuluan
Otonomi daerah secara substantif
memberikan keleluasaan (discretionary
power) dari pemerintahan pusat kepada
daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahan daerah dalam mewujudkan
perubahan tata kehidupan pemerintahan
daerah yang berimplikasi pada
terciptanya masyarakat madani (civil
society) dengan mengutamakan prinsip-
prinsip good governance dengan berbasis
kepada nilai-nilai demokrasi, keadilan,
transparansi, kejujuran (honesty),
orientasi pada kepentingan publik, dan
tanggung jawab kepada masyarakat
(responsibility to public).
Pemberdayaan masyarakat
merupakan proses untuk memfasilitasi
dan mendorong masyarakat agar mampu
menempatkan diri secara proporsional
dan menjadi pelaku utama dalam
memanfaatkan lingkungan strategisnya
untuk mencapai suatu keberlanjutan
dalam jangka panjang. Pemberdayaan
masyarakat memiliki keterkaitan erat
dengan suistainable development dimana
pemberdayaan masyarakat merupakan
prasyarat utama serta dapat diibaratkan
sebagai gerbong yang akan membawa
masyarakat menuju suatu keberlanjutan
ekonomi, sosial dan ekologi yang
dinamis. (Mardikanto, 2014:92)1
Kemampuan masyarakat yang
minim dalam mengakses sumber-sumber
ekonomi menjadi penyebab terisolasinya
masyarakat dan berdampak pada
rendahnya kualitas hidup dan
kesejahteraan masyarakat perdesaan
secara umum. dengan demikian
diperlukan perencanaan pembangunan
dan formulasi dan strategi kebijakan
pembangunan yang terintegrasi terutama
menyangkut strategi pemberdayaan
ekonomi masyarakat desa tertinggal
melalui pemanfataan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Melalui perencanaan
pembangunan dan formulasi kebijakan
pembangunan yang terintegrasi
diharapkan dapat mengidentifikasi
permasalahan pembangunan yang
dihadapi sehingga dapat dirumuskan
program-program pembangunan
berdasarkan analisis potensi ekonomi
yang dimiliki.
Daerah tertinggal merupakan suatu
kondisi dimana terdapat perbedaan
tingkat perkembangan yang terjadi antara
daerah satu dengan daerah lainya. Sejalan
dengan diundangkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014
Tentang Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal pada pasal 6 diatur
tentang ketentuan penetapan daerah
tertinggal, pemerintah mengidentifikasi
ada 183 daerah tertinggal di Indonesia
pada masa pembangunan lima tahun
tahap dua (2010-2014). Daerah tertinggal
ini semuanya terbesar di 34 kabupaten
Daerah Otonom Baru. Pada periode
pembangunan lima tahun sebelumnya
yaitu pada tahun 2004-2009, ada 199
daerah tertinggal dan dengan program
RPJMN 2004-2009 sebanyak 50
diantaranya telah keluar dari daftar
daerah tertinggal. Unit terkecil daerah
tertinggal yang digunakan dalam Strategi
Nasional di Indonesia adalah wilayah
administrasi Pemerintahan Kabupaten.
Hal ini sesuai dengan kewenangan
otonomi daerah yang secara penuh
diberikan kepada pemerintah Kabupaten.
Penelitian ini dirancang untuk dapat
memetakan potensi dan permasalahan
sumber daya lokal dalam peningkatan
ekonomi desa, pemahaman tentang
kebutuhan teknologi untuk peningkatan
perekonomian desa dan menyusun
strategi pengembangan ekonomi desa
melalui pendekatan teknologi untuk
pengentasan kemiskinan, maka
Pemerintahan Provinsi Banten melalui
Badan Penelitian dan Pengembangan
(BALITBANGDA) Provinsi Banten
menyusun suatu kajian tentang
pemberdayaan ekonomi masyarakat desa
tertinggal melalui pemanfaatan IPTEK
(Ilmu Pengetahuan dan Teknologi).
Metodologi
Kegiatan kajian Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Desa Tertinggal
Melalui Pemanfaatan IPTEK
dilaksanakan di Provinsi Banten pada
Bulan Agustus sampai dengan Bulan
Oktober Tahun 2015 yaitu di kabupaten
Lebak dan Kabupaten Pandeglang
dengan 4 (empat) lokus penelitian
(Desa/Kelurahan) untuk masing – masing
kabupaten yang merupakan kantong –
kantong kemiskinan yang mewakili
daerah pesisisr dan pegunungan yaitu :
Kabupaten Lebak, terdiri dari
- Kecamatan Malingping, Desa
Pagelaran
- Kecamatan Wanasalam, Desa
Sukatani
- Kecamatan Muncang, Desa Pasir
eurih
- Kecamatan Curugbitung, Desa Candi
Kabupaten Pandeglang, terdiri dari
- Kecamatan Pagelaran, Desa Harapan
Karya
- Kecamatan Mekar Jaya, Desa
Kadujangkung
- Kecamatan Cadasari, Desa Kurung
Dahu
- Kecamatan Mandalawangi, Desa
Ramea
Teknik pengumpulan data yang
dikumpulkan terdiri atas data primer dan
data skunder. Data primer dikumpulkan
pada saat melaksanakan penelitian di
lapangan berupa wawancara, pengamatan
langsung melalui komunikasi yang tidak
secara langsung tentang pokok masalah.
Sedangkan data sekunder data yang
merupakan hasil wawancara terhadap
instansi terkait dalam bentuk publikasi,
laporan, dokumen, dan buku-buku
lainnya yang berkaitan dengan penelitian
ini. Pengumpulan data yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah melalui
wawancara dan observasi.
Metode Analisis Data
Metode analisis dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan
beberapa metode analisis yaitu:
Analisis SWOT
Model analisis SWOT yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
yang diperkenalkan oleh Rangkuti9 tahun
1997. Analisis SWOT adalah identifikasi
berbagai faktor secara sistematis
didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (Strenghts)
dan peluang (Opportunities), namun
secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (Weaknesses) dan ancaman
(Threats) (Rusdarti, 2010).
Dalam melakukan proses
pengambilan keputusan strategis selalu
berkaitan dengan pengembangan misi,
tujuan, strategi dan kebijaksanaan.
Dengan demikian perencanaan strategi
(strategic planning) harus menganalisis
faktor-faktor strategis yang dimiliki
(kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman) dalam kondisi yang ada pada
saat ini. Sehingga analisis SWOT juga
dikenal dengan analisis situasi baik
secara internal maupun eksternal.
Analisis Location Quotient (LQ)
Metode analisis Location Quotient
(LQ) merupakan alat analisis untuk
mengetahui ada tidaknya spesialisasi
suatu wilayah untuk sektor (industri)
tertentu. Dengan analisis LQ
dimaksudkan untuk melihat sektor yang
menjadi sektor basis dan sektor bukan
basis, sehingga daerah melihat
keunggulan sektor yangdapat dijual dan
dikembangkan untuk mendorong
perekonomian di daerah atau kabupaten.
Hasil Dan Pembahasan
Hasil Analisis Location Question
Data rekapitulasi di atas
menunjukkan bahwa secara average
indeks location quetion sebagian wilayah
desa masing-masing mempunyai potensi
ekonomi unggulan dan jika mengacu
pada hasil perhitungan rata-rata Location
Quetion (LQ) subsektor pertanian di atas
maka terdapat sebagian besar desa yang
mempunyai kriteria pencapaian rata-rata
perhitungan LQ nya lebih dari 1 (satu)
atau LQ > 1 dan berada pada sektor basis
yaitu
1. Desa Candi Kecamatan Curug Bitung
mempunyai potensi ekonomi
unggulan pada subsektor buah-
buahan.
2. Desa Pasir Eurih Kecamatan
Muncang mempunyai potensi
unggulan di subsektor padi dan
palawija, perkebunan dan
ternak/unggas.
3. Desa Sukatani Kecamatan
Wanasalam mempunyai potensi
unggulan di subsektor padi dan
palawija, sayuran dan sektor buah-
buahan.
4. Desa Pagelaran Kecamatan
Malingping mempunyai potensi
unggulan di subsektor padi dan
palawija dan subsektor sayuran.
Selain komoditi padi dan palawija
dan sayuran, Desa Pagelaran
memiliki komoditas unggulan yang
dapat dikembangkan yaitu home
industri makanan opak yang dikenal
dengan nama “opak pagelaran”.
5. Desa Kurung Dahu Kecamatan
Cadasari mempunyai potensi
unggulan pada subsektor perkebunan,
6. Desa Kadu Jangkung Kecamatan
Mekar Jaya mempunyai potensi
unggulan pada subsektor padi dan
palawija. Selain komoditas padi dan
palawija, Desa Kadu Jangkung
memiliki home industri kerajinan
anyaman dari bahan pandan yang
dikelola secara tradisional oleh
sebagian besar kaum perempuan dan
merupakan warisan turun temurun.
7. Desa Ramea Kecamatan Mandala
Wangi yang mempunyai potensi
unggulan di subsektor padi/palawija
dan perkebunan.
Selain komoditas/subsektor padi dan
palawija dan perkebunan,
pengembangan subsektor
ternak/unggas sudah dilaksanakan di
Desa Ramea pada tahun 2015 dengan
menerapkan sistem peternakan
cluster atau peterrnakan yang
ditempatkan di satu titik yaitu di
Kampung Turalak sebagai sentra
ternak.
8. Desa Harapan Karya Kecamatan
Pagelaran yang mempunyai potensi
ekonomi unggulan di sektor padi dan
palawija.
Kriteria indeks LQ > 1 adalah
kriteria yang menggambarkan
identifikasi potensi ekonomi unggulan
yang terdapat di suatu wilayah sekaligus
menjelaskan bahwa sektor-sektor
tersebut merupakan sektor basis atau
menjadi sumber pertumbuhan,
keunggulan komparatif dan hasilnya
tidak saja dapat memenuhi kebutuhan di
wilayah bersangkutan akan tetapi juga
dapat diekspor ke luar wilayah.
Hasil Analisis SWOT
Pemberdayaan ekonomi masyarakat
desa tertinggal melalui pemanfaatan
Iptek merupakan salah satu upaya dalam
memanfaatkan peluang dan tantangan
dalam mendorong dan menumbuhkan
ekonomi masyarakat. Potensi yang
dimiliki oleh Kabupaten Lebak dan
Kabupaten Pandeglang cukup beragam
akan tetapi masih terbatas dalam
pengelolaannya dikarenakan masih
terbatasnya aksebilitas masyarakat dalam
memanfaatkan sumber daya ekonomi,
minimnya infrastruktur pendukung,
minimnya pengetahuan manajeman
usaha, terbatasnya bimbingan dan
pelatihan bagi masyarakat, pola orientasi
masyarakat yang masih minim dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan
minimnya pemanfaatan aspek ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Dan berikut ini akan diuraikan
analisis masing-masing desa berdasarkan
analisa SWOT.
Desa Candi Kecamatan Curug Bitung
Perumusan strategi pemberdayaan
ekonomi masyarakat desa tertinggal
dilakukan dengan menggunakan analisis
SWOT dengan berdasarkan pada faktor-
faktor lingkungan strategis, hasil
generating dari matriks SWOT diuraikan
pada tabel berikut ini :
Desa Pasir Eurih Kecamatan Muncang
Perumusan strategi pemberdayaan
ekonomi masyarakat desa tertinggal
dilakukan dengan menggunakan analisis
SWOT dengan berdasarkan pada faktor-
faktor lingkungan strategis, hasil
generating dari matriks SWOT diuraikan
pada tabel berikut ini :
Desa Sukatani Kecamatan Wanasalam
Perumusan strategi pemberdayaan
ekonomi masyarakat desa tertinggal
dilakukan dengan menggunakan analisis
SWOT dengan berdasarkan pada faktor-
faktor lingkungan strategis, hasil
generating dari matriks SWOT diuraikan
pada tabel berikut ini :
Desa Pagelaran Kecamatan Malingping
Perumusan strategi pemberdayaan
ekonomi masyarakat desa tertinggal
dilakukan dengan menggunakan analisis
SWOT dengan berdasarkan pada faktor-
faktor lingkungan strategis, hasil
generating dari matriks SWOT diuraikan
pada tabel berikut ini :
Desa Kurung Dahu Kecamatan Cadasari
Perumusan strategi pemberdayaan
ekonomi masyarakat desa tertinggal
dilakukan dengan menggunakan analisis
SWOT dengan berdasarkan pada faktor-
faktor lingkungan strategis, hasil
generating dari matriks SWOT diuraikan
pada tabel berikut ini :
Desa Kadu Jangkung Kecamatan
Mekar Jaya
Perumusan strategi pemberdayaan
ekonomi masyarakat desa tertinggal
dilakukan dengan menggunakan analisis
SWOT dengan berdasarkan pada faktor-
faktor lingkungan strategis, hasil
generating dari matriks SWOT diuraikan
pada tabel berikut ini :
Desa Ramea Kecamatan Mandalawangi
Perumusan strategi pemberdayaan
ekonomi masyarakat desa tertinggal
dilakukan dengan menggunakan analisis
SWOT dengan berdasarkan pada faktor-
faktor lingkungan strategis, hasil
generating dari matriks SWOT diuraikan
pada tabel berikut ini :
Desa Harapan Karya Kecamatan
Pagelaran
Perumusan strategi pemberdayaan
ekonomi masyarakat desa tertinggal
dilakukan dengan menggunakan analisis
SWOT dengan berdasarkan pada faktor-
faktor lingkungan strategis, hasil
generating dari matriks SWOT diuraikan
pada tabel berikut ini :
Kesimpulan Dan Saran
Setelah melakukan serangkaian
analisis dengan berbagai pendekatan,
dapat ditarik kesimpulan dari penelitian
ini berdasarkan potensi ekonomi lokal,
permasalahan sumber daya lokal dan
strategi pengembangan ekonomi desa
melalui pendekatan dan pemanfaatan
teknologi yaitu sebagai berikut :
Desa Candi Kecamatan Curug Bitung
1. Potensi Ekonomi Lokal
Potensi ekonomi lokal yang dimiliki
adalah sektor pertanian dimana
hampir sebagian besar kepala keluarga
di Desa Candi bermata pencaharian
sebagai petani dengan didukung oleh
7 (tujuh) kelompok tani, keunggulan
sumber daya manusia yang dimiliki
terutama usia produktif dan
perkebunan serta sektor ladang.
Potensi ekonomi unggulan adalah
sektor buah-buahan manggis, yang
artinya sektor buah-buahan
merupakan sektor basis yaitu sektor
yang mempunyai nilai potensi
ekonomi tinggi, dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat secara mandiri
dan dapat diekspor ke luar wilayah
desa.
2. Permasalahan Sumber Daya Lokal
Sedangkan permasalahan sumber daya
lokal Desa Candi Kecamatan Curug
Bitung adalah masih tradisionalnya
pengelolaan pertanian dan
perkebunan, masih terbatasnya
pasokan sumber air irigasi untuk lahan
pertanian dan masih terbatasnya akses
pemasaran hasil-hasil pertanian dan
perkebunan disebabkan karena akses
jalan rusak dan jarak tempuh yang
cukup jauh.
3. Strategi pengembangan ekonomi desa
melalui pendekatan dan pemanfaatan
teknologi
Kebutuhan dan pemanfaatan teknologi
yang diperlukan seuai dengan potensi
unggulan buah-buahan adalah
pengolahan minuman sari buah
manggis segar dan kulit manggis
(mesin ekstra buah dengan dimensi 34
x 27 x 36 cm, kapasitas 80–100
kg/jam, daya 370 Watt, berat 12 kg,
kecepatan 200 rpm), alat pengolahan
kulit buah manggis kering dan tepung
kulit buah manggis (oven Pengering
spesifikasi dimensi tergantung, tipe
material rangka siku, sthal besi
material, body luar plat besi atau
stainless steel, material body dalam
plat besi atau stainless steel, material
rak screen atau plat besi atau stainless
steel, pemanas LPG, sistem
pemanasan sirkulasi tanduk rusa,
thermokontrol otomatis blower) & alat
pengolahan sirup manggis (spesifikasi
dimensi : 1000 x 1000 x 1300 mm,
rangka : besi kanal/UNP tabung :
stenliss foodgrade, pemanas : LPG
kapasitas : 200 liter), pengemas
produk, selain alat–alat tersebut
diperlukan pula tutorial singkat &
modul tentang cara pengolah dan
penggunaan alat.
Desa Pasir Eurih Kecamatan Muncang
1. Potensi Ekonomi Lokal
Potensi ekonomi lokal yang dimiliki
adalah sumber daya alam, hasil
pertanian, populasi peternakan dan
hasil perkebunan ladang. Hasil
pertanian Desa Pasir Eurih adalah padi
dan palawija sedangkan hasil
perkebunan buah-buahan yang
dihasilkan adalah rambutan dan
nangka, selain itu sektor ternak dan
unggas di Desa Pasir Eurih dapat
menjadi alternatif unggulan yaitu
kambing/domba dan itik/bebek.
2. Permasalahan Sumber Daya Lokal
Permasalahan sumber daya lokal di
Desa Pasir Eurih adalah masih
tradisionilnya pengelolaan sektor-
sektor pertanian dan perkebunan,
terbatasnya akses pemasaran hasil
pertanian dan perkebunan serta belum
adanya pemanfaatan Iptek.
3. Strategi pengembangan ekonomi desa
melalui pendekatan dan pemanfaatan
teknologi
Strategi pengembangan ekonomi yang
dapat dilakukan adalah kebijakan
mekanisasi perkebunan melalui
dukungan kebijakan pemerintah dalam
menyediakan kebutuhan teknologi dan
akses pemasaran. Desa Pasir Eurih
Kecamatan Muncang memiliki potensi
unggulan di beberapa subsektor
seperti padi dan palawija, buah-
buahan, ternak/unggas dan
perkebunan (kopi, kelapa, cengkeh
dan aren), dimana perlu dilakukannya
suatu inovasi guna peningkatan faedah
dan nilai ekonominya sbb.
a. Untuk sub sektor unggulan kopi,
diperlukan alat–alat produksi skala
kecil/ industri rumah tangga seperti
mesin pengupas kulit basah, mini
dryer stainless stell, Mesin
Penggongseng, Mesin 36 Grain
Moisture Meter, Penyangrai
(China), & alat pengemas serta
diberikan tutorial serta modul
terkait teknologi produksi,
pemanfaatan produk & startegi
pemasaran.
b. Untuk sub sektor unggulan kelapa,
diperlukan alat–alat produksi skala
kecil/industri rumah tangga seperti
alat pembuatan tepung kelapa
(pengeringan/artificial drying), alat
pembuatan karbon aktif, alat
pembuatan gula kelapa, serta
tutorial dan modul terkait teknologi
produksi, pemanfaatan produk,
startegi pemasaran.
c. Untuk sub sektor unggulan
cengkeh, memberikan alat–alat
produksi skala kecil/ industri
rumah tangga seperti alat untuk
memproduksi minyak atsiri/minyak
cengkeh, yaitu home essential oil
distiller, alat pemisah minyak
asiri/atsiri (oil separator), alat
keselamatan/sabuk pengaman
untuk pemanenan cengkeh, serta
tutorial dan modul pengoperasian,
inovasi, pemanfaatan produk.
d. Untuk sub sektor unggulan aren
dengan alat pegolahan gula aren
seperti (1 mesin katalisator gula
semut dengan spesifikasi Pengaduk
kayu model garpu, kontak produk
stenliss, kerangka besi siku,
Penggerak Eletro Motor 3/4 atau 1
Hp 220V/motor Bensin 5,5 HP,
Dimensi 800x600x800mm 2 Oven
pengering gula semut dengan
spesifikasi kontak produk stenliss,
Platezzer, Kerangka besi siku,
pemanas gas, Dimensi
800x600x800mm) serta tutorial dan
modul pengoperasian, pemanfaatan
produk & startegi pemasaran.
Desa Sukatani Kecamatan Wanasalam
1. Potensi Ekonomi Lokal
Potensi ekonomi lokal yang dimiliki
adalah sumber daya alam, hasil
pertanian (padi dan palawija),
peternakan dan perkebunan buah-
buahan. Ketiga sektor tersebut dapat
menjadi sumber pertumbuhan dan
penggerak perekonomian desa.
2. Permasalahan Sumber Daya Lokal
Permasalahan sumber daya lokal
adalah masih tradisionilnya
pengelolaan sektor-sektor pertanian
dan perkebunan, terbatasnya akses
pemasaran hasil pertanian, peternakan
dan perkebunan.
3. Strategi pengembangan ekonomi desa
melalui pendekatan dan pemanfaatan
teknologi
Desa Sukatani Kecamatan Wanasalam
memiliki potensi unggulan di
beberapa subsektor pertanian padi dan
palawija, buah-buahan, ternak dan
unggas dimana perlu dilakukannya
suatu inovasi dalam peningkatan
faedah dan nilai ekonomi yaitu dengan
bantuan bibit unggul, tutorial terkait
peningkatan kuantitas panen serta
alat–alat pertanian moderen seperti
traktor (menggunakan mesin
penggerak dengan tenaga 6.5 HP, bodi
terbuat dari besi cor, dilengkapi
dengan kopling belok), mesin
pengairan sawah (Pompa
Pertanian/Irigasi CC40WP-LPG ) ,
pupuk, pembasmi hama.
Desa Pagelaran Kecamatan Malingping
1. Potensi Ekonomi Lokal
Potensi ekonomi lokal yang dimiliki
adalah sumber daya alam, hasil
pertanian (jagung dan kacang tanah).
Selain itu Desa Pagelaran memiliki
sumber daya lokal unggulan yaitu
home industri dengan produksi
makanan opak atau dikenal dengan
sebutan “opak pagelaran” yang
dikelola secara tradisional oleh
masyarakat setempat, komoditi
tersebut dapat menjadi sumber
pertumbuhan dan penggerak
perekonomian desa.
2. Permasalahan Sumber Daya Lokal
Permasalahan sumber daya lokal
adalah masih tradisionilnya
pengelolaan sektor-sektor pertanian
dan terbatasnya akses pemasaran
sumber daya ekonomi lokal.
3. Strategi pengembangan ekonomi desa
melalui pendekatan dan pemanfaatan
teknologi
Desa Pagelaran memiliki potensi
unggulan di sektor pertanian padi dan
palawija (Jagung & kacang tanah),
industri makanan opak, dan perlu
adanya suatu inovasi guna
peningkatan faedah dan nilai ekonomi
yaitu dengan bantuan bibit unggul
padi, jagung & kacang tanah, tutorial
terkait peningkatan kuantitas panen
serta alat–alat pertanian moderen
seperti traktor (menggunakan mesin
penggerak dengan tenaga 6.5 HP, bodi
terbuat dari besi cor , dilengkapi
dengan kopling belok), mesin
pengairan sawah (Pompa
Pertanian/Irigasi CC40WP-LPG ),
pupuk, pembasmi hama.
Untuk industri makanan cemilan opak
diperlukan tutorial terkait inovasi
produk opak, alat pengolahan opak
secara moderen dan higienis,
kemasan, serta modul, tutorial
penggunaan alat.
Khusus untuk sentra produksi
makanan opak yang dikelola secara
tradisional oleh masyarakat diperlukan
adanya studi banding ke daerah lain
yang telah berhasil pengelolaan sentra
produksi makanan opak seperti
kecamatan Kajoran Kabupaten
Magelang.
Desa Kurungdahu Kecamatan Cadasari
1. Potensi Ekonomi lokal
Potensi ekonomi di Desa Kurung
Dahu Kecamatan Cadasari adalah
perkebunan cengkeh, hampir sebagian
besar masyarakat desa mempunyai
tanaman cengkeh dan menjadikan
cengkeh sebagai komoditi unggulan
masyarakat.
2. Permasalahan Sumber Daya Lokal.
Permasalahan sumber daya lokal
adalah masih tradisionilnya
pengelolaan komoditi cengkeh dan
sektor-sektor lainnya seperti pertanian
serta terbatasnya akses pemasaran
sumber daya ekonomi lokal.
3. Strategi pengembangan ekonomi desa
melalui pendekatan dan pemanfaatan
teknologi.
Strategi pengembangan ekonomi yang
dapat dilakukan adalah kebijakan
inovasi dalam meningkatkan faedah
dan nilai ekonominya yaitu dengan
memberikan alat – alat produksi skala
kecil/industri rumah tangga seperti
alat untuk memproduksi minyak
atsiri/minyak cengkeh, yaitu home
essential oil distiller, alat pemisah
minyak asiri/atsiri (oil separator), alat
keselamatan/sabuk pengaman untuk
pemanenan cengkeh, serta tutorial
dan modul pengoperasian, inovasi,
pemanfaatan produk.
Desa Kadujangkung Kecamatan Mekar
Jaya
1. Potensi Ekonomi lokal
Potensi ekonomi lokal di Desa Kadu
Jangkung adalah industri kerajinan
anyaman tas, tikar dan sapu dari bahan
pandan selain sektor pertanian padi
palawija dan komoditi kelapa sebagai
komoditi unggulan.
2. Permasalahan Sumber Daya Lokal
Permasalahan sumber daya lokal
adalah masih tradisionilnya
pengelolaan industri kerajinan
anyaman, terbatasnya akses
pemasaran dan pasokan sumber air
untuk lahan pertanian karena masih
memanfaatkan sumber air hujan.
3. Strategi pengembangan ekonomi desa
melalui pendekatan dan pemanfaatan
teknologi
Strategi pengembangan ekonomi yang
dapat dilakukan adalah perlu adanya
suatu inovasi guna peningkatan faedah
dan nilai ekonominya. Untuk sektor
unggulan kelapa, diperlukan alat–alat
produksi skala kecil/industri rumah
tangga seperti alat pembuatan tepung
kelapa (pengeringan/artificial drying),
alat pembuatan karbon aktif, alat
pembuatan gula kelapa ( mesin
katalisator gula semut, oven pengering
gula semut), serta tutorial dan modul
terkait teknologi produksi &
pemanfaatan produk.
Untuk sektor pertanian padi dan
palawija yaitu dengan bantuan bibit
unggul padi, tutorial terkait
peningkatan kuantitas panen serta
alat–alat pertanian moderen seperti
traktor (menggunakan mesin
penggerak dengan tenaga 6.5 HP, bodi
terbuat dari besi cor , dilengkapi
dengan kopling belok), mesin
pengairan sawah ( Pompa
Pertanian/Irigasi CC40WP-LPG ),
pupuk, pembasmi hama. Untuk
kerajinan anyaman bahan pandan,
diperlukan tutorial kepada kelompok
home industri kaum perempuan
tentang inovasi produk kerajinan
anyaman dari bahan dasar serat
pandan, media promosi terkait
perluasan akses pemasaran, pelatiahan
terkait manajemen pelembagaan
pengelolaan hasil produksi kerajinan
anyaman pandan (penguatan
manajemen perkoperasian) dan studi
banding ke daerah lain yang telah
berhasi dalam pengelolaan sentra
kerajinan anyaman seperti sentra
kerajinan anyaman Raponglah di
Tasikmalaya.
Desa Ramea Kecamatan Mandalawangi
1. Potensi Ekonomi Lokal
Potensi ekonomi lokal Desa Ramea
adalah sektor pertanian padi palawija,
cengkeh dan melinjo. Selain itu di
Desa Rame dikembangkan sentra
produksi peternakan dengan sistem
cluster yang terletak di Kampung
Turalak dan sentra produksi gula aren.
2. Permasalahan Sumber Daya Lokal
Permasalahan sumber daya lokal
adalah pengelolaan hasil pertanian dan
perkebunan yang masih tradisional,
akses pemasaran yang terbatas
disebabkan akses jalan yang rusak dan
jarak tempuh yang cukup jauh.
3. Strategi pengembangan ekonomi desa
melalui pendekatan dan pemanfaatan
teknologi
Strategi pengembangan ekonomi desa
yang dapat dilakukan adalah
kebijakan inovasi guna peningkatan
faedah dan nilai ekonominya. Untuk
komoditi melinjo yaitu dengan
memberikan alat–alat produksi skala
kecil/ industri rumah tangga seperti
alat untuk pengupas kulit melinjo
basah, mini dryer stainless stell, mesin
penggongseng, mesin pengupas
melinjo kering, 36 grain moisture
meter, penyangrai (china), serta alat
penggepeng dalam pembuatan emping
melinjo, krupuk melinjo, plastik
kemasan, serta tutorial, modul
pengoperasian, inovasi rasa produk
melinjo & Strategi pemasaran. Untuk
komoditi unggulan cengkeh,
diperlukan alat–alat produksi skala
kecil/industri rumah tangga seperti
alat untuk memproduksi minyak
atsiri/minyak cengkeh, yaitu mesin
destilasi, alat keselamatan/sabuk
pengaman untuk pemanenan cengkeh,
serta tutorial dan modul
pengoperasian, pemanfaatan produk &
startegi Pemasaran. Untuk sektor padi
dengan bibit unggul padi, tutorial
terkait peningkatan kuantitas panen
serta alat–alat pertanian modern
seperti traktor, mesin pengairan
sawah, pupuk, pembasmi hama &
modul, tutorial terkait pengelolaan
pertanian padi. Untuk peternakan
domba yaitu dengan memberikan
bantuan alat cukur bulu domba
manual, alat suntik otomatis metal,
alat cekok otomatis, alat tes amonika
kandang serta tutorial dan modul
pengoperasian, pemanfaatan produk &
startegi Pemasaran. Untuk sektor gula
aren dengan alat pegolahan gula aren
seperti ( 1 mesin katalisator gula
semut dengan spesifikasi Pengaduk
kayu model garpu, kontak produk
stenliss, Kerangka besi siku,
Penggerak Eletro Motor 3/4 atau 1
Hp 220V / Motor Bensin 5,5 HP,
Dimensi 800x600x800mm. 2.Oven
pengering gula semut dengan
spesifikasi kontak produk stenliss,
Platezzer, Kerangka besi siku,
pemanas gas, Dimensi
800x600x800mm) serta tutorial dan
modul pengoperasian, pemanfaatan
produk & startegi Pemasaran
Desa Harapan Karya Kecamatan
Pagelaran
1. Potensi Ekonomi Lokal
Potensi ekonomi lokal Desa Harapan
Karya adalah padi dan palawija (padi
sawah, ubi kayu dan kacang tanah)
sebagai komoditi unggulan desa.
2. Permasalahan Sumber Daya Lokal
Permasalahan sumber daya lokal
adalah pengelolaan hasil pertanian
padi dan palawija yang masih
tradisional, akses pemasaran yang
terbatas disebabkan akses jalan yang
rusak dan jarak tempuh yang cukup
jauh.
3. Strategi pengembangan ekonomi desa
melalui pendekatan dan pemanfaatan
teknologi
Strategi pengembangan ekonomi Desa
Harapan Karya yang memiliki potensi
unggulan di sektor pertanian padi dan
palawija (ubi kayu & kacang tanah)
adalah strategi dan kebijakan inovasi
guna peningkatan faedah dan nilai
ekonominya, yaitu dengan
memberikan alat–alat produksi skala
kecil/industri rumah tangga seperti
alat-alat pembuatan tepung ubi kayu
(mesin penggilingan & mesin
pemanas/oven), alat pengolahan
produk kacang tanah (oven, alat
pengupas kulit). Untuk sektor padi
dengan bibit unggul padi, tutorial
terkait peningkatan kuantitas panen
serta alat–alat pertanian modern
seperti traktor (menggunakan mesin
penggerak dengan tenaga 6.5 HP, bodi
terbuat dari besi cor , dilengkapi
dengan kopling belok), mesin
pengairan sawah (Pompa
Pertanian/Irigasi CC40WP-LPG ),
pupuk, pembasmi hama & modul,
tutorial terkait pengelolaan pertanian
padi, pemanfaatan produk,
penggunaan alat dan strategi
pemasaran.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil kajian yang telah
diuraikan sebelumnya, maka kami
merekomendasikan sebagai berikut :
1. Keputusan strategis yang dapat
segera dilaksanakan sesuai dengan
analisis Location Quetion dan metode
analisis SWOT adalah strategi dan
rekomendasi kebijakan program
pengembangan yang dapat diinisiasi
oleh Pemerintah Daerah Provinsi
Banten dan dinas-dinas terkait,
pemerintah kabupaten, pemerintah
kecamatan dan pemerintah desa
dalam hal peningkatan dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat
adalah penyediaan kebutuhan Iptek
dalam mewujudkan ketahanan
ekonomi, ketahanan pangan
masyarakat dan kesejahteraan
masyarakat.
2. Kebijakan dan rekomendasi strategis
sebagai aspek pendukung dalam
pemberdayaan ekonomi masyarakat
desa adalah pembangunan
infrastruktur jalan lingkungan dan
poros desa di setiap desa dan
kecamatan yang menjadi locus kajian
untuk mendorong produktivitas dan
akses pemasaran transportasi dari
lokasi produksi ke pasar atau luar
wilayah desa/kecamatan.
3. Pemerintah Provinsi Banten bersama
stakeholder lainnya berupaya
mengintegrasikan konsep
pemberdayaan ekonomi masyarakat
desa dan program-program
pembangunan sebagai bagian dari
strategi pembangunan pemerintahan
provinsi Banten dalam jangka
pendek, jangka menengah maupun
jangka panjang.
Daftar Pustaka 1 Mardikanto T dan Soebiato P, 2013,
Pemberdayaan Masyarakat. Bandung,
Alfabeta 2
Theresia, Aprillia, at al, 214,
Pembangunan Berbasis Masyarakat
Bandung, Alfabeta 3
Michael, Todaro, 1977, Pembangunan
ekonomi di dunia Ketiga, Jakarta
Erlangga 4
Siagian, Sondang P, 1994,
Administrasi Pembangunan, Jakarta,
Gunung Agung 5
Ginanjar Kartasasmita, Ginanjar,
1997, Administrasi Pembangunan.
Jakarta, LP3ES 6
Wibowo R. 2011. Pendekatan
partisipatif masyarakat terhadap
implementasi Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri. 7
Ife J, Tesoriero F. 2008. Alternatif
pengembangan masyarakat di era
globalisasi community development.
Yogyakarta [ID]:Pustaka Pelajar 8
Sumaryadi, I Nyoman, 2005,
Perencanaan Pembangunan Daerah
Otonom dan Pemberdayaan
Masyarakat, Jakarta: Penerbit Citra
Utama 9
Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT
Teknik Membedah Kasus Bisnis:
Reoriantasi Konsep Perencanaan
Strategis Untuk Menghadapi Abad 21.
Cetakan Keduabelas. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Top Related